Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pendekar Budiman
Jilid 01
Tahun 1126
KOTA besar Kaifeng
KOTA besar Kaifeng
**********
Tujuh
belas tahun telah lewat semenjak pahlawan Go Sik An tewas digantung
oleh tentara Kin. Pada suatu pagi di Pegunungan Tapie san yang
terletak di sebelah selatan Sungai Huai, hawa udara pagi hari itu
amat dinginnya dan bagi orang orang kaya, tentu pada hari sepagi dan
sedingin itu masih amat malas meninggalkan pembaringan. Akan tetapi
tidak demikian dengan kaum miskin, terutama kaum tani yang rajin.
Sebelum matahari terbit, kaum tani telah meninggalkan rumah, membawa
alat cocok tanam dan bagaikan tentara maju ke medan pertempuran,
mereka juga berangkat ke medan juang yang bagi mereka tempatnya di
tengah tengah sawah ladang meluas.
Akan tetapi, dari sebuah dusun pertanian yang berada di lereng Gunung Tapie san sebelah selatan, serombongan petani terdiri dari belasan orang laki laki berjalan berkelompok mengikuti seorang pemuda yang berjalan di depan mereka, memasuki sebuah hutan yang penuh dengan pohon pohon besar dan batu batu karang yang kokoh kuat.
Dari dalam hutan itu terdengar suara suara keras menyeramkan, suara binatang binatang hutan yang buas. Tidak mengherankan apabila belasan orang petani itu saling pandang dengan mata terbelalak ketakutan dan biarpun hawa udara pagi itu amat dingin, mereka semua ajaknya selalu merasa gerah! Mereka berjalan di belakang pemuda itu dengan kaki selalu bersiap sedia untuk sewaktu waktu melarikan diri dan memutar tubuh meninggalkan tempat berbahaya itu. Hanya kedua kaki mereka saja yang dipaksa maju padahal semangat mereka sudah mundur ketika mendengar suara geraman srigala dan harimau hutan.
Akan tetapi, pemuda yang berjalan di depan rombongan orang orang ini, nampak tersenyum senyum tenang dan tindakan kakinya yang ringan dan tetap itu membuat tubuhnya nampak seperti seekor singa berjalan. Langkahnya tetap, tubuhnya lurus dengan dada yang bidang. Tubuhnya tinggi tegap dan kelihatan kuat sekali dan wajahnya membayangkan kegagahan. Benar benar seorang pemuda yang berwajah tampan dan gagah. Ia memakai topi berwarna biru dan sepatunya yang hitam terbuat dari pada kulit. Yang aneh adalah pakaiannya. Celananya biru dan biasa saja, akan tetapi bajunya yang aneh. Baju itu terbuat dari pada sutera halus, berwarna kuning dengan kembang kembang besar warna merah. Di punggungnya tergantung sebatang pedang yang bersarungkan kain bersulam dan gagang pedang itu nampak bersih mengkilap dengan kain ronce warna merah. Usia pemuda ini paling banyak dua puluh tahun, akan tetapi sepasang matanya memiliki daya yang amat berpengaruh yang membuat orang tidak berani memandang rendah kepadanya. Siapakah pemuda yang tampan dan gagah Ini?
Pembaca tentu dapat menerkanya, melihat dari pakaiannya yang berkembang itu. Memang benar, dia adalah Go Ciang Le putera dari mendiang Go Sik An, sasterawan ahli silat itu!
Seperti telah diceritakan di bagian depan tujuh belas tahun yang lalu, ketika Ciang Le oleh ibunya ditinggalkan seorang diri di dalam kuil tua dan ketika kakek anak ini, yaitu Tan Seng, datang hendak mengambilnya, anak ini telah lenyap tak meninggalkan bekas. Siapakah yang menculik anak itu dan siapa pula yang mencuri jenazah Go Sik An dan isteri nya secara demikian anehnya?
Yang melakukannya adalah sepasang iblis manusia yang disebut di kalangan kang ouw Thian te Siang mo (Sepasang Iblis Bumi Langit), dua orang tua yang luar biasa dan aneh sekali. Mereka ini diwaktu mudanya merupakan dua orang penjahat yang ganas sekali, sepasang saudara kembar yang memiliki kepandaian luar biasa tingginya. Boleh dibilang hampir seluruh cabang persilatan telah didatangi oleh sepasang saudara kembar ini dan di setiap perguruan silat mereka mengacau, menantang ketuanya untuk mengadakan pibu dan merobohkan mereka!
Tak seorangpun tahu dari mana asalnya sepasang manusia seperti iblis ini dan juga tidak ada yang tahu siapakah yang mengajar ilmu silat selihai itu kepada mereka. Sebetulnya kalau orang melihat keadaan mereka, yang jarang sekali terjadi karena gerakan mereka memang cepat laksana bayangan iblis, mereka itu tidak kelihatan seperti iblis. Kedua kakek ini berpakaian serupa, pakaian pendeta Tao yang panjang berwarna kuning keemasan dengan jenggot panjang dan rambut kepala di gelung ke atas seperti umum nya para tosu memelihara rambut mereka. Juga wajah mereka tidak buruk atau nampak jahat, hanya sepasang mata mereka saja yang bersinar kocak dan seperti mata kanak kanak yang nakal. Yang menarik adalah persamaan kedua orang itu. Sukarlah bagi orang lain untuk dapat membedakan. Yang tertua diantara sepasang iblis kembar ini disebut Thian Lo mo (Iblis Tua Langit)
...yang dipakai pada saat terakhir oleh Go Sik An! Juga Ciang Le mendengar penuturan guru gurunya tentang kedua orang tuanya, maka sering kali anak ini mengunjungi dua tengkorak di depan untuk duduk di dekat rangka rangka ayah bundanya. Bagi Ciang Le, ruangan yang gelap dan penuh rangka manusia itu merupakan tempat yang menyenangkan! Sering kali ia bicara seorang diri ditujukan kepada kerangka kerangka ayah bundanya, sehingga kalau orang lain melihatnya berhal demikian, tentu ia akan dianggap seorang yang miring otaknya.
Betapapun gagah perkasanya Thian te Siang mo dan betapapun banyaknya ilmu yang mereka miliki, akhirnya setelah melatih dan menggembleng Ciang Le selama enam belas tahun lebih, habislah semua kepandaian mereka diturunkan kepada Ciang Le!
“Murdku," kata Thian Lo mo ketika menyatakan kepada muridnya bahwa pemuda itu telah tamat belajar, “semua ilmu silat yang kami miliki, telah kami ajarkan semua kepadamu Bahkan sedikit ilmu surat juga telah kaupelajari. Usiamu sudah sembilan belas tahun lebih, maka sudah sepantasnya kalau sekarang kau turun gunung untuk mewakili kami menebus dosa! Hanya ada satu macam ilmu pukulan yang belum kaupelajari, ialah ilmu pukulan yang sedang kami ciptakan berdua, yang disebut Thian te Siang mo Ciang hwat. Ilmu pukulan ini sedang kami sempurnakan, sedikitnya makan waktu setahun lagi baru sempurna. Ilmu pukulan ini amat berbahaya, muridku dan agaknya akan melebihi semua ilmu silat yang telah kaumiliki. Akan tetapi, biarlah kelak saja kami ajarkan kepadamu.”
“Dan pedang ini boleh kau bawa, Ciang Le” kata Te Lo mo sambil menyerahkan pedangnya yang disebut Kim kong kiam (Pedang Sinar Emas). “Kau telah beberapa kali bersumpah hendak mempergunakan ilmu kepandaian yang kau pelajari untuk berbuat kebaikan. Kau harus menjadi seorang pendekar budiman dan jangan lupa selamanya kau harus memakai baju kembang, sesuai dengan pesan terakhir ibumu!”
Ciang Le menerima pedang dan buntalan pakaian serta beberapa potong emas dari kedua suhunya, la merasa amat terharu dan berterima kasih. Baginya, kedua orang yang disebut Sepasang Iblis di dunia kang ouw ini, bukan iblis melainkan dua orang yang paling mulia di dunia ini. Mereka itu adalah gurunya, juga pengganti orang tuanya dan penolongnya.
“Teecu (murid) akan memperhatikan segala nasihat jiwi suhu (guru berdua) dengan taat. Dimanapun teecu berada teecu takkan melupakan suhu berdua. Akan tetapi, mohon penjelasan dari jiwi suhu, bilakah teecu diperbolehkan kembali ke sini?”
“Tak usah kembali, tak usah kembali…” kata Thian Lo mo sambil menggoyang goyang tangannya.
Ciang Le memandang dengan terkejut.
“Twa suhumu (guru besarmu) hanya main main, Ciang Le,” kata Te Lo mo sambil tertawa. “Memang tak usah kembali, akan tetapi kita pasti akan bertemu kembali. Ingatlah bahwa kedua gurumu selalu memperlihatkan gerak gerikmu dan kalau sampai kau menyeleweng dan menyia nyiakan harapan kedua gurumu dan kedua orang tuamu, kau harus tahu bahwa dengan ilmu pukulan Thian te Siang mo Ciang hwat, kami dengan mudah akan dapat membinasakanmu!” Ucapan terakhir ini dikeluarkan oleh Te lo mo dengan sikap sungguh sungguh dan muka keras.
Ciang Le menjadi girang dan menghaturkan terima kasih. Memang, pemuda ini masih bingung ke mana harus pergi dan merasa amat tidak enak harus berpisah dari kedua suhunya yang disayangnya. Maka mendengar bahwa kelak kedua suhunya pasti akan menjumpainya, terhiburlah hatinya.
“Nah, kau berangkatlah dan jaga dirimu baik baik!” kata Thian Lo mo.
Ciang Le berlutut dan memberri hormat serta ucapan selamat tinggal kepada kedua suhu nya, kemudian ia keluar dari pintu gua yang kecil, masuk ke dalam ruang rangka dan berlutut di depan kerangka ayah bundanya.
“Ayah ibu aku pergi turun gunung. Mohon doa restu dan anak akan mencoba mencari orang orang yang telah membunuh kalian. Kemudian ia berdiri dan keluar dari gua yang besar dan gelap itu.
Gua Pahlawan yang dipergunakan sebagai tempat tinggal Thian te Siang mo itu terletak di atas Pegunungan Tapie san sebelah timur, di puncak yang masih liar dan belum pernah didatangi manusia saking sulitnya perjalanan menuju ke situ...
BERSAMBUNG KE JILID 02
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment