Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Cinta Bernoda Darah
Jilid 02
Setelah
selesai mengurus pemakaman tiga jenazah itu, Kui Lan Nikouw membuka sampul
surat yang ia temukan dalam kamar adik seperguruannya. Sampul surat yang memang
ditujukan kepadanya. Ia membaca isi surat itu, menggeleng-geleng kepala
memanggil Bu Sin, Sian Eng, dan Lin Lin berkumpul. Di depan mereka ia baca lagi
surat itu dengan suara keras. Surat itu singkat saja, seperti berikut:
Kui Lan suci yang mulia.
Surat ini kubuat lebih dulu, menjaga
kalau-kalau aku tewas dalam menghadapi Giam Sui Lok. Kau tahu urusanku dengan
dia, tak seorang pun boleh mencampuri, dia berhak menuntut seorang di antara
kami harus mati untuk membiarkan yang lain hidup di samping Bwee Hwa. Sengaja
kusuruh anak-anak pergi menjemput Suci.
Kalau aku tewas, kiranya Bwee Hwa
tentu akan membunuh diri seperti yang berkali-kali ia nyatakan dalam hubungan
kami dengan orang she Giam itu. Kalau terjadi kami berdua tewas, harap Suci
atur anak-anak.
Peti hitam itu selain berisi harta
pusaka yang sengaja kusimpan, juga terdapat sebuah gelang emas dengan huruf Bu
Song. Kau tahu, itu adalah gelang emas milik Bu Song. Harta pusaka itu
diberikan kepada empat orang anak, bagi rata, jangan bedakan sedikit juga
antara Bu Song dan Lin Lin serta yang dua orang. Akan tetapi suruh tiga orang
anak itu pergi mencari Bu Song sampai dapat. Aku tidak tahu di mana ia berada,
pengetahuanku tentang dia sama dengan pengetahuanmu, Suci, maka kau ceritakan
kepada mereka.
Kalau aku tewas di tangan Giam Sui
Lok, pesan semua anak-anak jangan mencari dan membalas dendam kepadanya. Sudah
terlalu banyak orang she Giam itu menderita karena aku.
Hormat Sute-mu,
KAM SI EK
Sambil
terisak-isak mendengarkan bunyi surat pesan terakhir dari ayah mereka itu, tiga
orang anak ini pun terheran-heran dan banyak hal yang mereka tidak mengerti.
“Kalian
tentu tidak tahu siapa itu Bu Song. Baiklah pinni ceritakan secara singkat.
Dahulu, sebelum Ayahmu menikah dengan Ibumu setelah menang berebutan dengan
Giam Sui Lok, Ayahmu adalah seorang duda yang mempunyai seorang anak laki-laki
tunggal diberi nama Bu Song, Kam Bu Song. Pada waktu itu Bu Song sudah berusia
sembilan tahun kurang lebih. Ayahmu menjadi duda bukan karena kematian
isterinya, melainkan karena perceraian. Ibu Bu Song seorang ahli silat yang
kepandaiannya jauh melebihi Ayahmu, sayangnya... hemmm, hal ini terpaksa
kuberitahukan, dia itu dahulunya adalah seorang gadis dari golongan hitam.
Wataknya keras, dan mungkin karena inilah ia berpisah dari Ayahmu yang lalu
menikah lagi dengan Ibumu.”
“Dan ke mana
perginya... eh, Kakak Bu Song itu, Sukouw? Bukankah dia itu terhitung kakakku,
karena dia pun putera Ayah?” tanya Bu Sin, berdebar hatinya mendengar bahwa dia
bukanlah anak sulung, melainkan yang kedua dan di sana masih ada kakaknya yang
hampir sepuluh tahun lebih tua dari padanya.
“Itulah yang
selalu mengganggu hati mendiang Ayahmu. Ketika mendengar bahwa Ayahmu akan
menikah dengan Ibumu, Bu Song, anak yang keras hati seperti ibunya itu
diam-diam minggat pada malam hari dan sampai saat ini tidak diketahui di mana
tempat tinggalnya.”
Hening
sejenak. Tiga orang anak itu merasa terharu. “Apakah Ayah tidak mencarinya,
Sukouw?” tanya Sian Eng.
“Tentu saja.
Malah tujuh tahun kemudian Ayahmu mendengar bahwa puteranya itu berada di kota
raja sebagai seorang pelajar yang menempuh ujian. Nama yang dipakainya tetap Bu
Song, akan tetapi shenya she Liu, agaknya ia menggunakan she ibunya.”
“Liu Bu
Song...,” kata Lin Lin, agaknya hendak mengingat-ingat nama itu di hatinya.
Entah mengapa, ia merasa tertarik dan ada perasaan simpati di hatinya terhadap
Liu Bu Song. Mungkin hal ini karena ia teringat akan nasibnya sendiri sebagai
seorang anak pungut yang sudah tidak beribu bapak lagi.
“Akan tetapi
ketika Ayahmu mencarinya ke sana, Bu Song sudah menghilang lagi dan sampai
sekarang Ayahmu tidak tahu di mana dia berada. Sekarang, Ayah kalian
menghendaki supaya kalian pergi mencarinya. Bagaimana pendirian kalian akan hal
ini?”
“Sukouw,
teecu merasa lebih perlu untuk pergi mencari setan dalam peti mati yang membawa
suling itu. Teecu takkan mau pulang sebelum dapat membalas dendam atas kematian
Ayah dan Ibu!”
“Teecu
juga!” kata Sian Eng.
“Tentu saja
teecu juga,” sambung Lin Lin. “Akan tetapi teecu juga akan cari sampai dapat
dia itu... eh, Kakak Bu Song.”
Kui Lan
Nikouw mengangguk-angguk. “Pinni tidak dapat menyalahkan kalian untuk dendam
ini, apa lagi kalian hanya orang-orang muda yang berdarah panas. Akan tetapi
janganlah kalian terlalu sembrono dan mengira akan mudah saja mencari orang
yang hanya dikenal sebagai setan dalam peti yang membawa suling. Hemmm, apa
lagi melihat kepandaian orang itu, andai kata kalian dapat menemukannya, agaknya
belum tentu kalian akan dapat menang. Oleh karena itu, pinni perkenankan kalian
pergi merantau mencari kakak kalian dan juga sekalian mencari musuh besar itu.
Akan tetapi, apa bila kalian sudah bisa bertemu dengan musuh besar itu, kalian
tidak boleh bertindak sembrono, lebih baik kalian memberi tahu kepada pinni.
Kalau pinni mampu, tentu pinni akan membantu kalian. Andai kata tidak mampu,
pinni masih dapat minta bantuan orang-orang pandai yang pinni kenal.
Berjanjilah bahwa kalian tidak akan bertindak sembrono, baru pinni
memperkenankan kalian pergi.”
Tiga orang
muda itu berjanji akan mentaati pesan ini. Sebulan kemudian, berangkatlah tiga
orang kakak beradik itu dan seperti telah diceritakan di bagian depan, mereka
menumpang perahu mengikuti aliran Sungai Han yang mengalir ke timur
mendengarkan cerita tukang perahu yang gemar berceloteh.
***************
Berhari-hari
tiga orang muda she Kam itu melakukan perjalanan dengan perahu, menikmati
pemandangan yang amat indah di kanan kiri sungai. Tukang perahu bercerita
banyak tentang keadaan kota-kota besar dan perubahan-perubahannya semenjak
Wangsa Sung berdiri.
“Kita sudah
dekat dengan kota Wu-han,” tukang perahu itu berkata dan wajahnya sekarang
berubah menjadi gelisah. “Seperti telah saya nyatakan ketika Sam-wi (Anda
Bertiga) menyewa perahu ini, saya hanya dapat mengantar sampai di Wu-han saja
dan selanjutnya untuk menuju ke kota raja, Sam-wi dapat melakukan perjalanan melalui
darat.”
Mendengar
ini, Lin Lin bertepuk tangan dan berjingkrak girang. “Bagus sekali! Aku sudah
bosan duduk dan tidur di perahu berhari-hari, kedua kakiku pegal-pegal karena
tidak dipakai berjalan. Empek tukang perahu, masih berapa lama lagikah kita
sampai di Wu-han?”
“Tidak lama
lagi, Nona, sore nanti juga sampai. Akan tetapi menyesal sekali, saya tidak
akan dapat mengantar sampai ke kota, terpaksa harus berhenti di luar kota.”
“Eh, kenapa
begitu, Lopek?” Bu Sin menegur. “Bukankah kita sudah janji akan turun di Wu-han
dan membayar sewanya kepadamu di sana?”
“Maaf, Tuan
Muda. Tentu saja saya akan merasa senang sekali mengantar Sam-wi sampai ke
kota, akan tetapi saya tidak berani melakukannya.”
“Tidak
berani? Kenapa?” Sian Eng ikut bicara.
“Karena hal
itu berarti bahwa uang sewa yang akan saya terima dari Sam-wi, takkan dapat
kubawa pulang, paling banyak hanya setengahnya yang akan dapat saya miliki.
Wah, jembel-jembel busuk itu benar-benar membuat hidup kami para nelayan tidak
tenteram lagi, Nona.”
“Apa
maksudmu? Siapa itu jembel-jembel busuk? Harap ceritakan kepada kami,” Bu Sin
mendesak dengan rasa penasaran.
“Mereka
merajalela sekarang, Tuan Muda, jembel-jembel busuk itu. Semenjak Kerajaan Sung
berdiri, mereka itu kini mempunyai pengaruh yang amat besar. Di mana-mana,
terutama di kota-kota besar, pengemis-pengemis itu berkelompok dan bergabung.
Mereka menggunakan praktek pemungutan pajak liar. Apa lagi di Wu-han. Saya
mendengar bahwa Wu-han merupakan pusat, maka di sana berkeliaran banyak sekali
pengemis dan setiap orang harus tunduk terhadap mereka. Para nelayan harus
membayar pajak kepada mereka setiap kali mendarat, baik berupa hasil
penangkapan ikan mau pun hasil menyewakan perahu.” Tukang perahu itu kelihatan
berduka dan penasaran.
“Aiiihhh,
mana ada aturan begitu?” Lin Lin membanting kaki dengan marah.
“Lopek,
apakah yang berwajib tidak melarang mereka melakukan perbuatan
sewenang-wenang?” Bu Sin bertanya penasaran.
Tukang
perahu menggelengkan kepalanya. “Mereka tidak berdaya. Pengemis-pengemis itu
lihai, semua pandai ilmu silat. Selain itu, mereka itu mengaku sebagai
bekas-bekas pejuang yang membantu pendirian Kerajaan Sung. Oleh karena itu,
Tuan Muda, kalau Sam-wi kasihan kepada saya, harap Sam-wi sudi turun di luar
kota saja, karena kalau diteruskan sampai ke Wu-han, tidak urung uang sewa itu
akan mereka minta sebagian atau kalau saya sedang sial, mungkin mereka akan
merampasnya semua.”
Merah wajah
Bu Sin dan kedua adiknya. “Tidak, Lopek! Kita terus ke Wu-han dan kami yang
tanggung bahwa jembel-jembel busuk yang jahat itu tidak akan mengganggumu!”
“Tapi....”
“Kalau perlu
pedang kami ikut bicara!” Lin Lin berseru sambil meraba gagang pedangnya.
Tukang
perahu tidak berani membantah lagi. Dengan muka berkerut-merut penuh kekhawatiran
tukang perahu melanjutkan perahunya. Benar seperti yang dikatakannya tadi,
menjelang sore, perahu sudah tiba di luar tembok kota Wu-han. Di kota Wu-han
inilah Sungai Han memuntahkan airnya ke dalam sungai Huang-ho dan di tempat ini
merupakan pelabuhan sungai yang ramai. Mendekati tempat ini, tukang perahu
pucat mukanya dan tubuhnya gemetar ketakutan.
“Celaka,
Tuan Muda, lihat di sana, mereka benar-benar sudah siap merampok saya...,”
bisik tukang perahu.
Bu Sin dan
dua orang adiknya memandang, akan tetapi tidak ada yang aneh di pelabuhan itu.
Karena hari telah sore, pelabuhan itu nampak agak sunyi, hanya beberapa orang
nelayan yang sibuk, ada yang menambal perahu, ada yang menjemur jala dan
menambal layar. Empat orang pengemis duduk di atas tanah bermalas-malasan.
Apakah pengemis-pengemis kurus kering itu yang ditakuti tukang perahu? Hampir
saja Lin Lin terkekeh memikirkan hal ini, namun tak dapat ia menahan hatinya
bertanya.
“Lopek, kau
maksudkan empat ekor cacing tanah itu yang akan mengganggumu?”
“Sssttttt,
Nona jangan bicara terlalu keras...,” tukang perahu makin pucat.
“Dan Tuan
Muda harap suka memberikan uang sewa sekarang juga kepada saya, jangan di depan
mereka itu....”
“Tidak,
Lopek. Kami malah hendak melihat apa yang mereka akan lakukan terhadapmu.
Jangan khawatir, kalau mereka berani merampokmu, kami akan memberi hajaran
kepada mereka,” kata Bu Sin.
Dengan
terpaksa tukang perahu minggirkan perahunya. Empat orang pengemis itu menoleh
ke arah perahu. Seorang di antara mereka yang hidungnya bengkok, menguap lalu
berkata keras tanpa berdiri dari tempat duduknya di atas tanah.
“Heee,
tukang perahu, dari manakah kau?”
Mengherankan
sekali melihat seorang pengemis menegur secara begini dan si tukang perahu
menjawab dengan sikap hormat, “Kami datang dari daerah Propinsi Shan-si, dusun
La-kee-bun dekat Sungai Han.”
Empat orang
pengemis itu sekarang berdiri mengulet dan menguap. Si Hidung bengkok melangkah
lebar menghampiri, tanpa pedulikan Bu Sin dan dua orang adik perempuannya yang
sudah meloncat turun dan berdiri memandang dengan mata tajam. “Ho-ho-ho-ho,
perjalanan yang jauh sekali. Tentu biayanya banyak. Berapa kau terima?”
“...hanya...
hanya dua puluh tail... itu pun belum saya terima...,” jawab si tukang perahu
ketakutan.
“Goblok
benar! Sejauh itu hanya dua puluh tail? Kau ditipu! Atau kau yang bohong?
Setidaknya harus lima puluh tail!”
Si tukang
perahu makin takut. “Betul, sahabat. Hanya dua puluh tail, akan tetapi Tuan
Muda dan kedua Nona ini membagi makan dengan saya dan....”
Lin Lin
sudah tidak sabar lagi mendengarkan percakapan ini. Ia melangkah maju dan
telunjuk kanannya yang runcing menuding muka pengemis itu. “Hih, kau ini
pengemis tukang minta-minta ataukah perampok? Ada sangkut-paut apa denganmu
tentang urusan kami dengan tukang perahu?”
Pengemis itu
memandang heran, lalu terbahak. “Ha-ha-ha, Loheng (Kakak), kau lihat anak ayam
ini. Nona cantik, kau belum mengenal kami, ya? Kalau kau tahu siapa aku, hemmm,
kau akan lari terkencing-kencing!” Empat orang pengemis itu tertawa mendengar
ucapan terakhir ini.
“Jembel
busuk! Siapa sudi mengenal macammu? Aku hanya tahu bahwa kau seorang jembel
kotor yang berhidung bengkok. Minggat dari sini kalau kau tidak ingin aku
membikin hancur hidungmu yang bengkok dan menjijikkan itu!” Lin Lin membentak
dan melangkah maju. Bu Sin dan Sian Eng yang sudah mengenal watak Lin Lin tidak
mau mencegah, apa lagi mereka memang mendongkol menyaksikan sikap para pengemis
itu. Mereka siap menghadapi pertempuran dan membantu Lin Lin.
Pengemis
berhidung bengkok marah sekali. Dengan sikap memandang rendah ia mendekati Lin
Lin. “Bocah liar, kau perlu dihajar!” Lengannya yang panjang itu diulur maju
dengan jari-jari tangan terbuka, agaknya hendak menangkap Lin Lin.
Gadis ini
tentu saja tidak sudi membiarkan pengemis itu menyentuhnya. Tubuhnya
berkelebat cepat sekali, kaki kirinya melayang ke atas dan....
“Prakkk!”
ujung sepatunya telah mencium muka pengemis itu dengan keras.
Si pengemis
itu terhuyung ke belakang, mengaduh kesakitan sambil menutupi mukanya. Darah
bercucuran keluar dari hidungnya yang kini menjadi makin miring dan bengkok ke
kiri! Matanya yang kanan menjadi hitam dan tak dapat dibuka lagi.
“Setan
cilik, kalian berani mencari perkara dengan kami orang-orang dari
Pek-ho-kai-pang (Perkumpulan Pengemis Bangau Putih)?” Tiga orang pengemis yang
lain lalu bergerak menerjang Lin Lin.
Gadis ini
tertawa mengejek dan menghadapi mereka tanpa gentar sedikit pun juga. Bu Sin
dan Sian Eng tentu saja tidak mau berpeluk tangan melihat Lin Lin hendak
dikeroyok.
“Jembel-jembel
jahat, jangan kurang ajar!” Sian Eng berseru dan tubuhnya berkelebat menghadapi
seorang pengemis.
Bu Sin tanpa
mengeluarkan suara juga menerjang maju menghadapi pengemis kedua. Ada pun
pengemis yang memaki tadi sudah bertanding melawan Lin Lin. Tiga orang muda ini
tidak mau mempergunakan pedang ketika melihat bahwa lawan mereka hanyalah orang
biasa saja yang mengandalkan ilmu silat pasaran dan hanya pandai main gertak
saja. Lin Lin menghadapi lawannya sambil tertawa-tawa, mempermainkannya dengan
kelincahan tubuhnya sehingga semua serangan lawan itu hanya mengenal angin
kosong belaka.
Tempat yang
tadinya sunyi itu kini penuh orang karena mereka ingin menonton pertempuran
itu. Kejadian yang amat mengherankan mereka, akan tetapi diam-diam mereka
mengkhawatirkan keselamatan tiga orang muda itu. Hampir setahun lamanya para
pengemis Pek-ho-kai-pang itu merajalela, tak seorang pun berani menentang
mereka. Sekarang ada tiga orang muda asing yang datang-datang bertempur melawan
pengemis-pengemis itu, tentu saja mereka amat tertarik dan berbondong-bondong
datang menonton. Bahkan orang-orang dalam kota Wu-han yang mendengar berita ini
bergegas datang untuk menonton. Akan tetapi banyak di antara mereka terlambat
karena ketika mereka datang ke pinggir sungai, pertempuran itu sudah selesai.
Bu Sin yang
wataknya pendiam dan tidak mau main-main, segera dapat merobohkan lawannya
dengan sebuah tendangan kilat. Pengemis itu terlempar, bergulingan dan tak
dapat tertahan lagi tubuhnya menggelinding ke dalam sungai! Sian Eng juga
merobohkan lawannya semenit kemudian. Pukulannya dengan tangan miring yang
‘memasuki’ lambung lawan membuat pengemis lawannya itu roboh menekan-nekan
perut dan meringis kesakitan, duduk berjongkok tak tentu geraknya, tapi tidak
mampu bangun kembali.
“Stoppp!”
Lin Lin membentak dengan mengulur lengannya ke depan, menyetop pengemis yang
menjadi lawannya.
Pengemis itu
kaget, mengira gadis itu benar-benar hanya menyetopnya saja. Ia pun berdiri
dengan memasang kuda-kuda dan memandang heran.
“Stop dulu
sebentar, ya?” Lin Lin melangkah mendekati pengemis bekas lawan cicinya yang
kini mendekam di atas tanah itu. Kakinya bergerak dan... tubuh pengemis itu
terlempar ke dalam sungai menyusul kawannya! Setelah melakukan hal ini, Lin Lin
menghampiri lawannya kembali yang masih berdiri memasang kuda-kuda, lalu
berkata manis, “Nah, sekarang boleh teruskan!”
Sikap gadis
yang lincah jenaka ini memancing ledakan ketawa dari para penonton. Memang
sudah terlalu lama mereka tertekan oleh para pengemis, merasa penasaran dan
marah yang ditahan-tahan. Sekarang ada tiga orang muda memberi hajaran, hati
mereka lega dan puas. Biar pun biasanya mereka takut terhadap para pengemis
Pek-ho-kai-pang, sekarang menyaksikan sikap gadis remaja yang cantik jelita dan
jenaka itu, mereka tak dapat menahan kegembiraan mereka.
Lawan Lin
Lin marah bukan main, sedangkan pengemis hidung bengkok yang menjadi orang
pertama mendapatkan hajaran, siang-siang sudah meninggalkan tempat itu sambil
mendekap hidungnya yang remuk. Kemarahan lawan Lin Lin membuat Lin Lin makin
gembira. Ia tidak peduli betapa pengemis itu sudah mengeluarkan sebatang tongkat
dan menyerang dengan tongkat di tangan.
“Wah, baunya
yang tidak tahan!” Lin Lin menggunakan tangan kiri memijat hidungnya dan kini
hanya menghadapi tongkat pengemis itu dengan tangan kanan saja.
Memang
lincah sekali gerakan Lin Lin. Tongkat itu biar pun diputar dan
dipukul-pukulkan bertubi-tubi, tak pernah dapat menyentuh ujung bajunya. Malah
beberapa kali, dengan gerakan kilat, gadis ini sudah berhasil memutar ke
belakang lawannya dan mengirim tendangan ke arah pantatnya sampai mengeluarkan
suara berkeplok dan debu mengebul dari celana yang kotor itu. Para penonton
terkekeh-kekeh geli dan ada yang memegangi perut saking menahan tawa.
“Lin-moi,
lekas bereskan dia!” Bu Sin mengerutkan kening, membentak adiknya.
“Sudah
beres, Sin-ko!” jawab Lin Lin.
Dan tanpa
pengemis itu dapat mengerti, tahu-tahu tongkatnya sudah terampas di tangan
kanan gadis itu dan kini ia terpaksa terhuyung-huyung mundur dan miring ke
kanan kiri karena digebuki dengan tongkatnya sendiri. Lin Lin terus menggebuk
pundak, mendorong dada dan akhirnya pengemis yang mundur-mundur itu terjengkang
masuk ke dalam sungai!
Karena takut
dipermainkan terus oleh Lin Lin, tiga orang pengemis itu membiarkan tubuh
mereka hanyut oleh air sungai dan baru berenang mendarat setelah agak jauh dari
tempat itu. Ada pun Bu Sin segera membayar tukang perahu yang ketakutan dan
menyuruhnya cepat-cepat pergi dari situ. Tanpa diperintah dua kali, si tukang
perahu lalu mendayung perahunya sepanjang pinggir sungai melawan arus yang
tidak begitu kuat.
Bu Sin
maklum bahwa mereka telah membuat ribut di tempat ini, maka ia segera mengajak
kedua orang adiknya untuk memasuki kota Wu-han, tidak mempedulikan orang-orang
yang tadinya menonton dan kini memandang kepada mereka penuh kekaguman dan
kekhawatiran sambil membicarakan peristiwa tadi.
Karena malam
telah tiba dan mereka merasa lelah sehingga tak mungkin melanjutkan perjalanan
di waktu malam, Bu Sin mengajak dua orang adiknya bermalam pada sebuah rumah
penginapan yang berada di sebelah timur pusat kota. Sebuah rumah penginapan
yang sederhana, namun cukup bersih. Di sepanjang perjalanan menuju ke rumah
penginapan, mereka tidak pernah melihat adanya pengemis. Lega hati Bu Sin,
karena ia sudah merasa khawatir kalau-kalau urusan itu berkepanjangan dan
mereka akan menemui kesulitan dari kawan-kawan empat orang pengemis tadi.
“Wah, cerita
empek tukang perahu tadi dilebih-lebihkan,” kata Lin Lin. “Katanya di sini
berkeliaran banyak pengemis jahat, mana buktinya? Hanya empat ekor cacing tanah
tadi yang tiada gunanya sama sekali.”
“Eh,
Lin-moi, kenapa sih kau agaknya ingin sekali melihat pengemis-pengemis lagi?
Mau apa?” tegur Sian Eng setengah menggoda.
“Ingin
memberi hajaran lagi kalau mereka benar-benar jahat, biar kapok!” jawab Lin
Lin.
“Lin-moi,
jangan sembrono kau. Apakah kau kira setelah melihat empat orang pengemis jahat
tadi, kau lalu menganggap bahwa semua pengemis jahat belaka? Yang tidak jahat
patut dikasihani, seperti dia itu, bukankah patut dikasihani?” Bu Sin menunjuk
ke arah seorang pengemis tua yang duduk kedinginan di bawah pohon yang berada
di depan rumah penginapan.
Lin Lin dan
Sian Eng memandang. Memang patut dikasihani pengemis tua ini. Ia duduk bersila
melenggut bersandarkan tongkat bututnya, pakaiannya penuh tambalan, tubuhnya
menggigil kedinginan, rambutnya riap-riapan seperti rambut orang gila. Kakek
ini sudah tua sekali, kedua matanya meram dan dari pinggir matanya keluar
kotoran bertumpuk. Bibirnya agak terbuka dan air liurnya bertetesan keluar.
Menjijikkan, namun juga menimbulkan kasihan.
Dasar Lin
Lin berwatak aneh dan mudah sekali berubah. Gadis ini semenjak kecilnya memang
sudah aneh. Mudah marah, mudah menangis, mudah tertawa. Kalau marah hanya
sebentar, kalau menangis pun hanya sebentar, dan sebagian besar waktunya tentu
diisi dengan tawa dan berjenaka. Kini melihat keadaan kakek ini, tiba-tiba saja
kemarahannya terhadap para pengemis tadi lenyap. Ia merogoh saku bajunya,
mengeluarkan sepotong uang perak dan melemparkannya ke pangkuan kakek itu. Akan
tetapi kakek pengemis itu masih saja tidur.
Bu Sin dan
Sian Eng terkejut, akan tetapi karena mereka sudah tahu akan watak Lin Lin yang
memang aneh, mereka tidak berkata apa-apa, hanya di dalam hati mengeluh bahwa
kalau Lin Lin bersikap seroyal ini terhadap semua pengemis, sebentar saja
mereka akan kehabisan bekal di jalan! Masa memberi sedekah kepada seorang
pengemis sampai sepotong uang perak? Namun, karena hal itu telah terjadi,
mereka tidak mencegah dan ketiganya segera memasuki rumah penginapan, minta
sewa dua buah kamar. Sebuah untuk Lin Lin dan Sian Eng, sebuah lagi untuk Bu
Sin.
Karena
merasa lelah, tiga orang muda itu tidak pergi keluar untuk makan, melainkan
menyuruh seorang pelayan rumah penginapan memesan makanan. Selagi mereka makan,
terdengar ribut-ribut di luar. Ketiganya keluar dan apa yang terjadi di luar?
Ternyata pengemis tua itulah yang menimbulkan keributan.
Tadinya
orang-orang di dalam ruangan depan rumah penginapan itu, yakni para tamu yang
kebetulan duduk di ruangan depan mendengar suara orang berteriak-teriak marah.
Seorang pelayan wanita membawa lampu ke luar dari ruangan untuk melihat apa
gerangan yang terjadi. Kiranya pengemis tua itulah yang berteriak-teriak,
“Nyamuk keparat! Nyamuk gila!”
Kakek
pengemis itu masih duduk, akan tetapi sekarang tubuhnya yang masih duduk itu
terpental-pental ke atas dalam keadaan masih bersila. Debu mengebul di bawahnya
ketika tubuhnya itu terbanting-banting, tangan kanannya mengusir nyamuk yang
merubungnya, tangan kiri memegangi tongkat. Wanita pelayan itu kaget sekali.
Siapa yang takkan menjadi kaget dan heran melihat orang duduk bersila dapat
berloncatan seperti itu? Beberapa orang tamu berlari ke luar dan sebentar saja
banyak orang melihat kakek itu.
Bu Sin dan
dua orang adiknya juga bergegas ke luar, meninggalkan meja makan. Mereka
bengong dan terkejut. Itulah pertunjukan ginkang yang hebat. Makin lama tubuh
kakek itu meloncat makin tinggi seperti terbang, sedangkan keadaannya masih
duduk bersila. Yang lebih hebat lagi, uang perak yang tadinya berada di
pangkuan kakek itu sekarang berada di bawahnya, juga uang ini ikut berloncatan
di bawah pantat si kakek jembel!
“Nyamuk
keparat!” kakek itu masih bersunggut-sunggut, tapi kata-kata sambungannya yang
tak dimengerti orang lain itu mengejutkan Bu Sin dan adik-adiknya, “Keparat,
uang perak membatalkan niatku membunuh tiga ekor nyamuk!”
Setelah
berkata demikian, kakek itu melirik ke arah Bu Sin dan adik-adiknya. Sekarang
tampak oleh mereka bahwa kakek itu matanya buta sebelah. Kakek itu bangkit
berdiri, meludah sekali, lalu berjalan pergi terbongkok-bongkok dibantu
tongkatnya.
Orang-orang
tertawa. “Kakek itu gila, rupanya...”
Akan tetapi
Bu Sin dan adik-adiknya lebih mengerti. Sama sekali bukan kakek gila, melainkan
seorang sakti yang luar biasa. Apa lagi ketika mereka memandang lebih jelas,
kiranya uang perak yang tadi masih ditinggalkan di situ dan uang itulah yang
tadi diludahi si kakek. Ketika Bu Sin membungkuk untuk melihat lebih jelas,
uang itu ternyata telah melesak dan melengkung oleh ludah.
Pucat wajah
Bu Sin. “Celaka...!” pikirnya. “Tentu yang dimaksudkan dengan tiga ekor nyamuk
tadi adalah kita bertiga!” Tanpa banyak cakap lagi ia lalu mengajak dua orang
adiknya masuk ke dalam kamar, membereskan bekal pakaian dan malam itu juga ia
mengajak adik-adiknya meninggalkan kota Wu-han!
“Eh, kenapa
kau seperti orang ketakutan?” tanya Lin Lin.
“Lin-moi,
karena perbuatanmu memberi sedekah tadi, nyawa kita sampai detik ini masih
selamat,” jawab Bu Sin sambil mengajak dua orang adiknya berjalan cepat.
“Eh, apa
maksudmu, Koko?” Sian Eng kaget sekali, juga Lin Lin memandang kakaknya dengan mata
terbelalak.
“Kalian ini
bocah-bocah sembrono sekali. Tidak lihatkah tadi betapa kakek pengemis itu
memperlihatkan ilmu ginkang yang amat luar biasa? Dan uang perak itu, diludahi
saja menjadi bengkok dan rusak! Tidak salah lagi, dia tentu seorang sakti dan
melihat pakaiannya, agaknya dia seorang di antara pimpinan perkumpulan
pengemis. Lupakah kalian akan kata-katanya tadi bahwa uang perak membatalkan
niatnya membunuh tiga ekor nyamuk? Tentu yang ia maksudkan tiga ekor nyamuk
adalah kita bertiga. Agaknya dia tadinya bermaksud membunuh kita bertiga, akan
tetapi karena Lin Lin memberinya sepotong uang perak, ia membatalkan niatnya.
Sungguh berbahaya!”
Lin Lin
membanting kaki. “Kakek keparat! Kita menaruh kasihan dan memberi sedekah, dia
malah menghina, menyebut kita nyamuk dan memandang rendah sekali. Sin-ko,
kenapa kau tadi tidak bilang kepadaku? Sedikitnya aku dapat mencoba
kepandaiannya, sampai di mana sih tingginya maka dia begitu sombong?”
“Lin-moi,
jangan bicara sembarangan. Dia orang sakti!” bentak Bu Sin.
“Aku tidak
takut!” Lin Lin mengedikkan kepala membusungkan dada.
Bu Sin
hendak marah, akan tetapi segera ditekannya perasaannya. Ia tidak bisa marah
kepada Lin Lin. Pertama karena memang ia amat sayang kepada adik angkatnya ini,
kedua, karena ia merasa tidak enak kalau harus marah kepada adik angkat,
khawatir kalau-kalau Lin Lin merasa dibedakan. Memang, biar pun masih muda, Bu
Sin mempunyai watak yang baik sekali.
“Lin-moi,
lain kali kau harus mentaati kata-kata Koko jangan banyak membantah. Kau
membikin Sin-ko menjadi bingung dan marah saja!” Sian Eng menegur Lin Lin.
Setelah
ditegur, barulah Lin Lin insyaf. Sambil tertawa ia menyambar tangan Bu Sin.
“Sin-ko, apakah kau marah kepadaku? Apakah aku banyak rewel? Ampunkan saja aku,
ya kakak yang baik?”
Mau tak mau
Bu Sin tertawa juga. “Kau memang nakal.”
“Memang aku
nakal, tapi tidak galak seperti Enci Sian Eng!” Lin Lin mengerling ke arah
cicinya. Kini Sian Eng yang cemberut dan tangannya menyambar hendak mencubit
lengan adiknya. Lin Lin meloncat, lari memutari tubuh Bu Sin dan
menjerit-jerit, “Sin-ko, tolong... Enci galak mau bunuh aku...!”
“Hushhh,
gila kau, Lin-moi! Masa bunuh, siapa yang bunuh? Memangnya kau ini seekor
semut, gampang saja dibunuh.” Terpaksa Sian Eng menghentikan kejarannya. Tak
berdaya ia terhadap adik yang nakal ini.
Karena di
sepanjang jalan mereka bersendau-gurau, tanpa terasa tiga orang muda ini sudah
keluar dari kota Wu-han melalui pintu kota sebelah timur. Malam telah larut dan
keadaan amat gelap karena langit hanya diterangi bintang-bintang. Amat sukar
melakukan perjalanan di malam gelap, apa lagi kalau orang tidak mengenal jalan.
Tiga orang muda itu selamanya belum pernah melewati jalan itu.
“Sin-ko,
kita tidak tahu mana jurusan ke kota raja, dan aku amat lelah,” Sian Eng
mengomel. “Sebaiknya kita menunda perjalanan malam ini dan melanjutkannya esok
pagi-pagi.”
“Kita sudah
keluar dari Wu-han sekarang, boleh saja berhenti. Akan tetapi di mana harus
beristirahat? Tidak ada sebuah rumah pun, sejak tadi tidak terlihat api rumah
penduduk. Agaknya daerah ini jauh dari dusun.” kata Bu Sin.
“He, kalian
lihat. Bukankah di sana itu rumah? Tapi gelap amat...!” Lin Lin tiba-tiba
berkata.
Mereka
melihat dan benar saja. Di antara kegelapan malam yang disinari bintang-bintang
di langit itu tampak bayangan sebuah bangunan rumah di sebelah kiri. Seperti
diberi komando ketiganya menghampiri rumah itu dan setelah mereka berada di
pekarangan depan, kiranya itu adalah sebuah kelenteng yang sudah tua dan tidak
terpakai lagi.
“Kita
istirahat di sini melewatkan malam,” kata Bu Sin dengan hati lega. Biar pun
hanya sebuah kelenteng tua dan rusak, namun cukup lumayan dan jauh lebih baik
dari pada bermalam di tengah jalan, di udara terbuka.
Baru saja
mereka membersihkan lantai yang berdebu dan duduk, tiba-tiba tampak sinar api
dan di depan kelenteng tua itu telah berdiri belasan orang yang memegang obor!
Tiga orang muda itu memandang dan terkejutlah mereka ketika melihat bahwa empat
belas orang itu berpakaian seperti pengemis!
“Kalian mau
apa?” bentak Lin Lin yang sudah meloncat berdiri bersama dua orang saudaranya.
Seorang
kakek pengemis bertubuh pendek gemuk, agaknya pemimpin rombongan itu karena
hanya dia seorang yang tidak memegang obor, tersenyum lebar dan berkata,
“Sam-wi (Kalian Bertiga) sudah merobohkan empat orang anak buah kami, sekarang
pangcu (ketua) kami memanggil Sam-wi menghadap.”
Bu Sin tidak
heran menghadapi rombongan ini karena memang ia sudah mengkhawatirkan akibat
dari pada sepak terjang mereka di tepi sungai sore tadi. Ia seorang pemuda yang
waspada dan hati-hati, akan tetapi mendengar ucapan yang amat memandang rendah
itu, ia menjadi mendongkol juga. Biar pun pemimpin mereka seorang pangcu, akan
tetapi hanya ketua pengemis saja, bagaimana berani memanggil mereka menghadap
seperti sikap pembesar saja?
“Lopek
(Paman Tua), peristiwa sore tadi adalah karena kesalahan teman-temanmu sendiri
yang hendak melakukan perampokan sehingga terpaksa kami orang-orang muda turun
tangan. Kami tidak mempunyai urusan dengan perkumpulan kalian, juga tidak
mengenal ketua kalian. Kalau dia mempunyai urusan dengan kami, persilakan dia
datang ke sini bicara,” jawabnya dengan suara angkuh dan sikap tenang.
Kakek
pengemis gemuk pendek itu tiba-tiba tertawa. “Ha-ha-ha-ha, baru bisa merobohkan
empat orang anak buah kami yang tiada guna saja kalian sudah besar kepala. Ah,
kalian seperti anak burung yang baru belajar terbang, tidak mengenal tingginya
langit luasnya lautan. Orang muda, pangcu kami memanggil kalian menghadap
dengan baik-baik, harap kalian mengerti dan dapat menghargai kesabaran ini.
Jangan sampai aku orang tua turun tangan terhadap bocah-bocah nakal, aku malu
untuk berbuat demikian.”
Seakan
meledak rasa dada Lin Lin mendengar ucapan yang amat memandang rendah ini. Ia
meloncat maju dan membentak, “Pengemis tua bangka sombong, kau kira kami takut
kepadamu? Biar pangcumu datang sendiri, kami tidak akan takut. Kami tidak mau
datang, kalian mau apa?”
“Ho-ho,
benar-benar seperti katak dalam tempurung! Orang-orang muda, apakah kalian
datang dari wilayah Kerajaan Hou-han di Shan-si?”
“Memang kami
datang dari wilayah Hou-han, dan kami adalah sebangsa ho-han (orang-orang
gagah), apakah kalian baru tahu sekarang?” Lin Lin yang pandai bicara itu
menjawab, mendahului kakaknya yang masih diam saja.
Bu Sin
maklum bahwa kalau ia membiarkan terus adiknya ini tampil ke depan dan beraksi
keadaan tidak akan menjadi lebih baik, malah akan menjadi lebih kacau lagi!
Maka ia cepat maju menghadapi kakek pendek itu.
“Lopek,
ketahuilah bahwa kami orang-orang muda melakukan perjalanan hanya lewat saja di
sini, sama sekali tidak mencari perkara dengan siapa pun juga. Kebetulan saja
sore tadi kami bentrok dengan orang-orangmu karena mereka itulah yang mencari
perkara. Kami hanya berhenti di sini untuk melewatkan malam, besok kami sudah
pergi meninggalkan daerah ini. Harap kau orang tua menghabiskan perkara itu.”
“Kalian
hendak kemana?”
“Ke Ibukota
Kerajaan Sung.”
“Bagus!
Kalian datang dari wilayah Hou-han hendak ke Ibukota Kerajaan Sung? Orang muda,
mari ikut dengan kami menghadapi pangcu kami.”
Marah juga
Bu Sin. Kakek pengemis ini terlalu memandang rendah. Biar pun di situ ada
belasan orang pengemis, apakah dikira mereka bertiga takut?
“Kami tidak
akan ikut denganmu!” jawabnya sambil mencabut pedang, diturut oleh Sian Eng dan
Lin Lin. Tiga orang muda ini seperti tiga ekor harimau memperlihatkan taring,
dengan pedang di tangan mereka siap menghadapi pengeroyokan. Sedikit pun mereka
tidak merasa takut!
“Wah-wah,
benar gagah!” kakek itu berkata, lalu memberi isyarat kepada teman-temannya.
“Tangkap mereka!”
Bu Sin
memutar pedangnya, mengancam, “Mundur kalian! Lihat pedang!”
Namun kakek
itu sudah menerjangnya dengan tongkat, juga beberapa orang pengemis dengan
tongkat mereka menyerbu Sian Eng dan Lin Lin yang sudah menyambut mereka dengan
pedang. Pertempuran hebat terjadi di bawah sinar obor. Tiga batang pedang
orang-orang muda she Kam itu berkelebatan cepat bagaikan sinar halilintar
menyambar-nyambar dan dalam beberapa jurus saja tiga orang pengeroyok sudah
roboh sambil memekik kesakitan.
Pengemis
pendek gemuk memberi aba-aba. Bu Sin yang bermata awas melihat betapa para
pengemis itu mengeluarkan gendewa dan anak panah! Berbahaya, pikirnya.
“Eng-moi,
Lin-moi, padamkan obor dengan am-gi (senjata gelap)!” teriaknya dan tangan
kirinya sudah merogoh saku, mengeluarkan senjata rahasianya, yaitu piauw (pisau
terbang).
Tangan
kirinya bergerak cepat, dua batang piauw menyambar dan terdengar pekik dua
orang pemegang obor. Tangan mereka terhujam piauw dan obor yang mereka pegang
jatuh, kemudian padam. Lin Lin dan Sian Eng juga sudah mempergunakan kelihaian
mereka dengan senjata rahasia mereka, yaitu jarum-jarum halus. Dalam waktu
singkat obor-obor itu runtuh dan padam.
Bu Sin
mempergunakan kesempatan selagi keadaan gelap ini, memberi isyarat kepada kedua
orang adiknya. Mereka maklum bahwa kalau pertempuran dilanjutkan dan mereka
dikeroyok dengan anak panah, tentu mereka akan celaka. Maka dengan cepat mereka
mempergunakan ginkang mereka, memutar pedang untuk menghalau setiap penghalang
dan beberapa menit kemudian mereka sudah pergi dari tempat itu, lari di dalam
gelap tanpa mengenal arah. Dua jam lebih mereka melarikan diri ke dalam sebuah
hutan dan keadaan makin gelap karena daun-daun pohon yang amat rimbun menutupi
langit di atas mereka.
“Wah,
memalukan benar!” Lin Lin terengah-engah. “Kita lari-lari seperti tiga ekor
kelinci dikejar-kejar harimau!” Suaranya jelas menyatakan bahwa ia tak senang
melarikan diri ini, merasa sebal dan penasaran.
Bu Sin dan
Sian Eng juga berhenti, menyusut keringat dengan ujung lengan baju. “Wah,
berbahaya benar,” kata Bu Sin. “Lin-moi, kau benar-benar seperti yang dikatakan
oleh kakek pengemis tadi, seperti katak dalam tempurung, tak tahu tingginya
langit! Kalau kita tadi tidak cepat-cepat memadamkan obor dan mereka
menghujankan anak panah, apa kau kira masih akan dapat bernapas saat ini?”
“Belum
tentu, Sin-ko!” bantah Lin Lin. “Kita masih belum kalah, dan andai kata
akhirnya kita mati dikeroyok, sedikitnya pedangku akan dapat membunuh beberapa
orang lawan. Sedikitnya ada beberapa nyawa musuh yang akan menjadi pengantar
nyawaku, mati pun tidak penasaran. Kalau lari-lari seperti ini, benar-benar
baru disebut penasaran besar!”
Bu Sin hanya
tersenyum. Ia mengenal watak Lin Lin yang nakal dan amat berani itu dan
diam-diam ia merasa khawatir kalau-kalau adik angkat ini akan menimbulkan
gara-gara kelak. Karena keadaan amat gelap dan mereka tidak dapat mengenal
jalan, tiga orang muda itu lalu naik ke atas pohon dan terpaksa bermalam di
situ seperti tiga ekor kera kedinginan! Lin Lin tiada hentinya mengomel. Akan
tetapi karena mereka amat lelah, mereka dapat tertidur juga di atas pohon dan
baru mereka bangun setelah di situ ramai oleh suara burung berkicau menyambut
datangnya pagi.
Ketika Lin
Lin dan Sian Eng membuka mata, mereka melihat Bu Sin sudah duduk dan memberi
tanda dengan telunjuk di depan mulut, menyuruh mereka tidak membuat suara, lalu
menuding ke bawah. Mereka memandang dan wajah mereka berubah. Jauh di bawah,
kira-kira seratus meter dari pohon tempat mereka bersembunyi, tampak seorang
kakek jembel berdiri bersandar tongkatnya. Kakek yang bongkok, rambutnya
riap-riapan dan matanya buta sebelah. Kakek pengemis yang peman mereka lihat di
depan rumah penginapan, yang diberi uang perak oleh Lin Lin dan kemudian
meludahi uang itu sampai penyok!
Dan di depan
kakek itu berlutut puluhan orang pengemis, termasuk para pengemis yang
mengeroyok mereka semalam. Mereka berlutut tanpa berani berkutik sedikit pun
juga! Kakek pengemis bongkok itu terdengar marah-marah.
“Kalian
anjing-anjing tiada guna!” terdengar ia memaki sambil membanting-banting
tongkat ke atas tanah. “Huh, lebih baik kubunuh kalian semua dan lebih baik aku
bekerja seorang diri. Apa artinya punya banyak anak buah melebihi anjing
gobloknya?”
Semua
pengemis itu menggigil ketakutan dan terdengar mereka minta-minta ampun dan
menyebut kakek itu dengan sebutan ong-ya (raja)! Bu Sin dan kedua orang adiknya
saling pandang. Muka mereka pucat. Kiranya kakek pengemis bongkok itu adalah
semacam raja pengemis yang amat berpengaruh!
“Mana
anggota Pek-ho-kai-pang yang membikin ribut itu?”
Bagaikan
empat ekor anjing, tampak empat orang pengemis merangkak maju dan berlutut di
depan kakek itu. Bu Sin dan dua orang adiknya melihat bahwa orang-orang itu
adalah empat orang pengemis yang mereka hajar di tepi sungai kota Wu-han!
“Cih, yang
begini mengaku anggota pengemis? Membiarkan diri dihina orang-orang muda.
Cuh-cuh-cuh-cuh!” Empat kali kakek itu meludah dan empat orang pengemis itu
terjengkang roboh, tak bergerak lagi setelah tubuh mereka berkelojotan sejenak.
Mereka telah mati oleh ludah kakek itu!
“Biar ini
sebagai pelajaran. Sekali lagi terjadi hal yang memalukan aku akan membunuh
semua anggota Pek-ho-kai-pang. Mana ketua-ketua Hui-houw-kai-pang (Perkumpulan
Pengemis Harimau Terbang), Hek-liong-kai-pang (Naga Hitam), dan
Ang-hwa-kai-pang (Kembang Merah)? Hayo maju sini!”
Tiga orang
kakek pengemis tampak merangkak maju dan berlutut di depan kakek bongkok itu.
“Perhatikan sekarang. Kalian harus dapat memperlihatkan jasa dan bakti bahwa
kalian membantuku. Aku membutuhkan tempat persembunyian Hek-giam-lo. Cari
sampai dapat dan kabarkan padaku. Kalau mungkin, selidiki di mana ia menyimpan
robekan setengah bagian kitab kecil.”
“Baik,
Ong-ya. Hamba akan mengerahkan seluruh kawan di kai-pang (perkumpulan
pengemis),” jawab mereka berbareng dengan suara amat merendah.
“Sudah,
pergi sekarang. Muak perutku melihat kalian!” kakek bongkok itu mengomel, dan
bagaikan anjing-anjing diusir, puluhan orang pengemis itu pergi sambil menyeret
mayat empat orang pengemis anggota Pek-ho-kai-pang itu.
Bu Sin dan
dua orang adiknya bergidik. Bahkan Lin Lin yang biasanya amat tabah kini tampak
pucat. Namun di samping kengerian ini, Lin Lin merasa marah sekali kepada kakek
itu yang dianggapnya sombong dan kejam sekali.
“Orang macam
dia harus dibasmi Sin-ko,” ia berbisik.
“Ssttt...!”
Bu Sin mencegah, namun terlambat.
Kakek itu
tiba-tiba membalikkan tubuh dan berjalan menghampiri pohon besar di mana mereka
bertiga berada. Kakek itu sama sekali tidak mendongak, akan tetapi sambil
terkekeh ia berkata, “Nyawa tiga orang muda pernah kuhargai seperak akan tetapi
sekarang tiada harganya sama sekali.” Tiba-tiba kedua tangannya mendorong
dan....
“Kraaakkk!”
batang pohon itu remuk dan tumbanglah pohon yang besar tadi.
Bu Sin dan
dua orang adiknya bukanlah orang sembarangan, namun menyaksikan hal ini mereka
terkejut bukan main. Cepat mereka mengerahkan ginkang dan melompat turun
sebelum mereka ikut roboh bersama pohon dan tertimpa cabang dan ranting. Begitu
kaki mereka menyentuh tanah, ketiganya sudah mencabut pedang dan siap
menghadapi kakek sakti itu. Mereka maklum bahwa mereka takkan diberi ampun,
namun mereka bertekad untuk melawan mati-matian.
“Ho-ho-ha-hah,
tak tahu diri... tak tahu diri...!” Tiba-tiba tongkat di tangan kakek itu
melayang, bagaikan seekor ular bergerak-gerak di udara dan menyambar mereka.
Bu Sin, Sian Eng dan Lin Lin cepat mengangkat pedang membacok.
“Tranggggg!”
Tiga batang pedang di tangan mereka terlepas dari tangan, runtuh di atas tanah
depan mereka, sedangkan tongkat itu terpental kembali, melayang ke tangan si
kakek bongkok yang tertawa berkakakan. “Ha-ha-ha-ha-hah!”
Bu Sin dan
dua orang gadis itu terlalu kaget dan heran akan kesaktian lawan sehingga
mereka diam tak bergerak, berdiri seperti patung dan agaknya hanya menanti
datangnya pukulan maut. Pada saat itu terdengar suara suling, nyaring
melengking bergema di seluruh hutan, makin lama makin dekat. Bu Sin dan dua
orang gadis itu tak kuasa mendengar lebih lama lagi, jantung mereka terguncang
dan tubuh mereka menggigil, terpaksa mereka menggunakan kedua tangan untuk
menutupi telinga. Biar pun demikian, masih saja suara lengking tinggi itu
menembus dan membuat telinga terasa sakit sekali.
Kakek itu
kelihatan terkejut pula, lalu tersaruk-saruk pergi meninggalkan tempat itu,
sama sekali tidak menengok ke arah Bu Sin bertiga seakan-akan ia telah lupa
akan adanya tiga orang muda itu. Suara suling berhenti dan tiga orang muda itu
melepaskan tangan. Terdengar suara orang yang penuh wibawa.
“It-gan
Kai-ong! Kau bersama Hek-giam-lo dan Siang-mou Sin-ni secara pengecut menyerang
Bu Kek Siansu dan merampas kitab dan alat khim. Biar pun Bu Kek Siansu tidak
peduli dan mengampuni kalian, namun aku tidak bisa membiarkan begitu saja.
Berikan kitab dan nyawamu!”
Tak lama
kemudian, tampaklah oleh Bu Sin bertiga orang yang bicara ini, akan tetapi
hanya punggungnya saja. Dia itu seorang laki-laki yang tinggi besar, membawa
suling dan berjalan perlahan.
“Dia
bersuling....” Bu Sin teringat akan musuh besar, pembunuh ayahnya. Di lain saat
Bu Sin dan Sian Eng sudah menyerang laki-laki itu dengan piauw dan jarum.
Orang itu
berjalan seenaknya, seakan-akan tidak tahu bahwa dari belakangnya menyambar
senjata-senjata rahasia. Dan tiga orang muda itu melihat dengan jelas betapa
tiga batang piauw dan tujuh batang jarum itu mengenai tepat tubuh bagian
belakang, namun orang itu tetap saja enak-enak berjalan tanpa menghiraukan
sesuatu, seakan-akan semua senjata rahasia itu hanya daun-daun yang gugur.
Sebentar kemudian ia lenyap di balik pepohonan.
“Mari
kejar...!” Bu Sin berkata.
“Tiada
gunanya, Sin-ko. Tak mungkin dapat dikejar,” bantah Lin Lin yang sejak tadi
berdiri seperti patung.
Bu Sin
maklum akan hal ini, akan tetapi melihat sikap Lin Lin ia mengerutkan kening.
“Lin-moi, kenapa kau tadi tidak ikut menyerangnya? Dia pembunuh Ayah!”
“Belum
tentu, Sin-ko. Apa buktinya? Lagi pula, aku tidak mau menyerang orang secara
menggelap tanpa memberi peringatan. Mendiang Ayah takkan senang melihatnya.”
Merah wajah
Bu Sin dan Sian Eng membentak, “Lin-moi, omongan apa ini? Kau tidak membantu,
malah mencela. Kalau dia benar musuh besar Ayah, kenapa kita mesti banyak
memakai aturan? Jelas bahwa dia berilmu tinggi, lebih tinggi dari pada tingkat
kita, perlu apa kita memakai sungkan-sungkan segala? Yang perlu, kita harus
dapat membalas dendam!”
Lin Lin
menarik napas panjang. “Kalian tahu bahwa aku tidak akan ragu-ragu
mempertaruhkan nyawaku untuk membalas sakit hati Ayah. Akan tetapi, aku tidak
percaya bahwa dia itu pembunuh Ayah. Dengar saja kata-katanya terhadap kakek
iblis tadi. Terang dia itu orang baik, maka memusuhi kakek pengemis iblis yang
bernama It-gan Kai-ong tadi. Kalau kita bertindak sembrono dan salah sangka,
menjatuhkan fitnah terhadap orang baik-baik, bukankah lebih celaka lagi?”
“Dia
bersuling, dia lihai, tidak salah lagi.” kata Sian Eng.
“Kalau
memang dia musuh kita, kelak pasti dapat bertemu lagi. Sekarang lebih baik kita
lekas pergi dari tempat ini!” kata Bu Sin yang masih ngeri kalau teringat akan
pengalamannya dengan kakek iblis tadi. Dengan cepat tiga orang muda ini
melanjutkan perjalanan, ke arah jurusan munculnya matahari pagi.
***************
Enam orang
laki-laki sederhana itu mengelilingi api unggun di dalam hutan. Mereka adalah
pemburu-pemburu binatang yang tampaknya belum memperoleh hasil dan melewatkan
malam gelap di dalam hutan besar dengan membuat api unggun, duduk
mengelilinginya sambil bercakap-cakap.
Tiba-tiba
mereka berhenti bicara dan tangan mereka meraba senjata masing-masing, yaitu
tombak panjang. Mata mereka menatap ke satu jurusan dari mana mereka tadi
mendengar suara mencurigakan. Dua orang segera memadamkan api unggun. Kemudian
mereka merunduk dan menyelinap di balik pohon, menghampiri tempat itu dengan
hati-hati. Siapa tahu malam ini mereka beruntung mendapatkan binatang buruan
yang kemalaman di situ.
Akan tetapi
mereka keliru. Suara yang mereka kira ditimbulkan oleh binatang buruan, kiranya
dibuat oleh tiga orang muda yang agaknya baru saja datang dan sedang berusaha
membuat api unggun. Seorang tampan dan dua orang gadis cantik. Seorang di
antara para pemburu yang berjenggot pendek dan menjadi pemimpin rombongan
pemburu enam orang ini tertawa, dan disusul oleh teman-temannya.
Bu Sin, Sian
Eng, dan Lin Lin terkejut. Cepat mereka menengok menghadapi enam orang yang
muncul dari kegelapan itu, sambil tangan meraba gagang pedang.
“Ha-ha-ha,
harap Sam-wi orang-orang muda jangan khawatir. Kami hanya pemburu-pemburu
binatang biasa, bukan perampok,” kata pemimpin rombongan pemburu.
“Cu-wi
mengagetkan saja, muncul begini tiba-tiba dari tempat gelap,” kata Bu Sin
setengah menengur.
“Ha-ha,
maafkan kami. Kami tadi sedang bercakap-cakap di sana, lalu mendengar suara
Sam-wi (Tuan Bertiga) yang kami kira binatang hutan. Heran sekali, bagaimana
orang-orang muda seperti Sam-wi ini berada di hutan liar?”
“Kami adalah
pengembara-pengembara yang kemalaman di jalan,” jawab Bu Sin singkat. “Maafkan
kalau kami mengganggu Cu-wi sekalian.”
“Ha-ha, tidak
mengapa... tidak mengapa... hutan ini bukanlah milik kami. Tadinya saya heran
melihat Sam-wi yang begini muda berani memasuki hutan liar ini di waktu malam
gelap, akan tetapi melihat pedang Sam-wi, keheranan saya hilang. Mari
kawan-kawan, kita membuat api unggun di sini saja.”
Mereka
membuat api unggun besar dan duduk mengelilinginya. “Tan-twako, kau lanjutkan
dongengmu tentang Suling Emas,” kata seorang dan suara ini dibenarkan oleh yang
lain.
Laki-laki
berjenggot pendek itu berkata sungguh-sungguh, “Bukan dongeng, melainkan
kenyataan. Aku sendiri pernah ditolongnya. Sungguh pun aku masih belum dapat
memastikan apakah dia itu manusia atau dewa, namun aku sudah amat beruntung
mendapat pertolongannya.”
“Ceritakan...
ceritakan...!” teman-temannya mendesak.
Bu Sin
bertukar pandang dengan dua orang adiknya. Mereka tadinya menaruh curiga
terhadap enam orang yang mengaku pemburu-pemburu ini, akan tetapi mendengar
disebutnya nama Suling Emas, mereka tertarik sekali. Agaknya kata-kata suling
itulah yang menarik perhatian. Bukankah musuh besar mereka adalah seorang yang
membawa suling? Karena itu mereka bertiga lalu ikut mendengarkan, sungguh pun
mereka memilih tempat duduk yang agak jauh, di atas batu-batu besar dan selalu
siap waspada menjaga segala kemungkinan.
“Terjadinya
di hutan Hek-yang-liu (Cemara Hitam), kurang lebih tiga bulan yang lalu,”
pemburu she Tan itu mulai bercerita. “Kalian tahu hutan itu penuh dengan ular
besar. Aku memang hendak berburu ular, mendapat pesanan kulit ular dari
saudagar kulit dan jantung ular kembang dari seorang pemilik toko obat di kota
Wu-han.”
“Kau memang
tabah sekali, Tan-twako, berburu ular besar sendirian saja,” komentar seorang
temannya.
“Aku sudah
biasa berburu ular, cukup dengan tombak dan anak panah serta gendewa. Dalam
waktu dua hari saja aku sudah dapat memanah mati dua ekor ular sebesar paha.
Akan tetapi pada hari ketiga, ketika aku sedang menjemur kulit dan jantung
ular, tiba-tiba muncul empat ekor harimau yang langsung menyerangku. Mereka
adalah dua ekor harimau tua dan dua ekor masih muda. Aku cepat meraih tombak
dan melawan, akan tetapi bagaimana dapat melawan empat ekor harimau yang
menyerang sekaligus? Agaknya mereka berlumba untuk menerkam aku lebih dulu. Aku
dapat menusuk paha seekor harimau, akan tetapi pada saat tombakku masih
menancap di paha, harimau jantan yang tua telah menubruk dan menerkam pundak
kiriku. Aku melepaskan tombak, mencabut pisau, akan tetapi sebelum aku dapat
menusuk dada berbulu putih di atas mukaku itu, harimau kedua sudah menggigit pangkal
lengan kananku sehingga pisau itu terlepas, seluruh tubuh terasa nyeri dan aku
tak berdaya lagi....”
Lima orang
pendengarnya menahan napas. “Twako, kukira apa yang dapat kau lakukan hanya
berteriak minta tolong,” kata seorang. Kata-kata ini kalau diucapkan pada
suasana yang tidak sedang tegang tentu terdengar lucu.
“Hutan itu
sunyi, minta tolong apa artinya? Pula, aku sudah nekat dan siap menghadapi
kematian sebagai seorang pemburu!” bantah pemburu she Tan dengan suara gagah.
“Akan tetapi agaknya belum tiba saatnya aku mati. Pada waktu itu aku sudah
hampir pingsan, pandangan mataku sudah kabur. Tiba-tiba terdengar suara suling
yang melingking tinggi. Empat ekor harimau itu agaknya terkejut, aku sendiri
merasa seakan-akan kedua telingaku ditusuk jarum dan agaknya aku sudah pingsan.
Namun dalam keadaan hampir tak sadar itu aku melihat bayangan orang memegang
suling yang berkilauan ditimpa sinar matahari. Jelas bahwa suling itu terbuat
dari pada benda kuning berkilauan, tentu suling emas. Terdengar suara gaduh
ketika empat ekor harimau itu meraung-raung dan mengaum, lalu tampak
harimau-harimau itu bergerak cepat, menerkam ke depan, terjadi perkelahian
cepat yang tak dapat diikuti pandangan mata, kemudian aku tidak ingat apa-apa
lagi....”
“Lalu
bagaimana, Twako?” Lima orang pendengarnya makin tegang. Juga tiga orang muda itu
mendengarkan penuh perhatian.
“Entah
berapa lama aku pingsan, aku tidak tahu. Ketika aku membuka mata, kulihat
bangkai empat ekor harimau menggeletak di sana-sini. Anehnya, pundak dan
lenganku sudah terbalut oleh robekan bajuku sendiri, rasanya dingin nyaman dan
aku tidak merasakan nyeri lagi. Ketika kuperiksa bangkai-bangkai itu, kiranya
empat ekor harimau itu pecah kepalanya. Wah, aku pesta besar, tidak saja karena
mendapat daging harimau yang menguatkan tubuh, juga mendapatkan empat lembar
kulit harimau yang utuh dan indah. Mau aku mengalami hal itu sekali lagi kalau
hadiahnya demikian besar.”
“Jadi yang
menolong itu adalah Suling Emas, pendekar ajaib yang sering kali kita dengar
namanya namun belum pernah menampakkan diri kepada orang lain itu?”
“Agaknya
begitulah. Siapa lagi kalau bukan dia yang dapat membunuh empat ekor harimau
tanpa merusak kulitnya? Siapa lagi pendekar yang membawa suling emas kalau
bukan si Suling Emas?”
Tanpa mereka
sadari, Bu Sin dan dua orang adiknya kini sudah duduk mendekat api unggun.
“Twako, siapakah sebenarnya Suling Emas itu? Apakah dia itu seorang pendekar
yang suka menolong orang? Ataukah dia seorang penjahat yang suka membunuh
orang?” tiba-tiba Bu Sin bertanya.
Pemburu she
Tan itu tersenyum. “Siapa yang tahu, anak muda? Sepak terjang seorang ajaib
seperti dia itu tak dapat diketahui orang. Tentang pembunuh, agaknya dia memang
suka membunuh. Pernah aku mendengar betapa gerombolan perampok di muara Sungai
Yang-ce sebanyak tiga puluh orang lebih semua terbunuh olehnya.”
“Kabarnya
dia pernah menggegerkan dunia kang-ouw dengan membunuh dua orang tokoh
Siauw-lim-pai. Heran betul, membunuh perampok-perampok itu adalah pekerjaan
pendekar akan tetapi dua orang hwesio alim dari Siauw-lim-pai, kenapa
dibunuhnya?” kata seorang pemburu yang berhidung besar.
“Juga ketika
terjadi geger di kota raja karena hilangnya burung hong mutiara milik
permaisuri, orang-orang mengabarkan bahwa Suling Emas yang mencurinya. Ada yang
bilang dia itu sudah tua sekali, seorang kakek yang pakaiannya seperti seorang
pelajar kuno. Betulkah ini, Tan-twako? Ketika kau ditolongnya, orang macam apa
yang kau lihat?”
“Aku hampir
pingsan dan gerakannya secepat kilat, hanya bayangannya saja yang kulihat. Tapi
ada yang mengabarkan bahwa dia itu masih amat muda, seorang pemuda yang
pakaiannya seperti pelajar. Yang sama dalam berita angin itu hanya tentang
pakaiannya. Tentu dia seorang pelajar.”
“Dan pandai
bersuling.”
“Suka
menolong orang, suka pula membunuh, suka mencuri...”
Macam-macam
suara para pemburu ini yang mengemukakan masing-masing, akan tetapi jelas bagi
Bu Sin bahwa tak seorang pun di antara mereka tahu akan hal yang sesungguhnya.
Diam-diam ia berpikir. Betulkah pembunuh orang tuanya adalah Suling Emas ini?
Dan orang yang muncul dengan sulingnya, yang agaknya ditakuti It-gan Kai-ong,
apakah dia itu Suling Emas? Pakaiannya memang seperti pakaian pelajar, tapi
berwarna hitam. Tentang wajahnya, ia pun tak dapat melihatnya karena orang itu
membelakanginya. Tapi jelas pakaian pelajar berwarna hitam dan tubuhnya tinggi
besar.
“Sudahlah,
apa pun dia, terang bahwa dia adalah seorang sakti yang berkepandaian tinggi.
Tidak baik kita membicarakannya. Siapa tahu ia mendengarkan percakapan kita.
Hiiihhh, meremang bulu tengkukku. Orang sakti seperti dia tidak boleh
dibicarakan. Kalau sedang baik, memang menyenangkan sekali, akan tetapi kalau
marah....” Pemburu she Tan itu menggigil seperti orang kedinginan, menyorongkan
kedua lengannya dekat api. “Betapa pun juga, kalau dia marah dan membunuhku,
aku tidak akan penasaran karena memang aku berhutang budi dan nyawa kepadanya.”
Sebentar
kemudian, keenam pemburu itu sudah tidur mendengkur di dekat api. Mereka ini
benar-benar sembrono dan tidak pedulian. Masa enam orang di dalam hutan besar
kesemuanya tidur? Tidak berjaga secara bergiliran? Bagaimana kalau api unggun
menjilat baju? Mungkin mereka merasa aman karena di situ ada tiga orang muda
yang agaknya tidak nampak lelah.
Mendongkol
hati Bu Sin. Ia tidak sudi kalau mereka menganggap dia dan adik-adiknya sebagai
penjaga keselamatan mereka. Ia mengajak kedua orang adiknya menjauhi tempat itu
dan membuat api unggun sendiri, kira-kira empat ratus meter jauhnya dari tempat
para pemburu.
Menjelang
tengah malam, keadaan amat sunyi di dalam hutan itu. Bu Sin tak dapat meramkan
mata sedikit pun. Pengalaman yang mereka alami semenjak keluar dari dusun
amatlah hebat. Mulailah mereka berkenalan dengan kehidupan perantauan, bertemu
dengan orang-orang kang-ouw dan malah mereka secara tidak sengaja telah terjun
ke dalam permusuhan dengan golongan pengemis kang-ouw yang dikepalai atau
dirajai oleh seorang tokoh sakti yang mengerikan bernama It-gan Kai-ong. Nama
ini takkan mudah terlupa dari ingatannya dan ia tahu bahwa ia harus
berhati-hati dan menjauhkan diri dari kakek iblis itu. Lin Lin dan Sian Eng
tidur pulas meringkuk di dekat api unggun, berbantal akar pohon yang menonjol
ke luar dari tanah.
Tak baik
melakukan perjalanan dengan gadis-gadis ini, pikirnya. Biar pun mereka berdua
memiliki kepandaian tidak kalah olehnya, namun mereka tetap perempuan, banyak
mendatangkan dan memancing keributan. Ia harapkan dapat bertemu dengan
kakaknya, Kam Bu Song di kota raja dan besar harapannya pula bahwa keadaan
kakaknya yang sepuluh tahun lebih tua dari padanya itu telah mendapatkan
kedudukan yang cukup baik. Ia harus menitipkan kedua orang adiknya kepada
kakaknya itu, kemudian ia akan melanjutkan usahanya mencari musuh besarnya itu,
seorang diri.
Lewat
sedikit tengah malam, Lin Lin bangun. “Sin-ko, sekarang kau tidurlah, biar aku
yang berjaga.” Mendengar suara adiknya, Sian Eng juga bangun, mengulet dan
menguap.
“Biarlah aku
yang berjaga,” katanya. “Kalian tidurlah, aku tidak mengantuk,” kata Bu Sin
yang kasihan melihat dua orang adiknya. Ia mengalah dan ingin berjaga semalam
suntuk, membiarkan kedua adik perempuannya itu tidur melepaskan lelah.
“Ah, mana
bisa, Sin-ko? Kau pun manusia dari darah daging saja, mana tidak lelah dan
ngantuk? Biarlah aku dan Cici Sian Eng berjaga,” kata Lin Lin sambil menambah
ranting kering pada api unggun sehingga keadaan menjadi hangat.
“Biarlah
kita bercakap-cakap dulu, aku tadi merenungkan hasil kepergian kita ke kota
raja. Bagaimana kalau kita tidak dapat menemukan saudara tua kita di sana?”
“Sin-ko,
jangan khawatirkan hal yang belum kita hadapi. Tentu dia berada di sana. Andai
kata tidak ada di sana pun, kurasa mencari seorang bernama Kam Bu Song, putera
dari mendiang ayah Kam-goanswe, seorang pelajar yang datang dari Ting-chun di
kaki Gunung Cin-ling-san, tidak akan sukar. Tentu ada yang mengenalnya di kota
raja. Nah, tenang dan tidurlah Sin-ko.”
Bu Sin
tersenyum. Adiknya yang sulung ini memang besar hati dan kalau mendengarkan
bicaranya memang ia tidak perlu gelisah. Seorang gagah tidak menakuti hal yang
belum dihadapi, bahkan hal yang sudah dihadapi sekali pun tidak boleh
mendatangkan rasa takut, harus dihadapi dengan tenang dan waspada, demikian
pesan ayahnya dahulu.
“Lin Lin,
kau benar. Biar kucoba tidur agar besok kuat kupakai jalan jauh.” Bu Sin lalu
merebahkan tubuhnya, miring menghadapi api unggun.
Akan tetapi
tiba-tiba tubuhnya mencelat ke atas, juga dua orang gadis itu meloncat berdiri.
Mereka berdiri dan saling pandang, penuh rasa kejut dan seram. Suara melengking
tinggi itu masih terdengar mengiang-ngiang ke telinga mereka. Lengking tinggi
menusuk telinga, suara suling. Lalu disusul suara pekik ketakutan, atau mungkin
pekik kesakitan, betapa pun juga, pekik ini susul-menyusul dan amat mengerikan.
Akhirnya
tiga orang itu tidak dapat menahan lagi, telinga serasa pecah oleh lengking
itu. Dengan kedua tangan menutupi telinga, Bu Sin memberi isyarat kepada
adik-adiknya. Mereka lalu duduk bersila, menutupkan kedua telapak tangan ke
telinga, meramkan mata dan bersemedhi, mengerahkan lweekang untuk menjaga isi
dada yang terguncang hebat oleh suara itu. Dapat dibayangkan hebatnya suara itu
karena biar pun mereka sudah menutupi telinga dan mengerahkan lweekang masih
saja suara itu menyerbu masuk ke dalam telinga dan tubuh mereka gemetaran. Akan
tetapi berkat lweekang mereka, tiga orang muda itu dapat mempertahankan diri
dan tidak terluka dalam.
Hanya
sepuluh menit kurang lebih suara itu melengking-lengking, lalu sunyi, sunyi
seperti kuburan. Mereka menurunkan kedua tangan. Bergidik ketika saling
pandang. Sinar mata mereka saling mufakat bahwa yang bersuara tadi tentulah
Suling Emas, karena mereka masih ingat akan suara suling yang pernah menusuk
telinga mereka ketika mereka terancam oleh It-gan Kai-ong. Akan tetapi suara
suling kali ini amatlah mengerikan.
Sampai pagi
tiga orang muda itu tak dapat tidur lagi. Malah mereka duduk bersila
mengumpulkan tenaga, siap sedia menanti datangnya bahaya dan mengambil
keputusan untuk mempertahankan diri mati-matian biar pun akan datang serangan
orang sakti sekali pun. Akan tetapi tidak terjadi sesuatu dan kesunyian yang
mencekam itu segera dipecahkan oleh kicau burung dan kokok ayam hutan.
“Mari kita
segera pergi dari sini,” kata Bu Sin. Kedua orang adiknya dapat menangkap
pandang mata dan suara hati yang tersembunyi dalam ucapan ini, seakan-akan
berkata, “Untung tidak terjadi apa-apa pada kita, lebih cepat pergi dari sini
lebih baik.”
Biasanya
dalam perjalanan yang lalu, sebelum pergi tentu mereka bertiga akan mencari
mata air atau sungai untuk mencuci muka atau mandi, terutama Lin Lin yang suka
sekali bermain di air. Akan tetapi kali ini ketiganya agaknya lupa untuk cuci
muka dan tergesa-gesa pergi dari situ.
“Ha, Sin-ko,
lihat mereka itu!”
Ketiganya
memandang. Dari jauh tampak enam orang pemburu itu masih rebah, ada yang
meringkuk, ada yang telentang atau telungkup, sedangkan api unggun sudah lama
padam.
“Malas amat
pemburu-pemburu itu, mengapa belum juga bangun?” kata Sian Eng.
“Mari kita
lihat, agak aneh sikap mereka,” kata Bu Sin.
Ketiganya
berlari mendekat dan tak lama kemudian mereka bertiga berdiri dengan muka pucat
dan bengong. Kiranya enam orang itu sudah tak bernyawa lagi dan kepala mereka,
tepat di ubun-ubun, semua telah bolong sehingga tampak otaknya! Tahulah mereka
bertiga sekarang bahwa yang menjerit-jerit malam tadi adalah mereka ini, jerit
ketakutan dan kengerian.
“Ahhhhh...!”
Sian Eng menutupi mukanya, perutnya tiba-tiba terasa mual dan ingin muntah. Lin
Lin cepat merangkulnya.
“Tenang,
Cici.” Akan tetapi dia sendiri gemetar dan kaki tangannya menjadi dingin.
“Mari kita
pergi,” ajak Bu Sin, juga pemuda ini suaranya gemetar.
“Nanti dulu
Sin-ko. Tak mungkin kita meninggalkan begitu saja enam mayat ini. Mereka tentu
akan dirobek-robek binatang buas.”
“Habis kau
mau apa?”
“Kita kubur
dulu mereka. Lupakah kepada pesan Ayah bahwa melihat orang kesusahan harus
menolong, terhadap orang tua harus menghormat, terhadap anak-anak harus
melindungi, dan melihat mayat tak terurus harus menguburnya?”
Seketika
wajah Bu Sin menjadi merah. “Terima kasih, Lin-moi. Hampir saja aku lupa akan
pesan Ayah karena ngeri dan seram. Mari!”
Sekarang
Sian Eng telah dapat menguatkan hatinya dan tiga orang muda ini lalu
menggunakan pedang mereka untuk menggali lubang yang cukup besar untuk mengubur
enam orang itu. Karena Lin Lin dan Sian Eng merasa enggan mengangkat
mayat-mayat lelaki itu, Bu Sin yang turun tangan dan mengangkat mayat-mayat itu
seorang demi seorang, dimasukkan ke dalam kuburan secara bertumpuk, lalu mereka
bertiga menguruk lubang itu dengan tanah.
Hari telah
siang ketika mereka selesai melakukan tugas ini dan cepat-cepat mereka
meninggalkan tempat hutan besar itu, menuju ke arah munculnya matahari. Lega
hati mereka bahwa mereka tidak menemui gangguan di jalan sampai mereka keluar
dari hutan dan melalui dusun-dusun.
***************
Rumah makan
itu masih sunyi. Agaknya hari masih terlampau pagi untuk makan. Bu Sin dan dua
orang adiknya sudah amat lapar. Maklum, semalam berjalan terus di bawah sinar
bulan. Asap berbau sedap yang melayang ke luar dari dalam dapur rumah makan
menyerang hidung, membuat mereka tak dapat menahan lapar lagi.
Hanya ada
dua meja yang dihadapi tamu. Kebetulan agaknya, dua meja itu adalah meja di
ujung kiri dan meja di ujung kanan. Yang sebuah dihadapi seorang laki-laki berjenggot
panjang, empat puluhan tahun usianya, duduk bersunyi sendiri. Meja kedua
dihadapi dua orang, agaknya suami isteri, kurang lebih tiga puluhan tahun.
Sikap kedua orang ini gagah, baik si suami mau pun si isteri. Mereka duduk
berhadapan, makan bubur panas-panas dengan sumpit, cepat sekali seakan-akan
mereka tergesa-gesa. Di punggung mereka tergantung gagang dua buah senjata.
Tadinya Bu
Sin dan adik-adiknya mengira bahwa mereka itu masing-masing membawa siang-kiam
(pedang pasangan), akan tetapi mereka terheran melihat bahwa dua buah senjata
itu tidaklah sama. Sebuah pedang dan sebilah golok! Bu Sin dan dua orang
adiknya belum sempat memilih tempat, karena pada saat mereka memasuki ruangan
depan rumah makan itu, tiba-tiba terdengar bentakan keras.
“Pencuri-pencuri
bangsa Hou-han hendak sembunyi ke mana kalian?” Muncullah empat orang laki-laki
yang nampak gesit-gesit dan kuat, berlompatan ke dalam dan mereka segera
mengurung suami isteri itu. Seorang mencabut pedang, seorang lain mengeluarkan
sepasang siang-kek (tombak pendek sepasang), orang ketiga mengeluarkan sebuah
cambuk baja yang ujungnya seperti jangkar kecil, sedangkan orang keempat yang
agaknya pemimpin rombongan ini, juga yang tadi membentak, memasang kuda-kuda
dengan tangan kosong.
“Lebih baik
kalian menyerahkan kembali benda itu kepada kami, mungkin kami akan dapat
mengampuni nyawa kalian,” kata pula yang bertangan kosong.
Suami isteri
itu saling lirik. Ketika si suami menurunkan mangkoknya, isterinya mencela,
“Makan dulu sampai habis, baru layani anjing-anjing ini. Mengapa tergesa-gesa?”
Keduanya lalu makan terus dengan tenangnya, menghabiskan bubur di dalam
mangkok.
Bu Sin dan
adik-adiknya amat kagum menyaksikan sikap dua orang ini. Amat tenang dan amat
gagah. Namun mereka bertiga tak dapat bersimpati kepada sepasang suami isteri
ini karena bukankah tadi rombongan itu mengatakan bahwa mereka berdua adalah
orang-orang Hou-han? Berarti orang yang sekampung dengan Bu Sin bertiga, akan
tetapi siapa tahu mereka itu adalah pembantu-pembantu dari Kerajaan Hou-han
yang memusuhi mendiang ayah mereka? Keluarga Kam terkenal sebagai keluarga yang
tidak mau tunduk kepada Kerajaan Hou-han, bahkan dianggap setengah pelarian.
Suami isteri
itu sudah selesai makan. Tiba-tiba mereka bergerak dan dua pasang sumpit di
tangan meluncur bagaikan anak panah. Empat batang sumpit itu menyerang empat
orang yang mengurung mereka. Namun para pengurungnya juga bukan orang
sembarangan. Dengan mudah mereka mengelak, dan sumpit-sumpit itu menancap
sampai separohnya lebih pada dinding.
“Bagus!”
Pujian ini keluar dari mulut laki-laki jenggot panjang yang sejak tadi masih
duduk di sudut, menghadapi meja dan tenang-tenang saja sambil makan daging
goreng dan nonton adegan di depannya itu. Matanya bersinar-sinar, wajahnya
berseri-seri, agaknya ia gembira sekali dapat makan sambil menikmati tontonan
gratis ini.
Melihat
betapa sambitan mereka dengan sumpit-sumpit itu tidak mengenai sasaran, suami
isteri itu melempar mangkok kosong ke lantai sambil meloncat, dan begitu kedua
tangan mereka bergerak, kedua tangan mereka sudah mencabut senjata dan kini
tangan kiri memegang pedang sedangkan tangan kanan memegang golok. Mereka
membuat gerakan memutar dan sudah berdiri saling membelakangi, siap dengan
senjata di tangan. Cerdik mereka, pikir Bu Sin yang menonton di dekat pintu.
Suami isteri itu berdiri berhadapan punggung, dengan kedudukan demikian mereka
dapat mencegah serangan gelap dari belakang.
Pertandingan
dimulai tanpa kata-kata. Empat orang itu segera menyerbu, yang bersenjata
pedang dan si pemegang siang-kek mengeroyok si suami, sedangkan wanita itu
dikeroyok oleh si pemegang cambuk dan yang bertangan kosong. Para pelayan rumah
makan itu lari berserabutan ke luar sambil berteriak-teriak ketakutan.
Bu Sin dan
adik-adiknya menjadi kagum setelah pertempuran itu berlangsung seru. Kepandaian
empat orang itu cukup tinggi, apa lagi yang bertangan kosong, akan tetapi
gerakan mereka biasa. Sebaliknya, suami isteri itulah yang mendatangkan kagum.
Si suami bergerak dengan tenang, namun kedudukannya kokoh kuat seperti batu
karang. Sebaliknya, isterinya lincah bukan main, berloncatan ke sana ke mari
seakan-akan seekor burung walet yang gesit, mendesak kedua orang lawannya.
Pertempuran
itu makin lama makin hebat dan tahulah Bu Sin bertiga bahwa kepandaian mereka
itu rata-rata lebih tinggi dari pada tingkat kepandaian sendiri. Diam-diam ia
merasa khawatir sekali dengan warisan ayahnya yang ia miliki, juga kedua orang
adiknya, bagaimana mereka bertiga akan dapat merantau di dunia kang-ouw dan
lebih-lebih lagi, bagaimana mereka akan mampu mencari dan membalas sakit hati
orang tua mereka? Makin dekat dengan kota raja, agaknya makin banyak terdapat
orang-orang yang kepandaian silatnya amat tinggi.
Tiba-tiba
nyonya muda itu mengeluarkan jeritan nyaring, tubuhnya melayang ke atas dan
goloknya menyambar lawannya yang paling tangguh, yaitu laki-laki yang bertangan
kosong. Pada saat itu cambuk dari lawannya kedua telah melayang dan melecut,
dengan gerakan cepat sekali meluncurlah jangkar kecil runcing itu ke arah
lehernya!
“Roboh
dia...!” Lin Lin berseru perlahan. Sejak tadi perhatian Lin Lin terpusat pada
wanita ini. Ia amat kagum karena maklum bahwa dalam ilmu silat, wanita itu jauh
melampauinya, baik dalam permainan senjata mau pun ilmu meringankan tubuh. Akan
tetapi karena ia tidak tahu apa persoalannya maka terjadi pertempuran itu,
hatinya tidak berpihak ke mana-mana. Betapa pun juga, melihat ujung cambuk yang
seperti jangkar kecil itu menyambar leher, ia berseru dengan hati tegang.
Namun wanita
yang masih meloncat di udara itu tiba-tiba menggerakkan pinggulnya dan...
seperti seekor ular hidup, sabuknya yang panjang itu melayang ke belakang dan
ujungnya tepat sekali melibat ujung cambuk. Terjadi saling libat dan
tarik-menarik sehingga jalannya pertempuran di pihak wanita itu agak kaku.
Mendadak
laki-laki berjenggot pendek yang duduk di sudut itu tertawa dan tahu-tahu
tubuhnya sudah mencelat ke dalam gelanggang pertempuran. Bu Sin dan dua orang
adiknya kaget sekali, tidak mengira bahwa laki-laki penonton yang aneh itu
dapat bergerak secepat itu. Tahu-tahu laki-laki ini sudah mengulur tangannya
membetot ujung sabuk dan cambuk yang saling libat sambil berkata, “Tidak ramai
kalau begini!”
Hebat orang
ini. Sekali renggut saja, libatan dua macam senjata itu terlepas. Kelihatan
tangan kirinya tadi bergerak cepat ke arah tubuh laki-laki yang dikeroyok dari
belakang. Kemudian setelah cambuk dan sabuk terlepas, sambil tertawa
terkekeh-kekeh laki-laki berjenggot ini sudah meloncat ke luar dari tempat itu.
Suami isteri
yang menghadapi pengeroyokan berat itu agaknya tidak begitu memperhatikan ikut
campurnya laki-laki berjenggot, akan tetapi Bu Sin yang sejak tadi memandang
tajam, dapat melihat betapa tangan laki-laki berjenggot itu memegang sesuatu
ketika tadi bergerak di belakang laki-laki yang dikeroyok.
“Mari, ikuti
dia...!” katanya perlahan memberi isyarat kepada Sian Eng dan Lin Lin.
Ketiganya cepat meloncat ke luar pula dan menyusup di antara banyak orang yang
berkumpul dan menonton di luar rumah makan.
“Sin-ko,
buat apa kita campuri urusan mereka?” Lin Lin mencela, akan tetapi melihat Bu
Sin dan Sian Eng sudah melompat ke luar, terpaksa ia pun mengikuti mereka.
Mereka
membayangi si jenggot panjang itu dari jauh dan karena yang dibayangi hanya
berjalan seenaknya, maka mudahlah bagi mereka untuk mengikuti terus. Akan
tetapi setelah keluar dari desa itu, si jenggot panjang lalu lari dengan
gerakan cepat. Bu Sin yang ingin sekali tahu siapa orang itu dan apa yang
dicurinya tadi dari sepasang suami isteri dari Hou-han, mengajak adik-adiknya
mengikuti terus.
Menjelang
sore mereka memasuki kota An-sui dan setelah masuk kota laki-laki itu kembali
berjalan biasa. Kota An-sui cukup besar dan karena kota ini sudah termasuk
wilayah Kerajaan Sung, apa lagi letaknya tidak jauh dari kota raja, maka
keadaannya ramai dan di situ banyak terdapat rumah-rumah kuno dan besar milik
orang-orang bangsawan. Orang berjenggot panjang itu akhirnya memasuki sebuah rumah
besar yang di bagian depannya ditulis dengan huruf besar: GEDUNG PANGERAN SUMA.
Tentu saja
kakak beradik itu tidak berani masuk terus. “Kita bermalam di kota ini,” kata
Bu Sin dan pergilah mereka mencari rumah penginapan. “Malam nanti kita
menyelidik.”
Setelah
berada di kamar penginapan, Lin Lin kembali mencela, “Sin-ko, kepergian kita
bukankah untuk mencari Kakak Bu Song dan mencari musuh besar kita? Apa perlunya
kita mencampuri urusan si jenggot tadi?”
“Kau lihat
sendiri, tadi dia mencuri sesuatu dari suami isteri dari Hou-han itu,” jawab
kakaknya.
“Peduli apa
kalau dia mau mencuri apa pun juga? Apa sangkut pautnya dengan kita, Koko? Biar
pun aku kagum kepada suami isteri yang gagah itu, akan tetapi kita tidak
mengenalnya dan tidak tahu apa yang menyebabkan mereka tadi bertempur, tidak
mengenal pula siapa lawan-lawannya.”
Bu Sin
menghela napas. “Kau benar, Lin-moi. Akan tetapi ada satu hal yang membuat aku
tertarik dan terpaksa berpihak kepada mereka. Mereka itu adalah orang-orang
dari wilayah Hou-han, seperti juga kita. Siapa tahu kalau-kalau benda yang
dicuri si jenggot tadi amat penting bagi Kerajaan Hou-han?”
Berkerut
kening Lin Lin. “Sin-ko, kau berpihak kepada Kerajaan Hou-han? Tak ingat bahwa
Ayah telah melarikan diri dari kerajaan itu karena kelaliman rajanya?”
Bu Sin
tersenyum. “Waktu itu belum menjadi kerajaan, adikku. Ayah seorang setia dan
tidak suka akan pemberontakan. Akan tetapi sekarang telah menjadi wilayah
Hou-han, aku tidak membela apa-apa, akan tetapi sedikitnya tentu berpihak
kepada wilayah sendiri, bukan?”
“Adik Lin,
kalau takut, malam ini tidak usah ikut, tinggal saja di kamar, biar aku dan
Sin-ko sendiri yang pergi menyelidik,” kata Sian Eng yang tidak senang melihat
kerewelan Lin Lin.
Lin Lin
tidak marah, malah tertawa. “Cici, kalau ada apa-apa terjadi kapadamu, siapa
yang akan menolong kalau aku tidak ikut? Tentu saja aku ikut.”
“Kalau
begitu tak perlu banyak rewel.”
“Kita
mengaso dulu sore ini, siapa tahu malam nanti kita harus menggunakan banyak
tenaga,” kata Bu Sin. “Aku akan pesan makanan di luar rumah penginapan.”
Tak lama Bu
Sin keluar. Ketika masuk lagi wajahnya berubah. “Mereka juga sudah berada di
kota ini.”
“Siapa?”
tanya Lin Lin.
“Siapa lagi?
Suami isteri itu!”
Mendengar
ini, Lin Lin tertarik dan mereka menjadi tegang. Apakah sepasang suami isteri
itu sudah tahu ke mana perginya orang berjenggot tadi? Apakah mereka sudah tahu
bahwa orang itu mengambil sesuatu dari mereka?
“Hebat,
cepat benar mereka dapat mengejar ke sini. Agaknya mereka menang dalam
pertempuran tadi,” kata Lin Lin. “Apakah mereka sudah tahu tempat si jenggot
itu?”
“Kurasa
mereka tentu tahu. Mereka itu bukan orang biasa, melainkan orang-orang kang-ouw
yang ulung. Akan ramai malam nanti, kita menjadi penonton saja sambil menambah
pengalaman,” kata Bu Sin, dan mereka bertiga lalu pergi ke dalam kamar mengaso.
Penghuni
rumah gedung itu adalah keluarga Pangeran Suma Kong. Pangeran Suma Kong ini
adalah pangeran Kerajaan Sung yang masih merupakan keluarga dekat dengan
kaisar. Akan tetapi karena ia pernah melakukan korup besar-besaran dan ketahuan
kaisar, ia lalu diberhentikan dari jabatannya. Akan tetapi mengingat bahwa ia
masih keluarga, kaisar tidak menjatuhkan hukuman, hanya membebaskan dari tugas.
Pangeran
Suma Kong lalu mengundurkan diri dari kota raja, tinggal di kota An-sui, hidup
sebagai bangsawan ‘pensiunan’ yang kaya, memiliki gedung besar dan sawahnya di
luar kota An-sui amat luas. Tentu saja diam-diam Pangeran Suma Kong menaruh
dendam kepada Kerajaan Sung, akan tetapi karena ia sudah tua dan merasa tidak
berdaya, ia menghibur diri dengan pelbagai kesenangan, tidak mau mempedulikan
lagi tentang urusan kerajaan.
Namun tidak
demikian dengan puteranya yang bernama Suma Boan. Puteranya ini bukanlah
seorang lemah. Diam-diam dia mempelajari ilmu silat dari orang sakti yaitu
bukan lain adalah si Raja Pengemis It-gan Kai-ong. Malah diam-diam Suma Boan
menghimpun kekuatan, bersekutu dengan Kerajaan Wu-yue di selatan. Karena It-gan
Kai-ong sendiri adalah seorang tokoh selatan yang membantu Kerajaan Wu-yue,
maka dengan mudah Suma Boan mendapatkan pengaruh di kerajaan itu dan diam-diam
mengadakan persekutuan untuk bersama-sama mencari kesempatan baik dan kalau
tiba waktunya menggulingkan pemerintahan Kerajaan Sung.
Suma Boan
sudah berusia tiga puluhan tahun lebih, belum menikah, namun terhadap wanita ia
terkenal jahat dan mata keranjang. Selirnya banyak, di dalam gedung itu saja
ada tujuh orang, belum terhitung selir yang di luar gedung. Banyaknya selir itu
masih tidak mengurangi kenakalannya untuk mengganggu setiap orang wanita cantik
yang menarik hatinya, tidak peduli wanita itu masih gadis, janda mau pun masih
menjadi isteri orang lain! Dia beruang, ilmu silatnya tinggi, maka tiada orang
berani menentangnya. Di An-sui ia terkenal sebagai jagoan, bahkan namanya
terkenal sampai di kota raja. Di dunia kang-ouw ia juga seorang yang cukup
dikenal pula dengan julukannya yang amat takabur, Lui-kong-sian (Dewa Geledek)!
Suma Boan
hanya mempunyai seorang saudara kandung, yaitu adik perempuannya yang bernama
Suma Ceng, berusia dua puluh tujuh tahun. Suma Ceng sudah lama menikah dengan
seorang pangeran dan kini tinggal di kota raja. Para pelayan di dalam gedung
itu maklum betapa jauh bedanya watak Suma Ceng yang sudah pindah ikut suaminya
di kota raja itu dengan Suma Boan. Suma Ceng seorang wanita yang halus tutur
sapanya, lemah lembut dan baik budi pekertinya, ramah dan suka menolong
terhadap para pelayan. Sebaliknya, semua pelayan kuncup hatinya dan tunduk
ketakutan bila berhadapan dengan Suma Boan.
Malam hari
itu, di ruangan sebelah dalam dari gedung keluarga Suma terdengar suara ketawa
gembira. Beberapa orang pelayan wanita yang muda dan cantik sibuk melayani tiga
orang yang sedang makan minum menghadapi meja besar. Mereka ini bukan lain
adalah Suma Boan sendiri, It-gan Kai-ong yang menjadi gurunya, dan seorang
laki-laki berjenggot panjang yang pagi tadi dibayangi oleh Bu Sin bertiga.
“Ciok-twako,
kali ini benar-benar kau telah berjasa besar. Biarlah kuberi selamat dengan
secawan arak!” terdengar Suma Boan berkata sambil tertawa dan mengangkat cawan
araknya.
Si jenggot
panjang yang bernama Ciok Kam itu tertawa merendah, mengangkat cawan araknya
sambil berkata, “Kongcu (Tuan Muda) terlalu memuji. Hanya secara kebetulan saja
saya mendapatkan surat itu, bukan sekali-kali karena jasa saya, melainkan
mengandalkan rejeki semata-mata dan kemurahan hati Ongya yang telah menurunkan
beberapa ilmu pukulan kepada saya. Karena itu, penghormatan saya kembalikan
kepada Kongcu dan terutama kepada Ong-ya!” Si jenggot panjang menggerakkan
cawan ke arah It-gan Kai-ong sambil membungkuk.
“Ha-ha-ho-hoh,
Ciok Kam patut menjadi pembantu kita. Surat yang dirampasnya amat penting dan
agaknya kau akan dapat mempergunakannya dengan baik muridku. Untuk keuntungan
ini mari kita minum sepuasnya!”
Mereka
menenggak habis isi cawan dan cepat-cepat seorang pelayan wanita yang cantik,
yaitu seorang di antara para selir Suma Boan yang amat dipercayanya sehingga
diperkenankan menghadiri pertemuan ini, mengangkat guci dan mengisi cawan-cawan
kosong itu.
“Jangan
khawatir, Suhu. Surat yang menyatakan hubungan persekutuan antara Kerajaan
Hou-han dan Nan-cao ini tentu akan teecu (murid) bawa ke kota raja. Tentu
Kaisar akan girang dan berterima kasih sekali kepada teecu dan saat yang baik
itu akan teecu pergunakan untuk mencari kedudukan. Biarkan Hou-han dan Nan-cao
ribut dengan Sung, biarkan anjing-anjing berebut tulang, kelak kita tinggal
memukul mereka. Bukankah begitu, Suhu?”
“Ha-ha, kau
lebih tahu akan hal itu. Aku orang tua mana becus memikirkan tentang negara?
Kalau ada lawan yang tak sanggup kau hadapi, nah, serahkan kepadaku. Itulah
bagianku. Ha-ha-ha!”
“Siapakah
orangnya di dunia ini yang dapat melawan Suhu? Agaknya orang itu harus
dilahirkan lebih dulu. Bukankah begitu, Ciok-twako?”
“Betul-betul,
kepandaian Ong-ya seperti malaikat langit, mengandalkan bantuan Ong-ya, tidak
ada cita-cita yang takkan dapat tercapai,” jawab si jenggot panjang bernama
Ciok Kam.
Sementara
itu, tiga bayangan berkelebat cepat sekali di atas genteng rumah besar itu.
Mereka ini bukan lain adalah Bu Sin, Sian Eng dan Lin Lin. Sambil mengerahkan
ginkang, dengan hati-hati sekali mereka berloncatan di atas genteng. Di ruangan
tengah mereka mendengar suara orang bercakap-cakap sambil tertawa.
“Lin-moi,
kau menjaga di sini, aku dan Cici-mu mengintai,” kata Bu Sin.
Kakak
beradik itu lalu menggunakan gerak tipu In-liong-hoan-sin (Naga Awan
Membalikkan Tubuh), tanpa mengeluarkan suara keduanya sudah berjungkir balik
dengan kedua kaki tergantung pada ujung tembok genteng, tubuh bergantung kepala
di bawah seperti dua ekor kelelawar. Lin Lin berjongkok di atas genteng,
memandang kagum kepada dua orang kakaknya itu. Ada pun Bu Sin dan Sian Eng
dalam keadaan bergantung membalik itu melihat bayangan orang dari jendela,
bayangan tiga orang laki-laki yang duduk sambil minum arak dan tertawa-tawa.
“Ha-ha-ha,
tikus-tikus kecil macam itu perlu apa diributkan? Kalau tidak ingat akan
sepotong uang perak, sudah lama mereka menjadi bangkai.”
Suara ini
membuat Bu Sin dan Sian Eng kaget setengah mati. Kiranya itu adalah suara
It-gan Kai-ong! Dan mereka malah datang ke tempat itu, benar-benar seperti ular
mendekati penggebuk!
“Suhu dan
Ciok-twako, duduklah dan lanjutkan minum arak. Hidungku mencium bau harum
wanita, tak boleh dilewatkan begitu saja. Suhu, bolehkah?”
“Ho-ho-hah,
kalau kau melihat dua orang gadis itu tentu akan membanjir air liurmu. Aku
sudah tua, tidak butuh hal itu lagi. Pergilah!”
Tiba-tiba
sesosok bayangan hitam yang jangkung melompat ke luar dari ruangan itu, melesat
ke arah pintu. Akan tetapi sia-sia, Bu Sin dan Sian Eng sudah melompat sambil
memutar tubuh ke atas genteng lagi. Bukan main heran dan khawatirnya ketika
mereka tidak melihat adanya Lin Lin yang tadi berjongkok di atas genteng. Ke
mana adik mereka itu?
Namun mereka
tidak sempat membingungkan ke mana perginya Lin Lin karena pada saat itu,
bayangan laki-laki jangkung yang keluar dari ruangan tadi sudah melesat naik ke
atas genteng dan tahu-tahu di depan mereka telah berdiri seorang laki-laki muda
yang berpakaian pesolek, bertubuh jangkung dan berhidung panjang. Muka yang
tampan, namun membayangkan kekejaman. Laki-laki ini tersenyum mengejek melihat
Bu Sin dan Sian Eng mencabut pedang. Akan tetapi sepasang matanya
bersinar-sinar ketika ia memandang wajah Sian Eng dan senyumannya melebar.
“Melihat
wajah temanmu, nyawamu kuampuni. Lekas pergi dari sini dan tinggalkan temanmu
ini untuk menemaniku semalam ini,” kata laki-laki jangkung yang bukan lain
adalah Suma Boan itu kepada Bu Sin.
Dapat
dibayangkan betapa marahnya Bu Sin dan Sia Eng mendengar kata-kata yang amat
menghina ini. Akan tetapi karena berada di atas rumah orang dan mereka merasa
telah melanggar aturan, maka ia mempertahankan kesabarannya dan berkata. “Harap
kau suka menahan mulutmu yang lancang. Lebih baik lepaskan adik perempuanku dan
kami akan pergi dari tempat ini. Kami bukan maling, hanya tadi kami mengikuti
seorang laki-laki berjenggot panjang yang telah merampas barang orang. Nah,
kalau kau tuan rumah, maafkan kami dan kembalikan adikku.”
Mendengar
disebutnya laki-laki berjenggot merampas barang, seketika lenyaplah sikap
main-main Suma Boan. Ia tidak peduli lagi akan ucapan tentang adik kedua orang
ini. “Bagus, kalian mata-mata!” Sekaligus ia menerjang maju dengan serangan
yang dahsyat sekali.
Bu Sin dan
Sian Eng cepat mengelak sambil melompat mundur dan memutar pedang, akan tetapi
pada saat itu dari jendela yang terbuka menyambar angin pukulan yang hebat,
yang sekaligus mendorong mereka roboh di atas genteng! Terdengar suara It-gan
Kai-ong tertawa bergelak. Kiranya kakek inilah yang mendorongkan tangannya
mengirim pukulan jarak jauh dari jendela ke atas genteng! Melihat betapa dua
orang muda gemblengan seperti Bu Sin dan Sian Eng dapat roboh dengan sekali
terkena dorongan angin pukulan, dapat dibayangkan betapa saktinya raja pengemis
itu.
Bu Sin dan
Sian Eng kaget bukan main. Tanpa dapat dicegah lagi tubuh mereka terlempar ke
bawah genteng, dan biar pun mereka dapat mempergunakan ginkang untuk mengatur
keseimbangan badan dan mencegah terbanting, namun sedikitnya mereka tentu akan
luka-luka kalau saja tidak ada dua orang yang menyambar tubuh mereka. Ketika
mereka memandang, kiranya yang menolong mereka itu adalah suami isteri yang
dikeroyok di rumah makan pagi tadi!
“Adikku
masih di atas...,” Sian Eng berkata.
“Sssttt...!”
wanita yang tadi menyambar tubuhnya menarik tangan Bu Sin dan Sian Eng
berlindung dalam gelap. Mereka memandang ke atas dan apa yang tampak di atas
membuat Bu Sin dan Sian Eng seketika pucat, hati mereka berdebar penuh
kengerian. Apa yang tampak oleh mereka?
Bukan hanya
Suma Boan yang kini berdiri di atas genteng, melainkan ada bayangan kedua,
bayangan makhluk yang mengerikan sekali, bukan manusia bukan binatang melainkan
tengkorak memakai pakaian hitam! Muka tengkorak putih dengan sepasang lubang
mata hitam besar dan gigi berjajar kacau itu benar-benar amat menyeramkan
tertimpa sinar lampu yang menyinar dari pinggir gedung, dari atas diterangi
bintang-bintang di langit.
Agaknya Suma
Boan juga kaget melihat makhluk ini. Terdengar ia berseru keras, “Suhu... Hek-giam-lo
di sini!”
Akan tetapi
tiba-tiba ia terjengkang di atas genteng dan bayangan muka tengkorak itu
berkelebat lenyap dari situ. Sebuah bayangan lain yang gerakannya seperti setan
menyambar dari bawah, disusul bentakan It-gan Kai-ong.
“Hek-giam-lo
mayat busuk, jangan lari kau!”
Suma Boan
tidak terluka hebat. Dia merangkak bangun dan berdiri lagi di atas genteng,
meraba bajunya dan dengan suara marah ia berseru. “Celaka...! Hek-giam-lo
keparat, surat itu diambilnya...!”
“Bagaimana,
Kongcu? Apa yang terjadi...?” kini bayangan si jenggot panjang yang naik ke
atas genteng.
“Celaka,
kita tertipu!” kata Suma Boan. “Tadinya dua orang bocah itu menuduh kita
menangkap adiknya. Ketika mereka dijatuhkan Suhu, eh, tahu-tahu muncul
Hek-giam-lo. Ia tidak berkata apa-apa, tapi aku didorong roboh. Ketika Suhu
muncul ia melarikan diri, kini dikejar Suhu. Akan tetapi surat itu tidak ada
lagi di dalam saku bajuku. Lihat, bajuku robek, siapa lagi yang mampu
merampasnya secara begini kalau bukan Hek-giam-lo?”
“Wah, sial
betul. Tapi, tak usah khawatir, Kongcu. Kalau Ong-ya sudah mengejarnya, masa
tidak akan dapat merampasnya kembali?”
“Belum
tentu... belum tentu...!” Suma Boan menggeleng kepalanya. “Dia lihai sekali.
Heran aku, siapakah dua orang bocah tadi? Apakah kaki tangan orang Khitan?”
Sambil
bersunggut-sunggut dan menyumpah-nyumpah Suma Boan melompat turun dan masuk ke
dalam gedung, diikuti oleh si jenggot panjang Ciok Kam. Sebentar saja para
pelayan menyambutnya, keadaan menjadi ribut karena orang-orang mendengar
tentang penyerbuan musuh di atas genteng.
Akan tetapi
Suma Boan membentak, “Tidak ada apa-apa, mundur semua!” Pelayan-pelayan itu,
kecuali selirnya yang melayani minum, mundur ketakutan, kembali ke tempat
masing-masing.
Suami isteri
bersama Bu Sin dan Sian Eng yang bersembunyi melihat semua itu. Bu Sin dan
adiknya amat bingung memikirkan Lin Lin, akan tetapi laki-laki itu berkata.
“Adikmu
tidak berada di dalam gedung. Tadi kami melihat dia dibawa lari Seng-jin. Lebih
baik kalian lekas pergi dari sini, amat berbahaya di sini. Kami berterima kasih
bahwa kalian sudah menaruh perhatian akan urusan kami. Biar pun kalian
anak-anak keluarga Kam, tidak percuma kalian menjadi orang-orang dari wilayah
Hou-han. Nah, kita berpisah di sini.”
“Nanti
dulu...!” Bu Sin mencegah. “Siapakah Seng-jin yang membawa adik kami? Dan siapa
kalian ini? Urusan apakah yang menimbulkan semua keributan ini?”
Wanita itu
yang menjawab kini, tersenyum duka, “Dituturkan tidak ada gunanya, juga tidak
ada waktu. Kau takkan mengerti, orang muda. Tentang adikmu, dia tadi dibawa
Kim-lun Seng-jin, seorang sakti yang aneh. Percuma kau mencarinya, tak mungkin
mengikuti jejak seorang seperti Kim-lun Seng-jin. Tentang kami... hemmm, cukup
kau ketahui bahwa kami adalah orang-orang Hou-han dan bekerja untuk Kerajaan
Hou-han. Selamat tinggal, jangan lama-lama berada di sini, pergi cepat.
Berbahaya!” Setelah berkata demikian, suami isteri itu berkelebat dan
menghilang di dalam gelap.
Bu Sin dan
Sian Eng saling pandang. Mereka bingung sekali memikirkan tentang diri Lin Lin.
Akan tetapi mereka pun tahu bahwa kepandaian mereka masih jauh dari pada cukup
untuk dapat mencari Lin Lin yang katanya dibawa lari Kim-lun Seng-jin.
Sedangkan menghadapi si jenggot panjang dan orang muda jangkung di dalam gedung
ini saja sudah terlalu berat bagi mereka, apa lagi It-gan Kai-ong ada di situ!
Tidak ada jalan lain bagi Bu Sin dan adiknya kecuali segera menyelinap pergi
dari tempat itu, lari ke luar menyelinap-nyelinap di dalam kegelapan malam.
Dengan hati
pepat dan gelisah mereka kembali ke kamar rumah penginapan dan alangkah heran
akan tetapi juga lega hati mereka ketika mereka melihat tulisan Lin Lin di atas
meja, tulisan dalam sebuah kertas berlipat yang singkat saja.
Sin-ko dan
Eng-cici,
Terpaksa aku
pergi dulu berpisah dengan kalian. Kakek gundul yang menolongku memaksa aku
ikut dia sendiri saja. Akan tetapi dia baik dan bilang bahwa dia dapat
membawaku ke tempat pembunuh orang tua kita.
Sampai jumpa
pula,
Lin Lin
Bu Sin
menarik napas panjang, lega hatinya. Tentu yang dimaksudkan di dalam surat,
yang disebut oleh Lin Lin ‘kakek gundul’ itu adalah Kim-lun Seng-jin yang tadi
diceritakan oleh suami isteri dari Hou-han. Ia tersenyum geli. Kakek gundul yang
bernama Kim-lun Seng-jin boleh saja disebut aneh, akan tetapi kakek itu akan
‘ketemu batunya’ kalau melakukan perjalanan bersama Lin Lin. Adik angkatnya ini
kadang-kadang mempunyai perangai yang luar biasa sekali, sukar dikendalikan,
aneh dan tentu kakek gundul itu akan menjadi banyak pusing olehnya.
“Dia diberi
petunjuk orang sakti akan jejak musuh besar kita, itu baik sekali.
Mudah-mudahan dia berhasil dan selamat,” katanya sambil merobek-robek surat
itu.
“Kita
sendiri bagaimana, Sin-ko? Ke mana kita harus mencari atau mengikuti Lin Lin?”
“Dia sendiri
saja kalau sudah minggat mana kita mampu mengejarnya, apa lagi sekarang bersama
seorang sakti. Kita tidak perlu mencarinya, kita melanjutkan perjalanan ke kota
raja. Agaknya akan lebih baik kalau kita mencari Kakak Bu Song lebih dulu,
karena sebagai seorang yang lama tinggal di kota raja, tentu dia mempunyai
banyak pengalaman dan akan dapat memberi petunjuk kepada kita.”
Demikianlah,
pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Bu Sin dan Sian Eng sudah meninggalkan
kota An-sui menuju ke kota raja.
***************
Apakah yang
terjadi dengan Lin Lin? Gadis remaja ini mengalami hal yang amat luar biasa.
Seperti kita ketahui, ketika Bu Sin dan Sian Eng mengintai ke dalam ruangan
gedung itu dengan cara menggantungkan kaki dengan kepala di bawah, Lin Lin
berjongkok di atas genteng sambil melihat kedua saudaranya itu. Kaget ia ketika
melihat Bu Sin dan Sian Eng berloncatan ke atas kemudian kedua orang itu roboh
ke bawah genteng.
Akan tetapi,
selagi ia kebingungan dan khawatir, tiba-tiba serangkum angin pukulan yang
dilontarkan oleh It-gan Kai-ong menyerangnya, membuat dia terlempar dan tentu
ia pun akan terguling roboh ke bawah kalau saja tidak terjadi hal yang amat
aneh. Ia tidak tahu mengapa dan bagaimana, akan tetapi tubuhnya yang sudah
terjengkang itu tiba-tiba dapat terapung ke atas, lalu tubuhnya itu seperti
dibawa angin terbang melalui genteng, cepat bukan main. Tentu saja ia takut
sekali dan berusaha memulihkan keseimbangan tubuhnya agar kalau jatuh ke bawah
tidak terbanting, namun ia sama sekali tak dapat menggerakkan kaki tangannya
dan ia ‘terbang’ dengan tubuh telentang. Kalau ia tidak mengalami sendiri,
tentu ia tidak akan mau percaya bahkan pada saat itu ia mengira bahwa ia sedang
mimpi.
Entah berapa
lama ia berada dalam keadaan melayang ini, namun ia merasa bahwa ia
diterbangkan tubuhnya. Ketika kedua kakinya menginjak tanah, ia telah berada di
luar kota An-sui!
“Heh-heh-heh,
untung kau tidak menjadi korban It-gan Kai-ong,” terdengar suara terkekeh
bicara.
Lin Lin
membalikkan tubuh, ke kanan kiri, memutar tubuh melihat ke sekelilingnya. Akan
tetapi tidak tampak seorang pun manusia. Bulu tengkuknya mulai berdiri dan
kedua lututnya gemetar. Ia seorang gadis yang tabah dan menghadapi siapa pun
juga ia takkan mundur, takkan mengenal takut. Namun kejadian kali ini membuat
ia yakin bahwa ia sedang diganggu iblis dan dongeng-dongeng tentang iblis yang
pernah ia dengar membuat ia ketakutan.
“Siapa kau?”
“Siapa aku?
Aku siapa? Heh-heh, aku sendiri tidak kenal siapa aku ini dan dari mana asalku,
apa lagi kau bocah ingusan. Heh-heh-heh! Aku dan kau sama saja!”
Suara itu
tepat di belakangnya, maka secepat kilat Lin Lin memutar tubuh dengan gerakan
Hek-yan-tiauw-wi (Burung Walet Sabet Buntut), gerakannya cepat bukan main dan
ia sengaja mengerahkan ginkang-nya. Akan tetapi, kembali ia hanya melihat
tempat kosong, tidak ada bayangan, apa lagi orangnya!
Suara itu
masih terkekeh-kekeh, “Heh-heh-heh, siapa aku? Siapa aku? Hayo cari dan tebak,
di mana dan siapa aku, heh-heh-heh!” Suara itu tertawa-tawa geli seperti
seorang kanak-kanak bermain kucing-kucingan.
Panas juga
dada Lin Lin. Ia yakin sekarang bahwa yang bicara itu tentu seorang manusia
biasa, biar pun seorang manusia yang memiliki kepandaian yang luar biasa. Masa
aku tidak dapat mencarimu? Demikian pikirnya dengan gemas. Cepat ia melompat
lagi, berputaran dan mengeluarkan kepandaiannya untuk membalik sana berputar
sini, lari berputaran seperti kitiran cepatnya. Namun tak pernah ia dapat
melihat bayangan di sekeliling dirinya, padahal suara itu terus-menerus
berbunyi, tertawa-tawa di belakang, kanan dan kirinya!
“Heh-heh-heh!
Kau seperti seekor anjing yang berputaran hendak menggigit buntut sendiri.
Heh-heh... lucu... lucu... lagi, Nona. Sekali lagi, lucu benar...!”
Tentu saja
Lin Lin tidak sudi berputar lagi, malah ia cepat berhenti dan membanting
kakinya. Hampir ia menangis. “Kau ini setan apa manusia? Kalau manusia
perlihatkan dirimu. Kalau setan minggat dari sini, aku tidak butuh setan!”
bentaknya sambil bertolak pinggang.
“Heh-heh,
lebih baik jadi setan, biar pun selalu melakukan kejahatan akan tetapi memang
itu kewajibannya, kalau tidak melakukan yang jahat-jahat mana disebut setan?
Setidaknya setan mengakui kejahatannya, sebaliknya manusia banyak yang
pura-pura suci dan bersih, padahal lebih jahat dan kotor dari pada setan
sendiri. Heh-heh, Nona, aku di belakangmu, masa kau tidak dapat melihat?” Lin
Lin membalikkan tubuhnya dan... tidak melihat apa-apa.
“Kau main
kucing-kucingan? Aku tidak sudi main-main denganmu.”
“Lho, aku di
sini, lihat baik-baik.”
Lin Lin
menurunkan pandang matanya dan benar saja. Di depannya berdiri seorang kakek
yang... tubuhnya pendek, hanya setinggi dadanya dan karena kakek itu tadi
jongkok tentu saja tidak kelihatan. Sekarang kakek ini berdiri, kedua kakinya
yang pendek itu tidak bersepatu, lucu sekali tampaknya. Badannya agak gemuk,
kepalanya bundar seperti bola karet, licin tidak berambut sehelai pun juga.
Tapi alisnya tebal sekali, dan rambut alisnya itu berdiri menjulang ke atas. Kumis
dan jenggotnya panjang melambai sampai ke dada. Kedua daun telinganya lebar
seperti telinga arca Ji-lai-hud dihiasi sepasang anting-anting perak. Anehnya,
melihat orang seperti itu Lin Lin tak dapat menahan ketawanya.
“Hi-hi-hik,
kau ini golongan apa? Apakah pemain wayang?” Lin Lin tertawa dan menutupi
mulutnya.
“Memang
dunia ini panggung wayang dan kita anak wayangnya. Bagaimana lakonnya dan apa
peran yang harus kita pegang terserah Sang Sutradara. Heh-heh-heh, dan agaknya
Sang Sutradara menghendaki supaya aku menjalankan peran menolong kau dari
ancaman It-gan Kai-ong si pengemis busuk.”
“Kakek
pendek, bagaimana kau tadi bisa membawa aku terbang? Dan bagaimana kau tadi
bisa menghilang? Aku sudah belajar ilmu ginkang bertahun-tahun akan tetapi
belum ada sekuku hitam dibandingkan dengan gerakanmu. Apakah kau tadi
menggunakan ilmu sihir?”
“Heh-heh,
bocah nakal seperti kau ini, baru belajar jalan sudah berani mendaki gunung
menyeberangi lautan! Aku tanggung, dengan kepandaianmu yang baru kelas nol itu,
kau akan selalu bertemu bahaya dan akhirnya kau akan roboh! Gerakanmu masih
begitu kaku dan lambat, kau namakan itu ilmu ginkang? Ho-heh-hoh, lucu amat!”
Panas perut
Lin Lin, bibirnya cemberut, matanya bersinar marah. Akan tetapi kakek itu malah
tertawa-tawa, memegangi perut dan berjingkrakan seperti tak dapat menahan lagi
kegelian hatinya. “Dan pedang itu... heh-heh-heh, bawa-bawa pedang macam itu
untuk apa? Apakah untuk mengiris bawang ataukah untuk menyembelih ayam?
Heh-heh, untuk itu pun kurang tajam, baiknya untuk menakut-nakuti tikus.
Heh-heh, kau takut tikus, kan?”
Lin Lin
membanting kakinya. “Kakek pendek, cebol, gundul pacul! Sudah tua ompong masih
sombong...!”
Kakek itu
tiba-tiba meringis, memperlihatkan isi mulutnya. Hebat! Giginya berderet rapi
seperti gigi Lin Lin sendiri. “Kau lihat, siapa ompong? Gigiku tidak kalah
dengan gigimu? Hayo kau meringis, kita lihat gigi siapa lebih putih, lebih
mengkilap!”
Geli juga
hati Lin Lin. Memang gadis ini pun wataknya aneh, mudah marah, mudah gembira.
Mudah menangis mudah tertawa. Melihat betapa kakek itu meringis memamerkan
giginya, mau tidak mau ia tertawa juga. “Ihhh, jijik ah! Gigimu kuning-kuning
begitu!”
Kakek itu
kelabakan. “Masa? Ah, mana bisa? Sedikitnya dua kali sehari kugosok dengan
bata. Kau bohong...!”
Tampak oleh
Lin Lin kakek itu mengulur tangan kepadanya. Ia cepat melangkah mundur, akan
tetapi tahu-tahu gelung rambutnya sebelah kiri yang terbungkus sutera itu
terlepas karena tusuk kondenya dari perak telah berada di tangan kakek itu.
Untuk apa kakek itu merampas tusuk kondenya? Untuk bercermin! Bunga perak pada
tusuk konde itu sebesar kuku jari dan kakek itu berusaha untuk bercermin
memeriksa giginya dari pantulan sinar bintang yang menimpa bunga perak. Tentu
saja hasilnya sia-sia.
Diam-diam
Lin Lin terkejut bukan main. Bagaimana kakek itu dapat merampas tusuk kondenya
sedemikian cepatnya sehingga sama sekali tidak terasa olehnya? Terang bahwa
kakek ini memiliki kesaktian yang hebat. Kalau saja mau menurunkan kepandaian
itu kepadanya!
“Kek,
mengapa kau menolong aku dari tangan It-gan Kai-ong? Mau apa kau membawa aku ke
sini?” akhirnya dia bertanya.
Kakek itu
mengomel, “Gigiku putih... tidak kuning...!”
“Mengapa kau
menolong aku?”
“Siapa
bilang gigiku kuning, memalukan!” Kakek itu bersungut-sungut.
Lin Lin
hendak marah, akan tetapi melihat sikap kakek itu seperti seorang anak kecil
merajuk, ia tertawa lagi. “Memang gigimu putih, siapa bilang kuning?”
“Kau tadi
yang bilang!”
“Dan kau
percaya? Ih, bodohmu sendiri mengapa percaya. Gigimu putih seperti... seperti
kapur.”
Kakek itu
nampak girang. Kapur memang putih sekali, maka ia girang mendengar ucapan ini.
Tangannya bergerak dan sinar putih berkelebat menyambar ke arah kepala Lin Lin.
Gadis ini tak sempat mengelak, ketika ia meraba gelungnya, tusuk konde itu
sudah berada di tempatnya lagi dan ia sama sekali tidak merasakannya! Makin
kagum hatinya.
“Kek, kenapa
kau menolongku dan mau apa kau membawa aku ke sini?”
“Karena kau
cantik, seperti anakku dahulu.”
Rasa haru
sejenak menyelinap di hati Lin Lin. “Di mana anakmu, Kek?”
“Di mana?
Di... mana, ya? Sang Sutradara sudah lama membebaskannya dari pada tugas di
panggung wayang. Dia tidak main lagi.”
Makin
terharu hati Lin Lin. “Anakmu sudah mati?”
Kakek itu
tidak menjawab, melainkan tertawa lagi. “Kau gadis bangsaku heh-heh, tak salah
lagi. Karena itu aku suka kepadamu, aku menolongmu dan kalau kau mau, biar
kuberi bekal padamu agar kelak tidak ada orang berani menghinamu.”
“Aku
bangsamu? Bangsa apa Kek?”
“Lihat
hidungmu, coba kan sama dengan hidungku? Juga gigimu, sama dengan gigiku. Kau
bangsa Khitan, tidak salah lagi.”
Otomatis,
terpengaruh oleh ucapan itu, Lin Lin memandang ujung hidungnya. Tentu saja,
biar pun kedua matanya sampai juling ke tengah semua, tetap saja ia tidak
berhasil memandang hidungnya sendiri. Apa lagi memandang giginya! Betapa pun
juga, ucapan ini menusuk perasaannya, membuat jantungnya berdebar tegang. Dia
terang bukan anak keluarga Kam karena ia hanya anak pungut. Ayahnya atau siapa
pun juga tidak pernah memberi tahu kepadanya, siapa gerangan ayah ibunya yang
sejati. Karena ini pula ia amat ingin bertemu dengan Bu Song, anak sulung ayah
angkatnya itu karena ia menduga bahwa Bu Song tentu tahu akan hal dirinya.
Sekarang mendengar kakek ini menyatakan bahwa dia bangsa Khitan, biar pun ia
tidak bisa percaya dan tidak mau percaya, hatinya berdebar juga. Akan tetapi,
yang paling menggirangkan hatinya adalah pernyataan kakek itu hendak memberinya
bekal kepandaian.
“Kau
betul-betul hendak mengajarku ilmu kepandaian, Kek? Wah, terima kasih
sebelumnya. Aku amat membutuhkan itu, untuk mengalahkan musuh besarku.”
“Heh-heh,
tiada musuh besar di dunia ini yang lebih besar dari pada nafsu sendiri. Siapa
musuh besarmu?”
“Sayang, aku
sendiri tidak tahu, Kek,” Lin Lin menggeleng kepalanya. “Ayah angkat dan sekeluarganya
dibunuh orang yang tidak dikenal. Ibu angkatku hanya meninggalkan ucapan
terakhir bahwa musuh besar itu bersuling.”
Tiba-tiba
kakek itu melompat tinggi sekali, lenyap dari depan Lin Lin. Ketika Lin Lin
mendongak dan hendak memanggil, tubuh pendek itu melayang turun dari atas dan
sudah berdiri di depannya lagi. “Suling Emas? Suling Emas membunuh orang tuamu?
Siapa orang tuamu?”
“Orang tua
angkat, Kek. Ayah angkatku namanya Kam Si Ek...”
“Ha-ha-ha-ha,
Kam Si Ek Jenderal Hou-han?”
“Kau kenal
Ayah angkatku, Kek?”
Kakek itu
menggeleng kepalanya. Alisnya yang amat tebal itu berkerut dan bergerak-gerak.
Bibirnya juga bergerak-gerak, lalu terdengar kata-katanya. “Aneh tapi nyata.
Mungkin sekali Suling Emas....”
Jantung Lin
Lin berdegupan. “Apa? Musuh besarku betul Suling Emas itu, Kek? Kau tahu di
mana dia? Kalau betul dia, akan kuajak bertanding mengadu nyawa.”
Seketika kakek
itu memandang kepadanya seperti terkejut, kemudian ia tertawa terkekeh-kekeh
sambil memegangi perutnya, terbungkuk-bungkuk saking kerasnya ia tertawa.
Lin Lin
marah. “Apa yang lucu? Jangan mentertawai aku, Kek. Tak enak melihat kau
tertawa, gigimu kuning...!”
Seketika
kakek itu berhenti tertawa. “Apa kau bilang? Gigiku putih seperti...
seperti...”
“...seperti
kapur!” kata Lin Lin tersenyum. “Nah, jangan tertawa saja, apa sih yang lucu?”
“Kau hendak
bertanding dengan Suling Emas? Aha, biar kau peras dan kuras habis
kepandaianmu, belum tentu kau bisa menang.”
“Tidak
peduli. Aku akan menemuinya. Bawa aku kepadanya, Kek, dan kau tentu suka
membantuku kalau aku kalah. Kan hidung dan gigi kita sama, bukan?”
“Betul,
betul! Kita sebangsa, sesuku, aku akan bantu kau. Awas dia kalau berani ganggu
kau!”
Senang hati
Lin Lin. Ia berhutang budi kepada keluarga Kam, den jalan satu-satunya untuk
membalas budi, hanyalah membalaskan dendam keluarga itu.
“Tapi aku
tidak bisa meninggalkan kedua kakakku begitu saja, Kek. Mereka tentu akan
gelisah dan mencariku ke mana-mana.”
“Kalau
Jenderal Kam ayah angkatmu, mereka tentu saudara-saudara angkat pula, bukan?
Kenapa repot-repot?”
“Ih, jangan
gitu, Kek. Biar pun saudara angkat mereka itu baik sekali kepadaku, seperti
kepada adik kandung sendiri.”
“Baiklah,
mari kau bonceng di punggungku, kita meninggalkan pesan di kamar mereka.”
Lin Lin
maklum bahwa kakek itu adalah seorang yang sakti, aneh, dan sikapnya masih
kekanak-kanakan. Tanpa ragu-ragu dan sungkan-sungkan lagi ia lalu melompat ke
punggung kakek itu dan di saat berikutnya ia harus memegang pundak kakek itu
kuat-kuat karena tubuhnya segera melayang seperti terbang cepatnya!
Setelah
menulis sepucuk surat untuk Bu Sin dan Sian Eng, Lin Lin lalu pergi keluar kota
An-sui bersama kakek itu. Mereka kini berjalan dan bercakap-cakap. Lin Lin
disuruh mengerahkan kepandaiannya, akan tetapi ia melihat betapa kakek pendek
itu berjalan seenaknya saja di sebelahnya akan tetapi tak pernah tertinggal.
“Kalau
merayap seperti keong begini, kapan bisa sampai di sana?” Kakek itu
bersungut-sungut.
“Kau
maksudkan sampai di tempat Suling Emas, Kek?”
“Di mana
lagi? Bukankah kita mencari dia? Tapi kau harus belajar ilmu pukulan lebih
dulu untuk menghadapinya. Mari!” Kakek itu menyambar tangan Lin Lin dan
tiba-tiba Lin Lin merasa betapa larinya menjadi cepat bukan main, dua kali
lebih cepat dari pada biasanya.
Menjelang
pagi mereka berhenti di sebelah hutan yang kecil tapi amat indah. Bermacam
bunga memenuhi hutan. Musim semi kali ini benar-benar telah merata sampai di
hutan-hutan dan membiarkan seribu satu macam bunga berkembang amat indahnya.
“Heh-heh,
bagus di sini. Kita main-main di sini!” Kakek itu cepat sekali memilin
akar-akar pohon menjadi tambang dan beberapa menit kemudian ia sudah
berayun-ayun, duduk di atas sepotong kayu yang diikat dan digantung oleh dua
helai tambang pada cabang pohon. Persis seperti anak kecil main ayun-ayunan.
Melihat
kakek itu main ayunan sambil tertawa-tawa gembira, Lin Lin menegur, “Kek,
katanya hendak mengajar ilmu kepadaku?”
“Aku sedang
mengajarmu sekarang. Kau lihat baik-baik!”
Lin Lin
mengerutkan alisnya. Celaka sekali, kakek ini selalu main-main. Masa ia akan
diajari main ayunan? Kalau saja ia tidak menyaksikan dan membuktikan sendiri
betapa kakek itu dapat lari seperti terbang, memiliki gerakan tangan yang luar
biasa cepatnya ketika meminjam tusuk kondenya, tentu ia tidak percaya bahwa
kakek ini seorang sakti. Jangan-jangan kakek ini hanya mempunyai kepandaian
lari cepat saja dan hendak mempermainkannya? Betulkah dia orang sakti? Kenapa
begini? Tidak bersepatu, pakai anting-anting seperti perempuan, dan wataknya
seperti anak kecil.
“Kek, kau
ini sebenarnya siapakah? Namamu saja aku belum tahu.”
“Heh-heh,
aku pun belum tahu namamu. Apa sih artinya nama? Waktu lahir kita tidak membawa
nama, kan?”
Lin Lin
tidak mau pedulikan lagi filsafat yang aneh-aneh dari kakek itu. “Kek, namaku
Lin, sheku tentu saja...” Lin Lin hendak mengatakan “Kam”, akan tetapi kakek
itu sudah mendahuluinya.
“...tidak
ada karena kau bukan she Kam. Aku siapa, ya? Orang-orang menyebutku Kim-lun
Seng-jin. Gagah namaku, ya? Heh-heh, Kim-lun adalah roda emas. Nah, ini dia.”
Ketika
tangannya bergerak dan tahu-tahu ia telah mengeluarkan sepasang gelang emas.
Disebut gelang bukan gelang, karena tengahnya dipasangi ruji-ruji seperti roda.
Garis tengahnya satu kaki. Agaknya sepasang roda emas ini tadi disembunyikan di
balik baju. Seperti ketika mengeluarkan tadi, sekali bergerak roda itu sudah
lenyap lagi. Begitu cepatnya seperti sulapan saja.
“Namaku Roda
Emas, memang hidup ini berputaran seperti roda. Cocok sekali, kan? Heh, A-lin,
apakah kau sudah memperhatikan pelajaran ini?”
Lin Lin
terkejut, juga geli mendengar ia dipanggil ‘A-lin’. Gerakan kakek itu amat
cepat ketika mengeluarkan sepasang roda atau gelang tadi. Akan tetapi apakah
benda-benda itu merupakan senjata? Andai kata dijadikan senjata, tadi pun tidak
dimainkan. Kakek itu tiada hentinya berayun, bagaimana bisa bilang memberi
pelajaran?
“Pelajaran
yang mana, Kek?”
“Hehhh!
Hidung dan gigimu bagus, seratus prosen Khitan, tapi otakmu sudah ditulari
kebodohan orang kota! Lihat baik-baik!”
Lin Lin
melihat baik-baik. Baru sekarang ia mendapat kenyataan bahwa kakek itu bukanlah
berayun sembarang berayun. Tubuhnya sama sekali tidak tampak bergerak, kakinya
tidak dipakai mengayun, akan tetapi tambang itu terus berayun seperti ada yang
mendorong. Anehnya, kadang-kadang ayunan itu terhenti di tengah jalan, baik
sedang terayun ke belakang mau pun sedang terayun ke depan. Dengan duduk di
ayunan mampu menghentikan gerakan ayunan, inilah hebat, seperti main sulap
saja.
“Nah, kau
sudah lihat sekarang? Untuk dapat berayun begini, kau harus memiliki Ilmu
Khong-in-ban-kin (Awan Kosong Selaksa Kati). Biar pun kosong, namun mengandung
tenaga laksaan kati biar pun berat dan kuat, namun kosong. Inti pelajaran ini
kelak dapat membuat tubuhmu menjadi ringan atau berat menurut sesukamu, dan
lari terbang bukan menjadi lamunan kosong lagi.”
Mulailah Lin
Lin menerima gemblengan dari kakek aneh itu. Kim-lun Seng-jin adalah seorang
sakti yang jarang muncul di dunia kang-ouw, selalu bersembunyi dan tidak suka
mencari perkara. Orangnya aneh, selalu bergerak sendiri tidak mau terikat oleh
perkumpulan atau oleh negara. Munculnya tiba-tiba, akan tetapi selalu
meninggalkan kesan mendalam pada para tokoh kang-ouw. Biar pun tidak ada orang
yang dapat menduga sampai berapa dalamnya ilmu kakek ini karena ia tidak pernah
mau melibatkan diri dalam pertandingan dan permusuhan, namun mereka itu yakin
bahwa kakek ini tak boleh dibuat main-main. Bahkan Thian-te Liok-koai, Si Enam
Jahat atau Enam Setan Dunia sendiri tidak berani main-main terhadap Kim-lun
Seng-jin...
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment