Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Bu Kek Siansu
Jilid 02
"Hemm, habis semestinya bagaimana?" tanya orang pertama dari Kee-san Ngo-hohan. Betapa pun juga ia merasa jeri mendengar nama besar wanita ini dan mengharapkan wanita itu akan mengalah dan pergi dari situ tanpa mengganggu Sin-tong.
Mata itu
tajam mengerling dan senyumnya penuh arti, bibirnya penuh tantangan.
"Mestinya? Mestinya kita bermain cinta memadu kasih!"
"Perempuan
hina!"
"Jalang!"
"Siluman
betina"
Lima orang
itu telah mencabut senjata masing-masing, yaitu senjata golok besar yang selama
ini telah mengangkat nama mereka di dunia kang-ouw. Kelima orang pendekar ini
memang merupakan ahli-ahli bermain golok dengan Ilmu Hoa-san-to-hoat yang
terkenal, dan selain itu juga mereka semua mahir akan ilmu menotok jalan darah
yang bernama Sam-ci-tiam-hoat, yaitu ilmu menotok menggunakan tiga buah jari
tangan.
"Siattt...
singg... singg...!"
"Ha-ha-ha,
bagus! Kalian memang gagah sekali bermain golok, tentu lebih gagah kalau
bermain cinta, hi-hik!"
Kiam-mo
Cai-li mengelak dan tiba-tiba payung hitamnya berkembang terbuka. Payung itu
merupakan senjata isimewa, terbuat dari baja yang kuat dan kainnya terbuat dari
kulit badak yang kering dan sudah dimasak lemas, namun kuatnya luar biasa
sehingga dapat menahan bacokan senjata tajam. Ada pun ujung payung itu
meruncing, merupakan ujung pedang, dan gagangnya yang melengkung itu pun dapat
digunakan sebagai senjata kaitan yang lihai.
"Trang-trang-trang...!"
bunga api berpijar ketika golok-golok itu tertangkis oleh payung.
Kini tubuh
wanita itu tertutup payung yang berkembang dan berputar-putar, maka sukarlah
bagi lima orang itu untuk menyerangnya dari depan. Mereka lalu berloncatan dan
mengurung wanita itu.
"Hi-hik,
hayo keroyoklah. Kalau baru kalian lima orang ini saja, masih terlampau sedikit
bagiku. Hi-hik, hendak kulihat sampai di mana kekuatan kalian, apakah patut
untuk menjadi lawan-lawanku untuk bermain cinta!"
"Perempuan
rendah!" Orang pertama dari lima pendekar itu marah sekali, goloknya
menyambar dahsyat, tapi tiba-tiba golok itu terhenti di tengah udara karena
telah terikat oleh sebuah benda hitam panjang yang lembut.
Kiranya
wanita itu telah melepas gelung rambutnya dan ternyata rambut itu panjangnya
sampai ke bawah pinggulnya, rambut yang gemuk hitam, panjang dan harum baunya.
Bahkan bukan itu saja keistemewaannya, rambut itu dapat dipergunakan sebagai
senjata ampuh, sebagai cambuk yang kini berhasil membelit golok orang pertama
dari Kee-san Ngo-hohan! Sebelum orang ini sempat menarik goloknya, tangan kiri
Kiam-mo Cai-li bergerak menghantam tengkuk orang itu dengan tangan miring.
"Krekk!"
laki-laki itu mengeluh dan roboh tak dapat bangkit kembali karena dia telah
terkena totokan istimewa yang membuat tubuhnya lumpuh sungguh pun dia masih
dapat melihat dan mendengar.
Empat orang
lainnya terkejut dan marah sekali. Mereka memutar golok lebih gencar lagi,
bahkan kini tangan kiri mereka membantu dengan serangan totokan
Sam-ci-tiam-hoat yang ampuh!
Namun orang
yang mereka keroyok itu tertawa-tawa mempermainkan mereka. Setiap serangan
golok dapat dihalau dengan mudah oleh payung yang diputar-putar, sedangkan
ujung rambut yang panjang itu mengeluarkan suara ledakan-ledakan kecil dan
menyambar-nyambar di atas kepala mereka, tidak menyerang, hanya mendatangkan
kepanikan saja karena memang dipergunakan untuk mempermainkan mereka.
"Mampuslah!"
bentak orang kedua sambil menyerang dengan golok.
Ketika
goloknya ditangkis, cepat dia ‘memasuki’ lowongan dan berhasil mengirim
totokan. Karena tempat terbuka yang dapat dimasuki jari tangannya di antara
putaran payung itu hanya di bagian dada, maka dia menotok dada kiri wanita itu.
Dalam keadaan seperti itu, menghadapi lawan yang amat tangguh, pendekar ini
sudah tidak mau lagi mempergunakan sopan santun yang tentu tidak akan
dilanggarnya kalau keadaan tidak mendesak seperti itu.
"Cusss...!"
tiga buah jari tangan itu tepat mengenai buah dada kiri yang besar, tapi dia
hanya merasakan sesuatu yang lunak hangat.
Wanita itu
sama sekali tidak terpengaruh, bahkan mengerling dan berkata, "Ihh, kau
bersemangat benar, tampan. Belum apa-apa sudah main colek dada, hihik!"
Tentu saja
pendekar ini menjadi merah sekali mukanya. Dia merasa malu, akan tetapi juga
penasaran. Ilmu totok yang dimilikinya sudah terkenal dan belum pernah gagal.
Tadi jelas dia telah menotok jalan darah yang amat berbahaya di dada wanita
itu, tapi mengapa wanita itu sama sekali tidak merasakan apa-apa, bahkan
menyindirnya dan dianggap dia mencolek dada? Dengan marah dia menerjang lagi
bersama tiga orang sute-nya.
"Sudah
cukup, sudah cukup. Rebah dan beristirahatlah kalian!"
Tiba-tiba
payung itu tertutup kembali, berubah menjadi pedang yang aneh dan segulung
sinar hitam menyambar-nyambar mendesak empat orang itu, kemudian dari atas
terdengar ledakan-ledakan dan berturut-turut tiga orang lagi roboh terkena
totokan ujung rambut wanita sakti itu. Seperti orang pertama, mereka ini pun
roboh tertotok dan lumpuh, hanya dapat memandang dengan mata terbelalak namun
tidak mampu menggerakkan kaki tangan mereka!
Orang
termuda dari mereka kaget setengah mati melihat betapa empat orang suheng-nya
telah roboh. Namun dia tidak menjadi gentar, bahkan dengan kemarahan dan
kebencian meluap dia memaki, "Perempuan hina, pelacur rendah, siluman
betina! Aku takkan mau sudah sebelum dapat membunuhmu!"
"Aihhh...
kau penuh semangat akan tetapi mulutmu penuh makian menyebalkan hatiku!"
Golok itu
tertangkis oleh payung sedemikian kerasnya sehingga terpental. Sebelum
laki-laki itu dapat mengelak, sinar hitam menyambar dan ujung rambut telah
membelit lehernya! Pria itu berusaha sekuat tenaga untuk melepaskan libatan
rambut dari lehernya dengan kedua tangan, akan tetapi begitu wanita itu
menggerakkan kepalanya, rambutnya terpecah menjadi banyak gumpalan dan
tahu-tahu kedua pergelangan lengan orang itu pun sudah terbelit rambut yang
seolah-olah hidup seperti ular-ular hitam yang kuat.
"Nah,
ke sinilah, tampan. Mendekatlah, kekasih. Kau perlu dihajar agar tidak suka
memaki lagi!"
Laki-laki
itu sudah membuka mulut hendak memaki lagi, akan tetapi libatan rambut pada
lehernya makin erat sehingga dia tidak dapat bernapas, kemudian rambut itu
menariknya mendekat kepada wanita yang tersenyum-senyum itu! Kini laki-laki itu
sudah berada dekat sekali, bahkan dada dan perutnya telah menempel pada dada
yang membusung dan perut yang mengempis dari wanita itu. Tercium olehnya bau
wangi yang aneh dan memabokkan, akan tetapi karena lehernya terbelit kuat-kuat,
dan napasnya tak dapat lancar, maka dia terpaksa menjulurkan lidahnya ke luar.
"Aihhh,
kau perlu diberi sedikit hajaran, tampan!"
Empat orang
pendekar yang tertotok melihat dengan mata terbelalak penuh kengerian. Wanita
itu kini mendekatkan muka sute mereka yang termuda, kemudian membuka mulut dan
mencium mulut sute mereka yang terbuka dan lidah yang terjulur ke luar itu.
Mereka melihat tubuh sute mereka berkelojot sedikit seperti menahan sakit. Mata
sute mereka terbelalak, namun wanita itu terus mencium dan menutup mulut pria
itu dengan mulutnya sendiri yang lebar.
Tak dapat
terlihat oleh empat orang pendekar itu, betapa wanita yang kejam dan keji
seperti iblis itu telah menggunakan giginya untuk menggigit sampai terluka
lidah sute mereka yang terjulur ke luar, kemudian menghisap darah dari luka di
lidah itu! Mereka berempat hanya melihat betapa wanita itu memejamkan mata.
Baru sekarang mereka melihat wanita itu memejamkan mata, kelihatan penuh
nikmat. Akan tetapi wajah sute mereka makin pucat dan mata sute mereka yang
terbelalak itu membayangkan kenyerian dan ketakutan yang hebat.
Agaknya
wanita itu tidak puas karena darah yang dihisapnya kurang banyak, maka kini dia
melepaskan mulut pemuda itu dan memindahkan ciuman mulutnya ke leher si pemuda.
Dapat dibayangkan betapa kaget empat orang pendekar itu melihat bahwa mulut
sute mereka penuh warna merah darah!
"Sute...!!!"
mereka berseru, akan tetapi tidak dapat menggerakkan kaki tangan mereka.
Sute mereka
meronta-ronta seperti ayam disembelih. Matanya melotot memandang ke arah para
suhengnya seperti orang minta tolong, kemudian tubuhnya berkelojotan ketika
wanita itu kelihatan jelas menghisap-hisap lehernya. Ternyata bahwa urat besar
di lehernya telah ditembusi gigi yang meruncing dan kini dengan sepuasnya
wanita itu menghisap darah yang membanjir ke luar dari urat di leher itu! Mata
yang melotot itu makin hilang sinarnya dan pudar, wajahnya makin pucat, dan
akhirnya tubuh yang meregang-regang itu lemas. Orang termuda itu pingsan karena
kehilangan banyak darah, ketakutan dan ngeri.
Kiam-mo
Cai-li melepaskan libatan rambutnya dan tubuh itu terguling roboh, terlentang
dengan muka pucat dan napas terengah-engah.
“Sute...!"
kembali mereka mengeluh dan dengan penuh kengerian mereka melihat betapa wanita
itu menggunakan lidahnya yang kecil merah dan meruncing itu untuk menjilati
darah yang masih belepotan di bibirnya yang menjadi makin merah.
Wajahnya
kemerahan, segar seperti kembang mendapat siraman, berseri-seri dan ketika dia
mendekati empat orang itu, mereka terbelalak penuh kengerian. Akan tetapi
wanita itu tidak menyerang mereka, agaknya dia sudah puas menghisap darah orang
termuda tadi. Hanya kini kedua tangannya bergerak-gerak dan sekali renggut saja
pakaian empat orang itu telah koyak-koyak.
Kemudian dia
bangkit berdiri. Dengan gerakan memikat seperti seorang penari telanjang, dia
membuka pakaiannya, menanggalkan satu demi satu sambil menari-nari! Sampai dia
bertelanjang bulat sama sekali di depan empat orang itu yang membuang muka
dengan perasaan ngeri dan sebal!
"Kalian
layanilah aku, puaskanlah aku, senangkan hatiku dan aku akan membebaskan kalian
berlima. Lihat, bukankah tubuhku menarik? Aku hanya ingin mendapatkan cinta
kalian, aku tidak menginginkan nyawa kalian."
"Cih,
siluman betina! Kau anggap kami ini orang-orang apa? Kami adalah murid
Hoa-san-pai yang tidak takut mati. Seribu kali lebih baik mampus daripada
memenuhi seleramu yang terkutuk melayani nafsu berahimu yang menjijikan!"
kata empat orang itu saling susul dan saling bantu.
Kiam-mo
Cai-li tersenyum. "Hi-hik, begitukah? Kalau begitu, baiklah, kalian
melayani aku sampai mampus!" Dia lalu membungkuk dan menarik lengan
seorang di antara mereka, kemudian menggunakan kuku jari kelingking kiri
menggurat beberapa tempat di punggung dan tengkuk pria ini.
Orang itu
menggigil, menggigit bibir menahan sakit, akan tetapi karena dia tidak mampu
mengerahkan sinkang, dia tidak dapat melawan pengaruh hebat yang menggetarkan
tubuhnya melalui luka-luka goresan kuku beracun dari kelingking itu. Mukanya
menjadi merah, juga matanya menjadi merah dan napasnya terengah-engah.
Tiga orang
pendekar yang lain memandang penuh kekhawatiran dan kengerian.
Tiba-tiba
wanita itu terkekeh, menggunakan tangan membebaskan totokan sehingga orang itu
dapat menggerakkan kaki tangannya dan terjadilah hal yang membuat tiga orang
pendekar yang masih rebah lumpuh itu terbelalak penuh kengerian. Mereka melihat
Sute mereka itu seperti seorang gila menerkam dan mendekap tubuh wanita itu
penuh gairah nafsu!
Dengan mata
terbelalak mereka melihat betapa wanita itu menyambutnya dengan kedua lengan
terbuka, bergulingan di atas rumput dan tampak betapa wanita itu membiarkan
dirinya diciumi, kemudian mengalihkan mulutnya yang lebar ke leher Sute mereka!
Mereka bertiga terpaksa memejamkan mata agar tidak usah menyaksikan peristiwa
yang memalukan dan terkutuk itu.
Mereka
mengerti bahwa Sute mereka melakukan hal terkutuk itu karena terpengaruh oleh
racun yang diguratkan oleh kuku jari kelingking si iblis betina. Mereka tahu
pula bahwa Sute mereka yang diamuk pengaruh jahanam itu tidak tahu bahwa
darahnya dihisap oleh wanita itu yang seperti telah dilakukan pada orang
pertama tadi kini juga menghisap darahnya sepuas hatinya.
Dapat diduga
lebih dahulu bahwa tiga orang yang lain juga mengalami siksaan yang sama tanpa
dapat berdaya apa-apa, tanpa dapat melawan sama sekali. Hal ini dilakukan
berturut-turut oleh Kiam-mo Cai-li, dan tiga hari tiga malam kemudian dia
meninggalkan tempat itu sambil menjilat-jilat bibirnya penuh kepuasan. Setelah
dia melempar kerling ke arah lima tubuh telanjang yang sudah menjadi mayat
semua itu, bergegas dia pergi mendaki Jeng-hoa-san untuk mencari Sin-tong yang
amat diinginkan.
Lima orang
Kee-san Ngo-hohan itu mengalami kematian yang amat mengerikan. Tubuh mereka
kehabisan darah, kulit mengeriput. Mereka seperti lima ekor lalat yang terjebak
ke sarang laba-laba. Setelah semua darah mereka disedot habis oleh laba-laba,
mayat mereka yang sudah kering dan habis sarinya itu dilemparkan begitu saja.
Kwa Sin
Liong, atau yang lebih terkenal dengan nama panggilan Sin-tong, pada pagi hari
itu seperti biasa setelah mandi cahaya matahari, lalu menjemur obat-obatan dan
tidak lama kemudian berturut-turut datanglah orang-orang dusun yang membutuhkan
bahan obat untuk bermacam penyakit yang mereka derita. Sin-tong mendengarkan
dengan sabar keluhan dan keterangan mereka tentang sakit yang mereka derita,
menyiapkan obat-obat untuk mereka semua dengan hati penuh belas kasihan.
Semua ada
sebelas orang dusun, tua muda laki perempuan yang memandang kepada bocah itu
dengan sinar mata penuh kagum dan pemujaan. Baru bertemu dan memandang wajah
Sin-tong itu saja, mereka sudah merasa banyak berkurang penderitaan sakit
mereka. Seolah-olah ada wibawa yang keluar dari wajah bocah penuh kasih sayang
itu yang meringankan rasa sakit yang mereka derita. Tentu saja hal ini
sebenarnya terjadi karena kepercayaan mereka yang penuh bahwa bocah itu akan
dapat menyembuhkan penyakit mereka, sehingga keyakinan ini sendiri sudah
merupakan obat yang manjur.
Dan bocah
ajaib itu memang bukanlah seorang dukun yang menggunakan kemukjijatan dan sulap
atau sihir untuk mengobati orang, melainkan berdasarkan ilmu pengobatan yang
wajar. Dia memilih buah, daun, bunga atau akar obat yang memang mengandung
khasiat yang tepat atau daya penyembuh terhadap penyakit-penyakit tertentu itu.
Tiba-tiba
terdengar nyanyian yang makin lama makin jelas terdengar oleh mereka semua.
Juga Sin Liong, bocah ajaib itu, berhenti sebentar mengumpulkan dan memilih
obat yang akan dibagikan karena mendengar suara nyanyian yang aneh itu. Akan
tetapi begitu kata-kata nyanyian itu dimengertinya, dia mengerutkan alisnya dan
menggeleng-geleng kepala.
"Aihh,
kalau hidup hanya untuk mengejar kesenangan, apa pun juga tentu tidak akan
dipantangnya untuk dilakukan demi mencapai kesenangan!" kata Sin Liong.
"Ha-ha-ha,
benar sekali, Sin-tong! Untuk mencapai kesenangan harus berani melakukan apa
pun juga, termasuk membunuh para tamu-tamu yang tiada harganya ini!"
terdengar jawaban dan tahu-tahu di situ telah berdiri Pat-jiu Kai-ong!
Sebagai
lanjutan kata-katanya, tongkatnya ditekankan kepada tanah di depan kaki lalu
lima kali ujung tongkat itu bergerak menerbangkan tanah dan kerikil ke depan. Tampak
sinar hitam berkelebat menyambar lima kali, disusul jerit-jerit kesakitan dan
robohlah berturut-turut lima orang dusun yang berada di depan Sin Liong. Mereka
roboh dan berkelojotan, kemudian tewas seketika karena tanah dan kerikil itu
masuk ke dalam kepala mereka!
"Hi-hi-hik,
kepandaian seperti itu saja dipamerkan di depan Sin-tong. Lihat ini!"
Tiba-tiba
terdengar suara ketawa merdu dan tahu-tahu di situ telah berdiri seorang wanita
cantik yang bukan lain adalah Kiammo Cai-li! Dia menudingkan payung hitamnya
yang tertutup itu ke arah para penghuni dusun yang berwajah pucat dan dengan
mata terbelalak memandang lima orang teman mereka yang telah tewas.
"Cuat-cuat-cuat...!"
dari ujung payung itu meluncur sinar-sinar hitam dan berturut-turut, enam orang
dusun yang masih hidup menjerit dan roboh tak bergerak lagi, leher mereka
ditembusi jarum-jarum hitam yang meluncur ke luar dari ujung payung itu!
Sejenak Sin
Liong terbelalak memandang kepada kedua orang itu yang berdiri di sebelah kanan
dan kirinya. Kemudian dia memandang ke bawah, ke arah tubuh sebelas orang dusun
yang telah menjadi mayat. Mukanya menjadi merah, air matanya berderai dan
dengan suara nyaring dia berkata sambil menudingkan telunjuknya bergantian
kepada Pat-jiu Kai-ong dan Kiam-mo Cai, "Kalian ini manusia atau iblis?
Kalian berdua amat kejam, perbuatan kalian amat terkutuk. Membunuh orang-orang
tak berdosa seolah kalian pandai menghidupkan orang.” Bocah itu memandang
kepada sebelas mayat dan sesenggukan menangis.
"Hi-hi-hik!
Sin-tong yang baik, apakah kau takut kubunuh? Jangan khawatir, aku datang bukan
untuk membunuhmu," kata Kiam-mo Cai-li. Ia agak kecewa melihat betapa
bocah ajaib itu menangis dan membayangkannya ketakutan.
Sin Liong
mengangkat muka memandang wanita itu. Biar pun air matanya masih berderai
turun, namun pandang matanya sama sekali tidak membayangkan ketakutan.
"Kau mau bunuh aku atau tidak, terserah. Aku tidak takut!"
"Ha-ha-ha!
Benar-benar hebat! Sin-tong, kalau kau tidak takut, kenapa menangis?"
Pat-jiu Kai-ong menegur.
"Apa
kau menangisi kematian orang-orang yang tidak berharga itu?" Kiam-mo
Cai-li menyambung.
"Mereka
sudah mati, mengapa ditangisi? Aku menangis menyaksikan kekejaman yang kalian
lakukan. Aku menangis karena melihat kesesatan dan kekejaman kalian!"
Dua orang
tokoh sesat itu terbelalak heran saling pandang. Kemudian mereka teringat
kembali akan niat mereka terhadap anak ajaib ini, maka keduanya seperti
dikomando saja lalu tertawa, dan keduanya dengan kecepatan kilat menyerbu ke
depan hendak menubruk Sin-Liong yang berdiri tegak dan memandang dengan sinar
mata sedikit pun tidak membayangkan rasa takut!
"Desss...!"
Karena
gerakan mereka berbarengan, disertai rasa khawatir kalau-kalau keduluan oleh
orang lain, maka melihat Pat-jiu Kai-ong sudah lebih dekat dengan Sin-tong,
Kiam-mo Cai-li lalu merubah gerakannya. Ia tidak hendak menangkap Sin-tong
karena dia kalah dulu, melainkan melakukan gerakan mendorong dengan kedua
tangannya ke arah Pat-jiu Kai-ong!
Pukulan
jarak jauh yang dilakukan oleh wanita iblis ini dahsyat sekali, membuat Pat-jiu
Kai-ong terkejut ketika ada angin panas menyambar, maka dia cepat menunda
niatnya menangkap Sin-tong dan bergerak menangkis. Keduanya merasakan
dahsyatnya tenaga lawan dan terpental ke belakang! Sejenak mereka saling
berpandangan dan Pat-jiu Kai-ong yang lebih dulu dapat menguasai dirinya lalu
tertawa.
"Ha-ha-ha!
Lama tidak jumpa, Kiam-mo Cai-li menjadi makin gagah saja!"
"Pat-jiu
Kai-ong, selama ada aku disini, jangan harap kau akan dapat merampas Sin-tong
dari tanganku!" wanita itu berkata dan memandang tajam, siap menghadapi
kakek yang dia tahu merupakan lawan yang tangguh itu.
"Aha!
Kiam-mo Cai-li, sekali ini kau mengalahlah kepadaku. Aku membutuhkannya untuk
menyempurnakan ilmuku..."
"Hi-hik,
Ilmu Hiat-ciang Hoat-sut, bukan? Kau sudah cukup tangguh, Kai-ong, dan betapa
mudahnya bagimu untuk mencari seratus orang anak lagi untuk kau hisap darah,
otak dan sumsumnya. Jangan Sin-tong!"
"Hemmm,
kau mau menang sendiri. Apa kau kira aku tidak tahu mengapa kau menghendaki
Sin-tong? Dia masih terlalu muda, Cai-li, tentu tidak akan memuaskan hatimu.
Apa sukarnya bagimu mencari orang-orang muda yang kuat dan menyenangkan?"
"Cukup!
Kita mempunyai keinginan sama, dan jalan satu-satunya adalah untuk
memperebutkannya dengan kepandaian!"
"Ha-ha-ha,
bagus sekali. Memang aku ingin mencoba kepandaian Wanita Pandai dari Rawa
Bangkai!"
Liok Si, Si
Wanita Pandai Berpayung Pedang dari Rawa Bangkai sudah tak dapat menahan
kemarahannya melihat ada orang berani merintanginya. Maka sambil berteriak
keras dia sudah menerjang maju dengan senjatanya yang istimewa, yaitu payung
hitam yang tangkainya sebatang pedang runcing itu.
"Trakkk!"
Pat-jiu
Kai-ong sudah menggerakkan tongkatnya menangkis. Gempuran dua tenaga raksasa
membuat keduanya terpental lagi ke belakang. Pat-jiu Kai-ong cepat meloncat ke
depan, tongkatnya berubah menjadi segulungan sinar hitam yang menyambar ganas.
"Trakk!
Trakkk!!" dua kali senjata payung dan tongkat bertemu di udara dan
keduanya terhuyung ke belakang. Diam-diam mereka berdua terkejut sekali dan
maklum bahwa dalam hal tenaga sakti, kekuatan mereka berimbang.
Sebelum mereka
melanjutkan pertandingan, tiba-tiba mereka melangkah mundur dan memandang tajam
karena berturut-turut ditempat itu telah muncul lima orang kakek yang melihat
cara munculnya dapat diduga tentu memiliki kepandaian tinggi. Mereka muncul
seperti setan-setan, tidak dapat didengar atau dilihat lebih dahulu, tahu-tahu
sudah berdiri di situ sambil memandang ke arah Pat-jiu Kai-ong dan Kiammo
Cai-li dengan bermacam sikap.
Dua orang
datuk kaum sesat atau golongan hitam ini melihat dengan penuh perhatian, dan seketika
mereka terkejut sekali. Biar pun di antara lima orang itu ada yang belum pernah
mereka jumpai, namun melihat ciri-ciri mereka, kedua orang datuk golongan hitam
ini dapat mengenal mereka yang kesemuanya adalah orang-orang aneh di dunia
kang-ouw yang masing-masing telah memiliki nama besar sebagai orang-orang
sakti.
Sementara
itu, Sin Tong menjadi makin berduka ketika melihat dua orang kakek dan nenek
tadi bertanding memperebutkan dirinya. Tak disangkanya bahwa di tempat yang
penuh damai ini, di mana dia selama hampir tiga tahun tinggal penuh ketentraman
dan kedamaian, yang membuat dia hampir melupakan kekejaman-kekejaman manusia
ketika terjadi pembunuhan ayah-bundanya, kini dia menyaksikan kekejaman yang
lebih hebat lagi. Sebelas orang dusun yang sama sekali tidak berdosa dibunuh
begitu saja oleh dua orang itu!
Maka dia
lalu duduk di atas batu, bersila dan tak bergerak seperti arca. Hatinya dilanda
duka, dan dia memandang dengan sikap tidak mengacuhkan. Bahkan ketika muncul
lima orang aneh itu, dia pun tidak membuat reaksi apa-apa kecuali memandang
dengan penuh perhatian namun dengan sikap sama sekali tidak mengacuhkan.
Orang
pertama adalah seorang kakek berusia enam puluh tahun, bertubuh tinggi besar
dengan muka merah seperti tokoh Kwan Kong dalam cerita Sam-kok, kelihatan gagah
sekali. Di punggungnya tampak dua batang pedang menyilang, matanya lebar,
alisnya tebal dan suaranya nyaring ketika dia tertawa, "Ha-ha-ha, kiranya
bukan hanya orang gagah saja yang tertarik kepada Sin-tong, juga iblis-iblis
berdatangan sungguh pun tentu mempunyai niat lain!" Dengan ucapan yang
jelas ditujukan kepada Kiammo Cai-li dan Pat-jiu Kai-ong ini, dia memandang dua
orang itu dengan terang-terangan.
Orang ini
bukanlah orang sembarangan. Namanya sendiri adalah Siang-koan Houw, akan tetapi
dia lebih terkenal dengan sebutan Tee-tok (Racun Bumi). Selain merupakan
seorang ahli racun yang sukar dicari tandingannya, dia juga amat ganas,
menghadapi lawan tanpa kenal ampun dan selain itu, juga dia amat jujur dan
blak-blakan, bicara dan bertindak tanpa pura-pura lagi.
Ilmu
silatnya tinggi sekali, dan yang paling terkenal sehingga menggegerkan dunia
persilatan adalah ilmu pukulannya yang disebut Pek-lui-kun (Ilmu Silat Tangan
Kilat) dan ilmu pedangnya Ban-tok Siang-kiam (Sepasang Pedang Selaksa Racun)!
Tidak ada orang yang tahu di mana tempat tinggalnya karena memang dia seorang
perantau yang muncul di mana saja secara tak terduga-duga seperti kemunculannya
sekarang ini di Hutan Seribu Bunga.
"Huhh,
bekas Sute ku yang tetap goblok!" kata orang kedua. "Masa masih tidak
mengerti apa yang dikehendaki dua iblis ini? Jembel busuk itu tentu ingin
menghisap darah dan otak Sin-tong untuk menyempurnakan ilmu iblisnya Hiat-Ciang
Hoat-sut. Sedangkan iblis betina genit ini apa lagi yang dicari kecuali sari
kejantanan Sin-tong? Hayo kalian menyangkal, hendak kulihat apakah kalian
begitu tak tahu malu untuk menyangkal!"
Orang yang
kata-katanya amat menusuk ini adalah seorang kakek yang beberapa tahun lebih
tua daripada Tee-tok, bahkan menyebut Tee tok sebagai bekas sute nya karena
memang demikian. Dia bertubuh tinggi kurus dan mukanya seperti tengkorak
mengerikan. Di ketiaknya terselip sebatang tongkat panjang dan gerak-geriknya
ketika bicara seperti seekor monyet yang tak mau diam, bahkan kadang-kadang
menggaruk-garuk kepala atau pantatnya, matanya liar memandang ke kanan-kiri.
Inilah dia
tokoh hebat yang berjuluk Thian tok (Racun Langit), bekas suheng Tee tok yang
memiliki kepandaian khas. Selain lihai dalam hal racun sesuai dengan nama dan
julukannya, juga dia adalah seorang pemuja Kauw Cee Thian atau Cee Thian
Thaiseng, Si Raja Monyet itu. Senjatanya sebatang tongkat yang dia beri nama
Kim kauw pang seperti tongkat Si Raja Monyet. Juga dia telah menciptakan ilmu
silat tangan kosong yang meniru gerak-gerik seekor monyet yang diberinya nama
Sin-kauw-kun (Ilmu Silat Monyet Sakti). Seperti juga Tee tok, dia tidak
mempunyai tempat tinggal yang tetap, dan tidak ada yang tahu lagi nama aslinya,
yaitu Bhong Sek Bin.
"Hemmm,
setelah ada aku di sini, jangan harap segala macam iblis dapat berbuat sesuka
hati sendiri!" kata orang ke tiga. Suaranya kasar dan keras, pandang
matanya seperti ujung pedang menusuk.
Orang ini
bernama Ciang Ham, julukannya Thian-he Te-it, Sedunia Nomor Satu! Usianya
kurang lebih 50 tahun, dan dia adalah ketua dari Perkumpulan Kang-jiu-pang
(Perkumpulan Lengan Baja) yang didirikannya di Secuan. Di tangan kirinya tampak
sebatang senjata tombak gagang panjang, dan selain terkenal sebagai seorang
ahli bermain tombak, dia pun terkenal memiliki lengan sekuat baja! Pakaiannya
ringkas seperti biasa dipakai oleh seorang ahli silat dan setiap gerak-geriknya
menunjukkan bahwa dia telah mempunyai kepandaian silat yang sudah mendarah
daging di tubuhnya.
Orang ke
empat adalah seorang berpakaian sastrawan, sikapnya halus, usianya 50 tahun
tapi masih tampak tampan. Tubuhnya sedang dan dia sudah menjura ke arah kedua
orang datuk golongan hitam itu. Di pinggangnya terselip sebatang mauw-pit, alat
tulis pena panjang.
"Kami
berlima dengan tujuan yang sama datang ke tempat ini, tidak sangka bertemu
dengan dua orang tokoh terkenal seperti Ji-wi (Anda berdua), Pat-jiu Kai-ong
dan Kiam-mo Cai-li, terutama sekali kepada Cai-li, terimalah hormatku."
Pat-jiu
Kai-ong sudah segera dapat mengenal siapa orang ini, akan tetapi Kiam-mo Cai-li
tidak mengenalnya. Hati wanita ini yang tadinya panas mendengar kata-kata
menentang dari tiga orang pertama, merasa seperti dielus-elus oleh sikap dan
kata-kata orang berpakaian sastrawan yang tampan ini. Maka dia pun membalas
penghormatannya dan dengan lirikan mata memikat dan senyum simpul manis sekali
dia bertanya.
"Harap
maafkan kami, tetapi siapakah saudara yang manis budi dan yang tentu memiliki
ilmu kepandaian bun dan bu (sastra dan silat) yang tinggi ini?"
Laki-laki
itu tersenyum dan menjawab halus, "Saya yang rendah dinamakan orang
Gin-siauw Siucai (Pelajar Bersuling Perak), seorang yang suka bersunyi di
Beng-san."
Kiam-mo
Cai-li kembali menjura. Sambil tersenyum dia berkata, "Aihhh, sudah lama
sekali saya telah mendengar nama besar Cin-siauw Siucai sebagai seorang ahli
silat tinggi, terutama sekali sebagai seorang peniup suling yang mahir. Sudah
lama pula saya mendengar akan keindahan tamasya alam di Beng-san. Mudah-mudahan
saja saya akan berumur panjang untuk mengunjungi Beng-san yang indah, menjadi
tamu Gin-siauw Siucai yang ramah dan sopan, tidak seperti kebanyakan pria yang
kasar tak tahu sopan santun!" Ucapan terkhir ini jelas ditujukannya kepada
tiga orang tokoh pertama yang kasar-kasar tadi.
Orang ke
lima dari rombongan itu adalah seorang tosu berusia enam puluh tahun lebih.
Tubuhnya tinggi kurus dan mukanya pucat, tangan kiri memegang sebuah hudtim
(Kebutan Pendeta) dan tangan kanan memegang sebuah kipas yang tiada hentinya
digoyang-goyang mengipasi lehernya seolah-olah dia kepanasan, padahal hawa di
Hutan Seribu Bunga itu sejuk! Kini dia membuka mulut dan terdengarlah suaranya
yang merdu menyanyikan sajak dalam kitab To-tek-kheng, kitab utama dari kaum
tosu (Pemeluk Agama To)!
Amat
sempurna, namun tampak tak sempurna,
Tampak tidak
lengkap, sungguh pun kegunaannya tiada kurang.
Terisi
penuh, namun tampaknya meluap tumpah,
Tampaknya
kosong, sungguh pun tak pernah kehabisan.
Yang paling
lurus, kelihatan bengkok,
Yang paling
cerdas, kelihatan bodoh,
Yang paling
fasih, kelihatan gagu,
Api panas
dapat mengatasi dingin,
Air sejuk
dapat mengatasi panas.
Sang
Budiman, murni dan tenang dapat memberkati dunia!
"Huah-ha-ha-ha!
Anda tentulah Lam-hai Seng-jin (Manusia Sakti Laut Selatan), bukan? Sajak-sajak
To-tek-kheng agaknya telah menjadi semacam cap Anda, ha-ha-ha!" kata
Pat-jiu Kai-ong sambil tertawa mengejek.
Tosu itu
berkata, "Siancai! Pat-jiu Kai-ong bermata tajam, dapat mengenal seorang
tosu miskin dan bodoh."
"Ah,
jangan merendah, Totiang," kata Kiam-mo Cai-li, "Siapa orangnya yang
tidak tahu bahwa biar pun Anda seorang yang berpakaian tosu dan kelihatan miskin,
namun memiliki sebuah istana dan menjadi majikan dari Pulau Kura-kura. Ini
namanya menggunakan pakaian butut untuk menutupi pakaian indah di sebelah
dalamnya."
"Siancai!
Pujian kosong...!" Tosu itu berkata dan mukanya menjadi merah.
Tee-tok
Siangkoan Houw mengeluarkan suara menggereng tidak sabar. "Apa-apaan semua
kepura-puraan yang menjemukan ini? Pat-jiu Kai-ong dan Kiam-mo Cai-li, ketika
kami berlima datang tadi, kami melihat kalian sedang memperebutkan Sin-tong dan
tentu sebelas orang dusun ini kalian berdua yang membunuhnya!"
"Tee-tok,
urusan itu adalah urusan kami sendiri. Perlu apa kau mencampuri?" Pat-jiu
Kai-ong menjawab dengan senyum dan suara halus seperti kebiasaannya, namun
jelas bahwa dia merasa tak senang.
"Bukan
urusanku, memang! Akan tetapi ketahuilah, kami berlima mempunyai maksud yang
sama, yaitu masing-masing menghendaki agar Sin-tong menjadi muridnya. Biar pun
kami saling bertentangan dan berebutan, namun kami memperebutkan Sin-tong untuk
menjadi murid kami atau seorang di antara kami. Sedangkan kalian berdua
mempunyai niat buruk!" kata pula Tee-tok yang terkenal sebagai orang yang
tidak pernah menyimpan perasaan dan mengeluarkannya semua tanpa tedeng
aling-aling lagi melalui suaranya yang nyaring.
"Tee-tok,
jangan sombong kau! Mengenai kepentingan masing-masing memperebutkan Sin-tong,
adalah urusan pribadi yang tak perlu diketahui orang lain. Yang jelas, kita
bertujuh masing-masing hendak memiliki Sin-tong untuk kepentingan pribadi
masing-masing tentu saja. Sekarang bagaimana baiknya? Apakah kalian ini lima
orang yang mengaku sebagai tokoh-tokoh sakti dan gagah dari dunia kang-ouw
hendak mengandalkan banyak orang mengeroyok kami berdua. Aku, Kiam-mo Cai-li
sama sekali tidak takut biar pun aku seorang kalian keroyok berlima, akan
tetapi betapa curang dan hinanya perbuatan itu. Terutama sekali Gin-siauw
Siucai, tentu tidak begitu rendah untuk melakukan pengeroyokan!" kata
Kiammo Cai-li yang cerdik.
"Perempuan
sombong kau, Kiam-mo Cai-li!" Tee-tok membentak marah dan melangkah maju.
"Siapa sudi mengeroyokmu? Aku sendiri pun cukup untuk mengenyahkan seorang
iblis betina seperti engkau dari muka bumi!"
"Tee-tok,
buktikan omonganmu!" Kiam-mo Cai-li membentak dan dia pun melangkah maju.
"Eh-eh,
nanti dulu! Apa hanya kalian berdua saja yang menghendaki Sin-tong? Kami pun
tidak mau ketinggalan!" kata Pat-jiu Kai-ong mencela.
"Benar
sekali! Perebutan ini tidak boleh dimonopoli oleh dua orang saja! Aku pun tidak
takut menghadapi siapa pun untuk memperoleh Sin-tong!" Thian-te Te-it
Ciang Ham membentak sambil menggoyang tombak panjangnya melintang di depan
dada.
"Siancai...!
Siancai...!" Lam-hai Seng-jin melangkah maju, menggoyang kebutannya.
"Harap Cuwi (Anda Sekalian) suka bersabar dan tidak turun tangan secara
kacau saling serang. Semua harus diatur seadilnya dan sebaiknya. Kita bukanlah
sekumpulan bocah yang biasanya hanya saling baku hantam memperebutkan sesuatu.
Sudah jelas bahwa kita bertujuan sama, yaitu ingin memperoleh Sin-tong. Akan
tetapi kita lupa bahwa hal ini sepenuhnya terserah kepada pemilihan Sin-tong
sendiri. Maka marilah kita berjanji. Kita bertanya kepada Sin-tong, kepada
siapa ia hendak ikut dan kalau dia sudah menjatuhkan pilihannya, tidak seorang
pun boleh melarang atau mencampuri. Bagaimana?"
"Hemm,
tidak buruk keputusan itu. Aku setuju!" kata Tee-tok.
"Aku
pun setuju!" kata Thian-tok dan yang lain pun tidak mempunyai alasan untuk
tidak menyetujui keputusan yang memang adil ini.
Kemudian
Thian-tok melanjutkan dengan kata-kata yang sengaja dibikin keras agar
terdengar oleh Sin-tong. "Tentu saja semuanya harus jujur dan tidak
membohongi Sin-tong akan maksud hati sebenarnya. Misalnya yang mau mengambil
murid, yang hendak menghisap darahnya atau hendak memperkosa dan menghisap sari
kejantanannya juga harus berterus terang!"
Tentu saja
dua orang tokoh golongan hitam itu mendongkol sekali dan ingin menyerang
Thian-tok yang licik itu.
"Isi
hati orang siapa yang tahu? Boleh saja kau bilang hendak mengambil murid, akan
tetapi siapa tahu kalau kau menghendaki nyawanya?" Kiam-mo Cai-li mengejek
Thian-tok.
"Kau...!
Majulah, rasakan Kim-kauw-pang pusakaku ini!"
"Boleh!
Siapa takut?" Wanita itu balas membentak.
"Siancai...!"
Lam-hai Seng-jin mencela dan melangkah maju. "Apakah kalian benar-benar
hendak menjadi kanak-kanak? Katanya tadi sudah setuju, nah marilah kita
mendengar sendiri siapa yang menjadi pilihan Sin-tong."
Tujuh orang
itu lalu menghampiri Sin-tong yang masih duduk bersila seperti sebuah arca.
Hatinya penuh kengerian menyaksikan tingkah laku tujuh orang itu.
"Sin
Tong yang baik. Lihatlah, aku satu-satunya wanita di antara kami bertujuh.
Lihatlah aku, seorang wanita yang hidup kesepian dan merana karena tidak
mempunyai anak. Aku mendengar bahwa engkau pun sebatang kara, tidak mempunyai
ayah-bunda lagi. Marilah anakku, marilah ikut dengan aku, maka aku akan menjadi
pengganti ibumu yang mencintaimu dengan seluruh jiwaku. Mari hidup sebagai
seorang pangeran di istanaku, di Rawa Bangkai, dan engkau akan menjadi seorang
terhormat dan mulia. Marilah Sin-tong, anakku!"
Sin Tong
mengangkat muka memandang sejenak wajah wanita itu, kemudian dia menunduk dan
tidak menjawab, juga tidak bergerak. Hatinya makin sakit karena dia dengan
jelas dapat melihat kepalsuan di balik bujuk-rayu manis itu, apalagi kalau dia
mengingat betapa wanita ini dengan tersenyum-senyum dapat begitu saja membunuh
jiwa enam orang dusun yang tidak berdosa! Dia merasa ngeri dan tidak dapat
menjawab.
"Sin-tong,
aku adalah ketua dari Pat-jiu Kai-pang di pegunungan Hong-san. Sebagai seorang
ketua perkumpulan pengemis, tentu saja aku kasihan sekali melihat engkau
seorang anak yang hidup sebatang-kara. Kau ikutlah bersamaku, Sin-tong, dan
kelak engkau akan menjadi Raja Pengemis. Bukankah kau suka sekali menolong
orang? Orang yang paling perlu ditolong olehmu adalah golongan pengemis yang
hidup sengsara. Kau ikutlah dengan aku, dan Pat-jiu Kai-ong akan menjadikan
engkau seorang yang paling gagah di dunia ini!"
Kembali
Sin-tong memandang wajah itu dan diam-diam bergidik. Orang yang dapat membunuh
lima orang dusun sambil tertawa-tawa seperti kakek ini sekarang menawarkan
kepadanya untuk menjadi raja pengemis! Dia tidak menjawab juga, hanya kembali
menundukkan mukanya.
"Anak
ajaib, anak baik, Sin Tong, dengarlah aku. Aku adalah Gin-siauw Siucai, seorang
sastrawan yang mengasingkan diri dan menjadi pertapa di Beng-san. Selama
hidupku aku tidak pernah melakukan perbuatan jahat dan selama puluhan tahun aku
tekun menghimpun ilmu silat, ilmu sastra dan ilmu meniup suling. Aku ingin
sekali mengangkat engkau sebagai muridku, Sin-tong."
"Ha-ha-ha,
kau turut aku saja, Sin-tong. Biar pun aku seorang yang kasar, namun hatiku
lemah menghadapi anak-anak. Aku sendiri memiliki seorang anak perempuan sebaya
denganmu. Biarlah kau menjadi saudaranya, kau menjadi muridku dan kau takkan
kecewa menjadi murid Tee-tok. Pilihlah aku menjadi gurumu, Sin-tong."
"Tidak,
aku saja! Aku Bhong Sek Bin, namaku tidak pernah kukatakan kepada siapa pun dan
sekarang kukatakan di depanmu, tanda bahwa aku percaya dan suka sekali
kepadamu. Akulah keturunan dari Dewa Sakti Cee Thian Thai-seng, akulah yang
mewarisi ilmu Kim-kauw-pang. Kau jadilah murid Thian-tok dan kelak kau akan
merajai dunia kang-ouw, Sin Tong."
"Lebih
baik menjadi muridku. Aku Thian-he Te-it Ciang Ham, di kolong dunia nomor satu
dan ketua dari Kang-jiu-pang di Secuan. Menjadi muridku berarti menjadi calon
manusia terpandai di kolong langit!"
"Siancai...!
Siancai...! Kau dengarlah mereka semua itu, Sin-tong. Semua hendak mengajarkan
ilmu silat dan memamerkan kekayaan duniawi, tidak seorang pun yang hendak
mengajarkan kebatinan kepadamu. Akan tetapi pinto (aku) ingin sekali mengambil
murid kepadamu, hendak pinto jadikan engkau seorang calon guru besar kebatinan.
Kau berbakat untuk itu! Siapa tahu kelak engkau akan memiliki kebijaksanaan
besar seperti Nabi Lo-cu sendiri, dan engkau menjadi seorang nabi baru. Kau
jadilah murid Lam-hai Sengjin, Sin-tong!"
Hening
sejenak. Semua mata ditujukan kepada bocah yang masih duduk bersila seperti
arca dan yang tidak pernah menjawab kecuali mengangkat muka sebentar memandang
orang yang membujuknya.
Terdengarlah
suara sang bocah yang halus menggetar dan penuh duka. "Terima kasih kepada
Cuwi Locianpwe. Akan tetapi saya tidak dapat ikut siapa pun juga di antara Cuwi
karena di balik semua kebaikan Cuwi terdapat kekerasan dan nafsu membunuh
sesama manusia. Tidak, saya tidak akan turut siapa pun. Saya lebih senang tinggal
di sini, di tempat sunyi ini. Harap Cuwi sekalian tinggalkan saya, saya akan
mengubur mayat-mayat yang patut dikasihani ini."
"Wah,
kepala batu! Kalau begitu, aku akan memaksamu!" kata Tee-tok yang berwatak
berangasan dan kasar.
"Eh,
nanti dulu! Siapa pun tidak boleh mengganggunya!" bentak Thian-tok.
"Siancai...
sabar dulu semua! Jelas bahwa bocah ajaib ini tidak mau memilih seorang di
antara kita secara sukarela. Karena itu tentu kita semua ingin merampasnya
secara kekerasan. Maka harus diatur sebaik dan seadil mungkin. Kita bukan
kanak-kanak, kita adalah orang-orang yang telah menghimpun banyak ilmu, maka
sebaiknya kalau kita sekarang masing-masing mengeluarkan ilmu dan mengadu ilmu.
Siapa yang keluar sebagai pemenang, tentu saja berhak memiliki Sin-tong,"
kata Lam-hai Seng-jin yang lebih sabar daripada yang lain.
"Mana
bisa diatur begitu?" bantah Pat-jiu kai-ong yang khawatir kalau-kalau lima
orang itu akan mengeroyok dia dan Kiam-mo Cai-li. "Lebih baik seorang
lawan seorang, yang kalah masuk kotak dan yang menang harus menghadapi yang
lain setelah beristirahat. Begitu baru adil!"
"Tidak!"
bantah Kiam-mo Cai-li. Wanita yang cerdik ini dapat melihat kesempatan yang
menguntungkannya kalau terjadi pertandingan bersama seperti yang diusulkan
Lam-hai Seng-jin. Dalam pertempuran seperti itu, siapa cerdik tentu akan keluar
sebagai pemenang. "Kalau diadakan satu lawan satu, terlalu lama. Sebaiknya
kita bertujuh mengeluarkan ilmu dan saling serang tanpa memandang bulu. Dengan
demikian, satu-satunya orang yang keluar sebagai pemenang jelas dia lebih lihai
daripada yang lain."
Akhirnya
Pat-jiu kai-ong kalah suara. Ketujuh orang itu telah mengeluarkan senjata
masing-masing, membentuk lingkaran besar dan bergerak perlahan-lahan saling
lirik, siap untuk menghantam siapa yang mendekat dan menangkis serangan dari
mana pun juga! Benar-benar merupakan pertandingan hebat yang kacau-balau dan
aneh!
Sin Tong
yang masih duduk bersila memandang dengan mata terbelalak, dan dia menjadi
silau ketika tujuh orang itu sudah mulai menggerakkan senjata masing-masing
untuk menyerang dan menangkis. Gerakan mereka demikian cepatnya, sehingga bagi
Sin Tong yang kelihatan hanyalah gulungan-gulungan sinar senjata dan bayangan
orang berkelebatan tanpa dapat dilihat jelas bayangan siapa.
Memang hebat
pertandingan ini karena dipandang sepintas lalu, seolah-olah setiap orang
melawan enam orang musuh dan kadang-kadang terjadi hal yang lucu. Ketika
Tee-tok menyerang Pat-jiu Kai-ong dengan siang-kiam-nya, sepasang pedangnya ini
membabat dari kiri kanan. Pat-jiu Kai-ong terkejut karena pada saat itu dia
sedang menyerang Lam-hai Seng-jin yang di lain pihak juga sedang menyerang
Gin-siauw Siucai! Akan tetapi terdengar suara keras ketika sepasang pedang
Tee-tok itu bertemu dengan tombak di tangan Thian-he Te-it dan tongkat
Thian-tok, sehingga seolah-olah dua orang ini melindungi Pat-jiu Kai-ong.
Pertandingan
sungguh kacau-balau dan hanya Kiam-mo Cai-li yang benar-benar amat cerdiknya.
Dia tidak melayani seorang tertentu, melainkan berlarian berputar-putar. Ia
selalu menghindarkan serangan lawan yang mana pun juga dan dia pun tidak
menyerang siapa-siapa, hanya menggerakkan pedang payungnya dan rambutnya untuk
membuat kacau dan kadang-kadang juga menekan lawan apabila melihat ada seorang
di antara mereka yang terdesak. Siasatnya adalah untuk merobohkan seorang demi
seorang dengan jalan ‘mengeroyok’ tanpa membantu siapa-siapa agar jumlah
lawannya berkurang.
Namun mereka
itu rata-rata adalah orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi, maka tidaklah
mudah dibokong oleh Kiam-mo Cai-li, bahkan lama-lama akalnya ini ketahuan dan
mulailah mereka menujukan senjata kepada wanita ini sehingga mau tidak mau
wanita itu terseret ke dalam pertandingan kacau-balau itu! Terpaksa dia
mempertahankan diri dengan pedang payungnya, dan membalas serangan lawan yang
paling dekat dengan kemarahan meluap-luap.
Sin Tong
menjadi bengong. Entah kapan datangnya, tahu-tahu dia melihat seorang laki-laki
duduk ongkang-ongkang di atas cabang pohon besar yang tumbuh dekat medan pertandingan
itu. Laki-laki itu memandang ke arah pertempuran dengan mata terbelalak penuh
perhatian, tangan kiri memegang sehelai kain putih lebar, dan tangan kanan yang
memegang sebatang alat tulis tiada hentinya mencorat-coret di atas kain putih
itu, seolah-olah dia tidak sedang menonton pertandingan, melainkan sedang
menonton pemandangan indah dan dilukisnya pemandangan itu! Sin Tong yang
terheran-heran itu pun memperhatikan lebih seksama.
Orang
laki-laki itu kurang lebih empat puluh tahun usianya. Pakaiannya seperti
seorang pelajar, akan tetapi di bagian dada bajunya yang kuning muda itu ada
lukisan seekor Naga Emas dan seekor Burung Hong Merah. Indah sekali lukisan
baju itu. Wajahnya tampan dan gagah, dengan kumis dan jenggot terpelihara
baik-baik. Pakaiannya juga bersih dan terbuat dari sutera halus, sepatu yang
dipakai kedua kakinya masih baru atau setidaknya amat terpelihara sehingga
mengkilap. Rambutnya memakai kopyah sasterawan dan sepasang matanya
bersinar-sinar penuh kegembiraan ketika dia mencorat-coret melukis pertandingan
antara tujuh orang sakti itu.
Sin Tong
makin bingung. Betapa mungkin melukis tujuh orang yang sedang berkelebatan
hampir tak tampak itu? Sin Tong tidak lagi memperhatikan pertandingan, hanya
memandang ke arah orang itu. Dia mendengar bentakan-bentakan nyaring dan tidak
tahu bahwa tujuh orang itu telah ada yang terluka.
Thian-he
Te-it telah terkena hantaman tongkat Thian-tok di pahanya sehingga terasa nyeri
sekali. Pat-jiu Kai-ong juga kena serempet pundaknya sehingga berdarah oleh
sebatang di antara Siang-kiam di tangan Tee-tok, sedangkan Lam-hai Seng-jin dan
Gin-siauw Siucai juga telah mengadu tenaga dan keduanya tergetar sampai
muntahkan darah, namun berkat sinkang mereka, kedua orang ini tidak sampai
mengalami luka dalam yang parah.
Sin Tong
melihat betapa laki-laki di atas pohon itu tersenyum. Orang itu menghentikan
coretannya, lalu menyimpan pensil dan menyambar jubah luar yang tadi tergantung
di ranting pohon. Setelah memakai jubah, lelaki itu kemudian mengantongi gambar
yang telah digulungnya dan akhirnya tubuhnya melayang turun.
"Tontonan
tidak bagus!" terdengar dia berseru. "Tujuh orang tua bangka gila
memperlihatkan tontonan di depan seorang anak kecil, benar-benar tak tahu malu
sama sekali!"
Tujuh orang
itu terkejut ketika mendengar suara yang langsung menggetarkan jantung mereka
itu. Mengertilah mereka bahwa yang datang ini memiliki khikang dan sinkang yang
amat kuat sehingga dapat mengatur suaranya, langsung dipergunakan untuk
menyerang mereka dan sama sekali tidak mempengaruhi Sin-tong yang masih duduk
bersila. Dengan hati tegang mereka lalu meloncat mundur dan masing-masing
melintangkan senjata di depan dada, memandang ke arah laki-laki gagah yang baru
muncul itu. Namun tidak ada seorang pun di antara mereka yang mengenalnya, maka
ketujuh orang itu menjadi marah sekali.
"Bangsat
kecil, engkau siapakah berani mencampuri urusan kami dan memaki kami?!"
bentak Pat-jiu Kai-ong sambil mengusap pundaknya yang berdarah.
"Apa
kau memiliki kepandaian maka berani mencela kami, tikus kecil?" bentak
pula Thian-he Te-it yang masih ngilu rasa pahanya, dan untung bahwa pahanya itu
tidak patah tulangnya.
Laki-laki
itu melangkah maju menghampiri mereka dengan langkah tegap dan sikap sama
sekali tidak takut, bahkan wajahnya itu berseri-seri memandang mereka seorang
demi seorang. Setelah berada di tengah-tengah sehingga terkurung, kemudian dia
berkata, " Tadinya aku hanya mendengar bahwa ada seorang anak baik terancam
oleh perebutan orang-orang pandai di dunia kang-ouw. Ketika tiba di sini dan
melihat lagak kalian, mau tidak mau aku masuk karena hatiku memang penasaran
menyaksikan gerakan kalian yang sungguh-sungguh masih mentah. Ilmu tongkat dia
itu tentu Pat-mo-tung-hoat yang berdasarkan Ilmu Pedang Pat-mo-kiam-hoat,"
katanya sambil menuding ke arah Pat-jiu Kai-ong.
Raja
pengemis itu terkejut sekali melihat orang mengenal ilmu tongkatnya. Padahal
tadi mereka bertujuh bertanding dengan kecepatan luar biasa, bagaimana orang
ini dapat mengenal ilmu tongkatnya?
"Dan
ilmu tongkat dia itu lebih lucu dan kacau lagi. Meniru gerakan Kauw Cee Thian
Si Raja Monyet, akan tetapi kaku dan mentah, tidak pantas menjadi gerakan Raja
Monyet, pantasnya menjadi gerakan Raja Tikus!" katanya pula sambil
menuding ke arah Thian-tok.
"Brakkk!!"
batu besar yang berada di samping Thian-tok hancur berantakan karena dipukul
oleh tongkatnya. Dia marah sekali mendengar ucapan yang dianggapnya menghina
itu.
"Manusia
lancang, berani kau menghina Thian-tok?" bentaknya dan tongkatnya sudah
diputar hendak menyerang.
Akan tetapi
orang itu membentak, "Berhenti!"
Dan aneh,
suaranya demikian berwibawa sehingga Thian-tok sendiri sampai tergetar dan
menghentikan gerakan tongkatnya.
"Aku
melihat kalian masing-masing memiliki kepandaian khusus namun masih mentah
semua. Aku tidak berbohong, dan kalau tidak percaya, marilah kalian maju
seorang demi seorang. Akan kuperlihatkan kementahan ilmu silat kalian yang
kalian pergunakan dalam pertandingan kacau-balau tadi. Hayo siapa yang maju
lebih dulu, akan kulayani dengan ilmu silat kalian sendiri!"
Ucapan ini
lebih mendatangkan rasa heran dan tidak percaya daripada kemarahan. Maka
Pat-jiu Kai-ong melupakan pundaknya yang terluka. Cepat dia sudah meloncat ke
depan, melintangkan tongkatnya di depan dada sambil berseru, "Nah, coba
kau buktikan kementahan ilmu tongkatku!"
Setelah
berkata demikian, Raja Pengemis ini menyerang. Ia menggunakan tongkatnya untuk
menusuk, kemudian gerakan ini dilanjutkan dengan memutar tongkat ke atas
menghantam kepala. Memang gerakan tongkatnya adalah gerakan pedang yang dia
ambil dari Ilmu Pedang Pat-mo-kiam-hoat. Hal ini adalah rahasianya, maka dia
heran sekali mendengar orang tampan gagah itu mengenal ilmu tongkatnya dan
sekaligus membuka rahasianya.
Enam orang
tokoh yang lain adalah orang-orang yang telah terkenal, maka mereka menahan
kemarahan dan menonton untuk melihat apakah orang yang tidak terkenal ini
benar-benar memiliki kepandaian aneh dan apakah benar-benar selihai mulutnya
yang amat sombong itu.
Serangan
Pat-jiu Kai-ong itu tidak ditangkis, akan tetapi tubuh orang itu tiba-tiba saja
lenyap! Semua orang kaget dan bengong melihat betapa tubuh orang itu tahu-tahu
telah melayang turun dari atas pohon, di tangannya terdapat sebatang cabang
pohon yang daunnya telah dibersihkan. Demikian cepatnya dia tadi meloncat
sehingga tidak tampak, dan entah bagaimana cepatnya tahu-tahu dia telah
membikin sebatang tongkat yang ukurannya sama dengan tongkat yang dipegang Pat-jiu
Kai-ong. Begitu dia turun, Pat-jiu Kaiong telah menyerangnya dengan kemarahan
meluap.
"Nah,
lihatlah. Bukankah ini Pat-mo-kiam-hoat (Ilmu Pedang Delapan Iblis) yang kau
ubah menjadi Pat-mo-tung-hoat?"
Orang itu
pun kini mengimbangi permainan ilmu tongkat Pat-jiu Kai-ong dengan gerakan yang
sama! Jurus demi jurus dimainkan orang itu untuk menangkis dan balas menyerang,
namun bedanya serangannya jauh lebih cepat dan tenaga sinkang yang menggerakkan
tongkat itu juga lebih kuat! Tokoh-tokoh lain hanya menduga-duga, mengira orang
baru itu meniru gerakan Pat-jiu Kai-ong.
Akan tetapi
Raja Pengemis ini sendiri mengenal gerakan orang itu yang bukan lain adalah
ilmu tongkat yang digubahnya sendiri! Dia menjadi bingung dan heran, apalagi
serangan orang itu cepatnya melebihi kilat dan dalam belasan jurus saja,
tiba-tiba terdengar suara keras. Tongkat di tangan Pat-jiu Kai-ong patah dan si
Raja Pengemis ini sendiri terpelanting. Mukanya pucat sekali karena tadi ujung
tongkat lawan telah menyambar dahinya tepat di antara mata, dan kalau
dikehendakinya tentu dia telah tewas. Akan tetapi orang aneh itu hanya
mengguratnya saja sehingga kulit di bagian itu robek dan berdarah.
Tahulah dia
bahwa ia telah berhadapan dengan seorang yang memiliki ilmu kepandaian yang
jauh melampuinya. Ia sadar pula bahwa nyawanya sudah diampuni, maka tanpa
banyak cakap dia lalu mundur dan berdiri dengan muka pucat dan mulut berbisik,
"Aku mengaku kalah!"
Tentu saja
hal ini mengejutkan enam orang tokoh yang lain! Mereka tadi dalam pertandingan
kacau-balau telah beradu senjata dengan Si Raja Pengemis. Mereka maklum bahwa
selain ilmu tongkatnya amat lihai, juga tongkat itu sendiri merupakan senjata
pusaka yang kuat menangkis senjata tajam, di samping tenaga sinkang si Kakek
Jembel yang amat kuat. Namun, dalam belasan jurus saja kakek jembel itu mengaku
kalah, tongkatnya patah dan di antara alisnya terluka, sedangkan tadinya mereka
mengira bahwa orang yang baru datang itu hanya meniru-niru ilmu silat Pat-jiu
Kai-ong!
"Si
Jembel tua bangka memang tolol!"
Tiba-tiba
Thian-he Te-it Ciang Ham meloncat ke depan. Tombaknya melintang di tangan
kanannya, sedangkan tangan kirinya dikepal, tangan kiri yang mengandung tenaga
mukjijat dan terkenal dengan sebutan Kang-jiu (Lengan Baja) yang kuat menangkis
senjata tajam!
Orang itu
tersenyum sabar. “Hemm, jadi tadi adalah Pat-jiu Kai-ong, ketua Pat-jiu
Kai-pang yang terkenal? Heran..., ilmunya masih serendah itu sudah berani
malang melintang di Heng-san. Dan kau ini siapakah? Ginkang-mu cukup lumayan
akan tetapi permainan tombakmu belum patut disebut Sin-jio (Tombak Sakti), dan
pukulan itu, tentu yang dinamakan Lengan Baja, sayangnya tidak cocok dengan
sebutannya karena terlalu lemah, hemm, terlalu lemah...!"
Muka Ciang
Ham menjadi merah sekali saking marahnya. Sudah menjadi kebiasaannya kalau dia
lagi marah, matanya mendelik dan kumisnya yang jarang itu bergoyang-goyang
menurutkan bibir atasnya yang tergetar! "Si keparat sombong! Tahukah
engkau dengan siapa engkau berhadapan? Aku adalah Thianhe Te-it (Nomor Satu
Sedunia) ketua dari Kang-jiu-pang di Secuan! Bersiaplah untuk mampus di
tanganku!"
Kembali
orang itu meloncat ke atas, kini semua orang yang sudah memperhatikan seluruh
gerak-geriknya melihat bahwa orang itu benar-benar memiliki ginkang yang sukar
dipercaya. Hanya dengan mengenjot ujung kaki, tubuhnya melesat dengan kecepatan
yang luar biasa sekali, lalu lenyap ke dalam pohon besar dan tak lama kemudian
sudah melayang turun membawa sebatang cabang yang panjangnya sama dengan tombak
di tangan Ciang Ham, bahkan ujungnya juga sudah diruncingkan, entah bagaimana
caranya!
"Nah,
coba mainkan ilmu tombakmu dan pukulan Lengan Bajamu yang masih mentah
itu," katanya sambil tersenyum.
Thian-he
Te-it Ciang Ham bukan main marahnya. Sambil mengeluarkan gerengan keras dia
menerjang. Tombaknya bergerak dahsyat sehingga mata tombak berubah menjadi
belasan banyaknya. Semua mata tombak itu seolah-olah menyerang bagian-bagian
tertentu dari lawannya!
Namun orang
itu pun menggerakkan tombak cabang pohon dengan gerakan yang sama, bahkan mata
‘tombaknya’ berubah menjadi dua puluh lebih, membentuk bayangan tombak yang
menyilaukan mata. Maka terjadilah pertandingan tombak yang amat aneh karena
gerakan mereka sama.
Dapat
dibayangkan betapa kagetnya hati Thian-he Te-it Ciang Ham. Ilmu tombak itu
adalah ciptaannya sendiri dan selama ini belum pernah diajarkan kepada siapa
pun juga, merupakan kepandaian khasnya yang ampuh. Akan tetapi sekarang dia
melihat orang ini memainkan ilmu tombaknya dengan gerakan yang lebih cepat dan
lebih kuat! Marahlah dia.
"Setan
kau!" dia memaki.
Kini
tombaknya membuat lingkaran besar, menyambar-nyambar di atas kepala lawan,
sedangkan lengan kirinya melakukan pukulan maut karena lengan itu seolah-olah
merupakan sebuah senjata baja yang kuat sekali.
"Bagus!"
orang itu berseru. Tombaknya bergerak pula menyambut tombak lawan.
“Krekkk!”
terdengar suara ketika ujung tombak Thian-he Te-it patah disusul bertemunya dua
buah lengan.
"Desss...!"
Thian-he
Te-it Ciang Ham mengaduh, melemparkan tombaknya yang patah, menggunakan tangan
kanan mengurut-urut lengan kirinya. Lengan kiri yang terkenal dengan sebutan
Lengan Baja itu, yang berani menangkis senjata tajam lawan, begitu bertemu
dengan lengan lawan berubah menjadi seperti bambu bertemu besi. Tulangnya retak
dan sakitnya bukan main! Dia pun bukan anak kecil. Seketika tahulah dia bahwa
dia berhadapan dengan seorang yang tingkat kepadaiannya jauh lebih tinggi,
membuat dia seolah-olah berhadapan dengan gurunya. Maka dia meloncat ke
belakang, meringis dan berkata nyaring, "Aku kalah!"
Hening
sejenak. Lima orang tokoh lain terheran-heran, hampir tidak dapat percaya akan
peristiwa yang telah terjadi. Biar pun mereka mulai merasa heran dan gentar,
namun rasa penasaran membuat mereka lupa akan kenyataan bahwa orang itu
benar-benar lihai. Mereka hendak membuktikan sendiri apakah benar orang aneh
ini dapat memainkan ilmu istimewa mereka yang selama ini mengangkat nama mereka
di tempat tinggi di dunia kang-ouw.
"Hayo,
siapa lagi yang ingin memamerkan ilmunya yang masih mentah?" orang itu
sengaja menantang sambil melemparkan tombak cabang pohon yang telah berhasil
mematahkan ujung tombak pusaka di tangan Ciang Ham tadi.
"Aku
ingin mencoba!" Thian-tok sudah melompat ke depan dengan gerakan seperti
seekor kera dan tangan kirinya menggaruk-garuk pantat, tangan kanan memegang
tongkat Kim-kauw-pang itu memutar-mutar tongkatnya.
"Nanti
dulu," kata orang itu. "Yang bertombak tadi, bukankah dia yang
terkenal sekali sebagai ketua Kang-jiu-pang di Secuan? Harap Pangcu (Ketua)
menjaga agar anak buahmu tidak merendahkan nama Kang-jiu-pang dengan melakukan
perbuatan melanggar hukum dan memperbaiki ilmu silatnya."
Ciang Ham
tidak menjawab, hanya kumisnya bergoyang-goyang karena marahnya.
"Dan
Anda ini, apakah mempunyai kudis di pantat, ataukah memang hendak meniru lagak
seekor monyet? Kalau begitu, tentulah Anda yang berjuluk Thian-tok, yang
kabarnya menjadi pemuja Kauw Cee Thian, terkenal dengan Ilmu Tongkat
Kim-kauw-pang dan Ilmu Silat Sin-kauw-kun."
"Dugaanmu
benar, akulah Thian-tok! Siapakah namamu, manusia sombong?" Thian-tok
Bhong Sek Bin membentak marah. "Ataukah kau tidak berani mengakui namamu
dan bersikap sebagai seorang pengecut tukang mencuri ilmu orang lain?"
Biar pun
diserang dengan kata-kata yang menghina itu, orang ini tersenyum saja dan
menjawab, "Namaku tidak ada perlunya kau ketahui. Kalau aku tidak mampu
mengalahkan engkau dengan ilmumu sendiri, barulah aku akan memperkenalkan diri
dan boleh kau perbuat sesukamu terhadap diriku."
Thian-tok
lalu mengeluarkan suara memekik nyaring seperti seekor kera marah. Akan tetapi
sebelum dia menyerang, laki-laki aneh itu telah menyambar tombak cabang pohon
yang tadi dilemparnya ke atas tanah. Tombak itu panjang dan sekali dia menggerakkan
jari tangannya, ujung tombak cabang yang runcing itu telah patah dan berubahlah
tombak itu menjadi sebatang tongkat yang panjangnya sama dengan Kim-kauw-pang
di tangan Thian-tok!
Thian-tok
sudah menerjang dengan gerakan lincah sekali. Kim-kauw-pang di tangannya
diputar-putar sedemikian rupa, mulutnya menggeluarkan pekik-pekik dahsyat dan
tubuhnya sampai lenyap terbungkus gulungan sinar tongkat sendiri. Namun dengan
enaknya orang itu pun memutar tongkatnya, serupa benar dengan gerakan
Thian-tok, bahkan mulutnya juga mengeluarkan pekik seperti monyet itu.
Terjadilah
pertandingan yang aneh dan lucu, seolah-olah bukan sedang bertanding, melainkan
Thian-tok sedang berlatih silat dengan gurunya. Gerakan mereka sama, akan
tetapi gerakan orang itu lebih cepat dan lebih mantap. Kembali belum sampai dua
puluh jurus terdengar suara keras. Kim-kauw-pang di tangan Thian-tok
patah-patah menjadi tiga potong dan Si Racun Langit itu terhuyung mundur dengan
muka pucat karena tulang pundaknya hampir patah terpukul tongkat lawan!
Melihat
betapa bekas suheng-nya kalah, Tee-tok marah sekali. Siang-kiam di punggungnya
telah dicabutnya dan tanpa banyak cakap lagi dia telah meloncat maju.
"Keluarkan senjatamu, manusia licik! Akulah Tee-tok, hayo lawan
siang-kiam-ku ini kalau kau memang gagah!"
Orang itu
menjura, "Aha, kiranya Tee-tok Siangkoan Houw yang terkenal. Kulihat tadi
ilmu pedangmu adalah pecahan dari Hui-liong-kiamsut, dan kau pandai pula
menggunakan Ilmu Silat Pek-lui-kun. Akan tetapi seperti yang lain, gerakanmu masih
mentah."
"Tak
usah banyak cakap! Lawanlah ilmuku!" bentak Tee-tok dengan marah dan dia
sudah menerjang maju.
Laki-laki
itu mematahkan tongkatnya menjadi dua potong tongkat yang sama dengan
pedang-pedang di kedua tangan Tee-tok. Begitu dia menggerakkan kedua tangannya,
tampaklah sinar-sinar bergulung dengan gerakan yang persis seperti gerakan
Tee-tok yang memutar sepasang pedangnya.
Kembali
terjadi pertandingan yang hebat, seru dan aneh. Berkali-kali terdengar suara
nyaring bertemunya pedang dengan tongkat, namun anehnya, tongkat dari cabang
pohon itu sama sekali tidak dapat terbabat putus, bahkan kedua tangan Tee-tok
selalu terasa panas dan perih setiap kali pedangnya bertemu tongkat! Dengan
teliti Tee-tok memperhatikan gerakan orang dan dia terkejut. Memang benar bahwa
orang itu mainkan jurus-jurus ilmu pedangnya! Dan bukan hanya mainkan jurus
ilmu pedangnya, bahkan telah mendesaknya dengan tekanan yang hebat karena orang
itu jauh lebih lincah dan lebih kuat daripada dia.
Lewat lima
belas jurus Tee-tok berseru, "Aku mengaku kalah!" Dia meloncat
mundur, menyimpan pedangnya dan mengangkat tangan menjura ke arah orang itu
sambil berkata, "Harap kau menerima penghormatanku dengan
Pek-lui-kun!"
Kelihatannya
saja dia memberi hormat dengan mengangkat kedua tangan ke depan dada, namun
dari kedua telapak tangannya itu menyambar hawa pukulan maut yang mendatangkan
hawa panas dan yang dapat membunuh lawan dari jarak tiga empat meter tanpa
tangannya menyentuh tubuh lawan! Itulah pukulan Pek-lui-kun (Kepalan Kilat)
yang mengandung tenaga sakti yang amat kuat!
Orang itu
sudah melempar sepasang tongkat pendeknya. Sambil tersenyum dia pun mejura
dengan gerakan yang sama. Terjadilah adu tenaga yang tidak tampak oleh mata. Di
tengah udara, di antara kedua orang itu terjadi benturan tenaga dahsyat dan
akibatnya membuat Tee-tok terpental ke belakang, terhuyung dan dari mulutnya
muntah darah segar! Dia tidak terluka hebat karena tenaganya Pek-lui-kun
membalik, hanya tergetar hebat dan mukanya makin pucat.
"Engkau
hebat! Aku bukan tandinganmu!" kata Tee-tok dengan jujur, dan memandang
dengan mata terbelalak penuh kagum dan juga penasaran.
"Engkau
luar biasa sekali dan aku amat kagum kepadamu, sahabat!" Gin-siauw Siucai
berkata sambil melangkah maju. "Aku tahu bahwa agaknya aku pun bukan
tandinganmu, akan tetapi hatiku penasaran sebelum melihat engkau mainkan
ilmu-ilmuku yang tentu kau anggap masih mentah pula. Aku adalah Gin-siauw
Siucai dari Beng-san, senjataku adalah suling dan pensil bulu, entah kau bisa
memainkannya atau tidak."
"Gin-siauw
Siucai, sudah lama aku mendengar namamu yang terkenal. Jangan khawatir, aku
tentu saja dapat mainkan ilmumu. Dengan ranting pendek ini aku meniru sulingmu,
dan aku pun memiliki sebatang pensil bulu."
Orang itu
memungut sebatang ranting yang panjangnya sama dengan suling perak di tangan
Gin-siauw Siucai. Dia juga mencabut ke luar pensil bulu yang tadi dia
pergunakan untuk mencoret-coret ketika tujuh orang tokoh sakti itu sedang
saling bertempur. Akan tetapi kalau pensil bulu di tangan Gin-siauw Siucai
adalah pensil yang dibuat khas, bukan hanya untuk menulis akan tetapi juga
dipergunakan sebagai senjata sehingga gagangnya terbuat dari baja tulen, adalah
pensil di tangan orang itu hanyalah sebatang pensil biasa saja.
Berkerut
alis Gin-siauw Siucai. Orang itu dianggapnya terlalu memandang rendah
kepadanya. Akan tetapi karena orang itu tersenyum-senyum dan meniru
menggerak-gerakkan pensil dan ‘suling’ di tangannya, dia lalu berkata,
"Apa boleh buat, engkau sudah memperoleh kemenangan. Kalau kau kalah,
orang akan menyalahkan aku yang menggunakan senjata lebih kuat. Kalau aku yang
kalah, engkau akan menjadi makin terkenal, sungguh pun kami belum tahu siapa
kau. Nah, mulailah!"
Siucai ini
cerdik dan dia sengaja menantang agar lawannya bergerak lebih dulu. Akan tetapi
orang itu tersenyum dan sambil menggerakkan kedua senjata istimewa itu berkata,
"Lihat baik-baik, Siucai. Bukankah ini jurus terampuh dari suling dan
pensilmu?"
Kedua tangan
orang itu bergerak dan Gin-siauw Siucai terkejut mengenal jurus-jurus maut dari
kedua senjatanya dimainkan oleh orang itu untuk menyerangnya! Tentu saja dia
dapat memecahkan jurus ilmunya sendiri dan berhasil menangkis kedua senjata
lawan, akan tetapi seperti juga yang lain tadi, dia merasa betapa kedua
lengannya tergetar hebat, tanda bahwa dalam hal sinkang, dia masih kalah jauh.
Gin-siauw
Siucai merasa penasaran sekali. Puluhan tahun dia bertapa di Beng-san
menciptakan ilmu-ilmu silat tinggi yang dirahasiakan dan belum pernah diajarkan
kepada siapa pun juga. Bagaimana sekarang telah dicuri oleh orang ini tanpa dia
mengetahuinya? Dia melawan mati-matian, mengeluarkan jurus-jurus paling ampuh
dari kedua senjatanya, namun karena kalah tenaga, setiap kali tertangkis dia
terhuyung.
Seperti juga
yang lain, dia tidak mampu bertahan lebih dari dua puluh jurus. Terdengar suara
keras dan kedua senjatanya itu, suling dan pensil, patah-patah ketika bertemu
dengan senjata lawan yang sederhana itu. Dia meloncat ke belakang, menjura dan
berkata, "Kepandaian Taihiap (Pendekar Besar) memang amat hebat, aku yang
bodoh mengaku kalah."
Orang itu
tersenyum dan memuji "Tidak percuma julukan Gin-siauw Siucai karena memang
hebat kepandaianmu."
Ucapan itu
dengan jelas menunjukkan kekaguman, bukan ejekan, maka Gin-siauw Siucai menjadi
makin kagum dan terheran-heran.
"Sekarang
tiba giliran pinto untuk kau kalahkan, sahabat yang gagah. Akan tetapi karena
sepasang senjata pinto adalah hudtim dan kipas, yang tentu saja tidak dapat kau
tiru, bagaimana kalau kita bertanding dengan tangan kosong? Hendak kulihat
apakah kau mampu mengalahkan pinto dengan ilmu silat tangan kosong pinto
sendiri?"
Orang itu
masih tersenyum, akan tetapi diam-diam ia terkejut. Tak disangkanya tosu ini
amat cerdik. Dia belum pernah melihat tosu ni mainkan ilmu silat tangan kosong,
bagaimana dia akan dapat menirunya? Akan tetapi dengan tenang dia menjawab,
"Tentu saja saya akan melayani kehendak Totiang, akan tetapi sebelum
bertanding, saya harap Totiang tidak keberatan untuk memperkenalkan nama."
"Siancai...!
Anda licik, sobat. Semua orang hendak dikenal namanya, akan tetapi engkau
sendiri menyembunyikan nama. Baiklah, pinto adalah Lam-hai Seng-jin yang
berkepandaian rendah..."
"Aihh,
kiranya Tocu (Majikan Pulau) dari Pulau Kura-kura? Telah lama mendengar nama
Totiang, girang hati saya dapat bertemu dan bermain-main sebentar dengan
Totiang."
"Nah,
siaplah!" Lam-hai Seng-jin sudah memasang kuda-kuda sambil memandang tajam
ke arah lawan karena dia ingin sekali tahu apakah benar lawan ini akan dapat
menjatuhkan dia dengan ilmu silatnya sendiri!
Diam-diam
orang itu memperhatikan dan tersenyum. Dia pun lalu memasang kuda-kuda yang
sama, kuda-kuda dari Ilmu Silat Tangan Kosong Bian-sin-kun (Tangan Kipas
Sakti), semacam ilmu silat yang berdasarkan sinkang tinggi sekali tingkatnya
sehingga telapak tangan menjadi halus seperti kapas, namun mengandung daya
pukulan maut yang dahsyat sekali.
"Hiiattt...!!"
Tosu itu
sudah menerjang dengan pukulan mautnya. Tampak olehnya lawannya mengelak cepat
dengan gerakan aneh, sama sekali bukan gerakan ilmu silatnya. Akan tetapi
betapa kagetnya Tosu itu saat melihat bahwa begitu mengelak lawan itu dalam
detik berikutnya sudah menerjangnya dengan jurus yang sama, jurus yang baru
saja dia pergunakan! Maklum akan hebatnya jurus ini, dia pun cepat mengelak
untuk memecahkan ilmunya sendiri, namun harus diakui bahwa elakan orang tadi
dengan gerakan aneh jauh lebih cepat dan bahkan sambil mengelak orang itu dapat
balas menyerang!
Kembali
Lam-hai Seng-jin menyerang dengan jurus lain yang lebih dahsyat, dan seperti
juga tadi lawannya meloncat dan tahu-tahu telah membalasnya dengan serangan
dari jurus yang sama! Tentu saja dia dapat pula menghindarkan diri dan makin
lama dia menjadi makin penasaran. Dikeluarkan semua ilmu simpanan, jurus-jurus
maut dari Bian-sin-kun sampai delapan jurus banyaknya. Semua jurus dapat
dihindarkan orang itu dan tiba-tiba orang itu berseru, "Totiang, jagalah
serangan Ilmu Silat Bian-sin-kun!"
Dengan
gencar kini orang itu menyerangnya dengan jurus-jurus yang tadi sudah
dikeluarkannya, delapan jurus paling ampuh dari Bian-sin-kun. Karena gerakan
orang itu cepat bukan main, Lam-hai Sengjin sama sekali tidak mendapatkan
kesempatan untuk balas menyerang sehingga dia terancam dan terdesak hebat oleh
ilmu silatnya sendiri. Biar pun dia tahu bagaimana untuk memecahkan jurus-jurus
serangan dari Bian-sin-kun, namun karena kalah tenaga dan kalah cepat, akhirnya
punggungnya kena ditampar dan dia terpelanting, mukanya pucat dan dia harus
cepat-cepat mengatur pernafasannya agar isi dadanya tidak terluka.
"Siancai...
engkau benar-benar seorang manusia ajaib...," akhirnya dia berkata sambil
bangkit perlahan-lahan.
"Lepaskan
aku...!" tiba-tiba terdengar seruan halus dan semua orang menengok ke arah
Sin Tong dan melihat betapa anak ajaib itu telah dipondong oleh lengan kiri
Kiam-mo Cai-li.
"Hei,
lepaskan dia!" Enam orang kakek sakti maju berbareng.
"Mundur!"
Kiam-mo Cai-li membentak dan menempelkan ujung payung pedang di tangan kanan
itu ke leher Sin Liong. "Mundur kalian, kalau tidak dia akan mati!"
Melihat
ancaman ini, enam orang itu terpaksa melangkah mundur semua.
Laki-laki
aneh itu memandang dengan sinar mata berkilat, kemudian dia melangkah maju. Suaranya
halus namun penuh wibawa ketika dia berkata, "Kiam-mo Cai-li, lepaskan
bocah yang tidak berdosa itu!"
"Hi-hik,
enak saja kau. Mundur atau dia akan mampus di ujung payungku!" dia
menempelkan ujung payung yang runcing itu ke leher Sin Liong yang tak mampu
bergerak dalam pelukan lengan kiri yang kuat itu.
Akan tetapi,
tidak seperti enam orang kakek yang lain, laki-laki itu masih tersenyum dan
terus melangkah maju, membuat Kiam-mo Cai-li mundur-mundur. Sepatah demi
sepatah laki-laki itu kemudian berkata,
"Bocah
itu tidak ada hubungan apa-apa dengan aku. Kalau kau bunuh dia, bunuhlah. Akan
tetapi demi Tuhan, aku akan menangkapmu dan akan memberikan tubuhmu kepada
Beruang Es untuk menjadi makanannya!" sambil berkata demikian, laki-laki
itu menanggalkan jubah luarnya.
"Kau...
kau... Pangeran Han Ti Ong...."
"Pangeran
Han Ti Ong...!" para tokoh kangouw itu berteriak.
"Pangeran
Pulau Es...?!"
Kiam-mo
Cai-li yang tadinya sudah merasa bahwa bocah ajaib itu tentu dapat dibawanya,
menjadi marah sekali. Dia menjerit dengan lengking panjang. Rambutnya menyambar
ke depan, ke arah leher Pangeran Han Ti Ong, dan pedang payungnya juga meluncur
dengan serangan yang dahsyat.
Laki-laki
yang disebut Pangeran Han Ti Ong itu tenang-tenang saja, tidak mengelak ketika
ujung rambut yang tebal itu seperti seekor ular membelit lehernya. Akan tetapi
ketika pedang payung berkelebat menusuk, dia menangkap payung itu dan sekali
menggerakkan tangan pedang payung itu membabat putus rambut yang melibat
lehernya.
Tangannya
tidak berhenti sampai di situ saja. Selagi Kiam-mo Cai-li menjerit melihat
rambut yang dibanggakan dan andalkan itu putus setengahnya, kedua tangan
Pangeran Han Ti Ong bergerak, dan tahu-tahu tubuh Sin Liong dapat dirampasnya
setelah lebih dulu dia menampar punggung wanita iblis itu sehingga tubuh
Kiam-mo Cai-li menjadi lemas dan seperti lumpuh! Dengan Sin Liong dalam
pondongan lengan kirinya, kini Pangeran Han Ti Ong membalik dan menghadapi
tujuh orang itu, tidak mempedulikan Kiam-mo Cai-li yang mangeluh dan merangkak
bangun.
"Apakah
masih ada di antara kalian yang hendak mengganggu anak ini? Sekali ini aku
tentu tidak akan bersikap halus lagi!"
"Siancai...!"
Lam-hai Sian-jin menjura, "Harap Ong-ya maafkan pinto yang tidak mengenal
Ong ya sehingga bersikap kurang ajar."
"Maafkan
aku, Pangeran."
"Maafkan
saya..."
Enam orang
kakek itu menggumam maaf, hanya Kiam-mo Cai-li saja yang tidak minta maaf,
bahkan wanita ini berkata, "Pangeran Han Ti Ong, kau tunggu saja. Kiam-mo
Cai-li tidak biasa membiarkan orang menghina tanpa membalas dendam!"
"Hemmm,
terserah kepadamu. Aku selalu berada di Pulau Es. Nah, pergilah kalian,
orang-orang tua yang tak tahu diri, tega mengganggu seorang bocah."
Dengan
kepala menunduk, tujuh orang tokoh kangouw yang namanya terkenal itu
meninggalkan Hutan Seribu Bunga. Karena mereka mempergunakan kepandaiannya,
maka hanya nampak bayangan-bayangan mereka berkelebat dan sebentar saja sudah
lenyap dari tempat itu.
"Hemmm...
berbahaya...." Han Ti Ong melepaskan Sin Liong dan menghela napas panjang
sambil memandang bocah itu yang sudah berlutut di depannya.
"Lo-cianpwe
selain sakti dan budiman juga cerdik sekali...," Sin Liong berkata memuji
sambil memandang wajah Pangeran itu dengan kagum.
Han Ti Ong
mengerutkan alisnya. "Hemmm, mengapa kau mengatakan demikian, terutama apa
artinya kau mengatakan aku cerdik?"
"Lo-cianpwe
mengalahkan mereka, berarti Lo-cianpwe sakti sekali. Lo-cianpwe mengampuni dan
membiarkan mereka lolos, berarti Lo-cianpwe budiman. Dan Lo-cianpwe tadi
mencatat gerakan-gerakan mereka dan kemudian mengalahkan mereka dengan ilmu
mereka sendiri yang sudah Lo-cianpwe catat, berarti Lo-cianpwe cerdik
sekali."
Wajah yang
gagah itu berubah. Mata yang tajam itu memandang heran dan kagum, kemudian dia
berkata, "Wah, dalam kecerdikan, belum tentu kelak aku dapat melawanmu!
Akal dan kecerdikan memang amat perlu untuk mempertahankan hidup di dunia yang
penuh bahaya ini. Tahukah engkau bahwa tanpa menggunakan akal budi, memanaskan
hati mereka dengan mengalahkan mereka dengan ilmu mereka sendiri, kalau mereka
maju bersama mengeroyokku, belum tentu aku dapat menang! Sekarang kau sudah
bebas dari bahaya, nah, aku pergi...!"
Melihat
orang itu membalikkan tubuh dan melangkah pergi dari situ, Sin Liong memandang
ke arah mayat sebelas orang dusun yang masih menggeletak di situ, maka dia
berseru, "Lo-cianpwe...."
Pangeran Han
Ti Ong berhenti melangkah dan menoleh. Dia merasa heran sendiri. Tidak biasa
baginya untuk mentaati perintah orang kecuali suara ayahnya, raja ketiga dari
Pulau Es. Akan tetapi ada sesuatu dalam suara bocah itu yang membuat dia mau
tidak mau menghentikan langkahnya. Pangeran Han Ti Ong lalu menoleh dan
bertanya, "Ada apa lagi?"
Dengan masih
berlutut Sin Liong berkata, "Lo-cianpwe, sudilah kiranya Lo-cianpwe
menerima teecu sebagai murid."
Han Ti Ong
kini memutar tubuh dan menghampiri anak yang masih berlutut itu. "Bocah,
siapa namamu?"
"Teecu
She Kwa bernama Sin Liong.”
Dengan
ringkas Sin Liong lalu menuturkan tentang kematian ayah bundanya, tentang
mengapa dia melarikan diri dan bersembunyi di hutan itu, dan tentang rasa ngeri
dan muak menyaksikan kekejaman manusia hingga merasa mendapatkan tempat yang
tentram dan damai di tempat itu.
"Hemm,
kau ingin menjadi muridku hendak mempelajari apakah?"
"Mempelajari
kebijaksanaan yang dimiliki Lo-cianpwe dan tentu saja mempelajari ilmu
kesaktian."
"Kalau
kau hanya ingin belajar silat, mengapa tadi kau menolak ketika para tokoh
menawarkan kepadamu agar menjadi murid mereka? Mereka itu adalah tokoh-tokoh
yang memiliki kesaktian hebat."
"Namun
teecu masih melihat kekerasan di balik kepandaian mereka. Teecu kagum kepada
Lo-cianpwe bukan hanya karena ilmu kesaktian, terutama sekali karena sifat
welas asih pada diri Lo-cianpwe."
"Tapi
kau hendak belajar silat, mau kau pakai untuk apa? Bukankah kau lebih
dibutuhkan dan berguna berada di sini bagi penduduk sekitar Jeng-hoa-san?"
"Maaf
Lo-cianpwe. Tidak ada seujung rambut pun hati teecu untuk mempergunakan ilmu
kesaktian dalam tindakan kekerasan. Dan tidak tepat pula kalau kepandaian teecu
di sini berguna bagi para penduduk. Buktinya, teecu hanya bisa mengobati orang
sakit, itu pun kalau kebetulan berjodoh. Sedangkan sebelas orang ini tertimpa
bahaya maut sampai mati tanpa teecu dapat mencegahnya sama sekali. Andaikata
teecu memiliki kepandaian seperti Lo-cianpwe, apakah sebelas orang ini akan
tewas secara demikian menyedihkan? Teecu kini melihat bahwa menolong orang
tidak hanya mengandalkan ilmu pengobatan, juga untuk menyelamatkan sesama
manusia dari tindasan orang kuat yang jahat, diperlukan kepandaian. Mohon
Lo-cianpwe sudi memenuhi permintaan teecu."
"Aku
adalah seorang penghuni Pulau Es. Hidup di sana tidaklah mudah dan enak, tidak
seperti di sini. Kau akan mengalami kesukaran, bahkan menderita di tempat yang
dingin itu."
"Kesukaran
apa pun akan teecu terima dengan hati rela, karena tiada hasil dapat dicapai
tanpa jerih payah, Lo-cianpwe."
Han Ti Ong
tersenyum. Memang dia sudah tertarik sekali melihat bocah yang dijuluki Sin
tong ini. Bocah ini sama sekali tidak mengkhawatirkan dirinya sendiri,
melainkan untuk keselamatan orang lain yang lemah. Selain itu pandang matanya
yang tajam dapat melihat bahwa bocah ini memang benar-benar bocah ajaib,
memiliki ketajaman otak dan pandangan yang luar biasa. Dan yang paling
mengagumkan, bocah ini juga memiliki darah dan tulang bersih, bakatnya malah
jauh lebih besar daripada dia sendiri!
Kalau
tadinya dia tidak mau menerima bocah ini sebagai murid adalah karena dia merasa
malu terhadap diri sendiri. Kalau dia mengambil anak ini sebagai murid, lalu
apa bedanya antara dia dengan tujuh orang yang dihalaunya pergi tadi? Akan
tetapi, memang ada bedanya sekarang setelah Sin Liong sendiri yang mengajukan
permohonan agar diterima menjadi muridnya.
"Kalau
memang sudah bulat kehendakmu menjadi muridku, baiklah, Sin-Liong. Mari kau
ikut bersamaku, akan tetapi jangan menyesal kelak. Hayo!" Han Ti Ong
kembali membalikkan tubuhnya dan hendak melangkah pergi.
"Suhu,
nanti dulu...!"
Pangeran itu
mengerutkan alisnya. Lagi-lagi dia mendengar pengaruh yang luar biasa di balik
suara anak itu yang memaksanya menoleh! Dengan suara kesal dia berkata,
"Mau apa lagi?"
"Maaf,
Suhu. Teecu mana bisa meninggalkan sebelas buah mayat itu di sini begini
saja?"
"Habis,
apa maumu?"
"Teecu
harus mengubur mereka lebih dulu sebelum pergi."
"Kalau
aku melarangmu?"
“Teecu tidak
percaya bahwa Suhu akan sekejam itu, teecu yakin akan kebaikan budi Suhu. Akan
tetapi andaikata Suhu benar melarang teecu, terpaksa teecu akan membangkang dan
tetap akan mengubur mayat-mayat ini."
Sepasang
mata pangeran itu terbelalak penuh keheranan. Anak berusia tujuh tahun sudah
berani memiliki pendirian seperti batu karang kokohnya. "Murid macam apa
kau ini? Belum apa-apa sudah siap membangkang terhadap Guru!"
"Teecu
menjadi murid bukan membuta, dan teecu ingin mempelajari ilmu yang baik. Kalau
teecu mentaati saja perintah Suhu yang tidak benar, sama saja dengan teecu
menyeret Suhu ke dalam kesesatan."
Mata Han Ti
Ong makin terbelalak. Hampir dia marah, akan tetapi dia dapat melihat apa yang
tersembunyi di balik ucapan yang kelihatan kurang ajar ini dan dia
mengangguk-angguk. "Lakukanlah kehendakmu, aku akan menunggu."
"Terima
kasih! Teecu memang tahu bahwa Suhu seorang sakti yang budiman!"
Dengan wajah
berseri Sin Liong lalu menggali lubang. Akan tetapi karena dia hanya seorang
anak kecil dan yang dipergunakan menggali hanyalah sebatang cangkul biasa yang
kecil pemberian orang-orang dusun, dan yang biasa dia pergunakan untuk menggali
dan mencari akar obat, maka tentu saja menggali sebuah lubang untuk mengubur
sebelas buah mayat bukan merupakan pekerjaan ringan dan mudah!
Mula-mula
Han Ti Ong duduk di bawah pohon dan melirik ke arah muridnya yang bekerja keras
itu. Disangkanya bahwa tentu bocah itu akan kelelahan dan akan beristirahat.
Akan tetapi dia kecele. Sin Liong bekerja terus biar pun kaki tangannya sudah
pegal-pegal semua, dan keringat membasahi seluruh tubuh, menetes dari dahinya
dan kadang-kadang diusapnya dengan lengan baju. Akan tetapi dia tidak pernah
berhenti bekerja.
Sudah setengah
hari mencangkul, baru dapat membuat lubang yang hanya cukup untuk dua buah
mayat saja. Kalau dilanjutkan agaknya untuk dapat menggali lubang yang cukup
untuk semua mayat, ia harus bekerja selama dua hari dua malam atau lebih!
"Hemm,
hatinya lembut tapi kemauannya keras. Benar-benar bocah ajaib," Han Ti Ong
mengomel sendiri dan dia lalu bangkit.
Dirampasnya
cangkul dari tangan muridnya dan tanpa berkata apa-apa lagi dia lalu
mencangkul. Gerakannya amat cepat sekali sehingga Sin Liong yang mundur dan menonton
menjadi kabur pandangan matanya. Tubuh gurunya seolah-olah berubah menjadi
banyak, semuanya mencangkul hingga sebentar saja telah terbuat sebuah lubang
yang amat besar dan yang cukup untuk megubur sebelas buah mayat itu.
Tentu saja
hati Sin Liong girang bukan main. Satu demi satu mayat-mayat itu diangkat, atau
lebih tepat diseretnya, dimasukkan ke dalam lubang dan air matanya bercucuran!
Han Ti ong membantu muridnya menguruk atau menutup lubang itu sehingga di
tempat itu, di depan goa tempat tinggal Sin Liong, terdapat sebuah kuburan yang
besar sekali.
"Sudahlah,
sudah mati ditangisi pun tidak ada gunanya. Mari kita pergi!"
Sin Liong
merasa lengannya dipegang oleh gurunya dan di lain saat dia harus memejamkan
mata karena tubuhnya telah ‘terbang’ dengan amat cepatnya meninggalkan gunung
Jeng-hoa-san, entah kemana! Akan tetapi setelah merasa terbiasa, Sin Liong
berani juga membuka matanya dan dengan penuh kagum dia melihat bahwa dia
dikempit oleh suhunya yang berlari cepat seperti angin saja. Dia mengenal pula
tempat di mana suhunya melarikan diri yaitu ke sebelah timur pegunungan
Jeng-hoa-san.
Tiba-tiba
dia melihat sesuatu, juga hidungnya mencium sesuatu, maka dia cepat berseru,
"Suhu, harap berhenti dulu!"
Han Ti Ong
berhenti. "Ada apa?"
"Suhu,
di sana itu...," suara Sin Liong tergetar.
Ketika Han
Ti Ong menoleh, dia pun merasa jijik sekali. Yang ditunjuk oleh muridnya itu
adalah sekumpulan mayat orang yang sudah menjadi mayat rusak dan bekasnya
menunjukkan bahwa mayat-mayat itu tentu diganggu oleh binatang-binatang buas
sehingga berserakan ke sana-sini.
"Mau
apa kau?!" Han Ti Ong membentak.
"Suhu
apakah kita harus mendiamkan saja mayat-mayat itu? Mereka adalah bekas-bekas
manusia seperti kita juga. Kasihan kalau tidak diurus..."
"Wah, kau
memang gatal-gatal tangan! Nah, hendak kulihat apa yang akan kau lakukan
terhadap mereka?"
Han Ti Ong
menurunkan Sin Liong dan dia sendiri lalu duduk di atas sebuah batu di tempat
yang agak jauh. Dia sungguh ingin tahu apa yang akan dilakukan muridnya itu
terhadap mayat-mayat yang sudah demikian membusuk, bahkan dari tempat dia duduk
pun tercium baunya yang hampir membuatnya muntah.
Dengan
langkah lebar Sin Liong menghampiri mayat-mayat itu, sedikit pun tidak
kelihatan jijik atau segan. Kemudian, diikuti pandang mata Han Ti Ong yang
terheran-heran bocah itu mulai menggali tanah dengan hanya menggunakan sebatang
pisau kecil, pisau yang biasanya dipergunakan untuk memotong-motong daun dan
akar dan yang agaknya tak pernah terpisah dari saku bajunya. Anak itu hendak
menggali lubang untuk mengubur dua belas buah mayat busuk itu hanya dengan
menggunakan sebatang pisau kecil!
Hampir saja
Han Ti Ong tertawa tergelak saking geli hatinya, juga saking girangnya mendapat
kenyataan bahwa muridnya ini benar-benar seorang bocah ajaib yang mempunyai
pribadi luhur dan wajar tanpa dibuat-buat! Dengan kagum dia meloncat bangun,
lari menghampiri Sin Liong yang telah menggali lubang beberapa sentimeter
dalamnya.
"Cukup,
Sin Liong. Lubang itu sudah lebih dari cukup untuk mengubur mereka."
"Ehhh...?
Mana mungkin, Suhu...?”
"Ha,
kau masih meragukan kelihaian suhumu? Lihat baik-baik!"
Han Ti Ong
lalu mengeluarkan sebuah botol dari saku jubahnya. Dengan ujung sepatunya ia
mencongkel mayat-mayat itu menjadi setumpukan barang busuk, lalu dia menuangkan
benda cair berwarna kuning dari dalam botol ke atas tumpukan mayat. Tampak uap
mengepul dan tumpukan mayat itu mencair, dalam sekejap mata saja lenyaplah
tumpukan mayat itu karena semua, berikut tulang-tulangnya, telah mencair dan
cairan itu mengalir ke dalam lubang yang tadi digali Sin Liong. Benar saja,
cairan itu memasuki lubang dan meresap ke tanah, tentu saja lubang itu sudah
lebih dari cukup untuk menampung cairan itu.
Dengan mata
terbelalak penuh kagum, Sin Liong lalu menguruk lagi lubang itu dan berlutut di
depan kaki suhunya, "Suhu, terima kasih atas bantuan Suhu. Suhu sungguh
sakti dan budiman."
"Aahhh...!"
Muka Han Ti Ong menjadi merah dan dia mengeluarkan seruan itu untuk menutupi
rasa malunya. Mana bisa dia disebut budiman kalau mengubur mayat-mayat itu
bukan terjadi atas kehendaknya, melainkan dia ‘dipaksa’ oleh muridnya?
"Kalau
aku tidak salah lihat, mereka ini adalah pendekar-pendekar gagah. Sungguh
kematian yang menyedihkan dan entah siapa yang dapat membunuh mereka. Mereka
kelihatan bukan orang-orang sembarangan yang mudah dibunuh. Mari kita pergi,
Sin Liong!"
Kembali murid
itu dikempitnya dan Pangeran Sakti itu menggunakan ilmu berlari cepat seperti
tadi, melanjutkan perjalanan ke timur menuruni pegunungan Jeng-hoa-san. Tak
lama kemudian, kembali Sin Liong yang dikempit (dijepit di bawah lengan)
berseru, "Haiii Suhu, harap berhenti dulu...!"
Han Ti Ong
menjadi gemas. Akan tetapi dia berhenti juga menurunkan bocah itu dari kempitan
di bawah ketiaknya. "Mau apa lagi kau? Awas, kalau tidak penting sekali,
aku akan marah!"
"Lihat
di sana itu, Suhu. Tidak patutkah kita menolong orang yang sengsara itu? Siapa
tahu dia juga sudah mati di sana..."
Tanpa
menanti jawaban suhunya, Sin Liong sudah lari menghampiri sesosok tubuh yang
menggeletak di bawah pohon tak jauh dari situ. Tubuh itu tidak bergerak-gerak,
akan tetapi dari tempat ia berdiri, Han Ti Ong mengerti bahwa orang itu belum
tewas, agaknya pingsan atau tertidur saja. Dia tersenyum dan melihat muridnya
sudah menjatuhkan diri berlutut di depan orang itu. Betapa kagetnya ketika dia
mendengar teriakan muridnya.
"Eihh,
Suhu! Dia seeorang wanita!"
Han Ti Ong
terheran. Dia lalu meloncat ke arah muridnya dan melihat betapa tiba-tiba orang
yang disangkanya pingsan itu sudah meloncat bangun dan langsung memukul kepala
Sin Liong dengan kekuatan dahsyat.
"Wuttt...
Plakkk! Aughhh...!"
Wanita
bermuka kotor yang matanya merah dan rambutnya awut-awutan itu menjerit ketika
pukulannya tertangkis oleh lengan Han Ti Ong yang amat kuat. Dia terhuyung ke
belakang, sejenak memandang Han Ti Ong dan Sin Liong, kemudian menangis
tersedu-sedu dan bergulingan di atas tanah, menangis seperti seorang anak
kecil.
"Jangan...
aughhh, jangan...! Lepaskan aku... lepaskan...! Jangan bunuh mereka...!"
Sin Liong
tertegun dan memandang penuh kasihan. Juga Han Ti Ong memandang dengan terharu,
maklum bahwa dia berhadapan dengan seorang wanita yang berotak miring!
"Toanio
(Nyonya), kau kenapakah...?” Sin Liong bertanya sambil melangkah ke depan.
Tiba-tiba
wanita itu meloncat bangun. Han Ti Ong sudah siap melindungi muridnya yang sama
sekali tidak kelihatan takut itu. Akan tetapi wanita itu lalu tiba-tiba tertawa
terkekeh.
"Hi-hi-hi-hikk!"
Aneh sekali!
Ketika wanita itu tertawa, Han Ti Ong melihat wajah yang amat cantik manis!
Wanita itu adalah seorang gadis muda yang amat cantik, akan tetapi yang entah
mengapa telah menjadi gila. Pakaian yang dipakainya adalah pakaian pria yang
terlalu besar. Rambutnya yang hitam panjang itu riap-riapan tidak diurus,
mukanya kotor terkena debu dan air mata, matanya merah dan membengkak.
"Hi-hi-hik,
kubunuh engkau, Pat-jiu Kai-ong. Aku bersumpah akan membunuhmu untuk membalas
kematian dua belas orang Suheng ku!" Kemudian dia menangis lagi. "
Hu-hu-huuuh... Cap-sha Sin-hiap dari Bu-tong-pai habis terbasmi...."
Han Ti Ong
terkejut dan teringatlah dia akan nama Tiga Belas Orang Pendekar Bu-tong-pai
yang amat terkenal sebagai tiga belas orang pendekar gagah perkasa pembela
keadilan dan kebenaran, teringat pula bahwa mereka terdiri dari dua belas pria
dan seorang wanita, kalau tidak salah, saudara termuda.
"Nona,
apakah engkau orang termuda dari Cap-sha Sin-hiap dari Bu-tong-pai?"
tanyanya sambil melangkah maju menghampiri wanita gila itu.
"Jangan
sentuh aku! Manusia terkutuk, jangan sentuh aku lagi!"
Dan
tiba-tiba wanita itu menyerang dengan hebatnya. Han Ti Ong menangkis dan
menotok. Robohlah wanita itu, roboh dalam keadaan lemas tak dapat bergerak
lagi.
"Suhu,
mengapa...?" Sin Liong bertanya penasaran.
"Bodoh,
kalau tidak kutotok, tentu dia akan mengamuk terus. Coba kau periksa dia, apakah
kau bisa mengobatinya?"
Sin Liong
berlutut dan melihat wanita itu hanya melotot tanpa mampu bergerak. Setelah
memeriksa sebentar, dia menarik napas panjang. "Suhu, dia terkena pukulan
batin yang amat berat, membuat dia menjadi begini, berubah ingatannya. Kalau
kita berada di Jeng-hoa-san, kiranya dapat teecu mencarikan daun penenang untuk
mengobatinya."
"Hemm,
kau lihatlah gurumu mencoba untuk mengobatinya."
Han Ti Ong
megeluarkan sebatang jarum emas dari sakunya. Setelah membersihkan ujungnya dia
lalu menghampiri wanita itu dan menusukkan jarum emasnya di tiga tempat, di
tengkuk kanan-kiri dan ubun-ubun! Sin Liong memandang dengan mata terbelalak.
Dia sudah mendengar dari ayahnya tentang kepandaian orang mengobati dengan
tusukan jarum, akan tetapi sekarang dia menyaksikannya. Wanita itu hanya
mengeluh, lalu tertidur dengan pernapasan yang panjang dan tenang.
Ketika
mencabut jarum dan menyimpannya, gurunya berkata, "Coba kau periksa lagi
matanya, apakah sudah ada perubahan?"
Sin Liong
membuka pelupuk mata dan melihat bahwa mata wanita itu yang tadinya
mengeluarkan sinar aneh yang liar, kini telah normal kembali. Dia cepat
menjatuhkan dirinya berlutut di depan Suhunya. "Suhu, teecu seperti buta,
tidak tahu bahwa Suhu adalah seorang ahli pengobatan pula."
"Hemm,
dalam hal mengenal tetumbuhan obat, mana aku mampu menandingimu? Akan tetapi
aku mempunyai kepandaian menusuk jarum, kepandaian turunan yang tentu kelak
akan kuajarkan kepadamu."
"Suhu,
teecu mengajukan sebuah permohonan, harap Suhu tidak keberatan."
"Hemm,
apa lagi?"
"Harap
Suhu suka menolong wanita malang ini, dan membiarkan dia ikut dengan
kita."
"Kau...
kau gila...?"
"Suhu,
dia belum sembuh benar. Kalau dia dibiarkan di sini, lalu datang orang jahat,
bagaimana?"
"Ha,
kau tidak usah khawatir. Dia adalah orang termuda dari Cap-sha Sin-hiap, ilmu
kepandaiannya tinggi. Siapa berani mengganggunya?"
"Buktinya,
dua belas orang suhengnya tewas dan tentu mereka itu adalah mayat-mayat yang
tadi kita kubur. Agaknya yang membunuh adalah Pat-jiu Kai-ong. Selain itu,
kalau dia teringat akan peristiwa itu sebelum sembuh benar, tentu dia akan
kumat gilanya dan apakah Suhu tega membiarkan dia seperti itu?"
Han Ti Ong
memandang wajah wanita yang bukan lain adalah The Kwat Lin itu. Dia terheran
sendiri mengapa wajah yang kotor dan rambut yang kusut itu mendatangkan rasa
iba yang luar biasa di hatinya? Mengapa dia merasa tertarik dan ingin sekali
menolong wanita muda ini? Apakah dia sudah ‘ketularan’ watak muridnya,
ataukah... ataukah...? Dia tidak berani membayangkan. Selama ini hanya
isterinya seoranglah wanita yang menarik hatinya, yang membangkitkan gairahnya,
akan tetapi perempuan gila ini, entah mengapa telah membuat dia tertarik dan
kasihan sekali.
"Sudahlah,
kau memang cerewet, dan kalau tidak kuturuti, tentu kau rewel terus. Biar kita
bawa bersama ke Pulau Es, kita lihat saja nanti bagaimana
perkembangannya." Ucapan terakhir ini seperti ditujukan kepada hatinya
sendiri!
"Teecu
tahu, Suhu adalah seorang yang budiman."
Hati Pangeran
Han Ti Ong menjadi mangkel. Ucapan muridnya itu seperti ejekan kepadanya karena
dia mau menolong dara ini sama sekali bukan karena dia budiman, melainkan
karena dia kasihan dan terutama sekali... tertarik hatinya. Dengan kasar dia
mengempit tubuh wanita itu di bawah ketiak kanannya, dan menyambar tubuh Sin
Liong di bawah ketiak kirinya, lalu Pangeran yang sakti ini lari secepat
terbang menuju ke pantai lautan.
Siapakah
sebetulnya manusia sakti yang ditakuti oleh tujuh orang tokoh kang-ouw itu?
Siapakah Pangeran Han Ti Ong yang pada bagian dada bajunya terdapat lukisan
burung Hong dan seekor Naga emas itu? Dia adalah pangeran dari Pulau Es. Pulau
ini merupakan pulau rahasia yang hanya dikenal orang kangouw seperti dalam
dongeng.
Tidak pernah
ada orang yang berhasil menemukan pulau itu, kecuali beberapa orang nelayan
yang perahunya diserang badai. Mereka ini ditolong oleh manusia-manusia sakti,
manusia yang menjadi penghuni Pulau Es, sebuah pulau dari es di mana terdapat
istana indah dan merupakan sebuah kerajaan kecil penuh dengan orang sakti.
Setelah ditolong dan diselamatkan, dan berhasil kembali ke daratan, para
nelayan inilah yang membuat cerita seperti dongeng itu sehingga nama sebutan
Pulau Es terkenal di dunia kang-ouw.
Kerajaan di
Pulau Es itu dibangun oleh seorang pangeran, ratusan tahun yang lalu. Seorang
pangeran yang amat sakti, seorang pangeran yang dianggap pemberontak karena
berani menentang kehendak kaisar, dan pangeran ini bersama keluarganya menjadi
pelarian. Dengan kesaktiannya, dia berhasil melarikan keluarganya ke pantai
timur dan menggunakan sebuah perahu untuk mencari tempat baru. Tujuannya adalah
ke pulau di timur di mana dahulu sudah banyak orang-orang pandai dari daratan
yang melarikan diri dan menjadi buronan karena berani menentang pemerintah,
yaitu Kepulauan Jepang!
Akan tetapi
dia tersesat jalan, perahunya dilanda badai hebat dan perahunya dibawa jauh ke
utara sampai kemudian perahu itu mendarat di sebuah pulau. Pulau Es! Melihat
pulau itu tersembunyi, baik sekali dijadikan tempat persembunyiannya, dan di
sekitar situ terdapat pulau-pulau lain yang tanahnya cukup subur, maka pangeran
pelarian ini mengambi keputusan untuk menjadikan Pulau Es sebagai tempat
tinggalnya.
Dia lalu
mengumpulkan orang-orang yang setia kepadanya, membawa mereka ke Pulau Es
menjadi pengikut-pengikutnya. Dibangunnya sebuah istana yang kecil namun indah
di pulau itu dan berdirilah sebuah kerajaan kecil di tempat terasing ini!
Berkat kebijaksanaan Raja Pulau Es ini, para pengikutnya dan keluarga raja hidup
aman tentram dan penuh kebahagiaan di Pulau Es. Para keluarganya hidup rukun
dan para pengikutnya membentuk keluarga-keluarga sehingga penghuni pulau itu
berkembang biak.
Karena
kesaktian rajanya, dan karena letak pulau itu yang sukar dikunjungi orang luar,
maka kerajaan kecil ini tidak pernah terganggu. Raja itu mewariskan
kepandaiannya kepada keturunannya, merupakan ilmu-ilmu warisan yang hebat, dan
tentu saja para pengikut mereka mendapat pula pelajaran ilmu yang tinggi.
Pangeran Han Ti Ong adalah keturunan ke empat dari raja pertama di Pulau Es.
Pangeran ini
berbeda dengan keturunan raja yang sudah-sudah. Kalau semua keturunan raja
hidup di Pulau Es dan hanya meninggalkan pulau kalau mereka ada keperluan di
pulau-pulau kosong sekitar daerah itu untuk mengambil daun obat, sayur-sayuran
atau berburu binatang, maka Pangeran Han Ti Ong tidak betah tinggal di tempat
sunyi itu. Dia sering kali pergi dari pulau dan diam-diam dia melakukan
perantauan di daratan!
Dia adalah
orang yang paling banyak mewarisi ilmu nenek moyangnya sehingga dia adalah
orang terpandai di antara para keluarga raja di Pulau Es. Apalagi karena dengan
kesukaannya merantau di daratan, dia dapat mengambil banyak ilmu-ilmu silat
tinggi yang lain dari daratan sehingga kepandaiannya bertambah. Dan gara-gara
perantauan Pangeran inilah maka Pulau Es menjadi makin terkenal dan nama
Pangeran Han Ti Ong sendiri juga menggemparkan dunia kang-ouw, sungguh pun dia
jarang sekali memperkenalkan diri. Melihat bajunya yang terhias gambaran Naga
dan burung Hong itu saja sudah cukup bagi para tokoh kang-ouw untuk mengenal
manusia sakti dari Pulau Es ini, seperti peristiwa yang terjadi di Hutan Seribu
Bunga ketika Pangeran ini menghadapi tujuh orang tokoh besar dunia kangouw.
Para
Pangeran yang sudah-sudah, selalu mengambil isteri dari keluarga kerajaan
sendiri, yaitu saudara-saudara misan mereka sendiri. Hal ini adalah untuk
menjaga agar ‘darah’ kerajaan tetap ‘asli’. Akan tetapi, berbeda dengan semua
kebiasaan para pangeran, Han Ti Ong jatuh cinta kepada seorang dara puteri
penghuni Pulau Es biasa, berkeras mengambil dara itu sebagai isterinya! Padahal
biasanya, dara-dara yang berdarah ‘biasa’ ini hanya diambil sebagai selir-selir
oleh para pangeran dan raja.
Akan tetapi
Pangeran Han Ti Ong tidak mau mengambil selir dan hanya mempunyai seorang
isteri, yaitu anak nelayan yang menjadi pengikut keluarga raja, seorang dara
biasa saja, namun yang sesungguhnya memiliki kecantikan yang mengatasi
kecantikan para puteri raja! Dari isteri tercinta ini, Pangeran Han Ti Ong
mempunyai seorang puteri yang pada waktu itu berusia enam tahun. Seorang anak
perempuan yang mungil, cantik, keras hati seperti ayahnya dan gembira seperti
ibunya. Anak ini diberi nama Han Swat Hong (Angin Salju). Nama ini diambil oleh
Pangeran Han Ti Ong untuk menamakan puterinya karena ketika puterinya terlahir,
Pulau Es dilanda angin dan salju yang amat kuat!
Pada pagi
hari itu Swat Hong, anak perempuan berusia enam tahun lebih itu, duduk bengong
di tepi pantai Pulau Es. Dia sengaja memilih tempat sunyi yang agak tinggi ini
untuk melihat jauh ke selatan, dan hatinya penuh rindu terhadap ayahnya yang
sudah pergi selama tiga bulan itu.
"Hong-ji
(Anak Hong)...!"
Swat Hong
menoleh dan melihat bahwa yang memanggil tadi adalah ibunya. Dia lalu meloncat
bangun, lari menghampiri ibunya, meloncat dan merangkul leher ibunya dan
menangis.
Ibunya
tertawa. “Aih-aihhh... anakku yang biasanya periang dan suka tertawa mengapa
menangis? Mengapa bulan yang berseri gembira menjadi suram? Awan hitam apakah
yang menghalanginya?"
"Ibu,
kau... kau kejam!"
"Ihh!
Ibumu kejam? Mungkin kalau sedang menyembelih ikan atau ayam. Akan tetapi ibumu
tidak kejam terhadap manusia."
Memang watak
Liu Bwee, ibu anak itu, atau isteri Pangeran Han Ti Ong adalah lincah gembira
yang menurun pula kepada Swat Hong.
"Ibu
kejam, mengapa Ibu tidak berduka? Apakah Ibu tidak rindu kepada Ayah?"
Tiba-tiba
muka wanita itu menjadi merah sekali dan tanpa terasa lagi dua titik air mata
meloncat turun ke atas pipinya.
Melihat ini,
Swat Hong melorot turun dan bertepuk-tepuk tangan, "Hi-hi, Ibu menangis!
Ibu juga rindu kepada Ayah? Hayoh, Ibu sangkal kalau berani!" Memang
begitulah watak anak-anak, melihat orang lain berduka, dia sendiri lupa akan
kedukaannya dan merasa terhibur!
Ibunya
berlutut, memeluk dan menciuminya, akan tetapi masih bercucuran air mata. Swat
Hong yang tadinya berbalik menggoda ibunya yang dianggapnya rindu kepada
ayahnya seperti juga dia tadi, kini menjadi terheran dan berkhawatir.
"Ibu,
mengapa ibu berduka? Apa yang terjadi? Apakah diam-diam ibu begitu merindukan
Ayah dan menyembunyikannya saja?"
Liu Bwee
memaksa diri tersenyum dan menghapus air matanya. Ia mengangguk-angguk sebagai
jawaban karena masih sukar baginya untuk mengeluarkan suara tanpa terisak
menangis. Akan tetapi puterinya itu adalah seorang anak yang amat cerdik, maka
tentu saja tidak dapat dibohonginya semudah itu.
"Ibu
ada apakah? Harap Ibu beritahu kepadaku, siapa yang menyusahkan hati Ibu? Akan
kuhajar dia!" Swat Hong mengepal kedua tinjunya yang kecil seolah-olah
orang yang menyusahkan hati ibunya sudah berada di situ dan akan dihantamnya.
Melihat
sikap anaknya ini, hati Liu Bwee terharu sekali dan ingin dia menangis lagi,
akan tetapi ditekannya perasaan harunya dan dia tertawa. "Aih, Hong-ji,
kalau ada yang kurang ajar kepada ibumu, apakah ibumu tidak dapat menghajarnya
sendiri?"
Swat Hong
tertawa. "Memang aku tahu bahwa kepandaian Ibu juga hebat, biar pun tidak
sehebat Ayah. Akan tetapi tidak puas kalau aku tidak menghajar dengan kedua
tanganku sendiri kepada orang yang menyusahkan hati Ibu."
"Anakku
yang baik...!" Untuk menekan harunya, Liu Bwee mengangkat tubuh anaknya,
dipeluk, diciuminya kemudian dia membentak, "Terbanglah!" dan
melempar tubuh anak itu ke atas.
Swat Hong
bersorak gembira. Itulah sebuah di antara permainan mereka. Dia senang sekali
kalau dilempar ke udara oleh ibunya, terutama kalau ayahnya yang melakukannya
karena lemparan ayahnya membuat tubuhnya ‘terbang’ tinggi sekali. Namun kini
lemparan ibunya cukup menggembirakan hatinya, karena biar pun ibunya tidak
sekuat ayahnya, lemparannya cukup membuat tubuhnya melambung tinggi melewati
puncak pohon.......
BERSAMBUNG KE JILID 03
BERSAMBUNG KE JILID 03
Terima Kasih Telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment