Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pendekar Sadis
Jilid 33
Kim Hong
menjadi repot juga sesudah lawannya mempergunakan langkah-langkah ajaib,
terutama sekali dengan adanya serangan-serangan hebat dengan senjata caping.
Belum pernah dia menghadapi senjata seperti itu, yang kadang-kadang dapat
berputar demikian cepatnya sehingga mengeluarkan suara mengiang-ngiang dan
berdesing-desing, dan juga harus diakuinya bahwa langkah-langkah ajaib kakek
itu benar-benar luar biasa sekali.
Bahkan
keunggulannya dalam hal ginkang tidak banyak menolong. Gerakannya memang lebih
cepat, akan tetapi dengan langkah-langkah aneh, tahu-tahu kakek itu sudah
berada di belakangnya dan sudah menghujaninya dengan serangan-serangan dahsyat!
Beberapa
kali hampir saja dia menjadi korban serangan mendadak yang datangnya tidak
tersangka-sangka itu. Biar pun dia telah membalas dengan serangan-serangan
dahsyat juga, namun tetap saja perpaduan antara senjata caping dengan
langkah-langkah ajaib itu membuatnya benar-benar kewalahan.
“Srattttt…!”
Tiba-tiba
saja nampaklah sepasang sinar hitam berkelebat dan ternyata Kim Hong sudah
mencabut keluar Hok-mo Siang-kiam, sepasang pedang hitamnya. Dua batang pedang
hitam itu segera digerakkan dengan kecepatan kilat, lenyap bentuk pedangnya dan
yang nampak hanyalah gulungan sinar hitam yang menyambar-nyambar seperti kilat,
yang satu menahan gerakan caping setiap kali menyambar ke arahnya dan yang ke
dua membalas dengan serangan balasan yang dahsyat pula.
Akan tetapi
tentu saja Kim Hong juga menjaga perasaan Thian Sin, maka dia tidak mau kalau
sampai pedangnya melukai apa lagi membunuh lawan. Oleh karena itu, begitu dia
sudah berhasil memecahkan desakan lawan dan kini berbalik dia mendesak dengan
ilmu Pedang Hok-mo Kiam-sut yang lihai, tiba-tiba dia melihat bayangan caping
menyambar ke arah kepalanya. Dia tidak menangkis, melainkan cepat menundukkan
kepala dan gerakan kepalanya yang mengelak ini dilakukan dengan keras-keras.
Lawannya
hanya mengira bahwa gadis itu mengelak dengan menggerakkan kepala, tidak tahu
bahwa dengan gerakan kepala itu, tiba-tiba saja sanggul rambut Kim Hong
terlepas, lantas gumpalan rambut itu mengirim totokan ke arah pergelangan
tangan lawan!
“Tukkk!”
“Ahhhhh…!”
Liang Sim Cinjin sama sekali tidak pernah menduga akan serangan hebat ini dan
tahu-tahu pergelangan tangannya telah tertotok, membuat jari-jemari tangannya
yang memegang caping menjadi lumpuh dan tentu saja caping itu terlepas dari
pegangannya.
Saat dia
hendak menyambar caping itu dengan tangan, dua sinar pedang menghalanginya.
Terpaksa dia meloncat mundur hingga caping itu menggelinding di atas tanah.
Kakek itu menarik napas panjang dan berkata,
“Sungguh
luar biasa sekali kepandaian nona. Aku yang sudah tua dan tidak berguna ini
mengakui keunggulanmu!”
Kim Hong
menyimpan sepasang pedangnya lalu menjura sambil tersenyum. “Terima kasih
locianpwe telah mengalah, dan aku pun tidak ingin bermusuhan dengan siapa pun
juga kecuali orang-orang yang berbuat jahat. Aku tak berani mengangkat diri
sebagai pendekar, akan tetapi saat ini tidak ada sedikit pun niat jahat dalam
hatiku.” Dan dia pun mundur.
Thian Sin
meloncat maju ke depan. “Kuharap cu-wi sekalian dapat menginsyafi keadaan kami
berdua. Kami tidak sengaja memusuhi Kun-lun-pai, dan tentang sikap kami
terhadap para penjahat, hal itu tak ada sangkut-pautnya dengan orang lain. Akan
tetapi kami telah datang ke sini untuk mempertanggung jawabkan semuanya, bukan
untuk membiarkan diri ditangkap karena kami tidak merasa bersalah. Maka, jika
masih ada yang penasaran dan hendak memberi hukuman kepadaku, silakan maju,
selagi aku berada di sini!” Kata-kata ini cukup keras.
Wajah kedua
orang pemimpin Kun-lun-pai sudah berubah merah karena penasaran dan marah
melihat betapa dua orang di antara tamu-tamu mereka sudah dikalahkan oleh dua
orang muda pengacau itu. Kesalahan-kesalahan lama dari Pendekar Sadis belum
diadili, tapi kini telah dibuatnya kesalahan-kesalahan baru dengan menandingi
dan mengalahkan dua orang tamu terhormat dari Kun-lun-pai yang berarti sudah
menghina Kun-lun-pai pula!
Mereka sudah
bangkit dan hendak maju, akan tetapi pada saat itu pula Han Tiong sudah
meloncat ke depan. Wajah pemuda ini agak pucat ketika dia menghadapi Thian Sin.
“Bagus
sekali, Ceng Thian Sin! Engkau memang gagah perkasa! Nah, coba sekarang kau
perlihatkan bagaimana caranya engkau akan membunuh aku!” Setelah berkata
demikian, Han Tiong sudah maju menyerang dengan totokan It-sin-ci (Totokan Satu
Jari), tujuh kali berturut-turut.
“Tiong-ko…
jangan…!” Thian Sin mengelak ke sana-sini dan karena dia tak mau melawan, tentu
dia akan terkena totokan-totokan maut itu jika saja Kim Hong tidak tiba-tiba
menarik lengannya dari belakang.
“Tiong-ko…
jangan mengangkat tangan terhadap diriku…,” Thian Sin meratap, suaranya
terdengar penuh kepiluan.
“Agaknya
hanya kalau aku menyerahkan nyawaku kepadamu maka engkau akan puas!” kata Han
Tiong dan dia sudah menerjang lagi.
“Dukkk…!”
Kim Hong yang menangkis.
“Bagus,
kalian berdua boleh maju dan membunuhku, lebih baik begitu!” kata Han Tiong
kepada kedua orang itu. Keadaan menjadi tegang sekali dan saat itu digunakan
oleh Kui Yang Tosu untuk berseru dengan lantang.
“Saudara-saudara
sekalian, ketahuilah bahwa Nona Toan Kim Hong ini bukan lain adalah Lam-sin,
datuk kaum sesat dari dunia selatan itu! Nah, kalau sahabatnya adalah Lam-sin,
mudah kita ketahui manusia macam apa adanya Pendekar Sadis.”
Sebelum
Thian Sin menjawab, Kim Hong sudah mendahuluinya, bukan jawaban langsung kepada
Kui Yang Tosu, melainkan ditujukan kepada semua orang yang hadir di tempat itu,
suaranya lantang, sikapnya menantang,
“Benar
sekali! Memang aku pernah menjadi Lam-sin! Akan tetapi, kini Lam-sin telah
tidak ada, yang ada hanyalah Toan Kim Hong! Semenjak aku bertemu dengan
Pendekar Sadis, Lam-sin sudah kuenyahkan dan Bu-tek Kai-pang telah kububarkan.
Pendekar Sadis yang telah membuat aku sadar dan meninggalkan dunia hitam!”
Thian Sin
yang melihat kakaknya sudah maju, kini tidak mau banyak ribut lagi. Dia cepat
menarik tangan Kim Hong sambil berkata, “Sudahlah, Kim Hong. Marilah kita tinggalkan
orang-orang yang baik-baik ini, kita orang-orang yang jahat tentu saja tidak
ada harganya untuk berbincang-bincang dengan orang-orang yang baik-baik dan
bersih ini. Tiong-ko, maafkan aku, sungguh tak kukira akan begini jadinya di
antara kita. Maafkan, Tiong-ko…” Suaranya mengadung isak dan dia sudah menarik
tangan Kim Hong, langsung diajaknya pergi dengan cepat dari tempat itu.
Kui Yang
Tosu yang sudah marah itu lalu berseru, “Kejar mereka!”
“Tahan…!”
Tiba-tiba saja Han Tiong berteriak dan dia pun sudah melompat ke depan dan
menghadang Kui Yang Tosu dan yang lain-lain. Semua orang memandang kepadanya
dan Kui Yang Tosu mengerutkan alisnya.
“Cia-taihiap,
apakah sekarang engkau berbalik hendak melindunginya?”
Han Tiong
menggelengkan kepalanya. “Tidak, akan tetapi lupakah totiang bahwa totiang
mengundang kami untuk rapat besok pagi di mana akan dibicarakan mengenai
Pendekar Sadis? Mereka yang berkepentingan belum lagi datang, rapat belum
diadakan, keputusan belum diambil, apakah sekarang totiang sudah hendak
melakukan tindakan tanpa adanya keputusan rapat terlebih dahulu? Apakah totiang
atau Kun-lun-pai hendak membelakangi Cin-ling-pai dan Lembah Naga?”
Semua orang
menjadi terkejut dan Kui Im Tosu berseru, “Siancai… siancai… siancai…! Sute,
kesabaran harus diutamakan, hati boleh saja panas akan tetapi kepala harus
dingin. Ucapan Cia-taihiap memang tepat. Kita harus menanti sampai rapat
besok.”
Kui Yang
Tosu merangkap kedua tangan di depan dada sambil berkata, “Siancai… pinto mohon
maaf…
Sambil
menanti datangnya esok hari, Han Tiong menyendiri di dalam markas Kun-lun-pai
itu. Dia merasa berduka sekali dan juga bingung memikirkan Thian Sin. Dia
membutuhkan nasehat orang-orang tua, maka dia mengharapkan kedatangan ayahnya
dan juga ketua Cin-ling-pai. Dia sendiri kini tak mungkin lagi dapat
mempertanggung jawabkan perbuatan Thian Sin setelah adiknya itu datang sendiri
tadi.
***************
Pada
keesokan harinya, makin banyak pendekar yang datang untuk memenuhi undangan
Kun-lun-pai sehingga ruangan tamu itu dipenuhi oleh kurang lebih lima puluh
orang tokoh utama dunia persilatan golongan bersih atau para pendekar.
Kedatangan Cia Sin Liong bersama isterinya disambut dengan hormat oleh para
pendekar, dan tentu saja Han Tiong girang sekali melihat kedatangan ayah
ibunya. Segera dia menghadap dan menceritakan semua yang telah dialaminya dalam
pertemuannya dengan adiknya itu.
Mendengar
penuturan puteranya itu, Cia Sin Liong menarik napas panjang berkali-kali. Ia
teringat kepada kakak angkatnya, Pangeran Ceng Han Houw sehingga beberapa kali
dia bertukar pandang dengan isterinya ketika mendengar cerita putera mereka.
Kemudian dia berkata,
“Ahh, dia
mewarisi jiwa pemberontak dan pendendam seperti ayah kandungnya. Agaknya sifat
itu terpendam dalam-dalam pada sanubarinya sehingga gemblengan pamannya Hong
San Hwesio dan pendidikan dariku kepadanya hanya menutupi sementara saja.”
Isteri
Pendekar Lembah Naga, yaitu Bhe Bi Cu tertarik sekali mendengar tentang wanita
yang menjadi kekasih dan calon isteri Thian Sin. “Lam-sin? Aihhh, bagaimana
bisa Thian Sin memperoleh jodoh seorang datuk kaum sesat?”
“Akan tetapi
menurut penuturan Tiong-ji, Lam-sin sudah berubah menjadi seorang gadis, Toan
Kim Hong keturunan seorang pangeran yang ilmunya lihai bukan main. Asalkan dia
betul-betul sudah sadar dan telah mengubah jalan hidupnya, maka tak ada
halangannya,” kata Cia Sin Liong.
“Bukan
main!” kata pula Bhe Bi Cu. “Siapa kira bahwa nenek yang telah menyelamatkan
Lian Hong dan kemudian menjadi gurunya itu, yang terkenal sebagai datuk kaum
sesat yang menyeramkan, ternyata adalah penyamaran seorang gadis muda!”
“Dan gadis
itu telah memiliki kepandaian tinggi, sungguh merupakan pasangan yang amat
cocok bagi Thian Sin.” kata suaminya.
Han Tiong
mengerutkan alisnya, “Ayah dan ibu, memang kulihat bahwa mereka itu saling
mencinta, sama keras hatinya dan Nona Toan itu pun cantik jelita. Agaknya
segalanya memang tidak mengecewakan apa bila dia menjadi jodoh Sin-te, hanya
saja… ahh, kalau mereka menjadi suami isteri lalu keduanya kembali lagi ke
jalan sesat, tentu akan sukar sekali untuk mengatasi mereka bila mereka
bergabung. Ilmu kepandaian Sin-te telah maju pesat sekali, ayah, dia sudah
mewarisi ilmu peninggalan ayah kandungnya, dan agaknya tingkat kepandaian calon
isterinya itu pun tidak kalah olehnya. Pasangan itu akan menjadi pasangan yang
mungkin sulit dicari bandingnya, seperti pasangan ketua Cin-ling-pai saja.”
Selagi
pemuda itu bercakap-cakap dengan ayah bundanya, datanglah seorang kakek dan
seorang nenek yang disambut dengan penuh penghormatan. Usia kakek itu sudah
hampir delapan puluh tahun dan nenek itu pun sebaya dengannya, akan tetapi
mereka berdua masih nampak sehat dan masih nampak bekas-bekas ketampanan dan
kecantikan wajah mereka. Kakek itu bukan lain adalah Yap Kun Liong dan nenek
itu adalah Cia Giok Keng, suami isteri yang melalui masa tuanya di tempat sunyi
dan damai, yaitu di puncak Gunung Bwe-hoa-san.
Sesudah
mereka disambut girang dengan hormat oleh pihak Kun-lun-pai dan para tamu, dan
disambut girang oleh Cia Sin Liong sekeluarga, baru kakek dan nenek itu
mempunyai kesempatan untuk mengadakan pertemuan sendiri bersama Cia Sin Liong
sekeluarga.
“Paman dan
bibi, mengapa ayah tidak dapat datang?” Sin Liong bertanya kepada kedua orang
kakek dan nenek itu.
Tadinya Sin
Liong mengira bahwa tentu ketua Cin-ling-pai, yaitu ayahnya, Cia Bun Houw, akan
datang sendiri. Akan tetapi ternyata kini diwakilkan kepada nenek itu yang
menjadi kakak dari ayahnya, bersama kakek yang menjadi suami ke dua dari nenek
itu setelah dia kematian suaminya yang pertama.
“Pertama,
ada terjadi sesuatu yang tak enak sehingga ayahmu tidak datang sendiri untuk
bicara tentang Ceng Thian Sin. Dan kedua kalinya, Thian Sin adalah anak Ciauw
Si, jadi dia itu adalah cucuku sendiri, maka menurut ayahmu, lebih tepat kalau
aku yang datang,” demikian jawab Nenek Cia Giok Keng. “Dan memang kami anggap
pendapat ayahmu itu benar. Aku yakin akan dapat bicara kepada Thian Sin kalau
sudah bertemu dengan dia. Ahh, anak itu nakal sekali!”
“Telah
terjadi hal apakah yang membuat tak enak?” Han Tiong bertanya sambil menatap
kepada kakek dan nenek itu penuh kekhawatiran karena tentu telah terjadi
sesuatu yang menyangkut diri Thian Sin sehingga kakeknya, ketua Cin-ling-pai
tidak mau datang sendiri untuk bicara tentang adik angkatnya itu.
Yap Kun
Liong menarik napas panjang. “Mungkin kalian dari Lembah Naga belum pernah
mendengar bahwa Cia Kong Liang sudah melangsungkan pertunangan atau ikatan
jodoh dengan puteri tunggal dari Tung-hai-sian…”
“Ahh,
sungguh memalukan…!” Cia Giok Keng menyambung dan menghela napas. Tentu saja
dia merasa menyesal bahwa keponakannya itu, putera tunggal dari adiknya, Cia
Bun Houw ketua Cin-ling-pai, berjodoh dengan puteri seorang datuk sesat pula!
Akan tetapi
Han Tiong kelihatan tenang-tenang saja, bahkan dia lalu tersenyum. Dia tidak
merasa heran karena dia sudah melihat tanda-tanda bahwa pamannya itu menaruh
hati terhadap Nona Bin Biauw, puteri dari Tung-hai-sian Bin Mo To yang memang
cantik dan mempunyai kepandaian lumayan itu. Dan hatinya terasa nyaman kalau
dia teringat bahwa adik angkatnya, Thian Sin, juga bertunangan dengan seorang
datuk sesat!
Benar pula
kata ayahnya, biar pun tadinya menjadi orang sesat, asalkan telah insyaf dan
sadar, kembali ke jalan benar, apa salahnya? Dan dia pun melihat bahwa Kim Hong
tidak bersikap jahat. Sebaliknya malah. Bukankah bekas datuk Lam-sin itu bahkan
membantu adik angkatnya untuk menghadapi datuk-datuk lainnya seperti
See-thian-ong, Pak-san-kui dan lain-lain?
“Aku telah
melihat nona puteri Tung-hai-sian itu, dan dia memang cantik, berwatak gagah
dan tinggi pula ilmu silatnya. Memang dia cocok sekali apa bila menjadi jodoh
Paman Cia Kong Liang,” katanya dan ayahnya memandang kepadanya, lalu tersenyum.
Pendekar
Lembah Naga ini mengenal betul watak puteranya dan diam-diam dia merasa bangga
karena puteranya itu memiliki watak yang jauh lebih bijaksana dari pada
wataknya ketika dia seusia puteranya. Dia tahu pula alangkah mendalam kasih
sayang puteranya terhadap Thian Sin, maka dia mengerti apa yang menyebabkan
puteranya nampak lega mendengar bahwa Cia Kong Liang bertunangan dengan puteri
seorang datuk kaum sesat!
“Akan
tetapi, sikap Tung-hai-sian Bin Mo To memang patut dipuji. Di dalam kesempatan
merayakan ikatan jodoh itu, dia mengumumkan bahwa dia sudah mencuci tangan dan
keluar dari kalangan hitam, bahkan dia sudah membuang julukannya, yaitu
Tung-hai-sian, dan hanya menjadi seorang saudagar biasa bernama Bin Mo To.”
Kemudian Yap
Kun Liong menceritakan, seperti yang didengarnya dari adik iparnya itu, betapa
dalam pesta itu muncul Thian Sin dan Kim Hong yang menantang Bin Mo To.
“Ahh,
agaknya Sin-te memang hendak memusuhi semua datuk golongan sesat,” kata Han
Tiong.
“Agaknya
demikian, akan tetapi sikap Bin Mo To memang bagus sekali. Dia mematahkan
pedang samurainya dan menolak tantangan Thian Sin.”
“Bagus!” Cia
Sin Liong berseru. “Sikap itu tentu merupakan tamparan bagi Thian Sin.”
“Mereka
mengejek Bin Mo To dan mula-mula Cia Kong Liang maju, ditandingi oleh Toan Kim
Hong dan Kong Liang dikalahkah gadis itu…”
“Tentu
saja!” kata Cia Sin Liong lagi memotong kata-kata pamannya. “Lam-sin itu
memiliki kepandaian hebat, tidak aneh kalau Kong Liang kalah olehnya.”
“Kemudian,
ayah ibumu maju dan ibumu memaki-maki Thian Sin yang minta ampun lalu mengajak
pergi Kim Hong. Nah, itulah peristiwa yang terjadi di dalam pesta pertunangan
itu, dan itu pula sebabnya mengapa ayahmu tidak mau datang menghadiri rapat
untuk membicarakan urusan Thian Sin.” Yap Kun Liong mengakhiri ceritanya yang
didengarkan oleh keluarga Cia bertiga itu.
Mereka terus
bercakap-cakap dan saling menuturkan keadaan mereka selama mereka tak berjumpa
hingga akhirnya terdengar pengumuman dari pihak tuan rumah bahwa rapat para
pendekar dimulai di ruangan tamu yang luas. Semua tamu sudah bersiap.
***************
Agaknya,
karena urusan yang hendak dibicarakan menyangkut diri Pendekar Sadis yang masih
merupakan keluarga Cin-ling-pai dan Lembah Naga, maka pendekar tua Yap Kun
Liong bersama isterinya dan keluarga Lembah Naga mendapat tempat duduk
kehormatan, di dekat tempat pihak tuan rumah, yaitu kedua ketua Kun-lun-pai,
Kui Im Tosu dan Kui Yang Tosu.
Setelah
mengucapkan selamat datang dan berterima kasih, Kui Yang Tosu yang mewakili
pihak tuan rumah lalu langsung membicarakan pokok persoalan. Diceritakannya
tentang berita-berita tentang sepak terjang Pendekar Sadis, tentang cara-cara
pembunuhan yang amat kejam ketika pendekar itu membasmi penjahat-penjahat,
tentang pembunuhan yang dilakukannya terhadap Toan Ong, dan terutama sekali
tentang perbuatan Pendekar Sadis dan Lam-sin atau Toan Kim Hong yang mendatangi
Kun-lun-pai dan yang menyebabkan kematian Jit Goat Tosu.
Dari cara
menceritakannya saja sudah dapat dirasakan oleh semua orang betapa tosu ini
merasa amat marah dan sakit hati terhadap Pendekar Sadis, dan ceritanya
mengandung harapan agar rapat itu mengutuk dan menghukum Pendekar Sadis. Dan
sebagai penutup penuturannya yang makan waktu satu jam lebih itu, Kui Yang Tosu
berkata,
“Oleh karena
itulah kami dari Kun-lun-pai, hari ini mengundang cu-wi untuk berkumpul dan
membicarakan urusan Pendekar Sadis, mengambil keputusan apa yang sepantasnya
kita lakukan atas perbuatan sewenang-wenang darinya itu. Dan mengingat bahwa
Pendekar Sadis adalah Ceng Thian Sin, yaitu putera dari mendiang Pangeran Ceng
Han Houw yang sudah menjadi putera angkat Pendekar Lembah Naga Cia Sin Liong
Taihiap, juga masih ada hubungan keluarga dengan Cin-ling-pai, maka kami
sengaja mengundang saudara-saudara dari Cin-ling-pai dan juga dari Lembah Naga
untuk kami mintakan pertanggungan jawabnya dan pertimbangannya.” Tosu itu lalu
memberi hormat kepada semua tamu dan duduk kembali di samping suheng-nya, Kui
Im Tosu.
Suasana
menjadi berisik ketika tosu itu menghentikan pidatonya dan semua tamu saling
bicara sendiri. Meski pun mereka berbicara perlahan-lahan setengah berbisik,
akan tetapi karena yang bicara itu banyak orang, maka suasana menjadi berisik
sekali, seperti dalam pasar saja. Hanya keluarga Cin-ling-pai dan Lembah Naga
yang nampak duduk dengan tenang dan diam-diam saja, agaknya masih menunggu
keadaan dan tidak merasa perlu untuk banyak bicara.
Tiba-tiba
seorang yang bertubuh tinggi besar bermuka hitam bangkit dari tempat duduknya
dan dengan suara lantang dia segera berkata, “Pendekar Sadis harus dibasmi!
Dosanya telah bertumpuk-tumpuk!”
Tentu saja
semua orang memandang kepada si tinggi besar muka hitam ini dan dia pun
mengangkat dada, wajahnya nampak bangga. Memang, dalam suatu pertemuan, di mana
terdapat banyak orang, kita selalu mempunyai kecondongan hati untuk menonjolkan
diri dengan cara apa pun juga.
Si tinggi
besar bermuka hitam ini adalah seorang pendekar ahli gwakang (tenaga luar),
memiliki otot-otot yang kuat dan tenaganya seperti seekor gajah, julukannya
juga Ban-kin Hek-jio (Gajah Hitam Selaksa Kati) bernama Ciong Sam. Namanya
terkenal di daerah Hok-kian dan mahir ilmu silat campuran antara ilmu silat
Siauw-lim-pai dan ilmu silat dari Kang-lam.
Bisa hadir
di antara para tokoh pendekar besar itu, Si Gajah Hitam ini tentu saja merasa
dirinya menjadi besar dan dia pun yang pertama kali berteriak mengutuk Pendekar
Sadis itu. Bukan sekali-kali karena dia memang membenci Pendekar Sadis, namun
sepenuhnya terdorong untuk menonjolkan diri itu saja! Dan banggalah hatinya
pada saat semua orang memperhatikan dirinya.
Betapa pun
juga, ucapannya itu memancing persetujuan banyak pendekar yang hadir di situ.
Banyak di antara mereka yang lantas berseru mengutuk Pendekar Sadis, setidaknya
menyatakan ketidak senangan hati mereka. Maka keadaan menjadi berisik sekali.
“Pendekar
yang bersahabat dengan datuk seperti Lam-sin bukan pendekar lagi, melainkan
penjahat! Harus diberantas!”
“Mari kita
datangi mereka berdua dan menumpas mereka!”
“Bunuh
Pendekar Sadis dan Lam-sin!”
“Pendekar
Sadis memalukan kita sebagai pendekar-pendekar!”
Teriakan-teriakan
semacam itu terdengar di sana-sini. Kui Im Tosu yang melihat ini lalu memandang
ke arah tamu kehormatan di sebelahnya, yakni lima orang dari Cin-ling-pai dan
Lembah Naga. Ketua pertama dari Kun-lun-pai ini merasa tidak enak sekali
sehingga cepat bangkit berdiri, lantas mengangkat kedua tangannya ke atas dan
suara berisik para tamu perlahan-lahan menjadi berhenti dan keadaan menjadi
tenang kembali.
“Cu-wi yang
terhormat harap suka tenang dan sebaiknya dalam urusan yang menyangkut diri
Pendekar Sadis ini, lebih dahulu kita mendengarkan pendapat dan pertimbangan
dari para pendekar Cin-ling-pai dan Lembah Naga yang terhormat.”
Sesudah
berkata demikian, Kui Im Tosu yang biasanya tidak banyak bicara itu lalu duduk
kembali. Mendengar ucapan ini, Cia Sin Liong lalu berbisik kepada Yap Kun
Liong.
“Paman,
kalau Paman mempunyai pendapat sesuatu, silakan.”
“Bukan aku,
Sin Liong, melainkan engkaulah sebagai ayah angkatnya yang paling tepat untuk
bicara.”
“Benar, Sin
Liong, engkaulah yang harus menyatakan pendapatmu,” sambung Cia Giok Keng
kepada keponakannya itu.
Sementara
itu, melihat para tamu terhormat itu saling berbisik, Kui Yang Tosu lalu
bangkit dan berkata dengan suara lantang, “Harap para pendekar yang terhormat
dari Cin-ling-pai dan Lembah Naga suka menyatakan pertimbangan mereka mengenai
urusan Pendekar Sadis! Silakan!”
Semua orang
kini memandang ke arah rombongan tamu kehormatan itu. Dan melihat Cia Sin
Liong, Pendekar Lembah Naga bangkit dari tempat duduknya, semua mata diarahkan
kepadanya sambil menunggu apa yang akan dikatakan oleh pendekar besar yang
menjadi ayah angkat dari Pendekar Sadis.
Suara
Pendekar Lembah Naga terdengar tenang akan tetapi cukup lantang dan suara itu
mengandung gema yang menggetar karena kekuatan khikang yang mendorong suara itu
seolah-olah keluar dari dalam perutnya.
“Para
locianpwe dan para saudara yang gagah perkasa dan budiman! Tak perlu disangkal
lagi, Ceng Thian Sin putera mendiang Pangeran Ceng Han Houw yang kini disebut
orang Pendekar Sadis itu memang adalah anak angkat saya dan sejak kecil telah
berada dalam perawatan dan pendidikan saya. Maka sudah sepatutnya kalau sebagai
ayah angkatnya saya dimintai pendapat dan pertimbangan saya. Kami dari
Cin-ling-pai dan Lembah Naga datang memenuhi undangan Kun-lun-pai untuk memberi
pendapat, pertimbangan dan juga tanggung jawab. Kami bukan bermaksud hendak
membela anak angkat kami, melainkan ingin mengajak anda sekalian yang budiman
untuk bicara dengan hati terbuka dan dengan kejujuran.”
Semua orang
menjadi makin tegang. Ucapan Pendekar Lembah Naga barusan sungguh mantap serta
mengandung wibawa yang kuat. Kui Yang Tosu sebagai wakil pembicara Kun-lun-pai
dapat merasakan juga kekuatan ini, maka dia pun berkata untuk menyelingi ucapan
Pendekar Lembah Naga yang berhenti sejenak itu.
“Siancai!
Kata-kata Cia-taihiap dari Lembah Naga memang amat mengagumkan dan patut untuk
diperhatikan. Silakan taihiap melanjutkan.”
“Cu-wi
adalah pendekar-pendekar penentang kejahatan. Dan cu-wi semua tentu tahu pula
bahwa di dunia ini banyak terdapat penjahat-penjahat yang dinamakan sebagai
golongan hitam, di mana terdapat para tokoh dan datuknya. Akan tetapi, mengapa
baru sekarang cu-wi berkumpul dan serentak bangkit ingin menentang dan membasmi
Pendekar Sadis? Mengapa sebelum ini, bahkan sampai sekarang pun, cu-wi tidak
pernah menentang para tokoh dan datuk kaum sesat? Kenapa justru Pendekar Sadis
yang hendak cu-wi tentang? Marilah kita bicarakan dengan hati terbuka dan
jujur, lalu suka memberi jawaban kepada saya. Mengapa cu-wi memusuhi Pendekar
Sadis?”
Sejenak
semua tamu hanya bisa saling pandang dan tidak mampu menjawab, akan tetapi kembali
mereka didahului oleh Ban-kin Hek-jio yang segera berteriak, “Karena Pendekar
Sadis sangat kejam dalam menyiksa musuh-musuhnya sehingga sudah merugikan nama
baik para pendekar! Itulah sebab yang utama!”
Teriakan ini
disusul pula oleh teriakan-teriakan lain. “Karena dia membunuh Toan-ong-ya yang
menjadi sahabat baik para pendekar!”
“Karena dia
bersekutu dengan Lam-sin!”
“Karena dia
mengacau Kun-lun-pai dan menentang para pendekar!”
Cia Sin
Liong mendengarkan dengan sangat teliti dan dia memperoleh kenyataan bahwa
jawaban-jawaban yang bersimpang siur itu hanya berkisar sekitar tiga pokok ini.
Maka dia pun mengangkat tangan untuk meredakan suasana, kemudian melanjutkan
kata-katanya, suaranya lantang dan mantap.
“Menurut
pendengaran saya tadi, hanya ada tiga sebab yang membuat cu-wi mengambil
keputusan untuk menentang dan membasmi atau membunuhnya. Marilah kita bahas
satu demi satu sebab itu. Dan jangan mengira bahwa saya hendak membela atau
melindungi anak angkat saya itu, sama sekali tidak. Hanya kita yang mengaku
pendekar-pendekar harus dapat membuka mata melihat kenyataan dan tidak
bertindak menurutkan nafsu hati belaka. Pertama ingin saya singgung tentang
hubungan Pendekar Sadis dengan Lam-sin. Mengapa cu-wi menganggapnya sebagai
dosa?”
Orang yang
tadi berteriak-teriak menyinggung hubungan Pendekar Sadis dengan Lam-sin, tidak
ada yang berani membuka mulut. Agaknya mereka gentar terhadap pendekar yang
suaranya mengandung getaran penuh wibawa itu, atau memang mereka tidak sanggup
menjawab. Melihat ini, Kui Yang Tosu, cepat menjawab dengan suara lantang pula.
“Lam-sin
adalah satu di antara datuk-datuk kaum sesat dan orang yang bersekutu dengan
seorang datuk sesat tentu bukan orang baik-baik!”
Cia Sin
Liong menahan senyumnya mendengar ini, lantas dia memandang ke arah para tamu.
“Cu-wi yang mulia, benarkah memang demikian alasannya maka cu-wi mengutuk
persekutuan antara Pendekar Sadis dan Lam-sin?”
“Benar!
Benar!” Banyak orang yang tadinya mengajukan alasan itu cepat berteriak untuk
membenarkan jawaban wakil ketua Kun-lun-pai.
“Baiklah,
mari kita perbincangkan soal ini. Kita semua tahu bahwa bukan Pendekar Sadis
yang ikut dengan Lam-sin, namun sebaliknya, Lam-sin yang ikut dengan Pendekar
Sadis. Kalau seorang pendekar mengikuti jejak seorang datuk sesat kemudian
membantu datuk itu melakukan kejahatan, jelas bahwa dia telah menyeleweng dari
jalan kebenaran. Akan tetapi, apabila seorang datuk meninggalkan kedudukannya,
meninggalkan kejahatannya dan mengikuti jejak seorang pendekar, apakah hal itu
salah? Lam-sin telah meninggalkan kedudukan dan namanya, juga membubarkan
perkumpulan Bu-tek Kai-pang, dan dia ikut bersama Pendekar Sadis bukan sebagai
Lam-sin lagi melainkan sebagai Nona Toan Kim Hong puteri dari mendiang Pangeran
Toan Su Ong yang terkenal sebagai pendekar sakti yang memberontak terhadap
kelaliman kaisar. Ia malah membantu Pendekar Sadis untuk membasmi datuk-datuk
jahat seperti See-thian-ong dan Pak-san-kui! Cu-wi yang terkenal sebagai
pendekar-pendekar budiman, pernahkah mencoba untuk menantang datuk-datuk itu?
Dan siapa di antara cu-wi yang merasa bahwa semenjak dilahirkan sampai sekarang
belum pernah melakukan penyelewengan? Kalau Lam-sin yang pernah menjadi datuk
itu telah berbalik karena insyaf dan kini menjadi penentang kejahatan, bukankah
hal itu baik sekali? Tung-hai-sian datuk sesat dari timur juga sudah
menanggalkan kedudukan serta julukannya, meninggalkan kejahatan dan bahkan kini
berbesan dengan ketua Cin-ling-pai, apakah hal itu tidak patut disambut dengan
syukur?”
Pendekar
Lembah Naga berbicara dengan semangat berapi-api, bukan hanya karena dia ingin
membela anak angkatnya, melainkan karena dia melihat kemunafikan yang banyak
mencengkeram hati mereka yang menyebut dirinya pendekar dan orang-orang baik.
“Siancai…!
Cia-taihiap terlalu bernafsu karena hendak membela putera angkatnya!”
“Maaf,
totiang. Bukan membela, melainkan saya menyatakan hal yang sebenarnya. Saya
sendiri tidak setuju dengan cara-cara kejam yang dilakukan oleh Ceng Thian Sin
dan saya akan menegurnya, bahkan akan memaksanya berjanji bahwa dia tidak akan
melakukan hal itu lagi. Akan tetapi kekejamannya terhadap para penjahat yang
dimusuhinya itu pun ada sebabnya. Sebabnya adalah dendam dan sakit hati. Sejak
kecil, dia kehilangan ayah bundanya yang mati dikeroyok dan di antara
pengeroyoknya terdapat banyak orang-orang dari golongan sesat. Kemudian, secara
berturut-turut dia mengalami gangguan-gangguan dari orang jahat sehingga
dendamnya makin bertumpuk dan akhirnya, setelah dia berhasil mempelajari
ilmu-ilmu silat yang tinggi, dendam itu meledak dalam keganasan-keganasan
terhadap musuh-musuhnya. Nah, sekarang mari kita perbincangkan alasan ke dua
yang cu-wi ajukan tadi. Yaitu tentang Pendekar Sadis membunuh Toan-ong-ya yang
merupakan sahabat baik para pendekar. Bukankah di antara cu-wi banyak yang
merasa penasaran bahwa Pendekar Sadis telah membunuh pangeran itu?”
Banyak suara
menyatakan betul demikian.
“Dan, cu-wi
tidak tahu apa sebabnya? Apakah tidak ada yang menceritakan kepada cu-wi
mengapa dia membunuh pangeran itu, Pangeran Toan Ong yang masih terhitung paman
sendiri dari Nona Toan Kim Hong yang pernah menjadi Lam-sin? Mengapa nona itu
tidak sakit hati atas terbunuhnya pamannya, ada pun cu-wi yang bukan apa-apa
justru merasa sakit hati?”
“Karena
Lam-sin memang jahat dan durhaka!” terdengar jawaban orang.
“Toan Ong
adalah seorang yang sangat berbudi terhadap para pendekar, kenyataan ini siapa
dapat menyangkalnya?” kata yang lain.
Sin Liong
hanya tersenyum tenang menghadapi serangan kata-kata ini. “Tidak ada yang
menyangkal bahwa Toan Ong adalah seorang yang berbudi baik terhadap para
pendekar sehingga tidaklah aneh jika kematiannya mendatangkan kedukaan dan
penyesalan. Akan tetapi saya kira tidak tepat jika Lam-sin tidak sakit hati
atas peristiwa itu akibat dia masih jahat dan durhaka. Sama sekali tidak
demikian. Melainkan karena dia amat bijaksana dan menyadari sebab kematian
pamannya itu, suatu sebab yang agaknya tidak mau diterima oleh para pendekar
yang budiman. Pendekar Sadis membunuh Toan Ong bukan sebagai orang yang
membunuh seorang yang baik, namun dia membunuhnya karena dia mengira bahwa Toan
Ong ialah seorang laki-laki yang jahat, keji dan semua pikiran ini disebabkan
oleh fitnah yang dilakukan oleh seorang wanita. Saya kira, di antara para
locianpwe yang hadir di sini sudah tahu akan hal itu, bahkan telah melihat
sendiri betapa Pendekar Sadis, sesudah menyadari bahwa dia kena diakali oleh
fitnah wanita itu, lalu memberi hukuman terhadap wanita itu dengan sadis
sekali. Bukankah demikian adanya, Kui Yang Totiang?” Kini Sin Liong menatap ke
arah wakil ketua Kun-lun-pai dengan sinar mata tajam penuh selidik.
Kui Yang
Tosu juga menatap kepadanya dan wajah tosu itu berubah merah, akan tetapi
dengan lantang dia berkata, mengakui, “Memang tidak salah, demikianlah
kenyataannya. Akan tetapi apakah kalau Pendekar Sadis sudah menghukum wanita
yang menjatuhkan fitnah itu, pembunuhan yang dilakukannya terhadap Pangeran
Toan lalu habis begitu saja dan boleh dimaafkan?”
“Ingat,
totiang. Saya datang bukanlah sebagai pembela Pendekar Sadis, melainkan hanya
mengemukakan semua kenyataan yang patut untuk kita pertimbangan. Saya hanya
ingin agar cu-wi semua tahu bahwa Pendekar Sadis membunuh Toan Ong karena
menganggap dan yakin bahwa pangeran itu adalah seorang penjahat yang harus
dibasminya. Memang dia ceroboh dalam hal itu, kurang teliti sehingga mudah
dibohongi dan ditipu wanita jahat itu. Dan tentu saya sendiri akan menegurnya
agar lain hari dia tidak seceroboh itu. Akan tetapi, perbuatannya itu sama
sekali bukan jahat, bahkan pada waktu itu dia menentang kejahatan pangeran itu
yang dipercayanya sebagai orang jahat. Sekarang tentang alasan ke tiga.”
“Siancai…!
Cia-taihiap memang pandai sekali. Coba, pinto ingin mendengar pembelaan
bagaimana yang akan taihiap ajukan untuk perbuatannya di Kun-lun-pai!” kata Kui
Yang Tosu yang merasa agak mendongkol karena semua kata-kata pendekar sakti itu
bahkan benar-benar mengangkat Pendekar Sadis dan memperlemah kesalahannya.
“Sebelum
kita mempertimbangkan urusan Pendekar Sadis dengan Kun-lun-pai, baiknya kita
mendengar lebih dulu persoalannya. Mungkin cu-wi sekalian sudah mendengar akan
peristiwa itu, akan tetapi supaya lebih jelas dan tidak simpang-siur dan
terkena hasutan cerita-cerita yang tidak betul, maka biarlah anak kami Cia Han
Tiong akan menceritakan peristiwa yang terjadi itu seperti yang didengarnya
sendiri dari mereka berdua. Han Tiong, kau ceritakanlah!”
Han Tiong
bangkit berdiri sementara Pendekar Lembah Naga duduk kembali. Pemuda ini lebih
tinggi sedikit dari pada ayahnya, sikapnya juga sangat tenang seperti ayahnya
dan sepasang matanya tajam sekali namun penuh dengan kelembutan. Biar pun
dibandingkan dengan ayahnya dia masih kalah wibawa, akan tetapi dia tidak kalah
gagahnya. Sesudah menjura kepada para tamu, pemuda ini pun dengan lantang mulai
bercerita.
Mula-mula
dia menceritakan riwayat Toan Su Ong yang menjadi buruan akibat tak berani
melawan suheng-nya yang bernama Gouw Gwat Leng karena suheng-nya itu memegang
bendera pusaka perguruan yang berarti bahwa suheng-nya telah menjadi pengganti
suhu mereka. Kemudian tentang kematian Toan Su Ong dan isterinya di sebuah
pulau kosong, dan meninggalkan Toan Kim Hong yang akhirnya menjadi Lam-sin
untuk beberapa tahun lamanya, sampai akhirnya gadis itu bertemu dengan Pendekar
Sadis dan meninggalkan dunia sesat.
“Toan Kim
Hong mencari supek-nya yang dianggap sebagai penyebab ayahnya menderita hidup
sengsara selamanya sebagai seorang buruan. Akhirnya dia pun mendengar bahwa
supek-nya telah menjadi Jit Goat Tosu dan bertapa di daerah Kun-lun-pai. Ia
lalu mengajak Pendekar Sadis untuk mendatangi Jit Goat Tosu. Jadi, di dalam hal
ini, Pendekar Sadis hanya menemani saja Nona Toan itu yang hendak menuntut
balas terhadap supek-nya sendiri atas kesengsaraan mendiang ayahnya. Mereka
lalu minta dengan hormat kepada pimpinan Kun-lun-pai supaya diperbolehkan
bertemu dengan Jit Goat Tosu untuk urusan pribadi, urusan antara keluarga
perguruan mereka sendiri. Akan tetapi oleh Kun-lun-pai nona itu diuji dan
akhirnya lulus sehingga diperbolehkan bertemu, diantar oleh Pendekar Sadis. Mereka
berdua pun kemudian bertemu dengan Jit Goat Tosu. Jit Goat Tosu lalu bertempur
melawan mereka namun mereka berdua tidak mampu mengalahkannya. Akan tetapi,
karena memang merasa menyesal sudah membuat sengsara sute-nya yang amat
dicintanya, Jit Goat Tosu mengalah, bahkan lalu membunuh dirinya sendiri sampai
tewas! Nah, itulah yang terjadi. Kun-lun-pai marah dan hendak menangkap mereka,
lalu mereka melarikan diri dari kepungan tanpa membunuh seorang pun anggota
Kun-lun-pai. Nah, demikianlah cerita yang saya dengar dari penuturan Ceng Thian
Sin dan Toan Kim Hong.” Han Tiong lalu duduk kembali ke atas kursinya.
Cia Sin
Liong kembali bangkit berdiri. “Benarkah peristiwanya terjadi demikian,
totiang?” tanyanya kepada Kui Yang Tosu.
“Siancai…
tidak ada yang mau berbohong dan memang benar demikianlah. Akan tetapi
peristiwa itu terjadi di wilayah kami, bukankah itu berarti bahwa mereka sudah
melanggar wilayah kami, ada pun pelanggaran itu sudah merupakan kejahatan dan
tidak memandang kepada Kun-lun-pai?”
“Maaf,
totiang,” jawab Sin Liong. “Bukankah mereka berdua tidak masuk seperti pencuri,
melainkan dengan berterang, bahkan telah minta persetujuan Kun-lun-pai untuk
menemui Jit Goat Tosu?”
“Memang
benar. Akan tetapi mereka berdua mendesak Jit Goat Tosu sehingga saudara tua
kami itu melakukan bunuh diri! Nona itu adalah seorang murid yang murtad dan
jahat, telah memaksa supek-nya sendiri membunuh diri, tidak mengindahkan atau
menghormati bendera pusakanya sendiri. Dan Pendekar Sadis membantunya mendesak
Jit Goat Tosu. Bukankah itu jahat sekali dan perlu dihukum?”
“Setiap
orang memang memiliki pendapat masing-masing mengenai benar atau salahnya orang
lain. Akan tetapi jelaslah bahwa urusan antara Nona Toan Kim Hong dan supek-nya
adalah urusan dalam suatu perguruan dan kita semua tak berhak untuk
mencampurinya! Jit Goat Tosu tewas karena kehendak dirinya sendiri, bukan
dibunuh. Bahkan andai kata sampai mati di tangan murid keponakannya sekali pun,
hal itu merupakan urusan dalam perguruan mereka sendiri.”
Kui Im Tosu
kini bangkit berdiri dan dengan suaranya yang halus dia berkata, “Kami dari
Kun-lun-pai mengumpulkan cu-wi sekalian memang untuk diajak bertukar pikiran
tentang hal ini. Jadi sekarang menurut pendapat Cia-taihiap sebagai ayah angkat
Pendekar Sadis, bagaimana sikap yang harus kita ambil terhadapnya?”
Sikap Sin
Liong tetap tenang dan tegas. “Terserah kepada siapa pun mau bertindak apa pun
terhadap Pendekar Sadis. Akan tetapi jika dengan alasan-alasan yang tadi telah
kita bicarakan, jelas bahwa apa bila sampai terjadi bentrokan, maka Pendekar
Sadis berada di pihak yang diserang lebih dulu. Dia tidak pernah mengganggu
cu-wi, akan tetapi sekarang cu-wi hendak mengganggunya. Saya mengerti bahwa
kematian Jit Goat Tosu membuat Kun-lun-pai merasa berduka dan juga malu. Sebab
itu jika Kun-lun-pai hendak bertindak sendiri terhadap Pendekar Sadis, silakan.
Hanya satu hal yang hendak kami kemukakan bahwa kami dari Cin-ling-pai dan
Lembah Naga akan segera mencarinya kemudian akan menasehatinya agar dia
mengubah semua sikap yang kejam terhadap para penjahat, biar pun sudah
sepatutnya kalau sebagai pendekar dia menentang kejahatan. Dan sebaliknya cu-wi
tidak mempunyai alasan yang kuat. Cu-wi tidak pernah menentang para datuk, tapi
Pendekar Sadis malah membasmi para datuk. Akan tetapi kini cu-wi hendak
menentang dia dengan alasan-alasan yang sangat lemah. Silakan dan kami rasa
sudah cukup kami bicara!”
Sesudah
berkata demikian, Cia Sin Liong berpamit dan pergi meninggalkan Kun-lun-pai
bersama Bhe Bi Cu, Cia Han Tiong, Yap Kun Liong, serta Cia Giok Keng. Tidak ada
seorang pun di antara para pendekar yang berani membantah atau mencegahnya.
Pihak
Kun-lun-pai maklum bahwa Pendekar Lembah Naga itu diam-diam merasa marah.
Pertemuan itu dilanjutkan tanpa adanya wakil dari Cin-ling-pai dan Lembah Naga,
akan tetapi mereka tidak dapat mengambil keputusan bulat sesudah terpengaruh
oleh semua kata-kata Pendekar Lembah Naga tadi.
Dan akhirnya
hanya tinggal kemengkalan hati terhadap Pendekar Sadis yang ada, tanpa ada
keputusan untuk bersama-sama menentangnya. Bagaimana pun juga mereka sangat
maklum akan kelihaiannya, apa lagi dengan adanya Lam-sin di sampingnya, siapa
berani mencoba-coba dan main-main dengan mereka berdua? Belum lagi kalau
diingat bahwa menentang Pendekar Sadis mungkin saja akan turut melibatkan
Cin-ling-pai dan Lembah Naga, apa lagi setelah Pendekar Lembah Naga menyatakan
pendapatnya seperti itu dan bahkan sudah menyatakan akan mencari kemudian
menasehati Pendekar Sadis supaya menghentikan sikapnya yang sadis dan kejam
itu.
Maka
akhirnya rapat itu hanya memutuskan untuk melihat bagaimana perkembangannya
saja, apakah Pendekar Sadis betul-betul akan berubah menjadi pendekar yang
tidak lagi bersikap kejam, tidak lagi melakukan penyiksaan di luar batas peri
kemanusiaan seperti yang sudah-sudah.
Tentu saja
di antara para pendekar itu ada kekecualiannya. Ada yang diam-diam merasa
penasaran dan diam-diam mereka itu mengambil keputusan untuk sewaktu-waktu,
kalau ada kesempatan, menghadapi Pendekar Sadis dan menentangnya, ingin melihat
sampai di mana kehebatan ilmu kepandaian Pendekar Sadis yang disohorkan itu.
***************
“Sudahlah
Thian Sin, kenapa engkau membiarkan diri terbenam dalam kedukaan? Kalau engkau
masih merasa penasaran, mengapa tidak sekarang saja kita mendatangi tempat
pertemuan itu, tak peduli apa jadinya nanti?” kata Kim Hong melihat kekasihnya
itu duduk di atas batu sambil bertopang dagu, wajahnya nampak berduka dan
pucat, sinar matanya layu dan muram.
Mereka tidak
lari jauh dari Kun-lun-pai, melainkan duduk di kaki pegunungan itu sesudah
semalaman mereka bermalam di dalam hutan, melihat para tamu yang berdatangan ke
puncak Kun-lun-pai, termasuk juga Kakek Yap Kun Liong bersama Nenek Cia Giok
Keng, kemudian Cia Sin Liong bersama isterinya. Saat melihat neneknya, hampir
saja Thian Sin keluar dari persembunyiannya, akan tetapi dia menahan diri dan
ketika dia melihat ayah angkatnya lewat, tak tertahankan lagi dua tetes air
mata membasahi pipinya.
Pagi ini dia
termenung dan bertopang dagu, bahkan sejak semalam tadi, semalam suntuk dia
tidak tidur, membuat Kim Hong menjadi khawatir sekali akan keadaan kekasihnya
itu.
Thian Sin
menarik napas panjang. “Bagaimana aku tidak akan berduka, Kim Hong? Sejak aku
kecil, aku selalu dirundung kemalangan dan ditimbun kedukaan. Ayah bunda
dibunuh orang, dan ketika menjelang dewasa, banyak sekali peristiwa yang
menyakiti hatiku, yang disebabkan oleh orang-orang jahat. Aku menimbun dendam
dalam hati, dan setelah aku berhasil melampiaskan dendam, kembali aku menjadi
serba salah, bahkan sekarang aku menyeret Cin-ling-pai dan Lembah Naga! Mereka
akan dicela orang karena perbuatanku! Ah, kenapa aku selalu bernasib malang,
bahkan membawa kemalangan bagi orang lain?” Pemuda itu menutupi mukanya dengan
kedua tangan dan berulang-ulang menarik napas panjang.
Kim Hong
merasa terharu, mendekati dan merangkul pemuda itu. “Jangan berduka, Thian Sin.
Ada aku di sini yang mencintamu dan akan membelamu sepenuh hatiku!”
Thian Sin
balas merangkul. Cinta kasihnya terhadap gadis ini makin mendalam. Di dunia ini
hanya Kim Hong seoranglah yang membela dan tidak menyalahkannya. Bahkan kakak
angkat yang dicintanya, Cia Han Tiong, kini ikut menyalahkan dia! Hanya Kim
Hong yang tidak menyalahkan, yang masih terus membela dan mencintanya. Hanya
Kim Hong yang menghibur kemurungan hatinya. Diciumnya gadis itu dengan hati
terharu.
“Kalau tidak
ada engkau, Kim Hong, entah apa jadinya denganku, entah apa yang akan kulakukan
dalam menghadapi semua ini. Rasanya aku ingin mengamuki Kun-lun-pai dan
menentang semua orang yang membenciku!”
Sekali
waktu, kemurungan pasti hinggap di dalam perasaan hati kita. Sejak jaman dahulu
sampai sekarang, agaknya di dunia ini tidak ada manusia yang dapat bebas dari
pada kemurungan atau kedukaan atau kekecewaan hati. Selalu saja ada
persoalan-persoalan yang mendatangkan kedukaan, kekecewaan dan kesengsaraan,
dan kalau sudah datang perasaan duka ini, kita pun merasa sengsara, kita merasa
prihatin, kita menderita batin, seolah-olah hati kita berdarah.
Dan tak
jarang kita kemudian melarikan diri dari semua derita ini, menghibur diri
dengan bermacam kesenangan, atau melarikan diri sama sekali dengan jalan bunuh
diri. Atau pun membunuh diri secara batiniah, yaitu dengan jalan bertapa dan
meninggalkan semua keramaian dunia yang sama saja artinya dengan hidup akan
tetapi sudah mati. Semua ini hanyalah bentuk-bentuk pelarian belaka.
Kekecewaan,
kemurungan dan kedukaan timbul akibat batin menginginkan yang lain dari pada
kenyataan, batin selalu ingin senang sehingga jika kesenangan yang diinginkan
itu tidak terjadi, hati menjadi kecewa dan berduka. Kita tidak tahu bahwa
justru KEINGINAN UNTUK SENANG inilah pencipta kekecewaan dan kedukaan.
Kita
menginginkan agar hidup ini manis selalu adanya. Kita membutakan mata terhadap
kenyataan bahwa sekali ada manis, sudah pasti ada pula pahit, getir, masam,
asin dan sebagainya lagi. Itulah romantika hidup. Manis, pahit, getir, masam
dan sebagainya, itu merupakan suatu kumpulan yang tidak terpisahkan dan yang
membentuk apa yang kita namakan kehidupan ini. Karena kita selalu menginginkan
yang manis, maka yang pahit dan getir terasa tidak enak, mengecewakan dan
menyiksa. Padahal, belum tentu yang manis itu selalu bermanfaat, dan belum
tentu kalau yang pahit itu tidak berguna!
Di dalam
setiap kenyataan, baik itu diterima sebagai manis atau pahit, pasti tersembunyi
sesuatu, suatu rahasia yang maha ajaib, dan yang hanya akan terlihat oleh dia
yang tidak terpengaruh oleh rasanya, baik manis mau pun pahit, yang melihat
kenyataan sebagai apa adanya, tanpa menilainya sebagai baik atau buruk, manis
atau pahit.
Bukankah
yang rasanya manis-manis itu sering kali bahkan mengganggu kesehatan dan
sebaliknya yang pahit-pahit itu biasanya malah baik bagi kesehatan? Namun,
bagaimana juga, kita selalu mengejar-ngejar yang manis-manis!
Seseorang
yang kita cinta merupakan hiburan yang amat kuat di kala kita dirundung duka
nestapa. Hal ini terasa benar oleh Thian Sin. Sekiranya tidak ada Kim Hong di
dekatnya, entah apa yang akan dilakukannya. Mungkin saja dia akan menjadi nekad
dan melakukan hal-hal yang lebih mengerikan lagi.
“Sekarang
apakah kehendakmu, Thian Sin? Apakah demi Cin-ling-pai dan Lembah Naga, engkau
hendak menyerahkan dirimu kepada para tosu Kun-lun-pai?” Kim Hong bertanya
untuk mengetahui isi kekasihnya.
Thian Sin
mengepal tinju. “Tidak! Sampai mati pun aku tidak akan sudi menyerahkan diri
kepada para tosu Kun-lun-pai. Boleh saja mereka menyebut diri mereka sebagai
partai besar, gudang pendekar-pendekar budiman, akan tetapi jelas sekali bahwa
sikap mereka terhadap kita didasarkan atas dendam karena kita telah dianggap
menyebabkan kematian Jit Goat Tosu.”
“Benar,
memang tak semestinya kita menyerahkan diri kepada Kun-lun-pai sebab kita tak
bersalah apa-apa terhadap mereka. Dan jangan kau kira mereka itu hanya
mendendam karena kematian supek-ku saja, melainkan ada hal yang lebih dari itu
bagi mereka.”
Thian Sin
mengangkat muka memandang wajah kekasihnya dengan heran. “Ada hal apa lagi
kecuali kematian supek-mu itu?”
“Kehormatan
mereka! Kita mencari dan menyerang supek di dalam wilayah Kun-lun-pai, dan
mereka merasa malu, seolah-olah mereka tidak mampu melindungi orang yang telah
menjadi saudara mereka dan telah berada di antara mereka. Di samping itu, juga
kurasa mereka merasa sayang sekali telah kehilangan sumber ilmu-ilmu silat yang
tinggi.”
“Maksudmu?”
“Lupakah
engkau betapa lihainya supek? Bahkan kita berdua bergabung pun tak mampu
mengalahkan dia! Padahal dia sudah nampak begitu tua dan lemah, telah
bertahun-tahun bertapa dan kurang makan. Bayangkan saja alangkah hebatnya ilmu
kepandaian supek sehingga tidaklah mengherankan kalau mendiang ayahku takut
kepadanya. Dan agaknya para tosu itu mengincar ilmu-ilmu dari supek yang mereka
warisi. Kurasa itulah sebabnya mengapa para tosu itu mengejar-ngejarmu,
mengejar-ngejar kita!”
Thian Sin
mengangguk-angguk. “Mungkin benar sekali pendapatmu itu. Maka, bagaimana pun
juga, aku tak akan mau menyerahkan diri kepada mereka dan kalau mereka bersama
orang-orang yang menyebut diri mereka pendekar-pendekar itu masih mengejarku,
maka mereka akan kuhadapi sebagai orang-orang jahat yang hendak mengganggu
diriku. Akan tetapi…” Dia tidak melanjutkan kata-katanya dan wajahnya nampak
muram.
Kim Hong
maklum kata-kata apa yang tak terucapkan itu, maka ia pun mendesak dengan terus
terang, “Bagaimana bila Cin-ling-pai dan Lembah Naga yang datang menghadapimu,
Thian Sin?”
Pemuda itu
menarik napas panjang, wajahnya sedikit pucat. “Itulah… aku tidak mungkin
berani melawan mereka. Mereka bukanlah orang-orang sombong seperti tosu-tosu
dari Kun-lun-pai dan orang-orang yang menamakan diri pendekar-pendekar itu.
Mereka adalah pendekar-pendekar sejati. Engkau sudah mendengar sendiri
kata-kata Tiong-ko. Mereka adalah orang-orang benar yang patut kuhormati dan
kutaati. Tidak, aku tidak akan berani menentang mereka. Aku akan menyerahkan diri
kepada mereka, asalkan bukan untuk dibawa kepada orang-orang Kun-lun-pai untuk
dipersalahkan.”
“Kalau
begitu, sebaiknya kalau kita menemui mereka sekarang juga. Nanti setelah
selesai pertemuan di puncak itu, tentu mereka akan turun gunung. Nah, itulah saatnya
bagi kita untuk menemui mereka.”
“Ahhh…!”Wajah
pemuda itu nampak gemetar. Ngeri dia membayangkan untuk berhadapan dengan ayah
dan ibu angkatnya, juga dengan neneknya yang galak dan kakeknya yang berwatak
lembut itu. Apa lagi masih ada kakaknya pula!
“Thian Sin,
di mana kegagahanmu? Tidak baik jika rasa keragu-raguan itu dipendam dan dibawa
pergi ke mana-mana. Seorang gagah harus berani menghadapi kenyataan, betapa pun
pahitnya kenyataan itu. Jika bisa dibereskan sekarang juga, mengapa mengulur-ulur
waktu dan sementara itu membawa-bawa kekhawatiran di dalam hati? Kita temui
mereka sekarang juga pada saat mereka turun gunung dan kita lihat bagaimana
pendapat mereka tentang dirimu. Jangan khawatir, aku selalu berada di sampingmu
dan kalau perlu… andai kata engkau harus mati oleh mereka, aku pun harus mati
di tangan mereka!”
“Kim Hong…!”
Thian Sin menjadi terharu sekali dan dia pun merangkul.
Mereka
berangkulan, berciuman dan mata mereka menjadi basah, bukan hanya oleh rasa
keharuan dan kedukaan membayangkan kemungkinan itu, akan tetapi juga rasa
bahagia di dalamnya, bahwa mereka itu saling mencinta sedemikian dalamnya
sehingga tidak lagi ragu-ragu untuk kalau perlu mengorbankan nyawa demi
kekasihnya.
Tidak lama
kemudian mereka melihat lima orang pertama yang turun dari puncak di mana
terdapat markas Kun-lun-pai, dan dapat dibayangkan betapa kaget serta tegang
rasa hati Thian Sin dan Kim Hong pada saat melihat bahwa mereka itu adalah
orang-orang yang semenjak tadi mereka tunggu-tunggu, yaitu Kakek Yap Kun Liong,
Nenek Cia Giok Keng, Pendekar Lembah Naga Cia Sin Liong beserta isterinya, dan
juga puteranya!
Melihat
wajah kekasihnya menjadi pucat, Kim Hong memegang tangannya dan berkata halus,
“Marilah, Thian Sin. Mari kita menyambut dan menghadap mereka!” Dia pun lantas
menarik pemuda itu keluar dari dalam hutan di mana mereka bersembunyi dan
langsung mereka berdua menyongsong kedatangan lima orang itu.
***************
SEPERTI
sudah kita ketahui, dengan perasaan marah, Pendekar Lembah Naga sekeluarga dan
kakek nenek yang mewakili Cin-ling-pai meninggalkan pertemuan rapat para
pendekar di ruangan tamu Kun-lun-pai.
“Kita harus
dapat bertemu dengan Thian Sin. Ingin aku bicara dengan dia dan sekali ini dia
harus mendengarkan kata-kataku!” kata Pendekar Lembah Naga dengan muka agak
merah.
Dia sudah
membela nama Thian Sin sebagai Pendekar Sadis, bukan hanya karena Thian Sin
adalah anak angkatnya, akan tetapi juga karena menjaga nama baik Cin-ling-pai
dan Lembah Naga, dan juga karena pada hakekatnya, dia tidak menganggap Thian
Sin jahat, hanya terlalu kejam terhadap musuh-musuhnya.
“Kurasa dia
tidak akan jauh dari tempat ini, ayah,” kata Han Tiong. “Aku mengenal betul
watak Sin-te, dia tidak akan melarikan diri kalau tidak didesak.”
Ucapan Han
Tiong ini terbukti ketika mereka tiba di lereng dekat puncak dan mencapai hutan
pertama. Tiba-tiba dia melihat munculnya Thian Sin dan Kim Hong dari dalam
hutan itu dan melihat keduanya sengaja menyongsong mereka.
Begitu
berhadapan, Cia Sin Liong langsung memandang anak angkatnya itu dan berkata
dengan suara lantang mengandung teguran, “Thian Sin, bagus sekali perbuatanmu,
ya? Begitukah engkau membalas budi kepada Cin-ling-pai dan Lembah Naga,
menyeret nama mereka ke pecomberan dan menjadi bahan celaan dunia kang-ouw?”
Mendengar
suara ayah angkatnya yang biasanya halus penuh kasih sayang kepadanya itu kini
terdengar penuh kemarahan dan juga kekecewaan dan kesedihan, hati Thian Sin
seperti ditusuk-tusuk rasanya dan dia pun segera menjatuhkan diri berlutut di
depan ayah angkatnya itu kemudian tak dapat ditahannya lagi dia pun menangis!
Selama
mengenal Thian Sin, sekarang untuk kedua kalinya Kim Hong melihat kekasihnya
menangis sedemikian sedihnya. Kim Hong merasa terharu dan kasihan sekali, maka
dia pun lalu ikut berlutut.
“Locianpwe,
urusan di Kun-lun-pai adalah urusan saya, maka sayalah yang bertanggung jawab.
Thian Sin tak bersalah, melainkan hanya ikut menemani saya, oleh karena itu,
jika locianpwe hendak marah, maka sayalah orangnya yang harus dimarahi, bukan
dia,” kata Kim Hong sambil menundukkan mukanya, sedangkan Thian Sin di
sebelahnya masih saja menitikkan air mata.
“Lam-sin!”
kembali terdengar Cia Sin Liong berkata, suaranya berwibawa sekali. “Engkau
adalah datuk golongan sesat di selatan, apakah engkau hendak menyeret anak
angkatku untuk mengikutimu masuk ke dalam dunia hitam dan melakukan perbuatan
sesat?”
“Locianpwe,
semenjak saya bertemu dengan Thian Sin, Lam-sin telah kubunuh dan saya sudah
membubarkan semua pengikut, saya sudah menanggalkan semua kedudukan dan
julukan, saya sudah meninggalkan dunia sesat dan sayalah yang ikut bersama
Thian Sin, bukan dia yang ikut saya. Saya membantunya menghadapi datuk-datuk
sesat lainnya, ada pun ketika dia membantu saya menghadapi supek saya, hal itu
adalah urusan pribadi saya, sama sekali tidak ada sangkut-pautnya dengan
Kun-lun-pai atau orang lain. Karena itu, harap locianpwe jangan persalahkan
Thian Sin, sayalah yang bersalah.”
“Ayah, saya
mengaku salah, saya telah mencemarkan nama baik Lembah Naga dengan perbuatan
saya. Oleh karena itu, terserah kepada ayah, hendak menjatuhkan hukuman apa pun
juga, akan saya terima dengan hati rela.”
“Tidak
boleh!” Kim Hong berteriak. “Kalau locianpwe menjatuhkan hukuman kepadanya,
maka harus menghukum saya juga. Mau membunuh kami berdua, silakan, kami rela
mati berdua untuk menebus dosa kalau memang locianpwe menghendaki demikian!” Ucapan
Kim Hong ini mengharukan hati Bhe Bi Cu dan juga Cia Giok Keng yang lantas
berkata dengan suara serak dan mata merah.
“Sin Liong,
kau ampunkanlah anakmu! Cucuku Ceng Thian Sin itu…”
Memang pada
lubuk hatinya, sedikit pun tak ada niat untuk menghukum anak angkatnya itu,
akan tetapi Sin Liong berpikir bahwa sangatlah perlu untuk menegur Thian Sin
pada saat seperti itu.
“Thian Sin,
kenapa hatimu demikian kejamnya, demikian keji dan sadis engkau menyiksa
orang-orang yang menjadi musuhmu? Jawablah dan jelaskan pada kami, kenapa
engkau menjadi demikian kejam melebihi iblis sendiri?”
“Saya
mengakui semua itu, Ayah. Saya hampir gila oleh dendam, sehingga saya lupa
diri, ingin memuaskan rasa dendam dan sakit hati itu dengan menyiksa
musuh-musuh saya. Saya… terus terang saja, ayah… saya merasa… senang dan nikmat
bukan main dalam pemuasan dendam dan sakit hati itu dengan menyiksa mereka dan…
dan pada waktu itu saya lupa segala-galanya, yang teringat hanya ingin menyiksa
orang yang dahulu pernah menyiksa hati saya…”
Semua orang
yang mendengar kata-kata ini bergidik, tidak hanya karena membayangkan
kesadisan Thian Sin saat menyiksa musuh-musuhnya seperti yang pernah mereka
dengar dibicarakan orang dengan ketakutan, melainkan terutama sekali melihat
kenyataan akan adanya sifat sadis dalam diri mereka masing-masing.
Memang, bila
mana kita mau membuka mata mengenal diri sendiri, di dalam batin kita terdapat
sifat sadis itu. Kita akan merasa senang sekali melihat orang yang kita anggap
jahat menerima siksaan! Kita akan merasa puas apa bila mendengar musuh atau
orang yang kita benci menderita mala petaka dan kesengsaraan.
Kita ini
masing-masing mempunyai watak pendendam, pemarah, selalu ingin membalas kepada
siapa saja yang membuat hati kita tidak senang, baik yang mengganggu kita itu
manusia mau pun setan. Setidaknya, kita akan mengumpat cacinya, dan
mengutuknya, dan tentu saja kita akan merasa senang dan puas jika melihat dia
tersiksa seperti yang digambarkan oleh benak kita yang penuh dengan kebencian
dan racun dendam.
Siapakah
yang dapat menyangkal bahwa terdapat persamaan dalam batin kita dengan watak
Pendekar Sadis yang senang menyiksa orang-orang yang dibencinya? Andai kata
kita diberi kekuatan seperti dia, diberi kekuasaan seperti dia, bukan tidak
mungkin kita pun suka menyiksa musuh-musuh yang kita benci.
Pengenalan
diri sendiri ini dapat kita lakukan dengan jelas apa bila kita melihat sesuatu,
baik melalui bacaan mau pun tontonan, yang sifatnya membalas dendam. Kita
membenci tokoh yang kita anggap jahat dan kita bersorak penuh kepuasan ketika
kita melihat ‘Si Jahat’ itu tertimpa malapetaka dan tersiksa. Namun, betapa
sukarnya untuk mengenal diri sendiri!
“Thian Sin,
aku mengerti perasaan itu. Akan tetapi, lupakah engkau dengan ajaran yang
pernah kau terima dari pamanmu Hong San Hwesio dan dariku sendiri selama ini?
Lalu apakah artinya semua latihan yang kuberikan untuk bersemedhi dan mengenal
sifat-sifat buruk diri sendiri? Orang yang melakukan perbuatan kejam dinamakan
penjahat, lalu apa artinya orang dianggap pendekar kalau hatinya pun kejam
terhadap orang lain? Apakah bedanya antara penjahat kejam dan pendekar kejam?
Mungkin saja si penjahat berbuat kejam untuk keuntungan harta atau pemuasan
hatinya, akan tetapi bila seorang pendekar berbuat kejam terhadap penjahat,
tentu juga demi untuk memuaskan hatinya yang penuh dendam. Jadi pada hakekatnya
sama saja, yaitu untuk menyenangkan atau memuaskan diri sendiri. Hati yang
kejam itu didasarkan oleh kebencian, dan apa pun yang dilakukan seseorang, baik
dia dinamakan pendekar mau pun penjahat, bila mana didasari dengan kebencian,
maka perbuatannya itu adalah jahat! Seorang pendekar menentang kejahatan, akan
tetapi bukan berdasarkan kebencian terhadap sesama manusia, walau pun manusia
itu dinamakan penjahat sekali pun. Seorang pendekar menentang kejahatan, karena
ingin menyelamatkan orang yang dapat menjadi korban kejahatan, karena ingin
menyadarkan orang yang melakukan kejahatan, karena hendak menenteramkan
kehidupan manusia di dunia, karena ingin menegakkan kebenaran dan keadilan.
Semua itu bebas dari landasan hati yang diracuni kebencian. Akan tetapi, apa
yang kau lakukan itu semata-mata adalah karena hatimu penuh dengan dendam sakit
hati dan kebencian. Lalu apa bedanya semua kesadisanmu itu dengan perbuatan para
penjahat di dunia ini?”
Cia Sin
Liong berhenti bicara dan Thian Sin makin menundukkan kepalanya. Walau pun
kadang-kadang dia menyadari akan hal itu, akan tetapi baru sekali inilah hal
itu seperti ditusukkan ke dalam perasaannya, membuat matanya terbuka dan dapat
melihat dengan jelas akan semua kesalahan yang pernah dilakukannya selama ini.
Memang dia sudah menjadi buta oleh dendam dan kebencian.
“Saya
mengaku salah…,” katanya lirih.
“Pengakuan
salah tanpa penghayatan di dalam hidup tidak akan ada artinya sama sekali!
Penyesalan di mulut dan di hati tidak ada gunanya. Yang penting adalah membuka
mata, melihat bahwa setiap kita melakukan sesuatu yang jahat dalam arti kata
merugikan orang lain lahir mau pun batin, maka pada saat itu kita tidak
memiliki kewaspadaan, kesadaran kita menjadi buta oleh nafsu. Oleh karena itu,
kita harus waspada setiap waktu, terutama sekali waspada terhadap diri sendiri
lahir mau pun batin. Hanya dengan kewaspadaan dan kesadaran terhadap diri
sendiri lahir batin sajalah kita tidak akan bertindak membabi-buta menurutkan
nafsu-nafsu kita. Kebencian terhadap orang lain merupakan pangkal segala
permusuhan dan kekacauan di dunia. Kita harus dapat menghalau kebencian ini
jauh-jauh dari batin kita, baik terhadap orang yang kita anggap jahat mau pun
tidak. Selama masih ada kebencian di dalam batin, bukan kebencian terhadap
seseorang tertentu, melainkan kebencian kepada siapa pun juga, maka tak mungkin
dia bisa menjadi seorang pendekar dalam arti yang seluas-luasnya!”
Thian Sin
dan Kim Hong mengangguk-angguk, diam-diam merasa betapa tidak mudahnya untuk
menjadi seorang manusia yang pantas dinamakan pendekar.
“Kalian
orang-orang muda perlu sekali memperhatikan apa yang telah dikatakan oleh Sin
Liong,” kata Kakek Yap Kun Liong dengan suara halus dan tenang. “Memang
demikianlah sesungguhnya, selama masih ada kebencian di dalam batin, tak
mungkin orang itu dapat mengenal cinta kasih. Dan seorang pendekar adalah orang
yang penuh cinta kasih, yang hanya satu keinginannya, yaitu membangun, bukannya
merusak. Memang mungkin saja orang harus membongkar terlebih dulu untuk
membangun, namun bukan berarti merusak. Mungkin seorang pendekar harus
bertindak keras terhadap seorang sesat, namun bukan berarti keras karena
didasari oleh kebencian atau hendak merusak, melainkan keras yang sifatnya
membongkar untuk kemudian dibangun. Atau yang sifatnya mendidik, menuntun agar
yang menyeleweng kembali ke jalan benar.”
“Terima
kasih atas semua petuah dan peringatan dari ayah dan kakek yang amat berguna
itu,” kata Thian Sin.
“Terima kasih
kepada locianpwe yang mulia,” kata pula Kim Hong.
Hati wanita
ini betul-betul tergetar dan membuatnya tunduk benar terhadap para pendekar
sakti ini dan dara ini pun dapat melihat betapa dahulu dia telah melakukan
penyelewengan besar sekali.
“Saya mohon
petunjuk kepada ayah, apa yang harus saya lakukan selanjutnya? Apakah saya
harus menyerahkan diri kepada Kun-lun-pai untuk diadili? Kalau memang demikian
halnya, maka lebih baik ayah membunuh saya sekarang juga, karena saya tidak
merasa bersalah terhadap Kun-lun-pai. Mereka itu hanya ingin membalas dendam
karena sangat benci kepada saya.”
Cia Sin
Liong mengangguk-angguk. “Memang tidak sepatutnya kalau kalian menyerahkan diri
begitu saja. Kalau kalian mau, marilah ikut bersama kami ke Lembah Naga. Kakakmu
akan merayakan pernikahannya dan kalian seharusnya hadir pula. Sudah terlampau
lama engkau pergi meninggalkan rumah, Thian Sin. Sekarang pulanglah dan kami
akan merasa berbahagia sekali.”
“Betul,
cucuku. Di samping itu, aku pun ingin melihat engkau menikah sebelum aku mati,”
kata Nenek Cia Giok Keng. “Dan aku pun senang sekali dengan pilihanmu. Nona
Toan ini memang cocok untuk menjadi jodohmu.”
Dengan hati
terharu Thian Sin menghaturkan terima kasih kepada neneknya itu, kemudian dia
segera bertanya kepada ayahnya, “Ayah, kapankah Tiong-ko hendak melangsungkan
pernikahannya?”
“Kami telah
memperhitungkan, nanti pada tanggal sepuluh bulan delapan, jadi kurang tiga
bulan lagi,” jawab Cia Sin Liong.
“Kalau
begitu, biarlah pada waktunya kami akan datang ke Lembah Naga, ayah. Kini kami
hendak pergi ke suatu tempat yang akan kami jadikan tempat tinggal kami…”
“Di manakah
itu, Sin-te? Di mana kalian hendak tinggal?” Han Tiong bertanya, dan hatinya
merasa kecewa mendengar adiknya itu tidak akan tinggal bersama mereka di Lembah
Naga.
“Di Pulau
Teratai Merah, Tiong-ko,” mendadak Kim Hong yang menjawab. “Kami berdua telah
bersepakat untuk tinggal di bekas tempat tinggal mendiang ayah dan ibu ketika
ayah menjadi buronan. Kami masih mempunyai rumah di sana.”
“Tapi… tapi
kapankah kalian akan menikah?” Nenek Cia Giok Keng bertanya. “Bukankah akan
baik sekali jika engkau menikahkan kedua puteramu itu secara berbareng saja,
Sin Liong?”
“Terserah
kepada Thian Sin dan tunangannya,” jawab pendekar itu yang secara bijaksana
sekali menyerahkan urusan perjodohan orang-orang muda itu kepada mereka sendiri
yang berkepentingan.
“Bagaimana,
Thian Sin, cucuku?” tanya nenek itu kepada Thian Sin.
Thian Sin
dan Kim Hong saling pandang, kemudian keduanya menundukkan muka yang tiba-tiba
saja menjadi merah. Sungguh mengherankan hati mereka sendiri kenapa setelah
keluarga yang mereka hormati ini berbicara tentang perjodohan mereka, mereka
menjadi tersipu-sipu malu.
“Maaf,
nenek, kami masih belum berpikir mengenai pernikahan,” akhirnya Thian Sin yang
menjawab.
Nenek Cia
Giok Keng hanya mampu menghela napas panjang. Dia pun mengerti bahwa urusan
pernikahan merupakan urusan kedua orang itu sendiri dan mencampurinya hanya
akan mendatangkan kekacauan belaka. Dahulu hal ini sudah pernah dialaminya
sendiri, maka dengan bijaksana dia pun diam saja, tidak membantah lagi.
Akhirnya
mereka pun berpisah. Sambil berlutut, Thian Sin berkata kepada mereka semua,
“Harap ayah dan ibu, juga Tiong-ko, kakek dan nenek yang saya hormati dan saya
cinta, suka menjadi saksi. Mulai saat ini, Pendekar Sadis hanya tinggal
sebutannya saja, namun kekejaman dan kesadisan akan saya enyahkan jauh-jauh
dari dalam batin saya. Semoga saya selalu akan sadar dan dengan kerja sama dan
bantuan Kim Hong, mudah-mudahan saya tidak akan melanggar janji saya ini. Saya
akan mengikuti jejak ayah sekalian, untuk menjadi pendekar dalam arti yang
sesungguhnya!”
Setelah
berpamit dalam suasana mengharukan, terutama sekali Han Tiong yang merasa berat
untuk berpisah dari adiknya, akhirnya Thian Sin dan Kim Hong berpisah dari
mereka dan kedua orang muda ini melakukan perjalanan ke selatan untuk pergi ke
Pulau Teratai Merah.
Di sepanjang
perjalanan mereka selalu menghindarkan diri dari bentrokan-bentrokan, dan
mengambil jalan yang sunyi untuk melakukan perjalanan cepat. Kim Hong merasa
girang sekali bahwa kekasihnya suka memenuhi keinginannya untuk kembali ke
pulau kosong itu dan sebagai rasa terima kasihnya, sikapnya menjadi makin mesra
terhadap Thian Sin.
***************
Apa bila
orang berdiri di pantai muara Sungai Huai yang menuangkan airnya ke dalam
Lautan Kuning, maka akan nampaklah banyak sekali pulau-pulau kecil. Sebagian
besar dari pulau-pulau ini merupakan pulau-pulau karang yang kering-kerontang,
akan tetapi ada pula beberapa buah di antaranya yang nampak kehijauan karena
pulau itu mengandung tanah sehingga tetumbuhan dapat hidup di situ.
Pulau
Teratai Merah adalah salah satu di antara pulau-pulau itu yang letaknya agak
jauh dan tidak dapat dilihat dari pantai muara Sungai Huai itu, kecuali bila
lautan sedang amat tenangnya dan cuaca sedang cerah. Pulau Teratai Merah adalah
sebuah pulau kecil saja, akan tetapi mempunyai tanah yang subur sehingga dapat
ditanami.
Sebelum Toan
Su Ong dan isterinya, yaitu Ouwyang Ci tinggal di pulau itu, pulau itu tidak
pernah ditinggali manusia, kecuali hanya menjadi tempat persinggahan para
nelayan saja. Tentu saja orang enggan tinggal di sana, karena letaknya yang
jauh dari pantai daratan, juga jauh dari tetangga manusia lain, dan pula,
lautan di sekitar pulau itu terkenal sangat buas dan banyak dihuni ikan-ikan
hiu yang ganas pula. Karena banyaknya hiu inilah maka daerah kepulauan itu
bukan merupakan daerah nelayan yang baik.
Pangeran
Toan Su Ong tentu saja berbeda dengan para pelayan itu. Dia adalah seorang
buronan yang memang mencari tempat persembunyian yang baik dan pulau kosong itu
sangat tepat untuknya. Tempatnya terpencil, sukar dikunjungi, bahkan tidak aman
karena pulau-pulau itu sering dijadikan tempat persembunyian para bajak laut.
Toan Su Ong dan isterinya yang berkepandaian tinggi itu tentu saja tidak takut
terhadap para bajak laut. Dan mereka dapat bercocok tanam di tempat itu, bahkan
akhirnya mereka dapat membangun sebuah rumah yang cukup besar di pulau kosong
itu.
Thian Sin
ikut dengan Kim Hong menuju ke pulau itu. Mereka berperahu, sebuah perahu layar
kecil yang mereka beli di pantai daratan. Pendekar muda itu mendapat kenyataan
bahwa di samping bermacam-macam ilmu kepandaiannya, ternyata Kim Hong pandai
pula mengemudikan perahu layar.
Dengan
keahliannya yang mengagumkan, gadis ini mengemudikan perahu yang layarnya
menggembung ditiup angin itu, meluncur dengan lincah di permukaan air lautan,
amat laju menembus gelombang-gelombang kecil yang membuat perahu itu naik turun
sehingga terasa mengerikan bagi Thian Sin yang tidak bisa berperahu. Akan
tetapi dia ingin belajar dan biar pun pada jam-jam pertama dia merasa pening
kepala, akhirnya dia dapat juga membantu Kim Hong mengemudikan perahu.
Berlayar
dari pantai daratan menuju ke Pulau Teratai Merah itu memakan waktu setengah
hari, itu pun kalau lautan sedang tenang dan arah angin baik. Menurut
keterangan Kim Hong, kalau kurang angin maka pelayaran akan memakan waktu lebih
lama, kadang kala sehari. Akan tetapi ketika mereka tiba di pulau ini, mereka
melihat sebuah perahu besar telah berlabuh di situ! Kim Hong mengerutkan
alisnya dan berkata,
“Ahh, baru
beberapa tahun saja kutinggalkan tempat ini, sekarang sudah ada yang berani
menempatinya! Biasanya hanya para bajak laut saja yang singgah di pulau-pulau
kosong. Aku khawatir kalau-kalau mereka merusak bangunan rumah kami!”
Thian Sin
bergidik ketika melihat betapa perahu mereka itu dikelilingi ikan-ikan hiu
besar. Nampak sirip mereka mcluncur di permukaan air di sekitar perahu. Dia
pernah mendengar cerita tentang ikan-ikan hiu itu, yang dianggap sebagai
harimaunya lautan.
“Hiu di sini
ganas sekali, berani menyerang perahu!” kata Kim Hong. “Akan tetapi jangan
khawatir, mereka tidak akan berani mengganggu kita.” Berkata demikian, Kim Hong
lantas menabur-naburkan bubuk kuning di sekeliling perahunya.
Dan benar
saja, tidak lama kemudian sirip-sirip ikan hiu itu menjauh dan akhirnya lenyap.
Bubuk kuning itu adalah semacam obat yang merupakan racun yang menakutkan bagi
ikan-ikan hiu itu, ciptaan mendiang Pangeran Toan Su Ong. Selamatlah mereka
mendarat di pulau itu, dan Kim Hong sengaja melakukan pendaratan dari samping,
agak jauh dari perahu hitam besar karena dia hendak menyelidiki secara
diam-diam siapa orangnya yang kini berada di pulau itu.
Setelah
menyembunyikan perahunya di balik semak-semak, Kim Hong segera mengajak Thian
Sin pergi ke sebuah pohon tua di pantai pulau itu, lalu gadis itu mendorong
sebuah batu besar di belakang pohon. Terbukalah sebuah lubang yang tertutup
semak-semak dan batu besar tadi, lantas dia mengajak memasuki lubang yang
ternyata merupakan sebuah terowongan gelap.
Batu besar
itu mereka geser lagi dari bawah sehingga menutupi lubang yang diperkuat oleh
besi-besi itu, tanda bahwa terowongan itu adalah buatan manusia. Dan memanglah,
selama berada di pulau ini, Toan Su Ong sudah memasang banyak jalan rahasia
yang dipersiapkannya kalau-kalau dia dikejar sampai ke situ oleh pasukan
pemerintah.
Setelah
mereka melalui terowongan dengan jalan berindap-indap sampai seperempat jam
lamanya, melalui jalan terowongan berliku-liku dan naik turun, akhirnya mereka
keluar dari terowongan dan telah berada di belakang sebuah bangunan. Inilah
bangunan rumah yang didirikan oleh Toan Su Ong di pulau itu, sebuah rumah yang
cukup besar dan kuat. Jalan rahasia yang mereka lalui tadi berakhir di taman
rumah itu, pintunya juga merupakan pintu besi rahasia yang gelap dan tertutup
batu besar pula.
Hari telah
menjelang sore ketika Kim Hong dan Thian Sin keluar dari dalam goa kecil dan
gadis itu mengerutkan alisnya ketika melihat betapa rumah gedung milik
keluarganya itu sudah banyak dirusak orang. Temboknya dibobol di sana-sini, dan
taman itu pun sudah rusak tak terawat dan nampak ada bekas-bekas galian di
beberapa tempat, seakan-akan tempat itu menjadi tempat orang mencari-cari
sesuatu dengan membongkar dinding dan menggali taman. Dan dia pun mengajak
Thian Sin menyelinap dan menyelidik.
Nampak ada
belasan orang sedang beristirahat di samping rumah. Agaknya mereka itu sudah
bekerja berat siang tadi. Ada yang membawa cangkul, ada pula yang membawa
alat-alat untuk membongkar dinding. Mereka mengobrol sambil minum arak, dan
melihat sikap mereka itu, Kim Hong mengerti bahwa mereka adalah bajak-bajak
laut yang kasar dan ganas. Akan tetapi dia memberi isyarat kepada Thian Sin
agar mengikutinya untuk menyelinap masuk melalui jendela samping yang terbuka.
Bagaikan dua
ekor burung mereka meloncat ke dalam ruangan besar di sebelah dalam bangunan
itu di mana terdapat beberapa orang yang tengah bercakap-cakap menghadapi
daging panggang dan arak di atas meja. Lidah selatan mereka terdengar lucu bagi
Thian Sin, membuat dia agak sukar menangkap pembicaraan mereka. Akan tetapi
agaknya Kim Hong telah biasa dengan dialek selatan ini, dan gadis ini
mendengarkan penuh perhatian, mendekati pintu yang menembus ke ruangan itu.
Karena tidak
dapat mengerti dengan baik, Thian Sin mengintai dan memperhatikan
orang-orangnya. Ada lima orang sedang duduk mengelilingi meja, dan yang membuat
mereka terheran-heran adalah kenyataan bahwa seorang di antara mereka
berpakaian sebagai seorang tosu.
Tubuh tosu
ini kurus dan agak bongkok, mukanya pucat dan meruncing bagaikan muka tikus.
Empat orang lainnya bertubuh tinggi besar dan bersikap kasar, cara duduknya
juga nongkrong seperti cara duduk orang-orang yang biasa hidup di alam liar dan
tak mengenal tata cara kesopanan. Mereka kelihatan kuat dan ganas, wajah mereka
membayangkan kekerasan serta kekejaman. Akan tetapi Kim Hong lebih
memperhatikan percakapan itu sendiri.
“Kita sudah
membuang-buang waktu satu minggu lamanya di sini!” Terdengar seorang di antara
empat orang kasar itu mengomel dengan mulut dijejali daging setengah matang.
“Kalau kita
mencari rejeki di lautan, mungkin sudah ada satu dua kapal yang dapat kita
serbu!” kata orang ke dua.
“Pangeran
itu tentu telah membawa pusakanya ikut bersamanya ke neraka, jika memang dia
pernah mempunyai pusaka itu!” kata orang ke tiga.
“Hei, Tikus
Laut,” kata orang ke empat kepada tosu bermuka tikus yang ternyata berjuluk
Tikus Laut itu, “agaknya sesudah menjadi tosu engkau kehilangan ketajaman
hidungmu sehingga salah duga! Awas kau kalau mempermainkan kami!”
Si Tosu itu
meludah karena ada pecahan tulang yang tergigit olehnya, lalu dia mengomel,
“Kalian ini seperti bukan sahabat-sahabat baikku saja, seperti belum pernah
mendengar akan kelihaianku dalam menyelidiki saja. Sejak dahulu aku tahu bahwa
isteri pangeran itu berhasil menguasai pusaka peninggalan Menteri The Hoo dan
pasti disimpannya di sini.”
“Tapi kau
sendiri bilang bahwa puteri mereka telah menjadi orang yang lihai sekali…”
“Jangan
khawatir, dia bersama Pendekar Sadis sedang dikejar-kejar, dan tentu para tosu
Kun-lun-pai tak akan mau melepaskan mereka setelah kena kubakar sampai
kemarahan mereka berkobar-kobar. Ha-ha-ha!” kata tosu itu.
“Tikus Laut,
sungguh mengherankan sekali kenapa engkau memusuhi mereka. Bukankah engkau
telah menjadi orang suci?” ejek seorang di antara bajak-bajak itu.
“Apa bila
mereka tidak muncul mungkin aku terlanjur menjadi orang suci, lalu dengan ilmu
yang kudapat dari Jit Goat Tosu, maka aku bisa menjagoi dan menjadi tokoh
Kun-lun-pai. Akan tetapi mereka muncul sehingga dendamku terhadap Pangeran Toan
Su Ong yang tadinya sudah hampir terlupa menjadi bangkit kembali. Dan teringat
akan pusaka Menteri The Hoo… selagi mereka sedang dikejar-kejar, dan dengan
alasan mencari mereka, aku lalu mengajak kalian bersama-sama mencari pusaka.
Ehh, kiranya kalian masih ragu-ragu dan kurang percaya padaku…”
Di dalam
tempat pengintaiannya, Kim Hong saling bertukar pandang dengan Thian Sin. Kini
mereka teringat. Tosu ini adalah seorang di antara para tosu pimpinan di
Kun-lun-pai, biar pun tadinya mereka kurang memperhatikan karena agaknya
kedudukan tosu ini tidak menonjol. Akan tetapi, punggung yang bongkok itu tiada
keduanya di antara para tosu Kun-lun-pai.
Pada saat
itu terdengar bentakan keras dari arah belakang mereka. “Heii, siapa kalian?!
Awas, ada mata-mata mengintai!”
Thian Sin
dan Kim Hong menengok dan ternyata ada dua orang di antara para anak bajak laut
yang kebetulan lewat dan melihat mereka dari belakang.
“Mereka ini
patut dihajar!” kata Kim Hong sambil melangkah masuk ke dalam ruangan di mana
lima orang itu sedang bercakap-cakap.
Lima orang
itu pun terkejut mendengar teriakan anak buah mereka dan semuanya telah
berloncatan sambil mencabut senjata mereka. Akan tetapi ketika empat orang
pimpinan bajak itu melihat bahwa yang muncul hanyalah seorang pemuda dan
seorang gadis cantik yang kelihatan lemah, mereka lalu menyeringai dengan hati
lega dan seorang di antara mereka berkata sambil tertawa,
“Ha-ha-ha,
kiranya dua orang yang sedang berpacaran tersesat memasuki pulau!”
“Wah, gadis
itu manis sekali. Sudah seminggu lebih aku tak mencium bau keringat wanita,
ha-ha-ha, biarlah gadis itu untukku saja!”
“Enak saja
kau bicara, apa kau kira aku pun tidak membutuhkannya?”
Akan tetapi,
kalau empat orang kepala bajak itu bicara dengan cara jorok dan kurang ajar
terhadap Kim Hong, sebaliknya tosu bongkok yang berjuluk Tikus Laut itu
memandang dengan wajah pucat dan mata terbelalak.
“Celaka…!”
katanya, suaranya terdengar gemetar. “Inilah mereka… Pendekar Sadis dan
Lam-sin…!”
Para bajak
laut itu hampir setiap saat berada di lautan, maka tentu saja mereka tak begitu
mengenal nama Pendekar Sadis mau pun Lam-sin yang merupakan tokoh-tokoh
daratan, sehingga mereka tidak begitu gentar menghadapi dua orang muda ini,
walau pun mereka sudah mendengar dari Tikus Laut akan kelihaian mereka. Kini, belasan
orang anak buah yang tadinya berada di luar sudah berserabutan masuk dengan
senjata di tangan. Melihat ini, Si Kumis Lebat, seorang di antara empat
pimpinan perampok yang menjadi kepala mereka, tertawa.
“Ha-ha-ha,
kepung dan tangkap mereka! Boleh bunuh yang laki-laki, akan tetapi tangkap yang
perempuan untukku, ha-ha-ha!”
Dia sendiri
segera menyimpan kembali goloknya lalu maju dengan tangan kosong hendak
menangkap Kim Hong, sedangkan tiga orang yang lainnya memimpin anak buah mereka
mengurung, dibantu pula oleh tosu bongkok yang juga sudah mencabut keluar
sebatang pedangnya.
Melihat
wajah kekasihnya, Thian Sin segera maklum bahwa nyawa orang-orang ini tidak
akan bisa tertolong lagi, dan terbayanglah kembali wajah orang-orang yang
dihormatinya, terutama wajah ayah angkatnya dan kakaknya.
“Kim Hong…
jangan bunuh orang… jangan kita ulangi kembali, kita robohkan saja tanpa
membunuhnya.”
Kim Hong
mengerling kepada kekasihnya lantas tersenyum, senyum yang mengandung
ketenangan sehingga hati Thian Sin menjadi amat lega. “Jangan khawatir,
terutama sekali Si Muka Tikus itu harus dapat kutangkap dalam keadaan
hidup-hidup untuk menceritakan semua latar belakang ini!”
Mereka tidak
mempunyai banyak kesempatan untuk bicara lagi karena pihak lawan sudah menyerbu.
Si Kumis Tebal bersama tiga orang lain dengan muka menyeringai langsung
mengepung dan menubruk untuk menangkap Kim Hong. Mereka bagai sedang berlomba
dalam menangkap atau menyentuh tubuh gadis cantik itu.
Sedangkan
yang lain-lain, yaitu tiga orang pimpinan bajak, Si Tosu, serta dua belas orang
lain dengan senjata terhunus sudah mengepung dan mengeroyok Thian Sin,
seolah-olah mereka hendak menghancur lumatkan tubuh pemuda ini! Akan tetapi,
begitu kedua orang muda itu menggerakkan tubuh mereka, maka terdengarlah
teriakan-teriakan berturut-turut disusul robohnya para pengeroyok itu!
Mula-mula,
menghadapi empat orang pengeroyoknya yang seolah-olah berlomba hendak
memeluknya itu, Kim Hong yang merasa amat muak dan marah itu telah menggerakkan
tubuhnya mengelak dari serbuan mereka, menyelinap di antara banyak lengan
dengan tangan terbuka seperti cakar harimau hendak menerkam domba itu.
Kemudian, sesudah terlepas dari serbuan mereka dan melihat mereka dengan lebih
garang lagi membalik dan hendak menerjangnya, wanita ini sudah menggerakkan
kepalanya. Kuncir rambutnya itu terlepas dari sanggulnya, seperti seekor ular
cobra hitam yang terlepas dari kurungan dan menyambar-nyambar ganas.
Akibatnya,
empat orang anak buah bajak terpelanting dan tidak mampu bangkit kembali karena
ujung rambut itu telah menotok jalan darah membuat mereka lumpuh dan pingsan!
Sekarang tinggal kepala bajak yang berkumis tebal melintang di bawah hidung itu
yang terbelalak keheranan sesudah melihat betapa empat orang anak buahnya
tiba-tiba roboh berpelantingan dan tidak mampu bangkit kembali.
Dia sendiri
tidak tahu bagaimana hal itu dapat terjadi, akan tetapi dia semakin silau oleh
kecantikan Kim Hong yang kini makin menyolok sesudah sanggul rambutnya terlepas
itu. Kecantikan ini membuat si kepala bajak menjadi semakin ganas dan otaknya
menjadi keruh, dia menggereng kemudian menubruk lagi, kedua lengannya dibuka
dan dia pun menerkam ke arah Kim Hong. Gadis ini kembali menggerakkan
kepalanya, rambutnya menyambar ke depan.
“Dukk!”
Tubuh tinggi
besar itu menjadi kaku dan dua kali kaki Kim Hong bergerak.
“Krekk…!
Krekk…!”
Orang tinggi
besar itu menjerit roboh, mengaduh-aduh dan menggunakan kedua tangan untuk
memegangi kedua kakinya yang patah tulang di bagian pergelangan kaki.
Sementara
itu, dengan mudah Thian Sin juga sudah merobohkan lima enam orang tanpa membuat
mereka menderita luka berat. Dia hanya membagi-bagikan tamparan, membuat lawan
roboh dengan kepala pening, atau kaki tangan salah urat, atau menotoknya hingga
lawan roboh tak mampu berkutik karena lumpuh.
Apa lagi
setelah Kim Hong menyerbu membantunya, mereka dengan mudah merobohkan semua
pengeroyok kecuali si Tikus Laut ini sungguh-sungguh hebat luar biasa!
Gerakan-gerakan Tikus Laut ini mengingatkan mereka pada kepandaian mendiang Jit
Goat Tosu! Gerakan-gerakan aneh membuat Thian Sin dan Kim Hong berhati-hati
sekali.
Akan tetapi
ketika Thian Sin mempergunakan Thi-khi I-beng, tosu itu tak mampu menarik
kembali tangannya yang menempel di tengkuk Thian Sin, lantas tenaga sinkang-nya
yang tidak sekuat dua orang muda itu tersedot, membuat dia berteriak-teriak
bagai seekor babi disembelih!
Ketika Thian
Sin melepaskan tenaga sedotan Thi-khi I-beng, tosu itu jatuh terkulai dengan
tubuh lemas. Dia bagaikan sebuah balon kempes. Akan tetapi mengingat kehebatan
ilmu silatnya tadi, Kim Hong lalu menotoknya, membuat dia tidak berkutik lagi.
“Tosu palsu!
Hayo ceritakan apa hubunganmu dengan Jit Goat Tosu dan kenapa engkau memusuhi
kami, juga apa yang kau lakukan di Kun-lun-pai sehingga engkau membakar hati
para pimpinan Kun-lun-pai!” Kim Hong membentak dengan suara nyaring sekali.
Thian Sin
hanya berpura-pura tidak mengerti mengapa gadis itu membentak sedemikian
nyaringnya. Tentu saja dia tahu bahwa seperti juga dia, kekasihnya itu tentu
sudah pula melihat adanya bayangan beberapa orang tosu berkelebatan di sebelah
luar rumah. Dan seperti juga dia, tentu kekasihnya itu sudah mengenali bahwa
tosu itu adalah tosu-tosu Kun-lun-pai dan beberapa orang lain, dan di antara
mereka juga tampak adanya Kui Yang Tosu!
“Lam-sin
datuk sesat! Pinto sudah kalah, kalau engkau mau bunuh, bunuhlah. Siapa takut
mati?”
“Totiang,”
kata Thian Sin sambil mengedipkan matanya kepada kekasihnya dan suaranya juga
lantang. “kami mengenalmu sebagai salah seorang di antara para tosu
Kun-lun-pai, lalu bagaimana engkau dapat bersekutu dengan gerombolan bajak laut
dan mencari-cari pusaka peninggalan Menteri The Hoo yang dimiliki oleh keluarga
Pangeran Toan Su Ong? Lebih baik engkau mengaku terus terang, totiang. Kami
tidak akan membunuhmu asalkan engkau mengaku.”
“Pendekar
Sadis! Biar engkau tukang menyiksa orang, jangan kira pinto takut kepadamu!”
Tosu bermuka tikus itu berteriak marah.
Thian Sin
kembali memberi isyarat dengan pandangan matanya kepada Kim Hong, lalu dia pun
mengangkat tubuh tosu itu dengan menarik leher bajunya.
“Begitukah?
Mari kita sama lihat, apakah Tikus Laut ini berani melawan hiu atau macan
laut!” Dia lalu membawa tubuh tosu itu melangkah lebar keluar dari rumah itu
diikuti oleh Kim Hong.
Mereka
berdua terus saja berjalan, pura-pura tak melihat adanya beberapa pasang mata
yang selalu mengikuti gerak-gerik mereka dari tempat persembunyian, kemudian
pemilik beberapa pasang mata ini pun membayangi mereka menuju ke pantai pulau.
Kim Hong yang menjadi penunjuk jalan dan tanpa bicara kedua orang ini sudah
tahu akan isi hati masing-masing.
Mereka
membawa Si Muka Tikus itu ke perahu besar yang berlabuh di sana dan ketika
mereka menaiki perahu itu kosong sama sekali. Ternyata beberapa orang bajak
yang tadi berjaga di situ sudah turut pula menyerbu ketika mereka mendengar
teriakan-teriakan dari atas pulau.
Tosu itu
masih diam saja, akan tetapi Thian Sin yang mencengkeram leher baju tosu itu
bisa merasakan ketika lengannya menempel di dadanya betapa jantung tosu itu
berdebar kencang. Dia tersenyum. Inilah yang dikehendakinya. Membuat takut tosu
itu.
Sejenak
timbul perasaan senang di dalam hatinya, nafsu untuk menyiksa dan membunuh
orang ini yang dia tahu memusuhi Kim Hong. Akan tetapi, wajah kakaknya
terbayang di depan mata sehingga membuatnya tersadar dan nafsu sadis itu pun
lenyap seperti ditiup angin.
Setelah tiba
di atas perahu besar, Thian Sin kemudian melepaskan sabuknya yang juga
merupakan salah satu di antara senjatanya, mengikatkan ujung sabuknya pada
pinggang tosu itu.
“Kau lihat
itu, kenalkah engkau apa itu?” tanyanya sambil menunjuk ke arah sirip ikan-ikan
hiu yang berseliweran di sekitar perahu. Wajah tosu itu menjadi semakin pucat.
“Apa… apa
yang hendak kau lakukan…?” tanyanya, suaranya masih angkuh akan tetapi sudah
agak gemetar.
Thian Sin
tersenyum memandang kepada Kim Hong, “Ha-ha-ha, Kim Hong, dia tanya apa yang
hendak kita lakukan! Ha-ha-ha!”
Gadis itu
pun tertawa dan menjawab dengan suara yang amat nyaring, “Kita hanya ingin
melihat bagaimana ramainya tikus laut berhadapan dengan macan laut.”
Dan Thian
Sin mulai menurunkan tubuh orang yang telah diikat pinggangnya itu ke pinggir
perahu besar. Karena tadi dia sudah membebaskan totokannya, maka tosu itu dapat
pula meronta-ronta.
“Jangan…
jangan…!” teriaknya akan tetapi tubuhnya sudah terjatuh ke air.
“Byuuurrr…!”
Jatuhnya
tubuh tosu itu membuat ikan-ikan hiu terkejut lantas berenang menjauh, akan
tetapi ketika mereka melihat gerakan-gerakan di permukaan air karena Si Tikus
Laut itu menahan tubuhnya agar tidak tenggelam, beberapa ekor hiu telah cepat
berenang datang. Melihat sirip dua ekor ikan hiu dari depan, tosu itu
terbelalak.
Thian Sin
yang memegang ujung sabuk itu, sengaja mengendurkan sabuk, seakan-akan tidak
peduli, akan tetapi sesungguhnya dia sudah bersiap untuk menarik sabuk itu
kalau memang benar-benar keadaan tosu itu terancam. Akan tetapi, tosu yang
berjuluk Si Tikus Laut itu tiba-tiba saja menggerakkan tubuh menyelam ketika
dua ekor ikan hiu itu sudah mendekat dan begitu kedua tangannya menyambar, dia
sudah mendorong dua ekor ikan itu dari bawah.
Dua ekor
binatang buas yang kena dihantam belakang kepalanya itu meronta, akan tetapi
agaknya kesakitan dan juga terkejut karena mereka segera berenang menjauhi.
Thian Sin memandang kagum, melihat betapa lawannya itu tidak percuma mempunyai
julukan Tikus Laut karena ternyata memang mempunya keahlian bermain di dalam
air sehingga dengan satu serangan saja mampu mengusir dua ekor ikan hiu ganas!
Akan tetapi
daerah lautan sekitar Pulau Teratai Merah itu memang menjadi kedung ikan hiu.
Begitu dua ekor yang kena dihantam itu melarikan diri, muncul enam ekor hiu
yang lebih besar dan datang dari segala penjuru!
Melihat ini,
tosu yang sudah muncul ke permukaan air itu menjadi ketakutan. Sirip-sirip ikan
itu meluncur dari sana-sini, dari kanan kiri dan depan dan melihat sirip-sirip
itu saja dapat diketahui bahwa beberapa ekor di antaranya adalah hiu-hiu yang
besarnya sama dengan kerbau!
“Tolong…!
Tarik aku… tolong…!” teriaknya tanpa malu-malu lagi karena takutnya.
“Asal engkau
mengaku terus terang!” kata Thian Sin mempermainkan.
Hiu-hiu itu
makin mendekat dan kini mereka berputaran di sekeliling perahu, dalam jarak
kurang lebih hanya tiga meter dari tempat tosu itu terapung.
“Tolonggg…!”
“Katakan
dulu engkau mau mengaku terus-terang!” kata Kim Hong dengan nyaring.
Tosu itu
tidak mau menjawab, agaknya masih merasa enggan untuk berkata terus-terang
mengakui perbuatannya. Sementara itu, hiu pertama sudah datang menyerang dengan
cepat. Tosu itu mengelak dan menggunakan kakinya menendang dari samping,
membuat ikan itu terlempar.
“Bagus!
Tikus Laut memang lumayan juga!” Thian Sin memuji sambil tertawa.
Akan tetapi
dua ekor hiu datang lagi menyerang dari kanan dan kiri. Tosu itu mengelak ke
kanan dan menghantam hiu yang berada di kanan, akan tetapi pada saat itu hiu ke
tiga menyambar.
“Celaka…!
Tolong… aku akan mengaku…!”
Pada saat
hiu itu sudah hampir mencaplok pundak si tosu. Thian Sin lalu menarik dengan
sentakan keras sehingga tubuh tosu itu terhindar dari moncong ikan. Dia telah
merasakan angin sambaran ikan hiu itu yang mengejar sambil meloncat ke
permukaan air dan sudah mencium bau amis. Tubuh tosu itu gemetaran ketika dia
dilempar ke atas dek perahu oleh Thian Sin, tetapi pemuda ini masih belum
melepaskan ikatan sabuk pada pinggangnya.
“Nah,
ceritakanlah semuanya!” katanya.
“Sekali ini
tidak mau mengaku, maka kau akan kami lemparkan ke bawah agar menjadi rebutan
ikan!” Kim Hong juga mengancam.
Tosu itu
masih gemetaran dan menarik napas panjang. “Baikiah… baiklah…! Tanyakan apa
yang kalian ingin ketahui…”
“Engkau ini
seorang tosu Kun-lun-pai kenapa berjuluk Tikus Lautan dan berkawan dengan para
bajak laut?” Kim Hong mulai dengan pertanyaannya.
“Dahulunya
aku seorang bajak laut, lalu aku bosan akan kehidupan bajak dan aku tertarik
akan soal-soal kebatinan, terutama Agama To, maka aku segera pergi ke
Kun-lun-pai dan berhasil diterima sebagai tosu. Memang tadinya aku ingin
bertobat, akan tetapi ternyata gagal…”
“Apa
hubunganmu dengan mendiang Jit Goat Tosu? Hayo terangkan semuanya!” bentak Kim
Hong lagi.
“Aku
mendapat tugas melayaninya selama dia di Kun-lun-pai dan karena jasa-jasaku itu
dia mulai mengajarkan satu dua macam ilmu pukulan kepadaku, tapi sialan… kalian
lalu muncul dan akhirnya dia meninggal…”
“Jadi itukah
sebabnya maka engkau memusuhi kami?” tanya Thian Sin.
“Kalian
merusak rencanaku, siapa tidak akan membenci kalian!”
“Dan apa
yang kau lakukan untuk membakar hati para pimpinan Kun-lun-pai?” desak lagi
Thian Sin.
“Kukatakan
kepada mereka bahwa sebelum meninggal, sering kali Jit Goat Tosu bercerita
kepadaku mengenai kejahatan sute-nya sehingga kematiannya karena serbuan kalian
itu menimbulkan penasaran besar, lantas kuhasut mereka untuk menuntut balas
mengingat akan kebaikan Jit Goat Tosu yang sudah menurunkan pula beberapa macam
ilmu kepada pimpinan Kun-lun-pai…”
“Hemmm, dan
apa artinya kedatanganmu ke pulau keluargaku bersama para bajak ini?” tanya Kim
Hong.
“Setelah
berhasil memanaskan hati para pimpinan Kun-lun-pai sehingga mengejar-ngejar
kalian, aku lalu pergi ke sini mengumpulkan bekas rekan-rekanku. Sudah semenjak
dulu ketika aku menjadi bajak laut, aku tahu akan ditemukannya pusaka oleh ayah
dan ibumu, dan aku sudah beberapa kali berusaha untuk merampasnya, akan tetapi
selalu gagal… ahhh, ayah bundamu terlalu lihai, dan juga kegagalan-kegagalan
itu, bahkan yang terakhir hampir merenggut nyawaku, yang membuat aku kecewa
lalu menjadi tosu. Siapa sangka, aku bertemu dengan suheng ayahmu, maka aku
mengambil hatinya dengan niat hendak mempelajari ilmu-ilmunya untuk merajai
Kun-lun-pai dan kemudian hendak kucari pusaka peninggalan Menteri The Hoo. Akan
tetapi kematian Jit Goat Tosu sudah menggagalkan semuanya…”
“Ahhh,
kiranya engkau pernah gagal membajak mendiang ayahku maka engkau menaruh dendam
kepadaku? Bagus sekali!” Kim Hong menghampiri dengan sikap mengancam.
“Cukup Kim
Hong. Kita sudah berjanji akan membebaskannya. Nah, muka Tikus Lautan, engkau
boleh pergi sekarang!” kata Thian Sin sambil memberi isyarat dengan pandangan
matanya kepada Kim Hong.
“Terima
kasih… terima kasih…!” kata tosu itu yang sama sekali tidak pernah mimpi bahwa
dia akan terbebas dari kematian mengerikan di tangan Pendekar Sadis! Sebab itu,
seperti seekor tikus yang baru saja disiram air, dengan pakaian basah kuyup
tosu itu lalu bangkit dan hendak lari dari perahu itu, akan tetapi tiba-tiba
wajahnya menjadi pucat sekali dan dia menjatuhkan dirinya berlutut.
“Suhu…
tolonglah teecu… hampir saja teecu dibunuh oleh Pendekar Sadis yang sudah
menyiksa teecu…,” katanya dengan suara gemetar.
Thian Sin
dan Kim Hong membalikkan tubuh mereka, lalu pura-pura bersikap kaget dan heran
melihat munculnya Kui Yang Tosu serta lima orang tosu Kun-lun-pai lainnya, juga
nampak Liang Sim Cinjin pertapa Kang-lam itu, dengan dua orang Bu-tong-pai
wakil dari Thian Heng Losu, juga nampak Lo Pa San, pendekar dari Po-hai itu dan
beberapa orang lain yang pernah hadir dalam pertemuan para pendekar di
Kun-lun-san!
Melihat
mereka itu, yang memang sudah diketahuinya sejak tadi oleh Thian Sin dan Kim
Hong, dua orang muda ini lalu meloncat meninggalkan perahu dan berdiri
berdampingan di pantai, siap menghadapi segala kemungkinan. Mereka merasa lebih
aman bila berada di atas pulau dari pada di atas perahu, apa lagi dengan adanya
ahli-ahli silat dalam air seperti Tikus Laut yang lihai itu. Thian Sin sendiri
cukup mengerti bahwa melawan Tikus Laut seorang saja, kalau bertanding di air,
mungkin sekali dia akan celaka. Dan berada di atas perahu berbahaya sekali,
siapa tahu mereka akan menggulingkan perahu!
Akan tetapi,
para tosu Kun-lun-pai dan teman-temannya itu agaknya tidak menghiraukan mereka
dan Kui Yang Tosu kini melangkah maju mendekati Si Tikus Laut. Wajah kakek yang
merupakan tokoh ke dua dari Kun-lun-pai ini masih nampak berkilat-kilat penuh
api kemarahan. Suaranya juga masih halus ketika dia bertanya kepada Muka Tikus
Laut itu,
“Bagaimana
engkau bisa berada di tempat ini?”
“Suhu, teecu
pernah mendengar tentang pulau ini dan teecu ingin membantu suhu untuk
menyelidiki Pendekar Sadis dan Lam-sin yang teecu duga tentu melarikan diri ke
sini. Dan benar saja… akan tetapi teecu ketahuan kemudian ditangkap dan
disiksa, nyaris dibunuh secara keji, dijadikan umpan ikan-ikan hiu…”
“Dan
siapakah bajak-bajak laut itu dan milik siapa pula perahu ini?” Suara Kui Yang
Tosu makin lantang dan pendang matanya semakin berapi-api. Akan tetapi agaknya
tosu bekas bajak itu tidak sadar akan tanda-tanda ini atau memang dia sudah
terlanjur melangkah dan tidak mungkin mundur kembali.
“Bajak-bajak
itu adalah kaki tangan Pendekar Sadis…”
Akan tetapi
tosu itu tak dapat melanjutkan kata-katanya karena dengan langkah lebar Kui
Yang Tosu menghampirinya, mukanya merah dan matanya melotot, dadanya naik turun
menahan kemarahan.
“Penipu!
Pembohong! Pengkhianat kau manusia busuk!” Dan kaki wakil ketua Kun-lun-pai itu
bergerak menendang.
“Desss…!”
Tubuh tosu
bermuka tikus itu terlempar keluar dari perahu itu, jatuh ke dalam air! Ketika
semua orang memandang, wajah mereka langsung berubah dan mata mereka terbelalak
melihat puluhan ekor ikan hiu menyerbu ke arah tubuh yang baru saja terjatuh ke
air itu. Terdengar jeritan-jeritan mengerikan yang lantas berhenti tiba-tiba
ketika tubuh itu terseret ke bawah permukaan air. Air bergelombang dan mulai
berubah warnanya menjadi merah di tempat di mana tosu tadi jatuh.
“Siancai…!”
Kui Yang Tosu memejamkan sepasang matanya, alisnya berkerut dan kedua tangannya
dirangkap ke depan dada.
Sampai lama
dia tidak bergerak, wajahnya berkerut-kerut dan akhirnya, setelah beberapa kali
dia menarik napas panjang, dia pun membuka matanya, lalu dengan tubuh kelihatan
lemas dan lesu dia menuruni perahu itu untuk menghampiri Thian Sin dan Kim Hong
yang masih berdiri melihat semua itu dengan sikap tenang waspada.
Kui Yang
Tosu menjura kepada mereka. Suaranya terdengar sangat lirih, “Ceng-taihiap,
Toan-lihiap, maafkan pinto yang tak dapat mengendalikan perasaan…”
Thian Sin
dan Kim Hong cepat membalas penghormatan itu dan Thian Sin berkata, “Saya sudah
sering kali mengalami perasaan itu, locianpwe, membuat mata gelap dan kemudian
menimbulkan tindakan pembalasan sehingga membuat saya dinamakan Pendekar Sadis.
Saya mengerti dan locianpwe tak bersalah, sebagai manusia biasa wajarlah jika
kadang-kadang dikuasai oleh amarah.”
Kui Yang
Tosu kembali menarik napas panjang penuh penyesalan. Betapa karena rasa
amarahnya dia tadi sudah membunuh Si Tikus, bahkan dengan cara yang mengerikan,
tanpa disengaja dia memberikan tosu itu kepada ikan-ikan hiu!
“Tidak,
pinto kira bahwa dia yang telah kami percaya itu akan melakukan fitnah seperti
itu demi kepentingan dirinya dan pemuasan nafsunya,” kata pula Kui Yang Tosu.
Thian Sin
tersenyum dan mengangguk, “Locianpwe, saya sendiri pun pernah mengalami
penipuan seperti itu dan menjadi korban fitnah sehingga melakukan hal yang amat
buruk. Tentu locianpwe masih ingat dengan kematian Pangeran Toan Ong? Nah,
ketika itu pun saya mendengar fitnah orang yang saya percaya.”
Kui Yang
Tosu mengangguk-angguk. “Siancai…! Betapa lemahnya kita manusia ini. Kita perlu
banyak belajar, Ceng-taihiap…”
“Benar,
locianpwe, kita harus tetap belajar selama masih hidup.”
“Maafkan
pinto, sekarang Kun-lun-pai baru mengerti dan mulai saat ini juga kami tidak
lagi memusuhimu, taihiap.”
“Terima
kasih, locianpwe, dan saya pun akan belajar supaya tidak mudah membiarkan diri
dikuasai nafsu dendam dan kekejaman terhadap musuh.”
Kui Yang
Tosu lalu berpamit kepada Thian Sin dan Kim Hong, kembali ke tempat di mana
perahu mereka tersembunyi, diikuti oleh para pendekar lain yang juga berpamit
dengan sikap bersahabat. Thian Sin dan Kim Hong memandang kepada mereka sampai
perahu mereka tidak nampak lagi dan tiba-tiba Kim Hong merangkul Thian Sin
dengan hati penuh kegirangan dan kebahagiaan.
Thian Sin
maklum apa yang sedang dirasakan oleh kekasihnya sebab dia pun merasakan
sesuatu kebahagiaan besar menyelubungi hatinya, maka dia pun tidak berkata
apa-apa kecuali balas merangkul gadis itu. Sampai lama mereka saling rangkul,
sama sekali tidak mengeluarkan kata-kata. Kata-kata tidak ada artinya lagi
dalam keadaan seperti saat itu. Mereka merasa seolah-olah ada batu besar yang selama
ini menindih hati mereka berdua telah terangkat dan mereka merasakan suatu
kebebasan yang sangat nikmat dalam hati mereka. Bagi Thian Sin terutama sekali,
dia pun teringat kembali akan semua kata-kata kakaknya.
Kekerasan
hanya akan mengakibatkan kekerasan pula. Akibat tak akan pernah terlepas dari
pada sebab, akibat hanyalah lanjutan dari pada sebab. Dan sebab ialah cara
dalam tindakan kita sendiri. Cara yang buruk takkan mungkin mendatangkan akibat
yang baik, seperti juga benih buruk takkan mungkin menumbuhkan pohon yang baik.
Tak mungkin mengharapkan bunga indah tumbuh menjadi buah lewat benih tanaman
beracun. Siapa menanam, dia sendiri yang akan memetik buah dari pada hasil
tanamannya.
Sayang
seribu kali sayang, kita hanya selalu mengingat akan panen buah lezat saja, tak
pernah kita memperhatikan penanamannya yang betul dan pemeliharaannya yang
betul. Mata kita selalu tertuju jauh ke depan, kepada tujuan-tujuan dan
harapan-harapan baik dan menyenangkan untuk kita, sama sekali tidak mau melihat
perbuatan-perbuatan kita setiap saat. Sekarang inilah yang menjadi pohon
penghasil buah pada masa mendatang. Bukan buahnya yang penting, melainkan
pohonnya, pemeliharaan pohonnya. Buah yang baik, hanyalah menjadi lanjutan dari
pohon yang baik. Kita selalu mau enaknya saja.
Thian Sin
dan Kim Hong lantas melakukan pemeriksaan ke seluruh bagian pulau itu dan
mulailah mereka membangun kembali rumah yang banyak rusak itu. Untuk pekerjaan
ini mereka mendatangkan pembantu-pembantu bayaran dan dalam waktu beberapa
bulan saja Pulau Teratai Merah kembali menjadi sebuah pulau kecil yang indah.
Mereka
berdua menghadiri perayaan pernikahan dari Cia Kong Liang di Cin-ling-pai dan
bertemu dengan keluarga Cin-ling-pai serta Lembah Naga, juga bertemu dengan
semua sahabat dan kenalan. Kemudian, tidak lama sesudah itu, Thian Sin dan Kim
Hong juga menghadiri upacara perayaan pernikahan antara Cia Han Tiong dan Ciu
Lian Hong yang diadakan secara sederhana di Lembah Naga.
Di tempat
ini, Thian Sin dan Kim Hong tinggal sampai satu bulan lebih. Kim Hong sudah
diterima sebagai keluarga oleh keluarga di Lembah Naga. Akan tetapi kalau Cia
Sin Liong dan isterinya menyinggung tentang pernikahan antara mereka, Thian Sin
dan Kim Hong hanya saling pandang dan tersenyum.
“Ayah dan
ibu, harap maafkan… akan tetapi sejak pertemuan pertama kami telah saling
bersepakat untuk tidak mengikat diri masing-masing dengan pernikahan. Tapi
betapa pun juga, kami saling mencinta…”
Mendengar ucapan
itu, Cia Sin Liong dengan isterinya hanya saling pandang, kemudian
menggeleng-geleng kepala mereka. Orang-orang muda memang makin lama makin aneh.
Dunia telah berubah, atau lebih tepat lagi, manusia telah makin berubah.
Kerinduan
akan kebebasan membuat orang-orang muda makin lama semakin cenderung
meninggalkan ikatan-ikatan serta hukum-hukum yang mungkin mereka anggap sebagai
penghalang dari pada kebebasan yang mereka dambakan. Mereka itu, orang-orang
muda itu, sama sekali tidak tahu bahwa kebebasan adalah urusan batin, bukan
hanya sekedar soal-soal lahir saja. Orang yang bebas hatinya takkan merasa
terganggu walau pun diikat oleh seribu macam hukum. Sebaliknya, walau pun
meninggalkan semua hukum, orang akan tetap terbelenggu batinnya dan sama sekali
tidak bebas.
Sampai di
sini pengarang mengakhiri cerita ini dengan harapan semoga cerita ini selain
dapat menghibur hati pembaca, juga mengandung manfaat sekedarnya bagi
perjuangan kita mendayung biduk masing-masing dalam menempuh
gelombang-gelombang dilautan kehidupan yang luas ini.
Marilah kita
melihat kenyataan bahwa biar pun tidak semua dapat disebut sadis, karena
kekejaman turun temurun telah mengalir dalam diri kita, telah mendarah daging,
tapi kita ini sadis! Kita ingin melihat orang-orang yang kita benci menderita
kesengsaraan yang hebat! Kita akan senang melihat orang yang kita benci
tersiksa. Benar atau tidakkah demikian? Hanya kita masing-masing yang dapat
menjawab dengan menjenguk ke dalam batin sendiri!
T A M A T
Serial Selanjutnya : Harta Karun Jenghis Khan
***** Sahabat Karib.com *****
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment