Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Cinta Bernoda Darah
Jilid 17
********** Sahabat Karib .com **********
PEK BIN
CIANGKUN mengerutkan keningnya, akan tetapi karena ia menganggap Lin Lin
sebagai junjungan baru calon ratu di Khitan, tentu saja ia merasa tidak enak
kalau membantah. Ia menunduk dan menjawab, “Terserah kepada kebijaksanaan Tuan
Puteri. Akan tetapi harap Paduka berhati-hati karena bocah ini kepandaiannya
cukup tinggi sehingga hamba sendiri pun belum tentu dapat mengalahkannya.”
Biar pun
dalam ucapan ini Pek bin ciangkun memberi peringatan agar junjungannya
berhati-hati, namun mengandung pula kebanggaan seorang ayah terhadap puteranya.
Lin Lin
mengangguk, tersenyum manis. “Aku mengerti.” Kemudian ia membalikkan tubuhnya
menghadapi Kayabu yang masih berdiri tegak dengan sikap menantang.
“Kayabu, kau
seorang panglima yang dipercaya dan setia kepada Sri Baginda Kubakan agaknya.
Apakah ini berarti bahwa kau adalah kaki tangan Hek giam lo si iblis busuk?”
“Aku seorang
prajurit, seorang ksatria, tidak ada sangkut-pautnya dengan lo-ciangkun,
melainkan mengabdi kepada negara dan bangsa!”
“Bagus!
Karena kalau kau kaki tangan Hek-giam-lo, biar pun dengan hati menyesal karena
kau putera Pek-bin-ciangkun, tentu kau akan kubunuh. Ketahuilah, aku adalah
Puteri Mahkota Yalin, dan Sri Baginda yang sekarang adalah paman tiriku yang
merampas tahta kerajaan dengan cara yang curang dan jahat. Akan tetapi kau
tentu tidak peduli akan hal itu semua. Sekarang, sebagai musuh, melihat ayahmu
berada di pihakku, apakah kau tidak mau menakluk?”
“Aku seorang
prajurit sejati. Sebelum kalah atau mati takkan menakluk!”
Lin Lin tersenyum.
“Hemmm, bagaimana seandainya aku mengalahkan kau dan golokmu itu?”
Pemuda itu
nampak terkejut, lalu menggelengkan kepala. “Tak mungkin!” Lalu ia menyambung.
“Di antara kalian semua, kiranya hanya ayahku yang akan mampu menandingi aku.
Nona, lebih baik kau pergilah jauh-jauh dari Khitan dan hentikan semua niat
memberontak ini agar ayahku jangan terseret-seret.”
“Haiii...
Kayabu, kau benar-benar memandang rendah kepadaku! Majulah, kutanggung paling
lama tiga belas jurus aku akan mampu mengalahkan kau!”
Terbelalak
mata Kayabu dan ributlah semua prajurit mendengar ini. Kayabu terkenal sebagai
seorang ahli golok yang pandai. Biar pun kepandaiannya tidak sehebat
Hek-giam-lo, namun ia terhitung Panglima Khitan yang pilihan. Mengalahkan
panglima ini dalam waktu tiga belas jurus agaknya sama sukarnya dengan
merobohkan sebuah gunung.
Diam-diam
Pek-bin-ciangkun sendiri mengerutkan keningnya. Ia bersimpati kepada Puteri
Yalina dan mau membantu karena ingin pula menumpas Bayisan yang menjadi
Hek-giam-lo serta mengakhiri pengkhianatan Kubakan. Akan tetapi kalau yang ia
bela adalah seorang puteri muda yang begini sombong, yang bersumbar akan
mengalahkan puteranya dalam waktu tiga belas jurus, benar-benar keterlaluan dan
kelak gadis ini tentu akan menjadi seorang ratu yang sembrono sekali.
Melihat
puteranya sambil tersenyum-senyum melangkah maju menghadapi Lin Lin dengan
sikap hendak bersungguh-sungguh, panglima tua ini berseru, “Kayabu, jangan
kurang ajar kau terhadap Sang Puteri Yalin!”
“Aku
ditantang, dan memang musuhnya. Mengapa kurang ajar? Sudah semestinya musuh
saling menantang dan siapa kalah harus tunduk. Nona, agaknya kaulah yang
mengepalai pemberontakan ini, dan kau pula yang mempengaruhi ayahku dan
teman-teman untuk memberontak. Setelah sekarang menantangku, hendak merobohkan
aku dalam waktu tiga belas jurus, marilah kita membuat janji. Kalau betul kau
mampu mengalahkan aku dalam waktu tiga belas jurus, aku akan menyerah tanpa
syarat! Akan tetapi, bagaimana kalau dalam waktu itu kau tidak mampu
mengalahkan aku?”
“Kalau kau
tidak menipu, akulah yang akan menyerah tanpa syarat dan akan menghentikan
niatku membasmi Hek-giam-lo dam Kubakan!”
“Tuan
Puteri...!” Pek-bin-ciangkun berseru kaget.
Hebat janji
yang keluar dari mulut Lin Lin itu, karena sekali berjanji, kalau betul tidak
mampu mengalahkan Kayabu dalam tiga belas jurus, akan hancurlah semua cita-cita
tadi.
“Kayabu
mundur kau! Kalau kau lanjutkan, aku takkan mengakuimu sebagai anak lagi!”
Saking khawatirnya, Pek-bin-ciangkun berkata demikian.
“Ciangkun,
biarkanlah. Pula, kalau kau dan teman-teman yang lain tidak menyaksikan
kepandaianku, mana kalian bisa percaya atas bimbinganku?”
“Tidak, Tuan
Puteri. Biarlah hamba yang menghadapi anak hamba yang durhaka ini! Kalau dia
kalah, akan hamba bunuh, dan kalau hamba yang kalah, hamba rela mati dalam
tangan anak kandung yang durhaka. Kayabu, hayo lawan bapakmu sendiri!”
Pek-bin-ciangkun
sudah meloncat ke depan akan tetapi tiba-tiba, entah bagaimana, tubuhnya itu
mundur sendiri seakan-akan ada tenaga tak tampak yang menariknya dari belakang.
Ia menoleh dan melihat Lin Lin tersenyum. Kiranya gadis itu yang tadi
menariknya dengan penggunaan tenaga jarak jauh yang amat hebat!
“Ciangkun,
tak tahukah kau bahwa majuku ini karena aku sayang kalau kalian ayah dan anak
saling gempur? Anakmu seorang gagah perkasa, tidak semestinya dimusnahkan.
Minggirlah!”
Mendengar
kata-kata ini dan melihat bukti betapa lihainya Lin Lin yang mendemonstrasikan
tenaga saktinya tadi, terpaksa Pek-bin-ciangkun mengundurkan diri dan menonton
dari samping dengan hati cemas.
“Kayabu, kau
majulah dan hitunglah jurus-jurus yang kupergunakan. Awas seranganku!”
Lin Lin
merasa yakin akan dapat mengalahkan lawannya dalam tiga belas jurus. Tentu saja
yang ia maksudkan dengan tiga belas jurus itu adalah jurus-jurus sakti yang ia
warisi dari Pat-jiu Sin-ong! Kalau ia mengandalkan ilmu silat biasa, tentu saja
tiga belas jurus merupakan waktu yang terlampau sedikit untuk mengalahkan
seorang panglima muda yang kelihatannya begitu gagah perkasa.
Namun, ia
amat percaya akan keampuhan tiga belas jurus sakti peninggalan Pat-jiu Sin-ong,
maka ia sengaja menantang untuk memperlihatkan kelihaiannya sehingga para
pengikutnya akan percaya kepadanya. Apa lagi kalau diingat bahwa dia tadi sudah
menyatakan sanggup menghancurkan Hek-giam-lo si iblis sakti, kalau ia tidak
mendemonstrasikan kepandaian yang sakti, tentu mereka itu takkan mau percaya.
“Aku sudah
siap!” jawab Kayabu dengan suara lantang.
Pemuda ini
merasa penasaran dan juga marah. Kalau saja ia tidak menghadapi pemberontakan
yang serius dan yang harus diberantasnya dengan segera, tentu ia tidak sudi
menerima tantangan yang amat menghina ini. Dia, Liao Kayabu, seorang jagoan
besar di Khitan, hanya ‘dihargai’ semahal tiga belas jurus saja oleh seorang
gadis muda jelita? Benar-benar penghinaan yang amat hebat!
Kali ini
baginya juga merupakan ujian. Ia harus memperlihatkan kepandaiannya terhadap
gadis yang amat cantik jelita ini, yang agaknya adalah puteri keponakan sri
baginda sendiri yang baru muncul sekarang. Bukankah kalau ia sanggup bertahan
sampai tiga belas jurus, pemberontakan itu sekaligus dapat dipadamkan tanpa
pertumpahan darah lagi? Ia harus dapat bertahan, tidak saja bertahan sampai
tiga belas jurus, bahkan ia harus berbalik dapat menangkap gadis cantik ini.
"Awas
serangan pertama...! Lin Lin berseru sambil menggerakkan Pedang Besi Kuning
yang berubah menjadi gulungan sinar keemasan.
Hampir saja
Kayabu tertawa menyaksikan serangan jurus pertama itu. Itu sama sekali bukan
merupakan serangan, mengapa dimasukkan sebagai jurus serangan? Ia melihat gadis
itu menggerakkan pedang ke depan dada dan tangan kiri merangkap tangan kanan
merupakan sembah di depan dada, kemudian kedua lengan dikembangkan ke atas
kepala dengan pedang dibalik masuk ke belakang lengan kanan, seperti gerakan
orang yang menengadah dan memohon berkah dari Thian Yang Maha Kuasa. Inikah
jurus serangan? Akan tetapi sesungguhnyalah, inilah jurus pertama atau jurus
pembukaan dari tiga belas jurus ilmu sakti yang oleh Lin Lin disebut Co-sha
Sin-kun.
Tiba-tiba
Kayabu berseru keras dan terkejut bukan main. Cepat-cepat ia mengubah kedudukan
kakinya dan memasang kuda-kuda yang amat kuat karena dari arah Lin Lin datang
hawa pukulan yang seperti angin gunung bertiup perlahan. Bukan merupakan
serangan langsung, akan tetapi benar-benar mengejutkan sekali karena hawa
pukulan atau angin ini timbul hanya karena gadis itu menggerakkan lengan ke
atas. Baru bergerak seperti itu saja sudah mengandung hawa pukulan yang terasa
dalam jarak tiga meter, apa lagi kalau dipergunakan untuk memukul! Kayabu sama
sekali tidak tahu bahwa jurus pertama ini memang bukan jurus serangan,
melainkan jurus untuk mengumpulkan hawa murni dan mengerahkan sinkang!
“Jurus
kedua...!” kembali Lin Lin berseru.
Dan kembali
Kayabu menjadi geli karena jurus kedua ini dimainkan dengan amat lambat
sehingga Pedang Besi Kuning itu jelas sekali bergerak menusuk ke arah pundak
kirinya. Kayabu tidak mau memandang rendah biar pun merasa geli menyaksikan
jurus-jurus yang lucu dan tidak ada bahayanya sama sekali ini. Dia seorang pemuda
yang cukup hati-hati dan banyak pengalamannya dalam pertandingan, maka
menghadapi tusukan lambat ke arah pundaknya ini ia cepat menggerakkan golok
besarnya.
Tentu saja
mudah baginya untuk mengelak. Akan tetapi menurut pengalamannya, biasanya
serangan yang lambat itu hanyalah merupakan pancingan dan serangan sesungguhnya
baru akan datang setelah yang diserang mengelak. Inilah sebabnya sengaja Kayabu
tidak mau mengelak, melainkan ia menggerakkan goloknya untuk menangkis sambil
mengerahkan seluruh tenaganya karena ia berniat mengakhiri pertempuran tak
seimbang ini dengan memukul runtuh pedang gadis itu.
“Cringgg...!”
Kayabu
mengeluh dan meloncat ke belakang. Sabetan goloknya tadi keras sekali, akan
tetapi ia merasa betapa telapak tangannya seperti dibeset kulitnya oleh gagang
goloknya sendiri. Kiranya dengan sinkang yang mukjijat, gadis itu telah membuat
Pedang Besi Kuning yang ditusukkan dengan lambat itu tergetar amat kuat dan
halus sehingga tidak tampak. Maka begitu golok lawan membentur pedangnya, getaran
kuat ini menjalar melalui golok dan sampai ke gagang, membuat telapak tangan
lawan menjadi panas dan sakit-sakit. Makin keras Kayabu menangkis, makin keras
pula telapak tangannya terkena getaran. Pemuda Khitan itu cepat mengatur
keseimbangan tubuhnya dan siap-siap menghadapi serangan selanjutnya. Kini ia
tidak berani memandang ringan sama sekali, bahkan timbul rasa ngeri dan
khawatir di hatinya.
“Awas jurus
ketiga...!” Lin Lin berseru dan pandang mata Kayabu berkunang-kunang karena
tiba-tiba gadis itu lenyap sama sekali, terbungkus oleh gulungan sinar pedang
kuning yang mendatangkan angin berpusing-pusing.
Gadis itu
seakan-akan telah berubah menjadi angin puyuh yang berputar-putar makin
mendekatinya! Kayabu tidak tahu bahwa Lin Lin telah mengeluarkan jurus yang
amat hebat dari ilmu sakti Cap-sha Sin-kun, yaitu jurus yang disebut
Soan-hong-ci-tian (Angin Puyuh Keluarkan Kilat). Karena tidak tahu harus
bagaimana menghadapi gulungan sinar kuning yang berpusing itu, Kayabu lalu
mengeluarkan seruan keras dan goloknya berkelebat membacok ke depan.
“Wesss...
wesss...!” Aneh sekali, sinar goloknya membabat gulungan sinar, seakan-akan
membabat bayangan saja, tidak mengenai apa-apa. Dan tiba-tiba dari dalam
gulungan sinar kuning itu menyambar ujung Pedang Besi Kuning seakan-akan kilat
cepatnya.
“Aiiihhhhh!”
Kayabu menjerit dan goloknya terlepas karena kulit tangannya tergores pedang
dan sebelum ia tahu apa yang terjadi, lutut kakinya terkena totokan ujung
sepatu Lin Lin dan tak tertahankan lagi ia roboh tertelungkup!
Pek-bin-ciangkun
dan para perwira lainnya memandang dengan bengong. Kejadian itu bagi mereka
teramat aneh. Para prajurit yang merasa simpati kepada Lin Lin bersorak
gemuruh, sedangkan Kayabu bangkit berdiri dengan muka merah.
“Bagaimana,
Kayabu? Sudah puaskah kau ataukah kau hendak melanjutkan percobaanmu?”
“Aku
bukanlah seorang yang buta dan nekat. Aku tahu bahwa kepandaian Nona amat
tinggi dan aku bukan lawan Nona. Setelah aku kalah, silakan Nona gerakkan
pedang itu membunuhku!”
“Tidak,
Kayabu. Aku tidak akan membunuhmu, malah aku minta sukalah kau membantuku
menumbangkan kedudukan paman tiriku yang dibantu oleh iblis Hek-giam-lo untuk
melepaskan bangsa kita dari pada penindasan si lalim.”
Sepasang
mata pemuda itu seakan-akan mengeluarkan kilat. “Aku adalah seorang prajurit
sejati, bagiku tidak ada pilihan lain, mati dalam perjuangan atau menang. Tak
perlu kau membujukku, setelah kalah, mati bukan apa-apa bagiku!” Sambil berkata
demikian, pemuda ini menggerakkan goloknya ke arah lehernya sendiri.
“Kayabu...!”
Pek-bin-ciangkun memekik penuh kekhawatiran.
Sebagai
seorang pendekar gagah, ia tidak khawatir atau ngeri melihat putera tunggalnya
menghadapi maut, akan tetapi ia benar-benar akan merasa hancur hatinya kalau
puteranya itu tewas membunuh diri, suatu perbuatan yang dianggap pengecut dan
rendah. Sama sekali ia tidak menyangka puteranya akan melakukan perbuatan itu
sehingga tidak ada kesempatan lagi bagi Pek-bin-ciangkun untuk mencegahnya.
Akan tetapi, sinar kuning menyambar dari tangan Lin Lin, terdengar suara keras
dan golok di tangan Kayabu patah-patah dan terlempar sampai jauh. Pemuda itu
mencelat mundur dengan muka pucat.
Pek-bin-ciangkun
melangkah maju dan melayangkan tangannya menampar pipi puteranya dua kali
sehingga pipi itu menjadi merah dan dari ujung bibirnya keluar sedikit darah.
“Huh, anak
durhaka! Apakah kau hendak meninggalkan aib pada ayahmu dengan cara pengecut?
Membunuh diri? Ihhh, Kayabu, sampai hatikah kau melakukan hal itu di depan
ayahmu?” Suara orang tua ini menjadi serak dan dari matanya yang melotot lebar
itu keluar beberapa butir air mata.
Kayabu
menjatuhkan dirinya berlutut di depan kaki ayahnya. “Ayah, ampunkan anakmu yang
lupa dan gila karena kekecewaan. Bukan hanya kecewa karena anak tidak dapat
memenuhi tugas sebagaimana mestinya, melainkan terutama melihat ayah sebagai
junjungan dan pujaanku ternyata hendak menjadi pengkhianat dan membantu
pemberontak. Ayah, di manakah kegagahan kita dan bagaimana kita kelak dapat
mempertanggung-jawabkannya di depan nenek moyang kita?”
Pek-bin-ciangkun
memegang pundak anaknya dan ditariknya berdiri. Mereka berhadapan muka. Ayah
dan anak yang sama tingginya ini saling bertentang pandang sampai beberapa
lama, kemudian si ayah berkata, “Kau keliru. Yang kau tuduhkan itu sesungguhnya
kebalikan dari pada kenyataan. Sekarang ini ayahmu bukan berdiri di pihak
pemberontak atau pengkhianat, bahkan sebaliknya dari pada itu. Ketahuilah,
Kayabu, yang selama ini kita bela, sesungguhnya adalah pihak pengkhianat. Kita
terpaksa membela pengkhianat karena dia yang berhak telah melenyapkan diri. Dan
sekarang, Tuan Puteri Mahkota Yalina yang berhak akan tahta kerajaan telah
muncul kembali. Aku dahulu adalah panglima dari kakeknya, kemudian ibunya.
Setelah kedudukan terampas oleh paman tirinya dan dia sendiri lenyap, terpaksa
aku membantu pengkhianat. Sekarang tiba waktunya untuk membasmi para
pengkhianat.” Selanjutnya panglima tua itu menceritakan kepada puteranya
tentang semua peristiwa yang terjadi belasan tahun yang lalu, juga tentang
Hek-giam-lo yang sesungguhnya adalah Bayisan, panglima pengkhianat yang
melarikan diri.
Terbukalah
mata Kayabu. Mulai ia dapat melihat siapa sesungguhnya gadis cantik jelita yang
berpakaian seperti gadis Han, yang memiliki kesaktian yang luar biasa itu.
Tahulah ia sekarang mengapa Panglima Khitan yang paling dipercaya oleh raja,
yang merupakan orang terkuat dan boleh dibilang paling berkuasa di Khitan,
dijadikan pembantu oleh raja padahal orang itu terkenal sebagai seorang iblis
yang jahat. Hek-giam-lo berlaku sewenang-wenang dan kejam terhadap bangsanya
sendiri, akan tetapi maklum betapa saktinya Hek-giam-lo, dia tak dapat berbuat
sesuatu selain mengadu kepada ayahnya yang hanya menggeleng kepala, bahkan
melarangnya menentang Hek-giam-lo yang sakti dan jahat.
Pemuda yang
dapat berpikir panjang ini segera menjatuhkan diri berlutut di depan Lin Lin
sambil berkata, “Maafkan hamba yang tidak mau melihat kenyataan dan telah
bersikap tidak pantas terhadap Tuan Puteri....”
“Awasss...!”
Tiba-tiba kaki Lin Lin menendang pundak Kayabu, membuat pemuda itu terlempar
bergulingan sampai enam meter lebih jauhnya.
Semua orang
kaget sekali, terutama Kayabu sendiri dan juga Pek-bin-ciangkun. Mereka
terkejut dan kecewa, mengira bahwa Lin Lin tiada bedanya dengan Hek-giam-lo
yang berwatak ganas dan kejam, tak dapat memberi ampun kepada orang lain. Akan
tetapi keraguan dan kekecewaan ini segera lenyap terganti kekaguman dan
kegirangan ketika Lin Lin membungkuk dan memungut tiga batang benda hitam yang
menancap di atas tanah, tepat di mana tadi Kayabu berlutut. Ternyata itu adalah
tiga buah pisau hitam yang entah bagaimana tahu-tahu telah berada di situ tanpa
terlihat orang lain, tentu saja kecuali Lin Lin yang telah berhasil
menyelamatkan Kayabu.
“Kebetulan
sekali, belum dicari sudah datang! Hek-giam-lo iblis busuk, keluarlah terima
binasa!” teriak Lin Lin sambil melompat ke kiri dengan pedang di tangan dan
tangan kirinya bergerak menyambitkan tiga batang pisau hitam tadi ke
semak-semak.
Akan tetapi
tiga batang pisau itu lenyap ke dalam semak-semak tanpa mendatangkan akibat
apa-apa. Hek-giam-lo memang hebat. Baru saja ia menyambitkan pisau-pisaunya
dari semak-semak itu untuk membunuh Kayabu, tahu-tahu ia sudah lenyap dari situ
dan tiba-tiba keadaan sebelah kanan menjadi ribut. Ketika Lin Lin meloncat ke
bagian ini, wajahnya menjadi merah saking marahnya karena tanpa ada yang tahu
apa yang menjadi sebab, dua belas orang prajurit telah menggeletak mati dengan
muka hitam seluruhnya, tanda terkena racun yang amat jahat!
“Keparat
Hek-giam-lo! Pengecut kau! Hayo keluar dan bertanding seribu jurus melawanku!”
Akan tetapi
terpaksa Lin Lin cepat memutar pedangnya ketika telinganya menangkap desir
angin senjata rahasia dari arah belakang. Terdengar bunyi denting yang riuh
ketika pedangnya berhasil menyampok pergi belasan batang jarum hitam, akan
tetapi kembali ada enam orang prajurit terjungkal roboh dan mati seketika!
Lin Lin
makin marah. Gadis ini berkelebatan ke sana ke mari untuk mencari tempat
persembunyian musuhnya, namun Hek-giam-lo benar-benar jahat dan licin. Agaknya
iblis ini sengaja hendak mempermainkan Lin Lin dan para pengikutnya.
Berturut-turut roboh para prajurit dan sebagian dari pada para perwira. Setiap
kali roboh tentu enam orang dan dalam waktu beberapa menit saja sudah tiga
puluh enam orang roboh binasa dalam keadaan mengerikan!
“Berpencar...!
Masing-masing berlindung...!” Kayabu berteriak nyaring dan bersama ayahnya yang
banyak pengalaman dalam pertempuran, pemuda ini mengatur sisa orang-orangnya.
Dalam
sekejap mata saja para prajurit yang tadinya kebingungan dan kacau-balau
kehilangan pimpinan itu, berserabutan dan lenyap dari pandangan mata,
berlindung dan bersembunyi di balik pohon-pohon dan semak-semak. Tinggal Lin
Lin seorang diri yang masih tinggal berdiri tegak di situ sambil memaki-maki
dan menantang-nantang.
Tiba-tiba
dari arah depan terdengar deru angin senjata rahasia dan cepat gadis ini
memutar pedangnya. Hujan senjata rahasia berupa pisau-pisau dan jarum-jarum
beracun itu dengan gencar menyambar datang, namun semua dapat ditangkis oleh
gulungan sinar kuning yang merupakan benteng sinar yang melindungi tubuh Lin
Lin. Sambil menangkis, Lin Lin memaki-maki.
“Hek-giam-lo
iblis jahanam! Hayo keluarlah kau kalau memang laki-laki! Inilah anak tunggal
Puteri Tayami. Aku Puteri Mahkota Yalin, hayo kau lawanlah kalau memang gagah.
Jangan main sembunyi dan melepas senjata rahasia seperti seorang pengecut
rendah!”
Akan tetapi
tidak pernah ada jawaban dan hujan senjata rahasia pun berhenti. Tiba-tiba
kesunyian itu terpecah oleh lengking tinggi dan kagetlah Lin Lin karena
pendengarannya yang tajam menangkap suara angin pukulan. Desir angin pukulan
seperti itu hanya dapat terdengar kalau ada tokoh-tokoh sakti mengadu
kepandaian. Cepat gadis ini melompat dari tempat itu menuju ke arah suara.
Benar saja
dugaannya, tak jauh dari situ, terhalang oleh pohon-pohon rindang, tampak tiga
orang tengah bertanding hebat. Dan Lin Lin kaget bukan main ketika mengenal
mereka. Yang sedang bertanding hebat itu bukan lain adalah Hek-giam-lo yang
dikeroyok oleh dua orang, Gan-lopek dan Lie Bok Liong!
Hek-giam-lo
memang hebat sekali. Sebetulnya iblis ini masih belum sembuh dari lukanya yang
hebat ketika ia bertanding menghadapi Suling Emas di puncak Thai-san. Luka
akibat pukulan Suling Emas yang bagi lain orang tentu akan mengakibatkan maut
itu, bagi Hek-giam-lo hanya mendatangkan luka sebelah dalam yang amat hebat dan
membutuhkan pengobatan dan istirahat lama. Namun, keadaannya yang terluka hebat
ini tidak mengurangi keganasannya sehingga ketika ia mendengar tentang maksud
pemberontakan orang-orang Khitan yang dipimpin oleh Lin Lin, iblis ini segera
keluar dan turun tangan, berhasil dengan jarum-jarum hitamnya membunuh sampai
tiga puluh enam orang banyaknya.
Bahkan
ketika dia menghujankan senjata rahasia kepada Lin Lin dan tiba-tiba muncul
Gan-lopek dan Lie Bok Liong yang menyerangnya, iblis ini masih sanggup untuk
melakukan perlawanan yang hebat. Gan-lopek tokoh kang-ouw kawakan yang selalu
bergembira dan lucu itu, sebagaimana diceritakan di bagian depan, berpisah dari
Lin Lin ketika mereka tiba di pucak Thai-san karena Lin Lin membantu Suling
Emas dan bertemu dengan saudara-saudaranya.
Merasa bahwa
dia adalah ‘orang luar’, kakek ini menjauhkan diri. Akan tetapi kemudian ia
berjumpa dengan muridnya, Lie Bok Liong, dan alangkah kecewa dan menyesal
hatinya ketika melihat muridnya yang terkasih itu menderita batin. Apa lagi
ketika ia mendengar pengakuan Lie Bok Liong tentang penolakan kasih sayang Lin
Lin, kakek ini tidak mau mengerti.
“Ah, tak
mungkin!” bantahnya. “Lin Lin suka kepadamu, ini aku tahu benar!”
“Suka tidak
sama dengan cinta, Suhu...”
“Apa
bedanya? Dari suka menjadi cinta. Hayo, mana dia? Mana gadis liar itu?”
“Teecu
khawatir bahwa dia sudah berangkat ke Khitan, Lin-moi memiliki hasrat besar
untuk menuntut kembali haknya atas mahkota Kerajaan Khitan.”
“Wah-wah,
bocah lancang dia! Mana dia mampu menghadapi Hek-giam-lo dan orang-orang Khitan
seorang diri? Dia bisa celaka. Hayo, Bok Liong, kita harus menyusulnya.”
Demikianlah,
guru dan murid ini muncul di Khitan. Kebetulan sekali pada hari itu mereka
menyaksikan Hek-giam-lo secara pengecut menyerang Lin Lin dari tempat sembunyi
dengan senjata-senjata rahasia. Tanpa banyak cakap lagi Gan-lopek lalu
menerjang iblis itu dengan senjatanya yang istimewa, yaitu Hek-pek-mou-pit
(Pensil Bulu Hitam dan Putih). Terjadilah pertandingan hebat dan mati-matian
antara dua orang sakti.
Hek-giam-lo
memang menderita luka dalam. Namun gerakannya masih hebat ketika menyambut
terjangan Gan-lopek. Senjatanya yang mengerikan, sabit tajam panjang itu,
menyambar-nyambar seperti seekor naga siluman mengamuk di angkasa raya.
Menyaksikan kehebatan iblis ini, Bok Liong tidak mau tinggal diam, lalu
mencabut Gwat-kong-kiam dan menyerbu dengan hebat. Karena maklum akan keganasan
dan kelihaian si iblis hitam, apa lagi karena ia maklum pula akan isi hati Bok
Liong yang tidak mau ketinggalan dalam usaha membantu dan menolong Lin Lin,
maka Gan-lopek tidak melarangnya melakukan pengeroyokan terhadap Hek-giam-lo.
Melihat Bok
Liong, Lin Lin merasa tertusuk hatinya. Terharu sekali ia melihat pemuda ini
yang pernah secara terus terang menyatakan cinta kasihnya kepadanya, dan dengan
tegas ia menolaknya. Entah berapa kali sudah pemuda gagah perkasa ini
menolongnya, membelanya, membantunya tanpa menghiraukan keselamatannya sendiri.
Betapa mulianya hati pemuda ini, betapa gagahnya sehingga tidak takut-takut
menghadapi Hek-giam-lo dan anak buahnya untuk menolongnya, sungguh pun pemuda
itu cukup maklum bahwa kepandaiannya tidak akan mampu dipakai menghadapi
Hek-giam-lo. Cinta kasih murni yang amat mengharukan hatinya. Dan kini pemuda
itu muncul lagi, membelanya lagi, malah bersama gurunya.
Lin Lin
berdiri terbelalak kagum. Tak tahu ia bagaimana ia harus berbuat. Ia maklum
bahwa Gan-lopek adalah seorang tokoh sakti dan kini menghadapi Hek-giam-lo
dengan bantuan muridnya sendiri. Apakah ia harus pula bantu mengeroyok?
Pengalamannya selama merantau dan bergalang-gulung dengan para tokoh kang-ouw
yang sakti mendatangkan pengertian bahwa membantu seorang tokoh sakti
bertanding dapat diartikan menghinanya!
Pertandingan
itu hebat sekali. Hek-giam-lo agaknya mengerahkan seluruh tenaganya, terbukti
dari bunyi lengking yang panjang bersambung-sambung dari kerongkongannya,
sedangkan senjata sabitnya menyambar-nyambar cepat sekali dan mengeluarkan
angin bercuitan. Akan tetapi permainan sepasang pena bulu di tangan Gan-lopek
amat kokoh kuat dan tenang, sungguh pun sinar senjata sabit yang
gilang-gemilang itu seakan-akan mengurung dan menyelimutinya, bahkan menekannya.
Bok Liong juga mainkan pedangnya dengan sekuat tenaga dan mengeluarkan seluruh
kepandaiannya. Mengagumkan sekali betapa guru dan murid ini dapat main bersama.
Gerakan mereka begitu mirip dan biar pun senjata mereka berbeda, namun kerja
sama mereka amat baik, isi mengisi, bantu-membantu.
Hek-giam-lo
memang amat sakti. Andai kata ia tidak menderita luka dalam, apa lagi kalau Bok
Liong tidak membantu, agaknya Gan-lopek sendiri tak dapat bertahan melawannya.
Kini keadaannya yang terluka dan ditambah pengeroyokan Bok Liong yang sudah
memiliki kepandaian tinggi, membuat pertandingan itu menjadi seimbang, malah
boleh dikata Hek-giam-lo banyak tertekan sungguh pun sabitnya kelihatan garang
dan amat berbahaya.
Melihat ini,
Lin Lin menjadi tidak sabar. Ia ingin terjun ke dalam gelanggang pertandingan,
ingin ia dengan tangannya sendiri membunuh iblis yang dahulu pernah membunuh
kakeknya, menghina ibunya dan mencemarkan nama baik bangsa Khitan. Akan tetapi
sebelum ia sempat bergerak, tiba-tiba terdengar bunyi terompet dan disusul
sorakan keras.
“Basmi
pemberontak! Hancurkan pemberontak!” Dari arah utara muncullah banyak sekali
pasukan Khitan dengan senjata di tangan menyerbu.
“Pasukan
siaaaaappp! Dengan darah dan jiwa kita bela Puteri Yalin, keturunan langsung
Raja Besar Kulukan! Basmi pengkhianat Bayisan dan Kubakan!” demikian terdengar
teriakan-teriakan keluar dari mulut Kayabu dan ayahnya, Pek-bin-ciangkun yang
sudah mempersiapkan pasukannya pula.
Terjadilah
perang tanding hebat antara mereka. Melihat ini Lin Lin tidak jadi membantu
Gan-lopek, melainkan ia sendiri memimpin para pendukungnya menghadapi
penyerbuan tentara pengawal kerajaan. Hebat sepak terjang gadis ini. Tubuhnya
lenyap terbungkus sinar kuning emas dan ke mana pun juga sinar ini menyambar,
terdengar teriakan-teriakan dan senjata terlempar dari tangan disusul robohnya
tentara musuh yang terluka tangan atau kakinya. Akan tetapi tak seorang pun
yang tewas di tangan Lin Lin, karena gadis ini merasa tidak tega membunuhi
tentara bangsanya sendiri.
Jumlah
pasukan pengawal yang berpihak Hek-giam-lo sebetulnya lebih besar. Maklum,
karena memang tadinya semua pasukan Khitan merupakan anak buah Hek-giam-lo,
suka atau pun tidak. Akan tetapi ketika pasukan itu melihat bahwa ‘pemberontak’
itu dipimpin oleh Pek-bin-ciangkun dan Kayabu, dua orang tokoh yang mereka
hormati, mereka menjadi ragu-ragu. Tak seorang pun di antara mereka yang suka
kepada Hek-giam-lo, kecuali beberapa orang perwira dan pasukan yang memang
dipergunakan oleh Hek-giam-lo dan yang mengenyam pula hasil kejahatan dan
kekejaman iblis ini.
Oleh karena
itu timbullah kekacauan yang hebat ketika sebagian dari tentara ini membalik
dan malah membantu gerakan Pek-bin-ciangkun. Lebih-lebih setelah mereka
menyaksikan sepak terjang Lin Lin yang mereka dengar adalah Puteri Mahkota
Yalina yang sejak kecil lenyap dan disangka mati. Sepak terjang Lin Lin yang
hebat itu selain mendatangkan rasa gentar juga mendatangkan rasa kagum dan suka
karena ternyata bahwa tak seorang pun yang roboh di bawah tangan gadis ini
tewas.
Melihat
keadaan berbalik untuk keuntungan pihaknya, Lin Lin segera teringat kepada
Hek-giam-lo yang masih bertanding melawan pengeroyokan Gan-lopek dan Bok Liong.
Hampir gadis ini menjerit ketika memandang ke arah pertempuran itu. Terjadi
perubahan hebat dan pertandingan itu kini menjadi pergulatan mati-matian.
Kiranya dengan gerakan yang hebat bukan main Hek-giam-lo yang cerdik itu telah
mendesak Bok Liong, berniat merobohkan dulu lawan yang lebih lemah ini agar ia
dapat memusatkan kepandaian dan tenaganya untuk mengalahkan Gan-lopek.
Pada saat
Bok Liong menangkis sebuah sambaran maut sabit, pedang pemuda yang bersinar
kuning itu bertemu sabit dan... terus menempel lekat tak dapat ditarik kembali.
Bok Liong merasa tiba-tiba lengannya panas dan kejang. Terpaksa ia hendak
melepaskan gagang pedangnya, namun alangkah kagetnya ketika ia mendapatkan
kenyataan bahwa hal ini pun tidak mungkin. Telapak tangannya seakan-akan sudah
lekat pula dengan gagang pedangnya, seakan-akan gagang pedang itu sudah
‘berakar’ ke dalam tangannya. Rasa panas dan sakit makin menghebat sehingga
pemuda itu mengeluh.
Melihat ini,
Gan-lopek kaget sekali. Ia maklum bahwa iblis hitam itu lihai bukan main,
memiliki hawa sakti yang telah dilatih dengan racun sehingga setiap serangannya
kalau mengenai sasaran merupakan tangan maut. Ia maklum bahwa muridnya terancam
bahaya maut dan terlambat sedikit saja usaha pertolongan, tentu takkan
tertolong lagi. Oleh karena itu sejenak ia melupakan Hek-giam-lo dan cepat ia
memindahkan mouw-pit putih ke tangan kanan, tangan kirinya yang kosong memegang
pangkal lengan muridnya sambil mengerahkan sinkang untuk melawan penyaluran
hawa serangan Hek-giam-lo, sedangkan tangan kanan yang memegang sepasang pena
bulu itu ia hantamkan ke arah sabit.
“Cringgggg...
Plakkk...!”
Peristiwa
itu terjadi hanya beberapa detik saja. Dengan bantuan tenaga sinkang suhu-nya,
Bok Liong berhasil melepaskan gagang pedangnya dan terlepas dari bahaya maut.
Ada pun hantaman sepasang pena bulu itu tepat mengenai sabit, demikian hebatnya
sehingga baik sepasang pena bulu mau pun senjata sabit itu patah-patah.
Akan tetapi
agaknya Hek-giam-lo yang cerdik menggunakan saat yang tepat itu untuk
menggerakkan tangan kirinya, mengerahkan tenaga yang mengandung penuh
Hek-in-tok (Racun Uap Hitam) memukul punggung Gan-lopek dengan telapak tangan.
Pada saat tepukan itu mengenai punggung, dari dalam lengan bajunya yang kiri
melayang sebatang hui-to (pisau terbang) yang menancap sampai ke gagangnya di
punggung Gan-lopek pula!
Gan-lopek
kelihatan terkejut, terhuyung dan memandang Hek-giam-lo, lalu tertawa bergelak
dan roboh terguling!
“Iblis
keparat!” Lin Lin menerjang maju, menyesal mengapa tidak sejak tadi ia turun
tangan. Ada pun Bok Liong yang menyaksikan gurunya roboh, cepat memungut
pedangnya dan menerjang lagi dengan nekat.
Biar pun ia
telah berhasil merobohkan Gan-lopek, Hek-giam-lo harus menebusnya dengan mahal.
Ia menderita luka dalam yang hebat, kini ia harus mengerahkan tenaga sinkang
dari dalam tubuhnya yang membutuhkan pengerahan sekuatnya, maka luka di dalam
dadanya menjadi menghebat, membuat ia merasa darah naik ke dalam
kerongkongannya dan tak tertahankan lagi ia muntah darah.
Pada saat
itu Lin Lin datang menerjangnya. Karena Hek-giam-lo sudah bertangan kosong,
cepat ia menggerakkan lengan kiri. Belasan batang hui-to atau pisau terbang
menyambar ke depan, sebagian besar ke arah Lin Lin dan beberapa buah ke arah
Bok Liong, namun semua dapat dipukul runtuh oleh kedua orang muda itu. Sinar
kuning bergulung-gulung menyambarnya. Hek-giam-lo yang sudah lemah dan berkunang-kunang
matanya itu mengangkat lengan kanan menangkis.
“Crakkk!”
Putuslah lengan itu dan darah menyembur dari pangkal lengan yang putus.
Lin Lin
mendesak terus. Kembali Hek-giam-lo menangkis dengan tangan kiri, dan sekali
lagi putuslah lengan kirinya. Ia mendengus-dengus aneh, akan tetapi tak seorang
pun tahu apa yang ia ucapkan karena pada saat itu gulungan sinar pedang kuning
emas sudah membabatnya dan robohlah Hek-giam-lo dengan dua tusukan di dadanya
dan sebuah babatan pada lehernya membuat leher itu hampir putus pula!
Para
prajurit yang dipimpin Pek-bin-ciangkun bersorak gembira. Ada pun para prajurit
yang menjadi anak buah Hek-giam-lo menjadi kecil hati dan melawan sambil
mundur. Saat itulah dipergunakan Pek-bin-ciangkun untuk berseru lantang.
“Orang-orang
gagah bangsa Khitan, dengarlah baik-baik! Yang mampus itu, Hek-giam-lo si iblis
kejam adalah pengkhianat yang puluhan tahun kita benci, kita cari-cari dan kita
sangka sudah binasa. Dia adalah Bayisan! Bersama Kubakan, dia membunuh Sri
Baginda Tua Kulukan dan merampas kedudukan sebagai raja. Kalau kalian
membelanya berarti kalian membela pengkhianat bangsa. Sudah semestinya kita
membantu Puteri Mahkota Yalina untuk menumbangkan kekuasaan jahat membangun
Kerajaan Khitan yang kuat dan besar seperti dahulu!”
Ucapan yang
nyaring ini ternyata besar sekali pengaruhnya. Banyak di antara para pasukan
itu yang segera membuang senjata dan menggabungkan diri. Memang ada yang masih
setia kepada Raja Kubakan, namun kekuatan mereka tidak ada artinya lagi dan
pertempuran dilanjutkan dalam keadaan berat sebelah.
Lin Lin
untuk sejenak tidak mempedulikan semua itu. Bersama Bok Liong ia berlutut di
dekat tubuh Gan-lopek yang sudah payah. Muka kakek ini perlahan-lahan sudah
berubah kehitaman, akan tetapi kakek sakti ini masih dapat tersenyum-senyum.
Bok Liong
pendekar muda yang gagah itu kali ini tak dapat menahan diri menangisi gurunya
karena ia maklum bahwa tak mungkin suhu-nya tertolong lagi. Dengan lengan kiri
menyangga leher suhu-nya, ia hanya dapat berbisik-bisik menyebut nama suhu-nya
dengan putus harapan.
“Eh, mengapa
kau menangis, muridku? Apa kau kira kelak kau sendiri takkan mati juga? Kalau
kau menangisi orang mati, berarti kau menangisi dirimu sendiri. Eh, Lin Lin
bocah nakal! Kau benar-benar tidak percuma hidup, sudah banyak menimbulkan
geger. Sebelum aku mati, kau bilanglah dulu secara jujur, apakah kau suka dan
sayang kepada muridku Bok Liong ini?”
Lin Lin juga
berlinang air mata. Mendengar pertanyaan ini, tanpa ragu-ragu ia menjawab,
“Tentu saja aku sayang dan suka kepada Liong-twako!”
“Ha-ha-ha!
Nah, apa kataku, Bok Liong? Dia suka padamu!” Gan-lopek terbatuk-batuk karena
ketika tertawa tadi dadanya terasa sesak sekali, kemudian ia menggigit bibir
menahan rasa nyeri yang secara mendadak terasa di seluruh tubuhnya. Tadi ia
dapat menahan rasa nyeri karena ia mengerahkan sinkang-nya, akan tetapi setelah
bicara, ia lupa akan ini dan serentak pengaruh racun membuat ia kesakitan.
“Tapi...
tapi...” Bok Liong kebingungan, sebagian karena kata-kata itu, sebagian pula
karena melihat keadaan suhu-nya.
“Heh...”
Gan-lopek menghela napas. “Kau masih penasaran? Lin... Lin... jawab lagi...,
apakah... apakah kau... suka menjadi... isteri muridku ini...?” Gan-lopek tak
dapat bicara dengan baik lagi, sudah tersendat-sendat dan sukar.
Bukan main
kagetnya hati Lin Lin mendengar pertanyaan ini. Tak disangkanya sama sekali
bahwa kakek ini akan bertanya tentang perjodohan. Tentu Bok Liong sudah
bercerita kepada gurunya tentang penolakannya. Sebetulnya ia merasa tidak tega
terhadap Gan-lopek yang sudah mendekati kematiannya ini, tidak tega
mengecewakan hatinya. Akan tetapi, tidak mungkin ia dapat berbohong dalam
menjawab tentang perjodohan, apa lagi Bok Liong sendiri berada di situ. Pemuda
itu menundukkan mukanya yang pucat seperti orang terdakwa menanti dijatuhkannya
keputusan hukuman. Ia harus berterus terang sehingga urusan yang tidak
menyenangkan ini segera selesai.
“Tidak,
Empek Gan, aku tidak suka menjadi isterinya karena kuanggap Liong-twako seperti
kakakku sendiri.”
Bok Liong
tidak heran mendengar ini, akan tetapi sepasang mata Gan-lopek yang tadinya
sudah meram itu mendadak terbuka lagi dan memandang dengan melotot lebar.
“Apa...? Kau... kau tidak mau...? Kau nakal... sebelum aku mati... hayo bilang
laki-laki mana yang kau harapkan menjadi suamimu...?”
Sambil
menundukkan mukanya Lin Lin menjawab, perlahan akan tetapi cukup jelas untuk
Gan-lopek, bahkan merupakan halilintar menyambar ke dalam telinga Bok Liong,
“Suling Emas...!”
“Suhu...
Suhu...!” Bok Liong tiba-tiba memeluk gurunya yang sudah putus napasnya dengan
mata masih terbelalak lebar.
Lin Lin
menahan isaknya, hatinya terharu dan penuh iba. Akan tetapi apakah yang dapat
ia lakukan? “Liong-twako, dia sudah meninggal, biar kusuruh atur
pemakamannya...,” katanya perlahan.
Akan tetapi
Bok Liong menggeleng-geleng kepala, membungkuk dan memondong jenazah gurunya,
bangkit berdiri, memandang sejenak kepada Lin Lin dengan air mata bercucuran,
kemudian ia membalikkan tubuh dan melangkah pergi. Gadis itu pun memandang
dengan air mata berlinang akan tetapi ia menguatkan hati dan tidak menahan
karena maklum bahwa inilah yang terbaik. Ia merasa kasihan sekali kepada Bok
Liong dan berjanji dalam hatinya bahwa selamanya ia akan menganggap Bok Liong
sebagai kakaknya sendiri. Ia hanya mengharapkan mudah-mudahan kelak akan tiba
saat dan kesempatan baginya untuk membalas budi kebaikan Bok Liong terhadap
dirinya.
Sementara
itu pertempuran sudah selesai. Sebagian besar pasukan istana menyerah dan
takluk, sebagian pula melarikan diri. Lin Lin segera mengumpulkan pasukannya,
kemudian memerintahkan kepada Pek-bin-ciangkun untuk melakukan penyerbuan ke
istana.
“Kalau Paman
tiriku mau menyerah dengan baik-baik, jangan ganggu dia. Aku akan memberi
kesempatan kepadanya untuk memilih, pergi dari Khitan atau menjadi seorang
tahanan selamanya dengan perlakuan baik. Akan tetapi kalau dia melawan, kita
gempur!”
Dengan sorak
gemuruh pasukan pendukung Lin Lin berangkat menuju istana. Di sepanjang jalan
pasukan ini bertambah besar jumlahnya karena pasukan lain yang mendengar
tentang pemberontakan ini dan tentang tewasnya Hek-giam-lo yang ternyata adalah
pengkhianat Bayisan, ikut bergabung. Apa lagi pasukan di bawah perwira-perwira
tua yang mengenal Bayisan, tentu saja bersimpati kepada Puteri Yalin, anak dari
Puteri Tayami yang mereka kagumi.
Tidak ada
perlawanan berarti di sepanjang jalan. Baru setelah pasukan tiba di depan
istana, dari halaman istana para pasukan pengawal mengadakan perlawanan. Segera
terjadi pertempuran hebat, namun tidak lama pula jalannya pertempuran karena
hanya beberapa orang saja pihak musuh yang melakukan perlawanan
sungguh-sungguh, yaitu mereka yang masih terhitung keluarga raja sendiri. Ada
pun para perwira lain juga hanya setengah hati saja melakukan perlawanan.
Tiba-tiba
terdengar suara ketawa menyeramkan dan barisan depan menjadi kacau. Barisan
tengah mendesak ke belakang dan kelihatan beberapa orang prajurit dengan muka
pucat melarikan diri.
“Ada
setan...!” terdengar teriakan.
“Iblis
sendiri membantu Sri Baginda, kita celaka!” disusul teriakan lain.
Lin Lin
kaget sekali. Selagi ia hendak berlari ke depan, tiba-tiba ia terhenti dan
terbelalak memandang ke depan. Kayabu datang sambil memondong tubuh ayahnya,
Pek-bin-ciangkun telah terluka hebat sekali. Dari mata, hidung, mulut, telinga
keluar darah segar!
“Ahhh, siapa
melukainya?” teriak Lin Lin terkejut.
“Tuan
Puteri, kita terjebak!” kata Kayabu gelisah. “Sri baginda mendatangkan bala
bantuan dua orang iblis yang luar biasa sekali kepandaiannya. Dari jauh mereka
memukul-mukul dan barisan kita kocar-kacir. Ayah sendiri terkena pukulan jarak
jauh dan beginilah akibatnya.”
Dengan
pedang di tangan Lin Lin berseru keras dan tubuhnya sudah berkelebat lenyap
karena secepat kilat ia sudah berlari ke depan. Ia melihat barisannya sudah
mundur ketakutan sehingga halaman istana itu kosong kembali, kecuali barisan
pengawal yang berjaga di kiri, sedangkan di tengah terbuka tidak terjaga.
Ketika Lin Lin berlari dekat, ia melihat bahwa di bagian tengah ini berdiri dua
orang kakek. Dapat dibayangkan betapa kaget hatinya ketika mengenal mereka.
Bukan lain mereka ini adalah Pak-kek Sian-ong dan Lam-kek Sian-ong, dua orang
kakek sakti yang belum lama ini juga telah mendatangkan geger di puncak
Thai-san!
Lin Lin
adalah seorang gadis yang tidak mengenal takut. Ia tahu betul bahwa dua orang
kakek itu adalah orang-orang sakti yang sukar dikalahkan. Di puncak Thai-san,
hanya setelah Bu Kek Siansu muncul saja dua orang kakek ini dapat diusir. Akan
tetapi, mengingat betapa dua orang kakek ini hampir saja menewaskan Suling
Emas, ia menjadi marah dan memandang penuh kebencian.
“Kalian iblis
tua bangka!” bentaknya sambil menudingkan pedang. “Mau apa kalian muncul di
Khitan? Apakah kau sudah menjadi kaki tangan paman tiriku si pengkhianat?”
Lam-kek
Sian-ong si muka merah tertawa. “Ha-ha-ha, kita bertemu lagi dengan si gadis
liar yang berilmu aneh, Pek-bin Twako (Kakak Muka Putih)!”
“Hemmm,
menyebalkan sekali, Ang-bin-siauwte (Adik Muka Merah), bereskan saja bocah
itu!”
“Ha-ha-hah,
jangan, Twako. Sayang! Lihat, alangkah cantik dan agungnya. Siapa kira, dia
berdarah Raja Khitan! Kalau kita menjadi sepasang raja di sini, dan dia menjadi
pelayan kita, bukankah hebat?”
Lin Lin tak
dapat menahan kemarahannya lagi. “Kalian ini dua iblis tua bangka bermulut
kotor, lekas pergi dari sini sebelum pedangku bicara dan sebelum kukerahkan
barisanku untuk membasmi kalian!”
Akan tetapi
baru saja Lin Lin berhenti bicara, dari dalam istana berlari-lari keluar
pengawal raja sendiri sambil membawa senjata dan langsung mereka ini menerjang
dua orang kakek itu sambil berteriak-teriak. “Pembunuh raja! Kepung...!
Tangkap...!”
Dua orang
kakek itu saling pandang, lalu tertawa dan sekali mereka menggerakkan kedua
lengan, para pengawal raja itu terlempar dan roboh tak dapat bangun lagi.
Bagaikan nyamuk menyerbu api, para pengawal itu roboh bergelimpangan dan tumpang-tindih.
Dua orang kakek itu dengan sikap acuh tak acuh merobohkan mereka dan dengan
kaki, mereka itu menendangi mayat-mayat itu ke arah halaman depan.
Lin Lin
terkejut dan heran. Tadinya ia menyangka bahwa paman tirinya mempergunakan dua
orang kakek sakti ini. Siapa kira, paman tirinya malah agaknya sudah terbunuh
oleh mereka. Jelas sekarang bahwa mereka ini hendak merampas kedudukan raja di
Khitan! Kemarahan meluap di hati Lin Lin dan dengan gerakan cepat ia nekat
menyerbu ke depan sambil berteriak, “Iblis-iblis busuk, mampuslah!”
Akan tetapi
tiba-tiba tubuhnya yang berpusing dengan jurus Soan-hong-ci-thian itu tahu-tahu
tertahan oleh dorongan tenaga sakti dari Lam-kek Sian-ong yang menggerakkan
kedua tangannya ke depan dada, kemudian kakek itu membuat gerakan memutar
dengan kedua lengannya dan tubuh Lin Lin ikut pula terputar-putar seperti
kitiran angin! Gadis yang kurang pengalaman itu ternyata terlambat melihat
sehingga ia membiarkan dirinya ‘terlibat’ hawa pukulan yang luar biasa itu.
“Ang-bin-siauwte,
mengapa main-main dengan dia? Habiskan saja agar lekas beres!” Si Muka Putih
mencela.
“Ha-ha-ha,
tidak, Twako. Aku sayang kepadanya!”
“Apa...?
Setua kau ini masih....”
“Ah, tidak,
Twako. Jangan salah sangka. Aku hanya suka melihat dia ini, patut menjadi
muridku, murid kita. Begitu garang, begitu galak dan tabah!”
“Kau takkan
menurunkan kepandaian kepada orang lain. Biar kuhabiskan dia!” bentak si muka
putih dan ketika tangannya bergerak, sinar putih seperti perak yang berhawa
dingin sekali menyambar ke arah tubuh Lin Lin yang masih berputar-putar di
bawah pengaruh kekuatan tangan si muka merah.
“Dua iblis
tua bangka mengeroyok gadis remaja, sungguh tak tahu malu!” tiba-tiba terdengar
bentakan keras.
“Lin-moi,
jangan takut, aku datang membantumu!” terdengar suara lain.
Kiranya yang
muncul adalah empat orang, yaitu Kauw Bian Cinjin, Suling Emas, Bu Sin, dan Liu
Hwee! Begitu tiba, Suling Emas cepat menyambar dengan sulingnya menangkis sinar
perak yang mengancam nyawa Lin Lin. Terdengar suara keras dan sinar perak itu
runtuh ke bawah, ternyata itu adalah sebutir batu putih yang dingin. Sementara
itu Kauw Bian Cinjin sudah memutar pecutnya yang menyambar sambil mengeluarkan suara
keras mengancam kepala Lam-kek Sian-ong!
“Bagus,
bagus! Makin banyak lawan tangguh, makin menggembirakan!” Lam-kek Sian-ong si
muka merah tertawatawa dan terpaksa ia melepaskan Lin Lin yang cepat
menggerakkan Pedang Besi Kuning membantu Kauw Bian Cinjin mendesak kakek sakti
itu. Liu Hwee juga tidak mau tinggal diam. Cepat ia memutar senjatanya berupa
joan-pian berujung bola baja, mengeroyok Lam-kek Sian-ong setelah memesan
kepada tunangannya Bu Sin, agar tidak ikut mengeroyok kakek sakti itu karena terlampau
berbahaya mengingat bahwa tingkat kepandaian Bu Sin masih belum tinggi benar.
Sementara
itu Suling Emas sudah berhantam melawan kakek muka putih, Pak-kek Sian-ong.
Pertempuran yang sunyi, tidak bersuara, namun hebat bukan main. Kakek muka
putih ini telah memegang sebatang pedang yang putih pula, berkilauan dan
mengeluarkan hawa dingin. Namun suling di tangan Suling Emas bergulung-gulung
seperti naga kuning emas bermain di angkasa, sedikit pun tidak mau mengalah
terhadap gulungan sinar putih.
Memang
Suling Emas mendongkol sekali kepada kedua orang kakek ini. Teringat ketika ia
dipermainkan, dikeroyok dua dan hampir saja ia binasa. Kini terbuka kesempatan
baginya untuk mengadu satu lawan satu, maka ia mengerahkan segenap tenaganya
dan mainkan ilmu silatnya yang paling aneh dan hebat, yaitu gabungan dari tiga
macam ilmu silat sakti, yaitu Pat-sian Kiam-hoat (Ilmu Pedang Delapan Dewa),
Lo-hai-san-hoat (Ilmu Kipas Pengacau Lautan) dua macam ilmu yang ia warisi
dari gurunya, yaitu Kim-mo Taisu, dan digabung dengan ilmu sakti yang ia warisi
dari Bu Kek Siansu, yaitu Hong-in-bun-hoat (Ilmu Silat Huruf Angin dan Awan).
Dengan permainan gabungan yang luar biasa ini, biar pun Pak-kek Sian-su
merupakan tokoh yang sukar dicari bandingannya pada jaman itu, namun ia menjadi
sibuk juga dan akhirnya hanya dapat mempertahankan diri dengan jurus-jurus
sakti yang dikerahkan untuk menyelamatkan diri saja.
Kakek muka
merah, Lam-kek Sian-ong menghadapi pengeroyokan yang berat, yaitu Lin Lin, Liu
Hwee, dan Kauw Bian Cinjin. Dua orang tokoh Beng-kauw ini memang memiliki ilmu
silat yang cukup tinggi, apa lagi Kauw Bian Cinjin. Akan tetapi tingkat mereka
berdua sesungguhnya masih kalah kalau dibandingkan dengan Lam-kek San-ong yang
memang betul-betul sakti itu, dengan dasar tenaga Yang-kang sehingga setiap
pukulannya membawa hawa yang amat panas.
Namun kedua
orang tokoh ini menjadi kaget dan terheran-heran bahwa masuknya Lin Lin yang
mainkan pedang Besi Kuning itu seakan-akan menjadi pelengkap dari pada
kekurangan atau kekalahan mereka terhadap Lam-kek Sian-ong. Mereka terkejut
mengenal dasar gerakan Lin Lin yang sama dengan ilmu silat Beng-kauw, bahkan
gerakan pedang itu demikian hebatnya sehingga mereka berdua, biar pun
bersenjatakan dua macam senjata, seakan-akan terseret dan terpengaruh oleh
gerakan pedang Lin Lin dan membuat mereka terpaksa bergerak menurut gulungan
sinar pedang itu yang seolah-olah ‘memimpin’ mereka. Tentu saja mereka menjadi
heran dan juga girang, akan tetapi Lam-kek Sian-ong yang menjadi kaget setengah
mati! Seperti halnya Pak-kek Sian-ong yang terdesak oleh Suling Emas, ia
sendiri pun terdesak oleh pengeroyokan tiga orang itu dan hanya mampu menangkis
saja!
Lewat
seratus jurus, dua orang kakek sakti itu maklum bahwa tiada harapan lagi bagi
mereka, apa lagi kalau diingat bahwa di situ terdapat ratusan orang prajurit
yang sudah siap untuk melakukan pengeroyokan begitu menerima komando. Lin Lin
memang sengaja tidak mau mengerahkan pasukan karena maklum bahwa biar pun hal
ini akan mendatangkan kemenangan, namun prajurit-prajurit itu tentu banyak yang
akan menjadi korban.
Tiba-tiba
kedua orang kakek itu dengan berbareng mengeluarkan bentakan keras sekali,
bentakan yang dilakukan dengan pengerahan tenaga khikang. Beberapa orang
prajurit terjungkal, bahkan yang terlalu dekat roboh tak dapat bangkit lagi!
Suling Emas mengeluarkan bunyi melengking tinggi dan memperhebat desakannya,
akan tetapi Kauw Bian Cinjin tampak terhuyung mundur karena Lam kek Sian Ong
sengaja melakukan pukulan hebat yang khusus ia tujukan kepada kakek Beng-kauw
ini. Melihat Kauw Bian Cinjin terhuyung, Lin Lin menerjang dengan jurus ampuh
dari ilmu Cap-sha-sin-kun. Pedangnya tertangkis pedang merah di tangan Lam-kek
Sian-ong, namun masih dapat menyerempet pundak kakek itu.
“Twako, mari
pergi...!” Lam-kek Sin-ong berseru, tubuhnya melesat dan sekaligus ia menerjang
Suling Emas yang mendesak saudaranya.
Tentu saja
Suling Emas maklum betapa bahayanya dikeroyok dua orang kakek ini. Baru seorang
Pak-kek Sian-ong saja ia hanya mampu mendesak belum mampu mengalahkan, apa lagi
kalau Lam-kek Sian-ong datang mengeroyok. Terpaksa ia melompat mundur sambil
memutar sulingnya. Kesempatan baik ini dipergunakan oleh kedua orang kakek
sakti untuk berkelebat pergi dari tempat itu.
Dalam
kemarahannya, Lin Lin yang tidak kenal takut itu meloncat pula melakukan
pengejaran. Akan tetapi tibatiba ia berhenti, tangannya ada yang memegang.
Ketika ia cepat menoleh, kiranya yang memegang pergelangan tangganya adalah
Suling Emas!
“Lin-moi,
jangan mengejar mereka, berbahaya sekali. Biarlah aku membantumu....”
Lin Lin
mengibaskan tangannya terlepas dari pegangan Suling Emas. Matanya terbelalak
penuh kemarahan karena munculnya pendekar ini mengingatkan ia akan segala
pengalamannya yang pahit dan mematahkan hatinya, terutama sekali ketika Suling
Emas membela Suma Ceng. Tak tertahankan lagi tangan kirinya bergerak menampar
pipi kanan Suling Emas yang tidak mengelak dan hanya memandang dengan mata
sedih.
“Plakkk!”
tangan kiri Lin Lin meninggalkan tapak tangan kemerahan pada pipi Suling Emas.
“Lin Lin!
Gila engkau?” Bu Sin membentak marah sambil lari menghampiri.
“Pergi...!
Pergi...!” Lin Lin berteriak-teriak sambil melarikan diri. Air matanya mulai
bercucuran membasahi pipinya.
“Lin Lin,
tunggu...!” Bu Sin mengejar. Sedangkan Suling Emas, setelah berdiri dengan muka
pucat dan seperti kehilangan semangat, akhirnya ikut pula mengejar di belakang
Bu Sin.
Lin Lin
berlari secepatnya ke arah utara, tidak peduli betapa daerah ini makin sukar
dilalui, merupakan padang rumput yang makin lama makin jarang pohonnya, hanya
rumput-rumput belaka dan di sanasini mulai tertutup pasir. Karena tempat ini
terbuka, mulailah terasa angin bertiup keras dari arah depan, menyesakkan
napas. Namun Lin Lin tidak merasakan ini semua dan berlari terus mendaki bagian
yang menanjak.
Ah, mengapa
dia datang? Mengapa aku mesti berjumpa kembali dengan dia? Aku benci dia! Ah,
aku benci dia...! Keluhnya sambil menangis, karena betapa ia mengeraskan hati
memaksa diri mengaku benci, perasaannya tahu bahwa ia membohongi dirinya
sendiri. Ia mencinta Suling Emas, demikian mencintanya sehingga ia menjadi
benci karena Suling Emas tidak membalas cinta kasihnya!
“Lin-moi,
tunggu!” Kembali Bu Sin berteriak keras dengan napas terengah-engah karena ia
harus mengerahkan seluruh kepandaiannya untuk dapat mengejar Lin Lin yang lari
seperti terbang, apa lagi angin mulai mengamuk di padang rumput itu, membawa
terbang butiran-butiran pasir.
“Lin-moi,
mari kita bicara! Inilah Kakak Bu Song yang kita caricari! Berhentilah dulu!”
Mendengar
ini makin deras air mata Lin Lin mengucur di sepanjang pipinya, dan makin cepat
pula kedua kakinya berlari menjauhi dua orang itu. Bukan kakakku, pikirnya
sedih. Bukan karena aku adiknya. Apa artinya adik angkat, lain ibu lain ayah?
Aku orang lain. Hanya karena dia... dia mencintai wanita yang sudah punya suami
dan anak-anak! Ah, alangkah benciku!
Sementara
itu, Suling Emas sudah memegang lengan Bu Sin dari belakang. “Sin-te (Adik
Sin), kau kembalilah. Biarkan aku membereskan urusan ini. Percayalah kepadaku!”
Karena
memang merasa tidak sanggup menyusul Lin Lin dan juga merasa ragu apakah ia
akan dapat mengatasi watak adik angkatnya yang kukoai (luar biasa) itu, Bu Sin
berhenti dan tidak mengejar lagi. Suling Emas lalu mengerahkan kepandaiannya
dan bagaikan terbang ia lari mengejar, mendaki jalan tanjakan. Angin makin
hebat bertiup, merontokkan daun-daun beberapa batang pohon yang sudah setengah
gundul. Rumput tebal yang tinggi bergerak-gerak menyabet kaki seperti lecutan
cambuk.
Akhirnya
Suling Emas dapat menyusul Lin Lin di puncak bukit itu, puncak yang gundul
tidak ada pohonnya sama sekali sehingga angin bertiup kencang membuat mereka
sukar bernapas, membuat pakaian mereka berkibar-kibar.
“Lin Lin,
untuk terakhir kali, mari kita bicara. Kalau kemudian kau masih penasaran kau
boleh bunuh aku di sini juga!” Suling Emas menangkap lengan Lin Lin dan tidak
mau melepaskannya lagi.
Gadis itu
membalikkan tubuh, tangannya meraba gagang pedang, mukanya penuh air mata.
Sejenak mereka bertemu pandang, kemudian dengan terisak Lin Lin merangkul
pinggang dan membenamkan mukanya di dada Suling Emas! Pendekar ini menahan
napas, berdongak sambil meramkan mata. Tak terasa lagi pendekar sakti yang
berhati baja ini menitikkan dua butir air mata.
Baju di
bagian dada Suling Emas sudah basah oleh air mata Lin Lin dan rambut gadis itu
tertiup angin melambai-lambai dan menyapu-nyapu muka pendekar itu. Suling Emas
memeluk pundaknya dan membelai rambutnya.
“Lin Lin,
dengarlah baik-baik. Tiada guna kita lanjutkan semua ini. Kau tahu bahwa tidak
mungkin kita berjodoh....”
Lin Lin
mengangkat mukanya yang basah. “Kenapa tidak mungkin...? Kita... kita saling
mencinta. Katakanlah bahwa kau tidak mencintaku! Katakanlah! Kalau kau tidak
mencintaiku, baru aku menerima nasib, akan tahu diri...!”
Suling Emas
menggeleng-geleng kepalanya. Tentu saja mudah bagi mulutnya untuk mengatakan
hal ini, akan tetapi kalau ia katakan bahwa ia tidak mencinta Lin Lin maka itu
berarti bahwa ia membohong, membohongi Lin Lin dan membohongi diri sendiri!
“Lin-moi, kau
tahu bahwa aku pun mencintamu, adikku. Aku mencintaimu walau pun cinta kasihku
ini tidak ada harganya. Sudah terlampau banyak aku menimbulkah peristiwa duka
oleh cintaku. Cinta kasihku bernoda darah, Lin-moi. Aku tidak mau menyeretmu ke
dalam kutukan ini, karena... karena besarnya cintaku kepadamu. Aku tahu bahwa
kau tidak peduli tentang usia, dan aku tahu bahwa cintamu kepadaku murni.
Namun... betapa pun besar aku mencintamu, aku tetap tak dapat menerimanya,
adikku. Dunia kong-ouw memusuhiku, hidupku selalu terancam bahaya, dan mereka
semua sudah tahu bahwa kau adalah Kam Lin, adik angkatku. Mana mungkin kakak
mengawini adik angkat sendiri? Alangkah akan hinanya nama kita, nama keluarga
kita. Kau akan sengsara lahir batin kalau menjadi jodohku. Selain itu, kau pun
harus ingat. Kau seorang puteri mahkota, bahkan kau calon ratu Khitan. Kau
harus ingat akan tugas suci ini, ingat akan bangsamu. Jauh lebih mulia bagi
seorang manusia untuk berbakti kepada bangsanya dari pada menuruti nafsu
hatinya.”
Biar pun
angin menderu keras, namun karena Suling Emas mempergunakan khikang dalam
suaranya, Lin Lin dapat mendengar jelas. Ia makin terharu. Semua kata-kata itu
menikam ulu hatinya dan mau tak mau ia harus mengakui kebenarannya. Matanya
serasa terbuka oleh kata-kata itu, mata hati yang selama ini seperti buta oleh
cinta. Akan tetapi, teringat akan Suma Ceng ia masih meragu.
“Apakah...
apakah semua itu bukan hanya kau gunakan untuk menghiburku? Apakah tidak tepat
kalau kau... tak dapat menerima persembahan hatiku karena kau sudah mencinta
orang lain, mencintai Suma Ceng?”
Suling Emas
memegang dagu gadis itu, diangkatnya mukanya agar menentang mukanya sendiri.
“Kau pandanglah mataku, Lin-moi. Adakah mataku membayangkan kebohongan? Memang,
dahulu aku pernah mencintai Suma Ceng, akan tetapi cinta itu tercabut akarnya
meninggalkan luka di hati setelah ia menikah dengan orang lain. Banyak sudah
hatiku terluka karena cinta gagal, dan aku tidak mau mengorbankan dirimu hanya
untuk mengobati hatiku. Aku... aku amat mencintamu, adikku. Karena itulah aku
rela berkorban patah hati sekali lagi dan kali ini yang paling parah.
Dengarlah, aku bersumpah takkan menikah dengan gadis lain, aku ingin mengikuti
jejak mendiang suhu Kim-mo Taisu dan jejak locianpwe Bu Kek Siansu. Aku hanya
memujikan semoga engkau mendapatkan seorang jodoh yang baik, adikku.”
“Ah...
Suling Emas... aku mencintamu. Aku tidak akan menikah dengan orang lain aku
bersump....”
Tiba-tiba
Suling Emas menutup bibir yang akan bersumpah itu dengan tangannya, kemudian ia
tersenyum dan mencium dahi Lin Lin dengan mesra dan penuh kasih sayang. “Tak
perlu bersumpah, adikku. Dan aku percaya akan cintamu seperti engkau percaya
pula akan cintaku. Biarlah perasaan kita ini menjadi rahasia kita dan
membahagiakan kita bahwa betapa pun juga, kita saling mencinta. Nah,
keringkanlah air matamu, adikku, dan bersiaplah engkau memimpin bangsamu.
Lihat, mereka datang menjemputmu.”
Sekali lagi
Suling Emas mencium gadis itu, lalu melepaskan pelukannya. Lin Lin terisak dan
menengok. Betul saja, dari bawah tampak rombongan pasukan Khitan yang dipimpin
oleh Kayabu. Mereka itu berkuda, kelihatan kereng dan garang. Tampak pula Kauw
Bian Cinjin, Liu Hwee dan Bu Sin di antara rombongan ini. Lin Lin merasa bangga
hatinya dan diam-diam ia menghapus air matanya, lalu bergandengan tangan dengan
Suling Emas menuruni puncak bukit. Ketika mereka saling lirik, keduanya
tersenyum dan di dalam kerling mata mereka terbayang haru dan bahagia.
Kayabu
segera meloncat turun dari kudanya, diikuti semua pasukan dan mereka memberi
hormat dengan membungkuk di depan Lin Lin. “Hamba melapor bahwa pasukan kita
berhasil menang dan menduduki Istana. Kini para panglima menanti Paduka untuk
menerima perintah selanjutnya.”
Lin Lin
mengangguk dengan sikap agung, lalu meloncat ke atas kuda yang sengaja dibawa
untuknya. Suling Emas juga mendapatkan seekor kuda. Beramai-ramai mereka
menuruni bukit itu. Lin Lin di depan bersama Suling Emas, Bu Sin dan Liu Hwee.
Kauw Bian Cinjin agak di belakang. Di tengah perjalanan, Lin Lin bercakap-cakap
dengan Bu Sin tentang Sian Eng. Ternyata Sian Eng menghilang tanpa meninggalkan
jejak. Tak seorang pun tahu ke mana perginya gadis itu yang sudah berubah
menjadi seorang yang aneh.
Pengangkatan
Puteri Yalina sebagai Ratu Khitan dilakukan dengan suasana meriah sekali.
Suling Emas, Bu Sin, Liu Hwee, dan Kam Bian Cinjin merupakan tamu-tamu agung
yang menghadiri perayaan ini. Ratu Yalina mengangkat Kayabu sebagai panglima
tertinggi, menggantikan kedudukan Pek-bin-ciangkun yang tewas dalam
pertempuran. Atas petunjuk Kayabu, Yalina mengangkat pula banyak
panglima-panglima Khitan, diberi kedudukan sesuai dengan kepandaian
masing-masing. Sekali lagi Khitan menjadi bangsa yang kuat di bawah pimpinan
seorang ratu yang bijaksana dan mencinta bangsanya, terlepas dari kekejaman dan
kelaliman seorang raja murka seperti Kubakan yang ternyata tewas oleh Pak-kek
Sian-ong dan Lam-kek Sian-ong.
Setelah
upacara pengangkatan selesai, para tamu agung minta diri. Kauw Bian Cinjin
mendapatkan kembali tongkat Beng-kauw. Tidak disebut-sebut tentang isi tongkat,
yaitu rahasia peninggalan Pat-jiu Sin-ong. Rahasia ini hanya diketahui oleh Lin
Lin dan Suling Emas belaka, karena catatan-catatan itu sudah terlanjur
dimusnahkan Lin Lin.
Dengan
menahan keharuan hatinya, Lin Lin mengantar keberangkatan para tamu agung itu.
Ketika pandang matanya bertemu dengan pandang mata Suling Emas, tak terasa lagi
bulu matanya menjadi basah oleh air mata. Akan tetapi bibirnya tersenyum
membayangkan kebahagiaan akan rahasia yang tersimpan di dalam hatinya dan hati
Suling Emas, bahwa mereka saling mencinta dengan kasih sayang yang murni,
dengan pengorbanan.
Lin Lin yang
kini menjadi Ratu Yalina dengan pakaian indah dan Pedang Besi Kuning menghias
pinggangnya, berdiri mengantar tamunya sampai derap kaki kuda mereka tak
terdengar lagi, setelah lama bayangan mereka tak tampak. Kemudian ia
membalikkan tubuhnya dan dengan bangga melihat pasukannya berdiri siap di
depannya, siap menanti setiap perintahnya. Ia berjanji akan memimpin bangsanya
ke arah kemuliaan dan kebesaran.
Demikianlah,
kisah Cinta Bernoda Darah berakhir sampai di sini dengan catatan bahwa di
antara tiga saudara yang turun dari Cin-ling-san, hanya Kam Bu Sin seoranglah yang
berhasil dalam perjodohannya. Beberapa bulan kemudian, Kam Bu Sin melangsungkan
pernikahannya dengan Liu Hwee puteri ketua Beng kauw, dilakukan dengan upacara
yang amat meriah. Hanya sayangnya bagi Bu Sin, di antara saudaranya, hanya
Suling Emas saja yang menghadiri perayaan itu. Sian Eng tetap tak pernah
muncul, sedangkan Lin Lin yang sibuk dengan tugasnya yang baru, hanya mengirim
barang-barang berharga sebagai sumbangan.
Setelah Bu
Sin menikah, Suling Emas juga melenyapkan diri dari dunia ramai. Hanya
kadang-kadang saja ia muncul di Nan Cao, akan tetapi sebentar saja lalu pergi
lagi tanpa ada yang tahu ke mana perginya dan di mana tempat tinggalnya yang
tetap.
Apakah hanya
berakhir sampai di sini saja riwayat tokoh-tokoh seperti Lin Lin, Suling Emas,
dan Sian Eng? Berakhir dengan menyedihkan karena mereka gagal dalam asmara dan
menderita? Pembaca budiman, selama manusia ini masih berada di atas tanah,
belum masuk ke dalam tanah, takkan pernah peristiwa berhenti mengejarnya.
Cerita mengenai diri manusia, selama manusia itu masih hidup, takkan pernah
habis dan barulah riwayat manusia benar-benar tamat kalau dia sudah masuk ke
dalam tanah.
Oleh karena
itu, riwayat tentang diri Suling Emas, tentang diri Lin Lin, tentang Sian Eng
dan juga Lie Bok Liong, sekali waktu akan dapat anda nikmati pula apa bila
pengarangnya telah siap dengan rangkaian cerita lain yang merupakan sambungan
dari pada cerita Cinta Bernoda Darah. Tunggulah saatnya, dan anda pasti akan
berjumpa pula dengan mereka dan dalam keadaan yang lebih menyenangkan.
Untuk Serial
Cinta Bernoda Darah selesai sampai disini,dan episode selanjutnya adalah
Mutiara Hitam.
********** Sahabat Karib .com **********
Terima kasih telah membaca Serial ini
Terimakasih banyak sajian komiknya... salam
ReplyDelete