Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pusaka Pulau Es
Jilid 12
TADI pun
dalam keadaan keracunan dia melawan Gulam Sang. Bila dilanjutkan agaknya dia
akan kalah karena setiap kali mengerahkan tenaga sinkang dadanya terasa nyeri.
Kini dia mencoba untuk mengerahkan sinkangnya. Tidak terjadi sesuatu. Itu
merupakan bukti bahwa obat itu memang manjur.
“Lepaskan
dia!” kata Thian It Tosu kepada para muridnya dan dia sendiri lalu mencabut
Pek-coa-kiam yang tadi oleh Gulam Sang ditancapkan ke atas papan.
Meski pun
agak enggan, para murid menarik senjata mereka yang ditodongkan kepada Gulam
Sang.
Gulam Sang
tertawa menyeringai, lalu menoleh kepada Bi-kiam Niocu sambil berkata, “Niocu,
maukah engkau pergi dengan aku?”
“Jahanam
busuk! Membunuhmu aku mau, tapi kalau disuruh pergi bersamamu, jangan harap!”
Gulam Sang
maklum bahwa dia telah kalah segala-galanya, maka dia sudah melangkah untuk
meninggalkan panggung.
“Tahan
dulu!” tiba-tiba terdengar bentakan nyaring.
Semua orang
menoleh dan Gulam Sang juga memandang. Ketika melihat bahwa yang datang itu
adalah dua orang pendeta Lama berjubah merah, wajahnya menjadi pucat sekali.
"Omitohud...!
Dicari ke mana-mana ternyata berada di sini. Gulam Sang, atas perintah Yang
Mulia Dalai Lama, kami harus menangkapmu. Menyerahlah engkau supaya kami tidak
harus menggunakan kekerasan!”
Gulam Sang
maklum bahwa kalau dia menyerah, tidak urung dia akan dibunuh. Dia dan ayahnya,
Gosang Lama, sudah menyebabkan pemberontakan di Tibet. Ayahnya juga sudah
terbunuh, dan selama ini dia masih dapat meloloskan diri karena bersembunyi di
Bu-tong-pai. Ternyata pada saat kejatuhannya, dua orang Lama Jubah Merah
muncul. Maka, Gulam Sang menjadi nekat.
"Kalian
tidak akan dapat menangkapku hidup-hidup!" setelah membentak demikian, dia
lalu menyerang kedua pendeta Lama itu dengan amat ganas.
Akan tetapi,
kedua orang pendeta Lama itu adalah murid-murid Dalai Lama yang lebih tinggi
tingkatnya dibandingkan Gulam Sang. Mereka menyambut terjangan itu dengan
pukulan telapak tangan secara berbareng.
“Desss...!”
Tubuh Gulam
Sang terpental dan bergulingan, kemudian diam dan tidak bergerak lagi. Ternyata
dia telah tewas!
“Omitohud,
setiap perbuatan jahat akan berakibat mala petaka bagi dirinya sendiri!” kata
pendeta Lama yang perutnya gendut. Kemudian mereka berdua menghadapi Thian It
Tosu dan yang kurus berkata dengan sikap hormat.
“Apakah Toyu
ketua Bu-tong-pai?”
“Benar.”
“Kalau
begitu, kami mohon dengan hormat untuk bisa mengadakan upacara membakar mayat
di sini. Bolehkah?”
“Tentu saja
boleh.”
Thian It
Tosu kini menghadapi semua orang yang berkumpul di situ.
“Kami harap
agar para tamu yang tergolong sesat seperti perkumpulan Pek-lian-pai dan
Pat-kwa-pai, suka meninggalkan tempat ini. Kalian semua memang diundang, akan
tetapi bukan pinto yang mengundang. Hendaknya kalian maklumi, bahwa Bu-tong-pai
bukan perkumpulan pemberontak terhadap pemerintah. Kami hanya menentang
orang-orang yang melakukan kejahatan. Yang tadinya merasa bersekutu dengan
Bu-tong-pai di bawah pimpinan ketua palsu, diminta agar juga meninggalkan
tempat ini!”
Mendengar
ucapan ini, tiga orang datuk segera pergi tanpa banyak cakap lagi. Juga
rombongan orang Pek-lian-pai serta Pat-kwa-pai, termasuk pula mereka yang
tadinya disusupkan menjadi anggota Bu-tong-pai, semua pergi secepatnya dari
tempat yang berbahaya bagi keselamatan mereka itu.
Kini yang
masih tinggal d sana hanyalah orang-orang kang-ouw yang hidupnya sebagai
pendekar dan yang selalu menentang orang-orang yang melakukan kejahatan. Tentu
saja termasuk Yo Han, Tan Sian Li dan Yo Han Li yang sudah lama menjadi sahabat
baik Thian It Tosu. Juga Bi-kiam Niocu masih berada di situ.
Keng Han
menghampiri Bi-kiam Niocu, mengembalikan pedang yang tadi dipijamkan kepadanya,
“Maaf, Niocu, pedangmu rusak dan patah ujungnya,” kata Keng Han.
“Tidak
mengapa, engkau telah menyadarkan aku tentang Gulam Sang yang palsu itu,” kata
wanita itu sambil menerima kembali pedangnya.
Thian It
Tosu menghampiri Yo Han dan memberi hormat dengan merangkap dua tangan di depan
dada yang segera dibalas oleh Yo Han.
“Terima
kasih atas bantuan Yo-taihiap sekeluarga, juga terima kasih kepada Ji-wi yang
muda-muda namun berilmu tinggi,” katanya dan ucapan terakhir ditujukan kepada
Keng Han dan Bi-kiam Niocu.
“Ah,
Totiang. Aku malah minta maaf bahwa aku sama sekali tidak tahu bahwa Totiang
telah ditahan dan Thian It Tosu yang memimpin Bu-tong-pai adalah orang palsu!
Pantas saja aku merasa heran sekali atas perubahan sikap Bu-tong-pai dan
bersekutu dengan Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai. Kiranya bukan Totiang orangnya.”
“Totiang,
saya mohon ijin hendak mencari orang yang bernama Tao Seng, yang menjadi
pimpinan pemberontakan ini. Menurut perhitungan saya, dia pasti bersembunyi di
dalam Bu-tong-pai bersama datuk-datuk sesat tadi. Apakah di antara murid
Totiang ada yang mengetahui di mana dia bersembunyi?”
Seorang
murid Bu-tong-pai cepat-cepat maju dan berkata, “Memang ada seorang yang
kemarin dulu diterima oleh ketua palsu sebagai tamu dan dia disebut Ji-wangwe.”
"Ya
itulah orangnya!” seru Keng Han. “Tahukah engkau di mana dia bersembunyi?”
“Tadinya
mereka semua bersembunyi di dalam kamar rahasia. Akan tetapi ketika terjadi
perkelahian, Ji-wangwe itu keluar dari kamar rahasia, kemudian melarikan diri
melalui pintu belakang.”
“Wah, aku
harus mengejarnya!” kata Keng Han dan dia sudah meloncat pergi dari situ.
Keng Han
lari ke belakang gedung, melalui taman dan terus melompat pagar tembok di
belakang taman. Dia mengejar dan mencari terus, akan tetapi tidak nampak jejak
orang yang dicarinya itu. Tugasnya membela keluarga kaisar sudah berhasil, sekarang
tinggal menemukan ayahnya dan memaksa ayah itu ikut bersamanya ke Khitan,
menghadap ibunya!
Dia tiba di
sebuah bukit kecil. Cepat dia mendaki bukit itu dan di puncak bukit itu dia
melihat sebuah rumah menyendiri. Mungkin ayahnya itu bersembunyi di sana,
pikirnya penuh harapan.
Akan tetapi
ketika tiba di pekarangan rumah itu, tiba-tiba terdengar suara tawa dan tiga
orang lalu meluncur keluar dari dalam rumah itu. Mereka itu ternyata adalah
Swat-hai Lo-kwi, Tung-hai Lo-mo dan Lam-hai Koai-jin. Swat-hai Lo-kwi telah
memegang pedang, Tung-hai Lo-mo juga telah memegang dayung bajanya dan Lam-hai
Koai-jin memegang ruyungnya. Jelas bahwa kedatangannya itu sudah diketahui
mereka dan mereka telah siap untuk menghadapinya.
“Ha-ha-ha-ha,
orang muda. Beberapa kali engkau menggagalkan usaha kami, sekarang tiba saatnya
kami melakukan pembalasan dan membunuhmu di sini!” berkata Swat-hai Lo-kwi
sambil tertawa.
“Lo-kwi,
ingat! Ketika kita berada di Pulau Hantu itu engkau pun berniat membunuhku,
akan tetapi sampai sekarang aku masih hidup! Aku tidak takut biar pun kalian
bersikap curang hendak mengeroyokku. Aku hanya ingin bertanya, apakah Pangeran
Tao Seng atau Hartawan Ji itu berada di dalam? Kalau betul, lekas suruh dia
keluar dan aku akan membawanya pergi. Aku tidak ada alasan untuk bertanding
dengan kalian!”
Melihat
sikap pemuda itu demikian tabah menghadapi mereka bertiga, Tung-hai Lo-mo yang
wataknya angkuh itu membentak, “Dia memang berada di sini. Akan tetapi kami
melindunginya. Kalau engkau dapat mengalahkan kami bertiga, barulah engkau
boleh menemuinya!”
“Tung-hai
Lo-mo, sudah kukatakan bahwa aku tidak butuh bertanding denganmu. Aku hanya
menghendaki orang itu. Ketahuilah bahwa Pangeran Tao Seng itu adalah ayah
kandungku!”
“Ha-ha-ha,
jangan engkau membual!” kata Lam-hai Koai-jin. “Kalau dia memang ayah
kandungmu, mengapa engkau malah menentangnya sehingga gerakannya gagal?”
“Karena dia
berada di pihak yang bersalah. Dia berbuat jahat dan aku tidak ingin melihat
dia berbuat jahat!” jawab Keng Han.
“Sudahlah,
kawan-kawan, tak perlu berdebat dengan bocah ini. Mari kita bereskan saja dia!”
Setelah berkata demikian Swat-hai Lo-kwi sudah menggerakkan pedangnya dan
langsung menyerang Keng Han.
Keng Han
menghindarkan diri dengan mengelak ke kiri. Akan tetapi dari sebelah kiri,
dayung baja Tung-hai Lo-mo sudah menyapu ke arah pinggangnya! Keng Han meloncat
tinggi ke atas sehingga dayung baja itu menyambar di bawah kakinya. Ketika
dayung baja itu melayang tepat di bawahnya, Keng Han menginjak dayung itu dan
meloncat ke belakang, berjungkir balik beberapa kali sebelum turun ke atas
tanah.
Baru saja
Keng Han hinggap di tanah, ruyung Lam-hai Koai-jin sudah menyerangnya,
memukulkan ruyung yang besar dan berat ke arah kepalanya! Hebat serangan ini,
tapi Keng Han tidak menjadi gentar. Kembali dia mengelak ke kanan dan sekarang
kakinya menendang ke arah Swat-hai Lo-kwi. Lo-kwi mengelak dan Keng Han segera
dikeroyok tiga orang datuk itu.
Keng Han
telah memiliki tenaga sinkang yang dahsyat dan ilmu silatnya juga ilmu silat
tinggi dan sakti dari Pulau Es. Akan tetapi kini dia menghadapi pengeroyokan
tiga orang datuk besar di dunia persilatan. Apa lagi dia tak bersenjata,
sedangkan tiga orang datuk yang menyerangnya itu menggunakan tiga macam senjata
yang berbeda gerakannya. Tubuhnya berkelebatan di antara tiga gulungan sinar
dari senjata musuh-musuhnya.
Ketiga orang
datuk itu mengeroyok sambil mengeluarkan bentakan-bentakan nyaring, Namun Keng
Han bukan saja mengelak, bahkan terhadap dayung baja dan ruyung itu beberapa
kali ia menangkis dengan tangannya. Setiap kali ditangkis, pemegang senjata itu
merasa tangannya tergetar oleh hawa yang dingin sekali kalau yang menangkis itu
tangan kiri Keng Han, sedangkan kalau tangan kanan yang menangkis, lawannya
akan merasakan hawa yang amat panas menyerang dirinya.
Tiba-tiba
seorang muncul di depan pintu. Dia itu bukan lain adalah Tao Seng. Melihat
betapa puteranya dikeroyok oleh tiga orang datuk itu, tiba-tiba Tao Seng
teringat kepada Silani, isterinya yang ditinggalkan di Khitan. Maka dia pun
tidak ingin melihat puteranya terbunuh.
“Sam-wi
Locianpwe, jangan bunuh dia! Dia itu anakku, jangan bunuh dia!”
Swat-hai
Lo-kwi menjadi jengkel mendengar ucapan Tao Seng itu. Baginya, orang itu adalah
Hartawan Ji yang membiayai semua usaha pemberontakan itu. Dan kini, melihat
hartawan itu malah melindungi Keng Han, dia menjadi marah.
“Kami harus
membunuhnya! Dialah yang sudah menggagalkan semua usaha kita!” Dan dia pun
menyerang semakin gencar terhadap Keng Han yang masih terus melakukan
perlawanan dengan gigih.
Tao Seng
melihat betapa Keng Han sudah terdesak amat hebat dan kalau perkelahian itu
dilanjutkan, tentu akhirnya Keng Han akan tewas! Mati terbunuh di depan
matanya. Anaknya!
Tiba-tiba
dia menghunus pedang dan meloncat ke dalam pertandingan itu, sama sekali bukan
untuk mengeroyok Keng Han, namun dia menggunakan pedangnya menyerang Swat-hai
Lo-kwi!
“Heiii! Apa
yang kau lakukan ini, Ji-wangwe!” bentak Swat-hai Lo-kwi sambil menangkis.
“Jangan
bunuh dia! Jangan bunuh dia!” Tao Seng berteriak-teriak sambil terus untuk
membantu Keng Han.
“Keparat!”
Swat-hai
Lo-kwi berteriak marah sambil membalik dan menyerang Tao Seng. Baru diserang
sebanyak lima jurus saja pedang di tangan Swat-hai Lo-kwi sudah menembus dada
Tao Seng. Tao Seng berteriak dan roboh terguling.
“Ayahhh...!”
Keng Han berseru keras melihat ayahnya roboh dengan mandi darah.
Dia lalu
mengamuk. Akan tetapi dia dikeroyok tiga orang datuk yang rata-rata memiliki
ilmu kepandaian tinggi dan semua bersenjata, sedangkan dia sendiri bertangan
kosong. Swat-hai Lo-kwi menusukkan pedangnya ke arah lambung Keng Han dan pada
saat itu dayung baja Tung-hai Lo-mo menghantam ke arah kepalanya, sedang ruyung
Lam-hai Koai-jin menghantam punggungnya!
Diserang
secara serentak seperti itu, Keng Han cepat meloncat tinggi untuk menghindar
dari semua serangan itu. Kedua kakinya menendang dan menangkis dayung baja dan
ruyung, kemudian sambil menjejakkan kedua kakinya pada dua senjata itu,
tubuhnya berjungkir balik ke belakang. Maka selamatlah dia dari ketiga serangan
yang dilakukan serentak itu.
Akan tetapi
jantungnya berdebar juga karena serangan berbareng itu sungguh sangat
berbahaya. Kalau saja tidak melihat tiga orang datuk itu membunuh ayahnya,
tentu dia sudah meninggalkan tiga orang lawannya. Akan tetapi Swat-hai Lo-kwi
telah membunuh ayahnya dan dia tidak dapat tinggal diam begitu saja. Dia pun
meloncat ke dekat tubuh ayahnya.
“Ayah,
engkau tidak apa-apa?” tanyanya khawatir.
“Keng Han,
larilah selagi ada kesempatan... aku... aku tidak apa-apa...!”
Akan tetapi
tiga orang datuk itu sudah mengurungnya lagi dan terpaksa dia melawan sekuat
tenaga. Tanpa memegang senjata apa pun, sedangkan ketiga lawannya memiliki tiga
macam senjata yang berbeda sifatnya, maka tidak heran kalau Keng Han langsung
terdesak hebat.
Selagi
keadaan amat gawat bagi Keng Han itu, tiba-tiba terdengar seruan, “Keng Han,
terimalah pedangmu ini!”
Ternyata
yang datang adalah Cu In! Gadis itu melemparkan pedang bengkok milik Keng Han yang
sudah diberikan kepadanya. Keng Han menyambut pedang bengkok itu, lalu
melepaskan sabuk sutera putih dan melemparkannya ke arah Cu In.
Cu In
menyambut senjatanya itu dan langsung saja ia pun menyerang kepada Tung-hai
Lo-mo dengan sabuk suteranya. Di tangan Cu In sabuk sutera itu menjadi senjata
yang ampuh sekali, dapat melibat senjata lawan, dapat pula menotok jalan darah
dan dengan sinkang-nya dia dapat membuat sabuk itu sebagai pecut yang dapat
melecut dengan ganasnya!
Bagaimana Cu
In dapat datang pada saat yang sangat gawat bagi Keng Han? Ternyata berita
tentang Bu-tong-pai mengundang para tokoh kang-ouw itu sampai ke kota raja dan
terdengar pula oleh The Ciangkun, ayah Cu In.
Mendengar
ini, Cu In menduga bahwa Keng Han tentu pergi ke sana untuk mencari ayahnya.
Maka hatinya merasa tidak enak dan ia berpamit dari ayah ibunya untuk pergi
melihat-lihat keadaan di Bu-tong-pai.
“Aku dapat
sekalian menyelidiki apa yang dikehendaki Bu-tong-pai dengan undangan itu,
Ayah,” katanya kepada ayahnya.
Ayah dan
ibunya tidak melarangnya dan pergilah The Cu In ke Bu-tong-pai, membawa pedang
bengkok milik Keng Han yang tidak pernah lepas dari tubuhnya. Ternyata gadis
itu datang terlambat dan pertemuan itu sudah selesai dengan terbongkarnya
rahasia penyamaran Gulam Sang.
Ketika
mendaki bukit Bu-tong-san, ia melihat Keng Han dikeroyok oleh tiga orang datuk
itu. Maka ia cepat bertukar senjata dengan Keng Han dan segera menyerang
Tung-hai Lo-mo yang amat dibencinya karena datuk ini pernah menyingkap cadarnya
dan melihat mukanya.
Diserang
dengan hebat oleh sabuk sutera di tangan Cu In, Tung-hai Lo-mo cepat-cepat
menggerakkan dayung bajanya untuk menyambutnya. Segera terjadilah perkelahian
yang seru di antara mereka. Lo-mo yang bersenjata dayung baja yang berat itu
segera terdesak. Senjatanya terlalu berat dan lamban, sedangkan gadis baju
putih itu memiliki ginkang istimewa.
Selain
gerakannya amat lincah dan cepat, juga senjata yang ringan itu bergerak dengan
kecepatan kilat yang menyambar-nyambar. Meski pun hanya sabuk sutera, akan
tetapi berbahaya sekali kalau serangannya mengenai tubuh lawan. Tung-hai Lo-mo
terpaksa menghindarkan diri sambil mundur terus, dan didesak oleh Cu In yang
penuh semangat untuk merobohkan lawan.
Sementara
itu, Keng Han juga sedang mengamuk dengan pedang bengkoknya. Setelah menerima
pedangnya dari Cu In, Keng Han seperti seekor harimau yang tumbuh sayap. Sepak
terjangnya amat dahsyat, membuat dua orang pengeroyoknya kewalahan.
Swat-hai
Lo-kwi menjadi penasaran. Pada suatu saat ia mengerahkan sinkang-nya dan
memukul dengan tangan kiri terbuka ke arah dada Keng Han. Itulah pukulan jarak
jauh yang mengandung hawa dingin.
Akan tetapi
Keng Han tidak menyingkir. Dia pun merendahkan tubuhnya dan tangan kirinya
didorongkan ke depan dengan tenaga Swat-im Sinkang yang dilatihnya di Pulau
Hantu.
“Wuuuuuttt...!
Desss...!”
Benturan dua
tenaga sakti yang hebat itu sampai dapat dirasakan oleh Lam-hai Koai-jin. Dia
merasa ada hawa yang amat dingin, hampir membuatnya menggigil kalau dia tidak
cepat-cepat mengerahkan sinkang-nya untuk melindungi dirinya.
Akan tetapi
Swat-hai Lo-kwi terdorong mundur. Mukanya pucat dan dia pun lalu roboh
terguling. Ternyata tenaga dinginnya itu masih kalah kuat. Keng Han sendiri terhuyung
sedikit dan kesempatan itu dipergunakan oleh Lam-hai Koai-jin untuk
menyerangnya dengan ruyung.
Akan tetapi
Keng Han sudah cepat menguasai dirinya dan segera memainkan Hong-in Bun-hoat
untuk menghadapi ruyung Lam-hai Koai-jin. Lam-hai Koai-jin adalah seorang datuk
dari selatan yang memiliki ilmu ruyung hebat. Akan tetapi, menghadapi Keng Han
yang mencorat-coret dengan pedangnya seperti orang menuliskan huruf-huruf itu,
dia merasa bingung dan sebentar saja sudah terdesak hebat.
Swat-hai
Lo-kwi yang telah menderita luka dalam tubuhnya itu, bangkit dan terhuyung
meninggalkan tempat itu, tidak mempedulikan lagi kepada dua orang temannya
karena dia harus menyelamatkan diri setelah terluka berat itu.
Tung-hai
Lo-mo juga kewalahan menghadapi sabuk sutera putih di tangan Cu In. Dia hanya
dapat memutar dayungnya sambil kadang-kadang mengelak. Tapi setelah lewat lima
puluh jurus, ujung sabuk itu berhasil menotok pundaknya yang sebelah kanan.
Seketika
lengan kanannya terasa lumpuh dan dayung baja itu lepas dari pegangannya.
Selagi dia terhuyung, ujung sabuk telah menyambar lagi dan tepat mengenai
ubun-ubun kepalanya.
“Prattt…!”
Tung-hai
Lo-mo berteriak keras dan dia pun roboh, tewas seketika!
Melihat dua
kawannya sudah kalah, Lam-hai Koai-jin cepat meloncat jauh ke belakang. “Orang
muda, aku mengaku kalah sekali ini. Di antara kita tidak terdapat permusuhan,
biarlah lain kali aku mencarimu untuk membuat perhitungan.” Dia lalu meloncat
jauh dan melarikan diri.
“Kau hendak
lari ke mana?”
Cu In hendak
mengejar, akan tetapi Keng Han berkata sambil menghampiri Cu In dan memegang
lengannya. “Musuh yang sudah mengaku kalah tidak perlu dikejar!”
Mendengar
kata-kata Keng Han ini, Cu In tidak jadi mengejar. Dia segera menyimpan kembali
sabuk suteranya, dililitkan ke pinggangnya yang ramping.
Keng Han
menghampiri ayahnya dan berlutut. Keadaan Tao Seng payah sekali. Keng Han
menotok jalan darah untuk menggugah ayahnya dari keadaannya yang pingsan.
Akhirnya bekas pangeran itu membuka matanya.
“Kau... Keng
Han... puteraku...?”
“Ayah, aku
datang hendak mengajak Ayah menemui Ibu di Khitan,” berkata Keng Han dengan
nada sedih karena dia maklum bahwa ayahnya tidak mungkin dapat tertolong lagi.
Pedang itu agaknya telah menembus jantungnya.
“Sudah...
sudah terlambat... aku berdosa besar kepada ibumu... Keng Han, maukah... engkau
memintakan maaf kepada Silani? Dan maukah engkau... memaafkan...aku...?”
Keng Han
mengangguk dan mengusap air matanya dengan punggung tangannya. Biar pun ayahnya
telah berbuat jahat karena menuruti ambisi yang muluk, namun pada saat terakhir
ayahnya itu berusaha untuk menolongnya sampai tewas!
“Tentu saja,
Ayah. Ibu pasti akan memaafkanmu...” katanya dengan terharu.
“Terima
kasih... ahhh, terima kasih, Tuhan! Kini... aku dapat... mati dengan… dengan
tenang...!”
Leher itu
terkulai dan mata itu terpejam, tanda bahwa Tao Seng telah menghembuskan napas
terakhir.
“Ayah,
ohhh... Ayah...” Saking sedih dan terharunya, Keng Han menangisi kematian
ayahnya.
“Keng Han,
ayahmu telah tewas, tidak ada gunanya ditangisi lagi,” kata Cu In sambil
memegang pundak pemuda itu dengan suara halus.
Keng Han
sadar dan menghentikan tangisnya. Kemudian dia menoleh kepada Cu In. “Kalau
tidak ada engkau, agaknya aku pun sudah tewas menemani ayahku. Bagaimana engkau
dapat berada di sini, Cu In?”
“Kebetulan
saja, Keng Han. Agaknya Thian memang sudah menentukan begitu. Kami di kota raja
mendengar akan pertemuan yang diadakan Bu-tong-pai dan aku menduga bahwa engkau
akan mencari ayahmu di sini. Maka aku berpamit dari ayah ibuku untuk menyusulmu
ke Bu-tong-pai. Dan ketika mendaki bukit, aku melihat engkau dikeroyok tiga
orang datuk itu.”
Keng Han
menoleh ke arah mayat Tung-hai Lo-mo. “Engkau membunuhnya?”
Cu In
mengangguk. “Aku sudah bersumpah untuk membunuhnya. Ketika dia bersama Swat-hai
Lo-kwi dahulu menawanku, Tung-hai Lo-mo ini hendak memperkosaku. Akan tetapi
setelah dia menyingkap cadarku, dia tidak jadi melakukannya, bahkan hendak
membunuhku. Orang seperti dia itu patut dilenyapkan dari muka bumi agar jangan
suka menghina orang lagi.”
“Cu In,
sekarang aku hendak mengubur jenazah ayahku di tempat ini, sekalian jenazah
Tung-hai Lo-mo pula.”
“Tung-hai
Lo-mo? Untuk apa kita bersusah payah mengubur jenazah manusia sesat itu?”
“Jangan
berpendapat seperti itu, Cu In. Boleh jadi dia jahat di waktu hidupnya. Akan
tetapi dia telah tewas dan yang berada di sini bukan lagi Tung-hai Lo-mo yang
jahat, melainkan sebuah jenazah yang perlu diurus dan dikuburkan.”
Cu In
menggangguk. Matanya memandang kepada pemuda itu dengan penuh kagum. Baru
sekarang dia bertemu dengan seorang pemuda yang bukan saja gagah perkasa dan
bersikap sopan, akan tetapi juga berpemandangan luas dan berbudi luhur.
Keng Han
lalu menggali dua buah lubang dan menguburkan jenazah itu di pekarangan depan
rumah itu. Dia meletakkan sebuah batu besar di depan makam ayahnya, dan sebuah
batu lebih kecil di depan makam Tung-hai Lo-mo. Dia lalu bersemedhi sejenak di
depan makam ayahnya. Cu In juga memberi hormat kepada makam Pangeran Tao Seng
itu.
“Sekarang
engkau hendak ke manakah, Keng Han?”
“Aku harus
kembali dulu ke Khitan, Cu In. Pertama untuk mengabarkan kepada ibuku bahwa
ayah sudah meninggal dunia sebagai seorang jantan karena dia tewas dalam membelaku,
dan kedua kalinya aku hendak memberi tahu tentang perjodohan kita.”
Tiba-tiba
mereka mendengar suara orang yang memanggil dan melihat sesosok tubuh dengan
cepatnya berlari ke arah mereka. Dari jauh saja Cu In sudah mengenal orang itu.
“Itu suci
yang datang,” katanya.
Keng Han
mengerutkan alisnya karena beberapa kali dia mengalami kesukaran kalau
berdekatan dengan Bi-kiam Niocu. Akan tetapi sekali ini Cu In bersamanya, maka
apa yang akan dapat dilakukan oleh Niocu?
Bi-kiam
Niocu cepat sekali berlari dan telah tiba di tempat itu. Napasnya tidak
terengah, seolah berlari secepat itu tidak melelahkan baginya.
“Aku tadi
khawatir kalau engkau bertemu para datuk itu Keng Han. Dan ternyata engkau
sudah berada di sini bersama Sumoi. Dan dua makam ini, makam siapakah?”
“Yang di
sana itu adalah makam Pangeran Tao Seng atau Hartawan Ji, atau juga ayah
kandungku. Sedangkan yang ini adalah makam Tung-hai Lo-mo!”
Bi-kiam
Niocu terbelalak. “Apa yang sudah terjadi? Bagaimana mereka dapat tewas di sini
dan kau kuburkan, Keng Han?”
“Aku bertemu
dengan Swat-hai Lo-kwi, Tung-hai Lo-mo dan Lam-hai Koai-jin di sini dan aku
dikeroyok mereka bertiga. Kemudian muncul ayahku yang membelaku, akan tetapi
dia tewas oleh Swat-hai Lo-kwi. Ketika aku masih dikeroyok tiga, datang In-moi
yang membantuku. In-moi berhasil menewaskan Tung-hai Lo-mo, dan aku juga telah
melukai Swat-hai Lo-kwi. Kemudian Swat-hai Lo-kwi dan Lam-hai Koai-jin
melarikan diri.” Keng Han menceritakan dengan singkat.
“Aihhh,
mereka bertiga begitu sakti, akan tetapi engkau mampu menandingi mereka.
Sungguh hebat engkau, Keng Han. Kalau aku tahu, tentu aku akan membantumu.”
“Bukankah
sepatutnya engkau membantu Gulam Sang, Niocu?” Keng Han mengejek.
Wajah
Bi-kiam Niocu berubah merah. “Laki-laki jahat dan palsu itu! Hampir saja ia
dapat mengelabui aku. Hampir saja aku mabuk oleh puji rayuannya. Tidak, setelah
engkau memberi tahu akan kepalsuannya aku sudah membencinya setengah mati.
Sayang dia tewas tidak olehku, melainkan oleh Lama-Lama Jubah Merah itu? Sumoi,
bagaimana engkau dapat berada di sini. Bukankah engkau ikut... ibu dan ayahmu
ke kota raja?”
“Benar,
Suci. Akan tetapi di sana aku mendengar akan undangan Bu-tong-pai kepada para
tokoh kang-ouw. Aku menduga bahwa Keng Han tentu mencari ayahnya di sini dan
aku khawatir sekali. Juga ayah menyuruhku menyelidiki apa yang terjadi di
Bu-tong-pai ini. Engkau belum sempat menceritakan kepadaku, Keng Han.
Sebetulnya apakah yang telah terjadi di sana?”
Keng Han
lalu menceritakan pengalamannya betapa dia menyusup ke dalam bangunan induk
Bu-tong-pai dan berhasil membebaskan Thian It Tosu yang disekap di penjara
bawah tanah oleh Gulam Sang. Betapa selama ini yang berada di Bu-tong-pai
adalah Gulam Sang yang menyamar sebagai Thian It Tosu.
“Aihhh,
pantas kalau begitu mengapa Bu-tong-pai mendadak saja berubah haluan dan
bersekutu dengan perkumpulan sesat seperti Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai serta
dibantu pula oleh para datuk sesat,” kata The Cu In.
Keng Han
menghela napas panjang. “Harus diakui bahwa Gulam Sang itu memiliki otak yang
cerdik sekali dan juga mempunyai ilmu silat yang tinggi. Sayang dia pergunakan
kepandaiannya untuk berbuat jahat.”
“Memang
benar. Kalau saja dia itu seorang pemuda Han yang melakukan semua itu demi
menghancurkan pemerintah penjajah dan membebaskan rakyat dari penjajahan, masih
bagus! Akan tetapi dia melakukan semua itu demi ambisinya untuk menjadi
Pangeran Mahkota seandainya berhasil dan Pangeran Tao Seng menjadi Kaisar,”
kata Bi-kiam Niocu.
“Sudahlah,
sekarang ia telah tewas, tak perlu lagi membicarakan tentang kejahatannya.
Selanjutnya begini, In-moi. Setelah terbuka kedoknya, Gulam Sang lalu ditangkap
oleh orang-orang Bu-tong-pai. Akan tetapi dasar dia cerdik sekali, orang-orang
Bu-tong-pai tidak berani membunuhnya karena dialah yang menyimpan obat pemunah
racun yang meracuni tubuh Thian It Tosu. Gulam Sang mau menukar obat itu dengan
pembebasan dirinya. Orang-orang Bu-tong-pai yang tidak ingin melihat Thian It
Tosu tewas, terpaksa menyetujui. Obat diberikan dan Gulam Sang dibebaskan.
Tiba-tiba muncul dua orang pendeta Lama Jubah Merah yang diutus oleh Dalai Lama
untuk menangkap Gulam Sang. Gulam Sang melawan dan tewas oleh dua orang pendeta
Lama itu.”
“Lalu kenapa
engkau berada di sini dan dikeroyok oleh tiga orang datuk itu?” tanya pula Cu
In.
“Tiga orang
datuk itu meninggalkan Bu-tong-pai setelah mereka mengetahui bahwa ketua
Bu-tong-pai yang mereka bela itu adalah ketua palsu. Aku lalu mencari ayahku di
dalam bangunan Bu-tong-pai, akan tetapi mendapat keterangan bahwa pangeran itu
telah pergi. Cepat aku melakukan pengejaran dan tiba di tempat ini. Dan
ternyata benar, ayahku berada di sini. Aku dikeroyok oleh tiga orang datuk
sesat. Aku kewalahan dan terdesak. Lalu muncul Pangeran Tao Seng, ayahku itu.
Dia membelaku dan melarang tiga orang datuk itu membunuhku. Akan tetapi hal itu
justru membuat para datuk marah kepadanya sehingga ayahku dibunuhnya. Aku terus
mengamuk sampai engkau datang membantuku, In-moi.”
“Kalian
memang serasi, selalu saling bantu dan saling menolong. Mudah-mudahan saja
kelak kalian menjadi suami isteri yang berbahagia. Sekarang aku hendak kembali
ke Beng-san,” kata Bi-kiam Niocu sambil memandang dengan hati iri.
Sumoinya
yang berwajah cacat dan buruk itu memperoleh calon suami yang begitu baik,
tampan dan gagah, juga berbudi mulia. Sedangkan ia, yang memiliki kecantikan
yang dikagumi banyak orang, selalu menemukan orang yang salah. Pertama, ia
jatuh cinta kepada Keng Han yang sama sekali tidak membalas cintanya. Kedua, ia
tertarik kepada Gulam Sang tetapi ternyata pemuda itu adalah seorang jahat yang
berbahaya.
“Selamat
jalan, Suci. Kuharap kalau engkau pergi ke kota raja, suka singgah di rumah
kami,” kata Cu In dengan ramah.
Ia dahulu
tidak suka kepada sucinya ini karena terlalu kejam terhadap kaum pria. Akan
tetapi sekarang ia merasa kasihan kepadanya.
“Selamat
berpisah, Niocu. Semoga engkau berbahagia,” kata Keng Han yang merasa kasihan
pula karena gadis itu pernah jatuh cinta kepadanya tapi tidak dapat dibalasnya.
“Hemmm...!”
Bi-kiam Niocu mendengus dan sekali berkelebat ia sudah lenyap dari situ. Memang
Bi-kiam Niocu memiliki ginkang yang hebat.
“Kasihan...!”
Tanpa terasa Keng Han berkata lirih.
“Ehh? Kenapa
kasihan, Han-ko?”
Bukan main
senangnya hati Keng Han saat mendengar gadis itu menyebutnya Han-ko (kanda
Han), karena biasanya gadis itu menyebut namanya begitu saja. Dia sendiri pun
sudah mendahului Cu In dan menyebutnya In-moi (dinda In).
Tentu saja
Keng Han tidak mau menceritakan tentang Bi-kiam Niocu yang jatuh cinta
kepadanya. “Kasihan karena ia telah keliru memilih pria yang dicintanya. Gulam
Sang adalah seorang yang jahat dan kejam. Bahkan dia menyuruh anak buahnya
membunuh kekasihnya ketika kekasihnya itu berteriak hendak membuka rahasia
penyamarannya. Suci mu itu sudah sepantasnya mendapatkan seorang jodoh yang
baik.”
“Kuharap
juga begitu. Akan tetapi agaknya itu merupakan hukuman baginya karena dahulu,
entah berapa banyak pria yang dibunuhnya hanya karena pria itu sudah berani
mencintainya.”
“Apakah
engkau dahulu juga tidak seperti suci-mu itu, In-moi? Bukankah gurumu... ehh,
ibumu mengajar kalian untuk membunuh pria yang menaruh hati kepadamu?”
“Tidak,
Han-ko. Untung aku memiliki wajah yang buruk dan aku selalu menyembunyikan
wajahku di belakang cadar sehingga tak ada orang yang sempat jatuh cinta
kepadaku.”
“Siapa
bilang tidak ada yang jatuh cinta kepadamu? Buktinya aku jatuh cinta kepadamu
dengan seluruh jiwa ragaku!”
Dahi gadis
itu berubah merah mendengar ucapan ini. “Engkau lain lagi, Han-ko. Engkau
adalah seorang pendekar yang tampan dan gagah, akan tetapi bodoh!”
“Bodoh?”
“Ya, bodoh!
Kalau tidak bodoh, mana mungkin engkau jatuh cinta kepada seorang gadis yang
mukanya cacat dan buruk?”
“Sudahlah,
jangan bicara tentang wajah! Aku mencintaimu dengan setulus hatiku, bukan
karena baik atau buruknya wajahmu. Nah, sekarang pulanglah engkau ke kota raja,
ke rumah orang tuamu.”
“Dan
engkau?”
“Aku? Karena
ayahku telah tewas, aku akan pulang dulu ke Khitan melaporkan kepada ibu bahwa
ayah telah tewas dan juga mohon doa restunya supaya aku dapat menikah
denganmu.”
“Ahh, aku
hendak ikut, Han-ko! Aku pun ingin berkenalan dengan ibu, calon mertuaku!” kata
Cu In dengan suara bersungguh-sungguh.
“Akan
tetapi, engkau belum memberi tahu kepada ayah ibumu! Tentu mereka akan khawatir
sekali kalau sampai lama engkau belum juga kembali ke kota raja!”
“Ibu akan
mengerti dan tidak akan mengkhawatirkan aku. Ia pun dapat memberi tahu kepada
ayah bahwa sejak muda sekali aku sudah sering berkelana di dunia kang-ouw dan
selalu pulang dalam keadaan selamat. Apa lagi sekarang, melakukan perjalanan
bersamamu. Apa bahayanya? Kita pasti akan mampu menanggulangi berdua!”
“Bukan
bahaya yang kukhawatirkan, In-moi. Akan tetapi... seperti para ibu lain di
dunia ini, ibuku tentu ingin sekali melihat wajahmu...”
“Biarkan
saja dia melihatnya! Bukankah engkau juga sudah melihatku dan hal itu tidak
mengurangi cintamu kepadaku?”
“Ahh, itu
urusan lain lagi, In-moi. Kalau ibuku melihat wajahmu lalu melarangku berjodoh
denganmu, aku tidak akan dapat menyalahkannya. Hal itu wajar saja, bukan? Aku
tidak termasuk hitungan karena aku mencintamu dengan hati yang tulus ikhlas.
Sebaiknya engkau tidak ikut, In-moi. Aku tidak akan lama tinggal di Khitan.
Setelah kita menikah baru engkau akan kupertemukan dengan ibuku dan kakekku.”
“Tidak,
Han-ko. Aku tak percaya bahwa seorang ibu yang melahirkanmu akan bersikap
sepicik itu. Engkau bijaksana, maka ibumu tentu lebih bijaksana lagi!”
“Ibuku
adalah seorang Khitan yang tidak berpendidikan dan tentu saja pikirannya masih
kolot. Aku khawatir...”
“Khawatir
kalau ia menolakku? Tenangkan hatimu. Aku telah siap menghadapi apa saja. Dan
andai kata ibumu menolak aku menjadi calon menantunya sekali pun, perasaanku
terhadapmu tak akan berubah. Kita harus bersikap jujur terhadap ibumu, Han-ko.
Kalau ia menolakku itu sudah wajar. Akan tetapi kalau ia menerimaku tanpa
melihatku, bagai mana akibatnya di belakang hari kalau ia menyesal mempunyai
mantu seperti aku?”
Keng Han
merasa terharu sekali dan dia memegang kedua tangan gadis itu. “Alangkah gagah
beraninya engkau dalam menghadapi apa pun juga, In-moi. Aku menghargai sikapmu
dan marilah kita berangkat ke Khitan.”
Sepasang
orang muda itu dengan bergandeng tangan melanjutkan perjalanan setelah sekali
lagi memberi hormat kepada makam Pangeran Tao Seng. Mereka nampak amat gembira
dan bahagia menyongsong masa depan mereka. Cinta kasih di antara mereka membuat
mereka merasa kuat sekali.
Cinta kasih
yang murni hanya memberi dan sama sekali tidak mementingkan diri sendiri,
bersih dari nafsu menyenangkan diri sendiri. Kalau cinta itu didasari
menyenangkan diri sendiri, maka cinta itu tidak akan tahan lama. Karena segala
macam kesenangan di dunia ini selalu disusul kebosanan dan keinginan mencari
yang lebih menyenangkan lagi. Akan tetapi kalau cinta itu didasari pementingan
diri orang yang dicinta, kita selalu berusaha untuk menyenangkannya, untuk
membahagiakannya karena kebahagiaan dia yang dicinta itu menimbulkan
kebahagiaan bagi diri sendiri.
Cinta yang
terdorong wajah tampan dan cantik, terdorong harta benda atau kedudukan, cinta
seperti itu mudah luntur. Menimbulkan kebosanan dan kebencian yang berakhir
dengan perpisahan atau perceraian. Cinta nafsu hanya menghendaki keuntungan
bagi diri sendiri.
Seorang
sahabat yang melakukan seribu satu kebaikan kepada kita akan terhapus oleh satu
saja keburukan kepada kita. Cinta yang sejati tak lapuk oleh panas tak lekang
oleh hujan. Seperti cinta kasih Tuhan kepada semua makhluk ciptaannya. Baik itu
berupa tumbuh-tumbuhan, hewan, terutama sekali manusia. Semua mendapatkan
berkahNya, semua dapat menikmati hidup.
Baru
matahari saja, seolah diciptakan Tuhan untuk kehidupan semua makhluk di dunia.
Tanpa sinar matahari tak akan ada yang dapat hidup. Dan diberiNya tanpa pilih
kasih, kepada siapa saja, yang kaya mau pun yang miskin, yang berkedudukan
tinggi mau pun yang rendah, yang hidup benar dan baik mau pun yang hidup buruk
dan jahat.
Tuhan memang
bukan manusia, akan tetapi kita manusia seyogianya mawas diri dan mengkaji
kembali cinta kasih kita kepada kekasih, kepada teman hidup, kepada anak-anak,
keluarga, tetangga dan masyarakat. Kalau kita semua hidup dengan cinta kasih
kepada sesamanya tanpa nafsu mementingkan diri sendiri, adanya hanya memberi
dan membantu, maka kehidupan di dunia ini akan merupakan keindahan sorgawi!
***************
Gadis dan
pemuda itu duduk berhadapan di sebuah hutan. Mereka duduk di atas batu di bawah
naungan pohon yang rindang dan teduh. Mereka adalah Lo Siu Lan dan Gan Bu Tong.
Kita masih ingat bahwa Lo Siu Lan merupakan puteri dari ketua Kwi-kiam-pang
(Perkumpulan Pedang Setan) Lo Cit yang berjuluk Toat-beng Kiam-sian (Dewa
Pedang Pencabut Nyawa). Ada pun pemuda itu adalah Gan Bu Tong, suheng-nya dan
murid dari Toat-beng Kiam-sian.
Mereka
sedang berburu binatang. Akan tetapi hari itu agaknya mereka sedang sial.
Sampai matahari naik tinggi, mereka belum mendapatkan buruan seekor pun. Karena
siang itu panas sekali, mereka lalu beristirahat, duduk di bawah pohon, minum
sambil bercakap-cakap.
“Sumoi,”
kata Bu Tong, suaranya sedih dan penasaran. “Kita bergaul sejak kecil dan
engkau tahu sendiri betapa besar kasihku kepadamu. Akan tetapi kenapa engkau
tega menolakku kalau aku mengajak bicara tentang perjodohan kita?”
“Karena aku
sama sekali belum memikirkan tentang perjodohan, Suheng. Sudahlah, jangan
bicara tentang perjodohan, aku tidak menyukainya!” gadis itu menjawab dengan
suara agak ketus.
Ia seorang
gadis berusia kurang lebih sembilan belas tahun, cantik dan berkulit putih
mulus. Rambutnya hitam panjang dan diikat ke belakang dengan sanggul manis di
atas kepalanya. Lo Siu Lan memang seorang gadis yang sudah dewasa dan menarik
hati.
“Akan tetapi
ketika pemuda bernama Keng Han itu berada di sini, engkau bersikap lain! Kau
tentu tahu bahwa aku mencintaimu sejak lama, Sumoi. Dan selama ini aku melihat
bahwa engkau juga suka kepadaku sehingga pergaulan kita akrab sekali.”
“Tentu saja
aku suka padamu, Suheng. Bukankah engkau suheng-ku? Akan tetapi rasa suka itu
berbeda sekali dengan cinta. Aku menyukaimu seperti seorang adik menyukai
kakaknya, bukan seperti seorang wanita mencinta pria. Mengertikah engkau,
Suheng?”
Gan Bu Tong
adalah seorang pemuda yang telah berusia dua puluh lima tahun, tampan dan
gagah, tinggi besar dengan rambut panjang dikuncir tebal. Tentu saja dia
mengerti apa yang dimaksudkan oleh sumoi-nya itu.
Dahulu pun
dia mencinta sumoi-nya ini sebagai seorang kakak terhadap adiknya. Akan tetapi
setelah Siu Lan menjadi dewasa, nampak cantik jelita, cintanya sebagai kakak
itu berubah menjadi cinta seorang pria terhadap wanita dan mengharapkan
sumoi-nya itu untuk menjadi jodohnya. Dan pada hari ini, ketika berdua saja di
dalam hutan itu, dia mengambil keputusan untuk minta ketegasan sumoi-nya.
Mendengar
jawaban bahwa sumoi-nya tidak mencintanya, namun hanya menyukainya sebagai
seorang kakak, hatinya seperti ditusuk rasanya dan habislah harapannya. Jika
gadis itu menjawab belum ada rasa cinta, hal itu masih ada kemungkinan dan
harapan bahwa kelak gadis itu akan tertarik dan jatuh cinta kepadanya. Akan
tetapi kalau gadis itu menyukainya sebagai kakak, tidak mungkin ia dapat
mencintanya sebagai kekasih.
Melihat
wajah yang murung itu, wajah yang biasanya berseri itu kini nampak demikian
sedih, Siu Lan merasa iba kepada suheng-nya itu.
“Suheng,
harap jangan berduka. Tidak selamanya cinta berakhir dengan pernikahan, bukan?
Kita bisa saling mencinta sebagai saudara, bersikap baik dan saling membantu,
saling melindungi.”
“Akan
tetapi, kepada Keng Han itu...”
“Terus
terang saja, memang aku amat tertarik kepadanya, Suheng. Ia seorang pemuda yang
bagiku amat menarik hati, apa lagi kepandaiannya pun jauh lebih tinggi dari
pada kepandaian kita.”
“Akan tetapi
dengan tegas dia menyatakan tidak mau kawin denganmu, Sumoi.”
Siu Lan
menghela napas panjang. “Itu adalah hak dia! Memang tak mungkin dua orang
menjadi suami isteri kalau cinta itu datangnya hanya sepihak.”
“Agaknya dia
memiliki hubungan erat sekali dengan gadis bercadar itu!” Gan Bu Tong
memanaskan hati sumoi-nya.
Siu Lan
tidak marah, melainkan menghela napas lagi. “Entah bagaimana wajah gadis
bercadar itu. Akan tetapi yang jelas, ia pun lihai bukan main. Agaknya nasib
kita sama, Suheng. Kita berdua menjadi korban cinta yang gagal, mencinta
seorang yang tidak membalas cinta kita. Agaknya memang bukan jodoh kita. Kita
tidak boleh putus asa. Suheng, di dunia ini wanita bukan aku seorang, seperti
juga di dunia ini pria bukan hanya Keng Han saja. Kelak kita pasti akan bertemu
dengan jodoh kita masing-masing! Mari kita teruskan berburu, Suheng, sudah
terlalu lama kita beristirahat. Kalau kita pulang tidak membawa hasil buruan,
tentu ayah akan mentertawakan kita.”
“Baiklah,
mari kita menyusup ke tengah hutan ini,” jawab Bu Tong yang mendapatkan kembali
kegembiraannya.
Betapa pun
juga, hatinya menjadi lega. Biar pun cintanya gagal, keadaan ini lebih baik
dari pada sebelumnya, harap-harap cemas. Kini dia telah mengetahui isi hati
sumoi-nya dan yakin bahwa dia tidak boleh lagi mengharapkan sumoi-nya menjadi
isterinya.
Hal ini,
kepastian ini, melenyapkan keraguannya dan malah melegakan hatinya. Dia merasa
bebas dari ikatan batinnya sendiri yang mencinta sumoi-nya, walau pun dia
merasakan kepedihan cinta yang gagal. Sebagai seorang gagah dia harus mampu
menahan pukulan ini!
Kedua orang
muda itu menyusup ke tengah hutan dan tak lama kemudian mereka melihat
sekawanan kijang sedang minum di tepi sungai kecil. Kijang-kijang itu berada di
seberang sungai dan mereka tahu bahwa wilayah kekuasaan Kwi-kiam-pang hanya
sampai di sungai itu.
Akan tetapi
kijang-kijang itu berada begitu dekat dan mereka tidak tahu siapa yang
menguasai wilayah seberang sungai itu. Kalau mereka tidak salah ingat, kabarnya
yang berkuasa di seberang itu adalah perkumpulan Hek-houw-pang (Perkumpulan
Harimau Hitam).
Karena
sungai itu kecil saja, dua orang muda yang sudah haus korban buruan itu tidak
lagi mempedulikan bahwa kijang-kijang itu berada di seberang sungai. Mereka
sudah memasang anak panah pada busur mereka dan begitu melepaskan anak panah,
dua ekor kijang terjungkal dan lainnya lari dengan cepat meninggalkan tempat
itu.
Bu Tong dan
Siu Lan bersorak gembira, lalu mereka meloncati sungai kecil itu untuk
mengambil hasil anak panah mereka. Akan tetapi baru saja mereka mencabut anak
panah dari tubuh dua ekor kijang itu, muncul belasan orang yang berlompatan
dari balik pohon-pohon dan semak belukar.
Melihat
bahwa orang-orang itu memakai pakaian seragam bergambar harimau hitam, tahulah
Bu Tong dan Siu Lan bahwa kini mereka berhadapan dengan para anggota perkumpulan
Hek-houw-pang. Mereka itu dipimpin seorang pemuda yang gagah dan bermata lebar.
“Hemmm, dua
orang yang lancang berani berburu binatang dalam wilayah kekuasaan kami?”
bentak pemuda bermata lebar itu.
Gan Bu Tong
cepat mengangkat tangan ke depan dada dan untuk memberi hormat kepada pemuda
itu dan berkata, “Kami adalah dua orang murid dari Kwi-kiam-pang. Aku bernama
Gan Bu Tong dan sumoi-ku ini adalah puteri ketua kami bernama Lo Siu Lan. Kami
melihat buruan kami di tepi sungai kecil ini dan memanahnya. Kami sama sekali
tidak bermaksud lancang memasuki wilayah orang lain!”
Mendengar
perkenalan diri ini, pemuda itu nampak tertegun. Dia memandang kepada Siu Lan
dengan penuh perhatian.
“Jadi kalian
adalah murid-murid Kwi-kiam-pang? Kwi-kiam-pang tak pernah memandang kami
sebagai sahabat. Kami dari Hek-houw-pang tidak pernah mengijinkan siapa pun
juga untuk memasuki wilayah kami tanpa ijin. Kalian telah melanggar, maka
terpaksa kami akan menahan kalian, dan kalau Toat-beng Kiam-sian Lo Cit sendiri
yang datang minta maaf, barulah kami dapat melepaskan kalian.”
Kini Siu Lan
tidak dapat menahan kesabarannya lagi. “Kalian berani berkata demikian?
Siapakah engkau yang berani tidak memandang muka ayahku dan bersikap kurang
ajar?!”
Pemuda
bermata lebar itu tersenyum. “Perkenalkan, namaku Tang Hun dan aku adalah
putera dari ketua Hek-houw-pang!”
Sekarang
mengertilah dua orang muda dari Kwi-kiam-pang itu. Setahun yang lalu, ketua
Hek-houw-pang pernah datang bertamu ke Kwi-kiam-pang. Ketua ini mengajukan usul
untuk menjodohkan puteranya dengan Siu Lan. Akan tetapi, karena gadis itu tidak
mau, Toat-beng Kiam-sian Lo Cit menolak dengan halus.
Agaknya
penolakan itu menyinggung perasaan keluarga Tang sehingga kini Tang Hun hendak
membalas penolakan yang dianggap menghina itu. Dia menangkap Siu Lan dan Bu
Tong dan baru mau membebaskan mereka kalau ketua Kwi-kiam-pang sendiri yang
datang memintakan maaf!
Bu Tong
adalah seorang pemuda yang cerdik. “Sobat, kalau engkau menganggap kami
bersalah, maka maafkanlah kami dan kami tidak akan mengambil kijang buruan kami
ini.”
“Tidak!
Siapa berani berbuat harus berani menanggung resikonya. Kami akan menahan
kalian dan sebelum ketua Kwi-kiam-pang sendiri yang minta maaf, kami tidak akan
membebaskan kalian!” Tang Hun berkata tegas.
“Akan tetapi
bagaimana mungkin? Kalau kalian menahan kami berdua, lalu siapa yang akan
memberi kabar kepada suhu? Tangkap dan tahanlah aku, akan tetapi bebaskan Sumoi
agar ia dapat melaporkan kepada suhu,” kata pula Bu Tong.
Tang Hun
diam sejenak, lalu sambil memandang kepada Siu Lan dia berkata, “Baiklah, aku
akan menahan nona Lo di sini, dan engkau boleh pulang untuk melapor!” kata-kata
itu demikian tegas dan pasti.
“Sobat,
sungguh tidak enak dan tidak pantas kalau kalian menahan seorang wanita. Biar
aku yang ditahan dan Sumoi...”
“Cukup!
Kalian tinggal pilih. Keduanya akan kami tahan atau hanya Nona ini!”
“Suheng,
biarlah engkau yang pulang melapor kepada ayah bahwa aku ditawan oleh
orang-orang Hek-ouw-pang. Jangan khawatir, mereka tidak akan dapat berbuat
sesuatu kepadaku!” kata Siu Lan sambil meraba gagang pedangnya.
“Akan
tetapi, Sumoi...”
“Sudahlah,
apakah engkau lebih suka kalau kita berdua yang menjadi tawanan? Siapa yang
akan memberi tahu kepada ayah?” potong Siu Lan.
Bu Tong
menghela napas panjang. “Baiklah, aku akan pulang. Akan tetapi kalau kalian
berani mengganggu sehelai saja rambut Sumoi, kami akan datang menghancurkan dan
membinasakan kalian semua!”
“Hemmm,
engkau boleh menggertak semau hatimu, Sobat. Kami tidak bersalah. Kami menahan
orang yang melanggar perbatasan wilayah kami. Kalianlah yang bersalah, bukan
kami!” tangkis Tang Hun sambil tertawa, wajahnya berseri.
Terpaksa Gan
Bu Tong meloncati sungai kecil itu dan langsung melakukan perjalanan pulang sebelum
hari menjadi sore. Dia berlari cepat dan pada suatu tikungan yang tertutup oleh
pohon-pohon besar, hampir dia bertabrakan dengan seorang yang berjalan cepat
dari depan. Tetapi, bagaikan seekor burung saja, orang itu telah melayang
melewati kepalanya.
Gan Bu Tong
terkejut sekali dan juga amat kagum. Dia cepat membalikkan tubuhnya dan
ternyata orang itu adalah seorang gadis yang cantik sekali.
Gadis itu
bukan lain adalah Bi-kiam Niocu Siang Bi Kiok. Bu Tong sampai ternganga saking
kagumnya. Gadis yang cantik jelita, mukanya berseri dengan senyum tenang,
kulitnya putih mulus, kedua pipinya kemerahan, sepasang mata serta bibirnya
manis sekali, rambutnya agak keriting dan panjang.
“Hemmm,
apakah engkau dikejar setan maka berlarian di tengah hutan seperti itu?” kata
Niocu sambil tersenyum mengejek.
Akan tetapi
matanya memandang penuh selidik. Seorang pemuda yang tampan dan gagah,
pikirnya.
“Maafkan
aku, Nona. Aku tidak sedang dikejar setan, akan tetapi bahkan lebih dari itu.
Aku hendak melapor kepada suhu bahwa puteri suhu ditawan gerombolan orang-orang
Hek-houw-pang!”
Bi-kiam
Niocu mengerutkan alisnya. Ia memandang wajah pemuda itu penuh perhatian.
“Kulihat engkau bukan orang lemah, kenapa engkau melarikan diri dan tidak
menolong sumoi-mu itu?”
“Nona, tadi
kami sudah dikepung oleh belasan orang yang dipimpin oleh putera ketua
Hek-houw-pang. Kalau melawan kami pasti kalah. Mereka lalu menyandera sumoi dan
mengatakan bahwa mereka akan membebaskan sumoi hanya kalau suhu sendiri yang
datang ke sana minta maaf.”
“Hemmm,
kesalahan apakah yang kalian lakukan?”
“Kami sedang
berburu binatang dan memanah dua ekor kijang yang berada di seberang sungai
kecil, wilayah kekuasaan mereka. Kami telah minta maaf akan tetapi mereka
memaksa untuk menawan sumoi.”
“Hemmm,
siapa namamu dan siapa nama sumoi-mu itu?” tanya Niocu yang semakin tertarik.
“Namaku Gan
Bu Tong dan sumoi bernama Lo Siu Lan.”
“Kalian dari
perkumpulan apa dan siapa suhu-mu?”
“Suhu adalah
ketua dari Kwi-kiam-pang berjuluk Toat-beng Kiam-sian bernama Lo Cit,” Gan Bu
Tong menjawab dengan bangga karena nama besar gurunya itu pasti dikenal semua
tokoh kang-ouw.
Benar saja
dugaannya. Niocu tersenyum mendengar nama ini.
“Ah, kiranya
engkau murid kakek pincang itu? Gurumu pernah bersikap baik terhadap muridku,
biarlah sekarang aku membantu muridnya. Cepat bawa aku ke tempat di mana
sumoi-mu itu ditawan. Aku yang akan membebaskannya!”
Girang
sekali hati Gan Bu Tong. Agaknya gadis itu tidak hanya membual. Gerakannya
ketika meloncat di atas kepalanya menghindarkan tabrakan itu saja sudah
membuktikan betapa hebat ginkang-nya. Apa lagi gadis ini sudah mengenal nama
suhu-nya.
“Baik, Nona.
Mari kita pergi ke sana!” kata Bu Tong.
Ia pun
berlari kembali ke tempat tadi secepatnya. Akan tetapi, gadis itu seakan
berjalan melangkah seenaknya biar pun kenyataannya dia tidak pernah dapat
meninggalkannya. Sungguh merupakan ilmu berlari cepat yang hebat.
Akan tetapi
ketika mereka tiba di seberang sungai itu, tidak nampak lagi bayangan Siu Lan.
“Tentu sumoi
sudah mereka bawa ke sarang mereka!”
“Kita
kejar!” kata Niocu.
Tanpa
menanti jawaban ia sudah melompat ke depan berlari cepat. Bu Tong berusaha
mengejarnya, akan tetapi sebentar saja dia sudah tertinggal jauh. Niocu yang
berlari lebih cepat itu segera dapat mengejar orang-orang Hek-houw-pang yang
menawan Siu Lan.
Gadis ini
berjalan dengan sikap tenang di tengah-tengah mereka. Ia tidak merasa takut.
Suheng-nya tentu akan melapor kepada ayahnya dan ayahnya tentu akan datang
untuk membebaskannya.
Kini Siu Lan
teringat mengapa pemuda itu seperti menaruh dendam kepada ayahnya. Setahun
lebih yang lalu, ketua Hek-houw-pang pernah berkunjung ke rumah ayahnya. Dari
ibunya ia kemudian mendengar bahwa ia telah dipinang oleh ketua Hek-houw-pang
untuk dijodohkan dengan puteranya. Akan tetapi ia berkeras menolak karena ia
belum pernah melihat putera ketua Hek-houw-pang itu.
Ayahnya lalu
menolak pinangan itu dengan halus. Agaknya urusan itulah yang membuat pemuda
itu hendak membalas dendam dengan menawannya supaya ayahnya datang minta maaf
kepada ketua Hek-houw-pang!
Kini setelah
melihat orangnya, ia harus mengakui bahwa pemuda itu cukup tampan dan gagah,
akan tetapi matanya yang terlalu lebar itu tidak sedap dipandang, di samping ia
belum mengetahui bagaimana watak pemuda itu. Kalau wataknya baik, belum tentu
ia menolak pinangannya setelah melihat orangnya.
Pada waktu
Siu Lan melangkah sambil melamun, tiba-tiba nampak sesosok bayangan berkelebat
dan tahu-tahu di depan rombongan itu telah berdiri seorang wanita cantik.
Wanita itu memandang dengan matanya yang bersinar tajam dan mulutnya tersenyum
mengejek.
“Belasan
orang laki-laki menawan seorang gadis muda, sungguh merupakan perbuatan yang
tidak tahu malu!” kata wanita itu yang bukan lain adalah Bi-kiam Niocu Siang Bi
Kiok.
Tang Hun
yang tadinya berjalan dekat Siu Lan, segera melangkah maju menghadapi Niocu.
Dia mengangkat kedua tangannya ke depan dada sebagai penghormatan, lalu
berkata, “Kami tidak mengenal Nona, sebaliknya Nona juga tidak mengenal kami.
Setiap perbuatannya tentu ada sebabnya yang kuat, maka harap Nona jangan mencela
dulu dan tidak mencampuri urusan pribadi kami!” Suaranya itu sopan namun
nadanya keras.
“Tidak
mungkin aku tidak mencampuri. Melihat seorang wanita ditawan belasan orang,
bagaimana menyuruh aku tidak campur tangan? Cepat bebaskan dia atau aku akan
memberi hajaran keras kepada kalian!”
“Wanita
sombong. Apa kau kira aku takut kepadamu?”
“Heh-heh-heh,
bukankah engkau adalah putera Hek-houw Tang Kwi? Dari pada engkau babak-belur,
lebih baik engkau suruh ayahmu datang ke sini melawanku.”
“Nona,
sebetulnya siapakah engkau dan mengapa engkau mencampuri urusan ini? Ini adalah
urusan antara Kwi-kiam-pang dan Hek-houw-pang. Nona tidak berhak untuk ikut
mencampuri!”
“Hemmm,
bocah seperti engkau ini hendak melawanku? Ketahuilah bahwa aku yang disebut
orang Bi-kiam Niocu!”
Mendengar
nama ini, Tang Hun terkejut. Tentu saja dia pernah mendengar akan nama Bi-kiam
Niocu yang kabarnya amat kejam terhadap pria itu. Akan tetapi dia tidak merasa
takut. Malu rasanya kalau takut melawan seorang wanita.
“Bagus! Nama
Bi-kiam Niocu memang sudah terkenal di dunia kang-ouw, akan tetapi aku Tang Hun
tidak gentar menghadapimu. Engkau yang mencari perkara, bukan kami!” Pemuda itu
berkata demikian sambil mencabut pedangnya.
Pada saat
itu, Bu Tong sudah tiba di situ. Melihat ini, Bi-kiam Niocu berseru kepadanya.
“Gan Bu Tong, engkau bantulah sumoi-mu untuk menghajar orang-orang itu,
sedangkan bocah she Tang ini serahkan saja kepadaku!”
“Baik,
Nona.” Bu Tong berseru girang dan berkata kepada sumoi-nya, “Sumoi, mari kita
lawan mereka!”
Kalau tadi
kakak beradik seperguruan itu tidak berani memberontak adalah karena di situ
ada Tang Hun dan belasan orang anak buahnya. Kini, setelah Tang Hun ada yang
menghadapi, mereka menjadi berani dan Siu Lan juga mencabut pedangnya. Dua
orang kakak beradik seperguruan ini lalu mengamuk dan dikepung serta dikeroyok
belasan orang anak buah Hek-houw-pang.
Sementara
itu Tang Hun mencabut pedangnya. Dia sudah mendengar akan kelihaian Bi-kiam
Niocu, maka dia mencabut pedang lebih dulu lalu menyerang lawannya yang masih
bertangan kosong.
Akan tetapi
dengan gerakan yang cepat Niocu sudah menghindar dari serangan itu. Dia
membiarkan pemuda itu menyerangnya hingga sepuluh jurus yang selalu bisa
dielakkan oleh Niocu. Setelah membiarkan lawan menyerang sampai sepuluh jurus,
barulah Niocu mencabut pedangnya.
Pedang ini
adalah pedang baru karena pedangnya yang lama patah ujungnya ketika ia
pinjamkan kepada Keng Han untuk melawan Thian It Tosu palsu yang mempergunakan
pedang Pek-coa-kiam, pedang pusaka Bu-tong-pai. Ia membeli pedang baru yang
juga baik sekali, terbuat dari baja pilihan.
Begitu Niocu
menggunakan pedang untuk melawan, Tang Hun segera terdesak hebat. Akan tetapi
Niocu sekarang bukan seperti Niocu dahulu ketika ia masih liar membenci kaum
pria. Ia tidak berniat membunuh Tang Hun, hanya membebaskan Siu Lan saja.
Apa lagi
memang ilmu kepandaian Tang Hun sudah cukup tangguh sehingga biar pun terdesak
dia masih dapat melakukan perlawanan! Setelah pertandingan berjalan kurang
lebih tiga puluh jurus, Tang Hun main mundur terus.
Pertandingan
antara lima belas anak buahnya yang mengepung Lo Siu Lan dan Gan Bu Tong juga
berlangsung seru. Meski dikeroyok belasan oleh orang, namun kakak beradik
seperguruan ini dapat menggerakkan pedang mereka untuk melindungi diri, bahkan
sempat pula merobohkan beberapa orang dengan tendangan kaki mereka.
Tiba-tiba
terdengar bentakan nyaring.
“Tang Hun,
mundurlah, biarkan aku yang menghadapi!”
Tang Hun
gembira sekali mendengar suara ini karena suara itu adalah suara ayahnya!
Memang yang baru datang itu adalah Hek-houw Tang Kwi sendiri, seorang kakek
yang bermuka hitam dan berusia kurang lebih lima puluh tahun.
Begitu tiba
di situ dia melihat puteranya didesak hebat oleh seorang wanita cantik. Dia
tidak mengenal wanita itu, karena itu dia cepat menyuruh puteranya mundur dan
dia menangkis pedang di tangan wanita itu yang menyambar cepat.
"Tranggggg...!”
Keduanya
amat terkejut karena merasa betapa tangan mereka yang memegang pedang tergetar
hebat. Hek-houw Tang Kwi menjadi penasaran dan segera berseru, “Tahan senjata!”
Semua anak
buahnya yang tadi mengeroyok Siu Lan dan Bu Tong juga menghentikan penyerangan
mereka. Semua melompat ke belakang sehingga perkelahian itu terhenti.
“Apa artinya
perkelahian ini? Heiii, bukankah engkau adalah puteri dan murid Toat-beng
Kiam-sian Lo Cit? Dan engkau sendiri siapakah Nona?”
“Aku adalah
Bi-kiam Niocu Siang Bi Kiok!” Niocu memperkenalkan diri.
“Ahhh...!
Bukankah engkau murid Ang Hwa Nio-nio? Kenapa terjadi perkelahian dengan
puteraku dan para anggota kami? Tang Hun, apa yang telah terjadi di sini?”
Hek-houw Tang Kwi bertanya kepada puteranya.
“Begini,
Ayah. Mula-mula kami melihat puteri dan murid Toat-beng Kiam-sian ini berburu
binatang di dalam wilayah kita. Karena mereka memasuki wilayah kita tanpa ijin,
kami lalu menahan nona Lo untuk dihadapkan kepada Ayah, dan membebaskan pemuda
itu untuk melaporkan kepada ketuanya. Akan tetapi mendadak pemuda itu datang
kembali bersama Bi-kiam Niocu dan hendak memaksa kami membebaskan nona Lo. Kami
menolak dan terjadilah perkelahian ini.”
Hek-houw
Tang Kwi mengerutkan alisnya dan berkata kepada Bi-kiam Niocu, “Bi-kiam Niocu,
aku mendengar bahwa engkau seorang wanita gagah, akan tetapi mengapa engkau
mencampuri urusan pribadi antara Hek-houw-pang dan Kwi-kiam-pang? Apa yang
dilakukan puteraku sudah sepantasnya karena kedua orang murid Kwi-kiam-pang
melanggar wilayah kekuasaan kami.”
“Hemmm,
kalau puteramu itu tadi berani bertanding satu lawan satu dengan puteri ketua
Kwi-kiam-pang, tentu aku tidak akan mencampurinya. Akan tetapi melihat belasan
orang anak buahmu sudah menggunakan kekuatan banyak orang untuk menawannya, hal
ini kuanggap tidak adil dan merupakan tindakan seorang pengecut. Karena itulah
aku turun tangan membantu mereka!” Jawab Niocu sambil tersenyum mengejek.
“Tang Hun,
benarkah engkau menggunakan anak buah untuk menangkap mereka?”
“Tidak,
Ayah. Di antara kami dan mereka tadinya tak ada perkelahian. Kita menangkap
mereka dan mereka merasa bersalah, maka nona Lo tidak keberatan kami tawan dan
suheng-nya itu pun pergi untuk melapor kepada gurunya. Setelah Bi-kiam Niocu
campur tangan barulah terjadi pertempuran.”
“Beranikah
engkau melawan nona Lo, satu lawan satu?”
Wajah pemuda
itu berubah kemerahan ketika dia memandang kepada Siu Lan. “Aku... aku tidak
ingin memusuhinya, Ayah.”
Bi-kiam
Niocu tertawa mengejek.
“Orang muda,
katakan saja kalau engkau tidak berani. Hei, adik Lo, beranikah engkau melawan
putera Hek-houw Tang Kwi ini?”
Siu Lan
menegakkan tubuhnya dan menjawab, “Mengapa tidak berani? Asal jangan main
keroyokan!”
“Nah, kau
dengar itu, Tang Hun? Untuk menyelesaikan urusan ini, sambutlah tantangan nona
Lo. Siapa pun di antara kalian yang kalah harus minta maaf dan urusan ini habis
sampai di sini saja. Bagaimana pendapatmu, Bi-kiam Niocu? Atau, apakah engkau
ingin kita bertanding terus mati-matian hanya untuk urusan sekecil ini?”
Niocu merasa
tidak enak. Sebetulnya, sebagai orang luar ia memang tidak tersangkut urusan
itu sama sekali. Kalau ia membantu, sebetulnya yang ia bantu adalah Gan Bu Tong
karena ia tertarik dan suka kepada pemuda itu.
“Bertanding
satu lawan satu itu baru adil dan aku tidak akan mencampuri, hanya akan
menonton agar jangan ada yang main curang.”
“Nah, Tang
Hun, engkau sudah mendengar sendiri. Bersiaplah untuk bertanding dengan nona Lo
Siu Lan!” kata Hek-houw Tang Kwi.
“Akan
tetapi, Ayah. Aku tidak ingin melukainya...,” kata pemuda itu ragu.
Melihat
sikap dan mendengar ucapan Tang Hun, Siu Lan merasa jantungnya berdebar. Tadi
ketika ia ditangkap, pemuda itu bersikap sopan padanya, seolah ia bukan seorang
tawanan melainkan seorang tamu. Dan sekarang, pemuda itu mengatakan tidak ingin
memusuhinya dan juga tidak ingin melukainya! Hal ini hanya mempunyai satu arti,
ialah bahwa pemuda itu suka padanya!
Hek-houw
Tang Kwi menjadi marah kepada puteranya. “Engkau tidak berani? Kalau begitu
engkau harus minta maaf kepadanya!”
“Minta maaf?
Aku tidak bersalah, melainkan mereka yang bersalah. Kenapa aku harus minta
maaf? Dan aku tidak ingin berkelahi melawan nona Lo, sama sekali bukan karena
takut melainkan...”
“Sudahlah
jangan banyak bicara lagi. Layanilah nona Lo yang menantangmu!” berkata
demikian Hek-houw Tang Kwi kemudian mendorong punggung puteranya supaya maju
menghadapi Siu Lan.
Dengan
terpaksa sekali dan sikap apa boleh buat Tang Hun maju menghadapi Siu Lan. Dia
menyimpan pedangnya dan berkata dengan lembut. “Nona Lo, terpaksa aku harus
melawanmu. Akan tetapi kita tidak bermusuhan, maka kita bertanding dengan
tangan kosong saja.”
“Tidak
bersenjata boleh, bersenjata juga boleh!” berkata Siu Lan yang juga menyimpan
pedangnya. Kalau lawan tidak bersenjata tentu ia malu kalau harus melawan
dengan pedangnya.
Mereka sudah
memasang kuda-kuda masing-masing, akan tetapi Tang Hun belum juga mau
menyerang.
“Hayo
mulai!” kata Siu Lan. “Aku sudah siap!”
“Engkau
adalah tamu, maka engkaulah yang harus memulai lebih dulu, Nona,” kata Tang
Hun.
“Baik,
bersiaplah dan sambut seranganku ini!” Siu Lan mulai memukul akan tetapi dapat
dielakkan Tang Hun dengan baik.
Dua orang
itu segera terlibat dalam perkelahian yang seru. Akan tetapi Bi-kiam Niocu dan
Hek-houw Tang Kwi keduanya dapat mengikuti gerakan mereka dengan baik dan
mereka mendapat kenyataan bahwa dua orang itu tidak berkelahi dengan
sungguh-sungguh. Hek-houw Tang Kwi tahu benar bahwa puteranya tidak mengerahkan
tenaga sepenuhnya dan Bi-kiam Niocu juga melihat dengan jelas betapa Siu Lan
juga tidak menyerang dengan sepenuh hatinya.
Pada saat
itu berkelebat bayangan orang dan tahu-tahu di situ sudah berdiri seorang kakek
yang kaki kirinya timpang dan membawa tongkat.
"Apa
yang terjadi di sini?" tanyanya. Ketika melihat puterinya berkelahi
melawan Tang Hun, dia lalu menghampiri Hek-houw Tang Kwi dan bertanya,
"Ehh, Hek-houw, kenapa engkau membiarkan anak kita saling serang seperti
itu?"
"Ssstt,
lihatlah baik-baik, Kiam-sian. Bukankah kedua anak kita itu serasi dan cocok
sekali? Mereka saling serang? Hemmm, kurasa tidak. Mereka hanya latihan saja
dan saling mengalah!"
Dan
kenyataannya memang demikianlah. Kedua orang muda itu sama sekali tidak
menyerang dengan sungguh-sungguh, dan tidak ingin melukai lawan. Siu Lan
melihat datangnya ayahnya, maka ia meloncat jauh ke belakang dan mendekati
ayahnya.
"Ayah,
mereka hendak menawanku!" katanya dengan manja.
"Apa?!
Siapa yang hendak menawan anakku?" bentak Toat-beng Kiam-sian dan kini
barulah dia melihat adanya Bi-kiam Niocu di situ.
"Eh,
engkau juga berada di sini, Bi-kiam Niocu? Apakah engkau yang hendak menawan
anakku?" Berkata demikian Lo Cit melangkah maju menghampiri Bi-kiam Niocu
yang hanya memandang kepadanya dengan senyum mengejek.
"Suhu,
tidak sama sekali, Suhu!" Gan Bu Tong meloncat mendekati suhu-nya.
"Nona ini sama sekali tidak mengganggu kami berdua, ia malah datang untuk
menolong sumoi yang tadinya ditawan oleh orang-orang Hek-houw-pang!"
"Hemmm,
apa yang terjadi di sini? Mengapa anakku dapat ditawan oleh orang-orang
Hek-houw-pang?"
Hek-houw
Tang Kwi dengan sikap tenang berkata kepada Lo Cit. "Kiam-sian, engkau
dengarlah baik-baik keterangan dari anakku. Tang Hun, lekas ceritakan semua
kepada pamanmu Lo ini apa yang telah terjadi sebenarnya."
Tang Hun
maju memberi hormat kepada Lo Cit lalu berkata, "Sebetulnya begini, Paman.
Kami tadi mendapatkan puteri dan murid Paman sudah melanggar wilayah kami dan
membunuh dua ekor kijang. Karena mereka memasuki wilayah kami tanpa ijin,
terpaksa saya menahan nona Lo untuk kami hadapkan kepada Ayah. Ia kami tahan
sebagai seorang tamu, bukan sebagai tawanan. Akan tetapi tiba-tiba murid Paman
ini datang bersama Bi-kiam Niocu dan menyerang kami. Untung ada Ayah, kalau
tidak mungkin kita semua akan dibunuhnya!"
"Siu
Lan, benarkah apa yang dikatakan Tang Hun itu?"
Dengan kedua
pipi berubah kemerahan, Siu Lan menjawab, "Benar, Ayah. Akan tetapi kami
hanya melanggar perbatasan sungai itu untuk mengejar kijang."
"Kalau
begitu, engkau dan Bu Tong berada di pihak yang salah. Hayo kalian berdua minta
maaf kepada pamanmu Tang Kwi!" bentak Lo Cit.
Siu Lan dan
Bu Tong terpaksa memberi hormat kepada Hek-houw Tang Kwi sambil berkata,
"Harap paman Tang sudi memaafkan kelancangan kami!"
"Ha-ha-ha-ha,
semua ini hanya merupakan salah paham saja. Di antara orang sendiri mengapa
harus minta maaf? Akan tetapi, Kiam-sian, bukankah engkau sudah melihat sendiri
alangkah serasi dan cocok adanya putera-puteri kita? Maka kesempatan ini akan
kugunakan untuk mengulang pinanganku tempo hari. Bagaimana bila kita
menjodohkan mereka?"
Toat-beng
Kiam-sian Lo Cit tersenyum, kemudian bertanya kepada puterinya, "Siu Lan,
engkau telah mendengar sendiri usul pamanmu Tang. Nah, bagaimana jawabanmu?"
Dengan muka
kemerahan Siu Lan bersembunyi di belakang tubuh ayahnya, kemudian berkata,
"Ahh, urusan itu bagaimana baiknya terserah kepada Ayah saja!"
Jawaban ini
saja sudah jelas bagi semua orang. Kalau seorang anak tidak setuju, tentu ia
akan marah-marah atau menangis. Tapi kalau ia setuju, tentu ia akan menyerahkan
keputusannya kepada orang tuanya dan tersipu malu.
Melihat
keadaan puterinya, Lo Cit menjadi girang sekali. Ketika pertama kali Tang Kwi
meminang puterinya, sebetulnya dia sudah setuju sekali. Dia merasa suka kepada
Tang Hun yang gagah dan tampan. Akan tetapi puterinya itu yang menolak.
Kini dia
tahu mengapa dulu puterinya menolak. Karena belum pernah melihat Tang Hun.
Setelah kini berhadapan, bahkan saling serang dalam pertandingan tadi, ia
setuju akan pinangan itu.
"Ha-ha-ha,
bagus sekali. Marilah singgah di rumah kami di mana kami dapat menjamu kalian
sebagai tamu agung dan kita dapat bercakap-cakap mengenal persoalan ini. Kami
juga mengundang Niocu untuk ikut datang sebagai tamu kehormatan."
Bi-kiam
Niocu mengerling kepada Gan Bu Tong. Ia melihat betapa pemuda itu juga
memandang kepadanya penuh kagum, maka ia pun mengangguk. "Baiklah, aku
tanpa sengaja telah terlibat dalam urusan kalian, tidak apa menjadi saksi dari
hubungan antara kalian yang menjadi baik."
Mereka semua
lalu menuju ke perkampungan Hek-houw-pang. Dan dalam perjalanan ini dengan
sengaja Niocu mendekati Gan Bu Tong dan mengajaknya bercakap-cakap. Dia
bertanya-tanya tentang keadaan pemuda itu dan hatinya girang mendengar bahwa
pemuda itu sudah yatim piatu dan belum bertunangan apa lagi menikah. Dan pemuda
itu pun jelas kelihatan amat kagum kepadanya. Juga usia Gan Bu Tong sudah dua
puluh lima tahun, berarti dua tahun lebih tua dari pada usianya.
Sebaliknya
sikap yang amat ramah dan bersahabat dari Niocu membuat dia akrab sekali dengan
gadis itu. Tadinya Bu Tong memang agak sungkan terhadap Niocu yang dianggapnya
mempunyai tingkat yang lebih tinggi dari pada dia, juga namanya sudah terkenal
sekali di dunia kangouw sebagai tokoh yang ditakuti. Akan tetapi setelah
bercakap-cakap dengan dia, dia mendapat kenyataan bahwa Niocu amat manis budi
dan bijaksana sehingga dia merasa cocok dan tidak menjadi rendah diri.
Demikian
pula dengan Lo Siu Lan. Ia berterima kasih sekali kepada Niocu yang telah
membantu untuk membebaskannya. Maka setelah mereka semua dijamu sebagai tamu
kehormatan oleh Hek-houw Tang Kwi yang membicarakan dengan Lo Cit mengenai
perjodohan antara anak mereka, Lo Siu Lan minta dengan sangat agar Niocu suka
singgah di rumahnya. Permintaan ini diterima dengan senang hati oleh Niocu.
Setelah
tinggal beberapa hari di rumah kediaman keluarga Lo, yaitu di perkampungan
Kwi-kiam-pang, hubungan antara Niocu dan Bu Tong menjadi makin akrab. Pada
suatu sore Niocu dan Bu Tong berjalan-jalan di luar perkampungan di
Kwi-kiam-pang. Niocu yang mengajaknya dan Bu Tong dengan girang menyambut
ajakan itu.
"Tong-ko,
aku heran sekali melihatmu," kata Niocu sambil melangkah perlahan.
"Kenapa
heran, Niocu?"
"Engkau
murid seorang ketua perkumpulan yang terkenal. Engkau juga mempunyai ilmu
kepandaian yang cukup tinggi dan hidupmu sudah sebatang kara karena tidak
memiliki orang tua atau keluarga lain. Akan tetapi kenapa sampai usia dua puluh
lima engkau belum juga menikah?"
Gan Bu Tong
tersenyum malu-malu mendengar ini. "Ahh, Niocu. Orang seperti aku ini siapa
yang suka menjadi isteriku? Pula, aku mengganggap suhu sebagai orang tuaku dan
Lan-sumoi sebagai adik sendiri."
"Tidak
keliru engkau memilih keluarga gurumu sebagai keluarga sendiri. Tetapi apakah
engkau tidak ingin membentuk keluarga sendiri, berumah tangga dan mempunyai
anak-anak?"
Bu Tong
teringat kepada Siu Lan. Dia pernah jatuh cinta kepada sumoi-nya itu dan ingin
memperisterinya, akan tetapi ternyata Siu Lan tak mencintainya, melainkan hanya
suka sebagai seorang kakak. Bahkan Siu Lan agaknya kini tertarik kepada Tang
Hun dan perjodohan mereka telah dibicarakan oleh orang tua masing-masing.
Habislah
sudah harapannya untuk memperisteri Siu Lan. Sejak pertama kali bertemu dengan
Bi-kiam Niocu Siang Bi Kiok, dia memang sudah tertarik dan kagum sekali. Apa
lagi setelah pergaulan mereka akrab, dia semakin tertarik. Akan tetapi sedikit
pun dia tidak mempunyai pikiran untuk jatuh cinta kepada tokoh yang terkenal
ini. Dia tidak berani. Siu Lan saja menolaknya, apa lagi seorang tokoh besar
seperti Bi-kiam Niocu!
Setelah
menghela napas panjang beberapa kali, dia pun menjawab. "Tentu saja kadang
timbul keinginanku untuk berumah tangga, Niocu. Akan tetapi seperti kukatakan
tadi, siapa orangnya mau mendampingi aku sebagai isteriku? Aku seorang pemuda
yang yatim piatu, tidak mempunyai apa-apa." Kemudian dia teringat bahwa
gadis ini bertanya terlalu mendalam, maka timbul keberaniannya untuk bertanya.
"Akan tetapi engkau sendiri, Niocu. Kulihat usiamu pasti lebih tua dari
sumoi, mengapa engkau juga beIum berumah tangga?"
Bi-kiam
Niocu tersenyum dan Bu Tong memandang dengan hati terpesona. Bukan main
manisnya wanita ini kalau tersenyum!
"Tentu
saja aku jauh lebih tua dari Siu Lan. Usiaku sudah dua puluh tiga tahun. Terus
terang saja, entah berapa banyak pria yang meminangku, akan tetapi semuanya itu
kutolak. Aku belum menemukan seorang yang cocok untuk menjadi pilihanku. Karena
itulah sampai kini aku belum juga menikah."
"Niocu,
seorang gadis seperti engkau ini, cantik jelita, berilmu tinggi dan berbudi
mulia, bijaksana, tentu saja berhak memilih seorang calon suami yang
sebaik-baiknya."
"Ahh,
jangan terlalu memuji padaku, Tong-ko. Dengarkanlah pendapat dunia kang-ouw
tentang diriku dan engkau akan tahu bahwa aku tidak patut dipuji seperti itu.
Aku pernah terkutuk, pernah bersumpah bahwa aku akan membunuh pria yang berani
mencintaku! Entah sudah berapa orang yang kubunuh karena itu. Akan tetapi aku
sekarang telah terbebas dari kutukan itu, bahkan aku mendambakan cinta kasih
yang tulus ikhlas dari seorang pria. Aku tidak memilih yang muluk-muluk,
melainkan yang berhati bersih, jujur dan mencintaku tanpa pamrih."
"Niocu...!"
"Ada
apakah, Tong-ko?"
"Kalau
sekarang ada seorang pria yang jatuh cinta kepadamu, seorang pria yang tidak
berharga, miskin dan papa, yang tidak mampu menjanjikan apa pun kepadamu,
apakah engkau dapat menerima cintanya?"
"Aku
tidak membutuhkan pria yang kaya raya atau pun pandai dan berkedudukan. Aku
membutuhkan pria yang jujur dan baik."
"Niocu,
aku... aku seorang tak berharga, yatim piatu tidak mempunyai apa-apa..."
Dia berhenti bicara.
“Ya...?
Mengapa?"
"Aku
yang hina ini telah berani bermimpi tentang bintang yang tidak terjangkau oleh
tangan..."
"Tidak
oleh tangan, melainkan harus dijangkau oleh hati yang penuh cinta kasih."
"Aku...
maafkan aku, Niocu. Aku seperti dalam mimpi. Aku berani jatuh cinta
padamu..."
Kedua pipi
Bi-kiam Niocu menjadi merah padam, jantungnya berdebar karena girang.
"Cintamu tidak sia-sia, Tong-ko!"
Bu Tong
terbelalak memandang wajah yang cantik itu. "Maksudmu, engkau tidak marah
padaku?"
Niocu
menggeleng kepalanya. "Tidak, aku malah merasa girang dan berbahagia
sekali karena pria dalam angan-anganku tadi sepertimu inilah, Tong-ko. Engkau
jujur, engkau sederhana, engkau rendah hati."
Keduanya
sudah berhenti melangkah sejak tadi dan berdiri saling berhadapan. Dua pasang
mata saling bertemu bertaut dan dua pasang mata itu menjadi basah karena haru.
Bu Tong
melangkah maju dan memegang kedua tangan Niocu. "Benarkah semua ini? Bukan
mimpi kosong belaka? Niocu, benarkah engkau bisa menerima cintaku? Maukah
engkau menjadi isteriku?"
"Kita
berdua sama-sama yatim piatu, tidak mempunyai siapa-siapa di dunia ini. Tentu
saja aku mau menjadi isterimu, Tong-ko."
Bukan main
girangnya hati Bu Tong di saat itu. Dengan kedua lengannya yang tegap itu dia
memeluk Niocu sedemikian kuatnya, seolah dia ingin membenamkan kepala yang
tersayang itu ke dalam dadanya.
Setelah
merasa yakin bahwa dalam hidupnya ada Bi-kiam Niocu Siang Bi Kiok, Gan Bu Tong
menjadi pemberani. Dengan terus terang dia mengajak kekasihnya menghadap
gurunya.
"Suhu,
teecu mohon doa restu dan persetujuan Suhu, karena teecu dan Niocu sudah mengambil
keputusan untuk menjadi suami isteri!" Pengakuan ini dia katakan di depan
Toat-beng Kiam-sian, isterinya dan juga di depan Lo Siu Lan.
Mendengar
ini, Lo Siu Lan langsung berteriak girang. Dia segera menghampiri Niocu dan
merangkulnya. "Ah, selamat kuucapkan kepada kalian! Enci Bi Kiok, hatiku
merasa gembira bukan main mendengar berita yang membahagiakan ini!"
Toat-beng
Kiam-sian Lo Cit juga merasa heran dan gembira sekali. Dia menganggap bahwa
muridnya itu berperuntungan baik sekali, dapat menjadi pilihan Bi-kiam Niocu
untuk menjadi jodohnya.
"Tentu
saja kami merasa berbahagia sekali, Bu Tong. Semoga kalian menjadi suami isteri
yang berbahagia. Dan karena engkau tidak memiliki keluarga yang bisa menjadi
wali, biarlah kami yang akan menikahkan kalian, berbareng dengan pernikahan Siu
Lan dengan Tang Hun!" kata Toat-beng Kiam-sian Lo Cit.
Demikianlah,
semenjak hari itu Niocu tinggal di Kwi-san untuk menunggu hari baik itu.
Perjodohan antara mereka akan dibarengkan dengan perjodohan antara Siu Lan dan
Tang Hun…..
***************
Di kota raja
juga terjadi hal yang berbahagia. Setelah bertemu dengan Tao Kwi Hong, Cia Kun
tergila-gila kepada saudara misan itu. Sebaliknya Kwi Hong juga tertarik sekali
kepada putera Pangeran Cia Sun itu. Hubungan mereka menjadi semakin akrab dan
akhirnya Cia Kun minta kepada ayah bundanya untuk melamarkan Tao Kwi Hong.
Pinangan itu
diterima baik oleh Pangeran Tao Kuang, karena selain puterinya setuju, juga dia
melihat bahwa Pangeran Cia Sun adalah seorang pangeran yang baik. Sebagai
seorang pangeran namanya cukup bersih dan terhormat.
Lalu
bagaimana dengan Keng Han? Pemuda ini melakukan perjalanan ke Barat Laut. Pada
suatu hari sampailah dia di perkampungan Khitan. Ternyata kakeknya, Khalaban,
telah meninggal dunia dan yang ditunjuk sebagai penggantinya adalah Kalucin.
Silani, ibu
Keng Han, dan juga Kalucin yang dipanggilnya paman, menyambut mereka dengan
gembira. Bahkan Kalucin lalu mengadakan sebuah pesta untuk menyambut pulangnya
pemuda itu. Seluruh perkampungan itu bergembira ria.
Sejak
ditinggalkan oleh puteranya, siang malam Silani menanti kembalinya Keng Han
dengan penuh harapan. Bahkan Kalucin sudah beberapa kali mengajukan pinangan
kepadanya. Namun Silani selalu menolaknya, dan mengatakan bahwa dia masih
isteri Pangeran Tao Seng yang belum diketahui bagaimana nasibnya itu.
Sampai
berusia empat puluh lima tahun Kalucin masih belum beristeri. Dia benar-benar
mencinta Silani dan tidak dapat menikah dengan wanita lain sebelum Silani
bertemu kembali dengan suaminya.
Biar pun pulangnya
Keng Han amat membahagiakan mereka semua, namun diam-diam Silani kecewa karena
suaminya tidak datang bersama puteranya.
Setelah
memperoleh kesempatan untuk bicara berdua saja dengan puteranya, Silani tidak
dapat lagi menahan keinginan hatinya dan ia bertanya, "Bagaimana, Keng
Han, apakah engkau sudah bertemu dengan ayahmu? Kenapa dia tidak ikut datang
bersama denganmu? Apakah dia menyuruh memboyongku ke sana?"
Dihujani
pertanyaan itu, Keng Han merasa kasihan sekali kepada ibunya. "Maafkan
aku, Ibu. Aku datang tidak membawa berita yang baik. Ayah... ayah... sudah
meninggal dunia."
Silani
terbelalak, mulutnya terbuka lalu perlahan-lahan air matanya berjatuhan ke atas
pipinya yang menjadi pucat, lalu ia menutupi mukanya dan menangis. Keng Han
maju dan merangkulnya dan wanita itu menangis di dada puteranya. Keng Han
mengelus pundak ibunya dan menghiburnya.
Setelah
tangisnya mereda, dengan muka pucat sekali Silani bertanya apa yang telah
terjadi dengan suaminya.
"Ayah
memang seorang pangeran, Ibu. Akan tetapi ia bukan Pangeran Mahkota seperti
yang diakuinya. Ketika dia meninggalkan ibu dan pulang ke kota raja, dia
melakukan perbuatan yang buruk, yaitu dia hendak membunuh Pangeran Mahkota yang
menjadi saudaranya sendiri. Dia ingin menjadi Pangeran Mahkota. Akan tetapi
usahanya gagal, bahkan dia ditangkap dan dihukum buang selama dua puluh
tahun."
"Ahh,
pantas dia tidak memberi kabar sama sekali. Kiranya dia dihukum..."
"Pada
waktu tiba di kota raja, aku mendapatkan ayah telah menyamar sebagai seorang
hartawan she Ji dan kembali dia mendirikan komplotan untuk membunuh Kaisar dan
Putera Mahkota karena dia ingin menjadi kaisar. Dan kembali usahanya gagal,
bahkan ayah terbunuh dalam usahanya itu. Aku dikeroyok oleh tiga orang datuk
sakti dan ayah hendak menolong dan membelaku, dan dalam usahanya inilah dia
terbunuh. Aku sudah menguburkan jenazahnya di suatu tempat. Sebelum dia tewas
dia berpesan kepadaku untuk memintakan ampun darimu, Ibu!"
"Ahhhhh...!"
Kembali ibunya menangis.
Setelah
tangisnya reda Silani bertanya kepada puteranya. "Akan tetapi kenapa
engkau begitu lama pergi? Sampai hampir enam tahun engkau pergi, membuat hati
kami semua selalu mengkhawatirkan keselamatanmu."
Mendengar
pertanyaan ibunya ini, Keng Han lalu menceritakan semua pengalamannya dengan
panjang lebar, betapa selama lima tahun dia hidup terasing di Pulau Hantu dan
mempelajari ilmu silat yang dia temukan di sana. Kemudian dia menceritakan
semua yang telah dialaminya.
Ibunya
memandang kepadanya dengan kagum.
"Demikian
banyak dan hebatnya pengalamanmu, anakku. Akan tetapi engkau pulang bersama
gadis yang berkerudung itu. Siapakah dia, Keng Han?"
"Ia
seorang sahabat baik bernama The Cu In, Ibu. Puteri seorang panglima tinggi di
kota raja."
"Hemmm,
sahabat baik? Sampai di mana kebaikan itu?"
"Dia
sudah sering kali menolongku dari kesulitan dan bahaya, Ibu. Kalau tidak ada
dia yang menolong, mungkin sekali aku tidak dapat pulang hari ini."
"Akan
tetapi mengapa dia ikut ke sini?"
"Dia
ikut agar dapat berkenalan dengan Ibu. Terus terang saja, Ibu, dia bukan
sahabat biasa. Kami berdua sudah mengambil keputusan untuk menjadi suami isteri
dan aku mengajaknya supaya Ibu dapat mengenal calon mantunya." Wajah Keng
Han berubah kemerahan ketika membuat pengakuan itu.
"Calon
menantuku? Ahhh, aku girang sekali. Akan tetapi mengapa dia selalu menutupi
mukanya dengan cadar? Suruhlah dia membuka cadarnya agar semua orang melihat
betapa cantiknya calon menantuku!"
Jantung Keng
Han berdebar tegang mendengar ucapan ibunya itu. Akan tetapi dia lalu teringat
bahwa Cu In hanya mau memperlihatkan mukanya kepada ibunya saja, tidak kepada
orang lain.
"Ibu,
Cu In sudah bersumpah bahwa dia baru akan membuka cadarnya pada hari
pernikahannya."
"Hemmm,
sumpah yang aneh sekali. Bagaimana aku dapat menyetujui pilihanmu itu sebelum
aku melihat wajah calon menantuku? Dia harus membuka cadarnya agar aku dapat
melihat mukanya, Keng Han," kata Silani dengan tegas.
"Akan
tetapi Ibu harus berjanji dulu padaku bahwa betapa pun jelek wajah Cu In, aku
telah mencintanya dan ingin dia menjadi isteriku, Ibu."
Ibunya
memandang wajah puteranya penuh selidik. "Cinta benarkah engkau padanya,
anakku?"
"Aku
mencintanya dengan seluruh jiwa ragaku. Bagiku, wajah tidak banyak artinya. Aku
mencinta pribadinya, pembawaannya, sikap dan budinya, Ibu. Aku sudah sering
kali bertemu wanita yang wajahnya cantik, akan tetapi aku tidak tertarik kepada
mereka."
"Hemmm,
dan bagaimana dengan gadis itu? Apakah dia juga mencintamu sebesar cintamu
kepadanya?"
"Menurut
pengakuannya begitu, Ibu. Dan juga sudah terbukti dari sepak terjangnya saat
menolongku. Aku percaya sepenuhnya kepadanya!"
"Hemmm,
cinta memang dapat memabukkan manusia, anakku. Baiklah, aku tidak akan
terpengaruh oleh baik buruknya muka calon mantuku. Aku sudah merasa puas asal
diperbolehkan melihatnya sendiri dengan mataku.”
"Kalau
begitu, biar kupanggil dia menghadap Ibu," kata Keng Han yang segera
keluar dari kamar ibunya dan mencari Cu In di dalam kamar yang disediakan untuk
gadis itu.
Dia mengetuk
pintu. Cu In membukanya dari dalam. "Cu In, apa yang kukhawatirkan telah
terjadi," katanya dengan gelisah.
"Apakah
itu, Han-ko?"
"Ibu
ingin bicara denganmu, ingin bertemu dan ingin melihat wajahmu, In-moi!"
Tadinya Keng
Han menduga bahwa kekasihnya tentu akan menjadi gugup dan gelisah pula. Akan
tetapi dia kecelik. Cu In sama sekali tak nampak gugup atau gelisah, bahkan
sepasang matanya berseri-seri.
"Kalau
memang itu yang ibumu kehendaki, aku harus menghadapnya sekarang juga,
Han-ko," katanya sambil bangkit berdiri.
Keng Han
memegang pundaknya. "Tetapi kau... kau harus siap kalau ibuku terkejut,
bahkan menolakmu. Jangan sampai perasaanmu tertusuk, In-moi."
"Aku
tahu, Han-ko. Dan kurasa ibumu tidak akan begitu. Aku percaya sepenuhnya bahwa
dia adalah seorang ibu bijaksana. Nah, biar aku menghadapnya, akan tetapi
engkau tidak perlu ikut, Han-ko. Aku ingin berdua saja dengan ibumu."
Keng Han
maklum. Gadis kekasihnya ini tidak ingin melihat perasaannya terpukul. Maka dia
mengangguk dan menunjukkan di mana kamar ibunya. Akan tetapi dia tidak pergi
meninggalkan begitu saja. Dia tetap melihat dari situ, siap untuk menghibur
kekasihnya kalau nanti keluar sambil menangis.
Dengan
langkah yang tegap Cu In menghampiri kamar Silani dan mengetuk pintunya.
"Siapa?"
terdengar wanita itu bertanya dari dalam.
"Saya,
Bibi. Saya Cu In, ingin menghadap dan bicara dengan Bibi."
"Ahhh,
engkau Cu In, pintunya tidak terkunci, buka saja dan masuklah."
Cu In
mendorong pintu kamar dan masuk. Jantung Keng Han berdebar tegang melihat gadis
itu memasuki kamar ibunya. Dia memandang pintu kamar itu penuh perhatian,
seolah pandang matanya ingin menembus pintu dan melihat apa yang terjadi di
dalam.
Dia mengira
bahwa tidak lama kemudian akan mendengar teriakan ibunya, lalu disusul
keluarnya Cu In sambil menangis. Akan tetapi hal seperti yang dia khawatirkan
itu tidak terjadi. Setelah menanti sampai lama sekali, akhirnya daun pintu
terbuka dan Keng Han sudah siap menyambut dan menghibur kekasihnya yang keluar
sambil menangis.
Akan tetapi
kembali Keng Han kecelik. Gadis itu keluar tidak menangis, bahkan kedua matanya
bersinar-sinar, diikuti ibunya yang juga tersenyum-senyum.
Keng Han
menyongsong mereka dan bertanya kepada ibunya. "Ibu, apakah Ibu sudah
melihat wajah Cu In? Bagaimana pendapat Ibu?”
"Keng
Han, manusia tidak dapat dinilai dari cantik tidaknya wajahnya, melainkan dari
budi pekertinya. Aku mendapatkan bahwa calon isterimu ini seorang yang
bijaksana. Engkau memang pandai dan cocok sekali memilihnya sebagai
isterimu."
"Akan
tetapi, wajahnya...?" Saking herannya Keng Han bertanya.
"Jangan
mempersoalkan tentang wajah. Melihat ia seorang gadis yang bijaksana sudah
cukup bagiku!"
"Terima
kasih, Ibu!" Keng Han girang bukan main, "Akan tetapi aku belum
meminang dia dengan resmi kepada ayah bundanya, Ibu."
"Kenapa
begitu?"
"Karena
aku ingin memberi tahu dulu kepada Ibu dan minta persetujuan Ibu."
"Aku
menyetujui sepenuhnya dan cepat-cepat engkau melamarnya, Keng Han. Karena ibumu
berada di tempat jauh, biar engkau saja melamar sendiri. Kalau sudah menikah
aku harap kalian suka menjenguk ibumu."
"Tentu
saja, Ibu!"
Demikianlah,
setelah tinggal di rumah ibunya sampai dua pekan, Keng Han dan Cu In kembali
melakukan perjalanan ke timur, menuju ke kota raja.
Hati Keng
Han gembira bukan main. Satu-satunya persoalan yang selama ini sangat
mengganggu pikirannya adalah bagaimana jika ibunya melihat wajah Cu In yang
cacat. Dia khawatir kalau-kalau ibunya akan menolaknya. Akan tetapi ternyata
tidak. Ibunya menerima kenyataan itu dengan hati terbuka, dengan bijaksana.
Akan tetapi
baru saja dia kematian ayahnya. Untuk memenuhi kewajibannya sebagai seorang
putera, ketika mereka diterima oleh Panglima The dan membicarakan tentang
perjodohannya dengan Cu In, dia mengatakan bahwa untuk melaksanakan pernikahan
dia harus menunggu setahun setelah kematian ayahnya.
Mendengar
ini, Panglima The bahkan mengagumi calon menantunya dan menyatakan setuju.
Demikian pula Ang Hwa Nio-nio, sepenuhnya menyetujui. Cu In sendiri tentu saja
merasa senang melihat calon suaminya membuktikan bahwa dirinya seorang anak
yang berbakti.
Beberapa
bulan kemudian, Keng Han dan Cu In menerima undangan dari Toat-beng Kiam-sian
Lo Cit yang menikahkan Lo Siu Lan dengan Tang Hun, dan Gan Bu Tong dengan
Bi-kiam Niocu Siang Bi Kiok. Perayaan mempelai kembar itu sangat meriah. Mereka
juga menghadiri pernikahan yang dirayakan secara besar-besaran antara Cia Kun
dan Tao Kwi Hong sebagai mempelai bangsawan.
Setelah
lewat setahun meninggalnya Pangeran Tao Seng, maka pernikahan antara Cu In dan
Keng Han dapat dilaksanakan. Semua tamu merasa heran karena mempelai wanita
tetap memakai cadar.
Setelah
sepasang mempelai berada berdua saja di dalam kamar, Keng Han hendak membuka
cadar isterinya. "Jangan dulu, Han-ko!"
"Ehhh?
Kenapa, In-moi? Bukankah engkau berjanji akan membuka cadar setelah kita
menikah?"
"Nanti
dulu, berjanjilah dulu bahwa engkau akan tetap mencintaku, bagaimana pun juga
rupaku!"
"Ha-ha-ha,
In-moi. Aku sudah pernah melihat wajahmu. Apakah ada perubahan yang kau lihat
dalam sikapku kepadamu? Aku tetap mencintamu, bagaimana pun juga bentuk
wajahmu."
"Benarkah?
Engkau berani bersumpah?"
"Aku
bersumpah, disaksikan Tuhan, Langit dan Bumi, bahwa aku akan tetap mencinta
dirimu seutuhnya, bagaimana pun juga bentuk wajahmu!" kata Keng Han dengan
suara tegas.
Terdengar
gadis itu terisak. "Dan aku... aku pun hanya isterimu yang buruk dan
bodoh, aku... aku selamanya mencintamu! Nah, sekarang bukalah cadarku,
perlahan-lahan saja, Han-ko!"
Meski pun
dia sudah tahu bahwa dari atas hidung ke bawah, wajah isterinya ini cacat
menghitam, akan tetapi kedua tangannya gemetar juga ketika dia membuka cadar,
disingkapkan ke atas. Setelah cadar dibuka, Keng Han meloncat ke belakang
seperti diserang ular.
"Kau...
kau... kau bukan Cu In!" Keng Han menatap wajah yang cantik jelita itu.
"Siapa engkau...?"
Wanita itu
menutupkan kembali cadarnya. "Aku adalah The Cu In, Han-ko. Engkau ini
mengapakah?"
"Tapi,
tetapi... wajahmu itu...!" Kembali dia menyingkap cadar itu, bahkan merenggut
lepas dari kepala Cu In. "Engkau... benarkah engkau Cu In isteriku?"
Cu In
bangkit berdiri dan tersenyum manis sekali. "Aku memang Cu In, isterimu.
Dan mulai malam ini aku meninggalkan cadarku, juga menghapus
penyamaranku."
"Jadi
selama ini engkau menyamar? Mengapa engkau tega membohongi aku dengan menyamar
sebagai gadis yang cacat mukanya?"
"Aku
memang sengaja hendak menguji cintamu, Han-ko. Akan tetapi ternyata engkau
tetap mencintaku dengan wajahku yang buruk. Aku... aku bersyukur dan berterima
kasih sekali, suamiku..."
Keng Han
melangkah maju dan merangkul Cu In yang menyembunyikan mukanya di dada suaminya
sambil menangis.
"Akan
tetapi mengapa? Mengapa engkau selama ini menyamar sebagai dara yang cacat
mukanya dan mengenakan cadar?"
"Semua
ini gara-gara sikap ibuku. Ibuku selalu menceritakan bahwa semua laki-laki itu
jahat, bagaikan kumbang yang sesudah puas menghisap madunya kembang kemudian
meninggalkannya begitu saja. Aku lalu menyamar sebagai seorang gadis yang buruk
muka karena cacar, lalu memakai cadar supaya jangan ada laki-laki mencintaku.
Tidak tahunya muncullah engkau, laki-laki bodoh yang jatuh cinta kepadaku!
Tidak ada yang mengetahui rahasiaku ini kecuali ibuku. Suciku sendiri pun tidak
pernah tahu. Yang mengetahui hanya ibuku dan ibumu."
"Ibuku...?"
"Ya,
ibumu. Lupakah engkau betapa ibumu ingin melihat mukaku? Nah, ketika itulah aku
melepas penyamaranku sehingga ibumu dapat melihat wajah asliku. Akan tetapi aku
berpesan agar beliau tidak membuka rahasiaku, juga tidak kepadamu."
"Ihh,
engkau nakal, In-moi!" kata Keng Han sambil menciumnya. "Kenapa
engkau terus menyembunyikan dariku pada hal engkau tahu bahwa bagaimana pun
rupamu aku tetap mencintamu?"
"Aku
ingin menguji cintamu sampai penghabisan, sampai kita menikah. Apakah engkau
tidak senang melihat aku tidak cacat?"
"Tidak
senang? Tentu saja aku bahagia sekali karena kalau begini aku tidak perlu
menghajar orang!"
"Menghajar
orang?"
"Ya,
kalau engkau sudah membuka cadarmu dan ada orang yang mengejekmu, pasti kuhajar
orang itu. Akan tetapi sekarang tidak akan, tidak ada yang mengejekmu, yang ada
hanya memuji mu."
Keng Han
lalu merenggangkan dirinya dan memegang wajah itu pada kedua pipinya untuk
dipandang dengan penuh perhatian. Hatinya menjadi sebesar gunung karena wajah
isterinya benar-benar cantik seperti bidadari.
"Kenapa
engkau...?"
"Mengagumi
wajahmu yang begitu cantik bagaikan seorang dewi turun dari kahyangan
saja."
"Ihhh,
engkau membuat aku malu!"
"Biar,
inilah sebagai hukuman mu menggoda ku semenjak dahulu!" kata Keng Han
sambil mendekatkan mukanya dan mencium isterinya.
Episode
Pusaka Pulau Es Merupakan episode terakhir dari serial Bu Kek Siansu yang
terdiri dari 17 Episode,Semoga anda dapat terhibur.
T A M A T
********** Sahabat Karib.com **********
Terima kasih telah membaca Serial ini
Terimakasih banyak ya..... salam semangat selalu
ReplyDelete