Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pendekar Kelana
Jilid 20
Si Kong
mendapatkan kesempatan yang baik setelah lewat lima puluh jurus sejak Toa Ok
mencabut Pek-lui-kiam. Secepat kilat dia menangkap pergelangan tangan kanan
lawan yang memegang pedang. Tangan kiri Toa Ok melakukan pukulan dengan sinkang
panas ke arah dada Si Kong dalam jarak dekat, namun Si Kong menerima pukulan
itu dengan dadanya.
“Bukkk!”
Telapak tangan Toa Ok melekat pada dada Si Kong dan seketika hawa sinkang
membanjir keluar dari tangan kiri Toa Ok, tersedot oleh ilmu Thi-khi I-beng!
Toa Ok
terkejut bukan kepalang, akan tetapi Si Kong sudah mengerahkan tenaganya dan
menggunakan tangan kanannya untuk merenggut pedang Pek-lui-kiam dari tangan
kanan Toa Ok. Karena Toa Ok sedang sibuk hendak melepaskan tangan kirinya, maka
dia tidak dapat mempertahankan pedang itu yang dapat terampas oleh Si Kong.
Toa Ok
menggereng marah dan menggerakkan tangan kirinya tanpa pengerahan sinkang. Akan
tetapi dia terlambat. Si Kong sudah memukulnya dengan jurus Hok-liong Sin-ciang
dan pukulan itu tepat mengenai ulu hatinya.
”Dessss...!”
Tubuh Toa Ok
terlempar seperti bola dan jatuh terbanting ke atas tanah tanpa bergerak lagi.
Isi dadanya sudah remuk oleh pukulan yang amat hebat itu!
Pada saat
yang hampir bersamaan, Hui Lan juga sudah merobohkan Sam Ok atau Ang I Sianjin
dengan pedang hitamnya. Dada Ang I Sianjin tertusuk pedang dan dia pun roboh
dan tewas seketika. Setelah merobohkan Sam Ok, Hui Lan lalu mengamuk dan
robohlah Tio Gin Ciong dan Kui Hwa Cu, orang pertama dari See-thian Su-hiap.
Mendengar
teriakan maut puteranya, Tung-giam-ong terkejut dan perhatiannya terpecah
sehingga Lam Tok berhasil memukul dada datuk besar timur itu dengan tangan
kirinya. Pukulan itu hebat sekali dan mengandung racun yang mematikan sehingga
tubuh Tung-giam-ong terjengkang keras dan dia pun tewas seketika.
Dapat
dibayangkan betapa paniknya Ji Ok yang masih dapat bertahan melawan Pai Ong.
Tetapi karena hatinya sudah merasa gentar melihat robohnya teman-temannya,
terutama robohnya Toa Ok, dia hanya main mundur dan mencari kesempatan untuk
melarikan diri.
Dia memutar
pecutnya dengan cepat, membentuk perisai lebar yang menutupi tubuhnya, dan
tiba-tiba tangan kirinya bergerak ke depan. Tiga batang paku beracun menyambar
ke arah tubuh Pai Ong.
Datuk utara
ini cepat mengelak sambil meloncat ke kiri dan kesempatan itu dipergunakan oleh
Ji Ok untuk melarikan diri. Akan tetapi baru lima langkah dia berlari, Pai Ong
sudah menggerakkan tangan kirinya dan golok di tangan kirinya itu meluncur
lantas menancap di punggung Ji Ok sampai tembus ke dadanya. Ji Ok pun roboh dan
dia tewas seketika.
Yang masih
bertahan terhadap Bwe Hwa hanya Coa Leng Kun. Pemuda ini masih dapat bertahan
karena dia dibantu oleh dua orang dari Bu-tek Ngo-sian yang amat lihai. Melihat
betapa Bwe Hwa belum dapat merobohkan lawan yang mengeroyoknya, Hui Lan segera
melompat dan membantu Bwe Hwa. Sekarang pertempuran itu menjadi berat sebelah
dan dengan mudah pedang Kwan-im-kiam di tangan Bwe Hwa menyambar dan melukai
leher Coa Leng Kun.
Dua orang
Bu-tek Ngo-sian itu, orang pertama Ciok Khi dan orang kedua Sia Leng Tek,
menjadi gentar akan tetapi tidak ada kesempatan bagi mereka untuk melarikan
diri. Ada pun tiga orang adik mereka juga sudah terdesak oleh pengeroyokan
banyak prajurit.
Mereka
berdua menjadi nekat melawan dua orang gadis perkasa itu. Akan tetapi karena
hati mereka sudah merasa gentar, maka permainan pedang mereka menjadi lemah dan
hampir berbareng mereka roboh oleh tusukan pedang Hui Lan dan pedang Bwe Hwa.
Para anggota
Kui-jiauw-pang dan Pek-lian-pai sudah banyak yang tewas ketika melawan pasukan
kerajaan yang tiga empat kali lebih banyak jumlahnya. Tiga orang dari See-thian
Su-hiap dan tiga orang dari Bu-tek Ngo-sian masih bertahan, akan tetapi Si
Kong, Hui Lan serta Bwe Hwa menerjang mereka dan dalam waktu singkat saja
mereka semua sudah roboh dan tewas.
Apa lagi
karena Si Kong mempergunakan Pek-lui-kiam yang amat ampuh sehingga sepak
terjangnya menggiriskan. Begitu sinar berkelebat, sudah ada seorang lawan yang
tewas! Melihat ini, sisa anak buah Kui-jiauw-pang dan Pek-lian-pai menjadi
ketakutan dan mereka membuang senjata dan berlutut menyerah.
Panglima Gui
Tin segera menyuruh pasukannya untuk menangkapi mereka, kemudian dia
memerintahkan pasukannya untuk mundur. Setelah memeriksa keadaan pasukannya,
dia lalu memerintahkan pasukannya untuk bekerja, mengubur semua jenazah dan
mengobati mereka yang terluka.
Sementara
itu Lam Tok sudah berhadapan dengan Pai Ong. Mereka saling pandang dan Lam Tok
yang lebih dulu berkata, “Ha-ha-ha, kita berdua saja yang masih hidup di antara
empat orang datuk besar. Apakah engkau masih ada hasrat untuk menjadi datuk
paling lihai di kolong langit ini?” Pertanyaan ini mengandung tantangan.
Pai Ong
tertawa pula, “Ha-ha-ha, ucapanmu benar, Lam Tok! Karena kita berdua memilih
pihak yang benar, tidak menuruti hasutan Toa Ok dan Tung-giam-ong yang
bersekongkol dengan pemberontak, maka kita masih hidup. Ini berarti kita
memilih pihak yang benar.”
“Tepat
sekali, Pai Ong! Memang Pek-lian-kauw selalu membujuk dan menghasut tokoh-tokoh
kangouw sehingga terseret ke dalam pemberontakan melawan pemerintah. Apa bila
seorang datuk masih bisa terbujuk omongan manis, maka dia tak berhak menjadi
seorang datuk yang berpendirian gagah perkasa dan bebas. Akan tetapi mengingat
sekarang yang tinggal hidup hanyalah Pai Ong datuk dari utara dan aku Lam Tok
datuk dari selatan, lalu bagaimana pendapatmu?”
“Lam Tok,
aku sudah merasa malas untuk memperebutkan sebutan Datuk Nomor Satu di Dunia.
Kalau yang ada tinggal dua orang datuk saja, apa artinya mendapat sebutan Datuk
Nomor Satu? Tidak, kau boleh memakai sebutan Datuk Terlihai itu karena aku
tidak ingin merebutnya. Akan tetapi pedang pusaka Pek-lui-kiam, itulah yang
dapat diperebutkan!”
“Tepat
sekali! Mari kita bertanding untuk menentukan siapa yang lebih berhak mendapat
pedang pusaka Pek-lui-kiam!” kata LamTok.
“Bagus, aku
setuju!” teriak Pai Ong. “Siapa pemilik Pek-lui-kiam, biar tanpa sebutan apa
pun, menjadi bukti bahwa dialah yang terlihai!”
Pada saat
itu Si Kong melangkah maju menghampiri dua orang datuk yang saling tantang itu,
lantas memberi hormat kepada mereka. “Ji-wi locianpwe, pedang pusaka
Pek-lui-kiam telah berada di tanganku.”
“Bagus, Si
Kong. Serahkan pedang pusaka itu padaku. Sejak melihat engkau mengubur jenazah
puteriku, aku sudah berubah pikiran dan membantumu menentang mereka yang
menjadi musuh-musuhmu. Karena engkau tidak termasuk seorang datuk, maka
serahkan pedang Pek-lui-kiam kepadaku!” kata Lam Tok.
Sekarang dia
mengerti mengapa puterinya dahulu jatuh cinta kepada pemuda perkasa ini. Dia
berterima kasih sekali ketika melihat Si Kong mengubur jenazah Cu Yin dan
timbullah rasa sukanya terhadap pemuda ini
“Bukan
diserahkan kepada Lam Tok. Itu kurang adil karena di sini ada dua orang datuk
yang masih hidup. Orang muda, serahkan pedang itu kepada siapa di antara kami
yang memenangkan pertandingan memperebutkan Pek-lui-kiam,” kata Pai Ong.
Si Kong
kembali memberi hormat kepada dua orang datuk itu. sekarang pandangannya
terhadap dua orang datuk itu pun sudah berubah. Dua orang datuk itu tidak
seperti yang lain, tidak tunduk kepada pemberontak Kui-jiauw-pang dan
Pek-lian-pai, malah menentang mereka. Dia beranggapan bahwa dua orang datuk ini
masih memiliki jiwa pahlawan dan berpendirian, biar pun mereka memiliki watak
yang aneh dan menurut kehendak mereka sendiri.
“Ji-wi locianpwe,
pedang pusaka ini adalah milik pendekar Tan Tiong Bu, karena itu tidak dapat
dimiliki siapa pun, harus kukembalikan kepada yang berhak.”
“Akan tetapi
Tan Tiong Bu telah mati, terbunuh oleh Ang I Sianjin!” tegur Lam Tok.
“Benar,
locianpwe. Akan tetapi dia masih memiliki seorang anak perempuan dan kepada
anaknya itulah pedang Pek-lui-kiam ini akan kuserahkan. Dara itulah yang berhak
memiliki Pek-lui-kiam sebagai peninggalan ayahnya.”
“Ahh, mana
bisa begitu?” Pai Ong cepat mencela. “Siapa yang terkuat dialah yang berhak
memiliki Pek-lui-kiam. Karena itu kita bertiga akan membuktikan siapa yang
terkuat, dan dialah yang berhak memiliki Pek-lui-kiam!”
Akan tetapi
Lam Tok menghela napas panjang dan berkata, “Apa yang dikatakan Si Kong itu
benar! Apa gunanya kita memperebutkan sebuah pusaka yang sesungguhnya menjadi
hak milik orang lain? Memalukan saja! Apa engkau senang kalau disebut sebagai
seorang pencuri? Aku tidak! Sudahlah, Si Kong, aku tidak akan memperebutkan
pusaka Pek-lui-kiam itu. Dan engkau, Pai Ong, apabila engkau masih penasaran
untuk memperebutkan kedudukan datuk nomor satu, kupersilakan engkau datang ke
tempat tinggalku di Lembah Sungai Heng-kiang. Selamat tinggal!” Sesudah berkata
demikian, Lam Tok meloncat jauh dan lenyap di balik pohon-pohon.
“Bagaimana,
locianpwe? Apakah engkau tidak sependapat dengan locianpwe Lam Tok?” tanya Si
Kong kepada Pai Ong.
“Tentu saja
tidak. Sebelum engkau dapat mengalahkan aku dalam perandingan, aku tidak rela
kalau engkau membawa pergi Pek-lui-kiam! Kalahkan aku dulu, baru engkau berhak
menentukan apa yang akan kau lakukan dengan Pek-lui-kiam!”
“Locianpwe,
sesungguhnya aku sendiri tidak ingin memiliki pedang pusaka ini. Aku hanya
hendak mempertahankan karena pusaka ini harus aku serahkan kepada puteri
pemiliknya yang sejati, yaitu sebelum pusaka itu dibawa pergi oleh Ang I
Sianjin.”
“Kalau
begitu, mari kalahkan aku dulu!” Kakek tinggi besar berkepala botak ini
mencabut sepasang goloknya. “Akan tetapi engkau berbuat licik kalau engkau
hendak menghadapi sepasang golokku dengan pedang pusaka itu.”
Si Kong
tersenyum, lantas memungut sebatang kayu dari bawah pohon. Dia membuang ranting
dan daun kering dari cabang kayu itu dan memegangnya sebagai tongkat.
“Aku tidak
akan menggunakan pedang Pek-lui-kiam untuk melawanmu, locianpwe. Cukup dengan
sebatang kayu ini saja. Kalau aku kalah terhadap locianpwe, maka pedang
Pek-lui-kiam akan kuserahkan.”
Pai Ong
tersenyum dan wajahnya berseri-seri. “Aku tahu bahwa engkau seorang pemuda yang
gagah perkasa dan dapat dipercaya. Marilah kita tentukan siapa di antara kita
yang berhak membawa pergi Pek-lui-kiam. Mulailah, Si Kong.”
“Aku telah
siap, locianpwe. Yang lebih tua harus mulai lebih dulu.”
“Bagus,
lihat golok!” Kakek tinggi besar itu sudah menggunakan sepasang goloknya untuk
menyerang.
Serangannya
memang dahsyat sekali karena dia telah menggunakan seluruh tenaga dan
kecepatannya. Karena maklum bahwa biar pun masih muda lawannya memiliki ilmu
silat yang tinggi, maka begitu menyerang dia telah mengeluarkan jurusnya yang
paling ampuh. Golok kanan membacok miring dari atas ke bawah ke arah leher Si
Kong, ada pun golok kiri bergerak dari lain jurusan menyambar pinggang.
Si Kong
tidak berani memandang rendah lawannya yang dia tahu merupakan orang yang
tingkat ilmu silatnya tak berada di bawah tingkat mendiang Toa Ok. Dengan
ringan sekali Si Kong mengelak mundur hingga serangan sepasang golok itu
mengenai tempat kosong.
Ketika datuk
itu memutar goloknya untuk menyerang lagi, Si Kong mendahuluinya dengan
serangan balasan. Ujung tongkatnya tergetar, kemudian sekali bergerak laksana
ular-ular mematuk, ujung tongkatnya sudah mengarah tujuh jalan darah di bagian
depan tubuh Pai Ong.
“Hemmm...!”
Pai Ong menggereng dan dua goloknya sibuk menangkis totokan itu dengan
pengerahan tenaga agar tongkat itu terpotong oleh goloknya. Namun meski pun
ditangkis sepasang golok yang tajam, tongkat itu tidak terpotong melainkan
terayun dan membuat gerakan melingkar menyerang lagi dengan totokan ke arah
lambung kakek tinggi besar itu.
Pai Ong
terkejut. Tak disangkanya pemuda itu dapat menggerakkan tongkatnya demikian
cepat dan tak terduga. Karena tidak sempat menangkis, dia meloncat ke belakang
untuk menghindarkan diri dari serangan cepat itu. Kemudian, setelah memutar
kedua goloknya, dia menyerang kembali dengan dahsyat.
Namun
gerakan tubuh Si Kong terlampau cepat baginya, juga sangat aneh sehingga dia
menjadi bingung. Makin lama permainan tongkat Si Kong semakin banyak
perubahannya yang sama sekali tidak tersangka-sangka sehingga sesudah lewat
lima puluh jurus kakek tinggi besar itu mulai terdesak.
Si Kong
tidak berniat buruk terhadap Pai Ong. Bagaimana pun juga datuk utara ini sudah
menunjukkan bahwa dia tidak sudi menjadi pengkhianat seperti Tung-giam-ong dan
Toa Ok. Biar pun dia disebut datuk besar dunia kangouw, tapi dia masih memiliki
kegagahan. Karena itu Si Kong tidak ingin mencelakainya.
Melihat
lawannya telah terdesak, Si Kong lalu mempercepat gerakan tongkatnya sehingga
Pai Ong menjadi semakin bingung. Seolah-olah tongkat itu telah berubah menjadi
banyak sekali, mengurung dirinya dari berbagai penjuru. Karena bingung
menghadapi tongkat itu, Pai Ong menggerakkan sepasang goloknya, bermaksud untuk
menggunting tongkat yang ampuh itu agar terpotong. Suatu saat dia melihat
bayangan tongkat itu dan secepat kilat sepasang goloknya menggunting dari atas
ke bawah.
Si Kong
sengaja memperlambat gerakan tongkatnya sehingga tampaknya hampir terjepit
sepasang golok. Pai Ong sudah merasa girang sekali, akan tetapi pada saat
terakhir tiba-tiba tongkat itu hilang dan sepasang goloknya bertemu sendiri di
udara.
“Traanggg...!”
Pada saat
itu pula ujung tombak Si Kong bergerak dua kali menotok ke arah pergelangan
tangan Pai Ong sehingga kedua tangan itu kehilangan kekuatannya dan sepasang
golok itu pun terlepas dari tangannya, jatuh ke atas tanah. Si Kong melompat
mundur, memberi kesempatan kepada Pai Ong untuk memungut sepasang goloknya
kembali.
Pai Ong
terbelalak, wajahnya berubah sedikit pucat. Dia harus mengakui kekalahannya,
akan tetapi hatinya masih penasaran sekali. Harus diakuinya bahwa pemuda itu
memiliki ilmu tongkat yang sangat hebat, akan tetapi mungkin dalam perkelahian
tangan kosong pemuda itu tidak akan mampu mengalahkannya. Untuk menebus rasa
malu karena kalah dalam pertandingan menggunakan senjata, tanpa memungut
sepasang goloknya Pai Ong berkata.
“Harus
kuakui bahwa engkau mempunyai ilmu tongkat yang luar biasa dan aku mengaku
kalah dalah permainan senjata. Akan tetapi aku baru mengakui kekalahanku bila
engkau mampu menandingi aku dalam pertandingan tangan kosong dan penggunaan
sinkang.”
Si Kong
tersenyum maklum. Kakek tinggi besar itu dikenal sebagai seorang datuk besar.
Tentu saja dia sukar mengakui kekalahannya terhadap seorang pemuda sepertinya.
Dia dapat memaklumi hal ini dan sambil tersenyum dia menjawab,
“Kalau
locianpwe mengajak bertanding dengan tangan kosong, akan kulayani, akan tetapi
harap locianpwe suka mengalah dan tidak menjatuhkan tangan yang terlalu keras
bagiku.”
Pai Ong
memandang kagum. Pantas saja Lam Tok enggan bermusuhan dengan pemuda ini.
Sungguh seorang pemuda yang luar biasa. Sudah jelas dapat mengalahkannya, akan
tetapi tetap merendahkan diri.
“Engkau
terlalu merendahkan diri, Si Kong. Mari kita uji kekuatan masing-masing.”
“Aku sudah
siap, locainpwe,” kata Si Kong sambil membuang tongkatnya.
Dua orang
itu saling berhadapan seperti dua ekor ayam jago hendak bertarung. Pai Ong
mengerutkan alisnya dan bersungguh-sungguh karena dalam pertandingan ini dia
harus mempertahankan kedudukannya sebagai datuk besar yang patut disegani semua
orang.
Akan tetapi
Si Kong kelihatan tenang-tenang saja dengan bibir tersenyum, seakan-akan dia
sudah merasa pasti bahwa dia tidak akan kalah oleh lawannya. Sikap percaya diri
ini ditanamkan mendiang Pendekar Sadis kepadanya bersama ilmu-ilmu yang
dipelajarinya.
“Lihat
serangan!” terdengar Pai Ong membentak karena dia melihat pemuda itu agaknya
tidak mau mendahului menyerang. Tubuhnya menerjang maju dan dia sudah
mengirimkan pukulan yang mendatangkan hawa panas sekali. Inilah ilmu pukulan
Hwe-ciang (Tangan Api) yang mengandung sinkang amat kuat.
Si Kong
mengenal pukulan ampuh, maka dia pun mengelak dan selanjutnya memainkan Yan-cu
Hui-kun (Silat Burung Walet Terbang) sehingga tubuhnya bergerak sangat cepat.
Dengan penuh penasaran Pai Ong melancarkan serangan bertubi-tubi, namun tidak
satu pun dari semua pukulannya mengenai sasaran.
Dengan
seluruh tenaga serta kepandaiannya Pai Ong menyerang, dan agaknya tidak mau
memberi kesempatan kepada Si Kong untuk membalas serangannya. Kakek datuk utara
ini memang hebat sekali. Serangannya sambung menyambung dan bertubi-tubi
sehingga menggetarkan sekeliling tempat itu. Bahkan orang yang berdiri dalam
jarak sepuluh meter dari tempat pertandingan itu terpaksa mundur menjauh karena
mereka dapat merasakan sambaran angin yang panas.
Si Kong sama
sekali tak mampu membalas. Setiap kali dia mengelak dari satu serangan lawan
maka serangan lain telah menyusul sebagai sambungan seolah jurus-jurus itu
telah dirangkai dan tiada putusnya. Diam-diam pemuda ini merasa kagum bukan
main. Tingkat kepandaian datuk utara ini bahkan lebih unggul dibandingkan
tingkat kepandaian Tok Ok. Andai kata pertandingan Pai Ong dan Lam Tok
diadakan, tentu Pai Ong akan merupakan lawan tangguh dari Racun Selatan itu.
Hampir
seratus jurus sudah lewat dengan cepatnya dan belum juga ada pukulan Pai Ong
yang mengenai tubuh Si Kong. Pai Ong sudah mulai lelah tetapi dia semakin
penasaran. Pada suatu saat tangan kanannya dengan telapak tangan terbuka
menghantam ke arah dada Si Kong dan tangan kirinya mencengkeram ke arah pusar.
Si Kong yang
tidak mempunyai kesempatan untuk balas menyerang, menganggap sudah cukup dia
memberi kesempatan kepada lawannya. Dia pun segera menggerakkan kedua tangannya
menyambut dua serangan Pai Ong itu. Tangan kirinya dengan telapak tangan terbuka
menyambut pukulan ke arah dadanya dan tangan kanannya mengibas ke bawah untuk
menyambut cengkeraman tangan kiri lawan.
“Plakk!
Plakk!”
Dua pasang
tangan bertemu di udara dan mata Pai Ong terbelalak. Dia merasa betapa sepasang
tangannya bertemu benda lunak yang langsung menghisap tenaga sinkang-nya.
Tenaga sinkang-nya membanjir keluar disedot telapak tangan yang lunak itu.
Tentu saja
dia terkejut setengah mati. Dalam dunia persilatan hanya para hwesio
Siauw-lim-pai yang sudah mencapai tingkat tertinggi dari ilmu mereka yang dapat
menggunakan tenaga dalam untuk menyedot tenaga lawan. Akan tetapi dia teringat
akan ilmu menyedot sinkang seperti itu yang pernah dimiliki oleh mendiang
Pendekar Sadis. Maka tanpa sadar mulutnya mengeluarkan apa yang terasa di
hatinya.
”Pendekar
Sadis...?”
Si Kong yang
tidak bermaksud mencelakai lawan memang sudah hendak menarik kembali ilmu
Thi-khi I-beng. Ketika mendengar disebutnya nama gurunya, dia melepaskan kedua
tangannya dan meloncat mundur ke belakang.
Pai Ong
memejamkan mata sambil menghirup hawa murni untuk memulihkan tenaganya.
Beberapa saat kemudian barulah dia membuka matanya. Kakek ini pun maklum bahwa
jika lawannya yang muda itu menghendaki, dengan mudah lawan akan mengirim
pukulan maut selagi dia tak berdaya tadi. Dia melangkah maju dan mengangkat
kedua tangannya.
“Si-taihiap
(Pendekar besar Si), aku Pai Ong Loa Thian Kun mengaku kalah dan dengan
kekalahanku ini, engkaulah yang berhak memakai gelar Jago Silat Nomor Satu di
dunia dan pedang pusaka Pek-lui-kiam memang pantas menjadi milikmu.”
Si Kong
cepat-cepat membalas penghormatan datuk utara itu. “Locianpwe, harap jangan
bersikap seperti ini. Aku sama sekali tidak ingin disebut Jago Nomor Satu, aku
pun sama sekali tidak ingin memiliki Pek-lui-kiam untuk pribadi. Sungguh aku
berterima kasih sekali karena locianpwe telah mengalah kepadaku.”
Wajah Pai
Ong menjadi kemerahan. “Ahh, alangkah bodohnya kami yang menyebut diri sebagai
datuk besar persilatan, betapa sombongnya seperti katak dalam tempurung! Aku
telah mendapat pelajaran yang amat berharga, orang muda. Mulai saat ini Loa
Thian Kun hanya seorang biasa, tidak ada lagi Pai Ong. Selamat tinggal!” Orang
tua itu kemudian melompat dan lenyap di antara pohon-pohon besar di bawah
puncak.
Si Kong
menarik napas panjang dan diam-diam bersyukur bahwa mendiang gurunya telah
mewariskan ilmu-ilmu yang bisa menundukkan orang-orang sakti seperti para datuk
besar itu.
Mereka semua
sudah bubaran. Setelah menguburkan semua jenazah, Panglima Gui Tin dan juga
Cang Hok Thian segera menarik mundur semua pasukan kerajaan untuk kembali ke
kota raja.
Cang Hok
Thian yang amat terpesona oleh Bwe Hwa mencoba untuk membujuk gadis ini agar
mau ikut pulang bersamanya karena ingin dia perkenalkan kepada ayah bundanya,
namun usahanya sia-sia belaka. Bwe Hwa menolak halus dan minta agar Cang Hok
Thian meninggalkannya.
Hok Thian
terpaksa ikut Panglima Gui Tin pulang. Dalam hatinya ia mengambil keputusan
bahwa dia harus berjodoh dengan gadis itu atau tidak akan menikah dengan gadis
lain.
Sesudah
semua orang pergi, Si Kong juga melakukan perjalanan seorang diri menuruni
puncak. Akan tetapi baru tiba di lereng bawah puncak, gerakan dua orang telah
membuat dia membalikkan tubuh dan ternyata yang mengejarnya adalah Bwe Hwa dan
Hui Lan! Dia berhenti dengan jantung berdebar.
Tadi dia
telah berpamit dari dua orang gadis ini dan kini mereka mengejarnya. Apa yang
mereka kehendaki? Hatinya menjadi tegang dan gelisah, akan tetapi dia menekan
hatinya sehingga kelihatan tenang saja ketika dua orang gadis itu tiba di
depannya.
“Lan-moi dan
Hwa-moi, ada urusan apakah maka kalian mengejarku?” Si Kong bertanya sambil
memandang ke kiri. Tanpa disengaja dia berhenti tak jauh dari makam Siangkoan
Cu Yin ketika dua orang gadis itu menyusulnya!
Dua orang
pendekar wanita itu adalah puteri-puteri para pendekar yang gagah perkasa dan
keduanya mewarisi watak ibu mereka yang terkenal keras dan terbuka. Mendengar
pertanyaan Si Kong, Hui Lan lalu menjawab,
“Kong-ko,
kami berdua mengejarmu karena ingin menanyakan sesuatu yang kami harap Kong-ko
akan menjawab dengan sejujurnya dan terbuka, sesuai dengan watak kita yang
menghargai kebenaran dan kejujuran!”
Debar
jantung di dada Si Kong makin menggebu. “Pertanyaan tentang apakah?”
Sekarang Bwe
Hwa yang melangkah maju. “Kong-ko, ketika dulu engkau meninggalkan kami berdua
di goa, kenapa engkau meninggalkan sajak itu? Aku masih ingat bunyinya!” kata
Bwe Hwa yang lalu membacakan sajak itu.
“Seekor
burung gagak yang papa tidak pantas berdekatan dengan sepasang burung Hong yang
mulia! Seekor burung gagak yang papa terbang naik ke angkasa sendirian bermain
di udara bebas dan merdeka tak terikat apa pun juga!”
“Nah, kenapa
engkau meninggalkan sajak itu dan meninggalkan kami tanpa pamit? Kong-ko,
apakah engkau tidak menghargai perasaan kami terhadapmu?” tanya Hui Lan secara
terbuka sehingga wajah Si Kong berubah kemerahan.
“Engkau
harus menjawab sejujurnya, Kong-ko. tak perlu ada rahasia di antara kita, semua
harus dijelaskan agar tidak terkandung pikiran buruk satu sama lain. Apakah
kami berdua yang kau maksudkan dengan Sepasang Burung Hong itu dan engkau
menganggap dirimu seekor burung gagak yang papa, yang tidak pantas berdekatan
dengan kami?”
Si Kong
harus menelan ludah berulang kali untuk menenteramkan hatinya yang berdebar
gelisah menghadapi dua orang gadis yang bicara secara terbuka itu. Lebih
gelisah dari pada harus menghadapi dua ekor singa betina yang marah!
“Ehh…
hemmm... aku... terus terang saja aku telah mendengar percakapan kalian ketika
aku habis mandi. Hatiku menjadi gelisah dan bingung sekali. Aku merasa tidak
berharga bagi kalian, merasa tidak pantas, dan aku tidak ingin melihat kalian
berduka atau kecewa, maka kupikir… sebaiknya aku pergi meninggalkan kalian.
Percayalah, Lan-moi dan Hwa-moi, tak ada maksudku untuk membikin kalian
berduka. Aku… aku merasa lebih baik aku menjauhkan diri, aku sungguh tidak
berharga untuk kalian...”
“Kong-ko,
tidak perlu kami sembunyikan bahwa kami berdua merasa kagum dan tertarik
kepadamu. Karena itu buanglah keraguanmu bahwa pilihanmu akan membuat seorang
di antara kami menderita kecewa atau berduka. Kami telah saling menceritakan
rahasia hati kami masing-masing dan kami berani menghadapi kenyataan dengan
hati terbuka,” kata Hui Lan.
“Benar,
Kong-ko. Andai kata engkau memilih Hui Lan, aku pun tidak akan merasa sakit
hati atau mendendam kepada kalian,” kata Bwe Hwa.
“Dan andai
kata engkau memilih enci Bwe Hwa, aku pun rela dan menganggap bahwa engkau
bukan jodohku,” kata pula Hui Lan.
“Engkau
boleh menganggap kami sebagai wanita tidak tahu malu membicarakan urusan cinta
kami, akan tetapi kami sudah bersikap terbuka dan jujur, maka harap engkau juga
bersikap terbuka dan jujur terhadap kami,” sambung Bwe Hwa.
Si Kong
mengeluarkan keringat dingin. Tentu saja di dalam pikirannya sedikit pun tidak
terdapat pendapat bahwa dua orang gadis itu tidak tahu malu, bahkan dia kagum
sekali terhadap keterbukaan mereka. Kalau di dunia ini semua orang bersikap
terbuka dan jujur, tentu dunia tidak seperti sekarang, penuh pertikaian dan
kesalah pahaman.
“Aihh,
Lan-moi dan Hwa-moi, apakah yang harus aku katakan?” Si Kong menghela napas
panjang dan sekali lagi dia menengok ke kiri, ke arah kuburan Cu Yin. “Kepada
kalian aku merasa sangat kagum dan hormat. Bagiku kalian merupakan
pendekar-pendekar wanita yang gagah dan patut dikagumi, selain berilmu tinggi
juga berbudi luhur. Perasaan kalian terhadap diriku sungguh merupakan
kehormatan yang berlebihan bagiku.”
“Tidak perlu
berbelit-belit, Kong-ko!” kata Hui Lan. “katakan saja, siapakah di antara kami
berdua yang kau cinta? Ataukah, engkau tidak mencinta kami berdua?”
Si Kong
menggelengkan kepala dan menarik napas lagi. ”Cintaku telah terbawa mati oleh
Cu Yin yang kini bermakam di sana. Kalian terlampau tinggi untukku. Aku hanya
merasa kagum dan hormat, tetapi terus terang saja, sayangku terhadap kalian
bukan seperti yang kalian duga. Maafkan keterus teranganku ini, akan tetapi
sebenarnya tidak ada perasaan cinta asmara dalam hatiku.”
Dua orang
gadis itu saling pandang. Wajah mereka menjadi agak pucat, akan tetapi cepat
menjadi kemerahan kembali.
“Kong-ko,
siapa itu Cu Yin?” tanya Hui Lan sambil menoleh dan memandang makam baru itu.
“Ya, siapa
gadis yang sudah mampu menjatuhkan hatimu itu, Kong-ko?” tanya Bwe Hwa
penasaran.
Si Kong
menarik napas. “Sebelum dia tewas aku pun tidak tahu bahwa aku mencintainya.
Kasihan Cu Yin. Ia tidak berkedudukan tinggi seperti kalian. Dia hanyalah puteri
Lam Tok yang tewas oleh anak panah ayahnya sendiri ketika dia berkorban
untukku, menghadang anak-anak panah yang ditujukan kepadaku.”
Dua orang
gadis itu menunduk, merasa terharu. Mereka adalah dua orang gadis perkasa yang
berwatak gagah, maka keterus terangan Si Kong tak membuat mereka merasa sakit
hati. Mereka menerimanya dengan wajar dan dapat menekan perasaan sendiri.
Mereka maklum bahwa cinta asmara tak mungkin terjadi sepihak saja, dan juga
cinta tidak dapat dipaksakan. Mereka tidak marah, tidak sakit hati dan hanya
pandangan mereka terhadap Si Kong berubah. Kini mereka melihat pemuda itu
sebagai seorang sahabat yang mereka kagumi, tidak lagi mengharapkan balasan
cinta darinya.
“Menyedihkan
sekali...,” kata Hui Lan sambil memandang ke arah kuburan itu.
“Kasihan
gadis itu...,” kata Bwe Hwa.
Sikap kedua
orang gadis itu yang bisa menerima keterus terangannya yang menolak cinta
mereka membuat Si Kong semakin kagum kepada mereka. Demikian bijaksana. Pantas
kalau mereka berdua disebut gadis pendekar yang berbudi luhur dan tidak
mementingkan kesenangan diri sendiri.
“Nah,
selamat tinggal, Lan-moi dan Hwa-moi. Aku hendak melanjutkan perjalanan untuk
menyerahkan Pek-lui-kiam ini kepada yang berhak.”
“Selamat
berpisah, Kong-ko,” kata Hui Lan.
“Selamat
tinggal, Kong-ko,” kata Bwe Hwa.
Kedua orang
gadis itu lalu berlari cepat meninggalkan tempat itu. Mereka dapat menerima
kenyataan yang betapa pahit pun dengan tabah dan gagah, tanpa penyesalan,
melainkan penuh keikhlasan dan kemakluman.
Setelah dua
orang gadis itu pergi, Si Kong menghela napas panjang. Dia telah berbohong
dalam usahanya agar tidak membuat salah seorang dari mereka kecewa dan
menyesal. Kalau hanya seorang saja yang mencintanya, alangkah mudah baginya
untuk jatuh cinta kepada seorang gadis seperti Hui Lan atau Bwe Hwa. Akan
tetapi dia maklum bahwa jika dia memilih salah satu, maka yang lain akan merasa
kecewa dan menyesal. Lagi pula dia melihat betapa buruk nasib Cu Yin, gadis
yang mencintainya. Dia tidak ingin kalau kedua orang dara perkasa itu mengalami
nasib buruk pula.
Dengan
perlahan dia menghampiri makam Cu Yin, lalu duduk bersila di depan makam itu
hingga hampir satu jam lamanya. Setelah itu barulah dia pergi menuruni gunung
Kui-liong-san untuk melanjutkan perjalanannya menuju kota Ci-bun, di mana Tan
Kiok Nio tinggal mondok di rumah pamannya, yaitu Hartawan The Kun.
Sesudah tiba
di kota Ci-bun, Si Kong langsung saja menuju ke rumah Hartawan The Kun. Hari
masih pagi sekali, akan tetapi di depan rumah keluarga hartawan itu telah
menunggu banyak pengemis besar kecil lelaki perempuan. Setiap hari rumah itu
pasti didatangi para pengemis yang minta sumbangan dan tidak pernah mereka
pergi dengan tangan kosong.
Melihat ini
Si Kong mengangguk-angguk dan tersenyum senang. Kalau semua hartawan di dunia
ini bermurah hati seperti hartawan The Kun, akan berkuranglah kesengsaraan di
dunia. Hartawan The Kun bahkan merupakan sumber kehidupan bagi banyak orang
pada waktu musim panen gagal. Dia membuka tangannya untuk memberi atau
menyumbang, bahkan yang memerlukan sesuatu dapat meminjam darinya tanpa
dikenakan bunga.
Ketika Si
Kong memasuki pekarangan, seorang tukang kebun yang sedang menyapu di
pekarangan itu menyambutnya dan tukang kebun ini bertanya ramah.
“Kongcu
mencari siapakah dan ada keperluan apa datang berkunjung?”
Si Kong
tersenyum pula. Kalau majikannya murah hati, tidak mungkin para pembantunya
galak dan sombong.Tukang kebun ini pun ramah dan hormat sekali.
“Maaf kalau
aku mengganggu, paman. Aku ingin bertemu dengan The-wan-gwe. Apakah paman dapat
menolongku melaporkan ke dalam?”
“Apabila
kedatangan kongcu mengenai urusan sumbangan, sebaiknya kongcu menunggu
sebentar,” kata tukang kebun itu dengan sikap ramah dan halus.
“Ahh, tidak,
paman. Aku memilikii urusan lain yang amat penting dengan The-wan-gwe.”
“Kalau
begitu harap tunggu sebentar, biar kulaporkan dahulu ke dalam.” Tukang kebun
itu melepaskan sapunya lalu melangkah memasuki rumah besar itu.
Tidak lama
kemudian tukang kebun itu sudah keluar bersama seorang kakek yang dikenal Si
Kong sebagai The-wan-gwe. Si Kong segera memberi hormat kepada hartawan itu.
“Engkau
siapakah orang muda dan ada keperluan apakah hendak bertemu dengan aku?” kakek
itu memandang wajah Si Kong dengan penuh selidik.
Si Kong
tersenyum. “Apakah The-wan-gwe sudah lupa kepadaku? Aku pernah membantu
membagi-bagi beras di sini.” Si Kong mengingatkan dan hartawan itu segera
teringat.
“Ah, kiranya
engkau, Si Kong...! Aku, aku sudah tua dan menjadi pelupa. Mari masuk, kita
bicara di dalam!” Hartawan itu menawarkan dengan sikap ramah sekali.
“Baik, loya
(tuan tua) dan terima kasih.”
“Ha-ha-ha,
engkau jangan menyebut loya kepadaku, cukup kau sebut paman saja. Semua manusia
di dunia ini merupakan satu keluarga yang besar, bukan?”
Si Kong
semakin kagum. Dalam kehidupan sehari-hari orang tua ini melaksanakan
ujar-ujar. Banyak orang yang hafal akan ujar-ujar bijaksana itu dan mampu
menirukan dengan suara lantang dan indah. ‘Di empat penjuru lautan, semua orang
adalah saudara!’ dan ada pula ujar-ujar yang berbunyi, ‘Cintailah orang lain
seperti kamu mencintai diri sendiri!’ Akan tetapi semua itu tinggal menjadi
slogan belaka.
Apa bila
dengan saudara sendiri saja sudah bertengkar, bagaimana dapat menganggap
manusia di empat penjuru sebagai saudara? Kalau kepada saudara sendiri saja
kita tidak dapat mengasihi, bagaimana mungkin mencintai orang lain?
Tapi dalam
kehidupannya sehari-hari agaknya The-wan-gwe sudah melaksanakan segala
pelajaran yang bijaksana itu. Dia yang dulu pernah bekerja kepada hartawan itu,
sekarang diterima sebagai anggota keluarga!
Setelah tiba
di ruangan tamu, dengan sikap ramah Hartawan The mempersilakan Si Kong duduk.
Mereka duduk berhadapan dan hartawan itu lalu bertanya, “Bantuan apakah yang
dapat kami berikan kepadamu Si Kong?”
Si Kong
tersenyum. Baru pertanyaan itu saja sudah menunjukkan sikap yang murah hati
dari hartawan itu. “Sebetulnya saya tidak mempunyai keperluan apa pun dengan
paman The, melainkan dengan nona Tan Kiok Nio. Akan tetapi rasanya tidak pantas
kalau saya minta tolong kepada tukang kebun tadi untuk memanggilkan nona itu.”
Hartawan The
tersenyum lebar. “Kiok Nio? Dia berada di dalam. Tentu dia akan merasa heran
mendengar engkau berkunjung kepadanya.”
Untuk
menghilangkan prasangka yang bukan-bukan Si Kong cepat-cepat berkata, “Dalam
pertemuan kami dahulu, nona Tan Kiok Nio minta kepadaku untuk menyelidiki
mengenai pembunuh ayahnya dan pencuri pedang pusaka milik ayahnya.”
“Ahh,
itukah? Dan engkau telah berhasil?”
Si Kong
mengangguk dengan wajah berseri. “Bagus!” kata hartawan itu. “Tentu Kiok Nio
akan senang sekali mendengar hal ini! Kau tunggu sebentar, aku akan
memanggilnya untuk menemui engkau di sini!”
Hartawan itu
lalu masuk ke dalam dan Si Kong menanti di atas kursinya. Tidak lama dia
menanti. Terdengar suara langkah kaki yang halus sehingga dia segera memandang
ke arah pintu sebelah dalam. Muncullah Tan Kiok Nio, gadis yang cantik manis
itu. Dengan pandang mata penuh harapan gadis itu menghampiri Si Kong. Pemuda
ini segera bangkit untuk memberi hormat.
“Tan-siocia...,”
katanya lembut.
“Ahh,
Si-taihiap. Engkau sudah datang? Dan bagaimana dengan pembunuh itu?”
“Harap nona
suka duduk dahulu. Ceritanya agak panjang, akan tetapi aku sudah berhasil
menemukan pembunuh itu, sekaligus membawa pedang Pek-lui-kiam untuk
dikembalikan kepadamu. Nah, terimalah pedang ini, nona Tan Kiok Nio.”
Si Kong
mengulurkan tangan menyerahkan pedang itu. Melihat pedang itu, Tan Kiok Nio
menerimanya lalu mendekap pedang itu dengan kedua mata basah. Akan tetapi dia
tidak sempat menangis karena sudah cepat menelan kembali tangisnya.
“Terima
kasih, taihiap. Akan tetapi bagaimana ceritanya sampai engkau bisa menemukan
kembali pedang ini dan bagaimana pula dengan pembunuh itu? Siapakah dia?”
“Pembunuh
itu berjuluk Ang I Sianjin, ketua Kui-jiauw-pang di Kui-liong-san. Akan tetapi
dia sudah tewas dan beruntung sekali aku dapat berhasil merampas pedang pusaka
milik ayahmu ini. Ceritanya panjang, nona.”
“Ceritakanlah,
taihiap!”
Si Kong lalu
menceritakan pengalamannya hingga Ang I Sianjin sampai tewas dan pedang itu
dapat dirampasnya. Tentu saja dia hanya menceritakan garis besarnya saja yang
ada hubungannya dengan Ang I Sianjin dan pedang Pek-lui-kiam.
“Begitulah,
nona.” Si Kong mengakhiri ceritanya. “Pedang Pek-lui-kiam yang diperebutkan
orang itu akhirnya dapat kurampas kembali dan aku segera ke sini untuk
menyerahkan pedang itu kepadamu.”
Kini Kiok
Nio tidak mampu menahan keharuan hatinya. Dia mendekap pedang itu sambil
menangis dan terdengar dia berkata seperti berdoa, “Ayah... Ibu...
tenang-tenanglah ayah ibu beristirahat di alam baka. Pembunuh ayah ibu telah
terbalas, dan pedang Pek-lui-kiam telah dikembalikan kepadaku...”
Pada saat
itu hartawan The memasuki ruangan tamu dan ketika melihat keponakannya menangis
sambil mendekap pedang, dia pun bertanya, “Hei, pedang itukah milik ayahmu?
Sekarang sudah kembali, mengapa engkau menangis, Kiok Nio?”
Kiok Nio
menghapus air matanya. “Aku... aku terharu, paman. Pembunuh ayah ibu sudah
dapat ditewaskan dan pedang ayah dapat dikembalikan!”
“Hemm,
sepatutnya engkau bersyukur dan berterima kasih kepada Si Kong, bukan malah
menangis.”
Kiok Nio
memandang kepada Si Kong dengan mata kemerahan bekas tangisnya. “Terima kasih,
taihiap...” Dan dia pun menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Si Kong.
Pemuda itu
sangat terkejut dan dia pun cepat berlutut. “Jangan begini nona. Sebenarnya
tanpa bantuan banyak pendekar lainnya, belum tentu aku akan dapat merampas
pedang ini. Bangkitlah, nona.”
Kiok Nio
bangkit dan Si Kong juga bangkit berdiri. Mereka berdiri berhadapan, lalu Kiok
Nio berkata dengan suara gemetar, “Taihiap, engkau terimalah pedang pusaka
ini!”
Kiok Nio
menyerahkan pedang itu, dan dengan bingung Si Kong terpaksa menerimanya karena
pedang itu sudah dilepaskan dari pegangan Kiok Nio.
“Tapi pusaka
ini harus kembali kepada yang berhak, nona. Aku tidak dapat menerimanya! Yang
berhak memiliki adalah engkau, nona.”
“Tidak,
bukan aku yang berhak, melainkan engkau, Si-taihiap. Ketahuilah, dahulu ayahku
pernah memberi tahu kepadaku bahwa sebenarnya pusaka ini adalah milik seorang
sakti bernama Pek In Losian yang tinggal di Pulau Bayangan. Aku tak berhak
menyimpannya, dan karena engkau yang berhasil merampasnya dari Ang I Sianjin,
maka engkaulah yang berhak memilikinya. Sekali lagi terima kasih, taihiap.
Sampai mati aku takkan melupakan budi kebaikanmu ini.” Gadis itu terisak lalu
berlari masuk.
Si Kong
masih memegang pedang itu dengan kedua tangannya sambil termenung, tidak tahu
apa yang harus dia lakukan.
“Ha-ha-ha-ha!”
The-wan-gwe tertawa. “Tidak tahukah engkau, Si Kong, mengapa Kiok Nio berlari
masuk sambil menangis?”
“Saya...
saya tidak mengerti, paman.”
“Si Kong,
berapakah usiamu sekarang ini?”
“Dua puluh
satu atau dua puluh dua, paman. Mengapa?”
“Dan engkau
belum terikat, maksudku belum menikah atau bertunangan?” Hartawan The Kun
bertanya lagi tanpa menjawab pertanyaan pemuda itu.
“Belum,” Si
Kong menggeleng kepalanya dengan bingung.
“Bagus
sekali! Sudah cocok kalau begitu! Kiok Nio berusia sembilan belas tahun dan dia
pun belum mempunyai calon suami. Si Kong, kami sekeluarga akan merasa
berbahagia sekali kalau engkau dan Kiok Nio dapat menjadi jodoh masing-masing.”
Si Kong
terbelalak. “Ahh, mana mungkin? Aku... aku seorang yatim piatu...”
“Sama dengan
Kiok Nio. Dengar, Si Kong. Aku tidak mempunyai anak dan Kiok Nio sudah kami
anggap anak sendiri. Aku sudah tua, malas berusaha. Kalau engkau menjadi suami
Kiok Nio, kalian akan mewarisi seluruh hartaku dan engkau dapat melanjutkan
usahaku.”
“Tapi...
tapi...”
“Tidak ada
tapi, Si Kong. Kiok Nio pasti setuju. Ketika dia berlari masuk sambil menangis,
aku sudah tahu. Karena itulah maka ia menyerahkan pedang pusaka ayahnya
kepadamu. Anggaplah itu sebagai tanda pengikat perjodohan, ha-ha-ha!” Hartawan
The Kun tertawa girang sekali karena dia tidak melihat alasan bagi Si Kong
untuk menolak perjodohan itu. Kiok Nio cantik sekali, berilmu tinggi, dan
menjadi pewaris hartawan itu pula.
Maka bisa
dibayangkan betapa kaget dan kecewa hatinya ketika Si Kong berkata dengan suara
tegas. “Tidak, paman. Maafkanlah aku. Aku merasa amat terhormat sekali dengan
penawaranmu, akan tetapi aku tidak bisa menerimanya. Aku sama sekali belum
memiliki keinginan untuk berjodoh, aku masih hendak berkelana. Aku mendengar
keterangan nona Kiok Nio tadi, maka aku hendak mengembalikan pedang pusaka ini
kepada yang berhak, yaitu pemiliknya yang berjuluk Pek In Losian di Pulau
Bayangan itu.”
“Si Kong,
jangan mengecewakan hatiku. Aku sungguh berharap engkau akan menerima tali
perjodohan ini!”
“Maafkan
jika aku mengecewakan hatimu, paman. Akan tetapi perjodohan adalah urusan hati
pribadi, tak mungkin dapat dipaksakan. Selamat tinggal, paman!” Si Kong
melangkah keluar dengan cepat.
Ketika dia
tiba di pekarangan, ada sesuatu yang memaksa dia menoleh dan memandang ke atas.
Dan di sana, di jendela loteng yang menghadap ke pekarangan, dia melihat Kiok
Nio memandang kepadanya dengan air mata mengalir dari kedua matanya. Ada rasa
haru menusuk hatinya. Namun dia cepat mengeraskan hatinya dan melanjutkan
langkahnya, keluar dari pekarangan rumah Hartawan The Kun, terus keluar dari
kota Ci-bun!
Setelah tiba
diluar kota Ci-bun, dia merasa hatinya ringan dan bebas. Dia memang ingin
bebas, tidak terikat. Dia ingin menjadi pengelana, menjelajahi banyak tempat,
bertemu dengan pengalaman-pengalaman baru.
Seekor
burung gagak yang papa terbang naik ke angkasa sendirian bermain di udara bebas
dan merdeka tak terikat apa pun juga…!
T A M A T
***** Sahabat Karib.com *****
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment