Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Mestika Burung Hong Kemala
Jilid 04
Bouw Ki menghela napas panjang dan berkata, wajahnya muram.
"Enak bagaimana, sumoi" Aku lebih senang kalau saat ini, ayah masih menjadi kepala suku di Lembah Huang-ho, dan aku berada di sana bersamamu. Hidup rasanya lebih bebas dan tak banyak pusing seperti sekarang."
"Eh" Kenapa banyak pusing dan kenapa pula tidak bebas?"
"Aku diikat oleh kedudukanku," Pemuda Khitan itu memandang pakaiannya yang dalam bulan-bulan pertama amat dibanggakan akan tetapi yang kini terasa seperti membelenggu dirinya itu.
"Waktuku sudah disita oleh tugas pekerjaan, dan tentu saja pusing karena Kerajaan baru ini masih menghadapi banyak tantangan. Pertama, Kaisar Kerajaan Tang masih ada, dan kini di barat sedang menyusun kekuatan. Mereka pasti tidak akan menerima begitu saja dan selama kaisar dan keluarganya itu belum terbunuh, ancaman masih akan terus membayangi kota raja ini.
Selain itu, yang lebih memusingkan lagi, adanya persaingan dan permusuhan yang secara diam-diam telah timbul di antara keluarga dan para pimpinan kerajaan baru ini"
"Eh, kenapa begitu" Bukankah Panglima Besar An Lu Shan telah menjadi kaisar dan semua pembantunya, termasuk engkau dan suhu, telah diberi kedudukan?"
"Banyak yang tidak puas dengan kedudukan yang diberikan kepada mereka. Ada yang merasa dirinya lebih berjasa dan timbul saling iri.
Aku khawatir persaingan ini akan menghancurkan kita dari dalam. Aku.....aku sungguh tidak puas dan tidak senang biarpun kini aku menjadi seorang panglima dari kerajaan besar. Masa depanku tidak begitu cerah, banyak tugas berat dan bahaya"
Kim Hong tersenyum. Suhengnya ini memang pernah menyakitkan hatinya karena hendak memaksanya menjadi selir, akan tetapi harus diakui bahwa suhengnya ini biarpun berhati keras, namun jujur, tidak seperti suhuiya.
"Aih, suheng. Mungkin hanya mulutmu saja yang mengeluh, akan tetapi hatimu kegirangan. Bukankah kini engkau telah menjadi seorang bangsawan muda yang mulia, bahkan telah memiliki lima orang selir" Tidak hebatkah itu?" ia mengejek.
"Hemm, itu hanya usaha ayah dani ibu untuk menghiburku, untuk mengurangi kerinduanku kepadamu, sumoi. Akan tetapi, biar aku diberi seratus orang selir yang bagaimana cantikpun, hatiku tidak akan tenteram dan bahagia selama engkau belum mau menjadi isteriku."
Kim Hong mengerutkan alisnya, lalu tersenyum mengejek. "Aih, jadi engkau masih terus bertekad untuk memper-isteri aku, biarpun aku sudah berulang kali menyatakan tidak mencintamu, melainkan suka kepadamu sebagai suheng, sebagai kakaki Apakah engkau dan ayah juga masih ingin melanjutkan usaha kalian memaksaku agar suka menjadi isteriku?"
Bouw Ki menghela napas panjang. "Sebetulnya, cara itu sama sekali tidak kusukai, sumoi. Aku ingin engkau menerima aku menjadi suamimu dengan suka rela, ingin kita menjadi suami isteri yang saling mencinta, bukan paksaan. Akan tetapi, engkau terlalu keras hati dan keras kepala. Jangan memaksa kami melakukan hal yang sama sekali tidak menyenangkan hatiku itu, Kim Hong."
Gadis itu diam-diam merasa mendongkol, ia datang ke rumah suhunya secara suka rela, akan tetapi ia datang seperti seekor harimau memasuki perangkap, atau lebih lagi, seperti seekor domba memasuki rumah jagal!
Biarpun tidak dijelaskan, namun ia tahu bahwa agaknya suhunya dan suhengnya sudah mengambil keputusan untuk tidak membiarkan ia pergi lagi dari situ! Suhengnya ini benar-benar telah tergila-gila kepadanya, bertekad ingin memperisterinya, bahkan sejak dua tahun yang lalu, suhengnya tidak pernah melupakan diri nya! Dan sekarang, keadaannya bahka lebih terjepit dari pada dahulu.
Biar pun kini ilmu kepandaiannya sudah demikian tingginya sehingga ia tidak takut menghadapi suhunya dan suhengnya, akan tetapi di belakang kedua orang ini terdapat pasukan yang terdiri dari puluhan ribu orang banyaknya. Bagaimana mungkin ia akan dapat meloloskan diri"
Akan tetapi, Kim Hong tidak merasa gelisah, bersikap tenang saja. seolah-olah ia belum melihat kenyataan pahit itu. "Suheng, karena selama ini engkau telah banyak bertempur, tentu ilmu kepandaianmu maju pesat. Bagaimana kalau kita berlatih untuk saling melihat sampai di mana kemajuan yang kita capai?"
"Bagus, aku senang sekali, sumoi! Engkau tentu kini telah memperoleh kemajuan pesat. Dahulupun aku tidak dapat mengalahkanmu,.apa lagi sekarang !"
"Ah, belum tentu, suheng. Bagaimanapun juga, aku belum mempunyai pengalaman bertanding, sedangkan engkau sudah mengalami perang dan pertempuran besar."
"Mari kita berlatih dengan tangan kosong saja, jangan sampai kita salah tangan saling melukai. Memang aku sering kali berlatih silat di petak rumput itu, sumoi."
Mereka pergi ke petak rumput tak jauh dari kolam ikan dan di situ memang nyaman dan luas. Kim Hong hanya ingin mengukur sampai di mana kepandaian suhengnya itu agar kalau sewaktu-waktu ia harus melawannya, ia akan dapat mengetahui lebih dulu keadaan lawan.
Dengan gaya yang menarik, setelah melepaskan baju kebesarannya Bouw Ki memasang kuda-kuda. Kim Hong melihat bahwa ilmu silat suhengnya masih serupa dengan dahulu, maka iapun memasang kuda-kuda yang sama. "Aku sudah siap, suheng. Mulailah!"
"Sumoi, awas seranganku!" bentak Bouw Ki yang merasa girang karena dalam latihan bertanding tangan kosong ini, setidaknya dia mendapat kesempatan untuk saling beradu tangan dengari gadis yang dirindukannya itu!
Dia menyerang, bukan dengan pukulan melainkan dengan cengkeraman-cengkeraman, karena sesuai dengan dorongan perasaan hatinya, ingin dia dapat menangkap lengan sumoi nya, atau setidaknya merabai tubuhnya untuk melepaskan kerinduan- nya.
Tingkat kepandaian Kim Hong sekarang sama sekali tidak dapat disamakan dengan dua tahun yang lalu. Gemblengan Si Naga Hitam selama dua tahun ini meningkatkan tingkat kepandaiannya, juga tenaga sinkang dan kepekaan perasaan- nya.
Terutama sekali, ia telah minum racun darah ular hitam kepala merah. Sekali melihat saja tahulah ia bahwa kepandaian suhengnya masih biasa saja, hanya memang bertambah mantap karena pengalaman bertanding. Kalau ia menghendaki, dengan mudah saja ia akan dapat mengalahkan suhengnya.
Akan tetapi, Kim Hong tidak mau melakukan ini dan iapun sengaja mengeluarkan jurus-jurus ilmu silat lama seperti yang pernah ia pelajari dari ayah suhengnya ini. Maka terjadilah pertandingan latihan yang seru dan nampaknya mereka sama kuat.
Akan tetapi tiba-tiba datang seorang pemuda mendekati tempat kedua orang muda itu berlatih. Baik Kim Hong maupun Bouw Ki melihat kedatangannya dan dengan sendirinya mereka mengakhiri latihan itu.
Pemuda itu bertepuk tangan. "Bagus, bagus sekali! Bouw-ciangkun, siapakah nona yang hebat ilmunya itu" Perkenalkan aku dengannya!"
Bouw Ki maju dan memberi hormat dengan berlutut sebelah kaki sambil berkata, "Harap paduka memaafkan saya, Pangeran, karena tidak tahu paduka akan datang, saya tidak mengadakan penyambutan."
Tentu saja Kim Hong tertarik sekali melihat suhengnya memberi hormat dan menyebut pemuda itu pangeran, ia memperhatikan. Seorang pemuda yang usianya mungkin baru delapanbelas tahun, tampan dan lembut, akan tetapi pandang matanya liar dan penuh nafsu, juga senyumnya dingin dan membuat ketampanan wajahnya nampak aneh.
Pakaian nya-mewah dan pemuda itu seorang pesolek. Baru melihat dan bertemu pandang saja Kim Hong sudah merasa tidak suka kepada pria muda itu.
"Pangeran, ini adalah sumoi saya, bernama Can Kim Hong. Sumoi, beliau ini adalah Pangeran An Kong yang suka sekali akan ilmu silat dan biarpun masih muda, ilmu silatnya tinggi, jauh melebihi tingkatku sendiri, sumoi."
Akan tetapi Kim Hong menerima perkenalan itu dengan sikap tenang dan biasa saja, hanya menoangkat kedua tangan dengan dada sebagai penghormatan.
Pangeran muda itu tertawa, "Haha-ha, sahabatku Bouw Ki, tidak tahukah engkau bahwa nona ini tadi telah banyak mengalah kepadamu" Kalau ia bersungguh-sungguh, sudah sejak tadi engkau dikalahkannya. Ha-ha-ha!"
Wajah Bouw Ki berubah kemerahan. Dia sama sekali tidak beranggapan demikian, karena dia merasa bahwa dirinya telah memperoleh kemajuan. Biarpun belum tentu dia akan mampu mengalahkan sumoinya yang sejak dahulu memang lebih lihai darinya, akan tetapi tidak mungkin sumoinya dapat mengalahkannya dengan mudah dan tadi sengaja banyak mengalah. Akan tetapi tentu saja kepada sang pangeran dia tidak berani membantah.
"Pangeran, memang sejak kecil sumoi saya ini lebih cekatan dibandingkan saya."
Akan tetapi, diam-diam Kim Hon terkejut dan memandang pangeran muda ini lebih teliti. Ketika tadi suhengnya mengatakan bahwa kepandaian silat pangeran ini jauh lebih tinggi dari tingkat suhengnya, ia mengira suhengnya hanya mencari muka saja. Akan tetapi sekarang, pangeran itu telah dapat melihat bahwa ia sengaja mengalah, dan hal ini saja sudah membuktikan bahwa pangeran ini memang lihai dan berpemandangan tajam sekali.
"Nona Can, akupun ingin sekali mengujimu. Nah, sambutlah ini !" tiba-tiba saja pangeran muda itu meloncat ke depan Kim Hong dari kedua tangannya didorongkan ke arah dada gadis itu. Muka Kim Hong menjadi merah karena serangan itu mengandung ketidak-sopanan, seolah pangeran itu hendak memegang sepasang buah dadanya.
Maka, iapun menyambut dengan dorong kedua tanganya, apa lagi ketika merasa betapa dari kedua telapak tangan pangeran itu menyambar hawa pukulan yang cukup dahyat.
"Plakk!" Tak dapat dihindarkan lagi, dua pasang telapak tangan bertemu dan akibatnya, tubuh pangeran itu terpental ke belakang sampai dua meter, sedangkan Kim Hong masih berdiri tegak dan matanya memandang marah walaupun sikapnya tetap tenang. Pangeran An Kong tidak jatuh, hanya terhuyun dan diapun berseru kagum.
"Hebat....! Nona Can, ternyata engkau memiliki ilmu kepandaian hebat, melebihi dugaanku. Bouw-ciangkun, aku merasa heran sekali bagaimana seorang sumoimu dapat memiliki ilmu kepandaian sehebat ini?"
"Pangeran terlalu memujiku," kata Kim Hong sederhana, akan tetapi pandang matanya bersinar-sinar penuh kewaspadaan. Pangeran muda itu menghela napas panjang.
"Sudahlah, maafkan aku kalau aku mengganggu kalian berlatih. Aku ingin sekali bertemu dengan Bouw-koksu. Di manakah dia, Bouw-ciangkun?"
"Baru saja ayah mengatakan hendak menghadap Sri baginda, pangeran. Dia berangkat ke istana."
"Kalau begitu, biar aku menyusulnya ke sana." Pangeran muda itu sekali lagi memandang kepada Kim Hong dengan penuh perhatian, lalu membalikkan tubuh dan pergi dari situ.
Setelah pangeran itu pergi. Bouw Ki mendekati Kim Hong. "Sumoi, benarkah yang dia katakan tadi" Kau tahu, dia adalah pangeran An Kong yang terkenal lihai, murid orang-orang pandai di utara. Benarkah engkau memiliki ilmu yang dahsyat melebihi dia sehingga tadi dia terpental ke belakang?"
"Hemm, mungkin dia berpura-pura saja, dia mengatakan itu untuk memuji ku. Siapa sih dia?"
Bouw Ki tersenyum dan mengangguk angguk. "Mungkin juga. Dia memang amat lihai, bahkan ayah mengatakan ilmu silat pangeran itu setingkat ilmu ayah! Akan tetapi' diapun terkenal sebagai pangeran mata keranjang. Agaknya dia tertarik kepadamu dan sengaja memujimu untuk menyanjung. Engkau harus berhati-hati menghadapi perayu seperti dia. Dia adalah pangeran tertua, putera Sri baginda dan agaknya diapun tidak rukun dengan Sri baginda."
"Ehh" Kenapa begitu?" Kim Hong tertarik walaupun ia tahu bahwa kaisar yang baru, yaitu Panglima An Lu Shan, adalah musuh kaisar Kerajaan Tang, yang menurut pesan suhunya, harus di tentangnya. Akan tetapi, melihat kenyataan bahwa Bouw Ki dan suhunya menjadi orang-orang penting dalam kerajaan baru para pemberontak itu, ia dapat mempergunakan kesempatan ini untuk menyelidiki keadaan para pimpinan pemberontak yang tentu dapat ia kumpulkan sebagai laporan penting kalau ia sudah menghadap Kaisar Beng Ong kelak.
Bouw Ki mengajaknya kembali duduk di bangku dekat kolam ikan dan dia pun menceritakan keadaan keluarga kepala pemberontak An Lu Shan yang kini telah mengangkat diri sendiri menjadi kaisar itu. An Lu Shan pernah berselisih dengan puteranya, An Kong, karena urusan wanita!
Memang sesungguhnya amat memalukan dan tidak pantas. Mereka memperebutkan seorang gadis istana yang tak sempat melarikan diri dan menjadi tawanan. Akhirnya, gadis yang diperebutkan itu tewas membunuh diri dan terjadilah suatu perasaan tak senang antara ayah dan puteranya itu.
Perasaan tidak senang itu ditambah lagi ketika Pangeran An Kong yang didukung oleh beberapa orang pejabat tinggi, terutama sekali oleh Bouw-koksu, mengusulkan agar dia diangkat menjadi pangeran mahkota. Kaisar menolak usul itu, mengatakan bahwa dia masih muda, belum saatnya dia mengangkat seorang calon penggantinya. Apa lagi, baru saja dia menjadi kaisar!
"Demikianlah, sumoi. Biarpun pada lahirnya tidak nampak sesuatu, akan tetapi sebetulnya, terdapat perasaan tidak puas di hati Pangeran An Kong terhadap ayahnya, dan perasaan curiga dan kecewa di hati kaisar terhadap puteranya itu. Aku sendiri tidak senang dengan adanya kenyataan ini, akan tetapi apa yang dapat kulakukan" Aku hanya seorang panglima, bahkan ayahku agaknya menjadi pendukung Pangeran An Kong.
Ah, aku menjadi bingung, dan karena itulah maka tadi kukatakan kepadamu bahwa aku lebih senang tetap berada di Khitan."
Percakapan mereka terhenti ketika muncul Nyonya Bouw Hun yang mengajak Kim Hong, untuk mengobrol dengannya di dalam rumah. Sementara itu, Pangeran An Kong yang menyusul Bouw Koksu, bertemu dengan pembesar itu diluar istana. Bouw Koksu baru saja meninggalkan istana dan Pangeran An Kong segera mengajaknya bicara di istana pangeran itu. Kini mereka duduk di dalam kamar rahasia, di mana mereka dapat bicara tanpa khawatir didengar atau diliihat orang lain.
"Saya menghaturkan selamat, Pangeran. Memang agaknya para dewata membantu Pangeran dan paduka memang sudah ditakdirkan untuk menjadi kaisar yang akan diakui oleh seluruh rakyat. Pusaka itu telah saya dapatkan, Pangeran!" kata Bouw Hun yang kini lebih dikenal dengan sebutan Bouw Koksu (Guru Negara Bouw).
Pangeran itu tersenyum dan wajah nya berseri. "Benarkah engkau sudah berhasil mendapatkan Giok-hong-cu (Burung Hong Kemala), tanda kekuasaan kasar itu, paman Bouw?"
"Bendanya sendiri belum, Pangeran, akan tetapi peta tempat penyimpanan benda itu telah saya peroleh, walaupun dengan harga mahal sekali. Sepuluh ribu tail harus saya keluarkan untuk membeli peta itu."
"Uang tidak menjadi persoalan. Ceritakan bagaimana pusaka tanda kekuasaan kaisar itu dapat kau peroleh?"
Bouw Hun lalu menceritakan bahwa semula mestika burung hong kemala itu oleh kaisar Beng Ong diserahkan kepada Menteri Yang Kok Tiong untuk disimpan. Kemudian, di pos penjagaan Ma-wei, para perajurit yang marah membunuh menteri itu. Kaisar sudah menyuruh Panglima Kok Cu mencari pusaka itu, namun tdak pernah dapat ditemukan.
Ternyata pusaka itu oleh Menteri Yang Kok Tiong, diam-diam disembunyikan, ditanam di sebuah tempat rahasia ketika rombongan kaisar yang lari mengungsi itu lewat di sebuah bukit. Yang Kok Tiong menyerahkan sebuah peta dari tempat rahasia itu kepada seorang pelayan yang disuruhnya kembali ke kota raja dan menyerahkan peta itu kepada puteranya, yaitu Yang Cin Han kalau puteranya itu kelak kembali ke kota raja.
"Souw Lok, pelayan Menteri Yan Kok Tiong itu tahu bahwa peta itu amat berharga, maka dia menjualnya kepada saya dengan harga selaksa tail."
"Bagaimana kalau ternyata peta itu palsu dan pusakanya tidak dapat ditemukan" Orang itu mungkin hanya seorang penipu....."
**********
Bouw Hun tersenyum dan mengelus jenggotnya yang lebat. "Apakah paduka kira saya begitu bodoh, Pangeran" Souw Lok itu baru saya beri lima ribu tail dan dia membuka sebuah toko dengan modalnya itu di kota raja.
Setiap gerak geriknya saya suruh amati dan dia tidak boleh meninggalkan kota raja sebelum pusaka itu ditemukan, dengan janji yang lima ribu tail lagi saya bayarkan. Akan tetapi kalau dia menipu dan pusaka itu tidak dapat ditemukan di tempat yang ditunjukkan peta, dia akan dihukum mati dan semua hartanya dirampas."
Pangeran An Kong tersenyum dan mengangguk-angguk. "Bagus sekali kalau begitu, paman. Sebaiknya paman cepat pergi mengambil benda itu di tempat di sembunyikannya. "
"Setelah melapor kepada paduka, besok juga saya akan mengirim sepasukan orang kepercayaan untuk pergi ke tempat itu dan mengambilnya, pangeran."
"Baik, aku percaya sepenuhnya ke padamu, paman. Setelah benda pusaka itu berada di tangan kita, baru kita laksanakan rencana kita yang ke dua. Dengan pusaka itu, tentu kedudukanku akan menjadi lebih kuat dan dapat menarik dukungan para pejabat lama yang masih. menguasai beberapa daerah lain. Akan tetapi ada satu hal lagi yang kurasa patut kau perhatikan, paman. Yaitu mengenai murid paman yang bernama Can Kim Hong itu."
Bouw Koksu terkejut. "Eh" Paduka sudah mengenalnya" Ada apakah dengan gadis itu, pangeran" ia memang cantik, apakah paduka......"
"Ah, jangan salah sangka, paman. Memang ia cantik menarik dan aku akan suka sekali andaikata ia dapat menjadi milikku, akan tetapi saat ini, yang menarik hatiku bukanlah kecantikannya, melainkan ilmu silatnya, paman.
Aku masih terheran-heran karena tadi aku melihat ia berlatih silat dengan puteramu, bahkan aku telah menguji tenaganya dan sungguh ia luar biasa sekali. Bagaimana mungkin paman dapat memiliki seorang murid wanita sehebat itu, yang tingkat kepandaiannya demikian tingginya. Aku sama sekali bukan tandingannya, paman!"
Tentu saja Bouw Hun terkejut mendengar ini, "Aih, saya sendiri juga baru saja bertemu dengan murid saya itu, pangeran. Selama dua tahun ia merantau dan berguru lagi dan mengingat bahwa ia menemukan seorang guru sakti, sangat boleh jadi kini tingkat kepandaiannya meningkat banyak. Akan tetapi mampu menandingi paduka" Sungguh tidak saya sangka....."
Bagaimana tidak akan heran perasaan hati Bouw Kok-su mendengar bahwa pangeran muda ini tidak mampu menandingi ilmu silat Kim Hong. Padahal, pangeran ini lihai sekali, tingkat kepandaiannya tidak berada disebelah bawahnya!
"Aku yakin akan kelihaiannya, paman. Karena itu, engkau harus dapat membujuk dan menariknya agar ia membantu kita. Kita membutuhkan tenaga orang orang lihai seperti muridmu itu."
Bouw Koksu tertawa gembira dan mengelus jenggotnya. "Ha-ha, harap paduka tidak khawatir, pangeran. Tentu saya dapat membujuknya, karena bagaimanapun, ia sudah seperti anak kami sendiri, bahkan kami merencanakan untuk menjodohkan Bouw Ki dengan Can Kim Hong.
"Bagus, itu lebih baik lagi, paman. Nah, sekarang harap paman suka membuat persiapan untuk mengambil pusaka itu secepatnya.'"
Bouw Koksu lalu berpamit dan kembali ke rumah gedungnya, disambut plej isterinya yang sudah mempersiapkan pesta keluarga untuk menyambut pulangnya Kim Hong.
Gadis itu merasakan keakraban mereka dan merasa terharu, juga gembira. Sedikit perasaan tidak enak sehubungan dengan peristiwa dua tahun ia ketika ia hendak dipaksa menjadi selir Bouw Ki, mulai menipis.
**********
"Kim Hong, aku membawa berita yang amat baik dan menggembirakan sekali untukmu!" kata Bouw Ki begitu dia memasuki rumahnya dan melihat sumoinya itu. Kim Hong sedang duduk bercakap-cakap dengan Bouw Hun dan ternyata pada sore hari itu. "Coba terka, berita apa yang akan kusampaikan padamu?"
Kim Hong memandang suhengnya yang nampak berseri wajahnya itu, lalu dengan penuh harapan ia bertanya, "Suheng, apakah engkau membawa berita tentang ayahku?"
"Tepat sekali, sumoi. Aku telah menyebar penyelidik sejak engkau pulang sepekan lalu dan sekarang aku telah menemukan ayah kandungmu yang bernama Can Bu itu. Dan, ha-ha-ha, sungguh mengherankan sekali, dia adalah seorang perwira dalam pasukan yang kupimpin!"
"Ah, luar biasa!" seru Bouw Hu sambil menepuk pahanya. "Kalau begitu kenapa aku tidak pernah melihat dia Dahulu, duapuluh tahun yang lalu, dia pun seorang perwira pasukan ketika di tertawan oleh pasukan Khitan dan menjadi tawanan, lalu hidup di antara bangsa Khitan."
"Para opsir atau perwira memang hanya berada di benteng, ayah," Bouw Ki menjelaskan. "Dan dia sendiri tidak pernah bertemu ayah. Diapun sama sekali tidak menyangka bahwa aku adalah anak kecil yang pernah dikenalnya di Khitan. Dia termasuk seorang di antara para perwira Kerajaan Tang yang telah menyerahkan diri dan menakluk, dan seperti ayah mengetahui, kita menerima tenaga bantuan para anggauta pasukan yang telah menyatakan takluk dan suka bekerja kepada pemerintah baru."
"Suheng, di mana dia" Aku ingin bertemu dengan ayahku!" kata Kim Hong dan ia merasa betapa jantungnya berdebar dan perasaan aneh dan tegang menghubungi hatinya. Dara ini belum pernah melihat ayahnya dan ia hanya pernah mendengar cerita ibunya bahwa ayahnya bernama Can Bu, seorang perwira yang gagah dan tampan.
Sekarang, suhengnya mengatakan bahwa ayah kandungnya itu menyerah kepada kekuasaan pemberontak, bahkan mengabdi kepada pemberontak. Di mana letak kegagahannya" Diam-diam ia merasa kecewa dan penasaran.
Agaknya ia akan lebih merasa lega dan bangga andaikata mendengar bahwa ayahnya, sebagai seorang perwira, telah gugur ketika melawan pasukan pemberontak yang menyerbu kota raja!
Tentu saja ia akan lebih senang dapat bertemu dengan ayahnya, akan tetapi bukan sebagai seorang perwira yang mengkhianati Kerajaan Tang, melainkan umpamanya saja, seorang perwira yang melarikan diri karena kalah perang dan menjadi rakyat biasa.
"Tenanglah, sumoi. Paman Can Bu sendiri masih merasa tegang dan bingung mendengar bahwa puterinya berada disini. Bahkan dia sudah hampir tidak ingat lagi bahwa dia mempunyai seorang puteri di Khitan, maklum sudah duapuuh tahun lebih dia meninggalkan Khitan.
Bahkan dia terkejut ketika kujelaskan bahwa ayah adalah orang yang di kenalnya sebagai Bouw Kok-su, yang dahulu menjadi kepala suku bangsa Khi tan. Dia sudah ikut bersamaku ke sini, akan tetapi dia menanti di luar karena aku tidak ingin menimbulkan kekagetan dan agar engkau dapat menerimanya dengan tenang."
"Aku ingin bertemu dengan dia suheng. Terima kasih atas bantuanmu.."
"Bouw Ki, bawa dia masuk ke sini. Akupun ingin bertemu dengan Saudara Can Bu yang meninggalkan Khitan dua puluh tahun yang lalu!" kata Bouw Hu gembira.
Bouw Ki berlari keluar dan tak lama kemudian, dia masuk kembali bersama seorang laki-laki berusia lima puluh tahun lebih, disambut oleh Bouw Hun dan isterinya, juga oleh Kim Hong yang hanya berdiri bengong, mengamati pria yang kini menjatuhkan diri berlutut dengan sebelah kaki memberi hormat kepada Bouw Kok-su.
"Aha, saudara Can Bu! Ya, aku masih ingat kepadamu. Lupakah engkau siapa aku, ha-ha-ha!" Bouw Kok-su berseru sambil tertawa.
Pria itu mengangkat muka dan memandang dengan bingung dan bimbang.
'Paduka...... benarkah paduka adalah Kepala Suku Bouw Hun yang dahulu....." Dan ciangkun ini putera paduka Bouw Ki yang dahulu masih kecil itu" Nyonya, maafkan saya dan terimalah hormat saya......" orang itu kembali memberi hormat.
"Bangkitlah, saudara Can Bu Hong dan duduklah. Kita adalah orang-orang sendiri, jangan terlalu sungkan dan sementara ini lupakan dulu segala kedudukan. Duduklah dan pandang baik-baik, siapa gadis ini?"
Can Bu bangkit berdiri dan memandang kepada gadis yang juga berdiri dan sedang mengamatinya itu. Kim Hong rasa lehernya seperti dicekik karena haru, akan tetapi juga ragu dan agak kecewa. Inikah orang yang selama ini dirindukannya"
Inikah orang yang dahulu, ketika ia masih kecil, ibunya menceritakannya dengan penuh kerinduan dan kekaguman" Inikah orang yang dicari-carinya itu" Memang wajahnya tidak jelek, cukup tampan, dan bentuk tubuh nya juga tegap sebagai seorang perajurit.
Akan tetapi gagah perkasa"
ia tidak melihat tanda-tanda itu pada tarikan muka dan pandang matanya, bahkan mata itu kelihatan sungkan dan bahkan malu-malu, agak gelisah malah, sama sekali bukan seperti mata seorang pendekar! Karena tegang dan terharu bercampur kecewa, Kim Hong diam saja, tidak tahu harus berbuat atau berkata apa.
"Paman Can Bu, inilah sumoi Can Kim Hong, puterimu dan mendiang bibi Khilani seperti yang kuceritakan itu. ia adalah anakmu, paman!" kata Bouw Ki seperti hendak menarik ayah dan anak itu dari alam lamunan yang membuat mereka hanya saling pandang sejak tadi.
"Anakku..... Ah, siapa kira hari ini aku dapat bertemu dengan anak ku....." Akhirnya Can Bu berkata, biar pun masih ragu, dia mengembangkan kedua lengannya.
"Ayah..... Bertahun-tahun aku selalu memikirkan orang yang menjadi ayah kandungku. Jadi engkau...... engkau ini ayahku....?" Kim Hong berkata lirih seperti kepada diri sendiri, dan iapun menghampiri pria itu. Ketika Can Bu merangkulnya, Kim Hong merasa aneh dan tidak nyaman, karena pria ini sama sekali asing baginya. Akan tetapi ia membiarkan saja pria itu merangkul dan mengelus rambutnya.
"Maafkan aku, anakku. Selama ini ...... ayahmu tidak mendapat kesempatan sama sekali untuk mencarimu, merawat dan mendidikmu," katanya dengan suara agak gemetar.
Dengan lembut Kim Hong melepaskan diri dari rangkulan ayahnya, melangkah mundur dua kali dan memandang wajah ayahnya, bertanya, "Sekarang.... dimana ayah tinggal dan dengan siapa ayah hidup?" Sukar baginya harus tinggal bersama seorang ibu tiri dan saudara-saudara tiri.
"Sumoi, Paman Can Bu hidup sebatang kara, tidak beristeri dan tidak mempunyai keluarga, tinggalnya di dalam benteng," kata Bouw Ki.
"Kalau begitu, biar dia tinggal saja di sini bersama Kim Hong!" kata Bouw Kok-su. "Bouw Ki, usahakan agar saudara Can Bu dipindah tugaskan, mulai sekarang bekerja sebagai kepala pengawal keluarga kita dan tinggal di sini, di rumah samping itu."
"Ah, itu baik sekali!" seru Bouw Ki. "Tentu paman Can setuju, bukan?"
Sebetulnya Kim Hong hendak menolak. Tidak senang ia kalau ayah kandungnya mondok di situ, yang berarti bahwa ia dan ayahnya menerima budi keluarga Bouw dan bahkan terikat dengan mereka. Akan tetapi ayahnya sudah cepat memberi hormat dan berkata dengan suara gembira sekali.
"Tentu saja saya setuju, ciangkun. Terima kasih banyak atas budi kebaikan Tai-jin dan Ciang-kun!"
Karena ayahnya telah menerimanya, tentu saja Kim Hong tak dapat berkata apa-apa lagi. ia masih merasa asing dengan ayahnya, masih sungkan untuk menegurnya. Kelak saja, perlahan-lahan ia akan membujuk ayahnya agar tinggal di luar gedung itu, di rumah sendiri sehingga tidak tergantung kepada siapapun, juga lebih bebas.
Setelah mendapat kesempatan untuk berdua saja dalam ruangan rumah samping, Kim Hong duduk berhadapan dengan pria yang dinyatakan sebagai ayah kandungnya itu. Mereka saling berpandangan sejenak, dan akhirnya Can Bu yang menundukkan pandang matanya lebih dahulu. Sinar mata gadis itu terlalu tajam, bagaikan pisau yang runcing menusuk sampai ke ulu hati.
"Kim Hong, kenapa engkau memandangku seperti itu?" tanya Can Bu yang sudah menunduk.
Gadis itu tetap mengamati wajah pria di depannya dengan pandang mata penuh selidik. "Engkau....... benarkah engkau ini ayah kandungku?" tiba-tiba ia bertanya dan Can Bu mengangkat muka, alisnya berkerut dan pandang matanya penasaran, marah.
"Hemm, pertanyaan ini bisa kukembalikan kepadamu, Kim Hong. Benarkah engkau ini anak kandungku" Bagaimana aku bisa menjawab pertanyaanmu itu" Kita tidak pernah saling berjumpa. Hanya ada satu hal yang pasti bagiku, yaitu aku pernah tinggal di Khitan duapuluh tahun lebih yang lalu, dan aku menikah dengan seorang wanita bernama Khilani.
Nah. kalau benar engkau ini puteri Khi lani, jelaslah bahwa engkau adalah anakku dan aku inilah ayah kandungmu. Kim Hong, kenapa engkau masih bertanya seperti itu, dan seolah meragukan bahwa aku ini ayah kandungmu?" Kini pandang mata Can Bu yang penuh selidik mengamati wajah Kim Hong.
Gadis itu menghela napas panjang. "Ayah, aku masih ingat betapa ibu menceritakan bahwa suaminya, ayah kandungku, adalah seorang perwira Kerajaan Tang yang gagah perkasa. Kini aku mendapatkan ayah memang seorang perwira, akan tetapi..... kenapa ayah membantu pemerintah yang didirikan pemberontak"
Wajah pria itu berubah agak pucat, matanya memandang ke sekeliling seperti orang ketakutan. "Ssttt....... apa yang kau ucapkan ini, Kim Hong"
Kalau terdengar orang lain, kita bisa celaka! Bukankah suhu dan suhengmu sendiripun menjadi orang-orang besar dalam pemerintahan ini?"
"Hemm, mereka lain lagi," kata Kim Hong, semakin kecewa melihat sikap ayahnya yang ketakutan itu. Mereka ada lah orang-orang Khitan yang sejak dahulu memang bermusuhan dengan Kerajaan Tang, bahkan suhu adalah kepala suku Khitan.
Tidak mengherankan kalau mereka bergabung dengan pemberontak dan kini menduduki jabatan tinggi. Akan tetapi engkau, ayah! Menurut ibu, engkau seorang bangsa Han. Kenapa sekarang engkau bahkan mengkhianati kerajaan dan bangsa sendiri?"
Can Bu mengerutkan alisnya dan memandang tak senang. "Kim Hong, engkau lancang. Sribaginda sendiri, ketika masih menjadi Panglima besar, juga seorang pejabat Kerajaan Tang, dan biarpun beliau itu masih mempunyai darah Khitan, akan tetapi sebagian besar para perwira dan perajuritnya adalah bangsa Han!
Pemberontakan itu dilakukan karena Kaisar Beng Ong amat lemah dipermainkan wanita, dan di istana terjadi perebutan kekuasaan yang memuakkan. Jangan kau salahkan ayahmu kalau sekarang aku mengabdi kepada pemerintah ini."
Kim Hong diam saja dan ia terngat akan cerita gurunya. Menurut guru nya, Kaisar Beng Ong memang di permainkan oleh seorang selir cantik yang bernama Yang Kui Hui, demikian cantiknya selir itu sehingga gurunya sendiri tergila-gila kepada selir itu.
Gurunya juga berpesan agar ia membela Kerajaan Tang dan membantu kaisar untuk merampas kembali tahta kerajaan dari tangan An Lu Shan, dan menemukan Giok-hongcu Gurunya, yang dahulu pernah berusaha membunuh Kaisar Beng Cng, kini bahkan menyuruh ia membela kaisar itu.
Kini ia mengerti mengapa. Kalau dahulu gurunya memusuhi kaisar, hal itu dilakukan karena dia seorang tokoh Beng-kauw yang menganggap kaisar lalim dan patut dilenyapkan agar kedudukan kaisar diganti oleh kaisar lain yang lebih bijaksana. Akan tetapi sekarang, lain lagi keadaannya.
Tahta kerajaan direbut oleh pemberontak An Lu Shan, seorang peranakan Han, yang tentu dianggap berdarah asing oleh gurunya. Karena itu gurunya menyuruh ia berpihak kepada pemerintah Kerajaan Tang.
"Kim Hong, kenapa engkau diam saja" Sudah mengertikah engkau sekarang mengapa ayahmu bekerja kepada pemerintah yang baru" Bahkan sekarang aku menjadi kepala pengawal keluarga gurumu, bukan lagi menjadi perwira pasukan."
Kim Hong menghela napas panjang agi, "Maafkan aku, ayah,. Terus terang saja, tadinya aku kecewa sekali melihat kenyataan ini. Ibu dahulu bercerita tentang ayah kandungku yang gagah perkasa, dan aku terlanjur membayangkan ayah sebagai seorang pendekar besar.
Kiranya kini ayah terlibat dalam pemberontakan, atau membantu pemerintah pemberontak. Akan tetapi aku sekarang dapat mengerti dan tidak menyalahkan ayah."
Can Bu menujulurkan tangan dan memegang tangan puterinya dari seberang meja. "Bagus, aku senang sekali mendengar itu, anakku. Dan kuharap engkau suka membantu ayah, membantu suhumu dan suhengmu......"
"Maaf, ayah. Aku tidak ingin melibatkan diri dengan urusan pemerintah kerajaan baru ini, tidak ingin pula membantu pekerjaan suhu dan suheng, walaupun tentu saja aku suka membantu pekerjaan ayah. Ayah hanya bertugas menjaga keselamatan keluarga suhu, bukan" Nah, aku akan membantu pekerjaan ayah."
"Akan tetapi, bagaimana kalau ayahmu menerima tugas yang lebih penting" Apakah engkau tetap mau membantu ku?"
"Tentu saja, aku akan membantu agar ayah melaksanakan tugasnya dengan baik dan berhasil, akan tetapi aku sendiri tidak mau langsung menerima perintah dari orang lain."
"Bagus, aku mendengar dari suhengmu, Bouw-ciangkun, bahwa engkau memiliki ilmu silat yang amat hebat, bahkan Pangeran An Kong sendiri mengagumi. Kalau engkau mau membantuku, maka tugas penting yang harus kukerjakan dalam beberapa hari ini tentu akan dapat kulaksanakan dengan baik."
"Tugas apakah itu, ayah?" Kim Hong mengerutkan alisnya, tidak mengira sama sekali bahwa ayahnya telah menerima tugas penting lain.
"Tugas ini amat berbahaya, dan tanpa bantuanmu, tadinya aku merasa khawatir sekali kalau gagal. Aku ditugaskan mengikuti rombongan pasukan yang akan dipimpin Bouw-ciangkun sendiri untuk mengambil sebuah pusaka kerajaan di tempat tersembunyi."
Kim Hong menatap wajah ayahnya dan jantungnya berdebar tegang.
"Pusaka apakah itu, ayah" Dan mengapa berbahaya untuk mengambilnya" Di mana tempat pengambilannya?" Dalam hatinya, Kim Hong teringat pesan gurunya, Si Naga Hitam, tentang pusaka yang dinamakan Mestika Hong Kemala!
"Pusaka itu amat penting bagi kerajaan, karena merupakan lambang kekuasaan kaisar. Pusaka itu hilang dan yang terakhir kalinya berada di tangan Menteri Yang Kok Tiong. Ketika menteri itu terbunuh, pusaka itu lenyap entah ke mana. Beruntung sekali gurumu, Bouw Koksu yang cerdik dan bijaksana, dapat menemukan peta di mana pusaka itu disembunyikan dan besok pagi, suhengmu akan memimpin pasukan untuk mengambil pusaka itu. Akupun dikut-sertakan, karena itu, aku mnta agar engkau suka turut pula memperkuat rombongan kita."
Kim Hong menelan kembali kata-kata "giok-hong-cu" yang sudah berada di ujung lidahnya dan ia pura-pura tidak tahu, akan tetapi dengan cepat ia meangguk. "Aku akan senang sekali membantu ayah dalam tugas penting itu, ayah." ia teringat akan pesan suhunya, dan ia akan melihat apakah benar yang akan diambil rombongan itu adalah gio hong-cu. Dan kalau benar demikian setidaknya ia tahu di mana adanya mestika yang diperebutkan itu!
Malam itu Kim Hong tidur dengan hati tenang, bagaimanapun juga, ia telah bertemu bahkan berkumpul dengan a-yah kandungnya, dan untuk tugas kedua yang diserahkan gurunya kepadanya, yatu membantu kaisar Tang menemukan kembali giok-hong-cu dan menentang pemberontak, agaknya dapat ia mulai dari kota raja itu sendiri! Tak seorangpun tahu akan isi hatinya dan akan tugasnya itu, dan ia dipercaya oleh pemerintah An Lu Shan! Memang ayahnya berada di pihak musuh, akan tetapi ia akan dapat membujuk dan menyadarkan ayahnya perlahan-lahan, kalau ia sudah akrab benar dengan ayah kandungnya itu.
**********
"Bukan main! Paman sungguh seorang pemberani! Aku merasa kagum dan bangga sekali padamu, paman!" kata pemuda itu sambil memandang orang yang duduk di depannya dengan sinar mata penuh kagum.
Dia seorang pemuda berusia duapuluh lima tahun, wajahnya tampan, sikapnya lincah, matanya bersinar-sinar penuh semangat dan kejenakaan, mulutnya tersenyum-senyum dan pakaiannya tidak teratur seenaknya sendiri.
Pemuda ini adalah seorang pemuda yang lincah Jenaka dan selalu gembira, akan tetapi di balik sikapnya yang bengal dan agak ugal-ugalan itu tersembunyi kepandaian yang hebat. Dia bernama Souw Hui San, dan dia sudah yatim piatu.
Di partai persilatan Go-bi-pai, namanya terkenal sekali karena dialah murid utama Gobi-pai, murid yang masih muda akan tetapi berkat bakat dan ketekunannya sejak kecil hidup di partai itu sebagai kacung lalu murid, maka dia telah menguasai hampir seluruh ilmu silat Go b i-pai dan terkenal sebagai seorang pendekar muda yang amat lihai.
Baru tga bulan dia tiba di Tiang-an, kota ra ja yang kini dikuasai kerajaan baru pemberontak An Lu Shan. Dia mempunyai seorang paman, yaitu adik mendiang a-yahnya, yang kini membuka sebuah toko di kota raja itu dan pamannya ini bernama Souw Lok.
Baru hari itu pamannya membuka rahasia kepada keponakannya, setelah dia merasa yakin benar bahwa keponakan nya kini telah menjadi seorang pendekar yang berilmu tinggi.
"Aku melakukan itu demi Kerajaan Tang, Hui San. Aku harus mencari jalan sebaiknya dan kebetulan sekali engkau datang. Hanya engkaulah yang dapat mebantuku."
"Paman Souw Lok, bagaimana sampai Menteri Yang mempercayakan pusaka itu kepada paman" Harap paman ceritakan sejelasnya agar aku mengerti persoalannya dan dapat bekerja sebaik mungkin. Para guruku di Gobi-pai, selain mengajarkan ilmu silat, juga mengajarkan bagaimana aku harus menjadi seorang warga negara yang baik dan setia kepada pemerintah. Karena itu, aku siap membantu paman demi kejayaan kembali Kerajaan Tang yang dijatuhkan pemberontak."
Souw Lok lalu bercerita. Dia adalah seorag pelayan dalam keluarga Menteri Yang Kok Tiong. Sejak muda dia kerja pada keluarga itu dan menjadi seorang pelayan setia yang dipercaya penuh oleh keluarga itu. Ketika Menteri Yang Kok Tiong menemani Kaisar Hsua Tsung mengungsi ke barat, Souw Lok inilah satu satunya pelayan yang mengikuti majikannya.
Ketika kaisar yang mengkhawatirkan keselamatan pusakanya yang penting, yaitu Giok-hong-cu, dan menitipkannya kepada Menteri Yang Kok Tiong, menteri itu menjadi gelisah dan bingung. Dia tahu betapa pentingnya Mestika Burung Hong Kemala itu.
Para pemberontak dan raja muda di daerah tentu akan berusaha memperebutkan pusaka itu, karena pusaka itu dianggap sebagai lambang kekuasaan seorang kaisar. Kemudian, Menteri Yang Kok Tiong mempunyai akal. Para pemberontak tentu akan mencurigai dia kalau tidak menemukan mestika itu pada kaisar.
Akan tetapi, tak seorangpun akan mencurigai Souw Lok, seorang pelayan. Karena itu, ada suatu malam, dalam perjalanan mengungsi itu, dia memanggil Souw Lok ke dalam kamarnya dan bicara empat mata dengan pelayan itu.
"Souw Lok, dapatkah aku mengharapkan kesetiaanmu kepadaku dan kepada Kerajaan Tang?" tanya Menteri Yang Kok Tiong.
"Tentu saja, Taijin. Hamba siap mengorbankan nyawa hamba demi Kerajaan Tang!"
"Aku percaya kepadamu, Souw Lok. Oleh karena itu maka kau kupanggil. Ku serahi tugas yang teramat penting, bahkan kejayaan kembali Kerajaan Tang kuserahkan ke dalam tanganmu."
Tentu saja Souw Lok terkejut bukan main dan sambil berlutut dia mendengarkan keterangan Menteri Yang Kok Tiong. Menteri itu menerima Mestika Burung Hong Kemala dari kaisar untuk diselamatkan. Menteri yang setia itu telah menyembunyikan benda pusaka itu di sebuah tempat rahasia, yaitu di dalam sebuah guha kecil yang mereka lalui dalam perjalanan mengungsi.
Tak seorangpun melihatnya dan dia sudah membuat kan peta tempat itu agar kelak muda di cari kembali.
"Biar andainya aku tertawan musuh dan disiksa sekalipun, aku tidak akan membuka rahasia benda pusaka itu," kata sang menteri, "akan tetapi kalau mereka menemukan peta ini di tubuhku, berarti pusaka itu akan terjatuh ke tangan musuh. Oleh karena itu kutitipkan peta ini kepadamu, Souw Lok. Tidak akan ada orang mencurigaimu. Bawalah peta ini ke Tiang-an, usahakan agar engkau dapat menyerahkan petai ini kepada seorang di antara anak-anakku Benda pusaka itu harus dipertahankan untuk membangkitkan kembali Kerajaan Tang."
Biarpun dia menggigil karena takut dan tegang, namun Souw Lok yang setia menerima juga peta itu. Lukisan yang kecil itu dapat dia sembunyikan dalam lipatan bajunya dan diapun meninggalkan rombongan kaisar yang melakukan perjalanan mengungsi, dan dia kembali ke Tiang-an yang sudah diduduki pemberontak An Lu Shan.
Dan tepat seperti perkiraan Kenteri Yang Kok Ting, tiada seorangpun mencurigai bahwa bekas pelayan ini memiliki peta rahasia tempat disembunyikannya benda yang diperebutkan oleh semua raja muda dan gubernur, juga dicari oleh An Lu Shan sendiri.
Mendengar cerita itu, Souw Hui San mengerutkan alisnya. "Ternyata paman memegang rahasia yang demikian pentingnya. Akan tetapi tadi paman mengatakan bahwa paman telah menjual peta itu kepada Bouw Koksu dan paman menerima banyak uang, dapat membuka toko ini.
Bagaimana pula ini, paman" Memang paman pemberani dan pintar, akan tetapi maafkan pertanyaanku, paman. Apakah paman hendak menjual negara.."
"Hushh, pamanmu bukan manusia serendah itu, Hui San! Ketahuilah bahwa dalam pengungsian mereka, Kaisar telah membicarakan urusan Mestika Burung Hong Kemala dengan Pangeran Mahkota dan Panglima Kok Cu Ketika Menteri Yang Kok Tiong terbunuh, mestika itu telah hilang dan tidak ada seorangpun mengetahui di mana mestika disimpan oleh mendiang Menteri Yang.
Percakapan mereka itu diam-diam didengarkan seorang thai-kam (sida-sida) dan orang i-ni menyebar desas-desus tentang hilang nya Mestika Burung Hong Kemala di tangan mendiang Menteri Yang Kok Tiong. Berita itu sampai pula ke sini dan tentu saja An Lu Shan memerintahkan semua pembantunya untuk ikut mencari dan memperebutkan pusaka itu. Usaha itu diserahkan kepada Bouw Koksu. Koksu ini segera menyelidiki siapa saja orang-orang yang dekat dengan Menteri Yan Kok Tiong ketika masih hidup.
Selain ke tiga putera dan puterinya, juga semua bekas pembantu rumah tangga dan pelayan dicurigai. Karena tiga orang puteranya tidak dapat ditemukan, maka semua bekas pelayan keluarga Yang ditangkapi, termasuk aku. Seorang demi seorang dipaksa untuk mengaku di mana disembunyikannya pusaka itu dan setiap orang yang mengatakan tidak tahu, disiksa sampai mati ."
"Hemm, betapa kejamnya Bouw Koksu," kata Hu San.
"Bekas kepala suku Khitan itu memang seorang yang kejam, lihai dan licik sekali. Karena melihat semua rekan tewas disiksa, tentu saja aku tidak mau mengalami siksaan sampai mati...."
"Dan paman lalu menyerahkan peta itu kepada Bouw Koksu dan menerima imbalan uang banyak....?"
"Hushh, jangan tergesa-gesa mengambil kesimpulan buruk!
Ketahuilah, kalau aku membiarkan diriku disiksa sampai mati, tentu pusaka itu untuk selamanya akan hilang dan tak akan dapat dikembalikan kepada Kerajaan Tang, karena hanya aku seoranglah yang mengetahui tempat persembunyiannya. Karena itu, aku lalu mengambil keputusan untuk tetap tinggal hidup akan tetapi juga menjaga agar pusaka itu tidak terjatuh ketangan pemberontak."
"Apa yang paman lakukan?"
"Diam-diam sebelumnya aku telah menghafalkan peta itu di luar kepala, dan aku sedikit mengubah peta itu. Kalau dalam peta aselinya tempat persembunyian pusaka itu berada diguha ke tiga, aku mengubahnya dengan tanda bawa benda itu disimpan di dalam guha ke tujuh. Ada sepuluh buah guha di bukit itu.
Nah, karena aku tidak ingin mati dan benda itu hilang begitu saja, ketika jatuh giliranku diperiksa, aku mengaku terus terang bahwa Menteri Yang memang memberikan sebuah peta kepadaku. Dan aku minta imbalan kalau petatu diminta oleh Bouw Koksu. Tentu saj Bouw Koksu memenuhi permintaanku dan memberiku lima ribu tail sebagai uang muka dan yang lima ribu tail lagi akan dia berikan setelah dia mendapatkan pusaka itu."
"Akan tetapi, paman. Kalau di mengambil pusaka itu di guha seperti yang ditunjukkan oleh peta paman, tentu dia tidak akan menemukannya dan paman tentu akan dianggap menipu dan menerima hukuman!"
Orang tua itu tersenyum. "Paman mu tidak setolol itu, Hui San. Tadinya memang aku akan segera melarikan diri membawa sisa uang setelah kubelikan toko ini, akan tetapi setelah engkau muncul, aku mendapat pikran lain. uka akan menemuka benda di guha itu, dan dia akan memberiku limaribu tail lagi akan tetapi pusaka itu tetap akan menjadi milik kita."
"Ehh" Bagaimana mungkin paman?"
"Hu San, selama ini aku diam-diam melakukan penyelidikan dan mengetahui bahwa sampai hari ini, Bouw Koksu belum mengirim orang untuk mengambil mestika itu. Hal ini menunjukkan bahwa ada maksud tertentu dalam hati Bouw Koksu.
Agaknya dia tidak langsung melapor kepada kaisarnya, dan mungkin saja dia hendak memiliki sendiri pusaka itu. Lihat, aku telah mempersiapkan ini." Souw Lok mengeluarkan sebuah buntalan kain kuning dan ketika buntalan kain itu dibuka, Hui San melihat sebuah benda yang indah, terbuat dari batu giok dan berbentuk seekor burung Hong!
"Inikah Giok-hong-cu itu" Akan tetapi..... telah berada di tangan paman!" serunya heran.
Souw Lok menggeleng kepalanya. "Aku telah mengeluarkan uang seribu tail untuk membujuk seorang ahli ukir kemala yang tinggal di luar kota raja, dan menyuruh dia buatkan ukiran seekor burung hong kemala seperti ini. Aku menyamar seorang kakek sehingga dia tidak thu siapa yang menyuruh dia membuatkan ukiran burung hong kemala."
"Jadi ini yang palsu" Untuk apa, paman" Ah, aku mengerti sekarang. Tentu paman hendak menipu Bouw Koksu dengan memberinya Giok-hong-cu yang palsu ini!"
"Engkau cerdik, Hui San. Akan tetapi hanya engkau yang akan mampu melakukan siasatku itu."
Hui San tersenyum. Pemuda yang lincah Jenaka ini memang memuliki kecerdikan dan dia sudah dapat menduga dan mengerti apa yang dikehendaki pamannya.
"Paman sungguh cerdik bukan main! Tentu paman menghendaki agar aku membawa benda ini ke tempat rahasia itu, meletakkannya ke dalam guha ke tujuh, kemudian aku mengambil yang aselinya yang berada di dalami guha ke tiga dan membawanya ke sini.
Begitukah?"
Pamannya mengangguk-angguk. "Aku sendiri tidak berani melakukan itu karena kalau ketahuan orang lain, akan berbahaya. Axan tetapi engkau sudah mendemonstrasikan kepandaianmu dan aku yakin bahwa dengan kepandaianmu itu, engkau akan mampu melakukannya dengan baik. Biarkan Bouw Koksu mendapatkan Giok-hong-cu yang ini, dan yang aselinya tetap berada pada kita!"
"Lalu apa yang akan kita lakukan dengan Giok-hong-cu yang aseli itu, paman?" Pemuda itu memancing.
"Hemm, kita biarkan Bouw Koksu bergembira dengan Giok-hong-cu ini, dan aku menerima lagi limaribu tail. Setelah tu, baru aku meninggalkan kota raja dan hidup sejahtera di dalam dusun yang jauh dari sini, dan engkau kuserahi tugas untuk menyerahkan pusaka itu kepada seorang di antara putera mendiang Menteri Yang Kok Tiong, atau dapat juga langsung kepada Sri baginda Kaisar sendiri yang kini mengungsi ke se-cuan."
Pemuda itu mengangguk-angguk, ia tidak menyalahkan pamannya yang hendak menikmati hidup sebagai orang kaya di dusun. Bagaimanapun juga, pamannya telah berjasa menyelamatkan pusaka kerajaan Tang itu, dan yang ditipu oleh pamannya adalah pemcercntak.
"Baiklah, paman. Cepat beri gambaran yang jelas tentang letak tempat yang dimaksudkan itu."
Paman dan keponakan itu lalu bercakap-cakap dengan berbisik-bisik dan Souw Lok memberi keterangan yang sejelasnya. Keponakannya Itu diminta agar melakukan perjalanan barat, menyusuri sepanjang pantai sungai Yang-ce.
"Setelah kurang lebih lima ratus dari sini, engkau akan melihat pegunungan dan yang nampak dari tepi sungai itu adalah tiga puncaknya yang runcing, yang paling tengah tinggi runcing dan di kanan kirinya terdapat dua buah puncak yang sama tingginya, akan tetapi hanya setengah tinggi yang tengah. Kau dakilah pegunungan itu sampai engkau tiba dibukit batu karang.
Terus saja naik sampai ke puncaknya dan di sana engkau akan menemukan guha guha batu karang itu. Tak seorangpun akan mendatangi tempat yang kering kerontang itu, sama sekali tidak menarik karena tidak ada tumbuh-tumbuhan, hitung dari kiri ke kanan kalau berhadapan dengan tebing bukit karang akan ada sepuluh buah guha. Nah, hitung dari kiri, yang ke tiga dan ke tujuh. Jelas, bukan?"
Hui San mencatat semua itu di dalam hatinya dan malam itu juga dia berangkat membawa buntalan kuning ber Giok-hong-cu palsu yang dia masuk dalam buntalan besar pakaiannya. Sedang pedang tergantung di punggungnya Pemuda ini memang gagah perkasa tampan.
Usianya sudah duapuluh lima tahun, akan tetapi karena wajahnya selalu cerah gembira dengan senyum yang tak pernah meninggalkan bibirnya, nampak seperti baru berusia duapuluh tahun saja. Pakaiannya agak nyentrik, seenaknya sendiri, bahkan celananya kedodoran atau kebesaran, akan tetapi agaknya dia tidak perduli.
Juga rambutnya awut-awutan karena sehabis mandi tadi, sebelum berangkat, dia tidak menyisir rambutnya, hanya menyisir dengan jari-jari tangannya saja sehingga setelah kering menjadi awut-awutan dan acak-acakan.
Sebuah camping bundar yang ujungnya runcing tergantung di punggung, di atas pedang dan buntalan. Camping itu agak lebar dan baik sekali di pergunakan sebagai pelindung kepala dari panas hujan.
Hui San melangkah santai ketika
keluar dari pintu gerbang kota raja sehingga tidak menimbulkan
kecurigaan, bersama banyak orang yang keluar masuk pintu gerbang.
Akan tetapi setelah berada jauh di luar pintu gerbang, dia meninggaIkan jalan raya, kemudian menggunakan ilmu berlari cepat menuju ke barat. Tubuhnya berkelebat seperti larinya seekor kijang muda saja, kadang melompat jauh.
**********
Sungguh mengagumkan sekali kalau ada yang sempat menyaksikan dua orang gadis itu berlatih silat pedang.
Mereka berdua mempergunakan
sebatang pedang yang berkilauan
saking tajamnya dan gerakan mereka demikian ringan dan indah, bagaikan dua ekor kupu-kupu yang sedang memperebutkan sekuntum bunga untuk dihisap madunya. Tubuh mereka kadang nampak dan kadang tidak, dan hanya dua gulungan sinar pedang mereka yang saling belit dan saling tekan, tiba-tiba saja dua gulungan sinar pedang itu lenyap dan di situ telah berdiri dua orang gadis sambil melintangkan pedang di depan dada.
Yang seorang berusia duapuluh tahun, wajahnya cantik jelita dan agung, dengan tahi lalat kecil di dagu kiri, menambah indah dan manis sekal wajah itu. Kulitnyapun putih kemerahan, lembut halus seperti kulit bayi Sungguh sukar dapat dibayangkan betapa seorang gadis secantik dan selembut itu dapat memainkan pedang sedahsyat tadi.
Gadis ke dua yang berdiri di depannya lebih muda, usianya sekitar delapan belas tahun. Gadis inipun cantik jelita dan manis, mungil dengan bentuk tubuh lebih kecil dan ramping. Kalau gadis pertama nampak lembut, gadis yang lebih muda ini nampak lincah, galak dan sepasang matanya berapi-api penuh semangat hidup. Kulitnya tidaklah seputih gadis pertama, agak gelap, namun tidak mengurangi daya tariknya.
Mereka itu bukan lain adalah Yang Kui Lan dan Yang Kui Bi, kakak beradik puteri Menteri Yang Kong Tiong! Seperti telah kita ketahui, kakak beradik ini meninggalkan kota raja untuk mencari kakak mereka, Yang Cin Han dan mereka bertemu dengan Kong Hwi Ho-siang, seorang hwesio tua yang sakti dan menjadi muridnya. Dua orang dara ini tinggal dalam kuil Thian-bun-tang yang diketuai Pek-lian Ni-kouw, murid keponakan Kong Hwi Hosiang. Dua tahun lebih lamanya mereka tinggal di kuil tu.
Sekali waktu Kong Hwi Hosiang datang ke kuil dan mengajarkan ilmu silat kepada mereka. Juga dari suci mereka, Pek-lian Ni-kouw, mereka diberi pelajaran gin-kang (ilmu meringank tubuh). Dari suhu mereka, kedua orang dara ini selain menerima latihan menghimpun tenaga sin-kang, juga semua ilmu yang telah mereka kuasai, dimatangkan sehingga kini ilmu pedang Sian-li Kiam-sut yang pernah mereka pelajari dari Sin-tung Kai-ong menjadi lebih dahsyat. Selain itu, juga dua orang gadis itu menerima pelajaran ilmu toya yang amat hebat dari Kong Hwi Hosiang, yaitu ilmu Hongn Sin-pang (Toya Sak tangan dan Awan).
"Enci Lan, sudah cukup kita berlatih pedang. Mari kita berlatih ilmu toya kita," kata Kui Bi yang selalu lincah dan gembra.
"Baik, Bi-moi," kata Kui Lan dan iapun mencabut sebatang toya yang tadi ia tancapkan di atas tanah di taman bunga belakang kuil itu. Adiknya juga rnencabut toyanya dan kini keduanya sudah saling berhadapan sambil
memasang kuda-kuda dengan
melintangkan toya didepan dada.
Pedang mereka tadi mereka simpan kembali ke dalam sarung pedang yang berada di punggung.
"Silakan, enci Lan!" Kata Kui Bi. Kui Lan mengeluarkan bentakan halus dan iapun sudah menggerakkan
toyanya menyerang. Adiknya
menangkis dan membalas serangan encinya dan segera terdengar suara Lak-tok-tak-tok beradunya kedua batang toya itu. Makin lama gerakan mereka semakin cepat sehingga
nampak gulungan sinar putih seperti awan, dan angin menyambar-
nyambar, merontokkan daun-daun kuning di atas pohon. Itulah kiranya nama ilmu toya itu. Angin dan awan. Sinar toya itu seperti awan putih berarak, dan sambaran nya
mendatangkan angin besar!
Setelah merasa puas, keduanya
menghentikan gerakan toya. Ada
keringat tipis membasahi leher dan dahi ke dua orang gadis itu.
"Omitohud, tidak sia-sia jerih payah pinceng selama dua tahun ini. Kalian telah dapat menguasai Hong-in Sin pang dengan baik!"
keluar dari pintu gerbang kota raja sehingga tidak menimbulkan
kecurigaan, bersama banyak orang yang keluar masuk pintu gerbang.
Akan tetapi setelah berada jauh di luar pintu gerbang, dia meninggaIkan jalan raya, kemudian menggunakan ilmu berlari cepat menuju ke barat. Tubuhnya berkelebat seperti larinya seekor kijang muda saja, kadang melompat jauh.
**********
Sungguh mengagumkan sekali kalau ada yang sempat menyaksikan dua orang gadis itu berlatih silat pedang.
Mereka berdua mempergunakan
sebatang pedang yang berkilauan
saking tajamnya dan gerakan mereka demikian ringan dan indah, bagaikan dua ekor kupu-kupu yang sedang memperebutkan sekuntum bunga untuk dihisap madunya. Tubuh mereka kadang nampak dan kadang tidak, dan hanya dua gulungan sinar pedang mereka yang saling belit dan saling tekan, tiba-tiba saja dua gulungan sinar pedang itu lenyap dan di situ telah berdiri dua orang gadis sambil melintangkan pedang di depan dada.
Yang seorang berusia duapuluh tahun, wajahnya cantik jelita dan agung, dengan tahi lalat kecil di dagu kiri, menambah indah dan manis sekal wajah itu. Kulitnyapun putih kemerahan, lembut halus seperti kulit bayi Sungguh sukar dapat dibayangkan betapa seorang gadis secantik dan selembut itu dapat memainkan pedang sedahsyat tadi.
Gadis ke dua yang berdiri di depannya lebih muda, usianya sekitar delapan belas tahun. Gadis inipun cantik jelita dan manis, mungil dengan bentuk tubuh lebih kecil dan ramping. Kalau gadis pertama nampak lembut, gadis yang lebih muda ini nampak lincah, galak dan sepasang matanya berapi-api penuh semangat hidup. Kulitnya tidaklah seputih gadis pertama, agak gelap, namun tidak mengurangi daya tariknya.
Mereka itu bukan lain adalah Yang Kui Lan dan Yang Kui Bi, kakak beradik puteri Menteri Yang Kong Tiong! Seperti telah kita ketahui, kakak beradik ini meninggalkan kota raja untuk mencari kakak mereka, Yang Cin Han dan mereka bertemu dengan Kong Hwi Ho-siang, seorang hwesio tua yang sakti dan menjadi muridnya. Dua orang dara ini tinggal dalam kuil Thian-bun-tang yang diketuai Pek-lian Ni-kouw, murid keponakan Kong Hwi Hosiang. Dua tahun lebih lamanya mereka tinggal di kuil tu.
Sekali waktu Kong Hwi Hosiang datang ke kuil dan mengajarkan ilmu silat kepada mereka. Juga dari suci mereka, Pek-lian Ni-kouw, mereka diberi pelajaran gin-kang (ilmu meringank tubuh). Dari suhu mereka, kedua orang dara ini selain menerima latihan menghimpun tenaga sin-kang, juga semua ilmu yang telah mereka kuasai, dimatangkan sehingga kini ilmu pedang Sian-li Kiam-sut yang pernah mereka pelajari dari Sin-tung Kai-ong menjadi lebih dahsyat. Selain itu, juga dua orang gadis itu menerima pelajaran ilmu toya yang amat hebat dari Kong Hwi Hosiang, yaitu ilmu Hongn Sin-pang (Toya Sak tangan dan Awan).
"Enci Lan, sudah cukup kita berlatih pedang. Mari kita berlatih ilmu toya kita," kata Kui Bi yang selalu lincah dan gembra.
"Baik, Bi-moi," kata Kui Lan dan iapun mencabut sebatang toya yang tadi ia tancapkan di atas tanah di taman bunga belakang kuil itu. Adiknya juga rnencabut toyanya dan kini keduanya sudah saling berhadapan sambil
memasang kuda-kuda dengan
melintangkan toya didepan dada.
Pedang mereka tadi mereka simpan kembali ke dalam sarung pedang yang berada di punggung.
"Silakan, enci Lan!" Kata Kui Bi. Kui Lan mengeluarkan bentakan halus dan iapun sudah menggerakkan
toyanya menyerang. Adiknya
menangkis dan membalas serangan encinya dan segera terdengar suara Lak-tok-tak-tok beradunya kedua batang toya itu. Makin lama gerakan mereka semakin cepat sehingga
nampak gulungan sinar putih seperti awan, dan angin menyambar-
nyambar, merontokkan daun-daun kuning di atas pohon. Itulah kiranya nama ilmu toya itu. Angin dan awan. Sinar toya itu seperti awan putih berarak, dan sambaran nya
mendatangkan angin besar!
Setelah merasa puas, keduanya
menghentikan gerakan toya. Ada
keringat tipis membasahi leher dan dahi ke dua orang gadis itu.
"Omitohud, tidak sia-sia jerih payah pinceng selama dua tahun ini. Kalian telah dapat menguasai Hong-in Sin pang dengan baik!"
Kedua orang gadis itu cepat
menengok dan memberi hormat
kepada hwesio bertubuh gemuk
seperti Ji-lai-hud. Hwesio yang
mulutnya sudah tidak bergigi lagi itu, yang tubuhnya gendut dan mukanya selalu tersenyum lebar, adalah Kong Hwi Hosiang, hwesio perantau yang sakti.
"Suhu......!" Dua orang gadis itu
mengangkat kedua tangan depan dad
memberi hormat.
"Omitohud! Kui Lan dan Kui Bi pinceng melihat bahwa kalian telah berhasil baik dan sekarang sudah tiba saatnya bagi kalian untuk
meninggalkan kuil Thian-bun-tang,
kecuali kalau kalian berdua ingin
menjadi biarawati!"
Kakak beradik itu saling pandang,
kemudian Kui Bi mewakili encinya
berkata, "Suhu, teecu berdua tidak
ingin menjadi biarawati!"
Hwesio itu tertawa bergelak. "Ha ha-ha-ha, siapa yang menyuruh kalian
menjadi biarawati" Akan tetapi,
menjadi biarawati hanyalah
merupakan tanda lahiriah belaka
karena sesungguhnya, baik pendeta
ataupun orang biasa, memiliki
kewajiban yang sama dalam hidup ini, yaitu menjadi manusia yang baik dan berguna bagi rakyat, bagi negara, dan bagi manusia sendiri.
Nah, berkemaslah kalian dan hari ini juga kalian boleh meninggalkan kuil. Ingat, pergunakan semua kepandaian yang telah kalian pelajari dengan tekun untuk perbuatan yang baik dan benar. Nah, pinceng mau pergi lebih dulu!"
Setelah berkata demikian, sekali mengebutkan lengan bajunya, hwesio itu telah lenyap dari taman itu. Kui Lan dan Kui Bi cepat menjatuhkan diri berlutut ke arah perginya guru mereka.
"Terima kasih, suhu!" seru mereka berbareng dan sikap ini saja sudah menunjukkan betapa kedua orang gadis ini telah dapat menanggalkan semua ketinggian hati yang timbul dari lingkungan keluarga mereka. Keduanya adalah puteri menteri yang berkuasa, dan sejak kecil hidup dalam kemuliaan, kemewahan dan
penghormatan.
Kini, mereka tidak ragu untuk
menghormati guru mereka, seorang hwesio tua yang miskin, dengan
berlutut di atas tanah, tidak perduli
bahwa lutut celana mereka menjadi
kotor karenanya.
Ketika mereka menghadap Pek-lian Ni-kouw, sebelum mereka melapor tentang ucapan suhu mereka tadi, Pek-lian Ni-kouw sudah mendahului mereka.
"Omitohud......, su-pek (uwa guru)
telah memberi tahu kepada pin-ni
bahwa sumoi berdua akan
meninggalkan kuil hari ini. Aih,
betapa kuatnya ikatan batin
mencengkeram perasaan manusia.
Omitohud..'.... pin-ni yang sudah
belasan tahun mengasingkan diri di kuil, tetapi saja masih dapat
dicengkeram sehingga di saat
perpisahan dengan sumoi berdua,
hati ini merasa sedih dan
kehilangan!" Nikouw itu menghela
napas panjang.
Kedua orang gadis bangsawan itu
memegang tangan nikouw itu dari
kanan kiri. "Suci, percayalah, kami
berdua selamanya tidak akan dapat melupakan kebaikan suci dan kelak, kalau ada kesempatan, kami pasti
akan datang berkunjung," kata Kui
Lan dengan suara terharu.
Kui Bi tertawa.
"Aih, suci. Di mana ada pertemuan
tanpa perpisahan" Justeru pertemuan menjadi peristiwa yang
membahagiakan kalau didahului
dengan perpisahan, bukan" Kami
berterima kasih sekali kepada suci yang selama ini bukan hanya
bersikap amat manis budi kepada
kami., bahkan telah mengajarkan gin-kang secara, sungguh-sungguh kepada kami."
Pek-lian Ni-kouw tersenyum dan
hatinya terhibur oleh sikap lincah Kui Bi. "Omitohud, kenapa kita bertiga
menjadi seperti tiga orang anak kecil" Hayo, kalian cepat berkemas dan
berangkat selagi hari masih pagi!" Dengan lembut ia mendorong kedua
orang sumoi nya itu yang segera
memasuki kamar mereka untuk
berkemas.
Setelah dua orang gadis itu berganti
pakaian, membawa buntalan pakaian di punggung, pedang di punggung dan muncul pula di ruangan depan, Pek-lian Ni-kouw merangkul mereka
seorang demi seorang dan dengan
suara agak gemetar ia berkata, "Lan-sumoi, dan Bi-sumoi, kalian adalah adik-adik seperguruan, kan tetapi aku merasa seolah kalian ini seperti anak-anakku atau keponakanku sendiri.
Kalian telah mempelajari banyak ilmu pembela diri yang cukup kuat, akan tetapi waspadalah selalu.
Di dunia ini banyak terdapat orang jahat. Apa lagi kalian adalah dua
orang gadis yang cantik jelita dan
menarik. Pin-ni khawatir kalau dalam perjalanan kalian akan menemui
banyak godaan dan gangguan."
"Harap suci tidak khawatir. Kiranya
tidak percuma suhu mengajarkan
ilmu kepada kami, juga suci telah
mengajar kami bagaimana untuk
dapat membela diri dengan baik.
Kami pasti akan manipu menjaga
diri, suci," kata Kui Bi.
"Kalian sudah mendengar bahwa kota raja Tiang-an telah diduduki
pemberontak. Lalu ke mana sekarang kalia hendak pergi?" tanya pula Pek-lian Nikouw yang masih saja
mengkhawatirkan keadaan dua orang sumoinya yang amat disayangnya itu.
"Kami sudah mendengar bahwa Sri-baginda Kaisar bersama ayah kami dan bibi mengungsi ke barat. Kami akan menyusul ayah ke sana, suci," kata Kui Lan .
"Sebaiknya begitu. Kita tidak tahu apa yang telah terjadi, hanya mendengar bahwa kota raja diduduki
pemberontak dan Sribaginda
melarikan diri ke barat. Mudah-
mudahan saja kalian akan dapat
bertemu dengan keluarga kalian. Pin-ni hanya akan berdoa untuk kalian berdua sumoi."
"Terima kasih, suci."
Dua orang gadis itu lalu pergi
meninggalkan kuil di mana selama lebih dua tahun mereka tinggal dan berlatih silat, diantar oleh Pek-lian Ni-kouw dan para nikouw lain sampai ke luar pekarangan kuil itu. Setelah jauh meninggalkan kuil, baru kedua orang gadis itu berhenti untuk menentukan arah ke mana mereka hendak pergi.
"Enci Lan, apakah tidak sebaiknya
kalau kita lebih dahulu pergi ke
Tiang-an?" kata Kui Bi ketika dua orang gadis itu duduk di tepi jalan gunung itu, di atas batu besar.
"Aih, kenapa kesana, Bi-moi"
Bukankah kota raja telah diduduki
musuh" Akan berbahaya sekali kalau
kita ke sana. Dan menurut berita,
ayah menemani Sribaginda Kaisar
mengungsi ke barat. Sebaiknya kalau kita langsung saja menyusul ke barat."
"Akan tetapi aku ingin sekali
mengetahui apa yang telah terjadi dengan keluarga kita, enci."
"Kalau begitu, mari kita mencari
keterangan yang jelas lebih dulu, baru kita menentukan langkah apa yang
akan kita ambil "
Keduanya melanjutkan perjalanan menuju ke kota raja Tiang-an. Setelah tiba di beberapa dusun dan kota,
mereka mencari keterangan dan
mendengar berita simpang siur
tentang keluarga Menteri Yang Kok Tiong. Ada yang mengabar kan bahwa menteri itu tertawan pemberontak, ada yang mengabarkan bahwa
keluarga orang tua mereka telah
dibunuh pemberontak, ada pula yang mengabarkan bahwa keluarga
mereka itu telah ikut mengungsi
bersama kaisar.
Kedua orang gadis itu merasa bingung dan berduka. "Enci Lan, sebaiknya
kalau kita membagi tugas. Seorang
pergi menyusul ke barat, dan seorang lagi menyelidiki ke kota raja."
"Akan tetapi, amat berbahaya kalau memasuki Tiang-an, Bi-moi. Kalau ada yang tahu bahwa kita adalah puteri Menteri Yang, tentu pemerintah
pemberontak akan menangkap kita."
"Begini saja, enci Lan. Biar aku yang memasuki Tiang-an dan menyelidik keadaan orang tua kita. Engkau
berangkatlah dulu ke barat menyusul rombongan kaisar. Tentu tidak sukar mencari jejak rombongan itu. Setelah aku mendapat keterangan di kota
raja, baru aku akan menyusul pula ke sana."
"Akan tetapi, berbahaya sekali ke Tiang-an!"
"Aku akan berhati-hati dan
menyamar, enci Lan. Pula, andaikata ada terjadi sesuatu dengan diriku,
masih ada engkau di sana! Asal
jangan kita berdua yang tertimpa
malapetaka, seorang di antara kita
masih akan mampu berjuang untuk membela Kerajaan Tang!" kata Kui Bi penuh semangat.
"Pula, bukan hanya perjalananku ke Tiang-an yang berbahaya, juga
tugasmu menyusul ke barat tidak
kurang bahayanya. Bahkan
perjalananmu lebih jauh dan sukar dibandingkan aku. Ke Tiang-an dekat saja, akan tetapi menyusul
rombongan Sri baginda ke barat"
Entah sampai dimana akhir
perjalanan itu. Sudahlah, enci Lan, saat ini tidak perlu kita bimbang dengan ragu dan khawatir, mari kita membagi tugas ini. Ingat akan pesan dan nasihat suhu!"
Melihat gairah dan semangat adiknya, timbul pula semangat Kui Lan ia memang seorang gadis yang lembut, tidak sekeras adiknya, akan tetapi
pengalaman pahit membuat ia
maklum bahwa ia tidak boleh terlalu lemah menghadapi kehidupan yang penuh tantangan ini. ia teringat akan nasihat sucinya, Pek-lian Ni-kouw
yang mengatakan bahwa kehidupan merupakan tantangan.
Baru dilahirkan saja seorang manusia sudah menangis, tanda bahwa dalam kehidupan dia akan menghadapi
segala macam tantangan! Justeru di
dalam tantangan-tantangan itulah
letak seni kehidupan. Tanpa adanya tantangan, kehidupan tentu akan
hambar dan tidak ada artinya Justeru dengan adanya kesukaran, kesulitan, kegagalan dan sebagainya itulah
maka hidup ini terasa hidup, penuh gerak, penuh daya dan upaya. Seni
hidup adalah menghadapi semua
tantangan dan mengatasinya!
Orang yang putus asa, orang yang menyerah terhadap keadaan, adalah orang yang tidak menunaikan tugas kehidupan ini. Kita dilahirkan untuk berdaya upaya menghadapi semua
tantangan hidup. Pergunakan segala anggauta jasmani, segala daya akal pikiran, untuk berikhtiar mengatasi semua kebutuhan dan kesulitan
hidup, itulah tugas kewajiban setiap orang manusia Dan semua usaha ini didasari kepercayaan, iman dan
penyerahan kepada Yang
Menciptakan segala yang ada, ya Yang Maha Pencipta, Maka Kuasa dan Maga Pengasih.
"Baiklah, Bi-moi, mari kita membagi tugas!" katanya dengan semangat
yang mulai bangkit. Adiknya
memandang dengan wajah berseri.
"Nah, kita berpisah di sini, enci Lan. Semoga tak lama lagi kita akan dapat saling berjumpa. Kalau aku sudah mendapat tahu keadaan sebenarnya yang terjadi di kota raja, tentu aku akan segera menyusul ke barat. Entah siapa nanti yang lebih dulu dapat bertemu dengan Han-toako dan ayah ibu, aku atau engkau."
"Selamat berpisah, adikku." Mereka berangkulan dan berciuman, lalu mengambil jalan masing-masing. Kui Bi menuju ke kota raja Tiang-an sedangkan Kui Lan menuju ke barat.
**********
Yang Kui Lan memasuki kota Liu-ba di pegunungan Cin-lingsan. Kota ini cukup ramai dan hari telah menjelang senja ketika gadis itu memasuki kota ini. Di sepanjang penjalanan ia telah mendengar ke arah mana perginya
rombongan pengungsi kaisar, ia
merasa ia lapar dan memasuki
sebuah rumah makan yang berada di sudut kota. ia mengambil keputusan
untuk makan dulu, kemudian
mencari penginapan dan besok pagi pagi sekali melanjutkan perjalanan.
Rumah makan Itu tidak berapa besar, hanya ada belasan buah meja di situ, itupun tidak penuh, hanya setengah nya terisi tamu. Kui Lan memilih
sebuah meja kosong, tidak
memperdulikan pandang mata para tamu di tempat itu yang semua
menoleh dan memandang kepadanya dengan penuh kagum. Memang Kui Lan seorang gadis yang cantik jelita.
Wajahnya mirip sekali dengan bibinya, mendiang Yang Kui Hui, selir kaisar yang kecantikannya membuat kaisar tergila-gila. Biarpun Kui Lan sama sekali tidak menghias mukanya, tanpa bedak tanpa gincu, juga
rambutnya disanggul biasa tanpa
hiasan, pakaiannya juga sederhana sesuai dengan nasihat sucinya, Pek-
lian Ni-kouw, namun kecantikannya
yang aseli bahkan membuat semua pria di rumah makan itu, termasuk para pelayan dan pemilik rumah
makan, memandangnya penuh
kagum.
Hanya ada satu orang saja di antara para tamu yang tidak memandang
kepadanya, walaupun tamu itupun
melihat ia memasuki rumah makan. Tamu yang sikapnya berbeda dari
yang lain ini adalah seorang pemuda yang berpakaian sederhana pula,
namun wajah nya tampan dan gagah,
sikapnya tenang dan pendiam.
Kebetulan sekali ketika Kui Lan
mengambil tempat duduk, tanpa
sengaja ia duduk menghadap ke arah pemuda itu. yang juga duduknya
menghadap kepadanya sehingga
tanpa dapat dicegah lagi mereka
saling pandang.
Akan tetapi pemuda itu dengan sopan segera mengalahkan pandang
matanya. Hal ini justeru menarik
perhatian Kui Lan. Semua tamu
menoleh dan memandang kepadanya dengan mata seperti srigala
kelaparan, akan tetapi pemuda itu
bahkan mengalihkan pandang mata!
Iapun menunduk, akan tetapi
kerlingnya dengan tajam kadang
menyambar ke arah meja di depan itu walaupun ia tidak secara langsung
memandang kepada pemuda tadi.
Pelayan datang menghampiri dan
iapun memesan nasi dani dua macam sayuran. Telah dua tahun lebih ia tinggal di kuil, setiap hari pantang makan daging seperti para nikouw, maka iapun memilih sayur yang tidak mengandung banyak dagingnya, ia bukan memantang daging, hanya
sudah terbiasa makan sayuran
Pelayan itu memandang heran.
Seorang gadis yang cantik ini,
memesan masakan yang begitu
sederhana dan murah. Agaknya
seorang gadis yang tidak membawa banyak uang, pikirnya.
Karena Kui Lan tidak mau
memperdulikan keadaan
sekelilingnya, ia tidak tahu bahwa di meja sebelahnya, yang berada di belakangnya, duduk tiga orang yang dari pakaiannya dapat diketahui
bahwa mereka adalah tiga orang
perwira.
Usia mereka antara
tigapuluh sampai empatpuluh tahun, dan dari wajah mereka mudah
diketahui pula bahwa mereka
bukanlah bangsa pribumi, melainkan suku bangsa utara karena wajah
mereka seperti wajah orang Mancu atau Uigur. Juga logat bicara mereka, biarpun menggunakan bahasa Han, kedengaran asing .
Ketika pelayan datang mengantarkan nasi dan dua mangkok sayuran
kepada Kui Lan , sebelum gadis itu mulai makan, tiba-tiba saja tiga orang perwira itu bangkit dan menghampiri meja Kui Lan. Gadis ini mengangkat muka melihat tiga orang perwira itu berdiri di depannya, terhalang meja.
Kui Lan memandang mereka dengan sinar mata bertanya, tanpa
mengeluarkan sepatahpun kata. Gadis ini memang berwatak lembut, tidak seperti adiknya yang tentu akan
segera membentak dalam keadaan
seperti itu. Melihat gadis jelita itu
hanya memandang dan tidak
kelihatan marah dengan kemunculan
mereka, tiga orang perwira itu
menganggap bahwa gadis itu
merupakan makanan lunak bagi
mereka.
Seorang di antara mereka, yang
kumisnya melintang panjang kecil, menyeringai, memperlihatkan
deretan gigi kuning yang tidak rata, lalu berkata dengan suara yang
terdengar amat ramah.
"Nona, orang secantik nona tidak
sepatutnya makan nasi dengan sayur saja tanpa daging. Marilah, nona,
kami bertiga mengundang nona
untuk makan di meja kami. Kami
sediakan hidangan yang paling lezat untuk nona, juga anggur manis yang harum."
Di dalam hatinya, Kui Lan marah
kepada tiga orang yang lancang
berani menegur seorang gadis yang tidak mereka kenal, akan tetapi
karena ucapan si kumis panjang itu
ramah, iapun menggeleng kepala
tanpa menjawab, lalu mengambil
sepasang sumpit di tangan kanan, dan mengangkat mangkok nasi di tangan kiri, mulai akan makan tanpa
memperdulikan mereka.
"Ah, agaknya nona ini malu-malu,"
kata perwira ke dua yang tubuhnya tinggi besar dan matanya melotot
lebar. "Kalau begitu, biarlah kami
bertiga yang pindah ke mejamu, nona. Heiii pelayan! Pindah-pindahkan
hidangan kami ke meja ini !"
Pelayan datang berlarian dan tiga orang perwira itu kini duduk di
seputar meja Kui Lan, ketiganya
menyeringai dan mata merekpun
memandang wajah Kui Lan seperti
hendak menelannya bulat-bulat. Kui Lan mulai marah, akan tetapi ia
masih menahan sabar.
Ia menyambar buntalan pakaiannya, dan membawa mangkok nasi dan
mangkok sayurannya, lalu ia berjalan menuju ke meja lain yang kosong,
dekat dengan meja pemuda yang tadi mengacuhkannya, lalu duduk dan
mulai makan nasi dan sayurannya,
tanpa memperdulikan tiga orang
perwira itu.
Perwira ke tiga, yang tinggi kurus dan mukanya kuning pucat seperti orang berpenyakitan, menjadi marah.
Dengan langkah lebar dia
menghampiri meja Kui Lan . "Heii, nona sombong! Buka matamu baik-baik. Kami adalah tiga orang perwira dari kerajaan baru! Berani engkau menolak undangan kami, bahkan tidak memperdulikan kami?"
Kui Lan bangkit berdiri, ia memang
tidak pandai bicara, juga merasa
segan untuk bertindak kasar, akan tetapi kemarahan membuat menekan sepasang sumpit dengan
tangan kanannya sepasang sumpit itu amblas masuk kedalam meja sampai tembus!
"Aku tidak sudi dipaksa oleh apapun!" katanya dan ia mengeluar sepotong uang perak dari buntalannya dan sekali banting, potongan perakpun amblas masuk ke dalam meja yang tebal itu. Kemudian, ia menyambar buntalannya dan pergi meninggalkan rumah makan itu tanpa berkata
apapun !
Tiga orang perwira itu menyaksikan demonstrasi tenaga sinkang gadis cantik itu. Akan tetapi, agaknya mereka masih merasa penasara apa lagi merasa malu melihat betapa
depan umum seorang gadis Han
berani menolak undangan mereka.
Itu bagi mereka merupakan
penghinaan yang besar! Sebagai
anggauta pemberontak yang merasa menang, tentu saja mereka merasa
berkuasa dan setiap orang rakyat
harus tunduk dan taat kepada
mereka!
Mereka lalu melangkah keluar,
menggapai belasan orang perajurit
anak buah mereka yang menanti di luar rumah makan, kemudian mereka memimpin belasan orang perajurit itu untuk melakukan pengejaran pada
gadis yang nampak berjalan keluar
dari pintu kota Liu-ba. Kui Lan
memang merasa jengkel sekali dan
peristiwa di rumah makan tadi
membuat ia mengambil keputusan
untuk melanjutkan perjalanan saja dan kalau perlu bermalam di luar kota karena ia merasa tidak senang lagi tinggal di kota itu.
Akan tetapi belum lama dia keluar dari pintu gerbang kota itu, tiba-tiba terdengar derap kaki kuda dan
belasan orang berkuda
mengepungnya. Mereka itu
berloncatan turun dan ia melihat bahwa tiga orang perwira yang tadi, memimpin belasan orang perajurit,
telah mengepungnya.
Tiga orang perwira itu menghadang Kui Lan yang bertanya denganlembut, "Kalian ini mau apa menghadang dan mengepungku?"
"Ha-ha-ha, nona manis. Engkaulah
bersikap kurang ajar dan menghina kami. Mudah saja bagi kami untuk
menuduhmu pemberontak dan
membunuhmu sekarang juga. Akan tetapi kalau engkau suka minta maaf dan mau menemani bersenang-
senang malam ini, engkau akan kami maafkan," kata si kumis pajang.
Kedua pipi yang putih halus menjadi merah sekali dan sepasang mata yang indah itu kini mencorong. "Engkau biadab dan jahat!" katanya.
**********
"Heh,heh, makin marah semakin
manis!" kata si kumis melintang dan
tiba-tiba saja kedua tangannya
bergerak ke depan, ke arah dada Kui Lan!
Gadis ini tidak mampu menahan
kesabarannya lagi. ia melangkah
mundur dengan gerakan seringan
burung dan begitu ka-kinya meluncur ke bawah, sepatunya telah
menyambar dagu si kumis panjang
dengan tenaga dahsyat.
"Krekk........!!" Bagaikan disambar
petir, si kumis melintang, terjengkang
dan terbanting, roboh terlentang
dengan mata terbelalak dan mulut
berdarah, tulang rahangnya patah!
Dia hanya mampu merintih-rintih.
"Gadis pemberontak!" bentak dua
orang rekannya. "Tangkap
pemberontak ini!"
Akan tetapi, tiba-tiba terdengar
bentakan nyaring. "Kalian manusia
taki tahu malu!" dan sesosok tubuh berkelebat, menerjang orang-orang di sekeliling Kui Lan dan empat orang telah roboh terpelanting.
Si tinggi besar dan si muka kuning memandang dan mereka melihat
seorang pemuda berdiri di depan
mereka. Kui Lan juga mengenal
pemuda itu. Bukan lain adalah
pemuda yang tadi duduk di rumah makan, yang berbeda dengan orang lain, sama sekali tidak
mengacuhkannya, bahkan ketika
bertemu pandang, segera
mengalihkan pandang matanya.
"Siapa kau" Pemberontak pula"!"
bentak si tinggi besar. Akan tetapi si
muka kuning terbelalak memandang pemuda itu.
"Engkau...... bukankah engkau .. Sia-
ciangkun ....?""
Si tinggi besar terkejut mendengar ucapan rekannya dan kini diapun
mengenal pemuda itu. Kalau tadi dia mengenalnya adalah karena pemuda itu berpakaian biasa, sedangkan dia mengenalnya sebagai seorang
panglima yang selalu berpakaian
seragam.
"Sia-ciangkun......, ga.....gadis ini..... ia seorang pemberontak ...." katanya dan sikapnya seperti orang ketakutan.
"Tutup mulutmu!" bentak pemuda itu dan sikapnya sungguh amat
berwibawa, seperti sikap seorang
atasan terhadap anak buahnya.
"Kalian kira aku tidak
mengetahuinya" Sejak di rumah
makan aku sudah melihat dan
mendengar kalian mengganggu nona ini dan sekarang kaukatakan ia
pemberontak.
Ulah kalian tidak seperti perwira,
sepantasnya menjadi buaya-buaya
darat rendahan!" Setelah berkata
demikian, dengan cepat sekali
tubuhnya bergerak. Si tinggi besar
dan si muka kuning mengaduh dan
terpelanting, dan semua perajurit
yang tadi mengepung Kui Lan juga
seorang demi seorang terpelanting
keras dihajar oleh pemuda itu.
Kui Lan berdiri dengan pandang mata penuh kagum. Pemuda itu memang
hebat, pikirnya. Wajahnya tampan,
sikapnya gagah perkasa, juga jelas
baik budi dan adil, dan melihat
gerakannya tadi, tentu memiliki ilmu
silat yang tangguh.
Pemuda itu memandang marah
kepada belasan orang yang sudah
dirobohkan semua. "Nah, sekarang
pergilah kalian. Kalau sekali lagi aku memergoki kaliai berbuat jahat, tentu takkan kuampun lagi. Pergi!"
Bagaikan sekawanan anjing
ketakutan, belasan orang itu
merangkak pergi.
"Nona, maafkanlah mereka. Memang
mereka itu orang-orang kasar yang
sudah sepantasnya menerima hajaran keras," kata pemuda itu, kini
berhadapan dengan Kui Lan dan
memberi hormat.
Kui Lan cepat membalas
penghormatan itu. "Terima kasih,"
gadis ini merasa rikuh dan salah tingkah, kedua pipinya kemerahan. Akan tetapi, diam diam ia merasa
penasaran karena tadi mendengar
betapa si tinggi besar menyebut
pemuda ini Sia-ciangkun, berarti
bahwa pemuda ini juga seorang
perwira pasukan pemberontak An Lu Shan yang telah menduduki kota raja!
"Apakah mereka itu anak buahmu
dan kau............ seorang perwira?"
Gadis itu mengangkat muka
memanjang dan dua pasang mata bertemu panjang. Menghadapi
pandang mata yang lembut namun
tajam penuh selidik itu, si pemuda nampak gugup juga. Pemuda perkasa yang tidak pernah gentar menghadapi lawan yang bagaimanapun juga, kini menjadi gugup begitu pandang
matanya bertemu dengan sepasang
mata yang amat jeli dan lembut, amat indah namun juga begitu tajam
sinarnya!
Kembali pemuda ini mengangkat ke dua tangan memberi hormat dan
berkata, "Dugaanmu memang benar,
nona. Namaku Sia Su Beng dan aku memang seorang.... panglima
kerajaan......."
"Ahhh.....!" Tentu saja Kui Lan merasa
tidak senang dan mengerutkan
alisnya, akan tetapi ada sesuatu yang menarik dalam ucapan pemuda itu.
Ketika mengaku dirinya sebagai
panglima kerajaan, pemuda itu
kelihatan ragu dan juga sungkan atau malu-malu!
"Nona, harap jangan salah sangka!"
katanya cepat. "Biarpun aku seorang panglima, namun sesungguhnya aku menentang pemberontakan An Lu
Shan.."
"Ssttt.....!" Kui Lan merasa khawatir
kalau-kalau ucapan itu terdengar
orang lain dan ia memandang ke
sekeliling.
"Nona, begitu engkau melawan tga
orang perwira dan pasukannya tadi
aku sudah menduga bahwa engkau
tentulah seorang yang menentang
pemerintah baru ."
"Ciangkun......"
"Aih, nona, jangan sebut aku
ciangkun."
"Mari kita bicara di tempat lain, di sini merupakan jalan raya," kata Kui Lan dan Sia Su Beng mengerti akan maksud gadis itu. Dia mengangguk lalu mengajak gadis itu meninggalkan jalan raya dan tak lama kemudian mereka sudah duduk berhadapan di atas batu, di sawah ladang yang sunyi dan dari tempat itu mereka dapat melihat kesekeliling yang terbuka sehingga mereka tidak perlu takut diintai dan didengar orang lain.
"Nona, aku telah memperkenalkan
diri. Kalau boleh aku mengetahui,
siapakah nona" Kulihat nona memiliki ilmu silat yang tangguh."
Kui Lan sudah bersepakat dengan
adiknya bahwa mereka berdua tidak
akan mengganti nama, akan tetapi
akan menanggalkan nama keluarga
mereka agar tidak dikenal orang.
"Nama keluargaku Kui dan namaku
Lan," jawabnya.
"Nona Kui Lan , nama yang indah
sekali!" kata pemuda itu sambil
tersenyum dan Kui Lan mencatat lagi
sifat yang menarik pemuda itu di
samping ketampanan dan
kegagahannya, yaitu pemuda ini
pandai bicara dan pandai pula
merayu! "Kalau boleh aku
mengetahui, nona dari perguruan
manakah?"
Kui Lan tersenyum dan Sia Su Beng merasa jantungnya seperti akan
copot. Senyum itu demikian
manisnya! "Maaf , ciangkun........"
"Aduh, nona Kui Lan , jangan sebut aku dengan pangkat yang
menyakitkan hati itu."
"Akan tetapi seorang panglima."
"Itu hanya demi perjuangan
menentang pemberontak An Lu Shan, harap sebut saja namaku atau cukup de ngan toako (kakak) saja"
"Tapi engkaupun menyebutku nona," kata Kui Lan, diam diam merasa
heran mengapa ia dapat begini akrab dengan cepatnya.
"Baiklah, aku siauw-moi (adik) dan
engkau menyebutku toako. Nah,
lanjutkan ceritamu, siapakah gurumu dan engkau dari perguruan mana
Lan-moi (adik Lan)?" Kui Lan merasa berdebar mendengar sebutan itu,
entah mengapa, sebutan itu biasa saja tetapi keluar dari mulut pemuda itu
terdengar demikian mesra dan indah!
"Maaf, .... toako. Aku bukan dari
perguruan manapun, dan terus terang saja, suhuku melarang aku
memperkenalkan namanya, harap
engkau maklum.
Tentu saja Kui Lan
mengatakan demikian hanya untuk
menyembunyikan keadaan dirinya.
"Ah, tidak mengapa, Lan-moi.
Memang, sebagai seorang gadis
sepertimu ini, tentu saja tidak
semestinya kalau baru saja bertemu lalu menceritakan segala sesuatu
mengenai dirimu. Baiklah aku yang akan lebih dulu memperkenalkan
keadaanku.
Sejak muda sekali aku
telah menjadi perwira dan aku
ditugaskan di utara, dibawah perintah komandanku, yaitu panglima An Lu Shan. Aku mengikuti setiap
perkembangan dan mengetahui
semua gerakannya, dan sebetulnya
aku sama sekali tidak setuju ketika
dia menggerakan pasukan untuk
memberontak dan menggulingkan
Kerajaan Tang."
"Akan tetapi kenyataannya, sekarang An Lu Shan telah menggulingkan Kerajaan Tang dan engkau tetap ....."
"Kenapa tidak kau lanjutkan, Lan-
moi" Katakan saja bahwa kenapa aku tetap menjadi panglimanya, berarti
aku membantu pemberontakannya"
Memang aku akui hal itu. Habis, apa
yang dapat di lakukan seorang
bawahan seperti aku" Terpaksa aku membiarkan dia melakukan
pemberontakan. Akan tetapi, diam-diam aku selalu mencari kesempatan untuk menggulingkannya, bahkan
kalau mungkin membunuhnya. Diam-diam aku mulai menghimpun tenaga untuk menguasai pasukan, dan
mengadakan pendekatan dengan para perwira yang diam-diam masih setia kepada Kerajaan Tang. Nah. aku
sudah membuka semua rahasiaku
kepadamu, nona eh, adik Lan."
Kui Lan merasa senang bukan main. Pemuda ini jelas tidak berbohong, dan mengapa begitu percaya kepadanya sehingga membuka rahasia yang
dapat membahayakan nyawanya itu" Kalau sampai rahasia itu ketanuan, tentu pemuda akan celaka! Ia merasa girang telah di percaya sedemikian rupa.
"Terima kasih atas kepercayaan-
toako, dan maafkan keraguanku
tadi.Sekarang aku mengerti dan aku tidak menyalahkanmu, bahkan aku kagum sekali akan usahamu
menghancurkan pemberontak.
Engkau seorang gagah yang setia
kepada kerajaan."
"Dan bagaimana dengan engkau
sendiri, Lan-moi" Engkau seorang
gadis yang cantik jelita dan berilmu tinggi. Hendak kemana dan dari
manakah" Tentu saja kalau aku boleh
mengetahui...."
Kui Lan menghela napas panjang.
Biarpun ia sudah percaya kepada
pemuda yang menarik perhatiannya ini, yang amat dikaguminya, akan
tetapi ia sudah bersepakat dengan
adiknya bahwa mereka harus
merahasiakan keluarga mereka dari siapapun juga. Bukan saja karena
ayah mereka adalah Menteri Yang
Kok Tiong yang terkenal, akan tetapi
lebih dari itu, bibinya adalah selir yang Kui Hui yang lebih terkenal lagi!
ia bahkan merasa malu untuk
mengakui bahwa ia adalah
keponakan dari Yang Kui Hu!
"Aku hendak menyusul ayah ke
barat."
"Aih, di manakah ayahmu itu, Lan
moi?"
"Ayahku mengawal Sri baginda
mengungsi ke barat." Lega rasa hati Kui Lan karena bagaimanapun juga, ia tidak lah sama sekali berbohong.
Ayahnya memang mengikuti kaisar
mengungsi, ia tidak berbohong, yang
dirahasiakannya hanyalah
keluarganya.
Pemuda itu nampak terkejut. "Ah,
kiranya ayahmu seorang pengawal
Sribaginda! Kiranya keluargamu juga keluarga yang setia kepada Kerajaan Tang. Aku girang dan bangga sekali
dapat berkenalan denganmu, Lan-
moi. Kalau begitu, jalan yang kita
tempuh mempunyai tujuan yang
sama, yaitu menentang pemberontak An Lu Shan dan menegakkan kembali Kerajaan Tang. Hanya kita berbeda
cara dan jalan. Aku yakin kelak kita
akan dapat saling bantu dalam
perjuangan kita."
"Mudah-mudahan begitu, toako.
Sekarang malam hampir tiba, aku
harus melanjutkan perjalanan." Gadis itu bangkit berdiri.
Sia Su Beng termenung dan menghela ia napas. "Entah mengapa, tiba-tiba
saja aku merasa kehilangan dan
berduka, Lan-moi, seolah aku akan
berpisah dengan seorang sahabat
yang sudah lama kukenal. Sayang
sekali bahwa jalan kita bersimpang, engkau ke barat dan aku kembali ke kota raja. Akan tetapi, aku selamanya tidak akan melupakanmu, Lan-moi."
"Terima kasih, engkau baik sekali,
toako. Akupun.... tidak akan lupa
kepadamu."
"Jaga dirimu baik-baik, Lan-moi ."
Setelah sejenak saling pandang
dengan sinar mata yang membawa
serta seribu satu macam perasaan,
kedua o-rang muda itupun saling
memberi hormat dan berpisah.
Namun, keduanya melangkah seperti
orang yang lesu dan kehilangan,
saling membayangkan wajah masing-masing. Tanpa mereka sadari, kedua insan itu telah saling jatuh cinta!
**********
Malam Itu gelap dan dingin, apa lagi
hujan rintik-rintik sejak senja tadi
membuat orang enggan keluar dari
dalam rumah. Kota raja nampak sunyi dan hanya orang-orang yang
mempunyai keperluan penting saja
memaksa diri ke luar rumah,
mengenakan baju tebal dan
melindungi kepala dengan payung.
Di tempat yang biasanya ramai di
kunjungi orang saja, seperti di rumah makan, di toko-toko, malam itu sepi
sekali. Apa lagi di tanah kuburan
umum itu. Sunyi dan bahkan
menyeramkan. Pada malam terang
bulan saja, jarang ada orang berani memasuki tanah kuburan yang hanya ramai dikunjungi pada hari-hari
tertentu saja, itupun di siang hari di mana keluarga si mati datang untuk bersembahyang. Akan tetapi pada
malam gelap dingin dan gerimis itu,
tak seorangpun yang sehat akalnya
akan mau masuk ke dalam tanah
kuburan.
Akan tetapi, pada malam yang
menyeramkan itu, Yang Kui Bi
berlutut d depan sebuah kuburan dan menangis terisak-isak. ia mencoba
untuk menahan agar tidak
mengeluarkan suara terlalu keras,
akan tetapi tetap saja ia memanggil-
manggil ibunya sambil menangis.
Membayangkan ibunya membunuh diri ketika rumah mereka diserbu
pemberontak dan ibunya terancam oleh para penyerbu untuk diperkosa! Siang tadi, setelah beberapa hari
berada di kota raja, ia berhasil
menemukan seorang wanita tua
bekas seorang di antara pelayan
keluarga mereka dan dari pelayan
inilah ia mendengar segalanya.
Ayahnya pergi mengikuti kaisar
mengungsi, akan tetapi ibunya
tidakmau meninggalkan rumah
karena menanti kembalinya
kakaknya, Yang Cin Han, ia sendiri
dan enci nya. Dan ibunya berada di
rumah ketika kota raja diserbu dan rumah merekapun diserbu
pemberontak.
la harus menahan hatinya siang tadi, menanti sampai malam tiba baru ia datang ke tanah kuburan umum dan mengunjungi makam ibunya. Sebuah makam biasa saja, seperti kuburan
penduduk biasa! Pada hal ibunya
adalah seorang nyonya menteri!
"Ibu..... maafkan aku, ibu....." ia
tersedu.
Tiba-tiba, pendengarannya yang
tajam menangkap gerakan orang di belakangnya. Cepat sekali, tubuh yang tadi nya berlutut di atas tanah yang becek oleh air hujan itu melompat,
memutar tubuh dan ia sempat
melihat sesosok bayangan
menyelinap pergi. Kedukaan yang
mendalam membuat Kui Bi
mendendam dan marah sekali kepada pemberontak yang telah
menghancurkan keluarga orang tua nya dan membuat ibunya membunuh diri. ia menduga bahwa yang melihat dan mendengarnya tadi tentulah
orangnya pemberontak atau
pemerintah yang baru.
Maka, kemarahannya ditimpakan
kepada bayangan itu dan dengan
gerakan bagaikan seekor burung
walet keluar diri dalam guha, iapun melompat ke arah bayangan tadi dan langsung saja menyergap dengan
tamparan ke arah pelipis orang itu .
"Wuuuttt.... plakkk!" Tamparan itu
tertangkis dan ternyata bayangan itu memiliki tenaga yang cukup kuat
sehingga tangan Kui Bi yang
menampar tadi tertangkis dan
terpental. Gadis itu menjadi semakin marah. Begitu kedua kakinya turun ke atas tanah, iapun sudah mencabut pedangnya dan menyerang bayangan hitam itu. Terjadilah perkelahian seru ketika bayangan itu menggunakan sebuah tongkat melakukan
perlawanan dan ternyata lawan yang diserang Kui Bi itupun lihai bukan
main. Malam itu gelap sekali dan
hanya sekali-kali ada cahaya kilat di angkasa. Perkelahian itu lebih
dikendalikan oleh ketajaman
pendengaran mereka.
Bayangan itu menangkis dan
mengelak, juga balas menyerang
sambil mundur sehingga tiba di pintu gerbang tanah kuburan, di mana
terdapat sebuah lampu gantung yang memberi penerangan yang redup dan lemah sekali, namun cukup bagi
mereka untuk dapat melihat
bayangan masing-masing. Kui Bi tidak dapat melihat wajah orang itu, akan
tetapi dari bentuk tubuhnya, ia dapat menduga bahwa lawannya seorang
laki-laki yang tubuhnya sedang.
Akan tetapi yang membuatnya ia
penasaran adalah kecepatan gerakan orang itu yang ternyata biarpun tidak
seringan gerakannya sendiri, orang
itu dapat menghalau setiap
serangannya. Seolah lawan yang amat lihai! Dan ilmu tongkat orang itupun aneh dan berbahaya sekali, maka ia harus mengubah gerakan pedangnya, tidak sepenuhnya mengandalkan
ilmu pedang Sian-li Kiam-sut,
melainkan dicampur dengan gerakan Hong-in Sin-pang (Tongkat Sakti
Angin dan Awan) yang seharus nya dimainkan dengan toya, akan tetapi terpaksa ia mainkan dengan
pedangnya, dan berulang-ulang
terdengar suara kaget dan kagum dari lawannya.
Tiba-tiba di angkasa terdengar
ledakan keras menyusul cahaya kilat yang amat terang. Biarpun hanya
beberapa detik, namun cukup bagi kedua orang tu untuk saling melihat muka dan Kui Bi cepat menahan
serangannya dan berseru, "Han-koko......."!"
Pemuda itu tertawa dan suara tawa ini meyakinkan hati Kui Bi bahwa ong yang diserangnya tadi memang
kakaknya, Yang Cin Han!
"Bi-moi,ilmu silatmu sekarang hebat!"
"Han-koko...... ah, Han-koko. ibu
kita....." Gadis itu menubruk menangis tersedu-sedu dalam rangkulan
kakaknya. Cin Han mencoba untuk menahan hatinya, akan tetapi tetap saja dua matanya menjadi basah. Dia membiarkan adiknya menangis di
dadanya dan air mata adiknya itu
turun seperti hujan rintik-rintik.
Kemudian, setelah membiarkan Kui
Bi menangis beberpa saat lamanya, dia mngusap kepala adiknya dan
suaranya terdengar gembira.
"Adikku yang manis, di mana
kegagahanmu" Engkau sudah
demikian tangguh sekarang, akan
tetapi malah bertambah cengeng! Ibu memang sudah meninggal dunia,
akan tetapi itu sudah takdir Tuhan,
tidak ada gunanya ditangisi! Hentikan tangismu!"
Kui Bimemang memiliki hati keras,
maka ia segera dapat memulih
hatinya dan kini mereka berdua
mencari perlindungandi bawah atap
seng makamyng lebih terawat.
Pertemuan itu setidaknya merupakan hiburan bagi Kui Bi, dan mereka
saling bertanya, lalu saling
menceritakan pengalaman masing-
masing. Kui Bi girang mendengar
bahwa kakaknya ini telah menjadi
murid Sin-tung Kai-ong, pengemis
sakti yang pernah mengajarkan Sian-li Kiam-sut kepada ia dan encinya, dan sebaliknya, Cin Han kagum
mendengar bahwa kedua orang
adiknya menjadi murid seorang
hwesio sakti.
"Akan tetapi, di mana Lan-moi"
kenapa tidak bersamamu di sini?"
tanya Cin Han.
"Kami memutuskan untuk membagi
tugas dan berpisah, koko. Enci Lan
pergi ke barat menyusul rombongan Kaisar ketika kami mendengar bahwa ayah ikut Kaisar mengungsi ke barat, sedangkan aku ke kota raja ini untuk melihat keadaan keluarga kita.
Sungguh menyedihkan mendengar
bahwa ibu telah meninggal dunia,
membunuh diri ketika rumah kita
diserbu pemberontak. Mudah-
mudahan saja ayah yang mengikuti
kaisar kebarat dalam keadaan
selamat dan ...... kenapa, Han-ko?" Kui Bi bertanya ketika tiba-tiba lengannya dipegang oleh jari-jari tangan
kakaknya dengan kuat.
"Adikku, apakah engkau ini masih
adikku Kui Bi yang tabah dan
pemberani, tidak cengeng dan
periang, lincah Jenaka dahulu itu?"
"Ihhh! Engkau ini aneh saja, Han ko. Tentu saja aku masih seperti dulu!"
"Kalau begitu, kuatkan hatimu dan dengar baik-baik," kata Cin Han masih tetap memegang lengan adiknya.
"Ayah kita telah.... tewas pula dalam perjalanan ke barat......"
"Ayah......!!" "Bi-moi, ah, Bi-moi.....!" Cin Han cepat memeluk adiknya karena tiba tiba tubuh adiknya itu menjadi lemah dan terkulai dalam
pelukannya. Pingsan.
Sekuat-kuatnya hati Kui Bi, baru saja ia menangisi kematian ibunya depan makam yang tak terawat, sekarang tiba-tiba saja mendengar bahwa
ayahnya juga telah tewas, maka ia tidak kuat dan roboh pingsan.
Cin Han menolong adiknya dan
setelah menotok beberapa jalan darah gadis itu siuman kembali dan mereka berdua kembali menangis. Akan
tetapi hanya sebentar Kui Bi
menangis.
"Koko, ceritakan bagaimana ayah
tewas...." katanya lirih,,
"Aihhh, sejak dulu aku telah
mengkhawatirkan kedudukan ayah yang tdak wajar, hanya karena
pengaruh bibi Yang Kui Hui," katanya. Kemudian dia menceritakan seperti apa yang didengar nya tentang
ayahnya dan bibinya.
Bahwa pasukan yang mengawal kaisar melarikan diri semakin tidak senang dan curiga
kepada Menteri Yang Kok Tiong yang di-anggap biang keladi keruntuhan
Kerajaan Tang, kemudian
mengeroyok menteri itu sampai tewas. Kemudian diceritakannya pula bahwa bibi mereka, Yang Kui Hui, juga mati menggantung diri di depan orang banyak sebagai hukuman yang dipaksakan pasukan kepada kaisar mereka.
Setelah Cin Han berhenti bercerita, keduanya berdiam diri sampai lama. Hanya kadang terdengar tarikan
napas panjang mereka berdua karena mereka merasa berduka, menyesal dan juga menyadari bahwa semua peristiwa itu memang bersumber dari bibi mereka, Yang Kui Hui. Andaikata bibi mereka itu dahulu tidak
melindungi An Lu Shan ketika
dilaporkan ayah mereka kepada
kaisar, tentu tidak akan terjadi
pemberontakan itu.
"Semua ini gara-gara si jahanam An Lu Shan! Aku akan membunuhnya,
ko-ko!" tiba-tiba Kui Bi berkata
dengan penuh semangat.
"Hushhh, kaukira begitu mudah
membunuh dia" Dia sekarang telah menjadi seperti seorang kaisar,
tinggal di istana, dijaga oleh pasukan pengawal.
Jangan bertindak sembarangan dan
mencelakai diri sendiri, adikku."
"Han-koko, lalu apa yang harus kita lakukan" Apakah kita akan berdiam diri saja menangisi malapetaka yang menimpa keluarga kita dan Kerajaan Tang, tanpa melakukan apa-apa
karena kita takut celaka?"
"Bukan begitu maksudku, Bi-moi. Tentu saja kita harus melakukan sesuatu, yaitu kita harus membantu Kerajaan Tang untuk bangkit kembali. Kita harus membantu untuk
menentang An Lu Shan dan
menghancurkannya. Tentu saja kita tidak dapat bertindak sendiri
menghadapi pasukannya yang
ratusan ribu orang banyaknya. Aku mendengar bahwa Gok-hong-cu
hilang. Itu hanya desas-desus, akan
tetapi aku ingin membantu Kerajaan Tang untuk mendapatkan kembali Mestika Burung Hong Kemala itu. Kabarnya, Sri baginda menitipkan kepada ayah, akan tetapi ketika ayah meninggal, tidak ada yang tahu di mana mestika itu disembunyikan.
Lalu, aku mendengar desas-desus
bahwa Bouw Koksu hendak mengirim pasukan khusus untuk mencari
pusaka itu. Agaknya dia telah
mengetahui tempatnya, maka aku
akan membayangi pasukan itu dan
kalau mungkin aku akan merampas
mestika itu dari tangan mereka !"
Kui Byang sejak tadi termenung
memikirkan sesuatu, mengangguk.
"Baiklah, kita sama-sama membantu Kerajaan Tang dengan cara kita
sendiri, koko. Apakah di kota raja ini
terdapat orang yang bisa dipercaya
dan masih setia kepada Kerajaan
Tang?"
"Banyak, Bi-moi. Banyak kawan-
kawan kita dan mereka itu diam-diam juga sudah siap untuk bergerak
menentang An Lu Shan kalau saatnya tiba."
"Bagus! Kalau begitu, antarkan aku
kepada mereka, koko. Aku ingin
bergabung dengan mereka
menentang si jahanam An Lu Shan!"
"Baik, Bi-moi, akan tetapi hati-hati,
jangan engkau bertindak sembrono
dan berusaha membunuh sendiri An Lu Shan. Itu berbahaya sekali dan
engkau takkan berhasl."
"Aihh, Han-ko, apakah kaukira
adikmu ini masih kanak-kanaki Aku bukan anak kecil lagi, Han-ko. Aku dapat menjaga diri dan akan berlaku hati-hati."
Malam itu juga, Cin Han mengajak
adiknya ke sebuah rumah besar milik Ji Siok, seorang hartawan yang karena pandai mempergunakan hartanya,
maka dia sekeluarga dapat hidup
aman dan selamat dari serbuan
pasukan pemberontak. Bahkan
dengan hartanya, Ji Siok yang disebut Ji-wangwe (Hartawan Ji) kini dapat
bergaul dengan para pejabat tinggi yang baru. Tidak ada seorangpun
dapat mengetahui isi hatinya bahwa dia sebetulnya merupakan seorang
yang setia kepada Kerajaan Tang! Ji-wangwe ini pula yang diam-diam
membiayai para pendukung Kerajaan Tang yang diam-diam
mempersiapkan diri untuk bergerak apabila saatnya tiba, yaitu apa bila pasukan Kerajaan Tang datang
menyerbu Tiang-an untuk merampas kembali tahta kerajaan yang direbut oleh An Lu Shan.
Ji-wangwe yang tidak mempunyai
anak, bersama isterinya menyambut kunjungan Cin Han malam itu dengan gembira. Mula-mula, ketika Cin Han datang beberapa pekan yang lalu, Ji-wangwe menyambutnya dengan alis berkerut. Mengetahui bahwa Cin Han adalah putera mendiang Menteri Yang Kok Tiong yang dianggap
melemahkan Kerajaan Tang,
mendatangkan rasa tidak senang dan kecurigaan.
Akan tetapi setelah Cin Han,
menjelaskan bahwa dia sendiri
bersama para adiknya tidak senang dengan kedudukan ayah mereka,
tidak suka pula kepada sepak terjang bibinya yang mempergunakan
kecantikan mempengaruhi kaisar dan mengadakan hubungan dengan An Lu Shan Ji-wangwe dapat menerimanya. Maka, ketika Cin Han malam itu
muncul dan memperkenalkan Yang
Kui Bi, adiknya, gadis itupun diterima dengan ramah oleh Ji-wangwe.
"Jangan khawatir, kongcu," kata
hartawan itu kepada Cin Han.
"Biarkan adikmu tinggal di sini, akan kami perkenalkan sebagai keponakan kami dari selatan, ia memakai she Kui dan bernama Bi, Baik, akan kami
katakan bahwa ia anak dari seorang adik piauw (misan) kami di selatan." Hartawan Ji senang sekali ketika
mendengar bahwa Ku Bi adalah
seorang gadis yang juga memliki ilmu silat tinggi, bahkan yang bertekad untuk membantu perjuangan
menentang An Lu Shan yang amat dibencinya.
"Dan bagaimana dengan rombongan Bouw Koksu, paman Ji" Apakah
sudah-ada berita tentang
keberangkatan mereka?" tanya Cin Han. Dari pertanyaan ini saja, tahulah Kui Bi bahwa agaknya hartawan ini memegang kedudukan penting di kalangan mereka yang mendukung kerajaan Tang sehingga merupakan sumber percarian berit.
"Sudah ada ketentuan. Mereka akan berangkat besok pagi-pagi. Bouw Koksu sendiri tidak pergi, akan tetapi puteranya, Bouw-ciangkun yang akan pergi bersama dua losin pasukan khusus yang pilihan, dan kabarnya dia akan di ditemani oleh seorang gadis yang memiliki ilmu silat lihai sekali. Karena itu, engkau harus
berhati-hati, kongcu."
Cin Han mengangguk-angguk. Dia
sudah tahu siapa Bouw-ciangkun,
seorang perwira muda bangsa Khitan yang berhati keras. Malam itu, kakak beradik itu melanjutkan percakapan mereka, membicarakan segala
pengalaman mereka, dan sekali ini, Ji-wangwe ikut dalam percakapan
mereka sehingga hartawan ini
semakin yakin bahwa para putera dan puteri mendiang Menteri Yang Kok Tiong ternyata merupakan orang-orang muda yang gagah perkasa,
berjiwa pendekar dan juga setia
kepada Kerajaan Tang. Mereka
berdua ini saja dapat merupakan
pembantu yang boleh diandalkan,
pikirnya girang.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi
sekali, Cin Han sudah meninggalkan
rumah itu dalam pakaian seperti
seorang pengemis muda. Tak lama
kemudian, dia sudah membayangi
rombongan pasukan yang dipimpin
oleh Bouw Ki yang ditemani oleh Can Kim Hong. Rombongan ini
menunggang kuda, akan tetapi tidak sukar bagi Cin Han untuk dapat terus membayangi mereka dengan
mempernunakan ilmu berlari cepat.
Ketika rombongan berkuda itu
menyusuri tepi sungai Yang-ce, lebih mudah lagi baginya untuk
membayangi. Dia menggunakan
sebuah perahu kecil yang dibelinya dari seorang nelayan. Kini dia dapat membayangi rombongan itu dengan seenaknya, diatas perahu sehingga dia tidak terlalu banyak
mengeluarkan tenaga.
**********
Souw Hui San berdiri menghadapi tebing gunung karang dan
memandang dengan kagum ke arah
guha-guha yang berjajar seperti
sumur miring itu. Betapa hebat dan
megahnya alam, pikirnya. Betapa
sakti dan mahakuasanya Sang
Pencipta semua ini!
Dan diapun kagum akan kecerdikan
mendiang Menteri Yang Kok Tiong,
yang telah menyembunyikan benda pusaka Kerajaan Tang itu di salah satu di antara guha-guha itu. Guha ke tiga memang merupakan guha paling kecil dan paling tidak mengesankan, tidak menarik perhatian orang untuk
mendekatinya. Selain jalan menuju ke guha ke tiga itu harus memaniat batu karang licin, juga banyak batu terlepas sehingga berbahaya.
Hui San adalah seorang pendekar
Gobi-pai yang cerdik dan biarpun dia memiliki watak yang nakal dan ugal-ugalan, akan tetapi dia cermat dan waspada. Setelah menemukan tempat itu, dengan cara yang tidak menyolok seperti seorang pelancong yang
tersesat ke tempat ini, dia
menemukan guha-guha itu. Akan
tetapi, walaupun sejak tadi dia tidak bertemu orang di daerah pegunungan itu, juga tidak melihat adanya orang yang membayanginya, dia tidak
tergesa-gesa menghampiri guha.
Kegirangan telah bertemu dengan tempat itu tidak membuatnya lengah. Dia lalu menyelinap ke balik sebuah
batu karang, lalu dengan gerakan
cepat sekali dia mendaki puncak bukit dari arah belakang. Tak lama
kemudian, dia telah mengintai dari
puncak, memandang ke sekeliling.
Barulah hatinya lega setelah dia
merasa yakin bahwa tidak ada
seorangpun nampak di sekitar tempat itu. Dia lalu ce pat turun dari puncak, menghampiri tebing dan berhadapan dengan guha-guha tadi lagi. Dia masih menoleh ke kanan kiri dan belakang sebelum dia mendaki tebing menuju ke arah guha ke tiga. Guha itu kecil dan dia harus membungkuk untuk
merangkak masuk. Dan di sudut guha itu, tertutup tumpukan batu-batu
karang berkapur, dia menemukan
benda yang dicarinya.
Sebuah kotak berukir indah berwarna hitam! Ketika tutup kotak itu
dibukanya, di dalamnya terdapat
benda pusaka itu. Mestika Burung
Hong Kemala yang aseli! Bentuknya tidak berbeda jauh dari yang dibawa dalam buntalannya, yaitu bentuk
seekor burung Hong. Akan tetapi
benda pusaka ini mengeluarkan
cahaya cemerlang, dan batu gioknya memiliki warna-warni yang aneh, ada warna kemerahan, kehijauan, biru dan coklat kuning! Dan u-kiran
burung Hong-nya juga amal indah. Sebuah hasil seni yang menakjubkan dan amat langka!
Hui San memasukkan kotak kecil itu ke dalam buntalan pakaiannya,
kemudian dia keluar dari dalam guha. Keluarnya juga bukan begitu saja. Dia mengintai dulu dari dalam guha
sampai lama, sampai dia merasa
yakin tidak ada mata manusia lain melihatnya, baru dia meloncat keluar dari dalam guha itu Seperti tadi,
diapun berhati-hati dan setelah yakin tidak ada orang melihat nya, baru dia memasuki guha ke tujuh yang lebih besar.
Dia memasuki guha itu, lalu menukar isi kotak hitam dengan burung Hong Kemala yang dibawanya dari Tiang-an. Yang palsu dia masukkan ke
dalam kotak hitam dan
meletakkannya ke dalam guha, di sudut yang gelap, sedangkan yang aselinya dengan aman berada dalam buntalan pakaiannya!
Kemudian, diapun keluar dari dalam guha setelah mengintai lebih dahulu dan dengan hati ringan karena gembra telah berhasil melaksanakan tugas nya, diapun meninggalkan
tebing itu Akan tetapi dia tidak segera turun begitu saja dari tebing itu, melainkan mendaki naik ke puncak.
Dengan demikian, andaikata ada
orang melihatnya tentu orang itu
mengira bahwa dia mendaki puncak da hanya kebetulan saja lewat di
depan tebing itu, bukan bermaksud
pergi ke tebing.
Setelah tiba di puncak, dia
beristirahat, duduk di balik batu
kasar untuk berlindung dari sengatan sinar matahari yang sudah naik
tinggi, lalu mengeluarkan tempat
minuman. Setelah meneguk minuman dia bangkit berdiri, mengikatkan
kembali buntalan pakaiannya di
punggung, dan menuruni bukit itu
dari lereng yang berlawanan di mana terdapat pohon-pohon besar di
sepanjang lereng yang penuh hutan, walau- pun tidak begitu lebat
pohonnya, namun karena usianya
sudah tua maka pohon-pohon itu
tinggi dan besar batangnya.
Setelah tiba di hutan pertama, diapun memanjat pohon tertinggi dan me
mandang ke sekeliling. Tiba-tiba dia
nampak mengerutkan alisnya. Dari
arah puncak, dari mana dia turun
tadi, dia seperti melihat bayangan orang berkelebat cepat lalu lenyap, dan ketika dia melihat ke bawah, dia melihat debu mengepul dan
serombongan orang berkuda sedang mendaki bukit!
Tak lama kemudian, Hui San sudah
menyelinap di balik semak-semak
dan mengintai ketika seorang gadis
menuruni puncak dan lewat di dekat semak itu. Dan diapun menahan
napas. Bukan main! Belum pernah dia melihat gadis secantik ini! Dan inipun tidak aneh karena sejak kecil dia
tinggal di pegunungan Gobi-san yang sunyi dan kalaupun pernah dia
bertemu wanita, maka yang di
jumpainya hanyalah gadis-gadis
pegunungan di Gobi-san yang
sederhana sekali.
Akan tetapi gadis yang lewat di
dekatnya itu demikian cantik jelita
seperti bidadari! Bidadari yang
lembut, namun gagang pedang di
punggungnya itu menunjukkan
bahwa gadis itu tidak selembut
seperti nampaknya.
Dan gadis itu memegang sebatang tongkat yang mungkin ditemukannya di bawah pohon karena tongkat itu hanyalah sebatang ranting pohon
yang masih ada beberapa helai
daunnya.
Timbul kekhawatiran di hati Hui San. Gadis jelita itu menuruni bukit dan
pasti akan bertemu dengan
rombongan orang berkuda itu! Dia mendapatkan perasaan tidak enak, seolah merasakan bahwa gadis yang seperti bidadari itu akan terancam bahaya, maka diam-diam dia lalu
membayangi gadis itu. Dari
langkahnya saja dia dapat menduga
bahwa gadis itu membawa pedang bukan sekedar untuk memasang aksi, melainkan ia seorang gadis yang sungguh memiliki kepandaian.
Kini derap kaki kuda itu sudah
terdengar dari situ. Rombongan
orang berkuda dari bawah itu sudah dekat, akan tetapi gadis cantik itu
masih tetap berjalan dengan santai!
Hui San menjadi semakin khawatir. Ingin dia meneriaki gadis itu agar
bersembunyi atau menyingkir saja. Akan tetapi dia tahu bahwa kalau dia melakukan hal itu, gadis itu tidak akan percaya, dan bagaimana kalau rombongan orang itu memang tidak merupakan rombongan orang jahat"
Rombongan orang berkuda itu kini muncul di tikungan jalan dan mereka tidak lagi dapat membalapkan kuda mereka karena jalan itu mendaki dan kasar. Mereka menjalankan kuda
perlahan-lahan. Sekali pandang saja tahulah Hui San bahwa rombongan orang berkuda itu adalah rombongan pasukan pemerintah pemberontak!
Tentu saja dia merasa khawatir
sekali.
Dari tempat persembunyiannya, dia melihat betapa gadis cantik itu
berhenti melangkah dan agak menepi untuk membiarkan rombongan orang berkuda itu lewat melalui jalan yang sempit itu.
Gadis itu Kui Lan yang melakukan perjalanan ke barat untuk menyusul rombongan kaisar yang melarikan
diri mengungsi, ia masih terkenang dengan hati penuh kagum kepada Sia Su Beng, pemuda perkasa yang
mendatangkan kesan mendalam di hatinya.
Ketika ia tiba di pegunungan yang
sepi itu, ia mengambil jalan pintas,
mendaki puncak bukit dan kini tiba-tiba di tempat sunyi itu ia berpapasan dengan serombongan orang berkuda. yang berada di depan adalah seorang perwira muda yang gagah dan
tampan, berpakaian perwira. Tentu
Sia Su Beng akan nampak lebih gagah dari pada orang ini kalau dia
berpakaian perwira, Kui Lan
membayangkan. Dan di samping
pemuda perwira itu duduk seorang
gadis cantik dan gagah di atas seekor
kuda putih.
Kemudian di belakang mereka
nampak duapuluh lebih perajurit
berkuda, kesemuanya kelihatan gagah dan garang. Bertemu dengan
serombongan perajurit yang tentu merupakan perajurit anak buah
pemberontak An Lu Shan. Kui Lan merasa sebal dan tidak senang. Akan tetapi, iapun tahu bahwa tidak
semestinya ia mencari keributan
menghadapi demikian banyak orang.
Apalagi perwira itu kelihatan bukan orang lemah. Maka, iapun sengaja
menepi untuk memberi jalan agar
rombongan berkuda itu lewat.
menengok dan memberi hormat
kepada hwesio bertubuh gemuk
seperti Ji-lai-hud. Hwesio yang
mulutnya sudah tidak bergigi lagi itu, yang tubuhnya gendut dan mukanya selalu tersenyum lebar, adalah Kong Hwi Hosiang, hwesio perantau yang sakti.
"Suhu......!" Dua orang gadis itu
mengangkat kedua tangan depan dad
memberi hormat.
"Omitohud! Kui Lan dan Kui Bi pinceng melihat bahwa kalian telah berhasil baik dan sekarang sudah tiba saatnya bagi kalian untuk
meninggalkan kuil Thian-bun-tang,
kecuali kalau kalian berdua ingin
menjadi biarawati!"
Kakak beradik itu saling pandang,
kemudian Kui Bi mewakili encinya
berkata, "Suhu, teecu berdua tidak
ingin menjadi biarawati!"
Hwesio itu tertawa bergelak. "Ha ha-ha-ha, siapa yang menyuruh kalian
menjadi biarawati" Akan tetapi,
menjadi biarawati hanyalah
merupakan tanda lahiriah belaka
karena sesungguhnya, baik pendeta
ataupun orang biasa, memiliki
kewajiban yang sama dalam hidup ini, yaitu menjadi manusia yang baik dan berguna bagi rakyat, bagi negara, dan bagi manusia sendiri.
Nah, berkemaslah kalian dan hari ini juga kalian boleh meninggalkan kuil. Ingat, pergunakan semua kepandaian yang telah kalian pelajari dengan tekun untuk perbuatan yang baik dan benar. Nah, pinceng mau pergi lebih dulu!"
Setelah berkata demikian, sekali mengebutkan lengan bajunya, hwesio itu telah lenyap dari taman itu. Kui Lan dan Kui Bi cepat menjatuhkan diri berlutut ke arah perginya guru mereka.
"Terima kasih, suhu!" seru mereka berbareng dan sikap ini saja sudah menunjukkan betapa kedua orang gadis ini telah dapat menanggalkan semua ketinggian hati yang timbul dari lingkungan keluarga mereka. Keduanya adalah puteri menteri yang berkuasa, dan sejak kecil hidup dalam kemuliaan, kemewahan dan
penghormatan.
Kini, mereka tidak ragu untuk
menghormati guru mereka, seorang hwesio tua yang miskin, dengan
berlutut di atas tanah, tidak perduli
bahwa lutut celana mereka menjadi
kotor karenanya.
Ketika mereka menghadap Pek-lian Ni-kouw, sebelum mereka melapor tentang ucapan suhu mereka tadi, Pek-lian Ni-kouw sudah mendahului mereka.
"Omitohud......, su-pek (uwa guru)
telah memberi tahu kepada pin-ni
bahwa sumoi berdua akan
meninggalkan kuil hari ini. Aih,
betapa kuatnya ikatan batin
mencengkeram perasaan manusia.
Omitohud..'.... pin-ni yang sudah
belasan tahun mengasingkan diri di kuil, tetapi saja masih dapat
dicengkeram sehingga di saat
perpisahan dengan sumoi berdua,
hati ini merasa sedih dan
kehilangan!" Nikouw itu menghela
napas panjang.
Kedua orang gadis bangsawan itu
memegang tangan nikouw itu dari
kanan kiri. "Suci, percayalah, kami
berdua selamanya tidak akan dapat melupakan kebaikan suci dan kelak, kalau ada kesempatan, kami pasti
akan datang berkunjung," kata Kui
Lan dengan suara terharu.
Kui Bi tertawa.
"Aih, suci. Di mana ada pertemuan
tanpa perpisahan" Justeru pertemuan menjadi peristiwa yang
membahagiakan kalau didahului
dengan perpisahan, bukan" Kami
berterima kasih sekali kepada suci yang selama ini bukan hanya
bersikap amat manis budi kepada
kami., bahkan telah mengajarkan gin-kang secara, sungguh-sungguh kepada kami."
Pek-lian Ni-kouw tersenyum dan
hatinya terhibur oleh sikap lincah Kui Bi. "Omitohud, kenapa kita bertiga
menjadi seperti tiga orang anak kecil" Hayo, kalian cepat berkemas dan
berangkat selagi hari masih pagi!" Dengan lembut ia mendorong kedua
orang sumoi nya itu yang segera
memasuki kamar mereka untuk
berkemas.
Setelah dua orang gadis itu berganti
pakaian, membawa buntalan pakaian di punggung, pedang di punggung dan muncul pula di ruangan depan, Pek-lian Ni-kouw merangkul mereka
seorang demi seorang dan dengan
suara agak gemetar ia berkata, "Lan-sumoi, dan Bi-sumoi, kalian adalah adik-adik seperguruan, kan tetapi aku merasa seolah kalian ini seperti anak-anakku atau keponakanku sendiri.
Kalian telah mempelajari banyak ilmu pembela diri yang cukup kuat, akan tetapi waspadalah selalu.
Di dunia ini banyak terdapat orang jahat. Apa lagi kalian adalah dua
orang gadis yang cantik jelita dan
menarik. Pin-ni khawatir kalau dalam perjalanan kalian akan menemui
banyak godaan dan gangguan."
"Harap suci tidak khawatir. Kiranya
tidak percuma suhu mengajarkan
ilmu kepada kami, juga suci telah
mengajar kami bagaimana untuk
dapat membela diri dengan baik.
Kami pasti akan manipu menjaga
diri, suci," kata Kui Bi.
"Kalian sudah mendengar bahwa kota raja Tiang-an telah diduduki
pemberontak. Lalu ke mana sekarang kalia hendak pergi?" tanya pula Pek-lian Nikouw yang masih saja
mengkhawatirkan keadaan dua orang sumoinya yang amat disayangnya itu.
"Kami sudah mendengar bahwa Sri-baginda Kaisar bersama ayah kami dan bibi mengungsi ke barat. Kami akan menyusul ayah ke sana, suci," kata Kui Lan .
"Sebaiknya begitu. Kita tidak tahu apa yang telah terjadi, hanya mendengar bahwa kota raja diduduki
pemberontak dan Sribaginda
melarikan diri ke barat. Mudah-
mudahan saja kalian akan dapat
bertemu dengan keluarga kalian. Pin-ni hanya akan berdoa untuk kalian berdua sumoi."
"Terima kasih, suci."
Dua orang gadis itu lalu pergi
meninggalkan kuil di mana selama lebih dua tahun mereka tinggal dan berlatih silat, diantar oleh Pek-lian Ni-kouw dan para nikouw lain sampai ke luar pekarangan kuil itu. Setelah jauh meninggalkan kuil, baru kedua orang gadis itu berhenti untuk menentukan arah ke mana mereka hendak pergi.
"Enci Lan, apakah tidak sebaiknya
kalau kita lebih dahulu pergi ke
Tiang-an?" kata Kui Bi ketika dua orang gadis itu duduk di tepi jalan gunung itu, di atas batu besar.
"Aih, kenapa kesana, Bi-moi"
Bukankah kota raja telah diduduki
musuh" Akan berbahaya sekali kalau
kita ke sana. Dan menurut berita,
ayah menemani Sribaginda Kaisar
mengungsi ke barat. Sebaiknya kalau kita langsung saja menyusul ke barat."
"Akan tetapi aku ingin sekali
mengetahui apa yang telah terjadi dengan keluarga kita, enci."
"Kalau begitu, mari kita mencari
keterangan yang jelas lebih dulu, baru kita menentukan langkah apa yang
akan kita ambil "
Keduanya melanjutkan perjalanan menuju ke kota raja Tiang-an. Setelah tiba di beberapa dusun dan kota,
mereka mencari keterangan dan
mendengar berita simpang siur
tentang keluarga Menteri Yang Kok Tiong. Ada yang mengabar kan bahwa menteri itu tertawan pemberontak, ada yang mengabarkan bahwa
keluarga orang tua mereka telah
dibunuh pemberontak, ada pula yang mengabarkan bahwa keluarga
mereka itu telah ikut mengungsi
bersama kaisar.
Kedua orang gadis itu merasa bingung dan berduka. "Enci Lan, sebaiknya
kalau kita membagi tugas. Seorang
pergi menyusul ke barat, dan seorang lagi menyelidiki ke kota raja."
"Akan tetapi, amat berbahaya kalau memasuki Tiang-an, Bi-moi. Kalau ada yang tahu bahwa kita adalah puteri Menteri Yang, tentu pemerintah
pemberontak akan menangkap kita."
"Begini saja, enci Lan. Biar aku yang memasuki Tiang-an dan menyelidik keadaan orang tua kita. Engkau
berangkatlah dulu ke barat menyusul rombongan kaisar. Tentu tidak sukar mencari jejak rombongan itu. Setelah aku mendapat keterangan di kota
raja, baru aku akan menyusul pula ke sana."
"Akan tetapi, berbahaya sekali ke Tiang-an!"
"Aku akan berhati-hati dan
menyamar, enci Lan. Pula, andaikata ada terjadi sesuatu dengan diriku,
masih ada engkau di sana! Asal
jangan kita berdua yang tertimpa
malapetaka, seorang di antara kita
masih akan mampu berjuang untuk membela Kerajaan Tang!" kata Kui Bi penuh semangat.
"Pula, bukan hanya perjalananku ke Tiang-an yang berbahaya, juga
tugasmu menyusul ke barat tidak
kurang bahayanya. Bahkan
perjalananmu lebih jauh dan sukar dibandingkan aku. Ke Tiang-an dekat saja, akan tetapi menyusul
rombongan Sri baginda ke barat"
Entah sampai dimana akhir
perjalanan itu. Sudahlah, enci Lan, saat ini tidak perlu kita bimbang dengan ragu dan khawatir, mari kita membagi tugas ini. Ingat akan pesan dan nasihat suhu!"
Melihat gairah dan semangat adiknya, timbul pula semangat Kui Lan ia memang seorang gadis yang lembut, tidak sekeras adiknya, akan tetapi
pengalaman pahit membuat ia
maklum bahwa ia tidak boleh terlalu lemah menghadapi kehidupan yang penuh tantangan ini. ia teringat akan nasihat sucinya, Pek-lian Ni-kouw
yang mengatakan bahwa kehidupan merupakan tantangan.
Baru dilahirkan saja seorang manusia sudah menangis, tanda bahwa dalam kehidupan dia akan menghadapi
segala macam tantangan! Justeru di
dalam tantangan-tantangan itulah
letak seni kehidupan. Tanpa adanya tantangan, kehidupan tentu akan
hambar dan tidak ada artinya Justeru dengan adanya kesukaran, kesulitan, kegagalan dan sebagainya itulah
maka hidup ini terasa hidup, penuh gerak, penuh daya dan upaya. Seni
hidup adalah menghadapi semua
tantangan dan mengatasinya!
Orang yang putus asa, orang yang menyerah terhadap keadaan, adalah orang yang tidak menunaikan tugas kehidupan ini. Kita dilahirkan untuk berdaya upaya menghadapi semua
tantangan hidup. Pergunakan segala anggauta jasmani, segala daya akal pikiran, untuk berikhtiar mengatasi semua kebutuhan dan kesulitan
hidup, itulah tugas kewajiban setiap orang manusia Dan semua usaha ini didasari kepercayaan, iman dan
penyerahan kepada Yang
Menciptakan segala yang ada, ya Yang Maha Pencipta, Maka Kuasa dan Maga Pengasih.
"Baiklah, Bi-moi, mari kita membagi tugas!" katanya dengan semangat
yang mulai bangkit. Adiknya
memandang dengan wajah berseri.
"Nah, kita berpisah di sini, enci Lan. Semoga tak lama lagi kita akan dapat saling berjumpa. Kalau aku sudah mendapat tahu keadaan sebenarnya yang terjadi di kota raja, tentu aku akan segera menyusul ke barat. Entah siapa nanti yang lebih dulu dapat bertemu dengan Han-toako dan ayah ibu, aku atau engkau."
"Selamat berpisah, adikku." Mereka berangkulan dan berciuman, lalu mengambil jalan masing-masing. Kui Bi menuju ke kota raja Tiang-an sedangkan Kui Lan menuju ke barat.
**********
Yang Kui Lan memasuki kota Liu-ba di pegunungan Cin-lingsan. Kota ini cukup ramai dan hari telah menjelang senja ketika gadis itu memasuki kota ini. Di sepanjang penjalanan ia telah mendengar ke arah mana perginya
rombongan pengungsi kaisar, ia
merasa ia lapar dan memasuki
sebuah rumah makan yang berada di sudut kota. ia mengambil keputusan
untuk makan dulu, kemudian
mencari penginapan dan besok pagi pagi sekali melanjutkan perjalanan.
Rumah makan Itu tidak berapa besar, hanya ada belasan buah meja di situ, itupun tidak penuh, hanya setengah nya terisi tamu. Kui Lan memilih
sebuah meja kosong, tidak
memperdulikan pandang mata para tamu di tempat itu yang semua
menoleh dan memandang kepadanya dengan penuh kagum. Memang Kui Lan seorang gadis yang cantik jelita.
Wajahnya mirip sekali dengan bibinya, mendiang Yang Kui Hui, selir kaisar yang kecantikannya membuat kaisar tergila-gila. Biarpun Kui Lan sama sekali tidak menghias mukanya, tanpa bedak tanpa gincu, juga
rambutnya disanggul biasa tanpa
hiasan, pakaiannya juga sederhana sesuai dengan nasihat sucinya, Pek-
lian Ni-kouw, namun kecantikannya
yang aseli bahkan membuat semua pria di rumah makan itu, termasuk para pelayan dan pemilik rumah
makan, memandangnya penuh
kagum.
Hanya ada satu orang saja di antara para tamu yang tidak memandang
kepadanya, walaupun tamu itupun
melihat ia memasuki rumah makan. Tamu yang sikapnya berbeda dari
yang lain ini adalah seorang pemuda yang berpakaian sederhana pula,
namun wajah nya tampan dan gagah,
sikapnya tenang dan pendiam.
Kebetulan sekali ketika Kui Lan
mengambil tempat duduk, tanpa
sengaja ia duduk menghadap ke arah pemuda itu. yang juga duduknya
menghadap kepadanya sehingga
tanpa dapat dicegah lagi mereka
saling pandang.
Akan tetapi pemuda itu dengan sopan segera mengalahkan pandang
matanya. Hal ini justeru menarik
perhatian Kui Lan. Semua tamu
menoleh dan memandang kepadanya dengan mata seperti srigala
kelaparan, akan tetapi pemuda itu
bahkan mengalihkan pandang mata!
Iapun menunduk, akan tetapi
kerlingnya dengan tajam kadang
menyambar ke arah meja di depan itu walaupun ia tidak secara langsung
memandang kepada pemuda tadi.
Pelayan datang menghampiri dan
iapun memesan nasi dani dua macam sayuran. Telah dua tahun lebih ia tinggal di kuil, setiap hari pantang makan daging seperti para nikouw, maka iapun memilih sayur yang tidak mengandung banyak dagingnya, ia bukan memantang daging, hanya
sudah terbiasa makan sayuran
Pelayan itu memandang heran.
Seorang gadis yang cantik ini,
memesan masakan yang begitu
sederhana dan murah. Agaknya
seorang gadis yang tidak membawa banyak uang, pikirnya.
Karena Kui Lan tidak mau
memperdulikan keadaan
sekelilingnya, ia tidak tahu bahwa di meja sebelahnya, yang berada di belakangnya, duduk tiga orang yang dari pakaiannya dapat diketahui
bahwa mereka adalah tiga orang
perwira.
Usia mereka antara
tigapuluh sampai empatpuluh tahun, dan dari wajah mereka mudah
diketahui pula bahwa mereka
bukanlah bangsa pribumi, melainkan suku bangsa utara karena wajah
mereka seperti wajah orang Mancu atau Uigur. Juga logat bicara mereka, biarpun menggunakan bahasa Han, kedengaran asing .
Ketika pelayan datang mengantarkan nasi dan dua mangkok sayuran
kepada Kui Lan , sebelum gadis itu mulai makan, tiba-tiba saja tiga orang perwira itu bangkit dan menghampiri meja Kui Lan. Gadis ini mengangkat muka melihat tiga orang perwira itu berdiri di depannya, terhalang meja.
Kui Lan memandang mereka dengan sinar mata bertanya, tanpa
mengeluarkan sepatahpun kata. Gadis ini memang berwatak lembut, tidak seperti adiknya yang tentu akan
segera membentak dalam keadaan
seperti itu. Melihat gadis jelita itu
hanya memandang dan tidak
kelihatan marah dengan kemunculan
mereka, tiga orang perwira itu
menganggap bahwa gadis itu
merupakan makanan lunak bagi
mereka.
Seorang di antara mereka, yang
kumisnya melintang panjang kecil, menyeringai, memperlihatkan
deretan gigi kuning yang tidak rata, lalu berkata dengan suara yang
terdengar amat ramah.
"Nona, orang secantik nona tidak
sepatutnya makan nasi dengan sayur saja tanpa daging. Marilah, nona,
kami bertiga mengundang nona
untuk makan di meja kami. Kami
sediakan hidangan yang paling lezat untuk nona, juga anggur manis yang harum."
Di dalam hatinya, Kui Lan marah
kepada tiga orang yang lancang
berani menegur seorang gadis yang tidak mereka kenal, akan tetapi
karena ucapan si kumis panjang itu
ramah, iapun menggeleng kepala
tanpa menjawab, lalu mengambil
sepasang sumpit di tangan kanan, dan mengangkat mangkok nasi di tangan kiri, mulai akan makan tanpa
memperdulikan mereka.
"Ah, agaknya nona ini malu-malu,"
kata perwira ke dua yang tubuhnya tinggi besar dan matanya melotot
lebar. "Kalau begitu, biarlah kami
bertiga yang pindah ke mejamu, nona. Heiii pelayan! Pindah-pindahkan
hidangan kami ke meja ini !"
Pelayan datang berlarian dan tiga orang perwira itu kini duduk di
seputar meja Kui Lan, ketiganya
menyeringai dan mata merekpun
memandang wajah Kui Lan seperti
hendak menelannya bulat-bulat. Kui Lan mulai marah, akan tetapi ia
masih menahan sabar.
Ia menyambar buntalan pakaiannya, dan membawa mangkok nasi dan
mangkok sayurannya, lalu ia berjalan menuju ke meja lain yang kosong,
dekat dengan meja pemuda yang tadi mengacuhkannya, lalu duduk dan
mulai makan nasi dan sayurannya,
tanpa memperdulikan tiga orang
perwira itu.
Perwira ke tiga, yang tinggi kurus dan mukanya kuning pucat seperti orang berpenyakitan, menjadi marah.
Dengan langkah lebar dia
menghampiri meja Kui Lan . "Heii, nona sombong! Buka matamu baik-baik. Kami adalah tiga orang perwira dari kerajaan baru! Berani engkau menolak undangan kami, bahkan tidak memperdulikan kami?"
Kui Lan bangkit berdiri, ia memang
tidak pandai bicara, juga merasa
segan untuk bertindak kasar, akan tetapi kemarahan membuat menekan sepasang sumpit dengan
tangan kanannya sepasang sumpit itu amblas masuk kedalam meja sampai tembus!
"Aku tidak sudi dipaksa oleh apapun!" katanya dan ia mengeluar sepotong uang perak dari buntalannya dan sekali banting, potongan perakpun amblas masuk ke dalam meja yang tebal itu. Kemudian, ia menyambar buntalannya dan pergi meninggalkan rumah makan itu tanpa berkata
apapun !
Tiga orang perwira itu menyaksikan demonstrasi tenaga sinkang gadis cantik itu. Akan tetapi, agaknya mereka masih merasa penasara apa lagi merasa malu melihat betapa
depan umum seorang gadis Han
berani menolak undangan mereka.
Itu bagi mereka merupakan
penghinaan yang besar! Sebagai
anggauta pemberontak yang merasa menang, tentu saja mereka merasa
berkuasa dan setiap orang rakyat
harus tunduk dan taat kepada
mereka!
Mereka lalu melangkah keluar,
menggapai belasan orang perajurit
anak buah mereka yang menanti di luar rumah makan, kemudian mereka memimpin belasan orang perajurit itu untuk melakukan pengejaran pada
gadis yang nampak berjalan keluar
dari pintu kota Liu-ba. Kui Lan
memang merasa jengkel sekali dan
peristiwa di rumah makan tadi
membuat ia mengambil keputusan
untuk melanjutkan perjalanan saja dan kalau perlu bermalam di luar kota karena ia merasa tidak senang lagi tinggal di kota itu.
Akan tetapi belum lama dia keluar dari pintu gerbang kota itu, tiba-tiba terdengar derap kaki kuda dan
belasan orang berkuda
mengepungnya. Mereka itu
berloncatan turun dan ia melihat bahwa tiga orang perwira yang tadi, memimpin belasan orang perajurit,
telah mengepungnya.
Tiga orang perwira itu menghadang Kui Lan yang bertanya denganlembut, "Kalian ini mau apa menghadang dan mengepungku?"
"Ha-ha-ha, nona manis. Engkaulah
bersikap kurang ajar dan menghina kami. Mudah saja bagi kami untuk
menuduhmu pemberontak dan
membunuhmu sekarang juga. Akan tetapi kalau engkau suka minta maaf dan mau menemani bersenang-
senang malam ini, engkau akan kami maafkan," kata si kumis pajang.
Kedua pipi yang putih halus menjadi merah sekali dan sepasang mata yang indah itu kini mencorong. "Engkau biadab dan jahat!" katanya.
**********
"Heh,heh, makin marah semakin
manis!" kata si kumis melintang dan
tiba-tiba saja kedua tangannya
bergerak ke depan, ke arah dada Kui Lan!
Gadis ini tidak mampu menahan
kesabarannya lagi. ia melangkah
mundur dengan gerakan seringan
burung dan begitu ka-kinya meluncur ke bawah, sepatunya telah
menyambar dagu si kumis panjang
dengan tenaga dahsyat.
"Krekk........!!" Bagaikan disambar
petir, si kumis melintang, terjengkang
dan terbanting, roboh terlentang
dengan mata terbelalak dan mulut
berdarah, tulang rahangnya patah!
Dia hanya mampu merintih-rintih.
"Gadis pemberontak!" bentak dua
orang rekannya. "Tangkap
pemberontak ini!"
Akan tetapi, tiba-tiba terdengar
bentakan nyaring. "Kalian manusia
taki tahu malu!" dan sesosok tubuh berkelebat, menerjang orang-orang di sekeliling Kui Lan dan empat orang telah roboh terpelanting.
Si tinggi besar dan si muka kuning memandang dan mereka melihat
seorang pemuda berdiri di depan
mereka. Kui Lan juga mengenal
pemuda itu. Bukan lain adalah
pemuda yang tadi duduk di rumah makan, yang berbeda dengan orang lain, sama sekali tidak
mengacuhkannya, bahkan ketika
bertemu pandang, segera
mengalihkan pandang matanya.
"Siapa kau" Pemberontak pula"!"
bentak si tinggi besar. Akan tetapi si
muka kuning terbelalak memandang pemuda itu.
"Engkau...... bukankah engkau .. Sia-
ciangkun ....?""
Si tinggi besar terkejut mendengar ucapan rekannya dan kini diapun
mengenal pemuda itu. Kalau tadi dia mengenalnya adalah karena pemuda itu berpakaian biasa, sedangkan dia mengenalnya sebagai seorang
panglima yang selalu berpakaian
seragam.
"Sia-ciangkun......, ga.....gadis ini..... ia seorang pemberontak ...." katanya dan sikapnya seperti orang ketakutan.
"Tutup mulutmu!" bentak pemuda itu dan sikapnya sungguh amat
berwibawa, seperti sikap seorang
atasan terhadap anak buahnya.
"Kalian kira aku tidak
mengetahuinya" Sejak di rumah
makan aku sudah melihat dan
mendengar kalian mengganggu nona ini dan sekarang kaukatakan ia
pemberontak.
Ulah kalian tidak seperti perwira,
sepantasnya menjadi buaya-buaya
darat rendahan!" Setelah berkata
demikian, dengan cepat sekali
tubuhnya bergerak. Si tinggi besar
dan si muka kuning mengaduh dan
terpelanting, dan semua perajurit
yang tadi mengepung Kui Lan juga
seorang demi seorang terpelanting
keras dihajar oleh pemuda itu.
Kui Lan berdiri dengan pandang mata penuh kagum. Pemuda itu memang
hebat, pikirnya. Wajahnya tampan,
sikapnya gagah perkasa, juga jelas
baik budi dan adil, dan melihat
gerakannya tadi, tentu memiliki ilmu
silat yang tangguh.
Pemuda itu memandang marah
kepada belasan orang yang sudah
dirobohkan semua. "Nah, sekarang
pergilah kalian. Kalau sekali lagi aku memergoki kaliai berbuat jahat, tentu takkan kuampun lagi. Pergi!"
Bagaikan sekawanan anjing
ketakutan, belasan orang itu
merangkak pergi.
"Nona, maafkanlah mereka. Memang
mereka itu orang-orang kasar yang
sudah sepantasnya menerima hajaran keras," kata pemuda itu, kini
berhadapan dengan Kui Lan dan
memberi hormat.
Kui Lan cepat membalas
penghormatan itu. "Terima kasih,"
gadis ini merasa rikuh dan salah tingkah, kedua pipinya kemerahan. Akan tetapi, diam diam ia merasa
penasaran karena tadi mendengar
betapa si tinggi besar menyebut
pemuda ini Sia-ciangkun, berarti
bahwa pemuda ini juga seorang
perwira pasukan pemberontak An Lu Shan yang telah menduduki kota raja!
"Apakah mereka itu anak buahmu
dan kau............ seorang perwira?"
Gadis itu mengangkat muka
memanjang dan dua pasang mata bertemu panjang. Menghadapi
pandang mata yang lembut namun
tajam penuh selidik itu, si pemuda nampak gugup juga. Pemuda perkasa yang tidak pernah gentar menghadapi lawan yang bagaimanapun juga, kini menjadi gugup begitu pandang
matanya bertemu dengan sepasang
mata yang amat jeli dan lembut, amat indah namun juga begitu tajam
sinarnya!
Kembali pemuda ini mengangkat ke dua tangan memberi hormat dan
berkata, "Dugaanmu memang benar,
nona. Namaku Sia Su Beng dan aku memang seorang.... panglima
kerajaan......."
"Ahhh.....!" Tentu saja Kui Lan merasa
tidak senang dan mengerutkan
alisnya, akan tetapi ada sesuatu yang menarik dalam ucapan pemuda itu.
Ketika mengaku dirinya sebagai
panglima kerajaan, pemuda itu
kelihatan ragu dan juga sungkan atau malu-malu!
"Nona, harap jangan salah sangka!"
katanya cepat. "Biarpun aku seorang panglima, namun sesungguhnya aku menentang pemberontakan An Lu
Shan.."
"Ssttt.....!" Kui Lan merasa khawatir
kalau-kalau ucapan itu terdengar
orang lain dan ia memandang ke
sekeliling.
"Nona, begitu engkau melawan tga
orang perwira dan pasukannya tadi
aku sudah menduga bahwa engkau
tentulah seorang yang menentang
pemerintah baru ."
"Ciangkun......"
"Aih, nona, jangan sebut aku
ciangkun."
"Mari kita bicara di tempat lain, di sini merupakan jalan raya," kata Kui Lan dan Sia Su Beng mengerti akan maksud gadis itu. Dia mengangguk lalu mengajak gadis itu meninggalkan jalan raya dan tak lama kemudian mereka sudah duduk berhadapan di atas batu, di sawah ladang yang sunyi dan dari tempat itu mereka dapat melihat kesekeliling yang terbuka sehingga mereka tidak perlu takut diintai dan didengar orang lain.
"Nona, aku telah memperkenalkan
diri. Kalau boleh aku mengetahui,
siapakah nona" Kulihat nona memiliki ilmu silat yang tangguh."
Kui Lan sudah bersepakat dengan
adiknya bahwa mereka berdua tidak
akan mengganti nama, akan tetapi
akan menanggalkan nama keluarga
mereka agar tidak dikenal orang.
"Nama keluargaku Kui dan namaku
Lan," jawabnya.
"Nona Kui Lan , nama yang indah
sekali!" kata pemuda itu sambil
tersenyum dan Kui Lan mencatat lagi
sifat yang menarik pemuda itu di
samping ketampanan dan
kegagahannya, yaitu pemuda ini
pandai bicara dan pandai pula
merayu! "Kalau boleh aku
mengetahui, nona dari perguruan
manakah?"
Kui Lan tersenyum dan Sia Su Beng merasa jantungnya seperti akan
copot. Senyum itu demikian
manisnya! "Maaf , ciangkun........"
"Aduh, nona Kui Lan , jangan sebut aku dengan pangkat yang
menyakitkan hati itu."
"Akan tetapi seorang panglima."
"Itu hanya demi perjuangan
menentang pemberontak An Lu Shan, harap sebut saja namaku atau cukup de ngan toako (kakak) saja"
"Tapi engkaupun menyebutku nona," kata Kui Lan, diam diam merasa
heran mengapa ia dapat begini akrab dengan cepatnya.
"Baiklah, aku siauw-moi (adik) dan
engkau menyebutku toako. Nah,
lanjutkan ceritamu, siapakah gurumu dan engkau dari perguruan mana
Lan-moi (adik Lan)?" Kui Lan merasa berdebar mendengar sebutan itu,
entah mengapa, sebutan itu biasa saja tetapi keluar dari mulut pemuda itu
terdengar demikian mesra dan indah!
"Maaf, .... toako. Aku bukan dari
perguruan manapun, dan terus terang saja, suhuku melarang aku
memperkenalkan namanya, harap
engkau maklum.
Tentu saja Kui Lan
mengatakan demikian hanya untuk
menyembunyikan keadaan dirinya.
"Ah, tidak mengapa, Lan-moi.
Memang, sebagai seorang gadis
sepertimu ini, tentu saja tidak
semestinya kalau baru saja bertemu lalu menceritakan segala sesuatu
mengenai dirimu. Baiklah aku yang akan lebih dulu memperkenalkan
keadaanku.
Sejak muda sekali aku
telah menjadi perwira dan aku
ditugaskan di utara, dibawah perintah komandanku, yaitu panglima An Lu Shan. Aku mengikuti setiap
perkembangan dan mengetahui
semua gerakannya, dan sebetulnya
aku sama sekali tidak setuju ketika
dia menggerakan pasukan untuk
memberontak dan menggulingkan
Kerajaan Tang."
"Akan tetapi kenyataannya, sekarang An Lu Shan telah menggulingkan Kerajaan Tang dan engkau tetap ....."
"Kenapa tidak kau lanjutkan, Lan-
moi" Katakan saja bahwa kenapa aku tetap menjadi panglimanya, berarti
aku membantu pemberontakannya"
Memang aku akui hal itu. Habis, apa
yang dapat di lakukan seorang
bawahan seperti aku" Terpaksa aku membiarkan dia melakukan
pemberontakan. Akan tetapi, diam-diam aku selalu mencari kesempatan untuk menggulingkannya, bahkan
kalau mungkin membunuhnya. Diam-diam aku mulai menghimpun tenaga untuk menguasai pasukan, dan
mengadakan pendekatan dengan para perwira yang diam-diam masih setia kepada Kerajaan Tang. Nah. aku
sudah membuka semua rahasiaku
kepadamu, nona eh, adik Lan."
Kui Lan merasa senang bukan main. Pemuda ini jelas tidak berbohong, dan mengapa begitu percaya kepadanya sehingga membuka rahasia yang
dapat membahayakan nyawanya itu" Kalau sampai rahasia itu ketanuan, tentu pemuda akan celaka! Ia merasa girang telah di percaya sedemikian rupa.
"Terima kasih atas kepercayaan-
toako, dan maafkan keraguanku
tadi.Sekarang aku mengerti dan aku tidak menyalahkanmu, bahkan aku kagum sekali akan usahamu
menghancurkan pemberontak.
Engkau seorang gagah yang setia
kepada kerajaan."
"Dan bagaimana dengan engkau
sendiri, Lan-moi" Engkau seorang
gadis yang cantik jelita dan berilmu tinggi. Hendak kemana dan dari
manakah" Tentu saja kalau aku boleh
mengetahui...."
Kui Lan menghela napas panjang.
Biarpun ia sudah percaya kepada
pemuda yang menarik perhatiannya ini, yang amat dikaguminya, akan
tetapi ia sudah bersepakat dengan
adiknya bahwa mereka harus
merahasiakan keluarga mereka dari siapapun juga. Bukan saja karena
ayah mereka adalah Menteri Yang
Kok Tiong yang terkenal, akan tetapi
lebih dari itu, bibinya adalah selir yang Kui Hui yang lebih terkenal lagi!
ia bahkan merasa malu untuk
mengakui bahwa ia adalah
keponakan dari Yang Kui Hu!
"Aku hendak menyusul ayah ke
barat."
"Aih, di manakah ayahmu itu, Lan
moi?"
"Ayahku mengawal Sri baginda
mengungsi ke barat." Lega rasa hati Kui Lan karena bagaimanapun juga, ia tidak lah sama sekali berbohong.
Ayahnya memang mengikuti kaisar
mengungsi, ia tidak berbohong, yang
dirahasiakannya hanyalah
keluarganya.
Pemuda itu nampak terkejut. "Ah,
kiranya ayahmu seorang pengawal
Sribaginda! Kiranya keluargamu juga keluarga yang setia kepada Kerajaan Tang. Aku girang dan bangga sekali
dapat berkenalan denganmu, Lan-
moi. Kalau begitu, jalan yang kita
tempuh mempunyai tujuan yang
sama, yaitu menentang pemberontak An Lu Shan dan menegakkan kembali Kerajaan Tang. Hanya kita berbeda
cara dan jalan. Aku yakin kelak kita
akan dapat saling bantu dalam
perjuangan kita."
"Mudah-mudahan begitu, toako.
Sekarang malam hampir tiba, aku
harus melanjutkan perjalanan." Gadis itu bangkit berdiri.
Sia Su Beng termenung dan menghela ia napas. "Entah mengapa, tiba-tiba
saja aku merasa kehilangan dan
berduka, Lan-moi, seolah aku akan
berpisah dengan seorang sahabat
yang sudah lama kukenal. Sayang
sekali bahwa jalan kita bersimpang, engkau ke barat dan aku kembali ke kota raja. Akan tetapi, aku selamanya tidak akan melupakanmu, Lan-moi."
"Terima kasih, engkau baik sekali,
toako. Akupun.... tidak akan lupa
kepadamu."
"Jaga dirimu baik-baik, Lan-moi ."
Setelah sejenak saling pandang
dengan sinar mata yang membawa
serta seribu satu macam perasaan,
kedua o-rang muda itupun saling
memberi hormat dan berpisah.
Namun, keduanya melangkah seperti
orang yang lesu dan kehilangan,
saling membayangkan wajah masing-masing. Tanpa mereka sadari, kedua insan itu telah saling jatuh cinta!
**********
Malam Itu gelap dan dingin, apa lagi
hujan rintik-rintik sejak senja tadi
membuat orang enggan keluar dari
dalam rumah. Kota raja nampak sunyi dan hanya orang-orang yang
mempunyai keperluan penting saja
memaksa diri ke luar rumah,
mengenakan baju tebal dan
melindungi kepala dengan payung.
Di tempat yang biasanya ramai di
kunjungi orang saja, seperti di rumah makan, di toko-toko, malam itu sepi
sekali. Apa lagi di tanah kuburan
umum itu. Sunyi dan bahkan
menyeramkan. Pada malam terang
bulan saja, jarang ada orang berani memasuki tanah kuburan yang hanya ramai dikunjungi pada hari-hari
tertentu saja, itupun di siang hari di mana keluarga si mati datang untuk bersembahyang. Akan tetapi pada
malam gelap dingin dan gerimis itu,
tak seorangpun yang sehat akalnya
akan mau masuk ke dalam tanah
kuburan.
Akan tetapi, pada malam yang
menyeramkan itu, Yang Kui Bi
berlutut d depan sebuah kuburan dan menangis terisak-isak. ia mencoba
untuk menahan agar tidak
mengeluarkan suara terlalu keras,
akan tetapi tetap saja ia memanggil-
manggil ibunya sambil menangis.
Membayangkan ibunya membunuh diri ketika rumah mereka diserbu
pemberontak dan ibunya terancam oleh para penyerbu untuk diperkosa! Siang tadi, setelah beberapa hari
berada di kota raja, ia berhasil
menemukan seorang wanita tua
bekas seorang di antara pelayan
keluarga mereka dan dari pelayan
inilah ia mendengar segalanya.
Ayahnya pergi mengikuti kaisar
mengungsi, akan tetapi ibunya
tidakmau meninggalkan rumah
karena menanti kembalinya
kakaknya, Yang Cin Han, ia sendiri
dan enci nya. Dan ibunya berada di
rumah ketika kota raja diserbu dan rumah merekapun diserbu
pemberontak.
la harus menahan hatinya siang tadi, menanti sampai malam tiba baru ia datang ke tanah kuburan umum dan mengunjungi makam ibunya. Sebuah makam biasa saja, seperti kuburan
penduduk biasa! Pada hal ibunya
adalah seorang nyonya menteri!
"Ibu..... maafkan aku, ibu....." ia
tersedu.
Tiba-tiba, pendengarannya yang
tajam menangkap gerakan orang di belakangnya. Cepat sekali, tubuh yang tadi nya berlutut di atas tanah yang becek oleh air hujan itu melompat,
memutar tubuh dan ia sempat
melihat sesosok bayangan
menyelinap pergi. Kedukaan yang
mendalam membuat Kui Bi
mendendam dan marah sekali kepada pemberontak yang telah
menghancurkan keluarga orang tua nya dan membuat ibunya membunuh diri. ia menduga bahwa yang melihat dan mendengarnya tadi tentulah
orangnya pemberontak atau
pemerintah yang baru.
Maka, kemarahannya ditimpakan
kepada bayangan itu dan dengan
gerakan bagaikan seekor burung
walet keluar diri dalam guha, iapun melompat ke arah bayangan tadi dan langsung saja menyergap dengan
tamparan ke arah pelipis orang itu .
"Wuuuttt.... plakkk!" Tamparan itu
tertangkis dan ternyata bayangan itu memiliki tenaga yang cukup kuat
sehingga tangan Kui Bi yang
menampar tadi tertangkis dan
terpental. Gadis itu menjadi semakin marah. Begitu kedua kakinya turun ke atas tanah, iapun sudah mencabut pedangnya dan menyerang bayangan hitam itu. Terjadilah perkelahian seru ketika bayangan itu menggunakan sebuah tongkat melakukan
perlawanan dan ternyata lawan yang diserang Kui Bi itupun lihai bukan
main. Malam itu gelap sekali dan
hanya sekali-kali ada cahaya kilat di angkasa. Perkelahian itu lebih
dikendalikan oleh ketajaman
pendengaran mereka.
Bayangan itu menangkis dan
mengelak, juga balas menyerang
sambil mundur sehingga tiba di pintu gerbang tanah kuburan, di mana
terdapat sebuah lampu gantung yang memberi penerangan yang redup dan lemah sekali, namun cukup bagi
mereka untuk dapat melihat
bayangan masing-masing. Kui Bi tidak dapat melihat wajah orang itu, akan
tetapi dari bentuk tubuhnya, ia dapat menduga bahwa lawannya seorang
laki-laki yang tubuhnya sedang.
Akan tetapi yang membuatnya ia
penasaran adalah kecepatan gerakan orang itu yang ternyata biarpun tidak
seringan gerakannya sendiri, orang
itu dapat menghalau setiap
serangannya. Seolah lawan yang amat lihai! Dan ilmu tongkat orang itupun aneh dan berbahaya sekali, maka ia harus mengubah gerakan pedangnya, tidak sepenuhnya mengandalkan
ilmu pedang Sian-li Kiam-sut,
melainkan dicampur dengan gerakan Hong-in Sin-pang (Tongkat Sakti
Angin dan Awan) yang seharus nya dimainkan dengan toya, akan tetapi terpaksa ia mainkan dengan
pedangnya, dan berulang-ulang
terdengar suara kaget dan kagum dari lawannya.
Tiba-tiba di angkasa terdengar
ledakan keras menyusul cahaya kilat yang amat terang. Biarpun hanya
beberapa detik, namun cukup bagi kedua orang tu untuk saling melihat muka dan Kui Bi cepat menahan
serangannya dan berseru, "Han-koko......."!"
Pemuda itu tertawa dan suara tawa ini meyakinkan hati Kui Bi bahwa ong yang diserangnya tadi memang
kakaknya, Yang Cin Han!
"Bi-moi,ilmu silatmu sekarang hebat!"
"Han-koko...... ah, Han-koko. ibu
kita....." Gadis itu menubruk menangis tersedu-sedu dalam rangkulan
kakaknya. Cin Han mencoba untuk menahan hatinya, akan tetapi tetap saja dua matanya menjadi basah. Dia membiarkan adiknya menangis di
dadanya dan air mata adiknya itu
turun seperti hujan rintik-rintik.
Kemudian, setelah membiarkan Kui
Bi menangis beberpa saat lamanya, dia mngusap kepala adiknya dan
suaranya terdengar gembira.
"Adikku yang manis, di mana
kegagahanmu" Engkau sudah
demikian tangguh sekarang, akan
tetapi malah bertambah cengeng! Ibu memang sudah meninggal dunia,
akan tetapi itu sudah takdir Tuhan,
tidak ada gunanya ditangisi! Hentikan tangismu!"
Kui Bimemang memiliki hati keras,
maka ia segera dapat memulih
hatinya dan kini mereka berdua
mencari perlindungandi bawah atap
seng makamyng lebih terawat.
Pertemuan itu setidaknya merupakan hiburan bagi Kui Bi, dan mereka
saling bertanya, lalu saling
menceritakan pengalaman masing-
masing. Kui Bi girang mendengar
bahwa kakaknya ini telah menjadi
murid Sin-tung Kai-ong, pengemis
sakti yang pernah mengajarkan Sian-li Kiam-sut kepada ia dan encinya, dan sebaliknya, Cin Han kagum
mendengar bahwa kedua orang
adiknya menjadi murid seorang
hwesio sakti.
"Akan tetapi, di mana Lan-moi"
kenapa tidak bersamamu di sini?"
tanya Cin Han.
"Kami memutuskan untuk membagi
tugas dan berpisah, koko. Enci Lan
pergi ke barat menyusul rombongan Kaisar ketika kami mendengar bahwa ayah ikut Kaisar mengungsi ke barat, sedangkan aku ke kota raja ini untuk melihat keadaan keluarga kita.
Sungguh menyedihkan mendengar
bahwa ibu telah meninggal dunia,
membunuh diri ketika rumah kita
diserbu pemberontak. Mudah-
mudahan saja ayah yang mengikuti
kaisar kebarat dalam keadaan
selamat dan ...... kenapa, Han-ko?" Kui Bi bertanya ketika tiba-tiba lengannya dipegang oleh jari-jari tangan
kakaknya dengan kuat.
"Adikku, apakah engkau ini masih
adikku Kui Bi yang tabah dan
pemberani, tidak cengeng dan
periang, lincah Jenaka dahulu itu?"
"Ihhh! Engkau ini aneh saja, Han ko. Tentu saja aku masih seperti dulu!"
"Kalau begitu, kuatkan hatimu dan dengar baik-baik," kata Cin Han masih tetap memegang lengan adiknya.
"Ayah kita telah.... tewas pula dalam perjalanan ke barat......"
"Ayah......!!" "Bi-moi, ah, Bi-moi.....!" Cin Han cepat memeluk adiknya karena tiba tiba tubuh adiknya itu menjadi lemah dan terkulai dalam
pelukannya. Pingsan.
Sekuat-kuatnya hati Kui Bi, baru saja ia menangisi kematian ibunya depan makam yang tak terawat, sekarang tiba-tiba saja mendengar bahwa
ayahnya juga telah tewas, maka ia tidak kuat dan roboh pingsan.
Cin Han menolong adiknya dan
setelah menotok beberapa jalan darah gadis itu siuman kembali dan mereka berdua kembali menangis. Akan
tetapi hanya sebentar Kui Bi
menangis.
"Koko, ceritakan bagaimana ayah
tewas...." katanya lirih,,
"Aihhh, sejak dulu aku telah
mengkhawatirkan kedudukan ayah yang tdak wajar, hanya karena
pengaruh bibi Yang Kui Hui," katanya. Kemudian dia menceritakan seperti apa yang didengar nya tentang
ayahnya dan bibinya.
Bahwa pasukan yang mengawal kaisar melarikan diri semakin tidak senang dan curiga
kepada Menteri Yang Kok Tiong yang di-anggap biang keladi keruntuhan
Kerajaan Tang, kemudian
mengeroyok menteri itu sampai tewas. Kemudian diceritakannya pula bahwa bibi mereka, Yang Kui Hui, juga mati menggantung diri di depan orang banyak sebagai hukuman yang dipaksakan pasukan kepada kaisar mereka.
Setelah Cin Han berhenti bercerita, keduanya berdiam diri sampai lama. Hanya kadang terdengar tarikan
napas panjang mereka berdua karena mereka merasa berduka, menyesal dan juga menyadari bahwa semua peristiwa itu memang bersumber dari bibi mereka, Yang Kui Hui. Andaikata bibi mereka itu dahulu tidak
melindungi An Lu Shan ketika
dilaporkan ayah mereka kepada
kaisar, tentu tidak akan terjadi
pemberontakan itu.
"Semua ini gara-gara si jahanam An Lu Shan! Aku akan membunuhnya,
ko-ko!" tiba-tiba Kui Bi berkata
dengan penuh semangat.
"Hushhh, kaukira begitu mudah
membunuh dia" Dia sekarang telah menjadi seperti seorang kaisar,
tinggal di istana, dijaga oleh pasukan pengawal.
Jangan bertindak sembarangan dan
mencelakai diri sendiri, adikku."
"Han-koko, lalu apa yang harus kita lakukan" Apakah kita akan berdiam diri saja menangisi malapetaka yang menimpa keluarga kita dan Kerajaan Tang, tanpa melakukan apa-apa
karena kita takut celaka?"
"Bukan begitu maksudku, Bi-moi. Tentu saja kita harus melakukan sesuatu, yaitu kita harus membantu Kerajaan Tang untuk bangkit kembali. Kita harus membantu untuk
menentang An Lu Shan dan
menghancurkannya. Tentu saja kita tidak dapat bertindak sendiri
menghadapi pasukannya yang
ratusan ribu orang banyaknya. Aku mendengar bahwa Gok-hong-cu
hilang. Itu hanya desas-desus, akan
tetapi aku ingin membantu Kerajaan Tang untuk mendapatkan kembali Mestika Burung Hong Kemala itu. Kabarnya, Sri baginda menitipkan kepada ayah, akan tetapi ketika ayah meninggal, tidak ada yang tahu di mana mestika itu disembunyikan.
Lalu, aku mendengar desas-desus
bahwa Bouw Koksu hendak mengirim pasukan khusus untuk mencari
pusaka itu. Agaknya dia telah
mengetahui tempatnya, maka aku
akan membayangi pasukan itu dan
kalau mungkin aku akan merampas
mestika itu dari tangan mereka !"
Kui Byang sejak tadi termenung
memikirkan sesuatu, mengangguk.
"Baiklah, kita sama-sama membantu Kerajaan Tang dengan cara kita
sendiri, koko. Apakah di kota raja ini
terdapat orang yang bisa dipercaya
dan masih setia kepada Kerajaan
Tang?"
"Banyak, Bi-moi. Banyak kawan-
kawan kita dan mereka itu diam-diam juga sudah siap untuk bergerak
menentang An Lu Shan kalau saatnya tiba."
"Bagus! Kalau begitu, antarkan aku
kepada mereka, koko. Aku ingin
bergabung dengan mereka
menentang si jahanam An Lu Shan!"
"Baik, Bi-moi, akan tetapi hati-hati,
jangan engkau bertindak sembrono
dan berusaha membunuh sendiri An Lu Shan. Itu berbahaya sekali dan
engkau takkan berhasl."
"Aihh, Han-ko, apakah kaukira
adikmu ini masih kanak-kanaki Aku bukan anak kecil lagi, Han-ko. Aku dapat menjaga diri dan akan berlaku hati-hati."
Malam itu juga, Cin Han mengajak
adiknya ke sebuah rumah besar milik Ji Siok, seorang hartawan yang karena pandai mempergunakan hartanya,
maka dia sekeluarga dapat hidup
aman dan selamat dari serbuan
pasukan pemberontak. Bahkan
dengan hartanya, Ji Siok yang disebut Ji-wangwe (Hartawan Ji) kini dapat
bergaul dengan para pejabat tinggi yang baru. Tidak ada seorangpun
dapat mengetahui isi hatinya bahwa dia sebetulnya merupakan seorang
yang setia kepada Kerajaan Tang! Ji-wangwe ini pula yang diam-diam
membiayai para pendukung Kerajaan Tang yang diam-diam
mempersiapkan diri untuk bergerak apabila saatnya tiba, yaitu apa bila pasukan Kerajaan Tang datang
menyerbu Tiang-an untuk merampas kembali tahta kerajaan yang direbut oleh An Lu Shan.
Ji-wangwe yang tidak mempunyai
anak, bersama isterinya menyambut kunjungan Cin Han malam itu dengan gembira. Mula-mula, ketika Cin Han datang beberapa pekan yang lalu, Ji-wangwe menyambutnya dengan alis berkerut. Mengetahui bahwa Cin Han adalah putera mendiang Menteri Yang Kok Tiong yang dianggap
melemahkan Kerajaan Tang,
mendatangkan rasa tidak senang dan kecurigaan.
Akan tetapi setelah Cin Han,
menjelaskan bahwa dia sendiri
bersama para adiknya tidak senang dengan kedudukan ayah mereka,
tidak suka pula kepada sepak terjang bibinya yang mempergunakan
kecantikan mempengaruhi kaisar dan mengadakan hubungan dengan An Lu Shan Ji-wangwe dapat menerimanya. Maka, ketika Cin Han malam itu
muncul dan memperkenalkan Yang
Kui Bi, adiknya, gadis itupun diterima dengan ramah oleh Ji-wangwe.
"Jangan khawatir, kongcu," kata
hartawan itu kepada Cin Han.
"Biarkan adikmu tinggal di sini, akan kami perkenalkan sebagai keponakan kami dari selatan, ia memakai she Kui dan bernama Bi, Baik, akan kami
katakan bahwa ia anak dari seorang adik piauw (misan) kami di selatan." Hartawan Ji senang sekali ketika
mendengar bahwa Ku Bi adalah
seorang gadis yang juga memliki ilmu silat tinggi, bahkan yang bertekad untuk membantu perjuangan
menentang An Lu Shan yang amat dibencinya.
"Dan bagaimana dengan rombongan Bouw Koksu, paman Ji" Apakah
sudah-ada berita tentang
keberangkatan mereka?" tanya Cin Han. Dari pertanyaan ini saja, tahulah Kui Bi bahwa agaknya hartawan ini memegang kedudukan penting di kalangan mereka yang mendukung kerajaan Tang sehingga merupakan sumber percarian berit.
"Sudah ada ketentuan. Mereka akan berangkat besok pagi-pagi. Bouw Koksu sendiri tidak pergi, akan tetapi puteranya, Bouw-ciangkun yang akan pergi bersama dua losin pasukan khusus yang pilihan, dan kabarnya dia akan di ditemani oleh seorang gadis yang memiliki ilmu silat lihai sekali. Karena itu, engkau harus
berhati-hati, kongcu."
Cin Han mengangguk-angguk. Dia
sudah tahu siapa Bouw-ciangkun,
seorang perwira muda bangsa Khitan yang berhati keras. Malam itu, kakak beradik itu melanjutkan percakapan mereka, membicarakan segala
pengalaman mereka, dan sekali ini, Ji-wangwe ikut dalam percakapan
mereka sehingga hartawan ini
semakin yakin bahwa para putera dan puteri mendiang Menteri Yang Kok Tiong ternyata merupakan orang-orang muda yang gagah perkasa,
berjiwa pendekar dan juga setia
kepada Kerajaan Tang. Mereka
berdua ini saja dapat merupakan
pembantu yang boleh diandalkan,
pikirnya girang.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi
sekali, Cin Han sudah meninggalkan
rumah itu dalam pakaian seperti
seorang pengemis muda. Tak lama
kemudian, dia sudah membayangi
rombongan pasukan yang dipimpin
oleh Bouw Ki yang ditemani oleh Can Kim Hong. Rombongan ini
menunggang kuda, akan tetapi tidak sukar bagi Cin Han untuk dapat terus membayangi mereka dengan
mempernunakan ilmu berlari cepat.
Ketika rombongan berkuda itu
menyusuri tepi sungai Yang-ce, lebih mudah lagi baginya untuk
membayangi. Dia menggunakan
sebuah perahu kecil yang dibelinya dari seorang nelayan. Kini dia dapat membayangi rombongan itu dengan seenaknya, diatas perahu sehingga dia tidak terlalu banyak
mengeluarkan tenaga.
**********
Souw Hui San berdiri menghadapi tebing gunung karang dan
memandang dengan kagum ke arah
guha-guha yang berjajar seperti
sumur miring itu. Betapa hebat dan
megahnya alam, pikirnya. Betapa
sakti dan mahakuasanya Sang
Pencipta semua ini!
Dan diapun kagum akan kecerdikan
mendiang Menteri Yang Kok Tiong,
yang telah menyembunyikan benda pusaka Kerajaan Tang itu di salah satu di antara guha-guha itu. Guha ke tiga memang merupakan guha paling kecil dan paling tidak mengesankan, tidak menarik perhatian orang untuk
mendekatinya. Selain jalan menuju ke guha ke tiga itu harus memaniat batu karang licin, juga banyak batu terlepas sehingga berbahaya.
Hui San adalah seorang pendekar
Gobi-pai yang cerdik dan biarpun dia memiliki watak yang nakal dan ugal-ugalan, akan tetapi dia cermat dan waspada. Setelah menemukan tempat itu, dengan cara yang tidak menyolok seperti seorang pelancong yang
tersesat ke tempat ini, dia
menemukan guha-guha itu. Akan
tetapi, walaupun sejak tadi dia tidak bertemu orang di daerah pegunungan itu, juga tidak melihat adanya orang yang membayanginya, dia tidak
tergesa-gesa menghampiri guha.
Kegirangan telah bertemu dengan tempat itu tidak membuatnya lengah. Dia lalu menyelinap ke balik sebuah
batu karang, lalu dengan gerakan
cepat sekali dia mendaki puncak bukit dari arah belakang. Tak lama
kemudian, dia telah mengintai dari
puncak, memandang ke sekeliling.
Barulah hatinya lega setelah dia
merasa yakin bahwa tidak ada
seorangpun nampak di sekitar tempat itu. Dia lalu ce pat turun dari puncak, menghampiri tebing dan berhadapan dengan guha-guha tadi lagi. Dia masih menoleh ke kanan kiri dan belakang sebelum dia mendaki tebing menuju ke arah guha ke tiga. Guha itu kecil dan dia harus membungkuk untuk
merangkak masuk. Dan di sudut guha itu, tertutup tumpukan batu-batu
karang berkapur, dia menemukan
benda yang dicarinya.
Sebuah kotak berukir indah berwarna hitam! Ketika tutup kotak itu
dibukanya, di dalamnya terdapat
benda pusaka itu. Mestika Burung
Hong Kemala yang aseli! Bentuknya tidak berbeda jauh dari yang dibawa dalam buntalannya, yaitu bentuk
seekor burung Hong. Akan tetapi
benda pusaka ini mengeluarkan
cahaya cemerlang, dan batu gioknya memiliki warna-warni yang aneh, ada warna kemerahan, kehijauan, biru dan coklat kuning! Dan u-kiran
burung Hong-nya juga amal indah. Sebuah hasil seni yang menakjubkan dan amat langka!
Hui San memasukkan kotak kecil itu ke dalam buntalan pakaiannya,
kemudian dia keluar dari dalam guha. Keluarnya juga bukan begitu saja. Dia mengintai dulu dari dalam guha
sampai lama, sampai dia merasa
yakin tidak ada mata manusia lain melihatnya, baru dia meloncat keluar dari dalam guha itu Seperti tadi,
diapun berhati-hati dan setelah yakin tidak ada orang melihat nya, baru dia memasuki guha ke tujuh yang lebih besar.
Dia memasuki guha itu, lalu menukar isi kotak hitam dengan burung Hong Kemala yang dibawanya dari Tiang-an. Yang palsu dia masukkan ke
dalam kotak hitam dan
meletakkannya ke dalam guha, di sudut yang gelap, sedangkan yang aselinya dengan aman berada dalam buntalan pakaiannya!
Kemudian, diapun keluar dari dalam guha setelah mengintai lebih dahulu dan dengan hati ringan karena gembra telah berhasil melaksanakan tugas nya, diapun meninggalkan
tebing itu Akan tetapi dia tidak segera turun begitu saja dari tebing itu, melainkan mendaki naik ke puncak.
Dengan demikian, andaikata ada
orang melihatnya tentu orang itu
mengira bahwa dia mendaki puncak da hanya kebetulan saja lewat di
depan tebing itu, bukan bermaksud
pergi ke tebing.
Setelah tiba di puncak, dia
beristirahat, duduk di balik batu
kasar untuk berlindung dari sengatan sinar matahari yang sudah naik
tinggi, lalu mengeluarkan tempat
minuman. Setelah meneguk minuman dia bangkit berdiri, mengikatkan
kembali buntalan pakaiannya di
punggung, dan menuruni bukit itu
dari lereng yang berlawanan di mana terdapat pohon-pohon besar di
sepanjang lereng yang penuh hutan, walau- pun tidak begitu lebat
pohonnya, namun karena usianya
sudah tua maka pohon-pohon itu
tinggi dan besar batangnya.
Setelah tiba di hutan pertama, diapun memanjat pohon tertinggi dan me
mandang ke sekeliling. Tiba-tiba dia
nampak mengerutkan alisnya. Dari
arah puncak, dari mana dia turun
tadi, dia seperti melihat bayangan orang berkelebat cepat lalu lenyap, dan ketika dia melihat ke bawah, dia melihat debu mengepul dan
serombongan orang berkuda sedang mendaki bukit!
Tak lama kemudian, Hui San sudah
menyelinap di balik semak-semak
dan mengintai ketika seorang gadis
menuruni puncak dan lewat di dekat semak itu. Dan diapun menahan
napas. Bukan main! Belum pernah dia melihat gadis secantik ini! Dan inipun tidak aneh karena sejak kecil dia
tinggal di pegunungan Gobi-san yang sunyi dan kalaupun pernah dia
bertemu wanita, maka yang di
jumpainya hanyalah gadis-gadis
pegunungan di Gobi-san yang
sederhana sekali.
Akan tetapi gadis yang lewat di
dekatnya itu demikian cantik jelita
seperti bidadari! Bidadari yang
lembut, namun gagang pedang di
punggungnya itu menunjukkan
bahwa gadis itu tidak selembut
seperti nampaknya.
Dan gadis itu memegang sebatang tongkat yang mungkin ditemukannya di bawah pohon karena tongkat itu hanyalah sebatang ranting pohon
yang masih ada beberapa helai
daunnya.
Timbul kekhawatiran di hati Hui San. Gadis jelita itu menuruni bukit dan
pasti akan bertemu dengan
rombongan orang berkuda itu! Dia mendapatkan perasaan tidak enak, seolah merasakan bahwa gadis yang seperti bidadari itu akan terancam bahaya, maka diam-diam dia lalu
membayangi gadis itu. Dari
langkahnya saja dia dapat menduga
bahwa gadis itu membawa pedang bukan sekedar untuk memasang aksi, melainkan ia seorang gadis yang sungguh memiliki kepandaian.
Kini derap kaki kuda itu sudah
terdengar dari situ. Rombongan
orang berkuda dari bawah itu sudah dekat, akan tetapi gadis cantik itu
masih tetap berjalan dengan santai!
Hui San menjadi semakin khawatir. Ingin dia meneriaki gadis itu agar
bersembunyi atau menyingkir saja. Akan tetapi dia tahu bahwa kalau dia melakukan hal itu, gadis itu tidak akan percaya, dan bagaimana kalau rombongan orang itu memang tidak merupakan rombongan orang jahat"
Rombongan orang berkuda itu kini muncul di tikungan jalan dan mereka tidak lagi dapat membalapkan kuda mereka karena jalan itu mendaki dan kasar. Mereka menjalankan kuda
perlahan-lahan. Sekali pandang saja tahulah Hui San bahwa rombongan orang berkuda itu adalah rombongan pasukan pemerintah pemberontak!
Tentu saja dia merasa khawatir
sekali.
Dari tempat persembunyiannya, dia melihat betapa gadis cantik itu
berhenti melangkah dan agak menepi untuk membiarkan rombongan orang berkuda itu lewat melalui jalan yang sempit itu.
Gadis itu Kui Lan yang melakukan perjalanan ke barat untuk menyusul rombongan kaisar yang melarikan
diri mengungsi, ia masih terkenang dengan hati penuh kagum kepada Sia Su Beng, pemuda perkasa yang
mendatangkan kesan mendalam di hatinya.
Ketika ia tiba di pegunungan yang
sepi itu, ia mengambil jalan pintas,
mendaki puncak bukit dan kini tiba-tiba di tempat sunyi itu ia berpapasan dengan serombongan orang berkuda. yang berada di depan adalah seorang perwira muda yang gagah dan
tampan, berpakaian perwira. Tentu
Sia Su Beng akan nampak lebih gagah dari pada orang ini kalau dia
berpakaian perwira, Kui Lan
membayangkan. Dan di samping
pemuda perwira itu duduk seorang
gadis cantik dan gagah di atas seekor
kuda putih.
Kemudian di belakang mereka
nampak duapuluh lebih perajurit
berkuda, kesemuanya kelihatan gagah dan garang. Bertemu dengan
serombongan perajurit yang tentu merupakan perajurit anak buah
pemberontak An Lu Shan. Kui Lan merasa sebal dan tidak senang. Akan tetapi, iapun tahu bahwa tidak
semestinya ia mencari keributan
menghadapi demikian banyak orang.
Apalagi perwira itu kelihatan bukan orang lemah. Maka, iapun sengaja
menepi untuk memberi jalan agar
rombongan berkuda itu lewat.
BERSAMBUNG KE JILID 05
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment