Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pendekar Mata Keranjang
Jilid 41
Hay Hay
menarik napas lega. Andai kata kakak beradik itu tadi tidak percaya kepadanya
dan menyerangnya, maka dia akan memejamkan mata saja dan menerima kematiannya!
Kini tinggal Ling Ling! Maka dia meloncat ke tempat pertempuran tadi dan
berkata kepada Ling Ling yang masih digandeng Kui Hong.
"Ling-moi,
mari kita bereskan urusan antara kita di sana," ajaknya.
Sejak tadi
Ling Ling sudah dibujuk Kui Hong supaya menyerahkan urusan itu kepadanya, maka
kini dia menoleh dan memandang kepada Kui Hong.
"Baik,
dia akan pergi bersamaku untuk bicara denganmu!" kata Kui Hong dengan
suara ketus.
Gadis ini
juga maklum bahwa tidak mungkin mereka membicarakan urusan Ling Ling di hadapan
banyak orang. Dua orang wanita itu lalu mengikuti Hay Hay yang juga mengajak
mereka menjauhi semua orang untuk dapat bicara tanpa terdengar orang lain.
Sesudah
mereka bertiga berhadapan, Kui Hong yang sudah menjadi sangat marah dan
membenci Hay Hay, segera berkata, "Laki-laki busuk! Apa lagi yang hendak
kau katakan kepada kami? Engkau telah memperkosa Ling Ling secara kejam dan
biadab, dan engkau bahkan begitu pengecut untuk menyangkal perbuatanmu yang
amat busuk itu! Sekarang apa lagi yang akan kau lakukan?"
Ling Ling
mengusap air matanya karena hatinya hancur teringat akan mala petaka yang
menimpa dirinya. Hay Hay menghela napas panjang. Tadi dia berani menggunakan
ilmu sihir untuk memaksa Pek Eng mengucapkan pengakuan yang sejujurnya, karena
di sana ada Han Siong yang menjadi saksinya. Kini dia tidak berani melakukan
hal serupa kepada Ling Ling karena hal itu tentu akan menambah kecurigaan dua
orang gadis itu.
"Kui
Hong, harap bersabar dulu. Engkau hanya baru mendengar keterangan sepihak, dari
pihak Ling Ling yang memang sedang menyangka bahwa akulah pelaku pemerkosa yang
biadab itu. Akan tetapi, apa bila engkau mau mendengarkan keterangan dariku,
aku sama sekali tidak merasa pernah melakukan perbuatan biadab itu, baik
terhadap Ling Ling atau kepada wanita mana pun juga! Dan Ling Ling, engkau
adalah murid keponakanku sendiri, puteri dari Suheng-ku, bagaimana mungkin aku
melakukan perbuatan sekeji itu terhadap dirimu? Apakah engkau tidak keliru
sangka?"
Ling Ling
menghentikan tangisnya lantas mengangkat muka memandang wajah Hay Hay, kini
pandang matanya tajam penuh selidik dan dia menggeleng kepala penuh keyakinan.
"Aku
tidak mungkin keliru," katanya pasti.
"Bukankah
engkau sedang tidur pulas ketika ditotok orang?"
"Benar,
akan tetapi aku lalu tersadar walau pun tidak mampu bergerak."
"Dan
waktu itu malam gelap sekali, bukan?"
"Remang-remang,
biar pun aku tidak dapat melihat wajahmu dengan jelas, namun bentuk mukamu,
bentuk wajahmu, aku tak akan keliru sangka. Pula, tidak ada orang lain kecuali
engkau yang tahu bahwa aku menunggu di tempat sunyi itu. Dan kalau orang biasa
saja, apakah akan mampu menotokku sampai tidak mampu bergerak? Akan tetapi,
engkau adalah sute dari Ayahku, engkau mengenal ilmu silatku..."
"Dan
orang itu sama sekali tidak mengeluarkan suara?"
Ling Ling
mengerutkan alisnya dan menggeleng kepala. "Tidak."
"Ling
Ling, aku tahu pasti dan yakin bahwa engkau seorang gadis yang budiman, gagah
perkasa dan tak akan mungkin mau melakukan fitnah, juga aku yakin engkau jujur.
Coba ingat-ingat, apakah tak ada sesuatu yang khas pada orang itu? Sesuatu yang
merupakan tanda, mungkin cacat pada tubuhnya, atau suaranya, atau sinar
matanya, atau mungkin juga... bau badannya?"
Ling Ling
termenung dan sepasang alisnya berkerut, kemudian tiba-tiba ia berkata.
"Ahh, aku ingat. Dia... dia... mengeluarkan bau harum... seperti bunga...
Seperti madu... wangi bunga... ya, wangi bunga..."
"Bunga
cendana...?"
"Benar!
Bau bunga cendana!"
Seketika
wajah Hay Hay menjadi pucat sekali, matanya terbelalak lebar bagaikan melihat
setan, lantas dia pun meloncat tinggi dan ketika turun, dia mengepal tinju dan
terdengar suaranya melengking nyaring seperti jeritan seekor binatang buas yang
marah.
"Han
Lojiiiiin...!" Dan Hay Hay sudah melompat dan berlari cepat meninggalkan
tempat itu.
Lengkingan
panjang yang sangat nyaring ini terdengar sampai di tempat di mana Menteri Cang
dan yang lain-lain masih menanti. Semua pendekar terkejut, apa lagi ketika
melihat Hay Hay berlari cepat seperti itu lewat di dekat mereka. Han Siong dan
beberapa orang sudah berlompatan maju menghadang karena menyangka bahwa Hay Hay
yang menjadi tertuduh itu melarikan diri. Akan tetapi Hay Hay melompat ke
samping, menghindar dan kembali dia berteriak, sekali ini lebih nyaring dari
pada tadi.
"Han
Lojiiiiiinnnn...!" Sambil berteriak-teriak memanggil nama ini seperti
orang kesetanan, Hay Hay berlari cepat menuju ke bukit di mana Han Lojin
dijadikan tawanan oleh Menteri Cang.
Para
pendekar cepat melakukan pengejaran, juga Kui Hong dan Ling Ling yang tadi amat
terkejut kini ikut pula mengejar. Menteri Cang yang juga ingin sekali
mengetahui apa yang akan terjadi cepat menunggang kuda dikawal oleh para
perwira, setelah memberi perintah kepada komandan pasukan untuk membereskan
para tawanan pemberontak.
Dengan
mengerahkan seluruh tenaga serta kepandaiannya berlari cepat, maka Hay Hay tak
terkejar oleh para pendekar dan dia dapat tiba lebih dahulu di bukit kecil itu.
Pasukan yang berjaga di situ sudah mendengar laporan bahwa pasukan pemerintah
telah berhasil baik dan bahwa Han Lojin yang ditawan di situ bukanlah
pembohong, maka mereka pun tidak terlampau ketat menjaga Han Lojin, memberinya
kebebasan di puncak bukit. Akan tetapi ketika mereka melihat Hay Hay, pemuda
yang tidak mereka kenal, komandan jaga cepat membawa anak buahnya menghadang.
"Heiii,
berhenti! Siapa pun juga dilarang naik ke puncak bukit ini!"
Hay Hay
menjadi tertegun dan mukanya penuh keringat. Dia lantas teringat akan Tek-pai,
tanda kuasa yang diterimanya dari Menteri Yang Ting Hoo, maka tanpa banyak
cakap dia mengeluarkan tanda kuasa itu, memperlihatkannya kepada komandan jaga.
Melihat tanda kuasa ini, komandan segera memberi hormat, diturut oleh para anak
buahnya.
"Di
mana Han Lojin?" Hay Hay bertanya. "Aku harus berjumpa padanya,
penting sekali!"
"Dia
berada di dalam kamarnya di pondok itu, sejak pagi tadi dia tidak pernah keluar
dari dalam pondok."
"Kalau
begitu, biarkan aku menemuinya di dalam pondok."
"Silakan,
Taihiap!" kata komandan itu, menyebut Taihiap (Pendekar Besar) setelah
melihat pemuda itu membawa tanda kuasa dari Menteri Yang.
Hay-Hay
melompat dan berlari cepat ke puncak bukit. Tubuhnya berkelebat dan melihat
pemuda itu bergerak ke atas seperti terbang saja, komandan jaga bersama anak
buahnya memandang dengan mulut ternganga dan mata terbelalak.
"Han
Lojin, keluarlah!" Hay Hay berseru. Tiada jawaban.
Dengan
perasaan tidak sabar Hay Hay mendorong daun pintu. Pintu terbuka dan ternyata
pondok itu kosong dan semua jendelanya terbuka sehingga cahaya matahari
memenuhi pondok. Tiada seorang pun di situ, akan tetapi Hay Hay segera tertarik
oleh coret-coret di dinding sebelah dalam pondok. Tulisan yang cukup indah dan
jelas dalam bentuk sajak. Dibacanya tulisan itu.
Beterbangan
dari bunga ke bunga menyusup kelopak bunga harum semerbak sepuas hati menghisap
madunya meninggalkan bunga layu tergeletak!
Kamu Tawon
Muda tiada guna hanya puas dimabok harum bunga biarkan seratus bunga melayu
masih ada ribuan kuncup mekar penuh madu!
Hay Hay
mengerutkan alisnya dan dia segera melihat dua buah benda berkilauan di atas
meja dekat dinding itu. Ketika dia menghampiri, ternyata dua buah benda itu
adalah dua perhiasan tawon merah, persis seperti yang tersimpan dalam kantung
bajunya! Nampak pula sehelai kertas tertulis di bawah dua benda perhiasan itu.
Cepat disambarnya kertas itu dan dibaca tulisannya.
'Dua buah
tanda mata ini untuk Nona Pek Eng dan Nona Cia Ling, masing-masing satu buah.'
Dan di dalam
tulisan itu terdapat lukisan seekor tawon merah! Wajah Hay Hay berubah pucat,
dua tangan yang memegang surat itu gemetar, dan tiba-tiba dia meremas hancur
surat itu, lalu menyimpan dua buah perhiasan yang sangat dibencinya itu ke
dalam saku bajunya. Kemudian matanya mengeluarkan sinar berapi dan memandang ke
arah tulisan sajak di atas dinding. Tubuhnya gemetar, kedua tangannya digenggam
kuat-kuat dan dia pun mengeluarkan bentakan nyaring.
"Jahanaaaammmm...!"
Dihantamnya meja di depannya.
"Braaakkkk...!"
Meja itu
hancur berkeping-keping, sementara tubuh Hay Hay langsung terkulai dan jatuh di
atas lantai, pingsan! Dia telah mengalami guncangan batin yang sangat hebat.
Ketika untuk
kedua kalinya, pertama dari Pek Eng, kemudian kedua kalinya dari Ling Ling, dia
mendengar bahwa yang menggauli Pek Eng dan memperkosa Ling Ling itu seorang
pria yang mengeluarkan bau harum bunga, madu dan cendana, dia pun segera
teringat. Hanya Han Lojin yang mengeluarkan bau seperti itu!
Hal ini
diingatnya benar karena ketika pada malam itu dia disuguhi arak oleh Han Lojin,
dia pun mencium bau yang khas itu, yang sempat membuatnya terheran-heran. Maka
dia pun merasa yakin bahwa pelaksana kejahatan yang amat keji itu tentulah Han
Lojin yang lihai! Ini merupakan guncangan pertama.
Kemudian, di
dalam pondok ini, setelah membaca sajak itu, apa lagi membaca surat dan
peninggalan dua buah perhiasan tawon merah, hatinya terguncang untuk ke dua kalinya,
bahkan lebih hebat lagi karena dia memperoleh kenyataan bahwa Han Lojin
penjahat keji yang telah memperkosa Pek Eng dan Ling Ling bukan lain adalah
Ang-hong-cu atau ayah kandungnya sendiri!
Kebencian
menyesak dalam dadanya. Ayah kandungnya terkenal sebagai Ang-hong-cu,
jai-hwa-cat yang amat kejam dan jahat, pemerkosa ibunya, kemudian juga
memperkosa dua orang gadis dusun yang sederhana itu, dan kini memperkosa Pek
Eng dan Ling Ling! Lebih hebat lagi, semua orang menyangka bahwa dia yang
melakukan perbuatan itu, dan agaknya Han Lojin atau Ang-hong-cu orang she Tang
itu memang sengaja melakukan hal itu untuk merusak namanya.
Bahkan dari
sindiran pada sajak itu agaknya Ang-hong-cu atau Han Lojin juga telah tahu
bahwa dia adalah puteranya yang dikatakan 'Tawon Muda tiada guna...!' Pantas
dia pernah disuguhi arak perangsang, tentu dengan maksud supaya dia memperkosa
atau menggauli Pek Eng, tindakan yang tentu akan menyenangkan hati ayah kandung
itu sebab dianggap cocok dengan wataknya, dianggap mewarisi bakat dan keahlian
ayah kandungnya!
Ketika
Menteri Cang beserta para pendekar memasuki pondok itu, Hay Hay telah siuman
dari pingsannya, dan dia demikian terpukul sehingga dia masih berlutut di atas
lantai dan termenung seperti orang kehilangan semangat.
Semenjak
tadi Kok Hui Lian merasa amat khawatir akan keadaan Hay Hay. Wanita yang secara
diam-diam amat mencinta Hay Hay ini tadi telah mengerahkan seluruh tenaganya,
mempergunakan ilmu berlari cepat yang membuat tubuhnya meluncur bagaikan
terbang. Kini dia sudah tiba paling depan, lalu dia pun menyentuh pundak Hay
Hay dengan lembut dan penuh kekhawatiran.
"Hay
Hay, apakah yang telah terjadi?" tanyanya.
"Di
mana Han Lojin?" terdengar pertanyaan-pertanyaan dari para pendekar yang
tadinya sudah tahu bahwa Han Lojin ditahan di pondok itu.
Ketika
Menteri Cang muncul pula ke dalam pondok, semua orang memberi jalan dan dia pun
bertanya, "Di mana adanya Han Lojin? Tang-enghiong (Orang Gagah Tang), di
mana Han Lojin?" tanyanya kepada Hay Hay.
Semenjak
tadi Hay Hay diam saja seakan-akan tidak mendengar pertanyaan orang-orang itu,
bahkan seolah-olah tidak sadar bahwa pondok itu telah penuh orang. Kini,
mendengar suara Menteri Cang, dia pun tersadar dan mengangkat kepala memandang
pembesar itu. Akan tetapi dia pun tidak menjawab, melainkan menudingkan
telunjuknya ke arah tulisan di dinding.
Semua orang
termasuk Menteri Cang membaca sajak di dinding itu, dan mulailah mereka itu
berseru kaget hingga suasana menjadi bising.
"Ang-hong-cu...!
Ada gambar tawon merah...!"
"Kalau
begitu, dia Ang-hong-cu...!"
"Han
Lojin adalah Ang-hong-cu...!"
Kini Hay Hay
sudah sadar betul. Perlahan-lahan dia bangkit berdiri, menyapukan pandang
matanya kepada mereka semua, kemudian dia berkata, suaranya lantang.
"Benar sekali! Han Lojin adalah Ang-hong-cu (Si Tawon Merah), penjahat
cabul, jai-hwa-cat yang sangat kejam! Dia adalah ayah kandungku! Dia yang telah
melakukan semua kejahatan terhadap wanita dan yang akhirnya dituduhkan
kepadaku. Aku berjanji kepada semua orang untuk mencarinya, untuk meminta
pertanggungan jawabnya! Akan tetapi, kalau masih ada yang merasa penasaran dan
hendak menghukum aku sebagai anaknya, sebagai penggantinya yang menerima
hukuman, silakan! Aku tak akan melawan, silakan sebelum aku pergi dari sini
untuk memulai dengan tugas yang sudah kujanjikan yaitu mencarinya sampai dapat
dan menuntut pertanggungan jawab darinya!"
"Bapaknya
jahat, anaknya pun tentu jahat! Biar aku yang menghukumnya!" Tiba-tiba
saja terdengar bentakan-bentakan dari Bu-tong Liok-eng. Enam orang tokoh murid
utama dari Bu-tong-pai itu berlompatan maju lalu mengepung Hay Hay yang sudah
keluar dari dalam pondok dan berada di pelataran pondok itu.
Akan tetapi
tiba-tiba Hui Lian sudah melompat ke dalam kepungan, mukanya merah dan matanya
bersinar-sinar.
"Hay
Hay tak bersalah, jika ada yang hendak mengganggunya akan berhadapan dengan
aku!"
Suaminya,
Ciang Su Kiat yang juga berpendapat bahwa Hay Hay tidak dapat disalahkan, sudah
maju pula di samping isterinya sehingga Hui Lian merasa girang sekali.
"Saudara
Tang Hay tidak bersalah, biarkan dia pergi mencari ayah kandungnya seperti yang
sudah dijanjikannya tadi."
Kini Han
Siong juga telah melangkah maju ke dalam kepungan, siap untuk membela Hay Hay
karena dia merasa tidak rela kalau sampai pemuda perkasa itu dibunuh tanpa
dosa.
"Siancai...
kalian mundurlah," kata Tiong Gi Cinjin. "Bukankah tadi telah ada
kesepakatan antara kita dengan putera Ang-hong-cu itu?" Mendengar teguran
paman guru mereka, juga melihat betapa orang-orang sakti itu sudah maju membela
Hay Hay, Bu-tong Liok-eng lalu melangkah mundur.
Hay Hay
memandang ke sekeliling, terutama sekali dia memandang wajah Ling Ling dan Pek
Eng dengan penuh rasa iba, kemudian mengangkat kedua tangan ke dada memberi
hormat.
"Terima
kasih atas kepercayaan Cu-wi. Bagaimana pun juga, yang melakukan
kejahatan-kejahatan itu adalah ayah kandungku sendiri, oleh karena itu sudah
sepantasnya kalau di sini aku mohon maaf sebesarnya kepada Cu-wi. Percayalah,
aku akan pergi mencarinya sampai dapat, dan akan kupaksa dia untuk
mempertanggung jawabkan semua dosanya. Kalau perlu dia mati di tanganku atau
aku yang mati di tangannya. Nah, selamat tinggal dan maafkan aku" Hay Hay
memberi hormat lantas meloncat jauh dan berlari secepatnya meninggalkan tempat
itu.
Menteri Cang
kemudian menghaturkan terima kasih kepada para pendekar atas bantuan mereka
sehingga pemberontakan dapat ditumpas dan menawarkan bantuan bagi mereka yang
kehilangan anggota atau teman dalam pertempuran itu. Para pendekar lalu
bubaran.
Pek Eng yang
bertemu dengan ayahnya segera lari menghampiri ayahnya dan disambut dengan
pelukan. Gadis itu langsung menangis pada dada ayahnya. Pek Kong, atau Ketua
Pek-sim-pang, mengajak kedua orang anaknya, yaitu Pek Han Siong dan Pek Eng
untuk berbicara di tempat terpisah. Bahkan dia minta permisi kepada sahabatnya,
Song Un Tek untuk dapat bicara bertiga saja dengan kedua orang anaknya.
"Nah,
sekarang ceritakan apa artinya semua itu," kata Pek Kong dengan nada suara
yang penasaran. "Pertama aku minta penjelasan darimu, Eng-ji. Apa yang
telah terjadi hingga Lam-hai Siang-mo suami isteri iblis itu mendatangi
Kang-jiu-pang kemudian memutuskan tali perjodohan antara engkau dengan Song Bu
Hok, malah suami isteri iblis itu juga telah membikin kacau dan menyerang orang-orang
Kang-jiu-pang!"
Dengan wajah
menunjukkan penyesalan dan ketakutan, terpaksa Pek Eng menceritakan betapa dia
ditangkap oleh anak buah Lam-hai Giam-lo, lalu untuk menyelamatkan diri dia
terpaksa mau menjadi anak angkat dan murid Lam-hai Giam-lo. Karena tak setuju
dengan ikatan jodoh itu, dia lalu minta kepada Lam-hai Giam-lo untuk
membatalkannya dan ketua pemberontak itu mengutus Lam-hai Siang-mo untuk
mendatangi Kang-jiu-pang kemudian memutuskan tali perjodohan.
Merah wajah
Pek Kong mendengar pengakuan puterinya itu. "Hemmm, sungguh engkau sudah
membikin malu keluarga kita!" omelnya. "Lalu apa artinya keributan
dengan Tang Hay tadi? Han Siong, mengapa pula engkau bersusah payah berusaha
untuk membunuh Tang Hay?"
Han Siong
tidak berani menjawab dan hanya memandang kepada adiknya. Pek Eng telah
menangis dan tiba-tiba saja dia menubruk kaki ayahnya lalu menangis
sesenggukan. Pek Kong amat mencinta Pek Eng, maka betapa pun marahnya, melihat
puterinya merangkul kedua kakinya sambil menangis sesenggukan, dia terkejut dan
cepat mengangkat bangun gadis itu.
"Engkau
kenapakah?"
"Ayah,
ampunkan aku, Ayah... atau... bunuh saja aku...!"
"Ehh,
sudah gilakah engkau? Apa yang telah terjadi?"
"Koko...
tolonglah aku, ceritakan kepada Ayah..." pinta Pek Eng kepada kakaknya
dengan sendu. Bagaimana pun juga, bagaimana dia dapat menceritakan aib yang
telah menimpa dirinya itu kepada ayahnya?
Han Siong
mengangguk, maklum akan perasaan adiknya. Ia pun ingin menolong adiknya dan
meringankan kesalahan adiknya, oleh karena itu dia berani sedikit berbohong
kepada ayahnya. "Ayah, sesungguhnya Eng-moi telah menderita mala petaka
yang sangat hebat. Dia telah... telah diperkosa orang..."
"Apa...?"
Pek Kong berseru keras dan mukanya menjadi pucat. "Bagaimana...?
Siapa...?" Dia tergagap saking kaget dan marahnya mendengar bahwa
puterinya sudah diperkosa. Berita ini agaknya lebih hebat dari pada berita
kematian.
Han Siong
maklum akan keadaan ayahnya, maka dengan tenang dia lalu berkata, "Harap
Ayah suka menenangkan hati Ayah. Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat
diraih jika telah dikehendaki oleh Thian. Eng-moi diperkosa orang yang memiliki
ilmu tinggi, dia tidak berdaya dan tertotok. Tadinya Eng-moi menyangka bahwa
pelakunya adalah Tang Hay, oleh karena itu dia memusuhi Tang Hay dan minta
kepadaku untuk menghajarnya. Itu pula sebabnya mengapa aku berkelahi
mati-matian melawan Tang Hay. Akan tetapi, kemudian kita sama melihat bahwa
Tang Hay tidak berdosa, bahwa yang melakukan hal itu bukan lain adalah
Ang-hong-cu, Ayah kandung Tang Hay yang menyamar sebagai Han Lojin."
Kini wajah
Pek Kong menjadi merah dan dia mengepal tinju, marah sekali. "Keparat!
Kita harus mencarinya untuk membuat perhitungan!"
Melihat
kemarahan ayahnya, Han Siong cepat mendekati dan menghibur. "Ayah, memang
peristiwa ini benar-benar menyakitkan hati, menyinggung kehormatan keluarga
kita, serta menghancurkan kehidupan Eng-moi. Akan tetapi Tang Hay sudah
berjanji untuk mencari dan menangkap ayah kandungnya sendiri. Dan kita harus
ingat, Ayah. Memang semenjak dahulu ada hubungan dekat sekali antara
Ang-hong-cu dengan kita. Bukankah Tang Hay itu adalah anak kandungnya, dan Tang
Hay sudah dipergunakan oleh keluarga kita untuk menggantikan aku, untuk
menyelamatkan aku? Agaknya itulah kesalahan keluarga kita, Ayah, sehingga kini
timbul peristiwa dan aib yang menimpa keluarga kita. Yang penting sekarang
adalah mengurus bagaimana baiknya dengan nasib adikku ini."
Pek Kong
menarik napas panjang dan memandang kepada puterinya itu. Walau pun tidak
menangis sesenggukan, tetap saja dia mengeluarkan air mata yang menetes-netes
pada sepanjang kedua pipinya.
"Baiklah,
memang seyogyanya begitu. Aku akan membicarakan hal ini dengan keluarga Song.
Eng-ji, bagaimana sekarang, apakah engkau masih tetap tidak setuju kalau
menjadi isteri Song Bu Hok?"
Pek Eng
mengangkat mukanya yang basah, memandang ayahnya dengan sikap sangat memelas,
lalu dia mengangguk lemah. "Aku menurut saja apa yang Ayah tentukan, akan
tetapi, Ayah, aku... aku sudah..." Dia tidak dapat melanjutkan.
"Jangan
khawatir. Aku tahu bahwa Song Bu Hok benar-benar mencintaimu, dan mudah-mudahan
dia cukup gagah untuk dapat melihat bahwa peristiwa ini terjadi bukan karena
kesalahanmu."
"Tapi,
Ayah, bukankah sebaiknya bila aib ini dirahasiakan dari orang lain? Mungkin
harus berterus terang kepada Song Bu Hok, akan tetapi kurasa tak perlu
diketahui keluarganya. Hal itu akan sangat merugikan Eng-moi karena dia akan
dipandang rendah."
Mendengar
pendapat puteranya, Pek Kong mengangguk-angguk setuju. "Engkau benar, aku
yang akan bicara empat mata dengan Song Bu Hok setelah kita pulang nanti,"
kata Ketua Pek-sim-pang itu.
"Dan
aku akan pergi mengunjungi guru-guruku di kuil Siauw-lim-si, Ayah, bersama
Sumoi Bi Lian. Ada urusan yang amat penting antara aku, Sumoi, dan kedua orang
guru kami. Kelak akan kuceritakan kepada Ayah mengenai semua itu."
Demikianlah,
ayah dan dua orang anaknya ini lalu berpisah. Han Siong menemui Bi Lian yang
sudah dijanjikan akan dibawa menghadap kedua orang gurunya di kuil
Siauw-lim-si, sedangkan Pek Kong mengajak puterinya yang prihatin itu untuk
pulang.
Bagaimana
dengan Ling Ling? Dengan sedih gadis ini bersama Kui Hong meninggalkan tempat
itu. Kesedihan yang dirasakan Ling Ling hampir mirip dengan kesedihan Pek Eng.
Kedua orang gadis ini bukan hanya menyedihi nasib mereka yang kini sudah
dinodai aib, kehilangan keperawanan dan kehormatan, namun lebih dari pada itu,
yaitu ketika mereka melihat kenyataan bahwa yang memperkosa mereka itu bukan
Hay Hay melainkan ayah kandung pemuda itu, seorang jai-hwa-cat yang amat jahat!
Hal inilah
yang menyedihkan hati mereka, bahkan membuat harapan mereka lenyap sama sekali.
Kalau Hay Hay yang menjadi pelakunya, sedikitnya mereka masih mengharapkan
pemuda itu mau mengakui dan bertanggung jawab mengawini mereka!
Kui Hong tak
pernah melepaskan tangan Ling Ling, terus menggandengnya ketika mereka
meninggalkan sarang pemberontak yang kini telah dikuasai pasukan pemerintah.
Setelah tinggal berdua saja, Ling Ling menangis sambil bersandar kepada Kui
Hong, dihibur oleh Kui Hong di sepanjang jalan.
Ling Ling
membayangkan nasibnya. Ia mencinta Hay Hay, hal ini tak dapat disangkalnya
pula. Biar pun tadinya dia mengira bahwa Hay Hay telah memperkosanya, namun dia
siap untuk memaafkannya bahkan bersedia menjadi isteri pemuda yang dicintanya
itu. Akan tetapi... kenyataannya demikian pahit.
Pemerkosanya
adalah Ang-hong-cu, penjahat besar, ayah kandung Hay Hay. Bagaimana dia mampu
hidup terus dengan menahan siksa batin karena aib ini? Bagaimana pula dia akan
menghadap ayah dan ibunya? Ahhh, ayah dan ibunya tentu akan merasa terpukul,
akan ikut menderita sengsara.
Membayangkan
betapa ayahnya akan berduka sekali, ibunya akan menangis, mendadak Ling Ling
melepaskan diri dari gandengan tangan Kui Hong, menjerit dan berlari bagaikan
orang gila! Kui Hong terkejut dan segera mengejar, khawatir sekali karena
agaknya Ling Ling tidak mempedulikan lagi ke mana dia lari, seperti orang yang
berlari sambil menutup matanya.
"Ling
Ling...! Berhentilah, Ling Ling...!" Kui Hong mengejar sekuat tenaga. Dia
terbelalak melihat betapa Ling Ling lari mendaki bukit, terus lari ke arah
tebing yang curam.
"Ling
Ling...!" Wajah Kui Hong sudah menjadi pucat sekali karena dia merasa
tidak akan mampu mencegah gadis itu yang agaknya akan lari terus dari atas
tebing!
Ling Ling
yang berlari terus agaknya tak melihat bahwa dia berlari menuju ke tebing yang
amat curam. Tepi tebing itu tinggal dua tiga meter lagi dan tiba-tiba dari
samping nampak berkelebat sesosok bayangan, lalu tahu-tahu tubuh Ling Ling
telah disambar dan dirangkul pinggangnya oleh Can Sun Hok.
"Lepaskan
aku...! Lepaskan aku...!" Ling Ling meronta-ronta dan berusaha melepaskan
diri, namun Sun Hok mempergunakan seluruh tenaganya untuk memeluk dan tidak mau
melepaskan gadis itu.
Melihat
betapa pemuda ini nekat merangkulnya, Ling Ling menjadi heran, keheranan yang
sejenak membuat dia bingung, yang mengatasi kedukaan dan keputus asaannya
hingga membuatnya ingin membunuh diri itu. Dia mengangkat muka memandang wajah
pemuda itu, lantas kembali dia membentak.
"Lepaskan
aku!"
"Tidak,
Ling-moi, tidak mungkin aku membiarkan engkau terlepas dan melanjutkan niatmu
yang sesat itu!" kata Sun Hok, tetap merangkul pinggangnya.
Ling Ling
menjadi semakin bingung. Perkenalannya dengan Sun Hok belum lama, namun sudah
timbul keakraban di antara mereka ketika mereka berdua menghadapi gerombolan
pemberontak itu. Sun Hok menyebutnya adik dan ia pun menyebut kakak kepada
pemuda perkasa itu.
"Hok-ko,
lepaskan aku dan jangan engkau mencampuri urusanku!" kembali dia meronta
dengan sia-sia.
"Ling-moi,
aku tahu bahwa engkau hendak membunuh diri ke jurang itu! Ingin membunuh diri!
Perbuatan itu sungguh sesat, pengecut dan sama sekali keliru, Ling-moi. Karena
itu, sebelum engkau mengubah pendirianmu itu, aku tidak akan
melepaskanmu!"
Ling Ling
menjadi marah. Tangan kanannya sudah menempel pada tengkuk pemuda itu.
"Lepaskan! Kalau tidak, kubunuh engkau lebih dahulu!"
Sun Hok
tidak terkejut, malah tersenyum. "Bagus, jika engkau masih bisa marah, hal
itu berarti engkau masih suka hidup. Ling-moi, silakan saja bila engkau hendak
membunuhku sebelum bunuh diri. Biarlah aku akan mengantarkanmu ke alam baka.
Nah, silakan..."
Melihat
kepasrahan pemuda ini, Ling Ling menjadi lemas lahir batin. Tenaganya bagaikan
habis dan ia pun menangis, mengguguk di atas pundak pemuda itu yang kini
melepaskan rangkulan di pinggangnya. Sun Hok masih merangkul pundak gadis itu,
mengelus rambut kepalanya dan membiarkan gadis itu menangis sepuas hatinya.
Kui Hong
berlari menghampiri dan gadis ini menghela napas lega. Wajahnya masih pucat dan
jantungnya tadi berdebar penuh ketegangan. Melihat betapa Ling Ling menangis di
dalam rangkulan pemuda itu, dia tidak berani mengeluarkan kata-kata, takut
kalau-kalau Ling Ling 'kumat' lagi kenekatannya. Dia hanya saling pandang dengan
Sun Hok, pemuda yang sudah dikenalnya itu.
Beberapa
tahun yang lalu dia dan ibunya pernah bertemu dengan pemuda ini yang tadinya
mendendam kepada ibunya karena kematian ibu pemuda ini, yakni seorang tokoh
sesat bernama Gui Siang Hwa, disebabkan karena bertanding melawan Ibunya.
Akan tetapi
ibunya dapat menyadarkan Can Sun Hok. Dan agaknya pemuda ini memang telah
menjadi seorang pendekar yang gagah perkasa. Buktinya dia pun ikut muncul dalam
pertempuran melawan kaum sesat yang memberontak, bersamaan dengan Ling Ling
yang agaknya telah dikenal dengan baik.
Tentu ada
apa-apa di antara mereka, pikir Kui Hong. Maka tanpa banyak cakap, sebelum Ling
Ling sempat melihatnya, diam-diam Kui Hong meninggalkan kedua orang itu.
Setelah
tangisnya mereda, Ling Ling teringat bahwa dia menangis pada dada pemuda itu
sehingga baju bagian dada Sun Hok menjadi basah. Dia lalu melepaskan diri dan
dengan lembut Sun Hok melepaskan pelukannya.
Gadis itu
mundur dua langkah, mengangkat muka dan memandang dengan kedua mata yang
kemerahan dan basah. Sun Hok memandang dengan senyum yang membesarkan hati,
sementara sepasang matanya jelas membayangkan perasaan iba dan sayang.
"Hok-ko,
kenapa... kenapa engkau... menghalangi aku? Kenapa engkau tak membiarkan aku
mati saja sehingga aku akan terbebas dari penderitaan ini?" kata Ling
Ling, suaranya setengah menyesal dan setengah menegur.
Sun Hok
masih tersenyum ketika menggeleng kepalanya. "Ling Ling, bagaimana mungkin
aku membiarkan engkau mati? Hal itu sama saja dengan membunuh kebahagiaan serta
harapan hidupku sendiri. Tidak, Ling-moi, aku tidak akan membiarkan engkau mati
seperti juga dunia tidak akan membiarkan hilangnya matahari."
Sepasang
mata yang masih basah itu terbelalak mengamati wajah pemuda yang berdiri di
depannya itu. Seorang pemuda yang berwajah tampan dan gagah, bertubuh tegap dan
matanya mencorong, sikapnya ramah dan sederhana.
"Hok-ko...
apa... apa maksudmu? Apa... artinya kata-katamu tadi, Hok-ko...?" tanyanya
bingung dan jantungnya berdebar karena samar-samar dia mampu menangkap apa yang
dimaksudkan pemuda itu, namun dia masih belum dapat menerima atau percaya
begitu saja.
"Engkau
tentu mengerti, Ling-moi, bahwa semenjak kita saling berjumpa, aku... aku telah
mengagumimu, menyukaimu, mengasihanimu dan aku... cinta padamu."
Sepasang
mata Ling Ling semakin terbelalak dan wajahnya yang tadinya pucat sekarang
berubah merah sekali. Kemudian wajah yang membayangkan kekagetan dan keheranan
itu berubah, berkerut-kerut, bibir itu gemetar, matanya menjadi sayu dan tak
tertahankan lagi Ling Ling lantas menangis, menutupi mukanya dengan kedua
tangannya, terisak-isak, lebih sedih dari pada tadi!
Can Sun Hok
mengerutkan alis dan menghela napas panjang, lalu berkata dengan suara lembut
sekali. "Ling-moi, sungguh aku tak tahu diri dan lancang sekali. Aku
bahkan telah menambah kedukaanmu dengan menyinggung hatimu. Jika kejujuranku
ini menyinggung perasaanmu, harap kau maafkan aku, Ling-moi."
Sampai lama
Ling Ling tak mampu menjawab, hanya terisak-isak, pundaknya terguncang-guncang
dan air mata menetes melalui celah-celah jari tangannya. Dan akhirnya, setelah
tangisnya mereda, dia menurunkan kedua tangannya, memandang kepada Sun Hok yang
masih menanti dengan sabar.
"Bukan
begitu maksudku, Hok-ko... aku... aku menjadi semakin sedih karena... karena...
engkau begitu baik, engkau... engkau menyatakan cinta kepadaku, padahal aku...
aku..."
Sun Hok
tersenyum lembut dan memandang dengan sikap memberi semangat. "Engkau
kenapa Ling-moi? Bagiku, engkau gadis yang paling hebat di dunia ini."
"Aihh...
Hok-ko, aku... aku tidak berharga untuk menjadi sisihanmu... aku...
aku..."
"Engkau
kenapa? Katakanlah, Ling-moi, aku siap mendengar yang bagaimana pun juga."
Ling Ling
menatap tajam wajah pemuda itu, mengumpulkan ketabahannya lantas dia pun
berkata, "Aku... aku telah ternoda... aku bukan perawan lagi,
Hok-ko..."
Dan dia pun
segera menundukkan mukanya yang menjadi pucat, air matanya mengalir di
sepanjang kedua pipinya, kedua kakinya menggigil dan tentu tubuhnya akan roboh
kalau saja Sun Hok tak cepat-cepat menghampiri dan memegang kedua pundaknya,
kemudian mengguncangnya sedikit untuk memberi semangat dan kekuatan.
"Aku
telah mengetahui, Ling-moi, aku telah dapat menduga semuanya."
Ling Ling
makin terkejut dan heran. Dia mengangkat muka dan memandang pemuda itu, sinar
matanya tajam menyelidik melalui genangan air matanya. "Engkau... engkau
sudah tahu...? Bagaimana... engkau bisa tahu?"
"Sejak
berjumpa denganmu, lalu melihat engkau berkelahi mati-matian melawan pemuda
perkasa bernama Tang Hay itu, mendengar engkau menyebutnya jai-hwa-cat dan
melihat kebencianmu kepadanya, aku sudah menyangka bahwa tentu telah terjadi
sesuatu yang amat hebat antara engkau dan dia. Kemudian, tidak percuma aku
bertemu dan jatuh hati kepadamu, Ling-moi, aku memperhatikan semua
gerak-gerikmu, juga aku melihat semua yang terjadi ketika engkau menyerang Tang
Hay, dan setelah melihat perkembangannya aku dapat menduga bahwa engkau tentu
seorang di antara korban-korban dari jai-hwa-cat yang kemudian ternyata ialah
Ang-hong-cu, ayah kandung Tang Hay! Betulkah demikian, Ling-moi?"
Ling Ling
menggerakkan tangan mengusap air matanya dan dia pun mengangguk. "Benar
dugaanmu, Hok-ko. Aku adalah seorang korban dari jai-hwa-cat itu, yang tadinya
kukira Hay-ko orangnya. Dan engkau... engkau sudah tahu bahwa aku bukan perawan
lagi, telah ternoda, tercemar badan, nama dan kehormatanku, akan tetapi
engkau... engkau masih menyatakan cinta...?"
Sun Hok
melepaskan kedua pundak gadis itu lantas mundur dua langkah. Mereka saling
pandang dan Sun Hok mengangguk. "Benar, Ling-moi. Aku cinta kepadamu, dan
dengar baik-baik, engkaulah yang kucinta, engkau, jiwa ragamu, engkau
seutuhnya! Aku bukan mencinta nama dan kehormatanmu. Dan aku merasa bangga dan
gembira sekali bahwa engkau telah berani mengaku di depanku, hal ini menandakan
bahwa cintaku tidak keliru. Engkau seorang gadis yang hebat sekali. Akan
tetapi... Ling-moi, aku masih merasa ragu apakah seorang gadis sehebat engkau
ini akan mungkin membalas cinta kasihku? Maka jawablah, Ling-moi, sudikah
engkau menerima pinanganku dan maukah engkau menjadi calon isteriku?"
Kembali
mereka saling pandang dan sebelum Ling Ling sempat menjawab, Sun Hok telah
mendahuluinya. "Nanti dulu, Ling-moi! Jangan jawab dahulu sebelum engkau
mendengar siapa adanya diriku ini!"
"Engkau
seorang pendekar gagah perkasa dan patriotik!"
Sun Hok
menggelengkan kepala. "Jauh dari pada itu, Ling-moi. Mendiang ibuku adalah
seorang tokoh sesat yang terkenal amat lihai! Hanya saja, aku sadar akan
kesesatannya dan tidak mengikuti jejaknya. Dan yang lebih dari pada itu, aku...
aku sudah mempunyai seorang selir, Ling-moi. Jadi, kalau engkau sudi menjadi
isteriku, di sana telah menunggu seorang selir, berarti seorang madu
bagimu..."
Kini Ling
Ling mengangkat muka memandang dengan mata dilebarkan. "Seorang selir...?
Tapi, mengapa dia tidak menjadi isterimu? Siapa dia dan bagaimana hanya menjadi
selir? Ceritakanlah tentang wanita itu..."
Sun Hok
mengangguk-angguk. "Bukan isteri, hanya selir, itu pun baru seorang calon
selir. Dia tidak mau menjadi isteriku, hanya mau menjadi selir itu pun kalau
aku telah beristeri, kalau belum, dia tidak mau."
Ling Ling
semakin heran. "Hok-ko, ceritakan tentang dia!" kata Ling Ling
semakin tertarik.
Sun Hok lalu
bercerita dengan sejujurnya tentang Bhe Siauw Cin, gadis penyanyi bekas dayang
seorang pangeran di kota raja yang dipergunakan oleh Jaksa Kwan untuk merayu
dan membujuknya itu. Siauw Cin memang sudah mengaku kepadanya tentang keadaan
dirinya yang sebenarnya dan Sun Hok sudah memaafkannya. Dia menceritakan kepada
Ling Ling betapa Siauw Cin yang mencinta dirinya, tidak mau mendatangkan aib
kepada namanya dan hanya mau melayani sebagai seorang selir kalau dia sudah
menikah.
"Demikianlah,
sekarang dia berada di rumahku menjadi seorang pengurus rumah dan juru masak.
Dialah yang akan menjadi selirku kalau engkau sudi menjadi isteriku,
Ling-moi."
Ling Ling
mengerutkan alisnya dan diam-diam dia merasa kagum sekali kepada pemuda ini.
Seorang pemuda yang jujur, yang tidak malu mengakui kelemahannya dan cacatnya,
kalau pun mempunyai seorang calon selir dapat dikatakan cacat.
Agaknya
pemuda itu sengaja menceritakan hal ini untuk membangkitkan harga diri Ling
Ling sehingga setidaknya Ling Ling akan menganggap bahwa Sun Hok pun mempunyai
cacat dan seperti juga dirinya, menjadi jodohnya tidak dalam keadaan 'utuh'.
Dan biar pun harus diakuinya bahwa hatinya pernah jatuh kepada Hay Hay, namun
semenjak bertemu dengan Sun Hok, dia pun merasa tertarik dan kagum kepada
pemuda ini.
"Ling-moi,
bagaimana? Sudikah engkau menerima cintaku, sudikah engkau menjadi calon
isteriku?"
Akhirnya
Ling Ling memandang kepadanya dan menarik napas panjang. "Hok-ko, engkau
sudah menghindarkan aku dari kematian bunuh diri yang sesat, engkau seakan
memberi harapan dan kehidupan baru bagiku. Tentu saja aku merasa sangat
berterima kasih dan menerima uluran tanganmu dengan rasa syukur dan gembira.
Akan tetapi bagaimana pun juga, yang akan mengambil keputusan adalah ayah dan
ibuku. Aku akan pulang ke dusun Ciang-si-bun, menceritakan semuanya kepada
orang tuaku."
Berkata
demikian, nampak oleh Sun Hok betapa gadis itu gemetar, agaknya merasa ngeri
untuk menceritakan mala petaka yang menimpa dirinya kepada ayah ibunya. Dengan
hati penuh iba Sun Hok maju dan merangkulnya.
"Jangan
khawatir Ling-moi, aku akan menyertaimu, dan aku akan membantumu bercerita kepada
mereka, juga sekalian mengajukan pinangan karena aku sudah tidak mempunyai
orang tua yang dapat mengajukan pinangan."
Ling Ling
merasa demikian lega dan girang sehingga sejenak dia menyandarkan kepala di
dada calon suaminya itu. Kedamaian yang menenteramkan hatinya, yang
mendatangkan harapan baru baginya, yang menyelubungi hatinya. Gadis ini nampak
tersenyum manis walau pun pada kedua pipinya masih ada sisa-sisa air mata yang
tadi.
Kita manusia
hidup bagaikan mendayung perahu di tengah samudera kehidupan yang luas, penuh
dengan ombak mengalun yang menghantam biduk kita dari kanan kiri! Biduk yang
kita dayung di tengah samudera kehidupan itu silih berganti dipermainkan ombak
senang dan susah. Mulut ini sampai lelah rasanya oleh permainan tawa dan tangis
yang saling menyeling tiada henti, walau pun sepanjang hidup kita tangis datang
lebih banyak dari pada tawa.
Kita selalu
mendambakan kesenangan yang membuat kita tertawa, dan selalu menjauhi kesusahan
yang mendatangkan tangis. Akan tetapi mungkinkah itu? Mungkinkah ombak mengalun
dari satu sisi saja?
Senang dan
susah hanya suatu timbal-balik seperti terang dan gelap, seperti siang dan
malam. Tidak mungkin sepanjang hidup hanya mendapatkan senang saja tanpa pernah
menemukan susah, karena senang dan susah adalah saudara kembar yang tidak dapat
terpisahkan, seperti dua permukaan dari satu mata uang yang sama!
Kalau sudah
mengetahui ini, maka bijaksanalah orang yang tidak menjadi lupa daratan di kala
senang, dan tidak menjadi putus semangat di kala susah. Dari susah ke senang,
dan sebaliknya, hanya satu langkah saja! Lebih bijaksana lagi kalau kita mau
mengamati dan mempelajari apa sebenarnya susah dan senang itu, bagaimana
munculnya.
Sebenarnya
susah dan senang hanyalah permainan pikiran belaka, pikiran yang menilai
berdasarkan keuntungan dan kepentingan pribadi. Segala peristiwa yang
menguntungkan pribadi akan mendatangkan senang, sebaliknya yang merugikan
pribadi mendatangkan susah. Kalau pikiran tidak menimbang-nimbang, menilai,
maka segala peristiwa adalah wajar dan tidak akan menimbulkan susah senang.
Berbahagialah
manusia yang berada di luar jangkauan susah senang ciptaan pikiran ini.
Pengamatan mendalam secara pasip (tanpa mengubah) bila mana susah atau senang
menguasai batin merupakan langkah pertama ke arah kebebasan.
"Heiii,
di mana Bibi Kui Hong...?" Tiba-tiba saja Ling Ling teringat dan cepat
melepaskan diri dari rangkulan Sun Hok.
"Dia
tadi menuju ke sana..." Sun Hok menunjuk ke arah sebuah hutan kecil tak
jauh dari situ.
"Mari
kita cari Bibi Kui Hong!" Ling Ling lalu berlari ke arah itu, diikuti oleh
Sun Hok.
"Bibi
Kui Hong...! Bibi Kui Hong...!" Beberapa kali Ling Ling memanggil setelah
memasuki hutan itu.
"Lihat
itu di sana! Seperti ada kertas yang menempel di batang pohon," tiba-tiba
Sun Hok berkata sambil menunjuk pada sebatang pohon.
Ling Ling
menengok dan menghampiri sebatang pohon besar yang tadi ditunjuk Sun Hok. Benar
saja, ada kertas berlipat menempel di batang pohon itu, ujungnya tertusuk
sebuah ranting kecil. Ling Ling cepat mengambil kertas itu, lalu dibukanya dan
ternyata kertas itu adalah sehelai surat dari Kui Hong kepadanya! Segera dibacanya
surat singkat itu.
Ling Ling,
Can Sun Hok
adalah cucu seorang pangeran, dia seorang pendekar yang gagah perkasa dan baik
budi. Semoga engkau dapat hidup berbahagia dengan dia.
Bibimu, Cia
Kui Hong.
Ling Ling
tersenyum dan semakin gembira. Kiranya pemuda yang mencintanya ini bukan orang
sembarangan, melainkan cucu dari seorang pangeran, akan tetapi mengaku putera
seorang wanita tokoh sesat! Sambil tersenyum Ling Ling menyerahkan surat itu
kepada Sun Hok yang membacanya pula. Pemuda itu pun tersenyum.
"Ahhh,
kiranya wanita perkasa cucu Pendekar Sadis itu adalah bibimu? Ternyata engkau
keturunan keluarga para pendekar yang hebat. Ling-moi!"
Keduanya
melanjutkan perjalanan menuju ke dusun Ciang-si-bun di sebelah selatan kota
raja, ke tempat tinggal orang tua Cia Ling. Ketika mereka tiba di rumah Cia
Sun, kembali Cia Ling merasa tegang dan ada rasa takut menyelinap dalam
hatinya. Jika saja dia tidak pulang bersama Sun Hok, kiranya dia tidak akan
berani langsung menceritakan keadaan dirinya kepada ayah ibunya. Kehadiran Sun
Hok membesarkan hatinya, apa lagi karena selama dalam perjalanan itu Sun Hok
sudah membuktikan dirinya sebagai seorang lelaki yang menghargainya dan sopan.
Cia Sun dan
Tan Siang Wi menyambut pulangnya puteri mereka dengan gembira. Akan tetapi Tan
Siang Wi merasa agak khawatir melihat wajah puterinya yang agak pucat dan sinar
matanya yang redup seperti orang tengah menderita tekanan batin. Sedangkan Cia
Sun merasa heran pada saat melihat puterinya pulang bersama seorang pemuda
tampan yang sikapnya sederhana.
Atas bantuan
dan semangat yang diberikan oleh Sun Hok, dengan suara tersendat-sendat
bercampur tangis akhirnya dari bibir Ling Ling keluar juga kisah sedih tentang
mala petaka yang menimpa dirinya, yaitu diperkosa oleh seorang jai-hwa-cat
berjuluk Ang-hong-cu.
Baru cerita
itu tiba di bagian ini, Tan Siang Wi yang berwatak angkuh dan galak itu sudah
melompat berdiri dari kursinya, mukanya menjadi pucat lalu berubah merah
sekali, kedua tangan dikepal dan matanya mendelik.
"Aku
harus mencari Ang-hong-cu! Aku akan mengadu nyawa dengan jahanam keparat busuk
itu!"
Akan tetapi
Cia Sun yang berwatak sabar dan halus itu menyentuh lengan isterinya, lalu
berkata, "Tenang dan bersabarlah. Segalanya sudah terjadi dan mari kita
mendengarkan cerita Ling-ji lebih lanjut." Akhirnya wanita yang sangat
marah itu dapat dibikin tenang dan dengan kedua mata basah dia mendengarkan
kelanjutan cerita anaknya
Ling Ling
melanjutkan ceritanya bahwa bukan hanya dia yang menjadi korban, akan tetapi
banyak dan di antaranya seorang murid Bu-tong-pai. Kini Ang-hong-cu menjadi
buronan dan dikejar-kejar oleh puteranya sendiri yang bernama Tang Hay karena
pemuda ini ingin mencuci namanya yang tadinya menjadi pusat persangkaan dan dia
akan memaksa agar ayah kandungnya mempertanggung jawabkan semua perbuatannya
yang jahat.
Juga Ling
Ling menuturkan tentang pemberantasan gerombolan sesat yang memberontak hingga
gerombolan itu dapat dihancurkan. Begitu pula pertemuan-pertemuannya dengan Kui
Hong dan para pendekar lainnya.
"Dan
siapakah orang muda ini?" Cia Sun bertanya kepada puterinya sesudah
ceritanya selesai.
"Ayah,
dia adalah salah seorang di antara para pendekar yang ikut membantu membasmi
gerombolan pemberontak. Namanya Can Sun Hok, tinggal di kota Siang-tan. Dia...
dia... ikut bersamaku ke sini untuk... untuk..." Ling Ling tak melanjutkan
ucapannya, melainkan menoleh ke arah Sun Hok seperti hendak minta bantuan.
Sekarang
suami isteri pendekar perkasa itu memandang kepada Sun Hok. Di dalam hati
mereka terdapat rasa penasaran sebab tadi puteri mereka menceritakan tentang
aib yang menimpa dirinya di depan pemuda asing ini pula.
Sun Hok
cepat memberi hormat kepada suami isteri pendekar itu. Dia tadi amat terkesan
melihat sikap orang tua Ling Ling. Ibunya begitu galak penuh semangat dan
keberanian, ayahnya demikian pendiam dan tenang, penuh wibawa. Hatinya gentar
juga menghadapi dua orang yang perkasa ini.
"Harap
Paman dan Bibi sudi memaafkan saya. Sebenarnya amat tidak pantas kalau saya
datang menghadap sendiri untuk keperluan ini, akan tetapi mengingat bahwa saya
sudah tidak mempunyai keluarga lagi, tiada ayah bunda, maka terpaksa saya
memberanikan diri menghadap Paman dan Bibi untuk mengajukan pinangan atas diri
Ling-moi, untuk menjadi calon isteri saya kalau Paman dan Bibi sudi menerima
saya yang bodoh dan yatim piatu sebagai calon mantu."
Suami isteri
itu saling pandang dan tampak ibu Ling Ling membelalakkan kedua matanya, lalu
menoleh kepada puterinya.
"Dia...
dia sudah tahu... tentang dirimu...?" tanyanya kepada Ling Ling.
Ling Ling
mengangguk. "Sudah, Ibu. Bahkan dia telah menduganya sebelum aku berterus
terang kepadanya. Aku tentu telah mati membunuh diri dengan terjun ke jurang
kalau saja tidak ada Hok-ko ini yang mencegahku. Dia tidak peduli dengan aib
yang menimpa diriku, bahkan dia merasa iba kepadaku."
Mendengar
ini ibu Ling Ling merasa terharu dan suami isteri itu tentu saja tidak menolak,
malah berterima kasih sekali kepada pemuda itu yang telah menyelamatkan nyawa
puteri tunggal mereka, bahkan bersedia pula mencuci aib itu dengan menikahinya.
Akan tetapi, sebagai seorang wanita yang terkenal angkuh, belum puas rasa hati
Tan Siang Wi kalau belum mendapat keterangan tentang asal-usul pemuda yang akan
menjadi menantunya. Maka secara langsung saja dia lalu bertanya mengenai orang
tua pemuda itu, walau pun ayah ibu pemuda itu telah meninggal dunia.
"Ibu,
Hok-ko adalah cucu seorang pangeran," kata Ling Ling untuk mengangkat
pemuda itu dalam pandangan ibunya.
Akan tetapi
Sun Hok segera berkata. "Ah, keturunan bangsawan itu sudah tidak termasuk
hitungan lagi. Memang kakek saya adalah Pangeran Can Seng Ong yang pernah
menjadi gubernur di Ning-po. Kemudian kakek saya pindah ke Siang-tan. Ayah saya
bernama Can Koan Ti, ada pun ibu saya... bernama Gui Siang Hwa dan mereka sudah
meninggal dunia semua..."
Tiba-tiba
Tan Siang Wi meloncat dari kursinya. Matanya terbelalak karena dia ingat benar
dengan nama itu. "Gui Siang Hwa? Benarkah nama ibumu adalah Gui Siang Hwa,
murid Raja dan Ratu Iblis?"
Sambil
menundukkan mukanya Sun Hok berkata, "Benar, Bibi, mendiang ibu saya
adalah seorang tokoh sesat."
Cia Sun juga
tertegun, lebih lagi Tan Siang Wi. Ia pernah bentrok dengan Gui Siang Hwa dan
teringatlah dia akan masa lalu. Ketika dia masih seorang gadis, pernah dia
bertanding melawan Gui Siang Hwa yang amat lihai dan dia kalah bahkan tertawan
oleh wanita iblis itu.
Wanita ini
menjadi bingung. Ia bermantukan putera Gui Siang Hwa yang terkenal dengan
julukan Siang-tok Sian-li (Dewi Racun Wangi) itu? Tidak mungkin! Akan tetapi
dia pun lalu teringat akan keadaan puterinya yang sudah ternoda, dan ingat
betapa putera Gui Siang Hwa ini adalah seorang pendekar, bahkan seorang
patriot! Maka dia terduduk kembali dan termangu-mangu memandang suaminya.
Cia Sun
menghela napas panjang. "Di dalam hidup manusia ada tiga hal yang sudah
ada garisnya, sudah ditentukan dan diatur oleh kekuasaan Thian, yaitu
kelahiran, perjodohan dan kematian. Sebagai manusia kita hanya dapat menerima
saja. Dan dalam perjodohan yang terpenting adalah cinta kasih antara dua orang
yang berjodoh. Can Sun Hok, apakah engkau benar-benar mencinta puteri kami Cia
Ling?" Sambil bertanya sinar mata Cia Sun dengan tajam mengamati wajah
pemuda itu. Sun Hok balas memandang dan menjawab dengan suara yang tenang dan
tegas, tanpa ragu-ragu.
"Saya
mencinta Ling-moi dengan sepenuh hati, Paman."
"Dan
engkau, Ling Ling, apakah engkau mencinta Can Sun Hok?" Sekarang pendekar
itu memandang kepada Ling Ling. Wajah gadis ini berubah merah dan sambil
mengerling ke arah Sun Hok, dia pun menjawab dengan lantang dan tegas.
"Ayah,
aku... aku cinta padanya."
Cia Sun
kelihatan puas lantas mengangguk-angguk. "Bagus, kalau begitu kami orang
tua hanya tinggal melaksanakan saja pernikahan antara kalian berdua. Kita akan
memilih hari dan bulan baik, kemudian merayakan pernikahan kalian secara
sederhana saja."
Dengan hati
gembira keluarga itu lalu merayakan kepulangan Ling Ling, juga merayakan
perjodohan antara kedua orang muda itu. Cia Sun serta isterinya akhirnya merasa
puas dan gembira juga mendengar riwayat hidup Can Sun Hok yang tanpa
merahasiakan lagi menuturkan pertemuannya dengan Ceng Sui Cin yang tadinya
dianggap musuh besarnya, betapa kemudian dia sadar sesudah mendengar wejangan
wanita perkasa itu. Walau pun mendiang ibunya adalah seorang tokoh sesat yang
terkenal jahat, akan tetapi pemuda ini agaknya tidak mewarisi kejahatan ibunya.
Demikianlah,
seperti bergantinya hujan dan mendung dengan sinar matahari yang cerah, setelah
mengalami penderitaan batin karena diperkosa orang yang hampir saja membuat
Ling Ling membunuh diri, sekarang gadis itu menemukan kebahagiaan di samping
Can Sun Hok yang mencintanya.
Sesudah
menjadi isteri pemuda itu dan dibawa pulang ke Siang-tan, ke rumah megah di
mana dia dipertemukan dengan Bhe Siauw Cin, hati Ling Ling menjadi semakin
gembira. Bhe Siauw Cin ternyata seorang wanita muda yang selain cantik jelita,
juga ramah dan halus budi bahasanya, pandai membawa diri dan meski pun dia
seorang bekas penyanyi dan penghibur panggilan kelas tinggi, tetapi dia cerdas
dan memiliki banyak pengetahuan sehingga Ling Ling yang kini menjadi 'Nyonya
besar' banyak belajar dari wanita ini, juga dalam melayani suaminya.
Pada masa
itu merupakan hal yang lajim bagi seorang pria, apa lagi kalau dia seorang
bangsawan atau hartawan, untuk memiliki isteri lebih dari seorang walau pun
isteri yang lain dinamakan selir. Ling Ling hidup berbahagia di samping
suaminya dan madunya.
***************
Nasib Pek
Eng tidaklah sebaik nasib Ling Ling yang mendapatkan seorang suami yang di
samping mencintanya juga sangat dicintanya. Akan tetapi, bila mengingat
peristiwa yang mendatangkan aib bagi diri Pek Eng, nasibnya masih dapat
dinamakan baik juga.
Ayahnya, Pek
Kong yang menjadi Ketua Pek-sim-pang, secara diam-diam menemui Song Bu Hok dan
mengajaknya berbicara empat mata. Sesudah memesan kepada pemuda itu bahwa semua
yang akan dibicarakan merupakan rahasia besar keluarga Pek, dan hanya kepada
Song Bu Hok seorang Ketua Pek-sim-pang itu memberi tahukan, juga meminta kepada
pemuda itu agar menyimpannya sebagai rahasia sampai mati, barulah Pek Kong
menceritakan tentang peristiwa yang menimpa diri puterinya.
Song Bu Hok
adalah seorang pemuda keturunan orang-orang gagah pekasa. Walau pun wataknya
agak tinggi hati namun mempunyai jiwa yang gagah perkasa, seorang pendekar yang
selalu menentang kejahatan dan membela keadilan. Mendengar betapa gadis yang
dicintanya, yang kini menjadi calon isterinya karena pinangan ayahnya telah
diterima oleh keluarga Pek, diperkosa oleh jai-hwa-cat Ang-hong-cu, dia menjadi
marah sekali.
"Saya
akan mencari jahanam itu dan akan saya bunuh dia!" katanya penuh geram.
"Bukan
itu maksudku mengapa aku membuka rahasia ini kepadamu, Anakku," kata Pek
Kong. "Akan tetapi kami sekeluarga menunggu keputusanmu mengenai ikatan
perjodohan antara engkau dan Eng-ji."
Bu Hok
menatap calon ayah mertuanya dengan tajam dan heran. "Keputusan apakah?
Bukankah ikatan perjodohan itu telah diputuskan dan kedua pihak telah
menyetujuinya?"
"Akan
tetapi, setelah mala petaka yang menimpa keluarga kami, setelah tunanganmu itu
tercemar, mendapatkan aib... bagaimana pendirianmu?"
Bu Hok
mengerutkan alisnya. "Gak-hu (Ayah Mertua), aib yang menimpa tunangan sama
dengan aib yang menimpa diri sendiri. Tentu saja saya tidak menyalahkan
Eng-moi, saya tetap menghormati dan mencintanya."
Wajah Pek
Kong yang tadinya muram sekarang terlihat cerah ketika dia mengamati wajah Song
Bu Hok dengan tajam dan penuh selidik. "Engkau tidak akan merasa kecewa
atau menyesal, juga tidak akan memandang rendah, menghina atau membenci Eng-ji
karena peristiwa itu?"
"Mengapa
saya harus begitu? Eng-moi tidak bersalah. Keparat busuk itulah yang bersalah
dan kelak saya akan mencarinya untuk menuntut balas! Mengenai perasaan saya
kepada Eng-moi... saya kira tidak akan berubah, Gak-hu, bahkan bertambah dengan
satu macam perasaan lagi, yaitu iba. Kasihan Eng-moi yang tertimpa kemalangan
seperti itu. Saya tetap menghormati dan mencintanya, Gak-hu."
"Bagus,
sungguh sikapmu ini jantan dan mulia, Bu Hok, dan engkau sudah membuat hati
kami menjadi tenang. Terima kasih! Dan tentunya engkau akan menyimpan aib dari
calon isterimu sendiri, bukan?"
"Tentu
saja! Sampai mati peristiwa yang saya dengar dari Gak-hu ini tak akan keluar dari
mulut saja, bahkan mulai saat ini pun sudah saya lupakan."
Demikianlah,
akhirnya Pek Eng juga terangkat dan namanya tercuci bersih karena dia menikah
dengan Song Bu Hok, putera tunggal Song Un Tek Ketua Kang-jiu-pang, yang
menurut pendapat orang banyak, merupakan kedudukan terhormat dan menyenangkan.
Song Bu Hok
terkenal sebagai seorang pemuda yang gagah perkasa berwatak baik, juga dari
keluarga terhormat, disegani oleh dunia kang-ouw. Memang Pek Eng tidak memiliki
perasaan cinta kepada Song Bu Hok, akan tetapi dia merasa berhutang budi karena
Song Bu Hok tetap menghormati dan mencintanya, bahkan bersedia menikah
dengannya. Hal ini saja sudah membuat dia bersyukur dan berhutang budi sehingga
setelah menikah, Pek Eng berusaha keras untuk dapat menumbuhkan perasaan cinta
terhadap suaminya.
***************
Hay Hay
seperti sudah gila. Dia meninggalkan bukit di mana Ang-hong-cu yang mengaku
bernama Han Lojin itu ditahan kemudian melarikan diri, meninggalkan sajak yang
bahkan membuat Hay Hay menderita pukulan batin yang paling hebat. Dia berlari
meninggalkan tempat itu sambil mengerahkan seluruh tenaganya berlari cepat.
Bagaikan terbang saja tubuhnya meluncur ke depan tanpa ada tujuan tertentu,
lari dan lari terus, seolah-olah dia hendak lari dari kenyataan yang amat pahit
getir dan merobek-robek perasaan batinnya itu.
Sambil
berteriak seperti kuda gila, pikirannya dipenuhi bayangan-bayangan yang semakin
menusuk hatinya. Bahwa ayahnya adalah seorang jai-hwa-cat kelas berat, hal itu
hanya merupakan luka yang sudah lama. Namun luka itu kini ditambah lagi dengan
kenyataan betapa ayahnya sudah mencemarkan Pek Eng dan bahkan memperkosa Cia
Ling secara keji. Lebih dari itu malah, ayah kandungnya itu agaknya memang
sengaja melakukan hal itu untuk merusak namanya, agar semua orang menuduh dia
sebagai pelakunya.
"Ang-hong-cu...!
Keparat jahanam, di mana engkau...?!" Akhirnya dia pun berteriak-teriak,
mengerahkan khikang hingga suaranya melengking dan bergema sampai jauh.
Dia berlari
terus, naik-turun gunung, melompati jurang-jurang. Kadang kala dia
berteriak-teriak menyebut nama Ang-hong-cu, kadang-kadang nampak pula air mata
bercucuran di sepanjang kedua pipinya. Dia berlari terus, tanpa pernah
mengurangi tenaganya.
Betapa pun
terlatih dan kuatnya, tenaga manusia tetap terbatas dan akhirnya, menjelang
senja Hay Hay roboh terpelanting di atas rumput, di sebuah lereng bukit yang
sunyi. Dia roboh dan pingsan karena kelelahan dan kehabisan tenaga. Seperti
sudah mati tubuhnya rebah miring setengah menelungkup di antara rumput tebal
hijau segar. Dan kini, setelah roboh pingsan, wajahnya yang tadinya penuh
dengan linangan air mata dan nampak lesu, muram dan berkerut-kerut, kini
berubah menjadi tenang bahkan ada setengah senyuman membayang pada mulutnya.
Segala macam
duka, benci, takut dan sebagainya adalah perasaan yang muncul sebagai
kembangnya pikiran. Pikiranlah yang menjadi biang keladi dari segala macam
emosi dan sentimen dalam batin kita. Pikiran mengenang masa lalu, membayangkan
masa depan, pikiran yang menimbang-nimbang dan menilai untung rugi terhadap
diri kita, menciptakan segala macam perasaan itu.
Bahkan duka
dan pikiran bukan dua hal yang berlainan! Duka adalah pikiran itulah. Yang
merasa punya diri, yang merasa ada aku, juga pikiran itu dan iba diri timbul
pula dari permainan pikiran. Iblis tidak berada jauh dari diri kita, bersarang
di dalam pikiran, setiap saat membisikkan bermacam kata-kata berbisa, mulai
dari yang manis merayu sampai yang mencaci maki dan menusuk perasaan. Betapa
pun duka atau benci atau takutnya seseorang apa bila pikirannya tidak bekerja
lagi, dalam tidur, dalam pingsan seperti Hay Hay, maka semua bentuk perasaan
duka, benci, takut dan sebagainya itu akan lenyap pula!
Oleh karena
itu tidak ada artinya untuk mengalahkan duka, benci atau pun takut, selama
pikiran masih menjadi bisikan iblis. Kalau yang berusaha mengalahkan duka itu
pikiran, maka yang muncul hanyalah pelarian, hiburan, dan semua ini kosong dan
sia-sia belaka, karena duka adalah pikiran itu sendiri! Bagaimana mungkin
pikiran melarikan diri dari dirinya sendiri?
Yang penting
adalah melepaskan belenggu ikatan pikiran, ikatan si aku, membebaskan diri dari
semua permainan pikiran yang menyenangkan masa silam dan membayangkan masa
depan. Bukan aku yang membebaskan, karena yang mengaku sebagai 'aku yang
berusaha membebaskan' bukan lain adalah pikiran pula, dalam bentuk lain.
Pikiran
memang lihai dan lincah, seperti Sun Go Kong (Si Raja Monyet} dalam dongeng
See-yuki. Lalu timbul pertanyaan, yaitu bagaimana caranya untuk membebaskan
diri dari pikiran ini? Pertanyaan ini pun masih sekali tiga uang, sama saja,
karena yang bertanya itu juga si aku atau pikiran yang mempunyai pamrih untuk
bebas dari pikiran agar tidak ada duka lagi! Setiap gerakan dari pikiran sudah
pasti berpamrih, karena pusatnya adalah si aku yang ingin senang!
Jadi. Tidak
ada pamrih membebaskan diri, namun sadar akan bekerjanya pikiran kita sendiri
yang menjadi sumber dari segala perasaan. Dan tidak pernah terdapat cara untuk
membebaskan pikiran, karena pikiran adalah aku atau kita sendiri! Akan tetapi
dengan sepenuh kewaspadaan mengamati diri, mengamati apa yang terjadi di dalam
dan di luar diri, di dalam pikiran, mengamati diri ketika timbul duka, benci,
takut. Pengamatan inilah yang amat penting.
Pengamatan
tanpa pamrih, pengamatan tanpa ada si aku yang mengamati sebab kalau begini,
tentu si aku akan menilai dan mengubah, mencela dan memuji. Yang ada hanya
PENGAMATAN saja, dengan penuh kewaspadaan, dengan penuh perhatian dan dengan
menyeluruh, namun sedikit pun tidak ada pamrih mengubah atau boleh disebut
secara pasip saja.
Angin
semilir menggoyangkan rumput-rumput hijau, juga membuat rambut di kepala Hay
Hay berkibar. Angin dingin meniup kepalanya sementara hawa dingin menyusup ke
dalam kepala, menggugah Hay Hay yang pingsan seperti orang tertidur itu. Dia
membuka mata, menggerakkan tubuhnya lantas bangkit duduk. Teringat dia akan
semua yang terjadi dan dia pun menampar kepala sendiri, lirih, lalu tersenyum.
"Hay
Hay, apakah engkau sudah gila? Membiarkan diri terseret oleh kedukaan dan malu?
Tenanglah, tidak ada suatu apa pun tidak dapat diatasi di dunia ini."
Dia pun
bangkit berdiri, merentangkan kedua lengannya ke atas, menghirup udara segar
hingga sepenuh paru-paru dan perutnya, lalu menghembuskannya perlahan dan
perasaan lega dan sejuk menyusup sampai ke dalam dirinya yang paling dalam. Dia
pun tersenyum lagi dan kembalilah dia seperti keadaan Hay Hay semula, sebelum
diracuni duka. Juga perasaan benci terhadap Ang-hong-cu tidak terasa lagi.
Dia
mengangguk-angguk, merasa bersyukur melihat keadaan dirinya. Kemudian perlahan
dia menghampiri sebuah batu besar di bawah pohon tidak jauh dari situ, lalu dia
duduk di atas batu. Tempat itu sunyi dan sejuk sekali.
Langit senja
begitu indahnya, menciptakan awan beraneka warna dan di sudut barat langit
terbakar warna merah muda. Di antara kelompok awan yang bentuknya laksana
biri-biri putih salju nampak sinar biru dan ungu, juga ada awan besar yang
menghitam yaitu awan mendung yang bagaikan raksasa malas, bergerak
perlahan-lahan tak secepat awan-awan putih di sekitarnya. Langit bagaikan
pantulan lautan yang amat luas, dengan awan-awan itu mengambang di atasnya
secara terbalik, hanyut bersama arus angin.
Di bawah
tidak kalah indahnya. Rumput di padang itu hijau kekuningan, segar dan tampak
hidup setelah seharian penuh dibakar matahari, kini agaknya dengan penuh
harapan siap menyambut selimut malam yang hitam dan sejuk. Pohon-pohon besar
bagaikan raksasa-raksasa berjajar, siap untuk memasuki alam gelap malam yang
penuh rahasia. Burung-burung sudah sibuk memilih tempat tidur mereka di antara
daun-daun dan ranting-ranting, suara mereka bagaikan celoteh yang cerewet
menceritakan pengalaman masing-masing sehari yang lalu.
Hay Hay
duduk bersila di atas batu. Sebelum membiarkan diri tenggelam dalam siu-lian
(semedhi), dia lebih dulu mengenangkan segala yang terjadi. Tentang Pek Eng,
tentang Cia Ling, tentang Hui Lian, Kui Hong, dan mereka yang ditemuinya,
tentang pertempuran hebat itu. Dan dia melihat betapa dia dituduh karena
sikapnya yang manis terhadap setiap wanita yang dijumpainya. Dia dianggap mata
keranjang! Mata keranjang!
Dia mencari
arti dari kata-kata sebutan ini. Mata keranjang! Seorang pria yang suka sekali
kepada wanita cantik? Seorang pria yang selalu tertarik kepada wanita cantik?
Yang suka memuji-muji kecantikan wanita yang dijumpainya? Itukah yang disebut
mata keranjang?
Pasti bukan
seperti Ang-hong-cu! Dia bukan sekedar mata keranjang, melainkan perusak,
penjahat yang berhati kejam dan keji. Tidak, dia tidak seperti Ang-hong-cu,
sungguh pun harus diakuinya bahwa dia senang sekali melihat wanita cantik,
tertarik akan kecantikan wanita dan suka memuji-muji kecantikan itu.
Apa salahnya
dengan ini? Apa salahnya kalau pria itu mata keranjang? Bukankah setiap orang
pria, apa bila dia itu normal, memang mata keranjang? Bukankah daya tarik atau
kecantikan wanita terhadap pria itu sudah alami!
Setiap orang
pria normal sudah pasti suka melihat kecantikan wanita, sudah pasti tertarik
hatinya, sudah pasti memujinya meski hanya dalam hati. Hanya bedanya, dia tidak
mau menyimpan perasaan suka ini menjadi rahasia, tapi dia selalu berterus
terang, dia memuji kecantikan wanita seperti memuji keindahan bunga dan dia
memperoleh kenikmatan batin kalau dia menyampaikan pujiannya itu kepada si
empunya kecantikan.
Apa salahnya
dengan itu? Dia tak suka untuk berpura-pura, menikmati kecantikan wanita sambil
sembunyi-sembunyi, melirik dari sudut, memuji di dalam hati, bahkan
berpura-pura alim dan berpura-pura tidak suka! Ini munafik namanya!
Dia lantas
teringat akan ayah kandungnya. Tidak, dia tidak membenci ayah kandungnya.
Perasaan benci adalah racun, ini dia tahu benar. Akan tetapi dia pun tahu
betapa jahatnya Ang-hong-cu, dan betapa berbahayanya membiarkan orang seperti
itu berkeliaran dengan bebas. Tentu akan berjatuhan lagi korban-korban baru.
Gadis-gadis
cantik yang tidak berdosa, seperti bunga-bunga indah yang dipetik secara kasar,
dipermainkan lalu dicampakkan begitu saja, mati melayu di selokan, di tepi
jalan, terinjak-injak kaki! Bagaimana pun juga dia harus mencari Ang-hong-cu
sampai dapat, dia harus minta pertanggungan jawab laki-laki itu. Setidaknya dia
akan membuktikan bahwa dia memegang janji, kepada Bu-tong-pai, kepada Pek Han
Siong dan Pek Eng, kepada Kui Hong dan Ling Ling.
Hatinya
terasa tenteram dan Hay Hay lalu tenggelam ke dalam semedhi...
T A M A T
Serial selanjutnya : Si Kumbang Merah Pengisap Kembang
***** Sahabat Karib.com *****
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment