CeritaSilat Kho Ping Hoo
Serial Pendekar Lembah Naga
Jilid 01
BETAPA
indahnya alam! Betapa indahnya susunan tubuh kita sendiri! Alangkah indah dan
juga ajaibnya keadaan diri kita sendiri dan di sekeliling kita. Akan tetapi
sayangnya kita seperti buta terhadap itu semua. Kita tidak pernah membuka mata
menikmati semua keindahan dan keajaiban itu, melainkan menerawang jauh,
menginginkan hal-hal yang tak terjangkau oleh kita.
Kalau kita
tinggal di tepi laut, pemandangan laut tidak lagi menarik perhatian kita karena
perhatian kita diterbangkan oleh pikiran yang menginginkan pemandangan
digunung-gunung. Sebaliknya bila kita tinggal di gunung, kita menganggap bahwa
pemandangan di laut yang jauh dari kita itu lebih indah.
Betapa
bahagianya manusia yang selalu membuka mata memandang penuh perhatian akan
segala sesuatu di dalam dan di luar dirinya sendiri. Dialah yang akan melihat
segala keindahan dan keajaiban itu. Dan dialah yang akan menyaksikan kekuasaan
Tuhan yang penuh berlimpah dengan berkah, dengan keindahan, dengan keajaiban,
dengan mukjijat, dengan CINTA KASIH.
***************
Kabar angin
mengatakan bahwa pada lembah itu terdapat sebuah istana yang dihuni oleh
iblis-ibils dan siluman-siluman. Dan karena sudah ada beberapa orang yang tewas
ketika berani mendekati istana itu, maka akhirnya tidak ada seorang pun pemburu
yang berani memasuki daerah Lembah Naga, betapa pun gagah dan beraninya pemburu
itu.
Pemandangan
di lembah ini sungguh sangat mentakjubkan. Jauh di bawah kaki lembah membentang
luas sebuah padang rumput dan karena keadaan padang ini pulalah yang terutama
membuat orang makin segan mendekati Lembah Naga.
Padang itu
dinamakan orang Padang Bangkai, oleh karena di sekitar padang itu terdapat
banyak rangka-rangka manusia dan binatang, bahkan ada suatu bagian yang
berlumpur di mana terdapat mayat-mayat manusia dan bangkai-bangkai binatang
yang tidak dapat membusuk, sehingga sampai bertahun-tahun masih menjadi bangkai
terbungkus lumpur.
Namun,
dipandang dari atas, semua kengerian itu sungguh tidak kelihatan, yang nampak
hanyalah keindahan yang sangat mentakjubkan. Apa lagi pada waktu matahari
terbit atau waktu matahari tenggelam, bukan main indahnya pemandangan di kaki
langit, pada waktu bumi terbakar oleh sinar keemasan dan segala sesuatu nampak
jelas dan indah.
Memang tidak
mengherankan bila orang mendekati lembah itu, apa lagi mendekati Istana Lembah
Naga yang nampak angker itu. Sebuah istana yang besar dan kokoh kuat, penuh
dengan ukiran dan arca-arca indah. Sayang istana itu tidak terawat dengan baik
sehingga tembok-temboknya yang tadinya putih itu sekarang penuh dengan lumut
hijau, begitu pula arca-arca itu.
Istana ini
dibangun oleh Raja Sabutai, raja liar dari Suku Bangsa Mongol bercampur suku
bangsa lain yang menguasai daerah tak bertuan di utara. Di dalam cerita Dewi
Maut telah diceritakan siapa adanya Raja Sabutai ini. Dia adalah keturunan
seorang jenderal besar di jaman Dinasti Goan, pada waktu bangsa Mongol
menguasai seluruh daerah Tiongkok.
Sebagai
keturunan seorang jenderal yang gagah perkasa, Sabutai ini pun memiliki ambisi
yang amat besar. Cita-citanya setinggi langit dan dia mengangkat diri sendiri
menjadi raja di antara suku bangsa Mongol yang sudah terpecah-pecah dan lemah
itu, dan dia pernah bercita-cita untuk menyerbu ke selatan dan ingin menegakkan
kembali kebesaran bangsa Goan seperti pada ratusan tahun yang lalu. Akan tetapi
cita-citanya itu gagal dan kandas di tengah jalan sehingga kini dia hanya puas
dengan menjadi raja kecil di utara, jauh dari perbatasan.
Istana
Lembah Naga itu dahulunya di bangun oleh Raja Sabutai, dijadikan sebagai istana
dan markasnya. Kemudian, setelah dia melakukan gerakan ke selatan dan gagal,
dia lalu memperbaiki istana itu dan memberikan istananya itu kepada kedua orang
gurunya, yaitu Hek-hiat Mo-li dan Pek-hiat Mo-ko, nenek dan kakek iblis dari
Sailan yang sangat sakti.
Di dalam
pertempuran melawan orang-orang gagah yang dipimpin oleh kakek Cia Keng Hong
ketua Cin-ling-pai, tewaslah Pek-hiat Mo-ko dan kalau saja tidak cepat muncul
Raja Sabutai yang menyelamatkannya, tentu Hek-hiat Mo-li yang sudah terluka
parah itu akan tewas pula. Pek-hiat Mo-ko telah tewas dan Hek-hiat Mo-li yang
terluka itu dibawa pergi oleh Raja Sabutai, semua orang gagah juga telah pergi
meninggalkan Lembah Naga, dan istana itu menjadi sepi, sunyi dan menyeramkan.
Semenjak itu, tidak ada lagi seorang pun manusia dari luar yang berani
mendekati istana itu.
Akan tetapi,
benarkah demikian? Benarkah istana itu kosong tidak ada penghuninya lagi?
Sebetulnya tidak demikian. Setelah semua orang meninggalkan istana itu dalam
keadaan sunyi dan menyeramkan, masih nampak bekas-bekas pertempuran yang
mengorbankan nyawa puluhan orang perajurit dan anak buah kedua fihak, pada
malam hari itu nampak sesosok tubuh wanita berjalan seorang diri di lembah ini,
sambil menundukkan mukanya dan menangis. Dia lalu menghampiri istana, memasuki
istana itu seperti bayangan setan yang bangkit dari kuburan, langkahnya ringan
namun terhuyung-huyung dan dia langsung memasuki sebuah kamar di dalam istana
itu kemudian melemparkan tubuhnya ke atas pembaringan sambil menangis
tersedu-sedu!
Terbayang
dalam benaknya saat dia menyerahkan dirinya, menyerahkan kehormatannya kepada
seorang pemuda yang amat dicintainya, seorang pemuda yang sama sekali tidak mau
mengakui dirinya, tidak mau menerimanya, seorang pemuda yang dijunjung tinggi,
dikaguminya dan dicintainya. Pemuda gagah perkasa yang sekarang telah pergi
pula dan meninggalkannya seorang diri di tempat itu, padahal dia sudah
menyerahkan kehormatan tubuhnya, menyerahkan cinta di hatinya, bahkan pula
tangan kirinya!
Tangan
kirinya, sebatas pergelangan tangan telah putus, dibabat putus sebagai hukuman
karena dia berani menolong pemuda itu yang tadinya menjadi tawanan di sana,
ketika tempat itu masih dikuasai oleh kakek dan nenek iblis Pek-hiat Mo-ko dan
Hek-hiat Mo-li. Dan kini, Cia Bun Houw, pemuda itu, telah meninggalkannya dan
tak mau menerimanya!
Wanita itu
masih muda, usianya baru dua puluh lima tahun, wajahnya manis sekali, dan
pakaiannya serba merah berpotongan ketat membungkus tubuhnya yang ramping
padat. Dia bernama Liong Si Kwi dan dia bukanlah wanita sembarangan.
Dia adalah
murid tunggal dari seorang nenek yang sakti berjuluk Hek I Siankouw, seorang
nenek yang selalu berpakaiain serba hitam dan amat terkenal di dunia kang-ouw.
Sebagai seorang wanita muda yang berilmu tinggi Liong Si Kwi juga terkenal di
dunia kang-ouw dan karena dia mempunyai keistimewaan dan gerakan ringan dalam
ilmu ginkang, seperti burung terbang saja kalau dia bergerak, maka di dunia
kang-ouw dia pun terkenal dengan julukan Ang-yan-cu (Burung Walet Merah).
Di dalam
cerita Dewi Maut telah diceritakan betapa Si Kwi menolong pemuda Cia Bun Houw
yang tertawan, dan karena sebelumnya pemuda itu diberi makanan yang dicampur
racun pembangkit nafsu birahi, maka dalam keadaan seperti orang mabok itu Bun
Houw lalu melakukan hubungan kelamin dengan Si Kwi. Wanita muda ini memang menaruh
hati dan cinta kepada Bun Houw, maka dia tidak menolak, bahkan dia membantu
pemuda itu semakin tenggelam ke dalam amukan nafsu sehingga terjadilah hubungan
itu.
Setelah
sadar, tentu saja Bun Houw merasa menyesal sekali dan tentu saja dia tidak mau
menerima Si Kwi sebagai kekasih atau jodohnya, lantas pemuda ini meninggalkan
Si Kwi yang menjadi hancur hatinya. Dia kehilangan sebelah tangan, kehilangan
kehormatannya sebagai seorang gadis perawan, dan kehilangan pria yang
dicintanya pula! Dia kehilangan segala-galanya.
Gurunya pun
sudah tewas dalam pertempuran itu ketika gurunya membantu kakek dan nenek
iblis. Keluarga dia sudah tidak punya. Dia hanya sebatang kara saja di dunia
ini dan harapannya untuk hidup bahagia sudah terbawa pergi oleh pemuda yang dicintainya
itu.
Demikianlah,
Liong Si Kwi menjadi penghuni tunggal istana Lembah Naga. Mula-mula dia memang
hendak menghibur diri dengan bersembunyi di tempat sunyi itu, jauh dari dunia
ramai, dengan harapan akan dapat melupakan Bun Houw, bisa melupakan kedukaannya.
Kegairahannya
untuk melanjutkan hidup mulai timbul sehingga dia mulai memperhatikan dirinya,
mulai membuat pakaian-pakaian dari bahan-bahan kain yang banyak terdapat di
dalam istana itu, mulai menyulam. Namun, semangat hidup ini akhirnya malah
merupakan tekanan hebat bagi batinnya saat dia mendapat kenyataan bahwa dia
telah mengandung!
Dia seorang
perawan dan kini dia mengandung tanpa suami. Kiranya, hubungan kelamin yang
dilakukannya dengan Bun Houw, di dalam keadaan mabok dilanda nafsu itu, sudah
menghasilkan kandungan di dalam perutnya!
Makin tua
kandungannya, makin tertekan pula rasa hati wanita yang bernasib malang itu.
Bernasib malang? Benarkah NASIB yang membuat Liong Si Kwi seperti itu? Benarkah
NASIB yang membuat lengannya buntung, hidupnya terasa merana, dan perutnya
terisi kandungan anak tanpa ayah?
Betapa
mudahnya kita melontarkan segala peristiwa yang menimpa diri kita kepada nasib!
Nasib baik, nasib baik dan sebagainya! Tidak ada sesuatu terjadi tanpa sebab,
dan sebab itu sama sekali bukanlah nasib! Sebab itu pada hakekatnya SUDAH PASTI
timbul dari hasil perbuatan kita sendiri, perbuatan termasuk sikap, kata-kata,
pikiran dan sebagainya.
Sumber dari
segala sesuatu yang terjadi pada diri kita terletak di dalam diri kita sendiri!
Akan tetapi, kita tidak pernah mau memandang diri sendiri, dan kita lebih
condong untuk mencari kambing hitam pada diri orang lain, pada keadaan di luar
diri, atau kalau sudah kehabisan calon kambing hitam, kita lantas meraih NASIB
dan menjadikannya sebagai kambing hitam! Kapankah kita mau membuka mata
memandang diri sendiri di mana terdapat sumber segala rahasia hidup ini?
Sesudah tahu
bahwa dirinya mengandung, mulai terjadi perubahan dalam kehidupan Si Kwi.
Mulailah dia merana dan tidak mempedulikan pakaiannya sehingga dia berkeliaran
di sekitar Lembah Naga dengan pakaian yang kotor dan butut, dan sikapnya
laksana orang yang sudah miring otaknya! Makin tua kandungannya, semakin
tersiksa rasa hatinya dan hampir setiap malam, di waktu tubuhnya mengaso dan tak
ada hiburan yang membuatnya terlupa, dia menangis mengguguk seorang diri di
dalam kamarnya di istana yang besar itu.
Ada terpikir
oleh Si Kwi untuk mengakhiri penderitaan batinnya dengan jalan membunuh diri
saja. Akan tetapi, dia tidak mempunyai keberanian untuk melakukan hal itu.
Ataukah dia masih terlampau sayang kepada kehidupan ini dan masih mengharapkan
untuk kelak menemui kebahagiaan? Apa pun juga alasannya, Si Kwi tidak sampai
hati untuk bunuh diri, maka dia rela hidup menderita, penuh kebingungan.
Dia tidak
tahu bagaimana dia harus menghadapi kelahiran anak dalam kandungannya. Untuk
pergi ke dusun-dusun di sekitar kaki pegunungan itu, dia merasa malu sekali.
Kalau ada orang bertanya mana suaminya, mana ayah dari anak yang dikandungnya,
apa yang akan dijawabnya? Tidak, dia lebih baik mati dari pada harus menderita
aib seperti itu di mata orang-orang lain. Tentang melahirkan, dia menyerahkan
diri kepada Tuhan saja.
Di dalam
kesengsaraan ini, satu-satunya yang menjadi pegangan Si Kwi hanyalah Thian.
Kesengsaraannya itu lebih mempertebal kepercayaannya kepada Thian yang
diharapkan sebagai penolongnya yang tunggal.
Betapa
banyaknya manusia yang tidak kuat menghadapi penderitaan hidup dan selalu
mencari jalan pelarian untuk menjauhkan diri atau membebaskan diri dari
penderitaan hidup itu. Banyak macam cara pelarian ini, tapi di antaranya yang
terburuk dan paling mengerikan adalah bunuh diri!
Ada orang
yang bersembunyi di balik hiburan-hiburan atau kesenangan-kesenangan yang
dicari-cari, atau menggantungkan kepercayaan terhadap sesuatu. Kita tidak sadar
bahwa semua bentuk pelarian itu adalah hal sia-sia belaka. Mengapa sia-sia?
Karena apa yang kita namakan penderitaan hidup itu sesungguhnya tak lain tak
bukan adalah permainan pikiran kita sendiri!
Pikiran kita
selalu melekat kepada masa lalu, kepada hal-hal yang telah terjadi, kepada
hal-hal yang akan terjadi! Pelekatan pikiran ini tentu saja menimbulkan sesal,
duka, dan khawatir. Kita tidak pernah mau menghadapi setiap peristiwa sebagai
sesuatu yang wajar, menghadapi langsung dan mempelajarinya setiap saat, dengan
penuh perhatian tanpa menyalahkan sana-sini, tanpa rasa iba kepada diri
sendiri.
Kita baru
dapat bebas dari semua penderitaan bila kita menghadapinya secara langsung apa
yang kita anggap penderitaan itu! Kalau kita menghadapinya langsung, memandang
dan mengamatinya secara langsung, melihat apa adanya, kewajarannya sebagai
sebuah fakta, maka sudah pasti penderitaannya akan lenyap. Kita akan bebas dari
penderitaan karena penderitaan itu hanyalah PENDAPAT PIKIRAN yang terdorong
oleh kekecewaan, iba diri dan sebagainya.
Setelah Si
Kwi menghitung bahwa bulan ke sembilan dari kandungannya sudah tiba, dia segera
keluar dari istana itu. Istana itu dianggapnya sebagai tempat yang keramat,
karena di tempat itulah dia menyerahkan kehormatannya, juga di tempat itulah
adanya kenang-kenangan manis dan penuh babagia ketika dia menyerahkan diri,
bermain cinta dengan Cia Bun How, ingatan yang tidak pernah dapat dilupakannya
selama ini. Dia tidak mau mengotori istana yang keramat itu dengan kelahiran
anak dalam kandungannya!
Anak inilah
yang menjadi penyebab penderitaannya! Anak ini merupakan anak yang tidak
diharap-harapkan dan karena itu sangat dibencinya sebelum dia terlahir. Akan
tetapi ada sesuatu yang membuat dia merasa mesra dan memaafkan semua akibat
kehadiran anak dalam kandungannya itu, yaitu kenyataan bahwa anak itu keturunan
Bun Houw, pria yang dicintanya, dan masih dicintanya biar pun Bun Houw sudah
menolak dan menghinanya.
Dia tidak
ingin melahirkan di dalam Istana Lembah Naga. Seolah-olah istana yang pernah
dihuni banyak orang itu mempunyai mata untuk memandangnya dan dia merasa malu!
Tidak, dia tidak mau mengotori istana itu dan seperti orang gila, Si Kwi
kemudian pergi meninggalkan istana itu dan tinggal di dalam sebuah goa, tidak
jauh dari istana itu.
Di dalam
hutan sekitar Istana Lembah Naga itu terdapat banyak sekali kera dan monyet
besar semacan orang hutan. Mereka itu tadinya menjauhkan diri dari istana
ketika tempat itu dihuni oleh Pek-hiat Mo-ko, Hek-hiat Mo-li dan anak buah
mereka yang seratus orang banyaknya, karena mereka itu senang mengganggu
monyet-monyet, bahkan membunuh untuk dimakan dagingnya.
Akan tetapi
sesudah kini istana itu sunyi dan yang tinggal di situ hanya Si Kwi seorang
yang tak pernah mau mempedulikan monyet-monyet itu, maka mulai berdatangan
pulalah binatang-binatang itu karena di sekitar istana itu terdapat banyak
pohon-pohon buah yang tadinya ditanam oleh anak buah Pek-hiat Mo-ko dan
Hek-hiat Mo-li.
Si Kwi tidak
pernah mengganggu mereka karena dia sendiri pun tidak pernah kekurangan
makanan. Di sana terdapat banyak buah-buahan, tanaman-tanaman sayur dan
binatang yang dapat dimakan dagingnya seperti kelinci, kijang, burung dan
lain-lainnya. Maka tidak mengherankan apa bila binatang-binatang itu menjadi
makin jinak, bahkan mereka tidak lari melihat munculnya Si Kwi. Apa lagi
monyet-monyet yang besar, mereka tidak merasa takut sungguh pun mereka juga
tidak pernah mengganggu Si Kwi.
Beberapa
ekor monyet besar malah mempergunakan sebatang pohon besar di belakang istana
sebagai sarang mereka atau tempat berteduh di siang hari. Kalau malam mereka
bersembunyi dan tidur di dalam goa-goa yang hanyak terdapat di sekitar tempat
itu.
Pada siang
hari itu, terdengar suara hiruk-pikuk di atas pohon besar itu. Seekor monyet
betina yang besar sedang berkelahi dengan seekor ular yang telah membunuh anaknya.
Anak monyet yang masih bayi itu mati dengan kepala berdarah bekas gigitan ular,
dan induk monyet menjadi marah, dengan nekat menangkap ular itu dan menggigit
lehernya.
Ular itu
melawan, membelit-belit tubuh monyet betina, akan tetapi dengan kedua tangan
atau kaki depannya, monyet besar itu menarik-narik dengan sekuat tenaganya
sehingga akhirnya tubuh ular itu tercabik-cabik dan lehernya hampir putus oleh
gigitan mulut yang penuh dengan gigi yang kuat terhias beberapa buah gigi
taring yang runcing itu. Monyet betina itu lalu memondong anaknya yang telah
mati, mengeluarkan suara merintih seperti sedang menangis dan menjauhkan diri
dari teman-temannya sambil memondong bangkai anaknya itu.
Sementara
itu, dari dalam sebuah goa yang besar dan gelap terdengar rintihan pula yang
hampir sama suaranya dengan rintihan induk monyet yang kematian anaknya.
Rintihan ini keluar dari mulut Liong Si Kwi.
Wanita muda
ini rebah terlentang di atas tanah di dalam goa dan punggungnya bersandar pada
batu-batuan di dinding goa. Wajahnya pucat sekali, matanya memandang liar dan
ketakutan, tubuhnya hanya tertutup dengan jubah panjang karena dia sudah
melepaskan celananya.
Rintihan dan
keluhan yang keluar dari mulutnya sungguh mengenaskan. Pada saat-saat tertentu
Liong Si Kwi menyebut-nyebut ibu serta ayahnya yang telah tiada! Air matanya
bercucuran, bercampur dengan keringat yang memenuhi kening dan lehernya, membuat
mukanya basah semua. Tubuhnya kadang-kadang menggigil, napasnya terdengar sesak
dan terengah-engah menahan rasa nyeri yang amat hebat.
Kelahiran
merupakan suatu peristiwa yang amat suci, merupakan suatu keajaiban yang amat
hebat, merupakan kekuasaan Tuhan yang sangat mengharukan. Dalam peristiwa ini
terjadilah pengorbanan yang tiada taranya yang dapat dilakukan oleh seorang
manusia.
Ibu! Betapa
luhurnya sebutan ini! Derita kenyerian yang ditanggung seorang ibu dalam
melahirkan anaknya saja sudah cukuplah merupakan suatu alasan yang sangat kuat
bagi seorang anak agar mencintai ibunya, dan bagi seorang suami agar
menghormati isterinya.
Seorang ibu
yang melahirkan menghadapi suatu rasa kenyerian yang sukar dilukiskan, bahkan
menghadapi pula ancaman bahaya yang bukan tak mungkin merenggut jiwanya. Namun
betapa kejam dan kejinya, banyak sekali manusia yang melupakan pengorbanan
ibunya sendiri ketika mengandung, melahirkan dan menyusuinya ketika dia masih
kecil, betapa banyak sekali manusia yang melupakan penderitaan isterinya ketika
melahirkan anaknya!
Ibu, betapa
pun manusia melupakan jasa dan pengorbananmu, namun kenyataan tidak akan dapat
disangkal bahwa di waktu melahirkan, engkaulah manusia suci!
Malam mulai
tiba. Dalam goa itu gelap sekali. Rintihan dari goa masih terdengar,
kadang-kadang mulai lagi, sesuai dengan rasa nyeri yang kadang-kadang terasa
oleh Si Kwi dan kadang-kadang lenyap lagi. Tanda-tanda dari seorang yang akan
melahirkan. Perlahan-lahan, sinar bulan merayap mendekati goa dan akhirnya ada
sinar bulan yang memasuki goa sampai menerangi bagian bawah tubuh Si Kwi.
Si Kwi yang
masih tersandar dengan tubuh lemah, mengerang dan menggerak-gerakkan kepalanya
ke kanan dan kiri, lidahnya menjilat-jilat bibirnya yang kering dan dia
berusaha menelan ludah yang terasa kering, kemudian dengan mata yang masih
terpejam dan alis berkerut, bibirnya komat-kamit, terdengar bisikannya,
"Air... air... aku haus... air...!" Akan tetapi tentu saja tidak ada
yang mendengar bisikannya.
"Air...
aku ingin minum...!" Dia kini berseru nyaring. "Ibu... ayah... aku
ingin minum...! Cia Bun Houw, tolong ambilkan air...!" Yang menjawab hanya
gema suaranya yang membalik keluar dari goa. Anehnya, yang terdengar olehnya
hanyalah gema suara yang memanggil, "Cia Bun Houw...!"
Suara ini
membuat dia sadar dan membuka matanya. Ketika dia melihat sinar bulan, dia
menoleh ke kiri, lalu dia merangkak menuju ke sebuah poci air yang
disediakannya di situ. Diminumnya air jernih itu dengan lahapnya. Dan segarlah
rasa tubuhnya. Kemudian dia meletakkan kembali poci air di sudut goa dan
matanya memandang ke luar.
Ketika
melihat bulan di angkasa, Si Kwi merangkak keluar dari dalam goa. Dia hanya
bisa merangkak, tidak kuat bangkit berdiri karena kedua kakinya gemetar,
tubuhnya terasa berat. Dia berlutut di luar goa, memandang bulan dan dilihatnya
bulan seperti wajah Bun Houw. Diangkatnya kedua tangannya ke atas, tangan kanan
dan lengan kiri yang buntung menghadap bulan.
"Bun
Houw... Bun Houw... tidak kasihankah kau kepadaku...? Anakmu... anakmu... akan
terlahir... ohhh!"
Dia
cepat-cepat merangkak kembali ke dalam goa karena merasa betapa perutnya sakit
sekali. Dengan terengah-engah dia segera merebahkan diri terlentang lagi di
tempat tadi, menyandarkan punggungnya yang terasa seperti patah-patah itu pada
batu-batu dinding goa.
Mulailah
lagi datang rasa nyeri yang bertubi-tubi, membuat seluruh tubuhnya menggigil,
wajahnya semakin pucat dan dia memejamkan mata, sambil mengerahkan tenaga untuk
mendorong keluar bayi yang meronta dalam perutnya, terengah-engah dan
merintih-rintih.
Dia tidak
tahu bahwa kemunculannya di luar goa tadi menarik perhatian beberapa ekor
monyet yang ketika melihat dia merangkak masuk goa diam-diam lalu berdatangan
dan memasuki goa. Melihat Si Kwi terengah-engah itu, monyet-monyet yang
mengikutinya masuk ke dalam goa, berjongkok dan memandang dengan sikap seperti
menaruh kasihan dan ada yang menyeringai. Mereka sedah-olah mengerti apa yang
sedang terjadi dengan manusia wanita ini. Dan di antara monyet-monyet itu
terdapat pula monyet betina besar yang masih memondong bangkai anaknya yang
mati digigit ular tadi!
Kegelisahan
mendesak di hati Si Kwi. Gelisah kalau-kalau anak di dalam kandungannya itu
tidak akan dapat keluar. Demikian sukar agaknya. Demikian menyakitkan. Dia
tidak peduli lagi bagaimana jika anak itu sudah keluar nanti. Pikirannya tak
sempat memikirkan soal nanti. Rasa nyeri menguasai seluruh pikirannya dan
keinginan satu-satunya hanyalah mengeluarkan anak yang menyiksanya itu!
Akhirnya,
setelah berkali-kali diserang oleh rasa nyeri yang nyaris membuatnya pingsan,
menjelang tengah malam, lahirlah bayi itu. Tangis nyaring meledak dan
memecahkan kesunyian di dalam goa. Si Kwi merasa kelegaan yang amat luar biasa
menyelubunginya dibarengi keharuan yang membuat dia sesak napas dan begitu
mendengar suara jerit tangis pertama dari bayi yang tergolek di antara kedua
pahanya, Si Kwi mengeluh dan pingsan.
Segala
sesuatu yang terdapat di alam ini memang sudah mempunyai ketertiban sendiri.
Bukan ketertiban terpisah-pisah dan terpecah-pecah, namun ketertiban yang
menyelimuti seluruh alam semesta. Segalanya bergerak dengan tertib seolah-olah
diatur oleh tenaga yang tak nampak.
Lihatlah ke
luar, awan berarak di angkasa, berlapis-lapis, gerakan mereka ada yang ke kiri
ada yang ke kanan, mendung berkumpul di tempat-tempat tertentu digerakkan angin
besar sebelum turun hujan. Perjalanan dunia, bulan, bintang, kekuasaan matahari
serta kegunaan sinarnya.
Tumbuhnya
pepohonan dengan batangnya, akar-akarnya, daunnya, bunganya, buahnya. Rontoknya
daun menguning menjadi satu di antara pupuk menyuburkan tanah. Kemudian
lihatlah ke dalam, lihatlah diri kita sendiri. Tiap bagian tubuh kita
mengandung keajaiban yang amat besar, dari pertumbuhan setiap helai rambut di
tubuh kita sampai pada denyut jantung, peredaran darah, pemapasan, otak, hati
dan segala ini yang membuat kita hidup, bergerak, mengerti, memandang,
mendengar dan sebagainya. Betapa ada api panas yang terus-menerus bernyala atau
membara dalam diri kita pada waktu kita masih hidup.
Segala
keajaiban ini terlewat begitu saja bagi mata kita yang seperti buta, tidak
pernah memperhatikannya, tak mempedulikannya, dan kita mengalihkan pandangan
mata pada hal-hal ajaib lain yang kita anggap menguntungkan kita, mistik, dan
sebagainya!
Kekuasaan
alam memang amat luar biasa, tak terukur oleh hati dan pikiran kita. Kelahiran
yang terjadi dalam goa itu, yang dialami oleh Liong Si Kwi, tanpa pembantu sama
sekali, merupakan satu di antara keajaiban-keajaiban yang terjadi setiap saat
di dunia ini, namun yang tidak nampak oleh orang-orang yang memang tidak
memperhatikannya.
Si Kwi pingsan
dan segala sesuatunya tergantung sepenuhnya kepada ketertiban alamiah itu.
Pemulihan segala yang rusak karena kelahiran itu, datang dengan sendirinya.
Dalam keadaan pingsan itu, pulih kembali kenormalan di dalam diri Si Kwi,
napasnya menjadi teratur, wajahnya menjadi merah lagi, dan darah pun berhenti
mengalir.
Himpitan
perasaan batin yang lebih banyak mempengaruhi pingsannya Si Kwi sehingga
membuat dia tak sadarkan diri sampai keesokan harinya, ketika sinar matahari
pagi telah menerobos masuk ke dalam goa yang amat sunyi itu. Tidak ada seekor
pun monyet yang berada di situ lagi ketika Si Kwi menggerak-gerakkan pelupuk
matanya, tanda datangnya kesadaran pertama.
Pelupuk mata
yang tergetar dan bergerak-gerak itu diikuti gerakan bulu mata, lalu mata itu terbuka.
Sinar mata yang lesu menerawang ke langit-langit goa, kemudian dia mengeluh dan
rasa nyeri yang tersisa itu menyadarkannya sama sekali. Teringatlah dia akan
yang terakhir memasuki benaknya, yaitu tangis bayi.
"Ahhh...!"
Dia berseru dan cepat dia meluruskan punggungnya, matanya mencari-cari ke
bawah, ke atas tanah di antara kedua kakinya.
Dia melihat
sebuah benda kecil di antara kedua pahanya itu, tidak begitu jelas karena sinar
matahari masih sangat muda. Dengan tangan gemetar Si Kwi mengambil benda itu,
dibantu oleh lengan kirinya yang buntung, mengangkat benda itu dekat dengan
matanya, memandang dan tiba-tiba dia menjerit dengan mata terbelalak,
melemparkan benda itu dan dia sendiri lalu terkulai dan pingsan lagi! Benda
yang dilemparkan itu adalah bangkai seekor monyet kecil yang kepalanya masih
berdarah!
Sementara
itu, jauh dari tempat itu, di atas cabang pohon tertinggi, induk monyet besar
menyusui seorang bayi. Bayi yang tadinya menangis teroek-oek itu berhenti
menangis ketika mulutnya disumbat puting susu yang besar dari mana mengalir air
susu yang cukup banyak.
Dengan penuh
sikap sayang monyet betina itu mendekap tubuh bayi manusia itu. Dialah yang
tadi sudah menukarkan bangkai bayinya dengan bayi manusia yang baru dilahirkan
ini. Perbuatannya ini entah digerakkan oleh apa, karena pada umumnya, binatang
tidak menggunakan pikiran dan akal budi. Mungkin karena tangis bayi itulah maka
dia tergerak, atau oleh naluri yang memberi tahu dia bahwa anaknya telah mati.
Setiap ada
seekor monyet lain yang mencoba mendekatinya untuk melihat bayi manusia itu,
induk monyet ini meringis dan mengeluarkan bunyi geraman, matanya memandang
penuh ancaman dan siap mempertahankan bayinya dengan nyawa. Bahkan ketika
seekor monyet jantan besar sekali berani mendekat, tangan kirinya mencakar dan
monyet jantan itu terpaksa lari menjauhkan diri pula. Induk monyet itu menjadi
curiga dan tidak percaya kepada siapa pun juga setelah dia kehilangan bayinya
yang digigit ular namun sekarang sudah memperoleh penggantinya.
Demikianlah,
bayi manusia anak Si Kwi itu semenjak lahir dibawa ke atas puncak pohon oleh
monyet betina itu. Biar pun tidak secepat bayi-bayi monyet lainnya, namun
beberapa hari kemudian bayi itu sudah pula pandai bergantung pada rambut-rambut
dada dan leher induknya dan enak saja dibawa berloncatan dari cabang ke cabang,
disusui diberi makan buah dan kadang-kadang juga ulat dan cacing!
Entah apa
pula yang menyebabkan monyet betina itu kini menjauhi Istana Lembah Naga,
menjauhi tempat di mana wanita yang melahirkan bayi itu tinggal. Mungkin juga
hanya nalurinya, karena dia tak ingin manusia itu melihat anak yang kini
dirawatnya, yang telah menjadi anaknya sendiri. Dia membawa anak itu jauh dari
istana, ke dalam hutan-hutan yang paling lebat dan liar, dan dia jarang sekali
turun ke tanah kecuali untuk mencari makan.
Setelah anak
itu berusia enam bulan dan sudah pandai berayun-ayun, tubuhnya sudah kuat,
barulah induk kera ini membawanya turun. Anak itu belum dapat berjalan seperti
manusia, akan tetapi sudah pandai merangkak dan berloncatan dari cabang ke
cabang. Seorang anak lelaki yang sehat dan berwajah tampan, rambutnya lebat dan
hitam sekali, mukanya bundar dan matanya bersinar tajam dan liar seperti mata
monyet-monyet.
Pada suatu
pagi, ketika anak yang baru berusia enam bulan itu mencokel-cokel batu di bawah
pohon mencari cacing, tiba-tiba terdengar suara mengaum. Anak itu mengangkat
muka dan memandang terbelalak ketakutan kepada seekor harimau yang tahu-tahu
telah berada di depannya! Harimau itu besar sekali, sudah tua dan tubuhnya agak
kurus seperti harimau kurang makan! Akan tetapi justru hal ini membuat dia
menjadi lebih buas dari pada biasanya. Kelaparan membuat binatang menjadi buas
dan galak!
"Aaauuughhhmmm!"
Harimau itu menggereng melangkah maju. Agaknya dia merasa terheran-heran
melihat makhluk yang tidak berbulu ini. Dia sudah terbiasa menubruk dan
menjadikan mangsanya binatang-binatang yang lebih kecil dan lemah, namun hampir
semua binatang itu berbulu, tidak seperti makhluk ini. Seperti segumpal daging
yang lunak dan tinggal menelan saja! Air liur membusa keluar dari mulut harimau
itu.
Pada saat
itu, dengan kecepatan yang amat luar biasa bagi seorang anak berusia enam
bulan, anak itu meloncat dan menggunakan kedua tangan dan kaki menangkap batang
pohon. Akan tetapi lompatannya tidak begitu tinggi dan harimau itu pun dengan
cepatnya meloncat dan menerkam ke arah batang pohon itu sambil berdiri. Cakar
yang amat tajam meruncing dari kaki kirinya menancap d pundak kiri anak itu.
Anak itu
mengeluarkan pekik mengerikan dan terbanting lagi ke bawah. Pundaknya robek dan
nampak darah mengalir keluar dari luka memanjang pada pundaknya, dari pundak
hingga ke punggung.
Sebelum
harimau itu menubruk lagi, tiba-tiba saja terdengar pekik dan gerengan dahsyat.
Induk monyet itu sudah melayang turun, cepat menyambar tubuh anak itu dengan
lengan kanannya dan dengan taring nampak mengancam dia lalu menghadapi harimau,
tangan kirinya bergerak-gerak dan mengeluarkan pekik berkali-kali. Monyet
betina itu siap untuk melindungi anaknya dengan taruhan nyawanya.
Padahal
biasanya, kalau melihat harimau ini dia tentu akan lari dan mengamankan diri di
cabang tertinggi dari pohon-pohon besar. Akan tetapi, ketika melihat anaknya
terluka dan terancam, dia lupa rasa takut dan menghadapi harimau itu dengan
memperlihatkan taring sambil memberi tanda kepada kawan-kawannya!
Di antara
para binatang liar, rombongan monyet memang memiliki naluri untuk bersetia
kawan. Meski pun mereka semua takut dan ngeri menghadapi harimau yang sudah
biasa makan seekor di antara kawan-kawan mereka yang lengah, akan tetapi kini
melihat induk monyet itu terancam, dan juga melihat anak manusia yang telah
mereka terima sebagai satu di antara kawan-kawan mereka sendiri itu terluka,
mereka langsung berlompatan dan berdatangan ke bawah, menggereng dan menghadapi
harimau itu dengan marah!
Harimau itu
mengaum, akan tetapi monyet-monyet itu menggereng. Sang harimau kalah gertak
agaknya, maka dia lalu menggereng dan menyambar ke kanan di mana terdapat
seekor monyet jantan yang masih muda. Monyet ini memekik, akan tetapi sekali
sambar saja sang harimau sudah menggigit tengkuknya dan binatang buas itu lalu
melarikan diri sambil membawa korbannya yang sudah digigit patah batang
lehernya dan sudah tidak berkutik lagi itu.
Anak kecil
itu menangis dan monyet betina itu lalu merawat luka anaknya dengan penuh kasih
sayang, menjilati luka itu sampai bersih. Setiap hari dijilatinya luka di
pundak anak pungutnya itu dan agaknya karena ini maka luka itu cepat sekali
sembuh. Belum sebulan lamanya, luka itu sudah sembuh sama sekali, hanya nampak
bekas luka memanjang dari pundak ke punggung. Kini anak itu sudah bermain-main
dan mencari makan lagi seperti biasa, berayun-ayun di antara cabang-cabang pohon
dengan cekatan sekali.
Kehidupan di
dalam hutan liar memang penuh dengan bahaya. Oleh karena itu, binatang-binatang
hutan, terutama golongan monyet yang lebih cerdik di antara binatang-binatang
itu, memiliki naluri tajam sekali dan pertumbuhannya cepat. Sayang bahwa anak
manusia itu sesuai dengan hukum alam, tidak sama pertumbuhannya dengan monyet,
maka oleh para monyet lain dianggap sebagai monyet aneh yang lemah.
Monyet-monyet
lain, dalam usia setahun telah menjadi monyet yang dapat berdiri sendiri, tidak
lagi mengandalkan induknya. Akan tetapi anak yang tidak berbulu itu tidak
mungkin hidup tanpa pengawasan dan penjagaan induknya. Agaknya monyet betina
itu maklum pula akan keadaan anaknya yang lemah ini. Dia tak mau lagi didekati
monyet jantan dan seluruh waktunya hanya dipergunakan untuk mengasuh anak itu,
diasuh dan diikutinya ke mana pun anak itu pergi.
Setahun
kemudian, anak itu sudah mulai dapat berdiri akan tetapi jalannya membungkuk
setengah merayap, meniru gerakan monyet, hanya dia makin pandai memanjat pohon,
pandai meloncat dari dahan ke dahan. Bagi seorang manusia, atau bagi ukuran
manusia tentu saja gerakannya sangat mentakjubkan, cepat bukan main. Akan
tetapi bagi ukuran monyet, tentu saja dia amat lamban dan lemah!
Betapa pun
juga, agaknya karena dia jauh lebih cerdik dari pada monyet, memiliki daya
tangkap lebih tajam dengan pikirannya, maka di dalam banyak hal anak itu
mengalahkan monyet-monyet itu dan dia pun tidak sebuas monyet-monyet itu
sehingga dia disukai oleh semua monyet dari yang kecil sampai yang besar.
Pada suatu
hari, pada waktu anak itu sedang bermain-main dengan monyet-monyet kecil
setelah kenyang makan buah, tiba-tiba terdengar pekik seekor monyet kecil yang
bermain agak jauh dari teman-temannya. Semua monyet cepat meloncat ke pohon dan
mencari tempat sembunyi yang aman.
Akan tetapi
anak itu sebaliknya malah cepat menghampiri tempat temannya itu menjerit dan
dia melihat bahwa seekor monyet kecil sedang berhadapan dengan seekor ular.
Ular itu kecil saja, sebesar lengan kanak-kanak dan panjangnya hanya kurang
lebih tiga kaki, kulitnya belang-belang dan lehernya berkembang lebar. Ular itu
mengangkat kepalanya, mengeluarkan suara mendesis hingga monyet kecil itu
ketakutan, seperti lumpuh saking takutnya dan hanya dapat menjerit-jerit.
Anak manusia
itu tiba-tiba meloncat sambil menyambar sebatang ranting, lalu dipukulnya
kepala ular itu. Ular yang marah itu mengelak, lalu kepalanya meluncur dan
tiba-tiba anak itu berteriak keras saat betis kakinya tergigit oleh ular. Dia
roboh dan berusaha menggigit leher ular. Mereka bergumul dan monyet kecil tadi
segera berlari dan naik ke atas pohon sambil memekik-mekik.
Terdengar
gerengan keras dan monyet betina besar yang sudah cepat datang ke tempat itu,
kini melayang turun diikuti kawan-kawannya. Melihat anaknya bergumul dengan
ular yang menggigit betis anak itu, monyet betina menjadi marah sekali,
Demikian pula teman-temannya. Mereka menubruk ular itu, menggigit leher dan
seluruh tubuhnya, mencabik-cabiknya sehingga sebentar saja ular itu sudah
putus-putus tubuhnya. Akan tetapi anak itu menggeletak dalam keadaan pingsan
dan kaki yang tergigit ular itu membengkak dan berwarna biru!
Bagi
monyet-monyet itu, mereka tidak akan mudah terpengaruh oleh racun ular. Mungkin
dari perbedaan susunan di dalam tubuh, entah bagaimana, akan tetapi racun ular
tidak mudah mencelakakan mereka sehingga gigitan seekor ular berbisa itu
kiranya tidak akan membuat mereka tewas. Akan tetapi berbeda dengan anak
manusia itu. Anak itu pingsan dan kalau tidak memperoleh pengobatan yang tepat,
tentu dia akan tewas dalam waktu sehari dua hari saja.
Dengan
nalurinya monyet betina besar itu tahu bahwa anaknya terancam bahaya maut. Dia
memondong tubuh anak itu seperti tubuh bangkai anaknya dahulu, dibawanya lari
ke sana-sini dan berloncatan dari dahan ke dahan, menjauhi teman-temannya dan
akhirnya dia sampai di dekat goa di mana dulu dia mengambil anak itu yang baru
terlahir, setahun yang lalu.
Dengan suara
menguik-nguik seperti orang menangis, monyet betina itu memasuki goa. Ada tiga
ekor temannya mengikutinya dengan takut-takut. Monyet betina itu memandang ke
kanan kiri, namun goa itu kosong. Bahkan bangkai anak monyet atau pun rangkanya
tidak nampak lagi di situ.
Ke manakah
perginya Liong Si Kwi? Seperti kita ketahui, satu tahun yang lalu, wanita ini
kembali roboh pingsan sesudah dia siuman pada waktu paginya dan melihat bahwa
yang menggeletak di antara pahanya adalah bangkai seekor anak monyet. Rasa
terkejut dan ngeri membuatnya pingsan kembali.
Akan tetapi
kali ini, karena tubuhnya telah mulai pulih kekuatannya, dia tidak lama dalam
keadaan tidak sadar itu. Sesudah dia siuman kembali, dia lebih tenang dan
pikirannya bekerja sambil dia duduk dan memandang ke arah bangkai monyet itu.
Diambilnya
bangkai itu dan diperiksanya. Benar-benar bangkai seekor monyet kecil. Jelas
dia tidak melahirkan anak monyet! Tentu anaknya telah terlahir dan ada yang
mengambil anaknya itu, menukarnya dengan seekor monyet kecil yang mati dengan
kepala terluka. Ini bukan anak monyet yang baru saja terlahir, pikirnya.
Hatinya
lega. Tidak, dia tidak melahirkan monyet! Tidak mungkin keturunan Cia Bun Houw
berupa monyet! Akan tetapi timbullah kekhawatiran lain di dalam hatinya.
Siapakah yang menculik anaknya?
Jantungnya
berdebar kencang. Jangan-jangan ayah kandungnya yang datang mengambil anaknya?
Mudah-mudahan demikian, pikirnya penuh harap. Akan tetapi kalau Bun Houw yang
datang, mengapa pemuda itu membiarkan saja dia pingsan tanpa menolong dirinya?
Bukan demikian watak pendekar sakti itu. Dan mengapa pula menukar anaknya
dengan bangkai seekor monyet kecil? Ini pun tidak masuk akal!
Yang sanggup
melakukan hal sekeji dan seaneh itu pantasnya hanyalah seorang tokoh kaum
sesat. Akan tetapi siapakah yang akan melakukan hat seperti itu kepada anaknya?
Di antara tokoh sesat yang tadinya membantu Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li
di Istana Lembah Naga, semuanya telah tewas ketika terjadi pertempuran melawan
para pendekar sakti.
Hanya
Hek-hiat Mo-li seorang yang tidak tewas dan nenek iblis itu sudah pergi bersama
muridnya, yaitu Raja Sabutai. Nenek itukah yang melakukan hal ini? Dia bergidik
kalau teringat kepada nenek bermuka hitam yang mengerikan itu. Akan tetapi
mengapa nenek itu melakukan hal seperti ini, menculik seorang bayi yang baru
terlahir.
Si Kwi
bangkit berdiri, mengepal kedua tangannya dan memandang keluar goa.
"Hek-hiat Mo-li, agaknya engkaulah yang melakukan hal ini. Nenek jahanam,
iblis laknat, sungguh engkau bukan manusia, melainkan iblis betina yang
keji!"
Dia lalu
menangis karena merasa tidak berdaya menghadapi nenek itu. Gurunya sendiri, Hek
I Siankouw, takut terhadap nenek bermuka hitam itu. Apa lagi dia. Andai kata
benar nenek itu yang melakukan dan dia dapat mencarinya, apakah yang mampu dia
lakukan terhadap nenek itu?
Kepandaian
nenek itu jauh lebih tinggi dari pada kepandaiannya sendiri. Dan dia teringat
bahwa memang terdapat ilmu-ilmu sesat yang hanya baru dapat dikuasai dengan
syarat makan dan minum darah bayi yang baru terlahir. Dia bergidik dan menangis
lagi.
"Bun
Houw... Cia Bun Houw... hanya engkau seoranglah yang sanggup melawan nenek itu,
hanya engkau seoranglah yang akan dapat menyelamatkan anak itu, anakmu, darah
dagingmu... akan tetapi mana engkau sudi melakukannya...?" Si Kwi kembali
menangis sesenggukan.
Sesudah reda
tangisnya, dia lalu keluar dari dalam goa, membawa bangkai anak monyet itu.
Entah bagaimana, melihat bangkai anak monyet itu, dia merasa kasihan.
Seolah-olah dia teringat bahwa anaknya sendiri pun berada di dalam bahaya, dan
mungkin saja mati seperti anak monyet ini. Membayangkan betapa anak yang
dikandungnya itu mati tanpa ada yang menolong, timbul rasa iba di hatinya
terhadap anak monyet itu dan meski pun tubuhnya masih lemah, dia memaksa diri
mengubur bangkai itu baik-baik.
Semenjak
melahirkan dan anaknya hilang, Si Kwi hidup makin tak peduli lagi. Pakaiannya
jarang digantinya, tubuhnya kurus, mukanya pucat, rambutnya awut-awutan dan dia
lebih sering tidur di dalam kamarnya di Istana Lembah Naga, bermalas-malasan
dan hanya kalau rasa lapar di dalam perutnya sudah terlalu hebat saja dia
terpaksa keluar mencari bahan makanan. Hidupnya terasa kosong dan hampa dan dia
seperti mayat hidup saja.
Kecewa
menimbulkan iba diri, dan iba diri menimbulkan duka. Duka semakin mendalam
karena dorongan ingatan, dan sengsaralah manusia yang telah menjadi korban dari
duka. Hidup terasa kosong dan sengsara, lenyaplah segala keindahan serta
kegembiraan, hati selalu tersiksa dan pikiran selalu melamun dan melayang jauh.
Padahal,
sebelum terjadinya peristiwa dengan Bun Houw di Lembah Naga, sebelum dia
bertemu dengan pemuda yang sangat dikaguminya itu, Liong Si Kwi adalah seorang
dara cantik manis dan angkuh, yang selalu mengandalkan kepandaian dan merasa
tak pernah kekurangan sesuatu dalam hidupnya!
Sebetulnya
Liong Si Kwi bukanlah keturunan orang jahat, tidak pula menjadi murid orang
jahat. Mendiang ayahnya adalah seorang piauwsu (pengawal kiriman barang
berharga) yang terkenal gagah dan jujur. Akan tetapi ayahnya tewas di tangan
penjahat, dan ibunya meninggal karena duka setelah ayahnya meninggal.
Dia dirawat
dan dididik oleh Hek I Siankouw. Gurunya itu, Hek I Siankouw, sesungguhnya juga
bukan seorang jahat. Sebaliknya malah, Hek I Siankouw adalah seorang pendeta
wanita, seorang penganut Agama To dan selain mempunyai ilmu kepandaian yang
tinggi sekali, juga tokouw ini tidak pernah melakukan kejahatan, bahkan selalu
menentang para penjahat yang mengganggu ketentraman.
Akan tetapi
sayang, seperti halnya setiap orang pandai, dia tetap manusia seperti para
manusia lain, tetap memiliki kelemahan. Semenjak masih mudanya, Hek I Siankouw
telah menjadi pendeta, menguasai segala macam nafsunya, terutama nafsu birahi.
Akan tetapi,
ketika dia bertemu dengan seorang pendeta Agama To lain, yaitu Hwa Hwa Cinjin,
seorang tosu yang sangat sakti, yang bersikap lemah-lembut, yang pada waktu
mudanya memang tampan sekali, dia tidak kuat menahan gelora hatinya yang
tertarik!
Demikian
pula Hwa Hwa Cinjin, ketika bertemu dengan Hek I Siankouw yang ketika itu sudah
berusia lima puluh tahun, dia tertarik sekali dan terjadilah hal yang aneh di
antara kedua orang pendeta ini! Mereka tidak dapat menahan nafsu birahi mereka
dan terjadilah hubungan cinta gelap di antara mereka!
Memang aneh
sekali, akan tetapi kalau diingat bahwa mereka hanyalah manusia-manusia biasa
dengan segala macam kelemahan mereka, sesungguhnya hal itu tidak pula aneh.
Apakah bedanya tua atau muda kalau nafsu sudah menguasai diri?
Baik Hek I
Siankouw mau pun Hwa Hwa Cinjin, keduanya bukan pula termasuk golongan jahat,
bukan tokoh-tokoh kaum sesat. Akan tetapi keadaan menyeret mereka sehingga
mereka terpaksa bersekutu dengan kaum sesat dan memusuhi golongan pendekar.
Yang menjadi sebab adalah karena mendiang suheng dari Hwa Hwa Cinjin yang
bernama Toat-beng Hoatsu, sudah tewas di tangan kaum pendekar. Untuk membalas
dendam atas kematian suheng-nya inilah maka Hwa Hwa Cinjin akhirnya bermusuhan
dengan ketua Cin-ling-pai, yaitu Pendekar Cia Keng Hong!
Dan karena
Hek I Siankouw adalah kekasih dari Hwa Hwa Cinjin, maka tentu saja tokouw ini
membela kekasihnya. Dan karena Cia Keng Hong serta keluarganya adalah keluarga
yang memiliki kesaktian hebat, maka mereka terpaksa bergabung dengan Pek-hiat
Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li yang memiliki kepandaian lebih tinggi dari mereka.
Untuk menghadapi keluarga Cia itu sendiri, tentu mereka berdua tidak akan
sanggup melawan!
Demikianlah,
sesudah Hek I Siankouw berdiri di fihak musuh keluarga Cia, maka dengan
sendirinya sebagai murid tokouw itu, Liong Si Kwi terpaksa pula membela gurunya
dan berdiri pada fihak gurunya bermusuhan dengan kduarga Cia. Akan tetapi
sungguh celaka baginya, dia jatuh cinta kepada Cia Bun Houw, putera dari ketua
Cin-ling-pai itu, bahkan dia telah menyerahkan kehormatannya kepada pemuda itu!
Semua itu
telah dituturkan dengan jelas di dalam cerita Dewi Maut. Liong Si Kwi bukan
keturunan orang jahat, akan tetapi dia terjerumus ke dalam lingkungan jahat
sehingga dia pun terseret dan menerima akibatnya. Dan kini, sungguh dia
merupakan seorang wanita muda yang patut dikasihani.
Ia telah
kehilangan kehormatannya, kehilangan tangan kirinya, kehilangan pria yang amat
dicintanya, kehilangan harapan, dan kini setelah melahirkan dia kehilangan
anaknya pula! Segala-galanya telah habis bagi Si Kwi dan agaknya dia hanya
tinggal menanti datangnya kematian di tempat sunyi itu seorang diri saja.
Akan tetapi
kehidupan manusia selalu berubah. Hidup adalah gerakan, seperti air sungai
mengalir yang selalu baru dan berubah. Hari ini boleh jadi berduka, besok belum
tentu demikian. Hari ini menangis, besok mungkin tertawa. Hari ini melakukan
kejahatan, esok mungkin berbuat kebaikan. Sebaliknya kesenangan hari ini
mungkin berubah menjadi kesusahan pada hari esok dan selanjutnya. Oleh karena
itu, kelirulah kalau menilai hidup dan keadaan seseorang dari perbuatan atau
keadaannya di masa lalu! Dan tidak benar pula mengukur baik buruknya seseorang
dari SATU perbuatan saja!
Keadaan Si
Kwi yang sudah putus asa itu, yang menganggap kehidupan sebagai tempat derita
belaka, tanpa adanya harapan akan terjadi perubahan, yang menganggap bahwa
tidak mungkin bagi dia untuk dapat bergembira lagi, ternyata tidaklah demikian.
Terjadilah perubahan yang sama sekali tidak pernah dibayangkannya dalam mimpi.
Hari itu,
pagi-pagi sekali Si Kwi telah meninggalkan istana untuk mencari makanan karena
perutnya terasa lapar sekali. Dia pergi memetik sayur-sayuran di ladang yang
sudah tidak terawat itu dan ketika hendak pulang dia melihat seekor kelinci
lari dari ladang. Dia cepat mengejarnya dan kelinci itu memasuki hutan. Dengan
sebuah batu yang disambitkannya, dia dapat merobohkan kelinci itu. Akan tetapi
ketika dia mengambil bangkai kelinci dan hendak pulang, dia melihat goa besar
di mana dia dahulu melahirkan.
Melihat goa
ini dari jauh, hatinya tertarik dan seperti di luar kehendaknya sendiri, kedua
kakinya melangkah menuju ke goa itu. Setelah sampai di depan goa, niatnya hanya
ingin menjenguk ke dalam sebentar lalu pergi lagi. Akan tetapi tiba-tiba
terdengar suara tangis anak-anak yang aneh sekali dari dalam goa!
Si Kwi kaget
setengah mati. Dengan mata terbelalak dia memandang ke arah goa, sayur beserta
bangkai kelinci yang dipegangnya terlepas dari kedua tangannya, muka menjadi
pucat dan dia merasa bulu tengkuknya meremang. Setan? Roh anaknya?
Bermacam
bayangan yang mengerikan terbayang di dalam benaknya. Akan tetapi rasa takutnya
itu dibantahnya sendiri. Mana mungkin di siang hari muncul setan? Telah hampir
dua tahun dia tinggal seorang diri di tempat itu dan belum pernah sekali pun
dia bertemu setan! Tahyul belaka!
Si Kwi
adalah seorang wanita perkasa, maka rasa takut itu segera dibuangnya kemudian
dengan langkah lebar dia memasuki goa besar itu. Tadinya dia hanya berdiri saja
karena mengira bahwa tentu telinganya yang salah dengar, mungkin karena
memikirkan anaknya maka telinganya mendengar suara khayalan. Akan tetapi ketika
tangis itu terus terdengar, bahkan makin keras terdengar, dia cepat memasuki
goa.
Dan di
tengah goa itu, di tempat di mana dia dulu melahirkan anaknya, nampak seorang
anak kecil rebah terlentang sambil menangis! Kaki kiri anak itu membengkak
hitam, dan di situ terdapat empat ekor monyet besar-besar yang menjaga anak
itu.
Seorang anak
lelaki, anak manusia dijaga empat ekor monyet! Seketika, bagaikan cahaya kilat
memasuki benaknya, Si Kwi mengerti bahwa itulah anaknya! Bahwa itulah anaknya
yang lenyap setahun yang lalu, diculik oleh monyet-monyet itu! Dan kini
mengertilah dia bahwa yang menukar anaknya dengan monyet adalah monyet-monyet
besar ini!
Entah siapa
yang terlebih dahulu menerjang maju. Si Kwi sudah marah karena menduga bahwa
monyet-monyet itu yang dulu mencuri anaknya, sedangkan empat ekor monyet itu,
didahului oleh induk monyet, marah oleh karena melihat wanita itu menghampiri
anaknya. Mereka sudah saling terjang dan Si Kwi dikeroyok oleh empat ekor
monyet besar yang mencakar dan menubruk, dengan mulut bertaring dan hendak
menggigitnya.
Akan tetapi,
selama dua tahun kurang itu, Si Kwi tidak kehilangan kepandaiannya serta
kesigapannya sungguh pun dia tidak pernah berlatih. Ilmu silat yang
dipelajarinya serta dilatihnya selama bertahun-tahun dahulu itu telah mendarah
daging di tubuhnya sehingga gerakannya sudah menjadi otomatis.
Kedua
kakinya bergerak-gerak menendang, tangan kanannya menampar dan tubuhnya
bergerak dengan sigapnya mengelak dari setiap tubrukan. Tendangan-tendangan
berikut tamparannya mengenai tubuh monyet-monyet itu dengan tepat sehingga
dalam beberapa gebrakan saja dia sudah berhasil menghajar monyet-monyet itu
yang langsung terlempar dan terbanting jatuh bergulingan.
Akhirnya
tiga ekor monyet melarikan diri, tinggal seekor monyet betina besar saja yang
masih melawan. Akan tetapi dia bukanlah lawan Si Kwi sehingga beberapa kali dia
kena ditendang atau pun dihantam. Pukulan tangan kanan Si Kwi yang terakhir
tepat mengenai tengkuk monyet betina itu, membuat monyet itu terpelanting roboh
dan tak bergerak lagi, pingsan.
Si Kwi lalu
menghampiri anak laki-laki yang masih menangis itu. Dia memegangnya, akan
tetapi dia bergerak kaget dan mengelak ketika anak itu tiba-tiba saja
menggunakan mulut untuk menggigit tangannya sambil mengeluarkan suara gerengan!
Si Kwi
berdiri bengong. Benarkah ini adalah anaknya? Benar bahwa anak ini tidak salah
lagi adalah seorang anak manusia, bocah laki-laki yang bertubuh sehat dan kuat,
namun kaki kirinya bengkak menghitam, agaknya telah keracunan. Dan anak ini
memang berusia kurang lebih satu tahun, maka tepat sekali kalau anak ini adalah
anak yang dilahirkannya setahun yang lalu.
Namun anak
ini merupakan seekor monyet bertubuh dan berwajah manusia! Kemudian teringatlah
dia bahwa mungkin sejak lahir, anak ini tumbuh di tengah-tengah sekumpulan
monyet, maka tentu saja tingkah lakunya mirip monyet. Pikiran ini membuat dia
merasa terharu sekali.
"Anakku...!"
bisiknya dan air matanya jatuh bercucuran.
Dia lalu
memondong anak itu, tidak mempedulikan anak itu menggigit lengannya karena
dengan kulit tubuhnya yang terlatih dan kuat, tentu saja gigitan anak berusia
setahun itu tidak menyakitkan. Melihat keadaan kaki anak itu yang membengkak
dan membiru, Si Kwi cepat berlari pulang, memasuki istana dan langsung dia
masuk ke dalam kamarnya. Anak itu yang tadinya meronta-ronta kini tidak bergerak
lagi, agaknya pingsan.
Si Kwi cepat
mengambil obat yang banyak terdapat dalam salah sebuah kamar di istana itu.
Sebagai orang-orang sakti yang mempunyai banyak anak buah ketika mereka tinggal
di istana ini, Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li tentu saja menyimpan berbagai
macam obat-obatan, sangat banyak sehingga memenuhi satu kamar dan mereka adalah
ahli-ahli racun yang tentu menyimpan obat-obat untuk orang keracunan pula.
Ada pun Si
Kwi adalah murid dari Hek I Sainkouw yang juga ahli dalam mengobati segala
macam luka akibat keracunan, kepandaian yang penting bagi orang-orang kang-ouw
yang sering melakukan perantauan, sering pula menghadapi bahaya dari lawan yang
memakai senjata beracun, maka tentu saja wanita muda ini mengerti pula tentang
pengobatan luka beracun.
Dia sudah
memeriksa luka pada kaki anak itu dan dapat menduga bahwa tentu luka itu
disebabkan oleh gigitan binatang beracun, agaknya ular melihat ada lubang kecil
di kaki itu, bekas taring ular. Maka dia cepat memilih obat-obat yang khusus
untuk menghadapi racun ular.
Dengan hati
penuh kekhawatiran dan dengan cekatan sekali dia lalu menggunakan obat gosok
untuk pertama-tama mengobati luka itu. Dengan ujung pisau runcing yang sudah
dibakarnya dulu, dia merobek kulit daging betis kaki itu, lalu mengisap dengan
mulutnya, mengeluarkan darah menghitam dari dalam luka. Kemudian dia memaksakan
obat yang telah digodoknya ke dalam mulut anak itu sedikit demi sedikit.
Dengan penuh
ketelitian Si Kwi merawat anak itu dan dalam waktu satu hari satu malam saja Si
Kwi sudah berhasil menolong anak itu terbebas dari ancaman racun yang dapat
membawa maut. Anak itu siuman kembali, mula-mula hendak meronta akan tetapi
karena tubuhnya lemah, dia diam saja hanya memandang kepada Si Kwi penuh
kecurigaan dan kadang-kadang mengeluarkan suara menggereng dan memperlihatkan
giginya!
Si Kwi makin
terharu. Anak ini sudah hampir menjadi monyet karena gerak-geriknya! Dia lalu
menimang-nimangnya, memberinya makan. Akan tetapi mula-mula anak itu tak mau
makan segala macam masakan, kecuali hanya buah-buahan. Persis benar seperti
seekor monyet.
Naluri
seorang ibu sangat kuat. Cinta kasih seorang ibu memang memiliki getaran halus
yang amat kuat, yang dapat menembus kebodohan anak itu. Agaknya sebagai seorang
manusia pula, anak itu juga mempunyai perasaan dan dapat menerima getaran cinta
kasih ibu kandungnya sehingga dalam waktu beberapa hari saja dia sudah menjadi
jinak, makin berkurang kebuasannya, dan dalam waktu sebulan, dia sudah begitu
melekat kepada Si Kwi sehingga mau digandeng dan diajar berjalan karena
jalannya masih seperti orang hutan, dengan sepasang kaki ditekuk rendah, kedua
lengan bergantung hampir mencapai tanah dan punggung membungkuk!
Kini, dia
mulai meniru cara Si Kwi berjalan! Juga dia mulai mau makan masakan sayuran dan
daging yang disuguhkan oleh ibu kandungnya. Pertama kali Si Kwi memberi pakaian
kepadanya, dia ketakutan. Ketika pakaian itu oleh Si Kwi dipakaikan pada
tubuhnya, dia merobek-robeknya. Akan tetapi agaknya karena meniru Si Kwi pula,
akhirnya dia mau juga mengenakan pakaian, mau pula dimandikan dan lain-lain. Persis
seperti menjinakkan seekor kera.
Si Kwi
sering kali mengamat-amati anak itu di waktu anak tidur. Hatinya penuh rasa
haru, penuh rasa sayang dan dibelainya anak itu, luka-luka di tubuh anak itu
diusapnya dengan jari-jari tangan gemetar, terutama sekali luka memanjang di
pundak sampai ke punggung.
Luka itu
memanjang dan bentuknya seperti seekor naga. Bekas luka inilah yang membuat Si
Kwi mengambil keputusan untuk memberi nama Liong (Naga) kepada anaknya. Dan
karena dia teringat akan kegagahan ayah kandung anak ini, akan kesaktiannya,
maka dia mengharapkan agar anaknya kelak dapat menjadi seorang naga sakti.
Karena itu dia lalu menamakan anak itu Sin Liong (Naga Sakti) dan tentu saja
dia menambahkan she Cia kepada Sin Liong. Cia Sin Liong, demikianlah nama anak
yang sejak bayi dipelihara oleh monyet, hidup di antara monyet-monyet dan
hampir saja dia menjadi seekor monyet yang aneh itu.
Setelah
menemukan anaknya, terjadilah perubahan besar sekali dalam kehidupan Si Kwi.
Kini dia dapat tersenyum lagi, dapat tertawa terkekeh-kekeh melihat kelucuan
anaknya, dapat berseru kagum melihat ketangkasan anak berusia setahun lebih itu
yang pandai sekali melompat, pandai memanjat pohon dan memiliki kekuatan yang
jauh melebihi anak biasa.
Kini Si Kwi
mulai merasa gembira, wajahnya berseri, matanya bersinar-sinar dan bibirnya
sering kali tersenyum. Mulai pula dia memperhatikan dirinya, membersihkan
dirinya dan mengenakan pakaian yang patut-patut. Dia seolah-olah mulai memasuki
suatu kehidupan baru! Mulai dia mengkhawatirkan sesuatu, mempedulikan sesuatu,
tak lagi seperti biasa, hidup seperti mayat berjalan tanpa mempedulikan
apa-apa. Mulai dia melihat keindahan-keindahan lagi di dalam kehidupannya.
Tiga bulan
kemudian, keadaan di Istana Lembah Naga itu telah berubah sama sekali. Dari
dusun-dusun yang berada di kaki Pegunungan Khing-an-san, Si Kwi mengundang lima
orang wanita yang dipekerjakan sebagai pelayan. Seluruh istana itu dibersihkan,
dirawat baik-baik, ladang-ladangnya ditanami sayur-sayur lagi, bahkan di samping
istana dibuat sebuah taman yang penuh bunga.
Pendeknya,
dalam waktu beberapa bulan saja, keadaan diri Si Kwi dan sekelilingnya telah
mengalami perubahan luar biasa. Wanita itu kini mau berdandan kembali,
mengenakan pakaian indah karena di dalam istana itu memang banyak terdapat
kain-kain yang serba indah, semangatnya bangkit dan hidup kembali.
Lima orang
wanita yang menjadi pelayan-pelayan itu juga suka bekerja di situ. Dua orang di
antara mereka adalah orang-orang Han dan yang tiga lagi peranakan Mongol.
Mereka biasanya ikut dengan rombongan suku bangsa yang suka berpindah-pindah,
hidup serba kekurangan dan selalu menghadapi kesukaran.
Kini, mereka
hidup di istana yang besar serta indah, dan tidak kekurangan makan dan pakaian,
tentu saja mereka suka berada di situ. Apa lagi, mereka hanya melayani seorang
ibu dan seorang anak, tentu saja pekerjaan mereka tidak berat.
Akan tetapi,
ternyata tidaklah mudah untuk mengasuh Sin Liong. Anak ini sudah mulai belajar
bicara, akan tetapi sekali waktu, dalam keadaan marah atau khawatir, timbul
saja semacam sifat monyetnya, menggereng, mencakar dan hendak menggigit, bahkan
lari memanjat pohon sampai di ranting yang paling puncak, tidak mau turun! Akan
tetapi sisa watak seperti monyet ini makin lama makin menipis sungguh pun tidak
dapat lenyap sama sekali seperti luka di pundak dan betisnya, biar pun sudah
sembuh sama sekali, namun masih ada saja nampak bekas-bekasnya.
Sering
sekali para pelayan dan juga Si Kwi sendiri, memergoki monyet mendekati istana,
bahkan ada satu dua kali mereka melihat Sin Liong bermain-main dengan mereka.
Dan pada suatu malam, ketika anak itu sudah berusia dua tahun, anak itu lenyap
dari dalam kamarnya!
Sudah tentu
saja para pelayan menjadi panik. Akan tetapi Si Kwi yang melihat jendela kamar itu
terbuka, bersikap tenang biar pun jantungnya berdebar penuh ketegangan dan
kegelisahan. Dia tidak mau kehilangan puteranya untuk kedua kali! Akan tetapi
dia dapat menduga bahwa tentu anaknya itu pergi mengunjungi teman-temannya,
yaitu rombongan monyet-monyet itu. Maka pada pagi hari itu, dia bersama para
pelayannya lalu menuju ke sebuah hutan lebat tidak jauh dari sana karena dia
tahu bahwa di hutan inilah monyet-monyet itu berkumpul dan hidup.
Sesudah
mereka berenam sampai di tengah hutan, benar saja mereka melihat Sin Liong
berada di antara monyet-monyet besar. Si Kwi mengerutkan alisnya dan marah
sekali melihat betapa anak itu bermain-main, berloncatan dengan pakaian sudah
cabik-cabik tak karuan, bersama monyet-monyet kecil makan ulat dan cacing!
Monyet-monyet
besar itu jumlahnya hanya belasan ekor, tidak lebih dari lima belas ekor.
Banyak memang monyet-monyet kecil di situ dari lain jenis, akan tetapi
monyet-monyet kera kecil ini tidak berani mendekati monyet-monyet orang hutan
yang besar-besar itu, yaitu kelompok yang menjadi teman Sin Liong.
"Sin
Liong...!" Si Kwi segera memanggil sambil memandang ke atas pohon di mana
anak itu nongkrong dengan sikap gembira.
Sin Liong
memandang ke bawah dan mengeluarkan suara teriakan, "Ibu...!" Hanya
satu kata inilah yang selalu teringat oleh anak itu dan yang diucapkannya
dengan baik. Akan tetapi dia tidak mau turun, bahkan meloncat ke dahan yang
lebih tinggi lagi.
"Sin
Liong, kau turunlah! Mari pulang bersama ibu!" teriak Si Kwi lagi.
Sin Liong
tetap tidak mau turun dan kini yang turun malah seekor orang utan jantan yang
amat besar. Orang utan ini adalah pemimpin dari kelompok itu, orang utan jantan
yang paling besar dan kuat. Dia berloncatan turun diikuti oleh lima ekor orang
utan jantan yang lain, sikap mereka sangat mengancam dan pemimpin monyet itu
sudah memperlihatkan taringnya.
Akan tetapi
Si Kwi tidak merasa gentar dan dia tetap berdiri tegak di bawah pohon sambil
memanggil-manggil Sin Liong. Lima orang pelayannya, biar pun sudah mulai
dilatih silat oleh Si Kwi, merasa ngeri dan mundur-mundur ketakutan, menjauhi
pohon itu.
Kini keenam
monyet besar itu sudah menghadapi Si Kwi. Pemimpin monyet menggereng-gereng
seperti menggertak, diikuti oleh lima ekor anak buahnya. Akan tetapi tiba-tiba
saja terdengar gerengan lain dan sesosok tubuh kecil melayang turun dari atas
pohon, dari cabang pohon paling rendah dan tahu-tahu Sin Liong sudah berada di
sana, di tengah-tengah antara monyet-monyet itu dan ibunya. Dan anak ini pun
menggereng-gereng dan memperlihatkan giginya yang kecil-kecil dan sama sekali
tak menyeramkan, menghadapi monyet-monyet seolah-olah dia marah kepada mereka
dan hendak membela ibunya.
Melihat
pertunjukan ini, jantung di dalam dada Si Kwi berdebar penuh rasa kagum dan
keharuan. Anaknya ini, yang baru berusia dua tahun itu sudah tahu bagaimana
membela ibunya!
Akan tetapi
monyet besar itu lantas menggereng, kemudian tangannya bergerak hendak
mencengkeram atau mendorong pergi tubuh Sin Liong. Seperti sikap seekor monyet
kecil menghadapi monyet besar, Sin Liong mengelak dan tidak berani melawan,
hanya terus menggereng-gereng dan memperlihatkan giginya menyeringai.
Si Kwi
menjadi marah. "Sin Liong, minggirlah! Biar kuhajar monyet-monyet biadab
ini!"
Sesudah
berkata demikian, Si Kwi menerjang maju, dua kali kakinya bergerak dan dua ekor
monyet terpelanting! Empat ekor lainnya maju, akan tetapi Si Kwi yang sudah
marah itu sekarang tidak mau membuang waktu lagi. Dengan gerakannya yang amat
gesit, dia mengelak ke kanan kiri sambil membalas dengan tendangan kakinya dan
dengan pukulan tangan kanannya.
Akan tetapi,
tubuh monyet-monyet besar itu kebal dan kuat sekali. Begitu mereka roboh,
mereka sudah meloncat bangun lagi dan menyerang makin ganas, dengan mata merah
dan mulut membusa, menyerang kalang kabut dengan tubrukan-tubrukan dahsyat! Si
Kwi merasa kewalahan juga karena sudah tiga empat kali dia merobohkan
monyet-monyet itu, namun untuk kesekian kalinya kembali mereka bangkit dan
menyerang makin ganas.
"Hemmm,
kalian ingin mampus!" Si Kwi berteriak marah sambil meloncat ke belakang.
Ketika
pemimpin monyet yang terbesar dan paling ganas itu menyerang ke depan, Si Kwi
menggerakkan tangan kanannya dan sebatang paku hitam meluncur.
"Cappp...!" Paku itu menancap dan lenyap ke dalam tenggorokan monyet
besar itu.
Monyet itu
mengeluarkan pekik aneh dan roboh bergulingan, berkelojotan dan tidak lama
kemudian tewaslah monyet itu. Monyet-monyet yang lain, aneh sekali, menjadi
ketakutan dan lari berloncatan ke atas pohon.
"Grrhhhh...!"
Tiba-tiba Si
Kwi mengelak dan alangkah kagetnya pada waktu dia melihat anaknya sudah
menerjang serta mencakarnya! Dia cepat menangkap tangan anaknya, lalu
diangkatnya, dipondongnya dan diciuminya, dipeluk erat-erat.
"Sin
Liong... aku terpaksa membunuhnya... terpaksa...!" Lalu dia mengajak
anaknya itu pulang dengan setengah memaksa. Sin Liong tak meronta lagi, akan
tetapi dia diam saja, dan wajahnya memperlihatkan kemarahan.
Semenjak
peristiwa pembunuhan pimpinan monyet itu, watak Sin Liong menjadi pendiam dan
sering kali dia memandang kepada Si Kwi dengan curiga. Akan tetapi karena sikap
Si Kwi yang sangat baik kepadanya, akhirnya kecurigaannya itu lenyap dan dia
mulai mau tersenyum lagi kepada ibunya itu.
Liong Si Kwi
juga bersikap bijaksana. Dia tahu bahwa puteranya itu tidak akan mudah
menghapuskan kenangan lama, kebiasaan lama ketika hidup selama satu tahun
bersama monyet-monyet itu, maka dia pun tidak melarang anaknya untuk
bermain-main dengan monyet-monyet itu. Betapa pun juga, ada rasa terima kasih
di hatinya terhadap monyet-monyet itu, karena tanpa adanya monyet-monyet itu,
entah apa jadinya dengan anaknya karena begitu selesai melahirkan, dia langsung
pingsan!
Diam-diam Si
Kwi membayangkan betapa anehnya kehidupan ini. Anaknya terlahir tanpa bantuan,
kemudian begitu lahir langsung diculik oleh monyet besar. Heran dia memikirkan
bagaimana dan apa jadinya dengan ari-ari yang ikut keluar bersama anaknya
ketika lahir itu. Bagaimana cara para monyet itu memelihara bayinya? Bagaimana
cara pemotongan pusarnya? Dia melihat pusar Sin Liong biasa saja seperti
anak-anak lainnya.
Memang
demikianlah. Kita manusia lupa bahwa segala sesuatu di dunia ini sudah dalam
keadaan tertib, dan sudah tertib dengan sendirinya, sempurna segala-galanya.
Karena manusia berakal budi, maka manusia selalu mempunyai kecondongan untuk
membantu jalannya kekuasaan alam, membantu kelancarannya. Dan karena semenjak
jutaan tahun bantuan-bantuan manusia ini makin berkembang, maka manusia sudah
menjadi terbiasa karenanya, sehingga manusia merasa kehilangan tanpa adanya bantuan-bantuan
itu.
Dan mungkin
sekali, karena terbisa oleh bantuan-bantuan dari luar ini, jasmani manusia
menjadi kehilangan kepekaannya, kehilangan kecerdasannya, malah mungkin juga
daya ketertiban yang ajaib itu sudah berkurang sehingga manusia akan merasa
tidak berdaya tanpa adanya bantuan-bantuan luar yang sudah biasa diterimanya
itu.
Kita bisa
melihat bukti adanya ketertiban alamiah yang amat dahsyat dan ajaib itu dalam
kehidupan binatang-binatang hutan yang masih jauh dari peradaban manusia.
Kelahiran di antara binatang-binatang itu terjadi di mana-mana, dan tentu saja
di dunia mereka itu tidak mengenal adanya bantuan dari luar! Namun, semua
kelahiran berjalan lancar dan sempurna! Hanya binatang-binatang yang sudah
dekat dengan manusia saja, yang biasa menerima bantuan-bantuan dari manusia,
akan merasa kehilangan dan mungkin akan terancam bahaya kegagalan apa bila
mereka terlepas dari pada bantuan manusia yang sudah biasa mereka terima
turun-temurun itu.
Kini Sin
Liong sering kali bermain-main dengan para monyet, bahkan melihat betapa Si Kwi
tidak pernah marah dan tidak pernah mengganggu mereka, monyet-monyet itu mulai
berani mendekati istana, bahkan berani bermain-main dengan Sin Liong di istana.
Si Kwi
memesan kepada para pelayannya agar jangan mengganggu mereka. Di dalam hatinya
wanita muda ini bisa memaklumi bahwa tak mungkin Sin Liong dapat melupakan
kehidupan di antara para monyet setelah sejak bayi dia minum air susu dari dada
monyet betina besar yang dia lihat sering kali datang dan memandang kepada Sin
Liong dengan matanya yang seperti mata seorang manusia! Monyet betina besar
yang hanya menatap dari jauh, bersikap diam saja, namun sinar matanya penuh
dengan kasih sayang yang dapat terasa oleh Si Kwi.
Malam itu
bulan bersinar terang. Si Kwi bermain-main dengan anaknya di serambi depan,
sedangkan para pelayan sudah mengaso di kamar belakang. Para pelayan itu kini
telah merupakan wanita-wanita yang tidak lemah lagi. Sudah beberapa bulan
lamanya mereka dilatih ilmu silat oleh Si Kwi dan sungguh pun mereka tentu saja
belum dapat menguasai jurus-jurus silat yang tinggi, namun setidaknya mereka
telah memperoleh kesigapan dan kekuatan yang lumayan.
Si Kwi
sedang mengajar anaknya bercakap-cakap. Sudah lumayan juga kemajuan yang
diperoleh Sin Liong dalam hal ini. Tentu saja dia ketinggalan jauh sekali jika
dibandingkan dengan anak-anak biasa. Usianya sudah dua tahun setengah, namun
dia hanya baru bisa mengeluarkan beberapa patah kata saja, di antaranya yang
paling jelas adalah IBU, YA, TIDAK, MAKAN, MINUM dan TIDUR.
Namun dengan
bahasa isyarat dia sudah mengerti jauh lebih banyak, dan pengertiannya
menangkap kata-kata jauh lebih baik dari pada kepandaiannya mengucapkan
kata-kata. Juga kini dia sering kali tertawa-tawa ditimang oleh Si Kwi, dan
dapat pula menunjukkan kasih sayangnya dengan memeluk leher ibunya kalau dia
sedang dipangku.
Tiba-tiba
saja terdengar bunyi cecowetan dan di antara bayangan pohon-pohon nampak
beberapa ekor monyet kecil menghampiri serambi itu. Si Kwi mengerutkan alisnya,
akan tetapi dia tidak melarang pada waktu Sin Liong merosot turun dari atas
pangkuannya dan berlari keluar, menyambut kedatangan monyet-monyet itu.
Biarlah,
pikirnya. Anak itu berhak untuk bergembira dan bermain-main, seperti anak-anak
lain. Dan karena di situ tidak ada anak lain, maka tentu saja anak itu
bersababat dengan monyet-monyet yang memang sejak lahir sudah menjadi
sababatnya. Hatinya lega ketika melihat Sin Liong tidak merobek-robek
pakaiannya lagi, bahkan di dalam kegembiraannya itu terdengar gelak tawanya
seperti seorang anak manusia di antara suara cecowetan monyet.
Anak itu
sudah makin mendekati sifat manusia dari pada sifat monyet, pikirnya dan dia
pun melangkah masuk ke dalam kamarnya, membiarkan anaknya bermain-main di luar
karena dia tahu bahwa kini, semenjak peristiwa pertempurannya melawan
monyet-monyet itu, Sin Liong tidak mau pergi jauh dari halaman depan istana.
Si Kwi
sedang membaca kitab yang berisi cerita kuno sambil rebah di pembaringannya,
ketika tiba-tiba pintu kamarnya terbuka dari luar dan nampak anaknya memasuki
kamar sambil berlari setengah merangkak cepat sekali. Si Kwi bangkit duduk dan
terkejut. Kalau Sin Liong sudah melupakan pesannya bahwa anak itu tidak boleh
merangkak melainkan harus berjalan seperti manusia, dan kini anak itu berjalan
setengah merangkak karena hal ini membuat dia dapat bergerak lebih cepat, tentu
ada apa-apa yang penting pikirnya.
"Liong-ji...
ada apakah...?" Hatinya lega melihat Sin Liong tidak terluka, dan agaknya
tidak terjadi apa-apa dengan anak itu, akan tetapi anak itu kelihatan gugup dan
takut.
"Ibu...
keluar... keluar...!" Dia berkata, sukar sekali, akan tetapi kedua
tangannya jelas memberi isyarat kepada ibunya agar ibunya suka keluar dari
dalam kamar itu.
Si Kwi
meloncat turun dan mengikuti anaknya yang kembali lari setengah merangkak dan
berloncatan keluar dari dalam kamar, terus ke serambi depan dan hendak terus
keluar dari halaman istana. Akan tetapi Si Kwi memegang lengan anaknya dan
berdiri tegak di tengah halaman istana yang amat sunyi itu. Sinar bulan menerangi
tempat itu.
"Ibu...!"
Sin Liong menuding ke depan.
"Sstttttt...!"
Si Kwi menaruh telunjuk di depan mulut, isyarat yang dikenal oleh Sin Liong
agar dia berdiam diri.
Si Kwi yang
memiliki pendengaran tajam terlatih itu telah mendengar sesuatu dari jauh.
Maklumlah dia bahwa ada datang beberapa orang pengunjung. Siapa pula yang
berani datang mengunjungi tempat ini?
Dulu sebelum
dia melahirkan, pernah beberapa kali ada orang-orang yang berkeliaran di dekat
istana, mungkin pemburu-pemburu binatang. Akan tetapi dia telah mempergunakan
kepandaiannya, menyambit mereka dari jauh dengan kerikil-kerikil kecil hingga
membuat mereka langsung lari ketakutan karena sambitannya tepat mengenai mereka
dan cukup menyakitkan. Akan tetapi sekali ini, malam-malam ada orang-orang
datang. Siapa mereka dan apa maksud kedatangan mereka?
"Liong-ji,
kau masuklah ke dalam!" kata Si Kwi sambil menuding ke arah serambi
istana.
Si Liong
yang mempunyai naluri monyet dan tahu bahwa ada bahaya mengancam, cepat
berloncatan dan dia sudah bersembunyi di balik tiang di serambi itu sambil
mengintai ke arah ibunya yang berdiri tegak dan tenang menanti datangnya
orang-orang yang sudah dia dengar langkah kaki dan suaranya itu.
Tak lama
kemudian nampaklah enam orang laki-laki tinggi besar yang melihat lagak dan
pakaiannya, tentulah sebangsa orang-orang kasar yang biasa mengandalkan
keberanian serta kekuatan mereka untuk melakukan apa saja tanpa mempedulikan
hukum dan peri kemanusiaan.
Mereka
tercengang ketika melihat Si Kwi yang berdiri di tengah halaman istana itu dan
mereka semua menahan langkah kaki, memandang ke depan dan memperhatikan Si Kwi
dari kepala sampai ke kaki.
"Bukan
main...! Cantik sekali...!"
"Seperti
bidadari! Dewi kahyangan rupanya!"
"Orang
bilang, di sini ada setannya, kiranya yang ada hanyalah dewi manis!"
"Sayang
tangan kirinya buntung!"
"Tidak
apa, yang penting buat kita kan bukan tangan kirinya, heh-heh!"
Mereka semua
bergelak tertawa dan masih terdengar lagi ucapan-ucapan tidak senonoh yang
membuat muka Si Kwi menjadi merah dan terasa panas. Kini mereka melangkah maju
dan menghadapi Si Kwi sambil menyeringai.
Seorang di
antara mereka, yang kulit mukanya hitam dan penuh brewok, matanya lebar,
tubuhnya tinggi besar dan agaknya dialah yang memimpin rombongan keenam orang
itu, berkata, "Heh-heh, nona manis. Inikah yang dinamakan Istana Lembah
Naga?"
Si Kwi
bersikap tenang dan menahan kemarahannya, akan tetapi mendengar pertanyaan itu
dia menjawab, "Benar!"
Laki-laki
itu tertawa. "Ha-ha-ha, kami dengar di sini ada setannya. Mana setannya?
Dan siapa engkau, nona manis?"
"Penghuni
istana ini adalah aku! Lebih baik kalian lekas pergi dari sini! Tidak ada
seorang pun boleh mendatangi tempat ini!" kata Si Kwi dengan nada suara
dingin mengancam.
Akan tetapi
enam orang laki-laki itu tentu saja memandang rendah dan mereka semua tertawa.
Si brewok itu tertawa paling keras lantas berkata, "Ha-ha-ha, boleh jadi
engkau aneh, nona, seorang wanita muda cantik manis tinggal di istana besar
seorang diri. Akan tetapi engkau hanya seorang wanita muda yang lemah,
berpakaian indah serba merah, malah tangan kirimu buntung. Andai kata engkau
benar-benar setan, heh-heh-heh, aku senang berteman dengan setan seperti engkau
ini. Aku tidak takut kau gigiti. Ha-ha-ha!"
"Ha-ha-ha-heh-heh!"
Lima orang temannya tertawa semua. "Bhong-twako, boleh engkau nikmati dia,
kami akan menikmati barang-barang di dalam istana itu saja, heh-heh!"
Pada saat
itu, mereka semua tercengang dan memandang ke serambi depan. Ternyata lima
pelayan sudah berada di situ semua. Mereka itu semua ditarik-tarik dan diajak
keluar oleh Sin Liong dan kini mereka berdiri di serambi sedangkan Sin Liong
sudah sembunyi lagi sambil mengintai.
"Wah,
wah, kiranya masih ada lima orang lagi? Ha-ha, sungguh tepat. Enam lawan enam!
Ah, Bhong-twako, kami juga sudah dijemput, biar pun tidak secantik si buntung
ini, akan tetapi mereka itu jelas perempuan, tidak banci. Itu saja sudah cukup,
ha-ha!" Lima orang itu tertawa-tawa, mata mereka memandang ke arah lima
orang pelayan itu.
Pelayan-pelayan
itu terdiri dari wanita-wanita yang usianya antara dua puluh sampai tiga puluh
lima tahun, dan karena mereka itu sehat-sehat dan berpakaian cukup bersih, maka
nampak pula sifat kewanitaan mereka. Sambil bersorak kelima orang itu sudah
bergerak hendak menyerbu ke serambi.
"Tahan!"
Tiba-tiba Si Kwi berseru, suaranya nyaring dan penuh wibawa sebab dia berseru
sambil mengerahkan khikang-nya. "Tahan atau kalian akan mati di
tempat!"
Enam orang
itu terkejut dan si brewok memecahkan perasaan kaget yang mencekam itu dengan
suara ketawanya. "Ha-ha-ha, lagakmu sangat hebat, nona. Seorang wanita
muda sepertimu ini, bersama lima orang temanmu itu, apa gunanya melawan kami? Lebih
baik menurut saja, menyerah dan kalian akan memperoleh kesenangan dan
selanjutnya hidup bersama kami..."
"Hemm,
kalian enam orang sungguh lancang. Katakan dulu siapakah kalian, dari mana
kalian datang sehingga kalian tidak mengenal tempat ini dan berani
melanggarnya?"
"Kami?
Ha-ha-ha, kami datang dari Padang Bangkai dan..."
"Padang
Bangkai?" Si Kwi cepat-cepat memotong dan terheran-heran. "Bukankah
Padang Bangkai telah kosong dan penghuninya telah tewas semua? Ang-bin Ciu-kwi
dan Coa-tok Sian-li sudah tewas, anak buahnya juga sudah terbasmi habis.
Bagaimana kalian berani mengaku datang dari Padang Bangkai?"
Dalam cerita
Dewi Maut telah diceritakan betapa Padang Bangkai dijadikan sarang oleh suami
isteri kaum sesat yang amat terkenal, yaitu Ang-bin Ciu-kwi dan isterinya
Coa-tok Sian-li, dan suami isteri ini bersama anak buah mereka sudah takluk
terhadap kakek dan nenek iblis penghuni Istana Lembah Naga dan menjadi
pembantu-pembantu mereka.
Adalah
Ang-bin Ciu-kwi inilah yang menjadi sebab pertama mengapa Si Kwi jatuh cinta
pada Cia Bun Houw, yaitu ketika dia dirobohkan dan akan diperkosa oleh Ang-bin
Ciu-kwi si pemabok itu, dia diselamatkan oleh pendekar sakti muda itu....
Terima kasih telah membaca Serial ini.