Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Kemelut Kerajaan Mancu
Jilid14
"KENAPA"
Bukankah engkau sudah berjanji kepada gurumu untuk
mengambilnya dariku dan menyerahkannya kepada yang
berhak"
Aih, engkau sungkan dan malu, ya"
Karena kita belum saling mengenal"
Sekarang begini saja, Han Bu.
Kita bersahabat dan kalau engkau mau bersikap manis dan baik kepadaku, mau menjadi kekasihku, aku akan menyerahkan Tek-pai itu padamu.
Bagaimana, mudah, bukan?"
Aih, engkau sungkan dan malu, ya"
Karena kita belum saling mengenal"
Sekarang begini saja, Han Bu.
Kita bersahabat dan kalau engkau mau bersikap manis dan baik kepadaku, mau menjadi kekasihku, aku akan menyerahkan Tek-pai itu padamu.
Bagaimana, mudah, bukan?"
Wajah pemuda
itu berubah merah sekali seperti udang direbus dan
dia hanya menggelengkan kepalanya kuat-
kuat tanpa dapat mengeluarkan suara.
kuat tanpa dapat mengeluarkan suara.
Pada saat
itu terdengar derap kaki kuda dan muncul dua orang
penunggang kuda yang segera menghentikan kuda mereka
setelah tiba di dekat Ang-mo Niocu dan Si Han Bu.
Pemuda ini
tentu saja terkejut bukan main ketika mengenal bahwa
seorang di antara dua orang penunggang kuda itu adalah
Lam-hai Cin-jin yang amat lihai.
Orang ke dua adalah seorang pemuda berusia sekitar dua puluh enam tahun yang tampan gagah berpakaian indah dan pesolek. Dia itu bukan lain adalah Wu Kongcu (Tuan Muda Wu) yang bernama Wu Kan, putera dari Jenderal Wu Sam Kwi yang kini menjadi raja kecil di Y unnan-hu dan menguasai sebagian daerah Se-cuan.
Orang ke dua adalah seorang pemuda berusia sekitar dua puluh enam tahun yang tampan gagah berpakaian indah dan pesolek. Dia itu bukan lain adalah Wu Kongcu (Tuan Muda Wu) yang bernama Wu Kan, putera dari Jenderal Wu Sam Kwi yang kini menjadi raja kecil di Y unnan-hu dan menguasai sebagian daerah Se-cuan.
Melihat
mereka, Ang-mo Niocu segera memberi hormat kepada
Lam-hai Cin-jin dan Wu Kan yang sudah melompat turun dari
atas kuda mereka.
"Suhu...!"
Si Han Bu
semakin kaget. Kiranya Lam-hai Cin-jin adalah guru dari
Ang-mo Niocu. Kalau muridnya saja sudah amat lihai,
apalagi gurunya!
"Yi Hong, apa hasilmu diutus Ayah pergi ke utara" Engkau tidak membawa hasil apa pun dan kudengar engkau hanya berfoya-foya, bermain gila dengan banyak laki-laki!" Wu Kan berkata dengan ketus, dengan suara mengandung kecemburuan karena memang sebelum pergi ke utara, Ang- mo Niocu telah menjadi kekasihnya.
Mendengar ucapan itu, wajah Ang-mo Niocu menjadi merah, bukan karena malu melainkan karena penasaran dan marah. "Wu Kongcu, enak saja engkau bicara. Aku yang bersusah payah, terkadang terancam bahaya maut, dan engkau yang hanya enak-enakan tinggal di rumah malah menuduh yang bukan-bukan!"
"Yi Hong, jangan kurang ajar terhadap Wu Kongcu!" bentak Lam-hai Cin-jin kepada muridnya. Ang-mo Niocu tidak berani membantah namun jelas ia merasa penasaran dan marah kepada Wu Kan. "Bagus, bocah setan ini sudah muncul di sini. Yi Hong,
kenapa
engkau tidak cepat menangkap atau membunuhnya?"
Lam-hai
Cin-jin menegur ketika dia melihat dan mengenal Si Han Bu.
"Suhu, saya sedang membujuk agar dia suka ikut ke Yunnan-hu,"
jawab Ang-mo Niocu Yi Hong.
"Hemm, agaknya pemuda ini juga seorang kekasihmu!
Hayo mengaku
saja! Dia harus mampus!" bentak Wu Kan marah dan
pemuda ini sudah mencabut pedangnya dan menyerang
Han Bu dengan tusukan yang dilakukan dengan
marah. Akan
tetapi putera Jenderal Wu Sam Kwi ini hanya lagaknya
saja yang hebat, namun sesungguhnya tingkat ilmu silatnya
belum berapa tinggi, ditambah tubuhnya juga lemah karena dia
terlalu banyak pelesir dan kerjanya hanya berfoya- foya.
Maka, dengan mudah Han Bu miringkan tubuh mengelak, lalu tangan kirinya menepuk pundak pemuda pesolek itu.
Maka, dengan mudah Han Bu miringkan tubuh mengelak, lalu tangan kirinya menepuk pundak pemuda pesolek itu.
"Plakk!"
Tubuh Wu Kan terputar dan terhuyung, tentu akan terbanting
roboh kalau tidak cepat dipegang Lam-hai Cin-jin.
Kakek pendek
gendut ini marah sekali.
"Berani engkau menyerang Wu Kongcu?"
Dia lalu
menggerakkan tangan kirinya, diputarnya dan telapak
tangan kiri itu berubah kehitaman lalu dia memukulkan
telapak tangannya itu dengan dorongan yang mendatangkan
angin dahsyat ke arah Han Bu. Si Han Bu adalah murid
terkasih dari Im-yang Sian-kouw yang selain tinggi ilmu
silatnya juga memiliki keahlian ilmu pengobatan.
Maka sekali pandang saja maklumlah Han Bu bahwa lawan menggunakan pukulan beracun. Dia telah mempelajari dari gurunya cara menghadapi pukulan beracun, maka dia cepat menelan sebutir pel merah sambil melompat ke kiri untuk menghindar.
Ketika kakek itu mengejar dan memukul lagi dengan Hek-tok-ciang (Tangan Racun Hitam), kini dia yang sudah menelan obat penguat atau penawar terhadap pukulan
beracun,
berani menyambut dengan dorongan kedua tangannya.
"Wuuutt... dess...!" Tubuh Han Bu terpental karena dia kalah kuat, akan tetapi dia tidak sampai terluka. Dia bangkit lagi, menyambut pukulan susulan sehingga terpental lagi. Hal ini terjadi berulang-ulang sampai lima kali. Biarpun dia tidak menderita luka dalam, namun tetap saja Han Bu merasa nyeri terbanting sampai lima kali.
"Wuuutt... dess...!" Tubuh Han Bu terpental karena dia kalah kuat, akan tetapi dia tidak sampai terluka. Dia bangkit lagi, menyambut pukulan susulan sehingga terpental lagi. Hal ini terjadi berulang-ulang sampai lima kali. Biarpun dia tidak menderita luka dalam, namun tetap saja Han Bu merasa nyeri terbanting sampai lima kali.
Tiba-tiba terdengar bunyi ledakan. "Dorrr...!" Untung bagi Han Bu tembakan yang dilepas Wu Kan itu meleset.
Kiranya pemuda putera Jenderal Wu Sam Kwi itu memiliki sebuah senapan kuno yang dia beli dari pedagang senjata api yang mulai beredar di sebelah selatan daratan Cina, kebanyakan dibawa oleh bangsa Portugis.
"Jangan
bunuh dia!" Ang-mo Niocu berteriak. Karena sikap Wu Kan
menimbulkan kebenciannya, maka ia semakin tertarik dan condong
membela Si Han Bu.
Setelah berkata demikian, ia melompat dan bermaksud merampas senjata api itu dari tangan Wu Kan. Akan tetapi senapan itu dapat diisi dua buah peluru. Melihat Ang-mo Niocu membela Han Bu, hati Wu Kan menjadi semakin panas dan dia mengarahkan moncong senapannya kepada gadis itu dan menarik pelatuknya.
Setelah berkata demikian, ia melompat dan bermaksud merampas senjata api itu dari tangan Wu Kan. Akan tetapi senapan itu dapat diisi dua buah peluru. Melihat Ang-mo Niocu membela Han Bu, hati Wu Kan menjadi semakin panas dan dia mengarahkan moncong senapannya kepada gadis itu dan menarik pelatuknya.
"Dorrr...!" T ubuh Ang-mo Niocu terpental ke belakang dan roboh terkapar. Pada saat itu kembali tubuh Han Bu nyaris menjadi korban pukulan Hek-tok-ciang. Pemuda itu cepat melompat untuk mengelak.
Sementara itu, Wu Kan kini mulai mengisi senapannya kembali dengan dua butir peluru. Setelah diisi peluru dan dikokang, dia hendak menembak Han Bu.
Akan tetapi
pada saat itu, berkelebat dua sosok bayangan orang.
Muncullah Ui Yan Bun dan Wan Kim Hui.
Seperti kita ketahui, setelah berhasil mendapatkan obat untuk menyembuhkan Nyonya Wan Cun, Yan Bun dilatih ilmu silat oleh Wan Cun yang amat lihai. Karena Yan Bun sudah memiliki dasar yang kuat, maka hanya beberapa bulan saja dia sudah memperoleh kemajuan pesat hasil penggemblengan datuk itu.
Seperti kita ketahui, setelah berhasil mendapatkan obat untuk menyembuhkan Nyonya Wan Cun, Yan Bun dilatih ilmu silat oleh Wan Cun yang amat lihai. Karena Yan Bun sudah memiliki dasar yang kuat, maka hanya beberapa bulan saja dia sudah memperoleh kemajuan pesat hasil penggemblengan datuk itu.
Wan Cun menyatakan bahwa yang diajarkan itu sudah cukup, maka Yan Bun lalu berpamit untuk pulang ke rumah ayahnya, yaitu Ui Houw yang tinggal di Lembah Sungai Kuning. Ketika pemuda itu hendak berangkat, Wan Kim Hui rewel ingin ikut.
Ia ingin
sekali mengembara dan kebetulan ada Y an Bun yang dianggap
sebagai kakaknya sendiri.
Semula ayah ibunya melarang karena mereka maklum akan kekerasan hati dan
Semula ayah ibunya melarang karena mereka maklum akan kekerasan hati dan
kebinalan
watak puterinya, akan tetapi Kim Hui nekat dan menangis.
Akhirnya orang tuanya mengijinkan karena di sana ada Ui Yan
Bun yang mereka percaya akan dapat mengawasi puteri
mereka. Kim Hui hanya diperbolehkan merantau selama dua tahun
dan paling lama dua tahun ia harus kembali ke Bukit
Siluman di dekat kota Lam-hu.
Demikianlah, karena ingin melihat-lihat pemandangan, dua orang muda ini mengambil jalan memutar dan pada siang hari itu kebetulan mereka melihat Ang-mo Niocu ditembak jatuh dan Han Bu sedang diancam bahaya.
"Itu Han Bu...!" Kim Hui berseru dan gadis ini sudah memungut sebuah batu sebesar kepalan tangannya dan sambil berlari cepat ia menghampiri tempat itu dan melontarkan batu itu ke arah Wu Kan yang amat dibencinya.
Tepat sekali
batu itu mengenai kepala Wu Kan pada saat Wu Kan
menarik pelatuk senapannya hendak menembak Han Bu.
"Dorrr...!" Tembakan itu ke atas dan tubuh Wu Kan terpelanting roboh. Dia jatuh pingsan karena pelipisnya dihantam batu yang dilontarkan Kim Hui.
"Dorrr...!" Tembakan itu ke atas dan tubuh Wu Kan terpelanting roboh. Dia jatuh pingsan karena pelipisnya dihantam batu yang dilontarkan Kim Hui.
Lam-hai
Cin-jin marah sekali.
Kakek gendut
ini menggerakkan ruyungnya yang terduri, menyerang Kim Hui.
Melihat ini,
Ui Yan Bun cepat mencabut pedangnya dan meloncat
menghadang lalu menangkis serangan ruyung yang ditujukan
kepada Kim Hui itu.
"Tranggg...!" Benturan ruyung dengan pedang membuat pedang Yan Bun terpental. Melihat bahwa kakek yang dikenalnya dengan baik itu kini bertanding dengan Yan Bun, Kim Hui cepat membantu Yan Bun dan mengeroyok Lam-hai Cin-jin dengan pedangnya.
"Lam-hai Cin-jin kakek tua bangka jahat mau mampus! Aku harus membalaskan ibuku yang pernah kaupukul dengan curang!" Gadis itu masih merasa dendam mengingat ibunya, Nyonya Wan Cun, pernah dilukai Lam-hai Cin-jin dengan pukulan Hek-tok-ciang yang hampir saja merenggut nyawa ibunya. Untung Yan Bun dapat mencarikan obat penawarnya dari Im-yang Sian-kouw.
Melihat ada seorang pemuda dan seorang gadis datang menolongnya dan kini mengeroyok Lam-hai Cin-jin, Han Bu yang melihat Ang-mo Niocu roboh mandi darah, segera melompat dan berjongkok menghampiri gadis itu.
Bagaimanapun juga gadis yang dikenal sebagai iblis betina itu
tadi telah
membelanya, bahkan menyelamatkan nyawanya.
"Bagaimana
keadaanmu...?" tanya Han Bu dengan khawatir melihat
gadis itu rebah dengan napas terengah-engah dan
muka pucat
sekali. Aneh, dalam keadaan sekarat dan kesakitan
seperti itu, melihat Han Bu berjongkok dan menanyakan
keadaannya, Ang-mo Niocu tersenyum, walaupun senyumnya tampak aneh karena ia
pun menahan rasa nyeri
yang hebat. Bibirnya bergerak dan terdengar ia
berkata
lirih dan terputus-putus.
"Si Han
Bu... terima kasih.... yang kau.... cari itu....kusembunyikan...
di kuil tua... belasan li... di sebelah utara dari....
sini...." Setelah berkata demikian, ia terkulai dan tewas.
Mendengar
ini, Han Bu percaya dan girang karena dia tidak harus
menggeledah tubuh mayat gadis itu untuk mencari Tek-pai. Dia
menengok dan melihat betapa dua orang
penolongnya
masih bertanding seru melawan Lam-hai Cin-jin.
Pada saat
itu barulah dia memandang mereka dengan jelas dan hampir
dia bersorak karena dia segera mengenal Ui Yan Bun dan Wan
Kim Hui yang dulu pernah datang di Bukit Kera untuk
mintakan obat bagi Nyonya Wan Cun kepada gurunya,
Im Yang
Sian-kouw! Tadi dia tidak mengenal mereka karena dia masih
terkejut mendapat serangan tembakan dari Wu Kan kemudian
melihat betapa Ang-mo Niocu roboh tertembak.
Kini, me
lihat bahwa yang menolongnya adalah mereka, dia vepat
meloncat dan menyerang dengan sepasang senjatanya,
yaitu pedang
Im-yang-kiam yang hitam putih di tangan kanan dan
Im-yang-po-san, kipas sakti di tangan kiri.
"Ha-ha,
Saudara Ui Yan Bun dan Nona Wan Kim Hui yang baik, mari
kita hajar kakek yang jahat ini!" katanya dan
serangannya
amat dahsyat membuat Lam-hai Cin-jin yang sudah merasa
kewalahan dikeroyok Yan Bun dan Kim Hui,menjadi
semakin repot. Apalagi melihat Wu Kan menggeletak
tak
bergerak, hatinya merasa khawatir bukan main. Putera Jenderal
atau Raja Muda Wu Sam Kwi itu pergi berdua dengan dia maka
dialah yang bertanggung jawab atas keselamatannya. Lam-hai Cin-jin adalah
seorang datuk selatan yang amat
setia kepada Wu Sam Kwi yang dia anggap sebagai
seorang
patriot pahlawan bangsa yang patut dihormati. Maka dia pun
menjadi Koksu (Guru Negara) di Yunnan-hu, menjadi penasihat
Jenderal Wu Sam Kwi. Kini melihat keadaan Wu
Kan, baginya
yang terpenting adalah menyelamatkan putera raja muda
itu.
Tiba-tiba ruyungnya diputar cepat sehingga tiga orang muda yang mengeroyoknya menghindar ke belakang
Tiba-tiba ruyungnya diputar cepat sehingga tiga orang muda yang mengeroyoknya menghindar ke belakang
dan pada
saat itu, tangan kirinya membanting bahan peledak.
"Darr...!"
Benda itu me ledak dan asap hitam mengepul
dibarengi
bau yang menyengat hidung.
"Awas
asap beracun!" kata Han Bu yang mengenal asap semacam itu.
Ketiganya cepat melompat ke belakang
menjauhi
asap. Kesempatan itu dipergunakan Lam-hai Cin-jin
untuk
melompat ke arah menggeletaknya Wu Kan,menyambar
tubuh pemuda itu, memanggulnya dan membawanya lari terlindung asap hitam
beracun.
Setelah asap
membuyar, tiga orang muda itu sudah kehilangan
Lam-hai Cin-jin dan Wu Kan.
Wan Kim Hui
membanting-banting kakinya ke atas tanah.
"Sialan!
Aku belum dapat membunuh si jahanam Wu Kan dan
kakek iblis
Lam-hai Cin-jin!"
"Ah,
agaknya engkau mengenal mereka itu, Nona Wan?" tanya Han
Bu. "Tentu saja aku mengenal mereka! Juga aku mengenal iblis betina
Ang-mo Niocu Yi Hong itu. Anehnya, engkau ternyata sahabat baik
iblis betina itu!" Wan Kim Hui berkata dengan sikap galak.
"Eh, aku sama sekali bukan sahabatnya!
"Hemm,
kalau bukan sahabatnya kenapa tadi engkau dibelanya
dan engkau menghampirinya?"
Mendengar
suara gadis ini, diam-diam Han Bu merasakan sesuatu
kegembiraan aneh dalam hatinya. Benarkah
pendengarannya
bahwa Wan Kim Hui cemburu"
"Aku
justru mengejar dan mencarinya untuk merampas kembali
Tek-pai milik Huang-ho Sian-li pemberian dari
mendiang
Kaisar."
"Huang-ho
Sian-li?" Ui Yan Bun berseru kaget akan tetapi juga girang.
Lalu dia menahan diri dan berkata, "Harap kalian
berdua tunda
dulu pembicaraan. Di sana ada sebuah mayat yang harus
kita kubur sebagaimana layaknya, baru nanti kita
bicara agar
jangan simpang siur."
"Aku
setuju dengan pendapat Saudara Ui Yan Bun," kata Han Bu. Wan
Kim Hui cemberut. "Aku heran sekali melihat kalian.
Apakah semua
laki-laki begitu" Kalau melihat gadis cantik lalu jalan
pikirannya menjadi ngawur?"
"Eh,
engkau yang ngawur, Nona. Kenapa kaukatakan bahwa jalan
pikiran kami ngawur?"
"Itu
sudah jelas. Ang-mo Niocu Yi Hong adalah seorang iblis betina
jahat dan cabul, jelas merupakan musuh. Mengapa
kalian kini
hendak merawat mayatnya" Apakah karena ia cantik?"
"Kim Hui, jangan menuduh sembarangan!" Yan Bun berkata dengan suara
mengandung teguran.
"Yang jahat adalah perbuatannya ketika ia masih hidup. Sekarang yang
menggeletak
itu adalah jenazah seorang manusia.
Sudah menjadi kewajiban kita sesama manusia untuk mengurus
Sudah menjadi kewajiban kita sesama manusia untuk mengurus
penguburannya
dengan semestinya.
Kalau kita membiarkan
Kalau kita membiarkan
jenazah itu
begitu saja dan membiarkannya membusuk atau dimakan
binatang buas, maka kita kehilangan prikemanusiaan
kita."
Mendengar ucapan Yan Bun, Kim Hui diam saja, tidak
berani
membantah. Memang terhadap Ui Yan Bun yang sopan,
serius dan
pendiam, Kim Hui tidak berani banyak membantah,
apalagi
karena orang tuanya telah menyerahkannya kepada
Yan Bun
untuk diawasi, dan dengan sungguh-sungguh
ayahnya
telah memesan kepadanya agar dalam segala hal
suka menurut
dan tunduk kepada Yan Bun. Ia hanya duduk di
bawah pohon
dengan muka cemberut, menonton ketika Yan
Bun dan Han
Bu menghampiri mayat Ang-mo Niocu lalu
mereka
berdua menggali lubang. Akan tetapi setelah lubang
digali cukup
dalam dan Yan Bun memberi tanda agar mereka
berdua
mengangkat mayat itu untuk dimasukkan lubang
galian, Han
Bu berkata, "Nanti dulu, Saudara Yan Bun."
Han Bu lalu
menghampiri Kim Hui yang masih duduk di
bawah pohon.
Sambil tersenyum Han Bu memandang wajah
manis yang
cemberut menjadi semakin manis itu, dan
sebelum dia
mengeluarkan kata-kata, Kim Hui sudah
menegurnya.
"Mau apa kau?"
Han Bu
berkata, "Nona Wan Kim Hui, aku ingin minta
pertolonganmu,
harap engkau tidak menolak."
Kim Hui
mengerutkan alisnya. Ia mengerling ke arah Yan
Bun dan
melihat betapa Yan Bun berdiri dan memandang ke
arah mereka,
agaknya ikut mendengarkan. "Hemm, minta
pertolongan
kepadaku" Pertolongan apa"
Aku tidak mau kalau
Aku tidak mau kalau
disuruh
bantu menguburkan mayat itu!"
"Ah,
bukan, Nona. Saudara Ui Y an Bun dan aku yang akan
menguburnya.
Aku hanya minta sukalah engkau menggeledah
pakaian
jenazah itu untuk mencari kalau-kalau Tek-pai yang
harus
kutemukan itu disimpannya dalam pakaiannya."
"Menggeledah
mayat" Huh, kenapa engkau menyuruh aku"
Mengapa
tidak kaugeledah saja sendiri?"
Wajah Han Bu
berubah merah. "Aih, bagaimana aku dapat
melakukan
hal itu, Nona Wan" Itu adalah mayat seorang
wanita, dan
aku seorang laki-laki, sungguh tidak pantas kalau
aku yang
menggeledah. Aku tidak berani.
Mungkin saja Tek-
Mungkin saja Tek-
pai itu ia
simpan di balik pakaiannya."
Kim Hui
masih hendak "jual mahal", akan tetapi Yan Bun
berkata
kepadanya. "Kim Hui, apa yang dikatakan Han Bu itu
benar. Tidak
pantas kalau engkau menolak permintaan
bantuan yang
begitu ringan. Lakukanlah penggeledahan
seperti yang
dimintanya."
Tentu saja
Yan Bun mendesak Kim Hui karena selain apa
yang
diucapkan pemuda tinggi besar tampan dan gagah itu
benar, juga
dia ingin sekali Tek-pai itu dapat ditemukan
karena
menurut Han Bu tadi, Tek-pai itu milik Huang-ho Sian-
li. Milik T
hian Hwa! T erbayanglah wajah gadis yang sejak dulu
dicintanya,
satu-satunya wanita yang pernah dan masih
dicintanya!
Dengan bersungut-sungut Kim Hui bangkit berdiri lalu
menghampiri
jenazah Ang-mo Niocu Yi Hong yang tampak
seperti
orang tidur dan wajahnya tampak cantik. Kemudian ia
melakukan
penggeledahan, memeriksa semua bagian pakaian,
meraba-raba
seluruh tubuh jenazah itu. Apa yang
ditemukannya
dari kantung dan balik pakaian, ia keluarkan
dan ternyata
pada jenazah itu hanya ditemukan beberapa
potong emas,
perhiasan wanita, dan beberapa macam obat
luka seperti
yang biasa dibawa orang-orang kang-ouw yang
melakukan
perjalanan. Tek-pai itu tidak ditemukan. Akan
tetapi Han
Bu tidak kecewa, bahkan diam-diam dia merasa
terharu
karena Ang-mo Niocu ternyata tidak berbohong
kepadanya.
Dia semakin percaya bahwa Tek-pai itu pasti akan
ditemukan di
kuil tua yang letaknya belasan li di sebelah utara
tempat itu.
Dia minta
kepada Kim Hui untuk mengembalikan semua
benda itu ke
dalam saku baju mayat itu, kemudian bersama
Yan Bun
mengubur mayat Ang-mo Niocu. Setelah lubang itu
ditimbuni
tanah, Yan Bun bertanya.
"Saudara
Han Bu, engkau tidak berhasil mendapatkan
kembali T
ek-pai itu?"
Han Bu
tersenyum. "Aku yakin akan bisa mendapatkan
kembali,
karena sebelum ia meninggal tadi, Ang-mo Niocu
sudah
mengaku bahwa ia menyembunyikan Tek-pai itu di
sebuah kuil
tua, belasan li di sebelah utara...."
"Kalau
begitu mengapa engkau masih minta aku untuk
menggeledah
mayat itu"!" Kim Hui menegur marah.
"Maaf,
Nona. Tadi aku masih belum percaya akan
keterangan
Ang-mo Niocu, aku khawatir ia berbohong dan
menyembunyikan
Tek-pai itu di tubuhnya," kata Han Bu
sambil
menjura di depan Kim Hui. Aneh, gadis itu hilang
marahnya,
bahkan kini tersenyum kecil.
"Hemm,
jadi engkau juga tahu bahwa ia jahat dan tidak
percaya
padanya?" katanya.
"Han
Bu, Kim Hui, mari kita cepat mencari kuil itu. Tek-pai
itu penting
sekali, kita harus segera menemukannya. Setelah
itu baru
kita bicara!"
Mereka lalu
mengerahkan gin-kang dan berlari seperti
terbang
cepatnya menuju ke utara. Menjelang senja, mereka
dapat
menemukan sebuah kuil tua yang tidak dipakai lagi dan
keadaannya
sudah banyak rusak, di dalam hutan tepi jalan
umum. Segera
mereka bertiga melakukan pemeriksaan dan
pencarian.
Akhirnya, di balik sebuah arca Jilai-hud yang sudah
berlumut,
Kim Hui menemukannya.
"Inikah
Tek-pai itu?" tanyanya sambil mengacungkan
sepotong
bambu kecil yang ada tulisan dan cap Kaisar.
"Benar,
kalau tidak salah itulah Tek-pai!" kata Han Bu
gembira.
"Uuhh, kalau tidak tahu bilang saja tidak tahu! Bilang
benar, akan
tetapi kalau tidak salah! Benar atau salah"
Apakah
engkau pernah melihatnya?" Kim Hui menegur galak.
Han Bu
tersenyum. "Terus terang saja, aku baru kali ini
melihatnya.
Akan tetapi kalau itu bukan Bambu Tanda Kuasa
(Tek-pai),
lalu apa?"
Yan Bun
menghampiri dan mengambil benda itu dari
tangan Kim
Hui, lalu memeriksa dan membaca tulisannya.
"Tidak
salah, inilah Tek-pai yang kaucari, Han Bu. Sekarang
mari kita
bicara. Kita mengaso dan melewatkan malam di sini.
Nah,
ceritakanlah apa yang telah terjadi dan yang kaualami,
Han
Bu." Mereka duduk di bagian belakang kuil itu, satu-satunya
bagian yang
masih ada atapnya di situ sehingga lantainya juga
bersih
setelah mereka menggunakan sapu tua untuk
menyingkirkan
debu. Mereka duduk di atas lantai batu, saling
berhadapan
dan Han Bu mulai menceritakan semua
pengalamannya.
Dia bercerita pula tentang pemberontakan
yang
dilakukan Pangeran Cu Kiong yang dibantu banyak datuk
kang-ouw, di
antaranya yang terpenting adalah Lam-hai Cin-
jin dan
susioknya (paman gurunya) yang bernama Ngo-beng
Kui-ong dan
amat sakti. Betapa dia ditawan setelah berhasil
membebaskan
Huang-ho Sian-li dari tahanan Pangeran Cu Kiong.
Kemudian betapa pertempuran terjadi dan akhirnya
para
pemberontak dapat dihancurkan, Pangeran Cu Kiong
dapat
ditawan. Dia sendiri dibebaskan dari penjara oleh
gurunya,
Im-yang Sian-kouw dan Huang-ho Sian-li.
"Masih
untung engkau tidak dibunuh, Han Bu," kata Yan
Bun.
"Ah, tidak. Kakek Ngo-beng Kui-ong itu yang mempertahankan agar aku tidak
dibunuh karena dia ingin menyandera
aku agar guruku, Im-yang Sian-kouw mau
dibujuk
olehnya untuk membantu Jenderal Wu Sam Kwi."
"Lalu
bagaimana engkau dapat bertemu dengan Ang-mo
Niocu,
Lam-hai Cin-jin dan Wu Kan itu?" tanya Wan Kim Hui
yang merasa
tertarik juga mendengar cerita pemuda itu.
"Ketika
aku mendengar pengakuan Pangeran Cu Kiong
bahwa
Tek-pai yang dia rampas dari Huang-ho Sian-li ketika
gadis itu
dia tawan bahwa dia telah menyerahkan Tek-pai
kepada
Ang-mo Niocu dan dibawa ke selatan untuk diserahkan
kepada
Jenderal Wu Sam Kwi di Yunnan-hu, aku segera
melakukan
pengejaran. Sampai lama aku mengikuti jejaknya
dan
berganti-ganti kuda. Akhirnya aku dapat menyusulnya
sampai di
sini. Aku minta Tek-pai itu darinya dan ketika kami
bersitegang,
muncullah kakek dan pemuda yang membawa
senapan
tadi."
"Lam-hai
Cin-jin adalah Koksu dari Yunnan-hu dan
merupakan
seorang yang setia kepada Wu Sam Kwi dan
pemuda itu
adalah Wu Kan, putera Wu Sam Kwi. Dia pemuda
brengsek tak
tahu malu!"
"Teruskan
ceritamu, Han Bu."
"Lam-hai
Cin-jin, seperti juga Ang-mo Niocu, sudah pernah
melihat aku
ketika aku ditawan mereka setelah aku berhasil
membebaskan
Huang-ho Sian-li. Maka dia lalu menyerangku.
Aku melawan
dan terus terang saja, he-he, aku tidak mampu
menandingi
kakek itu. Aku terdesak dan tiba-tiba pemuda itu,
Wu Kan
namanya" Dia menembakku dengan senjata api,
untung
luput. Lalu terdengar tembakan kedua kalinya dan...
Ang-mo Niocu
yang ditembaknya
karena gadis
itu menghalanginya membunuhku."
"Wah,
musuh malah membelamu, ya" Bagus, senang ya
dibela
seorang gadis cantik dan genit?" kata Kim Hui mengejek.
Wajah Han Bu
berubah kemerahan dan dia tersenyum
masam.
"Ah, aku sendiri tidak tahu mengapa ia membelaku.
Mungkin ia
mulai menyadari akan ketersesatannya."
"Sadar"
Ang-mo Niocu menyadari kesesatannya" Ih,
engkau tidak
mengenal siapa perempuan itu! Ia iblis betina
yang keji
sekali!"
"Hui-moi,
biarkan Han Bu melanjutkan ceritanya," Y an Bun
menegur dan
Kim Hui terdiam.
"Pada
saat itu, kalian muncul dan aku berterima kasih
sekali
kepada kalian. Kalau kalian tidak muncul, aku tentu
sudah
mati."
"Han
Bu, ceritamu menarik sekali. Sukurlah kalau
pemberontakan
itu sudah dapat dihancurkan. Sekarang Tek-
pai sudah
dapat kautemukan, apakah engkau akan
memberikannya
kepada Huang-ho Sian-li?"
"Tentu
saja, aku akan segera kembali ke kota raja dan
menyerahkan
Tek-pai ini kepadanya."
"Wah,
engkau tentu amat mencinta wanita yang berjuluk
Huang-ho
Sian-li itu! Baru julukannya saja Sian-li (Dewi atau
Bidadari),
tentu orangnya cantik sekali.
Engkau telah
Engkau telah
membebaskannya,
rela ditawan untuknya, dan sekarang
bersusah
payah mencari T ek-pai untuknya!" kata K im Hui dan
kembali Han
Bu merasa senang karena suara gadis itu
mengandung
kecemburuan!
"Kim
Hui, engkau tidak boleh bicara seperti itu!" Yan Bun
menegur.
"Tidak mengapa, Yan Bun. Dugaannya salah, aku kagum
kepada
Huang-ho Sian-li yang gagah perkasa dan dipercaya
oleh
mendiang Kaisar, itu bukan berarti bahwa aku
mencintanya,"
kata Han Bu.
"Han
Bu, di mana adanya Huang-ho Sian-li sekarang?" tanya Yan
Bun.
"Eh,
Bun-ko, apakah engkau mengenalnya?" tanya Kim Hui,
sekarang ia
menyebut koko (kakak) kepada Y an Bun, setelah
melakukan
perjalanan bersamanya.
"Dulu
aku mengenalnya bahkan menjadi sahabat baik,
bahkan boleh
kukatakan bahwa ia masih Sumoi-ku (Adik Seperguruanku)
karena aku pernah menerima gemblengan
ilmu dari
gurunya. Di mana ia sekarang, Han Bu?"
"Tentu
saja di rumah ayahnya."
"Ayahnya..."
Siapakah Ayah Huang-ho Sian-li?" tanya Ui
Yan Bun
dengan jantung berdebar.
"Ayahnya
adalah Pangeran Ciu Wan Kong, adik mendiang Kaisar Shun
Chi."
Hampir saja
Yan Bun mengeluarkan seruan kaget, akan
tetapi
segera ditahannya. Kepahitan memenuhi hatinya.
Kiranya
Thian Hwa yang hanya dia kenal sebagai murid dan
cucu Thian
Bong Sianjin, yang kabarnya sudah kehilangan
ayah ibunya,
bahkan yang tidak pernah mengenal siapa ibu
dan ayahnya,
kini telah bertemu dengan ayah kandungnya.
Dan ayahnya
itu adalah adik Kaisar, seorang pangeran! Dia
merasa
betapa dirinya dipisahkan semakin jauh dari gadis
yang
dikasihinya itu.
"Kenapa
kalian diam saja" Cerita tentang diriku sudah habis
kuceritakan,
sekarang giliran kalian. O ya, aku masih ingin
sekali
mengetahui bagaimana engkau mengenal baik Lam-hai
Cin-jin dan
putera Wu Sam Kwi tadi, Nona Kim Hui?"
"Sudahlah,
jangan pakai nona-nona segala, bikin aku
canggung
saja, Han Bu. Tentu saja aku mengenal mereka
karena
dahulu aku dan orang tuaku juga tinggal di Y unnan-hu.
Ayah bahkan
merupakan sahabat baik Lam-hai Cin-jin karena
keduanya
sama-sama dianggap sebagai datuk persilatan di
selatan.
Akan tetapi ayahku tidak mau mendukung Wu Sam
Kwi sehingga
ayah tidak disukai oleh mereka, juga Lam-hai
Cin-jin lalu
memutuskan hubungan dengan ayahku.
Nah, ketika Wu Kan, pemuda brengsek putera Wu Sam Kwi itu
Nah, ketika Wu Kan, pemuda brengsek putera Wu Sam Kwi itu
melamarku,
kami menolak. Hal ini membuat mereka marah.
Pada suatu
hari, ketika orang tuaku tidak berada di rumah,
Wu Kan
datang menggangguku. Dia kuhajar babak belur, juga
belasan
orang pengawal kuhajar. Hal ini agaknya membuat
Lam-hai
Cin-jin marah dan ketika aku dan Ayah tidak berada
di rumah,
dia datang menyerang dan melukai ibuku.
Semenjak itu, kami sekeluarga pergi meninggalkan Yunnan-hu dan
Semenjak itu, kami sekeluarga pergi meninggalkan Yunnan-hu dan
tinggal di
Bukit Siluman. Nah, sekarang kau mengerti
mengapa aku
mengenal baik jahanam-jahanam itu."
"Wah,
ceritamu menarik sekali, Kim Hui!" kata Han Bu
tanpa
menyebut nona lagi. "Dan engkau sungguh hebat,
berani
menghajar putera Jenderal Wu Sam Kwi yang sekarang
menjadi raja
muda!"
"Jangankan
hanya putera raja muda, biar putera raja setan
pun kalau
berani menggangguku, akan kulawan dan kuhajar!"
kata gadis
itu dengan tegas. Han Bu merasa aneh mengapa
dia amat
tertarik kepada gadis yang galak ini. Belum pernah
dia tertarik
oleh seorang gadis seperti yang dirasakannya
terhadap Kim
Hui.
Sementara
itu, Yan Bun hampir tidak mendengarkan apa
yang
diceritakan Kim Hui. Pertama, karena dia sudah
mendengar
kisah itu dan kedua karena hati dan pikirannya
masih penuh
dengan kejutan mengenai diri Huang-ho Sian-li
yang
ternyata puteri seorang pangeran!
"Yan
Bun, mengapa engkau diam saja" Kukira sekarang
giliranmu
untuk menceritakan pengalamanmu," kata Han Bu.
Yan Bun
sadar dari lamunannya dan menghela napas
panjang.
"Tidak banyak yang dapat kuceritakan."
"Ah,
Bun-ko, engkau belum pernah bercerita kepadaku
tentang
Huang-ho Sian-li itu! Ceritakanlah," kata Kim Hui.
"Sudah
kukatakan tadi bahwa kami pernah menjadi
sahabat
baik, bahkan aku pernah digembleng ilmu oleh gurunya.
Akan tetapi kami lalu berpisah dan sudah sekitar dua
tahun ini
kami tidak pernah saling bertemu. Aku bertemu
dengan adik
Wan Kim Hui dan bersamanya mencarikan obat
untuk ibunya
yang terkena pukulan beracun Lam-hai Cin-jin
dan kami
menghadap gurumu, Im-yang Sian-kouw.
Selanjutnya
kami kembali ke Bukit Siluman di dekat kota Lam-
hu dan di
sana aku memperdalam ilmu silatku di bawah
bimbingan
Paman Wan Cun, ayah Kim Hui. Begitulah ceritaku."
"Dan
sekarang kalian hendak pergi ke mana?"
"Sudah
lama aku meninggalkan rumah orang tuaku yang
tinggal di
Lembah Huang-ho. Aku hendak pulang ke rumah
orang
tuaku...."
"Aih,
Bun-ko, mari kita pergi ke kota raja lebih dulu. Aku
ingin sekali
melihat kota raja! Kebetulan sekali sekarang ada
Han Bu, kita
bertiga dapat pergi bersama!" Kim Hui
membujuk.
Yan Bun tampak ragu-ragu dan alisnya berkerut.
Sesungguhnya
dia sudah lama merasa rindu sekali untuk
dapat
bertemu Thian Hwa. Akan tetapi keinginannya itu selalu
dia tekan.
Untuk apa bertemu" Hanya akan menambah
kedukaannya
saja. Gadis itu sudah dengan terus terang
menyatakan
bahwa ia tidak dapat menerima cintanya, bahkan
dahulu
mengaku mencinta Pangeran Cu Kiong yang juga
dibencinya.
Dahulu saja Thian Hwa tidak dapat menerima dan
membalas
cintanya, apalagi sekarang setelah ternyata bahwa
ia puteri
seorang pangeran! Ia merasa takut bertemu Thian
Hwa, takut
kalau-kalau hatinya akan semakin menderita.
"Mari,
Yan Bun. Ucapan Kim Hui itu benar, lebih baik kita
bertiga
melakukan perjalanan bersama ke kota raja. Bukankah
engkau ingin
bertemu dengan sahabat lamamu, Huang-ho
Sian-li Ciu
Thian Hwa?" kata Han Bu membujuk. Tentu saja
hatinya
senang bukan main kalau dapat melakukan perjalanan
bersama Kim
Hui yang telah mencuri hatinya!
Yan Bun
menghela napas panjang, lalu menggelengkan
kepalanya.
"Tidak... aku... belum ingin bertemu dengannya."
"Tapi,
mengapa begitu, Bun-ko" Bukankah kaukatakan tadi
bahwa
Huang-ho Sian-li adalah seorang sahabat baikmu,
bahkan
terhitung Sumoi-mu?" Kim Hui mendesak. "Ayolah,
Bun-ko, aku
ingin sekali pergi ke kota raja. Ayah hanya
memberi
waktu dua tahun padaku dan aku ingin melihat kota
raja di mana
dahulu ayah pernah tinggal!"
Yan Bun
menggelengkan kepalanya dan wajahnya tampak
muram, lalu
dia berkata. "Begini saja, Hui-moi. Bagaimana
kalau engkau
pergi dulu ke kota raja bersama Han Bu" Aku
merasa yakin
bahwa sebagai murid Im-yang Sian-kouw, dia
tentu
seorang pendekar muda yang baik budi dan bijaksana
sehingga aku
percaya kepadanya. Dia pasti akan dapat
menjagamu."
Kim Hui
tampak gembira sehingga wajahnya berseri.
"Benarkah,
Bun-ko" Aku boleh pergi sendiri ke sana bersama
Han Bu"
Akan tetapi... nanti kalau Ayah mendengar bahwa
aku tidak
pergi bersamamu, Ayah akan marah...."
"Tidak,
Hui-moi. Kalau tahu bahwa pergimu bersama murid
Im-yang
Sian-kouw, beliau tidak akan marah. Setelah aku
mengunjungi
orang tuaku, kelak aku akan menyusul ke kota
raja."
"Ah, terima kasih, Bun-ko!" Kim Hui memegang tangan Yan
Bun dan
mengguncangnya sebagai ungkapan kegembiraan
dan terima
kasihnya. Setelah itu, ia lalu mengumpulkan kayu
kering dan
membuat api unggun di ruangan beratap namun
tak
berdinding itu. Han Bu tidak tinggal diam. Dia mencari
rumput
kering yang terdapat di bagian belakang kuil tua dan
menaburkan
rumput kering itu di lantai ruangan.
"Aku
lelah dan mengantuk, ingin tidur dulu!" kata Kim Hui
dan gadis
ini langsung merebahkan diri di atas tumpukan rumput
kering dengan miring membelakangi dua orang
pemuda itu.
Melihat ini, Han Bu cepat mengambil sehelai baju
luar yang
lebar dari buntalan pakaiannya, menghampiri gadis
itu dan
menyelimuti tubuhnya dengan baju luar yang lebar.
"Pakai
ini agar jangan kedinginan," katanya.
Kim Hui
menerimanya akan tetapi diam saja. Melihat sikap
pemuda ini,
Yan Bun diam-diam merasa lega dan girang.
Agaknya Han
Bu merasa suka kepada Kim Hui yang galak itu!
Siapa tahu
di antara mereka dapat timbul perasaan cinta! Dia
sendiri
duduk di dekat api unggun, masih melamunkan Thian
Hwa. Malam
semakin tua. Yan Bun masih duduk melamun di
depan api
unggun. Kemudian Han Bu yang tadinya duduk
bersila dan
melakukan samadhi, menghampiri dan duduk
dekat Y an
Bun menghadapi api unggun yang mengusir hawa
dingin malam
itu, juga mengusir nyamuk yang mulai
menyerang.
"Yan Bun, maafkan pertanyaanku ini, yang keluar dari hati
seorang
sahabat yang ikut prihatin. Kalau boleh aku
mengetahui,
ada apakah antara engkau dan Huang-ho Sian- li?"
Yan Bun tampak kaget. "Mengapa engkau bertanya
demikian?"
"Maafkan,
kalau hal ini menyinggungmu, boleh kita lupakan
dan tidak
usah kaujawab."
"Aku
tidak tersinggung dan marah kepadamu, Han Bu. Aku
hanya merasa
heran mengapa engkau tiba-tiba menanyakan
hal
itu." Yan Bun melirik ke arah Kim Hui yang tidur pulas dan
hatinya lega
karena dia tidak ingin orang lain mendengarkan
dia
membicarakan tentang Huang-ho Sian-li.
"Begini,
sahabatku. Ketika aku memberitahu bahwa Huang-
ho Sian-li
Ciu Thian Hwa adalah puteri pangeran, engkau terkejut
sekali walaupun ingin kausembunyikan. Wajahmu
pucat dan
engkau tampak berduka. Aku melihat setiap kali aku
menyebut
Huang-ho Sian-li, ada cahaya kerinduan di matamu,
akan tetapi
juga terselubung kedukaan. Kelirukah dugaanku
bahwa engkau
mencintanya, Yan Bun?"
"Mengapa
pula engkau menduga begitu?"
"Ah, ia
adalah seorang gadis yang amat cantik jelita dan
gagah
perkasa, Yan Bun! Apa anehnya kalau seorang
pendekar
seperti engkau jatuh cinta padanya" Apalagi engkau
sendiri
berkata bahwa kalian pernah menjadi sahabat karib."
"Hemm,
kalau begitu, tidak akan aneh pula kalau engkau
juga jatuh
cinta kepadanya, bukan?" Yan Bun membalas.
Han Bun
tertawa akan tetapi menekan suaranya agar tidak
mengganggu
Kim Hui yang sedang tidur.
"Ha-ha, memang
"Ha-ha, memang
tidak aneh,
Yan Bun. Akan tetapi dugaanmu keliru. Aku belum
mengenalnya,
bahkan pertemuan antara kami hanya sekilas
saja. Selain
itu, selama ini aku belum pernah jatuh cinta...."
Tanpa
disadarinya, Han Bu melirik ke arah Kim Hui.
"Hemm,
belum pernah jatuh cinta, akan tetapi saat ini
engkau jatuh
cinta padanya, bukan?" Yan Bun menuding ke
arah Kim
Hui. Wajah Han Bu berubah kemerahan dan dia menjadi salah
tingkah.
"Eh, itu... ah, aku tertarik kepadanya sejak pertemuan
pertama
dulu, akan tetapi... cinta"
Entahlah, aku tidak tahu,
Entahlah, aku tidak tahu,
Yan Bun.
Akan tetapi, agaknya cintamu terhadap Huang-ho
Sian-li
menimbulkan kesedihan bagimu, mengapa kalau aku
boleh
mengetahui?"
Yan Bun
menghela napas. Pemuda ini cerdik sekali dan
agaknya
sukar untuk menyembunyikan isi hatinya dari Han Bu.
"Baiklah,
Han Bu. Karena aku mempercayakan Kim Hui
kepadamu,
dan aku percaya sepenuhnya padamu, maka boleh
engkau
mendengar rahasiaku yang belum pernah kuceritakan
kepada orang
lain ini. Benar, sejak dahulu aku mencinta
Huang-ho
Sian-li, bahkan guru kami dan orang tuaku juga
sudah
menyetujui sepenuhnya kalau kami berjodoh. Akan
tetapi ia
mencintaku sebagai saudara atau sahabat baik.
Selama ini
aku masih mengharapkan sewaktu-waktu cintanya
akan berubah
dan ia bersedia menjadi pasangan hidupku.
Akan tetapi,
ah... mendengar darimu bahwa Huang-ho Sian-li
adalah
puteri seorang pangeran, habislah harapanku. Kalau
dulu saja ia
tidak dapat membalas cintaku, apalagi sekarang
sebagai
puteri pangeran dan bahkan kepercayaan Kaisar...!
Karena
itulah, aku tidak berani bertemu dengannya, Han Bu,
karena hal
itu tentu hanya akan membuat hatiku semakin
sakit."
Han Bu merasa terharu dan sejenak mereka berdua
memandang ke
api unggun sambil merenung. Betapa besar
kekuasaan
cinta terhadap manusia. Betapa aneh lika-likunya
mempermainkan
manusia yang seolah tidak percaya terhadap
kekuasaan
yang mampu melambungkan manusia menikmati
kesenangan
tingkat tertinggi atau sebaliknya menenggelamkan manusia ke dalam kesusahan
tingkat
terendah.
Berulang-ulang dia melirik ke arah Kim Hui.
Keadaan
manakah yang akan dialami nanti apabila dia jatuh
cinta kepada
gadis itu"
Sesungguhnya,
kalau dikaji benar, cinta atau kasih itu sama
sekali
tidaklah aneh. Kita manusia sendiri dengan hati akal
pikiran kita
yang mengada-ada ini yang membuat cinta
menjadi
aneh, terkadang membahagiakan terkadang menyengsarakan. Sesungguhnya, cinta
adalah perasaan yang
luhur dan
suci murni, cinta dirasakan oleh seluruh mahluk
hidup, baik
yang bergerak maupun yang tidak. Bukan hanya
manusia
mengenal cinta. Hewan pun mengenal cinta. Bahkan
tanaman
mengenal tangan-tangan manusia yang merawatnya dengan
cinta. Hidup ini sendiri cinta!
Tanpa cinta hidup ini
Tanpa cinta hidup ini
tidak ada
artinya. Cinta memang banyak ragamnya, ada cinta
atau kasih
terhadap Tuhan, kasih terhadap sesama manusia,
kasih
terhadap sanak keluarga, kasih terhadap negara dan
bangsa, juga
kasih terhadap sesama hidup seperti hewan dan
tanaman.
Namun pada hakekatnya hanya ada dua macam kasih. Kasih murni bercahaya dan hidup apabila jiwa diterangi
Namun pada hakekatnya hanya ada dua macam kasih. Kasih murni bercahaya dan hidup apabila jiwa diterangi
Sinar Illahi
atau Kasih Tuhan sehingga hati kita dipenuhi oleh
Kasih.
Buahnya adalah perbuatan atau tindakan tanpa pamrih
untuk diri
sendiri, yang hanya didorong rasa belas kasih, membuat
orang yang memiliki Kasih ini siap berkorban, tanpa
mementingkan
diri sendiri, tanpa mengharapkan imbalan jasa,
dan bukan
timbul dari hati akal pikiran yang dikendalikan nafsu.
Yang ke dua adalah cinta atau kasih yang didorong oleh nafsu keinginan kita untuk kepentingan dan kesenangan atau
Yang ke dua adalah cinta atau kasih yang didorong oleh nafsu keinginan kita untuk kepentingan dan kesenangan atau
keuntungan
diri kita sendiri. Cinta seperti ini penuh dengan
pamrih,
walaupun terselubung ketat.
Ingin dipuji, ingin diberi
Ingin dipuji, ingin diberi
imbalan
jasa, baik itu imbalan lahir maupun batin, pendeknya,
cinta
seperti ini bersumber demi kesenangan pribadi.
Cinta karena
dorongan nafsu daya rendah inilah yang dapat
mendatangkan
kesenangan ataupun kesusahan. Memang
selalu
demikian sifat nafsu atau si-aku.
Kalau diuntungkan
Kalau diuntungkan
senang kalau
dirugikan susah. Dalam hubungan cinta antara
pria dan
wanita juga demikian. Cinta nafsu ini selalu
mendatangkan
sengsara kalau tidak tercapai atau gagal,
sebaliknya
akan mendatangkan kebahagiaan kalau berhasil
baik.
Sesungguhnya kalau kita renungkan benar-benar, tanda-
tanda kedua
macam cinta itu mudah dikenal. Cinta murni atau
Kasih sejati
dapat dikenal sebagai berikut.
Kasih sejati
terhadap Tuhan yang kita kenal me lalui kitab-
kitab suci
ialah ketaatan dan penyerahan diri tanpa pamrih
apa pun.
Cinta terhadap negara dan bangsa berupa
perjuangan
mempertahankan kesejahteraan dan martabat negara dan
bangsa dengan rela berkorban dan tanpa pamrih apa pun
untuk diri sendiri. Cinta terhadap sesama manusia
didasari
belas kasih dan rela berkorban demi kebahagiaan yang
dikasihi.
Sebaliknya ciri cinta nafsu adalah: Kasih terhadap Tuhan
didasari
ketakutan akan hukuman, penuh pamrih mendapat
imbalan
sekarang di waktu hidup ataupun kelak sesudah mati
yang pada
hakekatnya hanya pementingan diri mencari
keenakan dan
menolak ketidak-enakan diri sendiri. Cinta
terhadap
negara dan bangsa yang didasari nafsu berupa
ambisi
pribadi dan perjuangannya sesungguhnya untuk
mencapai
ambisinya sehingga apabila perjuangan itu berhasil,
dirinyalah
yang akan menikmati dan mabok kemenangan, lupa
akan
kepentingan nusa dan bangsa. Cinta terhadap sesama
manusia juga
merupakan cinta terhadap diri sendiri, mencinta
dengan
harapan imbalan yang lebih besar seperti orang berjual-beli.
Beli dengan cinta mengharapkan memperoleh kesenangan. Maka kalau kesenangan itu tidak diperoleh,
Beli dengan cinta mengharapkan memperoleh kesenangan. Maka kalau kesenangan itu tidak diperoleh,
cintanya pun
entah lari ke mana!
Pada
keesokan harinya, mereka pun berpisah. Si Han Bu pergi ke
kota raja bersama Wan Kim Hui, sedangkan Ui Yan Bun pergi
seorang diri menuju ke Lembah Sungai Kuning, ke
tempat
tinggal Ui Houw yang berjuluk Si Ular Air, dahulu
merupakan
kepala bajak sungai namun bukan gerombolan
bajak yang
jahat. Mereka bahkan menjadi pelindung para
pedagang
yang mengangkut dagangan mereka melalui Sungai Kuning
dengan menerima upah sekedarnya. Mereka itu pantas disebut
pengawal pengiriman barang dagangan daripada bajak
sungai.
Dengan adanya Si Ular Air Ui Houw dan anak buahnya, lalu lintas perdagangan di Sungai Kuning menjadi
aman dari
gangguan para bajak dan perampok.
Karena
mereka memang tidak pernah melakukan
perampokan
ataupun pemerasan dengan kekerasan, tidak
pernah
melakukan kejahatan, maka baik para pendekar maupun para
komandan pasukan keamanan tidak pernah
memusuhi
mereka.
Ketika Han
Bu dan Kim Hui tiba di gedung Pangeran Ciu
Wan Kong
mereka disambut gembira sekali oleh seisi rumah
karena Han
Bu berhasil membawa Tek-pai yang kalau terjatuh
ke tangan
orang lain yang jahat dapat membahayakan pemerintah.
Akan tetapi kegembiraan mereka tidaklah sebesar keterkejutan dan kegembiraan hati Han Bu ketika dia melihat
Akan tetapi kegembiraan mereka tidaklah sebesar keterkejutan dan kegembiraan hati Han Bu ketika dia melihat
bahwa kini
gurunya telah bertemu kembali dengan suami dan puterinya,
dan tinggal menjadi satu bersama keluarganya di gedung
Pangeran Ciu Wan Kong, suaminya.
Pertemuan
itu menjadi semakin akrab karena di situ
terdapat
pula Kim Hui yang pandai bicara dan tidak malu-
malu.
Apalagi K im Hui sudah mengenal Im-yang Sian-kouw. Ia
pun merasa
kagum sekali melihat Huang-ho Sian-li yang cantik
dan gagah.
"Enci Thian Hwa, tahukah engkau bahwa aku telah
berkenalan
dan menjadi sahabat koko Ui Yan Bun, sahabat
baikmu
itu?"
Thian Hwa
terkejut karena tidak mengira sama sekali
bahwa gadis
lincah itu mengenal Yan Bun. "Aih, benarkah" Di
mana dia
sekarang dan bagaimana keadaannya?"
Baik Kim Hui
maupun Han Bu melihat betapa wajah Thian
Hwa berseri
dan matanya bersinar-sinar.
"Ah,
dia baik-baik saja, Enci Thian Hwa."
"Kim
Hui, ceritakan bagaimana engkau dapat berkenalan dengan
Bun-ko." Thian Hwa bertanya sambil menatap wajah
gadis itu
dengan penuh selidik. Gadis ini manis sekali dan
lincah.
Bukan tidak mungkin Yan Bun jatuh cinta kepada Kim Hui,
walaupun ia melihat ada keakraban dan kemesraan
antara Kim
Hui dan murid ibunya, yaitu Si Han Bu.
"Ceritanya
memang lucu," kata Kim Hui. "Ibuku menderita
luka parah
akibat pukulan Hek-tok-ciang yang dilakukan si jahat
Lam-hai Cin-jin.
Ayah dan aku membawa ibu mengungsi
Ayah dan aku membawa ibu mengungsi
dari
Yunnan-hu dan tinggal di Bukit Siluman dekat kota Lam- hu. Ketika
itu aku mendengar ada seorang sin-she (tabib) di Lam-hu, maka
aku lalu pergi ke sana dan menculik tabib
itu...."
"Menculik?" Huang-ho Sian-li berseru heran.
Kim Hui
tersenyum. "Maksudku, eh, aku memaksa dia agar
ikut aku ke
puncak Bukit Siluman untuk mengobati Ibuku.
Tidak
tahunya, sin-she itu mempunyai seorang keponakan
yang lihai,
yaitu Ui Y an Bun dan dia menyusul ke tempat kami.
Tabib Ui
Tiong itu tidak mampu menyembuhkan Ibu dan
mengatakan
bahwa yang dapat mengobati adalah Bu Beng
Kiam-sian di
Bukit Kera. Yan Bun sanggup mencarikan obat untuk Ibu,
akan tetapi dengan janji kelak Ayah mengajarkan
ilmu s ilat
kepadanya. Dia berangkat dan aku ikut. Kami berdua menuju ke
Bukit Kera dan... eh, Bibi Im-yang Sian-kouw ini
yang memberi
obat dan aku sempat... eh, berkelahi melawan Si Han Bu
ini!
Demikianlah, aku bukan hanya sahabat baik Ui Yan Bun, akan tetapi dia juga saudara seperguruanku karena
Demikianlah, aku bukan hanya sahabat baik Ui Yan Bun, akan tetapi dia juga saudara seperguruanku karena
dia menerima
gemblengan ilmu s ilat dari Ayahku."
Thian Hwa
tampak senang mendengar cerita Kim Hui itu. Ia
ikut merasa
gembira mendengar bahwa Yan Bun telah
memperdalam
ilmu silatnya dan berada dalam keadaan baik.
Akhir-akhir
ini ia memang seringkali terkenang kepada sahabat
lamanya itu
dan membayangkan semua kebaikannya, terutama
karena pemuda itu telah mengaku cinta kepadanya,
yang ketika
itu ditolaknya.
Pada sore
harinya, Pangeran Ciu Wan Kong dan isterinya,
Im-yang
Sian-kouw Cui Eng, meninggalkan tiga orang muda
itu dan
mereka bicara dengan lebih leluasa. Kesempatan ini
tidak
disia-siakan oleh Wan Kim Hui.
"Enci
Thian Hwa, aku sungguh merasa amat iba kepada
Kakak Ui Yan
Bun."
Thian Hwa
memandang heran. "Ah, mengapa, Kim Hui" Dia
kenapakah,
sampai engkau merasa iba kepadanya?"
"Dia itu
telah menderita duka dan kecewa selama bertahun-tahun,
Enci."
"Eh"
Kenapa begitu?"
"Dia
menderita patah hati. Dia mencinta seorang gadis,
selama
hidupnya baru sekali itu dia jatuh cinta, akan tetapi gadis itu
menolak cintanya. Biarpun begitu, dia tetap
mencintanya.
Hanya seorang saja yang pernah dicintanya, masih
dicintanya sampai sekarang, dan yang akan tetap
dicintanya
sampai dia meninggal kelak.
Cintanya amat tulus, lahir batin, dan dia akan tetap setia sampai mati. Sungguh
Cintanya amat tulus, lahir batin, dan dia akan tetap setia sampai mati. Sungguh
menyedihkan
sekali. Aku selalu merasa heran mengapa ada gadis yang
menolak cinta yang demikian tulus dari seorang
pemuda gagah
perkasa dan tampan, seorang pendekar
budiman
seperti Kakak Ui Yan Bun!"
Wajah Thian
Hwa berubah agak pucat.
"Kim Hui, apakah
"Kim Hui, apakah
dia bilang
kepadamu, siapa gadis yang dicintanya itu?"
"Gadis
itu adalah seorang pendekar wanita, dan sekarang hati Bun-ko
semakin menderita karena dia putus asa, tidak ada harapan
sedikit juga baginya untuk berjodoh dengan
pendekar itu
setelah dia mendengar bahwa pendekar wanita
yang
dicintanya itu adalah seorang gadis bangsawan tinggi,
seorang
puteri pangeran...."
"Kau...!
Apa maksudmu...?" Thian Hwa berseru.
"Benar,
Enci Thian Hwa. Gadis yang dicintanya sampai
detik ini
adalah Huang-ho Sian-li Ciu Thian Hwa, engkau
sendiri."
"Kim
Hui! Engkau tidak boleh membuka rahasia! Jadi dulu
itu engkau
mendengarkan percakapan kami?" Si Han Bu
menegur
dengan kaget sekali.
Kim Hui
tersenyum. "Tentu saja, aku kan punya telinga?"
"Engkau
mencuri dengar!"
"Huh,
enak saja menuduh orang! Engkau dan Bun-ko
bercakap-cakap
ketika aku tidur, dan telingaku mendengar
percakapan
itu. Apakah telingaku salah" Engkau saja yang
bodoh,
mengira aku tidak dapat mendengar percakapan itu!"
Kim Hui membantah.
"Sudahlah,
tidak perlu dipersoalkan," kata Huang-ho Sian-li yang hatinya
masih tergetar oleh cerita Kim Hui. Yan Bun
demikian
mencintanya sehingga sampai kini masih tetap
mencintanya.
Sebetulnya ia pun merasa suka dan kagum
kepada Yan
Bun. Kalau dulu ia tidak dapat menerima cintanya,
karena ia
telah lebih dulu jatuh cinta kepada pangeran
brengsek Cu
Kiong!
"Si Han
Bu, benarkah Bun-ko berkata kepadamu seperti
yang
diceritakan Adik Kim Hui tadi?"
"Memang
benar demikian, akan tetapi maafkan aku, harap
jangan
katakan kepada Saudara Ui Yan Bun. Dia pesan agar
aku jangan
bercerita kepada siapa pun juga karena rahasia
hatinya itu
hanya kepadaku seorang sajalah dia ceritakan.
Siapa kira
Kim Hui ikut mendengarkan dan kini membuka
rahasia itu
langsung kepadamu."
"Tentu
saja!" kata Kim Hui membela diri. "Aku kan juga
perempuan"
Sudah sepatutnya aku memberitahu Enci Thian
Hwa bahwa
Kakak Ui Yan Bun sampai sekarang masih
mencintanya
dan selamanya akan tetap mencintanya karena
hanya ialah
satu-satunya wanita di dunia ini yang dicintanya!"
"Akan
tetapi Saudara Y an Bun akan marah dan menegurku
kalau sampai
dia tahu bahwa rahasianya disampaikan kepada
Enci T hian
Hwa!"
"Biar
dia marah kepadaku!" bantah Kim Hui.
Melihat dua
orang itu sudah s iap bertengkar lagi, Huang-ho
Sian-li
tersenyum dan melerai lagi.
"Sudahlah, dia tidak akan
"Sudahlah, dia tidak akan
marah. Biar
kelak aku yang menjelaskannya kalau dia marah
kepada
kalian."
"Ah,
benar, Enci Thian Hwa" Engkau hendak menemuinya?" Kim Hui berseru
girang sekali. "Aku senang
sekali kalau
engkau mau menemuinya! Kasihan sekali Bun-ko...!"
"Enci Thian Hwa, kalau engkau hendak menemuinya,
sekarang dia
pulang ke rumah ayahnya, katanya di Lembah
Huang-ho...,"
kata pula Han Bu.
Thian Hwa
mengangguk dan tersenyum. "Aku tahu tempat
itu."
Malam itu Thian Hwa sukar untuk dapat tidur nyenyak.
Bayangan Yan
Bun selalu tampak di depan matanya. Makin
dikenang,
semakin iba rasa hatinya terhadap pemuda itu.
Malam itu,
Pangeran Ciu Wan Kong dan isterinya juga
bercakap-cakap
dengan serius.
"Isteriku,
telah banyak engkau menceritakan kepadaku
tentang diri
Si Han Bu, muridmu yang kausayang sebagai anak
sendiri itu.
Sekarang setelah dia datang dan aku bertemu
dengan dia,
aku melihat kebenaran ceritamu. Dia seorang
pemuda yang
gagah dan tampan, juga wajahnya selalu cerah
berseri.
Selain itu, dia benar-benar gagah dan bertanggung jawab
sehingga usahanya mendapatkan kembali Tek-pai
berhasil
baik. Aku suka sekali kepada pemuda itu!"
"Sukurlah,
Pangeran. Memang dia itu seorang murid yang
baik, patuh
dan berbakti seperti anakku sendiri," kata Cui Eng.
"Karena
itu timbul gagasan yang amat baik dalam
pikiranku,
Eng-moi. Alangkah baiknya kalau Si Han Bu itu
menjadi
jodoh anak kita Ciu Thian Hwa! Mereka serasi sekali,
bukan"
Y ang pria gagah dan tampan, yang wanita cantik jelita
dan keduanya
sama-sama memiliki ilmu silat tinggi."
Im-yang
Sian-kouw terkejut karena gagasan suaminya itu
begitu
tiba-tiba dan sama sekali tidak terduga olehnya. "Si Han Bu
menjadi mantu kita?"
"Ya,
mengapa tidak, Isteriku" Bukankah engkau sudah
mengenal
betul wataknya yang baik sehingga kelak tidak akan
mengecewakan
kalau dia menjadi mantu kita?"
Im-yang
Sian-kouw mengerutkan alisnya, mengangguk-angguk
membenarkan penilaian suaminya terhadap Han Bu,
akan tetapi
ia tiba-tiba menggelengkan kepalanya.
"Nanti
dulu, Suamiku. Kita tidak boleh mengambil
keputusan
tergesa-gesa. Memang, kita berdua akan senang sekali kalau
dapat memiliki mantu seperti Han Bu yang pasti tidak akan
mengecewakan hati kita. Akan tetapi...."
"Akan
tetapi, apa" Apakah Han Bu tidak akan mau menjadi
suami anak
kita?"
Isterinya
menggelengkan kepalanya. "Tidak, aku yakin tidak. Han
Bu belum pernah jatuh cinta kepada seorang gadis,
dan aku
yakin kalau kita mengusulkan perjodohan itu, dia tidak akan
menolak.
. Apalagi agaknya dia juga kagum terhadap Thian Hwa. Ingat, ketika dia membela Thian Hwa,
. Apalagi agaknya dia juga kagum terhadap Thian Hwa. Ingat, ketika dia membela Thian Hwa,
membebaskannya
dari tahanan dan hampir saja tewas.
Kemudian,
dia pun langsung membantu Thian Hwa, mengejar
perempuan
yang membawa Tek-pai dan berhasil mendapatkannya
kembali. Aku yakin Han Bu akan senang
kalau dapat
menjadi suami Thian Hwa dan menjadi anak
mantuku."
"Nah, kalau begitu, tunggu apa lagi?"
"Pangeran,
biarpun belum lama aku berkumpul dengan
anak kita
Thian Hwa, agaknya aku sudah dapat mengenal wataknya.
Engkau yang lebih lama berkumpul dengannya
tentu juga
mengenalnya. Aku melihat anak kita itu memiliki
watak yang
keras. Maka dalam urusan perjodohannya, kita
harus
berhati-hati dan tidak tergesa-gesa mengambil
keputusan.
Biarlah ia yang memutuskan, apakah ia mau atau
tidak
berjodoh dengan Han Bu. Kita tidak mungkin dapat
memaksakan
keinginan kita dalam urusan perjodohan kepada
anak kita
yang keras hati itu."
Pangeran Ciu
Wan Kong mengangguk-angguk. Dia baru
teringat dan
menyadari akan kebenaran ucapan isterinya itu.
Dia juga
sudah tahu akan kekerasan hati puterinya.
Pada
keesokan harinya, suami isteri yang sudah tidak sabar
menanti
lebih lama lagi itu mengingat bahwa usia Ciu Thian
Hwa sudah
mendekati dua puluh dua tahun, sudah lebih dari
cukup dewasa
untuk menikah, lalu memanggil Thian Hwa
untuk diajak
bicara di dalam kamar mereka sehingga orang
lain tidak
ada yang dapat melihat atau ikut mendengarkan.
Melihat ayah
ibunya duduk berdampingan dan memberi
isyarat agar
ia duduk di depan mereka, Thian Hwa merasa
heran
sekali. Ia memandang kepada mereka dengan sinar
mata
bertanya sebelum duduk di depan mereka.
"Duduklah,
Thian Hwa. Kami ingin membicarakan urusan
yang amat
penting denganmu," kata Im-yang Sian-kouw.
"Untuk
sekarang ini, yang paling penting adalah penobatan
Pangeran
Kang Shi menjadi kaisar, Ibu. Dan hal itu baru akan
dilaksanakan
dua minggu lagi dan aku sudah siap untuk
mengawal
bersama keluarga Pangeran Bouw Hun Ki."
"Bukan
itu, Thian Hwa," kata Pangeran Ciu Wan Kong.
"Memang
tentu saja penobatan kaisar itu adalah urusan yang
sangat
penting, akan tetapi yang hendak kami bicarakan
adalah
urusan kepentingan pribadimu, dan kami juga."
"Aih,
Ayah dan Ibu membuat hatiku berdebar saja. Urusan
pribadi
apakah yang Ayah dan Ibu maksudkan?"
"Begini,
Thian Hwa. Ibu masih ingat bahwa engkau dulu
terlahir
pada Lak-gwe Cap-go (Bulan Enam Tanggal Lima
Belas),
berarti tiga bulan lagi engkau sudah berusia dua puluh
dua
tahun." Cui Eng berhenti dan memandang wajah
puterinya.
Wajah itu menjadi kemerahan dan Thian Hwa segera
berkata.
"Ah, terus terang saja, Ibu! Ibu dan Ayah hendak
membicarakan
urusan perjodohan, bukan?"
Pangeran Ciu
Wan Kong tertawa. "Ha-ha, engkau memang
anak pandai,
cerdas dan jujur, dapat menduga sebelum kami
bicara."
"Thian Hwa," kata Im-yang Sian-kouw Cui Eng. "Ibumu
melahirkan
engkau ketika berusia dua puluh tahun, menjadi
isteri ayahmu
ketika aku berusia sembilan belas tahun. Dan
engkau
sekarang sudah hampir dua puluh dua tahun, Anakku.
Sudah
sepantasnya kalau kami, ayah dan ibumu, ingin engkau
agar segera
menikah."
Hening
sejenak dan pada saat itu, ingatan Thian Hwa
melayang
kembali kepada masa lalu.
Selama tiga tahun ini ia
Selama tiga tahun ini ia
sudah
bertemu banyak pemuda dan banyak pula pendekar-
pendekar
muda yang bijaksana dan baik, yang agaknya
menaruh hati
kepadanya. Namun, ia merasa belum ada yang
ia terima
dan sekali ia menerima cinta seorang pemuda,
ternyata
cinta pemuda itu, ialah Pangeran Cu Kiong, palsu
adanya! Dan
kembali ia terkenang kepada Ui Yan Bun.
"Ayah
dan Ibu, saat ini aku belum memikirkan hal itu...."
"Kami
tahu, Nak. Memang tidaklah mudah untuk memilih
seorang
suami yang benar-benar baik.
Akan tetapi, ibumu ini
Akan tetapi, ibumu ini
mengenal
seorang pemuda yang kiranya tepat sekali untuk
menjadi
calon suamimu. Aku mengenalnya dengan baik dan
aku yakin
dia akan dapat menjadi seorang suami yang
sempurna
bagimu."
Thian Hwa
mengangkat pandang matanya dan menatap
wajah
ibunya. "Siapakah yang Ibu maksudkan?"
"Bukan
lain adalah muridku sendiri, Si Han Bu. Dia sudah
kuanggap
sebagai anakku sendiri maka kini alangkah baiknya
kalau dia
menjadi mantuku. Akan tetapi, tentu saja kami ingin
mendengar
dulu pendapatmu, Thian Hwa. Keputusannya kami
serahkan
kepadamu, kami hanya mengusulkan karena kami
yakin bahwa
pilihan kami itu tidak keliru."
Thian Hwa
tersenyum geli. Si Han Bu, pemuda yang lucu
dan agak
berandalan itu" Memang pemuda yang baik dan
gagah
perkasa, juga sudah beberapa kali menolongnya.
"Ibu
dan Ayah mudah saja menjodohkan orang. Apakah
sudah
bertanya kepada yang bersangkutan bahwa dia setuju
dengan usul
perjodohan itu?"
"Han
Bu" Aku yakin dia setuju, Thian Hwa. Selain dia belum
mempunyai
pilihan, belum pernah dekat dengan seorang
gadis, juga
dia sudah memperlihatkan pembelaannya yang
besar
terhadap dirimu, itu saja sudah merupakan tanda bahwa
dia cinta
padamu."
Thian Hwa
tersenyum. "Sekali ini dugaan Ibu meleset.
Bukan, Ibu,
bukan aku yang dicinta oleh Han Bu, melainkan
Wan Kim Hui
itulah!"
"Puteri
Lam-ong (Raja Selatan) Wan Cun" Ah, aku melihat
kedua orang
muda itu sering berbantahan seperti akan
bertengkar!"
kata Im-yang Sian-kouw.
"Tampaknya
memang begitu, Ibu. Akan tetapi di balik sikap
keras mereka
itu terdapat saling kagum dan sa ling mengasihi.
Aku dapat
melihat pada pandang mata mereka dan
menangkap
getaran dalam suara mereka. Mereka itu saling
mencinta,
Ibu. Dan aku kira, karena Han Bu itu sejak kecil
menjadi
murid Ibu, dan dia sudah yatim piatu, boleh dibilang dia itu
sebagai anak angkat Ibu. Karena itu, aku akan merasa
ikut bahagia
kalau Ibu melamarkan Kim Hui untuk menjadi isterinya!"
"Ah, benarkah
itu, Thian Hwa" Kalau memang benar, hal
itu mudah
saja diatur dan kami kira Lam-ong tidak akan
menolak
kalau aku mengajukan pinangan."
"Tentu
tidak, Ibu. Lam-ong Wan Cun dan isterinya tentu sudah
mendengar nama besar Ibu, bahkan Ibu yang dulu
memberi obat
untuk menyembuhkan Nyonya Wan Cun. Dan
akulah yang
akan mewakili Ayah dan Ibu untuk mengantarkan surat
lamaran ke Bukit Siluman di Lam-hu."
"Ah,
kalau begitu baik sekali!" kata Pangeran Ciu Wan
Kong.
"Akan tetapi engkau baru boleh pergi setelah upacara
penobatan
Kaisar dilaksanakan dengan baik dan selamat!"
"Tentu
saja, Ayah."
"Tapi
aku tetap tidak berani mengirim surat lamaran kalau
aku belum
mendengar bahwa K im Hui maupun Han Bu setuju
untuk saling
berjodoh. Coba panggil mereka sekarang juga,
Thian
Hwa!"
Thian Hwa
lari dengan gembira mencari Han Bu dan Kim
Hui yang
kemudian ia temukan sedang duduk di taman
gedung itu.
Mereka duduk di bangunan kecil berada di tengah
taman, duduk
menghadapi kolam ikan.
"Aih,
asyiknya!" Tiba-tiba Thian Hwa berkata sambil
tersenyum.
Sepasang
orang muda itu menoleh dan mereka segera
bangkit
berdiri. Maklum akan maksud seruan itu, keduanya
tersenyum
malu dan muka mereka berubah kemerahan.
"Ah,
Enci Thian Hwa! Mari duduk bersama kami, Enci.
Sungguh lucu
sekali melihat ikan-ikan emas itu berenang
berkejaran,
terutama yang gendut itu, kalau berenang
berlenggang-lenggok
seperti menari!" kata Kim Hui dan ia pun
tertawa.
"Nanti saja, sekarang yang terpenting, kalian berdua
dipanggil
ayah dan ibuku! Hayo, kita pergi ke sana!"
Kim Hui dan
Han Bu tentu saja merasa heran, akan tetapi
mereka tidak
berani menolak, lalu pergilah mereka bertiga ke
ruangan
dalam di mana Pangeran Ciu Wan Kong dan Im-yang
Sian-kouw
telah menanti.
"Paman
Pangeran dan Bibi, ada keperluan apakah
memanggil
saya dan Han Bu?" Kim Hui langsung bertanya.
Han Bu diam
saja, hanya mengambil tempat duduk ketika gurunya
memberi isyarat agar mereka duduk. Tiga orang
muda itu
mengambil tempat duduk di depan suami isteri itu.
"Han Bu
dan Kim Hui, kami telah merundingkan masalah
yang akan
kami bicarakan dengan kalian berdua. Karena kami
tahu benar
bahwa kalian berdua adalah orang-orang muda
yang terbuka
dan jujur, juga berani menghadapi apa pun,
maka kami
akan bicara secara terbuka dan mengharapkan
agar kalian
berdua juga menjawab sejujurnya, tanpa sungkan
dan malu.
Nah, aku akan mulai denganmu, Han Bu. Engkau
tahu bahwa
aku bukan saja menjadi gurumu, akan tetapi juga
sebagai
pengganti orang tuamu, maka aku harus memenuhi
tugasku
sebagai orang tua. Engkau sudah cukup dewasa dan
aku ingin
melihat engkau berumah tangga dan hidup bahagia.
Ketika aku
bertemu dengan Wan Kim Hui, aku merasa yakin
bahwa aku
telah menemukan seorang calon mantu yang baik.
Nah, aku
tidak akan memperpanjang kata akan tetapi jawablah
sejujurnya, Han Bu. Aku ingin menjodohkan engkau
dengan Wan
Kim Hui. Bagaimana, apakah engkau setuju?"
Wajah Han Bu
tiba-tiba menjadi merah sekali, dan dia tidak dapat
mengeluarkan suara. Dia menjadi salah tingkah. Belum
pernah
selama hidupnya dia mendapat "serangan" tiba-tiba seperti ini,
yang membuat dia tidak mampu bicara atau
berbuat
sesuatu, melainkan menatap wajah gurunya seperti
orang
kehilangan akal!
"Hayo,
Han Bu!" kata Thian Hwa, "Engkau bukan anak kecil
lagi,
bersikaplah jantan dan jawab pertanyaan Ibu dengan
gagah dan
sejujurnya!"
Han Bu
menarik napas panjang berulang-ulang untuk menenangkan hatinya
yang tegang dan pikirannya yang bingung Akhirnya dia dapat menjawab,
"Subo
(Ibu Guru), bagaimana mungkin teecu (murid)
berumah
tangga kalau keadaan teecu masih seperti ini" T eecu
tidak
memiliki pekerjaan, tidak memiliki penghasilan, tiada
memiliki
tempat tinggal" Bagaimana mungkin teecu berani...?"
"Ha-ha,
Han Bu!" kata Pangeran Ciu Wan Kong. "Engkau
memandang
ringan kepada kami!
Bukankah gurumu tadi sudah mengatakan bahwa engkau adalah murid dan juga sebagai anak kami sendiri"
Mengapa mengkhawatirkan
Bukankah gurumu tadi sudah mengatakan bahwa engkau adalah murid dan juga sebagai anak kami sendiri"
Mengapa mengkhawatirkan
tentang
keadaanmu" Rumah kami juga rumah anak-anak kami, atau
kalau engkau ingin memiliki rumah sendiri untuk membentuk
keluarga, tentu kami dapat menyediakannya
untukmu.
Juga tentang pekerjaan. Mudah saja bagiku untuk
mencarikan
pekerjaan yang cocok untukmu."
"Nah,
sekali lagi aku bertanya, Han Bu. Apakah engkau
setuju kalau
engkau kujodohkan dengan Wan Kim Hui"
Jawablah
sejujurnya!" kata Im-yang Sian-kouw.
Han Bu
melirik ke arah Kim Hui yang duduk di sampingnya.
Dia melihat
gadis itu
menundukkan mukanya yang kemerahan,
menunduk sampai dagunya menempel pada
lehernya dan
dia merasa kasihan. Dia dapat membayangkan
betapa besar
rasa malu dirasakan gadis itu menghadapi
pembicaraan
terbuka tentang perjodohannya seperti itu! Han
Bu
mengeraskan hatinya agar berani menjawab dan dia lalu
berkata.
"Subo, teecu akan berbohong kalau teecu mengatakan
tidak
setuju. Akan tetapi sebaiknya diketahui lebih dulu
pendapat Kim
Hui. Kalau ia setuju, maka tentu saja teecu juga
setuju
sekali!"
"Bagus!"
kata Im-yang Sian-kouw gembira. "Ini berarti
masalah ini
sudah disetujui setengahnya, tinggal setengah
lagi. Nah,
Kim Hui, engkau tentu sudah mendengar semua
pembicaraan
tadi dan sudah mengerti maksudnya. Sekarang
kami ingin
sekali mendengar jawabanmu. Apakah engkau
setuju kalau
menjadi calon isteri Si Han Bu?"
Wan Kim Hui
adalah seorang gadis yang sejak kecil pemberani,
galak, tinggi hati, bengal dan bahkan agak liar.
Akan tetapi
sekali ini, biarpun sejak tadi ia sudah mendengarkan
dan tahu apa yang akan ia hadapi, ketika
ditanya
begitu, ia pun semakin menunduk sampai punggungnya
agak membungkuk. Terdengar suaranya lirih.
"Aku...
aku... ah, aku tidak tahu...."
Thian Hwa
memberi isyarat kepada ibunya dengan kedipan
matanya,
lalu ia menggeser kursinya mendekati Kim Hui dan
merangkul
pundaknya.
"Kim
Hui, engkau juga seorang gadis dewasa dan engkau
biasanya
tabah dan berani menghadapi apapun juga. Ke mana
perginya keberanianmu"
Kalau engkau setuju, katakan saja
setuju,
kalau engkau tidak setuju, jangan sungkan dan takut,
katakan saja
tidak setuju. Hayo, jawablah pertanyaan Ibuku
tadi."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Kim Hui
mengangkat mukanya, akan tetapi tidak
memandang
siapa pun kecuali wajah Thian Hwa yang berada
dekat
dengannya.
"Enci
Thian Hwa, aku masih mempunyai ayah dan ibu,
bagaimana
aku dapat memutuskannya sendiri" Urusan
perjodohanku,
tentu saja aku serahkan kepada ayah dan
ibuku."
"Aih, kukira hatimu tidak bicara begitu, Kim Hui. Benarkah
itu bahwa
jika ayah ibumu setuju, engkau pun akan setuju?"
"Tentu
saja!" jawab Kim Hui tegas.
"Hemm,
bagaimana seandainya ayah ibumu menyetujui
engkau
berjodoh dengan Wu Kan putera Jenderal Wu Sam
Kwi
itu...?"
"Tidak
sudi! Sampai mati pun aku tidak akan sudi!" jawab kim Hui
tegas. "Nah-nah, jelas bukan ayah ibumu yang memutuskan melainkan
engkau sendiri.
Nah, sekarang jawablah, kalau
Nah, sekarang jawablah, kalau
nanti Ibu me
lakukan pinangan kepada orang tuamu untuk
menjodohkan
engkau dengan Han Bu dan orang tuamu setuju,
apakah engkau juga setuju?"
Dengan muka
merah dan senyum malu-malu Kim Hui
mengangguk,
lalu menundukkan kepalanya lagi.
"Eh,
mana jawabanmu, Kim Hui" Apakah kau setuju?"
Kembali Kim
Hui mengangguk dan tersenyum malu sambil
menundukkan
kepala.
"Ih,
mengangguk itu bukan jawaban. Jawab yang jelas, Kim
Hui. Engkau
setuju atau tidak?"
"Aku
setuju!" kini jawaban itu terdengar nyaring sehingga
Pangeran Ciu
Wan Kong dan Im-yang Sian-kouw tersenyum
girang.
"Bagus!
Kalau begitu, kami akan segera menulis lamaran yang akan
diantar oleh Thian Hwa ke Bukit Siluman di Lam-
hu! Kapan
engkau akan berangkat, Thian Hwa?"
"Setelah
upacara penobatan Kaisar, Ibu."
"Baik,
dan bagaimana dengan engkau, Kim Hui" Apakah
engkau akan
pulang bersama Thian Hwa?" tanya Im-yang
Sian-kouw
kepada gadis itu.
Kim Hui
dengan sikap masih canggung dan malu-malu
melirik ke
arah Han Bu dan berkata,
"Sebetulnya saya... saya
"Sebetulnya saya... saya
masih ingin
melihat-lihat dahulu, Bibi. Saya berpamit kepada Ayah Ibu
saya untuk merantau dan diberi waktu sampai dua tahun."
"Subo, teecu telah berjanji kepada Saudara Ui Yan Bun
untuk
menemani dan melindungi Kim Hui, maka saya akan
mengantarkan
dan menemaninya sampai ia kembali di rumah
orang
tuanya."
"Baik
sekali kalau begitu. Memang engkau harus
bertanggung
jawab," kata Im-yang Sian-kouw.
Setelah
percakapan yang menegangkan hati Han Bu dan Kim Hui itu
berakhir, mereka kembali ke dalam kamar masing-
masing. Han
Bu tidak dapat segera pulas karena hatinya masih
berdebar. Dia merasa berbahagia sekali karena
sesungguhnya
sejak pertemuan pertama dengan Wan Kim Hui, dia
sudah jatuh cinta. Akan tetapi ada perasaan was-was
dalam
hatinya. Bagaimana kalau orang tua Kim Hui menolaknya"
Ah, tidak
mungkin, dia menghibur kekhawatirannya. Mereka tentu melihat subo, apalagi bukankah ibu
dari Kim Hui telah diselamatkan nyawanya oleh
gurunya"
Kim Hui juga tidak dapat segera tidur. Selama hidupnya ia belum pernah
jatuh cinta kepada pria. Pernah ia merasa
tertarik
kepada Ui Yan Bun, akan tetapi karena sikap pemuda itu terhadap
dirinya seperti seorang kakak, maka akhirnya rasa sukanya
bukan berkembang menjadi cinta seorang wanita terhadap
seorang pria, melainkan cinta seorang adik terhadap kakaknya.
Dan ia pun harus mengakui bahwa ia tertarik sekali kepada Han Bu, bahkan merasa suka walaupun rasa sukanya
Dan ia pun harus mengakui bahwa ia tertarik sekali kepada Han Bu, bahkan merasa suka walaupun rasa sukanya
itu dipendam
di balik sikapnya yang keras dan ini hanya merupakan
bentuk kemanjaan. Begitu mendengar bahwa
pemuda ini
mencintanya, ia pun diam-diam merasa bahagia sekali.
Thian Hwa sendiri juga sukar memejamkan mata. Ia
memang
merasa lega dan ikut berbahagia bahwa Han Bu dan Kim Hui
agaknya memang saling mencinta, walaupun
tersembunyi.
Akan tetapi kini ia merasa rindu sekali kepada Yan Bun.
Belum pernah ia merindukan Yan Bun seperti
sekarang
ini. Setelah semua yang dialaminya, sekarang baru ia menyadari
bahwa pemuda kawan lama itulah yang paling menarik dan
tidak pernah dapat dilupakannya.
Apalagi ketika ia mendengar dari Kim Hui bahwa sampai sekarang Yan Bun
Apalagi ketika ia mendengar dari Kim Hui bahwa sampai sekarang Yan Bun
masih
menantinya, mencintanya dan tidak pernah mencinta
gadis lain.
Akhirnya lewat tengah malam, ia dapat tidur
dengan nama
Yan Bun di bibirnya.
Pangeran Ciu
Wan Kong dan isterinya, Im-yang Sian-kouw
Cui Eng,
juga sampai malam belum tidur. Suami isteri ini,
terutama
Im-yang Sian-kouw, memang merasa senang bahwa
muridnya
yang ia anggap seperti anak sendiri itu akhirnya
mendapatkan
seorang jodoh. Akan tetapi suami isteri ini juga
prihatin
memikirkan puteri mereka, Ciu Thian Hwa!
Mereka tidak mungkin memilihkan jodoh untuk puteri mereka itu.
Mereka tidak mungkin memilihkan jodoh untuk puteri mereka itu.
Mereka sudah
mengenal watak puteri mereka yang dalam perjodohan
sudah pasti tidak mau dijodohkan dengan laki-laki yang tidak
menjadi pilihan hatinya sendiri. Dan yang menyedihkan
hati mereka, sampai sekarang mereka belum
melihat atau
mendengar adanya pria yang menjadi pilihan hati
Huang-ho
Sian-li Ciu T hian Hwa.
Karena
merasa tidak berdaya menghadapi urusan
perjodohan
puteri mereka, akhirnya Pangeran Ciu Wan Kong
berkata
kepada isterinya.
"Mari
kita serahkan saja masalah anak kita ini kepada T hian Yang Maha
Kuasa. Sebaiknya setiap tengah malam kita
bersembahyang,
mohon kepada T hian Yang Maha Kuasa agar anak kita
itu segera menemukan jodohnya."
Suami isteri
itu lalu keluar dari kamar, menuju ke kebun atau taman
belakang dan pada tengah malam itu, mereka
berdua
menyalakan hioswa (dupa biting) dan bersembahyang
kepada
Tuhan.
Upacara
penobatan kaisar baru, yaitu Pangeran Kang Shi uang baru
berusia sekitar sebelas tahun itu berlangsung
dengan
khidmat dan meriah, dan berlangsung dengan lancar
dan tanpa
ada gangguan. Setelah dinobatkan sebagai kaisar
berjuluk Ka
isar Kang Shi, mula-mula kaisar kecil ini didampingi
dan dibantu
oleh Pangeran Bouw Hun K i, pamannya yang juga
dapat
dianggap sebagai gurunya.
Tiga hari
setelah penobatan kaisar, pada suatu pagi Han Bu dan Kim Hui
berpamit meninggalkan rumah Pangeran Ciu Wan
Kong. Mereka
bermaksud untuk kembali ke rumah orang tua Wan Kim Hui
di dekat kota Lam-hu, akan tetapi dengan
mengambil
jalan memutar karena Kim Hui ingin merantau dulu
menambah
pengalamannya sebelum pulang ke rumah orang tuanya.
Ketika kaisar baru dinobatkan, di antara mereka yang diundang,
termasuk para pendekar muda yang berjasa membantu
pemerintah menentang pemberontak.
Maka ketika itu Han Bu dan Kim Hui juga diajak oleh Huang-ho Sian-li Ciu
Maka ketika itu Han Bu dan Kim Hui juga diajak oleh Huang-ho Sian-li Ciu
Thian Hwa
menjadi tamu kehormatan. Dalam kesempatan ini
mereka berkenalan
dengan keluarga Pangeran Bouw dan segera
menjadi akrab dengan Bouw Kun Liong, Bouw Hwi Siang, Bu
Kong Liang, dan Gui Siang In. Dalam kesempatan itu Thian
Hwa juga mendengar berita menggembirakan bahwa Bu Kong
Liang telah dipertunangkan dengan Bouw Hwi Siang,
adapun Bouw
Kun Liong dipertunangkan dengan Gui Siang In!
Setelah Han
Bu dan Kim Hui pergi, Thian Hwa juga berpamit
kepada ayah ibunya untuk menyampaikan surat lamaran
Im-yang Sian-kouw kepada keluarga Wan Cun, datuk selatan yang
berjuluk Lam-ong (Raja Selatan) itu. Akan tetapi
gadis ini
tidak menceritakan kepada ayah ibunya bahwa sebelum
pergi ke Bukit Siluman dekat kota Lam-hu tempat
tinggal
keluarga Wan, ia akan mencari Ui Yan Bun di Lembah Sungai Huang-ho.
Pada suatu
senja tampak seorang gadis cantik meluncur di atas
permukaan air Huang-ho (Sungai Kuning) yang di bagian
itu airnya
mengalir tenang. Gadis itu me luncur cepat seperti terbang atau
terapung di atas air. Senja itu di tepi sungai sudah mulai
sepi. Akan tetapi ada beberapa orang melihat gadis itu
dan mereka memandang dengan muka pucat.
Lima orang nelayan ini percaya sepenuhnya akan adanya dewa-
Lima orang nelayan ini percaya sepenuhnya akan adanya dewa-
dewa dan
dewi-dewi penunggu sungai.
Maka ketika melihat ada seorang gadis cantik "berjalan" di atas air dengan
Maka ketika melihat ada seorang gadis cantik "berjalan" di atas air dengan
cepatnya,
mereka segera berseru ketakutan.
"Huang-ho
Sian-li (Dewi Sungai Kuning)...!" berulang-ulang mereka
berseru lalu menjatuhkan diri berlutut ke arah sungai!
Orang-orang
itu tentu salah menduga, akan tetapi tidak salah
menyebut.
Biarpun gadis itu bukan dewi, melainkan
Biarpun gadis itu bukan dewi, melainkan
seorang
manusia biasa, ia adalah Ciu Thian Hwa yang berjuluk Dewi Sungai
Kuning!
Huang-ho
Sian-li Ciu Thian Hwa
menggunakan papan
menggunakan papan
peluncur
untuk me luncur dengan cepat di permukaan air sungai,
menggunakan sin-kang (tenaga sakti) di kedua kakinya,
mengenjot dan mendorong sehingga papan itu meluncur
dengan cepat sekali menuju ke tempat tinggal Ui Houw, ayah
Ui Y an Bun. Hatinya merasa gelisah, harap-harap cemas.
Bagaimana kalau Yan Bun tidak berada di sana" Ia merasa
pikirannya semakin gelap, seperti gelapnya cuaca yang
menjelang malam.
Akan tetapi tiba-tiba ia melihat bulan
Akan tetapi tiba-tiba ia melihat bulan
muncul,
besar dan gemilang, seolah memberi cahaya harapan kepadanya.
Kegelapan pikirannya menghilang dan dengan senyum di
bibirnya ia mempercepat luncurannya ke depan,
seolah
menyongsong bulan, menyongsong kebahagiaan setelah
selama ini mengalami banyak kepahitan dalam
hidupnya.
Sampai di sini pengarang mengakhiri kisahnya dengan harapan semoga ada manfaatnya dan dapat menghibur hati
Sampai di sini pengarang mengakhiri kisahnya dengan harapan semoga ada manfaatnya dan dapat menghibur hati
para
pembaca!
TAMAT
Serial selanjutnya : Gelang Kemala
***** Sahabat Karib.com *****
Terima kasih telah membaca Serial ini.
TAMAT
Serial selanjutnya : Gelang Kemala
***** Sahabat Karib.com *****
Terima kasih telah membaca Serial ini.