Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pendekar Bodoh
Jilid 13
KINI melihat
Lin Lin, ia merasa sangat tertarik dan suka. Ia merasa yakin bahwa di dalam
kehidupannya yang dulu tentu ada hubungan sesuatu antara dia dan Lin Lin, oleh
karena entah mengapa, ia merasa suka sekali dan rela membela gadis itu, biar
dengan jiwanya sekali pun. Perasaan inilah yang merupakan cita-cita ke dua
baginya, dan timbul setelah ia bertemu dengan Lin Lin.
Ia juga
ingin mendapatkan harta di Pulau Emas itu, mengangkat diri sendiri menjadi raja
dan membujuk Lin Lin supaya suka menjadi permaisurinya. Inilah cita-citanya dan
inilah pikiran yang pada saat itu mengaduk hati dan otaknya.
Ia telah
melihat kegagahan Nelayan Cengeng dan muridnya yang ternyata seorang gadis
pula, telah menyaksikan pula kegagahan Lin Lin yang tidak lemah. Bila ditambah
dengan dia sendiri menjadi empat orang, dan bukankah empat orang gagah yang
tangguh, kuat, akan sanggup mengusir musuh yang mana pun juga?
Untuk
menjawab pertanyaan Lin Lin ia mengangguk, “Memang benar, Nona Lin Lin, aku
hendak pergi menuju ke sebuah Pulau Emas. Sayang sekali perahuku telah rusak
dan tenggelam.”
Mendengar
disebutnya Pulau Emas, Nelayan Cengeng tertarik sekali dan ia lalu berkata,
“Saudara Yo Se Fei! Benar-benar adakah pulau dongeng itu? Semenjak aku masih
kecil, sering kali aku mendengar dongeng tentang Pulau Emas ini, dan dalam
beberapa hari ini telah dua kali aku mendengar pula tentang Pulau Emas ini.”
Yousuf
memandangnya tajam sekali. “Sudah dua kali? Lo-enghiong, dari siapa pulakah kau
mendengar tentang Pulau Emas ini?”
Nelayan
Cengeng lalu menceritakan bahwa dalam perantauannya bersama dengan Ma Hoa,
beberapa hari yang lalu dia bertemu dengan seorang bangsa Mongol tua yang juga
menyebut akan adanya Pulau Emas itu, bahkan orang Mongol itu dalam mengobrol
telah membuka rahasia bahwa Pangeran Vayami, pemimpin Agama Buddha Merah itu,
hendak mencari pulau ini pula.
Yousuf kaget
sekali mendengar ini. “Ah, sudah kusangka bahwa Pangeran Vayami tentu mempunyai
maksud tertentu dalam kunjungannya ke pedalaman dan hendak menghadap Kaisar
Tiongkok! Tidak tahunya, ia juga menghendaki pulau itu. Ah, kita harus cepat ke
sana, jangan sampai didahului orang!”
Melihat
bahwa orang Turki ini pucat dan bingung, Nelayan Cengeng lalu bertanya lagi,
“Saudara yang baik, sebetulnya pulau itu dimanakah letaknya dan apa namanya?”
Yousuf sudah
habis sabar, akan tetapi oleh karena maklum bahwa kakek nelayan yang gagah ini
merupakan tenaga bantuan yang amat berguna, ia bersabar dan menerangkan dengan
singkat, “Pulau itu bernama Kim-san-to (Pulau Gunung Emas) dan berada di
sebelah timur pantai Tiongkok. Kalau belum tahu jalannya, memang sukar sekali
rnencari pulau yang berada di antara puluhan pulau-pulau kecil lain itu.”
Nelayan
Cengeng menjadi sangat tertarik hatinya dan demikianlah, kedua orang ini lalu
bercakap-cakap dan Yousuf dengan amat sabarnya menjawab tiap pertanyaan Nelayan
Cengeng sehingga kakek nelayan ini akhirnya terbangkit pula keinginan tahunya
dan dia ingin sekali melihat serta menyaksikan dengan mata sendiri keadaan
pulau yang sudah dikenalnya di dalam dongeng itu.
Sementara
itu, Lin Lin lalu menceritakan kepada Ma Hoa tentang semua pengalamannya dan
ketika Ma Hoa bertanya di mana adanya Ang I Niocu, dia menjawab, “Siapa yang
dapat mengetahui di mana adanya dia sekarang.” Lin Lin lalu menghela napas
khawatir. “Sungguh sial sekali, belum juga kami berjumpa dengan Hai-ko,
sekarang Cici Im Giok sudah harus berpisah lagi denganku! Ahh, sekarang menjadi
makin ruwet, karena selain harus mencari Hai-ko dan Ang-ko, aku pun harus
mencari Cici Im Giok! Ehh, Enci Hoa, semenjak tadi aku saja yang banyak
berbicara sedangkan kau hanya menjadi pendengar saja. Kau ceritakanlah,
bagaimana kau bisa sampai di sini dan menolong aku?”
Memang Ma
Hoa orangnya agak pendiam dan tak banyak bicara. Sekarang mendengar pertanyaan
Lin Lin, tiba-tiba sepasang matanya menjadi merah dan ia mengeraskan hati untuk
menahan keluarnya air matanya.
Lin Lin
terkejut dan memegang lengannya. “Enci Ma Hoa, apakah yang telah terjadi? Kau
nampak pucat sekali!”
Dengan
mengeraskan hati, Ma Hoa kemudian menceritakan mala petaka yang menimpa
keluarganya, akan tetapi pada saat melihat betapa sepasang mata Lin Lin yang
lebar itu memandangnya dengan terbelalak dan dari kedua matanya itu mengalir
butiran-butiran air mata karena terharu dan kasihan, Ma Hoa tidak dapat lagi
menahan kesedihannya. Ia mengakhiri penuturannya dengan kata-kata yang sukar
keluarnya,
“Adik Lin,
habislah seluruh keluargaku, mereka telah binasa semua, tinggal aku seorang
diri... sebatang kara...!”
Lin Lin
memeluk gadis itu dan keduanya segera bertangis-tangisan oleh karena memang
terdapat banyak persamaan di antara mereka berdua, oleh karena seperti juga Ma
Hoa, keluarga Lin Lin juga habis binasa.
“Enci Hoa,
jangan kau khawatir, bukankah kau masih memiliki kawan-kawan baik seperti
Suhu-mu itu dan aku dan Engko An? Juga Hai-ko dan Enci Im Giok adalah
kawan-kawan yang baik dan yang senantiasa bersiap sedia membantu dan
menolongmu!”
Mendengar
hiburan ini, agak redalah kesedihan yang menekan hati Ma Hoa dan mereka berdua
lalu memandang ke arah Yousuf yang ketika itu masih bercakap-cakap dengan
Nelayan Cengeng. Sebuah permufakatan telah dicapai oleh dua orang ini, yaitu
Nelayan Cengeng telah mengambil keputusan untuk ikut Yousuf mencari Pulau Emas!
“Hai, Ma Hoa
dan Lin Lin, ke marilah! Jangan hanya bertangis-tangisan saja, ada kabar baik
yang harus dibicarakan bersama!” Si Nelayan Cengeng berkata dan dua orang gadis
itu lalu menghampiri mereka sambil menyusut air mata dengan sapu tangan.
Nelayan
Cengeng lalu memberitahukan bahwa mereka bertiga akan ikut Yousuf mencari Pulau
Emas itu.
“Akan
tetapi, Locianpwe, bagaimana dengan usahaku untuk mencari saudara dan
kawan-kawanku?”
Nelayan
Cengeng tersenyum. “Dengarlah, Lin Lin. Kita belum lagi tahu ke mana perginya
mereka itu dan tanpa petunjuk yang tepat, ke manakah kita harus mencari mereka!
Pula, dari Saudara Yo Se Fei ini aku mendengar bahwa besar sekali kemungkinan
Pangeran Vayami juga akan pergi mencari Pulau Emas ini sehingga bukan tak
mungkin bahwa Hai Kong Hosiang akan menemani rombongan Pangeran Vayami itu.
Sudah terang bahwa Cin Hai, Kwee An, mau pun Ang I Niocu mengejar-ngejar hwesio
itu dan apa bila hwesio itu berada dalam rombongan Pangeran Vayami, tentu
mereka akan menuju ke pulau itu pula! Nah, bukankah ini lebih baik dari pada
kita berkeliaran tidak karuan tanpa tujuan tertentu?”
Lin Lin
menganggap alasan ini cukup kuat, oleh karena ia tahu bahwa Ang I Niocu juga
sedang mencari Cin Hai dan Kwee An, sedang kedua pemuda itu mengejar Hai Kong
Hosiang, maka kalau benar hwesio itu pergi juga mencari pulau emas, memang
bukan tak mungkin mereka semua menuju ke tempat yang sama! Maka akhirnya ia
berkata,
“Terserah
pada Locianpwe saja, aku yang muda dan bodoh hanya menurut dan percaya penuh
kepadamu, orang tua!”
Mendengar
persetujuan yang keluar dari mulut gadis ini, Yousuf menjadi gembira sekali,
akan tetapi dia menyembunyikan perasaannya ini dan berkata,
“Nah, kita
berempat bisa berangkat sekarang juga, akan tetapi, perahumu begitu kecil.
Sayang sekali perahuku telah tenggelam!”
Walau pun
Nelayan Cengeng sudah tua, akan tetapi pandangan matanya tajam. Melihat wajah
orang Turki itu berseri-seri saat mendengar kata-kata persetujuan yang
diucapkan oleh Lin Lin, di dalam hatinya timbul kecurigaan yang membuatnya
menjadi hati-hati.
Akan tetapi,
sambil tertawa dia menjawab pertanyaan Yousuf, “Apakah susahnya untuk
mendapatkan perahu yang tenggelam?” Setelah berkata demikian, kakek nelayan ini
lalu memperlihatkan kepandaiannya di dalam air yang benar-benar hebat.
Ia
menanggalkan jubah luarnya dan dengan pakaian ringkas lalu meloncat ke dalam
air. Tubuhnya yang kurus itu terjun ke dalam air tanpa bersuara seakan-akan
sebatang anak panah dilepas ke dalam air saja. Agak lama semua orang menanti
dengan hati berdebar, kecuali Ma Hoa yang sudah maklum akan kepandaian gurunya.
Kemudian air
itu bergelombang hebat dan dari bawah muncullah tubuh perahu Yousuf yang tadi
tenggelam! Ternyata Si Nelayan Cengeng telah mendapatkan tubuh perahu itu dan
menariknya ke atas permukaan air dalam keadaan miring hingga tidak ada air yang
memasuki tubuh perahu itu. Kemudian Si Nelayan Cengeng berenang cepat ke
pinggir dan sekali ia menggerakkan tangan, perahu besar itu dapat didorongnya
ke tepi hingga meluncur cepat dan mendarat di pinggiran sungai! Yousuf segera
menarik perahu itu ke atas dan tiada hentinya memuji.
“Ah, kau
betul-betul gagah luar biasa. Di darat kau telah membuat aku kagum, akan tetapi
kepandaianmu di air ini betul-betul membuat aku tunduk!” Sambil berkata begini
Yousuf lalu menjura di depan Kong Hwat Lojin yang telah melompat ke darat.
Akan tetapi kakek
nelayan itu hanya tertawa saja sambil mengeringkan tubuhnya dengan jubah
luarnya yang tadi ditanggalkan, lalu berkata,
“Sudahlah,
di antara kawan sendiri mana ada aturan puji-memuji? Lebih baik kalau kita
sekarang memperbaiki perahumu ini agar dapat segera berangkat!”
Dua orang
itu lalu memperbaiki badan perahu yang tadi pecah berlubang karena pukulan
dayung Si Nelayan Cengeng dan sebentar saja perahu itu telah baik kembali.
Yousuf lalu memerintahkan kedua orang pembantunya untuk pergi dari situ oleh
karena dia sudah tak memerlukan tenaga mereka lagi. Dia merogoh kantongnya dan
memberi empat potong uang emas kepada dua orang itu yang menerimanya dengan
girang.
Setelah itu,
maka berangkatlah Yousuf bersama Si Nelayan Cengeng, Ma Hoa, dan Lin Lin. Perahu
mereka meluncur cepat oleh karena selain terbawa hanyut oleh aliran sungai yang
deras, juga dibantu oleh tenaga dayung Si Nelayan Cengeng yang kuat bukan main.
Sebelum senja hari, perahu mereka telah tiba di mulut sungai dan mulai memasuki
laut yang luas!
Baik kita
tinggalkan lebih dulu Lin Lin bersama kawan-kawannya yang menuju ke Pulau
Kim-san-to itu, dan kita mengikuti pengalaman Kwee An.
***************
Ketika
terjadi perkelahian bebas di atas perahu Pangeran Vayami, kemudian menerima
tendangan di betisnya yang dilakukan oleh Pangeran Mongol itu sehingga dia
terjatuh ke dalam sungai, Kwee An sudah mencoba tenaga dan kepandaiannya yang
dipelajari dari Nelayan Cengeng untuk berenang ke pinggir. Akan tetapi, aliran
air sungai itu amat deras dan kuatnya sehingga usahanya gagal, bahkan tubuhnya
hanyut dengan cepatnya!
Baiknya Kwee
An telah mendapat latihan dari Nelayan Cengeng, kalau tidak pasti ia akan
tenggelam atau tubuhnya akan hancur terbentur pada batu-batu dan karang yang
banyak menonjol di permukaan air. Dia lalu mengeluarkan kepandaiannya dan
mempergunakan gerakan Ular Air Menyeberang Laut untuk berenang sambil mengikuti
aliran air dengan cara berlenggang-lenggok bagaikan seekor ular hingga dia dapat
menghindarkan diri dari pada tubrukan dengan batu-batu karang.
Dia masih
dapat melihat betapa perahu di mana Cin Hai masih bertempur seru melawan Hai
Kong Hosiang itu terbakar hebat, hingga diam-diam ia menjadi gelisah,
menguatirkan keselamatan kawannya itu. Akan tetapi, sungai itu mengalir dalam
sebuah tikungan yang tajam sekali sehingga ia harus segera mencurahkan seluruh
perhatiannya untuk menjaga keselamatan dirinya sendiri.
Setelah
hanyut jauh sekali, sedikitnya terpisah lima li dari tempat di mana ia tadi
terjatuh, aliran air mulai lemah dan dengan hati girang Kwee An lalu berenang
ke pinggir dengan maksud setelah dapat mendarat akan segera lari kembali ke
tempat tadi dan membantu Cin Hai. Akan tetapi tiba-tiba ia menjadi terkejut
sekali oleh karena melihat beberapa ekor binatang aneh yang berenang cepat
menuju ke arah dirinya.
Kwee An
cepat berenang ke tepi. Akan tetapi, kembali dia terkejut oleh karena
binatang-binatang seperti yang sedang berenang di tengah sungai itu, terdapat
pula di darat dan memenuhi tepian sungai. Agaknya mereka sedang berjemur diri
di pantai itu dan jumlah yang berada di pantai bahkan ada seratus lebih.
Binatang-binatang
yang terlihat oleh Kwee An ini adalah binatang sebangsa buaya, akan tetapi
lebih menyerupai cecak besar dan ada yang panjangnya sampai sepuluh kaki dan
mulutnya terbuka lebar. Ketika Kwee An tiba di tepi, maka binatang-binatang
yang berada di pantai itu pun lalu maju merangkak dan menyerbu.
Kwee An
menjadi bingung. Untuk naik ke darat, puluhan ekor binatang buas ini telah siap
menanti sedangkan untuk tinggal di dalam air, dari tengah telah berenang
beberapa belas ekor yang menuju kepadanya. Ia pikir, lebih baik menghadapi
puluhan ekor di darat dari pada belasan ekor di air oleh karena binatang itu
dapat berenang cepat sekali sedangkan kepandaiannya di dalam air masih rendah.
Ia lalu
terus berenang ke pinggir dan ketika air telah menjadi dangkal hingga sampai ke
paha, dari tepi telah turun lima ekor yang terbesar dan cepat menyerbunya
dengan mulut ternganga lebar. Kwee An lantas menggenjot tubuhnya melompat
hingga kedua kakinya melewati permukaan air dan ketika dua ekor buaya itu
menyambar dengan mulut mereka yang runcing, ia cepat-cepat menendangkan kaki
kanan ke arah kepala binatang itu dan mempergunakan kepala itu sebagai batu
lonpatan ke darat.
Akan tetapi
jumlah binatang-binatang itu terlalu banyak sehingga ke arah mana saja dia
melompat, dia langsung disambut oleh beberapa ekor buaya yang menyerbunya
dengan dahsyat dan liar. Kwee An lalu mempergunakan kecepatan dan seluruh
tenaganya untuk melawan. Ia menendang, memukul, menangkap ekor dan membanting,
hingga sebentar saja puluhan ekor binatang kena dibinasakan.
Akan tetapi
yang datang semakin banyak saja sehingga Kwee An kehabisan tenaga dan mulai
menjadi ngeri dan jijik. Binatang-binatang yang masih hidup segera menerkam dan
menyerang kawan-kawannya sendiri yang terluka dan makan daging mereka,
sedangkan yang lain-lain masih saja menyerbu dengan hebat.
Oleh karena
merasa ngeri melihat banyaknya binatang yang mengeroyoknya, dan oleh karena
tenaganya tadi memang telah banyak dihabiskan untuk melawan air sehingga dia
menjadi lelah sekali, maka Kwee An berlaku kurang cepat sehingga tiba-tiba dia
merasa kaki kirinya sakit sekali. Dia menengok dan melihat bahwa seekor buaya
sudah berhasil menggigit betis kaki kirinya. Cepat Kwee An berjongkok dan
sekali tangannya bergerak, maka dua buah jari tangannya berhasil memasuki
rongga mata buaya yang menggigit itu!
Binatang itu
merasa kesakitan dan tak terasa pula mulut yang menggigit betis mengendor
hingga dengan cepat Kwee An dapat melepaskan kakinya! Darah mengucur membasahi
kaus kaki dan celananya. Dengan muka meringis kesakitan, pemuda itu menjadi
begitu marah hingga ia lalu mengamuk hebat! Ia mencabut pedangnya dan dengan
senjata ini ia menghajar semua buaya yang berani datang mendekat hingga mayat
binatang itu sampai bertumpuk-tumpuk dan malang melintang di sekitarnya.
Mendadak
terdengar suara suitan keras dan aneh! Buaya-buaya yang masih hidup dan belum
terluka, lalu nampak terkejut dan buru-buru mereka lari ke sungai! Kwee An sudah
terlalu lemah, maka kepalanya menjadi pening dan pemandangan matanya
berkunang-kunang.
Kwee An
melihat seorang gemuk tetapi pendek sekali berdiri di depannya dengan sebuah
cambuk panjang pada tangannya, dan suara orang itu terdengar keras dan besar
ketika menegur,
“Pemuda
kurang ajar dari manakah yang berani mengganggu serta membunuh binatang
ternakku?”
Kwee An yang
sudah lelah dan pusing itu merasa bagaikan bertemu dengan iblis sungai, oleh
karena kecuali iblis sungai, siapakah orangnya yang menganggap buaya-buaya itu
sebagai binatang ternaknya? Pemuda itu tidak dapat menguasai dirinya lagi oleh
karena lapar, lelah, dan lemas kehilangan banyak darah.
“Aku...
aku... lelah...,” katanya dan ia lalu roboh terguling dan pingsan. Tubuhnya
roboh di atas mayat-mayat binatang yang tadi diamuknya!
Ketika ia
sadar kembali, Kwee An mendapatkan dirinya telah berbaring di atas balai-balai
bambu dalam sebuah kamar yang terbuat dari pada bambu pula. Ia segera bangun
dan mengeluh oleh karena kaki kirinya terasa sakit dan perih. Ketika ia
teringat akan luka di kakinya oleh gigitan buaya itu, ia segera menengok ke
arah betisnya dan ternyata bahwa kakinya telah dibalut erat-erat. Ia dapat
menduga bahwa orang pendek yang disangkanya iblis sungai itu tentu yang telah
menolongnya, maka ia merasa berterima kasih sekali.
Walau pun
keluhan suaranya perlahan sekali, akan tetapi ternyata sudah didengar orang,
oleh karena dari luar pintu kamar segera terdengar suara orang, “Ehh, anak
muda, kau sudah bangun?”
Ketika Kwee
An memandang, ternyata penolongnya yang pendek itu muncul dari pintu dengan
sepiring masakan yang masih mengepul berada pada tangan kirinya. Si Kate itu
memasuki bilik, lalu berkata sambil tertawa, “Nah, kau makanlah dulu.
Kesehatanmu pasti akan pulih lagi seperti sedia kala!”
Ketika Kwee
An hendak bangkit untuk menghaturkan terima kasih, mendadak dia merasa lehernya
seolah-olah tercekik dan dadanya berdebar keras. Wajahnya tentu akan terlihat
menjadi pucat sekali kalau saja kulit mukanya tidak memang sudah pucat sekali
sehingga perubahan itu tidak terlalu nampak.
Pada saat
itu dia telah mengenal orang pendek ini yang bukan lain adalah Hek Moko, Si
Iblis Hitam yang sangat lihai dan yang dulu pernah bertempur dengan Cin Hai di
depan rumahnya! Kwee An berpikir cepat dan ia segera memaksa mulutnya
bersenyum. Sambil menerima piring itu ia berkata dengan pura-pura masih lemas
tak bertenaga,
“Terima
kasih, Lopek. Sungguh kau baik sekali dan atas pertolonganmu ini aku ucapkan
banyak-banyak terima kasih.”
Kwee An
sengaja berbuat seakan-akan ia tidak kenal kepada Si Iblis Hitam ini. Ia maklum
bahwa iblis ini pun tidak tahu siapa adanya dia dan apa bila iblis ini tahu
bahwa Cin Hai berada di dekat situ, tentu ia akan pergi mengejarnya!
“Kau
makanlah yang enak. Aku hendak mengurus hewan ternakku lebih dulu! Kau gagah
sekali dan telah berhasil membunuh dua puluh empat ekor hewanku hingga bukan
sedikit aku menderita kerugian!” katanya lalu keluar dari pintu dengan
langkah-langkahnya yang pendek tetapi cepat.
Kwee An
menarik napas lega. Ternyata iblis itu tidak mengenal dan tidak mencurigainya
sehingga untuk sementara waktu ia akan selamat. Dia maklum bahwa Iblis Hitam
ini lihai sekali, apa lagi kalau di situ ada pula Iblis Putih yang tinggi besar
oleh karena menurut penuturan Cin Hai, kedua Iblis Hitam Putih atau Hek Pek
Moko ini jarang sekali berpisah.
Sambil
memikirkan jalan untuk melarikan diri dari tempat berbahaya ini, Kwee An yang
telah merasa lapar sekali lalu makan daging yang masih panas mengepul di atas
piring itu. Dia tidak tahu masakan daging apakah ini, akan tetapi karena
perutnya terasa lapar sekali, ia tidak peduli dan segera makan daging itu. Di
luar dugaannya semula, daging ini rasanya manis dan harum serta gurih sekali
hingga sebentar saja sepiring besar daging itu telah habis memasuki perutnya!
Kemudian ia
turun dari pembaringan dan mencoba berjalan. Ia dapat berjalan, akan tetapi
dengan pincang sehingga tidak mungkin untuk melarikan diri, oleh karena ia
belum dapat mempergunakan ilmu lari cepat. Kwee An menjadi bingung dan dia
sangat menguatirkan nasib Cin Hai yang masih bertempur di atas perahu melawan
Hai Kong Hosiang yang lihai itu, karena perahunya telah dibakar oleh Pangeran
Vayami!
Tak lama
kemudian, Hek Moko masuk ke dalam kamar itu sambil tertawa-tawa. Jubahnya yang
hitam itu melambai-lambai di belakangnya.
“Ha, kau
sudah makan! Bagaimana, enakkah hidanganku itu?”
Kwee An
tersenyum. “Enak sekali, entah daging apakah yang Lopek suguhkan tadi?”
Tiba-tiba
Hek Moko tertawa bergelak-gelak dan suara ketawanya membuat bulu tengkuk Kwee
An berdiri oleh karena memang suara ini amat menyeramkan. “Ha-ha, anak muda.
Memang kau pantas merasakan masakan daging luar biasa itu. Ketahuilah, daging
yang kau makan itu adalah daging hewan ternakku!”
Kwee An
tercengang dan sama sekali tidak pernah menduga bahwa daging buaya yang liar
itu demikian enaknya. Kini dia mengerti mengapa Iblis Hitam ini memelihara
hewan ternak yang luar biasa ini.
“Apakah
memang pekerjaan Lopek memelihara hewan ternak yang luar biasa ini?”
Hek Moko
mengangguk-angguk. “Memang inilah pekerjaanku sejak dulu! Tadinya buaya ini
hanya ada beberapa belas pasang saja, akan tetapi kini telah menjadi
beratus-ratus pasang banyaknya! Dan hanya orang-orang gagah dan orang besar
saja yang mendapat kesempatan merasakan kenikmatan daging hewan ternakku ini. Tahukah
engkau bahwa untuk daging seekor saja kaisar berani membayar dengan tiga puluh
potong uang emas? Ha-ha-ha!”
“Lopek, kau
benar-benar orang luar biasa yang baik hati. Aku sudah berlancang tangan
membunuh banyak hewan ternakmu, akan tetapi kau tidak marah kepadaku,
sebaliknya kau telah menolong dan merawatku. Sungguh aku berhutang budi
kepadamu!”
“Hush!
Jangan kau berkata begitu. Di antara ayah dan anak tidak ada perhitungan budi!”
Kwee An
merasa terkejut dan heran sekali, oleh karena dia benar-benar tidak mengerti
akan maksud kata-kata Iblis Hitam ini. Di antara ayah dan anak? Apa maksudnya?
Kembali Si
Iblis Hitam tertawa bergelak-gelak, “Ya, di antara ayah dan anak tidak ada
perhitungan budi dan kau akan menjadi anakku yang baik!”
Bukan main
terkejutnya Kwee An. Dia pikir bahwa Iblis Hitam ini telah menjadi gila dan
mengaku dia sebagai anaknya. Akan tetapi dia maklum akan kelihaian iblis ini,
maka dia pikir untuk sementara waktu baik dia tidak membantahnya dan tinggal
diam saja.
“Eh, anak
muda yang gagah. Kau bernama siapa dan mengapa kau bisa hanyut di sungai ini?”
Sambil bertanya demikian, Iblis Hitam itu memandang Kwee An dengan mata tajam
dan pandang mata menyelidiki.
“Namaku Kwee
An,” jawab pemuda itu dan tiba-tiba ia mendapat sebuah pikiran baik.
Dia maklum
bahwa iblis ini lihai sekali dan kepandaiannya mungkin sekali lebih tinggi dari
pada kepandaian Hai Kong Hosiang, maka dia lalu melanjutkan, “Dan aku hanyut
karena perbuatan seorang hwesio bernama Hai Kong Hosiang.”
Benar saja,
disebutnya nama hwesio ini membuat Hek Moko memandang heran. “Hai Kong?
Bagaimana kau bertemu dengan hwesio itu?”
“Aku adalah
seorang perantau dan pada waktu aku hendak menyeberang sungai ini, aku bertemu
dengan Hai Kong Hosiang. Kami berebut perahu dan kami berkelahi. Akan tetapi
aku kalah dan dia melemparku ke dalam sungai.”
“Ha-ha-ha!
Kau benar-benar patut menjadi puteraku! Kau sudah bertempur melawan Hai Kong
tetapi kau tidak mendapat luka! Bagus, bagus! Aku tidak suka akan namamu dan
mulai sekarang kau bernama Siauw Moko (Iblis Kecil).”
Kwee An
merasa dongkol sekali, akan tetapi ia tidak begitu bodoh untuk memperlihatkan
perasaan ini. Ia hanya berkata, “Lopek, aku telah berhutang budi kepadamu maka
tentu saja aku tidak berani membantah kehendakmu. Akan tetapi, nama yang kau
berikan kepadaku itu kurang sedap didengar!”
Hek Moko
memandang Kwee An dengan mata melotot. “Apa?! Kurang sedap didengar? Hai, anak
muda, sampai di manakah kepandaianmu sehingga kau merasa kurang patut bernama
Siauw Moko? Ketahuilah, aku yang bernama Hek Moko mempunyai kepandaian yang
jauh lebih tinggi darimu. Engkau harus menurut segala kata-kataku oleh karena
kau adalah anakku Siauw Moko yang dulu telah meninggal, akan tetapi sekarang
kau hidup kembali. Anakku yang baik, jangan kau kuatir, aku akan melatihmu dan
dalam beberapa bulan saja jangan kata baru seorang Hai Kong Hosiang, meski ada
tiga orang Hai Kong, engkau tak usah merasa takut lagi!”
Sesudah
berkata demikian, Hek Moko lalu maju memeluk dan menciumi muka Kwee An sebagai
seorang ayah menciumi anaknya dengan penuh kasih sayang!
Kwee An
merasa terkejut, takut, dan juga terharu sekali. Ia dapat menduga bahwa dulu
tentu Iblis Hitam ini memiliki seorang putera dan putera itu meninggal dunia.
Dan ketika melihatnya, iblis ini teringat kepada puteranya hingga tiba-tiba
saja mengakui dia sebagai anaknya! Akan tetapi diam-diam Kwee An merasa girang
juga karena ia akan menerima pelajaran silat dari kakek iblis yang berbahaya
dan lihai ini!
Memang
dugaan Kwee An itu tepat. Dulu, Hek Moko mempunyai seorang putera yang wajahnya
hampir sama dengan wajah Kwee An. Dan puteranya ini telah meninggal dunia
karena terserang sejenis penyakit berbahaya. Padahal ia telah menunangkan
puteranya itu dengan puteri Pek Moko, yaitu Pek Bin Moli yang cantik jelita dan
berotak miring.
Tentu saja
kematian puteranya ini membuat Hek Moko menjadi sedih dan membuat dia menjadi
semakin jahat, liar dan gila! Bersama Pek Moko yang menjadi sute-nya, dia lalu
menjadi sepasang hantu yang menjagoi seluruh daerah Tibet dan mendengar namanya
saja, semua orang telah ketakutan setengah mati.
Tempat
tinggal Hek Pek Moko memang tidak tentu dan mereka ini merantau dari satu ke
lain jurusan. Akan tetapi, kebanyakan mereka selalu berdua dan jarang nampak
mereka berpisah. Kali ini Pek Moko tidak nampak bersama suheng-nya oleh karena
Iblis Putih ini sedang pergi mencari anak perempuannya, yaitu Pek Bin Moli yang
sudah lama minggat untuk mencari suaminya, yaitu Ong Hu Lin yang menjadi piauwsu
dan telah mengadakan perhubungan dengan Giok-gan Kui-bo kakak seperguruan Ang I
Niocu sehingga timbul perkelahian antara Giok-gan Kui-bo dan Pek Bin Moli dan
akhirnya Pek Bin Moli dapat menemukan kembali suaminya itu yang dibawanya
pergi!
Sejahat-jahatnya
manusia, dia masih mempunyai perasaan kasih sayang yang bersifat suci murni
terhadap anaknya. Demikian pula Hek Moko. Meski manusia ini telah terkenal
sebagai iblis yang jahat serta kejam, akan tetapi kini sesudah bertemu kembali
dengan puteranya, dia memperlakukan Kwee An dengan baik sekali sehingga
diam-diam Kwee An menjadi terharu dan timbul rasa kasihan di dalam hatinya
terhadap iblis tua ini.
Kwee An
memang telah kehilangan ayahnya, dan dulu ia pernah meninggalkan ayahnya untuk
waktu yang cukup lama, yaitu ketika merantau mempelajari ilmu. Maka kini biar
pun maklum akan kejahatan dan kekejaman Hek Moko, akan tetapi mendapat
perlakuan yang demikian penuh perhatian dan baik, serta menerima
latihan-latihan silat dengan penuh keikhlasan, timbul juga rasa sayang dalam
hatinya terhadap Iblis Hitam ini!
Atas paksaan
Hek Moko, Kwee An menyebut ayah kepada iblis pendek yang luar biasa ini,
sedangkan Hek Moko memanggilnya Siauw-mo atau Setan Kecil. Kwee An belajar
dengan tekun dan rajin dan biar pun dia merasa girang menerima latihan ilmu
silat yang amat tinggi dan lihai dari ayah angkatnya ini, namun diam-diam ia
bergidik menyaksikan betapa ilmu silat yang dipelajarinya ini benar-benar keji
dan ganas!
Akan tetapi
baru satu bulan saja dia sudah mendapat kemajuan pesat sekali, oleh karena
memang ia telah mempunyai dasar ilmu silat tinggi hingga tambahan pelajaran ini
mudah saja diterima olehnya dan tentu saja Moko menjadi girang sekali. Ketika
merasa bahwa ilmu silat yang diajarkan sudah cukup, Hek Moko lalu berkata,
“Siauw-mo
anakku, sekarang kau tak akan kalah bila menghadapi Hai Kong!”
Kwee An
menghaturkan rasa terima kasih dengan sepenuh hatinya. “Ayah, sekarang juga
anakmu akan pergi mencari Hai Kong untuk membalas dendam karena kekalahan yang
lalu!”
“Bagus,
bagus! Di dunia ini tidak ada orang yang boleh menghina anakku! Aku akan pergi
bersamamu dan menghajar hwesio gundul itu!”
Kwee An
terkejut, karena dia ingin mencari Cin Hai, bagaimana dia bisa membawa serta
ayah angkatnya ini? Dia lalu mencari akal dan berkata,
“Ayah,
apakah Ayah mau membikin aku menjadi malu? Kalau Ayah ikut, Hai Kong akan
menganggap bahwa aku takut kepadanya dan sengaja mengajak kau orang tua! Untuk
menghadapi Hai Kong saja, aku yang telah menerima kepandaian darimu, sudah cukup.
Untuk apa Ayah harus mencapaikan diri dan mengotorkan tangan untuk menghukum
dia. Dan pula, bagaimana dengan hewan ternak di sini kalau Ayah ikut pergi?”
Hek Moko
terdiam dan tak dapat menjawab. Dia berpikir bahwa anaknya ini benar juga dan
alasan-alasannya pun pantas, maka dia lalu mengurungkan maksudnya hendak ikut.
“Baiklah, kau pergi dan hajarlah hwesio itu. Aku menunggumu di sini! Tetapi kau
harus lekas kembali dan jangan meninggalkan Ayahmu lama-lama, Siauw-mo. Ingat,
aku sudah tua sekali dan mungkin hidupku di dunia ini takkan lama lagi!”
Ucapan ini
menusuk perasaan Kwee An dan menyentuh hati sanubarinya. Dia kemudian
menjatuhkan diri berlutut di depan Iblis Hitam itu dan berkata, “Ayah, aku
takkan melupakan kau selama hidupku!” Setelah berkata demikian, Kwee An lalu
meninggalkan tempat itu.
Ia segera
menuju ke tempat di mana dulu dia dan Cin Hai bertemu dengan Pangeran Vayami,
akan tetapi di situ telah sunyi dan tidak terlihat sedikit pun bekas-bekas
adanya Cin Hai. Kwee An berdiri termenung di tepi sungai dengan hati bingung
dan sedih.
Tiba-tiba
terdengar gerakan perlahan di belakangnya dan dia tahu bahwa itu adalah Hek
Moko yang datang! Benar saja, sebab segera terdengar suara Hek Moko dan Iblis
Hitam itu telah berada di belakangnya.
Kwee An
segera menengok dan melihat bahwa ayah angkatnya itu telah datang beserta Pek
Moko yang kelihatan menyeramkan sekali oleh karena wajahnya yang buruk itu kini
nampak muram dan marah, sedangkan rambutnya telah putih semua yang membuat dia
nampak tua sekali! Iblis putih ini memandang kepada Kwee An dengan tajam dan ia
pun mengangguk-angguk sambil berkata,
“Anak
pungutmu ini terlalu cakap, Suheng, tapi dia cukup baik menjadi anakmu!”
Hek Moko
tertawa senang dan berkata kepada Kwee An, “Anakku, ini adalah Susiok-mu yang
bernama Pek Moko. Kau cukup menyebutnya Pek-susiok saja!”
Kwee An
berpura-pura belum pernah melihat Pek Moko dan dia lalu berlutut memberi
hormat, “Pek-susiok, terimalah hormat teecu.”
Pek Moko
mengeluarkan suara jengekan dari hidungnya. “Jangan terlalu menghormat,
Siauw-mo, aku tidak biasa dihormati orang seperti ini!”
Kwee An
terkejut, akan tetapi Hek Moko hanya tertawa senang.
“Siauw-mo,
kau tidak akan dapat mencari Hai Kong oleh karena hwesio itu sedang pergi
mencari Pulau Emas! Malah aku dan Susiok-mu ini pun hendak pergi ke sana pula.
Hayo kau ikut kami dan tentu di sana kau akan dapat bertemu dengan Hai Kong
Hosiang!”
Kwee An
menjadi girang, akan tetapi sebenarnya dia tidak senang harus pergi bersama
sepasang iblis ini. “Bagaimana Ayah bisa tahu bahwa dia pergi ke Pulau Emas dan
di manakah letak pulau itu?” tanyanya.
Hek Moko
lalu menceritakan pengalaman Pek Moko. Ternyata bahwa pada saat mencari anak
perempuannya, yaitu Pek Bin Moli, Pek Moko sebetulnya telah berhasil menemukan
anak perempuannya itu, tetapi dalam keadaan mati!
Ong Hu Lin,
menantunya yang menjadi suami Pek Bin Moli dalam keadaan terpaksa itu, setelah
dibawa pergi oleh isterinya yang gila, di tengah jalan kemudian mencari akal
dan akhirnya pada suatu malam, ketika isterinya yang berotak miring itu sedang
tidur pulas, ia dengan kejam telah membunuh isterinya ini!
Pada saat
Pek Moko mendengar tentang hal ini, ia lalu mencari Ong Hu Lin dan setelah
bertemu, ia lalu menyiksa dan membunuh Ong Hu Lin dengan penuh kemarahan hingga
tubuh Ong Hu Lin dihancurkan sampai tak karuan macamnya lagi! Peristiwa ini
membuat Pek Moko sangat berduka sehingga seluruh rambutnya memutih dan wajahnya
menjadi kejam dan muram selalu.
Kemudian
secara kebetulan Iblis Putih ini mendengar tentang adanya Pulau Emas yang kini
sedang dicari-cari dan agaknya hendak dijadikan rebutan antara orang-orang
Turki, suku bangsa Mongol, serta oleh Pemerintah Kaisar sendiri! Dia segera
mencari kakak seperguruannya, yaitu Hek Moko dan setelah dia menceritakan semua
ini, Hek Moko lalu mengajak menyusul Kwee An yang baru saja pergi dari situ
untuk diajak bersama-sama pergi mencari Pulau Emas.
Kwee An yang
mendengar semua cerita ini, lalu berpikir pula bahwa besar kemungkinan Hai Kong
Hosiang juga pergi mencari pulau itu dan apa bila Hai Kong pergi ke sana, maka
jika Cin Hai masih hidup, tentu pemuda itu mengejar juga ke sana! Oleh karena
ini, tanpa ragu-ragu pula dia lalu menyatakan kesediaannya untuk ikut dengan
Hek Moko ini. Berbeda dengan rombongan Nelayan Cengeng, Hek Pek Moko menuju ke
laut melalui jalan darat dan mengikuti sepanjang tepi sungai.
****************
Cin Hai yang
tertolong oleh Bu Pun Su dan sudah sembuh dari pengaruh madu merah yang
mukjijat, dan sesudah pikirannya pulih kembali seperti biasa dan dapat
mengingat semua kejadian yang telah lalu, merasa berduka sekali oleh karena
tidak tahu bagaimana keadaan Kwee An dan Lin Lin.
Terutama
sekali dia merasa gelisah dan bingung kalau teringat akan nasib Lin Lin yang
tertawan oleh perwira Boan Sip! Ingin sekali dia segera bertemu dengan Boan Sip
untuk membuat perhitungan dan menumpahkan rasa dendam serta amarahnya, akan
tetapi ke mana harus mencari orang she Boan itu?
Ang I Niocu
maklum akan kesedihan Cin Hai ini, akan tetapi ia sendiri pun tidak berdaya dan
hanya mengucapkan kata-kata hiburan di sepanjang perjalanan. Untuk menghibur
hati pemuda yang gelisah ini, Ang I Niocu lalu bertanya dan minta agar dia
mengutarakan tentang pertempuran dengan Hai Kong Hosiang.
“Hwesio itu
benar-benar telah mendapat kemajuan dalam ilmu silatnya,” berkata Cin Hai.
“Sukar sekali bagiku untuk merobohkannya, walau pun aku mampu mengimbangi semua
serangannya. Agaknya dia telah mengenal baik serangan-seranganku yang
berdasarkan Liong-san Kun-hoat dan Ngo-lian-hoat sehingga sanggup berjaga diri
dengan baik. Juga dalam ilmu kepandaian lweekang, hwesio itu kini amat kuat dan
jauh lebih kuat dari pada dulu.”
Ang I Niocu
mendengarkan dengan penuh perhatian ketika Cin Hai menuturkan jalannya
pertempuran. Kemudian Gadis Baju Merah yang sudah banyak mengalami
pertempuran-pertempuran ini, lalu berkata,
“Hai-ji,
cabutlah pedangmu dan mari coba kuuji sampai di mana kepandaianmu!”
Cin Hai
terkejut, akan tetapi ketika ia melihat sinar mata Ang I Niocu, ia maklum bahwa
Dara Baju Merah ini hendak memberi petunjuk-petunjuk padanya, maka tanpa
ragu-ragu lagi dia lalu mencabut pedangnya Liong-coan-kiam, sedangkan Ang I
Niocu juga sudah mencabut keluar pedangnya.
“Awas
serangan!” kata Ang I Niocu yang lalu menyerang dengan pedangnya.
Sebagaimana
biasa, sekali pandang saja secara otomatis Cin Hai dapat mengenal dasar gerakan
serangan ini, maka dengan mudah ia pun lalu mengelak dan balas menyerang. Ang I
Niocu terus menyerang dan mengeluarkan ilmu pedangnya yang paling lihai, yakni
Sian-li Kiam-sut yang mempunyai gerakan indah dan daya serang luar biasa
dahsyatnya. Akan tetapi dengan amat mudahnya Cin Hai mengelak dan menangkis
semua serangan ini secara tepat dan sempurna.
“Kau
balaslah menyerang, jangan menahan diri saja,” teriak Ang I Niocu sambil
mengirim tusukan.
Cin Hai lalu
balas menyerang dan oleh karena dia tidak mengenal ilmu pedang lain maka dia
pun lalu menyerang dengan Sian-li Kiam-sut yang ditirunya dari Ang I Niocu.
Tentu saja
perubahan atau perkembangan semua serangan ini amat mudah dikenal dan diketahui
oleh Ang I Niocu sehingga gadis ini mudah saja mengelak atau menangkis.
“Jangan
menyerang dengan Sian-li Kiam-sut, itu tak ada gunanya! Pakailah ilmu pedang
lain!” Ang I Niocu berseru lagi sambil terus menyerang lagi.
Cin Hai tahu
kekeliruannya, oleh karena dalam menghadapi gadis yang menjadi ahli Silat
Bidadari itu, sungguh bodoh kalau mempergunakan ilmu pedangnya. Kini dia
memainkan Ilmu Pedang Liong-san Kiam-hoat yang dipelajarinya dari Kanglam
Sam-lojin.
Sekarang dia
sudah memiliki ilmu ginkang dan lweekang yang sangat tinggi oleh karena
menerima latihan dari Bu Pun Su secara istimewa, yakni mempelajari
dasar-dasarnya hingga boleh dibilang Cin Hai telah memiliki kepandaian pokok
yang mutlak. Akan tetapi oleh karena pengetahuannya tentang ilmu silat hanya
dangkal saja, yaitu terbatas pada ilmu silat dari Liong-san-pai dan ilmu silat
yang dia pelajari dari An I Niocu, maka daya tempurnya amat lemah.
Memang apa
bila menghadapi orang yang belum matang betul dalam hal ilmu silat tinggi,
dengan mudah saja Cin Hai akan dapat mengalahkannya. Akan tetapi bila
menghadapi tokoh persilatan yang tinggi dan sudah matang ilmu pedangnya, pemuda
ini hanya dapat bertahan saja dengan luar biasa uletnya, tetapi juga sukar untuk
melancarkan serangan-serangan lain kecuali dua macam ilmu silat yang dulu
pernah dipelajarinya itu.
Maka, ketika
menghadapi tokoh-tokoh tinggi seperti Hek Pek Moko atau pun Hai Kong Hosiang,
juga menghadapi Ang I Niocu, pemuda ini menjadi pihak yang selalu didesak dan
diserang, sungguh pun harus diakui bahwa semua serangan itu dapat ditangkis
atau dielakkannya dengan sangat mudah oleh karena dia telah tahu betul akan
perkembangan selanjutnya dari tiap serangan!
Ang I Niocu
menghabiskan seluruh kepandaiannya untuk dipergunakan menyerang anak muda itu,
akan tetapi tak sedikit pun ia dapat mempengaruhi atau mengacaukan Cin Hai yang
istimewa. Diam-diam gadis ini merasa kagum sekali, oleh karena boleh dibilang
bila dicari di dunia ini tidak ada keduanya orang yang dapat mempertahankan
diri sedemikian baiknya terhadap semua serangan-serangan yang dia lakukan
sampai seluruh jurus Sianli Kiam-sut habis dimainkan tanpa nampak terdesak
sedikit pun!
Akan tetapi
biar pun serangan-serangan Cin Hai luar biasa dahsyatnya, namun baginya
serangan-serangan itu kurang berbahaya, dan kelihaiannya hanya terdorong oleh
tenaga lweekang dan gerakan yang hebat dari anak muda itu dan sama sekali bukan
karena ilmu pedangnya yang hebat.
“Benar
seperti yang kuduga!” Ang I Niocu berseru sambil melompat mundur.
Cin Hai juga
segera menahan pedangnya.
“Memang
benar, Susiok-couw hanya memberikan pokok-pokok dasar ilmu silat padamu, tanpa
memberi pelajaran penting untuk melakukan penyerangan. Mengapa engkau dulu
tidak mau minta supaya orang tua yang aneh itu menurunkan satu atau dua macam
ilmu silat agar dapat kau gunakan untuk menyerang lawan?”
Sambil
tersenyum Cin Hai pun berkata, “Niocu, apakah kau masih belum kenal adat Suhu
yang kukoai (aneh)? Kalau dia sendiri tak menghendaki, meski diminta sampai
menangis pun tak akan dia berikan!”
Ang I Niocu
memang sungguh-sungguh merasa sayang kepada Cin Hai, maka pada saat itu gadis
ini memutar-mutar otaknya demi kebaikan anak muda itu. Ia tahu bahwa dengan
kepandaiannya yang sekarang ini, Cin Hai tak usah merasa takut kepada seorang
lawan yang mana pun juga. Akan tetapi, tanpa memiliki daya serang yang lihai,
bagaimana ia akan dapat menjatuhkan musuh-musuhnya?
Apa lagi
sekarang masih ada seorang musuh yang tangguh bukan main, yaitu Hai Kong Hosiang
yang agaknya dibantu oleh pendeta tua renta yang gagu dan lihai sekali itu.
Bila pemuda ini tidak mempunyai ilmu serangan yang dahsyat, banyak kemungkinan
dia akan mendapat celaka dari tangan Hai Kong Hosiang.
Cin Hai yang
melihat betapa Ang I Niocu termenung, lalu meninggalkan gadis itu untuk
mengumpulkan kayu kering. Mereka telah tiba dalam sebuah hutan dan hari sudah
mulai gelap, sedangkan di tempat itu banyak nyamuk dan hawanya terasa dingin.
Tiba-tiba
Ang I Niocu melompat ke atas dan berkata dengan girang. “Benar, benar! Kau
harus melakukan itu,” katanya kepada Cin Hai sehingga tentu saja pemuda ini
menjadi terheran-heran oleh karena tidak mengerti apakah yang dimaksudkan oleh
gadis itu yang nampak demikian gembira.
“Hai-ji, kau
harus menciptakan ilmu pedang sendiri!” katanya kepada Cin Hai.
Cin Hai
terkejut dan mukanya menjadi merah. “Ah, Niocu, kau ini ada-ada saja! Aku yang
bodoh dan tolol ini mana mampu menciptakan ilmu pedang? Jangan mentertawakan
aku, Niocu!”
“Anak tolol!
Merendahkan diri di depan orang lain memang baik, akan tetapi memandang rendah
kesanggupan sendiri hanya dilakukan oleh orang malas dan kurang bersemangat.
Kau dapat melihat dasar-dasar segala ilmu silat, maka kalau kau memang mau,
mengapa kau tidak bisa menggabungkan semua ilmu silat itu menjadi satu dan
menciptakan sendiri gerakan-gerakan serangan yang kau anggap tepat dan lihai?”
Cin Hai
memandang dengan sinar mata bodoh oleh karena dia memang belum mengerti.
“Niocu, tolong kau beri tahu kepadaku, bagaimana caranya?”
Ang I Niocu
lalu memberi penjelasan dengan sabar dan telaten. “Hai-ji, terus terang saja
kuberitahukan padamu bahwa Sianli Utauw atau Tarian Bidadari itu pun aku
sendiri yang menciptakan. Maka jika kau memang tekun, kau pun pasti akan dapat
menciptakan ilmu pedang yang tidak ada keduanya di dunia ini. Caranya begini.
Kau perhatikan dan ingat semua ilmu silat yang telah kau lihat dan lalu kau
pilih gerakan-gerakan serangan musuh yang dilancarkan kepadamu. Mana yang kau
anggap lihai dan baik, boleh kau pilih. Lalu gerakan-gerakan ini kau rangkai
menjadi semacam ilmu pedang yang sangat lihai. Tentu saja kau harus merubahnya
sedikit supaya tidak sama dengan aslinya lagi, dan bahkan harus diperbaiki mana
yang kurang tepat. Hanya kau dan Susiok-couw yang mempunyai kemampuan seperti
ini.”
Mendengar
ucapan Ang I Niocu, diam-diam Cin Hai lalu tertarik hatinya. Mengapa tidak ia
coba? Memang tak enak kalau selalu mempertahankan diri dari serangan orang, dan
pula memang memalukan kalau menghadapi seorang lawan lalu menyerang lawan itu
dengan ilmu silat yang ditirunya dari lawan itu sendiri. Alangkah senangnya
kalau ia memiliki ilmu pedang sendiri yang dapat dibanggakan.
Cin Hai lalu
duduk termenung dan dia lalu bersemedhi mengumpulkan seluruh perhatian dan
perasaannya. Ia bayangkan semua ilmu-ilmu silat yang telah dilihatnya. Oleh
karena ia telah mempunyai dasar batin yang kuat dan pikirannya telah jernih
oleh latihan-latihan napas dan semedhi, maka sebentar saja di dalam otaknya
terlintas semua gerakan ilmu silat yang pernah dilihatnya.
Di antara
semua ilmu silat, gerakan-gerakan Hek Pek Moko adalah yang paling dahsyat dan
kejam, sedangkan ilmu silat dan gerakan-gerakan Ang I Niocu yang ia anggap
paling indah dan baik. Dia lalu mengumpulkan ingatannya dan mencatat di dalam
hati gerakan-gerakan yang dianggapnya paling lihai, kemudian dengan mata masih
meram dan sambil membayangkan gerakan-gerakan itu, tubuhnya lalu berdiri dan
bergerak-gerak menurut gambaran gerakan yang masih tampak di dalam matanya yang
meram itu.
Ang I Niocu
mengikuti gerakan pemuda ini dengan heran dan kagum. Dia melihat betapa Cin Hai
memainkan ilmu-ilmu silat yang aneh-aneh dan bermacam-macam, malah di situ dia
melihat pula Cin Hai memainkan Sianli Utauw, dan juga Liong-san Kun-hoat. Ia
tahu bahwa pemuda itu sedang memilih-milih, maka ia tidak mau mengganggu, hanya
mencari tambahan kayu kering dan menjaga agar api unggun itu tidak padam.
Setengah
malam lebih Cin Hai tanpa henti bergerak ke sana ke mari sambil memejamkan mata.
Dia tidak merasa bahwa ia telah bersilat selama itu, sedangkan Ang I Niocu
masih tetap duduk di dekat api dengan setia. Ia sedikit pun tidak mau
mengganggu Cin Hai dan hanya memandang pemuda yang disayanginya itu dengan
penuh harapan.
Setelah
lewat tengah malam, mendadak Cin Hai menghentikan gerakan-gerakannya dan
mukanya menjadi agak pucat. Dia memandang kepada Ang I Niocu dan berkata,
“Niocu, terima kasih atas petunjuk dan nasehatmu tadi. Agaknya aku telah
mendapatkan semacam ilmu silat ciptaanku sendiri.”
Ang I Niocu
girang sekali dan berkata, “Coba kau sempurnakan ilmu itu dengan pedang,
Hai-ji!”
Cin Hai lalu
mencabut pedangnya dan berkata lagi, “Ketika aku bersilat dan mengumpulkan
tipu-tipu gerakan semua cabang persilatan yang pernah kulihat, tiba-tiba aku
melihat bahwa memang selama ini aku terlalu lemah dan tak pernah mempunyai
pikiran untuk membalas menyerang lawan. Aku tidak ingat bahwa aku tak perlu
mengerahkan seluruh perhatian untuk pertahanan, karena sebetulnya aku telah
memiliki daya tahan yang otomatis hingga tak perlu menggunakan seluruh
perhatian lagi. Karena kesalahan itu, maka dulu aku tidak melihat
lowongan-lowongan dan kesempatan-kesempatan yang sebenarnya dapat kumasuki
untuk merobohkan lawan.”
Setelah
berkata demikian, dia menghampiri serumpun bambu dan tetumbuhan lain yang
tumbuh dengan suburnya di dekat situ. Tetumbuhan itu penuh dengan daun-daun
hingga batang-batangnya yang kecil hampir tidak tampak dari luar dan oleh
karena angin malam pada saat itu bertiup kencang, maka semua daun-daun yang
berbentuk runcing itu bagai ratusan senjata menyerang ke depan dan melindungi
batang-batang mereka yang kecil.
Cin Hai lalu
membayangkan bahwa ratusan daun itu adalah senjata-senjata musuh yang
melindungi tubuh musuh, dan bahwa ia harus berusaha menyerang tubuh-tubuh musuh
yang kini dilindungi oleh ratusan pisau yang bergerak-gerak itu.
Dia lantas
menggerakkan Liong-coan-kiam di tangan kanannya dan mulai bersilat dengan
gerakan aneh. Gerakannya mula-mula lambat seakan mengintai rumpun itu, akan
tetapi makin lama semakin cepat. Ia berusaha untuk melukai tubuh-tubuh yang
bersembunyi di balik ratusan senjata itu tanpa mengadu pedangnya dengan senjata
itu!
Hal ini
tentu saja sukar bukan main oleh karena ratusan daun itu bergerak-gerak cepat
dan tidak menentu karena tertiup angin hingga tubuh-tubuh atau batang-batang
itu hanya nampak sekelebat dan sekilat saja! Akan tetapi, Cin Hai berlaku cepat
dan hati-hati dan setiap kali daun-daun itu bergerak hingga sebatang pohon
kecil nampak, biar pun hanya sekilas, namun dengan pedangnya sudah memasuki
lowongan itu dan ujung pedangnya tepat menusuk batang itu tanpa mematahkannya!
Gerakan-gerakan
pedangnya ini luar biasa sekali hingga Ang I Niocu yang masih duduk di dekat
api, ketika melihat ini menjadi kagum sekali. Ia merasa begitu gembira sehingga
diam-diam dia pun menggerakkan kedua tangannya, kemudian bersilat meniru-niru
dan mengimbangi gerakan pedang Cin Hai!
Ia melihat
betapa gerakan-gerakan anak muda itu masih nampak kaku, karena itu sambil
menggerakkan kedua tangannya, dia berkali-kali menyerukan bahwa tangan kiri
pemuda itu harus begini dan sikap tubuhnya harus begitu! Pendek kata, pada
waktu itu Cin Hai bersama dengan Ang I Niocu sedang menciptakan semacam ilmu
pedang. Cin Hai yang mencipta ilmu pedangnya, sedangkan Gadis Baju Merah itu
memperbaiki gerak gayanya!
Setelah Cin
Hai selesai bersilat, Ang I Niocu lalu menghampiri rumpun bambu dan ketika dia
menyibakkan daun-daun yang menutupnya, ternyata batang-batang yang jumlahnya
puluhan itu semua sudah berlubang bekas tusukan ujung pedang Ci Hai! Ang I
Niocu bersorak girang dan menari-nari bagaikan anak kecil!
Cin Hai juga
merasa girang sekali dan ia tidak menolak ketika Ang I Niocu mengajak dia
sekali lagi bertanding dan dia diharuskan menggunakan ilmu pedangnya yang baru
saja diciptakannya itu! Dan hasilnya benar-benar hebat!
Setiap jurus
bila mana Cin Hai menyerang, selalu serangannya ini membingungkan Ang I Niocu.
Dan kalau saja pemuda itu menyerang dengan sungguh-sungguh, dalam sepuluh jurus
saja Pendekar Wanita Baju Merah ini pasti akan roboh!
Ternyata
bahwa Cin Hai sudah menciptakan sebuah ilmu pedang yang benar-benar luar biasa,
sebab ilmu pedangnya ini didasarkan atas kelemahan-kelemahan dan
kekurangan-kekurangan ilmu silat lain yang telah dilihatnya. Ia pergunakan
kesempatan untuk mengisi lowongan-lowongan serta menyerbu bagian-bagian yang
lemah dengan gerakan-gerakan aneh, bahkan kadang-kadang kedudukan kaki atau
tangannya berbalik dan merupakan kebalikan dari pada gerakan ilmu silat biasa!
Ang I Niocu
merasa gembira sekali dan minta Cin Hai bersilat pedang lagi seorang diri. Pada
gerakan yang kaku, gadis yang memang ahli tari dan memiliki gerak gaya indah
ini lalu memperbaiki tanpa merusak gerakan asli.
Sampai fajar
menyingsing, kedua orang ini tiada hentinya berlatih, atau lebih tepat lagi Cin
Hai melatih diri dan Ang I Niocu membantunya dengan nasehat-nasehat mengenai
keindahan gerakannya. Semalam suntuk mereka tidak beristirahat.
Pada
keesokan harinya mereka hanya beristirahat sebentar, kemudian Cin Hai kembali
melatih diri dengan ilmu silat pedangnya yang baru itu. Ang I Niocu melihat
dari samping memberi petunjuk di bagian yang masih kaku gerakannya.
Walau pun
ilmu pedang ini dapat dilihat dan ditirukan oleh Ang I Niocu, akan tetapi oleh
karena untuk menggunakan ilmu pedang ini sebelumnya harus memiliki kepandaian
dan pengertian pokok tentang segala gerakan ilmu silat sebagaimana yang sudah
dimiliki Cin Hai, maka ilmu pedang ini tidak akan ada gunanya bagi Ang I Niocu.
Pendeknya, tanpa pengetahuan dasar yang diajarkan oleh Bu Pun Su, orang lain
tidak mungkin menggunakan ilmu ini dalam menghadapi lawan!
Demikianlah,
setelah berlatih terus-menerus selama tiga hari tiga malam, akhirnya ilmu
pedang ini mampu dimainkan secara baik sekali oleh Cin Hai hingga Ang I Niocu
menjadi puas dan girang. Pada waktu dia mencoba untuk melawan ilmu pedang ini
dengan ilmu pedangnya, maka dalam tiga jurus saja pedangnya telah dapat
dirampas oleh Cin Hai.
“Aduh
Hai-ji! Ilmu pedangmu ini benar-benar luar biasa dan jangankan Hai Kong
Hosiang, biar Hek Pek Moko sendiri tentu akan roboh di tanganmu! Kionghi,
kionghi! (Selamat).”
Tiba-tiba
saja terdengar suara orang berkata dengan suara nyaring, “Ya, kionghi, kionghi!
Akan tetapi berhati-hatilah kau, Cin Hai, agar ilmu jahat ini tidak merusak
hatimu menjadi jahat dan kejam pula!”
Cin Hai dan
Ang I Niocu terkejut sekali dan tahu-tahu Bu Pun Su sudah berdiri di dekat
mereka!
“Cin Hai,
ilmu pedang tadi memang baik sekali dan tak kusangka bahwa kau yang bodoh ini
mampu mencipta ilmu pedang seperti itu! Akan tetapi oleh karena kau melatih
dengan melukai batang-batang bambu dengan ujung pedangmu, maka ketika
menghadapi lawan, kau baru akan dapat merobohkan dia dengan tusukan yang
melukainya pula! Ini jahat sekali, muridku!”
Cin Hai
merasa bingung dan terkejut sekali oleh karena kata-kata gurunya tadi memang
betul semua. Tadi dia berhasil merampas pedang Ang Niocu oleh karena gadis
pendekar itu terlalu terdesak oleh ilmu pedangnya sehingga memungkinkan dia
menyambar lantas merampas pedang gadis itu. Sedangkan apa bila bertempur dengan
lawan yang melawan dengan mati-matian, maka untuk merobohkannya dia harus
mempergunakan pedangnya yang mengirim serangan-serangan maut itu!
“Mohon
ampun, Suhu, dan sudi memberi petunjuk-petunjuk kepada teecu,” katanya.
Bu Pun Su
tersenyum dan tiba-tiba dengan suara sungguh-sungguh dia berkata, “Coba
cabutlah pedangmu itu dan seranglah aku!”
Cin Hai
tidak ragu-ragu untuk melakukan hal ini oleh karena ia mempunyai kepercayaan
penuh akan kesaktian suhu-nya. Karena itu, sesudah memberi hormat sekali lagi,
dia lalu mencabut Liong-coan-kiam dan lantas menyerang dengan hebat. Pedangnya
berkelebat merupakan sinar yang melenggang-lenggok dan dia sudah mempergunakan
jurus ke lima yang dianggapnya cukup berbahaya.
Ia maklum
bahwa suhu-nya memiliki mata tajam sekali dan telah hafal sekali akan segala
gerakan pundak yang mendahului semua gerakan pukulan tangan dan juga sudah tahu
akan pergerakan lutut yang mendahului semua gerakan kaki, maka ia lalu
mengeluarkan serangan jurus ke lima ini.
Memang dalam
menciptakan ilmu pedangnya, Cin Hai juga memikirkan kemungkinan apa bila
menghadapi orang yang telah mempunyai kepandaian melihat gerakan orang seperti
yang sudah dipelajarinya dari Bu Pun Su. Karena itu dalam beberapa gerakan ia
sengaja membuat ilmu serangan yang dilakukan dengan gerakan-gerakan terbalik!
Menurut
gerakan ilmu silat biasa, jika pundaknya bergerak itu tentu menjadi tanda bahwa
pedang di tangan kanannya akan ditusukkan ke depan, akan tetapi sebelum
pedangnya menusuk, secepat kilat gerakan itu sudah dibalik dan menjadi sabetan
pada kedua kaki lawan dan sebelum sabetan ini diteruskan, kembali telah
dibalikkan pula menjadi sebuah serangan memutar ke arah leher!
“Ganas
sekali!” Bu Pun Su berseru sambil meloncat ke belakang oleh karena guru yang
lihai ini benar-benar tercengang dan terkejut melihat kehebatan serangan
muridnya. “Ayo kau serang terus dan keluarkan semua ilmu pedangmu yang liar
ini!” katanya.
Cin Hai tak
berani membantah dan segera maju menyerang terus. Akan tetapi, ilmu meringankan
tubuh dari Bu Pun Su sudah sampai pada tingkat tertinggi sehingga boleh
dibilang tubuhnya seperti sehelai bulu yang dapat bergerak pergi tiap kali
angin pedang menyambar hingga biar pun pedang Cin Hai hampir menyerempet
pakaian kakek itu, namun tetap pedang itu tak dapat melukainya!
Akan tetapi
kali ini Bu Pun Su benar-benar menghadapi semacam ilmu pedang yang luar biasa
dan hanya dengan mengerahkan seluruh ginkang-nya saja maka ia bisa mengelak
bagaikan seekor burung beterbangan di antara sambaran pedang!
Ang I Niocu
memandang demonstrasi yang dilakukan oleh guru dan murid ini dengan mata
terbelalak saking kagum dan herannya. Selama hidupnya belum pernah dia melihat
kelihaian seperti ini dan hatinya diam-diam girang sekali memikirkan bahwa Cin
Hai kini telah menjadi seorang jago pedang tingkat tinggi!
Ilmu pedang
Cin Hai seluruhnya ada tiga puluh sembilan jurus dan sesudah semuanya dia
mainkan, akhirnya pemuda ini meloncat ke belakang sambil berkata dengan napas
terengah-engah, “Sudahlah, Suhu, teecu tidak kuat lagi!”
Dia lalu
berlutut dengan muka merah karena hatinya kecewa betapa dengan mudahnya kakek
itu dapat mengelak dari serangannya. Ia anggap ilmu pedangnya ini tiada gunanya
sama sekali dan bahwa ia telah menyia-nyiakan waktu tiga hari tiga malam!
“Ha-ha-ha-ha!”
Bu Pun Su tertawa terkekeh-kekeh karena kakek ini maklum dan dapat membaca isi
hati Cin Hai dari muka pemuda itu, “Jangan kecewa, Cin Hai. Ketahuilah, bahwa
ilmu pedang yang baru saja kau mainkan ini kelihaiannya jauh melebihi dugaanku
semula!”
“Mohon Suhu
jangan mentertawakan kebodohan teecu,” kata Cin Hai.
“Siapa yang
mentertawakan kau? Anak bodoh, dengan ilmu pedangmu tadi, kau boleh menjelajah
ke seluruh negeri dan mengharapkan kemenangan dari setiap pertempuran! Akan
tetapi, jangan kira bahwa aku merasa senang atau bangga melihat ilmu pedangmu
ini! Mungkin kau kira aku tidak percaya atau tidak suka kepadamu maka aku tidak
pernah menurunkan ilmu kepandaian menyerang kepadamu? Ketahuilah, dan kau juga
Im Giok, aku memang sengaja tidak mengajarkan ilmu serangan kepadamu, oleh
karena apakah baiknya menyerang orang? Akan tetapi, memang segala apa sudah
ditentukan oleh takdir sehingga kau yang tidak mempelajari ilmu menyerang,
ternyata kini menghadapi banyak musuh yang lihai. Namun jangan kau anggap bahwa
ilmu pedangmu ini saja akan cukup kuat untuk menghadapi Si Rangka Hidup Kam Ki
Sianjin, supek dari Hai Kong Hosiang itu! Ahh, kau terlalu mengunggulkan diri
kalau kau mempunyai pikiran demikian! Di dunia ini banyak sekali terdapat
orang-orang pandai dan mungkin kelak sewaktu-waktu engkau akan menemui musuh
yang lebih lihai lagi! Sekarang engkau telah berhasil menciptakan semacam ilmu
menyerang, maka biarlah supaya jangan kepalang tanggung, kau pelajari juga Ilmu
Silat Tangan Kosong Kong-ciak Sin-na beserta Ilmu Pek-in Hoat-sut (Ilmu Sihir
Awan Putih).”
Bukan main
girang rasa hati Cin Hai dan segera mengangguk-anggukkan kepala untuk
menghaturkan terima kasih.
“Juga kau
yang telah banyak membuat jasa boleh mempelajari ilmu ini, Im Giok.” Ang I Niocu
lalu berlutut dan mengucapkan terima kasih pula.
Demikianlah,
selama dua pekan, Bu Pun Su memberi pelajaran dua macam ilmu silat itu kepada
Cin Hai dan Ang I Niocu yang dipelajari dengan penuh perhatian oleh dua orang
pendekar muda itu.
Pek-in Hoat-sut
adalah ilmu sihir yang sebetulnya hanya sebutannya saja ilmu sihir, oleh karena
ilmu ini merupakan gerakan ilmu silat yang sepenuhnya digerakkan oleh tenaga
khikang sehingga dari kedua kepalan tangan yang memainkannya keluar uap putih
bagai awan yang dapat menolak setiap hawa serangan dari lawan yang bagaimana
jahat pun!
Uap putih
ini terjadi dari keringat yang berubah menjadi uap sebagai akibat dari dorongan
tenaga khikang yang panas dan disalurkan ke arah kedua lengan dalam setiap
serangan. Meski lawan menggunakan ilmu hitam atau pukulan keji seperti
Ang-see-ciang (Tangan Pasir Merah) dan lain-lain, apa bila bertemu dengan orang
yang mempergunakan Pek-in Hoat-sut ini akan mati kutu, tenaga serangan mereka
yang buyar dengan sendirinya. Oleh karena tenaga hebat inilah maka ilmu ini
disebut ilmu sihir!
Ilmu ke dua
adalah Ilmu Silat Tangan Kosong Kong-ciak Sin-na atau Ilmu Silat Tangan Kosong
Burung Merak. Gerakan-gerakan ilmu silat ini selain memukul juga menggunakan
jari-jari tangan untuk mencengkeram dan merampas senjata musuh sehingga tepat
sekali digunakan dengan tangan kosong apa bila menghadapi lawan yang
bersenjata.
Setelah
kedua orang itu mempelajari dua macam ilmu silat itu dengan sempurna, Bu Pun Su
lalu berkata, “Cin Hai dan Im Giok! Walau pun kalian tidak bertanya, akan
tetapi aku maklum bahwa kalian ingin sekali mendengarkan tentang nasib Lin
Lin.”
Cin Hai
mendengarkan dengan wajah tiba-tiba berubah pucat, sedang Ang I Niocu juga
mendengarkan dengan hati berdebar khawatir.
“Kalian
jangan khawatir, menurut dugaanku Lin Lin telah selamat dan kalau tidak keliru
ia sedang melakukan perjalanan bersama kawan-kawan baik. Sekarang ada hal yang
lebih penting lagi. Orang-orang Turki dan orang-orang Mongol sedang berlomba
untuk merebut sebuah pulau di laut timur dan apa bila pulau ini sampai jatuh ke
dalam tangan mereka, maka bahaya besar mengancam seluruh negeri! Aku
menyaksikan dengan mata kepala sendiri, betapa ratusan orang-orang Turki dan
Mongol dengan diam-diam dipimpin oleh orang-orang berilmu dari kedua bangsa itu
dan secara bersembunyi mereka menyerbu ke daerah timur untuk berlomba menemukan
pulau itu. Oleh karena ini, kalian berdua segera berangkatlah ke laut timur
melalui sungai yang mengalir di sebelah utara ini, oleh karena hanya di sana saja,
maka kalian akan dapat bertemu dengan Lin Lin, bahkan mungkin dapat bertemu
pula dengan musuh besarmu yang bernama Hai Kong Hosiang itu. Nah, sekarang aku
hendak pergi!”
Cin Hai dan
Ang I Niocu maklum akan sikap aneh dari orang tua ini yang bicaranya selalu
mengandung rahasia. Mereka maklum pula bahwa secara membuta mereka juga harus
menurut petunjuk ini, oleh karena petunjuk ini pasti betul dan biar pun tidak
jelas, namun kalau tidak nyata tentu tak akan dikeluarkan dari mulut kakek luar
biasa itu.
Tanpa
menunda lagi, Cin Hai serta Ang I Niocu berlari cepat ke utara dan tidak lama
kemudian mereka bertemu dengan sungai yang melintang dan mengalir ke arah timur
itu. Di tempat itu tidak terlihat perahu dan keadaannya sunyi sekali, maka
keduanya segera mempergunakan ilmu lari cepat dan mengikuti aliran sungai
menuju ke timur. Akan tetapi, jalan di tepi sungai itu sukar sekali, penuh rawa
dan hutan-hutan berbahaya, juga amat sukar dilalui.
Setelah
mereka berlari selama dua hari, akhirnya mereka melihat sebuah dusun kecil dan
mereka menjadi girang sekali saat melihat beberapa buah perahu diikat di
pinggir sungai. Segera Cin Hai mencari pemilik perahu untuk disewa atau
dibelinya.
Dua orang menghampiri
mereka dan bertanya, “Jiwi membutuhkan perahu?”
“Betul,”
kata Cin Hai dengan girang. “Kami berdua ingin menyewa atau membeli sebuah
perahu.”
“Membeli?”
kedua orang itu saling pandang “Ahh, Kongcu. Di sini tidak ada yang mau menjual
perahunya. Pernah kau mendengar ada orang menjual isterinya?”
“Apa
katamu?” Cin Hai bertanya heran dan tak senang, oleh karena menyangka bahwa
nelayan itu hendak mempermainkannya.
“Kongcu
ingin membeli perahu, sedangkan bagi seorang nelayan sebuah perahu adalah sama
dengan seorang isteri. Siapakah yang mau menjual perahu atau isterinya? Tidak,
Kongcu, kalau kalian berdua hendak menyewa, boleh kalian pakai perahuku ini.
Biar pun kecil, tetapi kuat dan laju!”
Cin Hai
tersenyum geli. “Boleh, aku hendak menyewa perahumu ini.”
“Jiwi hendak
ke manakah?” tanya nelayan yang seorang lagi.
Ang i Niocu
tidak senang melihat ada orang lain turut bicara, bahkan bertanya tentang
maksud kepergian mereka.
“Apa
perlunya kau ikut campur dan bertanya ke mana kami hendak pergi?” tanyanya tak
senang.
Orang itu
berkata sambil mengangkat dadanya, “Aku berhak penuh untuk turut campur, oleh
karena perahu ini adalah milik kami berdua!”
Cin Hai
tertawa. “Aha, kalau begitu isterimu ini mempunyai dua orang suami?”
Kedua orang
nelayan itu tertawa. “Kongcu, kami adalah orang-orang miskin sehingga dua orang
memiliki sebuah perahu saja.”
“Kami berdua
hendak menuju ke laut dan hendak mencari sebuah pulau.”
Kedua orang
itu nampak terkejut sekali. “Apa? Hendak mencari pulau? Apakah itu Pulau Emas?”
Cin Hai dan
Ang I Niocu tercengang, akan tetapi mereka memang hendak menyelidiki pulau yang
belum pernah meraka ketahui ini sedangkan Bu Pun Su juga tidak memberi
penjelasan, maka Cin Hai lalu tersenyum dan mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Ya, kami
mencari Pulau Emas!”
Tiba-tiba
salah seorang di antara kedua nelayan itu menjadi pucat dan berkata kepada
kawannya, “Twako, marilah kita pergi dan jangan melayani mereka ini. Agaknya
mereka ini pun sudah kegilaan emas dan mungkin akan timbul malapetaka kembali
apa bila kita membawa mereka seperti hal kita tempo hari itu!”
Cin Hai
menjadi tertarik, dan Ang I Niocu segera membentak, “Apakah yang terjadi? Apa
ada orang lain yang juga mencari Pulau Emas itu?”
Kedua
nelayan itu saling pandang dan keduanya kemudian berdiri hendak meninggalkan
tempat itu, sama sekali tidak berani menjawab. Ang I Niocu cepat meloncat dan
sekali tangannya bergerak, maka pedang yang tajam telah dicabutnya dan pedang
itu sekarang menempel di leher seorang nelayan.
“Ke mana
engkau hendak pergi? Jangan main-main, sebelum kalian menceritakan hal itu
kepada kami, jangan harap akan dapat pergi dengan kepala menempel di lehermu!”
Nelayan itu
menghela napas. “Apa kataku, Twako? Pulau Emas itu benar-benar pulau berhantu
dan hanya setan-setan saja yang berani mengunjungi pulau itu! Toanio, harap kau
berlaku murah dan jangan begini galak. Kami hanya nelayan-nelayan biasa saja
dan kalau Toanio menghendaki, baiklah kami tuturkan pengalaman kami. Beberapa
hari yang lalu, kami kedatangan seorang asing yang sangat murah hati dan royal
dengan hadiah-hadiahnya. Ia minta kami suka mendayung perahunya yang besar,
oleh karena ia berkata bahwa ia tidak kenal daerah sini. Ia hendak pergi ke
laut dan mencari Pulau Emas seperti kalian pula. Tetapi pada suatu malam perahu
orang asing bangsa Turki ini kedatangan seorang perwira yang galak dan gagah,
sedangkan perwira ini ketika datangnya saja sudah sangat aneh dan menakutkan,
yaitu ia mengempit tubuh seorang gadis muda yang cantik jelita!”
Berdebarlah
hati Cin Hai dan Ang I Niocu. Bukankah gadis yang dimaksudkan ini Lin Lin
adanya? Akan tetapi Cin Hai lalu mendesak, “Teruskan, teruskan ceritamu!”
“Setelah
perwira galak ini naik ke dalam perahu kami, maka kami berdua lalu mendapat
perintah untuk mendayung perahu dan sepanjang yang kami dengar, perwira itu
tadinya hendak membunuh gadis yang ditawannya, akan tetapi maksudnya dihalangi
oleh orang asing itu, dan agaknya Si Perwira takut dan tunduk kepadanya. Gadis
itu lalu ditahan di dalam kamar perahu dan tidak diganggu. Akan tetapi, memang
setan berkeliaran di atas sungai ini! Tiba-tiba perahu yang kami dayung itu
bertumbuk dengan sebuah perahu lain yang biar pun kecil, akan tetapi maju
dengan kuat hingga perahu kami terhalang. Dan yang lebih hebat lagi, ketika
kami menegur nelayan tua yang berada di perahu kecil itu, ia menjadi marah dan
sekali memukulkan dayungnya yang besar, perahu yang kami dayung menjadi pecah
dan bocor hingga tenggelam!”
“Nelayan
Cengeng!” tak terasa lagi Cin Hai berseru.
Nelayan yang
bercerita itu menjadi terkejut karena menyangka bahwa dialah yang dimaki
cengeng. Akan tetapi sebelum ia sempat bertanya, Cin Hai sudah kembali
mendesaknya. “Teruskanlah, teruskanlah!”
“Penumpang-penumpang
kami orang Turki yang aneh dan perwira yang galak itu menjadi marah kemudian
melompat ke darat, sedangkan gadis cantik yang ditawan itu pun tak
tersangka-sangka lihai juga dan dapat pula melompat ke darat! Kami berdua tak
dapat melompat sejauh itu maka kami lalu menceburkan diri ke dalam air dan berenang
ke tepi. Ternyata di tepi itu terjadi pertempuran hebat! Orang Turki bertempur
melawan nelayan tua yang memegang dayung dan yang sudah memecahkan perahu kami,
sedangkan Si Perwira dikeroyok oleh gadis tawanannya dan seorang pemuda tampan
kawan nelayan tua itu.”
“Ma Hoa!”
kata Ang I Niocu dan kembali nelayan itu memandang heran karena tidak tahu
maksud Dara Baju Merah yang berseru karena amat tertarik mendengar penuturan
ini.
“Dan
bagaimana hasil pertempuran itu?” Cin Hai mendesak dengan tak sabar, karena ia
telah merasa pasti bahwa yang mengeroyok perwira itu tentu Lin Lin dan Ma Hoa
dan yang bertempur melawan orang Turki tentu Si Nelayan Cengeng.
“Kesudahannya
mengerikan sekali...” nelayan yang pandai bercerita itu sengaja berhenti
sebentar untuk membikin pendengar-pendengarnya makin bernafsu dan ceritanya
makin menarik, “perwira yang galak dan gagah itu tewas. Kepalanya remuk dipukul
oleh dayung yang dipegang gadis tawanannya, sedangkan dadanya bolong-bolong
tertembus pedang Si Pemuda tampan!”
Baik Cin Hai
mau pun Ang I Niocu menghela napas lega. “Mampuslah si keparat!” seru Cin Hai
dengan gembira, kemudian ia menegaskan, “Bukankah perwira itu masih muda,
kira-kira tiga puluh tahun, dan bibirnya tebal?”
Nelayan itu
memandangnya heran, “Betul sekali, apakah Kongcu kenal padanya?”
Akan tetapi
Cin Hai tidak menjawab pertanyaan ini, hanya bertanya lagi, “Dan bagaimana
hasil pertempuran orang Turki melawan nelayan tua itu?”
“Mereka
bertempur secara luar biasa sekali hingga kami berdua tidak dapat melihat siapa
menang siapa kalah. Mendadak mereka berhenti bertempur dan agaknya lalu
mengikat persahabatan. Si Nelayan Tua itu benar-benar setan air! Ia menyelam ke
dalam air dan berhasil mencari dan mengambil perahu yang sudah tenggelam itu.
Bukan main! Selama hidupku belum pernah aku melihat orang dapat melakukan hal
semacam itu. Tentu ia iblis air sungai itu!”
“Hush!
Jangan membuka mulut sembarangan saja. Sekali lagi kau memaki dia, kutampar
mulutmu!” kata Cin Hai sambil mendelikkan matanya sehingga nelayan itu terkejut
dan merasa ketakutan. “Teruskan ceritamu, bagaimana selanjutnya dengan mereka
itu?”
“Selanjutnya?
Tak ada apa-apa lagi. Setelah memperbaiki perahu, mereka berempat lalu
berangkat pergi dan kami ditinggalkan dengan perahu kecil ini dan hadiah uang!”
“Jadi perahu
kecil ini adalah perahu kepunyaan nelayan tua itu?” tanya Cin Hai dengan
girang. Kedua nelayan itu menjadi pucat karena mereka telah kelepasan omong.
“Kalau
begitu kami hendak memakai perahu ini,” kata Ang I Niocu yang merogoh keluar
dua potong uang perak dari sakunya. “Nih, kalian ambillah seorang satu! Perahu
ini kami ambil!”
Melihat
bahwa perahu itu hanya diganti dengan dua potong uang perak, kedua nelayan itu
menjadi bingung, “Ehh, Siocia, ehhh... Toanio, nanti dulu, perahu... perahu
kami ini harganya lebih dari lima potong uang perak!”
Ang I Niocu
mengangkat tangan mengancam. “Perahu ini bukan perahu kalian! Memberi dua
potong perak sudah terlalu banyak untukmu dan itu pun bukan untuk membeli
perahu ini, akan tetapi sebagai upah kalian bercerita tadi!”
Cin Hai dan
Ang I Niocu lalu melompat ke dalam perahu dan mendayung perahu itu ke tengah
sungai. Kedua nelayan itu tidak berani berbuat sesuatu, hanya melihat perahu
itu pergi makin jauh dengan hati memaki-maki kalang kabut, akan tetapi mulut
tidak berani bersuara!
Dua hari
kemudian, saat perahu melalui sebuah hutan, Ang I Niocu melihat pohon-pohon
buah lenci di dekat pantai. Melihat buah yang bergantungan dan sudah masak itu,
timbul seleranya dan dia mengusulkan untuk berhenti dan beristirahat sebentar
sambil mencari dan makan buah. Cin Hai setuju, oleh karena dia pun merasa ingin
makan buah yang segar nampaknya itu.
Mereka kemudian
mendayung perahu ke pinggir dan menarik perahu kecil itu ke darat. Kemudian,
oleh karena melihat tempat itu sunyi dan indah sekali, timbullah kegembiraan
mereka dan keduanya lalu melompat ke atas cabang pohon dan memilih buah sesuka
hati mereka.
Akan tetapi
tiba-tiba Cin Hai berseru kaget dan cepat melompat turun dan ketika Ang I Niocu
memandang ke arah perahu mereka, ia pun terkejut sekali. Seorang tosu (pendeta
penganut Agama Tao) sedang menarik perahu mereka ke arah air, dan agaknya tosu
ini ingin menggunakan kesempatan itu untuk mencuri perahu mereka! Ang I Niocu
menjadi marah sekali dan ia pun cepat melompat turun dari atas pohon.
Ketika Cin
Hai dan Ang I Niocu berlari ke arah perahu mereka, tiba-tiba dari balik batang
pohon besar melompat keluar seorang hwesio (pendeta penganut Agama Buddha) yang
bertubuh pendek namun gemuk sekali. Hwesio ini kelihatan lucu sekali, mukanya
seperti muka anak kecil yang gemuk, dan jika dilihat, ia persis seperti boneka
besar atau Jilaihud yang berwajah baik dan peramah.
Mukanya yang
bulat itu selalu tersenyum ramah. Tubuhnya bagian atas yang serba bulat dan
gemuk dililit kain yang hanya menutupi kedua pundak dan lengannya saja, ada pun
tubuh atas bagian depan terbuka sama sekali! Dadanya yang bergajih dan pusarnya
yang besar kelihatan menambah kelucuannya.
Ia
menghadang Cin Hai dan Ang I Niocu sambil tertawa-tawa dan berkata, “Ai, aih,
kalian sepasang burung dara yang bahagia! Kenapa melayang turun dari pohon dan
berlari-lari. Bukankah lebih senang bermain-main di atas pohon?”
Bukan main
marahnya Cin Hai mendengar ini, ada pun Ang I Niocu dengan muka merah lalu
membentak, “Bangsat gundul kurang ajar! Tutup mulutmu dan minggirlah!”
Akan tetapi
hwesio tadi memandang heran dan tertawa lagi, “Ehh, ehh, mengapa kalian malah
marah-marah? Apakah aku mengganggu kalian?”
“Hwesio
gemuk, jangan kau menghadang di depan kami!” kata Cin Hai yang lebih sabar,
“Kami akan mengejar pencuri perahu itu!”
Si Hwesio
tertawa terus dan berkata, “Pencuri perahu? Kau maksudkan tosu itu? Ahh, dia
adalah saudaraku! Kami hanya ingin pinjam sebentar perahumu itu!”
“Bagus,
hwesio maling!” kata Ang I Niocu yang segera melompat maju sambil mengayun
kepalan tangannya menghantam dada hwesio yang gemuk itu. Akan tetapi Ang I
Niocu terkejut sekali karena tidak menyangka bahwa hwesio segemuk ini dapat
bergerak gesit sekali ketika ia mengelak dari pukulan Ang I Niocu.
“Waduh,
ganas... ganas...!” seru hwesio gendut itu yang masih saja tertawa-tawa meski
pun Ang I Niocu menyerang bertubi-tubi dengan pukulan cepat hingga ia harus
mengelak ke sana ke mari dengan repot sekali.
Sementara
itu, tosu yang hendak mencuri perahu tadi, ketika melihat betapa saudaranya
diserang oleh Ang I Niocu dan terdesak sekali, cepat-cepat menarik kembali
perahu itu ke darat dan berlari-lari ke arah tempat pertempuran.
“Jangan kau
memukul Adikku!” teriaknya dan segera menyerang Ang I Niocu.
Melihat
serangan ini hebat juga datangnya, Cin Hai lalu maju menangkis dan keduanya
lalu bertempur ramai! Keadaan tosu ini sama sekali berbeda dengan hwesio itu.
Kalau hwesio itu gemuk dan pendek bermuka ramah dan mulutnya selalu tersenyum,
adalah Si Tosu ini mukanya seperti orang sedang mewek dan menangis. Matanya
yang sangat sipit itu seakan-akan memandang dengan sedih sehingga membikin
sedih pula kepada orang yang melihatnya.
Walau pun
Ang I Niocu sedang marah, akan tetapi melihat betapa hwesio itu biar pun
terdesak sekali masih saja tertawa-tawa dengan muka sama sekali tidak
memperlihatkan ketakutan, menjadi tidak tega hati untuk melukainya, dan hanya
mendesak dengan ilmu silat yang baru dipelajarinya dari Bu Pun Su, yaitu ilmu
Silat Kong-ciak Sin-na sehingga hwesio itu tak dapat membalas menyerang dan
dipermainkan oleh Ang I Niocu bagaikan seekor kucing. Ang I Niocu memang
sengaja menggunakan hwesio itu sebagai ujian bagi ilmu silatnya yang baru dan
ia merasa girang sekali mendapat kenyataan bahwa ilmu silat yang dipelajarinya
dari Bu Pun Su ini memang betul-betul luar biasa.
Sebaliknya,
dengan mudahnya Cin Hai pun dapat mendesak Si Tosu. Kemudian, sebelah kakinya
berhasil menggaet kaki tosu itu yang segera jatuh terguling-guling dan mengeluh
kesakitan.
“Nah, biar
kau kapok mendapat hajaran sedikit!” kata Cin Hai. “Dan supaya lain kali tidak
berani mencoba untuk mencuri perahu lain orang.”
Dengan muka
seperti orang menangis, Si Tosu itu menoleh ke arah hwesio yang masih diserang
kalang-kabut oleh Ang I Niocu. Ia mengeluh lagi dan berseru, “Ceng Tek,
sudahlah baik kita menyerah. Mereka ini bukan makanan kita!”
Mendengar
kata-kata ini, hwesio gemuk itu cepat melompat mundur dan berkata sambil
tertawa, “Sudahlah Nona, pinceng mengaku kalah!”
Ang I Niocu
menjadi geli hatinya dan ia pun tidak tega untuk menyerbu terus. “Siapakah
kalian dua orang tua ini, dan mengapa kalian hendak mencuri perahu kami?”
tanyanya.
Kedua
pendeta itu saling pandang dan sambil menjura, tosu itu berkata, “Kami dua
kakak beradik adalah pendeta-pendeta perantau. Adikku ini bernama Ceng Tek
Hwesio ada pun pinto sendiri bernama Ceng To Tosu. Tadinya kami mengira bahwa
kalian berdua adalah sepasang orang muda yang hendak berpelesir di sini, maka
kami berani mengganggu dan hendak meminjam perahu kalian. Tidak tahunya,
melihat pakaian serta kepandaian Nona ini, kami tidak akan heran apa bila kau
mengaku wanita yang berjuluk Ang I Niocu!”
Ang I Niocu
tersenyum. “Memang dugaanmu tepat sekali, Totiang. Memang aku adalah Ang I
Niocu dan saudaraku ini adalah Pendekar Bodoh!”
Kedua mata
Ceng To Tosu yang sipit itu dipentang lebar. “Apa? Dengan kepandaiannya seperti
itu, ia masih disebut Pendekar Bodoh? Ah, kalau yang bodoh saja kepandaiannya
setinggi ini, apa lagi yang pintar?”
Biar pun
tosu ini mengucapkan kata-kata yang mengandung kelakar, namun tetap saja
mukanya mewek seperti mau menangis! Dan hwesio pendek gemuk itu tetap tersenyum
dengan muka sesenang-senangnya!
Cin Hai
tertarik sekali melihat dua saudara yang aneh ini, maka ia lalu bertanya.
“Harap kau dua orang suci suka berkata terus terang saja. Sebenarnya mau
meminjam perahu kami hendak pergi ke manakah?”
Kini hwesio
gemuk itu yang menjawab dan ucapannya penuh kejujuran. “Kami hendak pergi ke
laut dan mencari sebuah pulau.”
“Pulau Emas?”
Cin Hai cepat menyambung dan kedua pendeta itu tercengang.
“Kau...
sudah tahu?”
“Tentu saja!
Kami hendak pergi ke sana!”
“Aha!
Sungguh kebetulan sekali. Sudahkah kalian dua anak muda tahu di mana letaknya
Kim-san-to (Pulau Gunung Emas)?”
Secara terus
terang saja Cin Hai menyatakan belum tahu. Kedua pendeta itu lalu saling
pandang dan akhirnya Si Tosu berkata, “Baiklah, sekarang diatur begini saja.
Perahu ini cukup lebar untuk ditumpangi oleh empat orang. Kami berdua
membonceng kalian dan sekaligus menjadi penunjuk jalan. Kalian mempunyai perahu
akan tetapi tidak mengenal jalan, sedangkan kami berdua yang kenal jalan tidak
mempunyai perahu! Bukankah kita dapat saling menolong?”
Cin Hai dan
Ang I Niocu kini saling berpandangan dan akhirnya Cin Hai mengangguk dan
berkata, “Kata-katamu ini pantas juga. Biarlah kita bersama-sama mencari pulau
itu dan kalian berdua menjadi penunjuk jalan!”
“Akan tetapi
perahu kita kecil dan hwesio gemuk ini tentu berat sekali! Asal saja kau tidak
banyak bergerak hingga jangan-jangan perahu kita akan terguling dan tenggelam!”
kata Ang I Niocu sambil tertawa sehingga mereka berempat sama-sama tertawa
gembira.
Cin Hai dan
Ang I Niocu merasa suka pada dua orang aneh itu. Mereka dapat menduga bahwa
kedua orang ini tentulah orang-orang kang-ouw yang berwatak baik.
Beberapa
hari kemudian, empat orang dalam perahu kecil itu sudah sampai di samudera dan
mulai dengan usaha mereka untuk mencari Pulau Kim-san-tho. Atas petunjuk kedua
pendeta itu, perahu lalu didayung ke kiri melalui pantai yang curam dan
batu-batu karang yang tinggi.
Ketika
perahu mereka bergerak perlahan di tepi batu karang yang tinggi dan hitam, dari
atas tiba-tiba saja menyambar turun bayangan yang gerakannya cepat sekali!
Bayangan ini menyambar ke arah dada dan perut Ceng Tek Hwesio yang telanjang.
Empat orang
di dalam perahu itu terkejut sekali ketika melihat bahwa yang menyambar adalah
seekor burung rajawali yang besar dan buas sekali! Agaknya burung ini tertarik
oleh kegemukan dada dan perut Ceng Tek Hwesio yang bergajih dan montok itu,
hingga ia menyambar turun dan hendak mencengkeram daging gemuk itu!
Ceng Tek
Hwesio merasa kaget dan hendak berkelit, namun berat badannya membuat perahu
itu berguncang!
“Hai, jangan
bergerak!” Ang I Niocu mencegah.
Gadis ini
dengan cepat lalu menendang ke arah burung yang menyambar turun itu dan
alangkah kagetnya ketika burung itu dengan cepat mampu mengelak dari
tendangannya dan melayang ke atas lagi!
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment