Saturday, September 22, 2018

Cerita Silat Serial Asmara Berdarah Jilid 31



























         Cerita Silat Kho Ping Hoo
         Serial Asmara Berdarah

                   Jilid 31


MELIHAT betapa Raja dan Ratu Iblis sudah keluar, Hui Song mengeluarkan bentakan dan dia pun telah berloncatan di antara para prajurit untuk membantu mereka mengepung dan mengeroyok Raja dan Ratu Iblis.

Cia Sun juga mengenal empat orang penggotong tandu atau joli tanpa atap itu. Mereka berempat itu bukan lain adalah Hui-thian Su-kwi, empat orang Cap-sha-kui yang memang mempunyai ginkang yang luar biasa sekali. Maka dia pun cepat lari menghampiri dan ikut pula mengepung. Juga para pendekar ikut membantu sehingga kini empat orang pemikul tandu itu dikepung dari empat jurusan!

Akan tetapi gerakan Hui-thian Su-kwi sungguh luar biasa cepatnya. Mereka berloncatan ke atas kepala para prajurit, lalu dua orang kakek dan nenek di atas tandu itu menyebar maut dengan pukulan-pukulan jarak jauh mereka. Hanya para pendekar saja yang dapat menghindarkan diri atau menangkis sambaran angin dahsyat itu, akan tetapi para prajurit pengawal banyak yang roboh dan tewas.

Agaknya Raja Iblis yang lebih banyak menyebar maut sedangkan Ratu Iblis ‘mengemudi’ empat orang pemanggul tandu itu dengan teriakan-teriakannya, "Ke kanan...! Mundur...! Maju...! Ke kiri!"

Hui-thian Su-kwi mempergunakan kecepatan gerak kaki mereka untuk berloncatan sesuai dengan petunjuk Ratu Iblis. Sambil berloncatan kaki-kaki mereka pun tak pernah bergerak secara sia-sia, karena tendangan-tendangan yang mereka lakukan juga telah merobohkan banyak prajurit pengawal yang mengepung.

"Kejar! Kepung, robohkan para pemikul tandu!" Perwira pasukan memberi aba-aba,

Sekarang empat orang pemikul tandu itu berloncatan tinggi sampai ke tenda besar yang didirikan oleh para prajurit. Setiba mereka di situ, tenda itu diterjang hingga tiang-tiangnya roboh oleh tendangan empat orang pemikul tandu yang berloncatan ke atas. Sementara itu hantaman-hantaman yang dilakukan oleh telapak tangan Raja Iblis demikian hebatnya sehingga mayat-mayat para pengeroyok roboh berserakan.

"Kepung rapat!" teriak perwira pasukan pada waktu melihat empat orang pemikul tandu itu meloncat tinggi dan hinggap di atas tiang-tiang kayu bekas tenda besar. Para prajurit lalu mengepung dan menyerang dengan tombak.

"Loncat turun ke depan!" terdengar Ratu Iblis memberi komando, sementara itu Raja Iblis melancarkan pukulan ke arah tiang melintang di depannya.

"Krakkkk...!" Tiang yang besar itu patah tengahnya dan tiang-tiang itu pun roboh menimpa para prajurit sedangkan empat orang pemikul tandu meloncat jauh ke depan.

Melihat betapa Raja Iblis sedang menyebar maut, Hui Song dan Cia Sun menjadi marah sekali. Mereka tak dapat leluasa bergerak karena kesimpang-siuran para prajurit yang ikut mengeroyok.

"Kita serang berbareng dengan loncatan ke atas!" tiba-tiba Cia Sun berbisik dan Hui Song mengangguk.

Tiba-tiba saja dua orang pemuda perkasa ini melompat jauh ke atas, melampaui kepala beberapa orang prajurit dan mereka berdua langsung menerjang Raja Iblis dari kanan dan belakang! Memang mereka telah memperhitungkan agar loncatan mereka tiba di sebelah kanan dan belakang Raja Iblis, kemudian mereka menyerang dengan berbareng.

Sambil meloncat itu, dari sebelah kanan Cia Sun telah mengirimkan pukulan dengan satu jurus Hok-mo Cap-sha-ciang, sebuah ilmu pukulan tangan kosong yang mukjijat dan luar biasa ampuhnya. Pukulan itu mendatangkan angin kuat dan nampak seperti ada cahaya kemerahan menyambar dahsyat ke arah leher Raja Iblis. Pada saat yang sama pula Hui Song telah menyerang dengan pukulan Thian-te Sin-ciang yang juga merupakan pukulan amat ampuh, ditujukan ke arah punggung Raja Iblis.

Menghadapi penyerangan dua orang pemuda yang amat lihai ini, Raja Iblis mengeluarkan suara mendengus marah dan juga kaget. Cepat dia memutar tubuhnya ke kanan, tangan kirinya diputar menahan pukulan Cia Sun ada pun tangan kanannya menangkis pukulan Hui Song.

Sementara itu, Ratu Iblis tidak tinggal diam melihat suaminya menghadapi penyerangan dahsyat itu. Maka dia pun mengerahkan tenaga pada kedua tangannya lalu mendorong ke arah Cia Sun dan Hui Song dari sebelah kanan suaminya.

"Plakkk! Desss...!"

Karena tidak mempunyai tempat berpijak dan saking kuatnya tenaga Raja dan Ratu Iblis, tubuh Hui Song dan Cia Sun yang menyerang sambil melompat itu terpental ke belakang sehingga terpaksa berjungkir balik menghindarkan diri dari terbanting. Akan tetapi tenaga mereka juga begitu kuatnya sehingga Raja dan Ratu Iblis yang tadi mengerahkan tenaga, membuat empat orang Hui-thian Su-kwi terhuyung sebab tiba-tiba saja panggulan mereka menjadi berat luar biasa.

Sementara itu, perkelahian antara Sui Cin dan Gui Siang Hwa terjadi amat serunya. Akan tetapi, betapa pun juga, Siang Hwa harus mengakui keunggulan Sui Cin. Sebelum gadis ini digembleng oleh Wu-yi Lo-jin, belum tentu Sui Cin akan mampu mengalahkan Siang Hwa dengan mudah. Akan tetapi, selama tiga tahun ini Sui Cin memperoleh gemblengan yang sangat mendalam sehingga ilmu-ilmunya yang banyak macamnya, yang diwarisinya dari ayah ibunya itu, kini menjadi matang.

Oleh karena itu, biar pun Siang Hwa menggunakan pedang, bahkan telah menggunakan pula sapu tangan suteranya yang mengandung racun, dia sama sekali tidak berdaya dan semua serangannya dapat digagalkan dengan mudah oleh Sui Cin, sebaliknya desakan gadis Pulau Teratai Merah ini membuat ia repot dan terhuyung-huyung. Beberapa kali ia telah menerima tamparan Sui Cin dan hanya kekebalan dirinya saja yang membuat Siang Hwa masih dapat bertahan sampai puluhan jurus.

Akan tetapi, ketika jari tangan Sui Cin yang kecil mungil serta meruncing itu menyambar pundaknya dengan totokan yang amat cepat, Siang Hwa lalu terpelanting dan pedangnya terlepas ketika tangan kanannya ditendang oleh Sui Cin. Pada waktu itulah para prajurit menubruk dengan tombak dan golok mereka sehingga wanita cabul itu pun tewas dalam keadaan mengerikan, tubuhnya hancur oleh belasan batang golok dan tombak.

Dalam waktu yang hampir bersamaan, Ci Kang juga sudah merobohkan sute-nya, yaitu, Sim Thian Bu. Semenjak semula Sim Thian Bu sendiri memang sudah gentar menghadapi putera mendiang gurunya ini. Semenjak dahulu dia tak pernah dapat menang terhadap Ci Kang. Apa lagi setelah Ci Kang digembleng dengan hebatnya oleh Ciu-sian Lo-kai, tentu saja gerakan-gerakannya menjadi semakin matang dan kuat.

Namun, karena perasaan Ci Kang menjadi halus dan lembut, dia merasa tidak tega untuk membunuh bekas sute-nya. Beberapa kali dia membujuk supaya Thian Bu menyerah saja dan kalau mau bertobat, dia yang akan mintakan ampun kepada Yang Tai-ciangkun. Akan tetapi semua bujukannya malah disambut dengan ucapan-ucapan menghina oleh Thian Bu sehingga perkelahian itu menjadi lama.

Akhirnya, sebuah tendangan yang dilakukan dengan posisi miring dari Ci Kang amat tidak terduga oleh Thian Bu. Tendangan itu mengenai lambung Sim Thian Bu dan membuatnya tersungkur roboh. Pada saat itu, para prajurit juga menubruk dan menghujamkan senjata mereka. Akan tetapi, sebelum tewas Sim Thian Bu masih sempat melontarkan pedangnya membunuh seorang di antara mereka. Dia sendiri, seperti juga Siang Hwa, tewas di ujung belasan batang tombak dan golok.

Ketika Hui-thian Su-kwi terhuyung karena pertemuan tenaga antara Raja dan Ratu Iblis melawan Hui Song dan Cia Sun, tiba-tiba muncullah Wu-yi Lo-jin dan Siang-kiang Lo-jin! Dua orang kakek ini melihat kesempatan yang baik sekali. Pada saat itu Raja Iblis tidak memegang tongkat yang mereka takuti. Mereka melayang seperti yang dilakukan oleh Hui Song dan Cia Sun tadi, dan mereka sudah menerjang ke arah Raja dan Ratu Iblis yang berdiri di atas joli terbuka.

Empat orang pemikul sedang terhuyung maka tidak sempat membawa pemimpin mereka meloncat sehingga terpaksa Raja dan Ratu Iblis yang kaget melihat munculnya dua orang kakek ini, menyambut serangan mereka dengan dorongan tangan. Raja Iblis menyambut hantaman tangan Siang-kiang Lo-jin sedangkan Ratu Iblis juga menyambut pukulan Wu-yi Lo-jin dengan dorongan kedua telapak tangannya.

"Wuuuuttt...! Desss...!"

Pertemuan tenaga sinkang sekali ini lebih hebat lagi. Akibatnya, tubuh Raja dan Ratu Iblis terdorong dan condong ke belakang sedangkan tubuh dua orang kakek penyerang yang tadi meloncat terdorong ke belakang dan hampir mereka terjengkang, akan tetapi empat orang Hui-thian Su-kwi sampai jatuh berjongkok karena kaki mereka tiba-tiba tak kuat lagi menahan tenaga yang menekan dari atas!

Pada saat itu Sui Cin, Ci Kang, Hui Song dan Cia Sun sudah menerjang maju, masing-masing menyerang seorang dari Hui-thian Su-kwi. Empat orang tokoh dari Cap-sha-kui ini terkejut bukan main. Mereka baru saja jatuh berjongkok sedangkan serangan empat orang muda itu sedemikian dahsyatnya sehingga mereka terpaksa melepaskan pikulan joli dan bangkit untuk meloncat mengelak atau menangkis.

Segera terjadi perkelahian antara mereka dengan empat orang muda itu dan joli itu pun terlempar ke samping! Akan tetapi Raja dan Ratu Iblis sudah berloncatan turun dan ketika Wu-yi Lo-jin dan Siang-kang Lo-jin hendak menyerang, tiba-tiba mereka berdua terbelalak dan mundur karena Raja Iblis sudah mengangkat tinggi-tinggi tongkat saktinya!

Para pendekar yang hadir cepat maju menyerang, akan tetapi dalam beberapa gebrakan saja mereka terpental roboh dan kini para prajurit pengawal mengepung lagi, mengeroyok kakek dan nenek itu. Akan tetapi para prajurit ini seperti sekelompok nyamuk menyerang api lilin saja, setiap kali kakek dan nenek itu menggerakkan tangan, tentu banyak orang yang roboh terpelanting.

Karena itu, para prajurit menjadi gentar dan Raja Iblis bersama isterinya dengan mudah berloncatan lalu melarikan diri dengan cepat sekali, tidak pernah dapat disusul oleh para pengejarnya. Apa lagi karena para pengejarnya itu sudah merasa gentar.

Bahkan dua orang kakek yang paling lihai di antara mereka, Wu-yi Lo-jin dan Siang-kiang Lo-jin, juga mengejar dari jauh saja karena mereka itu juga gentar, bukan gentar terhadap Raja dan Ratu Iblis, melainkan terhadap tongkat sakti itu! Mereka takut terhadap sumpah mereka sendiri, takut kalau melanggar sumpah. Hal ini membuat kakek dan nenek iblis itu dengan mudahnya keluar dari San-hai-koan lantas melarikan diri menuju ke padang pasir di sebelah selatan, kemudian membelok ke barat.

Sementara itu, dalam situasi panik dan juga karena tingkat kepandaiannya memang jauh kalah tinggi, empat orang dari Hui-thian Su-kwi yang menghadapi empat orang pendekar muda sudah roboh semua. Su Cin, Hui Song, Ci Kang dan Cia Sun juga melihat betapa Raja dan Ratu Iblis melarikan diri, maka tadi mereka memperhebat serangan mereka.

Kini empat orang pendekar muda itu telah berloncatan dan lari mengejar pula. Walau pun tadi mereka itu tertinggal jauh, karena kehebatan ilmu ginkang mereka, akhirnya mereka dapat juga menyusul Wu-yi Lo-jin dan Siang-kiang Lo-jin yang tidak berani terlalu cepat.

"Suhu, di mana mereka?" tanya Sui Cin.

"Wah, mereka tadi menghilang di balik bukit sana itu," kata Wu-yi Lo-jin kepada Sui Cin.

"Sayang kami berdua tidak berani mengejar terlalu cepat. Si laknat itu sudah memegang tongkatnya!" kata pula Si Dewa Kipas.

"Akan tetapi kami tidak takut pada tongkat iblisnya itu!" kata Hui Song dengan gemas dan dia pun terus berlari cepat ke depan, diikuti oleh tiga orang pendekar muda lainnya, ada pun dua orang kakek itu terpaksa mengejar pula dari belakang mereka dengan gelisah.

Dari arah jalan yang diambil oleh Raja dan Ratu Iblis, Ci Kang dan Cia Sun teringat akan tempat persembunyian Raja Iblis, yaitu di sebuah gedung tua di lereng bukit itu, di mana terdapat goa di dalam tanah dan di sana untuk pertama kali mereka bertemu dengan Hui Cu.

Tidak salah lagi, tentu ke sanalah Raja dan Ratu Iblis pergi! Maka, mereka lalu menjadi penunjuk jalan dan berlari cepat ke arah bukit itu. Kini yang melakukan pengejaran hanya tinggal mereka berenam lagi karena pasukan pengawal dari San-hai-koan bersama para pendekar sudah tidak ikut mengejar, tidak mampu mengejar secepat itu, dan pula, mereka lebih sibuk dan mementingkan untuk menolong teman-teman yang terluka dan mengurus mereka yang tewas pada saat terjadi pengeroyokan atas diri Raja dan Ratu Iblis bersama pembantu-pembantu mereka yang pandai.

               ***************


Para pengejar itu mempercepat lari mereka ketika mereka melihat betapa terjadi keributan di sebelah depan, di persimpangan jalan menuju ke Ceng-tek dan ke bukit tempat gedung kuno persembunyian Raja dan Ratu Iblis. Agaknya di sana terjadi pertempuran yang seru antara banyak orang yang melakukan pengeroyokan.

"Ayah...!" Hui Song berseru kaget sekali ketika melihat bahwa yang mengeroyok Raja dan Ratu Iblis adalah ayahnya bersama sumoi-nya Tan Siang Wi, serta tiga puluh lebih orang anggota Cin-ling-pai, sisa dari para murid Cin-ling-pai.

Betapa lihainya Raja dan Ratu Iblis, tetapi mereka harus bersikap hati-hati saat dikeroyok oleh puluhan orang murid Cin-ling-pai yang dipimpin sendiri oleh ketuanya. Mereka berdua dikurung ketat sekali dan para murid Cin-ling-pai yang merasa dendam kepada Raja Iblis, berkelahi dengan semangat tinggi dan mati-matian.

Memang sudah ada lima enam orang di antara murid Cin-ling-pai yang roboh, akan tetapi mereka masih bersemangat. Juga ketua Cin-ling-pai, Cia Kong Liang, nampak terluka di pahanya, tetapi pendekar ini masih bergerak dengan gagah perkasa, mendesak Raja Iblis dibantu oleh Tan Siang Wi dan puluhan orang murid Cin-ling-pai.

Cia Kong Liang merasa girang sekali ketika melihat puteranya muncul. Sebaliknya, Raja Iblis menjadi kaget bukan kepalang. Mereka tidak merasa takut menghadapi orang-orang Cin-ling-pai dan sungguh pun harus mengerahkan kepandaian dan perlu waktu yang agak lama, tapi mereka yakin akan mampu mengalahkan puluhan orang musuh itu. Akan tetapi kemunculan empat pendekar muda beserta dua orang kakek itu membuat mereka gentar juga!

Memang benar bahwa dua orang kakek itu tidak akan berani turun tangan melihat tongkat sakti di tangan Raja Iblis, akan tetapi empat orang pendekar muda itu sama sekali tidak boleh dipandang ringan! Mereka berempat itu bahkan lebih tangguh dibandingkan ketua Cin-ling-pai sendiri!

Kini tanpa banyak cakap lagi, Hui Song, Sui Cin, Cia Sun dan Ci Kang sudah menerjang maju mengeroyok Raja dan Ratu Iblis. Para murid Cin-ling-pai bernapas lega dan mereka yang merasa bahwa tingkat kepandaian mereka masih jauh berada di bawah untuk dapat mengimbangi perkelahian antara orang-orang sakti itu, lalu mundur dan hanya mengurung tempat itu sambil menonton dan siap-siap membantu pihak mereka.

Perkelahian kini menjadi seru bukan kepalang setelah Sui Cin, Hui Song, Cia Sun dan Ci Kang maju mengeroyok Raja dan Ratu Iblis! Benar-benar merupakan perkelahian tingkat tinggi di mana setiap orang mengeluarkan semua kepandaian mereka dan mengerahkan seluruh tenaga.

Empat orang muda itu sungguh tangkas dan lihai, dengan jurus-jurus mereka yang berupa ilmu-ilmu silat pilihan. Cia Sun serta kawan-kawannya maklum akan kelihaian kakek dan nenek itu, maka mereka berempat tidak merasa sungkan untuk maju berempat melawan dua orang.

Bahkan Cia Kong Liang berdiri bengong penuh kagum. Kini puteranya itu sudah memiliki kepandaian yang sangat hebat, bahkan berani bertemu tangan beradu sinkang melawan Raja Iblis! Dia pun hanya berdiri di pinggir dan siap membantu kalau-kalau puteranya dan para pendekar muda itu terancam bahaya.

Dua orang kakek Si Dewa Arak dan Dewa Kipas hanya menonton di antara para murid Cin-ling-pai tanpa berani turun tangan. Akan tetapi Wu-yi Lo-jin lalu mendapat akal. Dia melihat betapa gerakan-gerakan muridnya, Sui Cin, walau pun sudah hebat sekali, namun ada beberapa bagian yang masih lemah. Dia kemudian berteriak-teriak memberi petunjuk kepada Sui Cin dan begitu dara ini mendengar petunjuk-petunjuk gurunya, dia menyerang makin dahsyat sehingga membuat Ratu Iblis kewalahan!

Melihat ini, segera Siang-kiang Lo-jin berteriak memberi petunjuk kepada Hui Song yang setelah mendengar petunjuk-petunjuk dari kakek gendut itu segera bisa memperbaiki dan memperhebat gerakan-gerakannya. Melihat ini, Cia Kong Liang semakin heran dan baru dia dapat menduga bahwa kakek gendut ini tentu seorang guru baru dari puteranya.

Pada saat dua orang kakek itu berlomba memberi petunjuk kepada murid masing-masing, tiba-tiba terdengar suara dua orang lain yang berseru memberi petunjuk kepada Cia Sun dan Ci Kang! Dua orang pemuda ini girang bukan main karena mengenal suara guru-guru mereka, Ciu-sian Lo--kai dan Go-bi San-jin! Kini lengkaplah sudah guru keempat pendekar muda itu.

Mereka berempat berada di situ akan tetapi karena tongkat sakti di tangan Raja Iblis atau Pangeran Toan Jit Ong, mereka berempat tidak berani berkutik dan hanya dapat memberi petunjuk kepada murid masing-masing. Akan tetapi petunjuk-petunjuk ini berharga sekali karena kini gerakan keempat orang muda itu menjadi semakin dahsyat sehingga Raja dan Ratu Iblis sendiri menjadi repot, terdesak hingga permainan silat mereka menjadi kalang kabut. Selain itu, mereka berdua sudah amat tua sehingga dalam hal daya tahan tubuh dan pernapasan, mereka kalah jauh dibandingkan empat orang lawan mereka.

Empat orang muda itu mengeroyok secara bergantian. Mereka seperti tengah membentuk barisan segi empat, membuat suami isteri iblis itu sangat kewalahan. Ketika memperoleh kesempatan yang baik, tiba-tiba Sui Cin menubruk maju lantas tamparan tangannya yang penuh dengan tenaga Thian-te Sin-ciang itu mengenai punggung Ratu Iblis.

"Uakkkk...!"

Ratu Iblis tidak roboh namun dari mulutnya muncrat darah segar, tanda bahwa tamparan itu telah melukainya. Dan pada saat yang hampir bersamaan, Cia Sun juga telah berhasil memukul lambung Raja Iblis dengan jurus Hok-mo Cap-sha-ciang yang mukjijat.

"Desss...!"

Demikian hebatnya pukulan itu, akan tetapi juga demikian lihainya Raja Iblis sehingga Cia Sun yang memukul malah terpelanting sendiri! Akan tetapi dari dalam dada Raja Iblis itu keluar suara keluhan pendek, kemudian dia dan isterinya secara tiba-tiba meloncat lantas melarikan diri ke arah bukit!

"Cepat kejar!" Hui Song berseru dan mereka berempat lalu mengejar, diikuti oleh empat orang kakek, Cia Kong Liang dan para murid Cin-ling-pai yang tertinggal jauh di belakang.

Kakek dan nenek itu berlari bagaikan terbang cepatnya menuju ke arah gedung kuno di lereng bukit. Melihat ini, Ci Kang berseru, "Cepat, kalau mereka memasuki gedung, akan sukar bagi kita karena gedung itu menyimpan banyak rahasia! Mungkin mereka bisa lolos melalui jalan rahasia!"

Mendengar ucapan ini, semua orang lalu melakukan pengejaran secepatnya. Akan tetapi mereka kalah dulu dan sekarang kakek dan nenek itu sudah tiba di depan gedung. Hal ini membuat delapan orang pengejar itu menjadi gelisah. Juga Cia Kong Liang mendengar ucapan Ci Kang tadi dan dia pun yang berada agak jauh di belakang delapan orang itu merasa gelisah.

Tiba-tiba terdengar suara ledakan yang keras sekali dan gedung kuno di depan itu hancur berantakan! Kakek dan nenek itu tentu saja merasa terkejut setengah mati dan Raja Iblis terbelalak memandang pada seorang gadis yang baru saja muncul dari belakang gedung yang sudah hancur itu.

"Hui Cu...!" Ratu Iblis berseru kaget. "Apa yang telah kau lakukan?"

Gadis itu memandang pada ibunya dengan wajah muram, lalu berbalik memandang pada Raja Iblis dengan sinar mata penuh kemarahan. "Maafkan aku, ibu. Terpaksa aku harus menghancurkan gedung ini. Bagaimana pun juga aku harus menentang kejahatannya!" Ia menuding ke arah muka Raja Iblis.

"Anak keparat! Kalau begitu, engkau harus mampus!"

Raja Iblis tiba-tiba melompat ke depan dan menyerang Hui Cu dengan pukulannya yang sangat dahsyat. Pukulan itu dahsyat bukan main, datang menerjang Hui Cu laksana kilat menyambar. Dara itu cepat menggerakkan kedua tangannya menangkis untuk melindungi tubuhnya.

"Desss...!"

Tubuh gadis itu terlempar sampai beberapa meter ke belakang lantas terbanting ke atas tanah. Akan tetapi, berkat latihan-latihan yang diterima dari ibunya, gadis itu tadi sempat melindungi dirinya dengan sinkang sehingga dia hanya kesakitan saja dan tidak sampai terluka parah, maka dia hanya mengeluh dan perlahan-lahan bangkit lagi. Melihat ini, Raja Iblis menjadi penasaran dan semakin marah.

"Heh, satu kali pukulan belum cukup, ya?" katanya dan dia sudah menerjang kembali ke depan untuk menyusulkan pukulan maut kepada puterinya. Akan tetapi pada saat itu pula Ratu Iblis sudah meloncat mendahului suaminya dan menghadang di depan suaminya.

"Jangan bunuh anakku!" katanya dengan sinar mata mencorong laksana seekor harimau betina yang melindungi anaknya.

Sepasang mata Raja Iblis yang biasanya jarang bergerak itu kini terbelalak. Hampir dia tidak percaya melihat isterinya kini berdiri menghadang dan menentangnya. Selama ini, isterinya amat taat kepadanya, melaksanakan segala perintahnya dengan taruhan nyawa sekali pun. Akan tetapi kali ini isterinya menghadapinya dengan sikap seorang musuh! Dia tidak tahu betapa di atas segalanya, seorang ibu selalu mencinta anak tunggalnya hingga berani menentang apa saja, berani kehilangan apa saja demi anaknya itu.

"Kau... kau berani menentang aku?" tanyanya, masih tidak dapat percaya.

"Jangan bunuh anakku!" Hanya itulah yang dapat dikatakan Ratu Iblis karena sebetulnya nenek ini amat takut dan juga cinta kepada Raja Iblis, akan tetapi kasihnya terhadap anak kandung yang tunggal itu agaknya lebih besar lagi.

"Kau membela anak keparat yang sudah menghancurkan tempat kita itu?" tanyanya lagi.

"Jangan bunuh anakku!"

"Hemmm, kalau begitu kalian harus mampus!" Dan Raja Iblis sudah menerjang isterinya dengan dahsyat.

Ratu Iblis menangkis dan dia pun terjengkang, sungguh pun tidak sehebat puterinya tadi. Dia meloncat bangun dan kini Hui Cu juga sudah meloncat dekat ibunya. Ketika Raja Iblis menyerang lagi, dia disambut oleh isterinya dan puterinya!

Terjadilah perkelahian yang seru hingga membuat para pendekar yang sudah tiba di situ memandang bengong dan mereka tidak tahu harus berbuat apa. Mereka mengejar Raja dan Ratu Iblis, akan tetapi sekarang musuh-musuh yang dikejar itu bahkan saling hantam sendiri. Hal ini membuat mereka bingung, tidak tahu harus membantu siapa!

Betapa pun lihainya Ratu Iblis, tapi menghadapi suaminya sama saja dengan menghadapi gurunya. Dan kepandaian Hui Cu belum ada artinya kalau dibandingkan dengan ayahnya itu. Oleh karena itu, dalam waktu tiga puluh jurus saja, pukulan tangan kiri Raja Iblis telah menyambar dengan tepat mengenai dada isterinya sendiri.

"Dukkk...!" Tubuh nenek itu terjengkang dan terbanting keras.

"Ibuuu...!" Hui Cu menubruk ibunya.

Pada saat itu, dengan kemarahan meluap Raja Iblis menyerang anaknya. Akan tetapi, Sui Cin, Hui Song, Ci Kang dan Cia Sun seperti dikomando telah menerjang maju, menyerang Raja Iblis yang sedang hendak membunuh puterinya itu.

Serangan empat orang muda yang perkasa itu dahsyat bukan main, membuat Raja Iblis terpaksa menarik kembali serangannya terhadap Hui Cu lantas berloncatan ke belakang untuk menghindarkan diri dari hujan serangan yang berbahaya itu.

Kini gedung kuno yang menjadi harapannya untuk dapat menyembunyikan atau melarikan diri telah dihancurkan puterinya sendiri, dan pembantunya yang paling dapat diandalkan, yaitu Ratu Iblis, sudah tewas atau setidaknya sudah tidak mampu membantunya lagi. Ada pun melarikan diri dari empat orang muda perkasa ini juga percuma karena dia sendiri sudah sangat lelah dan kalau disuruh berlomba lari, tentu dia akan kehabisan napas dan akhirnya tersusul juga.

Dia lalu mengeluarkan suara pekik melengking dan selagi tenaganya masih ada, tiada lain jalan bagi Pangeran Toan Jit Ong atau Raja Iblis kecuali terus melawan dan berusaha mengamuk, menjatuhkan semua lawan yang empat orang ini karena empat orang kakek itu tidak ada yang berani maju melanggar sumpah mereka sendiri. Oleh karena itu, Raja Iblis segera mengeluarkan suara pekik melengking dan membalas serangan empat orang pengeroyoknya yang cepat menghindar pula.

Kini terjadilah perkelahian yang hebat dan mati-matian antara Raja Iblis yang dikeroyok oleh empat orang pendekar muda perkasa itu. Dan kini, empat orang kakek sakti tak perlu lagi memberi petunjuk kepada murid masing-masing. Dengan hilangnya Ratu Iblis, maka kekuatan Raja Iblis banyak berkurang sehingga empat orang muda itu mulai mendesak dan memperketat pengepungan mereka. Bahkan Ci Kang dan Hui Song sudah berhasil menyarangkan pukulan masing-masing ke tubuh Raja Iblis.

Akan tetapi kakek ini mempunyai kekebalan yang amat kuat sehingga pukulan dua orang muda itu nampaknya tidak berbekas. Tapi betapa pun juga, bukan berarti bahwa pukulan itu sama sekali tidak ada artinya. Biar pun kulit kebal dapat membuat pukulan-pukulan itu membalik, namun Raja Iblis mengalami getaran hebat di sebelah dalam tubuhnya, dan dia pun sudah mengerahkan terlampau banyak tenaga untuk menahan pukulan-pukulan tadi. Gerakannya jelas nampak semakin lemah dan semakin lambat.

Hal ini membuat empat orang pengeroyoknya bertambah semangat hingga kembali tubuh kakek itu terkena pukulan, sekali ini Sui Cin yang menampar lambungnya, disusul Cia Sun mendaratkan pukulannya ke arah pundak. Kakek itu terhuyung ke belakang dan pada saat Hui Song menyusulkan sebuah tendangan keras yang mengenai perutnya, kakek itu mencelat ke belakang dan dari mulutnya tersembur darah segar.

Namun dia memekik lantas menubruk maju. Hampir saja Sui Cin kena dicengkeram kalau saja Hui Song tidak cepat menolongnya dengan tangkisan yang membuat tubuh pemuda itu terjengkang, akan tetapi Sui Cin luput dari cengkeraman maut! Ci Kang menampar pula dari belakang, tamparan yang sangat keras mengenai tengkuk Raja Iblis. Tubuh kakek itu terputar dan kembali dia terhuyung-huyung. Dan tiba-tiba saja kakek itu terpelanting lalu jatuh menelungkup tak bergerak lagi.

Empat orang pendekar muda itu tidak berani mendekat, khawatir kalau-kalau Raja Iblis hanya pura-pura roboh dan kalau mereka mendekat dengan gegabah, mereka mungkin celaka oleh serangan mendadak. Akan tetapi, beberapa menit mereka menunggu, tubuh kakek itu tetap tidak bergerak dan tiba-tiba terdengar Ciu-sian Lo-kai terkekeh.

"Ha-ha-ha, akhirnya Raja Iblis mati juga!"

Mendengar ucapan suhu-nya ini, barulah Ci Kang berani menghampiri dan membalikkan tubuh yang menelungkup itu. Nampak darah memenuhi tanah di bawah tubuh dan kiranya sebatang pedang sudah menancap di dada kakek itu. Pedangnya sendiri! Setelah melihat bahwa dia tak akan menang, kakek itu lalu membunuh diri, memilih mati di tangan sendiri dari pada di tangan empat orang muda itu!

Kini mereka semua menujukan perhatian kepada Hui Cu yang masih menangisi ibunya. Nenek itu masih belum tewas walau pun napasnya sudah empas-empis. Tiba-tiba saja dia berkata, "Yang mana yang bernama Cia Sun...?"

Mendengar pertanyaan ini, Cia Sun mendekat dan berlutut di sebelah Hui Cu yang masih menangis terisak-isak. Melihat Cia Sun, nenek itu mengangguk lemah. Ia telah mengenal pemuda ini, sudah pernah jumpa di dalam goa bawah tanah.

"Engkau seorang pemuda yang gagah, dan aku gembira Hui Cu mencintamu. Cia Sun, maukah kau berjanji untuk melindungi anakku Hui Cu dan menjadi suaminya? Ia sungguh mencintamu..." suaranya sangat lemah dan agaknya nenek ini telah mengerahkan tenaga terakhir untuk bicara itu.

CIA SUN mengerutkan alisnya. Dia tidak peduli terhadap nenek ini yang dia tahu adalah seorang nenek yang keji dan jahat sekali. Akan tetapi dia harus mengakui pada diri sendiri bahwa dia merasa suka dan sayang terhadap Hui Cu yang dianggapnya seorang gadis yang sangat baik. Tadi saja sudah terbukti bahwa Hui Cu menentang kejahatan dengan membakar gedung kuno itu.

Akan tetapi, dia tidak mencinta Hui Cu dan hal ini sudah dia katakan terus terang kepada Hui Cu! Hal seperti ini mana mungkin dibicarakan di hadapan orang banyak? Hanya akan membuat Hui Cu berduka dan malu saja. Akan tetapi nenek itu kini berada dalam sakratul maut dan dia harus bicara terus terang.

"Sayang, aku tidak dapat memenuhi permintaanmu. Aku akan melindungi Hui Cu sebagai seorang sahabat, akan tetapi... aku tidak bisa menjadi suaminya..."

Nenek itu terbelalak dan tangis Hui Cu semakin menjadi-jadi. "Apa? Kau... kau tidak cinta padanya? Engkau berani menolak?" Nenek itu tiba-tiba bangkit dan mengerahkan tenaga untuk menyerang Cia Sun, akan tetapi dia terpelanting dan napasnya putus.

Hui Cu bangkit, mukanya pucat ketika dia memandang pada mayat ibunya. "Ibu... kau... kau kejam... kejam...!" Dan gadis itu pun melarikan diri dengan amat cepatnya.

"Hui Cu...!" Cia Sun memanggil, akan tetapi gadis itu tidak menoleh dan terus lari dengan amat cepatnya. Cia Sun tidak dapat berbuat lain kecuali menghela napas panjang.

Sementara itu, Hui Song menghampiri ayahnya dan mereka pun saling pandang dengan wajah muram dan hati berduka.

"Ayah... kongkong dan ibu..."

Cia Kong Liang mengangguk. "Aku sudah tahu, mereka tewas oleh Raja dan Ratu Iblis, dan engkau sudah membalaskan kematian mereka."

"Ayah...!" Hui Song menahan air matanya, mendekati ayahnya lantas mereka pun saling berpegang tangan. Dari tangan mereka terasa getaran dan kedua orang pria yang kuat ini saling menghibur dengan pegangan tangan mereka itu.

"Aku telah tertipu, Song-ji..."

"Sudahlah, ayah. Aku sudah mendengar dari para suheng. Akan tetapi, ayah sudah cepat berbalik pikiran setelah mengetahuinya dan bagaimana pun juga, Cin-ling-pai telah banyak membantu pemerintah dalam menentang pemberontak."

"Song-ji, perkenalkanlah aku dengan para locianpwe ini. Apakah locianpwe itu gurumu?" ketua Cin-ling-pai berkata. "Juga siapakah gadis gagah itu? Siangkoan Ci Kang dan Cia Sun aku sudah kenal."

Hui Song lalu memperkenalkan Siang-kiang Lo-jin sebagai gurunya, juga Wu-yi Lo-jin guru Sui Cin, Ciu-sian Lo-kai guru Ci Kang dan Go-bi San-jin guru Cia Sun. "Dan ini adalah nona Ceng Sui Cin, puteri tunggal dari locianpwe Ceng Thian Sin di Pulau Teratai Merah."

"Ahh, puteri Pendekar Sadis?" Ketua Cin-ling-pai itu bertanya sambil memandang penuh perhatian kepada Sui Cin. "Pantas lihai bukan main!"

"Dan ini adalah gadis yang kucinta, ayah, telah kucalonkan dia menjadi isteriku!" kata Hui Song dengan cepat sambil mengerling ke arah Ci Kang dan Cia Sun. Dia tahu bahwa dua orang muda itu agaknya juga menaruh hati kepada Sui Cin, maka kini di hadapan banyak orang, dengan terang-terangan dia mengaku cintanya kepada gadis itu kepada ayahnya.

Mendengar ucapan muridnya itu, Siang-kiang Lo-jin tertawa dan perutnya yang gendut itu bergerak-gerak. "Ha-ha-ha-ha, ketua Cin-ling-pai sungguh beruntung mempunyai seorang putera yang jujur dan berani berterus terang tidak malu-malu kucing!"

Cia Kong Liang tersenyum. Dalam hati kecilnya, dia kurang suka jika puteranya berjodoh dengan puteri Pendekar Sadis, karena dalam pandangannya, Pendekar Sadis merupakan seorang pendekar yang terlalu kejam terhadap musuh-musuhnya. Akan tetapi dia sudah mendapat banyak pengalaman dalam peristiwa pemberontakan itu sehingga dia menekan perasaannya dan dia menjura kepada kakek gendut itu.

"Berkat bimbingan locianpwe anakku yang bodoh menjadi tabah. Nona Ceng, terus terang saja, setelah mendengar kata-kata anakku, bagaimana pendapatmu tentang itu?"

Pertanyaan yang diajukan ketua Cin-ling-pai ini malah lebih terang-terangan lagi dari pada puteranya. Pendekar ini bertanya kepada seorang gadis begitu saja tentang pendapatnya mengenai pemyataan cinta puteranya!

Sui Cin adalah seorang dara yang berwatak polos, jenaka dan bebas. Terutama sekali dia mencinta kebebasan yang sejak kecil memang diberikan oleh ayah bundanya kepadanya maka sikap Hui Song dan ayahnya itu tidak membuat dia bingung biar pun kedua pipinya kini menjadi lebih merah dari pada biasanya.

"Locianpwe, Song-ko adalah seorang sahabatku yang baik. Aku suka kepadanya..."

"Suka ataukah cinta? He-he, kukira muridku juga bukan seorang yang pemalu dan suka berpura-pura. Sui Cin, suka berbeda dengan cinta!" Tiba-tiba Wu-yi Lo-jin berkata sambil terkekeh.

Sui Cin melirik kepada gurunya. Sialan. Gurunya ini lebih terang-terangan lagi sehingga ia merasa tersudut. "Yaah, mungkin aku juga cinta padanya dan tentang perjodohan... wah, biarlah hal itu ayah ibuku yang memutuskan!"

Jawaban ini membuat semua orang tersenyum dan Hui Song nampak girang bukan main. Cia Sun diam-diam menarik napas panjang dan dia pun hanya menundukkan muka saja, ada pun Ci Kang juga menundukkan muka. Hanya mereka sendiri yang dapat merasakan kepahitan yang sejenak menyelubungi hati mereka sesudah mendengar jawaban Sui Cin yang terang-terangan menyatakan cintanya kepada Hui Song itu.

Cia Kong Liang mengangguk-angguk. "Baiklah, apa bila kalian memang saling mencinta, kelak aku akan menemui Pendekar Sadis untuk membicarakan urusan perjodohan kalian. Kini aku harus mengucapkan terima kasih kepada para locianpwe yang sudah menolong calon menantuku ini, juga tidak lupa aku berterima kasih sekali kepada Ci Kang dan Cia Sun, terutama Ci Kang karena tanpa adanya dia ini, mungkin sekarang aku sudah mati dikeroyok oleh para pemberontak anak buah Raja Iblis."

"Nanti dulu, ayah!" tiba-tiba Hui Song berkata dengan suara nyaring hingga mengejutkan hati semua orang.

Agaknya hati pendekar muda yang sedang bergelora penuh cinta asmara terhadap Sui Cin ini masih belum dapat melenyapkan rasa marah dan cemburu apa bila teringat akan perbuatan yang pernah dilakukan Siangkoan Ci Kang pada kekasihnya. Membayangkan peristiwa yang lalu, betapa Ci Kang dengan kekerasan merangkul dan menciumi Sui Cin, hatinya menjadi panas dan kini mendengar Ci Kang dipuji-puji ayahnya, dia pun tak dapat menerimanya.

"Kita tidak dapat menilai hati seseorang melalui satu perbuatannya saja. Siapa tahu ketika Siangkoan Ci Kang menolong ayah, hal itu dilakukan secara kebetulan atau hanya untuk mencari muka. Dia itu sesungguhnya seorang yang jahat, seorang tokoh sesat, ayah!"

Siangkoan Ci Kang mengangkat muka memandang kepada Hui Song. Sedikit pun tidak nampak penyesalan di wajahnya yang gagah, bahkan sinar matanya masih lembut seperti biasa. Dia maklum apa yang sedang terjadi di dalam batin pemuda tampan itu.

Dia tahu betapa cemburu dan kemarahan membuat Hui Song membenci padanya, atas perbuatannya kepada Sui Cin tempo hari. Dan dia tidak menyalahkan Hui Song. Apa lagi Hui Song, dia sendiri pun marah dan menyesal sekali atas peristiwa yang terjadi itu dan sulit baginya untuk memaafkan dirinya sendiri. Oleh karena itu dia menanti saja apa yang hendak dikatakan oleh Hui Song yang nampaknya penasaran sekali dan siap membuka keburukan namanya di depan semua orang.

Akan tetapi jawaban Cia Kong Liang sungguh di luar dugaan semua orang, terutama sekali Hui Song. Ketua Cin-ling-pai itu menjawab tenang, "Hui Song, agaknya aku lebih mengenal dia dari pada engkau. Aku sudah tahu, dan dia mengaku sendiri bahwa dia adalah putera tunggal mendiang Siangkoan Lo-jin..."

"Baik sekali apa bila ayah sudah mengetahuinya," kata Hui Song memotong. "Akan tetapi tahu jugakah ayah bahwa Siangkoan Lo-jin itu adalah Si Iblis Buta, yang sebelum muncul Raja dan Ratu Iblis menjadi datuk kaum sesat yang dibantu oleh Cap-sha-kui!"

Ayahnya menarik napas panjang dan mengangguk. "Aku tahu semuanya itu, Song-ji, dan keadaan keluarganya itu bahkan semakin mengagumkan hatiku terhadap Ci Kang, karena dia seperti sekuntum bunga teratai yang hidup di tengah lumpur, tetap indah dan bersih. Aku melihat sendiri betapa hebat sepak terjangnya dalam menentang kejahatan..."

"Ayah belum tahu apa yang tersembunyi di balik kedok domba itu! Ayah, dia jahat sekali! Dia pernah berusaha untuk memperkosa adik Sui Cin...!"

"Song-ko...!" Sui Cin terkejut dan segera menegur karena dia menganggap bahwa tidak pantas pemuda itu membuka rahasia itu.

"Cin-moi, kalau tidak kuberi tahukan sekarang, tentu semua orang akan menganggap dia seorang yang sebaik-baiknya dan hal itu amat berbahaya," bantah Hui Song.

Cia Kong Liang mengerutkan alis, sejenak matanya memandang pada puteranya dengan sinar marah. Sebagai seorang yang berpandangan tajam dia pun dapat menduga bahwa di dalam batin puteranya itu penuh dengan kebencian dan cemburu. Dia lalu mengalihkan pandang matanya, memandang wajah Siangkoan Ci Kang namun pemuda itu sama sekali tidak membantah, hanya menundukkan mukanya yang menjadi agak pucat, wajah yang membayangkan penyesalan besar.

Ucapan Hui Song itu membuat semua orang terkejut. Bahkan Cia Sun yang tadinya amat percaya dan suka kepada Ci Kang yang gagah perkasa, kini ikut memandang dengan alis berkerut. Kakek Ciu-sian Lo-kai yang biasanya suka berkelakar dan jenaka itu, wajahnya langsung berubah dan alisnya berkerut ketika dia memandang kepada muridnya.

"Siangkoan Ci Kang!" tiba-tiba kakek tinggi kurus yang berpakaian pengemis ini berkata, suaranya keras galak, kedua matanya mengeluarkan sinar berkilat. "Benarkah apa yang dituduhkan orang kepadamu? Benarkah bahwa engkau pernah hendak memperkosa nona Ceng Sui Cin ini?"

Semua orang kini memandang kepada Ci Kang, terutama sekali Cia Sun yang merasa bingung dan sulit mempercayai berita bahwa sahabatnya itu pernah hendak memperkosa Sui Cin. Ci Kang mengangkat mukanya yang agak pucat itu, pertama-tama memandang ke arah Sui Cin yang juga memandang kepadanya, kemudian dia memandang kepada gurunya, lalu menunduk kembali dan suaranya lirih dan jelas.

"Benar, suhu. Saya pernah melakukan hal itu."

Sepasang mata Ciu-sian Lo-kai terbelalak, juga semua orang terkejut sekali mendengar pengakuan blak-blakan ini. "Ci Kang! Engkau memalukan aku yang menjadi gurumu! Aku tidak pernah mengajarkan engkau untuk bertindak biadab seperti itu!"

Dengan sikap tenang Ci Kang menjawab, "Suhu mengajarkan supaya saya bersikap jujur dan berani mempertanggung jawabkan semua tindakan saya."

"Hemm, engkau telah melakukan perbuatan terkutuk, lalu apa tanggung jawabmu?" desak kakek tinggi kurus itu dengan marah.

"Saya akan menerima segala hukuman yang dijatuhkan kepada saya untuk perbuatan itu, suhu," jawab Ci Kang dengan tenang dan sedikit pun tidak kelihatan gentar.

Kakek tinggi kurus itu menarik napas panjang dan wajahnya nampak lega. "Ahhh, paling tidak engkau cukup gagah untuk mengakui kesalahan dan menerima hukuman. Nah, aku yang akan menghukummu di hadapan orang banyak ini. Aku harus mencabut sebagian kepandaianmu dan melumpuhkan separuh badanmu!" Berkata demikian, Ciu-sian Lo-kai melangkah maju menghampiri muridnya, sementara Ci Kang hanya berdiri tenang sambil menundukkan mukanya saja, menanti datangnya hukuman dengan pasrah.

"Nanti dulu!" Tiba-tiba saja Cia Sun meloncat ke depan dan menghadang Ciu-sian Lo-kai. "Locianpwe, harap maafkan jika aku turut mencampuri urusan ini karena Ci Kang adalah sababatku yang sangat baik dan aku mengenal benar kegagahannya. Kita semua sudah mendengar tuduhan paman Cia Hui Song dan juga Ci Kang tidak menyangkal tuduhan itu dan dia demikian gagahnya untuk mempertanggung jawabkan perbuatan yang dituduhkan kepadanya. Akan tetapi di sini kita masih mempunyai seorang saksi utama yang belum menyatakan kesaksiannya. Cin-moi, kenapa engkau berdiam diri saja? Pendapat semua orang bisa saja keliru, hanya engkau seoranglah yang bisa menjelaskan apa sebenarnya yang sudah teriadi. Dalam urusan ini aku hanya dapat mempercayai keteranganmu saja. Benarkah tuduhan paman Hui Song terhadap Ci Kang tadi?"

Kini semua orang memandang kepada Sui Cin. Semenjak tadi gadis itu menjadi merah mukanya dan dia sampai kehilangan suaranya saking terkejut dan malunya mendengar betapa Hui Song membuka rahasia Ci Kang itu. Kini, secara langsung Cia Sun bertanya kepadanya dan dia pun menarik napas panjang lalu memandang kepada Ci Kang dengan sinar mata kasihan.

"Apa yang dituduhkan Song-ko memang benar dan tadinya aku pun menyangka bahwa saudara Ci Kang melakukan perbuatan yang sangat jahat terhadap diriku. Hal itu terjadi pada saat dia dan aku menjadi wakil suku bangsa untuk memilih pimpinan dan dia terluka oleh jarum-jarumku. Karena merasa menyesal, aku mengunjungi dia ke perkemahannya untuk mengobatinya. Akan tetapi, sesudah dia sadar, dia malah melakukan usaha untuk memaksaku... dan pada saat itu, Song-ko muncul dan terjadi perkelahian sampai saudara Ci Kang melarikan diri. Pada waktu itu, tentu saja Song-ko menyangka bahwa saudara Ci Kang hendak memperkosaku, bahkan aku sendiri pun mempunyai dugaan demikian."

"Nah, sudah jelas! Tunggu apa lagi?" seru Hui Song.

"Nanti dulu, Song-ko!" kata Sui Cin mengerutkan alisnya. "Hati yang penuh rasa cemburu akan mengundang kebencian dan selalu berprasangka buruk. Aku tadi telah mengatakan bahwa pada waktu peristiwa itu terjadi, aku pun menduga bahwa saudara Ci Kang sudah melakukan perbuatan yang rendah dan jahat. Akan tetapi, kemudian baru aku tahu bahwa hal memalukan itu terjadi bukan karena kesalahannya! Sama sekali dia tidak bersalah!"

Hui Song memandang dengan mata terbelalak dan wajah Cia Sun berseri-seri. Sudah dia duga. Dia tidak akan mungkin dapat percaya bahwa sahabatnya itu melakukan hal yang demikian rendahnya. Biar pun belum lama bergaul dengan Ci Kang, dia sudah mengenal pemuda ini sebagai seorang jantan yang berjiwa gagah perkasa.

"Nona Ceng Sui Cin, bicaralah yang jelas. Tadi nona mengakui bahwa muridku ini sudah berusaha memperkosamu, akan tetapi selanjutnya nona katakan bahwa dia tak bersalah! Apa artinya keteranganmu yang bertentangan itu?" Ciu-sian Lo-kai mendesak.

Kini Ci Kang sendiri merasa amat tertarik. Selama ini dia hanya merasa sangat menyesal atas perbuatannya terhadap Sui Cin itu. Dia sendiri tidak tahu mengapa dia sampai bisa melakukan hal yang terkutuk itu. Sekarang, mendengar keterangan Sui Cin, tentu saja dia tertarik sekali sehingga dia mengangkat muka memandang kepada gadis itu.

"Ketika mengunjungi perkemahan saudara Ci Kang untuk mengobatinya, aku membawa juga obat dari subo Yelu Kim. Dan ternyata obat itu manjur. Akan tetapi baru kemudian aku mendengar dari subo Yelu Kim bahwa obat itu mengandung racun perangsang dan racun inilah yang membuat saudara Ci Kang melakukan perbuatan itu terhadap diriku. Dia keracunan, bukan sengaja hendak berbuat keji terhadap diriku. Dia tidak bersalah, yang salah adalah obat pemberian subo Yelu Kim itu."

Bukan main lega rasa hati Cia Sun, Ciu-sian Lo-kai dan terutama Ci Kang sendiri. Wajah pemuda ini menjadi merah lagi dan dia memandang kepada Sui Cin dengan perasaan terima kasih yang besar. Gadis itu seakan-akan sudah mengangkatnya keluar dari dalam jurang kehinaan yang selama ini membuatnya berduka dan murung. Akan tetapi dia pun marah kepada nenek Yelu Kim dan dia mengepal tinju.

"Ahh, nenek Yelu Kim sungguh keji dan jahat!" katanya.

"Saudara Ci Kang hendaknya tidak salah sangka terhadap subo Yelu Kim!" kata Sui Cin setelah melihat sikap pemuda itu. "Subo Yelu Kim tidak berniat jahat dengan pemberian obat itu."

"Tidak jahat? Nona, dia hampir membuat aku menjadi seorang hina, membuat aku hampir putus asa karena penyesalan, dan engkau masih mengatakan bahwa dia tidak jahat?" Ci Kang berseru heran.

Sui Cin menggeleng kepala sambil tersenyum simpul. "Tidak, dia sama sekali tidak jahat, saudara Ci Kang. Semua terjadi karena salah pengertian. Ketika subo melihat betapa aku merasa menyesal melukaimu dan hendak mengobatimu, dia salah sangka. Dia mengira bahwa aku jatuh cinta kepadamu... kemudian... dengan obat itu, dia bermaksud hendak membantuku...! Ingat, subo adalah pemimpin suku-suku liar, jadi... dalam hal itu, mungkin saja cara berpikirnya dan kebiasaan suku liar itu sendiri jauh berbeda dengan kita..."

Cia Kong Liang memandang kepada puteranya. "Song-ji, engkau telah mendengar sendiri sekarang! Lain kali, jangan sembarangan menjatuhkan tuduhan jika belum mengerti benar apa yang menjadi sebab-sebab perbuatan itu. Tuduban yang tanpa dasar bisa merupakan fitnah keji."

Wajah Hui Song menjadi merah padam, akan tetapi dengan gagah dia segera menjura kepada Ci Kang. "Siangkoan Ci Kang, maafkanlah aku. Akan tetapi, siapa dapat menduga mengenai racun itu? Sebelum mendengar dari nenek Yelu Kim, Cin-moi sendiri juga tidak tahu. Jadi, aku tidak menuduh secara membabi buta, harap kau dapat memakluminya."

Diam-diam Ci Kang merasa kagum. Biar pun akibat cemburunya pemuda ini menjatuhkan tuduhan penuh kebencian kepadanya, akan tetapi sekarang mau mengakui kesalahannya secara gagah perkasa dan minta maaf. Seperti juga ayahnya yang telah melakukan salah langkah yang amat hebat dan membawa anak buah membantu para pemberontak, akan tetapi setelah sadar berani bertindak membetulkan langkah, bahkan dengan pengorbanan nyawa isteri dan ayah mertuanya, dan banyak pula anak murid yang menjadi korban.....

"Sui Cin! Apa saja yang telah kau lakukan selama ini?" Tiba-tiba terdengar suara teguran yang nyaring, suara seorang wanita.

Begitu suara itu berhenti, nampak dua bayangan orang berkelebat dan di situ telah berdiri seorang pria berusia hampir lima puluh tahun yang tampan dan gagah, bersama seorang wanita yang usianya sebaya, cantik dan mengenakan pakaian mewah indah seperti pria itu pula. Mereka ini adalah Ceng Thian Sin atau Pendekar Sadis, bersama isterinya, Toan Kim Hong yang pernah berjuluk Lam-sin (Malaikat Selatan).

"Ayah...! Ibu...!" Sui Cin berseru gembira bukan main dan cepat dia berlari menghampiri mereka lalu saling rangkul dengan ibunya.

Pakaian dara itu sederhana saja, malah agak nyentrik, sedangkan ibunya berpakaian rapi dan amat mewah, sungguh besar perbedaan pakaian mereka. Akan tetapi wajah mereka sama-sama cantik dan manis.

"Ayah, ibu, mari kuperkenalkan pada orang-orang gagah ini!" kata Sui Cin dengan lincah gembira sambil menuntun tangan ibunya. "Cu-wi yang gagah, mereka ini adalah ayahku dan ibuku! Ayah, ibu, empat orang kakek ini adalah tokoh-tokoh sakti yang memimpin para pendekar menghadapi Raja Iblis serta kaki tangannya. Ini adalah suhu Wu-yi Lo-jin yang terkenal dengan sebutan Dewa Arak. Beliau sudah menjadi guruku, membimbingku selama tiga tahun."

"Heh-heh, aku tua bangka ini sudah lancang dan tak tahu diri berani menjadi guru puteri Pendekar Sadis yang sangat lihai!" kata Wu-yi Lo-jin. Akan tetapi sambil tertawa Ceng Thian Sin menjura.

"Bimbingan locianpwe terhadap anak kami yang bodoh merupakan budi yang besar sekali dan kami amat berterima kasih."

Sui Cin lalu melanjutkan. "Dan ini adalah locianpwe Siang-kiang Lo-jin yang disebut Dewa Kipas, lihai dan lucu, juga amat baik hati. Dan yang ini locianpwe Ciu-sian Lo-kai dan itu Go-bi San-jin. Pemuda ini adalah Cia Sun toako, putera dari paman Cia Han Tiong..."

Cia Sun cepat-cepat memberi hormat kepada Pendekar Sadis dan isterinya. Ceng Thian Sin girang sekali melihat Cia Sun dan memegang pundak pemuda itu sambil memandang wajahnya dengan penuh perhatian. "Ahh, kanda Cia Han Tiong memiliki seorang putera yang gagah perkasa, aku girang sekali."

"Ayah dan ibu, ini adalah enci Tan Siang Wi dan ini koko Cia Hui Song serta ayahnya, ketua Cin-ling-pai, lociawpwe Cia Kong Liang."

Mereka berhadapan dan saling pandang, kemudian Ceng Thian Sin dan isterinya menjura dengan hormat kepada ketua Cin-ling-pai yang dibalas dengan sikap sederhana oleh Cia Kong Liang sambil berkata, "Gembira sekali dapat bertemu lagi dengan ji-wi di tempat ini."

Sebelum mereka sempat bercakap-cakap, tiba-tiba nampak seorang laki-laki berlari-lari mendatangi dan dengan napas agak terengah-engah, pria ini lalu maju dan menudingkan telunjuknya ke arah Hui Song.

"Itu dia! Itulah dia si jahanam Cia Hui Song, keparat yang tidak kenal budi. Penjahat keji yang terkutuk itu!" Orang itu lalu menoleh ke arah Pendekar Sadis dan isterinya. "Orang gagah, engkau telah berjanji, cepat tangkap dan seret dia seperti yang telah kau janjikan!"

Sementara itu, melihat pria ini, Hui Song sudah melangkah maju. "Ehh... ehh, saudaraku, Lam-nong, apakah yang telah terjadi? Kenapa engkau bersikap seperti ini?"

Lam-nong meloncat ke belakang dan matanya melotot. "Jangan menyentuh aku! Apakah engkau mau membunuh aku juga? Sebelum engkau membunuhku, biarlah semua orang gagah ini mendengar perbuatan apa yang telah kau lakukan kepada keluargaku, kepada suku kami!"

Hui Song mengerutkan alisnya dan memandang bingung. Apakah Lam-nong telah menjadi gila, pikirnya. "Saudara Lam-nong, mengapa kau begini?"

"Tak usah berpura-pura. Anak buahku melihat dengan mata sendiri, dan dia tak mungkin berbohong. Kami sudah menerimamu sebagai seorang sahabat baik, membagi makanan yang kami makan dan minuman yang kami minum. Akan tetapi engkau sudah membalas dengan perbuatan terkutuk! Engkau telah membantu para pemberontak, menghancurkan seluruh anak buahku, bahkan engkau sudah merampas isteri-isteriku, memaksa mereka untuk berjinah denganmu dan akhirnya membunuh mereka. Engkau benar-benar manusia iblis! Terkutuk!" Lam-nong maju menyerang dengan nekat, akan tetapi sekali dorong saja Hui Song membuat dia terpelanting.

Ceng Thian Sin langsung maju dan menangkis tangan Hui Song yang hendak menampar Lam-nong.

"Dukkk...!" Dan Hui Song merasa lengannya tergetar hebat, maka dia pun meloncat ke belakang.

"Aku dan isteriku bertemu dengan dia ini yang hampir gila akibat duka mendengar betapa keluarganya hancur. Dan anak buahnya melihat sendiri semua yang sudah diceritakannya tadi, karena itu, sebelum semuanya jelas, jangan persalahkan dia dulu."

"Tapi, tapi... saya tidak..." Hui Song tergagap, tentu saja tidak berani melawan ayah Sui Cin!

"Song-ji!" Tiba-tiba terdengar suara ayahnya membentak marah. "Apa yang sebenarnya telah terjadi? Tak mungkin orang menuduhmu membabi-buta tanpa sebab! Hayo ceritakan sejujurnya!"

"Ayah, sungguh mati aku tidak pernah melakukan perbuatan itu..."

"Cia Hui Song, selain jahat engkau juga pengecut, tak berani mengakui perbuatan sendiri! Anak buahku melihat dengan mata kepalanya sendiri. Ia melihat engkau berada di dalam kamar bersama isteri-isteriku yang kau paksa melayanimu! Hayo katakan, tidak benarkah engkau berada di dalam kamar tidur bersama mereka?"

Kini Hui Song maklum bahwa sudah terjadi kesalah pahaman yang hebat. Pada saat dia ditawan oleh Sim Thian Bu, memang orang bisa saja salah paham kalau melihat betapa selir-selir Lam-nong dipaksa datang melayaninya,.

"Aku tidak menyangkal. Memang aku berada dalam kamar bersama isteri-isterimu, akan tetapi..."

"Nah, taihiap sudah mendengar sendiri. Sekarang harap taihiap tangkapkan penjahat ini untukku seperti yang telah taihiap janjikan!" Lam-nong berkata kepada suami isteri Pulau Teratai Merah itu.

"Pemuda tak tahu malu!" tiba-tiba Toan Kim Hong membentak.

Tubuh wanita ini sudah menyambar ke depan, ke arah Hui Song. Tangannya terulur untuk mencengkeram pundak Hui Song karena nyonya ini telah menjadi marah bukan main dan merasa yakin akan keterangan Lam-nong.

"Dukkk...!"

Tiba-tiba Ci Kong Liang menggerakkan tubuhnya dan dengan cepat dia sudah menangkis lengan wanita itu sehingga keduanya merasa betapa lengan mereka tergetar hebat akibat pertemuan tenaga dahsyat itu. Toan Kim Hong memandang dan tersenyum mengejek, sinar matanya berkilat.

"Hemm, bagus sekali! Tadinya ketua Cin-ling-pai telah melakukan salah perhitungan dan membantu para pemberontak yang bersekutu dengan golongan sesat, apakah kini hendak mengulang lagi dengan membantu anak yang menyeleweng dan melakukan perbuatan-perbuatan rendah?"

Akan tetapi dengan sikap angkuh dan tenang Cia Kong Liang menjawab, "Kesalahan anak harus dipertanggung jawabkan orang tuanya! Aku sebagai ayahnya masih hidup, mana bisa aku membiarkan saja orang lain hendak menghukum anakku? Aku sendiri masih dapat menghajarnya!"

Campur tangan Toan Kim Hong tadi membuat ketua Cin-ling-pai sangat tersinggung dan kemarahannya tentu saja ditumpahkannya kepada Hui Song yang dianggap menjadi biang keladinya. Tangannya bergerak ke kiri dan tahu-tahu dia sudah mencabut pedang yang tadinya tergantung di punggung Siang Wi. Muridnya terkejut bukan main.

"Suhu...!" Siang Wi berseru dengan muka pucat, akan tetapi gurunya memandang dengan mata penuh teguran sehingga gadis ini menunduk dan takut, akan tetapi mukanya yang pucat menjadi semakin pucat ketika dia melirik ke arah Hui Song.

"Hui Song, engkau tahu bahwa kita orang-orang Cin-ling-pai ini selalu berani bertanggung jawab atas perbuatan kita dan bahwa kita selalu siap menerima hukuman untuk perbuatan kita. Nah, sekarang aku perintahkan engkau untuk membuang sebelah lenganmu sebagai penebus perbuatanmu itu. Engkau hendak melakukannya sendiri ataukah harus aku yang melaksanakannya?"


cerita silat online karya kho ping hoo


Semua orang terbelalak, ada pun Sui Cin mengeluarkan seruan tertahan, matanya dibuka lebar-lebar memandang kepada Hui Song. Dia sendiri tak dapat percaya bahwa pemuda yang dicintanya itu telah melakukan perbuatan yang begitu jahat seperti yang dituduhkan oleh Lam-nong. Akan tetapi kalau saksi telah ada, bahkan ayah bundanya sendiri sudah percaya, apa yang mampu dia lakukan? Hatinya merasa tegang bukan main dan rasanya dia ingin lari saja meninggalkan tempat yang menegangkan itu.


Hui Song yang biasanya lincah gembira itu, kini wajahnya menjadi agak pucat dan lesu. Dia mengenal watak ayahnya yang keras dan memegang peraturan dengan patuh, sedikit pun tidak dapat ditawar-tawar lagi. Membantah ayahnya juga tiada gunanya, malah hanya menimbulkan gambaran bahwa dia tidak berani menghadapi akibat dari pada hukuman itu saja. Akan tetapi, menerima hukuman itu pun merupakan sesuatu yang sangat penasaran karena dia sama sekali tidak pernah melakukan perbuatan laknat seperti yang dituduhkan Lam-nong kepadanya.

"Ayah, aku bukan seorang pengecut yang suka mengelak hukuman, kalau memang aku bersalah. Dan aku merasa tidak bersalah. Akan tetapi, kalau ayah menetapkan demikian, terserah kepada ayah!" Dengan berani dia menatap pandang mata ayahnya dan melihat betapa sinar mata orang tua itu suram dan layu.

Teringatlah dia bahwa baru saja ayahnya kehilangan ibunya dan juga kongkong-nya. Dia tahu alangkah hebat penderitaan yang terasa di dalam batin ayahnya dan sekarang harus menghadapi urusannya pula. Dia merasa kasihan sekali.

"Ayah, kalau hal itu menyenangkan hatimu, laksanakanlah hukuman itu!" katanya dengan gagah dan ikhlas.

Cia Kong Liang yang merasa batinnya sedang terhimpit itu menerima ucapan Hui Song sebagai satu tantangan, sedangkan keikhlasan itu dianggap sebagai pengakuan bersalah. Maka dia pun mengambil keputusan bulat untuk melaksanakan hukuman itu terhadap diri putera tunggalnya!

Hatinya akan hancur dan merasa kecewa sekali, akan tetapi di samping itu masih akan terhibur oleh rasa bangga bahwa keluarganya tetap bersikap jantan dan tak lari dari pada pertangungan jawab! Maka, karena tahu akan kelihaian puteranya, dia pun menggerakkan pedangnya dengan jurus yang diambil dari ilmu Pedang Siang-bhok Kiam-sut. Bukan main hebatnya serangan ini, ketika pedang yang dipinjamnya dari Siang Wi karena pedangnya sendiri lenyap ketika dia tertawan, berkelebat menyambar ke arah lengan Hui Song!

Biar pun yang hadir di situ adalah orang-orang sakti yang memiliki ilmu tinggi, namun tak ada seorang pun di antara mereka yang berani mencampuri. Apa yang sedang terjadi itu adalah urusan antara anak dan ayah, ada pun sang ayah adalah ke-tua Cin-ling-pai yang sikapnya demikian keras, angkuh dan penuh wibawa. Mereka semua hanya memandang dengan mata terbelalak dan hati diliputi ketegangan.

"Crakkkk...!"

Terdengar jeritan Siang Wi dan Sui Cin, kemudian nampaklah sebuah lengan kiri sebatas siku terbabat putus lantas jatuh ke atas tanah, darah pun muncrat keluar dari lengan yang buntung.

"Ci Kang...!" Cia Sun dan Ciu-sian Lo-kai menubruk Ci Kang yang agak terhuyung itu.

Ternyata tadi, ketika melihat pedang menyambar ke arah tubuh Hui Song, Ci Kang yang berdiri dekat sekali dengan Hui Song, cepat menangkis dengan lengan kirinya. Dia sudah mengerahkan sinkang saat menangkis, akan tetapi gerakan pedang itu bukanlah gerakan biasa, melainkan merupakan jurus ampuh dari Ilmu Pedang Siang-bhok Kiam-sut (Ilmu Pedang Kayu Harum), maka tak dapat dihindarkan lagi, lengan kiri Ci Kang mulai bawah siku terbabat buntung!

Cia Sun merangkul sahabatnya dan Ciu-sian Lo-kai menyuruh muridnya duduk bersila, lalu dia menotok jalan darah pada pundak dan pangkal lengan untuk menghentikan darah yang bercucuran keluar.

"Aku membawa bekal obat luka yang amat manjur!" kata Toan Kim Hong yang bersama suaminya bersikap biasa saja.

Mereka berdua ini sudah terlalu sering menyaksikan hal-hal sangat hebat yang terjadi di dunia persilatan, dilakukan oleh kaum persilatan yang memang berwatak aneh-aneh. Biar pun mereka terkejut juga melihat kenekatan Ci Kang, tetapi mereka tidak sampai menjadi bingung seperti yang lain.

Dengan cekatan nyonya ini lalu menaruhkan obat bubuknya pada lengan yang buntung dan membalut lengan buntung itu dengan sehelai sapu tangan bersih. Ci Kang tadi duduk bersila sambil mengumpulkan hawa murni untuk melawan rasa nyeri dan sekarang sudah bersikap biasa.

Cia Kong Liang yang terbelalak kaget sesudah melihat betapa pedangnya ditangkis orang sehingga malah membuntungkan lengan Ci Kang yang dikaguminya, segera melepaskan pedang itu. Dia hanya dapat mengeluh dan menghapus peluhnya dengan sapu tangan, tak mampu mengeluarkan kata-kata sama sekali.


                 ***************


Setelah pemuda itu selesai diobati dan semua orang memandang padanya, barulah ketua Cin-ling-pai itu berkata kepada Ci Kang, "Ci Kang, apa artinya perbuatanmu itu? Mengapa engkau melakukan itu?"

Ci Kang mengangkat muka memandang ketua Cin-ling-pai itu, lantas tersenyum masam. "Locianpwe tidak boleh menghukum orang yang tidak bersalah dan akulah satu-satunya orang yang agaknya menjadi saksi bahwa Cia Hui Song memang tidak bersalah."

Tentu saja ketua Cin-ling-pai itu terkejut bukan main, juga semua orang yang hadir di situ kini memandang Ci Kang dengan penuh perhatian. Kemudian Lam-nong melangkah maju dengan perasaan marah.

"Orang muda, apa yang kau lakukan tadi memang aneh dan gagah perkasa, dan untuk pengorbanan lenganmu guna orang lain ini sudah membuat aku kagum bukan main. Akan tetapi jangan kau main-main dengan kesaksian itu. Ingat, orang-orangku sendiri sampai mati tidak akan berbohong dan mereka melihat dengan mata kepala sendiri betapa Cia Hui Song ini telah..."

"Harap suka dengarkan penjelasanku lebih dulu. Aku pun mendengar rahasia itu secara kebetulan saja dan dibicarakan oleh pelaku-pelakunya sendiri."

Dengan singkat ia lalu menceritakan betapa ia melihat Hui Song ditawan oleh Sim Thian Bu, kemudian mendengar pula percakapan antara Sim Thian Bu dengan Hui Song, betapa Sim Thian Bu membujuk Hui Song supaya menakluk kepada Raja Iblis, juga mendengar betapa Thian Bu telah memaksa isteri-isteri Lam-nong untuk merayu Hui Song kemudian sengaja membiarkan kakek anak buah Lam-nong agar melihat adegan itu sehingga nama baik Hui Song akan tercemar dan akan terjadi bentrok antara Lam-nong dan Hui Song.

"Semua itu kudengar sendiri dan aku tahu siapa Sim Thian Bu. Dia adalah bekas sute-ku dan aku tahu mengenai kejahatannya. Cia Hui Song telah difitnah dan laporan kakek anak buah bangsa Mancu itu memang benar, hanya saja dia tidak tahu bahwa pada waktu dia melihat empat orang isteri-isteri saudara Lam-nong berada di dalam satu kamar bersama Hui Song, dia sedang dalam keadaan tertotok dan tidak mampu bergerak."

"Ahhh...!" Lam-nong berseru dan laki-laki ini lalu menangis! Dia sudah dihimpit kedukaan karena keluarganya binasa semua, kini ditambah lagi dengan kekeliruan sangka sehingga mengakibatkan sahabat baiknya Cia Hui Song hampir saja terhukum.

"Hemm...!" Cia Kong Liang juga mengeluarkan seruan tertahan dan bermacam perasaan terkandung dalam seruan itu. Ada perasaan lega karena ternyata putera kandungnya itu tidak berdosa, akan tetapi juga ada perasaan menyesal karena pedangnya, biar pun tidak disengaja, telah membuntungkan lengan Ci Kang yang gagah perkasa.

"Ci Kang... ahhh, Ci Kang...!" Tiba-tiba Hui Song menjatuhkan dirinya berlutut di depan Ci Kang dan merangkul pundak pemuda tinggi besar itu. Biar pun Hui Song seorang pemuda perkasa yang gagah berani dan berbatin kuat, akan tetapi kali ini keharuan membuat dia tidak kuasa menahan mengalirnya air matanya.

"Aku... aku telah berdosa kepadamu dan engkau malah melimpahkan budi tiada hentinya kepadaku! Engkau pernah membebaskan aku dari tawanan Sim Thian Bu tapi aku malah mengajakmu berkelahi. Dulu engkau datang ke benteng Jeng-hwa-pang untuk bergabung dengan para pendekar, akan tetapi aku malah menghinamu dan mengajak para pendekar menyerangmu sebab engkau adalah putera mendiang Iblis Buta. Dan aku... tadi aku telah menuduhmu melakukan perbuatan keji terhadap Cin-moi... dan sekarang... engkau malah membelaku, engkau membersihkan namaku dan engkau... engkau bahkan rela berkorban sebuah lenganmu untukku...! Ci Kang, kenapa engkau begini baik sedangkan aku begini jahat dan kejam karena cemburu?"

Ci Kang menepuk-nepuk pundak Hui Song dengan tangan kanannya, lalu dia pun bangkit berdiri, mengebut-ngebut bajunya dengan tangan kanan, wajahnya pucat dan senyumnya pahit. "Sudahlah Hui Song. Memang telah semestinya aku melakukan ini, dan di samping itu, aku... aku..." Dia lalu mellrik ke arah Sui Cin, "aku tidak ingin melihat nona Sui Cin menderita, dan kalau lenganmu buntung, tentu nona Sui Cin akan menderita. Aku... aku hanya anak seorang datuk sesat yang amat jahat, maka biarlah buntungnya lenganku ini bisa sedikit meringankan hukuman bagi ayah kandungku di neraka... nah, selamat tinggal. Suhu, ampunkan teecu, selamat tinggal!" Dia menjura kepada Ciu-sian Lo-kai, kemudian memungut buntungan lengannya dari atas tanah.

"Ci Kang...! Kau maafkanlah aku...!" Sui Cin terisak-isak sambil menyentuh lengan kanan pemuda itu. Sejenak Ci Kang memandang pada wajah gadis itu, menarik napas panjang dan berbisik lirih.

"Nona... semoga engkau berbahagia..." Dan dia pun cepat meloncat lantas melarikan diri pergi dari tempat itu.

Tiba-tiba Ciu-sian Lo-kai tertawa bergelak-gelak. "Ha-ha-ha-ha, Go-bi San-jin, bagaimana sekarang? Masih engkau menganggap keliru sikap pendekar besar Cia Han Tiong? Lihat, bagaimana seorang putera datuk sesat yang amat kejam dan jahat telah berubah menjadi seorang pendekar budiman yang mengagumkan. Ha-ha-ha...!"

Go-bi San-jin mengelus mukanya dan dia pun menarik napas panjang. "Engkau benar... engkau benar... akan tetapi bagaimana pun juga, muridku tidak berubah menjadi seorang yang jahat, melainkan tetap seorang pendekar yang adil dan jujur."

Tentu saja tidak ada yang mengerti apa maksudnya percakapan antara dua orang kakek itu, bahkan Cia Sun sendiri hanya memandang heran mendengar betapa nama ayahnya terbawa-bawa di dalam percakapan itu.

Sementara itu, Wu-yi Lo-jin dan Siang-kiang Lo-jin melangkah maju dan keduanya lantas tertawa ha-ha-hi-hi setelah tadi saling memberi isyarat dengan pandangan mata mereka. Mereka itu seperti saling dorong dengan sikap mereka, seperti dua orang anak-anak yang malu-malu ingin mengatakan sesuatu, hingga akhirnya Wu-yi Lo-jin mengalah dan kakek pendek inilah yang bicara.

"He-he-heh, kebetulan sekali di sini hadir orang-orang gagah Cia Kong Liang dan suami isteri Ceng Thian Sin, juga anak-anak mereka atau murid-murid kami. Sungguh kebetulan sekali karena saat inilah yang teramat baik untuk berbicara soal perjodohan. Pangcu dari Cin-ling-pai telah mendengar bahwa puteranya jatuh cinta kepada muridku, Ceng Sui Cin dan bagaimana pendapat pangcu kalau saat pertemuan ini, selagi kita semua berkumpul, dibicarakan tentang ikatan jodoh antara Hui Song dan Sui Cin?"

Ketua Cin-ling-pai itu mengerutkan alisnya, memandang pada kakek pendek itu kemudian menarik napas panjang dua kali. "Locianpwe, sudah banyak aku mencampuri urusan tapi semuanya menjadi gagal dan rusak. Oleh karena itu, soal perjodohan Hui Song terserah kepadanya dan kepada locianpwe yang sudah menjadi gurunya. Aku sih setuju saja, akan tetapi sekarang aku masih mempunyai kepentingan lain, maka biarlah lain hari saja kita bicarakan hal itu. Cu-wi maafkan, aku harus pergi dulu. Song-ji, mari bantu aku mencari dan mengurus jenazah ibumu dan kongkong-mu."

Mendengar ini, semua orang terkejut dan baru teringat bahwa ketua Cin-ling-pai ini baru saja tertimpa musibah, bahkan belum sempat mencari jenazah isterinya dan mertuanya. Juga Hui Song tak berani membantah perintah ini, maka pemuda itu pun menoleh kepada Sui Cin, melempar pandang mata penuh arti lantas memberi hormat kepada empat orang kakek itu dan juga kepada Ceng Thian Sin beserta isterinya. Kemudian ketua Cin-ling-pai menjura kepada semua orang lalu pergi dengan cepat diikuti Hui Song, Siang Wi dan para anggota Cin-ling-pai.

Wu-yi Lo-jin dan Siang-kiang Lo-jin saling pandang, lalu keduanya menggerakkan pundak seperti kehabisan akal, akan tetapi Siang-kiang Lo-jin tidak kekurangan akal. "Aha, sayang sekali ketua Cin-ling-pai mempunyai urusan yang sangat penting, akan tetapi di sini masih ada orang tua dan juga guru dari Ceng Sui Cin, berarti masih ada kesempatan untuk membicarakan urusan itu walau pun hanya sepihak."

Mendengar ini, Wu-yi Lo-jin juga tertawa. "Heh-heh, benar juga, benar juga. Bagaimana, Ceng-sicu dan juga toanio, ji-wi telah mendengar bahwa antara puteri ji-wi dengan putera ketua Cin-ling-pai itu ada hubungan kasih dan mereka berdua sudah bersepakat untuk mengikat perjodohan, dan kami berdua sebagai guru-guru mereka sudah merasa cocok sekali!"

"Hemm, aku tidak suka mempunyai mantu pemuda itu!" tiba-tiba Toan Kim Hong berseru.

Suaminya menyambung, "Sesungguhnya, keluarga Cia dari Cin-ling-pai itu terlalu angkuh dan ketinggian hati itu membuat kami tidak suka untuk berbesan dengan mereka..."

"Ayah! Ibu!" Sui Cin berteriak marah, "Agaknya ayah dan ibu masih hendak memaksaku untuk menerima pinangan dari si pesolek Can Koan Ti itu, ya? Ayah dan ibu ingin sekali berbesan dengan Pangeran Can Seng Ong, seorang pangeran sekaligus juga gubernur di Ce-kiang! Baiklah, ayah dan ibu saja yang menikah dengan mereka. Akan tetapi aku tidak sudi!" Setelah berkata demikian, Sui Cin meloncat dan melarikan diri sambil menangis!

"Sui Cin...!" teriak Pendekar Sadis marah, akan tetapi anaknya tidak peduli dan sudah lari cepat lenyap dari situ. Ketika dia mendengar suara gerakan halus dan menengok, kiranya Wu-yi Lo-jin dan Siang-kiang Lo-jin, dua orang kakek itu, telah lenyap pula dari situ.

"Hemm, anak itu menjadi besar kepala karena ulah dua orang kakek itu," kata Toan Kim Hong marah. "Sesudah merantau dan berguru, Sui Cin malah menjadi seorang anak yang durhaka terhadap orang tuanya! Kakek itu perlu dihajar!"

Dan nyonya yang galak itu sudah melompat untuk melakukan pengejaran. Akan tetapi dia dipeluk dari belakang oleh suaminya.

"Ehh, ehh, ehh, jangan marah-marah dulu. Ingat, dua orang kakek itu adalah orang-orang sakti yang mencinta Sui Cin dan bermaksud baik. Lagi pula, jangan kira bahwa kita akan mudah saja dapat mengalahkan mereka."

"Aku tidak takut!"

"Eit-eitt, nanti dulu. Tentu saja kita tidak mengenal takut, akan tetapi itu kalau berhadapan dengan orang-orang jahat dan untuk menentang kejahatan. Sekarang persoalannya lain lagi. Mereka bukan orang jahat, bahkan guru Sui Cin dan mereka berniat baik. Mari kita kejar mereka dan kita bicara dengan baik. Ingat, Sui Cin hanya anak tunggal kita, demi kebahagiaannya kita harus dapat merundingkan hal ini secara perlahan dan dengan baik."

Sesudah dibujuk suaminya, Toan Kim Hong mulai sabar dan mereka pun meninggalkan tempat itu. Kini di situ tinggal Cia Sun dengan dua orang kakek, Ciu-sian Lo-kai dan Go-bi San-jin yang sejak tadi hanya menjadi penonton.

Ciu-sian Lo-kai tertawa bergelak. "Ha-ha-ha-ha..., alangkah lucunya manusia di dunia ini, sungguh dunia ini tiada lain hanya sebuah panggung sandiwara dan manusia-manusianya menjadi badut-badut yang kadang-kadang tidak lucu sama sekali. Lihat itu Raja Iblis dan Ratu Iblis. Raja Iblis tadinya adalah seorang pangeran besar, bahkan kemudian dia telah merubah diri menjadi seorang pertapa yang berilmu tinggi sekali. Akan tetapi, ternyata dia masih belum puas dengan hidupnya dan menjangkau yang lebih tinggi. Dan apa jadinya sekarang? Dia dan isterinya hanya merupakan seonggok daging!" kakek itu menggeleng-gelengkan kepala.

Go-bi San-jin menarik napas panjang. "Manusia berbunuh-bunuhan, mayat berserakan, semua itu hanya untuk mengejar cita-cita kosong dan saling mempertahankan kebenaran masing-masing, kebenaran kosong! Lihat itu...!" Dia lalu menunjuk ke arah pasukan yang sudah tiba di situ dan sekarang sedang mengurus mayat-mayat yang berserakan. "Kalau sudah menjadi mayat, semua ya sama saja, sama-sama membusuk. Ketika masih hidup, juga bergelimang dalam kebusukan sungguh pun semua cita-cita untuk kebaikan. Betapa lucunya, lucu dan menyedihkan. Betapa hidup hampir dipenuhi sengsara belaka."

Mendengar percakapan kedua orang kakek itu, Cia Sun teringat kepada ayahnya maka tiba-tiba saja dia melihat betapa ayahnya adalah seorang bijaksana serta berbatin mulia. Ayahnya tidak mendendam, walau pun kehilangan isteri. Ayahnya dapat menerima segala hal yang menimpa dirinya dengan tenang, penuh kewaspadaan, tidak dikuasai nafsu-nafsu amarah dan kebencian. Dan tiba-tiba saja dia merasa rindu kepada ayahnya. Juga dia harus menemui ayahnya untuk suatu hal.

Dia tahu bahwa Sui Cin tidak bisa diharapkannya lagi, bahwa Sui Cin mencinta Hui Song. Akan tetapi pertemuan dan perkenalannya dengan Tan Siang Wi, murid Cin-ling-pai itu, menghidupkan kembali harapannya untuk dapat berbahagia di samping seorang wanita.

Dia amat tertarik kepada Siang Wi, gadis yang manis dan gagah perkasa itu. Dia pun tahu bahwa gadis itu sesungguhnya mencinta Hui Song, dan seperti juga dia mencinta tanpa balasan, hanya bertepuk tangan sebelah. Siang Wi mencinta Hui Song dan dia mencinta Sui Cin, akan tetapi dua orang yang mereka cinta itu ternyata saling mencinta. Maka, jika kini dia tertarik kepada Siang Wi, alangkah baiknya kalau dia berjodoh dengan Siang Wi, dengan demikian, rasa penasaran terobati dan mereka dapat saling menghibur!

"Suhu, teecu ingin menengok ayah," tiba-tiba dia berkata kepada Go-bi San-jin.

Kakek ini maklum akan isi hati muridnya. Dia tahu bahwa muridnya ini agaknya patah hati akibat cintanya terhadap Sui Cin tidak terbalas. Sebagai orang-orang yang waspada, baik Ciu-sian Lo-kai mau pun Go-bi San-jin sama-sama maklum bahwa murid masing-masing itu telah jatuh cinta kepada puteri Pendekar Sadis, namun keduanya telah ditolak karena gadis itu ternyata mencinta putera ketua Cin-ling-pai.

"Kini engkau mau pulang ke Lembah Naga? Baiklah, karena pekerjaan di sini pun sudah selesai, pulanglah dan laporkan segala yang terjadi kepada ayahmu. Kelak, apa bila ada jodoh kita pasti akan bertemu lagi," kata Go-bi San-jin.

Cia Sun lalu pergi dengan diikuti pandangan mata dua orang kakek itu. Mereka berdua itu masih tenggelam di dalam pikiran masing-masing, menyaksikan semua peristiwa di dunia ini, melihat semua ulah manusia yang berlomba mencari kebahagiaan tapi hanya berakhir dengan kesengsaraan.

Sesungguhnya, kalau kita mau melihat kenyataan, timbul sebuah pertanyaan. Dapatkah kebahagiaan dikejar dan dicari? Sebelum menjawab ini, sebaiknya diselidiki lebih dahulu apakah sebenarnya yang dimaksudkan dengan BAHAGIA itu? Apakah kebahagiaan itu kepuasan hati karena tercapainya sesuatu yang diinginkan? Kalau begini, maka bahagia itu akan terbatas sekali dan berumur beberapa lama saja karena kepuasan ini pun hanya sementara saja, lalu segera berubah dengan kebosanan.

Apakah bahagia itu kesenangan? Juga tidak, sebab kesenangan hanya pemuasan nafsu saja, rasa nyaman dan enak bagi badan dan pikiran kita, dan kesenangan ini pun hanya sementara saja, sangat pendek umurnya, dan kesenangan biasanya diselingi kebosanan dan bahkan mempunyai saudara kembar, yaitu kesusahan, seperti tawa dan tangis yang datang silih berganti seperti datangnya musim. Kalau semua itu bukan, lalu apakah yang dimaksudkan dengan kebahagiaan?

Bagaimana kita bisa menggambarkan kebahagiaan bila kita sendiri selalu berada dalam permainan susah dan senang, kalau kita selalu diombang-ambingkan gelombang nafsu? Kebahagiaan bukan sesuatu yang mati, bukan pula sesuatu yang sudah pasti sehingga mudah dicari dan dicapai.

Jika kita menghentikan segala kesibukan pikiran kita yang mengejar-ngejar kesenangan, mengejar-ngejar kebahagiaan itu sendiri, apa bila kita sudah tidak terseret lagi ke dalam tarikan-tarikan susah dan senang yang bertentangan, kalau sudah tidak ada lagi konflik atau pertentangan dalam batin antara kenyataan yang ada dengan gambaran yang kita inginkan, kalau KITA SUDAH TIDAK MENGEJAR APA-APA, tidak menginginkan apa pun yang berada di luar jangkauan kita, nah, mungkin sekali kita akan dapat merasakan dan mengerti apa artinya bahagia itu.

Maka jelaslah bahwa yang dapat dikejar dan dicari hanyalah kesenangan dan kepuasan sementara dari dorongan keinginan kita untuk mendapat kesenangan itu. Dengan begini maka kebahagiaan itu tidak mungkin dapat dicari, tidak mungkin bisa didapatkan melalui pengejaran.

Kita selalu condong untuk mengejar. Karena mengira bahwa kebahagiaan berada di luar diri, kita lantas mengejar keluar, kita merubah-rubah yang berada di luar. Maka terjadilah pergolakan-pergolakan, terjadilah revolusi-revolusi, terjadilah perang. Kita selalu condong untuk membuat keindahan di luar diri. Kita lupa bahwa sebenarnya, yang indah itu ada di dalam, yang indah itu timbul dari dalam, dan bahagia itu adalah urusan batin, urusan di dalam diri kita sendiri.

Tinggal di dalam sebuah gedung memang menyenangkan namun belum tentu bahagia, sebaliknya tinggal di dalam gubuk mungkin saja merasakan kebahagiaan. Kebahagiaan tidak berada di dalam gedung indah, tidak berada di dalam makanan lezat, tidak berada dalam kedudukan tinggi atau di antara tumpukan emas.

Bila mana batin sudah tidak mengejar-ngejar, tidak mencari-cari apa yang berada di luar jangkauan kita, maka batin itu akan menjadi tenteram dan kita dapat menerima segala sesuatu sebagai hal yang wajar saja, tanpa mengeluh sedikit pun juga, bahkan dengan senyum tulus ikhlas karena kewaspadaan akan membuat kita mengerti bahwa segala itu merupakan suatu kenyataan dan kenyataan itu mengandung keindahan.

Segala sesuatu di dunia ini mengandung keindahan bagi batin yang tidak mencari apa pun. Baik hujan mau pun panas, dihadapi dengan senyum dan dipandang sebagai suatu keindahan, tanpa keluhan karena tidak ada yang perlu dikeluhkan, karena tidak ada rasa penyesalan dalam batin, karena tidak ada hal-hal yang bertentangan dengan yang dicari, karena memang tak ada yang dicari-cari! Dalam keadaan inilah kita mungkin sekali akan merasakan dan mengerti apa sesungguhnya hakekat kebahagiaan itu.

Tidak mencari kesenangan sama sekali bukan berarti bahwa kita menolak kesenangan! Orang-orang yang menolak kesenangan, orang yang mengasingkan diri di puncak bukit dan mengharamkan segala hal yang mendatangkan rasa enak dan nikmat, sebenarnya adalah orang-orang yang MENCARI KESENANGAN, dalam bentuk lain!

Memang, orang sering kali lupa diri dalam mencari kesenangan, bahkan mau bersusah payah menyiksa diri, dalam mengejar kesenangan yang dinamakan cita-cita. Dan andai kata yang dikejar dengan cara menyiksa diri itu tercapai, maka yang didapatkannya itu pun hanyalah suatu bentuk kepuasan, suatu bentuk kesenangan perasaan belaka yang ekornya dapat berupa kekecewaan dan kebosanan pula.

Perasaan enak, nyaman, nikmat yang dinamakan kesenangan adalah sebuah anugerah hidup. Tubuh dan perasaan kita dibekali alat-alat penangkap rasa senang ini, maka kita berhak menikmati kesenangan di dalam hidup ini. Kesenangan adalah berkah dan sama sekali tak berbahaya. Yang berbahaya adalah PENGEJARAN itulah, PENCARIAN itulah, karena dalam mengejar inilah timbulnya segala macam perbuatan yang merugikan orang lain, yang pada umumnya disebut jahat.

Pengejaran kesenangan yang berbentuk kedudukan dan kemuliaan, seperti yang terjadi pada Raja dan Ratu Iblis, menimbulkan perang dan permusuhan, bunuh-bunuhan antara manusia. Pengejaran kesenangan dalam bentuk harta benda menyebabkan perbuatan-perbuatan culas, korupsi, penipuan, perampokan, pencurian dan sebagainya. Pengejaran kepada kesenangan dalam bentuk nafsu birahi menimbulkan perkosaan, pelacuran, dan sebagainya dan segala macam perbuatan yang pada umumnya merugikan dan dianggap jahat, kalau ditelusur, sudah pasti dasarnya adalah pengejaran kesenangan itu.

Akan tetapi orang yang tidak mengejar kesenangan menganggap segala hal yang terjadi merupakan suatu kewajaran dan di dalam kewajaran ini, di mana tidak terdapat keluhan, tidak terdapat kekecewaan karena tak ada pengejaran, terkandunglah kesenangan yang lain lagi! Kenikmatan sebab cita rasa memang menganggapnya enak, bukan kenikmatan karena tercapainya suatu pengejaran.

Bagi orang yang tidak mengejar, memperoleh minuman apa pun akan terasa nikmat, baik itu berupa air jernih belaka mau pun minuman yang amat mahal harganya. Kenikmatan terdapat pula di dalam nasi sambal mau pun dalam nasi beserta masakan yang mahal bagi mereka yang tidak mengejar.

Bukan berarti pula bahwa orang yang tidak mengejar kesenangan lalu menjadi lumpuh semangat dan hanya duduk menganggur! Sama sekali tidak demikian! Akan tetapi orang bahagia seperti ini, jika bekerja bukan bermaksud mengejar uang, melainkan melakukan suatu pekerjaan yang bermanfaat dan yang sesuai dengan minatnya sehingga di dalam pekerjaan itu sendiri dia telah mengecap kenikmatan! Uang sebagai upah atau hasil dari pekerjaannya hanya merupakan akibat saja dalam dunia yang kesemuanya sudah diukur dengan uang ini. Akan tetapi uang bukanlah menjadi tujuan utama untuk dikejar melalui pekerjaan.

Jika pekerjaan itu dilakukan sebagai cara untuk mencari uang, maka akan timbul hal-hal yang buruk dan curang. Pekerjaan itu mungkin menjadi kotor, pegawai berbuat korupsi, pedagang menipu dan memalsu, memanipulasi, penyelundupan, dan berbagai keburukan yang terdapat dalam pekerjaan dan perdagangan.

Sejak ribuan tahun yang lalu, para cerdik pandai, para cendekiawan, para budiman telah berusaha mati-matian untuk mencari cara yang baik agar manusia dapat hidup benar dan besar. Berbagai macam cara hidup sudah diciptakan manusia dengan berbagai paham (isme), berbagai garis hidup sudah dipaksakan kepada manusia.

Akan tetapi, apa bila kita sekarang menengok keadaan di seluruh dunia, semua cara itu ternyata tidak menolong, tak dapat membebaskan manusia dari pada kesengsaraan, dari pada kemurkaan, ketamakan, ketakutan, kebencian dan permusuhan. Ternyata segala macam kedudukan tinggi, kehidupan mewah, ilmu pengetahuan yang tinggi-tinggi, tidak mampu memperbaiki kehidupan batin manusia, tidak mampu mengusir kesengsaraan manusia, tidak mampu mendatangkan KEBAHAGIAAN dalam batin manusia.

Tidak ada paham (isme) apa pun, tidak ada cara apa pun, yang akan dapat merubah batin manusia kecuali dirinya sendiri. Dan perubahan itu baru bisa terjadi kalau kita mau mengenali diri kita sendiri, mengamati diri kita sendiri serta lika-liku kehidupan kita setiap hari dengan penuh perhatian, penuh kewaspadaan.

Pengamatan yang mendalam setiap saat akan membuka mata kita bahwa kita sendirilah yang menjadi sumber segala derita, kita sendiri pencipta kesengsaraan, kita sendiri yang menjauhkan diri dari kebahagiaan, menjauhkan diri dari Tuhan! Dengan segala berkah yang berlimpahan, sedetik pun Tuhan tidak pernah menjauhi kita. Adalah kita yang setiap saat, demi pengejaran kesenangan, menjauhi Tuhan dan sesudah akibat dari pengejaran itu menjerumuskan kita ke dalam lembah kesengsaraan, baru berteriak-teriak mengeluh kenapa Tuhan meninggalkan kita!

Orang bahagia akan selalu menerima segala hal yang terjadi sebagai suatu kenyataan hidup tanpa menilai hal itu sebagai baik atau buruk. Tidak mengeluh, tidak menyalahkan siapa pun, melainkan membuka mata dengan waspada akan gerak-gerik monyet putih yang bercokol di dalam pikiran kita.


               ***************

Gadis itu menangis sejadi-jadinya sambil duduk di bawah pohon di tempat sunyi itu. Dia tak peduli pakaiannya kotor terkena tanah yang agak basah. Dia duduk sambil menopang kepalanya yang ditundukkan, muka yang disembunyikan di antara kedua lengannya yang bersilang dan melintang di atas kedua lututnya.

Sui Cin adalah seorang gadis yang biasanya keras hati, berandalan, gembira dan tidak pernah menangis. Bahkan tangis dianggapnya suatu kecengengan yang tidak sepatutnya dilakukan oleh seorang gagah. Akan tetapi sekali ini, semakin mengingat keadaan dirinya, makin sedih hatinya dan makin keras tangisnya. Apa lagi di sana tidak terdapat orang lain sehingga dia boleh menangis sepuas hatinya tanpa dilihat orang lain.

Betapa hatinya tidak akan berduka? Peristiwa yang menimpa diri Ci Kang, yang berakibat buntungnya lengan kiri pemuda itu, membuat hatinya terasa pedih karena dia tahu bahwa Ci Kang mengorbankan lengan kirinya semata-mata untuk dirinya, karena Ci Kang hendak melindungi Hui Song yang diketahuinya menjadi pilihan hatinya. Juga dia maklum bahwa sungguh pun tidak menyatakan sesuatu, Cia Sun juga patah hati karena cinta kepadanya namun tidak dibalasnya.

Hatinya telah melekat pada Hui Song dan hanya pemuda itu yang telah menawan hatinya. Dia mencinta Hui Song dan mengharapkan untuk menjadi isteri putera ketua Cin-ling-pai itu. Akan tetapi, ayah dan ibunya tidak setuju!

Dan mengingat betapa sesudah bertahun-tahun berpisah dari ayah bundanya, kini begitu bertemu dia terpaksa berselisih paham dengan mereka, benar-benar merupakan peristiwa yang amat menyedihkan hatinya. Jika menurutkan perasaan hatinya, dia boleh tidak ambil peduli terhadap ayah bundanya dan langsung saja menemui Hui Song kemudian hidup bersama pemuda itu selamanya. Akan tetapi dia pun tahu bahwa perbuatannya itu akan menghancurkan perasaan hati orang tuanya yang hanya memiliki anak dia seorang saja.

"Hu-huh-huuuhhh...!" Dia tersedu lagi sambil menyembunyikan mukanya di antara lengan, tubuhnya terguncang karena tangisnya.

Sebuah tangan dengan halus menyentuh pundaknya lalu terdengar suara tawa terkekeh. "Heh-heh-heh, sungguh lucu melihat engkau menangis! Engkau sama sekali tidak pantas kalau menangis, Sui Cin, seperti masakan kurang garam!"

Sui Cin mengangkat mukanya dan memandang pada kakek katai yang menjadi gurunya itu dengan mulut cemberut. "Suhu malah mengejek, ya? Tidak tahu orang sedang susah, malah diejek. Apa artinya orang menangis seperti masakan kurang garam?" kata Sui Cin dengan marah.

"Heh-heh-heh, bagaimana rasanya masakan kurang garam? Tentu saja hambar dan tidak enak. Tangismu juga demikian, tidak enak dipandang, tidak sedap didengar, sama sekali tidak menyedihkan malah menggelikan. Maka, jangan menangis!"

Akan tetapi Sui Cin segera teringat kembali akan keadaan dirinya maka dia pun menangis lagi tanpa mempedulikan ejekan gurunya.

"Ha-ha-ha, muridmu ternyata hanya seorang bocah perempuan yang cengeng dan lemah sekali, Ciu-sian! Ha-ha-ha!"

Sui Cin kembali mengangkat mukanya dan memandang pada Siang-kiang Lo-jin dengan mata melotot. "Siapa cengeng?" katanya marah. "Kalau kalian berdua yang mengalami hal seperti aku, mungkin sudah membunuh diri!"

Dua orang kakek itu saling berpandangan, lalu keduanya tertawa bergelak. "Kami berdua tak pernah jatuh cinta, apa lagi harus kerepotan dalam memilih jodoh!" kata kakek pendek berjenggot panjang Wu-yi Lo-jin atau Si Dewa Arak. "Sudahlah, Sui Cin, engkau adalah muridku yang baik, yang gagah perkasa, yang berbatin kuat. Kenapa sekarang menangis seperti anak kecil hanya karena sikap orang tuamu?"

"Aih, suhu. Bagaimana aku tidak akan menjadi sedih? Ayah dan ibu memperlihatkan sikap keras dan terang-terangan menolak ikatan jodoh antara aku dan Song-ko. Lalu apa yang harus kulakukan? Menurut kepada mereka yang hendak menjodohkan aku dengan putera Gubernur Ce-kiang? Aku tidak sudi!"

"Wah, mengapa harus memikirkan orang tua yang tidak ingin membahagiakan anaknya?" Kakek pendek itu berseru.

"Akan tetapi, suhu. Ayah Song-ko juga mengambil sikap tidak peduli, bahkan tidak mau mengambil keputusan ketika suhu berdua mengajukan pertanyaan. Lalu apa yang dapat kulakukan?"

"Ha-ha-ha, mengapa gelisah? Kalau ayah Hui Song tidak mau mengurusi lagi puteranya, masih ada aku gurunya yang dapat mewakili dan akulah yang akan mengajukan pinangan untuk muridku Hui Song. Beres, kan?"

"Tapi, kalau locianpwe meminangku kepada ayah dan ditolak?"

"Heh-heh-heh, masih ada aku di sini! Jangan pedulikan orang tuamu yang mau senang sendiri itu. Aku adalah gurumu dan aku berhak mewakili mereka dan menerima pinangan si gendut ini!" kata Wu-yi Lo-jin.

Siang-kiang Lo-jin tertawa bergelak. "Benar! Benar itu! Orang-orang tua yang tidak becus seperti ayah bundamu dan ayah Hui Song itu biar kita tinggalkan saja!"

"Itu benar, Sui Cin. Apa bila ayah bundamu hendak memaksamu menikah dengan orang yang tidak kau sukai, biarkan mereka berdua saja yang menikah dengan pilihan mereka!" kata Wu-yi Lo-jin penuh semangat.

"Tepat sekali! Orang tua yang tidak dapat membahagiakan anaknya, berarti orang tua itu tidak mencinta anaknya, melainkan mencinta dirinya sendiri saja dan patut kita tentang!" sambung Siang-kiang Lo-jin.

"Jangan takut, Sui Cin. Kalau ayah ibumu marah dan hendak memaksamu, kami berdua yang akan menentang mereka dan melindungimu!" gurunya berkata penuh semangat.

Tiba-tiba saja kedua orang kakek itu berhenti bicara dan memandang ke kiri. Sui Cin juga mendengar suara mencurigakan dari sebelah kiri, maka terkejutlah gadis ini ketika melihat berkelebatnya bayangan orang dan tahu-tahu di situ sudah muncul Pendekar Sadis Ceng Thian Sin, ayahnya!

Pendekar ini kelihatan gagah perkasa, dengan pakaiannya yang indah dan baru, dengan topinya yang dihias bulu. Seorang pendekar yang tampan gagah biar pun usianya sudah hampir lima puluh tahun dan sikapnya penuh wibawa saat dia berdiri memandang kepada Sui Cin dengan sinar mata mencorong marah.

"Sui Cin!" bentak pendekar ini. "Engkau hendak menentang orang tuamu?"

Suara pendekar ini penuh amarah sehingga Sui Cin menjadi gentar sekali. Belum pernah ayahnya marah seperti itu terhadap dirinya. Belum pernah dia melihat sinar mata ayahnya mencorong seperti itu, seakan-akan mengeluarkan api yang hendak membakar dirinya. Dengan sikap gentar gadis ini cepat menyembunyikan diri atau beraling di belakang tubuh Wu-yi Lo-jin yang pendek kecil.

Sejenak Dewa Arak dan Dewa Kipas terbelalak memandang pada Pendekar Sadis yang telah berdiri di depan mereka dengan gagahnya. Jika tadi mereka mengeluarkan ucapan-ucapan keras terhadap Pendekar Sadis dan isterinya, hal itu hanya mereka lakukan untuk menghibur hati Sui Cin. Kini, sesudah orang yang tadi dicela dan ditantangnya berdiri di depan mereka, keduanya menjadi bingung dan tak tahu harus berkata atau berbuat apa.

"Suhu... locianpwe... lekas kalian bertindak...!" Sui Cin berbisik dari belakang tubuh Dewa Arak, karena dia sendiri merasa takut untuk menghadapi ayahnya yang sedang marah itu.

Akan tetapi dua orang itu hanya saling pandang, lalu memandang kepada Ceng Thian Sin, saling pandang lagi dan keduanya seperti sudah kehilangan suara.

"Suhu... locianpwe... ingat janji kalian tadi...," kembali Sui Cin berbisik.

"Heh, kerdil tua bangka, muridmu benar, engkau harus ingat janjimu tadi!"

Tiba-tiba Dewa Kipas berkata sambil menudingkan telunjuknya ke arah dahi Dewa Arak. "Nah, kau tepatilah janjimu tadi."

"Apa?! Gendut brengsek! Engkau yang tadi berjanji akan melindunginya!" Kakek kerdil itu membalas, telapak kanannya mendorong perut gendut sedangkan telunjuk kirinya balas menuding ke arah dahi si gendut, biar pun untuk ini terpaksa dia harus berjingkat karena terlalu pendek.

"Kau yang berjanji!"

"Kau juga berjanji!"

Keduanya tak mau mengalah dan agaknya siap untuk saling hantam sendiri. Sebetulnya, dua orang sakti semacam Dewa Arak dan Dewa Gendut tentu saja bukanlah orang-orang pengecut yang tidak berani bertanggung jawab. Akan tetapi karena mereka tidak setulus hati hendak menentang Pendekar Sadis dan kini mereka saling dorong dan saling tuduh, maka terjadilah keributan di antara mereka sendiri yang memang suka bersaing.

Ceng Thian Sin tadinya berdiri dengan sikap marah dan dua tangan terkepal, akan tetapi melihat tingkah dua orang kakek itu, sinar matanya yang tadi mencorong marah sekarang berubah. Mulut yang tadi cemberut kini mengarah senyum. Memang sesungguhnya Ceng Thian Sin tidak benar-benar marah.

Tadi, dengan ilmu kepandaiannya, sebentar saja dia dan isterinya dapat menyusul Sui Cin dan ketika mereka sampai di tempat itu, mereka berdua sempat mendengar bualan atau tantangan-tantangan yang diucapkan oleh dua orang kakek sakti. Biar pun mereka berdua tadi mengeluarkan kata-kata yang kasar dan keras seolah-olah sedang menantang, akan tetapi Pendekar Sadis dan isterinya adalah dua orang pendekar yang berpengalaman.

Mereka berdua maklum bahwa dua orang kakek sakti itu sudah tahu akan kedatangan mereka, bahwa kedua orang kakek itu sengaja menantang-nantang sambil mengerahkan khikang supaya suara mereka dapat terdengar oleh suami isteri yang sudah datang dan bersembunyi di balik batu karang itu.

Pasangan suami isteri ini telah mendengar semua percakapan itu, juga semua tantangan, maka mereka berdua kini pun yakin bahwa puteri mereka mencinta Hui Song dan betapa dua orang kakek yang menjadi guru Hui Song dan Sui Cin itu telah menyetujui perjodohan mereka. Hal ini saja sudah meyakinkan hati keduanya bahwa pilihan hati puteri mereka tidaklah keliru, karena kalau demikian halnya, tentu dua orang kakek sakti itu tidak akan mati-matian membelanya.

Pendekar Sadis yang berpura-pura marah itu, ketika melihat betapa dua orang kakek itu saling tuding, tidak dapat menahan kegelian hatinya dan pada saat itu, bayangan lain lalu berkelebat dan isterinya sudah berdiri di sisinya. Melihat ini, dua orang kakek itu agaknya menjadi semakin ketakutan.

"Nah, hayo keluarkan kegaranganmu tadi, tua bangka kerdil!" bentak Dewa Kipas.

"Dan di mana kegagahanmu? Engkau memikirkan enaknya perutmu sendiri saja, tak mau memikirkan kepentingan muridmu!" balas Dewa Arak.

Tiba-tiba terdengar Pendekar Sadis tertawa bergelak, diikuti oleh isterinya. Melihat kedua suami isteri ini tertawa-tawa, Sui Cin terbelalak heran dan dua orang kakek yang tadinya ribut-ribut itu pun berdiri bengong memandang.

"Sudahlah, ji-wi locianpwe tidak perlu bersandiwara lagi. Kami berdua bukanlah orang tua yang tidak ingin melihat kebahagiaan anak tunggal kami," Toan Kim Hong berkata dengan suara lantang kepada dua orang kakek itu.

"Ayah...! Ibu...! Benarkah... benarkah ayah ibu menyetujui...?" Sui Cin berteriak lantas lari menghampiri ayah bundanya.

Dua orang tua itu hanya membuka lengan mereka untuk menyambut dan di lain saat Sui Cin sudah berada dalam rangkulan ayah bundanya, menangis terisak-isak tanpa mampu mengeluarkan kata-kata lagi, sekali ini menangis saking bahagia dan terharu.

Toan Kim Hong menciumi wajah anaknya dan Ceng Thian Sin menepuk-nepuk pundak Sui Cin sambil berkata, "Kami hanya ingin menguji dan melihat sampai di mana cintamu terhadap Hui Song, maka kami berpura-pura tidak setuju."

"Ayah dan ibu... ahhh, betapa bahagianya hatiku. Suhu dan Siang-kiang Locianpwe, lihat betapa ayah ibuku telah setuju. Tinggal kalian berdua yang harus memenuhi janji!" dengan muka masih basah air mata, dengan sepasang mata masih basah kemerahan, kini Sui Cin menghadapi dua orang kakek itu sambil tersenyum.

"Wah, cebol, kita ditagih lagi!" Siang-kiang Lo-jin berseru tertawa lantas tiba-tiba saja dia menjura kepada Wu-yi Lo-jin sambil berkata dengan sikap sungguh-sungguh dan serius sekali, "Wu-yi Lo-jin, sebagai guru dari Cia Hui Song, dengan ini aku menyatakan hendak meminang muridmu yang bernama Ceng Sui Cin!"

Wu-yi Lo-jin juga menanggalkan sikap pura-pura serta gurauannya, kini dia pun menjura dengan hormat kepada Siang-kiang Lo-jin dan berkata, "Sebagai guru Ceng Sui Cin, aku menerima dengan baik pinangan itu dan merasa setuju sekali bila muridku menjadi calon jodoh muridmu."

Setelah berkata demikian, dua orang kakek itu menghadapi Ceng Thian Sin dan isterinya, memandang tajam dan seolah-olah menanti keputusan mereka. Ceng Thian Sin menarik napas panjang.

"Perjodohan adalah urusan yang ditentukan oleh Thian, dan syarat utamanya adalah cinta kasih antara pria dan wanita yang hendak mengikatkan diri satu sama lain melalui sebuah pernikahan. Sebagai orang tua pihak wanita, kami berdua hanya bisa menanti datangnya pinangan dari orang tua pihak pria. Hal ini tentu saja ji-wi locianpwe cukup maklum, dan kami akan menanti di Pulau Teratai Merah! Sui Cin, mari kita pulang."

Sui Cin yang merasa amat bahagia melihat orang tuanya telah menyetujui perjodohannya dengan Hui Song, mengerti akan maksud ayahnya. Sebagai seorang gadis, tentu saja dia hanya dapat menanti datangnya pinangan dari orang tua atau wakil Hui Song. Maka dia pun menghadapi dua orang kakek itu.

"Sampai sekarang, janji-janji kalian dua orang kakek yang kucinta dan kuhormati belum dipenuhi. Aku hanya dapat menunggu kalian di Pulau Teratai Merah dan di sana aku akan membuatkan masakan-masakan istimewa untuk kalian."

Ceng Thian Sin, Toan Kim Hong, dan Sui Cin memberi hormat kepada dua orang kakek itu lantas berkelebat pergi. Tinggal dua orang kakek itu yang bengong lalu saling pandang dan menarik napas panjang.

"Waah, ini adalah akibat kelancanganmu main-main, gendut!" Wu-yi Lo-jin berkata sambil menggaruk-garuk kepalanya yang tak berambut. "Sekarang kita harus mendatangi ketua Cin-ling-pai dan harus dapat membujuknya agar mau pergi ke Pulau Teratai Merah untuk melakukan pinangan itu."

"Jangan khawatir!" Dewa Kipas menepuk-nepuk perutnya yang gendut. "Aku yakin kalau ketua Cin-ling-pai akan cukup bijaksana untuk bersedia mengunjungi Pulau Teratai Merah. Pengalaman pahit dalam urusan pemberontakan itu tentu merupakan obat yang membuat dia sadar bahwa hidup ini tidak berguna apa bila tidak dapat membahagiakan orang lain, terutama orang-orang yang terdekat dengannya. Demi kebabagiaan puteranya, tentu dia mau merendahkan diri sedikit untuk berkunjung ke Pulau Teratai Merah. Mari kita berdua pergi mengunjunginya dan membujuknya."

Dua orang kakek itu pun lalu pergi dengan langkah santai.


                   ***************


Sungguh meriah pesta pernikahan yang dirayakan di puncak Pegunungan Cin-ling-san, di gedung perkumpulan Cin-ling-pai itu. Lebih dari seribu orang tamu dari berbagai penjuru memerlukan datang dan menghadiri perayaan itu. Sebagian besar dari para tamu adalah golongan kang-ouw atau tokoh-tokoh dunia persilatan.

Hal ini tidak mengherankan karena nama besar Cin-ling-pai sudah sangat dikenal di dunia persilatan. Apa lagi mengingat siapa adanya keluarga besan-besan dari ketua Cin-ling-pai yang sekaligus merayakan pernikahan dari puteranya dan murid perempuannya itu.

Cia Hui Song, putera ketua Cin-ling-pai itu, menikah dengan Ceng Sui Cin, puteri tunggal dari Pendekar Sadis Ceng Thian Sin dan isterinya yang amat terkenal. Sedangkan murid perempuannya yang disayang seperti puteri sendiri, Tan Siang Wi, menikah dengan Cia Sun, putera tunggal ketua Pek-liong-pang, pendekar dari Lembah Naga yang juga sangat terkenal.

Tiga besar itu, Cia Kong Liang, Cia Han Tiong, dan Ceng Thian Sin, memang bersepakat untuk merayakan dua pernikahan itu di Cin-ling-pai, karena bagaimana pun juga, mereka semua adalah pendekar-pendekar yang mewarisi ilmu-ilmu dari Cin-ling-pai.

Nama besar tiga keluarga ini sudah menjamin terlaksananya perayaan pesta pernikahan itu secara aman. Tidak ada yang berani mati mengganggu dan semua orang bergembira. Pesta dilakukan semenjak pagi sampai jauh malam dan semua tamu baru meninggalkan Cin-ling-pai setelah malam dengan hati gembira dan kagum, dengan perut kenyang.

Keadaan di Cin-ling-pai sunyi kembali setelah semua tamu pulang. Dua pasang pengantin telah memasuki kamar pengantin masing-masing dan hanya mereka berempat yang dapat merasakan kebahagiaan mereka, sedangkan orang-orang lain hanya tersenyum penuh arti menduga-duga atau membayangkan saja betapa bahagianya dua pasang pengantin yang kini tinggal berdua saja dalam kamar mereka.

Akan tetapi, di dalam bayangan pohon-pohon yang gelap, tidak jauh dari rumah besar di mana dua pasang pengantin itu berasyik mesra, nampak sesosok bayangan. Bayangan ini tidak gembira sama sekali, bahkan sejak berjam-jam dia berada di dalam kegelapan itu seperti sebuah patung, dan kini nampak tubuhnya terguncang-guncang.

Bayangan itu menangis. Lirih hampir tanpa suara sama sekali, namun air matanya terus bercucuran dan beberapa kali dicobanya untuk diusap dengan sepasang tangannya yang gemetar. Bayangan itu adalah Toan Hui Cu!

Dara ini merasa betapa hancur perasaan hatinya melihat pria yang dikasihinya, yang amat diharapkannya, Cia Sun, kini menikah dengan seorang gadis lain! Terasa olehnya betapa malang nasibnya, betapa sengsara keadaan dirinya.

Semenjak kecil dia hidup terasing, kemudian dia terancam oleh ayah kandungnya sendiri yang jahat seperti iblis. Ayah ibunya adalah raja dan ratu penjahat dan kini mereka telah tewas. Dia tidak memiliki siapa pun lagi di dunia ini, sebatang kara, tidak memiliki apa-apa sehingga terpaksa harus menghadapi kehidupan yang dianggapnya amat mengerikan dan kejam.

Dia tidak berpengalaman hidup dalam dunia ramai. Satu-satunya harapan dalam hatinya digantungkan kepada Cia Sun. Akan tetapi kini pemuda itu telah menjadi milik wanita lain dan dia tahu bahwa bagaimana pun juga, dia tidak berhak mendekati Cia Sun, tidak dapat mengharapkan lagi perlindungannya.

Melihat Cia Sun menikah dengan wanita lain, baginya seperti melihat Cia Sun juga telah mati meninggalkan dirinya, seperti ayah bundanya. Karena itu dapat dibayangkan betapa sedihnya, membuatnya hampir putus asa dan membuatnya tak berani melanjutkan hidup yang dianggapnya kejam dan mengerikan itu.

"Ibu... ohh, ibu... bagaimana dengan aku ini, ibu..." Dia merintih dan tangisnya semakin menjadi, sesenggukan karena pada saat itu yang dapat disambati hanyalah ibunya, yaitu satu-satunya orang yang pernah mencintanya tapi kini ibunya pun telah meninggalkannya.

"Ibu...!" Kedua pundaknya terguncang-guncang.

"Hui Cu..." Suara ini lirih dan ada tangan menyentuh pundaknya dengan halus.

Hui Cu tertegun. Suara Cia Sun-kah itu? Ia cepat menoleh penuh harapan dan di bawah sinar bulan yang bercahaya terang, dia dapat melihat wajah yang amat dikenalnya, wajah Siangkoan Ci Kang, orang kedua setelah Cia Sun yang dikaguminya. Wajah yang gagah, agak pucat dan basah air mata! Seketika tahulah Hui Cu bahwa Ci Kang juga seperti dia sendiri, sudah lama berada di situ, menangis seperti dia sendiri, menangisi kepergian Sui Cin!

"Hui Cu, engkau menangis?"

"Engkau juga menangis..."

Engkau... kehilangan Cia Sun...?"

"Dan engkau kehilangan Sui Cin..." Hui Cu berhenti sebentar, lantas memandang ke arah lengan kiri yang buntung itu, "...dan kehilangan lengan kirimu karena Sui Cin pula..."

Mengertilah Ci Kang bahwa agaknya ketika melarikan dirinya, Hui Cu tidak pergi jauh dan mengintai sehingga tahu tentang apa yang terjadi selanjutnya, tentang buntungnya lengan kirinya. Dia mengangguk dan keduanya berdiam diri. Kini tangis mereka terhenti, agaknya memperoleh hiburan setelah saling bertemu dan saling mengerti akan kesengsaraan hati masing-masing.

Sesudah keduanya berdiam sampai beberapa saat lamanya sambil saling berpandangan, Ci Kang menarik napas panjang dan mengangguk. "Ya, aku kehilangan lengan kiriku, aku seorang yang bodoh, dan aku... aku hanya anak seorang penjahat kawakan yang rendah dan hina."

"Aku pun anak penjahat, bahkan raja dan ratu iblis, penjahat yang terbesar. Kita berdua sama-sama keturunan penjahat, orang-orang hina dan rendah..."

Tangan kanan yang kuat itu makin erat memegang pundak Hui Cu. "Engkau benar, Hui Cu. Kita sama-sama keturunan penjahat, bagaikan burung gagak yang paling rendah dan dianggap kotor, mana bisa disamakan dengan burung-burung Hong? Biarlah burung gaga berkawan dengan burung gagak pula, keturunan penjahat bersanding dengan keturunan penjahat pula. Hui Cu, bagaimana pendapatmu kalau kita yang senasib sependeritaan ini mulai sekarang hidup bersama? Maukah engkau melanjutkan hidup yang sangat kejam ini di sampingku, untuk selama-lamanya, suka sama dinikmati, duka sama diderita? Maukah engkau?"

Mereka saling bertatapan. Dua pasang mata itu hingga lama tak berkedip, saling pandang dengan tajam, seakan-akan ingin menyelami isi hati masing-masing. "Tapi... tapi... apakah engkau cinta padaku, Ci Kang?"

Senyum pahit menghias bibir pemuda itu. "Aku tidak tahu, Hui Cu. Sesungguhnya aku tidak pernah tahu apa artinya cinta itu. Akan tetapi aku kasihan padamu, dan aku suka dan kagum padamu."

Hui Cu menarik napas panjang dan Ci Kang dapat merasa betapa pundak yang tadinya meregang kaku di bawah telapak tangannya itu kini menjadi lunak dan hangat "Aku pun kagum padamu, suka dan aku pun kasihan padamu. Aku tidak tahu apakah perasaan kita yang sama ini, kagum suka dan kasihan, dapat memupuk cinta. Namun aku menerima tawaranmu seperti seorang kehausan mendapatkan air jernih, Ci Kang. Aku sudah putus harapan dan kau tiba-tiba datang dan aku... aku... ahh..." Gadis itu tiba-tiba saja menjadi lemas kemudian dia menjatuhkan dirinya di atas dada yang bidang itu sambil menangis, menyembunyikan mukanya di dada yang kokoh kuat itu.

Dengan hati merasa seperti tanah kering merekah menerima siraman air segar, Ci Kang merangkulkan lengan kanannya ke pundak gadis itu. Sejenak mereka berdiri seperti itu, tidak bergerak kecuali pundak Hui Cu yang bergoyang-goyang oleh tangisnya yang tidak berbunyi.

Sesudah tangis itu mereda, Ci Kang kemudian berbisik, "Hui Cu, sudah bulatkah hatimu menerimaku? Ingat, aku adalah seorang yang cacat, lengan kiriku buntung..."

"Tetapi hatimu tidak cacat, Ci Kang." Dan gadis itu pun membiarkan dirinya ditarik lantas diajak pergi dari situ.

Mereka berjalan perlahan-lahan, dengan lengan kanan Ci Kang masih merangkul dan hati mereka perlahan-lahan menjadi makin cerah dan tabah karena kini mereka merasa yakin akan kuat menempuh hidup baru berdua, tidak sendirian lagi, sebab mereka akan hadapi dengan tabah apa pun yang akan mereka hadapi dalam kehidupan selanjutnya.

Kebahagiaan adalah urusan hati, sebaliknya kesenangan adalah urusan badan. Selama batin kita dikeruhkan oleh segala urusan badan yang selalu mengejar kesenangan, maka kebahagiaan pun akan tiada, bagaikan cahaya yang tak dapat bersinar menembus kaca yang kotor penuh debu.

Kebahagiaan hanya terdapat di dalam batin yang jernih, yang terbebas dari pada segala ikatan, yang tidak membutuhkan apa-apa lagi, di mana tidak ada lagi konflik-konflik atau pertentangan antara senang dan susah, antara suka dan benci, antara kenyataan dan apa yang diharap-harapkan.

Kebahagiaan tidak akan lenyap walau pun badan boleh jadi tersiksa oleh penyakit, oleh kemiskinan, oleh penghinaan dan sebagainya selama batin masih dapat menerima dan menghadapi semua itu sebagai suatu hal yang wajar dan tidak menimbulkan guncangan. Kebahagiaan adalah TIDAK ADA-NYA penentangan batin terhadap segala sesuatu yang menimpa diri, dan kebahagiaan adalah CINTA KASIH.


                 T A M A T


Serial Selanjutnya : Pendekar Mata Keranjang



***** Sahabat Karib.com *****





















Terima kasih telah membaca Serial ini.




No comments:

Post a Comment

Cerita Silat Kho Ping Hoo Serial Pendekar Budiman Jilid 12

   Cerita Silat Kho Ping Hoo Serial Pendekar Budiman             Jilid 12