Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Rajawali Hitam
Jilid 08
Pulau Naga adalah sebuah pulau milik Siang Koan Bhok yang banyak mengandung rahasia untuk menjebak kalau- kalau ada musuh menyerbu.
Tak terhindarkan lagi tubuh Lee Cin terjerumus dan melayang turun ke dalam sebuah sumur yang gelap!
Para hwe-sio dan to-su yang berada. di belakang, melihat betapa Si Kedok Hitam telah lenyap seperti ditelan bumi, dan pengejarnya, Lee Cin juga lenyap tidak tampak bayangannya
lagi.
Mereka mencari- cari di sekitar lereng perbukitan kecil di pulau itu dan kini, para tokoh kang- ouw yang juga sudah mendengar bahwa Hek- tiauw Eng-hiong muncul hendak
membunuh Souw Lee Cin, ikut pula mencari.
Di antara mereka yang mencari ini terdapat Song Thian Lee, Thio Hui San, Lui Ceng, Cia Tin Siong, Kwee Li Hwa dan ayahnya Kwe Ciang, dan juga Cia Kun dan isterinya, Cia Hok dan Cia Bhok. Masih baayak lagi tokoh persilatan yang berkumpul di lereng itu. Mendengar bahwa Hek- tiauw Eng- hiong yang dikabarkan telah membunuh belasan orang hwe-sio Siauwlim- pai dan para to-su Kun- lun- pai itu muncul di situ, mereka semua ingin membantu untuk menangkapnya dan
melihat siapa orangnya.
Akan tetapi bayangan Hek- tiauw Eng- hiong telah lenyap, demikian bayangan Souw Lee Cin yang mengejarnya.
Kemana larinya Hek- tiauw Eng- hiong" Lee Cin sudah jelas terjeblos ke dalam sumur yang amat dalam tanpa terlihat orang lain.
Akan tetapi Si Kedok Hitam itu dapat memasuki sebuah jalan rahasia terowongan dan muncul di balik bukit, jauh dari para pengejarnya yang tidak lagi dapat melihatnya.
Selagi dia berlari- lari, merasa puas karena semua orang tentu tahu bahwa yang menyerang Lee Cin sampai gadis itu mati dalam sumur jebakan adalah Hek- t iauw Eng- hiong, tiba- tiba dia mendengar kelepak sayap burung dan tampak bayangan hitam menyambar dari atas!
Dia memandang ke atas dan alangkah terkejutnya ketika dia melihat bahwa yang menyambar itu adalah seekor burung rajawali hitam yang amat besar.
Sebelum dia dapat mengelak, punggung bajunya telah dicengkeram oleh kedua kaki burung itu dan dia dibawa terbang melayang ke angkasa!
Si Kedok Hitam melihat ke atas, lalu ke bawah. Diatas sana, di punggung burung itu, dia melihat duduk seorang yang tidak dapat dilihat mukanya, tertutup badan burung.
Tentu saja dia akan dapat melepaskan diri dari cengkeraman
burung itu dengan jalan menyerang kaki burung dengan pedangnya. '
Akan tetapi kalau dia melakukan hal itu dan burung itu melepaskannya, tubuhnya akan hancur remuk terjatuh dari tempat yang demikian tingginya.
Maka dia tidak dapat berbuat lain kecuali menyerah, dengan keputusan kalau nanti dia dibebaskan oleh burung itu, dia akan mengamuk dan membunuh burung hitam itu.
Burung rajawali hitam itu kini melayang berputaran, makin lama semakin rendah sehingga mulai tampak oleh para hwe-sio, tosu dan orang- orang kang-ouw yang berada di situ.
Mereka semua melihat burung itu melihat pula Si Kedok Hitam bergantungan pada kaki burung dan melihat pula bahwa seorang berkedok hitam yang lain duduk di atas punggung burung hitam itu!
Tentu saja pemandangan ini menimbulkan keheranan dalam hati semua orang, kecuali Thian Lee yang sudah menduga bahwa tentu ada orang lain yang memalsukan Hek- tiauw Eng- hiong dan melakukan
banyak pembunuhan itu.
Dia merasa yakin bahwa seorang di antara mereka berdua yang berkedok sama itu tentu Tin Han dan yang seorang lagi pembunuh itu.
Pemandangan yang aneh itu menarik perhatian semua
orang, dan kini dapat dibilang semua orang yang akan mengikuti pertemuan besar di Pulau Naga sudah keluar dari pondok masing-masing dan menonton pemandangan yang aneh itu.
Rajawali Hitam tetap terbang berputaran dan akhirnya menukik turun ke dataran -tinggi yang berada di depan pondok-pondok darurat yang menjadi tempat tinggal para tamu.
Setelah tubuhnya tinggal dua meter dari atas tanah, dia
melepaskan cengkeraman kedua kakinya dan melepaskan tubuh Si Kedok Hitam.
Dengan berjungkir balik indah dan cekatan sekali Si Kedok Hitam hinggap dengan lunak di atas tanah. Akan tetapi segera Si Kedok Hitam yang tadi duduk di atas punggung rajawali, juga melompat turun
dari atas punggung burung itu dan hinggap di atas tanah tepat di depan Kedok Hitam pertama.
Tin Han memandang ke arah burung yang masih terbang di atas kepalanya.
"Hek- tiauw- ko, terima kasih atas bantuanmu. Sekarang kembalilah kepada suhu!" Tin Han berseru dan burung itu lalu mempercepat gerakan sayapnya, terbang pergi dari situ.
Kini Tin Han membuka penutup kepalanya sehingga semua orang dapat melihatnya. "Cu-wi yang gagah.
Perkenalkanlah bahwa saya yang selama ini bergerak di dunia kang-ouw menentang kejahatan dengan julukan Hektiauw Enghiong!
Selama ini ada orang lain menyamar
sebagai saya melakukan pembunuhan terhadap belasan
orang hwe-sio Siauwlim-pai dan beberapa orang to-su Kunlun-pai.
Dan cu-wi lihat, inilah orangnya. Baru saja dia keluar hendak membunuh nona Souw Lee Cin seperti yang cu-wi lihat sendiri. Hei, Hek-tiauw Eng-hiong palsu,
beranikah engkau dengan jujur menyatakan siapa dirimu sebenarnya"
Engkau telah mencemarkan nama Hek-tiauw Eng-hiong dan sekarang harus kau pertanggung jawabkan!"
Orang berkedok itu bukan menjawab pertanyaan Tin Han, bahkan mencabut sepasang pedangnya dan menyerang dengan dahsyatnya.
Tin Han cepat mengelak dan diapun mencabut Pek-kong-kiam, pedang bersinar putih itu, lalu balas menyerang.
Terjadilah perkelahian yang amat dahsyat antara kedua orang yang sama-sama berpakaian hitam itu, hanya bedanya kini Tin Han telah menanggalkan kedok kain sutera hitamnya sedangkan lawannya masih memakai kedok hitam.
Para penonton memandang dengan mata terbelalak.
Hati mereka tegang melihat munculnya dua Hek-tiauw Enghiong itu dan setelah Tin Han memperkenalkan mereka
menduga-duga siapa adanya si Kedok Hitam kedua itu.
Merekapun mulai mengerti bahwa yang melakukan banyak pembunuhan itu adalah Hek-tiauw Eng-hiong palsu. Akan tetapi, tidak ada di antara mereka yang mau mencampuri pertandingan itu.
Mereka ingin agar Hek-tiauw Eng-hiong sendiri yang membereskan orang yang telah menodai
namanya itu. Pertandingan itu memang hebat sekali.
Kekuatan dan kecepatan mereka nampaknya seimbang. Kalau pedang
mereka beradu, keduanya terdorong ke belakang. Akan tetapi kalau pedang di tangan kiri lawannya yang bertemu dengan pedangnya, Tin Han merasa bahwa tangan kiri lawan itu tidak sekuat tangan kanannya, dan gerakan pedang tangan kiri itu kaku.
Karena itu, dia beberapa kali
menyerang tubuh bagian kiri sehingga lawannya terpaksa menangkis dengan pedang yang kiri dan serangan yang ditujukan kepada tubuh bagian kiri dapat mendesak Si Kedok Hitam.
"Hyaaatttt ...... !" Kembali Tin Han berseru nyaring sambil menusukkan pedangnya ke arah lambung kiri lawannya. Si Kedok Hitam memutar pedang kirinya melindungi lambung dan menangkis dengan pengarahan tenaga.
"Trangggg ...... !" Kembali pedang kiri Si Kedok Hitam yang menangkis itu terpental dan orangnya terhuyung, namun pedang kanannya menyambar dahsyat sehingga Tin Han tidak dapat mendesaknya, bahkan terpaksa mengelak dari sambaran pedang kanan itu.
Akan tetapi begitu dielakkan, pedang kanan itu sudah menyambar lagi dengan amat cepatnya, membacok dari atas mengarah kepala Tin Han.
Tin Han mengerahkan tenaga pada tangan kanannya untuk menangkis pedang lawan.
"Trakkk!" Kedua pedang itu menempel ketat dan tidak dapat ditarik kembali. Mereka saling mengerahkan tenaga untuk mendorong lawan dan pada saat itu, Si Kedok Hitam menggerakkan pedang kirinya untuk menusuk dada Tin Han! Tin Han miringkan tubuh, membuka lengan kanannya dan penjepit pedang yang ditusukkan ke bawah lengannya itu.
Akan tetapi dia kalah cepat karena tiba-tiba kaki kanan Si Kedok Hitam mencuat dan sebuah tendangan mengenai perut Tin Han, membuat tubuh Tin Han terpental dan
terjengkang roboh!
Teriakan aneh keluar dari mulut di balik kedok itu ketika Si Kedok Hitam menubruk dan membabatkkan pedangnya ke arah leher Tin Han yang sudah roboh terjengkang.
"Trangg ...... !" Tin Han masih dapat menangkis pedang itu dan sekali meloncat dia telah bangkit berdiri lagi.
Pada saat itu, tusukan pedang kiri Si Kedok Hitam kembali telah menyambar ke arah dadanya. Tin Han mengelak dan memutar pedangnya untuk menangkis pedang kanan lawan yang menyambar dengan bacokan ke arah pinggangnya.
Kembali mereka saling serang dengan cepat dan kuatnya, membuat penonton menjadi semakin tegang. Dari gerakan-gerakan kedua orang itu, maklumlah para tokoh kang-ouw yang menjadi penonton bahwa ilmu kepandaian kedua orang itu memang setingkat.
Beberapa kali In Kong Thai-su yang berdiri dekat In Yang Seng-cu menahan napas. "Sian-cai.... ilmu pedang yang bagus!" Dia memuji.
"Omitohud, baru sekarang pin-ceng melihat seorang pemuda dengan ilmu kepandaian setinggi itu!" kata pula In Kong Thai-su.
"Thai-su, apakah kita perlu membantu pemuda she Cia itu?" Im Yang Seng cu bertanya.
In Kong Thai-su menggeleng kepalanya. -"Pin-ceng kira tidak perlu, karena kita belum tahu siapa Si Kedok Hitam yang seorang lagi itu dan kita belum yakin siapa di antara mereka yang bersalah walaupun.
Si Kedok Hitam itu yang agaknya Hek- t iauw Eng- hiong yang palsu. Biarlah mereka menyelesaikan masalah mereka sendiri dan kita hanya menonton bagai mana kesudahan peristiwa aneh ini."
"Sian-cai, pinto hampir yakin bahwa Cia-sicu di pihak benar. Dia berusaha untuk melucuti kedok orang yang
mengaku sebagai Hek-tiauw Eng-hiong dan yang menggunakan namanya untuk membunuhi murid Siauw-lim-pai dan Kun-lun pai.
Bagaimana kalau kita tinggal diam dan kemudian dia kalah oleh orang yang palsu itu?"
"Omitohud, pin-ceng lebih percaya bahwa orang yang bersalah akhirnya akan kalah. Kita menjadi saksi saja, To-yu. "
Im Yang Seng-cu tidak bicara lagi karena diapun menganggap pendapat sahabatnya itu benar.
Ada lagi sekelompok orang yang menonton dengan jantung berdebar- debar penuh ketegangan. Mereka ini adalah Keluarga Cia yang juga menonton pertandingan itu.
Cia Kun dan isterinya menonton dengan hati penuh
kekhawatiran.
Mereka tahu bahwa putera mereka hendak melucuti kedok yang memalsukan namanya dan melakukan pembunuhan, akan tetapi melihat betapa kepandaian kedua orang itu seimbang, mereka merasa khawatir sekali.
Ingin membantu akan tetapi hal itu akan membuat pihak putera mereka
tampak curang dengan pengeroyokan, maka merekapun hanya. membantu dengan doa saja.
Tadi ketika Tin Han tertendang jatuh, ibunya sudah memejamkan
matanya tidak ingin melihat kelanjutannya. Maka legalah rasa hatinya betapa Tin Han dapat lolos dari maut.
Demikian pula Cia Hok dan Cia Bhok. Mereka menonton dengan
jantung berdebar,khawatir kalau keponakan mereka menderita kekalahan.
Di samping itu mereka juga merasa amat kagum melihat keponakan mereka yang selalu dianggap pemuda lemah itu adalah seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali.
Cia Tin Siong yang berdiri di samping Kwe Li Hwa, tidak kalah gelisahnya. Kwe Li Hwa merasakan ini dan iapun bertanya, "Siong-ko,
bagaimana pendapatmu"
Apakah adikmu itu akan dapat mengalahkan penjahat itu?"
Tin Siang menghela napas panjang. "Entahlah, kita hanya dapat berdoa semoga dia keluar sebagai pemenang.
Lawannya dengan sepasang pedangnya itu lihai luar biasa."
"Akan tetapi adikmu itupun amat lihai, Siong-ko."
"Anak itu memang aneh. Dia mempelajari ilrnu yang tinggi
tanpa sepengetahuan kami yang menjadi keluarganya."
"Dia tadi menangkap Hek-tiauw Eng hiong palsu ia dengan bantuan seekor burung rajawali hitam yang besar.
Apakah memang dia memelihara burung itu, Siong-ko?"
Tin Siong menggerakkan kedua pundaknya. "Hal inipun aku tidak tahu. Baru sekarang aku melihat burung rajawali besar itu."
Sepasang muda mudi ini menonton dengan hati berdebar penuh ketegangan.
Sementara itu, di pihak tuan rumah dengan rekan- rekan mereka, juga menonton dengan hati tegang dan heran.
Thian-to Mo- ong dan rekan- rekannya juga tidak mengenal siapa orang yang berkedok dan bersenjata sepasang pedang yang bertanding melawan Cia Tin Han
Mereka bertanya- tanya, juga merasa heran mengapa Ouw Kwan Lok tidak muncul.
Pada hal semua tamu sudah keluar dari pondok masing- masing dan mengikuti jalannya pertandingan itu dengan penuh perhatian.
Hanya Siang Koan Bhok seorang yang tampaknya tidak heran, melainkan menonton pertandingan itu dengan sikap tenang.
Dia menganggap Tin Han sebagai musuh besarnya, yang pernah mengalahkannya ketika dia bersama rekan-rekannya menyerbu ke tempat kediaman Keluarga Cia.
Dia maklum betapa lihainya Cia Tin Han, akan tetapi tidak berani mencampuri pertandingan itu, karena di situ hadir pula banyak tokoh kang-ouw dan pendekar yang tentu tidak tinggal diam kalau dia mencampuri pertandingan satu lawan satu itu.
Te- tok Kui-bo dan Siauw Leng Ci yang juga menjadi penonton bersama seratus lebih anak buah mereka, tertegun dan
terheran-heran melihat betapa Tin Han dapat menandingi Hek-tiauw Enghiong yang hebat itu.
"Ya Tuhan, siapa kira bocah itu sedemikian lihainya"
Kiranya ketika berada di tempat kita dahulu, ketika kita coba ilmunya melawanmu dia hanya berpura- pura saja sehingga kepandaiannya tampak setingkat denganmu, Leng Ci.
Kalau melihat kepandaiannya sekarang rasa-rasanya aku sendiri tidak akan mampu menandinginya."
Tentu saja Leng Ci merasa bangga sekali. Ia menganggap Tin Han sebagai tunangannya. Biarpun pemuda itu belum menyatakan kesanggupannya, namun dia tidak menolak ketika ibunya mengusulkan perjodohan di antara mereka.
Dan sekarang, melihat pemuda yang sudah dianggapnya sebagai calon suaminya itu bertanding dengan sedemikian gagah beraninya, tentu saja ia merasa bangga walaupun ada pula rasa khawatir dalam benaknya.
"Ibu, lawannya demikian lihai. Bagaimana kalau sampai Tin Han kalah" Ibu, kita bantu dia!"
"Ssttt, jangan gegabah, Leng Ci. Tidakkah engkau melihat betapa para tokoh besar persilatan berada di sini sekarang dan ikut pula menyaksikan perkelahian itu. Kalau kita turun tangan membantunya, itu tidak adil namanya dan kita dapat dianggap curang.
Sudahlah, kita melihat saja, aku kira Tin Han tidak akan kalah. Di sana kulihat ayah ibunya dan paman- pamannya juga hadir dan mereka itu juga tidak mencampurinya."Leng Ci tidak berani bicara lagi, hanya mengepal- ngepal kedua tangannya seolah-olah dengan semangatnya ia hendak membantu orang yang dicintanya itu.
Pertandingan itu semakin seru. Pedang mereka tidak lagi tampak ujudnya, telah menjadi gulungan sinar yang menyilaukan mata.
Tin Han sendiri kagum melihat ketangguhan lawannya. Dia melihat betapa teguh pertahanan lawan dan betapa dahsyat serangan serangannya.
Kalau dilanjutkan begini, agaknya sampai ratusan jurus belum tentu dia akan dapat merobohkan
lawan. Akan tetapi akhirnya dia teringat akan gerakan tangan kiri yang kaku itu.
Dia membayangkan orang yang buntung lengan kirinya dan memakai sambungan, maka
gerakan tangan dan lengan kiri itu menjadi kaku, Tin Han teringat akan percakapannya dengan Song Thian Lee.
Dia dan Song Thian Lee tadinya mencurigai bahwa Siang Koan Bhok atau Ouw Kwan Lok yang melakukan penyamaran sebagai Hek- tiauw Eng-hiong, akan tetapi dugaan itu tidak cocok, karena Ouw Kwan Lok, hanya berlengan satu.
Dan orang yang berkelahi dengannya ini, walaupun berlengan dua, akan tetapi tangan kirinya bergerak demikian kaku!
Salahkah perhitungannya kalau dia menduga bahwa orang ini bukan lain adalah Ouw Kwan Lok yang menyambung tangan buntungnya dengan tangan buatan"
Setelah berpikir demikian, Tin Han mengubah cara bersilatnya. Dia memainkan ilmu silat Hek- tiauw-kun (Silat Rajawali Hitam) akan tetapi lebih banyak menujukan
serangannya kepada bagian kiri lawan.
Benar saja, ketika dia melakukan hal ini, lawannya segera terdesak. Pedang tangan kiri itu tidak banyak bekerja, yang lebih banyak diandalkan adalah tangan kanan.
"Haaaaiiiittt!" Pedang di tangan Tin Han berkelebat lagi, kini tubuhnya merendah dan dari bawah pedangnya menusuk ke arah perut lawan. Hek- tiauw Eng- hiong cepat
melompat ke samping untuk mengelak, akan tetapi tubuh Tin Han bangkit sambil mengirim tendangan kilat ke arah pergelangan tangan kiri itu.
"Dukkkk!" Dia merasakan kakinya menendang benda keras seperti besi sehingga kakinya terasa nyeri, akan tetapi tendangan itu membuat pedang terlepas dari tangan kiri Si Kedok Hitam!
Melihat hasil ini, Tin Han terus mendesaknya. Akan tetapi setelah kehilangan pedangnya, tangan kiri Si Kedok Hitam masih dapat menyerang menggunakan jari- jari
tangannya!
Bahkan ketika pedang Pek- kong- kim menyambar dari arah kiri, Si Kedok Hitam berani mengangkat lengan kirinya untuk menangkis!
Akan tetapi sekali ini Si Kedok Hitam terlalu memandang rendah Pek-kong kiam. Pedang pusaka ini amat ampuh dan kuatnya sehingga mampu memotong baja dan besi.
Ketika lengan kiri itu menangkis, tak dapat dihindarkan lagi mata pedang Pek- kong- kiam bertemu dengan lengan kiri itu.
"Krekk. ..... !" lengan kiri itu buntung dan jatuh terlempar ke atas tanah. Semua orang memandang dengan terkejut dan heran karena lengan kiri yang buntung itu tidak
mengeluarkan darah setetespun!
Bahkan kini pedang kanan Si Kedok Hitam menyambar dahsyat. Pada saat itu perhatian Tin Han tertuju kepada lengan kiri lawan yang dapat di buntunginya, maka serangan Si Kedok Hitam itu datangnya terlalu cepat baginya. Dia masih melempar tubuh ke belakang akan tetapi ujung pedang Si Kedok Hitam sempat melukai pundak kirinya!
Darah mengucur dari pundak kiri itu. Si Kedok Hitam merasa mendapat angin, menyusulkan bacokan pedang kananya dengan mengerahkan seluruh
tenaganya. Tin Han juga mengerahkan seluruh tenaga
menangkis datangnya sambaran pedang itu.
"Trangggg.........!!" Bunga api muncrat tinggi dan kedua pedang itu terlepas dari tangan mereka saking kerasnya
benturan itu. Kini mereka saling berhadapan dengan kedua tangan kosong! Akan tetapi Tin Han tidak ingin melepaskan lawannya. Dia segera menerjang maju dengan tangan kosong, menggunakan ilmu silat Hek- tiauw- kun dan
mengerahkan tenaga Khong- sim Sin- kang!
Ilmu-ilmu ini hebat bukan main. Si Kedok Hitam tampak terkejut dan diapun melawan dengan ilmu silat Hek- wan- kun (Silat Lutung Hitam) dan diam-diam diapun mempergunakan Pekswat Tok- ciang (Tangan Racun Salju Putih) yang amat berbahaya bagi lawan.
Pertandingan tangan kosong ini tidak kalah menariknya.
Setiap gerakan tangan mereka mendatangkan angin pukulan yang berdesir dan gerakan mereka demikian mantap dan kokoh kuat.
Setiap kali kedua lengan bertemu, mereka tergetar mundur. Agaknya karena lengan kiri yang buntung itu tidak memakai lengan baju yang ikut buntung, gerakan Si Kedok Hitam menjadi canggung dan pincang, maka perlahan- lahan Tin Han mulai dapat mendesaknya.
"Hyaaaatttt ...... !" Tin Han berseru nyaring dan tangan kirinya menampar cepat dan kuat ke arah pelipis kanan lawan. Melihat pukulan yang amat berbahaya ini, Si Kedok Hitam menangkis dengan tangan kanannya.
Akan tetapi pada saat yang sama, tangan kanan Tin Han menyambar
dan merenggut lepas kedok hitam itu. Kini tampaklah oleh semua orang bahwa yang bersembunyi di balik kedok itu bukan lain adalah Ouw Kwan Lok seperti banyak orang
menduga ketika melihat lengan yang putus itu tidak mengeluarkan darah.
OuwKwan Lok terkejut sekali dan melompat jauh ke belakang masuk ke dalam rumah induk di
Pulau Naga itu.
Tin Han tentu saja melompat hendak mengejar masuk ke rumah itu, akan tetapi Siang Koan Bhok menghadang di depannya.
"Perlahan dulu! Tanpa seijin kami sebagai tuan rumah, siapapun dilarang memasuki rumah kami!"
kata kakek itu sambil melintangkan dayung bajanya. Tin Han mengerutkan alisnya lalu dia meng-
ambil pedangnya yang tadi terlepas dari pegangannya.
"Locian-pwe, aku hendak memasuki rumahmu karena hendak mengejar si jahat Ouw Kwan Lok! Semua orang kini tahu bahwa yang menyamar sebagai Hek- tiauw Eng hiong dan membunuhi para pendeta Siauw-lim-pai dan para to-su Kun-lun-pai adalah si jahat Ouw Kwan Lok!
Untuk membersihkan namaku aku harus mengejar dan menangkapnya!"
"Aku tidak perduli akan hal itu. Yang penting, Ouw Bengcu adalah tamu kami dan kami tidak mengijinkan siapa saja memasuki rumah kami membikin kacau!" Siang Koan Bhok berseru dengan kukuh.
"Sian-cai, Tung-hai-ong bicara secara tidak pantas. Ouw Kwan Lok itu jelas adalah orang jahat yang telah membunuh banyak orang, dan engkau masih hendak melindunginya?"teriak Im Yang Seng-cu tidak sabar lagi.
"Im Yang Seng-cu, ini adalah urusan pribadiku. Aku hendak melindungi siapa saja yang berada di rumahku
adalah hak pribadiku, tidak boleh dilanggar oleh siapapun juga."
"Omitohud, kalau begitu jelas bahwa Siang Koan Bhok bersekutu dengan Ouw Kwan Lok untuk mengadu domba di antara kami. Kabarnya kalian telah menjadi antek Mancu, bersekutu dengan kaum sesat dan memusuhi kaum.pendekar.
Begitukah?" kata In Kong Thai-su.
"Hei, In Kong Thai-su, jangan bicara sembarangan. Kami adalah rakyat jelata yang tunduk kepada pemerintahan yang berkuasa, tentu saja kami membantu dan memihak
pemerintah.
Apakah engkau akan memihak kaum pemberontak" Kalau begitu, kami berhak untuk menangkap kalian para pemberontak!"
Tin Han lalu memutar tubuh bicara dengan nyaring kepada semua orang yang hadir. "Saudara-saudara sekalian!
Kalian hari ini diundang oleh berg-cu baru ke sini hanya untuk dibujuk menjadi antek Mancu dan terseret dalam perbuatan jahat dan curang mereka. Keadaan itu sungguh berlawanan dengan sikap kita orang gagah yang menjunjung tinggi kebenaran dan keadilan, dan tentu saja di antara kita tidak ada yang sudi menjadi antek penjajah Mancu.
Sudah jelas bahwa Ouw Kwan Lok yang mengangkat diri sendiri menjadi beng-cu hendak membelokkan perjuangan para
pendekar, bahkan mengadu domba dengan membunuhi para pendeta yang tidak berdosa. Kita harus menangkap dan mengadili orang yang demikian jahat!"
Ucapan Tin Han ini disambut dengan gemuruh oleh para pendekar yang hadir. Akan tetapi Siang Koan Bhok berteriak nyaring, "Saudara- saudara, kita bukan pemberontak. Sudah sewajarnya kita membantu pemerintah dan marilah kita
membantu pasukan pemerintah untuk membasmi pemberontak ini!"
Tak dapat dicegah lagi, kedua pihak sudah saling serang dan terjadilah pertempuran hebat di tempat itu. Anak buah Pulau Naga bangkit dan melakukan perlawanan terhadap para pendekar dan dalam pertempuran ini anak buah Te-tok pang yang berjumlah seratus lebih juga memegang peran utama, berperang melawan anak buah Pulau Naga.
Di pihak Siang Koan Bhok ikut mengamuk Yauw Seng Kun, Ban Tok Mo-li, Ma Huan, Hek-bin Mo-ko, Sin-ciang Mo-kai, Thian-te Mo-ong.
Mereka ini adalah orang-orang yang berilmu tinggi, masih ditambah lagi belasan orang kang-ouw golongan sesat yang juga sudah menjadi sekutu mereka.
Di pihak para pendekar terdapat nenek Te-tok Kui-bo, Siauw Leng Ci, Song Thian Lee, Kwee Ciang, Kwe Li Hwa, Thio Hui San, Liu Ceng, In Kong Thai-su, Hui Sian Hwe-sio, Im Yang Ceng-cu, Cia Tin Siong, Cia Tin Han, Cia Kun dan isterinya, Cia Hok dan Cia Bhok.
Tak dapat dicegah lagi terjadi pertempuran yang hebat.
Song Thian Lee yang maklum bahwa di antara mereka semua itu yang paling lihai adalah Siang Koan Bhok, maka begitu pertempuran berlangsung, dia sudah menerjang
majikan Pulau Naga itu dengan Jit- goat-kiam (Pedang Matahari dan Bulan).
Sementara itu, tadi ketika menunggang burung rajawali hitam, Tin Han melihat betapa Lee Cin mengejar Ouw Kwan Lok lalu lenyap di tengah padang rumput. Dia amat
mengkhawatirkan nasib kekasihnya itu, maka melihat semua orang sudah bertanding, dia lalu lari ke arah padang rumput itu untuk mencari Lee Cin.
"Cin-moi ...... !" Dia mengerahkan khi-kang dan berseru memanggil. Suaranya bergema di seluruh permukaan padang rumput. Namun tidak terdengar jawaban. Dia lari ke tengah padang rumput dan berulang kali berteriak memanggil Lee Cin.
Akhirnya, dia mendengar suara yang lapat- lapat di sebelah depan.
"Han- ko......... !"
Bagaimanakah dengan keadaan Lee Cin yang terjeblos ke dalam perangkap dan terjatuh ke dalam lubang sumur itu"
Sumur itu dalam sekali dan Lee Cin yang sedang melayang ke bawah itu teringat bahwa ia masih memegang pedangnya.
Maka ia mengerahkan sinkangnya membuat pedang itu menjadi kaku dan menusuk ke dinding sumur.
"Capppp......... !" Pedang itu menusuk dinding sumur sampai ke gagangnya dan kini Lee Cin bergantung kepada gagang pedangnya itu. Ia tidak dapat melihat ke bawah karena gelap, akan tetapi ia mendengar suara berdesis dan mencium bau amis!
Tahulah ia bahwa di dasar sumur itu terdapat banyak ular berbisa! Ia adalah seorang pawang ular, tentu saja tidak takut menghadapi ular-ular itu. Akan tetapi dalam keadaan bergantung seperti itu ia tidak berdaya. Ia mengerahkan tenaganya dan terus bergantung di gagang pedangnya.
Akhirnya ia mendengar seruan memanggil namanya itu.
Seruan itu demikian kuat sehingga terdengar olehnya yang berada dalam sumur.
Ia tidak ragu lagi bahwa itu tentu suara Tin Han, maka iapun segera menjawab dan memanggil nama pemuda itu. Hatinya merasa lega sekali karena akhirnya kekasihnya datang mencarinya.
"Cin- moi, engkau di situ?" terdengar kini suara Tin Han dari atas sumur.
"Tin Han koko, aku di sini, bergantung pada pedangku!"teriak Lee Cin ke atas.
"Tunggu sebentar, aku mencari sesuatu untuk menarikmu keluar!" Tin Han lalu mencari- cari dengan matanya. Akan tetapi di padang rumput dan hutan di depan, bagai mana dia akan dapat menemukan tali yang cukup panjang untuk diulurkan ke bawah" Tiba- tiba wajahnya berseri ketika dia melihat serumpun bambu yang panjang.
Cepat dia menghampiri, dengan pedangnya dia menebang sebatang pohon bambu yang paling panjang, lalu menyeret batang bambu itu ke dekat sumur.
"Cin- moi, aku telah menemukan bambu, akan kujulurkan ke bawah. Hati-hati dan tangkap bambunya!"
Dengan perlahan dia menurunkan batang bambu ke bawah sampai dia merasa bambu itu tertahan dari bawah.
Lee Cin menangkap ujung bambu
"Cin- moi, sudah siapkan engkau untuk naik ke atas ?"
"Nanti dulu, Han- ko. Aku mencabut dulu pedangku!" Lee Cin yang kini sudah memanjat batang pohon itu lalu mengerahkan tenaganya untuk mencabut Ang- coa- kiam dari dinding sumur.
"Aku sudah siap, Han- ko!" katanya. Ia sendiri memanjat naik dan Tin Han menarik bambu ke atas sehingga sebentar saja Lee Cin sudah tiba di luan sumur.
"Han- ko. . . . .!"
"Cin- moi, engkau selamat .........!" Dengan girang sekali Tin Han merangkul gadis itu dan sampai beberapa lamanya mereka saling berangkulan.
Lee Cin merasa lega sekali, bukan hanya karena ia sudah ditolong keluar dari bahaya maut, melainkan juga melihat betapa pemuda ini sama sekali tidak kelihatan dendam atas perlakuannya tempo hari.
"Han- ko, di bawah sana penuh ular berbisa," kata gadis itu bergidik.
"Sungguh berbahaya. Ouw Kwan Lok itu licik sekali, sehingga engkau dapat terjebak.
"Apakah dia sudah dapat ditangkap atau dibunuh, Han-ko?" tanya Lee Cin yang mendengar suara gaduh dari pertempuran itu.
"Dia licik, dia melarikan diri dan Siang Koan Bhok mengerahkan orang-orangnya untuk melawan kita."
'"Hemm, kalau begitu, tunggu, Han ko!" Lee Cin mengeluarkan sulingnya, meniup sulingnya dengan nyaring.
Terdengar suara melengking- lengking aneh dan tiba-tiba dari dalam sumur itu merayap naik banyak sekali ular besar kecil dan banyak yang berbisa. Bahkan dari arah hutan berdatangan pula ular-ular besar kecil.
"Aku dapat menggunakan ular- ular ini untuk membantu kita dalam pertempuran!" kata Lee Cin dan bersama Tin Han ia lalu setengah berlari- lari menuju ke tempat pertempuran, diikuti oleh ular- ular itu yang digiring suara suling yang masih ditiup Lee Cin.
Gegerlah para anak buah Pulau Naga ketika tiba- tiba mereka diserang banyak ular. Keadaan menjadi kacau dan pihak Pulau Naga terdesak, banyak di antara mereka yang tewas.
Siang Koan Bhok marah sekali dan dengan sepenuh tenaga dia mengayun dayungnya menghantam Song Thian Lee.
Namun pendekar ini menangkis dengan pedangnya,kemudian tangan kirinya mendorong dengan sepenuh tenaga Thian-le Sin- kang ke arah dada datuk itu. Siang Koan Bhok maklum akan bahaya yang mengancam dirinya, akan tetapi dia tidak dapat mengelak lagi dan terpaksa dia melepaskan tangan kanan dari dayungnya dan menyambut dorongan
tangan Thian Lee itu dengan Ban-tok- ciang.
"Wuuuuuuttt.........
dess........!!"
Tubuh Thian Lee terdorong mundur tiga lankah akan tetapi tubuh Siang Koan Bhok terpelanting dan terhuyung, lalu dia muntahkan
darah.
Tiba- tiba terdengar suara tambur dan canang. Thian Lee terkejut karena dia mengenal suara itu yang berarti bahwa ada pasukan pemerintah yang sedang mendatangi tempat itu.
Sebagai seorang bekas panglima segera dia dapat melihat bahaya yang mengancam para pendekar dan cepat pula dia dapat mengambil keputusan untuk menyelamatkan mereka.
Dia mengerahkan khi-kangnya dan berseru kepada mereka semua, "Saudara-saudara para pendekar. Cepat mundur dan melarikan diri ke tempat perahu cepat!"
Mendengar ini, para pendekar itu menjadi terkejut, akan tetapi mereka percaya sepenuhnya kepada bekas Panglima yang gagah perkasa itu.
Maka setelah mendesak pihak Pulau Naga, mereka lalu melarikan diri ke pantai.
"Cepat naik perahu dan pergi meninggalkan pulau ini!"
kembali Thian Lee berseru nyaring. Tin Han dan Lee Cin juga sudah tiba di situ dan Tin Han segera mengerti akan maksud Thian Lee mengajak mereka mundur.
Memang dari tempat tinggi dia dapat melihat pasukan pemerintah yang ratusan orang jumlahnya sedang menuju ke tengah pulau! Tin Han juga membantu Thian Lee berteriak- teriak memberi peringatan kepada mereka yang bertempur.
Untung bahwa pihak Pulau Naga sudah terdesak sehingga ketika para pendekar melarikan diri, mereka tidak melakukan pengejaran. Ketika akhirnya pasukan pemerintah yang
datang membantu pihak Pulau Naga tiba di situ, para pendekar sudah tiba di pantai dan mereka mempergunakan perahu-perahu untuk melarikan diri.
Tin Han dan Lee Cin berada dalam satu perahu bersama.
Te-tok Kwi-bo dan puterinya, Siauw Leng Ci. Juga Song Thian Lee berada di situ. Tin Han dan Thian Lee berdua mendayung perahu itu cepat- cepat , bersama para pelarian yang lain, menuju ke daratan.
Mereka berdua mengerahkan
tenaga sin- kang mereka sehingga sebentar saja mereka sudah tiba di pantai daratan. Mereka berlompatan keluar.
"Sungguh berbahaya sekali," kata Song Thian Lee.
"Mereka benar- benar telah menjadi antek penjajah Mancu dan telah bersekutu sehingga demikian cepat mendapat bala bantuan."
"Untung ada engkau yang pernah menjadi panglima , Song- sicu. Kalau tidak kita semua tentu akan terkurung di pulau itu dan tidak mudah meloloskan diri," kata Te-tok Kui-bo.
"Akan tetapi mulai sekarang aku akan lebih gigih memimpin anak buahku untuk memusuhi pemerintah Mancu." "Sayang aku tidak dapat menangkap Ouw K wan Lok,"kata Tin Han penuh penyesal.
"Lain waktu masih banyak kesempatan, Han- ko," kata Lee Cin menghibur.
Te- tok Kui- bo mengerutkan alisnya melihat sikap mesra Lee Cin kepada Tin Han. "Cia Tin Han, kita harus menunggu sampai keluargamu tiba di sini.
Aku tadi melihat mereka lengkap di pulau, kebetulan sekali karena aku segera akan membicarakan urusan perjodohanmu dengan Leng Ci!"
Ucapan ini dikeluarkan dengan nyaring sehingga terdengar oleh Lee Cin dan Thian Lee. Mendengar ini, Thian Lee terkejut. Dia tahu bahwa Tin Han dan Lee Cin saling
mencinta, akan tetapi mengapa ketua Te-tok-pang itu
berkata demikian, bicara tentang perjodohan Tin Han
dengan puterinya"
Lebih-lebih Lee Cin yang mendengar ucapan itu.
Wajahnya tiba tiba berubah pucat dan matanya terbelalak memandang kepada Tin Han penuh pertanyaan. Wajah Tin Han berubah merah sekali.
"Aih, Lo- cian- pwe, sungguh saya belum memikirkan tentang perjodohan harap lo-cian-pwe jangan bicara tentang perjodohan. Saya belum siap untuk mengikatkan diri dengan perjodohan!"
"Apa katamu" Dulu engkau mengatakan bahwa urusan perjodohan tergantung dari orang tuamu, sekarang kenapa bicara begini?"
"Aku juga tidak tergesa-gesa menikah, Tin Han. Cukup kalau kita bertunangan lebih dulu," kata Siauw Leng Ci dengan polos. Wajah Tin Han menjadi semakin merah dan dia menjadi bingung sekali ketika melirik kepada Lee Cin dan melihat wajah gadis itu pucat dan matanya basah!
"Tidak ..... tidak, bertunanganpun tidak. Saya belum bersedia!" Jawahnya kukuh. Dia merasa menyesal mengapa ketika mereka bicara tentang perjodohan dulu, tidak ditolaknya saja dengan alasan bahwa dia telah mempunyai seorang calon.
Thian Lee memandang kepada Lee Cin dengan hati penuh iba. Diapun mendongkol sekali melihat sikap Tin Han yang dianggapnya tidak tegas itu. Karena dalam hatinya dia membela Lee Cin, diapun segera berkata dengan suara tegas.
"Saudara Cia Tin Han, seorang laki-laki haruslah bersikap tegas dan tidak mencla-mencle. Apa lagi dalam memutuskan urusan pernikahan yang akan mengikatmu selama hidup. Menghacurkan hati seorang gadis sungguh merupakan tindakan pengecut!"
Wajah Tin Han menjadi pucat mendengar ini. Dia dapat mengerti bahwa Song Thian Lee dahulunya seorang pemuda yang menjadi pilihan hati Lee Cin, akan tetapi karena Thian Lee sudah mencinta seorang gadis lain maka Lee Cin juga melepaskannya.
Kemudian Lee Cin jatuh cinta kepadanya seperti juga dia mencinta gadis itu. Tentu saja dia memilih Lee Cin dari pada Leng Ci, akan tetapi dia sudah terlanjur mengatakan bahwa urusan perjodohan tergantung kepada orang tuanya!
"Lo-cian-pwe,"
katanya kepada Te-tok Kui- bo_ "sesungguhnyalah bahwa saat ini aku tidak mau bicara tentang perjodohan. Musuh besarku, Ouw Kwan Lok, belum dapat kutangkap untuk membersihkan nama baikku."
"Ah, itu mudah saja Tin Han. Setelah engkau menjadi calon mantuku, berarti engkau bukan orang lain.. Aku dan Leng Ci tentu akan membantumu sampai engkau dapat
membasmi Ouw Kwan Lok!"
Tin Han merasa terdesak dan pada saat itu, sebuah perahu mendarat dan kebetulan sekali penumpangnya
adalah keluarga Cia! Ketika isteri Cia Kun melihat Tin Han di situ, ia segera memanggil.
"Tin Han.......... !"
Tin Han segera menghampiri dan ikut menarik perahu itu ke daratan. Keluarga itu tampak gembira melihat Tin Han dalam keadaan selamat pula.
Te-tok Kui-bo segera menghampiri mereka dan menegur keluarga itu. Dengan ramah ia lalu memanggil mereka. "Cia Kun, Cia Hok dan Cia Bhok, apakah kalian sudah lupa
kepadaku?"
Melihat nenek bertongkat kepala naga ini tentu saja keluarga itu menjadi girang. Nenek ini adalah sahabat baik dari ibu mereka, bahkan watak mereka juga mirip.
"Bibi Siauw!" kata Cia Kun. Isterinya juga menghampiri dan mereka semua memberi hormat kepada nenek itu.
"Aduh, semua keluarga berkumpul kalau begini. Sayang sekali ibu kalian telah lebih dulu meninggal!
Dan sayang sekali bahwa tadi kita tidak sempat membasmi para antek Mancu. Akan tetapi anak buahku merobohkan pihak lawan yang lumayan juga banyaknya, walaupun di pihak kami juga telah tewas belasan orang," kata nenek itu sambil memandang kepada anak-buahnya yang sudah berkumpul
semua tak jauh dari situ.
"Bibi Siauw sejak dahulu bersemangat besar sekali,"
memuji Cia Kun.
"Tentu saja. Eh, perkenalkan ini anak perempuanku bernama Siauw Leng Ci," katanya sambil menuding kepada gadis cantik itu. Keluarga Cia memandang heran karena setahu mereka nenek ini tidak mempunyai puteri, bahkan tidak pernah menikah dan sama sekali tidak mempunyai anak.
Agaknya Te-tok Kui-bo maklum akan keheranan mereka.
"Ia dahulunya adalah muridku yang kemudian kuangkat menjadi anakku sendiri."
"Ah, kiranya begitu?" kata Cia Kun dan baru mereka mengerti. "Kalau begitu kami mengucapkan selamat atas pengangkatan anak itu, bibi."
"Bukan cuma itu. Maksudku memperkenalkan adalah karena kami telah sepakat untuk menjodohkan Leng Ci ini dengan anak kalian, Cia Tin Han. Bukankah dengan demikian hubungan yang erat antara aku dan mendiang
Nenek Cia dapat dilanjutkan menjadi pertalian keluarga"
Dan kedua anak itu sendiri juga sudah menyetujuinya. "
Mendengar ini, ibu
Tin Han memandang
kepada puteranya. "Tin Han, benarkah bahwa engkau sudah menyetujui untuk dijodohkan dengan puteri Bibi Siauw"
Kalau engkau sudah setuju, kiranya kamipun tidak berkeberatan, bukankah begitu?" Ia menoleh kepada suaminya dan Cia Kim mengangguk.
"Kami akan senang sekali berbesan dengan bibi Siauw yang dahulu menjadi rekan dan sahabat baik ibu kami.
Bagaimana, Tin Han?"
Song Thian Lee memandang kepada Lee Cin yang menundukkan mukanya dengan wajah pucat. Dia merasa kasihan sekali dan juga penasaran terhadap Tin Han.
Akan tetapi keluarga itu sedang bercakap-cakap dengan asyik, tentu saja sebagai orang luar dia tidak berani mencampuri.
Sementara itu, Tin Han memandang kepada ayah ibunya dengan muka merah.
"Ayah dan ibu, sesungguhnya aku tidak pernah menyatakan setuju dengan usul perjodohan itu. Aku hanya mengatakan bahwa aku akan memberitahukan dulu-kepada orang tuaku."
"Dan sekarang ayah ibumu dan kedua pamanmu sudah setuju!?" tukas Tet ok Kui-bo.
Tin Han menggigit bibirnya. Dia harus mengambil keputusan sekarang. Dia lalu memegang tangan Lee Cin, ditariknya gadis itu menghadap ayah ibunya dan dengan lantang dia berkata, "Ayah dan ibu, aku telah mendapatkan pilihan hati sendiri.
Nona Souw Lee Cin inilah yang akan menjadi isteriku!"
Cia Kun dan isterinya terbelalak. Mereka tidak menyangka bahwa Tin Han jatuh cinta kepada Lee Cin, gadis yang pernah menjadi tamu mereka akan tetapi juga pernah menjadi musuh dan tawanan mereka itu.
Biarpun dulu pernah mendengar bahwa Lee Cin puteri beng-cu Souw Tek Bun, ibu Tin Han bertanya lagi untuk meyakinkan.
"Puteri siapakah ia?""
"Ibu, ayahnya adalah seorang pendekar besar, bekas beng-cu Souw Tek Bun yang terkenal itu!" kata Tin Han bangga."Dan ibunya?"
"Ibunya tidak kalah terkenalnya sebagai seorang wanita sakti berjuluk Ang-tok Mo-li!"
"Apa......... ?" Wajah Cia Kun penuh kerut merut mendengar nama ini. "Ang-,tok Mo-li datuk sesat itu" Ang-tok Mo-li adalah musuh besar mendiang nenekmu!"
"Heh-heh-heh, puteri Ang-tok Moli" Sepatutnya engkau membunuh puteri datuk itu, Tin Han. Puterinya adalah musuhmu juga karena sejak dahulu Ang-tok Mo-li memusuhi Keluarga Cia!" kata Te-tok Kui-bo.
"Akan tetapi, ibu, sekarang Ang-tok Mo-li telah mengundurkan diri, telah kembali sebagai isteri pendekar Souw Tek Bun dan tinggal di Hong-san", bantah Tin Han.
"Tidak! Engkau tidak boleh menikah dengan puteri Ang-tok Mo-li!" bentak Cia Kim.
"Benar, Tin Han. Aku tidak rela kalau engkau menikah dengan puteri Ang-tok Mo-li. Tahukah engkau bahwa dahulu Ang-tok Mo-li dalam sebuah perkelahian hampir saja
membunuh nenekmu" Tidak, akupun tidak setuju kalau
engkau berjodoh dengan puterinya!"
Lee Cin terbelalak dan mukanya sebentar pucat sebentar merah. Tiba-tiba dara itu merenggutkan tangannya terlepas dari pegangan Tin Han dan iapun berkata dengan suara lantang penuh ke marahan.
"Akupun tidak sudi berjodoh dengan putera keluarga Cia! Kita akan tetap menjadi musuh!" Setelah berkata demikian, Lee Cin melompat dari situ dan melarikan diri dengan cepat sekali.
"Cin- moi......... l!" Tin Han berseru dan diapun segera meloncat dan lari mengejar.
Melihat ini, diam-diam Song Thian Lee menghela napas panjang dan diapun pergi dari situ tanpa pamit.
Bukan urusannya, pikirnya, dan dia tidak boleh mencampuri
walaupun dia merasa amat iba kepada kedua orang muda itu.
Te-tok Kui-bo juga segera memimpin orang-orangnya untuk pergi dari situ setelah pinangannya diterima oleh Keluarga Cia. Mereka tidak boleh tinggal terlalu lama di situ karena pasukan pemerintah yang mengejar tentu segera tiba di situ.
Para pendekar lainnya juga sudah melarikan diri cerai-berai dan sejak hari itu, para pendekar tentu saja tidak mengakui Ouw Kwan Lok sebagai bengcu, bahkan tahu
bahwa beng-cu baru itu rnenjadi kaki tangan penjajah Mancu.
**********
Lee Cin berlari cepat sekali, mengerahkan seluruh ginkangnya sehingga ia berlari sangat cepat, memasuki sebuah hutan lebat dan berhenti lalu menjatuhkan diri di bawah sebatang pohon dan menangis sesenggukan.
Ia merasa jantungnya perih, hatinya sakit sekali. Orang tua Tin Han, di depannya, telah menampik ia sebagai jodoh Tin Han,
menjelek-jelekkan ibu kandungnya. Ia merasa hancur hatinya, dan melihat betapa harapannya untuk menjadi isteri Tin Han lenyap sama sekali.
Ibu kandungnya sendiri tidak setuju kalau ia menjadi isteri Tin Han. Halangan yang satu inipun belum dapat mereka lampaui, sekarang
ditambah lagi penolakan dari pihak orang tua Tin Han.
Ia mengepal tinju dan beberapa kali memukuli tanah di depannya. Ia harus membenci Tin Han, harus melupakan pemuda itu. Akan tetapi bagaimana mungkin" Tin Han
demikian baik kepadanya, tidak ada sikap Tin Han yang menyakitkan hatinya, selalu menyenangkan dan ia benar-benar jatuh cinta kepada pemuda itu.
Akan tetapi bagaimana mungkin mereka dapat berjodoh" Ibunya sendiri tidak setuju dan dahulu pernah mengusir Tin Han dan
sekarang orang tua Tin Han bahkan tidak setuju menerimanya dan menganggap ia sebagai puteri seorang musuh besar.
Aduh, rasa perih membuat ia mengeluh. Jantungnya seperti tertusuk pedang. Apa lagi kalau ia mengingat betapa Tin Han agaknya akan dijodohkan dengan puteri nenek yang galak itu.
Mengingat itu semua, Lee Cin merasa betapa dadanya nyeri dan akhirnya ia mengeluh dan roboh pingsan.
Ia tidak sadarkan diri sampai lama dan ia sama sekali tidak tahu bahwa tak lama kemudian setelah ia roboh
pingsan, seorang kakek tinggi kurus berpakaian hitam putih dengan gambar Im yang di dadanya menghampirinya.
Kakek ini bukan lain adalah Thian-te Mo-ong Koan Ek! Setelah para pendekar melarikan diri dari Pulau Naga, kakek inipun ikut melakukan pengejaran dan dia tiba di hutan itu seorang diri, terpisah dari kawan- kawannya yang semua melakukan
pengejaran dibantu oleh pasukan pemerintah yang besar jumlahnya.
Begitu melihat Lee Cin, sepasang matanya bersinar- sinar karena dia mengenal gadis itu sebagai musuh besar sejak dulu Lee Cin bersama Thian Lee menentang pemberontakan Pangeran Tua.
Melihat Lee Cin pingsan di bawah pohon itu, Thian- te Mo- ong cepat mengeluarkan sehelai sabuk sutera dan mengikat kedua tangan Lee Cin ke belakang.
Kemudian, sambil terkekeh girang dia memanggul tubuh Lee Cin,hendak dibawanya pergi ke Pulau Naga dan diserahkan
kepada Ouw Kwan Lok karena dia tahu bahwa Ouw Kwan Lok amat memusuhi gadis ini sebagai seorang di antara musuh- musuh besarnya.
Bahkan dia tahu pula bahwa yang membuntungi lengan Ouw Kwan Lok adalah gadis ini!
Akan tetapi baru beberapa langkah dia berjalan, tiba-tiba berkelebat bayangan dua orang dan di depannya telah berdiri seorang pemuda tampan gagah dan seorang gadis.
Mereka ini bukan lain adalah Thio Hui San murid In Kong Thai- su dari Siauw- lim- pai dan gadis itu adalah Liu Ceng murid Thian- tok Gu Kiat Seng.
Tentu saja mereka segera mengenal gadis yang dipanggul oleh Thian- te Mo- ong maka tanpa banyak cakap lagi Hui San dan Ceng Ceng sudah
menyerang kakek itu dari kanan kiri.
Hui San menggunakan pedang sedangkan Ceng Ceng memegang sebatang pedang dan sebatang kebutan bulu merah.
Serangan kedua orang muda ini berbahaya sekali, karena keduanya adalah murid- murid orang pandai. Andaikata mereka itu maju satu demi satu, kiranya masih bukan
tandingan Thian- te Mo- ong.
Akan tetapi karena mereka maju bersama dan dapat bekerja sama dengan kompak sekali, Thian-te Mo-ong cepat mengelak ke sana sini untuk menghindarkan diri dari gulungan sinar pedang dan
kebutan.
Tentu saja gerakanriya tidak leluasa karena ia memanggul tubuh Lee Cin. Maka sekali dia menggerakkan pundak, tubuh Lee Cin terlempar ke atas tanah dan terguling-guling.
Kemudian Thian- te Mo-ong mencabut sepasang pedangnya dan melawan pengeroyokan kedua orang itu dengan marah sekali.
Dia tidak mengenal kedua orang itu, akan tetapi tahu bahwa mereka itu masuk dua orang yang tadi bertempur di pihak para pendekar.
"Bocah- bocah yang sudah bosan hidup! Hari ini kalian akan mampus di tanganku!" bentaknya dan dia memutar kedua pedangnya sedemikian rupa sehingga tampak dua gulungan sinar yang menyilaukan mata.
Maklum betapa lihainya kakek itu, Thio Hui San dan Ceng Ceng bersilat dengan hati- hati dan saling melindungi.
Sementara itu, Lee Cin yang sudah dilempar dan jatuh bergulingan di atas tanah, melihat kesempatan baik untuk meloloskan dirinya.
Tadi ketika masih di panggul, tidak ada harapan baginya untuk meloloskan diri karena kalau ia berusaha memutuskan ikatan tangannya, tentu Thian- te Mo-ong akan mencegahnya.
Sekarang, setelah ia dilempar ke
atas tanah, ia bebas untuk melakukan gerakan tubuhnya. Ia mengerahkan sinkangnya sekuat tenaga.
Ikatan itu kuat dan kain sutera itu dapat mulur, akan tetapi berkat tenaganya yang terpusat dan kuat sekali, ketika tali itu agak mulur ia dapat merenggut lepas tali pengikat itu dan sebentar kemudian iapun sudah terbebas dari ikatan!
Ia merasa girang bahwa kakek itu tidak merampas Ang-coa- kiam yang masih melingkari pinggangnya sebagai sabuk. Ia cepat mencabut pedang itu dan sekali meloncat ia sudah menerjang Thian-te Mo-ong dengan kemarahan meluap-luap.
"Hiiiiaaaaatttt.........
singg.....!" Sinar pedang berwarna
merah itu meluncur dan menyerang ke arah dada Thian-te Mo-ong yang menjadi terkejut bukan main.
Cepat ia menggerakkan pedang kirinya menangkis serangan yang
amat cepat dan kuat datangnya itu sambil melompat mundur.
"Cringgggg. ..... !" Pedang di tangan kiri Thian-te Mo-ong hampir terlepas dari pegangan, demikian kuatnya serangan Lee Cin.
"Thian-te Mo- ong jahanam tua bangka busuk, bersiaplah engkau untuk mampus!" teriak Lee Cin sambil menyerang lagi susul- menyusul.
Dikeroyok oleh tiga orang itu, tentu saja Thian- te Moong menjadi kewalahan. Melawan Lee Cin seorang diri saja agaknya baru berimbang, apa lagi kini dikeroyok oleh Hui San dan Ceng-Ceng, dia terdesak hebat dan kedua pedangnya hanya mampu menangkis saja, tidak sempat lagi membalas serangan tiga orang pengeroyoknya.
Mulai paniklah rasa hati Thian-te Mo-ong Koan Ek dan dia mulai mencari kesempatan untuk melarikan diri.
Akan tetapi ketika pedang kirinya menangkis pedang di tangan Hui San, tiba- tiba Lee Cin membacokkan pedang Ang-coa-kiam ke arah pedangnya itu sehingga tenaga lawan yang bersatu itu terlampau kuat baginya. dan pedang di tangan
kirinya terpental dan terlepas dari pegangan.
Cepat dia menarik kembali tangan kirinya yang terancam Ang- coa-kiam. Kalau tidak cepat- cepat dia menarik kembali tangannya itu tentu telah putus disambar Ang- coa- kiam!
Setelah pedang kirinya terjatuh, Thian- te Mo-ong melakukan pukulan dengan tangan kiri itu, jari- jari tangannya terbuka dan dari telapak tangannya itu menyambar uap putih yang amat dingin ke arah dada Hui San.
"Awas, mundur!" teriak Lee Cin dan ia masih sempat mendorong Hui San sehingga terdorong mundur dan
terbebas dari pukulan maut itu.
Thian-te Mo-ong ternyata memukul dengan Pek-swat Tok- ciang (Tangan Beracun Salju Putih) yang tidak kalah berbahayanya dengan pedangnya yang sudah terlepas tadi.
Melihat pukulannya gagal, Thian- te Mo-ong mengamuk dengan pedang kanannya, dan tangan kirinya kadang melakukan pukulan beracun dan beruap putih itu.
Kini Thio Hui San maklum akan bahayanya pukulan tangan kiri itu, maka kalau pukulan itu datang dia
Tadi ketika masih di panggul, tidak ada harapan baginya untuk meloloskan diri karena kalau ia berusaha memutuskan ikatan tangannya, tentu Thian- te Mo-ong akan mencegahnya.
Sekarang, setelah ia dilempar ke
atas tanah, ia bebas untuk melakukan gerakan tubuhnya. Ia mengerahkan sinkangnya sekuat tenaga.
Ikatan itu kuat dan kain sutera itu dapat mulur, akan tetapi berkat tenaganya yang terpusat dan kuat sekali, ketika tali itu agak mulur ia dapat merenggut lepas tali pengikat itu dan sebentar kemudian iapun sudah terbebas dari ikatan!
Ia merasa girang bahwa kakek itu tidak merampas Ang-coa- kiam yang masih melingkari pinggangnya sebagai sabuk. Ia cepat mencabut pedang itu dan sekali meloncat ia sudah menerjang Thian-te Mo-ong dengan kemarahan meluap-luap.
"Hiiiiaaaaatttt.........
singg.....!" Sinar pedang berwarna
merah itu meluncur dan menyerang ke arah dada Thian-te Mo-ong yang menjadi terkejut bukan main.
Cepat ia menggerakkan pedang kirinya menangkis serangan yang
amat cepat dan kuat datangnya itu sambil melompat mundur.
"Cringgggg. ..... !" Pedang di tangan kiri Thian-te Mo-ong hampir terlepas dari pegangan, demikian kuatnya serangan Lee Cin.
"Thian-te Mo- ong jahanam tua bangka busuk, bersiaplah engkau untuk mampus!" teriak Lee Cin sambil menyerang lagi susul- menyusul.
Dikeroyok oleh tiga orang itu, tentu saja Thian- te Moong menjadi kewalahan. Melawan Lee Cin seorang diri saja agaknya baru berimbang, apa lagi kini dikeroyok oleh Hui San dan Ceng-Ceng, dia terdesak hebat dan kedua pedangnya hanya mampu menangkis saja, tidak sempat lagi membalas serangan tiga orang pengeroyoknya.
Mulai paniklah rasa hati Thian-te Mo-ong Koan Ek dan dia mulai mencari kesempatan untuk melarikan diri.
Akan tetapi ketika pedang kirinya menangkis pedang di tangan Hui San, tiba- tiba Lee Cin membacokkan pedang Ang-coa-kiam ke arah pedangnya itu sehingga tenaga lawan yang bersatu itu terlampau kuat baginya. dan pedang di tangan
kirinya terpental dan terlepas dari pegangan.
Cepat dia menarik kembali tangan kirinya yang terancam Ang- coa-kiam. Kalau tidak cepat- cepat dia menarik kembali tangannya itu tentu telah putus disambar Ang- coa- kiam!
Setelah pedang kirinya terjatuh, Thian- te Mo-ong melakukan pukulan dengan tangan kiri itu, jari- jari tangannya terbuka dan dari telapak tangannya itu menyambar uap putih yang amat dingin ke arah dada Hui San.
"Awas, mundur!" teriak Lee Cin dan ia masih sempat mendorong Hui San sehingga terdorong mundur dan
terbebas dari pukulan maut itu.
Thian-te Mo-ong ternyata memukul dengan Pek-swat Tok- ciang (Tangan Beracun Salju Putih) yang tidak kalah berbahayanya dengan pedangnya yang sudah terlepas tadi.
Melihat pukulannya gagal, Thian- te Mo-ong mengamuk dengan pedang kanannya, dan tangan kirinya kadang melakukan pukulan beracun dan beruap putih itu.
Kini Thio Hui San maklum akan bahayanya pukulan tangan kiri itu, maka kalau pukulan itu datang dia
Perlawanan dengan It -yang-ci yang dilakukan Hui San dan Lee Cin membuat Thian- to Mo-ong semakin terdesak, apalagi kebutan dan pedang Ceng Ceng juga merupakan ancaman maut baginya.
Setelah dengan nekat melakukan perlawanan terhadap tiga orang itu sampai seratus jurus, akhirnya Thian-te Moong tidak kuat lagi dan sambil memben`tak nyaring diapun membalikkan tubuhriya dan hendak melarikan diri.
"Hyaaatttt......... !" Lee Cin membentak dan pedang Ang-coa-kiam meluncur lepas dari tangannya, bagaikan anak panah dan tanpa dapat di hindarkan lagi, pedang itu menancap dan menembus punggung Thian- te Mo-ong.
"Aughhhhh.......... !" Thian- te Mo-ong
terhuyung kemudian jatuh tersungkur dan tertelungkup, tewas seketika karena Ang-coa-kiam telah menembus jantungnya! Lee Cin menghampiri mayat yang menelungkup itu, mencabut pedang Ang- coa- kiam dan membersihkan pedang itu pada pakaian Thian- te Mo-ong.
"Adik Le Cin......... !"
Ceng Ceng menghampiri gadis "Untung engkau dapat merobohkannya dan dia tidak sampai melarikan diri."
Lee Cin memakai lagi pedangnya sebagai sabuk dan tersenyum kepada Ceng Ceng. "Aku yang beruntung karena mendapat pertolongan kalian selagi aku tidak berdaya."
"Cin- moi, bagaimana engkau sampai dapat terjatuh ke tangan orang jahat ini?"" tanya Hui San sambil memandang wajah gadis yang pernah merebut hatinya itu.
"Aku......... agaknya aku sedang ketiduran karena telah di bawah pohon ketika dia datang dan tiba- tiba saja menguasai diriku. Aku tidak sempat melawan.
Untung engkau datang, San- ko. Terima kasih kepada engkau dan enci Ceng."
"Aihh, tidak ada yang harus berterima kasih, adik Cin.
Kalau engkau tadi tidak cepat membantu, mungkin kami berdua sudah roboh oleh kakek yang lihai itu," kata Ceng Ceng sambil tersenyum.
"Sekarang kalian hendak ke mama?" Lee Cin bertanya, diam- diam merasa gembira bahwa Thio Hui San dan Ceng Ceng tampak demikian akrab.
"Kami hendak menyingkirkan diri karena kami tentu juga menjadi buruan pasukan Mancu. Akan tetapi lebih dulu aku harus mengubur jenazah ini," kata Hui San.
"Hemm, orang jahat seperti dia tidak pantas untuk kita menyusahkan diri mengubur jenazahnya," kata Lee Cin sambil mengerutkan alisnya. Ia tahu benar akan kejahatan yang dilakukan Thian- te Mo-ong.
"Tidak bisa......... demikian,......... Cin- moi. Sebagai murid Sian-lim-pai aku harus dapat memaafkan segala
kesalahan orang yang sudah mati.
Jenazah ini berhak mendapat perawatan yang baik, pula akan tidak sehatlah kalau dia dibiarkan membusuk di sini."
Lee Cin menghela napas panjang.
Pemuda ini memang seorang yang berbudi mulia, seperti juga halnya Song Thian Lee. Iapun teringat kepada Tin Han dan hatinya terasa nyeri seperti ditusuk duri.
Tin Han juga seorang pemuda yang amat baik, dan tentu akan bersikap seperti Hui San ini. Akan tetapi, terdapat celah selebar langit antara ia dan Tin Han.
Ibu kandungnya tidak setuju kalau ia berjodoh dengan Tin Han dan sekarang orang tua pemuda itu yang tidak setuju kalau putera mereka berjodoh dengannya! Adakah lagi halangan yang lebih besar dari pada itu"
Biarpun tadi mencela, melihat Hui San dan Ceng Ceng menggali lubang kuburan, Lee Cin tidak dapat tinggal diam dan membantu mereka.
Kemudian, setelah lubang itu cukup dalam dan lebar, Hui San mengangkat jenazah Thian to Moong dan menguburnya secara sederhana.
"Sekarang kalian hendak pergi ke manakah?" tanya Lee Cin kepada mereka.
"Kami hendak pulang ke rumah paman Souw Can di Pao-ting," kata Ceng Ceng dengan nada suara gembira.
"Atas nasihat Paman Souw Can, kami akan melangsungkan pernikahan kami di sana, berbareng dengan pernikahan antara adik Souw Hwe Li dan Lai Song Ek,"sambung Thio Hui San dengan wajah gembira pula.
"Ah, khong- hi (selamat) kalau begitu! Mudah-mudahan kalian akan, dapat hidup bahagia," kata Lee Cin dan suaranya agak terharu karena ia teringat akan nasib dirinya.
"Terima kasih, adik Lee Cin," kata Ceng Ceng sambil merangkulnya. "Kalau sudah tiba saatnya, kami harap engkau akan dapat hadiri dan minum arak pengantin."
Lee Cin balas merangkul. "Engkau seorang gadis yang baik sekali, enci Ceng. Engkau berhak untuk hidup
berbahagia. "
"Dan engkau sendiri, hendak pergi ke manakah, Cin- moi?" tanya Hui San, sambil memandang dengan perasaan iba.
Dia tahu bahwa Lee Cin dahulu mencinta Thian Lee yang menikah dengan gadis lain.
"Aku" Ah, aku akan merantau sambil mencari Ouw Kwan Lok. Hatiku belum merasa puas kalau belum dapat membunuh jahanam busuk itu. Dia telah menyerang dan
melukai ibuku."
"Berhati-hatilah, Cin- moi, orang itu lihai bukan main biarpun lengan kini nya sudah buntung," kata Hui San.
"Aku akan berhati- hati, San- ko. Nah, selamat tinggal, aku pergi dulu!"
"Selamat berpisah, adik Cin!" Ceng Ceng dan Hui San melambaikan tangan ke arah perginya Lee Cin yang sudah menggunakan ilmunya melompat jauh pergi dari tempat itu.
Hui San lalu pergi juga dari situ tersama Ceng Ceng.
Mereka pergi sambil bergandeng tangan dengan penuh kemesraan.
"Cin moi......... !" Tin Han mengejar sambil memanggil-manggil, akan tetapi Lee Cin sudah tidak tampak lagi berada di mana. Dengan hati hancur Tin Han lalu kembali kepada orang tuanya, alisnya berkerut dan pandang matanya marah.
**********
"Sudahlah, Tin Han. Tidak perlu kau perdulikan gadis puteri Ang-tok Mo li itu.
Ibunya seorang jahat, anaknya tentu juga jahat pula. Ini Leng Ci berada di sini!" kata Te-tok Kui-bo.
Dengan hati panas Tin Han lalu berkata kepada nenek,"Lo-cian-pwe, kalau Io-cian-pwe mengira bahwa aku suka menjadi mantumu, pendapat itu keliru sama sekali.
Aku tidak akan pernah mau menjadi suami adik Leng Ci atau suami siapapun juga, kecuali suami adik Lee Cin!"
"Tin Han. !" Nenek itu berseru sambil membelalakkan matanya. Biasanya Tin Han begitu lembut dan menurut
kata-katanya. "Akan tetapi kami semua sudah sepakat untuk mengikat tali perjocohan itu!"
"Masa bodoh! Siapa yang mengikat tali perjodohan itu boleh menikah. Akan tetapi aku tidak! Lo-cian-pwe sendiri yang menghendaki pernikahan itu, aku belum pernah
menyatakan setuju orang hendak memaksa aku menikah dengan orang yang tidak kucinta?"
"Tin Han Engkau tidak.........
tidak cinta kepadaku?"
Leng Ci berseru dan wajahnya hampir menangis.
Tin Han menjadi kasihan juga. "Leng Ci, kita hanya sahabat biasa. Aku tidak pernah mencinta gadis lain kecuali Lee Cin. Kuharap kelak engkau akan menemukan jodohmu dengan baik."
"Tin engkau menghancurkar harapanku. Engkau berani menampik puteriku!"
"Lo-cian-pwe
yang memaksa-maksa. Sekarang aku menyatakan tidak mau menjadi mantumu!'
"Tin Han...........!!"
Ayah dan ibunya berseru dan menegur. Kini Tin Han memandang kepada ayah dan ibunya pandang matanya penuh penyesalan. "Ayah dan ibu sudah menolak dan menghina hati Lee Cin, apakah sekarang aku harus mentaatimu menikah dengan orang lain yang sama sekali tidak kucinta" Tidak, ayah dan ibu.
Sekali ini aku tidak akan menuruti kata-katamu. Yang hendak menikah adalah aku, bukan ayah dan ibu. Pernikahan menyangkut kehidupanku selamanya, bagaimana hal itu harus ditentukan oleh orang lain?"
"Akan tetapi ibunya adalah Ang-tok Mo-li musuh besar nenekmu dan seorang datuk sesat yang jahat!' seru ibunya.
"Ibu, maafkan. Aku bukan hendak menikah dengan ibunya, melainkan dengan anaknya dan Lee Cin adalah
seorang gadis berwatak pendekar, bukan golongan sesat."
"Tin Han, kalau engkau menolak berarti engkau menghinaku!" Te-tok Kui-bo berteriak dan menggerakkan tongkatrya. "Kami semua telah mengambil keputusan, engkau tidak bisa seenaknya saja membatalkan! Ataukah engkau berani menentangku?"
"Terserah kepadamu, Te-tok Kui-bo' kata Tin Han dengan jengkel. "Aku tidak menentang siapa-siapa, akan tetapi akupun tidak sudi dipaksa menikah dengan siapapun juga.
Tidak pula olehmu!"
"Keparat!" Te-tok Kiu-bo menerjang dengan tongkat naganya. Akan tetapi Tin Han sudah marah sekali. Dia mengelak dan sekali kedua tangannya bergerak, dia sudah menangkap tongkat itu dengan tangan kanannya dan tangan kirinya menotok.
"Brett.........!" Tongkat itu sudah berpindah ke tangannya dan sekali dia menekuk dengan kedua tangan, tongkat itupun patah menjadi dua dan dilemparkannya ke atas tanah dengan bantingan.
"Ayah, ibu, aku pergi!' katanya dan dengan isak tertahan dia lalu melompat jauh lari dari tempat itu.
Semua orang terkejut bukan main. Tidak pernah mengira bahwa Tin Han sehebat itu kepandaiannya.
Nenek Te-tok Kui-bo uring-uringan, lalu mengajak puterinya dan semua anak buahnya pergi dari situ.
Cia Kun dan isterinya saling pandang dengan Cia Hok dan Cia Bhok. Isteri Cia Kun mengalirkan air mata dan diusapnya air matanya itu, lalu berkata kepada suamimya,
"Tin Han marah sekali. Ke mana kita harus mencarinya?"
Cia Kun mengerutkan alisnya. "Sepatutnya dia ibu bersikap seperti itu. Kenapa dia memaksakan diri" Aku yakin kalau Ang-tok Mo-li tahu bahwa dia cucu Nenek Cia, iapun tidak akan menyetujui puterinya menikah dengan Tin Han.."
Cia Hok menghela napas panjang. "Sebetulnya kalian juga salah, memaksanya seperti itu untuk menikah dengan gadis yang tidak dicintanya.
Memang baik sekali kalau dia mau menikah dengan puteri Te-tok Kui-bo yang dahulu menjadi sahabat baik ibu, dan sama-sama berjiwa patriot.
Akan tetapi orang muda sekarang lebih suka memilih calon isterinya sendiri. Pula, kita harus ingat bahwa Nona Souw Lee Cin juga seorang yang gagah perkasa.
Memang sayang kebetulan ia adalah puteri Ang-tok Mo-li, akan tetapi siapa tahu sekarang Ang-tok Mo-li sudah bertaubat dan tidak menjadi tokoh sesat lagi."
Cia Bhok berkata, "Segala sesuatu telah terjadi. Tin Han telah pergi dan tidak akan mudah mencarinya. Anak itu kini telah menjadi seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi.
Biarkanlah dia menentukan sendiri tentang perjodohannya,jodoh berada di tangan Tuhan. Kalau memang dia berjodoh dengan Nona Souw Lei Cin, tidak ada sesuatu pun yang dapat menghalanginya, sebaliknya kalau nona itu bukan jodohnya, tentu dia akan gagal memperisterinya.
Sekarang kita harus mengambil jalan masing-masing berpencar dan bersembunyi karena pasukan pemerintah tentu akan mencari kita pula dan dianggap pemberontak."
Semua menyatakan setuju dan mereka pun berpencar mencari jalan masing-masing untuk menyelamatkan diri dari pengejaran pasukan pemerintah yang bekerja-sama dengan golongan sesat dari dunia kang-ouw.
Tin Han merasa dadanya akan meledak. Kemarahan memenuhi dadanya kalau dia ingat betapa orang-orang tua itu hendak memaksa dia menikah dengan Leng Ci, apa lagi kalau mengingat betapa ayah ibunya telah menolak dan menghina Lee Cin.
Dia dapat membayangkan betapa sakit dan hancurnya hati kekasihnya karena diapun pernah mengalami ditolak dan dihina oleh ibu gadis itu.
Akan tetapi siapapun yang merintangi perjodohannya dengan Lee Cin, akan ditantangnya. Yang penting adalah dia dan Lee Cin sendiri!
"Cin-moi, kasihan engkau.........!" Dia mengeluh sambil berlari terus. Kemudian dia teringat akan perbuatan Ouw Kwan Lok kepadanya.
Jahanam telah memalsukan namanya melakukan banyak pembunuhan untuk mencemarkan namanya. Dia merasa menyesal tidak dapat membunuh orang yang diakuiya memiliki ilmu kepandaian yang tinggi, setingkat dengan dirinya.
"Aku harus mencarinya dan menemukannya!" bisiknya kepada diri sendiri.
Kemudian dia berhenti berlari. Kenapa dia harus mencari jauh-jauh" Dia yakin bahwa Ouw Kwan Lok masih berada di Pulau Naga, bersembunyi di sana.
Sekarang, semua pasukan dan orang-orang sesat sedang mengadakan pemburuan terhadap para pendekar.
Pulau Naga tentu ditinggalkan dan siapa tahu Ouw Kwan Lok masih berada di sana! Dia tentu tidak akan menyangka akan ada orang yang berani datang ke Pulau Naga lagi dan enak- enak saja bersembunyi di situ.
Siapa tahu dugaannya benar dan dengan pikiran ini Tin Han lalu membalikkan tubuhnya hendak pergi berkunjung ke Pulau Naga lagi!
**********
Lee Cin berjalan seorang diri tanpa tujuan. Ia sendiri bingung harus pergi ke mana. Perpisahannya dengan Tin Han membuat semangatnya menjadi lemah dan segala tampak tidak menyenangkan.
Satu- satunya tujuan hidupnya kini mencari Ouw Kwan Lok, orang yang selain pernah menyerang dan melukai ibunya, juga telah menjelek-jelekkan nama Hek-tiauw Eng- hiong atau Tin Han kekasihnya.
Biarlah ia melakukan sesuatu yang terakhir, yaitu membela nama baik Tin Han. Ia tidak dapat membenci Tin Han karena sikap orang tuanya, karena ia sendiri juga merasa bahwa ibunyapun bersikap seperti itu terhadap Tin Han.
Tidak, ia tidak membenci Tin Han. Ia tetap mencinta pemuda itu dan ingin membelanya. Walaupun agaknya ia tidak mungkin dapat berjodoh dengan Tin Han, setidaknya ia dapat mencintanya saampai mati.
Selagi ia berjalan keluar masuk hutan, tiba-tiba tampak tiga bayangan orang berkelebat dan terkejutlah ia ketika melihat bahwa mereka bukan lain adalah musuh- musuh lamanya, yaitu Yauw Seng Kim, Ban- tok Mo-li dan yang seorang lagi adalah Ma Huai, anak buah Ouw Kwan Lok!
Maklum bahwa ia menghadapi musuh dan lawan tangguh,Lee Cin sudah mengeluarkan Ang-coa- kiam dan berdiri dengan pedang melintang depan dada dan keadaan siap siaga!
Yauw Seng Kull tertawa. "Ha- ha- ha, kiranya nona Souw Lee Cin yang manis berada di sini! Sungguh kebetulan sekali. Kami memang sedang mencari-carimu."
Ban- tok Mo-li yang merasa cemburu karena tampaknya Yauw Seng Kim masih selalu tergila-gila kepada gadis itu segera membentak , "Souw Lee Cin. Menyerahlah menjadi tawanan
kami sebelum kami terpaksa menggunakan kekerasan untuk membunuhmu!' Ia sudah mencabut
pedangnya yang beracun. Yauw Seng Kun juga sudah mencabut senjatanya. Lee Cin diikepung segi tiga. Namun, Lee Cin sama sekali tidak merasa gentar. Tanpa berkedip dan tanpa menggerakkan tubuhnya ia membentak.
"Tiga ekor anjing Mancu, majulah! Siapa takut kepada kaliari?"
Melihat sikap dan mendengar bentakan ini, Ban-tok Mo-li lain berseru, "Serbu !!!"
Ia sendiri sudah menusukkan pedangnya yang beracun ke arah dada Lee Cin. Gadis itu tidak mengelak, melainkan menggetarkan pedangnya menangkis.
"Trangg......... !" Pedang di tangan Ban- tok Mo-li terpental dan wanita itu terkejut bukan main, cepat meloncat ke belakang agar pedangnya tidak sampai terlepas dari tangannya.
Pada saat itu, Ma Huan sudah membabatkan goloknya ke arah kedua kaki Lee Cin. Gadis ini melompat ke atas dan mengelebatkan pedangnya ke belakang karena pada saat itu, tongkat bambu kuning di tangan Yauw Seng Kun telah menotoknya.
"Trakk!" Tongkat itu telah tertangkis, akan tetapi pedang Ban- tok Mo-li kembali mendesak dengan bacokan ke arah kepala. Lee Cin mengelak ke samping lain memutar pedangnya untuk membalas serangan tiga orang pengeroyoknya sehingga mereka bertiga terpaksa melompat ke belakang untuk menghindarkan diri dari gulungan sinar pedang merah yang amat berbahaya itu.
Kalau tiga orang itu maju satu demi satu, jelas mereka bukan lawan Lee Cin. Akan tetapi karena mereka bertiga maju mengeroyok, hal ini membuat Lee Cin kewalahan juga.
Hujan serangan menyerangnya dan terpaksa ia harus memutar pedang melindungi tubuhnya. Pedang itu seolah menjadi gulungan sinar yang membalut dirinya, menjadi perisai sehingga serangan ketiga orang itu dapat tertangkis semua.
Tiba-tiba Ban- Moli mengeluarkan saputangan merah dan mengebutkan saputangan itu ke arah Lee Cin.
Debu merah mengepul. Akan tetapi Lee Cin sudah tahu akan
bahayanya racun yang dipergunakan Ban-tok Mo-li, maka ia menahan napas dan melompat mundur beberapa langkah sehingga tidak terkena racun itu.
Tiga orang pengeroyoknya mengejar dan kembali ia terkurung.
Perlahan akan tetapi tentu Lee Cin mulai terdesak.
Tongkat bambu kuning di tangan Yauw Seng Kim sudah sempat menotok pundaknya. Akan tetapi ia masih sempat memiringkan pundak itu sehingga totokan itu tidak telak dan hanya membuat tubuhnya tergetar sedikit.
Ayunan pedangnya menyelamatkannya karena Yauw Seng Kun tidak lagi mampu mendesaknya. Biarpun demikian, kini Lee Cin bersilat dengan hati-hati dan ia lebih banyak menangkis dan mengelak dari pada menyerang.
Pada suatu kesempatan, selagi terdesak, kaki Lee Cin mencuat dan mergenai perut Ma Huan sehingga orang bergolok ini mengaduh dan terhuyung ke belakang.
Akan tetapi dua orang kawannya segera mendesak lagi sehingga Lee Cin kembali harus memutar tubuhnya dan pedangnya menjadi
semacam baling-baling yang berputar rapat melindungi dirinya.
Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring, "Adik Lee Cin, jangan khawatir, kami datang membantumu!"
Bukan main girangnya hati Lee Cin ketika melihat bahwa yang datang adalah Tan Cin Lan dan Song Thian Lee!
Sepasang suami isteri perkasa ini telah datang dan segera menyerbu membantunya. Tan Cin Lan yang memegang sebatang tongkat sudah menerjang dan membuat Ma Huan terdesak ke belakang.
Song Thian Lee menggunakan pedang Jit-goat-kiam yang digerakkan secara dahsyat membuat Yauw Seng Kun terhuyung ke belakang.
Kini tinggal Ban-tok Mo-li seorang yang melawan Lee Cin dan sebentar saja wanita itu tidak dapat menahan gerakan pedang Ang-coa-kiam.
Setelah sepasang suami isteri itu datang membantu,tidak sampai tigapuluh jurus saja tiga orang lawan itu roboh satu demi satu. Ma Huan roboh tertotok tongkat yang mengenai ulu hatinya dan dia roboh untuk tidak dapat bangkit kembali.
Ban-tok Mo-li tertembus dadanya oleh Ang-coa-kiam dan iapun tewas seketika, sedangkan Yauw Seng Kun,
biarpun sudah mengeluarkan seluruh ilmu kepandaiannya, akhirnya roboh dengan leher nyaris putus oleh pedang Jit goat-kiam di tangan Song Thian Lee!
Setelah tiga orang lawan itu tewas, Lee Cin merangkul Cin Lan "Ah, untung engkau datang, enci Cin Lan!" katanya girang.
"Andaikata kami tidak datang sekalipun belum tentu tiga ekor anjing ini akan dapat mengalahkanmu."
"Lee-ko, bagaimana secara kebetulan kalian dapat muncul di sini" Bukankah ketika melarikan diri dari Pulau Naga, engkau seorang diri tanpa adanya enci Cin Lan?"
Thian Lee menghela papas panjang. "Biar kukubur dulu tiga jenazah ini dan engkau dapat mendengar peristiwa yang menimpa diri kami dari encimu."
Thian Lee membuat lubang untuk ke tiga mayat itu dan Cin Lan mengajak Lee Cin ke bawah sebatang pohon besar lalu bercerita.
Kiranya ketika suaminya tidak berada di rumah, ikut mencari orang yang menyamar sebagai Hek-tiauw Eng-hiong, Cin Lan tinggal berdua saja dengan puteranya yang baru berusia tiga tahun, Song Hong San.
Pada suatu sore, ketika Cin Lan sedang berada di taman bersama puteranya yang bermain-main merigejar kupu- kupu di antara bunga-bunga yang sedang mekar, muncul tiga orang yang mencurigakan hatinya. Yang seorang masih muda dan tampan, akan tetapi lengan kirinya buntung sebatas siku.
Orang kedua adalah seorang berusia limapuluh tahun lebih yang tubuhnya tinggi besar dan serba bundar, perutnya gendut dan kulitnya hitam. Adapun orang ketiga adalah seorang kakek berusia limapuluh tahun lebih akan tetapi tubuhnya tinggi kurus dan mukanya kuning seperti berpenyakitan dan matanya sipit seperti terpejam.
Mereka itu bukan lain adalah Ouw Kwan Lok, Hek- bin Mo- ko dan Sin- ciang Mo-ko.
Sebetulnya maksud kunjungan tiga orang tokoh besar dari Pulau Naga ini adalah untuk mencari Song Thian Lee dan mengeroyoknya karena pendekar itu telah melukai Siang Koan Bhok. Akan tetapi ketika tiba di taman itu, mereka hanya mendapatkan isteri pendekar itu bersama puteranya.
Tan Cin Lan segera merasa curiga. Ia bangkit berdiri dan menghadapi mereka dengan pandang mata tajam penuh selidik. "Siapakah kalian dan ada keperluan apakah kalian datang memasuki taman bunga kami?"
Wanita ini sama sekali tidak merasa gentar dan tangannya sudah meraih sebatang tongkat yang tadinya bersandar di bangku tempat ia duduk.
Ouw Kwan Lok menyeringai melihat wanita yang cantik jelita itu. "Kami datang untuk mencari Song Thian Lee.
Panggil dia keluar."
"Suamiku tidak berada di rumah-! Kalau kalian ada urusan boleh disampaikan kepadaku saja," kata Cin Lan dengan sinar mata masih penuh selidik dan kecurigaan.
Ouw Kwan Lok memandang kepada Cin Lan, lalu melirik kepada Song Hong San yang masih bermain- main mengejar kupu- kupu. "Dia itu anak mukah?" tanyanya.
Cin Lan masih khawatir dan melangkah hendak mendekati puteranya. Akan tetapi Ouw Kwan Lok menghadangnya dan berkata,
"Kalau suamimu tidak ada, biarlah kami membawa anakmu dan kelak dia boleh mencari kami!" Setelah berkata demikian, Ouw Kwan Lok memberi isyarat, kepada kedua orang temannya.
Hek-bin Mo-ko yang tinggi besar melompat maju dan menggerakkan ruyung berdurinya, sedangkan Sin-ciang Mokai juga menggerakkan tongkatnya yang beracun untuk
menyerang Cin Lan.
Wanita ini terkejut sekali dan juga marah bercampur khawatir akan puteranya. Ia sudah menyambar tongkatnya dan sekali terjang ia sudah membuat Sin-ciang Mo-kai terpelanting dan terhuyung. Ilmu tongkat nyonya muda ini memang hebat sekali, yaitu Hok-mo-tung (Tongkat Penaluk Iblis).
Akan tetapi dari samping, Hek-bin Mo-ko sudah mengayun ruyungnya dengan dahsyat sehingga Cin Lan terpaksa harus mengelak untuk menghincarkan diri.
Si-ciang Mo-kai sudah menerjang lagi dan kini nyonya muda itu dikeroyok oleh dua orang lawannya. Ia melawan dengan gigih, namun perhatiannya terpecah kepada puteranya.
Pada saat itu, Ouw Kwan Lok melompat ke dekat Song Hong San dan sekali sambar dia sudah memondong anak itu. Hong San berteriak memanggil ibunya dan meronta, tidak mau dipondong laki-laki yang tidak dikenalnya itu, akan tetapi sekali tekan dengan jari tangannya, Ouw Kwan Lok membuat anak itu lemas tidak mampu berteriak maupun bergerak lagi.
"Kita pergi!" kata Ouw Kwan Lok kepada dua orang rekannya dan Hek-bin Mo-ko bersama Sin-ciang Mo-kai menyerang dengan hebat sehingga Cin Lan terpaksa
melompat ke belakang.
Saat itu dipergunakan oleh dua orang pengeroyoknya untuk melarikan diri mengejar Ouw Kwan Lok yang sudah lari terlebih dulu.
Mati-matian Tan Cin Lan melakukan pengejaran. Ia marah dan khawatir sekali akan keselamatan puteranya.
Namun, tiga orang itu berpencar sehingga ia tidak tahu siapa yang membawa pergi puteranya clan ke arah mana. Ia hanya dapat mengejar seorang di antara mereka dan setelah akhirnya ia dapat menyusul, ternyata yang dapat dikejarnya itu adalah Sin- ciang Mo- kai, pengemis tua yang bersenjatakan tongkat itu.
Biarpun ia kecewa karena bukan pengemis itu yang melarikan puteranya, namun dengan
kemarahan luar biasa Cin Lan segera menyerangnya.
Sin- ciang Mo- kai rnenangkis dengan tongkatnya. Akan tetapi benturan kedua tongkat itu membuat dia terhuyung dan Cin Lan terus mendesaknya dengan ilmu tongkat Hek-mo-tung.
Perkelahian mati-matian antara kedua orang yang sama-sama mempergunakan tongkat ini terjadi dan kini setelah ia hanya melawan seorang di antara mereka, Cin Lan dapat mendesak terus.
Sin-ciang Mo-kai berusaha melawan mati- matian, akan tetapi ia kalah segala- galanya, kalah kuat dalam hal sin-kang dan kalah cepat gerakannya. juga ilmu tongkat Hok- mo-tung itu merupakan rajanya ilmu tongkat di waktu itu.
Akhirnya, setelah lewat limapuluh jurus, ujung tongkat di tangan Cin Lan berhasil menotok dada Sin- ciang Mo-kai dan pengemis tua itu terpelanting roboh.
Cin Lan menodongkan ujung tongkatnya ke pelipis orang yang sudah setengah mati dan tidak mampu bergerak itu dan menghardik.
"Katakan siapa yang membawa anakku dan di mana dia dibawanya?" Ujung tongkat yang menempel di pelipis itu siap untuk ditusukkan.
Akan tetapi, totokan di dadanya tadi mengguncang jantung Sin- ciang Mo- kai dan dia terengah-engah sekarat.
"Katakan atau aku akan menyiksamu!" bentak pula Cin Lan.
Akhirnya dengan napas terengah-engah Sin- ciang Mo-kai berkata, "......... Pulau Naga......... !"
Dan diapun terkulai, tewas. Cin Lan tidak memperdulikannya lagi. Pikirannya penuh kegelisahan akan nasib puteranya.
Maka, terpaksa dengan berduka ia pulang ke rumahnya. Pulau Naga! Ia tahu bahwa suaminya juga pergi ke Pulau Naga untuk mencari Hek-tiauw Eng-hiong palsu dan kabarnya beng-cu baru berada di Pulau Naga dan bahwa beng-cu baru itu mengumpulkan orang-orang kang-ouw untuk menghambakan diri kepada pemerintah. Ia menjadi bingung.
Apakah ia harus menyusul suaminya ke Pulau Naga untuk mencari Hong San di sana" Bagaimana kalau tidak bertemu dengan suaminya" Ia akan mencarinya sendiri!
Akan tetapi ia harus meninggalkan pesan kepada pelayan agar kalau suaminya pulang akan mengetahui bahwa ia pergi ke Pulau Naga mencari puteranya.
Ketika Cin Lan tiba di rumah, ternyata Song Thian Lee baru saja pulang!
"Engkau dari mana" Mana Hong San?" Thian Lee menyambut isterinya dengan khawatir, melihat wajah isterinya yang pucat sekali.
Ditanya demikian, Cin Lan menubruk suaminya dan menangis.
"Eh, eh, ada apakah ini" Apa yang telah terjadi?" tanya Thian Lee dengan khawatir.
Isterinya bukan seorang wanita
cengeng, maka kalau sampai ia bersikap seperti ini tentu telah terjadi sesuatu yang hebat.
"Hong San......... diculik......... orang.......!" akhirnya Cin Lan dapat bicara dan tentu saja Thian Lee terkejut bukan main.
"Apa" Kapan terjadinya dan bagaimana?"
"Baru saja terjadi," kata Cin Lan yang masih menangis di dada suaminya. "Aku sedang berada di taman dan Hong San bermain-main. Lalu muncul tiga orang. Yang dua orang menyerangku dan yang seorang menculik dan membawa lari Hong San."
Thian Lee mengepal kedua tangannya. "Siapa mereka?"
"Aku melakukan pengejaran akan tetapi mereka berpencar. Aku dapat menyusul seorang di antara mereka dan dalam perkelahianku aku dapat membunuhnya, akan tetapi yang dua orang lagi telah lari entah ke mana. Aku sudah mendesak orang yang kurobohkan dan sebelum tewas dia mengatakan Pulau Naga."
"Ahhhh.........! Bagaimana keadaan mereka itu" Siapa mereka?"
"Yang terbunuh olehku seorang pengemis berpakaian tambal-tambalan baru, bersenjata tongkat.
Orang kedua adalah seorang kakek tinggi besar gendut bermuka hitam dan bersenjata sebatang ruyung berduri. Adapun orang ketiga yang menculik Hong San adalah seorang pemuda yang lengan kirinya buntung sebatas siku."
"Jahanam keparat! Itu adalah Ouw Kwan Lok, beng-cu baru jahanam itu! Dan yang gemuk hitam itu tentu Hekbin Mo-ko sedangkan yang terbunuh olehmu tentu Sin-ciang Mo-kai. Mereka berdua adalah kaki tangan Ouw Kwan Lok.
Jadi anak kita dibawa ke Pulau Naga" Apa yang mereka katakan ketika mereka muncul."
"Orang muda berlengan buntung sebelah itu tadinya menanyakan engkau.
Ketika aku mengatakan bahwa engkau tidak berada di rumah, dia lalu bilang bahwa dia akan membawa Hong San dan kelak engkau boleh mencari mereka."
"Jahanam! Sekarang juga kita pergi ke Pulau Naga menyusul mereka!" kata Song Thian Lee dengan marah.
Setelah membuat persiapan tergesa-gesa, kedua orang suami isteri perkasa ini lalu melakukan perjalanan menuju ke Pulau Naga.
Di sepanjang perjalanan Thian Lee bercerita kepada isterinya tentang pertempuran yang terjadi di Pulau Naga sehingga akhirnya para pendekar menyelamatkan diri dan lari dari Pulau Naga karena ada pasukan pemerintah yang besar jumlahnya datang membantu pihak beng-cu dan para tokoh sesat.
"Kalau begitu, keadaan di Pulau Naga sekarang ini tidak aman, terjaga banyak pasukan," kata Cin Lan.
"Kurasa tidak. Pasukan itu tentu melakukan pengejaran ke daratan dan pulau itu sudah sepi kembali. Yang tinggal di sana Siang Koan Bhck dan tentu Ouw Kwan Lok dan para kaki tangannya. tokoh-tokoh kang-ouw yang sesat.
Akan tetapi kita tidak perlu takut. Kita harus pergi ke sana untuk merampas kembali anak kita. Kalau perlu kita akan mengamuk mati-matian, atau kita dapat menyusup ke pulau dengan menyamar.
Kita melihat keadaannya dulu di sana."
Lega juga hati Cin Lan setelah bertemu dengan suaminya. Iapun bukan seorang bodoh. Pihak musuh
menculik Hong San tentu bukan bermaksud membunuh anak itu, melainkan untuk memancing suaminya datang ke Pulau Naga.
Dan kelau pergi berdua dengan suaminya,biarpun ke sarang naga ia tidak takut!
Demikianlah, semua ini diceritakan Cin Lan kepada Lee Cin.. Lee Cin yang mendengar cerita itu, ikut menjadi marah sekali.
" Jahanam benar Ouw Kwan Lok itu. Tidak malu dia berbuat curang, menculik seorang anak kecil. Kalau
memang dia gagah, kenapa tidak langsung saja menantang Lee-ko" Jangan khawatir, enci Lan. Aku akan menyertai kalian masuk ke Pulau Naga!
Akupun ingin membunuh Ouw Kwan Lok itu. Sayang dahulu aku hanya membuntungi lengan kirinya, bukan lehernya!' katanya gemas.
Thian Lee telah selesai menguburkan mayat-mayat Ma
Huan, Yauw Seng Kun dan Ban-tok Mo-li. Dia membersihkan kedua tangannya yang terkena tanah, lalu menghampiri mereka.
"Keadaan Pulau Naga sekarang sudah tidak begitu kuat lagi," katanya. "Sin-ciang Mo-.kai, Ma Huan, Yauw Seng Kun, dan Ban-tok M.o-li telah dapat kita tewaskan.
"Masih ada seorang lagi yang berhasil kutewaskan, yaitu Thian-te Mo-ong"' kata Lee Cin yang segera menceritakan bagaimana ia berhasil membunuh tokoh sesat itu.
Thian Lee mengangguk-angguk girang. "Kalau begitu, kedudukan Ouw Kwan Lok sudah lemah. Hanya tinggal dia seorang, Siang Koan Bhok dan Nyonya Siang Koan Bhok yang kabarnya juga lihai sekali."
"Memang ia lihai," kata isterinya. "Aku dahulu pernah bertemu dengannya dan ia berwatak aneh. Setelah ia tahu bahwa aku mencarikan obat untuk guruku Pek I Lo-kai, ia membebaskan aku bahkan menyerahkan buah sian-tho di Pulau Ular Emas untuk dipakai mengobati guruku."
"Aih, menarik sekali!" kata Lee Cin. "Bagaimana ceritanya, enci Lan?"
"Sebaiknya kita melanjutkan perjalanan dan dalam perjalanan itu Cin Lan menceritakan pengalamannya dahulu," kata Thian Lee.
Mereka bertiga lalu melanjutkan perjalanan mereka ke Pulau Naga dan di sepanjang jalan ini Cin Lan bercerita tentang pengalamannya dahulu.
"Peristiwa itu amat mengesankan hatiku karena aku mengalami hal aneh di sana. Terjadinya dahulu ketika aku masih merjadi murid Pek I Lo--kai," Cin Lan mulai bercerita.
Ketika itu, beberapa tahun yang lalu, Cin Lan masih seorang gadis muda, puteri tiri Pangeran Tang Gi Su dan menjadi murid Fek I Lo-kai.
Pada suatu hari Fek I Lo-,kai bertanding melawan datuk besar Jeng-ciang-kwi. Jeng-ciangkui kalah oleh Pek I Lo-kai, mengaku kalah dan
terluka.
Akan tetapi diam-diam Pek I Lo-kai juga terluka parah dan menurut pemeriksaan seorang nikou yang pandai ilmu pengobatan, obat untuk kakek pengemis berbaju putih itu hanyalah buah sian-tho yang tumbuh di Pulau Ular Emas.
Mendengar ini, Cin Lan yang amat sayang kepada gurunya, diam-diam pergi ke pulau itu untuk mencarikan obat bagi gurunya.
Setelah tiba di pantai dan menemukan seorang tukang perahu tua yang berani membawanya ke Pulau Ular Emas, mereka berangkat. Dalam pelayaran itu mereka melewati Pulau Naga dan ketika Cin Lan mendengar bahwa Pulau Naga itu dihuni iblis dan semua orang takut mendekatinya, ia malah memaksa kakek perahu untuk singgah dan melihat pulau yang dihuni iblis itu!
Di pulau Naga Cin Lan berjumpa dengan Siang Koan Tek.
Mereka bertanding dan Cin Lan terjebak, tertawan oleh Siang Koan Tek yang nyaris memperkosanya.
Akan tetapi muncullah Nyonya Siang Koan Bhok yang memarahi puteranya dan membebaskan Cin Lan, apalagi mendengar bahwa Cin Lan adalah puteri Pek I Lo-kai. Cin Lan setelah dibebaskan meninggalkan Pulau Naga dan menuju ke Pulau Ular Emas.
Ternyata, di sana telah ada beberapa orang kangouw yang juga hendak mengambil buah sian-tho.
Mereka berunding untuk bertanding satu lawan satu dan siapa yang menang berhak memperoleh sian-tho.
Akan tetapi tiba-tiba muncul Nyonya Siang Koan Bhok bersama Siang Koan Tek. Nyonya ini mengatakan bahwa Sian-tho adalah haknya dan kalau orang orang itu dapat mengalahkannya baru boleh mengambil sian-tho.
Dua orang di antara orang kang-ouw itu tewas setelah bertanding melawan Nyonya Siang Koan Bhok.
Akan tetapi Cin Lan tidak takut. Ia bertanding dengan Nyonya Siang Koan Bhok, menggunakan tongkat dan ilmu tongkat Hek-mo-tung.
Nyonya itu teringat akan Pek I Lo-kai yang dikenalnya dengan baik, mengagumi Hek- mo-tung dan mengalah, lalu menyuruh Siang Koan Tek menyerahkan buah sian tho kepada Cin Lan untuk mengobati gurunya.
Bahkan Nyonya Siang Koan Bhok menyatakan sukanya kepada Cin Lan untuk mengambilnya sebagai mantu. Cin Lan meninggalkan Pulau Ular Emas membawa buah sian-tho. Akan tetapi di pantai ia melihat seekor ular putih dikeroyok ular-ular emas.
Ia penasaran melihat ular putih dikeroyok, maka turun tangan membantu membunuhi ular emas.
Ada ular emas menggigit kakinya yang terasa amat panas, lalu ular putih juga menggigit kakinya yang
mendatangkan rasa dingin. Cin Lan pingsan, dibawa oleh kakek perahu ke dalam perahu lalu melayarkannya meninggalkan pulau berbahaya itu.
Ketika siuman, Cin Lan merasa ada hawa sin-kang yang kuat membuat tubuhnya ringan dan mendatangkan tenaga dahsyat.
"Peristiwa itu tidak terlupakan olehku karena dalam peristiwa itulah untuk pertama kalinya aku bertemu dengan ayahnya Hong San," kata Cin Lan sambil melirik ke arah Thian Lee yang hanya tersenyum mendengarnya.
Lee Cin menjadi tertarik sekali. ''Bagaimana terjadinya, enci Lan?" tanyanya mendesak.
"Setelah aku mendarat di pantai daratan, aku bertemu dengan empat orang pencari sian-tho yang tadi melarikan diri dari Pulau Ular Emas.
Mereka minta bagian buah sian-tho. Tentu saja tidak kuberikan dan mereka berempat lalu mengeroyokku. Selagi aku terdesak, muncullah dia menolongku," katanya sambil menuding ke arah Thian Lee.
"Itu merupakan pertemuan kami yang pertama kali."
"Ceritamu menarik sekali, enci Lan. Jadi engkau pernah, bertanding melawan Nyonya Siang Koan Bhok dan ia memang lihai sekali" Akan tetapi mengapa setelah ia mendengar bahwa engkau murid Pek I Lo-kai ia lalu mengalah dan malah memberikan buah sian-tho itu
kepadamu?"
"Aku sendiripun merasa heran. Agaknya ada hubungan sesuatu antara guruku dan Nyonya Siang Koan Bhok. Hanya menurut dugaanku, ia tidaklah sejahat suaminya."
"Memang tampaknya demikian," kata Song Thian Lee.
"Buktinya, dalam gerakan yang dilakukan Siang Koan Bhok dan Ouw Kwan Lok mengumpulkan orang-orang kang-ouw untuk membantu pemerintah penjajah, nyonya itu tidak pernah ikut campur.
Mudah-mudahan saja begitu sehingga keadaan mereka tidak begitu kuat, juga mudah-mudahan dengan adanya Nyonya Siang Koan Bhok, kita akan lebih mudah mendapatKan kembali Hong San dari tangan mereka."
Tiga orang itu melanjutkan perjalanan dan perjalanan terasa ringan dan menyenangkan bagi mereka bertiga walau pun mereka semua merasa prihatin dengan hilangnya Hong San.
Mereka bertiga merasa kuat dan siap menghadapi lawan yang bagaimanapun.
**********
Ketika Ouw Kwan Lok dan Hek-bin Mo-ko tiba di Pulau Naga membawa Hong San, Siang Koan Bhok dan isterinya sedang duduk di taman bunga milik Nyonya Siang Koan
Bhok.
Nyonya Siang Koan Bhok sudah mendengar tentang keributan di Pulau Naga dan ia menegur suaminya.
"Mengapa engkau mencari penyakit" Kita sudah tenang-tenang hidup di sini, tidak ada orang datang memusuhi kita, engkau malah menuruti kehendak Ouw Kwan Lok itu untuk bekerja sama dengan pemerintah.
Akibatnya, para orang gagah memusuhimu dan sekarang kita mempunyai banyak musuh," demikian Nyonya Siang Koan Bhok menegur suaminya dengan suaranya yang lembut.
Memang gerak gerik nyonya ini serba lembut, tidak menunjukkan bahwa sebetulnya seorang yang lihai sekali ilmu silatnya.
"Sudah sewajarnya kalau ada pihak yang menjadi kawan, tentu ada pihak lain menjadi lawan," bantah Siang Koa Bhok.
"Kita berkawan dengan orang-orang kang-ouw dan dengan pemerintah Ceng biarpun dimusuhi orang-orang
yang menamakan dirinya pendekar, kita tidak perlu takut.
Pasukan pemerintah sewaktu-waktu akan membantu kita.
Sekarangpun, pasukan sudah disebar untuk melakukan pengejaran dan penumpasan terhadap mereka yang memusuhi kita."
"Akan tetapi apa sih untungnya bekerja untuk pemerintah penjajah" Kita dibenci rakyat jelata."
"Penjajah atau bukan akan tetapi kenyataannya pemerintah adalah yang berkuasa. Rakyat tinggal menurut saja atau akan dicap pemberontak.
Banyak kebaikannya kalau bekerja dengan pemerintah. Kita dilindungi dan seandainya kita mencari kedudukanpun akan mudah.
Kita tidak akan dihimpit pajak dan dalam segala perkara kita akan dimenangkan. Bukankah lebih baik dilindungi pemerintah dari pada menjadi musuh dan buronan pemerintah" Sudahlah, isteriku, engkau tidak tahu apa-apa, cukup tinggallah di sini dengan tenang dan serahkan segala urusannya kepadaku."
Nyonya Siang Koan Bhok mengerutkan alisnya yang hitam dan menundukkan wajahnya yang masih tampak cantik. "Baiklah, asal nanti kalau ada apa-apa yang menyusahkan jangan mengganggu aku."
Pada saat itulah Ouw Kwan Lok dan Hek-bin Mo-ko memasuki taman itu. Melihat Ouw Kwan Lok datang memondong seorang anak laki-laki berusia tiga tahun suami isteri itu memandang heran.
"Kwan Lok, siapakah anak itu dan dari mana kau dapatkan dia?" tanya Siang Koan Bhok sambil memandang tajam.
Dia bangga akan kegagahan dan kecerdikan muridnya itu yang kini memiliki tingkat kepandaian yang sudah melampaui tingkatnya sendiri.
Dan penyamaran Ouw Kwan Lok menjadi Hek tiauw Eng-hiong dianggapnya amat cerdik karena telah mampu mengadu domba para pendekar walaupun pada akhirnya rahasia itu ketahuan.
"Suhu tentu tidak dapat menduga siapa anak ini," kata Ouw Kwan Lok dengan bangga. "Kami telah mencari biang keladi kegagalan pasukan menghancurkan mereka, yaitu Song Thian Lee yang telah mengatur siasat sehingga semua orang dapat lolos dari pulau ini.
Akan tetapi ketika kami tiba di rumah persembunyiannya, dia belum pulang dan kami hanya bertemu dengan isterinya dan anaknya. Saya lalu membawa anaknya ini untuk memancing agar dia mau datang ke sini untuk kita bunuh.
Sebelum Song Thian Lee dapat dimusnakan, usaha kita akan banyak mengalami hambatan dan gangguan."
"Hemm, jadi dia putera Song Thian Lee" Bagus, ini umpan yang baik sekali, Kwan Lok dan aku yakin bahwa Song Thian Lee pasti akan datang ke sini menyerahkan diri.
Akan tetapi, di mana teman-teman yang lain?"
"Sian-ciang Mo-kai berpencar untuk memecah perhatian ibu anak ini yang juga lihai sehingga anak ini dapat saya bawa pergi dengan aman.
Adapun teman-teman yang lain
sedang sibuk ikut melakukan pengejaran terhadap para pelarian," kata Kwan Lok yang sama sekali tidak tahu bahkan tidak menduga bahwa Sin-ciang Mo-kai telah tewas di tangan Tan Cin Lan dan banyak kawannya juga sudah tewas di tangan para pendekar.
"Ouw Kwan Lok, berikan anak itu kepadaku!' tiba-tiba Nyonya Siam Koan Bhok berseru.
Kwan Lok memandang dengan heran. "Akan tetapi, subo, ini adalah anak musuh kita."
"Tidak perduli! Kalau orang tuanya musuh, anak ini masih kecil dan tidak ikut apa-apa.
Serahkan kepadaku untuk kurawat sementara kalian menanti kedatangan ayahnya." Nyonya Siang Koan Bhok menghampiri Ouw Kwan Lok.
Pemuda ini dengan bingung memandang kepada gurunya dan Siang Koan Bhok mengangguk. "Memang lebih baik berada di tangannya lebih aman dan tentu ia lebih pandai merawatnya dari pada engkau."
Ouw Kwan Lok melepaskan anak itu ke dalam pondongan Nyonya Sian Koan Bhok yang segera menekan
pundak anak itu.
Song Hong San dapat bersuara lagi dan anak itu lalu menangis keras. Nyonya Siang Koan Bhok lalu mebawanya masuk ke dalam rumah.
"Mari kita berunding di dalam dan panggil Tung-hai Ngohouw (Lima Harimau Laut Timur) untuk hadir," kata Siang Koan Bhok kepada muridnya.
Ouw Kwan Lok menuju ke belakang untuk mencari Lima Harimau yang menjadi kaki tangan gurunya itu, kemudian mereka mengadakan perundingan di bagian belakang rumah besar.
Tung-hai Ngo-houw adalah lima orang bajak laut yang tubuhnya tinggi besar, usia mereka kurang lebih empatpuluh tahun dan mereka memiliki ilmu silat yang cukup tinggi menggunakan sebatang golok besar.
Dahulunya mereka adalah bajak-bajak laut yang sudah menyerah
menjadi kaki tangan Siang Koan Bhok di Pulau Naga.
Ketika para rekan kang-ouw golongan sesat bersama para pasukan pemerintah melakukan pengejaran terhadap para pendekar, lima orang ini tidak ikut karena tugas mereka menjaga di Pulau Naga bersama anak buah mereka yang kini tinggal seratus orang kurang setelah banyak di antara mereka tewas dalam pertempuran melawan anak buah Te-tok-pang tempo hari.
Setelah Siang Koan Bhok dan Ouw Kwan Lok berunding dengan Tung-hai Ngo-houw, Ouw K wan Lok berkata kepada mereka, "Kalian berlima tidak boleh lengah. Biarpun musuh sudah melarikan diri semua, akan tetapi siapa tahu ada yang diam-diam datang kembali.
Apa lagi setelah sekarang kami mempunyai umpan untuk memancing datangnya Song Thian Lee. Kalian harus berhati-hati melakukan penjagaan.
Sebar semua anak buah mengawasi di seluruh penjuru dan hidupkan semua alat jebakan dan perangkap. Kalau Song Thian Lee dan isterinya berani datang, kita harus menangkapnya, mati atau hidup. Mengerti?"
"Baik, Beng-cu," kata mereka berlima.
"Lakukan giliran Siang dan malam dan sedikitpun tidak boleh lengah karena musuh adalah orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi.
Nah, sekarang mundurlah dan atur penjagaan itu sebaiknya sambil menanti kembalinya kawan-kawan yang lain."
Lima orang itu mundur, tak tahu bahwa mereka harus menanti selamanya karena kebanyakan kawan mereka itu sudah gugur.
"Saya kira sebaiknya kalau kita memanggil lebih banyak rekan untuk berjaga di sini, Beng-cu," kata Hek-bin Mo-ko.
"Bagaimanapun juga, saya mendengar bahwa Song Thian Lee adalah seorang bekas panglima perang yang banyak akalnya."
"Kau kumpulkan mereka dan panggil ke sini untuk diajak berunding. Siapa saja yang masih berada di sini dan siapa pula yang ikut keluar pulau melakukan pengejaran terhadap para pendekar.
Hek-bin Mo-ko menuju ke belakang rumah di mana terdapat pondok-pondok kecil tempat tinggal para anak buah Pulau Naga dan tempat mondok para orang kang-ouw yang bergabung di situ.
Di situ masih terdapat beberapa orang tokoh kang-ouw yang sudah bergabung, yaitu di antaranya Kim-to Sam-ong (Tiga Raja Golok Emas) ketua Kim-to-pang yang juga sudah bergabung, dan dua orang kakak beradik Ouw-yang Twa-mo dan Ouwyang Siauw-mo (Iblis besar
Ouwyang dan Iblis kecil Ouwyang).
Dua orang yang terakhir ini dahulunya adalah sepasang perampok yang ganas.
Seperti juga Kim-to Sam-ong, ilmu silat kedua orang bersaudara Ouwyang ini dapat dimasukkan golongan lihai.
Hek-bin Mo-ko segera mengundang mereka berlima untuk ikut berunding dengan Siang Koan Bhok dan Ouw Kwan Lok.
Kepada mereka berlima, Ouw Kwan Lok memerintahkan agar mulai hari itu mereka waspada dan mengadakan perondaan di sekitar pulau untuk menjaga kalau-kalau ada orang yang berani menyelundup ke dalam pulau.
Lima orang itu menyatakan kesanggupan mereka dan segera pergi melaksanakan tugas yang diberikan kepada mereka.
Segala persiapan untuk menyambut kalau Song Thian Lee dan isterinya benar berani datang telah dibuat oleh Ouw Kwan Lok dan Siang Koan Bhok.
Kakek ini telah sembuh. dari luka dalam akibat perkelahiannya dengan Song Thian Lee dan dia tidak pernah terpisah dari dayung bajanya. Juga Ouw Kwan Lok tidak pernah meninggalkan pedang yang dibawa di punggungnya.
Bajunya kini berlengan panjang sehingga lengan baju kirinya tergantung lepas di lengan kirinya yang buntung. Lengan baju ini merupakan senjata yang ampuh juga.
Hanya Nyonya Siang Koan Bhok yang tidak ikut gelisah menjaga diri. Ia suka sekali kepada Hong San yang cerdik.
Begitu diperlakukan dengan manis, Hong San tidak menangis lagi bahkan suka tertawa-tawa dengan lucunya, mengeluarkan sepatah dua patah kata yang dapat menghibur hati Nyonya Siang Koan Bhok selama ini kesepian, apa lagi setelah kematian puteranya, Siang Koan Tek.
Timbul rasa sayang ke pada Hong San di dalam hati wanita yang gerak geriknya lembut itu. Ia mempunyai
beberapa orang pelayan wanita yang mengurus dan melayani segala kebutuhannya, tinggal di pondok indah bertaman bunga itu.
Suasana di Pulau Naga tampak sunyi dan tenang, namun sebenarnya para penghuninya berada dalam keadaan siap siaga dan waspada penuh ketegangan karena mereka maklum bahwa Song Thian Lee dan isterinya tidak mungkin tidak datang mencari puteranya di tempat itu.
Bahkan Ouw Kwan Lok dan Siang Koan Bhok menjadi agak gelisah ketika dinanti sampai beberapa hari, kawan-kawan mereka yang melakukan pengejaran terhadap para pendekar belum juga kembali. Sama sekali mereka tidak pernah mimpi bahwa banyak kawan mereka telah tewas di tangan para pendekar.
**********
Terdapat kurang lebih duaratus orang di dalam hutan lebat itu. Seratus orang adalah anggauta Pek-lian-kauw yang pernah diserang dan diporak-porandakan orang-orang Pulau Naga dan pasukan pemerintah dan seratus orang lagi adalah orang-orang Pat-kwa-pai, sekutu mereka. Mereka adalah golongan pemberontak yang membenci terhadap pemerintah penjajah Mancu, akan tetapi mereka juga tidak segan untuk melakukan kejahatan kepada rakyat jelata.
Mereka adalah golongan sesat yang membenci penjajah mancu dan di
mana-mana membikin kacau dan bahkan berani menyerang pasukan Mancu kalau ada pasukan yang jumlah lebih kecil dari jumlah mereka.
Mereka sedang mengadakan pertemuan di hutan itu bersama rekan-rekan mereka, kaum Pat-kwa-pai. Biarpun mereka berlainan aliran dan keagamaan, akan tetapi karena sama-sama memusuhi pemerintah Mancu, mereka dapat bekerja sama.
Beberapa orang pimpinan mereka sedang mengadakan perundingan. Seorang berpakaian tosu yang tinggi kurus, matanya sipit dan suaranya meninggi, bangkit berdiri dan bicara kepada beberapa orang yang berjongkok membuat lingkaran.
Di tengah mereka terdapat api unggun karena hari telah menjelang senja dan nyamuk telah banyak
berdatanga menyerang mereka. Tosu tinggi ini adalah Hwa-Hwa To-su, ketua cabang Pek-lian-kauw yang berkumpul di situ.
"Kita telah diserang oleh orang-orang Pulau Naga sehingga kehilangan banyak saudara. Orang-orang Pulau Naga bersekutu dengan penjajah Mancu, karena itu kita harus membalas dendam dan kita harus membasmi orang-orang Pulau Naga. Kami harapkan bantuan pihak Pat-kwa-pai sebagai rekan seperjuangan untuk menghadapi orang-orang Pulau Naga."
Seorang tosu yang pakaian di dadanya ada gambar Pat-kwa, yaitu Cin Cin To-jin tokoh Pat-kwa-pai, bangkit berdiri dan mengepal tinju.
"Kami dan Pek kwa-pai adalah rekan-rekan seperjuangan, sudah seharusnya kalau kami membantu Pek-lian-pai. Marilah kita bersama menghancurkan orang-orang Pulau Naga!"
Pada saat itu terdengar ucapan nyaring, "Bagus sekali rencana itu, kalau kita bekerja sama tentu hasilnya akan lebih baik lagi"
Semua orang terkejut dan menoleh kepada orang yang mengeluarkan suara itu. Mereka melihat seorang berpakaian hitam. yang berkedok hitam pula telah berdiri di atas sebuah batu besar sehingga dapat tampak mudah dari situ.
"Siapa engkau?" Hwa Hwa To-su tokoh Pek-lian-kauw membentak penuh curiga.
"Dia bukan orang kita!' kata pula Cin Cin To-jin dari Pat-kwa-pai dengan curiga. Semua anggauta Pek-lian-kaLw dan Pat-kwa-pai telah bersiap-siap dengan senjata mereka untuk menyerang orang berkedok itu.
Akan tetapi orang berkedok itu berkata dengan nyaring.
"Aku adalah Hek -tiauw Eng-hiong yang juga anti penjajah Mancu seperti kalian.
Walaupun kita masing-masing mengambil jalan kita sendiri, akan tetapi dalam menghadapi Pulau Naga kepentingan kita sama.....
"Hyaaatttt......... !" Lee Cin membentak dan pedang Ang-coa-kiam meluncur lepas dari tangannya, bagaikan anak panah dan tanpa dapat di hindarkan lagi, pedang itu menancap dan menembus punggung Thian- te Mo-ong.
"Aughhhhh.......... !" Thian- te Mo-ong
terhuyung kemudian jatuh tersungkur dan tertelungkup, tewas seketika karena Ang-coa-kiam telah menembus jantungnya! Lee Cin menghampiri mayat yang menelungkup itu, mencabut pedang Ang- coa- kiam dan membersihkan pedang itu pada pakaian Thian- te Mo-ong.
"Adik Le Cin......... !"
Ceng Ceng menghampiri gadis "Untung engkau dapat merobohkannya dan dia tidak sampai melarikan diri."
Lee Cin memakai lagi pedangnya sebagai sabuk dan tersenyum kepada Ceng Ceng. "Aku yang beruntung karena mendapat pertolongan kalian selagi aku tidak berdaya."
"Cin- moi, bagaimana engkau sampai dapat terjatuh ke tangan orang jahat ini?"" tanya Hui San sambil memandang wajah gadis yang pernah merebut hatinya itu.
"Aku......... agaknya aku sedang ketiduran karena telah di bawah pohon ketika dia datang dan tiba- tiba saja menguasai diriku. Aku tidak sempat melawan.
Untung engkau datang, San- ko. Terima kasih kepada engkau dan enci Ceng."
"Aihh, tidak ada yang harus berterima kasih, adik Cin.
Kalau engkau tadi tidak cepat membantu, mungkin kami berdua sudah roboh oleh kakek yang lihai itu," kata Ceng Ceng sambil tersenyum.
"Sekarang kalian hendak ke mama?" Lee Cin bertanya, diam- diam merasa gembira bahwa Thio Hui San dan Ceng Ceng tampak demikian akrab.
"Kami hendak menyingkirkan diri karena kami tentu juga menjadi buruan pasukan Mancu. Akan tetapi lebih dulu aku harus mengubur jenazah ini," kata Hui San.
"Hemm, orang jahat seperti dia tidak pantas untuk kita menyusahkan diri mengubur jenazahnya," kata Lee Cin sambil mengerutkan alisnya. Ia tahu benar akan kejahatan yang dilakukan Thian- te Mo-ong.
"Tidak bisa......... demikian,......... Cin- moi. Sebagai murid Sian-lim-pai aku harus dapat memaafkan segala
kesalahan orang yang sudah mati.
Jenazah ini berhak mendapat perawatan yang baik, pula akan tidak sehatlah kalau dia dibiarkan membusuk di sini."
Lee Cin menghela napas panjang.
Pemuda ini memang seorang yang berbudi mulia, seperti juga halnya Song Thian Lee. Iapun teringat kepada Tin Han dan hatinya terasa nyeri seperti ditusuk duri.
Tin Han juga seorang pemuda yang amat baik, dan tentu akan bersikap seperti Hui San ini. Akan tetapi, terdapat celah selebar langit antara ia dan Tin Han.
Ibu kandungnya tidak setuju kalau ia berjodoh dengan Tin Han dan sekarang orang tua pemuda itu yang tidak setuju kalau putera mereka berjodoh dengannya! Adakah lagi halangan yang lebih besar dari pada itu"
Biarpun tadi mencela, melihat Hui San dan Ceng Ceng menggali lubang kuburan, Lee Cin tidak dapat tinggal diam dan membantu mereka.
Kemudian, setelah lubang itu cukup dalam dan lebar, Hui San mengangkat jenazah Thian to Moong dan menguburnya secara sederhana.
"Sekarang kalian hendak pergi ke manakah?" tanya Lee Cin kepada mereka.
"Kami hendak pulang ke rumah paman Souw Can di Pao-ting," kata Ceng Ceng dengan nada suara gembira.
"Atas nasihat Paman Souw Can, kami akan melangsungkan pernikahan kami di sana, berbareng dengan pernikahan antara adik Souw Hwe Li dan Lai Song Ek,"sambung Thio Hui San dengan wajah gembira pula.
"Ah, khong- hi (selamat) kalau begitu! Mudah-mudahan kalian akan, dapat hidup bahagia," kata Lee Cin dan suaranya agak terharu karena ia teringat akan nasib dirinya.
"Terima kasih, adik Lee Cin," kata Ceng Ceng sambil merangkulnya. "Kalau sudah tiba saatnya, kami harap engkau akan dapat hadiri dan minum arak pengantin."
Lee Cin balas merangkul. "Engkau seorang gadis yang baik sekali, enci Ceng. Engkau berhak untuk hidup
berbahagia. "
"Dan engkau sendiri, hendak pergi ke manakah, Cin- moi?" tanya Hui San, sambil memandang dengan perasaan iba.
Dia tahu bahwa Lee Cin dahulu mencinta Thian Lee yang menikah dengan gadis lain.
"Aku" Ah, aku akan merantau sambil mencari Ouw Kwan Lok. Hatiku belum merasa puas kalau belum dapat membunuh jahanam busuk itu. Dia telah menyerang dan
melukai ibuku."
"Berhati-hatilah, Cin- moi, orang itu lihai bukan main biarpun lengan kini nya sudah buntung," kata Hui San.
"Aku akan berhati- hati, San- ko. Nah, selamat tinggal, aku pergi dulu!"
"Selamat berpisah, adik Cin!" Ceng Ceng dan Hui San melambaikan tangan ke arah perginya Lee Cin yang sudah menggunakan ilmunya melompat jauh pergi dari tempat itu.
Hui San lalu pergi juga dari situ tersama Ceng Ceng.
Mereka pergi sambil bergandeng tangan dengan penuh kemesraan.
"Cin moi......... !" Tin Han mengejar sambil memanggil-manggil, akan tetapi Lee Cin sudah tidak tampak lagi berada di mana. Dengan hati hancur Tin Han lalu kembali kepada orang tuanya, alisnya berkerut dan pandang matanya marah.
**********
"Sudahlah, Tin Han. Tidak perlu kau perdulikan gadis puteri Ang-tok Mo li itu.
Ibunya seorang jahat, anaknya tentu juga jahat pula. Ini Leng Ci berada di sini!" kata Te-tok Kui-bo.
Dengan hati panas Tin Han lalu berkata kepada nenek,"Lo-cian-pwe, kalau Io-cian-pwe mengira bahwa aku suka menjadi mantumu, pendapat itu keliru sama sekali.
Aku tidak akan pernah mau menjadi suami adik Leng Ci atau suami siapapun juga, kecuali suami adik Lee Cin!"
"Tin Han. !" Nenek itu berseru sambil membelalakkan matanya. Biasanya Tin Han begitu lembut dan menurut
kata-katanya. "Akan tetapi kami semua sudah sepakat untuk mengikat tali perjocohan itu!"
"Masa bodoh! Siapa yang mengikat tali perjodohan itu boleh menikah. Akan tetapi aku tidak! Lo-cian-pwe sendiri yang menghendaki pernikahan itu, aku belum pernah
menyatakan setuju orang hendak memaksa aku menikah dengan orang yang tidak kucinta?"
"Tin Han Engkau tidak.........
tidak cinta kepadaku?"
Leng Ci berseru dan wajahnya hampir menangis.
Tin Han menjadi kasihan juga. "Leng Ci, kita hanya sahabat biasa. Aku tidak pernah mencinta gadis lain kecuali Lee Cin. Kuharap kelak engkau akan menemukan jodohmu dengan baik."
"Tin engkau menghancurkar harapanku. Engkau berani menampik puteriku!"
"Lo-cian-pwe
yang memaksa-maksa. Sekarang aku menyatakan tidak mau menjadi mantumu!'
"Tin Han...........!!"
Ayah dan ibunya berseru dan menegur. Kini Tin Han memandang kepada ayah dan ibunya pandang matanya penuh penyesalan. "Ayah dan ibu sudah menolak dan menghina hati Lee Cin, apakah sekarang aku harus mentaatimu menikah dengan orang lain yang sama sekali tidak kucinta" Tidak, ayah dan ibu.
Sekali ini aku tidak akan menuruti kata-katamu. Yang hendak menikah adalah aku, bukan ayah dan ibu. Pernikahan menyangkut kehidupanku selamanya, bagaimana hal itu harus ditentukan oleh orang lain?"
"Akan tetapi ibunya adalah Ang-tok Mo-li musuh besar nenekmu dan seorang datuk sesat yang jahat!' seru ibunya.
"Ibu, maafkan. Aku bukan hendak menikah dengan ibunya, melainkan dengan anaknya dan Lee Cin adalah
seorang gadis berwatak pendekar, bukan golongan sesat."
"Tin Han, kalau engkau menolak berarti engkau menghinaku!" Te-tok Kui-bo berteriak dan menggerakkan tongkatrya. "Kami semua telah mengambil keputusan, engkau tidak bisa seenaknya saja membatalkan! Ataukah engkau berani menentangku?"
"Terserah kepadamu, Te-tok Kui-bo' kata Tin Han dengan jengkel. "Aku tidak menentang siapa-siapa, akan tetapi akupun tidak sudi dipaksa menikah dengan siapapun juga.
Tidak pula olehmu!"
"Keparat!" Te-tok Kiu-bo menerjang dengan tongkat naganya. Akan tetapi Tin Han sudah marah sekali. Dia mengelak dan sekali kedua tangannya bergerak, dia sudah menangkap tongkat itu dengan tangan kanannya dan tangan kirinya menotok.
"Brett.........!" Tongkat itu sudah berpindah ke tangannya dan sekali dia menekuk dengan kedua tangan, tongkat itupun patah menjadi dua dan dilemparkannya ke atas tanah dengan bantingan.
"Ayah, ibu, aku pergi!' katanya dan dengan isak tertahan dia lalu melompat jauh lari dari tempat itu.
Semua orang terkejut bukan main. Tidak pernah mengira bahwa Tin Han sehebat itu kepandaiannya.
Nenek Te-tok Kui-bo uring-uringan, lalu mengajak puterinya dan semua anak buahnya pergi dari situ.
Cia Kun dan isterinya saling pandang dengan Cia Hok dan Cia Bhok. Isteri Cia Kun mengalirkan air mata dan diusapnya air matanya itu, lalu berkata kepada suamimya,
"Tin Han marah sekali. Ke mana kita harus mencarinya?"
Cia Kun mengerutkan alisnya. "Sepatutnya dia ibu bersikap seperti itu. Kenapa dia memaksakan diri" Aku yakin kalau Ang-tok Mo-li tahu bahwa dia cucu Nenek Cia, iapun tidak akan menyetujui puterinya menikah dengan Tin Han.."
Cia Hok menghela napas panjang. "Sebetulnya kalian juga salah, memaksanya seperti itu untuk menikah dengan gadis yang tidak dicintanya.
Memang baik sekali kalau dia mau menikah dengan puteri Te-tok Kui-bo yang dahulu menjadi sahabat baik ibu, dan sama-sama berjiwa patriot.
Akan tetapi orang muda sekarang lebih suka memilih calon isterinya sendiri. Pula, kita harus ingat bahwa Nona Souw Lee Cin juga seorang yang gagah perkasa.
Memang sayang kebetulan ia adalah puteri Ang-tok Mo-li, akan tetapi siapa tahu sekarang Ang-tok Mo-li sudah bertaubat dan tidak menjadi tokoh sesat lagi."
Cia Bhok berkata, "Segala sesuatu telah terjadi. Tin Han telah pergi dan tidak akan mudah mencarinya. Anak itu kini telah menjadi seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi.
Biarkanlah dia menentukan sendiri tentang perjodohannya,jodoh berada di tangan Tuhan. Kalau memang dia berjodoh dengan Nona Souw Lei Cin, tidak ada sesuatu pun yang dapat menghalanginya, sebaliknya kalau nona itu bukan jodohnya, tentu dia akan gagal memperisterinya.
Sekarang kita harus mengambil jalan masing-masing berpencar dan bersembunyi karena pasukan pemerintah tentu akan mencari kita pula dan dianggap pemberontak."
Semua menyatakan setuju dan mereka pun berpencar mencari jalan masing-masing untuk menyelamatkan diri dari pengejaran pasukan pemerintah yang bekerja-sama dengan golongan sesat dari dunia kang-ouw.
Tin Han merasa dadanya akan meledak. Kemarahan memenuhi dadanya kalau dia ingat betapa orang-orang tua itu hendak memaksa dia menikah dengan Leng Ci, apa lagi kalau mengingat betapa ayah ibunya telah menolak dan menghina Lee Cin.
Dia dapat membayangkan betapa sakit dan hancurnya hati kekasihnya karena diapun pernah mengalami ditolak dan dihina oleh ibu gadis itu.
Akan tetapi siapapun yang merintangi perjodohannya dengan Lee Cin, akan ditantangnya. Yang penting adalah dia dan Lee Cin sendiri!
"Cin-moi, kasihan engkau.........!" Dia mengeluh sambil berlari terus. Kemudian dia teringat akan perbuatan Ouw Kwan Lok kepadanya.
Jahanam telah memalsukan namanya melakukan banyak pembunuhan untuk mencemarkan namanya. Dia merasa menyesal tidak dapat membunuh orang yang diakuiya memiliki ilmu kepandaian yang tinggi, setingkat dengan dirinya.
"Aku harus mencarinya dan menemukannya!" bisiknya kepada diri sendiri.
Kemudian dia berhenti berlari. Kenapa dia harus mencari jauh-jauh" Dia yakin bahwa Ouw Kwan Lok masih berada di Pulau Naga, bersembunyi di sana.
Sekarang, semua pasukan dan orang-orang sesat sedang mengadakan pemburuan terhadap para pendekar.
Pulau Naga tentu ditinggalkan dan siapa tahu Ouw Kwan Lok masih berada di sana! Dia tentu tidak akan menyangka akan ada orang yang berani datang ke Pulau Naga lagi dan enak- enak saja bersembunyi di situ.
Siapa tahu dugaannya benar dan dengan pikiran ini Tin Han lalu membalikkan tubuhnya hendak pergi berkunjung ke Pulau Naga lagi!
**********
Lee Cin berjalan seorang diri tanpa tujuan. Ia sendiri bingung harus pergi ke mana. Perpisahannya dengan Tin Han membuat semangatnya menjadi lemah dan segala tampak tidak menyenangkan.
Satu- satunya tujuan hidupnya kini mencari Ouw Kwan Lok, orang yang selain pernah menyerang dan melukai ibunya, juga telah menjelek-jelekkan nama Hek-tiauw Eng- hiong atau Tin Han kekasihnya.
Biarlah ia melakukan sesuatu yang terakhir, yaitu membela nama baik Tin Han. Ia tidak dapat membenci Tin Han karena sikap orang tuanya, karena ia sendiri juga merasa bahwa ibunyapun bersikap seperti itu terhadap Tin Han.
Tidak, ia tidak membenci Tin Han. Ia tetap mencinta pemuda itu dan ingin membelanya. Walaupun agaknya ia tidak mungkin dapat berjodoh dengan Tin Han, setidaknya ia dapat mencintanya saampai mati.
Selagi ia berjalan keluar masuk hutan, tiba-tiba tampak tiga bayangan orang berkelebat dan terkejutlah ia ketika melihat bahwa mereka bukan lain adalah musuh- musuh lamanya, yaitu Yauw Seng Kim, Ban- tok Mo-li dan yang seorang lagi adalah Ma Huai, anak buah Ouw Kwan Lok!
Maklum bahwa ia menghadapi musuh dan lawan tangguh,Lee Cin sudah mengeluarkan Ang-coa- kiam dan berdiri dengan pedang melintang depan dada dan keadaan siap siaga!
Yauw Seng Kull tertawa. "Ha- ha- ha, kiranya nona Souw Lee Cin yang manis berada di sini! Sungguh kebetulan sekali. Kami memang sedang mencari-carimu."
Ban- tok Mo-li yang merasa cemburu karena tampaknya Yauw Seng Kim masih selalu tergila-gila kepada gadis itu segera membentak , "Souw Lee Cin. Menyerahlah menjadi tawanan
kami sebelum kami terpaksa menggunakan kekerasan untuk membunuhmu!' Ia sudah mencabut
pedangnya yang beracun. Yauw Seng Kun juga sudah mencabut senjatanya. Lee Cin diikepung segi tiga. Namun, Lee Cin sama sekali tidak merasa gentar. Tanpa berkedip dan tanpa menggerakkan tubuhnya ia membentak.
"Tiga ekor anjing Mancu, majulah! Siapa takut kepada kaliari?"
Melihat sikap dan mendengar bentakan ini, Ban-tok Mo-li lain berseru, "Serbu !!!"
Ia sendiri sudah menusukkan pedangnya yang beracun ke arah dada Lee Cin. Gadis itu tidak mengelak, melainkan menggetarkan pedangnya menangkis.
"Trangg......... !" Pedang di tangan Ban- tok Mo-li terpental dan wanita itu terkejut bukan main, cepat meloncat ke belakang agar pedangnya tidak sampai terlepas dari tangannya.
Pada saat itu, Ma Huan sudah membabatkan goloknya ke arah kedua kaki Lee Cin. Gadis ini melompat ke atas dan mengelebatkan pedangnya ke belakang karena pada saat itu, tongkat bambu kuning di tangan Yauw Seng Kun telah menotoknya.
"Trakk!" Tongkat itu telah tertangkis, akan tetapi pedang Ban- tok Mo-li kembali mendesak dengan bacokan ke arah kepala. Lee Cin mengelak ke samping lain memutar pedangnya untuk membalas serangan tiga orang pengeroyoknya sehingga mereka bertiga terpaksa melompat ke belakang untuk menghindarkan diri dari gulungan sinar pedang merah yang amat berbahaya itu.
Kalau tiga orang itu maju satu demi satu, jelas mereka bukan lawan Lee Cin. Akan tetapi karena mereka bertiga maju mengeroyok, hal ini membuat Lee Cin kewalahan juga.
Hujan serangan menyerangnya dan terpaksa ia harus memutar pedang melindungi tubuhnya. Pedang itu seolah menjadi gulungan sinar yang membalut dirinya, menjadi perisai sehingga serangan ketiga orang itu dapat tertangkis semua.
Tiba-tiba Ban- Moli mengeluarkan saputangan merah dan mengebutkan saputangan itu ke arah Lee Cin.
Debu merah mengepul. Akan tetapi Lee Cin sudah tahu akan
bahayanya racun yang dipergunakan Ban-tok Mo-li, maka ia menahan napas dan melompat mundur beberapa langkah sehingga tidak terkena racun itu.
Tiga orang pengeroyoknya mengejar dan kembali ia terkurung.
Perlahan akan tetapi tentu Lee Cin mulai terdesak.
Tongkat bambu kuning di tangan Yauw Seng Kim sudah sempat menotok pundaknya. Akan tetapi ia masih sempat memiringkan pundak itu sehingga totokan itu tidak telak dan hanya membuat tubuhnya tergetar sedikit.
Ayunan pedangnya menyelamatkannya karena Yauw Seng Kun tidak lagi mampu mendesaknya. Biarpun demikian, kini Lee Cin bersilat dengan hati-hati dan ia lebih banyak menangkis dan mengelak dari pada menyerang.
Pada suatu kesempatan, selagi terdesak, kaki Lee Cin mencuat dan mergenai perut Ma Huan sehingga orang bergolok ini mengaduh dan terhuyung ke belakang.
Akan tetapi dua orang kawannya segera mendesak lagi sehingga Lee Cin kembali harus memutar tubuhnya dan pedangnya menjadi
semacam baling-baling yang berputar rapat melindungi dirinya.
Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring, "Adik Lee Cin, jangan khawatir, kami datang membantumu!"
Bukan main girangnya hati Lee Cin ketika melihat bahwa yang datang adalah Tan Cin Lan dan Song Thian Lee!
Sepasang suami isteri perkasa ini telah datang dan segera menyerbu membantunya. Tan Cin Lan yang memegang sebatang tongkat sudah menerjang dan membuat Ma Huan terdesak ke belakang.
Song Thian Lee menggunakan pedang Jit-goat-kiam yang digerakkan secara dahsyat membuat Yauw Seng Kun terhuyung ke belakang.
Kini tinggal Ban-tok Mo-li seorang yang melawan Lee Cin dan sebentar saja wanita itu tidak dapat menahan gerakan pedang Ang-coa-kiam.
Setelah sepasang suami isteri itu datang membantu,tidak sampai tigapuluh jurus saja tiga orang lawan itu roboh satu demi satu. Ma Huan roboh tertotok tongkat yang mengenai ulu hatinya dan dia roboh untuk tidak dapat bangkit kembali.
Ban-tok Mo-li tertembus dadanya oleh Ang-coa-kiam dan iapun tewas seketika, sedangkan Yauw Seng Kun,
biarpun sudah mengeluarkan seluruh ilmu kepandaiannya, akhirnya roboh dengan leher nyaris putus oleh pedang Jit goat-kiam di tangan Song Thian Lee!
Setelah tiga orang lawan itu tewas, Lee Cin merangkul Cin Lan "Ah, untung engkau datang, enci Cin Lan!" katanya girang.
"Andaikata kami tidak datang sekalipun belum tentu tiga ekor anjing ini akan dapat mengalahkanmu."
"Lee-ko, bagaimana secara kebetulan kalian dapat muncul di sini" Bukankah ketika melarikan diri dari Pulau Naga, engkau seorang diri tanpa adanya enci Cin Lan?"
Thian Lee menghela papas panjang. "Biar kukubur dulu tiga jenazah ini dan engkau dapat mendengar peristiwa yang menimpa diri kami dari encimu."
Thian Lee membuat lubang untuk ke tiga mayat itu dan Cin Lan mengajak Lee Cin ke bawah sebatang pohon besar lalu bercerita.
Kiranya ketika suaminya tidak berada di rumah, ikut mencari orang yang menyamar sebagai Hek-tiauw Eng-hiong, Cin Lan tinggal berdua saja dengan puteranya yang baru berusia tiga tahun, Song Hong San.
Pada suatu sore, ketika Cin Lan sedang berada di taman bersama puteranya yang bermain-main merigejar kupu- kupu di antara bunga-bunga yang sedang mekar, muncul tiga orang yang mencurigakan hatinya. Yang seorang masih muda dan tampan, akan tetapi lengan kirinya buntung sebatas siku.
Orang kedua adalah seorang berusia limapuluh tahun lebih yang tubuhnya tinggi besar dan serba bundar, perutnya gendut dan kulitnya hitam. Adapun orang ketiga adalah seorang kakek berusia limapuluh tahun lebih akan tetapi tubuhnya tinggi kurus dan mukanya kuning seperti berpenyakitan dan matanya sipit seperti terpejam.
Mereka itu bukan lain adalah Ouw Kwan Lok, Hek- bin Mo- ko dan Sin- ciang Mo-ko.
Sebetulnya maksud kunjungan tiga orang tokoh besar dari Pulau Naga ini adalah untuk mencari Song Thian Lee dan mengeroyoknya karena pendekar itu telah melukai Siang Koan Bhok. Akan tetapi ketika tiba di taman itu, mereka hanya mendapatkan isteri pendekar itu bersama puteranya.
Tan Cin Lan segera merasa curiga. Ia bangkit berdiri dan menghadapi mereka dengan pandang mata tajam penuh selidik. "Siapakah kalian dan ada keperluan apakah kalian datang memasuki taman bunga kami?"
Wanita ini sama sekali tidak merasa gentar dan tangannya sudah meraih sebatang tongkat yang tadinya bersandar di bangku tempat ia duduk.
Ouw Kwan Lok menyeringai melihat wanita yang cantik jelita itu. "Kami datang untuk mencari Song Thian Lee.
Panggil dia keluar."
"Suamiku tidak berada di rumah-! Kalau kalian ada urusan boleh disampaikan kepadaku saja," kata Cin Lan dengan sinar mata masih penuh selidik dan kecurigaan.
Ouw Kwan Lok memandang kepada Cin Lan, lalu melirik kepada Song Hong San yang masih bermain- main mengejar kupu- kupu. "Dia itu anak mukah?" tanyanya.
Cin Lan masih khawatir dan melangkah hendak mendekati puteranya. Akan tetapi Ouw Kwan Lok menghadangnya dan berkata,
"Kalau suamimu tidak ada, biarlah kami membawa anakmu dan kelak dia boleh mencari kami!" Setelah berkata demikian, Ouw Kwan Lok memberi isyarat, kepada kedua orang temannya.
Hek-bin Mo-ko yang tinggi besar melompat maju dan menggerakkan ruyung berdurinya, sedangkan Sin-ciang Mokai juga menggerakkan tongkatnya yang beracun untuk
menyerang Cin Lan.
Wanita ini terkejut sekali dan juga marah bercampur khawatir akan puteranya. Ia sudah menyambar tongkatnya dan sekali terjang ia sudah membuat Sin-ciang Mo-kai terpelanting dan terhuyung. Ilmu tongkat nyonya muda ini memang hebat sekali, yaitu Hok-mo-tung (Tongkat Penaluk Iblis).
Akan tetapi dari samping, Hek-bin Mo-ko sudah mengayun ruyungnya dengan dahsyat sehingga Cin Lan terpaksa harus mengelak untuk menghincarkan diri.
Si-ciang Mo-kai sudah menerjang lagi dan kini nyonya muda itu dikeroyok oleh dua orang lawannya. Ia melawan dengan gigih, namun perhatiannya terpecah kepada puteranya.
Pada saat itu, Ouw Kwan Lok melompat ke dekat Song Hong San dan sekali sambar dia sudah memondong anak itu. Hong San berteriak memanggil ibunya dan meronta, tidak mau dipondong laki-laki yang tidak dikenalnya itu, akan tetapi sekali tekan dengan jari tangannya, Ouw Kwan Lok membuat anak itu lemas tidak mampu berteriak maupun bergerak lagi.
"Kita pergi!" kata Ouw Kwan Lok kepada dua orang rekannya dan Hek-bin Mo-ko bersama Sin-ciang Mo-kai menyerang dengan hebat sehingga Cin Lan terpaksa
melompat ke belakang.
Saat itu dipergunakan oleh dua orang pengeroyoknya untuk melarikan diri mengejar Ouw Kwan Lok yang sudah lari terlebih dulu.
Mati-matian Tan Cin Lan melakukan pengejaran. Ia marah dan khawatir sekali akan keselamatan puteranya.
Namun, tiga orang itu berpencar sehingga ia tidak tahu siapa yang membawa pergi puteranya clan ke arah mana. Ia hanya dapat mengejar seorang di antara mereka dan setelah akhirnya ia dapat menyusul, ternyata yang dapat dikejarnya itu adalah Sin- ciang Mo- kai, pengemis tua yang bersenjatakan tongkat itu.
Biarpun ia kecewa karena bukan pengemis itu yang melarikan puteranya, namun dengan
kemarahan luar biasa Cin Lan segera menyerangnya.
Sin- ciang Mo- kai rnenangkis dengan tongkatnya. Akan tetapi benturan kedua tongkat itu membuat dia terhuyung dan Cin Lan terus mendesaknya dengan ilmu tongkat Hek-mo-tung.
Perkelahian mati-matian antara kedua orang yang sama-sama mempergunakan tongkat ini terjadi dan kini setelah ia hanya melawan seorang di antara mereka, Cin Lan dapat mendesak terus.
Sin-ciang Mo-kai berusaha melawan mati- matian, akan tetapi ia kalah segala- galanya, kalah kuat dalam hal sin-kang dan kalah cepat gerakannya. juga ilmu tongkat Hok- mo-tung itu merupakan rajanya ilmu tongkat di waktu itu.
Akhirnya, setelah lewat limapuluh jurus, ujung tongkat di tangan Cin Lan berhasil menotok dada Sin- ciang Mo-kai dan pengemis tua itu terpelanting roboh.
Cin Lan menodongkan ujung tongkatnya ke pelipis orang yang sudah setengah mati dan tidak mampu bergerak itu dan menghardik.
"Katakan siapa yang membawa anakku dan di mana dia dibawanya?" Ujung tongkat yang menempel di pelipis itu siap untuk ditusukkan.
Akan tetapi, totokan di dadanya tadi mengguncang jantung Sin- ciang Mo- kai dan dia terengah-engah sekarat.
"Katakan atau aku akan menyiksamu!" bentak pula Cin Lan.
Akhirnya dengan napas terengah-engah Sin- ciang Mo-kai berkata, "......... Pulau Naga......... !"
Dan diapun terkulai, tewas. Cin Lan tidak memperdulikannya lagi. Pikirannya penuh kegelisahan akan nasib puteranya.
Maka, terpaksa dengan berduka ia pulang ke rumahnya. Pulau Naga! Ia tahu bahwa suaminya juga pergi ke Pulau Naga untuk mencari Hek-tiauw Eng-hiong palsu dan kabarnya beng-cu baru berada di Pulau Naga dan bahwa beng-cu baru itu mengumpulkan orang-orang kang-ouw untuk menghambakan diri kepada pemerintah. Ia menjadi bingung.
Apakah ia harus menyusul suaminya ke Pulau Naga untuk mencari Hong San di sana" Bagaimana kalau tidak bertemu dengan suaminya" Ia akan mencarinya sendiri!
Akan tetapi ia harus meninggalkan pesan kepada pelayan agar kalau suaminya pulang akan mengetahui bahwa ia pergi ke Pulau Naga mencari puteranya.
Ketika Cin Lan tiba di rumah, ternyata Song Thian Lee baru saja pulang!
"Engkau dari mana" Mana Hong San?" Thian Lee menyambut isterinya dengan khawatir, melihat wajah isterinya yang pucat sekali.
Ditanya demikian, Cin Lan menubruk suaminya dan menangis.
"Eh, eh, ada apakah ini" Apa yang telah terjadi?" tanya Thian Lee dengan khawatir.
Isterinya bukan seorang wanita
cengeng, maka kalau sampai ia bersikap seperti ini tentu telah terjadi sesuatu yang hebat.
"Hong San......... diculik......... orang.......!" akhirnya Cin Lan dapat bicara dan tentu saja Thian Lee terkejut bukan main.
"Apa" Kapan terjadinya dan bagaimana?"
"Baru saja terjadi," kata Cin Lan yang masih menangis di dada suaminya. "Aku sedang berada di taman dan Hong San bermain-main. Lalu muncul tiga orang. Yang dua orang menyerangku dan yang seorang menculik dan membawa lari Hong San."
Thian Lee mengepal kedua tangannya. "Siapa mereka?"
"Aku melakukan pengejaran akan tetapi mereka berpencar. Aku dapat menyusul seorang di antara mereka dan dalam perkelahianku aku dapat membunuhnya, akan tetapi yang dua orang lagi telah lari entah ke mana. Aku sudah mendesak orang yang kurobohkan dan sebelum tewas dia mengatakan Pulau Naga."
"Ahhhh.........! Bagaimana keadaan mereka itu" Siapa mereka?"
"Yang terbunuh olehku seorang pengemis berpakaian tambal-tambalan baru, bersenjata tongkat.
Orang kedua adalah seorang kakek tinggi besar gendut bermuka hitam dan bersenjata sebatang ruyung berduri. Adapun orang ketiga yang menculik Hong San adalah seorang pemuda yang lengan kirinya buntung sebatas siku."
"Jahanam keparat! Itu adalah Ouw Kwan Lok, beng-cu baru jahanam itu! Dan yang gemuk hitam itu tentu Hekbin Mo-ko sedangkan yang terbunuh olehmu tentu Sin-ciang Mo-kai. Mereka berdua adalah kaki tangan Ouw Kwan Lok.
Jadi anak kita dibawa ke Pulau Naga" Apa yang mereka katakan ketika mereka muncul."
"Orang muda berlengan buntung sebelah itu tadinya menanyakan engkau.
Ketika aku mengatakan bahwa engkau tidak berada di rumah, dia lalu bilang bahwa dia akan membawa Hong San dan kelak engkau boleh mencari mereka."
"Jahanam! Sekarang juga kita pergi ke Pulau Naga menyusul mereka!" kata Song Thian Lee dengan marah.
Setelah membuat persiapan tergesa-gesa, kedua orang suami isteri perkasa ini lalu melakukan perjalanan menuju ke Pulau Naga.
Di sepanjang perjalanan Thian Lee bercerita kepada isterinya tentang pertempuran yang terjadi di Pulau Naga sehingga akhirnya para pendekar menyelamatkan diri dan lari dari Pulau Naga karena ada pasukan pemerintah yang besar jumlahnya datang membantu pihak beng-cu dan para tokoh sesat.
"Kalau begitu, keadaan di Pulau Naga sekarang ini tidak aman, terjaga banyak pasukan," kata Cin Lan.
"Kurasa tidak. Pasukan itu tentu melakukan pengejaran ke daratan dan pulau itu sudah sepi kembali. Yang tinggal di sana Siang Koan Bhck dan tentu Ouw Kwan Lok dan para kaki tangannya. tokoh-tokoh kang-ouw yang sesat.
Akan tetapi kita tidak perlu takut. Kita harus pergi ke sana untuk merampas kembali anak kita. Kalau perlu kita akan mengamuk mati-matian, atau kita dapat menyusup ke pulau dengan menyamar.
Kita melihat keadaannya dulu di sana."
Lega juga hati Cin Lan setelah bertemu dengan suaminya. Iapun bukan seorang bodoh. Pihak musuh
menculik Hong San tentu bukan bermaksud membunuh anak itu, melainkan untuk memancing suaminya datang ke Pulau Naga.
Dan kelau pergi berdua dengan suaminya,biarpun ke sarang naga ia tidak takut!
Demikianlah, semua ini diceritakan Cin Lan kepada Lee Cin.. Lee Cin yang mendengar cerita itu, ikut menjadi marah sekali.
" Jahanam benar Ouw Kwan Lok itu. Tidak malu dia berbuat curang, menculik seorang anak kecil. Kalau
memang dia gagah, kenapa tidak langsung saja menantang Lee-ko" Jangan khawatir, enci Lan. Aku akan menyertai kalian masuk ke Pulau Naga!
Akupun ingin membunuh Ouw Kwan Lok itu. Sayang dahulu aku hanya membuntungi lengan kirinya, bukan lehernya!' katanya gemas.
Thian Lee telah selesai menguburkan mayat-mayat Ma
Huan, Yauw Seng Kun dan Ban-tok Mo-li. Dia membersihkan kedua tangannya yang terkena tanah, lalu menghampiri mereka.
"Keadaan Pulau Naga sekarang sudah tidak begitu kuat lagi," katanya. "Sin-ciang Mo-.kai, Ma Huan, Yauw Seng Kun, dan Ban-tok M.o-li telah dapat kita tewaskan.
"Masih ada seorang lagi yang berhasil kutewaskan, yaitu Thian-te Mo-ong"' kata Lee Cin yang segera menceritakan bagaimana ia berhasil membunuh tokoh sesat itu.
Thian Lee mengangguk-angguk girang. "Kalau begitu, kedudukan Ouw Kwan Lok sudah lemah. Hanya tinggal dia seorang, Siang Koan Bhok dan Nyonya Siang Koan Bhok yang kabarnya juga lihai sekali."
"Memang ia lihai," kata isterinya. "Aku dahulu pernah bertemu dengannya dan ia berwatak aneh. Setelah ia tahu bahwa aku mencarikan obat untuk guruku Pek I Lo-kai, ia membebaskan aku bahkan menyerahkan buah sian-tho di Pulau Ular Emas untuk dipakai mengobati guruku."
"Aih, menarik sekali!" kata Lee Cin. "Bagaimana ceritanya, enci Lan?"
"Sebaiknya kita melanjutkan perjalanan dan dalam perjalanan itu Cin Lan menceritakan pengalamannya dahulu," kata Thian Lee.
Mereka bertiga lalu melanjutkan perjalanan mereka ke Pulau Naga dan di sepanjang jalan ini Cin Lan bercerita tentang pengalamannya dahulu.
"Peristiwa itu amat mengesankan hatiku karena aku mengalami hal aneh di sana. Terjadinya dahulu ketika aku masih merjadi murid Pek I Lo--kai," Cin Lan mulai bercerita.
Ketika itu, beberapa tahun yang lalu, Cin Lan masih seorang gadis muda, puteri tiri Pangeran Tang Gi Su dan menjadi murid Fek I Lo-kai.
Pada suatu hari Fek I Lo-,kai bertanding melawan datuk besar Jeng-ciang-kwi. Jeng-ciangkui kalah oleh Pek I Lo-kai, mengaku kalah dan
terluka.
Akan tetapi diam-diam Pek I Lo-kai juga terluka parah dan menurut pemeriksaan seorang nikou yang pandai ilmu pengobatan, obat untuk kakek pengemis berbaju putih itu hanyalah buah sian-tho yang tumbuh di Pulau Ular Emas.
Mendengar ini, Cin Lan yang amat sayang kepada gurunya, diam-diam pergi ke pulau itu untuk mencarikan obat bagi gurunya.
Setelah tiba di pantai dan menemukan seorang tukang perahu tua yang berani membawanya ke Pulau Ular Emas, mereka berangkat. Dalam pelayaran itu mereka melewati Pulau Naga dan ketika Cin Lan mendengar bahwa Pulau Naga itu dihuni iblis dan semua orang takut mendekatinya, ia malah memaksa kakek perahu untuk singgah dan melihat pulau yang dihuni iblis itu!
Di pulau Naga Cin Lan berjumpa dengan Siang Koan Tek.
Mereka bertanding dan Cin Lan terjebak, tertawan oleh Siang Koan Tek yang nyaris memperkosanya.
Akan tetapi muncullah Nyonya Siang Koan Bhok yang memarahi puteranya dan membebaskan Cin Lan, apalagi mendengar bahwa Cin Lan adalah puteri Pek I Lo-kai. Cin Lan setelah dibebaskan meninggalkan Pulau Naga dan menuju ke Pulau Ular Emas.
Ternyata, di sana telah ada beberapa orang kangouw yang juga hendak mengambil buah sian-tho.
Mereka berunding untuk bertanding satu lawan satu dan siapa yang menang berhak memperoleh sian-tho.
Akan tetapi tiba-tiba muncul Nyonya Siang Koan Bhok bersama Siang Koan Tek. Nyonya ini mengatakan bahwa Sian-tho adalah haknya dan kalau orang orang itu dapat mengalahkannya baru boleh mengambil sian-tho.
Dua orang di antara orang kang-ouw itu tewas setelah bertanding melawan Nyonya Siang Koan Bhok.
Akan tetapi Cin Lan tidak takut. Ia bertanding dengan Nyonya Siang Koan Bhok, menggunakan tongkat dan ilmu tongkat Hek-mo-tung.
Nyonya itu teringat akan Pek I Lo-kai yang dikenalnya dengan baik, mengagumi Hek- mo-tung dan mengalah, lalu menyuruh Siang Koan Tek menyerahkan buah sian tho kepada Cin Lan untuk mengobati gurunya.
Bahkan Nyonya Siang Koan Bhok menyatakan sukanya kepada Cin Lan untuk mengambilnya sebagai mantu. Cin Lan meninggalkan Pulau Ular Emas membawa buah sian-tho. Akan tetapi di pantai ia melihat seekor ular putih dikeroyok ular-ular emas.
Ia penasaran melihat ular putih dikeroyok, maka turun tangan membantu membunuhi ular emas.
Ada ular emas menggigit kakinya yang terasa amat panas, lalu ular putih juga menggigit kakinya yang
mendatangkan rasa dingin. Cin Lan pingsan, dibawa oleh kakek perahu ke dalam perahu lalu melayarkannya meninggalkan pulau berbahaya itu.
Ketika siuman, Cin Lan merasa ada hawa sin-kang yang kuat membuat tubuhnya ringan dan mendatangkan tenaga dahsyat.
"Peristiwa itu tidak terlupakan olehku karena dalam peristiwa itulah untuk pertama kalinya aku bertemu dengan ayahnya Hong San," kata Cin Lan sambil melirik ke arah Thian Lee yang hanya tersenyum mendengarnya.
Lee Cin menjadi tertarik sekali. ''Bagaimana terjadinya, enci Lan?" tanyanya mendesak.
"Setelah aku mendarat di pantai daratan, aku bertemu dengan empat orang pencari sian-tho yang tadi melarikan diri dari Pulau Ular Emas.
Mereka minta bagian buah sian-tho. Tentu saja tidak kuberikan dan mereka berempat lalu mengeroyokku. Selagi aku terdesak, muncullah dia menolongku," katanya sambil menuding ke arah Thian Lee.
"Itu merupakan pertemuan kami yang pertama kali."
"Ceritamu menarik sekali, enci Lan. Jadi engkau pernah, bertanding melawan Nyonya Siang Koan Bhok dan ia memang lihai sekali" Akan tetapi mengapa setelah ia mendengar bahwa engkau murid Pek I Lo-kai ia lalu mengalah dan malah memberikan buah sian-tho itu
kepadamu?"
"Aku sendiripun merasa heran. Agaknya ada hubungan sesuatu antara guruku dan Nyonya Siang Koan Bhok. Hanya menurut dugaanku, ia tidaklah sejahat suaminya."
"Memang tampaknya demikian," kata Song Thian Lee.
"Buktinya, dalam gerakan yang dilakukan Siang Koan Bhok dan Ouw Kwan Lok mengumpulkan orang-orang kang-ouw untuk membantu pemerintah penjajah, nyonya itu tidak pernah ikut campur.
Mudah-mudahan saja begitu sehingga keadaan mereka tidak begitu kuat, juga mudah-mudahan dengan adanya Nyonya Siang Koan Bhok, kita akan lebih mudah mendapatKan kembali Hong San dari tangan mereka."
Tiga orang itu melanjutkan perjalanan dan perjalanan terasa ringan dan menyenangkan bagi mereka bertiga walau pun mereka semua merasa prihatin dengan hilangnya Hong San.
Mereka bertiga merasa kuat dan siap menghadapi lawan yang bagaimanapun.
**********
Ketika Ouw Kwan Lok dan Hek-bin Mo-ko tiba di Pulau Naga membawa Hong San, Siang Koan Bhok dan isterinya sedang duduk di taman bunga milik Nyonya Siang Koan
Bhok.
Nyonya Siang Koan Bhok sudah mendengar tentang keributan di Pulau Naga dan ia menegur suaminya.
"Mengapa engkau mencari penyakit" Kita sudah tenang-tenang hidup di sini, tidak ada orang datang memusuhi kita, engkau malah menuruti kehendak Ouw Kwan Lok itu untuk bekerja sama dengan pemerintah.
Akibatnya, para orang gagah memusuhimu dan sekarang kita mempunyai banyak musuh," demikian Nyonya Siang Koan Bhok menegur suaminya dengan suaranya yang lembut.
Memang gerak gerik nyonya ini serba lembut, tidak menunjukkan bahwa sebetulnya seorang yang lihai sekali ilmu silatnya.
"Sudah sewajarnya kalau ada pihak yang menjadi kawan, tentu ada pihak lain menjadi lawan," bantah Siang Koa Bhok.
"Kita berkawan dengan orang-orang kang-ouw dan dengan pemerintah Ceng biarpun dimusuhi orang-orang
yang menamakan dirinya pendekar, kita tidak perlu takut.
Pasukan pemerintah sewaktu-waktu akan membantu kita.
Sekarangpun, pasukan sudah disebar untuk melakukan pengejaran dan penumpasan terhadap mereka yang memusuhi kita."
"Akan tetapi apa sih untungnya bekerja untuk pemerintah penjajah" Kita dibenci rakyat jelata."
"Penjajah atau bukan akan tetapi kenyataannya pemerintah adalah yang berkuasa. Rakyat tinggal menurut saja atau akan dicap pemberontak.
Banyak kebaikannya kalau bekerja dengan pemerintah. Kita dilindungi dan seandainya kita mencari kedudukanpun akan mudah.
Kita tidak akan dihimpit pajak dan dalam segala perkara kita akan dimenangkan. Bukankah lebih baik dilindungi pemerintah dari pada menjadi musuh dan buronan pemerintah" Sudahlah, isteriku, engkau tidak tahu apa-apa, cukup tinggallah di sini dengan tenang dan serahkan segala urusannya kepadaku."
Nyonya Siang Koan Bhok mengerutkan alisnya yang hitam dan menundukkan wajahnya yang masih tampak cantik. "Baiklah, asal nanti kalau ada apa-apa yang menyusahkan jangan mengganggu aku."
Pada saat itulah Ouw Kwan Lok dan Hek-bin Mo-ko memasuki taman itu. Melihat Ouw Kwan Lok datang memondong seorang anak laki-laki berusia tiga tahun suami isteri itu memandang heran.
"Kwan Lok, siapakah anak itu dan dari mana kau dapatkan dia?" tanya Siang Koan Bhok sambil memandang tajam.
Dia bangga akan kegagahan dan kecerdikan muridnya itu yang kini memiliki tingkat kepandaian yang sudah melampaui tingkatnya sendiri.
Dan penyamaran Ouw Kwan Lok menjadi Hek tiauw Eng-hiong dianggapnya amat cerdik karena telah mampu mengadu domba para pendekar walaupun pada akhirnya rahasia itu ketahuan.
"Suhu tentu tidak dapat menduga siapa anak ini," kata Ouw Kwan Lok dengan bangga. "Kami telah mencari biang keladi kegagalan pasukan menghancurkan mereka, yaitu Song Thian Lee yang telah mengatur siasat sehingga semua orang dapat lolos dari pulau ini.
Akan tetapi ketika kami tiba di rumah persembunyiannya, dia belum pulang dan kami hanya bertemu dengan isterinya dan anaknya. Saya lalu membawa anaknya ini untuk memancing agar dia mau datang ke sini untuk kita bunuh.
Sebelum Song Thian Lee dapat dimusnakan, usaha kita akan banyak mengalami hambatan dan gangguan."
"Hemm, jadi dia putera Song Thian Lee" Bagus, ini umpan yang baik sekali, Kwan Lok dan aku yakin bahwa Song Thian Lee pasti akan datang ke sini menyerahkan diri.
Akan tetapi, di mana teman-teman yang lain?"
"Sian-ciang Mo-kai berpencar untuk memecah perhatian ibu anak ini yang juga lihai sehingga anak ini dapat saya bawa pergi dengan aman.
Adapun teman-teman yang lain
sedang sibuk ikut melakukan pengejaran terhadap para pelarian," kata Kwan Lok yang sama sekali tidak tahu bahkan tidak menduga bahwa Sin-ciang Mo-kai telah tewas di tangan Tan Cin Lan dan banyak kawannya juga sudah tewas di tangan para pendekar.
"Ouw Kwan Lok, berikan anak itu kepadaku!' tiba-tiba Nyonya Siam Koan Bhok berseru.
Kwan Lok memandang dengan heran. "Akan tetapi, subo, ini adalah anak musuh kita."
"Tidak perduli! Kalau orang tuanya musuh, anak ini masih kecil dan tidak ikut apa-apa.
Serahkan kepadaku untuk kurawat sementara kalian menanti kedatangan ayahnya." Nyonya Siang Koan Bhok menghampiri Ouw Kwan Lok.
Pemuda ini dengan bingung memandang kepada gurunya dan Siang Koan Bhok mengangguk. "Memang lebih baik berada di tangannya lebih aman dan tentu ia lebih pandai merawatnya dari pada engkau."
Ouw Kwan Lok melepaskan anak itu ke dalam pondongan Nyonya Sian Koan Bhok yang segera menekan
pundak anak itu.
Song Hong San dapat bersuara lagi dan anak itu lalu menangis keras. Nyonya Siang Koan Bhok lalu mebawanya masuk ke dalam rumah.
"Mari kita berunding di dalam dan panggil Tung-hai Ngohouw (Lima Harimau Laut Timur) untuk hadir," kata Siang Koan Bhok kepada muridnya.
Ouw Kwan Lok menuju ke belakang untuk mencari Lima Harimau yang menjadi kaki tangan gurunya itu, kemudian mereka mengadakan perundingan di bagian belakang rumah besar.
Tung-hai Ngo-houw adalah lima orang bajak laut yang tubuhnya tinggi besar, usia mereka kurang lebih empatpuluh tahun dan mereka memiliki ilmu silat yang cukup tinggi menggunakan sebatang golok besar.
Dahulunya mereka adalah bajak-bajak laut yang sudah menyerah
menjadi kaki tangan Siang Koan Bhok di Pulau Naga.
Ketika para rekan kang-ouw golongan sesat bersama para pasukan pemerintah melakukan pengejaran terhadap para pendekar, lima orang ini tidak ikut karena tugas mereka menjaga di Pulau Naga bersama anak buah mereka yang kini tinggal seratus orang kurang setelah banyak di antara mereka tewas dalam pertempuran melawan anak buah Te-tok-pang tempo hari.
Setelah Siang Koan Bhok dan Ouw Kwan Lok berunding dengan Tung-hai Ngo-houw, Ouw K wan Lok berkata kepada mereka, "Kalian berlima tidak boleh lengah. Biarpun musuh sudah melarikan diri semua, akan tetapi siapa tahu ada yang diam-diam datang kembali.
Apa lagi setelah sekarang kami mempunyai umpan untuk memancing datangnya Song Thian Lee. Kalian harus berhati-hati melakukan penjagaan.
Sebar semua anak buah mengawasi di seluruh penjuru dan hidupkan semua alat jebakan dan perangkap. Kalau Song Thian Lee dan isterinya berani datang, kita harus menangkapnya, mati atau hidup. Mengerti?"
"Baik, Beng-cu," kata mereka berlima.
"Lakukan giliran Siang dan malam dan sedikitpun tidak boleh lengah karena musuh adalah orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi.
Nah, sekarang mundurlah dan atur penjagaan itu sebaiknya sambil menanti kembalinya kawan-kawan yang lain."
Lima orang itu mundur, tak tahu bahwa mereka harus menanti selamanya karena kebanyakan kawan mereka itu sudah gugur.
"Saya kira sebaiknya kalau kita memanggil lebih banyak rekan untuk berjaga di sini, Beng-cu," kata Hek-bin Mo-ko.
"Bagaimanapun juga, saya mendengar bahwa Song Thian Lee adalah seorang bekas panglima perang yang banyak akalnya."
"Kau kumpulkan mereka dan panggil ke sini untuk diajak berunding. Siapa saja yang masih berada di sini dan siapa pula yang ikut keluar pulau melakukan pengejaran terhadap para pendekar.
Hek-bin Mo-ko menuju ke belakang rumah di mana terdapat pondok-pondok kecil tempat tinggal para anak buah Pulau Naga dan tempat mondok para orang kang-ouw yang bergabung di situ.
Di situ masih terdapat beberapa orang tokoh kang-ouw yang sudah bergabung, yaitu di antaranya Kim-to Sam-ong (Tiga Raja Golok Emas) ketua Kim-to-pang yang juga sudah bergabung, dan dua orang kakak beradik Ouw-yang Twa-mo dan Ouwyang Siauw-mo (Iblis besar
Ouwyang dan Iblis kecil Ouwyang).
Dua orang yang terakhir ini dahulunya adalah sepasang perampok yang ganas.
Seperti juga Kim-to Sam-ong, ilmu silat kedua orang bersaudara Ouwyang ini dapat dimasukkan golongan lihai.
Hek-bin Mo-ko segera mengundang mereka berlima untuk ikut berunding dengan Siang Koan Bhok dan Ouw Kwan Lok.
Kepada mereka berlima, Ouw Kwan Lok memerintahkan agar mulai hari itu mereka waspada dan mengadakan perondaan di sekitar pulau untuk menjaga kalau-kalau ada orang yang berani menyelundup ke dalam pulau.
Lima orang itu menyatakan kesanggupan mereka dan segera pergi melaksanakan tugas yang diberikan kepada mereka.
Segala persiapan untuk menyambut kalau Song Thian Lee dan isterinya benar berani datang telah dibuat oleh Ouw Kwan Lok dan Siang Koan Bhok.
Kakek ini telah sembuh. dari luka dalam akibat perkelahiannya dengan Song Thian Lee dan dia tidak pernah terpisah dari dayung bajanya. Juga Ouw Kwan Lok tidak pernah meninggalkan pedang yang dibawa di punggungnya.
Bajunya kini berlengan panjang sehingga lengan baju kirinya tergantung lepas di lengan kirinya yang buntung. Lengan baju ini merupakan senjata yang ampuh juga.
Hanya Nyonya Siang Koan Bhok yang tidak ikut gelisah menjaga diri. Ia suka sekali kepada Hong San yang cerdik.
Begitu diperlakukan dengan manis, Hong San tidak menangis lagi bahkan suka tertawa-tawa dengan lucunya, mengeluarkan sepatah dua patah kata yang dapat menghibur hati Nyonya Siang Koan Bhok selama ini kesepian, apa lagi setelah kematian puteranya, Siang Koan Tek.
Timbul rasa sayang ke pada Hong San di dalam hati wanita yang gerak geriknya lembut itu. Ia mempunyai
beberapa orang pelayan wanita yang mengurus dan melayani segala kebutuhannya, tinggal di pondok indah bertaman bunga itu.
Suasana di Pulau Naga tampak sunyi dan tenang, namun sebenarnya para penghuninya berada dalam keadaan siap siaga dan waspada penuh ketegangan karena mereka maklum bahwa Song Thian Lee dan isterinya tidak mungkin tidak datang mencari puteranya di tempat itu.
Bahkan Ouw Kwan Lok dan Siang Koan Bhok menjadi agak gelisah ketika dinanti sampai beberapa hari, kawan-kawan mereka yang melakukan pengejaran terhadap para pendekar belum juga kembali. Sama sekali mereka tidak pernah mimpi bahwa banyak kawan mereka telah tewas di tangan para pendekar.
**********
Terdapat kurang lebih duaratus orang di dalam hutan lebat itu. Seratus orang adalah anggauta Pek-lian-kauw yang pernah diserang dan diporak-porandakan orang-orang Pulau Naga dan pasukan pemerintah dan seratus orang lagi adalah orang-orang Pat-kwa-pai, sekutu mereka. Mereka adalah golongan pemberontak yang membenci terhadap pemerintah penjajah Mancu, akan tetapi mereka juga tidak segan untuk melakukan kejahatan kepada rakyat jelata.
Mereka adalah golongan sesat yang membenci penjajah mancu dan di
mana-mana membikin kacau dan bahkan berani menyerang pasukan Mancu kalau ada pasukan yang jumlah lebih kecil dari jumlah mereka.
Mereka sedang mengadakan pertemuan di hutan itu bersama rekan-rekan mereka, kaum Pat-kwa-pai. Biarpun mereka berlainan aliran dan keagamaan, akan tetapi karena sama-sama memusuhi pemerintah Mancu, mereka dapat bekerja sama.
Beberapa orang pimpinan mereka sedang mengadakan perundingan. Seorang berpakaian tosu yang tinggi kurus, matanya sipit dan suaranya meninggi, bangkit berdiri dan bicara kepada beberapa orang yang berjongkok membuat lingkaran.
Di tengah mereka terdapat api unggun karena hari telah menjelang senja dan nyamuk telah banyak
berdatanga menyerang mereka. Tosu tinggi ini adalah Hwa-Hwa To-su, ketua cabang Pek-lian-kauw yang berkumpul di situ.
"Kita telah diserang oleh orang-orang Pulau Naga sehingga kehilangan banyak saudara. Orang-orang Pulau Naga bersekutu dengan penjajah Mancu, karena itu kita harus membalas dendam dan kita harus membasmi orang-orang Pulau Naga. Kami harapkan bantuan pihak Pat-kwa-pai sebagai rekan seperjuangan untuk menghadapi orang-orang Pulau Naga."
Seorang tosu yang pakaian di dadanya ada gambar Pat-kwa, yaitu Cin Cin To-jin tokoh Pat-kwa-pai, bangkit berdiri dan mengepal tinju.
"Kami dan Pek kwa-pai adalah rekan-rekan seperjuangan, sudah seharusnya kalau kami membantu Pek-lian-pai. Marilah kita bersama menghancurkan orang-orang Pulau Naga!"
Pada saat itu terdengar ucapan nyaring, "Bagus sekali rencana itu, kalau kita bekerja sama tentu hasilnya akan lebih baik lagi"
Semua orang terkejut dan menoleh kepada orang yang mengeluarkan suara itu. Mereka melihat seorang berpakaian hitam. yang berkedok hitam pula telah berdiri di atas sebuah batu besar sehingga dapat tampak mudah dari situ.
"Siapa engkau?" Hwa Hwa To-su tokoh Pek-lian-kauw membentak penuh curiga.
"Dia bukan orang kita!' kata pula Cin Cin To-jin dari Pat-kwa-pai dengan curiga. Semua anggauta Pek-lian-kaLw dan Pat-kwa-pai telah bersiap-siap dengan senjata mereka untuk menyerang orang berkedok itu.
Akan tetapi orang berkedok itu berkata dengan nyaring.
"Aku adalah Hek -tiauw Eng-hiong yang juga anti penjajah Mancu seperti kalian.
Walaupun kita masing-masing mengambil jalan kita sendiri, akan tetapi dalam menghadapi Pulau Naga kepentingan kita sama.....
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment