Monday, September 10, 2018

Cerita Silat Serial Pendekar Sadis Jilid 33



























            Cerita Silat Kho Ping Hoo    
           Serial Pendekar Sadis
                      Jilid 33


Kim Hong menjadi repot juga sesudah lawannya mempergunakan langkah-langkah ajaib, terutama sekali dengan adanya serangan-serangan hebat dengan senjata caping. Belum pernah dia menghadapi senjata seperti itu, yang kadang-kadang dapat berputar demikian cepatnya sehingga mengeluarkan suara mengiang-ngiang dan berdesing-desing, dan juga harus diakuinya bahwa langkah-langkah ajaib kakek itu benar-benar luar biasa sekali.

Bahkan keunggulannya dalam hal ginkang tidak banyak menolong. Gerakannya memang lebih cepat, akan tetapi dengan langkah-langkah aneh, tahu-tahu kakek itu sudah berada di belakangnya dan sudah menghujaninya dengan serangan-serangan dahsyat!

Beberapa kali hampir saja dia menjadi korban serangan mendadak yang datangnya tidak tersangka-sangka itu. Biar pun dia telah membalas dengan serangan-serangan dahsyat juga, namun tetap saja perpaduan antara senjata caping dengan langkah-langkah ajaib itu membuatnya benar-benar kewalahan.

“Srattttt…!”

Tiba-tiba saja nampaklah sepasang sinar hitam berkelebat dan ternyata Kim Hong sudah mencabut keluar Hok-mo Siang-kiam, sepasang pedang hitamnya. Dua batang pedang hitam itu segera digerakkan dengan kecepatan kilat, lenyap bentuk pedangnya dan yang nampak hanyalah gulungan sinar hitam yang menyambar-nyambar seperti kilat, yang satu menahan gerakan caping setiap kali menyambar ke arahnya dan yang ke dua membalas dengan serangan balasan yang dahsyat pula.

Akan tetapi tentu saja Kim Hong juga menjaga perasaan Thian Sin, maka dia tidak mau kalau sampai pedangnya melukai apa lagi membunuh lawan. Oleh karena itu, begitu dia sudah berhasil memecahkan desakan lawan dan kini berbalik dia mendesak dengan ilmu Pedang Hok-mo Kiam-sut yang lihai, tiba-tiba dia melihat bayangan caping menyambar ke arah kepalanya. Dia tidak menangkis, melainkan cepat menundukkan kepala dan gerakan kepalanya yang mengelak ini dilakukan dengan keras-keras.

Lawannya hanya mengira bahwa gadis itu mengelak dengan menggerakkan kepala, tidak tahu bahwa dengan gerakan kepala itu, tiba-tiba saja sanggul rambut Kim Hong terlepas, lantas gumpalan rambut itu mengirim totokan ke arah pergelangan tangan lawan!

“Tukkk!”

“Ahhhhh…!” Liang Sim Cinjin sama sekali tidak pernah menduga akan serangan hebat ini dan tahu-tahu pergelangan tangannya telah tertotok, membuat jari-jemari tangannya yang memegang caping menjadi lumpuh dan tentu saja caping itu terlepas dari pegangannya.

Saat dia hendak menyambar caping itu dengan tangan, dua sinar pedang menghalanginya. Terpaksa dia meloncat mundur hingga caping itu menggelinding di atas tanah. Kakek itu menarik napas panjang dan berkata,

“Sungguh luar biasa sekali kepandaian nona. Aku yang sudah tua dan tidak berguna ini mengakui keunggulanmu!”

Kim Hong menyimpan sepasang pedangnya lalu menjura sambil tersenyum. “Terima kasih locianpwe telah mengalah, dan aku pun tidak ingin bermusuhan dengan siapa pun juga kecuali orang-orang yang berbuat jahat. Aku tak berani mengangkat diri sebagai pendekar, akan tetapi saat ini tidak ada sedikit pun niat jahat dalam hatiku.” Dan dia pun mundur.

Thian Sin meloncat maju ke depan. “Kuharap cu-wi sekalian dapat menginsyafi keadaan kami berdua. Kami tidak sengaja memusuhi Kun-lun-pai, dan tentang sikap kami terhadap para penjahat, hal itu tak ada sangkut-pautnya dengan orang lain. Akan tetapi kami telah datang ke sini untuk mempertanggung jawabkan semuanya, bukan untuk membiarkan diri ditangkap karena kami tidak merasa bersalah. Maka, jika masih ada yang penasaran dan hendak memberi hukuman kepadaku, silakan maju, selagi aku berada di sini!” Kata-kata ini cukup keras.

Wajah kedua orang pemimpin Kun-lun-pai sudah berubah merah karena penasaran dan marah melihat betapa dua orang di antara tamu-tamu mereka sudah dikalahkan oleh dua orang muda pengacau itu. Kesalahan-kesalahan lama dari Pendekar Sadis belum diadili, tapi kini telah dibuatnya kesalahan-kesalahan baru dengan menandingi dan mengalahkan dua orang tamu terhormat dari Kun-lun-pai yang berarti sudah menghina Kun-lun-pai pula!

Mereka sudah bangkit dan hendak maju, akan tetapi pada saat itu pula Han Tiong sudah meloncat ke depan. Wajah pemuda ini agak pucat ketika dia menghadapi Thian Sin.

“Bagus sekali, Ceng Thian Sin! Engkau memang gagah perkasa! Nah, coba sekarang kau perlihatkan bagaimana caranya engkau akan membunuh aku!” Setelah berkata demikian, Han Tiong sudah maju menyerang dengan totokan It-sin-ci (Totokan Satu Jari), tujuh kali berturut-turut.

“Tiong-ko… jangan…!” Thian Sin mengelak ke sana-sini dan karena dia tak mau melawan, tentu dia akan terkena totokan-totokan maut itu jika saja Kim Hong tidak tiba-tiba menarik lengannya dari belakang.

“Tiong-ko… jangan mengangkat tangan terhadap diriku…,” Thian Sin meratap, suaranya terdengar penuh kepiluan.

“Agaknya hanya kalau aku menyerahkan nyawaku kepadamu maka engkau akan puas!” kata Han Tiong dan dia sudah menerjang lagi.

“Dukkk…!” Kim Hong yang menangkis.

“Bagus, kalian berdua boleh maju dan membunuhku, lebih baik begitu!” kata Han Tiong kepada kedua orang itu. Keadaan menjadi tegang sekali dan saat itu digunakan oleh Kui Yang Tosu untuk berseru dengan lantang.

“Saudara-saudara sekalian, ketahuilah bahwa Nona Toan Kim Hong ini bukan lain adalah Lam-sin, datuk kaum sesat dari dunia selatan itu! Nah, kalau sahabatnya adalah Lam-sin, mudah kita ketahui manusia macam apa adanya Pendekar Sadis.”

Sebelum Thian Sin menjawab, Kim Hong sudah mendahuluinya, bukan jawaban langsung kepada Kui Yang Tosu, melainkan ditujukan kepada semua orang yang hadir di tempat itu, suaranya lantang, sikapnya menantang,

“Benar sekali! Memang aku pernah menjadi Lam-sin! Akan tetapi, kini Lam-sin telah tidak ada, yang ada hanyalah Toan Kim Hong! Semenjak aku bertemu dengan Pendekar Sadis, Lam-sin sudah kuenyahkan dan Bu-tek Kai-pang telah kububarkan. Pendekar Sadis yang telah membuat aku sadar dan meninggalkan dunia hitam!”

Thian Sin yang melihat kakaknya sudah maju, kini tidak mau banyak ribut lagi. Dia cepat menarik tangan Kim Hong sambil berkata, “Sudahlah, Kim Hong. Marilah kita tinggalkan orang-orang yang baik-baik ini, kita orang-orang yang jahat tentu saja tidak ada harganya untuk berbincang-bincang dengan orang-orang yang baik-baik dan bersih ini. Tiong-ko, maafkan aku, sungguh tak kukira akan begini jadinya di antara kita. Maafkan, Tiong-ko…” Suaranya mengadung isak dan dia sudah menarik tangan Kim Hong, langsung diajaknya pergi dengan cepat dari tempat itu.

Kui Yang Tosu yang sudah marah itu lalu berseru, “Kejar mereka!”

“Tahan…!” Tiba-tiba saja Han Tiong berteriak dan dia pun sudah melompat ke depan dan menghadang Kui Yang Tosu dan yang lain-lain. Semua orang memandang kepadanya dan Kui Yang Tosu mengerutkan alisnya.

“Cia-taihiap, apakah sekarang engkau berbalik hendak melindunginya?”

Han Tiong menggelengkan kepalanya. “Tidak, akan tetapi lupakah totiang bahwa totiang mengundang kami untuk rapat besok pagi di mana akan dibicarakan mengenai Pendekar Sadis? Mereka yang berkepentingan belum lagi datang, rapat belum diadakan, keputusan belum diambil, apakah sekarang totiang sudah hendak melakukan tindakan tanpa adanya keputusan rapat terlebih dahulu? Apakah totiang atau Kun-lun-pai hendak membelakangi Cin-ling-pai dan Lembah Naga?”

Semua orang menjadi terkejut dan Kui Im Tosu berseru, “Siancai… siancai… siancai…! Sute, kesabaran harus diutamakan, hati boleh saja panas akan tetapi kepala harus dingin. Ucapan Cia-taihiap memang tepat. Kita harus menanti sampai rapat besok.”

Kui Yang Tosu merangkap kedua tangan di depan dada sambil berkata, “Siancai… pinto mohon maaf…

Sambil menanti datangnya esok hari, Han Tiong menyendiri di dalam markas Kun-lun-pai itu. Dia merasa berduka sekali dan juga bingung memikirkan Thian Sin. Dia membutuhkan nasehat orang-orang tua, maka dia mengharapkan kedatangan ayahnya dan juga ketua Cin-ling-pai. Dia sendiri kini tak mungkin lagi dapat mempertanggung jawabkan perbuatan Thian Sin setelah adiknya itu datang sendiri tadi.


                 ***************


Pada keesokan harinya, makin banyak pendekar yang datang untuk memenuhi undangan Kun-lun-pai sehingga ruangan tamu itu dipenuhi oleh kurang lebih lima puluh orang tokoh utama dunia persilatan golongan bersih atau para pendekar. Kedatangan Cia Sin Liong bersama isterinya disambut dengan hormat oleh para pendekar, dan tentu saja Han Tiong girang sekali melihat kedatangan ayah ibunya. Segera dia menghadap dan menceritakan semua yang telah dialaminya dalam pertemuannya dengan adiknya itu.

Mendengar penuturan puteranya itu, Cia Sin Liong menarik napas panjang berkali-kali. Ia teringat kepada kakak angkatnya, Pangeran Ceng Han Houw sehingga beberapa kali dia bertukar pandang dengan isterinya ketika mendengar cerita putera mereka. Kemudian dia berkata,

“Ahh, dia mewarisi jiwa pemberontak dan pendendam seperti ayah kandungnya. Agaknya sifat itu terpendam dalam-dalam pada sanubarinya sehingga gemblengan pamannya Hong San Hwesio dan pendidikan dariku kepadanya hanya menutupi sementara saja.”

Isteri Pendekar Lembah Naga, yaitu Bhe Bi Cu tertarik sekali mendengar tentang wanita yang menjadi kekasih dan calon isteri Thian Sin. “Lam-sin? Aihhh, bagaimana bisa Thian Sin memperoleh jodoh seorang datuk kaum sesat?”

“Akan tetapi menurut penuturan Tiong-ji, Lam-sin sudah berubah menjadi seorang gadis, Toan Kim Hong keturunan seorang pangeran yang ilmunya lihai bukan main. Asalkan dia betul-betul sudah sadar dan telah mengubah jalan hidupnya, maka tak ada halangannya,” kata Cia Sin Liong.

“Bukan main!” kata pula Bhe Bi Cu. “Siapa kira bahwa nenek yang telah menyelamatkan Lian Hong dan kemudian menjadi gurunya itu, yang terkenal sebagai datuk kaum sesat yang menyeramkan, ternyata adalah penyamaran seorang gadis muda!”

“Dan gadis itu telah memiliki kepandaian tinggi, sungguh merupakan pasangan yang amat cocok bagi Thian Sin.” kata suaminya.

Han Tiong mengerutkan alisnya, “Ayah dan ibu, memang kulihat bahwa mereka itu saling mencinta, sama keras hatinya dan Nona Toan itu pun cantik jelita. Agaknya segalanya memang tidak mengecewakan apa bila dia menjadi jodoh Sin-te, hanya saja… ahh, kalau mereka menjadi suami isteri lalu keduanya kembali lagi ke jalan sesat, tentu akan sukar sekali untuk mengatasi mereka bila mereka bergabung. Ilmu kepandaian Sin-te telah maju pesat sekali, ayah, dia sudah mewarisi ilmu peninggalan ayah kandungnya, dan agaknya tingkat kepandaian calon isterinya itu pun tidak kalah olehnya. Pasangan itu akan menjadi pasangan yang mungkin sulit dicari bandingnya, seperti pasangan ketua Cin-ling-pai saja.”

Selagi pemuda itu bercakap-cakap dengan ayah bundanya, datanglah seorang kakek dan seorang nenek yang disambut dengan penuh penghormatan. Usia kakek itu sudah hampir delapan puluh tahun dan nenek itu pun sebaya dengannya, akan tetapi mereka berdua masih nampak sehat dan masih nampak bekas-bekas ketampanan dan kecantikan wajah mereka. Kakek itu bukan lain adalah Yap Kun Liong dan nenek itu adalah Cia Giok Keng, suami isteri yang melalui masa tuanya di tempat sunyi dan damai, yaitu di puncak Gunung Bwe-hoa-san.

Sesudah mereka disambut girang dengan hormat oleh pihak Kun-lun-pai dan para tamu, dan disambut girang oleh Cia Sin Liong sekeluarga, baru kakek dan nenek itu mempunyai kesempatan untuk mengadakan pertemuan sendiri bersama Cia Sin Liong sekeluarga.

“Paman dan bibi, mengapa ayah tidak dapat datang?” Sin Liong bertanya kepada kedua orang kakek dan nenek itu.

Tadinya Sin Liong mengira bahwa tentu ketua Cin-ling-pai, yaitu ayahnya, Cia Bun Houw, akan datang sendiri. Akan tetapi ternyata kini diwakilkan kepada nenek itu yang menjadi kakak dari ayahnya, bersama kakek yang menjadi suami ke dua dari nenek itu setelah dia kematian suaminya yang pertama.

“Pertama, ada terjadi sesuatu yang tak enak sehingga ayahmu tidak datang sendiri untuk bicara tentang Ceng Thian Sin. Dan kedua kalinya, Thian Sin adalah anak Ciauw Si, jadi dia itu adalah cucuku sendiri, maka menurut ayahmu, lebih tepat kalau aku yang datang,” demikian jawab Nenek Cia Giok Keng. “Dan memang kami anggap pendapat ayahmu itu benar. Aku yakin akan dapat bicara kepada Thian Sin kalau sudah bertemu dengan dia. Ahh, anak itu nakal sekali!”

“Telah terjadi hal apakah yang membuat tak enak?” Han Tiong bertanya sambil menatap kepada kakek dan nenek itu penuh kekhawatiran karena tentu telah terjadi sesuatu yang menyangkut diri Thian Sin sehingga kakeknya, ketua Cin-ling-pai tidak mau datang sendiri untuk bicara tentang adik angkatnya itu.

Yap Kun Liong menarik napas panjang. “Mungkin kalian dari Lembah Naga belum pernah mendengar bahwa Cia Kong Liang sudah melangsungkan pertunangan atau ikatan jodoh dengan puteri tunggal dari Tung-hai-sian…”

“Ahh, sungguh memalukan…!” Cia Giok Keng menyambung dan menghela napas. Tentu saja dia merasa menyesal bahwa keponakannya itu, putera tunggal dari adiknya, Cia Bun Houw ketua Cin-ling-pai, berjodoh dengan puteri seorang datuk sesat pula!

Akan tetapi Han Tiong kelihatan tenang-tenang saja, bahkan dia lalu tersenyum. Dia tidak merasa heran karena dia sudah melihat tanda-tanda bahwa pamannya itu menaruh hati terhadap Nona Bin Biauw, puteri dari Tung-hai-sian Bin Mo To yang memang cantik dan mempunyai kepandaian lumayan itu. Dan hatinya terasa nyaman kalau dia teringat bahwa adik angkatnya, Thian Sin, juga bertunangan dengan seorang datuk sesat!

Benar pula kata ayahnya, biar pun tadinya menjadi orang sesat, asalkan telah insyaf dan sadar, kembali ke jalan benar, apa salahnya? Dan dia pun melihat bahwa Kim Hong tidak bersikap jahat. Sebaliknya malah. Bukankah bekas datuk Lam-sin itu bahkan membantu adik angkatnya untuk menghadapi datuk-datuk lainnya seperti See-thian-ong, Pak-san-kui dan lain-lain?

“Aku telah melihat nona puteri Tung-hai-sian itu, dan dia memang cantik, berwatak gagah dan tinggi pula ilmu silatnya. Memang dia cocok sekali apa bila menjadi jodoh Paman Cia Kong Liang,” katanya dan ayahnya memandang kepadanya, lalu tersenyum.

Pendekar Lembah Naga ini mengenal betul watak puteranya dan diam-diam dia merasa bangga karena puteranya itu memiliki watak yang jauh lebih bijaksana dari pada wataknya ketika dia seusia puteranya. Dia tahu pula alangkah mendalam kasih sayang puteranya terhadap Thian Sin, maka dia mengerti apa yang menyebabkan puteranya nampak lega mendengar bahwa Cia Kong Liang bertunangan dengan puteri seorang datuk kaum sesat!

“Akan tetapi, sikap Tung-hai-sian Bin Mo To memang patut dipuji. Di dalam kesempatan merayakan ikatan jodoh itu, dia mengumumkan bahwa dia sudah mencuci tangan dan keluar dari kalangan hitam, bahkan dia sudah membuang julukannya, yaitu Tung-hai-sian, dan hanya menjadi seorang saudagar biasa bernama Bin Mo To.”

Kemudian Yap Kun Liong menceritakan, seperti yang didengarnya dari adik iparnya itu, betapa dalam pesta itu muncul Thian Sin dan Kim Hong yang menantang Bin Mo To.

“Ahh, agaknya Sin-te memang hendak memusuhi semua datuk golongan sesat,” kata Han Tiong.

“Agaknya demikian, akan tetapi sikap Bin Mo To memang bagus sekali. Dia mematahkan pedang samurainya dan menolak tantangan Thian Sin.”

“Bagus!” Cia Sin Liong berseru. “Sikap itu tentu merupakan tamparan bagi Thian Sin.”

“Mereka mengejek Bin Mo To dan mula-mula Cia Kong Liang maju, ditandingi oleh Toan Kim Hong dan Kong Liang dikalahkah gadis itu…”

“Tentu saja!” kata Cia Sin Liong lagi memotong kata-kata pamannya. “Lam-sin itu memiliki kepandaian hebat, tidak aneh kalau Kong Liang kalah olehnya.”

“Kemudian, ayah ibumu maju dan ibumu memaki-maki Thian Sin yang minta ampun lalu mengajak pergi Kim Hong. Nah, itulah peristiwa yang terjadi di dalam pesta pertunangan itu, dan itu pula sebabnya mengapa ayahmu tidak mau datang menghadiri rapat untuk membicarakan urusan Thian Sin.” Yap Kun Liong mengakhiri ceritanya yang didengarkan oleh keluarga Cia bertiga itu.

Mereka terus bercakap-cakap dan saling menuturkan keadaan mereka selama mereka tak berjumpa hingga akhirnya terdengar pengumuman dari pihak tuan rumah bahwa rapat para pendekar dimulai di ruangan tamu yang luas. Semua tamu sudah bersiap.


                 ***************

Agaknya, karena urusan yang hendak dibicarakan menyangkut diri Pendekar Sadis yang masih merupakan keluarga Cin-ling-pai dan Lembah Naga, maka pendekar tua Yap Kun Liong bersama isterinya dan keluarga Lembah Naga mendapat tempat duduk kehormatan, di dekat tempat pihak tuan rumah, yaitu kedua ketua Kun-lun-pai, Kui Im Tosu dan Kui Yang Tosu.

Setelah mengucapkan selamat datang dan berterima kasih, Kui Yang Tosu yang mewakili pihak tuan rumah lalu langsung membicarakan pokok persoalan. Diceritakannya tentang berita-berita tentang sepak terjang Pendekar Sadis, tentang cara-cara pembunuhan yang amat kejam ketika pendekar itu membasmi penjahat-penjahat, tentang pembunuhan yang dilakukannya terhadap Toan Ong, dan terutama sekali tentang perbuatan Pendekar Sadis dan Lam-sin atau Toan Kim Hong yang mendatangi Kun-lun-pai dan yang menyebabkan kematian Jit Goat Tosu.

Dari cara menceritakannya saja sudah dapat dirasakan oleh semua orang betapa tosu ini merasa amat marah dan sakit hati terhadap Pendekar Sadis, dan ceritanya mengandung harapan agar rapat itu mengutuk dan menghukum Pendekar Sadis. Dan sebagai penutup penuturannya yang makan waktu satu jam lebih itu, Kui Yang Tosu berkata,

“Oleh karena itulah kami dari Kun-lun-pai, hari ini mengundang cu-wi untuk berkumpul dan membicarakan urusan Pendekar Sadis, mengambil keputusan apa yang sepantasnya kita lakukan atas perbuatan sewenang-wenang darinya itu. Dan mengingat bahwa Pendekar Sadis adalah Ceng Thian Sin, yaitu putera dari mendiang Pangeran Ceng Han Houw yang sudah menjadi putera angkat Pendekar Lembah Naga Cia Sin Liong Taihiap, juga masih ada hubungan keluarga dengan Cin-ling-pai, maka kami sengaja mengundang saudara-saudara dari Cin-ling-pai dan juga dari Lembah Naga untuk kami mintakan pertanggungan jawabnya dan pertimbangannya.” Tosu itu lalu memberi hormat kepada semua tamu dan duduk kembali di samping suheng-nya, Kui Im Tosu.

Suasana menjadi berisik ketika tosu itu menghentikan pidatonya dan semua tamu saling bicara sendiri. Meski pun mereka berbicara perlahan-lahan setengah berbisik, akan tetapi karena yang bicara itu banyak orang, maka suasana menjadi berisik sekali, seperti dalam pasar saja. Hanya keluarga Cin-ling-pai dan Lembah Naga yang nampak duduk dengan tenang dan diam-diam saja, agaknya masih menunggu keadaan dan tidak merasa perlu untuk banyak bicara.

Tiba-tiba seorang yang bertubuh tinggi besar bermuka hitam bangkit dari tempat duduknya dan dengan suara lantang dia segera berkata, “Pendekar Sadis harus dibasmi! Dosanya telah bertumpuk-tumpuk!”

Tentu saja semua orang memandang kepada si tinggi besar muka hitam ini dan dia pun mengangkat dada, wajahnya nampak bangga. Memang, dalam suatu pertemuan, di mana terdapat banyak orang, kita selalu mempunyai kecondongan hati untuk menonjolkan diri dengan cara apa pun juga.

Si tinggi besar bermuka hitam ini adalah seorang pendekar ahli gwakang (tenaga luar), memiliki otot-otot yang kuat dan tenaganya seperti seekor gajah, julukannya juga Ban-kin Hek-jio (Gajah Hitam Selaksa Kati) bernama Ciong Sam. Namanya terkenal di daerah Hok-kian dan mahir ilmu silat campuran antara ilmu silat Siauw-lim-pai dan ilmu silat dari Kang-lam.

Bisa hadir di antara para tokoh pendekar besar itu, Si Gajah Hitam ini tentu saja merasa dirinya menjadi besar dan dia pun yang pertama kali berteriak mengutuk Pendekar Sadis itu. Bukan sekali-kali karena dia memang membenci Pendekar Sadis, namun sepenuhnya terdorong untuk menonjolkan diri itu saja! Dan banggalah hatinya pada saat semua orang memperhatikan dirinya.

Betapa pun juga, ucapannya itu memancing persetujuan banyak pendekar yang hadir di situ. Banyak di antara mereka yang lantas berseru mengutuk Pendekar Sadis, setidaknya menyatakan ketidak senangan hati mereka. Maka keadaan menjadi berisik sekali.

“Pendekar yang bersahabat dengan datuk seperti Lam-sin bukan pendekar lagi, melainkan penjahat! Harus diberantas!”

“Mari kita datangi mereka berdua dan menumpas mereka!”

“Bunuh Pendekar Sadis dan Lam-sin!”

“Pendekar Sadis memalukan kita sebagai pendekar-pendekar!”

Teriakan-teriakan semacam itu terdengar di sana-sini. Kui Im Tosu yang melihat ini lalu memandang ke arah tamu kehormatan di sebelahnya, yakni lima orang dari Cin-ling-pai dan Lembah Naga. Ketua pertama dari Kun-lun-pai ini merasa tidak enak sekali sehingga cepat bangkit berdiri, lantas mengangkat kedua tangannya ke atas dan suara berisik para tamu perlahan-lahan menjadi berhenti dan keadaan menjadi tenang kembali.

“Cu-wi yang terhormat harap suka tenang dan sebaiknya dalam urusan yang menyangkut diri Pendekar Sadis ini, lebih dahulu kita mendengarkan pendapat dan pertimbangan dari para pendekar Cin-ling-pai dan Lembah Naga yang terhormat.”

Sesudah berkata demikian, Kui Im Tosu yang biasanya tidak banyak bicara itu lalu duduk kembali. Mendengar ucapan ini, Cia Sin Liong lalu berbisik kepada Yap Kun Liong.

“Paman, kalau Paman mempunyai pendapat sesuatu, silakan.”

“Bukan aku, Sin Liong, melainkan engkaulah sebagai ayah angkatnya yang paling tepat untuk bicara.”

“Benar, Sin Liong, engkaulah yang harus menyatakan pendapatmu,” sambung Cia Giok Keng kepada keponakannya itu.

Sementara itu, melihat para tamu terhormat itu saling berbisik, Kui Yang Tosu lalu bangkit dan berkata dengan suara lantang, “Harap para pendekar yang terhormat dari Cin-ling-pai dan Lembah Naga suka menyatakan pertimbangan mereka mengenai urusan Pendekar Sadis! Silakan!”

Semua orang kini memandang ke arah rombongan tamu kehormatan itu. Dan melihat Cia Sin Liong, Pendekar Lembah Naga bangkit dari tempat duduknya, semua mata diarahkan kepadanya sambil menunggu apa yang akan dikatakan oleh pendekar besar yang menjadi ayah angkat dari Pendekar Sadis.

Suara Pendekar Lembah Naga terdengar tenang akan tetapi cukup lantang dan suara itu mengandung gema yang menggetar karena kekuatan khikang yang mendorong suara itu seolah-olah keluar dari dalam perutnya.

“Para locianpwe dan para saudara yang gagah perkasa dan budiman! Tak perlu disangkal lagi, Ceng Thian Sin putera mendiang Pangeran Ceng Han Houw yang kini disebut orang Pendekar Sadis itu memang adalah anak angkat saya dan sejak kecil telah berada dalam perawatan dan pendidikan saya. Maka sudah sepatutnya kalau sebagai ayah angkatnya saya dimintai pendapat dan pertimbangan saya. Kami dari Cin-ling-pai dan Lembah Naga datang memenuhi undangan Kun-lun-pai untuk memberi pendapat, pertimbangan dan juga tanggung jawab. Kami bukan bermaksud hendak membela anak angkat kami, melainkan ingin mengajak anda sekalian yang budiman untuk bicara dengan hati terbuka dan dengan kejujuran.”

Semua orang menjadi makin tegang. Ucapan Pendekar Lembah Naga barusan sungguh mantap serta mengandung wibawa yang kuat. Kui Yang Tosu sebagai wakil pembicara Kun-lun-pai dapat merasakan juga kekuatan ini, maka dia pun berkata untuk menyelingi ucapan Pendekar Lembah Naga yang berhenti sejenak itu.

“Siancai! Kata-kata Cia-taihiap dari Lembah Naga memang amat mengagumkan dan patut untuk diperhatikan. Silakan taihiap melanjutkan.”

“Cu-wi adalah pendekar-pendekar penentang kejahatan. Dan cu-wi semua tentu tahu pula bahwa di dunia ini banyak terdapat penjahat-penjahat yang dinamakan sebagai golongan hitam, di mana terdapat para tokoh dan datuknya. Akan tetapi, mengapa baru sekarang cu-wi berkumpul dan serentak bangkit ingin menentang dan membasmi Pendekar Sadis? Mengapa sebelum ini, bahkan sampai sekarang pun, cu-wi tidak pernah menentang para tokoh dan datuk kaum sesat? Kenapa justru Pendekar Sadis yang hendak cu-wi tentang? Marilah kita bicarakan dengan hati terbuka dan jujur, lalu suka memberi jawaban kepada saya. Mengapa cu-wi memusuhi Pendekar Sadis?”

Sejenak semua tamu hanya bisa saling pandang dan tidak mampu menjawab, akan tetapi kembali mereka didahului oleh Ban-kin Hek-jio yang segera berteriak, “Karena Pendekar Sadis sangat kejam dalam menyiksa musuh-musuhnya sehingga sudah merugikan nama baik para pendekar! Itulah sebab yang utama!”

Teriakan ini disusul pula oleh teriakan-teriakan lain. “Karena dia membunuh Toan-ong-ya yang menjadi sahabat baik para pendekar!”

“Karena dia bersekutu dengan Lam-sin!”

“Karena dia mengacau Kun-lun-pai dan menentang para pendekar!”

Cia Sin Liong mendengarkan dengan sangat teliti dan dia memperoleh kenyataan bahwa jawaban-jawaban yang bersimpang siur itu hanya berkisar sekitar tiga pokok ini. Maka dia pun mengangkat tangan untuk meredakan suasana, kemudian melanjutkan kata-katanya, suaranya lantang dan mantap.

“Menurut pendengaran saya tadi, hanya ada tiga sebab yang membuat cu-wi mengambil keputusan untuk menentang dan membasmi atau membunuhnya. Marilah kita bahas satu demi satu sebab itu. Dan jangan mengira bahwa saya hendak membela atau melindungi anak angkat saya itu, sama sekali tidak. Hanya kita yang mengaku pendekar-pendekar harus dapat membuka mata melihat kenyataan dan tidak bertindak menurutkan nafsu hati belaka. Pertama ingin saya singgung tentang hubungan Pendekar Sadis dengan Lam-sin. Mengapa cu-wi menganggapnya sebagai dosa?”

Orang yang tadi berteriak-teriak menyinggung hubungan Pendekar Sadis dengan Lam-sin, tidak ada yang berani membuka mulut. Agaknya mereka gentar terhadap pendekar yang suaranya mengandung getaran penuh wibawa itu, atau memang mereka tidak sanggup menjawab. Melihat ini, Kui Yang Tosu, cepat menjawab dengan suara lantang pula.

“Lam-sin adalah satu di antara datuk-datuk kaum sesat dan orang yang bersekutu dengan seorang datuk sesat tentu bukan orang baik-baik!”

Cia Sin Liong menahan senyumnya mendengar ini, lantas dia memandang ke arah para tamu. “Cu-wi yang mulia, benarkah memang demikian alasannya maka cu-wi mengutuk persekutuan antara Pendekar Sadis dan Lam-sin?”

“Benar! Benar!” Banyak orang yang tadinya mengajukan alasan itu cepat berteriak untuk membenarkan jawaban wakil ketua Kun-lun-pai.

“Baiklah, mari kita perbincangkan soal ini. Kita semua tahu bahwa bukan Pendekar Sadis yang ikut dengan Lam-sin, namun sebaliknya, Lam-sin yang ikut dengan Pendekar Sadis. Kalau seorang pendekar mengikuti jejak seorang datuk sesat kemudian membantu datuk itu melakukan kejahatan, jelas bahwa dia telah menyeleweng dari jalan kebenaran. Akan tetapi, apabila seorang datuk meninggalkan kedudukannya, meninggalkan kejahatannya dan mengikuti jejak seorang pendekar, apakah hal itu salah? Lam-sin telah meninggalkan kedudukan dan namanya, juga membubarkan perkumpulan Bu-tek Kai-pang, dan dia ikut bersama Pendekar Sadis bukan sebagai Lam-sin lagi melainkan sebagai Nona Toan Kim Hong puteri dari mendiang Pangeran Toan Su Ong yang terkenal sebagai pendekar sakti yang memberontak terhadap kelaliman kaisar. Ia malah membantu Pendekar Sadis untuk membasmi datuk-datuk jahat seperti See-thian-ong dan Pak-san-kui! Cu-wi yang terkenal sebagai pendekar-pendekar budiman, pernahkah mencoba untuk menantang datuk-datuk itu? Dan siapa di antara cu-wi yang merasa bahwa semenjak dilahirkan sampai sekarang belum pernah melakukan penyelewengan? Kalau Lam-sin yang pernah menjadi datuk itu telah berbalik karena insyaf dan kini menjadi penentang kejahatan, bukankah hal itu baik sekali? Tung-hai-sian datuk sesat dari timur juga sudah menanggalkan kedudukan serta julukannya, meninggalkan kejahatan dan bahkan kini berbesan dengan ketua Cin-ling-pai, apakah hal itu tidak patut disambut dengan syukur?”

Pendekar Lembah Naga berbicara dengan semangat berapi-api, bukan hanya karena dia ingin membela anak angkatnya, melainkan karena dia melihat kemunafikan yang banyak mencengkeram hati mereka yang menyebut dirinya pendekar dan orang-orang baik.

“Siancai…! Cia-taihiap terlalu bernafsu karena hendak membela putera angkatnya!”

“Maaf, totiang. Bukan membela, melainkan saya menyatakan hal yang sebenarnya. Saya sendiri tidak setuju dengan cara-cara kejam yang dilakukan oleh Ceng Thian Sin dan saya akan menegurnya, bahkan akan memaksanya berjanji bahwa dia tidak akan melakukan hal itu lagi. Akan tetapi kekejamannya terhadap para penjahat yang dimusuhinya itu pun ada sebabnya. Sebabnya adalah dendam dan sakit hati. Sejak kecil, dia kehilangan ayah bundanya yang mati dikeroyok dan di antara pengeroyoknya terdapat banyak orang-orang dari golongan sesat. Kemudian, secara berturut-turut dia mengalami gangguan-gangguan dari orang jahat sehingga dendamnya makin bertumpuk dan akhirnya, setelah dia berhasil mempelajari ilmu-ilmu silat yang tinggi, dendam itu meledak dalam keganasan-keganasan terhadap musuh-musuhnya. Nah, sekarang mari kita perbincangkan alasan ke dua yang cu-wi ajukan tadi. Yaitu tentang Pendekar Sadis membunuh Toan-ong-ya yang merupakan sahabat baik para pendekar. Bukankah di antara cu-wi banyak yang merasa penasaran bahwa Pendekar Sadis telah membunuh pangeran itu?”

Banyak suara menyatakan betul demikian.

“Dan, cu-wi tidak tahu apa sebabnya? Apakah tidak ada yang menceritakan kepada cu-wi mengapa dia membunuh pangeran itu, Pangeran Toan Ong yang masih terhitung paman sendiri dari Nona Toan Kim Hong yang pernah menjadi Lam-sin? Mengapa nona itu tidak sakit hati atas terbunuhnya pamannya, ada pun cu-wi yang bukan apa-apa justru merasa sakit hati?”

“Karena Lam-sin memang jahat dan durhaka!” terdengar jawaban orang.

“Toan Ong adalah seorang yang sangat berbudi terhadap para pendekar, kenyataan ini siapa dapat menyangkalnya?” kata yang lain.

Sin Liong hanya tersenyum tenang menghadapi serangan kata-kata ini. “Tidak ada yang menyangkal bahwa Toan Ong adalah seorang yang berbudi baik terhadap para pendekar sehingga tidaklah aneh jika kematiannya mendatangkan kedukaan dan penyesalan. Akan tetapi saya kira tidak tepat jika Lam-sin tidak sakit hati atas peristiwa itu akibat dia masih jahat dan durhaka. Sama sekali tidak demikian. Melainkan karena dia amat bijaksana dan menyadari sebab kematian pamannya itu, suatu sebab yang agaknya tidak mau diterima oleh para pendekar yang budiman. Pendekar Sadis membunuh Toan Ong bukan sebagai orang yang membunuh seorang yang baik, namun dia membunuhnya karena dia mengira bahwa Toan Ong ialah seorang laki-laki yang jahat, keji dan semua pikiran ini disebabkan oleh fitnah yang dilakukan oleh seorang wanita. Saya kira, di antara para locianpwe yang hadir di sini sudah tahu akan hal itu, bahkan telah melihat sendiri betapa Pendekar Sadis, sesudah menyadari bahwa dia kena diakali oleh fitnah wanita itu, lalu memberi hukuman terhadap wanita itu dengan sadis sekali. Bukankah demikian adanya, Kui Yang Totiang?” Kini Sin Liong menatap ke arah wakil ketua Kun-lun-pai dengan sinar mata tajam penuh selidik.

Kui Yang Tosu juga menatap kepadanya dan wajah tosu itu berubah merah, akan tetapi dengan lantang dia berkata, mengakui, “Memang tidak salah, demikianlah kenyataannya. Akan tetapi apakah kalau Pendekar Sadis sudah menghukum wanita yang menjatuhkan fitnah itu, pembunuhan yang dilakukannya terhadap Pangeran Toan lalu habis begitu saja dan boleh dimaafkan?”

“Ingat, totiang. Saya datang bukanlah sebagai pembela Pendekar Sadis, melainkan hanya mengemukakan semua kenyataan yang patut untuk kita pertimbangan. Saya hanya ingin agar cu-wi semua tahu bahwa Pendekar Sadis membunuh Toan Ong karena menganggap dan yakin bahwa pangeran itu adalah seorang penjahat yang harus dibasminya. Memang dia ceroboh dalam hal itu, kurang teliti sehingga mudah dibohongi dan ditipu wanita jahat itu. Dan tentu saya sendiri akan menegurnya agar lain hari dia tidak seceroboh itu. Akan tetapi, perbuatannya itu sama sekali bukan jahat, bahkan pada waktu itu dia menentang kejahatan pangeran itu yang dipercayanya sebagai orang jahat. Sekarang tentang alasan ke tiga.”

“Siancai…! Cia-taihiap memang pandai sekali. Coba, pinto ingin mendengar pembelaan bagaimana yang akan taihiap ajukan untuk perbuatannya di Kun-lun-pai!” kata Kui Yang Tosu yang merasa agak mendongkol karena semua kata-kata pendekar sakti itu bahkan benar-benar mengangkat Pendekar Sadis dan memperlemah kesalahannya.

“Sebelum kita mempertimbangkan urusan Pendekar Sadis dengan Kun-lun-pai, baiknya kita mendengar lebih dulu persoalannya. Mungkin cu-wi sekalian sudah mendengar akan peristiwa itu, akan tetapi supaya lebih jelas dan tidak simpang-siur dan terkena hasutan cerita-cerita yang tidak betul, maka biarlah anak kami Cia Han Tiong akan menceritakan peristiwa yang terjadi itu seperti yang didengarnya sendiri dari mereka berdua. Han Tiong, kau ceritakanlah!”

Han Tiong bangkit berdiri sementara Pendekar Lembah Naga duduk kembali. Pemuda ini lebih tinggi sedikit dari pada ayahnya, sikapnya juga sangat tenang seperti ayahnya dan sepasang matanya tajam sekali namun penuh dengan kelembutan. Biar pun dibandingkan dengan ayahnya dia masih kalah wibawa, akan tetapi dia tidak kalah gagahnya. Sesudah menjura kepada para tamu, pemuda ini pun dengan lantang mulai bercerita.

Mula-mula dia menceritakan riwayat Toan Su Ong yang menjadi buruan akibat tak berani melawan suheng-nya yang bernama Gouw Gwat Leng karena suheng-nya itu memegang bendera pusaka perguruan yang berarti bahwa suheng-nya telah menjadi pengganti suhu mereka. Kemudian tentang kematian Toan Su Ong dan isterinya di sebuah pulau kosong, dan meninggalkan Toan Kim Hong yang akhirnya menjadi Lam-sin untuk beberapa tahun lamanya, sampai akhirnya gadis itu bertemu dengan Pendekar Sadis dan meninggalkan dunia sesat.

“Toan Kim Hong mencari supek-nya yang dianggap sebagai penyebab ayahnya menderita hidup sengsara selamanya sebagai seorang buruan. Akhirnya dia pun mendengar bahwa supek-nya telah menjadi Jit Goat Tosu dan bertapa di daerah Kun-lun-pai. Ia lalu mengajak Pendekar Sadis untuk mendatangi Jit Goat Tosu. Jadi, di dalam hal ini, Pendekar Sadis hanya menemani saja Nona Toan itu yang hendak menuntut balas terhadap supek-nya sendiri atas kesengsaraan mendiang ayahnya. Mereka lalu minta dengan hormat kepada pimpinan Kun-lun-pai supaya diperbolehkan bertemu dengan Jit Goat Tosu untuk urusan pribadi, urusan antara keluarga perguruan mereka sendiri. Akan tetapi oleh Kun-lun-pai nona itu diuji dan akhirnya lulus sehingga diperbolehkan bertemu, diantar oleh Pendekar Sadis. Mereka berdua pun kemudian bertemu dengan Jit Goat Tosu. Jit Goat Tosu lalu bertempur melawan mereka namun mereka berdua tidak mampu mengalahkannya. Akan tetapi, karena memang merasa menyesal sudah membuat sengsara sute-nya yang amat dicintanya, Jit Goat Tosu mengalah, bahkan lalu membunuh dirinya sendiri sampai tewas! Nah, itulah yang terjadi. Kun-lun-pai marah dan hendak menangkap mereka, lalu mereka melarikan diri dari kepungan tanpa membunuh seorang pun anggota Kun-lun-pai. Nah, demikianlah cerita yang saya dengar dari penuturan Ceng Thian Sin dan Toan Kim Hong.” Han Tiong lalu duduk kembali ke atas kursinya.

Cia Sin Liong kembali bangkit berdiri. “Benarkah peristiwanya terjadi demikian, totiang?” tanyanya kepada Kui Yang Tosu.

“Siancai… tidak ada yang mau berbohong dan memang benar demikianlah. Akan tetapi peristiwa itu terjadi di wilayah kami, bukankah itu berarti bahwa mereka sudah melanggar wilayah kami, ada pun pelanggaran itu sudah merupakan kejahatan dan tidak memandang kepada Kun-lun-pai?”

“Maaf, totiang,” jawab Sin Liong. “Bukankah mereka berdua tidak masuk seperti pencuri, melainkan dengan berterang, bahkan telah minta persetujuan Kun-lun-pai untuk menemui Jit Goat Tosu?”

“Memang benar. Akan tetapi mereka berdua mendesak Jit Goat Tosu sehingga saudara tua kami itu melakukan bunuh diri! Nona itu adalah seorang murid yang murtad dan jahat, telah memaksa supek-nya sendiri membunuh diri, tidak mengindahkan atau menghormati bendera pusakanya sendiri. Dan Pendekar Sadis membantunya mendesak Jit Goat Tosu. Bukankah itu jahat sekali dan perlu dihukum?”

“Setiap orang memang memiliki pendapat masing-masing mengenai benar atau salahnya orang lain. Akan tetapi jelaslah bahwa urusan antara Nona Toan Kim Hong dan supek-nya adalah urusan dalam suatu perguruan dan kita semua tak berhak untuk mencampurinya! Jit Goat Tosu tewas karena kehendak dirinya sendiri, bukan dibunuh. Bahkan andai kata sampai mati di tangan murid keponakannya sekali pun, hal itu merupakan urusan dalam perguruan mereka sendiri.”

Kui Im Tosu kini bangkit berdiri dan dengan suaranya yang halus dia berkata, “Kami dari Kun-lun-pai mengumpulkan cu-wi sekalian memang untuk diajak bertukar pikiran tentang hal ini. Jadi sekarang menurut pendapat Cia-taihiap sebagai ayah angkat Pendekar Sadis, bagaimana sikap yang harus kita ambil terhadapnya?”

Sikap Sin Liong tetap tenang dan tegas. “Terserah kepada siapa pun mau bertindak apa pun terhadap Pendekar Sadis. Akan tetapi jika dengan alasan-alasan yang tadi telah kita bicarakan, jelas bahwa apa bila sampai terjadi bentrokan, maka Pendekar Sadis berada di pihak yang diserang lebih dulu. Dia tidak pernah mengganggu cu-wi, akan tetapi sekarang cu-wi hendak mengganggunya. Saya mengerti bahwa kematian Jit Goat Tosu membuat Kun-lun-pai merasa berduka dan juga malu. Sebab itu jika Kun-lun-pai hendak bertindak sendiri terhadap Pendekar Sadis, silakan. Hanya satu hal yang hendak kami kemukakan bahwa kami dari Cin-ling-pai dan Lembah Naga akan segera mencarinya kemudian akan menasehatinya agar dia mengubah semua sikap yang kejam terhadap para penjahat, biar pun sudah sepatutnya kalau sebagai pendekar dia menentang kejahatan. Dan sebaliknya cu-wi tidak mempunyai alasan yang kuat. Cu-wi tidak pernah menentang para datuk, tapi Pendekar Sadis malah membasmi para datuk. Akan tetapi kini cu-wi hendak menentang dia dengan alasan-alasan yang sangat lemah. Silakan dan kami rasa sudah cukup kami bicara!”

Sesudah berkata demikian, Cia Sin Liong berpamit dan pergi meninggalkan Kun-lun-pai bersama Bhe Bi Cu, Cia Han Tiong, Yap Kun Liong, serta Cia Giok Keng. Tidak ada seorang pun di antara para pendekar yang berani membantah atau mencegahnya.

Pihak Kun-lun-pai maklum bahwa Pendekar Lembah Naga itu diam-diam merasa marah. Pertemuan itu dilanjutkan tanpa adanya wakil dari Cin-ling-pai dan Lembah Naga, akan tetapi mereka tidak dapat mengambil keputusan bulat sesudah terpengaruh oleh semua kata-kata Pendekar Lembah Naga tadi.

Dan akhirnya hanya tinggal kemengkalan hati terhadap Pendekar Sadis yang ada, tanpa ada keputusan untuk bersama-sama menentangnya. Bagaimana pun juga mereka sangat maklum akan kelihaiannya, apa lagi dengan adanya Lam-sin di sampingnya, siapa berani mencoba-coba dan main-main dengan mereka berdua? Belum lagi kalau diingat bahwa menentang Pendekar Sadis mungkin saja akan turut melibatkan Cin-ling-pai dan Lembah Naga, apa lagi setelah Pendekar Lembah Naga menyatakan pendapatnya seperti itu dan bahkan sudah menyatakan akan mencari kemudian menasehati Pendekar Sadis supaya menghentikan sikapnya yang sadis dan kejam itu.

Maka akhirnya rapat itu hanya memutuskan untuk melihat bagaimana perkembangannya saja, apakah Pendekar Sadis betul-betul akan berubah menjadi pendekar yang tidak lagi bersikap kejam, tidak lagi melakukan penyiksaan di luar batas peri kemanusiaan seperti yang sudah-sudah.

Tentu saja di antara para pendekar itu ada kekecualiannya. Ada yang diam-diam merasa penasaran dan diam-diam mereka itu mengambil keputusan untuk sewaktu-waktu, kalau ada kesempatan, menghadapi Pendekar Sadis dan menentangnya, ingin melihat sampai di mana kehebatan ilmu kepandaian Pendekar Sadis yang disohorkan itu.


                ***************

“Sudahlah Thian Sin, kenapa engkau membiarkan diri terbenam dalam kedukaan? Kalau engkau masih merasa penasaran, mengapa tidak sekarang saja kita mendatangi tempat pertemuan itu, tak peduli apa jadinya nanti?” kata Kim Hong melihat kekasihnya itu duduk di atas batu sambil bertopang dagu, wajahnya nampak berduka dan pucat, sinar matanya layu dan muram.

Mereka tidak lari jauh dari Kun-lun-pai, melainkan duduk di kaki pegunungan itu sesudah semalaman mereka bermalam di dalam hutan, melihat para tamu yang berdatangan ke puncak Kun-lun-pai, termasuk juga Kakek Yap Kun Liong bersama Nenek Cia Giok Keng, kemudian Cia Sin Liong bersama isterinya. Saat melihat neneknya, hampir saja Thian Sin keluar dari persembunyiannya, akan tetapi dia menahan diri dan ketika dia melihat ayah angkatnya lewat, tak tertahankan lagi dua tetes air mata membasahi pipinya.

Pagi ini dia termenung dan bertopang dagu, bahkan sejak semalam tadi, semalam suntuk dia tidak tidur, membuat Kim Hong menjadi khawatir sekali akan keadaan kekasihnya itu.

Thian Sin menarik napas panjang. “Bagaimana aku tidak akan berduka, Kim Hong? Sejak aku kecil, aku selalu dirundung kemalangan dan ditimbun kedukaan. Ayah bunda dibunuh orang, dan ketika menjelang dewasa, banyak sekali peristiwa yang menyakiti hatiku, yang disebabkan oleh orang-orang jahat. Aku menimbun dendam dalam hati, dan setelah aku berhasil melampiaskan dendam, kembali aku menjadi serba salah, bahkan sekarang aku menyeret Cin-ling-pai dan Lembah Naga! Mereka akan dicela orang karena perbuatanku! Ah, kenapa aku selalu bernasib malang, bahkan membawa kemalangan bagi orang lain?” Pemuda itu menutupi mukanya dengan kedua tangan dan berulang-ulang menarik napas panjang.

Kim Hong merasa terharu, mendekati dan merangkul pemuda itu. “Jangan berduka, Thian Sin. Ada aku di sini yang mencintamu dan akan membelamu sepenuh hatiku!”

Thian Sin balas merangkul. Cinta kasihnya terhadap gadis ini makin mendalam. Di dunia ini hanya Kim Hong seoranglah yang membela dan tidak menyalahkannya. Bahkan kakak angkat yang dicintanya, Cia Han Tiong, kini ikut menyalahkan dia! Hanya Kim Hong yang tidak menyalahkan, yang masih terus membela dan mencintanya. Hanya Kim Hong yang menghibur kemurungan hatinya. Diciumnya gadis itu dengan hati terharu.

“Kalau tidak ada engkau, Kim Hong, entah apa jadinya denganku, entah apa yang akan kulakukan dalam menghadapi semua ini. Rasanya aku ingin mengamuki Kun-lun-pai dan menentang semua orang yang membenciku!”

Sekali waktu, kemurungan pasti hinggap di dalam perasaan hati kita. Sejak jaman dahulu sampai sekarang, agaknya di dunia ini tidak ada manusia yang dapat bebas dari pada kemurungan atau kedukaan atau kekecewaan hati. Selalu saja ada persoalan-persoalan yang mendatangkan kedukaan, kekecewaan dan kesengsaraan, dan kalau sudah datang perasaan duka ini, kita pun merasa sengsara, kita merasa prihatin, kita menderita batin, seolah-olah hati kita berdarah.

Dan tak jarang kita kemudian melarikan diri dari semua derita ini, menghibur diri dengan bermacam kesenangan, atau melarikan diri sama sekali dengan jalan bunuh diri. Atau pun membunuh diri secara batiniah, yaitu dengan jalan bertapa dan meninggalkan semua keramaian dunia yang sama saja artinya dengan hidup akan tetapi sudah mati. Semua ini hanyalah bentuk-bentuk pelarian belaka.

Kekecewaan, kemurungan dan kedukaan timbul akibat batin menginginkan yang lain dari pada kenyataan, batin selalu ingin senang sehingga jika kesenangan yang diinginkan itu tidak terjadi, hati menjadi kecewa dan berduka. Kita tidak tahu bahwa justru KEINGINAN UNTUK SENANG inilah pencipta kekecewaan dan kedukaan.

Kita menginginkan agar hidup ini manis selalu adanya. Kita membutakan mata terhadap kenyataan bahwa sekali ada manis, sudah pasti ada pula pahit, getir, masam, asin dan sebagainya lagi. Itulah romantika hidup. Manis, pahit, getir, masam dan sebagainya, itu merupakan suatu kumpulan yang tidak terpisahkan dan yang membentuk apa yang kita namakan kehidupan ini. Karena kita selalu menginginkan yang manis, maka yang pahit dan getir terasa tidak enak, mengecewakan dan menyiksa. Padahal, belum tentu yang manis itu selalu bermanfaat, dan belum tentu kalau yang pahit itu tidak berguna!

Di dalam setiap kenyataan, baik itu diterima sebagai manis atau pahit, pasti tersembunyi sesuatu, suatu rahasia yang maha ajaib, dan yang hanya akan terlihat oleh dia yang tidak terpengaruh oleh rasanya, baik manis mau pun pahit, yang melihat kenyataan sebagai apa adanya, tanpa menilainya sebagai baik atau buruk, manis atau pahit.

Bukankah yang rasanya manis-manis itu sering kali bahkan mengganggu kesehatan dan sebaliknya yang pahit-pahit itu biasanya malah baik bagi kesehatan? Namun, bagaimana juga, kita selalu mengejar-ngejar yang manis-manis!

Seseorang yang kita cinta merupakan hiburan yang amat kuat di kala kita dirundung duka nestapa. Hal ini terasa benar oleh Thian Sin. Sekiranya tidak ada Kim Hong di dekatnya, entah apa yang akan dilakukannya. Mungkin saja dia akan menjadi nekad dan melakukan hal-hal yang lebih mengerikan lagi.

“Sekarang apakah kehendakmu, Thian Sin? Apakah demi Cin-ling-pai dan Lembah Naga, engkau hendak menyerahkan dirimu kepada para tosu Kun-lun-pai?” Kim Hong bertanya untuk mengetahui isi kekasihnya.

Thian Sin mengepal tinju. “Tidak! Sampai mati pun aku tidak akan sudi menyerahkan diri kepada para tosu Kun-lun-pai. Boleh saja mereka menyebut diri mereka sebagai partai besar, gudang pendekar-pendekar budiman, akan tetapi jelas sekali bahwa sikap mereka terhadap kita didasarkan atas dendam karena kita telah dianggap menyebabkan kematian Jit Goat Tosu.”

“Benar, memang tak semestinya kita menyerahkan diri kepada Kun-lun-pai sebab kita tak bersalah apa-apa terhadap mereka. Dan jangan kau kira mereka itu hanya mendendam karena kematian supek-ku saja, melainkan ada hal yang lebih dari itu bagi mereka.”

Thian Sin mengangkat muka memandang wajah kekasihnya dengan heran. “Ada hal apa lagi kecuali kematian supek-mu itu?”

“Kehormatan mereka! Kita mencari dan menyerang supek di dalam wilayah Kun-lun-pai, dan mereka merasa malu, seolah-olah mereka tidak mampu melindungi orang yang telah menjadi saudara mereka dan telah berada di antara mereka. Di samping itu, juga kurasa mereka merasa sayang sekali telah kehilangan sumber ilmu-ilmu silat yang tinggi.”

“Maksudmu?”

“Lupakah engkau betapa lihainya supek? Bahkan kita berdua bergabung pun tak mampu mengalahkan dia! Padahal dia sudah nampak begitu tua dan lemah, telah bertahun-tahun bertapa dan kurang makan. Bayangkan saja alangkah hebatnya ilmu kepandaian supek sehingga tidaklah mengherankan kalau mendiang ayahku takut kepadanya. Dan agaknya para tosu itu mengincar ilmu-ilmu dari supek yang mereka warisi. Kurasa itulah sebabnya mengapa para tosu itu mengejar-ngejarmu, mengejar-ngejar kita!”

Thian Sin mengangguk-angguk. “Mungkin benar sekali pendapatmu itu. Maka, bagaimana pun juga, aku tak akan mau menyerahkan diri kepada mereka dan kalau mereka bersama orang-orang yang menyebut diri mereka pendekar-pendekar itu masih mengejarku, maka mereka akan kuhadapi sebagai orang-orang jahat yang hendak mengganggu diriku. Akan tetapi…” Dia tidak melanjutkan kata-katanya dan wajahnya nampak muram.

Kim Hong maklum kata-kata apa yang tak terucapkan itu, maka ia pun mendesak dengan terus terang, “Bagaimana bila Cin-ling-pai dan Lembah Naga yang datang menghadapimu, Thian Sin?”

Pemuda itu menarik napas panjang, wajahnya sedikit pucat. “Itulah… aku tidak mungkin berani melawan mereka. Mereka bukanlah orang-orang sombong seperti tosu-tosu dari Kun-lun-pai dan orang-orang yang menamakan diri pendekar-pendekar itu. Mereka adalah pendekar-pendekar sejati. Engkau sudah mendengar sendiri kata-kata Tiong-ko. Mereka adalah orang-orang benar yang patut kuhormati dan kutaati. Tidak, aku tidak akan berani menentang mereka. Aku akan menyerahkan diri kepada mereka, asalkan bukan untuk dibawa kepada orang-orang Kun-lun-pai untuk dipersalahkan.”

“Kalau begitu, sebaiknya kalau kita menemui mereka sekarang juga. Nanti setelah selesai pertemuan di puncak itu, tentu mereka akan turun gunung. Nah, itulah saatnya bagi kita untuk menemui mereka.”

“Ahhh…!”Wajah pemuda itu nampak gemetar. Ngeri dia membayangkan untuk berhadapan dengan ayah dan ibu angkatnya, juga dengan neneknya yang galak dan kakeknya yang berwatak lembut itu. Apa lagi masih ada kakaknya pula!

“Thian Sin, di mana kegagahanmu? Tidak baik jika rasa keragu-raguan itu dipendam dan dibawa pergi ke mana-mana. Seorang gagah harus berani menghadapi kenyataan, betapa pun pahitnya kenyataan itu. Jika bisa dibereskan sekarang juga, mengapa mengulur-ulur waktu dan sementara itu membawa-bawa kekhawatiran di dalam hati? Kita temui mereka sekarang juga pada saat mereka turun gunung dan kita lihat bagaimana pendapat mereka tentang dirimu. Jangan khawatir, aku selalu berada di sampingmu dan kalau perlu… andai kata engkau harus mati oleh mereka, aku pun harus mati di tangan mereka!”

“Kim Hong…!” Thian Sin menjadi terharu sekali dan dia pun merangkul.

Mereka berangkulan, berciuman dan mata mereka menjadi basah, bukan hanya oleh rasa keharuan dan kedukaan membayangkan kemungkinan itu, akan tetapi juga rasa bahagia di dalamnya, bahwa mereka itu saling mencinta sedemikian dalamnya sehingga tidak lagi ragu-ragu untuk kalau perlu mengorbankan nyawa demi kekasihnya.

Tidak lama kemudian mereka melihat lima orang pertama yang turun dari puncak di mana terdapat markas Kun-lun-pai, dan dapat dibayangkan betapa kaget serta tegang rasa hati Thian Sin dan Kim Hong pada saat melihat bahwa mereka itu adalah orang-orang yang semenjak tadi mereka tunggu-tunggu, yaitu Kakek Yap Kun Liong, Nenek Cia Giok Keng, Pendekar Lembah Naga Cia Sin Liong beserta isterinya, dan juga puteranya!

Melihat wajah kekasihnya menjadi pucat, Kim Hong memegang tangannya dan berkata halus, “Marilah, Thian Sin. Mari kita menyambut dan menghadap mereka!” Dia pun lantas menarik pemuda itu keluar dari dalam hutan di mana mereka bersembunyi dan langsung mereka berdua menyongsong kedatangan lima orang itu.


                  ***************

SEPERTI sudah kita ketahui, dengan perasaan marah, Pendekar Lembah Naga sekeluarga dan kakek nenek yang mewakili Cin-ling-pai meninggalkan pertemuan rapat para pendekar di ruangan tamu Kun-lun-pai.

“Kita harus dapat bertemu dengan Thian Sin. Ingin aku bicara dengan dia dan sekali ini dia harus mendengarkan kata-kataku!” kata Pendekar Lembah Naga dengan muka agak merah.

Dia sudah membela nama Thian Sin sebagai Pendekar Sadis, bukan hanya karena Thian Sin adalah anak angkatnya, akan tetapi juga karena menjaga nama baik Cin-ling-pai dan Lembah Naga, dan juga karena pada hakekatnya, dia tidak menganggap Thian Sin jahat, hanya terlalu kejam terhadap musuh-musuhnya.

“Kurasa dia tidak akan jauh dari tempat ini, ayah,” kata Han Tiong. “Aku mengenal betul watak Sin-te, dia tidak akan melarikan diri kalau tidak didesak.”

Ucapan Han Tiong ini terbukti ketika mereka tiba di lereng dekat puncak dan mencapai hutan pertama. Tiba-tiba dia melihat munculnya Thian Sin dan Kim Hong dari dalam hutan itu dan melihat keduanya sengaja menyongsong mereka.

Begitu berhadapan, Cia Sin Liong langsung memandang anak angkatnya itu dan berkata dengan suara lantang mengandung teguran, “Thian Sin, bagus sekali perbuatanmu, ya? Begitukah engkau membalas budi kepada Cin-ling-pai dan Lembah Naga, menyeret nama mereka ke pecomberan dan menjadi bahan celaan dunia kang-ouw?”

Mendengar suara ayah angkatnya yang biasanya halus penuh kasih sayang kepadanya itu kini terdengar penuh kemarahan dan juga kekecewaan dan kesedihan, hati Thian Sin seperti ditusuk-tusuk rasanya dan dia pun segera menjatuhkan diri berlutut di depan ayah angkatnya itu kemudian tak dapat ditahannya lagi dia pun menangis!

Selama mengenal Thian Sin, sekarang untuk kedua kalinya Kim Hong melihat kekasihnya menangis sedemikian sedihnya. Kim Hong merasa terharu dan kasihan sekali, maka dia pun lalu ikut berlutut.

“Locianpwe, urusan di Kun-lun-pai adalah urusan saya, maka sayalah yang bertanggung jawab. Thian Sin tak bersalah, melainkan hanya ikut menemani saya, oleh karena itu, jika locianpwe hendak marah, maka sayalah orangnya yang harus dimarahi, bukan dia,” kata Kim Hong sambil menundukkan mukanya, sedangkan Thian Sin di sebelahnya masih saja menitikkan air mata.

“Lam-sin!” kembali terdengar Cia Sin Liong berkata, suaranya berwibawa sekali. “Engkau adalah datuk golongan sesat di selatan, apakah engkau hendak menyeret anak angkatku untuk mengikutimu masuk ke dalam dunia hitam dan melakukan perbuatan sesat?”

“Locianpwe, semenjak saya bertemu dengan Thian Sin, Lam-sin telah kubunuh dan saya sudah membubarkan semua pengikut, saya sudah menanggalkan semua kedudukan dan julukan, saya sudah meninggalkan dunia sesat dan sayalah yang ikut bersama Thian Sin, bukan dia yang ikut saya. Saya membantunya menghadapi datuk-datuk sesat lainnya, ada pun ketika dia membantu saya menghadapi supek saya, hal itu adalah urusan pribadi saya, sama sekali tidak ada sangkut-pautnya dengan Kun-lun-pai atau orang lain. Karena itu, harap locianpwe jangan persalahkan Thian Sin, sayalah yang bersalah.”

“Ayah, saya mengaku salah, saya telah mencemarkan nama baik Lembah Naga dengan perbuatan saya. Oleh karena itu, terserah kepada ayah, hendak menjatuhkan hukuman apa pun juga, akan saya terima dengan hati rela.”

“Tidak boleh!” Kim Hong berteriak. “Kalau locianpwe menjatuhkan hukuman kepadanya, maka harus menghukum saya juga. Mau membunuh kami berdua, silakan, kami rela mati berdua untuk menebus dosa kalau memang locianpwe menghendaki demikian!” Ucapan Kim Hong ini mengharukan hati Bhe Bi Cu dan juga Cia Giok Keng yang lantas berkata dengan suara serak dan mata merah.

“Sin Liong, kau ampunkanlah anakmu! Cucuku Ceng Thian Sin itu…”

Memang pada lubuk hatinya, sedikit pun tak ada niat untuk menghukum anak angkatnya itu, akan tetapi Sin Liong berpikir bahwa sangatlah perlu untuk menegur Thian Sin pada saat seperti itu.

“Thian Sin, kenapa hatimu demikian kejamnya, demikian keji dan sadis engkau menyiksa orang-orang yang menjadi musuhmu? Jawablah dan jelaskan pada kami, kenapa engkau menjadi demikian kejam melebihi iblis sendiri?”

“Saya mengakui semua itu, Ayah. Saya hampir gila oleh dendam, sehingga saya lupa diri, ingin memuaskan rasa dendam dan sakit hati itu dengan menyiksa musuh-musuh saya. Saya… terus terang saja, ayah… saya merasa… senang dan nikmat bukan main dalam pemuasan dendam dan sakit hati itu dengan menyiksa mereka dan… dan pada waktu itu saya lupa segala-galanya, yang teringat hanya ingin menyiksa orang yang dahulu pernah menyiksa hati saya…”

Semua orang yang mendengar kata-kata ini bergidik, tidak hanya karena membayangkan kesadisan Thian Sin saat menyiksa musuh-musuhnya seperti yang pernah mereka dengar dibicarakan orang dengan ketakutan, melainkan terutama sekali melihat kenyataan akan adanya sifat sadis dalam diri mereka masing-masing.

Memang, bila mana kita mau membuka mata mengenal diri sendiri, di dalam batin kita terdapat sifat sadis itu. Kita akan merasa senang sekali melihat orang yang kita anggap jahat menerima siksaan! Kita akan merasa puas apa bila mendengar musuh atau orang yang kita benci menderita mala petaka dan kesengsaraan.

Kita ini masing-masing mempunyai watak pendendam, pemarah, selalu ingin membalas kepada siapa saja yang membuat hati kita tidak senang, baik yang mengganggu kita itu manusia mau pun setan. Setidaknya, kita akan mengumpat cacinya, dan mengutuknya, dan tentu saja kita akan merasa senang dan puas jika melihat dia tersiksa seperti yang digambarkan oleh benak kita yang penuh dengan kebencian dan racun dendam.

Siapakah yang dapat menyangkal bahwa terdapat persamaan dalam batin kita dengan watak Pendekar Sadis yang senang menyiksa orang-orang yang dibencinya? Andai kata kita diberi kekuatan seperti dia, diberi kekuasaan seperti dia, bukan tidak mungkin kita pun suka menyiksa musuh-musuh yang kita benci.


cerita silat online karya kho ping hoo


Pengenalan diri sendiri ini dapat kita lakukan dengan jelas apa bila kita melihat sesuatu, baik melalui bacaan mau pun tontonan, yang sifatnya membalas dendam. Kita membenci tokoh yang kita anggap jahat dan kita bersorak penuh kepuasan ketika kita melihat ‘Si Jahat’ itu tertimpa malapetaka dan tersiksa. Namun, betapa sukarnya untuk mengenal diri sendiri!


“Thian Sin, aku mengerti perasaan itu. Akan tetapi, lupakah engkau dengan ajaran yang pernah kau terima dari pamanmu Hong San Hwesio dan dariku sendiri selama ini? Lalu apakah artinya semua latihan yang kuberikan untuk bersemedhi dan mengenal sifat-sifat buruk diri sendiri? Orang yang melakukan perbuatan kejam dinamakan penjahat, lalu apa artinya orang dianggap pendekar kalau hatinya pun kejam terhadap orang lain? Apakah bedanya antara penjahat kejam dan pendekar kejam? Mungkin saja si penjahat berbuat kejam untuk keuntungan harta atau pemuasan hatinya, akan tetapi bila seorang pendekar berbuat kejam terhadap penjahat, tentu juga demi untuk memuaskan hatinya yang penuh dendam. Jadi pada hakekatnya sama saja, yaitu untuk menyenangkan atau memuaskan diri sendiri. Hati yang kejam itu didasarkan oleh kebencian, dan apa pun yang dilakukan seseorang, baik dia dinamakan pendekar mau pun penjahat, bila mana didasari dengan kebencian, maka perbuatannya itu adalah jahat! Seorang pendekar menentang kejahatan, akan tetapi bukan berdasarkan kebencian terhadap sesama manusia, walau pun manusia itu dinamakan penjahat sekali pun. Seorang pendekar menentang kejahatan, karena ingin menyelamatkan orang yang dapat menjadi korban kejahatan, karena ingin menyadarkan orang yang melakukan kejahatan, karena hendak menenteramkan kehidupan manusia di dunia, karena ingin menegakkan kebenaran dan keadilan. Semua itu bebas dari landasan hati yang diracuni kebencian. Akan tetapi, apa yang kau lakukan itu semata-mata adalah karena hatimu penuh dengan dendam sakit hati dan kebencian. Lalu apa bedanya semua kesadisanmu itu dengan perbuatan para penjahat di dunia ini?”

Cia Sin Liong berhenti bicara dan Thian Sin makin menundukkan kepalanya. Walau pun kadang-kadang dia menyadari akan hal itu, akan tetapi baru sekali inilah hal itu seperti ditusukkan ke dalam perasaannya, membuat matanya terbuka dan dapat melihat dengan jelas akan semua kesalahan yang pernah dilakukannya selama ini. Memang dia sudah menjadi buta oleh dendam dan kebencian.

“Saya mengaku salah…,” katanya lirih.

“Pengakuan salah tanpa penghayatan di dalam hidup tidak akan ada artinya sama sekali! Penyesalan di mulut dan di hati tidak ada gunanya. Yang penting adalah membuka mata, melihat bahwa setiap kita melakukan sesuatu yang jahat dalam arti kata merugikan orang lain lahir mau pun batin, maka pada saat itu kita tidak memiliki kewaspadaan, kesadaran kita menjadi buta oleh nafsu. Oleh karena itu, kita harus waspada setiap waktu, terutama sekali waspada terhadap diri sendiri lahir mau pun batin. Hanya dengan kewaspadaan dan kesadaran terhadap diri sendiri lahir batin sajalah kita tidak akan bertindak membabi-buta menurutkan nafsu-nafsu kita. Kebencian terhadap orang lain merupakan pangkal segala permusuhan dan kekacauan di dunia. Kita harus dapat menghalau kebencian ini jauh-jauh dari batin kita, baik terhadap orang yang kita anggap jahat mau pun tidak. Selama masih ada kebencian di dalam batin, bukan kebencian terhadap seseorang tertentu, melainkan kebencian kepada siapa pun juga, maka tak mungkin dia bisa menjadi seorang pendekar dalam arti yang seluas-luasnya!”

Thian Sin dan Kim Hong mengangguk-angguk, diam-diam merasa betapa tidak mudahnya untuk menjadi seorang manusia yang pantas dinamakan pendekar.

“Kalian orang-orang muda perlu sekali memperhatikan apa yang telah dikatakan oleh Sin Liong,” kata Kakek Yap Kun Liong dengan suara halus dan tenang. “Memang demikianlah sesungguhnya, selama masih ada kebencian di dalam batin, tak mungkin orang itu dapat mengenal cinta kasih. Dan seorang pendekar adalah orang yang penuh cinta kasih, yang hanya satu keinginannya, yaitu membangun, bukannya merusak. Memang mungkin saja orang harus membongkar terlebih dulu untuk membangun, namun bukan berarti merusak. Mungkin seorang pendekar harus bertindak keras terhadap seorang sesat, namun bukan berarti keras karena didasari oleh kebencian atau hendak merusak, melainkan keras yang sifatnya membongkar untuk kemudian dibangun. Atau yang sifatnya mendidik, menuntun agar yang menyeleweng kembali ke jalan benar.”

“Terima kasih atas semua petuah dan peringatan dari ayah dan kakek yang amat berguna itu,” kata Thian Sin.

“Terima kasih kepada locianpwe yang mulia,” kata pula Kim Hong.

Hati wanita ini betul-betul tergetar dan membuatnya tunduk benar terhadap para pendekar sakti ini dan dara ini pun dapat melihat betapa dahulu dia telah melakukan penyelewengan besar sekali.

“Saya mohon petunjuk kepada ayah, apa yang harus saya lakukan selanjutnya? Apakah saya harus menyerahkan diri kepada Kun-lun-pai untuk diadili? Kalau memang demikian halnya, maka lebih baik ayah membunuh saya sekarang juga, karena saya tidak merasa bersalah terhadap Kun-lun-pai. Mereka itu hanya ingin membalas dendam karena sangat benci kepada saya.”

Cia Sin Liong mengangguk-angguk. “Memang tidak sepatutnya kalau kalian menyerahkan diri begitu saja. Kalau kalian mau, marilah ikut bersama kami ke Lembah Naga. Kakakmu akan merayakan pernikahannya dan kalian seharusnya hadir pula. Sudah terlampau lama engkau pergi meninggalkan rumah, Thian Sin. Sekarang pulanglah dan kami akan merasa berbahagia sekali.”

“Betul, cucuku. Di samping itu, aku pun ingin melihat engkau menikah sebelum aku mati,” kata Nenek Cia Giok Keng. “Dan aku pun senang sekali dengan pilihanmu. Nona Toan ini memang cocok untuk menjadi jodohmu.”

Dengan hati terharu Thian Sin menghaturkan terima kasih kepada neneknya itu, kemudian dia segera bertanya kepada ayahnya, “Ayah, kapankah Tiong-ko hendak melangsungkan pernikahannya?”

“Kami telah memperhitungkan, nanti pada tanggal sepuluh bulan delapan, jadi kurang tiga bulan lagi,” jawab Cia Sin Liong.

“Kalau begitu, biarlah pada waktunya kami akan datang ke Lembah Naga, ayah. Kini kami hendak pergi ke suatu tempat yang akan kami jadikan tempat tinggal kami…”

“Di manakah itu, Sin-te? Di mana kalian hendak tinggal?” Han Tiong bertanya, dan hatinya merasa kecewa mendengar adiknya itu tidak akan tinggal bersama mereka di Lembah Naga.

“Di Pulau Teratai Merah, Tiong-ko,” mendadak Kim Hong yang menjawab. “Kami berdua telah bersepakat untuk tinggal di bekas tempat tinggal mendiang ayah dan ibu ketika ayah menjadi buronan. Kami masih mempunyai rumah di sana.”

“Tapi… tapi kapankah kalian akan menikah?” Nenek Cia Giok Keng bertanya. “Bukankah akan baik sekali jika engkau menikahkan kedua puteramu itu secara berbareng saja, Sin Liong?”

“Terserah kepada Thian Sin dan tunangannya,” jawab pendekar itu yang secara bijaksana sekali menyerahkan urusan perjodohan orang-orang muda itu kepada mereka sendiri yang berkepentingan.

“Bagaimana, Thian Sin, cucuku?” tanya nenek itu kepada Thian Sin.

Thian Sin dan Kim Hong saling pandang, kemudian keduanya menundukkan muka yang tiba-tiba saja menjadi merah. Sungguh mengherankan hati mereka sendiri kenapa setelah keluarga yang mereka hormati ini berbicara tentang perjodohan mereka, mereka menjadi tersipu-sipu malu.

“Maaf, nenek, kami masih belum berpikir mengenai pernikahan,” akhirnya Thian Sin yang menjawab.

Nenek Cia Giok Keng hanya mampu menghela napas panjang. Dia pun mengerti bahwa urusan pernikahan merupakan urusan kedua orang itu sendiri dan mencampurinya hanya akan mendatangkan kekacauan belaka. Dahulu hal ini sudah pernah dialaminya sendiri, maka dengan bijaksana dia pun diam saja, tidak membantah lagi.

Akhirnya mereka pun berpisah. Sambil berlutut, Thian Sin berkata kepada mereka semua, “Harap ayah dan ibu, juga Tiong-ko, kakek dan nenek yang saya hormati dan saya cinta, suka menjadi saksi. Mulai saat ini, Pendekar Sadis hanya tinggal sebutannya saja, namun kekejaman dan kesadisan akan saya enyahkan jauh-jauh dari dalam batin saya. Semoga saya selalu akan sadar dan dengan kerja sama dan bantuan Kim Hong, mudah-mudahan saya tidak akan melanggar janji saya ini. Saya akan mengikuti jejak ayah sekalian, untuk menjadi pendekar dalam arti yang sesungguhnya!”

Setelah berpamit dalam suasana mengharukan, terutama sekali Han Tiong yang merasa berat untuk berpisah dari adiknya, akhirnya Thian Sin dan Kim Hong berpisah dari mereka dan kedua orang muda ini melakukan perjalanan ke selatan untuk pergi ke Pulau Teratai Merah.

Di sepanjang perjalanan mereka selalu menghindarkan diri dari bentrokan-bentrokan, dan mengambil jalan yang sunyi untuk melakukan perjalanan cepat. Kim Hong merasa girang sekali bahwa kekasihnya suka memenuhi keinginannya untuk kembali ke pulau kosong itu dan sebagai rasa terima kasihnya, sikapnya menjadi makin mesra terhadap Thian Sin.


                 ***************


Apa bila orang berdiri di pantai muara Sungai Huai yang menuangkan airnya ke dalam Lautan Kuning, maka akan nampaklah banyak sekali pulau-pulau kecil. Sebagian besar dari pulau-pulau ini merupakan pulau-pulau karang yang kering-kerontang, akan tetapi ada pula beberapa buah di antaranya yang nampak kehijauan karena pulau itu mengandung tanah sehingga tetumbuhan dapat hidup di situ.

Pulau Teratai Merah adalah salah satu di antara pulau-pulau itu yang letaknya agak jauh dan tidak dapat dilihat dari pantai muara Sungai Huai itu, kecuali bila lautan sedang amat tenangnya dan cuaca sedang cerah. Pulau Teratai Merah adalah sebuah pulau kecil saja, akan tetapi mempunyai tanah yang subur sehingga dapat ditanami.

Sebelum Toan Su Ong dan isterinya, yaitu Ouwyang Ci tinggal di pulau itu, pulau itu tidak pernah ditinggali manusia, kecuali hanya menjadi tempat persinggahan para nelayan saja. Tentu saja orang enggan tinggal di sana, karena letaknya yang jauh dari pantai daratan, juga jauh dari tetangga manusia lain, dan pula, lautan di sekitar pulau itu terkenal sangat buas dan banyak dihuni ikan-ikan hiu yang ganas pula. Karena banyaknya hiu inilah maka daerah kepulauan itu bukan merupakan daerah nelayan yang baik.

Pangeran Toan Su Ong tentu saja berbeda dengan para pelayan itu. Dia adalah seorang buronan yang memang mencari tempat persembunyian yang baik dan pulau kosong itu sangat tepat untuknya. Tempatnya terpencil, sukar dikunjungi, bahkan tidak aman karena pulau-pulau itu sering dijadikan tempat persembunyian para bajak laut. Toan Su Ong dan isterinya yang berkepandaian tinggi itu tentu saja tidak takut terhadap para bajak laut. Dan mereka dapat bercocok tanam di tempat itu, bahkan akhirnya mereka dapat membangun sebuah rumah yang cukup besar di pulau kosong itu.

Thian Sin ikut dengan Kim Hong menuju ke pulau itu. Mereka berperahu, sebuah perahu layar kecil yang mereka beli di pantai daratan. Pendekar muda itu mendapat kenyataan bahwa di samping bermacam-macam ilmu kepandaiannya, ternyata Kim Hong pandai pula mengemudikan perahu layar.

Dengan keahliannya yang mengagumkan, gadis ini mengemudikan perahu yang layarnya menggembung ditiup angin itu, meluncur dengan lincah di permukaan air lautan, amat laju menembus gelombang-gelombang kecil yang membuat perahu itu naik turun sehingga terasa mengerikan bagi Thian Sin yang tidak bisa berperahu. Akan tetapi dia ingin belajar dan biar pun pada jam-jam pertama dia merasa pening kepala, akhirnya dia dapat juga membantu Kim Hong mengemudikan perahu.

Berlayar dari pantai daratan menuju ke Pulau Teratai Merah itu memakan waktu setengah hari, itu pun kalau lautan sedang tenang dan arah angin baik. Menurut keterangan Kim Hong, kalau kurang angin maka pelayaran akan memakan waktu lebih lama, kadang kala sehari. Akan tetapi ketika mereka tiba di pulau ini, mereka melihat sebuah perahu besar telah berlabuh di situ! Kim Hong mengerutkan alisnya dan berkata,

“Ahh, baru beberapa tahun saja kutinggalkan tempat ini, sekarang sudah ada yang berani menempatinya! Biasanya hanya para bajak laut saja yang singgah di pulau-pulau kosong. Aku khawatir kalau-kalau mereka merusak bangunan rumah kami!”

Thian Sin bergidik ketika melihat betapa perahu mereka itu dikelilingi ikan-ikan hiu besar. Nampak sirip mereka mcluncur di permukaan air di sekitar perahu. Dia pernah mendengar cerita tentang ikan-ikan hiu itu, yang dianggap sebagai harimaunya lautan.

“Hiu di sini ganas sekali, berani menyerang perahu!” kata Kim Hong. “Akan tetapi jangan khawatir, mereka tidak akan berani mengganggu kita.” Berkata demikian, Kim Hong lantas menabur-naburkan bubuk kuning di sekeliling perahunya.

Dan benar saja, tidak lama kemudian sirip-sirip ikan hiu itu menjauh dan akhirnya lenyap. Bubuk kuning itu adalah semacam obat yang merupakan racun yang menakutkan bagi ikan-ikan hiu itu, ciptaan mendiang Pangeran Toan Su Ong. Selamatlah mereka mendarat di pulau itu, dan Kim Hong sengaja melakukan pendaratan dari samping, agak jauh dari perahu hitam besar karena dia hendak menyelidiki secara diam-diam siapa orangnya yang kini berada di pulau itu.

Setelah menyembunyikan perahunya di balik semak-semak, Kim Hong segera mengajak Thian Sin pergi ke sebuah pohon tua di pantai pulau itu, lalu gadis itu mendorong sebuah batu besar di belakang pohon. Terbukalah sebuah lubang yang tertutup semak-semak dan batu besar tadi, lantas dia mengajak memasuki lubang yang ternyata merupakan sebuah terowongan gelap.

Batu besar itu mereka geser lagi dari bawah sehingga menutupi lubang yang diperkuat oleh besi-besi itu, tanda bahwa terowongan itu adalah buatan manusia. Dan memanglah, selama berada di pulau ini, Toan Su Ong sudah memasang banyak jalan rahasia yang dipersiapkannya kalau-kalau dia dikejar sampai ke situ oleh pasukan pemerintah.

Setelah mereka melalui terowongan dengan jalan berindap-indap sampai seperempat jam lamanya, melalui jalan terowongan berliku-liku dan naik turun, akhirnya mereka keluar dari terowongan dan telah berada di belakang sebuah bangunan. Inilah bangunan rumah yang didirikan oleh Toan Su Ong di pulau itu, sebuah rumah yang cukup besar dan kuat. Jalan rahasia yang mereka lalui tadi berakhir di taman rumah itu, pintunya juga merupakan pintu besi rahasia yang gelap dan tertutup batu besar pula.

Hari telah menjelang sore ketika Kim Hong dan Thian Sin keluar dari dalam goa kecil dan gadis itu mengerutkan alisnya ketika melihat betapa rumah gedung milik keluarganya itu sudah banyak dirusak orang. Temboknya dibobol di sana-sini, dan taman itu pun sudah rusak tak terawat dan nampak ada bekas-bekas galian di beberapa tempat, seakan-akan tempat itu menjadi tempat orang mencari-cari sesuatu dengan membongkar dinding dan menggali taman. Dan dia pun mengajak Thian Sin menyelinap dan menyelidik.

Nampak ada belasan orang sedang beristirahat di samping rumah. Agaknya mereka itu sudah bekerja berat siang tadi. Ada yang membawa cangkul, ada pula yang membawa alat-alat untuk membongkar dinding. Mereka mengobrol sambil minum arak, dan melihat sikap mereka itu, Kim Hong mengerti bahwa mereka adalah bajak-bajak laut yang kasar dan ganas. Akan tetapi dia memberi isyarat kepada Thian Sin agar mengikutinya untuk menyelinap masuk melalui jendela samping yang terbuka.

Bagaikan dua ekor burung mereka meloncat ke dalam ruangan besar di sebelah dalam bangunan itu di mana terdapat beberapa orang yang tengah bercakap-cakap menghadapi daging panggang dan arak di atas meja. Lidah selatan mereka terdengar lucu bagi Thian Sin, membuat dia agak sukar menangkap pembicaraan mereka. Akan tetapi agaknya Kim Hong telah biasa dengan dialek selatan ini, dan gadis ini mendengarkan penuh perhatian, mendekati pintu yang menembus ke ruangan itu.

Karena tidak dapat mengerti dengan baik, Thian Sin mengintai dan memperhatikan orang-orangnya. Ada lima orang sedang duduk mengelilingi meja, dan yang membuat mereka terheran-heran adalah kenyataan bahwa seorang di antara mereka berpakaian sebagai seorang tosu.

Tubuh tosu ini kurus dan agak bongkok, mukanya pucat dan meruncing bagaikan muka tikus. Empat orang lainnya bertubuh tinggi besar dan bersikap kasar, cara duduknya juga nongkrong seperti cara duduk orang-orang yang biasa hidup di alam liar dan tak mengenal tata cara kesopanan. Mereka kelihatan kuat dan ganas, wajah mereka membayangkan kekerasan serta kekejaman. Akan tetapi Kim Hong lebih memperhatikan percakapan itu sendiri.

“Kita sudah membuang-buang waktu satu minggu lamanya di sini!” Terdengar seorang di antara empat orang kasar itu mengomel dengan mulut dijejali daging setengah matang.

“Kalau kita mencari rejeki di lautan, mungkin sudah ada satu dua kapal yang dapat kita serbu!” kata orang ke dua.

“Pangeran itu tentu telah membawa pusakanya ikut bersamanya ke neraka, jika memang dia pernah mempunyai pusaka itu!” kata orang ke tiga.

“Hei, Tikus Laut,” kata orang ke empat kepada tosu bermuka tikus yang ternyata berjuluk Tikus Laut itu, “agaknya sesudah menjadi tosu engkau kehilangan ketajaman hidungmu sehingga salah duga! Awas kau kalau mempermainkan kami!”

Si Tosu itu meludah karena ada pecahan tulang yang tergigit olehnya, lalu dia mengomel, “Kalian ini seperti bukan sahabat-sahabat baikku saja, seperti belum pernah mendengar akan kelihaianku dalam menyelidiki saja. Sejak dahulu aku tahu bahwa isteri pangeran itu berhasil menguasai pusaka peninggalan Menteri The Hoo dan pasti disimpannya di sini.”

“Tapi kau sendiri bilang bahwa puteri mereka telah menjadi orang yang lihai sekali…”

“Jangan khawatir, dia bersama Pendekar Sadis sedang dikejar-kejar, dan tentu para tosu Kun-lun-pai tak akan mau melepaskan mereka setelah kena kubakar sampai kemarahan mereka berkobar-kobar. Ha-ha-ha!” kata tosu itu.

“Tikus Laut, sungguh mengherankan sekali kenapa engkau memusuhi mereka. Bukankah engkau telah menjadi orang suci?” ejek seorang di antara bajak-bajak itu.

“Apa bila mereka tidak muncul mungkin aku terlanjur menjadi orang suci, lalu dengan ilmu yang kudapat dari Jit Goat Tosu, maka aku bisa menjagoi dan menjadi tokoh Kun-lun-pai. Akan tetapi mereka muncul sehingga dendamku terhadap Pangeran Toan Su Ong yang tadinya sudah hampir terlupa menjadi bangkit kembali. Dan teringat akan pusaka Menteri The Hoo… selagi mereka sedang dikejar-kejar, dan dengan alasan mencari mereka, aku lalu mengajak kalian bersama-sama mencari pusaka. Ehh, kiranya kalian masih ragu-ragu dan kurang percaya padaku…”

Di dalam tempat pengintaiannya, Kim Hong saling bertukar pandang dengan Thian Sin. Kini mereka teringat. Tosu ini adalah seorang di antara para tosu pimpinan di Kun-lun-pai, biar pun tadinya mereka kurang memperhatikan karena agaknya kedudukan tosu ini tidak menonjol. Akan tetapi, punggung yang bongkok itu tiada keduanya di antara para tosu Kun-lun-pai.

Pada saat itu terdengar bentakan keras dari arah belakang mereka. “Heii, siapa kalian?! Awas, ada mata-mata mengintai!”

Thian Sin dan Kim Hong menengok dan ternyata ada dua orang di antara para anak bajak laut yang kebetulan lewat dan melihat mereka dari belakang.

“Mereka ini patut dihajar!” kata Kim Hong sambil melangkah masuk ke dalam ruangan di mana lima orang itu sedang bercakap-cakap.

Lima orang itu pun terkejut mendengar teriakan anak buah mereka dan semuanya telah berloncatan sambil mencabut senjata mereka. Akan tetapi ketika empat orang pimpinan bajak itu melihat bahwa yang muncul hanyalah seorang pemuda dan seorang gadis cantik yang kelihatan lemah, mereka lalu menyeringai dengan hati lega dan seorang di antara mereka berkata sambil tertawa,

“Ha-ha-ha, kiranya dua orang yang sedang berpacaran tersesat memasuki pulau!”

“Wah, gadis itu manis sekali. Sudah seminggu lebih aku tak mencium bau keringat wanita, ha-ha-ha, biarlah gadis itu untukku saja!”

“Enak saja kau bicara, apa kau kira aku pun tidak membutuhkannya?”

Akan tetapi, kalau empat orang kepala bajak itu bicara dengan cara jorok dan kurang ajar terhadap Kim Hong, sebaliknya tosu bongkok yang berjuluk Tikus Laut itu memandang dengan wajah pucat dan mata terbelalak.

“Celaka…!” katanya, suaranya terdengar gemetar. “Inilah mereka… Pendekar Sadis dan Lam-sin…!”

Para bajak laut itu hampir setiap saat berada di lautan, maka tentu saja mereka tak begitu mengenal nama Pendekar Sadis mau pun Lam-sin yang merupakan tokoh-tokoh daratan, sehingga mereka tidak begitu gentar menghadapi dua orang muda ini, walau pun mereka sudah mendengar dari Tikus Laut akan kelihaian mereka. Kini, belasan orang anak buah yang tadinya berada di luar sudah berserabutan masuk dengan senjata di tangan. Melihat ini, Si Kumis Lebat, seorang di antara empat pimpinan perampok yang menjadi kepala mereka, tertawa.

“Ha-ha-ha, kepung dan tangkap mereka! Boleh bunuh yang laki-laki, akan tetapi tangkap yang perempuan untukku, ha-ha-ha!”

Dia sendiri segera menyimpan kembali goloknya lalu maju dengan tangan kosong hendak menangkap Kim Hong, sedangkan tiga orang yang lainnya memimpin anak buah mereka mengurung, dibantu pula oleh tosu bongkok yang juga sudah mencabut keluar sebatang pedangnya.

Melihat wajah kekasihnya, Thian Sin segera maklum bahwa nyawa orang-orang ini tidak akan bisa tertolong lagi, dan terbayanglah kembali wajah orang-orang yang dihormatinya, terutama wajah ayah angkatnya dan kakaknya.

“Kim Hong… jangan bunuh orang… jangan kita ulangi kembali, kita robohkan saja tanpa membunuhnya.”

Kim Hong mengerling kepada kekasihnya lantas tersenyum, senyum yang mengandung ketenangan sehingga hati Thian Sin menjadi amat lega. “Jangan khawatir, terutama sekali Si Muka Tikus itu harus dapat kutangkap dalam keadaan hidup-hidup untuk menceritakan semua latar belakang ini!”

Mereka tidak mempunyai banyak kesempatan untuk bicara lagi karena pihak lawan sudah menyerbu. Si Kumis Tebal bersama tiga orang lain dengan muka menyeringai langsung mengepung dan menubruk untuk menangkap Kim Hong. Mereka bagai sedang berlomba dalam menangkap atau menyentuh tubuh gadis cantik itu.

Sedangkan yang lain-lain, yaitu tiga orang pimpinan bajak, Si Tosu, serta dua belas orang lain dengan senjata terhunus sudah mengepung dan mengeroyok Thian Sin, seolah-olah mereka hendak menghancur lumatkan tubuh pemuda ini! Akan tetapi, begitu kedua orang muda itu menggerakkan tubuh mereka, maka terdengarlah teriakan-teriakan berturut-turut disusul robohnya para pengeroyok itu!

Mula-mula, menghadapi empat orang pengeroyoknya yang seolah-olah berlomba hendak memeluknya itu, Kim Hong yang merasa amat muak dan marah itu telah menggerakkan tubuhnya mengelak dari serbuan mereka, menyelinap di antara banyak lengan dengan tangan terbuka seperti cakar harimau hendak menerkam domba itu. Kemudian, sesudah terlepas dari serbuan mereka dan melihat mereka dengan lebih garang lagi membalik dan hendak menerjangnya, wanita ini sudah menggerakkan kepalanya. Kuncir rambutnya itu terlepas dari sanggulnya, seperti seekor ular cobra hitam yang terlepas dari kurungan dan menyambar-nyambar ganas.

Akibatnya, empat orang anak buah bajak terpelanting dan tidak mampu bangkit kembali karena ujung rambut itu telah menotok jalan darah membuat mereka lumpuh dan pingsan! Sekarang tinggal kepala bajak yang berkumis tebal melintang di bawah hidung itu yang terbelalak keheranan sesudah melihat betapa empat orang anak buahnya tiba-tiba roboh berpelantingan dan tidak mampu bangkit kembali.

Dia sendiri tidak tahu bagaimana hal itu dapat terjadi, akan tetapi dia semakin silau oleh kecantikan Kim Hong yang kini makin menyolok sesudah sanggul rambutnya terlepas itu. Kecantikan ini membuat si kepala bajak menjadi semakin ganas dan otaknya menjadi keruh, dia menggereng kemudian menubruk lagi, kedua lengannya dibuka dan dia pun menerkam ke arah Kim Hong. Gadis ini kembali menggerakkan kepalanya, rambutnya menyambar ke depan.

“Dukk!”

Tubuh tinggi besar itu menjadi kaku dan dua kali kaki Kim Hong bergerak.

“Krekk…! Krekk…!”

Orang tinggi besar itu menjerit roboh, mengaduh-aduh dan menggunakan kedua tangan untuk memegangi kedua kakinya yang patah tulang di bagian pergelangan kaki.

Sementara itu, dengan mudah Thian Sin juga sudah merobohkan lima enam orang tanpa membuat mereka menderita luka berat. Dia hanya membagi-bagikan tamparan, membuat lawan roboh dengan kepala pening, atau kaki tangan salah urat, atau menotoknya hingga lawan roboh tak mampu berkutik karena lumpuh.

Apa lagi setelah Kim Hong menyerbu membantunya, mereka dengan mudah merobohkan semua pengeroyok kecuali si Tikus Laut ini sungguh-sungguh hebat luar biasa! Gerakan-gerakan Tikus Laut ini mengingatkan mereka pada kepandaian mendiang Jit Goat Tosu! Gerakan-gerakan aneh membuat Thian Sin dan Kim Hong berhati-hati sekali.

Akan tetapi ketika Thian Sin mempergunakan Thi-khi I-beng, tosu itu tak mampu menarik kembali tangannya yang menempel di tengkuk Thian Sin, lantas tenaga sinkang-nya yang tidak sekuat dua orang muda itu tersedot, membuat dia berteriak-teriak bagai seekor babi disembelih!

Ketika Thian Sin melepaskan tenaga sedotan Thi-khi I-beng, tosu itu jatuh terkulai dengan tubuh lemas. Dia bagaikan sebuah balon kempes. Akan tetapi mengingat kehebatan ilmu silatnya tadi, Kim Hong lalu menotoknya, membuat dia tidak berkutik lagi.

“Tosu palsu! Hayo ceritakan apa hubunganmu dengan Jit Goat Tosu dan kenapa engkau memusuhi kami, juga apa yang kau lakukan di Kun-lun-pai sehingga engkau membakar hati para pimpinan Kun-lun-pai!” Kim Hong membentak dengan suara nyaring sekali.

Thian Sin hanya berpura-pura tidak mengerti mengapa gadis itu membentak sedemikian nyaringnya. Tentu saja dia tahu bahwa seperti juga dia, kekasihnya itu tentu sudah pula melihat adanya bayangan beberapa orang tosu berkelebatan di sebelah luar rumah. Dan seperti juga dia, tentu kekasihnya itu sudah mengenali bahwa tosu itu adalah tosu-tosu Kun-lun-pai dan beberapa orang lain, dan di antara mereka juga tampak adanya Kui Yang Tosu!

“Lam-sin datuk sesat! Pinto sudah kalah, kalau engkau mau bunuh, bunuhlah. Siapa takut mati?”

“Totiang,” kata Thian Sin sambil mengedipkan matanya kepada kekasihnya dan suaranya juga lantang. “kami mengenalmu sebagai salah seorang di antara para tosu Kun-lun-pai, lalu bagaimana engkau dapat bersekutu dengan gerombolan bajak laut dan mencari-cari pusaka peninggalan Menteri The Hoo yang dimiliki oleh keluarga Pangeran Toan Su Ong? Lebih baik engkau mengaku terus terang, totiang. Kami tidak akan membunuhmu asalkan engkau mengaku.”

“Pendekar Sadis! Biar engkau tukang menyiksa orang, jangan kira pinto takut kepadamu!” Tosu bermuka tikus itu berteriak marah.

Thian Sin kembali memberi isyarat dengan pandangan matanya kepada Kim Hong, lalu dia pun mengangkat tubuh tosu itu dengan menarik leher bajunya.

“Begitukah? Mari kita sama lihat, apakah Tikus Laut ini berani melawan hiu atau macan laut!” Dia lalu membawa tubuh tosu itu melangkah lebar keluar dari rumah itu diikuti oleh Kim Hong.

Mereka berdua terus saja berjalan, pura-pura tak melihat adanya beberapa pasang mata yang selalu mengikuti gerak-gerik mereka dari tempat persembunyian, kemudian pemilik beberapa pasang mata ini pun membayangi mereka menuju ke pantai pulau. Kim Hong yang menjadi penunjuk jalan dan tanpa bicara kedua orang ini sudah tahu akan isi hati masing-masing.

Mereka membawa Si Muka Tikus itu ke perahu besar yang berlabuh di sana dan ketika mereka menaiki perahu itu kosong sama sekali. Ternyata beberapa orang bajak yang tadi berjaga di situ sudah turut pula menyerbu ketika mereka mendengar teriakan-teriakan dari atas pulau.

Tosu itu masih diam saja, akan tetapi Thian Sin yang mencengkeram leher baju tosu itu bisa merasakan ketika lengannya menempel di dadanya betapa jantung tosu itu berdebar kencang. Dia tersenyum. Inilah yang dikehendakinya. Membuat takut tosu itu.

Sejenak timbul perasaan senang di dalam hatinya, nafsu untuk menyiksa dan membunuh orang ini yang dia tahu memusuhi Kim Hong. Akan tetapi, wajah kakaknya terbayang di depan mata sehingga membuatnya tersadar dan nafsu sadis itu pun lenyap seperti ditiup angin.

Setelah tiba di atas perahu besar, Thian Sin kemudian melepaskan sabuknya yang juga merupakan salah satu di antara senjatanya, mengikatkan ujung sabuknya pada pinggang tosu itu.

“Kau lihat itu, kenalkah engkau apa itu?” tanyanya sambil menunjuk ke arah sirip ikan-ikan hiu yang berseliweran di sekitar perahu. Wajah tosu itu menjadi semakin pucat.

“Apa… apa yang hendak kau lakukan…?” tanyanya, suaranya masih angkuh akan tetapi sudah agak gemetar.

Thian Sin tersenyum memandang kepada Kim Hong, “Ha-ha-ha, Kim Hong, dia tanya apa yang hendak kita lakukan! Ha-ha-ha!”

Gadis itu pun tertawa dan menjawab dengan suara yang amat nyaring, “Kita hanya ingin melihat bagaimana ramainya tikus laut berhadapan dengan macan laut.”

Dan Thian Sin mulai menurunkan tubuh orang yang telah diikat pinggangnya itu ke pinggir perahu besar. Karena tadi dia sudah membebaskan totokannya, maka tosu itu dapat pula meronta-ronta.

“Jangan… jangan…!” teriaknya akan tetapi tubuhnya sudah terjatuh ke air.

“Byuuurrr…!”

Jatuhnya tubuh tosu itu membuat ikan-ikan hiu terkejut lantas berenang menjauh, akan tetapi ketika mereka melihat gerakan-gerakan di permukaan air karena Si Tikus Laut itu menahan tubuhnya agar tidak tenggelam, beberapa ekor hiu telah cepat berenang datang. Melihat sirip dua ekor ikan hiu dari depan, tosu itu terbelalak.

Thian Sin yang memegang ujung sabuk itu, sengaja mengendurkan sabuk, seakan-akan tidak peduli, akan tetapi sesungguhnya dia sudah bersiap untuk menarik sabuk itu kalau memang benar-benar keadaan tosu itu terancam. Akan tetapi, tosu yang berjuluk Si Tikus Laut itu tiba-tiba saja menggerakkan tubuh menyelam ketika dua ekor ikan hiu itu sudah mendekat dan begitu kedua tangannya menyambar, dia sudah mendorong dua ekor ikan itu dari bawah.

Dua ekor binatang buas yang kena dihantam belakang kepalanya itu meronta, akan tetapi agaknya kesakitan dan juga terkejut karena mereka segera berenang menjauhi. Thian Sin memandang kagum, melihat betapa lawannya itu tidak percuma mempunyai julukan Tikus Laut karena ternyata memang mempunya keahlian bermain di dalam air sehingga dengan satu serangan saja mampu mengusir dua ekor ikan hiu ganas!

Akan tetapi daerah lautan sekitar Pulau Teratai Merah itu memang menjadi kedung ikan hiu. Begitu dua ekor yang kena dihantam itu melarikan diri, muncul enam ekor hiu yang lebih besar dan datang dari segala penjuru!

Melihat ini, tosu yang sudah muncul ke permukaan air itu menjadi ketakutan. Sirip-sirip ikan itu meluncur dari sana-sini, dari kanan kiri dan depan dan melihat sirip-sirip itu saja dapat diketahui bahwa beberapa ekor di antaranya adalah hiu-hiu yang besarnya sama dengan kerbau!

“Tolong…! Tarik aku… tolong…!” teriaknya tanpa malu-malu lagi karena takutnya.

“Asal engkau mengaku terus terang!” kata Thian Sin mempermainkan.

Hiu-hiu itu makin mendekat dan kini mereka berputaran di sekeliling perahu, dalam jarak kurang lebih hanya tiga meter dari tempat tosu itu terapung.

“Tolonggg…!”

“Katakan dulu engkau mau mengaku terus-terang!” kata Kim Hong dengan nyaring.

Tosu itu tidak mau menjawab, agaknya masih merasa enggan untuk berkata terus-terang mengakui perbuatannya. Sementara itu, hiu pertama sudah datang menyerang dengan cepat. Tosu itu mengelak dan menggunakan kakinya menendang dari samping, membuat ikan itu terlempar.

“Bagus! Tikus Laut memang lumayan juga!” Thian Sin memuji sambil tertawa.

Akan tetapi dua ekor hiu datang lagi menyerang dari kanan dan kiri. Tosu itu mengelak ke kanan dan menghantam hiu yang berada di kanan, akan tetapi pada saat itu hiu ke tiga menyambar.

“Celaka…! Tolong… aku akan mengaku…!”

Pada saat hiu itu sudah hampir mencaplok pundak si tosu. Thian Sin lalu menarik dengan sentakan keras sehingga tubuh tosu itu terhindar dari moncong ikan. Dia telah merasakan angin sambaran ikan hiu itu yang mengejar sambil meloncat ke permukaan air dan sudah mencium bau amis. Tubuh tosu itu gemetaran ketika dia dilempar ke atas dek perahu oleh Thian Sin, tetapi pemuda ini masih belum melepaskan ikatan sabuk pada pinggangnya.

“Nah, ceritakanlah semuanya!” katanya.

“Sekali ini tidak mau mengaku, maka kau akan kami lemparkan ke bawah agar menjadi rebutan ikan!” Kim Hong juga mengancam.

Tosu itu masih gemetaran dan menarik napas panjang. “Baikiah… baiklah…! Tanyakan apa yang kalian ingin ketahui…”

“Engkau ini seorang tosu Kun-lun-pai kenapa berjuluk Tikus Lautan dan berkawan dengan para bajak laut?” Kim Hong mulai dengan pertanyaannya.

“Dahulunya aku seorang bajak laut, lalu aku bosan akan kehidupan bajak dan aku tertarik akan soal-soal kebatinan, terutama Agama To, maka aku segera pergi ke Kun-lun-pai dan berhasil diterima sebagai tosu. Memang tadinya aku ingin bertobat, akan tetapi ternyata gagal…”

“Apa hubunganmu dengan mendiang Jit Goat Tosu? Hayo terangkan semuanya!” bentak Kim Hong lagi.

“Aku mendapat tugas melayaninya selama dia di Kun-lun-pai dan karena jasa-jasaku itu dia mulai mengajarkan satu dua macam ilmu pukulan kepadaku, tapi sialan… kalian lalu muncul dan akhirnya dia meninggal…”

“Jadi itukah sebabnya maka engkau memusuhi kami?” tanya Thian Sin.

“Kalian merusak rencanaku, siapa tidak akan membenci kalian!”

“Dan apa yang kau lakukan untuk membakar hati para pimpinan Kun-lun-pai?” desak lagi Thian Sin.

“Kukatakan kepada mereka bahwa sebelum meninggal, sering kali Jit Goat Tosu bercerita kepadaku mengenai kejahatan sute-nya sehingga kematiannya karena serbuan kalian itu menimbulkan penasaran besar, lantas kuhasut mereka untuk menuntut balas mengingat akan kebaikan Jit Goat Tosu yang sudah menurunkan pula beberapa macam ilmu kepada pimpinan Kun-lun-pai…”

“Hemmm, dan apa artinya kedatanganmu ke pulau keluargaku bersama para bajak ini?” tanya Kim Hong.

“Setelah berhasil memanaskan hati para pimpinan Kun-lun-pai sehingga mengejar-ngejar kalian, aku lalu pergi ke sini mengumpulkan bekas rekan-rekanku. Sudah semenjak dulu ketika aku menjadi bajak laut, aku tahu akan ditemukannya pusaka oleh ayah dan ibumu, dan aku sudah beberapa kali berusaha untuk merampasnya, akan tetapi selalu gagal… ahhh, ayah bundamu terlalu lihai, dan juga kegagalan-kegagalan itu, bahkan yang terakhir hampir merenggut nyawaku, yang membuat aku kecewa lalu menjadi tosu. Siapa sangka, aku bertemu dengan suheng ayahmu, maka aku mengambil hatinya dengan niat hendak mempelajari ilmu-ilmunya untuk merajai Kun-lun-pai dan kemudian hendak kucari pusaka peninggalan Menteri The Hoo. Akan tetapi kematian Jit Goat Tosu sudah menggagalkan semuanya…”

“Ahhh, kiranya engkau pernah gagal membajak mendiang ayahku maka engkau menaruh dendam kepadaku? Bagus sekali!” Kim Hong menghampiri dengan sikap mengancam.

“Cukup Kim Hong. Kita sudah berjanji akan membebaskannya. Nah, muka Tikus Lautan, engkau boleh pergi sekarang!” kata Thian Sin sambil memberi isyarat dengan pandangan matanya kepada Kim Hong.

“Terima kasih… terima kasih…!” kata tosu itu yang sama sekali tidak pernah mimpi bahwa dia akan terbebas dari kematian mengerikan di tangan Pendekar Sadis! Sebab itu, seperti seekor tikus yang baru saja disiram air, dengan pakaian basah kuyup tosu itu lalu bangkit dan hendak lari dari perahu itu, akan tetapi tiba-tiba wajahnya menjadi pucat sekali dan dia menjatuhkan dirinya berlutut.

“Suhu… tolonglah teecu… hampir saja teecu dibunuh oleh Pendekar Sadis yang sudah menyiksa teecu…,” katanya dengan suara gemetar.

Thian Sin dan Kim Hong membalikkan tubuh mereka, lalu pura-pura bersikap kaget dan heran melihat munculnya Kui Yang Tosu serta lima orang tosu Kun-lun-pai lainnya, juga nampak Liang Sim Cinjin pertapa Kang-lam itu, dengan dua orang Bu-tong-pai wakil dari Thian Heng Losu, juga nampak Lo Pa San, pendekar dari Po-hai itu dan beberapa orang lain yang pernah hadir dalam pertemuan para pendekar di Kun-lun-san!

Melihat mereka itu, yang memang sudah diketahuinya sejak tadi oleh Thian Sin dan Kim Hong, dua orang muda ini lalu meloncat meninggalkan perahu dan berdiri berdampingan di pantai, siap menghadapi segala kemungkinan. Mereka merasa lebih aman bila berada di atas pulau dari pada di atas perahu, apa lagi dengan adanya ahli-ahli silat dalam air seperti Tikus Laut yang lihai itu. Thian Sin sendiri cukup mengerti bahwa melawan Tikus Laut seorang saja, kalau bertanding di air, mungkin sekali dia akan celaka. Dan berada di atas perahu berbahaya sekali, siapa tahu mereka akan menggulingkan perahu!

Akan tetapi, para tosu Kun-lun-pai dan teman-temannya itu agaknya tidak menghiraukan mereka dan Kui Yang Tosu kini melangkah maju mendekati Si Tikus Laut. Wajah kakek yang merupakan tokoh ke dua dari Kun-lun-pai ini masih nampak berkilat-kilat penuh api kemarahan. Suaranya juga masih halus ketika dia bertanya kepada Muka Tikus Laut itu,

“Bagaimana engkau bisa berada di tempat ini?”

“Suhu, teecu pernah mendengar tentang pulau ini dan teecu ingin membantu suhu untuk menyelidiki Pendekar Sadis dan Lam-sin yang teecu duga tentu melarikan diri ke sini. Dan benar saja… akan tetapi teecu ketahuan kemudian ditangkap dan disiksa, nyaris dibunuh secara keji, dijadikan umpan ikan-ikan hiu…”

“Dan siapakah bajak-bajak laut itu dan milik siapa pula perahu ini?” Suara Kui Yang Tosu makin lantang dan pendang matanya semakin berapi-api. Akan tetapi agaknya tosu bekas bajak itu tidak sadar akan tanda-tanda ini atau memang dia sudah terlanjur melangkah dan tidak mungkin mundur kembali.

“Bajak-bajak itu adalah kaki tangan Pendekar Sadis…”

Akan tetapi tosu itu tak dapat melanjutkan kata-katanya karena dengan langkah lebar Kui Yang Tosu menghampirinya, mukanya merah dan matanya melotot, dadanya naik turun menahan kemarahan.

“Penipu! Pembohong! Pengkhianat kau manusia busuk!” Dan kaki wakil ketua Kun-lun-pai itu bergerak menendang.

“Desss…!”

Tubuh tosu bermuka tikus itu terlempar keluar dari perahu itu, jatuh ke dalam air! Ketika semua orang memandang, wajah mereka langsung berubah dan mata mereka terbelalak melihat puluhan ekor ikan hiu menyerbu ke arah tubuh yang baru saja terjatuh ke air itu. Terdengar jeritan-jeritan mengerikan yang lantas berhenti tiba-tiba ketika tubuh itu terseret ke bawah permukaan air. Air bergelombang dan mulai berubah warnanya menjadi merah di tempat di mana tosu tadi jatuh.

“Siancai…!” Kui Yang Tosu memejamkan sepasang matanya, alisnya berkerut dan kedua tangannya dirangkap ke depan dada.

Sampai lama dia tidak bergerak, wajahnya berkerut-kerut dan akhirnya, setelah beberapa kali dia menarik napas panjang, dia pun membuka matanya, lalu dengan tubuh kelihatan lemas dan lesu dia menuruni perahu itu untuk menghampiri Thian Sin dan Kim Hong yang masih berdiri melihat semua itu dengan sikap tenang waspada.

Kui Yang Tosu menjura kepada mereka. Suaranya terdengar sangat lirih, “Ceng-taihiap, Toan-lihiap, maafkan pinto yang tak dapat mengendalikan perasaan…”

Thian Sin dan Kim Hong cepat membalas penghormatan itu dan Thian Sin berkata, “Saya sudah sering kali mengalami perasaan itu, locianpwe, membuat mata gelap dan kemudian menimbulkan tindakan pembalasan sehingga membuat saya dinamakan Pendekar Sadis. Saya mengerti dan locianpwe tak bersalah, sebagai manusia biasa wajarlah jika kadang-kadang dikuasai oleh amarah.”

Kui Yang Tosu kembali menarik napas panjang penuh penyesalan. Betapa karena rasa amarahnya dia tadi sudah membunuh Si Tikus, bahkan dengan cara yang mengerikan, tanpa disengaja dia memberikan tosu itu kepada ikan-ikan hiu!

“Tidak, pinto kira bahwa dia yang telah kami percaya itu akan melakukan fitnah seperti itu demi kepentingan dirinya dan pemuasan nafsunya,” kata pula Kui Yang Tosu.

Thian Sin tersenyum dan mengangguk, “Locianpwe, saya sendiri pun pernah mengalami penipuan seperti itu dan menjadi korban fitnah sehingga melakukan hal yang amat buruk. Tentu locianpwe masih ingat dengan kematian Pangeran Toan Ong? Nah, ketika itu pun saya mendengar fitnah orang yang saya percaya.”

Kui Yang Tosu mengangguk-angguk. “Siancai…! Betapa lemahnya kita manusia ini. Kita perlu banyak belajar, Ceng-taihiap…”

“Benar, locianpwe, kita harus tetap belajar selama masih hidup.”

“Maafkan pinto, sekarang Kun-lun-pai baru mengerti dan mulai saat ini juga kami tidak lagi memusuhimu, taihiap.”

“Terima kasih, locianpwe, dan saya pun akan belajar supaya tidak mudah membiarkan diri dikuasai nafsu dendam dan kekejaman terhadap musuh.”

Kui Yang Tosu lalu berpamit kepada Thian Sin dan Kim Hong, kembali ke tempat di mana perahu mereka tersembunyi, diikuti oleh para pendekar lain yang juga berpamit dengan sikap bersahabat. Thian Sin dan Kim Hong memandang kepada mereka sampai perahu mereka tidak nampak lagi dan tiba-tiba Kim Hong merangkul Thian Sin dengan hati penuh kegirangan dan kebahagiaan.

Thian Sin maklum apa yang sedang dirasakan oleh kekasihnya sebab dia pun merasakan sesuatu kebahagiaan besar menyelubungi hatinya, maka dia pun tidak berkata apa-apa kecuali balas merangkul gadis itu. Sampai lama mereka saling rangkul, sama sekali tidak mengeluarkan kata-kata. Kata-kata tidak ada artinya lagi dalam keadaan seperti saat itu. Mereka merasa seolah-olah ada batu besar yang selama ini menindih hati mereka berdua telah terangkat dan mereka merasakan suatu kebebasan yang sangat nikmat dalam hati mereka. Bagi Thian Sin terutama sekali, dia pun teringat kembali akan semua kata-kata kakaknya.

Kekerasan hanya akan mengakibatkan kekerasan pula. Akibat tak akan pernah terlepas dari pada sebab, akibat hanyalah lanjutan dari pada sebab. Dan sebab ialah cara dalam tindakan kita sendiri. Cara yang buruk takkan mungkin mendatangkan akibat yang baik, seperti juga benih buruk takkan mungkin menumbuhkan pohon yang baik. Tak mungkin mengharapkan bunga indah tumbuh menjadi buah lewat benih tanaman beracun. Siapa menanam, dia sendiri yang akan memetik buah dari pada hasil tanamannya.

Sayang seribu kali sayang, kita hanya selalu mengingat akan panen buah lezat saja, tak pernah kita memperhatikan penanamannya yang betul dan pemeliharaannya yang betul. Mata kita selalu tertuju jauh ke depan, kepada tujuan-tujuan dan harapan-harapan baik dan menyenangkan untuk kita, sama sekali tidak mau melihat perbuatan-perbuatan kita setiap saat. Sekarang inilah yang menjadi pohon penghasil buah pada masa mendatang. Bukan buahnya yang penting, melainkan pohonnya, pemeliharaan pohonnya. Buah yang baik, hanyalah menjadi lanjutan dari pohon yang baik. Kita selalu mau enaknya saja.

Thian Sin dan Kim Hong lantas melakukan pemeriksaan ke seluruh bagian pulau itu dan mulailah mereka membangun kembali rumah yang banyak rusak itu. Untuk pekerjaan ini mereka mendatangkan pembantu-pembantu bayaran dan dalam waktu beberapa bulan saja Pulau Teratai Merah kembali menjadi sebuah pulau kecil yang indah.

Mereka berdua menghadiri perayaan pernikahan dari Cia Kong Liang di Cin-ling-pai dan bertemu dengan keluarga Cin-ling-pai serta Lembah Naga, juga bertemu dengan semua sahabat dan kenalan. Kemudian, tidak lama sesudah itu, Thian Sin dan Kim Hong juga menghadiri upacara perayaan pernikahan antara Cia Han Tiong dan Ciu Lian Hong yang diadakan secara sederhana di Lembah Naga.

Di tempat ini, Thian Sin dan Kim Hong tinggal sampai satu bulan lebih. Kim Hong sudah diterima sebagai keluarga oleh keluarga di Lembah Naga. Akan tetapi kalau Cia Sin Liong dan isterinya menyinggung tentang pernikahan antara mereka, Thian Sin dan Kim Hong hanya saling pandang dan tersenyum.

“Ayah dan ibu, harap maafkan… akan tetapi sejak pertemuan pertama kami telah saling bersepakat untuk tidak mengikat diri masing-masing dengan pernikahan. Tapi betapa pun juga, kami saling mencinta…”

Mendengar ucapan itu, Cia Sin Liong dengan isterinya hanya saling pandang, kemudian menggeleng-geleng kepala mereka. Orang-orang muda memang makin lama makin aneh. Dunia telah berubah, atau lebih tepat lagi, manusia telah makin berubah.

Kerinduan akan kebebasan membuat orang-orang muda makin lama semakin cenderung meninggalkan ikatan-ikatan serta hukum-hukum yang mungkin mereka anggap sebagai penghalang dari pada kebebasan yang mereka dambakan. Mereka itu, orang-orang muda itu, sama sekali tidak tahu bahwa kebebasan adalah urusan batin, bukan hanya sekedar soal-soal lahir saja. Orang yang bebas hatinya takkan merasa terganggu walau pun diikat oleh seribu macam hukum. Sebaliknya, walau pun meninggalkan semua hukum, orang akan tetap terbelenggu batinnya dan sama sekali tidak bebas.

Sampai di sini pengarang mengakhiri cerita ini dengan harapan semoga cerita ini selain dapat menghibur hati pembaca, juga mengandung manfaat sekedarnya bagi perjuangan kita mendayung biduk masing-masing dalam menempuh gelombang-gelombang dilautan kehidupan yang luas ini.

Marilah kita melihat kenyataan bahwa biar pun tidak semua dapat disebut sadis, karena kekejaman turun temurun telah mengalir dalam diri kita, telah mendarah daging, tapi kita ini sadis! Kita ingin melihat orang-orang yang kita benci menderita kesengsaraan yang hebat! Kita akan senang melihat orang yang kita benci tersiksa. Benar atau tidakkah demikian? Hanya kita masing-masing yang dapat menjawab dengan menjenguk ke dalam batin sendiri!


T A M A T


Serial Selanjutnya : Harta Karun Jenghis Khan



***** Sahabat Karib.com *****





















Terima kasih telah membaca Serial ini.

No comments:

Post a Comment

Cerita Silat Kho Ping Hoo Serial Pendekar Budiman Jilid 12

   Cerita Silat Kho Ping Hoo Serial Pendekar Budiman             Jilid 12