Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pendekar Buta
Jilid 17
Celakanya,
agaknya orang itu melangkahkan kakinya menuju ke tempat dia dan isterinya
mengaso. Kong Bu bukanlah seorang penakut, jauh dari pada itu. Dia seorang
pendekar gagah perkasa yang tidak pernah mengenal arti takut. Dia seorang
asuhan kakek iblis Song-bun-kwi. Akan tetapi pada saat itu dia lalu
membaringkan diri di dekat isterinya dan pura-pura tidur pulas ketika orang
yang bernyanyi-nyanyi itu sudah makin dekat. Dia sengaja berbaring miring,
matanya mengintai dari balik bulu mata….
Orang ini
berhenti di dekat tempat suami isteri itu tidur. Dengan kaget Kong Bu melihat
seorang kakek tua yang berpakaian serba kuning, seorang kakek yang kepalanya
gundul dan kulitnya hitam seluruhnya!
Sambil
menyeret sebatang tongkat panjang berwarna hitam pula, kakek tadi melangkah
datang dengan langkah-langkah lebar, dengan kakinya yang telanjang dan hitam
sampai ke telapak-telapaknya. Sejenak kakek itu berdiri termangu, memandang
suami isteri yang masih tidur pulas. Lama dia menatap wajah Li Eng yang cantik
jelita dan tampak manis dalam tidurnya. Kemudian dia tertawa berkakakan.
"He-he-he-heh!
Wah, aku benar-benar sudah tua bangka, sudah hampir mati nafsu-nafsu badan yang
reyot ini. Kalau dulu, dua puluh tahun yang lalu, tentu takkan kulewatkan saja
mereka ini. Yang jantan kubikin mampus, yang betina kuambil. Ha-ha-ha!"
Dia
mengamat-amati lagi sambil tertawa ha-ha-he-he, amat menyeramkan.
"Wah-wah,
pakai bawa-bawa pedang segala. Jangan-jangan anggota pemberontak? Hee, bocah,
enak saja kalian tidur bermesra-mesraan, mabuk bercintaan, hayo bangun!"
ujung kakinya bergerak mencongkel tanah.
Bukan main
kagetnya hati Kong Bu ketika segumpal tanah melayang dengan kekuatan dahsyat ke
arah kepalanya! Tentu saja dia tidak mau dilukai, tidak sudi dihina seperti
itu. Tubuhnya bergerak melejit dan tahu-tahu dia telah berdiri dengan tubuh
tegak dan gagah, gumpalan tanah itu sama sekali tidak menyentuhnya.
"Ha-ha-he-heh,
benar juga! Kiranya yang jantan ini mempunyai sedikit kepandaian. Entah
bagaimana yang betina!" Kembali ibu jari kaki kanannya mencokel tanah dan
segumpal tanah melayang ke arah muka Li Eng.
Kong Bu
marah sekali, tubuhnya segera terayun dan dia hendak menyambar tanah yang
mengancam muka isterinya itu. Akan tetapi tiba-tiba Li Eng sudah pula mengulur
tangan. Tanpa membuka matanya ia telah dapat menangkap gumpalan tanah itu
dengan tangan kanannya, kemudian seperti tidak sengaja tangannya bergerak dan
gumpalan tanah itu melayang cepat ke arah muka kakek itu, senjata makan tuan!
"Ah,
lihai...!" Kakek itu berseru, kaget juga menyaksikan demonstrasi
kepandaian wanita muda itu dan cepat-cepat dia menundukkan muka untuk
membiarkan tanah itu lewat di atas kepalanya.
Tentu saja
kakek ini kaget dan heran karena dia tidak tahu bahwa Kui Li Eng adalah puteri
tunggal Kui Lok dan Thio Bwee, dua orang tokoh Hoa-san-pai yang sudah mewarisi
ilmu kepandaian asli dari Hoa-san, termasuk ilmu mempergunakan senjata rahasia!
Li Eng
memang sudah sadar ketika mendengar suara kakek itu tadi, tetapi ia pura-pura
masih tidur. Sekarang dia melompat bangun dan berdiri di samping suaminya,
matanya yang jeli dan tajam menatap kakek itu, menaksir-naksir dan
mengingat-ingat. Akan tetapi, seperti juga suaminya, dia merasa belum pernah
bertemu atau mendengar akan adanya seorang tokoh kang-ouw seperti kakek ini. Ia
juga tidak berani memandang rendah karena dari tenaga cokelan ibu jari kaki
kakek itu saja, tadi telah menggetarkan tangannya yang menerima tanah, tanda
bahwa kakek ini memiliki lweekang yang tinggi tingkatnya.
"Locianpwe
ini siapa dan mengapa mengganggu kami berdua suami isteri yang sedang
beristirahat?" Kong Bu bertanya sambil menjura. Sikapnya cukup sopan akan
tetapi tidak terlalu merendah.
Kakek itu
tidak menjawab, malah matanya tak berkedip memandang pada Li Eng. Bukan
memandang wajahnya, melainkan memandang ke arah perutnya! Tentu saja Li Eng
merasa mendongkol bukan main berbareng juga ngeri. Mata dengan manik mata yang
kelihatan terlalu putih di balik wajah hitam itu seakan-akan menelanjangi
dirinya dengan pandangannya itu.
"He,
Kakek! Kau melihat apa?!" bentaknya marah.
"He-heh-heh,
melihat perutmu. Ha-ha-ha, suami isteri yang aneh! Isteri lagi mengandung
tetapi malah diajak berkeliaran di hutan liar, apakah mengidam binatang
hutan?"
"Kakek
tua bangka, sudah tua semakin kurang ajar! Tutup mulutmu yang kotor itu!"
Li Eng makin marah, memaki-maki.
"He-heh-heh,
memang begitulah. Kalau belum sebulan, hawanya ingin marah saja, tanda anak perempuan!
Ha-ha-ha!"
Li Eng sudah
bergerak hendak menyerang kakek ini, akan tetapi Kong Bu memegang lengannya.
Diam-diam ada perasaan aneh menyelinap di hati Kong Bu. Memang sikap Li Eng
aneh, aneh bukan main. Tadi pun ia sudah terheran-heran menyaksikan perubahan
pada sikap isterinya. Jadi inilah rahasianya?
Benar-benarkah
isterinya mengidam, mulai mengandung? Wah, jika betul begitu, jangan kata harus
memarahi kakek itu, malah mau rasanya dia merangkul dan mencium muka tua yang
hitam itu! Perasaan girang luar biasa menyelubungi hati Kong Bu, tanpa terasa
lagi dia sudah melingkarkan lengan kirinya pada pinggang isterinya dengan
mesra, lalu bertanya,
"Locianpwe,
siapakah nama Locianpwe yang mulia? Dan Locianpwe ada keperluan apa dengan kami
suami isteri?"
"Kau
beruntung, orang muda. Isterimu cantik jelita, kepandaiannya juga lumayan,
lincah gembira dan sekarang sudah dapat diharapkan akan menghadiahkanmu seorang
bocah perempuan. Ha-ha-ha-ha, kau mau tahu siapa aku? Tua bangka ini orang
tidak terkenal, disebut Hek Lojin dari Go-bi."
Kong Bu
belum pernah mendengar nama ini, akan tetapi dia segera menjura dengan hormat
lalu memperkenalkan diri. "Saya bernama Tan Kong Bu dan ini isteri saya.
Tidak tahu ada keperluan apakah Locianpwe menemui kami?"
"Tidak
ada apa-apa... kebetulan saja... ahh, barang kali kau tadi melihat adanya
seorang pemberontak muda yang matanya buta. Aku sedang mencari-cari dia itu.
Apakah kalian melihatnya?"
Diam-diam
Kong Bu dan juga Li Eng terkejut. Tak bisa salah lagi, tentu Kun Hong yang
dimaksudkan. Tetapi mengapa pemberontak? Ahh, jangan-jangan orang lain, di
dunia ini banyak orang muda yang buta. Dengan menekan debaran jantungnya, Kong
Bu bertanya lagi, "Kami tidak melihatnya. Siapakah dia itu, Locianpwe?
Mana ada orang muda buta bisa jadi pemberontak?"
Kakek itu
terkekeh-kekeh, "Ha-ha-ha, memang lucu. Ini tanda bahwa mereka di kota
raja tidak becus apa-apa. Katanya pemberontak buta itu mengacau kota raja,
hampir tertawan lalu dapat lolos ditolong seekor burung rajawali emas. Dasar goblok
semua yang di kota raja. Termasuk hwesio gundul Siauw-lim itu hanya lagaknya
saja besar. Buktinya dengan mengeroyok pun tidak dapat menangkap seorang muda
buta. Padahal... he-he-heh-heh, ketika bertemu dengan aku, pemuda buta dan
burungnya itu... ha-ha-heh-he-heh, dia berlutut dan mengangguk-angguk tujuh
kali, di hadapanku, bahkan kulangkahi kepalanya dengan sebelah kakiku. Hah,
sayang sekali, kalau aku tahu dia itu seorang pemberontak, sudah tentu tidak
akan dapat kulepas dan kuampuni begitu saja!"
Sekarang
yakinlah hati Kong Bu dan Li Eng bahwa yang dimaksudkan oleh kakek aneh ini
tentulah Kun Hong. Di dunia ini siapa lagi kalau bukan Kun Hong yang biar pun
matanya buta dapat mengacau kota raja? Siapa lagi kalau bukan Kun Hong yang
ditolong oleh rajawali emas? Hati Li Eng sudah panas bukan main, tetapi ia
masih menekan suaranya ketika berkata,
"Kau
mencari dia mau apakah, Kakek?" Tidak bisa ia harus mencontoh suaminya
yang menyebut Locianpwe kepada kakek hitam yang dianggapnya kurang ajar ini.
"Ha-ha-heh-heh,
mau apa tanyamu? Matanya sudah buta, tinggal telinganya yang harus dibikin
tuli, hidungnya kuhancurkan, mulutnya kurobek, benci aku kepada pemberontak,
benci..."
"Keparat
jahanam!" Li Eng tidak dapat menahan kesabarannya lagi dan sekali bergerak,
pedangnya sudah berada di tangan. "Enak saja mulutmu yang busuk itu
mengoceh tidak karuan. Bukankah orang yang kau maksudkan itu bernama Kwa Kun
Hong?"
"Heh,
benar... kau tahu...?"
"Tentu
saja, kakek jahanam! Dia adalah pamanku dan tidak usah kau mencari dia, pedang
di tanganku sudah sanggup mengirim kau pulang ke neraka jahanam!"
Li Eng tidak
memberi kesempatan lagi, segera dia menerjang dengan pedangnya. Sinar putih
bergulung-gulung melayang ke arah kakek itu.
"Ayaaaaaaa,
kiranya kalian juga pemberontak-pemberontak, ha-ha-he-he-heh!" Kakek itu
cepat mengelak dan diam-diam dia terkesiap juga menyaksikan kilatan sinar
pedang yang demikian hebatnya.
"Benar,
isteriku! Kakek iblis ini harus dibasmi!" bentak pula Kong Bu dan kembali
sinar pedang yang panjang menyambar.
Kakek ini
makin kaget dan tahulah dia bahwa dua orang ini biar pun masih muda-muda, namun
ternyata sudah memiliki ilmu pedang yang jempolan dan sama sekali tidak boleh
dipandang ringan. Kakek ini memang Hek Lojin adanya, orang tua lihai dari
Go-bi, guru The-kongcu atau The Sun. Sudah kita ketahui bahwa kakek ini pernah
bertemu dengan Kun Hong dan rajawali emas, dan hampir terjadi peristiwa kalau
saja Kun Hong tidak bersabar dan mengalah.
Ketika Hek
Lojin ini memasuki kota raja, dia disambut dengan segala kehormatan oleh The
Sun. Akan tetapi ketika kakek aneh ini mendengar tentang Kun Hong dan rajawali
emas, dia mengejek kemudian menceritakan pengalamannya menghina pemuda buta itu
kepada The Sun dan para jagoan istana yang ikut menyambutnya.
"Heh-heh-heh,
A Sun, muridku, mengapa kalian begitu goblok? Menangkap pemberontak buta
seperti dia saja tidak becus, padahal di kota raja ini terdapat banyak orang.
Heh-heh, percuma saja kalau begitu. Habis, Thian Te Cu ini apa saja
kerjanya?" Dia menuding adik seperguruannya yang hadir pula di situ, dan
mengerling kepada semua yang hadir.
"Suheng,
biar pun dia masih muda, si buta itu benar-benar lihai sekali," bantah
Thian Te Cu dengan muka merah karena ditegur dan diketawai suhengnya di depan
banyak orang.
"Uuaaah,
lihai apanya? Kalau dia lihai kenapa mau berlutut dan mengangguk tujuh kali di
depan kakiku, saat kepalanya kulangkahi kaki dia juga tidak berani apa-apa.
Dasar kalian yang tiada gunanya. Uhh!"
Kakek hitam
ini memang sudah terlalu lama meninggalkan dunia ramai, bertapa di dalam hutan
di atas gunung sehingga wataknya sudah berubah seperti orang hutan saja. Dia
tak peduli lagi akan sopan santun dunia ramai, bicara asal membuka mulut saja,
tidak peduli apakah kata-katanya menyinggung orang ataukah tidak. Karena
terlalu tua, agaknya dia sudah pikun atau sudah lupa akan tata susila atau tata
cara pergaulan.
Bhok Hwesio
sebaliknya adalah seorang hwesio yang menjaga keras peraturan, seperti umumnya
hwesio-hwesio dari Siauw-lim-pai. Semenjak tadi dia sudah mendelik-mendelik
memandang kepada kakek hitam itu. Akan tetapi karena dirinya tersinggung tidak
secara langsung dan kakek hitam itu hanya menegur sute-nya sendiri, dia pun
berusaha untuk menahan kesabaran dengan muka merah.
Sekarang,
mendengar betapa kakek hitam itu berkali-kali menyebut ‘kalian’ goblok, tiada
gunanya dan lain-lain, dia menjadi marah sekali. Terdengar dia mendengus satu
kali dan tiba-tiba meja di depannya sudah amblas ke bawah sampai dua puluh
senti lebih. Empat kaki meja itu amblas menembus lantai yang keras dari ruangan
itu, amblas sama sekali tanpa mengeluarkan bunyi seakan-akan empat kaki meja
itu menembus agar-agar saja.
Dalam
kemarahannya, hwesio Siauw-lim ini ternyata sudah menggunakan lweekang-nya yang
memang sangat mengagumkan dan sudah mencapai tingkat tinggi sekali. Semua orang
kaget dan diam-diam merasa tidak enak, maklum bahwa hwesio ini marah kepada
kakek hitam itu.
"Hemmm,
sudah pernah pinceng mendengar nama besar Hek Lojin dari Go-bi yang tinggi
menyundul langit. Dengan adanya Hek Lojin di sini, orang-orang macam pinceng
ini apa gunanya lagi? Lebih baik pergi dan membaca doa di kelenteng! Tetapi,
biasanya kalau geledek menyambar-nyambar hebat, belum tentu hujannya
lebat."
Hek Lojin
pelototkan matanya. Tentu saja kakek ini maklum apa artinya ucapan ‘geledek
menyambar-nyambar hebat, belum tentu hujannya lebat’ itu yang boleh diartikan,
bicara besar, belum tentu kepandaiannya tinggi. Melihat hwesio Siauw-lim itu
sudah bangkit dari tempat duduknya, dia pun berdiri dan berkata,
"He-heh-heh, hwesio tukang berdoa. Boleh kita coba-coba!"
"Omitohud,
pinceng ingin sekali menerima petunjuk!"
The Sun
menjadi sibuk. Cepat-cepat dia bangkit dan berdiri di antara kedua jago tua
yang sudah hendak saling terjang ini. "Suhu... Losuhu... harap ji-wi sudi
duduk kembali. Harap suka melihat muka teecu... yang dalam hal ini mewakili
kaisar. Ji-wi dipersilakan datang untuk menghadapi para pemberontak, bukan
untuk saling bermusuhan. Harap suka ingat bahwa para pemberontak belum
tertumpas."
Bhok Hwesio
menarik napas panjang dan duduk kembali. "Maaf, pinceng sampai lupa diri,
omitohud..."
Hek Lojin
nampak uring-uringan. "Apa sih hebatnya si pemberontak buta? Kalian semua
lihat saja, aku akan pergi menangkapnya dan menyeretnya ke hadapan
kalian!" Setelah berkata demikian, kakek hitam ini melesat lenyap dari
situ tanpa dapat dicegah lagi.
Demikianlah,
dengan hati marah.Hek Lojin keluar dari kota raja untuk mengejar Kun Hong. Dia
hendak membuktikan kesanggupannya, hendak membuktikan omongannya. Dia yakin
bahwa dengan mudah dia akan dapat membunuh burung rajawali dan lebih mudah lagi
menawan pemberontak buta yang sudah amat takut terhadapnya itu.
Karena
mendongkol kepada sute-nya yang menjadi tosu, mendongkol pula kepada Bhok
Hwesio, maka di sepanjang jalan dia menyanyikan sajak-sajak Agama To dan Buddha
sambil mengejek, dan kebetulan sekali dia bertemu dengan Kong Bu dan Li Eng.
Suami isteri
muda itu menjadi amat marah setelah mendengar bahwa kakek ini memusuhi Kun
Hong. Sesudah mereka berdua serentak maju menyerang mempergunakan pedang
mereka, barulah Hek Lojin menjadi kaget. Sama sekali tidak pernah disangkanya
bahwa ilmu pedang kedua orang muda ini begitu hebat, menyambar-nyambar seperti
sepasang burung garuda sakti.
Gaya
permainan kedua suami isteri itu jauh berbeda dan inilah yang membuat dia kagum
dan terheran. Jelas bahwa suami isteri ini memiliki ilmu pedang dari dua macam
sumber yang sama tingginya. Jika tadinya Hek Lojin bersikap main-main dan
bermaksud melayani kedua orang itu dengan memandang rendah, kini dia
bersungguh-sungguh. Cepat dia pun menggerakkan tongkat hitamnya yang panjang
itu, menangkis sekaligus balas menyerang dengan hebatnya.
Sekali
bertemu senjata, baik Li Eng mau pun Kong Bu terkejut karena tenaga kakek hitam
ini benar-benar dahsyat bukan main. Hampir saja pedang mereka terlempar ketika
beradu dengan tongkat hitam panjang. Mereka berlaku hati-hati sekali karena
maklum bahwa apa bila pertempuran dilakukan dengan mengandalkan tenaga, mereka
akan kalah jauh.
Di lain
pihak, kakek itu pun kagum ketika pada pertemuan pertama antara senjata mereka
tadi, dia masih belum mampu memukul jatuh pedang-pedang lawan. Ini saja menjadi
bukti bahwa kedua orang lawannya yang masih amat muda-muda itu benar-benar murid-murid
orang sakti. Kiranya dalam hal kepandaian, suami isteri ini satu tingkat dengan
muridnya, The Sun. Padahal, tadinya dia menyangka bahwa di dunia ini belum
tentu dapat dicari keduanya seorang muda dengan kepandaian setingkat muridnya
itu.
Pertempuran
itu berjalan cepat sekali. Dua puluh jurus telah lewat dan masih saja mereka
bertempur mempergunakan kecepatan. Suami isteri itu memang sengaja mengerahkan
ginkang dan hendak mencari kemenangan mempergunakan kelincahan. Siapa kira,
kakek hitam itu pun ternyata merupakan seorang ahli ginkang yang hebat sehingga
ketika kakek ini menandingi mereka, maka bayangan tiga orang itu lenyap
terbungkus sinar senjata.
Tiba-tiba
Hek Lojin tertawa. Setelah dua puluh jurus, barulah dia mengenal ilmu pedang Li
Eng. Kiranya ilmu pedang wanita muda ini adalah Ilmu Pedang Hoa-san Kiam-hoat.
Akan tetapi
baru sekarang dia menghadapi ilmu pedang Hoa-san-pai yang sehebat ilmu pedang
yang dulu pernah dimainkan oleh mendiang Lian Ti Tojin tokoh Hoa-san-pai yang
mengasingkan diri. Dia tidak tahu bahwa memang orang tua Li Eng adalah murid
Lian Ti Tojin yang sudah mewariskan ilmu pedangnya kepada mereka.
"Wah,
kau masih apanya Lian Ti Tojin dari Hoa-san-pai?" Kakek itu sempat pula
menegur dengan gembira. "Dan kau ini bocah, dari mana kau memperoleh ilmu
pedang aneh ini!" tegurnya kepada Kong Bu.
Li Eng kaget
juga mendengar disebutnya kakek gurunya yang memang menjadi pewaris ilmu pedangnya.
Ada pun Kong Bu yang ingin menggertak segera menjawab, "Kakekku
Song-bun-kwi yang mengajar kepadaku!"
"Wuuuuuttttt...
tranggggg...!"
Tak dapat
dihindarkan lagi, pedang Kong Bu bertemu dengan tongkat, sedangkan Li Eng dapat
cepat mengelak. Kong Bu merasa betapa telapak tangannya seperti dibakar, maka
cepat-cepat dia mengerahkan lweekang untuk melawan hawa itu. Kakek itu sudah
berdiri tertawa dan tongkatnya berdiri pula di depannya.
"Ha-ha-heh-heh,
kiranya kau cucu setan bangkotan itu? Ha-ha-ha, ketika kakekmu masih muda,
pernah dia bertekuk lutut di depan kakiku, tahukah kau? Ha-ha-ha, Song-bun-kwi,
dahulu kau kalah, sekarang kau mewakilkan kepada cucumu untuk menderita
kekalahan kedua kalinya. Dan Lian Ti Tojin, dahulu kau belum sanggup mengalahkan
aku, apa lagi sekarang bocah perempuan yang mengandung ini, heh-heh-heh!"
"Sombong!"
Li Eng dan Kong Bu berteriak hampir berbareng. Mereka berdua marah sekali
mendengar ejekan-ejekan dan hinaan ini. Betapa pun juga, tadi mereka belum
kalah, malah belum terdesak hanya baru kalah tenaga saja. Mereka tidak takut
dan setelah berteriak demikian, keduanya menyerbu lagi mengirimi
serangan-serangan maut.
Akan tetapi
kini kakek itu mengubah gerakannya. Tongkatnya yang panjang itu berputar
seperti kitiran angin, cepat dan mendatangkan angin pukulan yang amat kuat.
Cara kakek itu menyerang bukan seperti ilmu silat lagi, akan tetapi seperti
sebuah kitiran angin besar yang tiada hentinya berputar dan menerjang mereka
dengan kekuatan yang dahsyat!
Kong Bu dan
Li Eng adalah keturunan orang-orang pandai yang mempunyai kepandaian tinggi.
Akan tetapi mereka ini ketinggalan jauh kalau dibanding dengan kakek ini dalam
hal pengalaman bertempur. Menghadapi cara bertempur kakek ini, mereka menjadi
repot dan bingung. Berusaha menangkis dengan pedang, akan tetapi setiap kali
bertemu tongkat, pedang mereka terpental dan mereka terpaksa meloncat ke sana
ke mari supaya jangan terkena sambaran tongkat yang luar biasa itu. Sama sekali
mereka tak pernah mendapat kesempatan untuk balas menyerang!
Tiba-tiba
saja, seperti juga mulainya, kakek itu menghentikan pemutaran tongkatnya dan
bersilat lagi, malah seperti sengaja telah memberi lowongan-lowongan kepada dua
orang lawannya. Girang hati Kong Bu dan Li Eng melihat ini, menduga bahwa kakek
itu tentu lelah memutar tongkat seperti itu dan sekarang hendak beristirahat
dan bersilat biasa. Kesempatan baik ini mereka pergunakan dan cepat mereka
menyerbu, membalas dengan serangan-serangan maut yang amat berbahaya. Mendadak
kakek itu berseru keras dan tongkatnya kembali diputar secara tiba-tiba dan
tidak terduga.
“Trang-trang!”
terdengar suara keras sekali.
Tanpa dapat
dicegah lagi pedang Kong Bu dan Li Eng terpental, terlepas dari pegangan.
Pedang Kong Bu melesat ke kanan dan pedang Li Eng melesat ke kiri, menancap
sampai amblas sebatas gagang pada tanah beberapa meter jauhnya!
"Ha-ha-ha-he-he-he,
baru kenal kelihaianku, ya?" Kakek itu mengejek.
Kembali
tongkatnya berputaran menerjang suami isteri yang sudah tidak bersenjata lagi
itu! Namun dua orang muda itu bukanlah orang-orang lemah, biar pun mereka sudah
tidak bersenjata lagi, tidaklah mudah merobohkan mereka. Biar pun tongkat itu
berputar seperti kitiran, namun tubuh mereka melesat dan menyelinap di antara
bayangan tongkat. Ginkang mereka demikian hebatnya sehingga tubuh mereka
seakan-akan bayang-bayang yang sukar dipukul tongkat.
"Bagus,
bagus...! Orang-orang muda cukup mengagumkan... ha-ha-ha, tetapi harus roboh
oleh Hek Lojin!"
Kakek itu
menerjang terus, sekarang dia selingi dengan pukulan-pukulan tangan kiri yang
mengandung hawa pukulan jarak jauh. Memang ilmu tongkat kakek ini hebat bukan
main. Tongkat yang diputar oleh dua tangannya itu, kadang-kadang bisa dioper
dengan tangan kanan saja, malah ada kalanya tongkat berputar cepat mendesing ke
atas, dilepas oleh kedua tangan yang melakukan pukulan-pukulan ke depan dan
tongkat itu tanpa dipegang lagi terus berputaran di atas kepala, dan disambut
lagi dengan enaknya.
Payah juga
Kong Bu dan Li Eng menghadapi penyerangan kakek kosen. Mereka sudah mengambil
keputusan untuk melarikan diri karena tak sanggup melawan lagi. Akan tetapi
tiba-tiba kakek itu membentak keras, tongkatnya melayang dan menyerang kedua
orang muda itu tanpa dia pegang, sedangkan tubuhnya mengikuti tongkatnya, kedua
tangannya melakukan tamparan-tamparan disertai tenaga lweekang.
Melihat Li
Eng terpeleset ketika mengelak dari tongkat dan terdorong oleh angin pukulan
lawan, Kong Bu kaget. Cepat dia menghadang desakan kakek itu. dengan
mengerahkan tenaga dia menangkis dengan tangan kiri.
"Krakkk!"
Lengan
kirinya patah ketika bertemu dengan tangan si kakek, dan sebuah tendangan
membuat Li Eng terjungkal!
Kong Bu
marah bukan main. Dengan nekat dia lantas menggunakan tangan kanannya
menerjang, akan tetapi dia pun harus terjungkal ketika kakek itu mendorong
dengan dua tangannya dari samping. Kepalanya terasa pening sekali, namun Kong
Bu masih dapat melompat ke tempat di mana isterinya roboh. Dengan tubuhnya dia
melindungi Li Eng, siap mengadu nyawa dengan kakek sakti itu.
Hek Lojin
meringis, terkekeh-kekeh dan menghampiri kedua orang itu sambil menyeret
tongkatnya. “Heh-heh-heh…!”
Tiba-tiba
terdengar suara melengking panjang, suara seperti orang menangis terdengar dari
jauh. Mendengar ini, Kong Bu kaget dan juga girang, lalu dia mengerahkan
khikang dan mengeluarkan teriakan panjang pula yang bergema di seluruh hutan.
Kakek itu
berhenti, menengadah lalu tertawa bergelak. "Ha-ha-heh-heh, itu si tua
bangka Song-bun-kwi agaknya! Ha-ha-ha, biar dia datang, sekalian
kubereskan!"
Bayangan
putih berkelebat dan benar saja, di situ telah berdiri Song-bun-kwi Kwee Lun
dengan sikapnya yang garang! Melihat betapa sepasang suami isteri itu rebah di
bawah pohon, kemarahannya langsung memuncak. Dengan sepasang mata laksana
berapi-api dia memandang kakek hitam itu lalu memaki,
"Keparat
jahanam si tua bangka Hek Lojin! Jadi kau belum mampus juga? Berpuluh tahun
kucari, kau mengumpet, bersembunyi. Sekarang sudah tua bangka mau mampus berani
muncul mengantarkan nyawa! Kenapa kau tidak langsung mencariku, biar tua sama
tua, melainkan mengganggu anak-anak muda? Tidak tahu malu!"
"Heh-heh-heh,
Song-bun-kwi, bagus sekali kau sendiri datang, kau kakeknya pemberontak! Kau
mengajar anak-anak menjadi pemberontak, ya? Dasar iblis! Bagus kau sudah
datang, dahulu kau pernah kalah tetapi belum mampus, biar sekarang kutamatkan
riwayatmu!"
Kedua orang
kakek itu sudah mulai bertempur sebelum ucapan ini habis. Song-bun-kwi sudah
mengeluarkan suling beserta pedangnya, menerjang dengan ilmu pedangnya yang
paling dia andalkan, yaitu Yang-sin Kiam-sut, sedangkan sulingnya juga
memainkan ilmu silatnya sendiri yang luar biasa.
Hek Lojin
maklum bahwa lawannya bukanlah orang sembarangan, maklum pula bahwa sejak
kekalahannya puluhan tahun yang lalu, tentu Song-bun-kwi sudah mempersiapkan
diri dan telah mendapatkan ilmu-ilmu baru. Begitu merasai hawa panas dari
pedang kakek Song-bun-kwi, dia terkejut dan cepat dia memutar tongkatnya.
Sebaliknya
Song-bun-kwi juga cukup mengenal Hek Lojin. Empat puluh tahun yang lalu memang
dia pernah bertemu dengan kakek hitam itu dan dalam pertandingan yang hebat,
dia sudah dilukai dan terpaksa dia harus mengaku kalah. Semenjak itu, tidak
pernah lagi dia bertemu dengan Hek Lojin yang memang mengasingkan diri karena
terlalu banyak musuh. Sekarang, tidak disangka-sangka dia bertemu dengan musuh
lamanya, tentu saja dia lalu berusaha sungguh-sungguh untuk membalas
kekalahannya pada puluhan tahun yang lalu.
Sebenarnya
Hek Lojin masih belasan tahun lebih tua dari pada Song-bun-kwi, termasuk tokoh
lama yang sudah tua sekali. Akan tetapi karena kakek ini memang luar biasa dan
hidup di alam terbuka jauh dari pada dunia ramai, agaknya dia memiliki kekuatan
yang lebih dari pada manusia biasa. Selain tenaganya tidak normal, juga
kepandaiannya aneh dan bersifat liar dan ganas.
Memang dia
memiliki banyak ilmu silat yang dikenal di dunia kang-ouw sebagai ilmu-ilmu
silat kelas tinggi, seperti yang dia turunkan kepada The Sun. Akan tetapi di
samping ini, dia masih mempunyai ilmu berkelahi yang hanya dia miliki sendiri
dan yang jarang dia pergunakan di dalam pertempuran dan tidak pernah dia
turunkan kepada siapa pun juga.
Ilmu ini
merupakan ilmu berkelahi yang menyimpang dari pada ilmu silat yang timbul dari
perasaan dan naluri, seperti ilmu berkelahi yang dimiliki oleh para binatang
buas di dalam hutan. Oleh karena itu, tadi ketika dia memutar-mutar tongkatnya
secara liar, Kong Bu dan Li Eng yang tidak biasa menghadapi ilmu berkelahi
seperti ini menjadi kebingungan dan mudah dikalahkan.
Sekarang,
ketika menghadapi Song-bun-kwi, kakek hitam ini berlaku sangat hati-hati dan
karenanya dia malah tidak mau ngawur seperti tadi, melainkan menggunakan
jurus-jurus ilmu silatnya yang beraneka ragam dan rata-rata dari tingkat tinggi
itu.
Hebat
pertandingan ini. Tenaga Iweekang Hek Lojin sudah mencapai tingkat yang sukar
diukur tingginya. Akan tetapi sekali ini dia menemukan tandingan, karena
Song-bun-kwi adalah seorang kakek yang dijuluki iblis sedang nama julukan
Song-bun-kwi saja artinya Setan Berkabung! Meski pun Song-bun-kwi diam-diam
harus mengakui bahwa dia masih belum dapat menandingi tenaga dalam kakek hitam
itu, akan tetapi setidaknya tingkatnya tidak kalah jauh seperti ketika tadi
kakek itu menghadapi Kong Bu dan Li Eng.
Sebetulnya
Hek Lojin adalah seorang ahli agama, oleh karena itulah maka tadi Kong Bu dan
Li Eng sempat mendengar nyanyian-nyanyian agama yang merupakan ayat-ayat suci
dari Agama Buddha dan Agama To. Akan tetapi, agama-agama pada waktu itu banyak
disalah gunakan orang.
Banyaklah
kaum persilatan yang mempelajari agama bukan karena pelajaran hidupnya yang
baik, bukan karena untuk mencari jalan pendekatan dengan Tuhan, namun mereka
ini bermaksud untuk mengambil bagian-bagian mistik dan gaib dari pada agama
itu. Oleh karena inilah maka timbul banyak aliran yang menggunakan agama itu
untuk mempelajari segala macam ilmu gaib yang mereka gabungkan dengan ilmu silat
sehingga terkenallah ilmu-ilmu silat yang disebut ilmu silat hitam.
Demikian
pula tenaga mukjijat yang dimiliki kakek hitam itu bukan semata-mata tenaga
sinkang murni dari dalam tubuh yang memang dimiliki oleh semua orang, akan
tetapi juga diperkuat oleh tenaga dari ilmu hitam yang dia dapatkan dengan cara
bermacam-macam dan amat mengerikan.
Kong Bu dan
Li Eng melihat pertempuran ini dengan hati amat khawatir. Apa lagi setelah
pertandingan itu berlangsung seratus jurus lebih, mereka merasa gelisah sekali
karena kini tampak oleh mereka betapa keadaan Song-bun-kwi mulai terdesak. Kong
Bu ingin membantu kakeknya, tetapi tidak mungkin dia dapat bertempur dengan
tangan kiri patah tulangnya dan dadanya masih sesak oleh tenaga dorongan kakek
itu. Juga Li Eng sudah terluka, pahanya telah terkena tendangan dan terasa
sakit sekali.
Tiba-tiba
saja terdengar bentakan-bentakan hebat dan suara nyaring beradunya
senjata-senjata kedua kakek itu. Kiranya mereka sudah mempergunakan seluruh
tenaga untuk mengadu senjata. Akibatnya, suling remuk pedang patah, akan tetapi
tongkat hitam itu pun terlempar jatuh sampai beberapa meter jauhnya!
Kedua orang
kakek itu tertawa saling mengejek, lalu pertandingan dilanjutkan dengan dua
pasang tangan kosong. Akan tetapi, sambaran angin pukulan kedua pihak
membuktikan bahwa pertandingan tangan kosong ini tidak kalah hebatnya
dibandingkan pertandingan dengan senjata tadi. Setiap pukulan yang dilancarkan
adalah pukulan maut yang mengandung hawa pukulan dahsyat. Angin pukulan
bersiutan, membuat daun-daun pohon di sekelilingnya rontok dan debu berhamburan
dari kedua kaki mereka.
Dalam
pertempuran ini, Song-bun-kwi lebih terdesak lagi. Dengan penggunaan senjata,
dia masih dapat mengimbangi lawannya, akan tetapi pertandingan dengan tangan kosong
semata-mata hanya mengandalkan kecepatan gerak dan besarnya tenaga dalam. Dalam
kecepatan, Song-bun-kwi sebanding dengan lawannya, namun dalam hal tenaga,
karena lawannya mempunyai tenaga mukjijat, Song-bun-kwi terpaksa harus mengakui
bahwa tiap kali tangannya bertemu dengan tangan lawan, jantungnya terasa sakit
seperti ditusuk!
Namun, kakek
ini tidak akan mendapat julukan iblis Song-bun-kwi kalau dia mau mengaku kalah.
Dengan semangat menyala-nyala, Song-bun-kwi nekat terus menerjang dengan
pengerahan seluruh tenaga dan gerakan-gerakannya semakin cepat saja. Kakek
hitam tertawa-tawa melayani dan dalam sekejap mata kedua kakek itu lenyap
terbungkus debu yang mengebul dari bawah.
Hebat bukan
main pertarungan ini, seperti pergumulan dua ekor naga, atau perkelahian dua
ekor harimau buas, pantang menyerah, pantang mundur. Kong Bu dan Li Eng makin
merasa khawatir, akan tetapi keduanya tidak berdaya karena sebagai ahli-ahli
silat tinggi, maklumlah mereka bahwa sekali mereka maju belum tentu mereka
dapat menguntungkan Song-bun-kwi akan tetapi yang pasti mereka akan celaka.
Hawa pukulan dengan tenaga dahsyat yang menyambar di sekeliling dua orang kakek
itu tidak terlawan oleh mereka.
Tiba-tiba
kedua orang kakek itu berhenti bersilat dan tubuh mereka mencelat ke belakang,
masing-masing dua meter lebih, berdiri saling pandang dengan muka mengerikan.
Hek Lojin sudah tidak tertawa lagi, mukanya yang hitam itu berkilat-kilat penuh
peluh, mulutnya menyeringai, matanya berseri-seri. Muka Song-bun-kwi juga penuh
keringat, agak pucat dia, matanya berapi-api penuh kemarahan.
Kemudian
keduanya melompat ke depan, saling terjang dan terdengar suara berdebugan dua
tiga kali dan akibatnya, tubuh mereka terlempar ke belakang lagi. Kembali
mereka saling terjang dan terdengar pukulan-pukulan yang mengakibatkan mereka
terlempar lagi. Adegan seperti ini terulang sampai empat lima kali. Muka
Song-bun-kwi makin pucat, muka Hek Lojin semakin penuh dengan keringat.
Tiba-tiba
kakek hitam itu bergelak. "Ha-ha-ha-heh-heh, Song-bun-kwi tua bangka
iblis! Kau benar-benar berkepala batu, sudah kalah tidak mau mengakui kekalahan.
Ha-ha-ha, sudah puas hatiku dengan perkelahian hari ini, aku sudah lelah. Kalau
kau masih dapat hidup, lain hari kita lanjutkan, kalau kau mampus karena
perkelahian ini, mampuslah dan rasakan hukuman neraka. Ha-ha-ha!"
Kakek hitam
itu melangkah mundur ke tempat tongkatnya, mengambil senjata itu dan
menyeretnya pergi dari situ. Masih terdengar suara ketawanya yang bergema dari
jauh.
Song-bung-kwi
masih berdiri tegak dengan kedua kaki dipentang seperti tadi, napasnya
tersengal-sengal, mukanya pucat dan hidungnya kembang-kempis. Tiba-tiba dia
menekan ulu hatinya dan kakek kosen ini pun muntah-muntah. Darah segar
menyembur keluar dari mulutnya.
"Kakek...!"
Kong Bu cepat-cepat melompat menghampiri, Li Eng juga terpincang-pincang lari
menghampiri.
Seakan-akan
telah kehabisan tenaga, Song-bun-kwi sudah jatuh terduduk. Dia berusaha
menghapus bibirnya dengan ujung lengan baju dan terdengar dia bergumam
perlahan, "...hebat sekali... Hek Lojin iblis..."
Kong Bu
sudah berlutut di depannya, juga Li Eng. Kagetlah dua orang ini ketika melihat
bahwa leher, pundak, dada dan perut kakek itu terluka oleh pukulan yang
meninggalkan bekas membiru Sedangkan baju pada bagian terpukul itu pun
berlubang besar seperti bekas terbakar.
Kiranya
dalam gebrakan-gebrakan terakhir tadi, dua orang kakek sakti itu telah
melakukan jurus-jurus yang mematikan, jurus-jurus nekat yang berdasarkan
mengadu tebalnya kulit kerasnya tulang dan ampuhnya pukulan! Tadi empat kali
Song-bun-kwi telah menerima pukulan maut Hek Lojin, sebaliknya Hek Lojin juga
sudah menerima empat kali pukulan Song-bun-kwi yang datangnya hampir pada saat
yang sama itu.
Pukulan
Song-bun-kwi dapat diterima oleh Hek Lojin, menimbulkan luka ringan yang tidak
membahayakan nyawanya. Sebaliknya pukulan-pukulan Hek Lojin sedemikian hebatnya
sehingga membuat Song-bun-kwi sekarang muntah-muntah darah dan sudah menderita
luka yang amat parah.
Akan tetapi
daya tahan Song-bun-kwi dan semangatnya memang luar biasa sekali. Kalau orang
lain yang menderita seperti dia, tentu tadi sudah roboh di bawah kaki lawannya.
Namun Song-bun-kwi sanggup menahan diri, menahan rasa nyeri dan dengan semangat
pantang mundur dia menukar pukulan sampai empat kali.
Hek Lojin
tadi menjadi terkejut sekali dan diam-diam merasa jeri. Dia sendiri, meski pun
ringan, sudah merasa terluka oleh pukulan-pukulan Song-bun-kwi, akan tetapi
mengapa Song-bun-kwi agaknya tidak merasai pukulannya yang empat kali itu?
Padahal pukulan-pukulannya tadi adalah pukulan maut yang mengandung tenaga
mukjijat!
Itulah
sebabnya mengapa Hek Lojin tadi meninggalkan Song-bun-kwi, sama sekali bukan
karena merasa menang, melainkan karena jeri! Setelah lawannya pergi, barulah
terasa oleh Song-bun-kwi akan kehebatan bekas pukulan lawan dan sekarang dia
terkulai tidak berdaya. Dia maklum bahwa dia telah menerima pukulan-pukulan
maut yang meremukkan isi dadanya, dan tahu bahwa dia tidak akan tertolong lagi.
Melihat Kong
Bu dan Li Eng berlutut di dekatnya, timbul rasa kecewanya terhadap kedua orang
ini. Sampai mau mati pun dia masih kecewa karena belum mempunyai cucu buyut.
Dasar kakek ini seorang yang amat aneh wataknya. Dia menggunakan kedua
tangannya untuk mendorong pergi dua orang itu sambil berkata, "Pergi...
pergi... biar aku tidak punya cucu juga tidak apa...!"
Suara kakek
ini bernada penuh penyesalan, penuh kekecewaan karena merasa tertikam
perasaannya ketika teringat bahwa dalam menghadapi saat terakhir dalam hidupnya
ini, dia masih dikecewakan oleh Kong Bu yang dia kasihi, dikecewakan karena
cucunya ini tidak mempunyai keturunan!
"Kongkong
(kakek)...!" Kong Bu mendekati kakeknya lagi, suaranya penuh keharuan. Li
Eng juga mendekat lagi, air matanya mengalir.
"Sudahlah,
meski sampai mati pun aku tetap kecewa padamu...!" kata pula Song-bun-kwi
ketus sambil bangkit berdiri dengan susah payah dan kakek ini sudah bersiap
melangkah maju meninggalkan mereka.
Tiba-tiba Li
Eng memegang lengannya. Dengan suara terisak-isak ia berkata, "Kongkong,
aku... aku... ahhh, kau sudah akan mempunyai cucu buyut..."
"Haaaaa??
Apa kau bilang...?!"
Mata dan
mulut kakek itu terbuka selebar-lebarnya saat dia menatap wajah Li Eng yang
sudah basah air mata karena ia sudah mulai menangis tersedu-sedu, sambil
merangkul dan mengganduli pundak kakek itu. Melihat Li Eng tidak mungkin dapat
menjawab karena menangis itu, Kong Bu yang menjawab dengan muka berseri dan
mata bersinar, "Betul, Kongkong, Li Eng sudah mengandung. Cucu buyutmu
pasti bakal terlahir!"
"Wah-wah!
Betulkah ini? Li Eng, betulkah ini?" Kakek ini berteriak sambil memegang
dua pundak Li Eng dan mendorongnya untuk dapat melihat wajahnya.
Li Eng
tersenyum dalam tangisnya, menahan air mata dengan memeramkan mata, dan hanya
dapat mengangguk dengan gerakan meyakinkan.
"Ha-ha-ha-ha-ha!
Song-bun-kwi, kau tua bangka goblok, kau manusia tolol! Ha-ha-ha-ha, Li Eng,
kau anak baik!"
Serentak
tubuh Li Eng yang dia pegang pada kedua pundaknya itu dia lontarkan ke atas.
Tubuh Li Eng melayang ke atas kurang lebih tiga meter tingginya, diterima
dengan penuh kasih sayang lalu dilontarkan lagi sampai tiga kali. Kemudian dia
memeluk Li Eng dan menciumi rambutnya, membiarkan Li Eng terisak-isak bahagia
di dadanya.
"Li
Eng, mana dia? Mana cucu buyutku? Tidak bisakah kau lahirkan dia sekarang saja?
Aku sudah ingin memondongnya, menimangnya, ha-ha-ha!"
"Iihhh,
Kakek ini...!" Li Eng menundukkan mukanya, jengah.
"Ha-ha-ha,
Song-bun-kwi tolol, siapa bilang cucuku tidak becus dan goblok? Ha-ha-ha, Kong
Bu, kau hebat...!"
Dia sudah
melepaskan Li Eng, lalu menghampiri Kong Bu dan menepuk-nepuk pundak cucunya
itu. Kalau saja bukan Kong Bu yang ditepuknya, tentu pundak itu akan remuk.
"Ha-ha-ha-ha,
aku punya cucu buyut..." Kakek itu tertawa terus terbahak-bahak, makin
lama makin aneh suara ketawanya.
"Kongkong...!"
Li Eng dan Kong Bu menjerit berbareng sambil menubruk maju.
Akan tetapi
Song-bun-kwi sudah terguling roboh, terlentang dengan mata melek dan mulut
terbuka, wajahnya masih tertawa-tawa akan tetapi napasnya berhenti. Kakek itu
sudah mati dalam keadaan tertawa bahagia. Kiranya dalam kegirangannya yang
melewati batas tadi, dia sudah banyak mengerahkan tenaga dan hal ini memperhebat
luka-lukanya yang memang sudah terlalu parah hingga akhirnya merenggut nyawanya
sebelum dia sempat menghabiskan ketawanya!
Li Eng dan
Kong Bu memeluki tubuh kakek itu sambil menangis. Angin yang tadi bertiup dan
bermain-main di antara daun-daun pohon, sekarang berhenti. Sunyi senyap di
dalam hutan itu, seakan-akan hutan, angin dan penghuni hutan ikut menyatakan
bela sungkawa atas kematian kakek sakti yang hidupnya sering menggemparkan
dunia kang-ouw itu….
"Kim-tiauw-ko,
aku ingin sekali pergi ke Ching-coa-to. Ah, alangkah akan mudahnya kalau kau
dapat menerbangkan aku ke pulau itu, kita tak akan bingung menghadapi
jalan-jalan rahasia. Ah, sayang, Tiauw-ko, kau tak tahu di mana adanya pulau
itu...," kata Kun Hong sambil mengelus-elus leher burung itu.
Betapa pun
cerdik pandainya, seekor burung hanyalah seekor binatang biasa saja, tentu saja
tidak memiliki akal dan tidak mengerti apa yang dimaksudkan oleh Si Pendekar
Buta. Dia hanya mengeluarkan suara mencicit bingung melihat sahabatnya ini
bersikap kecewa dan menyesal.
Mereka masih
berada di dalam sebuah hutan, sudah beberapa hari mereka melakukan perjalanan
keluar hutan. Kun Hong bingung karena tidak bertemu manusia yang dapat dia
tanyai jalan.
Sebetulnya
sudah banyak hal yang menghilangkan kegelisahannya. Cui Sian telah berada di
tangan orang yang boleh dipercaya dan anak itu selamat. Surat wasiat juga sudah
diantarkan ke utara, dan dia merasa yakin bahwa Sin Lee dan Hui Cu pasti akan
dapat melaksanakan tugas itu dengan baik. A Wan juga berada bersama paman
gurunya, aman dan selamat.
Tinggal dua
lagi tugas yang harus dia selesaikan. Pertama mencari orang-orang Ching-coa-to
dan memberi hajaran atas kejahatan mereka terhadap Thai-san-pai. Ke dua... ya,
yang ke dua inilah yang membingungkan hatinya. Tentang Hui Kauw! Bagaimana
baiknya dengan nona itu?
Harus dia
akui bahwa dia betul-betul mencinta Hui Kauw. Cinta kasihnya terhadap Cui Bi
sekarang agaknya sudah berpindah kepada Hui Kauw seluruhnya. Dia merasa
kesepian, rindu, dan merasa seakan-akan hidupnya tidak lengkap, kehilangan
semangat hidup dan kegembiraan, akibat berpisah dari nona bersuara bidadari
itu. Dia tahu bahwa hidupnya selanjutnya akan merana, akan kosong hampa dan
tidak ada artinya tanpa Hui Kauw.
"Uhh,
urusan besar belum selesai, sudah memikirkan yang bukan-bukan..." Dia
menepuk kepala sendiri dan rajawali emas itu menggereng perlahan.
"Kim-tiauw,
betapa tidak enaknya menjadi manusia!" kembali Kun Hong mengeluh sambil
duduk di atas batu besar di dekat burung itu. "Tiada hentinya manusia
terganggu dalam hidupnya yang terbelit-belit dan terikat oleh segala macam
kewajiban, dan terkacau oleh segala macam perasaan. Kau inilah makhluk bahagia,
kim-tiauw, karena selama hidupmu kau tidak pernah memusingkan sesuatu."
Burung itu
mengeluarkan suara panjang seakan-akan membantah pendapat ini dan sama sekali
tidak menyetujuinya. Kun Hong merenung. Betulkah seperti yang dia katakan tadi?
Apakah tidak sebaliknya dari pada itu? Bukanlah segala ikatan dalam hidup
itulah yang membuat hidup ini berisi dan pantas diderita? Bukankah kehidupan
burung dan segala macam makhluk selain manusia di dunia ini yang amat
menjemukan?
Bayangkan
saja. Bila hidup tanpa adanya susah, senang, puas, kecewa, dan lain-lain
perasaan yang saling bertentangan, apakah tidak akan merupakan siksaan karena
tiada perubahan, sunyi sepi dan seolah-olah sudah mati saja? Bagaikan samudera,
apa artinya tanpa gelombang membadai yang membuat samudera nampak hidup? Apa
artinya dunia ini tanpa angin, lelap lengang dan sunyi mati. Demikian pula
hidup ini, akan terasa sunyi membosankan apa bila tidak ada ikatan-ikatan yang
mengakibatkan manusia merasakan susah senang, jatuh bangun dan sebagainya.
Teringat dia
akan filsafat-filsafat kuno dan dia tersenyum seorang diri. Memang hebat para
budiman dan bijaksana jaman dahulu, telah dapat meneropong isi dari pada hidup.
Dia menepuk-nepuk leher kim-tiauw, kini wajahnya berseri dan hatinya tenang,
"Kim-tiauw,
alangkah bodohku, sampai lupa akan kenyataan yang tidak terbantah lagi itu.
Siapa mencari senang, dia sekali-kali tentu bertemu susah. Siapa mencari untung
sekali-kali akan bertemu rugi. Siapa mencari puas, sekali-kali akan ketemu
kecewa. Memang sudah semestinya begitu. Kalau tidak ada atas, mana bisa ada
bawah? Kalau tidak ada senang, mana bisa bilang ada susah? Manusia adalah
makhluk yang paling berbahagia, kim-tiauw, sebab mengenal keduanya itu,
mengenal dan merasakan akibat dari kekuatan Im dan Yang (positive dan
negative). Ha-ha-ha, kaulah yang patut dikasihani, kim-tiauw."
Kini
kim-tiauw itu bersuara girang, sekan-akan dia ikut bergembira mendengar
sahabatnya sudah bisa tertawa-tawa kembali. Tiba-tiba mereka berdua serentak
diam memperhatikan. Terdengar suara kaki orang banyak menuju ke arah tempat
itu. Rajawali emas sudah siap, bulu tengkuk burung itu sudah mulai berdiri,
tanda bahwa dia telah siap menyerang lawan.
"Sssttt,
jangan sembrono kim-tiauw-ko, kita lihat dulu mereka itu kawan ataukah
lawan."
Betapa pun
juga, Kun Hong sudah siap pula berdiri di dekat burung itu, menanti dengan
penuh kewaspadaan. Dia taksir sedikitnya ada tujuh orang yang bergerak makin
dekat itu. Maklum akan watak burung rajawali yang mudah curiga itu. Kun Hong
sengaja merangkul lehernya untuk mencegah burung itu menerjang orang secara
sembrono sebelum dia dapat mengetahui siapa mereka itu.
"Pangcu
(ketua)... kami para anggota Hwa-i Kaipang datang menghadap..." tiba-tiba
saja seorang di antara mereka berseru dari jauh.
Kun Hong
bernapas lega, "Kim-tiauw-ko, agaknya mereka itu teman-teman sendiri,
jangan kau ganggu."
Tidak lama
kemudian muncullah delapan orang yang serta merta berlutut di depan Kun Hong.
Pendekar muda ini teringat akan tipuan yang dilakukan The Sun yang pernah
mendatangkan beberapa orang anggota Hwa-i Kaipang yang palsu. Orang-orang ini
pun juga tidak dia kenal, mana dia tahu kalau mereka adalah betul-betul anggota
perkumpulan pengemis itu?
"Apakah
di antara kalian ada yang mengenal Coa-lokai?" dia memancing.
Terdengar
jawaban dua orang yang berada di sebelah kanan, "Siauwte adalah murid suhu
Coa-lokai."
Tiba-tiba
Kun Hong bergerak dan tahu-tahu dia telah mengirim dua serangan kepada dua
orang itu. Sebagai ahli-ahli silat, dua orang itu otomatis menggerakkan tangan
menangkis. Akan tetapi akibatnya, keduanya terjungkal dan terlempar ke belakang
sampai tiga meter jauhnya.
Kagetlah
semua orang itu, juga rajawali emas sudah siap membantu sahabatnya dalam
pertempuran. Akan tetapi tiba-tiba Kun Hong tertawa bergelak, membuat
orang-orang itu, terutama yang tadi dibikin terguling-guling, makin keheranan.
"Ha-ha-ha,
maafkan aku, Twako. Dulu aku pernah dihadapkan kepada orang-orang Hwa-i Kaipang
yang palsu, maka terpaksa aku menguji. Kiranya benar ji-wi adalah murid-murid
Coa-lokai sehingga aku tidak perlu ragu-ragu lagi. Maaf."
Semua
anggota perkumpulan penggemis itu saling pandang dan makin kagumlah mereka.
Tadinya mereka ragu-ragu melihat betapa orang yang amat dipuji-puji oleh para
pimpinan Hwa-i Kaipang hanya seorang pemuda yang buta lagi. Akan tetapi,
melihat gerakan Kun Hong tadi yang sekali bergerak tidak saja mampu
menjungkalkan dua orang, akan tetapi dari gerakan menangkis dua orang itu dia
telah mengenal ilmu silat dari Coa-lokai. Hebat!
Kembali
mereka berlutut. "Pangcu, kami datang untuk melapor bahwa Lo-pangcu kami
telah tewas dalam pertempuran di kota raja."
Kun Hong
mengangguk. Dia sudah mendengar akan hal ini dari Hui Kauw.
"Aku
sudah tahu dan aku menyesal sekali mengapa Hwa-i Lokai sampai mengorbankan
banyak nyawa saudara-saudara Hwa-i Kaipang untuk membantuku."
"Bukan
begitu, Pangcu. Persoalannya bukanlah semata urusan pribadi, melainkan urusan
perjuangan. Hwa-i Kaipang dalam hal ini bekerja sama dengan Pek-lian-pai, dan
langsung menerima tugas-tugas dari utara."
"Hemmm,
begitukah? Sekarang siapa yang menggantikan Hwa-i Lokai, dan apa maksud kalian
datang menemuiku di sini?"
Orang yang
tadi telah mengaku sebagai murid Coa-lokai menjawab, "Sementara ini yang
memimpin kami adalah suhu sendiri. Juga suhu yang menyuruh kami mencari Pangcu
dan memberi tahu bahwa nona Kwee Hui Kauw sekarang berada dalam bahaya."
Terkejut
hati Kun Hong. "Ehh, siapakah namamu dan bagaimana kalian tahu bahwa nona
Hui Kauw dalam bahaya? Apa pula sebabnya hal itu kalian ceritakan
kepadaku?"
"Maaf,
Pangcu. Siauwte Lauw Kin, murid kepala suhu Coa-lokai. Siauwte beserta semua
saudara memang bertugas dalam pergerakan di dalam kota raja sehingga semua urusan
kami ketahui belaka. Juga kami tahu bahwa nona itu adalah sahabat baik Pangcu,
karena itulah kami datang menyampaikan warta ini."
"Bagaimana
urusannya? Hayo ceritakan yang jelas!" Kun Hong tidak sabar lagi setelah
dia mengerti duduknya perkara dan menaruh kepercayaan kepada orang yang tadi
sudah dia rasakan bahwa gerakannya ketika menangkis memang betul-betul ilmu
silat Coa-lokai. Dahulu pernah dia menghadapi penyerangan Coa-lokai, maka dia
pun mengenal gerakan muridnya ini.
"Kami
sendiri tidak tahu sebabnya, akan tetapi kami melihat nona itu sudah ditawan
oleh The Sun dan Bhok Hwesio. Malah hebatnya, ayahnya sendiri, yakni pembesar
Kwee itu, agaknya juga berpihak kepada The Sun dan sama sekali tidak menolong
puterinya."
Kun Hong
merasa khawatir sekali. Akan tetapi dia menahan tekanan batinnya, kemudian
bertanya tenang, "Di mana nona itu ditahan? Memang aku harus menolongnya,
apakah kalian melihat cara untuk membebaskannya?"
"Harap
Kwa-pangcu jangan khawatir. Kami sudah menyelidiki dengan teliti sekali dan
kami yakin bahwa sementara ini mereka tidak akan mengganggu nona Hui Kauw.
Memang ada jalan untuk menolongnya, akan tetapi hal ini membutuhkan tenaga ahli
yang mempunyai ilmu tinggi. Agaknya, kecuali Pangcu sendiri tidak mungkin ada
yang akan mampu untuk menolongnya."
"Hemmm,
lekas ceritakan dengan jelas, apa yang kau maksudkan?"
"Begini,
Kwa-pangcu. Kami mendengar kabar bahwa pihak The Sun sudah mengadakan hubungan
dengan Ching-toanio dan kawan-kawannya. Karena nona Hui Kauw ditangkap dengan
tuduhan membantu pemberontak, yaitu memberikan mahkota kepada puterinya
Sin-kiam-eng untuk dibawa ke utara, maka sudah semestinya dia dihukum mati.
Baiknya mereka itu masih mengingat pada Ching-toanio yang sudah mengadakan
hubungan lebih dulu. Mereka merasa sungkan terhadap Ching-toanio karena nona
Hui Kauw adalah puteri angkatnya. Inilah yang menyelamatkan nona Hui Kauw.
Pelaksanaan hukuman ditunda dan malah dia akan dibawa dalam pertemuan yang
diadakan antara jagoan-jagoan istana dengan pihak Ching-coa-to. Mungkin dalam
pertemuan itulah nona Hui Kauw akan diberi hukuman."
Kun Hong
terkejut bukan main. Sama sekali tidak ada baiknya bila Hui Kauw dihadapkan
dengan Ching-toanio, karena dia tahu betapa nyonya itu sangat benci kepada Hui
Kauw. Pertemuan itu tidak akan memperingan hukuman Hui Kauw, malah mungkin nona
pujaan hatinya itu akan mengalami siksaan yang lebih hebat.
"Di
manakah pertemuan itu diadakan dan kapan?" tanyanya cepat, hatinya kini
tidak dapat menahan lagi kegelisahannya.
"Masih
tiga hari lagi, Kwa-pangcu. Pihak Ching-coa-to masih belum percaya kepada para
jagoan istana sehingga mereka tidak mau mengadakan pertemuan di kota raja,
khawatir akan perangkap. Oleh karena itu sudah diputuskan oleh kedua pihak
untuk mengadakan pertemuan di luar kota raja, di lembah Sungai Huai, tempat
yang mereka pilih adalah..."
"Pusat
perkumpulan Ngo-lian-kauw?" Kun Hong memotong, dia langsung teringat
ketika lembah Sungai Huai disebut-sebut.
"Ehhh,
ternyata Kwa-pangcu juga sudah tahu...!" Lauw Kin, murid Coa-lokai itu
berseru terkejut.
"Aku
hanya menduga saja. Lanjutkan ceritamu dan apa maksud pertemuan itu."
"Memang,
mereka memilih tempat Ngo-lian-kauw, karena meski pun pihak Ngo-lian-kauw
selama ini tidak ikut-ikut, akan tetapi mereka agaknya mempunyai hubungan pula
dengan perkumpulan sesat itu dan mempercayainya. Dan menurut hasil penyelidikan
kami yang bekerja sama dengan Pek-lian-pai, maksud pertemuan itu adalah hendak
merundingkan kerja sama menghadapi serbuan Raja Muda Yung Lo. Dalam hal ini,
pihak Ching-coa-to minta jaminan dan janji-janji kedudukan yang akan diputuskan
dan ditanda tangani sendiri oleh kaisar."
"Hemmm,
untuk menghadapi paman sendiri, menarik bantuan tenaga orang-orang Mongol dan
Mancu." Kun Hong memotong. "Kalau begitu, kedua pihak tentu akan
datang dengan kekuatan besar, belum lagi para anggota Ngo-lian-kauw yang tentu
menjaga keamanan di sana sebagai tuan rumah."
"Memang
betul, Kwa-pangcu. Akan tetapi kami dan pihak Pek-lian-pai sudah mengadakan
persiapan pula, malah kami sebelumnya telah menghubungi pasukan-pasukan Raja
Muda Yung Lo serta mengerahkan para saudara kita. Raja Muda Yung Lo sudah
berjanji akan mengirimkan pasukan dan akan menyerbu, karena orang-orang yang
akan berkumpul itu merupakan inti kekuatan pertahanan di kota raja. Di dalam
keributan inilah maka Pangcu dapat menolong nona Hui Kauw yang sudah pasti akan
dibawa serta ke tempat itu."
Kun Hong
berpikir keras. Kekuatan pihak istana dan Ching-coa-to kalau digabung menjadi
satu, merupakan kekuatan hebat yang sukar dilawan. Apa lagi mengingat bahwa di
sana ada orang-orang seperti Ka Chong Hoatsu, tiga orang Ang Hwa Sam-cimoi,
Ching-toanio sendiri, Souw Bu Lai, dan Bouw Si Ma ditambah pihak istana yang
amat kuat dibantu oleh orang-orang berilmu tinggi seperti Bhok Hwesio, Lui-kong
Thian Te Cu, dan Hek Lojin.
Berat sekali
lawan-lawan itu, akan tetapi demi keselamatan Hui Kauw, dia harus datang
menolong. Di luar istana memang lebih leluasa dan mudah menolong nona itu, dari
pada di dalam istana yang dikurung pagar tembok dan di mana terdapat puluhan
ribu orang tentara yang menjaga. Di samping menolong Hui Kauw, juga
hitung-hitung dia membantu perjuangan mendiang pamannya Tan Hok yang membantu
Raja Muda Yung Lo.
"Kalau
begitu, mari kita berangkat dan biarlah siasat selanjutnya kita atur di
sana," kata Kun Hong. Dia lalu menepuk-nepuk leher kim-tiauw dan berkata,
"Kim-tiauw-ko, kau tidak boleh turut karena kehadiranmu akan membuka
rahasia pengepungan. Sekarang pergilah kau menyusul susiok, kelak kau boleh
cari lagi padaku. Pergilah!"
Dia
mendorong tubuh burung itu yang mengeluarkan seruan panjang tanda kecewa. Akan
tetapi agaknya dia tidak berani membangkang, buktinya dia lalu melengking keras
dan terbang ke angkasa raya, sebentar saja lenyap dari situ. Para anak buah
Hwa-i Kaipang kagum bukan main melihat burung sakti itu…..
***************
Memang benar
apa yang diceriterakan oleh Lauw Kin anggota Hwa-i Kaipang itu. Pada waktu itu,
memang para anggota Hwa-i Kaipang ini bersama para anggota Pek-lian-pai, secara
lihai sekali berhasil menyelundup ke kota raja dan memasang banyak mata-mata
untuk mengetahui gerak-gerik pemerintahan kaisar baru. Mata-mata ini dipasang
sampai menembus dinding istana yang tebal sehingga segala macam peristiwa
diketahui belaka oleh mereka.
Melalui para
penyelidik, kaisar muda itu telah dapat mengetahui akan adanya persekutuan yang
hendak menjatuhkannya. Dia tahu pula bahwa persekutuan itu mengadakan kontak
dengan Raja Muda Yung Lo, pamannya. Betapa pun juga, dia hendak mempertahankan
kekuasaannya dan ketika penobatannya menjadi kaisar baru dilaksanakan, dia
sengaja tidak mengundang pamannya itu.
Kini,
setelah jelas olehnya bahwa diam-diam mendiang kakeknya (kaisar lama) menaruh
harapan kepada Raja Muda Yung Lo, dia bertekad untuk menumpas pamannya itu.
Atas bantuan The Sun, kaisar lalu mengundang orang-orang pandai dan mengulurkan
tangan kepada orang-orang kang-ouw yang suka membantunya.
Oleh karena
itulah, ketika dia mendengar bahwa para tokoh dari Ching-coa-to bersama
orang-orang sakti menawarkan bantuan mereka, dia menjadi girang sekali. Akan
tetapi di samping kegirangan ini juga terdapat kecurigaan di pihak kaisar dan
para jagoan istana.
Semenjak
dulu Ching-coa-to tak pernah membantu kaisar dalam urusan negara, sungguh pun
harus diakui pula bahwa pihak ini sama sekali juga tidak ada hubungan dengan
para pemberontak seperti Pek-lian-pai dan Hwa-i Kaipang. The Sun dan
jagoan-jagoan lainnya terlebih merasa curiga dan berhati-hati lagi menghadapi
Ching-coa-to, karena mendengar bahwa rombongan itu memiliki anggota tokoh-tokoh
Mongol, malah yang seorang adalah bekas pangeran Mongol pula. Jangan-jangan
pangeran itu mempunyai niat buruk hendak mengembalikan kekuasaan bangsanya yang
telah terusir oleh perjuangan kaisar pertama dari kerajaan Beng! Adanya orang
Mancu dalam rombongan itu semakin menambahkan kecurigaan.
"Sukar
diduga apa yang tersembunyi dalam maksud bantuan mereka itu," kata The Sun
ketika para jagoan diundang oleh kaisar untuk membicarakan masalah ini.
"Akan tetapi, mereka terdiri dari orang-orang sakti yang bantuannya amat
diperlukan untuk menghadapi musuh-musuh kita."
"Hemmm,"
kata kaisar, "apakah tidak berbahaya kalau mengundang mereka ke kota raja?
Jangan-jangan itu berarti kita memasukkan serigala-serigala ke dalam
rumah."
"Harap
Paduka tidak khawatir," The Sun menghibur, "apa bila mereka itu
mempunyai niat buruk, para pengawal dipimpin oleh para Locianpwe yang berada di
sini pasti akan dapat menghancurkan mereka. Selain itu, apa bila suhu telah
berhasil mengejar dan menangkap pemberontak Kwa Kun Hong, tentu suhu akan
datang lagi dan keadaan kita akan menjadi lebih kuat."
Bhok Hwesio
mengerutkan kening. Hwesio ini suka kepada The Sun yang sangat pandai mengambil
hati dan bersikap halus, akan tetapi dia tidak suka terhadap guru pemuda itu
yang dianggapnya sombong.
"Tanpa
adanya Hek Lojin sekali pun pinceng masih sanggup mengusir perusuh-perusuh dari
dalam kota raja. Tapi sungguh amat tidak baik kalau sampai memanggil
orang-orang yang masih mencurigakan ke dalam kota raja, sama saja dengan
memancing datangnya kekacauan yang akan melemahkan pertahanan. Pertemuan dengan
mereka lebih baik kita adakan di luar kota raja, sesudah melihat sikap mereka
dan mendengarkan kesanggupan mereka barulah kita menentukan langkah."
Setelah
ditimbang-timbang oleh kaisar, usul Bhok Hwesio ini lalu diterima dan
diambillah keputusan untuk mengundang orang-orang Ching-coa-to itu mengadakan
pertemuan. Ada pun tempat yang mereka pilih adalah lembah Sungai Huai yang juga
menjadi sarang dari perkumpulan Ngo-lian-kauw.
Tentu saja
peristiwa penting ini tertangkap oleh telinga para mata-mata Pek-lian-pai dan
Hwa-i Kaipang yang segera mengadakan persiapan. Mereka mengirim surat kepada
Raja Muda Yung Lo, bahkan ada yang mencari Kun Hong dan mengabarkan hal ini.
Dalam
pertemuan puncak itulah para penyelidik ini mendengar tentang nasib Hui Kauw
yang akan dijadikan tawanan dan dibawa ke pertemuan dengan orang-orang
Ching-coa-to untuk dimintakan keputusan hukumannya. Rahasia Hui Kauw terbongkar
ketika gadis ini merampas mahkota dan menyerahkannya kepada Loan Ki dan Nagai
Ici tanpa ia sadari bahwa kejadian itu dilihat oleh seorang mata-mata istana
yang kebetulan berada di tempat itu dan bersembunyi.
Hui Kauw
segera ditangkap. Dengan gagah berani nona ini mengaku bahwa dia sama sekali
tidak peduli akan urusan negara, tidak peduli siapa yang akan menjadi kaisar,
akan tetapi bahwa ia melakukan itu semata-mata untuk membantu Kwa Kun Hong,
suaminya!
Ayahnya,
bangsawan Kwee, marah-marah dan tidak mengakuinya sebagai puteri lagi. Ia lalu
dijebloskan ke dalam penjara menanti keputusan hukuman, dan akhirnya ia hendak
dipergunakan oleh The Sun untuk mengambil hati ibu angkatnya, Ching-toanio.
The Sun
memang cerdik. Dia cukup mengerti bahwa Hui Kauw bukanlah pemberontak, namun
seorang yang mencinta Si Pendekar Buta dan perbuatannya itu hanya terdorong
oleh cinta dan kesetiaan. Kalau Hui Kauw dibunuh, bukan saja tidak ada artinya,
bahkan mungkin sekali hal itu akan mematahkan hubungan baik dengan
Ching-coa-to. Tentu saja dia tidak tahu bahwa Ching-toanio sebetulnya membenci
Hui Kauw pula. Maka dia hendak ‘mengambil hati’ orang-orang Ching-coa-to dan
menyerahkan Hui Kauw kepada mereka, sebagai umpan!
Pada waktu
itu, telah terjadi perubahan besar pada perkumpulan Ngo-lian-kauw. Dahulu, lima
tahun yang lalu, perkumpulan ini dipimpin oleh Kim-thouw Thian-li (Bidadari
Kepala Emas) murid Hek-hwa Kui-bo. Di bawah pimpinan Kim-thouw Thian-li yang
direstui pula oleh iblis wanita Hek-hwa Kui-bo, perkumpulan itu maju pesat.
Ngo-lian-kauw
atau perkumpulan Agama Lima Teratai adalah semacam agama sesat atau agama
klenik yang memuja kekuasaan iblis dan mempelajari ilmu-ilmu hitam. Tidaklah
mengherankan bila pada waktu itu ketuanya terkenal sebagai seorang ahli racun
kembang dan jahatnya malahan melebihi gurunya. Setelah guru dan murid yang
jahat itu tewas, perkumpulan Ngo-lian-kauw menjadi morat-marit.
Terjadilah
perebutan-perebutan kekuasaan, karena ketua Ngo-lian-kauw itu meninggalkan
banyak harta benda di samping kedudukan serta pengaruh. Para anggota
Ngo-lian-kauw yang terdiri dari para pendeta-pendeta Ngo-lian-kauw dan
wanita-wanita, terpecah-pecah menjadi beberapa kelompok dan membela pilihan
masing-masing supaya dipilih menjadi ketua sehingga terjadilah
pertempuran-pertempuran.
Tetapi
kemudian muncullah tiga orang wanita sakti dari barat, yaitu Ang Hwa Sam-cimoi,
tiga orang kakak beradik Ngo Kui Ciau, Ngo Kui Biauw dan Ngo Kui Siauw yang
selalu berpakaian serba merah. Tiga orang wanita yang usianya baru tiga empat
puluh tahun ini merupakan adik-adik seperguruan Hek Kwa Kui-bo, jadi masih
terhitung bibi-bibi guru dari pada mendiang Kim-thouw Thian-li bekas ketua
Ngo-Lian-kauw.
Dengan
kepandaian mereka, tentu saja dengan sangat mudah Ang Hwa Sam-cimoi ini
menundukkan semua anggota Ngo-lian-kauw. Sejak itu, kurang lebih empat tahun
setelah ketua Ngo-lian-kauw tewas, perkumpulan ini mengakui Ang-hwa Sam-cimoi
sebagai ketua mereka.
Sesudah
Ang-hwa Sam-cimoi menjadi ketua Ngo-lian-kauw, terjadilah perubahan hebat. Tiga
orang wanita ini tak suka akan ilmu klenik, tak suka akan ilmu sihir dan
penggunaan racun. Mereka sudah mewarisi ilmu silat dan ilmu pedang yang sangat
lihai, kepandaian mereka semenjak mereka merantau ke barat telah mengalami
kemajuan yang amat hebat sehingga mereka tidak suka mengandalkan diri kepada
segala macam ilmu hitam.
Juga,
melihat para pendeta laki-laki yang sudah tua-tua mereka tidak suka melihatnya
dan membubarkan para anggota pria dari Ngo-lian-kauw, tidak lagi mengakui
mereka sebagai anggota. Sebaliknya, mereka kemudian menerima anggota-anggota
baru yang terdiri dari wanita-wanita muda dan cantik.
Dan semenjak
dipimpin oleh Ang-hwa Sam-cimoi inilah perkumpulan itu terkenal sebagai perkumpulan
wanita cabul! Bila mana ada laki-laki terlihat di situ, sudah dapat dipastikan
bahwa laki-laki ini adalah seorang pemuda tampan yang telah diculik dan orang
itu selama hidupnya tidak akan dapat melihat dunia ramai lagi karena begitu dia
sudah diapkir (tidak dibutuhkan lagi), maka dia akan dibunuh!
Ang-hwa
Sam-cimoi memilih anggota-anggota yang berbakat dan mereka ini tidak banyak
jumlahnya. Kalau dulu anggota Ngo-lian-kauw ada ratusan orang, sekarang hanya
tinggal kurang lebih lima puluh orang lagi, semua wanita akan tetapi mereka ini
rata-rata memiliki ilmu silat yang lumayan. Bahkan ketiga orang ketua baru ini
telah memperhebat barisan Ngo-lian-tin (Barisan Lima Teratai) yang dahulu
diciptakan oleh Kim-thouw Thian-li.
Semua
anggota-anggota Ngo-lian-kauw adalah ahli-ahli barisan Ngo-lian-tin sehingga
biar pun kini anggotanya hanya lima puluh orang saja dan tidak sebanyak dahulu,
dan wanita semua, namun apa bila dibandingkan dengan dahulu, perkumpulan ini
malah lebih kuat!
Seperti
telah kita ketahui, Ang-hwa Sam-cimoi juga merupakan orang-orang yang memiliki
ambisi untuk bisa mendapatkan kemuliaan di kota raja di samping usaha mereka
mencari teman-teman yang pandai untuk membalaskan dendam mereka atas kematian
Hek-hwa Kui-bo di Thai-san. Oleh karena itu tiga orang saudara ini menjadi
tamu-tamu terhormat dari Ching-toanio di Ching-coa-to. Seperti telah dapat kita
duga, adalah tiga orang wanita sakti ini yang banyak membantu Ching-toanio
beserta teman-temannya sehingga siasat mereka di Thai-san berhasil dengan baik
hingga mengakibatkan hancurnya perkumpulan Thai-san-pai yang mereka benci itu.
Dan tidak
aneh pula kalau pihak Ching-coa-to mengajukan sarang Ngo-lian-kauw sebagai
tempat pertemuan dan perundingan antara pihak mereka dan pihak jagoan-jagoan
istana. Seperti juga pihak istana, mereka sendiri masih ragu-ragu dan sangsi
apakah para jagoan istana itu benar-benar mau menerima uluran tangan mereka dan
mau memberikan janji kedudukan.
Demikianlah,
pada hari yang sudah ditentukan, semua orang-orang Ngo-lian-kauw telah siap
sedia. Sebagai nyonya rumah, Ang-hwa Sam-cimoi sudah mengatur tempat mereka
sebaik-baiknya agar dapat menghormati para jagoan istana yang akan menjadi
tamu-tamu agung.
Semua
anggota Ngo-lian-kauw diberi tugas, ada yang mengatur penjagaan di sekeliling
tempat itu untuk menjaga keamanan, ada yang bertugas melayani para tamu. Akan
tetapi pada hari itu, mereka semua yang sebagian besar terdiri dari
wanita-wanita muda yang cantik, berdandan dengan mewah, memakai pakaian baru
dengan muka mereka dilapisi bedak dan yanci (pemerah) lebih tebal dari pada
biasanya. Namun setiap orang anggota menggantungkan pedang pada punggung
masing-masing, sehingga mereka ini kelihatan cantik manis, centil genit, akan
tetapi juga gagah.
Untuk
menyenangkan hati jagoan-jagoan dari istana yang akan mewakili kaisar di dalam
pertemuan dan perundingan ini, bangunan besar yang biasanya menjadi tempat
tinggal ketua Ngo-lian-kauw, sekarang dikosongkan dan dihias menjadi tempat
perundingan yang cukup luas dan menyenangkan.
Para pemasak
sudah sejak pagi hari sibuk di dapur dan banyaklah itik dan ayam dipotong
lehernya, di samping dua ekor babi disembelih. Untuk keperluan ini bahkan
didatangkan dua orang tukang masak pria dari kota raja, dua orang laki-laki
gemuk bermuka buruk akan tetapi yang sepasang tangannya pandai sekali menyulap
masakan-masakan lezat. Arak wangi juga tidak ketinggalan, sudah dipilihkan arak
tua yang baik. Pendeknya, pihak Ching-coa-to melalui Ngo-lian-kauw telah
mempersiapkan penyambutan secara hebat dan besar-besaran.
Semenjak
kemarin, pihak Ching-coa-to dan teman-temannya telah hadir di situ. Mereka ini
terdiri dari belasan orang tokoh terkenal di dunia kang-ouw, tetapi yang
penting disebut adalah Ching-toanio, Souw Bu Lai si jago Mongol beserta
gurunya, si pendeta Ka Chong Hoatsu pentolan Mongol yang terkenal sakti. Tampak
pula Bouw Si Ma, jagoan Mancu murid tunggal Pak Thian Lo-cu.
Bouw Si Ma
ini terkenal dengan julukannya Si Tangan Maut dan tingkat kepandaiannya tidak
kalah oleh Souw Bu Lai mau pun Ching-toanio sendiri! Tentu saja patut pula
disebut Ang-hwa Sam-cimoi, sebab tiga orang wanita ini betul-betul sakti dan
kepandaian mereka masing-masing jauh melampaui tingkat Ching-toanio dan
kawan-kawannya, kecuali Ka Chong Hoatsu. Tiga orang sumoi (adik seperguruan)
Hek-hwa Kui-bo ini memang masing-masing tidak setinggi Ka Chong Hoatsu
kesaktiannya, akan tetapi kalau mereka itu maju bertiga, kiranya Ka Chong
Hoatsu sendiri akan sukar menandingi mereka!
Sesungguhnya
mereka ini tidaklah sejujurnya hendak membantu pemerintah Beng-tiauw. Seperti
telah kita ketahui, mereka ini terdiri dari orang-orang yang berambisi
(berpamrih), terutama sekali Souw Bu Lai atau Pangeran Sublai yang mengaku
masih keturunan dari Jenghis Khan.
Kalau kali
ini mereka mengulurkan tangan hendak membantu Kaisar Beng-tiauw dengan dalih
mencari kedudukan dan kemuliaan, sebetulnya adalah karena mereka kini merasa
belum cukup kuat untuk merampas kerajaan. Mereka hendak membaiki pemerintah dan
menguasai kedudukan-kedudukan penting sehingga kelak lebih mudah bagi mereka
untuk menggulingkan Kerajaan Beng-tiauw dan membangun kembali Kerajaan Mongol.
Ini termasuk
cita-cita Souw Bu Lai yang didukung oleh gurunya, yaitu Ka Chong Hoatsu, dan
juga Ang-hwa Sam-cimoi. Akan tetapi cita-cita Bouw Si Ma si tokoh Mancu lain
lagi. Tokoh ini bercita-cita mempergunakan kekuatan bangsanya untuk mencoba
menguasai kerajaan besar itu, karena sesungguhnya sudah sangat lama Bangsa
Mancu mengincar untuk berkuasa apabila kesempatan baik tiba. Cita-cita itu
disetujui serta didukung oleh Ching-toanio yang diam-diam telah lama mengadakan
hubungan rahasia dengan Bouw Si Ma.
Pada hari
yang ditentukan, pagi-pagi sekali rombongan dari kota raja sudah memasuki
lembah Sungai Huai. Lima puluh orang prajurit pilihan termasuk pula pasukan
pengawal kerajaan, berbaris memanjang dipimpin oleh dua orang pengawal istana,
yaitu Ang Mo-ko dan Bhong-lokai, mengiringkan para tokoh istana yang dikepalai
oleh The Sun.
Para tokoh
istana itu adalah Lui-tong Thian Te Cu yang berpakaian kuning, Bhok Hwesio
dengan pakaiannya tetap sederhana dengan bagian dada setengah terbuka,
Bhewakala si jagoan dari Nepal yang berkulit hitam dengan anting-antingnya yang
besar bergantungan di kedua telinganya, It-to-kiam Gui Hwa yang pendiam dan
bersifat galak, dan The Sun sendiri. Di tengah rombongan berkuda ini, juga naik
kuda diapit oleh The Sun dan Lui-tong Thian Te Cu, kelihatan Hui Kauw si gadis
muka hitam!
Gadis ini
menunggang kuda dengan muka tunduk. Ia menjadi seorang tawanan yang biar pun ia
tidak dibelenggu dan naik kuda sendiri secara bebas, namun ia maklum bahwa di
tengah orang-orang sakti ini ia sama sekali tidak berdaya. Melawan tidak ada
artinya.
Ia memang
tak mengharapkan diampuni, tidak mengharapkan diberi hidup oleh mereka ini atau
oleh ibu angkatnya, akan tetapi ia sama sekali tidak sudi memperlihatkan rasa
takut, tidak sudi pula minta ampun. Hatinya malah berdebar penuh kebahagiaan
kalau ia ingat bahwa semua penderitaan ini ia pikul demi membantu usaha Kun
Hong, suaminya. Mati baginya bukanlah apa-apa asalkan Kun Hong selamat dan
tugas yang dipikulnya berhasil terlaksana.
Gadis ini
ketika ditangkap dan diperiksa, dengan terus terang mengaku bahwa ia sengaja
memberikan mahkota kepada Loan Ki untuk membantu tugas ‘suaminya’, Kwa Kun
Hong, untuk menyampaikan mahkota itu kepada Raja Muda Yung Lo di utara.
Memang
sesungguhnya The Sun dan kawan-kawannya tentu saja tidak membutuhkan pengawalan
karena mereka terdiri dari orang-orang sakti. Tetapi pengawalan itu dilakukan
bukan sekali-kali untuk menjaga keselamatan mereka melainkan hanya untuk
menambah keangkeran mereka sebagai utusan-utusan kaisar.
Mereka semua
datang berkuda dan sebetulnya malam tadi mereka sudah harus sampai di lembah
Sungai Huai, akan tetapi oleh karena musim hujan sudah tiba dan malam tadi
hujan turun sangat lebat, mereka terpaksa menunda perjalanan dalam sebuah hutan
dan baru pada pagi hari itu mereka dapat melanjutkan perjalanan ke lembah
Sungai Huai.
Sesudah
hujan semalam, pagi hari itu hawanya sangat nyaman dan sejuk, pemandangan segar
menyenangkan, akan tetapi sayang, tanah yang mereka lalui becek dan berlumpur.
Pakaian seragam indah barisan itu banyak yang terkena lumpur yang
memercik-mercik dari kaki kuda.
Kedatangan
rombongan ini lalu disambut penuh hormat dan manis budi oleh Ching-toanio
sebagai wakil dari rombongannya didampingi Ang-hwa Sam-cimoi sebagai
nyonya-nyonya rumah. Para tokoh undangan Ching-toanio yang sudah berkumpul juga
keluar untuk turut menyambut. Tokoh berhadapan dengan tokoh, jago dengan jago
sehingga pertemuan itu amat menggembirakan, dipenuhi kata-kata saling memuji
dan saling merendahkan diri.
Rombongan
itu lalu dipersilakan masuk ke dalam bangunan yang sudah disediakan. Ada pun
para anggota pasukan diperbolehkan beristirahat. Mereka ini pun tidak
melewatkan kesempatan baik dan gembiralah mereka melihat betapa para penyambut
mereka adalah wanita-wanita cantik, yaitu para anggota Ngo-lian-kauw. Suasana
menjadi sangat meriah, baik di dalam bangunan di mana para tamu terhormat
disambut, atau di luar bangunan dan di tempat-tempat sekelilingnya di mana para
anggota pasukan sudah dapat mencari dan memilih pasangan masing-masing.
Oleh karena
para anggota pasukan dari istana itu bersama para anggota Ngo-lian-kauw
bersenang-senang dalam kesempatan yang amat baik ini, maka mereka menjadi lalai
dan penjagaan yang seharusnya dilakukan menjadi kurang ketat. Keadaan ini
menguntungkan Kun Hong dan ketiga orang pengantarnya, yaitu Lauw Kin dan dua
orang anggota Hwa-i Kaipang lain lagi.
Mereka ini
adalah murid-murid Hwa-i Kaipang yang penuh semangat, gagah dan berani. Karena
mereka tahu bahwa tanpa diantar, sukarlah bagi seorang buta seperti Kun Hong
untuk dapat menyelundup masuk ke dalam sarang Ngo-lian-kauw, maka ketiga orang
ini dengan nekat lalu menyediakan diri untuk menjadi pengantar.
Lemahnya
penjagaan memudahkan mereka untuk dapat menerobos masuk dan dengan kepandaian
mereka, empat orang ini dengan mudah membekuk empat anggota pasukan, merampas
pakaian mereka dan di lain saat Kun Hong dan tiga orang pengantarnya telah
menyamar sebagai empat orang anggota pasukan istana! Dalam pakaian ini, mereka
lebih leluasa hingga akhirnya mereka berempat dapat menyelinap ke dalam
bangunan, mencari tempat untuk mengintai dan mendengarkan percakapan.
Di dalam
ruangan yang luas itu, kedua pihak telah lengkap untuk mengelilingi meja yang
diatur berjajar berbentuk bundar. Hui Kauw berdiri di tengah-tengah,
seolah-olah dijadikan barang tontonan. Sekarang gadis itu tidak tunduk lagi
seperti ketika naik kuda tadi. Dia berdiri tegak dengan pandang mata berapi-api
menyapu para tokoh yang sudah duduk di sekelilingnya. Dengan sikap gagah dan
lantang ia berkata,
"Tak
perlu banyak bicara lagi. Kalian adalah orang-orang terkenal di dunia kang-ouw
dan kalau terjatuh ke dalam tangan kalian, sampai mati pun aku tidak penasaran.
Ibu angkatku atau penculikku membenciku, ayah sendiri pun membenci, ibu kandung
tak berdaya. Apa lagi artinya hidup? Mau hukum boleh hukum, mau bunuh, siapa
takut mati? Mau anggap aku pengkhianat mau pun pemberontak, terserah. Pokoknya
bagiku sama saja, aku sudah melakukan hal yang kuanggap membantu tugas suamiku,
Kwa Kun Hong. Habislah, aku tidak mau bicara lagi dan apa yang kalian hendak
lakukan atas diriku, terserah!"
Hati Kun
Hong terharu bukan main mendengar suara ini. Suara bidadari yang biasanya halus
merdu penuh getaran jiwa kini lantang dan nyaring penuh wibawa hingga keadaan
di ruangan itu seketika hening. Agaknya semua orang yang berada di dalam
ruangan itu terpengaruh oleh sikap yang amat berani dari gadis itu.
Kun Hong
sedang memutar otak, menimbang-nimbang apa yang harus dia lakukan untuk dapat
menolong Hui Kauw. Dia cukup maklum bahwa keadaan amat berbahaya, bahwa di
dalam ruangan itu terdapat tokoh-tokoh sakti yang sukar dilawan dan bahwa dia
seorang diri tidak mungkin sanggup menghadapi pengeroyokan mereka. Akan tetapi
dia pun tidak dapat membiarkan Hui Kauw terancam bahaya maut, dan untuk
menolong nona ini dia siap mempertaruhkan nyawanya sendiri.
Tiba-tiba
kesunyian itu dipecahkan oleh suara ketawa terkekeh-kekeh. Semua orang di dalam
ruangan itu menengok dan tahu-tahu berkelebat bayangan orang yang setelah tiba
di situ berubah menjadi seorang kakek berkulit hitam, Hek Lojin.
"Ha-ha-ha-heh-heh-heh,
The Sun, percuma saja kau membawa puluhan orang pengawal, Mereka itu
manusia-manusia tidak becus dan datang ke sini bukan melakukan penjagaan tetapi
malah main gila dengan perempuan-perempuan Ngo-lian-kauw yang tak tahu malu,
malah ada yang mengintai ke sini seperti mata-mata. Benar-benar tiada guna,
ha-ha-ha, heh-heh-heh!" Sambil berkata demikian, tiba-tiba tubuhnya
berkelebat mendekati tempat persembunyian Kun Hong berempat.
Tongkat
hitamnya menyambar empat kali. Terdengarlah suara keras tembok jebol disusul
menjeritnya Lauw Kin dan dua orang saudara seperguruannya yang roboh dengan
kepala pecah berhamburan! Kun Hong tadi pun amat terkejut sebab merasa betapa
ujung tongkat menembus tembok menghantam kepalanya, maka cepat dia miringkan
kepala sehingga tongkat itu tidak mengenai sasaran.
"Iiihhh,
mengapa yang seorang tidak roboh?" Hek Lojin berseru kaget dan heran
sambil melompat mundur.
Kun Hong
maklum bahwa tempat sembunyinya tak dapat dirahasiakan lagi. Dia menyesal bukan
main betapa tadi karena tidak menyangka-nyangka, dia tidak sempat menolong tiga
orang anggota Hwa-i Kaipang itu sehingga mereka tewas oleh tongkat Hek Lojin
yang lihai dan ganas. Dengan cepat dia lalu merenggut lepas pakaian pengawal
yang tadi dirampas dan dipakai di luar bajunya sendiri, kemudian sekali dorong
dia telah mendobrak pintu dan melangkah masuk dengan sikap tenang.
Semua mata
dalam ruangan itu sekarang ditujukan kepadanya. Beberapa orang di antara mereka
yang pernah merasakan kelihaian Si Pendekar Buta ini berdebar hatinya karena
gentar. Apa lagi sikap Kun Hong yang amat tenang dengan langkah-langkah lambat
itu benar-benar amat mengecutkan hati, seakan-akan membawa ancaman maut yang
hebat.
"Kun
Hong...!" Hui Kauw berseru kaget dan heran bercampur khawatir ketika dia
melihat munculnya orang yang sama sekali tidak disangka-sangkanya itu.
Tentu saja
di tempat dan pada saat lain dia akan merasa bahagia dan gembira sekali
berjumpa dengan orang yang dikasihi ini, akan tetapi saat itu dan tempat itu
sama sekali tidak tepat untuk mereka saling bertemu.
"Kun
Hong, kenapa kau ke sini...?" Hui Kauw merangkul sambil bertanya dengan
suara penuh kegelisahan, sama sekali tidak merahasiakan perasaannya lagi.
Betapa jauh
bedanya sikap gadis ini tadi dengan sekarang. Tadi, meski pun dia maklum bahwa
dia sedang menghadapi bahaya maut, dia tetap tenang dan tabah, malah sikapnya
menantang. Sekarang, begitu Kun Hong muncul, segera dia menjadi ketakutan,
suaranya menggetar penuh kegelisahan.
Tentu saja
hal ini tidak terlepas dari telinga Kun Hong yang tajam sehingga dia merasa
tenggorokannya seperti tersumbat. Alangkah besarnya cinta kasih gadis ini
terhadapnya. Dia melepaskan rangkulan Hui Kauw dan menggandeng tangan gadis itu
sambil berkata lirih, "Hui Kauw, biarlah kita mati bersama..."
Butiran-butiran
air mata bening menetes turun dari sepasang mata gadis itu, akan tetapi
bibirnya yang manis tersenyum, dan jari-jemari tangannya saling meremas dengan
jari-jari tangan Kun Hong. Dalam saat menghadapi ancaman maut itu, benar-benar
kedua orang muda ini merasa betapa teguhnya jalinan cinta kasih murni mengikat
hati masing-masing. Mereka rela berkorban, rela mati bersama.
"Kun
Hong, kita melawan. Melawan mati-matian. Mari kita mati bersama, akan tetapi
mati sebagai sepasang harimau, bukan sebagai sepasang kelinci...," bisik
Hui Kauw.
Ucapan ini
seketika menggugah semangat Kun Hong, tongkat di tangan kanannya mulai
menggigil. “Jangan khawatir... aku akan melindungimu, Hui Kauw. Mereka itu
tidak akan mampu mengganggu selembar rambutmu tanpa melalui mayatku."
Hek Lojin
tertawa nyaring. "Ha-ha-he-heh-heh! Betapa romantisnya! Ha-ha-ha, pasangan
yang cocok. He, orang buta, namamu Kwa Kun Hong? Ha-ha-ha, inikah yang membikin
kecut hati para jagoan? Alangkah lucunya, betul-betul memalukan sekali. He,
orang buta, hayo kau berlutut lagi dan mengangguk-angguk tujuh kali di depan
kakiku seperti di dalam hutan itu, baru aku mau ampuni kau!"
Panas sekali
rasanya telinga Kun Hong. Dengan tangan kirinya dia menarik Hui Kauw ke
belakangnya untuk melindunginya, kemudian dia berdiri tegak dengan tongkat di
tangan kanan, siap menghadapi kakek lihai ini.
"Hek Lojin,
kau amat sombong, tak tahu orang mengalah karena mengingat usiamu yang sudah
lanjut. Kiranya kau hanyalah seorang kakek yang sudah pikun dan yang tidak
patut dihormati oleh orang muda. Tanpa alasan tak sudi aku berlutut dan minta
ampun padamu atau kepada siapa pun juga."
"Hua-ha-he-he-heh!
Benar-benar tabah anak ini. Pantas bikin heboh! The Sun, apakah di antara
jagoan-jagoanmu tidak ada yang berani menangkap dia?"
The Sun dan
teman-temannya tidak menjawab. Bhok Hwesio marah sekali, akan tetapi dia tidak
begitu bodoh untuk dapat diadu oleh kakek yang tidak disukainya itu, maka dia
pun diam saja. Akhirnya The Sun pun berkata, "Suhu, lebih baik kita segera
turun tangan membunuhnya sebelum dia membikin kacau pertemuan ini."
"Wah-wah-wah,
jadi tidak ada yang berani? Nah, bagaimana dengan tokoh-tokoh yang katanya
hendak membantu pemerintah? Tentu ada yang berani menawan bocah buta ini.
Ataukah memang tidak ada yang berani?" Pandang matanya menyapu
Ching-toanio dan teman-temannya.
Ka Chong
Hoatsu dan Ang-hwa Sam-cimoi maklum akan kelihaian Kun Hong, akan tetapi mereka
tidak takut karena memang belum pernah secara sungguh-sungguh mengukur tenaga.
Mendengar semua itu, otak Kun Hong yang cerdik segera mendapat akal. Terang
bahwa kakek yang bernama Hek Lojin ini biar pun sombong dan aneh, ternyata
mempunyai sikap yang cukup gagah, yaitu agaknya enggan untuk mengeroyok lawan.
Oleh karena itu Kun Hong cepat berkata,
"Hek
Lojin, untuk apa banyak pidato? Jelas bahwa semua temanmu tidak ada yang berani
maju satu lawan satu. Dari pada capek mulutmu, apa tidak lebih baik kalian
semua maju mengeroyokku. Ha-ha, tokoh-tokoh dunia kang-ouw sekarang memang
hanya namanya saja yang besar, menghadapi seorang muda buta saja beraninya
hanya main keroyokan!"
"Tentu
saja, Kun Hong. Mana ada di antara mereka ini berani menghadapimu satu lawan
satu? Aku berani bertaruh potong kepalaku kalau di antara mereka ada yang
sanggup menangkan kau!" Hui Kauw menambahi ‘api’ yang dinyalakan Kun Hong.
Akal ini
berhasil membikin panas hati para tokoh itu, terutama sekali The Sun, Lui-kong
Thian Te Cu, Bhok Hwesio, Ka Chong Hoatsu dan Ang-hwa Sam-cimoi. Yang lain-lain
biar pun panas namun diam-diam mengaku bahwa mereka tidak akan dapat menangkan
Kun Hong kalau seorang lawan seorang. Hek Lojin paling panas perutnya.
"Heh, memalukan sekali! Kita adalah orang-orang yang mengaku gagah. Masa
harus keroyokan? Apa sih kepandaian bocah buta ini? Kita harus bersikap gagah
dan tegas. Tadi pun ada tiga orang pengawal, biar mereka itu anak buah muridku,
sekali turun tangan kubunuh karena mereka mengintai. Yang tidak dapat berlaku
tegas dan gagah, percuma saja mengaku orang gagah hendak membantu kaisar."
"Ha-ha-ha,
Hek Lojin, percuma saja kau mendongkol kemudian uring-uringan seperti ini!
Orang-orang dari Ching-toa-to apa ada yang patut disebut sebagai orang gagah?
Mereka itu merupakan pengecut-pengecut tidak tahu malu, apa lagi Ching-toanio
yang diam-diam mengajak teman-temannya menyerbu Thai-san-pai. Tanpa main
keroyokan, apa mereka berani berkelahi? Ha-ha-ha-ha, marilah Hui Kauw, kita
keluar saja dari ruangan ini. Terlalu banyak kutu busuk di sini, baunya tidak
tertahan. Hek Lojin, aku menanti di luar, di tempat lega kita boleh bertempur
sampai mati!"
Sambil
menggandeng tangan Hui Kauw, Kun Hong mengajak nona itu keluar dari ruang itu.
Hui Kauw maklum bahwa Pendekar Buta ini menghendaki tempat yang lega sehingga
leluasa bergerak apa bila terjadi pertempuran yang tidak dapat disangsikan lagi
tentulah menjadi pengeroyokan. Hati nona ini menjadi besar. Kalau tadi ia tidak
takut mati, sekarang ia malah bergembira karena berada di samping orang yang
dikasihinya. Mati atau hidup, bersama Kun Hong ia rela. Maka dialah yang kini
menarik tangan Kun Hong diajak ke luar melalui pintu. Biar pun tidak memegang
senjata, namun Hui Kauw siap untuk bertempur dengan tangan kosong, melawan
mati-matian.
Ching-toanio
marah bukan main mendengar ucapan Kun Hong yang amat menghinanya tadi. Apa lagi
melihat Hui Kauw menuntun Kun Hong ke luar dengan sikap begitu mesra, hatinya
seperti dibakar. Ingin sekali bacok dia membikin mampus dua orang yang sangat
dibencinya itu. Betapa pun juga, ia adalah majikan Pulau Ching-coa-to yang
sudah terkenal. Ilmu silatnya tinggi dan ia adalah bekas kekasih Siauw-coa-ong
Giam Kim! Mana ia sudi dihina begitu saja? Ia segera berkedip memberi isyarat
kepada Bouw Si Ma sambil melompat ke luar dan berseru,
"Iblis
buta, kau jangan sombong! Hui Kauw perempuan hina, tanganku sendiri yang akan
merenggut nyawamu!" Sambil tertawa-tawa Hek Lojin juga melangkah ke luar
menyeret tongkat hitamnya, dikuti semua yang hadir dalam ruangan itu. Ternyata
Kun Hong sudah berdiri di luar bangunan, di tempat yang lega.
Akan tetapi
pagi hari itu matahari tidak muncul karena tertutup mendung-mendung tebal.
Agaknya alam memberi tanda bahwa pada hari itu akan terjadi pertempuran hebat
dan bumi akan bermandikan darah manusia. Para anggota Ngo-lian-kauw dan para
anggota pasukan istana tertarik oleh keadaan kacau ini dan berdatangan. Kun
Hong dan Hui Kauw tetap tenang walau pun maklum bahwa mereka telah terkurung
banyak orang lawan.
"Siapa
berani maju?" Kun Hong bertanya, suaranya tetap ramah tapi mengandung
ejekan. "Satu-satu ataukah keroyokan? Terserah kepada kalian! Asal kalian
ingat bahwa aku Kwa Kun Hong tidak pernah mencari permusuhan dengan kalian,
akan tetapi kalianlah yang memusuhi aku dan Hui Kauw. Kalau kalian tidak
mengganggu kami, kami pun akan pergi baik-baik tanpa mengganggu kalian. Akan
tetapi kalau kalian menyerang, sudah barang tentu kami akan membela diri."
"Kun
Hong, enak saja kau bicara. Sudah jelas kau pengkhianat, kau pemberontak hendak
melawan pemerintah yang sah dan perempuan ini adalah pembantumu, kau masih
pandai pura-pura suci!" The Sun berkata lantang.
Kening Kun
Hong berkerut mendengar suara The Sun. Dia benci orang ini dan biar pun dia
bukan seorang yang suka membunuh, rasanya dia akan suka membunuh pemuda ini
mengingat akan perbuatannya yang biadab terhadap mendiang janda Yo. Akan tetapi
dia menahan kemarahannya. Dia takkan mencampur adukkan urusan pribadi dengan
urusan sekarang ini.
"The
Sun, kau ular belang! Kau tahu dengan baik bahwa aku bukanlah seorang yang suka
ikut campur urusan negara. Memang aku mempertahankan mahkota kuno dan
rahasianya karena aku ingin membantu usaha mendiang paman Tan Hok,
menyelesaikan tugasnya menyampaikan mahkota kuno dan rahasianya kepada yang
berhak. Sayang, paman Tan Hok yang gagah perkasa itu pun tewas oleh kecurangan
orang-orangnya Ching-toanio. Memang pengecut dan curang sekali nenek Pulau Ching-coa-to
itu!"
Ching-toanio
menjerit marah. Dalam kemarahannya mengingat sikap wanita itu kepada Hui Kauw,
Kun Hong sudah menggunakan makian yang benar-benar menusuk perasaan dan
keangkuhan Ching-toanio. Andai kata ia dimaki iblis wanita sekali pun, kiranya
Ching-toanio tidak akan semarah kalau dimaki nenek! Dia memang sudah tua, namun
hatinya melebihi gadis remaja mudanya!
"Kwa
Kun Hong pengemis buta. Kau berani menghina nyonya besarmu?" sambil
berteriak demikian Ching-toanio sudah melompat maju dengan pedang terhunus.
Gerakannya ini diikuti oleh Bouw Si Ma yang juga sudah mencabut pedang yang
hitam dan ampuh.
"Kwa
Kun Hong, aku pun mesti menagih hutang nyawa guruku Pak-thian Lo-cu
padamu!" kata tokoh Mancu ini dengan suara berat...
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment