Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Suling Emas Naga Siluman
Jilid 21
CI SIAN
merupakan seorang manusia, satu di antara kita yang menjadi bingung oleh
perasaan sendiri, oleh karena pikirannya sendiri. Ia hidup selama beberapa
bulan di dekat sepasang suami isteri, dan memang semenjak tinggal di situ,
antara suami isteri itu nampak kemesraan yang lebih dari pada yang sudah-sudah.
Menyaksikan
suami isteri yang hidup saling mencinta, penuh kasih sayang dan kemesraan ini,
tentu saja menimbulkan semacam perbandingan dalam hati Ci Sian.
Ia
membandingkan keadaannya dengan keadaan Siang In, seorang wanita lain, dan
timbullah rasa iba diri dan mungkin juga rasa iri hati ini. Rasa iba diri ini
membuat ia merasa sengsara dan tidak bahagia, bahkan menimbulkan rasa rindunya
kepada Kam Hong, satu-satunya pria yang selama ini dekat dengan hatinya!
Ci Sian
sudah berhenti menangis, dara ini memang tidak pernah dapat lama menangis.
Hatinya yang keras membuat ia mudah menguasai hatinya kalau sedang dirundung
kedukaan. Ia menjenguk ke air lagi, makin mengkal hatinya melihat matanya
menjadi merah. Ditamparnya air di depannya itu dan tanpa disengaja dia
mengerahkan tenaga Swat-im Sinkang sehingga ada butiran-butiran air yang
membeku menjadi es!
Dengan
bersungut-sungut, mulutnya yang berbibir merah itu cemberut, karena hatinya
yang tadi berduka itu sekarang menjadi jengkel. Ia lalu menggelung rambutnya
dengan sembarangan saja. Tiba-tiba ia meloncat kaget. Telinganya yang
berpendengaran tajam itu dapat menangkap suara yang tidak wajar. Begitu
meloncat ia sudah membalikkan tubuhnya sambil membentak, “Siapa di situ?”
Dari balik
semak-semak belukar muncullah dua orang pria. Pakaian mereka sederhana, seperti
pakaian pertapa atau pendeta, dan kepala mereka tertutup topi tosu berwarna
kuning. Usia mereka antara tiga puluh sampai empat puluh tahun. Begitu mereka
muncul dari balik semak-semak, kedua orang pria ini berdiri dengan bengong
seperti patung memandang kepada Ci Sian.
Memang hebat
bukan main dara ini di pagi hari itu. Hebat saking cantik dan manisnya!
Kecantikan asli, seperti keindahan alam, seperti setangkai bunga bermandikan
embun, seperti ujung ranting berdaun dibelai angin, seperti segumpal awan
berarak di angkasa. Cantik jelita dan indah mempesona! Pakaian dara itu
sederhana saja, namun tidak dapat menyembunyikan kepadatan tubuhnya dengan lekuk-lengkung
yang sempurna.
Rambutnya
yang hitam halus dan lebat itu digelung sembarangan saja, anak rambut atau
sinom di jidatnya berjuntai dan melingkar-lingkar. Leher yang panjang itu
seperti leher anak angsa, nampak kulit leher yang putih halus, wajahnya yang
bulat seperti bulan purnama itu manis. Sepasang mata yang sedang merah itu
mengeluarkan sinar mencorong dan sungguh pun agak merah karena habis menangis,
akan tetapi tidak mengurangi kejelitaannya.
Hidung yang
kecil mancung itu agar merah, masih ada bekas tangis di ujung hidung yang
kemerahan. Sedangkan mulut yang kecil mungil itu masih cemberut, namun tidak
membuat wajah itu kehilangan kemanisannya. Dagunya runcing agak berlekuk, dan
biar pun dara itu sedang marah, namun tekukan bibirnya membuat lesung pipit di
pipi kiri, dekat mulut, nampak membayang sudah. Pokoknya wuihhh…..
Orang
termuda dari dua tosu itu menahan napas, kemudian menarik napas panjang dan
dengan mata yang tak pernah dapat berkedip itu, sepasang mata yang lebar
sekali, memandang wajah Ci Sian bagaikan hendak ditelannya bulat-bulat dengan
pandang matanya, tosu ini berkata, “Siancai....! Bidadarikah? Silumankah....?”
Kalau saja
ia berada dalam keadaan biasa, tentu Ci Sian akan menilai ucapan ini sebagai
kekagetan biasa saja dan mungkin ia akan merasa geli dan menurutkan wataknya
yang kadang-kadang kekanak-kanakan dan nakal, mungkin saja dia akan menggoda
dua orang ini yang membayangkannya bidadari atau siluman. Akan tetapi, pada
saat itu hatinya sedang mengkal, sedang jengkel karena duka. Oleh karena itu,
sikap dan ucapan tosu itu dianggapnya sebagai ejekan, sebagai kekurang ajaran,
atau bahkan sebagai penghinaan yang membuatnya marah sekali!
Memang
demikianlah kenyataan yang dapat kita lihat dalam kehidupan kita sehari-hari.
Kita menjadi jengkel, kita menjadi marah, kita menjadi sakit hati, semua ini
sama sekali bukan disebabkan oleh keadaan di luar diri kita. Sebab utamanya
adalah terletak dalam diri kita sendiri. Keadaan di luar itu merupakan suatu
fakta dan yang memegang peran penting adalah tanggapan pikiran kita terhadap
fakta di luar diri itu. Dan tanggapan ini sendiri terpengaruh kuat sekali oleh
keadaan hati.
Tanggapan-tanggapan
terhadap keadaan di luar ini selalu berubah. Akan berbeda sekali tanggapan kita
dalam keadaan hati senang dibandingkan dengan tanggapan di waktu hati sedang
mengkal. Jadi, kemarahan adalah buatan kita sendiri. Akan tetapi kita selalu
mencari sebab kemarahan di luar diri kita, kita menyalahkan orang lain atau
benda atau keadaan di luar diri kita, tidak mau menjenguk ke dalam sehingga
kita tidak melihat bahwa kemarahan adalah buatan kita sendiri, disebabkan oleh
tanggapan kita sendiri.
“Kalian
berdua ini tikus-tikus dari mana berani menghinaku? Apakah kalian sudah bosan
hidup?” demikian Ci Sian yang merasa dipermainkan atau dihina ini membentak
sambil melangkah maju dan bertolak pinggang.
Dua orang
tosu yang tadinya terpesona oleh kecantikan asli seorang dara remaja di
tengah-tengah hutan sunyi itu, benar-benar terpesona dan sama sekali tidak
bermaksud untuk kurang ajar, kini terkejut. Yang tadi mengeluarkan suara adalah
seorang tosu, akan tetapi betapa pun juga, dia adalah seorang laki-laki yang
masih muda, baru kurang lebih tiga puluh lima tahun usianya.
Bagi seorang
laki-laki yang usianya sebegitu, tidak anehlah kalau daya tarik kecantikan
wanita masih sangat kuat baginya sehingga ucapannya tadi terpancing keluar dari
mulutnya langsung dari hati yang terpikat, untuk menyatakan pujiannya. Kini,
melihat sikap dan mendengar ucapan Ci Sian, mereka terkejut sekaligus juga
tidak senang, mengerutkan alis. Bagi dua orang tosu ini, tidak pantaslah kalau
seorang dara remaja demikian keras kata-katanya.
Karena
dimaki tikus yang bosan hidup, tosu ke dua yang hidungnya bengkok, menjadi
penasaran dan marah. Tosu ini usianya sudah mendekati empat puluh tahun. “Sute,
ia sudah pasti bukan bidadari. Mendengar kata-katanya, ia lebih pantas kalau
seorang siluman!”
Ucapan ini
bagaikan minyak bakar yang disiramkan kepada api kemarahan Ci Sian. Sepasang
alisnya bergerak naik dan matanya menjadi makin mencorong mengeluarkan sinar
kilat. “Bagus, bedebah keparat, kalian patut dihajar!” bentaknya dan tiba-tiba
saja tubuhnya sudah meluncur ke depan dengan kecepatan yang luar biasa, dua
tangannya sudah bergerak menampar ke arah muka dua orang tosu itu.
“Siancai....!”
Tosu bermata lebar itu berseru, terkejut menyaksikan gerakan dara itu yang
benar-benar amat cepat, apalagi ketika merasa betapa dari tangan yang menampar
itu keluar hawa pukulan dahsyat yang terasa amat dingin!
“Plak!
Plak!”
Dua orang
tosu itu menangkis dan akibatnya mereka terdorong ke belakang dan hampir saja
terjengkang. Namun mereka dapat berjungkir balik dan ternyata mereka memiliki
gerakan yang tangkas juga. Akan tetapi muka mereka merah sekali oleh kenyataan
betapa tamparan seorang dara remaja belasan tahun saja sudah membuat mereka
hampir jatuh. Hal ini mendatangkan rasa penasaran dan marah.
“Ehhh, bocah
galak dan kurang ajar! Engkau tidak tahu dengan siapa engkau sedang
berhadapan!” kata tosu hidungnya bengkok.
“Tentu saja
aku tahu!” teriak Ci Sian yang sudah marah sekali. “Kalian adalah dua orang
hidung kerbau!”
Kedua orang
itu menjadi marah. “Bagus, agaknya karena mengandalkan sedikit ilmu silat,
engkau bocah setan menjadi kurang ajar!” teriak tosu mata lebar dan dia pun
sudah menubruk maju, menggerakkan kedua tangannya. Dengan cara yang cepat dan
bertubi-tubi kedua tangan itu telah melakukan serangan, yang kiri mencengkeram
ke arah ubun-ubun kepala dari atas, sedangkan yang kanan sudah menusuk lambung
dengan tangan miring.
“Huh, kerbau
busuk!” Ci Sian memaki lagi dan ia sama sekali tidak mau mengelak, akan tetapi
kedua tangannya bergerak menangkis dan sekali ini dikerahkannya tenaga gabungan
yang selama tiga bulan ini dilatihnya di bawah petunjuk Pendekar Siluman Kecil
Suma Kian Bu.
“Desss....!”
Tangkisan
itu hebat sekali dan karena Ci Sian sendiri belum dapat mengukur sampai di mana
kehebatan tenaga sinkang yang baru saja dilatihnya itu, ia telah mengerahkan
tenaga lebih dari setengah bagian dan akibatnya, tosu bermata lebar itu
terlempar ke belakang seperti sebuah layang-layang putus talinya dan jatuh
terbanting ke atas tanah dalam keadaan pingsan! Dari mulutnya mengalir darah
segar! Tentu saja temannya menjadi kaget bukan main. Tosu berhidung bengkok ini
tidak seceroboh sutenya. Dia tahu dari tangkisan tadi bahwa nona itu memiliki
kepandaian yang hebat, dan kini melihat sutenya sekali tangkis saja roboh
pingsan, dia pun tahu bahwa dia bukan tandingan nona itu.
“Siancai....,
sungguh ganas dan kejam....!” katanya dan dia pun lalu memondong tubuh sutenya,
dipanggulnya dan larilah tosu itu dari tempat itu.
Ci Sian
sendiri juga terkejut menyaksikan akibat dari pada tangkisannya tadi dan
diam-diam ia pun merasa menyesal. Betapa pun juga, tosu-tosu itu hanya
mengeluarkan kata-kata pujian karena terkejut dan heran mendapatkan seorang
nona muda seperti dirinya di dalam hutan itu, maka tidak semestinya kalau hanya
untuk kesalahan seperti itu ia menurunkan tangan ganas. Akan tetapi karena
sudah terlanjur, dan karena ingin tahu siapa adanya mereka dan dari mana mereka
datang, Ci Sian lalu membayangi tosu berhidung bengkok yang memanggul tubuh
sute-nya yang pingsan itu.
Tosu
berhidung bengkok itu dapat lari cepat sekali dan hal ini saja menunjukkan
bahwa dia bukan orang sembarangan. Untung bagi Ci Sian bahwa dara ini pun
sekarang telah memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi sehingga dengan mudah
ia dapat terus membayangi ke mana perginya tosu itu.
Sesungguhnya,
dua orang tosu itu bukan orang sembarangan. Mereka adalah murid-murid tingkat
pertengahan dari perkumpulan atau partai persilatan Kun-lun-pai yang amat terkenal
itu! Di dalam dunia persilatan, di samping Siauw-lim-pai dan beberapa buah
partai lain, maka Kun-lun-pai juga termasuk partai yang terbesar dan mernpunyai
banyak murid-murid yang pandai dan menonjol di dunia kang-ouw. Kun-lun-pai
berpusat di Pegunungan Kun-lun-san dan pusat itu letaknya di balik puncak,
tidak begitu jauh dari dusun yang kini bernama dusun Naga Hijau itu.
Tentu saja
orang-orang Kun-lun-pai tahu akan adanya ular hijau yang amat berbahaya itu.
Karena ular itu pun tidak pernah mengganggu manusia dan berada di tempat yang
jauh dari tempat kediaman manusia, maka para tosu Kun-lun-pai yang menganggap
ular itu bukan binatang sembarangan saja, tidak mau mengganggunya. Sebagian
besar para pimpinan Kun-lun-pai adalah pertapa-pertapa yang menganut Agama To
dan dalam agama ini memang terdapat kepercayaan akan keajaiban-keajaiban alam
dan hal-hal gaib yang tidak dapat diukur oleh pikiran manusia. Maka, para
pimpinan Kun-lun-pai sendiri yang melarang murid-muridnya untuk mengganggu ular
hijau itu.
Bagi para
tosu yang suka berfilsafat itu, binatang di hutan jauh lebih bersih dari pada
manusia di kota. Binatang hutan memang ada yang menerkam dan makan lain
binatang, akan tetapi hal itu dilakukannya tanpa ada kebencian, melainkan
karena dorongan perut lapar. Bahkan jarang ada binatang akan menyerang manusia
kalau tidak diganggu terlebih dahulu. Berbeda dengan manusia yang saling benci,
saling bunuh dan saling tipu hanya disebabkan karena ingin hidup sendiri, ingin
senang sendiri.
Sebagai
sebuah partai persilatan yang besar, Kun-lun-pai juga menjaga nama dan tidak
sembarangan mencampuri urusan yang tidak ada sangkut-pautnya dengan
Kun-lun-pai, bahkan tidak pernah mau mencampuri urusan dunia kang-ouw. Sebagian
besar di antara para pendekarnya berjiwa pahlawan dan walau pun jarang di
antara mereka yang menjadi prajurit atau panglima, namun mereka tidak pernah
memberontak dan selalu berpihak kepada pemerintah dan selain menentang para
penjahat, mereka pun menentang pemberontakan.
Berita
tentang terbunuhnya ular hijau itu sampai juga ke Kun-lun-pai. Para tosu yang
menjadi pimpinan Kun-lun-pai, mendengar hal ini dan ada perasaan tidak senang
di dalam hati mereka mendengar ada orang luar yang datang membunuh ular hijau
itu. Akan tetapi, mereka tidak menganggap hal itu sebagai urusan besar, maka
mereka hanya mengutus dua orang murid pertengahan itu untuk melakukan
penyelidikan dan menanyakan siapa gerangan pendekar yang mampu membunuh ular
hijau yang amat berbahaya dan tangguh itu.
Dua orang
tosu itu adalah Lim-cu dan San-cu, yaitu Si Hidung Bengkok dan Si Mata Lebar.
Mereka mendatangi dusun Naga Hijau dan saat mereka mendengar bahwa yang
membunuh ular hijau adalah seorang pendekar bersama dua orang wanita, mereka
tertarik sekali. Apalagi mendengar bahwa tiga orang pendekar itu masih tinggal
di tempat di mana mereka membunuh ular, dengan mendirikan pondok-pondok
sederhana dan seperti melakukan tapa, dua orang tosu itu segera pergi
menyelidiki dan mereka bertemu dengan Ci Sian. Malang bagi mereka, kekaguman
mereka itu diterima dengan salah oleh Ci Sian sehingga terjadi perkelahian yang
mengakibatkan San-cu terluka cukup parah.
Pada waktu
itu, yang menjadi Ketua Kun-lun-pai adalah Thian Heng Tosu, seorang kakek
berusia enam puluh tahun yang jarang keluar dari tempat pertapaannya. Urusan
perkumpulan dipegang oleh seorang wakilnya, yang menjadi sute-nya sendiri,
yaitu Thian Kong Tosu, seorang tosu yang usianya juga sudah enam puluh tahun,
bertubuh tinggi kurus dan bersikap lembut karena selain ahli ilmu silat tinggi,
juga Thian Kong Tosu ini seorang sastrawan yang pandai.
Memang para
anggota Kun-lun-pai tidak pernah ada yang menjadi pemberontak dan tiada pula
yang menjadi pembesar atau prajurit pemerintah, akan tetapi dari ketuanya
sampai para muridnya, mereka adalah patriot-patriot sejati yang mencinta tanah
air dan bangsa. Oleh karena itu, tentu saja dengan adanya penjajahan bangsa
Mancu terhadap Tiongkok, diam-diam mereka semua merasa sedih sekali dan hal ini
pula yang membuat Thian Heng Tosu seperti enggan berurusan dengan dunia.
Ketika
bangsa Mancu mulai menyerbu Tiongkok, para pendekar Kun-lun-pai ikut pula
berjuang menghalau musuh, namun kekuatan Mancu tak dapat dibendung dan akhirnya
bangsa Mancu berhasil menguasai Tiongkok. Semua adalah karena kelemahan Kaisar
sendiri.
Bangsa Mancu
yang pandai itu makin memperkuat diri sehingga cengkeraman mereka di bumi
Tiongkok amat kokoh kuatnya dan semua usaha para patriot untuk memberontak dan
menentang penjajah ini gagal belaka.
Hal inilah
yang membuat hati Thian Heng Tosu menjadi tertekan dan ia selalu menyembunyikan
diri dalam pertapaan dan memesan kepada semua murid agar jangan lancang dan
ceroboh menentang pemerintah yang amat kuatnya itu.
Biar pun dia
selalu menyembunyikan diri, bukan berarti bahwa Thian Heng Tosu tidak
memperhatikan keadaan perkumpulannya. Dia setiap sepekan sekali menerima
laporan dari sute-nya, yaitu Thian Kong Tosu tentang keadaan di luar, dan
mendengar betapa kaisar yang sekarang ini sewenang-wenang, bahkan membakar Kuil
Siauw-lim-si dan sebagai seorang bekas murid Siauw-lim-pai telah murtad
terhadap perguruan itu, Thian Heng Tosu menjadi semakin prihatin.
Dan selain
tetap memperhatikan perkumpulannya, juga siang malam tiada hentinya dia
menurunkan ilmu-ilmunya dan menggembleng seorang murid yang paling disayangnya,
yaitu seorang pemuda yang bernama Cia Han Beng. Walau pun pemuda itu baru
berusia dua puluh satu tahun, namun dia hampir dapat menguasai semua ilmu yang
dimiliki gurunya, yaitu Ketua Kun-lun-pai yang sakti itu.
Demikianlah
keadaan Kun-lun-pai secara singkat dan kita ikuti kembali Ci Sian yang
membayangi dua orang tosu Kun-lun-pai itu. Setelah melewati puncak yang
tertutup salju, akhirnya Ci Sian melihat tosu berhidung bengkok itu membawa
sute-nya yang dipanggul ke dalam sebuah kumpulan bangunan dikelilingi pagar
tembok.
Dari atas
puncak, nampak oleh Ci Sian bahwa bangunan itu sudah kuno dan amat sederhana
namun kuat, dan di tengah-tengah kelompok bangunan itu terdapat bangunan
seperti kuil. Wuwungan atap kuil itu dihias dengan ukiran sepasang naga berebut
mustika.
Ia tidak
berani sembarangan memasuki tempat yang tampak sunyi itu, karena melihat betapa
tosu berhidung bengkok itu mampu memanggul sute-nya dan berlari tanpa berhenti
sampai demikian jauhnya, ia tahu bahwa tosu itu lihai dan tentu di tempat itu
terdapat banyak orang pandai. Ci Sian berindap-indap menghampiri sebelah depan
pagar tembok dan dari jauh saja sudah nampak olehnya huruf-huruf yang ditulis
dengan gaya yang amat gagah, tertulis di atas papan depan pintu gerbang. Yang
nampak paling besar dan mengejutkan hatinya adalah tulisan tiga huruf yang
berbunyi : KUN LUN PAI.
Jantungnya
berdebar tegang. inikah pusat perkumpulan Kun-lun-pai yang kabarnya merupakan
partai persilatan besar yang memiliki banyak pendekar yang pandai itu? Tentu
saja ia sudah sering mendengar tentang Kun-lun-pai yang terkenal di seluruh
dunia kang-ouw. Alisnya berkerut. Ia mendengar bahwa Kun-lun-pai adalah sebuah
perkumpulan besar yang melahirkan pendekar-pendekar sakti. Akan tetapi mengapa
dua orang tosu itu demikian kurang ajar dan biar pun mereka memiliki kepandaian
yang lumayan, akan tetapi masih tidak cukup tinggi seperti yang pernah
didengarnya tentang Kun-lun-pai?
Nama
perkumpulan ini membuat ia bersikap hati-hati dan membuat ia mengenang kembali
apa yang terjadi tadi. Setelah menggunakan pikiran yang dingin, tidak terbakar
oleh perasaan marah, diam-diam dara ini harus mengakui bahwa dua orang tosu itu
sesungguhnya belum dapat dikatakan kurang ajar.
Wajarlah
kalau dua orang tosu itu terkejut melihatnya, wajar pula kalau seorang di
antara mereka memuji kecantikannya. Ia sendiri yang terburu nafsu dan
marah-marah, malah memaki dua orang tosu itu. Betapa pun juga, setelah
membayangi sampai di sini, ia harus memasuki tempat itu dan melihat apakah
benar bahwa dua orang tosu itu adalah orang-orang Kun-lun-pai. Kalau memang
benar, masih belum terlambat baginya untuk minta maaf.
Melihat
keadaan yang sunyi, timbul keberanian hati Ci Sian dan dengan gerakan ringan
sekali ia sudah meloncat ke atas pagar tembok itu dan sejenak diamatinya
sebelah dalam. Juga sunyi dan tidak nampak seorang pun manusia, maka ia menjadi
penasaran dan meloncatlah ia ke dalam. Kemudian, karena ia merasa bahwa
mengintai dari atas genteng merupakan keadaan yang paling aman karena dari situ
ia dapat melihat ke sekelilingnya, dara ini lalu meloncat lagi ke atas genteng
yang paling rendah, tanpa mengeluarkan sedikit pun suara. Dari sini ia
berloncatan ke atas genteng dari bangunan yang paling besar yang terletak di belakang
kuil.
Dari atas
genteng, ia mengintai dengan menggeser dua buah genteng. Ia melihat sebuah
ruangan yang cukup luas di bawah bangunan itu dan sungguh mengherankan sekali.
Kalau tempat tadi amat sunyi seolah-olah tidak ada penghuninya, ternyata di dalam
ruangan itu terdapat banyak orang.
Mereka semua
terdiri dari tosu-tosu yang kebanyakan sudah berusia lima puluh tahun lebih,
duduk bersila membuat lingkaran lebar di atas lantai yang beralaskan tikar. Dan
di antara belasan orang tosu ini, nampak seorang tosu yang usianya sudah enam
puluhan tahun, bertubuh tinggi kurus, sikapnya tenang dan wajahnya lembut dan
ramah. Di depan tosu ini nampak tosu hidung betet berlutut dan tosu mata lebar
yang terpukul pingsan tadi rebah telentang di depan tosu tua.
Biar pun
mereka itu belasan orang jumlahnya, namun semua diam tak mengeluarkan suara,
bahkan tidak bergerak, duduk bersila seperti orang dalam semedhi. Hanya tosu
tua itulah yang menggerakkan jari tangannya menotok beberapa kali setelah
memeriksa tubuh tosu bermata lebar yang sudah siuman akan tetapi masih nampak
menyeringai kesakitan itu.
“Nah, engkau
sudah sembuh, boleh bangkit sekarang,” kata tosu tua itu dengan halus. Dan tosu
mata lebar lalu bangkit dan benar saja, dia tidak lagi merasa nyeri dan cepat dia
berlutut menghaturkan terima kasih.
“Sekarang,
ceritakan apa yang telah terjadi,” katanya kemudian.
Tosu
berhidung bengkok yang menjadi suheng dari tosu yang pingsan tadi segera
menceritakan pengalamannya bersama sute-nya ketika mereka berdua melakukan
penyelidikan ke dusun Naga Hijau tentang berita dibunuhnya naga hijau itu.
“Teecu
berdua menyelidiki ke dalam dusun itu dan dari para penduduk dusun teecu
mendengar bahwa yang membunuh ular itu adalah seorang pria gagah perkasa
bersama isterinya dan seorang dara muda. Menurut cerita mereka, tiga orang itu
memiliki ilmu kepandaian seperti dewa. Karena teecu mendengar bahwa tiga orang
itu masih berada di dalam hutan, bahkan membuat dua pondok dan tinggal di situ
melakukan semedhi, teecu berdua lalu melakukan penyelidikan ke sana.”
Semua tosu
mendengarkan penuturan itu dengan hati tertarik, bahkan Ci Sian sendiri juga
ikut mendengarkan dan ia ingin tahu apa yang akan diceritakan oleh dua orang
ini tentang dirinya.
“Teecu
berdua melakukan penyelidikan ke dalam hutan dan kami terkejut bukan main
ketika bertemu dengan seorang dara muda yang cantik seorang diri di hutan
itu….” Kemudian Lim-cu, tosu hidung bengkok itu menceritakan pengalamannya
bersama sute-nya ketika menegur dara itu sehingga timbul percekcokan yang
disusul dengan perkelahian. Segala yang terjadi diceritakannya tanpa ada yang
ditutupi.
Mereka
menceritakan betapa dara itu menjadi marah ketika mereka mengucapkan kata-kata
kagum, dan betapa dara itu menyerang lebih dulu kemudian memaki-maki mereka
dengan kata-kata menghina sehingga timbul perkelahian. Betapa dara itu amat
lihainya sehingga sute-nya roboh pingsan. Mendengar cerita tosu itu yang
demikian jelas tanpa ditutup-tutupi, tanpa menyembunyikan kesalahan diri
sendiri atau membela diri sendiri, wajah Ci Sian berubah merah.
Mendengar
penuturan yang jelas itu, ia melihat kembali segala yang terjadi dan merasa
betapa ia sudah bersikap keterlaluan karena salah sangka. Ia mengira bahwa
tosu-tosu itu mata keranjang dan kurang ajar, dan tanpa penyelidikan lebih dulu
ia sudah marah-marah. Kini nampaklah ia betapa tanpa adanya Kam Hong di
sampingnya, ia memang merupakan seorang muda yang pemarah dan ceroboh sekali.
Namun ia mendengarkan terus, ingin tahu tanggapan para tosu di situ, terutama
tosu tua yang halus dan amat berwibawa itu.
“Siancai....
tidak ada akibat tanpa sebab, dan sebab itu selalu berada di dalam diri
sendiri. Lim-cu dan San-cu, kalau kalian mau mengamati diri sendiri, akan
nampak jelaslah bahwa walau pun kalian tidak mempunyai niat buruk, namun kalian
telah bersikap sembrono dan mengeluarkan kata-kata tanpa diteliti dan
sembarangan saja sehingga kalian menimbulkan kemarahan nona itu. Dan nona itu
pun agaknya terlalu mengandalkan kepandaiannya hingga ia menjadi ringan tangan,
mudah saja memukul orang. Biarlah hal ini menjadi pelajaran bagi kalian agar
lain kali bersikap tenang, jangan sampai menimbulkan perkiraan orang bahwa
kalian adalah tosu-tosu yang kurang ajar.” Kakek itu menarik napas panjang.
“Ini adalah akibat keadaan, ahhh, betapa banyaknya orang-orang yang berpakaian
pendeta, yang bersikap seperti orang suci, ternyata masih menyimpan kecabulan
di dalam hatinya....“
Kemudian
tosu itu mengangkat mukanya ke atas, ke arah tempat Ci Sian mengintai, dan dara
itu terkejut bukan main melihat sepasang mata yang seolah-olah mencorong dan
sinarnya seperti menembus genteng! “Nona, sejak tadi Nona sudah mengintai dan
mendengarkan segalanya. Kami tidak menyimpan rahasia, maka kalau ingin bicara,
silakan turun!”
Ci Sian
terkejut sekali dan merasa malu. Ia ingin lari dari situ, akan tetapi ketika ia
bangkit berdiri dan menengok, ternyata tempat yang tadinya sunyi itu kini penuh
dengan tosu yang berbaris rapi, menjaga dan mengurung tempat itu seperti pagar
manusia yang berdiri diam seperti patung! Bangunan di mana ia mengintai di atas
itu terkurung oleh belasan tosu, dan di atas pagar tembok juga nampak beberapa
orang tosu berdiri, dan pintu gerbang juga dijaga ketat. Tahulah ia sekarang
bahwa tempat itu sama sekali bukan sunyi, dan juga sama sekali Kun-lun-pai
bukan perkumpulan yang lengah, melainkan ia sengaja dibiarkan masuk dan setelah
ia masuk, barulah jalan keluarnya tertutup!
Ci Sian
menjadi marah dan ada dorongan hatinya untuk keluar dan mengamuk, akan tetapi
ia teringat bahwa ia bukanlah seorang pencuri, bahwa kedatangannya hanya ingin
tahu lebih banyak tentang dua orang tosu tadi. Sudah kepalang basah, pikirnya.
Lebih baik menyelam sekali!
Dan dia pun
lalu membuka genteng dan meloncat ke dalam ruangan itu dengan gerakan yang amat
ringan sehingga pada waktu kedua kakinya menyentuh lantai ruangan itu, tidak
terdengar sedikit pun suara. Begitu Ci Sian turun, para tosu itu menggeser diri
dan mundur, namun masih duduk bersila seperti tadi dan wajah mereka nampak
tenang saja.
Thian Kong
Tosu bangkit berdiri dan merangkapkan kedua tangan di depan dadanya, memandang
dengan wajah berseri dan sepasang mata kagum. “Sungguh tak dapat pinto
menyalahkan murid-murid Kun-lun-pai yang mengeluarkan kata-kata pujian pada
Nona. Memang Nona adalah seorang nona muda yang selain cantik, juga memiliki
kegagahan luar biasa, dan mengingat betapa Nona masih begini muda sudah
memiliki ilmu kepandaian tinggi, sungguh membuat orang merasa kagum sekali.”
Wajah Ci
Sian berubah merah. Kini baru ia merasa betapa bodohnya ketika ia marah-marah
mendengar pujian dua orang tosu itu. Ia tidak dapat membedakan antara pujian
setulusnya dan pujian yang bersifat menjilat atau pujian orang yang mata
keranjang. Pujian yang dikeluarkan dari mulut dua orang tosu tadi tidak ada
bedanya dengan pujian tosu tua ini. Akan tetapi, Ci Sian memang memiliki watak
keras dan pantang mundur. Ia memang merasa salah, akan tetapi ia merasa malu
kalau hanya minta maaf begitu saja. Kalau ia salah, biarlah ia dihukum dan
hukumannya sesuai dengan kesalahannya tadi!
Maka ia pun
cepat menjura kepada tosu tua itu dan berkata, suaranya lantang sekali dan
sedikit pun tidak memperlihatkan rasa takut, “Totiang, telah lama sekali saya
mendengar tentang Kun-lun-pai, bahwa Kun-lun-pai adalah sebuah partai
persilatan besar yang para anggotanya terdiri dari pendekar-pendekar yang
lihai! Saya telah salah paham mengira dua orang tosu Kun-lun-pai sebagai
orang-orang kurang ajar dan saya sudah kesalahan turun tangan. Oleh karena itu,
setelah saya berada di sini, maka saya ingin sekali memperoleh pelajaran dari
Ketua Kun-lun-pai sendiri. Apakah Totiang ini Ketua Kun-lun-pai?”
Bukan main
ucapan itu, merupakan tantangan halus kepada Ketua Kun-lun-pai. Semua tosu yang
hadir di situ adalah tosu-tosu kaum atasan dari Kun-lun-pai, dari tingkat tiga
ke atas. Mendengar ucapan ini, semua mata ditujukan kepada Ci Sian dan semua
alis dikerutkan. Jarang sekali, bahkan belum pernah ada orang berani menantang
Ketua Kun-lun-pai, walau pun tantangan itu disembunyikan di balik kata-kata
minta pelajaran.
“Siancai....!
Sungguh seorang dara yang bersemangat baja! Mengagumkan sekali. Nona yang
merasa salah ingin menembus kesalahannya dengan membiarkan diri dihajar oleh
Ketua Kun-lun-pai! Sungguh membayangkan ketabahan yang luar biasa sekali!”
Ucapan itu baru menyadarkan semua tosu dan kini mereka memandang kagum. Ci Sian
sendiri terkejut karena rahasia hatinya ternyata dapat dilihat sedemikian
mudahnya oleh tosu tua ini.
“Apakah
Totiang yang terhormat Ketua Kun-lun-pai?” tanyanya, memandang tajam. Ingin ia
mencoba kepandaian tosu tua yang bermata tajam mencorong ini.
Thian Kong
Tosu menggeleng kepala sambil tersenyum. “Bukan, Nona, pinto bukanlah Ketua
Kun-lun-pai....”
“Totiang,
nama saya Ci Sian. Harap Totiang suka memberi tahu siapa ketua di sini dan suka
menyampaikan permintaan saya untuk menerima pelajaran darinya!” Ucapan ini pun
membayangkan keterbukaan dara itu yang memperkenalkan namanya lebih dulu dan
menyampaikan keinginannya tanpa banyak bunga kata-kata lagi.
Thian Kong
Tosu tertawa dan mengelus jenggotnya, “Siancai...., sungguh membuat hati tua
ini menjadi kagum. Nona, pinto adalah Thian Kong Tosu yang mewakili suheng
Thian Heng Tosu mengurus perkumpulan ini. Ketua kami adalah Thian Heng Tosu,
akan tetapi sejak lama beliau tidak pernah keluar dari tempat semedhinya. Untuk
urusan apa pun beliau tidak pernah mau keluar, apalagi untuk melayani Nona yang
ingin menguji kepandaiannya. Harap Nona maklum dan tidak mendesak kami.”
Ci Sian
mengerutkan alisnya. Penolakan tantangan pi-bu secara halus ini hanya dapat
disebabkan oleh dua hal. Pertama, yang ditantang takut menghadapinya, dan ke
dua, yang ditantang memandang rendah padanya sehingga merasa tidak perlu
melayaninya. Dan tidaklah mungkin jika Ketua Kun-lun-pai takut kepadanya, maka
ia pun mengambil kesimpulan bahwa pihak Kun-lun-pai memang memandang rendah
padanya sehingga mempergunakan alasan itu karena memandang tidak perlu melayani
tantangan seorang muda seperti dirinya!
“Totiang,
kalau Ketua Kun-lun-pai merasa terlalu tinggi untuk melayani saya, biarlah
beliau mewakilkan kepada jagoan Kun-lun-pai yang terpandai untuk memberi
petunjuk dan pelajaran kepada saya, sebagai tanggung jawab saya yang tadi telah
melukai seorang murid Kun-lun-pai!”
Thian Kong
Tosu tersenyum maklum. “Tidak ada yang mendendam atas peristiwa tadi, Nona,
tidak ada yang menganggap ringan kepadamu....”
“Totiang!
Saya tidak akan merasa puas sebelum menerima petunjuk dari Kun-lun-pai!”
“Nona, sudah
lama Kun-lun-pai tidak pernah bentrok dengan pihak mana pun juga. Kalau Nona
memaksa, sungguh kami merasa tidak enak sekali kepada perguruan Nona. Tidak
patutlah kalau kami pihak yang lebih tua menghina Nona yang begini muda....,
kami tentu tidak ada muka untuk berhadapan dengan perguruanmu, Nona.”
“Jangan
khawatir, Totiang. Tidak akan ada orang dari perguruan saya yang menuntut.
Ketahuilah, saya tidak mempunyai guru, hanya seorang suheng. Kami berdua adalah
keturunan yang mewarisi ilmu dari Suling Emas! Nah, inilah sulingku dan saya
mohon petunjuk dari tokoh Kun-lun-pai!” Sambil berkata demikan, dara itu sudah
mencabut suling emasnya.
Melihat cara
dara itu mengeluarkan suling dan begitu suling dicabut terdengar suara
melengking nyaring dari lubang suling, dan mendengar bahwa dara ini mengaku
sebagai ahli waris Suling Emas, tentu saja Thian Kong Tosu menjadi terkejut
bukan main. Sebagai seorang tokoh tua di dunia persilatan, tentu saja dia
pernah mendengar nama besar Pendekar Suling Emas yang hidup di jaman beberapa
ratus tahun yang lalu.
Akan tetapi
nama itu kemudian menjadi seperti dalam dongeng saja karena tidak pernah nama
itu muncul lagi di dunia kang-ouw, walau pun para tokoh kang-ouw masih sering
mencoba untuk mencari peninggalan pendekar sakti itu. Dan kini, tiba-tiba saja
muncul gadis ini, seorang dara muda jelita yang mengaku sebagai ahli waris
Pendekar Suling Emas!
Pada saat
itu, tiba-tiba terdengar suara yang halus namun demikian jelasnya terdengar
oleh semua orang di dalam ruangan itu, “Siancai...., kesempatan yang hanya
timbul sekali dalam seratus tahun! Sute, persilakan ahli waris Pendekar Suling
Emas untuk memasuki lian-buthia, kami akan menanti di sana.”
Mendengar
suara ini, semua tosu yang berada di situ menjatuhkan diri berlutut, dan Thian
Kong Tosu sendiri cepat menjura dan menjawab, “Baik, Suheng.”
Wajah tosu
ini berseri. Baru sekarang suheng-nya, Thian Heng Tosu Ketua Kun-lun-pai,
berkenan keluar dari tempat pertapaannya, karena tertarik pula oleh sebutan
Pendekar Suling Emas itu. Siapa orangnya yang takkan tertarik?
“Nona Ci
Sian, engkau sungguh beruntung sekali, berhasil menarik hati ketua kami untuk
keluar dan menemuimu. Silakan, Nona, kita pergi menghadap suheng Thian Heng
Tosu Ketua Kun-lun-pai yang Nona cari-cari tadi, ke lian-bu-thia!”
“Baik dan
terima kasih, Totiang,” jawab Ci Sian yang merasa jantungnya berdebar juga.
Suara lirih
yang amat jelas tadi saja sudah menunjukkan betapa saktinya orang yang
mengeluarkannya. Ia pun mengikuti Thian Kong Tosu dan para tosu lainnya menuju
ke lian-bu-thia (ruangan berlatih silat) yang berada di bagian belakang dari
bangunan itu.
Semua tosu
menjatuhkan diri berlutut menghadap kakek yang duduk bersila itu, kecuali Thian
Kong Tosu yang menjura lalu juga duduk bersila tidak jauh dari situ. Ci Sian
memandang dengan mata tajam menyelidik. Kakek itu juga seorang tosu, tubuhnya
tinggi besar seperti raksasa, akan tetapi wajahnya sama sekali tidak
menyeramkan seperti tubuhnya, karena wajah itu membayangkan kehalusan budi dan
keramahan.
Biar pun
usianya sebaya dengan sute-nya, namun tosu ini kelihatan lebih tua, seolah-olah
ada kedukaan membayang pada wajahnya yang halus itu. Juga rambutnya sudah
hampir putih semua padahal sute-nya baru separuh rambutnya yang putih. Ketika
Ci Sian menjura kepadanya, tosu yang memandangnya itu mengangguk dan tersenyum
ramah.
Ci Sian
melihat bahwa yang berada di ruangan lian-bu-thia yang luas itu bukan hanya
Ketua Kun-lun-pai ini, melainkan juga seorang pemuda dan ia tertarik sekali.
Pemuda ini berbeda dengan semua yang hadir di situ, tidak memakai pakaian tosu
walau pun rambutnya yang hitam lebat itu pun digelung ke atas seperti model
gelung rambut tosu. Seorang pemuda yang berperawakan sedang, berwajah tampan
dan terutama sekali sepasang alisnya itu menimbulkan kagum di hati Ci Sian.
Sepasang alis itu nampak hitam sekali seperti dilukis dan membuat wajahnya
nampak lebih bersih dan putih, dan bentuk alis itu seperti sepasang golok
telentang.
Pemuda itu
menundukkan muka, kedua matanya sedikit pun tidak bergerak, seolah-olah dia
berada dalam semedhi yang hening. Ci Sian merasa agak mendongkol juga. Semua
orang kagum kepadanya, akan tetapi pemuda ini, melirik pun tidak. Sombong! Ia
pun membuang muka, tidak mau lagi memandang kepada pemuda itu.
“Nona,
siapakah she (nama keturunan) Nona?” terdengar tosu tinggi besar itu bertanya,
suaranya halus dan pertanyaannya singkat.
Semenjak
bertemu dengan ayah kandungnya dan melihat keadaan ayah kendungnya yang
dianggap sebagai seorang pria mata keranjang, Ci Sian pun merasa malu untuk
mengaku sebagai puteri Bu Seng Kin yang lebih terkenal dengan julukan
Bu-taihiap. Akan tetapi, berhadapan dengan para tokoh Kun-lun-pai, orang-orang
tua yang begini penuh wibawa, Ci Sian merasa tidak enak hati kalau membohong,
maka ia pun menjawab dengan sikap hormat, “Locianpwe, she saya adalah Bu.”
“She Bu?
Adakah hubungannya dengan Bu-taihiap?”
Terkejutlah
Ci Sian mendengar pertanyaan ini, pertanyaan yang sama sekali tak pernah
disangka-sangkanya. Matanya terbelalak dan mulutnya mengeluarkan sangkalan yang
keras, “Tidak! Dia tidak ada hubungannya denganku!”
“Siancai....,
mungkin Bu-taihiap telah melukai hati banyak wanita, akan tetapi tak dapat
disangkal lagi bahwa dia seorang pendekar besar. Baiklah, Nona Bu. Pinto tadi
sempat mendengar bahwa Nona datang ke Kun-lun-pai untuk menantang pi-bu kepada
Ketua Kun-lun-pai?”
Ditodong
langsung dengan pertanyaan ini, Ci Sian menjadi gugup juga. “Aku...., aku hanya
mohon petunjuk dari Locianpwe, karena aku merasa telah bersalah terhadap
Kun-lun-pai....”
“Ha-ha-ha,
bagaimana pendapatmu, Sute? Nona ini sungguh bersemangat sekali,” kata Ketua
Kun-lun-pai itu kepada sute-nya dan Thian Kong Tosu juga tersenyum.
“Nona tadi
berkata bahwa Nona adalah ahli-waris dari Pendekar Suling Emas? Apakah
buktinya?” Ketua Kun-lun-pai itu kembali bertanya.
Ci Sian
mencabut keluar sulingnya yang tadi sudah disimpannya kembali. Sekali lagi
terdengar bunyi suling melengking ketika dicabutnya dan baru sekaranglah pemuda
yang duduk bersila di sebelah kiri Thian Heng Tosu itu mengangkat muka
memandang. Bukan memandang kepada Ci Sian melainkan kepada suling emas kecil
yang berada di tangan dara itu.
“Itukah
suling peninggalan Pendekar Suling Emas? Coba pinto pinjam sebentar!” Berkata
demikian tiba-tiba Thian Heng Tosu menggerakkan tangan kanannya ke arah Ci
Sian.
Dara ini
terkejut bukan main karena mendadak sulingnya seperti hidup dan terbang
terlepas dari pegangan tangannya, melayang ke arah kakek itu. Maklumlah ia
bahwa kakek itu telah mempergunakan sinkang yang kuat sekali untuk mengambil
sulingnya dari jarak jauh tanpa menyentuhnya. Ia menjadi marah, cepat ia
mengerahkan sinkang yang baru saja dilatihnya dari Pendekar Siluman Kecil, dan
ia pun menggerakkan tubuh dan tangannya di dorongkan ke depan, mulutnya
melengking nyaring.
“Heiiittt....!”
Dan.... suling yang tadinya sudah meluncur kembali ke tangannya!
“Maaf,
Locianpwe. Suling ini menjadi kawan penghibur dan pelindungku, siapa pun juga
tidak boleh merampasnya, kecuali kalau aku sudah roboh tanpa nyawa!” kata Ci
Sian sambil tersenyum.
Kakek itu
terbelalak, lalu mengangguk-angguk. “Bagus sekali, memang bukan omong kosong
belaka! Akan tetapi, bukankah suling itu terlalu kecil untuk menjadi pusaka
peninggalan Pendekar Suling Emas, Nona Bu?”
“Memang kini
pusaka itu berada di tangan suheng-ku, akan tetapi kami berdua telah mewarisi
ilmunya,” jawabnya singkat.
“Siancai....!
Jadi engkau masih ingin untuk menguji kepandaian tua bangka seperti pinto ini,
Nona?”
“Aku.... aku
mohon petunjuk Locianpwe.”
“Ahh, pinto
akan ditertawai orang sedunia kalau turun tangan menghadapi seorang dara yang
pantasnya menjadi cucuku. Biarlah, pinto wakilkan kepada murid pinto ini.
Maukah Nona menghadapinya untuk sekedar belajar kenal dengan ilmu
masing-masing?” Kakek itu menuding ke arah pemuda yang masih bersila di sebelah
kirinya.
Ci Sian
memandang. Hemm, pemuda yang sombong itu, katanya dalam hati sambil memandang
rendah.
“Kalau
Locianpwe menganggap dia sudah patut melawanku, boleh saja,” jawabnya dan
sengaja dia mengeluarkan kata-kata yang sifatnya memandang rendah ini.
“Han Beng,
kau memperoleh kesempatan yang baik sekali hari ini. Selama ini engkau hanya
tekun berlatih, nah, hari ini engkau memperoleh kesempatan untuk membuktikan
sampai di mana kemajuanmu dalam latihan. Kau layanilah Nona ini. Ingat, engkau
mewakili gurumu dan juga mewakili Kun-lun-pai!”
Mendengar
ucapan suhu-nya itu, pemuda yang sejak tadi diam saja, mulai bergerak
melepaskan kakinya dan duduk bersila, lalu berlutut di depan kakek itu sambil
berkata, “Teecu mentaati perintah Suhu.”
“Untuk dapat
menikmati kepandaian ahli waris Pendekar Suling Emas harus melihat permainan
sulingnya sebagai senjata. Han Beng, engkau pergunakanlah pedang kayu untuk
latihan itu. Pertandingan ini hanya merupakan perkenalan saja, maka pedang kayu
cukuplah,” kata lagi kakek itu, dan sikapnya gembira bukan main.
Kakek yang
menjadi Ketua Kun-lun-pai ini memang mengharapkan pemuda ini yang dapat
mewarisi ilmu-ilmunya. Kini mendapat kesempatan mencoba tingkat kepandaian
muridnya, maka tentu saja dia merasa gembira sekali. Apalagi dia tadi sudah
menguji kepandaian dara itu ketika dia meminjam sulingnya dan dia merasa kagum
kepada dara yang memiliki kepandaian tinggi, yang lincah bersemangat dan cantik
jelita itu. Diam-diam dia membandingkan muridnya dengan dara itu. Nampaknya
serasi benar.
Pemuda itu
bernama Cia Han Beng, seorang pemuda yatim piatu yang hidupnya ditekan dan
dikuasai oleh rasa dendam yang mendalam. Ayahnya seorang pendekar Kun-lun-pai
pula, menjadi seorang di antara korban-korban kekejaman Kaisar Yung Ceng.
Ayahnya terbunuh oleh Kaisar itu, dan ibunya, seorang wanita cantik, kini
menjadi selir Kaisar!
Dalam
keadaan menderita batin karena dendam, pemuda ini akhirnya diangkat sebagai
murid oleh Ketua Kun-lun-pai dan bukan hanya menerima warisan ilmu-ilmu yang
tinggi dari gurunya, melainkan juga menerima petunjuk-petunjuk sehingga
cengkeraman nafsu dendam telah lama meninggalkan batinnya. Memang di lubuk
hatinya terdapat perasaan menentang pemerintah, seperti juga gurunya dan semua
murid Kun-lun-pai, akan tetapi bukan disebabkan oleh dendam pribadi, melainkan
disebabkan oleh keadaan tanah air yang dijajah oleh bangsa Mancu itu.
Seperti yang
terdapat dalam batin setiap orang pendekar yang gagah di Tiongkok pada waktu
itu, Cia Han Beng diam-diam juga menanti kesempatan untuk menyumbangkan
tenaganya demi kebebasan tanah air dan bangsanya dari pada penjajahan bangsa
Mancu. Mungkin disebabkan latar belakang kehidupan keluarga ayahnya yang
tertimpa mala petaka itu dan yang membuatnya hidup sebatang kara, biar pun api
dendam pribadi di dalam batinnya telah padam, membuat pemuda yang gagah itu
bersikap pendiam dan selalu seperti berada dalam awan gelap, seolah-olah tidak
ada kegairahan dan kegembiraan lagi dalam hidupnya.
Mendengar
ucapan suhu-nya, Han Beng kembali memberi hormat, lalu dia menghampiri rak
senjata di mana terdapat segala macam senjata untuk permainan silat dan dia
mengambil sebatang pedang kayu yang biasa dipakai untuk latihan. Setelah itu,
dengan sikap senang sekali dia menghadapi Ci Sian, menjura seperti sikap
seorang pemain silat memberi penghormatan kepada calon lawannya dan berkata,
“Nona, silakan....!” Dan dia pun lalu mundur ke tengah ruangan lian-bu-thia
itu.
Diam-diam Ci
Sian merasa mendongkol sekali. Tadinya ia yang memandang rendah kepada pemuda
yang dianggapnya sombong itu, dan ia hendak mengejeknya, akan tetapi kini
terjadi kebalikannya. Pemuda itu malah disuruh mempergunakan sebatang pedang
kayu oleh gurunya. Suling emasnya yang merupakan senjata pusaka yang ampuh
sekali itu kini akan dihadapi hanya dengan sebatang pedang kayu! Tentu saja hal
ini merupakan ejekan baginya dan membuat mukanya menjadi merah sekali.
Akan tetapi,
karena Ketua Kun-lun-pai tadi mengatakan bahwa untuk membuktikan bahwa dia
benar ahli waris Suling Emas dia harus memainkan suling itu, maka dia mengambil
keputusan untuk mengalahkan pemuda itu secepat mungkin! Maka tanpa banyak cakap
lagi ia pun meloncat ke depan pemuda itu. Kini mereka berhadapan.
Pemuda itu
memasang kuda-kuda, gerakannya lambat dan gagah ketika ia mengangkat kaki
kirinya ke atas, menempel di lutut kanan, tangan kiri miring di depan dada dan
pedang kayu itu ditudingkan ke atas, gagangnya menempel dahi.
Melihat
pasangan kuda-kuda yang memang indah dan gagah ini, Ci Sian menjebirkan
bibirnya. Huh, aksinya, ia mengejek dalam hati dan tiba-tiba ia berseru.
“Lihat
serangan!”
Dan tanpa
banyak lagak lagi ia pun sudah menyerang dan menggerakkan sulingnya, menusuk ke
tenggorokan lawan dan suling yang digerakkannya itu mengeluarkan bunyi seperti
ditiup.
Han Beng
merubah kedudukan tubuhnya, tangannya bergerak dan pedang kayunya menangkis.
Dari gerakan suling yang berkelebat dan membentuk sinar menyilaukan mata itu.
Dan dari suara melengking yang keluar dari suling itu, dia tahu bahwa dara itu
mempergunakan tenaga khikang yang amat kuat, maka ketika menangkis, dia pun
telah mengerahkan sinkang pada pedang kayunya, dan memang keduanya sengaja
hendak mengukur tenaga masing-masing dalam benturan senjata yang pertama itu.
“Tringggg....!”
Suara emas
terpukul kayu dengan kerasnya menimbulkan suara berdencing nyaring dan keduanya
terkejut sekali ketika betapa seluruh lengan mereka tergetar hebat, membuat
keduanya cepat melangkah ke belakang untuk mengatur kedudukan tubuh
masing-masing. Mereka sejenak berdiri saling pandang, seperti dua ekor ayam
jago yang sedang berlagak, seperti hendak mengukur kekuatan masing-masing
melalui pandang mata. Keduanya memandang kagum.
Han Beng tak
pernah menyangka bahwa seorang dara muda seperti itu dapat memiliki tenaga yang
demikian kuatnya, juga sebaliknya Ci Sian tidak mengira bahwa pemuda pendiam
yang dianggapnya sombong ini ternyata bertenaga dahsyat pula. Sementara itu,
dua orang tokoh besar Kun-lun-pai yang melihat pertemuan dua tenaga dahsyat itu
memandang dengan wajah berseri. Memang setanding, pikir mereka.
Akan tetapi,
Ci Sian yang berwatak panas itu merasa penasaran sekali. Dia segera
mengeluarkan seruan nyaring. Sulingnya sudah digerakkan, lenyap bentuknya
berubah menjadi segulungan sinar yang melengking-lengking dengan nada suara
naik turun seperti ditiup dengan mulut saja! Juga gulungan sinar kuning emas
itu menyilaukan mata, mendatangkan angin menyambar dahsyat sekali. Han Beng
terkejut dan pemuda itu pun cepat memutar pedang kayunya dengan pengerahan
tenaga sinkang sekuatnya. Nampaklah sinar kehijauan dan juga pedang kayu itu
mendatangkan angin yang kuat.
Ci Sian
mulai menyerang, gerakannya aneh dan amat cepat, juga dahsyat sekali, sukar
diduga ke mana suling itu akan menyerang. Han Beng berusaha mengimbangi, namun
pemuda yang sudah memiliki ilmu silat yang tinggi-tinggi dari Kun-lun-pai ini
diam-diam terkejut karena sekali ini dia benar-benar menjadi sibuk sekali menghadapi
serangan-serangan yang demikian aneh dan cepatnya.
Bukan hanya
pemuda ini, bahkan Thian Heng Tosu dan Thian Kong Tosu juga turut memandang
dengan mata terbelalak dan mulut mereka mengeluarkan seruan-seruan kagum dan
heran. Belum pernah selama hidup mereka yang telah menjelajahi dunia kang-ouw
ini mereka menyaksikan ilmu pedang yang dimainkan dengan suling sehebat ini!
Bukan hanya tusukan-tusukan suling itu yang merupakan totokan-totokan indah dan
berbahaya sekali, juga bacokan gerakan pedang yang dirubah menjadi
pukulan-pukulan suling itu, amatlah kuatnya, ditambah lagi suara
melengking-lengking yang membikin bingung lawan karena suara ini menyembunyikan
desir senjata yang biasanya dapat dikenal dan ditangkap telinga sehingga mudah
diikuti gerakannya.
Han Beng
cepat-cepat mainkan Kun-lun Kiam-sut (ilmu Pedang Kun-lun) yang menjadi andalan
para pendekar Kun-lun-pai, dan pemuda yang cerdik ini pun mengerahkan seluruh
gerakannya kepada daya tahan untuk melindungi dirinya. Dengan demikian, barulah
dia terhindar dari sambaran sinar kuning emas itu, walau pun begitu tetap saja
dia terdesak hebat karena sukar baginya untuk balas menyerang. Sekali dia
berani balas menyerang, berarti daya tahannya akan berkurang dan hal ini amat
berbahaya karena desakan suling itu benar-benar amat hebat!
Thian Heng
Tosu menarik napas panjang beberapa kali. “Ah, kita ini seperti katak dalam
tempurung saja!” katanya kepada sute-nya. “Lihat, beberapa tahun saja kita
tidak keluar, di dunia telah muncul ilmu pedang yang dimainkan suling
sedemikian hebatnya.”
“Akan
tetapi, Suheng, saya mendengar bahwa ilmu-ilmu yang diwariskan oleh Pendekar
Suling Emas biar pun hebat, akan tetapi rasanya menurut berita yang kudengar,
tidak ada yang seperti ini.... kabarnya yang paling hebat adalah Hong-in
Bun-hoat, akan tetapi ini....”
“Hemm, kalau
Han Beng lebih unggul dalam hal sinkang, agaknya dia akan dapat mengatasi
kedahsyatan ilmu suling itu. Akan tetapi tenaga mereka agak seimbang. Kita
sendiri pun, tanpa mengandalkan sinkang, kiranya akan sukar mengalahkan ilmu
suling itu....,“ kata pula Ketua Kun-lun-pai. “Nampaknya ilmu yang kuno sekali,
akan tetapi mengandung kemukjijatan....”
“Dan lihat,
bukankah ilmu sinkang dara itu pun luar biasa hebatnya? Melihat kerepotan Han
Beng pada saat mengadu tenaga, agaknya Nona itu memiliki sinkang yang sama
anehnya dengan ilmu sulingnya.”
Dan memang
benar apa yang dikatakan oleh Thian Kong Tosu. Ketika dia sudah mendesak
lawannya dengan mati-matian namun pemuda itu dengan pertahanannya yang kokoh
kuat seperti benteng baja dapat menutup diri sehingga semua serangannya gagal,
Ci Sian menjadi semakin penasaran. Ia tidak mau mempergunakan khikang dan
mengalahkan lawan dengan tiupan suling, karena ilmu itu merupakan ilmu simpanan
dan menurut pesan suheng-nya, ia tidak boleh sembarangan mengeluarkannya kalau
tidak terpaksa benar.
Maka, dia
lalu mengerahkan tenaga sinkang yang baru saja dilatihnya dari Suma Kian Bu,
dan kini serangan-serangannya itu mengandung penggabungan dua tenaga yang
berlawanan, sebentar panas sebentar dingin sekali. Han Beng yang merasakan hawa
panas dan dingin silih berganti ini melalui pedang kayu yang dipakai untuk
menangkis, menjadi terkejut, bingung dan terdesak semakin hebat. Akhirnya,
karena pertahanannya kacau oleh tenaga yang silih berganti itu, ada lubang
dalam pertahanannya dan cepat dimasuki oleh sinar suling.
“Tukkk....!”
Pundaknya
terkena totokan dan biar pun dia sudah miringkan tubuh sehingga totokan itu
tidak tepat mengenai sasaran, namun hawa dingin itu telah menyerang masuk dan
membuat Han Beng menggigil, lalu pemuda ini menjatuhkan dirinya bergulingan
untuk menghindarkan diri dari serangan lanjutan. Ci Sian yang masih merasa
penasaran itu mengejar.
“Tahan....!”
Tiba-tiba berkelebat bayangan orang yang gerakannya cepat sekali, seperti petir
menyambar dan tahu-tahu sebatang tongkat menahan suling di tangan Ci Sian.
Ci Sian
marah dan hendak menggerakkan suling menyerang orang ini, akan tetapi ketika ia
melihat bahwa yang menghalangnya adalah Suma Kian Bu sendiri, mukanya berubah
merah dan ia pun bersungut-sungut.
“Kenapa
engkau malah membantu lawan?” Ci Sian menegur sambil menyimpan kembali
sulingnya.
“Ci Sian,
Kun-lun-pai adalah partai besar yang selamanya menjadi sahabat, jangan engkau
membikin kacau di sini,” kata Suma Kian Bu dan segera muncul Siang In yang
segera memegang lengan Ci Sian.
“Wah, kami
mencari-carimu setengah mati, kiranya engkau membikin ribut di rumah orang.”
Siang In merangkulnya dan lenyaplah kemarahan Ci Sian.
Sementara
itu, semua tosu terkejut melihat masuknya pria berambut putih riap-riapan
bersama seorang wanita cantik ini. Tak seorang pun di antara mereka mengenal
pria ini, akan tetapi Suma Kian Bu sudah memberi hormat dengan sikap sopan
sekali kepada dua orang tosu tua pemimpin Kun-lun-pai itu.
“Mohon
Locianpwe sudi memberi maaf kepada kami. Kalau saya tidak salah, Ji-wi
Locianpwe tentu adalah Thian Heng Tosu dan Thian Kong Tosu, dua orang pimpinan
Kun-lun-pai, benarkah?”
Thian Heng
Tosu hanya mengangguk, dan sekarang, seperti biasa, Thian Kong Tosu yang
mewakili suheng-nya menyambut tamu. “Penglihatan Sicu memang tepat sekali.
Kalau boleh pinto mengetahui, siapakah Sicu dan apakah maksud kunjungan Sicu
yang tiba-tiba ini dan apa hubungan sicu dengan Bu-siocia?”
“Nama saya
Suma Kian Bu....“
“Siancai....!
She Suma? Apa hubungannya dengan Suma-taihiap, Suma Han Pendekar Super Sakti
penghuni Pulau Es yang namanya terkenal di seluruh kolong jagat itu?” kata
Thian Kong Tosu, sedangkan suheng-nya juga memandang tajam penuh selidik kepada
Kian Bu.
“Beliau
adalah ayah kandung saya.”
“Ah, sungguh
hebat peristiwa yang terjadi hari ini!” Tiba-tiba Thian Heng Tosu berkata,
“Agaknya memang sudah digariskan bahwa kita akan memperoleh bantuan
Suma-taihiap. Mari kita duduk di dalam dan bicara. Nona Bu, kami mengaku bahwa
muridku telah kalah olehmu. Setelah ternyata bahwa kita adalah orang-orang
sendiri, biarlah pinto yang mintakan maaf atas kesalahan murid-murid kami
kepadamu.”
Tidak enak
juga rasa hati Ci Sian melihat betapa Ketua Kun-lun-pai sendiri sampai minta
maaf kepadanya. “Ahh, Locianpwe, sesungguhnya sayalah yang terburu nafsu, saya
yang minta maaf kepadamu,” jawabnya.
Kini pemuda
murid Ketua Kun-lun-pai itu menjura ke arah Ci Sian dan pandang mata serta
suaranya penuh kejujuran dan kekaguman ketika dia berkata, “Bu-siocia, saya
mengaku kalah padamu.”
“Ahh, dengan
mempergunakan pedang kayu, berarti engkau telah mengalah,” jawab Ci Sian,
merasa tidak enak terhadap Suma Kian Bu dan Siang In yang melihat betapa ia
yang datang mengacau Kun-lun-pai, malah dipuji-puji orang.
Ketua
Kun-lun-pai yang nampak berseri wajahnya itu, bersama sute-nya, mengajak tiga
orang tamunya menuju ke ruangan dalam, diikuti pula oleh Han Beng.
Hanya enam
orang itulah yang memasuki ruangan ini, sedangkan murid-murid lain tidak ada
yang diajak masuk. Setelah mengambil tempat duduk mengelilingi sebuah meja
bundar yang besar, Thian Kong Tosu berkata sambil mengangkat kedua tangan di
depan dada.
“Ah, kiranya
yang membunuh ular itu adalah pendekar dari Pulau Es! Pantaslah kalau demikian
dan kami tidak merasa penasaran lagi.”
“Kami
melakukan perjalanan dan mendengar bahwa ada ular hijau yang sudah banyak
menjatuhkan korban. Ketika kami melihat dusun yang setiap tahun menyerahkan
korban manusia hidup-hidup kepada ular yang mereka dewa-dewakan, maka kami
mengambil keputusan untuk membasminya. Ular itu sungguh berbahaya sekali dan
hanya karena nasib sajalah kami berhasil membunuhnya,” kata Kian Bu, lalu disambungnya,
“Dan sekiranya Nona Ci Sian ini yang menjadi sahabat seperjalanan kami
melakukan sesuatu pelanggaran terhadap Kun-lun-pai, biarlah Locianpwe memandang
muka kami untuk memaafkannya.”
“Ah, sama
sekali tidak! Hanya terjadi kesalah pahaman saja!” kata wakil ketua itu. “Dua
orang murid Kun-lun-pai kami utus untuk menyelidiki tentang berita dibunuhnya
ular. Mereka bertemu dengan Nona Bu dan terjadi kesalah pahaman sehingga Nona
Bu memberi hajaran kepada mereka, bahkan lalu mengejar sampai ke Kun-lun-pai.
Mata kami yang tua terbuka menyaksikan ilmu yang luar biasa dari Nona Bu!”
“Ah,
Locianpwe harap jangan terlalu memuji, membuat saya merasa malu saja,” Ci Sian
berkata dan memang wajahnya menjadi merah karena merasa malu terhadap Pendekar
Siluman Kecil.
Kian Bu
tersenyum. “Sudahlah, baik sekali engkau barusan bertemu dengan pimpinan
Kun-lun-pai yang bijaksana, kalau dengan golongan lain tentu berakibat tidak
enak.”
“Suma-taihiap,
setelah Taihiap datang, harap kami diperkenalkan dengan Li-hiap ini....,
menurut berita, Taihiap datang bersama isteri Taihiap....,“ kata pula Thian
Kong Tosu.
“Benar, ia
adalah isteri saya, Locianpwe,” kata pendekar itu dan Siang In lalu memberi
hormat sambil tersenyum manis. Ci Sian melihat betapa wajah isteri pendekar itu
kini semakin cantik saja, seperti ada sinar yang segar berseri dan wajahnya
yang manis.
“Sungguh
satu kehormatan besar menerima Sam-wi yang gagah perkasa sebagai tamu,”
tiba-tiba Ketua Kun-lunpai berkata. “Dan sungguh kebetulan sekali karena kami
sedang menghadapi suatu urusan yang amat penting dan besar, yang tentu akan
menarik juga perhatian Sam-wi.”
“Urusan
apakah itu, Locianpwe?” tanya Kian Bu.
“Beberapa
hari yang lalu, seorang sahabat baik kami dari kota Pao-ci di Shan-si datang
dan membawa berita yang amat mengejutkan, yaitu bahwa Pangeran Mahkota Kian
Liong telah lenyap!”
Tentu saja
Kian Bu terkejut sekali mendengar ini. “Lenyap? Bagaimana bisa lenyap?!”
“Seperti
biasa, Pangeran Kian Liong melakukan perjalanan merantau sendirian dan seperti
biasa pula, diam-diam banyak pendekar yang membayangi dan melindunginya secara
diam-diam karena kalau dilihat atau diketahui oleh Sang Pangeran, beliau tentu
akan merasa tidak senang. Dan pada suatu hari, setelah Sang Pangeran memasuki
sebuah kuil, beliau lenyap tanpa meninggalkan jejak!”
“Hemm, lalu
bagaimana, Locianpwe?” tanya Kian Bu tertarik, akan tetapi merasa bahwa hal itu
tidak ada sangkutannya dengan dia.
“Tentu saja
menjadi geger, walau pun tidak ada yang berani menceritakan hal ini secara
terang-terangan. Hanya menjadi desas-desus dan berita angin di dunia kang-ouw
saja bahwa para pendekar kini seperti berlomba mencari pangeran. Timbul
kekhawatiran besar bahwa para pendukung dan bekas anak buah mendiang
Sam-thaihouw yang melakukan penculikan sehingga keselamatan Sang Pangeran
dikhawatirkan.”
“Ahhh, sudah
lama sekali saya tidak pernah mendengar tentang keluarga istana...., apakah
yang telah terjadi dengan Sam-thaihouw, Locianpwe?” Tentu saja Kian Bu mengenal
siapa adanya nenek yang berpengaruh itu, karena sesungguhnya, menurut kakak
kandungnya, yaitu Puteri Milana, nenek yang amat berpengaruh terhadap Kaisar
itu membencinya, bahkan membenci seluruh keluarga Pulau Es!
Ketua
Kun-lun-pai itu memandang tajam, akan tetapi sute-nya yang mengajukan
pertanyaan kepada Kian Bu, “Harap Suma-taihiap suka memaafkan pertanyaan pinto.
Akan tetapi.... bukankah Taihiap masih mempunyai hubungan kekeluargaan dengan
Kaisar? Kalau pinto tidak salah, ibu kandung Taihiap adalah Puteri Nirahai yang
amat terkenal....”
Kian Bu
menggerakkan tangannya dengan tidak sabar. “Ahhh, itu sih dahulu, harap
Locianpwe jangan sebut-sebut lagi. Kami sekarang adalah keluarga Pulau Es,
bukan lagi keluarga istana. Apa yang telah terjadi dengan Sam-thaihouw?”
“Taihiap
belum mendengar berita yang menggemparkan itu? Semua orang bahkan telah
mendengarnya!”
Lalu Thian
Kong Tosu menceritakan tentang kematian Sam-thaihouw yang menurut desas-desus
adalah dikarenakan rahasianya diketahui Kaisar bahwa sesungguhnya Sam-thaihouw
merupakan seorang berbahaya yang selain mempengaruhi Kaisar dan seluruh istana,
juga mengumpulkan tokoh-tokoh dunia sesat. Mendengar berita ini, diam-diam Kian
Bu merasa bersyukur dalam hati. Terbebaslah kini Kaisar dari pengaruh yang amat
jahat.
“Akan
tetapi, para pengikut dan kaki tangan Sam-thaihouw masih berkeliaran!” Tosu itu
menyambung. “Terutama sekali Im-kan Ngo-ok yang tadinya menjadi kaki tangannya,
juga bisa melarikan diri. Oleh karena itu, lenyapnya Pangeran ini tentu saja
dihubungkan dengan kaki tangan Sam-thaihouw, siapa tahu mereka itu ingin
membalas dendam karena kejatuhan Sam-thaihouw adalah karena Sang Pangeran yang
membongkar rahasianya.”
Kian Bu
mengangguk-angguk. Cerita itu memang menarik, akan tetapi masih belum cukup
membangkitkan semangatnya untuk mencampuri. Ayahnya, Pendekar Super Sakti,
selalu menasehatkan putera-puteranya agar jangan mencampuri urusan istana.
“Urusan
istana, urusan perebutan kekuasaan, urusan pemberontakan, sesungguhnya hanyalah
perebutan kedudukan dan kekuasaan, dan untuk kepentingan itu mereka
menggerakkan rakyat. Rakyatlah yang selalu disuruh maju sebagai pendobrak,
sebagai senjata dan perisai, dengan dalih perjuangan demi tanah air, bangsa,
dan lain-lain yang serba muluk-muluk sehingga rakyat menjadi buta, tidak tahu
bahwa sebenarnya mereka itu hanya diperalat oleh beberapa gelintir orang yang
memperebutkan kedudukan. Kalau pendobrakan dan perebutan itu berhasil, beberapa
gelintir orang itulah yang akan menempati kedudukan mulia dan bukan hanya
mereka itu melupakan rakyat, bahkan mereka menjadi penindas-penindas yang baru
terhadap rakyat. Tentu saja dalam perebutan itu, rakyat yang maju itulah yang
menjadi korban, sedangkan beberapa gelintir orang itu hanya bersembunyi di
dalam gedung-gedung dilindungi pasukan pengawal, siap untuk meraih hasil
kemenangan kalau menang dan siap untuk melarikan diri mengungsi kalau kalah.
Karena itu, jangan bodoh. Bertindaklah kalau melihat rakyat tertindas atau
melihat kesewenang-wenangan yang dilakukan oleh orang-orang yang berkuasa atau
kuat terhadap si lemah, akan tetapi jangan melibatkan diri ke dalam perebutan
kekuasaan di istana.”
Nasehat
ayahnya itu selalu menjadi pegangan Kian Bu, maka kini mendengar akan urusan
yang diceritakan oleh ketua dan wakil Ketua Kun-lun-pai, dia tidak tergerak
untuk ikut-ikut, walau pun dia merasa tertarik. Dia pun tahu bahwa Pangeran
Kian Liong adalah seorang pangeran muda yang bijaksana dan menghargai
orang-orang gagah, bahkan yang dicinta oleh banyak pendekar karena mereka
mengharapkan Pangeran ini kelak akan menjadi seorang kaisar yang bijaksana.
“Locianpwe
membicarakan urusan Pangeran dengan maksud bagaimanakah?” Akhirnya Kian Bu
bertanya secara langsung sambil memandang tajam.
Kini Ketua
Kun-lun-pai yang agak pendiam itu yang berkata, “Mendengar akan bahaya yang
mengancam diri Sang Pangeran, kami tak dapat tinggal diam saja, Suma-taihiap.
Yang dapat kami andalkan hanyalah murid pinto Cia Han Beng ini. Betapa pun
juga, pinto masih sangsi apakah dia akan cukup mampu melaksanakan tugas seberat
itu, mengingat bahwa pihak lawan terdapat orang-orang sakti seperti Ngo-ok dan
lain-lain. Maka, melihat kemunculan Sam-wi yang mempunyai kepandaian hebat,
maka pinto akan merasa gembira mendengar kalau saja Sam-wi tertarik dan dapat
bekerja sama dengan Han Beng untuk menyelamatkan Pangeran.”
Mendengar
ucapan ini, Suma Kian Bu menarik napas panjang, “Harap Ji-wi Locianpwe suka
memaafkan kami dan tidak menjadi kecewa. Hendaknya diketahui bahwa kami
mempunyai urusan pribadi yang penting, yang mengharuskan kami kembali ke Pulau
Es, maka kami tidak akan dapat mencampuri urusan kehilangan Sang Pangeran itu.”
Melihat
kekecewaan membayang di wajah Ketua Kun-lun-pai itu, Ci Sian ikut bicara, “Akan
tetapi harap Locianpwe tidak terlalu merendahkan diri sendiri. Kulihat bahwa
dia telah memiliki ilmu kepandaian yang amat hebat!” Dia menuding ke arah Cia
Han Beng yang cepat menundukkan mukanya yang berubah merah.
“Kami tidak
ingin terlibat dalam urusan golongan atas!” kata pula Siang In.
“Siancai....,
Sam-wi tentu memiliki alasan kuat sendiri maka berpendirian demikian.
Maafkanlah kami yang telah berani membujuk Sam-wi.”
Percakapan
dilanjutkan dalam suasana yang kurang enak karena penolakan ini dan tak lama
kemudian Kian Bu berpamit dan meninggalkan Kun-lun-pai bersama isterinya dan Ci
Sian. Setelah mereka tiba jauh dari tembok perkampungan Kun-lun-pai itu, Ci
Sian yang sejak tadi merasa penasaran bertanya, “Mengapa kalian menolak?
Bukankah kalian adalah pendekar-pendekar yang sudah sepatutnya melindungi Sang
Pangeran yang terancam bahaya?”
Kian Bu dan
isterinya tersenyum. “Ci Sian, engkau tidak tahu. Memang harus kami akui bahwa
Pangeran Kian Liong adalah seorang pangeran yang bijaksana dan dicinta oleh
para pendekar. Akan tetapi kita belum tahu siapakah yang menentangnya. Kalau
yang menentangnya itu orang-orang dari golongan hitam seperti Ngo-ok dan
kawan-kawannya, memang sudah sepatutnya kalau kita turun tangan melindungi
beliau. Akan tetapi, engkau pun tahu bahwa Pangeran itu adalah seorang Pangeran
Mancu, dari istana Kaisar penjajah. Bagaimana kalau yang menentang itu adalah
kaum patriot yang menghendaki terbebasnya rakyat dari cengkeraman penjajah?”
Ci Sian
memandang dengan mata terbelalak heran. Ia sudah amat akrab dengan Kian Bu dan
isterinya, maka tidak ada lagi perasaan sungkan di dalam hatinya dan langsung
saja ia berkata, “Tapi.... tapi..... Taihiap, bukankah ibumu sendiri seorang
puteri istana dan bukankah itu berarti bahwa engkau sendiri masih terhitung
keluarga Kaisar?”
Kian Bu lalu
menghela napas panjang. “Tidak salah. Ibuku seorang puteri Mancu, tetapi ayahku
seorang pendekar. Betapa pun juga, lebih banyak darah Han mengalir di dalam
tubuhku, dan betapa pun juga, sebagai seorang pendekar aku tidak setuju dengan
penjajahan. Maka terus terang saja, agaknya tidak mungkin jika aku harus
menentang para patriot.”
“Tapi....
tapi...., bukankah keluarga Pulau Es terkenal sekali dalam membasmi para
pemberontak? Nama-nama seperti Puteri Nirahai, dan Puteri Milana amat
terkenal....“
“Engkau
harus dapat membedakan antara pemberontak yang bergerak demi merebut kekuasaan
untuk kepentingan diri sendiri, dan pemberontakan rakyat yang tertindas dan
yang ingin menghalau penjajah. Kukatakan tadi, andai kata yang menentang Kaisar
itu golongan hitam, tentu aku akan turun tangan membela Pangeran. Sudahlah, Ci
Sian, sebenarnya bukan itu yang mendorong kami untuk menolak tawaran Ketua
Kun-lun-pai dan yang memaksa kami harus cepat pulang ke Pulau Es.”
“Apakah
itu....?” Ci Sian bertanya.
Tiba-tiba
saja Siang In merangkulnya. Nyonya ini tertawa dan mukanya menjadi merah
sekali, akan tetapi sepasang matanya berseri-seri. Dirangkulnya dara itu dan
dibisikinya. Mendengar bisikan ini, Ci Sian terlonjak kegirangan dan ia pun
merangkul leher Siang In dan mencium pipinya.
“Benarkah,
Enci? Ahh, kionghi...., kionghi....! Sungguh aku merasa ikut gembira sekali,
Enci Siang In!”
“Terima
kasih, Adikku, dan terima kasih pula atas bantuanmu ketika kami menundukkan
ular naga hijau itu.... karena tanpa bantuanmu....”
“Ahh,
mudah-mudahan kelak puteramu gagah perkasa seperti naga, Enci!”
“Hushh....!
Bagaimana kau tahu dia bakal laki-laki?” Siang In mencela dan mereka pun
tertawa gembira.
Akan tetapi,
kegembiraan hati Ci Sian hanya sebentar karena segera wajahnya yang cantik
menjadi muram ketika Kian Bu dan Siang ln memberi tahu kepadanya bahwa hari itu
juga suami isteri ini akan meninggalkan tempat itu untuk kembali ke Pulau Es.
Karena Siang In sudah mengandung, hampir dua bulan kandungannya, maka tidak
baik kalau mereka terus merantau, dan Siang In harus tenang tinggal di rumah.
“Kita
berpisah di sini, Ci Sian. Yang baik-baiklah engkau menjaga diri. Kepandaianmu
sudah cukup tinggi dan kiranya engkau sudah dapat menjaga diri sendiri dengan
cukup kuat, akan tetapi hanya satu hal yang harus kau ingat benar, yaitu
kurangilah watak kerasmu itu,” demikian Kian Bu meninggalkan pesan setelah
mereka tiba di dalam pondok dan suami isteri itu sudah mempersiapkan diri untuk
berangkat.
Saking
terharunya, Ci Sian hanya bisa mengangguk, kemudian ketika Siang In hendak
berpamit kepadanya, Ci Sian merangkul dan keduanya saling peluk sambil
menangis! Aneh memang melihat dua orang wanita yang sama-sama memiliki
kepandaian amat tinggi dan kegagahan luar biasa itu kini saling rangkul sambil
menangis. Betapa pun juga, mereka itu adalah wanita-wanita yang tentu saja
lebih halus perasaannya kalau dibandingkan pria.
Akhirnya,
suami isteri itu pergi meninggalkan Ci Sian. Mereka singgah di dusun Naga Hijau
untuk pamit kepada para penghuni dusun. Setelah ditinggalkan oleh dua orang
itu, Ci Sian juga tidak tahan tinggal lebih lama lagi di pondok dalam hutan
itu. Ia mengemas barang-barangnya dan dia pun segera pergi dari situ tanpa
pamit lagi kepada para penghuni dusun. Sebentar saja sudah pergi jauh
meninggalkan dusun itu, menuju ke timur dan setelah senja mendatang, barulah ia
menghentikan perjalanannya, beristirahat di bawah pohon besar di sebuah lereng
gunung.
Ketika ia
duduk di bawah pohon besar itu, memandang ke kanan kiri yang amat sunyi, merasa
benar betapa ia hidup seorang diri saja di dunia ini, tiba-tiba saja rasa
kesepian menyelinap di dalam hatinya dan tak dapat ditahannya lagi, air matanya
jatuh berderai di atas kedua pipinya. Ci Sian menangis karena sedih, karena
merasa kesepian. Dia merasa ngeri, merasa asing, merasa kehilangan dan
ditinggalkan.
Rasa
kesepian, merasa sendiri saja tanpa teman, merasa terasing dan tidak ada yang
mempedulikan, perasaan ini tentunya sangat ditakuti oleh semua orang. Perasaan
ini mendatangkan iba diri dan kesedihan. Karena takut akan rasa kesepian inilah
maka semua orang mudah sekali terikat, bahkan suka mengikatkan diri dengan
sesuatu. Kita merasa ngeri kalau harus menderita kesepian, maka kita
mengikatkan diri dengan isteri, keluarga, sahabat, bangsa, suku kelompok, atau
kita mengikatkan diri dengan gagasan-gagasan sehingga kita merasa aman dan
merasa ‘tidak sendirian’.
Rasa ngeri
membayangkan harus bersendirian inilah agaknya yang membuat kita merasa ngeri
akan kematian. Bagaimana kalau kita mati? Kita akan sendirian, akan kehilangan
segala-galanya! Inilah yang mendatangkan kengerian, dan karena ini pula maka
kita mengikatkan diri dengan segala macam agama atau kepercayaan, sebagai
penghibur diri di waktu masih hidup bahwa kalau kita mati kelak, kita akan
terbebas dari pada ‘sendirian’ itu.
Akan tetapi,
benarkah bahwa kesunyian, keheningan, di mana kita berada seorang diri, baik
jasmani mau pun rohani, sendiri tanpa siapa pun juga, mendatangkan kengerian?
Siapakah itu yang merasa ngeri? Bukankah yang merasa takut itu adalah pikiran
yang membayangkan segala keadaan, mengharapkan yang menyenangkan dan menghindar
dari yang tidak menyenangkan?
Pernahkah
kita menghadapi kesunyian ini, kesepian ini, rasa bersendirian ini,
menghadapinya, mengamatinya tanpa penilaian, tanpa pendapat dan gagasan tentang
kesepian itu? Maukah kita mencoba untuk menyelami kesepian ini, memandangnya
tanpa ide-ide tentang kesepian sehingga antara kesepian dan kita tidak ada
jarak pemisah lagi? Sehingga kita merupakan sebagian dari pada keheningan itu?
Proses
badaniah yang menjadi tua, lapuk lalu mati, merupakan hal yang wajar. Kita
tidak merasa takut atau ngeri akan hal itu. Yang kita takutkan adalah bagaimana
nanti jadinya dengan ‘kita’! Bagaimana nanti dengan keluarga kita, orang-orang
yang kita cinta, dengan harta benda kita, dengan nama kita, kedudukan kita dan
sebagainya lagi.
Semua
ikatan-ikatan itulah yang membuat kita merasa ngeri untuk mati, ngeri untuk
berpisah dari semua itu. Kita merasa ngeri karena dengan kehilangan semua itu,
kita ini bukan apa-apa lagi. Kita membayangkan, apakah jadinya dengan kita
kalau kita tidak punya keluarga lagi, tiada teman, tiada harta benda, tiada
segala yang kesemuanya mendatangkan kesenangan itu? Itulah sebabnya mengapa
kita takut akan kematian, takut akan kesepian.
Pikiran yang
membentuk si aku yang selalu ingin senang dan selalu menjauhi ketidak senangan,
pikiran inilah yang merasa ngeri karena membayangkan bahwa semua kesenangan itu
akan berpisah dari kita. Akan tetapi, kita dapat merasakan keadaan mati ini
selagi kita masih hidup. Jasmani kita masih hidup, akan tetapi kalau batin kita
dapat terbebas dari segala ikatan, maka rasa takut akan kehilangan
ikatan-ikatan itu tidak ada. Dan tanpa adanya rasa takut ini, maka keheningan
atau kesunyian akan merupakan sesuatu yang lain sama sekali!
Bukankah
berarti bahwa kita lalu menjadi seperti patung hidup? Sama sekali tidak. Kita
masih hidup di dalam dunia ramai dengan segala aneka ragam, namun batin kita
bebas dari pada ikatan, sehingga kalau sewaktu-waktu kita harus berpisah, kita
tidak akan merasa takut atau ngeri, kita tidak akan merasa berduka. Ikatan
selalu menimbulkan rasa takut akan kehilangan dan rasa duka kalau kehilangan.
Makin kuat ikatan itu, semakin besar rasa takut dan semakin besar kedukaan.
Sebuah benda saja dapat nenimbulkan ikatan yang demikian kuat sehingga kalau
kita kehilangan benda itu, akan menimbulkan rasa duka yang amat sangat.
Dapatkah kita terbebas dari ikatan dengan kesemuanya itu?
Ada yang
bertanya bahwa kalau kita bebas dari pada ikatan dengan keluarga, bukankah itu
berarti bahwa kita tidak mencinta keluarga kita lagi? Sama sekali bukan
demikian. Cinta kasih sama sekali bukanlah ikatan! Kalau kita mencinta anak
kita, benar-benar mencintanya, hal itu bukan berarti bahwa kita harus terikat
dengan anak kita itu. Yang ada hanya bahwa kita ingin melihat anak kita
berbahagia hidupnya!
Sebaliknya,
ikatan menimbulkan keinginan untuk menyenangkan diri sendiri, karena memang
ikatan diciptakan oleh si aku yang ingin senang tadi. Cinta yang mengandung
ikatan bukanlah cinta kasih namanya, melainkan keinginan untuk memuaskan dan
menyenangkan diri sendiri. Cinta yang mengikat kepada anak menimbulkan
keinginan untuk menguasai anak itu, untuk memperoleh kesenangan batin melalui
si anak, dan terasa berat kalau berpisah, karena si aku merasa dipisahkan dengan
sumber yang menyenangkan diri. Tidakkah demikian? Demikian pula dengan isteri
atau suami atau keluarga atau benda, atau juga gagasan. Semua itu hanya
merupakan alat untuk menyenangkan diri sendiri dan karenanya menimbulkan
ikatan.
Cinta kasih
baru ada kalau tidak terdapat keinginan untuk menyenangkan diri sendiri. Dan
tanpa adanya cinta kasih, tidak mungkin ada kebaikan atau kebajikan, karena
tanpa adanya cinta kasih, segala yang nampak baik itu adalah semu, berpamrih,
dan segala macam pamrih itu sumbernya adalah pada si aku yang ingin senang.
Setelah
menumpahkan semua rasa dukanya melalui runtuhnya air mata, akhirnya timbul
semacam kelegaan di dalam hati Ci Sian. Ia termenung dan dalam renungannya ini
ia lupa segala, lupa akan kedukaannya, lupa akan keadaannya yang kesepian.
Ia memandang
ke depan dan melihat angkasa sedemikian indah dan agungnya, penuh dengan tata
warna yang tak bisa dilukiskan indahnya. Ada warna merah yang beraneka macam,
dari merah yang jingga sampai yang jambon dan kekuning-kuningan, ada warna biru
yang belum pernah dapat dibandingkannya dengan warna biru di bumi. Dan
awan-awan kelabu membentuk makhluk-makhluk yang aneh, raksasa yang perkasa,
binatang buas yang luar biasa.
Senja kala
menciptakan keindahan yang demikian agung dan besarnya, yang sekaligus mengusir
atau membuat lupa segala kedukaannya yang tadi menyelimuti hati Ci Sian. Hal
ini adalah karena segala pikiran, batin dan segala indera dara itu dicurahkan
kepada keindahan di angkasa itu. Dan kalau sudah begini, maka segala sesuatu
nampak indah.
Bahkan pohon
yang berdiri terpencil di depan itu, pohon yang sebagian batangnya rusak oleh
ketuaan, yang beberapa cabangnya gundul dan kering, nampak menonjol dan hidup,
merupakan sebagian yang tak terpisahkan dari segala yang indah. Juga dirinya
terlebur menjadi satu kesatuan dari pada keindahan dan keheningan itu, tidak
terpisah-pisah. Pada saat itulah Ci Sian mengalami apa yang dinamakan kematian.
Akan tetapi,
gerengan seekor binatang buas membuyarkan kesatuan itu dan begitu pikiran Ci
Sian bekerja, ia pun sudah kembali lagi kepada dirinya sendiri, dirinya yang
kesepian, dirinya yang penuh dengan iba diri. Dan Ci Sian melewatkan malam yang
menggelisahkan.....
***************
Apakah yang
telah terjadi dengan diri Pangeran Kiang Liong? Seperti telah kita ketahui dari
bagian depan cerita ini, Pangeran yang bijaksana ini telah bertentangan dengan
Sam-thaihouw, dan dengan bantuan keluarga pendekar Kao Kok Cu, isterinya Wan
Ceng dan puteranya, Jenderal Muda Kao Cin Liong, akhirnya Pangeran membuka
rahasia Sam-thaihouw, membuat nenek tua ini terserang penyakit jantung dan
tewas. Setelah Sam-thaihouw dan kini kaki tangannya dibasmi dari istana, hati
Pangeran itu merasa lega dan gembira bukan main.
Akan tetapi,
Pangeran yang semenjak muda sekali sudah suka sekali berkelana ini, tidak dapat
tinggal diam terlalu lama di istana. Pada suatu hari, dia sudah lolos lagi dari
istana dan mengembara ke barat, menyamar sebagai seorang pemuda biasa saja.
Kesukaannya mengembara ini selain didorong oleh keinginannya untuk mengenal
rakyat lebih dekat, juga karena dia ingin mempelajari dan mendengar suara
rakyat agar kelak kalau dia menggantikan ayahnya memerintah, dia akan dapat
mengambil sikap dan keputusan yang sesuai dengan selera rakyat terbanyak.
Di samping
ini, pemuda bangsawan ini pun suka bergaul dengan para sastrawan dan para
pendekar dan hanya dengan menyamar sebagai seorang biasa sajalah maka
pergaulannya itu dapat berjalan dengan perasaan bebas, tidak seperti kalau
mereka itu menghadapnya sebagai seorang pangeran di mana harus dilakukan banyak
peraturan dan peradatan.
Seperti
biasa, biar pun Pangeran ini tidak memperkenankan pasukan pengawal untuk
mengawal perjalanannya, namun ada pengawal-pengawal istana rahasia yang
diam-diam membayanginya, di samping beberapa orang pendekar yang mendengar akan
perjalanan ini lalu membayanginya untuk melindunginya secara diam-diam.
Pangeran
Kian Liong juga maklum akan hal ini. Sebenarnya dia pun tidak merasa senang
dilindungi secara diam-diam seperti ini, akan tetapi karena yang melindunginya
tidak menampakkan dirinya, tentu saja dia pun tidak dapat berbuat sesuatu untuk
mencegah mereka.
Para hwesio
yang menerima kedatangan Pangeran itu menyambutnya sebagai seorang pemuda yang
dermawan. Pemuda ini telah memberi sumbangan yang cukup besar dan ketika pemuda
itu menyatakan bahwa dia ingin memperoleh kamar dan bermalam di kuil itu, maka
para hwesio segera menyambutnya dan menyediakan sebuah kamar yang sederhana di
sebelah belakang bangunan kuil. Karena dia merasa amat tertarik oleh bangunan
kuno kuil itu dan ingin menenangkan hatinya di dalam kuil maka Pangeran Kian
Liong ingin bermalam di situ dan tidak bermalam di rumah penginapan seperti
biasa. Hal ini menyulitkan para pelindungnya.
Kalau
Pangeran itu bermalam di rumah penginapan, para pelindung itu dapat pula
menyewa kamar di rumah penginapan itu untuk mengamat-amati Sang Pangeran. Akan
tetapi sekali ini Sang Pangeran bermalam di kuil, tentu saja tidak mungkin bagi
mereka untuk bermalam di kuil itu juga. Maka mereka berpencaran dan ada juga
yang bermalam di tempat terbuka di belakang kuil, atau di rumah penduduk di
sekitar kuil itu.
Pada hari
kedatangan Sang Pangeran di Kuil Hok-te-kong itu, seperti biasa banyak pula
orang datang bersembahyang. Memang kuil itu amat terkenal ‘manjur’, yaitu
banyak permintaan para pemujanya tercapai setelah bersembahyang di kuil itu!
Dan setelah tercapai apa yang diminta mereka lalu membayar ‘kaul’, yaitu
semacam janji untuk membalas jasa atau untuk menyatakan terima kasih apabila
permintaan mereka telah terkabul. Kaul ini berupa sembahyang besar-besaran,
membakar segala macam harta kekayaan berupa tiruan dari kertas yang dimaksudkan
agar “di sananya” dapat menjadi barang berharga sungguh-sungguh untuk memberi
sumbangan kepada yang telah mengabulkan permintaan mereka!
Bahkan
sampai jaman sekarang pun masih ada kepercayaan semacam itu! Tentu saja dengan
bermacam cara, sesuai dengan tradisi dan agama masing-masing. Dan semua ini
jelas memperlihatkan betapa lemahnya kita manusia ini. Melihat betapa diri
sendiri ini kosong dan lemah, tiada apa-apanya, melihat pula akan kehidupan
yang menimbulkan rasa takut, serta didorong pula oleh keinginan-keinginan untuk
mengejar kesenangan-kesenangan baik kesenangan jasmani mau pun rohani, maka
kita yang merasa tidak berdaya ini lalu mencari pegangan!
Kita lalu
membayangkan bahwa ada sesuatu yang lebih tinggi. Itulah yang kita jadikan
sasaran untuk membantu dan menolong kita, baik dalam mencapai kesenangan
lahiriah mau pun batiniah. Pikiran kemudian mereka-reka menurut kepercayaan
masing-masing, menurut tradisi ribuan tahun lamanya.
Dibuatlah
arca-arca, patung-patung, benda-benda keramat kemudian dipujanya sebagai tempat
yang dihuni oleh sesuatu yang kita anggap lebih tinggi dari pada kita itu.
Timbul sebutan dewa-dewa, malaikat-malaikat, roh-roh suci, dan sebagainya lagi.
Kita bukan hanya sekedar memujanya karena rasa takut, karena ingin selamat,
ingin terlindung dan sebagainya, akan tetapi juga kita memuja untuk meminta
sesuatu, minta bantuan agar sukses dalam usaha perdagangan, agar dapat jodoh,
agar dapat anak, agar menang perkara, agar manjur kutuk kita terhadap musuh,
dan sebagainya lagi.
Dan ‘jika
‘kebetulan’ apa yang kita minta itu terkabul, kepercayaan kita menjadi semakin
tebal dan kita kemudian membalas budi dengan cara masing-masing. Demikianlah
keadaannya. Kalau kita mengamati itu semua, bukankah kita ini sungguh lemah dan
bodoh sekali? Kalau kita melihat dengan sungguh-sungguh bahwa semua itu adalah
palsu dan timbul dari rasa takut kita, dari keinginan kita memperoleh segala macam
kesenangan, beranikah kita untuk menanggalkan itu semua? Kalau tidak berani,
berarti kita belum melihat kenyataan akan kepalsuan itu.
Di antara
para tamu yang datang bersembahyang, terdapat seorang laki-laki setengah tua.
Usianya sudah mendekati lima puluh tahun, tetapi dia masih nampak gagah dan
tampan. Pakaiannya sederhana namun bersih dan rapi. Wajahnya yang tampan gagah
itu selalu berseri dan mulutnya selalu membayangkan senyuman sehingga
orang-orang suka melihatnya. Tamu ini tidak ikut sembahyang, hanya mengamati
tempat itu dan orang-orang yang bersembahyang dengan sinar mata tajam.
Seorang
hwesio tua menyambut pria gagah ini dan pria itu menjura sambil bertanya,
“Apakah Ciong suhu ada di dalam?”
“Dia telah
sejak tadi menantimu, Taihiap. Silakan masuk ke ruangan tamu di sebelah kanan.”
Pria itu
mengangguk dan berjalan masuk. Ketika dia memasuki ruangan tamu sebelah kanan,
seorang hwesio tua yang bertahi lalat di dahinya, yaitu Ciong-hwesio yang
menjadi ketua kuil itu, cepat-cepat menyambutnya dan segera mereka
bercakap-cakap dengan suara lirih.
“Baik sekali
engkau cepat datang, Bu-taihiap,” kata Ciong-hwesio dengan wajah berseri.
“Pinceng sudah khawatir sekali karena menurut beberapa orang penyelidik, Ngo-ok
sudah nampak berada di kota ini pula.”
Pria gagah
itu memang bukan lain adalah Bu Seng Kin atau Bu-taihiap, pendekar terkenal
itu. Kita sudah mengenal pendekar ini sebagai ayah kandung Ci Sian, dan juga
sebagai seorang pendekar yang mempunyai banyak isteri. Seperti telah
diceritakan dalam bagian depan, Bu Seng Kin dan keluarganya merasa terpukul
batinnya dan merasa malu ketika pinangan mereka untuk menjodohkan puteri Bu
Seng Kin dan Nandini, yaitu Bu Siok Lan, dengan Kao Cin Liong, ditolak
mentah-mentah dan secara yang kasar oleh keluarga Kao. Penolakan ini tentu saja
mendatangkan perasaan marah dan dendam di pihak keluarga Bu, akan tetapi pada
saat terjadi penolakan, tentu saja Bu Seng Kin tidak berani untuk
memperlihatkan kemarahannya.
Penolakan
ini pula yang menambah perasaan anti di dalam hati keluarga Bu terhadap istana.
Memang sejak dahulu mereka itu tidak suka kepada kerajaan penjajah, apalagi
kini mereka merasa dihina oleh seorang jenderal muda dan keluarganya, maka
sikap mereka yang tidak suka terhadap Kerajaan Mancu makin menebal. Apalagi di
situ terdapat Nandini, Puteri Nepal yang pernah menjadi Panglima Nepal dan
dikalahkan oleh pasukan-pasukan kerajaan.
Puteri ini
membujuk-bujuk suaminya untuk tidak tinggal diam dan membangkitkan jiwa patriot
Bu Seng Kin untuk menentang pemerintah penjajah. Inilah sebabnya maka Bu Seng
Kin atau Bu-taihiap diam-diam bergabung dengan para pendekar yang diam-diam
menentang dan memusuhi Kerajaan Mancu. Dan dalam hal ini, Bu-taihiap memperoleh
teman-teman yang baik, yaitu dari golongan Siauw-lim-pai yang kini secara
terang-terangan dimusuhi oleh Kaisar Yung Ceng.
Para hwesio
pengurus Kuil Hok-te-kong adalah hwesio-hwesio yang condong berpihak kepada
Siauw-lim-pai dan hal ini tidaklah aneh karena Ciong-hwesio yang menjadi ketua
kuil itu adalah anak murid Siauw-lim-pai pula. Maka terjadilah pertemuan antara
Bu-taihiap dan Ciong-hwesio itu, yang dilakukan dengan rahasia.
“Hemm,
mereka sudah muncul? Tentu mereka tidak berani turun tangan di siang hari.
Malam nanti aku akan siap menghadapi mereka, harap Ciong-suhu jangan khawatir.
Bahkan peristiwa ini amat kebetulan sekali. Kalau di sini terjadi penyerangan
dari luar, dan ketika kami menghadapi mereka, maka dengan mudah Ciong-suhu akan
dapat melarikan Pangeran tanpa ada yang menduga kalau Ciong-suhu yang melakukannya.”
Mereka lalu
bicara bisik-bisik mengatur siasat dan rencana selanjutnya. Mereka sama sekali
tidak tahu bahwa di antara para tamu yang bersembahyang itu terdapat seorang
nenek bongkok yang juga bersembahyang dan mulutnya berkemak-kemik minta berkah.
Sambil terbongkok-bongkok nenek itu membakar kertas dan berjalan masuk ke
ruangan dalam kuil sambil menengok ke kanan kiri seolah mencari sesuatu.
Seorang
hwesio segera menghampiri dan menegur, “Hei, Nenek, engkau hendak ke manakah?
Tidak diperkenankan masuk ke dalam....“
“Ah,
Siauw-suhu, aku ingin bertemu ketua kuil...., aku ingin menghaturkan terima
kasih karena cucuku telah terkabul permintaannya dan memperoleh seorang anak
laki-laki. Aku ingin Ciong-hwesio memilihkan nama untuk cucu buyutku itu....”
Dan nenek itu memaksa masuk terus.
“Tapi....
Ciong-suhu sedang sibuk....”
“Ahh, apa
sukarnya memberikan nama saja? Biarlah aku mengganggu sebentar, beliau tentu
tidak akan marah. Di manakah beliau?”
“Tidak
boleh, nanti pinceng mendapat marah....“ Hwesio muda itu hendak menghalang,
akan tetapi dia merasa tidak enak juga untuk berkeras terhadap seorang nenek
dan nenek itu kini sudah mendekati ruangan tamu di mana Ciong-hwesio masih
bercakap-cakap dengan Bu Seng Kin.
Mendengar
suara ribut-ribut di luar kamar tamu itu, Ciong-hwesio memberi isyarat pada
Bu-taihiap, lalu membuka pintu dan berteriak. “Ada apakah ribut-ribut di situ?”
Dan
diam-diam dia merasa terkejut dan curiga melihat seorang nenek tua renta sedang
berbantahan dengan seorang hwesio, agaknya Si Nenek hendak memaksa masuk.
“Maaf, Suhu,
nenek ini nekat saja hendak menghadap Suhu, katanya hendak minta diberi nama
untuk cucu buyutnya.”
Melihat
Ciong-hwesio, nenek itu cepat menghampiri dan menjatuhkan dirinya berlutut,
“Mohon kemurahan hati Losuhu.... karena kami sekeluarga sudah berjanji, maka
setelah cucu saya melahirkan, kami sekeluarga mengharap agar Losuhu memberikan
sebuah nama untuk anak itu.”
“Amithaba....
kiranya demikian?” Hwesio tua itu berkata halus, menarik napas panjang, lalu
melanjutkan, “Beri saja nama Tiong Gi.”
“Terima
kasih, terima kasih, Losuhu...,” kata nenek itu dengan gembira sambil memberi
hormat dan matanya mengerling ke arah pintu kamar tamu dari mana ia dapat
melihat Bu-taihiap yang duduk di bangku dan memandang keluar dengan sikap tidak
sabar karena gangguan itu.
Setelah
menghaturkan terima kasih berkali-kali, dan matanya yang tua itu kembali
memandang ke kanan kiri seperti biasa sikap orang tua yang pikun dan ingin tahu
segala, nenek itu lalu melangkah ke dalam!
Hwesio muda
itu cepat menghadang. “Ehh, engkau hendak ke mana, Nek?”
“Mau keluar,
ke mana lagi....?” tanya nenek itu dengan sikap pikun dan ia terus saja
berjalan tanpa mempedulikan orang lain sehingga ia sampai di pintu tembusan dan
menjenguk ke dalam.
Akan tetapi
kali ini Ciong-hwesio sendiri yang melangkah maju dan memegang lengan nenek
itu. Lengan yang lemah tanpa tenaga, pikirnya dan dia melepaskan kembali
pegangannya.
“Nek, jalan
keluar bukan ke sana!”
Hwesio muda
itu lalu memberi petunjuk dan sekali ini nenek itu keluar dari dalam kuil,
dengan terbongkok-bongkok berjalan ke jalan raya, sedangkan mulutnya
berkali-kali membisikkan nama, “Tiong Gi....!”
Akan tetapi
ketika nenek itu telah tiba di tempat yang jauh dari kuil itu dan ia sudah
merasa yakin bahwa tidak ada seorang pun yang memperhatikannya, ia lalu
memasuki sebuah rumah kecil dan sikapnya menjadi berbeda sama sekali.
Gerakannya sigap ketika dia masuk ke dalam rumah itu dan ketika ia disambut
oleh seorang laki-laki yang bertubuh tinggi besar, ia lalu mengeluh, “Ahhh,
sampai lelah punggungku harus kutekuk terus! Jelas, orang she Bu itu berada di
sana, sedang berunding dengan ketua kuil!”
“Dan engkau
tidak melihat bayangan Pangeran?” tanya laki-laki tinggi besar itu.
“Tidak ada,
akan tetapi aku yakin dia berada di dalam sebuah kamar. Tidak ada jalan lain,
kita harus berusaha memasukinya malam ini.”
Laki-laki
tinggi besar itu mengangguk. “Memang kupikir juga begitu. Malam ini akan
terjadi keributan di kuil.”
Tak lama
kemudian, laki-laki tinggi besar dan seorang wanita yang cantik keluar dari
rumah itu dan memanggil pemilik rumah yang mereka sewa selama dua hari. Nenek
itu tidak nampak lagi. Dan setelah mereka berdua pergi, seorang hwesio datang
ke situ dan bertanya-tanya tentang seorang nenek. Akan tetapi tidak ada seorang
pun yang tahu dan pemilik rumah itu hanya memberi tahu bahwa yang menyewa
rumahnya adalah seorang laki-laki tinggi besar dan isterinya yang cantik.
Tentu saja
hwesio itu segera memberi laporan kepada ketuanya, dan Ciong-hwesio mengerutkan
alisnya. Dia memang sudah merasa curiga kepada nenek tadi, akan tetapi karena
nenek itu sudah hilang dan tidak ada yang mengetahuinya, dia pun hanya memesan
kepada anak buahnya agar malam itu mereka berjaga-jaga dengan penuh
kewaspadaan.
Peristiwa
bermalamnya Pangeran di kuil itu memang merupakan hal yang kebetulan dan sama
sekali tidak diduga-duga orang. Semenjak orang-orang kang-ouw mendengar bahwa
Pangeran Mahkota pergi seorang diri, banyak yang membayanginya. Banyak pihak
hendak mengganggunya, tapi ada pula yang melindunginya sehingga pihak yang
hendak mengganggunya masih ragu-ragu. Akan tetapi, seperti seekor lalat
memasuki sarang laba-laba, Pangeran itu dengan kehendak sendiri masuk ke dalam
kuil bahkan minta bermalam di situ, tidak tahu bahwa kuil itu adalah sarang
dari orang-orang yang tidak suka kepada kerajaan ayahnya! Bahkan orang-orang
Siauw-lim-pai adalah orang-orang yang banyak menaruh dendam kepada ayahnya.
Juga para
pelindungnya tiada yang mengira bahwa ketua kuil itu adalah bekas murid
Siauw-lim-pai pula sehingga mereka enak-enak saja dan mengira bahwa Pangeran
itu berada di tempat yang aman. Padahal, sesungguhnya Pangeran itu seperti
seekor anak domba yang memasuki goa serigala!
Malam itu
tidak terang bulan. Malam yang cerah dan indah sekali, seolah-olah tak akan
pernah terjadi hal-hal yang buruk. Lewat senja, tidak seperti biasanya, Kuil
Hok-te-kong telah menutupkan pintunya. Baru saja pintu itu ditutup, terdengar
ketukan pada pintu itu.
Setelah
ketukan-ketukan itu diulang, seorang hwesio berkata dari balik pintu, “Malam
ini kami tidak menerima tamu, karena kami sedang mengadakan upacara sembahyang
yang penting. Harap suka kembali besok saja!”
Akan tetapi,
dari luar pintu terdengar suara yang besar dan parau, “Saudara, pinceng
bukanlah tamu hendak bersembahyang, melainkan dua orang saudara yang mohon
ingin bertemu dengan Ciong-losuhu.”
Mendengar
ucapan ini, lubang di tengah-tengah pintu itu terbuka dan sebuah mata, mata
hwesio penjaga, mengintai dari dalam. Ketika mata itu melihat bahwa yang
berdiri di depan pintu itu adalah dua orang hwesio, yang seorang lagi agak
kecil, dia merasa heran. “Ji-wi siapakah dan dari mana? Ada keperluan apakah
malam-malam hendak menghadap Ciong-suhu?”
Hwesio yang
tinggi besar itu memandang ke kanan kiri dan belakang, lalu menjawab dengan
suara berbisik, “Kami adalah hwesio-hwesio Siauw-lim-pai yang dikejar-kejar,
mohon perlindungan!”
“Amithaba....!”
Mata di balik lubang itu terbelalak, “Sebentar, pinceng harus melaporkan dulu
kepada Suhu!”
Tidak lama
kemudian, pintu itu terbuka dan Ciong-hwesio sendiri yang menyambut mereka.
Kedua orang hwesio itu memberi hormat kepada Ciong-hwesio yang dibalas oleh
ketua kuil Hok-te-kong itu. “Mari silakan, mari kita bicara di lian-bu-thia.”
Setelah tiba
di ruangan berlatih silat, dua orang hwesio ini melihat betapa di situ telah
berkumpul banyak hwesio dan mereka semua memandang dengan mata penuh selidik.
Ciong-hwesio sendiri juga memandang penuh selidik. Dia memang jarang pergi ke
Siauw-lim-pai dan tentu saja tidak banyak mengenal hwesio Siauw-lim-pai, akan
tetapi kalau memang benar mereka ini hwesio-hwesio Siauw-lim-pai yang
dikejar-kejar tentara pemerintah, tentu saja dia harus membantu mereka.
Hwesio
tinggi besar itu bermuka hitam sekali dengan mata lebar, nampak gagah sekali,
sedangkan hwesio yang lebih kecil bermuka kuning dan kasar sehingga
ketampanannya lenyap oleh kekasaran mukanya, juga matanya agak juling.
“Kalian
berdua dari kuil mana? Dan mengapa malam-malam tiba di kota ini?” tanya
Ciong-hwesio dengan penuh curiga.
“Kami adalah
anak murid Siauw-lim-pai yang datang dari Kuil Siauw-lim-pai yang dibakar oleh
Kaisar lalim. Kami dikejar-kejar dan berhasil melarikan diri sampai di sini.
Mendengar bahwa Ciong-suhu adalah bekas anak murid Siauw-lim-pai pula, maka
kami mohon perlindungan dan mengharap agar dapat diterima di kuil sini,” kata
hwesio yang bertubuh kecil dengan suara mohon dikasihani.
“Amithaba....,
sudah tentu saja pinceng tidak akan menolak. Tetapi, di dalam keadaan genting
seperti ini kita harus bersikap hati-hati! Coba Ji-wi perlihatkan beberapa
jurus Siauw-lim-pai agar pinceng tidak ragu-ragu lagi bahwa Ji-wi adalah
benar-benar murid Siauw-lim-pai.”
Hwesio
bertubuh kecil itu lalu memandang hwesio tinggi besar muka hitam, “Silakan
Suheng.”
“Baik, saya
akan mainkan Pek-ho-kun dari Siauw-lim-pai!” katanya dan segera hwesio muka
hitam ini bersilat.
Ternyata
gerakannya cukup gesit dan mantap, dan karena tubuhnya memang tinggi besar,
maka dia nampak gagah. Melihat gerakan ini, diam-diam Ketua Hok-te-kong itu
girang sekali. Orang ini merupakan tenaga bantuan yang boleh diandalkan,
pikirnya. Setelah selesai bersilat, hwesio muka hitam itu berhenti dan tidak
nampak dia terengah-engah, tanda bahwa dia sudah menguasai pula ilmu pernapasan
dengan baik.
“Sekarang
saya hendak mainkan Lo-han-kun!” kata hwesio bertubuh kecil dan dia pun cepat
bergerak dan bersilat.
Kembali
Ciong-hwesio gembira sekali. Si Kecil ini gerakannya luar biasa gesitnya, dan
pukulan-pukulannya sudah sangat matang, padahal Lo-han-kun bukan ilmu silat
yang sembarangan saja. Ternyata kedua orang ini adalah benar-benar murid
Siauw-lim-pai yang tergolong baik ilmu silatnya, agaknya tidak selisih banyak
dengan kepandaiannya sendiri.
“Bagus!
Ji-wi memang murid-murid Siauw-lim-pai. Nah, dengarlah. Adanya kami tadi
bercuriga dan bersikap hati-hati adalah karena kita semua menghadapi urusan
yang besar sekali. Mari, mari kita bicara di dalam dan pinceng mengharapkan
bantuan Ji-wi untuk melakukan penjagaan.”
Hwesio tua
itu mengajak kedua orang tamunya masuk ke dalam dan memberi tahukan segala
urusannya dengan suara bisik-bisik. Kedua hwesio pendatang baru itu nampak
mengangguk-angguk dan serius sekali. Mereka adalah musuh-musuh kerajaan, tentu
saja mereka bersiap-siaga untuk membantu teman seperjuangan, apalagi mengenai
urusan yang demikian pentingnya.
“Akan
tetapi, Ciong-losuhu, kalau memang ada musuh-musuh Pangeran yang hendak
membunuh Pangeran itu, mengapa pula pendekar yang membantu kita itu.... siapa
namanya, Bu-taihiap? Kenapa dia harus menentang musuh-musuh Pangeran itu?”
tanya hwesio kecil yang bernama Tan Tek Hosiang.
“Amithaba....,
memang sebaiknya kalau pinceng beri tahu. Pertama, kalau sampai Pangeran
terbunuh di sini, tentu kita semua akan celaka, apalagi kalau ketahuan bahwa
pinceng adalah murid Siauw-lim-pai. Ke dua, Pangeran ini bukan orang jahat,
melainkan seorang yang bijaksana sekali, walau pun dia adalah seorang Pangeran
Mancu. Ke tiga, dengan adanya penyerbuan kaum sesat itu, terbuka pula kesempatan
bagi kita untuk turut menculik Pangeran itu dan tuduhan tentu akan jatuh kepada
kaum sesat yang melakukan penyerbuan untuk membunuh Pangeran.”
“Untuk apa
kita menculik Pangeran penjajah itu?” tanya Lim Kun Hosiang, Si Tinggi Besar
muka hitam. “Jika untuk membalas kematian saudara-saudara kita yang dibunuh
Kaisar, kenapa kita tidak membunuh saja dia?”
“Amithaba....
semoga Sang Buddha memberi penerangan pada batinmu yang gelap oleh dendam
pribadi!” kata hwesio tua itu dengan alis berkerut. “Bukan urusan kita para
hwesio soal bunuh-membunuh itu! Pula, kita ingin menahan Sang Pangeran sebagai
sandera untuk memaksa Kaisar agar menghentikan permusuhan kepada Siauw-lim-pai,
dan agar membebaskan para pendekar yang ditahan.”
Dua orang
hwesio itu mengangguk-angguk. “Baiklah, kami berdua akan membantu dan malam ini
kami akan menjaga dengan penuh kewaspadaan agar jangan sampai ada yang dapat
mengganggu Sang Pangeran.”
Malam ini
amatlah sunyi di Kuil Hok-te-kong. Nampaknya saja sunyi, tetapi sebetulnya
semua hwesio dikerahkan untuk melakukan penjagaan, terutama sekali di sekitar
kamar di mana Pangeran tinggal. Dua orang hwesio tamu juga berjaga-jaga di
sekitar kamar itu dan melihat silat kedua orang ini, Ciong-hwesio bahkan
memberi tugas kepada mereka berdua untuk melakukan penculikan terhadap Sang
Pangeran itu dengan dalih untuk menyelamatkannya dan melarikannya ke luar kuil
di mana sudah menanti kuda di belakang kuil. Sedangkan hwesio-hwesio lain hanya
membantu Bu-taihiap, kalau-kalau pendekar itu akan kewalahan menghadapi pihak
lawan yang diperkirakan akan kuat sekali, apalagi melihat hadirnya Ngo-ok di
kota itu.
Anehnya,
yang tidak sunyi malah di dalam kamar Pangeran Kian Liong! Pangeran ini
menemukan kitab syair kuno di dalam kamar tamu itu, syair tulisan Li Po yang
termasyhur. Kini dengan suara merdu, dengan penuh perasaan Pangeran muda itu
membaca syair kuno dengan tenangnya, suaranya memecahkan kesunyian malam itu!
Sungguh aneh, kuil yang biasanya kalau malam selalu terdengar suara orang
membaca liam-keng (nyanyi pujaan keagamaan) diiringi ketukan kayu yang nyaring,
kini tidak terdengar, dan sebaliknya terdengar suara orang membaca sajak. Semua
orang berhati tegang, dan orang yang menjadi pusat perhatian dan ketegangan itu
malah enak-enak dengan tenangnya membaca sajak!
Akan tetapi,
kalau para hwesio itu sempat mengintai ke dalam kamar itu, tentu mereka akan
terkejut dan terheran-heran. Mereka telah mendapat perintah untuk berjaga tanpa
mengeluarkan suara, maka tidak ada seorang pun di antara mereka yang berani
pergi meninggalkan pos penjagaan, apalagi untuk mengintai kamar Pangeran yang
dijaga ketat itu.
Keadaan
inilah yang dimanfaatkan oleh kedua orang hwesio pendatang baru itu dan sungguh
perbuatan mereka amat luar biasa! Dengan gerakan amat hati-hati, seperti dua
bayangan setan saja, mereka itu menyelinap dan memasuki kamar Pangeran itu
melalui atas genteng di mana mereka memang bertugas jaga. Mereka sebagai orang
penting dalam urusan penculikan Pangeran ini memang berjaga di atas, sedangkan
semua hwesio lainnya disuruhnya berjaga di bawah.
Melihat
bayangan berkelebat dan tahu-tahu ada dua orang memasuki kamarnya, tentu saja
Sang Pangeran terkejut bukan main dan sebelum dia sempat mengeluarkan suara,
orang tinggi besar itu telah menekan pundaknya, membuat tubuhnya lemas dan dia
tidak mampu bersuara, sedangkan orang yang tubuhnya kecil terus menyambar kitab
syair kuno itu dan melanjutkan pembacaan sajak!
Pangeran
Kian Liong memandang bengong. Hwesio bertubuh kecil itu dapat membaca sajak itu
dengan suara yang walau tidak persis sekali, tapi mirip sekali dengan suaranya
sendiri, dan malah lebih lantang! Sementara itu, hwesio yang tinggi besar itu
sudah mendekatkan mulutnya kepada telinganya dan berbisik, membuat Pangeran itu
menjadi semakin terheran-heran.
“Tenanglah,
Pangeran.... Paduka terancam bahaya maut.... kami berdua datang untuk
menyelamatkan Paduka. Hwesio-hwesio itu hendak menculik Paduka, dan ada banyak
penjahat-penjahat hendak membunuh Paduka.... Hamba tak dapat bicara banyak,
akan tetapi harap Paduka menurut saja. Mengertikan dan percayakah Paduka kepada
kami?”
Biar pun
terbelalak dan terheran-heran memandang kepada dua orang hwesio aneh ini, namun
Pangeran Kian Liong yang sudah banyak mengalami hal aneh dan banyak bertemu
dengan orang-orang kang-ouw yang wataknya luar biasa, mengangguk. Tentu saja
dia percaya, karena kalau tidak percaya, mau apa lagi? Dua orang ini kalau
hendak berniat buruk, tentu tak akan banyak bicara lagi dan akan langsung saja
membunuhnya. Perlu apa mereka ini membohonginya?
“Bagus,”
kata atau bisik hwesio tinggi besar muka hitam itu dengan lirih, sedemikian
lirihnya sehingga tertutup sama sekali oleh suara rekannya yang membaca sajak
dengan suara Sang Pangeran dengan lantangnya itu, “Harap Paduka dengar
baik-baik. Teman hamba ini akan menyamar menjadi Paduka, dan Paduka akan dirias
agar berubah menjadi dia, paduka dan dia bertukar tempat, jadi yang diculik
nanti adalah dia, bukan Paduka. Selanjutnya Paduka ikut dan menurut saja semua
permintaan hamba. Mengertikah?”
Kembali Sang
Pangeran mengangguk dan tersenyum, karena dia mulai merasa tertarik dan gembira
menghadapi pengalaman baru yang aneh ini. Dan kini giliran kedua orang hwesio
itulah yang terheran-heran, juga kagum. Pangeran ini, dalam keadaan bahaya,
setelah diberi tahu akan keadaannya, malah tersenyum dan nampak gembira! Dan
terjadilah kini hal yang lebih aneh lagi. Setelah menerima bisikan Si Tinggi
Besar itu yang membebaskan totokannya, kini hwesio kecil itu menyerahkan kitab
syair kepada Pangeran dan atas isyarat hwesio tinggi besar, Pangeran itu
melanjutkan bacaan sajak hwesio bertubuh ramping itu dengan suara gembira dan
lantang!
Dan kini dia
melihat hal yang aneh. Hwesio bertubuh kecil itu meraba-raba kepalanya dan....
gundulnya tanggal dan di bawah topeng gundul itu nampak rambut seorang wanita
yang hitam halus! Kiranya hwesio bertubuh ramping yang amat pandai meniru
suaranya dan pandai membaca sajak itu adalah seorang wanita yang menyamar!
Pangeran ini
merasa semakin heran pada saat wanita itu meraba-raba mukanya dan kembali ada
topeng seperti kulit yang copot dari muka itu dan.... nampaklah wajah yang
kulitnya putih kemerahan, wajah seorang wanita cantik! Dan mata itu kini tidak
lagi juling!
Wanita itu
mendekatinya sambil berbisik, “Maaf, Pangeran!” dan mulailah wanita itu
mendadaninya.
Pangeran
Kian Liong hanya mencium bau harum keluar dari rambut wanita itu ketika wanita
itu memakaikan topeng kepala gundul dan wajah hwesio itu.
“Sayang....,”
kata wanita itu lirih, “Paduka tentu tidak dapat membuat mata Paduka
juling....”
Tanpa
menghentikan suara bacaan sajaknya, Pangeran Kian Liong lantas mencoba
menjulingkan matanya, dan wanita cantik itu tersenyum geli, nampak giginya yang
putih seperti mutiara.
“Lumayan
juga,” katanya, “Akan tetapi malam ini tak perlu Paduka menjulingkan mata,
hanya kalau perlu saja. Dan ada teman hamba ini yang akan melindungi Paduka.”
Tidak lama
kemudian, selesailah Pangeran itu didandani dan biar pun dalam keadaan
tergesa-gesa itu dia tidak persis sekali, namun memang mirip dengan hwesio
juling tadi!
“Sekarang
maafkan hamba, terpaksa hamba harus mengganti pakaian Paduka.”
Dan wanita
itu pun menanggalkan jubah hwesionya yang besar dan nampaklah bahwa di bawah
jubah itu dia memakai pakaian dalam wanita yang tipis sehingga nampak bentuk
tubuhnya yang padat dan menggairahkan. Pangeran Kian Liong bukan seorang yang
mata keranjang, akan tetapi dia pun seorang jujur, maka dia tidak membuang muka
melainkan memandang dengan sinar mata memancarkan kekaguman yang jujur tanpa
ada kekurang ajaran, membuat wanita itu menjadi merah kedua pipinya. Dengan
cepat wanita itu lalu membantu temannya menanggalkan pakaian luar Pangeran itu,
dan ia pun memakai pakaian Pangeran itu, juga topinya dan dari saku baju
dalamnya dikeluarkanlah sebuah kantong terisi bermacam-macam perabot untuk
menyamar.
Di depan
cermin yang terdapat di dalam kamar itu, dengan cekatan sekali wanita itu
melakukan sesuatu dengan mukanya, rambutnya dan.... ketika ia lalu menghadapi
Sang Pangeran, Pangeran Kian Liong hampir berseru saking kagetnya melihat
wajahnya pada wanita itu. Begitu serupa! Kini mereka berdua memakaikan jubah
hwesio itu pada Sang Pangeran dan kini mereka bertukar sepatu dan lengkaplah
sudah pertukaran itu!
“Cepat, ada
suara di luar....!” tiba-tiba Pangeran palsu itu berbisik. Temannya, hwesio
yang tinggi besar bermuka hitam itu mengangguk.
“Jangan
mengeluarkan suara, Pangeran,” kata Si Tinggi Besar dan tiba-tiba dia sudah
mengempit tubuh Pangeran yang sudah berubah menjadi hwesio itu, dibawa melayang
naik melalui genteng dan di lain saat mereka telah tiba di atas wuwungan,
mendekam di balik wuwungan.
Memang
terdengar suara orang di bagian depan, dan semua hwesio mendengar suara orang
bicara itu, tapi mereka, tanpa adanya perintah, tidak ada yang berani keluar,
melainkan menanti dengan hati penuh ketegangan.
“Ehh, ada
suara ribut apa di luar?” terdengar suara ‘pangeran’ itu dari dalam kamar.
Semua orang
terkejut, tidak ada yang menjawabnya dan tiba-tiba lilin di dalam kamar itu
dipadamkan. Mereka semua berlega hati. Agaknya Sang Pangeran merasa lelah dan
hendak tidur, pikir mereka.
Suara orang
bicara itu datang dari ruangan tengah kuil. Terdengar suara seorang pria
tertawa mengejek, suaranya lantang sekali. Itulah suara Bu Seng Kin, atau
Bu-taihiap yang memang telah berjaga-jaga dan begitu muncul bayangan lima orang
yang berkelebat cepat, dia pun meloncat keluar dari tempat persembunyiannya
bersama seorang wanita cantik yang bukan lain adalah Cui-beng Sian-li Tang Cun
Ciu, seorang di antara isteri-isterinya yang terlihai. Memang pendekar yang
maklum akan kehebatan lima orang Ngo-ok ini, telah mengajak isterinya yang
paling dapat diandalkan ini untuk membantunya.
“Ha-ha-ha,
sekarang lengkaplah sudah! Kelima orang Ngo-ok sudah berkumpul di sini!”
katanya sambil tertawa.
Memang
Bu-taihiap ini merupakan musuh lama dari Ngo-ok. Dahulu, saat dia merantau bersama
mendiang Sim Loan Ci, yaitu isterinya atau ibu kandung dari Ci Sian, dia pernah
bentrok dan dikeroyok oleh tiga orang di antara Ngo-ok, yaitu Twa-ok, Ji-ok dan
Sam-ok. Tiga orang pertama dari Ngo-ok itu memang lihai bukan main sehingga
dalam pertempuran itu, Sim Loan Ci yang sedang tidak sehat badannya terluka dan
terpaksa Bu-taihiap membawa lari isterinya, dikejar-kejar oleh tiga orang dari
Ngo-ok itu.
Dan
kemudian, baru-baru ini ketika Pangeran Kian Liong hendak dilarikan Su-ok dan
Ngo-ok, dua orang terakhir dari Im-kan Ngo-ok, Bu-taihiap mempermainkan mereka
berdua yang baru di jumpainya pada saat itu. Memang dahulu, ketika pertama
kalinya Bu-taihiap bertanding melawan tiga orang pertama dari Im-kan Ngo-ok,
dua orang terakhir ini tidak ada sehingga baru pertama kali itulah mereka
saling bertemu, walau pun tentu saja mereka sudah saling mengenal nama.
“Hemm,
kiranya orang she Bu masih hidup dan ikut menjaga di sini! Bagus, dengan
demikian kami dapat sekali tepuk....”
“He, orang
she Bu mata keranjang, engkau berganti isteri lagi?” Su-ok mengejek, “Ini
isteri barumu, ya? Eh, engkau memang pandai pilih perempuan, hemm, cantik juga
isteri barumu ini....”
“Tutup
mulutmu yang busuk!” wanita itu membentak dan tiba-tiba tubuhnya sudah mencelat
ke depan dan tangannya menampar ke arah muka Su-ok. Si Gendut Pendek ini
tertawa dan menangkis, memandang rendah.
“Duk!
Plakk....!“ Tubuhnya terpelanting dan mukanya bengkak terkena tamparan itu. Si
Gendut mengaduh-aduh dan merasa terkejut bukan main.
“Hi-hi-hik,
matamu sudah buta barangkali, Sute? Lihatlah baik-baik siapa wanita itu!
Lupakah kau kepada Cui-beng Sian-li Tang Cun Ciu dari Lembah Suling Emas?”
Ji-ok mengejek adik angkatnya yang ke empat.
Tadinya
Su-ok merasa penasaran dan malu sekali bahwa sekali gebrakan saja dia telah
kena ditampar oleh isteri baru Bu-taihiap itu. Kini dia memandang lebih jelas
dan dia pun mengenal wanita ini yang pernah dijumpainya, maka rasa penasaran di
hatinya agak berkurang, terganti oleh perasaan marah. Kalau tadi dia sampai kena
ditampar adalah karena dia tidak mengenal wanita itu dalam cahaya penerangan
yang tidak begitu terang dalam ruangan itu sehingga dia memandang rendah dan
tidak menjaga diri baik-baik. Dia tahu bahwa ilmu kepandaian Bu-taihiap memang
hebat dan dia bukan lawan pendekar itu, akan tetapi kalau hanya melawan
Cui-beng Sian-li ini, kiranya dia tidak akan kalah atau selisih antara tingkat
mareka tidak jauh.
“Su-ko, mari
kubantu engkau menangkap perempuan ini!” kata Ngo-ok dan Si Jangkung ini secara
tiba-tiba saja sudah berkelebat di depan wanita itu. Gerakannya demikian cepat
sehingga wanita dari Lembah Suling Emas itu merasa terkejut juga.
“Heh-heh,
Ngo-te, kau membantuku ataukah aku yang harus membantu engkau menangkap wanita
ini untuk kemudian kau perkosa? Ha-ha-ha!” kata Su-ok.
Mendengar
ucapan ini, Cui-beng Sian-li Tang Cun Ciu menjadi marah bukan main. Sambil
mengeluarkan teriakan nyaring ia sudah menerjang ke depan dan menyerang Su-ok
dengan pukulan tangan yang mengandung sinkang kuat sekali sehingga tangan itu
mengeluarkan suara bercuitan dan menjadi kuat tidak kalah dengan senjata baja.
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment