Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Suling Emas Naga Siluman
Jilid 20
"Nah,
pihak kami telah dapat membuktikan, lalu apakah bukti pihak lain yang
mengaku-ngaku kuda hitam itu sebagai kudanya?”
Ucapan ini
jelas ditujukan kepada pihak Thio-thicu yang juga sudah naik ke atas panggung
itu, dan Thio-thicu tentu saja hanya dapat menoleh kepada Suma Kian Bu dan
menyerahkan jawabannya kepada pendekar ini. Suma Kian Bu bersikap tenang saja,
dan mengangguk-angguk.
“Memang adil
sekali, pemiliknya yang asli harus dapat menunjukkan bahwa kuda itu taat
kepadanya, dan itu dapat menjadi bukti. Nah, untuk membuktikan hal itu, aku
akan menyuruh kuda itu melemparkan siapa pun juga yang berani menungganginya!”
kata pendekar itu dengan tenang.
“Baik, aku
akan menungganginya!” Tiba-tiba Lui Shi sudah berseru dengan cepat dan wajahnya
berseri-seri.
Di dalam
hidupnya, selama ini Lui Shi tidak pernah terpisah dari kuda yang menjadi
kegemarannya, juga memang keahliannya adalah menunggang kuda. Selain itu, dia
merasa yakin bahwa ia telah benar-benar menguasai kuda hitam itu yang tentu
takkan pernah mau membangkang terhadap perintahnya. Maka ia menerima tantangan
ini. “Biarlah masing-masing pihak membuktikan bahwa ia pemilik sejati. Siapa
yang mampu menungganginya selama terbakarnya sebatang hio maka dialah
pemiliknya!”
“Itu sudah
adil!” Siang In berseru pula.
Kepala
daerah itu merasa gembira dan minta kepada para pembantunya membuat pengumuman
di ujung panggung itu akan adanya pertunjukan yang cukup menarik ini, untuk
membuktikan siapa pemilik asli dari kuda hitam itu. Seorang petugas dengan
suaranya yang nyaring segera membuat pengumuman dan para penonton menjadi
gembira sekali karena setelah perlombaan yang sangat menarik dan ramai itu,
kini terdapat lagi sebuah pertunjukan yang akan cukup menegangkan.
Dan kembali
ramailah orang saling bertaruh, yaitu bertaruh untuk siapa yang akan keluar
sebagai pemenang. Dan seperti juga tadi, kini banyak yang berani menjagoi Lui
Shi, setelah mereka tadi melihat ketangkasan wanita ini dalam menunggangi
kudanya. Mereka, para penonton ini, tidak peduli siapa sesungguhnya pemilik
kuda hitam itu, maka mereka bertaruh untuk siapa yang akan menang dalam
menundukkan kuda itu dan tetap dapat menungganginya selama terbakarnya sebatang
hio.
“Biarlah aku
yang akan menungganginya,” bisik Ci Sian kepada suami isteri itu.
Akan tetapi
sekali ini Siang In menggeleng kepala. “Jangan Ci Sian. Aku sendiri pun tidak
berani untuk melayaninya menunggang kuda. Satu-satunya yang akan dapat
mengalahkannya hanyalah suamiku.”
Mendengar
bisikan kembali dari Siang In ini, Ci Sian tidak banyak cakap karena dia
percaya penuh kepada suami isteri ini. Apalagi karena memang kuda itu adalah
milik mereka.
Apa yang
diucapkan oleh Siang In memang tepat sekali. Mereka mempunyai dua ekor kuda,
yang keduanya sama benar, sama-sama hitam dan merupakan sepasang kuda yang
sukar dicari bandingnya dan merupakan binatang-binatang yang luar biasa. Yang
jantan mereka sebut Twa-liong, sedangkan yang betina mereka sebut Siauw-liong
(Naga Kecil), dan keduanya merupakan jenis kuda Hek-liong-ma (Kuda Naga Hitam)
yang dahulu pernah dimonopoli oleh keluarga Kerajaan Mongol pada saat berkuasa
di Tiongkok.
Di jaman
itu, boleh dibilang Hek-liong-ma hanya dimiliki oleh keluarga Raja dan orang
lain tidak diperbolehkan memilikinya. Kalau ada yang memilikinya tentu
dirampas. Setelah Kerajaan Goan (Mongol) roboh dan hancur, diperkirakan orang
bahwa keluarga Raja itu pun membasmi kuda-kuda Hek-liong-ma. Dan memang
kenyataannya juga demikian, akan tetapi ternyata ada beberapa ekor kuda yang
dapat lolos dan dua ekor kuda yang dimiliki oleh pendekar penghuni Pulau Es dan
isterinya itu adalah keturunan dari kuda-kuda Hek-liong-ma yang lolos itu.
Twa-liong
(Naga Besar) yang jantan menjadi tunggangan Siang In, sedangkan Siauw-liong
menjadi tunggangan Suma Kian Bu. Oleh karena itulah, maka biar pun Siauw-liong
juga tidak asing dengan Siang In, namun nyonya ini maklum bahwa kuda itu akan
lebih akrab dan mudah mengenal bau badan orang lain. Pula, dengan membiarkan
suaminya yang menunggangi kudanya itu, ia sendiri dapat berjaga-jaga untuk
menolak pengaruh ilmu sihir atau ilmu hitam, kalau-kalau pihak lawan
mempergunakannya untuk mencapai kemenangan.
“Untuk
menentukan siapa yang lebih dulu harus mencoba menunggangi kuda itu, akan
diadakan undian,” kata seorang petugas yang telah ditugaskan oleh pembesar
Kepala Daerah untuk mengurus pertandingan ini dan Sang Petugas ini memang ahli
dalam mengurus segala macam perlombaan atau pertandingan.
“Tidak
adil!” kata Lui Shi. “Dialah yang menuduhku maling kuda dan dia yang mengakui
kudaku ini sebagai kudanya, maka dia yang harus lebih dulu membuktikan
kebenaran omongannya bahwa kuda ini akan taat kepadanya!”
Petugas itu
hendak membantah karena peraturan perlombaan tidak peduli akan semua alasan.
Yang penting, para peserta perlombaan harus mentaati peraturan dan berlaku bagi
semua peserta, itu barulah adil namanya.
Akan tetapi
Kian Bu segera berkata, “Baiklah, biar aku yang menunggangi kudaku itu lebih
dulu!”
Karena pihak
yang lain sudah setuju, maka petugas itu pun tidak banyak ribut lagi dan wajah
Lui Shi berseri, walau pun wajah itu kini tidak dapat nampak manis lagi setelah
bedak dan gincunya luntur dan bengkak-bengkak bekas tamparan Ci Sian tadi.
Memang wanita ini amat cerdik.
Ia memang
sudah yakin akan kemampuannya sendiri yang membuat ia percaya bahwa ia tidak
mungkin dapat terjatuh dari punggung kuda hitam itu untuk selama terbakarnya
sebatang hio (dupa) saja. Akan tetapi ia belum tahu sampai di mana kemahiran
lawan menunggang kuda. Kalau lawan ini pun berhasil bertahan sampai selama itu,
bukankah hal itu masih belum membuat ia keluar sebagai pemenang?
Oleh karena
itu, ia mencari jalan untuk memaksa lawan lebih dulu menunggang kuda dan ia
akan menggunakan semua kepandaiannya untuk membuat lawan ini tidak dapat
bertahan sampai habisnya hio itu terbakar. Kalau lawan gagal, barulah ia dengan
enak akan dapat memetik kemenangan itu! Sebaliknya, andai kata lawannya
berhasil, ia pun dapat mempelajari rahasia apa yang dimilikinya atas kuda itu
sehingga ia akan dapat menguasai rahasia itu pula! Memang ia seorang wanita
cerdik! Setidaknya, ia sendiri menganggap dirinya amat cerdik.
Karena perlombaan
balap kuda sudah selesai, maka kini para penontan tanpa dapat dicegah lagi
telah mendesak maju mengerumuni panggung dan para pasukan penjaga hanya dapat
mencegah mereka terlalu mendekat panggung dan memberi arena pertandingan
menunggang kuda yang cukup luas di bawah panggung. Para pembesar sudah
berpindah duduk, kini di tepi panggung itu agar dapat menyaksikan dengan jelas
pertandingan kemahiran menunggang kuda yang akan berlangsung antara dua orang
wakil dari Thio-thicu dan Bouw-thicu itu.
Biar pun
persoalannya kini tidak ada sangkut-pautnya dengan kedua orang tuan tanah itu,
melainkan lebih merupakan persoalan pribadi antara Lui Shi dan Suma Kian Bu,
akan tetapi karena mereka berada di pihak dua orang tuan tanah itu, maka umum
menganggap bahwa pertandingan ini merupakan kelanjutan dari pada balap kuda
tadi.
Untuk
memberi kesempatan kedua orang itu memperlihatkan bukti bahwa seorang di antara
mereka adalah pemilik kuda yang sah, maka ketika yang seorang menunggang kuda,
pihak lain diperbolehkan memberi aba-aba kepada kuda itu, akan tetapi harus
dengan duduk di pinggiran dan tidak boleh mendekati kuda untuk mengganggunya
dengan gerakan. Aba-aba saja sudah merupakan bukti cukup, kepada orang yang
mana kuda itu akan lebih taat.
Seorang
petugas yang ahli tentang kuda telah memeriksa kuda hitam itu dan tidak
menemukan sesuatu yang mencurigakan, yang mengkhawatirkan dipasangkan kepada
kuda itu. Ia memegangi kendali kuda dan mengelus kuda itu, menanti seorang
rekannya membuat persiapan menyalakan sebatang dupa. Setelah dari atas
panggung, pembesar kepala daerah yang bertindak sebagai juri itu memberi tanda
dengan tangannya, maka petugas yang memegang dupa lalu menyalakannya dan Suma
Kian Bu diberi tanda untuk mulai menunggang kuda yang diperebutkan itu.
Kian Bu
menghampiri kuda hitam, merangkulnya dan berbisik lirlh, “Siauw-ma....!”
Kuda itu
mendengus-dengus, kemudian seperti mengenal bau badan pendekar itu dan
kegirangan, kuda itu meringkik dan mengangkat kedua kaki depan ke atas, membuat
petugas yang memegang kendali kuda menjadi kewalahan dan terpaksa melepaskan
kendali kuda. Kian Bu girang sekali dan karena petugas sudah memberi isyarat
kepadanya untuk mulai menunggang, sedangkan hio sudah dinyalakan, dia pun lalu
melompat dengan gerakan ringan sekali ke atas punggung Siauw-ma.
Tiba-tiba,
dari tempat duduknya Lui Shi mengeluarkan suara aneh, teriakan parau seperti
yang biasa dipergunakan oleh bangsa Tibet kalau membentak binatang yak mereka.
Mendengar suara ini, Siauw-ma nampak terkejut dan mengangkat kedua kaki
depannya, akan tetapi Kian Bu masih duduk dengan tenang di atas punggung kuda
itu dan membisikkan suaranya memanggil nama kuda itu dan menepuk-nepuk
lehernya.
Kuda itu
tenang kembali walau pun matanya masih terbelalak. Suara Kian Bu telah
dikenalnya benar, dan bukan hanya suaranya, juga bau badannya dan bahkan cara
pendekar itu duduk di atas punggungnya telah dikenalnya kembali dan membuat
kuda itu menjadi jinak dan taat. Dengan tenang Kian Bu menjalankan kudanya
berputaran di depan panggung itu, namun dia tidak menjadi lengah dan diam-diam
dia memperhatikan kepada lawannya, yaitu Lui Shi yang menjadi mulai penasaran
karena kuda hitam itu tidak mau mentaati perintahnya.
Kembali ia
mengeluarkan bentakan-bentakan aneh, yaitu perintah-perintah kepada kuda itu
untuk melemparkan penunggangnya dari atas punggungnya. Perintah-perintah ini
memang ada pengaruhnya terhadap Siauw-ma, bahkan sebuah perintah membuat kuda
itu sempat bertekuk lutut kedua kaki ke depannya dan membuat kuda itu mendekam!
Akan tetapi, Pendekar Siluman Kecil itu masih saja enak-enak duduk di atas
punggung kuda, dan dengan suara halus Kian Bu memerintahkan kudanya bangkit
kembali dan Siauw-ma juga menurut!
Bertubi-tubi
Lui Shi membentakkan perintahnya dan mengeluarkan semua keahliannya untuk
menjinakkan dan menaklukkan kuda itu, namun selalu kuda itu menjadi tenang
kembali setelah mendengar suara Kian Bu. Sementara itu, dupa yang dinyalakan
terus menyala dan sudah hampir habis, tanda bahwa sepuluh menit sudah hampir
dilewati. Lui Shi menjadi semakin penasaran dan tiba-tiba saja ia mengeluarkan
suara mendesis-desis seperti datangnya ratusan ekor ular!
Mendengar
suara ini, Siauw-ma menjadi terkejut sekali, mengangkat kedua kaki depan ke
atas dan meringkik-ringkik, matanya liar terbelalak dan nampaknya ketakutan sekali.
Akan tetapi kuda itu tetap tidak mampu membuat Kian Bu terlempar dari
punggungnya. Pendekar itu lalu merangkul leher kuda, mendekatkan mulutnya ke
telinga kuda itu dan berbisik-bisik serta membujuk-bujuk dengan lemah-lembut.
Akhirnya, perlahan-lahan Siauw-ma menjadi tenang kembali dan menurunkan lagi
kedua kaki ke depan, walau pun binatang itu masih nampak takut-takut dan
tubuhnya masih gemetar.
Sementara
itu, hio telah terbakar habis dan petugas memberi tanda. Kian Bu tersenyum dan
di bawah tepuk sorak mereka yang menjagoi pihak Thio-thicu, dia pun meloncat
turun dari atas kudanya.
Kini tibalah
giliran Lui Shi untuk memperlihatkan kemahirannya berkuda, dan terutama untuk
memperlihatkan sebagai bukti bahwa kuda itu akan taat kepadanya dan ia akan dapat
bertahan di atas punggungnya selama terbakarnya sebatang hio. Dengan penuh
keyakinan akan kemampuannya sendiri, wanita ini pun menghampiri kuda itu.
Dengan lagak yang genit ia merangkul leher kuda lalu mencium muka kuda itu.
Akan tetapi
ketika wanita itu meloncat ke atas punggung kuda, pandang mata yang tajam dari
Kian Bu dan yang selalu waspada itu telah dapat melihat betapa wanita itu
mengeluarkan sebuah benda dari dalam saku baju dalamnya. Dia tidak tahu benda
apakah itu, akan tetapi dapat menduga bahwa tentu wanita itu akan menggunakan
kecurangan dan dia menduga bahwa benda itu tentu semacam alat atau obat untuk
membuat Siauw-ma menjadi penurut dan seperti lumpuh sehingga akan kehilangan
semangat dan mau saja diperlakukan apa pun oleh wanita itu. Inilah agaknya yang
membuat kuda itu dahulu dengan mudah dapat dicurinya.
Memang
dugaan Kian Bu itu benar. Lui Shi sudah melihat tadi betapa pria berambut
panjang putih itu memiliki kepandaian hebat dan juga benar-benar memiliki
pengaruh yang besar terhadap kuda hitam itu. Agaknya, dalam soal mempengaruhi
kuda itu, ia akan kalah. Tadi pun ia tidak berhasil membuat kuda itu mengamuk
dan menjatuhkan penunggangnya.
Biar pun ia
percaya akan ketrampilannya sendiri dalam hal menunggang kuda, akan tetapi
tidak dapat dibayangkan apa yang akan terjadi melihat betapa kuda itu begitu
taat kepada pemiliknya. Untuk mencegah terjadinya kemungkinan yang akan membuat
ia kalah, maka ia telah mengeluarkan akar pembius kuda. Dengan akar ini, ia
akan dapat menundukkan kuda hitam dan membuatnya terbius sehingga tidak
memiliki semangat dan kemauan lagi.
Caranya,
selain membiarkan kuda itu mencium akar itu, juga menotok beberapa jalan darah
di belakang telinga dan menusukkan jarumnya di atas kepala di antara kedua
matanya. Hal itu akan dapat dilakukannya dengan mudah saja, akan tetapi ia baru
akan melakukan kalau benar-benar ia nanti tidak dapat lagi menguasai kuda itu
dan terancam bahaya dipaksa turun dari punggungnya.
Tiba-tiba
wanita itu terkejut bukan main. Ada suara di dekat telinganya, seolah-olah ada
orang bicara di dekatnya, dekat sekali dengan telinganya sehingga biarpun suara
itu seperti bisikan saja, namun terdengar jelas satu-satu.
“Kalau
engkau pergunakan benda itu terhadap Siauw-ma, sebelumnya engkau akan roboh dan
binasa!”
Lui Shi
terkejut bukan main dan cepat menengok ke arah Suma Kian Bu. Pada saat itu ia
melihat pendekar itu menggerakkan tangan kanannya dengan telunjuk menuding ke
arahnya sambil terdengar pendekar itu berkata, “Jangan bermain curang!”
Bagi orang
lain, agaknya pendekar itu hanya menuding dan memperingatkannya agar lawan
tidak bermain curang. Akan tetapi bagi Lui Shi berbeda sekali akibatnya. Dia
merasakan adanya sambaran tenaga yang amat kuat dari telunjuk pendekar itu dan
mendadak saja ia merasakan dekat tenggorokannya tersentuh sesuatu!
Maklumlah ia
bahwa kalau pendekar itu menghendaki, dari jarak jauh pendekar itu akan mampu
membunuhnya! Mukanya berubah pucat dan dengan cepat ia sudah mengantongi
kembali benda akar yang tadinya hendak dipergunakan untuk membius kuda hitam!
Dan ia melihat pendekar itu tersenyum!
Lui Shi
menenangkan hatinya yang terguncang. Ia maklum bahwa dalam menghadapi pendekar
ini, dia harus hati-hati sekali dan tidak boleh sembrono. Kalau dia nekat
menggunakan akal curang, tentu pendekar itu akan turun tangan dan agaknya akan
sukar baginya untuk menyelamatkan diri.
Tetapi ia
masih percaya akan kemampuannya menunggang kuda. Jangankan kuda hitam itu yang
sudah terbiasa dengannya, biar pun seekor kuda liar yang belum pernah
dikenalnya sekali pun, tentu dia akan mampu menungganginya! Maka, dengan penuh
kepercayaan akan kemampuannya sendiri, ia pun membalas senyuman itu, dengan
senyum mengejek.
Dengan lagak
yang genit Lui Shi menjalankan kudanya berputaran di depan panggung seperti
yang dilakukan oleh Kian Bu tadi. Tiba-tiba terdengar suara Kian Bu, terdengar
oleh semua orang, akan tetapi dengan khikang-nya, Kian Bu dapat membuat
suaranya itu langsung terdengar oleh Siauw-ma dengan jelas sekali. Ketika kuda
itu masih berada padanya, memang Kian Bu mengajarnya dengan aba-aba yang biasa
saja sehingga kuda itu dapat mengenal baik suara dan maksud kata-kata Kian Bu,
tentu saja kata-kata tertentu yang sudah biasa didengarnya ketika kuda itu
dilatih.
“Siauw-ma,
lemparkan penunggangmu dari punggungmu!”
Dan reaksi
yang menjadi tanggapan kuda itu memang seketika. Binatang itu meringkik dan
mula-mula ia mengangkat kedua kaki depan ke atas, kemudian berloncatan ke kanan
kiri sambil menggoyang-goyang tubuhnya. Dan para penonton bersorak-sorak karena
melihat pemandangan yang mendebarkan. Kuda itu membuat segala macam gerakan
aneh dan kuat untuk melemparkan penunggangnya dari atas punggung.
Mula-mula
Lui Shi berusaha menenangkan kuda itu dengan belaian-belaian tangan pada leher,
dengan bisikan-bisikan, dengan bentakan-bentakan dan dengan tendangan-tendangan
kakinya pada perut dan tubuh kuda. Akan tetapi, segera dia memperoleh kenyataan
bahwa kuda itu sama sekali tidak mau mentaati semua perintah lawannya yang
menyuruh binatang itu melemparkannya dari punggungnya.
“Setan
hitam! Bagaimana pun engkau tidak akan mungkin dapat melemparkan aku!” Akhirnya
ia berseru marah dan menempel di punggung kudanya seperti seekor lintah
menempel di perut kerbau!
Kuda itu
berjingkrak-jingkrak, menggoyang-goyang tubuhnya dan berusaha menggigit ke arah
penunggangnya. Namun dengan kemahirannya yang mengagumkan, Lui Shi tetap dapat
bertahan terus. Tubuh wanita itu terguncang-guncang, miring ke kanan kiri,
depan belakang, namun ia tetap dapat bertahan di atas punggung Siauw-ma.
Diam-diam
Suma Kian Bu, Teng Siang In dan Ci Sian harus mengakui bahwa memang wanita itu
memiliki kemahiran menunggang kuda yang hebat! Sukar dicari orang lain yang
akan mampu bertahan setelah kuda hitam itu membuat usaha mati-matian seperti
itu, untuk melemparkan penunggangnya! Dan dupa itu pun terbakar perlahan-lahan,
mendekat gagangnya. Sebentar lagi akan habis, namun Lui Shi tetap dapat
bertahan di atas punggung Siauw-ma. Melihat ini, Pendekar Siluman Kecil
mengangguk-angguk.
“Keras
kepala!” gumamnya dan tiba-tiba terdengar lagi suaranya yang sangat nyaring.
“Siauw-ma, bergulinglah engkau!”
Lui Shi
terkejut sekali. Tak disangkanya pendekar itu pernah mengajarkan Siauw-ma untuk
bergulingan! Maka ketika kuda itu menjatuhkan diri, ia berusaha menahannya dan
mengerahkan seluruh tenaganya. Namun ia tidak dapat menahan dan ketika kuda itu
akhirnya rebah miring dan hendak bergulingan, tentu saja Lui Shi tidak mau
tubuhnya terhimpit oleh badan kuda itu. Akan remuk-remuk tulangnya kalau terjadi
hal itu! Maka ia pun meloncat ke atas tanah sebelum kuda itu bergulingan dan
dengan demikian ia pun kalah! Dupa itu belum habis terbakar dan ia sudah turun
dari atas punggung kuda!
Sorak-sorak
dan tepuk tangan yang riuh menyambut kemenangan pihak Thio-thicu ini dan wajah
Bouw-thicu menjadi merah sekali. Habislah sudah dia! Balapan kuda kalah, dan
untuk itu dia telah kalah taruhan yang amat banyak, lebih dari setengah
hartanya. Dan sekarang, dalam lomba ketangkasan kuda yang sekaligus juga
menentukan siapa pemilik kuda dan siapa pencurinya, dia pun kalah. Hal ini
berarti bahwa namanya akan tercemar sebagai orang yang memelihara pencuri kuda!
Kekecewaan demi kekecewaan membuat dia menjadi marah sekali dan diam-diam dia
telah mempersiapkan para tukang pukulnya yang berkepandaian tinggi.
“Orang asing
ini mempergunakan ilmu siluman! Dia orang asing yang datang untuk mengacau di
Sinkang. Bunuh dia!” teriaknya.
Dan lebih
dari dua puluh orang tukang pukulnya dengan senjata di tangan sudah menerjang
kepada Suma Kian Bu! Akan tetapi pada saat itu, Ci Sian dan Teng Siang In sudah
berloncatan, demikian pula Suma Kian Bu sendiri sudah menyambut serangan
orang-orang itu dengan tangkas sekali. Semua penonton yang tadinya menjadi
panik dan ketakutan, kini berdiri melongo dan kagum sekali melihat betapa
pendekar dan dua orang wanita cantik itu dengan mudahnya merobohkan semua
pengeroyok!
Bagaikan
tiga ekor naga sakti mengamuk, mereka itu bergerak ke sana-sini di antara
kilatan senjata para pengeroyok dan ke mana pun tiga orang ini bergerak
menyambar, tentu ada seorang pengeroyok yang roboh! Dalam waktu singkat saja,
lebih dari dua puluh orang itu roboh semua. Lui Shi yang tadinya juga ikut
mengeroyok, hendak melarikan diri, demikian pun Bouw-thicu. Akan tetapi Siang
In sudah meloncat dengan cepat menghadang Lui Shi.
“Engkau ini
hanya tikus busuk, bisanya hanya merayap lari, sekarang hendak merayap ke
manakah?”
Terjadilah keanehan
yang luar biasa. Lui Shi sejenak terbelalak, kemudian.... wanita ini pun
kemudian menurunkan kedua lengannya dan merangkak-rangkak dan hendak melarikan
diri dengan merangkak seperti seekor tikus besar! Tentu saja semua orang
terheran-heran melihat ini, bahkan ada yang tertawa geli.
Di lain
saat, Siang In yang tadinya menguasai wanita itu dengan kekuatan sihir, sudah
menotok pundaknya, membuat Lui Shi roboh dan tak mampu bergerak lagi. Sementara
itu, Bouw-thicu juga dihadang oleh Suma Kian Bu. Tuan tanah yang tinggi besar
itu ternyata bukanlah orang lemah. Melihat bahwa segala usahanya gagal, dia
menjadi nekat. Sambil berteriak memberi aba-aba kepada semua orangnya untuk
menyerang, dia sudah menyerang Kian Bu. Akan tetapi, sekali tangkis dan sekali
totok saja, Kian Bu membuatnya terjungkal dan ketika anak buah tuan tanah ini
hendak bergerak maju, tiba-tiba pasukan pemerintah sudah bergerak dan mengepung
mereka.
Pembesar
kepala daerah yang sudah berdiri di tepi panggung lalu berkata dengan suara
nyaring, dan karena keadaan amat menegangkan sedangkan baru sekarang Kepala
Daerah mengeluarkan suara, maka suaranya terdengar dengan jelas dan menjadi
perhatian semua orang.
“Perhatian
para tamu dan penonton! Suami-isteri pendekar yang memiliki kuda hitam ini
adalah adik kandung dari Panglima Puteri Milana! Sudah terbukti bahwa
Thio-thicu memenangkan perlombaan balapan kuda, dan bahkan kuda hitam yang
dikeluarkan Bouw-thicu ternyata adalah milik Suma-taihiap ini! Bouw-thicu sudah
sengaja membuat keributan dan dia akan diadili. Kalau ada yang berani berbuat
keributan, mereka akan dianggap pemberontak dan akan ditumpas!”
Tentu saja
semua orang terkejut sekali mendengar pengumuman pembesar ini. Bahkan
Thio-thicu sendiri menjadi terkejut. Tak pernah disangkanya bahwa tamunya itu
adalah adik kandung Panglima Puteri Milana yang amat terkenal itu. Siang In dan
Ci Sian sendiri juga terkejut dan mengertilah mereka bahwa semalam, ketika
mereka pergi menyelidiki keadaan Bouw-thicu, diam-diam pendekar itu telah pergi
menghubungi pembesar Kepala Daerah dan menceritakan segala hal tentang dirinya
dan tentang Bouw-thicu.
Bouw-thicu
dan Lui Shi ditangkap, demikian pula para pengawal Bouw-thicu yang tadi
membikin ribut dengan menyerang Kian Bu dan akhirnya semua roboh oleh Kian Bu,
Siang In, dan Ci Sian. Setelah pembesar Kepala Daerah membagi-bagi semua hadiah
kejuaraan, pertemuan itu dibubarkan dan semua penonton pulang ke rumah
masing-masing dengan hati puas karena banyak hal yang dapat mereka saling
bicarakan dan ceritakan kepada orang lain, yang telah terjadi di padang rumput
tempat perlombaan itu.
Malam hari
itu, Kian Bu, Siang In, dan Ci Sian diundang dan dijamu makan oleh Pembesar
Kepala Daerah! Dalam pesta ini diundang pula Thio-thicu dan semua tuan tanah
yang telah ikut perlombaan. Memang Pembesar Kepala Daerah Sin-kiang itu cukup
cerdik.
Setelah
malam tadi Kian Bu menjumpainya dan memperkenalkan diri, diam-diam dia terkejut
sekali dan khawatir kalau-kalau pendekar ini adalah utusan dari kerajaan untuk
menyelidiki hasil pekerjaan atau tugasnya di Sin-kiang. Oleh karena itulah maka
dia siang tadi bersikap keras terhadap Bouw-thicu, sungguh pun tuan tanah ini
merupakan seorang di antara para sahabatnya, bahkan yang paling royal terhadap
dirinya.
Dan pada
malam hari ini, selain mengundang pendekar itu dan keluarganya sebagai
penghormatan, juga sekalian memanggil atau mengundang semua tuan tanah karena
kesempatan ini hendak dipergunakan untuk dua hal. Pertama, agar pendekar itu,
kalau benar utusan pemerintah pusat, dapat melihat betapa para tuan tanah sudah
dapat dipersatukannya, dan kedua, kehadiran pendekar itu hendak dipergunakannya
untuk mempengaruhi para tuan tanah agar mereka tidak lagi menimbulkan keributan
satu sama lain.
Pesta itu
berlangsung meriah dan dalam kesempatan ini Suma Kian Bu juga mencari
keterangan tentang berita angin adanya ular naga hijau di daerah itu.
Mendengar
pertanyaan pendekar ini, Sang Kepala Daerah terbelalak dan berkata, “Ah, memang
ada ular raksasa itu, Suma-taihiap! Bukan hanya dongeng dan berita bohong
belaka. Bahkan kami sendiri pernah mengirim pasukan untuk membasminya, akan
tetapi sebaliknya kami malah kehilangan belasan orang yang tewas oleh amukan
ular naga itu!”
Suma Kian
Bu, Teng Siang In dan Ci Sian tertarik sekali. Apalagi suami isteri itu yang
memiliki kepentingan pribadi dengan ular naga itu.
“Bagaimana
ceritanya Taijin?” tanya Kian Bu.
“Dua tahun
yang lalu, ketika baru-baru kami dipindahkan ke sini, kami mendengar akan
adanya ular naga hijau yang sering kali makan manusia. Mula-mula kami tidak
percaya akan adanya berita itu dan hanya mengira bahwa yang dikabarkan itu
tentulah seekor ular besar biasa saja dan sangat boleh jadi kalau ada ular
besar makan manusia yang kebetulan lewat di dekatnya. Tetapi karena semakin
banyak orang yang mengabarkan akan hal itu, sebagai seorang pembesar baru kami
kemudian mengirim pasukan untuk menyelidiki dan kalau memang benar, membasmi
ular itu. Dan akibatnya, belasan orang anggota pasukan kami tewas dalam keadaan
mengerikan.” Pembesar itu berhenti sebentar dan menarik napas panjang.
“Apakah yang
terjadi dengan mereka, Taijin?” tanya Siang In, tertarik sekali.
Ia dan
suaminya telah datang dari tempat yang demikian jauh ke Sin-kiang ini. Selain
merantau juga terutama sekali tertarik oleh cerita atau dongeng tentang naga
hijau itu, dan kini mendengar keterangan yang demikian jelas dari pembesar
kepala daerah, tentu saja ia merasa amat tertarik. Kiranya dongeng itu memang
ada sungguh-sungguh!
Kembali
pembesar itu menarik napas panjang dan untuk menenteramkan hatinya, dia minum
arak dari cawannya. “Mengerikan sekali dan sampai sekarang kami tidak lagi
berani mengirim pasukan, hanya menganjurkan agar orang-orang di daerah itu jangan
sekali-kali berani melewati daerah hutan itu, agar mengambil jalan memutar saja
karena ular naga itu benar-benar amat berbahaya dan agaknya memang siluman yang
bertapa. Bayangkan saja, semua jenis senjata tajam dari pasukan kami tidak ada
yang dapat melukainya sedikit pun juga! Dan semburan dari mulutnya, bahkan
suaranya saja cukup membuat banyak prajurit kami pingsan! Dan yang lebih
mengerikan, ular itu setiap kali memperoleh korban manusia, yang dimakan hanya
kepalanya saja. Jadi belasan orang prajurit kami itu tewas dengan kepala lenyap
dan badan masih utuh!”
Semua orang,
juga para tuan tanah yang mendengar cerita ini bergidik. Mereka memang sudah
mendengar akan semua hal itu, dan sudah lama tidak ada orang berani bercerita
tentang ular naga itu, karena didesas-desuskan bahwa kalau disebut-sebut, maka
malamnya siluman ular itu akan datang dan mencelakakan orang yang menyebut
namanya.
Diam-diam
SUMA KIAN BU dan isterinya girang sekali mendengar bahwa dongeng tentang ular
naga itu ternyata benar-benar terjadi dan ular naga itu memang benar ada!
“Taijin, kami ingin sekali melihat ular naga hijau itu dan kalau perlu kami
akan mencoba untuk menundukkannya agar ia tidak lagi mengganggu rakyat.
Bagaimana kami dapat menemukannya?”
Semua orang
merasa tegang dan juga gembira mendengar bahwa pendekar yang masih adik kandung
Panglima Puteri Milana yang terkenal itu hendak membasmi ular naga siluman itu.
“Ular naga
itu tempatnya di daerah Pegunungan Kun-lun-san, di bagian selatan yang jarang
dilalui orang, sudah termasuk wilayah Tibet. Dan jalan menuju ke sana bukan
mudah, dan kiranya, tanpa penunjuk jalan akan sukarlah bagi Taihiap untuk dapat
menemukannya. Akan tetapi, siapakah yang akan berani menjadi penunjuk jalan?”
kata pembesar itu.
“Tidak perlu
penunjuk jalan, Taijin. Asal kami mendapatkan gambaran dan peta yang jelas
menuju ke tempat itu, kami akan dapat mencarinya sendiri,” jawab Kian Bu penuh
semangat.
“Itu mudah
diatur. Komandan pasukan dua tahun yang lalu itu masih ada dan dia tentu dapat
membuatkan gambaran dan peta menuju ke tempat itu. Ya, dialah satu-satunya
orang yang akan dapat membuatkan peta itu untukmu.”
Dan memang
demikianlah. Setelah komandan pasukan itu ditemui, komandan tua ini dapat
bercerita banyak dan juga dapat membuatkan peta yang cukup jelas menuju ke
tempat yang baginya sangat mengerikan itu. Kian Bu membuat gambar dan
catatan-catatan, sementara itu Siang In terus mendengarkan penuh harapan dan Ci
Sian juga mendengarkan penuh perhatian karena hatinya merasa amat tertarik.
Setelah mereka
bertiga berada di ruangan istirahat, Ci Sian berkata kepada Siang In, “Enci In,
biarlah aku ikut dengan kalian dan membantu kalian menaklukkan ular naga hijau
itu!”
Suami isteri
pendekar itu memandang kepadanya dan nampak kaget. “Tapi, Nona.... perjalanan
ini berbahaya sekali....,” kata Suma Kian Bu sambil mengerutkan alisnya.
“Benar, Adik
Sian. Engkau sudah mendengar sendiri betapa dahsyat dan berbahayanya ular itu.
Sungguh kami akan merasa menyesal bukan main kalau sampai terjadi apa-apa
denganmu....,” sambung Siang In.
Ci Sian
mengerutkan alisnya dan memandang kepada suami isteri itu bergantian. Kemudian
ia berkata, suaranya tegas, “Harap Taihiap dan Enci menenangkan hati. Aku
hendak pergi ikut atas kehendakku sendiri dan bukan karena bujukan kalian, jadi
kalau terjadi apa-apa denganku, tidak akan ada seorang pun di dunia ini yang
akan menyalahkan kalian. Setelah melakukan perjalanan seorang diri dan bertemu
dengan kalian, dan setelah apa yang kita alami bersama di sini, bagaimana
mungkin aku meninggalkan kalian begitu saja? Akan tetapi, kalau kalian tidak
menghendaki aku ikut, kalau aku hanya merupakan gangguan bagi kalian berdua,
biarlah aku pergi sendiri mencari ular itu, untuk mencoba menandinginya. Siapa
tahu aku dapat melenyapkan suatu bahaya bagi rakyat....”
Mendengar
ini dan melihat sikap Ci Sian yang mukanya merah seperti mau menangis itu,
Siang In lalu merangkulnya. Ia tahu akan isi hati dara yang keras wataknya ini.
Ia tahu bahwa Ci Sian merasa amat cocok dengan ia dan suaminya, maka dara itu
masih ingin bekerja sama dengan mereka dan agaknya merasa enggan berpisah. Apalagi
karena dara itu sedang kesepian dan menderita batinnya ditinggalkan suheng-nya.
“Adikku yang
baik, sama sekali bukan karena kami menolakmu. Kami sendiri pun sangat suka
bersamamu akan tetapi.... engkau tahu bahwa kami pergi mencari ular itu untuk kepentingan
kami pribadi.... jadi, kalau sampai.... terjadi apa-apa denganmu....”
Ci Sian
balas merangkul. “Enci Siang In, kau kira aku ini orang macam apa? Setelah lama
mempelajari ilmu, apakah aku terlalu menyayangi nyawa? Mati dan hidup bukan
urusan manusia, kenapa takut kalau sudah berani hidup? Aku ingin membantu
kalian.... aku.... aku kesepian....”
“Baiklah,
dan tentu saja, dengan bantuanmu, kami merasa lebih yakin akan dapat
menaklukkan ular naga hijau itu!”
Ci Sian
merasa girang sekali dan Suma Kian Bu hanya menarik napas panjang saja dan
tidak membantah lagi. Dia mengerti bahwa antara dua orang wanita itu tentu ada
ikatan yang lebih mendalam, dan kalau dia berkeras menolak, bukan hanya dara
itu yang akan merasa sedih dan kecewa, akan tetapi juga dia akan menyinggung
hati isterinya.
Pada
keesokan harinya, berangkatlah tiga orang itu meninggalkan rumah Thio-thicu.
Siang In menunggang Hek-liong-ma sedangkan Kian Bu menunggang seekor kuda yang
baik pula, pemberian Thio-thicu. Biar pun Siang In menyuruh Ci Sian agar tetap
menunggangi Hek-liong-ma, dara ini menolak dengan halus dan mengatakan bahwa
kuda itu adalah milik suami isteri pendekar ini dan jika ia menunggangi, ia
akan merasa seperti menunggang sesuatu yang bukan haknya.
Dengan
diantar oleh Thio-thicu dan para anak buahnya sampai keluar perkampungan
mereka, ketiga orang pendekar ini meninggalkan tempat itu dengan hati puas
karena mereka telah melakukan sesuatu yang sangat berguna untuk kesejahteraan
rakyat setempat. Mereka percaya bahwa selanjutnya, para thicu itu tidak lagi
akan menurutkan hati dendam untuk saling gempur.
Ular hijau
yang amat besar itu dikabarkan orang yang suka tahyul sebagai seekor ular
siluman yang sudah bertapa ratusan tahun. Sudah lajim terjadi di antara manusia
di dunia ini yang suka sekali akan hal yang aneh-aneh dan menambah sesuatu yang
mereka tidak mengerti menjadi semakin aneh dengan dugaan-dugaan dan reka-rekaan
mereka sendiri yang kemudian menjadi semacam tahyul.
Menurut
dongeng atau berita angin itu, ular yang sangat besar itu kabarnya memiliki
mustika di dalam kepalanya yang kalau malam gelap mencorong. Bahkan ada orang
berani bersumpah mengatakan bahwa pada suatu malam dia melihat ular itu terbang
ke angkasa dan dari mulutnya keluar mustika yang bernyala-nyala. Tentu saja
cerita orang ini mirip dengan dongeng tentang naga yang beterbangan di angkasa,
seperti yang dimainkan orang pada hari-hari pesta, yaitu naga dengan
mustikanya.
Tentu saja
semua itu hanyalah khayalan orang-orang yang dihantui oleh rasa takut yang amat
sangat. Ular itu memang ada, dan memang merupakan seekor ular yang amat besar.
Jarang ada orang dapat menjumpai ular sebesar itu. Perutnya melebihi besarnya
paha manusia yang gemuk sekali pun, dan kalau binatang itu sudah menelan korban
perutnya menggembung sebesar tubuh korban yang ditelannya. Panjangnya tidak
lebih dari lima belas meter!
Ular ini
kulitnya kehijauan dan saking tuanya, kulitnya itu gelap menghitam dan amat
keras. Entah sudah berapa kali ular ini berganti kulit. Ular ini semenjak lama
sekali, entah berapa tahun atau belas atau berapa ratus tahun tak seorang pun
tahu, berdiam dari pohon besar ke pohon besar lainnya dalam sebuah hutan lebat
di Pegunungan Kun-lun-san. Dan setiap kali berdiam di sebatang pohon besar,
binatang ini seperti bertapa bertahun-tahun lamanya.
Akan tetapi
ada sesuatu keanehan pada binatang yang sudah amat tua ini. Kalau ada binatang
lain seperti kijang, kelinci atau bahkan harimau sekali pun, dan kebetulan
perutnya lapar, tentu dia langsung menyambar binatang itu dari atas pohon.
Dengan melibatkan ekornya pada cabang besar di atas, kepalanya bergantung di
bawah, ular yang amat besar itu menyambar korbannya yang sama sekali tidak
menduga karena tidak mendengar sesuatu dan tidak dapat mencium bau ular yang
berada di atasnya itu.
Ada kalanya,
kalau yang disambarnya itu binatang besar lain seperti harimau dan lain-lain
yang lebih buas, maka korban itu tentu saja melakukan perlawanan. Dan kalau
sudah begini, ular itu akan melepaskan ekornya yang melilit cabang sehingga
tubuhnya meluncur ke bawah, lalu ekornya melilit tubuh korbannya, melilit
dengan tenaga raksasa dan binatang yang betapa kuatnya akan patah-patah
tulangnya kalau dililit oleh ekor dan tubuh ular yang amat kuat ini.
Biasanya,
perlawanan para korban itu tidak akan berjalan lama karena selain memiliki
tenaga lilitan yang amat kuat, juga ular itu dapat menyemburkan uap yang
membius dan beracun, juga gigitannya amat kuat dengan taring yang mengerikan
dan mengandung racun pula. Keanehan ular itu adalah, kalau korbannya binatang
lain, maka setelah melilitnya dan membuat tulang-tulang tubuh korban itu
patah-patah lalu korban itu ditelannya dan tubuh yang tulangnya sudah
patah-patah itu menjadi lemas dan dapat melalui kerongkongannya yang tidak
begitu besar.
Akan tetapi,
kalau korbannya manusia, maka ia hanya mencaplok kepala orang itu saja,
menggigit putus lehernya dan menelan kepalanya, sedangkan badan para korban
manusia itu dibiarkannya membusuk begitu saja! Dengan adanya tulang-tulang
manusia tanpa kepala di bawah pohon-pohon besar yang pernah dijadikan tempatnya
bertapa, maka dapat diketahui bahwa banyak sudah manusia-manusia yang menjadi
korban ular ini.
Jangan
dikira bahwa hanya pasukan yang dikirim Pembesar Kepala Daerah Sin-kiang itu
saja yang merupakan manusia-manusia yang menjadi korbannya. Banyak sudah
manusia yang kepalanya telah masuk ke dalam perut ular ini. Para pemburu yang
belum tahu akan adanya ular ini, juga orang-orang yang tidak tahu dan kebetulan
lewat di hutan itu.
Selain
mereka ini yang tidak tahu akan adanya ular itu dan menjadi setan penasaran,
banyak pula seperti para anggota pasukan itu yang tewas ketika sengaja datang
untuk melawan ular itu.
Mereka ini
adalah para pendekar yang sengaja datang di tempat itu untuk membasmi ular ini,
akan tetapi akhirnya bahkan mereka sendiri yang tewas dalam keadaan mengerikan,
yaitu kepala mereka lenyap ke dalam perut ular dan tubuh mereka membusuk sampai
tinggal rangkanya saja di bawah pohon tanpa ada yang berani mengurusnya.
Bahkan ada
beberapa orang pertapa di Kun-lun-san, ada pula beberapa orang pendekar
Kun-lun-pai sendiri yang pernah mencoba untuk menaklukkan ular itu, namun
akibatnya payah, ada yang tewas, ada pula yang luka-luka dan masih untung bagi
mereka yang dapat menyelamatkan dirinya dan hanya menderita luka-luka yang
cukup parah.
Semenjak
kegagalan para pendekar Kun-lun-pai, maka Ketua Kun-lun-pai lalu membuat
pengumuman kepada rekan-rekan di dunia kang-ouw agar jangan mengganggu ular itu
yang dianggap sebagai ular keramat tak terkalahkan, bahkan ada yang menyebutnya
siluman ular yang bertapa. Sebetulnya bukan karena ular itu sakti, ular dewa,
atau ular siluman, ular itu memang kuat sekali dan hal ini tidaklah
mengherankan. Sedangkan ular sebesar lengan saja sudah amat kuat, apalagi
sebesar dan sepanjang itu!
Dan harus
diingat bahwa ular ini sudah tua sekali, kulitnya demikian kerasnya sehingga
kebal terhadap senjata tajam, melebihi kerasnya kulit buaya tua. Dan karena
kulit ular itu merupakan sisik yang bertumpuk, maka sukar ditembusi senjata
tajam. Orang-orang kang-ouw yang berkepandaian tinggi itu sudah berusaha
membunuhnya, namun tidak ada senjata yang mampu menembus kulitnya dan hal
inilah yang membuat ular itu sukar dikalahkan. Selain itu, ternyata ular ini
mempunyai racun sehingga dapat mengeluarkan hawa beracun melalui semburan dan
juga gigitannya mengandung racun yang amat kuat.
Perjalanan
menuju ke hutan di mana ular hijau itu berada merupakan sebuah perjalanan yang
tidak mudah. Apalagi karena hutan yang dimaksudkan itu berada di dekat puncak, yang
kini terkenal dengan nama Puncak Naga Hijau, sebuah di antara puncak-puncak
yang tinggi dari Pegunungan Kun-lun-san yang terkenal itu. Mereka bertiga
melakukan perjalanan berpekan-pekan, dan akhirnya mereka tiba di dusun terakhir
yang berada di lereng bawah puncak.
Dari dusun
itu ke atas, selain tidak ada dusun lagi karena orang-orang tidak berani
tinggal terlalu dekat dengan hutan itu, perjalanan amatlah sukarnya melalui
jalan setapak yang kadang-kadang harus melalui jurang dan bergantungan pada
akar-akar pohon dan batu-batu, maka terpaksa tiga ekor kuda itu mereka titipkan
pada kepala dusun.
Dusun itu
kecil dan sederhana sekali, jauh dari pada tempat ramai, bahkan jauh dari
peradaban kota sehingga kepala daerahnya pun merupakan orang yang diangkat oleh
kelompok dusun itu sendiri, bukan merupakan seorang pejabat pemerintah. Dan
dusun itu hanya dihuni oleh beberapa puluh keluarga yang miskin, yang hidup
dengan jalan bertani dan berburu. Tentu saja kedatangan tiga orang yang
berpakaian indah menurut mereka itu, merupakan hal yang luar biasa sehingga
tiga orang pendekar ini disambut dengan gembira.
Kepala Dusun
itu merupakan satu-satunya orang yang sudah pernah hidup di kota dan lebih
beradab dibandingkan dengan yang lain-lainnya, dan Kepala Dusun inilah yang
menyambut Kian Bu dan dua orang wanita itu.
“Sungguh
luar biasa sekali kami dapat menerima kunjungan Sam-wi,” katanya setelah
mempersilakan mereka duduk di atas bangku-bangku kayu yang kasar buatannya, di
ruangan depan yang terbuka dan keadaannya miskin sekali di mana para penduduk
dusun itu berkerumun dan mendengarkan percakapan mereka. “Bertahun-tahun sudah
tidak ada orang asing yang datang ke dusun ini. Sam-wi hendak pergi ke manakah
maka sampai di tempat terpencil ini?”
Suma Kian Bu
maklum bahwa dia berhadapan dengan orang-orang dusun yang jauh dari dunia
ramai, dan biasanya, orang-orang di dalam dusun yang terpencil seperti ini jauh
pula dari kebiasaan orang-orang kota yang suka berpalsu-palsu, dan biasanya
orang-orang seperti ini adalah terbuka dan polos, jujur. Oleh karena itu, dia
pun tidak merasa perlu untuk menyembunyikan maksud kunjungannya.
“Lopek, kami
jauh-jauh datang dengan hanya satu tujuan, yaitu menuju ke Puncak Naga Hijau
itu. Karena perjalanan ke atas puncak menurut keterangan yang kami peroleh amat
sukar dan tak bisa dilakukan dengan berkuda, maka kami bermaksud untuk selain
beristirahat sehari di sini melewatkan malam, juga untuk menitipkan tiga ekor
kuda kami di sini.”
Para
penduduk dusun itu, yang mendengarkan kata terjemahan dari seorang laki-laki
tua yang mengerti bahasa Han, satu-satunya orang yang tahu bahasa itu di
samping kepala dusun, yang tadinya berisik, tiba-tiba berhenti bicara dan semua
mata kemudian memandang kepada Suma Kian Bu dengan terbelalak dan wajah mereka
berubah, kini penuh ketegangan!
Kepala Dusun
itu sendiri pun mengerutkan alisnya dan pandang matanya kepada Kian Bu
kehilangan keramahannya, namun mulutnya masih bicara dengan ramah, “Tentu saja
Sam-wi boleh menitipkan tiga ekor kuda itu di sini dan kami akan merawatnya
dengan baik. Tetapi belum pernah ada orang naik ke puncak itu. Apakah keperluan
Sam-wi hendak mendaki puncak?”
“Kami
bertiga bermaksud untuk mencari ular naga hijau dan membasminya,” kata Suma
Kian Bu dengan terus terang karena dia merasa yakin bahwa penduduk dusun ini,
yang berada di lereng puncak di mana terdapat hutan tempat tinggal ular itu,
tentu sudah tahu akan ular besar itu.
Akan tetapi,
akibatnya sungguh membuat tiga orang pendekar itu terkejut bukan main. Kepala
Dusun itu mengeluarkan teriakan panjang, wajahnya pucat sekali, matanya
terbelalak dan terdengar bentakan-bentakan keras ketika semua penduduk dusun
yang mendengarkan terjemahan ucapan Suma Kian Bu itu serentak bangkit dan maju
dengan senjata perburuan mereka siap di tangan, jelas hendak mengeroyok Suma
Kian Bu dan dua orang wanita pendekar itu!
Dengan
mengeluarkan teriakan-teriakan aneh, puluhan orang yang memenuhi tempat itu
serentak maju menerjang. Melihat ini, Suma Kian Bu, Siang In dan Ci Sian
terkejut sekali dan tentu saja mereka pun cepat meloncat dari bangku mereka.
“Jangan
lukai orang!” Kian Bu berseru cepat kepada isterinya dan dara itu, karena dia
menduga bahwa tentu ada kesalah pahaman dalam hal ini.
Tiga orang
pendekar ini menghadapi para penyerang dengan tangan kosong saja, akan tetapi
para penyerang yang terdepan segera berteriak-teriak kaget, senjata mereka terampas
dan tubuh mereka sendiri terlempar ke belakang menimpa teman-temannya yang
berada di belakang. Suma Kian Bu sendiri sudah menangkap lengan tangan kepala
dusun itu, menjatuhkan golok yang dipegangnya, kemudian menekuk lengan kepala
kampung itu ke belakang dan cepat dia berseru dengan suara nyaring sekali,
menggetarkan seluruh tempat itu karena dia mengerahkan khikang-nya.
“Tahan
semua, atau pemimpin kalian akan mati!”
Meski
ucapannya tidak diterjemahkan, namun mudah saja menangkap artinya, apalagi melihat
betapa lengan Kepala Dusun itu sudah ditekuk ke belakang sehingga dia tidak
berdaya!
“Hayo,
ceritakan, apa artinya semua ini?!” bentak Suma Kian Bu kepada Kepala Dusun
itu. “Mengapa engkau dan orangmu mendadak mengeroyok kami?”
Kepala Dusun
itu menyeringai kesakitan, akan tetapi dengan suara tegas dia berkata, “Kau
bunuhlah aku, kau bunuhlah kami, karena kalau tidak kau bunuh sekali pun, kami
semua akan mati! Dan lebih baik mati di tanganmu, seorang manusia, dari pada
mati di tangannya....“
Kian Bu
makin heran. “Sungguh aneh, apa sih maksudmu, Lopek? Harap kau menyuruh
teman-teman mundur dulu dan jelaskan pada kami kenapa kalian tiba-tiba
mengeroyok kami, dan mengapa pula engkau begini putus asa dan minta mati.
Kesalahan apakah yang telah kami lakukan?”
Dengan
wajahnya yang masih bersungut-sungut, setelah dilepaskan oleh Kian Bu dan semua
penghuni dusun sudah agak tenang walau pun mereka masih mengurung dan sikap
mereka masih marah dan bermusuhan, kepala dusun itu berkata, “Kalian bertiga
hendak mengganggu dewa ular, hal itu berarti sama saja dengan hendak membunuh
kami orang sedusun!”
“Dewa
ular....? Membunuh kalian sedusun? Lopek, jelaskan, apa maksudmu dengan
kata-kata itu?” Kian Bu mendesak.
“Dengan
susah payah selama bertahun-tahun kami orang-orang sedusun meredakan kemarahan
dewa ular, bahkan kami rela mengorbankan seorang di antara kami setiap tahun
untuk menjadi korban. Semua itu adalah untuk melindungi kehidupan kami agar
tidak sampai terancam. Akan tetapi, hari ini kalian datang untuk mengganggunya
dan sudah pasti bahwa kami semua yang akan menerima hukuman akibat
kemarahannya.”
Tentu saja
tiga orang pendekar itu menjadi terkejut bukan main. “Apa katamu, Lopek? Kalian
memberikan korban setiap tahun?”
“Ya....
bahkan.... tahun lalu.... seorang di antara anak-anakku perempuan kurelakan....
dan tahun ini, telah tiba saatnya, kami masih bingung untuk memilih siapa lagi
yang harus kami korbankan. Dan kalian datang untuk mengganggunya, berarti kami
semua akan mati....“
Suma Kian Bu
mengepal tinjunya, tiba-tiba dia marah sekali kepada ular itu. Tahulah dia
bahwa saking tangguhnya, ular itu mendatangkan rasa takut sedemikian rupa
kepada para penghuni dusun ini sehingga mereka menganggapnya sebagai dewa yang
akan mendatangkan mala petaka kalau tidak diberi korban seorang manusia setiap
tahun. Kepala Dusun ini bahkan telah menyerahkan anak perempuannya untuk
korban!
“Lopek, dan
Saudara-saudara semua. Janganlah khawatir, kali ini kami datang untuk membasminya,
untuk membunuhnya agar kalian semua terbebas dari pada ancaman binatang laknat
itu!”
“Ahhh, tiada
guna.... entah sudah berapa banyak orang sombong yang bersumbar sebelum bertemu
dengan dewa ular, dan akhirnya mereka itu tewas satu demi satu! Kalian pun akan
tewas dan sesudah itu, karena gangguan kalian, maka ular itu akan mengamuk dan
akan menghabiskan kami semua!” Kembali Kepala Dusun itu nampak marah dan
penasaran.
Melihat
betapa orang-orang itu sukar sekali diberi penjelasan, akhirnya Suma Kian Bu
memperoleh akal. “Engkau tadi mengatakan bahwa untuk tahun ini belum ada korban
yang dipilih? Kapankah biasanya diadakan korban?”
“Setiap
setahun sekali, pada permulaan musim rontok. Pada saat itu dewa ular akan
meninggalkan pohon yang mulai rontok daunnya, dan pada saat itu pulalah kami
harus menyerahkan seorang korban. Kalau tidak, dewa ular tentu akan mendatangi
dusun untuk mencari korban sendiri dan kalau sudah begitu, kami akan dihukum
sehingga sedikitnya dia akan mengambil dua tiga orang korban!”
“Kapankah
hari penyerahan korban itu?”
“Dua hari
lagi, tepat pada saat bulan purnama,” jawab Si Kepala Dusun.
“Bagus!
Kalau begitu, sekali ini kalian bukan menyerahkan seorang korban, melainkan
tiga orang korban, yaitu kami bertiga. Biar dia kekenyangan dan puas sehingga
tidak akan menganggu kalian lagi!” kata Suma Kian Bu.
Aneh,
mendengar ucapan ini yang segera diterjemahkan, semua orang memandang dengan
wajah berseri kepada Kian Bu, Siang In, dan Ci Sian. Sinar mata mereka penuh
dengan harapan dan rasa syukur. Kalau begini lain lagi soalnya, pikir mereka.
Kalau tiga orang itu mengatakan hendak membasmi dewa ular, hal itu sungguh tak
masuk di akal dan selain tiga orang itu akhirnya akan tewas, yang lebih celaka
lagi ular itu akan menimpakan kutuk dan pembalasannya kepada mereka sedusun.
Sebaliknya kalau tiga orang itu mau menjadi korban, tentu saja hal ini
melepaskan mereka dari pada bahaya amukan ular itu, setidaknya untuk waktu
setahun dan mereka tak perlu bingung-bingung mencari dengan hati berat, anak
siapa yang akan dikorbankan!
Akan tetapi,
Kepala Dusun itu masih memandang penuh keraguan. “Benarkah kalian bertiga mau
menjadi korban untuk dewa?”
“Benar,
Lopek. Kami bertiga bersedia untuk dikorbankan demi menyelamatkan dusun ini
dari ancamannya,” jawab Kian Bu dengan suara tegas.
“Tapi....
biasanya para korban itu dibelenggu kaki tangannya, dan direbahkan dalam goa
sebelum dewa ular pindah dari pohon ke dalam goa....”
Mendengar
ini wajah Siang In menjadi merah dan hampir saja nyonya ini menjadi marah
karena dianggapnya sebagai penghinaan kalau ia harus membiarkan dirinya
dibelenggu kaki tangannya! Akan tetapi suaminya memandang kepadanya dan isteri
yang sudah mengenal dengan baik segala pandang mata suaminya ini dapat menerima
isyarat suaminya yang kemudian menjawab.
“Kalau
begitu, biarlah kalian boleh mengikat dan membelenggu kaki tangan kami dan
merebahkan kami di dalam goa itu.”
Mendengar
ini, lenyap semua keraguan dari pandang mata Kepala Dusun itu, terganti dengan
ketakjuban dan kegirangan. “Ahh, sungguh hampir tak dapat dipercaya. Kalian
bertiga seperti utusan dewa yang datang untuk menolong kami saja!” serunya.
Dari
percakapan dan sikap mereka itu, Suma Kian Bu yang amat cerdik itu sudah dapat
menangkap keadaan dan watak mereka. Dia tahu bahwa orang-orang ini adalah
orang-orang dusun yang jujur dan polos, bodoh dan amat tahyul. Oleh karena itu,
dengan suara garang dengan pengerahan khikang sehingga suaranya bergema di
ruangan itu dan amat mengejutkan semua orang dia berkata, “Kalian sangka siapa
kami ini? Kami memang utusan dewa untuk datang ke dusun ini dan menyelamatkan
kalian!”
Siang In
juga sudah dapat menanggapi kata-kata suaminya. Maka selagi semua orang terbelalak
mendengar terjemahan kata-kata Kian Bu tadi, dan kepala dusun itu tengah
memandang dengan muka pucat saking kagetnya, mendadak nyonya yang cantik ini
mengeluarkan suara melengking tinggi, menggetarkan jantung semua pendengarnya.
Kemudian
dengan suara yang amat berpengaruh karena disertai kekuatan sihirnya, dengan
pandang mata mencorong ketika semua orang menoleh dan memandangnya, tertarik
oleh lengkingan tinggi tadi, ia berkata. “Apakah kalian semua sudah buta? Lihat
baik-baik! Kami adalah utusan dari Kwan Im Pouwsat sendiri! Aku adalah Dewi
Api, lihat tubuhku mengeluarkan api bernyala! Lihat baik-baik!”
Dan
terdengar semua orang yang terbelalak itu tiba-tiba berteriak-teriak ketakutan
ketika mereka melihat betapa tubuh nyonya yang cantik itu tiba-tiba
berkobar-kobar di tengah-tengah api! Bahkan Ci Sian sendiri juga terkena
pengaruh sihir itu dan ia kaget sekali melihat tubuh Siang In terbakar. Akan
tetapi, ia segera mengerahkan sinkang-nya dan mengusir pengaruh itu sehingga ia
melihat betapa nyonya itu tetap berdiri biasa saja, sama sekali tidak ada api
keluar dari tubuhnya!
Akan tetapi
kini semua penduduk dusun itu, dipimpin oleh Kepala Dusun mereka, sudah
menjatuhkan diri berlutut menghadap tiga orang itu!
“Ampunkan
hamba sekalian.... hamba tidak tahu bahwa Paduka bertiga adalah para
dewa-dewa....“
Kian Bu
merasa kasihan dan tidak tega untuk mempermainkan orang-orang yang jujur dan
bodoh ini. Dia tersenyum dan mengangkat kedua tangannya. “Bangkitlah kalian dan
jangan berlutut. Ketahuilah bahwa biar pun kami ini utusan pada dewa, akan
tetapi pada saat ini, kami memakai tubuh manusia biasa, maka kalian juga harus
memperlakukan kami sebagai manusia biasa. Nah, kami sudah siap untuk menjadi
korban. Kapan hal itu dapat dilaksanakan?”
“Biasanya
yang kami lakukan setiap tahun, pada hari bulan purnama penuh. Siangnya korban
dibawa ke goa dan ditinggalkan, karena pada malam harinya dewa ular akan
datang, pindah dari pohon yang mulai rontok daunnya ke dalam goa itu. Dan tahun
ini, bulan purnama penuh akan muncul dua hari lagi.”
“Baiklah,
kami bertiga boleh kalian bawa ke goa itu pada besok lusa siang, agar malamnya
kami dapat bertemu dengan dewa ular itu,” kata Kian Bu.
Sebetulnya,
setelah para penghuni dusun itu dapat ditundukkan oleh ilmu sihir Siang In,
mereka semua itu sudah percaya dan tentu saja mau membantu. Akan tetapi Kian Bu
berpikir lain.
MENGHADAPI
ular yang lihai itu tidak perlu bantuan orang-orang dusun yang sudah ketakutan
itu, karena selain mereka itu tiada gunanya, juga bahkan di antara mereka
mungkin saja akan tewas dan hal ini tidak dikehendakinya. Selain itu, ular yang
sudah amat tua itu agaknya jauh lebih cerdik dari pada ular-ular biasa.
Dia khawatir
kalau-kalau ular itu mencari tempat lain dan tidak akan datang ke goa kalau
tidak disediakan korban, yaitu calon mangsanya yang mudah. Dan menghadapi ular
itu di tempat terbuka jauh lebih menguntungkan dari pada menghadapinya di dalam
goa. Atau kalau ular itu datang, sebelum memasuki goa, mereka bertiga dapat
lebih dulu menyambutnya di depan goa, di tempat terbuka dengan diterangi oleh
sinar bulan purnama, dan mereka bertiga akan siap untuk memegang obor di tempat
itu. Mengenai belenggu kaki tangan itu, tentu saja bukan merupakan persoalan
bagi mereka bertiga.
Kini para
penduduk dusun itu amat menghormati mereka bertiga yang dianggap selain utusan
dewa, juga merupakan penolong mereka. Baru mau menjadi pengganti korban saja
sudah membuat mereka bersyukur dan berterima kasih! Maka, kini ketiga orang
pendekar itu dijamu oleh para penduduk dan dilayani dengan sikap hormat sekali.
Pada dua
hari berikutnya, setelah matahari condong ke barat, Suma Kian Bu, Sian In dan
Ci Sian sudah siap. Semua penghuni dusun, laki-laki perempuan tua muda, sudah
berkumpul di depan rumah Kepada Dusun. Dengan dibantu oleh beberapa orang dan
disaksikan oleh semua penghuni, Kepala Dusun mulai mengikatkan tali-tali yang
kuat pada kaki tangan tiga orang pendekar itu. Tiga orang pendekar itu sudah
makan sore dan sudah mandi bersih, suatu keharusan bagi para calon korban,
memakai pakaian bersih dan lalu pengikatan kaki tangan mereka dilakukan dengan
penuh khidmat oleh Kepala Dusun dan para pembantunya.
“Lihatlah,
agar kalian semua yakin bahwa kami adalah utusan para dewa!” kata Suma Kian Bu
untuk memberikan kesan terakhir. Dia menggerakkan kedua lengannya dan….
“Kreekkk....!”
Putuslah tali yang mengikat kedua pergelangan tangannya, dan sekali dia
menggerakkan kedua kakinya, putus pula belenggu kedua kakinya!
Semua orang
terkejut sekali dan wajah Kepala Dusun menjadi pucat. Akan tetapi Kian Bu sudah
memasangkan kembali kaki tangannya untuk diikat kembali dengan tali-tali baru.
Setelah
mengikatkan kaki tangan itu selesai, Kian Bu berkata, “Dengar baik-baik pesan
kami. Setelah menaruh kami di mulut goa, harap kalian semua pergi dan
bersembunyi di rumah masing-masing. Kalau ada suara apa pun jangan sekali-kali
keluar dan biarkan kami bertiga menghadapi ular itu. Dan jangan lupa, sediakan
obor, minyak dan lilin bernyala di goa.”
Kepala Dusun
mengangguk-angguk dan tidak lama kemudian, tiga orang pendekar itu yang kaki
tangannya terbelenggu, sudah digotong di atas tandu seperti yang setiap tahun
biasa terjadi. Akan tetapi kalau biasanya yang digotong hanya seorang korban
saja, kini ada tiga orang calon korban yang digotong ramai-ramai. Dan seperti
biasanya, para penghuni dusun itu dengan dipimpin seorang pendeta yang menganut
agama campuran antara Bhudis dan Taoism, menyanyikan lagu-lagu pujaan untuk
para dewa.
Kian Bu,
Siang In, dan Ci Sian duduk di atas tandu dengan kaki tangan terbelenggu, akan
tetapi mereka tersenyum-senyum dan merasa bagaikan menjadi pengantin saja karena
mereka berpakaian baru, diberi kalungan bunga, dipikul di dalam tandu, dan
diiringkan oleh banyak orang yang bernyanyi-nyanyi dipimpin oleh pendeta
satu-satunya yang berada di dusun itu.
Iring-iringan
mengantar calon korban untuk dewa ular ini tiap tahun biasanya dilakukan dengan
iringan air mata keluarga Si Korban. Akan tetapi sekali ini, suasananya gembira
dan semua wajah orang dusun itu cerah dan berseri. Hal ini bukan hanya karena
di antara mereka tidak ada yang kehilangan sanak keluarga, akan tetapi juga
karena ada harapan dalam hati mereka untuk dapat terbebas selamanya dari pada
rasa takut terhadap Si Dewa Ular. Akan tetapi di antara harapan dan kegembiraan
ini, ada pula kekhawatiran menyelinap di dalam hati mereka. Bagaimana kalau
tiga utusan dewa itu gagal? Dan andai kata mereka berhasil dan dewa ular dapat
dienyahkan, bukankah hal itu berarti bahwa berkah dari dewa ular untuk mereka
pun akan ikut lenyap?
Kepercayaan
tahyul seperti yang dimiliki oleh para penduduk dusun di dekat Puncak Naga
Hijau di Pegunungan Kun-lun-san itu bukan hanya merupakan peristiwa yang dapat
terjadi dan menimpa sekelompok manusia yang masih terbelakang atau yang
peradabannya belum tinggi.
Kalau kita
mau mengamati keadaan sekeliling kita, mau mengamati kehidupan kita sendiri,
bahkan di jaman modern ini sekali pun, kita masih terikat dan terbelenggu oleh
berbagai kepercayaan dan ketahyulan! Kelompok ini percaya akan ini dan tidak
percaya akan itu. Golongan lain percaya akan itu dan tidak percaya akan hal
yang dipercaya oleh kelompok pertama ini. Bahkan kepercayaan-kepercayaan yang
merupakan adat pusaka keturunan nenek moyang itu dapat menjadi bahan untuk
saling bertentangan dan bermusuhan!
Kepercayaan
akan hal-hal yang di luar jangkauan pikiran merupakan ketahyulan yang lama-lama
lalu berubah menjadi tradisi. Dan biasanya, hal-hal seperti itu hanya untuk
dipercaya saja, bukan untuk dimengerti! Dan kita pun takut untuk melanggarnya
atau meninggalkannya dari batin kita.
Tentu saja
rasa takut ini timbul oleh suatu kepercayaan pula bahwa memegang teguh tradisi
kepercayaan tahyul itu mendatangkan selamat, berkah, yang pada pokoknya adalah
menyenangkan atau menguntungkan.
Sebaliknya
kalau kita menanggalkan atau membuangnya, maka kita akan kehilangan apa yang
kita namakan selamat, berkah atau hal-hal yang menyenangkan itu. Kita takut
akan dilanda kesusahan karenanya. Inilah sumber rasa takut menanggalkan atau
membuangnya.
Lalu
bagaimanakah timbulnya kepercayaan akan tahyul yang menjadi tradisi itu? Semua
kepercayaan, jika kita mau merenungkannya dengan penuh kebebasan dan perhatian,
timbul karena kebodohan, karena ketidak mengertian. Kepercayaan itu pasti
timbul oleh karena kita tidak mengerti, tidak tahu, lalu kita mendengar pengertian
itu dari mulut orang yang kita hormati, kita kagumi, kita anggap lebih tahu
dari pada kita, atau dari kitab yang ditulis oleh orang yang kita muliakan,
maka kita pun lalu percayalah!
Kalau
ketidak mengertian kita tentang sesuatu itu diterangkan oleh orang yang tidak
kita agungkan, tidak kita hormati atau kagumi, maka kita pun kemudian tidak
percaya! Jadi, percaya atau tidak percaya itu timbul dari sumber yang sama,
yaitu dari kebodohan atau ketidak mengertian.
Sebagai
contoh misalnya, kita belum pernah melihat sendiri, belum pernah membaca, belum
pernah mendengar, pendeknya kita tidak mengerti sama sekali tentang Kutub
Utara. Lalu datanglah seseorang yang menulis atau bercerita kepada kita tentang
Kutub Utara, tentang keanehan-keanehannya, keajaiban-keajaibannya dan
sebagainya. Nah, di sinilah asal mula timbulnya percaya atau tidak percaya.
Karena kita
sendiri tak mengerti, maka kita lalu mendengarkan orang itu dan tanggapan kita
tentu saja dipengaruhi oleh perasaan kita terhadap orang itu. Kalau orang itu
kita agungkan, kita akan percaya, dan kalau sebaliknya kita tidak
mengagungkannya, kita tidak percaya! Dan kepercayaan atau ketidak percayaan ini
kita turunkan kepada murid-murid atau anak-anak keturunan, dan selanjutnya
menjadi kepercayaan turun temurun.
Sebaliknya
kalau orang itu, atau siapa pun juga adanya, datang lalu bercerita atau menulis
tentang sesuatu yang sudah kita mengerti atau ketahui, sudah tentu tidak akan
timbul percaya atau tidak percaya lagi. Yang ada hanyalah kenyataan bahwa apa
yang diceritakan itu benar atau bohong. Kalau ada orang mengatakan bahwa darah
manusia itu hijau warnanya atau matahari itu timbul dari barat, maka di sini
tidak ada percaya atau tidak percaya, karena kita sudah tahu dan mengerti benar
bahwa keterangan orang itu bohong! Sebaliknya, kalau ada orang mengatakan bahwa
pohon besar itu dihuni setan atau dewa, maka keterangan ini menimbulkan percaya
atau tidak percaya, karena kita tidak mengerti dan tidak mengetahui benar akan
hal itu.
Maka,
dapatkah kita hidup bebas dari segala macam kepercayaan dan ketahyulan ini?
Beranikah kita mengakui dengan rendah hati bahwa kalau timbul pertanyaan akan
sesuatu yang tidak kita mengerti, yang tidak terjangkau oleh akal budi pikiran
kita, lalu kita menjawab bahwa kita tidak tahu? Biasanya, kita takut atau malu
untuk mengakui bahwa kita tidak tahu. Kita selalu ingin mengaku bahwa kita tahu
segalanya, padahal sebagian besar dari hal-hal yang kita katakan kita tahu itu
sebenarnya hanyalah pengetahuan mati yang kita dengar dari keterangan orang
lain, yang tidak kita hayati sendiri.
Karena,
sesungguhnya hanya orang yang tidak tahu sajalah yang dapat membuka mata, yang
dapat menyelidiki, dapat menyelami, dapat mempelajari dengan otak dan hati
kosong sehingga penyelidikan itu dapat dilakukan seteliti-telitinya, tidak
dipengaruhi oleh pengetahuan-pengetahuan mati yang hanya akan menjadi batu
penghalang bagi penyelidikannya akan hal-hal yang baru. Sayang bahwa mereka
yang tidak tahu itu begitu ingin untuk dianggap tahu sehingga dengan mudah
mereka menerima segala pengetahuan dari orang lain melalui kepercayaan.
Setelah tiba
di depan goa, semua penghuni dusun nampak ketakutan dan sejak mendekati tempat
itu tadi pun sudah tidak ada lagi yang berani mengeluarkan suara. Suasana
memang amat menyeramkan karena tempat itu terpencil, jauh dari dusun, jauh dari
manusia dan tidak nampak bekas-bekas tangan manusia di situ dan selama dalam
perjalanan mereka itu, mereka tidak melihat tapak seorang pun manusia.
Tiga buah
joli atau tandu itu diturunkan dan tiga orang pendekar digotong dengan
hati-hati dan dengan sikap penuh hormat, lalu satu demi satu direbahkan di
mulut goa yang gelap. Kepala Dusun lalu menyalakan sebatang lilin di sudut goa,
obor-obor yang belum dinyalakan ditinggalkan di sudut pula, yaitu obor yang
sudah diberi minyak pembakar. Kemudian, setelah mereka semua memberi hormat ke
arah tiga orang pendekar yang rebah di mulut goa, tanpa mengeluarkan sepatah
kata pun, Kepala Dusun itu lalu mengajak orang-orangnya untuk pergi meninggalkan
goa seperti yang telah dipesankan oleh Suma Kian Bu kemarin.
Setelah
semua orang pergi, Kian Bu, Siang In dan Ci Sian lalu memutuskan semua tali
yang membelenggu kaki tangan mereka.
“Akan
tetapi, kita harus tetap tinggal di sini,” kata Kian Bu kepada dua orang wanita
itu. “Jangan lengah dan harus tetap waspada. Biar pun aku sendiri tidak percaya
bahwa ular itu adalah siluman, iblis atau dewa, akan tetapi dia tentu seekor
binatang yang sudah tua, kebal, dan cerdik sekali. Maka, biarlah kita tinggal
rebah agar tidak membuat dia curiga, dan siap untuk menyerbu kalau dia sudah
berada di depan goa. Sebelum aku menyerangnya, harap kalian jangan bergerak
dulu. Kita belum tahu sampai di mana kelihaiannya, maka kita tidak boleh
sembrono.”
Karena
memang sudah mendengar betapa banyaknya orang-orang lihai menjadi korban ular
itu, maka Siang In dan Ci Sian mengangguk. Tadi pun dua orang wanita ini merasa
agak ngeri saat melihat adanya rangka-rangka manusia di dalam goa. Tentu itu
adalah rangka-rangka para korban, karena rangka-rangka itu hanya merupakan
tulang-tulang tubuh manusia, semua tanpa kepala!
Menanti
merupakan pekerjaan yang amat berat. Dalam menanti, sang waktu seolah-olah
menjadi luar biasanya lambannya, seperti gerakan maju seekor keong. Mereka
bertiga ditinggalkan di tempat itu menjelang senja dan kini mereka menanti
datangnya sang malam yang dirasakan amat lambatnya. Akan tetapi akhirnya cuaca
menjadi gelap, malam mulai datang menyelubungi bumi, mengusir lenyap
sinar-sinar matahari. Kegelapan menyelubungi hutan dan satu-satunya sinar
hanyalah lilin yang bernyala di dalam goa.
Mereka yang
berada di dalam goa itu menanti dengan hati tegang. Belum ada tanda pergerakan
yang luar biasa, dan yang terdengar hanyalah bunyi belalang dan binatang malam,
jauh di dalam hutan. Nyamuk-nyamuk mulai berdatangan dan mengganggu mereka,
tertarik oleh nyala lilin. Tapi berkat ilmu kepandaian mereka yang sudah
tinggi, gangguan itu tidak menyiksa benar. Dengan kibasan tangan saja mereka
telah mampu meruntuhkan nyamuk-nyamuk yang berani menyerang mereka. Gangguan
itu lebih dirasakan oleh mengiangnya nyamuk di dekat telinga dari pada
penyerangan sengatan mereka.
Bulan
purnama mulai menyinari bumi pada saat mereka mulai merasakan datangnya ancaman
yang sejak tadi dinanti-nanti itu. Ada bau amis yang aneh yang memasuki hidung
mereka. Apalagi kalau ada angin bersilir, bau itu makin tercium keras sekali,
membuat Ci Sian merasa muak sekali.
“Awas....
agaknya dia mulai datang....,” kata Kian Bu dengan suara berbisik.
Pendekar ini
adalah putera Pendekar Super Sakti majikan Pulau Es, dan pendekar ini memiliki
ilmu kesaktian hebat, telah mengalami segala macam pertempuran dan bahaya yang
hebat-hebat. Akan tetapi malam itu dia merasakan ketegangan luar biasa juga.
Demikian pula dengan Siang In. Terutama sekali, Ci Sian yang belum begitu
banyak pengalaman hidupnya. Dara ini merasakan jantungnya berdebar penuh
ketegangan dan keringat dingin membasahi lehernya.
Andai kata
ia berada di situ seorang diri saja, tentu ia sudah meninggalkan tempat yang
menyeramkan itu. Tetapi adanya Pendekar Siluman Kecil dan isterinya membesarkan
hatinya dan dara ini memandang keluar goa dengan penuh perhatian, siap
menghadapi segala kemungkinan.
Bau amis
bercampur harum aneh yang keras itu makin terasa. Tak lama kemudian, terdengar
bunyi kresek-kresek dan tumbangnya sebatang pohon seperti dilanda sesuatu yang
berat.
“Kalau aku
menyerangnya, kalian cepat nyalakan obor itu dan menancapkan obor-obor itu di
luar goa, di empat penjuru agar kita dapat menghadapinya dengan baik,” bisik
Kian Bu kepada dua orang wanita itu yang hanya mengangguk tanda mengerti. Dua
orang wanita ini seperti kehilangan suara saking tegangnya.
Kian Bu
memandang keluar goa dengan penuh perhatian. Cahaya bulan cemerlang menerangi
keadaan di luar goa, dan sesungguhnya, tanpa obor sekali pun cuaca sudah cukup
terang. Akan tetapi Kian Bu menyuruh menyalakan obor bukan hanya agar cuaca
menjadi terang, akan tetapi untuk berjaga-jaga saja, kalau-kalau ada awan yang
akan menutupi bulan dan membuat tempat itu menjadi gelap. Sangatlah berbahaya
kalau bertanding melawan ular ganas di tempat gelap. Jadi obor-obor yang
disuruhnya untuk dinyalakan itu hanya bertugas sebagai cadangan kalau-kalau
sang bulan tertutup awan.
Akhirnya
tibalah saat yang ditunggu-tunggu, yang menimbulkan ketegangan luar biasa itu!
Mula-mula hanya nampak bayangan panjang menggeleser di atas tanah, membuat
rumput-rumput tersibak. Saat tiba di depan goa, tiba-tiba ular itu mengangkat
kepalanya, dan lehernya terangkat, kepalanya naik sampai satu meter di atas
tanah. Nampaklah mukanya yang mengerikan itu!
Mukanya
memang seperti muka ular biasa, hanya lebih besar dan yang mengerikan sekali
adalah mulutnya yang mengeluarkan suara mendesis dibarengi hawa seperti uap
putih mengepul. Sepasang cabang lidahnya bergerak-gerak keluar, lidah yang
merah kehitaman. Sepasang mata yang besar itu mencorong seperti mengeluarkan
api, dan kepalanya yang tertimpa sedikit cahaya bulan itu nampak berkilauan.
inilah agaknya yang menimbulkan dongeng bahwa kepalanya mencorong padahal
sebenarnya karena kulit kepalanya mengkilap seperti berminyak, tentu saja
nampak berkilauan.
Betapa pun
juga, Suma Kian Bu yang sudah banyak mengalami hal-hal yang luar biasa itu
diam-diam terkejut dan harus mengakui di dalam hatinya bahwa selama hidupnya
belum pernah dia melihat ular yang demikian besar dan panjangnya, dan juga yang
kelihatan ganas dan menyeramkan. Akan tetapi, karena dia pun tahu bahwa
binatang ini bukanlah sebangsa siluman atau dewa, juga bukan seekor naga
seperti yang sering terdapat dalam dongeng, yang bisa terbang dan memiliki kesaktian
lain, maka dia pun tidak menjadi gentar.
Agaknya ular
besar itu memang sudah biasa pindah ke dalam goa di awal musim rontok seperti
yang diceritakan oleh Kepala Dusun, juga agaknya telah terbiasa memperoleh
mangsa yang mudah di dalam goa itu. Maka sekarang pun binatang ini berhenti di
depan goa dan mengangkat kepalanya, agaknya untuk menjenguk lebih tinggi agar
dapat melihat jelas apakah sudah tersedia mangsa baginya kali ini.
Sejak tadi
Kian Bu memang sudah bersiap sedia. Seluruh urat syaraf di dalam tubuhnya telah
menegang, terisi oleh pengerahan sinkang untuk menghadapi lawan yang tangguh
dan berbahaya.
“Nyalakan
obor!” tiiba-tiba Kian Bu berseru.
Dan belum
juga gema suaranya itu lenyap, dia sudah meloncat keluar dari dalam mulut goa
itu dan langsung saja dia menerjang ke arah kepala ular yang diangkat tinggi
itu. Pendekar Siluman Kecil ini memiliki sebuah senjata yang luar biasa, yaitu
sebatang tongkat sakti yang terbuat dari akar pohon yang hanya terdapat di
sebuah pulau tak jauh dari Pulau Neraka. Akar kayu ini amat keras dan ulet,
tidak rusak oleh baja yang tajam sekali pun, dan lebih peka untuk disaluri
tenaga sinkang dari pada logam lainnya.
Biasanya,
hampir tidak pernah pendekar ini menghadapi lawan dengan senjatanya ini yang
lebih pantas dipergunakan untuk pegangan atau iseng saja. Hal ini adalah karena
dengan dua pasang kaki dan tangan saja dia sudah lebih dari kuat menghadapi
lawan. Kedua tangannya itu lebih dahsyat dari pada senjata lawan yang bagaimana
pun.
“Dukkkk!”
Tongkat yang
dipukulkan ke arah kepala ular itu tepat mengenai sasarannya, tetapi Kian Bu
kaget sekali karena tongkatnya terpental dan seluruh lengan kanannya tergetar
hebat. Ia memang sengaja hendak mengukur sampai di mana kekuatan dan kekebalan
ular itu dan akibatnya dia terkejut.
Tiba-tiba,
sebagai balasan serangan itu, ular itu menggerakkan kepalanya dan mulutnya
terbuka. Terdengarlah bunyi mendesis nyaring dan Kian Bu harus meloncat jauh ke
kiri untuk menghindarkan diri ketika dia merasakan sambaran angin dahsyat yang
panas dan berbau amis! Pada saat itu, Ci Sian dan Siang In sudah menyalakan
obor pada nyala lilin dan meloncat keluar, tepat pada saat ular itu menyembur kepada
Kian Bu. Dua orang wanita ini terkejut karena tiba-tiba ada angin keras yang
menyambar dan membuat obor mereka itu bergoyang-goyang apinya dan hampir padam,
juga mereka merasakan hawa panas terkandung dalam angin itu, di samping bau
amis yang memuakkan.
“Taruh obor
itu agak jauh!” Kian Bu berseru lagi.
Kini
pendekar ini yang sudah merasakan kekuatan ular yang amat besar itu meloncat
maju sambil menggerakkan tongkatnya, kini menusuk ke arah mata kanan ular. Dia
terkejut dan heran karena ular itu sama sekali tidak mengelak! Tetapi
kegirangannya lenyap pada saat ujung tongkatnya bertemu dengan benda yang amat
keras dan licin sehingga tusukannya meleset!
Kiranya,
tanpa menggerakkan kepala, ular itu mampu membuat gerakan sedikit yang cukup
untuk membuat ujung tongkat itu mengenai pinggiran mata yang sama kuatnya
dengan kulit kepala mau pun badannya. Kulit bersisik itu amat keras dan licin,
sehingga ketika tusukan tongkatnya meleset, Kian Bu terdorong ke depan. Dan
pada saat itu dia merasa adanya angin pukulan yang amat kuatnya menimpanya dari
arah kiri. Cepat Kian Bu mengerahkan ginkang-nya dan meloncat. Untung dia dapat
bergerak cepat karena begitu dia menghindar, ekor ular yang besar dan berat
itu, dengan kekuatan dahsyat yang ratusan kati beratnya, menimpanya dan karena
luput, ekor itu menimpa batu yang pecah berantakan seperti dipukul palu godam
yang amat berat!
Seperti juga
tadi, begitu diserang ular itu membalas dengan cepatnya, maka kini Kian Bu
bersikap hati-hati sekali. Dia sudah mencoba tongkatnya untuk memukul dan
menusuk, dan akibatnya, bahkan serangan balasan ular itu tidak kalah hebatnya
dan berbahayanya. Dan begitu serangannya luput, ular itu tidak melanjutkan
serangan, tapi menanti seperti tadi, dengan kepala diangkat dan sepasang
matanya yang mencorong memantulkan sinar obor-obor yang dipasang oleh Ci Sian
dan Siang In di sekitar tempat itu. Dua orang wanita itu kini mendekat dan
mengepung ular. Siang In sudah memegang senjatanya yang istimewa, yaitu
sebatang payung yang berujung runcing, sedangkan Ci Sian sudah memegang suling
emasnya.
“Ci Sian,
kita serang dari kanan kiri! Tujukan serangan ke arah matanya!” kata Siang In
yang tadi sudah melihat betapa dua kali serangan suaminya gagal.
Wanita
perkasa ini maklum bahwa kulit ular itu benar-benar sangat kebal sehingga
menyerang kulitnya akan sia-sia belaka, bahkan amat berbahaya, maka dengan
cerdik ia menganjurkan Ci Sian untuk melakukan serangan berbareng ke arah kedua
mata binatang itu dari kanan kiri.
Ci Sian
mengangguk dan dua orang wanita itu seperti berlomba cepat, menerjang dari
kanan kiri. Ci Sian lalu menusukkan sulingnya ke arah mata kiri, sedangkan
Siang In menusukkan ujung payungnya ke arah mata kanan.
Akan tetapi,
tiba-tiba ular itu menurunkan kepalanya dan menyembunyikan kepala itu di bawah
perut dan tiba-tiba saja ekornya sudah datang menimpa dengan kecepatan dan
kekuatan yang mengerikan.
“Awas....!”
Suma Kian Bu berseru.
Dua orang
wanita itu sudah meloncat pergi dengan cepat. Akan tetapi, angin pukulan yang
amat kuat masih mendorongnya dan membuat mereka berdua terbanting dan
bergulingan sampai jauh. Tentu saja mereka terkejut bukan main pada saat
melompat berdiri lagi. Pada saat itu, Kian Bu sudah meloncat dengan kecepatan
kilat sehingga yang nampak hanya bayangannya saja dan tahu-tahu dia sudah
mendekati kepala ular itu dan memukul dengan kepalan tangan kirinya.
“Dessss....!”
Pukulan itu
dahsyat bukan main, mengandung tenaga Swat-im Sinkang dari Pulau Es, maka dapat
dibayangkan betapa hebatnya. Karena tahu bahwa ular itu sungguh kebal dan tidak
dapat dilukai oleh senjata, maka Kian Bu kini mempergunakan tenaga Swat-im
Sinkang, yaitu tenaga dalam yang dingin, berkat latihan di Pulau Es. Biar pun
tangannya tidak akan dapat melukai kulit binatang itu, namun dia mengharapkan
bahwa getaran tenaga pukulannya akan dapat melukai sebelah dalam kepala
binatang itu. Dan memang agaknya harapannya ini tidak sia-sia, karena ular itu
ternyata menderita berat oleh pukulannya yang mengguncangkan isi kepalanya.
Ekor ular itu membelit dan menghantam sehingga Kian Bu terpaksa menangkis
dengan tangan kanannya yang memegang tongkat!
“Dessss....!”
Tubuh Kian
Bu terlempar dan tongkatnya terlepas dari tangannya! Pendekar ini tidak
terluka, hanya terlempar saking besarnya tenaga pukulan ekor ular itu. Begitu
meloncat bangun, Kian Bu sudah menerjang lagi, meloncat dan memukul dengan
pengerahan tenaga Swat-im Sinkang di tangan kiri, dan tenaga Hwi-yang Sinkang
di tangan kanan.
Kedua
pukulan yang mengandalkan tenaga sinkang yang berlawanan ini, yaitu dingin dan
panas, dilakukannya berganti-ganti. Dan serangan-serangan ini memang hebat
sekali. Satu kali pukulan tangan kanan atau tangan kiri pendekar itu sudah
cukup untuk merobohkan, bahkan menewaskan seorang lawan tangguh. Biar pun
berkali-kali terkena pukulan, namun nampaknya ia tak merasakan nyeri, bahkan
kini ia mulai mengeluarkan teriakan-teriakan yang menyeramkan. Teriakannya itu
seperti teriakan seekor burung gagak yang nyaring, parau dan menyeramkan
sekali. Agaknya ia marah bukan main terkena pukulan-pukulan yang mendatangkan
rasa nyeri itu.
Melihat
betapa suaminya sudah mulai menyerang dengan bertubi-tubi, Siang In segera
membantunya dengan menggerakkan payungnya, menerjang dan menusukkan ujung
payungnya, kembali mengarah mata ular itu. Sedangkan Ci Sian juga membarenginya
dan menghantamkan suling ke belakang kepala ular itu sambil mengerahkan semua tenaga
dalamnya.
Kian Bu yang
sudah menyerang bertubi-tubi itu berada dekat dengan ular dan dia tahu betapa
ular itu tiba-tiba menggerakkan ekornya.
“Awas!
Mundur....!” Dia berteriak, akan tetapi agaknya isterinya serta Ci Sian tidak
menghiraukannya karena kedua orang wanita itu memang hendak membantunya dan
tentu saja tidak tega melihat dia sendiri saja melawan ular yang amat tangguh
itu. Melihat dua orang wanita itu tidak menghiraukannya, Kian Bu yang maklum
akan dahsyatnya sambaran ekor ular, sudah meloncat dan menggunakan kedua
lengannya untuk menangkis sambaran ular yang tadinya menghantam ke arah dua
orang wanita itu.
“Dessss....!”
Hebat sekali
pertemuan antara ekor ular dan kedua lengan Kian Bu. Pendekar ini merasa
seolah-olah seluruh tulangnya remuk dan tak dapat bertahan lagi, terpelanting,
sedangkan dua orang wanita itu terdorong oleh hawa pukulan yang dahsyat ini,
kembali bergulingan. Sedangkan tusukan suling dan ujung payung itu pun tidak
melukai ular, bahkan membuatnya menjadi semakin marah. Ular itu merasakan
ekornya nyeri sekali, maka kemarahannya dipusatkan kepada Kian Bu yang telah
banyak mendatangkan rasa nyeri kepadanya. Sebelum Kian Bu sempat meloncat, ular
itu sudah menubruk dan tahu-tahu tubuh Kian Bu telah terkena libatan ekornya!
Pendekar itu
terkejut, mengerahkan tenaga Hwi-yang Sinkang, memberontak. Tenaga ini besar
sekali. Belenggu baja saja kiranya akan patah-patah oleh tenaga Hwi-yang
Sinkang yang panas ini. Akan tetapi, tubuh ular itu jauh lebih kuat dari pada
baja, karena tubuh itu dapat melentur seperti karet, namun mengandung kekuatan
libatan yang amat luar biasa.
Betapa pun
juga, karena Kian Bu memberontak itu, libatannya berkurang kekuatannya dan Kian
Bu berhasil menarik kedua lengannya keluar dari libatan sehingga hanya pinggangnya
ke bawah saja yang terlibat. Dia merasa betapa tenaga libatan itu makin kuat
saja, seperti ada tenaga dalam yang makin lama makin besar hendak meremukkan
tulang-tulangnya dengan tekanan yang dahsyat. Dan kini kepala ular itu membalik
dan dengan moncong terbuka lebar ular itu hendak mencaplok kepala Kian Bu!
“Dessss....!”
Kian Bu memapaki kepala itu dengan pukulan tangan kanannya.
“Plakkk!”
tangan kirinya juga menampar.
Ular itu
terkejut dan kesakitan, kembali menggeluarkan teriakan parau yang nyaring
sekali. Kian Bu merasa seolah-olah telinganya ditusuk-tusuk, maka ia pun
mengerahkan khikang-nya dan melengking nyaring. Ular itu terkejut dan terdiam,
akan tetapi tidak melepaskan lilitannya.
Siang In dan
Ci Sian terkejut bukan main melihat Kian Bu terlilit ular dan tidak mampu
melepaskan diri. Wajah Siang In menjadi pucat dan dengan nekat wanita ini
lantas menyerang dengan senjata payungnya. Terjangannya hebat sekali dan ujung
payung itu seperti kilat cepatnya menyambar ke arah kedua mata binatang itu.
Dan Ci Sian pun cepat membantunya, memukul-mukulkan sulingnya dengan pengerahan
khikang-nya yang amat kuat itu ke arah moncong ular, maksudnya andai kata tidak
dapat melukai ular pun ia akan mencegah ular itu menggigit Kian Bu.
“Tak-tak....!”
Ujung payung itu mengenai kulit yang keras ketika ular itu menggerakkan
kepalanya sehingga tusukan-tusukan itu meleset, tidak mengenai mata melainkan
mengenai bagian muka yang tertutup kulit keras.
“Trakkk!”
Hantaman suling di tangan Ci Sian bertemu dengan gigi dan ada sebuah gigi ular
itu yang patah terkena pukulan suling.
Kembali ular
itu berteriak parau dan keras dan Kian Bu merasa betapa lilitan tubuh ular itu
menjadi makin kuat. Dia pun menggunakan kedua tangannya untuk memukuli tubuh
ular yang melilitnya, menggunakan pukulan-pukulan tangan miring seperti
membacok-bacok. Tenaganya yang luar biasa kuatnya itu pun tidak dapat membuat
kulit ular itu rusak, akan tetapi setidaknya tenaga pukulannya mendatangkan
rasa nyeri yang luar biasa sehingga ular itu berteriak-teriak atau mengeluarkan
suara parau dan serak. Lilitannya menjadi semakin kuat.
Karena
maklum bahwa dia tidak mampu melepaskan diri dari belitan maut itu, dan bahwa
isterinya mau pun Ci Sian bisa terancam bahaya, maka Kian Bu cepat berteriak,
“Mundurlah.... jangan dekat-dekat....!”
Tetapi,
sebagai seorang isteri yang amat mencinta suaminya, tentu saja Siang In tidak
mau meninggalkan suaminya yang sedang dibelit ular dan dalam keadaan terancam
hebat itu. Pendekar wanita ini pun sudah menjadi panik penuh kekhawatiran, maka
dengan muka pucat ia sudah menyerang lagi sambil membentak nyaring, “Lepaskan
suamiku....!”
Payungnya
menyambar seperti kilat, kembali menyerang ke arah mata kanan ular itu. Ular
itu memang luar biasa sekali. Dia tidak mengelak, melainkan mempergunakan
kepalanya untuk menangkis.
“Dessss....!”
Tubuh Siang
In terlempar sampai beberapa meter jauhnya karena ditumbuk oleh kepala yang
amat kuat itu. Siang In tidak terbanting hebat karena ia cepat menggulingkan
tubuhnya, akan tetapi kepalanya agak pening juga oleh benturan keras itu.
Sementara itu, Ci Sian melihat dengan penuh kengerian ketika ular itu kini
mengangkat tinggi kepalanya dan mulutnya terbuka lebar, siap untuk mencaplok
kepala Suma Kian Bu yang masih meronta-ronta seperti seekor lalat dalam
perangkap sarang laba-laba itu. Agaknya tidak akan ada apa pun yang dapat
menyelamatkan nyawa pendekar sakti itu.
“Mundurlah....
biarkan aku....” kata pula Kian Bu yang terkejut menyaksikan isterinya
terlempar tadi.
Akan tetapi
Siang In menjadi semakin nekat. Biar pun kepalanya masih pening dan tubuhnya
sakit-sakit, terutama sekali pundak kirinya yang terkena hantaman langsung oleh
kepala ular itu, namun kekhawatirannya akan keselamatan suaminya membuat ia
lupa akan diri sendiri. Ia sudah hendak menyerbu lagi ketika tiba-tiba
lengannya dipegang oleh tangan Ci Sian Sian.
“Enci,
biarkan aku mencoba ini....”
Siang In
menahan gerakannya dan memandang Ci Sian yang sudah menempelkan suling emasnya
di depan mulut dan terdengarlah suara suling yang aneh dan suara itu melengking
tinggi mengalun dan mengandung getaran yang amat halus namun amat kuat.
Ternyata
dara ini teringat akan pelajaran tiupan sulingnya, dan menurut suheng-nya,
tiupan suling itu mengandung suara yang penuh dengan kekuatan khikang, dan
menurut suheng-nya, suara itu selain dapat mengusir pengaruh gaib atau juga
segala macam kekuatan sihir dari lawan, dapat dipergunakan untuk menyerang atau
mempengaruhi lawan pula. Dan Ci Sian juga teringat akan pelajaran dari gurunya,
yaitu Si Raja Ular See-thian Coa-ong tentang kelemahan ular.
Dia sendiri
dapat memanggil ular-ular dengan getaran suara meninggi dalam nada tertentu,
yaitu ilmu yang didapatnya dari See-thian Coa-ong. Dengan menggabungkan ilmunya
meniup suling dan ilmunya menguasai ular itu, ia ingin mencoba kepandaiannya
untuk mempengaruhi dan menundukkan ular raksasa ini.
Tentu saja
Ci Sian belum yakin akan hasilnya, sebab pelajaran menaklukkan ular dari
suhu-nya, yaitu See-thian Coa-ong itu, hanya ditujukan terhadap ular-ular
biasa, terutama ular beracun. Belum pernah selama hidupnya dia melihat ular
seperti yang mereka lawan ini. Ular yang menyelamatkannya ketika terjatuh dari
tebing dahulu, yaitu ular peliharaan See-thian Coa-ong, tidak ada setengahnya
dibandingkan dengan besar ular raksasa ini!
Dengan
senjata payung di tangan, siap untuk menerjang, dan sepasang matanya tak pernah
berkedip memandang ke arah ular yang melilit tubuh suaminya, Siang In berdiri
memandang. Pendekar wanita ini sendiri bergetar mendengar suara suling
melengking tinggi ini, sehingga ia harus mengerahkan sinkang untuk melindungi
jantungnya yang seperti ikut tergetar.
“Bagus,
teruskan.... teruskan....!” Tiba-tiba terdengar Kian Bu berkata girang.
Terjadilah
keanehan. Mendengar suara melengking tinggi yang beralun itu, ular yang tadinya
sudah membuka mulut, dengan marah sekali hendak mencaplok kepala Kian Bu,
tiba-tiba menghentikan gerakan kepalanya dan mengangkat kepala tinggi-tinggi,
diam tak bergerak, seolah-olah terpesona! Kemudian, mulailah kepala itu
bergerak-gerak ke kanan kiri, mulutnya masih terbuka dan kadang-kadang ular itu
menyemburkan uap yang panas dan berbau amis!
Giranglah
hati Ci Sian ketika melihat hasil tiupan sulingnya ini. Ia pun cepat meniupkan
nada-nada suara yang telah dipelajarinya dari See-thian Coa-ong untuk membuat
ular itu berlutut atau mendekam di depan kakinya. Ada bermacam-macam perintah
yang dapat dilakukannya terhadap ular, sesuai dengan yang diajarkan See-thian
Coa-ong, melalui nada suara tertentu yang biasanya dikeluarkan dari
kerongkongannya dengan pengerahan khikang. Akan tetapi, kini dengan tiupan
sulingnya, tentu saja kekuatan itu lebih hebat lagi.
Namun Ci
Sian terkejut dan juga bingung. Ular raksasa itu tidak mentaati perintah
melalui sulingnya, tetapi nampak panik dan bingung, juga seperti ketakutan.
Agaknya, suara melengking yang langsung ditujukan kepadanya oleh dara perkasa
itu amat mengganggu telinganya, membuat kepalanya rasanya seperti ditusuk-tusuk
dari dalam!
Ular itu
kebingungan, ketakutan, dan membuka mulutnya lebar-lebar, mendesis-desis dan
menggeliat-geliat, menggerakkan kepala seperti menari-nari, akan tetapi tarian
yang tidak teratur, tarian kebingungan!
Ci Sian
melanjutkan tiupannya, menduga bahwa agaknya ‘alat penerima’ ular raksasa ini
sudah berbeda dengan ular-ular pada umumnya. Akan tetapi, melihat betapa tubuh
ular itu menggeliat dan karenanya lilitannya juga mengendur, ia terus meniup
sulingnya, bahkan menggunakan nada yang makin meninggi sampai tidak dapat
ditangkap oleh anak telinga lagi! Dan ular itu semakin tersiksa!
Dalam
keadaan kebingungan itu, ular raksasa ini agaknya melupakan Kian Bu sehingga
lilitannya mengendur dan ketika memperoleh kesempatan baik, Kian Bu berhasil
meloloskan diri, sekali meloncat sudah terbebas dari lilitan ular. Akan tetapi
ketika kedua kakinya tiba di atas tanah dekat isterinya, dia terhuyung dan
tentu akan terpelanting kalau tidak dipeluk isterinya. Kiranya pendekar ini
tadi terlalu banyak mengerahkan tenaga untuk berusaha melepaskan diri dari
lilitan ular itu, dan juga untuk menjaga agar tulang-tulangnya tidak remuk
terhimpit.
Setelah
mengatur napas sebentar dan keadaannya pulih kembali, Suma Kian Bu lalu
mengambil payung isterinya, matanya tak pernah terlepas memandang ular itu.
Ketika tadi ular itu membuka mulut lebar-lebar hendak mencaplok kepalanya, dia
melihat betapa bagian dalam dari mulut ular itu merupakan daging yang
kemerahan, dan dia percaya bahwa tidak mungkin daging di sebelah dalam rongga
mulut itu kebal. Di situlah agaknya kelemahan ular ini, pikirnya. Di bagian
luar tubuhnya, ular itu kebal, terlindung sisik yang amat tebal dan kuat. Akan
tetapi kalau mulutnya terbuka, maka di dalam rongga mulutnya itu merupakan
bagian yang lemah dan tidak terlindung.
Mulut ular
itu masih ternganga lebar dan menyembur-nyemburkan uap, kebingungan dan
kegelisahan sekali. Mendadak nampak bayangan berkelebat dan Kian Bu telah
mempergunakan ilmu ginkang-nya yang luar biasa, melayang ke depan dan secepat
kilat.
Sebelum ular
itu tahu bahwa dirinya diserang, pendekar ini sudah menusukkan payungnya dari
bawah, memasuki mulut itu dan ujung payung yang seperti pedang itu menusuk dan
menembus rongga mulut bagian atas, memasuki otak di kepala ular dan menembus
sampai keluar di antara kedua mata ular itu.
“Mundur....!”
Kian Bu berteriak nyaring sambil meloncat jauh meninggalkan ular itu.
Sementara
itu, Ci Sian dan Siang In juga berloncatan ke belakang. Untung bahwa mereka
melakukan ini karena tiba-tiba saja ular yang telah terluka parah itu mengamuk!
Bukan main dahsyatnya amukan ular ini. Kepalanya yang sekarang sudah berlubang
dan mengucurkan darah yang banyak sekali itu menyambar-nyambar ke sana sini dan
apa saja yang ditemukan, baik batu mau pun batang pohon, tentu digigitnya
sampai hancur!
Ekornya juga
menyambar ke kanan kiri hingga batu-batu besar pecah-pecah terkena hantaman
ekornya. Debu mengepul tinggi dan semua hiruk-pikuk itu ditambah lagi dengan
teriakan-teriakannya yang menyayat hati.
Teriakan-teriakan
ini terdengar sampai ke dusun dan semua orang dusun, semenjak mendengar suara
ular itu memekik-mekik tadi, sudah menjatuhkan diri berlutut di rumah
masing-masing dengan muka pucat dan tubuh menggigil ketakutan. Mereka mengira
bahwa tentu tiga orang pendekar itu telah tewas semua dan sekarang Dewa Ular
itu marah-marah dan akan mengamuk ke dusun itu!
Akan tetapi,
biar pun luka yang diderita oleh ular raksasa itu hanyalah luka kecil saja yang
diakibatkan oleh tusukan ujung payung yang seperti pedang, namun luka itu
menembus kepala dan merusak otak, pusat segala-galanya. Maka amukan itu hanya
berlangsung beberapa menit saja dan akhirnya ular itu tergolek mati di depan
goa!
Tiga orang
pendekar itu menanti sampai beberapa lama, sampai akhirnya mereka yakin benar
bahwa binatang itu telah mati. Barulah Kian Bu mendahului mereka, meloncat ke
dekat ular itu dan menggerak-gerakkan kepala ular itu dengan kakinya. Namun,
kepala itu terangkat dan terkulai lemas, tanda bahwa ular itu benar-benar telah
tewas.
Maka dia pun
memberi isyarat kepada kedua orang wanita pendekar itu yang lalu segera maju
menghampiri. Ngeri juga hati mereka melihat besarnya ular ini. Bahkan Ci Sian
sendiri yang memiliki ilmu menaklukkan ular dan sudah dapat disebut ahli ular
atau pawang ular, bergidik melihat ular yang luar biasa ini.
Pendekar
Siluman Kecil yang melihat bahwa ular itu telah benar-benar tewas, menoleh kepada
Ci Sian dan berkata, “Nona, engkau telah menyelamatkan nyawaku.”
Siang In
juga merangkul dara itu dan berkata, “Kalau tidak ada engkau, Adikku, entah apa
akibatnya yang menimpa kami berdua.”
Ci Sian
tersenyum, balas merangkul Siang In dan berkata kepada Kian Bu, “Suma-taihiap,
harap engkau jangan bersikap sungkan. Di antara kita, mana ada istilah saling
menolong atau menyelamatkan? Kita maju bertiga menghadapi ular itu, jadi tidak
ada yang ditolong atau menolong.”
Kian Bu
mengangguk. “Baik, engkau masih muda akan tetapi pandai membawa diri, Nona.
Tunggu, aku Suma Kian Bu bukan orang yang tidak pandai membalas budi.”
Setelah
berkata demikian, pendekar ini menggunakan ujung payung isterinya untuk
menggurat kepala ular yang sudah terluka itu. Anehnya, setelah ular itu mati,
biar pun kulit kepalanya masih keras, tetapi tak begitu sukar bagi pendekar
untuk membelahnya dengan hati-hati.
Kepala itu
terbelah dan nampak isinya ketika dikuakkan dan dapat dibayangkan betapa girang
rasa hati suami isteri yang dipenuhi harapan itu ketika di dalam kepala itu
mereka menemukan sebuah benda bulat sebesar ibu jari, berwarna kehijauan,
macamnya seperti sebutir mutiara yang berkilauan, akan tetapi agak lunak.
Itulah agaknya dongeng tentang mustika naga itu!
Dengan hati-hati
sekali Siang In menyimpan benda itu, dibungkusnya dengan sehelai sapu tangan
bersih. Sedangkan Kian Bu berkata, “Nona Bu Si Cian....“
Ci Sian
terkejut dan memandang dengan mata terheran-heran, akan tetapi kemudian ia
dapat menduga dan menoleh kepada Siang In.
“Memang aku
telah menceritakan riwayatmu kepada suamiku, Ci Sian.”
“Benar Nona.
Aku sudah mendengar bahwa Nona adalah puteri dari Bu Seng Kin atau yang
terkenal dengan sebutan Bu-taihiap itu. Aku sendiri belum pernah berjumpa
dengan orangnya, namun namanya sudah terkenal lama di dunia kang-ouw. Nona,
kami berdua sudah melihat bahwa Nona adalah orang yang patut menjadi sahabat
baik atau bahkan keluarga kami sendiri. Oleh karena itu, kalau sekiranya Nona
suka, aku ingin menurunkan semacam ilmu kepadamu yang akan menambah
kepandaianmu dan memperhebat ilmu silatmu. Kami akan tinggal di sini selama
beberapa bulan, dan kalau engkau mau, aku akan dapat mengajarkan ilmu itu
kepadamu di sini.”
Siang In
yang masih merangkulnya itu segera berkata, “Adikku, kesempatan baik sekali
bagimu untuk memperdalam ilmumu! Percayalah, suamiku tidak pernah bicara
main-main. Kau temanilah kami di sini mempelajari ilmu itu, karena bukankah
engkau pun tidak mempunyai tujuan tertentu hendak ke mana? Kalau ilmumu sudah
lebih sempurna, tentu akan lebih mudah bagimu untuk merantau dan.... mencari
Suheng-mu.”
Ci Sian
termenung sejenak. Ia tahu akan kelihaian pendekar ini dan sebagai seorang
pendekar wanita muda, tentu saja ia pun masih haus akan ilmu-ilmu yang hebat.
Dan ia pun merasa amat cocok dengan Siang In. Akhirnya ia menjatuhkan diri
berlutut di depan Suma Kian Bu dan berkata, “Terima kasih atas kebaikan
Taihiap.”
Siang In
cepat membangunkan Ci Sian dan suaminya berkata, “Ah, mengapa sekarang engkau
yang bersikap sungkan, Nona? Aku hendak menurunkan ilmu yang paling diandalkan
keluarga Pulau Es, yaitu gabungan Hwi-yang Sinkang dan Swat-im Sinkang. Akan
tetapi hal ini bukan berarti bahwa aku lalu menjadi gurumu atau melepas budi
kepadamu! Aku hanya melihat bahwa engkau adalah orang yang pantas memiliki ilmu
keluarga kami itu.”
Tiba-tiba
terdengar suara banyak orang datang ke tempat itu dan dari jauh saja sudah
nampak obor-obor yang mereka bawa. Kiranya mereka itu adalah para penghuni
dusun yang dipimpin oleh kepala dusun. Tadinya, orang-orang itu ketakutan
setengah mati mendengar suara pekik-pekik yang dahsyat dari ular raksasa. Akan
tetapi setelah suara itu berhenti, mereka lalu bermunculan dari rumah
masing-masing dan dengan pimpinan Kepala Dusun, akhirnya mereka memberanikan
diri untuk menuju ke goa.
“Kalau Dewa
Ular mau mengampuni kita, itu baik sekali,” kata Kepala Dusun itu kepada semua
orang. “Akan tetapi kalau beliau marah dan hendak membasmi kita semua, dari
pada mati konyol, lebih baik kita melawan sampai mati! Lebih baik mati sebagai
manusia yang pandai membela diri dari pada mati sebagai tikus-tikus yang
penakut!”
Ucapan penuh
semangat ini, yang sedikit banyak dipengaruhi oleh kedatangan tiga ‘utusan
dewa’ itu, membakar semangat para penghuni dusun dan akhirnya, mereka pun
mengumpulkan senjata seadanya, membawa obor dan berbondong-bondong datang ke
arah goa. Dari jauh mereka pun sudah melihat obor yang dipasang di sekitar goa.
Dengan
jantung berdebar-debar, mereka terus melangkah maju dan akhirnya mereka semua
berdiri terbelalak memandang ke depan goa, di mana berdiri tiga orang ‘utusan
dewa’ itu dan di depan tiga orang itu menggeletak tubuh ular besar yang tak
bergerak-gerak! Ketika mereka semua melihat ke arah kepala ular itu, tahulah
mereka bahwa ular itu telah mati. Serentak mereka bersorak gembira dan mereka
dipimpin oleh Kepala Dusun untuk menjatuhkan diri berlutut menghadap ke arah
tiga orang ‘utusan dewa’ itu!
Kian Bu
menghadapi mereka dan berkata, suaranya nyaring dan penuh wibawa, “Saudara
sekalian, bangkitlah dan tidak perlu kalian terlalu memuja kami. Ketahuilah,
kami sama sekali bukan utusan dewa. Kami adalah manusia-manusia biasa yang
menentang kejahatan, juga yang selalu siap menolong mereka yang tertindas atau
terancam. Kami datang untuk membasmi ular raksasa ini dan kami telah berhasil.
Kami tidak minta balasan apa-apa, hanya kami ingin tinggal untuk beberapa bulan
di tempat ini, harap Saudara sekalian tidak menaruh hati keberatan.”
Tentu saja
Kepala Dusun dan para penghuni dusun itu sama sekali tidak keberatan, bahkan
mereka merasa girang dan bangga sekali. Berkat bantuan Kepala Dusun dan para
penghuni dusun itu, dibangunlah dua buah pondok kecil untuk suami isteri itu
dan untuk Ci Sian dan mulai hari itu, tiga orang pendekar itu tinggal di tepi
hutan, di dekat goa.
Bangkai ular
itu atas anjuran Kian Bu lalu dikuliti oleh para penghuni dusun, dagingnya
dibagi-bagi dan dimasak. Kulit ular itu dijemur dan dijadikan semacam lambang
dusun itu, dipentang dan dipasang di dinding ruangan besar tempat tinggal
Kepala Dusun, dan dengan resmi mereka menyebut dusun mereka itu sebagai dusun
Naga Hijau!
Kian Bu,
juga mencari daun-daun dan akar-akar obat sebagai campuran Jeng-liong-cu
(Mustika Naga Hijau) itu, dimasak dan diminum oleh dia dan isterinya. Ramuan
obat aneh ini setiap hari direbus dan airnya diminum oleh mereka dengan penuh
harapan.
Sementara
itu, mulailah Kian Bu menurunkan ilmu pusaka dari Pulau Es, yaitu ilmu gabungan
dua tenaga sakti Hwi-yang Sinkang (Inti Api) Swat-im Sinkang (Inti Es). Ilmu
ini adalah ilmu menghimpun tenaga dalam yang harus dilatih setiap hari oleh Ci
Sian dengan cara bersemedhi. Kadang-kadang dara ini dilatih bersemedhi di dalam
goa di mana dinyalakan api unggun besar sehingga udara di dalam goa itu pengap
dan panas bukan main.
Namun,
berkat latihan dan petunjuk Kian Bu, Ci Sian mampu bertahan bertapa di dalam
goa api ini sampai sehari penuh! Dan kadang-kadang dia diharuskan bersemedhi di
puncak gunung di tengah malam yang amat dingin, bahkan duduk bersemedhi dengan
merendam tubuhnya di dalam sumber air di hutan itu.
Karena
memang Ci Sian berbakat baik dan juga amat, tekun, maka dengan cepat ia dapat
menguasai sinkang itu, bahkan lewat beberapa pekan kemudian ia telah mulai
latihan menyalurkan tenaga gabungan itu ke dalam gerak tangan, baik melalui
pukulan tangan kosong atau pun melalui senjata suling emasnya.
Tiga bulan
lewat dengan cepatnya. Selama itu, tiga orang pendekar ini dilayani oleh para
penghuni dusun. Mereka bertiga tidak kekurangan bahan makanan, karena
sedikitnya sepekan sekali Kepala Dusun dengan beberapa orang wakil penduduk
tentu datang membawa bahan-bahan makanan hasil sawah ladang mereka.
Sementara
itu, Ci Sian telah berhasil menguasai ilmu dari keluarga Pulau Es. Tentu saja
penguasaan ilmu ini membuat ia menjadi semakin lihai, karena kini ilmu pedang
yang dimainkan dengan sulingnya, yaitu Kim-siauw Kiam-sut yang dipelajarinya
bersama Kam Hong, bertambah kehebatannya.
Tadinya,
ilmu itu sudah hebat sekali. Selain memiliki gerakan yang amat aneh dan lihai,
juga gerakan suling itu mengandung tenaga khikang yang sangat kuat, di samping
ditambah lagi suara suling melengking yang juga dapat melumpuhkan lawan. Semua
kehebatan Kim-siauw Kiam-sut itu kini ditambah lagi dengan penyaluran sinkang
yang dapat diatur menurut kehendaknya, bisa dingin seperti es, bisa panas
seperti api!
Pada pagi
hari itu, setelah semalam suntuk berlatih semedhi dengan hasil yang baik
sekali, Ci Sian pergi ke sumber air dan mencuci mukanya untuk mengusir kantuk
yang mulai menyerangnya. Setelah mencuci muka dan mengeringkan mukanya, ia lalu
duduk di tepi air kolam di tepi sumber di mana airnya tergenang penuh dan
jernih sekali, juga air itu diam hanya bergerak sedikit sekali, seperti sebuah
cermin ketika sinar matahari menyinarinya.
Ia pun lalu
mengurai rambut, menyisiri rambutnya yang panjang hitam dan halus itu. Baru
kemarin ia mencuci rambutnya itu dengan getah daun semacam daun lidah buaya dan
rambut itu kini nampak halus mengkilap dan bersih, berbau sedap karena ketika
digelungnya, ia menaruh kembang mawar hutan di rambutnya. Sambil bersisir, Ci
Sian menjenguk ke dalam air, di mana ia melihat wajahnya terpantul dengan
jelasnya. Seraut wajah yang segar dan cantik manis, berbentuk bulat seperti
bulan purnama. Karena raut wajahnya itulah maka ia disebut Siauw Goat (Bulan
Kecil) oleh kakeknya dahulu.
Teringat
akan ini, terbayanglah semua pengalamannya dan teringatlah ia kembali pada Kam
Hong, suhengnya. Dara itu menarik napas panjang dan sekali lagi ia menjenguk
dan memandang wajahnya. Ia menyeringai, lalu menjebirkan bibirnya kepada bayangan
itu. Kemudian, melihat wajahnya yang lucu di dalam air, ia geli dan tersenyum
sendiri. Dan betapa manisnya ketika ia tersenyum.
“Ci Sian,
engkau lebih bahagia ketika masih menjadi Siauw Goat dahulu,” katanya lirih,
seolah-olah bayangan di dalam air itu adalah orang lain yang dapat diajaknya
bercakap-cakap. “Ketika itu, engkau hidup bahagia dan selalu gembira di samping
kakek, dimanja dan dicinta semua orang. Tapi sekarang? Uhh, Suheng-mu yang
paling kau sayang pun meninggalkanmu!” Tiba-tiba saja Ci Sian menangis!
Sampai
sekarang pun dia masih belum dapat menentukan perasaan apakah yang mengganggu
hatinya ini. Ia memang mencinta suheng-nya itu, akan tetapi apakah ini cinta
kasih antara sumoi terhadap suheng, antara seorang dara yang haus akan kasih sayang
ayah bunda sehingga suhengnya itu dianggapnya sebagai pengganti ayah bundanya,
kasih seorang murid terhadap gurunya, atau kasih sayang antara sahabat yang
dikaguminya dan dipujanya, ataukah ini kasih sayang seorang wanita terhadap
seorang pria? Ia tidak tahu!
Cinta kasih!
Apakah itu sesungguhnya? Sudah sering kali pengarang mengajak para pembaca
untuk merenungkan dan mempelajari kenyataan hidup yang amat mukjijat ini, dan
tiada bosannya pengarang mengajak pembaca untuk merenungkannya kembali. Cinta kasih,
apakah itu sesungguhnya? Betapa halusnya!
Setiap orang
merasakan keadaannya, tapi sekali mencoba untuk mengukurnya dengan
pikiran-pikiran, dengan kata-kata, maka kita kehabisan kata-kata untuk
menyelaminya, kehabisan akal untuk dapat menguraikannya. Kita terbiasa untuk
membagi-bagi cinta kasih, karena kehabisan akal itu, membagi-baginya dengan
cinta kasih antara anak dan orang tua, antara sahabat, antara warga dan
negaranya, antara suami dan isteri, pria dan wanita dan sebagainya.
Bahkan,
saking bingungnya kita, saking dangkalnya pikiran ini untuk dipakai mengukur
cinta kasih, timbullah kata-kata untung-untungan bahwa cinta kasih itu buta,
cinta kasih itu sorga, cinta kasih itu sengsara, dan sebagainya!
Akan tetapi,
semua anggapan itu hanyalah menjadi pengetahuan mati berdasarkan pengalaman
masing-masing orang. Kalau orang merasa sengsara karena cinta, maka
dikutuknyalah cinta, dan kalau orang merasa bahagia, maka di pujanyalah.
Cinta kasih
tidak pernah terpecah belah. Yang memecah belah adalah sang pikiran atau si aku
yang selalu mengambil kesimpulan senang susah, untung rugi.
Cinta kasih
tak mungkin dapat diuraikan, karena bukan merupakan sesuatu yang mati, sesuatu
yang sudah pasti dan tidak berubah lagi, karena pikiranlah yang selalu berubah
sesuai dengan keadaan diri pribadi. Dengan pikiran kita yang dangkal, pikiran
yang bukan lain hanya merupakan barang lapuk dan mati, tumpukan hal-hal yang
sudah lalu, pikiran yang tak mungkin dapat mengenal hal-hal yang baru, mana
mungkin kita dapat menentukan apakah sesungguhnya cinta kasih itu?
Ratusan,
bahkan ribuan orang yang dinamakan kaum cerdik pandai boleh mengatakan bahwa
cinta kasih adalah begini atau begitu, ini atau itu. Namun, sampai sekarang,
cinta kasih masih saja merupakan hal yang tidak kita mengerti benar.
Cinta kasih
tidak mungkin dapat disentuh melalui pikiran yang lapuk dan usang. Cinta kasih
adalah sesuatu yang selalu baru, sesuatu yang terlalu agung untuk dapat diraba
oleh panca indera dan pikiran. Oleh karena itu, agaknya hanya ada satu jalan
untuk menyentuhnya, yaitu kita harus membebaskan diri dari pada yang
lapuk-lapuk itu, kita membiarkan diri kosong dari pada segala pengetahuan
tentang cinta kasih yang selalu didasari untung rugi si aku ini.
Kita
membiarkan diri bersih dari pada segala yang bukan cinta kasih. Yang bukan
cinta kasih itu tentu saja adalah pementingan diri sendiri, kemarahan,
kebencian, permusuhan, iri hati, dan segala hal yang menimbulkan konflik antara
kita dengan orang lain, bahkan antara kita dengan kita sendiri, dengan pikiran
sendiri.
Dalam
keadaan kosong itu, kosong tanpa dibuat-buat, dalam keadaan bebas itu, dalam
keadaan bersih itu, seperti kaca yang sudah bersih dari pada debu, mungkin saja
sinar cinta kasih akan dapat menembus masuk! Dan kalau sinar cinta kasih sudah
menembus masuk, kiranya tidak ada lagi persoalan, tidak ada lagi
pemecah-belahan.
Terima kasih telah membaca Serial ini