Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Cinta Bernoda Darah
Jilid 01
PUNCAK
GUNUNG Thai-san yang menjulang tinggi di angkasa tertutup awan putih tebal yang
bergumpal-gumpal mengelilingi puncak. Hampir selalu puncak Thai-san tertutup
awan, kecuali pada musim panas, sekali waktu ada kalanya puncak Thai-san yang
meruncing itu tampak dari bawah. Keadaan inilah yang menimbulkan dongeng di
kalangan penduduk di sekitar kaki dan lereng gunung, bahwa puncak Thai-san
merupakan anak tangga menuju ke sorga! Dan bahwa hanya para dewa dan manusia
setengah dewa saja yang dapat mendatangi puncak Thai-san.
Dongeng atau
kepercayaan tentang hal kedua ini tidaklah terlalu berlebihan kalau diingat
bahwa penduduk pegunungan amatlah tebal kepercayaannya akan para dewa yang
menguasai seluruh permukaan bumi. Harus diingat pula akan keadaan puncak itu
sendiri. Terlalu tinggi, terlalu sukar jalan mendaki puncak, terlalu dingin
sehingga manusia biasa tak mungkin akan dapat mendaki puncak. Terlalu banyak
bahayanya. Binatang buas, jalan yang amat licin, jurang-jurang yang curam,
daerah-daerah yang mengeluarkan gas, dan hawa dingin yang membekukan darah
dalam badan.
Memang tak
mungkin bagi manusia-manusia biasa, namun mungkin saja bagi manusia-manusia
luar biasa, yaitu manusia-manusia yang memiliki kepandaian tinggi dan memiliki
tubuh terlatih, yang kuat menghadapi semua tekanan, kuat pula mengatasi semua
rintangan. Betapa pun juga, puncak Thai-san tetap jarang sekali dikunjungi
orang pandai, karena selain perjalanan itu amat berbahaya, juga tanpa keperluan
yang amat penting, apakah yang dicari di tempat sunyi itu?
Pagi hari
itu amat cerah. Awan putih yang berkelompok di sekitar puncak tampak berkilauan
seperti perak digosok, matahari membobol benteng halimun lembab, mencairkan
segala kebekuan dan menghias ujung-ujung daun dengan mutiara-mutiara air embun
berkilauan seperti hiasan anting-anting pada telinga dara jelita. Burung-burung
berkicau menyambut hari yang amat indah itu, dan segala yang berada di
permukaan bumi seakan bergembira ria. Apakah gerangan yang menyebabkan suasana
gembira dan indah ini?
Tidak
mengherankan. Musim semi tiba, pagi hari itu adalah permulaan dari tahun yang
baru. Musim yang tepat sekali untuk memulai segala sesuatu dengan awalan-awalan
yang sama sekali baru! Buang yang lama-lama dan yang buruk-buruk, mulai dengan
yang baru-baru dan yang indah-indah. Setidaknya, demikianlah harapan dan
renungan setiap insan pada setiap tahun baru.
Semenjak
pagi hari para penduduk di sekitar kaki dan lereng gunung sudah sibuk berpesta,
bergembira ria merayakan hari tahun baru. Pakaian-pakaian simpanan dikeluarkan
dari peti pakaian, ‘setahun sekali’ menghias tubuh, yang muda menghormat yang
tua, yang muda minta maaf, yang tua memaafkan. Saling memaafkan, gembira
tertawa, hilang dengki, lenyap benci. Alangkah indahnya dunia, alangkah
nikmatnya hidup.
Serombongan
orang bergerak cepat mendaki puncak Thai-san, amat cepat gerak-geriknya, amat
ringan langkah kakinya. Kalau saja para penduduk tidak sedang bersuka ria dan
sempat menyaksikan gerak-gerik lima orang yang bagaikan serombongan kera besar
melompat ke sana ke mari, menyelinap di antara batu-batu besar dan pohon-pohon
mendaki puncak, tentu akan makin tebal kepercayaan mereka bahwa inilah
serombongan dewa atau manusia setengah dewa yang mendaki puncak itu untuk
bertahun baru di sana!
Rombongan
itu adalah para tosu dari Kun-lun-pai, termasuk tokoh-tokoh tingkat dua dan
tiga di Kun-lun-pai, maka tidaklah mengherankan apabila mereka berlima sepandai
itu mendaki puncak Thai-san. Tiba-tiba pemimpin rombongan, Ang Kun Tojin
mengangkat tangan memberi isyarat dan seketika lima orang itu berhenti, diam
tak bergerak seperti patung-patung dewa penghias gunung. Mereka semua telah
mendengar suara yang halus itu.
Suara
nyanyian yang halus seperti bisikan angin lalu, bercampur dan menyelinap di
antara desir angin mempermainkan daun dan dendang anak sungai di dasar jurang.
Namun kata-katanya jelas dapat tertangkap pendengaran telinga-telinga yang
terlatih itu.
Segala
sesuatu yang menimpa diri pribadi adalah akibat dari pada pikiran sendiri.
Pikiran
kotor yang mendorong ucapan dan perbuatan selalu dlikuti sakit dan penderitaan
seperti roda kereta mengikuti jejak sapi penariknya.
Pikiran
bersih yang mendorong ucapan dan perbuatan selalu diikuti kepuasan dan
kebahagiaan seperti bayangan yang tak pernah berpisah dari padanya.
Ang Tojin
melambaikan tangan dan lima orang tosu itu melanjutkan perjalanan mereka. Di
wajah-wajah tua itu timbul semangat baru, timbul harapan dan kegembiraan.
“Twa-suheng
(Kakak Seperguruan Pertama), apakah itu suara beliau...?” tanya tosu termuda,
usianya belum lima puluh tahun, bertahi lalat di ujung hidung.
“...ssssttttt...!”
Ang Kun Tojin menyuruh adik seperguruan termuda itu diam.
Mereka
melanjutkan pendakian dan tak seorang pun berani bertanya lagi. Sambil
mempergunakan ginkang (ilmu meringankan tubuh) yang khas Kun-lun-pai, yaitu
ilmu lari cepat Teng-peng-touw-sui (Injak Rumput Seperti Air). Langkah kaki
mereka dalam berlarian itu pendek-pendek namun cepat dan ginkang mereka begitu
hebat sehingga seakan-akan rumput yang terinjak kaki mereka tak sempat rebah
saking cepatnya kaki yang bergerak! Sementara itu suara nyanyian terdengar
terus, halus lembut menusuk anak telinga.
Dia
menyiksaku, dia memukulku, dia mengalahkan aku, dia merampokku!
Pikiran
seperti ini menimbulkan benci tiada habisnya.
Memang pikiran
ini berarti melenyapkan kebencian,
karena benci
takkan hapus oleh benci pula,
melainkan
musnah oleh kasih!
Ang Kun
Tojin mengerutkan keningnya. Dia adalah seorang tosu (Pendeta Agama To) yang
dalam pengetahuannya tentang Agama To, juga sebagai orang kedua dari
Kun-lun-pai dan seorang yang tekun mempelajari filsafat agama, ia mengenal
kata-kata dalam nyanyian itu. Itulah pelajaran dari Agama Buddha, merupakan
bait-bait pertama dari pada pelajaran dalam kitab Dhammapada. Ia pernah
mendengar bahwa ‘beliau’ adalah seorang yang menganut Agama To, mengapa
sekarang menyanyikan pelajaran berupa syair Agama Buddha? Apakah bukan beliau
yang bernyanyi itu? Seorang hwesio (pendeta Buddha) yang berada di puncak?
Mudah-mudahan begitu karena bagi Ang Kun Tojin, jauh lebih baik dan menimbulkan
harapan apabila beliau itu seorang yang beragama To.
Di
pertengahan puncak mereka berhenti lagi. Dengan penuh kekaguman mereka
memandang ke bawah. Awan putih berombak-ombak seperti lautan susu di bawah kaki
mereka. Puncak-puncak gunung lain tersembul ke luar seperti pulau-pulau runcing
atau seperti gunung-gunung kecil. Indah bukan main, mendatangkan rasa
seakan-akan mereka telah berada di kahyangan, tempat tinggal para dewa dan
makhluk halus, bukan tempat manusia, menimbulkan kepercayaan bahwa mereka makin
dekat dengan Tuhan. Memang, siapa dapat merasakan ketenangan dan ketenteraman,
selalu akan merasa dekat dengan Tuhan!
Perjalanan
dilanjutkan mendaki puncak. Tidak sesukar tadi, bahkan bumi yang mereka injak
ditilami rumput-rumput hijau segar sehalus beludru. Akan tetapi setiba mereka
di puncak yang dikelilingi batu-batu putih berjajar seperti menara, di tanah
datar yang halus itu mereka mendapat kenyataan bahwa dua rombongan orang telah
berada di situ mendahului mereka!
“Ha-ha-ha,
kalian terlambat, sehabat-sahabat Kun-lun-pai! Siapa terlambat takkan dapat,
bukankah begitu kata peribahasa, Ang Kun Toyu?” tegur seorang laki-laki pendek
gendut berusia enam puluhan, berpakaian sebagai petani sederhana dengan kepala
dilindungi caping lebar. Di belakang si gendut ini berdiri enam orang petani
lain, kesemuanya sudah lima puluh lewat usianya, sikap mereka sederhana seperti
pakaian mereka, namun jelas tampak kegagahan pada pandang mata mereka.
“Siancai...
siancai...,” Ang Kun Tojin mengucapkan puja-puja sambil merangkapkan kedua
tangan di depan dada memberi hormat, diikuti oleh empat orang adik seperguruannya.
“Tidak dinyana sahabat Kok Bin Cu dari Hoa-san-pai sudah hadir. Selamat Musim
Semi, Sicu (Orang Gagah).”
“Ha-ha-ha,
selamat... selamat, Toyu. Semoga kalian panjang usia, penuh bahagia dan makin
subur makmur dan kokoh kuat.” Si Gendut yang bernama Kok Bin Cu dan menjadi
murid kepala Hoa-san-pai itu balas memberi hormat, diturut oleh enam orang adik
seperguruannya.
“Juga pinto
(saya) bersaudara menghaturkan selamat kepada Leng Lo Suhu dan para Suhu dari
Bu-tong-pai,” kata pula Ang Kun Tojin sambil memberi hormat kepada rombongan
kedua yang di sebelah kiri.
Rombongan
ini terdiri dari empat orang hwesio berkepala gundul yang bersikap pendiam dan
dingin. Mereka dipimpin oleh seorang hwesio tua, usianya sekitar tujuh puluh
tahun, bertubuh tinggi tegap dan kelihatan masih kuat, jubahnya berwarna
kuning, tanda bahwa dia adalah seorang hwesio yang sudah mencapai tingkat
tinggi. Memang sesungguhnya Leng Lo Hwesio adalah murid kepala dan menjadi
orang kedua dari Bu-tong-pai. Selain ilmu silatnya amat tinggi, juga
pengetahuannya tentang Agama Buddha amat mendalam.
“Omitohud...,”
Leng Lo Hwesio cepat membalas penghormatan rombongan Kun-lun-pai ini, diturut
oleh tiga orang adik seperguruannya. “Para saudara Toyu dari Kun-lun-pai amat
ramah, semoga dilimpahi berkah oleh Sang Buddha....”
Murid kepala
Hoa-san-pai yang bertubuh pendek gendut itu adalah seorang tua yang gembira
sikapnya, suka berkelakar dan ia memandang dunia ini dari sudut yang
menggembirakan. Berbeda dengan rombongan-rombongan Kun-lun dan Bu-tong, yang
bersikap serius dan pendiam sehingga keadaan di situ menjadi kaku dan dingin.
Mungkin hal ini adalah karena kedua golongan ini telah menjadi pendeta sehingga
mereka pun harus menyesuaikan sikap sebagaimana layaknya para pendeta, yaitu
alim dan suci! Murid-murid Hoa-san-pai adalah penganut Agama To pula, akan
tetapi mereka bukanlah tosu, bukan pendeta agama ini, melainkan penganut biasa
dan hidup mereka sehari-hari adalah sebagai petani.
Melihat
keadaan yang kaku dan dingin, Kok Bin Cu tertawa keras dan berkata. “Wah, tiga
rombongan wakil partai persilatan terbesar di dunia tanpa sengaja telah
berkumpul di sini. Kiranya dengan maksud yang sama pula, yaitu hendak bertemu
dan mohon petunjuk dari Siansu (Guru Sakti), bukankah begitu Ang Kun Toyu dan Leng
Lo Suhu?”
“Pinceng
(saya) bersaudara memang hendak menghadap Bu Kek Siansu yang mulia dan mohon
belas kasihannya,” jawab murid kepala Bu-tong-pai dengan suara merendah,
sebagai seorang hwesio tidak malu-malu untuk minta-minta.
“Karena
beliau seorang pendeta To, sudah selayaknya kalau kami datang mohon diberi
penerangan,” jawab Ang Kun Tojin dengan angkuh.
“Belum tentu
beliau seorang tosu, tadi pinceng mendengar beliau menyanyikan syair kitab
Dhammapada, bukankah itu membuktikan bahwa Bu Kek Siansu adalah seorang pendeta
Buddha golongan kami?” bantah Leng Lo Hwesio dengan suaranya yang berat dan
lambat.
Mendengar
ini diam-diam para anak murid Kun-lun-pai menjadi kaget, kagum dan juga
khawatir. Nyanyian itu terdengar oleh mereka di lereng, masih amat jauh dari
tempat ini, akan tetapi ternyata mereka yang berada di puncak ini juga
mendengarnya. Bukan main! Penggunaan tenaga mujijat khikang yang disalurkan
pada suara nyanyian itu benar-benar sudah mencapai tingkat sempurna. Mereka
khawatir karena kalau betul-betul Bu Kek Siansu seorang penganut Agama Buddha,
tentu saja tipis harapan bagi mereka untuk bersaing dengan para hwesio itu.
“Ha-ha-ha,
ji-wi Lo-cianpwe (Dua Pendekar Tua) harap jangan salah duga dan menarik Siansu
pada golongan masing-masing. Biar pun saya sendiri, seperti juga sahabat semua,
selama hidup belum pernah bertemu muka dengan Bu Kek Siansu, namun sudah banyak
saya mendengar tentang orang tua sakti itu. Beliau mengakui semua agama,
seperti sifat para dewa yang melindungi semua manusia tanpa pilih bulu. Tentu
beliau seorang yang amat adil. Dan mengingat bahwa kami datang lebih dulu, yang
pertama di tempat ini, sepatutnya kami yang mendapat perhatian lebih dulu.
Siapa cepat dia dapat, bukan?”
Ang Kun
Tojin melangkah maju dan membantah, “Sicu dan saudara-saudara dari Hoa-san
bukanlah orang-orang yang mencari kesempurnaan batin, melainkan jasmaniah,
hidup sebagai petani-petani yang bahagia. Ilmu silat Hoa-san-pai juga sudah
tersohor di kolong langit. Untuk apa pula mohon petunjuk Siansu? Tentu bukan
untuk urusan kebatinan. Akan tetapi kalau hendak mohon petunjuk tentang ilmu
silat, untuk apakah pula? Pekerjaan petani tidak membutuhkan ilmu silat terlalu
tinggi.”
“Ucapan Toyu
benar,” sambung Leng Lo Hwesio. “Bagi pendeta-pendeta seperti kami dan para
tosu Kun-lun, tentu saja amat membutuhkan petunjuk tentang kebatinan dari
Siansu. Akan tetapi para Sicu (Orang Gagah) dari Hoa-san tak mungkin hendak
minta petunjuk tentang kerohanian. Kalau mereka hendak minta petunjuk tentang
ilmu silat, pinceng (saya) kira Siansu juga akan memberi petunjuk jika melihat
bahwa ilmu silat Hoa-san-pai masih amat rendah.”
Ucapan ini
biar pun terdengar membela namun mengandung sindiran yang memandang rendah
tingkat Ilmu Silat Hoa-san-pai. Memang hwesio murid kepala Bu-tong-pai ini
berwatak keras dan kaku, juga tidak biasa menyembunyikan apa yang dipikirnya.
“Leng Lo
Suhu benar-benar memandang rendah kami dari Hoa-san-pai!” tiba-tiba orang
kelima dari Hoa-san-pai membentak sambil melompat maju. Dia adalah Kok Ceng Cu,
seorang yang bertubuh tinggi tegap, berwajah tampan dengan sepasang mata tajam
bersinar-sinar, usianya sekitar tiga puluh tahun.
“Sama sekali
tidak memandang rendah,” bantah Leng Lo Hwesio. “Hanya pinceng sering kali
mendengar bahwa Hoa-san-pai mengutamakan tenaga luar dan penggunaan kaki tangan
dalam ilmu silat, tidak begitu mementingkan kekuatan dalam. Padahal Bu Kek
Siansu adalah seorang ahli kebatinan dan tentu saja petunjuknya akan
berhubungan erat dengan kebatinan, maka tidak akan cocok dengan Sicu sekalian.”
“Tidak
memandang rendah akan tetapi sama sekali tidak menghargai kepandaian lain
orang. Sama saja! Leng Lo Suhu, kami dari Hoa-san-pai memang masih rendah
pengetahuan, tidak ada sesuatu yang patut dibanggakan apalagi disombongkan.
Akan tetapi, saya akan merasa takluk kalau seorang di antara para Losuhu dari
Bu-tong-pai dapat melebihi apa yang akan saya perlihatkan!”
Kok Ceng Cu
yang masih berdarah panas dan tidak tahan mendengar partainya dipandang ringan
segera melangkah lebar mendekati sebuah batu gunung yang berwarna putih. Batu
ini sebesar perut kerbau, beratnya tidak kurang dari lima ratus kati.
Seperempat bagian dari batu ini terpendam dalam tanah, kokoh kuat dan untuk
mencabutnya ke luar kiranya dibutuhkan sedikitnya tenaga seribu kati.
Kok Ceng Cu
memasang kuda-kuda di dekat batu, kedua tangannya merangkul dari kanan kiri,
lalu dengan sebuah teriakan keras ia mengerahkan tenaga menjebol dan... batu
itu terangkat ke atas terus diangkat ke atas kepalanya. Otot-otot kedua
lengannya tersembul ke luar, lehernya mendadak menjadi besar, namun wajahnya
yang tampan itu tidak berubah, tetap tenang dan tersenyum.
Pihak
Bu-tong-pai dan Kun-lun-pai memandang kagum. Sebagai ahli-ahli silat tingkat
tinggi mereka maklum bahwa bukanlah hal yang mudah dilakukan untuk mengangkat
batu seberat itu hanya dengan mengandalkan tenaga luar. Selain membutuhkan
latihan tekun dan lama, juga harus memiliki bakat alam, yaitu tenaga yang besar
dan hal ini hanya dapat dimiliki oleh seorang laki-laki yang selama hidup tetap
membujang. Melihat keadaan wajah Kok Ceng Cu, terang bahwa jago Hoa-san-pai ini
biar pun usianya sudah tiga puluh tahun lebih, ternyata dia masih bujang,
jejaka tulen!
“Tenaga
gwakang (tenaga luar) Sicu hebat sekali, pinceng kagum!” kata Leng Lo Suhu
dengan sejujurnya.
Akan tetapi
hal ini memanaskan perut Leng Hi Hwesio, murid keempat dari Bu-tong-pai. Biar
pun usianya sudah enam puluh tahun, hwesio keempat dari Bu-tong-pai ini
wataknya keras dan tidak mau kalah. Ia segera melompat maju mendekati Kok Ceng
Cu dan berkata nyaring. “Main-main dengan batu mati ini apa sih anehnya? Sicu,
kalau kau sudah lelah dan bosan, boleh operkan batu itu pada pinceng!”
Tadinya Kok
Ceng Cu merasa bangga akan pujian murid tertua Bu-tong-pai, akan tetapi melihat
dan mendengar sikap dan kata-kata hwesio keempat ini, diam-diam ia merasa
penasaran juga kaget. Apakah hwesio yang kurus kering ini dapat mempergunakan
tenaga seperti dia? Ia berseru keras dan kedua lengannya bergerak ke bawah lalu
ke atas, melontarkan batu besar itu kepada Leng Hi Hwesio sambil berseru.
“Losuhu terimalah!”
Batu berat
itu meluncur ke arah hwesio Bu-tong-pai, kalau menimpa kepala tentu akan remuk.
Namun dengan tenang hwesio ini menggerakkan kedua tangannya, menerima batu itu
dengan gerakan indah. Kiranya ia telah menggunakan gerakan Dewa Menyambut
Mustika. Begitu kedua telapak tangannya menempel pada batu, ia meminjam tenaga
lontaran tadi, dan terus mengayun batu ke bawah, ke atas lagi, dan
melontarkannya ke atas, diterima lagi, diayun dan dilontarkan lagi ke atas
sampai lima kali. Ketika untuk kelima kalinya batu itu menimpa turun, ia
menggunakan gerakan menyabet dengan kedua tangan miring. Batu itu melenceng ke
samping, terbanting ke atas tanah sampai amblas hampir setengahnya. Inilah
gerak pukulan Pukul Roboh Gunung Hitam, sebuah jurus ilmu Silat Bu-tong-pai yang
lihai.
Terdengar
tepuk tangan memuji dari para tosu Kun-lun-pai.
“Siancai,
siancai, ilmu pukulan Bu-tong-pai benar-benar hebat!” seru Ang Kun Tojin.
Akan tetapi
Pek Sin Tojin, murid kelima Kun-lun-pai yang bertahi lalat pada ujung hidungnya
menjadi penasaran melihat betapa dua orang dari rombongan Hoa-san-pai dan
Bu-tong-pai seakan-akan mendemonstrasikan kepandaian. Kalau dari pihak
Kun-lun-pai tidak ada yang bergerak, jangan-jangan pihaknya akan dipandang
rendah.
Ia melangkah
maju mendekati batu itu, lalu berkata, “Siancai, batu terbanting keras
jangan-jangan banyak cacing yang akan tertimpa remuk.” Kaki kanannya bergerak
mencongkel dan... batu itu menggelinding ke luar dari dalam tanah, sampai lima
kaki lebih jauhnya. Gerakan ini saja membuktikan betapa lihainya para tosu
Kun-lun-pai.
Yang paling
berangasan di antara semua orang adalah Kok Ceng Cu. Ia mengeluarkan suara
ejekan dari hidungnya, “Hemmm, semua memamerkan tenaga dalam yang mengandalkan
tenaga pinjaman, bukan tenaga aseli dari otot dan urat. Biar pun kami dari
Hoa-san-pai hanya melatih otot untuk memperkuat tubuh, namun permainan lweekang
(tenaga dalam) seperti itu juga bukan hal aneh.” Ia tidak melakukan tantangan,
namun kata-katanya ini jelas mengangkat golongan sendiri dan tidak memandang
tinggi dua rombongan lain. Juga ia berdiri dengan dada terangkat, kedua kakinya
memasang kuda-kuda dengan sikap seolah-olah ia siap menghadapi siapa saja yang
berani melawannya!
Tentu saja
sikap ini memanaskan hati pihak Kun-lun-pai dan Bu-tong-pai, apalagi pihak
Bu-tong-pai. Kalau saja Ang Kun Tojin dan Leng Lo Hwesio tidak memberi isyarat
dengan pandang mata, tentu ada tosu Kun-lun dan hwesio Bu-tong yang melompat
maju untuk menghadapi Kok Ceng Cu.
Pada saat
itu terdengar suara tertawa nyaring dan merdu. Semua orang menjadi kaget,
memandang ke kanan kiri, namun tidak tampak seorang pun manusia. Padahal jelas
sekali tadi terdengar suara ketawa seorang wanita, terdengar dekat sekali,
bahkan suara pernapasan di antara kekeh tawa itu dapat mereka dengar.
“Omitohud!”
Leng Lo Hwesio mengeluarkan suara sambil merangkapkan kedua telapak tangan di
depan dada. “Sicu mengeluarkan sikap menantang, membikin marah dewi penjaga
gunung!”
“Kita datang
untuk mohon pelajaran kebatinan kepada Bu Kek Siansu, sedangkan saudara-saudara
dari Hoa-san-pai memperlihatkan kekerasan, sungguh lucu sehingga ditertawakan
oleh segala makhluk halus,” kata pula Ang Kun Tojin, namun diam-diam ia merasa
gelisah karena ia dapat menduga bahwa yang mengeluarkan suara ketawa itu sudah
pasti seorang yang memiliki kesaktian luar biasa. Terang bukan Bu Kek Siansu,
juga bukan yang bernyanyi tadi, karena suara ketawa ini adalah suara wanita.
“Kami
orang-orang Hoa-san-pai tidak takut terhadap segala siluman!” Kok Ceng Cu
berkata keras sambil melirik ke kanan kiri.
“Sute,
jangan bicara begitu...,” Kok Bin Cu mencela adik seperguruan yang berangasan
itu.
Akan tetapi
suaranya terhenti ketika tiba-tiba pada saat itu terdengar lagi suara ketawa
dan kini tahu-tahu di depan mereka telah berdiri seorang wanita yang amat
cantik. Dia datang begitu saja seperti muncul dari dalam bumi, tidak tampak
datangnya, tahu-tahu sudah berdiri di depan Kok Ceng Cu sambil tertawa
terkekeh-kekeh, bibirnya yang merah dan lembut itu terbuka, tampak dua deretan
gigi yang putih seperti mutiara berbaris.
Empat belas
orang itu memandang dengan mata terbelalak. Sungguh seorang wanita yang amat
cantik, dilihat dari wajahnya yang segar berseri itu agaknya belum dua puluh
lima tahun usianya, namun sikap dan gerak-geriknya membayangkan kepribadian
yang kuat dan berwibawa, tenang dan tabah, sikap masak seorang tokoh besar.
Pakaiannya
dari sutera tipis berwarna putih sehingga terbayang baju dalam yang berwarna
merah muda. Sepasang kakinya tertutup sepatu kulit mengkilap berwarna hitam.
Yang menarik hati dan mengerikan adalah rambutnya. Rambut hitam gemuk, panjang
sampai hampir menyentuh tanah di belakangnya, sebagian lagi terurai ke depan
dari kanan kiri lehernya. Tubuhnya padat berisi, kulit leher, tangan dan
mukanya halus dan putih seperti salju. Wanita yang cantik jelita, bersinar mata
bengis, dengan mulut yang tampaknya selalu mengejek dan diselubungi sesuatu
yang aneh mengerikan. Begitu ia muncul, tercium bau harum seperti taman bunga.
“Hi-hi-hik,
kiranya jejaka tampan yang mengeluarkan tantangan. Wah, untungku hari ini!
Orang muda yang penuh tenaga dan hawa murni, kau dari golongan mana?”
Kok Ceng Cu
biar pun sudah berusia tiga puluh tahun lebih, namun tak pernah berdekatan
dengan wanita. Memang ia tidak suka akan wanita dan sudah bersumpah akan tetap
membujang seumur hidup. Kini ia menjadi marah sekali menghadapi wanita cantik
aneh yang sikapnya sombong, ketawanya terbuka tanpa mengenal sopan dan susila
ini. “Wanita tak bersopan! Aku tidak suka bicara denganmu, akan tetapi kalau
kau ingin tahu, aku Kok Ceng Cu murid kelima dari Hoa-san-pai. Sudahlah, pergi
jangan menambah muak dengan ketawa-ketawa seperti siluman!”
“Hi-hi-hik,
jejaka murni, nyalinya kuat. Bagus, bagus, kebetulan sekali. Eh, Kok Ceng Cu,
kulihat tadi kau mengangkat batu kecil ini, entah apa kau kuat menerima
lemparan dariku?”
Tanpa
menanti jawaban, wanita ini menggerakkan kepalanya dan... rambutnya yang indah
dan panjang itu bergerak seperti hidup ke arah batu gunung putih di dekatnya
yang tadi dipakai main-main oleh orang-orang sakti itu. Begitu cepat gerakannya
dan tahu-tahu batu itu telah terlempar ke arah Kok Ceng Cu. Benar-benar membuat
semua orang bengong terlongong. Bagaimana rambut indah panjang itu dapat dipergunakan
untuk mengangkat dan melempar batu yang beratnya lima ratus kati lebih?
Akan tetapi
Kok Ceng Cu tidak sempat berheran. Melihat datangnya batu ke arah kepalanya, ia
cepat menggerakkan kedua lengan, menangkap batu itu dan mengerahkan tenaganya,
melemparkan batu itu kembali kepada wanita tadi sambil berseru membentak,
“Siluman jahat, terimalah kembali!”
Lemparan Kok
Ceng Cu dilakukan dengan pengerahan tenaga sepenuhnya, akan hebat sekali
akibatnya kalau wanita itu tertimpa. Agaknya wanita aneh ini tidak mempedulikan
datangnya batu, ia hanya mengangkat lengan kiri menangkis. Terdengar suara
keras dan batu itu terlempar ke kiri, pecah menjadi dua!
Kejadian ini
benar-benar membuat semua orang terkejut, dan sekaligus maklumlah mereka bahwa
wanita ini ternyata memiliki kepandaian yang amat luar biasa. Juga Kok Ceng Cu
sadar akan hal ini, namun penyesalannya terlambat. Sambil terkikik-kikik ketawa
wanita itu kembali menggerakkan kepalanya dan kini rambutnya terurai meluncur
ke depan dan di lain saat kedua pergelangan lengan dan leher Kok Ceng Cu sudah
terlibat rambut. Betapa pun murid kelima dari Hoa-san-pai ini mengerahkan
seluruh tenaganya untuk melepaskan diri, usahanya sia-sia seakan-akan seekor
lalat yang berusaha melepaskan diri dari sarang laba-laba, meronta-ronta tanpa
hasil, malah rambut-rambut itu makin erat mengikat tangan dan mencekik leher.
“Hi-hi-hik,
berontaklah, makin keras makin baik agar darahmu berjalan lebih kencang!”
Sambil terkekeh wanita itu kembali menggerakkan kepalanya.
Tubuh Kok Ceng
Cu tersentak ke depan, berputar dan tak dapat dicegah lagi mendekati wanita
itu. Tiba-tiba wajah wanita cantik itu menjadi beringas, matanya
bersinar-sinar, mulutnya terbuka dan... cepat sekali mulutnya mendekati tengkuk
leher Kok Ceng Cu lalu menggigitnya, terus menghisap! Kok Ceng Cu mengeluarkan
jerit mengerikan, mukanya menjadi pucat kehijauan dan beberapa detik kemudian
nyawanya telah melayang meninggalkan badannya!
“Siluman
keji...!”
Kok Bin Cu
dan tiga orang adik seperguruannya bergerak maju menerjang wanita itu. Akan
tetapi mereka terhuyung mundur dan tubuh Kok Ceng Cu yang sudah dingin
terlempar ke arah mereka, diiringi suara ketawa wanita itu. Melihat keadaan Kok
Ceng Cu yang sudah menjadi mayat, Kok Bin Cu cepat menyambar dan memeluk adik termuda
ini dengan penuh kesedihan. Ada pun tiga orang adik seperguruannya yang lain
berdiri dengan sikap siap, namun ragu-ragu untuk menerjang tanpa perintah Kok
Bin Cu. Mereka maklum akan kelihaian wanita siluman ini dan menjadi gentar
juga.
“Cuh!
Cuhhhhh!” terdengar suara orang meludah dan Leng Hi, murid keempat Bu-tong-pai
menyumpah-nyumpah karena mukanya terkena ludah kental yang tak diketahui dari
mana datangnya.
“Ho-ho-hah,
Siang-mou Sin-ni jangan berpesta seorang diri!” Suara laki-laki seperti tambur
bobrok ini terdengar dan sekaligus tampak orangnya.
Seorang
berpakaian pengemis, sudah tua dan bongkok, mukanya pucat seperti mayat.
Rambutnya panjang sampai ke pundak, awut-awutan dan riap-riapan kotor. Mata
kirinya buta, mata kanannya lebar membelalak. Pakaiannya kotor dan penuh
tambalan, hanya sepasang sepatunya masih baru. Ia memegang sebatang tongkat
butut, berdiri di situ dengan punggung agak bongkok.
Dilihat
sepintas lalu, ia hanya seorang pengemis kotor biasa saja, malah seorang
pengemis yang tidak normal, setengah gila. Hal itu tampak pada mukanya yang
mengerikan, apalagi mulutnya yang lebar dan selalu sedikit terbuka,
memperlihatkan sebuah gigi besar, gigi yang hanya satu-satunya dalam mulut tua.
Kembali ia
meludah, “Cuh-cuh-cuh!” ke kanan kiri, menjijikkan sekali.
Melihat ini,
Leng Li Hwesio marah, “Orang tua jorok (kotor), kaukah yang meludahi pinceng
tadi?”
“Ho-ho-hah-hah,
aku memang suka meludah, biasa meludahi anjing korengan dan kucing kudisan.
Lebih suka lagi meludahi keledai gundul, cuh-cuh!” Mukanya menghadap ke bawah
dan ia meludah ke bawah.
Akan tetapi
anehnya, dua kali meludah, dua kali muka Leng Hi Hwesio yang berada di sebelah
kanannya dalam jarak tiga meter itu terkena sambaran ludah kental yang sebagian
memasuki lubang hidungnya. Entah bagaimana ludah itu bisa terbang menyeleweng
dan miring.
Kakek
pengemis itu berjingkrak kegirangan, bertepuk-tepuk tangan sambil tertawa.
“Ha-ho-hoh! Bagus sekali. Keledai Bu-tong memang baik menjadi tempolong ludah!”
“Jahanam
hina!” Leng Hi Hwesio mana dapat menahan kesabarannya? Dengan kemarahan
meluap-luap ia sudah mencabut pedangnya dan menerjang pengemis itu.
“Ho-ho-ha-hah,
untung besar hari ini bisa meludahi mampus keledai Bu-tong!”
Tiba-tiba
terdengar suara keras dan pedang di tangan Leng Hi Hwesio sudah terlempar jauh,
menimpa batu gunung dan patah menjadi dua. Kemudian kakek pengemis itu meludah
terus dan tiap kali meludah, Leng Hi Hwesio berseru kesakitan. Hujan ludah itu
mengenai tubuhnya, akan tetapi tidak hanya membikin kotor seperti tadi, kini
terasa seperti pukulan-pukulan keras yang tepat mengenai jalan darah di
tubuhnya. Tiap kali kakek itu meludah dan mengenai tubuhnya, ia berteriak
mengaduh, kemudian ia menggulingkan tubuh untuk menghindarkan diri. Namun kakek
itu terus meludah, bahkan agaknya makin keras karena kini tubuh Leng Hi Hwesio
bergulingan seperti seekor cacing terkena abu panas dan dari telinga dan
hidungnya keluar darah segar!
“Pengemis
keji, lepaskan Sute kami!” Leng Lo Hwesio dan dua orang adik seperguruannya
cepat mencabut pedang dan menerjang pengemis itu.
Akan tetapi
pengemis itu mengangkat tongkatnya, sekaligus tiga batang pedang itu tertangkis
dan terpental. Sungguh pun tiga orang hwesio kosen itu tidak sampai melepaskan
pedang masing-masing, namun mereka merasakan telapak tangan mereka sakit dan
panas. Terkejutlah mereka. Bu-tong-pai terkenal dengan ilmu pedang yang
digerakkan dengan tenaga lweekang, kuat bukan main. Akan tetapi sekarang sekali
tangkis saja kakek ini dapat membuat pedang mereka terpental. Padahal mereka
adalah orang-orang yang menduduki tingkat dua, tiga, dan empat di Bu-tong-pai,
yang paling lihai di bawah suhu (guru) mereka!
Sementara
itu, kakek itu terus meludahi tubuh Leng Hi Hwesio yang kini sudah tak dapat
bersambat atau bergerak lagi. Hebatnya, kepala yang gundul itu kini
bolong-bolong dan dari situ keluar darah bercampur otak. Hwesio keempat ini
sudah tewas!
“Mana orang
Kun-lun! Mana tosu-tosu bau dari Kun-lun?” tiba-tiba terdengar suara dan kali
ini suara itu terdengar dari... bawah!
Terlalu
hebat peristiwa yang terjadi berturut-turut itu, dan para tosu Kun-lun-pai
masih tercengang dan ngeri menyaksikan kematian seorang anggauta rombongan
Hoa-san-pai dan seorang hwesio Bu-tong-pai. Sekarang mendengar bentakan dari
bawah tanah ini, mereka seketika menjadi pucat dan cepat memandang ke arah
suara. Tentu saja pandang mata mereka tertuju ke bawah, karena dari situlah
munculnya suara.
“Hi-hi-hik,
It-gan Kai-ong! Dengar itu, Si Tengkorak Hidup Hek-giam-lo juga datang. Bakal
ramai sekarang!” Wanita rambut panjang tadi kini tertawa.
Si Pengemis
Mata Satu juga tertawa dan meludah ke kanan kiri. “Bagus, dan kebetulan
orang-orang Kun-lun berada di sini. Baik sekali. Hayo, Hek-giam-lo tengkorak
busuk, perlihatkan diri, apa kau gentar melihat banyak orang Kun-lun-pai?”
Mendengar
disebutnya Hek-giam-lo, muka Ang Kun Tojin makin pucat. Ia belum pernah bertemu
dengan Hek-giam-lo, akan tetapi ia mengenal nama ini yang oleh gurunya disebut
sebagai seorang tokoh hitam yang amat keji dan jahat, malah ada bibit
permusuhan dengan Kun-lun-pai, yaitu musuh dari mendiang kakek guru Ang Kun
Tojin.
Terdengar
suara menggereng seperti harimau dari dalam tanah. Tiba-tiba tanah berikut batu
berhamburan terbang dan tahu-tahu tanah itu sudah berlobang besar. Dari dalam
lubang meluncur cahaya seperti kilat yang terbang ke arah lima orang tosu
Kun-lun-pai.
Para tosu
ini bukanlah orang-orang sembarangan. Tingkat ilmu silat mereka seperti juga
orang-orang Hoa-san-pai dan Bu-tong-pai itu, sudah mencapai taraf tinggi
sekali. Sekali pandang saja mereka maklum bahwa yang menyambar ini adalah
sebuah senjata yang amat tajam dan runcing, yang disusul melesatnya bayangan
hitam. Cepat mereka berlima melompat ke belakang, mencabut pedang dan
menangkis.
“Trang-trang-trang...!”
terdengar bunyi nyaring.
Bunga api
berhamburan disusul melayangnya tiga batang pedang, yaitu tiga batang di antara
lima pedang yang bertemu dengan senjata berkilauan itu. Kemudian terdengar
jerit mengerikan dan Pek Sin Tojin, tosu yang bertahi lalat pada hidungnya,
telah roboh mandi darah. Dari leher sampai ke perutnya terdapat luka goresan
yang panjang, luka kulit saja akan tetapi amat mengerikan. Apalagi kalau mereka
melihat lawan mereka yang kini sudah berdiri di depan mereka, benar-benar
mendirikan bulu roma.
Dia seorang
yang tubuhnya sedang saja, malah agak kurus. Seluruh badan terbungkus pakaian
serba hitam, kecuali sepasang tangan yang kecil kurus. Mukanya adalah muka
tengkorak, tulang putih mengerikan dengan dua lobang mata hitam, kepala
tengkorak tertutup topi runcing hitam, kedua kakinya memakai sepatu hitam pula.
Di tangannya tampak sebuah senjata sabit yang amat tajam dan runcing, agak
melengkung.
Senjata
sabit itu kini bergerak-gerak ke arah tubuh Pek Sin Tojin, sekali berkelebat
tentu kulit tubuh tosu itu teriris robek. Pek Sin Tojin menggeliat-geliat
bergulingan, darah memenuhi tubuh dan mukanya, namun sabit itu terus bergerak,
makin lama makin cepat. Empat orang tosu Kun-lun-pai menerjang lagi, yang dua
orang termasuk Ang Kun Tojin menggunakan pedang, yang dua orang lagi karena
pedangnya terlempar, menerjang dengan kepalan. Akan tetapi hebatnya, si
tengkorak ini hanya menggerak-gerakkan tangan kirinya dan semua serangan itu
tertangkis oleh ujung lengan bajunya. Ada pun sabit di tangan kanannya terus
bergerak, mengiris-iris kulit tubuh Pek Sin Tojin sampai cobak-cabik.
Kekejaman
yang mendirikan bulu roma. Pek Sin Tojin tak dapat mengerang lagi, tubuhnya
berkelojotan, lalu diam. Gerakan sabit juga berhenti dan kini sabit itu
berkelebatan menghadapi empat orang Kun-lun-pai yang mengeroyoknya.
Sementara
itu orang-orang Bu-tong-pai sudah bergerak mengeroyok si kakek pengemis yang
melayani tiga orang kosen Bu-tong-pai ini sambil meludah-ludah dan memaki-maki.
Di lain pihak, empat orang Hoa-san-pai juga mengeroyok si wanita rambut panjang
yang melayani mereka sambil terkekeh-kekeh genit.
Sungguh
pertempuran yang amat seru namun tidak seimbang kekuatannya. Seperti tiga ekor
harimau buas dikeroyok serombongan kelinci saja. Sabit di tengan tengkorak
hidup itu menyambar seperti halilintar dan sebentar saja dua orang tosu
Kun-lun-pai sudah menggeletak dengan tubuh terbacok hampir putus menjadi dua
potong, sedangkan Ang Kun Tojin dan seorang sutenya sudah luka-luka pula.
Juga wanita
mengerikan yang bernama Siang-mou Sin-ni (Dewi Rambut Harum) telah menewaskan
dua orang Hoa-san-pai dengan cambukan-cambukan rambutnya. Wanita ini hanya
berdiri tegak, kepalanya digerak-gerakkan dan rambutnya melayang-layang di
sekitar tubuhnya, menangkis senjata dan menghantam lawan. Jangan dipandang
rendah rambut ini, karena ketika menghantam lawan, rambut halus dan berbau
harum itu seakan-akan telah berubah menjadi kawat baja yang amat kuat.
It-gan
Kai-ong (Raja Pengemis Mata Satu), meludah-ludah dan memaki-maki. Ludahnya
membikin buta seorang lawan yang terus kepalanya ditusuk tongkat sehingga mati
seketika. Leng Lo Hwesio mengerahkan seluruh ilmu pedang Bu-tong Kiam-hoat,
namun sama sekali tak berdaya menghadapi sinar tongkat kakek itu.
Mereka semua
maklum bahwa kalau dilanjutkan, mereka semua pasti akan tewas. Seperti ada yang
memberi komando, Ang Kun Tojin, Kok Bin Cu, dan Leng Lo Hwesio melompat pergi
meninggalkan para sutenya yang sudah tewas. Mereka pun menderita luka-luka
berat.
“Ha-ha-ho-ho!
Siang-mou Sin-ni, Hek-giam-lo, biarkan mereka pergi untuk memberi tahu kepada
partai masing-masing!”
“Tak usah
kau ngoceh, pengemis picak!” Siang-mou Sin-ni mencibirkan bibirnya yang merah
sambil mengebut-ngebutkan rambutnya yang panjang dengan cermat. “Kalau aku mau,
apa kaukira tua bangka Hoa-san itu bisa pergi hidup-hidup?”
“Ho-ho-hah!
Bagaimana, Hek-giam-lo, puas kau hari ini dapat membunuh empat orang tokoh
Kun-lun?” Pengemis itu berpaling kepada si Tengkorak.
“Aku datang
ke Thai-san bukan untuk itu,” Hek-giam-lo si Tengkorak Hidup menjawab pendek.
“Hi-hik,
untuk apalagi kalau bukan untuk minta sesuatu dari Bu Kek Siansu? Iihhh,
Hek-giam-lo, sejak kapan kau ikut-ikut menjadi pengemis seperti pengemis picak
ini?” Siang-mou Sin-ni mengejek. Akan tetapi Hek-giam-lo tidak menjawab, hanya
mendengus marah.
“Ho-hah,
setan cilik, lidahmu benar-benar lemas. Bibirmu halus mengandung madu, tapi
ludahmu seperti brotowali dan merica! Kau sendiri datang pada permulaan musim
semi, apakah akan memberi selamat panjang umur kepada setan gunung? Ho-ho, kau
sendiri juga akan mengemis ilmu, bukan?”
“Cih,
mulutmu bau busuk, pengemis kotor! Aku mendengar bahwa Bu Kek Siansu akan
muncul di dunia. Aku hendak melihat apakah dia dapat menghadapi rambutku, kalau
dapat, baru aku mau mengangkatnya sebagai guru, bukan mengemis seperti kau!”
“Ha-ha,
silat lidah! Menjadi murid dan mengemis ilmu, apa bedanya? Malu-malu kucing
segala, cuh!” It-gan Kai-ong meludah ke dekat kakinya dan batu di dekatnya
berlubang oleh ludah itu! “Bukankah begitu, Hek-giam-lo?”
Si Tengkorak
hidup tidak menjawab, tidak mengangguk atau menggeleng hanya mengeluarkan
suara, “Huhhh!”
“Ihhh,
menyebalkan si Tengkorak busuk ini. Apa mendadak menjadi bisu? Apakah ingin
menyembunyikan suara seperti bertahun-tahun ia menyembunyikan mukanya? Wah,
alangkah inginku merenggut lepas kedok tengkorak itu dan melihat apakah dia
laki-laki atau wanita, kalau laki-laki tampan atau buruk, muda atau tua!”
“Hemmm...,”
Tengkorak hidup itu mundur selangkah, mukanya menghadap Siang-mou Sin-ni dan
senjata sabitnya yang mengerikan itu diangkat ke atas, agaknya siap bertempur.
It-gan
Kai-ong berjingkrak-jingkrak tertawa dan bertepuk-tepuk tangan. “Bagus,
bagus...! Aku pun mempunyai keinginan yang amat sangat, yaitu melihat kalian
bertempur mengadu ilmu. Alangkah akan ramainya, entah siapa yang hanya bernama
kosong belaka. Siang-mou Sin-ni ataukah Hek-giam-lo. Hayo, mulailah!”
Sejenak
Siang-mou Sin-ni ragu-ragu, kepalanya sudah tegang, agaknya ia hendak
menggerakkan rambutnya menerjang. Akan tetapi matanya melirik ke arah pengemis
tua itu, lalu tiba-tiba ia tertawa terkekeh-kekeh. “Hi-hi-hik, pengemis tua
busuk, kau hendak akali kami berdua, ya? Kau mengadu kami, biar keduanya mampus
atau payah, baru kau turun tangan dan dapat memonopoli atas ilmu-ilmu dari Bu
Kek Siansu. Begitukah? Akal bulus!”
“Kalian mau
saling gempur atau saling cinta, apa sangkut-pautnya dengan aku? Habis, kau mau
apa?” Kakek itu merengut kesal.
“Kita
bertiga harus menentukan siapa paling unggul, dialah yang berhak menemui Bu Kek
Siansu. Yang kalah dinyatakan tidak berharga dan harus minggat.”
“Setuju!”
jawab It-gan Kai-ong. “Kau bagaimana?” tanyanya kepada Hek-giam-lo. Yang
ditanya hanya mengangguk, tetap berdiri memasang kuda-kuda, sikapnya amat
bercuriga dan tidak percaya kepada dua orang di depannya itu.
Tiga orang
sakti itu berdiri memasang kuda-kuda, saling pandang dengan sinar mata penuh
kebencian. Mereka seakan-akan tiga ekor harimau yang siap menanti datangnya
terjangan lawan, tegang sampai ke bulu-bulunya, akan tetapi terlalu hati-hati
untuk bergerak lebih dahulu karena maklum bahwa lawan amatlah hebat, siapa
terlena dia akan sirna.
Tiba-tiba
Siang-mou Sin-ni melengking tinggi dan rambutnya bergerak seperti sinar hitam
menyambar ke arah Hek-giam-lo. Hanya satu atau dua detik selisihnya dengan
gerakan It-gan Kai-ong yang menggunakan tongkat menyerang wanita ini, dan
gerakan Hek-giam-lo yang menggunakan sabit menerjang It-gan Kai-ong. Sekaligus
tiga orang itu telah menyerang dan diserang. Sekaligus pula mereka mendengus
nyaring dan mengelak dengan lompatan kilat ke samping. Kini mereka berdiri lagi
membentuk segi tiga, memasang kuda-kuda dan tidak bergerak. Suara desingan
senjata mereka yang menyambar tadi masih terdengar gemanya, mengaung dari dalam
jurang di dekat situ.
Amat tegang
seluruh urat syaraf ketiga orang itu, mereka sudah bersiap untuk melakukan
terjangan atau menghadapi serangan lagi. Akan tetapi tiba-tiba wajah mereka
bergerak dan perhatian mereka tertarik oleh bunyi suling yang amat luar biasa.
Sesaat bunyi suling itu semerdu kicau burung di waktu pagi hari menyongsong munculnya
sang matahari, akan tetapi pada saat lain terdengar seakan-akan halilintar
menyambar-nyambar membelah gunung, pada detik ini terdengar gembira seperti
suara bidadari tertawa merdu, pada lain detik seperti tangis wanita yang
ditinggal mati suaminya.
“Tunda dulu
urusan kita,” kata It-gan Kai-ong.
“Kita lihat
siapa yang datang,” sambung Siang-mou Sin-ni mengangguk.
Hek-giam-lo
hanya mengangguk dan menurunkan sabitnya. Makin lama suara suling terdengar
makin nyaring, seolah-olah penyulingnya berjalan perlahan mendekati tempat itu.
Tiga orang sakti ini menjadi tegang hatinya, mereka menduga-duga. Nama besar Bu
Kek Siansu yang dipuja-puja seluruh tokoh kang-ouw sudah banyak kali mereka
dengar, namun selama hidup mereka belum pernah melihat orangnya. Apakah kakek
sakti itu yang muncul sekarang sambil meniup suling?
Tak lama
kemudian muncullah si peniup suling dari balik batu besar, berjalan dengan
tenang perlahan menuju ke puncak sambil meniup suling yang dipegang dengan
kedua tangannya. Suling itu berkilauan tertimpa matahari dan mudah diduga bahwa
benda ini terbuat dari pada emas murni. Peniupnya seorang laki-laki tinggi
tegap, tampan dan gagah, berusia antara tiga puluh tahun. Pakaiannya seperti
pakaian seorang pelajar, dengan ikat pinggang sutera dan tali penutup kepala
melambai panjang. Pakaian orang ini hanya bentuknya saja seperti pakaian
pelajar, juga topinya, akan tetapi warna sepatu, pakaian, dan topinya hitam,
kecuali ikat pinggang dan pinggiran jubah yang berwarna kuning. Di bagian dada
bajunya yang hitam itu tampak lukisan sebuah suling emas di atas dasar bulatan
merah muda seperti bulan purnama.
“Iihhh...
gantengnya...!” Siang-mou Sin-ni memuji, matanya memandang penuh gairah kepada
wajah yang tampan itu.
“Inikah
orangnya yang memakai nama Suling Emas...?” It-gan Kai-ong berkata perlahan
seperti pada diri sendiri. Ada pun Hek-giam-lo hanya mengeluarkan suara
mendengus marah.
Sementara
itu laki-laki muda bersuling itu sudah melihat adanya tiga orang aneh di
puncak, juga adanya mayat-mayat berserakan di sekitar tempat itu. Suara
sulingnya berhenti, benda itu ia selipkan pada ikat pinggang dan kedua kakinya
melangkah lebar dan cepat ke tempat itu. Keningnya berkerut, sepasang alis yang
tebal hitam itu seakan-akan bersambung menjadi satu.
“Keji sekali...!”
Ia bersungut-sungut tanpa mempedulikan tiga orang itu.
“Kami yang
membunuh mereka. Kau mau membela?” ejek It-gan Kai-ong menantang.
Pemuda itu
tersenyum, menoleh kepada pengemis mata satu dan berkata dengan suara tenang
berwibawa, “Kalian membunuh orang, tidak ada sangkut-pautnya dengan aku, aku
tidak peduli, bukan urusanku. Akan tetapi andai kata tadi aku berada di sini,
jangan harap kalian mengumbar kekejaman sesuka hati.”
Setelah
berkata demikian orang ini lalu menghampiri Hek-giam-lo, memandang sejenak dan
berkata. “Kau Hek-giam-lo, bukan? Beri pinjam senjatamu sebentar, aku hendak
mengubur mayat-mayat itu.”
Hek-giam-lo
mendengus dan melangkah mundur, sabitnya ia angkat ke atas kepala, siap
menerjang.
Orang muda
itu tertawa mengejek. “Kau takut aku melarikan senjatamu itu? Ha-ha, aku sering
kali mendengar bahwa manusia iblis Hek-giam-lo memiliki kepandaian yang amat
tinggi, kiranya ia hanya mengandalkan nyawanya kepada sebatang sabit, maka
takut kehilangan senjatanya. Hek-giam-lo, sulingku ini dari emas, jauh lebih
berharga dari pada sabitmu, baik harganya mau pun kegunaannya. Kalau kau takut
aku melarikan sabitmu, biar kau bawa dulu sulingku ini.”
Sebagai
seorang tokoh besar dalam dunia persilatan, mana Hek-giam-lo mau menyerahkan
senjatanya? Senjata yang diandalkan sama harganya dengan nyawa. Ia mendengus
kembali, menggelengkan muka tengkoraknya.
Pemuda
tinggi ganteng itu tersenyum lebar, tapi sepasang matanya mengeluarkan sinar
tajam. “Terimalah ini!” serunya dan suling di tangan kanannya itu tiba-tiba
meluncur seperti halilintar menyambar ke arah leher kiri Hek-giam-lo. Serangan
ini cepat bukan main, juga tidak terduga karena gerakan suling itu dilihat dari
depan seperti memutar, ujungnya membentuk lingkaran yang tidak dapat diterka ke
mana akan mencari sasaran.
Tiba-tiba
Hek-giam-lo melihat ujung suling sudah hampir menempel ulu hatinya. Namun ia
memang lihai sekali. Sambil mengeluarkan suara gerengan seperti setan, tangan
kirinya menyambar dari samping menangkap suling itu dan mendorong ke kanan agar
meleset dari pada ulu hatinya, bagian yang berbahaya itu. Alangkah herannya
ketika ia merasa betapa suling itu dengan mudah dapat ia renggut, malah agaknya
dilepaskan oleh pemiliknya.
Ia menduga
akan adanya tipuan, akan tetapi terlambat karena pada saat itu datang tenaga
yang amat keras merampas sabitnya. Ia masih berusaha mempertahankan dengan
tangan kanan, namun tiba-tiba suling di tangan kirinya itu bergerak hendak menusuk
dadanya kembali. Terpaksa ia mengalihkan perhatian dan tenaganya ke tangan kiri
yang mencengkeram suling, berusaha merampas suling untuk menyelamatkan diri.
Lebih penting menyelamatkan diri dari ancaman suling, baru kemudian berusaha
merampas kembali senjatanya.
Pemuda itu
tertawa sambil melompat mundur, sabit panjang sudah berada di tangannya.
“Hek-giam-lo, terima kasih atas kebaikanmu. Hanya sebentar aku pinjam sabitmu,
kalau sudah selesai akan kukembalikan.”
Setelah
berkata demikian, pemuda aneh ini lalu melirik ke kanan kiri beberapa lama,
kemudian tiba-tiba ia meloncat ke kiri, sekali loncatan tubuhnya melayang lebih
sepuluh meter jauhnya. Kiranya ia memilih tanah yang lunak di balik sebuah batu
besar. Sabit di tangannya bergerak dan tampak sinar berkilauan ketika dengan
cepatnya ia menggali tanah dengan sabit itu.
“Heh, kau
tentu si muda sombong yang memakai nama Kim-siauw-eng (Pendekar Suling Emas)!”
terdengar suara serak si Muka Tengkorak. “Kembalikan senjataku.”
Suling Emas
tidak menjawab, melainkan menggali terus dengan cepat sekali sehingga sebentar
saja di depannya telah tergali sebuah lubang besar. Namun ia masih menggali
terus dengan cepat.
Sinar hitam
yang lembut bergulung meluncur ke arah punggungnya. Sinar hitam ini datang dari
Hek-giam-lo yang melepas senjata rahasianya yang disebut Hek-in-tok-ciam (Jarum
Beracun Awan Hitam). Begitu hebat racun jarum-jarum yang jumlahnya tujuh batang
ini sehingga mengeluarkan uap hitam seakan-akan awan yang membungkusnya ketika
benda-benda kecil ini meluncur mencari korban.
Melihat
Hek-giam-lo mempergunakan ilmunya melepas jarum, Siang-mou Sin-ni dan It-gan
Kai-ong terkejut. Mereka berdua sudah mengenal baik hebatnya jarum-jarum itu.
Sekarang Suling Emas yang ternyata hanya seorang pemuda masih hijau diserang
dari belakang dan pemuda itu asyik bekerja menggali tanah, mana dapat ia
menyelamatkan diri?
Suling Emas
menggali dengan gerakan cepat dan aneh. Bukan hanya tangan kanan yang memegang
sabit saja yang bergerak, malah semua tubuhnya ikut bergerak. Seorang petani
akan mentertawakannya karena cara ia mencangkul tanah menggunakan sabit amatlah
lucu, meloncat ke sana ke mari, bergoyang-goyang dan terhuyung-huyung. Akan
tetapi kalau melihat hasil galian di depannya, orang akan bengong terlongong.
Sepuluh orang tukang cangkul bekerja sama dengan cangkul yang baik sekali pun
belum tentu akan dapat menggali lubang sedemikian besar dalam waktu demikian
cepatnya.
Sekarang
tiga orang sakti itu yang menjadi kagum. Tanpa menoleh Suling Emas masih tetap
bekerja dan ketika gulungan awan hitam yang membungkus jarum-jarum beracun itu
menghampirinya dan berpencar mengarah tujuh bagian jalan darah terpenting, ia
masih saja bergerak-gerak menggali lobang. Namun kini di antara berkelebatnya
sinar sabit yang putih, tampak bergulung-gulung sinar kebiruan yang
mengeluarkan angin keras. Mendadak awan hitam itu membalik sampai tiga kaki
jauhnya, Hek-giam-lo mengeluarkan suara geraman hebat dan awan hitam itu
mendesak maju lagi, si Muka Tengkorak berdiri setengah berjongkok, kedua
tangannya dilonjorkan ke depan dan ia mengerahkan tenaga sinkang-nya untuk
memberi dorongan kepada senjata rahasianya.
Suling Emas
menunda gerakannya menggali. Ia pun membalik dan kiranya di tangan kirinya
terdapat sebuah kipas biru yang terdapat lukisan indah. Ia mengipaskan benda
itu ke depan sambil berseru. “Hek-giam-lo, aku terima tantanganmu, akan tetapi
tunggulah sebentar sampai selesai pekerjaanku.” Ia mengebutkan lagi kipasnya
dan sekali lagi awan hitam yang sudah mendesak maju itu terpental mundur sampai
lima kaki jauhnya.
Tanpa
mempedulikan Hek-giam-lo yang terpaksa menerima kembali jarum-jarumnya itu,
Suling Emas berloncatan ke sana ke mari dan tampaklah mayat-mayat yang
berserakan itu satu demi satu melayang masuk ke dalam lobang besar yang
digalinya tadi. Pemandangan yang amat mengerikan. Mayat-mayat itu seakan-akan
hidup kembali dan terbang seperti setan-setan penasaran. Padahal Suling Emas
hanya menggunakan ujung sabit untuk mencongkel mayat-mayat itu. Dalam waktu
pendek saja sebelas buah mayat itu sudah terbang semua ke dalam lubang. Suling
Emas lalu menguruk lubang dengan tanah galian. Begitu cepat ia melakukan
pekerjaan ini sehingga waktu untuk menggali dan ‘mengubur’ ini tidak lebih dari
pada sepuluh menit saja!
“Ho-ho-hah-hah,
Suling Emas namanya menyundul langit. Kiranya hanya seorang bocah ingusan yang
tak tahan melihat mayat-mayat berserakan. Ha-ha-ha.” It-gan Kai-ong tertawa
mengejek.
“It-gan
Kai-ong, terimalah salamku. Tak kusangka di puncak Thai-san ini akan bertemu
dengan seorang raja, sungguh menyenangkan,” jawab Suling Emas.
“Tampan
sekali! Ganteng... dan jejaka tulen. Hebat! Suling Emas, mari pergi bersama
saya...” Suara Siang-mou Sin-ni amat manis dan merdu, senyumnya memikat dan
kerling matanya menyambar. Pemuda biasa saja kiranya akan runtuh kalbunya dan
bobol pertahanannya kalau menghadapi senyum dan kerling yang memabukkan ini.
Memang Siang-mou Sin-ni memiliki kecantikan yang luar biasa, keharuman rambut
yang memabukkan, dan ada sesuatu yang mujijat, hawa kekuatan yang tidak
sewajarnya keluar dari tubuhnya.
Suling Emas
menjadi merah mukanya ketika ia mengangguk dan membungkuk sebagai tanda hormat.
“Siang-mou Sin-ni, terima kasih. Kulihat di antara mayat-mayat itu terdapat
seorang muda yang sudah kau sedot habis isi tulang belakangnya, apakah kau
masih juga belum kenyang?”
Siang-mou
Sin-ni hanya terkekeh-kekeh mendengar ejekan ini. Ada pun It-gan Kai-ong lalu
menegur, “Kim-siauw (Suling Emas), kau yang masih begini muda, bagaimana berani
lancang menyebut nama kami? Bagaimana kau bisa megenal bahwa aku It-gan
Kai-ong?”
Suling Emas
tertawa. “Banyak raja di dunia ini, akan tetapi yang suka memakai pakaian
tambalan, hanyalah raja pengemis. Di antara banyak raja pengemis yang terkenal,
memang ada beberapa orang di antaranya yang buta kedua matanya, akan tetapi
yang picak sebelah hanyalah It-gan Kai-ong.”
Siang-mou
Sin-ni makin keras kekeh tawanya, bahkan si Muka Tengkorak yang pendiam juga
terbatuk-batuk menahan tawa. It-gan Kai-ong mencak-mencak saking marahnya.
“Bocah sombong, berani kau mempermainkan aku? Hayo ke sinilah, boleh kita adu
kepandaian.”
“Nanti dulu,
Kai-ong. Biarlah dia mencoba kelihaian rambutku. Kalau dia bisa mengatasi
rambutku, tak perlu aku mencium dan menggigitnya, hi-hi-hik!” Siang-mou Sin-ni
melangkah maju.
Akan tetapi
Suling Emas tidak mempedulikan mereka berdua. Langsung ia menghampiri
Hek-giam-lo, menyerahkan senjata sabit. “Ini senjatamu, Hek-giam-lo, dan terima
kasih.”
Hek-giam-lo
mengulur tangan kiri menangkap gagang sabitnya, akan tetapi Suling Emas tidak
melepaskannya. Sambil tersenyum pemuda ini mengulur tangan kiri pula ke arah
sulingnya yang masih dipegang oleh Hek-giam-lo, kemudian menyambar suling itu.
Keduanya kini berdiri berhadapan dengan kedua tangan memegang kedua macam
senjata, tidak saling dilepas. Sejenak mereka berpandangan, ragu-ragu berada di
pihak Hek-giam-lo, akan tetapi kemudian ia mengendorkan pegangannya pada
suling. Suling Emas juga melepaskan sabit dan menarik suling sehingga di lain
saat kedua orang itu sudah saling bertukar senjata.
Hek-giam-lo
yang masih marah dan penasaran sudah mengangkat sabit, siap menyerang. Akan
tetapi ia kalah dulu oleh Siang-mou Sin-ni yang sudah melompat ke depan Suling
Emas dan sambil terkekeh wanita ini menggerakkan rambutnya yang mengeluarkan
bunyi bercuitan seperti seratus cambuk menerjang Suling Emas. Bau yang harum
semerbak memabukkan menusuk hidung.
Suling Emas
cepat mengerahkan sinkang dan melompat ke belakang, sulingnya menyampok ke
depan dibarengi kipasnya dikebutkan. Terdengar suara nyaring ketika suling emas
itu bertemu dengan gumpalan rambut yang paling tebal, sedangkan kipas yang
bergerak kuat itu meniup balik rambut panjang yang tadi menerjang maju seperti
hidup.
Baik Suling
Emas mau pun Siang-mou Sin-ni masing-masing melangkah mundur tiga tindak dan
saling pandang dengan kagum. Malah Siang-mou Sin-ni kelihatan kaget. Tak
disangkanya bahwa pemuda ganteng ini demikian kuat dan lihai. Kulit kepalanya
sampai terasa pedas dan panas karena akar rambutnya terguncang keras. Di lain
pihak Suling Emas juga maklum bahwa wanita ini benar-benar luar biasa seperti
yang sudah lama ia dengar. Kipas dan sulingnya tergetar hebat dan ia sampai
melirik kepada dua senjatanya itu untuk melihat apakah kipas dan suling tidak
menjadi rusak.
“Siang-mou
Sin-ni, jangan kau lancang. Karena dia tadi menghinaku, akulah yang berhak
menantangnya. Eh, Suling Emas bocah sombong, beranikah kau menghadapiku?”
Hek-giam-lo sudah melangkah maju lagi, tangan kirinya merogoh saku.
Suling Emas
melintangkan suling di depan dada dan kipasnya diangkat ke atas kepala. Ia
tersenyum tenang. “Aku mendaki puncak Thai-san dengan perasaan aman dan damai,
dengan pikiran gembira dan bersih dari pada permusuhan dengan siapa pun juga.
Aku tidak menghendaki permusuhan di tempat yang indah dan sejuk ini. Akan
tetapi kalau ada yang menantangku, biar pun aku ogah melayani, namun suling dan
kipasku harus menjaga nama dan kehormatan.”
“Jadi!”
Hek-giam-lo berseru keras.
Tangan
kirinya keluar dan begitu tangan kiri itu bergerak-gerak, tiga belas batang
pedang pendek yang seperti disulap keluar dari jubah hitamnya itu telah
menancap di atas tanah, membentuk lingkaran. Lingkaran itu terdiri dari sepuluh
batang pedang yang berdiri berjajar, di tengah-tengah lingkaran tertancap tiga
batang pedang yang bentuknya segi tiga. Sambil menggereng keras tubuh
Hek-giam-lo melayang ke tengah lingkaran dan tahu-tahu ia sudah berdiri dengan
sebelah kaki menginjak gagang pedang. Pedang itu kecil saja, dapat dibayangkan
betapa tinggi ginkang (ilmu meringankan tubuh) harus dibutuhkan untuk dapat
berdiri di atas gagangnya. Pedang bergoyang-goyang, namun tubuh Hek-giam-lo
tetap tegak tak bergerak, sabitnya diangkat di atas kepala.
“Bagus,
boleh kulayani kau main-main sebentar Hek-giam-lo!” seru Suling Emas dan
seperti seekor burung garuda melayang, tubuhnya yang tinggi tegap itu meloncat
ke tengah lingkaran, kaki kanannya menginjak gagang sebuah pedang lain.
Hek-giam-lo
menyambut kedatangan lawannya dengan suara ketawa aneh menyeramkan, sabitnya
bergerak dan menyambar seperti kilat putih, memancung ke arah leher Suling
Emas. Namun, lawannya bukanlah orang sembarangan. Sedikit berjongkok saja sabit
itu sudah lewat di atas kepala dan sekali menggerakkan kedua tangan, kipas di
tangan kiri yang terbuka itu mengebut ke arah muka tengkorak sedangkan suling
disodokkan ke arah lambung. Sekaligus Suling Emas telah menyerang hebat dengan
gerakan yang kelihatan lambat, namun tidak mengeluarkan suara dan sukar diduga
ke mana arah dan sasarannya.
“Huhhhhh...!”
Hek-giam-lo mendengus pendek, sabitnya terayun membentuk lingkaran di depan
lambung menangkis suling, tubuhnya meloncat ke belakang menginjak gagang pedang
lain yang merupakan pagar.
“Hek-giam-lo,
aku tahu ilmu silatmu hebat, setiap gerakan mengarah nyawa. Tapi adu ilmu ini
hanya untuk saling kenal, bukan? Siapa turun dari pedang berarti sudah
mengalah.”
“Cerewet!”
Hek-giam-lo mendengus dan sabitnya menyambar lagi, kini berturut-turut dan
bertubi-tubi menyerang dari segala jurusan, diputar-putar sampai lenyap bentuk
sabitnya, berubah menjadi segulung sinar putih menyilaukan mata.
Suling Emas
terpaksa melayani desakan yang merupakan cakar-cakar maut mengancam nyawa ini.
Dengan lincah tubuhnya bergerak cepat, lenyap berubah menjadi bayangan hitam,
sulingnya membalas dengan serangan ke arah kaki, kipasnya mengancam kepala dan
menyampok sabit. Terpaksa Hek-giam-lo kini yang harus berloncatan mengelilingi
patok-patok pedang itu, karena agaknya Suling Emas berusaha keras untuk memaksa
ia turun dari patok dengan penyerangan yang selalu ditujukan kepada kakinya
yang menginjak gagang pedang.
“Tengkorak
busuk, serahkan si Ganteng kepadaku!” Siang-mou Sin-ni memekik dan wanita ini
pun sudah meloncat ke atas gagang pedang. Dari belakang rambutnya menyambar ke
arah leher Suling Emas untuk mencekiknya. Agaknya wanita ini merasa khawatir
kalau-kalau jejaka tampan yang hendak dijadikan korbannya itu tewas oleh
Hek-giam-lo yang amat lihai.
Namun Suling
Emas biar pun masih muda, ternyata memiliki kegesitan yang mengagumkan. Begitu
rambut Siang-mou Sin-ni menyambar, tubuhnya sudah melayang ke kiri, kipasnya
mengebut muka Hek-giam-lo dan sulingnya dari bawah menotok dada Siang-mou
Sin-ni.
“Ihhhh...
kau mau membunuhku?” Wanita itu memekik sambil mengelak cepat. “Kau tidak suka
kepadaku? Apa ada wanita yang lebih cantik dari padaku?”
“Kalau
perlu, apa salahnya membunuhmu? Kau pun menghendaki nyawaku,” jawab Suling Emas
sambil menerjang lagi, sekaligus menghadapi dua orang lawan yang sakti itu.
“Wah-wah,
sungguh memalukan sekali. Thian-te Liok-koai (Enam Setan Dunia) sudah terkenal
sebagai enam tokoh tak terkalahkan di dunia. Masa dua di antaranya sekarang tak
dapat mengalahkan seorang bocah hijau? Kalau aku tidak turun tangan
membasminya, bisa tercemar nama besar Thian-te Liok-koai!” It-gan Kai-ong si
Raja Pengemis Mata Satu melompat dan tongkatnya menyambar. Hebat gerakannya dan
pedang yang diinjaknya sama sekali tidak bergerak, menandakan bahwa ginkang
yang dimilikinya amat tinggi tingkatnya.
Suling Emas
mengeluh dalam hatinya. Kalau menghadapi mereka di atas tanah yang keras, biar
pun tidak berani ia mengharapkan kemenangan, namun ia dapat menjaga diri jauh
lebih baik dari pada kalau bertempur dikeroyok tiga di atas patok-patok pedang
ini. Ia berusaha mainkan suling dan kipasnya sebaik mungkin, menutup diri
dengan pertahanan sekokoh benteng baja, dan mencari kesempatan merobohkan
lawannya seorang demi seorang. Namun ia harus akui kehebatan tiga orang tokoh
yang selama hidupnya baru kali ini ia lihat. Belum dua puluh jurus ia sudah
terdesak hebat.
Tiba-tiba
terdengar suara keras. Tiga orang sakti itu berjungkir-balik dan berlompatan ke
luar dari lingkaran patok. Ternyata semua patok pedang, kecuali yang diinjak
oleh Suling Emas, telah roboh malang melintang! Tiga orang sakti itu tadi hanya
merasa betapa angin pukulan dahsyat menyambar ke bawah, merobohkan patok-patok
pedang tanpa dapat mereka cegah lagi, terpaksa mereka melompat dan berpoksai
(bersalto) dan seperti mendengar komando, ketiganya lalu berlari cepat
menghilang dari tempat itu.
Suling Emas
terheran-heran. Ia melompat turun, dengan tangannya ia meraup tiga belas pedang
pendek itu, lalu melontarkannya ke arah menghilangnya Hek-giam-lo sambil
berseru, “Iblis Hitam, bawa pergi pedang-pedangmu!”
Tiga belas
batang pedang itu terbang melayang seperti sekelompok burung dan lenyap di
balik batu-batu besar yang mengitari puncak. Memang hebat sekali tenaga
sambitan Suling Emas ini, dan patutlah kiranya ia menjadi lawan orang-orang
sakti seperti tiga tokoh tadi.
Terdengar
suara orang menarik napas panjang. Suling Emas cepat membalikkan tubuhnya dan
bulu tengkuknya berdiri ketika ia melihat seorang kakek tua sudah berdiri di
depannya. Ia merasa seram karena tak mungkin ada orang, betapa pun saktinya,
dapat mendekatinya tanpa ia mendengarnya sama sekali. Helaan napas saja dapat
tertangkap oleh pendengarannya, bagaimanakah gerakan kakek ini sama sekali
tidak didengarnya dan tahu-tahu sudah berdiri di belakangnya? Apakah kakek ini
pandai menghilang? Dengan pandang mata penuh selidik ia menatap kakek itu.
Sukar
ditaksir usianya karena sudah terlalu tua. Melihat kakek ini mengingatkan orang
akan gambar-gambar para dewa. Rambutnya berwarna dua, tebal dan jarang, panjang
sampai ke punggung. Digelung kecil di atas kepala, ujungnya terurai ke pundak
dan punggung. Kumis dan jenggotnya juga hitam putih, terurai ke bawah. Sepasang
alisnya tebal, dahinya lebar, sepasang mata yang bening dengan sinar mata sayu
termenung, mulut yang setengah tertutup cambang itu selalu tersenyum ramah.
Jubahnya
longgar berwarna kelabu kehitaman, sepatunya dari kain tebal, di bawahnya
terbuat dari pada anyaman rumput, lengan bajunya lebar sekali. Pada punggung
kakek ini tampak sebuah alat musik khim. Agaknya saking tuanya maka tubuh kakek
ini agak bongkok dan kelihatan pendek. Kelihatannya biasa saja, seperti
kakek-kakek lain yang sudah amat tua, hanya daun telinganya yang mungkin
terlalu besar bagi orang-orang biasa, mengingatkan orang akan daun telinga pada
arca-arca Buddha dan para dewa.
Suling Emas
cepat menjura dengan sikap hormat, mengangkat kedua tangan ke depan dada sambil
berkata, “Maaf, Locianpwe (Kakek Sakti), benarkah dugaan saya bahwa Locianpwe
adalah Bu Kek Siansu?”
Kakek itu
tertawa dan tampaklah keganjilan pada mukanya karena di balik bibirnya itu
tampak berderet dua baris gigi yang masih utuh dan rapi. “Tidak salah, anak
muda. Semoga dengan tibanya musim semi, Yang Maha Murah akan melimpahkan berkah
kepadamu....”
Suling Emas
terkejut dan cepat ia menjatuhkan diri berlutut. Ia merasa malu karena ucapan
selamat pada Hari Musim Semi itu didahului oleh kakek ini. “Locianpwe, maafkan
kelancangan teecu (murid) tadi. Teecu menghaturkan Selamat Musim Semi, semoga
Locianpwe selalu sehat, bahagia dan dikurniai usia panjang.”
“Ha-ha-ha-ha,
anak muda lucu, kau rangkaikan sehat dan usia panjang dengan bahagia. Apa kau
kira kalau sudah sehat itu pasti berusia panjang, dan kalau berusia panjang itu
pasti bahagia? Ha-ha-ha!”
“Teecu mohon
petunjuk, Locianpwe.”
“Sulingmu
tadi mainkan ilmu pedang Pat-sian Kiam-hoat (Ilmu Pedang Delapan Dewa) dan
kipasmu mainkan ilmu kipas Lo-hai San-hoat (Ilmu Kipas Kacau Lautan), apamukah
Kim-mo Taisu?”
Suling Emas
terkejut sekali dan cepat ia mengangguk-anggukkan kepala sampai jidatnya
menyentuh bumi. “Kiranya Locianpwe yang tadi menolong teecu dari pengeroyokan
tiga manusia iblis, teecu menghaturkan terima kasih. Kim-mo Taisu yang
Locianpwe tanyakan adalah mendiang Suhu (Guru), dan beliaulah yang dahulu
berpesan kepada teecu agar teecu mencari kesempatan pada tiap hari pertama
musim semi untuk menjumpai Locianpwe dan mohon petunjuk.”
“Ha-ha-ha,
Thian (Tuhan) sungguh adil dan bijak, hari ini memberi hadiah dengan jodoh yang
amat baik. Jadi Kim-mo Taisu itu gurumu? Dia sudah mati lebih dulu dari pada
aku? Ha-ha, aku berani mengatakan bahwa dia tentu mati dalam tugas sebagai
pahlawan. Memang sejak dulu dia mempunyai jiwa patriot.”
“Tidak salah
dugaan Locianpwe. Suhu tewas ketika terjadi perang terhadap bangsa Khitan di
daerah Ho-peh, Suhu roboh oleh pengeroyokan jago-jago Khitan. Teecu hanya
terluka, tapi tidak dapat mencegah terjadinya hal itu,” suara Suling Emas
melirih, akan tetapi sama sekali tidak terdengar kesedihan. Hatinya sudah
terlalu masak dan mengeras untuk dapat dikuasai kesedihan.
“Hemmm,
belasan tahun ia bersusah payah membantu Cao Kuang Yin dalam usahanya
mendirikan Wangsa Sung. Sampai Cao Kuang Yin menjadi Kaisar Sung Tai Cu, gurumu
masih terus membantunya dan akhirnya mengorbankan nyawa. Dia seorang patriot
tulen, tanpa pamrih, tidak mengejar pangkat, hanya ingin melihat negara kuat
dan rakyatnya hidup makmur. Betapa pun juga, segala sesuatu sudah direncanakan
dan akan diatur pelaksanaannya oleh Tuhan. Orang muda, siapa namamu?”
“Teecu
dikenal sebagai Kim-siauw-eng (Pendekar Suling Emas), dan teecu tidak
menggunakan nama lain lagi.”
“Ha-ha,
begini muda, sudah menelan kepahitan hidup. Hati-hati, orang muda, kepatahan
hatimu dapat mendorongmu menjadi tidak peduli seperti sekarang ini, melupakan
yang lewat, dan akhirnya kalau tidak kuat-kuat batinmu, dapat membuat kau
menjadi seorang yang kejam. Baiknya belum sejauh itu kau tersesat, buktinya kau
masih mau mengubur jenazah-jenazah itu.”
“Maaf,
Locianpwe. Teecu cukup dapat membedakan mana jahat mana baik, biar pun teecu
sengaja meninggalkan hidup yang lewat untuk... untuk....”
“Melupakan
kepahitan yang mematahkan hatimu?”
Suling Emas
hanya mengangguk lalu menundukkan muka. “Teecu mohon petunjuk.”
“Kau
berjuluk Suling Emas, tentu pandai bermain suling. Hayo perdengarkan suara
sulingmu, dan kita coba-coba main bersama sulingmu dengan khim yang kumainkan,
mencari keserasian.” Kakek itu lalu duduk di atas rumput, menurunkan alat
musiknya yang mempunyai tujuh buah kawat itu.
Suling Emas
girang sekali. Sebagai seorang murid gemblengan dari orang sakti Kim-mo Taisu,
tentu saja ia maklum bahwa bermain musik bagi seorang seperti Bu Kek Siansu
berarti berlatih atau menguji kepandaian lweekang dan ilmu silat tinggi. Ia
segera duduk bersila, mengatur pernapasan, lalu meniup sulingnya.
Bu Kek
Siansu tersenyum mendengar lengking suling yang tinggi mengalun dan merdu,
bersih dan nyaring itu. Jari-jari tangannya lalu mulai menyentuh kawat pada
khimnya, terdengar suara cring-cring-cring tinggi rendah.
Suling Emas
kaget bukan main. Begitu suara kawat khim itu berbunyi, napasnya jadi sesak dan
suara sulingnya terdesak hebat sampai menurun rendah sekali. Ia segera meramkan
kedua matanya, memusatkan panca indra, mengerahkan seluruh tenaga sinkang di
dalam tubuhnya, mengatur pernapasan sepanjang mungkin sampai memenuhi pusarnya,
dan semua tenaga yang dikumpulkan ini ia salurkan melalui suara sulingnya yang
kini menjadi bening dan tinggi kembali.
Akan tetapi
permainan khim dari Bu Kek Siansu juga makin hebat. Suara nyaring tinggi rendah
dari kawat-kawat itu merupakan jurus-jurus penyerangan yang lebih hebat dari
pada tusukan-tusukan pedang pusaka, lebih hebat dari pada gempuran tangan
sakti. Kadang-kadang bergelombang datangnya, bertubi-tubi dan makin lama makin
kuat seperti ombak samudera.
Keadaan
Suling Emas amat terdesak. Orang muda ini meniup suling sambil meramkan mata,
keningnya berkerut dan uap putih menyelubungi kepalanya, saking hebatnya tenaga
sinkang bekerja di tubuhnya. Ia berusaha sedapat mungkin untuk menangkis dan
melindungi dirinya dari gelombang yang menghanyutkan, akan tetapi usahanya itu
seperti seorang pelajar renang mencoba untuk berenang melawan badai dan taufan
mengamuk di lautan.
Ia sebentar
tenggelam sebentar timbul, sebentar terseret dan terhanyut kemudian dibanting
ke atas setinggi gunung, lalu dihempaskan ke bawah seperti dilempar ke neraka.
Beberapa kali ia hampir pingsan, namun semangatnya yang pantang mundur membuat
kenekatannya bulat dan ia tetap sadar. Dengan tekun ia memperhatikan gaya
penyerangan dari suara khim itu, dan terciptalah dalam otaknya inti sari
jurus-jurus penyerangan ilmu silat yang amat tinggi dan ajaib.
Di samping
menuntun dan memberi petunjuk, agaknya Bu Kek Siansu juga hendak menguji
kekuatannya. Suara khim itu makin mendesak, menekan, dan pada saat terakhir
Suling Emas hampir tak kuat lagi. Kepalanya pening, matanya melihat seribu
bintang, tubuhnya menggigil dan peluhnya sebesar kacang kedelai memenuhi jidatnya.
Tiba-tiba, berbareng dengan berhentinya sama sekali suara suling yang makin
melemah dan makin habis itu, berhenti pula suara khim. Suasana hening bening,
sunyi senyap.
Suling Emas
dengan wajah pucat dan napas terengah merasa seakan-akan batu seberat gunung
yang menindih kepalanya diangkat orang. Ia menyalurkan hawa secara normal dan
pernapasannya kembali dalam keadaan normal.
“Ha-ha-ha,
tidak kecewa kau menjadi murid Kim-mo Taisu.”
Suling Emas
membuka kedua matanya, lalu berlutut. “Banyak terima kasih atas petunjuk
Locianpwe yang amat berharga.”
“Orang muda,
bakatmu memang luar biasa. Pantas saja Kim-mo Taisu mengangkatmu sebagai murid.
Manusia hidup mengejar ilmu. Ilmu harus dipergunakan di dunia ini untuk
kemajuan hidup, untuk mengabdi kebajikan, dan memberantas kejahatan. Apa
artinya mempelajari ilmu kalau tak mampu mempergunakan sebagaimana mestinya?
Apa pula artinya puluhan tahun mempelajari ilmu kalau kesemuanya itu kelak
dibawa mati? Karena inilah maka setiap tahun, hari pertama musim semi, aku
selalu mencari jodoh untuk menurunkan beberapa ilmu yang berhasil kuciptakan.
Siapa dapat bertemu denganku pada hari pertama musim semi, dia pasti akan
menerima sesuatu dari ilmu-ilmuku sesuai dengan bakat dan kemampuan
masing-masing.”
Melihat
kakek itu berhenti sebentar, Suling Emas yang selalu berwatak jujur tanpa mau
menyembunyikan dan dipermainkan perasaan, berkata, “Teecu sudah mendengar akan
hal itu, sudah pula teecu dengar betapa banyak tokoh-tokoh kang-ouw yang
terkenal keji dan jahat menerima pula warisan ilmu dari Locianpwe. Harap
Locianpwe terangkan, mengapa Locianpwe menurunkan ilmu kepada mereka itu?”
Kakek itu
tertawa lebar, giginya berkilauan tertimpa sinar matahari. “Aku sudah
melepaskan diri dari pada ikatan perasaan, tidak mencinta tidak pula membenci,
tiada yang baik dan tiada yang buruk bagiku. Betapa pun juga, aku seorang
manusia yang masih dikuasai pikiran dan pertimbangan. Mereka yang berjodoh dan
bertemu denganku, siapa pun dia, pasti akan menerima warisan ilmu sesuai dengan
watak dan bakatnya.”
Suling Emas
biar pun baru berusia tiga puluh tahun, namun ia seorang kutu buku yang sudah
banyak melalap kitab-kitab kuno, maka ia dapat menerima pendirian seorang sakti
seperti ini. Ia tidak mau berdebat, dan tidak berani mencela, maka ia lalu
bertanya, “Teecu sudah menerima petunjuk dengan suara tadi, bolehkah teecu
bertanya, apa nama ilmu itu dan apakah ilmu ini cocok dengan teecu maka
Locianpwe mengajarkannya?”
“Orang muda,
selama aku merantau dan setiap tahun menurunkan ilmu, hanya ada dua ilmu yang
tak pernah dapat diterima orang, biar pun setiap kali sudah kucoba untuk
menurunkannya. Yang pertama adalah ilmu yang terkandung dalam suara khim tadi,
yang kuberi nama Kim-kang Sin-im (Tenaga Emas dari Suara Sakti). Kau tadi dapat
melayani aku sampai lima puluh delapan jurus, itu sudah bagus sekali. Berarti
kau sudah dapat menangkap inti sarinya, tinggal kau kembangkan saja, tergantung
kepada ketekunan dan bakatmu. Yang kedua adalah ilmu yang juga tak pernah dapat
dimengerti orang, yaitu Hong-in-bun-hoat (Ilmu Sastra Angin dan Mega)! Kulihat
kau cerdik, bakatmu luar biasa dan menilik pakaianmu, kiranya kau tidak asing
akan sastra, bukan?”
“Teecu masih
bodoh, akan tetapi teecu memberanikan diri untuk mencoba menyelami Ilmu
Hong-in-bun-hoat itu, Locianpwe.”
Bu Kek
Siansu terkekeh girang, lalu ia berdiri. Suling Emas tetap duduk bersila dan
mencurahkan seluruh perhatiannya. Dengan tenaga sinkang-nya ia dapat membuka
mata tanpa berkedip berjam-jam lamanya.
“Lihat dan
ingat baik-baik semua huruf ini, orang muda,” terdengar Bu Kek Siansu berkata.
Mulailah
kakek itu menggerakkan tubuhnya lambat-lambat, kedua lengannya bergerak-gerak
ke depan, mencorat-coret ke atas dan ke bawah. Kedua kakinya selalu bergerak,
juga geserannya berupa corat-coret membentuk huruf yang disesuaikan dengan
coretan bagian atas dengan kedua tangannya.
Suling Emas
girang sekali bahwa dia dahulu adalah seorang yang amat tekun mempelajari ilmu
sastra, sehingga ia hafal akan sepuluh ribu macam huruf. Ia melihat betapa
gerakan yang dilakukan oleh kakek itu merupakan coretan-coretan huruf-huruf
yang amat indah dan kuat. Lebih mudah baginya untuk mengingat karena ternyata
setelah kakek itu melakukan belasan jurus, huruf-huruf itu membentuk
sajak-sajak dalam pelajaran Nabi Khong Hu Cu yang ayat pertamanya berbunyi:
THIAN BENG CI WI SENG (Anugerah Tuhan Adalah Watak Asli).
Tentu saja
ia sudah hafal akan ayat-ayat kitab Tiong Yong ini, maka ia tidak perlu lagi
untuk mengingat-ingat susunan kalimatnya, hanya perlu mengingat jurus gerakan
setiap huruf. Hal ini menguntungkan Suling Emas karena perhatiannya tidak terpecah,
dan setelah menyaksikan beberapa belas huruf ia sudah dapat menyelami inti
sarinya sehingga selanjutnya ia dapat menduga bagaimana huruf-huruf lain
dibentuk dalam gerakan silat itu. Setelah lewat seratus huruf, biar pun kini Bu
Kek Siansu bersilat dengan luar biasa cepatnya, ia sudah dapat mengerti dengan
baik bagaimana harus bersilat menurut goresan dalam pembentukan huruf-huruf
suci itu.
Saking
tertarik dan tekunnya, tanpa ia sadari dan sengaja, Suling Emas sudah bangkit
dari atas tanah, dan otomatis ia juga bersilat, bukan meniru gerakan Bu Kek
Siansu lagi, melainkan ia melanjutkan huruf-huruf yang belum dimainkan, sesuai
dengan bunyi sajak dalam ayat-ayat kitab Tiong Yong.
“Cukup,
tidak sia-sia kali ini aku berlelah-lelah,” Bu Kek Siansu tertawa gembira. “Dan
saat pertemuan ini pun sudah cukup, kau boleh turun dari puncak sekarang juga.”
Suling Emas
menjatuhkan diri berlutut menghaturkan terima kasih lalu berkata, “Budi
Locianpwe terlalu besar terhadap teecu, bagaimana teecu berani memutuskan pertemuan
penting ini sedemikian singkat? Teecu mohon petunjuk.”
“Ha-ha-ha,
tidak ada manusia di dunia ini yang merasa puas dengan keadaannya sendiri.
Siapa mengenal kepuasan dalam setiap keadaan, dialah manusia bahagia yang dapat
menikmati berkah Tuhan. Orang muda, kiranya dengan kepandaian yang kau miliki
ini, kau berada di persimpangan jalan yang dapat membawa kau ke jurang
kejahatan, juga dapat membawamu ke alam murni. Hanya tokoh-tokoh terbesar dari
golongan hitam dan putih saja yang sejajar dengan tingkat kepandaianmu.”
“Maaf akan
kebodohan dan kecupatan pengetahuan teecu, Locianpwe. Bolehkah teecu menambah
pengetahuan dengan mengenal nama-nama tokoh-tokoh itu?”
“Ha-ha,
mereka yang selama ini menyembunyikan diri, setelah sekarang Kerajaan Sung
berdiri, mereka mulai menampakkan diri, agaknya terpikat akan keadaan baru di
dunia ini. Golongan hitam amat banyak tokohnya, akan tetapi kiranya hanya ada
enam orang yang terkenal dengan sebutan Thian-te Liok-koai (Enam Setan Dunia).
Kau tentu sudah mengenal siapa mereka, bukan?”
“Teecu
pernah mendengar, akan tetapi belum pernah bertemu muka dengan mereka.”
“Ha-ha-ha,
yang tiga orang tadi siapakah? Mereka adalah tiga di antara Liok-koai itu. Yang
tiga orang lagi adalah Toat-beng Koai-jin (Setan Pencabut Nyawa), Tok-sim
Lo-tong (Anak Tua Berhati Racun), dan Cui-beng-kwi (Setan Pengejar Roh). Kau
berhati-hatilah terhadap enam orang ini. Mereka amat lihai dan memiliki
kepandaian tinggi sekali.”
“Terima
kasih, Locianpwe, akan teecu ingat benar pesan Locianpwe.”
“Ada pun
tokoh-tokoh golongan putih juga banyak, akan tetapi mereka itu tidak suka
menonjolkan diri, suka bersembunyi, di antaranya mendiang gurumu. Orang-orang
seperti Kim-lun Seng-jin (Manusia Suci Roda Emas), dan Gan-lopek (Empek Gan)
termasuk orang-orang luar biasa yang sukar dipegang ekornya ditentukan bulunya.
Sudahlah, kelak kalau kau mempunyai nasib bertemu dengan mereka, kau akan dapat
menilai sendiri. Sekarang pergilah, doaku selalu bersamamu selama kau tidak
menyeleweng dari pada kebenaran.”
Suling Emas
memberi hormat, kemudian pergi dari tempat itu tanpa menoleh lagi. Memang
tingkat kepandaiannya sudah tinggi, sebentar saja seperti seekor garuda
terbang, ia sudah menuruni Thai-san. Setelah tiba di kaki gunung, barulah ia
menengok, bukan terkenang kepada siapa-siapa melainkan untuk mengagumi puncak
Thai-san yang kini tertutup awan putih itu.
“Awan putih
sudah tinggi, masih ada puncak Thai-san yang melewatinya. Namun dibanding
dengan langit, puncak Thai-san masih terlalu rendah,” bibirnya membisikkan
sebagian dari pada sajak kuno yang pada saat itu terlintas dalam ingatannya.
Kemudian ia melanjutkan perjalanan dengan langkah lebar sambil termenung
mengingat kembali Kim-kong Sin-im dan Hong-in Bun-hoat yang baru saja ia terima
dari Bu Kek Siansu.
***************
Bu Kek
Siansu masih berdiri seperti patung memandang ke arah perginya Suling Emas,
kemudian ia berbisik kepada diri sendiri, “Manusia akan bertemu dengan
penderitaan hidup kalau ia mengharapkan kesenangan hidup. Dia dapat menahan
derita hidup dengan tenang tanpa penyesalan, benar-benar seorang muda yang
kuat. Kesenangan dikejar, penderitaan didapat, baru mendapatkan kekuatan batin.
Mengapa manusia harus mengalami semua ini? Mengapa?”
Bu Kek
Siansu mengeluarkan sebuah kitab kecil dari saku jubahnya dan membacanya sambil
berdiri. Pada saat itu tiga bayangan orang muncul secepat terbang mendaki
puncak.
Bu Kek
Siansu menyimpan kembali kitabnya di saku, mengambil alat musik khim dan
menggantungkannya di punggung. Kemudian dipandangnya tiga orang di depannya itu
sambil tersenyum ramah.
“Bukankah
kau Bu Kek Siansu?” tanya It-gan Kai-ong. Kakek tua renta itu mengangguk sambil
tersenyum lebar.
“Kebetulan
sekali. Dunia kang-ouw mengabarkan bahwa setiap tahun, pada hari pertama musim
semi, kau akan muncul di dunia dan membagi-bagi ilmu. Hari ini adalah hari
pertama musim semi, ilmu apakah yang dapat kau berikan kepadaku?”
Bu Kek
Siansu tidak marah mendengar ucapan yang tidak sopan itu, ia hanya tersenyum.
“Aku pun
menghadap padamu pada permulaan musim semi untuk minta diwarisi ilmu silat yang
sakti, Bu Kek Siansu,” kata Siang-mou Sin-ni sambil melangkah maju.
“Yang datang
menghadap adalah kami bertiga bukan hanya kau berdua,” Hek-giam-lo menyusul
dengan suaranya yang dalam.
Bu Kek
Siansu mengangkat kedua lengannya ke atas sambil tertawa. “Jangan khawatir, aku
si tua tidaklah kikir dengan ilmu, hanya aku khawatir ilmu-ilmu yang kukenal
tidak akan berjodoh dan cocok dengan pribadi kalian bertiga. Ketahuilah, bahwa
ilmu-ilmuku hanya dapat diterima oleh orang yang menjauhkan diri dari pada rasa
dengki, iri, murka, benci dan kejam. Tanpa dapat menjauhkan sifat-sifat ini,
ilmu yang kuturunkan bukan hanya tak ada gunanya, malah mungkin akan merugikan
tubuh sendiri. Nah, ilmu apakah yang hendak kalian minta?”
Tiga orang
sakti itu saling pandang. Sifat-sifat yang disebut kakek itu tadi bukanlah
sifat yang aneh apalagi pantang bagi golongan hitam mereka. Malah sifat kejam
merupakan ukuran untuk kelihaian seseorang. Makin tinggi tingkatnya, harus
makin kejam, karena siapa yang kurang kejam, berarti mempunyai kelemahan dan
hal ini amat memalukan! Tentu saja mereka tidak sudi menerima ilmu dengan
ikatan seperti itu.
“Bu Kek
Siansu, tadi kami mendengar nyanyianmu yang mengharuskan orang membalas benci
dengan kasih. Apakah kau termasuk orang yang tidak mempunyai rasa benci?”
“Mudah-mudahan
Tuhan menguatkan batinku dan membungkus seluruh pikiran dan hatiku dengan sinar
kasih-Nya.”
“Jadi kau
tidak membenci golongan kami? Tidak akan membeda-bedakan dengan golongan lain?”
Bu Kek Siansu
menggeleng kepala. Tentu saja ia dapat melakukan hal ini dengan mudah.
“Kalau
begitu,” kata pula It-gan Kai-ong, “kau jangan pilih kasih. Tadi kau turunkan
dua macam ilmu kepada Suling Emas. Nah, kami pun minta kau turunkan ilmu-ilmu
itu kepada kami.”
“Betul, aku
menghendaki dua ilmu itu,” kata Siang-mou Sin-ni.
“Ilmu-ilmu apa
tadi itu dan apa namanya?” Hek-giam-lo menyambung.
“Ha-ha-ha,
kalian bertiga memang bermata tajam, tidak percuma menjadi tiga di antara
Thian-te Liok-koai! Memang tadi aku menurunkan dua macam ilmu kepada Suling
Emas yang disebut Kim-kong Sin-im dan Hong-in Bun-hoat. Akan tetapi entah
kalian dapat mengerti kedua ilmu itu dan menyukainya, tergantung kepada kalian
sendiri. Bagaimana?”
Mereka
bertiga tadi sudah merasakan sendiri bagaimana hebatnya kepandaian Suling Emas,
padahal tanpa mereka ketahui bahwa sebetulnya yang meruntuhkan pedang-pedang
itu adalah Bu Kek Siansu yang ingin mencegah terjadinya pertempuran berlarut
antara orang-orang sakti itu. Maka tentu saja mereka merasa iri hati dan ingin
mendapatkan ilmu yang tadi diwarisi oleh Suling Emas.
“Tidak perlu
banyak cerewet, lekas perlihatkan Kim-kong Sin-im!” kata pula It-gan Kai-ong
yang memang selalu bersikap kasar terhadap siapa pun juga. Baginya makin kasar
sikapnya makin baik, gagah dan berwibawa!
“Kalian juga
setuju?” Bu Kek Siansu yang masih tetap tersenyum itu bertanya kepada Siang-mou
Sin-ni den Hek-giam-lo.
Keduanya
meragu sejenak, akan tetapi terpaksa mengangguk karena tidak ada pilihan lain.
Seperti juga It-gan Kai-ong, kedua orang sakti ini masih memandang rendah
kepada Bu Kek Siansu dan mereka menaruh curiga kalau-kalau kakek tua renta ini
akan menipu dan mempermainkan mereka.
“Baik...
baik, kalian perhatikan dan dengarkan baik-baik. Sesuai dengan namanya, Ilmu
Sin-im (Suara Sakti) dipelajari dengan pendengaran.” Kakek itu menurunkan alat
musik khim dari punggungnya, duduk bersila di atas tanah, lalu terdengarlah
suara khim, dimulai dengan “cring-cring” yang nyaring bening.
Mula-mula
tiga orang sakti itu memandang penuh perhatian sambil mendengarkan dan
mengikuti bunyi khim, akan tetapi tak lama kemudian mereka nampak gelisah
sekali. Terutama Siang-mou Sin-ni, sebagai seorang wanita tentu saja paling
mudah terpengaruh oleh suara khim itu. Wanita sakti ini mula-mula merasa
jantungnya berdebar, kemudian setiap kali suara itu melengking tinggi, ia
merasa seakan-akan jantungnya ditarik dan kalau suara itu merendah jantungnya
seperti ditindih. Cepat ia mengerahkan sinkang di dalam tubuhnya dan di lain
saat wanita ini sudah duduk bersila dengan mata meram dan muka pucat. Ia masih
berusaha untuk menyelami bunyi yang makin aneh dan merupakan penyerangan
langsung kepada isi dadanya.
Berturut-turut
It-gan Kai-ong dan Hek-giam-lo juga terpaksa duduk bersila untuk mengumpulkan
tenaga dalam tubuh dan melawan serangan-serangan hebat dari suara khim itu.
Sebagai dua orang sakti, mereka pun maklum bahwa suara dari alat musik khim itu
mengandung hawa penyerangan yang luar biasa dahsyatnya, oleh karena itu sambil
menutup kelemahan diri dengan sinkang mereka pun memperhatikan dan berusaha
menangkap inti sari dari pada Kim-kong Sin-im.
Baru
seperempat jam saja orang itu sudah menderita hebat sekali. Wajah mereka pucat
dan saking kerasnya mereka mengerahkan sinkang, kepala mereka sampai
mengepulkan uap putih. Namun pelajaran itu masih juga belum dapat mereka
tangkap inti sarinya. Atau ada juga yang dapat mereka tangkap, namun hanya
menurut perkiraan mereka masing-masing. Ketiganya menyelami isi Kim-kong Sin-im
secara berbeda, sesuai dengan watak masing-masing dan kesemuanya itu tentu saja
menyeleweng dari pada inti sari yang sebenarnya.
Hal ini
bukan sekali-kali karena ketiga orang ini masih rendah kepandaiannya. Sama
sekali tidak. Dalam tingkat kepandaian ilmu silat, kiranya mereka tidak
berselisih jauh dengan Suling Emas. Akan tetapi, seperti dikatakan oleh Bu Kek
Siansu tadi, watak mereka tidak cocok dengan watak ilmu itu, lagi pula ilmu ini
tersembunyi di dalam lagu dan seni suara.
Suling Emas
dapat mewarisi inti sarinya karena orang muda itu menghadapi Kim-kong Sin-im
dengan suara sulingnya sehingga seakan-akan ia ‘bertempur’ dengan ilmu ini.
Karenanya ia lebih mudah untuk mengenal sifat-sifat menyerang dan bertahan dari
Kim-kong Sin-im. Seperti sebuah nyanyian, orang akan lebih mengenal
keindahannya kalau ia turut menyanyikannya, yang tentu jauh bedanya dengan
kalau hanya mendengar saja.
Bu Kek
Siansu memang tidak hendak membeda-bedakan. Ia mainkan khim seperti ketika ia
bermain di depan Suling Emas tadi. Setelah ia berhenti, tiga orang itu masih
duduk bersila dengan kedua mata meram. Bu Kek Siansu hanya tersenyum dan dengan
tenang menyimpan kembali alat musik khim itu di atas punggungnya, kemudian ia
bangkit berdiri, menanti sambil membaca kitab kecil.
Tiga orang
sakti itu tidak berani segera bangkit karena suara khim tadi masih terus
terngiang di dalam telinga, malah seakan-akan meresap ke dalam otak dan dada.
Setelah kurang lebih sepuluh menit, baru mereka membuka mata dan meloncat
bangun. Jelas mereka itu kecewa, akan tetapi karena masing-masing merasa bahwa
mereka dapat memetik inti sari ilmu aneh tadi, mereka diam saja, hanya memandang
kepada Bu Kek Siansu dengan mata marah.
Bu Kek
Siansu menyimpan kitab kecilnya lalu berkata, “Kim-kong Sin-im sudah kalian
dengar. Apakah kalian juga menghendaki supaya aku mainkan Hong-in Bun-hoat
seperti yang kulakukan di depan Suling Emas tadi?”
“Kakek, kau
tadi bersilat di depan Suling Emas, nah, ilmu silat itulah yang harus kau
turunkan kepada kami,” kata It-gan Kai-ong.
“Kai-ong,
itulah tadi yang disebut Hong-in Bun-hoat. Kalau kalian menghendaki, akan
kumainkan. Bagaimana dengan kalian, Hek-giam-lo dan Sin-ni?”
Karena tidak
tahu harus memilih ilmu silat apa, kedua orang ini hanya mengangguk. Betapa pun
juga mereka masih ragu-ragu dan memandang rendah kakek ini. Apakah gunanya Ilmu
Kim-kong Sin-im tadi? Masa menghadapi lawan harus bermain musik! Gila! Maka
mendengar bahwa Hong-in Bun-hoat yang akan diturunkan kali ini adalah
gerakan-gerakan silat seperti yang mereka lihat dari tempat persembunyian
mereka tadi ketika kakek ini berhadapan dengan Suling Emas, tentu saja mereka
setuju dan agak lega, mengharapkan akan menerima warisan ilmu silat yang tinggi
dan sakti.
Seperti juga
tadi ketika mengajar Suling Emas, Bu Kek Siansu mulai menggerakkan tubuhnya
lambat-lambat, kedua lengan dan kakinya bergeser dan membentuk goresan dan
lingkaran. Bukan lain yang ia mainkan itu adalah gerakan menurut huruf-huruf
pertama sajak dalam kitab Tiong Yong. Seperti diketahui, kitab Tiong Yong
mengandung tiga puluh tiga pelajaran, merupakan ilmu batin yang amat tinggi dan
luhur.
Bu Kek
Siansu mulai mencoret-coret huruf-huruf pelajaran pertama ayat pertama yang
lengkapnya berbunyi demikian:
THIAN BENG
CI WI SENG
SUT SENG CI
WI TO
SIU TO CE WI
KAUW
Tiga baris
huruf yang merupakan ayat pertama dari pelajaran pertama mempunyai arti yang
amat dalam. Kalau diterjemahkan secara bebas kira-kira begini:
Anugerah
Tuhan adalah watak asli
Selaras
dengan watak asli adalah To
Melaksanakan
To adalah pelajaran kebatinan (agama).
Jelas bahwa
huruf-huruf itu merupakan ayat-ayat suci dalam kitab Tiong Yong, yang mengajar
manusia menuju kembali ke watak asli anugerah Tuhan, berarti menuntun manusia
kembali mendekati dan mentaati kehendak Tuhan. Tiga orang tokoh sakti seperti
It-gan Kai-ong, Siang-mou Sin-ni, dan Hek-giam-lo yang merupakan
manusia-manusia yang ingkar terhadap Tuhan mana ada minat untuk mempelajari
segala macam kitab yang mengemukakan pelajaran tentang kebajikan?
Sebagai
orang-orang yang berpengetahuan luas, tentu saja mereka dapat membaca dan dapat
mengikuti gerakan-gerakan Bu Kek Siansu. Akan tetapi mereka hanya dapat menangkap
kulitnya atau luarnya belaka, tak mampu menyelami isinya. Harus diketahui bahwa
ilmu silat sakti Hong-in Bun-hoat ini rahasianya tidak terletak pada macam
huruf yang ditulis dengan gerakan saja, melainkan lebih mendalam, yaitu lebih
mendekati arti dari pada ayat-ayatnya. Karena itulah Bun-hoat (Ilmu Sastra) ini
disebut Hong-in (Angin dan Awan), karena sifatnya seperti ilmu sastra dan
begitu dalam rahasianya seperti juga angin yang dapat terasa tak dapat
terpegang dan awan yang dapat terlihat tak dapat terpegang pula!
Tidak
mengherankan apa bila tiga orang itu menjadi kecewa dan bosan melihat kakek itu
terus menggerakkan kaki tangan membentuk goresan dan lingkaran huruf-huruf itu.
Apa artinya itu semua? Apa gunanya? Mereka menganggap kakek itu main-main dan
menipu mereka.
Agar jangan
dianggap berat sebelah, Bu Kek Siansu bersilat terus dan baru berhenti di
bagian yang sama ketika ia bersilat di depan Suling Emas tadi. Ia tersenyum
memandang ketiga orang itu yang sebaliknya memandangnya dengan mata marah.
“Nah,
puaskah kalian?”
“Puas apa?
Kau main-main dengan kami! Bu Kek Siansu, kalau kau ada kepandaian, jangan
kikir, turunkan kepada kami,” kata It-gan Kai-ong dengan suara marah.
“Jangan-jangan
kakek ini hanya menyombong saja, padahal tidak becus apa-apa. Kai-ong, alangkah
akan memalukan kalau orang melihat kita bertiga diingusi kakek tua bangka ini,”
kata Siang-mou Sin-ni sambil tersenyum masam.
Ada pun
Hek-giam-lo hanya mendengus saja, marah dan mengangkat sabitnya. Tiga orang
tokoh ini saling pandang. Dalam pertemuan pandang ini ketiganya sudah
bermufakat.
Tanpa
mengeluarkan peringatan lagi, secara tiba-tiba tiga orang sakti itu menerjang
maju, menyerang Bu Kek Siansu yang masih tersenyum-senyum sambil menundukkan
mukanya. Entah pukulan siapa yang datang lebih dulu saking cepatnya gerakan
mereka. Tongkat It-gan Kai-ong menotok pusar, rambut Siang-mou Sin-ni
menghantam sembilan jalan darah di leher, dada, dan pundak, sedangkan sabit di
tangan Hek-giam-lo membacok kepala! Semua merupakan serangan-serangan maut, dan
semua penyerangan itu dengan tepat mengenai sasaran. Sambil mengeluh panjang Bu
Kek Siansu roboh!
Serentak
tiga orang itu menubruk. Siang-mou Sin-ni berhasil merampas alat musik khim,
sedangkan It-gan Kai-ong dan Hek-giam-lo yang berniat merampas kitab kecil yang
dibaca kakek itu tadi, masing-masing mendapat separuh bagian karena kitab kecil
itu telah terobek menjadi dua bagian ketika mereka saling berebut.
Sambil
tertawa-tawa mereka memandang tubuh kakek itu dan mata mereka terbelalak, bulu
tengkuk mereka meremang. Kakek itu sama sekali tidak kelihatan luka, bahkan
kepala yang dihantam sabit tajam itu pun sama sekali tidak mengeluarkan darah,
sama sekali tidak terluka. Namun jelas bahwa kakek itu tidak bernapas lagi, dan
ketika It-gan Kai-ong memeriksa denyut nadinya, darahnya juga sudah berhenti,
nadinya tidak berdenyut lagi.
“Ha-ha-ha,
Bu Kek Siansu yang disohorkan orang setengah dewa, kiranya hanya seorang yang
lemah,” kata It-gan Kai-ong.
“Seorang
penipu!” sambung Siang-mou Sin-ni.
Hek-giam-lo
bergidik, berkali-kali memandang ke arah kepala kakek itu dan ke arah sabitnya.
“Aku benci ilmu sihirnya ini, kita buang dia ke jurang saja,” ia menggumam,
lalu menggunakan kakinya menendang.
Tubuh kakek
itu terlempar ke arah jurang dan menggelinding turun, diikuti suara ketawa
It-gan Kai-ong dan Siang-mou Sin-ni. Akan tetapi tiba-tiba suara ketawa mereka
terhenti dan pada saat itu, mereka bertiga terhuyung-huyung dan hampir roboh.
Ada angin dorongan yang luar biasa dahsyatnya datang menyerang mereka dari arah
jurang tadi.
“Celaka...,
rohnya mengamuk...!” It-gan Kai-ong berseru dengan muka pucat dan ia segera
melompat jauh dan melarikan diri. Dua orang temannya juga kaget dan ketakutan,
cepat kabur meninggalkan puncak Thai-san.
Tak lama
kemudian, tampak Bu Kek Siansu melayang ke luar dari dalam jurang, berdiri di
tempat yang tadi sambil termenung dan menarik napas panjang berkali-kali.
“Tuhan menghendaki demikian. Akan geger di dunia persilatan... harapanku ada
pada Suling Emas.” Lalu ia berjalan perlahan meninggalkan puncak.
***************
Pada masa
itu keadaan di seluruh negara masih kacau-balau. Hal ini biasa terjadi setiap
kali ada peralihan kekuasaan. Wangsa Sung baru setahun berdiri, didirikan oleh
Cao Kuang Yin yang tadinya merupakan panglima tertinggi dari pada wangsa
kelima. Sebelum itu, Tiongkok dikuasai oleh Lima Wangsa yang memecah-mecah
negara sesudah Wangsa Tang roboh (tahun 907), sampai lahirnya Wangsa Sung atas
jasa Cao Kuang Yin yang kemudian menjadi kaisar pertama yang berjuluk Sung Thai
Cu.
Daerah-daerah
yang tadinya semasa Kerajaan Tang telah melepaskan diri dan berdiri sendiri,
dapat ditundukkan kembali dan dimasukkan ke dalam wilayah Kerajaan Sung. Namun,
hal ini bukan berarti bahwa kejayaan seperti di masa gemilangnya Kerajaan Tang
sudah kembali, sama sekali bukan. Kerajaan Sung yang baru ini tidak mampu
menundukkan kerajaan-kerajaan kecil yang masih tetap berdiri di pelbagai
daerah. Yang besar-besar di antaranya adalah daerah timur laut sampai ke Mancuria
Selatan berada di dalam kekuasaan suku bangsa Khitan. Di daerah tenggara
sepanjang pantai terdapat Kerajaan Wu-yue, dan di daerah Yu-nan ada Kerajaan
Nan-cao. Masih banyak lagi daerah lain yang merupakan kerajaan kecil dan tidak
mengakui kedaulatan Kerajaan Sung.
Tentu saja
seringkali terjadi bentrokan-bentrokan kecil, namun tidak sampai meluas.
Kerajaan Sung sudah merasa cukup puas dengan daerah dan wilayahnya, dan perlu
membangun negara setelah persatuan dapat dibina. Sebaliknya, kerajaan-kerajaan kecil
itu pun tidak ingin mencari gara-gara dengan kerajaan baru yang cukup kuat itu.
Pada suatu
pagi yang cerah, sebuah perahu meluncur perlahan dan tenang mengikuti aliran
Sungai Han yang mengalir ke timur, dari daerah Shan-si terus ke timur sampai
tiba di Laut Kuning. Air sungai ini agaknya tidak mengenal diskriminasi, tidak
seperti manusia. Buktinya ia terus mengalir ke tiga daerah yang dikuasai oleh
tiga kerajaan, mengalir tenang dan biasa, tanpa perbedaan!
Sunyi di
sepanjang sungai itu. Di atas perahu tampak empat orang penumpang. Seorang di
antara mereka jelas adalah tukang perahu, laki-laki setengah tua yang gemar
berceloteh, berkumis panjang berpakaian sederhana dengan tambalan di sana-sini.
Kedua lengannya yang memegang dayung tampak kuat berotot yang timbul oleh
tugasnya sehari-hari. Kulitnya coklat kehitaman terbakar matahari.
Tiga orang
yang menumpang perahunya masih muda-muda. Yang pertama adalah seorang pemuda,
kurang lebih dua puluh tiga tahun usianya. Tampan dan keren wajahnya, matanya
tajam bersungguh-sungguh, mulutnya membayangkan kekerasan hati, dahinya lebar,
pakaiannya sederhana tapi bersih, di punggungnya tergantung sebatang pedang.
Orang kedua
adalah seorang gadis berusia dua puluh tahun, juga berpakaian sederhana
ringkas, sebagian rambutnya dikuncir dua di kanan kiri. Gadis ini cukup cantik,
sepasang matanya bersorot terang, wajahnya yang berkulit putih itu membayangkan
kehalusan budi, bibirnya selalu tersenyum membayangkan keramahan. Juga gadis
ini membawa pedang yang dipegang di tangan kiri.
Orang ketiga
juga seorang gadis, masih remaja, paling banyak tujuh belas tahun usianya.
Kalau gadis pertama sama betul waiahnya dengan si pemuda, adalah gadis ini lain
sekali. Wajahnya cantik jelita, rambutnya hitam tebal digelung di kedua sisi
kepalanya. Ia juga berpedang, tergantung di pinggang kanan.
Siapakah
mereka ini? Mereka adalah kakak beradik, bukan orang-orang sembarangan,
melainkan putera-puteri dari seorang tokoh besar yang amat terkenal di jaman
Lima Wangsa. Kam-goanswe (Jenderal Kam) adalah seorang tokoh besar yang
terkenal karena berani menentang kekuasaan Li Ko Yung, Gubernur Propinsi
Shan-si yang dahulu memberontak terhadap Kaisar Wangsa Tang.
Kam-goanswe
yang namanya adalah Kam Si Ek, seratus prosen berjiwa pahlawan dan memiliki
kesetiaan lahir batin. Karena inilah maka ia dimusuhi oleh Li Ko Yung yang
mengangkat diri sendiri menjadi raja kecil. Sama sekali jasa Kam-goanswe
dilupakan, padahal ketika daerah ini diserang oleh suku bangsa Khitan, Jenderal
Kam inilah yang paling berjasa menyelamatkan daerah Shan-si. Semenjak bentrokan
itu, Kam-goanswe melepaskan jabatannya dan mengundurkan diri ke desa Ting-chun,
sebuah desa di kaki Gunung Cin-ling-san, di lembah Sungai Han yang bermata air
di gunung itu. Ia hidup bertani dengan anak isterinya.
Tiga orang
muda itu adalah putera-puteri Kam Si Ek. Yang pertama adalah pemuda tampan itu
yang bernama Kam Bun Sin. Anak kedua adalah Kam Sian Eng, gadis cantik jelita
dan gagah. Ada pun gadis yang termuda, gadis lincah jenaka, bernama Kam Lin,
atau biasa disebut Lin Lin. Gadis ini sebetulnya bukanlah puteri Kam Si Ek,
melainkan anak pungut.
Belasan
tahun yang lalu, dalam sebuah peperangan melawan suku bangsa Khitan, Jenderal
Kam menemukan seorang anak perempuan berusia dua tiga tahun dalam gendongan
seorang wanita yang tewas dalam pertempuran. Wanita Khitan ini mati dengan
pedang di tangan, bukan main gagah sikapnya. Jenderal Kam amat kagum
menyaksikan ini dan dia lalu membawa pulang anak perempuan itu, mengambilnya
sebagai anak sendiri dan memberi nama Kam Lin. Nama ini adalah nama anak itu
sendiri, karena ketika ditanya, ia hanya bisa menunjuk dada sendiri sambil
menyebut “Lin Lin”.
Lin Lin tahu
bahwa dia adalah seorang anak angkat, namun ia tidak merasa sebagai anak
angkat. Selama hampir lima belas tahun hidup di dalam rumah gedung keluarga
Kam, ia diperlakukan sama dengan anak-anak lain. Ayah ibu angkatnya amat cinta
kepadanya, demikian pula Bun Sin dan Sian Eng. Oleh karena inilah maka Lin Lin
merasa bahwa dia memang seratus prosen anggauta keluarga Kam, tidak mau ingat
lagi akan asal-usulnya yang oleh ayah angkatnya dikatakan bahwa ayah ibunya
sendiri telah tewas menjadi korban perang. Ayah angkatnya tidak tahu siapa ayah
bundanya, juga tidak dapat memberi tahu di mana tempat tinggal mereka karena
menurut jenderal itu, ia ditemukan di antara para pengungsi!
Sebagai
seorang jenderal perang yang memiliki ilmu kepandaian silat tinggi, tentu saja
Kam Si Ek menggembleng tiga orang anaknya ini dengan ilmu silat keluarga Kam.
Ternyata tiga orang anak itu mempunyai bakat yang baik dan memiliki
keistimewaan yang menonjol. Bu Sin maju dalam penggunaan ilmu lweekang (tenaga
dalam), Sian Eng mahir bermain pedang, sedangkan Lin Lin mengagumkan sekali
keringanan tubuhnya dan karenanya ia amat maju dalam ilmu ginkang.
Keluarga Kam
hidup tenteram dan bahagia di dusun Ting-chun sampai lebih dari sepuluh tahun
lamanya. Mereka hidup sederhana sebagai petani. Kesederhanaan dusun dan
pekerjaan di sawah ladang membuat mereka selalu sehat dan gembira.
Akan tetapi,
seperti sudah menjadi sifat dunia dan segala isinya, tiada sesuatu yang
langgeng. Alam dan isinya selalu berubah, demikian pula kehidupan manusia.
Selama manusia masih terikat oleh kehidupan, ia akan selalu mengalami
perubahan-perubahan seperti samudera yang selalu mengalami pasang surut, selalu
bergelombang. Ada kalanya pasang ada kalanya surut, ada kalanya tenang, ada
kalanya diamuk taufan. Hanya manusia pandir sajalah yang tidak mau ingat akan
hal ini dan menjadi mabuk dan sombong di waktu jaya sebaliknya putus asa dan
mata gelap di waktu sengsara.
Kalau orang
selalu ingat bahwa kalah dan menang, sengsara dan jaya, susah dan senang, semua
itu adalah saudara-saudara sepupu yang silih berganti menguasai kehidupan, ia
akan selalu bersikap waspada, tidak mabuk oleh kemenangan, tidak putus asa oleh
kekalahan, waspada akan tindakan pribadi agar tidak menyeleweng dari pada
kebenaran. Ingat selalu bahwasanya TUHAN yang berkuasa mengatur kesemuanya itu,
bahwa manusia tiada bedanya dengan titik-titik air di samudera, tak kuasa
melepaskan diri dari pada gelombang kalau belum KELUAR dari dalam samudera.
Hari itu
menjelang senja. Kam Si Ek bersama tiga orang anaknya tengah berlatih silat di
pekarangan belakang rumah yang tertutup pagar tembok. Tingkat kepandaian Bu
Sin, Sian Eng, dan Lin Lin sudah cukup tinggi, malah boleh dibilang sudah
hampir setingkat dengan ayah mereka sendiri. Mereka bertiga kini sedang mainkan
pedang dengan gaya masing-masing, ditonton oleh Kam Si Ek yang berdiri sambil
bertolak pinggang dan mengangguk-angguk puas. Ketika ia melihat betapa tubuh
Lin Lin yang berpakaian merah itu berubah menjadi bayangan merah digulung sinar
putih dari pedang yang dimainkannya, diam-diam Kam Si Ek kagum.
“Hebat bocah
ini... kiranya kelak ia yang paling menonjol. Heran benar, apakah orang tuanya
dahulu keturunan orang gagah bangsa Khitan?” demikian ia berkata seorang diri.
Tiba-tiba
terdengar suara ketawa bergelak yang amat nyaring. Kam Si Ek dan tiga orang
anaknya yang mendengar suara ini segera menghentikan permainan silat dan
menoleh ke arah suara. Kiranya di atas tembok sebelah kanan telah jongkok
seorang laki-laki tinggi besar yang bermuka hitam. Melihat orang ini, Kam Si Ek
terkejut sekali dan wajahnya berubah.
“Giam Sui
Lok, mau apa kau datang ke sini?”
Orang tinggi
besar muka hitam itu tertawa lagi, tetap masih berjongkok di atas tembok.
Matanya yang besar itu melirik ke arah Siang Eng dan Lin Lin dengan pandang
mata kurang ajar. “Kam-goanswe...”
“Aku bukan
jenderal lagi, tak usah kau berpura-pura tak tahu.”
“Ha-ha-ha,
orang she Kam. Kau juga pura-pura tidak tahu mengapa aku datang ke sini?”
Kam Si Ek
menoleh ke arah tiga orang anaknya dan wajahnya makin gelisah. “Orang she Giam,
aku sedang sibuk melatih anak-anakku. Urusan antara kita orang-orang tua boleh
kita bicarakan nanti.”
“Kapan?”
“Malam nanti
kunanti kunjunganmu.”
Laki-laki
tinggi besar muka hitam itu tertawa bergelak. “Boleh, boleh..., aku tidak
khawatir kau akan dapat lari, ha-ha!” tubuhnya berkelebat dan lenyap di balik
pagar tembok.
“Ayah, siapa
dia?” tanya Bu Sin tak enak.
“Dia kurang
ajar sekali,” cela Sian Eng.
Akan tetapi
dengan gerakan seperti seekor burung walet terbang tahu-tahu Lin Lin sudah
melayang ke atas pagar tembok dengan pedang terhunus di tangan kanan. Wajah
gadis yang cantik jelita itu kini tampak marah.
“Lin Lin,
kembali kau...!” Kam Si Ek berseru cemas.
Lin Lin
berdiri di atas tembok, memandang ke sana ke mari, lalu meloncat turun kembali
dan berlari mendekati ayahnya. “Heran, ke mana ia sembunyi? Mulutnya kotor
sikapnya kasar, orang macam itu mengapa tidak dihajar saja, Ayah?”
Kam Si Ek tersenyum,
girang melihat bahwa anak-anaknya mempunyai nyali besar, akan tetapi juga amat
khawatir karena ia maklum bahwa tingkat kepandaian mereka masih jauh kalau
dibandingkan dengan kepandaian orang-orang sakti di dunia kang-ouw. Sedangkan
di dunia ini banyak sekali terdapat orang-orang jahat dan berbahaya, di
antaranya adalah Giam Sui Lok yang datang tadi. Ia maklum bahwa antara dia dan
Giam Sui Lok harus diakhiri dengan pertempuran mati-matian dan ia tidak ingin
kalau anak-anaknya terlibat dalam urusan permusuhan lama ini.
“Dia itu
bekas teman lama. Ada urusan penting di antara kami yang tak perlu kalian
ketahui. Bu Sin, kau ajak kedua orang adikmu pergi ke kuil Kwan-im-bio di
puncak Cin-ling-san sekarang juga. Kau sampaikan hormatku kepada Kui Lan Suci
(kakak seperguruan Kui Lan), dan katakan bahwa besok dia bersama kalian bertiga
kuharapkan sudi turun puncak datang ke sini membawa peti hitam yang kutitipkan
kepadanya sepuluh tahun yang lalu.”
“Tapi, Ayah,
orang tadi...,” Bu Sin yang cerdik membantah, khawatir kalau-kalau orang tadi
akan datang membikin ribut. Ingin ia berada di samping ayahnya untuk membantu
jika sewaktu-waktu ayahnya terancam bahaya.
Kam Si Ek
tertawa. “Dia memang ada urusan denganku, tapi ini urusan orang-orang tua, kau
tahu apa? Sudahlah cepat berangkat sebelum gelap, dan besok kembali bersama
Sukouw (Bibi Guru) kalian.”
Biar pun
hati mereka tidak rela, namun tiga orang muda itu tidak berani membantah
kehendak ayahnya, apalagi mereka dapat menduga bahwa memang ayahnya sengaja
menyuruh mereka malam itu pergi dari rumah. Setelah berpamit kepada ibu mereka,
tiga orang muda ini lalu bergegas mendaki puncak gunung Cin-ling-san yang
tinggi itu sambil membawa obor yang akan dinyalakan kalau malam tiba dan mereka
belum tiba di puncak.
Yang
dimaksudkan Kwan-im-bio di puncak Cin-ling-san adalah sebuah kelenteng
pendeta-pendeta wanita yang memuja Dewi Kwan Im. Pemimpin atau kepala para
nikouw (pendeta wanita) di kelenteng itu adalah Kui Lan Nikouw yang terhitung
kakak seperguruan Kam Si Ek. Tiga orang kakak beradik itu sudah sering kali
bermain-main ke puncak, malah pendeta wanita itu amat sayang kepada mereka dan
berkenan pula memberi petunjuk-petunjuk dalam hal ilmu silat.
Perjalanan
mendaki puncak itu makan waktu tiga jam, padahal tiga orang muda itu sudah
mempergunakan ilmu lari cepat. Biar pun cekatan gerakan mereka, perjalanan itu
agak lambat juga karena hanya diterangi oleh obor di tangan.
Kui Lan
Nikouw yang sudah berusia enam puluh tahun lebih. Mukanya masih segar dan
gerakan-gerakannya masih gesit. Wanita itu menjadi kaget melihat kedatangan
tiga orang murid keponakannya di waktu malam gelap itu.
“Eh, apa
yang terjadi? Mengapa malam-malam datangnya?” tegurnya, namun hatinya sudah
lega melihat wajah tiga orang murid keponakan itu tidak membayangkan sesuatu
yang hebat.
Setelah
mereka berlutut memberi hormat, Bu Sin berkata, “Ayah yang menyuruh teecu
(murid) bertiga, Sukouw. Pertama-tama Ayah menyuruh kami menyampaikan hormat.
Kedua kalinya, Ayah mohon kepada Sukouw agar sudi bersama kami turun gunung
menuju ke pondok kami sambil membawa peti hitam yang sepuluh tahun lalu Ayah
titipkan kepada Sukouw.”
“Hemmm,
hemmm... Ayahmu memang aneh. Urusan begini saja menyuruh kalian malam-malam
bersusah payah ke sini. Kenapa tidak siang-siang tadi, atau besok saja kalau
sudah terang? Masuklah, kalian tentu lelah dan belum makan, bukan? Untung
banyak sayur-sayuran segar, tinggal masak saja. Sian Eng, Lin Lin, kalian bantu
Sukouw-mu, hayo ke dapur!” Memang nenek pendeta itu orangnya ramah sekali dan
amat disayang oleh tiga orang murid keponakan ini.
Akan tetapi
nikouw itu tertegun melihat tiga orang keponakannya tinggal diam saja, dan
jelas mereka ingin menyatakan sesuatu. Ia mulai merasa tidak enak lagi.
“Eh, kalian
ini bocah-bocah ada urusan apakah? Kalau ada kepentingan, hayo bilang, jangan
ragu-ragu!”
“Sukouw,
sebetulnya... kami sendiri merasa tidak enak dan hanya karena dipaksa oleh
Ayah, maka kami pergi ke sini, maka teecu bertiga mohon petunjuk dan nasihat
Sukouw.”
“Ada apa?
Hayo lekas bicara.” Makin tak enak hati Kui Lan Nikouw.
Bu Sin lalu
menceritakan kepada bibi gurunya tentang kunjungan laki-laki tinggi besar muka
hitam yang mencurigakan tadi, menceritakan pula percakapan antara tamu itu dan
ayahnya.
“Hemmm,
laki-laki tinggi besar muka hitam? Kau tahu siapa namanya?”
“Ayah
menyebut namanya. Giam Sui Lok namanya, Sukouw,” kata Lin Lin. “Orangnya kurang
ajar, mukanya buruk, ingin aku bacok hidungnya dengan pedangku!”
Biasanya,
kelincahan dan kejenakaan Lin Lin menggembirakan hati nikouw itu, akan tetapi
kali ini ia tampak termenung. “Giam Sui Lok...? Ah, akhirnya dia datang
juga....”
“Sukouw
kenal dia? Siapakah dia dan mengapa dia datang mencari Ayah dengan sikap begitu
kurang ajar?” Bu Sin mendesak.
“Berbahaya,
tentu terjadi pertumpahan darah... Wah, anak-anak, hayo kita turun puncak
sekarang juga. Siapkan obor, biar kuambil peti hitam Ayahmu. Nanti di jalan
kuceritakan siapa adanya orang she Giam itu.”
Lega hati
tiga orang anak muda itu. Cepat mereka mempersiapkan obor empat buah banyaknya,
dan ketika nikouw itu keluar membawa sebuah peti hitam yang panjangnya tiga
kaki lebar dan tingginya satu kaki, mereka segera ingin membantu. Akan tetapi
nikouw itu tidak memperkenankan mereka.
“Jalan turun
agak sulit, biar aku yang bawa peti ini dan kalian yang menerangi jalan. Hayo
berangkat!”
Di tengah
perjalanan, nikouw itu tidak bercerita banyak, akan tetapi cukup membuat tiga
orang muda itu termenung dan berdebar-debar jantungnya.
“Orang she
Giam itu memang musuh lama Ayahmu, dan memang Ayahmu betul menyuruh kalian
pergi agar tidak mencampuri urusan itu. Urusan itu adalah urusan pribadi yang
hanya dapat diselesaikan antara Ayahmu, orang she Giam itu, dan Ibumu.”
“Permusuhan
apa, Sukouw?” Bu Sin bertanya penasaran.
“Urusan...
eh, urusan... percintaan. Sebelum Ibumu menikah dengan Ayahmu, orang she Giam
itu adalah... eh, ia dan Ibumu agaknya saling mencinta, lalu datang Ayahmu
hingga terjadi persaingan. Ayahmu menang dan orang she Giam itu pergi dengan
hati patah dan penuh dendam. Selama belasan tahun ini entah sudah berapa kali
ia datang menantang Ayahmu, akan tetapi ia selalu kalah oleh Ayahmu. Sekarang
ia datang lagi, tentu akan terjadi perkelahian mati-matian. Dasar orang-orang
lelaki memang aneh dan tolol... eh, mengapa aku bicara begini? Hemmm, urusan
ini benar-benar membuat hati dan pikiran pinni (aku) kacau-balau....”
Sudah cukup
jelas bagi mereka bertiga. Juga cerita itu membuat mereka menjadi malu dan
tidak enak, maka mereka membungkam tidak berani bertanya lagi. Bahkan kebencian
mereka terhadap orang she Giam itu agak berkurang setelah mereka mendengar
bahwa dia itu dahulunya saling mencinta dengan ibu mereka. Bahkan dalam hati
kecil Lin Lin timbul rasa kasihan. Perasaan aneh yang belum pernah ia rasakan
terhadap seorang laki-laki.
Karena
merasa tegang dan khawatir setelah mendengar keterangan Kui Lan Nikouw,
perjalanan dilakukan cepat sekali dan hanya memakan waktu dua jam. Betapa pun
juga, tengah malam hampir tiba ketika mereka memasuki pekarangan yang lebar di
rumah gedung keluarga Kam. Dapat dibayangkan betapa gelisah hati orang-orang
muda itu ketika melihat rumah mereka gelap sama sekali. Setelah meloncat mereka
berlari ke arah pintu depan dengan obor di tangan.
“Ayah...!”
Bu Sin berseru keras dan segera diturut oleh Sian Eng dan Lin Lin yang
berteriak-teriak memanggil ayah ibu mereka.
“Tenang,
anak-anak. Mencurigakan sekali ini, mengapa begini sunyi? Biar aku yang masuk
lebih dulu,” kata Kui Lan Nikouw yang selalu berhati-hati dan yang sudah banyak
pengalamannya.
Nikouw itu
sambil memondong peti hitam di tangan kiri dan tangan kanannya siap di depan
dada, berjalan masuk ke dalam rumah diterangi dari belakang oleh tiga orang
keponakannya. Ruangan depan sunyi dan kosong. Pada saat mereka memasuki ruangan
tengah yang lebar, tiga orang anak muda itu menjerit dan lari menubruk ke depan.
Ayah mereka menggeletak mandi darah di sudut, tak jauh dari situ menggeletak
pula ibu mereka, juga bermandi darah, dan di sudut lain mereka melihat
laki-laki tinggi besar muka hitam itu rebah terlentang dengan mata mendelik,
juga mandi darah!
Tiga orang
anak muda itu menangis, sebentar memeluk ayah, sebentar menubruk ibu,
mengguncang-guncang dan memanggil-manggil. Tiba-tiba Lin Lin bangkit berdiri,
matanya menyinarkan api.
“Sratt!”
pedang sudah ia cabut dan sekali loncat ia sudah mendekati mayat orang she Giam
itu.
“Kau yang
membunuh Ayah Ibu!” pedangnya bergerak menyambar hendak memenggal leher mayat
itu.
Gerakannya
tertahan ketika tekanan pada pundak kanannya membuat tangan yang memegang
pedang menjadi lemas. Kiranya bibi gurunya sudah berdiri di belakangnya. Ketika
Lin Lin menoleh dan melihat bibi gurunya, ia menangis dan memprotes, “Dia
membunuh Ayah Ibu, Sukouw, dia harus kucincang hancur!”
“Ssttt, anak
bodoh. Simpan pedangmu. Kalau dia membunuh ayah bundamu, bagaimana dia sendiri
mati di sini?”
“Dia
berhasil membunuh Ibu, lalu berhasil membunuh Ayah, akan tetapi tentu Ayah juga
dapat melukainya sehingga ia pun mampus!” Lin Lin membantah lagi dengan
penasaran.
“Tenanglah,
dan tengok. Bu Sin, Sian Eng, kalian juga periksa baik-baik. Kumpulkan
obor-obor itu ke sini. Nah, lihat. Mereka bertiga tewas dengan luka-luka pada
perut dan dada, luka-luka oleh senjata tajam. Dan kalian lihat itu, pedang itu
tentu pedang Ayahmu, terpental di sana dan sedikit pun tidak ada tanda darah.
Dan orang she Giam itu tentu bersenjata golok, nah, di mana goloknya? Juga
terpental dan tidak ada tanda darah. Memang dia ahli golok sejak dulu. Terang
bahwa baik pedang Ayahmu mau pun golok dia itu tidak menjadi sebab kematian
mereka semua ini. Eh... nanti dulu! Ibumu belum mati... biar kutolong dia....”
Nikouw itu
lalu meletakkan peti hitam di atas meja dan cepat ia berlutut memeriksa Nyonya
Kam. Benar saja dugaannya, nyonya ini biar pun terluka hebat, tetapi masih
belum tewas. Setelah ditotok dan diurut beberapa kali oleh jari-jari tangan Kui
Lan Nikouw yang ahli, ia mengeluh perlahan.
“Siapa
membunuhmu? Katakan, pinni Kui Lan Nikouw di sini, kenal aku? Nah, katakan,
siapa melakukan semua ini?” kata-kata yang nyaring dari nikouw itu, yang
mengandung desakan, membuat hati tiga orang anak muda itu seperti
diremas-remas. Desakan yang tak sabar ini cukup jelas bagi mereka bahwa ibu
mereka tak dapat ditolong lagi, hanya dapat diharapkan memberi keterangan
tentang pembunuhan itu.
“Iihhh...
takut... takut... setan...!” Nyonya itu berteriak-teriak ketakutan.
Bu Sin, Sian
Eng, dan Lin Lin yang semenjak kecil digembleng ilmu silat dan sifat-sifat
kegagahan, mau tidak mau merasa ngeri dan meremang bulu tengkuk mereka
mendengar jerit ibu mereka ini.
“Tenang,
adikku, pinni berada di sini. Setan apa yang kau takuti?” kembali nikouw itu
membujuk dan mendesak.
Nyonya itu
menangis, terengah-engah, lalu berkata, lirih tapi masih ketakutan, “Setan...
dalam peti mati... suaranya... suling... suling maut....”
Nikouw itu
berdiri. Nyonya yang ketakutan itu sudah tak bergerak lagi. Tiga orang muda itu
menubruk dan menangisi ibunya. Kui Lan Nikouw berbisik-bisik, membaca mantera
dan doa-doa, mendoakan roh-roh ketiga orang itu. Ia tidak tahu apa yang telah
terjadi, akan tetapi dapat menduga bahwa tiga orang itu menjadi korban seorang
penjahat yang luar biasa sekali. Mungkin ucapan terakhir dari ibu Bu Sin dan
Sian Eng tadi hanyalah kata-kata igauan yang tiada artinya. Akan tetapi bahwa
pembunuh itu sakti, tak dapat disangsikan lagi karena tingkat kepandaian Kam Si
Ek bukanlah rendah, apalagi orang she Giam itu juga menjadi korban, terbunuh
secara mengerikan.......
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment