Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Bu Kek Siansu
Jilid 14
SUDAH terlalu lama kita meninggalkan Bu Swi Nio dan Lie Toan Ki, dua orang muda yang dipercaya oleh Swat Hong untuk menyelamatkan pusaka-pusaka Pulau Es. Benarkah dugaan Swat Hong bahwa mereka itu bertindak curang, mengangkangi sendiri pusaka-pusaka yang secara kebetulan terjatuh ketangan mereka itu? Sama sekali tidak demikian! Mari kita mengikuti perjalanan mereka semenjak mereka meninggalkan kota raja.
Malam hari
itu, mereka berhasil lolos keluar dari kota raja dan semalam suntuk terus
melarikan diri ke barat. Pada keesokan harinya, dengan tubuh lesu dan lelah,
mereka sudah tiba jauh dari kota raja. Selagi mereka hendak mengaso, tiba-tiba
terdengar derap kaki kuda dari belakang. Mereka terkejut dan cepat menyelinap
ke dalam semak-semak untuk bersembunyi.
Akan tetapi,
empat orang yang menunggu kuda itu sudah melihat mereka dan begitu tiba di
tempat itu, mereka meloncat turun, mencabut senjata dan seorang di antara
mereka berseru, "Dua orang pengkhianat rendah, keluarlah!"
Dari tempat
persembunyian mereka, Swi Nio dan Toan Ki mengenal empat orang itu. Mereka
adalah bekas-bekas teman mereka ketika masih membantu An Lu Shan dahulu di masa
‘perjuangan’. Karena mengenal mereka dan tahu bahwa mereka itu adalah
orang-orang kang-ouw yang dahulu juga membantu pemberontakan karena sakit hati
kepada kelaliman Kaisar, Swi Nio dan Toan Ki meloncat ke luar. Liem Toan Ki
tersenyum memandang kepada kakek berusia lima puluh tahun yang memimpin
rombongan empat orang itu.
Kakek ini
bernama Thio Sek Bi, murid dari seorang tokoh kang-ouw kenamaan, yaitu
Thian-tok Bhong Sek Bin! Ada pun tiga orang yang lain adalah orang-orang
kang-ouw yang agaknya tunduk kepada Thio Sek Bi ini, namun menurut pengetahuan
Toan Ki, kepandaian mereka tidaklah perlu dikhawatirkan. Hanya orang she Thio
ini lihai.
"Thio-twako,
kita sama mengerti bahwa perjuangan kita hanya untuk menghalau Kaisar lalim.
Urusan kami di istana The Kwat Lin sama sekali tidak ada hubungannya dengan
urusan perjuangan. Harap Toako tidak mencampuri urusan pribadi dan suka
mengalah, membiarkan kami pergi dengan aman."
"Ha-ha-ha-ha!
Liem Toan Ki, enak saja kau bicara! Setelah berhasil memperoleh pusaka-pusaka
keramat, mau lolos begitu saja dan melupakan teman! Kami berempat tentu akan
menerima uluran tanganmu yang bersahabat kalau saja persahabatan itu kau
buktikan dengan membagikan sebagian pusaka itu. Demikian banyaknya, buat apa
bagi kalian? Membagi sedikit kepada kawan, sudah sepatutnya, ha-ha!" Thio
Sek Bi berkata sambil menudingkan senjata toya ditangannya ke arah punggung
Toan Ki, di mana terdapat buntalan pusaka yang dititipkan kepadanya oleh Swat
Hong.
"Ya,
sebaiknya bagi rata, bagi rata antara teman sendiri, Saudara Liem Toan Ki dan
Nona Bu Swi Nio!" kata orang ke dua, sedangkan teman-temannya juga
mengangguk setuju.
Toan Ki
terkejut. Mengertilah dia bahwa tentu empat ini malam tadi ikut mengepung dan
mereka mendengar penitipan pusaka itu oleh Swat Hong, maka mereka lalu
diam-diam mengejar sampai di hutan ini.
"Hem, saudara-saudara.
Kalau kalian tahu bahwa ini adalah pusaka tentu kalian tahu pula bahwa ini
bukanlah milikku, dan aku hanya dititipi saja dan tidak berhak membagi-bagikan
kepada siapa pun juga."
“Ha-ha-ha!
Lagaknya! Siapa mau percaya omonganmu? Pusaka-pusaka dari Pulau Es yang hanya
dikenal di dunia kang-ouw sebagai dalam dongeng telah berada di tangan kalian
dan kalian benar-benar tidak menghendakinya? Bohong!" kata Thio Sek Bi
sambil tertawa mengejek.
“Bohong atau
tidak, apa yang dikatakan oleh Ki-koko adalah tepat! Kami tidak akan membagi
pusaka kepada kalian atau siapa pun juga. Habis kalian mau apa?!" Bu Swi
Nio membentak sambil mencabut pedangnya.
"Ha-ha,
wah lagaknya! Kalau begitu, pusaka itu akan kami rampas dan kalian berdua, mati
atau hidup, akan kami seret kembali ke kota raja!" kata Thio Sek Bi sambil
memutar toyanya, diikuti oleh tiga orang kawannya.
Swi Nio dan
Toan Ki menggerakkan senjata dan melawan dengan mati-matian.
Ilmu toya
yang dimainkan oleh Thio Sek Bi amat hebat dan aneh karena dia adalah murid
dari Thian-tok. Thian-tok (Racun langit) terkenal sebagai seorang ahli racun
dan sebagai pemuja tokoh dongeng Kauw-cee-thian Si Raja Monyet, maka yang
paling hebat di antara ilmu silatnya adalah ilmu silat toya panjang yang
disebut Kim-kauw-pang seperti senjata tokoh dongeng Kau-cee-thian sendiri!
Muridnya ini, biar pun senjatanya toya, namun dimainkan dengan gerakan yang
amat aneh dan sebentar saja Toan Ki sudah terdesak olehnya.
Namun Liem
Toan Ki adalah seorang murid Hoa-san-pai yang memiliki dasar ilmu yang bersih
dan kuat. Selain itu dia sudah mempunyai banyak pengalaman, bahkan tidak ada
yang tahu bahwa dia adalah murid Hoa-san-pai. Selain dia tidak pernah mengaku
karena takut membawa-bawa nama Hoa-san-pai dengan pemberontakan, juga ilmu
silatnya sudah dia campur dengan ilmu silat lain sehingga tidak kentara benar.
Dengan gerakan pedang yang indah dan cepat, dia dapat menjaga diri dari desakan
toya di tangan Thio Sek Bi.
Di lain
pihak, Swi Nio yang menghadapi pengeroyokan tiga orang itu tidak mengalami
banyak kesulitan. Wanita muda ini pernah digembleng oleh The Kwat Lin, sedikit
banyaknya telah mewarisi ilmu yang dahsyat dari wanita itu. Kini dikeroyok oleh
tiga orang lawan yang tingkatnya di bawah dia, tentu saja dia dengan mudah dapat
mempermainkan mereka. Terdengar Swi Nio mengeluarkan suara melengking
berturut-turut seperti yang biasa dikeluarkan oleh The Kwat Lin, dan tiga orang
lawannya roboh berturut-turut dengan terluka parah, tidak mampu melawan lagi.
Sambil melengking keras, Swi Nio meloncat dan membantu kekasihnya yang terdesak
oleh toya Thio Sek Bi.
"Cring!
Tranggggg.....!"
Swi Nio
terhuyung, akan tetapi Thio Sek Bi merasa betapa telapak tangannya panas. Liem
Toan Ki tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Dia menubruk maju dan memutar
pedangnya, kemudian dibantu oleh kekasihnya dia terus mendesak sehingga
permainan toya dari murid Thian-tok itu menjadi kacau. Akhirnya, tiga puluh
jurus kemudian, robohlah Thio Sek Bi, lengan kanannya terbacok dan terluka
parah, juga pundak kirinya terobek ujung pedang Swi Nio.
"Lekas...!
Kita pakai kuda mereka!" Liem Toan Ki berkata kepada kekasihnya.
Swi Nio
menyambar kendali dua ekor kuda terbaik, sedangkan Toan Ki lalu mencambuk dua
ekor kuda yang lain sehingga binatang-binatang itu kabur ketakutan. Kemudian
mereka meloncat ke atas punggung kuda rampasan itu dan membalapkan kuda
meninggalkan tempat itu.
"Mestinya
mereka itu dibunuh, akan tetapi aku tidak tega melakukannya," kata Toan
Ki.
"Benar,
belum tentu mereka itu jahat."
"Moi-moi,
berhenti dulu," tiba-tiba Toan Ki berkata.
Swi Nio
menahan kudanya dan melihat kekasihnya seperti orang bingung. "Ada
apakah?"
"Tidak
baik kalau kita menuruti permintaan Nona Han Swat Hong pergi ke Awan
Merah."
Bu Swi Nio
mengerutkan alisnya dan memandang kepada kekasihnya dengan penuh selidik.
Selama ini, dia selain mencinta, juga kagum dan percaya penuh kepada kekasihnya
yang dianggapnya seorang pria yang gagah perkasa dan patut dibanggakan. Akan
tetapi sekarang dia memandang penuh curiga, jangan-jangan kekasihnya juga
ketularan penyakit seperti empat orang tadi, menginginkan pusaka Pulau Es! Biar
pun dia sendiri belum pernah membuka-buka pusaka-pusaka itu, namun dia maklum
bahwa pusaka-pusaka Pulau Es yang berada di tangan gurunya adalah pusaka yang
tak ternilai harganya, benda keramat yang tentu mengandung ilmu-ilmu mukjijat!
"Kok,
apa... apa maksudmu?"
Mendengar
nada suara kekasihnya, Toan Ki mengangkat muka memandang. Mereka bertemu
pandang dan Toan Ki tersenyum, memegang tangan kekasihnya dan mencium tangan
itu. "Ihhh! kau berdosa padaku, memandang penuh curiga seperti itu!"
katanya tertawa. "Tidak, Moi-moi, tidak ada pikiran yang bukan-bukan di
dalam hatiku. Aku hanya teringat akan bahaya besar kalau kita ke Awan Merah.
Thio Sek Bi tadi adalah murid Thian-tok, sedangkan Thian-tok adalah suheng dari
Puncak Awan Merah di Tai-hang-san! Kalau murid dari sang suheng seperti Thio
Sek Bi tadi, apakah kita dapat mengharapkan sute akan lebih baik? Jangan-jangan
kita seperti ular-ular menghampiri penggebuk!"
"Sialan!
Kau samakan aku dengan ular? Koko, kalau begitu, bagaimana baiknya
sekarang?" Swi Nio menghentikan kelakarnya karena menjadi khawatir juga.
"Swi-moi,
tugas yang kita pikul bukanlah ringan. Apa lagi karena agaknya sudah banyak
yang tahu bahwa kita berdualah yang memegang pusaka-pusaka Pulau Es, maka
kurasa langkah-langkah kita tentu akan dibayangi orang-orang kang-ouw yang
ingin merampas Pusaka Pulau Es. Ke mana pun kita pergi, kita tentu akan dicari
oleh mereka."
Swi Nio
menjadi pucat. Baru dia sadar betapa berat dan berbahaya tugas mereka.
"Aihh, kalau begitu bagaimana baiknya?”
"Tidak
ada jalan lain kecuali berlindung ke Hoa-san. Aku akan minta bantuan
Hoa-san-pai agar suka menerima kita bersembunyi di sana dan menyembunyikan
pusaka di sana. Hanya Hoa-san-pai saja yang dapat kupercaya dan kiranya tidak
sembarangan orang berani main gila di Hoa-san-pai."
"Engkau
benar, Koko dan aku setuju sekali. Akan tetapi, bagaimana nanti kalau yang
mempunyai pusaka ini menyusul kita ke Puncak Awan Merah dan tidak mendapatkan
kita di sana?"
"Lebih
baik begitu dari-pada mendapatkan kita di sana tanpa pusaka lagi, atau
mendengar bahwa kita tewas dan pusaka dirampas orang! Sebagai orang-orang yang
sakti, tentu mereka akan dapat mencari kita atau menduga bahwa aku berlindung
ke Hoa-san-pai. Mari kita berangkat, Moi-moi, hatiku tidak enak sebelum kita
tiba di Hoa-san."
Demikianlah
dua orang itu lalu bergegas melanjutkan perjalanan ke Hoa-san. Setelah tanpa
halangan mereka tiba di bukit itu, Toan Ki mengajak kekasihnya langsung
menghadap ketua Hoa-san-pai yang terhitung twa-supeknya (uwak guru pertama)
sendiri yang tidak pernah dijumpainya. Setelah bertemu dengan Kong Thian-cu,
ketua Hoa-san-pai pada waktu itu, seorang kakek tinggi kurus yang bersikap
lemah lembut dan rambutnya sudah putih semua, serta merta kedua orang muda itu
menjatuhkan diri berlutut.
"Teecu
Liem Toan Ki menghaturkan hormat kepada Twa-supek," kata Toan Ki.
"Teecu
Bu Swi Nio menghaturkan hormat kepada Lo-cianpwe," kata Swi Nio penuh
hormat.
Kakek itu
mengangguk-angguk. "Duduklah dan bagaimana engkau dapat menyebut pinto
sebagai Twa-supek, orang muda?"
"Teecu
adalah murid dari Suhu Tan Kiat yang membuka perguruan silat di Kun-ming dan
menurut Suhu, katanya beliau adalah sute dari Twa-supek yang menjadi ketua di
Hoa-san-pai, sungguh pun Suhu berpesan agar teecu tidak menyebut-nyebut nama
Hoa-san-pai kepada siapa pun juga."
Kakek itu
kelihatan terkejut, lalu menarik napas panjang. Sambil mengelus jenggotnya dia
kembali mengangguk-angguk. "Tan-sute memang murid Suhu, akan tetapi sayang,
pernah dia membuat mendiang Suhu marah dan mengusirnya. Padahal bakatnya baik
sekali. Kiranya dia membuka perguruan silat? Dan dia pesan agar muridnya tidak
membawa nama Hoa-san-pai? Bagus, ternyata dia jantan juga. Di manakah dia
sekarang dan bagaimana keadaannya?"
"Suhu
telah tewas dalam keadaan penasaran, difitnah pembesar sebagai pemberontak dan
dijatuhi hukuman mati."
"Ahhh...!"
"Karena
itulah maka teecu sebagai muridnya yang juga menderita karena orang-tua teecu
juga menjadi korban keganasan pembesar pemerintah, lalu ikut berjuang bersama
An Lu Shan. Setelah berhasil teecu mengundurkan diri karena teecu tidak
menghendaki kedudukan apa-apa. Apa lagi melihat betapa An-goanswe menerima
bantuan orang-orang dari kaum sesat, maka teecu mengundurkan diri."
"Bagus,
baik sekali engkau mengambil keputusan itu. Biar pun engkau tidak menyebut nama
Hoa-san-pai, namun pinto akan ikut merasa menyesal kalau ada orang yang
mewarisi kepandaian Hoa-san-pai mempergunakan kepandaian itu untuk urusan
pemberontakan. Sekarang engkau bersama Nona ini datang menghadap pinto ada
keperluan apakah?"
"Teecu
datang untuk mohon pertolongan Twa-supek. Nona ini adalah tunangan teecu, dia
puteri dari mendiang Lu-san Lojin."
"Siancai...!
Lu-san Lojin sudah meninggal? Pinto pernah bertemu satu kali dengan ayahmu,
Nona. Seorang yang gagah perkasa!" Kemudian kakek ini menoleh kepada Liem
Toan Ki dan bertanya, "Pertolongan apakah yang kalian harapkan dari
pinto?"
Dengan terus
terang tanpa menyembunyikan sesuatu Liem Toan Ki lalu menceritakan tentang
penyerbuannya bersama para penghuni Pulau Es, betapa kemudian puteri Pulau Es
telah menitipkan Pusaka Pulau Es kepada mereka berdua, kemudian betapa mereka
dihadang orang jahat yang hendak merampas pusaka dan mereka mengambil keputusan
untuk bersembunyi di Hoa-san-pai.
Kakek itu
menjadi bengong mendengar penuturan panjang lebar itu. Beberapa kali memandang
ke arah buntalan di punggung Toan Ki dan memandang wajah mereka berdua seperti
orang yang kurang percaya. "Siancai... kalau tidak melihat wajah kalian
berdua yang agaknya bukan orang gila dan bukan pembohong, pinto sukar untuk
percaya bahwa kalian telah bertemu bahkan bertanding bahu-membahu dengan
orang-orang Pulau Es! Pinto kira bahwa nama Pulau Es hanya terdapat dalam
dongeng belaka."
"Karena
teecu yakin bahwa tentu orang-orang di dunia kang-ouw akan saling berebut untuk
merampas pusaka-pusaka ini, maka teecu berdua mengambil keputusan untuk
berlindung di Hoa-san-pai sampai yang berhak atas pusaka-pusaka itu datang
mengambilnya."
Sampai lama
kakek itu termenung dan menundukkan kepalanya, dipandang dengan hati gelisah
dan tegang oleh Toan Ki dan Swi Nio. Akhirnya kakek itu mengangkat mukanya
memandang dan berkata, suaranya bersungguh-sungguh. "Selamanya Hoa-san-pai
menjaga nama dan kehormatan sebagai partai orang-orang gagah. Entah berapa
banyak anak murid Hoa-san-pai tewas dalam mempertahankan kebenaran dan
keadilan, bahkan ada pula yang tewas tanpa pinto ketahui apa sebabnya dan di
mana tewasnya seperti Kee-san Ngo-hohan, lima orang murid pinto yang dahulu
bertugas melindungi Sin-tong...."
"Aihhh...!!"
tiba-tiba Swi Nio mengeluarkan teriakan tertahan dan ketika kakek itu memandang
kepadanya, dia cepat berkata, "Mendiang Subo adalah bekas ratu Pulau Es
yang menyeleweng dan bersekutu dengan Kiam-mo Cai-li Liok Si memberontak kepada
pemerintah. Pernah teecu mendengar penuturan Subo ketika menceritakan kelihaian
Kiam-mo Cai-li bahwa Kee-san Ngo-hohan terbunuh oleh Kiam-mo Cai-li itu."
Ketua
Hoa-san-pai itu kelihatan terkejut dan sinar matanya menjadi keras, "Hemm,
kiranya iblis betina itu yang membunuh murid-murid pinto...!”
"Akan
tetapi iblis itu telah tewas di tangan Nona Han Swat Hong, puteri Pulau Es yang
menitipkan pusaka kepada teecu berdua, Twa-supek," Toan Ki berkata.
Kakek itu
mengangguk-angguk dan mendengarkan penuturan mereka berdua tentang penyerbuan
hebat di kota raja, di dalam istana dari The Kwat Lin, bekas Ratu Pulau Es yang
minggat dan melarikan pusaka-pusaka Pulau Es itu.
"Kalau
begitu, sudah sepatutnya kalau Hoa-san-pai membantu para penghuni Pulau Es.
Kalian boleh tinggal di sini dan biarlah Hoa-san-pai yang melindungi kalian dan
pusaka-pusaka itu sampai yang berhak datang mengambilnya."
"Sebelumnya
teecu berdua menghaturkan banyak terima kasih atas kebijaksanan dan kemuliaan
hati Twasupek. Dan teecu ingin mengajukan permohonan ke dua...."
Kakek itu
tersenyum. "Permohonanmu yang paling hebat, menegangkan dan berbahaya
telah pinto terima dan urusan pusaka ini hanya kita bertiga saja yang
mengetahuinya, tidak boleh kalian bocorkan ke luar agar tidak menimbulkan
keributan. Sekarang, ada permohonan apa lagi yang hendak kau kemukakan?"
"Teecu...
mohon... karena teecu berdua sudah tidak mempunyai keluarga lagi, dan teecu
berdua sudah cukup lama bertunangan, maka... teecu mohon berkah dan doa restu
Twa-supek untuk menikah di sini." Toan Ki yang hidupnya sudah penuh dengan
segala macam pengalaman hebat itu, tidak urung tergagap ketika mengucapkan permintaan
ini, sedangkan Bu Swi Nio menundukkan mukanya yang menjadi merah sekali.
Kong
Thian-cu tertawa bergelak, lalu berkata, "Pernikahan adalah peristiwa yang
amat menggembirakan. Tentu saja pinto suka sekali memenuhi permintaan ini. Liem
Toan Ki, engkau adalah murid Hoa-san-pai pula, tentu saja engkau berhak untuk
menikah di sini, disaksikan oleh semua murid Hoa-san-pai yang berada di
sini."
Demikianlah,
pusaka-pusaka Pulau Es yang di rahasiakan itu disimpan oleh Kong Thian-cu
sendiri di dalam kamar pusaka yang tersembunyi, tidak ada anggota Hoa-san-pai
lain yang mengetahuinya. Sebulan kemudian diadakanlah perayaan sederhana namun
khidmat untuk melangsungkan upacara pernikahan antara Liem Toan Ki dan Bu Swi
Nio.
Pada malam
pertama pernikahan itu Bu Swi Nio menangis di atas dada suaminya, menangis
dengan penuh keharuan, kedukaan yang bercampur dengan kegembiraan. Dia
terkenang semua pengalamannya, kematian ayahnya dan kakaknya, mala-petaka yang
menimpa dirinya ketika dalam keadaan mabuk dan tidak ingat diri dia diperkosa
oleh Pangeran Tan Sin Ong. Dia memeluk suaminya dan berterima kasih sekali
karena dia dapat membayangkan bahwa kalau tidak ada pria yang kini menjadi
suaminya dengan syah dan terhormat ini tentu dia sudah membunuh diri dan andai
kata dalam keadaan hidup pun ia akan menderita aib dan terhina.
Sampai dua
tahun suami isteri yang saling mencinta dan berbahagia ini hidup di
Hoa-san-pai, menjadi anggota-anggota dan anak murid Hoa-san-pai yang tekun
berlatih dan rajin bekerja. Akan tetapi mereka gelisah sekali karena sampai
selama ini, Han Swat Hong atau lain tokoh Pulau Es tidak ada yang muncul,
bahkan gadis luar biasa dari Pulau Neraka, Ouw Soan Cu, juga tidak muncul.
Tentu saja hati mereka akan menjadi lebih lega dan bebas dari kekhawatiran
kalau saja pusaka-pusaka Pulau Es itu sudah diambil oleh yang berhak dan tidak
menjadi tanggung-jawab mereka.
Lebih hebat
lagi kegelisahan hati mereka ketika pada suatu hari ketua Hoa-san-pai, Kong
Thian-cu yang sudah tua itu, meninggal dunia karena sakit. Sebelum meninggal
dunia, Kong Thian-cu memberi-tahukan di mana dia menyembunyikan pusaka-pusaka
itu yang tidak diketahui orang lain. Setelah Kong Thian-cu meninggal dunia,
kedudukan Ketua Hoa-san-pai digantikan oleh seorang tokoh Hoa-san-pai lain,
terhitung sute dari Kong Thian-cu yang telah menjadi seorang tosu yang saleh,
berjuluk Pek Sim Tojin.
Ketua yang
baru ini pun tidak tahu akan rahasia Pusaka Pulau Es, sehingga kini rahasia
pusaka itu seluruhnya menjadi tangung jawab Liem Toan Ki dan isterinya. Biar
pun selama dua tahun itu tidak terjadi sesuatu, namun hati suami isteri ini
selalu merasa tidak tenteram. Bahkan mereka berdua sering-kali merundingkan
bagaimana baiknya. Hendak meninggalkan Hoa-san-pai dan mencari Swat Hong,
mereka tidak berani meninggalkan Hoa-san-pai di mana pusaka itu disimpan, juga
mereka tidak tahu ke mana harus mencari Han Swat Hong. Tinggal diam saja di
Hoa-san mereka merasa makin lama makin gelisah.
Selama itu,
tidak ada satu kali pun mereka berani memeriksa pusaka yang disimpan di tempat
yang amat rapat di kamar pusaka oleh mendiang Kong Thian-cu. Akhirnya mereka
terpaksa menahan diri, dan saling berjanji bahwa kalau setahun lagi pemilik
pusaka yang sah tidak muncul, mereka akan menghadap Pek Sim Tojin, menceritakan
dengan terus terang dan menyerahkan pusaka itu untuk dipelajari bersama
sehingga dengan demikian pusaka itu ada manfaatnya demi kemajuan dan kebaikan
Hoa-san-pai sendiri....
***************
"Suheng,
kita berhenti istirahat dulu di sini!" Swat Hong berkata.
Sin Liong
menoleh kepada dara itu. Ia tersenyum dan berkata, "Engkau lelah,
Sumoi?"
Swat Hong
mengangguk dan Sin Liong menghentikan langkahnya, lalu keduanya duduk di bawah
sebatang pohon besar di lereng bukit itu. Tempat perhentian mereka itu di tepi
jalan yang merupakan lorong setapak, di sebelah kiri terdapat dinding bukit, di
sebelah kanan jurang yang amat curam. Pemandangan di seberang jurang amatlah
indahnya, tamasya alam yang tergelar di bawah kaki mereka, sehelai permadani
hidup yang permai dengan segala macam warna berselang-seling, kelihatan kacau
namun menyedapkan pandangan karena di dalam kekacauan itu terdapat keselarasan
yang wajar.
Sawah ladang
bekas hasil tangan manusia berpetak-petak, digaris oleh sebatang sungai yang
berbelok-belok, dengan rumpun di sana-sini, diseling pohon-pohon besar yang
masih bertahan di antara perubahan yang dilakukan oleh tangan-tangan manusia.
Sebatang pohon yang daun-daunnya telah menguning dan banyak yang rontok,
kelihatan menyendiri dan menonjol di antara segala tumbuh-tumbuhan menghijau,
dan seolah-olah segala keindahan berpusat kepada pohon menguning hampir mati
itu.
Matahari
yang berada di atas kepala tidak menimbulkan bayangan-bayangan sehingga hari
tampak cerah sekali. Sinar matahari dengan langsung dan bebas menyinari bumi
dan segala yang berada di atasnya, terang menderang tidak ada gangguan awan. Di
dalam keheningan itu, Swat Hong dapat melihat ini semua. Ketika tanpa disengaja
tangannya yang digerakkan untuk menyeka keringat bertemu dengan lengan Sin
Liong, barulah dia sadar akan dirinya dan sekelilingnya. Dan dia terheran.
Semenjak dia
bertemu dengan suheng-nya dan melakukan perjalanan ini, sering-kali dia
tenggelam ke dalam keindahan yang amat luar biasa, yang sukar dia ceritakan
dengan kata-kata. Dia merasa tenteram, tenang dan penuh damai sungguh pun
suheng-nya jarang mengeluarkan kata-kata. Dia seperti merasa betapa diri
pribadi suheng-nya bersinar cahaya yang hangat dan aneh, terasa ada getaran
yang ajaib keluar dari pribadi suheng-nya yang mempengaruhinya dan mendatangkan
suatu perasaan yang menakjubkan, yang mengusir segala kekesalan, segala
kerisauan, dan segala kedukaan.
Sudah
beberapa kali dia ingin mengutarakan ini kepada suheng-nya, namun setiap kali
dia hendak bicara, mulutnya seperti dibungkamnya sendiri oleh keseganan yang
timbul dari perasaan halus dan lembut terhadap suheng-nya itu, sesuatu yang
belum pernah dirasakannya semula. Dia mencinta suheng-nya, ini sudah jelas.
Namun sekarang timbul perasaan lain yang lebih agung dari-pada sekedar cinta
biasa, perasaan yang membuat dia penuh damai.
"Suheng...,"
dia memberanikan hatinya berkata.
"Ya.....?"
Sin Liong mengangkat muka memandangnya sambil tersenyum. Senyumnya begitu
lembut penuh kasih, pandang matanya begitu bersinar penuh pengertian sehingga
Swat Hong merasa betapa seolah-olah sebelum dia bicara, suheng-nya itu telah
tahu apa yang terkandung di dalam hatinya! Inilah yang biasanya membuatnya
membungkam dan tidak dapat melanjutkan kata-katanya.
Kini dia
mengeraskan hati dan berkata dengan suara lirih, "Suheng, kita akan ke
manakah?"
"Ke
Hoa-san, sudah kuberi-tahukan kepadamu," jawabnya sederhana.
"Bagaimana
kau bisa tahu bahwa mereka berada di Hoa-san?"
Sin Liong
tersenyum, senyum cerah, secerah sinar matahari di saat itu, senyum yang bebas
dan wajar, tidak menyembunyikan sesuatu dan tanpa membawa sesuatu arti.
"Sumoi, pusaka itu kau berikan kepada Liem Toan Ki dan tunangannya, dan
karena Liem Toan Ki adalah murid Hoa-san-pai, maka tentu saja mereka berada di
Hoa-san."
Swat Hong
mengangguk-angguk, memang dia tahu bahwa Toan Ki adalah murid Hoa-san, akan
tetapi dia lupa bahwa dia tidak pernah menceritakan hal ini kepada suhengnya!
"Bagaimana kalau mereka tidak berada si sana, Suheng?"
Kembali
senyum itu, senyum seorang yang begitu pasti akan segala sesuatu, senyum penuh
pengertian, seperti senyum seorang tua yang melihat kenakalan anak-anak dan
maklum mengapa anak itu nakal! "Sumoi, apakah gunanya memikirkan hal-hal
yang belum terjadi? Membayangkan hal-hal yang belum terjadi adalah permainan
buruk dari pikiran, karena hal itu hanya akan menghasilkan kecemasan dan
kekhawatiran belaka. Apa yang akan terjadi kelak kita hadapi sebagaimana
mestinya kalau sudah terjadi di depan kita."
Swat Hong
tertarik sekali. "Apakah rasa cemas itu timbul dari pikiran yang
membayangkan masa depan, Suheng?"
"Agaknya
jelas demikian, bukan? Yang takut akan sakit tentulah dia yang belum terkena
penyakit itu, kalau sudah sakit, dia tidak takut lagi kepada sakit, melainkan
takut kepada kematian yang belum tiba. Perlukah hidup dicekam rasa takut dan
rasa kekhawatiran? Pikiran yang bertanggung-jawab atas timbulnya rasa takut.
Pikiran mengingat-ingat kesenangan di masa lalu, dan mengharapkan terulangnya
kesenangan itu di masa depan, maka timbullah kekhawatiran kalau-kalau
kesenangan itu tidak akan terulang. Pikiran mengenang penderitaan masa lalu dan
ingin menjauhinya, ingin agar di masa depan hal itu tidak terulang kembali maka
timbulah kekhawatiran kalau-kalau dia tertimpa penderitaan itu lagi!"
"Habis
bagaimana, Suheng?"
"Hiduplah
saat ini, curahkan seluruh perhatian, seluruh hati dan pikiran, untuk
menghadapi saat ini. Apa yang terjadi kepadamu di saat ini, bukan apa yang
boleh terjadi di masa depan, bukan pula mengenang apa yang telah terjadi di
masa lalu."
"Kalau
begitu kita menjadi tidak acuh dan bersikap masa bodoh...."
"Justru
biasanya kita bersikap masa bodoh dan tidak acuh, tidak menaruh perhatian yang
mendalam terhadap saat ini, karena seluruh perhatian kita sudah dihabiskan
untuk mengingat-ingat masa lalu dan untuk membayang-bayangkan masa depan dengan
seluruh pengharapannya, seluruh cita-citanya, seluruh nafsu keinginannya,
seluruh kesenangan dan kekecewaannya. Justeru kalau bebas dari masa lalu tidak
lagi ada bayangan masa depan dan kita hidup saat demi saat penuh perhatian, dan
ini barulah di namakan hidup sepenuhnya, hidup sempurna dan lengkap karena kita
menghayati hidup dengan penuh kewajaran, tidak terbuai dalam alam kenangan dan
harapan yang muluk-muluk namun sesungguhnya kosong belaka."
Sampai lama
hening di situ. Pengertian yang mendalam meresap di hati sanubari Swat Hong dan
di dalam keheningan itu tercakup seluruh alam mayapada.
"Suheng,
telah dua tahun pusaka itu berada di tangan mereka. Aku telah mencari ke
mana-mana, hanya ke Hoa-san-pai yang belum. Kurasa mereka itu tidak jujur, dan
agaknya tentu mereka telah menyembunyikan pusaka itu. Kalau tidak demikian
mengapa mereka tidak pergi menanti aku di Puncak Awan Merah seperti yang
kupesankan? Memang hati manusia tidak atau jarang sekali ada yang jujur. Sekali
saja melihat sesuatu yang dapat menguntungkan diri pribadi, maka terlupalah
semua pelajaran tentang kegagahan dan kebaikan. Aku ingin mencari dan menghajar
mereka itu!"
"Sumoi,
prasangka adalah satu di antara racun-racun yang merusak kehidupan kita.
Prasangka di lahirkan oleh pikiran yang mengada-ada, yang membayangkan sesuatu
yang direka-reka, yang timbul karena kekhawatiran. Prasangka adalah suatu
kebodohan yang menyiksa diri sendiri. Kalau kita sudah bertemu dengan mereka
dan sudah melihat keadaan yang sesungguhnya, apakah kegunaannya prasangka?
Prasangka dan sebagainya lenyap setelah kita membuka mata melihat kenyataan apa
adanya, dan sebelum itu, berprasangka berarti membiarkan pikiran mempermainkan
diri. Apakah kegunaannya bagi kehidupan kita?"
Kembali
hening. Swat Hong tak mampu menjawab karena dia dihadapkan dengan keadaan yang
nyata. Memang dia memikirkan hal-hal yang belum terjadi, maka timbullah
kekhawatiran, dan dari kekhawatiran ini timbulah prasangka yang bukan-bukan.
Yang salah dalam semua itu adalah pikiran!
Setelah
tubuh mereka beristirahat dengan cukup, keduanya lalu melanjutkan perjalanan
menuju ke Hoa-san. Makin lama Swat Hong makin mendapat kesan bahwa suheng-nya
benar-benar telah berubah, jauh bedanya dengan dahulu. Pada suatu hari, ketika
mereka tiba di kaki Pegunungan Hoa-san dan beristirahat, Swat Hong tidak dapat
menahan rasa keinginan-tahunya.
"Suheng,
setelah dua tahun berpisah denganmu dan berjumpa kembali, aku memperoleh
kenyataan bahwa engkau telah berubah sekali!" berkata Swat Hong.
"Begitukah,
Sumoi?"
"Aku
tidak tahu apanya yang berubah. Memang kelihatannya engkau masih biasa seperti
dulu, Suheng-ku yang sabar, tenang dan bijaksana. Akan tetapi entahlah, engkau
berubah benar, sungguh pun aku sendiri tidak dapat mengatakan apanya yang
berubah."
Sin Liong
tersenyum dan sinar matanya berseri. "Memang setiap manusia seyogianya
mengalami perubahan, Sumoi. Kita masing-masing haruslah berubah, tidak terikat
dengan masa lalu, dengan segala macam kebiasaan masa lalu, setiap hari, setiap
detik kita haruslah baru! Kalau demikian, barulah hidup ada artinya!"
Swat Hong
hendak berkata lagi, akan tetapi tiba-tiba Sin Liong memegang tangannya dan
mengajaknya bangkit berdiri, lalu perlahan-lahan melanjutkan perjalanan mulai
mendaki bukit pertama. Ketika Swat Hong hendak menanyakan sikap yang tiba-tiba
ini dari suheng-nya, dia mendengar suara orang dan tampaklah olehnya banyak
orang berbondong-bondong naik ke pegunungan Hoa-san, datangnya dari berbagai
penjuru. Mereka itu terdiri dari bermacam orang, dengan pakaian yang
bermacam-macam pula, namun jelas bahwa rata-rata memiliki gerakan yang ringan
dan tangkas dan mudah bagi Swat Hong untuk mengetahui bahwa mereka adalah
orang-orang kang-ouw!
Melihat
kenyataan bahwa tidak ada di antara mereka yang memperhatikan Sin Liong dan
Swat Hong, hanya memandang sepintas lalu saja seperti mereka itu saling
memandang, tahulah Swat Hong bahwa mereka itu bukan merupakan satu rombongan,
melainkan terdiri dari banyak rombongan sehingga tentu saja mereka mengira
bahwa dia dan suheng-nya adalah anggota rombongan lain. Hati Swat Hong diliputi
penuh pertanyaan. Siapakah mereka dan apa kehendak mereka itu? Apakah di puncak
Hoa-san terdapat perayaan dan mereka ini adalah para tamu yang berkujung ke
Hoa-san-pai?
Akan tetapi
melihat sikap suheng-nya diam dan tenang saja, Swat Hong merasa malu untuk
bertanya dan teringatlah dia akan kata-kata suheng-nya tentang permainan
pikiran yang membayangkan masa depan yang menimbulkan kekhawatiran belaka. Mau
tidak mau dia harus membenarkan karena kini dia merasakan sendiri. Biarlah dia
hadapi apa yang sedang terjadi sebagaimana mestinya dan sebagai apa adanya
tanpa merisaukan hal-hal yang belum terjadi!
Ketika
akhirnya mereka tiba di Puncak Hoa-san, di depan markas perkumpulan Hoa-san-pai
yang besar, Swat Hong menjadi terkejut. Di tempat itu ternyata tidak terdapat
perayaan apa-apa dan kini banyak tosu dan anggota Hoa-san-pai berkumpul dan
berdiri di ruangan depan yang tinggi, sedangkan di bawah anak tangga, di
halaman depan penuh dengan orang-orang kang-ouw yang bersikap menantang! Ketika
dia melirik ke arah suheng-nya, dia melihat Sin Liong bersikap masih biasa dan
tenang, dan suheng-nya ini pun memandang ke depan dengan perhatian sepenuhnya.
Maka dia pun lalu ikut memandang lagi ke sana.
Swat Hong
melihat seorang tosu berambut putih dengan tenang berdiri menghadapi para
orang-orang kang-ouw itu sambil menjura dengan sikap hormat, lalu berkata dengan
suara halus namun cukup nyaring, "Harap Cu-wi sekalian sudi memaafkan kami
yang tidak tahu akan kedatangan Cu-wi maka tidak mengadakan penyambutan
sebagaimana mestinya. Pinto melihat bahwa Cu-wi adalah tokoh-tokoh kang-ouw
dari bermacam golongan dan tingkat, dan pada hari ini berbondong datang
mengunjungi Hoa-san-pai, tidak tahu ada keperluan apakah?"
Swat Hong
memandang para orang kang-ouw itu dan di antaranya banyak tokoh aneh yang tidak
dikenalnya itu. Dengan heran dia melihat adanya Siangkoan Houw Tee-tok, tokoh
yang tinggal di Puncak Awan Merah di Tai-hang-san itu!
"Suheng,
itu Tee-tok berada pula di sini," bisiknya sambil menyentuh lengan
suheng-nya.
"Aku
sudah melihatnya," kata Sin Liong perlahan, "dan yang di sebelah sana
itu adalah Bhong Sek Bin yang berjuluk Thian-tok (Racun Langit). Bekas suheng
dari Tee-tok, dan itu adalah Thian-he Tee-it Ciang Ham Ketua Kang-jiu-pang di
Secuan. Yang di sana itu adalah Lam-hai Sengjin, tosu majikan Pulau Kura-kura
di Lam-hai...."
"Guru
Kwee-toako?"
Sin Liong
mengangguk. Swat Hong memandang penuh perhatian dan terheran-heran melihat
suheng-nya mengenal orang-orang yang memiliki julukan aneh-aneh itu. Thian-he
Tee-it berarti Di Kolong Langit Nomor Satu! Dan Lam-hai Sengjin berarti Manusia
dari Laut Selatan!
"Dan
itu adalah Gin-siauw Siucai (Pelajar Bersuling Perak), seorang pertapa di Bukit
Beng-san dan yang di ujung itu adalah seorang yang pernah menyerang Pulau
Neraka seperti yang pernah kuceritakan kepadamu, Sumoi. Dialah Tok-gan
Hai-liong (Naga Laut Mata Satu) Koan Sek, seorang bekas bajak laut."
"Wah,
begitu banyak orang pandai mendatangi Hoa-san-pai, ada apakah, Suheng?"
"Kita
melihat dan mendengarkan saja."
Sementara
itu, ucapan dan pertanyaan Ketua Hoa-san-pai tadi mendatangkan suasana berisik
ketika para pendatang yang jumlahnya ada lima puluhan orang itu saling bicara
sendiri tanpa ada yang menjawab langsung pertanyaan Ketua Hoa-san-pai. Agaknya
mereka itu merasa sungkan dan saling menanti, menyerahkan jawaban kepada orang
lain yang hadir di situ.
Betapa pun
juga, para tokoh kang-ouw itu merasa segan juga karena Hoa-san-pai terkenal
sebagai sebuah perkumpulan atau partai persilatan yang besar, yang selama ini
tidak pernah mencampuri urusan perebutan kekuasaan atau tidak pernah pula
mencampuri urusan kang-ouw yang tidak ada hubungannya dengan mereka.
Orang-orang Hoa-san-pai terkenal sebagai orang-orang gagah yang disegani di
dunia persilatan, maka tentu saja mereka itu diliputi perasaan sungkan.
Pek Sim
Tojin yang berambut putih dan bersikap tenang itu melihat seorang kakek tinggi
besar bermuka tengkorak yang menyeramkan maju ke depan, maka melihat bahwa
belum juga ada yang mau menjawab, dia lalu berkata ditujukan kepada kakek
tinggi besar bermuka tengkorak itu. "Kalau pinto tidak salah mengenal
orang, Sicu adalah Thian-tok Bhong Sek Bin. Sicu adalah seorang yang amat
terkenal di dunia kang-ouw dan mengingat bahwa kedatangan Sicu pasti mempunyai
kepentingan besar, maka pinto harap Sicu suka berterus terang mengatakan apa
keperluan itu."
Thian-tok
Bhong Sek Bin menyeringai penuh ejekan. "Ha-ha-ha, engkau benar, Totiang!
Aku adalah Bhong Sek Bin dan memang bukan percuma jauh-jauh aku datang
mengunjungi Hoa-san-pai. Tentang mereka semua ini aku tidak tahu, akan tetapi
kedatanganku adalah untuk bicara dengan dua orang yang bernama Liem Toan Ki dan
Bu Swi Nio. Suruh mereka berdua keluar bicara dengan aku dan aku tidak akan
membawa-bawa Hoa-san-pai!"
Ucapan ini
disambut oleh suara berisik lagi di antara para tamu, bahkan banyak kepala
dianggukan tanda setuju dan di sana-sini terdengar teriakan, "Suruh mereka
keluar!"
Pek Sim
Tojin mengerutkan alisnya dan mengelus jenggotnya yang putih. "Pinto tidak
menyangkal bahwa di antara anak murid Hoa-san-pai terdapat dua orang yang
bernama Liem Toan Ki dan isterinya bernama Bu Swi Nio. Akan tetapi, selama ini
mereka adalah murid-murid Hoa-san-pai yang tekun dan baik, bahkan tidak pernah
turun dari Hoa-san, tidak pernah melakukan keonaran di luar, apa lagi membuat
permusuhan dengan golongan mana pun. Kini Cu-wi sekalian berbondong datang,
agaknya bersatu tujuan untuk menemui mereka! Pinto sebagai ketua Hoa-san-pai
yang bertanggung-jawab atas semua sepak terjang murid-murid Hoa-san-pai, berhak
mengetahui apa yang terjadi antara Cu-wi dengan mereka!"
Hening
sejenak dan agaknya semua tamu kembali merasa sungkan dan ragu-ragu untuk
menjawab. Sementara itu, hati Swat Hong terasa tegang begitu mendengar nama
Liem Toan Ki dan Bu Swi Nio disebut-sebut. Dia menunjukan pandang matanya ke
atas ruangan depan, namun di antara para anggota Hoa-san-pai, dia tidak melihat
adanya kedua orang itu.
"Suheng...,
agaknya mereka benar berada di sini seperti yang Suheng duga...," bisik
Swat Hong dengan hati tegang.
Akan tetapi
suheng-nya memberi isyarat agar dia tenang saja. "Sumoi, aku berpesan,
kalau nanti terjadi apa-apa, kau serahkan saja kepadaku dan jangan kau ikut
turun tangan, ya!"
Dengan penuh
kepercayaan akan kemampuan suheng-nya, Swat Hong mengangguk akan tetapi hatinya
berdebar penuh ketegangan. Tidak salah lagi, pikirnya yang menduga-duga, tentu
orang-orang kang-ouw ini mencari Liem Toan Ki dan Bu Swi Nio berhubung dengan
Pusaka-pusaka Pulau Es itu! Kalau tidak demikian apa lagi?
Melihat
bahwa tidak ada orang yang menjawab pertanyaan Ketua Hoa-san-pai itu, Thian-he
Tee-it Ciang Ham yang datang bersama lima orang muridnya, mengacungkan ke atas
tombak di tangan kanannya dan berteriak. "Totiang, sebagai Ketua
Hoa-san-pai tentu saja kau berhak mengetahui sepak terjang muridmu, akan tetapi
kalau urusan ini tidak menyangkut Hoa-san-pai, bagaimana kami dapat bicara
denganmu? Ini adalah urusan pribadi, urusan Liem Toan Ki sendiri, maka suruh
dia keluar agar kami dapat bicara dengan dia! Kalau Totiang bersikeras, berarti
Hoa-san-pai akan mencampuri urusan pribadi!"
Berkerut
alis ketua Hoa-san-pai itu. Ucapan tadi, biar pun tidak secara langsung, sudah
merupakan tantangan dan hanya terserah kepada Hoa-san-pai untuk melayani
tantangan itu ataukah tidak. Maka dia tidak mau bertindak sembrono dan ingin
melihat dulu bagaimana duduk perkaranya. Ketua Hoa-san-pai ini memang belum
sempat diberi-tahu oleh Liem Toan Ki dan isterinya tentang pusaka Pulau Es itu.
"Supek,
biarlah teecu berdua yang menghadapi mereka!" tiba-tiba terdengar suara
orang, diikuti munculnya Liem Toan Ki dan isterinya dari dalam.
Mereka sudah
kelihatan mempersiapkan diri dengan senjata pedang di pinggang dan pakaian
ringkas. Wajah mereka agak pucat, namun sikap mereka gagah dan tidak jeri. Liem
Toan Ki meloncat ke depan, di atas ruangan depan itu berdampingan dengan
istrinya, menghadapi orang-orang kang-ouw itu sambil berkata, "Sayalah
Liem Toan Ki dan isteri saya Bu Swi Nio. Tidak tahu urusan apakah yang membawa
Cu-wi sekalian datang mencari kami di Hoa-san?"
Hiruk-pikuklah
para tamu itu setelah mereka melihat sepasang suami isteri muda muncul dari
dalam. Pertama-tama yang berteriak adalah Thian-tok Bhong Sek Bin, "Liem
Toan Ki dan Bu Swi Nio, kalian telah berani melukai muridku! Aku baru bisa
mengampuni kalian kalau kalian menyerahkan pusaka-pusaka yang kau bawa
itu!"
Liem Toan Ki
tersenyum. "Hemm, kami terpaksa melukai muridmu karena dia menyerang kami,
Lo-cianpwe. Pusaka apa yang Lo-cianpwe maksudkan?"
"Pura-pura
lagi, keparat! Pusaka Pulau Es!" teriak Thian-tok marah. "Serahkan
Pusaka Pulau Es kepada kami!"
"Kepada
kami!"
"Bagi-bagi
rata!"
"Dijadikan
sayembara!" Macam-macam lagi teriakan para tokoh kang-ouw itu.
Liem Toan Ki
mengangkat kedua lengannya ke atas. "Cu-wi sekalian, apa buktinya bahwa
kami berdua menyimpan Pusaka Pulau Es?"
"Orang
she Liem, kau masih berpura-pura lagi bertanya? Aku dan banyak orang melihat
betapa gadis Pulau Es itu menyerahkan pusaka itu kepadamu!" tiba-tiba
terdengar suara orang yang bukan lain adalah Thio Sek Bi, murid Thian-tok yang
pernah berusaha merampok pusaka itu.
Mendengar
ucapan ini dan melihat munculnya murid Thian-tok dan beberapa orang bekas
pengawal yang dulu ikut bertempur di istana The Kwat Lin, tahulah Toan Ki dan
Swi Nio bahwa menyangkal tidak akan ada gunanya lagi.
"Kita
harus mempertahankan mati-matian," bisik Swi Nio kepada suaminya yang
mengangguk.
Liem Toan Ki
berkata lagi dengan suara lantang, "Cu-wi sekalian! Kami berdua tidak
menyangkal lagi bahwa memang kami telah dititipi pusaka oleh Nona Han Swat
Hong, dua tahun yang lalu. Akan tetapi, kami tidak akan menyerahkan pusaka itu
kepada siapa pun juga kecuali kepada yang berhak, yaitu Nona Han Swat
Hong!"
Teriakan-teriakan
hiruk-pikuk menyambut ucapan lantang ini.
"Kalau
begitu, kalian akan menjadi tawananku!" Thian-tok membentak marah sambil
melangkah ke depan, akan tetapi gerakannya ini segera diikuti oleh banyak orang
dan jelas bahwa mereka hendak memperebutkan Liem Toan Ki dan istrinya agar
menjadi orang tawanan mereka, tentu untuk dipaksa menyerahkan pusaka!
"Siancai...
harap Cu-wi bersabar dulu...!" tiba-tiba dengan suara yang halus namun berpengaruh,
ketua Hoa-san-pai berkata sambil mengangkat kedua tangan ke atas, "Biarkan
pinto bicara dulu!"
"Totiang,
kau hendak bicara apa lagi?" Thian-tok membentak marah, alisnya berdiri
dan matanya melotot.
"Pinto
mengaku bahwa urusan pusaka Pulau Es itu sama sekali tidak ada sangkut pautnya
dengan Hoa-sanpai dan Hoa-san-pai pun tidak mengetahuinya. Maka sebagai ketua
Hoa-san-pai, pinto hendak bertanya dulu kepada murid Liem Toan Ki. Ini adalah
urusan dalam dari Hoa-san-pai, kiranya Cu-wi tidak akan mencampurinya!"
Terdengar
teriakan-teriakan, "Silakan! Silakan, tapi cepat dan serahkan mereka
kepada kami!"
Pek Sim
Tojin lalu menghadapi Liem Toan Ki dan bertanya, "Toan Ki, apa artinya ini
semua? Benarkah kalian menyembunyikan Pusaka Pulau Es di Hoa-san-pai?"
Liem Toan Ki
dan Bu Swi Nio segera menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Ketua Hoa-san-pai
itu. Liem Toan Ki segera berkata, "Harap Supek mengampunkan teecu berdua.
Adalah mendiang Twa-supek yang mengijinkan teecu berdua dan beliau yang
melarang teecu berdua menceritakan kepada siapa pun juga, bahkan beliau yang
membantu teecu berdua dalam hal ini. Karena sekarang mereka telah mengetahuinya
dan hendak menggunakan paksaan, biarlah teecu berdua menghadapinya sendiri
tanpa membawa-bawa Hoa-san-pai."
Setelah
berkata demikian, Toan Ki dan Bu Swi Nio meloncat bangun, mencabut pedang dan
berkatalah Toan Ki dengan suara lantang, "Haiiii, kaum kang-ouw dengarlah!
Urusan ini adalah urusan kami berdua suami isteri, bukan sebagai murid
Hoa-san-pai. Maka kalau kalian begitu tidak tahu malu hendak merampas Pusaka
Pulau Es, biar kami menghadapi kalian sampai titik darah penghabisan!"
"Keparat,
aku tidak membiarkan kau mapus sebelum kalian menyerahkan pusaka itu."
Thian-tok membentak.
"Tahan!"
tiba-tiba Pek Sim Tojin membentak dan sikapnya angker sekali. "Cu-wi
sekalian sungguh terlalu, memperebutkan pusaka milik orang lain dan sama sekali
tidak memandang mata kepada Hoa-sanpai, hendak membikin ribut di sini. Siapa
saja tidak akan pinto ijinkan untuk menggunakan kekerasan di Hoa-san-pai!"
"Tepat
sekali! Aku Tee-tok Siangkoan Houw pun bukan seorang yang tak tahu malu! Aku
tidak akan membolehkan siapa pun menjamah Pusaka Pulau Es yang menjadi milik
Nona Han Swat Hong!" tiba-tiba tokoh Tai-hang-san yang tinggi besar itu
sudah melompat ke atas ruangan luar dan mendampingi Toan Ki dan Swi Nio dengan
sikap gagah!
"Ha-ha-ha,
itu baru namanya laki-laki sejati! Tee-tok, kau membikin aku merasa malu saja!
Aku pun tua bangka yang tidak berguna mana ingin memperebutkan pusaka orang
lain? Aku pun tidak membiarkan siapa pun memperebutkan pusaka itu!"
Lam-hai Sengjin, guru Kwee Lun, tosu yang bersikap halus dengan tangan kiri
memegang kipas dan tangan kanan memegang hudtim (kebutan pertapa), telah
melangkah ke ruangan depan mendampingi Tee-tok.
"Masih
ada aku yang menentang orang-orang kang-ouw yang tak tahu malu hendak merampas
pusaka lain orang!" tampak bayangan berkelebat disertai suara halus
melengking dan di ruang depan itu nampak Gin-siauw Siucai Si Sastrawan yang
bersenjata suling perak dan mauwpit!
Melihat ini
Thian-tok tertawa bergelak dengan hati penuh kemarahan, apa lagi melihat bekas
sute-nya, Tee-tok, memelopori lebih dulu membela Hoa-san-pai dan murid
Hoa-san-pai yang membawa Pusaka Pulau Es yang amat dikehendakinya.
"Ha-ha-ha! Kalian pura-pura menjadi pendekar budiman? Hendak kulihat
sampai di mana kepandaian kalian!"
Thian-tok
sudah lari ke depan, diikuti oleh banyak tokoh kang-ouw lagi dan dapat
dibayangkan betapa tentu sebentar lagi akan terjadi perang kecil yang amat
hebat antara para anggota Hoa-san-pai dibantu oleh tiga tokoh kang-ouw itu
melawan para orang kang-ouw yang memperebutkan pusaka.
"Tahan...!"
Seruan ini halus dan ramah, tidak mengandung kekerasan sedikit pun, akan tetapi
anehnya, semua orang merasa ada getaran yang membuat mereka menghentikan
gerakan mereka mencabut senjata dan kini semua mata memandang ke arah ruangan
depan itu karena tadi ada berkelebat dua sosok bayangan orang ke arah situ.
Ternyata Sin
Liong dan Swat Hong telah berdiri di ruangan depan markas Hoa-san-pai. Dengan
sikap tenang sekali Sin Liong menghadapi semua orang, terutama sekali memandang
tokoh-tokoh besar dunia persilatan yang hadir, dan yang semua memandang
kepadanya dengan mata terbelalak.
Terdengar
kemudian pemuda ini berkata, "Cu-wi Lo-cianpwe mengapa sejak dahulu sampai
sekarang gemar sekali memperebutkan sesuatu?"
Thiantok
Bhong Sek Bin yang berwatak kasar memandang dengan terbelalak, demikian pula
Thian-he Tee-it Ciang Ham, Lam-hai Sengjin, Gin-siauw Siucai dan para tokoh
lain yang belasan tahun lalu pernah hendak memperebutkan bocah ajaib, Sin-tong
yang bukan lain adalah Sin Liong sendiri. Mereka merasa kenal dengan pemuda
ini, akan tetapi lupa lagi.
"Ka...
kau siapakah...?" akhirnya Thian-tok bertanya.
"Ha-ha-ha,
kalian lupa lagi siapa dia ini?" tiba-tiba Tee-tok Siangkoan Houw berseru
keras. Hatinya girang dan lega bukan main bahwa dia tadi tidak ragu-ragu
melindungi Pusaka Pulau Es. Melihat munculnya pemuda yang dia tahu memiliki
kelihaian yang luar biasa itu, dia girang sekali. "Coba lihat dengan
baik-baik, belasan tahun yang lalu di lereng pegunungan Jeng-hoa-san kalian
juga memperebutkan sesuatu. Siapa dia?"
"Sin-tong...!"
"Bocah
ajaib.....!!"
Teringatlah
mereka semua dan kini memandang Sin Liong dengan mata terbelalak.
"Mau
apa kau datang ke sini?" Thian-tok bertanya dengan suara agak berkurang
galaknya.
Sin Liong
sudah menjura kepada Ketua Hoa-san-pai, kepada Tee-tok dan lain tokoh yang tadi
membela Hoa-san-pai, diikuti oleh Swat Hong. Kemudian Swat Hong berkata kepada
Toan Ki dan Swi Nio, "Terima kasih kami haturkan kepada Ji-wi (Kalian
Berdua) yang ternyata adalah orang-orang gagah yang pantas dipuji dan dikagumi
kesetiaan dan kegagahannya. Sekarang saya harap Ji-wi suka mengembalikan
pusaka-pusaka itu kepadaku."
Toan Ki dan
Swi Nio menjura dan Toan Ki menjawab, "Harap Lihiap suka menanti
sebentar."
Kemudian
pergilah dia bersama Swi Nio ke sebelah dalam, diikuti pandang mata ketua
Hoa-sanpai yang menjadi terheran-heran.
"Mau
apa kalian dua orang muda datang ke sini?" kembali Thian-tok bertanya.
"Harap
Lo-cianpwe ketahui bahwa kami berdua adalah penghuni Pulau Es yang datang untuk
mengambil kembali pusaka Pulau Es. Pusaka itu adalah milik Pulau Es dan harus
dikembalikan ke sana."
"Penghuni
Pulau Es...??!"
Suara ini
bukan hanya keluar dari mulut para tamu, tetapi juga dari pihak Hoa-san-pai dan
mereka yang membelanya, kecuali Tee-tok Siangkoan Houw yang sudah tahu akan
keadaan pemuda dan pemudi itu. Tak lama kemudian muncullah Toan Ki dan Swi Nio.
Toan Ki
membawa bungkusan yang dulu dia terima dari Swat Hong, lalu menyerahkan
bungkusan itu kepada Swat Hong sambil menjura dan berkata, "Dengan ini
kami mengembalikan pusaka yang Lihiap titipkan kepada kami dengan hati
lega!" Memang hatinya lega dan girang sekali dapat terlepas dari
tanggung-jawab yang amat berat itu.
Swat Hong
membuka dan meneliti pusaka-pusaka itu. Melihat bahwa pusaka itu masih lengkap,
dia makin kagum. "Suheng tidak pantas kalau kita tidak membalas budi mereka
ini."
Sin Liong
tersenyum, mengangguk, kemudian matanya beralih kepada Thian-tok dan lain tamu
yang masih memandang dengan bengong dan kini dari mata mereka itu terpancar
ketegangan dan keinginan besar. Setelah pusaka Pulau Es yang terkenal itu tampak
di depan mata, mana mungkin mereka mundur begitu saja tanpa usaha untuk
mendapatkannya?
Sin Liong
kemudian berkata, "Cu-wi Lo-cianpwe jauh-jauh datang ke sini, harap suka
memaklumi bahwa pusaka-pusaka ini telah kembali ke pemiliknya dan akan
dikembalikan ke Pulau Es. Maka kami berdua mengharap sudilah Cu-wi tidak
mengganggu lagi Hoa-san-pai dan suka meninggalkan tempat ini."
"Kami
harus mendapatkan pusaka itu!"
"Kami
juga!"
"Kami
minta bagian!"
Teriakan-teriakan
itu terdengar riuh rendah.
Sin Liong lalu
berkata lagi dengan halus, "Kami berdua akan berada di sini selama tiga
hari, kemudian kami akan meninggalkan Hoa-san-pai. Kalau kita tidak berada di
sini, masih belum terlambat bagi kita untuk bicara lagi tentang pusaka. Amatlah
tidak baik bagi nama Cu-wi Lo-cianpwe kalau mengganggu Hoa-san-pai yang sama
sekali tidak tahu-menahu tentang hal ini. Nanti kalau kami sudah meninggalkan
Hoa-san-pai, boleh kita bicara lagi."
Melihat
sikap orang-orang Hoa-san-pai, dan sekarang sudah jelas bahwa pusaka itu berada
di tangan Sin-tong dan dara muda itu, Thian-tok lalu mendengus dan berkata,
"Baik, kami menanti di bawah bukit. Kalian berdua tidak akan dapat terbang
berlalu."
Pergilah
mereka itu meninggalkan Hoa-san-pai. Akan tetapi semua orang tahu belaka bahwa
mereka tentu akan mengurung tempat itu dan tidak akan membiarkan Sin Liong dan
Swat Hong lolos dari situ membawa pergi pusaka-pusaka Pulau Es yang amat mereka
inginkan itu.
Sin Liong
lalu menjura kepada ketua Hoa-san-pai, para tokoh Hoa-san-pai, Toan Ki dan Swi
Nio, juga kepada Tee-tok dan mereka yang tadi membela Hoa-san-pai, kemudian
berkata, "Terutama kepada Saudara Liem Toan Ki dan Nyonya, sudah
sepantasnya kalau kami meninggalkan sedikit ilmu untuk Jiwi pelajari. Dan
kepada para Lo-cianpwe, kiranya akan ada manfaatnya kalau saya melayani para
Lo-cianpwe main-main sedikit untuk memperluas pengetahuan ilmu silat."
Semua orang
menjadi ragu-ragu karena tidak tahu akan maksud hati pemuda yang aneh itu, akan
tetapi Tee-tok Siangkoan Houw sudah tertawa bergelak lalu meloncat ke halaman
depan. "Marilah, ingin aku tua bangka ini memperdalam sedikit
kepandaianku!"
Sin Liong
tersenyum, lalu melangkah perlahan ke pekarangan. "Silakan Siangkoan
Lo-cianpwe menggunakan Pek-liu-kun (Ilmu Silat Tangan Geledek)!" katanya
tenang. "Harap Lo-cianpwe jangan sungkan dan keluarkanlah jurus-jurus
simpanan dari Pek-liu-kun!"
Tee-tok
sudah maklum akan kehebatan pemuda ini. Setelah dua tahun tidak jumpa, kini
sikap pemuda ini luar biasa sekali, bahkan dengan kata-kata biasa saja pemuda
itu sudah mengundurkan semua orang yang tadi sudah bersitegang hendak
menggunakan kekerasan. Dia dapat menduga bahwa bukanlah percuma pemuda ini
mengajak dia berlatih silat, tentu ada niat-niat tertentu. Karena dia merasa
bahwa dia tidak mempunyai maksud jahat dan tadi membela pusaka Pulau Es dengan
sungguh hati, dia kini pun tanpa ragu-ragu lagi lalu mengeluarkan gerengan
keras dan tubuhnya berkelebat ke depan. Dengan sepenuh tenaga dan perhatiannya,
dia menyerang pemuda itu dengan jurus-jurus simpanan dari Ilmu Silat
Pek-lui-kun yang dahsyat.
"Haiiittt...
eihhh..?!"
Bukan main
heran dan kagetnya ketika ia melihat pemuda itu menghadapi dengan
gerakan-gerakan yang sama! Tiap jurus yang dimainkannya, dihadapi oleh Sin
Liong dengan jurus yang sama pula dan dipakai sebagai serangan balasan namun
dengan cara yang sedemikian hebatnya sehingga jurus yang dimainkannya itu tidak
ada artinya lagi! Jurus yang dimainkan oleh pemuda itu untuk menghadapinya jauh
lebih ampuh, dan sekaligus menutup semua kelemahan yang ada, menambah daya
serang yang amat hebat sehingga dalam jurus pertama saja, kalau pemuda itu
menghendaki, tentu dia sudah dirobohkan sungguh pun dia sudah hafal benar akan
jurusnya sendiri itu!
Bukan main
girang hati kakek itu. Dia terus menyerang lagi dengan jurus lain, dan tanpa
sisa dia menggunakan delapan belas jurus terampuh dari Pek-lui-kun dan yang
kesemuanya selain dapat dihindarkan dengan baik oleh Sin Liong, juga telah
dengan sekaligus ‘diperbaiki’ dengan sempurna. Semua gerakan ini dicatat oleh
Tee-tok dan setelah dia selesai mainkan delapan belas jurus pilihan itu, dia
melangkah mundur dan menjura sangat dalam ke arah Sin Liong.
"Astaga...
kepandaian Taihiap seperti dewa saja.... Saya... saya menghaturkan banyak
terima kasih atas petunjuk Taihiap....." katanya agak tergagap.
"Ah,
Lo-cianpwe terlalu merendah," jawab Sin Liong.
Tee-tok lalu
menjura ke arah ketua Hoa-san-pai dan yang lain-lain, seketika pamit dan pergi
dengan langkah lebar dan wajah termenung karena dia masih terpesona dan
mengingat-ingat gerakan-gerakan baru yang menyempurnakan delapan belas jurus
pilihannya tadi!
Lam-hai
Sengjin bukan seorang bodoh. Dia adalah seorang tokoh kawakan yang berilmu
tinggi. Melihat peristiwa tadi, tahulah dia bahwa pemuda ini memang bukan orang
sembarangan dan agaknya telah mewarisi ilmu mukjijat yang kabarnya dimiliki
oleh penghuni Pulau Es. Maka dia tidak mau menyia-nyiakan kesempatan itu dan
dia sudah meloncat maju dengan senjata hudtim dan kipasnya.
"Orang
muda yang hebat, kau berilah petunjuk kepadaku!"
"Totiang,
muridmu Kwee Lun Toako adalah sahabat baik kami, harap Totiang sudi mengajarnya
baik-baik," jawab Sin Liong dan dia pun segera menghadapi serangan kipas
dan hudtim dengan kedua tangannya.
Biar pun dia
tidak menggunakan kedua senjata itu, namun kedua tangannya digerakkan seperti
kedua senjata itu, dan dia pun mainkan jurus-jurus yang sama, namun gerakannya
jauh lebih hebat, bahkan sempurna. Seperti juga tadi, kakek ini memperhatikan
dan dia telah menghafal dua puluh jurus campuran ilmu hudtim dan kipas.
"Terima
kasih, terima kasih.... Siancai, pengalaman ini takkan kulupakan
selamanya."
Dia menjura
kepada yang lain lalu berlari pergi.
"Totiang,
sampaikan salamku kepada Kwee-toako!" seru Swat Hong, akan tetapi kakek
itu hanya mengangguk tanpa menoleh karena dia pun sedang mengingat-ingat semua
jurus tadi agar tidak sampai lupa.
Berturut-turut
Gin-siauw Siucai juga menerima petunjuk ilmu silat suling perak dan
mauwpit-nya, kemudian ketua Hoa-san-pai juga menerima petunjuk ilmu pedang
Hoa-san Kiam-sut.
Para tokoh
kang-ouw yang mengurung tempat itu di lereng puncak, terheran-heran melihat tiga
orang tokoh itu meninggalkan puncak seperti orang yang termenung. Akan tetapi
diam-diam mereka menjadi girang karena tiga orang lihai itu tidak membantu atau
mengawal muda-mudi Pulau Es yang mereka hadang.
Tiga hari
lamanya Sin Liong dan Swat Hong tinggal di Hoa-san, setiap hari menurunkan
ilmu-ilmu tinggi kepada Toan Ki dan Swi Nio sehingga kedua orang suami isteri
ini kelak akan menjadi tokoh-tokoh kenamaan dan mengangkat nama Hoa-san-pai
sebagai partai persilatan yang besar dan lihai. Pada hari ke empatnya,
pagi-pagi mereka meninggalkan markas Hoa-san-pai, diantar sampai ke pintu
gerbang oleh ketua Hoa-san-pai, Toan Ki, Swi Nio dan para pimpinan Hoa-san-pai.
"Taihiap,
Lihiap, pinto khawatir Jiwi akan mengalami gangguan di jalan. Menurut laporan
para anak murid pinto, orang-orang kang-ouw itu masih menanti di lereng
gunung," Pek Sim Tojin berkata dengan alis berkerut. "Bagaimana kalau
kami mengantar Ji-wi sampai melewati mereka dengan selamat?"
Sin Liong
tersenyum. "Terima kasih, Lo-cianpwe. Akan tetapi, menghindari mereka
berarti membuat mereka terus merasa penasaran. Sebaliknya malah kalau kami
berdua menemui mereka dan membereskan persoalan seketika juga."
Toan Ki dan
Swi Nio yang selama tiga hari menerima petunjuk dari Sin Liong, telah menaruh
kepercayaan penuh akan kesaktian pemuda Pulau Es ini, maka mereka tidak merasa
khawatir. Mereka maklum bahwa pemuda dan gadis dari Pulau Es itu bukanlah
manusia sembarangan, apa lagi pemuda itu memiliki wibawa yang tidak lumrah
manusia. Gerak-geriknya demikian penuh kelembutan, penuh belas kasih sehingga
tidaklah mungkin dapat terjadi sesuatu yang buruk menimpa seorang manusia
seperti ini!
Memang benar
seperti yang dilaporkan oleh anak buah Hoa-san-pai bahwa para tokoh kang-ouw
itu masih menghadang di lereng puncak, dipelopori oleh Thian-tok. Thian-tok
yang tadinya mengandalkan kepandaiannya sendiri, setelah menyaksikan betapa
pemuda dan dara Pulau Es itu telah mendapatkan kembali pusaka-pusakanya,
diam-diam telah mengajak semua tokoh lain bersekutu dengan janji bahwa kalau
pusaka dapat dirampas, dia akan memberi bagian kepada mereka semua. Terutama
yang menjadi pembantunya sebagai orang ke dua adalah Thian-he Tee-it Ciang Ham
yang tingkat kepandaiannya hanya berselisih atau kalah sedikit saja
dibandingkan dengan kepandaian Racun Langit itu.
Maka ketika
Sin Liong yang membawa pusaka di punggungnya bersama Swat Hong berjalan
perlahan dan tenang melalui tempat itu, segera para tokoh kang-ouw itu muncul
dan telah mengurung dua orang muda itu dengan ketat, mempersiapkan senjata
masing-masing dengan sikap mengancam.
Sin Liong
menggeleng-gelengkan kepala. "Hal itu tidak bisa dilakukan, Cu-wi
Lo-cianpwe. Pusaka-pusaka ini adalah milik Pulau Es turun-temurun, mana mungkin
sekarang diserahkan kepada orang lain? Setelah kami berdua berhasil
menemukannya kembali, kami harus mengembalikannya kepada Pulau Es, tempatnya
semula. Maka harap Cu-wi suka memaklumi hal ini dan tidak memaksa kepada
kami."
"Orang
muda yang keras kepala! Kalau kami memaksa, bagaimana?"
"Terserah
kepada Cu-wi sekalian. Sumoi, harap Sumoi suka pergi dulu ke pinggir, jangan
menghalangi para Lo-cianpwe ini."
Swat Hong
mengangguk dan tersenyum, kemudian tubuhnya berkelebat dan terkejutlah semua
orang kang-ouw itu ketika melihat gadis itu meloncat seperti terbang saja,
melayang melalui kepala mereka dan kini telah berdiri di luar kepungan! Sungguh
merupakan bukti kepandaian ginkang (Ilmu meringankan tubuh) yang amat hebat!
Sin Liong
sengaja menyuruh sumoi-nya pergi keluar dari kepungan karena tidak menghendaki
sumoi-nya itu naik darah dan turun tangan menggunakan kekerasan terhadap
orang-orang kang-ouw ini. Setelah kini melihat sumoi-nya keluar dari kepungan,
dia lalu menyilangkan kedua lengannya di depan dada, berkata, "Silakan
kepada Cu-wi apa yang hendak Cu-wi lakukan setelah jelas kukatakan bahwa Pusaka
Pulau Es tidak akan kuberikan kepada Cu-wi."
Melihat
sikap tenang dan penuh tantangan ini, para tokoh kang-ouw menjadi marah juga.
Pemuda itu tidak memegang senjata, berdiri dalam kepungan dan pusaka itu berada
di dalam buntalan yang berada di punggungnya. Maka serentak orang-orang
kang-ouw yang sudah mengilar dan ingin sekali merampas pusaka itu menerjang
maju dan berebut hendak menyerang Sin Liong dan mengulur tangan hendak merampas
buntalan. Pemuda itu hanya berdiri tersenyum, berdiri tegak dan menyilangkan
kedua lengannya sambil memandang tanpa berkedip mata.
"Ahhh...!"
"Hayaaa....!"
"Aihhhh....!"
Semua orang
terhuyung-huyung mundur karena belum juga tangan mereka menyentuh pemuda itu,
hati mereka sudah lemas dan luluh menghadapi wajah yang tersenyum itu. Tangan
mereka seperti lumpuh dan tenaga mereka seperti lenyap seketika membuat mereka
terhuyung dan hampir jatuh saling timpa!
Thian-tok
dan Thian-he Tee-it menjadi kaget dan marah sekali melihat keadaan teman-teman
mereka itu. Kedua orang berilmu tinggi ini memang membiarkan teman-teman mereka
turun tangan lebih dulu untuk menguji kepandaian pemuda yang keadaannya amat
mencurigakan karena terlampau tenang itu. Kini melihat betapa teman-temannya
mundur tanpa pemuda itu menggerakkan sebuah jari tangan pun, kedua orang itu
terkejut, marah dan penasaran. Thian-tok menerjang ke depan dengan senjata
Kim-kauw-pang di tangannya, sedangkan Ciang Ham juga sudah meloncat dekat
dengan senjata tombak di tangan.
"Orang
muda, serahkan pusaka itu!" Thian-tok membentak.
"Sin-tong,
jangan sampai terpaksa aku menggunakan tombak pusakaku!" Ciang Ham juga
menghardik.
Akan tetapi
Sin Liong tetap tidak bergerak, hanya berkata, "Terserah kepada Ji-wi
Lo-cianpwe. Ji-wi yang melakukan dan Ji-wi pula yang menanggung
akibatnya."
"Keras
kepala!" Thian-tok membentak dan tongkatnya yang panjang sudah menyambar
ke arah kepala pemuda itu.
Sin Liong
sama sekali tidak mengelak, bahkan berkedip pun tidak ketika melihat tongkat
itu menyambar ke arah kepalanya, disusul tombak di tangan Thian-he Tee-it Ciang
Ham yang menusuk ke arah lambungnya.
"Desss!
Takkkk!!"
"Aihhh......!"
"Heiiii....!"
Thian-tok
Bhong Sek Bin dan Thian-he Tee-it Ciang Ham berteriak kaget dan meloncat ke
belakang. Tongkat itu tepat mengenai kepala dan tombak itu pun tepat menusuk
lambung, namun kedua senjata itu terpental kembali seperti mengenai benda yang
amat kuat, bahkan telapak tangan mereka terasa panas! Tentu saja mereka merasa
penasaran, biar pun ada rasa ngeri di dalam hati mereka. Pada saat itu,
orang-orang kang-ouw lainnya yang melihat betapa dua orang lihai itu sudah
menyerang dengan senjata, juga menyerbu ke depan.
Sin Liong
tetap diam saja ketika belasan batang senjata yang bermacam-macam itu datang
bagaikan hujan menimpa tubuhnya. Semua senjata tepat mengenai sasaran, akan
tetapi tidak ada sedikit kulit tubuh pemuda itu yang lecet, kecuali pakaiannya
yang robek-robek dan orang-orang itu terpelanting ke sana-sini, bahkan ada yang
terpukul oleh senjata mereka sendiri yang membalik. Makin keras orang
menyerang, makin keras pula senjata mereka membalik. Bahkan Thian-tok sudah
mengelus kepalanya yang benjol terkena kemplangan tongkatnya sendiri, sedangkan
paha Ciang Ham berdarah karena tombaknya pun membalik tanpa dapat ditahannya
lagi ketika mengenai tubuh Sin Liong untuk yang kedua kalinya.
Ketika
mereka memandang dengan mata terbelalak kepada Sin Liong, mereka melihat pemuda
itu masih tersenyum-senyum, masih berdiri tegak dengan kedua lengan bersilang
di depan dada, hanya bedanya, kini pakaiannya robek-robek dan penuh lubang.
Thian-tok dan Thian-he Tee-it adalah orang-orang yang terkenal di dunia
persilatan sebagai tokoh-tokoh besar yang sudah banyak mengalami pertempuran.
Mereka tahu pula bahwa orang yang memiliki sinkang amat kuat dapat menjadi
kebal, akan tetapi selama hidup mereka belum pernah menyaksikan kekebalan
seperti yang dihadapi mereka sekarang ini. Kekebalan yang agaknya tanpa
disertai pengerahan tenaga. Apa lagi melihat cahaya aneh seperti melindungi
tubuh pemuda itu, mereka maklum bahwa pemuda ini bukan orang sembarangan. Tanpa
melawan saja pemuda ini telah membuat mereka tidak berdaya, betapa hebatnya
kalau pemuda ini mengangkat tangan membalas!
"Maafkan
kami...!" Thian-tok berseru lalu melompat dan berlari pergi.
"Sin-tong,
maafkan...!" Ciang Ham juga berkata lalu menyeret tombaknya,
terpincang-pincang pergi dari situ.
Melihat
kedua orang yang diandalkan itu lari, para tokoh lain yang memang sudah merasa
ngeri dan jeri tentu saja cepat membalikkan tubuh dan berserabutan lari dari
situ meninggalkan Sin Liong yang masih berdiri tegak di tempat itu.
Swat Hong
lari menghampiri suheng-nya, lalu memeluk suheng-nya itu. "Suheng..., kau
tidak apa-apa...?" tanyanya.
Sin Liong
menggeleng kepala dan tersenyum.
"Pakaianmu
hancur...."
"Pakaian
rusak mudah diganti, akhlak yang rusak lebih menyedihkan lagi karena
mendatangkan malapetaka."
"Suheng,
kau...."
"Ada
apakah, Sumoi...?"
Swat Hong
menggelengkan kepala dan dia melepaskan rangkulannya, melangkah mundur dua
tindak dan memandang suheng-nya dengan pandang mata penuh takjub dan juga jeri.
"Suheng, kau... kau berbeda dari dulu...."
"Aih,
Sumoi, aku tetap Sin Liong suheng-mu yang dahulu."
"Tidak,
tidak...! Kau berbeda sekali. Ilmu apakah yang kau pergunakan tadi? Mendiang
Ayahku sekali pun tidak pernah memperlihatkan ilmu mukjijat seperti
itu...."
"Apakah
keanehannya, Sumoi? Ilmu yang berdasarkan kekerasan tentu hanya mengakibatkan
pertentangan dan kerusakan belaka, dan setiap bentuk kekerasan hanya akan
mecelakakan diri sendiri."
"Suheng,
ajarilah aku ilmu tadi...."
"Tidak
ada yang bisa mengajar, kelak kau akan mengerti sendiri, Sumoi. Marilah kita
lanjutkan perjalanan kita."
Setelah
berkata demikian, Sin Liong memegang tangan sumoi-nya dan terdengar jerit
tertahan dara itu ketika dia merasa bahwa dia dibawa lari oleh suheng-nya
dengan kecepatan seperti terbang saja! Dia sendiri adalah seorang ahli ginkang
yang memiliki ilmu berlari cepat cukup luar biasa, akan tetapi apa yang
dialaminya sekarang ini benar-benar seperti terbang, atau seperti terbawa oleh
angin saja! Makin yakinlah hatinya bahwa suheng-nya telah menjadi seorang yang
amat luar biasa kesaktiannya, menjadi seorang manusia dewa!
Gerakan
pembalasan yang dilakukan oleh Kaisar Kerajaan Tang yang baru, yaitu kaisar Su
Tiong, yang dilakukan dari Secuan, amat hebat. Gerakan pembalasan untuk
merampas kembali ibu kota Tiang-an dari tangan pemberontak ini dibantu oleh
pasukan yang dapat dikumpulkan di Tiongkok bagian barat, dibantu pula oleh
pasukan Turki, bahkan pasukan Arab. Dengan bala tentara yang besar dan kuat,
Kaisar Su Tiong melakukan serangan balasan terhadap pemerintah pemberontak yang
tidak lagi dipimpin oleh An Lu Shan karena jenderal pemberontak itu telah
tewas.
Perang hebat
terjadi selama sepuluh tahun, dan di dalam perang ini, para pemberontak dapat dihancurkan
dan kota demi kota dapat dirampas kembali sampai akhirnya ibu kota dapat
direbut kembali oleh Kaisar Su Tiong. Di dalam perang ini, Han Bu Ong putera
The Kwat Lin yang bersama orang-orang kerdil membantu pemerintah pemberontak,
tewas pula dalam pertempuran hebat sampai tidak ada satu pun orang kerdil
tinggal hidup.
Dalam tahun
766 berakhirlah perang yang mengorbankan banyak harta dan nyawa itu, namun
kerajaan Tang telah menderita hebat sekali akibat perang yang mula-mula
ditimbulkan oleh pemberontak An Lu Shan itu. Kematian yang diderita rakyat,
pembunuhan-pembunuhan biadab yang terjadi di dalam perang selama pemberontakan
ini adalah yang terbesar menurut catatan sejarah. Menurut catatan kuno, tidak
kurang dari tiga puluh lima juta manusia tewas selama perang yang biadab itu!
Bukan hanya
kerugian harta dan nyawa saja, akan tetapi juga setelah perang berakhir,
Kerajaan Tang kehilangan banyak kekuasaan atau kedaulatannya! Bantuan-bantuan
yang diterima oleh Kaisar di waktu merebut kembali kerajaan, membuat Kaisar
terpaksa membagi-bagi daerah kepada para pembantu yang diangkat menjadi
gubernur-gubernur yang lambat laun makin besar kekuasaannya dan seolah-olah
menjadi raja-raja kecil yang berdaulat sediri. Di samping itu, pemberontak An
Lu Shan membentuk pasukan-pasukan yang ketika pemberontak dihancurkan,
melarikan diri ke perbatasan dan menjadi pasukan-pasukan liar yang selalu
merupakan gangguan terhadap kekuasaan pemerintah.
Demikianlah,
dengan dalih apa pun juga, pemberontakan lahiriah hanya mendatangkan kerusakan
dan malapetaka, karena tidaklah mungkin perdamaian diciptakan oleh perang!
Menurut sejarah di seluruh dunia, tidak pernah ada revolusi jasmani
mendatangkan perdamaian dan kesejahteraan. Kiranya hanyalah revolusi batin,
revolusi yang terjadi di dalam diri setiap orang manusia, yang akan dapat
mengubah keadaan yang menyedihkan dari kehidupan manusia di seluruh dunia ini.
***************
Dengan
tewasnya Han Bu Hong di dalam perang itu, maka habislah semua tokoh yang keluar
dari Pulau Es dan Pulau Neraka. Yang tinggal hanyalah Sin Liong dan Swat Hong
berdua saja. Akan tetapi kedua orang ini pun sudah kembali ke Pulau Es dan
semenjak peristiwa di Hoa-san-pai itu, tidak ada lagi yang tahu bagaimana
keadaan kedua orang itu dan di mana adanya mereka! Yang jelas, Pulau Es masih
ada dan kedua orang suheng dan sumoi yang saling mencinta itu pun masih hidup.
Buktinya,
beberapa tahun kemudian kadang-kadang mereka itu muncul sebagai manusia-manusia
sakti menyelamatkan belasan orang nelayan yang perahunya diserang badai. Di
dalam kegelapan selagi badai mengamuk dahsyat itu, ketika perahu-perahu mereka
dipermainkan badai dan nyaris terguling, tiba-tiba muncul sebuah perahu kecil
yang didayung oleh seorang pria berpakaian putih dan seorang wanita cantik, dan
kedua orang ini dengan kesaktian luar biasa menggunakan tali untuk menjerat
perahu-perahu itu kemudian menariknya ke luar dari daerah yang diamuk badai!
Apakah
mereka itu Sin Liong dan Swat Hong, tidak ada orang yang mengetahuinya karena
setiap kali muncul menolong para nelayan dan para penghuni pulau-pulau yang
berada di utara, kedua orang itu tidak pernah memperkenalkan nama mereka. Kalau
benar mereka itu adalah Sin Liong dan Swat Hong, bagaimanakah jadinya dengan
mereka? Apakah suheng dan sumoi yang saling mencinta dan yang telah kembali ke
Pulau Es itu langsung menjadi suami isteri? Hal ini pun tidak ada yang tahu,
karena agaknya bagi mereka berdua, menjadi suami isteri atau bukan adalah hal
yang tidak penting lagi.
Diri mereka
telah dipenuhi oleh cinta kasih, bukan cinta kasih yang biasa melekat di bibir
manusia pada umumnya, karena cinta kasih seperti itu telah diselewengkan
artinya, cinta kasih kita manusia hanya akan mendatangkan kesenangan dan
kesusahan belaka dan justeru karena cinta kasih kita itu mendatangkan
kesenangan maka dia mendatangkan pula kesusahan karena kesenangan dan kesusahan
adalah saudara kembar yang tak mungkin dapat dipisah. Menerima yang satu harus
menerima pula yang ke dua, yang mau menikmati kesenangan harus pula mau
menderita kesusahan. Tidak! Cinta kasih mereka bukan seperti cinta kasih palsu
yang kita punyai!
Pernah ada
seorang anak nelayan yang diwaktu malam hari, ketika perahunya diayun-ayun
gelombang kecil dan dia sedang menggantikan ayahnya yang tertidur untuk menjaga
kail, mendengar nyanyian halus yang dinyanyikan oleh seorang wanita cantik di
atas perahu dan yang kelihatan remang-remang di bawah sinar bulan purnama di
malam itu. Anak yang cerdas ini masih teringat akan bunyi nyanyian itu seperti
berikut:
‘Langit,
Bulan dan Lautan kalian mempunyai Cinta Kasih namun tak pernah bicara tentang
Cinta Kasih! Kasihanilah manusia yang miskin dan haus akan Cinta Kasih,
bertanya-tanya apakah Cinta Kasih itu? Bilamana tidak ada ikatan, tidak ada
pamrih dan rasa takut, tidak memiliki atau dimiliki, tidak menuntut dan tidak
merasa memberi. Tidak menguasai atau dikuasai, tidak ada cemburu, iri hati
tidak ada dendam dan amarah tidak ada benci dan ambisi. Bilamana tidak ada iba
diri, tidak mementingkan diri pribadi, bilamana tidak ada Aku barulah ada Cinta
Kasih......’
Puluhan
tahun, bahkan seratus tahun kemudian di dunia kang-ouw timbul semacam cerita
setengah dongeng tentang seorang manusia dewa yang mereka sebut Bu Kek Siansu,
seorang laki-laki tua yang sederhana namun yang pribadinya penuh cinta kasih,
cinta kasih terhadap siapa pun dan apa pun. Bu Kek Siansu yang dikenal sebagai
tokoh Pulau Es dan menurut cerita tradisi dari keturunan tokoh-tokoh seperti
Tee-tok Siangkoan Houw, Lam-hai Sengjin dan muridnya, Kwee Lun, Gin-siauw
Siucai, tokoh-tokoh Hoa-san-pai, katanya bahwa Bu Kek Siansu itu adalah anak
yang dahulu disebut Sin-tong (Anak Ajaib), yaitu pemuda Kwa Sin Liong yang
menghilang bersama sumoi-nya, Han Swat Hong, dan yang kabarnya menetap di Pulau
Es, tidak pernah lagi terjun ke dunia ramai.
Dan memang
seorang manusia seperti Bu Kek Siansu tidak pernah mau menonjolkan diri, selalu
bergerak tanpa pamrih, hanya digerakan oleh cinta kasih. Maka kita pun tidak
mungkin dapat mengikuti seorang manusia seperti Bu Kek Siansu, dan hanya
kadang-kadang saja dapat melihat muncul di antara orang banyak, dan di dalam
dunia persilatan, Bu Kek Siansu akan muncul di dalam ceritera ‘Suling Emas’.
Demikianlah, terpaksa pengarang menutup cerita ‘Bu Kek Siansu’ ini yang hanya
dapat menceritakan pengalaman pemuda Kwa Sin Liong sewaktu dia belum menjadi
seorang Bu Kek Siansu, sewaktu dia belum memiliki cinta kasih sehingga masih
diombang-ambingkan oleh suka dan duka dalam kehidupannya.
Dengan
mengenangkan isi nyanyian yang dinyanyikan oleh anak nelayan itu, penulis
mengajak para Pembaca Budiman untuk sama-sama mempelajari dan mudah-mudahan
kita pun akan memiliki Cinta Kasih melalui pengenalan diri pribadi. Teriring
salam bahagia dari pengarang dan sampai jumpa kembali di lain cerita.
Terima Kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment