Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Suling Emas
Jilid 18
********** Sahabat Karib.com **********
Suling Emas
tersenyum mengejek. "Bibi Sam Hwa, kau yang sudah nenek-nenek mana mungkin
mempunyai anak yang masih begini kecil? Paman A-liong dan Paman A-kwi,
sesungguhnya siapa yang merampok anak orang? Kalian bertiga ataukah aku? Aku
tidak merampok Pangeran Kecil ini, melainkan hendak mengembalikannya di tempat
yang semestinya, yaitu di dalam istana."
Tentu saja
tiga orang tua itu kaget sekali. Tiga buah nama tadi adalah nama kecil mereka,
yang hanya mereka ketahui, tak pernah diperkenalkan ke luar. Bagaimana orang
muda ini bisa mengenal mereka? Biar pun mereka bertiga itu kini bekerja sebagai
pelayan, namun sesungguhnya mereka bukan orang biasa. A-liong dan A-kwi adalah
bekas perwira-perwira tinggi di bawah Kong Lo Sengjin, sedangkan Sam Hwa juga
seorang ahli silat tinggi, janda seorang panglima seangkatan dengan dua orang
temannya itu. Mereka ini tetap setia kepada Kong Lo Sengjin.
Karena
maklum bahwa orang muda itu sudah mengetahui rahasia mereka, maka Sam Hwa yang
lebih pandai bicara segera bertanya, "Orang muda, siapakah kau yang berani
mencampuri urusan pribadi kami? Andai kata benar kami menculik seorang Pangeran
Kecil, apa sangkut-pautnya hal itu denganmu?"
"Bibi
Sam Hwa dan kedua Paman A-liong dan A-kwi. kukira tidak perlu lagi
berpura-pura. Kalian bertiga sudah pernah bertemu denganku, hanya agaknya
kalian sudah lupa lagi. Akan tetapi aku tahu bahwa kalian adalah anak buah Kong
Lo Sengjin, dan bahwa anak itu adalah seorang pangeran yang kalian culik dari
istana atas perintah Kong Lo Sengjin. Secara pribadi memang urusan ini tidak
ada sangkut-pautnya dengan aku, akan tetapi setelah mempelajari ilmu, apa
gunanya kalau tidak untuk menumpas perbuatan buruk? Aku tidak ingin bermusuhan
dengan kalian yang pernah bersikap baik kepadaku, akan tetapi aku pun tidak
bisa membiarkan kalian menculik anak orang semaunya. Apalagi untuk dibawa ke
depan Kong Lo Sengjin yang kejam. Aku harus mengembalikan anak ini kepada orang
tuanya."
Sejenak tiga
orang tua itu tertegun, terbelalak dan tidak dapat bicara saking kaget dan
herannya. Akhirnya Sam Hwa bertanya, suaranya agak gemetar, "Siapakah kau?
Pengawal istana? Siapa?"
Suling Emas
menggeleng kepala dan tersenyum. "Kalian sudah terlalu tua sehingga pikun.
Mengapa masih mau saja diperalat Kong Lo Sengjin untuk melakukan hal-hal yang
tidak baik? Seyogyanya orang-orang setua kalian ini menenteramkan pikiran
membersihkan hati menanti kematian."
"Eh,
bocah gila! Lancang mulutmu!" bentak A-liong sambil melangkah maju.
"Tak peduli ia pengawal atau bukan, anak itu harus kita rampas kembali.
Serbu!" bentak pula A-kwi sambil menggerakkan tongkatnya.
Karena
merasa bahwa rahasia mereka telah terbuka dan jelas bahwa orang muda itu tidak
mau mengembalikan pangeran kecil yang mereka culik, tiga orang ini serentak
menyerang Suling Emas dengan gerakan yang dahsyat. Sambil menyerang mereka
berusaha merampas anak kecil dalam pondongan Suling Emas yang masih terus menangis
keras. Kalau A-kwi mempergunakan senjata tongkat, A-liong dan Sam Hwa
masing-masing menggerakkan sebatang pedang tipis. Serangan mereka cepat dan
mengandung tenaga yang hebat.
Namun
tiba-tiba mereka terkejut dan menjadi silau pandang matanya oleh sinar kuning
emas yang bergulung-gulung dan melingkar-lingkar. Dalam saat berikutnya serbuan
tongkat dan dua batang pedang sudah terlempar jauh dan ketiga orang anak buah
Kong Lo Sengjin itu terpekik kesakitan, melompat mundur dan memegangi tangan
kanan yang terasa kaku nyeri dengan tangan kiri. Terbalalak kagum mereka
berdiri memandang Suling Emas yang kini berdiri dengan tangan kiri memondong
anak kecil, tangan kanan memegang sebatang suling yang berkilauan tertimpa
sinar matahari pagi.
"Suling
Emas...!!" Hampir berbareng mereka berseru ketika melihat suling itu.
Sebagai pembantu-pembantu kepercayaan Kong Lo Sengjin, tentu saja mereka
mengenal benda ini yang selalu berada bersama sastrawan Ciu Bun di Pulau
Pek-coa-to, biar pun mereka jarang datang ke pulau itu.
Suling Emas
menjura sambil tersenyum. "Memang itulah namaku, dan mengingat akan
kebaikan mendiang Adik Kwee Eng dan mendiang ibunya, biarlah kuhabiskan sampai
di sini saja kesalah fahaman ini. Selamat tinggal!!" Setelah berkata
demikian, Suling Emas berkelebat cepat, lari ke jurusan kota raja.
Tiga orang
tua itu bengong terlongong. Barulah kini mereka teringat bahwa orang muda yang
sakti itu bukan lain adalah anak laki-laki yang pernah minta pekerjaan kepada
mereka sekedar untuk makan. Anak laki-laki yang kemudian menjadi murid Kim-mo
Taisu yang kabarnya mampu mengimbangi kesaktian Kong Lo Sengjin sendiri. Akan
tetapi muridnya pendekar besar itu kini telah memiliki kepandaian yang luar
biasa. Benar-benar tak pernah mereka menyangkanya. Karena maklum bahwa mereka
bukanlah tandingan orang muda itu, mereka menganggap bahwa tugas mereka telah
gagal dan kembalilah mereka ke Pek-coa-to.
Hati Suling
Emas merasa lega ketika mendapat kenyataan bahwa tiga orang tua itu tidak dapat
mengejarnya. Akan tetapi ia risau melihat anak kecil yang terus menangis dalam
pondongannya.
"Sssstttt,
diam...! Diamlah, anak manis...!" Ia membuka selimut kuning itu sehingga
terbuka dan tampak muka anak yang amat molek dan manis, yang kini mukanya merah
karena banyak menangis. Mata yang bening itu memandang penuh selidik ke arah
wajah Suling Emas.
"Nah,
begitu anak baik, anak manis! Jangan menangis, ya? Kubawa engkau kembali kepada
ayah bundamu...!" Suling Emas menarik muka manis dan ucapannya halus. Anak
itu mengedip-ngedip, terheran, akan tetapi tidak menangis lagi. Anak berusia
kurang lebih dua tahun itu agaknya dapat merasa bahwa ia berada dalam tangan
yang aman.
Belum juga
sampai di pintu gerbang kota raja, serombongan penunggang kuda terdiri dari
tujuh orang, berpakaian bagai pengawal-pengawal istana, membalapkan kuda keluar
dari pintu gerbang. Ketika bersimpang jalan dengan Suling Emas, rombongan ini
segera menahan kuda, lalu melompat turun dan berteriak kepada Suling Emas,
"Hee, berhenti dulu!"
Suling Emas
berhenti, maklum bahwa pengawal-pengawal itu tentulah pasukan dari kota raja
yang bertugas mengejar penculik pangeran. Ia bersikap tenang saja dan memondong
anak itu di tangan kirinya, lalu membalikkan tubuh menghadapi mereka.
"Kalian mau apa menahan orang berjalan?" tanyanya tenang.
Tujuh orang
pengawal itu memandang ke arah anak kecil dalam pondongannya dan serentak
mereka berseru girang. "Itu dia...! Itu dia Sang Pangeran...! Lihat
pakaiannya, selimutnya....!"
Pemimpin
rombongan yang berkumis lebat segera melangkah maju, mukanya membayangkan
kemarahan, keningnya berkerut-kerut, lalu membentak, "Heh, orang muda!
Engkau benar-benar berani mati menculik putera Sri Baginda! Tak tahukah kau
bahwa saat ini ratusan orang pengawal dan pasukan keamanan berpencar di seluruh
tempat untuk mencarimu? Hayo kau lekas...."
"Ssstttt....!!"
Suling Emas menggerakkan bibirnya meruncing sambil menimang-nimang anak yang
mulai menangis lagi itu. "Ah, dasar engkau manusia kasar! Lihat, kalian
membuat dia menangis lagi! Tidak tahukah kalian bahwa dia tidak suka akan suara
berisik? Bersikaplah tenang agar jangan membuat dia takut!!"
Seketika
berubah sikap komandan pasukan kecil itu. Ia memberi isyarat dengan tangan
kepada anak buahnya agar tidak membuat gaduh dan dia sendiri pun melakukan
perintah dengan suara bisik-bisik! Hal ini terjadi karena mereka ingat bahwa
anak dalam gendongan orang muda itu adalah seorang pangeran, putera Sri Baginda
sendiri! Kalau anak itu menangis karena mereka dan hal itu terdengar oleh Sri
Baginda, tentu mereka celaka! Lucu sekali gerak gerik mereka itu. Lebih-lebih
ketika mereka melihat anak itu terus menangis keras, mereka menjadi bingung.
Suling Emas
sendiri yang menimang-nimang dan menghibur-hibur, sampai penuh keringat
mukanya. Bingung ia menghadapi seorang anak kecil yang rewel ini. Akhirnya,
saking bingungnya, ia mengambil sulingnya dan meniup suling itu dengan tangan
kanan. Seketika anak itu berhenti menangis. Dengan mata bening dan pipi basah
air mata, anak itu memandang Suling Emas. Ketika Suling Emas meniup sulingnya
dengan nada naik turun, anak itu tertawa! Suling Emas gembira dan tujuh orang
pengawal juga ikut tertawa!
"Kalian
jangan banyak ribut. Aku justru hendak membawa pulang anak ini ke kota raja.
Bukan aku penculiknya, melainkan tiga orang jahat. Aku berhasil merampas anak
ini dari tangan mereka. Awas, jangan banyak ribut, kalau kalian ribut-ribut
lagi dan anak ini menangis, jangan tanya soal dosa lagi!"
Suling Emas
dengan gerakan sembarang memukulkan sulingnya pada sebatang pohon sebesar paha
orang dan... pohon itu tumbang! Pucatlah wajah tujuh orang itu. Mereka
mengangguk-angguk dan ketika Suling Emas melanjutkan perjalanannya ke arah kota
raja, tujuh orang itu mengikuti dari belakang sambil menuntun kuda. Melihat
betapa orang muda itu membawa Sang Pangeran benar-benar menuju ke kota raja,
hati mereka merasa lega.
Suling emas
terpaksa berjalan sambil meniup sulingnya karena anak itu menangis saja kalau
tidak ditiupkan suling. Memang Suling Emas pandai sekali bersuling, maka suara
sulingnya merdu dan sedap didengar. Ketika rombongan pengawal kedua yang
terdiri belasan orang banyaknya lewat, mereka pun terheran-heran dan turun dari
kuda. Komandan pasukan pertama segera berbisik-bisik memberi tahu dan...
rombongan kedua ini pun segera mengikuti dari belakang sambil menuntun kuda
masing-masing. Makin lama, makin banyaklah terdapat pasukan berkuda dan
berjalan kaki mengikuti arak-arakan ini, bahkan setelah memasuki pintu gerbang
kota raja, penduduk besar kecil ikut pula mengikuti arak-arakan menuju ke
istana! Suling Emas yang berjalan di depan, enak-enak dan tenang-tenang saja
memondong Sang Pangeran sambil membunyikan suling.
Tentu saja
ia diterima oleh Kaisar sendiri dengan pengawalan ketat. Orang masih belum tahu
macam apa orang muda yang membawa pulang Sang Pangeran yang hilang, maka
penjagaan diperkuat dan keselamatan Kaisar dilindungi oleh para panglima. Namun
Suling Emas bukanlah merupakan pribadi yang menimbulkan kecurigaan atau
kekhawatiran. Ia hanya seorang muda dua puluhan tahun usianya, berwajah tampan
bersikap tenang dengan mata sayu dan muka muram.
Sebagai
seorang terpelajar, Suling Emas tahu akan kesopanan. Di depan Kaisar dia
menjatuhkan diri berlutut, kemudian tanpa mengangkat muka dia menuturkan
pertemuannya dengan tiga orang tua yang membawa Sang Pangeran, kemudian ia
menceritakan betapa ia berhasil merampas kembali Sang Pangeran dan membawanya
langsung ke istana. Setelah berkata demikian, ia mengulurkan kedua tangan yang
memondong anak kecil itu. Kaisar memberi isyarat kepada seorang dayang yang
segera menerima anak itu dari tangan Suling Emas.
Akan tetapi
anak kecil itu menjerit dan menangis, tidak mau terlepas dari tangan Suling
Emas! Timbul sedikit kegaduhan dan Kaisar sendiri sampai tertawa saking
gembiranya melihat puteranya pulang dengan selamat. Akhirnya permaisuri
sendiri, ibu anak itu yang ikut hadir menjemput puteranya, yang maju dan
barulah anak itu mau dipondong ibunya. Akan tetapi mulutnya masih mewek-mewek
dan telunjuknya masih menuding-nuding ke arah Suling Emas.
"Ha-ha-ha!"
Sri Baginda tertawa bergelak setelah permaisuri membawa puteranya masuk,
diikuti para dayang cantik-cantik yang melempar kerling dan senyum manis kepada
Suling Emas yang tampan dan yang dianggap seorang gagah yang berjasa besar.
"Kau
seorang pemuda yang luar biasa! Kami sudah mendengar betapa engkau membawa
kembali putera kami sambil bermain suling, diikuti ratusan orang pengawal dan
penduduk. Kemudian putera kami juga sukar mau melepaskan engkau. Sungguh
menggembirakan. Eh, orang muda yang gagah perkasa, engkau siapakah?"
Suling Emas
berlutut memberi hormat lalu menjawab, "Mohon beribu ampun, Tuanku Kaisar.
Hamba sendiri sudah lupa akan nama hamba, akan tetapi karena hamba memiliki
benda ini dan suka sekali meniupnya, maka hamba disebut orang dengan nama
Suling Emas. Hamba tidak mempergunakan nama lain."
Suasana
hening ketika semua panglima dan pembesar bersama Kaisar mendengarkan jawaban
orang muda itu. Tempat itu segera penuh dengan suara berbisik-bisik karena
semua orang merasa heran mendengar jawaban sepeti ini. Namun, Kaisar pertama
dari Kerajaan Sung adalah bekas seorang panglima besar, seorang yang sudah
banyak bertemu dengan petualang-petualang dan pengelana-pengelana di dunia
kang-ouw yang aneh. Kaisar tidak menjadi heran, lalu berkata penuh wibawa,
"Suling Emas, angkatlah mukamu dan dan biarkan kami melihat wajahmu!"
Suling Emas
tidak berani membantah. Dalam keadaan berlutut, ia menengadah. Sejenak Kaisar
menatap wajah yang tampan itu, kemudian menarik napas panjang dan bersabda,
"Semuda ini sudah mengalami hal sehingga benci akan kenangan-kenangan lalu
dan membuang nama. Cukup, Suling Emas, sekarang berdirilah agar enak kami
bicara."
Dengan
gerakan amat hormat Suling Emas bangkit berdiri.
Kembali
Kaisar memandang tajam dan mengagumi bentuk tubuh tinggi tegap itu. Timbul rasa
suka kepada orang muda ini dan ia berkata, "Suling Emas, kami telah
berhutang budi kepadamu. Setelah kau berhasil menyelamatkan putera kami, jasamu
besar sekali dan hadiah apakah yang dapat kami berikan kepadamu?"
"Ampun,
Tuanku. Hamba hanya melakukan apa yang wajib dilakukan oleh setiap orang. Hamba
tidak mengharapkan hadiah apa-apa."
Makin suka
hati Kaisar mendengarkan jawaban ini. Ia tertawa, "Kau seorang muda yang
gagah perkasa dan berhati bersih. Kami percaya bahwa engkau tidak mengharapkan
hadiah, Suling Emas. Akan tetapi saking gembira dan berterima kasih hati kami,
kami ingin memberikan hadiah yang patut bagimu. Bagaimanakah kalau engkau kami
angkat menjadi kepala pengawal dalam istana? Kami sekeluarga akan merasa
tenteram dan aman apabila engkau menjadi kepala pengawal di sini."
"Mohon
Paduka sudi memberi ampun. Hamba seorang perantau yang lebih senang hidup bebas
di alam terbuka, tidak berani hamba menerima kurnia yang amat besar ini."
Kaisar diam
sejenak, berpikir-pikir. Kemudian berkata lagi, "Memang manusia segolonganmu
amat aneh. Pernah kami bertemu dengan Kim-mo Taisu yang juga amat aneh
wataknya." Kaisar tidak tahu betapa di dalam hatinya, Suling Emas
berdebar-debar mendengar nama mendiang suhu-nya disebut-sebut. "Maka kami
serahkan kepadamu sendiri Suling Emas, jangan bikin kecewa hati kami. Pilihlah
apa yang dapat kami lakukan untukmu sekedar untuk membuktikan bahwa kami amat
berterima kasih kepadamu. Kalau kau selalu menolak, hati kami akan merasa tidak
enak dan tidak senang."
Suling Emas
sudah banyak mempelajari filsafat, sudah tahu pula akan sifat manusia. Seorang
Kaisar pun hanya seorang manusia biasa, tidak akan jauh bedanya dengan manusia
umum. Tentu ingin membalas rasa syukur dan hutang budi, baru lega hatinya.
"Baiklah,
Tuanku Kaisar. Hamba akan merasa berterimakasih dan girang sekali apabila
Paduka sudi mengijinkan hamba untuk dapat masuk keluar dengan bebas, terutama
sekali di perpustakaan istana. Hamba... adalah seorang kutu buku, dan... hamba
mendengar betapa perpustakaan istana amatlah lengkap. Hamba ingin membaca kitab
sebanyak-banyaknya."
"Ha-ha-ha!"
Kaisar tertawa bergelak, dan semua pembesar yang hadir ikut pula tetawa. Tidak
hanya karena latah, melainkan juga karena memang geli mendengar orang muda itu
memilih hadiah seperti itu. "Boleh! Boleh! He, pengawal, sampaikan kepada
semua petugas dalam istana dan kepada penjaga perpustakaan, mulai saat ini
Suling Emas boleh masuk keluar dan membaca kitab mana saja ia sukai. Ha-ha-ha!
Selain itu, Suling Emas. Apa lagi? Kami memberi kesempatan satu lagi.
Pilihlah!"
Suling Emas
merasa bingung. Tadinya ia terpaksa minta ijin itu karena tidak mau
mengecewakan hati Kaisar dan memang ia paling suka membaca kitab. Akan tetapi
kini harus memilih satu lagi! Apakah yang menarik hatinya dan ingin ia dapatkan
dari dalam istana ini? Ia tidak menginginkan apa-apa. Tiba-tiba ia teringat
kepada Suma Ceng! Suma Ceng sudah menjadi istri seorang pangeran dan tinggal di
lingkungan istana pula! kalau saja Suma Ceng masih gadis , belum menjadi istri
orang lain, sudah dapat ia pastikan ia akan ‘berani mati’ minta dijodohkan
dengan Suma Ceng! Akan tetapi, bagaimana ia bisa berpikir seperti itu?
Melihat
wajah pemuda itu termenung dan agak pucat, Kaisar bertanya lagi, "Jangan
ragu-ragu dan takut-takut, Suling Emas. Katakanlah apa yang kau kehendaki, yang
kau pilih. Kami akan mengabulkannya!"
Dalam
gugupnya dan dalam kemarahan pada diri sendiri yang berpikir bukan-bukan
mengenai Suma Ceng, Suling Emas menjawab sedapatnya, "Hamba... hamba mohon
supaya diberi kebebasan pergi ke... dapur istana dan minta masakan apa saja
dari petugas dapur!"
Kini para
hadirin yang tertawa bukanlah latah, bahkan mendahului Kaisar. Ramailah ruangan
itu. Suara ketawa baru berhenti ketika Kaisar mengangkat kedua lengannya ke
atas.
"Ha-ha-ha,
jangan berkecil hati, Suling Emas. Kami dan semua yang hadir tertawa karena
lucu dan terharu akan kesederhanaan hatimu. Baiklah, setiap saat kau boleh
masuk dapur dan makan sekenyangmu. Juga kalau engkau memerlukan pakaian atau
apa saja, tidak usah ragu-ragu, beritahukan kepada kepala pengawal, pasti akan
kami beri. Selain dua hadiah itu, kami pun hendak memberi beberapa pasang
pakaian yang sekiranya pantas dan cocok dipakai Suling Emas, pendekar perkasa
yang menjadi sahabat seisi istana Kerajaan Sung yang jaya!"
Suling Emas
tidak berani menolak, juga ia menerima undangan Kaisar untuk tinggal di istana
selama ia suka, menikmati isi perpustakaan yang amat lengkap. Beberapa hari
kemudian ia menerima lima pasang pakaian dari sutra hitam yang amat halus dan
indah. Bajunya dari sutra hitam, celananya ada yang putih ada yang kuning dan
pada setiap baju, di bagian dada, tersulam benang emas sebentuk bulan dengan
sebatang suling menyilang.
Kaisar
memegang teguh janjinya. Suling Emas dapat bergerak leluasa di dalam istana,
dan setiap saat, biar malam sekali pun, ia berani masuk perpustakaan istana.
Apabila pintunya sudah tertutup rapat di waktu malam dan penjaganya duduk
mengantuk di depan pintu, Suling Emas memasuki gedung perpustakaan dari atas
genteng. Semua petugas istana tidak pernah mengganggunya, dan semenjak itu nama
Suling Emas amatlah dikenal. Apalagi setelah ia mengenakan pakaian anugerah
Kaisar. Tidak seorang pun tahu bahwa pendekar besar ini hanya beberapa tahun
yang lalu adalah seorang juru tulis Pangeran Suma Kong dan menderita hukum
siksa oleh Suma-kongcu karena berani bermain cinta dengan puteri Pangeran Suma
Kong yang kini menjadi isteri Pangeran Kiang.
Hanya
beberapa pekan lamanya Suling Emas menikmati kemewahan istana. Pada suatu hari,
orang tidak melihat bayangannya lagi karena Suling Emas telah pergi
meninggalkan istana tanpa pamit. Kamarnya kosong dan di situ hanya terdapat
tulisan huruf indah di atas tembok kamar:
Di bawah
bimbingan Kaisar bijaksana, rakyat makmur negara aman sentosa.
Kaisar yang
diberi laporan akan kepergian Suling Emas hanya mengangguk dan selanjutnya
memberi perintah agar kamar itu selalu dipersiapkan untuk Suling Emas. Tulisan
dalam kamar itu amat menyenangkan hati Kaisar yang diam-diam merasa kecewa
bahwa Suling Emas tidak mau menjadi pengawal pribadinya.
Sesungguhnya
bukan hanya karena gagal menculik putera Kaisar saja yang memaksa A-liong,
A-kwi dan Sam Hwa tergesa-gesa kembali ke Pek-coa-to, tidak mau berusaha lagi
menculik pangeran kecil seperti yang ditugaskan kepada mereka oleh Kong Lo
Sengjin. Terutama sekali karena melihat Suling Emas di tangan orang muda itulah
yang membuat mereka khawatir sekali akan keadaan majikan mereka.
Mereka tahu
benar bahwa suling emas pusaka keramat itu tadinya berada di tangan sastrawan
Ciu Bun yang berada di Pulau Pek-coa-to. Pulau yang sukar didatangi orang.
Selain Kong Lo Sengjin sendiri yang sering kali berada di pulau, juga di sana
terdapat dua orang murid majikan mereka yang memiliki ilmu kepandaian luar
biasa, yaitu Bhe Ciu dan Bhe Kiu. Bagaimana sekarang tahu-tahu suling emas itu
terjatuh di tangan murid Kim-mo Taisu?
Ketika tiga
orang tua ini mendarat di Pulau Pek-coa-to, mereka menjadi kaget sekali.
Majikan mereka, Kong Lo Sengjin atau Sin-jiu Cow Pa Ong, bekas pangeran Tang
yang dengan gigih selama hidupnya berjuang untuk menegakkan kembali kerajaan
yang sudah roboh itu, telah menjadi mayat! Kakek lumpuh itu telah mati dalam
keadaan duduk bersila bersandar pohon dan sebuah kitab kecil berada di kedua
tangannya. Berhadapan dengan Kong Lo Sengjin, juga duduk bersila bersandar batu
besar dan sudah menjadi mayat, adalah sastrawan Ciu Bun! Sam Hwa, A-liong dan
A-kwi cepat memeriksa. Ternyata kedua orang itu sama sekali tidak terluka.
Agaknya mereka mati wajar, dan sebelum mati mereka itu agaknya bercakap-cakap
membicarakan kitab kecil yang berada di kedua tangan Kong Lo Sengjin.
Dengan
hati-hati mereka mangambil kitab kecil dari tangan Kong Lo Sengjin, lalu
mengurus penguburan kedua orang itu. Penguburan yang sederhana dan sunyi tanpa
upacara apa-apa karena di dalam pulau kosong itu memang tidak ada apa-apa.
Mereka bertiga merasa heran mengapa tidak tampak bayangan Bhe Kiu dan Bhe Ciu.
mereka mancari-cari di dalam pulau dan memanggil-manggil, namun tidak terdengar
jawaban.
Ketika
mereka tiba di tepi laut, di pantai sebelah selatan Pulau Pek-coa-to, mereka
terkejut bukan main melihat mayat tergeletak malang melintang di sekitar pantai
dan mereka semua mati dalam keadaan terluka oleh pukulan-pukulan dahsyat. Kuda
Liong-ma milik Kong Lo Sengjin, yaitu kuda bekas tunggangan Sang Pangeran,
seekor kuda yang mahal, juga telah menjadi bangkai, tubuhnya penuh luka bacokan
senjata tajam.
Tiga orang
tua itu saling memandang, terheran-heran menyaksikan keadaan yang mengerikan
itu. Akhirnya, mereka tidak dapat berbuat lain kecuali mengubur semua mayat
yang sudah hampir busuk itu. Apakah yang sesunggunya terjadi dan ke mana
perginya Bhe Kiu dan Bhe Ciu dua orang manusia aneh murid dan pelayan Kong Lo
Sengjin?
Beberapa
hari yang lalu, seorang diri Kong Lo Sengjin mendarat di pulau Pek-coa-to dalam
keadaan terluka hebat. Ia terluka di sebelah dalam tubuhnya akibat adu tenaga
dengan Kim-mo Taisu. Sebagai seorang ahli silat tinggi yang sakti, kakek ini
maklum bahwa lukanya amat parah, tak mungkin dapat disembuhkan lagi. Akan
tetapi dia tidak peduli. Ia sudah terlalu tua, pula ia selalu gagal dalam
perjuangannya. Ia malah ingin cepat-cepat menemui maut.
Begitu
memasuki pulau, serta merta ia mencari Ciu Bun, bekas sahabatnya yang ia
jadikan tawanan di pulau itu. Ingin ia tahu apa yang telah terjadi sehingga
suling emas dapat berada di tangan murid Kim-mo Taisu. Ketika ia menemui Ciu
Bun, ternyata kakek sastrawan itu tengah duduk bersila bersandar batu dan
membaca kitab kuno dengan asyiknya.
Melihat
kitab itu Kong Lo Sengjin berteriak girang. "Ah, kau telah mendapatkan
kitabnya?" Ia segera duduk pula di depan Ciu Bun.
Ciu Bun
bergerak lemah dan wajahnya pucat seperti mayat, namun membayangkan kepuasan
dan kebahagiaan. "Ya, kutukar dengan sulingnya. Kau sudah bosan akan suara
suling itu, sekarang dengarlah sajak-sajak dalam kitab ini, Sengjin."
"Bacakanlah."
Ci Bun lalu
mulai membaca sajak. Suaranya masih keras dan di antara angin yang bertiup dari
laut menyapu permukaan pulau itu, terdengarlah nyanyian sajak yang aneh dan
menggetarkan kalbu. Kong Lo Sengjin duduk bersila, tak bergerak gerak. Ketika
matahari condong ke barat, suara Ciu Bun masih terdengar membacakan sajak
terakhir. Begitu habis sajak terakhir itu ia menyanyikan, terdengar keluhan
panjang dan tubuh Kong Lo Sengjin menjadi lemas, bersandar pada batang pohon
dan nyawanya melayang diantara gema suara nyanyian sajak terakhir.
....akhirnya
semua itu kosong hampa,
sesungguhnya
tidak ada apa-apa!
Pada
keesokan harinya, terdengar suara ribut-ribut di tempat itu. Kiranya dua orang
kakek yang seperti kanak-kanak, juga seperti iblis, Bhe Kiu dan Bhe Ciu, telah
berada di situ. Melihat betapa majikan dan guru mereka telah tak bernapas lagi,
juga kakek tukang suling, sebutan mereka kepada Ciu Bun, sudah mati, mereka
berteriak-teriak menantang orang yang tak tampak yang dianggapnya membunuh Kong
Lo Sengjin, lalu menangis menggerung-gerung bergulingan di atas tanah,
merobohkan pohon-pohon dan batu-batu besar, memaki-maki kemudian tertawa-tawa karena
geli menyaksikan tingkah laku masing-masing.
Memang Ciu
Bun juga menghembuskan napas terakhir setelah ia mendekati dan menemukan
kenyataan bahwa sahabatnya itu telah meninggal dunia. Sambil menarik nafas
panjang Ciu Bun mengerahkan tenaganya merangkak dan menaruh kitab kecil di
dalam kedua tangan mayat sahabatnya, kemudian ia kembali duduk bersandar batu.
Sudah berhari-hari dia duduk di situ, tanpa makan dan minum menanti datangnya
maut karena ia merasa bahwa tubuhnya sudah tidak kuat lagi. Akhirnya ia
menghembuskan napas terakhir lewat tengah malam.
Kakek gila
Bhe Kiu dan Bhe Ciu lalu lari ketakutan dari tempat itu ketika mereka teringat
bahwa orang mati bisa menjadi setan. Mereka lari ketakutan mencari kuda
tunggangan Kong Lo Sengjin. Seperti biasa, mereka berebut menunggang kuda dan
membalapkan kuda itu mengelilingi pulau dengan maksud menjauhkan diri dari dua
mayat manusia itu. Akan tetapi karena pulau itu tidak begitu besar dan kuda itu
dapat berlari cepat sekali, setelah lari seputaran kembali mereka melihat dua
mayat yang duduk bersandar pohon dan batu. Mereka makin ketakutan dan kembali
membalapkan kuda.
Pada saat
itu, secara kebetulan sekali sebuah perahu dagang yang berlayar dari selatan
terdampar di pantai Pulau Pek-coa-to setelah sehari semalam perahu itu jadi
permainan badai dan ombak. Tiga puluh dua orang penumpang lalu melompat turun
mendarat untuk mencari makan dan minum karena semua ransum habis disapu air
laut.
Tiba-tiba
mereka mendengar suara derap kaki kuda dan... dapat dibayangkan betapa kaget
dan heran hati mereka ketika melihat dua orang kakek setengah telanjang
menunggang kuda itu dengan cara yang luar biasa. Si Kakek Gendut berpunuk duduk
di leher kuda sambil memegangi kedua telinga kuda, sedangkan Si Kakek Kurus
menggantung pada ekor kuda di sebelah belakang! Akan tetapi perasaan kaget dan
heran ini segera berubah menjadi kacau ketika kuda itu menerjang ke arah mereka
dan kedua kakek itu berteriak-teriak tidak karuan.
Mereka cepat
mencabut senjata masing, ada yang mencabut pedang, ada yang menghunus golok,
namun tidak ada gunanya karena Bhe Kiu dan Bhe Ciu sudah mengamuk hebat. Dari
atas kuda kedua orang manusia iblis ini melayangkan pukulan, tendangan, dan
setiap kali kaki atau tangan mereka bergerak, tentu ada seorang yang ditendang,
dipukul atau dilempar ke atas seperti orang melempar-lemparkan tikus saja!
Hebatnya, mereka yang terkena tendangan atau pukulan, roboh untuk selamanya
karena napasnya putus seketika!
Dua orang
manusia iblis itu memang wataknya aneh dan tidak normal. Pernah ketika mereka
sembuh dari gigitan seekor kelabang berbisa, mereka mengamuk dan membunuh semua
kelabang yang ada di pulau itu, baik kelabang kecil mau pun besar, atau pun
binatang merayap yang mirip kelabang! Sekali membunuh, mereka seperti mabok dan
tidak akan berhenti kalau belum terbunuh semua. Pada saat itu mereka pun
seperti mabok. Sambil berteriak-teriak, tertawa-tawa dan kadang-kadang
bertepuk-tepuk tangan, Bhe Kiu dan Bhe Ciu menyerbu, kadang-kadang dari atas
kuda, kadang-kadang turun dan meninggalkan kuda. Mereka menghantam, menendang,
membanting, mencekik. Belum setengah jam lamanya, tiga puluh dua orang itu
sudah menggeletak malang-melintang dalam keadaan tak bernyawa lagi!
Bhe Kiu si
kakek yang berpunuk gendut, sudah merobek paha seorang lawan dan menjilati
darahnya, hendak makan daging paha itu. Agaknya bagi manusia tidak normal ini,
daging paha manusia tiada bedanya dengan daging paha seekor kijang atau
kelinci! Akan tetapi ia melepas korbannya ketika mendengar Bhe Ciu berteriak-teriak.
Ia melompat dan lari ke pantai di mana Bhe Ciu sedang mendorong-dorong perahu
besar milik para korban tadi. Keduanya menjadi girang, seperti dua orang anak
kecil mereka mendorong perahu besar itu ke tengah, kemudian mereka menari-nari
di atas perahu ketika angin meniup layar perahu dan membuat perahu melaju ke
tengah.
Akan tetapi
kegirangan mereka hanya sebentar saja. Karena tidak dikemudikan, maka perahu
itu menjadi berputar-putar dan sebentar saja kedua orang aneh itu menjadi mabok
laut. Mereka muntah-muntah, terhuyung-huyung dan merusak semua yang terdapat di
atas perahu. Bahkan tiang layar pun mereka robohkan, layarnya dirobek-robek dan
akhirnya keduanya begitu mabok sehingga jatuh terlentang di atas dek perahu
dalam keadaan pingsan!
Namun
agaknya setan hendak mempergunakan dua manusia buas ini untuk mengacau dunia.
Dua hari kemudian perahu mereka terdampar di darat. Bhe Kiu dan Bhe Ciu telah
sembuh dari keadaan mabok. mereka melompat ke darat lalu berlari-lari memasuki
sebuah kampung kecil. Geger di kampung itu dan kembali belasan orang menjadi
korban keganasan Bhe Kiu dan Bhe Ciu. Demikianlah, mulai saat itu di dunia
kang-ow muncul dua orang manusia aneh yang amat sakti, buas dan menyeramkan.
Lambat-laun
mereka dapat menyesuaikan diri dengan kehidupan dunia ramai, namun watak liar
mereka masih saja menempel sehingga mereka kemudian terkenal sebagai dua orang
di antara Si Enam Jahat di dunia kang-ouw. Bhe Kiu yang gemuk pendek berpunuk
mendapat julukan Toat-beng Koai-jin (Manusia Aneh Pencabut Nyawa). Adapun Bhe
Ciu yang tinggi kurus dan seperti kanak-kanak itu dijuluki orang Tok-sim
Lo-tong (Bocah Tua Berhati Racun)!
Agaknya
pengalaman mencicipi daging dan darah manusia sebelum meninggalkan Pulau
Pek-coa-to, membuat Toat-beng Koai-jin Bhe Kiu suka akan daging manusia.
Kadang-kadang ia menangkap anak-anak yang gemuk dan berkulit bersih untuk
dimakan dagingnya dan diminum darahnya. Kebiasaan ini membuat tubuhnya
mengeluarkan hawa beracun, menambah racun yang telah dimilikinya ketika ia menjadi
korban gigitan-gigitan serangga dan ular berbisa. Ia menjadi makin ganas dan
makin lihai. Ada pun Tok-sim Lo-tong Bhe Ciu, setelah terkenal sebagai manusia
iblis di dunia kang-ouw, agaknya tidak melupakan kebiasaannya bermain-main
dengan segala macam ular berbisa ketika berada di Pek-coa-to sehingga ia
mempergunakan ular berbisa pula sebagai senjata.
Kalau saja
Kong Lo Sengjin atau Sin-jiu Couw Pa Ong tahu betapa ia telah mendidik dua
orang murid yang berubah menjadi iblis mengerikan, kiranya ia akan merasa malu
dan kecewa sekali. Biar pun Kong Lo Sengjin sendiri di waktu hidupnya tidak
segan-segan berlaku ganas dan licik, namun semua itu ia lakukan dengan tujuan
yang dianggapnya baik dan murni, yaitu mendirikan kembali Kerajaan Tang yang
sudah runtuh.
Demikianlah
keadaan di Pulau Pek-coa-to yang ditemukan dalam keadaan mengerikan oleh tiga
orang bekas pembantu Kong Lo Sengjin. Sam Hwa, A-liong dan A-kwi bukanlah orang
biasa, melainkan bekas orang-orang besar di jaman jayanya Kong Lo Sengjin.
Mereka bukanlah orang jahat. Melihat keadaan di pulau itu, mereka menjadi
menyesal dan semua semangat dan cita-cita mereka ikut mati bersama matinya
majikan mereka. Insyaflah mereka betapa selama puluhan tahun mereka itu
diperalat oleh Kong Lo Sengjin dan mulailah mereka menyesal. Mereka sudah amat
tua dan mereka bertiga mengambil keputusan untuk tinggal di Pulau Pek-coa-to
sampai mati, bertapa dan bersembunyi diri, hitung-hitung menebus dosa.
***************
Suling Emas
meninggalkan istana Kerajaan Sung dan mulailah ia berkelana seorang diri.
Dengan pakaian pemberian Kaisar yang berlukiskan suling, ditambah perbuatannya
yang gagah berani, selalu mengulurkan tangan menolong mereka yang patut
ditolong, memberantas perbuatan orang-orang jahat, menegakkan kebenaran dan
keadilan, sebentar saja nama Suling Emas dikenal dan dunia kang-ouw gempar
dengan munculnya pendekar muda yang sakti ini. Namun karena Suling Emas
membatasi diri, hanya muncul untuk mencegah penindasan dan kejahatan, sama
sekali tidak mengganggu orang-orang kang-ouw dan liok-lim, tidak memusuhi dunia
hitam, maka ia pun tidak dimusuhi secara langsung oleh dunia penjahat.
Bertahun-tahun
ia berkelana seorang diri, mengunjungi tempat-tempat bersejarah, dengan niat
hati hendak melupakan segala kepahitan hidup yang telah dialaminya. Namun tak
pernah ia berhasil. Hatinya tetap kosong dan perih, wajahnya tetap suram dan
pandang matanya sayu. Ia selalu merasa sunyi dan apabila kesunyian sudah tak
terkendali lagi, ia hanya menghibur diri dengan sulingnya. Hanya kalau ia
meniup suling melagukan nyanyian sajak kitab kecil yang sudah dihafalkan,
barulah hatinya yang merana agak terhibur.
Lima tahun
berlalu amat cepatnya. Suling Emas telah berusia dua puluh delapan tahun.
Pengalamannya sudah cukup banyak. Entah berapa ratus orang jahat ia robohkan
dan ia insyafkan. Suling Emas tidak suka membunuh orang, selalu berusaha
menginsyafkan penjahat-penjahat yang telah ia kalahkan. Banyak pula orang-orang
yang telah ditolongnya dari pada mara-bahaya, ingin menariknya sebagai mantu.
Banyak pula gadis-gadis jelita yang telah ditolongnya, ingin membalas budi
dengan penyerahan jiwa raganya. Namun semua itu ditolak Suling Emas dengan
sikap halus dan tidak menyakitkan perasaan. Suling Emas yang telah dua kali
hancur hatinya oleh kegagalan asmara, berjanji di dalam hatinya takkan bermain
cinta lagi. Ia telah menjadi penakut, seakan-akan bertobat untuk melibatkan
diri dalam asmara, setelah mengalami betapa hebatnya penderitaan batin karena
kegagalan asmara.
Perjalanannya
menuju ke Nan-cao untuk menemui kakeknya, Pat-jiu Sin-ong Liu Gan ketua
Beng-kauw, dilakukan dengan jalan memutar karena memang ia ingin menjelajah
seluruh propinsi. Kadang-kadang ia tinggal di tempat-tempat indah, seperti
telaga-telaga, atau puncak-puncak gunung sampai sebulan dua bulan. Oleh karena
inilah, selama lima tahun, baru kakinya menginjak perbatasan Negara Nan-cao.
Kerajaan
Nan-cao adalah kerajaan yang kecil saja di selatan. Namun melihat keadaan dusun
dan kotanya yang ramai, rakyatnya yang hidup makmur, tidak tampaknya
orang-orang berpakaian jembel dan pengemis, menunjukkan bahwa penguasa Nan-cao
adalah orang-orang pandai. Apalagi setelah Suling Emas bermalam di sebuah
dusun, ia mendapat kenyataan bahwa rumah-rumah di seluruh Nan-cao di waktu
malam atau kalau sedang ditinggal pergi penghuninya, pintu dan jendelanya tak
pernah dikunci. Hal ini hanya membuktikan bahwa penduduk hidup dalam suasana
aman tenteram, tidak takut barang-barangnya dicuri karena memang tidak pernah
ada pencuri!
Penuh
kekaguman hati Suling Emas menyaksikan ini semua. Rakyat hidup tidak mewah
namun cukup, dan pada wajah mereka terbayang kepuasan. Ia kagum dan juga girang
karena bukankah kakeknya yang menjadi guru negara dan orang terpenting di situ?
Sama sekali Suling Emas tidak tahu bahwa selain merupakan negara kecil yang
makmur, juga Nan-cao penuh dengan petugas-petugas yang setia, rajin dan pandai.
Begitu ia
menginjakkan kaki di perbatasan Nan-cao, dirinya selalu menjadi incaran dan
diam-diam gerak-geriknya selalu ada yang mengawasi! Bahkan kedatangan Suling
Emas di Nan-cao sudah diketahui oleh pusat Beng-kauw di kota raja karena
mata-mata yang berjaga di sekitar perbatasan sudah memberi laporan lebih dulu.
Nama Suling Emas sudah terdengar sampai di negara kecil ini, dan sekali melihat
baju bersulamkan suling itu, para petugas segera dapat mengenalinya.
Pagi hari
itu Suling Emas memasuki pintu gerbang kota raja Nan-cao yang daun pintunya
berwarna merah. Ia berjalan perlahan, melirik ke arah para penjaga yang berdiri
tegak di kanan kiri pintu! Namun para penjaga ini tidak menghiraukannya. Dari
kedaan para penjaga ini saja Suling Emas sudah dapat melihat perbedaan. Di
kerajaan-kerajaan lain di utara dan tengah, para penjaga pintu gerbang kota
raja selalu melewatkan waktu dengan main kartu, main catur, bergurau atau
menggoda wanita-wanita yang lewat. Akan tetapi para penjaga disini berdiri
tegak, mata menyapu setiap orang yang lewat. Pendeknya sikapnya berdisiplin.
Di tengah
pintu gerbang terdapat tulisan digantung, berbunyi: Dilarang membawa senjata
tajam ke dalam kota raja.
Suling Emas
merasa puas. Agaknya pemerintah Nan-cao sudah hampir berhasil menghilangkan
kejahatan di negaranya. Akan tetapi, belum jauh ia memasuki kota raja, dari
sebelah depan datang serombongan pasukan terdiri dari dua belas orang
berpakaian seragam, dikepalai oleh seorang gadis muda yang cantik sekali!
Seorang gadis yang selain cantik jelita, juga berpakaian aneh.
Pakaiannya
dari sutera yang indah, hampir hitam seluruhnya kecuali lengan kanan dan kaki
kiri! Lengan baju dan kaki celana ini berwarna putih. Benar-benar lucu. Lengan
kiri hitam lengan kanan putih, dan sebaliknya kaki kiri putih kaki kanan hitam.
Selama hidupnya belum pernah ia melihat pakaian begini aneh, maka ia memandang
dengan mata terbelalak. Baru ia sadar ketika melihat pasukan ini berhenti tepat
di depannya, dan mata gadis yang bening tajam itu memandangnya dengan pandangan
mata menyelidik. Demikian pula pandangan mata dua belas orang anak buahnya!
Karena kagum melihat sikap gadis berpakaian hitam putih yang jelas membayangkan
kegagahan itu, Suling Emas berhenti berjalan dan memandang penuh perhatian.
Setelah
beradu pandang sesaat, gadis itu segera menegur dengan suara nyaring,
kata-katanya penuh kewibawaan seperti suara orang yang biasa memerintah,
"Bukankah engkau yang bernama Suling Emas?"
Suling Emas
tersenyum. Dalam pandangan matanya, lucu juga gadis yang amat muda ini bersikap
seperti orang tua. Ia dapat menduga bahwa gadis seperti ini tentulah mempunyai
kedudukan yang penting di kota raja itu, maka ia tidak berani bersikap sembrono
dan ia menjura dengan hormat, mengangkat kedua tangannya ke depan dada.
"Memang benar dugaan Nona. Orang-orang menyebutku Kim-siauw-eng (Pendekar
Suling Emas)."
"Dari
kerajaan Sung?" potong nona itu dengan suara galak.
"Memang
benar aku datang dari kota raja Kerajaan Sung," jawab Suling Emas
sejujurnya.
Para anak
buah gadis itu mengeluarkan suara mendengus tak puas, dan pandang mata mereka
semua penuh curiga.
"Mau
apa kau memasuki negara kami? Apakah kau hendak memata-matai kerajaan
kami?" Gadis itu kini melangkah maju, sikapnya mengancam.
Suling Emas
melihat betapa tangan gadis itu meraba ke pinggang dan ia tahu bahwa ikat
pinggang gadis itu kiranya adalah senjata yang aneh dan bagus. Yaitu sepasang
tali yang ujungnya terdapat bola yang mengkilap sebesar kepalan tangan, seperti
cambuk namun ujungnya pakai bandulan. Ia tahu bahwa senjata macam ini amatlah
sukar dimainkan, maka jarang dipergunakan ahli silat di dunia kang-ouw. Kalau
gadis ini mampu memainkannya, hal ini sudah membayangkan betapa lihainya gadis
muda ini.
Kalau saja
Suling Emas terus terang mengaku bahwa dia adalah cucu Beng-kauwcu (Ketua
Beng-kauw), tentu semuanya akan beres. Namun Suling Emas terlalu gembira dan
tegang hatinya untuk muncul begitu mudah, apalagi melihat gadis muda ini, ia
merasa kagum dan ingin sekali mencoba sampai di mana kelihaiannya. Karena
itulah, ia tidak segera memperkenalkan dirinya sebagai cucu Beng-kauwcu,
melainkan menjawab sembarangan. "Apakah ada larangan untuk memasuki Negara
Nan-cao? Aku hanya ingin melihat-lihat, tidak memata-matai siapa-siapa. Harap
Nona dan anak buah Nona tidak menggangguku sehingga setelah keluar dari Nan-cao
akan kukabarkan betapa baiknya orang-orang Nan-cao terhadap orang asing."
"Terhadap
tamu biasa, kami tidak akan peduli. Akan tetapi Suling Emas adalah nama yang
cukup terkenal, tokoh dari Kerajaan Sung. Oleh karena itu, kau harus ikut kami
menghadap wakil ketua Beng-kauw, karena hanya beliau yang akan memutuskan
apakah kau boleh memasuki kota raja kami apakah tidak."
Suling Emas
pura-pura marah dan mengerutkan alisnya. "Mana ada aturan begitu? Aku
memang benar Suling Emas, akan tetapi bukan penjahat!"
"Jahat
atau baik sama sekali tidak dapat diukur dari nama julukan!" bantah gadis
itu. "Karena kau memasuki wilayah kekuasaan kami, sudah sepatutnya kau
tunduk kepada peraturan kami. Sekarang berikan senjatamu dan kau ikut menghadap
wakil ketua Beng-kauw!"
Ucapan gadis
itu tegas dan ketus. Suling Emas pura-pura tidak mengerti dan mengangkat kedua
pundaknya yang bidang sambil berkata, "Selama hidupku tak pernah aku
membawa senjata."
Gadis muda
itu tertawa mengejek. Maksudnya hendak mengejek, akan tetapi ketawanya sungguh
manis dan orang takkan bisa sakit hati karena ketawa ini. "Siapa tidak
tahu bahwa suling di pinggangmu itu merupakan senjatamu yang ampuh?"
"Suling
bukanlah senjata, melainkan alat musik yang menciptakan suara merdu menghibur
hati duka lara. Kalau hatimu risau, Nona cilik, biarlah aku meniupnya untuk
menghiburmu."
Sepasang
alis yang hitam melengkung itu bergerak ke atas, sepasang mata bening itu
mengeluarkan cahaya. "Jangan banyak cerewet. Pendeknya, kau mau menyerah
secara baik-baik ataukah menghendaki digunakan kekerasan?"
"Hem,
hem, tak kusangka Nan-cao suka menggunakan kekerasan. Ingin kutahu kekerasan
macam apakah itu?" Suling Emas sengaja mempermainkan.
Gadis itu
marah sekali. Dengan isyarat tangan ia memerintahkan anak buahnya sambil
berteriak, "Tangkap dia! Rampas sulingnya!"
Dua belas
orang berpakaian seragam itu begitu menerima perintah cepat serentak bergerak
dan menubruk Suling Emas. Gerakan mereka gesit dan kuat karena mereka ini
adalah orang-orang yang terlatih baik, dan merupakan murid-murid tingkat
terendah dari Beng-kauw. Sesuai dengan perintah gadis itu, mereka tidak
mempergunakan senjata, melainkan menubruk dan berusaha menangkap Suling Emas
serta merampas suling yang terselip di ikat pinggangnya.
Gadis itu
melihat betapa Suling Emas sama sekali tidak bergerak atau pindah dari
tempatnya, juga tidak mengelak, hanya menggerakkan kedua lengannya, akan tetapi
akibatnya… anak buahnya terpelanting dan terlempar ke kanan kiri! Setiap kali
ada seorang anak buahnya yang menubruk, tentu orang ini terlempar dan jatuh
terbanting keras sehingga sejenak tak dapat bangun. Dalam waktu beberapa menit
saja, dua belas orang anak buahnya sudah roboh semua, mengaduh-aduh dan
menggosok-gosok kepala benjol dan kaki tangan mereka lecet kulitnya.
Bukan main
marahnya gadis itu. "Mundur kalian semua!" bentaknya, dan di lain
saat ia sudah meloloskan sepasang cambuknya.
"Wuuut…
tar-tar…!" sepasang cambuk itu diayun dan berputaran di atas kepala
membentuk lingkaran-lingkaran aneh dan mengeluarkan bunyi angin
menyambar-nyambar diseling ledakan-ledakan ketika gerakan tali itu direnggut
dan disentakkan. Bagaikan dua ekor naga mengamuk, sepasang cambuk itu sudah
melayang dan menyerang Suling Emas, sekaligus bola-bola di ujungnya menyambar
ke arah jalan darah di leher dan lutut!
"Bagus…!"
Suling Emas berseru kagum.
Dengan
gembira ia lalu menggerakkan tubuhnya, melayani amukan sepasang cambuk ini
dengan tangan kosong. Karena maklum bahwa sepasang bola diujung cambuk itu tak
boleh dipandang ringan, maka Suling Emas lalu bersilat dengan pukulan
Bian-sin-kun (Tangan Kapas Sakti) sambil mengerahkan ilmu meringankan tubuh
sehingga ia dapat mengelak ke sana ke mari dengan cepat dan ringan, serta
kadang-kadang ia menangkis dan mendorong bola-bola itu dengan telapak tangannya
yang berubah lunak seperti kapas.
Diam-diam
Suling Emas mengagumi gerakan gadis muda itu. Ilmu silat yang dimainkan gadis
muda itu benar-benar adalah ilmu silat tingkat tinggi. Hanya harus diakui bahwa
tenaga dalam gadis itu belumlah begitu sempurna sehingga baginya, gadis muda
itu merupakan lawan yang tidak berat. Sementara itu, melihat kelihaian Suling
Emas, seorang di antara dua belas anak buah itu sudah lari melaporkan ke
atasannya.
Suling Emas
yang hanya ingin main-main dan mencoba kelihaian lawan, tentu saja tidak mau
merobohkan si Nona Muda. Kalau dia mau, dengan mudah ia bisa mengalahkan gadis
itu, akan tetapi ia merasa enggan menyakiti hati orang yang sama sekali tidak
ia anggap sebagai musuh. Beberapa kali ia melompat ke belakang sambil berkata,
"Cukuplah, Nona. Mari kita menghadap Beng-kauwcu!"
Akan tetapi
nona muda itu sudah menjadi marah dan penasaran sekali. Ia terkenal sebagai
orang muda terpandai di Nan-cao dan sepasang cambuknya jarang ada yang sanggup
melawannya. Mengapa hari ini ia bertemu dengan lawan yang menghadapinya dengan
tangan kosong namun begitu jauh ia sama sekali belum mampu menyentuh tubuh
lawan dengan sepasang bola di ujung cambuknya? Rasa penasaran dan malu membuat
ia marah. Tanpa pedulikan ajakan Suling Emas yang penuh damai itu, ia menerjang
terus!
Akan tetapi
dengan gerakan aneh, Suling Emas menyambut terjangannya dan tahu-tahu sepasang
bola di ujung cambuk itu telah tertangkap oleh sepasang tangan Suling Emas.
Gadis itu berseru keras, menarik-narik cambuknya, namun sia-sia, sepasang bola
itu tetap berada di tangan Suling Emas sehingga kedua cambuknya tak dapat
digerakkan lagi! Gadis itu membanting-banting kakinya, memekik-mekik,
mengerahkan tenaga tanpa hasil.
"Tar-tar-tar!!"
Hebat sekali
suara ledakan ini, disusul berkelebatnya gulungan sinar hitam yang menyilaukan
mata berkelebatan di atas kepala Suling Emas. Terkejut sekali Suling Emas,
cepat ia melepaskan sepasang bola lalu meloncat ke belakang.
"Susiok
(Paman Guru), harap Susiok suka beri hajaran kepada manusia sombong ini!"
gadis itu berseru sambil meloncat mundur dan menyimpan sepasang cambuknya yang
tadi dibuat tidak berdaya oleh Suling Emas.
Ketika
Suling Emas memandang, ternyata yang membunyikan cambuk hitam dengan suara
sedemikian hebatnya itu adalah seorang laki-laki berusia lima puluh tahun
lebih, pakaiannya sederhana seperti pakaian petani, kepalanya tertutup caping
lebar, wajahnya angker dan sepasang matanya tajam. Tangan kanannya memegang
gagang sebatang pecut yang bentuknya sederhana seperti pecut seorang
penggembala, namun pecut itu warnanya hitam berkilauan.
"Susiok,
dia ini Suling Emas dari Kerajaan Sung. Orangnya sombong sekali, kuajak
baik-baik menghadap Susiok dia tidak mau dan melawan dengan kekerasan!"
kata pula gadis itu, mengadu dan bibirnya setengah mewek hampir menangis karena
hatinya benar-benar gemas, marah dan penasaran mengapa hari ini semua
kepandaiannya sama sekali tidak dihargai orang dan tidak ada gunanya!
"Hemm…hemm…!"
kakek itu menggumam sambil memandang tajam kepada Suling Emas.
Di lain
pihak Suling Emas juga memandang penuh perhatian. Diam-diam ia menduga-duga,
siapa gerangan kakek ini. Sudah terang bukan Pat-jiu Sin-ong, kakeknya. Biar
pun belasan tahun tak pernah jumpa lagi, namun ia takkan melupakan Pat-jiu
Sin-ong yang pernah dilihatnya dahulu. Kakek ini susiok dari gadis itu, sudah
tentu memiliki kepandaian yang luar biasa.
"Harap
Lo-enghiong sudi memaafkan. Sesungguhnya bukan sekali-kali maksud kedatangan
saya untuk memancing perkelahian. Hanya Nona itu terlalu… terlalu galak…"
"Nama
Suling Emas sudah terkenal sampai di sini. Kini orangnya datang dan tidak
mengindahkan peraturan, bahkan merobohkan pasukan peronda keamanan dan
mempermainkan puteri Ji-kauwcu (ketua Kedua)! Akan tetapi jangan berbangga
dahulu dengan kemenanganmu, Suling Emas, karena di atasnya masih ada aku, wakil
ketua dan di atasku masih ada Ji-kauwcu dan Twa-kauwcu (Ketua Pertama)! Kau
sambutlah pecutku ini!"
Ucapan itu
ditutup dengan berkelebatnya sinar hitam yang diikuti suara ledakan seperti
guntur di atas kepala Suling Emas. Suling Emas terkejut dan cepat mencabut
sulingnya dan menangkis. Ia maklum bahwa menghadapi kakek ini jauh bedanya
dengan menghadapi gadis tadi, maka terpaksa ia menggunakan sulingnya. Ketika
sinar hitam itu menyambar turun, ia pun menggerakkan sulingnya menangkis.
"Plak…!!!"
ujung pecut itu mental kembali ketika bertemu suling dan kakek bercaping
mengeluarkan seruan kaget. Telapak tangannya yang memegang pecut terasa panas
dan pecutnya membalik keras, tanda bahwa lawan muda ini benar-benar hebat
tenaga dalamnya.
"Bagus!
Kiranya kau benar-benar lihai!" serunya dan kini pecutnya
menyambar-nyambar dengan kecepatan kilat sehingga lenyaplah tubuhnya,
terbungkus sinar cambuk yang hitam bergulung-gulung.
Dua macam
perasaan teraduk di hati Suling Emas. Ia merasa menyesal dan khawatir mengapa
kedatangannya malah menimbulkan perkelahian dengan orang-orang Beng-kauw yang
dipimpin kakeknya, akan tetapi di samping ini ia pun merasa girang dan kagum
bahwa orang-orang Beng-kauw ternyata memiliki ilmu kepandaian yang hebat. Ia
ikut merasa girang dan bangga. Maka timbullah niat di hatinya untuk mencoba
terus tanpa niat mencelakai lawan. Dengan pikiran ini, ia lalu mainkan ilmu
Pat-sian Kiam-hoat yang ampuh.
Begitu
Suling Emas mainkan ilmu yang sakti ini, lawannya segera terdesak hebat.
Lingkaran-lingkaran yang dibentuk oleh sinar hitam itu makin mengecil dan
menyempit, terkurung oleh sinar kuning emas yang makin membesar. Suling Emas
hanya membuat lawannya tidak berdaya menyerangnya lagi, kemudian dengan
sendirinya ia pun akan mundur, maka sinar sulingnya tidak menyerang melainkan
menekan.
Tiba-tiba
gerakan kakek itu berubah dan kini dari lingkaran-lingkaran sinar hitam itu
keluar suara meledak-ledak memekakkan telinga. Suling Emas kaget dan dia
menjadi makin kagum, tak disangkanya bahwa dalam kedaan terdesak itu, si Kakek
ini masih mampu mengeluarkan ilmu yang disertai khi-kang sedemikian hebatnya
sehingga kalau lawan kurang kuat sinkang-nya, tentu akan terpengaruh suara
ledakan ini dan akan menjadi kacau permainan silatnya. Maka Suling Emas segera
menggerakkan sulingnya sedemikian rupa sehingga di antara suara ledakan itu
terdengarlah lengking tinggi menusuk telinga, suara dari suling itu sendiri
yang berbunyi seperti ditiup mulut.
Tiba-tiba
suara ledakan dan suara lengking suling terhenti. Kedua senjata itu telah
bertemu di udara dan ujung pecut melibat suling, tidak dapat dilepaskan lagi!
Kakek itu berusaha sekuat tenaga melepas pecutnya, namun sia-sia dan ketika
Suling Emas menggerakkan tangannya, pecut itu terlepas dari pegangan si Kakek!
Di lain saat, Suling Emas sudah mengambil pecut dan menyerahkan senjata itu
kepada pemiliknya sambil menjura.
Wajah kakek
itu sebentar pucat sebentar merah. Tiba-tiba ia mengeluarkan suara menggereng
keras, tubuhnya menerjang maju mengirim pukulan maut ke arah dada Suling Emas.
"Sute
(Adik Seperguruan)! Mundur dan tahan amarahmu!" suara ini terdengar
berpengaruh sekali sehingga tubuh kakek itu seakan-akan tertahan dan otomatis
ia membatalkan niatnya menyerang, melainkan balas menjura dan menerima pecutnya
dari tangan Suling Emas. Ia lalu melangkah mundur dengan muka tunduk, namun
sepasang mata yang memandang dari bawah caping itu berapi-api.
Suling Emas
menengok ke kanan dan terkejutlah ia melihat seorang kakek lain yang sikapnya
amat berwibawa. Kakek ini pun bukan Pat-jiu Sin-ong Liu Gan, akan tetapi mempunyai
wajah yang ada persamaan dengan ketua Beng-kauw itu. Seorang kakek tua yang
mukanya keren, sinar mata tajam, tubuhnya tegap dan tegak berdirinya, memegang
sebatang tongkat. Sekali pandang saja timbullah segan dan hormat dalam hati
Suling Emas.
Cepat ia
melangkah maju dan menjura dengan hormat sambil berkata, "Saya yang muda
mohon maaf sebesar-besarnya telah menimbulkan keributan yang sesungguhnya tidak
saya kehendaki di sini. Mohon Lo-cianpwe suka memberi maaf."
Kakek itu
mengangguk, lalu menggerak-gerakkan tongkatnya. "Orang muda, kau tentu
yang bernama Suling Emas. Apa hubunganmu dengan Kim-mo Taisu?"
Suling Emas
kaget dan ia merasa lega bahwa ia tadi tidak bersikap sembrono. Ternyata kakek
ini benar-benar hebat, sekali pandang dapat mengenal gerakannya yang ia warisi
dari gurunya. Sambil bersikap hormat ia menjawab, "Mendiang Kim-mo Taisu
adalah guru saya, Lo-cianpwe."
"Aaahh…?
Mendiang, katamu..?"
"Suhu
telah meninggal dunia beberapa tahun lalu, kurang lebih lima tahun."
"Pantas
kau lihai, kiranya murid Kim-mo Taisu. Orang muda, Kim-mo Taisu adalah sahabat
Beng-kauw. Engkau sebagai muridnya, mengapa datang hendak menimbulkan keributan
dengan Beng-kauw? Apa kehendakmu?"
Merah wajah
Suling Emas dan cepat ia menjawab, "Tidak sekali-kali, Lo-cianpwe. Tidak
sekali-kali saya berani mencari keributan dengan Beng-kauw. Sesungguhnya, baru
saja saya memasuki kota raja ini, kemudian dihadang dan hendak ditangkap. Saya
tidak mempunyai niat buruk…."
"Kalau
begitu, apa yang kau kehendaki dengan kedatanganmu di sini?"
"Saya…
saya mohon berjumpa dengan… Pat-jiu Sin-ong, ketua Beng-kauw yang
terhormat."
Kakek itu
megelus-elus jenggotnya dan tersenyum. "Orang muda, tidak mudah orang luar
hendak menghadap Beng-kauwcu. Semua urusan dapat kau sampaikan kepada aku. Aku
adalah Ji-kauwcu Liu Mo…."
"Aaahh,
jadi Lo-cianpwe ini masih saudara kandung Beng-kauwcu…?"
"Aku
adik kandungnya," jawab kakek itu tersenyum. "Atau dapat kau
sampaikan kepada puteriku Liu Hwee yang bertugas sebagai pimpinan penjaga
keamanan." Ia menuding ke arah gadis muda tadi sehingga kembali Suling
Emas kaget.
Dengan mata
terbelalak ia memandang gadis muda yang cantik tadi, yang ternyata adalah…
bibinya! Kalau Ji-kauwcu Liu Mo ini adik Beng-kauwcu kakeknya, berarti anak
kakek bertongkat ini, yaitu si gadis muda yang menyerangnya tadi adalah
bibinya.
"Juga
dapat kau sampaikan urusanmu kepada suteku itu, yang bernama Kauw Bian Cinjin.
Nah, sekarang telah kuperkenalkan semua pihak yang tadi saling bentrok, yang
mudah-mudahan tidak dilanjutkan lagi. Suling Emas, katakanlah apa yang hendak
kau sampaikan kepada Twa-kauwcu."
Tiba-tiba
Suling Emas menjatuhkan dirinya berlutut di depan kakek yang bernama Liu Mo
itu. Tanpa ragu-ragu ia berlutut. Bukankah kakek ini juga kakek mudanya, paman
dari ibunya?
"Mohon
beribu ampun, Lo-cianpwe, akan tetapi… saya hanya dapat bicara di depan…
Beng-kauwcu sendiri…."
Diam-diam
Liu Mo terheran dan memandang dengan mata penuh selidik. Ia tahu bahwa orang
muda ini amat sakti. Dari pertempuran melawan sute-nya tadi ia mengerti bahwa
ia sendiri pun belum tentu akan dapat mengalahkan Suling Emas. Akan tetapi
mengapa pendekar muda ini begitu merendahkan diri, berlutut di depannya? Dan
semua itu dilakukan dengan sungguh-sungguh, sedikit pun tidak membayangkan
kepura-puraan atau kepalsuan. Setelah saling bertukar pandang dengan Kauw Bian
Cinjin, ia menjawab singkat, "Suling Emas, tentu ada sebab yang amat
penting maka kau memaksa hendak menghadap Beng-kauwcu. Marilah, kau ikut dengan
kami."
Dengan hati
berdebar Suling Emas mengikuti kakek itu. Di belakangnya berjalan Kauw Bian
Cinjin bersama Liu Hwee, kemudian diikuti pula oleh para anak buah. Akan tetapi
setelah tiba di depan sebuah gedung besar yang angker dan megah, pasukan itu
berhenti dan bersatu dengan para penjaga yang berdiri berbaris di kanan kiri
pintu gerbang terus sampai ke pendopo dengan sikap angker dan dalam barisan
yang rapi. Barisan yang terdepan segera berlutut dengan sebelah kaki. Namun
sikap mereka masih tegak dan dalam keadaan siap.
Barisan
penjaga berganti-ganti dan bertingkat-tingkat dari depan sampai ke dalam,
kemudian paling dalam terdapat barisan pasukan wanita yang berpedang dan sikap
mereka kereng dan gagah. Di sepanjang dinding ruangan yang mereka lalui
terdapat lukisan-lukisan dan huruf-huruf hias yang amat indah, tidak kalah
indah oleh ruangan-ruangan di dalam istana Raja Sung! Dan akhirnya mereka
memasuki sebuah kamar besar yang daun pintunya bercat merah.
Ketika
memasuki kamar ini, Liu Mo dan Kauw Bian Cinjin segera berdiri di pinggir
dengan sikap menghormat setelah membungkukkan tubuh. Ada pun Liu Hwee segera
menjatuhkan diri berlutut. Suling Emas memandang ke depan, ke arah seorang
kakek tua yang duduk sendirian di atas kursi besar, kakek yang dikenalnya
sebagai Pat-jiu Sin-ong yang bertemu dengan suhu-nya belasan tahun lalu.
Pat-jiu
Sin-ong Liu Gan sudah tua sekali, mukanya penuh keriput dan sinar matanya yang
acuh tak acuh itu tampak diliputi awan dan murung. Ia menyapu yang datang
dengan sinar matanya, kemudian dengan kening berkerut ia mendengarkan laporan
Liu Mo tentang Suling Emas yang dengan sikap penuh hormat minta menghadap
Beng-kauwcu.
"Kau
Suling Emas?" suara ketua ini mengguntur dan menggema dalam ruangan besar
itu.
Suling Emas
merasa amat terharu setelah bertemu muka dengan ayah dari ibunya. Keharuan ini
mencekik lehernya dan atas pertanyaan itu ia hanya mampu mengangguk tanpa mengeluarkan
suara.
"Kamu
murid Kim-mo Taisu?"
Kembali
Suling Emas hanya mengangguk.
"Suheng,
Kim-mo Taisu telah tewas lima tahun lalu menurut penuturan orang muda
ini," kata Liu Mo.
Pat-jiu
Sin-ong mengerutkan alisnya yang tebal dan sudah bercampur warna putih.
"Hemm, selama hidup Kwee Seng tak pernah mau kalah terhadap aku. Apakah
setelah ia mati ia menyuruh muridnya melanjutkan wataknya yang keras kepala
itu? Heh, orang muda, kau terima ini!" Tangan kanan Pat-jiu Sin-ong meraih
cangkir arak di atas meja lalu ia melontarkan cawan itu ke atas. Cawan arak itu
berputaran di atas, lalu meluncur turun ke arah Suling Emas!
Suling Emas
cukup waspada dan ia maklum bahwa penyerangan yang seluruhnya mengandalkan
sinkang ini amatlah hebat. Biar pun kakek ini adalah ayah dari ibunya, namun ia
pun harus menjaga nama besar gurunya. Dibandingkan dengan kakeknya ini, agaknya
gurunya jauh lebih berjasa dan lebih baik terhadapnya. Ia pun cepat memasang
kuda-kuda, mengerahkan sinkang dan mendorongkan kedua tangannya ke depan,
menyambut cawan itu. Cawan yang meluncur dan berada dalam jarak tengah-tengah
antara kedua orang itu, kini terhenti di udara, tertahan oleh hawa pukulan
tangan Suling Emas. Mereka masing-masing mengerahkan tenaga, Pat-jiu Sin-ong
dengan lengan kanan lurus ke depan, sedangkan Suling Emas dengan kedua tangan
lurus ke depan pula, mempertahankan diri.
Liu Mo, Kauw
Bian Cinjin, dan Liu Hwee memandang penuh perhatian dan kekhawatiran. Mereka
sudah maklum akan kehebatan tenaga ketua Beng-kauw itu, dan setelah tahu bahwa
orang muda ini bukan musuh, mengapa harus dicelakakan? Akan tetapi alangkah
heran dan kagum hati mereka ketika cawan itu sama sekali tidak dapat maju lagi
sejengkal pun juga, tetap tergantung di udara, tidak maju tidak mundur.
"Prakkk!"
tiba-tiba cawan itu hancur berkeping-keping dan Suling Emas melangkah mundur
tiga langkah dengan napas agak terengah. Ada pun Pat-jiu Sin-ong dengan muka
penuh keringat tertawa bergelak, lalu menampar meja sehingga terdengar suara
keras.
"Kwee
Seng! Sungguh engkau keras kepala! Engkau telah menurunkan semua ilmumu kepada
bocah ini, agaknya untuk membuktikan bahwa kau masih belum juga mau kalah
terhadap aku! Ah, setan keras kepala. Kalau saja kau dahulu mau menjadi
mantuku, tentu kau belum mampus sekarang dan aku tidak akan begini kesepian!
Kwee Seng... Lu Sian... kalian mengecewakan hatiku!"
Kakek itu
menutup muka dengan kedua tangannya dan dengan muka pucat Suling Emas melihat
betapa dari celah-celah jari tangan itu mengalir air mata! Pat-jiu Sin-ong
menangis! Pat-jiu Sin-ong menyesal mengapa ibunya, Liu Lu Sian dahulu tidak
menjadi istreri suhu-nya!
Suling Emas
tak dapat menahan keharuan hatinya dan ia maju berlutut di depan kedua kaki
Pat-jiu Sin-ong lalu berkata, "Kong-kong, aku adalah cucumu..., aku adalah
Kam Bu Song... putera tunggal ibu Liu Lu Sian...."
Pat-jiu
Sin-ong perlahan-lahan menurunkan kedua tangannya. Matanya terbelalak memandang
wajah Suling Emas yang menengadah, lalu perlahan-lahan kedua tangannya bergerak
ke depan, menangkap wajah itu di antara kedua tangannya. Bibirnya
bergerak-gerak dan berbisik, "Kau... kau puteranya...? Benar! Ini... ini
matanya, mulutnya...! Kau... cucuku...!"
"Kong-kong…!"
Bu Song menahan air matanya dan dengan singkat ia menceritakan kedaan orang
tuanya dan betapa semenjak kecil ia telah hidup seorang diri sehingga akhirnya
menjadi murid Kim-mo Taisu.
Mendengar
penuturan itu, Pat-jiu Sin-ong Liu Gan lalu merangkulnya, kemudian menarik
bangun Suling Emas, menepuk-nepuk pundaknya dengan penuh kebanggaan. "Wah,
kau benar hebat! Kau cucuku! Ha-ha-ha, tidak kecewa aku mempunyai cucu seperti
ini! Terima kasih, Kwee Seng! Ha-ha-ha!"
Suling Emas
sebagai orang muda yang tahu sopan santun dan aturan, segera menghadap Liu Mo
dan berlutut pula. "Mohon semua kelakuan saya yang lancang tadi
diampuni."
Liu Mo
mengangkatnya, juga Kauw Bian Cinjin. Kedua orang tua ini tertawa pula bergelak
saking gembira hati mereka. Kemudian Kwee Seng menjura ke arah Liu Hwee dan berkata,
"Mohon Bibi juga sudi memberi ampun kepadaku."
Muka yang
cantik itu seketika menjadi merah sekali. Akan tetapi dasar Liu Hwee berwatak
riang, ia tertawa dan pura-pura marah, "Wah, mana bisa aku mendadak
mempunyai seorang keponakan yang begini besar? Hayo, kau keponakan yang nakal,
kau harus berlutut tujuh kali di depan bibimu, baru aku suka memberi
ampun!"
Suling Emas
bingung, akhirnya ia benar-benar hendak berlutut tujuh kali di depan bibinya
yang galak, akan tetapi Liu Mo mencegah dan kakek ini membentak anaknya,
"Hwee-ji (anah Hwee), jangan main gila!" Semua orang lalu tertawa.
"Satu
hal saya mohon kepada Kong-kong, kedua Paman Kakek dan Bibi, yaitu saya ingin
tinggal menjadi Suling Emas. Saya sudah menghapus nama Bu Song dari dalam hati
dan ingatan. Biarlah saya tinggal disebut Suling Emas dan jangan ada yang
mengetahui asal-usul saya."
Pat-jiu
Sin-ong Liu Gan mengerutkan kening dan menatap tajam wajah cucunya, kemudian ia
menarik napas panjang. "Semuda ini sudah sepahit itu. Agaknya dosa-dosa
orang tua menimpa kepadamu. Baiklah, Suling Emas."
Semenjak
hari itu Suling Emas hidup berkumpul dengan keluarga ibunya. Kakeknya amat
sayang kepadanya, juga Liu Mo, Kauw Bian Cinjin, dan Liu Hwee. Kakeknya yang
amat sayang kepadanya, menurunkan pula ilmu-ilmu kesaktian yang tinggi
kepadanya sehingga selama tinggal di Nan-cao, Suling Emas menjadi makin matang
dan makin sakti.
Akan tetapi
ia tidak pula melupakan Kerajaan Sung. Seringkali dalam perantauannya, ia
singgah di kerajaan ini, memasuki istana dan langsung memasuki perpustakaan
untuk memuaskan nafsunya membaca kitab-kitab kuno. Ia menjaga sedemikian rupa
agar ia jangan sampai bertemu dengan bekas kekasihnya, yaitu Suma Ceng. Kalau
tidak tekun membaca kitab sampai berbulan-bulan di dalam gedung perpustakaan
Kerajaan Sung, tentu Suling Emas mengembara dan selalu menurunkan perbuatan
gagah perkasa, membela mereka yang tertindas, menghajar mereka yang
sewenang-wenang, berdasarkan kebenaran dan keadilan. Nama Suling Emas menjadi
makin terkenal di segenap penjuru. Hanya satu hal yang masih mengecewakan hati yang
mulai terhibur oleh pelaksanaan tugas sebagai pendekar budiman itu, yakni bahwa
selama itu belum juga ia tahu akan keadaan ibu kandungnya!
Bersama
berkembangnya nama Suling Emas sebagai pendekar budiman yang sakti, di dunia
kang-ouw muncul nama enam orang manusia iblis yang sakti dan buas, sehingga
mereka itu diberi julukan Thian-te Liok-koai (Enam Iblis Dunia). Mereka itu
adalah It-gan Kai-ong seorang jembel tua bermata satu yang bukan lain adalah
Pouw Kee Lui atau Pouw-kai-ong, ke dua adalah Siang-mou Sin-ni, seorang wanita
cantik jelita berambut panjang yang bukan lain adalah Coa Kim Bwee selir Kaisar
Hou-han, ke tiga adalah Hek-giam-lo si tokoh Khitan yang bukan lain adalah
Bayisan. Ke empat adalah Cui-beng-kui Si Setan Pengejar Roh yang dahulunya adalah
Ma Thai Kun, sute dari Pat-jiu Sin-ong. Ke lima dan ke enam adalah Toat-beng
Koai-jin yang dahulunya bernama Bhe Kiu dan Tok-sim Lo-tong yang dahulunya
bernama Bhe Ciu, dua orang murid Kong Lo Sengjin.
Sampai di
sini selesailah cerita Suling Emas ini dan bagi pembaca yang sudah membaca
cerita Cinta Bernoda Darah tentu telah berjumpa pula dengan Suling Emas yang
menjadi lawan ke enam manusia iblis itu. Pengarang menutup cerita ini dengan
harapan semoga pembaca puas dengan cerita Suling Emas. Apabila masih belum
cukup puas, dipersilakan untuk menanti cerita silat yang berjudul "Mutiara
Hitam" di mana pembaca akan dibawa terbang melayang ke alam khayal dan
mengikuti perjalanan Suling Emas dan murid-murid serta keturunanya, karena
cerita Mutiara Hitam merupakan lanjutan cerita Cinta Bernoda Darah.
Sampai jumpa
dalam Mutiara Hitam!
********** Sahabat Karib.com **********
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment