Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Asmara Berdarah
Jilid 31
MELIHAT
betapa Raja dan Ratu Iblis sudah keluar, Hui Song mengeluarkan bentakan dan dia
pun telah berloncatan di antara para prajurit untuk membantu mereka mengepung
dan mengeroyok Raja dan Ratu Iblis.
Cia Sun juga
mengenal empat orang penggotong tandu atau joli tanpa atap itu. Mereka berempat
itu bukan lain adalah Hui-thian Su-kwi, empat orang Cap-sha-kui yang memang
mempunyai ginkang yang luar biasa sekali. Maka dia pun cepat lari menghampiri
dan ikut pula mengepung. Juga para pendekar ikut membantu sehingga kini empat
orang pemikul tandu itu dikepung dari empat jurusan!
Akan tetapi
gerakan Hui-thian Su-kwi sungguh luar biasa cepatnya. Mereka berloncatan ke
atas kepala para prajurit, lalu dua orang kakek dan nenek di atas tandu itu
menyebar maut dengan pukulan-pukulan jarak jauh mereka. Hanya para pendekar
saja yang dapat menghindarkan diri atau menangkis sambaran angin dahsyat itu,
akan tetapi para prajurit pengawal banyak yang roboh dan tewas.
Agaknya Raja
Iblis yang lebih banyak menyebar maut sedangkan Ratu Iblis ‘mengemudi’ empat
orang pemanggul tandu itu dengan teriakan-teriakannya, "Ke kanan...!
Mundur...! Maju...! Ke kiri!"
Hui-thian
Su-kwi mempergunakan kecepatan gerak kaki mereka untuk berloncatan sesuai
dengan petunjuk Ratu Iblis. Sambil berloncatan kaki-kaki mereka pun tak pernah
bergerak secara sia-sia, karena tendangan-tendangan yang mereka lakukan juga
telah merobohkan banyak prajurit pengawal yang mengepung.
"Kejar!
Kepung, robohkan para pemikul tandu!" Perwira pasukan memberi aba-aba,
Sekarang
empat orang pemikul tandu itu berloncatan tinggi sampai ke tenda besar yang
didirikan oleh para prajurit. Setiba mereka di situ, tenda itu diterjang hingga
tiang-tiangnya roboh oleh tendangan empat orang pemikul tandu yang berloncatan
ke atas. Sementara itu hantaman-hantaman yang dilakukan oleh telapak tangan
Raja Iblis demikian hebatnya sehingga mayat-mayat para pengeroyok roboh
berserakan.
"Kepung
rapat!" teriak perwira pasukan pada waktu melihat empat orang pemikul
tandu itu meloncat tinggi dan hinggap di atas tiang-tiang kayu bekas tenda
besar. Para prajurit lalu mengepung dan menyerang dengan tombak.
"Loncat
turun ke depan!" terdengar Ratu Iblis memberi komando, sementara itu Raja
Iblis melancarkan pukulan ke arah tiang melintang di depannya.
"Krakkkk...!"
Tiang yang besar itu patah tengahnya dan tiang-tiang itu pun roboh menimpa para
prajurit sedangkan empat orang pemikul tandu meloncat jauh ke depan.
Melihat
betapa Raja Iblis sedang menyebar maut, Hui Song dan Cia Sun menjadi marah
sekali. Mereka tak dapat leluasa bergerak karena kesimpang-siuran para prajurit
yang ikut mengeroyok.
"Kita
serang berbareng dengan loncatan ke atas!" tiba-tiba Cia Sun berbisik dan
Hui Song mengangguk.
Tiba-tiba
saja dua orang pemuda perkasa ini melompat jauh ke atas, melampaui kepala
beberapa orang prajurit dan mereka berdua langsung menerjang Raja Iblis dari
kanan dan belakang! Memang mereka telah memperhitungkan agar loncatan mereka
tiba di sebelah kanan dan belakang Raja Iblis, kemudian mereka menyerang dengan
berbareng.
Sambil
meloncat itu, dari sebelah kanan Cia Sun telah mengirimkan pukulan dengan satu
jurus Hok-mo Cap-sha-ciang, sebuah ilmu pukulan tangan kosong yang mukjijat dan
luar biasa ampuhnya. Pukulan itu mendatangkan angin kuat dan nampak seperti ada
cahaya kemerahan menyambar dahsyat ke arah leher Raja Iblis. Pada saat yang
sama pula Hui Song telah menyerang dengan pukulan Thian-te Sin-ciang yang juga
merupakan pukulan amat ampuh, ditujukan ke arah punggung Raja Iblis.
Menghadapi
penyerangan dua orang pemuda yang amat lihai ini, Raja Iblis mengeluarkan suara
mendengus marah dan juga kaget. Cepat dia memutar tubuhnya ke kanan, tangan
kirinya diputar menahan pukulan Cia Sun ada pun tangan kanannya menangkis
pukulan Hui Song.
Sementara
itu, Ratu Iblis tidak tinggal diam melihat suaminya menghadapi penyerangan
dahsyat itu. Maka dia pun mengerahkan tenaga pada kedua tangannya lalu
mendorong ke arah Cia Sun dan Hui Song dari sebelah kanan suaminya.
"Plakkk!
Desss...!"
Karena tidak
mempunyai tempat berpijak dan saking kuatnya tenaga Raja dan Ratu Iblis, tubuh
Hui Song dan Cia Sun yang menyerang sambil melompat itu terpental ke belakang
sehingga terpaksa berjungkir balik menghindarkan diri dari terbanting. Akan
tetapi tenaga mereka juga begitu kuatnya sehingga Raja dan Ratu Iblis yang tadi
mengerahkan tenaga, membuat empat orang Hui-thian Su-kwi terhuyung sebab tiba-tiba
saja panggulan mereka menjadi berat luar biasa.
Sementara
itu, perkelahian antara Sui Cin dan Gui Siang Hwa terjadi amat serunya. Akan
tetapi, betapa pun juga, Siang Hwa harus mengakui keunggulan Sui Cin. Sebelum
gadis ini digembleng oleh Wu-yi Lo-jin, belum tentu Sui Cin akan mampu
mengalahkan Siang Hwa dengan mudah. Akan tetapi, selama tiga tahun ini Sui Cin
memperoleh gemblengan yang sangat mendalam sehingga ilmu-ilmunya yang banyak
macamnya, yang diwarisinya dari ayah ibunya itu, kini menjadi matang.
Oleh karena
itu, biar pun Siang Hwa menggunakan pedang, bahkan telah menggunakan pula sapu
tangan suteranya yang mengandung racun, dia sama sekali tidak berdaya dan semua
serangannya dapat digagalkan dengan mudah oleh Sui Cin, sebaliknya desakan
gadis Pulau Teratai Merah ini membuat ia repot dan terhuyung-huyung. Beberapa
kali ia telah menerima tamparan Sui Cin dan hanya kekebalan dirinya saja yang
membuat Siang Hwa masih dapat bertahan sampai puluhan jurus.
Akan tetapi,
ketika jari tangan Sui Cin yang kecil mungil serta meruncing itu menyambar
pundaknya dengan totokan yang amat cepat, Siang Hwa lalu terpelanting dan
pedangnya terlepas ketika tangan kanannya ditendang oleh Sui Cin. Pada waktu
itulah para prajurit menubruk dengan tombak dan golok mereka sehingga wanita
cabul itu pun tewas dalam keadaan mengerikan, tubuhnya hancur oleh belasan
batang golok dan tombak.
Dalam waktu
yang hampir bersamaan, Ci Kang juga sudah merobohkan sute-nya, yaitu, Sim Thian
Bu. Semenjak semula Sim Thian Bu sendiri memang sudah gentar menghadapi putera
mendiang gurunya ini. Semenjak dahulu dia tak pernah dapat menang terhadap Ci
Kang. Apa lagi setelah Ci Kang digembleng dengan hebatnya oleh Ciu-sian Lo-kai,
tentu saja gerakan-gerakannya menjadi semakin matang dan kuat.
Namun,
karena perasaan Ci Kang menjadi halus dan lembut, dia merasa tidak tega untuk
membunuh bekas sute-nya. Beberapa kali dia membujuk supaya Thian Bu menyerah
saja dan kalau mau bertobat, dia yang akan mintakan ampun kepada Yang
Tai-ciangkun. Akan tetapi semua bujukannya malah disambut dengan ucapan-ucapan
menghina oleh Thian Bu sehingga perkelahian itu menjadi lama.
Akhirnya,
sebuah tendangan yang dilakukan dengan posisi miring dari Ci Kang amat tidak
terduga oleh Thian Bu. Tendangan itu mengenai lambung Sim Thian Bu dan
membuatnya tersungkur roboh. Pada saat itu, para prajurit juga menubruk dan
menghujamkan senjata mereka. Akan tetapi, sebelum tewas Sim Thian Bu masih
sempat melontarkan pedangnya membunuh seorang di antara mereka. Dia sendiri,
seperti juga Siang Hwa, tewas di ujung belasan batang tombak dan golok.
Ketika
Hui-thian Su-kwi terhuyung karena pertemuan tenaga antara Raja dan Ratu Iblis
melawan Hui Song dan Cia Sun, tiba-tiba muncullah Wu-yi Lo-jin dan Siang-kiang
Lo-jin! Dua orang kakek ini melihat kesempatan yang baik sekali. Pada saat itu
Raja Iblis tidak memegang tongkat yang mereka takuti. Mereka melayang seperti
yang dilakukan oleh Hui Song dan Cia Sun tadi, dan mereka sudah menerjang ke
arah Raja dan Ratu Iblis yang berdiri di atas joli terbuka.
Empat orang
pemikul sedang terhuyung maka tidak sempat membawa pemimpin mereka meloncat
sehingga terpaksa Raja dan Ratu Iblis yang kaget melihat munculnya dua orang
kakek ini, menyambut serangan mereka dengan dorongan tangan. Raja Iblis
menyambut hantaman tangan Siang-kiang Lo-jin sedangkan Ratu Iblis juga
menyambut pukulan Wu-yi Lo-jin dengan dorongan kedua telapak tangannya.
"Wuuuuttt...!
Desss...!"
Pertemuan
tenaga sinkang sekali ini lebih hebat lagi. Akibatnya, tubuh Raja dan Ratu
Iblis terdorong dan condong ke belakang sedangkan tubuh dua orang kakek
penyerang yang tadi meloncat terdorong ke belakang dan hampir mereka
terjengkang, akan tetapi empat orang Hui-thian Su-kwi sampai jatuh berjongkok
karena kaki mereka tiba-tiba tak kuat lagi menahan tenaga yang menekan dari
atas!
Pada saat
itu Sui Cin, Ci Kang, Hui Song dan Cia Sun sudah menerjang maju, masing-masing
menyerang seorang dari Hui-thian Su-kwi. Empat orang tokoh dari Cap-sha-kui ini
terkejut bukan main. Mereka baru saja jatuh berjongkok sedangkan serangan empat
orang muda itu sedemikian dahsyatnya sehingga mereka terpaksa melepaskan
pikulan joli dan bangkit untuk meloncat mengelak atau menangkis.
Segera
terjadi perkelahian antara mereka dengan empat orang muda itu dan joli itu pun
terlempar ke samping! Akan tetapi Raja dan Ratu Iblis sudah berloncatan turun
dan ketika Wu-yi Lo-jin dan Siang-kang Lo-jin hendak menyerang, tiba-tiba
mereka berdua terbelalak dan mundur karena Raja Iblis sudah mengangkat
tinggi-tinggi tongkat saktinya!
Para
pendekar yang hadir cepat maju menyerang, akan tetapi dalam beberapa gebrakan
saja mereka terpental roboh dan kini para prajurit pengawal mengepung lagi,
mengeroyok kakek dan nenek itu. Akan tetapi para prajurit ini seperti
sekelompok nyamuk menyerang api lilin saja, setiap kali kakek dan nenek itu
menggerakkan tangan, tentu banyak orang yang roboh terpelanting.
Karena itu,
para prajurit menjadi gentar dan Raja Iblis bersama isterinya dengan mudah
berloncatan lalu melarikan diri dengan cepat sekali, tidak pernah dapat disusul
oleh para pengejarnya. Apa lagi karena para pengejarnya itu sudah merasa
gentar.
Bahkan dua
orang kakek yang paling lihai di antara mereka, Wu-yi Lo-jin dan Siang-kiang
Lo-jin, juga mengejar dari jauh saja karena mereka itu juga gentar, bukan
gentar terhadap Raja dan Ratu Iblis, melainkan terhadap tongkat sakti itu!
Mereka takut terhadap sumpah mereka sendiri, takut kalau melanggar sumpah. Hal
ini membuat kakek dan nenek iblis itu dengan mudahnya keluar dari San-hai-koan
lantas melarikan diri menuju ke padang pasir di sebelah selatan, kemudian
membelok ke barat.
Sementara
itu, dalam situasi panik dan juga karena tingkat kepandaiannya memang jauh
kalah tinggi, empat orang dari Hui-thian Su-kwi yang menghadapi empat orang
pendekar muda sudah roboh semua. Su Cin, Hui Song, Ci Kang dan Cia Sun juga
melihat betapa Raja dan Ratu Iblis melarikan diri, maka tadi mereka memperhebat
serangan mereka.
Kini empat
orang pendekar muda itu telah berloncatan dan lari mengejar pula. Walau pun
tadi mereka itu tertinggal jauh, karena kehebatan ilmu ginkang mereka, akhirnya
mereka dapat juga menyusul Wu-yi Lo-jin dan Siang-kiang Lo-jin yang tidak
berani terlalu cepat.
"Suhu,
di mana mereka?" tanya Sui Cin.
"Wah,
mereka tadi menghilang di balik bukit sana itu," kata Wu-yi Lo-jin kepada
Sui Cin.
"Sayang
kami berdua tidak berani mengejar terlalu cepat. Si laknat itu sudah memegang
tongkatnya!" kata pula Si Dewa Kipas.
"Akan
tetapi kami tidak takut pada tongkat iblisnya itu!" kata Hui Song dengan
gemas dan dia pun terus berlari cepat ke depan, diikuti oleh tiga orang
pendekar muda lainnya, ada pun dua orang kakek itu terpaksa mengejar pula dari
belakang mereka dengan gelisah.
Dari arah
jalan yang diambil oleh Raja dan Ratu Iblis, Ci Kang dan Cia Sun teringat akan
tempat persembunyian Raja Iblis, yaitu di sebuah gedung tua di lereng bukit
itu, di mana terdapat goa di dalam tanah dan di sana untuk pertama kali mereka
bertemu dengan Hui Cu.
Tidak salah
lagi, tentu ke sanalah Raja dan Ratu Iblis pergi! Maka, mereka lalu menjadi
penunjuk jalan dan berlari cepat ke arah bukit itu. Kini yang melakukan
pengejaran hanya tinggal mereka berenam lagi karena pasukan pengawal dari
San-hai-koan bersama para pendekar sudah tidak ikut mengejar, tidak mampu
mengejar secepat itu, dan pula, mereka lebih sibuk dan mementingkan untuk
menolong teman-teman yang terluka dan mengurus mereka yang tewas pada saat
terjadi pengeroyokan atas diri Raja dan Ratu Iblis bersama pembantu-pembantu
mereka yang pandai.
***************
Para
pengejar itu mempercepat lari mereka ketika mereka melihat betapa terjadi
keributan di sebelah depan, di persimpangan jalan menuju ke Ceng-tek dan ke
bukit tempat gedung kuno persembunyian Raja dan Ratu Iblis. Agaknya di sana
terjadi pertempuran yang seru antara banyak orang yang melakukan pengeroyokan.
"Ayah...!"
Hui Song berseru kaget sekali ketika melihat bahwa yang mengeroyok Raja dan
Ratu Iblis adalah ayahnya bersama sumoi-nya Tan Siang Wi, serta tiga puluh
lebih orang anggota Cin-ling-pai, sisa dari para murid Cin-ling-pai.
Betapa
lihainya Raja dan Ratu Iblis, tetapi mereka harus bersikap hati-hati saat
dikeroyok oleh puluhan orang murid Cin-ling-pai yang dipimpin sendiri oleh
ketuanya. Mereka berdua dikurung ketat sekali dan para murid Cin-ling-pai yang
merasa dendam kepada Raja Iblis, berkelahi dengan semangat tinggi dan
mati-matian.
Memang sudah
ada lima enam orang di antara murid Cin-ling-pai yang roboh, akan tetapi mereka
masih bersemangat. Juga ketua Cin-ling-pai, Cia Kong Liang, nampak terluka di
pahanya, tetapi pendekar ini masih bergerak dengan gagah perkasa, mendesak Raja
Iblis dibantu oleh Tan Siang Wi dan puluhan orang murid Cin-ling-pai.
Cia Kong
Liang merasa girang sekali ketika melihat puteranya muncul. Sebaliknya, Raja
Iblis menjadi kaget bukan kepalang. Mereka tidak merasa takut menghadapi
orang-orang Cin-ling-pai dan sungguh pun harus mengerahkan kepandaian dan perlu
waktu yang agak lama, tapi mereka yakin akan mampu mengalahkan puluhan orang
musuh itu. Akan tetapi kemunculan empat pendekar muda beserta dua orang kakek
itu membuat mereka gentar juga!
Memang benar
bahwa dua orang kakek itu tidak akan berani turun tangan melihat tongkat sakti
di tangan Raja Iblis, akan tetapi empat orang pendekar muda itu sama sekali
tidak boleh dipandang ringan! Mereka berempat itu bahkan lebih tangguh
dibandingkan ketua Cin-ling-pai sendiri!
Kini tanpa
banyak cakap lagi, Hui Song, Sui Cin, Cia Sun dan Ci Kang sudah menerjang maju
mengeroyok Raja dan Ratu Iblis. Para murid Cin-ling-pai bernapas lega dan
mereka yang merasa bahwa tingkat kepandaian mereka masih jauh berada di bawah
untuk dapat mengimbangi perkelahian antara orang-orang sakti itu, lalu mundur
dan hanya mengurung tempat itu sambil menonton dan siap-siap membantu pihak
mereka.
Perkelahian
kini menjadi seru bukan kepalang setelah Sui Cin, Hui Song, Cia Sun dan Ci Kang
maju mengeroyok Raja dan Ratu Iblis! Benar-benar merupakan perkelahian tingkat
tinggi di mana setiap orang mengeluarkan semua kepandaian mereka dan
mengerahkan seluruh tenaga.
Empat orang
muda itu sungguh tangkas dan lihai, dengan jurus-jurus mereka yang berupa
ilmu-ilmu silat pilihan. Cia Sun serta kawan-kawannya maklum akan kelihaian
kakek dan nenek itu, maka mereka berempat tidak merasa sungkan untuk maju
berempat melawan dua orang.
Bahkan Cia
Kong Liang berdiri bengong penuh kagum. Kini puteranya itu sudah memiliki
kepandaian yang sangat hebat, bahkan berani bertemu tangan beradu sinkang
melawan Raja Iblis! Dia pun hanya berdiri di pinggir dan siap membantu
kalau-kalau puteranya dan para pendekar muda itu terancam bahaya.
Dua orang
kakek Si Dewa Arak dan Dewa Kipas hanya menonton di antara para murid
Cin-ling-pai tanpa berani turun tangan. Akan tetapi Wu-yi Lo-jin lalu mendapat
akal. Dia melihat betapa gerakan-gerakan muridnya, Sui Cin, walau pun sudah
hebat sekali, namun ada beberapa bagian yang masih lemah. Dia kemudian
berteriak-teriak memberi petunjuk kepada Sui Cin dan begitu dara ini mendengar
petunjuk-petunjuk gurunya, dia menyerang makin dahsyat sehingga membuat Ratu
Iblis kewalahan!
Melihat ini,
segera Siang-kiang Lo-jin berteriak memberi petunjuk kepada Hui Song yang
setelah mendengar petunjuk-petunjuk dari kakek gendut itu segera bisa
memperbaiki dan memperhebat gerakan-gerakannya. Melihat ini, Cia Kong Liang
semakin heran dan baru dia dapat menduga bahwa kakek gendut ini tentu seorang
guru baru dari puteranya.
Pada saat
dua orang kakek itu berlomba memberi petunjuk kepada murid masing-masing,
tiba-tiba terdengar suara dua orang lain yang berseru memberi petunjuk kepada
Cia Sun dan Ci Kang! Dua orang pemuda ini girang bukan main karena mengenal
suara guru-guru mereka, Ciu-sian Lo--kai dan Go-bi San-jin! Kini lengkaplah
sudah guru keempat pendekar muda itu.
Mereka
berempat berada di situ akan tetapi karena tongkat sakti di tangan Raja Iblis
atau Pangeran Toan Jit Ong, mereka berempat tidak berani berkutik dan hanya
dapat memberi petunjuk kepada murid masing-masing. Akan tetapi
petunjuk-petunjuk ini berharga sekali karena kini gerakan keempat orang muda
itu menjadi semakin dahsyat sehingga Raja dan Ratu Iblis sendiri menjadi repot,
terdesak hingga permainan silat mereka menjadi kalang kabut. Selain itu, mereka
berdua sudah amat tua sehingga dalam hal daya tahan tubuh dan pernapasan,
mereka kalah jauh dibandingkan empat orang lawan mereka.
Empat orang
muda itu mengeroyok secara bergantian. Mereka seperti tengah membentuk barisan
segi empat, membuat suami isteri iblis itu sangat kewalahan. Ketika memperoleh
kesempatan yang baik, tiba-tiba Sui Cin menubruk maju lantas tamparan tangannya
yang penuh dengan tenaga Thian-te Sin-ciang itu mengenai punggung Ratu Iblis.
"Uakkkk...!"
Ratu Iblis
tidak roboh namun dari mulutnya muncrat darah segar, tanda bahwa tamparan itu
telah melukainya. Dan pada saat yang hampir bersamaan, Cia Sun juga telah
berhasil memukul lambung Raja Iblis dengan jurus Hok-mo Cap-sha-ciang yang
mukjijat.
"Desss...!"
Demikian
hebatnya pukulan itu, akan tetapi juga demikian lihainya Raja Iblis sehingga
Cia Sun yang memukul malah terpelanting sendiri! Akan tetapi dari dalam dada
Raja Iblis itu keluar suara keluhan pendek, kemudian dia dan isterinya secara
tiba-tiba meloncat lantas melarikan diri ke arah bukit!
"Cepat
kejar!" Hui Song berseru dan mereka berempat lalu mengejar, diikuti oleh
empat orang kakek, Cia Kong Liang dan para murid Cin-ling-pai yang tertinggal
jauh di belakang.
Kakek dan
nenek itu berlari bagaikan terbang cepatnya menuju ke arah gedung kuno di
lereng bukit. Melihat ini, Ci Kang berseru, "Cepat, kalau mereka memasuki
gedung, akan sukar bagi kita karena gedung itu menyimpan banyak rahasia!
Mungkin mereka bisa lolos melalui jalan rahasia!"
Mendengar
ucapan ini, semua orang lalu melakukan pengejaran secepatnya. Akan tetapi
mereka kalah dulu dan sekarang kakek dan nenek itu sudah tiba di depan gedung.
Hal ini membuat delapan orang pengejar itu menjadi gelisah. Juga Cia Kong Liang
mendengar ucapan Ci Kang tadi dan dia pun yang berada agak jauh di belakang
delapan orang itu merasa gelisah.
Tiba-tiba
terdengar suara ledakan yang keras sekali dan gedung kuno di depan itu hancur
berantakan! Kakek dan nenek itu tentu saja merasa terkejut setengah mati dan
Raja Iblis terbelalak memandang pada seorang gadis yang baru saja muncul dari
belakang gedung yang sudah hancur itu.
"Hui
Cu...!" Ratu Iblis berseru kaget. "Apa yang telah kau lakukan?"
Gadis itu
memandang pada ibunya dengan wajah muram, lalu berbalik memandang pada Raja
Iblis dengan sinar mata penuh kemarahan. "Maafkan aku, ibu. Terpaksa aku
harus menghancurkan gedung ini. Bagaimana pun juga aku harus menentang
kejahatannya!" Ia menuding ke arah muka Raja Iblis.
"Anak
keparat! Kalau begitu, engkau harus mampus!"
Raja Iblis
tiba-tiba melompat ke depan dan menyerang Hui Cu dengan pukulannya yang sangat
dahsyat. Pukulan itu dahsyat bukan main, datang menerjang Hui Cu laksana kilat
menyambar. Dara itu cepat menggerakkan kedua tangannya menangkis untuk
melindungi tubuhnya.
"Desss...!"
Tubuh gadis
itu terlempar sampai beberapa meter ke belakang lantas terbanting ke atas
tanah. Akan tetapi, berkat latihan-latihan yang diterima dari ibunya, gadis itu
tadi sempat melindungi dirinya dengan sinkang sehingga dia hanya kesakitan saja
dan tidak sampai terluka parah, maka dia hanya mengeluh dan perlahan-lahan
bangkit lagi. Melihat ini, Raja Iblis menjadi penasaran dan semakin marah.
"Heh,
satu kali pukulan belum cukup, ya?" katanya dan dia sudah menerjang
kembali ke depan untuk menyusulkan pukulan maut kepada puterinya. Akan tetapi
pada saat itu pula Ratu Iblis sudah meloncat mendahului suaminya dan menghadang
di depan suaminya.
"Jangan
bunuh anakku!" katanya dengan sinar mata mencorong laksana seekor harimau
betina yang melindungi anaknya.
Sepasang
mata Raja Iblis yang biasanya jarang bergerak itu kini terbelalak. Hampir dia
tidak percaya melihat isterinya kini berdiri menghadang dan menentangnya.
Selama ini, isterinya amat taat kepadanya, melaksanakan segala perintahnya
dengan taruhan nyawa sekali pun. Akan tetapi kali ini isterinya menghadapinya
dengan sikap seorang musuh! Dia tidak tahu betapa di atas segalanya, seorang
ibu selalu mencinta anak tunggalnya hingga berani menentang apa saja, berani
kehilangan apa saja demi anaknya itu.
"Kau...
kau berani menentang aku?" tanyanya, masih tidak dapat percaya.
"Jangan
bunuh anakku!" Hanya itulah yang dapat dikatakan Ratu Iblis karena
sebetulnya nenek ini amat takut dan juga cinta kepada Raja Iblis, akan tetapi
kasihnya terhadap anak kandung yang tunggal itu agaknya lebih besar lagi.
"Kau
membela anak keparat yang sudah menghancurkan tempat kita itu?" tanyanya
lagi.
"Jangan
bunuh anakku!"
"Hemmm,
kalau begitu kalian harus mampus!" Dan Raja Iblis sudah menerjang
isterinya dengan dahsyat.
Ratu Iblis
menangkis dan dia pun terjengkang, sungguh pun tidak sehebat puterinya tadi.
Dia meloncat bangun dan kini Hui Cu juga sudah meloncat dekat ibunya. Ketika
Raja Iblis menyerang lagi, dia disambut oleh isterinya dan puterinya!
Terjadilah
perkelahian yang seru hingga membuat para pendekar yang sudah tiba di situ memandang
bengong dan mereka tidak tahu harus berbuat apa. Mereka mengejar Raja dan Ratu
Iblis, akan tetapi sekarang musuh-musuh yang dikejar itu bahkan saling hantam
sendiri. Hal ini membuat mereka bingung, tidak tahu harus membantu siapa!
Betapa pun
lihainya Ratu Iblis, tapi menghadapi suaminya sama saja dengan menghadapi
gurunya. Dan kepandaian Hui Cu belum ada artinya kalau dibandingkan dengan
ayahnya itu. Oleh karena itu, dalam waktu tiga puluh jurus saja, pukulan tangan
kiri Raja Iblis telah menyambar dengan tepat mengenai dada isterinya sendiri.
"Dukkk...!"
Tubuh nenek itu terjengkang dan terbanting keras.
"Ibuuu...!"
Hui Cu menubruk ibunya.
Pada saat
itu, dengan kemarahan meluap Raja Iblis menyerang anaknya. Akan tetapi, Sui
Cin, Hui Song, Ci Kang dan Cia Sun seperti dikomando telah menerjang maju,
menyerang Raja Iblis yang sedang hendak membunuh puterinya itu.
Serangan
empat orang muda yang perkasa itu dahsyat bukan main, membuat Raja Iblis
terpaksa menarik kembali serangannya terhadap Hui Cu lantas berloncatan ke
belakang untuk menghindarkan diri dari hujan serangan yang berbahaya itu.
Kini gedung
kuno yang menjadi harapannya untuk dapat menyembunyikan atau melarikan diri
telah dihancurkan puterinya sendiri, dan pembantunya yang paling dapat
diandalkan, yaitu Ratu Iblis, sudah tewas atau setidaknya sudah tidak mampu
membantunya lagi. Ada pun melarikan diri dari empat orang muda perkasa ini juga
percuma karena dia sendiri sudah sangat lelah dan kalau disuruh berlomba lari,
tentu dia akan kehabisan napas dan akhirnya tersusul juga.
Dia lalu
mengeluarkan suara pekik melengking dan selagi tenaganya masih ada, tiada lain
jalan bagi Pangeran Toan Jit Ong atau Raja Iblis kecuali terus melawan dan
berusaha mengamuk, menjatuhkan semua lawan yang empat orang ini karena empat
orang kakek itu tidak ada yang berani maju melanggar sumpah mereka sendiri.
Oleh karena itu, Raja Iblis segera mengeluarkan suara pekik melengking dan
membalas serangan empat orang pengeroyoknya yang cepat menghindar pula.
Kini terjadilah
perkelahian yang hebat dan mati-matian antara Raja Iblis yang dikeroyok oleh
empat orang pendekar muda perkasa itu. Dan kini, empat orang kakek sakti tak
perlu lagi memberi petunjuk kepada murid masing-masing. Dengan hilangnya Ratu
Iblis, maka kekuatan Raja Iblis banyak berkurang sehingga empat orang muda itu
mulai mendesak dan memperketat pengepungan mereka. Bahkan Ci Kang dan Hui Song
sudah berhasil menyarangkan pukulan masing-masing ke tubuh Raja Iblis.
Akan tetapi
kakek ini mempunyai kekebalan yang amat kuat sehingga pukulan dua orang muda
itu nampaknya tidak berbekas. Tapi betapa pun juga, bukan berarti bahwa pukulan
itu sama sekali tidak ada artinya. Biar pun kulit kebal dapat membuat
pukulan-pukulan itu membalik, namun Raja Iblis mengalami getaran hebat di
sebelah dalam tubuhnya, dan dia pun sudah mengerahkan terlampau banyak tenaga
untuk menahan pukulan-pukulan tadi. Gerakannya jelas nampak semakin lemah dan
semakin lambat.
Hal ini
membuat empat orang pengeroyoknya bertambah semangat hingga kembali tubuh kakek
itu terkena pukulan, sekali ini Sui Cin yang menampar lambungnya, disusul Cia
Sun mendaratkan pukulannya ke arah pundak. Kakek itu terhuyung ke belakang dan
pada saat Hui Song menyusulkan sebuah tendangan keras yang mengenai perutnya,
kakek itu mencelat ke belakang dan dari mulutnya tersembur darah segar.
Namun dia
memekik lantas menubruk maju. Hampir saja Sui Cin kena dicengkeram kalau saja
Hui Song tidak cepat menolongnya dengan tangkisan yang membuat tubuh pemuda itu
terjengkang, akan tetapi Sui Cin luput dari cengkeraman maut! Ci Kang menampar
pula dari belakang, tamparan yang sangat keras mengenai tengkuk Raja Iblis.
Tubuh kakek itu terputar dan kembali dia terhuyung-huyung. Dan tiba-tiba saja
kakek itu terpelanting lalu jatuh menelungkup tak bergerak lagi.
Empat orang
pendekar muda itu tidak berani mendekat, khawatir kalau-kalau Raja Iblis hanya
pura-pura roboh dan kalau mereka mendekat dengan gegabah, mereka mungkin celaka
oleh serangan mendadak. Akan tetapi, beberapa menit mereka menunggu, tubuh
kakek itu tetap tidak bergerak dan tiba-tiba terdengar Ciu-sian Lo-kai
terkekeh.
"Ha-ha-ha,
akhirnya Raja Iblis mati juga!"
Mendengar
ucapan suhu-nya ini, barulah Ci Kang berani menghampiri dan membalikkan tubuh
yang menelungkup itu. Nampak darah memenuhi tanah di bawah tubuh dan kiranya
sebatang pedang sudah menancap di dada kakek itu. Pedangnya sendiri! Setelah
melihat bahwa dia tak akan menang, kakek itu lalu membunuh diri, memilih mati
di tangan sendiri dari pada di tangan empat orang muda itu!
Kini mereka
semua menujukan perhatian kepada Hui Cu yang masih menangisi ibunya. Nenek itu
masih belum tewas walau pun napasnya sudah empas-empis. Tiba-tiba saja dia
berkata, "Yang mana yang bernama Cia Sun...?"
Mendengar
pertanyaan ini, Cia Sun mendekat dan berlutut di sebelah Hui Cu yang masih
menangis terisak-isak. Melihat Cia Sun, nenek itu mengangguk lemah. Ia telah
mengenal pemuda ini, sudah pernah jumpa di dalam goa bawah tanah.
"Engkau
seorang pemuda yang gagah, dan aku gembira Hui Cu mencintamu. Cia Sun, maukah
kau berjanji untuk melindungi anakku Hui Cu dan menjadi suaminya? Ia sungguh
mencintamu..." suaranya sangat lemah dan agaknya nenek ini telah
mengerahkan tenaga terakhir untuk bicara itu.
CIA SUN
mengerutkan alisnya. Dia tidak peduli terhadap nenek ini yang dia tahu adalah
seorang nenek yang keji dan jahat sekali. Akan tetapi dia harus mengakui pada
diri sendiri bahwa dia merasa suka dan sayang terhadap Hui Cu yang dianggapnya
seorang gadis yang sangat baik. Tadi saja sudah terbukti bahwa Hui Cu menentang
kejahatan dengan membakar gedung kuno itu.
Akan tetapi,
dia tidak mencinta Hui Cu dan hal ini sudah dia katakan terus terang kepada Hui
Cu! Hal seperti ini mana mungkin dibicarakan di hadapan orang banyak? Hanya
akan membuat Hui Cu berduka dan malu saja. Akan tetapi nenek itu kini berada
dalam sakratul maut dan dia harus bicara terus terang.
"Sayang,
aku tidak dapat memenuhi permintaanmu. Aku akan melindungi Hui Cu sebagai
seorang sahabat, akan tetapi... aku tidak bisa menjadi suaminya..."
Nenek itu
terbelalak dan tangis Hui Cu semakin menjadi-jadi. "Apa? Kau... kau tidak
cinta padanya? Engkau berani menolak?" Nenek itu tiba-tiba bangkit dan
mengerahkan tenaga untuk menyerang Cia Sun, akan tetapi dia terpelanting dan
napasnya putus.
Hui Cu
bangkit, mukanya pucat ketika dia memandang pada mayat ibunya. "Ibu...
kau... kau kejam... kejam...!" Dan gadis itu pun melarikan diri dengan
amat cepatnya.
"Hui
Cu...!" Cia Sun memanggil, akan tetapi gadis itu tidak menoleh dan terus
lari dengan amat cepatnya. Cia Sun tidak dapat berbuat lain kecuali menghela
napas panjang.
Sementara
itu, Hui Song menghampiri ayahnya dan mereka pun saling pandang dengan wajah
muram dan hati berduka.
"Ayah...
kongkong dan ibu..."
Cia Kong
Liang mengangguk. "Aku sudah tahu, mereka tewas oleh Raja dan Ratu Iblis,
dan engkau sudah membalaskan kematian mereka."
"Ayah...!"
Hui Song menahan air matanya, mendekati ayahnya lantas mereka pun saling
berpegang tangan. Dari tangan mereka terasa getaran dan kedua orang pria yang
kuat ini saling menghibur dengan pegangan tangan mereka itu.
"Aku
telah tertipu, Song-ji..."
"Sudahlah,
ayah. Aku sudah mendengar dari para suheng. Akan tetapi, ayah sudah cepat
berbalik pikiran setelah mengetahuinya dan bagaimana pun juga, Cin-ling-pai
telah banyak membantu pemerintah dalam menentang pemberontak."
"Song-ji,
perkenalkanlah aku dengan para locianpwe ini. Apakah locianpwe itu
gurumu?" ketua Cin-ling-pai berkata. "Juga siapakah gadis gagah itu?
Siangkoan Ci Kang dan Cia Sun aku sudah kenal."
Hui Song
lalu memperkenalkan Siang-kiang Lo-jin sebagai gurunya, juga Wu-yi Lo-jin guru
Sui Cin, Ciu-sian Lo-kai guru Ci Kang dan Go-bi San-jin guru Cia Sun. "Dan
ini adalah nona Ceng Sui Cin, puteri tunggal dari locianpwe Ceng Thian Sin di
Pulau Teratai Merah."
"Ahh,
puteri Pendekar Sadis?" Ketua Cin-ling-pai itu bertanya sambil memandang
penuh perhatian kepada Sui Cin. "Pantas lihai bukan main!"
"Dan
ini adalah gadis yang kucinta, ayah, telah kucalonkan dia menjadi
isteriku!" kata Hui Song dengan cepat sambil mengerling ke arah Ci Kang
dan Cia Sun. Dia tahu bahwa dua orang muda itu agaknya juga menaruh hati kepada
Sui Cin, maka kini di hadapan banyak orang, dengan terang-terangan dia mengaku
cintanya kepada gadis itu kepada ayahnya.
Mendengar
ucapan muridnya itu, Siang-kiang Lo-jin tertawa dan perutnya yang gendut itu
bergerak-gerak. "Ha-ha-ha-ha, ketua Cin-ling-pai sungguh beruntung
mempunyai seorang putera yang jujur dan berani berterus terang tidak malu-malu
kucing!"
Cia Kong
Liang tersenyum. Dalam hati kecilnya, dia kurang suka jika puteranya berjodoh
dengan puteri Pendekar Sadis, karena dalam pandangannya, Pendekar Sadis
merupakan seorang pendekar yang terlalu kejam terhadap musuh-musuhnya. Akan
tetapi dia sudah mendapat banyak pengalaman dalam peristiwa pemberontakan itu
sehingga dia menekan perasaannya dan dia menjura kepada kakek gendut itu.
"Berkat
bimbingan locianpwe anakku yang bodoh menjadi tabah. Nona Ceng, terus terang
saja, setelah mendengar kata-kata anakku, bagaimana pendapatmu tentang
itu?"
Pertanyaan
yang diajukan ketua Cin-ling-pai ini malah lebih terang-terangan lagi dari pada
puteranya. Pendekar ini bertanya kepada seorang gadis begitu saja tentang
pendapatnya mengenai pemyataan cinta puteranya!
Sui Cin
adalah seorang dara yang berwatak polos, jenaka dan bebas. Terutama sekali dia
mencinta kebebasan yang sejak kecil memang diberikan oleh ayah bundanya
kepadanya maka sikap Hui Song dan ayahnya itu tidak membuat dia bingung biar
pun kedua pipinya kini menjadi lebih merah dari pada biasanya.
"Locianpwe,
Song-ko adalah seorang sahabatku yang baik. Aku suka kepadanya..."
"Suka
ataukah cinta? He-he, kukira muridku juga bukan seorang yang pemalu dan suka
berpura-pura. Sui Cin, suka berbeda dengan cinta!" Tiba-tiba Wu-yi Lo-jin
berkata sambil terkekeh.
Sui Cin
melirik kepada gurunya. Sialan. Gurunya ini lebih terang-terangan lagi sehingga
ia merasa tersudut. "Yaah, mungkin aku juga cinta padanya dan tentang
perjodohan... wah, biarlah hal itu ayah ibuku yang memutuskan!"
Jawaban ini
membuat semua orang tersenyum dan Hui Song nampak girang bukan main. Cia Sun
diam-diam menarik napas panjang dan dia pun hanya menundukkan muka saja, ada
pun Ci Kang juga menundukkan muka. Hanya mereka sendiri yang dapat merasakan
kepahitan yang sejenak menyelubungi hati mereka sesudah mendengar jawaban Sui
Cin yang terang-terangan menyatakan cintanya kepada Hui Song itu.
Cia Kong
Liang mengangguk-angguk. "Baiklah, apa bila kalian memang saling mencinta,
kelak aku akan menemui Pendekar Sadis untuk membicarakan urusan perjodohan
kalian. Kini aku harus mengucapkan terima kasih kepada para locianpwe yang
sudah menolong calon menantuku ini, juga tidak lupa aku berterima kasih sekali
kepada Ci Kang dan Cia Sun, terutama Ci Kang karena tanpa adanya dia ini,
mungkin sekarang aku sudah mati dikeroyok oleh para pemberontak anak buah Raja
Iblis."
"Nanti
dulu, ayah!" tiba-tiba Hui Song berkata dengan suara nyaring hingga
mengejutkan hati semua orang.
Agaknya hati
pendekar muda yang sedang bergelora penuh cinta asmara terhadap Sui Cin ini
masih belum dapat melenyapkan rasa marah dan cemburu apa bila teringat akan
perbuatan yang pernah dilakukan Siangkoan Ci Kang pada kekasihnya. Membayangkan
peristiwa yang lalu, betapa Ci Kang dengan kekerasan merangkul dan menciumi Sui
Cin, hatinya menjadi panas dan kini mendengar Ci Kang dipuji-puji ayahnya, dia
pun tak dapat menerimanya.
"Kita
tidak dapat menilai hati seseorang melalui satu perbuatannya saja. Siapa tahu
ketika Siangkoan Ci Kang menolong ayah, hal itu dilakukan secara kebetulan atau
hanya untuk mencari muka. Dia itu sesungguhnya seorang yang jahat, seorang
tokoh sesat, ayah!"
Siangkoan Ci
Kang mengangkat muka memandang kepada Hui Song. Sedikit pun tidak nampak
penyesalan di wajahnya yang gagah, bahkan sinar matanya masih lembut seperti
biasa. Dia maklum apa yang sedang terjadi di dalam batin pemuda tampan itu.
Dia tahu
betapa cemburu dan kemarahan membuat Hui Song membenci padanya, atas
perbuatannya kepada Sui Cin tempo hari. Dan dia tidak menyalahkan Hui Song. Apa
lagi Hui Song, dia sendiri pun marah dan menyesal sekali atas peristiwa yang
terjadi itu dan sulit baginya untuk memaafkan dirinya sendiri. Oleh karena itu
dia menanti saja apa yang hendak dikatakan oleh Hui Song yang nampaknya
penasaran sekali dan siap membuka keburukan namanya di depan semua orang.
Akan tetapi
jawaban Cia Kong Liang sungguh di luar dugaan semua orang, terutama sekali Hui
Song. Ketua Cin-ling-pai itu menjawab tenang, "Hui Song, agaknya aku lebih
mengenal dia dari pada engkau. Aku sudah tahu, dan dia mengaku sendiri bahwa
dia adalah putera tunggal mendiang Siangkoan Lo-jin..."
"Baik
sekali apa bila ayah sudah mengetahuinya," kata Hui Song memotong.
"Akan tetapi tahu jugakah ayah bahwa Siangkoan Lo-jin itu adalah Si Iblis
Buta, yang sebelum muncul Raja dan Ratu Iblis menjadi datuk kaum sesat yang
dibantu oleh Cap-sha-kui!"
Ayahnya
menarik napas panjang dan mengangguk. "Aku tahu semuanya itu, Song-ji, dan
keadaan keluarganya itu bahkan semakin mengagumkan hatiku terhadap Ci Kang,
karena dia seperti sekuntum bunga teratai yang hidup di tengah lumpur, tetap
indah dan bersih. Aku melihat sendiri betapa hebat sepak terjangnya dalam
menentang kejahatan..."
"Ayah
belum tahu apa yang tersembunyi di balik kedok domba itu! Ayah, dia jahat
sekali! Dia pernah berusaha untuk memperkosa adik Sui Cin...!"
"Song-ko...!"
Sui Cin terkejut dan segera menegur karena dia menganggap bahwa tidak pantas
pemuda itu membuka rahasia itu.
"Cin-moi,
kalau tidak kuberi tahukan sekarang, tentu semua orang akan menganggap dia
seorang yang sebaik-baiknya dan hal itu amat berbahaya," bantah Hui Song.
Cia Kong
Liang mengerutkan alis, sejenak matanya memandang pada puteranya dengan sinar
marah. Sebagai seorang yang berpandangan tajam dia pun dapat menduga bahwa di
dalam batin puteranya itu penuh dengan kebencian dan cemburu. Dia lalu
mengalihkan pandang matanya, memandang wajah Siangkoan Ci Kang namun pemuda itu
sama sekali tidak membantah, hanya menundukkan mukanya yang menjadi agak pucat,
wajah yang membayangkan penyesalan besar.
Ucapan Hui
Song itu membuat semua orang terkejut. Bahkan Cia Sun yang tadinya amat percaya
dan suka kepada Ci Kang yang gagah perkasa, kini ikut memandang dengan alis berkerut.
Kakek Ciu-sian Lo-kai yang biasanya suka berkelakar dan jenaka itu, wajahnya
langsung berubah dan alisnya berkerut ketika dia memandang kepada muridnya.
"Siangkoan
Ci Kang!" tiba-tiba kakek tinggi kurus yang berpakaian pengemis ini
berkata, suaranya keras galak, kedua matanya mengeluarkan sinar berkilat.
"Benarkah apa yang dituduhkan orang kepadamu? Benarkah bahwa engkau pernah
hendak memperkosa nona Ceng Sui Cin ini?"
Semua orang
kini memandang kepada Ci Kang, terutama sekali Cia Sun yang merasa bingung dan
sulit mempercayai berita bahwa sahabatnya itu pernah hendak memperkosa Sui Cin.
Ci Kang mengangkat mukanya yang agak pucat itu, pertama-tama memandang ke arah
Sui Cin yang juga memandang kepadanya, kemudian dia memandang kepada gurunya, lalu
menunduk kembali dan suaranya lirih dan jelas.
"Benar,
suhu. Saya pernah melakukan hal itu."
Sepasang
mata Ciu-sian Lo-kai terbelalak, juga semua orang terkejut sekali mendengar
pengakuan blak-blakan ini. "Ci Kang! Engkau memalukan aku yang menjadi gurumu!
Aku tidak pernah mengajarkan engkau untuk bertindak biadab seperti itu!"
Dengan sikap
tenang Ci Kang menjawab, "Suhu mengajarkan supaya saya bersikap jujur dan
berani mempertanggung jawabkan semua tindakan saya."
"Hemm,
engkau telah melakukan perbuatan terkutuk, lalu apa tanggung jawabmu?"
desak kakek tinggi kurus itu dengan marah.
"Saya
akan menerima segala hukuman yang dijatuhkan kepada saya untuk perbuatan itu,
suhu," jawab Ci Kang dengan tenang dan sedikit pun tidak kelihatan gentar.
Kakek tinggi
kurus itu menarik napas panjang dan wajahnya nampak lega. "Ahhh, paling
tidak engkau cukup gagah untuk mengakui kesalahan dan menerima hukuman. Nah,
aku yang akan menghukummu di hadapan orang banyak ini. Aku harus mencabut
sebagian kepandaianmu dan melumpuhkan separuh badanmu!" Berkata demikian,
Ciu-sian Lo-kai melangkah maju menghampiri muridnya, sementara Ci Kang hanya
berdiri tenang sambil menundukkan mukanya saja, menanti datangnya hukuman
dengan pasrah.
"Nanti
dulu!" Tiba-tiba saja Cia Sun meloncat ke depan dan menghadang Ciu-sian
Lo-kai. "Locianpwe, harap maafkan jika aku turut mencampuri urusan ini
karena Ci Kang adalah sababatku yang sangat baik dan aku mengenal benar
kegagahannya. Kita semua sudah mendengar tuduhan paman Cia Hui Song dan juga Ci
Kang tidak menyangkal tuduhan itu dan dia demikian gagahnya untuk
mempertanggung jawabkan perbuatan yang dituduhkan kepadanya. Akan tetapi di
sini kita masih mempunyai seorang saksi utama yang belum menyatakan
kesaksiannya. Cin-moi, kenapa engkau berdiam diri saja? Pendapat semua orang
bisa saja keliru, hanya engkau seoranglah yang bisa menjelaskan apa sebenarnya
yang sudah teriadi. Dalam urusan ini aku hanya dapat mempercayai keteranganmu
saja. Benarkah tuduhan paman Hui Song terhadap Ci Kang tadi?"
Kini semua
orang memandang kepada Sui Cin. Semenjak tadi gadis itu menjadi merah mukanya
dan dia sampai kehilangan suaranya saking terkejut dan malunya mendengar betapa
Hui Song membuka rahasia Ci Kang itu. Kini, secara langsung Cia Sun bertanya
kepadanya dan dia pun menarik napas panjang lalu memandang kepada Ci Kang
dengan sinar mata kasihan.
"Apa
yang dituduhkan Song-ko memang benar dan tadinya aku pun menyangka bahwa
saudara Ci Kang melakukan perbuatan yang sangat jahat terhadap diriku. Hal itu
terjadi pada saat dia dan aku menjadi wakil suku bangsa untuk memilih pimpinan
dan dia terluka oleh jarum-jarumku. Karena merasa menyesal, aku mengunjungi dia
ke perkemahannya untuk mengobatinya. Akan tetapi, sesudah dia sadar, dia malah
melakukan usaha untuk memaksaku... dan pada saat itu, Song-ko muncul dan
terjadi perkelahian sampai saudara Ci Kang melarikan diri. Pada waktu itu,
tentu saja Song-ko menyangka bahwa saudara Ci Kang hendak memperkosaku, bahkan
aku sendiri pun mempunyai dugaan demikian."
"Nah,
sudah jelas! Tunggu apa lagi?" seru Hui Song.
"Nanti
dulu, Song-ko!" kata Sui Cin mengerutkan alisnya. "Hati yang penuh
rasa cemburu akan mengundang kebencian dan selalu berprasangka buruk. Aku tadi
telah mengatakan bahwa pada waktu peristiwa itu terjadi, aku pun menduga bahwa
saudara Ci Kang sudah melakukan perbuatan yang rendah dan jahat. Akan tetapi,
kemudian baru aku tahu bahwa hal memalukan itu terjadi bukan karena
kesalahannya! Sama sekali dia tidak bersalah!"
Hui Song
memandang dengan mata terbelalak dan wajah Cia Sun berseri-seri. Sudah dia
duga. Dia tidak akan mungkin dapat percaya bahwa sahabatnya itu melakukan hal
yang demikian rendahnya. Biar pun belum lama bergaul dengan Ci Kang, dia sudah
mengenal pemuda ini sebagai seorang jantan yang berjiwa gagah perkasa.
"Nona
Ceng Sui Cin, bicaralah yang jelas. Tadi nona mengakui bahwa muridku ini sudah
berusaha memperkosamu, akan tetapi selanjutnya nona katakan bahwa dia tak
bersalah! Apa artinya keteranganmu yang bertentangan itu?" Ciu-sian Lo-kai
mendesak.
Kini Ci Kang
sendiri merasa amat tertarik. Selama ini dia hanya merasa sangat menyesal atas
perbuatannya terhadap Sui Cin itu. Dia sendiri tidak tahu mengapa dia sampai
bisa melakukan hal yang terkutuk itu. Sekarang, mendengar keterangan Sui Cin,
tentu saja dia tertarik sekali sehingga dia mengangkat muka memandang kepada
gadis itu.
"Ketika
mengunjungi perkemahan saudara Ci Kang untuk mengobatinya, aku membawa juga
obat dari subo Yelu Kim. Dan ternyata obat itu manjur. Akan tetapi baru kemudian
aku mendengar dari subo Yelu Kim bahwa obat itu mengandung racun perangsang dan
racun inilah yang membuat saudara Ci Kang melakukan perbuatan itu terhadap
diriku. Dia keracunan, bukan sengaja hendak berbuat keji terhadap diriku. Dia
tidak bersalah, yang salah adalah obat pemberian subo Yelu Kim itu."
Bukan main
lega rasa hati Cia Sun, Ciu-sian Lo-kai dan terutama Ci Kang sendiri. Wajah
pemuda ini menjadi merah lagi dan dia memandang kepada Sui Cin dengan perasaan
terima kasih yang besar. Gadis itu seakan-akan sudah mengangkatnya keluar dari
dalam jurang kehinaan yang selama ini membuatnya berduka dan murung. Akan
tetapi dia pun marah kepada nenek Yelu Kim dan dia mengepal tinju.
"Ahh,
nenek Yelu Kim sungguh keji dan jahat!" katanya.
"Saudara
Ci Kang hendaknya tidak salah sangka terhadap subo Yelu Kim!" kata Sui Cin
setelah melihat sikap pemuda itu. "Subo Yelu Kim tidak berniat jahat
dengan pemberian obat itu."
"Tidak
jahat? Nona, dia hampir membuat aku menjadi seorang hina, membuat aku hampir putus
asa karena penyesalan, dan engkau masih mengatakan bahwa dia tidak jahat?"
Ci Kang berseru heran.
Sui Cin
menggeleng kepala sambil tersenyum simpul. "Tidak, dia sama sekali tidak
jahat, saudara Ci Kang. Semua terjadi karena salah pengertian. Ketika subo
melihat betapa aku merasa menyesal melukaimu dan hendak mengobatimu, dia salah
sangka. Dia mengira bahwa aku jatuh cinta kepadamu... kemudian... dengan obat
itu, dia bermaksud hendak membantuku...! Ingat, subo adalah pemimpin suku-suku
liar, jadi... dalam hal itu, mungkin saja cara berpikirnya dan kebiasaan suku
liar itu sendiri jauh berbeda dengan kita..."
Cia Kong
Liang memandang kepada puteranya. "Song-ji, engkau telah mendengar sendiri
sekarang! Lain kali, jangan sembarangan menjatuhkan tuduhan jika belum mengerti
benar apa yang menjadi sebab-sebab perbuatan itu. Tuduban yang tanpa dasar bisa
merupakan fitnah keji."
Wajah Hui
Song menjadi merah padam, akan tetapi dengan gagah dia segera menjura kepada Ci
Kang. "Siangkoan Ci Kang, maafkanlah aku. Akan tetapi, siapa dapat menduga
mengenai racun itu? Sebelum mendengar dari nenek Yelu Kim, Cin-moi sendiri juga
tidak tahu. Jadi, aku tidak menuduh secara membabi buta, harap kau dapat
memakluminya."
Diam-diam Ci
Kang merasa kagum. Biar pun akibat cemburunya pemuda ini menjatuhkan tuduhan
penuh kebencian kepadanya, akan tetapi sekarang mau mengakui kesalahannya
secara gagah perkasa dan minta maaf. Seperti juga ayahnya yang telah melakukan
salah langkah yang amat hebat dan membawa anak buah membantu para pemberontak,
akan tetapi setelah sadar berani bertindak membetulkan langkah, bahkan dengan
pengorbanan nyawa isteri dan ayah mertuanya, dan banyak pula anak murid yang
menjadi korban.....
"Sui
Cin! Apa saja yang telah kau lakukan selama ini?" Tiba-tiba terdengar
suara teguran yang nyaring, suara seorang wanita.
Begitu suara
itu berhenti, nampak dua bayangan orang berkelebat dan di situ telah berdiri
seorang pria berusia hampir lima puluh tahun yang tampan dan gagah, bersama
seorang wanita yang usianya sebaya, cantik dan mengenakan pakaian mewah indah
seperti pria itu pula. Mereka ini adalah Ceng Thian Sin atau Pendekar Sadis,
bersama isterinya, Toan Kim Hong yang pernah berjuluk Lam-sin (Malaikat
Selatan).
"Ayah...!
Ibu...!" Sui Cin berseru gembira bukan main dan cepat dia berlari
menghampiri mereka lalu saling rangkul dengan ibunya.
Pakaian dara
itu sederhana saja, malah agak nyentrik, sedangkan ibunya berpakaian rapi dan
amat mewah, sungguh besar perbedaan pakaian mereka. Akan tetapi wajah mereka
sama-sama cantik dan manis.
"Ayah,
ibu, mari kuperkenalkan pada orang-orang gagah ini!" kata Sui Cin dengan
lincah gembira sambil menuntun tangan ibunya. "Cu-wi yang gagah, mereka
ini adalah ayahku dan ibuku! Ayah, ibu, empat orang kakek ini adalah
tokoh-tokoh sakti yang memimpin para pendekar menghadapi Raja Iblis serta kaki
tangannya. Ini adalah suhu Wu-yi Lo-jin yang terkenal dengan sebutan Dewa Arak.
Beliau sudah menjadi guruku, membimbingku selama tiga tahun."
"Heh-heh,
aku tua bangka ini sudah lancang dan tak tahu diri berani menjadi guru puteri
Pendekar Sadis yang sangat lihai!" kata Wu-yi Lo-jin. Akan tetapi sambil
tertawa Ceng Thian Sin menjura.
"Bimbingan
locianpwe terhadap anak kami yang bodoh merupakan budi yang besar sekali dan
kami amat berterima kasih."
Sui Cin lalu
melanjutkan. "Dan ini adalah locianpwe Siang-kiang Lo-jin yang disebut
Dewa Kipas, lihai dan lucu, juga amat baik hati. Dan yang ini locianpwe
Ciu-sian Lo-kai dan itu Go-bi San-jin. Pemuda ini adalah Cia Sun toako, putera
dari paman Cia Han Tiong..."
Cia Sun
cepat-cepat memberi hormat kepada Pendekar Sadis dan isterinya. Ceng Thian Sin
girang sekali melihat Cia Sun dan memegang pundak pemuda itu sambil memandang
wajahnya dengan penuh perhatian. "Ahh, kanda Cia Han Tiong memiliki
seorang putera yang gagah perkasa, aku girang sekali."
"Ayah
dan ibu, ini adalah enci Tan Siang Wi dan ini koko Cia Hui Song serta ayahnya,
ketua Cin-ling-pai, lociawpwe Cia Kong Liang."
Mereka
berhadapan dan saling pandang, kemudian Ceng Thian Sin dan isterinya menjura
dengan hormat kepada ketua Cin-ling-pai yang dibalas dengan sikap sederhana
oleh Cia Kong Liang sambil berkata, "Gembira sekali dapat bertemu lagi
dengan ji-wi di tempat ini."
Sebelum
mereka sempat bercakap-cakap, tiba-tiba nampak seorang laki-laki berlari-lari
mendatangi dan dengan napas agak terengah-engah, pria ini lalu maju dan
menudingkan telunjuknya ke arah Hui Song.
"Itu
dia! Itulah dia si jahanam Cia Hui Song, keparat yang tidak kenal budi.
Penjahat keji yang terkutuk itu!" Orang itu lalu menoleh ke arah Pendekar
Sadis dan isterinya. "Orang gagah, engkau telah berjanji, cepat tangkap
dan seret dia seperti yang telah kau janjikan!"
Sementara
itu, melihat pria ini, Hui Song sudah melangkah maju. "Ehh... ehh,
saudaraku, Lam-nong, apakah yang telah terjadi? Kenapa engkau bersikap seperti
ini?"
Lam-nong
meloncat ke belakang dan matanya melotot. "Jangan menyentuh aku! Apakah
engkau mau membunuh aku juga? Sebelum engkau membunuhku, biarlah semua orang
gagah ini mendengar perbuatan apa yang telah kau lakukan kepada keluargaku,
kepada suku kami!"
Hui Song
mengerutkan alisnya dan memandang bingung. Apakah Lam-nong telah menjadi gila,
pikirnya. "Saudara Lam-nong, mengapa kau begini?"
"Tak
usah berpura-pura. Anak buahku melihat dengan mata sendiri, dan dia tak mungkin
berbohong. Kami sudah menerimamu sebagai seorang sahabat baik, membagi makanan
yang kami makan dan minuman yang kami minum. Akan tetapi engkau sudah membalas
dengan perbuatan terkutuk! Engkau telah membantu para pemberontak,
menghancurkan seluruh anak buahku, bahkan engkau sudah merampas
isteri-isteriku, memaksa mereka untuk berjinah denganmu dan akhirnya membunuh
mereka. Engkau benar-benar manusia iblis! Terkutuk!" Lam-nong maju
menyerang dengan nekat, akan tetapi sekali dorong saja Hui Song membuat dia
terpelanting.
Ceng Thian
Sin langsung maju dan menangkis tangan Hui Song yang hendak menampar Lam-nong.
"Dukkk...!"
Dan Hui Song merasa lengannya tergetar hebat, maka dia pun meloncat ke
belakang.
"Aku
dan isteriku bertemu dengan dia ini yang hampir gila akibat duka mendengar
betapa keluarganya hancur. Dan anak buahnya melihat sendiri semua yang sudah
diceritakannya tadi, karena itu, sebelum semuanya jelas, jangan persalahkan dia
dulu."
"Tapi,
tapi... saya tidak..." Hui Song tergagap, tentu saja tidak berani melawan
ayah Sui Cin!
"Song-ji!"
Tiba-tiba terdengar suara ayahnya membentak marah. "Apa yang sebenarnya
telah terjadi? Tak mungkin orang menuduhmu membabi-buta tanpa sebab! Hayo
ceritakan sejujurnya!"
"Ayah,
sungguh mati aku tidak pernah melakukan perbuatan itu..."
"Cia Hui
Song, selain jahat engkau juga pengecut, tak berani mengakui perbuatan sendiri!
Anak buahku melihat dengan mata kepalanya sendiri. Ia melihat engkau berada di
dalam kamar bersama isteri-isteriku yang kau paksa melayanimu! Hayo katakan,
tidak benarkah engkau berada di dalam kamar tidur bersama mereka?"
Kini Hui
Song maklum bahwa sudah terjadi kesalah pahaman yang hebat. Pada saat dia
ditawan oleh Sim Thian Bu, memang orang bisa saja salah paham kalau melihat
betapa selir-selir Lam-nong dipaksa datang melayaninya,.
"Aku
tidak menyangkal. Memang aku berada dalam kamar bersama isteri-isterimu, akan
tetapi..."
"Nah,
taihiap sudah mendengar sendiri. Sekarang harap taihiap tangkapkan penjahat ini
untukku seperti yang telah taihiap janjikan!" Lam-nong berkata kepada
suami isteri Pulau Teratai Merah itu.
"Pemuda
tak tahu malu!" tiba-tiba Toan Kim Hong membentak.
Tubuh wanita
ini sudah menyambar ke depan, ke arah Hui Song. Tangannya terulur untuk
mencengkeram pundak Hui Song karena nyonya ini telah menjadi marah bukan main
dan merasa yakin akan keterangan Lam-nong.
"Dukkk...!"
Tiba-tiba Ci
Kong Liang menggerakkan tubuhnya dan dengan cepat dia sudah menangkis lengan
wanita itu sehingga keduanya merasa betapa lengan mereka tergetar hebat akibat
pertemuan tenaga dahsyat itu. Toan Kim Hong memandang dan tersenyum mengejek,
sinar matanya berkilat.
"Hemm,
bagus sekali! Tadinya ketua Cin-ling-pai telah melakukan salah perhitungan dan
membantu para pemberontak yang bersekutu dengan golongan sesat, apakah kini
hendak mengulang lagi dengan membantu anak yang menyeleweng dan melakukan perbuatan-perbuatan
rendah?"
Akan tetapi
dengan sikap angkuh dan tenang Cia Kong Liang menjawab, "Kesalahan anak
harus dipertanggung jawabkan orang tuanya! Aku sebagai ayahnya masih hidup,
mana bisa aku membiarkan saja orang lain hendak menghukum anakku? Aku sendiri
masih dapat menghajarnya!"
Campur
tangan Toan Kim Hong tadi membuat ketua Cin-ling-pai sangat tersinggung dan
kemarahannya tentu saja ditumpahkannya kepada Hui Song yang dianggap menjadi
biang keladinya. Tangannya bergerak ke kiri dan tahu-tahu dia sudah mencabut
pedang yang tadinya tergantung di punggung Siang Wi. Muridnya terkejut bukan
main.
"Suhu...!"
Siang Wi berseru dengan muka pucat, akan tetapi gurunya memandang dengan mata
penuh teguran sehingga gadis ini menunduk dan takut, akan tetapi mukanya yang
pucat menjadi semakin pucat ketika dia melirik ke arah Hui Song.
"Hui
Song, engkau tahu bahwa kita orang-orang Cin-ling-pai ini selalu berani
bertanggung jawab atas perbuatan kita dan bahwa kita selalu siap menerima
hukuman untuk perbuatan kita. Nah, sekarang aku perintahkan engkau untuk
membuang sebelah lenganmu sebagai penebus perbuatanmu itu. Engkau hendak
melakukannya sendiri ataukah harus aku yang melaksanakannya?"
Semua orang
terbelalak, ada pun Sui Cin mengeluarkan seruan tertahan, matanya dibuka
lebar-lebar memandang kepada Hui Song. Dia sendiri tak dapat percaya bahwa
pemuda yang dicintanya itu telah melakukan perbuatan yang begitu jahat seperti
yang dituduhkan oleh Lam-nong. Akan tetapi kalau saksi telah ada, bahkan ayah
bundanya sendiri sudah percaya, apa yang mampu dia lakukan? Hatinya merasa
tegang bukan main dan rasanya dia ingin lari saja meninggalkan tempat yang
menegangkan itu.
Hui Song
yang biasanya lincah gembira itu, kini wajahnya menjadi agak pucat dan lesu.
Dia mengenal watak ayahnya yang keras dan memegang peraturan dengan patuh,
sedikit pun tidak dapat ditawar-tawar lagi. Membantah ayahnya juga tiada
gunanya, malah hanya menimbulkan gambaran bahwa dia tidak berani menghadapi
akibat dari pada hukuman itu saja. Akan tetapi, menerima hukuman itu pun
merupakan sesuatu yang sangat penasaran karena dia sama sekali tidak pernah
melakukan perbuatan laknat seperti yang dituduhkan Lam-nong kepadanya.
"Ayah,
aku bukan seorang pengecut yang suka mengelak hukuman, kalau memang aku
bersalah. Dan aku merasa tidak bersalah. Akan tetapi, kalau ayah menetapkan
demikian, terserah kepada ayah!" Dengan berani dia menatap pandang mata
ayahnya dan melihat betapa sinar mata orang tua itu suram dan layu.
Teringatlah
dia bahwa baru saja ayahnya kehilangan ibunya dan juga kongkong-nya. Dia tahu
alangkah hebat penderitaan yang terasa di dalam batin ayahnya dan sekarang
harus menghadapi urusannya pula. Dia merasa kasihan sekali.
"Ayah,
kalau hal itu menyenangkan hatimu, laksanakanlah hukuman itu!" katanya
dengan gagah dan ikhlas.
Cia Kong
Liang yang merasa batinnya sedang terhimpit itu menerima ucapan Hui Song
sebagai satu tantangan, sedangkan keikhlasan itu dianggap sebagai pengakuan
bersalah. Maka dia pun mengambil keputusan bulat untuk melaksanakan hukuman itu
terhadap diri putera tunggalnya!
Hatinya akan
hancur dan merasa kecewa sekali, akan tetapi di samping itu masih akan terhibur
oleh rasa bangga bahwa keluarganya tetap bersikap jantan dan tak lari dari pada
pertangungan jawab! Maka, karena tahu akan kelihaian puteranya, dia pun
menggerakkan pedangnya dengan jurus yang diambil dari ilmu Pedang Siang-bhok
Kiam-sut. Bukan main hebatnya serangan ini, ketika pedang yang dipinjamnya dari
Siang Wi karena pedangnya sendiri lenyap ketika dia tertawan, berkelebat
menyambar ke arah lengan Hui Song!
Biar pun
yang hadir di situ adalah orang-orang sakti yang memiliki ilmu tinggi, namun
tak ada seorang pun di antara mereka yang berani mencampuri. Apa yang sedang
terjadi itu adalah urusan antara anak dan ayah, ada pun sang ayah adalah ke-tua
Cin-ling-pai yang sikapnya demikian keras, angkuh dan penuh wibawa. Mereka
semua hanya memandang dengan mata terbelalak dan hati diliputi ketegangan.
"Crakkkk...!"
Terdengar
jeritan Siang Wi dan Sui Cin, kemudian nampaklah sebuah lengan kiri sebatas
siku terbabat putus lantas jatuh ke atas tanah, darah pun muncrat keluar dari
lengan yang buntung.
"Ci
Kang...!" Cia Sun dan Ciu-sian Lo-kai menubruk Ci Kang yang agak terhuyung
itu.
Ternyata
tadi, ketika melihat pedang menyambar ke arah tubuh Hui Song, Ci Kang yang
berdiri dekat sekali dengan Hui Song, cepat menangkis dengan lengan kirinya.
Dia sudah mengerahkan sinkang saat menangkis, akan tetapi gerakan pedang itu bukanlah
gerakan biasa, melainkan merupakan jurus ampuh dari Ilmu Pedang Siang-bhok
Kiam-sut (Ilmu Pedang Kayu Harum), maka tak dapat dihindarkan lagi, lengan kiri
Ci Kang mulai bawah siku terbabat buntung!
Cia Sun
merangkul sahabatnya dan Ciu-sian Lo-kai menyuruh muridnya duduk bersila, lalu
dia menotok jalan darah pada pundak dan pangkal lengan untuk menghentikan darah
yang bercucuran keluar.
"Aku
membawa bekal obat luka yang amat manjur!" kata Toan Kim Hong yang bersama
suaminya bersikap biasa saja.
Mereka
berdua ini sudah terlalu sering menyaksikan hal-hal sangat hebat yang terjadi
di dunia persilatan, dilakukan oleh kaum persilatan yang memang berwatak
aneh-aneh. Biar pun mereka terkejut juga melihat kenekatan Ci Kang, tetapi
mereka tidak sampai menjadi bingung seperti yang lain.
Dengan
cekatan nyonya ini lalu menaruhkan obat bubuknya pada lengan yang buntung dan
membalut lengan buntung itu dengan sehelai sapu tangan bersih. Ci Kang tadi
duduk bersila sambil mengumpulkan hawa murni untuk melawan rasa nyeri dan
sekarang sudah bersikap biasa.
Cia Kong
Liang yang terbelalak kaget sesudah melihat betapa pedangnya ditangkis orang
sehingga malah membuntungkan lengan Ci Kang yang dikaguminya, segera melepaskan
pedang itu. Dia hanya dapat mengeluh dan menghapus peluhnya dengan sapu tangan,
tak mampu mengeluarkan kata-kata sama sekali.
***************
Setelah
pemuda itu selesai diobati dan semua orang memandang padanya, barulah ketua
Cin-ling-pai itu berkata kepada Ci Kang, "Ci Kang, apa artinya perbuatanmu
itu? Mengapa engkau melakukan itu?"
Ci Kang
mengangkat muka memandang ketua Cin-ling-pai itu, lantas tersenyum masam.
"Locianpwe tidak boleh menghukum orang yang tidak bersalah dan akulah
satu-satunya orang yang agaknya menjadi saksi bahwa Cia Hui Song memang tidak
bersalah."
Tentu saja
ketua Cin-ling-pai itu terkejut bukan main, juga semua orang yang hadir di situ
kini memandang Ci Kang dengan penuh perhatian. Kemudian Lam-nong melangkah maju
dengan perasaan marah.
"Orang
muda, apa yang kau lakukan tadi memang aneh dan gagah perkasa, dan untuk
pengorbanan lenganmu guna orang lain ini sudah membuat aku kagum bukan main.
Akan tetapi jangan kau main-main dengan kesaksian itu. Ingat, orang-orangku
sendiri sampai mati tidak akan berbohong dan mereka melihat dengan mata kepala
sendiri betapa Cia Hui Song ini telah..."
"Harap
suka dengarkan penjelasanku lebih dulu. Aku pun mendengar rahasia itu secara
kebetulan saja dan dibicarakan oleh pelaku-pelakunya sendiri."
Dengan singkat
ia lalu menceritakan betapa ia melihat Hui Song ditawan oleh Sim Thian Bu,
kemudian mendengar pula percakapan antara Sim Thian Bu dengan Hui Song, betapa
Sim Thian Bu membujuk Hui Song supaya menakluk kepada Raja Iblis, juga
mendengar betapa Thian Bu telah memaksa isteri-isteri Lam-nong untuk merayu Hui
Song kemudian sengaja membiarkan kakek anak buah Lam-nong agar melihat adegan
itu sehingga nama baik Hui Song akan tercemar dan akan terjadi bentrok antara
Lam-nong dan Hui Song.
"Semua
itu kudengar sendiri dan aku tahu siapa Sim Thian Bu. Dia adalah bekas sute-ku
dan aku tahu mengenai kejahatannya. Cia Hui Song telah difitnah dan laporan
kakek anak buah bangsa Mancu itu memang benar, hanya saja dia tidak tahu bahwa
pada waktu dia melihat empat orang isteri-isteri saudara Lam-nong berada di
dalam satu kamar bersama Hui Song, dia sedang dalam keadaan tertotok dan tidak
mampu bergerak."
"Ahhh...!"
Lam-nong berseru dan laki-laki ini lalu menangis! Dia sudah dihimpit kedukaan
karena keluarganya binasa semua, kini ditambah lagi dengan kekeliruan sangka
sehingga mengakibatkan sahabat baiknya Cia Hui Song hampir saja terhukum.
"Hemm...!"
Cia Kong Liang juga mengeluarkan seruan tertahan dan bermacam perasaan
terkandung dalam seruan itu. Ada perasaan lega karena ternyata putera
kandungnya itu tidak berdosa, akan tetapi juga ada perasaan menyesal karena
pedangnya, biar pun tidak disengaja, telah membuntungkan lengan Ci Kang yang
gagah perkasa.
"Ci
Kang... ahhh, Ci Kang...!" Tiba-tiba Hui Song menjatuhkan dirinya berlutut
di depan Ci Kang dan merangkul pundak pemuda tinggi besar itu. Biar pun Hui
Song seorang pemuda perkasa yang gagah berani dan berbatin kuat, akan tetapi
kali ini keharuan membuat dia tidak kuasa menahan mengalirnya air matanya.
"Aku...
aku telah berdosa kepadamu dan engkau malah melimpahkan budi tiada hentinya
kepadaku! Engkau pernah membebaskan aku dari tawanan Sim Thian Bu tapi aku
malah mengajakmu berkelahi. Dulu engkau datang ke benteng Jeng-hwa-pang untuk
bergabung dengan para pendekar, akan tetapi aku malah menghinamu dan mengajak
para pendekar menyerangmu sebab engkau adalah putera mendiang Iblis Buta. Dan
aku... tadi aku telah menuduhmu melakukan perbuatan keji terhadap Cin-moi...
dan sekarang... engkau malah membelaku, engkau membersihkan namaku dan
engkau... engkau bahkan rela berkorban sebuah lenganmu untukku...! Ci Kang,
kenapa engkau begini baik sedangkan aku begini jahat dan kejam karena
cemburu?"
Ci Kang
menepuk-nepuk pundak Hui Song dengan tangan kanannya, lalu dia pun bangkit
berdiri, mengebut-ngebut bajunya dengan tangan kanan, wajahnya pucat dan
senyumnya pahit. "Sudahlah Hui Song. Memang telah semestinya aku melakukan
ini, dan di samping itu, aku... aku..." Dia lalu mellrik ke arah Sui Cin,
"aku tidak ingin melihat nona Sui Cin menderita, dan kalau lenganmu
buntung, tentu nona Sui Cin akan menderita. Aku... aku hanya anak seorang datuk
sesat yang amat jahat, maka biarlah buntungnya lenganku ini bisa sedikit
meringankan hukuman bagi ayah kandungku di neraka... nah, selamat tinggal.
Suhu, ampunkan teecu, selamat tinggal!" Dia menjura kepada Ciu-sian
Lo-kai, kemudian memungut buntungan lengannya dari atas tanah.
"Ci
Kang...! Kau maafkanlah aku...!" Sui Cin terisak-isak sambil menyentuh
lengan kanan pemuda itu. Sejenak Ci Kang memandang pada wajah gadis itu,
menarik napas panjang dan berbisik lirih.
"Nona...
semoga engkau berbahagia..." Dan dia pun cepat meloncat lantas melarikan
diri pergi dari tempat itu.
Tiba-tiba
Ciu-sian Lo-kai tertawa bergelak-gelak. "Ha-ha-ha-ha, Go-bi San-jin,
bagaimana sekarang? Masih engkau menganggap keliru sikap pendekar besar Cia Han
Tiong? Lihat, bagaimana seorang putera datuk sesat yang amat kejam dan jahat
telah berubah menjadi seorang pendekar budiman yang mengagumkan.
Ha-ha-ha...!"
Go-bi
San-jin mengelus mukanya dan dia pun menarik napas panjang. "Engkau
benar... engkau benar... akan tetapi bagaimana pun juga, muridku tidak berubah
menjadi seorang yang jahat, melainkan tetap seorang pendekar yang adil dan
jujur."
Tentu saja
tidak ada yang mengerti apa maksudnya percakapan antara dua orang kakek itu,
bahkan Cia Sun sendiri hanya memandang heran mendengar betapa nama ayahnya
terbawa-bawa di dalam percakapan itu.
Sementara
itu, Wu-yi Lo-jin dan Siang-kiang Lo-jin melangkah maju dan keduanya lantas
tertawa ha-ha-hi-hi setelah tadi saling memberi isyarat dengan pandangan mata
mereka. Mereka itu seperti saling dorong dengan sikap mereka, seperti dua orang
anak-anak yang malu-malu ingin mengatakan sesuatu, hingga akhirnya Wu-yi Lo-jin
mengalah dan kakek pendek inilah yang bicara.
"He-he-heh,
kebetulan sekali di sini hadir orang-orang gagah Cia Kong Liang dan suami
isteri Ceng Thian Sin, juga anak-anak mereka atau murid-murid kami. Sungguh
kebetulan sekali karena saat inilah yang teramat baik untuk berbicara soal
perjodohan. Pangcu dari Cin-ling-pai telah mendengar bahwa puteranya jatuh
cinta kepada muridku, Ceng Sui Cin dan bagaimana pendapat pangcu kalau saat
pertemuan ini, selagi kita semua berkumpul, dibicarakan tentang ikatan jodoh
antara Hui Song dan Sui Cin?"
Ketua
Cin-ling-pai itu mengerutkan alisnya, memandang pada kakek pendek itu kemudian
menarik napas panjang dua kali. "Locianpwe, sudah banyak aku mencampuri
urusan tapi semuanya menjadi gagal dan rusak. Oleh karena itu, soal perjodohan
Hui Song terserah kepadanya dan kepada locianpwe yang sudah menjadi gurunya.
Aku sih setuju saja, akan tetapi sekarang aku masih mempunyai kepentingan lain,
maka biarlah lain hari saja kita bicarakan hal itu. Cu-wi maafkan, aku harus
pergi dulu. Song-ji, mari bantu aku mencari dan mengurus jenazah ibumu dan
kongkong-mu."
Mendengar
ini, semua orang terkejut dan baru teringat bahwa ketua Cin-ling-pai ini baru
saja tertimpa musibah, bahkan belum sempat mencari jenazah isterinya dan
mertuanya. Juga Hui Song tak berani membantah perintah ini, maka pemuda itu pun
menoleh kepada Sui Cin, melempar pandang mata penuh arti lantas memberi hormat
kepada empat orang kakek itu dan juga kepada Ceng Thian Sin beserta isterinya.
Kemudian ketua Cin-ling-pai menjura kepada semua orang lalu pergi dengan cepat diikuti
Hui Song, Siang Wi dan para anggota Cin-ling-pai.
Wu-yi Lo-jin
dan Siang-kiang Lo-jin saling pandang, lalu keduanya menggerakkan pundak
seperti kehabisan akal, akan tetapi Siang-kiang Lo-jin tidak kekurangan akal.
"Aha, sayang sekali ketua Cin-ling-pai mempunyai urusan yang sangat
penting, akan tetapi di sini masih ada orang tua dan juga guru dari Ceng Sui
Cin, berarti masih ada kesempatan untuk membicarakan urusan itu walau pun hanya
sepihak."
Mendengar
ini, Wu-yi Lo-jin juga tertawa. "Heh-heh, benar juga, benar juga.
Bagaimana, Ceng-sicu dan juga toanio, ji-wi telah mendengar bahwa antara puteri
ji-wi dengan putera ketua Cin-ling-pai itu ada hubungan kasih dan mereka berdua
sudah bersepakat untuk mengikat perjodohan, dan kami berdua sebagai guru-guru
mereka sudah merasa cocok sekali!"
"Hemm,
aku tidak suka mempunyai mantu pemuda itu!" tiba-tiba Toan Kim Hong
berseru.
Suaminya
menyambung, "Sesungguhnya, keluarga Cia dari Cin-ling-pai itu terlalu
angkuh dan ketinggian hati itu membuat kami tidak suka untuk berbesan dengan
mereka..."
"Ayah!
Ibu!" Sui Cin berteriak marah, "Agaknya ayah dan ibu masih hendak
memaksaku untuk menerima pinangan dari si pesolek Can Koan Ti itu, ya? Ayah dan
ibu ingin sekali berbesan dengan Pangeran Can Seng Ong, seorang pangeran
sekaligus juga gubernur di Ce-kiang! Baiklah, ayah dan ibu saja yang menikah
dengan mereka. Akan tetapi aku tidak sudi!" Setelah berkata demikian, Sui
Cin meloncat dan melarikan diri sambil menangis!
"Sui
Cin...!" teriak Pendekar Sadis marah, akan tetapi anaknya tidak peduli dan
sudah lari cepat lenyap dari situ. Ketika dia mendengar suara gerakan halus dan
menengok, kiranya Wu-yi Lo-jin dan Siang-kiang Lo-jin, dua orang kakek itu,
telah lenyap pula dari situ.
"Hemm,
anak itu menjadi besar kepala karena ulah dua orang kakek itu," kata Toan
Kim Hong marah. "Sesudah merantau dan berguru, Sui Cin malah menjadi
seorang anak yang durhaka terhadap orang tuanya! Kakek itu perlu dihajar!"
Dan nyonya
yang galak itu sudah melompat untuk melakukan pengejaran. Akan tetapi dia
dipeluk dari belakang oleh suaminya.
"Ehh,
ehh, ehh, jangan marah-marah dulu. Ingat, dua orang kakek itu adalah
orang-orang sakti yang mencinta Sui Cin dan bermaksud baik. Lagi pula, jangan
kira bahwa kita akan mudah saja dapat mengalahkan mereka."
"Aku
tidak takut!"
"Eit-eitt,
nanti dulu. Tentu saja kita tidak mengenal takut, akan tetapi itu kalau
berhadapan dengan orang-orang jahat dan untuk menentang kejahatan. Sekarang
persoalannya lain lagi. Mereka bukan orang jahat, bahkan guru Sui Cin dan
mereka berniat baik. Mari kita kejar mereka dan kita bicara dengan baik. Ingat,
Sui Cin hanya anak tunggal kita, demi kebahagiaannya kita harus dapat
merundingkan hal ini secara perlahan dan dengan baik."
Sesudah
dibujuk suaminya, Toan Kim Hong mulai sabar dan mereka pun meninggalkan tempat
itu. Kini di situ tinggal Cia Sun dengan dua orang kakek, Ciu-sian Lo-kai dan
Go-bi San-jin yang sejak tadi hanya menjadi penonton.
Ciu-sian
Lo-kai tertawa bergelak. "Ha-ha-ha-ha..., alangkah lucunya manusia di
dunia ini, sungguh dunia ini tiada lain hanya sebuah panggung sandiwara dan
manusia-manusianya menjadi badut-badut yang kadang-kadang tidak lucu sama
sekali. Lihat itu Raja Iblis dan Ratu Iblis. Raja Iblis tadinya adalah seorang
pangeran besar, bahkan kemudian dia telah merubah diri menjadi seorang pertapa
yang berilmu tinggi sekali. Akan tetapi, ternyata dia masih belum puas dengan
hidupnya dan menjangkau yang lebih tinggi. Dan apa jadinya sekarang? Dia dan
isterinya hanya merupakan seonggok daging!" kakek itu menggeleng-gelengkan
kepala.
Go-bi
San-jin menarik napas panjang. "Manusia berbunuh-bunuhan, mayat
berserakan, semua itu hanya untuk mengejar cita-cita kosong dan saling
mempertahankan kebenaran masing-masing, kebenaran kosong! Lihat itu...!"
Dia lalu menunjuk ke arah pasukan yang sudah tiba di situ dan sekarang sedang
mengurus mayat-mayat yang berserakan. "Kalau sudah menjadi mayat, semua ya
sama saja, sama-sama membusuk. Ketika masih hidup, juga bergelimang dalam
kebusukan sungguh pun semua cita-cita untuk kebaikan. Betapa lucunya, lucu dan
menyedihkan. Betapa hidup hampir dipenuhi sengsara belaka."
Mendengar
percakapan kedua orang kakek itu, Cia Sun teringat kepada ayahnya maka
tiba-tiba saja dia melihat betapa ayahnya adalah seorang bijaksana serta
berbatin mulia. Ayahnya tidak mendendam, walau pun kehilangan isteri. Ayahnya
dapat menerima segala hal yang menimpa dirinya dengan tenang, penuh
kewaspadaan, tidak dikuasai nafsu-nafsu amarah dan kebencian. Dan tiba-tiba
saja dia merasa rindu kepada ayahnya. Juga dia harus menemui ayahnya untuk
suatu hal.
Dia tahu
bahwa Sui Cin tidak bisa diharapkannya lagi, bahwa Sui Cin mencinta Hui Song.
Akan tetapi pertemuan dan perkenalannya dengan Tan Siang Wi, murid Cin-ling-pai
itu, menghidupkan kembali harapannya untuk dapat berbahagia di samping seorang
wanita.
Dia amat
tertarik kepada Siang Wi, gadis yang manis dan gagah perkasa itu. Dia pun tahu
bahwa gadis itu sesungguhnya mencinta Hui Song, dan seperti juga dia mencinta
tanpa balasan, hanya bertepuk tangan sebelah. Siang Wi mencinta Hui Song dan
dia mencinta Sui Cin, akan tetapi dua orang yang mereka cinta itu ternyata
saling mencinta. Maka, jika kini dia tertarik kepada Siang Wi, alangkah baiknya
kalau dia berjodoh dengan Siang Wi, dengan demikian, rasa penasaran terobati
dan mereka dapat saling menghibur!
"Suhu,
teecu ingin menengok ayah," tiba-tiba dia berkata kepada Go-bi San-jin.
Kakek ini
maklum akan isi hati muridnya. Dia tahu bahwa muridnya ini agaknya patah hati
akibat cintanya terhadap Sui Cin tidak terbalas. Sebagai orang-orang yang
waspada, baik Ciu-sian Lo-kai mau pun Go-bi San-jin sama-sama maklum bahwa
murid masing-masing itu telah jatuh cinta kepada puteri Pendekar Sadis, namun
keduanya telah ditolak karena gadis itu ternyata mencinta putera ketua
Cin-ling-pai.
"Kini
engkau mau pulang ke Lembah Naga? Baiklah, karena pekerjaan di sini pun sudah
selesai, pulanglah dan laporkan segala yang terjadi kepada ayahmu. Kelak, apa
bila ada jodoh kita pasti akan bertemu lagi," kata Go-bi San-jin.
Cia Sun lalu
pergi dengan diikuti pandangan mata dua orang kakek itu. Mereka berdua itu
masih tenggelam di dalam pikiran masing-masing, menyaksikan semua peristiwa di
dunia ini, melihat semua ulah manusia yang berlomba mencari kebahagiaan tapi
hanya berakhir dengan kesengsaraan.
Sesungguhnya,
kalau kita mau melihat kenyataan, timbul sebuah pertanyaan. Dapatkah
kebahagiaan dikejar dan dicari? Sebelum menjawab ini, sebaiknya diselidiki
lebih dahulu apakah sebenarnya yang dimaksudkan dengan BAHAGIA itu? Apakah
kebahagiaan itu kepuasan hati karena tercapainya sesuatu yang diinginkan? Kalau
begini, maka bahagia itu akan terbatas sekali dan berumur beberapa lama saja
karena kepuasan ini pun hanya sementara saja, lalu segera berubah dengan
kebosanan.
Apakah
bahagia itu kesenangan? Juga tidak, sebab kesenangan hanya pemuasan nafsu saja,
rasa nyaman dan enak bagi badan dan pikiran kita, dan kesenangan ini pun hanya
sementara saja, sangat pendek umurnya, dan kesenangan biasanya diselingi
kebosanan dan bahkan mempunyai saudara kembar, yaitu kesusahan, seperti tawa
dan tangis yang datang silih berganti seperti datangnya musim. Kalau semua itu
bukan, lalu apakah yang dimaksudkan dengan kebahagiaan?
Bagaimana
kita bisa menggambarkan kebahagiaan bila kita sendiri selalu berada dalam
permainan susah dan senang, kalau kita selalu diombang-ambingkan gelombang
nafsu? Kebahagiaan bukan sesuatu yang mati, bukan pula sesuatu yang sudah pasti
sehingga mudah dicari dan dicapai.
Jika kita
menghentikan segala kesibukan pikiran kita yang mengejar-ngejar kesenangan,
mengejar-ngejar kebahagiaan itu sendiri, apa bila kita sudah tidak terseret
lagi ke dalam tarikan-tarikan susah dan senang yang bertentangan, kalau sudah
tidak ada lagi konflik atau pertentangan dalam batin antara kenyataan yang ada
dengan gambaran yang kita inginkan, kalau KITA SUDAH TIDAK MENGEJAR APA-APA,
tidak menginginkan apa pun yang berada di luar jangkauan kita, nah, mungkin
sekali kita akan dapat merasakan dan mengerti apa artinya bahagia itu.
Maka
jelaslah bahwa yang dapat dikejar dan dicari hanyalah kesenangan dan kepuasan
sementara dari dorongan keinginan kita untuk mendapat kesenangan itu. Dengan
begini maka kebahagiaan itu tidak mungkin dapat dicari, tidak mungkin bisa
didapatkan melalui pengejaran.
Kita selalu
condong untuk mengejar. Karena mengira bahwa kebahagiaan berada di luar diri,
kita lantas mengejar keluar, kita merubah-rubah yang berada di luar. Maka
terjadilah pergolakan-pergolakan, terjadilah revolusi-revolusi, terjadilah
perang. Kita selalu condong untuk membuat keindahan di luar diri. Kita lupa
bahwa sebenarnya, yang indah itu ada di dalam, yang indah itu timbul dari
dalam, dan bahagia itu adalah urusan batin, urusan di dalam diri kita sendiri.
Tinggal di
dalam sebuah gedung memang menyenangkan namun belum tentu bahagia, sebaliknya
tinggal di dalam gubuk mungkin saja merasakan kebahagiaan. Kebahagiaan tidak
berada di dalam gedung indah, tidak berada di dalam makanan lezat, tidak berada
dalam kedudukan tinggi atau di antara tumpukan emas.
Bila mana
batin sudah tidak mengejar-ngejar, tidak mencari-cari apa yang berada di luar
jangkauan kita, maka batin itu akan menjadi tenteram dan kita dapat menerima
segala sesuatu sebagai hal yang wajar saja, tanpa mengeluh sedikit pun juga,
bahkan dengan senyum tulus ikhlas karena kewaspadaan akan membuat kita mengerti
bahwa segala itu merupakan suatu kenyataan dan kenyataan itu mengandung
keindahan.
Segala
sesuatu di dunia ini mengandung keindahan bagi batin yang tidak mencari apa
pun. Baik hujan mau pun panas, dihadapi dengan senyum dan dipandang sebagai
suatu keindahan, tanpa keluhan karena tidak ada yang perlu dikeluhkan, karena
tidak ada rasa penyesalan dalam batin, karena tidak ada hal-hal yang bertentangan
dengan yang dicari, karena memang tak ada yang dicari-cari! Dalam keadaan
inilah kita mungkin sekali akan merasakan dan mengerti apa sesungguhnya hakekat
kebahagiaan itu.
Tidak
mencari kesenangan sama sekali bukan berarti bahwa kita menolak kesenangan!
Orang-orang yang menolak kesenangan, orang yang mengasingkan diri di puncak
bukit dan mengharamkan segala hal yang mendatangkan rasa enak dan nikmat,
sebenarnya adalah orang-orang yang MENCARI KESENANGAN, dalam bentuk lain!
Memang,
orang sering kali lupa diri dalam mencari kesenangan, bahkan mau bersusah payah
menyiksa diri, dalam mengejar kesenangan yang dinamakan cita-cita. Dan andai
kata yang dikejar dengan cara menyiksa diri itu tercapai, maka yang
didapatkannya itu pun hanyalah suatu bentuk kepuasan, suatu bentuk kesenangan
perasaan belaka yang ekornya dapat berupa kekecewaan dan kebosanan pula.
Perasaan
enak, nyaman, nikmat yang dinamakan kesenangan adalah sebuah anugerah hidup.
Tubuh dan perasaan kita dibekali alat-alat penangkap rasa senang ini, maka kita
berhak menikmati kesenangan di dalam hidup ini. Kesenangan adalah berkah dan
sama sekali tak berbahaya. Yang berbahaya adalah PENGEJARAN itulah, PENCARIAN
itulah, karena dalam mengejar inilah timbulnya segala macam perbuatan yang
merugikan orang lain, yang pada umumnya disebut jahat.
Pengejaran
kesenangan yang berbentuk kedudukan dan kemuliaan, seperti yang terjadi pada
Raja dan Ratu Iblis, menimbulkan perang dan permusuhan, bunuh-bunuhan antara
manusia. Pengejaran kesenangan dalam bentuk harta benda menyebabkan
perbuatan-perbuatan culas, korupsi, penipuan, perampokan, pencurian dan
sebagainya. Pengejaran kepada kesenangan dalam bentuk nafsu birahi menimbulkan
perkosaan, pelacuran, dan sebagainya dan segala macam perbuatan yang pada
umumnya merugikan dan dianggap jahat, kalau ditelusur, sudah pasti dasarnya
adalah pengejaran kesenangan itu.
Akan tetapi
orang yang tidak mengejar kesenangan menganggap segala hal yang terjadi
merupakan suatu kewajaran dan di dalam kewajaran ini, di mana tidak terdapat
keluhan, tidak terdapat kekecewaan karena tak ada pengejaran, terkandunglah
kesenangan yang lain lagi! Kenikmatan sebab cita rasa memang menganggapnya
enak, bukan kenikmatan karena tercapainya suatu pengejaran.
Bagi orang
yang tidak mengejar, memperoleh minuman apa pun akan terasa nikmat, baik itu
berupa air jernih belaka mau pun minuman yang amat mahal harganya. Kenikmatan
terdapat pula di dalam nasi sambal mau pun dalam nasi beserta masakan yang
mahal bagi mereka yang tidak mengejar.
Bukan berarti
pula bahwa orang yang tidak mengejar kesenangan lalu menjadi lumpuh semangat
dan hanya duduk menganggur! Sama sekali tidak demikian! Akan tetapi orang
bahagia seperti ini, jika bekerja bukan bermaksud mengejar uang, melainkan
melakukan suatu pekerjaan yang bermanfaat dan yang sesuai dengan minatnya
sehingga di dalam pekerjaan itu sendiri dia telah mengecap kenikmatan! Uang
sebagai upah atau hasil dari pekerjaannya hanya merupakan akibat saja dalam
dunia yang kesemuanya sudah diukur dengan uang ini. Akan tetapi uang bukanlah
menjadi tujuan utama untuk dikejar melalui pekerjaan.
Jika
pekerjaan itu dilakukan sebagai cara untuk mencari uang, maka akan timbul
hal-hal yang buruk dan curang. Pekerjaan itu mungkin menjadi kotor, pegawai
berbuat korupsi, pedagang menipu dan memalsu, memanipulasi, penyelundupan, dan
berbagai keburukan yang terdapat dalam pekerjaan dan perdagangan.
Sejak ribuan
tahun yang lalu, para cerdik pandai, para cendekiawan, para budiman telah
berusaha mati-matian untuk mencari cara yang baik agar manusia dapat hidup
benar dan besar. Berbagai macam cara hidup sudah diciptakan manusia dengan
berbagai paham (isme), berbagai garis hidup sudah dipaksakan kepada manusia.
Akan tetapi,
apa bila kita sekarang menengok keadaan di seluruh dunia, semua cara itu
ternyata tidak menolong, tak dapat membebaskan manusia dari pada kesengsaraan,
dari pada kemurkaan, ketamakan, ketakutan, kebencian dan permusuhan. Ternyata
segala macam kedudukan tinggi, kehidupan mewah, ilmu pengetahuan yang
tinggi-tinggi, tidak mampu memperbaiki kehidupan batin manusia, tidak mampu
mengusir kesengsaraan manusia, tidak mampu mendatangkan KEBAHAGIAAN dalam batin
manusia.
Tidak ada
paham (isme) apa pun, tidak ada cara apa pun, yang akan dapat merubah batin
manusia kecuali dirinya sendiri. Dan perubahan itu baru bisa terjadi kalau kita
mau mengenali diri kita sendiri, mengamati diri kita sendiri serta lika-liku
kehidupan kita setiap hari dengan penuh perhatian, penuh kewaspadaan.
Pengamatan
yang mendalam setiap saat akan membuka mata kita bahwa kita sendirilah yang
menjadi sumber segala derita, kita sendiri pencipta kesengsaraan, kita sendiri
yang menjauhkan diri dari kebahagiaan, menjauhkan diri dari Tuhan! Dengan
segala berkah yang berlimpahan, sedetik pun Tuhan tidak pernah menjauhi kita.
Adalah kita yang setiap saat, demi pengejaran kesenangan, menjauhi Tuhan dan
sesudah akibat dari pengejaran itu menjerumuskan kita ke dalam lembah
kesengsaraan, baru berteriak-teriak mengeluh kenapa Tuhan meninggalkan kita!
Orang
bahagia akan selalu menerima segala hal yang terjadi sebagai suatu kenyataan
hidup tanpa menilai hal itu sebagai baik atau buruk. Tidak mengeluh, tidak
menyalahkan siapa pun, melainkan membuka mata dengan waspada akan gerak-gerik
monyet putih yang bercokol di dalam pikiran kita.
***************
Gadis itu
menangis sejadi-jadinya sambil duduk di bawah pohon di tempat sunyi itu. Dia
tak peduli pakaiannya kotor terkena tanah yang agak basah. Dia duduk sambil
menopang kepalanya yang ditundukkan, muka yang disembunyikan di antara kedua
lengannya yang bersilang dan melintang di atas kedua lututnya.
Sui Cin
adalah seorang gadis yang biasanya keras hati, berandalan, gembira dan tidak
pernah menangis. Bahkan tangis dianggapnya suatu kecengengan yang tidak
sepatutnya dilakukan oleh seorang gagah. Akan tetapi sekali ini, semakin
mengingat keadaan dirinya, makin sedih hatinya dan makin keras tangisnya. Apa
lagi di sana tidak terdapat orang lain sehingga dia boleh menangis sepuas
hatinya tanpa dilihat orang lain.
Betapa
hatinya tidak akan berduka? Peristiwa yang menimpa diri Ci Kang, yang berakibat
buntungnya lengan kiri pemuda itu, membuat hatinya terasa pedih karena dia tahu
bahwa Ci Kang mengorbankan lengan kirinya semata-mata untuk dirinya, karena Ci
Kang hendak melindungi Hui Song yang diketahuinya menjadi pilihan hatinya. Juga
dia maklum bahwa sungguh pun tidak menyatakan sesuatu, Cia Sun juga patah hati
karena cinta kepadanya namun tidak dibalasnya.
Hatinya
telah melekat pada Hui Song dan hanya pemuda itu yang telah menawan hatinya.
Dia mencinta Hui Song dan mengharapkan untuk menjadi isteri putera ketua
Cin-ling-pai itu. Akan tetapi, ayah dan ibunya tidak setuju!
Dan
mengingat betapa sesudah bertahun-tahun berpisah dari ayah bundanya, kini
begitu bertemu dia terpaksa berselisih paham dengan mereka, benar-benar
merupakan peristiwa yang amat menyedihkan hatinya. Jika menurutkan perasaan
hatinya, dia boleh tidak ambil peduli terhadap ayah bundanya dan langsung saja
menemui Hui Song kemudian hidup bersama pemuda itu selamanya. Akan tetapi dia
pun tahu bahwa perbuatannya itu akan menghancurkan perasaan hati orang tuanya
yang hanya memiliki anak dia seorang saja.
"Hu-huh-huuuhhh...!"
Dia tersedu lagi sambil menyembunyikan mukanya di antara lengan, tubuhnya
terguncang karena tangisnya.
Sebuah
tangan dengan halus menyentuh pundaknya lalu terdengar suara tawa terkekeh.
"Heh-heh-heh, sungguh lucu melihat engkau menangis! Engkau sama sekali
tidak pantas kalau menangis, Sui Cin, seperti masakan kurang garam!"
Sui Cin
mengangkat mukanya dan memandang pada kakek katai yang menjadi gurunya itu
dengan mulut cemberut. "Suhu malah mengejek, ya? Tidak tahu orang sedang
susah, malah diejek. Apa artinya orang menangis seperti masakan kurang
garam?" kata Sui Cin dengan marah.
"Heh-heh-heh,
bagaimana rasanya masakan kurang garam? Tentu saja hambar dan tidak enak.
Tangismu juga demikian, tidak enak dipandang, tidak sedap didengar, sama sekali
tidak menyedihkan malah menggelikan. Maka, jangan menangis!"
Akan tetapi
Sui Cin segera teringat kembali akan keadaan dirinya maka dia pun menangis lagi
tanpa mempedulikan ejekan gurunya.
"Ha-ha-ha,
muridmu ternyata hanya seorang bocah perempuan yang cengeng dan lemah sekali,
Ciu-sian! Ha-ha-ha!"
Sui Cin
kembali mengangkat mukanya dan memandang pada Siang-kiang Lo-jin dengan mata
melotot. "Siapa cengeng?" katanya marah. "Kalau kalian berdua
yang mengalami hal seperti aku, mungkin sudah membunuh diri!"
Dua orang
kakek itu saling berpandangan, lalu keduanya tertawa bergelak. "Kami
berdua tak pernah jatuh cinta, apa lagi harus kerepotan dalam memilih
jodoh!" kata kakek pendek berjenggot panjang Wu-yi Lo-jin atau Si Dewa
Arak. "Sudahlah, Sui Cin, engkau adalah muridku yang baik, yang gagah
perkasa, yang berbatin kuat. Kenapa sekarang menangis seperti anak kecil hanya
karena sikap orang tuamu?"
"Aih,
suhu. Bagaimana aku tidak akan menjadi sedih? Ayah dan ibu memperlihatkan sikap
keras dan terang-terangan menolak ikatan jodoh antara aku dan Song-ko. Lalu apa
yang harus kulakukan? Menurut kepada mereka yang hendak menjodohkan aku dengan
putera Gubernur Ce-kiang? Aku tidak sudi!"
"Wah,
mengapa harus memikirkan orang tua yang tidak ingin membahagiakan
anaknya?" Kakek pendek itu berseru.
"Akan
tetapi, suhu. Ayah Song-ko juga mengambil sikap tidak peduli, bahkan tidak mau
mengambil keputusan ketika suhu berdua mengajukan pertanyaan. Lalu apa yang
dapat kulakukan?"
"Ha-ha-ha,
mengapa gelisah? Kalau ayah Hui Song tidak mau mengurusi lagi puteranya, masih
ada aku gurunya yang dapat mewakili dan akulah yang akan mengajukan pinangan
untuk muridku Hui Song. Beres, kan?"
"Tapi,
kalau locianpwe meminangku kepada ayah dan ditolak?"
"Heh-heh-heh,
masih ada aku di sini! Jangan pedulikan orang tuamu yang mau senang sendiri
itu. Aku adalah gurumu dan aku berhak mewakili mereka dan menerima pinangan si
gendut ini!" kata Wu-yi Lo-jin.
Siang-kiang
Lo-jin tertawa bergelak. "Benar! Benar itu! Orang-orang tua yang tidak
becus seperti ayah bundamu dan ayah Hui Song itu biar kita tinggalkan
saja!"
"Itu
benar, Sui Cin. Apa bila ayah bundamu hendak memaksamu menikah dengan orang
yang tidak kau sukai, biarkan mereka berdua saja yang menikah dengan pilihan
mereka!" kata Wu-yi Lo-jin penuh semangat.
"Tepat
sekali! Orang tua yang tidak dapat membahagiakan anaknya, berarti orang tua itu
tidak mencinta anaknya, melainkan mencinta dirinya sendiri saja dan patut kita tentang!"
sambung Siang-kiang Lo-jin.
"Jangan
takut, Sui Cin. Kalau ayah ibumu marah dan hendak memaksamu, kami berdua yang
akan menentang mereka dan melindungimu!" gurunya berkata penuh semangat.
Tiba-tiba
saja kedua orang kakek itu berhenti bicara dan memandang ke kiri. Sui Cin juga
mendengar suara mencurigakan dari sebelah kiri, maka terkejutlah gadis ini
ketika melihat berkelebatnya bayangan orang dan tahu-tahu di situ sudah muncul
Pendekar Sadis Ceng Thian Sin, ayahnya!
Pendekar ini
kelihatan gagah perkasa, dengan pakaiannya yang indah dan baru, dengan topinya
yang dihias bulu. Seorang pendekar yang tampan gagah biar pun usianya sudah
hampir lima puluh tahun dan sikapnya penuh wibawa saat dia berdiri memandang
kepada Sui Cin dengan sinar mata mencorong marah.
"Sui
Cin!" bentak pendekar ini. "Engkau hendak menentang orang
tuamu?"
Suara
pendekar ini penuh amarah sehingga Sui Cin menjadi gentar sekali. Belum pernah
ayahnya marah seperti itu terhadap dirinya. Belum pernah dia melihat sinar mata
ayahnya mencorong seperti itu, seakan-akan mengeluarkan api yang hendak
membakar dirinya. Dengan sikap gentar gadis ini cepat menyembunyikan diri atau
beraling di belakang tubuh Wu-yi Lo-jin yang pendek kecil.
Sejenak Dewa
Arak dan Dewa Kipas terbelalak memandang pada Pendekar Sadis yang telah berdiri
di depan mereka dengan gagahnya. Jika tadi mereka mengeluarkan ucapan-ucapan
keras terhadap Pendekar Sadis dan isterinya, hal itu hanya mereka lakukan untuk
menghibur hati Sui Cin. Kini, sesudah orang yang tadi dicela dan ditantangnya
berdiri di depan mereka, keduanya menjadi bingung dan tak tahu harus berkata
atau berbuat apa.
"Suhu...
locianpwe... lekas kalian bertindak...!" Sui Cin berbisik dari belakang
tubuh Dewa Arak, karena dia sendiri merasa takut untuk menghadapi ayahnya yang
sedang marah itu.
Akan tetapi
dua orang itu hanya saling pandang, lalu memandang kepada Ceng Thian Sin,
saling pandang lagi dan keduanya seperti sudah kehilangan suara.
"Suhu...
locianpwe... ingat janji kalian tadi...," kembali Sui Cin berbisik.
"Heh,
kerdil tua bangka, muridmu benar, engkau harus ingat janjimu tadi!"
Tiba-tiba
Dewa Kipas berkata sambil menudingkan telunjuknya ke arah dahi Dewa Arak.
"Nah, kau tepatilah janjimu tadi."
"Apa?!
Gendut brengsek! Engkau yang tadi berjanji akan melindunginya!" Kakek
kerdil itu membalas, telapak kanannya mendorong perut gendut sedangkan telunjuk
kirinya balas menuding ke arah dahi si gendut, biar pun untuk ini terpaksa dia
harus berjingkat karena terlalu pendek.
"Kau
yang berjanji!"
"Kau
juga berjanji!"
Keduanya tak
mau mengalah dan agaknya siap untuk saling hantam sendiri. Sebetulnya, dua
orang sakti semacam Dewa Arak dan Dewa Gendut tentu saja bukanlah orang-orang
pengecut yang tidak berani bertanggung jawab. Akan tetapi karena mereka tidak
setulus hati hendak menentang Pendekar Sadis dan kini mereka saling dorong dan
saling tuduh, maka terjadilah keributan di antara mereka sendiri yang memang
suka bersaing.
Ceng Thian
Sin tadinya berdiri dengan sikap marah dan dua tangan terkepal, akan tetapi
melihat tingkah dua orang kakek itu, sinar matanya yang tadi mencorong marah
sekarang berubah. Mulut yang tadi cemberut kini mengarah senyum. Memang
sesungguhnya Ceng Thian Sin tidak benar-benar marah.
Tadi, dengan
ilmu kepandaiannya, sebentar saja dia dan isterinya dapat menyusul Sui Cin dan
ketika mereka sampai di tempat itu, mereka berdua sempat mendengar bualan atau
tantangan-tantangan yang diucapkan oleh dua orang kakek sakti. Biar pun mereka
berdua tadi mengeluarkan kata-kata yang kasar dan keras seolah-olah sedang
menantang, akan tetapi Pendekar Sadis dan isterinya adalah dua orang pendekar
yang berpengalaman.
Mereka
berdua maklum bahwa dua orang kakek sakti itu sudah tahu akan kedatangan
mereka, bahwa kedua orang kakek itu sengaja menantang-nantang sambil
mengerahkan khikang supaya suara mereka dapat terdengar oleh suami isteri yang
sudah datang dan bersembunyi di balik batu karang itu.
Pasangan
suami isteri ini telah mendengar semua percakapan itu, juga semua tantangan,
maka mereka berdua kini pun yakin bahwa puteri mereka mencinta Hui Song dan
betapa dua orang kakek yang menjadi guru Hui Song dan Sui Cin itu telah
menyetujui perjodohan mereka. Hal ini saja sudah meyakinkan hati keduanya bahwa
pilihan hati puteri mereka tidaklah keliru, karena kalau demikian halnya, tentu
dua orang kakek sakti itu tidak akan mati-matian membelanya.
Pendekar
Sadis yang berpura-pura marah itu, ketika melihat betapa dua orang kakek itu
saling tuding, tidak dapat menahan kegelian hatinya dan pada saat itu, bayangan
lain lalu berkelebat dan isterinya sudah berdiri di sisinya. Melihat ini, dua
orang kakek itu agaknya menjadi semakin ketakutan.
"Nah,
hayo keluarkan kegaranganmu tadi, tua bangka kerdil!" bentak Dewa Kipas.
"Dan di
mana kegagahanmu? Engkau memikirkan enaknya perutmu sendiri saja, tak mau
memikirkan kepentingan muridmu!" balas Dewa Arak.
Tiba-tiba
terdengar Pendekar Sadis tertawa bergelak, diikuti oleh isterinya. Melihat
kedua suami isteri ini tertawa-tawa, Sui Cin terbelalak heran dan dua orang
kakek yang tadinya ribut-ribut itu pun berdiri bengong memandang.
"Sudahlah,
ji-wi locianpwe tidak perlu bersandiwara lagi. Kami berdua bukanlah orang tua
yang tidak ingin melihat kebahagiaan anak tunggal kami," Toan Kim Hong
berkata dengan suara lantang kepada dua orang kakek itu.
"Ayah...!
Ibu...! Benarkah... benarkah ayah ibu menyetujui...?" Sui Cin berteriak
lantas lari menghampiri ayah bundanya.
Dua orang
tua itu hanya membuka lengan mereka untuk menyambut dan di lain saat Sui Cin
sudah berada dalam rangkulan ayah bundanya, menangis terisak-isak tanpa mampu
mengeluarkan kata-kata lagi, sekali ini menangis saking bahagia dan terharu.
Toan Kim
Hong menciumi wajah anaknya dan Ceng Thian Sin menepuk-nepuk pundak Sui Cin
sambil berkata, "Kami hanya ingin menguji dan melihat sampai di mana
cintamu terhadap Hui Song, maka kami berpura-pura tidak setuju."
"Ayah
dan ibu... ahhh, betapa bahagianya hatiku. Suhu dan Siang-kiang Locianpwe,
lihat betapa ayah ibuku telah setuju. Tinggal kalian berdua yang harus memenuhi
janji!" dengan muka masih basah air mata, dengan sepasang mata masih basah
kemerahan, kini Sui Cin menghadapi dua orang kakek itu sambil tersenyum.
"Wah,
cebol, kita ditagih lagi!" Siang-kiang Lo-jin berseru tertawa lantas
tiba-tiba saja dia menjura kepada Wu-yi Lo-jin sambil berkata dengan sikap
sungguh-sungguh dan serius sekali, "Wu-yi Lo-jin, sebagai guru dari Cia
Hui Song, dengan ini aku menyatakan hendak meminang muridmu yang bernama Ceng
Sui Cin!"
Wu-yi Lo-jin
juga menanggalkan sikap pura-pura serta gurauannya, kini dia pun menjura dengan
hormat kepada Siang-kiang Lo-jin dan berkata, "Sebagai guru Ceng Sui Cin,
aku menerima dengan baik pinangan itu dan merasa setuju sekali bila muridku menjadi
calon jodoh muridmu."
Setelah
berkata demikian, dua orang kakek itu menghadapi Ceng Thian Sin dan isterinya,
memandang tajam dan seolah-olah menanti keputusan mereka. Ceng Thian Sin
menarik napas panjang.
"Perjodohan
adalah urusan yang ditentukan oleh Thian, dan syarat utamanya adalah cinta
kasih antara pria dan wanita yang hendak mengikatkan diri satu sama lain
melalui sebuah pernikahan. Sebagai orang tua pihak wanita, kami berdua hanya
bisa menanti datangnya pinangan dari orang tua pihak pria. Hal ini tentu saja
ji-wi locianpwe cukup maklum, dan kami akan menanti di Pulau Teratai Merah! Sui
Cin, mari kita pulang."
Sui Cin yang
merasa amat bahagia melihat orang tuanya telah menyetujui perjodohannya dengan
Hui Song, mengerti akan maksud ayahnya. Sebagai seorang gadis, tentu saja dia
hanya dapat menanti datangnya pinangan dari orang tua atau wakil Hui Song. Maka
dia pun menghadapi dua orang kakek itu.
"Sampai
sekarang, janji-janji kalian dua orang kakek yang kucinta dan kuhormati belum
dipenuhi. Aku hanya dapat menunggu kalian di Pulau Teratai Merah dan di sana
aku akan membuatkan masakan-masakan istimewa untuk kalian."
Ceng Thian
Sin, Toan Kim Hong, dan Sui Cin memberi hormat kepada dua orang kakek itu lantas
berkelebat pergi. Tinggal dua orang kakek itu yang bengong lalu saling pandang
dan menarik napas panjang.
"Waah,
ini adalah akibat kelancanganmu main-main, gendut!" Wu-yi Lo-jin berkata
sambil menggaruk-garuk kepalanya yang tak berambut. "Sekarang kita harus
mendatangi ketua Cin-ling-pai dan harus dapat membujuknya agar mau pergi ke
Pulau Teratai Merah untuk melakukan pinangan itu."
"Jangan
khawatir!" Dewa Kipas menepuk-nepuk perutnya yang gendut. "Aku yakin
kalau ketua Cin-ling-pai akan cukup bijaksana untuk bersedia mengunjungi Pulau
Teratai Merah. Pengalaman pahit dalam urusan pemberontakan itu tentu merupakan
obat yang membuat dia sadar bahwa hidup ini tidak berguna apa bila tidak dapat
membahagiakan orang lain, terutama orang-orang yang terdekat dengannya. Demi
kebabagiaan puteranya, tentu dia mau merendahkan diri sedikit untuk berkunjung
ke Pulau Teratai Merah. Mari kita berdua pergi mengunjunginya dan
membujuknya."
Dua orang
kakek itu pun lalu pergi dengan langkah santai.
***************
Sungguh
meriah pesta pernikahan yang dirayakan di puncak Pegunungan Cin-ling-san, di
gedung perkumpulan Cin-ling-pai itu. Lebih dari seribu orang tamu dari berbagai
penjuru memerlukan datang dan menghadiri perayaan itu. Sebagian besar dari para
tamu adalah golongan kang-ouw atau tokoh-tokoh dunia persilatan.
Hal ini
tidak mengherankan karena nama besar Cin-ling-pai sudah sangat dikenal di dunia
persilatan. Apa lagi mengingat siapa adanya keluarga besan-besan dari ketua
Cin-ling-pai yang sekaligus merayakan pernikahan dari puteranya dan murid
perempuannya itu.
Cia Hui
Song, putera ketua Cin-ling-pai itu, menikah dengan Ceng Sui Cin, puteri
tunggal dari Pendekar Sadis Ceng Thian Sin dan isterinya yang amat terkenal.
Sedangkan murid perempuannya yang disayang seperti puteri sendiri, Tan Siang
Wi, menikah dengan Cia Sun, putera tunggal ketua Pek-liong-pang, pendekar dari
Lembah Naga yang juga sangat terkenal.
Tiga besar
itu, Cia Kong Liang, Cia Han Tiong, dan Ceng Thian Sin, memang bersepakat untuk
merayakan dua pernikahan itu di Cin-ling-pai, karena bagaimana pun juga, mereka
semua adalah pendekar-pendekar yang mewarisi ilmu-ilmu dari Cin-ling-pai.
Nama besar
tiga keluarga ini sudah menjamin terlaksananya perayaan pesta pernikahan itu
secara aman. Tidak ada yang berani mati mengganggu dan semua orang bergembira.
Pesta dilakukan semenjak pagi sampai jauh malam dan semua tamu baru
meninggalkan Cin-ling-pai setelah malam dengan hati gembira dan kagum, dengan
perut kenyang.
Keadaan di
Cin-ling-pai sunyi kembali setelah semua tamu pulang. Dua pasang pengantin
telah memasuki kamar pengantin masing-masing dan hanya mereka berempat yang
dapat merasakan kebahagiaan mereka, sedangkan orang-orang lain hanya tersenyum
penuh arti menduga-duga atau membayangkan saja betapa bahagianya dua pasang
pengantin yang kini tinggal berdua saja dalam kamar mereka.
Akan tetapi,
di dalam bayangan pohon-pohon yang gelap, tidak jauh dari rumah besar di mana
dua pasang pengantin itu berasyik mesra, nampak sesosok bayangan. Bayangan ini
tidak gembira sama sekali, bahkan sejak berjam-jam dia berada di dalam
kegelapan itu seperti sebuah patung, dan kini nampak tubuhnya
terguncang-guncang.
Bayangan itu
menangis. Lirih hampir tanpa suara sama sekali, namun air matanya terus
bercucuran dan beberapa kali dicobanya untuk diusap dengan sepasang tangannya
yang gemetar. Bayangan itu adalah Toan Hui Cu!
Dara ini
merasa betapa hancur perasaan hatinya melihat pria yang dikasihinya, yang amat
diharapkannya, Cia Sun, kini menikah dengan seorang gadis lain! Terasa olehnya
betapa malang nasibnya, betapa sengsara keadaan dirinya.
Semenjak
kecil dia hidup terasing, kemudian dia terancam oleh ayah kandungnya sendiri
yang jahat seperti iblis. Ayah ibunya adalah raja dan ratu penjahat dan kini
mereka telah tewas. Dia tidak memiliki siapa pun lagi di dunia ini, sebatang
kara, tidak memiliki apa-apa sehingga terpaksa harus menghadapi kehidupan yang
dianggapnya amat mengerikan dan kejam.
Dia tidak
berpengalaman hidup dalam dunia ramai. Satu-satunya harapan dalam hatinya
digantungkan kepada Cia Sun. Akan tetapi kini pemuda itu telah menjadi milik
wanita lain dan dia tahu bahwa bagaimana pun juga, dia tidak berhak mendekati
Cia Sun, tidak dapat mengharapkan lagi perlindungannya.
Melihat Cia
Sun menikah dengan wanita lain, baginya seperti melihat Cia Sun juga telah mati
meninggalkan dirinya, seperti ayah bundanya. Karena itu dapat dibayangkan
betapa sedihnya, membuatnya hampir putus asa dan membuatnya tak berani
melanjutkan hidup yang dianggapnya kejam dan mengerikan itu.
"Ibu...
ohh, ibu... bagaimana dengan aku ini, ibu..." Dia merintih dan tangisnya
semakin menjadi, sesenggukan karena pada saat itu yang dapat disambati hanyalah
ibunya, yaitu satu-satunya orang yang pernah mencintanya tapi kini ibunya pun
telah meninggalkannya.
"Ibu...!"
Kedua pundaknya terguncang-guncang.
"Hui
Cu..." Suara ini lirih dan ada tangan menyentuh pundaknya dengan halus.
Hui Cu
tertegun. Suara Cia Sun-kah itu? Ia cepat menoleh penuh harapan dan di bawah
sinar bulan yang bercahaya terang, dia dapat melihat wajah yang amat
dikenalnya, wajah Siangkoan Ci Kang, orang kedua setelah Cia Sun yang
dikaguminya. Wajah yang gagah, agak pucat dan basah air mata! Seketika tahulah
Hui Cu bahwa Ci Kang juga seperti dia sendiri, sudah lama berada di situ,
menangis seperti dia sendiri, menangisi kepergian Sui Cin!
"Hui
Cu, engkau menangis?"
"Engkau
juga menangis..."
Engkau... kehilangan Cia Sun...?"
"Dan
engkau kehilangan Sui Cin..." Hui Cu berhenti sebentar, lantas memandang
ke arah lengan kiri yang buntung itu, "...dan kehilangan lengan kirimu
karena Sui Cin pula..."
Mengertilah
Ci Kang bahwa agaknya ketika melarikan dirinya, Hui Cu tidak pergi jauh dan
mengintai sehingga tahu tentang apa yang terjadi selanjutnya, tentang
buntungnya lengan kirinya. Dia mengangguk dan keduanya berdiam diri. Kini
tangis mereka terhenti, agaknya memperoleh hiburan setelah saling bertemu dan
saling mengerti akan kesengsaraan hati masing-masing.
Sesudah
keduanya berdiam sampai beberapa saat lamanya sambil saling berpandangan, Ci
Kang menarik napas panjang dan mengangguk. "Ya, aku kehilangan lengan
kiriku, aku seorang yang bodoh, dan aku... aku hanya anak seorang penjahat
kawakan yang rendah dan hina."
"Aku
pun anak penjahat, bahkan raja dan ratu iblis, penjahat yang terbesar. Kita
berdua sama-sama keturunan penjahat, orang-orang hina dan rendah..."
Tangan kanan
yang kuat itu makin erat memegang pundak Hui Cu. "Engkau benar, Hui Cu.
Kita sama-sama keturunan penjahat, bagaikan burung gagak yang paling rendah dan
dianggap kotor, mana bisa disamakan dengan burung-burung Hong? Biarlah burung
gaga berkawan dengan burung gagak pula, keturunan penjahat bersanding dengan keturunan
penjahat pula. Hui Cu, bagaimana pendapatmu kalau kita yang senasib
sependeritaan ini mulai sekarang hidup bersama? Maukah engkau melanjutkan hidup
yang sangat kejam ini di sampingku, untuk selama-lamanya, suka sama dinikmati,
duka sama diderita? Maukah engkau?"
Mereka
saling bertatapan. Dua pasang mata itu hingga lama tak berkedip, saling pandang
dengan tajam, seakan-akan ingin menyelami isi hati masing-masing. "Tapi...
tapi... apakah engkau cinta padaku, Ci Kang?"
Senyum pahit
menghias bibir pemuda itu. "Aku tidak tahu, Hui Cu. Sesungguhnya aku tidak
pernah tahu apa artinya cinta itu. Akan tetapi aku kasihan padamu, dan aku suka
dan kagum padamu."
Hui Cu
menarik napas panjang dan Ci Kang dapat merasa betapa pundak yang tadinya
meregang kaku di bawah telapak tangannya itu kini menjadi lunak dan hangat
"Aku pun kagum padamu, suka dan aku pun kasihan padamu. Aku tidak tahu
apakah perasaan kita yang sama ini, kagum suka dan kasihan, dapat memupuk
cinta. Namun aku menerima tawaranmu seperti seorang kehausan mendapatkan air
jernih, Ci Kang. Aku sudah putus harapan dan kau tiba-tiba datang dan aku...
aku... ahh..." Gadis itu tiba-tiba saja menjadi lemas kemudian dia
menjatuhkan dirinya di atas dada yang bidang itu sambil menangis,
menyembunyikan mukanya di dada yang kokoh kuat itu.
Dengan hati
merasa seperti tanah kering merekah menerima siraman air segar, Ci Kang
merangkulkan lengan kanannya ke pundak gadis itu. Sejenak mereka berdiri
seperti itu, tidak bergerak kecuali pundak Hui Cu yang bergoyang-goyang oleh
tangisnya yang tidak berbunyi.
Sesudah
tangis itu mereda, Ci Kang kemudian berbisik, "Hui Cu, sudah bulatkah
hatimu menerimaku? Ingat, aku adalah seorang yang cacat, lengan kiriku
buntung..."
"Tetapi
hatimu tidak cacat, Ci Kang." Dan gadis itu pun membiarkan dirinya ditarik
lantas diajak pergi dari situ.
Mereka
berjalan perlahan-lahan, dengan lengan kanan Ci Kang masih merangkul dan hati
mereka perlahan-lahan menjadi makin cerah dan tabah karena kini mereka merasa
yakin akan kuat menempuh hidup baru berdua, tidak sendirian lagi, sebab mereka
akan hadapi dengan tabah apa pun yang akan mereka hadapi dalam kehidupan
selanjutnya.
Kebahagiaan
adalah urusan hati, sebaliknya kesenangan adalah urusan badan. Selama batin
kita dikeruhkan oleh segala urusan badan yang selalu mengejar kesenangan, maka
kebahagiaan pun akan tiada, bagaikan cahaya yang tak dapat bersinar menembus
kaca yang kotor penuh debu.
Kebahagiaan
hanya terdapat di dalam batin yang jernih, yang terbebas dari pada segala
ikatan, yang tidak membutuhkan apa-apa lagi, di mana tidak ada lagi
konflik-konflik atau pertentangan antara senang dan susah, antara suka dan
benci, antara kenyataan dan apa yang diharap-harapkan.
Kebahagiaan
tidak akan lenyap walau pun badan boleh jadi tersiksa oleh penyakit, oleh
kemiskinan, oleh penghinaan dan sebagainya selama batin masih dapat menerima
dan menghadapi semua itu sebagai suatu hal yang wajar dan tidak menimbulkan
guncangan. Kebahagiaan adalah TIDAK ADA-NYA penentangan batin terhadap segala
sesuatu yang menimpa diri, dan kebahagiaan adalah CINTA KASIH.
T A M A T
Serial Selanjutnya : Pendekar Mata Keranjang
***** Sahabat Karib.com *****
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment