Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pendekar Buta
Jilid 18
Kun Hong
terkejut. Kiranya Bouw Si Ma si orang Mancu yang pandai memainkan pedang dan
memiliki tenaga lweekang yang lihai ini adalah murid Pak-thian Lo-cu. Agaknya
baru sekarang dia ini tahu bahwa gurunya dahulu tewas dalam pertandingan
menghadapinya. Tetapi dia tidak menjadi gentar karena sudah pernah mengukur
kepandaian orang Mancu ini, juga dia dahulu pernah bergebrak dengan
Ching-toanio.
Tadi Hui
Kauw sudah membisikinya bahwa dia harus berhati-hati menghadapi beberapa orang
yang berada di situ, terutama sekali Bhok Hwesio, Ka Chong Hoatsu, dan ketiga
Ang-hwa Sam-cimoi. Lima orang itulah yang merupakan lawan berat, sekarang
ditambah lagi dengan Hek Lojin yang kiranya tidak kalah lihainya dibandingkan
dengan yang lima orang itu.
"Kalian
akan maju berdua mengeroyokku? Silakan!" tantang Kun Hong yang mendengar
gerakan Ching-toanio dan Bouw Si Ma.
Tiba-tiba
Hui Kauw berseru, "Ching-toanio, mengingat bahwa engkau pernah menjadi ibu
angkatku, lebih baik kau jangan melawan Kun Hong dan pulanglah saja ke Ching-coa-to
dengan aman. Kau tidak akan menang dan aku tidak ingin melihat kau tewas di
tangan Kun Hong."
Ucapan Hui
Kauw ini keluar dari hati sejujurnya. Biar pun ibu angkat ini kerap kali
bersikap sewenang-wenang dan tidak baik kepadanya, namun ia masih ingat bahwa
ketika kecil ia dirawat dan dididik oleh nyonya galak ini. Akan tetapi dasar
watak Ching-toanio memang sombong dan galak, ucapan ini diterimanya salah dan
ia malah menjadi marah sekali.
"Hui
Kauw perempuan rendah! Tak usah banyak cerewet, lihat pedangku akan menembus
jantungmu!" Ucapan ini ditutupnya dengan sambaran sepasang pedangnya ke
arah Hui Kauw.
Sungguh
sebuah serangan maut karena sekaligus sepasang pedang itu menebas leher dan
menusuk dada. Tentu saja Hui Kauw yang sudah mengenal watak ibu angkatnya ini
semenjak tadi sudah bersiaga. Maka ketika melihat berkelebatnya sepasang pedang
itu, segera dia mengelak dan melompat ke belakang. Sebelum Ching-toanio sempat
menyerang kembali, Kun Hong sudah menghadangnya sambil tersenyum.
"Siapa
pun juga tidak boleh mengganggu Hui Kauw. Akulah lawanmu!"
"Bangsat
buta, apamukah dia itu?" bentak Ching-toanio, suaranya menggetar penuh
hawa kemarahan.
"Dia...
isteriku! Hemmm, kau sendiri yang mengawinkan kami, Ching-toanio. Lupakah
kau?"
Ching-toanio
mengeluarkan seruan keras dan sepasang pedangnya langsung berkelebat menyambar,
dibarengi oleh pedang hitam di tangan Bouw Si Ma yang juga sudah ikut menerjang
maju. Pendekar Buta ini menyontekkan tongkatnya dua kali dan dua orang itu
tergetar mundur karena pedang-pedang mereka sekaligus sudah kena ditangkis
dengan tepat. Namun mereka cepat menyerang lagi dan terjadilah pertempuran
mati-matian.
Girang hati
Kun Hong ketika ternyata olehnya betapa mudah dan ringannya menghadapi kedua
orang ini sesudah dia memainkan ilmu silat gabungan Kim-tiauw-kun dan Im-yang
Kiam-hoat yang dia ciptakan di bawah petunjuk Sin-eng-cu Lui Bok. Ketika
bertempur di Ching-coa-to dahulu, meski pun dia dapat juga mengatasi dua orang
ini, namun dia masih merasa agak berat.
Sebaliknya,
sekarang telinganya dapat menangkap semua gerakan itu seperti menangkap gerakan
yang tidak asing lagi karena ilmu silatnya sendiri dapat memecahkan setiap daya
serangan lawan. Dengan ilmu silatnya yang baru ia merasa seolah-olah dirinya
terlindung benteng baja dari pada serangan dari luar. Kilat sinar pedang dalam
tongkatnya cukup untuk menendang pergi semua ancaman pedang lawan dan dia masih
mempunyai waktu dan kesempatan banyak sekali untuk membobolkan pertahanan kedua
lawannya dengan jurus-jurus aneh dari tongkatnya ditambah hawa pukulan yang
keluar dari tangan kirinya.
Kun Hong
menguatkan hatinya, membuang jauh-jauh perasaan yang biasanya pantang membunuh
dengan pikiran bahwa kedua orang ini adalah orang-orang jahat yang sudah
sepatutnya disingkirkan dari dunia karena kalau mereka ini dibiarkan hidup,
tentu kelak akan menimbulkan banyak mala petaka, terutama sekali terhadap Hui
Kauw. Di samping ini, dia harus pula berusaha mengurangi tenaga para musuhnya
yang begitu banyak dan yang tentu harus dia hadapi semua dalam
pertempuran-pertempuran berikutnya.
Karena
pikiran inilah, tanpa banyak sungkan lagi tongkatnya lantas bergerak,
menyambar-nyambar secara aneh sekali, dibarengi oleh gerakan tangan kiri yang
terbuka jari-jarinya dan melakukan pukulan-pukulan yang mengundang hawa
kadang-kadang panas kadang kala dingin. Tangan kirinya ini hebat sekali karena
mulai kelihatan uap putih yang keluar dari sela-sela jari tangannya.
Ching-toanio
sebenarnya adalah seorang ahli pedang yang tidak boleh dipandang ringan.
Gerakannya lincah dan pedangnya memiliki gerakan seperti ular. Memang
sesungguhnya ia telah mewarisi Ilmu Pedang Ular dari mendiang Siauw-coa-ong
Giam Kin si Raja Ular.
Selain
sepasang pedangnya itu ujungnya mengandung racun ular yang amat berbahaya, juga
nyonya galak ini selalu siap mencari kesempatan untuk menyerang lawannya secara
menggelap, menggunakan jarum-jarum beracun yang juga telah direndam racun ular
yang sekali mengenai sasaran sukar diharapkan korban itu akan dapat tertolong.
Sedangkan
Bouw Si Ma si tokoh Mancu adalah murid tunggal Pak-thian Lo-cu. Jadi dia masih
terhitung kakak seperguruan dari Giam Kin karena guru Giam Kin, yakni mendiang
Siauw-ong-kwi adalah adik seperguruan Pak-thian Lo-cu.
Memang harus
diakui bahwa tingkat kepandaian Pak-thian Lo-cu masih lebih tinggi dari pada
tingkat Siauw-ong-kwi akan tetapi tidak dapat dikatakan bahwa Bouw Si Ma lebih
lihai dari pada Giam Kin. Dalam hal ilmu silat, mereka berdua ini memiliki
keistimewaan masing-masing dan boleh dikata mereka setingkat.
Mungkin bisa
dikatakan bahwa Bouw Si Ma lebih unggul sedikit dalam hal tenaga dalam, karena
Gim Kin sering kali menghambur-hamburkan tenaganya dalam mengumbar hawa nafsu.
Akan tetapi Giam Kin jauh lebih berbahaya karena orang ini merupakan iblis muda
yang amat ganas dan keji, penuh akal dan tipu muslihat.
Sebaliknya,
Bouw Si Ma tidak selicin Giam Kin. Dalam setiap pertempuran orang Mancu ini
sepenuhnya mengandalkan kepandaian silatnya yang sudah cukup tinggi. Betapa pun
juga, tingkatnya itu masih melebihi tingkat Ching-toanio dan pedang hitam di
tangannya merupakan pedang yang ampuh karena terbuat dari pada baja hitam yang
hanya terdapat di dekat kutub utara.
Tetapi kali
ini kepandaian dua orang itu tidak banyak artinya ketika mereka mengeroyok Kun
Hong. Dua macam ilmu silat yang digabungkan menjadi satu itu seakan-akan hilang
keampuhannya, lenyap keganasannya seperti arus sungai banjir memasuki lautan.
Perlu
diketahui bahwa ilmu kepandaian yang kini dimiliki Kun Hong adalah ilmu sakti yang
bersumber pada Ilmu Im-yang Bu-tek Cin-keng, peninggalan dari Pendekar Sakti Bu
Pun Su. Ilmu silat ini berdasarkan Im dan Yang, merupakan sepasang tenaga
berlawanan atau bertentangan yang menggerakkan seluruh kehidupan di dunia ini.
Ilmu kesaktian ini sudah mencakup seluruh inti silat yang mana pun juga.
Maka
tidaklah mengherankan apa bila kedua orang itu seolah-olah merasa bahwa mereka
menghadapi lawan yang mempunyai tenaga mukjijat dan ilmu silat ajaib. Pedang
mereka seperti mental sendiri sebelum terbentur tongkat dan serangan-serangan
mereka sudah gagal dan buyar sebelum dilancarkan sepenuhnya, seakan-akan
tertahan atau terhalang di tengah jalan!
Baru
beberapa jurus saja, baik Ching-toanio mau pun Bouw Si Ma sudah terdesak hebat.
Pedang mereka tidak mampu lagi melakukan serangan karena harus terus diputar
untuk melindungi tubuh dari pada sambaran cahaya kemerahan yang keluar dari
tangan kanan Kun Hong.
Demikian
cepat gerakan tiga orang ini sehingga tubuh mereka tidak tampak lagi oleh mata
biasa, tertutup oleh sinar pedang yang berkelebatan dan bergulung-gulung.
Amatlah indah tampaknya bagi mata orang biasa kalau menyaksikan pertempuran
itu.
Tiga sinar
pedang saling membelit, lalu sinar pedang merah bergulung-gulung makin lebar
sehingga akhirnya mengurung sinar pedang hitam dan cahaya sinar pedang putih.
Sinar pedang hitam adalah senjata Bouw Si Ma, sedangkan sepasang sinar yang
putih adalah pedang-pedang Ching-toanio. Dua macam sinar pedang ini terkurung
sinar merah, makin lama makin ciut karena pergerakan senjata mereka amat
terbatas.
Mendadak
Ching-toanio berseru keras dan pedangnya yang berada di tangan yang kanan dia
sambitkan ke depan. Pedang itu meluncur cepat bagaikan anak panah terlepas dari
busurnya, menyambar ke arah tenggorokan Kun Hong.
"Singgggg…!"
Pedang itu
berdesing lewat di atas kepala Pendekar Buta itu ketika dia mengelak dengan
merendahkan tubuh.
"Weerrrr…!"
Serangkum
angin halus lalu bertiup menyambar tiga bagian tubuh yang mematikan, yaitu
leher, dada, dan lambung.
Kun Hong
kaget sekali, begitu halus suara dan angin itu sehingga hampir saja dia celaka.
Namun pendengaran dan perasaan Pendekar Buta ini sudah mencapai tingkat tinggi
dan tidak lumrah, maka suara sehalus itu dapat juga ditangkapnya. Dia marah
sekali karena dapat menduga bahwa itu tentulah senjata rahasia halus yang amat
berbahaya.
Memang
dugaan Kun Hong tidak salah karena setelah Ching-toanio tadi menyambitkan pedangnya,
terus saja menggunakan kesempatan itu untuk menyerang dengan melepas
jarum-jarum halusnya yang beracun. Sebenarnya, ilmu inilah yang membuat
Ching-toanio disegani dan ditakuti.
Jarang ada
lawan yang sanggup menyelamatkan diri menghadapi penyerangan hebat ini.
Sambitan pedangnya sangat kuat dan cepat. Andai kata pun lawan dapat mengelak
atau menangkis dari pada ancaman pedang terbang itu, dalam posisi berikutnya
agaknya akan sulit sekali mampu menyelamatkan diri ketika diancam jarum-jarum
beracun yang malah lebih cepat dan lebih berbahaya datangnya dari pada pedang
tadi. Jarum-jarum ini amat kecil dan halus, baru ketahuan datangnya kalau sudah
amat dekat sehingga sukar untuk dapat dielakkan.
Keadaan Kun
Hong lebih sulit lagi pada saat itu. Baru saja dia mengelak dari sambaran
pedang terbang, tubuhnya masih merendah dan pada detik itu pedang hitam Bouw Si
Ma membabat ke arah kaki. Terpaksa dia menangkis dengan pedangnya. Ketika dalam
posisi merendahkan tubuh dan menangkis inilah datangnya sambaran jarum-jarum
halus yang hendak merenggut nyawanya itu!
"Keji...!"
Kun Hong berseru keras.
Tangan
kirinya dikibaskan dengan pengerahan tenaga mukjijat dan hampir pada detik itu
juga, tongkatnya yang tadi menangkis pedang hitam Bouw Si Ma telah berkelebat
ke arah dada tokoh Mancu itu.
Terdengar
jerit mengerikan dan tubuh Ching-toanio terjengkang ke belakang berbarengan
dengan robohnya Bouw Si Ma. Kiranya tokoh Mancu ini tidak dapat mengelak lagi
karena sambaran tongkat Kun Hong luar biasa cepatnya, tahu-tahu sudah menusuk
dada dan tepat menembus jantung sehingga tokoh Mancu ini memekik, pedang
hitamnya terlepas dan dia roboh tidak bernyawa lagi.
Ada pun
Ching-toanio sama sekali tidak pernah menyangka bahwa penyerangannya yang amat
curang tadi berakibat celakanya diri sendiri. Uap putih menyambar dari tangan
kiri Kun Hong dan tenaga yang sangat dahsyat seakan-akan meniup jarum-jarum
halus yang menyambar balik ke arah Ching-toanio sendiri.
Wanita ini
sama sekali tidak pernah menyangka akan dapat terjadi hal seperti itu, maka ia
tidak sempat menyelamatkan dirinya. Jarum-jarum itu lantas menembus pakaian,
kulit dan langsung memasuki dada dan lambungnya. Kali ini karena jarum-jarum
itu digerakkan oleh tenaga dahsyat yang menyambar dari tangan kiri Kun Hong,
bukan main pesatnya sehingga jarum-jarum itu amblas dan lenyap ke dalam tubuh
Ching-toanio!
Jarum-jarum
beracun itu baru melukai kulit saja sudah dapat merenggut nyawa, apa lagi
sekarang menembus kulit dan mengeram di dalam daging. Seketika itu juga
Ching-toanio terjengkang dan pada detik berikutnya dia telah tewas dengan mata
mendelik dan muka membiru!
"Ohhh...!"
Hui Kauw terisak dan menutupi muka dengan kedua tangannya.
Betapa pun
juga, hatinya ngeri dan sedih melihat kematian Ching-toanio. Sudah terlalu lama
dia menganggap wanita itu sebagai ibunya, sejak dulu pada waktu dia masih
kecil. Baru ia sadar dan menurunkan kedua tangannya lagi ketika ia merasa
betapa Kun Hong memegangnya sambil berkata,
"Hui
Kauw, jangan lengah. Kau pergunakan pedang ini..."
Kiranya Kun
Hong sudah mengambil pedang hitam milik Bouw Si Ma dan menyerahkan pedang itu
kepada Hui Kauw. Pendekar Buta ini sangat khawatir akan keselamatan Hui Kauw.
Biar dia berada di situ dan siap membela Hui Kauw dengan seluruh jiwa raganya,
namun berhadapan dengan begitu banyak orang pandai, keselamatan Hui Kauw masih
saja tidak dapat terjamin. Maka lebih baik gadis itu memegang senjata dan
membantunya sehingga kedudukan mereka menjadi lebih kuat.
Setelah Hui
Kauw menerima pedang hitam, Kun Hong sengaja berseru, suaranya amat keras dan
bernada menantang,
"Hayo,
siapa lagi yang hendak merintangi aku bersama nona ini pergi dengan aman?
Kalian adalah jago-jago dan tokoh-tokoh terkemuka, terkenal sebagai tokoh-tokoh
sakti. Kalau sudah begitu tidak tahu malu, boleh maju semua mengeroyok kami
berdua. Hayo, majulah!"
Dengan
tongkat melintang di depan dadanya, Kun Hong sengaja membakar hati mereka
dengan maksud menyinggung kehormatan mereka supaya mereka merasa segan untuk
melakukan pengeroyokan. Biarlah mereka maju seorang demi seorang, pikirnya, dan
dia merasa sanggup untuk mengalahkan mereka.
Ka Chong
Hoatsu kaget sekali melihat tewasnya Ching-toanio dan Bouw Si Ma. Juga dia
merasa amat menyesal atas kelancangan dua orang itu. Dia telah cukup dapat
menduga bahwa orang muda buta itu memiliki ilmu kepandaian tinggi. Kini dua
orang kawan yang dapat diandalkan tewas begitu saja.
Ketika
melihat The Sun berbisik-bisik dengan teman-temannya, Ka Chong Hoatsu segera
berkata dengan lantang, "Para sahabat dari kota raja! Penjahat buta ini
adalah seorang pemberontak, demikian pula si nona hitam. Kenapa tidak segera
turun tangan membasmi dia sebelum dia menimbulkan lebih banyak kekacauan? Kalau
perlu, kami pun sanggup membantu."
"Aha,
Ka Chong Hoatsu, kau tua bangka dari Mongol yang tidak tahu malu. Bukankah
kepandaianmu sendiri terkenal sangat tinggi? Kenapa tidak maju sendiri? Hayo,
aku siap menghadapimu!" Kun Hong sengaja membakar.
Akan tetapi
Ka Chong Hoatsu hanya tersenyum mengejek dan berkata acuh tak acuh, "Belum
saatnya... belum saatnya...," setelah berkata demikian dia memberi isyarat
kepada Ang-hwa Sam-cimoi untuk menyuruh anak buah Ngo-lian-kauw menyingkirkan
dan merawat jenazah Ching-toanio dan Bouw Si Ma.
Setelah
mendapat perintah, delapan orang wanita anggota Ngo-lian-kauw maju cepat dan
mengangkat pergi mayat-mayat itu.
Sementara
itu sejak tadi The Sun berunding dengan Hek Lojin yang mengangguk-angguk.
Kemudian The Sun tersenyum mengejek, dan sekali menggerakkan tubuhnya dia sudah
melayang ke depan Kun Hong.
"Kwa
Kun Hong, kau benar-benar sombong sekali. Kau kira tanpa mengeroyokmu tidak
mungkin kami menang? Hemmm, aku sendiri yang hendak maju melabrakmu, Kun Hong,
kecuali kau suka menyerahkan diri menjadi tawananku untuk diadili di kota
raja."
Kun Hong
melengak, terheran-heran. Sudah terang bahwa betapa pun lihainya, pemuda tokoh
kota raja itu tidak akan mampu mengalahkannya. Hal ini The Sun sendiri sudah
cukup mengerti. Dia seorang yang amat cerdik dan penuh tipu muslihat, kenapa
sekarang nekat hendak menghadapinya seorang diri?
Diam-diam
Kun Hong menjadi waspada, The Sun seorang yang cerdik dan curang sekali. Tak
mungkin dia maju hanya dengan mengandalkan kepandaian silatnya dan sudah pasti
tindakannya ini diikuti tipu muslihat licin.
"Hui
Kauw, kau mundurlah dan jaga dirimu baik-baik. Berteriaklah kalau kau
menghadapi bahaya, biar aku membereskan manusia curang dan pengecut ini,"
demikian kata Kun Hong sambil mendorong Hui Kauw ke belakang. Dia amat khawatir
kalau The Sun akan mempergunakan siasat keji dan mencelakai Hui Kauw dengan
cara lain selagi bertempur melawannya.
"The
Sun, kaulah orang pertama yang kuharapkan untuk bertanding denganku pada saat
ini. Majulah."
The Sun
tertawa mengejek dan…
"Srattt!"
pedangnya telah dia cabut dengan gerakan indah.
Pada saat
itu juga, seakan-akan pencabutan pedang tadi merupakan isyarat, terdengarlah
suara tambur dan gembreng dipukul orang, mula-mula lirih dan lambat, makin lama
makin keras dan cepat. Itulah suara tambur dan gembreng perang dan ternyata
belasan orang anggota pasukan dari istana sudah berada di situ membunyikan
tambur dan gembreng. Suara itu amat bising memekakkan telinga.
"Wuuuttttt!"
Kun Hong
cepat mengelak dan dia kaget setengah mati ketika angin pedang The Sun
terus-menerus menyerangnya bertubi-tubi dengan gerakan menyambar-nyambar
laksana kilat dibarengi suara ketawa pemuda yang cerdik itu. Kun Hong
menggertak giginya dan terpaksa memutar tongkat sejadinya sambil menggunakan
langkah-langkah ajaib. Tahulah dia sekarang akal muslihat yang dipergunakan The
Sun dalam melawannya.
Memang dia
seorang pemuda yang cerdik dan penuh akal. Kiranya pemuda ini maklum pula bahwa
kelihaian Kun Hong terletak pada pendengaran telinganya sebagai pengganti matanya
yang buta.
Memang
begitulah. Seorang buta hanya dapat mengandalkan pendengaran, penciuman dan
rabaan untuk mengetahui keadaan di sekitarnya. Terutama sekali pendengaran. Apa
lagi dalam ilmu silat, tentu saja keawasan mata yang terutama dipergunakan dan
sebagai pengganti mata yang buta, pendengaranlah yang diandalkan. Kini The Sun
menggunakan suara bising untuk merusak pendengaran Kun Hong!
Hampir saja
akal The Sun yang licin ini berhasil kalau saja Kun Hong tidak mewarisi ilmu
silat yang betul-betul sakti seperti Kim-tiauw-kun dan Im-yang Sin-hoat.
Langkah-langkah ajaib dari Kim-tiauw-kun telah menolongnya terhindar dari
ancaman pedang The Sun yang ganas dan cepat.
Pada
jurus-jurus pertama memang Kun Hong menjadi bingung. Dia tak dapat berbuat lain
kecuali mengelak, menangkis dan memutar tongkat sejadinya untuk melindungi
diri. Akan tetapi lambat laun telinganya mulai dapat menangkap perbedaan-perbedaan
antara suara bising tambur gembreng dengan suara bersiutan dan berdesingnya
pedang di tangan The Sun. Diam-diam dia menjadi girang sekali.
Kun Hong
sangat beruntung bahwa tingkat kepandaian The Sun masih belum mencapai
puncaknya. Seorang yang ilmu pedangnya sudah mencapai titik puncak, seperti
misalnya pamannya, Tan Beng San ketua Thai-san-pai, dapat memainkan pedang
sedemikian rupa tanpa menimbulkan angin atau suara mendesing dan bersiut.
Memang masih
sulit bagi Kun Hong untuk dapat balas menyerang karena dia juga harus
mencurahkan seluruh perhatian untuk menjaga diri jangan sampai menjadi korban
pedang The Sun yang cukup berbahaya. Akan tetapi sedikitnya dengan mendengar
suara angin pedang, dia dapat mencari kesempatan baik untuk balas menyerang.
Tentu saja
dia tak mau berlaku sembrono dengan serangan balasannya. Dia pun maklum bahwa
sekali serangannya luput, dia akan langsung terancam oleh pedang lawan karena
dalam keadaan menyerang, tentu kedudukan pertahanannya menjadi lemah dan
lowong.
Mula-mula
The Sun gembira sekali melihat betapa lawannya Si Pendekar Buta menjadi bingung
dan kacau gerakannya. Akalnya berhasil, lawannya menjadi kacau-balau setelah
pendengarannya rusak oleh suara bising! Hal inilah yang membuat dia tadi
tertawa-tawa mengejek.
Akan tetapi
tidak lama, karena dia segera berubah menjadi marah dan penasaran sekali. Si
Buta ini sekarang buta tuli, kenapa masih selalu dapat mengelak dari pada
sambaran pedangnya? Kenapa pedangnya belum juga dapat mengenai sasaran, padahal
lawannya itu sama sekali tidak mampu, balas menyerang?
Dia menjadi
jengkel, sejengkel seorang anak kecil yang selalu gagal menepuk lalat yang
gesit dengan tangannya. Lima puluh jurus telah berlalu dan jangankan memenggal
leher atau menusuk dada, membabat ujung baju saja belum!
Hui Kauw
berdiri dengan muka pucat. Ia sudah mengenal kelihaian pedang The Sun dan
sebagai orang yang cerdik, ia pun maklum apa artinya dibunyikan tambur dan
gembreng yang sangat bising itu. Ia pun maklum akan kelemahan Kun Hong. Maka melihat
betapa kekasihnya itu hanya berloncatan, terhuyung-huyung, jongkok berdiri dan
terus-menerus diserang tanpa mampu membalas, hatinya sudah gelisah bukan main.
Untuk
menjaga martabat nama Kun Hong sebagai seorang pendekar, betapa pun gelisah
hatinya, tidak berani ia membantu. Akan tetapi hati kecilnya mengambil
keputusan teguh bahwa begitu Kun Hong tewas dalam pertandingan, ia hendak
mengamuk dan tidak akan berhenti sebelum ia pun roboh binasa di medan laga!
Pedang hitam
telah terpegang erat-erat di tangannya dan ia sudah siap untuk melompat,
menggantikan Kun Hong. Namun ia tetap berdoa semoga kekasihnya itu menang dalam
pertandingan yang berat sebelah ini.
Kun Hong
seakan-akan seorang yang buta tuli, melawan seorang yang ilmu pedangnya begitu
tangkas dan dahsyat seperti The Sun. Namun Kun Hong bukanlah orang dengan
kepandaian biasa. Ilmu kesaktian yang dia pelajari adalah ilmu yang tingkatnya
tinggi luar biasa, dan kepandaian itu sudah mendarah daging di tubuhnya. Setiap
gerakannya adalah otomatis didorong oleh naluri yang bukan sewajarnya.
Apa lagi
setelah dia menemukan ciptaannya terbaru yaitu penggabungan dari kedua ilmu
silat yang dia ambil inti sarinya saja, dia benar-benar telah memiliki ilmu
yang sukar dicari keduanya di dunia persilatan. Biar pun dia seakan-akan tuli
karena bisingnya suara, tapi perasaannya masih menuntunnya dan sambaran pedang
lawannya masih bisa tertangkap olehnya sehingga dengan langkah ajaibnya dia
dapat menyelamatkan diri sambil mencari kesempatan baik.
Sukarnya,
The Sun juga seorang yang amat lihai dan cerdik. Orang muda yang menjadi tokoh
di kota raja itu pun tak berani memandang ringan lawannya yang sudah dia
ketahui memiliki ilmu silat yang amat luar biasa. Oleh karena itu, biar pun dia
dibantu suara bising yang membuat Kun Hong tidak berdaya, akan tetapi dia tidak
lengah sedetik pun juga, menyerang terus sambil menutup diri dalam pertahanan
yang ketat. Memang dia amat penasaran karena semua serangannya gagal, selalu
mengenai tempat kosong, namun dia tidak pernah mengurangi desakannya dan merasa
yakin bahwa sewaktu-waktu tentu akan berhasil.
Payah juga
Kun Hong yang mencari kesempatan baik tapi tidak juga dapat menemukan
kesempatan ini. Diam-diam dia kagum dan memuji kecerdikan lawannya yang masih
tetap berhati-hati meski pun sudah menyerang dan mendesak terus. Lain orang
tentu sudah akan menjadi sombong dan lengah.
Kemudian
Pendekar Buta ini mendapatkan akal. Ketika untuk kesekian kalinya pedang The
Sun menyambar leher, dia mengelak dengan langkah ajaibnya, akan tetapi sengaja
bergerak lambat sehingga ujung pedang itu menyerempet pundaknya. Bajunya robek
dan kulitnya terkelupas, darahnya pun mengalir. Terdengar Hui Kauw ikut
menjerit ketika Kun Hong berteriak kesakitan dan terhuyung-huyung.
Hasil yang
dinanti-nanti oleh The Sun ini membuat hatinya girang bukan main. Dia tertawa
terkekeh-kekeh dengan nada mengejek sambil mendesak terus, menubruk untuk
memberi tikaman terakhir ketika dia melihat Kun Hong terhuyung dalam posisi
yang buruk sekali. Pedangnya bergerak seperti kilat menyambar, menusuk dada Kun
Hong.
"Traanggg!
Kraakkk!"
The Sun
menjerit. Pedangnya terpental dan patah menjadi dua, tubuhnya pun terlempar
seperti layang-layang putus talinya.
Ternyata
akal yang digunakan Kun Hong sudah berhasil baik sekali. Dengan membiarkan
pundaknya terluka dan sedikit darahnya mengalir, The Sun sudah dapat diakali
sehingga kegirangan dan untuk beberapa detik mengurangi kewaspadaannya. Ketika
menyerang dengan tusukan maut tadi, dia lengah tidak memperhatikan segi
pertahanannya sehingga lowongan ini dipergunakan dengan baiknya oleh Kun Hong.
Sambil
mengerahkan tenaga, Pendekar Buta ini menangkis pedang, membuat pedang itu
patah dua kemudian tangan kirinya menampar ke arah pundak. Sekali tampar saja
tulang pundak The Sun lantas patah dan pemuda itu menderita luka dalam yang
mengakibatkan dia roboh dan pingsan!
Kun Hong
tidak mau berlaku kepalang tanggung. Tubuhnya sudah menyambar ke depan,
tongkatnya bergerak hendak menewaskan The Sun, orang yang amat dibencinya
karena telah menyebabkan kematian janda Yo.
Akan tetapi
pada saat itu terdengar suara menggereng menyeramkan dan tongkatnya terbentur
oleh tangkisan tongkat hitam di tangan Hek Lojin. Kiranya kakek ini tadi sudah
melompat maju untuk menolong muridnya, kemudian sekaligus laksana badai
mengamuk kakek ini menerjang Kun Hong.
"Kun
Hong, awas...!" Hui Kauw menjerit ketika melihat betapa tongkat hitam di
tangan kakek itu berubah menjadi sinar hitam bergulung-gulung mengancam kepala
Si Pendekar Buta.
Tanpa
diperingatkan, Kun Hong sudah siap dan tahu akan datangnya ancaman bahaya maut.
Cepat dia menggunakan tongkatnya menangkis. Untung baginya bahwa kini suara
tambur dan gembreng otomatis berhenti setelah The Sun roboh. Dengan
menghilangnya suara bising ini, dia dapat menghadapi Hek Lojin dengan baiknya.
Dia maklum
bahwa kepandaian kakek ini luar biasa tingginya. Karena itu dia pun segera
menggerakkan tongkatnya, memainkan ilmu silat gabungan yang baru saja dia
ciptakan di bawah petunjuk Sin-eng-cu Lui Bok.
Tongkat
hitam itu menyambar lagi, mendatangkan suara seperti ada angin topan mulai
mengamuk. Kun Hong mengangkat tongkatnya menangkis.
"Dukkkkk!"
Dua tenaga
mukjijat lewat tongkat bertemu tanding. Tubuh berkulit hitam tinggi besar itu
tergetar. Kun Hong merasakan tubuhnya kesemutan, maka cepat-cepat dia
menggunakan langkah ajaib, tubuhnya terhuyung-huyung sehingga lenyaplah
pengaruh benturan tenaga dahsyat tadi. Diam-diam dia kagum dan harus mengakui
bahwa kakek hitam itu tidak hanya sombong, melainkan betul-betul hebat.
"Ha-ha-ha-heh-heh-heh,
awas kepalamu!" Kakek itu terkekeh dan kembali tongkatnya menyambar.
Kun Hong
maklum bahwa kalau terus menerus dia mengadu tenaga dia akan kalah oleh kakek
sakti ini, maka cepat dia mengelak dan kembali dia telah mempergunakan langkah
ajaib. Akan tetapi, begitu tongkatnya tidak mengenai sasaran, kakek itu
langsung kembali menerjang dan sekarang tongkatnya diobat abitkan bagai orang
gila mengamuk, gerakan-gerakannya sama sekali tidak menurut aturan ilmu silat!
Kun Hong
kaget bukan main saat telinganya menangkap gerakan-gerakan ilmu berkelahi yang
liar dan dahsyat ini. Sukar sekali untuk mengikuti, apa lagi menduga
perkembangan dari ilmu silat aneh yang gerakan-gerakannya ada kalanya bahkan
bertentangan dengan ilmu silat ini. Gerakan-gerakan kacau balau akan tetapi
justru kekacau balauannya itulah yang membuat serangan-serangannya menjadi
hebat, liar, dahsyat dan amat berbahaya, mengingatkan Kun Hong akan gerakan
binatang-binatang liar termasuk gerakan-gerakan kim-tiauw!
Maka dia pun
cepat mengandalkan langkah-langkah ajaib untuk menghadapi serangan ini. Langkah
ajaib adalah ilmu langkah dalam persilatan yang tercipta berdasarkan gerak dan
langkah rajawali emas, yang tentu saja juga mengandalkan naluri yang tidak ada
pada diri manusia, atau andai kata ada pun tidak akan sekuat yang ada pada
binatang liar seperti kim-tiauw.
Mereka yang
menonton pertandingan itu memandang dengan kedua mata terbelalak dan bengong,
malah ada pula di antaranya yang diam-diam menahan ketawa karena merasa geli
dan heran. Tak patut pertempuran ini dikatakan pertempuran antara dua orang
tokoh pandai atau jago-jago silat ulung, lebih tepat dikatakan pertempuran
antara dua orang yang miring otaknya atau dua orang hutan liar yang tidak tahu
ilmu berkelahi manusia.
Kakek hitam
dengan tongkatnya itu mengamuk, memutar-mutar tongkat dan menghantam ke sana ke
mari secara ngawur belaka, kadang-kadang bahkan menghantam tempat yang
berlawanan dengan adanya si lawan. Kadang-kadang dia menghantam ke kiri selagi
Kun Hong berada di kanan, menghantam ke belakang selagi lawan berada di depan
atau pun sebaliknya! Batu-batu hancur lebur begitu tersentuh ujung tongkatnya,
sedangkan debu berhamburan menggelapkan sekelilingnya. Ada pun Kun Hong tetap
berloncat-loncatan, terhuyung-huyung, kadang kala jongkok berdiri seperti
seorang penari yang terlalu banyak minum arak keras.
Kalau di
bawah menjadi agak gelap karena debu berhamburan dari amukan tongkat hitam Hek
Lojin, adalah di angkasa gelap pula oleh berkumpulnya awan mendung menghitam.
Makin lama keadaannya menjadi semakin gelap dan beberapa kali keadaan ini
bahkan menarik perhatian orang-orang yang berada di sana, memaksa mereka
memandang ke udara yang gelap. Jelas bahwa hujan akan turun membasahi bumi.
Tiba-tiba
terdengar bentakan nyaring, "Hayo tangkap dulu si pemberontak
perempuan!"
Kun Hong
terkejut dan gelisah sekali. Itulah suara The Sun. Kiranya pemuda ini sudah
sadar dari pingsannya dan melihat betapa Kun Hong sedang didesak secara gencar
oleh gurunya, dia pun cepat-cepat mengeluarkan aba-aba karena dia maklum bahwa
sekali Hui Kauw ditawan, Kun Hong tentu akan tunduk.
Memang
cerdik sekali The Sun. Biar pun dia sendiri terluka berat, namun kecerdikannya
ini berhasil membuat Kun Hong gelisah.
Hui Kauw
juga memiliki ilmu silat tinggi, maka ia dapat mengerti akan kegelisahan Kun
Hong yang kelihatan dari gerakannya. Maka, sambil melintangkan pedang hitam di
depan dada ia berseru, "Kun Hong, jangan khawatir, aku mampu menjaga diri,
berjuang sampai mati!"
Kata-kata
‘berjuang sampai mati’ ini segera menambah besar semangat Kun Hong. Dia
tersenyum. Ternyata gadis itu benar-benar telah mengambil keputusan nekat untuk
terus melawan dan mati bersama dia di tempat ini.
Tidak! Tidak
boleh! Hui Kauw harus diselamatkan dan untuk itu dia pun harus hidup, harus
menang.
Pikiran ini
mendatangkan semangat baru yang hebat sekali. Tongkatnya bergerak hidup dan
sinar merah tahu-tahu telah menutup dan melingkari sinar hitam yang menjadi
makin ciut. Dengan ilmunya yang baru, Kun Hong ternyata berhasil menjinakkan
keliaran tongkat lawannya dan sekarang sebaliknya Hek Lojin yang menjadi kaget
setengah mati.
Hek Lojin
masih berusaha mengerahkan seluruh kepandaian agar lolos keluar dari ‘ikatan’
sinar merah, namun sia-sia belaka, ke mana pun dia bergerak, ujung tongkat
Pendekar Buta ini selalu mengikuti dan mengancamnya. Dia tahu bahwa sekali dia
kena disentuh, akan celakalah dia.
Maka dengan
nekat pula dia menggereng-gereng bagai singa, kemudian sambil memutar
tongkatnya cepat-cepat yang dilepaskan tiba-tiba sehingga tongkat itu
berputaran sendiri menerjang Kun Hong, kedua tangannya yang kini bebas itu
berbareng mengirim pukulan dengan tenaga sakti sepenuhnya, susul menyusul cepat
sekali!
Inilah
serangan kilat dan maut yang luar biasa hebatnya. Kakek iblis Song-bun-kwi
sendiri tidak kuat menerima pukulan-pukulan Hek Lojin dan sekarang dia
menggunakan pukulan-pukulan maut ini kepada Kun Hong.
Tentu saja
Kun Hong kaget sekali ketika mendengar betapa tongkat yang dilontarkan itu
berputaran menyambar. Sekali sampok tongkat itu melayang dan menyeleweng, akan
tetapi kini dia menghadapi dua pukulan tangan yang tidak kalah bahayanya dari pada
sambaran tongkat hitam tadi.
Maklum bahwa
untuk menghadapi serangan dahsyat ini amatlah sukar dan berbahaya, Kun Hong
memekik nyaring dan tahu-tahu dia sudah menggunakan jurus Sakit Hati yang
dimasukkan pula ke dalam ilmu silatnya yang baru. Tongkatnya berkelebat menjadi
sinar merah, tangan kiri menampar dengan pengerahan tenaga yang mengeluarkan
uap putih.
"Crakkk...
desssss!"
Tubuh Kun
Hong langsung terlempar ke belakang sampai lima meter lebih, akan tetapi dia
jatuh dalam keadaan berdiri dan tongkatnya masih berada di tangan, hanya
mukanya agak pucat dan napasnya terengah.
Hui Kauw
cepat berlari menghampirinya, menyentuh lengannya dan suaranya menggetar,
"Kun Hong, kau... terluka...?"
Kun Hong
mencoba senyum, menggelengkan kepala dan menjawab lirih. "Hui Kauw, kau
lihat dia... hati-hatilah, dia hebat..."
Karena tadi
perhatian Hui Kauw sepenuhnya ditujukan kepada Kun Hong, maka ia tidak
memperhatikan orang lain. Sekarang melihat bahwa keadaan Kun Hong tidak
berbahaya, dia menengok dan alangkah bangga serta girang hatinya ketika melihat
bahwa ternyata keadaan kakek hitam itu lebih parah lagi. Kakek ini sedang
berdiri tegak memandang ke arah lengan kirinya yang sudah buntung!
Ternyata
tadi bahwa tangan kiri itu tanpa dapat dicegah lagi sudah terbabat oleh pedang
Ang-hong-kiam yang tersembunyi di dalam tongkat, sedangkan tangan kanan kakek
itu beradu dengan tangan kiri Kun Hong. Saking tajamnya Ang-hong-kiam dan juga
saking hebatnya jurus yang dijalankan oleh Kun Hong, lengan kiri itu lalu
terbabat putus sampai sebatas siku tanpa terasa nyeri sama sekali. Sedangkan
dalam pertemuan tenaga tadi, tenaga mukjijat dan mengandung ilmu hitam dari
kakek itu benar-benar memperlihatkan keampuhannya, karena membuat Kun Hong
terlempar dan biar pun tidak berbahaya, tapi telah menderita luka dalam.
"Jahanam,
kau berani melukai suhu?" Terdengar The Sun berseru keras dan tubuhnya
melesat ke depan.
Kiranya The
Sun yang biasanya cerdik itu kini tidak dapat menahan kemarahannya dan tadi dia
telah mendapatkan sebuah pedang lain. Biar pun tulang pundak kanannya patah,
akan tetapi dengan tangan kiri dia sekarang menerjang maju, tapi curangnya,
bukan Kun Hong yang dia serang, melainkan Hui Kauw! Hebat bukan main
penyerangan ini, karena didorong nafsu membunuh.
Hui Kauw
cepat menangkis dengan pedang hitamnya, namun tangannya tergetar oleh benturan
pedang itu dan sebelum dia sempat membalas, kembali pedang di tangan The Sun
sudah menyambar. Memang menghadapi The Sun, gadis ini masih kalah setingkat,
apa lagi dia baru saja mengalami getaran batin yang membuat seluruh anggota
tubuhnya lemah.
Beberapa
kali ia berhasil menangkis, namun pada jurus selanjutnya, ketika ia menangkis
sebuah bacokan, pedang The Sun menyelinap dan hendak memasuki bawah lengannya.
Hui Kauw membalikkan pedang ke bawah, namun terlambat dan ujung pedang The Sun
berhasil menggurat lengan.
Hampir saja
dia mengalami cidera kalau saja guratan itu mengenai urat nadinya. Untung bahwa
guratan itu memanjang, hanya merobek kulit melukai daging. Namun cukup untuk
membuat lengannya lemah sehingga sebuah benturan pedang lawan lagi cukup
membuat pedang hitamnya terlepas.
"Pergi...!"
terdengar Kun Hong berseru dan tubuh The Sun terlempar ke arah gurunya. Kiranya
tadi Kun Hong yang maju dan mengirim tendangan kilat yang tak tertahankan oleh
The Sun.
Agaknya baru
sekarang Hek Lojin sadar bahwa lengan kirinya benar-benar telah buntung. Dia
memekik tinggi, memungut lengan yang buntung, melengking-lengking dan melihat
tubuh muridnya melayang, dia cepat menangkap dengan sambaran tangan kanan, lalu
dia berlari secepat terbang pergi dari situ tanpa mempedulikan tongkat hitamnya
lagi. Dari jauh terdengar suara pekiknya, entah tertawa entah menangis, tapi
amat menyeramkan.
Memang Hek
Lojin orangnya amat licik. Terbukti ketika dia melawan Song-bun-kwi karena
mengira bahwa Song-bun-kwi mempunyai kepandaian yang melebihi dirinya, dia
segera mengundurkan diri mencari selamat. Sekarang pun, melihat lengan kirinya
buntung dan muridnya terluka, tahulah dia bahwa keadaannya tidak menguntungkan.
Andai kata
Kun Hong berhasil dikalahkan, tentu bukanlah oleh dia atau muridnya dan hal ini
hanya akan merendahkan namanya belaka. Oleh karena itu, jalan satu-satunya yang
dia anggap paling baik adalah... kabur!
Tempat itu
menjadi geger setelah Hek Lojin membawa The Sun kabur. Terutama pihak
jagoan-jagoan dari istana menjadi marah bukan main kepada Kun Hong dan serentak
mereka maju, juga Ka Chong Hoatsu, Ang-hwa Sam-cimoi serta Souw Bu Lai sudah
mencabut senjata masing-masing. Hanya Bhok Hwesio dari pihak istana yang masih
tenang berdiri di tempatnya. Hwesio ini sebagai tokoh dari Siauw-lim sama
sekali tidak sudi kalau harus mengeroyok seorang lawan yang masih muda dan buta
lagi.
Sementara
itu Kun Hong maklum bahwa banyak lawan yang sudah mulai bergerak hendak
mengeroyoknya. Dia sendiri masih belum terbebas dari pada pengaruh benturan
tenaga dengan Hek Lojin yang sakti, masih terasa sakit pada pangkal lengannya.
Dia tidak
mengkhawatirkan dirinya sendiri, akan tetapi bagaimana ia akan bisa melindungi
Hui Kauw kalau dia dikeroyok oleh banyak orang pandai? Kalau Hui Kauw sampai
terjatuh ke tangan mereka, apa artinya semua perlawanannya? Tiba-tiba sebuah
akal berkelebat dalam benaknya dan secepat itu pula tubuhnya melompat ke
belakang Hui Kauw.
Sambil
menempelkan tangan pada tengkuk gadis itu dia berbisik, "Hui Kauw, kau
jadilah mataku... kau pergunakan matamu memandang mereka, di antara kedua mata
mereka, pandang tajam dan pergunakan tenaga yang kusalurkan kepadamu, dengar
kata-kataku dan perkuat kata-kata itu dalam hati dan pikiranmu... tak usah
bingung, kau menurut saja, barang kali ini akan menolong kita..."
Hui Kauw
tadinya bingung dan semua bulu di tubuhnya berdiri ketika ia merasa telapak
tangan yang hangat dari Kun Hong menempel di tengkuknya dan mengirim
getaran-getaran kuat ke dalam tubuhnya. Makin lama gelombang hawa yang menggetar-getar
itu makin kuat, begitu kuatnya sehingga tak terasa tergetar lagi seakan-akan
sudah terbuka jalan saluran hawa sakti itu dari tubuh Kun Hong ke dalam
tubuhnya. Ia merasa betapa dadanya seakan-akan penuh hawa yang panas dan
bergerak-gerak. Ia lalu teringat akan pesan Kun Hong tadi, maka ia segera
pusatkan perhatiannya untuk mengerahkan tenaga sakti ini melalui matanya yang
memandang tajam ke depan.
Sementara
itu, para jagoan istana dan Ching-coa-to berhenti bergerak karena heran dan
sangsi menyaksikan tingkah laku Kun Hong yang sekarang merangkul Hui Kauw
sambil menempelkan tangan di tengkuk gadis itu. Apa kehendak si buta itu?
Mereka ragu-ragu dan curiga.
"Dengarlah
kata-kataku!" Kun Hong mulai bicara, suaranya tenang, dalam, lambat-lambat
dan amat berpengaruh. "Kalian adalah tokoh-tokoh kang-ouw yang bernama
besar. Tentu kalian tidak sudi dan malu untuk bertempur dengan cara mengeroyok,
hal ini hanya akan merendahkan nama kalian, dan akan menghancurkan nama besar
yang bertahun-tahun kalian pupuk dengan perbuatan-perbuatan gagah berani. Aku
Kwa Kun Hong tidak pernah bermaksud memusuhi kalian, hanya hendak menolong nona
Hui Kauw pergi dari tempat ini. Dan sebagai orang-orang kang-ouw yang gagah,
seharusnya kalian membiarkan kami berdua pergi dengan aman."
Pada waktu
Kun Hong berbicara itu, Hui Kauw mentaati perintah Kun Hong tadi. Sambil
menyalurkan hawa yang memenuhi dada melalui mata, ia pergunakan sepasang
matanya memandang para lawan itu seorang demi seorang, menatap tajam di antara
kedua mata mereka. Dan karena Kun Hong sengaja menyembunyikan mukanya di
belakang kepala Hui Kauw, mau tidak mau mereka itu terpaksa bertemu pandang
dengan Hui Kauw.
Akibatnya
aneh! Mereka itu saling pandang, tersenyum malu-malu dan seperti berlomba
mereka lalu melangkah mundur seperti hendak memberi jalan kepada Kun Hong dan
Hui Kauw untuk pergi dengan aman!
Sebetulnya
hal ini sama sekali tidak aneh. Karena matanya sudah buta, tentu saja Kun Hong
tidak dapat lagi menggunakan ilmu sihir yang dahulu dia pelajari dari
Sin-eng-cu Lui Bok. Akan tetapi karena dia masih memiliki ilmu itu, tenaga
batinnya masih amat kuat, bahkan lebih kuat dari pada dahulu, walau pun dengan
cara ‘meminjam’ mata Hui Kauw pengaruh sihirnya menjadi lemah karena gadis itu
tidak dapat menggunakannya dengan tepat, namun ternyata masih ada hasilnya
juga.
Hal ini
adalah karena apa yang dia ucapkan adalah hal yang menyinggung kehormatan dan
perasaan orang-orang gagah di situ. Tanpa menggunakan tenaga batin sekali pun,
ucapan itu akan membuat mereka bermerah muka, apa lagi sekarang disertai tenaga
batin yang kuat, maka otomatis, di luar kesadaran mereka sendiri, mereka itu
serta merta memenuhi permintaan Kun Hong itu tanpa dipikir lagi!
Kun Hong
tidak membuang kesempatan ini. Dia segera menarik tangan Hui Kauw pergi dari
situ. "Mari kita pergi...," bisiknya perlahan.
Akan tetapi,
di antara orang-orang yang mengurungnya, ada dua orang yang tidak ikut
melangkah mundur. Mereka ini adalah Lui-kong Thian Te Cu dan Bhewakala si tokoh
Nepal. Yang pertama karena sakit hatinya melihat suheng-nya, Hek Lojin kalah
sehingga kata-kata itu tidak mempengaruhi hatinya.
Ada pun yang
ke dua, Bhewakala, adalah seorang tokoh barat yang sudah kenyang akan ilmu-ilmu
sihir. Maka begitu merasakan ada getaran aneh keluar dari ucapan Kun Hong
disertai pandang mata Hui Kauw yang tajam mengikat semangat dan kemauan, dia
pun terkejut dan cepat dia membaca mentera sambil mengerahkan tenaga batinnya
untuk menolak pengaruh yang keluar dari pandang mata Hui Kauw dan suara Kun
Hong itu. Dua orang inilah yang mengejar ketika Kun Hong lari sambil menarik
tangan Hui Kauw.
Akan tetapi
agaknya Thian melindungi Kun Hong yang terancam bahaya. Mendadak langit yang
sudah sejak tadi gelap oleh mendung tebal, kini menyiram permukaan bumi dengan
air hujan disertai kilat dan angin ribut. Mempergunakan kesempatan ini, Kun
Hong dan Hui Kauw mempercepat larinya, sedangkan Thian Te Cu dan Bhewakala yang
maklum akan kelihaian Kun Hong, menjadi ragu-ragu untuk mengejar terus karena
yang lain-lain tidak turut mengejar.
"Ehh,
cu-wi sekalian ini bagaimana? Kenapa tidak mengejar pemberontak itu?"
Lui-kong Thian Te Cu bertanya dengan nada penasaran.
Sesudah Kun
Hong dan Hui Kauw lenyap dari pandangan mata serta hujan yang dingin menimpa
kepala dan tubuh mereka, barulah orang-orang itu seakan-akan sadar dari pada
mimpi. Diam-diam mereka merasa menyesal juga kenapa tadi mereka mendiamkan saja
Kun Hong lari.
"Mereka
tidak akan lari jauh," kata Kui Ciauw, orang tertua dari Ang-hwa
Sam-cimoi, "sekeliling lembah ini kalau turun hujan amat berbahaya, banyak
timbul rawa berlumpur. Juga sampai beberapa li jauhnya telah terjaga oleh anak
buah kami. Kalau sekarang kita kejar masih belum terlambat."
"Ha-ha-ha,
baru menghadapi seorang bocah buta saja sekian banyaknya orang sudah kewalahan,
bagaimana bila harus menghadapi pasukan musuh yang kuat? Bhok Hwesio, bagaimana
pendapatmu? Apakah kita tak terlalu banyak menimbulkan kehebohan hanya untuk
menangkap seorang bocah buta?"
Mendengar
ucapan Ka Chong Hoatsu ini, Bhok Hwesio tertawa juga. "Omitohud, omongan
Hoatsu memang tidak keliru. Marilah kita mengejar dengan cara kita
masing-masing dan kita berlomba, siapa yang lebih dahulu membekuk bocah itu,
dialah yang terhitung jago."
"Bagus!
Memang aku juga sudah lama mendengar nama besar Bhok Hwesio tokoh dari
Siauw-lim-pai. Mari!" Ka Chong Hoatsu menggerakkan tongkat pendeta di
tangannya, lalu sambil tertawa-tawa dia berkelebat lenyap dari situ.
Pada saat
orang-orang menengok ke arah Bhok Hwesio, ternyata hwesio ini pun sudah lenyap
dari situ. Agaknya dua orang ini dengan hati panas hendak menguji kepandaian
masing-masing dengan cara aneh, yaitu berlomba mengejar dan menangkap Kun Hong!
Melihat dua
orang tokoh itu sudah pergi, yang lain beramai-ramai melakukan pengejaran pula,
mengambil cara dan jalan masing-masing. Terjadilah perlombaan mengejar di dalam
hujan ribut itu. Para anggota pasukan dan anggota Ngo-lian-kauw juga sibuk
sendiri, ada yang berlindung dari air hujan yang turun seperti ditumpahkan dari
langit, ada yang ikut mengejar pula. Keadaan menjadi ramai seperti para pemburu
mengejar seekor harimau di dalam hutan.
Memang betul
apa yang diucapkan oleh orang tertua dari Ang-hwa Sam-cimoi tadi. Kun Hong dan
Hui Kauw menemui kesukaran dalam usaha mereka melarikan diri. Air hujan secara
mendadak mengubah semua tempat sekeliling lembah itu menjadi rawa-rawa yang
berbahaya.
Hampir saja
Hui Kauw terjerumus ketika kakinya menginjak air yang nampaknya dangkal itu,
namun kiranya di bawahnya mengandung lumpur yang mempunyai daya menghisap
sehingga kakinya seakan-akan tersedot ke bawah. Baiknya Kun Hong cepat
menariknya ketika gadis ini menjerit.
Mereka kini
berdiri di pinggir rawa, terengah-engah dan sukar bernapas karena serangan air
hujan pada muka mereka. Air hujan itu turun dengan derasnya sehingga
titik-titik air itu seperti batu-batu kecil menghantam muka.
"Kun
Hong... mengapa kita harus lari? Perlu apa takut...? Bukankah kalau tewas pun
kita berdua?"
"Hui
Kauw, siapa ingin mati? Aku tidak takut mati, akan tetapi, apa bila ada
kesempatan menyelamatkan diri, apa perlunya kita mengadu nyawa? Hui Kauw, masa
depan menanti untuk kita."
Suara Kun
Hong terdengar nyaring penuh harapan dan kebahagiaan, jauh sekali bedanya
dengan dulu. Agaknya pemuda ini sekarang merasa amat berbahagia dapat hidup
berdua dengan Hui Kauw. Gadis ini dapat merasa hal ini dan dengan terharu ia
mencengkeram tangan Kun Hong.
"Sesukamulah...
Kun Hong, aku menurut saja...," katanya lirih. "Akan tetapi, ke mana
kita akan lari?"
Pada saat
itu pula, di antara suara angin dan hujan, terdengarlah suara mereka yang
sedang mengejar.
"Wah,
mereka mengejar dan sudah dekat!" Kun Hong berkata dan sambil menarik
tangan Hui Kauw untuk lari lagi.
Hui Kauw
menjadi penunjuk jalan, akan tetapi ia setengah diangkat oleh Kun Hong yang
menggunakan ilmu lari cepat. Lebih lima li mereka lari meninggalkan tempat
pertempuran tadi. Namun karena tidak mengenal jalan dan selalu terhalang oleh
rawa, mereka hanya berputaran saja di sekitar lembah tanpa mereka sadari.
Mendadak Hui
Kauw berkata, "Kun Hong, di sana ada sebuah pondok kecil menyendiri. Mari
kita berlindung ke sana." Suara Hui Kauw hampir tak dapat terdengar karena
terbawa angin yang makin keras bertiup dan air hujan makin deras menyiram tubuh
mereka.
Dengan susah
payah akhirnya sampai juga mereka di pondok kecil yang sudah tua dan berdiri
miring di luar hutan lebat. Mereka cepat memasuki pondok yang ternyata kosong.
Agak lega hati mereka karena sekarang tidak lagi diserang hujan dan angin.
"Kita berada di mana?" tanya Kun Hong.
Hui Kauw
memandang ke luar, bergidik melihat hutan yang tampak amat menyeramkan karena
pohon-pohonnya bergoyang-goyang seperti mengamuk diserang angin ribut. Amat
berbahaya memasuki hutan di waktu demikian itu. Sewaktu-waktu akan ada pohon
yang tumbang. Saking kerasnya angin, banyak pohon kelihatan gundul karena
daun-daunnya rontok oleh tiupan angin.
"Di
luar sebuah hutan lebat. Kurasa untuk sementara kita bersembunyi di sini,
menunggu sampai hujan dan angin berhenti," katanya sambil mengusap air
dari mukanya.
"Hui
Kauw..."
Tiba-tiba
Kun Hong memeluk mesra dan mendekap kepala gadis itu di dadanya. Gadis itu pun
balas memeluk dan sampai beberapa lama mereka berdiam diri. Mendadak Kun Hong
mendorong tubuh Hui Kauw perlahan ke belakang sambil berkata, "Kau
larilah. Kau masuklah ke hutan itu, larilah ke utara dan carilah perlindungan
di sana. Carilah Sin Lee dan Hui Cu, atau menggabunglah dengan pasukan dari
utara. Kau akan selamat. Aku akan menanti mereka di sini!"
"Tidak!
Sekali lagi, tidak!" Hui Kauw berkata nyaring. "Aku hanya mau pergi
dan lari kalau bersama kau!"
"Jangan
Hui Kauw. Percuma kita lari, pasti akan tersusul oleh mereka. Di antara mereka
terdapat banyak orang sakti. Kalau kau lari sendiri, aku dapat menghalangi
mereka di sini dan mencegah mereka mengejarmu. Bukan kau yang mereka kehendaki,
melainkan aku. Kau harus selamat."
"Tidak
mau! Kun Hong, tidak tahukah kau bahwa mati hidup aku harus bersamamu? Lebih
baik mati di sampingmu dari pada hidup jauh dari padamu. Aku... aku isterimu,
bukan? Seorang isteri harus menyertai suaminya, di mana pun suaminya berada."
Kun Hong
amat terharu, membalikkan tubuh membelakangi Hui Kauw, "Hui Kauw, jangan
kau hancurkan kebahagiaanku. Aku merasa bahagia sekali bahwa pada saat terakhir
aku masih sempat melindungimu, membelamu. Akan sia-sia pengorbananku kalau kau
akan tewas juga. Pergilah.”
"Tidak,
Kun Hong. Aku tidak mau. Kau... kau sudah terluka! Aku tahu itu... sebaiknya
kau saja yang bersembunyi di hutan itu, biar aku yang menghadang mereka!"
Suaranya tinggi dan bernada gagah. Kun Hong makin terharu dan kembali mereka
berpelukan. Tiba-tiba Kun Hong melepaskan pelukannya.
"Trang-trang...!"
Dua batang
pedang terlempar. Tongkat itu terus bergerak dan... ada dua orang anggota
pasukan istana jatuh tersungkur, tak bernapas lagi. Kiranya dua orang ini sudah
berhasil mengejar sampai ke dalam pondok dan langsung menyerang, akan tetapi
hal ini hanya menyebabkan mereka mati konyol. Karena larinya terhalang
rawa-rawa dan hanya berputaran saja, maka dua orang sakti seperti Bhok Hwesio
dan Ka Chong Hoatsu malah tidak dapat menemukan Kun Hong dan Hui Kauw. Dua
orang ini malah lewat jauh dan mencari-cari di dalam hutan itu.
Sebaliknya,
ada dua orang anggota pasukan yang merasa payah dan melihat pondok itu, hendak
mengaso, akan tetapi malah mereka yang dapat menemukan Kun Hong dan Hui Kauw
tanpa mereka sengaja dan mengakibatkan kematian mereka. Kun Hong kembali siap
dengan tongkatnya. Hui Kauw memungut sebatang pedang yang tadi terpental jatuh.
Mereka kini memasuki pondok dan Hui Kauw mengintai ke luar dari jendela yang
tidak berdaun lagi. Keduanya menanti dengan tegang. Hujan mulai berhenti, angin
sudah tidak mengamuk lagi dan lapat-lapat terdengar suara mereka yang mengejar,
makin lama semakin dekat.
"Ada
dua orang yang menuju ke sini...," bisik Hui Kauw kepada Kun Hong,
suaranya agak gemetar karena tegang, "mereka itu adalah Bhewakala dan yang
seorang lagi It-to-kiam Gui Hwa."
Kun Hong
mengangguk. "Kau berdiam saja di sini, jangan bantu kalau tidak amat
perlu. Biar aku menyergap mereka di depan."
Memang
betul, It-to-kiam Gui Hwa yang mengejar berbareng dengan Bhewakala, tampak
berlari-lari menuju pondok itu. Bhewakala yang mengajak tokoh Kun-lun itu,
mengatakan bahwa pondok itu mungkin sekali dipergunakan untuk tempat sembunyi.
"Mereka
melarikan diri, mana bisa berhenti di tempat itu?" bantah Gui Hwa.
"Siapa
tahu? Semua orang sudah mengejar ke dalam hutan, tak seorang pun ingat untuk
menengok pondok itu. Biar kita menengok sebentar," kata Bhewakala dan
demikianlah, dengan ilmu lari cepat mereka, kedua orang tokoh ini menuju ke
pondok.
"Awas...!"
Bhewakala berseru sambil menuding ke arah dua mayat yang menggeletak di depan
pondok itu.
"Ahh,
mereka tentu di sini!" seru It-to-kiam Gui Hwa sambil mencabut pedangnya.
"Memang
aku berada di sini!"
Dua orang
itu terkejut dan cepat menengok. Ehh, tahu-tahu Kun Hong sudah berdiri di
belakang mereka dengan tongkat melintang di depan dada!
Sejenak
Bhewakala dan It-to-kiam Gui Hwa meremang bulu tengkuknya. Bhewakala telah
merasakan kelihaian Pendekar Buta itu, benar-benar amat sakti, maka kini ketika
secara tiba-tiba saja orang yang dikejarnya itu berada di depan mereka, mereka
menjadi terkejut setengah mati. Namun, sebagai tokoh-tokoh kang-ouw yang
memiliki kepandaian tinggi, hanya sebentar saja mereka terkejut. Bhewakala
sudah mengeluarkan senjatanya yang lihai, yaitu sebuah cambuk hitam yang kecil
dan sekali cambuk itu digerakkan, sudah terulur panjang sampai tiga meter.
Dahulu
pernah di kota raja dia kehilangan cambuknya karena hancur bertemu dengan pedang
Kun Hong. Sekarang dia telah mengeluarkan cambuk simpanannya, terbuat dari pada
bulu binatang aneh di Pegunungan Himalaya.
"Pemberontak
muda, lebih baik kau menyerah. Kau tidak akan dapat melarikan diri!" Gui
Hwa mencoba untuk membujuk karena betapa pun juga dia merasa jeri juga.
"It-to-kiam,
hayo kita tangkap dia!"
Bhewakala
yang pernah dikalahkan oleh Kun Hong, sebaliknya menjadi penasaran dan marah.
Ingin dia membalas kekalahannya dengan bantuan It-to-kiam Gui Hwa. Karena itu,
sambil berkata demikian cambuknya sudah dia putar-putar di atas kepalanya
sehingga mengeluarkan bunyi mengaung-aung laksana sirene. Melihat temannya
sudah mendesak maju, dengan sikap apa boleh buat It-to-kiam Gui Kwa juga
menerjang dengan pedangnya yang mengeluarkan sinar berkilat.
Kun Hong
sudah siap. Dia maklum bahwa dia menghadapi dua orang lawan yang amat kuat.
Pernah dia menghadapi Bhewakala dan karenanya dia maklum bahwa orang Nepal ini
benar-benar memiliki ilmu yang luar biasa. Jika dulu itu dalam beberapa
gebrakan saja dia mampu mengalahkan Bhewakala, adalah karena orang Nepal ini
tadinya memandang rendah kepadanya. Sekarang, setelah pernah dikalahkan, tentu
dia akan berlaku hati-hati dan tidak begitu mudah dikalahkan. Apa lagi di
samping orang Nepal ini terdapat seorang ahli pedang seperti It-to-kiam Gui Hwa
yang dia tahu memiliki Ilmu Pedang Kun-lun Kiam-sut yang cukup tinggi.
Dia harus
hati-hati, maka begitu melihat mereka menerjang maju, dia segera memainkan ilmu
silat ciptaannya. Tongkatnya berkelebat hingga sinarnya bergulung-gulung,
diselingi dengan pukulan-pukulan tangan kirinya yang mengeluarkan uap putih!
Baik
Bhewakala mau pun It-to-kiam Gui Hwa mau tidak mau amat kagum dan diam-diam
memuji kehebatan ilmu silat Pendekar Buta ini karena mereka berdua sama sekali
tidak mampu mendekatinya. Jangan kata sampai terbentur tongkat yang
mengeluarkan sinar merah, baru terkena angin pukulannya saja mereka merasa
betapa tenaga yang sangat hebat mendorong senjata mereka ke belakang. Belum
lagi pukulan tangan kiri itu yang mendatangkan hawa pukulan ganas dan mukjijat
sehingga membuat mereka sama sekali tidak berani menangkisnya.
Sebaliknya,
Kun Hong diam-diam juga terkejut. Dia sudah terluka karena mengadu tenaga
dengan Hek Lojin yang sakti. Walau pun luka itu tidak membahayakan
keselamatannya, akan tetapi setidaknya banyak membutuhkan pengerahan hawa sakti
di tubuhnya untuk melawannya. Hal ini mengurangi kekuatannya dan kini
menghadapi dua orang yang tak boleh dipandang ringan ini, tenaganya hanya dapat
menandingi dengan berimbang saja. Baiknya ilmu silatnya memang amat aneh dan
tinggi sehingga dua orang itu sendiri tidak dapat menyelami inti sarinya dan
menjadi bingung oleh sambaran tongkat dan dorongan tangan kirinya. Yang paling
diperhatikan oleh Kun Hong adalah cambuk panjang di tangan Bhewakala.
Cambuk itu
benar-benar lihai sekali dan sukar diduga gerakannya, bergerak bagai seekor
binatang hidup yang kadang-kadang merentang panjang, akan tetapi kadang-kadang
juga melingkar-lingkar. Hebatnya, cambuk hitam yang sekarang dimainkan oleh
Bhewakala ini sangat ampuh serta kuat, beberapa kali dihantam oleh tongkat Kun
Hong, hanya mental kembali tetapi tidak putus.
Tiba-tiba
Bhewakala mengeluarkan suara pekik rendah menggetarkan jantung, kemudian
berkata-kata seperti orang membaca doa dalam bahasa asing. Memang orang Nepal
ini sedang berbicara seorang diri dengan keras, dan sebetulnya dia memuji-muji
kepandaian Kun Hong dan juga menyatakan penasarannya.
Akan tetapi
gerakan cambuknya kini berubah, sama sekali tak lagi menyerang tubuh Kun Hong,
melainkan mengejar dan memapaki tongkat Pendekar Buta itu dengan cambuknya.
Cambuk hitam yang panjang itu seperti seekor ular kecil panjang segera melibat
dengan kecepatan yang tak terduga oleh Kun Hong. Pendekar Buta ini cepat
menggentakkan tongkatnya dengan tenaga sakti untuk membikin senjata lawan itu
terputus. Akan tetapi hebat sekali, cambuk itu bukannya putus karena dapat
mulur seperti karet, malah terus bergerak melibat-libat seluruh tongkat, tangan
dan lengan kanan Kun Hong, masih terus melibat pundak, leher dan lengan kiri.
Dalam
sekejap mata tampaknya Kun Hong telah kena terbelenggu oleh cambuk mukjijat
itu! Pada saat itu juga, It-to-kiam Gui Hwa menggunakan kesempatan itu menubruk
maju dan mengirim pukulan maut ke arah ulu hati Kun Hong dengan gerakan cepat
karena dia memainkan jurus Tit-ci Coan-sim (Tudingkan Jari Tusuk Hati) dari
ilmu Pedang Kun-lun Kiam-sut yang paling ampuh.
"It-to-kiam,
jangan bunuh dia, sayang kepandaiannya!" Bhewakala berseru dengan suara
keras untuk mencegah, namun dia tidak berdaya untuk menolong karena dia pun
sedang mengerahkan tenaga untuk melibat tubuh Kun Hong dengan cambuknya itu.
"Sruuuuuttttt!
Cringggg... krakkk!"
Apa yang
terjadi dalam sedetik ini benar-benar hebat dan sekaligus membuktikan bahwa Si
Pendekar Buta benar-benar telah memiliki kesaktian yang jarang bandingannya.
Dalam keadaan yang serba sulit itu dia masih bisa menyelamatkan diri, malah
terlihat It-to-kiam Gui Hwa sudah roboh tak berkutik karena dadanya tertembus
oleh tongkat Kun Hong, sedangkan cambuk hitam yang tadi melibat-libat tubuh Kun
Hong itu kini berantakan dan putus-putus!
Kiranya
dengan tenaga saktinya, ketika menghadapi bahaya maut tadi, Kun Hong masih
sempat menggerakkan kaki dan melakukan langkah ajaib sehingga dia terhindar
dari pada tusukan maut It-to-kiam, kemudian sekali mengerahkan tenaga terdengar
suara keras dan cambuk hitam itu hancur berantakan, dan akhirnya sinar merah
berkelebat dan tahu-tahu tubuh It-to-kiam sudah roboh binasa. Saking cepatnya
tongkat itu bergerak, sampai tidak kelihatan bagaimana senjata ini tadi
menembus tubuh It-to-kiam!
Bhewakala
terkejut setengah mati dan bulu tengkuknya berdiri. Selama hidupnya belum
pernah dia menyaksikan hal seperti ini. Mana mungkin tubuh seorang manusia
mampu membikin hancur berantakan cambuk hitamnya yang terbuat dari pada bulu
binatang sakti di Pegunungan Himalaya itu?
Ia cepat
menubruk lagi dan mengirim pukulan dengan pengerahan tenaga dalamnya yang amat
kuat. Akan tetapi kali ini Kun Hong sudah siap. Tubuhnya tiba-tiba bergerak
miring sehingga pukulan itu luput dan tahu-tahu Bhewakala roboh karena kaki Kun
Hong sudah menyerampangnya dan menyentuh jalan darah di dekat lutut. Bhewakala
semakin kaget dan maklum bahwa sekali tongkat yang ampuh itu bergerak, nyawanya
tak akan tertolong lagi. Akan tetapi aneh, tongkat itu tidak bergerak, malah
Kun Hong hanya berdiri tegak sambil berkata,
"Bhewakala,
tadi kau menyayangkan nyawaku, aku pun tak tega membunuhmu. Memang di antara
kita tidak ada permusuhan. Pergilah, atau... biarkanlah aku pergi dengan
aman."
Bhewakala
bangkit. Dia memandang dengan matanya yang agak kebiruan itu, kemudian
mengangguk-angguk. "Kau hebat. Tak perlu lagi aku di sini, aku harus
pulang dan belajar sepuluh tahun lagi." Setelah berkata demikian, dengan
langkah panjang dia lari pergi dari tempat itu.
"Kun
Hong, tolong...!"
Jeritan Hui
Kauw ini seperti menyendal semangat Kun Hong. Kaget dan khawatir sekali
hatinya. Seperti kilat cepatnya tubuhnya melompat ke arah suara dan ternyata di
sebelah kanan pondok itu telah berdiri Ang-hwa Sam-cimoi dengan pedang di
tangan. Kui Siauw, orang termuda dari Ang-hwa Sam-cimoi memegang lengan Hui
Kauw yang tidak berdaya lagi karena sudah ditotok jalan darahnya.
"Hui
Kauw, kau di mana? Apa yang terjadi...?!" Kun Hong berteriak dan berdiri
bingung.
"Kun
Hong, aku... tertawan Ang-hwa Sam-cimoi...," kata Hui Kauw lemah.
Kun Hong
menggerakkan tongkatnya mengancam, "Lepaskan dia!" suaranya
mengguntur.
Kui Ciauw
dan Kui Biauw tertawa mengejek, kemudian Kui Ciauw berkata, "Pemberontak
buta. Lebih baik kau menyerahkan diri saja sebelum kekasihmu ini kami
bunuh!"
Kun Hong
ragu-ragu. Dia maklum bahwa kalau dia bergerak, biar pun akhirnya dia akan
menang, Hui Kauw tentu akan terbunuh lebih dulu.
"Kun
Hong, serang mereka. Jangan pedulikan aku!" ucapan Hui Kauw ini
membangkitkan semangat Kun Hong.
Akan tetapi
cepat Kui Ciauw berseru, "Kau benar-benar ingin dia mampus?!"
''Lepaskan
dia!"
Kun Hong
melompat dan tongkatnya menerjang Kui Siauw karena dari suara Hui Kauw dia tahu
siapa yang harus dia serang lebih dulu untuk menolong kekasihnya.
"Plak-plak-plak!"
Kun Hong
terhuyung mundur. Tongkatnya sampai tiga kali bertemu dengan senjata lunak tapi
kuat bukan main, disertai tenaga sakti yang mampu melawan tenaga dan
tongkatnya.
"Ha-ha-ha,
Kwa Kun Hong. Lebih baik kau menyerah kalau kau menghendaki nona itu dan kau
sendiri selamat."
"Bhok
Hwesio!" Kun Hong berteriak marah. "Apa bila kalian memusuhi aku, itu
memang sudah sepatutnya karena kau dan teman-temanmu adalah anjing-anjing
penjaga istana yang menganggap aku telah memberontak. Akan tetapi apa salahnya
Hui Kauw? Segera kau lepaskan dia dan mari kita bertanding seribu jurus sebagai
laki-laki!"
"Hemm,
bocah buta yang sombong. Apa kau kira pinceng takut kepadamu? Soal nona itu,
tidak usah dibicarakan lagi. Ada pun mengenai kepandaian, kalau memang kau
merasa jagoan, majulah biar pinceng layani."
Kun Hong
sudah marah sekali, tongkat di tangannya tergetar. Akan tetapi sebelum dia
sempat bergerak, terdengar suara halus di belakangnya.
"Omitohud,
semoga Tuhan mengampuni kesalahan hambaNya..."
Suara itu
sedemikian halusnya, namun pengaruhnya membuat Kun Hong seketika lemas dan
lenyap kemarahannya. Ia merasa terheran-heran dan menanti dengan telinga dibuka
lebar-lebar untuk mengetahui siapakah gerangan orang yang mempunyai suara
demikian berpengaruh. Ada pun Hui Kauw yang berada dalam tawanan Kui Siauw juga
memandang penuh perhatian. Tadinya ia terbelalak penuh kekhawatiran terhadap
diri Kun Hong ketika di situ tiba-tiba muncul Bhok Hwesio.
Tadi dia
sedang menonton perlawanan Kun Hong terhadap Bhewakala dan It-to-kiam Gui Hwa
dari samping pondok. Mendadak dari arah belakangnya berkelebat tiga bayangan
yang cepat sekali gerakannya. Hui Kauw hendak melawan, akan tetapi ia kalah
jauh oleh Ang-hwa Sam-cimoi sehingga dalam beberapa jurus saja ia telah
tertotok dan tertawan. Ia tidak takut mati, juga tidak takut melihat Kun Hong
menghadapi Ang-hwa Sam-cimoi karena ia memang sudah nekat untuk mati bersama.
Akan tetapi tidak tega juga hatinya melihat kekasihnya yang buta itu akan
dikeroyok oleh orang-orang sakti, maka munculnya Bhok Hwesio yang amat sakti
itu menggelisahkan hatinya.
Kini ia
terbelalak memandang tiga orang yang datang dengan langkah lambat dan ringan.
Mereka ini adalah tiga orang hwesio tua yang jalan berjajar. Yang kanan dan
kiri serupa benar bentuk badan dan muka, seperti hwesio tua yang kembar,
bertubuh kurus pendek. Yang berada di tengah adalah seorang hwesio tinggi kurus
berusia sedikitnya delapan puluh tahun dan hwesio inilah tadi yang mengeluarkan
kata-kata.
Besar
keheranan hati Hui Kauw pada saat melihat betapa Bhok Hwesio menjadi berubah
mukanya. Malah dengan sikap menghormat Bhok Hwesio sekarang melangkah maju dan
menjura hingga badannya yang tinggi besar itu hampir berlipat menjadi dua, lalu
mulutnya berkata, "Thian Ki suheng, ji-suheng dan sam-suheng, siauwte
menghaturkan hormat."
Kedua hwesio
kembar itu hanya mengangguk. Ada pun hwesio di tengah yang disebut Thian Ki
suheng oleh Bhok Hwesio itu, memandang sejenak, kemudian bibirnya bergerak
mengeluarkan ucapan yang halus tapi penuh teguran, "Bhok-sute, semenjak
kapankah murid Siauw-lim-pai mencampuri urusan kerajaan? Sejak kapan murid
Siauw-lim-pai tamak akan harta benda atau kemuliaan duniawi?"
Suaranya
penuh wibawa dan sampai lama Bhok Hwesio tidak dapat menjawab. Ada pun Kun Hong
dan Hui Kauw yang pernah mendengar nama Thian Ki Losu, yaitu pendeta Siauw-lim-pai
yang amat terkenal kesaktiannya itu, menjadi terkejut. Thian Ki Losu terkenal
sebagai seorang di antara para tokoh tua Siauw-lim-pai yang tidak pernah
muncul, akan tetapi yang kabarnya memiliki kepandaian bagai dewa. Oleh karena
itu Kun Hong hanya diam saja. Dia hanya mendengarkan penuh perhatian dan
menanti perkembangannya lebih jauh sambil bersiap siaga.
Akan tetapi,
Ang-hwa Sam-cimoi yang semenjak mudanya merantau ke dunia barat, tidak mengenal
nama Thian Ki Losu, maka mereka tak peduli sama sekali. Apa lagi ketika Kui
Siauw melihat betapa sinar mata dan muka Hui Kauw berseri-seri seakan-akan
gadis itu mengharapkan bantuan, ia menjadi marah dan berkata,
"Kwa
Kun Hong, kalau kau tidak lekas berlutut dan menyerah, sekarang juga aku akan
membunuh kekasihmu!"
Hui Kauw
benar-benar tidak berdaya. Kui Siauw yang galak itu sudah mencengkeram batang
lehernya dan sekali menggerakkan tangan, tentu jalan darah yang menuju ke otak
akan dihancurkan dan dia akan tewas dalam sekejap mata. Kun Hong sudah menggigil
kedua kakinya, siap melompati penawan Hui Kauw itu dan kalau perlu mengadu
nyawa.
"Omitohud,
sesama manusia mana berhak saling bunuh? Ada pinceng di sini, tidak boleh orang
berlaku keji!" Inilah suara Thian Ki Losu dan tahu-tahu tubuhnya sudah
melayang seperti kapas tertiup angin ke arah Kui Siauw.
Orang
termuda dari Ang-hwa Sam-cimoi ini marah dan membentak, "Hwesio tua, kau
mau apa?" Berkata demikian, ia memukul dengan tangan kanan sambil
mengerahkan tenaga sedangkan tangan kirinya tetap mencengkeram tengkuk Hui
Kauw.
"Omitohud,
keji sekali...!" Thian Ki Losu berseru, lengan bajunya dikebutkan
berkibar-kibar menerima pukulan sedangkan lengan baju yang lain juga bergerak
ke arah Hui Kauw.
Entah
bagaimana, tahu-tahu tubuh Kui Siauw seperti dilemparkan tenaga raksasa, lantas
melayang sampai lima meter lebih jauhnya dan cengkeramannya pada tengkuk Hui
Kauw tadi seketika terlepas. Dan lebih hebat lagi, tanpa kelihatan kapan
bergeraknya, tubuh Hui Kauw sudah terbebas dari pada totokan dan gadis itu
cepat berlari ke arah Kun Hong, berdiri di samping Kun Hong, sedangkan Thian Ki
Losu sudah kembali berdiri di antara kedua orang adik seperguruannya seperti
tidak pernah terjadi sesuatu!
Kui Ciauw
dan Kui Biauw mencabut pedangnya masing-masing, akan tetapi tidak berani
sembarangan bergerak, apa lagi melihat bahwa sumoi mereka tak terluka. Juga Kui
Siauw sudah mencabut pedangnya, akan tetapi juga tidak berani sembarangan
bergerak karena maklum bahwa hwesio tua renta itu benar-benar seorang sakti
yang tidak boleh dibuat sembrono.
Bhok Hwesio
melihat kejadian itu, mengerutkan keningnya dan berkata menegur, "Suheng
berat sebelah. Bocah buta itu adalah seorang pemberontak, juga gadis itu.
Mereka harus ditawan."
"Bhok-sute,"
suara Thian Ki Losu tetap tenang dan sabar, "hal itu bukanlah urusan kita.
Sebelum berlarut-larut kau terbelit oleh urusan kerajaan, marilah kau ikut
pinceng kembali, semoga Buddha mengampunimu."
"Tidak,
Suheng. Siauwte sudah berjanji akan membantu menghancurkan pemberontak. Suheng
pulanglah dahulu, kelak siauwte akan pulang dan mohon ampun kepada Suheng bahwa
hari ini siauwte berani membantah perintah Suheng."
"Bhok-sute,
kau tahu apa hukumannya murid yang murtad? Sekali lagi, marilah pulang bersama
kami, kalau tidak, terpaksa pinceng akan melaksanakan hukuman di sini
juga."
"Thian
Ki suheng, kau terlalu! Di depan banyak orang merendahkan aku seperti ini,
kalau aku tidak mau ikut pulang, kau mau apa?"
"Omitohud,
terpaksa pinceng melakukan hal yang berlawanan dengan hati!" Hwesio tua
itu berseru dan tiba-tiba dia menggerakkan kedua lengannya mendorong ke depan.
Terdengar suara berciutan dan seketika itu tubuh Bhok Hwesio bergoyang-goyang.
Bhok Hwesio tentu saja mengenal kelihaian kakak seperguruannya ini, maka dia
pun bergerak dan mendorong.
Kakak
beradik seperguruan ini berdiri dalam jarak antara dua meter. Oleh karena
mereka masing-masing mengulurkan lengannya, maka telapak tangan mereka saling mendekati,
hanya terpisah satu meter. Akan tetapi, meski telapak tangan mereka tidak
saling sentuh, namun jangan dikira bahwa mereka itu tidak saling serang. Hawa
sakti yang keluar dari telapak tangan masing-masing saling dorong dan dua
tenaga sakti yang dahsyat bertemu di udara. Mereka berdiri tak bergerak, dan
hanya satu menit Bhok Hwesio kuat bertahan. Mukanya tiba-tiba menjadi pucat dan
dia mengeluh perlahan, kemudian tubuhnya terjengkang.
Thian Ki
Losu melangkah empat tindak dan kembali dia menggerakkan tangannya cepat sekali
ke arah pundak. Pada lain saat Bhok Hwesio sudah menjadi pingsan dan digotong
oleh dua orang hwesio kembar, seorang memegang pundak dan seorang lagi memegang
betis. Thian Ki Losu memandang sekeliling, dan pada saat itu terdengar suara
hiruk-pikuk tidak jauh dari situ, lalu tampak api mengebul dibarengi
sorak-sorai dan suara tambur perang. Kakek itu menggeleng-geleng kepalanya.
"Omitohud,
perang... perang... sekali lagi perang. Manusia saling bunuh, buta oleh karena
kemuliaan dunia. Bilakah semua ini berakhir?" Lama dia memandang kepada
Kun Hong, menggeleng-geleng kepala dan berkata lagi. "Sayang...
sayang..."
Kemudian
kakek ini mengajak dua orang sute-nya pergi dari tempat itu, membawa tubuh Bhok
Hwesio yang sudah pingsan. Ang-Hwa Sam-cimoi tadi tidak berani bergerak.
Setelah hwesio-hwesio itu pergi, mereka serentak mengurung Kun Hong yang juga
sudah siap.
Suara gaduh
semakin menghebat dan sambil bersiaga Kun Hong bertanya, "Hui Kauw, suara
apakah itu? Apakah... mereka sudah datang...?"
"Agaknya
perang sudah dimulai!" jawab Hui Kauw penuh semangat.
Kun Hong
merasa girang. Tahulah dia sekarang bahwa saat itu orang-orang Pek-lian-pai dan
Hwa-i Kai-pang, mungkin dengan pasukan dari utara, telah menyerbu dan
bertanding melawan pasukan pengawal dan para anggota Ngo-lian-kauw.
Benar saja
dugaannya. Datang berlarian dua orang wanita yang terengah-engah melapor dari
jauh. "Kauwcu (ketua)... musuh menyerbu... semua dibakar...!"
Mendengar
ini, Ang-hwa Sam-cimoi makin marah dan serentak mereka menerjang Kun Hong.
"Hui
Kauw, mundur...!"
Kun Hong
cepat menggerakkan tongkatnya menangkis dan diam-diam ia harus mengakui bahwa
tiga orang lawannya ini hebat sekali ilmu pedangnya. Menangkis yang satu datang
yang ke dua menyambar, disusul lagi yang ke tiga. Terus menerus mereka itu
mendesak dengan penyerangan bertubi-tubi, sangat teratur seakan-akan barisan
yang sudah diatur terlebih dahulu. Juga tenaga mereka itu rata-rata amat kuat.
Kun Hong
mengeluh. Benar-benar hari ini dia harus menghadapi banyak orang pandai. Namun
Hui Kauw tidak mundur, bahkan cepat ia mengambil pedang It-to-kiam Gui Hwa tadi
dan serta merta ia menyerbu dan membantu Kun Hong. Karena maklum bahwa tiga
orang wanita itu amat sakti, Hui Kauw segera mainkan ilmu pedang simpanannya
yang ia dapatkan dari kitab rahasia. Setelah ia menyerbu, maka terpaksa Kui
Siauw melayaninya sehingga lumayan juga bagi Kun Hong yang hanya menghadapi dua
orang lawan.
Pada saat
itu terdengar suara orang yang parau, "Ang-hwa Sam-cimoi, celaka sekali!
Kita terjebak dan terkepung musuh. Lekas bereskan si buta itu!"
Dan
muncullah Souw Bu Lai dan Ka Chong Hoatsu, sedangkan di belakangnya tampak
berlari-lari mendatangi Lui-kong Thian Te Cu yang juga berteriak-teriak.
"Bereskan jahanam buta itu dan lekas lari! Tentara dari utara yang datang
menyerbu. Jumlah mereka amat banyak!"
Ketiga orang
itu, Souw Bu Lai, Ka Chong Hoatsu dan Lui-kong Thian Te Cu serta merta
menggunakan senjata menerjang Kun Hong yang sekarang dikepung lima orang! Repot
juga Kun Hong, apa lagi dia merasa gelisah karena Hui Kauw makin terdesak hebat
oleh Kui Siauw yang jauh lebih lihai. Tidak mungkin untuk membantu kekasihnya
karena dia sendiri pun sedang dihujani serangan maut oleh lima orang itu.
Kun Hong
timbul marahnya, dengan bentakan yang melengking nyaring ia menggunakan jurus
mematikan, tongkatnya menyambar ke depan dibarengi sambaran tangan kirinya.
Namun lima orang lawannya sudah cepat mundur sambil menangkis, lalu mengepung
lagi dengan rapat.
Pada saat
Kun Hong dan Hui Kauw terdesak hebat di tengah-tengah medan pertempuran yang
sekarang makin gaduh karena perang antara pasukan utara dan para pengawal itu
agaknya makin mendekat, nampak berkelebat bayangan dua orang bagai
garuda-garuda menyambar. Mereka ini bukan lain adalah Si Raja Pedang Tan Beng
San serta isterinya Cia Li Cu! "Kun Hong, jangan takut, aku dan bibimu
datang membantumu!"
Mendengar
suara ini, bukan main lega dan gembiranya hati Kun Hong.
"Paman
Beng San! Bibi Li Cu! Lekas, inilah musuh-musuh Thai-san-pai! Ka Chong Hoatsu
dan Ang-hwa Sam-cimoi mempunyai peran besar dalam penyerbuan itu!"
Bukan main
marahnya Beng San dan isterinya ini. Beng San segera menerjang Ka Chong Hoatsu
yang kelihatan paling lihai di antara pengeroyok-pengeroyok Kun Hong. Kakek ini
menangkis dengan tongkatnya dan di lain saat kedua orang tokoh sakti ini sudah
saling gempur mati-matian dengan amat hebatnya. Ada pun Cia Li Cu sambil
membentak nyaring segera menerjang Lui-kong Thian Te Cu yang juga kelihatan
amat kuat dengan senjatanya yang aneh, yaitu tanduk rusa. Seperti juga
suaminya, nyonya yang berilmu tinggi ini segera lenyap terbungkus sinar
pedangnya ketika ia menandingi tokoh Go-bi-san ini.
Kun Hong
mendapat hati setelah dua orang di antara pengeroyoknya yang paling kuat
disambut oleh paman dan bibinya. Dia memekik keras dan robohlah Souw Bu Lai
dengan kepala retak-retak akibat terkena pukulan tangan kiri Kun Hong. Kui
Ciauw dan Kui Biauw terkejut sekali sehingga permainan pedang mereka menjadi
kacau. Akan tetapi Kun Hong tidak mempedulikan mereka, langsung dia melesat ke
arah Hui Kauw. "Hui Kauw, mundurlah!" serunya.
Telinganya
yang sangat tajam dapat membedakan suara pedang dan segera tongkatnya menyambar
ke arah Kui Siauw. Wanita ini mendengar suara berdesing dan sinar merah
menyilaukan matanya. Dia cepat menangkis dan inilah kesalahannya, karena
kehebatan serangan Kun Hong hanya sebagian saja terletak pada sambaran pedang
dalam tongkat itu, sedangkan sebagian lagi terletak pada tangan kirinya yang
sudah mengirim pukulan maut.
Tubuh Kui
Siauw terjengkang ke belakang, pedangnya terpental dan ia tewas tanpa dapat
bersambat lagi. Seperti juga dengan nasib Souw Bu Lai, kepalanya retak-retak
tersambar hawa pukulan Pek-in Hoat-sut! Sekarang Kui Ciauw dan Kui Biauw tidak
sanggup menahan kemarahannya lagi. Mereka mengerahkan seluruh tenaga dan
kepandaian, mengeroyok Kun Hong dengan serangan-serangan nekat. Kun Hong yang
sudah lega hatinya karena Hui Kauw telah terlepas dari bahaya, melayani mereka
dengan tenang, namun dia selalu mencari kesempatan untuk merobohkan kedua orang
ini.
Ada pun
pertandingan antara Ka Chong Hoatsu dan Tan Beng San, amatlah dahsyat. Kakek
dari Mongol ini tidak mengira bahwa dia akan bertemu dengan Tan Beng San ketua
Thai-san-pai di situ. Pada waktu mereka menyerbu Thai-san-pai dahulu, dialah
orang yang menyamar sebagai Song-bun-kwi. Dan dia pula yang membunuh Tan Hok
serta beberapa orang anak murid Thai-san-pai. Karena dia pun maklum bahwa ketua
Thai-san-pai ini tentu tidak akan mau mengampuninya, maka ia mengerahkan
kepandaiannya, cepat memutar tongkat pendeta dengan tenaga bergelombang, dengan
penuh keyakinan akan dapat mengalahkan ketua Thai-san-pai itu.
Akan tetapi
dia tidak mengenal Tan Beng San, Si Raja Pedang. Hanya tampaknya saja Beng San
terdesak oleh tongkat yang mengamuk itu, akan tetapi memang semakin tua
permainan pedang Tan Beng San semakin matang dan amat tenang.
"Kau
menyerbu Thai-san-pai, membakar tempat kami? Hemmm, ada permusuhan apakah
antara kita, kakek jahat?" Di antara berkelebatnya tongkat dan pedang,
Beng San masih sempat bertanya.
Ka Chong
Hoatsu kaget. Dia mengira sudah berhasil mendesak lawan, siapa kira lawan masih
enak-enak mengajak dia mengobrol. Orang yang terdesak mana bisa mengobrol? Dia
tidak menjawab, melainkan mendesak makin hebat.
Kun Hong
mendengar ucapan Beng San dan dialah yang menjawab dengan tenang pula,
seakan-akan dia melayani dua orang wanita itu dengan seenaknya. "Paman,
dia itu tokoh Mongol, dia turut menyerbu Thai-san membantu mendiang
Ching-toanio bekas isteri Giam Kin. Ada pun Ang-hwa Sam-cimoi ini adalah
sumoi-sumoi dari Hek-hwa Kui-bo. Itu yang melawan Bibi adalah Lui-kong Thian Ti
Cu tokoh Go-bi, penjilat istana."
Seperti juga
Ka Chong Hoatsu, dua orang saudara Ang-hwa itu merasa kaget dan heran bagaimana
si buta yang mereka hujani bacokan itu masih enak-enak mengobrol, tanda bahwa
si buta ini masih banyak mengalah. Mereka memperhebat gerakan pedang untuk
menekan lawan. Sementara itu, Hui Kauw gembira dan kagum bukan main menyaksikan
sepak terjang ketua Thai-san-pai dengan isterinya. Terutama ia kagum sekali
melihat permainan pedang Cia Li Cu yang amat indah. Wanita yang sudah setengah
tua itu nampak cantik jelita dan gagah, seperti seorang bidadari tengah
menari-nari menandingi Thian Te Cu yang lihai. Karena dapat melihat betapa
nyonya gagah itu agaknya sukar untuk mengalahkan lawan, tanpa banyak ragu lagi
ia meloncat dan membantu.
"Bibi,
maaf, perkenankanlah saya membantu."
Li Cu
melirik dan heran ia melihat gadis yang suaranya merdu dan halus, sikapnya
sopan santun, serta ilmu pedangnya lihai, akan tetapi mukanya hitam menutupi
kecantikannya, maju membantunya.
"Anak,
kau siapakah?" tanyanya sambil menangkis senjata Thian Te Cu yang kini
tiba-tiba menyambar ke arah Hui Kauw.
"Bibi,
dia itu Kwee Hui Kauw, dia... eh, dia... eh..." sukarlah Kun Hong
menjawab. Mana mungkin dia mengakui Hui Kauw begitu saja sebagai isterinya di depan
ibu Cui Bi?
"Kun
Hong, lawan bibimu itu kuat juga, mari kita cepat bereskan mereka ini!"
kata Beng San yang juga melirik ke arah isterinya.
"Baik,
Paman."
Terdengar
bunyi nyaring beradunya senjata dan sukar dikatakan siapa yang lebih dahulu
berhasil karena tahu-tahu tubuh Ka Chong Hoatsu roboh mandi darah, juga tubuh
Kui Biauw roboh dengan dada tertembus tongkat sedangkan Kui Ciauw meski pun
sempat mengelak namun sebuah tendangan membuat ia terguling dan pedangnya
terlepas dari pegangan. Kun Hong tidak menyerang lagi, membiarkan Kui Ciauw
merayap bangun dan wanita ini pun menangis sambil menyambar tubuh kedua orang
adiknya dan memeluki tubuh itu.
Kun Hong
menarik napas panjang. "Penyesalan selalu akhirnya datang terlambat! Ahhh,
kenapa orang baru menyesal kalau sudah terlambat?"
Kui Ciauw
menghentikan tangisnya dan matanya memandang sedih pada Lui-kong Thian Te Cu
yang juga roboh sesudah Beng San melompat dan menyerang tiga empat jurus
membantu isterinya. Semua temannya sudah tewas atau melarikan diri. Matanya
beringas memandang ke arah Kun Hong, Hui Kauw, Li Cu, dan Beng San yang berdiri
dengan sikap mengancam. Kemudian ia berkata,
"Kun
Hong, apa bila kau memberi kesempatan kepadaku untuk mengubur jenazah kedua
adikku, tunggulah beberapa tahun lagi, aku Ngo Kui Ciauw bersumpah akan
mencarimu dan menagih hutang!"
Kun Hong
menggeleng-gelengkan kepala. "Nasibku! Terikat karma, bunuh membunuh.
Sesukamulah, aku hanyalah merobohkan orang yang menyerangku, kalau sekarang kau
tidak menyerangku, aku pun tidak akan mengganggumu."
Kui Ciauw
lalu memanggul jenazah kedua orang adiknya dan sambil menangis ia lari dari
tempat itu. Rambutnya terurai panjang dan darah dari tubuh dua orang adiknya
mengalir membasahi muka dan pakaiannya, sungguh menyeramkan sekali.
Beng San
menghela napas. "Kun Hong, yang seorang itu karena hari ini kau ampuni,
kelak akan mendatangkan banyak persoalan kepadamu."
Kun Hong
hanya menunduk. Beng San lalu menghampiri dan merangkulnya. "Kun Hong, kau
sudah tahu akan mala petaka yang menimpa kami?"
"Kun
Hong, tahukah kau bahwa Cui Sian...," dengan suara mengandung isak Cia Li
Cu ikut berkata pula.
"Tenanglah,
Bibi, Paman, saya sudah tahu semuanya, malah adik Cui Sian juga sudah berada
dalam keadaan selamat."
Li Cu
menjerit dan menangis sambil merangkul Kun Hong. Girangnya bukan main dan ia
tertawa-tawa sambil menangis, menciumi Kun Hong sambil berkata,
"Anak
baik... kau anak baik."
Adapun Beng
San mengusap dua butir air mata dengan kepalan tangan sambil tersenyum
mengerling ke arah isterinya. "Hampir saja... aku kehilangan
segala-galanya..." Dia teringat akan ancaman isterinya yang tidak akan
sudi melihatnya tanpa Cui Sian!
Dengan
singkat Kun Hong menceriterakan keadaan Cui Sian yang sudah tertolong oleh
Sin-eng-cu Lui Bok dan kini berada di tempat yang aman. Kedua suami isteri itu
berterima kasih sekali pada kakek yang aneh itu dan menyatakan hendak datang
sendiri menjemput puteri mereka setelah bertemu kembali dengan Sin Lee dan Kong
Bu.
Kiranya Sin
Lee dan Kong Bu bersama isteri mereka juga sudah berada di tempat itu, sedang
membantu para pejuang yang menggempur barisan pengawal dan para anggota
Ngo-lian-kauw. Karena adanya bantuan mereka inilah maka sebentar saja
pertempuran itu selesai. Ngo-lian-kauw dibasmi habis, para pengawal banyak yang
tewas dan sebagian pula melarikan diri.
Kiranya Sin
Lee bersama isterinya yang membawa surat rahasia dan menuju ke utara, di tengah
perjalanan bertemu dengan pasukan dari utara yang dipimpin orang kepercayaan
Raja Muda Yung Lo. Ketika mendengar tentang surat rahasia, panglima itu
menunjukkan surat kuasa dan mengusulkan untuk mengirim surat rahasia itu
melalui sepasukan prajurit pilihan agar surat itu dapat cepat dibawa kepada
Raja Muda Yung Lo. Sin Lee dan isterinya tidak keberatan, malah begitu mendengar
tentang niat pasukan itu yang hendak menggempur Ngo-lian-kauw dan mendengar
pula bahwa banyak jagoan dari istana berada di sana, mereka segera ikut. Di
tengah perjalanan pasukan yang terdiri dari dua ratus orang prajurit ini
bertemu dengan Kong Bu dan Li Eng. Bukan main girang hati empat orang itu dan
Kong Bu bersama isterinya juga serta merta ikut pula dalam barisan.
Pertempuran
hebat terjadi, akan tetapi karena pihak utara lebih besar jumlahnya, apa lagi
dibantu oleh empat orang gagah itu, dengan mudah pihak Ngo-lian-kauw dan
pengawal istana dapat dihancurkan. Kebetulan sekali pada saat pertempuran
terjadi, Beng San yang mencari keterangan dari orang-orang Pek-lian-pai tentang
musuh-musuhnya, sampai juga di situ. Ada pun Cia Li Cu bukan kebetulan berada
di situ, karena sesungguhnya nyonya perkasa ini sudah lebih maju dalam
penyelidikannya dari pada suaminya. Ia sudah mendapat tahu bahwa penyerbu
Thai-san-pai adalah orang-orang Ching-coa-to, malah ia sudah sampai di
Ching-coa-to. Dari para pelayan pulau yang kosong itu ia mendapat keterangan
bahwa semua orang gagah pergi ke Ngo-lian-kauw, maka ia segera menyusul
musuh-musuhnya.
Tak perlu
diceriterakan lagi betapa gembira dan girangnya hati para orang gagah ini yang
saling berjumpa di tempat yang tidak disangka-sangka, apa lagi mendengar berita
tentang selamatnya Cui Sian. Hanya saja, kegembiraan mereka terganggu oleh
kabar mengenai kematian Song-bun-kwi. Karena memang sejak dahulu keturunan
orang-orang gagah, Beng San mengajak putera-puteranya untuk membantu Raja Muda
Yung Lo yang dianggap benar berdasarkan surat wasiat peninggalan kaisar tua.
Berkat bantuan orang-orang gagah seperti mereka inilah maka perjuangan Yung Lo
akhirnya berhasil merebut kekuasaan hanya dengan perang selama empat tahun saja.
Dia naik tahta pada tahun 1403, menggantikan Kaisar Hui Ti yang hanya berkuasa
dari tahun 1399 sampai 1403.
Walau pun
Kun Hong tidak dapat turut membantu peperangan, akan tetapi dia menunda
pernikahannya dengan Hui Kauw sampai perang selesai, barulah pernikahan
dirayakan secara amat meriah di Hoa-san-pai. Semua orang gagah dari semua
penjuru memerlukan datang, karena ketika itu nama Pendekar Buta sudah amat
terkenal di dunia kang-ouw. Terharu sekali hati orang tua Kun Hong, yaitu ketua
Hoa-san-pai dan semua orang gagah yang hadir menyaksikan pasangan pengantin
itu. Yang pria buta, yang wanita bermuka hitam. Lebih-lebih terharu hati para
orang tua mengingat akan ucapan Hui Kauw ketika di depan para orang tua, Kun
Hong berkata, "Sebetulnya, mukanya itu hanya terkena racun dan aku sanggup
mengobati sampai sembuh dan lenyap warna hitamnya."
Dan
bagaimana jawaban Hui Kauw? Dengan suara halus gadis ini berkata, "Tidak
perlu. Memang sebaiknya begini, agar kami berdua masing-masing mempunyai cacat,
lagi pula, mukaku boleh hitam atau putih, apa bedanya baginya? Aku tidak ingin
kelihatan cantik oleh mata orang lain, kecuali hanya cantik untuk
suamiku."
Akan tetapi
ketika sepasang mempelai dipertemukan dan mereka berdua berkesempatan bicara
berdua di dalam kamar pengantin, Hui Kauw terpaksa tidak dapat mempertahankan
terus pendapatnya itu. Dengan suara berbisik mereka bercakap-cakap. Begini…..
"Hui Kauw, kau harus membiarkan aku mengobati mukamu."
"Aku
tidak ingin mukaku putih. Aku tidak ingin memamerkan kecantikan pada orang lain
kecuali kepadamu."
"Hushh,
bukan untuk pamer, tetapi kau ingat, ibunya bermuka hitam, anaknya pun akan
bermuka hitam. Apa kau suka bila kelak melihat anakmu mukanya menjadi hitam
seperti pantat kuali?"
"Ihhhhh,
ceriwis kau, tak tahu malu...!" Akan tetapi akhirnya ia tidak berani
mencegah suaminya mengobati mukanya sehingga pulih menjadi putih bersih dan
membuat dia tampak cantik seperti bidadari, karena tentu saja dia takut
kalau-kalau betul seperti kata suaminya bahwa kelak muka anaknya akan menjadi
hitam!
Tiga bulan
kemudian Kun Hong dan isterinya pergi ke Liong-thouw-san di mana mereka
kemudian tinggal. Di situ pula Yo Wan atau A Wan putera janda Yo, dididik
sebagai murid. Sin-eng-cu Lui Bok bersama rajawali emas sudah pergi lagi
melakukan perantauan yang tiada tujuan tertentu.
Bagaimana
dengan Tan Loan Ki? Gadis lincah jenaka yang kehilangan orang tuanya akan
tetapi sebagai penggantinya mendapatkan jodohnya, Nagai Ici jagoan samurai
Jepang itu, ikut dengan suaminya ke Jepang. Tempat tinggal warisan ayahnya
masih ia pertahankan. Kadang kala ia bersama suaminya menyeberangi lautan untuk
tinggal selama beberapa bulan atau tahun di tempat lama. Seperti juga Kun Hong,
Loan Ki dan suaminya hidup bahagia.
Bun Wan
putera Kun-lun-pai yang ternyata adalah seorang kepercayaan Raja Muda Yung Lo,
mendapat penghargaan dan diberi kedudukan sebagai panglima muda. Orang gagah
yang mengorbankan sebelah matanya ini juga mengawini Hui Siang dan hidup mulia
dan megah di kota raja utara.
Tan Beng San
ketua Thai-san-pai, setelah menjemput puterinya di Liong-thouw-san dan
menghaturkan terima kasih kepada Sin-eng-cu Lui Bok, lalu kembali ke
Thai-san-pai yang sudah dirusak oleh orang-orang jahat. Suami isteri ini sangat
bahagia karena Kun Hong mendapat seorang jodoh yang baik sebagai pengganti
puteri mereka dan mereka amat berterima kasih karena biar pun sudah buta,
ternyata Kun Hong selalu membela mereka.
Keadilan
Tuhan selalu akan mendatangkan rahmat serta keselamatan jiwa raga bagi
orang-orang yang menjunjung tinggi dan melaksanakan kebenaran dalam hidupnya,
dan selalu mendatangkan hukum dan kehancuran bagi mereka yang menyeleweng dari
pada kebenaran serta mengabdi kepada nafsu dan kesenangan pribadi,
menyengsarakan dan menindas orang lain demi kepentingan diri sendiri.
T A M A T
Serial Selanjutnya : Jaka Lola
********** Sahabat Karib.com **********
Terima kasih telah membaca Serial ini