Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Kisah Sepasang Naga
Jilid 10
Pada saat ia
menduga-duga, tiba-tiba di bawah genteng terdengar suara orang berjalan dan ia
cepat mengintai dari celah-celah genteng. Hatinya berdebar keras ketika melihat
bahwa yang berjalan dengan pedang berkilauan di tangan itu adalah Sin Wan! Ia
merasa marah sekali karena hatinya takkan rela kalau pemuda itu mendahuluinya
dan membinasakan musuh besar Ayahnya.
Maka tanpa
banyak pikir lagi Giok Ciu lalu melayang turun untuk menegur dan mengusir Sin
Wan. Tapi pada saat itu dari dalam gedung keluarlah seorang tinggi besar yang
langsung menyerang Sin Wan dengan sebatang tongkat ular. Ternyata yang datang
ini adalah Kwi Kai Hoatsu!
“Tosu
siluman, sekarang takkan kulepaskan lagi kau!” kata Sin Wan dengan marah dan
menangkis dengan Pek Liong Pokiam.
Pada saat
itu Giok Ciu telah turun dan tanpa banyak cakap lagi ia kerjakan Ouw Liong
Pokiam untuk menyerang Kwi Kai Hoatsu, hingga tosu itu terkejut sekali.
Menghadapi Sin Wan seorang saja ia tidak mampu menang, sekarang ditambah
kehadiran gadis lihai ini. Ia mundur dengan jerih.
Sin Wan juga
terkejut melihat Giok Ciu. Hampir saja ia berseru memanggil, tapi melihat
betapa muka gadis itu tampak marah dan sama sekali tidak memperdulikan padanya,
ia juga diam saja, tapi mengerahkan seluruh kepandaiannya untuk menamatkan
pertempuran ini.
Pada saat
Kwi Kai Hoatsu terdesak dan berada dalam keadaan berbahaya sekali, dari dalam
terdengar orang berseru keras dan tahu-tahu Cin Cin Hoatsu telah melayang dan
dengan bentakan nyaring ia menggunakan ujung lengan bajunya menyerang Sin Wan!
Pemuda ini
melihat datangnya serangan yang demikian hebat, cepat merobah gerakan pedangnya
dan menangkis, Cin Cin Hoatsu dapat merasa betapa sambaran pedang pemuda itu
hebat sekali, maka ia tidak berani melanjutkan serangannya karena maklum bahwa
ujung bajunya tentu akan terbabat putus, maka ia meloncat ke belakang sabil
berjumpalitan.
“Ha ha ha!
Kusangka siapakah tamu-tamu malamku, tidak tahunya kedua pemberontak muda ini!
Memang telah kuduga bahwa kalian tentu akan datang juga akhirnya. Maka
menyerahlah sebelum kalian mampus di ruangan ini!”
Sementara
itu, melihat datangnya musuh besar ini, Giok Ciu juga meninggalkan Kwi Kai
Hoatsu dan kini menuding sambil memaki dengan marah sekali, “Cin Cin, Pendeta
palsu! Kalau kau memang laki-laki sejati, hayolah kau layani aku seribu jurus
untuk menentukan siapa yang lebih unggul! Kau telah membunuh mati Ayahku,
apakah sekarang kau begitu pengecut untuk menghindari puterinya yang hendak
menuntut balas?”
“Ha ha ha,
nona cantik. Sungguh aku beruntung sekali mendapat kehormatan untuk melayanimu!
Kau kira kau akan dapat menangkan aku? Pula, andaikata kau dapat menangkan aku
juga, kau kira akan dapat lolos dari sini dengan aman? Ketahuilah, kini lebih
dari dua puluh pahlawan istana kini telah mengepung gedung ini untuk menangkap
kalian!”
Giok Ciu dan
Sin Wan terkejut juga mendengar ini. Mereka telah masuk perangkap! Pada saat
itu, dari atas genteng melayang turun bayangan orang dan ternyata yang turun
itu adalah Gak Bin tong dengan pedang di tangan.
“Kwie
Lihiap, jangan takut, aku membantumu!” katanya dengan gagah.
Cin Cin
Hoatsu tertawa bergelak-gelak lalu dari punggunya ia mengeluarkan sebatang
pedang dan dari ikat pinggang ia mencabut hudtimnya yang warna. Ia lalu
menyerang ke arah Giok Ciu dengan gerakan cepat dan kuat sekali. Gadis itu
tidak menjadi jerih, bahkan ketika tahu bahwa ia telah dikepung, ia hendak
berlaku nekad dan mengadu jiwa. Ia menggerakkan Ouw Liong Pokiam sedemikian
rupa hingga Cin Cin Hoatsu kagum sekali. Ternyata bahwa kepandaian gadis ini
lihai sekali, bahkan kiam-hoatnya aneh dan tak mampu ia memecahkannya!
Ketika ia
mengadu lweekang dan menggunakan pedangnya hendak menyampok pedangnya hendak
menyampok pokiam Giok Ciu, kembali ia terheran karena lweekang gadis muda
itupun tidak berada di bawah tingkatannya! Tadinya ia mentertawakan Suhengnya,
yakni Kwi Kai Hoatsu yang memuji-muji kepadaian Sin Wan dan Giok Ciu di depan
Sutenya, tapi kini ia setelah merasakan sendiri kelihaian Giok Ciu, diam-diam
merasa jerih dan bingung. Sementara itu, Sin Wan gunakan pokiamnya mendesak Kwi
Kai Hoatsu!
Sedangkan
Gak Bin Tong yang merasa bahwa kepandaiannya masih jauh di bawah tingkat mereka
yang bertempur, hanya berdiri dengan pedang di tangan melihat jalannya
pertempuran. Pada saat yang sangat tidak menguntungkan itu, Cin Cin Hoatsu lalu
bersuit keras memberi tanda kepada para pahlawan raja yang mengepung gedung itu
untuk turun tangan membantu. Tapi biarpun berkali-kali ia bersuit dan berseru
memberi tanda tak satupun bayangan kawan-kawannya tampak turun!
Hal ini aneh
sekali dan ia merasa sangat gelisah dan terkejut. Juga Gak Bin Tong yang
sebenarnya adalah pengatur dari jebakan ini, tiba-tiba menjadi pucat dan
diam-diam merasa cemas sekali. Ia tahu bahwa kepandaian Sin Wan dan Giok Ciu hebat
sekali dan kedua imam itu agaknya akan kalah. Ia merasa gemas sekali mengapa
tanpa diduga sama sekali Sin Wan bisa datang di situ dan mengacau rencananya.
Tapi yang
mengherankan sekali, mengapa dua puluh orang gagah yang berada di sekitar
tempat itu tidak muncul-muncul? Ia ingin sekali meloncat naik dan melihat
mereka, tapi kwhatir kalau-kalau gerakan ini akan terlihat oleh Sin Wan dan
Giok Ciu hingga menimbulkan kecurigaan, maka ia diam saja sambil berdiri
bingung. Sama sekali mereka tidak menduga bahwa dua puluh orang yang menjaga di
sekeliling tempat itu, semuanya telah kaku karena tertotok oleh tangan yang
luar biasa gerakannya!
Dengan
gerakan Pek-Liong Ciau-Hai atau Naga Putih Lintasi Laut, pedang Sin Wan
akhirnya berhasil menusuk leher Kwi Kai Hoatsu yang berteriak keras dan roboh
di atas lantai. Setelah berhasil merobohkan lawannya, tanpa banyak cakap lagi
Sin Wan lalu menerjang Cin Cin Hoatsu yang masih bertempur seru melawan Giok
Ciu. Gadis itu merasa gemas sekali melihat Sin Wan ikut menyerbu, maka berkata
marah,
“Jangan
mencampuri urusanku, biarkan aku membalas sendiri sakit hati Ayahku!” Sin Wan
menjawab,
“Bukan hanya
engkau yang menaruh dendam, aku juga ingin membalaskan sakit hati Kwie-Suhu!”
lalu ia menggerakkan pedangnya dengan hebat. Giok Ciu kertak gigi dan perhebat
serangannya karena ia tak ingin didahului oleh Sin Wan. Kembali sepasang pedang
pusaka itu seakan-akan berlumba memperebutkan pahala.
Cin Cin
Hoatsu merasa takut sekali ketika tiba-tiba kedua lawannya yang masih muda itu
lenyap dari pandangan matanya dan seakan-akan berubah menjadi dua sinar hitam
putih yang bergulung-gulung menyerang dirinya, seakan-akan sepasang naga hitam
dan naga putih yang mencakar-cakar dan menyambar-nyambar.
Imam yang
sesat itu menjadi terdesak dan ia masih mencoba untuk menangkis dengan pedang
dan kebutannya. Dalam bingungnya ia teringat akan paman gurunya yang berjanji
hendak datang. Mengapa belum juga susioknya itu muncul? Ia berseru,
“Susiok...
bantulah... susiok...”
Tapi Sin Wan
dan Giok Ciu tak memberi ketika kepadanya untuk berteriak-teriak terus, karena
dengan gerakan mematikan kedua pokiam itu berbareng menyambar dan tahu-tahu
telah menembusi dada musuh besar itu dari kanan kiri! Pedang dan kebutan Cin
Cin Hoatsu terlepas dan tangan, tubuhnya kejang dan ketika dua pedang itu
ditarik keluar, tubuhnya terhuyung dan akhirnya mandi darah!
Giok Ciu
yang masih merasa penasaran karena lagi-lagi Sin Wan telah memperlihatkan
ketangkasannya hingga robohnya musuh besar inipun disebabkan oleh serangan
mereka yang berbareng, segera maju dan mengayunkan pedangnya hingga putuslah
kepala Cin Cin Hoatsu!
Tapi Sin Wan
setelah melihat betapa musuh besar itu dapat dibinasakan, kini menghampiri Gak
Bin Tong yang berdiri dengan wajah pucat. Sikap Sin Wan yang menakutkan itu
membuat ia mundur-mundur hingga sampai di tembok. Giok Ciu berpaling dan kaget
melihat sikap Sin Wan.
“Bangsat
hina dina! Laki-laki rendah! Kalau belum membunuh engkau, aku takkan merasa
puas!” terdengar Sin Wan berkata perlahan.
“Saudara
Bun... jangan... jangan... mengapa kau hendak membunuh...?” Gak Bin Tong merasa
takut melihat wajah Sin Wan yang menyeramkan karena menahan marah dan gemasnya.
Tapi Sin Wan
tak dapat banyak berkata lagi, dengan loncatan cepat ia mengayun Pek Liong
Pokiam ke arah leher Gak Bin Tong yang mencoba menangkis dengan pedangnya.
“Tranggg...!”
Terdengar suara
keras sekali dan pedang pemuda she Gak itu putus menjadi dua potong! Ketika Sin
Wan menyerang untuk kedua kalinya, tiba-tiba sinar hitam berkelebat dan
tahu-tahu pedangnya telah tertangkis oleh pedang Giok Ciu!
“Pengecut
hina juga kau main bunuh saja orang yang lebih lemah! Lebih pantas kau bunuh
dirimu sendiri, atau kau bunuh aku!” kata Giok Ciu.
Sin Wan
balas memandang dengan marah. “Hem, jadi kau juga telah kena tipuannya dan
pikatnya? Bagus! Bertambahlah alasanku untuk membinasakan anjing ini!”
Kembali ia
menyerang Gak Bin Tong tanpa perdulikan Giok Ciu, tapi gadis itu yang merasa
dipandang rendah sekali, lalu menggerakkan pedangnya menangkis lagi hingga
sebentar saja mereka berdua lalu bergebrak seru sekali. Tapi pada saat itu
terdengar suara wanita yang nyaring dan merdu, dibarengi suara tertawa aneh,
“Suhu, kau
rampas pedang mereka!”
Dari atas
melayang turunlah tubuh seorang yang tinggi besar. Tangan kiri orang itu
memegang lengan tangan seorang wanita yang riap-riapan rambutnya. Begitu turun,
orang tinggi besar itu melepaskan tangan wanita itu, lalu ia maju cepat
menghampiri Sin Wan dan Giok Ciu yang sedang bertempur. Beberapa kali ia
berloncat-loncatan dan kedua tangannya bergerak secara aneh dan tahu-tahu Pek
Liong Pokiam dan Ouw Liong Pokiam telah terampas olehnya!
Sin Wan dan
Giok Ciu terkejut sekali karena tengah mereka bertempur, tiba-tiba mereka
melihat bayangan orang yang bergerak secara aneh di dekat mereka dan ada
gerakan angin menyambar dan menyerang jalan-jalan darah mereka hingga mereka
segera berkelit. Tidak tahunya, tiba-tiba pedang mereka secara gaib telah
terlepas dan terampas oleh bayangan itu. Sungguh satu gerakan ilmu merampas
senjata dengan tangan kosong yang hebat sekali!
Orang itu
tertawa bergelak-gelak dan angsurkan kedua pedang kepada wanita yang
menyebutnya Suhu. Ketika Sin Wan dan Giok Ciu memandang, mereka terkejut sekali
karena orang tinggi besar yang merampas pedang mereka itu ternyata bukan lain
ialah si jembel gila yang dulu pernah menolong mereka. Tapi lebih hebat
kekagetan mereka ketika mereka lihat wanita muda yang menjadi murid si kakek
gila itu, karena biarpun pakaiannya seperti orang gila dan rambutnya
riap-riapan menutupi muka, mereka masih mengenali bahwa wanita itu bukan lain
orang ialah Suma Li Lian adanya!
Tak terasa
lagi, dari mulut Sin Wan keluar seruan tertahan dan ia berbisik,
“Suma-Siocia... engkau...?”
Sementara
itu, Gak Bin Tong yang tadinya berdiri mepet di tembok karena merasa takut
kepada Sin Wan kini memandang Suma Li Lian dengan kedua mata terbelalak ngeri.
Juga ia memandang kakek tinggi besar itu dengan heran karena tidak tahu
siapakah orang yang aneh dan luar biasa ini.
Suma Li Lian
menerima kedua pedang Pek Liong dan Ouw Liong Pokiam di tangan kanan kiri dan
memutar-mutar kedua senjata itu sedemikian rupa sehingga Sin Wan dan Giok Ciu
tak terasa lagi saling pandang dengan bengong, karena gerakan-gerakan gadis itu
adalah tipu-tipu silat Sin-Liong Kiam-Sut!
Kemudian
mereka merasa ngeri ketika mendengar gadis itu tertawa pula bergelak-gelak
seperti suara ketawa kakek gila itu. Suma Li Lain memandang kedua pedang itu
berganti-ganti, lalu ia mendekati Sin Wan dan Giok Ciu. Pandang mata gadis yang
agaknya telah menjadi gila itu membuat Sin Wan dan Giok Ciu tak terasa pula
mundur satu tindak kebelakang.
“Ha ha ha,
kau... kau... orang! Orang-orang bodoh... ha ha ha! Sin Wan, kau telah
mengecewakan dan menghancurkan hati seseorang, tapi kau telah menerima
balasanmu. Kau juga dikecewakan, bukan? Ha ha ha! Itulah cinta! Cinta gila yang
membuat orang-orang menjadi gila pula!
Kau cinta
kepada Giok Ciu? Tentu saja, gadis itu cantik jelita. Kalau Giok Ciu telah
bercacat, telah menjadi gila seperti aku, masih akan cintakah kau padanya? Tak
mungkin... ha ha ha... inilah cinta!”
Sin Wan
memandangnya dengan muka menjadi merah. Pemuda itu merasa kasihan sekali
melihat betapa Li Lian menjadi demikian, tapi ia juga merasa heran betapa
ucapan-ucapan gila itu menikam jantungnya seakan-akan ucapan itu mengandung
filsafat yang nyata. Kemudian gadis gila itu memandang kepada Giok Ciu.
“Kau... ha
ha ha! Kau lebih gila lagi! Kau bodoh dan mudah tertipu. Kau terlalu menurutkan
perasaan hatimu, tidak mau menggunakan pertimbangan sehat! Kau mencinta Sin
Wan? Bohong! Cintamu palsu. Kalau betul mencinta mengapa sedikit rasa cemburu
saja dapat merobah cintamu menjadi benci. Itu bukan cinta! Kau mencinta diri
sendiri! Giok Ciu... kau gadis tolol. Ha ha ha...”
Dan Giok Ciu
terbelalak heran. Ia tidak tahu harus berbuat bagaimana. Menurut rasa hatinya,
ingin ia menyerang gadis ini dan merampas kembali pedangnya. Tapi ia malu,
karena baru saja gadis gila itu menyatakan bahwa ia terlampau menurutkan
perasaan hatinya!
Kemudian
Suma Li Lian membalikkan tubuh dengan cepat sekali, dan dengan tindakan
perlahan dan mengancam ia menghampiri Gak Bin Tong! Pemuda itu melihat hal ini
menjadi takut sekali dan tubuhnya bergemetar bagaikan api lilin besar yang
berada di ruang itu dan pada saat itu tertiup angin. Sementara itu, kakek tua
gila itu menjatuhkan diri duduk dan menyandarkan diri di tembok, melenggut, dan
sebentar lagi ia mendengkur!
“Gak Bin
Tong, manusia rendah! Bukan... bukan manusia, kau binatang hina! Dosamu besar
sekali dan kau lebih gila daripada segala yang gila! Kau telah menodaiku,
menghancur-leburkan hidupku, tapi secara pengecut sekali kau telah melemparkan
tanggung jawab perbuatanmu itu kepada Sin Wan! Kau tidak hanya merusak hidupku,
tapi kaupun merusak perhubungan dan kebahagiaan sepasang kekasih itu! Ha ha ha!
Tahukah apa hukumannya karena kau telah menipuku dan berpura-pura menjadi Sin
Wan lalu memasuki kamarku! Ha ha ha! Lihatlah dua pedang ini. Dengan pedang ini,
aku hendak mengeluarkan jantungmu! Hendak kulihat apakah jantungmu berwarna
hitam atau merah!” Sambil berkata demikian, ia maju makin dekat.
Terdengar
seruan tertahan dari Giok Ciu, karena gadis ini ketika mendengar pengakuan dan
keterangan Li Lian yang membuka rahasia persoalan menjadi demikian terkejut dan
terharu hingga ia memekik perlahan dan menangis sambil menggunakan kedua tangan
menutupi mukanya! Ia merasa malu, menyesal dan marah kepada Gak Bin Tong.
Ternyata Sin Wan benar-benar tak pernah melakukan perbuatan sesat sebagaimana
yang dikiranya!
Sin Wan
tetap bersih, dan Gak Bin Tong pemuda jahanam itulah gara-gara semuanya. Kini
terbuka matanya betapa ia telah tertipu oleh pemuda muka putih itu, betapa
pemuda itu sebenarnya adalah pengkhianat dan Pertolongan yang diberikan padanya
sekarang ini sebetulnya hanyalah sebuah perangkap untuk menangkap dan
menjatuhkannya!
Ah, betapa
bodohnya, betapa tololnya. Benar belakalah kata-kata Li Lian tadi yang
mengatakan bahwa ia adalah seorang gadis bodoh dan tolol! Tapi, demikian
pikirnya, setolol-tolol dia masih lebih tolol Suma Li Lian yang dapat terpedaya
oleh Gak Bin Tong! Maka ia lalu membuka tangannya dan sambil menahan tangis ia
melihat kepada gadis yang telah berada di hadapan Gak Bin Tong.
Pemuda muka
putih itu dengan bibir gemetar berkata, “Li Lian... Li Lian... ampunilah aku...
Biarlah aku menebus dosa-dosaku dan merawatmu baik-baik... Li Lian, mana
anakku...? Marilah kita mulai hidup baru lagi, kau ampunilah aku, Li Lian?”
Terdengar
pekik ngeri dari mulut Li Lian, seakan-akan kata-kata ini menusuk anak
telinganya. “Bangsat rendah! Jangan ulangi kata-kata palsu itu! Siapa yang sudi
mendengarnya? Tahukah kau bahwa jika kuketahui kaulah orangnya yang
menggangguku, pada saat itu juga aku lebih baik membunuh diriku? Siapa sudi
dicinta olehmu? Cintamu kotor dan hina. Rasakanlah sekarang pembalasanku!”
Setelah
berkata demikian, Li Lian maju menyerang dengan kedua pedang di kanan kiri,
menyabet ke arah leher Gak Bin Tong. Sebetulnya kepandaian Gak Bin Tong
bukanlah lemah dan kalau baru Li Lian saja yang hanya belajar silat selama satu
bulan, tak mungkin dapat melawannya, biarpun gadis itu menyakinkan ilmu silat
yang mujijat.
Akan tetapi,
pada saat itu Gak Bin Tong telah kehilangan tiga perempat bagian semangatnya
yang membuatnya lemas dan lambat. Ia telah putus asa melihat ancaman-ancaman
Sin Wan dan kini setelah rahasianya terbuka oleh Li Lian, tentu Giok Ciu takkan
dapat mengampuninya pula. Juga, selain tiga orang ini, masih ada lagi kakek gila
yang duduk melenggut sambil mendengkur itu.
Ia maklum
bahwa jembel itu tentu seorang sakti, karena ia dapat menduga bahwa dua puluh
orang pahlawan yang kini tidak muncul-muncul itu tentu telah dibuat tak berdaya
oleh kakek jembel itu! Maka apakah harapannya untuk tinggal hidup?
Keputus-harapan inilah membuat ia setengah hati untuk menahan serangan Li Lian
yang biarpun lemah tapi telah mempelajari ilmu silat aneh.
Dengan mudah
saja sambil menundukkan kepala, Gak Bin Tong dapat mengelit dua pedang yang
menyambar di atas kepalanya, tapi pada saat itu Li Lian mengeluarkan teriakan
demikian gila dan menyeramkan hingga seluruh tubuh Gak Bin Tong terasa lemas!
Inilah lweekang luar biasa yang diajarkan oleh kakek gila itu, dan teriakan ini
cukup untuk melumpuhkan seorang yang lweekangnya belum begitu tinggi. Bahkan
Sin Wan dan Giok Ciu yang mendengar pekik gila ini, merasa betapa dada mereka
berdebar aneh dan keras!
Pada saat
Gak Bin Tong memandang kepada Li Lian dengan mata terbelalak takut dan tubuhnya
lemas, sepasang pedang hitam dan putih itu meluncur cepat dan tahu-tahun telah
menusuk dada Gak Bin Tong hingga tembus!
Li Lian
tertawa bergelak-gelak, tapi pada saat itu dari pintu di belakang Gak Bin Tong
yang terbuka menyambar angin besar yang membuat tubuh Li Lian terlempar keras
dan jatuh di pangkuan kakek jembel gila yang sedang melenggut. Ketika kakek
gila itu membuka matanya, ternyata muridnya telah meringkuk di atas pangkuannya
dalam keadaan mati! Juga Sin Wan dan Giok Ciu terkejut sekali. Mereka tahu
bahwa Li Lian telah terkena pukulan dari jauh yang dilakukan oleh orang berilmu
tinggi.
Mereka tidak
berani sembarangan bergerak, hanya berlaku waspada dan hati-hati menjaga segala
kemungkinan. Jembel gila itu beberapa kali meraba jidat Li Lian. Tiba-tiba ia
meletakkan tubuh muridnya di atas lantai, lalu ia berdiri dan menangis! Suara
tangisan ini diseling-seling suara tertawa yang terdengar sangat aneh dan
membuat bulu tengkuk Sin Wan dan Giok Ciu meremang karena merasa ngeri.
Dan pada
saat itu dari pintu di dekat tempat Gak Bin Tong berdiri, muncullah seorang
tosu tua sekali dengan tubuh bongkok dan tongkat di tangan. Ia memasuki ruangan
itu dan kedua matanya yang tajam menyambar-nyambar. Ia melihat betapa Cin Cin
Hoatsu dan Kwi Kai Hoatsu rebah mandi darah dan mati di atas lantai, maka ia
membuka mulutnya dan bertanya dengan suara kecil tinggi bagaikan suara
kanak-kanak.
“Siapa
orangnya yang berani membunuh kedua orang ini?”
Tapi pada
saat itu, lain suara terdengar, dan sungguh jauh bedanya dengan suara kakek
bongkok tadi, karena suara ini terdengar besar, parau, dan bernada aneh dan
janggal.
“Siapa
orangnya yang berani membunuh muridku ini?”
Kakek
bongkok ini tujukan pandang matanya kepada si jembel gila yang berdiri di sudut
lain. Ia memandang heran dan bertanya, “Siapa pulakah orang gila ini?”
tanyanya. “He, siapa namamu dan ada apakah kau berada di sini?”
Jembel gila
itu balas memandang. “Siapa aku, siapa namamu? Aku sendiri tidak tahu. Aku
adalah aku, dan mengapa aku berada di sini, entahlah. Tapi siapa yang telah
membunuh muridku ini? Kaukah, orang bongkok?”
Si bongkok
tersenyum. “Ya, akulah yang melakukan itu. Kau tidak mau memberitahukan nama,
tapi aku tidak demikian pengecut. Pinto adalah Beng Hoat Taisu dan kedua orang
ini adalah murid-murid keponakanku. Nah, sekarang jawablah, kau siapa orang
gila?”
Si jembel
gila itu mendengar pengakuan ini maju perlahan-lahan dan tertawa-tawa sambil
menangis. “Kau membunuh mati dia? Kalau begitu aku harus membunuhmu juga!”
Beng Hoat
Taisu tertawa kecil. Ia belum pernah melihat orang ini dan belum pernah pula
mendengar seorang tokoh persilatan yang seperti orang gila ini, maka ia
memandang rendah sekali. Sebaliknya, ia berhati-hati terhadap Sin Wan dan Giok
Ciu, karena kedua anak muda ini tampaknya memiliki kepandaian tinggi. Maka ia
lalu menujukan pertanyaannya kepada mereka,
“He,
orang-orang muda! Siapakah yang membunuh Cin Cin Hoatsu dan Kwi Kai Hoatsu?”
“Aku yang
membunuh mereka!” jawab Sin Wan dengan gagah.
“Bukan,
akulah yang membunuh mereka!” kata Giok Ciu tak mau kalah.
Tiba-tiba
terdengar gelak tawa si jembel gila dan dari tangannya menyambar seutas tali
panjang yang meluncur cepat dan membelit gagang kedua pedang yang masih
menancap di tubuh Gak Bin Tong yang telentang. Sekali sendal saja, kedua pokiam
itu tercabut keluar dan sendalan kedua membuat kedua pedang itu melayang ke
arah Sin Wan dan Giok Ciu!
Kedua pemuda
pemudi itu segera mengulurkan tangan dan menyambut pedang mereka dengan girang
dan kagum sekali. Sebenarnya mereka tadi hendak mengambil pedang mereka dari
tubuh Gak Bin Tong, tapi mereka kuatir kalau-kalau kakek bongkok yang lihai itu
menyerang mereka.
Melihat
kelihaian jembel gila itu, si kakek bongkok merasa heran sekali. Ia lalu
menjura dan sekali lagi bertanya, “Toheng siapakah sebenarnya nama dan
julukanmu?”
Si jembel
kini telah maju dekat dan berdiri di hadapan Beng Hoat Taisu. “Aku adalah aku
dan mengapa kau bunuh mati muridku? Aku harus membunuh kau!”
Marahlah
Beng Hoat Taisu mendengar ini karena ia merasa dipandang rendah sekali. “Orang
gila, baiklah kuantar kau menyusul muridmu!”
Baru saja
kata-katanya habis diucapkan tiba-tiba tongkatnya bergerak dan cepat sekali
meluncur ke arah dada si jembel gila merupakan totokan maut yang berbahaya
sekali. Sin Wan dan Giok Ciu terkejut sekali, tapi si jembel gila sambil
mengeluarkan suara ketawa bergelak lalu bergerak dengan aneh dan tahu-tahu ia
telah dapat berkelit dan talinya yang kecil panjang itu meluncur dalam serangan
balasan!
Beng Hoat
Taisu tak berani memandang rendah serangan ini dan menangkis dengan tongkatnya.
Tapi tali itu bergerak bagaikan ular dan ujungnya dapat membelit tongkat itu
lalu ditarik untuk merampas tongkat lawan. Mereka berdua mengerahkan tenaga,
tapi ternyata tenaga lweekang mereka sama kuat hingga tali dan tongkat itu
masing-masing masih terpegang kencang, sama sekali tidak dapat terbetot!
Si jembel
gila tertawa keras dan talinya mengendur dan melepaskan belitan, lalu mereka
bertempur pula. Sin Wan dan Giok Ciu yang tahu bahwa jembel gila itu berdiri di
fihak mereka, lalu maju membantu dengan pedang mereka di tangan. Tapi mereka
segera mundur kembali dengan kaget, karena sekali saja pedang mereka beradu
dengan tongkat Beng Hoat Taisu, mereka merasakan tangan mereka linu dan lemas,
tenaga mereka terpukul kembali oleh tenaga si bongkok yang benar-benar lihai dan
memiliki kepandaian yang lebih tinggi dari mereka.
Pada saat
itu, terdengar seruan-seruan ramai dan ternyata dua puluh pengawal keraton
Kaisar yang tadinya tertotok tak berdaya oleh si jembel gila, kini berserabutan
masuk dengan senjata di tangan mereka. Mereka tadi telah tertolong oleh Beng
Hoatsu Taisu yang baru saja datang, dan setelah mereka dapat bergerak kembali,
lalu membawa senjata masing-masing dan maju menyerbu!
Karena tidak
tahu akan kelihaian si jembel, mereka sambil berteriak-teriak membantu Beng
Hoat Taisu dan menyerang si jembel. Tapi sekali saja si jembel gila itu
menggerakkan talinya yang aneh, tali itu bersiutan nyaring dan empat orang
roboh dengan kulit terbeset dan mengeluarkan darah karena kena di cambuk oleh
ujung tali itu!
Kini mereka
mundur dengan jerih, lalu menujukan perhatian mereka kepada Sin Wan dan Giok
Ciu. Melihat kedua anak muda ini, ramailah mereka menyerbu hendak menangkap.
Sin Wan dan Giok Ciu memutar pedang mereka dan pertempuran hebat terjadi di
dalam ruang gedung yang sangat luas itu.
Sementara
itu, Beng Hoat Taisu dan si jembel gila telah lenyap dari pandangan mata. Tubuh
kedua orang tua aneh dan berilmu tinggi itu telah tertutup sama sekali oleh
sinar kedua senjata mereka yang walaupun hanya tongkat biasa dan tali saja,
namun kehebatannya jauh melebihi puluhan senjata tajam terbuat daripada baja
tulen!
Angin
gerakan kedua kakek itu membuat kursi dan meja bergoyang-goyang dan menimbulkan
suara berdesir-desir. Karena tidak merasa puas dengan adu tongkat dan tambang,
mereka lalu melempar kedua senjata itu ke lantai, dan mulai berhantam dengan
menggunakan sepasang kaki dan tangan!
Pertempuran
dilanjutkan dengan lebih mati-matian. Beng Hoat Taisu merasa penasaran dan
heran sekali, karena selama hidupnya yang sudah lebih dari tujuh puluh tahun
itu, belum pernah ia bertemu dengan seorang lawan yang demikian tangguhnya.
Mungkin tak lebih tangguh daripada Bu Beng Lojin yang pernah juga
menjatuhkannya, tapi ilmu pukulan si jembel ini sungguh-sungguh aneh sekali!
Gerakan-gerakannya
tak teratur sama sekali, pukulan-pukulannya ngawur belaka namun, tiap kali
serangannya seperti akan mendatangkan hasil baik, tiba-tiba saja gerakan si
jembel itu berubah dan tepat sekali dapat menangkisnya atau berkelit
seakan-akan di seluruh bagian tubuh jembel itu ada matanya yang melihat datangnya
bahaya!
Juga,
serangan-serangan ngawur yang dilancarkan oleh si jembel ini, sungguh-sungguh
sukar diduga. Kalau serangannya seperti yang tepat dan hampir berhasil,
tiba-tiba jembel itu dan menarik kembali tangannya, sedangkan jika serangannya
dapat ditangkis atau dikelit oleh Beng Hoat Taisu, tiba-tiba serangan yang
gagal itu masih dapat dilanjutkan dengan serangan lain yang terlebih lihai dan
aneh!
Beng Hoat
Taisu adalah seorang tosu kelas satu dari pegunungan Tibet dan ia telah
terkenal sekali sebagai seorang jagoan kelas tertinggi dan sukar dicari
bandingannya pada masa itu. Hampir semua jago-jago silat di Tibet mapun di
daratan Tiongkok, telah dicobanya dan belum pernah ia menderita kekalahan.
Paling buruk tentu bermain seri, yakni ketika ia melawan jago-jago dari seluruh
Tiongkok Selatan dan jago-jago dari seluruh Mongol.
Baru tiga
kali ia pernah benar-benar dikalahkan orang, yakni ketika bertemu dan melawan
Bu Beng Lojin dan paling akhir ketika ia bertemu dengan Pai-San Sianjin dan
Nam-Hai Sianjin dua orang tokoh terbesar di Tiongkok timur. Tapi ketiga orang
inipun hanya menang sedikit saja darinya. Ia mengira tadinya bahwa hanya tiga
orang itulah yang memiliki kepandaian lebih tinggi darinya.
Tapi sungguh
tidak dinyana, ini hari ia bertemu dengan seorang jembel gila yang memiliki
kepandaian sungguh-sungguh istimewa dan aneh. Pula, angin gerakan pukulan si
jembel gila itu seperti mendatangkan hawa gila yang menyeramkan dan aneh,
hingga seakan-akan ia merasa seperti sedang bertempur melawan mahluk bukan
manusia. Ia takkan ragu-ragu untuk percaya jika dikatakan bahwa ia sedang
bertempur melawan iblis sendiri. Gerakan silat macam ini memang tak mungkin
dicipta oleh manusia kecuali manusia iblis!
Beng Hoat
Taisu mengerahkan tenaga batin dan lweekangnya untuk menjatuhkan jembel gila
itu tapi selalu tenaganya ini buyar dan terpukul oleh hawa aneh yang keluar
dari pukulan-pukulan dan gerakan si jembel. Tiba-tiba jembel gila itu tertawa
lagi, nyaring dan panjang,
“Ha ha ha!
Kau sungguh lihai, kau hampir selihai... Bu Beng...! Ya, kau hampir selihai Bu
Beng!”
Mendengar
ini, Beng Hoat Taisu menjadi terkejut. “Pernah apakah kau dengan Bu Beng
Lojin?” tanyanya sambil mengirim serangan.
“Ha ha ha!
Bu Beng kawan baikku. Kau kenal Bu Beng?” balas tanya jembel itu, suaranya
mengandung keramahan hingga Beng Hoat Taisu menjadi heran.
“Aku kenal
baik padanya,” jawabnya.
Tiba-tiba
saja desakan si gila mengendur. “Kalau begitu, aku tidak jadi membunuhmu! Kau
kawan baik Bu Beng! Ah... Murid, kau tunggu sajalah. Pasti tiba saatnya
pembunuh ini menemui maut, dan aku juga tentu akan menyusulmu kelak... Ha ha
ha!”
Setelah berkata
demikian, jembel gila itu meniup keras ke arah muka lawannya. Tiupan ini
demikian hebat dan bertenaga hingga cepat sekali Beng Hoat Taisu berkelit,
namun masih saja jenggot dan rambutnya yang panjang putih berkibar-kibar
bagaikan tertiup angin besar! Ia menjadi kaget sekali, tapi pada saat itu si
jembel gila telah meloncat mendekati Sin Wan dan Giok Ciu.
Pada saat si
jembel tadi bertempur dengan hebatnya melawan Beng Hoat Taisu, kedua orang muda
itu mengamuk dan biarpun dikeroyok oleh belasan orang pengawal-pengawal Kaisar
yang berkepandaian tinggi, namun Pek Liong Pokiam dan Ouw Liong Pokiam
menyambar-nyambar demikian hebatnya hingga sebentar saja beberapa orang telah
menjadi kurban dan sisa pengeroyok mereka menjadi jerih.
Pada saat
mereka masih mainkan pedang, tiba-tiba Sin Wan dan Giok Ciu merasa betapa
lengan tangan mereka di betot orang dan mereka tahu bahwa si jembel itu
mengajak mereka pergi. Mereka meloncat pula ke atas dan mengikuti si jembel
yang telah lari lebih dulu sambil memondong tubuh Suma Li Lian yang telah
menjadi mayat. Kakek jembel itu berhenti di sebuah hutan, lalu ia meletakkan
muridnya di atas tanah sambil beberapa kali mengeluh,
“Muridku,
kau sungguh kejam telah meninggalkan aku lebih dulu...” dan menitik keluarlah
air mata dari kedua mata si kakek jembel.
Sementara
itu, malam telah berganti fajar dan ayam mulai berkeruyuk, tapi masih saja
kakek jembel itu berlutut di dekat jenazah muridnya, sedangkan Sin Wan dan Giok
Ciu berdiri memandang keadaan kakek aneh itu dengan terharu. Tiba-tiba kakek
itu tertawa lagi, dan suara ketawanya terdengar seperti biasa, terlepas dan
gembira.
“Aah, lebih
baik begini, muridku. Lebih baik begini. Bukankah sekarang kau telah terlepas
dari semua kedukaan? Bukankah sekarang tiada orang lagi bisa mengganggumu? Aah,
benar lebih baik begini, biarlah aku yang melanjutkan penderitaanmu. Kau harus
dikubur, ya, kau harus dikubur!”
Setelah
berkata demikian, kakek itu lalu menggunakan kedua tangannya menggaruk-garuk
tanah dengan maksud menggali lubang!
Sin Wan dan
Giok Ciu merasa terharu sekali mendengar kata-kata itu. Biarpun kakek itu
sangat mencinta muridnya, namun ia rela muridnya itu mati agar terlepas dari
segala kesengsaraan.
Ah, inilah
cinta! Inilah cinta suci, cinta yang tidak mengharapkan sesuatu untuk
kesenangan diri. Cinta yang semata-mata didasarkan atas keinginan melihat orang
yang dicintainya bahagia dan tidak menderita, biarpun harus mengurbankan
perasaan sendiri.!
Memikir
sampai di situ, Sin Wan dan terutama Giok Ciu, merasa tersinggung dan
tersindir, maka mereka menundukkan muka dengan wajah merah. Sementara itu,
kedua mata Giok Ciu mengalir air mata. Sin Wan dan Giok Ciu, tanpa diminta lalu
menggunakan pedang mereka mereka untuk membantu menggali lubang untuk
menguburkan Suma Li Lian. Setelah jenazah gadis yang bernasib malang itu
dikubur baik-baik, jembel gila itu lalu berkata kepada Sin Wan dan Giok Ciu.
“Kalian
anak-anak baik. Nah, aku pergi hendak mencari Bu Beng.”
Melihat
betapa pikiran kakek itu agaknya mulai ingat, Sin Wan cepat berkata,
“Lo-Cianpwe, teecu berdua adalah murid-murid Bu Beng Lojin!”
Kakek itu
memandang tajam kepada mereka. “Bagus, dimana sekarang adanya Bu Beng?”
Sin Wan tak
dapat menjawab, dan Giok Ciu yang menjawab, “Teecu tidak tahu di mana Suhu
berada, karena Suhu telah meninggalkan Kam-Hong-San dan berjanji hendak bertemu
dengan teecu berdua sepuluh tahun kemudian.”
“Ha ha ha!
Bu Beng memang gila!” kata kakek itu dan sekali berkelebat tubuhnya telah
lenyap dari situ!
Sin Wan dan
Giok Ciu yang ditinggal di situ saling pandang. Giok Ciu lalu berlutut di depan
makam Suma Li Lian dan berkata dalam bisikan, “Li Lian... Li Lian... Aku telah
banyak menyakiti hatimu. Kau orang baik dan setia, tidak seperti... ah, Li
Lian, kau tentu dapat mengampunkan aku, sungguhpun aku sendiri tidak akan
sanggup mengampunkan diri sendiri.”
Sin Wan lalu
berkata kepada Giok Ciu, “Sumoi, marilah di depan makam Li Lian kita mengadakan
pembicaraan sungguh-sungguh dan dari hati ke hati.”
Kedua anak
muda itu di pagi hari yang cerah itu duduk di depan makam yang masih baru,
saling berhadapan. Sikap mereka tenang dan sungguh-sungguh.
“Giok Ciu,”
kata Sin Wan sambil memandang wajah yang menunduk di depannya itu.
“Bagaimanakah
pikiranmu setelah sekarang semua menjadi terang dan kau tahu akan duduknya
persoalan yang sebenarnya?”
Giok Ciu
mengangkat mukanya dan menahan air matanya yang hendak menitik turun. “Suheng,
untuk apa kita bicarakan hal ini? Kau tahu, aku merasa menyesal dan malu
sekali.”
“Bukan
begitu, Sumoi, hal itu tak perlu lagi dimalukan atau disesalkan. Semua telah
lewat dan habis, seperti halnya Li Lian yang telah menjadi gundukan tanah ini.
Tak perlu lagi dipersoalkan. Yang penting adalah persoalan kita, yang akan
datang, Sumoi. Kesalahpahaman diantara kita telah lenyap. Bagaimanakah sekarang
pendirianmu mengenai... perjodohan kita?”
Gadis itu
sekali lagi mengangkat muka dan memandang wajah Sin Wan dengan terharu, “Kau
sendiri bagaimana, Suheng? Bagaimana pendirianmu?”
Sin Wan
merasa tak enak mendengar sebutan gadis itu kepadanya kini telah berubah. Dulu
menyebut koko atau kanda, sekarang menyebut Suheng atau kakak seperguruan. Ia
lalu mengangkat tangan ke arah leher dan mengeluarkan sepatu kecil yang
tergantung di lehernya.
“Kau
lihatlah sendiri, barang ini selalu masih menempel di dadaku! Masih kurang
jelaskah ini?”
Giok Ciu
merasa terpukul dan teringatlah ia akan suling tanda perjodohan yang dulu ia
hancurkan, maka tiba-tiba ia menangis perlahan.
“Giok Ciu
terus terang saja kukatakan bahwa betapapun juga dan apapun yang terjadi,
cintaku kepadamu tetap tak berubah. Mungkin terjadi perubahan sedikit, yakni
tentang sifat cintaku itu. Kalau dulu cintaku disertai kandungan harapan untuk
menjadikan kau sebagai isteriku sekarang sifat cintaku itu berubah setelah
mendengar kata-kata Li Lian. Cintaku bukan berdasarkan hendak mengawinimu saja,
tapi hendak melihat kau bahagia, Giok Ciu.”
Giok Ciu
makin terharu dan tak dapat menjawab, maka Sin Wan lalu melanjutkan kata-katanya.
“Sumoi,
jangan kau terlalu bersedih, Yang lalu biarlah lalu, sekarang marilah kita
hadapi kenyataan. Aku hendak berterus terang saja kepadamu agar jangan sampai
terulang lagi kesalahpahaman di antara kita. Aku masih tetap cinta kepadamu,
tetapi aku sekali-kali tidak akan menggunakan hakku dan memaksamu menjadi
isteriku. Terserah kepadamu, Sumoi, apakah kau hendak melanjutkan perjodohan
kita atau tidak. Tapi yang pasti, selain dengan engkau, selama hidup takkan ada
wanita lain yang dapat menjadi isteriku!”
Giok Ciu
tunduk untuk beberapa lama, akhirnya ia dapat juga menjawab, “Suheng, kau
memang seorang pemuda yang mulia. Hal ini seharusnya telah kuketahui sejak dulu
dan seharusnya memperkuat kepercayaanku. Tapi memang aku gadis bodoh. Bodoh,
lemah, dan tolol, tepat seperti dikatakan oleh Li Lian dulu! Setelah segala
kebodohan yang kulakukan, termasuk penghancuran tanda perjodohan yang kuterima
darimu, rasanya tak mungkin aku ada muka untuk menjadi isterimu, Suheng!
Tentang cinta dan perasaan hatiku kepadamu... Entahlah! Aku menjadi ragu-ragu
sekali untuk memikirkan tentang ini setelah mendengar ucapan-ucapan Li Lian
dulu itu. Aku menjadi ragu-ragu apakah benar-benar ada cinta suci di dunia ini!
Kalau ku sesuaikan dengan ajaran Suhu kepada kita tentang pemiliharaan tenaga
rohani, aku menjadi ragu-ragu. Aku... Aku tidak berani berkata secara membuta
membuat pengakuan bahwa aku… aku cinta padamu, Suheng. Maafkan aku yang
bodoh...”
Sin Wan
tersenyum pahit dan memegang lengan Sumoinya. “Bagus, Sumoi, memang seharusnya
demikianlah sikap kita sebagai orang-orang yang telah mendapat latihan Suhu.
Kita harus berani menghadapi kenyataan, betapa pahit dan tidak enaknya
kenyataan itu.”
Giok Ciu
memandang Sin Wan dengan kasihan. “Maafkan kalau aku menyakiti hatimu, Suheng.
Aku juga tidak berani berkata bahwa aku tidak cinta kepadamu, karena percayalah
bahwa selain dengan engkau, akupun tak mungkin kawin dengan seorang pemuda
lain. Aku hanya malu dan ragu-ragu mengaku akan cintaku padamu, karena kalau
benar-benar cinta, mengapa sikap dan tindakanku yang sudah-sudah demikian
macamnya terhadapmu? Sekarang, biarlah kita berpisah dan meluaskan pengalaman
masing-masing, sementara itu, berilah waktu padaku, Suheng.”
Sin Wan
menghela napas panjang dan dengan jari-jari tangan gemetar ia melepaskan tali
pengikat sepatu kecil itu, lalu diberikannya kepada Giok Ciu.
“Terimalah
ini, Sumoi. Aku tak berhak menyimpannya."
Giok Ciu
menganggap bahwa hal itu sepantasnya, maka sambil mengeraskan hatinya yang
sangat terharu, iapun menerima barang itu dengan tangan gemetar pula.
“Sebelum
kita berpisah, beritahukanlah di mana kau titipkan anak Li Lian dulu itu
Suheng?”
Karena tidak
menduga sesuatu, Sin Wan lalu menceritakan betapa Li Lian meninggalkan anaknya
demikian saja hingga ia menjadi bingung dan akhirnya menitipkan anak Li Lian
itu kepada seorang janda she Thio di kampung kecil di kaki gunung Kam-Hong-San
itu.
Kemudian
mereka lalu berpisah dan melanjutkan perjalanan masing-masing. Biarpun kini di
dalam lubuk hati kedua anak muda itu terdapat sesuatu yang mengganjal dan
membuat mereka merasa sunyi dan kosong, namun tidak ada pula segala
kejengkelan, kekecewaan dan kemarahan mengganggu mereka.
***************
Sin Wan
merantau ke daratan sebelah Timur dan ia melakukan perjalanan menjelajah
sepanjang pantai timur. Pada waktu itu, daratan timur di Tiongkok seringkali
terganggu oleh bajak-bajak laut yang ganas. Bajak-bajak laut itu menggunakan
perahu-perahu layar yang cepat gerakannya dan mereka terkenal mempunyai
anggota-anggota yang rata-rata berilmu silat tinggi.
Tubuh mereka
pendek dengan tangan yang panjang-panjang, sedangkan mereka biasa bersenjata
pedang panjang yang mereka mainkan dengan secara cepat dan ganas. Banyaklah
sudah dusun-dusun di pinggir pantai yang menjadi kurban keganasan para bajak
laut ini, dan para penduduk dusun itu tidak tahu dari manakah datangnya
bajak-bajak itu. Bahasa yang digunakan oleh para bajak laut itu walaupun tidak
mereka mengerti, namun ada persamaan dengan Bahasa dusun pantai timur.
Pemerintah
setempat telah pula mendengar tentang gangguan bajak laut ini, tapi karena
pemerintah pada waktu itu sangat lemah dan sama sekali kurang menaruh perhatian
akan nasib rakyat, maka hal itupun tidak diperdulikan. Pendirian pemerintah
Tiongkok di kala itu, asalkan kedudukan para bangsawan dan Kaisar tidak
terancam dan tidak terganggu, maka amanlah!
Rakyat
dirampok? Rakyat diganggu bajak laut? Rakyat kelaparan? Aah, itu soal kecil dan
soal biasa, tidak ada sangkut pautnya dengan mereka yang menduduki pangkat.
Asal saja gangguan-gangguan itu tidak merugikan mereka! Karena keadaan
pemerintah yang lalim dan alat-alat pemerintah yang buruk sekali ini, maka para
bajak laut itu makin ganas dan kurang ajar.
Mereka
bahkan berani menculik wanita-wanita dan membawanya ke pulau tempat tinggal
mereka. Bahkan tiga buah dusun kecil di dekat pantai yang tadinya merupakan
dusun nelayan yang ramai dan makmur, kini boleh dibilang menjadi dusun para
bajak laut itu!
Tiga dusun
itu dijadikan seksi pendaratan mereka, bahkan yang memerintah disitu sekarang
orang-orang anggauta bajak laut itu! Bukan tidak ada orang-orang gagah dan
hohan-hohan yang mencoba untuk memberantas keganjilan ini, tapi karena jumlah
bajak laut sangat banyak dan semua memiliki kepandaian berkelahi yang baik
sekali sedangkan fihak orang-orang gagah hanya ada beberapa orang saja
sedangkan alat pemerintah tidak ada yang membantu, beberapa kali mereka ini
tidak berhasil, bahkan mengalami kekalahan yang pahit!
Ketika di
dalam perantauannya mendengar tentang hal ini, Sin Wan merasa marah dan
penasaran sekali. Ia lalu langsung menuju ke dusun Tin-Siang, sebuah daripada
tiga dusun yang menjadi sarang bajak laut di timur itu. Tapi alangkah herannya
ketika ia memasuki dusun itu, karena keadaan dusun bukanlah seperti yang
disangkanya semula.
Tadinya ia
menduga akan melihat sebuah dusun yang sengsara di mana penduduknya hidup
tertindas dan serba kekurangan. Sebaliknya, dusun itu ramai sekali dan penghidupan
penduduk dusun Tin-Siang tampak seperti biasa, juga wajah orang-orang disitu
tidak kelihatan sedih!
Ini sungguh
aneh sekali, pikir Sin Wan. Lalu ia berjalan-jalan ke pantai laut melihat
kapal-kapal layar yang berlabuh disitu. Ternyata kapal-kapal dari pedalaman,
juga mengangkut kayu-kayu dari hutan, yakni kayu untuk pembangunan yang disebut
kayu besi yang sukar dicari dan mahal harganya. Semua pekerjaan dilakukan oleh
penduduk dusun itu dan yang mengepalai mereka adalah beberapa orang pendek yang
tampaknya ramah tamah.
Maka otak
yang cerdik dari pemuda itu lalu dapat menduga. Ia pikir bahwa bajak-bajak laut
itu tentu menggunakan siasat halus untuk membujuk para penduduk dusun itu
hingga tenaga mereka digunakan. Bajak-bajak itu tentu tidak mengganggu mereka,
tidak mengganggu pekerjaan sehari-hari mereka, karena hasilnya tak seberapa
besar. Sebaliknya, mereka melakukan perampokan di dalam hutan-hutan dan
mengangkut pergi hasil-hasil bumi Tiongkok yang kaya, dan yang mengerjakan
semua itu adalah tenaga-tenaga penduduk dusun itu, mungkin dengan diberi
sedikit upah!
Sin Wan
melanjutkan penyelidikannya. Ia memasuki sebuah rumah makan dan memesan arak
serta makanan. Karena ada beberapa orang yang sedang duduk di dalam rumah makan
itu dan tampaknya seperti orang-orang pedagang dari lain tempat, sengaja Sin
Wan mendekati mereka, lalu secara iseng-iseng ia berkata,
“Dusun ini
tampaknya ramai dan penduduknya hidup senang.”
Seorang di
antara mereka yang menengok dan mendengar kata-katanya itu, lalu menghampiri.
Agaknya orang ini telah minum arak agak terlampau banyak, maka lidahnya
terlepas,
“Mengapa
tidak, kawan? Kau tentu bukan orang sini maka agaknya heran melihat keadaan
kami! Sudah banyak orang-orang seperti engkau yang datang ke sini. Tentu kau
tadinya menyangka bahwa kita tentu hidup sengsara, bukan? Ha ha ha! Tidak, kita
tidak merasa terganggu. Mereka itu mengangkut hasil-hasil hutan dan tanah bukan
milik kami. Mereka menguasai kami tapi tidak membuat kami sengsara. Tahukah kau
bahwa dulu sebelum mereka datang, kepala dusun ini, seorang bangsa kita
sendiri, bahkan merupakkan lintah darat yang menghisap habis darah kami? Aah,
kami lebih senang mempunyai kepala dusun bangsa lain daripada kepala dusun
bangsa sendiri yang menindas kami!”
Mendengar
kata-kata ini Sin Wan merasa muak sekali. Celaka dua belas! Beginilah kalau
pemerintah sendiri tidak becus memerintah dan buruk keadaannya! Rakyat menjadi
penasaran dan sakit hati, hingga bahkan mereka lebih suka diperintah oleh
pemerintah asing daripada oleh pemerintah bangsa sendiri, karena mereka itu
hanya menghendaki hidup senang! Celaka sekali!
Tentu saja
bagi orang-orang beriman dan mempunyai jiwa gagah perkasa seperti Sin Wan,
diperintah oleh orang-orang asing itu merupakan hinaan yang besar sekali.
Apalagi ketika melihat betapa kekayaan tanah air dibawa dan diangkut pergi oleh
orang-orang kate itu, Sin Wan merasa mendongkol sekali.
Pada saat
itu, tiba-tiba orang yang doyan mengobrol itu diam bagaikan orong-orong
terpijak, karena dari luar masuklah seorang kate yang agak gemuk. Orang kate
itu memandang Sin Wan dengan curiga dan ia lalu menunding ke arah Sin wan
sambil bertanya kepada pengobrol tadi,
“Siapakah
orang ini? Dan dari mana datang?”
Sebelum ada
yang menjawab, Sin Wan menghampiri orang itu dan bertanya, “Kau perduli apakah?
Kau siapa dan apa hakmu maka bertanya demikian?”
Orang itu
tersenyum menghina. “Kau mencari susah sendiri!”
Dan ia
membalikkan tubuh hendak pergi, tetapi Sin Wan telah menangkap lengan tangan
orang itu. “Tahan dulu, bukankah kau ini anggota bajak-bajak asing yang
mengganggu pantai Tiongkok?”
Orang itu
memandang dengan ancaman di matanya. “Habis kau mau apa?”
Sehabis
berkata demikian, dengan sekali renggut terlepaslah tangannya dari pegangan Sin
Wan sehingga pemuda itu diam-diam terkejut sekali karena tidak disangkanya
bahwa si pendek ini memiliki tenaga besar. Kemudian si pendek itu menyerang
dengan pukulan yang mempunyai gerakan aneh. Datangnya serangan ini cepat sekali
dan kedua tangannya digunakan bagaikan cengkeraman garuda.
Inilah
semacam ilmu Eng-Jiauw-Kang atau Cengkeraman Garuda, dan ilmu ini mengandalkan
tenaga dan kecepatan mencengkeram tubuh atau tangan musuh. Tapi Sin Wan dengan
mudahnya dapat berkelit dan balas menyerang. Setelah bergerak tiga jurus saja,
Sin Wan berhasil mendorong tubuh yang kate itu sehingga bergulingan menabrak
meja.
Orang kate
itu bersuit keras dan dari arah pantai berlari-larilah beberapa orang kate
lain, yakni anggauta-anggauta dan anak buah bajak laut yang bertugas di situ.
Bahkan ada beberapa penduduk aseli, yakni orang-orang kampung di situ ikut pula
datang dengan wajah mengancam seakan-akan mereka juga hendak mengeroyok Sin
Wan!
Sin Wan mencabut
pedangnya dan sebentar saja ia dikeroyok banyak orang yang bersenjata pedang
panjang dan yang kesemuanya memiliki ilmu pedang yang cukup baik. Tapi
menghadapi Pek Liong Kiam-sut, mereka ini tidak berdaya. Yang mengherankan Sin
Wan ialah betapa pedang-pedang mereka ini kesemuanya terbuat daripada bahan
yang baik dan keras hingga tidak mudah terbabat putus oleh pokiamnya! Ini
sungguh mengagumkan!
Kemudian,
penduduk kampung ikut pula mengeroyok dengan segala macam senjata yang dapat
mereka pakai, karena mereka menganggap bahwa pemuda itu hanya membuat kacau
saja di kampung mereka. Melihat hal ini, Sin Wan lalu memutar pedangnya
sedemikian rupa sehingga empat orang kate roboh dengan mandi darah, kemudian
Sin Wan berseru keras,
“Hai,
saudara-saudara! Tidak tahukah kalian bahwa bajak-bajak kate ini menguras
kekayaan di negeri kita? Mereka ini tidak saja membajak bangsa kita, tapi juga
merampok hasil bumi kita! Hayo kita usir mereka ini!”
Tapi
orang-orang kampung ini tak seorangpun mau mendengarkan kata-katanya, bahkan
ada seorang yang berteriak keras,
“Aah,
obrolan apa yang kau jual ke sini? Kau rupanya bukan hendak menolong, tetapi
bahkan hendak mengacau dan mencelakakan kami!”
Tiba-tiba
Sin Wan ingat bahwa kalau ia mengusir bajak-bajak ini, tentu para bajak yang
banyak sekali jumlahnya itu akan sakit hati sekali kepada orang-orang kampung
dan akhirnya penduduk dusun itulah yang akan menerima balasan dan tertimpa
bencana besar. Mengingat demikian, Sin Wan lalu meloncat pergi dan lari keluar
dari dusun itu dengan cepat. Ia merasa bingung dan tidak tahu dengan cara
bagaimana ia dapat mengusir para bajak laut itu.
Malam itu ia
bermalam di dalam sebuah dusun yang terdapat di hutan yang memanjang di tepi
laut. Berbeda dengan keadaan dusun yang dikuasai para bajak itu, di dusun ini
orang-orang hidup sederhana sekali dan keadaan mereka sungguh-sungguh miskin!
Tapi mereka sangat ramah tamah dan seorang keluarga yang terdiri dari seorang
kakek dan seorang puteranya yang sudah duda, menerima Sin Wan dan memberi
tempat kepadanya untuk bermalam.
Karena
lelahnya Sin Wan tidur nyenyak sekali. Tapi menjelang fajar, ia dikejutkan oleh
suara gemuruh dari kaki kuda dan sepatu-sepatu dari ratusan pasang kaki orang
yang mendatangi ke arah dusun itu! Ia segera bangun dan terdengar pekik dan
jerit tangis penduduk dusun di situ.
“Ada
apakah?” Sin Wan meloncat keluar dan bertanya kepada seorang yang lari
ketakutan.
“Bajak-bajak
itu mengganas lagi!” katanya.
Sin Wan
menjadi gemas sekali. Jadi kalau di sekitar pantai bajak-bajak itu berlaku baik
terhadap penduduk di situ untuk memikat hati mereka, di pedalaman mereka
merampok dengan kejam. Dalam marahnya, Sin Wan mencabut pedangnya dan lari
memapaki kedatangan para bajak itu. Dan apa yang dilihatnya membuat dia kaget
sekali! Yang datang itu, bukanlah bajak-bajak biasa, karena pakaian yang
dipakai oleh orang-orang kate itu adalah seragam hingga mereka lebih tepat
disebut tentara yang berdisplin dan teratur!
Pergerakan
mereka teratur sekali dan disana-sini terdengar aba-aba yang dikeluarkan dengan
suara keras dari atas kuda! Tentara yang bergerak ini jumlahnya cukup besar,
ditaksir tidak kurang dari lima puluh orang. Hendak menyerbu kemanakah
rombongan bajak yang merupakan barisan teratur ini, pikir Sin Wan. Tapi pada
saat itu telah terlihat oleh seorang anggota barisan itu dan atas aba-aba
seorang pemimpin, beberapa belas orang dengan pedang dan tombak lari menyerbu.
Sin Wan
menerima kedatangan mereka dengan pedang di tangan dan ia lalu mengamuk hebat!
Tapi segera ia mendapat kenyataan bahwa para pengeroyoknya ini benar-benar
orang berilmu silat lumayan juga dan jika dibandingkan dengan kepandaian para
pengawal Kaisar, maka agaknya tidak boleh disebut lebih lemah!
Terutama
ilmu pedang mereka yang mempunyai gerakan aneh, sungguh sukar dilawan. Baiknya
ia memiliki ilmu pedang yang cepat dan hebat gerakannya, maka sebentar saja ia
dapat merobohkan beberapa orang hingga tempat itu menjadi ramai dengan
pekikan-pekikan mereka dan rumput-rumput di situ menjadi basah oleh darah!
Tapi
keberanian dan kenekatan orang-orang itu sungguh membuat Sin Wan merasa bingung
dan gugup. Jatuh seorang datang dua dan jatuh dua datang empat! Ia sampai
merasa kewalahan dan kini dirinya terkurung rapat! Ia telah merobohkan sepuluh
orang lebih, tapi tenaganya mulai lemah karena ternyata musuh-musuhnya makin
banyak saja.
Pada saat
itu terdengar bentakan-bentakan nyaring dan kepungan Sin Wan menjadi buyar dan
keadaan menjadi kacau balau! Ketika Sin Wan merasa kepungan yang mengurung
dirinya mengendur, ia lalu meloncat keluar dari kepungan untuk melihat apa yang
telah terjadi di luar kepungannya.
Ternyata
terdapat dua bayangan putih dengan jubah lebar berkibar-kibar sedang mengamuk
hebat! Dua bayangan itu menyambar-nyambar ke sana kemari dan dimana saja mereka
tiba, tentu terdengar pekik ngeri dan tampak tubuh seorang pengeroyok roboh!
Sin Wan terkejut sekali melihat kehebatan sepak terjang dua orang itu, karena
mengingatkan ia akan kakek jembel gila.
Tiba-tiba
dua orang itu menghentikan gerakan mereka dan mereka berdiri di atas sebuah
batu besar sambil bertolak pinggang. Ternyata bahwa mereka adalah dua orang
kakek yang berwajah angker dan gagah sekali. Pakaian mereka seperti dua orang
petani dan jubah mereka longgar, di punggung mereka tampak gagang pedang.
Rambut mereka yang putih dan panjang digelung ke atas dan kini ujung rambut itu
berkibar-kibar tertiup angin. Mereka sungguh gagah perkasa!
“He, kamu
sekalain bajak laut, dengarlah! Kamu telah melihat sepak terjang kami berdua
dan ternyata baru kami dua orang tanpa memegang senjata saja kalian sudah tak
dapat melawan. Apalagi kalau bangsa kami bangkit serentak melawan kalian, pasti
kalian akan dilempar semua ke laut! Kembalilah ke negarimu sendiri dan jangan
mengganggu rakyat kami! Kalau dalam tiga hari kami masih melihat kamu, maka
jangan harap akan mendapat ampun lagi!”
Kedua kakek
itu berbicara perlahan, lalu seorang diantara mereka berkata lagi dengan suara
keras, “Ketahuilah, kami berdua adalah Pai-San Sianjin dan Nam-Hai Sianjin. Dan
jangan kira bahwa di negeri kami hanya ada kami dua orang saja yang memiliki
kepandaian! Masih ribuan orang yang memiliki kepandaian lebih tinggi daripada
kami. Kalian lihatlah pohon siong disana itu dan lihat apakah diantara kalian
ada yang sanggup menahan serangan pedang kami seperti yang hendak kami lakukan
kepada pohon itu!”
Setelah
berkata demikian dua orang kakek itu lalu mencabut pedang dari punggung, lalu
berbareng mereka enjot tubuh mereka. Dua bayangan putih berkelebat ke arah
puncak pohon itu dan tiba-tiba daun-daun dan ranting-ranting kecil jatuh
berhamburan ketika dua orang kakek itu gerakkan pedang mereka membabat!
Sebentar
saja keduanya telah melayang turun di atas batu yang tadi dan ketika semua
orang melihat ke arah pohon, mereka leletkan lidah karena daun-daun pohon itu
telah dicukur sedemikian rupa hingga pinggirnya rata dan potongannya bundar!
Setelah
menyaksikan demonstrasi ini, terdengar aba-aba keras di fihak bajak laut dan
mereka lalu lari mundur dengan cepat! Kedua kakek itu tertawa bergelak-gelak
menyaksikan mereka. Kemudian mereka memandang ke arah Sin Wan dan memberi tanda
kepada pemuda itu supaya datang mendekat. Sin Wan lalu memberi hormat sambil
berlutut.
“He, anak
muda yang gagah perkasa. Bukankah kau mendapat pelajaran dari Bu Beng?” tegur
Nam-Hai Sianjin.
“Benar,
Lo-Cianpwe. Teecu adalah murid dari Bu Beng Lojin dan mendengar nama jiwi
Lo-Cianpwe yang besar serta menyaksikan kehebatan ilmu pedang jiwi Lo-Cianpwe,
sungguh teecu merasa beruntung sekali sudah dapat bertemu dengan jiwi
Lo-Cianpwe!”
Terdengar
Pai-San Sianjin menghela napas, “Sayang sekali orang-orang seperti kita
kebanyakan berlaku sesat dan tidak melihat akan penderitaan rakyat. Kau
mendengar tadi betapa kami membohong agar mereka jangan berani datang lagi.
Nah, sampaikan salam kami kepada Suhumu?”
Dan kedua
tokoh persilatan yang terkenal itu berkelebat menghilang dari pandangan Sin
Wan.
***************
Setelah
kenyang merantau, lima tahun kemudian, Sin Wan kembali ke Kam-Hong-San.
Maksudnya hendak mulai mendidik anak perempuan Li Lian yang dulu dititipkan
kepada janda Thio. Tapi alangkah herannya ketika mendapat keterangan bahwa anak
itu telah dibawa oleh Giok Ciu. Sin Wan lalu mengejar dan menjumpai Giok Ciu di
bekas tempat tinggal Ayahnya, yakni di sebelah timur bukit Kam-Hong-San.
“Sumoi,”
katanya ketika bertemu dan melihat betapa benar-benar anak itu berada disitu.
“Kau berikanlah anak ini kepadaku untuk kudidik menjadi muridku.”
“Tidak
Suheng. Akulah orangnya yang mempunyai dosa terhadap Li Lian, maka biarlah aku
menebus dosa itu dengan memberi didikan kepada anaknya ini,” jawab Giok Ciu.
Mereka
berdua mempertahankan pendirian mereka sendiri-sendiri, karena Sin Wan juga
suka sekali melihat anak perempuan yang mungil itu dan yang wajahnya mirip
sekali dengan Li Lian. Akhirnya sambil tersenyum Giok Ciu mencabut ouw Liong
Pokiam dan berkata tenang.
“Suheng,
kalau begitu, biarlah pedang kita yang memutuskan.”
“Apa
maksudmu?” tanya Sin Wan terkejut.
“Marilah
kita mengukur kepandaian masing-masing, yang lebih tinggi berhak menjadi guru
anak itu!”
Sin Wan
tersenyum dan heran, karena biarpun sikap dan bicara gadis itu telah berubah
dan tenang tapi sebenarnya watak keras masih ada di dalam hatinya. Iapun lalu
mencabut Pek Liong Pokiam dan menghadapi Sumoinya. Mereka lalu menggerakkan
kedua pedangnya itu dan sebentar kemudian pertemuan mereka ini dirayakan dengan
adu pedang!
Mereka dalam
hal memberi pelajaran kepada kedua muridnya, Bu Beng Lojin tidak berlaku berat
sebelah, maka kepandaian mereka berimbang. Sin Wan dapat merobohkan Sumoinya
yang keras hati ini, tapi ia tidak tega dan pula agaknya ia takkan dapat
merobohkan kalau tidak dengan menggunakan kekerasan. Karena inilah maka mereka
bertempur sampai ratusan jurus bagaikan dua ekor naga sakti berebut mustika.
Anak
perempuan yang baru berusia kurang lebih lima tahun itu bertepuk-tepuk tangan
gembira dan suka sekali melihat pertempuran itu, seakan-akan ia melihat
pertunjukan yang bagus sekali. Tiba-tiba terdengar suara lemah lembut dan suara
tertawa menyeramkan. Sin Wan dan Giok Ciu kenal suara ini maka mereka segera
meloncat mundur dan menjatuhkan diri berlutut. Bu Beng Lojin dan kakek jembel
gila yang lihai itu telah berada di depan mereka.
“Sin Wan dan
Giok Ciu! Bagaimana keputusanmu yang terakahir? Perlukah kedua pokiam itu kau
kembalikan kepadaku? Biarlah aku yang menyimpannya!”
Sin Wan
memberi hormat dan berkata, “Suhu, hal ini murid hanya menyerahkan sepenuhnya
kepada Giok Ciu!”
Giok Ciu
menundukkan muka dan kulit mukanya berubah merah. Ia pandang Ouw Liong Pokiam
di tangannya dan agaknya ia tak mungkin dapat berpisah dari pedang ini. Pula,
niatnya untuk berumah tangga, biar dengan Sin Wan sekalipun, telah lenyap dari
sanubarinya.
“Maaf, Suhu.
Teecu telah bersumpah hendak hidup menyendiri dengan pokiam ini.”
Bu Beng
Lojin tertawa bergelak-gelak, diiringi oleh suara tertawa oleh kakek jembel
gila itu. “Kalau begitu, kau bertapalah disini, dan Sin Wan boleh tinggal di
gua naga. Ketahuilah murid-muridku, memang kalianlah yang berjodoh untuk
mengembangkan Sin-Liong Kiam-Sut dan kelak kalian pulalah yang akan menurunkan
kepandaian dan kedua pokiam ini kepada orang-orang atau murid-murid yang
berbakat. Dengan demikian, takkan sia-sialah hidupmu di dunia ini. Kalian telah
memilih jalan benar, karena sekarang aku mau membuka rahasia, yakni menurut
penglihatanku, kalian mempunyai watak yang bertentangan dan jika tertangkap
menjadi suami isteri, maka akan lebih banyak pahitnya daripada manisnya kalian
rasakan!”
“Suhu, mohon
petunjuk Suhu tentang anak ini,” kata Sin Wan, juga Giok Ciu mendesak gurunya.
Tiba-tiba si
kakek jembel gila berkata dengan suaranya yang parau. “Hanya akulah seorang
yang berhak menjadi Suhunya!”
Giok Ciu dan
Sin Wan terkejut, tapi Bu Beng mengangguk-angguk, “Kalian masih terlampau muda
untuk menerima murid. Matangkanlah dulu kepandaianmu, dan kalian taruhlah
kasihan kepada kawan baikku ini. Anak ini akan menjadi obat penawar baginya.”
Akhirnya Sin
Wan dan Giok Ciu menurut dan mengalah.
Semenjak
saat itu, Bun Sin Wan bertapa di puncak gunung Kam-Hong-San sedangkan Kwie Giok
Ciu bertapa di bekas tempat tinggal Ayahnya. Keduanya telah dapat menahan
segala nafsu keduniaan dan tekun memperdalam ilmu mereka. Tapi adat yang
terbawa ketika lahir tak dapat dirobah dengan mudah, karena dalam beberapa
tahun sekali, tentu Giok Ciu mengunjungi Sin Wan untuk diajak bertanding
mengukur kepandaian!
Sering pula
Sin Wan atau Giok Ciu turun gunung untuk melakukan tugas sebagai
pendekar-pendekar gagah pembela keadilan, hingga nama Pek Liong Pokiam dan Ouw
Liong Pokiam makin terkenal di kalangan persilatan sebagai dua pedang naga
sakti yang hebat dan sebagai penggempur kejahatan!
Kelak,
berpuluh puluh tahun kemudian, setelah mereka menjadi orang-orang tua, Bun Sin
Wan akan menggunakan nama Kam Hong Siansu, sedangkan Kwie Giok Ciu tak mengubah
nama hingga disebut orang Kwie Giok Ciu Suthai.
T A M A T
Serial Selanjutnya : Pedang Ular Merah
***** Sahabat Karib.com *****
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment