Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Kemelut Kerajaan Mancu
Jilid13
THIAN HWA
lalu bergerak cepat, menotok jalan darah di tubuh
Pangeran Cu Kiong sehingga tidak mampu bergerak lagi.
Kemudian, tiba-tiba ia memanggul tubuh pangeran itu dan
membawanya melompat ke atas. Setelah tiba di puncak menara, di
bawah sinar matahari yang telah naik tinggi, ia berseru
dengan pengerahan khi-kang sehingga suaranya terdengar
nyaring dan menggema ke seluruh penjuru.
"Para pasukan pemberontak, dengar dan lihatlah! Pangeran pemberontak Cu Kiong yang berkhianat terhadap kerajaan telah kami tawan. Juga semua kaki tangannya telah ditumpas, banyak yang mati dan sebagian melarikan diri. Kalau kalian, yang masih prajurit pasukan kerajaan, membuang senjata, berlutut dan menyerah, masih bisa diharapkan pengampunan bagi kalian. Kalau nekat bertempur tanpa pimpinan lagi, kalian semua pasti binasa!"
Tadinya para prajurit pemberontak ragu-ragu, akan tetapi begitu ada seorang prajurit yang membuang senjata dan berlutut, hal itu seperti merupakan komando dan akhirnya
mereka semua
berlutut dan membuang senjata mereka.
Berakhirlah
perang saudara itu dan pemberontakan Pangeran Cu
Kiong itu gagal sama sekali!
Para prajurit yang ikut memberontak dan kini menyerahkan diri mendapat
Para prajurit yang ikut memberontak dan kini menyerahkan diri mendapat
pekerjaan
berat, yaitu mengurus ratusan mayat yang menjadi korban
pertempuran dan merawat lebih banyak lagi mereka yang
luka-luka. Juga mereka diharuskan melakukan
pembersihan
di bekas tempat pertempuran yang dinodaidarah.
Rakyat penduduk kota raja yang tadinya banyakmelarikan
diri mengungsi, perlahan-lahan kembali ke rumah
masing-masing.
Kini baru Im-yang Sian-kouw sempat berhadapan dengan Huang-ho Sian-li. Setelah membiarkan Si Han Bu pergi mencari Tek-pai dan Huang-ho Sian-li membawa Pangeran Cu Kiong naik ke menara dan gadis perkasa itu berhasil mengakhiri perang dan membuat semua prajurit pemberontak menyerahkan diri, Im-yang Sian-kouw memandang gadis itu dengan sinar mata penuh kagum. Pangeran Cu Kiong telah
diserahkan
kepada panglima untuk ditahan dalam penjara.
"Nona, ketika mula-mula tiba di kota raja dan mendengar akan nama besar Huang-ho Sian-li, aku masih belum percaya bahwa ada seorang gadis yang masih muda seperti engkau ini selain memiliki ilmu kepandaian yang lihai sekali, juga dapat bersikap tegas dan bijaksana seperti seorang panglima perang! Nona, siapakah gurumu?"
"Guruku
bernama Thian Bong Sianjin, Bibi. Akan tetapi, Bibi Im-yang
Sian-kouw, ilmu kepandaianmu lebih hebat lagi, bahkan kalau
tidak ada muridmu Si Han Bu yang menolongku keluar dari
tahanan, mungkin sekarang aku sudah mati."
"Aih, hal itu tidak perlu dibicarakan lagi, Nona. Sudah semestinya orang-orang segolongan dan sehaluan saling membantu tanpa pamrih. Eh, apa artinya ucapan Pangeran CuKiong itu" Benarkah bahwa engkau... mencintanya" Maafkan pertanyaanku ini karena sungguh aku merasa bingung mendengarnya.
Apakah hubunganmu dengan pangeran pemberontak itu?"
Huang-ho
Sian-li tersenyum menghela napas panjang.
"Sebetulnya
kami masih merupakan saudara sepupu, Bibi. Dia itu putera
Pamanda Kaisar Shun Chi, sedangkan aku adalah puteri
seorang pangeran...."
"Wah! Kiranya engkau ini puteri pangeran" Ah, pantas kalau begitu. Siapakah ayahmu, kalau aku boleh mengetahui?"
Dalam suara
Im-yang Sian-kouw terdengar getaran aneh dan sinar
matanya kini dengan tajam penuh selidik menatap wajah Thian Hwa.
"Ayahku bernama Ciu Wan Kong, seorang adik Kaisar Shun Chi.... eh, kenapa Bibi...?" Thian Hwa hampir saja meloncat untuk menangkap tubuh Im-yang Sian-kouw yang tiba-tiba terhuyung dan wajahnya tampak pucat sekali.
"Ayahku bernama Ciu Wan Kong, seorang adik Kaisar Shun Chi.... eh, kenapa Bibi...?" Thian Hwa hampir saja meloncat untuk menangkap tubuh Im-yang Sian-kouw yang tiba-tiba terhuyung dan wajahnya tampak pucat sekali.
Siapa yang
akan dapat bertahan mendengar pengakuan seorang
gadis cantik jelita dan gagah bahwa gadis itu adalah puteri
suaminya"
Akan tetapi Im-yang Sian-kouw adalah seorang wanita gemblengan yang sudah banyak mengalami hal-hal yang amat hebat sehingga batinnya sudah menjadi
Akan tetapi Im-yang Sian-kouw adalah seorang wanita gemblengan yang sudah banyak mengalami hal-hal yang amat hebat sehingga batinnya sudah menjadi
kuat. Ia
tersenyum, memandang Thian Hwa dan
menggelengkan kepalanya dengan lembut.
"Tidak apa-apa... tidak apa-apa... engkau... eh, siapakah namamu, anak yang baik?"
"Namaku
Ciu Thian Hwa, Bibi."
Im-yang
Sian-kouw terdiam sejenak. Ia sengaja tidak mengeluarkan
suara lagi karena jantungnya berdebar kencang dan ia tahu
bahwa sekuat-kuat hatinya, pada saat itu tetap saja
suaranya akan terdengar gemetar penuh perasaan haru dan sangsi.
Ya, ia masih sangsi bahkan tidak percaya akan dugaannya
yang muncul bahwa gadis ini adalah puterinya!
Tidak, tidak mungkin! Pasti anak ini merupakan keturunan lain dari Pangeran Ciu Wan Kong, atau tentu ada keterangan lain.
Tidak
mungkin sama sekali gadis ini adalah anaknya yang ketika masih
bayi bersama ia dan ayahnya hanyut terbawa arus air
Sungai Kuning yang demikian dahsyatnya.
"Engkau
kenapa, Bibi?" kembali Thian Hwa bertanya melihat
wanita itu kini diam saja termenung.
"Thian
Hwa, maukah engkau memperkenalkan aku dengan keluargamu?"
tanyanya lirih.
"Tentu saja, Bibi! Murid Bibi itu pun sudah bertemu dengan ayahku. Mari, Bibi, kita pergi ke rumah Ayah, akan tetapi maklum, aku tadi mendengar kabar bahwa rumah Ayah dirampok dan dibakar oleh gerombolan pemberontak. Ayah sudah mendahului ke sana untuk memeriksa dan membereskannya."
Im-yang Sian-kouw tidak banyak bicara lagi dan kedua kakinya bergerak cepat, bagaikan melayang ia meninggalkan tempat itu. Thian Hwa cepat mengejarnya dan gadis ini sampai lupa dan tidak memperhatikan bahwa wanita cantik itu langsung menuju ke arah rumah ayahnya! Tentu saja hal ini tidak aneh karena Im-yang Sian-kouw yang dulu bernama Cui Eng itu sudah hafal akan letak rumah Pangeran Ciu Wan Kong yang juga menjadi tempat tinggalnya!
Setelah tiba di depan gedung tempat tinggal Pangeran Ciu Wan Kong, Im-yang Sian-kouw berhenti dan berdiri dengan hati diliputi keharuan. Ia tentu saja mengenal benar rumah besar itu, di mana ia tinggal sejak kecil sampai menjadi dewasa, bekerja sebagai pelayan, kemudian menjadi kekasih Pangeran Ciu Wan Kong. Pot-pot bunga seruni yang berjajar di depan gedung itu masih berdiri dan pada saat itu sedang
berbunga.
Akan tetapi bagian kanan rumah itu terdapat bekas terbakar, hangus dan barang-barang berserakan. Ia melihat banyak prajurit sedang membersihkan tempat itu.
Akan tetapi bagian kanan rumah itu terdapat bekas terbakar, hangus dan barang-barang berserakan. Ia melihat banyak prajurit sedang membersihkan tempat itu.
"Bibi,
biar aku mencari Ayah dan memberitahukan akan
kedatanganmu,"
kata Thian Hwa.
Im-yang
Sian-kouw tidak menjawab, masih berdiri seperti
patung
memandang rumah itu.
Thian Hwa
berlari memasuki gedung dan ia menemukan ayahnya
sedang mengumpulkan barang-barang berharga yang dapat
diselamatkan dari kebakaran, menyusunnya dalam kamar
ayahnya, dibantu oleh Cui Sam, kakeknya.
"Ayah!
Kong-kong!"
"Thian Hwa, rumah ayahmu dirampok dan dibakar jahanam-jahanam itu!" kata Kakek Cui Sam gemas.
"Ah,
tidak mengapa. Ini masih baik karena bagaimanapun juga, pihak
pemberontak berhasil dihancurkan, bukan begitu, Thian
Hwa?" kata Pangeran Ciu Wan Kong dengan wajah gembira.
Dia tadi mendengar akan sepak terjang puterinya yang hebat mengagumkan, yang telah menawan Pangeran Cu Kiong dan membawanya ke puncak menara di mana dengan
Dia tadi mendengar akan sepak terjang puterinya yang hebat mengagumkan, yang telah menawan Pangeran Cu Kiong dan membawanya ke puncak menara di mana dengan
gagah
beraninya Thian Hwa berhasil membuat para sisa pemberontak
membuang senjata dan menakluk! Perbuatan itu amat hebat
dan menjadi buah bibir dan pujian seluruh rakyat.
"Harta benda hilang bisa dicarikan penggantinya, yang terpenting adalah nama dan kehormatan keluarga dan engkau telah menjunjung tinggi sekali nama dan kehormatan keluarga kita, Anakku!" kata pula Pangeran Ciu Wan Kong.
"Ayah, aku datang bersama seorang tamu."
"Eh"
Mana tamunya" Siapa?"
"Bibi
Im-yang Sian-kouw, Ayah."
"Im-yang
Sian-kouw?" Tanya pangeran itu ragu karena merasa tidak
mengenal nama itu.
"Hemm, agaknya Ayah telah lupa lagi akan keterangan pemuda bernama Si Han Bu itu."
"Si Han
Bu..." Ah, ya, maksudmu guru Si Han Bu yang katanya tahu
di mana adanya ibumu itu" Ah, cepat persilakan ia masuk ke
sini. Thian Hwa." Lalu dia berkata kepada Cui Sam.
"Gak-hu (Ayah Mertua), mari kita bersihkan tempat ini dan
persiapkan untuk menerima tamu kita. Ia akan memberitahu
tentang Cui Eng!" kata Pangeran Ciu Wan Kong dan mereka
berdua segera sibuk membereskan ruangan tamu
untuk
menyambut Im-yang Sian-kouw.
Baru saja mereka selesai membersihkan kamar tamu yang tidak ikut terbakar itu, Thian Hwa dan Im-yang Sian-kouw muncul di ambang pintu.
"Ayah,
inilah Bibi Im-yang Sian-kouw yang telah menyelamatkan
nyawaku ketika aku terancam oleh Lam-hai Cin-jin!"
kata Thian Hwa.
Pangeran Ciu Wan Kong sedang memegang sebuah vaskembang dan membersihkannya dari debu. Dia memutartubuh memandang dan... "pyarrr...!" vas itu terlepas dan terjatuh pecah berkeping-keping di atas lantai. Dia berdiri bengong terlongong dengan wajah pucat. hian Hwa terkejut, memandang Im-yang Sian-kouw dan melihat betapa wanita itu menundukkan mukanya yang pucat dan perlahan-lahan
butiran air
mata menuruni kedua pipinya!
"Cui Eng...! Cui Eng... Ya Tuhan... benar-benar engkaukah ini..." Cui Eng, isteriku...?" Suara ini terdengar menggigil, bahkan kedua lengan pangeran itu pun menggigil.
"Pangeran...."
suara Im-yang Sian-kouw lirih dan
sesenggukan. "Cui Eng...! Engkau benar Cui Engku...!"
Tiba-tiba Pangeran Ciu Wan Kong tersaruk-saruk maju dan menjatuhkan diri berlutut di depan wanita itu! "Cui Eng, ampunkan aku... Aku demikian lemah sehingga tidak berani menentang kehendak orang tuaku... aku telah berdosa kepadamu, telah membuat
Tiba-tiba Pangeran Ciu Wan Kong tersaruk-saruk maju dan menjatuhkan diri berlutut di depan wanita itu! "Cui Eng, ampunkan aku... Aku demikian lemah sehingga tidak berani menentang kehendak orang tuaku... aku telah berdosa kepadamu, telah membuat
hidupmu,
hidup Gak-hu (Ayah Mertua) dan hidup anak kita menderita...
ampunkan aku, Cui Eng...."
Im-yang Sian-kouw menahan perasaan harunya. "Pangeran, bangkit dan berdirilah. Kalau engkau menyadari sekarang tidakberubah dan masih amat lemah?"
"Cui
Eng... terima kasih engkau telah kembali...."
"Berdirilah,
Pangeran. Dengar, aku tidak ingin kembali kepadamu
yang sudah mengusirku. Aku hanya datang untuk mendengar
tentang ayah dan anakku...."
"Cui
Eng, aku di sini..,."
Tiba-tiba Cui Sam yang sejak tadi hanya melongo saja di sudut ruangan, kini maju menghampiri puterinya. "Ayah...!" Cui Eng berseru dan ia segera berlutut di depan
Tiba-tiba Cui Sam yang sejak tadi hanya melongo saja di sudut ruangan, kini maju menghampiri puterinya. "Ayah...!" Cui Eng berseru dan ia segera berlutut di depan
kaki Cui
Sam. Kakek itu mengangkatnya dan mereka pun berangkulan
sambil menangis.
"
Cui Eng, inilah anak kita, Ciu Thian Hwa. Thian Hwa, cepat beri hormat kepada ibumu!" kata Pangeran Ciu Wan Kong yang sudah bangkit berdiri.
Cui Eng, inilah anak kita, Ciu Thian Hwa. Thian Hwa, cepat beri hormat kepada ibumu!" kata Pangeran Ciu Wan Kong yang sudah bangkit berdiri.
Sejak tadi
Thian Hwa berdiri dengan muka pucat, tidak bergerak
seperti patung. Sama sekali ia tidak pernah menduga bahwa
Im-yang Sian-kouw adalah Cui Eng ibunya!
Bagaimana ia dapat menduganya" Ia mendengar dari kakek dan ayahnya bahwa Cui Eng adalah seorang wanita lemah yang sama sekali tidak paham ilmu silat. Sedangkan Im-yang Sian-kouw merupakan seorang wanita yang demikian sakti! Maka biarpun
Bagaimana ia dapat menduganya" Ia mendengar dari kakek dan ayahnya bahwa Cui Eng adalah seorang wanita lemah yang sama sekali tidak paham ilmu silat. Sedangkan Im-yang Sian-kouw merupakan seorang wanita yang demikian sakti! Maka biarpun
ayahnya
menyuruh ia memberi hormat kepada Im-yang Sian- kouw sebagai
ibunya, ia masih ragu-ragu dan hanya memandang
dengan sinar mata mencorong penuh selidik.
Sebaliknya, Im-yang Sian-kouw juga belum dapat menerima dan percaya begitu saja bahwa Huang-ho Sian-li adalah anak kandungnya yang dulu belum ia beri nama ketika terlepas dari pondongan dan hanyut dalam Sungai Kuning.
"Pangeran
Ciu Wan Kong! Ayah, harap jangan membohongi aku.
Bagaimana mungkin anak ini adalah anakku yang ketika bayi hanyut
di air Sungai Huang-ho" Bagaimana mungkin...?" Suara wanita
itu kini tergetar mengandung isak.
Tiba-tiba
Cui Sam berkata dengan suara seorang ayah yang marah dan
menegur puterinya. "Cui Eng! Jangan keraskan hatimu
karena dendam kebencian! Ketahuilah bahwa Ciu Wan Kong juga
menderita, bahkan tidak kalah menderitanya dibandingkan
kita! Dia bahkan tidak pernah menikah dan telah dikenal
sebagai orang yang sinting karena duka memikirkan dirimu!
Panjang ceritanya bagaimana anakmu ini dapat selamat bahkan kini menjadi seorang pendekar wanita. Apa anehnya" Engkau sendiri juga dahulu seorang wanita lemah
Panjang ceritanya bagaimana anakmu ini dapat selamat bahkan kini menjadi seorang pendekar wanita. Apa anehnya" Engkau sendiri juga dahulu seorang wanita lemah
dan kini
telah menjadi seorang wanita sakti. Pandanglah baik- baik,
andaikata pikiranmu yang penuh dendam kepada Pangeran Ciu
itu mencoba untuk menyangkal, pandanglah muka Ciu T
hian Hwa!
Tidakkah engkau dapat melihat, apakah matamu telah buta untuk dapat melihat betapa anakmu ini memiliki wajah seperti kembar dengan wajahmu" Thian Hwa,
Tidakkah engkau dapat melihat, apakah matamu telah buta untuk dapat melihat betapa anakmu ini memiliki wajah seperti kembar dengan wajahmu" Thian Hwa,
inilah Cui
Eng, ibumu yang selama ini kaurindukan!"
Mendengar
ucapan Cui Sam yang marah itu, bagaikan bendungan
air pecah, kedua orang wanita itu mengeluarkan rintihan
jerit hati dan mereka tersedu-sedu lalu entah siapa yang lebih
dulu, mereka saling tubruk dan saling rangkul.
Dua orang wanita ini hampir tidak dapat mengeluarkan suara. "Ibu...!"
"Anakku...
Anakku...!"
Keduanya
menangis tersedu-sedu, bagaikan air bah yang membanjir
sete lah bendungannya bobol. Im-yang Sian-kouw merangkul,
menciumi muka Thian Hwa yang basah dengan air mata mereka,
lalu menekan muka anaknya itu ke dadanya
seperti
seorang ibu hendak menyusui bayinya.
Dapat dibayangkan betapa mendalam rasa haru di dalam dada hati dua orang wanita itu. Keduanya sama sekali tidak pernah mengira bahwa mereka akan dapat saling bertemu. Thian Hwa yang sejak bayi terpisah dari ibunya dan ditemukan Thian Bong Sianjin hanyut di air Sungai Huang-ho, menganggap ibunya tentu sudah tewas.
Demikian pula, seujung rambut pun tidak pernah mengira bahwa anaknya
yang masih
bayi dapat selamat dari air sungai yang besar dan ganas itu.
Keharuan yang mendalam itu timbul dari perasaan duka, sakit
hati, juga rasa bahagia yang luar biasa. Selama ini Cui Eng atau
Im-yang Sian-kouw tidak mau pergi ke kota raja untuk
menemui suaminya karena ia merasa sakit hati sekali atas
pengusiran terhadap dirinya. Yang membuat ia mendendam
terutama sekali karena ia kehilangan anaknya.
Ia menganggap bahwa Pangeran Ciu Wan Kong telah memusnahkan semua kebahagiaannya, membunuh anaknya dan membunuh ayahnya, membuat ia merana dan hampir mati kalau saja tidak ditolong Bu Beng Kiam-sian.
Ia menganggap bahwa Pangeran Ciu Wan Kong telah memusnahkan semua kebahagiaannya, membunuh anaknya dan membunuh ayahnya, membuat ia merana dan hampir mati kalau saja tidak ditolong Bu Beng Kiam-sian.
Betapa pun
hebatnya perasaan haru mencekam perasaan hati
Huang-ho Sian-li dan Im-yang Sian-kouw, namun mereka berdua
adalah wanita-wanita yang gagah perkasa dan sudah tergembleng
lahir batinnya sehingga selain tenaga badan mereka amat
kuat, juga tenaga batin mereka kokoh dan tidak mudah
dilumpuhkan perasaan sendiri.
Tak lama kemudian keduanya sudah dapat menguasai hati dan ketenangan mereka, lalu Im-yang Sian-kouw melepaskan rangkulannya kepada puterinya dan menghampiri Cui Sam, lalu ia menjatuhkan diri berlutut di depan kaki ayahnya itu.
Tak lama kemudian keduanya sudah dapat menguasai hati dan ketenangan mereka, lalu Im-yang Sian-kouw melepaskan rangkulannya kepada puterinya dan menghampiri Cui Sam, lalu ia menjatuhkan diri berlutut di depan kaki ayahnya itu.
"Ayah...!"
Cui Sam
membungkuk dan merangkul puterinya, ditariknya agar berdiri
dan kakek ini pun memandang puterinya dengan sepasang
mata basah.
"Cui Eng, alangkah bahagianya kita sekeluarga dapat bertemu dan berkumpul kembali seperti ini...."
"Apa
yang dikatakan Gak-hu benar, Eng-moi... sekarang tidak ada
lagi penghalang bagi kita untuk hidup bersama dengan
bahagia, sekeluarga menjadi satu dan tidak akan
terpisah
lagi," kata Pangeran Ciu Wan Kong.
Akan tetapi
Im-yang Sian-kouw memandang wajah pangeran itu
dengan sinar mata mencorong dan mulut bergaris
keras. "Pangeran Ciu Wan Kong, setelah apa yang
kaulakukan
terhadap aku dan keluargaku dua puluh tahun yang lalu,
bagaimana mungkin aku dapat hidup bersamamu lagi"
Tidak, aku tidak mau!" Cui Sam, Thian Hwa, dan terutama sekali Pangeran Ciu Wan Kong terkejut bukan main mendengar ucapan yang keras dan tegas penuh kepahitan dari Im-yang Sian-kouw. Akan tetapi ucapan itu sekaligus menikam perasaan Pangeran Ciu Wan Kong seperti ujung sebatang pedang ditusukkan ke ulu hatinya. "Cui Eng, engkau jangan berkata begitu!
Aku menjadi saksinya bahwa yang mengusir kita dulu adalah orang tua Pangeran Ciu, bukan dia. Dia hanya terlalu taat kepada orang tuanya dan tidak berani menentang kehendak mereka. Dan aku tahu betapa dia amat menderita. Dia tidak pernah
Tidak, aku tidak mau!" Cui Sam, Thian Hwa, dan terutama sekali Pangeran Ciu Wan Kong terkejut bukan main mendengar ucapan yang keras dan tegas penuh kepahitan dari Im-yang Sian-kouw. Akan tetapi ucapan itu sekaligus menikam perasaan Pangeran Ciu Wan Kong seperti ujung sebatang pedang ditusukkan ke ulu hatinya. "Cui Eng, engkau jangan berkata begitu!
Aku menjadi saksinya bahwa yang mengusir kita dulu adalah orang tua Pangeran Ciu, bukan dia. Dia hanya terlalu taat kepada orang tuanya dan tidak berani menentang kehendak mereka. Dan aku tahu betapa dia amat menderita. Dia tidak pernah
menikah
dan...," kata Cui Sam.
"Aih, Eng-moi, aku mengerti sekarang...!" Pangeran Ciu Wan Kong tiba-tiba memotong. "Aku memang tidak pernah menikah, akan tetapi engkau... mungkin saja engkau telah menikah dengan laki-laki lain...." Suaranya terdengar sedih
sekali.
"Huh, memikirkannya juga aku tidak pernah!" bentak Im- yang
Sian-kouw.
Tiba-tiba Huang-ho Sian-li Ciu Thian Hwa merangkul ibunya dan menangis.
"Ibu... Ibu... selama aku hidup baru sekarang ini aku ingin memohon sesuatu kepada ibuku. Ibu, aku mohon sukalah kiranya Ibu mengasihani dan memaafkan kelemahan
Ayah dahulu,
sudilah Ibu kembali kepada Ayah dan hidup bersama
kami, Ibu...."
"Memaafkan manusia yang kejam ini" Manusia yang begitu angkuh akan kedudukan dan keturunan, yang memandang rendah rakyat kecil dan miskin seperti aku" Memaafkan manusia yang telah menghancurkan hidupku, yang membuat
Ibu Anak dan
kakekmu menderita dan hampir tewas"
Dan engkau, yang sejak kecil dipisahkan dari ayah ibumu dan kakekmu, yang bahkan tidak sempat diberi nama oleh ibumu, engkau yang sudah digembleng menjadi seorang pendekar wanita yang gagah perkasa, engkau malah membujuk aku
Dan engkau, yang sejak kecil dipisahkan dari ayah ibumu dan kakekmu, yang bahkan tidak sempat diberi nama oleh ibumu, engkau yang sudah digembleng menjadi seorang pendekar wanita yang gagah perkasa, engkau malah membujuk aku
memaafkan
manusia yang jahat ini?"
Thian Hwa menjatuhkan diri berlutut dan menciumi kaki ibunya. "Ibu, harap dengarkan dulu kesaksianku, Ibu. Ketika pertama kali aku mendengar cerita Kakek Cui Sam tentang apa yang Ibu alami di keluarga Ciu, aku juga marah dan bahkan mengambil keputusan untuk membantai keluarga Ciu yang dulu mengusir Ibu. Akan tetapi, orang tua Ayah, yaitu mereka yang dulu mengusir Ibu, telah tiada. Aku marah
kepada
Pangeran Ciu Wan Kong dan bermaksud menghajarnya.
Akan tetapi ketika aku tiba di sini dan melihat Ayah meratapi dan menangisi gambar Ibu seperti orang yang hilang ingatan, aku menyadari bahwa Ayah bukanlah orang
Akan tetapi ketika aku tiba di sini dan melihat Ayah meratapi dan menangisi gambar Ibu seperti orang yang hilang ingatan, aku menyadari bahwa Ayah bukanlah orang
jahat. Dia
hanya lemah dan tidak berani menentang orang tuanya. Ibu,
jahatkah orang yang taat dan tidak mau menentang
Ayah Ibunya" Memang, Ayah lemah, akan tetapi
sama sekali
tidak jahat.
Selain itu, aku berani memastikan bahwa Ayah amat mencinta Ibu, sejak dahulu sampai sekarang. Karena itu, sekali lagi, Ibu kembalilah kepada Ayah.
Selain itu, aku berani memastikan bahwa Ayah amat mencinta Ibu, sejak dahulu sampai sekarang. Karena itu, sekali lagi, Ibu kembalilah kepada Ayah.
Aku ingin
sekali melihat Ayahku dan Ibuku hidup rukun dan saling
mencinta. Apalagi Kakek Cui Sam juga sudah berada di sini, Ibu.
Kita semua dapat merupakan sebuah keluarga lengkap yang
hidup berbahagia."
Dengan air mata bercucuran Pangeran Ciu Wan Kong kini berlutut pula di dekat puterinya. "Eng-moi.... kalau engkau tidak mau memaafkan aku... kalau engkau memang demikian sakit hati kepadaku, aku mohon maaf... bunuhlah aku agar
aku dapat
menebus semua kesalahanku kepadamu...."
Im-yang Sian-kouw Cui Eng sesungguhnya tidak pernah membenci suaminya ini. Ia memang menderita sakit hati yang hebat, akan tetapi bukan kepada suaminya melainkan kepada kedua mertuanya yang sekarang telah tiada. Ia tahu bahwa
suaminya
amat mencintanya dan ia pun selalu mencinta suaminya.
Kini melihat suaminya, anaknya, juga ayahnya semua
memintakan maaf atas kelemahan suaminya, dan melihat
suaminya berlutut m inta dibunuh, hatinya menjadi cair dan dengan
air mata bercucuran ia membangunkan suaminya.
"Bangkitlah, Pangeran, tidak baik seorang suami berlutut di kaki isterinya. Aku... aku memaafkan semua kelemahanmu dahulu." Empat orang itu bertangis-tangisan, akan tetapi tangis terakhir ini adalah tangis kebahagiaan. Setelah luapan
keharuan
mereka mereda, Pangeran Ciu Wan Kong lalu memerintahkan
pelayan untuk menyediakan pesta makan keluarga dan
mereka makan minum dengan gembira
menyambut
persatuan kembali keluarga itu.
Selesai makan, barulah mereka saling menceritakan pengalaman masing-masing. Pangeran Ciu Wan Kong tidak mengalami banyak hal, selama itu seolah dia mati walaupun jasmaninya masih hidup. Dia tidak me lakukan kegiatan apa pun, hanya menyesali dan menangisi kepergian Cui Eng dan anaknya. Baru setelah muncul Huang-ho Sian-li Ciu Thian Hwa dalam hidupnya, gairah hidupnya bangkit kembali dan dia bahkan terlibat dalam urusan menghadapi para pangeran yang memberontak.
Kemudian Kakek Cui Sam menceritakan pengalamannya. Ketika mereka bertiga, Kakek Cui Sam, Cui Eng, dan bayinya yang sedang pergi menuju dusun tempat
asal mereka,
terbawa hanyut air Sungai Huang-ho yang deras, dia
kehilangan puteri dan cucunya. Dia sendiri berhasil menyelamatkan
diri dan dalam keadaan sengsara dia kembali ke kota raja
dan diterima sebagai pelayan di istana Pangeran Cu Kiong
sampai dia bertemu dengan Ciu Thian Hwa yang segera
dikenalnya karena wajah gadis itu persis wajah puterinya,
Cui Eng.
Kemudian betapa akhirnya dia dibawa Thian Hwa untuk tinggal bersama Pangeran Ciu Wan Kong, mantunya. Ketika giliran Ciu Thian Hwa tiba, gadis ini menceritakan
Kemudian betapa akhirnya dia dibawa Thian Hwa untuk tinggal bersama Pangeran Ciu Wan Kong, mantunya. Ketika giliran Ciu Thian Hwa tiba, gadis ini menceritakan
semua
pengalamannya dengan panjang lebar. Karena Kakek Cui Sam dan
Pangeran Ciu Wan Kong sudah pernah mendengar
ceritanya, maka yang amat memperhatikan dan mendengarkan
dengan hati tertarik sekali adalah Im-yang Sian-kouw.
Thian Hwa bercerita betapa ketika ia yang masih bayi
terseret air Sungai Kuning, ia diselamatkan oleh Thian Bong Sianjin
dan kemudian menjadi muridnya.
"Aih, jadi engkau murid Thian Bong Sianjin" Aku pernah mendengar namanya disebut mendiang guruku, Bu Beng Kiam-sian!" seru Im-yang Sian-kouw girang dan kagum.
Pantas
puterinya menjadi seorang pendekar wanita yang amat terkenal,
kiranya ia menjadi murid, bahkan dirawat dan dibesarkan
oleh tosu itu. "Dan diakah yang memberimu nama Thian
Hwa?"
"Benar, Ibu. Kong-kong (Kakek) atau Suhuku itu memberiku nama Thian Hwa."
"Dan
julukan Huang-ho Sian-li itu?"
Wajah Thian
Hwa berubah kemerahan. "Ah, itu hanya sebutan dari
para penduduk dusun-dusun di sepanjang Huang-ho.
Karena aku sering menolong mereka, maka mereka menyebutku
demikian."
Gadis itu juga bercerita tentang Ui Yan Bun yang menjadi sahabat baiknya, bahkan juga terhitung suhengnya karena Ui Yan Bun mendapat gemblengan pula
Gadis itu juga bercerita tentang Ui Yan Bun yang menjadi sahabat baiknya, bahkan juga terhitung suhengnya karena Ui Yan Bun mendapat gemblengan pula
dari T hian
Bong Sianjin.
"Siapa
kau bilang nama pemuda sahabatmu dan Suhengmu tadi?"
Im-yang Sian-kouw memotong.
"Namanya
Ui Yan Bun, Ibu."
"Nanti
dulu... apakah dia seorang pemuda berusia sekitar dua puluh
tiga tahun, berpakaian serba biru, wajahnya bersih dan sikapnya
sopan, tubuhnya tinggi sedang dan senjatanya pedang?"
Kini Thian Hwa memandang ibunya dengan mata terbelalak
dan wajah
berseri. "Ibu mengenalnya" Benar, dia adalah pemuda
seperti yang Ibu gambarkan!"
"Aku pernah bertemu dengan Ui Yan Bun. Ketika itu, dia datang ke Beng-san bersama seorang gadis bernama Wan Kim Hui. Maksud kedatangan mereka mencarikan obat bagi ibu gadis itu yang terkena pukulan Hek-tok-ciang dari Lam-hai Cin-jin. Mereka ingin minta obat itu dari guruku, akan tetapi karena Bu Beng Kiam-sian telah tiada, maka aku memberikan obat penawar racun Hek-tok-ciang itu kepada mereka."
Dengan singkat Im-yang Sian-kouw menceritakan tentang pertemuannya dengan Ui Yan Bun dan Wan Kim Hui itu.
Kemudian
Thian Hwa me lanjutkan ceritanya ketika ia meninggalkan
perguruan untuk mencari pengalaman dan untuk
mencari orang tuanya sampai ia tiba di kota raja dan
mula-mula ia
membantu Pangeran Cu Kiong yang disangkanya seorang
pangeran yang baik budi. Setelah tahu bahwa pangeran itu
memiliki cita-cita yang tidak benar, ia lalu
meninggalkannya.
Kemudian ia memperdalam ilmunya di bawah gemblengan kedua dari Thian Bong Sianjin dan ketika turun gunung ia terlibat dalam urusan di istana. Setelahbertemu ayah dan kakeknya dan dipercaya oleh Kaisar yang masih paman-tuanya sendiri, ia secara langsung berhadapan dengan pemberontak yang dipimpin oleh Pangeran Cu Kiong.
Kemudian ia memperdalam ilmunya di bawah gemblengan kedua dari Thian Bong Sianjin dan ketika turun gunung ia terlibat dalam urusan di istana. Setelahbertemu ayah dan kakeknya dan dipercaya oleh Kaisar yang masih paman-tuanya sendiri, ia secara langsung berhadapan dengan pemberontak yang dipimpin oleh Pangeran Cu Kiong.
Semua
pengalaman itu ia ceritakan dan ibunya mendengarkan dengan penuh
keharuan akan tetapi juga bangga.
Setelah Thian Hwa selesai bercerita, Pangeran Ciu Wan Kong memandang isterinya dan berkata. "Eng-moi, sekarang engkau harus menceritakan semua yang kaualami. Aku masih terheran-heran dan sulit untuk percaya bahwa engkau, yang
dulu lemah,
bahkan pernah menolak untuk membunuh seekor tikus yang
mengacau di dapur, tiba-tiba muncul sebagai seorang
wanita sakti!"
Cui Eng menghela napas panjang. "Memang, pengalaman seseorang terkadang amatlah aneh, tidak kalah aneh daripada dongeng-dongeng. Pengalaman Thian Hwa tadi juga sudah aneh sekali dan sekarang giliranku bercerita. Aku tidak ingin menceritakan tentang segala penderitaanku karena hal itu hanya akan membangkitkan kenang-kenangan lama yang tidak enak.
Singkatnya, ketika aku hanyut di sungai, dalam keadaan pingsan aku diselamatkan mendiang Suhu Bu Beng Kiam-sian (Dewa Pedang Tanpa Nama). Aku dibawa ke Beng- san, dirawat sehingga sembuh lalu menjadi muridnya. Nah, sejak saat itu aku hanya hidup untuk belajar ilmu silat dan ilmu pengobatan dari Suhu. Kemudian, Suhu menolong seorang anak laki-laki berusia sepuluh tahun, yaitu Si Han Bu
yang
kemudian oleh Suhu diserahkan kepadaku untuk menjadi muridku."
"Akan tetapi mengapa engkau mengubah namamu menjadi Im-yang
Sian-kouw, Eng-moi?" tanya suaminya.
"Aku ingin mengubur nama lama itu yang hanya mendatangkan kesengsaraan dan Suhu pula yang memberi aku julukan Im-yang Sian-kouw, disesuaikan dengan ilmu
silat Im-yang Sin-kun yang kupelajari sampai mendalam. Han Bu merupakan satu-satunya penghibur bagiku, apalagi setelah Suhu tiada. Dia menjadi murid akan tetapi juga pengganti keluarga sehingga sudah kuanggap sebagai anak sendiri.
Maka, begitu dia turun gunung, aku merasa kesepian dan timbul niatku untuk pergi ke kota raja...."
"Ah,
Ibu tentu ingin mengetahui keadaan Ayah!" kata Thian Hwa. Im-yang
Sian-kouw tersenyum dan kedua pipinya yang masih halus
itu menjadi kemerahan. "Yah, bagaimanapun sakit
hatiku, dia itu ayahmu, Thian Hwa dan aku juga
menyadari
bahwa dia tidak bersalah.
Akan tetapi begitu tiba di sini, terjadi pertempuran itu. Aku bertanya-tanya dan
Akan tetapi begitu tiba di sini, terjadi pertempuran itu. Aku bertanya-tanya dan
mendengar
tentang namamu yang dipuji-puji orang sebagai pendukung
kerajaan dan engkau menentang pemberontak.
Ketika aku
melihat engkau bertanding melawan Lam-hai Cin- jin, tidak
sukar bagiku untuk memihakmu. Aku mengenal Lam- hai Cin-jin
sebagai seorang pengikut Jenderal Wu Sam Kwi, dan di
selatan dia merupakan seorang datuk yang terkadang melakukan
perbuatan sesat.
Maka aku segera turun tangan membantumu."
Maka aku segera turun tangan membantumu."
Semua orang
bernapas lega. Kini mereka semua sudah mengetahui
riwayat masing-masing selama keluarga itu cerai- berai. Kini
keluarga itu telah berkumpul dan bersatu kembali.
Mereka
seolah-olah mengalam i kehidupan baru yang menjanjikan
masa depan yang penuh kebahagiaan.
Bouw Hujin
atau Sin-hong-cu Souw Lan Hui mengerahkan seluruh
gin-kangnya dan ia berhasil menyusul Ngo-beng Kui- ong yang
melarikan diri dari medan pertempuran sambil menculik
Pangeran Bouw Hun Ki. Mereka sudah tiba di luar
kota raja,
di jalan yang sepi.
"Keparat jahanam, Ngo-beng Kui-ong, kiranya nama besarmu itu kosong belaka! Engkau tidak lebih hanya seorang tua bangka mau mampus yang pengecut dan penakut!" demikian Bouw Hujin berteriak setelah ia berkelebatan melampaui lawan dan kini berhadapan dengan Ngo-beng Kui- ong dengan sepasang pedang di tangan.
Melihat
bahwa pengejarnya hanya seorang saja, Ngo-beng Kui-ong
tertawa mengejek.
Tentu saja dia tidak takut kepada nyonya itu. Tadi, dalam pertempuran, dia sudah mengenal ilmu silat nyonya ini dan walaupun harus dia akui bahwa wanita cantik ini memiliki ilmu pedang Bu-tong-pai yang amat dahsyat, namun kalau hanya bertempur satu lawan satu, dia merasa yakin akan mampu mengalahkannya. Kini di tempat
Tentu saja dia tidak takut kepada nyonya itu. Tadi, dalam pertempuran, dia sudah mengenal ilmu silat nyonya ini dan walaupun harus dia akui bahwa wanita cantik ini memiliki ilmu pedang Bu-tong-pai yang amat dahsyat, namun kalau hanya bertempur satu lawan satu, dia merasa yakin akan mampu mengalahkannya. Kini di tempat
sunyi itu,
tentu saja hatinya menjadi besar. Dia melemparkan tubuh
Pangeran Bouw Hun Ki yang lemas tertotok ke atas tanah
sehingga tubuh itu bergulingan.
Hati Nyonya Bouw tenang melihat keadaan suaminya tidak terluka dan tidak terancam bahaya, maka tanpa membuang waktu lagi ia sudah memutar sepasang pedangnya dan menyerang dengan ganas dan sangat dahsyat.
Hati Nyonya Bouw tenang melihat keadaan suaminya tidak terluka dan tidak terancam bahaya, maka tanpa membuang waktu lagi ia sudah memutar sepasang pedangnya dan menyerang dengan ganas dan sangat dahsyat.
"Haiiittt...!"
Pedang kiri wanita itu menusuk ke arah muka di tengah-tengah
antara kedua mata Ngo-beng Kui-ong dengan jurus Hui-in-ci-tian
(Awan Mengeluarkan Kilat) disambung dengan
pedang kanan menyambar dari samping, melengkung
menebas
pinggang lawan dengan jurus Giok-tai-wi-yau (Sabuk Kemala
Melingkari Pinggang).
Dua serangan beruntun ini berbahaya bukan main karena serangan pertama ke arah
Dua serangan beruntun ini berbahaya bukan main karena serangan pertama ke arah
tengah-tengah
antara sepasang mata itu membuat lawan silau dan
terkejut, pandangannya tercurah kepada sinar mencorong yang
meluncur ke tengah dahi itu sehingga perhatiannya terhadap
pedang kanan yang menyambar pinggang agak
kurang.
Akan tetapi Ngo-beng Kui-ong adalah seorang ahli silat yang selain kuat juga sudah banyak sekali pengalamannya berkelahi, maka biarpun dia agak terkejut, tetap saja dia dapat menggerakkan tongkat ularnya ke sebelah kiri tubuhnya untuk menangkis babatan pedang kanan
Akan tetapi Ngo-beng Kui-ong adalah seorang ahli silat yang selain kuat juga sudah banyak sekali pengalamannya berkelahi, maka biarpun dia agak terkejut, tetap saja dia dapat menggerakkan tongkat ularnya ke sebelah kiri tubuhnya untuk menangkis babatan pedang kanan
Nyonya Bouw. "Singg... trangggg!" Bunga api berpijar menyilaukan mata dan di lain saat Ngo-beng Kui-ong sudah membalas dengan serangan kilat yang amat hebat. Dia bukan hanya menggerakkan tongkatnya, melainkan menggerakkan tubuhnya yang berputaran seperti gasing dan tongkatnya mencuat dan menyambar dari pusingan badannya yang tidak dapat dilihat jelas itu.
Tentu saja menghadapi serangan aneh ini, Bouw Hujin terkejut, akan tetapi wanita itu memiliki gin-kang yang tinggi, membuat tubuhnya dapat berkelebatan seperti seekor burung walet yang selalu dapat menghindarkan diri dari serangan tongkat yang tiba-tiba dari tubuh lawan yang berpusing itu.
Perkelahian di tempat sunyi itu semakin seru. Ngo-beng Kui-ong bersilat dengan ilmu tongkat Pat-hong-tung (Tongkat Delapan Penjuru) yang amat dahsyat sehingga tubuhnya berputar seperti gasing. Untuk menghadapi ilmu tongkat yang amat hebat ini, Bouw Hujin (Nyonya Bouw) mainkan siang- kiam (sepasang pedang) dengan ilmu pedang Siang-liong-hui- thian (Sepasang Naga Terbang ke Langit) sebuah ilmu pedang
dari Bu-tong
Kiam-sut (Ilmu Pedang Bu-tong-pai).
Karena Nyonya ini telah memiliki gin-kang (ilmu meringankan tubuh) yang amat baik, maka tubuhnya seperti berkelebatan terbang saja. Akan tetapi, bagaimanapun juga, Sin-hong-cu Souw Lan Hui atau Nyonya Bouw yang lihai itu masih kalah pengalaman
Karena Nyonya ini telah memiliki gin-kang (ilmu meringankan tubuh) yang amat baik, maka tubuhnya seperti berkelebatan terbang saja. Akan tetapi, bagaimanapun juga, Sin-hong-cu Souw Lan Hui atau Nyonya Bouw yang lihai itu masih kalah pengalaman
bertanding
dibandingkan lawannya yang sudah berusia delapan
puluh tahun.
Kakek tua renta ini banyak sekali ilmunya yang aneh-aneh, bukan hanya gerakan silat yang aneh dan lihai, akan tetapi juga dia memiliki tenaga sihir yang kuat sehingga terkadang, kalau dia membentak sambil mengerahkan tenaga sihirnya, Bouw Hujin merasa betapa tubuhnya terguncang hebat yang membuat gerakannya agak kacau dan berkurang kecepatannya. Ngo-beng Kui-ong merasa girang.
Kini dia tahu bahwa inilah kemenangannya dan dia pun semakin sering menyerang dengan pengerahan tenaga sihir. Dan tidak dapat disangkal lagi bahwa Nyonya
Kakek tua renta ini banyak sekali ilmunya yang aneh-aneh, bukan hanya gerakan silat yang aneh dan lihai, akan tetapi juga dia memiliki tenaga sihir yang kuat sehingga terkadang, kalau dia membentak sambil mengerahkan tenaga sihirnya, Bouw Hujin merasa betapa tubuhnya terguncang hebat yang membuat gerakannya agak kacau dan berkurang kecepatannya. Ngo-beng Kui-ong merasa girang.
Kini dia tahu bahwa inilah kemenangannya dan dia pun semakin sering menyerang dengan pengerahan tenaga sihir. Dan tidak dapat disangkal lagi bahwa Nyonya
Bouw kini mulai
terdesak hebat.
Melihat dari
tempat dia rebah terguling dan telentang, Pangeran
Bouw Hun Ki merasa khawatir sekali. Dia melihat betapa
isterinya mulai terdesak oleh kakek tua renta yang
amat sakti
itu. Dia tidak mengkhawatirkan keselamatan dirinya sendiri,
akan tetapi dia amat mengkhawatirkan isterinya.
Andaikata
dia tidak berada dalam keadaan tertotok, tetap saja dia tidak
mampu membantu isterinya. Tingkat kepandaian silatnya
masih terlalu jauh di bawah tingkat mereka sehingga bantuannya
bukan menolong bahkan selain mengacaukan
permainan
silat isterinya, juga dalam beberapa gebrakan saja dia akan
roboh dan tewas. Kalau mungkin dia ingin berteriak kepada kakek
itu yang dia tahu bernama Ngo-beng Kui-ong agar kakek itu
melepaskan isterinya dan membawa dia ke
mana pun
dikehendakinya.
Dia siap dan rela mengorbankan nyawa asalkan isterinya selamat. Namun dia tidak mungkin meneriakkan keinginannya dan permintaannya itu. Dia mengenal baik isterinya, seorang pendekar wanita yang lebih menghargai nama dan kehormatan daripada nyawa. Maka, dia mulai memandang dengan muka pucat melihat isterinya kini repot sekali, hanya dapat menggunakan sepasang pedangnya untuk melindungi dirinya saja tanpa mampu balas menyerang.
Dia siap dan rela mengorbankan nyawa asalkan isterinya selamat. Namun dia tidak mungkin meneriakkan keinginannya dan permintaannya itu. Dia mengenal baik isterinya, seorang pendekar wanita yang lebih menghargai nama dan kehormatan daripada nyawa. Maka, dia mulai memandang dengan muka pucat melihat isterinya kini repot sekali, hanya dapat menggunakan sepasang pedangnya untuk melindungi dirinya saja tanpa mampu balas menyerang.
Bahkan sudah dua kali Nyonya Bouw terhuyung ke belakang dan hampir terpelanting saking kuatnya hawa pukulan yang mengandung tenaga sihir itu melandanya. Ngo beng Kui-ong semakin ganas dan kini dia mendesak dengan tongkatnya yang amat berbahaya karena selain tongkat ular itu mengandung racun, juga tamparan tangan kirinya merupakan serangan yang lebih ganas dibandingkan Hek-tok- ciang dari Lam-hai Cin-jin, murid keponakannya itu!
Pada saat yang amat gawat itu, tiba-tiba terdengar seruan lembut. "Siancai! Ngo-beng Kui-ong yang sudah amat tua masih saja belum mampu menahan nafsunya yang suka
membunuh.
Sayang sekali!"
Ngo-beng Kui-ong terkejut sekali ketika tiba-tiba ada hawa dorongan yang amat kuat membuat tubuhnya yang berputar itu kehilangan keseimbangan sehingga dia menghentikan jurus silat berpusing itu dan memandang dengan penuh perhatian.
Dia melihat
seorang laki-laki tinggi kurus berpakaian seperti seorang tosu
dari kain putih, mukanya bersih tanpa kumis atau jenggot
dan sikapnya tenang sekali, usianya sekitar enam puluh tahun.
"Thian Bong Sianjin!" serunya kaget.
Sebaliknya, Pangeran Bouw Hun Ki, terutama sekali Nyonya Bouw, girang bukan
Sebaliknya, Pangeran Bouw Hun Ki, terutama sekali Nyonya Bouw, girang bukan
main melihat
munculnya Thian Bong Sianjin dalam keadaan yang amat
gawat bagi suami isteri itu.
Watak
Ngo-beng Kui-ong sejak dulu memang licik. Dia cerdik
sekali dan tidak segan menggunakan cara apa pun demi keuntungannya.
Melihat munculnya Thian Bong Sianjin, dia maklum bahwa
melawan Thian Bong Sianjin berdua Sin-hong-
cu Souw Lan
Hui, dia tidak akan menang bahkan dia berada dalam
keadaan gawat dan berbahaya sekali. Maka cepat dia menudingkan
tongkatnya ke arah tubuh Pangeran Bouw Hun Ki yang
masih rebah telentang di atas tanah, dan sinar hitam meluncur
dari ujung tongkat ke arah Pangeran Bouw Hun Ki.
Melihat ini, Thian Bong Sianjin yang berdirinya lebih dekat dengan pangeran itu, melompat dengan gerakan kilat. Paku hitam yang meluncur dari ujung tongkat itu mengenai pundaknya ketika tubuhnya menjadi perisai bagi Pangeran Bouw Hun Ki. "Manusia curang!" T hian Bong Sianjin berseru.
Melihat Thian Bong Sianjin tidak roboh biarpun terkena pakunya yang beracun, Ngo-beng Kui-ong menjadi semakin ketakutan dan dia pun lalu me lompat dan melarikan diri.
Setelah
kakek itu pergi, tubuh Thian Bong Sianjin terkulai roboh.
Nyonya Bouw tidak melakukan pengejaran karena perhatiannya
lebih tercurah kepada suaminya dan kepada Thian Bong
Sianjin. Ia meloncat dekat suaminya, membebaskan
totokan sehingga Pangeran Bouw Hun Ki mampu
bergerak lagi, lalu keduanya memeriksa keadaan Thian Bong
Sianjin yang tergeletak dalam keadaan pingsan.
Tanpa ragu Nyonya Bouw membuka kancing baju sehingga tampak dada Thian Bong Sianjin. Ia mengerutkan alisnya ketika melihat sebatang paku hitam telah menancap di pundak kanan bekas kekasih atau sahabat baiknya itu.
"Bagaimana keadaannya" Parahkah?" Pangeran Bouw Hun Ki bertanya dengan khawatir.
Nyonya Bouw
mengangguk. "Ia terkena senjata rahasia Toat-beng-hek-ting
(Paku Hitam Pencabut Nyawa) yang mengandung
racun amat berbahaya, sama bahayanya dengan akibat
pukulan Hek-tok-ciang (Tangan Racun Hitam)."
"Ah, celaka! Lalu bagaimana" Engkau harus dapat menyembuhkannya. Ingat, dia terluka karena melindungi diriku, kalau dia tidak menghadang, tentu aku yang terkena
senjata
rahasia ini dan sudah mati!" kata Pangeran Bouw kepada
isterinya.
"Aku mengerti," Nyonya Bouw mengangguk, dalam hatinya merasa bersukur bahwa suaminya demikian bijaksana, sama sekali tidak merasa cemburu walaupun sudah mengetahui bahwa dahulu di waktu ia belum menjadi isteri pangeran itu,
hubungannya
dengan Thian Bong Sianjin amat akrab.
"Satu-satunya obat penawar yang dapat menyelamatkannyawanya hanyalah jamur salju putih, atau bubuk racun ular laut. Kukira di ruangan obat istana terdapat obat-obat
penawar itu.
Mari kita cepat bawa dia ke sana," Nyonya Bouw Hun Ki lalu
mencabut paku hitam, menggunakan sin-kangnya untuk
menyedot darah yang keracunan walaupun yang keluar tidak cukup
banyak. Lalu ia menotok jalan darah di sekitar
pundak untuk
mencegah menjalarnya racun hitam itu.
Kemudian mereka membawa Thian Bong Sianjin yang masih pingsan kembali ke kota raja dan langsung saja ke istana.
Benar saja
dugaan Nyonya Bouw, di ruangan penyimpanan obat-obatan
langka di istana terdapat obat penawar racun ular laut.
Setelah diobati dengan racun ular laut untuk menangkal racun dari Hek-tok-ting, ternyata obat itu
manjur sekali.
Thian Bong Sianjin siuman dari pingsannya dan terbebas dari ancaman maut. Hanya saja dia masih agak lemah dan perlu beristirahat beberapa hari. Begitu bangkit duduk dan melihat Pangeran Bouw Hun Ki dan Nyonya Bouw, dia segera
Thian Bong Sianjin siuman dari pingsannya dan terbebas dari ancaman maut. Hanya saja dia masih agak lemah dan perlu beristirahat beberapa hari. Begitu bangkit duduk dan melihat Pangeran Bouw Hun Ki dan Nyonya Bouw, dia segera
mengucapkan
terima kasih.
"Ji-wi (Ka lian Berdua) telah menyelamatkan nyawa pinto (aku). Kalau tidak ada Pangeran Bouw dan Bouw Hujin yang menolong, kiranya hari ini pinto sudah tidak berada di dunia lagi." "Wah, Totiang (sebutan pendeta), ucapan apakah yang kaukatakan ini" Ini terbalik sama sekali!" kata Pangeran Bouw Hun Ki. "Saya diculik Ngo-beng Kui-ong, kemudian isteriku mengejar dan bertanding melawan dia.
Akan tetapi, Ngo-beng Kui-ong amat lihai dan agaknya isteriku dan aku pasti akan
binasa kalau
saja tidak ada Totiang yang menolong kami berdua.
Bahkan Totiang menghadang paku terbang untuk melindungiku
sehingga Totiang sendiri yang terluka. Siapakah yang
menolong dan siapa yang ditolong dalam hal ini?"
Thian Bong
Sianjin tersenyum. "Siancai! Kita saling tolong, semua
terjadi secara kebetulan. Nah, yang kebetulan inilah yang telah
menolong, karena kebetulan tidak dapat kita buat.
Hanya Yang Maha Kuasa sajalah yang menciptakan kebetulan sehingga kita diberi kesempatan untuk saling bantu.
Sesungguhnya,
Yang Maha Kuasa yang menolong kita semua, dengan cara
melalui orang lain yang dipergunakanNya pada saat
itu."
"Benar sekali apa yang dikatakan Thian Bong Sianjin tadi.
Hanya Tuhan
Yang Maha Kuasa sajalah yang dapat menolong manusia
kalau hal itu dikehendakiNya. Karena itu, segala puji dan rasa
syukur tidak sepatutnya ditujukan kepada manusia lain,
kecuali hanya kepada Tuhan. Kita semua seyogianya berterima
kasih kepada Tuhan Yang Maha Pengasih!" kata Nyonya Bouw
dengan girang.
"Aih,
ucapan isteriku ini mengingatkan aku kepada cara orang-orang
berterima kasih kepada Tuhan. Biarpun setiap saat
mengucapkan terima kasih dengan suara lantang,
biarpun
setiap hari menyalakan dupa berlutut di depan meja sembahyang
dan memberi korban yang serba mewah untuk menyembah
Tuhan, seperti yang dilakukan setiap orang untuk menyatakan
terima kasih mereka kepada Tuhan, apakah hal ini sudah
tepat dan benar"
Mengapa kita selalu bersukur, berterima kasih dan berdoa sukur kepada Tuhan setiap kali kita menerima anugerah, menerima berkat yang berlimpah, menerima hal-hal yang kita anggap menguntungkan dan menyenangkan" Mengapa kita bersungut-sungut dan tidak mengucap sukur kepada Tuhan yang kita anggap tidak memberkati kita kalau kita mengalam i hal yang kita anggap merugikan dan tidak menyenangkan" Totiang, mohon
Mengapa kita selalu bersukur, berterima kasih dan berdoa sukur kepada Tuhan setiap kali kita menerima anugerah, menerima berkat yang berlimpah, menerima hal-hal yang kita anggap menguntungkan dan menyenangkan" Mengapa kita bersungut-sungut dan tidak mengucap sukur kepada Tuhan yang kita anggap tidak memberkati kita kalau kita mengalam i hal yang kita anggap merugikan dan tidak menyenangkan" Totiang, mohon
penjelasan
akan semua ini dan mohon petunjuk, apa yang sepatutnya
kita sebagai manusia bertindak untuk menyatakan rasa sukur
dan terima kasih kita kepada Tuhan Yang Maha Kuasa."
Thian Bong Sianjin tertawa. "Pangeran, untuk menyelidiki hal ini jangan kita hanya menerima pendapat seseorang karena kalau pendapat itu keliru, kita semua ikut keliru. Hidup ini adalah pengalaman kita semua, maka untuk menyadari akan kebenaran, kita dapat belajar dengan membuka mata melihat kehidupan itu sendiri, tanpa menilai, tanpa pendapat, hanya melihat dan merasakan.
Mari kita menyelidiki bersama tentang apa yang engkau katakan tadi. Segala macam
Thian Bong Sianjin tertawa. "Pangeran, untuk menyelidiki hal ini jangan kita hanya menerima pendapat seseorang karena kalau pendapat itu keliru, kita semua ikut keliru. Hidup ini adalah pengalaman kita semua, maka untuk menyadari akan kebenaran, kita dapat belajar dengan membuka mata melihat kehidupan itu sendiri, tanpa menilai, tanpa pendapat, hanya melihat dan merasakan.
Mari kita menyelidiki bersama tentang apa yang engkau katakan tadi. Segala macam
perbuatan
kalau mengandung pamrih bagi diri sendiri, sudah pasti
perbuatan itu palsu adanya dan hanya merupakan cara untuk
mendapatkan pamrihnya itu. Ada pamrih yang terkandung
dalam perbuatan yang disebut baik, seperti ingindipuji,
ingin mendapatkan imbalan jasa, ingin dibalas, dan masih banyak
lagi keinginan yang tersembunyi di balik perbuatan
itu, semua bermaksud untuk menguntungkan dan
menyenangkan
dirinya sendiri.
Jelas bahwa perbuatan pamrih itu tidak benar. Perbuatan tanpa pamrih adalah perbuatan yang spontan, akan tetapi perbuatan ini pun ada dua macam.
Jelas bahwa perbuatan pamrih itu tidak benar. Perbuatan tanpa pamrih adalah perbuatan yang spontan, akan tetapi perbuatan ini pun ada dua macam.
Perbuatan
spontan yang didasari rasa benci, sudah pasti tidak benar karena
mengandung kekejaman dan permusuhan.
Sebaliknya, segala macam perbuatan yang didasari Kasih sudah pasti baik dan benar! Nah, Kasih dari Tuhan yang kita terima berlimpah setiap saat, apakah kita hanya menjadi manusia-manusia yang hanya bisa minta dan menerima saja, tanpa pernah memberi" Lalu kalau Kasih dari Tuhan diujudkan dengan berkat-berkat yang berlimpahan, apakah yang dapat kita lakukan untuk menyatakan bahwa kita benar-benar berterima kasih kepadaNya"
Tuhan Maha Kuasa, tentu saja tidak membutuhkan pemberian apa pun dari siapa juga, akan tetapi sebagai rasa sukur dan terima kasih kita, kita dapat membantu Tuhan dengan menyalurkan berkat-berkatnya yang diberikan kepada kita kepada orang lain! Kita diberkati kekuatan yang lebih, mari kita salurkan berkat itu kepada orang lain, untuk menolong orang yang lemah dan membutuhkan pertolongan.
Kita diberkati harta benda yang lebih, mari kita salurkan itu kepada orang lain, menolong orang yang membutuhkan karena miskin. Kita diberkati pengetahuan dan pengertian, mari kita salurkan berkat itu kepada orang lain yang tidak mengetahui dan kurang mengerti. Kita diberkati kedudukan dan kekuasaan tinggi, mari kita salurkan berkat itu untuk me lindungi rakyat yang tidak berkedudukan yang tidak memiliki kekuasaan.
Dengan demikian, tidak s ia-sialah semua berkat berlimpahan yang kita terima dari T uhan dan berbahagialah orang yang menjadi alat Tuhan, yang dipakai oleh Tuhan untuk menyalurkan berkat-berkatnya. Lihatlah, semua mahluk di dunia ini, baik bergerak maupun yang tidak bergerak, semua merupakan penyalur berkat Tuhan.
Pohon-pohon memberikan bunga, buah, daun, bahkan kayunya untuk manusia dan binatang. Binatang- binatang juga menyalurkan berkat Tuhan dengan memberikan
segala yang
ada padanya demi kesejahteraan manusia. Lihat angin, air,
api, bahkan matahari dan bulan, mereka semua itu menjadi
penyalur berkat Tuhan yang mutlak pentingnya bagi manusia.
Lalu sekarang pertanyaannya yang harus kita tujukan kepada hati kita masing-masing, kita yang telah menerima sekian banyaknya berkat dari Tuhan secara berlimpah me lalui segala benda dan mahluk ciptaanNya di muka bumi ini, apakah yang telah kita lakukan untuk menyatakan terima kasih kita kepada Tuhan dengan jalan menyalurkan berkatnya yang berlimpahan itu kepada pihak lain" Berkat dari Tuhan kita terima melalui manusia, hewan maupun tanaman. Tidakkah sudah sepatutnya kalau kita
Lalu sekarang pertanyaannya yang harus kita tujukan kepada hati kita masing-masing, kita yang telah menerima sekian banyaknya berkat dari Tuhan secara berlimpah me lalui segala benda dan mahluk ciptaanNya di muka bumi ini, apakah yang telah kita lakukan untuk menyatakan terima kasih kita kepada Tuhan dengan jalan menyalurkan berkatnya yang berlimpahan itu kepada pihak lain" Berkat dari Tuhan kita terima melalui manusia, hewan maupun tanaman. Tidakkah sudah sepatutnya kalau kita
menyatakan
terima kasih dan puji sukur kita juga me lalui uluran kasih
kepada sesama manusia, hewan, dan tanaman?"
Suasana menjadi sunyi sekali sete lah Thian Bong Sianjin berhenti bicara. Pangeran Bouw Hun Ki dan Nyonya Bouw dapat merasakan denyut jantung mereka sendiri dengan jelas.
Semua
kata-kata itu meresap sampai ke sanubari mereka masing-masing.
Justru dalam keadaan hening itu, di mana pikiran tidak berkeliaran
dan hati tidak disibukkan perasaan apa pun, mereka dapat
menerima semua ucapan tadi yang membangkitkan
kesadaran mereka akan kebenaran yang hakiki.
Pada saat itu terdengar langkah orang yang memecahkan keheningan itu. Bouw Kun Liong, Bouw Hwi Siang, Bu Kong Liang, dan Gui Siang Lin memasuki ruangan itu. Dua pasang orang muda ini sudah mendengar dari Nyonya Bouw bahwa Thian Bong Sianjin yang menyelamatkan Pangeran Bouw Hun Ki dan isterinya adalah guru Huang-ho Sian-li Ciu Thian Hwa.
Pada saat itu terdengar langkah orang yang memecahkan keheningan itu. Bouw Kun Liong, Bouw Hwi Siang, Bu Kong Liang, dan Gui Siang Lin memasuki ruangan itu. Dua pasang orang muda ini sudah mendengar dari Nyonya Bouw bahwa Thian Bong Sianjin yang menyelamatkan Pangeran Bouw Hun Ki dan isterinya adalah guru Huang-ho Sian-li Ciu Thian Hwa.
Maka mereka datang berkunjung untuk menengok keadaan kakek itu yang sudah mulai sembuh. Nyonya Bouw memperkenalkan mereka kepada Thian Bong Sianjin yang ikut merasa gembira bahwa Nyonya Bouw atau Souw Lan Hui yang dulu pernah menjadi sahabat baiknya itu kini hidup bahagia dengan seorang suami yang bijaksana dan dua orang anak laki dan wanita yang gagah perkasa, bahkan agaknya telah menemukan calon dua orang mantu murid Siauw-lim-pai yang gagah dan baik pula!
Diam-diam dia bersukur karena seandainya Souw Lan Hui menjadi isterinya,
belum tentu
keadaannya akan sebaik dan sebahagia sekarang!
Mereka
bercakap-cakap dengan gembira dan dalam kesempatan
itu, empat orang muda itu mendapatkan banyak petunjuk
tentang kehidupan dari T hian Bong Sianjin.
Ang-mo Niocu
Yi Hong berhasil me larikan diri dan ia merasa
girang bahwa tidak ada yang mengejarnya. Biarpun sebagai
utusan Jenderal Wu Sam Kwi ia harus membawa
kabar yang
tidak menggembirakan karena usaha pemberontakan Pangeran Cu Kiong yang
didukungnya telah gagal, namun
ia berhasil membawa Tek-pai yang oleh
Pangeran Cu
Kiong diserahkan atau dititipkan kepadanya.
Jenderal Wu Sam Kwi pasti akan girang sekali bisa mendapatkan Tek-pai itu karena sebuah Tek-pai dari Kaisar bagaimanapun juga memiliki kekuasaan yang disegani dan
dihormati
kalangan atas kerajaan.
Setelah melakukan perjalanan yang cepat, menggunakan kuda yang selalu ditukar dengan yang baru setelah kuda itu kelelahan, akhirnya Ang-mo Niocu Yi Hong tiba di perbatasan Yunnan-hu yang menjadi daerah kekuasaan Jenderal Wu Sam Kwi. Ia berhenti di kota Mayong yang berada di dekat perbatasan dan termasuk daerah Yunnan-hu. Karena merasa sudah berada di daerah sendiri, Ang-mo Niocu yang merasa lega dan aman lalu beristirahat dalam sebuah kamar di rumah penginapan.
Ia telah melakukan perjalanan yang jauh dan berat sehingga tubuhnya terasa lelah sekali. Sampai dua hari dua malam ia melepaskan lelah, menghabiskan waktu itu untuk makan dan tidur saja. Setelah menginap dua malam, pada hari yang ke tiga, ia melanjutkan perjalanan menuju ke ibu kota Yunnan-hu yang letaknya masih sekitar seratus li (mil) dari kota Mayong kini ia tidak tergesa-gesa dan telah menjual kudanya dan melanjutkan perjalanannya dengan jalan kaki.
Siang hari itu panas sekali dan seperti biasa ia mengembangkan payungnya untuk melindungi mukanya dari sengatan sinar matahari. Tiba-tiba tampak bayangan putih
berkelebat
melaluinya dan ketika bayangan itu berhenti dan berbalik
sehingga mereka saling berhadapan, Ang-mo Niocu melihat
seorang pemuda tampan berpakaian putih menghadangnya sambil tersenyum lebar.
Pemuda itu bukan lain adalah Si Han Bu yang memang melakukan pengejaran terhadap Ang-mo Niocu setelah ia mendengar dari Huang-ho Sian-li bahwa Tek-pai dari Ka isar yang diberikan kepada gadisitu telah dirampas Pangeran Cu Kiong dan kemudian oleh pangeran itu diserahkan kepada Ang-mo Niocu yang kini
Pemuda itu bukan lain adalah Si Han Bu yang memang melakukan pengejaran terhadap Ang-mo Niocu setelah ia mendengar dari Huang-ho Sian-li bahwa Tek-pai dari Ka isar yang diberikan kepada gadisitu telah dirampas Pangeran Cu Kiong dan kemudian oleh pangeran itu diserahkan kepada Ang-mo Niocu yang kini
membawa
Tek-pai itu kabur menuju ke Yunnan-hu di selatan
"Hai, Nona berpayung merah yang cantik, engkau tergesa-gesa hendak ke manakah?" kata Han Bu sambil tersenyum.
Ang-mo Niocu
terbelalak memandang pemuda itu. Tadinya ia merasa
tidak mengenal pemuda yang tampan dan tampak ramah ini,
akan tetapi ia segera teringat bahwa ini adalah pemuda yang
pernah ditawan dalam kamar tahanan di istana Pangeran Cu
Kiong. Padahal Pangeran Cu Kiong sudah mengatakan
bahwa kalau perjuangannya memberontak gagal, para
prajurit yang menjaga tawanan itu diperintahkan untuk
menghujaninya
dengan anak panah sampai mati.
Bagaimana sekarang tahu-tahu pemuda itu telah bebas dan berada di depannya" Akan tetapi gadis yang sudah banyak pengalaman ini dapat menenangkan hatinya kembali karena ia pun maklum bahwa tidak mungkin pemuda ini sengaja mengejarnya. Untuk
Bagaimana sekarang tahu-tahu pemuda itu telah bebas dan berada di depannya" Akan tetapi gadis yang sudah banyak pengalaman ini dapat menenangkan hatinya kembali karena ia pun maklum bahwa tidak mungkin pemuda ini sengaja mengejarnya. Untuk
apa
mengejarnya" Pemuda ini tidak mempunyai alasan untuk mengejarnya.
Dalam pemberontakan Pangeran Cu Kiong itu ia hanya
seorang pembantu yang tidak begitu penting. Dan tidak ada seorang
pun mengetahui kecuali dia dan Pangeran Cu Kiong
sendiri bahwa Tek-pai dari Kaisar itu kini berada padanya.
Pula, Ang-mo Niocu memang amat tertarik kepada Si Han Bu, pemuda yang tinggi besar dan jantan gagah berwajah tampan ini. Apalagi ia tahu bahwa ilmu s ilat pemuda ini cukup tangguh, dan sikapnya yang agak ugal-ugalan menambah daya tariknya sebagai seorang pemuda. Lumayan untuk teman bersenang-senang setelah sekian lamanya melakukan pelarian yang melelahkan tanpa teman!
Maka, ia tersenyum manis sekali ketika Han Bu menegurnya sambil tersenyum itu. Tanpa banyak berpura-pura lagi ia pun menjawab.
Pula, Ang-mo Niocu memang amat tertarik kepada Si Han Bu, pemuda yang tinggi besar dan jantan gagah berwajah tampan ini. Apalagi ia tahu bahwa ilmu s ilat pemuda ini cukup tangguh, dan sikapnya yang agak ugal-ugalan menambah daya tariknya sebagai seorang pemuda. Lumayan untuk teman bersenang-senang setelah sekian lamanya melakukan pelarian yang melelahkan tanpa teman!
Maka, ia tersenyum manis sekali ketika Han Bu menegurnya sambil tersenyum itu. Tanpa banyak berpura-pura lagi ia pun menjawab.
"Aih,
engkau sudah dapat membebaskan diri dari tawanan Pangeran Cu
Kiong yang brengsek itu" Aku memang tergesa- gesa pergi
meninggalkannya. Untuk apa aku membela pangeran
yang gagal segala-galanya itu" Aku tahu bahwa dia pasti akan
gagal segala-galanya, maka aku pun tidak sungguh-sungguh
membantunya.
Eh, siapa pula namamu" Si Han Bu, bukan" Hei, anak manis, sejak engkau ditawan
Eh, siapa pula namamu" Si Han Bu, bukan" Hei, anak manis, sejak engkau ditawan
sebetulnya
aku ingin sekali menolongmu namun tidak mendapatkan
kesempatan."
"Ah,
aku memang tahu bahwa engkau adalah seorang yang baik hati,
Ang-mo Niocu!" kata Han Bu, diam-diam dia mengagumi
kecantikan gadis itu. Bukan hanya wajahnya yang cantik
manis, akan tetapi juga bentuk tubuhnya menggairahkan. Seorang gadis yang amat
menarik hati, memiliki
daya tarik yang luar biasa, terutama kerling mata dan senyum
bibirnya yang menantang itu.
Akan tetapi dia punsudah mengetahui bahwa gadis yang menarik ini amat lihai
Akan tetapi dia punsudah mengetahui bahwa gadis yang menarik ini amat lihai
dan
berbahaya, juga sudah mendengar betapa gadis ini merupakan
seorang iblis betina yang suka menggoda laki-laki untuk
kemudian dibunuhnya! Benar-benar seorang iblis betina yang amat
cantik!
"Tentu
saja aku tidak mungkin bersikap tidak baik terhadap seorang
pendekar muda yang gagah perkasa seperti engkau ini, Si Han
Bu. Sekarang katakan, mengapa engkau menyusul aku"
Dan bagaimana engkau dapat menyusulku sejauh ini?"
Han Bu tetap
tersenyum. "Aku meniru perbuatanmu, Niocu.
Aku juga
menunggang kuda yang kutukar dan ganti dengan kuda lain
setiap kudaku sudah kelelahan. Akhirnya aku dapat mengejarmu
di sini."
"Hemm, dan apa yang dapat kulakukan untukmu, pemuda gagah?" "Ang-mo Niocu, perang pemberontakan Pangeran Cu Kiong telah usai, pemberontakan telah dapat dihancurkan dan kini tidak ada lagi permusuhan antara engkau dan aku membela
pihak
masing-masing. Karena itu, apabila engkau benar-benar hendak
berbaik hati kepadaku, aku harap engkau suka menyerahkan
Tek-pai yang kauterima dari Pangeran Cu Kiong kepadaku."
Bibir yang berbentuk indah menantang itu bergerak-gerak mengarah senyum simpul yang nakal. "Tek-pai" Mengapa aku harus menyerahkan Tek-pai kepadamu, pendekar tampan?"
"Niocu, Tek-pai itu oleh mendiang Kaisar Shun Chi telah diberikan sebagai tanda kekuasaan kepada Huang-ho Sian-li Ciu Thian Hwa puteri Pangeran Ciu Wan Kong. Pangeran Cu Kiong yang memberontak merampas Tek-pai itu dari tangan Huang-ho Sian-li ketika gadis itu tertawan. Kemudian Pangeran Cu Kiong menyerahkan Tek-pai itu kepadamu, Niocu.
Nah, karena Tek-pai itu bukan hak milikmu, maka sudah sepatutnya kalau kaukembalikan kepadaku agar dapat kuserahkan kepada yang berhak, yaitu Huang-ho Sian-li."
"Bagaimana
kalau Tek-pai itu tidak ada padaku, Han Bu?"
"Bohong!
Pangeran Cu Kiong sendiri yang mengaku bahwa Tek-pai itu
dia serahkan kepadamu." bentak Han Bu.
"Sudahlah, jangan mempermainkan aku, Niocu. Serahkan Tek- pai itu padaku dan tidak ada urusan lagi di antara kita, tidak ada permusuhan lagi."
"Kau
tidak percaya dan mengira aku berbohong" Nah, silakan
menggeledahku, Han Bu. Mari, di sini sepi tidak ada orang lain.
Geledahlah aku!"
Gadis itu lalu menghampiri sebatang pohon besar di tepi jalan. Tempat itu teduh dan ia menurunkan payungnya, lalu menghampiri Han Bu dan berdiri dengan sikap menantang, membusungkan dadanya dan mengangkat kedua lengannya ke atas, memberikan tubuhnya untuk digeledah!
Gadis itu lalu menghampiri sebatang pohon besar di tepi jalan. Tempat itu teduh dan ia menurunkan payungnya, lalu menghampiri Han Bu dan berdiri dengan sikap menantang, membusungkan dadanya dan mengangkat kedua lengannya ke atas, memberikan tubuhnya untuk digeledah!
Mendapatkan tantangan ini, Han Bu tersenyum malu-malu dengan muka berubah kemerahan. Bagaimana mungkin dia menggeledah dan menggerayangi tubuh Ang-mo Niocu untukmencari Tek-pai yang mungkin disembunyikan di balik
pakaiannya"
"Aih, bagaimana ini, Niocu. Aku suka menggeledahmu, akan tetapi menggerayangi tubuhmu" Aku tidak mau bertindak tidak sopan dan kurang ajar terhadap wanita."
"Ah, tidak apa-apa. Aku senang kalau engkau mau menggeledah dan mencari Tek-pai itu agar engkau yakin bahwa aku tidak berbohong kepadamu. Tek-pai itu memang
tidak berada
padaku, Han Bu."
Si Han Bu
merasa serba salah. Tidak mungkin dia mau menggerayangi
tubuh gadis itu untuk menggeledah.
Bagaimana kalau gadis itu berbohong" Akan tetapi mungkin saja gadis itu memang tidak membawa Tek-pai karena memang sudah ia sembunyikan sebelumnya" Dia mencari akal, lalu berkata.
"Ang-mo
Niocu, aku mendengar bahwa engkau adalah seorang
wanita yang gagah perkasa dan sebagai seorang wanita gagah
perkasa engkau tentu tidak mau berbohong.
Benarkah
itu?"
"Tentu
saja benar!" kata Ang-mo Niocu sambil tersenyum manis dan
hatinya merasa senang.
"Kalau
begitu, cobalah engkau membuat ikrar dengan mengikuti
kata-kataku. Beranikah engkau" Tentu berani karena
seorang gagah tidak takut akan apa pun, bukan?"
"Ya,
tentu saja aku berani!"
"Nah, ikuti kata-kata dan tirukan. Tek-pai itu tidak ada padaku." "Tek-pai itu tidak ada padaku!" kata Ang-mo Niocu dengan tegas dan seperti main-ma in.
"Kalau
aku berbohong...."
"Kalau
aku berbohong...." gadis itu menirukan.
"Aku
menjadi gadis yang paling jelek, paling tidak menarik, paling
menjemukan di dunia ini!"
"Aku menjadi gadis...." Ang-mo Niocu tidak me lanjutkan.
Gadis mana
mau disebut paling jelek, paling tidak menarik, dan paling
menjemukan di dunia ini"
"Ha, ternyata engkau seorang gadis yang benar-benar gagah sehingga engkau tidak mau berbohong. Sekarang katakan, di manakah Tek-pai itu, Ang-mo Niocu?"
"Hemm,
Tek-pai ada padaku, lalu apa yang akan kaulakukan
kalau Tek-pai tidak kuserahkan kepadamu, Han Bu?"
"Terpaksa akan kupergunakan kekerasan karena aku sudah berjanji
kepada guruku untuk mendapatkan Tek-pai itu kembali."
"Hi-hik, andaikata engkau dapat mengalahkan aku, lalu bagaimana engkau dapat mengambil Tek-pai dariku, pemuda ganteng?"
"Kalau engkau dapat kukalahkan dan menjadi tidak berdaya, tentu aku dapat mengambil Tek-pai itu dengan mudah darimu."
"Hi-hik, andaikata engkau dapat mengalahkan aku, lalu bagaimana engkau dapat mengambil Tek-pai dariku, pemuda ganteng?"
"Kalau engkau dapat kukalahkan dan menjadi tidak berdaya, tentu aku dapat mengambil Tek-pai itu dengan mudah darimu."
"Betulkah
itu" Memangnya engkau sudah tahu di mana Tek-pai itu
kusimpan,
Han Bu?"
Han Bu?"
Han Bu
tertegun. "Memangnya disimpan di mana?" Mata pemuda itu
memandang dengan sinar mencari-cari di seluruh tubuh gadis
itu.
"Engkau mau tahu?" Ang-mo Niocu mengerling genit dan tersenyum lebar penuh arti. "Tek-pai itu kusimpan di balik celanaku, di dekat pusar. Nah, beranikah engkau mengambilnya" Kalau berani, tidak usah kita bertanding. Aku tidak ingin kaupukul roboh, dan aku pun tidak ingin memukulmu. Silakan kauambil saja dari balik celanaku dan aku tidak akan mencegahnya. Mari, ambillah, Si Han Bu!"
Kembali gadis itu memajukan dada dan perutnya ke arah Han Bu sambil melangkah mendekati.
Han Bu
terpaksa mundur-mundur! Sialan, pikirnya.
Pengakuan
gadis itu bahwa Tek-pai itu disimpan di balik celana,
membuat dia kehilangan akal. Apalagi gadis itu berada dalam
keadaan sadar, bahkan andaikata gadis itu pingsan sekalipun,
bagaimana mungkin dia dapat mengambil Tek-pai
di tempat
tersembunyi seperti itu"
"Hayo, Han Bu. Mengapa mundur-mundur" Ke sinilah,
ambillah
Tek-pai itu, mari!" Ang-mo Niocu dengan gembira
menggoda dan
ia merasa senang karena keraguan dan
keengganan
Han Bu itu jelas merupakan pertanda bahwa
pemuda ini
adalah seorang perjaka tulen yang belum pernah
berdekatan
apalagi bergaul akrab dengan wanita!
"Aku... aku tidak mau mengambilnya darimu...."
BERSAMBUNG KE JILID 14
Terima kasih telah membaca Serial ini.
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment