Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pendekar Lembah Naga
Jilid 46
Memang
demikianlah adanya. Betapa banyaknya orang tua yang tanpa mereka sadari sendiri
telah melakukan tindakan-tindakan yang sama sekali menyimpang dari pada cinta
kasih dan kebenaran. Kita selalu ingin menyatakan cinta kasih kita pada
anak-anak kita dengan jalan mengatur sedemikian rupa untuk anak-anak kita,
bukan hanya mengatur pendidikannya, pemeliharaannya, akan tetapi juga kita
ingin mengatur masa depannya, mengatur kesukaannya, bahkan mengatur jodoh
mereka!
Kita
beranggapan bahwa bila anak-anak kita itu menurut kepada kita, mereka pasti
akan hidup berbahagia, seolah-olah kehidupan merupakan garis tertentu yang
telah mati, yang dapat diatur sedemikian rupa menuju kepada kebahagiaan!
Seakan-akan apa yang kita anggap baik dan menyenangkan itu tentunya akan baik
serta menyenangkan pula bagi anak-anak kita!
Kita lupa
bahwa kehidupan itu selalu berubah, bahwa alam-pikiran dan selera manusia itu
pun berkembang dan mengalami perubahan-perubahan. Apa yang kita sendiri senangi
di saat kita masih kanak-kanak akan menjadi membosankan di kala kita sudah
dewasa, dan apa yang menyenangkan kita saat kita dewasa mungkin akan menjadi
memuakkan di waktu kita telah tua.
Oleh karena
itu, benarkah itu bila mana kita memakai ukuran mata kita untuk mengatur
kehidupan anak-anak kita yang lebih muda dan mempunyai selera lain sama sekali
dari kita? Benarkah kita mencinta anak-anak kita kalau kita hanya ingin mereka
itu menurut kepada kita, yang pada hakekatnya menunjukkan bahwa sebenarnya kita
ingin senang sendiri, ingin melihat anak-anak kita menuruti kemauan hati kita?
Cinta adalah
demi si anak, demi perasaan hati si anak, sekarang, bukan kelak! Bukan masa
depan, melainkan saat demi saat! Maukah kita sebagai orang tua yang bijaksana
memberikan kebebasan seluasnya kepada anak-anak kita, dengan memberi
petunjuk-petunjuk, bukan mendikte, akan tetapi memberi petunjuk dan menjaga,
membuka mata batin mereka kalau mereka itu tanpa mereka sadari menyeleweng,
dengan penuh kasih sayang dan demi kebahagiaan mereka saat demi saat? Hal ini
hanya mungkin dilakukan kalau sudah tidak ada keinginan dalam hati kita untuk
menikmati kesenangan diri sendiri melalui anak kita!
Setelah tiba
di kota raja, keluarga Cin-ling-pai mengajak Sin Liong dan Bi Cu untuk ikut ke
Cin-ling-pai.
"Engkau
adalah puteraku, dan Bi Cu adalah calon menantuku," demikian Cia Bun Houw
berkata dengan terus terang kepada mereka, "maka sebaiknya kalau kalian
berdua turut bersama kami ke Cin-ling-pai. Engkau adalah keluarga Cin-ling-pai
dan berhak tinggal di sana, dan karena semenjak kecil kita saling berpisah,
maka sebaiknya jika sekarang kita berkumpul."
"Benar,
Sin Liong. Ayahmu dan aku hendak membangun kembali Cin-ling-pai. Marilah ikut
bersama kami di sana, ke Cin-ling-san!" Cia Giok Keng juga membujuk.
"Akan
tetapi... sri baginda kaisar sudah menganugerahkan Lembah Naga kepada
kami...," Sin Liong menjawab agak ragu-ragu.
"Maksudku
untuk sementara kalian tinggal di Cin-ling-san sampai kalian menikah. Kalau
kalian sudah menikah, maka terserah kalau kalian ingin tinggal di Istana Lembah
Naga," kata Bun Houw.
"Apakah
tidak terlalu sunyi tinggal di tempat itu?" Cia Giok Keng bertanya.
"Ah,
kalau tinggal berdua, mana bisa merasa sunyi?" Yap Kun Liong menyambung
sambil tertawa dan semua orang tertawa, juga Bi Cu tersenyum malu-malu.
"Banyak
terima kasih atas kebaikan ayah, ibu, paman serta bibi berempat. Kami berdua
pasti akan pergi ke Cin-ling-san, akan tetapi sekarang ini kami ingin pergi ke
selatan untuk menengok adik-adik saya Kui Lan dan Kui Lin. Sesudah menengok
mereka, kami tentu akan menyusul ke Cin-ling-pai dan selanjutnya tentang
pernikahan kami, terserah kepada semua orang tua di Cin-ling-pai."
Akhirnya
mereka semua setuju dan berangkatlah Sin Liong dan Bi Cu ke kota Su-couw di
Ho-nan. Sesungguhnya mereka pergi ke Su-couw bukanlah semata untuk menengok Lan
Lan dan Lin Lin saja, namun untuk melihat keadaan Kui Hok Boan.
Di tengah
perjalanan menuju ke kota raja, Sin Liong sudah menceritakan secara terus
terang kepada Bi Cu bahwa dia menduga keras bahwa pembunuh ayah kandung Bi Cu
yang bernama Bhe Coan itu adalah Kui Hok Boan, ayah tirinya sendiri.
"Aku
mendengar ketika dia mengigau," demikian antara lain Sin Liong menuturkan.
"Dan agaknya dialah yang membunuh ayahmu."
"Keparat,
sungguh jahat jahanam itu! Aku harus membalas kematian ayah!" Bi Cu
berkata dengan marah.
"Nanti
dulu, Bi Cu, dengarlah dahulu baik-baik. Ketahuilah, bahwa ketika dia mengigau
itu, dia berada dalam keadaan tidak sadar dan dia telah berubah
ingatannya."
"Ahh?
Maksudmu, dia..." Bi Cu membuat tanda dengan melintangkan jari telunjuk di
atas dahinya.
"Benar,
dia sudah mengalami tekanan batin sehingga menjadi gila."
Kemudian Sin
Liong menceritakan tentang semua riwayat Kui Hok Boan, juga tentang dua orang
pemuda yang sebenarnya adalah anak-anaknya sendiri akan tetapi yang diakuinya
sebagai keponakannya dan betapa dua orang anaknya itu saling bermusuhan dan
saling bunuh sendiri. Semua itu membuat Kui Hok Boan merasa menyesal lantas
membikin dia menjadi gila.
"Karena
itu, dalam keadaannya seperti sekarang ini, dalam keadaan hidup menderita dan
merana sampai menjadi gila, apakah engkau masih mempunyai gairah untuk membalas
dendam? Membalas kepada orang yang sudah terhukum sehebat itu karena
perbuatan-perbuatannya sendiri?"
Bi Cu
termangu-mangu, kemudian berkata, "Memang tidak enak memusuhi orang sakit,
apalagi sakit gila. Akan tetapi aku masih penasaran sebelum melihat keadaannya
dengan mata sendiri, Sin Liong. Mari kita mengunjunginya dan setelah melihat
keadaannya, baru aku akan memutuskan apakah aku akan membalas kematian ayah
ataukah tidak."
Demikianlah,
sesudah mendapatkan persetujuan para tokoh Cin-ling-pai, Sin Liong dan Bi Cu
lalu berangkat ke selatan. Mereka menunggang dua ekor kuda yang amat baik
karena mereka mendapatkan hadiah dari Pangeran Hung Chih. Pakaian mereka pun
serba indah dan bersih. Bukankah mereka adalah pahlawan-pahlawan yang berjasa
menentang dan menggagalkan pemberontakan?
Mereka sudah
menerima banyak hadiah berupa pakaian dan uang emas dari pangeran itu, bahkan
kaisar sendiri berkenan menyerahkan Istana Lembah Naga kepada Sin Liong sesudah
mendengar bahwa pendekar itu terlahir di dalam istana itu. Raja Sabutai telah
dihubungi melalui utusan dan raja itu pun tidak membantah pada saat kaisar
menentukan bahwa istana itu diserahkan dan menjadi hak milik yang dilindungi dari
Cia Sin Liong!
Tentu saja
perjalanan yang dilakukan oleh Sin Liong dan Bi Cu kali ini sangat berbeda
dengan perjalanan-perjalanan yang lalu sebagai orang yang dikejar-kejar oleh
kaki tangan Pangeran Ceng Han Houw. Kini mereka berdua melakukan perjalanan
dengan santai dan dengan hati penuh keriangan, karena dalam hati mereka penuh
dengan cinta kasih yang terpancar dari sinar mata mereka yang saling memandang
penuh kelembutan, kata-kata yang penuh kemesraan dan sentuhan-sentuhan yang
menggetar.
Mereka adalah
sepasang kekasih yang saling mencinta, melakukan perjalanan bersama.
Kadang-kadang mereka berlomba dengan kuda mereka dan ada kalanya mereka
berjalan kaki sambil bergandengan tangan, menuntun dua ekor kuda itu di
belakang mereka, dan kalau mereka beristirahat, Bi Cu menyandarkan dadanya di
pundak atau dada Sin Liong.
Akan tetapi,
betapa pun mesra hubungan di antara mereka, dan betapa pun besar cinta kasih
mereka, keduanya selalu menjaga diri sehingga mereka tidak sampai melakukan
pelanggaran di dalam hubungan mereka itu. Sebaliknya, seorang wanita yang sejak
kecil hidup sendiri dan tak malu-malu seperti kebanyakan wanita muda, pernah
dalam keadaan istirahat itu Bi Cu menyatakan terus terang kepada Sin Liong.
"Sin
Liong, kita sudah bertunangan secara resmi, juga direstui oleh ayahmu dan
keluarga Cin-ling-pai."
"Ya,
kita beruntung sekali, Bi Cu," jawab Sin Liong sambil mengelus rambut yang
hitam halus dan panjang itu.
"Dan
kulihat engkau tidak pernah mencoba untuk membujukku, untuk mengajakku... ehh,
menyerahkan diri kepadamu... sungguh pun... hemm, mungkin sekali... ah, tiada
bedanya bagiku, aku merasa bahwa aku telah menjadi milikmu lahir batin.
Mengapa, Sin Liong?"
"Ahh,
kita belum menikah dengan resmi, Bi Cu."
"Hemmm,
aku tahu, akan tetapi... andai kata engkau minta kepadaku dan aku menuruti
permintaanmu, kita melakukan hubungan sebelum menikah, lalu mengapa?"
"Tidak,
hal itu tidak mungkin Bi Cu."
"Mengapa,
Sin Liong? Apakah karena engkau tidak menginginkannya?"
Sin Liong
mendekap kepala itu penuh kasih sayang. "Tentu saja aku ingin
sekali!"
"Kalau
begitu, sama dengan aku. Lalu apa halangannya?"
Bukan main,
kekasihnya ini sungguh seorang gadis yang jujur dan terbuka sekali, tidak
pura-pura!
"Tidak,
Bi Cu, karena aku cinta padamu!"
"Jika
engkau cinta padaku kenapa engkau malah tidak menuntut penyerahan diri
dariku?"
"Ahh,
kekasihku, dewiku, betapa polos dan jujurnya engkau. Engkau percaya sepenuhnya
kepadaku, dan justru karena kepercayaanmu itulah, justru karena cinta kita
itulah, maka aku tidak akan melakukan hal itu, betapa pun besar dorongan gairah
nafsuku! Aku cinta padamu, Bi Cu, dan karena aku cinta padamu, tentulah aku
menghormatimu, tentu aku menjaga namamu, aku tentu akan menjaga dengan nyawaku
agar tidak merendahkanmu, meremehkanmu. Bagaimana pun juga, kita hidup di dalam
belenggu-belenggu peraturan, kesusilaan, dan budaya. Belenggu-belenggu itu
telah menentukan bahwa tak semestinya hubungan itu dilakukan sebelum menikah,
dan siapa melanggarnya, apa lagi wanita, tentu akan dikutuk dan dipandang
rendah! Nah, karena cintaku kepadamu, betapa pun besar keinginan hatiku, maka
harus kujaga agar engkau jangan sampai dikutuk dan dipandang rendah. Aku sayang
kepadamu, aku ingin engkau senang dan hidup bahagia. Kalau aku membujukmu untuk
melakukan hubungan suami isteri, hal itu berarti bahwa aku hanya ingin mencari
senang dan enak sendiri, namun membiarkan engkau yang terancam aib. Mengertikah
engkau, Bi Cu?"
Bi Cu
bergerak perlahan dan membalik, mengangkat muka ke atas dan merangkul leher
kekasihnya. Sin Liong kemudian menunduk dan mereka berciuman sampai napas
mereka terengah-engah dan terpaksa mereka melepaskan ciuman karena sukar untuk
bernapas!
"Sudahlah,
mari kita lanjutkan perjalanan. Kalau begini terus, bisa-bisa aku tidak kuat
dan mata gelap!" Sin Liong mendorong dara itu dengan halus dan mereka pun
bangkit berdiri. Bi Cu tersenyum dan memandang kekasihnya dengan sinar mata
menggoda.
"Kalau
begitu kenapa? Kalau aku rela, siapa peduli?"
"Ihh,
engkau nekat!" Sin Liong tertawa. "Ingat, kebahagiaan itu adalah kita
punya, maka perlu apa kita rusak sendiri? Mengapa kita tidak menahan bersama,
agar kelak sesudah tiba saatnya kita berdua akan lebih dapat
menikmatinya?"
Demikianlah,
dengan dasar cinta kasih yang mendalam, kedua orang muda itu mampu
mempertahankan kemurnian mereka dan mereka tidak sampai menjadi buta oleh nafsu
birahi. Sesungguhnya kasih sayang itu membuat kita menjadi kuat menghadapi apa
pun juga, bahkan kuat pula menghadapi godaan setan berupa nafsu birahi yang
biasanya tak terkalahkan oleh manusia itu!
Pada suatu
hari, setelah mereka sampai di perbatasan Propinsi Ho-nan. Mereka melewati
sebuah hutan yang amat luas. Dari pagi sampai matahari hampir naik menjelang
tengah hari, mereka masih tetap berada di dalam hutan. Tiba-tiba saja mereka
mendengar suara orang-orang bertempur di depan dan mereka lalu membedalkan kuda
mereka menuju ke arah suara hiruk-pikuk itu.
"Bi Cu,
engkau jangan sembarang bergerak, ya?" Sin Liong memesan dan Bi Cu hanya
mengangguk.
Dan
sampailah mereka di tempat pertempuran itu. Kiranya ada banyak orang bertempur.
Sedikitnya terdapat sebelas orang yang berpakaian sebagai piauwsu, yaitu para
pengawal kiriman barang, melawan hampir dua puluh orang-orang yang berpakaian
kasar dan tidak sulit diduga bahwa mereka itu tentu perampok-perampok yang
buas.
Perhatian Bi
Cu segera tertarik pada seorang pemuda yang memainkan sebatang pedang dengan
gagah, melawan kepala perampok yang berambut panjang dan bermuka brewok. Biar
pun pemuda yang kelihatannya seperti melakukan perlawanan mati-matian itu sudah
berusaha mati-matian dan gagah perkasa, namun jelas bahwa dia mulai terdesak
hebat oleh sepasang golok kepala perampok yang amat lihai itu.
Melihat
wajah pemuda itu, Bi Cu amat tertarik dan cepat dia mengerling ke arah gerobak
piauwkiok, dan begitu dia melihat bendera piauwkiok yang berdasar merah dengan
lukisan garuda berwarna kuning, maka terkejutlah dia lantas dia yang sudah
meloncat turun dari atas kudanya itu memegang lengan Sin Liong.
"Dia
itu twako Na Tiong Pek...!"
Kini Sin
Liong juga mengenal ilmu pedang yang dimainkan oleh pemuda tampan gagah itu.
"Benar, dialah itu!"
"Lihat,
itu bendera Ui-eng Piauwkiok! Aku harus membantunya, dia sudah terdesak!"
kata Bi Cu dan dia lalu mengambil sebatang ranting kayu pohon, kemudian dengan
cepat dia sudah meloncat ke depan dan menyerbu ke medan laga sambil berseru
keras.
"Na-twako,
jangan khawatir, minggirlah, biarkan aku menghajar babi hutan ini!"
Tongkat di
tangannya berkelebat dan membentuk segulung sinar hijau yang mengejutkan kepala
perampok itu sehingga dia meloncat ke belakang karena gulungan sinar hijau itu
dapat menembus sinar goloknya dan hampir saja ujung ranting itu menusuk
hidungnya!
Sementara
itu, Na Tiong Pek yang sudah terdesak itu melompat mundur dengan napas
terengah-engah dan dia terkejut serta heran melihat munculnya seorang dara
cantik yang bergerak cepat bukan main seperti burung terbang saja dan tahu-tahu
sudah mendesak kepala perampok itu dengan sebatang ranting di tangan! Ketika
dia melihat wajah dara itu, hampir dia tidak percaya.
"Bi...
Bi Cu...!" Dia tergagap, karena biar pun dara itu wajahnya persis Bi Cu,
akan tetapi mana mungkin Bi Cu dapat memiliki ilmu kepandaian sehebat itu
sehingga hanya dengan sebatang ranting saja mampu menahan sepasang golok di
tangan kepala perampok yang lihai dan yang tadi membuat dia kewalahan?
"Betul,
twako, lekas kau hajar anak-anak babi itu dan biarkan aku merobohkan babi hutan
yang satu ini!" teriak Bi Cu dengan nada suara gembira sekali dapat
berjumpa dengan pemuda ini.
Na Tiong Pek
kembali memandang dengan penuh kagum dan dia menoleh, memandang kepada Sin
Liong yang masih berdiri memegangi dua ekor kuda. Agaknya, pemuda itu datang
bersama Bi Cu, akan tetapi dia tidak tahu siapa pemuda itu.
Maka,
melihat betapa anak buahnya masih dengan gigihnya melawan para perampok, dia
segera berteriak nyaring kemudian mengamuk, menyerang para anak buah perampok
itu, mengeluarkan kegesitan serta seluruh kepandaiannya karena dia ingin
memamerkan ilmu kepandaiannya kepada Bi Cu, lupa bahwa dia tadi hampir kalah
oleh kepala perampok yang kini ditandingi oleh Bi Cu itu.
Ternyata bahwa
dibandingkan dengan teman-temannya, yaitu para piauwsu, kepandaian pemuda she
Na ini memang lebih menonjol. Begitu dia terjun ke dalam pertempuran itu, maka
beberapa orang perampok roboh hingga mereka menjadi kacau-balau dan terdesak
oleh pemuda yang mengamuk seperti seekor harimau marah itu.
Sin Liong
hanya menonton, akan tetapi tentu saja setiap waktu dia siap untuk melindungi
kekasihnya. Dia melihat bahwa gerakan kepala perampok itu hanya dahsyat
dipandang saja, akan tetapi hanya merupakan orang kasar yang mengandalkan
tenaga otot, tidak mempunyai dasar kepandaian berarti sehingga tidak ada yang
perlu dikhawatirkan. Begitu bergebrak, dia tahu bahwa kekasihnya itu tidak akan
kalah.
Dan memang
benar, baru belasan jurus saja Bi Cu yang mempergunakan ilmu Ngo-lian Pang-hoat
yang dipelajarinya dari mendiang Hwa-i Sin-kai, sudah berhasil melecut muka
kepala perampok itu berkali-kali, bahkan paling akhir dia berhasil menusuk
samping mata kiri kepala perampok itu sehingga terobek dan berdarah.
Kepala perampok
itu merasa bahwa dia tidak akan menang, maka dia lalu mengeluarkan seruan keras
kemudian meloncat jauh ke belakang terus melarikan diri, diikuti oleh para anak
buahnya yang sudah mendengar aba-aba lari tadi, sambil menyeret dan membawa
teman-teman mereka yang terluka, memasuki hutan lebat, diikuti oleh suara
tertawa dan sorakan para piauwsu yang merasa gembira memperoleh kemenangan.
Na Tiong Pek
cepat menghampiri Bi Cu dan sejenak mereka berdiri saling berhadapan dan saling
pandang. Melihat betapa sinar mata pemuda tampan itu ditujukan kepadanya dengan
penuh kagum, kekaguman seperti yang dulu sering dia lihat dari tatapan pandang
mata Tiong Pek, tiba-tiba Bi Cu merasa jantungnya berdebar dan kedua pipinya
merah. Apa lagi ketika Tiong Pek berkata,
"Bi
Cu... betapa cantiknya engkau sekarang! Dan betapa hebat kepandaianmu, sungguh
aku merasa kagum bukan main!"
Untuk
mengalihkan rasa jengah dan malu, Bi Cu tersenyum. "Ahhh, engkau masih
sama saja seperti dulu, Na-twako. Mari kau temui dia..."
"Siapa?"
Tiong Pek menoleh dan memandang kepada pemuda yang menuntun dua ekor kuda itu.
"Hei,
lupakah engkau kepadanya? Lihat baik-baik, siapa dia?" Bi Cu berkata lagi
sambil menghampiri Sin Liong, diikuti oleh Tiong Pek.
Kini mereka
berhadapan. Sin Liong tersenyum. "Saudara Na Tiong Pek, lupakah engkau
kepada Sin Liong?"
"Sin
Liong...? Ah, engkaukah ini?" Tiong Pek berseru kaget dan girang. Tak
disangkanya bahwa pemuda itu adalah Sin Liong, anak yang dahulu ditolong oleh
mendiang ayahnya! "Ahh, bagaimana kalian dapat datang bersama? Di manakah
saja engkau tinggal selama ini, Bi Cu? Dan bagaimana bisa bersama-sama Sin
Liong berjumpa denganku di sini?" Bertubi-tubi pertanyaan itu diajukan
kepada Bi Cu.
"Kami...
hanya kebetulan saja bertemu dan kami berdua sedang mengadakan perjalanan
bersama menuju ke Ho-nan, ke kota Su-couw."
"Aih,
tidak pernah aku bermimpi kalau akan dapat bertemu denganmu di sini, Bi Cu. Dan
kepandaianmu demikian hebat! Dari mana engkau mempelajari ilmu tongkat yang
begitu lihai? Sungguh lucu sekali, begitu bertemu, malah engkau yang
menyelamatkan aku! Haii, teman-teman, lihatlah baik-baik, nona penolong kita
ini tidak lain adalah sumoi-ku sendiri! Kalau tidak ada dia yang lihai, mungkin
barang-barang kita terampas dan kita belum tentu selamat!" Semua piauwsu
memandang dengan kagum.
"Ahh,
sudahlah jangan banyak sungkan, twako."
"Kita
bukan suheng dan sumoi lagi!"
"Terserah,
akan tetapi karena aku sudah menjadi murid orang lain, maka biarlah kusebut
engkau Na-twako saja. Bagaimana keadaanmu selama ini, twako? Apakah engkau
sudah berumah tangga?"
Tiong Pek
menggelengkan kepalanya dan dia pun tertawa, ketawanya polos dan Sin Liong
dapat melihat bahwa biar pun pemuda ini masih mempunyai sifat sombong, akan
tetapi kini sudah berubah dan lebih jujur.
"Sesudah
ditolak olehmu, aku jera untuk mencari jodoh, takut ditolak lagi. Pula, di mana
mencari orang yang melebihimu?"
"Aihh,
jangan bergurau, twako!" Bi Cu berkata dan mukanya berubah merah lagi.
"Siapa
bergurau? Coba tanya Sin Liong ini! Betul tidak ucapanku tadi, Sin Liong? Mana
ada gadis melebihi dia ini? Ehhh, dan kau sendiri bagaimana, Sin Liong? Apakah
engkau sudah memperoleh jodoh?"
Sin Liong
memandang wajah Bi Cu dan melihat dara itu kelihatan malu sekali, Sin Liong
menjawab lirih, "Belum."
"Ha-ha-ha,
kita masih sama seperti dulu! Kalau kuingat betapa kita bertiga melawan para
penyerbu itu. Ah... sungguh malang ayah dan ibuku... ehh, kau dibawa pergi
wanita sakti itu, lalu apa yang terjadi, Sin Liong?"
"Aku
hanya merantau ke segala tempat sampai... kebetulan bertemu dengan Bi Cu dan
kami lewat di sini, kebetulan bertemu denganmu."
"Kita
harus merayakan pertemuan kita! Akan tetapi di hutan begini bagaimana kita bisa
merayakannya? Hayo kalian mampir dahulu di rumahku, aku masih tinggal di
Kun-ting, di rumah yang dulu. Sumoi... ehh, Bi Cu, tidak maukah engkau singgah
di rumahku lagi?"
"Tentu
saja twako, akan tetapi, aku ada urusan penting sekali, harus pergi ke Su-couw,
nanti kalau aku kembali dari selatan, tentu aku mau mampir..."
"Ke
Su-couw? Kau sendiri, atau bersama Sin Liong?"
"Kami
berdua ke Su-couw..."
"Kalau
begitu, aku akan mengantarmu. Ada urusan apa, Bi Cu? Biar kubantu engkau!"
Tiong Pek menawarkan jasanya.
Akan tetapi
sebelum mereka melanjutkan percakapan itu, tiba-tiba terdengar derap kaki kuda
kemudian muncullah seorang tosu yang menunggang kuda. Pakaiannya bagai tosu,
rambutnya pun seperti tosu, akan tetapi sikapnya seperti perampok ganas!
Pria itu
berusia kurang lebih lima puluh tahun, biar pun jenggot dan kumisnya
terpelihara rapi, akan tetapi sepasang matanya melotot liar dan sikapnya kasar.
Di belakang tosu ini nampak kepala perampok yang sebelah matanya masih terluka
dan kini dibalut sehingga nampak lucu sekali.
Sekali lihat
saja, mengertilah Bi Cu bahwa agaknya tosu ini merupakan teman si kepala
perampok, maka dia sudah bangkit dan memandang kepada kepala perampok tadi
sambil mengejek.
"Eh,
babi hutan mata satu berani datang lagi? Apakah masih kurang merasakan gebukan
dan minta lagi?"
Kini tosu
itu sudah meloncat turun dari atas kudanya dan melihat caranya meloncat, Sin
Liong maklum bahwa tosu ini mempunyai kepandaian yang lumayan. Tosu itu memegang
sebatang tongkat panjang dan dengan berdiri tegak dia membentak,
"Siapa
berani melukai muridku?!"
Na Tiong Pek
mengkhawatirkan keselamatan Bi Cu, maka dengan pedang di tangan dia sudah
meloncat ke depan sambil memaki, "Tosu busuk, kau membela perampok?!"
Dan pedangnya sudah menyerang dengan gencar ke arah tubuh tosu itu.
Terdengar
suara nyaring berkali-kali pada saat tongkat itu menangkis pedang, kemudian
tiba-tiba tosu itu membentak nyaring dan tongkatnya kini balas menyerang dan Na
Tiong Pek menjadi sibuk sekali, harus berloncatan ke sana-sini sambil
menangkis, dan akhirnya kaki kanannya kena diserampang.
"Tukkk!"
Dia
terguling roboh karena tulang keringnya kena dipukul dan pada saat itu pula
tongkat panjang sudah menyambar lagi ke arah kepala Tiong Pek.
"Takkk!"
Tongkat
panjang itu tertangkis oleh ranting di tangan Bi Cu. Kakek itu lantas memandang
dengan penuh perhatian.
"Minggirlah,
twako," kata Bi Cu, kemudian Tiong Pek menyeret pedang sambil
terpincang-pincang mendekati Sin Liong.
"Tosu
kerbau itu lihai juga...," dia mengomel.
Namun Sin
Liong tak mempedulikannya karena dia sedang mengkhawatirkan kekasihnya yang
harus menghadapi tosu yang dia tahu memiliki kepandaian lumayan itu. Akan
tetapi dia pun maklum akan kekerasan hati Bi Cu, dan karena itu dia tidak mau
membantu atau menggantikannya karena hal itu akan menyinggung hati Bi Cu. Dia
hanya siap-siap untuk melindungi kekasihnya itu kalau perlu dan diam-diam
mempergunakan jari-jari tangannya meraba dan memainkan beberapa buah batu
kerikil.
Sesudah
memandang wanita muda yang memegang ranting pohon itu, si tosu menjadi terkejut
dan terheran-heran. "Inikah dia dara yang mengalahkan kamu?" tanyanya
kepada kepala perampok brewok itu.
"Betul,
suhu, akan tetapi dia curang, dia menusuk mata!"
"Heh-heh-heh,
memang cantiknya bisa menusuk mata. Eh, nona, engkau telah kesalahan tangan
melukai mata muridku, maka kalau engkau mau ikut dengan pinto, menjadi murid
pinto selama satu bulan, pinto mau mengampunimu. Marilah pergi bersama pinto,
sayang kalau sampai kulitmu yang halus itu luka oleh tongkatku."
"Heh,
tosu busuk, tosu cabul, mulutmu kotor! Belum tentu engkau sanggup mengalahkan
dia!" Na Tiong Pek sudah memaki-maki dengan marah mendengar ucapan tosu
itu.
Akan tetapi
Bi Cu tidak mau melayani tosu itu, langsung saja dia sudah menerjang dan
menggunakan ranting pada tangannya untuk menyerang dengan totokan-totokan ke
arah jalan darah yang berbahaya.
"Ehh,
kau hebat juga!" Tosu itu berseru kaget dan cepat mengelak sambil
menggerakkan tongkatnya menangkis.
Akan tetapi
Bi Cu tidak memberi kesempatan kepadanya dan terus saja dara ini mainkan ilmu
tongkatnya yang sangat lincah. Semenjak dia menerima petunjuk-petunjuk dari Sin
Liong memang dia memperoleh kemajuan pesat, terutama sekali kekuatan sinkang
dan kecepatan gerakan tubuhnya.
Akan tetapi,
tepat seperti dugaan Sin Liong, tosu itu memang sangat tangguh. Sesudah
bertanding selama tiga puluh jurus lebih, mendadak tosu itu menangkis dengan
keras dan membuat Bi Cu terdorong ke belakang, lalu tosu itu membentak.
"Hei,
bukankah engkau mainkan Ngo-lian Pang-hoat? Masih apamukah mendiang Hwa-i
Sin-kai?"
"Beliau
adalah guruku! Kau mau apa?"
"Ha-ha-ha-ha!"
Tosu itu tertawa bergelak. "Kalau begitu, semestinya kalau aku bersikap
lunak kepadamu. Bahkan andai kata dia masih hidup, tentu pinto akan mengalah.
Akan tetapi dia sudah mati, dan engkau begini cantik, kau jadilah muridku
selama sebulan..."
"Tosu
busuk!" Bi Cu sudah menerjang lagi.
Akan tetapi
sekali ini tosu itu memutar tongkatnya yang panjang, membentuk gulungan sinar
yang lebar dan begitu Bi Cu bertemu dengan gulungan sinar ini, dia terhuyung ke
belakang dan nyaris dia roboh kalau saja tidak cepat meloncat dan berjungkir
balik. Akan tetapi pada saat itu, tangan yang berlengan panjang dari tosu itu menyambar
lengannya dalam cengkeraman yang amat kuat.
Selagi Bi Cu
terkejut, tiba-tiba tosu itu berteriak kesakitan dan melepaskan lengan Bi Cu.
Tiba-tiba saja, ketika dia tadi memegang lengan dara itu, sikunya dihantam oleh
benda kecil, entah apa dan tiba-tiba saja, lengannya menjadi kesemutan dan
lumpuh!
Melihat
bahwa tidak ada apa-apa, dia mengira bahwa hal itu kebetulan saja, maka dia
sudah memutar lagi tongkat panjangnya dan hendak menyerang Bi Cu. Akan tetapi
pada saat itu terdengar bentakan yang amat nyaring,
"Tahan
senjata! Di mana ada seorang pendeta suci menyerang seorang gadis remaja?"
Maka
muncullah seorang pemuda yang bertubuh tinggi besar dan sedemikian gagahnya
sehingga mengagumkan Na Tiong Pek yang memandangnya. Bi Cu mengenal pemuda itu,
sungguh pun hanya sekelebatan saja ketika pemuda ini ikut pula mengamuk di
Istana Lembah Naga. Juga Sin Liong mengenalnya, karena pemuda itu bukan lain
adalah Ciu Khai Sun, pemuda tinggi tegap, gagah dan tampan dari Siauw-lim-pai
itu! Akan tetapi Ciu Khai Sun tidak memperhatikan dara itu, dan juga tidak
melihat Sin Liong karena semua perhatiannya ditujukan ke arah tosu itu.
Tosu itu
menyangka bahwa tentu pemuda ini yang tadi berlaku usil sehingga membuat
pegangannya terlepas, maka dia lalu membentak marah, "Manusia lancang!
Berani kau mencampuri urusan pinto?" Kemudian tanpa banyak cakap lagi dia
sudah menggerakkan tongkat panjangnya menyerang pemuda itu!
Akan tetapi
sekali ini tosu itu kecelik karena dia bertemu dengan batu karang! Melihat
gerakan tongkat panjang itu, jagoan Siauw-lim-pai ini menghadapinya dengan dua
tangan kosong saja!
Perlu
diketahui bahwa sebagian besar ahli-ahli silat dari Siauw-lim-pai pandai
memainkan toya, maka melihat gerakan tongkat itu Ciu Khai Sun maklum bahwa
meski pun tosu ini memiliki kepandaian lumayan, namun ilmu tongkat itu belum
cukup hebat untuk membuat dia terpaksa mencabut senjata! Dan memang pemuda
tinggi tegap ini memiliki tenaga sinkang yang kuat, maka dengan mengerahkan
tenaga sinkang, dia berani menggunakan dua lengannya untuk menangkis tongkat
lawan dan setiap tangkisannya bahkan membuat lawan itu merasa telapak tangannya
panas dan nyeri!
Terkejutlah
tosu itu. Tidak disangkanya bahwa di tempat ini dia bertemu dengan seorang
tokoh Siauw-lim-pai yang begini tangguh! Bertempur belasan jurus saja sudah
membuka matanya bahwa yang dilawannya ini adalah seorang tokoh Siauw-lim-pai,
maka gentarlah tosu itu. Dia menyerang secara membabi-buta, akan tetapi setelah
lewat tiga puluh jurus, tiba-tiba Ciu Khai Sun mengeluarkan bentakan nyaring,
tangan kirinya menangkis tongkat itu dengan keras dan tangan kanannya
menghantam ke depan.
"Krakkk!
Bukk...!"
Tubuh tosu
itu terlempar sampai dua meter dan roboh terbanting ke atas tanah dengan napas
megap-megap karena dadanya terasa sesak. Melihat itu, kepala perampok brewok
itu cepat menyambar tubuh gurunya lantas melarikan diri dengan membalapkan
kudanya. Cui Khai Sun tidak mengejar dan Na Tiong Pek sudah berlari menghampiri
dan menjura dengan penuh hormat.
"Bukan
main hebat kepandaian enghiong yang perkasa!" Dia memuji. "Saya akan
merasa terhormat sekali berkenalan dengan enghiong. Saya Na Tiong Pek, kepala piauwsu
dari Ui-eng Piauwkiok di Kun-ting."
Ciu Khai Sun
membalas penghormatan itu dengan sederhana. "Aku Cui Khai Sun. Ehh,
Na-piauwsu, apa yang terjadi di sini? Siapakah tosu tadi dan siapa pula orang
brewok tadi?"
"Mereka
itu perampok-perampok jahat! Mula-mula si brewok itu memimpin anak buahnya
merampok kami, dan kemudian sesudah semua perampok itu dipukul mundur,
muncullah guru si brewok, yaitu tosu tadi. Untung engkau muncul, Ciu-enghiong
dan ternyata engkau adalah seorang pendekar yang jempol!"
Pada saat
itu, Sin Liong dan Bi Cu datang mendekat. Ciu Khai Sun menoleh dan begitu
melihat dua orang muda itu, dia terkejut sekali dan cepat-cepat dia menghadapi
Sin Liong dan Bi Cu sambil menjura penuh hormat.
"Aihh,
kiranya Cia-taihiap berada di sini? Dan yang bertanding dengan tosu tadi adalah
Bhe-lihiap? Ahh, kalau begitu aku telah lancang sekali..."
"Engkau
telah menyelamatkan aku, Ciu-enghiong..."
"Ehhh,
jangan membuat aku merasa malu, nona. Jangan menyebut enghiong, sungguh
membikin aku merasa malu di depan Cia-taihiap."
"Baiklah,
di antara orang sendiri, biarlah kusebut engkau Ciu-twako saja!" kata Bi
Cu yang merasa suka melihat sikap yang begitu jujur serta sederhana dari jagoan
Siauw-lim-pai yang lihai ini.
Mereka semua
tertawa dan Na Tiong Pek merasa amat heran sampai bengong. Apa lagi mendengar
betapa pendekar yang gagah itu menyebut Sin Liong dengan Cia-taihiap...! Tentu
saja dia menjadi bingung dan tidak mengerti sama sekali.
"Ciu-twako
hendak pergi ke manakah?" Sin Liong bertanya ramah.
"Aku
sedang menuju ke rumah pamanku di Su-couw."
"Su-couw?
Ahh, sungguh kebetulan, kami berdua pun hendak pergi ke Su-couw," kata Sin
Liong girang.
"Begitulah?
Aku sudah merasa heran berjumpa dengan ji-wi di sini, tidakkah semestinya ji-wi
pergi ke utara, ke Lembah Naga? Bukankah aku mendengar bahwa kaisar..."
"Tidak,
kami masih memiliki banyak urusan dan kini hendak pergi ke Su-couw," kata
Sin Liong memotong ucapan itu. Melihat sikap pendekar ini agaknya tak suka
membicarakan urusan Lembah Naga, maka jagoan Siauw-lim-pai itu pun tidak mau
menyebutnya lagi.
"Kalau
begitu, kebetulan sekali, kita bisa melakukan perjalanan bersama-sama!"
katanya dengan girang, "Kita dapat pergi bertiga..."
"Berempat,
Ciu-enghiong. Aku pun akan pergi ke sana! Sekarang juga aku akan mengatur semua
piauwsu untuk mengantar barang-barang ini sampai ke tempat tujuan yang sudah
tidak jauh lagi dan aku akan ikut bersama kalian ke Su-couw. Ketahuilah,
Ciu-enghiong, aku baru saja berjumpa kembali dengan dua orang... ehh, sute dan
sumoi-ku ini setelah kami berpisah selama bertahun-tahun."
"Ahhhh...!"
Ciu Khi Sun tentu saja sangat terkejut mendengar bahwa pemuda tampan ini adalah
suheng dari Cia Sin Liong yang sakti dan nona Bhe Bi Cu. "Tentu
saja...," katanya dengan pandang mata terheran-heran.
Sin Liong
dan Bi Cu tidak berkata apa-apa dan sesudah Tiong Pek membagi-bagi tugas kepada
para piauwsu yang menjadi anak-anak buahnya untuk melanjutkan perjalanan ke
tempat tujuan, dia kemudian memberikan seekor kuda kepada Ciu Khai Sun dan
mereka berempat lalu melanjutkan perjalanan menuju ke selatan.
Sesudah
keluar dari hutan, mereka berjalan seenaknya saja sambil menikmati keindahan
pemandangan di sekitar pegunungan itu. Pemandangan alam di daerah perbatasan
utara Propinsi Honan memang amatlah indahnya.
Pada tengah
hari itu mereka berhenti di tepi sebuah danau kecil di lereng gunung untuk
makan siang dari perbekalan masing-masing sambil mengobrol ke barat dan ke
timur. Sesudah memberi waktu kepada kuda mereka untuk beristirahat sejenak,
barulah mereka melanjutkan perjalanan.
Akan tetapi,
menjelang senja, tiba-tiba mereka mendengar derap kaki kuda dan nampak ada tiga
penunggang kuda mengejar mereka. Tadinya mereka tidak menaruh perhatian, akan
tetapi sesudah mereka mendengar teriakan-teriakan dari belakang, Na Tiong Pek
mengenal bahwa seorang di antara mereka adalah si perampok brewok bersama dua
orang yang membalapkan kuda mereka. Jelaslah bahwa tiga orang itu mengejar
mereka berempat!
"Wah,
si babi hutan mata satu itu lagi!" kata Na Tiong Pek gembira, menirukan
julukan yang diberikan oleh Bi Cu kepada kepala perampok yang terluka sebelah
matanya.
Hatinya
sedikit pun tidak merasa khawatir karena di sana terdapat Ciu Khai Sun yang
gagah perkasa dan berkepandaian tinggi, juga tokoh Siauw-lim-pai pula seperti
yang tadi didengarnya dari percakapan mereka. Selain ada Ciu Khai Sun, juga di
situ ada Bi Cu yang sekarang ternyata sudah lebih lihai dari pada dia sendiri.
Mengenai diri Sin Liong, dia meragukan apakah pemuda ini pun memperoleh
kemajuan seperti Bi Cu!
Empat orang
muda itu menahan kuda, lalu membalikkan kuda mereka menghadapi tiga orang yang
datang dengan cepat itu. Ternyata mereka itu adalah si kepala perampok yang
mata kirinya tertutup balutan kain bersama dua orang kakek, akan tetapi bukan
tosu yang menjadi gurunya dan yang telah dikalahkan oleh Khai Sun tadi.
Mereka ini
juga dua kakek tua, dan seorang di antara mereka berpakaian seperti tosu,
mukanya putih dan matanya memandang bengis, pada punggungnya terdapat sebatang
pedang panjang. Orang ke dua berpakaian mirip seperti seorang pengemis, membawa
sebatang tongkat dan tubuhnya tinggi kurus, mukanya penuh senyum.
"Hemm,
mereka itu adalah Kim Lok Cinjin dan Lam-thian Kai-ong," Sin Liong berkata
lirih akan tetapi cukup dapat didengar oleh tiga orang temannya.
"Ahh!
Mereka yang terkenal sebagai datuk-datuk kaum sesat di selatan itu?" Ciu
Khai Sun berkata dengan nada suara kaget.
Walau pun
dia sendiri belum pernah berjumpa dengan dua orang itu, namun nama besar mereka
sudah pernah didengarnya. Kim Lok Cinjin, tosu muka putih itu adalah sute dari
mendiang Kim Hwa Cinjin ketua Pek-lian-kauw yang dulu tewas di tangan Cia Bun
Houw ketika terjadi pertempuran di Lembah Naga. Ada pun Lam-thian Kai-ong (Raja
Pengemis Dunia Selatan) adalah seorang pengemis yang memiliki ilmu tinggi dan
yang menguasai seluruh kaipang (perkumpulan pengemis) di seluruh daerah
selatan.
"Bi Cu,
harap engkau diam saja dan jangan ikut maju," tiba-tiba Sin Liong berkata
kepada kekasihnya.
"Tapi,
Sin Liong...," Bi Cu hendak membantah.
"Mereka
itu lihai bukan main, dan juga kejam," kata pula Sin Liong memotong
kata-kata kekasihnya.
"Cia-taihiap,
biarlah jembel tua itu kuhadapi dan Kim Lok Cinjin yang kabarnya luar biasa
lihainya itu taihiap yang menandinginya."
"Ciu-twako,
kuharap twako sekali ini menonton saja, biar aku yang menghadapi mereka
berdua," jawab Sin Liong yang maklum akan bahayanya dua orang lawan itu
dan biar pun dia tahu akan kelihaian pemuda Siauw-lim-pai ini namun dia
khawatir kalau-kalau pemuda itu akan celaka.
Na Tiong Pek
mendengarkan percakapan itu dengan heran hingga dia melongo. Sin Liong hendak
menghadapi lawan yang dikabarkan sangat lihai itu seorang diri saja, menghadapi
mereka berdua? Apa artinya ini? Dia merasa tak enak melihat semua orang
mengajukan diri untuk menghadapi musuh, maka dia pun berkata, "Sute, aku
akan membantumu!"
Sin Liong
tersenyum. "Na-twako jangan main-main. Mereka adalah datuk-datuk golongan
sesat yang lihai, biarlah kau nonton saja dan siap membantuku jika aku sampai
terancam bahaya." Kalimat terakhir itu dimaksudkan untuk mengangkat orang
ini.
Akan tetapi
Tiong Pek yang belum tahu benar bahwa Sin Liong kini telah menjadi seorang yang
memiliki kepandaian luar biasa tingginya, bahkan yang kini terkenal dengan
sebutan Pendekar Lembah Naga, segera menjawab dengan sungguh-sungguh.
"Baik!"
Kini tiga
orang itu sudah tiba di situ dan mereka sudah berloncatan turun dengan sikap
mengancam. Melihat ini, Sin Liong menyerahkan kendali kudanya kepada Tiong Pek
yang berada di sebelah kirinya sambil berkata, "Twako, tolong kau
pegangkan kendali kudaku sebentar." Setelah berkata demikian, dia pun lalu
turun dari kudanya dan melangkah ke depan menyambut dua orang kakek itu dengan
sikap tenang.
"Kim
Lok Cinjin dan Lam-thian Kai-ong, apakah ji-wi baik-baik saja? Dan ada
keperluan apakah ji-wi mengejar kami?" tanya Sin Liong dengan suara
tenang.
Dua orang
kakek itu yang tadinya memandang ke arah Ciu Khai Sun yang ditunjuk oleh si
kepala rampok sebagai orang yang telah mengalahkan gurunya dan kepada Bi Cu
sebagai gadis yang telah melukainya, kini terkejut hingga memandang kepada Sin
Liong dengan heran. Tidak disangkanya begitu berjumpa, pemuda sederhana ini
telah mengenal nama mereka.
Sekarang
mereka mengamati pemuda itu dengan penuh perhatian. Kemudian mereka pun
mengenal pemuda ini sehingga Kim Lok Cinjin berseru kaget, "Kau... kau
adalah... adalah bocah bernama Sin Liong itu...?"
Tentu saja
Kim Lok Cinjin terkejut karena dia pernah bertemu, bahkan pernah bergebrak
dengan pemuda ini pada waktu diadakan pemilihan bengcu di selatan, bahkan
Lam-thian Kai-ong juga hadir dan sudah menyaksikan kelihaian anak itu ketika
menghadapi Lam-hai Sam-lo!
"Ahh,
kalau begitu dia inilah yang menggagalkan gerakan di Istana Lembah Naga!"
teriak pula Lam-thian Kai-ong.
Kiranya dua
orang ini pun telah dihubungi oleh Kim Hwa Cinjin untuk membantu gerakan
Pangeran Ceng Han Houw, akan tetapi mereka terlambat dan mereka mendengar bahwa
gerakan itu sudah gagal sama sekali, banyak orang kang-ouw golongan hitam tewas
dan pasukan Pangeran Ceng Han Houw ditumpas oleh pasukan pemerintah. Kaum
kang-ouw golongan hitam atau sesat yang sudah dibebaskan itu mengabarkan bahwa
kegagalan itu adalah gara-gara Cia Sin Liong!
"Kim
Lok Cinjin, suheng-mu telah tewas, demikian pula Lam-hai Sam-lo dan banyak lagi
kaum sesat yang membantu pemberontakan. Pemberontakan telah ditumpas, oleh
karena itu, sebaiknya kalau engkau pergi dan membujuk para anggota
Pek-lian-kauw agar jangan mencoba-coba untuk memberontak terhadap pemerintah.
Dan engkau, Lam-thian Kai-ong, apakah engkau pun hendak membawa kaum pengemis
untuk memberontak pula?"
"Mengapa
tidak? Kaum pengemis di kota raja kini dikejar-kejar, dan Hwa-i Sin-kai juga
dibunuh. Bukankah pemerintah menindas kaum pengemis yang sudah sukar
hidupnya?" kata Lam-thian Kai-ong. "Bohong!" tiba-tiba Bi Cu
berteriak, "Hwa-i Sin-kai adalah guruku dan aku tahu bahwa dia tewas
akibat difitnah, karena semua itu diatur oleh Kim Hong Liu-nio yang sekarang
telah tewas pula! Pemerintah tidak pernah memusuhi rakyatnya, apa lagi rakyat
miskin."
"Sudahlah,
sebaiknya kalian mundur saja sebelum terlambat. Masih banyak kesempatan bagi
kalian untuk kembali ke jalan benar!"
"Cia
Sin Liong! Pinto mendengar bahwa engkau adalah keturunan Cin-ling-pai dan bahwa
ilmu kepandaianmu hebat bukan main. Dahulu di dalam pemilihan bengcu kita tak
sempat mengadu ilmu secara memuaskan, sekarang pinto ingin mencoba-coba ilmumu
sebelum mendengarkan bujukanmu itu!" kata Kim Lok Cinjin.
"Aku
pun ingin mencoba kepandaian orang yang dijuluki Pendekar Lembah Naga!"
kata pula si Raja Pengemis.
Sin Liong
tersenyum. "Kalian ini orang-orang tua masih saja memiliki nafsu besar
untuk berkelahi. Biarlah aku mengaku kalah tanpa berkelahi, asalkan kalian suka
mundur dan kembali ke jalan benar," kata Sin Liong sambil menjura.
Melihat ini,
Na Tiong Pek mengerutkan alisnya. Tadi dia merasa semakin heran sampai
memandang dengan mata terbelalak mendengar percakapan itu. Tak disangkanya
bahwa Sin Liong sudah mendapatkan kemajuan sedemikian hebatnya sehingga dikenal
sebagai seorang pendekar yang sakti. Pantas saja Ciu Khai Sun menyebutnya
Cia-taihiap!
Akan tetapi
ketika mendengar dan melihat sikap Sin Liong yang mengalah itu, sungguh dia
merasa penasaran sekali. Kalau memang benar Sin Liong memiliki kepandaian
tinggi, kenapa dia tidak menyambut tantangan dua orang kakek sesat itu?
Kim Lok
Cinjin masih merasa sakit hatinya mendengar akan kematian suheng-nya, yaitu Kim
Hwa Cinjin, yang menurut berita tewas di tangan Cia Bun Houw, tokoh
Cin-ling-pai atau ayah dari pemuda yang sekarang berdiri di depannya itu.
Sebagai seorang tua yang banyak pengalaman, dia tentu tidak akan mau menimpakan
dendamnya kepada pemuda ini, akan tetapi karena kegagalan gerakan pangeran itu
dikabarkan karena pemuda ini, maka dia ingin melampiaskan rasa kecewanya dengan
menghinanya.
"Cia
Sin Liong, apa bila engkau mau berlutut sambil minta ampun sebanyak delapan
kali padaku, baru pinto akan menghabiskan segala urusan dan akan pergi
meninggalkanmu."
Sin Liong
masih tetap tenang, akan tetapi kedua matanya mencorong tanda bahwa dia mulai
marah. "Kim Lok Cinjin, bagi seorang gagah, kalau memang bersalah, tanpa
diminta lagi tentu aku akan suka untuk berlutut minta ampun kepada seorang anak
kecil sekali pun, akan tetapi kalau tidak bersalah, biar menghadapi siapa pun,
biar setan atau iblis, aku tidak akan sudi berlutut dan mengalah!"
"Bagus!
Itu artinya menantang kami!" kata Si Raja Pengemis yang sudah menggerakkan
tongkatnya melakukan penyerangan yang sangat cepat dan ganas. Kim Lok Cinjin
yang pernah menyaksikan kelihaian Sin Liong, tidak malu-malu lagi untuk
membantu temannya itu dan dia juga mencabut pedang dan menubruk, melakukan
serangan kilat ke arah Sin Liong.
Sin Liong
cepat mengelak sambil berloncatan ke sana-sini. "Hem, kalian memang sudah
tidak dapat diperbaiki lagi," katanya dan dia pun lalu balas menyerang
dengan tamparan-tamparan tangannya.
Tongkat
butut di tangan Raja Pengemis itu menyambar ganas, akan tetapi hanya dengan
miringkan kepalanya, tongkat itu lewat dan luput.
"Darrr!"
Batu besar di belakang Sin Liong yang terkena pukulan tongkat itu pecah!
"Singgg...!"
Sinar kilat
pedang di tangan Kim Lok Cinjin menyambar, tetapi kembali serangan dahsyat ini
dapat dielakkan oleh Sin Liong dengan mudah. Dua orang kakek itu menjadi
semakin marah dan penasaran, mereka segera memutar senjata mereka dengan cepat
sehingga lenyap bentuk pedang dan tongkat itu, berubah menjadi dua gulungan
cahaya hitam dan cahaya keemasan yang amat cepat menyambar-nyambar. Tubuh kedua
orang kakek itu sampai lenyap tertutup gulungan sinar senjata mereka, hanya
nampak kaki mereka saja kadang-kadang menginjak tanah dan berloncatan ke
sana-sini.
Akan tetapi
dengan tenangnya Sin Liong menghadapi pengeroyokan itu. Dengan langkah-langkah
Thai-kek Sin-kun dia dapat menghindarkan setiap serangan, dan kedua lengan yang
dipenuhi tenaga sinkang dari Thian-te Sin-ciang itu, seperti juga kedua lengan
Kok Beng Lama dahulu, dapat digunakannya untuk menangkis tongkat dan bahkan
menangkis pedang tanpa terluka!
Melihat
betapa pemuda itu yang bergerak tenang dikeroyok oleh kedua orang kakek yang
demikian lihainya, Na Tiong Pek menjadi gelisah sekali. "Ciu-enghiong,
mengapa engkau tidak membantunya? Sumoi... lebih baik engkau cepat membantu Sin
Liong... dua orang lawannya demikian ganas...!"
"Na-twako,
jangan khawatir, Sin Liong tidak akan kalah."
"Saudara
Na, apakah engkau tak dapat melihat betapa Cia-taihiap sudah mulai mendesak
mereka?"
Mendengar
kata-kata kedua orang itu, Tiong Pek membelalakkan mata dan memandang dengan
penuh perhatian ke arah pertempuran, akan tetapi gerakan dua orang kakek itu
terlalu cepat sehingga dia tidak mampu mengikuti dan sama sekali tidak dapat
melihat bagaimana keadaan Sin Liong yang kini juga mulai bergerak dengan cepat
bukan main. Maka, tentu saja ucapan dua orang tadi tidak dapat melenyapkan
kekhawatirannya. Dia lalu mencabut pedangnya. Melihat ini, Bi Cu terkejut.
"Ehh,
twako, kau mau apa?"
"Mau...
ini... mau meminjamkan pedangku kepada Sin Liong. Dua orang lawannya juga
menggunakan senjata, maka dia harus menggunakan pedang ini... agar tidak
kalah..."
Akan tetapi
pada saat itu pula terdengar teriakan keras dan nampak olehnya betapa tubuh
Lam-thian Kai-ong terlempar dan terbanting ke atas tanah, tongkatnya patah
menjadi dua, dan selagi Na Tiong Pek memandang dengan mata terbelalak,
terdengar teriakan lain dan tubuh Kim Lok Cinjin juga terlempar dan terbanting
roboh! Dua orang kakek itu mengeluh, lalu merangkak bangun dan dengan saling
bantu mereka berdua lalu bangkit berdiri dan memandang kepada Sin Liong.
"Cia-taihiap,
pinto mengaku kalah...," kata tosu itu.
"Taihiap
sungguh hebat, pantas menjadi Pendekar Lembah Naga... uhh... saya mengaku
kalah...," Si Raja Pengemis juga mengeluh. Keduanya lalu dibantu oleh
kepala perampok brewok menaiki kuda masing-masing dan mereka bertiga kemudian
pergi dari situ tanpa menoleh lagi.
Tiong Pek
menyimpan kembali pedangnya, kemudian dia berlari menghampiri Sin Liong,
memegang tangan pendekar itu dan berkata, "Ah, sungguh tak pernah
kusangka! Engkau telah menjadi seorang pendekar yang demikian lihai... ahh,
sute... hemm, tak pantas lagi aku menyebutmu sute... kau...
Cia-taihiap..."
Sin Liong
tertawa dan memegang pundak Tiong Pek. "Twako, kenapa engkau mendadak
begini sungkan? Aku masih tetap Sin Liong yang biasa. Kepandaian apa pun tidak
boleh merubah seorang manusia."
Na Tiong Pek
makin gembira dan diam-diam dia merasa malu terhadap diri sendiri yang biasanya
suka mengagulkan diri sendiri. "Ahh, Sin Liong... benar-benar aku tidak
pernah membayangkan engkau menjadi sehebat ini!"
Ciu Khai Sun
juga menghampiri dan menyerahkan kendali kuda Sin Liong dan Tiong Pek yang tadi
dipegangnya ketika Tiong Pek menghampiri Sin Liong dengan girang sehingga
melepaskan tali kendali dua ekor kuda itu.
"Mari
kita lanjutkan perjalanan, sebentar lagi malam akan tiba dan sebaiknya kalau
kita sudah tiba di dusun depan untuk bermalam," kata Ciu Khai Sun.
Mereka
melanjutkan perjalanan dan membalapkan kuda masing-masing. Pada malam itu
mereka bermalam di sebuah dusun di mana mereka mengobrol sambil makan malam di
rumah seorang penghuni dusun yang mereka tumpangi dan mereka sewa kamarnya. Di
dalam percakapan ini, tanpa disengaja Ciu Khai Sun bertanya kepada Sin Liong,
"Maaf,
taihiap dan nona Bhe, kalau boleh aku mengetahui, setelah kita menjadi sahabat
baik, ehhh... kapan kiranya aku menerima surat undangan untuk pernikahan
ji-wi?"
Wajah Bi Cu
menjadi merah dan dia menundukkan mukanya. Sin Liong tersenyum dan menjawab
singkat. "Kalau sudah tiba saatnya kami tak akan melupakanmu,
Ciu-twako."
Mendengar
ini, Na Tiong Pek meloncat bangun dan wajahnya berseri-seri gembira. "Wah,
kalian akan menikah? Ahaiii.... alangkah bodohnya aku! Seperti buta saja!
Kiranya kalian sudah saling berjodoh dan bertunangan?"
Melihat
sikap ini, sejenak Sin Liong dan Bi Cu saling pandang. Mula-mula mereka merasa
khawatir, akan tetapi melihat betapa Tiong Pek benar-benar bergembira, keduanya
lantas tersenyum lega.
"Na-twako,
kami... kami berdua saling mencinta..." pengakuan Bi Cu ini untuk
menyatakan bahwa pertunangannya dengan Sin Liong adalah berdasarkan cinta dan
minta agar bekas suheng-nya itu suka memakluminya.
"Tentu
saja! Aku memang setuju sekali bahwa setiap perjodohan harus berdasarkan cinta
kedua fihak, barulah dapat diharapkan pernikahan itu akan berbahagia. Kionghi
(selamat), Sin Liong dan Bi Cu. Kionghi dan jangan lupa kelak untuk mengirim
undangan untuk aku ikut minum arak pengantin!"
Melihat
betapa kegembiraan pemuda itu tulus, Sin Liong lalu memegang tangan bekas
suheng itu. "Aku senang sekali melihat sikapmu, twako. Tidak percuma
engkau menjadi putera tunggal mendiang paman Na Ceng Han yang budiman."
Tiong Pek
teringat sikapnya ketika mereka bertiga masih bersama-sama dahulu dan dia
menarik napas panjang. "Aku bukan anak-anak lagi dan sekarang telah
menjadi dewasa, Liong-te dan sumoi! Aku benar-benar girang bahwa kalian dapat
berjodoh, dan memang kalian sudah cocok sekali untuk menjadi suami
isteri."
Demikianlah,
perjalanan pada keesokan harinya dilakukan dengan lebih menyenangkan dan lebih
leluasa bagi Sin Liong dan Bi Cu yang kini sudah tahu akan isi hati Tiong Pek.
Sebelum percakapan malam tadi, baik Sin Liong mau pun Bi Cu merasa agak tidak
enak terhadap Tiong Pek dengan adanya kenyataan bahwa pemuda itu pernah jatuh
cinta pada Bi Cu dan mengingat pula akan segala peristiwa yang pernah terjadi
di waktu dahulu.
Oleh karena
itu pula maka di hadapan Tiong Pek, keduanya tidak pernah memperlihatkan
kemesraan, bahkah mereka tidak pernah menyinggung soal pertunangan mereka. Akan
tetapi sekarang mereka merasa lega dan karena itu mereka dapat melanjutkan
perjalanan dengan lebih gembira.
***************
Sesudah
mereka tiba di Su-couw, sebelum pergi mengunjungi pamannya, Ciu Khai Sun pergi
dan ikut bersama Sin Liong dan Bi Cu mengunjungi rumah Kui Hok Boan yang oleh
Sin Liong diakui sebagai rumah pamannya. Dia tidak perlu memberitahukan orang
lain bahwa Kui Hok Boan yang hendak dikunjungi itu adalah ayah tirinya, karena
hal ini akan menimbulkan kenang-kenangan yang amat tidak enak.
Kedatangan
mereka disambut oleh Beng Sin, Lan Lan dan Lin Lin dengan gembira bukan main.
"Liong-koko...!"
Dua orang dara kembar yang cantik jelita itu berteriak sambil berlari-larian
menyambut, kemudian mereka berdua memegangi kedua tangan Sin Liong dengan wajah
gembira. Sin Liong juga merangkul pundak kedua orang adik tirinya yang
disayangnya ini.
"Kalian
baik-baik saja, bukan?" tegurnya.
Setelah
pertemuan tiga orang yang amat gembira dan mengharukan ini, barulah Sin Liong
menyalami Tee Beng Sin atau yang lebih tepat lagi kini bernama Kui Beng Sin,
kemudian memperkenalkan adik-adik tirinya itu kepada Bi Cu yang sudah mereka
ketahui, kemudian kepada Ciu Khai Sun dan Na Tiong Pek.
Dalam
perkenalan ini, terjadi hal yang sangat menarik, yaitu pertukaran pandangan
mata antara dua orang dara kembar itu dengan Ciu Khai Sun dan Na Tiong Pek!
Seketika, dua orang pemuda itu tertarik sekali kepada dua dara kembar itu dan
jantung mereka lantas berdebar tak karuan karena di dalam hati, mereka berdua
harus mengakui bahwa selama ini belum pernah mereka bertemu dan berkenalan
dengan dua orang dara yang demikian cantik manis dan lincah!
Mereka lalu
dipersilakan masuk oleh Beng Sin beserta dua orang adik kembarnya. Sambil
menggandeng tangan Lan Lan dan Lin Lin, Sin Liong, Bi Cu dan dua orang pemuda
itu memasuki ruangan dan diajak duduk di kamar tamu. Ketujuh orang muda-mudi
ini riang gembira sekali dan macam-macam yang mereka bicarakan.
Tiba-tiba
saja Sin Liong berkata kepada Beng Sin, Lan Lan dan Lin Lin, "Di manakah
ayah kalian? Aku... aku dan Bi Cu ingin sekali jumpa. Bolehkah kami masuk untuk
menemui dia?"
Lin Lin dan
Lan Lan saling pandang dengan alis berkerut, sedangkan Beng Sin segera bangkit
berdiri sambil berkata, "Dia beristirahat di dalam. Marilah kuantarkan
kalau kalian hendak bertemu. Lan-moi dan Lin-moi, kau temani dulu dua orang
tamu kita ini."
Sin Liong
dan Bi Cu bangkit berdiri dan mengikuti Beng Sin masuk. Setelah tiba di dalam
Beng Sin lalu berkata, sambil memandang kepada dua orang muda itu dengan sinar
mata tajam penuh selidik, "Sin Liong, dan nona... aku tahu bahwa... ayahku
sudah melakukan banyak sekali kesalahan di masa lalu terhadap kalian, terutama
terhadapmu, Sin Liong. Akan tetapi, melihat keadaannya sekarang, yang menderita
dan tidak sadar, dan melihat muka kami, yaitu aku, Lan-moi dan Lin-moi, tidak
maukah kalian memaafkannya?"
Ketika tadi
bertemu dengan tiga orang muda yang menjadi putera dan puteri musuh besar
pembunuh ayah kandungnya, rasa kebencian di dalam hati Bi Cu sudah banyak
menurun, bahkan ada rasa tidak enak apa bila dia sampai harus turun tangan
membunuh Kui Hok Boan, tidak enak terhadap tiga orang muda yang baik-baik dan
yang kelihatannya amat menyayang Sin Liong itu. Betapa pun juga, dua orang dara
kembar yang cantik manis itu adalah saudara seibu dari Sin Liong, maka kalau
sampai dia menyusahkan hati mereka dengan membunuh ayahnya, sungguh merupakan
hal yang amat tidak enak baginya.
Mulailah
timbul keraguan apakah dia akan sampai hati membunuh ayah dua orang dara kembar
itu yang tidak tahu apa-apa dan sama sekali tidak berdosa, bahkan yang dahulu
berani menentang ayah sendiri demi menolong dia dan Sin Liong! Sekarang,
mendengar ucapan Beng Sin, dia merasa semakin canggung dan tidak enak, maka dia
tidak berkata apa-apa dan membiarkan Sin Liong yang menjawab.
"Beng
Sin, antarkan sajalah kami melihatnya. Kami ingin melihat bagaimana keadaannya
sekarang."
Beng Sin
mengangguk kemudian menarik napas panjang. "Menyedihkan sekali... dan jika
keadaannya seperti itu terus, mana mungkin aku dapat melangsungkan
pernikahanku?"
Mereka
sampai di depan sebuah kamar. Sunyi sekali di sana dan Beng Sin menuding ke
kamar itu. "Dia selalu berdiam di kamarnya."
Kemudian dia
membuka daun pintu lebar-lebar agar ada cahaya memasuki kamar yang gelap itu.
Kui Hok Boan duduk di atas kursi, diam seperti patung.
"Ayah,
Sin Liong dan nona Bhe datang untuk menengokmu, ayah," kata Beng Sin
kepada pria tinggi kurus pucat yang duduk di atas kursi itu.
Sin Liong
dan Bi Cu terkejut sekali melihat pria itu yang dulunya merupakan seorang pria
setengah tua yang tampan dan gagah, kini telah menjadi tengkorak terbungkus
kulit dan mukanya pucat, matanya cekung itu. Dan mendadak pria itu bangkit
berdiri, memandang pada Sin Liong dan Bi Cu dengan sinar mata yang membuat Bi
Cu merasa ngeri karena sinar mata itu liar dan penuh kedukaan. Dan tiba-tiba
kakek itu menjatuhkan diri berlutut dan berkata dengan suara penuh penyesalan,
"Ampunkan
aku... ampunkan aku..."
Sin Liong
dan Bi Cu terkejut sekali dan melangkah mundur. Akan tetapi pada saat itu, Kui
Hok Boan sudah meloncat berdiri dan ternyata gerakannya masih gesit, dan dia
berkata, suaranya masih penuh kedukaan, "Atau, kalau kalian tidak mau
mengampuniku, mari kita bertanding sampai aku menggeletak mati!" Dan dia
sudah memasang kuda-kuda.
"Ayah,
Sin Liong dan nona Bhe datang hanya untuk menjenguk," Beng Sin berkata dan
kakek itu sudah duduk kembali di atas kursinya seperti tadi, seperti patung
hidup!
"Mari...
mari kita pergi...," kata Bi Cu sambil menggandeng tangan Sin Liong.
Pemuda ini
merasa lega bukan main. Kata-kata itu saja sudah menunjukkan bahwa Bi Cu sama
sekali tidak berniat untuk membunuh musuhnya ini. Akan tetapi dia masih belum
puas. Dia menarik tangan Bi Cu mendekati Kui Hok Boan dan dia lalu berkata
dengan suara halus.
"Paman
Kui Hok Boan, lihat baik-baik. Inilah Bhe Bi Cu, puteri mendiang Bhe Coan yang
telah kau bunuh itu!"
Bibir Kui
Hok Boan bergerak-gerak dan berbisik-bisik, "Bhe Coan... Bhe Coan...
ahhh..." Kemudian dia kembali menjatuhkan diri dan berlutut.
"Ampunkan aku... ampunkan aku...!" Sejenak kemudian dia sudah
meloncat bangun dan seperti tadi dia memasang kuda-kuda dan berkata,
"Atau, kalau tidak mau mengampuniku, marilah kita bertanding sampai aku
menggeletak mati!"
"Mari
kita pergi!" Bi Cu berkata lagi dan kini dia menarik tangan kekasihnya
diajak ke luar dari kamar itu. Beng Sin menutupkan lagi daun pintu dan dia
sudah menyusul mereka berdua. Dia menjura ke arah Bi Cu.
"Kiranya
ayahku sudah berdosa pula terhadap nona, maka biarlah aku yang memintakan ampun
sekaligus menghaturkan terima kasih kepada nona yang telah berbesar hati untuk
memaafkannya," Berkata demikian, Beng Sin sudah menjatuhkan diri berlutut!
Cepat-cepat
Sin Liong dan Bi Cu memegang pundaknya kemudian membangunkannya. Sin Liong
merangkulnya.
"Beng
Sin, engkau benar-benar seorang putera yang amat berbakti dan baik. Bi Cu tidak
mendendam, bahkan kami merasa kasihan sekali melihat penderitaan ayahmu. Dia jauh
lebih menderita dari pada kalau sampai terbunuh oleh orang yang membalas
dendam."
Beng Sin
menghela napas. "Yaah, memang dia sengsara sekali. Setiap kali dia hanya
minta ampun dan menantang seperti itu. Agaknya ada dua hal yang menggores
hatinya, yaitu penyesalan dan juga sifat angkuhnya yang tidak mau tunduk."
"Apakah
setiap saat dia hanya duduk di dalam kamarnya itu?"
"Kadang-kadang
dia juga keluar, akan tetapi hanya untuk berjalan-jalan di dalam taman di
belakang rumah, tidak pernah pergi ke lain tempat kecuali dua tempat itu,
kamarnya dan taman bunga."
"Sudahlah,"
kata Bi Cu. "Marilah kita kembali ke ruangan tamu dan kita bicara dengan
gembira. Yang sudah biarlah berlalu, itu adalah urusan orang-orang tua."
Mereka lalu
kembali ke ruangan tamu di mana dua orang dara kembar itu nampak bicara dengan
asyik bersama Tiong Pek dan Khai Sun. Biar pun baru saja berkenalan, agaknya
nampak ada semacam keakraban antara Khai Sun dan Kui Lan, juga antara Tiong Pek
dengan Kui Lin!
Lan Lan dan
Lin Lin menjadi girang sekali pada saat mereka melihat Sin Liong dan Bi Cu
kembali tanpa terjadi apa-apa, bahkan Beng Sin pun nampak gembira sekali.
Mereka lalu memanggil pelayan dan dua orang dara kembar itu pun sibuk untuk
menjamu para tamu mereka. Tujuh orang muda-mudi itu kemudian makan minum sambil
bercakap-cakap dan bersenda-gurau seperti lajimnya orang-orang muda yang merasa
cocok satu sama lain bertemu dan bercengkerama.
Akan tetapi,
selagi mereka bergembira, tiba-tiba terdengar teriakan nyaring dari belakang
rumah. Sin Liong yang tercepat di antara mereka sudah meloncat dan lari masuk,
terus menuju ke belakang, diikuti oleh yang lain-lain.
Dan di
tengah-tengah taman bunga di belakang rumah itu nampaklah pemandangan yang
mengerikan. Kui Hok Boan menggeletak mandi darah, dan di dekatnya menggeletak
pula seorang kakek yang tinggi besar dan brewok yang agaknya juga menderita
luka hebat akibat pukulan yang mengenai tenggorokannya dan membuatnya muntah
darah. Ketika Sin Liong dan orang-orang muda itu tiba di situ, keadaan dua
orang itu tidak tertolong lagi.
Pedang kakek
brewok itu menembus dada Kui Hok Boan dan agaknya pukulan maut Kui Hok Boan
membuat kakek itu tidak mampu bangkit kembali.
Lan Lan dan
Lin Lin berseru kaget ketika mereka mengenal kakek brewok itu. "Dia inilah
yang dulu menculik kami!" teriak Kui Lin.
Sin Liong
juga teringat akan pengalamannya sepuluh tahun yang lalu. Ketika itu terdapat
seorang kakek brewok yang melarikan Lan Lan dan Lin Lin dan kebetulan dia
melihat hal itu, maka dia pun lalu menyerang kakek itu, menolong Kui Lan dan
Kui Lin, dibantu oleh monyet-monyet besar yang menjadi teman-temannya. Malah
monyet betina yang menjadi induknya, yang merawatnya ketika dia masih bayi,
tewas oleh kakek brewok ini. Maka dia segera mendekati, menotok beberapa jalan
darah untuk mengurangi penderitaannya, lalu bertanya,
"Mengapa
kau membunuh paman Kui Hok Boan?" tanyanya.
Orang itu
terengah-engah, napasnya tinggal satu-satu. "Aku... Ciam Lok... puas sudah
dapat membalaskan kematian puteriku Ciam Sui Noi... yang dinodai dan
ditinggalkannya...," dan kepalanya terkulai. Matilah orang she Ciam ini,
nyawanya menyusul nyawa Kui Hok Boan yang telah mati lebih dulu.
Beng Sin,
Lan Lan dan Lin Lin hanya dapat menangisi kematian ayah mereka dan mereka lalu
mengurus jenazah Kui Hok Boan, dibantu oleh Sin Liong, Tiong Pek dan Khai Sun.
Sin Liong
dan Bi Cu tinggal di Su-couw dan turut membantu keluarga Kui yang mengurus
pemakaman jenazah Kui Hok Boan. Bahkan Na Tiong Pek dan Ciu Khai Sun yang kini
sudah menjadi sahabat-sahabat baik keluarga itu, juga ikut membantu sampai
selesainya pemakaman. Lalu Sin Liong dan Bi Cu berpamit, meninggalkan Su-couw
untuk pergi ke Cin-ling-san.
Di tempat
ini, mereka pun disambut keluarga Cin-ling-pai dengan gembira sekali. Sampai
beberapa hari lamanya mereka bercakap-cakap untuk saling menceritakan
pengalaman masing-masing, terutama sekali Sin Liong yang dihujani
pertanyaan-pertanyaan dan anak ini harus menceritakan lagi semua riwayatnya
dari kecil sampai dewasa.
Beberapa
bulan kemudian, atas persetujuan seluruh keluarga Cin-ling-pai, dilangsungkan
pernikahan antara Cia Sin Liong dan Bhe Bi Cu. Pernikahan itu dirayakan dengan
amat meriah karena dihadiri oleh hampir seluruh tokoh kang-ouw dari empat
penjuru, dan juga dihadiri oleh banyak tokoh-tokoh besar dari pemerintah di
kota raja! Pangeran Hung Chih sendiri bahkan berkenan hadir!
Semua tamu
memandang dengan gembira dan mereka harus mengakui bahwa pasangan pengantin itu
memang tepat dan cocok sekali, apa lagi melihat betapa dari dua pasang mata
pengantin itu memancarkan cahaya penuh cinta kasih bila mereka saling pandang.
Tidak semua
cerita berakhir dengan kebahagiaan. Namun, Sin Liong dan Bi Cu, akhirnya
menemui kebahagiaan dalam rumah tangga yang mereka bina bersama.
Setiap
pasangan sudah pasti akan mengecap kebahagiaan hidup apa bila rumah tangga
mereka didasari dengan cinta kasih. Segala apa pun di dunia ini, baik yang oleh
umum dipandang sebagai hal yang paling buruk, akan dapat dihadapi dengan tabah
dan mudah diatasi apa bila suami isteri hidup dalam sinar cinta kasih.
Yang oleh
umum dianggap sebagai kesenangan akan terasa lebih nikmat, dan yang oleh umum
dianggap sebagai kesengsaraan akan terasa ringan kalau dihadapi oleh sepasang
suami isteri yang saling mencinta.
Beberapa
bulan kemudian, pengantin muda yang masih baru ini menghadiri pernikahan yang
diadakan di Su-couw, yaitu pernikahan antara tiga pasang pengantin yang
dirayakan sekaligus, antara Kui Beng Sin dengan Ciok Siu Lan, Cui Khai Sun
dengan Kui Lan, dan Na Tiong Pek dengan Kui Lin!
Suami isteri
Cia Sin Liong dengan isterinya, Bhe Bi Cu, kemudian menjadi penghuni dari
Istana Lembah Naga, hidup berbahagia di tempat sunyi itu.
T A M A T
Serial Selanjutnya : Pendekar Sadis
***** Sahabat Karib.com *****
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment