Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Bu Kek Siansu
Jilid 01
PAGI ITU bukan main indahnya di dalam hutan di lereng pegunungan Jeng Hoa San (Gunung Seribu Bunga). Matahari muda memuntahkan cahayanya yang kuning keemasan ke permukaan bumi, menghidupkan kembali rumput-rumput yang hampir lumpuh oleh embun, pohon-pohon yang lenyap ditelan kegelapan malam, bunga-bunga yang menderita semalaman oleh hawa dingin menusuk.
Cahaya
kuning emas yang membawa kehangatan, keindahan, dan penghidupan itu mengusir
halimun tebal, dan halimun lari pergi dari cahaya raja kehidupan itu, meninggalkan
butiran-butiran embun yang kini menjadi penghias ujung-ujung daun dan rumput
membuat bunga-bunga yang beraneka warna itu seperti dara-dara muda jelita
sehabis mandi, segar dan berseri-seri.
Cahaya
matahari yang lembut itu tertangkis oleh daun dan ranting pepohonan hutan yang
rimbun. Namun kelembutannya membuat cahaya itu dapat juga menerobos di antara
celah-celah daun dan ranting sehingga sinar kecil memanjang yang tampak jelas
di antara bayang-bayang pohon meluncur ke bawah, di sana-sini bertemu dengan
pantulan air membentuk warna pelangi yang amat indahnya, warna yang dibentuk
oleh segala macam warna terutama oleh warna dasar merah, kuning dan biru.
Indah!
Bagi mata
yang bebas dari segala ikatan, keindahan itu makin terasa. Keindahan yang baru dan
yang senantiasa akan nampak baru biar pun andaikata dilihat setiap hari.
Sebelum cahaya pertama yang kemerahan dari matahari pagi tampak, keadaan hutan
di lereng itu sunyi senyap.
Yang
mula-mula membangunkan hutan itu adalah kokok ayam hutan yang pendek dan
nyaring sekali. Kokok yang tiba-tiba dan mengejutkan, susul-menyusul dari
beberapa penjuru. Kokok ayam jantan inilah yang menggugah para burung yang
tadinya diselimuti kegelapan malam, menyembunyikan muka di bawah selimut tebal
dan hangat dari sayap mereka. Kini terjadilah gerakan-gerakan hidup di setiap
pohon besar dan terdengar kicau burung yang sahut-menyahut, bermacam-macam
suaranya, bersaing indah dan ramai namun kesemuanya memiliki kemerduan yang
khas.
Sukar bagi
telinga untuk menentukan mana yang lebih indah, karena suara yang
bersahut-sahutan itu merupakan kesatuan seperangkat alat musik yang dibunyikan
bersama. Yang ada pada telinga hanya indah! Sukar dikatakan mana yang lebih
indah, suara burung-burung itu sendiri ataukah keheningan kosong yang terdapat
di antara jarak suara-suara itu.
Anak
laki-laki itu masih amat kecil, tidak akan lebih dari tujuh tahun usianya. Dia
berdiri seperti sebuah patung, berdiri di tempat datar yang agak tinggi di
hutan Gunung Seribu Bunga itu, menghadap ke timur. Sudah ada setengah jam lebih
dia berdiri seperti itu. Hanya matanya saja yang bergerak-gerak, mata yang
lebar yang penuh sinar ketajaman dan kelembutan, seperti biasa mata kanak-kanak
yang hidupnya masih bebas dan bersih, namun di antara kedua matanya, kulit di
antara alis itu agak terganggu oleh garis-garis lurus.
Aneh juga
melihat seorang anak kecil seperti itu sudah ada keriput di antara kedua
alisnya! Anak itu pakaiannya sederhana sekali, biar pun amat bersih seperti
bersihnya tubuhnya, dari rambut sampai ke kuku jari tangannya yang terpelihara
dan bersih. Wajahnya biasa saja, seperti anak-anak lain dengan bentuk muka yang
tampan. Hanya matanya dan keriput di antara matanya itulah yang jarang terdapat
pada anak-anak dan membuat dia menjadi seorang anak yang mudah mendatangkan
kesan pada hati pemandangnya sebagai seorang anak yang aneh dan tentu memiliki
sesuatu yang luar biasa.
Sepasang
mata anak itu bersinar-sinar penuh seri kehidupan ketika dia tadi melihat
munculnya bola merah besar di balik puncak gunung sebelah timur. Bola merah
yang amat besar dan yang mula-mula merupakan pemandangan yang amat menarik
hati, akan tetapi lambat laun merupakan benda yang tak kuat lagi mata
memandangnya karena cahaya yang makin menguning dan berkilauan. Maka dia mengalihkan
pandangannya, kini menikmati betapa cahaya yang tiada terbatas luasnya itu
menghidupkan segala sesuatu, dari puncak pegunungan sampai jauh di sana, di
bawah kaki gunung.
Anak itu
lalu menanggalkan pakaiannya, satu semi satu dengan gerakan sabar dan tidak
tergesa-gesa, tanpa menengok ke kanan-kiri karena selama ini dia tahu bahwa di
pagi hari seperti itu tidak akan ada seorang pun manusia kecuali dirinya
sendiri berada di situ.
Dengan
telanjang bulat dia lalu menghampiri sebuah batu dan duduk bersila menghadap
matahari. Duduknya tegak lurus, kedua kakinya bersilang dan napasnya masuk
keluar dengan halus tanpa diatur, tanpa paksaan seperti pernapasan seorang bayi
sedang tidur nyenyak. Sudah beberapa tahun dia melakukan ini setiap hari, duduk
sambil mandi cahaya matahari selama dua tiga jam sampai semua tubuhnya bermandi
peluh dan terasa panas barulah dia berhenti.
Juga di
waktu malam terang bulan, dia duduk pula di batu itu, telanjang bulat, mandi
cahaya bulan purnama selama tujuh malam, kadang-kadang sampai lupa diri dan
duduk bersila sampai setengah tidur, dan barulah dia berhenti kalau tubuh sudah
hampir membeku dan bulan sudah lenyap bersembunyi di balik puncak barat. Anak
yang luar biasa!
Memang.
Demikian pula penduduk di sekitar pegunungan Jeng Hoa San menyebutnya Sin Tong
(Anak Ajaib), demikianlah nama anak ini yang diketahui orang. Anak ajaib, anak
sakti dan lain-lain sebutan lagi. Karena semua orang menyebutnya Sin Tong dan
memang dia sendiri tidak pernah mau menyatakan siapa namanya, maka anak itu
sudah menjadi terbiasa dengan sebutan ini dan menganggap namanya Sin Tong!
Mengapakah
orang-orang dusun, penghuni semua dusun di sekitar lereng dan kaki pegunungan
Jeng Hoa San menyebutnya anak ajaib? Hal ini ada sebabnya, yaitu karena anak
berusia tujuh tahun itu pandai sekali mengobati penyakit dengan memberi
daun-daun, buah-buah, dan akar-akar obat yang benar-benar manjur sekali!
Hampir semua
penduduk yang terkena penyakit datang ke lereng Hutan Seribu Bunga, yaitu nama
hutan di mana anak itu tinggal karena di antara sekalian hutan di Pegunungan
Seribu Bunga, hutan inilah yang benar-benar tepat disebut Hutan Seribu Bunga
dengan tetumbuhan beraneka warna, penuh dengan bunga-bunga indah, terutama
sekali pada musim semi. Dan anak ini akan memberi daun atau akar obat dengan
hati terbuka, dengan tulus ikhlas, suka rela dan selalu menolak kalau diberi
uang! Maka berduyun-duyun orang dusun datang kepadanya dan diam-diam memujanya
sebagai seorang anak ajaib, sebagai dewa yang menjelma menjadi seorang
anak-anak yang menolong dusun-dusun itu dari malapetaka.
Bahkan
ketika terjangkit penyakit menular, penyakit demam hebat yang menimbulkan
banyak korban tahun lalu, bocah ajaib inilah yang membasminya dengan memberi
akar-akar tertentu yang harus diminum airnya setelah dimasak. Dengan akar itu,
yang sakit banyak tertolong dan yang belum terkena penyakit tidak akan
ketularan.
Ketika
orang-orang dusun itu, terutama yang wanita, datang membawa pakaian baru yang
sudah dijahit rapi, anak itu tak dapat menolak, dan menyatakan terima kasihnya
dengan butiran air mata menetes di kedua pipinya. Akan tetapi tidak ada
kata-kata yang keluar dari mulutnya. Karena jasa orang-orang dusun ini, maka anak
itu selalu berpakaian sederhana sekali, potongan ‘dusun’.
Siapakah
sebetulnya anak kecil ajaib yang menjadi penghuni Hutan Seribu Bunga seorang
diri saja itu? Benarkah dia seorang dewa yang turun dari kahyangan menjadi
seorang anak-anak untuk menolong seorang manusia, seperti kepercayaan para
penduduk di pegunungan Tibet sehingga banyak terdapat Lama yang dianggap
sebagai Sang Buddha sendiri yang ‘menjelma’ menjadi anak-anak dan menjadi calon
Lama? Sebetulnya tentu saja tidak seperti ketahyulan yang dipercaya oleh
orang-orang yang memang suka akan ketahyulan dan suka akan yang ajaib-ajaib
itu.
Anak itu
dahulunya adalah anak tunggal dari Keluarga Kwa di kota Kun-Leng, sebuah kota
kecil di sebelah timur pegunungan Jeng-hoa-san. Dia bernama Kwa Sin Liong, dan
nama Sin Liong (Naga Sakti) ini diberikan kepadanya karena ketika
mengandungnya, ibunya mimpi melihat seekor naga beterbangan di angkasa di
antara awan-awan.
Ada pun ayah
Sin Liong adalah seorang pedagang obat yang cukup kaya di kota Kun-leng. Akan
tetapi malapetaka menimpa keluarga ini ketika malam hari tiga orang pencuri
memasuki rumah mereka. Tadinya tiga orang penjahat ini hendak melakukan
pencurian terhadap keluarga kaya ini, akan tetapi ketika mereka memasuki kamar,
ayah dan ibu Sin Liong mempergoki mereka. Karena khawatir dikenal, tiga orang
itu lalu membunuh ayah-bunda Sin Liong dengan bacokan-bacokan golok.
Ketika itu
Sin Liong baru berusia lima tahun dan di tempat remang-remang itu melihat
betapa ayah-bundanya dihujani bacokan golok dan roboh mandi darah, tewas tanpa
sempat berteriak. Saking ngeri dan takutnya, Sin Liong seperti berubah menjadi
gagu, matanya melotot dan dia tidak bisa mengeluarkan suara. Karena ini, tiga
orang pencuri itu tidak melihat anak kecil di kamar yang gelap itu. Mereka terutama
sibuk mengumpulkan barang-barang berharga dan mereka itu juga panik, ingin
lekas-lekas pergi karena mereka telah terpaksa membunuh tuan dan nyonya rumah.
Setelah para
penjahat itu keluar dari kamar, barulah Sin Liong dapat menjerit, menjerit sekuat
tenaganya sehingga malam hari itu terkoyak oleh jeritan anak ini. Para tetangga
mereka terkejut dan semua pintu dibuka, semua laki-laki berlari ke luar dan
melihat tiga orang yang tidak dikenal keluar dari rumah keluarga Kwa membawa
buntalan-buntalan besar.
Segera
terdengar teriakan, "Maling…maling!"
Orang-orang
itu mengurung tiga penjahat ini. Beberapa orang lari memasuki rumah keluarga
Kwa dan dapat dibayangkan betapa kaget hati mereka melihat suami-isteri itu
tewas dalam keadaan mandi darah. Sedangkan Sin Liong terlihat menangisi kedua
orang-tuanya, memeluki mereka sehingga muka, tangan dan pakaian anak itu penuh
dengan darah ayah-bundanya.
"Pembunuh!
Mereka membunuh keluarga Kwa!" orang yang menyaksikan mayat kedua orang
itu segera lari keluar dan berteriak-teriak.
"Manusia
kejam! Tangkap mereka!"
"Tidak!
Bunuh saja mereka!"
"Tubuh
suami-istri Kwa hancur mereka cincang!"
"Bunuh!"
"Serbu...!"
Dan
terjadilah pergumulan atau pertandingan yang berat sebelah. Tiga orang itu
terpaksa melakukan perlawanan untuk membela diri, akan tetapi mana mereka itu,
maling-maling biasa, mampu menahan serbuan puluhan bahkan ratusan orang yang
marah dan haus darah?
Ketika
pengeroyokan di luar rumahnya sedang terjadi, anak laki-laki itu keluar dari
dalam, mukanya penuh darah, kedua tangannya dan pakaiannya juga. Dia melangkah
ke luar seperti dalam mimpi, mukanya pucat sekali dan matanya yang lebar itu
terbelalak memandang penuh kengerian.
Dia berdiri
di depan pintu rumahnya, matanya makin terbelalak memandang apa yang terjadi di
depan rumahnya. Jelas tampak olehnya betapa para tetangganya itu, seperti
sekumpulan serigala buas, menyerang dan memukuli tiga orang pencuri tadi, para
pembunuh ayah-bundanya. Terdengar olehnya betapa pencuri-pencuri itu
mengaduh-aduh merintih-rintih, minta-minta ampun dan terdengar pula suara
bak-bik-buk ketika kaki tangan dan senjata menghantami mereka. Mereka bertiga
telah roboh, tapi terus digebuki, dibacok, dihantam dan darah muncrat-muncrat.
Akhirnya tubuh tiga orang itu berkelojotan, dan suara yang aneh keluar dari
tenggorokan mereka.
Akan tetapi
orang-orang yang marah dan haus darah itu, yang menganggap bahwa apa yang
mereka lakukan ini sudah baik dan adil, terus saja menghantami tiga orang
manusia sial itu sampai tubuh mereka remuk dan tidak tampak seperti tubuh
manusia lagi, patutnya hanya onggokan-onggokan daging hancur dan tulang-tulang
patah! Saat semua orang sudah merasa puas, juga mulai ngeri melihat hasil
perbuatan sendiri, barulah mereka menghentikan pengeroyokan terhadap tiga mayat
itu dan kemudian memasuki rumah keluarga Kwa. Tapi Sin Liong sudah tidak berada
di situ!
Kiranya
bocah ini, yang baru saja tergetar jiwanya, tergores penuh luka melihat
ayah-bundanya dibacoki dan dibunuh, ketika melihat tiga orang pembunuh itu
dikeroyok dan disiksa, jiwanya makin terhimpit, luka-luka dihatinya makin
banyak dan dia tidak kuat menahan lagi. Dilihatnya wajah orang-orang itu semua
seperti wajah iblis, dengan mata bernyala-nyala penuh kebencian dan dendam,
penuh nafsu membunuh, dengan mulut terngangga seolah-olah tampak taring dan
gigi meruncing, siap untuk menggigit lawan dan menghisap darahnya.
Dia merasa
ngeri, merasa seolah-olah berada di antara sekumpulan iblis. Maka sambil
menangis tersedu-sedu Sin Liong lalu lari meninggalkan tempat itu, meninggalkan
rumahnya, meninggalkan kota Kun-leng, terus berlari ke arah pegunungan yang
tampak dari jauh seperti seorang manusia sedang rebahan, seorang manusia dewa
yang sakti, yang akan melindunginya dari kejaran iblis itu!
Seperti
orang kehilangan ingatan, semalam itu Sin Liong terus berlari sampai pada
keesokan harinya. Saking lelahnya, dia tersaruk-saruk di kaki pegunungan
Jeng-hoa-san, kadang-kadang tersandung kakinya dan jatuh menelungkup, bangun
lagi dan lari lagi, terhuyung-huyung dan akhirnya, pada keesokan harinya,
pagi-pagi dia terguling roboh pingsan di dalam sebuah hutan di lereng bagian
bawah pegunungan Jeng-hoa-san.
Setelah
siuman, anak kecil berusia lima tahun ini melanjutkan perjalanannya, dan
beberapa hari kemudian tibalah dia di sebuah hutan penuh bunga karena kebetulan
pada waktu itu adalah musim semi. Di sepanjang jalan mendaki pegunungan, kalau
perutnya sudah mulai lapar, anak ini memetik buah-buahan dan makan daun-daunan,
memilih yang rasanya segar dan tidak pahit sehingga dia tidak sampai kelaparan.
Di dalam
hutan seribu bunga itu Sin Liong terpesona, merasa seperti hidup di alam lain,
di dunia lain. Tempat yang hening dan bersih, tidak ada seorang pun manusia.
Kalau dia teringat akan manusia, dia bergidik dan menangis saking takut dan
ngerinya. Dia telah menyaksikan kekejaman-kekejaman yang amat hebat. Bukan
hanya kekejaman orang-orang yang merenggut nyawa ayah-bundanya, yang memaksa
ayah-bundanya berpisah darinya dan mati meninggalkannya, akan tetapi juga
melihat kekejaman puluhan orang tetangga yang menyiksa tiga orang itu sampai
mati dan hancur tubuhnya, Dia bergidik dan ketakutan kalau teringat akan hal
itu.
Di dalam
Hutan Seribu Bunga itulah dia merasakan keamanan, kebersihan, dan keheningan
yang menyejukkan perasaan. Mula-mula Sin Liong tidak mempunyai niat untuk
kembali ke kotanya karena ia masih terasa ngeri, tidak ingin melihat
ayah-bundanya yang berlumuran darah, tak ingin melihat mayat tiga orang pencuri
yang rusak hancur.
Ketika dia
tiba di hutan Jeng-hoa-san itu dan melihat betapa tubuh dan pakaiannya ternoda
darah yang baunya amat busuk, dia cepat mandi dan mencuci pakaian di anak
sungai yang terdapat di hutan itu, anak sungai yang airnya keluar dari sumber
air, jernih dan sejuk sekali. Mula-mula memang dia tidak ingin pulang karena
kengerian hatinya, akan tetapi setelah dua tiga bulan ‘bersembunyi’ di tempat
itu, timbul rasa cintanya terhadap Hutan Seribu Bunga dan dia kini tidak ingin
pulang sama sekali karena dia telah menganggap hutan itu sebagai tempat
tinggalnya yang baru!
Di dekat pohon
peak yang besar, terdapat bukit batu dan di situ ada goanya yang cukup besar
untuk dijadikan tempat tinggal, dijadikan tempat berlindung dari serangan hujan
dan angin. Goa ini dibersihkannya dan menjadi sebuah tempat yang amat
menyenangkan. Demikianlah, anak ini tidak tahu sama sekali bahwa harta kekayaan
orang-tuanya yang tidak mempunyai keluarga dan sanak kadang lainnya, telah
dijadikan perebutan antara para tetangga sampai habis ludes sama sekali!
Dengan
alasan ‘mengamankan’ barang-barang berharga dari rumah kosong itu, para
tetangga telah memperkaya diri sendiri. Mereka ini tetap tidak tahu, atau tidak
mengerti bahwa mereka telah mengulangi perbuatan tiga orang pencuri yang mereka
keroyok dan bunuh bersama itu. Mereka juga melakukan pencurian, sungguh pun
caranya tidak ‘sekasar’ yang dilakukan para pencuri.
Jika
dinilai, pencurian yang dilakukan para tetangga dan ‘sahabat’ ini jauh lebih
kotor dan rendah daripada yang dilakukan oleh tiga orang pencuri dahulu itu.
Para pencuri itu melakukan pencurian dengan sengaja dan terang-terangan sebagai
pencuri, tidak berselubung apa-apa, dan kejahatannya itu memang terbuka,
sebagai orang-orang yang mengambil barang orang lain di waktu Si Pemilik sedang
lengah atau tertidur.
Namun, apa
yang dilakukan oleh para tetangga itu adalah pencurian terselubung, dengan
kedok ‘menolong’, sehingga kalau dibuat takaran, kejahatan mereka itu berganda.
Pertama, jahat seperti Si Pencuri biasa karena mengambil dan menghaki milik
orang lain. Kedua, jahat karena telah bersikap munafik, melakukan kejahatan
dengan selubung ‘kebaikan’.
Demikianlah
sampai dua tahun lamanya anak berusia lima tahun ini tinggal seorang diri di
dalam Hutan Seribu Bunga. Sebagai putera seorang ahli pengobatan, biar pun
ketika itu usianya baru lima tahun, sedikit banyak Sin Liong tahu akan
daun-daun dan akar obat, bahkan sering dia ikut ayahnya mencari daun-daun obat
di gunung-gunung.
Setelah kini
dia hidup seorang diri di dalam hutan, bakatnya akan ilmu pengobatan mendapat
ujian dan pemupukan secara alam. Dia harus makan setiap hari. Untuk keperluan
ini, dia telah pandai memilih dari pengalaman, mana daun yang berkhasiat dan
mana yang enak, mana pula yang beracun dan sebagainya.
Selama dua
tahun itu, dengan pakaian cabik-cabik tidak karuan, sering pula dia terserang
sakit dan dari pengalaman ini pula dia dapat memilih daun-daun dan akar-akar
obat, bukan dari pengetahuan, melainkan dari pengalaman. Mungkin karena tidak
ada sesuatu lainnya yang menjadikan bahan pemikiran, maka anak ini dapat
mencurahkan semua perhatiannya terhadap pengenalan akan daun dan akar serta
buah dan kembang yang mengandung obat ini sehingga penciumannya amat tajam
terhadap khasiat daun dan akar obat.
Dengan
menciumnya saja dia dapat menentukan khasiat apakah yang terkandung dalam suatu
daun, bunga, buah atau pun akar! Tidak kelirulah kata-kata orang bahwa
pengalaman adalah guru terpandai. Tentu saja kata-kata itu baru terbukti
kebenarannya kalau seseorang memiliki rasa kasih terhadap yang dilakukannya
itu. Dan memang di lubuk hati Sin Liong, dia mempunyai rasa kasih yang
menimbulkan suka, dan suka ini menimbulkan kerajinan untuk mempelajari khasiat
bunga-bunga dan daun-daun yang banyak sekali macamnya dan tumbuh di dalam Hutan
Seribu Bunga itu.
Selain
mempelajari khasiat tumbuh-tumbuhan, bukan hanya untuk menjadi makanan
sehari-hari akan tetapi juga untuk pengobatan, Sin Liong mempunyai kesukaan
lain lagi yang timbul dari rasa kasihnya kepada alam, kasih yang sepenuhnya dan
yang mungkin sekali timbul karena dia merasa hidup sebatang-kara dan juga
timbul karena melihat kekejaman yang menggores di kalbunya akan perbuatan
manusia ketika ayah ibunya dan tiga orang pencuri itu tewas.
Di tempat
itu dia melihat kedamaian yang murni, kewajaran yang indah, dan tidak pernah
melihat kepalsuan-kepalsuan, tidak melihat kekejaman. Rasa kasih kepada alam
ini membuat dia amat peka terhadap keadaan sekelilingnya, membuat perasaannya
tajam sekali sehingga dia dapat merasakan betapa hangat dan nikmatnya sinar
matahari pagi, betapa lembut dan sejuk segarnya sinar bulan purnama sehingga
tanpa ada yang memberi tahu dan menyuruh hampir setiap pagi dia bertelanjang
mandi cahaya matahari pagi dan setiap bulan purnama dia bertelanjang mandi
sinar bulan purnama.
Tanpa
disadarinya, tubuhnya telah menerima dan menyerap inti tenaga mukjijat dari
bulan dan matahari, yang membuat darahnya bersih, tulangnya kuat dan tenaga
dalam di tubuhnya makin terkumpul di luar kesadarannya. Setelah keringat
membasahi seluruh tubuh dan beberapa kali memutar tubuhnya yang duduk bersila
di atas batu, Sin Liong turun dari batu itu, menghapus peluh dengan sapu-tangan
lebar. Setelah tubuhnya tidak berkeringat lagi, setelah dibelai bersilirnya
angin pagi, dia mengenakan lagi pakaiannya dan pergi mengeluarkan bunga, daun,
buah dan akar obat dari dalam goa untuk dijemur dibawah sinar matahari. Inilah
yang menjadi pekerjaannya sehari-hari, selain mencangkok, memperbanyak dan
menanam tanaman-tanaman yang berkhasiat.
Menjelang
tengah hari, mulailah berdatangan penduduk yang membutuhkan obat. Di antara
mereka terdapat pula beberapa orang kang-ouw yang kasar dan menderita luka
beracun dalam pertempuran. Untuk mereka semua, tanpa pandang bulu, Sin Liong
memberikan obatnya setelah memeriksa luka-luka dan penyakit yang mereka derita.
Lebih dari lima belas orang datang berturut-turut minta obat dan yang datang
terakhir adalah seorang laki-laki setengah tua bertubuh tinggi besar, di
punggungnya tergantung golok dan dia datang terpincang-pincang karena pahanya
terluka hebat, luka yang membengkak dan menghitam.
"Sin-tong,
kau tolonglah aku..." Begitu tiba di depan goa dimana Sin Liong duduk dan
memotong-motong akar basah dengan sebuah pisau kecil, laki-laki bermuka hitam
dan bertubuh tinggi besar itu menjatuhkan diri dan merintih kesakitan.
Sin Liong
mengerutkan alisnya. Di antara orang-orang yang minta pengobatan, dia paling
tidak suka melihat orang kang-ouw yang dapat dikenal dari sikap kasar dan
senjata yang selalu mereka bawa. Namun belum pernah dia menolak untuk mengobati
mereka, bahkan diam-diam dia menilai mereka itu sebagai orang-orang yang
berwatak serigala, yang haus darah, yang selalu saling bermusuhan dan saling
melukai, sehingga mereka ini merupakan manusia-manusia yang patut dikasihani
karena tidak mengenal apa artinya ketentraman, kedamaian, dan kasih antar
manusia yang mendatangkan ketenangan dan kebahagiaan.
"Orang
tua gagah, bukankah dua bulan yang lalu kau pernah datang dan minta obat karena
luka di lengan kirimu yang keracunan?" tanyanya sambil menatap wajah
berkulit hitam itu.
"Benar,
benar sekali, Sin-tong. Aku adalah Sin-hek-houw (Macan Hitam Sakti) yang dahulu
terkena senjata jarum beracun di lenganku. Akan tetapi sekarang aku menderita
luka lebih parah lagi. Pahaku terbacok pedang lawan dan celakanya pedang itu
mengandung racun yang hebat sekali. Kalau kau tidak segera menolongku, aku akan
mati, Sin-tong."
Sin Liong
tidak berkata apa-apa lagi. Ia menghampiri orang yang di atas tanah itu,
memeriksa luka mengangga di balik celana yang ikut terobek. Luka itu lebar dan
dalam, luka yang tertutup oleh darah yang menghitam dan membengkak, bahkan
ketika dipegang seluruh kaki itu terasa panas, tanda keracunan hebat!
Sin Liong
menarik nafas panjang. "Lo-eng-hiong, mengapa engkau masih saja bertempur
dengan orang lain, saling melukai dan saling membunuh? Bukankah dahulu ketika
kau datang ke sini pertama kali, pernah kau berjanji tidak akan lagi bertanding
dengan orang lain?"
Mata yang
lebar itu melotot kemudian pandang matanya melembut. Tak mungkin dia dapat
marah kepada anak ajaib ini. Seorang anak kecil berusia tujuh tahun dapat
bicara seperti itu kepadanya, seolah-olah anak itu adalah seorang kakek yang
menjadi pertapa dan hidup suci!
"Sin-tong,
aku adalah Sin-hek-houw, dan jangan kau menyebut Lo-eng-hiong (Orang Tua Gagah)
kepadaku. Aku adalah seorang perampok, mengertikah kau? Seorang perampok
tunggal yang mengandalkan hidup dari merampok orang lewat! Kalau aku tidak
butuh barang, aku tentu tidak akan menganggu orang, dan kalau orang yang
kumintai barangnya itu tidak melawan, aku tentu tidak akan menyerangnya. Akan
tetapi, dua kali aku keliru menilai orang....”
“Dahulu, aku
menyerang seorang nenek yang kelihatan lemah, dan akibatnya lenganku terluka
hebat. Sekarang, aku merampok seorang kakek yang kelihatan lemah, yang membawa
barang berharga, dan akibatnya pahaku hampir buntung dan kini keracunan hebat.
Kau tolonglah, aku akan berterima kasih kepadamu, Sin-tong. Dan aku datang kali
ini juga akan mengabarkan sesuatu yang amat penting bagimu."
"Lo-eng-hiong,
aku tidak membutuhkan terima kasih dan balasan. Aku mengenal khasiat tetumbuhan
di sini. Tetumbuhan itu tumbuh di sini begitu saja, mempersilakan siapa pun
juga yang mengerti untuk memetik dan mempergunakannya, tanpa membeli, tanpa
merampas dan tanpa menggunakan kekerasan. Aku hanya memetik dan menyerahkan
kepadamu, perlu apa aku minta terima kasih dan balasan? Lukamu ini hebat.
Seluruh kaki sudah panas, berarti darahmu telah keracunan. Untuk mengeluarkan
racunnya yang masih mengeram di sekitar luka, sebaiknya luka itu dibuka agar
dapat diobati, tidak seperti sekarang ini, ditutup oleh darah beracun yang
mengering. Dapatkah kau membuka lukamu itu, Lo-enghiong?"
Orang
setengah tua itu membelalakan mata dan kembali dia kagum mendengar cara bocah
itu bicara. Akan tetapi keheranannya lenyap ketika dia teringat bahwa bocah ini
adalah Sin-tiong, anak ajaib! Maka dia lalu menghunus goloknya.
Saat melihat
berkelebatnya sinar golok, Sin Liong memejamkan matanya. Terbayang kembali tiga
batang golok yang membacoki tubuh ayah-bundanya, dan banyak golok yang kemudian
membacoki tubuh tiga orang pencuri itu.
Sin-hek-houw
menggunakan ujung goloknya untuk menusuk dan membuka kembali luka di pahanya.
Dia mengeluh keras, akan tetapi lukanya sudah terbuka dan darah hitam mengucur
ke luar. Dengan siksaan rasa nyeri yang hebat, Sin-hek-houw melemparkan
goloknya dan menggunakan kedua tangannya memijit-mijit paha yang terasa nyeri
itu.
Sin Liong
berlutut, menggunakan jari tangannya yang halus untuk bantu memijat sehingga
darah makin banyak keluar. Darah hitam dan baunya membuat orang mau muntah!
Akan tetapi Sin Liong yang melakukan hal itu dengan rasa kasih sayang di hati,
dengan rasa iba yang mendalam dan tidak dibuat-buat dan tidak pula disengaja,
menerima bau itu dengan perasaan makin terharu.
“Betapa
sengsara dan menderitanya orang ini,” hanya demikian bisikan hatinya. Dia lalu
mengambil bubukan akar tertentu, menabur bubukan itu ke dalam luka yang
mengangga.
"Aduhhhhh...
mati aku...!" kakek itu berseru keras ketika merasa betapa obat itu
mendatangkan rasa nyeri seperti ada puluhan ekor lebah menyengat-nyengat bagian
yang terluka itu.
"Harap
kau pertahankan, Lo-enghiong sebentar juga akan hilang rasa nyerinya. Jangan
lawan rasa nyeri itu, hadapilah sebagai kenyataan dan ketahuilah bahwa bubuk
itu adalah obat yang akan mengusir penyakit ini."
Sambil
berkata demikian, Sin Liong lalu menggunakan empat helai daun yang sudah
diremas sehingga daun itu menjadi basah dan layu, kemudian ditutupnya luka itu
dengan empat helai daun. Benar saja, rintihan orang itu makin perlahan tanda
bahwa rasa nyerinya berkurang dan akhirnya orang itu menarik nafas panjang
karena rasa nyerinya kini dapat ditahannya.
"Harap
Lo-enghiong membawa akar ini. Rebuslah dan minum airnya, khasiatnya untuk
membersihkan racun yang masih berada di kakimu. Dengan demikian maka luka itu
akan membusuk dan akan lekas sembuh. Obat bubuk dan daun-daun ini untuk
mengganti obat setiap hari sekali, kiranya cukup untuk sepekan sampai luka itu
sembuh sama sekali." Sin Liong berkata sambil membungkus obat-obat itu
dengan sehelai daun yang lebar dan menyerahkannya kepada Sin-hek-houw.
Orang kasar
itu menerima bungkusan obat dan kembali menghela napas panjang. "Kalau
saja aku dapat mempunyai seorang sahabat seperti engkau yang selalu berada di
sampingku. Kalau saja aku dapat mempunyai seorang anak seperti engkau, kiranya
aku tidak akan tersesat sejauh ini. Terima kasih, Sin-tong. Dan aku tidak dapat
membalas apa-apa kecuali peringatan kepadamu bahwa engkau terancam bahaya
besar."
Sin Liong
mengangkat muka memandang wajah berkulit hitam itu dengan heran.
"Sin-tong,
dunia kang-ouw telah geger dengan namamu. Aku dan orang-orang kang-ouw yang
telah menerima pengobatanmu, membawa namamu di dunia kang-ouw dan terjadilah
geger karena nama Sin-tong menjadi kembang bibir setiap orang kang-ouw. Banyak
partai besar tertarik hatinya, menganggap engkau tentu penjelmaan dewa atau
Sang Buddha. Kini telah banyak partai dan orang-orang gagah yang siap untuk
datang ke sini untuk membujukmu menjadi anggota mereka atau menjadi murid
orang-orang kang-ouw yang terkenal. Celakanya, di antara mereka itu terdapat
dua orang manusia iblis yang lain lagi maksudnya, bukan maksud baik seperti tokoh
dan partai persilatan, melainkan maksud keji terhadap dirimu."
Sin Liong
mengerutkan alisnya. Sedikit pun dia tidak merasa takut karena memang dia tidak
mempunyai niat buruk terhadap siapa pun di dunia ini. "Lo-eng-hiong, aku
hanya seorang anak kecil yang tidak tahu apa-apa, tidak mempunyai permusuhan
dengan siapa pun juga. Siapa orangnya yang akan menggangguku?"
Kakek itu
memandang terharu. "Ahh...kau benar-benar seorang yang aneh dan bersih
hatimu. Kalau aku memiliki kepandaian, aku akan melindungimu dengan seluruh
tubuh dan nyawaku, bukan hanya karena dua kali kau menolongku, melainkan karena
tidak rela aku melihat orang mau merusak seorang bocah ajaib seperti engkau
ini. Akan tetapi dua orang iblis itu..." Sin-hek-houw menggiggil dan
kelihatan jeri sekali.
"Siapakah
mereka dan apa yang mereka kehendaki dari aku?"
"Di
dunia kang-ouw banyak terdapat golongan sesat, manusia-manusia iblis, termasuk
orang seperti aku. Akan tetapi dibandingkan dua orang yang kumaksudkan itu,
mereka adalah dua ekor harimau buas sedangkan orang seperti aku hanyalah seekor
tikus! Yang seorang adalah kakek berpakaian pengemis. Dia kelihatan seperti
orang miskin yang alim, namun dialah iblis nomor satu, ketua Pat-Jiu Kai-pang,
seorang yang memiliki rumah seperti istana dan wajahnya yang biasa dan alim
menyembunyikan watak yang kejamnya melebihi iblis sendiri! Celakalah engkau
kalau sudah berada di tangan kakek ini Sin-tong."
"Hemmm,
kurasa seorang kakek seperti dia tidak membutuhkan seorang anak kecil seperti
aku. Aku tidak khawatir dia akan mengangguku, Lo-eng-hiong!"
"Tidak
aneh kalau kau berpendapat demikian, karena kau seorang anak ajaib yang berhati
dan berpikiran polos dan murni. Akan tetapi aku khawatir sekali, apa lagi iblis
kedua yang tidak kalah kejamnya. Dia seorang wanita cantik dan tak ada yang
tahu berapa usianya. Wajahnya cantik, rambutnya panjang harum dan selalu
membawa sebuah payung, kelihatannya lemah dan membutuhkan perlindungan. Akan
tetapi, seperti iblis pertama, semua kecantikan dan kelemah-lembutannya itu
menyembunyikan watak yang sesungguhnya, watak yang lebih keji dan kejam
daripada iblis sendiri."
"Lo-enghiong,
harap saja Lo-enghiong tidak memburuk-burukkan orang lain seperti itu. Aku
tidak percaya."
Kakek itu
menarik napas panjang lalu bangkit berdiri. "Aku sudah memberi peringatan
kepadamu, Sin-tong. Dan kalau kau mau, marilah kau ikut aku bersembunyi di
tempat aman sehingga tidak ada seorang pun yang tahu. Setelah keadaan benar
aman barulah kau kembali ke sini. Aku mendengar berita angin bahwa dua iblis
itu sedang menuju ke Jeng-hoa-san mencarimu."
Namun Sin
Liong menggeleng kepala. "Aku dibutuhkan oleh penduduk pedusunan si sini,
aku tidak akan pergi ke mana-mana, Lo-enghiong."
"Hemmm,
sudahlah! Aku sudah berusaha memperingatkanmu. Mudah-mudahan saja benar-benar
tidak terjadi seperti yang kukhawatirkan. Dan lebih-lebih lagi mudah-mudahan
aku tidak akan terluka lagi seperti ini, sehingga kalau kau benar-benar sudah
tidak berada lagi di sini, aku payah mencari obat. Selamat tinggal,Sin-tong,
dan sekali lagi terima kasih."
"Selamat
jalan, Lo-enghiong. Semoga lekas sembuh."
Orang itu
berjalan menyeret kakinya yang terluka. Baru belasan langkah ia menoleh lagi
dan berkata, "Benar-benarkah kau tidak mau ikut bersamaku untuk
bersembunyi, Sin-tong?"
Sin Liong
tersenyum dan menggeleng kepala tanpa menjawab.
"Sin-tong,
siapakah namamu yang sesungguhnya?"
"Aku
disebut Sin-tong. Biar pun aku merasa seorang anak biasa, aku tidak tega
menolak sebutan itu. Kau mengenalku sebagai Sin-tong, itulah namaku."
Sin-hek-houw
menggeleng kepala, lalu melanjutkan perjalanannya dan masih bergeleng-geleng
sambil mulutnya mengomel, "Anak ajaib... anak ajaib! Sayang...," dan
dia mengepal tinju, seolah-olah hendak menyerang siapa pun yang akan menganggu
bocah yang dikaguminya itu.
Beberapa
hari kemudian semenjak Sin-hek-houw datang minta obat kepada Sin Liong, makin
banyaklah orang yang datang membisikkan kepada anak itu tentang geger di dunia
kang-ouw karena dirinya. Bermacam-macam berita aneh yang didengar oleh Sin
Liong tentang ancaman dan lain-lain mengenai dirinya, namun dia sama sekali
tidak ambil peduli dan tetap saja bersikap tenang dan bekerja seperti biasa,
tidak pernah gelisah, bahkan sama sekali tidak pernah memikirkan tentang berita
yang didengarnya itu.
Beberapa
pekan kemudian, pagi hari dari arah timur kaki pegunungan Jeng-hoa-san tampak
berjalan sorang kakek seorang diri. Ia menoleh ke kanan dan kiri seolah-olah
menikmati pemandangan alam di sekitar tempat itu. Kakek ini usianya tentu sudah
enam puluhan tahun, tubuhnya kurus kecil, pakaiannya penuh tambalan. Wajahnya
membayangkan kesabaran, dan mulut yang ompong itu bahkan selalu menyungging
senyum simpul keramahan.
Dia
melangkah perlahan-lahan memasuki hutan pertama di kaki pegunungan
Jeng-hoa-san. Langkahnya dibantu dengan ayunan sebatang tongkat butut yang
berwarna hitam, agaknya terbuat dari semacam kayu yang sudah amat tua sehingga
seperti besi saja rupanya. Agaknya dia seorang pengemis tua yang hidupnya serba
kekurangan, namun yang dapat menyesuaikan diri sehingga tidak merasa kurang,
bahkan kelihatannya gembira, menerima hidup apa adanya dan hatinya selalu
senang.
Buktinya
ketika dia mendengar kicau burung-burung, kakek ini membuka mulutnya dan
bernyanyi pula! Akan tetapi kata-kata dalam nyanyiannya itu tentu akan membuat
setiap orang yang mendegarnya mengerutkan kening, karena selain aneh, juga
menyimpang dari ajaran kebatinan umumnya!
Apa artinya
hidup kalau hati tak senang?
Apa artinya
hidup kalau segala keinginan tak terpenuhi?
Puluhan
tahun mempelajari ilmu, bekal memenuhi segala kehendak
Berenang
dalam lautan kesenangan, mati pun tidak penasaran!
Berkali-kali
pengemis ini bernyanyi dengan kata-kata yang itu-itu juga. Suaranya halus dan
cukup merdu, dan sambil bernyanyi dia mengatur irama lagu dengan ketukan
tongkatnya di atas tanah lunak atau bila kebetulan mengenai batu yang keras,
ujung tongkat itu tentu membuat lubang. Kedua kakinya yang bersepatu butut itu
sendiri tidak meninggalkan jejak seolah-olah dia tidak menginjak tanah, akan
tetapi tongkat itu membuat jejak jelas karena setiap kali melubangi tanah mau
pun batu. Ada pun kaki itu sendiri, Biar pun menginjak tanah basah, sama sekali
tidak meninggalkan bekas.
Beberapa
menit kemudian setelah kakek aneh ini lewat, tampak berkelebat bayangan orang,
juga datang dari arah timur melalui kaki bukit itu. Mereka itu terdiri dari
tiga belas orang laki-laki dari usia tiga puluh sampai empat puluh tahun, dan
seorang wanita berusia dua puluh lima tahun, berwajah manis dan bertubuh bagus
dengan pinggang ramping.
Tiga belas
orang laki-laki itu kesemuanya kelihatan gagah. Dari pakaian mereka jelas
menunjukkan bahwa mereka adalah ahli-ahli silat, sedangkan gerakan mereka yang
ringan cekatan membuktikan bahwa mereka bukanlah sembarangan orang kang-ouw,
melainkan rombongan orang gagah yang berilmu. Hal ini memang tidak salah,
karena mereka itulah yang terkenal dengan julukan Cap-sha Sin-hiap (Tiga Belas
Pendekar Sakti), murid-murid utama dari partai besar Bu-tong-pai!
"Tahan
dulu, para suheng!" tiba-tiba wanita cantik itu mengangkat tangannya ke
atas dan memperingatkan para suheng-nya, kemudian dia menuding ke bawah dan
berkata, "Lihat ini....!"
Tiga belas
orang ini memperhatikan bekas tusukan tongkat pengemis tadi yang jaraknya
teratur dan biar pun tiba di atas batu, tetap saja tampak batu itu berlubang.
"Siapa
lagi kalau bukan dia?" kata gadis itu dengan alis berkerut.
"Tenaga
tusukan tongkat yang hebat" kata salah seorang.
"Dan jejak
kakinya tidak tampak. Tak salah lagi, Pat-jiu Kai-ong (Raja Pengemis Berlengan
Delapan), tentu telah lewat di sini, dan baru saja. Hayo cepat kita
mengejarnya! Jangan sampai dia mendahului kita memasuki Hutan Seribu
Bunga!" kata orang tertua di antara mereka, seorang berusia empat puluh
tahun yang bermuka seperti harimau.
Karena kini
merasa yakin bahwa jejak lubang-lubang itu tentu dibuat oleh tongkat Pat-jiu
Kai-ong, maka tiga belas orang tokoh Bu-tong-pai itu mencabut senjata
masing-masing. Tampaklah berkilaunya senjata tajam itu meluncur ke depan ketika
tiga belas orang itu mengerahkan ginkang mereka dan menggunakan ilmu berlari
cepat melakukan pengejaran ke depan, ke arah jejak berlubang itu. Tak lama
kemudian terdengarlah oleh mereka bunyi nyanyian kakek pengemis tadi.
Tiga belas
orang ini memperlambat larinya dan satu-satunya wanita di antara mereka
mengomel lirih, "Hemm, dasar manusia iblis. Selama hidupnya mengejar
kesenangan dan demi kesenangan dia tidak segan melakukan hal-hal terkutuk yang
kejamnya melebihi iblis sendiri!”
"Sssssttt,
Sumoi. Terhadap orang seperti dia kita harus berhati-hati. Semenjak dahulu,
Bu-tong-pai tidak pernah bermusuhan dengan tokoh kang-ouw yang mana pun juga,
tidak pula mencampuri urusan mereka. Maka biarlah nanti kita tanya dia secara
baik-baik dan kalau tidak terpaksa sekali lebih baik kita menghindarkan
pertempuran." kata twa-suheng (kakak seperguruan tertua) mereka.
Semua
sute-nya mengangguk, akan tetapi sumoi-nya mengomel, "Siapakah yang takut
kepadanya?" Dia melintangkan pedangnya.
Memang nona
yang bernama The Kwat Lin ini terkenal berhati keras dan pemberani. Ilmu
pedangnya memang hebat, maka tidaklah mengherankan apabila dia terhitung
seorang di antara Cap-sha Sin-hiap yang terkenal di dunia kang-ouw.
"Sumoi,
kita harus mentaati perintah Suhu agar tidak membawa Bu-tong-pai menanam bibit
permusuhan dengan golongan lain, baik kaum bersih mau pun kaum sesat. Karena
itu, dalam pertemuan ini serahkan saja kepadaku untuk mewakili kalian
semua!"
Karena
maklum bahwa dia tidak boleh melanggar perintah gurunya dan bahwa twa-suheng
ini selain paling lihai juga merupakan seorang yang mewakili Suhu mereka, Kwat
Lin mengangguk biar pun bibirnya yang merah tetap cemberut tidak puas. Dia
merasa tidak puas melihat sikap jeri yang diperlihatkan para suheng-nya.
Cap-sha Sin-hiap mempunyai nama besar di dunia kang-ouw, disegani kawan
ditakuti lawan, masa sekarang berhadapan dengan seorang tokoh sesat saja
kelihatan gentar?
Suara
nyanyian itu makin keras, tanda bahwa jarak di antara mereka dengan kakek itu
makin dekat. Dengan ilmu meringankan tubuh yang hampir sempurna, tiga belas
orang pendekar Bu-tong-pai itu dapat menyusul dan berkelebatlah tubuh mereka,
dari kanan-kiri dan atas, tahu-tahu mereka telah berdiri menghadap di depan
kakek pengemis dengan sikap keren dan gagah sekali.
Kakek
pengemis itu masih melanjutkan nyanyiannya sambil berdiri memandang, dan ketika
pandang matanya bertemu dengan wajah Kwat Lin, dia tidak meyembunyikan
kekagumannya. Setelah nyanyiannya berhenti, barulah dia tersenyum dan berkata,
"Eh-eh, apakah kalian ini serombongan pemain akrobat yang hendak menjual
kepandaian? Aku seorang pengemis tidak mempunyai uang untuk membayar upah
kalian!"
"Harap
Locianpwe tidak berpura-pura lagi. Kami tahu bahwa Locianpwe adalah
Pat-jiu-kai-pangcu (Ketua Perkumpulan Pengemis Delapan Lengan) yang terhormat.
Locianpwe adalah tokoh terkenal yang berjuluk Pat-jiu Kai-ong, bukan?"
Kakek yang
mukanya kelihatan sabar dan baik hati itu tersenyum, senyumnya juga simpatik dan
ramah. Tiga belas orang pendekar Bu-tong-pai itu yang hanya baru mengenal nama
kakek sakti kaum sesat ini, diam-diam merasa heran bahkan sangsi apakah benar
mereka berhadapan dengan Pat-jiu Kai-ong yang kabarnya kejamnya seperti iblis,
karena kakek ini kelihatan halus tutur sapanya dan begitu ramah!
"Ha-ha-ha!
Sungguh sukar jaman sekarang ini untuk bersembunyi dan menyembunyikan diri.
Orang-orang muda sekarang amat tajam penciumannya dan penglihatannya, Biar pun
belum pernah jumpa sudah mengenal orang. Orang-orang muda yang gagah dan
cantik,” dia memandang Kwat Lin lagi dengan kagum. "Tidak keliru dugaan
kalian aku adalah Pat-jiu Kai-ong, seorang pengemis tua yang hanya memiliki
sebatang tongkat butut ini. Tidak tahu siapakah kalian dan perlu apa kalian
menghadang perjalananku?"
"Kami
adalah Cap-sha Sin-hiap dari Bu-tong-pai!" kata Kwat Lin, dan karena sudah
terlanjur maka percuma saja twa-suheng-nya mencegahnya dengan pandang matanya.
"Benar,
kami adalah murid-murid Bu-tong-pai, Locianpwe," kata twa-suheng itu
dengan hati tidak enak. Sumoi-nya yang lancang itu ternyata telah membuka kartu
dan mengaku bahwa mereka dari Bu-tongpai, berarti membawa-bawa nama perkumpulan
mereka.
"Ha-ha-ha,
bagus. Memang Bu-tong-pai mempunyai banyak murid pandai, gagah dan cantik
sepanjang kabar yang kudengar. Akan tetapi kalau tidak salah, aku tidak pernah
berurusan dengan Bu-tong-pai."
Melihat
sikap kakek itu masih ramah dan kata-katanya juga halus dan tidak bermusuh,
twa-suheng itu menjadi makin tidak enak. Akan tetapi dia maklum orang macam apa
adanya kakek di depannya ini. Mereka datang ke sini demi Sin-tong yang mereka
dengar merupakan seorang anak ajaib yang luar biasa dan sudah menolong manusia
dengan pengetahuan yang tepat mengenai khasiat tetumbuhan yang mengandung obat.
Maka tetap saja dia merasa khawatir akan keselamatan Sin-tong itu kalau sampai
kakek datuk sesat ini bertemu dengan anak itu.
"Apa
yang Locianpwe katakan memang benar. Di antara Locianpwe dengan Bu-tong-pai,
tidak pernah ada urusan. Dan sekali ini, kami orang-orang muda dari Bu-tong-pai
juga tidak berniat untuk menganggu Locianpwe yang terhormat. Hanya kami
mendengar berita bahwa di antara banyak tokoh kang-ouw, Locianpwe juga berminat
kepada anak kecil budiman yang terkenal dengan sebutan Sin-tong dan yang
berdiam di dalam Hutan Seribu Bunga. Benarkah ini, dan apakah Locianpwe
sekarang sedang menuju ke hutan itu?"
Mulai
berubah wajah kakek itu mendengar ucapan ini. Senyumnya masih ada, akan tetapi
sepasang matanya yang tadinya berseri gembira itu kehilangan cahaya
kegembiraannya, dan berubah dengan sinar kilat yang mengejutkan mereka semua.
"Hemmm, orang-orang muda yang lancang. Kalau benar aku hendak pergi
mengunjungi Sin-tong, kalian mau apakah?"
Tiga belas
orang anak murid Bu-tong-pai itu sudah dapat ‘mencium’ keadaan yang membuat
mereka semua siap siaga. Mereka melihat bahwa kakek yang kelihatannya halus
budi dan ramah ini mulai memperlihatkan ‘tanduknya’ atau watak sesungguhnya.
"Locianpwe,
kalau benar demikian, kami hanya mohon kepada Locianpwe agar tidak mengganggu
Sin-tong."
"Apamukah
bocah itu?"
"Bukan
apa-apa, Locianpwe. Namun mendengar betapa anak ajaib itu telah banyak menolong
orang tanpa pandang bulu tanpa pamrih, maka sudahlah menjadi kewajiban semua
orang gagah di dunia kang-ouw untuk menjaga keselamatannya."
Terjadi
perubahan hebat pada diri kakek itu. Kini senyumnya bahkan lenyap dan mulutnya
menyeringai penuh sikap mengejek, matanya berkilat-kilat dan suaranya berubah
kaku, ketus dan memandang rendah. "Anak-anak kurang ajar! Apakah Si tua
bangka Kui Bhok Sianjin yang mengutus kalian?"
"Guru
kami tidak tahu-menahu tentang ini. Kami kebetulan berada di daerah ini dan
mendengar akan Sin-tong yang terancam bahaya, maka kami melihat Locianpwe lalu
sengaja hendak bertanya. Tentu saja kalau Locianpwe tidak menghendaki Sin-tong,
kami pun sama sekali tidak kurang ajar dan kami mohon maaf sebanyaknya."
"Aku
memang menuju ke Hutan Seribu Bunga. Mengapa kalian menyangka bahwa aku akan
mencelakai Sin-tong?"
Tiga belas
pendekar Bu-tong-pai itu makin tegang. Kakek ini sudah mulai berterus terang,
maka tiada salahnya kalau mereka bersikap waspada dan berterus terang pula.
"Siapa
yang tidak mendengar bahwa Pat-jiu Kai-ong sedang menyempurnakan ilmu iblis
yang disebut Hiat-ciang-hoat-sut (Ilmu Hitam Tangan Darah)?" tiba-tiba
Kwat Lin berseru sambil menudingkan telunjuk kirinya ke arah muka kakek itu.
Para
suheng-nya terkejut, akan tetapi ucapan telah terlanjur dikeluarkan dan memang
dalam hati mereka terkandung tuduhan ini. Ilmu Hiat-ciang-hoat-sut adalah
semacam ilmu hitam yang hanya dapat dipelajari oleh kaum sesat karena ilmu ini
membutuhkan syarat yang amat keji, yaitu menghimpun kekuatan hitam dengan jalan
menghisap dan minum darah, otak dan sumsum anak-anak yang masih bersih
darahnya! Tentu saja bagi seorang yang sedang menyempurnakan ilmu iblis ini,
Sin-tong mempunyai daya tarik yang luar biasa, karena darah, otak dan sumsum
seorang bocah seperti Sin-tong yang ajaib, lebih berharga dari darah, otak dan
sumsum puluhan orang bocah biasa lainnya!
Tiba-tiba
kakek itu tertawa lebar. “Ha-ha-ha, memang benar! Dan satu-satunya bocah yang
akan menyempurnakan ilmuku itu adalah Sin-tong! Dan aku bukan hanya suka minum
dan menghisap darah, otak dan sumsum bocah yang bersih, juga aku bukannya tidak
suka bersenang-senang dengan perawan cantik seperti engkau, Nona!"
"Sringgg!
Sringgg...!" Tampak sinar-sinar berkilauan ketika pedang yang tiga belas
buah banyaknya itu bergerak secara berbarengan dan tiga belas orang pendekar
itu telah mengurung si Kakek yang masih tertawa-tawa.
"Heh-heh,
kalian mau coba-coba main-main dengan Pat-jiu Kai-ong? Sayang kalian masih
muda-muda harus mati, kecuali nona manis ini. Andaikata Si tua bangka Kui Bhok
Sianjin berada di sini sekali pun, dia juga tentu akan mampus kalau berani
menentang Pat-jiu Kai-ong!"
"Serbu
dan basmi iblis ini!" Twa-suheng itu berteriak dan mereka sudah menerjang
maju dengan bermacam gerakan yang cepat dan dahsyat.
Tiba-tiba
kakek itu mengeluarkan suara pekik yang dahsyat, pekik yang disusul dengan
suara tertawa menyeramkan. Suara ketawa ini bergema di seluruh hutan, sehingga
terdengar suara ketawa menjawabnya dari semua penjuru, seolah-olah semua setan
dan iblis penjaga hutan telah datang oleh panggilan kakek itu.
Hebatnya,
suara pekik dan tertawa itu membuat tiga belas orang pendekar itu seketika
seperti berubah menjadi arca. Gerakan mereka tiba-tiba terhenti dan untuk
beberapa detik mereka hanya bengong memandang kakek itu dengan jantung
seolah-olah berhenti berdenyut.
Twa-suheng
mereka yang bermuka gagah perkasa itu segera berseru, "Awas,
Sai-cu-ho-kang (ilmu menggereng seperti singa berdasarkan khikang)!"
Seruan ini
menyadarkan para sute-nya dan sumoi-nya. Cepat mereka mengerahkan sinkang
sehingga pengaruh Sai-cu-ho-kang itu membuyar, dan pedang mereka pun
melanjutkan gerakannya.
"Sing-sing...
siuuut... trang-trang-trang...!”
Gulungan
sinar pedang-pedang menyambar ke arah tubuh kakek dari berbagai jurusan, namun
dapat ditangkis oleh gulungan sinar tongkat hitam yang telah diputar dengan
cepatnya oleh Pat-jiu kai-ong. Para pendekar Bu-tong-pai itu terkejut ketika
merasakan betapa telapak tangan mereka menjadi panas dan nyeri setiap kali
pedang mereka tertangkis tongkat. Hal ini menandakan bahwa si kakek benar-benar
amat lihai dan memiliki tenaga sakti yang amat kuat. Juga tongkatnya yang
kelihatan butut dan hitam itu ternyata terbuat dari logam pilihan sehingga
mampu menahan ketajaman pedang di tangan mereka, padahal semua pedang di tangan
Cap-sha Sin-hiap adalah pedang-pedang pusaka yang ampuh.
"Ha-ha-ha,
inikah Ngo-heng-kiam (Ilmu Pedang Lima Unsur) dari Bu-tong-pai yang terkenal?
Haha, tidak seberapa!" Sambil menggerakkan tongkatnya menangkis setiap
sinar pedang yang meluncur datang, kakek itu tertawa dan mengejek.
"Bentuk
Sin-kiam-tin (Barisan Pedang Sakti)!" teriak si twa-suheng melihat betapa
kakek itu benar-benar amat tangguh sehingga semua serangan pedang mereka dapat
ditangkis dengan mudahnya.
Tiba-tiba
tiga belas orang pendekar itu merubah gerakan mereka. Kini mereka tidak lagi
menyerang dari kedudukan tertentu, melainkan mereka bergerak mengurung dan
mengelilingi kakek itu. Sambil bergerak berkeliling mereka menyusun serangan
berantai yang susul-menyusul dan yang datangnya dari arah yang tidak tertentu.
Diam-diam
kakek itu terkejut, sejenak dia menjadi bingung. Kalau tadi mereka itu
menyerangnya dari kedudukan tertentu, biar pun gerakan mereka tadi berdasarkan
Ngo-heng-kiam, namun dia sudah dapat mengenali dasar Ngo-heng-kiam dan dapat
menggerakkan tongkat secara otomatis untuk menangkis semua pedang yang datang
menyambar. Akan tetapi sekarang sukar sekali menentukan dari mana serangan akan
datang, dan gerakan mengelilinginya itu benar-benar mendatangkan rasa pusing.
Marahlah
Pat-jiu Kai-ong. Tadi dia ingin mempelajari ilmu pedang Bu-tong-pai dan
memperhatikan para pengeroyoknya sebelum membunuh mereka. Akan tetapi setelah
mereka menggunakan Sin-kiam-tin dia tahu bahwa kalau dia tidak cepat mendahului
mereka, maka dia sendiri bisa terancam bahaya. Tidak disangkanya bahwa Si tua
bangka Kui Bhok Sianjin, ketua dari Bu-tong-pai dapat menciptakan barisan
pedang yang demikian lihainya.
Tiba-tiba
terjadi perubahan pada diri kakek ini. Tangan kirinya berubah menjadi merah
sekali, merah darah!
"Hati-hati
terhadap Hiat-ciang Hoat-sut!" si twa-suheng berseru keras ketika melihat
perubahan warna tangan kiri kakek itu.
Pat-jiu
Kai-ong tiba-tiba mengeluarkan pekik yang amat dahsyat, lebih dahsyat daripada
tadi. Tubuhnya mendadak membalik, tongkatnya menyambar dibarengi tangan kiri
merah itu mendorong ke depan.
"Prak-prak...!
Desss!"
Tiga orang
pengeroyok menjerit dan roboh, dua orang dengan kepala pecah oleh tongkat,
sedangkan seorang lagi terkena pukulan jarak jauh Hiat-ciang Hoat-sut, roboh
dan tewas seketika dengan dadanya tampak ada bekas lima jari merah seperti
terbakar, bahkan bajunya robek dan hangus. Itulah Hiat-ciang Hoat-sut, pukulan
maut yang mengerikan. Padahal ilmu itu masih belum sempurna, dapat dibayangkan
betapa hebatnya kalau kakek ini berhasil menghisap darah, otak dan sumsum
seorang bocah ajaib seperti Sin-tong!
Sepuluh
orang pendekar Bu-tong-pai yang tersisa terkejut dan marah sekali. Mereka
melanjutkan serangan dengan penuh semangat dan penuh dendam. Namun kembali
Pat-jiu Kai-ong memekik dahsyat sambil bergerak menyerang, dan kembali tiga
orang lawan roboh dan tewas. Serangan ini diulanginya terus, tidak memberi
kesempatan kepada para pengeroyoknya untuk membebaskan diri. Empat kali
terdengar dia memekik dahsyat seperti itu dan akibatnya, dua belas orang
diantara Cap-sha Sin-hiap dari Bu-tong-pai itu tewas semua, tewas dalam keadaan
masih menggurungnya dan yang masih hidup tinggal The Kwat Lin seorang!
Hal ini
memang disengaja oleh Pat-jiu Kai-ong, dan kini sambil tersenyum mengejek dia
menghadapi Kwat Lin. Dapat dibayangkan betapa perasaan dara itu melihat dua belas
orang suheng-nya telah tewas semua! Dua belas orang suheng-nya yang selama ini
berjuang sehidup-semati dengannya, kini telah menjadi mayat yang bergelimpangan
di sekelilingnya, seolah-olah mayat dua belas orang itu mengurung dia dan
Pat-jiu Kai-ong yang berdiri tersenyum di depannya.
"Iblis
busuk, aku akan mengadu nyawa denganmu!" Kwat Lin berseru mengandung isak
tertahan. "Haiiiit.....!" tubuhnya melayang ke depan, pedangnya
ditusukkan ke arah dada lawan dengan kebencian meluap-luap.
Namun dengan
gerakan seenaknya kakek itu memukulkan tongkatnya dari samping menghantam
pedang yang menusuknya.
"Krekkk!"
pedang itu patah dan gagangnya terlepas dari pegangan Kwat Lin!
Dara itu
membelalakkan matanya dan melihat pandang mata kakek itu kepadanya. Melihat
senyum yang baginya amat mengerikan itu, tiba-tiba dia membalikkan tubuhnya dan
melayang ke arah sebatang pohon besar. Kwat Lin berniat untuk membenturkan
kepalanya hingga pecah pada batang pohon itu! Gadis ini melihat ancaman bahaya
yang lebih mengerikan daripada maut sendiri, maka setelah yakin bahwa dia tidak
akan mampu mengalahkan lawannya, dia mengambil keputusan nekat untuk membunuh
diri dengan membenturkan kepalanya pada batang pohon.
"Bukkk!"
bukan batang pohon yang dibentur kepalanya, melainkan perut lunak dan tubuhnya
tahu-tahu sudah berada dalam pelukan Pat-jiu Kai-ong yang entah kapan telah
berada di situ menghadangnya di depan pohon!
"Lepaskan
aku!" Kwat Lin berteriak, dan tiba-tiba tubuhnya dilontarkan oleh kakek
itu hingga jatuh kembali ke dalam lingkaran mayat-mayat suheng-nya.
Dengan
langkah gontai kakek itu tersenyum-senyum memasuki lingkaran dan melangkahi
mayat bekas para penggeroyoknya, menghampiri Kwat Lin yang sudah bangkit duduk
dengan muka pucat dan mata terbelalak.
Kwat Lin
telah tersudut seperti seekor kelinci muda ketakutan menghadapi seekor harimau
yang siap menerkamnya. Perasaan ngeri yang luar biasa membuat Kwat Lin cepat
menggerakkan tangan kanannya, dengan dua buah jari tangan dia menusuk ke arah
ubun-ubun kepalanya sendiri sambil mengerahkan sinkang. Batu karang saja akan
berlubang terkena tusukan jari tangannya seperti itu, apa lagi ubun-ubun
kepalanya.
"Plakkk!"
"Aihhh...!"
Kwat Lin menjerit ketika tangannya itu tertangkis dan setengah lumpuh. Ternyata
kakek itu telah berdiri di depannya dan telah mencegah dia membunuh diri!
"Brettt...
brettt...!" tongkat kakek itu bergerak beberapa kali, dan seperti disulap
saja seluruh pakaian yang membungkus tubuh Kwat Lin cabik-cabik dan
cerai-berai, membuatnya menjadi telanjang bulat sama sekali!
Kwat Lin
menjerit, akan tetapi tiba-tiba seperti seekor kucing menerkam tikus, sambil
mengeluarkan suara ketawa menyeramkan, kakek itu telah menubruk dan memeluknya
sehingga mereka berdua bergulingan di atas rumput yang bernoda darah para
korban keganasan kakek itu! Kwat Lin melawan sekuat tenaga, namun sia-sia
belaka. Untuk membunuh diri tidak ada jalan baginya, untuk melawan pun percuma,
bahkan semua jeritan tangis dan permohonan, serta semua usahanya meronta-ronta
tiada gunanya sama sekali.
Semua usaha
ini malah menyenangkan hati si kakek. Seolah-olah seekor kucing yang menjadi
gembira dapat mempermainkan seekor tikus yang telah tersudut dan tidak berdaya,
mempermainkannya dan melihatnya tersiksa dan meronta sebelum menjadi mangsanya!
Selama tiga hari tiga malam Kwat Lin menderita siksaan yang amat hebat. Dia
diperkosa, dihina, dan diejek.
Pagi-pagi
sekali pada hari ketiga, Kwat Lin sudah dalam keadaan lebih banyak mati
daripada hidup, dalam keadaan setengah sadar, rebah terlentang tak mampu bergerak,
hanya matanya saja yang mendelik memandang kakek itu. Kwat Lin melihat kakek
itu mengenakan pakaian, menyambar tongkatnya dan tertawa memandang kepadanya
yang masih rebah terlentang dalam keadaan telanjang bulat di atas rumput
berdarah.
"Ha-ha-ha!
Sekarang aku pergi, manis. Aku telah puas, dan kalau kau mau membunuh diri,
silakan. Ha-ha-ha!"
Biar pun
Kwat Lin berada dalam keadaan menderita hebat, kehabisan tenaga, hampir mati
karena lelah, muak, jijik, malu, marah dan dendam tercampur aduk menjadi satu
dalam benaknya, namun kebencian yang meluap-luap masih memberinya tenaga untuk
berseru, "Jahanam, sekarang aku harus hidup! Aku harus hidup untuk melihat
engkau mampus di tanganku!"
"Ha-ha-ha!
Manis, kalau sewaktu-waktu kau merasa rindu kepadaku, datang saja ke Hong-san,
sampai jumpa!" Kakek itu lalu melangkah pergi meninggalkan tempat itu,
meninggalkan Kwat-Lin yang masih rebah.
Kini wanita
yang bernasib malang ini menangis sesenggukan di antara mayat-mayat dua belas
suheng-nya yang sudah mulai membusuk dan berbau! Dapat dibayangkan betapa
tersiksa rasa badan wanita muda ini. Dia dipaksa, diperkosa, dihina di antara
mayat-mayat dua belas suheng-nya. Bahkan sewaktu keadaan mayat-mayat itu mulai
membusuk dan menyiarkan bau yang hampir tak tertahankan, kakek itu masih saja
enak-enak mempermainkannya. Benar-benar seorang manusia yang kejam melebihi
iblis sendiri.
Tiba-tiba
Kwat Lin bangkit serentak, seolah-olah ada tenaga baru memasuki tubuhnya yang
menderita nyeri, lelah dan kelaparan karena selama tiga hari tiga malam dia
dipermainkan tanpa diberi makan atau minum oleh kakek iblis itu. Dia berdiri
tegak, telanjang bulat, lalu memandang ke arah semua mayat suheng-nya. Matanya
menjadi liar, keluar suara parau dari mulutnya yang pecah-pecah bibirnya oleh
gigitan kakek iblis.
"Suheng
sekalian, dengarlah! Aku The Kwat Lin, bersumpah untuk membalaskan kematian
suheng sekalian. Satu-satunya tujuan hidupku sekarang hanyalah untuk membalas
dendam dan membunuh iblis busuk Pat-jiu Kai-ong!"
Tiba-tiba
dia terhuyung mundur memandang wajah twa-suheng-nya. Pria inilah sebetulnya
yang sudah sejak dahulu mencuri hatinya.
"Twa-suheng...!"
Dia menubruk dan berlutut di dekat mayat yang sudah mulai membusuk itu.
"Jangan berduka, Twa-suheng.... Jangan menangis...." Dia berdiri
sesunggukan. "Apa...? Aku telanjang...? Pakaianmu...?"
Seperti
orang gila yang bicara dengan sesosok mayat, Kwat Lin bertanya, kemudian dia
membuka baju dan celana luar dari mayat yang sudah kaku kejang itu dengan agak
susah, lalu mengenakan pada tubuhnya sendiri. Tentu saja agak kebesaran.
"Hi-hi-hik,
pakaianmu kebesaran, Suheng...." Dia memandang wajah mayat twa-suhengnya
dan tertawa lagi. "Hi-hik. Nah, begitu, tertawalah Twa-suheng, tertawalah
para suheng sekalian..., tertawa dan bergembiralah karena dendam kalian pasti
akan kubalaskan! Hi-hi-hik... hu-hu-huuuhhh..."
Dia menangis
lagi terisak-isak dan dengan terhuyung-huyung dia meninggalkan tempat
mengerikan itu setelah mengambil pedang twa-suheng-nya. Pedang itu adalah
pedang pusaka terbaik di antara pedang ketiga belas orang pendekar Bu-tong-pai
itu, sebatang pedang pemberian ketua Bu-tong pai sendiri. Pedang yang di dekat
gagangnya ada gambar setangkai bunga bwee merah, maka pedang itu diberi nama
Ang-bwee-kiam (Pedang Bunga Bwee Merah). Dia terhuyung-huyung, pergi tak tentu
tujuan, asal menggerakkan kedua kaki melangkah saja. Langkahnya kecil-kecil dan
terhuyung-huyung karena tubuhnya masih terasa lelah, lapar dan sakit semua.
Kadang-kadang
terdengar dia terisak menangis, kemudian terkekeh geli. Kalau ada orang yang
bertemu dengan wanita yang bibirnya pecah-pecah, mukanya penuh debu dan air
mata, matanya membengkak dan merah, rambutnya riap-riapan dan pakaiannya
terlalu besar ini, tentu orang itu akan merasa seram, mengira bahwa setidaknya
dia adalah seorang wanita gila. Dugaan ini memang tidak meleset terlalu jauh.
Penderitaan lahir batin yang melanda diri Kwat Lin membuat wanita malang ini
tidak kuat menahan sehingga terjadi perubahan pada ingatannya.
Pada hari
yang sama ketika Cap-sha Sin-hiap roboh di tangan kakek iblis Pat-jiu Kai-ong
di kaki pegunungan Jeng-hoa-san, terjadi pula peristiwa hebat di bagian lain
dari pegunungan itu. Kalau Cap-sha Sin-hiap roboh di daerah timur pegunungan,
maka di daerah barat terjadi pula peristiwa yang hampir sama sungguh pun
sifatnya berbeda.
Pada pagi
hari itu, seorang wanita berjalan seorang diri mendaki lereng pertama dari
pegunungan Jeng-hoa-san sebelah barat. Wanita itu memasuki hutan dengan wajah
berseri. Harus diakui bahwa wajah wanita cantik ini manis sekali, mempunyai
daya tarik yang kuat sungguh pun usianya sudah empat puluh tahun. Tidak ada
keriput mengganggu kulit mukanya yang putih halus. Mulutnya yang agak lebar itu
mempunyai bibir yang senantiasa menantang dan seolah-olah buah masak yang sudah
pecah.
Akan tetapi
kalau orang memperhatikan matanya, mata yang jernih dan bersinar tajam, maka
hati yang kagum akan kecantikannya tentu akan berubah menjadi ragu-ragu, curiga
dan ngeri karena sepasang mata itu tidak pernah, atau jarang sekali berkedip.
Mata itu terbuka terus seperti mata boneka!
Dengan
langkah-langkah gontai dan lemas, membuat buah pinggulnya menonjol dan
bergoyang ke kanan-kiri, wanita itu berjalan seorang diri, memutar-mutar sebuah
payung yang dipanggulnya. Sebuah payung hitam yang tertutup, gagangnya
melengkung dan ujungnya meruncing. Pakaiannya serba mewah dan indah, rambutnya
panjang sekali, digelung ke atas seperti sebuah menara hitam yang indah,
terhias tusuk sanggul dari mutiara dan emas.
Yang menarik
adalah kuku-kuku jari tangannya. Kuku yang panjang terpelihara, diberi warna
merah, panjang meruncing dan agak melengkung seperti kuku kucing atau harimau.
Pakaiannya yang mewah itu dibuat terlalu pas dengan tubuhnya sehingga
membungkus ketat tubuh itu, membayangkan lekuk lengkung yang menggairahkan dari
dada sampai ke kaki karena celananya yang terbuat dari sutera merah muda itu
pun ketat sekali!
Biar pun
kelihatannya seperti seorang wanita cantik dan genit (tante girang), namun
sesungguhnya dia bukanlah manusia biasa! Dia inilah yang terkenal sekali di
dunia hitam kaum penjahat, karena wanita ini bukan lain adalah Kiam-mo Cai-li
(Wanita Pandai Berpayung Pedang), sebuah julukan yang membuat bulu tengkuk
orang yang sudah mengenalnya berdiri saking ngerinya karena wanita yang
sebenarnya hanya bernama Liok Si ini memiliki ilmu kepandaian yang tinggi
mengerikan dan kekejaman yang sukar dicari bandingnya!
Bahkan ia
disamakan dengan wanita cantik penjelmaan siluman rase yang biasa mengganggu
pria. Setiap pria yang terjebak dalam pelukannya tentu akan mati kehabisan
darah, disedot habis oleh siluman ini! Tentu saja bagi mereka yang belum pernah
berjumpa dengannya, sama sekali tidak akan mengira bahwa wanita yang
berlenggak-lenggok dengan payung di pundak itulah iblis wanita yang
menggeggerkan dunia kang-ouw dengan perbuatannya yang luar biasa.
Mudah saja
diduga mengapa pada hari itu Kiam-mo Cai-li ini mendaki lereng Jeng-hoa-san!
Tentu saja dia pun mendengar berita menggegerkan dunia kang-ouw akan adanya
Sin-tong, Si Bocah ajaib. Mendengar cerita ini, kontan hatinya berdebar-debar
keras penuh ketegangan dan penuh birahi!
Dia dapat
membayangkan betapa tenaga mukjijat yang dihimpunnya secara ilmu hitam dengan
jalan menghisap sari tenaga ratusan orang pria, akan meningkat dengan hebat
sekali kalau dia bisa menghisap kejantanan si Bocah Ajaib itu! Maka begitu
mendengar akan bocah ajaib di puncak pegunungan Jeng-hoa-san di dalam Hutan
Seribu Bunga, dia segera menempuh perjalanan jauh mengunjungi pegunungan itu.
Perjalanan
yang jauh karena biar pun sering kali Liok Si ini pergi merantau namun dia
memiliki sebuah pondok kecil seperti istana mewah yang terletak di tempat yang
tidak lumrah dikunjungi manusia, yaitu di daerah Rawa Bangkai. Rawa-rawa yang
liar ini terdapat di kaki pegunungan Luliang-san, merupakan daerah maut karena
banyak lumpur dan pasir yang berputar, hingga merupakan perangkap maut bagi
manusia dan hewan. Namun di tengah-tengah rawa-rawa yang tidak dapat dikunjungi
oleh manusia lain itu terdapat sebuah tanah datar, tanah keras semacam pulau.
Di atas pulau inilah letaknya istana kecil milik Liok Si yang berjuluk Kiam-mo
Cai-li, di mana ia tinggal bersama belasan orang pembantu-pembantu yang sudah
menjadi orang-orang kepercayaannya.
Dia disebut
Cai-li (Wanita Pandai) karena sebetulnya wanita ini dulunya adalah puteri
seorang sasterawan kenamaan. Sejak kecil Liok Si telah mempelajari
kesusasteraan sehingga dia mahir sekali akan sastra, bahkan dia pernah menyamar
sebagai pria menempuh ujian pemerintah sehingga dia lulus dan mendapat gelar
siucai! Akan tetapi penyamarannya ketahuan, dan seorang pembesar tinggi istana
yang kagum padanya lalu mengambilnya sebagai seorang selir.
Selain ilmu
sastra, semenjak kecil Liok Si juga digembleng ilmu silat oleh para sahabat
ayahnya. Apalagi setelah menjadi selir pembesar tinggi di istana, dia
mengadakan hubungan dengan kepala-kepala pengawal, dengan pengawal-pengawal
kaisar yang berilmu tinggi, menyerahkan tubuhnya sebagai pengganti ilmu
silat-ilmu silat tinggi yang diperolehnya sebagai bayaran.
Akhirnya
pembesar itu mengetahui akan tabiat selirnya ini yang ternyata adalah seorang
wanita yang gila pria, maka dia diusir dari istana pembesar itu. Akan tetapi,
apa yang dilakukan oleh wanita ini? Dia membunuh Si Pembesar, membawa banyak
harta benda yang dicurinya dari istana itu, kemudian minggat! Belasan tahun
kemudian, muncullah nama julukan Kiam-mo Cai-li, namun tidak ada yang menduga
bahwa dia adalah Liok Si yang dahulu menjadi selir bangsawan dan yang membunuh bangsawan
itu sehingga menjadi orang buruan pemerintah.
Liok Si
berjalan sambil tersenyum-senyum. Kadang-kadang senyumnya melebar dan tampak
giginya yang putih mengkilat dan di kedua ujungnya terdapat sebuah gigi yang
agak meruncing sehingga sekelebatan mirip gigi caling sihung. Hatinya gembira
sekali kalau dia membayangkan betapa akan sedapnya kalau dia dapat memperoleh
bocah ajaib itu.
"Hemmm,
aku harus bersikap halus dan hati-hati terhadapnya, menikmatinya selama
mungkin. Hemmm...," pikirnya sambil tersenyum.
Tiba-tiba
dia terkejut dan menghentikan langkahnya, akan tetapi kembali dia tersenyum
manis. Matanya mengerling tajam penuh kegairahan ketika melihat lima orang
laki-laki berdiri di depannya dengan sikap gagah. Pandang matanya
menyambar-nyambar dan terbayang kepuasan serta kekaguman. Memang, hati seorang
wanita gila pria seperti Liok Si tentu saja menjadi berdebar tegang ketika
melihat lima orang pria yang usianya rata-rata tiga puluh tahun lebih bertubuh
tegap-tegap dan rata-rata berwajah tampan dan gagah! Seperti melihat lima butir
buah yang ranum dan matang hati!
"Aih-aihh...
Siapakah Ngo-wi (Anda berlima) yang gagah perkasa ini? Dan apakah Ngo-wi
sengaja hendak bertemu dan bicara dengan aku?"
Seorang di
antara mereka, yang usianya tiga puluh tahun, mukanya bulat dan alisnya seperti
golok hitam dan tebal, berkata, "Apakah kami berhadapan dengan Kiam-mo
Cai-li dari Rawa Bangkai?"
Wanita itu
memainkan bola matanya memandangi wajah mereka berganti-ganti dengan berseri,
mulutnya tersenyum ketika menjawab, "Kalau benar mengapa? Kalian ini
siapakah?"
"Kami
adalah Kee-san Ngo-hohan (Lima Pendekar dari Gunung Ayam)."
"Tsk
tsk tsk...," Kiam-mo Cai-li mengeluarkan bunyi dengan lidahnya tanda
kagum. Segera dia menjura dan berkata manis, "Aih, kiranya lima pendekar
yang namanya sudah terkenal di seluruh dunia kang-ouw sebagai murid-murid utama
Hoa-san-pai! Aih, terimalah hormatnya seorang wanita bodoh seperti aku."
"Harap
Toanio (Nyonya) tidak mengejek dan bersikap merendah. Kami sudah tahu siapa
adanya Kiam-mo Cai-li, dan karena melihat engkau mendaki Jeng-hoa-san, maka
terpaksa kami memberanikan diri untuk menghadang."
"Ehm...!
Maksud kalian?" Senyumnya makin manis dan kerling matanya makin memikat.
"Kami
telah mendengar akan berita bahwa tokoh-tokoh kang-ouw sedang berusaha untuk
memperebutkan Sin-tong yang berada di Hutan Seribu Bunga. Kami mendengar pula
bahwa Kiam-mo Cai-li merupakan seorang di antara mereka yang hendak menculik
Sin-tong. Karena kami telah berhutang budi, diberi obat oleh Sin-tong, maka kami
hanya dapat membalas budinya dengan melindunginya terutama dari tangan... maaf,
para tokoh kaum sesat yang tentu tidak mempunyai itikad baik terhadap dirinya.
Andaikata kami tidak berhutang budi sekali pun, mengingat bahwa Sin-tong adalah
seorang anak ajaib yang telah banyak menolong orang tanpa pandang bulu, sudah
menjadi kewajiban orang-orang gagah untuk melindunginya."
Kembali
Kiam-mo Cai-li tersenyum. "Terus terang saja, memang aku mendengar tentang
Sin-tong dan aku ingin mendapatkannya, maka hari ini aku mendaki Jeng-hoa-san.
Habis kalian mau apa?"
"Kalau
begitu, kami minta dengan hormat agar kau suka membatalkan niatmu itu, Toanio.
Kalau kau memaksa hendak menganggu Sin-tong, terpaksa kami akan merintangimu
dan tidak membolehkan kau melanjutkan perjalanan!"
"Hi-hi-hik,
galak amat! Lima orang laki-laki muda tampan dan gagah bertemu dengan seorang
wanita cantik penuh gairah, sungguh tidak semestinya kalau bermain senjata
mengadu nyawa!"
Terima Kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment