Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pendekar Lembah Naga
Jilid 02
PADA saat
terjadi pertempuran-pertempuran hebat di antara para penghuni Istana Lembah
Naga dengan para pendekar perkasa, Ang-bin Ciu-kwi, isterinya, bersama semua
anak buahnya telah tewas dan Padang Bangkai, tempat yang amat berbahaya dan
mengerikan itu sudah menjadi kosong. Bagaimana kini dapat muncul enam orang ini
yang mengaku datang dari Padang Bangkai?
Si brewok
itu tertawa, "Aha, kiranya engkau mengenal nama-nama mendiang Ang-bin
Ciu-kwi dan Coa-tok Sian-li, nona? Ketahuilah bahwa tai-ong (raja sebutan untuk
kepala perampok) kami adalah sahabat baik dari mereka, dan melihat bahwa Padang
Bangkai sudah kosong, maka tai-ong kami lalu mengambilnya sebagai tempat
tinggal kami sejak setengah tahun yang lalu. Tai-ong mendengar bahwa di sini
terdapat Istana Lembah Naga dan ada... ehhh, setannya, maka dia mengutus kami
untuk menyelidikinya. Siapa kira, bukan setan yang kami dapatkan, melainkan...
sorga tempat para bidadari. Heh-heh-heh!"
"Bhong-twako,
perlu apa banyak bicara dengan dia? Tubruk dan peluk saja, habis perkara! Kami
akan menangkap lima ekor kelinci gemuk di sana! Ha-ha!" Seorang di antara
anak buahnya berkata dan mereka berlima tertawa semua itu menyerbu ke serambi.
"Kiranya
perampok-perampok laknat! Keparat, mampuslah kalian!" Si Kwi membentak dan
tubuhnya bergerak cepat sekali ke depan, menghadang lima orang yang menyerbu ke
serambi itu. Dengan kemarahan meluap, Si Kwi menggunakan tangan kanan, dua kali
dia menghantam kepada dua orang terdepan, disusul tendangan kakinya yang
menyambar ke arah bawah pusar mereka.
"Plak-plak!
Dess-desss…!"
Dua orang
itu memekik kemudian terpental ke belakang, menimpa teman-temannya dan mereka
terbanting, berkelojotan dan... tewas! Melihat hal ini, empat orang lainnya
menjadi kaget setengah mati, kaget dan juga marah. Si brewok segera mencabut
goloknya, diikuti oleh tiga orang anak buahnya.
"Ternyata
engkau benar-benar setan!" teriak si brewok dan dia sudah menerjang maju,
membacokkan goloknya ke arah leher Si Kwi. Tiga orang anak buahnya juga
langsung menggerakkan golok mereka menyerang.
Akan tetapi
Si Kwi sudah siap sedia. Wanita muda ini merasa menyesal mengapa dia tadi tidak
membawa pedangnya atau kantung pakunya. Akan tetapi, menghadapi
perampok-perampok kasar ini tentu saja dia tak menjadi gentar. Dengan ginkangnya
yang luar biasa, dia mengelak dan berloncatan ke sana-sini sedemikian cepatnya
sehingga empat orang pengeroyoknya kadang-kadang menjadi bingung karena wanita
itu lenyap dari pandang mata mereka saking cepatnya gerakan itu.
Sementara
itu, lima orang pelayan yang baru saja belajar ilmu silat, menonton dengan mata
terbelalak. Tadinya mereka tidak mengira bahwa nona majikan mereka benar-benar
sangat lihai sekali sehingga dikeroyok enam orang laki-laki sekasar itu, mampu
melawan bahkan segebrakan saja telah merobohkan dua orang! Timbul gairah dalam
hati mereka untuk belajar silat semakin mendalam karena majikan mereka ternyata
merupakan guru yang amat hebat! Dan Sin Liong yang tadinya mengintai, kini
sudah meloncat naik ke atas meja, menonton dengan mata terbelalak dan mulut
ternganga. Ibunya hebat!
"Mampuslah
kalian, perampok-perampok laknat!" bentak Si Kwi lantas tangan kanannya
menyambar.
"Krekkk!"
Jari-jari
tangan yang halus akan tetapi karena diisi oleh tenaga sinkang menjadi kaku dan
keras bagaikan baja itu menghantam tenggorokan si brewok yang besar.
Tulang-tulang tenggorokan itu menjadi remuk dan si brewok mengeluarkan suara
bagai babi disembelih, tubuhnya roboh berkelojotan. Sebuah tendangan kilat dari
Si Kwi mengenai pelipisnya, membuat kepalanya retak sehingga dia tidak
berkelojotan lagi!
Tiga orang
perampok itu makin terkejut dan kini mereka mulai menjadi gentar. Namun Si Kwi
tidak memberi ampun. Ketika dia meloncat ke kiri, seorang perampok membacokkan
goloknya dari belakang. Sambaran golok memecah angin dari belakangnya, maka
suara angin itu dapat ditangkapnya sehingga dia cepat miringkan tubuh. Golok
menyambar di samping pundaknya, dia membalik dan memutar kaki, lengan kiri yang
ujungnya hanya tinggal tulang terbungkus kulit itu menotok siku tangan orang
yang memegang golok.
"Dukkk!”
“Uhhhhh...!"
Golok besar itu terlepas dan sebelum jatuh ke tanah, sudah disambar oleh tangan
kanan Si Kwi yang langsung membuat gerakan membalik.
"Cappp...!"
Golok itu amblas ke dalam perut pemiliknya sampai menembus punggung!
Si Kwi
mencabut golok itu sambil meloncat ke kiri sehingga darah yang mengucur keluar
dari perut itu tak sampai mengenai bajunya. Dua orang perampok itu cepat
membalikkan tubuhnya dan lari tunggang langgang. Namun golok di tangan Si Kwi
langsung terbang menyambar dan menancap di punggung seorang di antara mereka.
Orang itu terhuyung dan roboh menelungkup. Yang seorang lagi sudah menghilang
di dalam gelap.
Si Kwi
mengejar, akan tetapi orang itu sudah lenyap sehingga terpaksa dia kembali ke
pekarangan Istana Lembah Naga. Dengan tenang dia lalu memerintahkan para
pelayan untuk membantu dia menyeret mayat kelima orang itu dan melempar-lemparkan
semua mayat itu ke dalam jurang di belakang istana. Jurang-jurang itu dalam
sekali, sampai tak nampak dasarnya, maka mayat-mayat itu pun menghilang di
dalam jurang gelap. Si Kwi segera kembali ke dalam istana, diikuti oleh lima
orang pelayan yang mula-mula merasa ngeri akan tetapi kini merasa bangga
sekali!
"Ibu...!"
Sin Liong meloncat ke dada ibunya.
Si Kwi
memeluknya sambil berkata, "Liong-ji. Sekarang engkau tidak boleh
bermain-main terlalu jauh, ya? Lihat, banyak orang jahat berkeliaran!"
"Toanio,
siapakah mereka itu? Mengapa mereka memusuhi toanio?" seorang di antara
para pelayannya bertanya.
Si Kwi duduk
sambil memangku Sin Liong, lalu dia mengumpulkan lima orang pelayannya dan
bercerita. "Padang Bangkai adalah padang rumput yang nampak dari atas itu,
tempat yang amat berbahaya. Dahulu menjadi sarang orang-orang jahat yang amat
pandai, akan tetapi sekarang sudah kosong dan ternyata ditempati oleh
segerombolan perampok yang anak buahnya tadi mengacau ke sini. Sayang salah
seorang di antara mereka sempat melarikan diri, maka kepala perampoknya tentu
akan datang ke sini. Akan tetapi jangan kalian khawatir, aku sanggup menghadapi
mereka!" kata Si Kwi dengan gemas. "Mereka itu sudah bosan hidup,
tidak tahu bahwa Ang-yan-cu yang tinggal di sini!" katanya pula dengan
sikap angkuh dan timbul kembali sifatnya yang gagah, yang selama dua tahun
lebih, hampir tiga tahun, terpendam di tempat sunyi itu.
Melihat
sikap majikan mereka yang gagah, dan karena sudah pula menyaksikan sendiri
kelihaian majikan mereka ini, lima orang pelayan itu berbesar hati, bahkan
mereka pun menjadi bersemangat sehingga malam itu sebelum tidur mereka giat
melakukan latihan gerakan silat yang telah diajarkan oleh majikan mereka.
Apa yang
diduga oleh Si Kwi memang terbukti kebenarannya. Tiga hari kemudian, pada suatu
pagi, muncullah dua puluh orang lebih yang dipimpin oleh seorang laki-laki
tinggi kurus berusia empat puluh tahunan. Laki-laki ini memegang sebatang
tombak bergagang panjang, sikapnya gagah dan pakaiannya mewah.
Wajahnya
yang kurus itu kekuning-kuningan, matanya sipit namun sinarnya sangat tajam.
Sikapnya tidak sekasar para anak buahnya yang rata-rata memiliki tubuh tinggi
besar dan nampak kuat-kuat, orang-orang yang biasa mengandalkan kekasaran dan
kekerasan.
Kali ini Si
Kwi sudah siap siaga. Dengan pedang di pinggang dan sekantung Hek-tok-ting
tergantung pula di pinggang, dia menyambut kedatangan mereka di pekarangan
istana. Lima orang pelayannya, biar pun belum pandai ilmu silat, namun mereka
pun telah berdiri di serambi, berjajar dengan pedang di tangan dan hati
berdebar tegang! Sin Liong sudah bersembunyi lagi, seperti seekor monyet kini
dia memanjat genteng dan bersembunyi di wuwungan genteng istana, sambil mengintai!
Dengan kedua
tangan bertolak pinggang dan kedua kaki terpentang lebar, sikap gagah dan
tenang sekali, Si Kwi berdiri menanti kedatangan mereka. Setelah gerombolan itu
tiba di dalam pekarangan depan istana yang lebar, si kepala rampok mengangkat
tangan kiri ke atas dan anak buahnya berhenti, kemudian membuat barisan
melengkung setengah lingkaran menghadapi Si Kwi yang sama sekali tidak
bergerak, berkedip pun tidak, akan tetapi dengan pandang matanya Si Kwi sudah
mengukur dan mengira-ngira berapa orang akan dapat dirobohkan kalau sekaligus
dia menyebarkan paku-paku hitamnya!
Ditaksirnya
bahwa sedikitnya sepuluh orang akan dapat dirobohkannya dan persediaan paku di
kantungnya ada lima puluh batang lebih. Dia sama sekali tidak khawatir dan dia
menatap langsung kepada kepala perampok itu, menaksir-naksir dan menyelidiki.
Biar pun
orang itu kelihatan paling lemah tubuhnya, namun tentu merupakan orang yang
terlihai di antara mereka. Orangnya tidak tinggi besar, akan tetapi tombak di
tangannya itu kelihatan berat, tanda bahwa kepala perampok itu tentunya seorang
ahli lweekeh yang mengandalkan tenaga dalam yang kuat.
Juga, orang
yang mengandalkan ilmu tombak adalah seorang ahli silat yang sudah tinggi
ilmunya, karena ilmu tombak jauh lebih sukar dipelajari dari pada ilmu senjata
lainnya. Maka dia memandang orang itu dengan sikap hati-hati.
Si kepala
perampok juga bukan seorang yang bodoh atau ceroboh seperti anak buahnya yang
datang tiga hari yang lalu itu. Dia sudah mendengar pelaporan anak buahnya yang
berhasil menyelamatkan diri, betapa dengan seorang diri saja siluman wanita
cantik dari Istana Lembah Naga berhasil membunuh lima orang anak buahnya dengan
mudah! Maka dia pun sudah dapat menduga bahwa wanita muda cantik itu tentu
adalah seorang tokoh kang-ouw yang kenamaan.
Akan tetapi,
sesudah berhadapan kepala perampok itu merasa heran. Belum pernah dia melihat
tokoh kang-ouw seperti wanita ini, dan belum pernah pula dia mendengar tentang
seorang tokoh wanita yang buntung tangan kirinya di dunia persilatan. Dia
meragu, dan setelah melihat anak buahnya berhenti, dia lalu melangkah maju
sampai dia berhadapan dalam jarak tiga tombak dari wanita itu. Sejenak mereka
saling pandang, seperti dua ekor jago yang hendak bertarung dan saling menaksir
keadaan lawan masing-masing.
"Toanio,"
si kepala perampok akhirnya berkata, sikapnya cukup hormat, akan tetapi dia
tidak memberi hormat. "Saya adalah Coa Lok, di dunia kang-ouw terkenal
dengan julukan Sin-jio (Tombak Sakti). Bersama para pengikut saya, kami tinggal
di Padang Bangkai dan sejak setengah tahun yang lalu, boleh dibilang saya
adalah majikan Padang Bangkai."
Si Kwi
menjebikan bibirnya. "Hemm, majikan Padang Bangkai adalah mendiang Ang-bin
Ciu-kwi yang sekarang sudah mati dan setahuku, dia tidak mewariskannya kepada
siapa pun juga."
Sin-jio Coa
Lok memandang dengan alis berkerut dan mukanya yang berwarna kuning itu menjadi
agak kemerahan. Untuk mengatasi rasa tidak enak di hatinya ini dia menumbuk
tanah dengan gagang tombaknya, kemudian baru dia berkata lantang, "Memang
tidak ada yang mewariskan Padang Bangkai kepadaku, namun mendiang Ang-bin
Ciu-kwi adalah seorang sahabatku yang baik, maka kurasa sudah sepantasnya apa
bila aku melanjutkan pemeliharaan atas bekas tempat tinggalnya itu. Apakah ada
yang berkeberatan terhadap hal itu?" Pertanyaan itu mengandung tantangan
dan matanya memandang tajam kepada Si Kwi.
Kembali Si
Kwi mengeluarkan ejekan dari hidungnya. "Huh, siapa peduli tentang Padang
Bangkai tempat buruk yang terkutuk itu? Aku adalah pemilik dan penghuni Istana
Lembah Naga dan aku tidak peduli siapa yang menempati Padang Bangkai!"
Kepala
perampok itu menarik napas lega, kemudian suaranya tidak begitu lantang ketika
dia berkata lagi, "Toanio yang sudah mengenal mendiang Ang-bin Ciu-kwi,
tentu bukanlah sembarang orang dan bolehkan kami mengetahui nama dan julukan
toanio?"
"Namaku
Liong Si Kwi, orang menyebutku Ang-yan-cu, dan mendiang subo-ku adalah Hek I
Siankouw dan suhu-ku adalah Hwa Hwa Cinjin." Si Kwi yang tidak ingin
mencari perkara itu sudah sengaja menyebut nama mendiang subo-nya berikut
kekasih subo-nya untuk membikin keder hati orang itu.
Dan usahanya
memang berhasil. Kepala perampok itu terbelalak dan tercengang, tampak gentar
juga. Akan tetapi dia segera teringat bahwa tokoh-tokoh kaum sesat yang pernah
menggemparkan dunia kaum sesat itu sekarang telah mati, hanya tinggal namanya
saja, maka dia tersenyum dan berkata, "Ahh, kiranya Liong-toanio adalah
murid para locianpwe itu!"
"Kalau
engkau sudah mengenal mendiang subo dan suhu, itu baik sekali dan kuharap kau
suka pergi saja secepatnya dari sini," kata Si Kwi.
Sesungguhnya
Si Kwi sama sekali tidak merasa takut atau gentar, hanya dia segan untuk
bermusuhan. Apa lagi orang-orang ini adalah para penghuni Padang Bangkai yang
boleh dibilang merupakan tetangganya, maka hidupnya serta hidup anaknya tidak
akan menjadi tenang dan tenteram kalau dia bermusuhan dengan Padang Bangkai.
"Toanio,
sesungguhnya kami pun tidak ingin mengganggu toanio kalau saja toanio tidak
membunuh lima orang anak buah kami tiga hari yang lalu." Kepala perampok
itu mulai mengakui maksud kedatangannya, akan tetapi, dengan hati-hati dan
tidak mau sembrono setelah dia mendengar bahwa Ang-yan-cu Liong Si Kwi ini
adalah murid Hek I Siankouw.
Si Kwi
maklum bahwa kepala perampok itu telah mulai membuka kartunya. Maka dia pun
tidak berlaku sungkan lagi dan segera dia berkata dengan suara lantang,
"Sin-jio Coa Lok! Apakah engkau tidak memperoleh laporan lengkap dari anak
buahmu yang berhasil lolos dari tanganku itu? Tanyakan saja kepadanya apa yang
menyebabkan lima orang anak buahmu mati terbunuh olehku di sini!"
Wajah kepala
perampok itu menjadi merah, akan tetapi di depan anak buahnya dia tidak boleh
memperlihatkan sikap terlalu mengalah, apa lagi jeri menghadapi wanita cantik
ini. Maka dia berkata, "Liong-toanio, tentu saja aku sudah menerima
laporan, akan tetapi aku ingin mendengar keterangan dari pembunuhnya
sendiri."
"Hemmm,
begitukah? Nah, dengarlah baik-baik. Tiga hari yang lalu, di malam hari muncul
enam orang anak buahmu. Mereka muncul dan menghinaku, mengeluarkan ucapan kotor
yang tidak senonoh, kemudian mereka hendak mempergunakan kekerasan menghina aku
dan lima orang pelayanku. Coba kau jawab, tai-ong, apakah perbuatan mereka itu
tidak patut untuk dihukum mati? Apakah kini kau sengaja datang untuk membela
mereka yang sudah berani menghina aku?" Pertanyaan terakhir ini merupakan
sebuah tantangan yang tidak langsung.
Coa Lok
menoleh kepada anak buahnya dan dapat melihat betapa wajah anak buahnya
kelihatan penasaran dan marah. Dia merasa tidak enak kalau tidak memperlihatkan
sikap marah dan penuh teguran kepada wanita ini. "Liong-toanio, tentu
engkau maklum akan sikap laki-laki yang sudah lama tinggal di hutan belukar dan
jauh dari para wanita. Tentu saja aku datang bukan untuk membela kekurang
ajaran mereka, akan tetapi sebagai seorang pemimpin mereka, tentu saja aku tidak
bisa merelakan kematian mereka begitu saja, baik olehmu mau pun oleh siapa pun
juga."
"Bagus!
Lalu kau mau apa? Mau mengeroyok aku? Hayo majulah, jangan kira aku takut
menghadapi pengeroyokan semua anak buahmu!" Si Kwi sengaja mengeluarkan
gertakan ini untuk menyinggung kehormatan Sin-jio Coa Lok sebagai seorang
pemimpin perampok yang berkepandaian.
"Ho-ho-ho,
kau sungguh takabur, toanio. Aku tahu bahwa engkau lihai, akan tetapi jangan
kira bahwa engkau akan mudah mengalahkan tombakku. Bila engkau telah
membuktikan dapat mengalahkan tombakku ini, barulah aku mengakui kelihaianmu
dan akan bersedia mintakan maaf kepadamu bagi para anak buahku, kemudian untuk
selanjutnya tak akan mengganggu Istana Lembah Naga."
"Baik,
hendak kucoba bagaimana kepandaianmu, tai-ong. Dan aku pun sama sekali tidak
berniat untuk memusuhi Padang Bangkai. Akan tetapi siapa pun yang datang hendak
mengganggu kami, baik dari Padang Bangkai mau pun dari akhirat, tentu akan
kuhadapi dengan pedang di tangan!" Sesudah berkata demikian, tangan kanan
wanita itu bergerak ke pinggang.
"Singggg...!"
Nampak
cahaya menyilaukan dan pedang itu sudah dicabutnya, pedang yang berkilauan
saking tajamnya karena sejak terjadi penyerbuan, maka tiga hari yang lalu Si
Kwi sudah menyuruh pelayannya mengasah pedang itu sampai mengkilap.
"Liong-toanio!"
Coa Lok berkata sambil melintangkan tombaknya di depan dada dengan sikap gagah.
"Aku sudah berianji bahwa kalau engkau dapat mengalahkan tombakku, aku
berjanji tidak akan memperbolehkan siapa pun menggangu Istana Lembah Naga. Akan
tetapi bagaimana kalau engkau tidak mampu mengalahkan tombakku dan sebaliknya
aku mengalahkan pedangmu?"
Si Kwi
berpikir sejenak. Mereka ini adalah sebangsa perampok, gerombolan orang kasar
yang kejam. Tentu mereka akan melakukan kekerasan bila dia sampai kalah oleh
kepala perampok itu. Maka dia harus menjanjikan hal yang lebih menguntungkan
mereka untuk mencegah mereka melakukan pemerkosaan dan siksaan kalau sampai dia
benar kalah, hal yang dia anggap mustahil.
"Jika
sampai aku kalah olehmu, Sin-jio Coa Lok, aku berjanji akan pergi bersama
anakku dan para pelayanku meninggalkan tempat ini dan menyerahkan Istana Lembah
Naga ini kepadamu."
Berseri
wajah kepala perampok itu. "Bagus! Itu janji yang adil!" serunya.
Si Kwi
menjanjikan hal itu tidak terdorong oleh pikiran pendek. Wanita ini maklum
bahwa tanpa dijanjikan sekali pun, kalau sampai dia kalah bukan saja dia dan
para pelayannya akan mengalami mala petaka dan akan diperkosa, akan tetapi
mungkin anaknya akan dibunuh dan istana itu tidak urung tentu akan dikuasai
oleh mereka!
"Nah,
kita sudah saling berjanji sebagai orang-orang yang menjunjung tinggi kegagahan.
Mulailah, tai-ong!" dia menantang, pedangnya melintang depan dada, kedua
lutut ditekuk agak turun dan lengan kiri yang tidak bertangan itu menunjuk ke
samping dengan lengan dikembangkan.
"Jagalah,
toanio!" Coa Lok yang diingatkan akan kegagahan itu lalu berlagak, lebih
dahulu memperingatkan sebelum menyerang laksana sikap seorang gagah tulen,
padahal dia ini adalah kepala perampok yang biasanya tidak mempedulikan sopan
santun para pendekar persilatan! Tombaknya membuat lingkaran lebar dan ujungnya
tergetar ketika menusuk ke arah dada Si Kwi dengan kecepatan seperti kilat
menyambar.
"Hyaahhhhh...!"
kepala perampok itu membentak pada saat mata tombaknya menyambar ganas.
"Haaaaiiiitttt...!"
Si Kwi cepat mengelak dan dia terkejut juga menyaksikan betapa tombak itu
menyambar luar biasa cepatnya.
Tahulah dia
bahwa lawannya ini tidak percuma mempunyai julukan Sin-jio (Tombak Sakti) sebab
ternyata gerakan ilmu tombaknya memang amat cepat. Dia tidak hanya mengelak,
melainkan mengelak sambil mengirimkan serangan balasan, yaitu menusuk dari
samping sambil mencondongkan tubuhnya.
"Singggg...!
Tranggg...!"
Sekarang Coa
Lok yang terkejut. Tidak disangkanya bahwa wanita bertangan kiri buntung itu
dapat membalas demikian cepatnya, maka dia pun memutar tombaknya menggunakan
gagang tombak untuk menangkis tusukan pedang.
Sambil
memutar tombak di atas kepala sehingga membentuk lingkaran lebar, dia kembali
menyerang. Ujung tombaknya tergetar hingga bayangannya pecah-pecah menjadi
empat lima batang yang semuanya menyerang Si Kwi dari berbagai jurusan dan
selain itu, juga tombaknya yang tergetar itu mengeluarkan bunyi nyaring.
"Bagus...!"
Si Kwi memuji karena memang dia sangat kagum menyaksikan ilmu tombak yang
dahsyat ini.
Dia pun
tidak mau membiarkan dirinya terancam bahaya. Maklum akan kehebatan ilmu tombak
lawan, dia kemudian mengeluarkan suara melengking nyaring dan dia memutar
pedangnya lantas mainkan ilmu pedangnya yang sangat hebat. Itulah ilmu pedang
yang berdasarkan ilmu Im-yang-lian-hoan-kun.
Ilmu ini
sebenarnya adalah gabungan dari ilmu Hwa Hwa Cinjin dan Hek I Siankouw. Ilmu
yang biasanya dimainkan oleh dua orang kakek dan nenek itu merupakan ilmu
pasangan yang amat tangguh. Akan tetapi kakek dan nenek itu telah menciptakan
ilmu gabungan ini menjadi semacam ilmu silat yang disarikan dari penggabungan
itu sehingga ilmu yang berdasarkan percampuran sifat Im dan Yang ini dapat
dimainkan dengan tangan kosong mau pun dengan senjata, terutama senjata pedang.
"Ehhh...!"
Coa Lok terkejut bukan main ketika melihat sinar berkilauan, bergulung-gulung,
seperti seekor naga yang bermain-main di angkasa itu. Sinar yang
bergulung-gulung itu kini menggulung sinar tombaknya, merupakan benteng sinar
yang mencegah tombaknya menembus namun di lain fihak dari gulungan sinar itu
mencuat sinar-sinar ujung pedang yang menyerangnya secara bertubi dan amat
berbahaya.
Sesudah
mengerahkan ginkang-nya dan mendesak kepala perampok itu, mengertilah Si Kwi
bahwa tingkat kepandaian perampok ini memang sudah cukup tinggi, bahkan tenaga
sinkang-nya juga sudah cukup kuat sehingga dia hanya dapat mengandalkan
ginkang-nya saja yang masih melebihi lawan, sehingga jika dia mau, tentu dia
dapat merobohkan dan menewaskan kepala perampok itu.
Akan tetapi
dia mengerti bahwa hal itu amatlah tidak baik. Kecuali kalau dia berkeinginan
menundukkan para perampok itu untuk merampas kedudukan kepala dari Coa Lok.
Akan tetapi dia tidak ingin mengepalai para perampok ini, apa lagi menguasai
Padang Bangkai. Dia harus berbaik dengan mereka dan menaklukkan mereka tanpa
membunuh sehingga dia akan memiliki tetangga yang boleh diandalkan bantuannya
kalau dia memerlukannya.
Akan tetapi,
oleh karena di dalam hal ilmu silat dan tenaga dia tidak menang banyak, dan dia
hanya mengandalkan ginkang-nya, maka tidaklah mudah baginya untuk merobohkan
lawan tanpa melukainya. Karena itu dia lalu menggunakan akal.
Tiba-tiba
dia mengeluarkan teriakan nyaring dan tubuhnya yang bergerak cepat sekali ltu
sudah mencelat ke belakang, berjungkir balik dan terdengar dia berseru,
"Tai-ong, awas paku!"
Sin-jio Coa
Lok sudah mendengar dari pelaporan seorang anak buahnya yang berhasil lolos
dari tangan maut Si Kwi bahwa wanita ini mahir sekali menggunakan senjata
dengan melontarkannya, maka dia terkejut dan siap-siap. Akan tetapi, tiba-tiba
saja ada tiga sinar menyambar dari tangan Si Kwi yang telah menyimpan pedangnya
dan telah menggunakan tiga batang paku untuk menyerang. Tiga batang paku itu
meyambar ke arah tangan kanan lawan, dan yang dua menyambar ke arah kedua
kakinya.
Sin-jio Coa
Lok terkejut sekali dan cepat meloncat ke atas sambil memutar tombaknya. Dua
batang paku dapat dielakkannya dan yang sebatang lagi dapat ditangkisnya dengan
gagang tombak, akan tetapi dengan kecepatan kilat, menyusul paku-pakunya tadi,
Si Kwi telah menerjang lagi dengan pedangnya secara hebat sekali.
"Trang-cringgg...!
Plakkk!"
Dua kali
pedangnya berhasil ditangkis oleh Coa Lok yang sudah terhuyung, akan tetapi
sebuah tendangan kilat dari kaki kiri Si Kwi secara tepat mengenai lutut kaki
kanan kepala perampok itu hingga tanpa dapat ditahannya lagi dia jatuh berlutut
dengan kaki kanannya.
Tubuh Si Kwi
berkelebat, tombak menyambar tetapi Si Kwi langsung menendang gagang tombak,
sehingga serangan tombak menyeleweng ke samping dan sebelum Coa Lok bisa
mengulangi serangan sambil berlutut itu, pedang di tangan Si Kwi telah menempel
pada lehernya dari belakang!
"Sin-jio
Coa Lok, engkau terlambat!" kata Si Kwi, akan tetapi dia lalu meloncat
lagi ke belakang dan menyimpan pedangnya.
Wajah
Sin-jio Coa Lok berubah pucat, lalu menjadi merah sekali dan dia bangkit
berdiri, menyeringai dan mengurut-urut lututnya yang tadi kena tendang,
kemudian menancapkan tombaknya di atas tanah di hadapannya. Dia maklum bahwa
sudah jelas wanita itu tadi memperoleh kemenangan dan jika wanita itu
menghendaki, tentu dia sudah menggeletak tak bernyawa lagi. Maka, dia lalu
menjura dan berkata,
"Liong-toanio,
sungguh engkau amat gagah perkasa. Aku Sin-jio Coa Lok mengaku kalah dan aku
berjanji tak akan mengganggu lagi Istana Lembah Naga, bahkan siapa pun orang
luar yang berani memasuki daerah Lembah Naga, sebelum bertemu dengan toanio
akan berhadapan lebih dulu dengan tombakku."
Si Kwi
tersenyum dengan hati girang sekali. Dia telah menaklukkan orang-orang kasar
ini. Maka dia pun balas menjura. "Tai-ong terlalu merendah. Ilmumu sangat
hebat dan kalau tidak mengandalkan Hek-tok-ting, belum tentu aku dapat menang.
Kita adalah tetangga dan sudah sepatutnya kalau kita berbaikan. Maafkan tentang
peristiwa tiga hari yang lalu, tai-ong, karena hal itu terjadi karena salah
paham."
"Toanio
baik sekali, gagah sekali, maafkan kami." Sin-jio Coa Lok lalu
terpincang-pincang meninggalkan tempat itu sambil menyeret tombaknya sesudah
memberi isyarat kepada para anak buahnya.
Para
perampok itu memandang kepada Si Kwi dengan penuh rasa kagum. Mereka juga
membungkuk sebagai tanda penghormatan terhadap wanita lihai itu, lalu mereka
semua pergi mengikuti kepala mereka.
Si Kwi
memang cerdik sekali. Dia telah berhasil menundukkan hati para perampok yang
ganas itu. Mula-mula dia memperlihatkan kelihaiannya dan juga kekejamannya yang
tidak mengenal ampun ketika dia membunuhi para perampok yang berani menyerbu ke
istana. Kemudian, pada saat kepala perampok datang bersama anak buahnya, dia
mengalahkan kepala perampok tanpa membunuhnya! Sekaligus dia sudah
memperlihatkan bahwa dia berbahaya namun juga pengampun kalau tidak diganggu!
Dan kepala
perampok yang berjuluk Sin-jio (Tombak Sakti) itu benar-benar merasa takluk dan
tunduk, sehingga dia segera melupakan kematian lima anak buahnya karena dengan
kepandaiannya, kalau wanita yang buntung tangan kirinya itu pun telah
mengampuninya, dan dia tahu kalau wanita itu menghendaki tentu dia tadi akan
dapat dibunuhnya dengan mudah! Hal ini sekaligus mendatangkan rasa takluk,
segan dan hormat di dalam hatinya sehingga semua hal ini tentu saja merupakan
keuntungan besar bagi Si Kwi.
Keadaan di
dalam istana itu penuh dengan harta yang besar sehingga Si Kwi dapat hidup
mewah dan cukup terjamin. Sekarang wanita ini tampak penuh gairah hidup,
gembira dan bersemangat, kelihatan cantik serta selalu berpakaian indah serba
merah. Dia kini lebih tekun melatih diri bersama lima orang pelayannya, dan
hanya kadang-kadang saja wanita ini duduk melamun seorang diri dengan hati
penuh kerinduan. Rindu kepada Bun Houw dan rindu kepada cinta kasih seorang
pria!
Hanya Sin
Liong seorang yang menjadi penghiburnya, akan tetapi anak ini masih senang
bermain-main dengan para monyet besar. Si Kwi tidak melarangnya, karena dia
maklum bahwa kalau dia melarang, terdapat bahaya bahwa dia akan kehilangan
kasih sayang anak itu yang mulai diperlihatkan terhadap dirinya. Demikianlah,
biar pun hidup di tempat terasing, namun Si Kwi merasa cukup bergembira.
***************
Di kaki
Pegunungan Khing-an-san sebelah selatan itu terdapat sebuah dusun yang cukup
besar dan ramai. Selama beberapa tahun ini dusun itu mengalami kemajuan, yaitu
setelah para penghuninya mengusahakan rempah-rempah dan daun atau akar obat
yang banyak tumbuh di sekitar kaki gunung itu. Setelah mendapat kenyataan bahwa
kota-kota besar amat membutuhkan barang-barang itu, maka semua penghuni dusun
Pek-hwa-cung lalu beramai-ramai menanam dan memelihara tanaman-tanaman berharga
itu.
Tempat yang
ramai dan makmur senantiasa menarik perhatian orang, Pek-hwa-cung juga
demikian. Mendengar betapa dusun itu sangat ramai dan mencari penghasilan di
daerah itu mudah sekali dibandingkan dengan daerah lain, maka banyaklah
penduduk-penduduk baru berdatangan dari lain daerah, sehingga dusun itu menjadi
makin besar dan ramai.
Akan tetapi,
Bhe Coan bukanlah penghuni baru di dusun itu. Dia terhitung penghuni lama
karena ayahnya yang sudah meninggal merupakan seorang di antara para pembangun
atau penemu tempat itu dan sejak kecil dia tinggal di Pek-hwa-cung. Seperti
mendiang ayahnya, Bhe Coan juga merupakan seorang pandai besi yang ahli dan
pandai.
Boleh
dibilang segala keperluan penduduk Pek-hwa-cung yang terbuat dari besi adalah
buatan orang she Bhe ini. Akan tetapi, apa bila keahlian Bhe Coang hanyalah
membuat alat-alat besi saja, agaknya namanya tidak akan terkenal dan dia tentu
hanya menjadi seorang pandai besi biasa saja yang banyak terdapat di dunia ini.
Tidak, Bhe
Coan bukanlah pandai besi biasa dan dia memiliki suatu keahlian lain dalam
menggembleng dan membentuk baja, keahlian yang tidak dimiliki oleh ayahnya dan
yang dia pelajari dari seorang sakti yang kebetulan pada suatu waktu lewat di
Pek-hwa-cung kemudian mengajarkan kepandaian itu kepada Bhe Coan. Kepandaian
itu adalah keahlian membuat senjata, khususnya senjata pedang.
Pedang buatan
Bhe Coan mempunyai bentuk yang sangat indah dan yang lebih penting lagi,
memiliki berat yang seimbang antara gagang dan mata pedang sehingga enak sekali
dipakai. Selain itu, juga pandai besi ini memilih bahan pedang yang sangat
baik.
Ilmu ini
merupakan kepandaian istimewa yang tidak mudah ditiru orang hingga membuat
namanya menjadi terkenal di dunia kang-ouw, sungguh pun Bhe Coan bukan seorang
ahli silat yang pandai, namun seorang pandai besi yang bertubuh kuat, berwatak
keras dan jujur. Dan mengenal ilmu silat karena dia pernah mempelajarinya,
walau pun tidak secara mendalam.
Ketenarannya
di dunia kang-ouw bukan karena ilmu silatnya tetapi karena kepandaiannya
membuat pedang itulah. Banyak sudah tokoh-tokoh kang-ouw yang mengunjunginya
dan minta dibuatkan pedang. Mereka berani membayar berapa pun juga sehingga Bhe
Coan tak kekurangan penghasilan dan di dalam dusun Pek-hwa-cong dia pun
terkenal sebagai orang yang cukup mampu karena penghasilannya membuat
pedang-pedang itu. Bahkan dia mengenal banyak tokoh kang-ouw yang semua, baik
dari golongan hitam mau pun putih, datang minta dibuatkan pedang olehnya.
Akan tetapi,
bila dalam pekerjaannya pandai besi ini dapat dikatakan berhasil, sebaliknya
dalam kehidupan rumah tangganya dia tertimpa nasib buruk. Kurang lebih dua
tahun yang lalu isterinya meninggal dunia ketika melahirkan anaknya yang
pertama.
Pandai besi
ini menikah ketika dia berusia tiga puluh lima tahun, menikah dengan seorang
gadis Pek-hwa-cung juga, seorang gadis petani biasa yang sederhana. Setelah
tiga tahun menikah, barulah isterinya mengandung. Akan tetapi, pada dua tahun
yang lalu, isterinya itu meninggal dunia ketika melahirkan seorang bayi
perempuan!
Bhe Coan
yang amat mencinta isterinya, hampir gila oleh kedukaan. Kalau pada waktu itu
tidak terdapat banyak orang, yaitu para tetangganya, mungkin saja anak
perempuan yang terlahir selamat itu akan dibanting serta dibunuhnya karena dia
menganggap anak itulah yang menyebabkan kematian isterinya tercinta!
Para
tetangga mengingatkan dia dan akhirnya dia sadar, walau pun sukar baginya untuk
mengatasi kesedihannya akibat ditinggal mati oleh isterinya yang tercinta itu.
Selanjutnya dia hidup menduda dan memanggil seorang inang pengasuh untuk
merawat dan menjaga anaknya yang diberi nama Bhe Bi Cu.
Seperti kita
ketahui, dusun Pek-hwa-cung yang makin makmur itu menarik banyak sekali
penghuni baru. Kemudian, beberapa bulan semenjak kematian isteri Bhe Coan, di
dusun Pek-hwa-cung itu datanglah seorang janda muda yang cantik manis dan
bersikap genit.
Janda muda
ini telah tiga tahun ditinggal mati suaminya, tanpa anak dan usianya baru tiga
puluh tahun. Wajahnya memang manis dan sikapnya juga menarik. Dia tinggal
bersama ibunya yang sudah tua di dusun Pek-hwa-cung. Karena janda ini pandai
menyulam dan menjahit, sungguh pun sebagai penghuni baru dia segera dapat
bekerja dan memperoleh penghasilan yang cukup lumayan dari hasil menjahit
pakaian di dusun yang mulai maju itu.
Banyak pria
di Pek-hwa-cung yang terpikat oleh kecantikan janda muda itu dan di antara
mereka yang terpikat, termasuk pula Bhe Coan! Karena keadaan pandai besi ini
cukup mampu, juga dia merupakan seorang duda yang baru satu tahun ditinggal
mati isterinya, maka menanglah Bhe Coan dalam persaingan itu dan pada suatu
hari, secara resmi dia memboyong janda itu menjadi isterinya!
Dan ternyata
bahwa janda itu sangat pandai dalam merayu hati pria sehingga terobatlah
kedukaan Bhe Coan ditinggal mati isterinya dan dalam waktu beberapa bulan saja
dia pun jatuh bertekuk lutut di depan kaki isterinya! Karena dia tergila-gila,
maka dia menurut saja ketika isterinya minta kepadanya agar Bhe Bi Cu, anak perempuannya
yang baru berusia setahun itu, disingkirkan dari dalam rumah.
"Suamiku,
kalau engkau menghendaki agar hubungan cinta kasih di antara kita lancar dan
bersih dari gangguan, sebaiknya kalau Bi Cu itu kau serahkan kepada orang lain
supaya dirawatnya, jangan dirawat di dalam rumah ini. Kalau dia masih di sini,
mana mungkin aku melupakan bahwa engkau bukanlah milikku sepenuhnya, akan
tetapi masih ada ikatan dengan mendiang isterimu? Ingat, aku sendiri telah
bebas dan terlepas sama sekali dari mendiang suamiku yang tidak meninggalkan
apa-apa untuk diingat."
Bhe Coan
adalah seorang pandai besi yang kasar dan jujur, dan karena ini agaknya dia
seperti seorang yang bodoh. Dia menganggap bahwa pendapat isterinya itu benar
belaka maka akhirnya, sesudah memilih-milih, dia lalu menyerahkan Bhe Bi Cu
kepada seorang piauwsu (pengawal barang berharga) yang dikenalnya dengan baik.
Piauwsu ini adalah seorang kepala piauwsu yang terkenal di kota Shen-yang di
Propinsi Liao-ning dan dia terkenal sebagai pengawal barang-barang yang sering
kali keluar masuk batas propinsi di utara, keluar atau masuk daerah propinsi
itu.
Piauwsu itu
bernama Na Ceng Han dan sudah lama mengenal Bhe Coan karena pandai besi inilah
yang selalu dipesannya membuatkan pedang untuk dia sendiri dan para anak
buahnya, bahkan Na-piauwsu itu pernah pula membawa bahan baja yang luar biasa,
yang didapatnya di daerah suku liar di utara, kemudian baja murni yang
mengeluarkan sinar ini dijadikan sebatang pedang oleh Bhe Coan yang kemudian
menjadi pedang kesayangan Na-piauwsu.
Ketika pada
suatu hari Na-piauwsu lewat di dusun Pek-hwa-cung dan mengunjungi Bhe Coan,
maka pandai besi ini kemudian memilihnya sebagai ayah angkat Bhe Bi Cu, dan
kebetulan sekali bahwa Na-piauwsu memang sudah lama ingin mempunyai seorang
anak perempuan. Dia hanya memiliki seorang anak laki-laki saja, anak tunggal
yang kini telah berusia empat tahun. Karena itu saat dia ditawari oleh
sahabatnya itu untuk menjadi ayah angkat dan merawat Si Cu, dia menjadi girang
bukan main. Dia mengerti akan keadaan Bhe Coan yang baru saja menikah dengan
janda cantik itu.
Na Ceng Han
adalah orang kang-ouw yang sudah banyak pengalaman, dan dia memiliki pandangan
yang amat bijaksana. Andai kata sahabatnya itu belum menikah dengan janda itu,
tentu dia dapat memberi nasehatnya. Akan tetapi, Bhe Coan telah menjadi suami
isteri dengan wanita itu, maka dia tidak dapat berkata apa-apa lagi.
Ia maklum
bahwa kehadiran anak perempuan itu hanya akan menjadi bahan percekcokan antara
suami isteri itu yang akhirnya akan membuat Bhe Coan merasa tersiksa hidupnya.
Di samping ini, juga dia suka sekali melihat Bi Cu yang sehat dan mungil,
karena itu dia menerimanya dan anak perempuan berusia setahun lebih itu
dibawanya pulang ke kota Shen-yang.
***************
Seperti juga
semua orang Han yang meninggalkan kampung halaman dan merantau jauh di luar
tembok besar, seperti keturunan Bhe Coan yang sudah dua keturunan tinggal di
luar tembok besar, tentu saja Bhe Coan juga merasa rindu untuk kembali ke
selatan dan sebelum isteri pertamanya meninggal, dia pun sudah memiliki
cita-cita untuk memboyong keluarganya itu ke sebelah dalam tembok besar apa
bila dia sudah cukup mengumpulkan uang, karena kehidupan di selatan tidaklah
mudah.
Akan tetapi,
setelah dia menikah dengan janda manis itu, harapannya ini membuyar. Isteri
barunya itu sama sekali tidak setuju untuk pergi ke selatan. Berbeda dengan Bhe
Coan, isterinya itu merupakan seorang peranakan Mancu sehingga sudah menganggap
daerah Pegunungan Khing-an-san sebagai kampung halamannya sendiri, bahkan
daerah selatan di sebelah dalam tembok besar merupakan daerah asing baginya.
Betapa pun
juga, isterinya itu bersikap manis kepadanya sehingga dia terhibur juga dan
biar pun isteri barunya itu belum juga kelihatan mengandung setelah satu tahun
menjadi isterinya akan tetapi dia merasa cukup gembira, hidup rukun dengan
isterinya yang cantik dan merasa dirinya cukup berbahagia. Bahkan sekarang
isterinya merupakan pendorong baginya untuk bekerja lebih giat, karena
isterinya yang baru ini selalu ingin memajukan keadaan mereka, memperbaiki
rumah, membeli beberapa perabot baru dan sebagainya. Dorongan ini membuat Bhe
Coan bersemangat sekali, bekerja mulai pagi sampai sore tanpa mengenal lelah,
dan malamnya menikmati pelayanan isterinya yang kelihatan amat mencintainya.
Pada suatu
hari, selagi Bhe Coan sibuk di dalam dapur kerjanya, menempa besi untuk
dibuatnya menjadi tapal kuda memenuhi pesanan para pemilik kuda di dusun itu,
muncul seorang laki-laki di pekarangan rumahnya. Pada saat itu pula kebetulan
isteri Bhe Coan berada di luar, maka ketika melihat ada seorang pria memasuki
pekarangan rumahnya, dia mengangkat muka memperhatikan dan hampir saja kain
yang sedang disulamnya itu terlepas dari pegangannya. Jantungnya berdebar dan
kedua pipinya menjadi kemerahan, sepasang matanya memandang wajah yang tampan
itu penuh kagum.
Yang datang
itu adalah seorang laki-laki berusia kurang lebih tiga puluh tahun, berwajah
tampan dan berlenggang dengan lagak sopan santun akan tetapi gagah dan agung,
lagak seorang sasterawan atau seorang kongcu golongan atas! Laki-laki itu
memiliki wajah yang manis, sepasang matanya tajam bersinar-sinar, dan mulutnya
selalu tersenyum, senyum penuh pikatan, senyum seorang lelaki yang bisa
menundukkan hati wanita, seorang pria petualang asmara!
Pakaiannya
indah dan rapi sekali, pakaian seorang kongcu yang terpelajar atau seorang
putera hartawan, dari kain sutera yang halus dan baru, demikian pula sepatunya masih
baru, biar pun waktu itu sepatu dan jubahnya tertutup debu, tanda bahwa dia
melakukan perjalanan jauh. Tangan kirinya memegang kendali seekor kuda yang
juga kelihatan telah kelelahan, kuda besar pilihan, kuda yang baik dan mahal
pula.
Isteri dari
Bhe Coan cepat sadar akan keadaannya dan menurut sepantasnya, dia harus cepat
menyembunyikan diri. Akan tetapi tadi dia terlongong kagum, maka dia terlambat
dan kini pria itu telah berdiri di depannya, menjura penuh hormat dan dengan
senyum di bibir dan lirikan mata penuh daya pikat seperti biasa dilakukannya
kalau dia berhadapan dengan seorang wanita, apa lagi kalau wanita itu muda lagi
cantik seperti Leng Ci, isteri dari Bhe Coan itu.
"Nona,
harap sudi memaafkan saya kalau saya berani lancang memasuki pekarangan rumah
nona. Akan tetapi, saya seorang dari luar daerah ini, datang dari jauh dan
tidak mengenal tempat ini. Kalau boleh saya bertanya, benarkah di sini tempat
tinggal saudara Bhe Coan, pandai besi ahli pembuat pedang yang terkenal
itu?"
Suara pria muda
itu halus, tutur sapanya sopan dan sikapnya ramah sehingga seketika itu juga
hati Leng Ci, nyonya Bhe Coan itu terpikat dan dengan suara gemetar dia
menjawab tanpa berani mengangkat muka, menunduk akan tetapi kadang-kadang kedua
matanya yang tajam mengerling dari bawah.
"Benar,
kongcu, di sini rumah Bhe Coan..." Suaranya merdu dan lirih, agak gemetar
dan tersendat karena jantungnya telah berdegup kencang.
"Ahh...
sungguh beruntung sekali saya! Tadi saya mendengar bunyi dencing gemblengan
besi di landasan, maka secara untung-untungan saya masuk ke sini. Kiranya
benar! Aht nona yang baik, bolehkah saya bertemu dengan dia? Apakah nona ini
puterinya?"
Leng Ci
tersenyum, senyum simpul yang manis dan tangannya segera menutupi mulut,
matanya menyambar seperti gunting tajam lalu terdengar dia menahan kekehnya
secara genit. "Hi-hi-hik... saya bukan anaknya, melainkan isterinya...
hi-hik."
"Apa...?"
Pemuda sasterawan itu membelalakkan matanya dengan lebar seolah-olah dia
mendengar berita tentang sesuatu yang luar biasa dan amat mengherankan.
"Nona... eh, nyonya tidak main-main?"
"Kenapa?"
Leng Ci bertanya, kini lebih berani dan tidak lagi menutupi mulutnya sehingga
mulut yang tersenyum lebar itu memperlihatkan kilauan gigi yang berderet rapi.
"Sungguh
mati siapa dapat menduganya? Kouw-nio... eh, toanio sungguh kelihatan masih
sangat muda... dan saya mendengar... ehh, maaf, saudara Bhe Coan itu sudah
berusia hampir empat puluh tahun dan toanio masih kelihatan amat muda...
maaf..."
Bukan main
senangnya hati Leng Ci mendengar ini. Tidak ada pujian lainnya yang lebih
mendebarkan jantung seorang wanita dari pada dikatakan masih kelihatan muda,
apa lagi kalau cara mengatakannya seperti pemuda sasterawan ini!
"Ahhh,
kongcu terlalu memuji..." katanya tersipu-sipu, kedua pipinya menjadi
kemerahan menambah kemanisannya. "Suami saya memang sudah berusia hampir
empat puluh, akan tetapi saya pun sudah... ehhh, hampir tiga puluh
tahun..."
"Ahhh...!
Siapa dapat percaya? Menurut pandangan saya, toanio tidak akan lebih dari dua
puluh tahun, atau jauh kurang dari itu!"
Jantung
nyonya itu semakin berdebar, akan tetapi dia khawatir kalau-kalau percakapan
yang tidak semestinya itu akan terdengar orang lain, maka dia lalu cepat-cepat
berkata, "Kongcu hendak bertemu dengan suami saya?"
"Benar,
toanio. Saya bernama Hok Boan she Kui. Saya datang jauh dari selatan dan
sengaja mencari suami nyonya untuk memesan pedang yang baik. Berapa pun
harganya akan saya bayar, karena saya mendengar dari teman-teman bahwa suami
nyonya adalah seorang ahli membuat pedang yang pandai. Dan melihat...
ehh..." di sini dia menyambung kata-katanya dengan suara berbisik
"...melihat nyonya sebagai isterinya, maka saya tidak ragu-ragu lagi akan
kepandaiannya, dia pandai sekali memilih..."
Ucapan itu
sudah melewati batas pujian dan sepasang mata Leng Ci mengeluarkan sinar marah.
Dia mengangkat muka memandang wajah pria itu, siap untuk memaki, akan tetapi
melihat wajah itu, melihat sinar mata yang seolah-olah membelainya, senyum yang
penuh pikatan dan tantangan itu, hatinya luluh dan dia menunduk kembali.
"Dia
sedang bekerja di dapur, harap kongcu langsung saja masuk ke sana melalui jalan
samping. Silakan." Setelah berkata demikian, Leng Ci lalu memasuki
rumahnya.
Ia langsung
memasuki kamarnya dan menuju ke depan cermin untuk memeriksa keadaan wajah dan
bentuk tubuhnya yang baru saja mendapat pujian secara tak langsung namun amat
menyenangkan hatinya itu, pujian dari seorang pemuda yang amat menarik hatinya.
Dia tersenyum-senyum melihat wajahnya kemerahan dan berseri, matanya
bersinar-sinar dan otomatis tangannya menyentuh dadanya yang membusung untuk
merasakan debar jantungnya yang membuat dadanya tergetar.
Sementara
itu, sambil tersenyum sasterawan itu mengikuti langkah nyonya muda yang memasuki
rumah itu dengan sinar mata penuh kekaguman, melihat betapa buah pinggul itu
bergerak-gerak membayang di balik pakaian ketika nyonya itu memasuki rumah.
Tentu saja
sejak pertama kali bertemu dia sudah tahu bahwa yang berdiri di depannya itu
adalah seorang wanita muda yang usianya sudah kurang lebih tiga puluh tahun,
wanita yang sudah matang. Tentu saja dia juga tidak ragu-ragu lagi bahwa wanita
itu bukanlah seorang gadis dan dia tidak heran mendengar bahwa wanita manis itu
adalah isteri ahli pembuat pedang Bhe Coan. Akan tetapi, kebiasaan membuat dia
bersikap seperti tadi, sikap yang selalu memikat hati wanita mana pun yang
dijumpainya, terutama kalau wanita itu muda dan manis seperti Leng Ci.
Sesudah
mengikat kendali kudanya pada batang pohon yang tumbuh di depan rumah pandai
besi itu, sasterawan muda yang bernama Kui Hok Boan itu sambil tersenyum lalu
melangkah memasuki pintu di samping rumah dari mana terdengar suara berdentang
dan berdencingnya besi bertemu besi.
Ketika dia
melangkah memasuki pintu pekarangan samping, tiba-tiba suara berdencing itu
berhenti, dan pada saat dia memasuki pintu dapur di mana suara itu tadi
terdengar, dia melihat seorang lelaki yang hanya memakai celana hitam tanpa
baju, muka dan dadanya belepotan angus, bangkit berdiri dari sebuah bangku yang
kotor oleh bubuk besi. Tampak olehnya nyonya rumah yang manis tadi baru saja
meninggalkan tempat kerja pandai besi itu, memasuki pintu samping rumah tetapi
sempat melempar kerling dari sudut matanya yang menunduk.
Karena
pandai besi itu sudah berdiri dan memandangnya, Kui Hok Boan membungkuk memberi
hormat kepada nyonya rumah yang lewat, dengan sikap sopan sekali dan muka
tunduk, sedikit pun tidak mengerling kepada wanita yang manis itu. Kemudian,
sesudah wanita itu lenyap di balik pintu, dia mengangkat muka dan menghampiri
pandai besi itu.
Mereka
saling berhadapan, seorang sasterawan muda yang tampan dan bersikap halus,
dengan seorang pandai besi yang bertubuh kuat berotot dan bertelanjang baju.
Keadaan mereka sungguh jauh berbeda, bahkan merupakan kebalikan, maka tidak
mengherankan kalau Leng Ci tadi begitu tertarik melihat pemuda sasterawan itu.
Sejenak Bhe
Coan hanya tercengang. Biasanya, mereka yang datang mencarinya untuk memesan
pedang adalah orang-orang kang-ouw yang kasar, atau tokoh yang aneh, para
piauwsu, para kauwsu (guru silat), atau perwira-perwira dan bahkan ada pula
utusan dari pembesar-pembesar. Akan tetapi belum pernah ada seorang sasterawan
yang memesan pedang!
Umumnya,
sepanjang pengetahuannya, sasterawan biasa memegang kertas dan pensil untuk
menulis, suling atau yangkim untuk bermain musik, atau kuas untuk melukis, sama
sekali bukan pedang. Karena itu dia tercengang dan hanya memandang bengong
kepada sasterawan yang bersikap sopan dan berwajah terang berseri itu.
Kui Hok Boan
agaknya maklum akan keheranan tuan rumah, maka dia cepat melangkah maju dan
menjura dengan hormat. "Tadi saya sudah diperkenankan oleh nyonya rumah
yang terhormat untuk masuk ke dapur pekerjaan ini. Benarkah saya berhadapan
dengan saudara Bhe Coan, ahli pembuat pedang yang terkenal sampai ke dalam
tembok besar?"
Sepasang
mata pandai besi itu bersinar, tanda bahwa kata-kata pemuda sasterawan itu
berkenan di hatinya. Dia pun merasa terheran. Biasanya, orang-orang yang kaya, atau
berkedudukan, atau berkepandaian seperti para sasterawan bersikap angkuh dan
merasa lebih tinggi dari pada orang-orang kasar seperti dia, tetapi pemuda ini
sungguh bersikap sopan dan menyenangkan sekali.
"Ahh,
kongcu terlalu memuji. Silakan duduk... ahh, akan tetapi bangkunya kotor,
khawatir akan mengotorkan pakaian kongcu saja..."
Kui Hok Boan
tersenyum lebar, nampak giginya yang putih bersih. "Bhe-twako, ternyata
twako adalah seorang yang ramah dan gagah. Terimalah salam hormat saya, saya
Kui Hok Boan, dari kota Shen-yang..."
"Ahhh...!"
wajah pandai besi itu kelihatan berseri mendengar disebutnya kota ini, dan dia
cepat bertanya. "Dari Shen-yang? Apakah kongcu mengenal piauwsu yang juga
tinggal di Shen-yang?"
Pemuda she
Kui itu mengerutkan alisnya. Tentu saja dia tahu siapa yang dimaksudkan itu.
Nama Na Ceng Han cukup terkenal di Shen-yang. Akan tetapi sebagai seorang yang
cerdik sekali, pemuda ini tak segera menjawab, melainkan memperlihatkan wajah
seperti orang kaget dan heran kemudian balik dia bertanya,
"Ada
hubungan apakah Bhe-twako dengan Na-piauwsu?"
"Hubungan
baik sekali!" Bhe Coan berkata sambil mengangguk. Dia memang orang jujur
yang tidak pernah mau menyimpan rahasia apa pun. "Dialah sahabat baik saya
nomor satu! Bahkan anakku satu-satunya menjadi anak angkat dari Na-piauwsu.
Apakah kongcu mengenalnya?"
Wajah
sasterawan muda itu berseri dan dia tersenyum, lalu mengangkat kedua tangan
kembali menghormat kepada pandai besi itu. "Aihhh, kiranya twako adalah
sahabat baik piauwsu Na Ceng Han yang terhormat itu? Tentu saja saya
mengenalnya, twako. Saya kagum kepada piauwsu yang gagah perkasa itu!"
Wajah pandai
besi itu makin berseri dan dia melangkah maju, memegang kedua tangan sasterawan
itu. "Kui-kongu, saya gembira sekali mendengar ini! Apakah kongcu pernah
melihat seorang anak perempuan yang kira-kira berusia dua tahun di rumah
piauwsu itu? Bagaimana keadaan anak itu?"
Sebagai
seorang yang amat cerdik Kui Hok Boan tidak lama-lama menjawab. Dia lantas
tersenyum dan dengan wajah gembira, dia berkata, "Bulan yang lalu saya
mengunjungi Na-piauwsu dan memang saya melihat ada seorang anak perempuan
kecil, dipangku dan ditimang-timang oleh Na-piauwsu. Bukankah anak itu manis,
mungil dan montok sekali?"
Bhe Coan
mengangguk-angguk. "Benar... benar... itulah dia anak saya, itulah Bi Cu
anak saya..." Suaranya terdengar agak tergetar karena keharuan dan
kegirangan hatinya ketika mendengar bahwa anaknya sehat dan selamat. Dia tidak
ingat bahwa sudah tentu saja anak perempuan kecil semua juga manis, mungil dan
montok kalau anak itu sehat!
"Kiranya
anak itu anak twako? Ahh, selamat, twako. Anak twako begitu manis!"
"Ha-ha-ha-ha,
Thian agaknya mengutus kongcu untuk datang dan menyampaikan berita
menggirangkan itu kepada saya! Ahhh, kongcu, marilah kita duduk di dalam dan
bicara. Kongcu adalah seorang tamu agung bagi saya, tamu yang membawa berita
baik sekali. Marilah, kongcu, eh... saya akan mencuci tangan dulu..."
Pandai besi itu menghampiri bak air dan mencuci muka dan kedua tangannya
sebelum memakai bajunya yang juga hitam kotor.
Dengan wajah
gembira dan sikap ramah dan wajar, Bhe Coan lalu menggandeng lengan tamunya,
dibawa masuk ke dalam rumah. Isterinya menyambut mereka dengan wajah berseri
akan tetapi pandang matanya agak terheran melihat tamu yang tampan itu oleh
suaminya digandeng dan diajak memasuki rumah.
"Kui-kongcu,
perkenalkan, ini adalah isteri saya. Ahh, tadi kongcu telah bertemu dengan dia,
bukan? Isteriku, ini adalah kongcu Kui Hok Boan dari kota Shen-yang. Dia
membawa berita baik sekali tentang Bi Cu. Anak kita itu selamat dan
sehat."
Kui Hok Boan
cepat-cepat menjura dan mengangkat kedua tangan di depan dada sambil
menundukkan mukanya dan berkata kepada nyonya muda. itu, "Twaso, maafkan
kalau saya mengganggu."
Wajah nyonya
muda itu berseri, kedua pipinya berubah merah dan dia pun cepat-cepat balas
menjura sambil berkata, "Kongcu adalah sahabat dan tamu suami saya, tentu
saja tidak mengganggu."
"Ha-ha-ha,
isteriku yang baik, lekas kau sediakan masakan dan arak. Kita harus menjamu
Kui-kongcu!" kata pandai besi itu.
Leng Ci
bergegas pergi meninggalkan mereka, memasuki dapur dan segera sibuk dengan
persiapan hidangan. Dia pun merasa gembira sekali dan wajahnya selalu berseri,
bibirnya tersenyum dan matanya termenung.
Bhe Coan
duduk menghadapi meja dan tamunya duduk di seberangnya. Pandai besi itu
menghujankan pertanyaan kepada Kui Hok Boan tentang anaknya di Shen-yang,
tentang keadaaan dan keluarga Na Ceng Han, tentang kota Shen-yang dan tentang tokoh-tokoh
yang dikenalnya ketika mereka memesan pedang kepadanya.
Ternyata Kui
Hok Boan memiliki pengetahuan yang amat luas. Pemuda ini pandai sekali
berbicara sehingga sebentar saja Bhe Coan yang jujur dan bodoh itu merasa amat
tertarik dan kagum, mendengarkan semua penuturan pemuda itu dengan wajah
berseri.
Beberapa
kali Leng Ci datang menghampiri mereka, menyuguhkan arak beserta masakan yang
telah diselesaikannya. Setiap kali dia mendekati meja, jantungnya berdebar
tegang, matanya mengerling tajam dan dia melihat betapa pemuda tampan itu pun
mengerling kepadanya secara diam-diam dan halus sambil tetap bercakap-cakap
dengan Bhe Coan.
"Kui-kongcu
adalah seorang terpelajar, dan pengetahuan kongcu juga amat luas sehingga
kongcu mengenal semua tokoh kang-ouw dan para pembesar. Akan tetapi, saya
sungguh merasa heran kalau mendengar bahwa kongcu hendak memesan pedang! Untuk
apakah sebatang pedang bagi seorang sasterawan seperti kongcu?" Akhirnya
Bhe Coan bertanya sambil memandang wajah orang itu dengan kagum.
Kui Hok Boan
tersenyum lebar dan pada saat itu Leng Ci datang lagi membawer mangkok besar
terisi masakan terakhir. Dia lalu meletakkan mangkok itu di atas meja, di
samping masakan-masakan lain yang dipersiapkannya secara cepat tadi, dan
sekarang dia berdiri di dekat meja, lalu menyambung ucapan suaminya,
"Selamanya
saya sendiri pun belum pernah mendengar suami saya membuatkan pedang untuk
seorang sekolahan!"
Bhe Coam
tertawa. "Nah, Kui-kongcu. Isteri saya berkata benar. Dia pun tentu merasa
heran mendengar bahwa kongcu memesan pedang. Kongcu datang berkuda, bila kongcu
memesan tapal kaki kuda, hal itu tentu saja tidak mengherankan. Akan tetapi,
pedang..."
"Benar,
untuk apakah sebatang pedang bagi kongcu?" Leng Ci bertanya juga,
pertanyaan yang diajukan seolah-olah dia juga terheran dan ingin sekali
mendengar alasan pemuda itu.
Kui Hok Boan
menarik napas panjang. Dia mengerutkan alis, kemudian baru menjawab, "Sebenarnya,
pedang yang saya pesan bukan untuk saya sendiri. Hendaknya Bhe-twako dan twaso
mengetahui bahwa pada tahun ini saya akan mengikuti ujian di kota raja. Saya
mengenal pengujinya sebagai seorang pembesar yang suka sekali pedang yang
bagus, maka saya hendak membawa oleh-oleh sebatang pedang yang baik sekali
untuk hadiah kepadanya. Dan saya mendengar bahwa Bhe-twako di sini adalah
seorang ahli pedang yang hebat, maka jauh-jauh saya datang untuk memesan
sebatang pedang yang baik dan indah yang akan saya hadiahkan kepada pembesar
itu. Saya bersedia untuk membayar berapa saja harga pedang itu..."
"Ahhh...
begitukah? Ha-ha-ha, Kui-kongcu tidak keliru kalau datang kepada saya. Tentang
harga pedang, ahhh, mari kita makan dulu. Urusan itu dapat kita bicarakan
nanti."
"Benar,
kongcu. Silakan makan seadanya, dan maklumlah, karena tinggal di dusun maka
kami tidak berkesempatan untuk menyajikan masakan yang baik."
Kui Hok Boan
bangkit berdiri dan menjura kepada Bhe Coan, kemudian kepada Leng Ci,
"Twako dan twaso sungguh budiman dan ramah sekali terhadap saya, sudah
menerima kedatangan saya sebagai seorang anggota keluarga saja. Oleh karena
itu, rasanya tidak enak apa bila saya makan sendiri masakan twaso yang sudah
berjerih telah membuatkan masakan-masakan ini. Kalau boleh, saya persilakan
agar twaso ikut pula makan bersama kami, karena bukankah kalian berdua
memperlakukan saya sebagai anggota keluarga sendiri?"
Bhe Coan
adalah seorang dusun yang jujur dan penuh kepercayaan kepada orang lain. Apa
lagi dia pun merupakan keturunan pandai besi dan sudah menjadi kenyataan bahwa
orang-orang yang bekerja sebagai pandai besi sejak kecil biasanya berwatak
polos, jujur dan mudah percaya, juga bisa dipercaya. Maka, mendengar ucapan ini
dan melihat sikap sasterawan muda yang begitu halus dan ramah, dia tertawa
girang dan menarik tangan isterinya yang berdiri menunduk dengan muka merah.
"Ha-ha-ha,
Leng Ci isteriku. Mengapa mesti malu-malu? Kui-kongcu berkata benar. Dia adalah
seorang tamu agung, seorang sahabat kita, dan memang seperti anggota keluarga
sendiri. Maka tidak ada salahnya kalau kau menemani kami makan. Duduklah!"
Leng Ci
tersenyum malu-malu dan duduk di samping kiri suaminya, berhadapan dengan
tamunya yang agak di sebelah kirinya karena Hok Boan duduk tepat berhadapan
dengan Bhe Coan. Dengan cekatan nyonya rumah ini segera menuangkan arak ke
dalam cawan tamunya dan suaminya, lalu berkata, "Silakan minum,
Kongcu."
Bhe Coan
mengangkat cawannya kemudian berkata, "Kui-kongcu, mari kita minum untuk
menyatakan selamat datang kepada kongcu!"
Hok Boan
melirik ke arah Leng Ci dan melihat wanita ini agaknya tidak turut minum, dia
lalu tertawa dan berkata, "Twaso, mana arakmu?"
"Ha-ha-ha,
benar isteriku, hayo kau ikut minum untuk menghormati Kui-kongcu!"
Leng Ci
hanya tersenyum ketika dengan cekatan Hok Boan menuangkan arak dari guci ke
dalam cawan di depan nyonya itu. Mereka bertiga lalu minum arak mereka.
"Dan
kini saya ingin mengajak twako dan twaso minum untuk menghaturkan terima kasih
saya." Hok Boan lalu berkata sambil kembali menuangkan arak ke dalam cawan
mereka. Kembali mereka minum secawan arak.
Mereka silih
berganti menghaturkan selamat sambil makan minum. Kemudian, sesudah
menghabiskan lima cawan arak, wajah yang manis dari nyonya rumah itu menjadi
makin merah, senyumnya makin genit dan matanya yang tajam lebih sering
menyambar dengan kerlingan dari sudut matanya ke arah tamunya. Bhe Coan yang
juga sudah dipengaruhi arak, tak melihat perubahan sikap isterinya ini dan
kegembiraan isterinya dianggap wajar saja karena tamu mereka itu amat
menyenangkan.
Kui Hok Boan
tentu saja melihat perubahan sikap wanita di hadapannya, agak di sebelah
kanannya itu. Dia telah banyak berpengalaman dengan wanita, maka bukanlah hal
yang lancang atau tidak diperhitungkan ketika mendadak kakinya menyentuh betis
kaki nyonya muda itu di bawah meja. Leng Ci sedang membawa sepotong daging ke
mulutnya.
"Ihhkk...!"
serunya dengan kaget sekali ketika merasa betapa betis kakinya diusap oleh
sebuah kaki, matanya terbelalak saking kagetnya melihat keberanian tamu itu.
"Ehh,
kenapa kau...?" Suaminya bertanya heran.
Wajah itu
menjadi merah sekali dan tak dapat menjawab.
"Apakah
twaso tersedak? Baiknya diberi minum teh, twaso," kata Hok Boan dengan
kaki masih mengusap betis itu.
Wanita itu
menarik kakinya menjauh dan cepat menyambar cangkir teh dan diminumnya teh itu
untuk menutup mukanya yang menjadi merah. Jantungnya berdebar keras sekali,
akan tetap kini dia menjadi tenang. Sesudah minum dia lalu memandang suaminya
dan tersenyum.
"Aku
tersedak memang, agaknya terlalu banyak minum membikin orang mabok dan tidak
menyadari apa yang dilakukannya." Sambil berkata demikian, dia mengangkat
muka memandang wajah pemuda itu dengan sinar mata penuh teguran.
Kui Hok Boan
tertawa. "Ha-ha-ha-ha, bagi yang tidak biasa minum, memang arak dapat
memabokkan. Akan tetapi bagi yang sudah biasa seperti saya, sukar untuk mabok
oleh arak, walau pun tentu saja saya bisa mabok oleh yang lain." Ucapan
ini mengandung arti mendalam dan kembali kedua pipi wanita itu menjadi merah.
Bhe Coan
yang polos itu memandang kepada tamunya. "Kongcu, kalau bukan arak yang
dapat membikin engkau mabok, habis apa lagi?"
Sasterawan
muda itu tersenyum. "Ha-ha-ha, twako. Banyak yang dapat membikin mabok
orang, yang lebih hebat dari pengaruh arak. Keindahan misalnya, saya bisa mabok
ketika melihat sesuatu yang indah menarik...," kembali kongcu itu melirik
ke arah nyonya rumah yang sekarang menunduk karena nyonya ini jelas sekali
dapat menangkap arti kata-kata pemuda itu. Apa lagi kini tiba-tiba dia merasa
ada tangan yang dengan halus mengusap pahanya!
Nyonya itu
tidak berani bergerak, takut apa bila diketahui suaminya, akan tetapi tangan
itu merayap-rayap membuat seluruh bulu di tubuhnya meremang dan jantungnya
berdegup demikian keras sehingga dia khawatir suaminya akan mendengar bunyi
degup jantungnya itu. Maka dia lalu bangkit berdiri sehingga tentu saja tangan
Bok Hoan itu terlepas dari pahanya.
"Sebaiknya
aku menyingkirkan mangkok-mangkok kosong sekalian mencucinya."
Memang
masakan-masakan itu telah mereka makan habis. Mukanya merah sekali, akan tetapi
kalau pun suaminya melihat ini, tentu akan disangkanya bahwa muka isterinya itu
merah karena terlalu banyak minum arak.
"Dan
saya pun harus berpamit untuk mencari penginapan dulu. Twako, berapa lamakah
engkau dapat menyelesaikan sebatang pedang yang baik dan indah untukku?"
"Kurang
lebih tujuh hari."
"Sepekan?
Kalau begitu aku harus mencari kamar penginapan yang baik untuk tinggal selama
sepekan di dusun ini." Kongcu itu bangkit pula.
Mendengar
ini, Leng Ci tidak jadi meninggalkan meja melainkan tetap berdiri memandang
wajah tampan yang sekarang agak kemerahan itu. Wajah suaminya juga merah dan
kalau kemerahan wajah sasterawan muda itu menambah ketampanannya, baginya
kemerahan wajah suaminya malah menambah keburukan dan kebodohan wajah suaminya
itu. Betapa jauh perbedaan yang terdapat di antara dua orang pria ini! Dan Leng
Ci untuk ke sekian kalinya menghela napas panjang.
"Kui-kongcu
sudah seperti keluarga kita sendiri, suamiku, kalau dia sudi tinggal di rumah
kita yang buruk ini, kamar di belakang itu dapat kubersihkan untuk dia pakai
selama dia menunggu pedang itu jadi," katanya dengan suara datar sambil
memandang suaminya. Sikapnya begitu wajar sebagai seorang nyonya rumah yang
baik.
"Kau
setuju? Ha-ha-ha, tadinya aku hendak menawarkan kepadanya akan tetapi khawatir
engkau tersinggung, maka aku ragu-ragu. Nah, Kui-kongcu, setelah isteriku yang
berkata demikian, aku minta kepadamu untuk tinggal saja di rumah kami..."
"Ah,
twaso dan twako sungguh budiman dan baik sekali kepadaku. Akan tetapi, mana aku
berani mengganggu seperti itu?"
"Tidak
ada yang mengganggu! Kami persilahkan kongcu tinggal di sini, kecuali tentu
saja kalau kongcu merasa rumah ini terlalu buruk dan kotor, maka kami tidak
dapat memaksa kalau kongcu mencari kamar lain...," kata Leng Ci.
"Ha-ha-ha,
Kui-kongcu, isteriku amat pandai berdebat. Engkau tidak akan menang, maka harap
engkau suka menerima saja, sementara tinggal di sini bersama kami supaya kita
dapat bercakap-cakap kalau aku sedang berhenti bekerja. Dan selagi aku bekerja,
kongcu dapat pergi ke mana pun untuk melewatkan waktu menganggur."
Kui Hok Boan
menghela napas memperlihatkan sikap kewalahan, lantas dia menjura dan berkata,
"Baiklah, apa bila twako dan twaso menghendaki demikian. Mana mungkin saya
berani menolak lagi? Biarlah segala kebaikan kalian itu dapat saya balas dengan
imbalan apa saja yang mampu saya lakukan."
"Ha-ha-ha,
bagus sekali! Saya girang sekali, Kui-kongcu..."
"Bhe-twako,
setelah menerima segala kebaikan ini, harap twako jangan menyebut kongcu
kepadaku. Bukankah kini kita sudah seperti keluarga sendiri? Sebaiknya twako
menyebut siauwte saja kepadaku."
"Ahhh,
mana saya berani?"
"Kalau
twako dan twaso bersikap sungkan, mana aku berani tinggal di sini?"
"Ha-ha-ha,
ternyata engkau juga pandai berdebat seperti twaso-mu! Baiklah, Kui-siauwte,
sungguh merupakan kehormatan besar bagiku."
Demikianlah,
Hok Boan tinggal di rumah Bhe Coan dan isterinya, tinggal di sebuah kamar di
belakang yang lebih dulu sudah dibersihkan oleh Leng Ci. Kamar itu berada di
bagian paling belakang dan mempunyai pintu belakang yang menembus ke kebun
belakang.
Ternyata
sasterawan muda itu dapat bersikap sangat menyenangkan, sopan dan ramah. Hal
ini membuat Bhe Coan menjadi makin suka sehingga ketika beberapa kali Hok Boan
menanyakan harga pedang, dia bilang bahwa hal itu akan dibicarakan kalau pedang
telah selesai saja! Dia bermaksud hendak menghadiahkan sebatang pedang kepada
tamunya yang amat menyenangkan itu.
Tidak
demikian dengan keadaan Leng Ci. Wanita ini merasa tersiksa sekali. Dia semakin
tertarik, bahkan tergila-gila kepada sasterawan itu. Apa lagi ketika dia
mendengar suara nyanyian atau tiupan suling Hok Boan yang sering bermain suling
dan bernyanyi seorang diri di dalam kamarnya, dia makin tergila-gila. Malah di
waktu dia tidur dengan suaminya, dia sering membayangkan alangkah akan
senangnya kalau yang tidur di sampingnya itu adalah Hok Boan, bukan suaminya
yang kalau tidur mengorok seperti babi disembelih!
Akan tetapi,
dia adalah isteri Bhe Coan, dan tinggal serumah, tentu saja dia takut untuk
mendekati Hok Boan dan dia selalu menghindar, sungguh pun hatinya amat ingin,
namun dia tidak berani melayani bujuk rayu yang terpancar dari sepasang mata
sasterawan itu apa bila bertemu dengan dia.
Kui Hok Boan
sendiri merasa penasaran. Dia merasa yakin bahwa nyonya rumah yang manis itu
sudah pasti terpikat olehnya dan seperti biasa, dia merasa yakin bahwa dia
tidak akan gagal mendekati Leng Ci. Kalau nyonya rumah itu tidak muda dan manis
seperti Leng Ci, sudah tentu dia tidak suka tinggal di rumah pandai besi itu,
lebih senang ditinggal di penginapan di mana dia dapat bersenang-senang dengan
bebas!
Kini,
melihat betapa nyonya muda yang sudah jelas terpikat olehnya itu seolah-olah
takut dan tidak pernah mau mendekatinya, dia merasa sangat penasaran dan
nafsunya makin memuncak! Gemaslah rasa hatinya, dan dia pun bertekad untuk
mendapatkan wanita itu dengan akal apa pun juga!
Memang
demikianlah sifat nafsu apa pun kalau sudah mencengkeram batin seseorang. Nafsu
terdorong oleh pikiran yang membayangkan kesenangan yang akan dinikmatinya.
Nafsu adalah keinginan untuk memperoleh sesuatu yang dianggap amat
menyenangkan, bayangan dari pengalaman-pengalaman masa lalu yang dinikmati,
dikunyah lagi seperti seekor kerbau mengunyah daun-daun muda yang tadi telah
dimakannya.
Kenangan
akan kesenangan ini, bayangan akan kesenangan yang diharapkan akan bisa
dinikmati nanti, kemudian menimbulkan nafsu atau keinginan. Dan makin sukar
sesuatu yang diinginkan itu diperoleh, makin berkobarlah nafsu keinginan itu.
Nafsu birahi, seperti juga nafsu keinginan lain, akan makin mendorong kita
hingga membuat kita mata gelap, tidak lagi peduli akan cara-cara yang bagaimana
pun untuk memperoleh apa yang kita inginkan itu, baik dengan cara yang benar
mau pun cara yang kotor!
Sesudah
tinggal di sana selama dua malam dan belum nampak tanda-tanda bahwa dia
berkesempatan mendekati nyonya rumah karena di waktu siang nyonya rumah sibuk
di dapur kemudian setelah selesai lalu menyembunyikan diri dalam kamar sambil
menyulam sedangkan di waklu malam tentu saja Leng Ci tak pernah dapat
meninggalkan suaminya. Hok Boan tidak sabar lagi. Sejak pagi itu, telah
terdengar suara berdencing di dapur atau bengkel kerja di mana Bhe Coan bekerja
dengan giat menyelesaikan pembuatan pedang untuk tamunya.
Hok Boan
maklum bahwa setiap pagi Leng Ci mengantarkan secangkir teh kental untuk
suaminya di bengkel itu. Dia menanti dan mengintai dari belakang. Pada saat dia
melihat wanita itu keluar dari kamarnya menuju ke bengkel suaminya, dia
cepat-cepat berjalan membayanginya dan begitu melihat nyonya itu memasuki pintu
bengkel, dia lalu masuk pula dan berkata,
"Twako...
ah... maaf aku kesiangan... aku... agaknya terserang penyakit demam
panas..." Dia berhenti lalu menoleh kepada isteri tuan rumah yang memegang
cangkir lalu berkata, "Ahh, maafkan, twaso... aku tidak bermaksud mengganggu..."
Bhe Coan
terkejut dan cepat bangkit, membersihkan tangannya pada kain yang tersedia di
situ dan memandang pemuda itu. Memang wajah Hok Boan pucat sekali dan kelihatan
seperti orang sakit, bahkan berdirinya juga bergoyang-goyang seperti orang akan
jatuh. Bhe Coan cepat menghampiri dan memegangnya agar tidak sampai jatuh, dan
ketika dia memegang tangan sasterawan itu, dia terkejut.
"Ahhh,
badanmu panas sekali! Kui-siauwte, kau tidak perlu datang ke sini... ahhh,
jangan-jangan kau terkena penyakit yang berbahaya. Sebaiknya kau pergi tidur
dan mengaso di kamarmu saja, siauwte!"
"Agaknya...
agaknya... begitulah." Hok Boan melepaskan tangan tuan rumah dan hendak
melangkah ke pintu, akan tetapi dia terhuyung dan tentu jatuh kalau tidak
berpegangan kepada pintu.
"Aihhh...!"
Leng Ci berteriak kaget dan khawatir sekali. "Kau benar-benar sakit,
kongcu...!" Dia masih belum dapat menyebut sasterawan itu ‘adik’ seperti
yang dilakukan suaminya. "Sebaiknya kita panggilkan tabib..."
"Benar,
kau kembalilah ke kamarmu, mari kubantu, siauwte. Nanti segera kupanggilkan
tabib untukmu." Bhe Coan lalu memapah pemuda itu keluar dari bengkelnya,
diikuti oleh Leng Ci yang memandang dengan hati kasihan sekali terhadap
sasterawan itu.
Dengan bantuan
Bhe Coan, Hok Boan segera merebahkan diri di atas pembaringannya. Beberapa kali
dia mengeluh lirih dan mukanya makin pucat, dahinya penuh keringat.
"Biar
kupanggilkan tabib sekarang," kata Bhe Coan.
"Tidak
usah... tidak perlu, twako. Aku hanya mengganggu pekerjaan twako saja, dan...
dan pedang itu menjadi makin terlambat jadinya. Aku pernah terserang penyakit
demam seperti ini dan aku... aku bisa... menulis resep obatnya. Tolong ambilkan
kertas dan pena bulu... oughhh..." Dia menuding ke atas meja dalam kamar
itu, lalu bangkit duduk dengan sukar.
Leng Ci yang
melihat perabot tulis di atas meja segera mengambilkan apa yang diminta pemuda
itu. Dengan jari-jari tangan gemetar, Hok Boan lalu membuat corat-coret di atas
kertas dan menyerahkannya kepada Bhe Coan. "Tolong twako suruhan orang
membeli obat ini... dan tolong panggil seorang tetangga yang suka melayaniku
untuk menggodok obat dan memberi minum setiap jam sekali..."
"Ahhh,
mengapa siauwte demikian sungkan? Isteriku dapat membelikan obat dan untuk
melayanimu di waktu sakit, bukankah di sini ada twaso-mu?"
"Ahh,
...aku tidak ingin... membikin susah twaso saja..."
Leng Ci
berkata dengan suara terharu. "Kui-kongcu, kau sedang sakit, jangan
berpikiran yang tidak-tidak dan jangan sungkan. Aku suka untuk merawatmu,
bukankah kau seperti adik suamiku sendiri? Nah, aku akan membeli obat."
Wanita itu
melangkah pergi dan Bhe Coan kemudian duduk di atas bangku dalam kamar.
"Kuharap saja penyakitmu tidak parah, siauwte."
Hok Boan
kembali merebahkan dirinya mencoba untuk tersenyum. "Tidak apa-apa, twako,
aku pernah diserang penyakit ini. Asal aku dapat beristirahat beberapa hari
dalam kamar dan setiap jam minum obat itu, tentu akan cepat sembuh kembali.
Jangan membikin repot twako, dan harap twako kembali ke bengkel menyelesaikan
pedang itu..."
"Baiklah
kalau begitu. Jangan kau sungkan-sungkan pada twaso-mu, siauwte. Anggaplah dia
seperti kakak iparmu sendiri. Dia akan merawatmu."
"Sebaiknya
panggilkan saja orang lain... aku... aku merasa tidak enak kalau aku harus
merepotkan twaso..."
"Aaahh,
kau terlalu sungkan, sudahlah. Aku akan memberi tahu dia supaya merawatmu
sebaik mungkin, jangan kau khawatir." Pandai besi itu lalu meninggalkan
Hok Boan yang masih mengeluh lirih, dengan hati-hati menutupkan daun pintu
kamar pemuda itu.
Setelah
langkah-langkah tuan rumah tak terdengar lagi dan tak lama kemudian terdengar
bunyi dencing besi dipukul, Hok Boan tidak mengeluh lagi, bahkan bibirnya
tersenyum! Dia mengusap peluh pada dahinya dan mukanya kembali menjadi merah,
lalu dia bangkit duduk, tersenyum dan mengepal tinju. Dapat kau sekarang
olehku, manis! Demikian dia berkata kepada diri sendiri. Akal ini sudah
direncanakan sejak malam tadi dan ternyata berhasil baik sekali.
Siapakah
sebenarnya sasterawan muda ini? Orang macam apakah dia dan bagaimana dia mampu
bermain sandiwara sehebat itu sehingga dia dapat berpura-pura sakit sampai dahi
dan lehernya mengeluarkan keringat, dan tubuhnya terasa panas, mukanya menjadi
pucat sekali?
Tentu saja
Kui Hok Boan dapat melakukan hal ini sebab dia adalah seorang ahli lweekeh yang
memiliki sinkang amat kuat sehingga dengan menggunakan sinkang-nya, dia dapat
membuat wajahnya pucat, keringatnya bercucuran, dan tubuhnya panas! Sebenarnya,
Kui Hok Boan yang selalu berpakaian sebagai sasterawan itu bukan hanya pandai
dalam hal sastera, akan tetapi dia juga seorang ahli silat yang tinggi ilmunya!
Di selatan, di dalam tembok besar, namanya sudah amat terkenal dan dia
malang-melintang sebagai seorang petualang besar yang sering kali mengandalkan
ilmunya untuk melakukan apa saja yang disenanginya!
Sebetulnya,
orang she Kui yang baru berusia tiga puluh tahun ini bukanlah seorang jahat,
bukan pula termasuk golongan kaum sesat. Sama sekali bukan. Dia seorang
petualang yang hidup sendirian, malang-melintang mengandalkan kepandaiannya.
Akan tetapi
dia sangat cerdik sehingga dia mempunyai banyak sahabat, baik di kalangan kaum
sesat mau pun di kalangan para pendekar. Dia sendiri berdiri di tengah-tengah,
tidak mau bergabung pada suatu golongan tertentu. Kadang-kadang, apa bila
memang hatinya menghendaki dan tentu saja kalau dia melihat terdapat keuntungan
di dalamnya, dia tidak segan-segan untuk menentang golongan hitam.
Akan tetapi,
dia sendiri pun memiliki kelemahan terhadap kesenangan dunia sehingga tidak
heran pula melihat dia berhari-hari menghabiskan waktu di rumah judi atau di
rumah pelacuran. Juga, dia tak segan-segan untuk menggunakan wajahnya yang
tampan, gerak-geriknya yang halus, dan ilmu silatnya yang tinggi untuk menggoda
wanita baik-baik.
Akan tetapi
dia tidak pernah melakukan perkosaan, tak pernah menggunakan kekerasan untuk
memaksa seorang wanita. Dengan modal yang ada pada dirinya, memang jarang
sekali dia dikecewakan oleh wanita, jarang sekali ada wanita yang mampu menolak
bujuk rayunya!
Beberapa
bulan yang lalu, dengan kepandaiannya membujuk rayu Kui Hok Boan berhasil
menundukkan hati seorang gadis, puteri seorang guru silat di kota Koan-sui.
Akan tetapi guru silat itu tidak menyetujui, bahkan hampir saja dia tertangkap
basah dan tentu akan dikeroyok kalau dia tidak cepat-cepat melarikan diri.
Kalau dia mau melawan, agaknya dia akan dapat mengalahkan guru silat itu dan
semua muridnya.
Akan tetapi
Hok Boan adalah orang yang cerdik. Dia tidak mau melihat dirinya dimusuhi dunia
kang-ouw hanya karena seorang wanita, apa lagi di kota Koan-sui terdapat banyak
orang pandai. Maka dia terus melarikan diri, dan karena mendengar akan
kepandaian Bhe Coan membuat pedang, maka dia sampai tiba di Pek-hwa-cung, yaitu
pertama untuk menjauhkan diri dari Koan-sui sementara waktu ini, dan kedua
kalinya karena dia ingin memiliki sebatang pedang yang baik.
Tentu saja
cerita yang dituturkan kepada Bhe Coan serta isterinya bahwa dia hendak
mengikuti ujian di kota raja hanya bohong belaka dan hanya dipergunakan untuk
menarik perhatian mereka terutama perhatian nyonya muda itu, sekalian untuk
menyembunyikan kepandaiannya dalam ilmu silat.
Kui Hok Boan
adalah seorang bekas murid dari Go-bi-pai yang murtad. Dia adalah murid seorang
tokoh Go-bi-pai yang terkenal gagah perkasa dan amat saleh, yaitu Kauw Kong
Hwesio yang sudah tua.
Sebenarnya,
Kauw Kong Hwesio sangat sayang kepada pemuda yang cerdas ini, tetapi ketika
pada suatu hari ia mendapatkan muridnya yang tersayang itu melakukan hubungan
gelap dengan isteri seorang petani di kaki gunung, dan pendeta itu menerima
pelaporan dari si suami yang tidak berani menegur atau melawan Kui Hok Boan,
pendeta ini menjadi marah dan mengusir Kui Hok Boan, tidak mau mengakuinya lagi
sebagai murid dan dia melarang pemuda itu menggunakan nama Go-bi-pai sebagai
golongannya. Masih untung bagi Hok Boan bahwa dia tidak sampai dipukul mati
oleh gurunya.
Kauw Kong
Hwesio sudah tua sekali, sudah delapan puluh tahun lebih usianya ketika hal itu
terjadi, dan dia sudah lebih condong kepada keagamaan dari pada terhadap urusan
dunia. Karena itu dia dapat memaafkan muridnya dan tidak membunuhnya, apa lagi
kalau diingat bahwa hubungan gelap itu dilakukan atas dasar sama-sama suka,
jadi muridnya sama sekali tidak melakukan kekerasan, tidak memakai ilmu silat
untuk menaklukkan atau merampas isteri orang. Tentu saja perbuatan itu tetap
tidak dibenarkan oleh hwesio tua ini, maka dengan hati berat dia pun mengusir
dan tak mau mengakui lagi murid berbakat yang sebenarnya sangat disayangnya
itu.
Setelah
terlepas dari pengawasan gurunya, Hok Boan yang memang hidup sebatang kara
tanpa keluarga ini mulai dengan petualangannya. Dia bagaikan seekor burung liar
yang terbebas dari kurungan!....
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment