Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Bu Kek Siansu
Jilid 12
TANPA ragu-ragu lagi The Kwat Lin melemparkan tubuh yang pingsan itu ke dalam sumur. Mereka semua menanti, ingin mendengar keluhan atau rintihan atau pekik ketakutan dari pemuda yang diberikan kepada ular-ular berbisa itu. Namun tidak terdengar sesuatu dan mereka menganggap bahwa tentu pemuda yang pingsan itu tidak sadar kembali dan terus mati karena dikeroyok ular dalam keadaan pingsan....
"Cepat
kerahkan orang untuk mencari gadis itu!" The Kwat Lin berkata.
Sibuklah
mereka semua mencari Swat Hong. Namun sampai habis seluruh lorong terowongan
itu dijelajahi dan sampai jauh di luar, di sekitar Rawa Bangkai, tetap saja
tidak tampak bayangan gadis itu yang seolah-olah lenyap ditelan bumi!
"Heran
sekali, tadi ketika ditinggalkan pemuda itu, dia masih pingsan!" kata
Ouwyang Cin Cu ketika mereka bertiga kembali berkumpul di dalam goa di depan
sumur ular.
"Kenapa
kau pucat sekali? Gadis itu tidak terlalu berbahaya kukira. Andai kata dia
berhasil melarikan diri, biarkan dia datang. Pemuda itu yang lebih hebat pun
dapat kita basmi," kata Kiam-mo Cai-li ketika melihat betapa The Kwat Lin
nampak ketakutan dan mukanya pucat.
"Aihhh...
kau tidak tahu...! Lenyapnya Swat Hong begitu aneh..., aku takut
kalau-kalau...."
"Mengapa?
Apa yang perlu ditakuti?" Ouwyang Cin Cu juga berkata.
"Kalau
ayahnya yang datang, kita pasti celaka. Baru muridnya saja sudah demikian sukar
dilawan, apa lagi gurunya..."
"Bekas
suamimu?" Kiam-mo Cai-li bertanya.
"Raja
Pulau Es?" Ouwyang Cin Cu juga berkata sambil menengok ke kanan-kiri, karena
gentar juga mendengar tentang guru pemuda luar biasa tadi.
"Kalau
begitu, sebaiknya kita cepat mengunjungi utara dan menghadap An
Tai-goanswe," kata Kiam-mo Cai-li.
"Benar,
kalau terlalu lama, tentu aku akan ditegur. Beliau telah menanti-nanti!"
kata pula Ouwyang Cin Cu karena kini hatinya gentar sekali seperti halnya
Kiam-mo Cai-li.
"Memang
sebaiknya kita pergi hari ini juga. Akan tetapi hatiku belum puas kalau belum
yakin benar akan kematian Sin Liong. Pemuda itu terlalu berbahaya dan lihai,
siapa tahu dia masih belum mati di dalam sana."
"Aiihhh,
siapa dapat hidup di lempar ke dalam sumur yang penuh ular berbisa itu?"
Ouwyang Cin Cu berkata sambil bergidik karena dia merasa ngeri juga memikirkan
hal itu.
Kiam-mo
Cai-li tertawa. "The-lihiap, mengapa khawatir? Aku sebagai pemilik tempat
ini mengerti betul bahwa sumur itu merupakan sumur maut. Entah sudah berapa
banyak... eh, orang-orang yang aku lempar ke situ dan tidak pernah ada yang
dapat hidup kembali. Sumur itu dahulunya memang merupakan sarang ular-ular
berbisa, kemudian kutambah lagi dengan ratusan ekor ular berbisa lain. Kurasa
jangankan baru pemuda itu, biar dewa sekali pun kalau terjatuh ke dalam sumur
itu tentu mampus!"
Memang apa
yang diceritakan oleh wanita ini benar. Sudah banyak pria yang dia lempar ke
dalam sumur itu, yaitu para pria yang diculiknya dan menjadi korban nafsu
birahinya. Setelah dia merasa bosan, para korban itu dilempar ke dalam sumur menjadi
mangsa ular-ular berbisa.
"Betapa
pun juga, aku masih belum yakin benar, Cai-li."
"Kalau
begitu, kita runtuhkan saja goa ini agar sumur tertutup dan tidak ada jalan
keluar lagi baginya walau pun dia benar masih hidup." Ouwyang Cin Cu
memberikan usulnya.
"Memang
baik sekali begitu," kata The Kwat Lin.
Kiam-mo
Cai-li setuju dan mengerahkan semua anak buah Rawa Bangkai, juga orang-orang
katai untuk meruntuhkan goa itu sehingga sumur ular itu tertutup oleh batu-batu
besar dan tidak ada jalan keluar dari tempat yang terpendam batu-batu besar
itu. Kemudian bergegas tiga orang ini mengajak anak buah mereka meninggalkan
Rawa Bangkai secara diam-diam dan terpencar. Mereka melakukan perjalanan ke
utara untuk membantu pergerakan Jenderal An Lu Shan yang sudah mulai
mempersiapkan kekuatannya untuk menyerbu kota raja.
Ke manakah
perginya Swat Hong? Apakah dia berhasil siuman dan sempat melarikan diri? Tidak
mungkin! Andai kata dia siuman dan melihat Sin Liong dikeroyok, dia pasti akan
membantu suheng-nya itu, kalau perlu sampai mati bersama. Bukan watak Swat Hong
untuk melarikan diri, menyelamatkan dirinya sendiri, apa lagi suheng-nya
terancam bahaya. Tidak, ketika pertolongan itu tiba, dara ini masih dalam
keadaan pingsan.
Ketika Sin
Liong lari mengejar Ouwyang Cin Cu, muncullah seorang kakek tua renta yang
bercaping lebar, berdiri memandang Han Swat Hong sambil menggeleng-gelengkan
kepalanya. Kemudian dia menghampiri dara itu, membetulkan bajunya yang lepas,
lalu memanggul tubuh gadis yang pingsan itu keluar dari dalam goa dengan
gerakan yang cepat sekali. Setelah berada di dalam sebuah hutan yang jauh di
luar daerah Rawa Bangkai, kakek itu berhenti, menurunkan Swat Hong dan mengurut
tengkuk gadis itu beberapa kali.
Swat Hong
membuka matanya dan melihat seorang kakek tua renta, akan tetapi hampir dia
jatuh lagi karena tubuhnya masih lemah.
"Duduklah
dulu, engkau masih pening dan lemah," suara ini sedemikan halusnya
sehingga mengelus hati Swat Hong yang menjadi tenang dan sabar kembali.
Swat Hong
duduk, memejamkan mata sebentar mengusir kepeningannya, lalu mengangkat muka
memandang kakek yang berdiri di depannya sambil tersenyum itu. "Kau... kau
siapakah...?"
"Anak
baik, apakah benar namamu Han Swat Hong?"
Swat Hong
terbelalak lalu mengangguk.
"Apakah
kau datang dari Pulau Es?"
Kembali Swat
Hong terkejut dan terheran, akan tetapi untuk kedua kalinya dia mengangguk.
"Kau... kau siapakah...?"
"Hemmm...
kalau begitu Ibumu adalah Liu Bwee dan ayahmu Han Ti Ong?"
Swat Hong
tak dapat menahan keheranan hatinya. "Bagaimana engkau bisa tahu?"
Kakek itu
tersenyum, memperlihatkan mulut yang sudah tak bergigi lagi. "Mengapa
tidak tahu kalau Han Ti Ong itu adalah cucuku?"
"Ouhhh...!"
Swat Hong terbelalak sebentar, kemudian cepat menjatuhkan diri berlutut.
Kiranya dia berhadapan dengan Kongcouw-nya (kakek buyut) yang pernah dia dengar
telah meninggalkan Pulau Es sebagai seorang pertapa! Kini mengertilah dia bahwa
kakek buyutnya ini telah menolongnya.
"Ha-ha-ha,
kebetulan saja aku mendengar pemuda itu memanggil-manggilmu sehingga aku
tertarik akan She Han yang diteriakkannya. Melihat engkau berada dalam bahaya,
aku segera membawamu ke luar dari goa ke tempat ini."
"Saya
menghaturkan terima kasih atas pertolongan Kongcouw... akan tetapi, di mana
Suheng?"
"Hemm,
pemuda yang lihai itu, dia Suheng-mu?"
"Benar,
Kongcouw, dia adalah murid Ayah."
"Ahh,
keadaannya terlalu berbahaya. Kau beristirahatlah di sini, pulihkan tenagamu,
aku akan kembali ke sana dan melihat keadaannya."
Swat Hong
mengangguk dan kakek itu berkelebat pergi dari situ. Swat Hong merasa kagum
sekali. Kakek buyutnya itu sudah tua sekali, tentu lebih dari seratus tahun
usianya, namun gerakannya masih demikian ringan dan cepat. Hatinya merasa lega
melihat kakeknya itu pergi untuk menolong Sin Liong, maka dia lalu duduk
bersila dan mengatur pernapasannya untuk memulihkan tenaganya.
Samar-samar
teringatlah dia akan peristiwa di dalam goa dan mukanya terasa panas sekali.
Teringatlah dia betapa dia telah menjadi seperti gila di dalam goa itu, ketika
suheng-nya mengobatinya dan mengusir hawa beracun dari tubuhnya. Kalau dia
membayangkan peristiwa itu... betapa dia tanpa malu-malu memeluk suheng-nya,
menciumnya... ah, dia bisa mati karena malu!
Namun semua
itu hanya teringat seperti dalam mimpi saja, bayang-bayang suram dan dia
sendiri masih tidak percaya apakah peristiwa itu benar-benar terjadi, ataukah
hanya dalam mimpi belaka? Kalau sungguh terjadi betapa malunya! Dan agaknya
tidak mungkin dia berani melakukan hal itu, sungguh pun di sudut hatinya memang
terdapat suatu kerinduan yang hebat terhadap suheng-nya. Akan tetapi siapa
tahu, di dalam goa yang aneh itu. Aihh, kalau benar-benar telah terjadi hal itu
, betapa dia dapat bertemu muka dengan suheng-nya?
Karena
pikiran dan hatinya tak pernah berhenti bekerja dan melamun, waktu berlalu
dengan amat cepatnya sampai tidak terasa oleh Swat Hong bahwa kakek buyutnya
telah pergi setengah hari lamanya! Baru dia sadar kembali dan teringat akan
kakek ini setelah kakek itu datang kembali ke situ, tahu-tahu sudah duduk di
dekatnya, menghapus keringat dari dahi yang berkeriput itu.
"Aihh...!"
Kakek itu menarik napas panjang sambil memandang Swat Hong yang sudah membuka
mata dan memandang kakek itu dengan penuh pertanyaan.
"Bagaimana,
Kongcouw? Mana Suheng?"
Kembali
kakek itu menarik napas panjang dan menggeleng-geleng kepalanya. "Mereka
sungguh jahat, Suheng-mu biar lihai tidak dapat melawan kelicikan dan
kecurangan mereka. Suheng-mu tertangkap dan... terbunuh...."
Sepasang
mata itu terbelalak, mukanya pucat sekali. Samar-samar dari sepasang bibir itu
keluar suara seperti menggumam, "Terbunuh? Suheng... terbunuh...?"
"Ya,
dilempar ke dalam sumur ular...."
"Aahhh...!"
Swat Hong menjadi lemas dan tentu akan roboh kalau tidak di sambar oleh kakek
itu. Dara itu pingsan dengan muka pucat sekali.
Kakek itu
merebahkannya dan mengerutkan alisnya, merasa kasihan sekali karena dia dapat
menyelami perasaan gadis ini, cucu buyutnya yang agaknya mencinta Suheng-nya.
Setelah siuman dari pingsannya, Swat Hong menangis dengan sedihnya.
Kakek itu
membiarkan dia menangis beberapa lamanya, kemudian berkata dengan suara halus
dan penuh pengertian, "Han Swat Hong, aku tidak menyalahkan engkau berduka
dan menangis, karena kematian Suheng-mu itu amat menyedihkan. Akan tetapi, kita
harus berani membuka mata melihat dan menghadapi kenyataan seperti apa adanya.
Suheng-mu tewas, hal ini adalah suatu kenyataan yang tidak dapat diubah oleh
siapa dan oleh apa pun juga. Sudah demikianlah jadinya, tidak akan berubah biar
pun kita akan berduka sampai menangis air mata darah sekali pun. Karena itu
lihatlah kenyataan ini dan bersikaplah tenang dan tabah."
Swat Hong
menyusut matanya. "Dia... dia adalah satu-satunya orang... setelah aku kehilangan
Ibu dan Ayah...." Swat Hong sukar membendung membanjirnya air mata. Akan
tetapi perlahan-lahan, mendengarkan nasehat kakek buyutnya, dapat juga dia
menekan kedukaannya dan menghentikan tangisnya. "Kongcouw, apakah yang
terjadi dengan Suheng? Harap ceritakan dengan sejelasnya."
Kakek itu
menarik napas panjang. "Aku terlambat. Ketika tiba di sana, tempat itu
sudah kosong. The Kwat Lin dan teman-temannya sudah melarikan diri dari Rawa
Bangkai. Aku menangkap seorang katai yang masih tinggal di sana dan dari orang
inilah aku mendengar betapa Suheng-mu dikeroyok dan akhirnya dapat ditangkap
dan dilempar ke dalam sumur ular."
"Ketika
dia dilempar belum mati, apakah dia tidak dapat ditolong?" Swat Hong
bertanya penuh harapan.
Kakek itu,
yang selama dalam perantauannya setelah meninggalkan Pulau Es, menyebut diri
sendiri Han Lojin (Kakek Han), menggeleng kepala. "Goa terowongan itu
diruntuhkan oleh Kwat Lin, sumur ular telah tertutup batu-batu besar. Suheng-mu
tidak mungkin dapat ditolong lagi karena sumur itu penuh ular berbisa dan
Suheng-mu pingsan ketika dilempar ke situ."
Sepasang
mata yang merah karena tangis itu mengeluarkan sinar berapi dan kedua tangan
itu dikepal, "Aku harus bunuh mereka! Aku harus balaskan kematian Suheng!
Kalau tidak, hidupku tidak ada artinya lagi. Kongcouw, sekarang juga aku akan
cari mereka!" Dia sudah bangkit berdiri dan hendak pergi dari situ.
Akan tetapi
kakek itu memegang lengannya dan berkata dengan suara penuh wibawa, "Tahan
dulu!"
Swat Hong
memandang kakek itu dengan alis berkerut. "Mengapa engkau menghalangi
niatku membalas dendam?"
"Melakukan
sesuatu dengan tergesa-gesa tanpa pertimbangan lebih dulu adalah perbuatan
bodoh dan sikap yang ceroboh. Karena tidak mengukur kekuatan sendiri, Suheng-mu
telah membayar dengan nyawanya. Apakah perbuatan bodoh seperti itu hendak kau
contoh pula? Aku mendengar keterangan dari si katai itu bahwa mereka itu
bersama anak buahnya pergi ke utara, ke Telaga Utara untuk menggabungkan diri
dengan pemberontak An Lu Shan. Kalau engkau menyusul ke utara, mana mungkin
engkau seorang diri akan menghadapi mereka yang mempunyai pasukan ratusan ribu
orang? Apakah kau hanya akan mengantar nyawa dengan sia-sia belaka di
sana?"
"Aku
tidak takut, Kongcouw!"
Kakek itu
tersenyum. "Tentu saja tidak takut, akan tetapi bodoh kalau sampai begitu.
Kau ini akan membalaskan kematian Suheng-mu ataukah akan membunuh diri?"
Swat Hong
sadar dan terkejut juga karena baru sekarang terbuka matanya bahwa dia hanya
menuruti hati duka dan sakit. Dia menunduk dan berkata dengan lirih, "Aku
harus membalaskan kematian Suheng, dan juga aku harus merampas kembali semua
pusaka Pulau Es yang dilarikan The Kwat Lin untuk memenuhi pesan terakhir
Ayahku."
"Baiklah,
akan tetapi engkau tidak mungkin bisa melaksanakan tugas berat itu seorang diri
saja. Marilah pergi bersamaku, aku sudah hafal akan keadaan di Telaga Utara dan
biarlah aku yang akan menyelidiki di sana nanti."
Swat Hong
tentu merasa girang sekali memperoleh bantuan kakeknya yang berilmu tinggi dan
dia tidak membantah. Maka berangkatlah ke dua orang ini ke utara. Setelah tiba
di dekat Telaga Utara, Han Lojin mulai menyelidiki sebagai sebagai seorang
tukang pancing yang bercaping lebar. Swat Hong dia suruh menanti di dalam kuil
tua di dalam hutan.
Seperti
telah diceritakan di bagian depan, Han Lojin kemudian bertemu dengan cucu
mantunya, Liu Bwee, dan Ouw Sian Kok yang dikeroyok oleh orang-orangnya An Lu
Shan dan menyelamatkan kedua orang itu. Dia tidak berhasil bertemu dengan The Kwat
Lin karena wanita ini, bersama dengan Kiam-mo Cai-li dan juga Ouwyang Cin Cu,
telah memperoleh tugas lebih dulu dari An Lu Shan dan telah berangkat ke kota
raja untuk menyelundup dan membantu gerakan dari dalam secara rahasia. Oleh
karena inilah, maka ketika menyelidiki ke Telaga Utara, Han Lojin tidak pernah
mellihat The Kwat Lin dan akhirnya dia malah bertemu dan menyelamatkan cucu
mantunya. Demikianlah, Liu Bwee dan Ouw Sian Kok ikut bersama kakek sakti itu
memasuki hutan.
Ketika tiba
di kuil, kakek itu berkata kepada Liu Bwee, "Engkau akan bertemu dengan
seseorang yang tidak kausangka-sangka, maka bersiaplah engkau menghadapi
peristiwa ini."
Tentu saja
Liu Bwee menjadi terheran-heran dan tidak mengerti.
Akan tetapi
pada saat itu, terdengar suara orang, "Kongcouw, kau sudah pulang?"
dan munculah Swat Hong!
Tiba-tiba
Swat Hong yang berlari ke luar itu berhenti dan seperti telah berubah menjadi
patung. Ibu dan anak itu saling berpandangan, keduanya tidak bergerak seperti
terkena pesona.
"Ibuuuu....!!"
"Swat
Hong... Hong-ji, anakku...!"
Keduanya
berlari ke depan, kedua lengan terbuka, air mata bercucuran di wajah yang
berseri penuh kebahagiaan. Keduanya bertemu, saling rangkul dan saling dekap
sambil menangis! Pertemuan yang sama sekali tidak pernah mereka sangka-sangka,
pertemuan yang mengundang keharuan hati, mendatangkan segala bayangan duka yang
dipendam di lubuk hati.
Ouw Sian Kok
terbatuk-batuk menahan haru. Teringat dia akan puterinya sendiri, namun
diam-diam dia merasa girang bahwa Liu Bwee dapat berjumpa dengan anaknya. Dia
saling pandang dengan Han Lojin dan tersenyum sambil mengangguk-angguk, lalu
pergi menjauh untuk memberi kesempatan kepada ibu dan anak itu saling bertemu
dan bicara.
"Ibu...,
Ayah... Pulau Es...."
Liu Bwee
mengangguk dan mengusap rambut puterinya. "Aku sudah tahu...."
"...dan
Suheng...."
Liu Bwee
memandang puterinya dan mengangkat dagu Swat Hong. "Apa maksudmu?
Suheng-mu kenapa?"
Melihat
ibunya belum tahu, Swat Hong terisak lagi menangis.
"Hong-ji,
tenanglah. Mari kita bicara yang baik. Mengapa Suheng-mu? Apa saja yang telah
terjadi sejak kita berpisah?"
"Suheng...
Suheng telah tewas, Ibu...."
Liu Bwee
terkejut bukan main. Ia terbelalak dan memandang pucat kepada puterinya, akan
tetapi melihat puterinya menangis penuh duka, dia mendekapnya dan menghibur,
"Mati hidup bukanlah urusan kita, Hong-ji. Tenanglah dan ceritakan semua
pengalamanmu kepada Ibumu."
Swat Hong
lalu menceritakan semua pengalamannya semenjak ibunya meninggalkan Pulau Es,
menceritakan dengan lengkap namun singkat dan didengarkan oleh ibunya penuh
perhatian.
Ketika
puterinya itu bercerita tentang Soan Cu, Liu Bwee menengok dan menggapai ke
arah Ouw Sian Kok sambil berseru, "Ouw-twako, ke sinilah. Anakku telah
bertemu dengan puterimu, Ouw Soan Cu!"
Mendengar
seruan ini, Ouw Sian Kok melompat bangun dan lari menghampiri, berkata kepada
Swat Hong, "Aihhh, Han-siocia (Nona Han), benarkah kau telah bertemu
dengan anakku?" suaranya agak gemetar karena keharuan hatinya mendengar
tentang puterinya.
Swat Hong
memandang laki-laki setengah tua yang gagah itu, lalu mengangguk. Kiranya
ibunya telah bertemu dan bersahabat dengan ayah Soan Cu, pikirnya! Dia telah
mendengar akan ayah Soan Cu yang lari meninggalkan Pulau Neraka semenjak
isterinya meninggal dunia. Jadi inikah orangnya? Dia lalu melanjutkan
penuturannya yang amat menarik hati itu sampai pada peristiwa penyerbuannya
bersama suhengnya ke Rawa Bangkai sehingga suhengnya tewas dan dia tertolong
oleh kakek buyutnya.
Hening
sekali setelah Swat Hong mengakhiri ceritera, hanya isak tertahan gadis itu
masih terdengar.
"Hemm,
sungguh jahat sekali The Kwat Lin itu!" tiba-tiba Ouw Sian Kok berkata
sambil mengepal tinjunya. "Han-siocia, aku Ouw Sian Kok bersumpah untuk
membantumu menghadapi iblis betina itu!"
Swat Hong
mengangkat mukanya memandang. "Terima kasih, Paman Ouw...."
"Akan
tetapi, aku harus menemui anakku lebih dulu. Di manakah engkau bertemu dengan
dia untuk terakhir kalinya?"
"Dia
kami tinggalkan di Puncak Awan Merah di pegunungan Tai-hang-san, di tempat
tinggal Tee-tok Siangkoan Houw."
"Kalau
begitu, biar aku menyusul ke sana!" kata Ouw Sian Kok dengan gembira.
"Setelah aku bertemu dengan dia, barulah kita beramai mencari iblis betina
itu untuk sama-sama menghadapinya dan menghancurkannya! Bagaimana pendapat Lo-
cianpwe?" dia berpaling kepada kakek Han yang sejak tadi hanya
mendengarkan saja.
Juga Swat
Hong dan Liu Bwee menoleh dan memandang kakek itu, karena betapa pun juga,
mereka mengharapkan bantuan kakek ini, juga keputusannya.
Sampai lama
Han Lojin diam saja, merenung dan memandang jauh, kemudian menghela napas
panjang. "Aihh, tak kusangka akan begini jadinya...! Tadinya, ingin sekali
aku melihat kalian berdua melupakan semua hal yang telah lalu, mulai hidup baru
dengan aman dan tenteram, menjauhi urusan kekerasan dunia yang hanya
mendatangkan dendam dan bunuh-bunuhan antara sesama manusia, sambil mendidik
Swat Hong pula. Akan tetapi melihat gejalanya... mengingat pula hancurnya Pulau
Es... dan memang sudah seharusnya kalau pusaka-pusaka itu dikembalikan ke
tempat asalnya.... Ahhh, aku si tua bangka yang sudah lama mencuci tangan dari
urusan duniawi, sekarang terseret pula! Betapa menyedihkan!"
"Lo-cianpwe,
kalau kita masih hidup di dunia ramai, betapa mungkin kita menghindarkan diri
untuk mencampuri urusan dunia ramai? Yang penting kita selalu berada di pihak
yang benar." Ouw Sian Kok membantah.
Kakek itu
menggeleng-geleng kepala. "Engkau belum mengerti, apa sih artinya pihak
yang benar? Apa sih artinya kebenaran? Kebenaran yang dapat disebut dengan
mulut, bukankah kebenaran adanya! Ahhh, sudahlah, tanpa adanya kesadaran, mana
mungkin dapat mengerti? Engkau hendak mencari puterimu, memang sudah sepatutnya
dan semestinya sejak dahulu kau lakukan hal itu. Sekarang aku akan menyertai
Liu Bwee dan puterinya ini ke kota raja...."
"Ke
kota raja?" Ouw Sian Kok berseru heran.
"Ya,
karena The Kwat Lin telah menerima tugas dari An Lu Shan untuk menyusun
kekuatan di sana menanti saat pemberontakan tiba. Dan kita tidak perlu terseret
oleh pemberontakan, melainkan hanya hendak mencari The Kwat Lin dan minta
kembali pusaka-pusaka Pulau Es."
"Dan
membunuh mereka untuk membalaskan kematian suheng!" Swat Hong berseru
penuh semangat.
Han Lojin
tidak menjawab seruan Swat Hong itu, melainkan menoleh kepada Ouw Sian Kok
sambil berkata, "Ouw Sian Kok, kalau kau hendak mencari puterimu, pergilah
dan kelak kau boleh menyusul kami di kota raja...."
"Tidak,
Lo-cianpwe. Setelah saya mendengar bahwa iblis betina itu berada di kota raja,
saya juga harus ikut ke kota raja untuk menghadapinya!"
Liu Bwee
memandang kepada tokoh Pulau Neraka ini dan kebetulan sekali Ouw Sian Kok juga
memandangnya, maka pertemuan dua pasang sinar mata itu sudah cukup bagi mereka
untuk mengetahui isi hati masing-masing. Liu Bwee maklum bahwa pria yang gagah
itu ingin membantunya karena mengkhawatirkan dirinya, sebaliknya Ouw Sian Kok
juga maklum bahwa bekas ratu Pulau Es itu girang sekali mendengar bahwa dia
akan membantu. Maka tanpa banyak cakap lagi berangkatlah empat orang ini menuju
ke kota raja.
Pada waktu
itu suasana di seluruh negeri telah menjadi panas. Kekacauan terjadi di
mana-mana. Tersiar berita bahwa pemberontakan An Lu Shan mulai bergerak dari
utara. Tersiar pula berita bahwa di tapal batas utara telah di mulai perang
saudara antara pasukan pemberontak dan pasukan pemerintah yang tidak kuat
membendung datangnya pasukan pemberontak yang seperti air bah membanjir ke selatan.
Berita ini sudah cukup untuk membangkitkan semangat golongan sesat untuk
bangkit dan mempergunakan kesempatan selagi keadaan negara kacau, rakyat
bingung dan pasukan-pasukan ditarik untuk diperbantukan menghadapi pemberontak
sehingga keamanan tidak terjamin lagi.
Memang
perang telah dimulai. An Lu Shan telah membuka kedoknya dan dengan
terang-terangan mulai menggerakkan pasukannya. Pada waktu itu, pasukan
pemerintah yang terkuat adalah pasukan penjaga tapal batas utara yang dianggap
merupakan bagian atau daerah yang paling penting untuk dijaga dengan kuat, maka
otomatis pasukan yang terkuat berada di bawah pimpinan Jenderal ini.
Pada jaman
itu, kerajaan Tang dipimpin oleh kaisar Beng Ong yang usianya sudah enam puluh
tahun lebih, seorang kaisar yang sayangnya memiliki kelemahan, yaitu menjadi
hamba dari nafsu birahi sehingga dia seperti boneka lilin di dalam tangan halus
selir Yang Kui Hui. Pada waktu itu Kerajaan Tang mempunyai dua buah kota raja
atau ibu kota. Yang pertama, di mana Kaisar Beng Ong duduk bertahta dan menjadi
pusat pemerintahannya, adalah ibu kota Tiang-an. Ada pun ibu kota yang ke dua
adalah Lok-yang.
Selain
mempunyai bala tentara yang besar jumlahnya dan pasukan-pasukan pilihan, An Lu
Shan juga dibantu oleh banyak orang-orang kang-ouw yang berilmu tinggi. Hal ini
adalah karena banyak orang-orang kang-ouw merasa tidak suka kepada Kaisar tua
yang berada di bawah telapak kaki selir cantik itu, juga banyak pembesar yang
diam-diam merasa dendam kepada Yang Kui Hui karena selir ini dengan mudah
begitu saja mempengaruhi Kaisar untuk memecat pembesar-pembesar tinggi dan
menggantikan kedudukan mereka dengan kedudukan lebih rendah. Semua ini untuk
menarik keluarga-keluarganya agar dapat menduduki tempat-tempat penting!
Gerakan
pemberontakan An Lu Shan dimulai dari utara di dekat Peking, terus membanjir ke
selatan. Dengan mudahnya dia melumpuhkan semua perlawanan yang dilakukan oleh
pasukan-pasukan yang masih setia kepada Kaisar, bahkan pasukan yang takluk
segera menyerah dan menjadi pasukan pembantunya. Dengan mudah saja
pasukan-pasukan pemberontak menyeberangi Sungai Kuning dan menyerbu Lok-yang,
ibu kota ke dua dari kerajaan Tang.
Komandan
pasukan yang mempertahankan Lok-yang, ibu kota ke dua dari Kerajaan Tang ini
adalah seorang panglima yang setia. Dengan gigih dia memimpin pasukannya
mempertahankan Lok-yang mati-matian. Akan tetapi, yang amat melemahkan
pertahanan itu adalah gangguan-gangguan dari dalam kota itu sendiri yang
dilakukan oleh kaki tangan An Lu Shan. Pada saat Lok-yang diserbu inilah
rombongan Han Lojin berada di Lok-yang, ketika mereka berusaha mencari The Kwat
Lin yang dikabarkan membantu An Lu Shan dengan mempersiapkan diri di ibu kota
itu.
Han Lojin,
Ouw Sian Kok, Liu Bwee dan Swat Hong terkurung di dalam kota Lok-yang ketika
ibu kota ke dua ini diserbu pemberontak. Mereka menyaksikan sendiri betapa
Panglima Coa Cun dengan gagah berani mempertahankan ibu kota ke dua itu dengan
pasukannya sehingga tidaklah mudah bagi pasukan pemberontak untuk menguasai
kota raja ini. Han Lojin dan rombongan yang memang bermaksud untuk mencari The
Kwat Lin, sambil memasang mata ikut hilir mudik bersama para penghuni yang
ketakutan.
Ketika
terjadi pembakaran di pusat pasar dan serangan-serangan gelap yang ditujukan
kepada komandan-komandan pasukan oleh serombongan orang yang gerakannya amat
lihai, Han Lojin dan rombongannya cepat mendatangi tempat kekacauan ini.
Akhirnya setelah lari ke sana-sini setiap mendengar ada kekacauan yang
dilakukan oleh segerombolan mata-mata musuh, sampailah mereka di taman belakang
istana pangeran muda yang berkuasa di Lok-yang. Di sinilah mereka melihat
gerombolan pengacau itu. Serta merta Han-Lojin, Ouw Sian Kok, Liu Bwee Dan Swat
Hong lalu menyerbu dan mencari The Kwat Lin.
Akan tetapi
mereka berhadapan dengan belasan orang pengacau yang dipimpin oleh Kiam-mo
Cai-li! Gerombolan itu sedang berusaha untuk membakar istana pangeran dengan
panah-panah api, dan para pengawal istana itu sudah dibuat tewas malang
melintang oleh mereka.
"Dialah
Kiam-mo Cai-li, pemiliki istana Rawa Bangkai," kata Han Lojin sambil
menuding ke arah seorang wanita cantik yang pakaiannya mewah.
Tampak
Kiam-mo Cai-li sedang memimpin belasan orang pembantunya itu untuk menghujankan
anak panah ke arah istana. Sebagian dari istana itu mulai terbakar.
Mendengar
bahwa wanita itu adalah seorang di antara pembunuh-pembunuh suheng-nya, Swat
Hong sudah tidak dapat menahan kesabaran hatinya lagi. Dia meloncat keluar dari
tempat sembunyinya dengan pedang di tangan. Serta merta ia menyerang sambil
membentak, "Iblis betina Kiam-mo Cai-li, bersiaplah engkau menebus nyawa
Suheng Kwa Sin Liong!!"
"Singgg...
syuuutttt... aiihhh....!" Kiam-mo Cai-li cepat mengelak dengan meloncat ke
belakang. Rambutnya yang panjang seperti hidup saja bergerak menyambar ke arah
pergelangan tangan Swat Hong.
Namun dara
ini cukup cekatan. Melihat sinar hitam menyambar, dia sudah membalikkan
pedangnya membacok sehingga putuslah segumpal rambut, membuat Kiam-mo Cai-li
berteriak kaget dan marah. Ketika dia memandang dan melihat bahwa yang muncul
ini adalah gadis teman Sin Liong, gadis dari Pulau Es seperti yang di ceritakan
oleh The Kwat Lin, dia terkejut bukan main. Apa lagi melihat Han Lojin, Ouw
Sian Kok, dan Liu Bwee yang jelas membayangkan kelihaian.
"Panah
roboh mereka!" tiba-tiba dia berteriak sambil melompat jauh ke belakang
untuk memberi kesempatan kepada dua belas orang pembantunya menyerang empat
orang ini.
Dua belas
orang itu adalah anak buah Kiam-Mo Cai-li dari Rawa Bangkai yang telah dididik
khusus menggunakan anak panah berapi. Ketika mereka mendengar aba-aba ini dan
mengenal wajah Swat Hong sebagai gadis yang pernah menyerbu Rawa Bangkai, cepat
mereka membidikan anak panah mereka. Tampaklah sinar-sinar berapi menyambar
kepada empat orang itu.
"Wir-wir-wir...!!"
Mengerikan sekali datangnya anak-anak panah yang ujungnya bernyala itu. Dapat
dibayangkan betapa mengerikan kalau anak panah yang bernyala itu mengenai
tubuh!
Namun, empat
orang itu bukanlah orang-orang sembarangan. Dengan amat mudahnya Han Lojin dan
Ouw Sian Kok mengebutkan ujung baju meruntuhkan semua anak panah yang menyambar
ke arah mereka. Sedangkan Liu Bwee dan Swat Hong juga sudah meruntuhkan semua
anak panah yang menyambar ke arah mereka dengan pedang sehingga anak-anak panah
itu patah-patah.
"Iblis
betina !" Swat Hong meloncat maju, pedangnya diputar cepat dan dia sudah
menerjang Kiam-mo Cai-li dengan dahsyat.
"Tranggg!
Trik-trikkk!" pedang payung di tangan Kiam-mo Cai-li sudah menangkis dan
kuku-kuku jarinya yang panjang mengeluarkan bunyi berjentrik saat dia
mencengkeram ke arah Swat Hong yang dapat dielakkan oleh dara ini.
"Kalian
hadapi mereka. Wanita itu lihai dan berbahaya, aku harus menjaga Swat
Hong," kata Han Lojin kepada Ouw Sian Kok dan Liu Bwee.
Liu Bwee
mengangguk. Hatinya lega karena dengan bantuan kakek suaminya itu, dia tidak
mengkhawatirkan keselamatan puterinya. Maka bersama Ouw Sian Kok dia lalu
mengamuk dan celakalah dua belas orang anak buah Rawa Bangkai itu. Mana mungkin
mereka dapat melawan dua orang lihai dari Pulau Es dan Pulau Neraka ini? Biar
pun mereka semua telah menggunakan pedang dan golok menyerang dan mengeroyok,
namun seorang demi seorang roboh dan tidak dapat bangkit kembali.
Ada pun
pertandingan antara Swat Hong melawan Kiam-mo Cai-li amat seru dan menegangkan.
Biar pun pada dasarnya Swat Hong memiliki ilmu silat tinggi yang lebih murni
dan kuat, namun menghadapi seorang datuk kaum sesat seperti Kiam-mo Cai-li yang
amat cerdik dan banyak pengalaman, beberapa kali hampir saja dia terkena
cakaran kuku panjang beracun itu. Tiga macam senjata Kiam-mo Cai-li amat
membingungkan Swat Hong. Dengan gerakan pedang yang cepat, Swat Hong dapat
membendung pedang payung dan kuku-kuku jari tangan kiri iblis betina itu,
bahkan dia mulai mendesak dengan permainan pedangnya yang cepat dan mengandung
tenaga dingin itu.
"Mampuslah!"
Swat Hong membentak dan pedangnya menusuk.
"Tranggg...!
Brettt...!!" pedang Swat Hong bertemu dengan pedang payung dan berhasil
menembus dan merobek kain payung, akan tetapi pedangnya itu tercepit di antara
batang-batang payung sehingga kedua pedang bertemu dan saling melekat.
"Hi-hi-hik,
kaulah yang mampus!" Kiam-mo Cai-li berseru, tangan kirinya bergerak
mencengkeram ke arah dada Swat Hong. Kalau sampai kena dicengkeram kuku-kuku
beracun itu, dada Swat Hong tentu akan berbahaya sekali.
"Plak!"
Swat Hong sudah siap dan tangan kirinya menangkap pergelangan tangan lawan dari
bawah. Kini terjadilah adu tenaga karena kedua tangan mereka sudah tidak bebas
lagi.
Pada saat
itu rambut panjang Kiam-mo Cai-li bergerak menyambar ketika dia menggerakkan
kepalanya sambil tertawa. Bagaikan ular hidup saja, gumpalan rambut itu
menyambar dengan totokan maut! Swat Hong terkejut bukan main, namun hatinya
menjadi lega kembali melihat berkelebatnya bayangan kakek buyutnya.
"Plakkk!!"
rambut itu disambar oleh tangan Han Lojin.
"Aihhh...
lepaskan...!" Kiam-mo Cai-li menjerit karena betapa pun dia berusaha
menarik rambutnya, tetap saja tidak dapat terlepas bahkan semakin erat.
"Swat
Hong, lepaskan dia, mundurlah!" Han Lojin berseru.
Swat Hong
tidak berani membantah, lalu melepaskan pegangan tangannya dan menarik
pedangnya melompat mundur.
"Kiam-mo
Cai-li, aku hanya ingin bertanya kepadamu!" Han Lojin berkata, suaranya
halus.
Melihat
kakek ini yang dia tahu amat lihai, Kiam-mo Cai-li yang cerdik lalu menjatuhkan
diri berlutut di depan kakek itu, menunduk dan berkata, "Lo-cianpwe,
maafkan saya, saya tidak berani melawan Lo-cianpwe yang sakti. Pertanyaan
apakah yang hendak Lo-cianpwe (Kakek Gagah Perkasa) ajukan kepada saya?"
Swat Hong
mengerutkan alisnya melihat sikap Kiam-mo Cai-li yang begitu ketakutan.
Akan tetapi
Han Lojin hanya mengelus jenggotnya. "Hemmm, semua orang pernah melakukan
penyelewengan dalam hidupnya. Penyesalan yang disertai kesadaran tinggi
mendatangkan pengertian sehingga si penyeleweng akan merasa jijik untuk
melanjutkan penyelewengannya. Kiam-mo Cai-li, sayang kalau kepandaian seperti
yang kau miliki itu dipergunakan untuk kejahatan. Aku hendak bertanya, di mana
adanya The Kwat Lin?"
"The
Kwat Lin? Ohh, dia berada di... neraka bersamamu!" Tiba-tiba wanita itu
dari bawah menyerang dengan payung dan kuku beracunnya.
"Ceppp...
bresss...!"
"Keparat...."
Swat Hong menjerit dan pedangnya bergerak secepat kilat sebelum Kiam-mo Cai-li
sempat mencabut kembali pedangnya dari dada kakek itu.
"Preppp...!
Aihhhh...!!" darah muncrat-muncrat dari lambung Kiam-mo Cai-li dan dada
Han Lojin.
Kakek itu
masih berdiri tegak sambil tersenyum ketika pedang dicabut ke luar dadanya.
Kiam-mo Cai-li mengeluarkan teriakan seperti binatang buas ketika dia menubruk
Swat Hong dan menyerangnya, namun Swat Hong sudah mengelak dan dari samping
kembali pedangnya menyambar.
"Crokkk!!"
tubuh Kiam-mo Cai-li yang sudah terhuyung itu tidak dapat mengelak lagi.
Lehernya tertusuk pedang dan dia roboh terguling, berkelojotan dengan mata
mendelik memandang ke arah Swat Hong.
"Lo-cianpwe...!"
Ouw Sian Kok yang bersama Liu Bwee sudah berhasil merobohkan dua belas orang
itu, meloncat dan merangkul kakek itu karena kekek yang masih berdiri tegak itu
mendekap dadanya yang bercucuran darah.
Kakek itu
menggelengkan kepala, memandang kepada Swat Hong. "Aihhh, kau ganas
sekali, Swat Hong...!"
"Kongcouw...
dia jahat... patut di bunuh!" Swat Hong berkata, memandang mayat Kiam-mo
Cai-li yang kini sudah tidak bergerak lagi itu.
"Hayaaaa...
selamanya belum pernah dirobohkan orang, sekali ini terperdaya kelicikan
seorang wanita... memang sudah semestinya begini.... kalian.... kurangilah atau
lenyapkan sama sekali.... keganasan.... kekerasan, bunuh membunuh ini....
karena siapa menggunakan kekerasan akan menjadi korban kekerasan pula.... nah,
selamat berpisah anak-anak....."
Tubuh yang
bediri tegak itu masih berdiri, akan tetapi kalau tidak dirangkul tentu akan
roboh karena pada saat itu juga Han Lojin telah mengembuskan napas terakhir.
Memang luar biasa sekali kakek ini. Pedang payung yang ditusukkan secara curang
oleh Kiam-mo Cai-li menembus dada dan menembus pula jantungnya, namun dia masih
mampu berdiri tegak dan berkata-kata!
Liu Bwee dan
Swat Hong berlutut sambil menangis. Akan tetapi Ouw Sian Kok berkata,
"Harap kalian bangkit berdiri dan mari kita lekas membawa pergi jenazah
Lo-cianpwe ini keluar kota."
Liu Bwee
menyusut air matanya dan menggandeng tangan Swat Hong, menarik gadis itu
bangkit berdiri. "Ouw-twako benar, Hong-ji. Kita tidak mempunyai urusan
apa-apa lagi di sini, sedangkan keadaan makin kacau. Tugas kita berada di ibu
kota pertama, Tiang-an."
Diingatkan
bahwa The Kwat Lin berada di Tiang-an, Swat Hong memandang ibunya.
"Kami
tadi telah memaksa mereka bicara, dan seorang di antara mereka itu mengaku di
mana adanya The Kwat Lin. Dia berada di Tiang-an, tugasnya sama dengan Kiam-mo
Cai-li yaitu mengacau kota raja di waktu pemberontak menyerbu ke sana."
Swat Hong
mengangguk, sekali lagi melirik ke arah mayat Kiam-mo Cai-li. Rasa lega dan
puas menyelinap di hatinya mengingat akan kematian suheng-nya yang betapa pun
juga kini sudah agak terbalas dengan matinya wanita ini. Dia kemudian mengikuti
ibunya pergi dari tempat itu.
Perang,
perang, perang! Selama dunia berkembang, agaknya tiada pernah hentinya terjadi
perang di antara manusia. Selama sejarah berkembang, terbukti bahwa di setiap
jaman manusia melakukan perang, baik dari jaman batu sampai jaman modern!
Agaknya betapa pun majunya manusia dari segi lahiriah, sebaliknya dalam segi
batiniah manusia bahkan makin mundur! Betapa tidak?
Di jaman
dahulu, yang dikatakan perang adalah mereka yang langsung menceburkan diri
dalam perang sampyuh, dan mereka ini pula yang menjadi korban, yang membunuh
atau dibunuh. Makin lama, perkembangan perang menjadi makin ganas dan makin
kejam, makin tidak adil dan makin menjauhi apa yang kita sebut
peri-kemanusiaan. Sekarang, di jaman modern, yang langsung memegang senjata
banyak selamat karena dia menguasai teknik perang, pandai menjaga diri, pandai
bersembunyi. Sebaliknya, rakyat yang tidak tahu apa-apa mati konyol!
Perang, di
sudut mana pun terjadinya di dunia ini, dengan kata apa pun diselimutinya,
dengan kata-kata indah macam perjuangan, perang suci, perang membela negara,
membela agama, membela kehormatan dan lain-lain, tetap saja perang yang berarti
bunuh-bunuhan di antara manusia, membunuh hanya untuk melampiaskan dendam dan
kembencian sehingga amatlah buasnya, jauh melampaui kebuasan binatang apa pun
juga yang hidup di dunia ini. Kita semua bertanggung-jawab untuk ini!
Perang yang
terjadi antara bangsa, antara golongan, antara kelompok, meletus karena kita!
Perang antara bangsa atau negara hanya menjadi akibat dari kepentingan Si Aku,
bangsaku, agamaku, kebenaranku, kehormatanku, kemerdekaanku dan sebagainya yang
bersumber kepada aku. Perang antara bangsa hanya bentuk besar dari perang
antara tetangga dan perang antara tetangga adalah bentuk besar dari perang
antara keluarga atau perorangan dan semua ini bersumber kepada perang di dalam
batin kita sendiri.
Batin kita
setiap hari penuh dengan nafsu keinginan, iri hati, dendam, benci dan semua
bentuk kekerasan dan kekejaman. Kalau semua itu menguasai batin kita semua,
menguasai dunia, herankah kita kalau selalu terdapat permusuhan dan perang di
dunia ini? Semenjak sejarah tercatat, setiap pihak yang melakukan perang tidak
menganggapnya sebagai suatu hal yang buruk. Sebaliknya malah, bermacam dalih
diajukan menjadi semacam kedok di depan wajah perang yang dilakukannya, kedok
berupa untuk membela diri, perang untuk keadilan, dan perang untuk perdamaian!
Betapa
menggelikan. Perang untuk keadilan! Perang untuk perdamaian! Dengan cara
membunuh-bunuhi sesama manusia. Kita selalu terjebak ke dalam perangkap penuh
tipu muslihat ini yang berupa kata-kata indah. Pendapat bahwa tujuan
menghalalkan cara merupakan penipuan diri sendiri dan berlawanan dengan
kenyataan. Mungkinkah untuk mencapai tujuan baik menggunakan cara yang jahat?
Yang penting adalah caranya, bukan tujuannya. Tujuan adalah masa depan yang
belum ada, hanya merupakan akibat, sebaliknya cara adalah masa kini, saat ini,
nyata!
Dengan dalih
‘menumbangkan kekuasaan lalim’ itulah An Lu Shan memimpin ratusan ribu bala
tentaranya menyerbu ke selatan. Pada saat seperti itu, An Lu Shan dan semua
pengikutnya menganggap bahwa mereka itu ‘berjuang’ dan mereka sama sekali tidak
mau melihat bahwa kelak andai kata mereka berhasil dan memegang kekuasaan, ada
pula pihak-pihak yang akan mengecapnya ‘kekuasaan lalim’ yang lain dan yang
baru pula!
Di lain
pihak Kaisar Han Tiong atau Beng Ong yang sudah tua itu bersama para
punggawanya yang setia tentu saja melakukan perlawanan yang gigih dengan dalih
‘menghancurkan dan membasmi pemberontak’. Mereka ini lupa bahwa peristiwa
pemberontakan itu sesungguhnya timbul karena ulah mereka sendiri.
Kekuatan
bala tentara yang dipimpin An Lu Shan memang hebat. Dalam beberapa bulan saja,
sekali menyerbu, dia telah menguasai seluruh daerah di sebelah utara Sungai
Huangho. Pasukan-pasukannya akhirnya berhasil merobohkan pertahanan Lok-yang
dan menduduki ibu kota ke dua itu. Kemudian An Lu Shan kembali mengumpulkan
kekuatan pasukannya dan melanjutkan penyerbuannya menuju ke kota raja Tiang-an!
Kematian Kiam-mo Cai-li membuat Jenderal ini menyesal, tentu saja penyesalan
ini didasari bahwa dia kehilangan seorang pembantu yang boleh diandalkan!
Ketika
Kaisar yang sudah tua itu mendengar betapa Lok-yang dalam beberapa hari saja
terjatuh ke dalam tangan pemberontak An Lu Shan, mulailah terbuka matanya.
Selama ini Kaisar tidak terlalu mengacuhkan urusan pertahanan dan sebagian
besar waktunya hanya dihabiskannya di dalam kamar tidur dan di atas ranjang
yang lunak hangat dan harum dari selirnya tercinta, Yang Kui Hui.
Bangkitlah
semangatnya, semangat mudanya yang kini terlalu lama terpendam itu. Dia berhasil
mengobarkan semangat para pasukannya yang dikumpulkannya di Ling Pao di mana
Kaisar membentuk benteng pertahanan yang cukup kuat. Bahkan sekali ini dia
memimpin sendiri untuk berperang menghadapi An Lu Shan dengan hati penuh
kemarahan. Hati siapa tidak akan sakit kalau mengingat betapa dia telah memberi
anugerah besar kepada An Lu Shan, bahkan selirnya yang tercinta telah
menganggap An Lu Shan sebagai putera angkat. Dan kini jenderal itu memberontak!
Perbuatan
apa pun yang dilakukan oleh seseorang kepada orang lain, tidak lah benar jika
di belakangnya bersembunyi pamrih apa pun. Sesuatu perbuatan boleh jadi oleh
umum dianggap sebagai perbuatan baik, namun apabila perbuatan itu
menyembunyikan pamrih, baik yang disadari mau pun tidak, maka perbuatan itu
tidak benar. Perbuatan menolong orang lain oleh umum dianggap baik, namun jika
hal itu dilakukan dengan pamrih apa pun, itu bukanlah menolong namanya,
melainkan hanya memberi pinjam untuk kelak ditagih kembali dalam bentuk
pembalasan budi!
Selama yang
berbuat itu merasa bahwa dia berbuat baik, merasa bahwa dia menolong, di dalam
perasaan ini sudah terkandung pamrih! Jelas tidak benar! Dan selama ada pamrih
di balik setiap perbuatan, pasti akan mendatangkan penyesalan, kebanggaan,
kekecewaan, dendam, penjilat, penindasan dan lain-lain. Setiap perbuatan
barulah benar jika didorong atau didasari oleh cinta kasih!
Demikian
pula dengan Kaisar. Karena dia merasa bahwa dia telah menolong An Lu Shan,
merasa telah berbuat baik kepada jenderal itu maka timbullah penyesalan,
kemarahan dan kebencian karena yang pernah ditolongnya itu tidak membalas
dengan kebaikan. Pamrih yang tersembunyi di balik pertolongannya dahulu itu
adalah menghendaki pembalasan berupa kesetiaan, penghormatan, atau setidaknya
menghendaki agar jangan sampai jenderal itu berani melawannya!
Contoh ini
tanpa kita sadari terjadi di dalam penghidupan kita sehari-hari. Kita miskin
akan cinta kasih sehingga setiap perbuatan kita dicengkeram pamrih. Kalau cinta
kasih memenuhi hati kita, maka segala pamrih akan lenyap tanpa bekas. Setiap
perbuatan kita adalah wajar dan tentu saja benar karena dasarnya cinta kasih
yang melekat pada bibir setiap orang, yang menjadi hampa karena disebut-sebut
dan disanjung-sanjung, diberi pengertian lain, dan dipecah-pecah!
Di mana
terdapat cemburu, benci, sengsara, marah, dan lain-lain, cinta kasih tidak akan
ada. Di mana terdapat si ‘aku’ yang selalu mengejar keuntungan dan kesenangan
lahir batin, cinta kasih tidak akan pernah ada. Karena bagi ‘si aku’, cinta
kasih berarti kesenangan untuk ‘aku’ lahir batin yang berupa ketenteraman,
jaminan, kepuasan, dan kenikmatan. Maka, sekali satu di antara yang dikejar itu
luput, berakhirlah cinta kasihnya dan berubah menjadi cemburu, kemarahan dan
kebencian!
Dengan penuh
kemarahan Kaisar memimpin barisan-barisan yang dapat dikumpulkannya, didampingi
oleh seorang jenderal yang setia kepadanya, seorang jenderal yang ahli dalam
perang bernama Kok Cu It yang menjadi komandan barisan itu. Barisan ini lalu
bergerak dari Ling Pao. Bertemulah dua barisan yang bermusuhan itu di
pegunungan dan terjadilah perang yang amat dahsyat di sela Gunung Tung Kuan.
Perang yang amat mengerikan dan mati-matian, di mana mayat manusia
bertumpuk-tumpuk dan berserakan, darah manusia membanjiri padang rumput.
Dengan gigih
Panglima Kok Cu It melakukan perlawanan setelah dia menyuruh pasukan pengawal
mengiringkan Kaisar lebih dulu menyelamatkan diri ke kota raja. Namun ahirnya,
karena kalah banyak jumlah pasukannya, Tung Kuan jatuh ke tangan pihak An Lu
Shan. Pasukan-pasukan yang masih dapat bertahan segera ditarik mundur ke Ling
Pao dan membuat pertahanan di tempat ini.
Kaisar telah
melanjutkan perjalanan kembali ke Tiang-an di mana dia berkemas-kemas dengan
hati penuh kekhawatiran. Tak lama kemudian, Ling Pao juga jatuh dan Panglima
Kok Cu It terpaksa membawa sisa pasukannya kembali ke kota raja. Melihat betapa
gerakan An Lu Shan amat kuat dan tidak dapat dibendung, panglima ini
menganjurkan kepada Kaisar untuk pergi mengungsi ke Secuan. Kaisar mengumpulkan
semua pembantunya yang setia dan akhirnya, atas desakan mereka pula, kaisar
menerima usul itu.
Berangkatlah
rombongan Kaisar ke barat. Yang berada di dalam rombongan itu, selain Kaisar
sekeluarga tentu saja termasuk selir Yang Kui Hui, juga perdana Menteri Yang
Kok Tiong, kakak dari selir cantik itu beserta semua keluarganya, para Thaikam
(Orang Kebiri) yang setia kepada Kaisar, dan beberapa orang punggawa tinggi
yang menjadi kaki tangan mereka. Rombongan besar ini dikawal oleh pasukan
pengawal istimewa dan berangkatlah rombongan Kaisar pergi mengungsi yang
dilakukan di waktu malam agar jangan ada rakyat mengetahuinya.
Pelarian
yang dilakukan tergesa-gesa ini pun mencerminkan watak orang-orang bangsawan
ini. Selain keluarga mereka, juga mereka membawa harta benda mereka sebanyak
mungkin! Tidak ada lagi yang dipikirkan kecuali membawa keluarga dan harta
bendanya sehingga mereka lupa bahwa bukan harta benda yang penting untuk dibawa
sebagai bekal, melainkan ransum! Mereka melupakan ini dan sibuk membawa harta
benda yang mungkin dapat terbawa.
Telah
menjadi kelemahan kita manusia dalam penghidupan kita ini bahwa kita selalu
melekat kepada benda-benda duniawi. Kita lupa bahwa benda-benda itu memang
merupakan perlengkapan hidup dan kita butuhkan, namun hanyalah sekedar menjadi
hamba kita, menjadi kebutuhan kita selagi hidup. Akan tetapi kita silau oleh benda-benda
mati itu, kita mengejarnya dan mengumpulkannya, bukan lagi karena kebutuhan,
melainkan karena ketamakan, karena rakus sehingga kita mengumpulkan sebanyak
mungkin. Setelah itu kita menjadi hamba duniawi, kita melekatkan diri dan kita
telah merubah batin kita menjadi benda-benda itu!
Maka kita
selalu mempertahankan duniawi secara mati-matian. Kita tidak bisa lagi hidup
tanpa dia, lahir mau pun batin. Kehilangan harta benda menjadi hal yang amat
hebat dan penuh derita. Mencari dan mengumpulkan harta benda menjadi hal yang
paling penting di dalam hidup kita, sehingga kalau perlu dalam mengejar duniawi
berupa harta benda, kedudukan, kemuliaan dan lain-lain, kita tidak segan-segan
untuk sikut-menyikut jegal-menjegal, bunuh-membunuh antara manusia! Maka akan
Bahagialah dia yang mempunyai namun tidak memiliki, dalam arti kata, mempunyai
apa saja di dunia ini karena ada hubungannya, karena ada kebutuhannya, hanya
mempunyai lahiriah saja, namun batin sama sekali tidak memiliki, sama sekali
tidak terikat atau melekat sehingga punya atau tidak punya bukanlah merupakan
soal penting lagi!
Karena
ketamakan itulah maka rombongan Kaisar segera mengalami akibatnya setelah
rombongan besar itu melarikan diri sampai di pos penjagaan Ma Wei yang terletak
di Propinsi Shen-si sebelah barat, rombongan ini kehabisan ransum yang tidak
berapa banyak itu. Sisa ransum yang tinggal sedikit itu diperuntukkan bagi
Kaisar dan keluarganya serta para bangsawan. Pasukan pengawal yang menderita
kelelahan dan kelaparan menjadi gelisah. Tampaklah wajah-wajah yang
membayangkan penasaran dan kemarahan, mulai terdengarlah suara-suara tidak puas
di antara para anggota pasukan.
Perhentian
di Ma Wei ini dipergunakan oleh Yang Kok Tiong untuk mengadakan pertemuan
dengan orang-orang Tibet. Yang Kok Tiong berusaha untuk mengadakan kontak
dengan Pemerintah Tibet untuk membantu Kaisar dalam menghadapi pemberontakan
dan membujuk seorang pendeta Lhama yang berada di antara orang-orang Tibet itu
untuk menyampaikan permintaan bantuannya. Hatinya juga gelisah ketika melihat
betapa anak buah pasukan pengawal mulai tidak puas. Akan tetapi Kaisar yang
sudah merasa lelah dan berduka, tidak tahu akan semua itu dan dia
menenggelamkan dirinya yang dirundung kedukaan itu dalam pelukan selirnya yang
menghiburnya.
Tidak
seorang pun di antara para bangsawan itu tahu, betapa di luar terjadi hal yang
luar biasa. Seorang laki-laki muda dan seorang gadis cantik menyelinap di
antara penduduk setempat, mendekati tempat mengaso para pasukan pengawal dan
dua orang muda ini berbisik-bisik dengan para pasukan. Mereka ini bukan lain
adalah Bu Swi Nio dan Liem Toan Ki!
Seperti
telah kita ketahui, Liem Toan Ki, jago muda dari Hoa-san-pai itu adalah
mata-mata An Lu Shan dan Bu Swi Nio, murid The Kwat Lin, akhirnya juga menjadi
pembantu An Lu Shan karena terbawa oleh Liem Toan Ki yang menjadi tunangannya
itu. Kini, selagi memata-matai keadaan Kaisar yang melarikan diri, Bu Swi Nio
teringat akan kematian kakaknya, maka diambilnya keputusan untuk membalas
dendam kepada Yang Kui Hui yang menyebabkan kematian kakaknya, Bu Swi Liang.
Setelah berunding dengan kekasihnya, mereka berdua lalu menyelinap di antara
penduduk, mengadakan kontak dengan para komandan pasukan pengawal, mulai
menghasut mereka itu.
"Lihat,
kita bersusah payah, setengah mati kelelahan dan kelaparan menjaga keselamatan
Kaisar, beliau sendiri bahkan bersenang-senang dan tidak mempedulikan kita,
mabuk dalam rayuan Yang Kui Hui setan kuntilanak itu!" Bu Swi Nio antara
lain menghasut.
"Lihat
kakaknya yang menjadi perdana menteri itu. Diam-diam mengadakan perundingan
dengan orang-orang Tibet. Dialah bersama adiknya ular cantik itu yang menjadi
pengkhianat dan menjual negara. Coba ingat, bukankah An Lu Shan diambil anak
oleh Yang Kui Hui? Padahal diam-diam menjadi kekasihnya! Negara telah dijual
oleh Yang Kui Hui, diberikan kepada kekasihnya, An Lu Shan. Dan sekarang
agaknya Yang Kok Tiong hendak menjual keselamatan Kaisar kepada orang-orang
Tibet! Aduhhh, sungguh membuat orang hampir mati penasaran. Kaisar dipermainkan
seperti itu, namun tinggal diam karena mabuk oleh kecantikan Yang Kui Hui iblis
betina yang keji itu!" demikian Liem Toan Ki menambah minyak dalam api
yang mulai dikobarkan oleh Swi Nio.
Memang para
anggota pasukan sudah gelisah dan kehilangan ketenangan. Mereka merasa sengsara
dan nasib mereka masih belum dapat ditentukan. Mungkin saja mereka semua akan
mati konyol jika sampai dapat disusul oleh pasukan-pasukan pemberontak.
Mendengar hasutan-hasutan itu, mereka menjadi makin gelisah dan akhirnya
terdengarlah teriakan-teriakan yang diam-diam didahului oleh Swi Nio dan Toan
Ki.
"Gantung
pengkhianat!"
"Bunuh
penjual negara!"
"Seret
Yang Kok Tiong!"
"Yang
Kok Tiong pengkhianat, harus dihukum mati!"
"Sebelum
penjual negara itu mampus, kami tidak mau pergi!"
Teriakan-teriakan
ini makin hebat dan kini seluruh pasukan sudah bangkit, mengacung-acungkan
kepalan dan senjata ke arah bangunan-bangunan di mana rombongan bangsawan itu
berada. Dapat dibayangkan betapa kagetnya hati Kaisar ketika mendengar
teriakan-teriakan itu. Juga yang lain-lain menjadi kaget setengah mati,
terutama Yang Kok Tiong sendiri. Dia sedang berunding dengan orang-orang Tibet,
ketika tiba-tiba Kaisar bersama pengawal-pengawal pribadi memasuki tempat itu.
Kaisar
kelihatan marah. "Siapa mereka ini??" bentaknya sambil menuding ke
arah tujuh orang Tibet yang berada di situ.
"Hamba...
hamba sedang berunding... minta pertolongan Pemerintah Tibet," jawab Yang
Kok Tiong.
"Tangkap
orang-orang Tibet itu! Siapa tahu mereka adalah mata-mata perampok!" Perintah
Kaisar ini dituruti oleh para pengawal dan ditangkaplah tujuh orang Tibet itu
yang tidak berani melakukan perlawanan.
Sementara
itu, teriakan-teriakan di luar menuntut kematian Yang Kok Tiong makin
menghebat. Berbondong-bondong datanglah para pembantu Kaisar, berkumpul di
tempat Yang Kok Tiong yang duduk dengan muka pucat mendengar tuntutan para
pasukan di luar.
Di depan
mata semua orang, tanpa malu-malu Yang Kui Hui menubruk dan merangkul leher
Kaisar sambil menangis. "Sudilah Paduka menolong kakakku.... harap Paduka
menyelamatkan kakakku...," selir itu menangis.
Didekap dan
ditangisi selirnya yang tercinta, kaisar yang tua itu segera menghardik kepada
kepala pengawal pribadinya, "Tangkap si pembuat ribut itu!"
Komandan
pengawal itu berdiri tegak dan menjawab, "Ampun, Sri Baginda. Akan tetapi
yang ribut adalah seluruh pasukan pengawal!"
"Junjungan
hamba... tolonglah kakakku... selamatkan dia...!" Yang Kui Hui menangis.
Yang Kok
Tiong juga menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Kaisar. "Hamba hanya
dapat mengharapkan kebijaksanan Paduka dan menaruh nyawa hamba di dalam telapak
tangan Paduka...!"
"Seret
Yang Kok Tiong si pengkhianat keluar!" terdengar teriakan dari luar.
"Keluarkan
jahanam itu, kalau tidak kami menyerbu ke dalam!" suara ini diikuti suara
pintu digedor-gedor dari luar.
"Tangkap
dia...!!" Kaisar memerintah dan menudingkan telunjuknya ke luar.
Komandan
pengawal hendak membuka daun pintu, akan tetapi tiba-tiba dari luar meloncat
masuk pengawal yang menjaga di luar, mukanya pucat dan tubuhnya menggigil lalu
dia menjatuhkan diri di atas lantai menghadap Kaisar sambil berkata,
"Mereka... mereka... akan menyerbu...!"
Oleh kepala
pengawal, Kaisar dan rombongannya dikawal naik ke loteng. Kemudian Kaisar
keluar dan memandang kepada pasukannya yang memberontak di luar itu. Begitu
melihat munculnya Kaisar, para anak buah pasukan berteriak kacau-balau,
menuntut agar Yang Kok Tiong diberikan kepada mereka. Kepala pengawal yang
melihat gelagat buruk, diam-diam lalu menotok perdana menteri itu dan
membawanya turun lagi di luar tahunya Kaisar, kemudian dia membuka pintu dan
mendorong perdana menteri itu ke luar.
Banyak
tangan yang penuh dendam kebencian menyambut. Tubuh Yang Kok Tiong di
seret-seret, hujan pukulan dan makian, penghinaan dan ludah ditujukan
kepadanya. Ketika Yang Kui Hui yang mendengar teriakan-teriakan kakaknya itu
keluar mendekati Kaisar dan menjenguk ke bawah, dia menjerit dan merangkul
Kaisar, lalu menangis. Kaisar sendiri terbelalak memandang betapa perdana
menterinya itu, kakak dari selirnya, disiksa oleh pasukan, dipukuli dan
dimaki-maki.
"Tolonglah
kakakku... tolonglah dia...." Yang Kui Hui merintih dan menangis.
Kaisar lalu
berseru ke bawah dengan suara lantang, "Haiii! Semua anggota pasukanku!
Tahan...! Jangan lanjutkan perbuatan gila itu!"
"Berhenti...!
Kalian iblis-iblis jahat...! Uh-huuuuhhh-huuuu...!!" Yang Kui Hui juga
menjerit-jerit dan akhirnya menutupi mukanya, demikian pula Kaisar ketika
melihat betapa Yang Kok Tiong sudah rebah dan tidak berkutik lagi, dengan tubuh
hancur dan penuh darah.
Tiba-tiba
dari dalam rombongan pasukan dan orang-orang dusun yang banyak berkumpul di
tempat itu terdengar suara nyaring seorang laki-laki, "Seret iblis betina
Yang Kui Hui...! Dialah biang keladinya! Dialah yang menjatuhkan kerajaan
dengan menggoda Sri Baginda! Semenjak ada dia, kerajaan menjadi lemah dan
dikuasai oleh pengkhianat-pengkhianat!"
Disusul
suara wanita, "Bunuh kuntilanak itu! Dia siluman betina! Dia Tiat Ki ke
dua...! Dia berjinah dengan An Lu Shan, dia mengumpulkan keluarganya untuk
menguasai kerajaan! Dia harus dihukum gantung....!” Suara ini adalah suara Bu
Swi Nio yang ingin membalas kematian kakaknya. Dia menyebut-nyebut nama tokoh
wanita Tiat Ki, yang dalam dongeng sejarah adalah seekor siluman rase yang
menjelma wanita menjadi selir Kaisar dan menyeret kerajaan ke dalam kehancuran
pula.
Mendengar
teriakan-teriakan menghasut dari Liem Toan Ki dan Bu Swi Nio ini, pasukan yang
haus darah dan yang tidak puas itu lalu berteriak-teriak, menuding-nuding
kepada Yang Kui Hui sambil menuntut agar wanita cantik itu digantung!
"Tidak...!!
Kalian gila semua! Tidaakkk...!!" Kaisar memeluk tubuh selirnya yang pucat
dan hampir pingsan itu, lalu menariknya masuk, diikuti teriakan-teriakan para
anak buah pasukan dan rakyat setempat.
Kaisar
dengan muka merah karena marahnya merangkul Yang Kui Hui yang menangis
terisak-isak itu. Semua anggota rombongan memandang dengan muka pucat, apa lagi
mereka mendengar suara ribut-ribut di luar rumah dan kini pintu digedor-gedor
lagi.
"Gantung
Yang Kui Hui....!"
"Bunuh
siluman itu....!"
"Kalau
tidak, rumah ini kami bakar!!"
Tentu saja
Kaisar dan yang lain menjadi makin panik. Kaisar menjatuhkan diri di atas
kursi, mukanya pucat dan keringat bercucuran membasahinya. Sementara itu Yang
Kui Hui berlutut di dekat kursi Kaisar, memeluk kaki Kaisar dan memperlihatkan
sikap yang memelas (menimbulkan iba) sekali, tubuhnya gemetar karena
suara-suara dari luar yang terdengar, suara menuntut kematiannya itu seperti
ujung pedang-pedang yang ditusuk-tusukan ke ulu hatinya....
Gedoran
pintu makin keras, teriakan-teriakan makin hebat, sementara Kaisar menanti
hasil para komandan pasukan pengawal yang tadi keluar untuk menyabarkan anak
buahnya. Penantian yang mencekam dan menegangkan urat syaraf. Tiba-tiba, pekik
para komandan pasukan yang keluar dan bicara, suara-suara teriakan dan gedoran
pintu terhenti.
Hati Kaisar
lega, dia menunduk dan saling pandang dengan kekasihnya. Sepasang mata indah
yang tak pernah kehilangan daya pengaruh untuk membuat Kaisar terpesona itu
kini berlinang air mata. Akan tetapi hanya sejenak saja hati mereka terhibur
dan harapan mereka timbul, karena tiba-tiba terdengar teriakan-teriakan lebih
keras lagi disusul gedoran pada pintu dan dinding. Tak lama kemudian kepala
pengawal dan para pembantunya masuk dengan muka pucat.
Serta merta
mereka menjatuhkan diri berlutut di depan Kaisar. "Hamba siap menerima
hukuman karena hamba sekalian tidak berhasil menundukkan kemarahan
mereka," kata komandan pengawal sambil menunduk.
Kaisar
bangkit berdiri dan pada saat itu terdengar suara, "Bunuh siluman Yang Kui
Hui! Kalau tidak, mari kita bunuh saja semua!"
"Tidak!
Tidaakkk...! Persetan...!!" Kaisar berteriak dan lengan kirinya merangkul
leher selirnya, seolah-olah dia hendak melindungi kekasih tercinta itu.
"Dar-dar-darrrr...!"
pintu digedor dari luar.
"Hancurkan
saja Raja lalim dan lemah...!"
"Bakar
saja rumah ini kalau yang Kui Hui tidak dihukum mati!"
Keadaan
sudah amat berbahaya dan menegangkan. Semua bangsawan yang berada di situ sudah
menjadi pucat. Pangeran Mahkota segera menjatuhkan diri berlutut di depan
Kaisar.
"Dalam
keadaan seperti ini, mengapa Paduka masih kukuh?" Putera Mahkota itu
menangis.
Para
pembesar yang setia kepada kaisar juga membujuk, bahkan kepala thaikam yang
menjadi kepercayaan Kaisar dan yang diam-diam secara pribadi memusuhi Yang Kui
Hui, berkata, "Harap Paduka suka mempertimbangkan dengan tenang. Memang
menyakitkan hati sekali tuntutan mereka. Namun, mereka tidak dapat dibendung
dan kalau ditolak, tentu Paduka akan terancam bahaya, bahkan seluruh keluarga
Paduka. Apakah Paduka hendak mengorbankan keselamatan Paduka sendiri dan
seluruh keluarga hanya untuk satu orang yang toh tidak akan dapat Paduka
selamatkan juga?"
Putera
Mahkota menoleh kepada Yang Kui Hui dan berkata, suaranya keras dan penuh
tuntutan, "Seorang yang selama puluhan tahun memperoleh kemuliaan dan
anugerah kebaikan Kaisar, apakah di waktu terancam lalu melupakan budi yang
besarnya melebihi nyawa itu?"
Yang Kui Hui
menjadi pucat wajahnya. Dia menjatuhkan diri berlutut di depan Kaisar, memeluk
kaki Kaisar sambil menangis dan berkata, "Biarlah hamba membalas segala
budi kebaikan Paduka...."
"Tidak...!
Tidak... Ohhh, Kui Hui, tidak...! Jangan...!"
Akan tetapi
banyak tangan merenggut tubuh selir cantik itu dari pelukan Kaisar, lalu
menyerahkannya kepada kepala thaikam. Selir itu diseret oleh kepala thaikam ke
atas pagoda dan tak lama kemudian, terdengarlah sorak-sorai para pasukan
melihat tubuh selir cantik jelita itu tergantung di pagoda, tergantung lehernya
dan berkelojotan sebentar lalu terdiam.
"Hidup
kaisar...!!"
"Biang
keladi kelemahan telah tewas...!!"
"Kita
akan mengawal Kaisar sampai titik darah terakhir!"
Di sebelah
dalam, Kaisar yang tadinya menangis itu terbelalak mendengar teriakan yang sama
sekali berlainan itu. Dia bingung tidak tahu apa yang terjadi, memandang ke
kanan-kiri. "Di mana dia...? Mana Yang Kui Hui...?!"
Semua
keluarganya menjatuhkan diri berlutut. "Dia... telah mengorbankan nyawa
demi keselamatan paduka sekeluarga...."
"Kui
Hui...!!" Kaisar berlari naik ke loteng, kemudian roboh pingsan melihat
tubuh kekasihnya yang diam tidak bergerak, tergantung di pagoda itu.
Peristiwa
ini merupakan peristiwa bersejarah yang kemudian terkenal di seluruh Tiongkok
sampai berabad-abad lamanya. Bagi mereka yang ikut merasa berduka dan terharu
mendengar cerita tentang pemutusan hubungan cinta yang amat menyedikan ini,
menganggap Kaisar itu lemah dan telah melakukan kesalahan besar. Peristiwa ini
menjadi terkenal sekali ratusan tahun kemudian, bahkan dijadikan cerita drama
yang dipanggungkan dan menjadi bahan karangan cerita yang tak terhitung
banyaknya. Lebih terkenal sekali setelah sastrawan Po Cu I menulisnya dengan
judul ‘Kesalahan Abadi’.
Dengan lesu
dan penuh duka, rombongan Kaisar melanjutkan perjalanan mengungsi ke Secuan.
Kematian selir tercinta itu melumpuhkan seluruh gairah hidup Kaisar yang sudah
tua itu. Akan tetapi, di tengah perjalanan kembali terjadi peristiwa hebat.
Ketika rombongan itu sedang beristirahat dan bermalam di sebuah dusun kecil di
daerah yang sepi di perbatasan Secuan, malam itu tiba-tiba heboh karena
terjadinya pembunuhan atas diri seorang di antara para pangeran yang ikut
mengungsi. Pangeran ini adalah adik Pangeran Mahkota.
Di waktu malam yang amat sunyi itu, dua sosok bayangan berkelebat di atas genteng rumah-rumah yang dijadikan tempat mengaso rombongan Kaisar. Mereka ini bukan lain adalah Bu Swi Nio dan Liem Toan Ki. Setelah berhasil menghasut anak buah pasukan pengawal sehingga terbunuhnya Yang Kui Hui dan kakaknya, sebagai mata-mata An Lu Shan keduanya diam-diam terus mengikuti dan membayangi rombongan itu, mencari kesempatan baik untuk membunuh Kaisar! Inilah tujuan mereka, karena matinya Kaisar akan merupakan kemenangan besar bagi An Lu Shan.
Di waktu malam yang amat sunyi itu, dua sosok bayangan berkelebat di atas genteng rumah-rumah yang dijadikan tempat mengaso rombongan Kaisar. Mereka ini bukan lain adalah Bu Swi Nio dan Liem Toan Ki. Setelah berhasil menghasut anak buah pasukan pengawal sehingga terbunuhnya Yang Kui Hui dan kakaknya, sebagai mata-mata An Lu Shan keduanya diam-diam terus mengikuti dan membayangi rombongan itu, mencari kesempatan baik untuk membunuh Kaisar! Inilah tujuan mereka, karena matinya Kaisar akan merupakan kemenangan besar bagi An Lu Shan.
Akan tetapi,
mereka berdua salah masuk! Mereka memasuki kamar pangeran muda yang berada di
sebelah kamar Kaisar. Ketika dua batang pedang di tangan mereka bergerak, tubuh
di atas pembaringan, di dalam kelambu yang tertusuk pedang dan mengeluarkan
pekik maut bukanlah tubuh Kaisar, melainkan tubuh pangeran itu! Barulah kedua
orang ini tahu bahwa mereka telah keliru. Cepat mereka meloncat dan keluar dari
dalam kamar itu melalui jendela.
"Tangkap
penjahat!"
"Tangkap
pembunuh!!"
Dalam
sekejap mata saja kedua orang mata-mata itu dikepung oleh belasan orang
pengawal dan disergap. Tentu saja Bu Swi Nio dan Liem Toan Ki membela diri dan
membalas dengan serangan-serangan dahsyat. Terjadilah pertandingan keroyokan di
ruangan yang cukup terang itu dan makin lama makin banyaklah pengawal yang
datang mengeroyok. Menghadapi pengeroyokan banyak sekali pengawal yang
berkepandaian tinggi, dua orang itu menjadi repot juga.
Dengan
berdiri saling membelakangi, Swi Nio dan Toan Ki saling melindungi. Pedang
mereka bergerak cepat menyambar-nyambar ke depan, kanan dan kiri menangkis
semua senjata yang datang bagaikan hujan ke arah mereka. Suara nyaring
beradunya senjata diselingi teriakan-teriakan para pengeroyok memecah kesunyian
malam di dusun itu. Tidak kurang dari delapan orang pengeroyok roboh oleh
pedang mereka dan kini para pengawal atas komando perwira atasan mereka
mengurung dan mengatur barisan.
Kesempatan
ini dipergunakan oleh Bu Swi Nio untuk menggeser kakinya mundur sampai
punggungnya beradu dengan punggung Liem Toan Ki. Kemudian dia berbisik,
suaranya mengandung keharuan, "Maaf, Koko. Aku yang membujukmu ke sini
sehingga kau juga menghadapi bahaya maut...."
"Hushhh...,
mati atau hidup kita tetap berdua, Moi-moi...."
"Aku
tak takut mati, tapi... aku belum sempat membalas segala kebaikanmu,
Koko...."
"Tidak
ada kebaikan di antara kita. Kita saling mencinta, bukan? Mencinta sampai kita
mati bersama!"
Ucapan Toan
Ki ini membangkitkan semangat di dalam hati Swi Nio. Sambil memegang pedang
erat-erat dan tangan kirinya dikepal, dia berkata. "Aku akan merasa bangga
denganmu, Koko!"
Percakapan
bisik-bisik itu dihentikan karena kini para pengeroyok yang tadi mengurung
mereka telah mulai menyerang. Kini pengeroyokan mereka teratur, dan serangan
datang bertubi-tubi, berantai karena mereka mengelilingi dua orang ini sampai
tiga empat baris. Swi Nio dan Toan Ki kembali harus menggerakkan pedang
masing-masing untuk menangkis dan melindungi tubuh mereka. Namun karena
datangnya serangan tidak seperti tadi, kadang-kadang bertubi-tubi dan
susul-menyusul, mereka berdua menjadi repot sekali.
Tiba-tiba
terdengar Swi Nio mengeluh perlahan ketika bahu kirinya terkena hantaman gagang
tombak. Biar pun keduanya telah terluka, namun mereka terus mengamuk, pedang
mereka menyambar-nyambar dan kembali robohlah empat orang pengeroyok, sungguh
pun mereka berdua sendiri juga mengalami luka-luka bacokan. Maklumlah keduanya,
bahwa mereka tidak mungkin dapat meloloskan diri menghadapi pengeroyokan
demikian banyak pengawal, maka mereka mengamuk untuk dapat membunuh sebanyak
mungkin musuh sebelum mereka berdua dirobohkan. Mereka berdua sudah bertekad
untuk melawan sampai mati.
Akan tetapi
tiba-tiba terjadi perubahan. Para pengurung dan pengeroyok menjadi kacau-balau.
Terdengar pula suara meledak-ledak nyaring serta disusul pekik-pekik kesakitan
yang diikuti robohnya beberapa orang pengeroyok terkena sambaran sebatang
cambuk berduri. Juga ada para pengeroyok yang dilempar-lemparkan sepasang
lengan yang amat kuat.
Swi Nio dan
Toan Ki terkejut dan girang sekali karena maklum bahwa ada bala bantuan datang.
Mereka tadinya menduga bahwa yang datang tentulah teman-teman mereka, para
mata-mata yang disebar oleh An Lu Shan. Akan tetapi mereka menjadi
terheran-heran dan kagum sekali ketika menyaksikan bahwa yang mendatangkan
kekacauan pada pihak para pengeroyok hanyalah dua orang. Seorang adalah pemuda
tinggi besar yang gagah perkasa, yang menggunakan kedua tangannya
melempar-lemparkan para pengawal. Seorang lagi ialah dara yang amat cantik
jelita dan gagah, dara yang mengamuk dengan sebatang cambuk berduri dan
sebatang pedang, gerakannya cepat dan ganas.
Siapakah dua
orang yang tidak dikenal oleh Swi Nio dan Toan Ki itu? Mereka adalah Ouw Soan
Cu, gadis Pulau Nereka yang lihai itu, dan pemuda tinggi besar Kwee Lun, murid
Lam-hai Seng-jin yang tinggal di Pulau Kura-kura di Laut Selatan.
***************
Seperti
telah diceritakan di bagian depan, mereka berdua saling berjumpa di puncak Awan
Merah di Pegunungan Tai-hang-san, yaitu di tempat tinggal Tee-tok Siangkoan
Houw. Ouw Soan Cu gadis Pulau Neraka itu datang bersama Sin Liong sedangkan
Kwee Lun yang menjadi teman seperjalanan dan sahabat Swat Hong datang pula
bersama gadis itu.
Tadinya,
sebelum pergi bersama Swat Hong untuk mencari The Kwat Lin di Bu-tong-pai, Sin
Liong yang merasa kasihan kepada Soan Cu menitipkan gadis itu kepada Tee-tok
Siangkoan Houw. Akan tetapi melihat Sin Liong pergi bersama Swat Hong, Soan Cu
tidak mau tinggal di tempat itu, lalu dia pun pergi hendak mencari ayahnya. Dan
Kwee Lun, yang merasa tertarik kepada gadis cantik jelita dan galak serta jujur
itu segera berpamit dan cepat lari mengejar Soan Cu. Di kaki pegunungan
Tai-hang-san barulah Kwee Lun mampu menyusul Soan Cu karena gadis itu
memperlambat larinya dan berjalan dengan termenung.
Setelah kini
mulai melakukan perjalanan seorang diri, barulah Soan Cu merasa bingung sekali.
Ketika melakukan perjalanan bersama Sin Liong, dia tidak tahu apa-apa, hanya
ikut saja dan seluruh hal diputuskan oleh pemuda itu. Setelah kini sadar bahwa
dia berada seorang diri di dunia yang luas ini, dia merasa kesepian dan
bingung. Dia tidak mengenal tempat dan tidak tahu harus menuju ke mana untuk
mencari ayahnya! Teringat akan semua ini, hatinya menjadi kecil dan gelisah,
juga marah. Marah kepada Sin Liong yang meninggalkanya.
"Nona
Ouw, perlahan dulu....!"
Karena
termenung dan hatinya gelisah, Soan Cu sama sekali tidak memperhatikan keadaan
sekitarnya, maka dia tidak tahu bahwa ada orang membayanginya di belakang. Dia
baru terkejut ketika mendengar seruan itu. Cepat dia membalikkan tubuhnya dan
memandang. Dia cemberut melihat bahwa yang memanggilnya adalah pemuda tinggi
besar yang pernah bertempur dengan dia di Puncak Awan Merah karena pemuda ini
memembela Swat Hong dan dia membela Sin Liong. Teringat akan peristiwa itu,
tiba-tiba saja dia merasa geli dan menahan ketawanya dengan senyum lebar, lalu
menutupi mulutnya.
Melihat
gadis itu menahan ketawa, namun jelas sinar mata gadis itu mentertawakannya,
Kwee Lun mengerutkan alisnya yang tebal, akan tetapi dia pun tersenyum dan
berkata sambil menjura, "Nona Ouw, mengapa engkau menahan ketawa dan
menyembunyikan senyum? Menyambut seorang kenalan dengan senyum lebar di bibir
merupakan penghormatan paling besar. Senyum adalah seperti matahari pagi,
menghidupkan menenteramkan, penuh damai dan bahagia...."
Mendengar
ucapan pemuda itu yang diatur seperti orang membaca sajak, Soan Cu tertawa dan
dia kagum juga. Terdengar amat indah kata-kata tadi. Akan tetapi timbul pula
kenakalannya dan dia menjawab dengan nada mengejek, "Orang She Kwee, aku
tertawa bukan menyambutmu, melainkan teringat akan peristiwa yang amat lucu.
Engkau datang bersama Han Swat Hong, membelanya mati-matian, akan tetapi
sekarang di manakah dia? Engkau ditinggalkan begitu saja! Betapa lucunya! Lucu
ataukah menyedihkan?"
Alis tebal
itu makin dalam berkerut, akan tetapi kemudian Kwee Lun tersenyum lagi dan
mengangguk-angguk. "Memang lucu sekali! Ha-ha-ha-ha, lucu sekali!"
Melihat
pemuda itu tidak tersinggung malah tertawa-tawa, Soan Cu menjadi penasaran.
"Apa yang lucu?" bentaknya.
"Kau...
eh, kita berdua... yang lucu. Mengapa bisa begini kebetulan?"
"Apa
yang kebetulan?" Soan Cu makin penasaran karena ejekannya itu kini agaknya
malah dibalikkan oleh pemuda itu kepadanya.
"Bukankah
kebetulan sekali nasib kita amat serupa? Aku datang bersama Nona Swat Hong dan
aku ditinggalkan, sebaliknya engkau pun datang bersama Sin Liong dan engkau
ditinggalkan pula. Nasib kita benar serupa, bukankah ini amat lucunya?"
Wajah Soan
Cu menjadi merah sekali.
"Srattt!"
pedang Coa-kut-kiam yang bersinar-sinar telah berada di tangan kanannya.
Kwee Lun
terkejut bukan main, hanya memandang bengong karena sama sekali tidak menyangka
bahwa gadis yang dianggapnya jujur dan lincah gembira ini demikian mudah
tersinggung! "Eh, Nona Ouw... kau... marah oleh godaanku tadi?"
"Siapa
marah? Hayo cabut pedangmu, kita lanjutkan pertempuran kita yang terhenti
ketika di Puncak Awan Merah. Aku masih belum kalah olehmu!"
Kwee Lun
menarik napas panjang, hatinya lega. Tepat dugaannya, nona ini sama sekali
bukan tersinggung oleh godaannya, melainkan karena memiliki watak aneh, ingin
melanjutkan pertempuran ketika mereka saling membela sahabat masing-masing di
Puncak Awan Merah.
"Wah,
berat, Nona. Aku terima kalah. Dalam gebrakan-gebrakan yang pernah kita lakukan
itu saja aku sudah tahu bahwa ilmu kepandaianmu jauh lebih tinggi dari-pada
aku. Pula kita bukanlah musuh. Terserah kalau Nona hendak menganggap aku musuh,
akan tetapi aku Kwee Lun sama sekali tidak menganggap kau sebagai musuhku.
Bahkan sebaliknya, di antara kita, mau atau tidak telah terdapat ikatan
persahabatan yang amat erat."
"Hemm,
jangan kau mencoba untuk membujukku. Persahabatan dari mana? Enak saja kau
bicara!"
"Eh,
apakah kau hendak menyangkal bahwa engkau adalah sahabat baik dari Kwa Sin
Liong, Nona?"
"Memang,
dia adalah sahabat baikku, bukan engkau!"
"Nah,
kalau engkau sahabat baik dari Kwa Sin Liong, berarti engkau adalah sahabat
baikku pula. Kwa Sin Liong adalah Suheng dari Han Swat Hong, dan Nona itu
adalah sahabatku. Sahabat dari si Suheng tentu juga menjadi sahabat baik dari
sahabat si Sumoi, bukan?"
"Hemm,
kau memang pandai bicara." Soan Cu menyarungkan kembali pedangnya.
"Bilang saja bahwa kau tidak berani melawan aku!"
"Tentu
saja tidak berani, karena memang pedangku bukan untuk melawan, melainkan untuk
membantumu mencari kembali Ayahmu. Bukankah kau hendak mencari Ayahmu, Nona?
Tahukah kau ke mana kau harus mencarinya?"
Ditegur
seperti itu, Soan Cu menjadi bingung lagi. Memang tadi dia sedang termenung
bingung, tidak tahu harus pergi ke mana. Dengan matanya yang indah terbelalak
gadis itu memandang kepada Kwee Lun dan menggelengkan kepalanya, lalu dia
berkata, "Apakah kau tahu?"
"Tentu
saja aku tidak tahu, Nona. Aku belum mengenal Ayahmu itu. Akan tetapi, sebagai
seorang gadis muda, sungguh tidak leluasa bagimu untuk mencari sendiri. Aku
dapat membantumu. Dahulu aku sering merantau dengan guruku, dan aku banyak
mengenal daerah-daerah, tahu pula dunia kang-ouw sehingga agaknya akan lebih
menguntungkan bagimu dan menyenangkan bagiku kalau kita melakukan perjalanan
bersama. Tentu saja kalau kau suka...."
Sampai lama
Soan Cu menatap wajah pemuda itu. Dia menghela napas, kemudian berkata,
"Engkau baik sekali, seperti Sin Liong. Tentu saja engkau tidak dapat
kuandalkan seperti dia, kepandaianmu tidak sehebat dia. Akan tetapi engkau juga
gagah perkasa, jujur dan itu sudah cukup untuk meyakinkan aku bahwa engkau
tentu dapat menjadi seorang sahabat."
"Ha-ha-ha,
terima kasih, ha-ha-ha! Sudah kuduga bahwa engkau adalah seorang gadis yang
luar biasa, polos dan tidak berpura-pura, cantik dan gagah perkasa.
Ha-ha-ha!" Kwe Lun tertawa dengan bebas.
Soan Cu
menjadi sangat terkejut ketika melihat betapa air mata mengalir di kedua pipi
pemuda tinggi besar yang gagah dan tampan ini. "Eh, kau menangis??"
Kwee Lun
menghentikan tawanya, mengusap air mata dengan ujung lengan bajunya sambil
menggeleng kepala. "Ini adalah penyakitku, Nona. Aku selalu mengeluarkan
air mata kalau tertawa terlalu gembira. Akan tetapi, kalau dilihat
kenyataannya, apa sih bedanya antara tawa dan tangis? Apakah bedanya antara
senang dan susah, antara nyeri dan nikmat? Kesemuanya adalah dua muka dari satu
tangan, tak terpisahkan. Mencari yang satu, pasti akan ketemu dengan yang ke
dua."
"Wah,
kau memang seorang manusia aneh, Kwee-toako. Kau gagah perkasa, pemberani,
pandai bersajak, pandai filsafat, dan.... cengeng!"
Girang bukan
main hatinya mendengar gadis itu menyebutnya toako, tanda bahwa gadis itu
benar-benar mau menerima persaudaraan atau persahabatan di antara mereka.
"Ouw-siocia... atau engkau lebih senang kusebut adik?"
"Sebut
saja namaku Soan Cu."
"Bagus!
Kau hebat! Soan Cu kau percayalah, aku Kwee Lun bukanlah seorang yang berhati
palsu. Engkau tidak akan kecewa menaruh kepercayaan kepadaku dan sudi menerima
uluran tangan persahabatan dariku. Aku akan berdaya upaya sedapat mungkin untuk
mencari Ayahmu itu. Siapakah nama beliau?"
"Ayahku
bernama Ouw Sian Kok, tokoh besar dari Pulau Neraka yang sudah belasan tahun
meninggalkan Pulau Neraka."
Tiba-tiba
Kwee Lun memandang dengan mata terbelalak dan mukanya berubah agak pucat,
bibirnya bergetar ketika dia menegaskan. "Pu... Pulau... Neraka?"
Soan Cu
tersenyum. "Apakah kau masih mau menganggap aku sahabat setelah kau tahu
aku adalah seorang gadis dari Pulau Neraka?"
"Eh-eh,
jangan salah paham, Soan Cu. Aku... hanya terkejut sekali mendengar ada pulau
yang namanya seperti itu. Pernah guruku, Lam-hai Sengjin mengatakan bahwa di
dalam dongeng yang tersebar di antara kaum kang-ouw, terdapat sebutan dua
pulau. Pertama adalah Pulau Es...."
"Tempat
tinggal Sin Liong dan Swat Hong!"
"Benar,
dan aku sudah merasa bahagia bukan main telah bertemu dengan seorang puteri
Pulau Es. Dan kedua, menurut Suhu adalah pulau yang tentu tidak pernah ada dan
hanya ada dalam dongeng, adalah Pulau Neraka...."
"Bukan
dongeng. Akulah gadis Pulau Neraka." Ouw Soan Cu lalu menceritakan dengan
singkat keadaan Pulau Neraka, juga tentang ayahnya yang minggat dari pulau
ketika ibunya tewas melahirkan dia.
"Ah,
kasihan sekali engkau, Soan Cu."
"Ayahku
yang patut dikasihani."
"Tidak!
Ayahmu telah melakukan hal yang amat keliru. Perbuatannya lari dari Pulau
Neraka itu jelas membayangkan betapa ayahmu hanyalah mengingat akan dirinya
sendiri saja."
"Kwee
Lun! Apa yang kau katakan ini? Kau berani menghina nama ayah di depanku?"
Soan Cu melotot marah.
"Maaf,
Soan Cu. Aku sama sekali tidak menghina siapa pun. Aku hanya bicara berdasarkan
kenyataan. Ibumu meninggal dunia ketika melahirkanmu, apakah beliau itu salah?
Engkau sendiri yang dilahirkan dan kelahiran itu mengakibatkan kematian ibumu,
apakah engkau pun bersalah? Tentu saja tidak! Mendiang ibumu dan engkau sama
sekali tidak bersalah dan kematian itu adalah suatu hal yang wajar, yang sudah
semestinya dan lumrah karena hidup dan mati adalah hal yang biasa. Akan tetapi
ayahmu. Beliau malah lari meninggalkan pulau, meninggalkan anaknya yang baru
terlahir! Apakah perbuatan ini harus kubenarkan saja? Kalau aku berbuat
demikian, berarti aku bukan membenarkan secara jujur, melainkan menjilat untuk
menyenangkan hatimu."
Lenyap
kemarahan Soan Cu. Dia menunduk. "Kau aneh, Kwee-toako, aneh dan terlalu
terus terang. Habis, andai kata benar seperti yang kau katakan bahwa Ayah
terlalu mementingkan diri sendiri, apakah aku sebagai anaknya tidak boleh
mencari Ayahku?"
"Bukan
begitu, Soan Cu. Tentu saja engkau harus mencari Ayahmu dan aku akan membantumu
sampai kita berhasil menemukan Ayahmu. Mudah-mudahan saja kita akan berhasil
karena harus diakui betapa akan sukarnya mencari seorang yang tidak kita
ketahui berada di mana. Akan tetapi aku percaya, kalau memang Ayahmu yang telah
pergi selama belasan tahun itu berada di daratan, sebagai seorang tokoh besar,
tentu ada orang kang-ouw yang mengetahuinya."
Demikanlah,
kedua orang muda ini melakukan perjalanan bersama dan makin eratlah hubungan di
antara mereka. Dalam diri masing-masing mereka menemukan sahabat yang cocok
kepribadian dan serasi dengan watak masing-masing, terbuka, jujur dan tidak
bisa bermanis-manis muka. Soan Cu mulai tertarik sekali kepada pemuda tinggi
besar yang tampan, jujur, jenaka dan biar pun kelihatan kasar, namun ternyata
pandai bernyanyi dan membaca sajak-sajak indah. Di lain pihak, Kwee Lun juga
tertarik sekali oleh pribadi Soan Cu, seorang gadis yang kadang-kadang
kelihatan liar dan ganas, tidak pernah menyembunyikan perasaan, namun
kadang-kadang begitu lembut dan penuh sifat keibuan.
Makin akrab
hubungan mereka, makin terobatilah hati yang tadinya luka oleh asmara. Kwee Lun
mulai dapat melupakan Swat Hong yang dikaguminya, sedangkan Soan Cu mulai dapat
melupakan Sin Liong. Kwee Lun bersama Soan Cu melakukan penyelidikan sampai
jauh ke barat, karena dia mendengar dari seorang tokoh kang-ouw bahwa nama Ouw
Sian Kok pernah muncul di barat. Akan tetapi pada waktu mereka melakukan
perjalanan ke barat untuk mencari jejak tokoh Pulau Neraka itu, keadaan sudah
kacau-balau oleh perang dan arus manusia ke barat amat banyak. Kedua orang muda
itu terbawa arus manusia dan mereka pun terlihat seperti dua orang yang sedang
mengungsi ke barat.
Ketika
mendengar bahwa rombongan Kaisar yang melarikan diri berada di depan, mendengar
pula tentang kematian selir terkenal Yang Kui Hui bersama kakaknya yang menjadi
perdana menteri, Kwee Lun berkata kepada temannya, "Soan Cu, mari kita
melihat keadaan Kaisar. Aku tidak mencampuri urusan perang, akan tetapi siapa
tahu, rombongan keluarga bangsawan tertinggi yang melarikan itu akan menarik
perhatian orang-orang kang-ouw, termasuk Ayahmu."
Seperti
biasa selama melakukan perjalanan bersama, Soan Cu hanya menyetujui karena dia
sendiri tidak tahu apa-apa. Hanya harapan untuk bertemu dengan ayahnya mulai
menipis karena sampai saat itu belum juga ada keterangan yang jelas dan
meyakinkan tentang diri ayahnya. Malam itu mereka dapat menyusul rombongan
Kaisar yang berada dalam keadaan berduka setelah terjadi peristiwa pembunuhan
Yang Kui Hui karena Kaisar selalu murung dan berduka sekali.
Dan seperti
diceritakan di bagian depan, pada malam itu terjadi lagi peristiwa hebat yang
menimpa rombongan Kaisar, ketika Bu Swi Nio dan Liem Toan Ki diam-diam
menyelinap ke dalam tempat penginapan dan hendak membunuh Kaisar akan tetapi
salah masuk dan sebaliknya membunuh seorang pangeran muda. Ketika Soan Cu dan
Kwee Lun melihat dua orang muda yang dengan gagah perkasa mengamuk dan dikepung
ketat oleh para pengawal, telah menderta luka-luka namun masih terus mengamuk
hebat, Kwee Lun menjadi kagum.
"Melihat
gerakannya, pemuda gagah itu tentu murid Hao-san-pai. Dia adalah orang gagah,
pendekar sejati, maka sepatutnya kita menolong mereka."
Soan Cu
mengangguk. "Memang tidak adil sekali dua orang dikeroyok puluhan orang
prajurit seperti itu. Gadis itu pun gagah dan cantik. Mari, Toako, kita bantu
mereka meloloskan diri."
Mereka lalu
melayang turun dari atas pohon dari mana mereka tadi mengintai. Tak lama
kemudian gegerlah para pengeroyok ketika dua orang muda ini menyerbu dari luar
kepungan dan merobohkan para pengeroyok dengan amat mudahnya. Kwee Lun tidak
mencabut pedangnya, melainkan menggunakan kedua tangannya yang kuat menangkapi
dan melempar-lemparkan pengawal yang menghadang di depannya, sedangkan Soan Cu
mengamuk dengan cabuk berduri di tangan kiri dan sebatang pedang di tangan
kanan. Gerakan dara ini bukan main ganasnya. Cambuknya meledak-ledak dan setiap
ledakan disusul robohnya seorang pengeroyok, pedangnya membuat gerakan cepat
sehingga tampak sinar bergulung-gulung yang merontokkan semua senjata lawan.
"Harap
Ji-wi mundur dan cepat lari, biar kami menahan mereka!" kata Kwee Lun
sambil menggerakkan sikunya yang kuat merobohkan seorang pengawal yang
menerjangnya dari belakang.
"Terima
kasih atas bantuan Ji-wi (Anda Berdua)!" seru Liem Toan Ki dengan girang
karena dia khawatir sekali akan keadaan kekasihnya.
Sambil
menggerakkan pedang, mereka lalu mundur dan membuka jalan darah, merobohkan
mereka yang berani menghadang. Karena kini para pengawal itu dikacaukan oleh
Kwee Lun dan Soan Cu, tidak sukar bagi Swi Nio dan Toan Ki untuk meloloskan
diri dari kepungan yang sudah terpecah belah itu. Setelah melihat dua orang itu
menghilang, Kwee Lun juga mengajak Soan Cu meninggalkan gelanggang pertempuran
dan menghilang di dalam gelap, mengejar bayangan dua orang yang mereka tolong
itu. Menjelang pagi, Soan Cu dan Kwee Lun melihat dua orang yang ditolongnya
tadi sedang menanti mereka di luar sebuah hutan besar.
Melihat dua
orang penolong mereka, Swi Nio dan Toan Ki cepat maju dan memberi hormat dengan
mengangkat kedua tangan ke depan dada dan membungkuk. "Banyak terima kasih
kami haturkan atas bantuan Ji-wi yang mulia," kata Toan Ki. "Kalau
tidak mendapat bantuan Ji-wi, tentu kami berdua telah tewas di tangan para
pengawal Kaisar itu."
"Ah, di
antara kita, bantu membantu merupakan hal yang sudah sewajarnya," jawab
Kwee Lun. "kami sendiri juga mengharapkan bantuan Ji-wi."
"Bantuan
apa? Kami akan bergembira sekali kalau dapat membantu Ji-wi," seru Liem
Toan Ki yang telah merasa berhutang budi.
"Kami
berdua sedang mencari seorang tokoh bernama Ouw Sian Kok, tokoh dari Pulau
Neraka. Barangkali Ji-wi dapat membantu kami di mana adanya Ouw-lo-cianpwe
itu?"
Kaget juga
Swi Nio dan Toan Ki mendengar disebutnya Pulau Neraka. Mereka saling pandang
dan menggelengkan kepala. "Sayang, kami sendiri belum pernah mendengar
nama Ouw Sian Kok dari Pulau Neraka. Akan tetapi kami akan membantu sekuat
tenaga. Di manakah adanya beliau yang terakhir kalinya, dan apakah Ji-wi sudah
mendapatkan jejaknya?"
"Itulah
sukarnya. Kami tidak tahu beliau berada di mana, maka mengharapkan keterangan
dari orang-orang kang-ouw."
"Kalau
begitu, mari Ji-wi ikut dengan kami ke timur. Saya kira, mencari seorang tokoh
besar di dunia kang-ouw akan bisa kita dapatkan keterangan selengkapnya di
sekitar kota raja. Apa lagi sekarang, setelah perjuangan An Lu Shan
Tai-ciangkun berhasil, tentu banyak tokoh kang-ouw muncul di kota raja dan kita
dapat bertanya-tanya kepada mereka."
"Akan
tetapi kabarnya di sana terjadi perang, bahkan banyak orang mengungsi ke
Secuan."
Toan Ki
tersenyum. "Jangan khawatir, kami berdua adalah orang-orang dalam! Kami
berdua bekerja untuk An-tai-ciangkun, maka kami mempunyai banyak kenalan di
sana. Sekarang Tiang-an telah diduduki, dan agaknya keadaan tentu telah aman
kembali."
Mereka
bercakap-cakap dan terdapatlah kecocokan di antara mereka. Juga Soan Cu menjadi
akrab dengan Swi Nio. Gadis Pulau Neraka yang masih hijau ini senang sekali
mendengar penuturan Swi Nio yang sudah berpengalaman, sebaliknya Swi Nio juga
kagum terhadap dara cantik yang ternyata adalah seorang dari Pulau Neraka yang
hanya dikenal dalam dongeng, kagum menyaksikan kehebatan ilmu kepandaian Soan
Cu tadi dan juga ngeri menyaksikan senjata-senjata yang ampuh dan ganas itu.
Berangkatlah mereka berempat kembali ke timur menuju ke Tiang-an, kota raja
pertama yang telah terjatuh ke tangan An Lu Shan.
Setelah
berhasil menduduki Lok-yang melalui pertempuran yang seru, An Lu Shan memimpin
pasukan intinya menuju ke Tiang-an. Kembali dia harus menghadapi perlawanan
gigih di Lembah Tung Kuan, akan tetapi setelah lembah ini didudukinya,
pasukan-pasukannya terus menekan dan bergerak menuju ke Tiang-an. Demikianlah,
Tiang-an, ibu kota yang megah itu, diserbu dan didudukinya dengan amat mudah,
hampir tidak ada perlawanan sama sekali.
Hal ini
adalah karena banyak kaki tangan dan mata-matanya yang dipimpin oleh Ouwyang
Cin Cu dan The Kwat Lin, telah lebih dulu melakukan kekacauan-kekacauan
sehingga melemahkan pertahanan. Apa lagi Kaisar juga telah melarikan diri dan
meninggalkan kota raja Tiang-an, hal ini membuat para pasukan penjaga menjadi
kehilangan semangat dan sebagian besar di antara mereka menyatakan takluk tanpa
melalui peperangan yang lama, ada pula yang melarikan diri menyusul rombongan
Kaisar ke barat.
Seperti
biasa terjadi di waktu perang, dari jaman dahulu sebelum sejarah tercatat
sampai sekarang, akibat-akibat yang mengerikan terjadi dan menimpa diri pihak yang
kalah perang. Demikian pula nasib para bangsawan di kota raja yang tidak sempat
melarikan diri. Banyak orang dibunuh hanya oleh tudingan jari tangan orang lain
yang memfitnahnya, mengatakan bahwa orang itu adalah mata-mata pemerintah.
Mayat bergelimpangan di sepanjang jalan dan anggota-anggota pasukan pemberontak
yang menang perang itu berpesta pora mengangkuti harta benda dan wanita dari
pihak yang kalah.
Jerit tangis
wanita-wanita yang dipaksa dan diperkosa, membumbung tinggi ke angkasa,
bercampur baur dengan sorak dan tawa kemenangan. Dan An Lu Shan, seorang yang
ahli dalam hal memimpin pasukan, sengaja membiarkan saja hal itu terjadi agar
darah yang bergolak di dada para anak buahnya dapat diredakan. Beberapa hari
kemudian, setelah anak buahnya sepuas-puasnya dan sekenyang-kenyangnya
mengganggu wanita dan merebutkan harta benda yang ditinggal lari, barulah
muncul perintah yang melarang perbuatan seperti itu.
Namun An Lu
Shan juga tidak melupakan janji-janjinya kepada para pembantunya yang telah berjasa.
Dengan royal dia lalu membagi-bagikan pangkat, gedung bekas tempat tinggal para
bangsawan yang melarikan diri atau terbunuh, membagi-bagikan harta benda dan
para puteri cantik yang menjadi tawanan. Maka selama beberapa bulan lamanya
berpesta poralah para kaki tangan An Lu Shan yang menerima hadiah-hadiah itu.
Tentu saja An Lu Shan lebih lagi memperhatikan para pembantu yang tangguh dan
yang masih diharapkan bantuan mereka. Kepada mereka ini dia memberi hadiah yang
lebih besar lagi.
Dia tidak
mengingkari janjinya terhadap para pembantu yang berjasa besar seperti The Kwat
Lin, bekas Ratu Pulau Es itu. Maka setelah Tiang-an diduduki, putera The Kwat
Lin yang bernama Han Bu Ong lalu diberi anugerah pangkat pangeran! The Kwat Lin
sendiri diangkat menjadi seorang panglima pengawal, sedangkan Ouwyang Cin Cu
diangkat menjadi koksu (guru penasehat negara). Dapat dibayangkan betapa
girangnya hati The Kwat Lin. Cita-citanya tercapai, puteranya telah menjadi
pangeran dan kalau dia pandai mengatur kelak siapa tahu terbuka kesempatan bagi
para puteranya untuk menjadi Kaisar! Tidaklah mengherankan apa yang terkandung
dalam hati The Kwat Lin sebagai cita-cita ini.
Sudah lazim
bagi kita manusia di dunia ini untuk selalu menjadi hamba dari cita-cita kita
sendiri. Seluruh kehidupan ini seolah-olah dikuasai dan diatur oleh cita-cita
kita masing-masing. Kita tenggelam dalam khayal dan cita-cita, tidak tahu
betapa cita-cita amatlah merusak hidup kita. Cita-cita membuat pandang mata
kita selalu memandang jauh ke depan penuh harapan untuk mencapai sesuatu yang
kita cita-citakan. Pandang mata yang selalu ditujukan ke masa depan yang belum
ada, tangan yang dijangkaukan ke depan untuk selalu mengejar apa yang belum
kita miliki, membuat kita hidup seperti dalam bayangan.
Kita tidak
mungkin dapat menikmati hidup, padahal hidup adalah saat demi saat, sekarang
ini, bukan masa depan yang merupakan bayangan khayal, bukan pula masa lalu yang
sudah mati. Sekali kita menghambakan diri kepada cita-cita, selama hidup kita
akan terbelenggu oleh cita-cita karena tidak ada cita-cita yang dapat terpenuhi
sampai selengkapnya, dan kita terseret ke dalam lingkaran setan yang tak
berkeputusan. Mendapat satu ingin dua, memperoleh dua mengejar tiga dan
selanjutnya, itulah cita-cita!
Semua itu
akan kita kejar terus sampai kematian merenggut kehidupan kita, bahkan di
ambang kubur sekali pun di waktu mendekati kematian, kita masih terus di
cengkeram cita-cita, yaitu cita-cita untuk masa depan sesudah mati! Betapa
mungkin kita dapat menikmati hidup ini kalau mata kita selalu memandang masa
datang yang belum ada? Sebaliknya, orang yang bebas dari cita-cita, bebas dari
masa lalu dan masa depan, dapat menghayati hidup ini saat demi saat!
Demikian
pula dengan The Kwat Lin. Cita-citanya tercapai dengan diangkatnya puteranya
menjadi pangeran, akan tetapi sudah habis di situ sajakah cita-citanya? Sama
sekali belum! jauh dari-pada cukup atau habis! Bahkan cita-cita barunya yang
lebih hebat baru saja dia mulai, yaitu cita-cita melihat puteranya menjadi
kaisar! Karena cita-cita ini, maka keadaannya pada saat itu tidak terasa
membahagiakan, bahkan terasa amat kurang. Hanya pangeran! Hanya panglima
pengawal! Jauh dibandingkan dengan puteranya menjadi kaisar dan dia menjadi ibu
suri!
Banyak orang
membantah, mengatakan bahwa cita-cita mendatangkan kemajuan, tanpa cita-cita
kita tidak akan maju. Apakah cita-cita itu? Apakah kemajuan itu? Cita-cita
adalah keinginan akan sesuatu yang belum terdapat oleh kita. Dan keinginan
seperti ini merupakan dorongan nafsu yang tak mengenal kenyang, makin dituruti
makin lapar dan haus, menghendaki yang lebih. Dan akhirnya akan sukar dibedakan
lagi dengan ketamakan, kerakusan yang mendatangkan pertentangan, permusuhan dan
kesengsaraan.
Dan apakah
kemajuan itu? Sudah menjadi pendapat umum bahwa kemajuan adalah keduniawian,
harta benda, kedudukan, nama besar. Apakah ‘kemajuan’ seperti ini mendatangkan
kebahagiaan? Hanya mereka yang telah memiliki nama terkenal saja yang mampu
menjawab, dan jawabannya pasti TIDAK! Bahkan sebaliknya, makin banyak kedudukan
atau nama besar, makin ketat kita melekat kepada duniawi, makin banyak pula
kesengsaraan hidup yang kita derita berupa kekecewaan, pertentangan dan
kekhawatiran. Karena yang sudah pasti saja, hanya mereka yang masih memiliki lahir
batin yang akan kehilangan! Kehilangan berarti kekecewaan, kedukaan sedangkan
sebelum terjadi kehilangan, kita digerogoti kekhawatiran.
Akan tetapi
pada waktu itu tidak nampak seorang pun, karena pada waktu itu rakyat penghuni
ibu kota sedang dicengkeram ketakutan hebat. Seperti biasa setelah perang
berakhir, rakyat yang menjadi sasaran mereka yang memperoleh kemenangan. Para
anggota pasukan baru berkeliaran keluar masuk perkampungan, keluar masuk rumah
orang seperti rumahnya sendiri, bahkan tidak jarang terjadi mereka memasuki
kamar tidur orang seperti memasuki kamar tidur sendiri sambil menyeret nyonya
rumah yang masih muda atau anak gadis mereka! Seperti para atasannya yang
mengadakan pesta besar-besaran, kaum rendahan juga berpesta dengan gayanya tersendiri.
Seperti biasanya pula, penduduk hanya pandai menangis dan mengeluh mengadu
kepada Thian sebagai hiburan satu-satunya.
Menjelang
tengah malam, pesta masih amat ramai. Ouwyang Cin Cu sebagai seorang yang
berkedudukan tinggi sekali sekarang, seorang koksu, datang juga hanya sekedar
memberi selamat dan tidak tinggal lama. Akan tetapi para pengawal baru, tentu
saja mereka yang berpangkat perwira ke atas, masih berpesta pora karena memang
The Kwat Lin ingin mengambil hati para rekannya ini yang kelak dia harapkan
bantuan mereka. Bahkan ketika para tamu orang penting sudah meninggalkan tempat
pesta dalam keadaan setengah mabuk dan tempat itu mulai sepi, The Kwat Lin
masih menahan para pembesar pengawal yang jumlahnya belasan orang itu untuk
diajak berunding mengenai tugas mereka yang baru sebagai pengawal-pengawal
istana, bahkan mereka merupakan dewan pimpinannya.
Lewat tengah
malam, para tamu sudah pulang dan yang tinggal hanyalah empat belas orang
pimpinan pengawal yang kini dijamu dan diajak berunding di ruangan dalam, ada
pun ruangan luar tempat pesta mulai dibersih-bersihkan oleh sejumlah pelayan
yang kelihatan lelah dan mengantuk. Pada saat itulah berkelebat bayangan tiga
orang. Para pelayan yang membersihkan tempat bekas pesta itu hanya melihat bayangan
berkelebat dan tahu-tahu di tempat itu kelihatan dua orang wanita cantik dan
seorang laki-laki gagah sudah berdiri dengan sikap angker!
Tentu saja
para pelayan terkejut sekali dan mengira bahwa orang-orang aneh yang bergerak
amat cepatnya ini tentulah sahabat majikan mereka yang juga terkenal lihai
bukan main. Maka seorang di antara mereka menyambut sambil menjura dan berkata,
"Sam-wi yang terhormat agak terlambat karena pesta telah bubar."
"Kami
tidak ingin pesta," jawab wanita yang setengah tua dengan sikap keren.
"Kami ingin berjumpa dengan majikan kalian."
Melihat
sikap yang keren penuh wibawa ini, para pelayan menjadi gentar dan dua orang di
antara mereka cepat memasuki ruangan dalam di mana The Kwat Lin sedang
mengadakan perundingan dengan rekan-rekannya.
Diam-diam
wanita itu, Liu Bwee, memberi isyarat dengan matanya kepada Swat Hong,
puterinya. Swat Hong mengangguk dan dengan gerakan yang amat cepat dara ini
sudah meloncat dan menyelinap lenyap dari situ, sedangkan ibunya dan Ouw Sian
Kok sudah menerjang ke dalam ruangan ketika melihat pelayan tadi pergi melapor.
Baru saja dua orang pelayan itu memasuki ruangan dalam dan belum sempat
mengeluarkan kata-kata, pintu telah terbuka lebar dan Liu Bwee bersama Ouw Sian
Kok telah menerjang ke dalam.
"Heiii!
Siapa...?!" bentakan The Kwat Lin terhenti dan wajahnya berubah pucat
ketika dia melihat munculnya wanita yang tentu saja amat dikenalnya itu.
Dia menjadi
pucat ketakutan karena mengira bahwa bekas suaminya, Han Ti Ong Raja Pulau Es
yang amat ditakutinya itu muncul. Akan tetapi ketika melihat bahwa laki-laki
yang datang bersama Liu Bwee itu bukanlah Han Ti Ong, hatinya menjadi lega dan
dengan tabah dia meloncat ke depan. Dua kali dia menendang, membuat dua orang
pelayannya terlempar ke luar ruangan, kemudian menghadapi Liu Bwee sambil
tersenyum mengejek. "Aih, kiranya wanita buangan yang datang mengacau dan
mengantarkan nyawa!" bentaknya.
"Perempuan
hina yang berhati iblis! Engkau telah menerima budi kebaikan dari suamiku,
mengangkatmu dari lembah kehinaan ke tempat mulia, malah membalasnya dengan
khianat! Engkau dan anak harammu itu harus mampus di tanganku!"
"Mulut
busuk!" The Kwat Lin balas memaki dan sekali tanganya bergerak, tampak
sinar merah dari Pedang Ang-bwe-kiam di tangan kanannya, kemudian tanpa menanti
lagi, sinar merah itu sudah meluncur ke depan menyerang Liu Bwee.
"Cringgg...!!"
bunga api berpijar dan The Kwat Lin mundur dua langkah sambil memandang Ouw
Sian Kok yang telah menangkis pedangnya dengan sebatang pedang di tangan,
tangkisan yang membuat lengannya tergetar, tanda bahwa laki-laki yang datang bersama
Liu Bwee ini memiliki kepandaian tinggi pula.
"Siapa
engkau?!" bentaknya, sementara para rekannya, empat belas orang perwira
dan panglima pengawal, telah mencabut senjata masing-masing dan mengurung,
menanti saat bantuan mereka diperlukan oleh The Kwat Lin.
Ouw Sian Kok
yang mengerti bahwa dia bersama Liu Bwee dan Han Swat Hong telah memasuki goa
harimau dan berada dalam ancaman bahaya besar, sengaja mengulur waktu untuk
memberi kesempatan kepada Swat Hong yang oleh ibunya ditugaskan menyelinap ke
dalam istana untuk mencari dan merampas kembali pusaka-pusaka Pulau Es. Hanya
dengan jalan demikian saja kiranya pusaka-pusaka itu dapat dirampas kembali.
Dia tertawa dan mengelus jenggotnya, sedangkan Liu Bwee siap dan berdiri saling
membelakangi punggung dengan Ouw Sian Kok, maklum bahwa mereka tentu akan
menghadapi pengeroyokan dan karenanya harus dapat saling melindungi.
"Ha-ha-ha!
Engkau tanya siapa aku? Aku pun seorang buangan! Namaku Ouw Sian Kok dari Pulau
Neraka!"
Mendengar
ini The Kwat Lin diam-diam merasa terkejut dan heran juga. Dia sudah mendengar
dari bekas suaminya, Raja Pulau Es, bahwa para buangan di Pulau Neraka bukanlah
orang-orang sembarangan, bahkan banyak di antara mereka memiliki ilmu
kepandaian tinggi. Akan tetapi karena dia percaya akan kepandaiannya sendiri,
juga merasa aman berada di antara para pengawal dan lebih lagi dia kini berada
di dalam istananya di kota raja, dia memandang rendah. "Huh, kiranya
adalah buangan rendah dan hina dari Pulau Neraka."
Ouw Sian Kok
yang ingin mengulur waktu kembali tertawa untuk mengalihkan perhatian The Kwat
Lin. "Ha-ha-ha! Biar pun kami para penghuni Pulau Neraka adalah
orang-orang buangan, namun kiranya sukar dicari seorang pun di antara kami yang
memiliki watak rendah untuk mengkhianati orang yang telah menolong dan
melimpahkan kebaikan kepada kami seperti yang dilakukan olehmu, The Kwat
Lin!"
"Manusia
hina! Mampuslah!!"
"Sing-sing-singggg...!!"
Ouw Sian Kok
maklum akan kelihaian wanita ini. Maka cepat ia mengelak, menangkis dan balas
menyerang sambil mengerahkan seluruh tenaga dan kegesitannya. Dia keluarkan
ilmu-ilmu simpanannya. Terjadilah duel yang amat hebat di antara kedua orang
berilmu tinggi ini. Melihat betapa Ouw Sian Kok yang memang seperti
direncanakan harus menghadapi The Kwat Lin sementara dapat mengimbangi lawan,
Liu Bwee cepat memutar pedangnya dan menghadapi pengeroyokan belasan orang
pengawal itu. Pedangnya bergerak dahsyat sekali, dan dalam sepuluh jurus saja
dia telah merobohkan dua orang pengawal. Yang lain tetap mengepungnya karena tidak
ada seorang pun di antara mereka yang berani membantu The Kwat Lin, melihat
betapa bayangan wanita itu dan bayangan lawannya lenyap menjadi satu digulung
oleh sinar pedang mereka.
Mulai cemas
rasa hati The Kwat Lin ketika mendapatkan kenyataan bahwa Ouw Sian Kok
merupakan lawan yang berat dan seimbang dengannya. Sedangkan para rekannya itu
biar pun berjumlah banyak, ternyata tidak mampu mengimbangi amukan Liu Bwee
sehingga berturut-turut roboh pula beberapa orang di antara mereka!
"Cari
bantuan dari benteng!" terpaksa The Kwat Lin berteriak keras.
Mendengar
ini, seorang di antara para pengawal itu segera lari keluar untuk minta bala
bantuan. Melihat gelagat yang berbahaya ini, Ouw Sian Kok menjadi khawatir
juga. Mengapa Swat Hong belum juga kembali?
"Lekas
robohkan mereka dan bantu aku mengalahkan dia ini!" katanya kepada Liu
Bwee ketika melihat betapa Liu Bwee tidak begitu sukar untuk mendesak para
pengeroyoknya.
Liu Bwee
maklum pula akan kelihaian The Kwat Lin. Tahulah dia bahwa betapa pun lihainya Ouw
Sian Kok, menghadapi wanita itu masih amat sukar untuk mencapai kemenangan.
Maka dia memutar pedangnya makin cepat, merobohkan lagi tiga orang. Pada saat
itu berkelebat bayangan yang gesit dan tampaklah Swat Hong yang membawa
sebatang pedang dan di punggungnya tampak sebuah buntalan kain sutera merah.
"Ibu,
aku berhasil...!" teriak Swat Hong sambil menerjang maju merobohkan dua
orang pengeroyok ibunya.
Melihat ini
The Kwat Lin menjadi marah sekali. Maklumlah dia bahwa dia kena diakali. Dia
dapat menduga apa isi buntalan sutera merah itu, sutera merah yang amat
dikenalnya. Pusaka-pusaka Pulau Es telah berada di tangan Swat Hong!
"Bedebah!
Kembalikan pusaka-pusaka itu!" bentaknya dan tubuhnya secara tiba-tiba
sekali mencelat ke arah Swat Hong, pedangnya menusuk tenggorokan tangan kirinya
meraih ke arah punggung.
"Tranggg...!"
Liu Bwee terhuyung dan hampir roboh setelah menangkis pedang The Kwat Lin.
Seorang pengawal menubruknya, akan tetapi pengawal itu terlempar dengan dada
pecah karena ditendang oleh Liu Bwee.
Sedangkan
Swat Hong sudah dapat menangkis pedang The Kwat Lin yang kembali menyerangnya.
Ouw Sian Kok sudah meloncat pula dan menerjang The Kwat Lin sehingga kembali
mereka bertanding dengan hebat.
"Hong-ji,
kau selamatkan dulu pusaka-pusaka itu!" tiba-tiba Liu Bwee berteriak
kepada puterinya.
"Kita
akan cepat menyusul pergi!" kata pula Ouw Sian Kok kepada Swat Hong.
Swat Hong
melihat bahwa jumlah pengawal hanya tinggal lima orang dan mereka bukanlah
lawan berat bagi ibunya, sedangkan Ouw Sian Kok juga dapat menahan Kwat Lin.
Sebab itu dia mengangguk, dan sekali berkelebat dia meloncat ke luar.
"Tahan
dia....! Jangan larikan pusaka Pulau Es...!" Kwat Lin berteriak marah,
akan tetapi dia tidak dapat mengejar karena sinar pedang Ouw Sian Kok
menghalanginya dengan serangan-serangan dahsyat.
Terpaksa The
Kwat Lin mengerahkan tenaganya untuk mendesak Ouw Sian Kok dan dalam kemarahan
yang amat hebat ini tenaganya bertambah sehingga Ouw Sian Kok berseru kaget dan
mundur karena pundak kirinya berdarah, terluka sedikit kena diserempet sinar
pedang kemerahan.
Ketika Swat
Hong berlari cepat sekali ke luar, dia terkejut setengah mati melihat sepasukan
pengawal berbondong datang memasuki istana itu dari pintu luar, bersenjata
lengkap, dipimpin sendiri oleh Ouwyang Cin Cu! Bingunglah dia. Pusaka memang
harus diselamatkan, akan tetapi betapa mungkin dia meninggalkan ibunya yang
terancam bahaya maut?
Selagi dia
meragu dan mengintai dari tempat bersembunyi, tiba-tiba dia melihat
berkelebatnya bayangan empat orang. Dia menjadi girang sekali ketika mengenal
dua orang di antara mereka adalah Kwee Lun dan Soan Cu. Cepat dia meloncat ke
luar, berseru lirih, "Kwee-toako! Soan Cu...!!"
Soan Cu dan
Kwee Lun terkejut dan berhenti, juga Swi Nio dan Liem Toan Ki yang datang
bersama mereka. Ketika melihat bahwa orang yang muncul dari balik pohon di luar
istana itu adalah Swat Hong, Kwee Lun menjadi girang sekali, akan tetapi Soan
Cu cemberut. Bagaimana hatinya dapat merasa girang bertemu dengan dara yang
menimbulkan iri di hatinya dahulu itu?
Akan tetapi
Swat Hong yang girang sekali tentu saja tidak dapat melihat wajah cemberut di
tempat yang remang-remang itu, maka cepat dia berkata, "Soan Cu, Ayahmu
berada di dalam bersama ibuku, sedang dikepung para pengawal."
Seketika
pucat wajah Soan Cu dan dia memandang bengong, sampai lama baru dapat berkata
gagap, "A... Ayah... ku...?"
"Benar!
Kita harus membantunya," kata lagi Swat Hong.
"Kalau
begitu tunggu apa lagi? Mari kita membantu orang tua kalian!" Kwee Lun
berkata.
"Nanti
dulu... siapakah dua orang ini?" Swat Hong bertanya sambil menuding kepada
Swi Nio dan Liem Toan Ki.
"Namaku
Bu Swi Nio, Adik Han Swat Hong. Aku sudah mendengar namamu dari kedua saudara
ini dan aku merasa kagum sekali. Ketahuilah bahwa aku dahulu adalah murid The
Kwat Lin, akan tetapi sekarang aku hendak mencari dan membunuhnya." Swi
Nio berkata penuh semangat. "Dan aku tadinya mata-mata Jenderal An Lu
Shan, akan tetapi aku berjuang bukan untuk mencari pangkat, melainkan untuk
membalas dendam. Sekarang aku hendak membantu dia... eh, tunanganku ini untuk
menghadapi The Kwat Lin."
Tiba-tiba
Swat Hong bergerak maju, kedua tangannya bergerak cepat sekali, yang kanan
menyerang ke arah leher Liem Toan Ki, sedangkan yang kiri menotok ke arah dada
Swi Nio.
"Eiihhh...."
"Haiiiittt.....!"
Toan Ki dan
Swi Nio yang terkejut sekali cepat mengelak, namun tetap saja mereka terhuyung
dan hampir jatuh terdorong sambaran kedua tangan Swat Hong.
"Eh-eh...
apa yang kau lakukan itu?" Kwee Lun dan Soan Cu menegur heran dan juga
marah.
"Aku
hanya menguji mereka. Maafkan aku, Enci Swi Nio dan Liem-toako. Melihat tingkat
kepandaian kalian, lebih baik kalian tidak ikut masuk. Musuh amat kuat, dan ada
tugas yang lebih penting lagi bagi kalian, kalau benar kalian suka membantu
kami dari Pulau Es."
Swi Nio dan
Toan Ki yang tadinya terkejut dan marah, menjadi lega bahwa kiranya gadis yang
amat lihai itu hanya menguji mereka. Biar pun ucapan itu merendahkan tingkat
kepandaian mereka, namun harus mereka akui bahwa ilmu kepandaian mereka masih
jauh kalau dibandingkan dengan Kwee Lun dan Soan Cu, apa lagi Swat Hong ini.
"Kami
berdua siap membantu!" Toan Ki berkata, hampir berbareng dengan Swi Nio.
Karena
mengkhawatirkan keadaan ibunya, tanpa ragu-ragu lagi Swat Hong melepaskan
ikatan buntalan dari punggungnya, menyerahkannya kepada Toan Ki. Dia lebih
percaya kepada Toan Ki dari-pada kepada Swi Nio, hal ini karena tadi dia
mendengar bahwa Swi Nio adalah bekas murid The Kwat Lin!
"Inilah
pusaka kami dari Pulau Es yang seharusnya kuselamatkan. Akan tetapi karena
Ibuku dan Ayah Soan Cu terkurung di dalam, aku harus membantu mereka dan
kuharap kalian suka menyelamatkan pusaka-pusaka ini jauh dari kota raja. Kelak
kita dapat saling bertemu di Puncak Awan Merah di tempat kediaman Tee-tok
Siangkoan Houw, di pegunungan Tai-hang-san. Nah, kalian pergilah cepat!"
Liem Toan Ki
menerima bungkusan itu dengan hati kaget bukan main, juga Swi Nio terkejut dan
cepat dia menyambar tangan kekasihnya.
"Mari
kita segera pergi!" Kedua orang muda itu menyelinap lenyap di dalam
kegelapan malam.
"Hayo
kita bantu Ibu dan Ayahmu!" kata Swat Hong kepada Soan Cu.
Soan Cu
mengangguk karena merasa lehernya seperti dicekik oleh sedu-sedan yang naik
dari dalam dadanya. Ayahnya! Dia akan bertemu dengan ayah kandungnya yang
selama hidupnya belum pernah dia lihat itu. Bertemu dalam keadaan terancam
bahaya maut! Tampak tiga bayangan berkelebat ketika Soan Cu, Swat Hong, dan
Kwee Lun menyerbu ke dalam istana itu.
Ketika
mereka tiba di dalam, ternyata Liu Bwee dan Ouw Sian Kok telah dikepung ketat
dan kini pertempuran telah berpindah ke ruang luar yang lebih lega. Agaknya, agar
dapat melakukan perlawanan dengan leluasa dan mendapat kesempatan untuk
meloloskan diri, Liu Bwee dan Ouw Sian Kok telah pindah keluar dari ruangan
dalam yang sempit. Kini dengan saling membelakangi, kedua orang itu mengamuk
dengan hebat, dikepung ketat oleh para pengawal istana, sedangkan The Kwat Lin
dan Ouwyang Cin Cu menonton di pinggir.
Ketika Swat
Hong dan dua orang kawannya masuk, mereka melihat Kwat Lin berlari pergi ke
dalam istananya. Swat Hong maklum bahwa wanita itu tentulah hendak memeriksa
simpanan pusakanya. Maka dia lalu menyentuh tangan Soan Cu yang dengan mata
merah hampir menangis sedang bengong memandang kepada laki-laki setengah tua
yang mengamuk dengan gagahnya itu. Soan Cu sadar dan menengok.
"Kita
kejar dia! Dialah yang paling jahat dan berbahaya!"
Soan Cu
mengangguk dan kedua orang gadis berkelebat pergi mengejar Kwat Lin. Kwee Lun
sendiri lalu berteriak keras dan meloncat ke depan, meyerbu para pengeroyok.
Sepak terjang pemuda tinggi besar ini memang hebat, tenaganya yang amat kuat
itu membuat dia sekali turun tangan merobohkan empat orang pengeroyok. Tentu
saja kepungan menjadi buyar dan kacau. Dan ketika mereka membalik untuk
mengeroyok Kwee Lun, pemuda yang lihai ini lalu merubah tenaga dahsyat tadi
dengan pukulan-pukulan Bian-sin-kun, pukulan kapas yang kelihatannya lemah dan
lunak, namun setiap kali menyentuh tubuh para pengeroyok tentu membuat dia
terguling.
"Jiwi-lo-cianpwe,
saya adalah Kwee Lun, sahabat baik dari Nona Swat Hong dan Nona Soan Cu! Mereka
sedang mengejar Si Iblis Betina!" teriak Kwee Lun dengan suara nyaring.
Liu Bwee dan
Ouw Sian Kok terkejut dan girang sekali, terutama Ouw Sian Kok yang mendengar
bahwa puterinya juga datang! Akan tetapi malang baginya. Karena dia terlampau
girang hendak melihat wajah puterinya, dia menoleh ke sana ke mari
mencari-cari.
"Ouw-toako,
awas...!!" tiba-tiba Liu Bwee berteriak dan wanita ini berusaha untuk
menangkis sinar biru dari pedang Ouwyang Cin Cu.
"Tranggg...aih....!!"
Liu Bwee terlambat dan bergulingan untuk menyelamatkan diri, sedangkan Ouw Sian
Kok terjungkal karena tamparan tangan kiri Ouwyang Cin Cu mengenai punggungnya.
"Plakk!
Aughhhh....!" Ouw Sian Kok muntahkan darah segar dari mulutnya.
"Curang...!!"
Kwee Lun membentak dan kipas di tangan kiri serta pedang di tangan kanannya
menyambar ganas. Namun dia terlalu lunak bagi Ouwyang Cin Cu. Hanya dengan
sekali tangkis, kipas itu robek dan pedangnya hampir terpental.
"Haiiiitttt....!!"
Ouw Sian Kok yang marah sekali menerjang maju dengan tangan terbuka.
Melihat serangan
ganas ini Ouwyang Cin Cu terkejut dan cepat dia meloncat mundur. Sebelum dia
didesak oleh tiga orang lawan itu, para pengawal sudah mengepung lagi. Kini
mereka bertiga dikeroyok dan dihujani senjata oleh puluhan orang pengawal.
"Twako...
kau... terluka...?" sambil mengamuk dengan pedangnya, Liu Bwee bertanya.
"Tidak
apa... mati pun aku rela... pusaka telah diselamatkan...." kata Ouw Sian
Kok. "Tapi... tapi anakku...," dia tidak dapat melanjutkan
kata-katanya karena harus menghadapi pengeroyokan banyak pengawal.
Sementara
itu di dalam istana juga terjadi pertempuran yang mati-matian dan hebat sekali.
The Kwat Lin yang melihat datangnya bala bantuan yang dipimpin sendiri oleh
Ouwyang Cin Cu, setelah melihat bahwa dua orang pengacau itu terkepung ketat,
lalu teringat akan pusaka yang tadi dibawa Swat Hong. Dia teringat pula akan
puteranya yang sudah tidur di kamarnya, maka cepat dia meninggalkan tempat
pertempuran untuk memeriksa pusaka dan puteranya.
Dilihatnya
Bu Ong masih tidur nyenyak dan terjaga, maka dia cepat lari ke dalam kamarnya
sendiri. Seperti telah diduganya, para penjaga sebanyak lima orang yang berada
di kamarnya tewas semua dan keadaan kamarnya rusak dan kacau. Sekali saja
melihat ke arah peti hitam yang terbuka di depan tempat tidurnya, tahulah dia
bahwa semua pusaka telah dirampas oleh Swat Hong, seperti yang
dikhawatirkannya.
"Mencari apa, wanita iblis? Pusaka Pulau Es telah aman!".......
Terima Kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment