Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Bu Kek Siansu
Jilid 11
SEPERTI telah dituturkan di bagian depan, Sin Liong dan Swat Hong saling bertemu kembali di lereng puncak Gunung Awan Merah tempat tinggal Tee-tok Siangkoan Houw. Setelah mendengar tentang Bu-tong-pai yang dikuasai oleh The Kwat Lin yang memang sedang mereka cari-cari, Sin Liong bersama Swat Hong lalu meninggalkan lereng Awan Merah, turun gunung dan dengan cepat pergi menuju ke pegunungan Bu-tong-san.
Biar pun
kedua orang muda yang memiliki ilmu kepandaian tinggi ini telah menggunakan
ilmu berlari cepat dan hanya mengaso apabila mereka merasa lapar dan terlalu
lelah saja, namun karena jaraknya yang amat jauh, kurang lebih sebulan kemudian
barulah mereka tiba di lereng Pegunungan Bu-tong-san. Di kaki gunung tadi
mereka telah memperoleh petunjuk dari seorang petani di mana letak Bu-tong-pai,
yaitu di atas salah satu di antara puncak-puncak pegunungan Bu-tong-san.
"Hati-hatilah,
sumoi, kita sudah tiba di daerah Bu-tong-pai," Sin Liong berkata ketika
mereka berhenti sebentar di bawah pohon untuk melepas lelah sambil menghapus
keringat dari dahi dan leher.
"Hemm,
kita hanya berurusan dengan The Kwat Lin, urusan pribadi yang sama sekali tidak
ada hubungannya dengan Bu-tong-pai. Kita harus menyatakan ini kepada semua
orang Bu-tong-pai, kalau mereka tidak mau mengerti dan hendak membela The Kwat
Lin, kita hantam mereka pula!"
Hati Sin
Liong merasa khawatir sekali. Memang akibatnya amat berlawanan setelah bertemu
dengan sumoi-nya ini. Girang dan juga khawatir. Serba susah. Dia tentu saja
girang sekali dapat bertemu dengan sumoi-nya dalam keadaan selamat dan sehat.
Akan tetapi di samping rasa girang ini, juga dia kini selalu dilanda
kekhawatiran akan sifat Swat Hong.
Andai kata
dia sendiri saja yang datang ke Bu-tong-pai, tentu dia akan membujuk agar The
Kwat Lin mengembalikan pusaka-pusaka Pulau Es dan dia tidak akan menuntut hal
ini. Akan tetapi, setelah pergi bersama Swat Hong, dia tahu bahwa tentu gadis
ini akan menimbulkan keributan. Tentu Swat Hong akan memusuhi The Kwat Lin yang
dianggapnya menjadi penyebab kesengsaraan ayah-bundanya. Hal ini menaruh dia di
tempat yang amat tidak menyenangkan. Membantu Swat Hong memusuhi The Kwat Lin
berlawanan dengan batinnya karena dia tidak ingin memusuhi siapa pun juga.
Tidak membantu, tentu Swat Hong terancam bahaya dan tentu akan marah dan benci
kepadanya!
Mereka sudah
mendekati puncak di mana tampak dinding tembok Bu-tong-pai yang tinggi.
"Sumoi,
kau serahkan saja kepadaku untuk bicara dengan orang-orang Bu-tong-pai. Kurasa
mereka akan suka menerima alasan kita kalau mereka mendengar apa yang telah
dilakukan oleh ketua baru mereka."
Swat Hong
mengangguk. "Baiklah, terserah kepadamu, Suheng. Akan tetapi kalau sudah
tiba saatnya, kuharap engkau jangan mencegah aku membunuh iblis betina
itu!"
Sin Liong
tidak menjawab, hanya menghela napas panjang. "Mari kita mendekati pintu
gerbang itu. Heran sekali, mengapa sunyi amat? Bukankah kabarnya Bu-tong-pai
merupakan perkumpulan yang besar dan mempunyai banyak anak murid?"
Akan tetapi
ketika mereka tiba di depan pintu gerbang yang tertutup, tiba-tiba saja pintu
gerbang yang lebar itu terbuka dari dalam, terpentang lebar-lebar. Tampaklah
lima belas orang laki-laki tua, di antaranya beberapa orang tosu, melangkah
keluar dengan sikap tenang namun penuh wibawa dan memandang tajam penuh selidik
kepada Sin Liong dan Swat Hong!
Setelah para
tokoh Bu-tong-pai itu keluar dan berhadapan dengan mereka, Sin Liong cepat
menjura dengan hormat sambil berkata, "Apakah kami berhadapan dengan para
Lo-cianpwe dari Bu-tong-pai?"
Dengan
pandang mata curiga, belasan orang itu memandang Sin Liong. Tosu tua yang
berada paling depan lalu bertepuk tangan dan berteriak, "Kalian keluarlah
dan jangan melakukan sesuatu sebelum diperintah!"
Sebagai
jawaban kata-kata ini, berlompatanlah delapan belas orang laki-laki gagah
perkasa yang tadi bersembunyi di balik pohon-pohon dan rumpun di luar pintu
gerbang. Mereka lalu membuat gerakan mengepung dan mereka siap dengan tangan di
gagang pedang masing-masing.
Melihat ini
timbul kemarahan di hati Swat Hong. "Bukan maling mengapa dikepung? Apakah
kalian hendak menantang berkelahi? Aku ingin bertemu dengan ketua Bu-tong-pai.
Lekas panggil dia keluar!"
Melihat
sikap galak ini, kakek tosu yang agaknya memimpin mereka, berkata,
"Siancai... kiranya Nona hendak bertemu dengan ketua Bu-tong-pai? Pinto
(saya) ketuanya. Tidak tahu siapakah Nona dan ada keperluan apa hendak bertemu
dengan pinto?"
Swat Hong
terbelalak. Ia memandang kaget dan heran. "Eh...? Benarkah ini? Kami...
kami tidak datang mencari Totiang...."
Para tosu
dan semua orang itu saling pandang. Seorang di antara mereka, seorang tosu pula
yang tinggi besar bermuka hitam, tidak setua kakek pertama, kemudian bertanya,
"Kalau begitu, siapakah yang Nona cari?"
"Kami
mencari The Kwat Lin...."
Baru selesai
Swat Hong berkata demikian, kakek muka hitam itu sudah berteriak keras dan
menubruk maju. Tangan kirinya mencengkeram ke arah ubun-ubun kepala Swat Hong
sedangkan tangan kanannya menotok ke arah leher.
Swat Hong
terkejut dan marah. Serangan kakek itu benar-benar amat ganas, kejam dan
berbahaya sekali. Apa lagi ketika terasa olehnya betapa dari kedua tangan yang
panjang dan besar itu menyambar hawa pukulan yang menandakan bahwa kakek itu
memiliki tenaga yang kuat. "Heiiittt...!!" dia melengking panjang,
kedua tangannya bergerak cepat menyambut.
"Dukkkk...
plakkk...!!"
Tangan yang
mencengkeram ke arah ubun-ubunnya dapat dia tangkis dengan kuat, sedangkan
tangan yang menotok lehernya itu dielakkan dengan menundukkan kepala sedikit,
kemudian jari tangannya mendahului sehingga dia berhasil menyambut serangan itu
dengan totokan kepada pergelangan tangan. Pada detik berikutnya, selagi tosu
muka hitam itu menyeringai kesakitan karena tangkisan itu membuat lengannya
tergetar dan totokan itu melumpuhkan lengan satunya, kaki Swat Hong sudah
bergerak menendang.
"Desss...!!"
tubuh tosu muka hitam itu terjengkang dan jatuh terbanting ke atas tanah dengan
cukup keras!
Semua orang
terkejut, juga tosu tua itu mengerutkan alisnya. Tosu muka hitam itu adalah
sute-nya, tingkat kepandaiannya sudah tinggi, bagaimana dapat dirobohkan oleh
nona muda itu dalam segebrakan saja? Tak salah lagi, tentu kedua orang ini
adalah orang-orang sebangsa The Kwat Lin yang pernah merampas kedudukan ketua
Bu-tong-pai, demikian tosu tua yang bukan lain adalah Kui Tek Tojin itu
berpikir. Hanya orang-orang sebangsa iblis betina The Kwat Lin saja yang
memiliki ilmu kepandaian seperti setan itu.
Melihat tosu
muka hitam roboh, para tosu dan tokoh Bu-tong-pai lainnya lalu serentak
menyerbu, didahului oleh delapan belas orang murid Kui Tek Tojin yang bukan
lain adalah Bu-tong Cap-pwe Eng-hiong itu. Karena mengira bahwa Swat Hong
tentulah mempunyai hubungan dengan The Kwat Lin, serta merta mereka maju
menyerbu dengan pedang di tangan.
"Hemm,
kalian benar-benar mengajak berkelahi? Bagus, majulah semua! Hayo, jangan ada
seorang pun yang tinggal. Suruh semua orang Bu-tong-pai maju mengeroyokku kalau
kalian membela The Kwat Lin!" Swat Hong mencabut pedangnya dan matanya
memancarkan cahaya seperti hendak menyebarkan maut.
Tiba-tiba
Sin Liong membentak. "Tahan senjata...!!"
Tubuhnya
berkelebat dan berloncatan di antara orang-orang Bu-tong-pai dan segera
terdengar seruan-seruan kaget ketika tiba-tiba di mana saja bayangan pemuda itu
berkelebat, senjata yang terpegang tangan terlepas dan berjatuhan ke atas tanah
tanpa mereka ketahui sebabnya!
Sin Liong
sudah berhadapan dengan Kui Tek Tojin, menjura dan berkata, "Harap Totiang
berlaku sabar dan maafkan Sumoi. Ketahuilah, kami berdua datang ke Bu-tong-pai
ini sama sekali bukan hendak berurusan dengan Bu-ting-pai karena kami tidak
pernah berurusan dengan Bu-tong-pai. Kami datang untuk mencari The Kwat Lin,
untuk urusan pribadi yang sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan
Bu-tong-pai. Harap Cuwi Totiang dan sekalian orang gagah Bu-tong-pai dapat
mengerti ini dan jangan secara membuta membela The Kwat Lin tanpa lebih dulu
mengetahui urusannya."
"Apa...?
Membela The Kwat Lin? Bukankah Ji-wi ini sahabat-sahabat wanita iblis
itu?"
"Bicara
lancang dan ngawur!" Swat Hong membentak. "Aku datang untuk membunuh
The Kwat Lin dan kalau kalian hendak membelanya, jelas bahwa kalian bukan
manusia baik-baik dan biarlah kubunuh sekalian!"
"Siancai...!
Siancai...!" Kui Tek Tojin berseru dan ia tersenyum memperlihatkan mulut
yang tidak bergigi lagi. "Maafkan pinto dan semua murid Bu-tong-pai! Karena
tidak tahu maka terjadi kesalah-pahaman ini. Semua ini gara-gara wanita iblis
yang telah merusak nama baik Bu-tong-pai dan membuat kami selalu menaruh curiga
kepada siapa pun. Silakan masuk, Sicu dan Nona. Marilah bicara di dalam!"
Sin Liong
dan Swat Hong lalu diiringkan masuk ke dalam bangunan yang menjadi pusat
Bu-tong-pai itu dan dipersilakan duduk di ruangan tamu. Setelah menerima
suguhan minuman, Kui Tek Tojin bertanya, "Bolehkan pinto mengetahui siapa
adanya Ji-wi dan mengapa menanam bibit permusuhan dengan The Kwat Lin? Pinto
melihat ilmu kepandaian Ji-wi hebat sekali, mengingatkan pinto kepada
kepandaian The Kwat Lin sehingga hal itu menambah lagi kecurigaan kami
tadi."
“Kiranya
tidaklah perlu kami memperkenalkan diri," jawab Sin Liong yang memang
ingin menghindarkan diri sejauh mungkin dengan urusan kang-ouw sehingga lebih
baik kalau tidak memperkenalkan diri. "Akan tetapi kami berdua mempunyai
urusan pribadi dengan The Kwat Lin, dan mendengar bahwa dia telah menjadi ketua
Bu-tongpai, maka kami berdua menyusul ke sini."
Kui Tek
Tojin mengelus jenggotnya dan mengangguk-angguk. Diam-diam dia dapat menduga
bahwa dua orang muda yang memiliki ilmu kepandaian luar biasa ini tentu ada
hubungannya pula dengan Pulau Es! Akan tetapi dia tidak berani banyak bertanya.
Kui Tek Tojin kemudian menceritakan betapa The Kwat Lin yang merasa bekas murid
Bu-tong-pai itu dengan kekerasan merampas kedudukan ketua dan diam-diam
mengatur pemberontakan terhadap Kaisar. Karena usahanya menyelundupkan muridnya
ke istana gagal, dia menjadi seorang buruan pemerintah.
"Betapa
pun lihainya, iblis betina itu tidak berani menghadapi pasukan pemerintah, maka
dia lalu melarikan diri bersama para pengikutnya, meninggalkan Bu-tong-pai.
Kami mengambil alih Bu-tong-pai kembali dan belum lama ini, hampir saja kami
menjadi sasaran penyerbuan pemerintah. Baiknya kami telah dapat menceritakan
keadaan kami dan sekarang, mau tidak mau, untuk membuktikan bahwa Bu-tong-pai
tidak bersekutu dengan pemberontak, terpaksa kami harus membantu pemerintah.
Hari ini pun Bu-tong Cap-pwe Eng-hiong, murid-murid pinto, terpaksa akan
berangkat ke utara melakukan tugas penyelidikan terhadap pemberontakan An Lu
Shan."
Mendengar
ini, Sin Liong dan Swat Hong merasa kecewa sekali. Jauh-jauh mereka menyusul ke
Bu-tong-san, hanya untuk mendengar bahwa The Kwat Lin tidak berada lagi di
tempat itu dan sekarang telah menjadi orang buruan pemerintah.
"Aihhh...
ke mana kita harus mencarinya?" Swat Hong berkata kesal sambil menoleh
kepada Sin Liong.
"Nona,
untuk menebus kesalahan kami tadi, baiklah kami beri-tahukan bahwa kalau tidak
salah dugaan kami, The Kwat Lin melarikan diri ke tempat kediaman Kiam-mo
Cai-li. Kalau Ji-wi mencarinya ke sana, tentu akan setidaknya mendengar lebih
jauh tentang wanita itu."
"Kiam-mo
Cai-li? Siapa dia? Dan di mana tempat tinggalnya?" Swat Hong mendesak dan
wajahnya berseri karena timbul pengharapan lagi di dalam hatinya.
“Dia adalah
seorang datuk kaum sesat, sorang wanita yang tinggi ilmunya dan telah bersekutu
dengan The Kwat Lin untuk membantu pemberontak. Kiam-mo Cai-li tinggal di Rawa
Bangkai, di kaki pegunungan Lu-liang-san, tidak begitu jauh dari sini."
"Suheng,
tunggu apa lagi? Mari kita cepat pergi ke Lu-liang-san!" Swat Hong dengan
penuh semangat sudah bangkit berdiri.
Sin Liong
terpaksa juga bangkit berdiri, akan tetapi Ketua Bu-tong-pai itu berkata,
"Harap Ji-wi berhati-hati. Rawa Bangkai merupakan daerah yang sangat
berbahaya. Selain dua wanita itu amat sakti, juga Kiam-mo Cai-li mempunyai
banyak anak buah. Bahkan kaki tangan The Kwat Lin yang tadinya berada di sini
sekarang pun ikut pergi bersamanya."
"Terima
kasih atas peringatan Lo-cianpwe," kata Sin Liong sambil memberi hormat
dan karena dia pun merasa amat tidak enak telah mengganggu orang-orang tua di
Bu-tong-pai ini, dia cepat mengajak sumoi-nya pergi dari situ. Setelah
berpamit, sekali berkelebat saja dua orang muda itu lenyap.
Kui Tek
Tojin menghela napas dan mengelus jenggotnya, "Siancai..... dua orang muda
yang amat luar biasa. Pinto yakin bahwa mereka tentulah orang-orang dari Pulau
Es juga. Gerakan mereka aneh seperti gerakan Kwat Lin, akan tetapi kalau Pulau
Es telah membuat Kwat Lin menjadi seperti iblis, dua orang muda itu seperti
dewa!"
"Suheng,
bukankah di lereng puncak yang sana itu tempatnya?"
"Kalau
tidak salah memang di sana, Sumoi. Akan tetapi sekali ini kita melakukan
pekerjaan yang amat berbahaya, maka kuharap Sumoi suka bersikap tenang dan
sabar, tidak tergesa-gesa."
Swat Hong
mengangguk, mengeluarkan sapu-tangan sutera dan menghapus keringat dari leher
dan dahinya. Mukanya kemerahan, pipinya seperti buah tomat masak, matanya
bersinar-sinar penuh semangat, rambutnya agak kusut dan anak rambut di dahinya
basah oleh keringat.
***************
SIN LIONG
memandang sumoi-nya dan diam-diam dia menaruh hati iba kepada sumoi-nya.
Seorang dara muda seperti sumoi-nya sudah harus mengalami hidup merantau dan
sengsara seperti ini! Padahal seorang dara muda seperti sumoi-nya itu
sepatutnya berada di dalam rumah bersama keluarga, hidup aman tenteram dan
penuh kegembiraan, bermain-main di dalam taman bunga yang indah,
bersendau-gurau, tertawa, bernyanyi, membaca sajak, atau jari-jari tangan yang
kecil meruncing itu menggerakkan alat-alat menyulam. Tidak seperti sekarang
ini, setiap saat menghadapi bahaya, selalu bermain dengan pedang dan maut! Dia
menarik napas panjang.
Mereka
berdua duduk di bawah pohon yang tinggi besar, berteduh di dalam bayangan
pohon. Hari itu amat panasnya dan mereka telah melakukan perjalanan jauh sejak
pagi tadi seharian itu.
"Suheng...,"
sesuatu dalam suara dara itu membuat Sin Liong cepat menengok dan dia melihat
wajah yang cantik itu menunduk. Aneh sekali! Ada apa lagi gadis ini bersikap
seperti orang malu?
"Ada
apakah, Sumoi?" Swat Hong mencabut sebatang rumput, mempermainkannya
dengan jari-jari tangannya, kemudian dalam keadaan tidak sadar meremas rumput
itu sampai hancur di tangannya. "Suheng, setelah selesai tugas kita
memenuhi pesan terakhir Ayah, lalu bagaimana?"
Tersentuh
hati Sin Liong. Baru saja dia membayangkan nasib dara itu dan sekarang agaknya
Swat Hong juga membayangkan masa depannya. "Kalau kita sudah berhasil
memenuhi pesan Suhu, kita akan mengembalikan pusaka-pusaka itu ke Pulau
Es."
"Hemm,
kemudian?' Swat Hong masih tetap menunduk dan kini dia bahkan telah mencabut
lagi sebatang rumput dan dimasukkan ke dalam mulutnya yang kecil dan rumput itu
digigit-gigitnya.
"Kemudian?
Aku akan membantumu mencari ibumu sampai dapat, Sumoi. Akan kita jelajahi
seluruh pulau-pulau di sekitar Pulau Es, dan kalau tidak berhasil, kita akan
mendarat lagi di daratan besar dan mencari sampai ketemu. Sebelum bertemu
dengan ibumu, aku tidak akan berhenti mencari."
Lama tiada
kata-kata keluar dari mulut yang menggigit-gigit rumput itu. Akhirnya Swat Hong
bertanya juga, "Kalau sudah bertemu dengan ibu?"
"Kalau
sudah ketemu?" Sin Liong mengulang pertanyaan itu dengan heran, karena hal
itu terasa aneh kalau ditanyakan. "Tentu saja engkau hidup bersama
ibumu...."
"Dan
kau?"
"Aku?
Aku... aku agaknya akan pergi merantau karena tidak ada apa-apa lagi yang
mengikatku, tidak ada tugas. Aku bebas seperti burung di udara, terbang ke mana
pun angin membawaku."
Kembali
suasana hening, bahkan kini Sin Liong terpengaruh oleh pertanyaan itu dan
merenung seolah sudah merasakan betapa nikmatnya bebas terbang di udara tanpa
beban tugas sedikit pun.
"Suheng...."
"Hemmm....?"
"Kalau
bertemu dengan ibu engkau akan meninggalkan kami?"
"Sudah
kukatakan begitu, bukankah kau sudah aman kalau berada di samping Ibumu?"
"Bagaimana
kalau... kalau kita gagal mencari ibu? Bagaimana kalau sampai tidak bertemu?
Bagaimana pula andai kata Ibu... ibu sudah meninggal?"
Sin Liong
terkejut. Hal ini sama sekali tidak pernah terbayangkan. Dihadapkan dengan
kemungkinan kenyataan ini dia terkejut dan bingung, sejenak tidak mampu
menjawab. Dia berpikir, kemudian menjawab tanpa keraguan sedikit pun juga,
"Kalau begitu, tentu saja aku tidak akan meninggalkanmu, Sumoi."
"Kita
tinggal di mana?"
"Di
mana saja sesukamu."
"Kita
berkumpul?"
"Ya."
"Sampai
kapan?"
Kembali Sin
Liong termangu-mangu dan tak dapat menjawab.
Swat Hong
berkata lagi, "Kalau demikian, aku jadi merepotkanmu, Suheng. Aku merampas
kebebasan yang kau idam-idamkan tadi."
"Ah,
tidak! Tidak sama sekali! Di dalam kebebasan seorang diri di dunia itu memang
terdapat kenikmatan, akan tetapi di dalam melakukan sesuatu untuk orang,
terutama untukmu, juga terdapat kenikmatan besar."
"Engkau
menjadi seperti seekor burung yang terikat kakimu dengan kakiku, Suheng."
"Tidak,
tidak begitu! Kita seperti dua ekor burung bebas yang melakukan penerbangan
bersama!"
"Untuk
selamanya, Suheng?"
Kembali Sin
Liong termangu-mangu. "Aihh, tentu saja tidak. Engkau harus menikah, dan
aku akan menjadi wakil orang tuamu. Aku yang akan meneliti, memilihkan calon
suami, sampai engkau berhasil menjadi isteri seorang laki-laki yang patut
menjadi suamimu."
"Tidak
sudi!!" Tiba-tiba Swat Hong bangkit berdiri, menjauh dan membelakangi Sin
Liong. Tak terasa lagi rumput di mulutnya sudah dikunyah-kunyah!
Sin Liong
terbelalak memandang tubuh belakang sumoi-nya. Dia benar-benar terkejut dan
heran sekali mengapa sumoi-nya mendadak marah seperti itu, padahal dia bicara
dengan setulus hatinya, menyatakan keinginannya yang baik terhadap sumoi-nya
yang akan dibelanya itu. "Sumoi...!" dia memanggil dan gadis itu
membalikan tubuh.
Untuk kedua
kalinya Sin Liong terbelalak. Sumoi-nya itu, biar pun tidak sesenggukan, tapi
telah menangis. Sepasang pipinya basah air mata dan masih ada butiran air mata
yang bergerak menurun dari pelupuk matanya.
"Suheng,
engkau... engkau kejam...!" dan sekarang Swat Hong menangis betul-betul,
sesenggukan dan menjatuhkan dirinya ke atas rumput, menutupi muka dengan kedua
tangan, membiarkan air matanya membanjir ke luar dari celah-celah jari
tangannya.
Sin Liong
mengerutkan alisnya, lalu menggeleng kepala. "Kejam...?" Dia seperti
hendak bertanya kepada bayangan sendiri, mengapa dia yang akan membela gadis
itu bahkan dimaki kejam.
Swat Hong
memeras air matanya, menghapus muka dengan sapu-tangan, kemudian mengangkat
mukanya memandang. "Suheng, kau memang kejam. Kau mau enakmu sendiri saja!
Kau hendak membiarkan aku sengsara, meninggalkan aku kepada orang lain agar kau
dapat bebas merantau seorang diri. Padahal engkau pun tahu bahwa aku tidak
punya siapa-siapa lagi, aku hanya mempunyai engkau seperti engkau mempunyai
aku. Akan tetapi... uh-uh-uh... kau ingin sekali mencampakkan aku agar dapat
bebas. Kalau begitu, tinggalkan saja aku sekarang...!"
"Eh-eh,
Sumoi..., bagaimana pula ini? Siapa yang akan memberikanmu kepada orang lain?
Tentang pernikahan itu.... tentu saja kalau engkau sudah bertemu dengan
jodohmu, dengan seorang pria yang kau cinta. Aku berniat baik, sama sekali
tidak ada keinginan hatiku untuk meninggalkanmu, sampai engkau berhasil
memperoleh pilihan hatimu. Kalau engkau sudah menikah, apa kau kira aku harus menungguimu
saja?"
"Tidak!
Aku tidak akan menikah kalau hanya agar kau dapat bebas! Aku hanya akan menikah
kalau engkau sudah menikah lebih dulu!" Kini Swat Hong bicara penuh
semangat, seolah-olah dia merasa penasaran.
Sin Liong
membelalakkan matanya memandang. "Eh? Mengapa begitu? Aku... aku selamanya
tidak akan menikah, Sumoi!"
Swat Hong
menampar tanah. "Tass!!" lalu memandang dengan muka merah kepada
suheng-nya, disambung kata-kata nyaring, "Aku pun tidak akan menikah!"
"Wah,
mana bisa? Aku seorang pria, Sumoi. Tidak menikah selamanya pun tidak apa-apa,
akan tetapi engkau seorang wanita...."
"Apa
bedanya? Kalau pria bisa tidak menikah selamanya, apakah wanita tidak bisa?
Pendeknya, aku tidak akan menikah sebelum engkau menikah, Suheng!"
Sin Liong
menarik napas panjang dan duduk bersandar pohon, tidak menjawab lagi. Gadis ini
sedang marah, tidak baik kalau dilayani, pikirnya. Dia yakin bahwa ucapan
sumoi-nya itu hanyalah terdorong oleh kemarahan. Kalau kelak sumoi-nya bertemu
dengan seorang pemuda yang baik dan mereka saling mencinta, tentu pendirian
sumoi-nya tentang pernikahan tidak seperti sekarang. Dia tidak mungkin dapat
membayangkan seorang dara seperti sumoi-nya, cantik jelita, keturunan raja,
pandai dan sukar dicari keduanya, sampai menjadi perawan tua atau bahkan tidak
menikah sama sekali. Ngeri dia memikirkan ini!
Melihat
sampai lama suheng-nya hanya duduk termenung, agaknya Swat Hong mulai menyesali
sikapnya. Air matanya sudah kering, sisanya dihapus dengan sapu-tangan dan dia
pindah duduk dekat suheng-nya. Mereka berhadapan, akan tetapi Sin Liong
pura-pura tidak memperhatikan ulah sumoi-nya.
"Suheng...."
"Hemmm...?"
"Kau
marah kepadaku?"
Mau tidak
mau Sin Liong tersenyum dan memandang wajah itu. Pada saat seperti itu, terasa
benar olehnya betapa dia amat sayang kepada Swat Hong, sayang dan kasihan.
"Kalau ada seorang yang marah di sini, agaknya engkaulah yang marah,
Sumoi, bukan aku."
"Suheng,
katakanlah. Mengapa engkau tidak mau menikah?"
Pertanyaan
ini merupakan serangan tiba-tiba yang membuat Sin Liong bingung bagaimana untuk
menjawabnya. Dia mengerutkan alisnya, mengosok-gosok dagunya sebelum menjawab,
kemudian terpaksa menjawab juga karena sepasang mata bintang yang memandang
tajam kepadanya itu sudah menanti jawaban dengan tidak sabar lagi. "Aku
tidak ingin menikah karena bagiku, pernikahan merupakan ikatan, sumoi. Aku
ingin bebas, bebas lahir batin dan betapa mungkin aku dapat bebas kalau aku
menikah, berkeluarga dan mempunyai anak isteri? Bagaimana aku dapat bebas kalau
aku memiliki harta benda, kedudukan dan lain ikatan duniawi lagi?"
Swat Hong
termangu-mangu, agaknya tertegun mendengar jawaban suheng-nya. Sampai lama dia
diam saja, kemudian tiba-tiba bertanya, "Suheng, apakah engkau ingin
menjadi pertapa?"
Sin Liong
tersenyum dan menggelengkan kepalanya. "Seorang pertapa berarti
mengikatkan diri dengan pertapaannya. Tidak, Sumoi. Aku ingin bebas dari
segala-galanya."
"Suheng
kita... kita... dahulu dijodohkan oleh Ayah, bukan?"
Sin Liong
terkejut. Tak disangkanya bahwa Swat Hong akan menyinggung masalah ini. Dia
hanya mengangguk sambil memandang wajah sumoi-nya penuh selidik. Apa lagi yang
akan dikemukaan sumoi-nya ini?
"Dahulu
kita sudah bicara di perahu itu dan memutuskan bahwa orang hanya dapat mengikat
jodoh jika saling mencinta. Suheng..., apakah... apakah engkau tidak mencinta
seorang wanita?"
Sin Liong
cepat menggelengkan kepalanya.
"Aku
tahu bahwa Soan Cu mencintamu, Suheng! Apakah engkau tidak mencintanya? Dia
cantik jelita dan pandai...."
"Tidak,
Sumoi, kalau yang kau maksudkan adalah cinta birahi."
"Akan
tetapi Suheng menolongnya, membela dan melindunginya. Bukankah itu membuktikan
bahwa Suheng mencintainya?"
"Memang
aku mencintanya seperti aku mencinta orang lain, akan tetapi bukanlah cinta
umum yang mendorong untuk menikah, kemudian setelah menikah berusaha memiliki
isterinya lahir batin sehingga timbullah siksaan batin dan kesengsaraan,
pertentangan, bahkan mungkin cemburu dan kebencian. Tidak, aku tidak mencinta
Soan Cu seperti yang kau maksudkan itu."
"Dan
bagaimana dengan Siangkoan Hui? Dia manis sekali dan dia terang-terangan
mengaku cintanya kepadamu, Suheng. Apakah engkau tidak ingin mengambilnya
sebagai isteri?"
"Hemmm,
sama sekali tidak. Apa lagi aku mendengar bahwa dia telah bertunangan dengan
orang lain."
"Jadi
tidak ada wanita yang kau pilih untuk menjadi isterimu, Suheng?"
Sin Liong
menggelengkan kepala, hatinya tidak enak membicarakan soal ini.
"Tidak
ada dara yang kau cintai?"
Sin Liong
menggeleng lagi.
"Termasuk
aku...?"
Sin Liong
terkejut. Sungguh bingung dia memikirkan sumoi-nya ini. Ketika dia mengangkat
muka memandang, dia melihat sumoi-nya juga sedang memandangnya dengan sikap
aneh. Mata sumoi-nya yang biasanya tajam lebar dan amat indahnya itu kini agak
terpejam, seperti mata mengantuk, sinar matanya sayu dan seperti orang mau
menangis, bibirnya tersenyum tipis akan tetapi seperti orang menahan rasa
nyeri, cuping hidungnya agak kembang kempis dan jelas tampak dadanya naik turun
diburu pernapasan.
"Sumoi,
kau tahu bahwa aku cinta kepadamu, aku mencintamu seperti seorang Sumoi,
seperti seorang adik, seperti seorang sahabat dan aku rela untuk mempertaruhkan
nyawa membela dan melindungimu. Aku merasa sebagai pengganti ayah-bundamu. Aku
akan merasa berbahagia kalau bisa melihatmu bahagia, Sumoi, karena itu,
percayalah bahwa aku tidak akan meninggalkanmu sebelum...."
"Sudahlah...
sudahlah...! Mari kita melanjutkan perjalanan, tugas kita masih belum
selesai!" Swat Hong sudah meloncat bangun dan berlari cepat mendaki puncak
yang menjulang tinggi itu.
"Sumoi,
perlahan dulu...! Hati-hatilah...!" Sin Liong melompat dan terpaksa harus
mengerahkan ilmunya untuk menyusul sumoi-nya yang lari seperti setan itu.
Karena
agaknya Swat Hong berlari secara ngawur saja, asal cepat dan naik ke puncak,
untuk melampiaskan kemendongkolan hatinya, maka mereka tersesat jalan, bukan
menuju ke Rawa Bangkai yang berada di lereng timur, melainkan memasuki hutan
lebat di lereng barat! Mereka tidak tahu bahwa ada banyak pasang mata mengintai
ketika mereka memasuki hutan itu dan tiba-tiba bermunculan banyak orang yang
mengeluarkan bentakan-bentakan nyaring.
Sin Liong
dan Swat Hong berdiri tegak memandang ke sekeliling dan Swat Hong membelalakkan
matanya saking herannya. Mereka berdua telah dikurung oleh puluhan orang yang
tubuhnya katai, pendek sekali. Yang tertinggi di antara mereka hanyalah
setinggi dada Swat Hong! Kalau saja tidak melihat muka orang-orang itu, tentu
Swat Hong mengira bahwa mereka berdua dikurung oleh serombongan anak nakal.
Akan tetapi wajah mereka yang penuh kumis pendek dan penuh keriput itu jelas
adalah wajah orang-orang yang sudah dewasa, bahkan wajah laki-laki berusia
kurang lebih empat puluh tahun!
Karena tubuh
mereka yang kerdil itu amat pendek, mereka kelihatan kuat dan kokoh. Wajah
mereka keruh dan marah, mengandung kekejaman dan di tangan mereka tampak
senjata yang bermacam-macam, senjata yang aneh-aneh tidak lumrah senjata
umumnya. Gerakan mereka ketika mengurung dan bergerak mengelilingi Swat Hong
juga amat aneh, kadang-kadang tumit mereka diangkat, kadang-kadang mereka
bergerak sambil berjongkok sehingga menjadi makin pendek seperti katak,
kadang-kadang berloncatan!
"Kalian
mau apa? Pergi...!!" Swat Hong membentak dan mengirim tendangan berantai
ke arah empat orang katai terdekat.
Akan tetapi
betapa herannya ketika melihat empat kali tendangannya yang beruntun itu
mengenai angin kosong. Dengan gerakan yang aneh dan cekatan sekali, empat orang
kerdil itu telah mampu mengelak, bahkan hampir saja ujung sepatu kiri Swat Hong
terbabat sebatang pedang yang bentuknya seperti gergaji!
"Hati-hati,
Sumoi. Mereka bukanlah lawan lemah," Sin Liong berbisik dan pemuda ini
sudah menyambar sebatang kayu dahan pohon, mematahkannya dan membuat sebatang
alat pemukul sebesar lengan. "Kita hadapi mereka dengan saling
melindungi," kembali Sin Liong berbisik.
Swat Hong
adalah seorang dara yang keras hati dan tidak mengenal artinya takut. Akan
tetapi melihat hasil tendangannya tadi, dia pun maklum bahwa rombongan orang
kerdil ini tidak boleh di buat main-main, maka dia cukup cerdik untuk mentaati
bisikan suheng-nya. Mereka lalu berdiri tegak, memasang kuda-kuda dengan
punggung saling membelakangi hampir bersentuhan.
Swat Hong
memegang pedang dengan tangan kanan yang diangkat, sedangkan tangan kiri dengan
jari-jari terbuka, miring di depan dada. Sin Liong pun memasang kuda-kuda yang
sama, hanya bedanya, dia memegang alat pemukulnya dengan tangan kiri. Keduanya
berdiri diam tak bergerak sama sekali, hanya mata mereka yang melirik ke
kanan-kiri mengikuti setiap gerak-gerik para pengurung mereka.
"Harap
Cuwi jangan salah paham," Sin Liong berseru nyaring, "Kami datang
bukan untuk memusuhi Cuwi sekalian atau siapa pun juga di tempat ini. Kami
datang karena tersesat hendak mencari Rawa Bangkai. Kalau Cuwi dapat memberi
tahu di mana adanya Rawa Bangkai, kami akan berterima kasih sekali."
Akan tetapi,
orang-orang kerdil itu tetap saja bergerak maju mengelilingi mereka sambil
berjingkrak dan membuat gerakan aneh-aneh. Dua orang muda-mudi itu tetap
berdiri tegak, sama sekali tidak bergerak, namun semua urat syaraf di tubuh
mereka menegang dalam persiapan.
Salah satu
di antara orang kerdil itu bertanya sambil terus mengelilingi mereka berdua,
"Mau apa kalian mencari Rawa Bangkai?"
Kini Swat
Hong yang sudah hilang sabarnya itu menjawab dengan bentakan, "Orang-orang
kerdil menjemukan! Kami mencari seorang yang bernama The Kwat Lin!"
Mata
orang-orang itu melotot, namun mereka masih tetap mengelilingi dua orang muda
itu. Orang yang memegang sebatang golok besar bercincin empat, agaknya pemimpin
mereka, yang mukanya berseri dan kumisnya kecil melintang, bertanya lagi,
"Mau apa mencari The Kwat Lin?"
"Mau
kubunuh mampus!" jawaban Swat Hong ini seperti merupakan aba-aba saja.
Serentak
terdengar mereka memekik aneh dan kedua orang itu terpaksa harus mengerahkan
sinkang untuk melindungi jantung karena pekik-pekik aneh itu merupakan penyerangan
luar biasa melalui suara yang disertai khikang. Tentu saja dua orang muda yang
memiliki kesaktian hebat dari Pulau Es itu tidak dapat begitu mudah dikalahkan
hanya dengan pekik-pekik itu.
Melihat
betapa dua orang muda itu sama sekali tidak terpengaruh, tiba-tiba si pemegang
golok bercincin berteriak. Mulailah tiga puluh enam orang kerdil itu menyerang
dengan cara aneh, yaitu mereka menyerang sambil lari, tampaknya sambil lalu
saja akan tetapi karena banyak senjata yang menyerang, tentu saja amat berbahaya.
Sin Liong
menggerakkan tongkat pendek melindungi diri, sedangkan Swat Hong juga menangkis
dengan pedangnya sambil mengerahkan tenaga sinkang-nya.
"Trang-trang-cringgg...!!"
bunyi senjata tajam bertemu.
Terdengar
pekik kaget dari beberapa orang kerdil karena senjata mereka yang tertangkis
oleh tongkat pendek dan pedang itu membalik, bahkan ada empat orang yang
terpaksa melepaskan senjata dari pegangan tangan mereka yang terasa tergetar
hebat dan panas itu.
Orang-orang
kerdil itu ternyata cerdik sekali. Pertemuan senjata satu kali itu saja cukup
membuat mereka maklum bahwa dua orang muda yang mereka keroyok itu memiliki
kekuatan sinkang yang hebat, jauh melebihi mereka. Maka mereka lalu mengurung
dan menyerang bertubi-tubi, bergantian tanpa mau mengadu senjata lagi. Setiap
senjata mereka ditangkis, mereka menarik kembali senjata itu dan sudah ada
temannya yang melanjutkan serangan dari arah lain.
"Suheng,
biar kubasmi setan-setan pendek ini!" Swat Hong menjadi tidak sabar dengan
cara suheng-nya yang hanya bertahan dan melindungi diri saja. Hal itu
dianggapnya terlalu mengalah dan terlalu ‘memberi hati’ kepada para pengeroyok
yang menjemukan hatinya itu.
Sebelum Sin
Liong menjawab, Swat Hong sudah meloncat ke depan mengeluarkan suara melengking
yang tinggi dan dahsyat. Pedangnya berkelebatan dan disusul dorongan tangan
kiri yang mengandung tenaga Inti Salju, maka terdengarlah pekik berturut-turut
dan robohlah lima orang kerdil, yang dua orang terkena sambaran pedang, yang
tiga lagi roboh oleh dorongan tangan kiri dan terjangan kaki Swat Hong!
Kacaulah
pengeroyokan itu karena dapat dibayangkan betapa kaget dan gentarnya hati para
orang kerdil ketika dalam segebrakan saja setelah gadis itu membalas, di pihak
mereka roboh lima orang! Belum lagi pemuda yang kelihatan lebih lihai itu
bergerak menyerang! Kalau begini keadaannya, tentu mereka akan roboh semua. Si
kerdil bergolok yang memimpin mereka segera mengeluarkan suitan aneh dan
gerombolan itu lalu melarikan diri sambil membawa lima orang teman mereka yang
terluka. Si pemegang golok berteriak, "Hai, dua orang muda sombong, kalau
memang gagah, ikutlah kami dan lawanlah majikan kami The Kwat Lin dan Kiam-mo
Cai-li!"
"Suruh
mereka keluar menemui kami!" Swat Hong membentak.
"Heh-heh,
engkau takut kami jebak, ya? Orang gagah macam apa kamu itu?" si pemegang
golok mengejek.
"Keparat,
siapa takut?" Swat Hong melompat dan mengejar.
"Sumoi...!"
Sin Liong memperingatkan, akan tetapi Swat Hong tentu saja tidak mau peduli
karena dia sudah marah sekali, apa lagi mendengar nama The Kwat Lin, dia sudah
bersemangat dan ingin segera berhadapan dengan musuh besarnya itu.
Melihat
sumoi-nya terus mengejar, terpaksa pula Sin Liong juga meloncat dan berlari
cepat mengejar. Orang-orang kerdil itu berlari terus mendekati lereng bukit,
keluar dari hutan memasuki daerah yang tandus berbatu-batu. Di tempat itu
terdapat banyak goa batu yang besar-besar, dan dari luar tampak menghitam
karena di sebelah dalam goa tidak memperoleh matahari sehingga amat gelap. Dari
belakang Sin Liong melihat betapa orang-orang kerdil itu bagaikan rombongan
semut saja dengan sigapnya berloncatan memasuki goa-goa di sekitar itu, akan
tetapi sebagian banyak memasuki sebuah goa terbesar dan yang berada di
tengah-tengah di antara semua goa.
"Sumoi,
berhenti dulu! Ini bukanlah sebuah rawa!" teriak pula Sin Liong, akan
tetapi terlambat karena Swat Hong dengan penuh semangat telah menerjang masuk
dan lenyap ke dalam goa besar.
"Ah,
Sumoi terlalu bersemangat sehingga sikapnya sembrono dan berbahaya," Sin
Liong mengomel dan terpaksa dia pun cepat mengejar memasuki goa besar itu. Goa
itu gelap sekali, gelap dan sunyi. "Sumoi...!!" dia berteriak
memanggil, akan tetapi hanya gema suaranya sendiri yang menjawab dari berbagai
jurusan!
Sin Liong
terkejut dan dapat menduga bahwa goa itu merupakan terowongan yang
bercabang-cabang. Dia maju terus dan benar saja dugaannya, goa yang gelap itu merupakan
lorong dan akhirnya tiba di depan terowongan yang bersimpang tiga!
"Sumoi...!!"
dia berteriak lagi, dan jauh dari depan terdengar jawaban gema suaranya sendiri
lima kali berturut-turut!
"Celaka,"
pikirnya. "Kita telah terjebak!"
Akan tetapi
dia harus dapat menemukan sumoi-nya yang dia khawatirkan terjeblos ke dalam
perangkap orang-orang kerdil. Sin Liong tanpa ragu-ragu memilih jalan ke kanan.
Setelah kini matanya terbiasa, ternyata terowongan itu tidaklah terlalu gelap
benar. Ada sinar matahari yang masuk dan memantul sampai ke dalam terowongan,
entah dari mana masuknya sinar itu. Dia berjalan agak cepat ke depan dan
terowongan yang dipilihnya itu ternyata berakhir pula dengan simpangan, kini
simpang empat!
"Aihhh...!"
dia mengeluh lalu mengerahkan khingkangnya berteriak memanggil,
"Sumoi...!" gema suaranya mengaung dan membuat panggilannya itu tidak
jelas lagi, mirip auman suara harimau marah!
Dia lari
memasuki terowongan sebelah kiri setelah meneliti ke bawah. Tidak terlihat
bekas tapak sepatu sumoi-nya saking banyaknya tapak kaki di situ, tapak kaki
kecil-kecil dari orang-orang kerdil. Terowongan ini panjang sekali, menurut
taksirannya tentu tidak kurang dari dua li jauhnya. Hatinya makin risau. Sudah
begini lama dan jauh dia mengejar dan mencari Swat Hong, akan tetapi bekas dan
jejaknya pun belum ditemukan.
"Sumoi...!!"
dia berteriak lagi kuat-kuat ketika lorong itu berakhir di sebuah ruangan bawah
tanah atau dalam gunung yang cukup lebar.
Sebagai
jawabannya, tiba-tiba terdengar suara berdesingan, dan dari depan, kanan dan
kiri menyambar sinar-sinar hitam. Pandang mata yang tajam dari Sin Liong dapat
melihat bahwa benda-benda bersinar itu adalah anak panah-anak panah yang
dilepas dari tempat rahasia. Cepat dia memutar tongkat pendek yang berubah
menjadi segulung sinar yang melindungi seluruh tubuhnya. Sampai beberapa lama
dia menangkis dan akhirnya penyerang gelap itu pun berhenti. Di ruang itu kini
penuh dengan anak panah hitam yang agaknya beracun. Dia bergidik. Bagaimana
nasib sumoi-nya di tempat berbahaya ini?
"Sumoi...!!"
Sambil
berteriak dia segera membalikkan tubuhnya karena ruangan itu merupakan jalan
buntu, lalu berlari kembali melalui terowongan yang panjangnya ada dua li itu,
sampai dia tiba di jalan simpang empat tadi. Kini dia melihat terowongan kedua
sambil berteriak-teriak memanggil nama sumoi-nya. "Swat Hong...! Han Swat
Hong...!!"
Panggilan
ini dia lakukan dengan pengerahan khikang sekuatnya sehingga dinding terowongan
itu menjadi tergetar karenanya. Namun tidak ada jawaban melainkan gema suaranya
sendiri yang melengking panjang. Sin Liong menjadi panik, matanya terbelalak
dan mukanya pucat. Baru sekali ini dia merasa sedemikian gelisahnya dan dia
menyesali diri sendiri mengapa dia tadi tidak melarang sumoi-nya memasuki goa-goa
rahasia penuh jebakan ini, kalau perlu melarang dengan kekerasan!
Dia berlari
terus dengan hati gelisah, akan tetapi dengan penuh kewaspadaan karena dia
maklum bahwa tempat itu merupakan tempat rahasia yang amat berbahaya, perpaduan
antara kekuasaan alam dan manusia. Tak mungkin tangan manusia membuat goa-goa
dan lorong-lorong batu dalam gunung ini, akan tetapi hasil ciptaan alam ini
dipergunakan oleh manusia, diperbaiki dan bahkan dipasang jebakan-jebakan yang
jahat!
"Haiiitttt!"
Sin Liong cepat meloncat ke atas, lalu meluncur kembali ke belakang sambil
berjungkir balik dan jatuh berdiri kembali di jalan yang telah dilalui.
Ia
terbelalak memandang ke depan. Kiranya secara tiba-tiba sekali, tentu
digerakkan oleh alat rahasia yang terinjak olehnya tadi ketika berlari, di
depannya telah terbuka lubang yang panjangnya ada tiga meter, terbuka secara
tiba-tiba. Kalau dia tadi tidak berhasil meloncat dan lari terus, tentu akan
terjeblos ke dalam jurang itu. Terdengar suara mendesis-desis dari dalam lubang
yang hitam gelap, akan tetapi desis itu dan bau amis membuat Sin Liong bergidik.
Tahulah dia bahwa di dalam lubang itu terdapat banyak ular berbisa! Jebakan
yang amat keji!
"Keparat...!"
desisnya dengan marah melihat kekejaman manusia kerdil itu yang tidak segan
mempergunakan cara yang amat menjijikkan untuk mengalahkan lawan.
Dia
melompati lubang itu dan melanjutkan larinya. Ketika dia berjalan satu li
lebih, lorong itu pun berhenti di jalan buntu yang merupakan sebuah ruangan
besar pula. Bahkan ruangan ini cuacanya cukup terang, entah memperoleh sinar
dari mana, agaknya ada lubang-lubang dari mana sinar matahari dapat masuk.
Tiba-tiba,
seolah-olah muncul dari dalam dinding batu, tampak seorang kerdil yang luar
biasa. Bentuknya pendek tegap seperti orang-orang kerdil yang tadi, akan tetapi
wajahnya menandakan bahwa dia sudah tua dan sepasang matanya seperti bintang
pagi, tajam bersinar-sinar. Kumis dan jenggotnya panjang, sedangkan bentuk
pakaiannya lebih mewah dari yang lain. Kakek kerdil ini memegang sebatang
pedang yang bersinar-sinar tanda bahwa pedang itu adalah sebuah benda pusaka
yang ampuh.
Selagi Sin
Liong memandang penuh perhatian dan maklum bahwa tentu di dinding kiri ini
terdapat pintu rahasianya yang tadi terbuka cepat untuk dilewati kakek ini,
tiba-tiba terdengar suara dari sebelah kiri dan kembali secara tiba-tiba muncul
seorang kerdil lain yang tubuhnya amat tegap dan besar membayangkan kekuatan.
Juga orang kerdil ke dua ini pakaiannya mewah, sikapnya gagah dan mukanya penuh
dengan brewok tebal menghitam.
Kedua orang
ini dari tubuh atas sampai ke pinggang ukurannya seperti manusia biasa, akan
tetapi dari pinggang ke bawah amatlah pendeknya sehingga kelihatan aneh dan
lucu. Orang kedua yang brewok dan mukanya membayangkan kekerasan dan kegagahan
ini memegang sebatang toya yang lebih panjang dari-pada tubuhnya sendiri. Juga
toya ini bersinar-sinar tanda sebatang senjata yang baik.
Sin Liong
yang selalu bersikap sabar dan tidak menghendaki permusuhan, biar pun dilanda
kekhawatiran, masih dapat menekan perasaannya dan menjura dengan penuh hormat,
"Harap Jiwi-lo-cianpwe sudi memaafkan kalau saya lancang tanpa diundang
memasuki daerah kekuasaan Jiwi ini. Akan tetapi saya kehilangan Sumoi di sini
dan kalau Jiwi sudi berlaku demikian baik hati untuk mengembalikan Sumoi kepada
saya, saya berjanji akan meninggalkan tempat ini bersama Sumoi dan tidak akan
berani mengganggu lagi."
Dua orang
kakek itu saling pandang. Mereka kemudian tertawa melihat betapa Sin Liong
mengamat-amati dinding yang kini telah tertutup kembali dan sama sekali tidak
ada tanda-tanda bahwa di situ ada pintu rahasianya. Kakek berjenggot yang
rambutnya sudah mulai ada ubannya itu berkata, "Orang muda, kalian
memusuhi The-lihiap dan bilang tidak ada permusuhan dengan kami? Ha-ha, orang
muda, siapakah engkau? Dan siapa pula Sumoi-mu itu?"
"Namaku
Kwa Sin Liong dan... sesungguhnya kami tidak mempunyai permusuhan dengan Cuwi
di tempat ini."
"Kalau
begitu mengapa mencari The Kwat Lin Lihiap?"
"Kami
mempunyai urusan pribadi dengan dia, hanya urusan yang sama sekali tidak
menyangkut diri orang lain."
Kembali dua
orang kakek itu tertawa. "Ha-ha-ha, aku Ji Bhong dan semua anak buahku,
kami bangsa kerdil memang tidak ada urusan denganmu, akan tetapi sekali kalian
memusuhi The-lihiap, berarti kalian adalah musuh kami juga. Menyerahlah, orang
muda, kalau kau tidak ingin mengalami keksengsaraan seperti Sumoi-mu."
Sin Liong
terkejut sekali, bukan hanya karena mendengar bahwa mereka ini ternyata adalah
kaki tangan The Kwat Lin, terutama sekali mendengar akan sumoi-nya. "Di
mana Sumoi? Apa yang kalian lakukan dengan dia?!" bentaknya.
"Ha-ha-ha,
menyerahlah dan baru kita bicara!" Ji Bhong, kakek yang menjadi ketua
bangsa kerdil itu menjawab.
Tentu saja
Sin Liong menjadi gelisah sekali. Dia lalu menerjang maju dengan tongkat
pendeknya.
"Sing...
siuuut... trang-trang...!!" Dua orang kakek itu sudah menggerakkan pedang dan
toya, cepat dan kuat sekali gerakan mereka.
Namun kini
kedua orang itu berhadapan dengan Kwa Sin Liong, murid utama Raja Pulau Es yang
telah mewarisi ilmu yang hebat-hebat. Dalam keadaan penuh kekhawatiran itu, Sin
Liong sudah menggerakkan tongkat pendeknya sedemikian rupa sehingga ketika
menangkis, dua orang kakek itu berteriak keras karena merasa betapa ada hawa
dingin menyusup ke dalam lengan mereka melalui senjata, membuat lengan mereka
seperti hampir membeku! Namun keduanya memang lihai. Cepat mereka memindahkan
senjata di tangan kiri dan mengirim serangan bertubi-tubi.
Biar pun
berada dalam keadaan gelisah dan marah, Sin Liong masih merasa tidak tega untuk
membunuh orang. Maka dia mengeluarkan suara melengking keras, tongkatnya
dibuang ke bawah dan dengan dua tangan kosong dia memapaki pedang dan toya yang
menyambarnya dari kanan-kiri, lalu dengan berani dia menangkap dua senjata itu
dengan kedua tangan kosong!
Dua orang
kakek itu terbelalak. Kalau orang menangkap toya dengan tangan kosong hal ini
masih biasa saja. Akan tetapi menangkap pedang pusaka dengan tangan telanjang?
Benar-benar berani mati karena tangan yang bagaimana kuat pun tentu akan
tersayat! Ji Bhong berteriak dan mengerahkan tenaga membetot kembali pedangnya
untuk menyayat tangan lawan yang menggenggamnya. Akan tetapi betapa pun ia
mengerahkan tenaga, pedang itu tetap tidak bergerak sedikit pun dari genggaman
Sin Liong. Demikian pula kakek brewok yang membetot-betot toyanya, percuma
saja.
Sin Liong
kembali memekik keras, kedua tangannya bergerak sedikit dan... tubuh kedua
orang kakek itu terlempar membentur dinding kanan-kiri! Hawa pukulan yang
dingin dan kuat sekali keluar melalui kedua senjata itu, lalu menyerang melalui
lengan mereka masing-masing dan memukul dada, membuat dada terasa sakit dan
napas mereka sesak. Keduanya bersandar di dinding, terengah-engah dan
terbelalak memandang pemuda luar biasa itu. Tiba-tiba mereka lenyap melalui
pintu kecil yang terbuka secara aneh.
"Kalian
hendak lari ke mana?" Sin Liong meloncat dan mengejar ke kiri, namun
dinding itu sudah tertutup kembali dan kakek berjenggot panjang dan kakek
brewok itu telah lenyap dari dinding kanan-kiri.
Sin Liong
menancapkan pedang di atas lantai, lalu menggunakan toya rampasannya
menghantami dinding kiri, namun hanya batu permukaan saja yang remuk, sedangkan
dinding tebal itu tetap utuh. Akhirnya Sin Liong membuang toyanya, menghapus
peluhnya dan mengerutkan alis. Tempat ini amat berbahaya dan sukar dilalui,
bagaimana dia akan dapat menolong Swat Hong?
Teringat
akan sumoi-nya ini, dia menjadi panik lagi. Andai kata sumoi-nya berada di
sampingnya saat itu, tentu pemuda ini tidak menjadi bingung dan akan tetap
tenang saja. Akan tetapi membayangkan betapa sumoi-nya terancam bahaya,
benar-benar menggelisahkan hatinya. Dia merasa bertanggung-jawab akan
keselamatan sumoi-nya, dan dia merasa seolah-olah mendengar suara ayah-bunda
dara itu mencelanya, mengapa dia sampai membiarkan dara itu terancam bahaya.
Sin Liong
menghampiri dinding kiri, lalu memeriksa, tangannya meraba-raba. Lebih satu jam
dia menyelidiki, akhirnya secara tidak sengaja tangannya meraba sebuah di
antara puluhan batu menonjol di dinding itu! Cepat dia menyambar pedang
rampasannya dan sekali bergerak, tubuhnya sudah menyelinap melalui lubang
rahasia itu dan... dia bingung lagi karena kiranya di sebelah sana dinding batu
itu pun hanya merupakan sebuah lorong lain lagi! Dan tidak tampak jejak kekek
yang menjadi ketua bangsa kerdil tadi.
Kembali dia
berjalan dengan ngawur, tidak tahu akan dibawa ke mana oleh lorong yang
dilaluinya ini. Entah berapa banyak lorong yang dilaluinya dan kini dia bahkan
tidak tahu lagi mana jalan ke luar. Dia pun tidak ingin keluar sebelum dapat
menolong Swat Hong! Dan cuaca makin gelap, dia pun teringat bahwa mungkin
sekarang di ‘dunia luar’ sudah mulai senja. Bagaimana pun juga, dia tidak akan
keluar sebelum menemukan Swat Hong.
Sin Liong
berjalan terus, ke mana saja asal bergerak. Dia mulai memperhatikan lorong yang
dilaluinya agar jangan melalui sebuah lorong untuk kedua kalinya. Keadaan makin
gelap dan akhirnya dia hanya dapat melangkah maju dengan meraba-raba. Tiba-tiba
tampak sinar terang di depan, menembus kegelapan yang mengerikan itu. Sin Liong
melangkah maju menuju ke sinar terang tadi. Akan tetapi tiba-tiba dia menahan
langkahnya. Tidak salah lagi, sinar terang itu tentulah api yang sengaja dibuat
orang kerdil untuk memancing dan menjebaknya. Betapa pun juga, dia tidak takut!
Dengan
hati-hati dia bergerak lagi melangkah maju menghampiri sinar yang ternyata kini
tampak olehnya adalah sebatang obor yang gagangnya tertancap di dinding. Dan
anehnya, kakinya yang melangkah hati-hati tidak menemui jebakan apa-apa sampai
dia tiba di tempat obor itu. Apa artinya ini? Mengapa mereka memberi sebatang
obor itu kepadaku? Sin Liong tidak peduli, lalu mengambil obor itu dan
diam-diam berterima kasih sekali karena memang keadaan cuaca yang amat gelap
itu membuat dia butuh sekali akan sebatang obor. Kini dia dapat melanjutkan
usahanya mencari Swat Hong.
Selagi dia
berjalan maju dengan hati-hati, dia mendengar suara mendengung dari belakang.
Sin Liong cepat menoleh akan tetapi tidak melihat apa-apa. Sinar obor itu hanya
mendatangkan cahaya dalam jarak terbatas sekali dan di sebelah sana kelihatan
hitam pekat. Akan tetapi suara itu makin lama makin keras dan akhirnya
tampaklah meluncur masuk ke dalam cahaya obor benda-benda hitam kecil yang
mengeluarkan suara berdengung-dengung. Lebah! Banyak sekali lebah hitam yang
datang berterbangan, seakan berlomba untuk mencapai sinar terang itu. Sinar api
obor itulah yang menarik lebah-lebah itu.
Sin Liong
sekarang maklum mengapa mereka memberikan sebatang obor. Tentu untuk menarik
lebah-lebah itu, dan kalau lebah-lebah itu cukup berharga untuk dipancing
mereka, tentu merupakan lebah berbahaya, lebah yang sengatannya mengandung bisa
yang mematikan. Dia sudah tahu akan lebah-lebah beracun seperti ini. Sin Liong
cepat mengambil sehelai sapu-tangan, menyelipkan pedang di pinggangnya, dan
menggunakan sapu-tangan yang diputar-putar untuk mengusir lebah-lebah itu.
Namun, tertarik oleh sinar api obor di antara kegelapan yang luar biasa,
lebah-lebah itu seperti gila dan sama sekali tidak takut akan usiran
menggunakan sapu-tangan ini. Biar pun mereka tidak dapat menyerang Sin Liong
karena terhalang sapu-tangan, namun mereka tetap beterbangan di sekeliling Sin
Liong, menanti saat baik untuk menyerang!
“Celaka,”
pikir Sin Liong.
Tidak
mungkin dia harus berdiri di situ semalaman hanya untuk berkelahi melawan
lebah-lebah ini. Apa gunanya ada obor kalau hanya mendatangkan kerepotan ini?
Sambil tetap melindungi tubuhnya dengan putaran sapu-tangan, Sin Liong
menancapkan gagang obor pada celah-celah batu dinding, lalu pergi menjauh.
Ternyata lebah-lebah itu tidak lagi mepedulikannya setelah dia tidak memegang
obor. Kini binatang-binatang kecil itu beterbangan menyambar ke arah obor.
Sin Liong
duduk bersandar dinding, memandang dari jauh. Dilihatnya banyak lebah yang mati
karena menyerbu api, makin lama makin banyak. Hatinya tidak tega. Binatang-binatang
itu tidak berdosa. Entah mengapa mereka dapat dibikin marah dan menyerbu api
seperti gila itu. Dia harus menghentikan bunuh diri massal yang mengerikan itu.
Diremasnya batu-batu dari dinding dan ditimpuknya ke arah obor sambil
berteriak-teriak, "Aduh...! Aduh, mati aku...!"
Ini adalah
siasatnya yang timbul sebelum memadamkan obor. Mereka itu sengaja memberi obor
untuk memancing lebah-lebah. Baiklah, dia akan pura-pura menjadi korban
sengatan lebah beracun. Kiranya hanya dengan cara ini dia akan dapat memancing
orang-orang kerdil itu. Kalau mereka menggunakan siasat memancing dan menjebak,
biarlah demi keselamatan Swat Hong dia pun mempergunakan siasat itu!
Semalaman
Sin Liong berada di dalam gelap. Tidak ada orang datang mengintai atau menjenguknya.
Ketika inilah dia pergunakan untuk beristirahat, biar pun sama sekali dia tidak
dapat tidur. Mana mungkin dia tidur kalau hatinya gelisah memikirkan Swat Hong
seperti itu? Betapa pun juga, dia dapat melepaskan lelah dan memulihkan tenaga,
dan terbayanglah percakapan dengan Swat Hong di dalam hutan.
Dia menghela
napas panjang. Biar pun di depan gadis itu dia berpura-pura tidak mengerti,
sesungguhnya dia tahu belaka bahwa dara yang tadinya angkuh dan keras hati itu,
kini agaknya mulai menyatakan cinta kasihnya kepadanya. Dia dapat menduga pula
bahwa cinta kasih di hati gadis itu bersemi karena memperoleh pupuk cemburu,
mencemburukan dia dengan Soan Cu dan Siangkoan Hui! Hal ini membuat hatinya
terasa seperti ditusuk, perih dan duka. Tentu saja dia tidak mungkin mau
menyakit hati Swat Hong dengan menyatakan bahwa dia tidak mencinta gadis itu,
tidak mencinta seperti harapan gadis itu. Tidak mungkin dia mau melibatkan diri
ke dalam cinta kasih seperti itu, yang telah begitu banyak contohnya hanya mendatangkan
kesengsaraan belaka.
Lihat saja
kehidupan ayah Swat Hong, Raja Han Ti Ong yang menjadi rusak dan hancur lebur
karena Raja yang bijaksana dan perkasa itu takluk kepada cinta kasih birahi
seperti itu. Lihat saja penghidupan ayah Soan Cu, yang menjadi gila karena
kematian isterinya yang tercinta, juga merupakan cinta memiliki yang hanya akan
berakhir dengan kesengsaraan. Masih banyak lagi contoh-contoh.
Cinta kasih
yang terdorong oleh birahi dan kesengsaran ini pasti akan disusul dengan
keinginan memiliki, menguasai dan mengikat. Pengikatan diri inilah yang akan
mencelakakan, yang akan menimbulkan duka karena kehilangan, perpisahan atau
kekecewaan karena cemburu dan lain-lain. Pengikatan diri kepada sesuatu memang
menimbulkan kenikmatan duniawi, menimbulkan kesenangan lahir yang hanya
sementara saja sifatnya, kemudian diakhiri dengan bermacam duka dan
kesengsaraan.
Yang paling
menimbulkan sesal dalam hati Sin Liong adalah kenyataan bahwa penolakannya
terhadap cinta kasih gadis-gadis itu tentu akan mendatangkan kekecewaan kepada
mereka. Namun dia pun yakin bahwa kekecewaan itu pun hanya akan sementara saja
sifatnya. Kalau mereka, termasuk Swat Hong, sudah tertarik kepada seorang
laki-laki lain, kekecewaan itu pun akan lenyap tanpa bekas lagi.
Cuaca tidak
segelap tadi, tanda bahwa agaknya malam telah terganti pagi. Untuk melanjukan
siasatnya, Sin Liong lalu merebahkan diri di bawah obor yang telah padam, rebah
di antara bangkai-bangkai lebah yang hangus. Tak lama kemudian jantungnya
berdebar karena telinganya yang menempel lantai mendengar suara-suara gerakan
kaki. Ada orang-orang datang menghampirinya!
Tepat
seperti yang diharapkannya, muncullah dua orang kakek itu bersama enam orang
kerdil lain. Mereka segera menghampiri dan merubungnya, bahkan ada tangan yang
menyentuh dada dan pergelangan tangannya. Cepat Sin Liong menggunakan ilmunya,
menghentikan detak jantung dan pernapasannya.
"Dia
telah mati...!!" terdengar suara di atasnya. Dia tidak melihat siapa yang
bicara karena dia rebah miring.
"Kita
laporkan kepada Lihiap!" terdengar suara kekek berjenggot panjang.
Pada saat
itu pula Sin Liong membalikkan tubuhnya. Tangannya menyambar dan dia telah
menangkap lengan seorang kerdil, lalu menotoknya roboh. Tujuh orang kerdil yang
lain terkejut sekali, berloncatan dan lenyap di balik dinding melalui
pintu-pintu rahasia, meninggalkan si kerdil yang telah roboh tertotok. Memang
Sin Liong hanya membutuhkan seorang saja.
Sin Liong
lalu mengangkat bangun orang itu, membebaskan totokannya dan menghardik,
"Hayo tunjukkan aku di mana teman wanitaku itu ditawan!"
Orang kerdil
itu menjadi pucat dan menggeleng-geleng kepalanya. "Aku... aku tidak
tahu...."
"Bohong!
Hayo katakan, aku hanya ingin menolong dan membebaskannya. Kalau kau mengaku
terus terang, aku akan membebaskanmu."
"Aku...
aku tidak berani...," kata orang itu kemudian, suaranya mengandung rasa
takut dan dia menoleh ke kanan-kiri seolah-olah takut kata-katanya terdengar
oleh dinding di kanan-kirinya.
"Hemm,
aku tahu. Kalau kau mengaku, engkau takut dihukum oleh atasanmu. Akan tetapi
kau menunjukkan tempat itu karena kupaksa dan mereka tentu tahu akan hal
itu."
"Aku...
aku takut... takut disiksa...," orang itu berkata setengah menangis.
Sin Liong
menjadi gemas. Orang yang pengecut ini memaksa dia harus mengeraskan hati. Apa
boleh buat, demi keselamatan Swat Hong! Dia lalu menggunakan jarinya memijit
tengkuk orang itu, memijit jalan darah sambil berkata, "Kau hanya takut
kepada mereka dan tidak takut kepadaku? Nah, kau tunjukan atau kubiarkan kau tersiksa
seperti ini selama hidupmu!"
Orang itu
menyeringai, makin lama makin lebar. Tubuhnya mengeliat-geliat menahan rasa
nyeri yang menyerang tubuhnya. Akan tetapi, rasa nyeri itu tidak dapat
ditahannya lagi dan dia roboh terguling, menggeliat dan berkelojotan seperti
orang sekarat, mulutnya merintih, "Bebaskan aku... atau bunuh aku
saja...."
Sin Liong
merasa kasihan sekali, akan tetapi dia mengeraskan hatinya. "Aku tidak
akan membunuhmu dan juga tidak akan menyembuhkanmu. Kalau kau tidak mau
menunjukkan tempat sahabatku itu, selama hidup kau akan menderita seperti
ini!"
"Tolong...
aduhhh.... Baik, kutunjukkan tempatnya... tapi... tapi bebaskan dulu
aku...."
Girang bukan
main rasa hati Sin Liong. Dengan beberapa totokan dia membebaskan orang itu
yang segera menggeliat dan memijit-mijit dadanya, kemudian memandang kepada Sin
Liong penuh rasa takut dan ngeri.
"Aku
akan menunjukkan tempatnya, akan tetapi... kau harus tahu bahwa kalau gadis itu
sudah mati, maka bukanlah aku pembunuhnya."
Tentu saja
kata-kata ini membuat Sin Liong terkejut bukan main. Dia tidak mau banyak
bicara lagi, melainkan berkata dengan suara terengah, "Lekas...
tunjukkan...!" dan dia menyambar pergelangan tangan orang itu agar jangan
sampai melarikan diri melalui tempat-tempat rahasia.
Orang kerdil
itu mengajak Sin Liong berlari melalui lorong-lorong. Ternyata lorong-lorong
itu amat ruwet bangunannya, berbelit-belit dan banyak sekali persimpangannya.
“Pantas saja
aku tidak berhasil,” pikir Sin Liong dengan rasa kagum.
Lorong
rahasia ini memang amat hebat. Akhirnya setelah melalui jarak yang kurang lebih
lima li jauhnya, tibalah mereka di dalam lorong yang tidak rata. Dindingnya
lebar sempit, di lantainya banyak terdapat gundukan-gundukan batu pedang, serta
dari atas bergantungan pula batu-batu yang runcing. Mereka berada di dalam
goa-goa besar yang berbeda sekali dengan goa-goa dari mana Sin Liong dan Swat
Hong masuk.
"Di
mana tempatnya?" Sin Liong bertanya, suaranya gemetar karena dia merasa
tegang sekali.
Benarkah bahwa
Swat Hong terancam nyawanya dan mungkin sekali sudah tewas? Hampir dia memekik
untuk melampiaskan kekhawatirannya. Tidak! Tidak mungkin! Tidak boleh!
"Di
mana dia? Hayo katakan!" dia mengguncang tangan orang kerdil itu.
Tubuh orang
itu menggigil. "Dia... di dalam goa sana itu.... Lihat, di sana ada lubang
besar, bukan?"
"Hayo
kita ke sana!"
"Tidak...
tidak, aku takut...! Mereka menjebaknya di sana. Tempat itu adalah sarang
laba-laba raksasa yang mengerikan. Kurasa dia sudah tewas...."
Sin Liong
tidak peduli dan menyeret orang itu menuju ke lubang besar yang berada di
sebelah kiri lorong, melalui batu-batu menonjol yang ujungnya seruncing pedang.
Setelah tiba di situ, tiba-tiba dia mendengar suara lirih.
"Sumoi...!"
Sin Liong berteriak.
"Suheng...
aihhh... Suheng...!" terdengar suara tangis. Swat Hong yang menangis.
Masih hidup!
Hampir Sin Liong bersorak saking girangnya dan dia mendorong orang kerdil itu
sampai terguling-guling lima meter jauhnya. Orang kerdil itu merangkak dan
pergi akan tetapi Sin Liong tidak mempedulikannya lagi. Dia sudah memasuki goa
dan terus ke dalam, membelok ke kiri, ke arah suara Swat Hong. Tiba-tiba dia
terbelalak, otomatis dia memasang kuda-kuda dengan pedang diangkat
tinggi-tinggi dan tangan kiri siap di depan dada.
Matanya yang
terbelalak memandang tajam kepada seekor laba-laba raksasa sebesar kerbau,
dengan sepasang anggota bulat seperti mata melotot kepadanya. Di belakang
laba-laba itu tampak sarang laba-laba yang bukan main besarnya. Benang sarang
laba-laba itu sebesar jari-jari tangan, nampak kuat sekali dan di tengah-tengah
sarang itu, tubuh Swat Hong menempel dengan kedua lengan terpentang, juga
kakinya agak terpentang dan bagian tubuh dara itu agaknya melekat kepada sarang
itu, tak dapat dilepaskan lagi.
Gadis itu
menangis ketika melihatnya dan hanya dapat berkata, "Suheng..., cepat kau
bunuh binatang menjijikan itu...!"
Sin Liong
mencium bau harum yang aneh dan keras, dan maklumlah dia bahwa tempat itu penuh
dengan hawa beracun! Laba-laba ini selain besar sekali juga beracun. Heran dia
mengapa Swat Hong masih dapat hidup. Akan tetapi dia tidak mempedulikan atau
memusingkan hal itu, yang penting adalah menolong sumoi-nya.
"Tenanglah,
Sumoi. Aku segera menolongmu," katanya dengan suara gemetar saking girang
dan terharunya.
Laba-laba
itu memandang buas. Begitu melihat Sin Liong, dia merangkak maju dengan cepat
sekali dan tiba-tiba, berbarengan dengan gerakan kaki depan dan mulutnya, sinar
putih menyambar ke arah Sin Liong. Itulah benang besar yang mengandung daya
lekat luar biasa sekali. Sin Liong menggerakkan pedang rampasannya dan tali
putih itu terbabat putus. Kemudian dia melangkah maju, mengelak dari sambaran
tali ke dua, lalu dari samping dia menggerakkan kaki menendang.
"Desss...!!"
Betapa besar pun ukuran tubuh binatang itu, namun dia terlempar setelah terkena
tendangan kaki Sin Liong, terbanting pada dinding batu, terhuyung-huyung lalu
menghamburkan banyak benang putih ke arah Sin Liong.
Pemuda
perkasa ini meloncat untuk mengelak dan ketika dia memandang lagi, ternyata
laba-laba itu telah lari menghilang melalui sebuah lubang di celah-celah
dinding batu. Cepat Sin Liong menghampiri Swat Hong, berusaha menurunkan tubuh
gadis itu, akan tetapi ternyata sukar sekali karena sarang itu mengandung daya
lekat yang dapat merobek pakaian Swat Hong. Sin Liong menggerakkan pedangnya
karena dia melihat bahwa sarang itu tergantung pada benang-benang pokok
terbesar yang malang melintang dan melekat pada tanah dan pada langit-langit
guha. Pedangnya menyambar-nyambar dan runtuhlah sarang itu, membawa tubuh Swat
Hong terjatuh ke bawah.
Gadis itu
telah lemas sekali, dan tentu akan terbanting kalau saja tidak disambar oleh
Sin Liong. Pemuda itu membersihkan benang-benang laba-laba itu dan memondong
tubuh sumoi-nya yang lemas menjauhi tempat itu. Ketika dia tiba di bagian yang
lebar dari lorong itu, dia menurunkan sumoi-nya yang duduk bersandar batu.
"Bagaimana
keadaanmu, Sumoi?" tanyanya sambil memeriksa nadi lengan sumoi-nya. Detak
jantungnya lemah, mukanya pucat dan tenaganya habis, akan tetapi yang
mengkhawatirkan adalah kenyataan bahwa sumoi-nya itu telah keracunan!
"Untung...
untung kau datang, Suheng... Kalau tidak... aku sudah hampir tidak
kuat...." Gadis itu tiba-tiba merangkul dan menangis dipundak Sin Liong.
Pemuda itu
membiarkan saja Swat Hong menangis. Tak lama kemudian dia berkata,
"Laba-laba itu beracun, kau terkena hawa beracun. Akan tetapi, berapa lama
kau tertawan seperti itu?"
"Sejak
malam tadi.... ahhhh, mengerikan sekali, Suheng...."
"Sudahlah,
mari aku membantu engkau mengusir hawa beracun yang mengeram di tubuhmu."
"Nanti
dulu aku harus menceritakan dulu kepadamu...." Swat Hong berkata
terengah-engah. "Ceritaku akan dapat mengusir kengerian yang masih
mencengkeram hatiku, Suheng."
Sin Liong
mengangguk. Menurut hasil penyelidikan tadi, biar pun terserang hawa beracun
namun keadaan Swat Hong tidak berbahaya, dan malah ketegangan dan pukulan batin
yang dideritanya selama satu malam itu lebih berbahaya. Memang menceritakan
kengerian yang mencengkeram merupakan obat mujarab pula, seolah-olah kengerian
yang ditahan-tahan itu memperoleh jalan ke luar dan dapat meringankan hati yang
tertekan.
"Aku
mengejar mereka dan mereka itu lenyap. Aku penasaran dan mencari terus, selalu
tampak berkelebatnya bayangan mereka sehingga pengejaranku terarah. Aku sama
sekali tidak mengira bahwa mereka memang memancingku ke tempat ini. Ketika aku
melihat bahwa cuaca mulai gelap, aku melihat pula sinar api di depan dan terus
aku mengejarnya. Kemudian, di antara sinar obor aku melihat beberapa orang
kerdil lari memasuki goa ini. Aku cepat mengejar dan melihat bayangan mereka
dekat sekali. Kupikir asal dapat menangkap seorang di antara mereka dan
memaksanya menjadi petunjuk jalan, tentu beres. Maka melihat bayangan mereka
begitu dekat di dalam goa ini, aku menerjang dan melompat maju, bermaksud
menangkap seorang di antara mereka."
Sin Liong
mendengarkan penuh perhatian. Diam-diam dia membandingkan pengalaman sumoi-nya
dengan pengalamannya sendiri. Ternyata jalan pikiran mereka untuk menawan
seorang lawan adalah sama, hanya sayangnya, sumoi-nya tidak tahu bahwa dia
sedang dipancing memasuki jebakan yang amat mengerikan.
"Ketika
aku meloncat itu, aku tidak tahu bahwa di depanku terdapat sarang laba-laba
itu. Tubuhku tertangkap, aku meronta-ronta namun laba-laba itu terus menambah
tali-tali mengerikan itu yang mempunyai daya melekat luar biasa. Aku meronta
terus sampai kehabisan napas dan melihat laba-laba itu begitu dekat,
seolah-olah hendak menjilatku dan hendak menggigit. Aku pingsan entah beberapa
kali."
"Hemm,
engkau masih untung dapat terhindar, Sumoi. Sungguh pun aku merasa heran
sekali...."
"Dapat
kau bayangkan betapa ngeriku, Suheng. Ketika aku siuman, tak jauh dari situ
terdapat obor yang mendatangkan cahaya remang-remang amat mengerikan, dan aku
terjerat sama sekali tak mampu bergerak, dan laba-laba itu... mendekati aku,
lalu mundur kembali, mendekati lagi seperti ragu-ragu.... Ihh, melihat kaki
yang berbulu itu, meraba-raba....." Swat Hong kembali menutupi mukanya dan
terisak-isak.
"Memang
hebat sekali pengalamanmu, Sumoi. Akan tetapi, yang penting engkau dapat
terhindar. Hanya satu hal aku tidak mengerti, mengapa selama itu laba-laba
raksasa tadi tidak menggigitmu? Padahal dia amat berbisa."
"Berkat
inilah," Swat Hong mengeluarkan sebuah batu sebesar kepalanya, batu yang
berkilauan mengeluarkan cahaya hijau.
"Ah
kiranya engkau membawa bekal Batu Mustika Hijau? Pantas! Tentu saja binatang
itu tidak berani menggigitmu, bahkan setiap kali mendekat menjadi ketakutan dan
mundur kembali. Untung sekali, Sumoi. Sekarang, marilah kubantu engkau mengusir
hawa beracun dari tubuhmu."
"Baik,
Suheng... aku.... ahhhh...." Tiba-tiba napasnya menjadi sesak dan Swat
Hong terguling pingsan!
Sin Liong
cepat menyambar tubuh sumoi-nya dan memeriksanya. Dia merasa heran sekali
karena begitu memeriksa, dia mendapat kenyataan bahwa keadaan sumoi-nya tidak
seringan yang diduganya semula. Hal ini adalah karena tadi sumoi-nya meletakkan
Batu Mustika Hijau itu di pinggangnya, maka ketika pada pemeriksaan pertama,
hawa beracun agak tertolak oleh mustika itu sehingga kelihatannya hanya ringan.
Sekarang, setelah batu itu dikeluarkan, daya tolak racun dari batu itu
meninggalkan tubuh Swat Hong dan hawa beracun yang amat jahat itu menyerang
sepenuhnya membuat Swat Hong roboh pingsan.
Sin Liong
tidak ragu-ragu lagi, cepat dia memijat tengkuk dan mengurut kedua urat besar
di pundak. Swat Hong mengeluh lirih dan membuka matanya.
"Sumoi,
kau ternyata terluka cukup hebat di sebelah dalam tubuhmu oleh hawa beracun
itu. Lekas kau buka baju atas, aku harus mengerahkan sinkang, menempelkan
tangan di punggungmu, langsung tidak tertutup pakaian," suara Sin Liong
sungguh-sungguh.
Swat Hong
juga mengerti akan keadaannya yang berbahaya. Dia merasa penting dan dadanya
sesak sekali, maka tanpa membuang waktu lagi dia lalu membuka bajunya, duduk
membelakangi Sin Liong dan membiarkan punggungnya terbuka sama sekali.
"Aughhh... ahhh, panas sekali... Ah, Suheng, badanku seperti dibakar
rasanya...." Swat Hong merintih sambil memegangi bajunya dan mencegah baju
itu merosot.
"Tenanglah,
Sumoi. Biar kumulai, kau menerima sajalah hawa sinkang dariku."
Sambil duduk
bersila di belakang Swat Hong, Sin Liong lalu menyalurkan tenaga sinkang yang
dingin, menempelkan telapak tangan pada pungung yang berkulit putih mulus,
halus dan pada saat itu panas sekali. Setelah telapak tangannya menempel, baru
Sin Liong tahu betapa hawa beracun itu mendatangkan hawa panas yang makin lama
makin hebat. Ahh, dia terlalu semberono, mengira luka sumoi-nya tadi ringan
saja sehingga tidak segera mengobati sumoi-nya.
Swat Hong
merasa tersiksa, mulutnya terbuka dan dia merintih-rintih. Hawa panas luar
biasa yang menyerang dari dalam membuatnya berpeluh, akan tetapi kini terasa
olehnya betapa dari telapak tangan di punggungnya itu masuk perlahan-lahan hawa
dingin, sedikit demi sedikit. Dia ingin membatu Sin Liong akan tetapi
diurungkannya niat itu. Biarlah, dia ingin melihat sampai di mana pemuda itu
akan membelanya.
Dia tahu
bahwa mengerahkan Swat-im-sinkang untuk mengusir hawa beracun yang panas itu
membutuhkan pengerahan tenaga yang kuat, apa lagi harus dilakukan sedikit demi
sedikit dengan hati-hati sehingga akan menghabiskan tenaga. Pula, begitu merasa
telapak tangan pemuda itu di punggungnya yang telanjang, semacam perasaan aneh
memasuki hatinya dan dia ingin agar telapak tangan suheng-nya itu tidak lekas
dilepaskan dari pungungnya! Karena itulah dia tidak mau membantu, membiarkan
suheng-nya mengerahkan tenaga sendiri untuk mengusir hawa beracun itu.
Sin Liong
tidak menaruh curiga, hanya mengira bahwa sumoinya terlalu lelah sehingga tidak
kuat membantunya. Hal ini malah membuat dia makin bersemangat mengerahkan
tenaganya. Mukanya mulai meneteskan keringat dan dia memejamkan matanya,
memusatkan seluruh hati dan pikirannya ke dalam usaha pengobatan itu. Dia tidak
tahu betapa sumoi-nya tersiksa, bukan hanya tersiksa oleh bentrokan antara
tenaga Swat-im-sinkang yang mengusir hawa beracun panas, melainkan juga
tersiksa oleh perasaannya sendiri yang tidak karuan. Sin Liong tidak melihat
betapa Swat Hong mengepal tangan kirinya, mulutnya terbuka terengah-engah, dan
di mukanya tidak hanya peluh yang menetes, melainkan juga air mata!
Juga kedua
orang muda ini tidak tahu betapa di tempat itu muncul bayangan seorang kakek
yang berdiri tegak memandang mereka sambil mengelus jenggotnya. Kakek ini
berpakaian rapi dan sederhana bentuknya, namun yang terbuat dari kain yang
mahal. Jenggotnya yang panjang terpelihara rapi, sudah banyak putihnya, dan
rambutnya yang putih juga tersisir rapi dan digelung ke atas, diikat dengan
pembungkus rambut sutera biru dan ditusuk dengan tusuk konde emas.
Wajah kakek
ini biar pun sudah tua namun masih kelihatan tampan dan bersih, ketampanan yang
membayangkan kekejaman, apa lagi dari sinar mata dan tarikan mulutnya yang
seperti orang mengejek. Kalau tidak melihat mulut dan sinar matanya, kakek ini
tentu akan menimbulkan rasa hormat karena dia lebih pantas menjadi seorang
pendeta atau pertapa yang agung.
Kakek itu
mengelus jenggotnya dan pandang matanya tertuju kepada tubuh belakang Swat Hong
yang telanjang. Sinar matanya seperti membelai-belai punggung yang melengkung
indah itu, yang berakhir membesar di pinggul yang hanya tertutup sebagian oleh
baju yang merosot. Dari samping punggung tampak membayang tonjolan buah dada
yang gagal tertutup sama sekali oleh baju yang dipegang oleh tangan Swat Hong.
Dalam keadaan tanggung-tanggung ini, telanjang sama sekali bukan dan tertutup
rapat juga bukan, keadaan Swat Hong mendatangkan daya tarik yang luar biasa,
dan mudah membangkitkan birahi seorang pria yang memang benaknya penuh terisi
oleh khayalan-khayalan cabul!
Siapakah
kakek yang usianya kurang lebih enam puluh tahun akan tetapi masih begitu
tertarik melihat punggung telanjang seorang dara? Dia adalah seorang pertapa
yang belum lama turun dari pertapaannya di lereng pegunungan Himalaya. Selama
dua puluh tahun dia meninggalkan daratan besar, merantau ke barat dan akhirnya
bertapa di lereng Himalaya, bertemu dengan pertapa-pertapa sakti dan
mempelajari ilmu.
Dahulunya
dia adalah seorang tosu yang ingin memperdalam ilmunya. Akan tetapi setibanya
di Himalaya, dia bertemu dengan ahli ilmu hitam sehingga pelajaran Agama To
diselewengkan menjadi pelajaran kebatinan yang penuh dengan ilmu sihir yang
aneh-aneh. Karena di dalam dirinya memang belum benar-benar bersih, ilmu hitam
yang dipelajarinya membuat semua kekotoran di dalam dirinya itu menonjol dan
mencari jalan ke luar. Dengan bantuan ilmu sihirnya, pendeta Agama To ini
menyeleweng menjadi seorang pertapa atau pendeta palsu yang tidak segan-segan
melakukan apa pun demi mencapai kenikmatan dan kesenangan dunia.
Nama pendeta
ini adalah Ouwyang Cin Cu, sorang yang memiliki kepandaian silat tinggi, akan
tetapi lebih-lebih lagi, memiliki kekuatan sihir yang membuat dia terpakai
sekali tenaganya oleh Jenderal An Lu Shan. Berkat ilmu sihir dari Ouwyang Cin
Cu inilah, yang merupakan obat ‘guna-guna’, maka An Lu Shan yang kasar itu
berhasil memikat hati Yang Kui Hui!
Bertapa atau
melakukan segala usaha penekanan terhadap nafsu adalah usaha sia-sia dan palsu
belaka, karena tidak mungkin akan berhasil selama di dalam dirinya masih
berkecamuk nafsu itu sendiri. Penekanan hanyalah akan menghentikan timbulnya
nafsu itu sementara waktu saja, akan tetapi bukanlah berarti bahwa nafsu itu
sudah mati. Sewaktu-waktu, jika penekanannya berkurang kuatnya, tentu akan
meledaklah nafsu yang ditahan-tahan.
Seperti api
dalam sekam, sewaktu-waktu dapat membakar, karena yang menekan nafsu ini pun
sesungguhnya adalah nafsu sendiri dalam lain bentuk atau lain nama yang kita
berikan kepadanya. Keinginan tidak mungkin dilenyapkan dengan lain keinginan,
karena akan menjadi lingkaran setan yang tiada berkeputusan. Apa artinya
bertapa di tempat sunyi, meninggalkan masyarakat agar tidak melihat lagi wanita
dan timbul nafsu birahi kalau nafsu birahi itu sendiri masih bercokol di dalam
batinnya, kalau dirinya sendiri setiap saat digerogoti oleh nafsu birahi yang
masih bercokol di dalam batin itu!
Sebaliknya,
biar pun hidup di antara seribu orang wanita cantik, kalau memang tidak ada
nafsu birahi, di dalam hatinya sama sekali bersih, pasti tidak akan ada
gangguan sesuatu di dalam batin. Jadi yang penting bukanlah mencari pelarian,
bukanlah melarikan diri dari segala macam nafsu, dalam hal ini sebagai contoh
adalah nafsu birahi, melainkan membebaskan diri dari nafsu birahi.
Kebebasan
ini hanya dapat terjadi apabila kita mengerti benar, mengenal benar diri
sendiri, mengenal nafsu birahi yang membakar kita, dan tak mungkin kita dapat
mengenal tanpa kita mempelajari, mengawasi, mengamati dengan seksama tanpa usaha
untuk menundukkannya! Dengan pengamatan ini maka segala akan tampak jelas,
segala akan kita kenal dan dari pengamatan akan timbul pengertian, dari
pengertian akan muncul suatu tindakan yang berlainan sama sekali dari tindakan
palsu atau pelarian.
Demikianlah
halnya dengan Ouwyang Cin Cu. Karena puluhan tahun lamanya dia menahan-nahan
dan menekan nafsu, setelah kini dia menguasai ilmu yang tinggi, memperoleh
jalan mudah untuk melampiaskan nafsu-nafsunya, dia membiarkan nafsu-nafsunya
bersimaharajalela, seolah-olah untuk menebus pertapaannya yang selama puluhan
tahun itu! Begitu turun gunung kembali ke timur untuk menikmati seluruh sisa
hidupnya dengan segala macam kesenangan yang diinginkan tubuhnya, dia mendengar
tentang pemberontakan An Lu Shan.
Memang dia
seorang yang cerdik, maka tampaklah olehnya kesempatan terbuka baginya untuk
mencari kedudukan tinggi, kemuliaan sebagai seorang penguasa. Dia mengunjungi
An Lu Shan dan dengan demonstrasi kepandaiannya, baik silat mau pun sihir, dia
diterima dengan tangan terbuka dan diberi kedudukan tinggi, yaitu penasehat
urusan dalam dari Jenderal itu! Tentu saja dia tidak dapat menjadi penasehat
urusan perang karena dia sama sekali tidak mengerti akan ilmu perang. Mulailah
Ouwyang Cin Cu hidup mewah dan terhormat di dalam istana An Lu Shan, segala
kehendaknya terlaksana. Kemewahan, kehormatan, dan pelampiasan nafsu birahinya
karena disediakan banyak pelayan-pelayan wanita muda yang cantik-cantik untuk
kakek ini!
Pada waktu
itu, Ouwyang Cin Cu diutus oleh An Lu Shan untuk mengunjungi Rawa Bangkai,
karena An Lu Shan yang sudah tahu akan kelihaian dua orang wanita The Kwat Lin
dan Kiam-mo Cai-li, mempunyai niat untuk menarik kedua wanita itu sebagai
pembantu dalam dan pengawalnya. Hal ini menunjukan kecerdikan Jenderal itu. Dia
tahu bahwa The Kwat Lin adalah bekas Ratu Pulau Es, maka selain memiliki ilmu
silat yang hebat, tentu juga memiliki ambisi-ambisi pribadi terhadap kerajaan
yang hendak mereka gulingkan dan rampas. Kalau wanita seperti itu diberi
kesempatan memperoleh kekuasaan dengan pasukan yang kuat, kelak tentu akan
menjadi penghalang dan saingan belaka.
Berbeda
kalau wanita itu ditugaskan mengawalnya, segala gerak-geriknya dapat diawasi
selain tenaganya dapat dipergunakan untuk mengawalnya sehingga dia akan merasa
lebih aman dan terjamin keselamatannya. Demikianlah, Ouwyang Cin Cu lalu
diutusnya mengunjungi Rawa Bangkai setelah lima orang utusan pertama ke Rawa
Bangkai yaitu Bi Swi Nio, Liem Toan Ki dan tiga orang kakek lain berhasil
dengan baik mengunjungi Rawa Bangkai. Sekali ini, Ouwyang Cin Cu membawa surat
pribadinya yang dengan ramah mengundang kedua orang wanita itu untuk
mengunjungi istananya untuk mengadakan perundingan.
Kedatangan
Ouwyang Cin Cu menimbulkan kegemparan, juga disambut dengan kagum oleh The Kwat
Lin dan Kiam-mo Cai-li. Ketika lima orang utusan yang terdahulu datang, Kiam-mo
Cai-li telah memberikan rahasia jalan menuju ke Rawa Bangkai tanpa menyeberangi
rawa, yaitu melalui jalan terowongan di bawah tanah, dari balik gunung yang
dijaga oleh orang-orang kerdil yang juga sudah takluk dan menjadi kaki
tangannya. Maka kedatangan Ouwyang Cin Cu sekali ini tidaklah sukar, dan
Ouwyang Cin Cu dengan kepandaiannya yang tinggi dapat menyelinap melalui
terowongan dan menembus ke pulau di tengah rawa.
Betapa
kagetnya semua orang ketika melihat seorang kakek datang menunggangi seekor
harimau! The Kwat Lin dan Kiam-mo Cai-li melompat ke depan, siap untuk
menghadapi lawan, akan tetapi Ouwyang Cin Cu yang masih duduk di atas pungung
harimau itu tertawa, memperlihatkan deretan giginya yang masih lengkap.
"Apakah
Jiwi yang bernama The-lihiap dan Kiam-mo Cai-li yang terkenal itu?"
"Benar,
siapakah Totiang?" tanya The Kwat Lin hati-hati karena sikap tosu ini
menunjukan bahwa dia adalah seorang yang berilmu tinggi.
"Ha-ha-ha,
benar-benar tidak berlebihan yang pinto dengar. Kalian selain gagah perkasa
juga amat cantik. Pinto adalah Ouwyang Cin Cu, utusan pribadi An-goanswe dan
inilah surat beliau untuk Jiwi!" Dia menggosok kedua telapak tangannya dan
tampaklah asap mengepul tinggi.
Asap itu
membentuk bayangan seorang pelayan istana yang cantik, yang berjalan
terbongkok-bongkok kepada kedua orang wanita itu dan menyerahkan sebuah sampul
surat! Tentu saja The Kwat Lin dan Kiam-mo Cai-li bengong terlongong
menyaksikan permainan sulap yang hebat ini. The Kwat Lin menerima surat itu
sambil mengerahkan sinkang-nya dan... wushhhh, wanita pelayan itu lenyap tanpa
bekas!
"Ha-ha-ha,
The-lihiap benar hebat!" Ouwyang Cin Cu berseru dan dia meloncat turun
dari atas punggung harimau, lalu meniup ke arah harimau itu dan... harimau itu
tertiup dan melayang tinggi lalu lenyap di angkasa!
Tentu saja
semua ini adalah hasil sihir dari Ouwyang Cin Cu. Harimau dan pelayan wanita itu
tentu saja tidak ada sesungguhnya, yang ada hanyalah Ouwyang Cin Cu yang
mempergunakan kekuatan sihirnya mempengaruhi dua orang wanita itu sehingga
mereka melihat apa yang dikhayalkan oleh Ouwyang Cin Cu! Padahal yang
menyerahkan surat adalah pendeta itu sendiri yang datang dengan jalan kaki.
Kiam-mo
Cai-li tertawa. "Hi-hik, kiranya utusan An-goanswe adalah seorang tukang
sulap!"
Ouwyang Cin
Cu memandang wanita itu sambil tersenyum. Mereka saling pandang dan sudah ada
kecocokan di antara mereka. Kiam-mo Cai-li dapat melihat bahwa kakek itu, biar
pun usianya sudah enam puluh tahun, namun masih tampan gagah dan matanya
bersinar-sinar penuh nafsu birahi! Sebaliknya Ouwyang Cin Cu juga dapat
mengenali Kiam-mo Cai-li, seorang wanita yang biar pun usianya sudah setengah
abad lebih, namun memiliki nafsu yang besar dan awet muda karena terlalu banyak
mempermainkan dan menghisap hawa muda dari banyak perjaka!
Ouwyang Cin
Cu tersenyum makin lebar dan berkata, "Bukankah Cai-li suka akan ilmu
sulap? Kita berdua suka bicara dan bersikap terang-terangan, tanpa menutupi
badan sama sekali, bukan?"
Kalau bukan
Kiam-mo Cai-li yang terkena sihir itu, tentu dia akan menjerit saking kaget dan
ngerinya. Betapa tidak akan ngeri kalau tiba-tiba dia melihat dirinya sendiri
dan Ouwyang Cin Cu tidak berpakaian sama sekali, telanjang bulat sama sekali di
tengah-tengah orang banyak itu! Akan tetapi, ketika dia melirik dan melihat
bahwa The Kwat Lin dan yang lain-lain tidak mengadakan perubahan apa-apa,
tahulah dia bahwa yang melihat mereka telanjang bulat itu hanyalah mereka
berdua! Dia pun tersenyum dan menjelajahi tubuh telanjang kakek itu dengan
pandang mata kagum, seperti yang dilakukan pula oleh Ouwyang Cin Cu kepadanya.
Pertapa
cabul itu lalu diterima sebagai tamu terhormat, dijamu oleh The Kwat Lin dan
Kiam-mo Cai-li. Seperti dapat diduga lebih dulu, di antara Ouwyang Cin Cu dan
Kiam-mo Cai-li segera terjadi hubungan gelap yang amat mesra. The Kwat Lin tahu
akan hal ini dan diam-diam merasa geli, akan tetapi karena dia pun tahu akan
kesukaan Kiam-mo Cai-li yang sering mengeram laki-laki muda di dalam kamarnya,
dia pura-pura tidak tahu.
Persiapan
lalu dibuat oleh kedua orang wanita itu untuk ikut Ouwyang Cin Cu mengunjungi
An Lu Shan. Akan tetapi sebelum mereka berangkat, terjadilah peristiwa
kedatangan Sin Liong dan Swat Hong yang dikabarkan oleh orang-orang kerdil
kepada mereka. Ketika mendengar dengan jelas dan tahu bahwa yang datang
menyerbu adalah Kwa Sin Liong dan Han Swat Hong, muka The Kwat Lin menjadi
pucat sekali. Dia tahu bahwa biar pun dia jarang bertemu tandingan di daratan
besar setelah dia lari dari Pulau Es, namun menghadapi kedua orang muda itu dia
tidak boleh main-main. Apa lagi menghadapi Sin Liong yang dia tahu memiliki
ilmu kepandaian hebat sekali, dapat dikatakan mewarisi seluruh kepandaian bekas
suaminya, Han Ti Ong!
"Aihh...
mereka datang...??" tak terasa lagi keluar seruan dari mulutnya.
Kiam-mo
Cai-li dan Ouwyang Cin Cu yang sedang duduk berhadapan di meja makan bersama
The Kwat Lin, memandang dengan kaget dan juga heran. Baru sekarang Cai-li
menyaksikan sahabatnya itu kelihatan takut!
"Siapakah
mereka, Lin-moi?" Persahabatan antara The Kwat Lin dan Kiam-mo Cai-li
telah menjadi sedemikian eratnya sehingga mereka saling menyebut moi-moi dan
cici.
"Mereka?"
Kwat Lin menjawab dan mukanya masih pucat. "Mereka adalah penghuni Pulau
Es. Kwa Sin Liong adalah murid utama dari Han Ti Ong, sedangkan Han Swat Hong
adalah puterinya!"
"Ahhh...."
Kiam-mo Cai-li dapat menduga bahwa tentu kedatangan mereka itu mempunyai niat
yang tidak baik.
"Habis,
apa yang harus kita lakukan?"
"Kita
harus siap menghadapi mereka. Mereka lihai sekali, terutama Sin Liong! Atur
jebakan agar mereka terperosok. Kalau sampai mereka berhasil menerobos ke sini,
berbahaya sekali!" kata Kwat Lin, masih tetap takut.
"Wah,
Ibu. Mengapa bingung? Bukankah di sini terdapat Bibi Cai-li, juga ada Ouwyang
Totiang, dan Ibu sendiri di samping puluhan orang anak buah. Biarkan mereka
datang dan kita hancurkan mereka!" tiba-tiba Bu Ong berkata dengan gayanya
yang jumawa.
Mendengar
ini Ouwyang Cin Cu tertawa dan mengelus kepala pemuda tanggung itu.
"Engkau hebat sekali, Han-kongcu! Masih sekecil ini sudah memiliki
keberanian yang luar biasa. Benar puteramu, The-lihiap. Biarlah para orang
kerdil menjebak mereka, kalau jebakan itu tidak berhail, biarlah pinto yang
menghadapi mereka. Li-hiap dan Cai-li boleh siap-siap saja menyambut mereka
sebagai tawanan atau sebagai mayat."
Kiam-mo
Cai-li segera mengatur sendiri orang-orang kerdil untuk memancing dan menjebak
Sin Liong dan Swat Hong, sedangkan Ouwyang Cin Cu mengintai dan membayangi
gerakan dua orang muda itu. The Kwat Lin juga sudah siap-siap kalau kedua orang
pembantu itu gagal. Demikianlah, setelah Sin Liong berhasil menyelamatkan Swat
Hong dan sedang mengobatinya, muncul Ouwyang Cin Cu mengagumi ketelanjangan
punggung Swat Hong yang berkulit putih mulus dan halus menggairahkan hatinya
itu.
Melihat
betapa pemuda itu berhasil mengusir hawa beracun dengan pengerahan sinkang, dia
menjadi kagum sekali kepada pemuda itu. Timbullah keinginan yang aneh dalam
batin kakek yang penuh kecabulan itu. Birahinya yang tadi bergolak hanya dengan
melihat punggung yang putih mulus dari Swat Hong itu kini berubah. Dia dapat
melihat bahwa pemuda dan pemudi di dalam goa itu masih murni, maka timbullah
keinginannya menyaksikan mereka itu bermain cinta!
Memang
demikianlah! Kecabulan bukan hanya keinginan untuk berjinah sendiri dengan
orang yang menimbulkan birahinya, melainkan juga dapat berbentuk keinginan
untuk menyaksikan orang lain bermain cinta. Hal ini juga timbul karena
kekagumannya menyaksikan pemuda itu sanggup mengusir hawa beracun dengan
sinkang, tanda bahwa pemuda itu merupakan lawan tangguh. Jika dia berhasil menggunakan
sihir dan guna-guna untuk membuat pemuda itu ‘jatuh’ tentu dalam keadaan
seperti yang dikehendakinya itu, akan mudah saja menawan dua orang muda yang
agaknya ditakuti oleh The Kwat Lin itu.
Bagaikan
bayangan setan saja kakek itu menyelinap di balik batu. Tak lama kemudian
tampak asap mengepul dari tiga batang hio (dupa) yang menyebarkan bau harum,
sedangkan kakek itu sendiri sudah duduk bersila, kedua lengan diluruskan ke
depan, ke arah muda-mudi itu dan sepasang matanya terbelalak memandang seperti
sepasang mata setan!
Ilmu sihir
yang dipergunakan oleh Ouwyang Cin Cu adalah ilmu hitam yang dikuasainya dengan
latihan-latihan yang berat dan mengerikan. Di dalam ilmu ini terkandung
kekuasaan mukjijat yang hanya dikenal oleh mereka yang memuja setan, iblis dan
segala roh jahat yang mereka percaya, ditambah dengan kekuatan dari tenaga
sakti (sinkang) dan latihan yang tekun, dicampur dengan bermacam mantra yoga.
Untuk
melatih kekuatan matanya, bertahun-tahun Ouwyang Cin Cu bertapa menghadapi dupa
membara sampai kekuatan pandang matanya dapat membuat api membara di ujung dupa
itu membesar atau mengecil, mengepulkan asap atau tidak menurut kehendak
pikiran yang disalurkan melalui pandangan matanya yang tajam itu. Kini, dibantu
dengan bau asap dupa yang harum dan aneh, dia mulai menjatuhkan sihirnya.
Matanya memandang dengan pengaruh yang amat dahsyat, bibirnya berkemak-kemik
membaca mantra.
Mula-mula
Swat Hong yang terpengaruh hawa mukjijat itu. Hal ini tidaklah mengherankan
karena tentu saja Sin Liong memiliki daya tahan yang jauh lebih kuat
dibandingkan dengan sumoi-nya, juga memang sebelumnya Swat Hong sudah tersiksa
oleh perasaannya sendiri, perasaan mesra yang aneh dan sejak tadi menyelinap
dan mengaduk hatinya ketika merasa betapa telapak tangan suheng-nya menyentuh
punggungnya.
Karena
memang sudah timbul perasaan wajar dari seorang gadis yang normal dan sehat,
terdorong oleh rasa cintanya kepada suheng-nya itu, maka tidaklah mengherankan
ketika diserang oleh kekuatan sihir, Swat Hong mudah sekali terkena. Dia
mengeluh dan merintih lirih, tubuhnya gemetar semua, mukanya berubah merah
seperti dibakar, napasnya terengah-engah, kedua tangannya mengepal dan dia
tidak peduli lagi bajunya yang tadi ditahan dengan tangan di bagian depan
dadanya, merosot dan terbuka. Setelah gelisah bergerak ke kanan-kiri, kemudian
dia menoleh, memandang kepada suheng-nya yang masih duduk bersila dengan muka
menunduk dan mata terpejam.
"Iihhh...
aahhh... Suheng...!" Swat Hong mengeluh, lalu membalikkan tubuhnya dan
serta merta merangkul leher Sin Liong sambil terengah-engah seperti orang
hendak menangis.
Sin Liong
membuka matanya. Dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika dia melihat bahwa
sumoi-nya dalam keadaan setengah telanjang karena pakaian bagian atasnya
terlepas setelah merangkulnya.
"Su...
Sumoi!" dia berseru.
Barulah dia
merasa betapa kepalanya seketika menjadi pening, pandang matanya menjadi
berkunang dan hidungnya mencium bau yang harum dan aneh sekali. Baru sekarang
terasa olehnya betapa tubuh sumoi-nya mendekap ketat dan jari-jari tangannya
merasakan kulit yang lunak halus dan hangat. Jantungnya berdebar dan pada saat
itu, dengan isak tertahan Swat Hong telah memperketat pelukannya dan
menciumnya.
"Suheng...!"
Bagaikan
dalam mimpi Sin Liong merasa seolah-olah dia terseret oleh arus yang amat
dahsyat, yang membuat bibirnya membalas ciuman itu, yang memaksa kedua
lengannya merangkul dan mendekap. Namun seketika itu juga timbul hawa panas
dari pusat di pusarnya, hawa panas yang naik ke atas dan membuyarkan semua hal
yang membuat dia pening dan seperti mabuk itu.
Memang pada
dasarnya Sin Liong adalah seorang anak yang ajaib, yang sama sekali tidak
pernah dipermainkan oleh lamunan yang bukan-bukan, yang bersih sama sekali,
kebersihan yang khas dan wajar, tidak dibuat-buat dan memang pada dasarnya dia
memiliki kekuatan batin yang tidak lumrah manusia biasa. Maka begitu dia
terserang oleh sihir yang amat mukjijat, biar pun dia sendiri belum tahu bahwa
ada orang jahil yang mempermainkannya, namun secara otomatis kebersihan hatinya
telah meninggalkan hawa panas menolak kekuasaan asing yang kotor itu.
Mata pemuda
itu seperti terbuka begitu hawa panas naik dan membuyarkan pengaruh jahat. Baru
tampak olehnya kepulan asap yang harum dan keadaan Swat Hong yang tidak wajar.
Seketika tahulah dia bahwa keadaan ini bukan sewajarnya dan pasti dibuat oleh
seorang yang jahat. Begitu telinganya menangkap suara gerakan dari kiri, dia
cepat menengok dan tampaklah olehnya seorang kakek tua yang duduk bersila dan
meluruskan kedua lengannya ke arah mereka. Dari kedua lengan itu, juga dari
kedua matanya, menyambar tenaga mukjijat ke arah mereka.
Lengking
yang panjang dan nyaring dahsyat serta mengandung getaran tenaga sakti dari
dalam pusarnya, keluar dari mulut Sin Liong dan dia sudah meloncat berdiri.
Lengkingan yang dahsyat itu menyebar getaran yang sedemikian kuatnya sehingga
kekuatan sihir yang dipergunakan Ouwyang Cin Cu buyar sama sekali, bahkan tubuh
kekek itu tergetar. Swat Hong juga terbebas dari cengkeraman sihir itu. Dia
menjadi pucat sekali, terbelalak, mengeluh perlahan lalu terguling roboh,
pingsan!
Dapat
dibayangkan betapa kaget rasa hati Ouwyang Cin Cu ketika dia sedang menikmati
hasil ilmu sihirnya, melihat betapa muda-mudi itu sudah mulai terpengaruh,
tiba-tiba pemuda itu mengeluarkan suara melengking sedemikian dahsyatnya
sehingga dia merasa betapa jantungnya seperti akan copot! Melihat betapa
pengaruh sihirnya buyar, dia segera bangkit berdiri.
"Manusia
jahat, apa yang telah kau lakukan?" Sin Liong menegur dan melompat ke
depan kakek itu.
Kakek itu
mengerahkan tenaga mukjijatnya, disalurkan melalui tangan kanannya yang
jari-jari tangannya terbuka dan diselonjorkan ke arah muka Sin Liong. Ia
memandang tajam sambil berkata, "Orang muda berlututlah kau di depan
Ouwyang Cin Cu...!"
Akan tetapi,
untuk kedua kalinya kakek itu mengalami kekagetan. Biasanya, setiap orang lawan
akan dapat dibikin tidak berdaya dengan kekuatan sihirnya. Akan tetapi sekali
ini pemuda itu hanya memandang kepadanya dengan sinar mata jernih halus dan
sama sekali tidak berlutut seperti yang diperintahkannya dengan suara berwibawa
itu. Dia memperhebat pencurahan tenaga sihirnya, namun tetap saja pemuda itu
sama sekali tidak terpengaruh.
Tentu saja
Sin Liong dapat merasakan serangan tenaga mukjijat ini. Dia merasa betapa ada
hawa yang menyerangnya, keluar dari lengan dan pandang mata kekak itu, yang
membuatnya tergetar dan seperti ada kekuatan mukjijat memaksanya agar dia
menjatuhkan diri berlutut di depan kakek itu. Namun dia mengerti bahwa hal itu
tidak semestinya dan tidak sewajarnya, maka dia tidak mau mentaati perintah
itu, melainkan memandang dengan sinar mata tajam penuh teguran kepada kakek
yang dianggapnya jahat itu.
Melihat
betapa kekuatan sihirnya sekali ini tidak berhasil, Ouwyang Cin Cu menjadi
penasaran sekali. Sihirnya boleh gagal, akan tetapi dia masih memiliki ilmu
silat dan kekuatan yang dahsyat. Dara itu cantik menarik. Usahanya menikmati
tontonan yang tidak senonoh gagal, maka sebaiknya pemuda ini dibunuh saja dan
dara itu ditawan!
"Mampuslah
kau!" bentaknya penasaran.
Kini dia
tidak menggunakan ilmu sihir lagi, melainkan meloncat dan menerkam kepada Sin
Liong seperti seekor serigala. Tangan kirinya mencengkeram ke arah dahi pemuda
itu sedangkan sedangkan tangan kanannya dengan jari terbuka membacok ke arah
dada kiri lawan.
"Plak!
Desss...!" Sin Liong menangkis dengan kedua tangannya dan akibatnya tubuh
kakek itu terdorong ke belakang sampai terhuyung-huyung.
Mata kakek
itu terbelalak saking kagetnya. Tak disangkanya bahwa pemuda yang sanggup
membuyarkan ilmu sihirnya ini juga berhasil menangkis serangan dan membuat
tubuhnya terhuyung dan hampir jatuh! Maklum bahwa dia berhadapan dengan sorang
pemuda yang luar biasa, Ouwyang Cin Cu meloncat, membalikkan tubuhnya dan lari!
Teringat dia
akan sikap takut yang tampak pada wajah bekas Ratu Pulau Es ketika mendengar
akan kedatangan pemuda dan pemudi ini, dan baru sekarang dia tahu mengapa bekas
Ratu itu kelihatan takut-takut. Kiranya pemuda ini memang memiliki kesaktian
yang amat hebat! Dia perlu mencari bantuan, karena menghadapi seorang diri saja
amat berbahaya.
Sin Liong
yang ingin menangkap kakek itu dan mencari keterangan tentang The Kwat Lin,
segera mengejar sambil berseru, "Orang tua jahat, kau hendak lari ke mana?
Tunggu, kau harus menjawab beberapa pertanyaanku!"
Mendengar
suara Sin Liong dekat sekali di belakangnya, Ouwyang Cin Cu mempercepat
larinya, akan tetapi dengan gerakan yang lebih cepat lagi Sin Liong terus
mengejarnya. Setelah keluar dari dalam jalan terowongan itu, di lapangan
terbuka yang agak jauh letaknya dari goa di mana Sin Liong meninggalkan Swat
Hong tadi, terpaksa Ouwyang Cin Cu tidak dapat melarikan diri lagi karena Sin
Liong telah menyusul dekat sekali di belakangnya.
"Kakek
jahat, berhenti dulu!" Sin Liong membentak.
"Haaeeehhhh!!"
Tiba-tiba
Ouwyang Cin Cu membalikkan tubuhnya dan begitu membalik, segulung sinar biru
menyambar ke arah pusar Sin Liong dan sinar putih menyambar ke antara kedua
matanya. Sinar biru itu adalah sebatang pedang tipis yang biasanya dibelitkan
di pinggang sebagai sabuk oleh kakek itu, sedangkan sinar putih itu adalah
jenggot panjangnya yang ternyata dapat dipergunakan sebagai senjata yang sangat
ampuh!
"Hemmm...!!"
Sin Liong
yang sudah menduga bahwa kakek yang jahat itu tentu tidak segan-segan bermain
curang, sudah menjaga diri. Maka begitu melihat menyambarnya sinar biru dan
putih itu, cepat dia sudah mencelat ke atas. Demikian cepat gerakan pemuda ini
sehingga Ouwyang Cin Cu melongo, mengira bahwa pemuda itu pandai menghilang!
Akan tetapi gerakan angin menyambar di belakangnya membuat dia membalik dan
ternyata pemuda itu telah berada di belakangnya. Ternyata ketika mengelak tadi
pemuda itu telah mempergunakan ginkang untuk meloncat melalui atas kepalanya.
Akan tetapi gerakan pemuda itu sedemikian cepatnya sehingga dia sendiri sampai
hampir tidak melihatnya, hanya melihat bayangan berkelebat dan pemuda itu
lenyap.
Berdebar
jantung kakek itu. Selama hidupnya belum pernah ia bertemu dengan lawan seperti
ini! "Hiaaaahhh!!" dia mengusir rasa gentarnya.
Ouwyang Cin
Cu mulai mainkan pedangnya dengan gerakan yang amat cepat. Pedang itu berubah
menjadi gulungan sinar biru dan mengeluarkan suara bedesing-desing nyaring
sekali. Serangan pedang ini masih dia selingi dengan pukulan-pukulan tangan
kiri dengan telapak tangan terbuka, memukulkan hawa sinkang yang amat kuat.
Memang Ouwyang Cin Cu bukan orang sembarangan. Pertapa Himalaya ini selain
pandai sihir, juga memiliki ilmu silat yang tinggi, tenaga sinkang-nya amat
kuat dan pedang yang dipergunakannya adalah sebatang pedang tipis dari baja
biru yang amat ampuh. Akan tetapi kali ini dia bertemu dengan batunya!
Tubuh Sin
Liong berkelebatan. Ke mana pun pedang dan tangan kiri Ouwyang Cin Cu
menyerang, selalu hanya bertemu dengan angin belaka. Dua puluh jurus lebih
kakek itu menyerang bertubi-tubi sampai napasnya terengah-engah.
Tiba-tiba
Sin Liong berseru, "Lepas pedang!"
"Plakk!
Desss....!!"
"Aiiihhh...!!"
pedang itu terlepas dari tangan Ouwyang Cin Cu dan jatuh ke atas tanah
mengeluarkan suara berdenting nyaring.
Ternyata
bahwa lengan kanan kakek tua itu kena ditampar oleh jari tangan Sin Liong,
mendatangkan rasa nyeri yang amat hebat, bukan hanya nyeri, akan tetapi juga
hawa dingin seolah-olah menggigit daging dan urat, membuat tangan kakek itu
tidak kuat lagi memegang pedang. Untung bagi Ouwyang Cin Cu, pada saat
pedangnya terlepas itu, muncul The Kwat Lin dan Kiam-mo Cai-li! Bagaikan dua
sosok bayangan setan, dua orang wanita sakti ini sudah menerjang ke depan
sambil meloncat dan terdengar suara melengking tinggi dari mulut Kiam-mo Cai-li
ketika dia menyerang berbareng dengan The Kwat Lin yang juga menyerang tanpa
mengeluarkan suara.
"Heeeiiiittttttttt!!!
Wir-wirrr... singgg... singgg!!" pedang payung di tangan Kiam-mo Cai-li
sudah bergerak menyambar menyusul lengkingannya, juga dibarengi menyambarnya
rambut panjangnya dan kuku tangan kirinya yang sekaligus menerjang dengan
serangan yang amat dahsyat!
Namun Sin
Liong lebih memperhatikan sinar pedang merah yang menyambarnya tanpa suara itu.
Dia tahu bahwa pedang Ang-bwe-kiam di tangan The Kwat Lin yang menyambar tanpa
suara itu jauh lebih berbahaya dari-pada semua serangan Kiam-mo Cai-li yang
banyak ribut itu.
"Hemmm...!"
Sin Liong mendengus. Kaki tangannya bergerak menangkis rambut dan kuku,
tubuhnya mencelat menghindari sinar merah pedang The Kwat Lin, dan ujung
kakinya yang menendang pergelangan tangan Kiam-mo Cai-li berhasil menangkis
tusukan pedang payung.
Pada saat itu,
dari belakang, menyambar sinar biru dari pedang Ouwyang Cin Cu yang ternyata
telah menyambar pula pedangnya yang tadi terlepas dan kini ikut mengeroyok.
"Ahhh!"
Sin Liong berseru, membiarkan pedang lewat dekat sekali dengan lehernya karena
dia memang sengaja berlaku lambat. Begitu pedang lewat, jari tangannya
menyentil, kuku jari tangannya bertemu batang pedang biru itu.
"Tringgggg...
Auuhhh...!" untuk kedua kalinya, pedang biru itu terlepas dari pegangan
tangan Ouwyang Cin Cu dan kini melayang jauh dan lenyap kedalam semak-semak!
The Kwat Lin
dan Kiam-mo Cai-li sudah menerjang lagi, akan tetapi Sin Liong meloncat jauh ke
belakang, lalu berkata kepada The Kwat Lin, "Subo, tunggu dulu!"
Suaranya halus, akan tetapi penuh wibawa.
Tanpa
disadarinya sendiri, Kiam-mo Cai-li menghentikan gerakannya, memandang kepada
pemuda itu dengan sinar mata penuh cahaya kagum. Otomatis hatinya tergerak
melihat pemuda yang luar biasa ini, pemuda yang wajahnya mengeluarkan cahaya
lembut, sedikit pun tidak membayangkan kekerasan dan yang memiliki sepasang
mata yang aneh dan indah.
"Hemmm,
bocah kurang ajar! Engkau masih ingat bahwa aku adalah Subo-mu (Ibu
Gurumu)!?" bentak The Kwat Lin dengan suaranya menyindir untuk menutupi
guncangan hatinya.
"Subo
adalah isteri Suhu, mana teecu berani kurang ajar? Kedatangan teecu bersama
Sumoi adalah untuk memenuhi pesan Suhu."
Kembali hati
The Kwat Lin terguncang penuh rasa takut dan ngeri, takut kalau-kalau suaminya
yang dia tahu amat sakti itu muncul di situ. Akan tetapi mendengar bahwa Sin
Liong datang memenuhi pesan suaminya, hatinya lega karena hal itu berarti bahwa
suaminya tidak ikut datang!
"Hemm,
pesan apakah dari Suhumu?"
Sin Liong
yang memang berwatak polos dan tidak suka menyembunyikan sesuatu di dalam
hatinya, berkata lantang, "Subo, Suhu minta agar supaya semua pusaka Pulau
Es yang Subo bawa pergi, diserahkan kembali kepada teecu untuk teecu kembalikan
ke Pulau Es."
Mendengar
permintaan ini, tanpa menjawab lagi The Kwat Lin lalu menggerakkan pedangnya
dan mengirim serangan langsung yang amat dahsyat. Gerakannya memang cekatan
sekali. Pedangnya hanya tampak sebagai sinar merah yang meluncur seperti panah
api menuju ke arah tubuh Sin Liong. Pemuda ini kembali mencelat ke belakang
berjungkir balik dan berdiri dengan tenang.
"Subo
harap dengarkan permintaan teecu. Pusaka-pusaka itu tidak boleh di bawa keluar
dari Pulau Es. Teecu tidak suka melawan Subo, akan tetapi kalau Subo tidak
mengembalikan pusaka-pusaka itu, terpaksa teecu...."
"Heiihhh,
mampuslah!" bentak The Kwat Lin dan tubuhnya sudah melayang ke depan
dengan cepat seperti seekor burung garuda terbang menyambar, didahului oleh
sinar merah pedang Ang-bwe-kiam di tangannya.
Terpaksa Sin
Liong mengelak sambil membalas dengan totokan tangan kirinya menuju ke
pergelangan tangan yang memegang pedang. Namun bekas ibu gurunya itu dengan
cepat telah menarik kembali pedangnya dan melanjutkan serangannya secara
bertubi-tubi dengan jurus-jurus pilihan dari Ngo-heng Kiam-sut.
Ilmu pedang
yang dimainkan oleh The Kwat Lin ini hebat bukan main karena diperkuat dengan
latihan-latihannya di Pulau Es di bawah bimbingan suaminya, Han Ti Ong yang
sakti. Juga berkat latihan sinkangnya di pulau dingin itu, tenaga yang
menggerakkan pedang itu pun amat luar biasa sehingga Ang-bwe-kiam
menyambar-nyambar dengan hawa dingin yang menyusup tulang lawannya biar pun
tubuh belum sampai tercium pedang.
Tubuh Sin
Liong lenyap dan yang tampak hanya bayangannya saja berkelebatan di antara dua
sinar pedang yang bergulung-gulung mengurung dirinya. Pemuda itu terpaksa
mengerahkan seluruh keringanan tubuhnya untuk mengelak dan berloncatan ke
sana-sini, kemudian mempercepat lagi gerakannya ketika Kiam-mo Cai-li sudah
menerjang juga dengan kemarahan meluap karena kejatuhannya tadi dianggapnya
amat memalukan. Tiga orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali,
ketiganya memegang senjata-senjata pusaka ampuh, mengeroyok Sin Liong dengan
mati-matian!
Bukan main
hebatnya pertandingan mati-matian itu! Sekali ini, baru sekali inilah, Sin
Liong benar-benar diuji semua hasil jerih payahnya mempelajari ilmu silat
tinggi di Pulau Es. Diuji hasil warisan hampir seluruh ilmu kepandaian Raja
Pulau Es Han Ti Ong yang telah dikuasainya secara matang. Dengan tangan kosong
saja dia menghadapi serbuan maut yang dilancarkan secara bertubi-tubi oleh tiga
orang lawan yang sakti itu.
Dengan
tingkat kepandaian Sin Liong yang sudah luar biasa tingginya, sukar lagi diukur
sampai di mana tingkatnya, dengan mudah dia dapat mengikuti semua gerakan tiga
orang lawannya, dan karena itu dia dapat menghindarkan diri dari semua
serangan. Dengan ilmunya mengenal semua dasar gerakan ilmu silat yang
dipelajarinya dari kitab kuno Inti Sari Gerakan Silat, sekali pandang saja dia
dapat mengetahui perkembangan gerakan lawan dan bahkan dengan mudah dapat
menirunya.
Akan tetapi
ada dua hal penting yang membuat dia repot juga menghadapi pengeroyokan tiga
orang lihai itu. Pertama, harus diakui bahwa biar pun tingkat ilmu silatnya
lebih tinggi dan dia memiliki dasar lebih kuat dan lebih bersih sehingga
sinkang-nya kuat sekali, namun dia kalah matang dalam latihan. Usianya masih
terlalu muda. Dia belum mengalami banyak pertandingan, apa lagi melawan
orang-orang yang ahli, tidak seperti tiga orang pengeroyoknya yang telah
mempunyai pengalaman banyak sekali dalam pertandingan silat.
Hal kedua
merupakan kenyataan yang paling hebat. Sin Liong memiliki dasar watak yang
halus budi dan penuh belas kasihan. Wataknya ini membuat dia tidak tega
menjatuhkan pukulan maut, apa lagi membunuh lawannya. Andai kata dia tidak
memiliki dasar watak seperti ini, dengan kepandaiannya yang hebat, tentu dia
akan mampu membunuh mereka seorang demi seorang. Tadi pun, kalau dia
menghendaki, tentu Kiam-mo Cai-li sudah dapat dia robohkan untuk selamanya.
Kini
menghadapi tiga orang lawan yang mengeroyoknya dan yang berusaha
sungguh-sungguh untuk membunuhnya, Sin Liong menjadi repot juga. Apa lagi dia
hanya mengelak, menangkis, dan kadang-kadang membalas serangan dengan gerakan
yang diperlambat dan diperlunak karena takut kalau-kalau salah tangan membunuh
orang. Dengan demikian, dia lebih banyak diserang dari-pada balas menyerang.
Seratus
jurus telah lewat, dan pemuda yang luar biasa ini belum juga dapat dikalahkan
oleh para pengeroyoknya. Hal ini membuat mereka bertiga menjadi penasaran,
marah dan malu sekali. Biar pun di tempat itu tidak ada orang lain kecuali para
anak buah mereka yang kini mulai bermunculan dan mengurung tempat itu,
orang-orang katai dan juga para anak buah Rawa Bangkai, namun tiga orang itu
tentu saja merasa malu bahwa mereka bertiga maju bersama dengan senjata lengkap
sampai seratus jurus tidak mampu membekuk atau menewaskan seorang pemuda yang
bertangan kosong!
The Kwat Lin
selama ini merasa bahwa dia tidak menemukan tandingan. Biar pun tahu betapa
lihainya murid bekas suaminya ini, namun dia telah dibantu oleh dua orang
pandai dan belum juga dapat menang, maka dia merasa penasaran sekali. Kiam-mo
Cai-li yang selama ini terkenal sebagai datuk kaum sesat yang lihai, selama
hidupnya baru sekali ini dia mengeroyok seorang pemuda dengan dua orang teman
yang kepandaiannya lebih tinggi dari dia sendiri, maka dia pun penasaran.
Terutama sekali Ouwyang Cin Cu. Sebelum ini sukar membayangkan bahwa dia, yang
memiliki ilmu-ilmu luar biasa, akan mengeroyok seorang pemuda seperti itu. Hal
ini benar-benar menyakitkan hati dan menghancurkan kebanggaan hati mereka akan
ilmu kepandaian mereka masing-masing yang sudah terkenal di dunia kang-ouw.
"Pemuda
setan, mampuslah!!" Ouwyang Cin Cu berteriak keras.
Pedang
birunya untuk ke sekian kalinya menyambar ganas ke arah leher Sin Liong, sedangkan
tangan kirinya mencengkeram ke arah perut. Pada saat itu, Sin Liong baru saja
menyingkirkan pedang di tangan The Kwat Lin yang menyambar kakinya dengan cara
menendang pergelangan tangan bekas ibu gurunya itu sehingga The Kwat Lin
terpaksa menarik kembali pedangnya dan meloncat ke samping.
"Hiaaattttt!!"
Kiam-mo
Cai-li yang sudah memuncak kemarahannya itu pun membarengi serangan Ouwyang Cin
Cu dari belakang. Kukunya mencengkeram ke arah punggung Sin Liong, sedangkan
pedang payungnya berputar-putar mengancam tengkuk. Dalam detik berbahaya itu
Sin Liong maklum akan datangnya ancaman maut dari depan dan belakang. Tiba-tiba
dia berteriak, tubuhnya melesat ke atas dan tak dapat dicegah lagi, pedang
payung bertemu dengan pedang biru.
"Cringgg...!!"
Pada saat
itulah Sin Liong yang mencelat ke atas itu bergerak cepat bukan main. Tubuhnya
sudah berjungkir balik, menukik turun dan kedua tangannya menyambar seperti
sepasang garuda.
"Plak!
Plak!"
Ouwyang Cin
Cu dan Kiam-mo Cai-li mengeluh. Kakek itu terhuyung dan memuntahkan darah
segar, sedangkan Kiam-mo Cai-li terguling-guling, kemudian meloncat berdiri
dengan muka pucat. Baju di pundak ke dua orang sakti ini robek terkena tamparan
tangan Sin Liong!
"Orang
muda, lihat ini...!!" tiba-tiba Ouwyang Cin Cu berseru aneh sekali.
Pedang
birunya diputar-putar sehingga merupakan sinar biru bergulung-gulung di
depannya. Sin Liong mengira bahwa kakek itu akan menyerangnya atau akan
menggunakan senjata rahasia, maka dia memandang penuh perhatian. Terkejutlah
dia ketika sekali memandang, berarti selanjutnya menuruti kata-kata kakek itu.
Dia merasa betapa pandang matanya sukar dialihkan lagi dari gulungan sinar biru
itu!
"Orang
muda, engkau telah lelah, mengasolah... duduklah kau...!" kembali suara
kakek itu mendengung dengan aneh dan mendatangkan pengaruh yang ajaib.
Sin Liong
menggoyang-goyang kepalanya, berusaha mengusir pengaruh yang memaksanya untuk
duduk itu. Seketika dia merasa tubuhnya lelah bukan main. Dia maklum bahwa
kakek itu kembali menggunakan ilmu hitamnya. Kesadaran ini mendatangkan
kekuatan kepada dirinya. Dia mengerahkan sinkang-nya untuk menolak pengaruh itu
sehingga tubuhnya kadang-kadang diserang kelelahan, kemudian lenyap lagi,
datang lagi, seolah-olah terjadi ‘pertandingan’ yang tidak tampak. Akan tetapi,
karena terlalu mencurahkan perhatiannya kepada kakek yang menyerangnya dengan
sihir, dan menggunakan sinkang-nya untuk melawan pengaruh aneh itu, perhatian
Sin Liong terhadap dua orang lawan lainnya menjadi berkurang banyak.
Dua orang
wanita itu tentu saja tidak mau menyia-nyiakan kesempatan baik ini. Melihat
betapa pemuda itu kelihatan bengong dan menghentikan gerakannya, Kiam-mo Cai-li
cepat menyerang, akan tetapi dia didahului oleh The Kwat Lin yang sudah
menusukkan Ang-bwe-kiam ke arah lambung Sin Liong, disusul oleh tusukan pedang
payung dan cengkeraman kuku tangan kiri Kiam-mo Cai-li, kemudian disusul oleh
hantaman tangan kiri The Kwat Lin yang mengandung im-kang amat dahsyatnya.
Ketika
merasa adanya angin yang menyambar-nyambar menyerangnya, Sin Liong berusaha
mengelak. Dengan kedua tangannya yang melakukan gerakan membalik, dia dapat
memukul tangan Kiam-mo Cai-li dan The Kwat Lin yang memegang pedang. Gerakannya
ini hebat bukan main sehingga kedua wanita itu memekik dan pedang mereka
terlepas dari pegangan! Akan tetapi kuku jari tangan Kiam-mo Cai-li yang
beracun itu berhasil mencengkeram pundak dekat tengkuk Sin Liong dan pada saat
yang hampir sama, tangan kiri The Kwat Lin menghantam punggungnya dengan hebat.
"Plakk!
Desss...!!" dan tubuh Sin Liong terguling.
Cengkeraman
kuku tangan Kiam-mo Cai-li belum tentu akan dapat merobohkan karena secara
otomatis hawa sinkang di tubuhnya melindungi tempat yang dicengkeram. Akan
tetapi hantaman tangan kiri The Kwat Lin yang mengandung tenaga im-kang yang
dingin itu terlalu keras bagi Sin Liong yang pada saat itu sedang mencurahkan
tenaga melawan sihir Ouwyang Cin Cu. Dia masih terlindung oleh sinkang-nya yang
otomatis, sehingga tidak mengalami luka dalam yang terlalu parah, akan tetapi
guncangan yang hebat akibat pukulan itu membuat dia pingsan!
Melihat
pemuda yang membuatnya malu dan penasaran itu sudah roboh pingsan, dengan
gemasnya ouwyang Cin Cu meloncat dekat, mengangkat tangan kirinya menghantam ke
arah ubun-ubun kepala Sin Liong untuk membunuhnya.
"Wuuuttt...
plakkk!”
“Ehhh?!
Kiam-mo Cai-li, mengapa kau menangkis dan melindunginya?" Ouwyang Cin Cu
membentak kaget dan melotot memandang kepada kekasih barunya ini.
Kiam-mo
Cai-li tersenyum penuh arti. Matanya yang indah itu memandang dengan lirikan
yang memikat. "Sayang sekali kalau dibunuh begitu saja!" katanya
sambil mengusap dagu Sin Liong yang masih pingsan. "Dia adalah sin-tong.
Kalau aku bisa mendapatkan dia, manfaatnya melebihi seratus orang jejaka
lain..."
"Huh,
kau memang cabul!" Ouwyang Cin Cu mencela, akan tetapi tidak berani turun
tangan lagi.
"Tidak,
dia harus dibunuh! Kalau dibiarkan hidup berbahaya sekali, akan tetapi juga
jangan sampai ada bekasnya, jangan sampai ada yang tahu bahwa kita yang
membunuhnya. Kita lempar dia di sumur ular, juga gadis itu. Mereka berdua harus
mati, akan tetapi tidak boleh meninggalkan jejak!"
"Ah,
ya... gadis itu...!" Ouwyang Cin Cu yang teringat kepada gadis berpunggung
putih mulus itu segera berlari ke dalam goa terowongan untuk mencari Swat Hong.
Tentu saja dia tidak akan membunuh gadis itu begitu saja sebelum melakukan
kecabulan yang sama seperti yang berada di dalam benak Kiam-mo Cai-li! Akan
tetapi tak lama kemudian dia kembali dengan muka berubah. "Dia... dia
tidak ada!"
"Apa...?!"
The Kwat Lin berseru dengan muka pucat.
"Kalau
begitu... lekas kita lemparkan dia ini ke sumur ular, kemudian cari gadis itu
sampai dapat...!”
The Kwat Lin
sendiri menggotong tubuh Sin Liong yang masih pingsan itu dan beramai mereka
menuju ke sebuah sumur di dalam goa terowongan. Sumur ini lebarnya hanya satu
setengah meter, namun dalamnya sukar diukur karena amat gelap. Dari atas orang
dapat menangkap suara mendesis-desis karena sumur itu penuh dengan ular-ular
berbisa. Hawa yang memuakkan dapat tercium dari atas, bau yang harum aneh
bercampur amis.
Terima Kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment