Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Cinta Bernoda Darah
Jilid 16
SULING EMAS
berjalan sambil menundukkan kepalanya. Ia mengerti betul bahwa sungguh pun tadi
ia berhasil mencegah Tan Lian membunuh diri, bukan itu saja, juga menemukan
kembali dua buah hati dan mempersatukan dua kasih yang tadinya menyeleweng.
Namun semua hasil ini dibeli dengan pengorbanan yang cukup besar. Karena biar
pun ia berhasil membelokkan cinta kasih Tan Lian kepada tempat yang wajar,
kepada orang yang berhak, namun sebagai imbangannya ia membangkitkan kembali
dendam gadis itu sebagai pelaksanaan dari pada kebaktian terhadap ayahnya.
Sumpah di depan kuburan yang tadinya terselimut oleh rasa cinta, kini muncul
kembali berupa ancaman terhadap keluarga Suling Emas!
Berkali-kali
Suling Emas menarik napas panjang dan karena perjalanan ini sedikit banyak
mempergunakan tenaga, ia merasa dadanya sakit kembali. Dalam keadaan melamun
dan nelangsa ini ia tidak tahu bahwa dirinya dibayangi orang, juga tidak tahu
bahwa udara yang tadinya terang menjadi gelap oleh mendung dan angin mulai
bertiup. Ia baru sadar dan merasa kaget setelah ada daun-daun gugur yang
tertiup angin keras menghantam mukanya, dan kain kepalanya hampir terlepas
terbang dari kepalanya. Ternyata cuaca sudah menjadi agak gelap dan udara yang
tadinya tenang menjadi liar karena angin bertiup keras. Sebentar lagi turun
hujan, pikirnya. Ia lalu membelok ke arah gunung batu di mana terdapat banyak
goa-goa batu untuk berlindung.
“Suling
Emas...!”
Di dalam goa
ia membalikkan tubuh. Kiranya Lin Lin yang memanggilnya dan kini gadis yang
berlari cepat itu sudah masuk goa, serta-merta gadis ini merangkul dan
menangis, membenamkan muka ke dadanya! Suling Emas memejamkan dan mendongak ke
atas, sekuat tenaga berusaha menekan guncangan hatinya, namun sia-sia.
“Ah, betapa
gelisah dan khawatir hatiku tadi. Aku sedang mengejar Enci Sian Eng ketika aku
teringat akan keadaanmu. Aku hendak kembali ke pondok namun sesat jalan. Aku...
aku gelisah dan melihat kau berjalan dengan muka pucat bersama pemuda itu, aku
heran dan mengikuti... pertemuanmu dengan gadis baju hijau yang aneh. Ah,
Suling Emas, betapa khawatir hatiku. Dia... dia mencintamu dan... ah syukurlah.
Kini aku bahagia. Kiranya kau hanya mencinta aku seorang, seperti juga aku
hanya mencinta engkau seorang di dunia ini...!”
Suling Emas
tidak menjawab, tidak mampu menjawab karena jantungnya yang berdebar-debar
seakan-akan hendak pecah itu mencekik tenggorokannya. Karena itu ia hanya dapat
menggelengkan kepalanya keras-keras. Gerakan ini agaknya terasa oleh Lin Lin
yang segera mengangkat muka memandang. Suling Emas menunduk, muka mereka
berdekatan, dua pasang mata saling pandang. Kembali Suling Emas menggeleng
kepala dan pandang matanya sayu.
Lin Lin
memeluk lebih erat lagi. “Kenapa kau menggeleng kepala? Apa maksudmu hendak
menyangkal? Suling Emas, betapa pun kau hendak berpura-pura, hatimu tidak akan
dapat menipuku, tidak akan menipumu. Debar jantungmu meneriakkan betapa kau
mencintaku. Ah, jangan kau goda aku...!” Kembali Lin Lin membenamkan mukanya
pada dada yang bidang itu.
Sejenak
Suling Emas tenggelam ke dalam alam perasaan indah dan nikmat yang membuat ia
membelai-belai rambut hitam halus dan menciuminya penuh nafsu. Biar pun mereka
tak berkata-kata, dengan muka Lin Lin terbenam di dada Suling Emas dan muka
Suling Emas terbenam di rambut Lin Lin, namun keduanya sama-sama tenggelam
dalam kebahagiaan yang hanya dapat dirasakan oleh mereka yang terbuai asmara.
Mereka tidak menghiraukan bahkan tidak tahu betapa angin makin keras mengamuk
di luar goa.
"Koko
(kanda)... sebetulnya siapakah namamu?” Lin Lin berbisik lirih.
Akan tetapi
bagi Suling Emas, bisikan lirih ini seakan-akan merupakan halilintar menyambar
kepalanya yang menghancurkan semua mimpi indah dan menyeretnya kembali kepada
kenyataan. Dengan halus akan tetapi pasti ia memegang kedua pundak Lin Lin dan
mendorong gadis itu sehingga terlepas dari padanya kemudian ia melangkah mundur
dan memutar tubuhnya membelakangi Lin Lin sambil berseru keras, “Tidak... tidak
mungkin...!”
Tentu saja
Lin Lin terkejut sekali dan memandang dengan muka pucat dan hati khawatir. “Ada
apakah? Apa yang tidak mungkin...?” katanya sambil memegang lengan Suling Emas.
Akan tetapi pendekar ini tetap membuang muka dan kedua matanya dipejamkan.
“Tak mungkin
kita lanjutkan kegilaan ini. Lin Lin, aku... betapa pun perih rasa hatiku,
aku... aku tak mungkin begitu gila untuk menerima perasaanmu yang murni. Tak
mungkin!” Kata-kata terakhir ini keluar dari mulut Suling Emas seperti keluhan
dengan suara gemetar dan parau.
Lin Lin
tersentak bagaikan disambar petir. Dua titik air mata meloncat turun di atas
pipinya yang pucat dan sepuluh jari tangannya bergerak-gerak saling remas,
membayangkan hati yang bingung, perih dan gelisah.
“Kenapa...?
Kenapa...? Suling Emas, bukankah kau mencintaiku? Sejak pertama kali kita
bertemu di kota raja... sikapmu selama ini... pengakuanmu di depan gadis
tadi... bukankah itu semua membuktikan bahwa kau pun mencintaiku seperti aku
mencintamu? Ataukah... aku telah salah duga? Suling Emas, katakanlah. Sebagai
seorang laki-laki yang gagah, katakanlah, apakah kau menolak kasihku? Apakah
kau tidak... tidak mencintaku seperti yang kuduga?”
Suling Emas
bersedakap memangku lengan, ia masih membuang muka dengan mata terpejam karena
tidak kuasa ia memandang wajah gadis yang bicara dengan suara begitu tergetar
memilukan. Akhirnya ia dapat menjawab, suaranya lirih dan tersendat-sendat
menahan goncangan hati.
“Adik Lin
Lin, semata-mata bukan aku menolak cinta kasihmu, bukan pula membencimu, akan
tetapi justru aku sangat menyayangkan nasibmu kelak apa bila kau menjadi
jodohku. Lin Lin, engkau cantik jelita, muda remaja, engkau berhak memperoleh
seorang suami yang lebih segala-galanya dari pada aku. Masih banyak kesempatan
bagimu untuk bertemu jodoh yang tampan dan gagah perkasa, seorang satria sejati
yang tepat menjadi teman hidupmu selamanya. Aku... ah, aku sudah tua untukmu,
Lin Lin!”
Di belakang
punggungnya, Suling Emas mendengar isak tangis Lin Lin. Ia mengeraskan hatinya.
Apa yang ia ucapkan tadi adalah suara hatinya. Lin Lin adalah adiknya, sungguh
pun bukan adik kandung dan berasal dari orang lain, namun gadis ini sudah
menggunakan she (keturunan) ayahnya, bernama Kam Lin, adik Kam Bu Song, dia
sendiri!
Ayahnya
sudah meninggal dunia, berarti dia sebagai putera sulung menjadi pengganti
ayahnya. Dia adalah kakak Lin Lin, juga wakil ayah Lin Lin. Dia yang
berkewajiban mencarikan jodoh untuk adiknya ini, jodoh yang tepat. Mana mungkin
dia sendiri terlibat cinta kasih dengan Lin Lin? Mana mungkin dia memperisteri
Lin Lin, mengambilnya sendiri menjadi jodohnya? Dunia akan mentertawakannya,
arwah ayahnya akan mengutuknya, Thian akan menghukumnya. Kalau saja Lin Lin
bukan bernama Kam Lin, bukan adik angkatnya, agaknya ia akan membuka kedua
lengannya, karena hanya pada Lin Lin ia melihat pengganti Suma Ceng!
“Tidak...!
Kau tidak tua bagiku. Aku tidak sudi menjadi jodoh orang lain. Aku hanya
mencintaimu seorang! Suling Emas, apakah cinta kasih murni mengenal usia? Ah,
Suling Emas, aku yakin betul akan cinta kasihmu, mengapa kau harus berpura-pura
menipu diri sendiri? Mengapa kau hendak merenggut pertalian kasih antara kita,
rela merobek hatimu sendiri dan menghancurkan hatiku, hanya karena alasan usia?
Tak tahukah engkau bahwa sikapmu ini mengakibatkan hati kita robek-robek
berdarah, dan selama hidup akan menyiksa kita sendiri? Aku hanya mencinta
engkau seorang, dan kau pun cinta kepadaku... ah, aku mohon kepadamu... jangan
patahkan ikatan suci ini... Suling Emas...!” Lin Lin menangis sesenggukan dan
tiba-tiba ia berlutut dan merangkul kedua kaki Suling Emas!
“Jangan...!
Jangan begitu...!” Suling Emas berseru kaget sambil melangkah mundur.
“Biarlah!
Kau lihat. Demi cinta kasihku kepadamu, aku berlutut dan bermohon kepadamu! Aku
merendahkan diri, aku bersikap hina, karena... karena cintaku. Kau telah
mengenalku, kalau bukan demi cintaku, lebih baik aku mati dari pada merendahkan
diri seperti ini...!”
Tiba-tiba
Lin Lin mengangkat mukanya dan berteriak, “Suling Emas...!” Akan tetapi
pendekar itu sudah lenyap, tidak berada di dalam goa lagi.
Dengan isak
tertahan Lin Lin melompat ke luar, disambut angin dan air hujan. Matanya sukar
dibuka dan lebih sukar lagi melakukan pengejaran dalam keadaan seperti itu.
“Suling
Emas...!” Berkali-kali ia menjerit, memanggil-manggil dan lari ke sana ke mari
mencari pendekar itu sambil menangis. Air matanya bercucuran menyaingi air
hujan. Beberapa jam kemudian tubuh Lin Lin menggeletak pingsan di antara
siraman air hujan.
***************
“Lin-moi...!”
Bu Sin terkejut bukan main ketika melihat tubuh Lin Lin yang seperti telah tak
bernyawa lagi itu di atas rumput. Cepat-cepat ia memondong tubuh adiknya dan
berlari kembali ke pondok Kim-sim Yok-ong.
“Locianpwe...
tolonglah... tolonglah adikku ini...! Kudapatkan dia seperti ini di dalam
hutan...!” Bu Sin berkata dengan suara gugup kepada kakek tabib yang sedang
duduk di ruangan dalam.
Kim-sim
Yok-ong menghampiri Lin Lin yang rebah di atas bangku panjang di mana tadinya
Suling Emas berbaring. Wajah Lin Lin pucat sekali seperti mayat, dadanya tidak
bergerak seakan-akan sudah tak bernapas lagi. Hal inilah yang membuat Bu Sin
kebingungan. Setelah menyentuh nadi pergelangan tangan gadis itu, Yok-ong
menggeleng-gelengkan kepalanya dan menarik napas panjang, diawasi oleh Bu Sin
yang menjadi amat gelisah.
“Hemmm... di
dunia ini banyak terjadi hal-hal aneh! Entah mengapa adikmu ini sekaligus dapat
terserang perasaan malu, kecewa dan duka secara berbareng. Padahal kulihat dia
tadi demikian lincah gembira. Akan tetapi jangan khawatir, dia tidak apa-apa.”
Bu Sin lega
hatinya, namun ia sendiri terheran mendengar keterangan itu. Lin Lin merasa
malu, kecewa dan berduka? Apa sebabnya? Ia memang sudah terheran-heran melihat
Lin Lin. Adiknya ini tiba-tiba memiliki kepandaian yang hebat, demikian pula
Sian Eng. Apakah yang terjadi dengan kedua orang adiknya? Ia belum mendapat
kesempatan untuk bercakap-cakap. Kini Sian Eng secara aneh sekali telah pergi
entah ke mana, dan Lin Lin... mengapa bisa begini?
“Tak usah
kau khawatir, Yok-ong bilang dia akan sembuh dua tiga hari setelah
beristirahat!” Tiba-tiba terdengar suara orang dan Bu Sin segera menengok,
kiranya bibi gurunya, Kui Lan Nikouw yang berada di situ.
Kui Lan
Nikouw memang tiba di pondok Yok-ong setelah orang-orang muda itu pergi.
Sebagai seorang beribadat, melihat keadaan Yok-ong, Kui Lan Nikouw menjadi
kagum sekali dan tanpa diminta ia lalu membantu merajang akar dan daun obat di
sebelah belakang pondok sambil menanti kembalinya para keponakannya.
Nikouw ini
biar pun ilmu silatnya tidak sangat tinggi, namun ia merupakan tokoh yang
terkenal pula di Cin-ling-san dan tubuhnya masih kuat, biar pun ia hanya
berdiam di Cin-ling-san, bertapa dan mengajarkan ilmu batin menurut pelajaran
Agama Buddha. Akan tetapi setelah lama ketiga orang murid keponakannya
meninggalkan Ting-chun, ia merasa khawatir juga, lalu pada suatu hari ia
meninggalkan Cin-ling-san, mencari keponakan-keponakannya ke kota raja.
Secara
kebetulan sekali di tengah perjalanan ia bertemu dengan Bu Sin yang hendak
mengunjungi Cin-ling-san untuk memberi laporan kepada bibi gurunya tentang
mereka bertiga, juga sekalian untuk membicarakan rencana perjodohannya dengan
Liu Hwee, puteri dari Beng-kauwcu (ketua Beng-kauw).
Girang hati
nikouw ini mendengar tentang rencana perjodohan, akan tetapi di samping
kegirangannya, ia pun merasa gelisah memikirkan Sian Eng dan Lin Lin, maka ia
menegur keponakannya ini, “Sin-ji (anak Sin), mengapa kau tidak menanti
adik-adikmu sehingga dapat pulang bersama mereka? Kau benar-benar terlalu
memikirkan kepentingan sendiri. Kurasa yang dapat menolong kita mendapatkan
adik-adikmu hanyalah Bu Song yang kini ternyata menjadi Suling Emas, pendekar
besar yang namanya sampai bergema di Cin-ling-san. Pinni (aku) mendengar pula tentang
pertandingan besar antara Thian-te Liok-koai di Thai-san. Kurasa Suling Emas
akan hadir pula di sana, maka sebaiknya kita langsung ke sana menemuinya.
Setelah kita berjumpa dengan Sian Eng dan Lin Lin, baru kita beramai pergi
kepada Beng-kauwcu untuk meminang puterinya.”
Demikianlah,
secara kebetulan sekali Kui Lan Nikouw dan Bu Sin muncul ketika terjadi
pertandingan hebat di puncak Thai-san, di mana Kui Lan Nikouw roboh oleh hawa
pukulan dua orang kekek sakti karena hendak menyelamatkan Bu Sin, akan tetapi
secara mukjijat nikouw ini ditolong oleh Bu Kek Siansu.
Nikouw ini
tadinya gembira sekali karena tepat seperti dugaannya, ia dapat bertemu dengan
Suling Emas di puncak Thai-san, bahkan bukan hanya dengan keponakannya yang
telah lama hilang ini, juga malah bertemu pula dengan Sian Eng dan Lin Lin yang
telah memiliki kepandaian yang ajaib sekali. Akan tetapi kegembiraannya hanya
sebentar saja karena sekarang kembali kedua orang keponakannya itu telah
lenyap, bahkan kemudian Bu Sin kembali dengan Lin Lin yang berada dalam keadaan
pingsan, bahkan seperti telah mati. Baiknya ada Kim-sim Yok-ong yang memberi
jaminan bahwa Lin Lin tidaklah berbahaya keadaannya.
Sampai dua
hari dua malam Lin Lin tidak sadarkan diri. Tak pernah membuka mata dan
kadang-kadang ia mengigau tentang hal-hal yang tak dimengerti sama sekali oleh
Kui Lan Nikouw mau pun Bu Sin yang dengan hati-hati menjaganya. Ia sering kali
mengigau tentang usia tua, tentang cinta yang bernoda darah, tentang ratu-ratu
dan puteri-puteri. Sering kali ia menjerit, “Bukan karena tua, akan tetapi
karena kau mencinta wanita lain!”
Hanya
sedikit bubur encer yang memasuki perutnya, disuapkan ke dalam mulutnya oleh
Kui Lan Nikouw. Tubuhnya menjadi kurus dan mukanya pucat sekali, dan biar pun
kedua matanya meram, akan tetapi banyak air mata keluar dari sepasang matanya.
Pada hari
ketiga, pagi-pagi sekali ia membuka matanya, menengok ke kanan kiri, tampaknya
bingung.
“Sin-ko...!
Sukouw...!” Akhirnya ia berseru ketika mengenal dua orang yang duduk di pinggir
dipan. Ia bangkit duduk dan menubruk bibi gurunya sambil menangis.
Kui Lan Nikouw
mengelus-elus rambutnya, penuh kesabaran. “Kau berbaringlah saja, anak baik.
Kau sudah sembuh, hanya perlu beristirahat.”
“Lin-moi,
aku mendapatkan kau rebah pingsan di dalam hutan. Apakah gerangan yang
terjadi?”
Kui Lan
Nikouw memberi isyarat dengan matanya kepada Bu Sin, akan tetapi pemuda ini
sudah terlanjur bicara, maka nenek ini menoleh kepada Lin Lin dengan khawatir.
Menurut anggapannya, tidak tepat saatnya untuk bicara tentang itu selagi Lin
Lin baru saja sadar. Akan tetapi Lin Lin hanya mengerutkan kening, menggeleng
kepala, matanya sayu. Ini pun hanya sebentar karena tiba-tiba matanya
mengerling kepada Kui Lan Nikouw dan kembali merangkulnya.
“Ah, girang
sekali bertemu denganmu, Sukouw. Bagaimanakah Sukouw bisa muncul di sini?
Seperti dalam mimpi saja!”
Lega hati
Kui Lan Nikouw. Kiranya Lin Lin masih biasa seperti dulu, ramah dan lincah.
“Nanti kuceritakan, Lin Lin. Sekarang kau rebahlah, kata Kim-sim Yok-ong kau
perlu beristirahat.”
“Ah, Si Raja
Obat itukah yang menolongku? Benar-benar dia patut disebut Raja Obat, dan
tentang hatinya emas atau bukan, perlu diselidiki dulu.” Ia tersenyum dan sudah
mendapatkan kegembiraannya kembali. “Aku tidak merasa sakit apa-apa, Sukouw,
hanya... lemas dan... dan lapar sekali! Kalau begini rasanya aku sanggup
menghabiskan nasi sepanci dan ayam gemuk tiga ekor, bakmi dua kati!” Gadis ini
tertawa dan Kui Lan Nikouw juga tertawa.
“Bocah
nakal! Dua hari ini kau bikin hatiku penuh kekhawatiran saja.” Nikouw ini
girang bukan main.
Akan tetapi
biar pun mulutnya tersenyum, di dalam hatinya Bu Sin tidak puas. Ia terlampau
kenal watak Lin Lin yang memang mudah sekali berduka dan gembira, mudah
menangis mudah tertawa semenjak kecilnya. Akan tetapi kini ia melihat betapa di
balik wajah berseri dan senyum melebar itu terdapat awan gelap yang membayang
dari kesayuan mata adik angkatnya ini, mata sayu lesu yang hanya dapat timbul
karena kedukaan yang menindih hati. Maka diam-diam ia merasa prihatin dan
kasihan kepada Lin Lin, namun ia tidak berani bertanya karena ia mengenal watak
Lin Lin yang takkan mau bercerita kalau tidak atas kehendaknya sendiri.
Ditemani
oleh Kim-sim Yok-ong, Lin Lin bersama kakaknya dan bibi gurunya lalu makan
masakan tanpa daging yang dimasak oleh Kui Lan Nikouw. Selesai makan mereka
bicara tentang peristiwa yang lalu terutama sekali tentang keadaan dan sikap
Sian Eng yang amat aneh.
“Sungguh aku
merasa heran sekali melihat Enci Sian Eng. Mengapa ia melarikan diri dan apakah
yang terjadi atas dirinya maka ia berubah seaneh itu?” kata Lin Lin.
“Kau sendiri
pun aneh, Lin-moi. Kulihat kau telah memiliki ilmu yang hebat sehingga berdua
dengan Sian Eng kau mampu melawan tokoh-tokoh iblis. Bagaimana kau bisa
mendapatkan kemajuan dalam waktu singkat dan memiliki ilmu yang luar biasa?”
Lin Lin
tersenyum. “Ah, kebetulan saja aku mendapatkan warisan ilmu yang tak dapat
kuceritakan dari mana asalnya. Enci Sian Eng lebih hebat, dan menjadi begitu
aneh, seakan-akan aku melihat sinar yang tidak sewajarnya dari mukanya.”
“Sayang
sekali, Bu Song juga ikut pergi dan tidak kembali sampai sekarang. Belum sempat
aku bercakap-cakap dengan keponakanku itu. Ah, kurasa dia lebih mengetahui akan
keadaan Sian Eng yang aneh,” kata Kui Lan Nikouw.
“Siapa
katamu, Sukouw? Kakak Bu Song...? Di mana dia...? Siapa...?” Lin Lin bertanya
dengan muka terheran-heran. Sudah dua kali ia mendengar disebutnya nama
kakaknya yang sampai kini belum ia lihat itu.
Bu Sin
tertawa. “Kasihan kau, Lin-moi. Sampai sekarang pun kau belum tahu dan belum
dapat menduga? Aku dan Sian Eng sudah tahu. Yah, mungkin karena kau selalu
terpisah dariku, maka kau tidak tahu akan rahasia ini. Suling Emas, pendekar
itu, dialah sebetulnya kakak Kam Bu Song yang kita cari-cari!”
“Prakkk!”
pecahlah cangkir yang berada di tangan Lin Lin.
Gadis ini
bangkit berdiri, matanya terbelalak lebar ketika ia memandang kepada Bu Sin
dengan sinar mata tak percaya. Kemudian ia memandang Kui Lan Nikouw dengan mata
bertanya. “Dia...? Kakakku...?”
Bu Sin
tertawa gembira melihat keheranan dan kekagetan Lin Lin ini. Akan tetapi Kui
Lan Nikouw memandang dengan kening berkerut, karena sekarang nenek inilah yang
dapat melihat bahwa gadis itu tidak hanya heran dan kaget saja. Ia segera
berkata menerangkan.
“Tentu saja
dia kakakmu, Lin Lin! Bu Song adalah putera sulung ayahmu dengan Liu Lu Sian.
Kemudian Bu Sin dan Sian Eng adalah anak-anak ayahmu yang kedua dan ketiga,
dari ibu mereka yaitu Souw Bwe Hwa sedangkan kau sendiri adalah....”
“Anak
pungut! Aku hanya anak angkat!” Lin Lin berseru keras.
Kini Bu Sin
memandang kaget. “Biar pun anak angkat, akan tetapi kau seperti anak ayah ibu
sendiri, Lin-moi. Kau adik kami...!”
“Adik
angkatnya! Sebetulnya orang lain!” Lin Lin kembali bersitegang sambil menggigit
bibirnya yang gemetar.
“Hushhh!
Mengapa kau bicara begitu?” Kui Lan Nikouw menegur. “Lin Lin, kau juga puteri
ayahmu, biar pun anak angkat akan tetapi kau sah menjadi keluarga Kam. Kau she
(bernama keturunan) Kam dan namamu Lin...”
“Bukan!” Lin
Lin sudah meloncat sekarang, dan sinar keemasan berkilauan ketika ia mencabut
pedangnya. Pedang Besi Kuning!
Melihat ini
Bu Sin dan Kui Lan Nikouw juga bangkit berdiri dengan muka pucat. Hanya Kim-sim
Yok-ong yang tetap duduk tenang, hanya melirik sedikit ke arah Lin Lin, agaknya
kejadian seperti ini sama sekali tidak aneh baginya karena ia telah mengetahui
dasar-dasarnya.
“Bukan! Aku
bukan apa-apa kalian, bukan apa-apanya Bu Song! Aku tidak punya she Kam, dan
namaku adalah Yalin! Puteri Mahkota, Puteri Khitan, yang mulia Puteri Yalin!
Aku bukan apa-apa kalian. Aku bukan adiknya, bukan adiknya...!” Tiba-tiba Lin
Lin meloncat dan lari ke luar dari dalam pondok, pedangnya berkilauan.
“Lin-moi...!”
Bu Sin hendak mengejar akan tetapi lengannya dipegang Kui Lan Nikouw.
“Takkan ada
gunanya, Sin-ji. Sejak dulu aku sudah menduga bahwa sewaktu-waktu ia akan
memenuhi panggilan darahnya. Memang dia berdarah bangsawan Khitan. Kau tidak
lihat sikapnya tadi? Begitu agung seperti puteri! Biarkanlah, hatinya keras
sekali dan kepandaiannya juga luar biasa, percuma saja dihalangi kehendaknya.”
“Korban
asmara lagi...,” Kim-sim Yok-ong bicara perlahan seperti orang bicara kepada
dirinya sendiri. “Penyakit orang muda yang amat sukar diobati. Percuma saja aku
disebut Raja Obat, terhadap penyakit yang satu ini aku benar-benar angkat
tangan...,” lalu ia menarik napas panjang dan meninggalkan meja, memasuki
kamarnya untuk mengaso.
Bu Sin hanya
dapat saling pandang dengan bibi gurunya, tidak mengerti apa yang dimaksudkan
oleh Raja Obat itu. Yang paling bingung dan sedih adalah Bu Sin. Kembali ia
harus berpisah dari Sian Eng dan Lin Lin. Perpisahan yang amat aneh dan luar
biasa. Sian Eng lenyap tak meninggalkan bekas sehingga sukar baginya untuk
mencarinya. Akan tetapi Lin Lin biar pun pergi secara aneh dan tidak
sewajarnya, dapat ia duga bahwa adiknya, adik angkat yang luar biasa ini, besar
sekali kemungkinannya pergi ke Khitan! Hanya Suling Emas yang dapat ia
harapkan! Suling Emas, atau kakaknya, Kam Bu Song seoranglah yang dapat ia
harapkan bantuannya untuk mencari kedua orang adiknya itu. Akan tetapi, Suling
Emas juga lenyap tak berbekas, ke mana ia harus mencarinya?
Sementara
itu, Lin Lin berlari-lari seperti orang gila, tidak peduli ke mana kakinya
bergerak membawanya, berlari sambil mengulang kata-kata, “Dia bukan kakakku...
dia bukan kakakku...!”
Sampai malam
gelap tiba, gadis ini terus berlari meninggalkan pegunungan Thai-san dan
akhirnya tibalah ia di sebuah hutan di kaki gunung bagian utara. Malam yang
gelap tidak memungkinkan ia melanjutkan larinya. Ia menjatuhkan diri di atas
rumput dan duduk termenung. Tidak menangis lagi, namun beberapa kali ia masih
terisak, sedu-sedan menyelingi napasnya yang terengah-engah karena berjam-jam
lari cepat tadi melelahkannya. Pikirannya penuh dengan bayangan Suling Emas,
penuh dengan persoalan Suling Emas.
Lin Lin
merenung sambil menyandarkan tubuhnya pada sebatang pohon. Ia merasa yakin
benar bahwa Suling Emas mencintanya. Hal ini jelas dapat ia tangkap dari
pandang mata, dari kata-kata, mau pun dari gerak dan belaiannya kemarin. Ia
tahu bahwa Suling Emas memaksa diri menjauhinya, memaksa diri memutus rasa
cinta kasih. Apakah sebabnya? Inilah yang menjadi bahan pemikirannya. Karena
mereka masih bersaudara?
Hanya
namanya saja saudara! She Kam yang ia pakai bukanlah she-nya yang asli. Ia
tidak berdarah Kam! Tidak dari ayah, juga tidak dari ibu, tidak menghubungkan
pertalian darah antara dia dan Suling Emas. Apakah karena Suling Emas
betul-betul merasa telah tua? Ini pun tidak betul, karena biar pun ada selisih
usia antara dia dan Suling Emas, namun pendekar itu belumlah tua, baru tiga
puluh tahun lebih. Lalu, apa sebabnya dia menolaknya. Karena di sana ada wanita
lain! Tapi... ia yakin bahwa Suling Emas mencintanya.
Tiba-tiba ia
teringat dan meloncat bangun! Mengapa ia hanya mengingat akan Suling Emas
sehingga ia lupa akan Kam Bu Song? Ah, sekarang tahulah dia. Pernah ia
mendengar tentang hubungan asmara antara kakaknya itu, Kam Bu Song pernah
bercinta dengan puteri bangsawan adik Suma Boan. Dan Kam Bu Song adalah Suling
Emas! Ah, mengapa ia begini tolol? Teringat ia sekarang akan perjumpaannnya
yang pertama kali dengan Suling Emas.
Di dalam
gedung perpustakaan di istana kaisar. Perjumpaan pertama di tempat yang agak
gelap itu, di mana serta-merta Suling Emas memeluk dan menciumnya, kemudian
kaget dan minta maaf, bukankah ini jelas membuktikan bahwa Suling Emas
menyangka dia wanita lain, wanita yang menjadi kekasihnya, yang biasa
dipeluk-ciumnya dan biasa mengadakan pertemuan rahasia dengannya? Ah, mengapa
ia begitu bodoh? Terang bahwa Suling Emas mencinta wanita lain, tak salah lagi,
wanita itu tentulah adik Suma Boan!
Berpikir
sampai di sini, muka Lin Lin menjadi merah padam. Alangkah memalukan! Ia
mencinta orang yang selama ini dicari-carinya sebagai kakaknya! Dan ia bertepuk
sebelah tangan. Orang yang dicintanya sama sekali tidak membalas, karena telah
mencinta orang lain. Benar-benar ia telah merendahkan diri sampai
sehina-hinanya. Ia merasa malu sekali.
“Aku harus
pergi jauh. Aku harus kembali ke Khitan. Aku takkan mau bertemu muka dengan dia
lagi, kecuali kalau aku sudah menjadi ratu di Khitan! Baru aku suka bertemu
dengan dia, sebagai ratu bukan sebagai adiknya, apa lagi sebagai... kekasihnya.
Tapi sebelum ke Khitan... aku harus melenyapkan wanita itu, wanita yang berani
menolak cinta kasih Suling Emas, wanita yang berani merampas hati Suling Emas,
wanita yang menjadi penghalang kebahagiaannya!” Berpikir demikian, hati panas
membuat Lin Lin lupa akan kelelahannya dan bangkitlah ia, lalu melanjutkan
perjalanan di waktu malam, keluar masuk hutan.
Tiba-tiba
Lin Lin menghentikan kakinya dan kepalanya dimiringkan. Ia mendengar suara
aneh. Lengking tinggi berkali-kali menggema di malam gelap. Hatinya berdebar.
Suara sulingkah itu? Ia ragu-ragu. Ia tidak sudi bertemu kembali dengan Suling
Emas sebelum ia menjadi ratu di Khitan. Akan tetapi... sebelum ia pergi jauh,
apa salahnya satu kali lagi saja melihat wajahnya? Keraguan meliputi hati Lin
Lin, akibat dari pada dua macam perasaan yang bertentangan. Namun akhirnya
kakinya melangkah, seakan-akan di luar kesadarannya, menuju ke arah suara
melengking-lengking. Pedang Besi Kuning sudah berada di dalam tangannya.
Ketika tiba
di tempat itu Lin Lin tertegun. Di sebuah tempat terbuka, di bawah sinar
bintang-bintang yang remang-remang, ia melihat pertempuran yang hebat dan ia
tersentak kaget. Siang-mou Sin-ni agaknya yang sedang bertanding, melawan
seorang kakek bongkok yang bukan lain adalah It-gan Kai-ong! Akan tetapi mana
mungkin? Bukankah Siang-mou Sin-ni sudah tewas, terjerumus ke dalam jurang,
mati di tangan Suling Emas?
Dan suara
melengking-lengking itu keluar dari mulut Siang-mou Sin-ni. Akan tetapi, biar
pun wanita itu bertanding dengan rambut terurai, rambut itu tidak sepanjang
Siang-mou Sin-ni dan wanita ini bertanding tanpa menggunakan rambutnya seperti
keistimewaan Siang-mou Sin-ni! Apakah wanita baju hijau? Pernah ia melihat
wanita baju hijau itu rambutnya berurai ketika bersumpah di depan makam
ayahnya. Akan tetapi wanita itu baru-baru ini ia lihat tidak berambut lagi,
sudah gundul seperti seorang nikouw! Siapakah gerangan wanita ini?
Ia mendekati
dan melihat betapa wanita itu gerakan-gerakannya dahsyat dan aneh luar biasa.
It-gan Kai-ong merupakan lawan yang berat, tongkatnya menyambar-nyambar
mendatangkan angin keras. Akan tetapi gerakan kakek itu lamban, dan teringatlah
Lin Lin bahwa kakek pengemis mata satu ini pun sudah terluka parah. Kalau tidak
terluka, agaknya wanita itu bukan lawannya. Lin Lin makin mendekat dan alangkah
kaget dan marahnya ketika ia mengenal wanita itu yang bukan lain adalah Sian
Eng!
“Enci Sian
Eng, jangan takut. Kubantu kau menghajar mampus iblis ini!” Setelah berkata
demikian, tubuhnya berkelebat ke depan, didahului sinar kuning emas pedangnya
yang sudah menerjang It-gan Kai-ong dengan ganas.
Maklum akan
kelihaian lawan, serta-merta Lin Lin mainkan jurus-jurus yang ia pelajari dari
ilmu rahasia dalam tongkat pusaka Beng-kauw. Hebat gerakannya itu, biar pun
belum matang sekali namun karena jurus-jurus itu adalah jurus sakti yang khusus
diciptakan oleh mendiang pendiri Beng-kauw, Pat-jiu Sin-ong, maka hebatnya
bukan main.
Begitu
pedangnya bergerak, It-gan Kai-ong berseru, “Uhhhhh!” dan kakek ini terhuyung
ke belakang, hampir saja perutnya termakan ujung pedang.
“Bagus,
Lin-moi adikku! Mari bantu aku bikin mampus anjing ini!” teriak Sian Eng dengan
gembira dan kedua tangannya melakukan serangan hebat, dengan jari-jari terbuka
mencengkeram ke arah dada kakek itu.
Lin Lin
tertegun karena melihat betapa kedudukan kaki dan gerakan tangan enci-nya itu
mirip sedikit dengan ilmu barunya! Hal ini sebenarnya tidak aneh karena sebuah
di antara kitab yang dipelajari Sian Eng di dalam goa adalah kitab ilmu silat
Beng-kauw peninggalan Tok-siauw-kui yang tentu saja dasarnya sama dengan ilmu
yang ia warisi dari Pat-jiu Sin-ong. Karena ini ia menjadi gembira dan mainkan
pedangnya.
Secara aneh
sekali, gerakan mereka seimbang dan setelah mereka menyerang bersama, maka
serangan itu merupakan rangkaian yang cocok dan daya serangannya hebat bukan
main. It-gan Kai-ong yang sudah terluka parah dalam pertandingannya melawan
Suling Emas beberapa hari yang lalu menjadi terkejut sekali. Biar pun dua orang
gadis itu sudah mewarisi ilmu-ilmu kesaktian yang luar biasa, namun andai kata
ia tidak terluka parah, agaknya tidaklah mudah bagi mereka untuk dapat
mengalahkannya.
Akan tetapi,
apa hendak dikata, ia terluka hebat dan luka itu belum sembuh, maka sekarang ia
menghadapi keroyokan ini dengan berat. Beberapa kali ia terhuyung dan pada saat
ia menangkis Pedang Besi Kuning dengan tongkat yang ia buat dari dahan pohon,
kedua senjata itu saling tempel tak dapat dipisahkan lagi. Inilah saat yang
celaka bagi It-gan Kai-ong karena pada detik berikutnya, pukulan tangan kanan
Sian Eng dengan hebat menghantam lambungnya.
“Blukkk...!”
It-gan
Kai-ong memekik aneh dan mulutnya menyemburkan darah segar, lalu tubuhnya
terjengkang ke belakang. Pedang Besi Kuning yang sudah terlepas dari tempelan
tongkat, menyambar dan sebuah bacokan membuat pundak kiri It-gan Kai-ong hampir
putus. Kakek itu roboh dan pingsan seketika.
“Adikku,
pinjamkan pedangmu sebentar!” kata Sian Eng dengan suara bersorak, kemudian ia
menerima Pedang Besi Kuning itu dan... sambil tertawa-tawa seperti orang gila
Sian Eng lalu menghujani tubuh It-gan Kai-ong dengan bacokan dan tusukan
sehingga dalam sekejap mata saja tubuh kakek itu hancur tidak karuan macamnya
lagi.
“Sudah, Enci
Eng...!” Lin Lin merasa ngeri dan memalingkan mukanya. Ia merasa ngeri dan
heran mengapa enci-nya menjadi begitu ganas. “Cukup! Dia sudah mati...!”
Akan tetapi
Sian Eng terus membacok-bacok sambil tertawa-tawa sampai tubuh itu tidak
merupakan tubuh manusia lagi, melainkan merupakan daging cacahan yang
mengerikan. Tiba-tiba ia berhenti membacok, melempar pedangnya ke atas tanah
lalu... gadis ini menjatuhkan diri di atas tanah sambil menangis tersedu-sedu,
sedih sekali.
Lin Lin
sejenak terkesima. Kemudian ia mengambil pedangnya, membersihkannya dengan
rumput dan menyarungkannya. Setelah itu ia mendekati Sian Eng, berlutut,
merangkulnya dan membujuk.
“Sudahlah,
Enci Eng. Mengapa kau agaknya begitu membencinya? Mengapa pula kau melarikan
diri secara aneh? Ada rahasia apakah yang terjadi padamu? Ceritakanlah kepada
adik...,” sampai di sini Lin Lin teringat dan menyambung, “ceritakan kepadaku,
apa yang kau susahkan.”
Mendengar
ini, Sian Eng menangis makin keras sampai tubuhnya berguncang-guncang
sesenggukan ketika ia membenamkan mukanya pada rangkulan Lin Lin. Akhirnya
tangisnya mereda dan ia dapat bicara, “Lin Lin, aku menangis saking girang
hatiku dapat membunuh anjing ini. Dapat membunuh... gurunya dan sekarang aku
akan mencarinya. Sebelum aku dapat membunuhnya, aku tidak mau berhenti!”
Lin Lin
belum dapat mengerti. “Membunuh siapa, Enci Eng?”
“Siapa lagi
kalau bukan murid anjing ini?”
Lin Lin
terkejut, terheran. Setahunya murid It-gan Kai-ong adalah Suma Boan. Memang
mereka semua membenci Suma Boan, akan tetapi mengapa agaknya enci-nya membenci
secara luar biasa?
“Kau
maksudkan, Suma Boan?”
Tiba-tiba
meledak lagi tangis Sian Eng. “Betul! Anjing biadab itu! Keparat jahanam Suma
Boan, kau tunggulah pembalasanku!” Ia berteriak-teriak.
Diam-diam
Lin Lin girang. Dia sendiri bermaksud mencari adik perempuan Suma Boan yang ia
anggap telah merampas kekasihnya. Akan tetapi di samping kegirangannya mendapat
teman enci-nya pergi ke kota raja, ia pun merasa heran bukan main.
“Enci Sian
Eng, memang Suma Boan itu bukan manusia baik-baik dan sudah sepatutnya kita
membencinya. Akan tetapi, kau sebut-sebut tentang pembalasan. Apakah artinya
itu?”
Sian Eng
merangkul Lin Lin. Pada saat itu ia telah kembali normal. Lin Lin merapikan
rambut enci-nya, mengatur dan menyanggulkannya kembali.
“Lin-moi,
dia... dia... ah, tadinya aku... aku telah gila. Aku... aku mencintanya....”
“Hemmm...?”
Tapi Lin Lin menindas keheranannya, “Apa anehnya dengan itu? Wajar, Enci.
Memang hati ini tidak dapat dikuasai kalau sudah menjatuhkan pilihannya.”
“Tapi dia
menipuku! Dia mengkhianatiku! Ah... Lin-moi, pilihanku keliru...!”
Sambil
menangis Sian Eng lalu menceritakan semua pengalamannya, mulai dia diperalat
oleh Suma Boan mencari ilmu warisan Tok-siauw-kui sampai peristiwa di dalam
perahu di mana ia dinodai oleh pemuda bangsawan yang berwatak kotor itu.
Berdiri
sepasang alis Lin Lin. Ia mempertemukan giginya dengan penuh kegemasan sambil
berkata, “Bedebah! Dia patut dibasmi! Mari kubantu kau, Enci Sian Eng. Kita
cari dia di kota raja dan kita bunuh anjing itu. Setelah itu, kita langsung
pergi ke istana karena aku pun harus membunuh adik perempuan Suma Boan.”
Kini Sian
Eng yang memandangnya dengan mata terbelalak heran. Saking kaget dan herannya,
Sian Eng lupa akan tangisnya dan dengan mata merah dan pipi masih basah air
mata ia menatap wajah adiknya, lalu bertanya, “Suma Ceng? Mengapa kau hendak
membunuh Suma Ceng? Aku pernah bertemu dengannya. Dia itu biar pun adik dari
Suma Boan, namun wataknya baik sekali, berbeda dengan kakaknya. Pula, dia
adalah bekas kekasih kakak Kam Bu Song yang sampai sekarang masih mencintanya.”
“Justru
itulah sebabnya mengapa aku harus membunuhnya!”
“Apa? Karena
ia mencinta kakak Bu Song?”
“Karena ia
berani mencinta Suling Emas!”
“Eh,
Lin-moi. Bagaimana itu? Apa salahnya itu? Mengapa kau marah melihat Suma Ceng
mencinta....”
“Karena aku
mencinta Suling Emas!” ucapan Lin Lin ini terdengar keras.
Sian Eng
melongo dan sejenak tak dapat mengeluarkan kata-kata. Kemudian ia memegang
lengan adiknya dan mengguncang-guncang, seakan-akan ia hendak membangunkan
adiknya dari pada tidur dan mimpi buruk.
“Lin-moi...!
Gilakah kau? Suling Emas adalah Kam Bu Song!”
“Aku tahu!”
jawabnya dingin.
Sian Eng
makin bingung. “Kau tahu dan kau bilang mencintanya? Suling Emas atau Kam Bu
Song adalah kakakmu...”
“Bukan!
Sekali lagi bukan kakakku! Pertalian apakah yang mengikat persaudaraan kami?
Dia itu kakak tiriku, memang betul. Kalian seayah lain ibu. Akan tetapi aku?
Aku adalah Yalin, Puteri Yalin, Puteri Mahkota Khitan! Dia itu, juga kau,
dengan aku adalah orang lain, berlainan darah. Mengapa aku tidak boleh mencinta
Suling Emas?”
Hening
sejenak. Agaknya Sian Eng terpukul mendengar kenyataan yang benar-benar
mengguncangkan hatinya ini. Sama sekali tak pernah disangkanya akan terjadi
keruwetan cinta kasih semacam ini. Tadinya ia mengira bahwa dialah orang paling
tidak beruntung di dunia ini, yang menjatuhkan hati secara keliru. Kiranya
sekarang terjadi pertalian asmara yang lebih aneh pada diri Lin Lin.
“Hemmm,
begitukah? Kau mencinta Suling Emas. Lalu, mengapa kau hendak membunuh Suma
Ceng? Dia sudah bersuami orang lain, sudah mempunyai anak, mengapa diganggu
lagi? Bagaimana sikap Suling Emas terhadap cintamu?”
Ditanya
begini, tiba-tiba Lin Lin menangis! Keadaan menjadi terbalik sama sekali.
Sekarang Lin Lin yang menangis dan Sian Eng memeluknya, menghiburnya. Kemudian
di antara isak tangisnya Lin Lin menceritakan pengalamannya, betapa secara aneh
Suling Emas menolak cintanya dengan alasan sudah tua, alasan yang sama sekali
tidak dipercayanya karena ia yakin bahwa kakak angkatnya itu juga mencintanya.
“Tentu
karena gara-gara Suma Ceng itulah maka ia tidak membalas cintaku, atau lebih
tepat ia memaksa diri memutuskan pertalian asmara denganku. Enci Sian Eng, biar
pun kita bukan saudara sedarah, namun semenjak kecil kita berkumpul. Aku akan
membantumu membunuh Suma Boan, kemudian kau membantu aku membunuh Suma Ceng.
Setelah itu, aku akan pergi ke Khitan untuk merampas kedudukan ratu yang
menjadi hakku. Nah, bagaimana? Apakah kau mau ikut denganku? Aku akan tetap
menganggapmu sebagai kakakku sendiri. Biarlah kita yang menderita karena asmara
ini bersama-sama menghadapi segala hal, sehidup semati.”
Sian Eng
terharu, merangkulnya dan kedua orang gadis itu bertangisan. Kemudian mereka
meninggalkan tempat itu, tempat yang amat menyeramkan karena di situ terdapat
onggokan daging, tulang dan darah It-gan Kai-ong yang sudah tidak dapat disebut
mayat lagi, dan tak lama setelah kedua orang gadis itu pergi, burung-burung
liar beterbangan datang untuk menyantap hidangan yang lezat bagi mereka ini!
***************

Sementara
itu, terjadi perubahan besar di kota raja Kerajaan Sung. Kaisar Sung Thai Cu,
Kaisar Kerajaan Sung pertama telah menyerahkan tahta kerajaan kepada adiknya
sendiri yang berjuluk Kaisar Sung Thai Cung. Kaisar baru ini juga melanjutkan
politik pemerintahan kakaknya, namun dibandingkan dengan Sung Thai Cu kaisar
kedua ini lebih berhasil. Kaisar Sung Thai Cung berani mempergunakan tangan
besi terhadap para pejabat tinggi yang melakukan penyelewengan, tidak mudah
dijilat oleh sikap memuji-muji, dan di samping ini, memperkuat pasukan kerajaan
dalam persiapan menggempur kerajaan-kerajaan kecil yang sampai saat itu belum
juga mau tunduk dan belum mengakui kekuasaan Kerajaan Sung.
Berbeda
dengan jaman kerajaan yang sudah-sudah, terutama di jaman Kerajaan Tang yang
sering kali terjadi perebutan kekuasaan dan perang saudara di kala tahta
kerajaan berpindah tangan, pemindahan kekuasaan dan penggantian kaisar kali ini
terjadi dengan aman dan tidak terjadi sesuatu keributan. Hal ini adalah karena
kebijaksanaan Kaisar Sung Thai Cu yang dalam hal ini melaksanakan anjuran
ibunya, yaitu menyerahkan kekuasaan dan mengangkat adiknya sendiri sebagai
penggantinya. Andai kata ia tidak bijaksana dan memaksa untuk mewariskan tahta
kerajaan kepada putera-puteranya yang kurang pengalaman, pasti hal ini akan
menimbulkan kekeruhan, mendatangkan perebutan kekuasaan dan perang saudara
seperti yang sudah-sudah.
Kaisar yang
baru, Sung Thai Cung, adalah seorang yang luas pandangan dan bijaksana. Namun
tindakannya yang pertama, yaitu membersihkan petugas-petugas negara yang korup
dan nyeleweng, sedikit banyak menimbulkan keributan pula dari para pembesar
yang melakukan perlawanan. Betapa pun juga, mereka ini semua dapat ditundukkan
dan diseret ke dalam penjara, bahkan banyak di antaranya yang diberi hukuman
mati. Biar pun peristiwa pembersihan ini melegakan hati rakyat, namun mengubah
suasana di kota raja.
Karena
terlalu banyak pembesar korup dibunuh, dan juga karena memang hampir semua
petugas tadinya menyeleweng, banyak di antara mereka yang melarikan diri
sebelum tertangkap. Mereka yang masih berani tinggal di kota raja dengan
harapan takkan diketahui dosa-dosa mereka yang lalu, tidak pernah berani keluar
rumah, takut ada jari telunjuk menudingnya. Inilah yang membuat kota raja menjadi
sunyi. Tidak ada lagi pembesar, lama mau pun baru, yang berani berfoya-foya dan
berpelesir seperti yang sudah-sudah.
Keadaan di
kota raja ini mempengaruhi pula keadaan kota-kota besar lain, terutama sekali
yang berdekatan dengan kota raja, seperti kota An-sui. Kota ini pun menjadi
sepi dan banyak pembesarnya melarikan diri atau ditangkap.
Gedung besar
Pangeran Suma Kong tetap berdiri megah dan pangeran tua ini tidak mau melarikan
diri. Memang ia dahulu terkenal sebagai seorang pangeran yang korup dan banyak
makan uang negara. Akan tetapi sudah bertahun-tahun ia tidak memegang tugas
lagi karena dipecat dan tidak diperbolehkan bertempat tinggal di kota raja oleh
kaisar pertama.
Selain
merasa bahwa dia sekarang sudah ‘bersih’, juga dengan adanya Suma Boan yang
amat terkenal, tentu saja keluarga bangsawan Suma ini tidak merasa takut.
Bahkan Suma Boan mengumpulkan anak buahnya, yaitu para buaya dan tukang pukul
yang memiliki kepandaian untuk menjaga gedungnya siang malam. Di luar gedung,
di setiap pintu, di atas genteng di sebelah kanan kiri dan belakang, semua
terjaga dengan kuat siang malam sehingga gedung Pangeran Suma itu seakan-akan
berubah menjadi sebuah benteng.
Setiap hari
para penjaga yang bertugas menjaga di pekarangan depan yang luas dari gedung
itu melewatkan waktu menganggur dengan latihan-latihan ilmu silat atau olah
raga lain yang. Selain untuk berlatih maksudnya juga sebagai ‘pamer kekuatan’
untuk membangun ketabahan sendiri dan untuk mengecilkan hati golongan yang
hendak memusuhi Pangeran Suma. Di situ terdapat delapan belas macam senjata dan
juga besi-besi dan batu-batu besar yang mereka angkat dan lempar-lemparkan ke
atas untuk mendemonstrasikan tenaga mereka. Penjagaan yang amat ketat ini
dilakukan siang malam sehingga keluarga itu seakan-akan mempunyai barisan
sendiri yang terdiri dari seratus orang lebih yang melakukan penjagaan secara
bergiliran.
Pada suatu
pagi yang cerah, seperti biasa belasan orang penjaga di pekarangan depan itu
bermain-main di pekarangan, mengangkat besi dan melempar-lempar batu, ada pula
yang bermain silat dengan pelbagai senjata. Di antara mereka, yang mempunyai
bentuk tubuh kuat dan menjadi ahli gwakang (tenaga luar), sengaja membuka baju
untuk memamerkan otot-otot yang besar melingkar-lingkar di tubuh mereka. Kelebatan
senjata tajam menyilaukan mata. Para penjaga yang bertugas di atas rumah juga
ikut menonton sambil bercakap-cakap dan tertawa-tawa.
Munculnya
Sian Eng di depan pintu pekarangan itu sekaligus menghentikan semua kegiatan
olah raga. Semua mata mengincar keluar dan senyum lebar menghias semua mulut
para penjaga itu, senyum dan pandang mata kurang ajar karena memang pemandangan
di pagi hari ini menyedapkan mata. Pakaian Sian Eng yang ringkas membungkus
tubuh yang langsing padat, wajah yang cantik jelita dengan hiasan rambut yang
hitam halus disanggul ke atas, gerakan yang lemah gemulai, semua ini merupakan
daya penarik yang mengagumkan hati semua laki-laki.
Sudah lazim
di dunia ini, apa bila melihat seorang wanita cantik, timbul kegembiraan di
hati pria. Kalau pria itu hanya sendirian, tentu tidak berani ia mengumbar
kekurang-ajarannya dan akan menyimpan kekagumannya dalam pandang mata dan
senyum. Kalau pria itu memang berwatak bersih, ia hanya akan menyimpan
kekagumannya di dalam hati. Akan tetapi kalau banyak laki-laki yang memang
wataknya kasar sedang berkumpul, tentu akan timbul kekurang-ajaran mereka dan
mulailah para penjaga ini tertawa-tawa.
“Aduhhhhh...
cantiknya...!”
“Wahai...
siapakah begitu bahagia memiliki bidadari ini?”
Demikian
bermacam-macam teriakan yang terdengar dari mulut mereka, bahkan di antara
mereka ada yang mulai pula melempar-lempar batu dan mengangkat-angkat besi
berat untuk pamer dan berusaha menarik perhatian gadis cantik ini. Namun Sian
Eng tidak pedulikan itu semua, kakinya langsung melangkah masuk dengan tenang.
Melihat
gadis itu betul-betul memasuki pekarangan, kegembiraan mereka memuncak dan
seorang di antara mereka, komandan jaga, segera melangkah maju bertanya,
suaranya digagah-gagahkan, “Nona, kau hendak mencari siapakah? Siapa di antara
kita yang hendak kau jumpai? Heee, teman-teman! Adakah di antara kalian yang
mengenal Nona ini?” kata-kata ini diteriakkan si komandan jaga dengan nada
tidak percaya.
“Aku...!”
“Aku
kenalannya!”
“Ah, akulah
sahabat baiknya!”
“Heee,
jangan mengacau! Dia tentu memilih aku!” teriak pula seorang penjaga yang
bertugas di atas genteng.
“Pilihlah
aku, Nona. Habis bulan semua gajiku akan kuserahkan padamu seluruhnya!” teriak
pula seorang yang tubuhnya tinggi besar.
“Ha-ha,
jangan percaya! Tentu sebagian sudah ia selundupkan ke tangan isterinya yang
pertama!”
Ramailah
suara para penjaga, bahkan banyak di antaranya yang mengeluarkan kata-kata
kotor dan tidak sopan. Akan tetapi Sian Eng tetap tenang tidak mempedulikan
mereka, bahkan tersenyum sedikit, senyum yang sebenarnya merupakan senyum
sedih. Akan tetapi karena memang ia manis sekali kalau tersenyum, maka senyum
ini mendatangkan teriakan-teriakan baru yang lebih riuh. Sian Eng menanti
sampai hiruk-pikuk itu reda, baru ia berkata.
“Aku ingin
bertemu dengan Suma Boan.”
Semua suara
sirap seketika dan semua mata memandang penuh curiga, penuh selidik. Semua
penjaga ini mengenal belaka kongcu mereka dan mengenal pula wanita-wanita yang
mempunyai hubungan dengan putera pangeran itu. Akan tetapi mereka belum pernah
melihat Sian Eng, oleh karena itu mereka menjadi curiga.
“Mengapa
mencari Suma-kongcu? Apakah kau kenal dia?” tanya si komandan matanya memandang
penuh selidik.
Sian Eng
mengangguk, “Aku kenal dia, harap suka panggil dia keluar.”
Seorang
penjaga yang bertelanjang dada, yang tubuhnya tegap dan kuat, melangkah maju.
“Nona cantik, mengapa mencari Kongcu? Apakah kita ini tidak cukup hebat? Kau
tinggal pilih. Lihatlah aku, hemmm, kalau kau menjadi kekasihku, kau akan aman.
Lihat betapa kuatnya aku!”
Ia lalu
membungkuk, kedua lengannya bergerak mengangkat sebuah batu besar. Otot-otot di
tangannya melingkar-lingkar dan menonjol keluar ketika ia melemparkan batu itu
ke atas, disambut dan dilemparkan lagi berkali-kali, seakan-akan seorang anak
kecil bermain-main dengan sebuah bola karet yang ringan. Akhirnya ia membanting
batu seberat seratus kati lebih itu ke atas tanah, ke depan Sian Eng, sambil
mengangkat dada dengan penuh kebanggaan.
Sejak tadi
sebetulnya hati Sian Eng sudah panas dan marah, akan tetapi ditahan-tahannya.
Pikirannya sedang normal maka ia dapat mempergunakan kesabarannya, apa lagi
memang kedatangannya ini sudah ia rencanakan bersama Lin Lin. Mereka sudah
beberapa malam mengitari gedung akan tetapi tidak melihat jalan aman untuk
memasuki gedung. Demikian ketat penjagaan di situ dan mereka berdua maklum
bahwa menghadapi Suma Boan saja sudah berat, apa lagi kalau dikeroyok banyak
penjaga dan siapa tahu di dalam gedung itu bersembunyi pula orang-orang sakti
yang membantu Suma Boan.
Akan tetapi
menyaksikan lagak orang-orang ini, Sian Eng hampir tidak kuat menahan kesabaran
hatinya. Ia melangkah maju mendekati tempat itu, kaki kirinya bergerak dan...
batu besar itu terlempar ke arah penjaga bertelanjang dada yang sedang
membusungkan dadanya itu.
“Uhhhhh...!”
orang itu berseru kaget.
Terpaksa
menerima batu itu, namun ia tidak kuat menahan dan tubuhnya terlempar ke
belakang sampai beberapa meter. Untung batu itu segera ia lempar ke samping
sehingga tidak menimpa dadanya, namun hantaman tadi cukup membuat ia
terengah-engah dan dari mulutnya keluar darah!
Ributlah
para penjaga itu. Makin curiga mereka karena ternyata bahwa gadis cantik ini
memiliki ilmu kepandaian tinggi. Akan tetapi Sian Eng segera berkata dengan
suara ketus. “Aku adalah kenalan baik Suma Boan, apakah kalian masih berani
main-main? Tunggu saja kalau Kongcu kalian melihat kekurangajaran kalian, aku
akan minta dia memenggal kepala kalian seorang demi seorang!”
Kata-kata
ini berpengaruh sekali. Mereka segera mundur dengan muka pucat dan komandan
jaga segera mengedipkan mata kepada kawan-kawannya, kemudian ia sendiri
berkata, “Maaf, karena kami tidak mengenal Nona, maka berani bersikap kasar.
Harap Nona tunggu sebentar, saya akan melaporkan kepada Suma-kongcu.”
Sian Eng
hanya mengangguk, kemudian ia menghampiri penjaga yang masih duduk
terengah-engah. “Kau tidak lekas berlutut?!” bentaknya.
Penjaga yang
sial ini sudah mendengar juga tadi pengakuan gadis lihai ini sebagai kenalan
baik Suma-kongcu, maka dengan menahan rasa sakit dan hati penuh rasa takut akan
kemarahan majikannya, ia segera berlutut dan mengangguk-anggukkan kepala minta
ampun. Tiba-tiba mereka semua, para penjaga itu, menjadi ngeri dan merasa seram
karena gadis cantik itu tertawa meleking aneh dan terdengar bukan seperti suara
ketawa manusia.
“Pergilah!”
kaki Sian Eng bergerak dan penjaga itu terlempar beberapa meter jauhnya,
bergulingan seperti sebuah bola ditendang. Anehnya, ia merasa dadanya tidak
sesak lagi, maka cepat ia meloncat berdiri, mengangguk dengan hormat dan
mengundurkan diri!
“Moi-moi...!”
Pada saat itu Suma Boan muncul dari pintu samping. Ketika menerima laporan
bahwa seorang gadis cantik yang amat lihai datang mencarinya, Suma Boan menjadi
curiga dan mengintai dengan jalan memutar dari pintu samping. Akan tetapi
begitu melihat bahwa yang datang adalah Sian Eng, hatinya berdebar keras. Tentu
saja ia menjadi curiga dan menyangka buruk. Akan tetapi karena Sian Eng hanya datang
seorang diri, timbul ketabahan hatinya, dan pula memang ia merasa suka kepada
gadis cantik yang ia tahu amat mencintanya ini. Maka dengan hati berdebar dan
sikap waspada, pemuda ini lalu muncul dan memanggil dengan suara penuh kasih
sayang, wajah berseri, akan tetapi sinar matanya penuh selidik menatap wajah
yang cantik jelita dan agak pucat itu.
“Koko...!”
Sian Eng juga berseru dengan suara tertahan, seakan-akan ia merasa girang dan
terharu, mukanya tiba-tiba menjadi merah seperti orang malu dan jengah. “Aku...
aku ingin bicara penting denganmu...!”
Berdebar-debar
jantung Suma Boan. Akan tetapi pandang matanya masih penuh selidik, ingin ia
menjenguk isi hati gadis itu. Ia tahu bahwa Sian Eng mencintanya, akan tetapi
tahu pula bahwa gadis itu bisa mendendam kepadanya dan bisa membenci karena
perbuatannya terhadap gadis itu di dalam perahu. Tentu saja ia tidak mencinta
dengan setulus dan sejujurnya hati terhadap Sian Eng, melainkan mencintanya
karena gadis itu memang cantik jelita. Bagi seorang laki-laki semacam Suma
Boan, ia selalu jatuh cinta kepada wanita cantik, berapa pun banyaknya. Cinta
yang berdasarkan nafsu birahi, cinta yang berdasarkan ingin menyenangikan diri
sendiri. Di samping kecantikan Sian Eng, juga gadis ini telah menemukan
kitab-kitab peninggalan Tok-siauw-kui yang amat ia inginkan.
Namun Suma
Boan adalah seorang laki-laki yang sudah banyak pengalamannya, pula ia terkenal
cerdik, maka ia masih saja menaruh curiga. Tentu saja ia cukup percaya akan
kepandaian sendiri, tahu bahwa Sian Eng seorang diri saja takkan mampu berbuat
buruk terhadapnya. Akan tetapi ia sudah membuktikan keadaan aneh gadis ini yang
seakan-akan telah menemukan ilmu dan memilikinya secara hebat, sungguh pun
belum sempurna benar.
“Koko, aku
mau bicara tentang... kitab...”
Seketika
wajah Suma Boan berseri. Keinginannya mendapatkan kitab-kitab peninggalan
Tok-siauw-kui amat besar. Apa lagi pada waktu sekarang setelah keadaan
pemerintahan di kota raja terjadi perubahan dan ia merasa betapa kedudukan
keluarga ayahnya terancam. Ia ingin sekali mendapatkan kitab-kitab itu dan
mewarisi kepandaian yang akan membuat ia menjadi seorang jagoan nomor satu yang
ditakuti semua lawan.
“Moi-moi...,
aku girang sekali kau datang. Marilah kita bicara di dalam...!” Ia melangkah
maju, memegang lengan Sian Eng dan menggandengnya.
Sian Eng
menurut saja dan berjalanlah mereka bergandengan tangan menuju ke ruangan
dalam, melewati pagar penjaga yang berdiri tegak tanpa berkedip. Suma Boan yang
menggandeng dan merapatkan tubuhnya merasa betapa jantung di dalam dada gadis
itu berdebar-debar keras. Diam-diam ia merasa bahagia sekali karena mengira
bahwa gadis ini terlalu girang bertemu dengannya.
Setelah
mereka memasuki ruangan sebelah dalam, Suma Boan segera menarik gadis itu ke
dalam sebuah kamar tamu yang indah, tiba-tiba ia memeluk Sian Eng dan
menciuminya. Sejenak Sian Eng menurut saja, kemudian perlahan ia merenggutkan
dirinya, terlepas dari pelukan Suma Boan yang makin merasa yakin bahwa gadis
ini tidak marah atau benci kepadanya.
“Moi-moi,
kekasihku yang tercinta,” bisik Suma Boan, masih memegangi kedua tangan gadis
itu, “alangkah rinduku kepadamu! Kau datang seperti seorang bidadari dari sorga
yang turun ke dunia untuk menghibur hatiku. Moi-moi, aku tidak akan
melepaskanmu lagi, jangan kau pergi meninggalkan aku lagi. Mari kita hidup bahagia
di rumahku ini!”
“Suma-koko,
kau sudah mengenal hatiku. Perkara itu belum waktunya kita bicarakan.
Kedatanganku ini membawa urusan yang amat penting. Lepaskan tanganmu dan mari
kita bicara baik-baik.” Sian Eng menarik tangannya.
Suma Boan
tersenyum dan sengaja menekan jantungnya yang berdebar saking girangnya, karena
di depan gadis ini ia harus menyembunyikan perasaannya bahwa ia jauh lebih
‘cinta’ pada kitab-kitab pusaka peninggalan Tok-siauw-kui dari pada diri gadis
ini.
“Marilah,
Adik Sian Eng, kita duduk di sana.” Ia menarik Sian Eng dan keduanya lalu duduk
di atas dipan yang terdapat di kamar itu. Suma Boan tetap tidak melepaskan
gadis itu, duduk di sampingnya sambil memeluknya. Sian Eng tidak menolak lagi
dan ia berkata perlahan.
“Koko, kau
tentu maklum akan perasaan seorang gadis. Saking kaget dan duka hatiku, ketika
di dalam perahu dahulu...,” suaranya tersendat dan kedua pipinya menjadi merah
sekali, “secara tidak sadar aku menyerangmu dan kemudian melarikan diri. Baru
kemudian aku merasa betapa... aku tak dapat hidup terpisah dari padamu, maka...
maka aku datang ke sini....”
Girang
sekali hati Suma Boan. Ia mengelus-elus rambut kepala gadis itu lalu berkata,
“Aku tahu, Moi-moi. Aku... aku lupa daratan waktu itu saking besarnya cintaku
kepadamu. Tentang kitab-kitab itu... eh, bukankah kau tadi bilang mau bicara
tentang kitab?”
Wajah Sian
Eng berseri dan ia tersenyum lebar. “Kitab-kitab? Ah, belum kuceritakan
kepadamu bahwa setelah aku pergi dari perahu, aku memasuki lagi goa rahasia dan
mengambil semua kitab peninggalan Tok-siauw-kui. Kau tahu kitab-kitab apa yang
kudapatkan? Kitab rahasia dari Siauw-lim-pai, kitab ilmu pedang dari Kun-lun,
kitab rahasia tentang ilmu kesaktian Beng-kauw, ada pula kitab yang mengajarkan
ilmu-ilmu mukjijat tentang melawan maut, malah ada kubaca sepintas lalu judul
sebuah kitab yang mengajarkan ilmu menghilang dan terbang!”
Seperti
seorang kelaparan mendengar cerita tentang makanan-makanan lezat, Suma Boan
menelan ludah. Akan tetapi sebagai seorang yang cerdik ia menahan gelora
hatinya ini dan cepat memeluk Sian Eng. “Ah, kekasihku yang baik. Sesungguhnya,
soal kitab itu bagiku hanya soal kecil. Yang penting, yang selalu kurindukan,
yang selalu kuimpikan, adalah dirimu, Adik Sayang! Akan tetapi aku khawatir sekali
karena kau sudah mendapatkan kitab-kitab itu, tentu kau menjadi incaran
orang-orang dunia kang-ouw. Akan lebih aman kalau kau tinggal bersamaku di
sini, beserta kitab-kitab itu yang boleh kita pelajari bersama. Kita kelak akan
menjadi suami isteri yang paling hebat di kolong langit! Di manakah sekarang
kitab-kitab itu? Mari kita ambil dan bawa ke sini, Moi-moi.”
Sian Eng
tersenyum manis, biar pun hatinya penuh kebencian ketika pemuda yang ia cinta
akan tetapi yang menghancurkan cinta kasihnya dengan pengkhianatan itu
menciuminya mesra. “Itulah sebabnya aku datang, Koko. Kitab-kitab itu
kusembunyikan di tempat rahasia. Akan tetapi aku tidak berani mengambilnya
sendiri dan membawanya ke sini. Kau benar, kalau sampai ketahuan orang
kang-ouw, tentu mereka akan berusaha merampasnya. Marilah kau ikut denganku ke
tempat itu, tidak jauh, kita bersama mengambil kitab-kitab itu dan membawanya
ke sini. Akan tetapi... apakah betul kau akan tetap setia kepadaku?” Sian Eng
pura-pura memandang penuh curiga.
“Ah, Sian
Eng, kekasihku, apakah kau masih tidak percaya kepadaku?” Tiba-tiba pemuda itu
berlutut di depan Sian Eng, merangkul kedua kakinya!
Sejenak
sepasang mata yang bagus itu mengeluarkan sinar berapi. Alangkah inginnya ia
menggerakkan tangan, sekali pukul ubun-ubun kepala yang tunduk di depannya itu
ia akan dapat membunuh Suma Boan. Akan tetapi ia teringat akan banyaknya penjaga
dan ia tentu akan terkurung dan berada dalam bahaya.
“Mari kita
pergi sekarang, Koko.”
“Sekarang?
Mengapa tergesa-gesa? Pula, berbahaya sekali mengambilnya di waktu siang. Lebih
baik malam nanti kita pergi, Adikku.”
Karena tahu
bahwa kalau ia mendesak, Suma Boan pasti akan menaruh curiga, gadis itu
terpaksa menyetujui. Pula, memang lebih baik pergi di waktu malam untuk
melaksanakan rencananya yang sudah ia atur dengan Lin Lin ini. Ia harus berani
berkorban, demi maksud hatinya membalas dendam. Hatinya perih dan makin sakit,
akan tetapi Sian Eng rela menjadi permainan Suma Boan sebelum ia mendapat
kesempatan menghancurkan orang yang telah membasmi kebahagiaan hatinya.
Ia terpaksa
menuruti kehendak Suma Boan terpaksa ia menyerah dan menahan-nahan kemuakan
hatinya ketika Suma Boan membuktikan ‘cinta kasihnya’, yang sesungguhnya bukan
lain hanya terdorong nafsu semata-mata. Makin bencilah hati Sian Eng, dan
ketika hari terganti malam Suma Boan menggandeng tangannya keluar dari gedung,
hampir Sian Eng tak kuat menahan kebenciannya. Baru setelah mereka berjalan di
dalam gelap, gadis ini mencucurkan air mata yang cepat-cepat ia usap dengan
ujung lengan bajunya.
Suma Boan
kini percaya betul kepada Sian Eng. Siang tadi, gadis ini menyerah ikhlas
kepadanya, tanda bahwa gadis ini benar-benar datang karena cintanya. Penyerahan
gadis inilah menjadi bukti baginya bahwa di balik kedatangan Sian Eng tidak ada
rahasia apa-apa. Kalau tadinya ia menaruh curiga dan menyangka akan adanya
jebakan, maka dengan penyerahan diri Sian Eng kepadanya, maka kecurigaan itu
lenyap sama sekali. Kini ia yakin bahwa Sian Eng benar-benar mencintanya,
benar-benar datang hendak menyerahkan diri sambil membawa kitab-kitab yang
berharga. Maka dapat dibayangkan betapa bahagia rasa hati putera pangeran ini.
Mereka
memasuki hutan yang letaknya di sebelah barat kota An-sui. Hutan yang tidak
terlalu luas akan tetapi cukup gelap karena pohon-pohon besar memenuhi hutan
itu.
“Baik sekali
kau tidak mengajak pengawal, Koko. Urusan ini lebih baik tidak diketahui orang
lain.”
“Memang
betul, Moi-moi. Kalau saja kau tidak membuktikan cinta kasihmu yang besar siang
tadi, tentu aku akan mengajak pengawal-pengawal. Maklumlah, bukan aku kurang
percaya kepadamu, akan tetapi perubahan di kota raja membuat musuh-musuhku
mencari kesempatan untuk menghancurkan aku. Di manakah goa itu, Adikku?”
“Di sebelah
sana, sudah dekat. Mari!” Di dalam gelap itu, dengan ‘mesra’ Sian Eng
menggandeng tangan Suma Boan dan diajaknya berlari menuju ke tengah hutan. Tak
lama kemudian mereka berhenti di depan sebuah goa yang depannya tertutup oleh
rumput alang-alang. Sian Eng menarik tangan Suma Boan, diajak memasuki goa yang
gelap itu sambil menyingkap alang-alang yang tinggi menyembunyikan goa.
"Mari
masuk, kusembunyikan di dalam situ.” Mereka lalu memasuki goa yang cukup besar
itu dengan jalan berindap-indap.
Suma Boan
mulai curiga dan bersikap waspada, akan tetapi karena tidak mendengar suara
apa-apa, ia ikut dengan Sian Eng melangkah masuk ke dalam goa. Setelah mereka
melangkah maju sejauh lima meter, mereka bertemu dengan dinding goa.
“Di mana
kitab-kitabnya?” Suma Boan berbisik.
Akan tetapi
tiba-tiba Sian Eng merenggutkan tangannya sehingga Suma Boan amat kaget. Goa
itu gelap, ia melihat bayangan Sian Eng menjauhkan dirinya.
“Moi-moi...
di mana kau? Mana kitabnya...?”
Tiba-tiba
matanya silau oleh sinar api yang dibuat orang dari luar dan beberapa detik
kemudian, Lin Lin yang membawa obor di tangannya telah meloncat masuk, obor di
tangan kiri, pedang bersinar kuning di tangan kanan! Juga Sian Eng menyambar
sebuah obor, dinyalakannya dan menaruh obor itu di sudut goa. Keadaan menjadi
terang menyeramkan.
Suma Boan
berdiri terbelalak. Matanya mencari-cari dan ternyata goa itu kosong sama
sekali. Luasnya lima meter persegi. Di depannya kini berdiri dua orang gadis
berdampingan dan menutup jalan ke luar. Lin Lin dengan pedang bersinar kuning
di tangannya. Sian Eng dengan kedua tangan terbuka, jari tangannya menegang,
matanya terbelalak penuh kebencian. Diam-diam Suma Boan merasa ngeri juga, akan
tetapi karena ia seorang laki-laki yang tabah dan berilmu tinggi, ia dapat
menekan perasaannya dan pura-pura tidak dapat menduga kehendak mereka.
“Moi-moi...
adikku Sian Eng yang manis, mengapa tiba-tiba adikmu ini muncul? Dan manakah
kitab-kitab yang kau janjikan?”
“Suma Boan
manusia iblis! Kematian sudah di depan mata, masih pura-pura tidak tahu akan
dosa-dosamu?” bentak Sian Eng dengan suara gemetar saking menahan kemarahan
yang meluap-luap, kemarahan dan kebencian yang selama ini memenuhi dadanya,
yang selalu ditahan-tahan dan ditutupi sikap kasih sayang untuk dapat memancing
dan menipu Suma Boan.
“Apa...?
Eng-moi... apakah maksudmu? Bukankah kau juga mencintaku seperti aku
mencintamu? Bukankah tadi... kau menyerahkan diri sepenuhnya dengan rela dan
suka kepadaku?”
“Tutup
mulutmu yang kotor!” bentak Sian Eng sambil melangkah maju penuh ancaman.
“Ooooohhh, betapa bencinya aku! Makin benci mendengar kata-katamu. Suma Boan
manusia berhati binatang, perbuatanmu yang biadab terhadap diriku di dalam
perahu telah menodai cinta kasihku, telah merobek-robek hatiku, telah mengubah
cintaku menjadi benci yang sebesar-besarnya. Aku ingin mengganyang jantungmu,
ingin kuhirup darahmu dan kukeluarkan isi perutmu!”
Suma Boan
kaget bukan main, merasa ngeri dan gentar. Mulai menyesallah hatinya mengapa ia
terburu-buru menodai gadis ini yang ternyata tadinya benar-benar mencintanya.
Akan tetapi semua itu telah terlanjur dan melihat bahwa yang menentangnya hanya
dua orang gadis ini, tentu ia segera dapat mengusir rasa jerinya. Ia tersenyum
mengejek dan berkata.
“Hemmm, Sian
Eng. Dengan kepandaianmu dan dibantu adikmu, apa kau kira akan mudah saja
mengalahkan aku? Kau tahu, tingkat ilmu kepandaianku jauh melebihimu. Juga jauh
melebihi kepandaian adikmu. Insyaflah akan hal ini dan kalian ini nona-nona
manis, sayang sekali kalau sampai tewas di tanganku. Lebih baik kalian hayo
ikut denganku, hidup penuh kesenangan di istanaku sambil memperdalam ilmu
silat....”
“Laki-laki
ceriwis...!” Lin Lin membentak dan pedangnya berubah menjadi sinar kuning,
menyambar ke arah leher Suma Boan.
Pemuda ini
terkejut. Tak disangkanya gerakan Lin Lin demikian cepatnya, maka ia segera
mengelak dengan meliukkan tubuh ke bawah sambil mendorong dengan tangannya ke
arah siku yang memegang pedang ketika pedang itu lewat di atas kepalanya. Namun
Lin Lin yang bersilat dengan ilmu saktinya yang baru, yaitu Cap-sha Sin-kun,
segera dapat merubah letak pedangnya yang kini membalik ke bawah, menyambar
dengan gerakan pergelangan tangan sehingga tangan Suma Boan yang tadinya hendak
mencengkeram siku, kini berbalik disambar mata pedang!
“Aaaiiihhh!”
Suma Boan yang sudah menarik lengannya itu kini menjerit sambil melompat ke
atas dan berjungkir balik ke belakang karena kembali sinar pedang Lin Lin yang
tadi dapat dielakkannya itu sudah berubah menjadi segulungan sinar kuning yang
berpusing di sekitar dada dan lehernya! Hanya dengan cara berjungkir balik
seperti tadi maka ia selamat.
“Bersiaplah
menerima hukuman!” bentak Sian Eng.
Kembali Suma
Boan terkejut sekali karena tiba-tiba angin menyambar berputaran dari arah Sian
Eng ketika gadis itu menerjangnya dengan pukulan yang gerakan-gerakannya aneh
sekali. Suma Boan baru saja terbebas dari ancaman maut pedang Lin Lin, kini ia
cepat menggerakkan tubuhnya miring ke kiri sambil mengibaskan tangannya dengan
tenaga sinkang sepenuhnya untuk menangkis.
“Wuuuttt!
Wuuuttttt!” Angin pukulan kedua pihak yang disertai tenaga sinkang itu saling
sambar dan baiknya Suma Boan adalah seorang jagoan yang terlatih, maka biar pun
ia merasa tergetar oleh hawa pukulan mukjijat dari Sian Eng, namun tidak
membuatnya roboh dan tangkisannya tadi berhasil.
“Singgg...!”
Kembali sinar kuning pedang Lin Lin menyambar, disusul pukulan Sian Eng yang
tidak kalah mengerikan dari pada sambaran pedang. Kedua orang gadis itu
menerjangnya susul-menyusul dan bertubi-tubi dengan kecepatan yang luar biasa
dan gerakan yang amat aneh.
“Kalian
hendak mengadu nyawa? Boleh!” Akhirnya Suma Boan memekik marah karena ia tidak
melihat jalan ke luar lagi.
Betapa pun
juga, dalam hal ilmu silat ia lebih banyak pengalaman kalau dibandingkan dengan
dua orang gadis ini. Maka cepat ia mengerahkan tenaga dan mengeluarkan seluruh
kepandaiannya yang ia dapat dari beberapa orang guru pandai, di antaranya
terutama sekali It-gan Kai-ong. Bertahun-tahun putera pangeran ini menjagoi
daerah An-sui, bahkan namanya terkenal sampai di kota raja, ditakuti orang dan
pengaruhnya besar sekali.
Saking
lihainya, ia sampai mendapat julukan Lui-kong-sian atau Dewa Geledek karena
pukulan tangannya selalu ampuh dan sekali pukul cukup untuk mengantar nyawa
lawan ke akherat. Entah berapa banyaknya lawan yang sudah terbunuh oleh
pukulannya. Ketenaran namanya dan kehebatan ilmunya inilah yang membuat Suma
Boan menjadi manusia sombong, memandang rendah orang lain, dan ke mana pun ia
pergi, ia tidak pernah membawa senjata karena ia menganggap bahwa kedua
pukulannya sudah cukup untuk mengalahkan musuh yang bagaimana pun juga.
Di antara
banyak macam kepandaiannya menggunakan tangan kosong, yang paling hebat adalah
ilmu pukulan yang ia pelajari dari It-gan Kai-ong yaitu yang disebut
Ho-tok-ciang (Tangan Racun Api). Kalau dipergunakan pukulan ini hebatnya bukan
kepalang karena dapat membuat badan lawan yang terpukul menjadi hangus! Jarang
sekali Suma Boan menggunakan ilmu pukulan ini, karena sungguh pun hebat
akibatnya kalau mengenai tubuh lawan, juga merugikan diri sendiri. Pengerahan
sinkang di tubuhnya yang dibarengi dengan penggunaan racun yang panas seperti
api dapat merangsang dirinya sendiri sehingga dapat mendatangkan luka pada
kedua lengannya.
Menghadapi
pengeroyokan Lin Lin dan Sian Eng yang mempunyai gerakan-gerakan aneh mukjijat
itu, mula-mula Suma Boan menggunakan semua ilmu silat yang ada untuk melawan.
Namun baru dua puluh jurus lewat saja ujung pedang Lin Lin sudah menggurat
pahanya dan pukulan Sian Eng yang ditangkisnya meleset mengenai pundak sehingga
membuatnya terhuyung-huyung. Kagetlah Suma Boan dan tahulah ia sekarang bahwa
ia berada dalam bahaya. Kiranya dua orang gadis ini bukanlah Lin Lin dan Sian
Eng setahun yang lalu, jauh selisihnya. Dua orang gadis ini mainkan ilmu silat
yang amat aneh, ganas dan selain itu, tenaga mereka secara ajaib telah menjadi
berpuluh kali lebih kuat dari pada dahulu.
“Hiaaattt!”
Ketika Sian Eng menerjang lagi, Suma Boan memekik dan meloncat ke kanan sampai
mepet dinding goa.
Secepat
kilat pemuda ini mengeluarkan racun dari sakunya. Kedua telapak tangannya
digosok-gosokkan dengan racun bubuk itu sehingga bubuk itu hancur memasuki
telapak tangannya. Ketika ia membuka kedua lengannya, telapak tangan itu
kelihatan menyala! Menyala dan mengeluarkan asap seperti arang dibakar. Hawa
panas segera memenuhi goa.
“Awas
tangannya, Enci!” Lin Lin berseru dengan kaget.
Akan tetapi
gadis ini tidaklah menjadi gentar sungguh pun lawan menggunakan ilmu yang
begitu aneh. Malah khawatir kalau-kalau Sian Eng celaka oleh tangan api itu,
Lin Lin sudah menerjang maju lebih dulu, memutar pedangnya dan sekaligus ia
menggunakan jurus Soan-hong-ci-tian (Angin Puyuh Mengeluarkan Kilat), sebuah di
antara tiga belas jurus ilmu saktinya.
Sian Eng
juga mengeluarkan suara melengking tinggi, tubuhnya mencelat ke atas dan dari
atas ia menyambar turun dengan kedua tangan terbuka jari-jarinya seperti hendak
mencengkeram kepala lawannya.
Di antara
kedua orang pengeroyoknya, Sian Englah yang amat dibuat ngeri oleh Suma Boan.
Ia maklum bahwa gadis ini menaruh kebencian besar kepadanya, menaruh dendam
yang hanya dapat diredakan oleh darah dan nyawa. Oleh karena itu, begitu
melihat datangnya serangan mereka yang demikian dahsyatnya, Suma Boan segera
mendahului menggempur Sian Eng yang menyambar turun dari atas dengan dorongan
kedua tangannya yang mengandung tenaga Ho-tok-ciang.
Melihat ini,
Sian Eng nekat. Ia segera mengerahkan tenaga menurut ajaran kitab-kitab yang ia
temukan di goa rahasia bawah tanah, lalu memekik tinggi. Belum juga kedua
pasang tangan itu bertemu, hawanya sudah menyusup ke tulang sumsum. Sian Eng
merasa betapa hawa panas memasuki kedua lengannya, sebaliknya Suma Boan kaget
sekali karena serasa kedua lengannya dingin dengan mendadak.
Tiba-tiba
mata Suma Boan menjadi silau oleh cahaya kuning. Ia menjerit dan cepat
mempergunakan tangan kiri untuk mencengkeram pedang Lin Lin yang menyambar.
Kalau tangannya sudah dimasuki tenaga Ho-tok-ciang macam itu, ia tidak takut
untuk menangkis atau mencengkeram senjata tajam.
Gerakan
inilah yang mencelakakan Suma Boan. Andai kata ia menggunakan seluruh tenaganya
menyambut Sian Eng, tentu gadis itu akan kalah kuat dan celaka oleh hebatnya
hawa pukulan Ho-tok-ciang. Atau andai kata ia menggunakan kedua tangannya dan
mengerahkan seluruh tenaga untuk menyambut pedang Lin Lin, tentu pedang itu
akan terampas dan Lin Lin akan menemui bahaya maut. Akan tetapi setelah Suma
Boan membagi perhatian dan tenaga, juga membagi kedua tangannya, kini berbalik
ia yang kalah kuat.
Terdengar
jerit mengerikan ketika mereka bertiga itu dalam detik yang sama saling
berbenturan. Siang Eng terhuyung mundur, juga Lin Lin terhuyung mundur, akan
tetapi Suma Boan terlempar ke belakang, dan hanya dapat berdiri sambil
bersandar dinding goa. Tangan kanannya lumpuh, tangan kirinya luka berdarah dan
hilang dua buah jarinya. Sejenak ia tertegun, akan tetapi tiba-tiba rasa sakit
dari kedua tangannya tak tertahankan lagi.
Tangan
kanannya yang kalah kuat ketika bertemu dengan kedua tangan Sian Eng membuat
tenaga beracun Ho-tok-ciang membalik dan kini rasa panas berselubung rasa
dingin akibat hawa pukulan Sian Eng memasuki dan menjalar perlahan-lahan dalam
lengannya. Bukan main nyerinya, sampai seperti menusuk-nusuk jantung. Ada pun
tangan kirinya yang termakan Pedang Besi Kuning juga terasa perih dan gatal.
Pedang Besi Kuning adalah pedang pusaka yang tidak beracun, akan tetapi
mengandung khasiat anti racun. Karena lengan kiri Suma Boan tadinya penuh hawa
beracun, begitu termakan oleh pedang ini, maka hawa yang anti racun itu
memerangi racun di tangan itu, maka mendatangkan rasa nyeri yang luar biasa.
“Aduh...
aduh... mati aku... aduh tanganku...!” Suma Boan tidak kuat menahan. Tubuhnya
terguling, ia merintih-rintih lalu bergulingan ke sana ke mari seperti cacing
kepanasan, mengaduh-aduh dan minta-minta ampun. Pakaiannya robek semua ketika
ia bergulingan, mukanya menjadi kotor dan matanya mendelik serta mulutnya
berbusa.
“Lin-moi,
pinjam pedangmu!”
Lin Lin
merasa ngeri dan ragu-ragu untuk memberikan pedangnya. Ia pernah menyaksikan
kekejaman hati Sian Eng ketika mereka membunuh It-gan Kai-ong. Akan tetapi
mendadak tangan kiri Sian Eng mencengkeram ke arah mukanya dengan ganas. Lin
Lin terkejut sekali dan mengelak, akan tetapi pada detik selanjutnya Pedang
Besi Kuning sudah terampas dari tangannya. Terpaksa ia hanya dapat berdiri
memandang dengan hati ngeri.
“Eng-moi...
jangan... ampunkan aku!”
“Ampun?
Hi-hi-hik, ampun kau bilang?” Pedang itu berkelebat dan....
“Crok!
Crok!” dua kali pedang menyambar dan putuslah kedua lengan Suma Boan sebatas
pundak!
“Aduhhh...!”
Suma Boan menjerit dan bergulingan. Darah bercucuran keluar dari kedua
pundaknya yang buntung. Celaka baginya, pemuda bangsawan ini telah melatih diri
sedemikian rupa sehingga daya tahan tubuhnya amat kuat. Lain orang tentu sudah
roboh pingsan dan takkan merasakan sakit lagi. Akan tetapi dia tidak pingsan
dan dapat dibayangkan betapa hebat penderitaan yang ia rasakan.
“Hi-hi-hik!
Kau jadi buntung! Hayo coba kulihat apakah kau masih mampu berbuat keji kepada
wanita!” Sambil tertawa-tawa menyeramkan kembali Sian Eng menggerakkan
pedangnya membacok Suma Boan yang ketakutan itu.
Muka Suma
Boan pucat penuh peluh. Ia masih mampu menggulingkan ke sana ke mari untuk
membebaskan diri dari pada bacokan pedang. Namun pedang itu membayanginya terus
dan akhirnya....
“Crok!
Crok!” disusul jeritan panjang dari mulut Suma Boan.
“Aduh...
ampun... ampun...!” Biar pun kedua kakinya sudah terbacok putus sebatas paha,
tubuh Suma Boan masih mampu bergerak-gerak dan sepasang matanya melotot
seakan-akan hendak meloncat ke luar dari dalam rongga matanya.
“Hi-hi-hi-hik!
Kau begitu ingin menjadi jago nomor satu di dunia dan untuk itu kau rela
menipuku? Nah, setelah kaki tanganmu buntung, apa kau masih ingin menjadi
jagoan?”
“Eng...
moi..., ampun...,” Suma Boan masih dapat mengeluarkan kata-kata dengan suara
serak.
Akan tetapi
agaknya sebutan terhadap dirinya ini menambah keganasan Sian Eng karena kembali
pedangnya menyambar dan terbukalah perutnya. Tangan kiri Sian Eng menyusul,
cepat membetot ke luar jantung yang basah oleh darah sehingga tangan kirinya
berlepotan darah. Tubuh Suma Boan berkelojotan sebentar lalu diam terkulai.
Sian Eng
tertawa-tawa lagi sambil menjilati darah di tangannya, kemudian ia makan
jantung itu. “Hi-hik, kuminum darahmu, kuganyang jantungmu...!”
“Enci Sian
Eng...!” Lin Lin menjerit penuh kengerian sambil melompat mendekati, tangannya
merampas pedang. “Enci Eng, apakah kau telah menjadi gila? Kau kejam dan liar!”
Jantung itu
sudah memasuki perut Sian Eng. Kini ia menunduk, memandang tubuh Suma Boan yang
sudah tidak karuan macamnya, kaki tangan buntung, perut robek dan isinya
berceceran ke luar. Tiba-tiba Sian Eng menubruk dan menangis sambil memeluk
Suma Boan.
“Suma-koko...
kenapa kau menyia-nyiakan cintaku...?” Ia menangis menggerung-gerung, membuat
Lin Lin berdiri tertegun dengan bulu roma berdiri. Hatinya tidak karuan
rasanya. Jelas bahwa enci-nya ini tidak beres lagi otaknya.
“Enci Sian
Eng, ingatlah! Dia memang jahat, akan tetapi kita sudah berhasil membunuhnya.
Mari kita pergi dari sini!”
Tiba-tiba
Sian Eng mengangkat mukanya yang basah air mata, lalu membentak, “Pergi dari
sini? Tak tahukah kau bahwa aku tak dapat meninggalkan kekasihku? Dialah
satu-satunya pria yang kucinta. Kau pergilah, jangan ganggu kami!”
Lin Lin
menggeleng kepalanya. Watak enci-nya sudah amat berubah dan kalau ia
menggunakan kekerasan tentu enci-nya akan mengamuk. Ia ngeri memikirkan
akibatnya kalau mereka berdua sampai bentrok. Biar pun ia menguasai ilmu silat
tinggi, namun enci-nya juga mewarisi ilmu yang biar pun sama halnya dengan dia
sendiri, belum masak latihannya, namun harus ia akui bahwa enci-nya memiliki
ilmu yang aneh mukjijat. Pertempuran antara mereka akan hebat sekali akibatnya.
Maka dengan perasaan ngeri dan apa boleh buat ia meninggalkan tempat itu, cepat
lari menuju ke kota raja. Biarlah, kalau enci-nya sudah kumat penyakit gilanya,
ia akan pergi sendiri mencari Suma Ceng, wanita yang menjadi kekasih Suling
Emas, yang menghalangi pertalian kasih antara dia dan Suling Emas.
Karena Lin
Lin melakukan perjalanan cepat sekali maka pada keesokan harinya pada senja
hari ia telah tiba di kota raja. Sungguh pun kini kaisar yang memegang tampuk
kerajaan sudah diganti, namun keadaan di kota raja tampaknya biasa saja, tidak
ada perubahan. Bahkan Lin Lin melihat bahwa di dalam kota tidak tampak
berkeliaran anggota-anggota pasukan seperti keadaan dulu.
Hal ini
memang satu-satunya perubahan yang diadakan oleh kaisar yang baru, yaitu Sung
Thai Cung. Setelah kaisar baru ini menggantikan kedudukan kakaknya, ia
memperkuat keadaan pasukannya dan memperkuat penjagaan tapal batas atau wilayah
Kerajaan Sung, mengerahkan seluruh bala tentara yang ada untuk menjaga di
perbatasan dan mencegah gangguan dari kerajaan tetangga.
Malam hari
itu, dengan menggunakan ilmunya Lin Lin berkelebat di atas genteng rumah gedung
besar Pangeran Kiang, suami Suma Ceng. Mudah saja bagi Lin Lin mendapatkan
rumah Pangeran Kiang karena ketika ia bertanya tentang rumah ipar dari Suma
Boan, tidak ada orang di kota raja yang tidak tahu. Seperti juga dahulu, rumah
gedung ini masih indah dan mewah. Akan tetapi keadaannya sunyi, padahal waktu
itu malam baru saja tiba dan bulan hampir penuh menghias angkasa menciptakan
malam indah.
Tiba-tiba
Lin Lin yang berada di atas genteng rumah itu mendengar suara anak-anak yang
bermain-main sambil tertawa-tawa. Cepat ia melompat ke arah belakang dan
ternyata dalam sebuah taman tampak tiga orang anak sedang bermain-main, diasuh
oleh dua orang pelayan. Ada pun di dekat kolam ikan duduk seorang wanita cantik
yang termenung memandang bayangan bulan di dalam air. Hanya kadang-kadang saja
wanita ini menoleh ke arah anak-anak yang bermain-main dengan gembira, akan
tetapi segera ia tenggelam pula dalam lamunannya.
Dari atas
genteng Lin Lin memperhatikan wanita itu. Lampu taman yang diselubungi kertas
berwarna-warni menjatuhkan cahayanya pada wajah yang ayu dan tubuh yang
bentuknya ramping, gerak gerik yang halus. Makin panas hati Lin Lin. Kalau
benar inilah wanita yang bernama Suma Ceng, pantas jika Suling Emas jatuh
cinta. Wanita ini cantik dan memiliki sikap agung seperti biasa dimiliki puteri
bangsawan. Tentu saja Suling Emas lebih memilih wanita ini dari pada dia. Dia
seorang gadis kang-ouw yang kasar dan liar! Makin dipandang, makin panas hati
Lin Lin dan tiba-tiba tubuhnya sudah melayang turun dan langsung ia lari ke
depan wanita itu.
Wanita itu
memang betul Suma Ceng adanya. Semenjak peristiwa dengan Suling Emas yang
menyerang suaminya dan ia membela suaminya mati-matian, sering kali wanita ini
duduk melamun. Kadang-kadang ia menyesali perbuatannya, karena sesungguhnya
harus ia akui di dalam hati bahwa cintanya terhadap pendekar itu tak pernah
lenyap, tak pernah luntur dari hatinya, maka perlawanannya terhadap Suling Emas
untuk membela suaminya itu tentu saja menghancurkan hatinya. Ia maklum bahwa
perbuatannya itu tentu merupakan tusukan yang menyakitkan hati terhadap bekas
kekasihnya.
Akan tetapi
pikiran ini segera ia usir dengan kesadaran bahwa sesungguhnya hal itu
merupakan jalan terbaik baiknya. Lebih baik membiarkan Suling Emas pergi dan
membencinya, tidak akan kembali lagi selamanya agar pendekar itu dapat
melupakannya, tidak tersiksa lagi hatinya. Juga dia sendiri dapat menjaga nama
baik sebagai seorang isteri yang setia kepada suaminya. Dan yang jelas,
semenjak peristiwa itu terjadi, suaminya, Pangeran Kiang bersikap manis dan
baik kepadanya.
Ketika Suma
Ceng melihat berkelebatnya orang dan secara tiba-tiba melihat seorang gadis
berdiri di depannya, ia kaget sekali dan cepat bangkit berdiri. Tadinya ia
kaget dan mengira Suling Emas yang datang lagi, akan tetapi setelah melihat
bahwa yang datang seorang gadis, ia terheran-heran. Akan tetapi ketabahannya
kembali ketika melihat bahwa yang datang adalah seorang gadis muda yang cantik
sekali. Dengan senyum tenang Suma Ceng bertanya.
“Siapakah
kau dan apa kehendakmu datang secara begini?”
Lin Lin
meraba gagang pedang, sejenak ia menentang pandang mata wanita itu sehingga dua
pasang mata yang sama jeli dan sama tajam itu saling tatap penuh selidik.
Kemudian Lin Lin bertanya, suaranya lantang.
“Apakah kau
yang bernama Suma Ceng?”
Suma Ceng
mengerutkan keningnya. Sebagai seorang nyonya yang selalu menjunjung tinggi
nama suaminya, segera ia menjawab, “Aku adalah Nyonya Pangeran Kiang dan
siapakah kau?”
“Tapi dulu
sebelum menikah bernama Suma Ceng?” Lin Lin mendesak lagi.
Terpaksa
Suma Ceng mengangguk. “Betul, dahulu aku bernama Suma Ceng, dan kau mau apakah
tanya-tanya nama kecil orang lain?”
“Srettt!”
Pedang Besi Kuning sudah berada di tangan Lin Lin.
“Mau
membunuh engkau!” bentak Lin Lin dan pedangnya berubah menjadi sinar kuning
yang menyambar ke arah leher Suma Ceng. Gerakan ini demikian cepat dan tidak
terduga sehingga nyonya muda itu biar pun pandai silat tak sempat untuk
menyelamatkan diri lagi, hanya berdiri terkesima dengan mata terbuka lebar.
Pedang Besi Kuning menyambar ganas!
“Tranggggg!”
Lin Lin
terpental ke belakang, berputar-putar sampai lima kali putaran baru ia dapat
menghentikan kakinya ketika pedangnya bertemu dengan sesuatu yang amat hebat
tenaganya, membuat pedangnya itu terpental dam membawa pula dirinya berputaran.
Ia kaget dan marah sekali, namun tidak gentar karena ia memang sudah siap untuk
bertempur mati-matian dalam usahanya membunuh wanita yang dibencinya. Cepat ia
meloncat dan membalikkan tubuh, siap dengan pedang di depan dada. Tapi mendadak
tubuhnya gemetar, wajahnya pucat dan tangan yang memegang pedang menggigil.
Kiranya yang menangkis pedangnya, yang kini berdiri tegak di depan Suma Ceng
dengan suling di tangan, yang memandangnya dengan kening berkerut dan mata
sayu, adalah... Suling Emas!
“Lin Lin,
terlalu sekali engkau... hendak membunuh orang yang tidak bersalah apa-apa?”
Suling Emas menegur sambil menggeleng-geleng kepalanya, wajahnya yang tampan
itu kelihatan sedih sekali.
Teguran ini
meledakkan gunung berapi kemarahan yang mendesak di hati Lin Lin. Tiba-tiba
saja air matanya keluar bercucuran dan ia menudingkan pedangnya ke arah Suling
Emas. “Kau...! Kau...! Kau yang telah menghinaku... kini membela dia...! Ah,
aku benci padamu! Benci...!” Sambil terisak menangis Lin Lin meloncat dan lari
pergi secepatnya.
“Lin Lin,
tunggu...!” Suling Emas mengejar.
Di taman itu
tinggal Suma Ceng yang berdiri terlongong, sedangkan anak-anaknya ketakutan dan
dua orang pelayan sibuk menghibur mereka dengan muka pucat karena takut pula.
“Mari kita
masuk, dan jangan ceritakan kepada siapa pun juga tentang peristiwa tadi,”
akhirnya Suma Ceng berkata, kemudian ketika berada di dalam kamarnya, tak
tertahankan lagi nyonya ini menjatuhkari diri di atas pembaringan dan
menelungkup sambil menangis.
“Lin Lin, tunggu...!”
Suling Emas berteriak dan mempercepat pengejarannya.
Lin Lin
seperti orang gila, berlari cepat sekali karena ia mengerahkan ilmu lari
berdasarkan tenaga yang ia peroleh dari latihan ilmunya yang baru di bawah
petunjuk Empek Gan. Betapa pun juga latihannya yang masih belum masak itu tidak
memungkinkan ia dapat melarikan diri dari pada pengejaran Suling Emas.
Akhirnya, jauh di luar kota raja ia dapat disusul oleh Suling Emas yang
mendahuluinya dan membalik, menghadang di tengah jalan.
“Lin-moi, berhenti
sebentar, mari kita bicara baik-baik....”
Dengan air
mata membasahi pipinya, Lin Lin melintangkan pedangnya di depan dada dan
matanya yang tajam menatap wajah pendekar itu sambil berkata ketus, “Bicara apa
lagi? Kau sudah puas menghinaku dua kali! Kau menyusul aku apakah hendak
menghina lagi dan melihat aku mampus?” air matanya makin deras bercucuran.
Dengan suara
sedih Suling Emas berkata, “Lin Lin... Lin-moi, mengapa kau berkata demikian?
Tidak sekali-kali aku berani menghinamu. Ah, Lin Lin, tidak tahukah kau betapa
hancur hatiku menghadapi semua ini? Kau agaknya tahu sekarang, bahwa... bahwa
aku adalah kakakmu sendiri. Tidak saja aku jauh lebih tua darimu, tapi juga
aku... aku adalah kakakmu, Lin Lin. Aku tidak menghina....”
“Cukup!” Lin
Lin membentak di antara isak tangisnya, “Katakanlah bahwa kau memandang aku
sebagai seorang gadis yang tak tahu malu, seorang gadis yang rendah! Kau bukan
kakakku, ini kau pun tahu jelas. Aku seorang puteri Khitan, aku hanya anak
pungut ayahmu, aku bukan she Kam! Kita bukan sedarah daging, bukan seketurunan.
Tentang usia... sudahlah, tentu saja kau menganggap aku seorang gadis tak
berharga! Kau... kau mencinta Suma Ceng yang sudah bersuami dan mempunyai anak.
Ah, mengapa kau tidak bunuh saja aku?” Kembali Lin Lin menangis.
Suling Emas
menarik napas panjang. “Kau betul. Memang aku pernah mencintanya, mencintanya
sebelum ia menikah dengan Pangeran Kiang. Namun kami tidak beruntung, dan dia
sudah bahagia di samping suaminya, aku... aku sudah melupakan perhubungan kami
yang lalu. Karena inilah Lin-moi... karena aku merasa bahwa aku sudah pernah
mencinta orang lain, ditambah lagi kenyataan bahwa kau sejak kecil menjadi
puteri ayahku, diperkuat dengan kenyataan bahwa aku jauh lebih tua dari padamu,
bagaimana pun juga... tak mungkin aku mau merusak hidupmu. Kau masih muda,
jelita, dan perkasa, lagi pula kau Puteri Khitan. Di dunia ini banyak pria yang
jauh melebihi aku segala-galanya, menantimu....”
“Cukup! Kau
hendak menambah luka di hatiku? Kau sengaja menghancurkan hatiku yang sudah
sakit ini? Alangkah kejamnya kau! Alangkah bencinya aku kepadamu!” Lin Lin
menggerakkan pedangnya dengan ancaman hendak menusukkan senjata ini di dada
Suling Emas.
“Bagus
begitu... kau tusuklah dada ini! Lebih baik begitu, Lin-moi. Untuk apa aku
hidup lebih lama lagi kalau hidupku hanya mendatangkan sengsara bagi banyak
orang?” Suling Emas berhenti sejenak, meramkan matanya membayangkan wajah Suma
Ceng, juga wajah Tan Lian yang menjadi korban asmara, kemudian ia membuka lagi
matanya. “Sudah kupenuhi kewajibanku mewakili ibu menghadapi Thian-te
Liok-koai, sudah kupenuhi kewajibanku bertemu dengan adik-adikku seperti pesan
ayah. Kau tusuklah dadaku!”
Karena Lin
Lin memegang pedangnya dengan gerakan menusuk, maka ketika Suling Emas menubruk
ke depan, tak dapat dicegah lagi pedangnya menusuk dada Suling Emas. Lin Lin
terkejut dan membuang muka sambil menutupinya dengan tangan kiri. Tangannya
yang memegang pedang gemetar sehingga pedang itu menyeleweng, menggores kulit
dada kemudian ujung pedang menancap di pundak kanan Suling Emas!
Ketika
merasa betapa pedangnya menusuk daging, Lin Lin menjerit kecil dan menarik
pedangnya, berdiri terbelalak dengan muka pucat. Suling Emas masih berdiri,
mulutnya tersenyum sedih, darah mengucur ke luar membasahi bajunya.
“Mengapa
kepalang tanggung, adikku? Tusuklah lagi, yang tepat... ini dadaku, aku rela
mati untuk membebaskanmu dari derita....”
Makin besar
mata Lin Lin terbelalak, kemudian ia menjerit lagi dan terisak lari
meninggalkan tempat itu. Suling Emas terhuyung-huyung kemudian roboh pingsan.
***************
“Berhenti!
Menyerahlah untuk menjadi tawanan kami!” terdengar bentakan keras dan belasan
orang berloncatan ke luar dari balik pohon dan segera mereka mengurung Lin Lin
yang berdiri tenang. Sekali pandang tahulah Lin Lin bahwa ia dikurung oleh para
prajurit Khitan, bahkan di antaranya ada yang ia kenal sebagai perwira-perwira
yang pernah ikut rombongan ke Nan-cao menghadiri perayaan Beng-kauw. Dan di
belakang belasan orang ini muncul pula rombongan yang merupakan pasukan
berjumlah lima puluh orang lebih, lengkap dengan senjata tajam. Sikap mereka
rata-rata galak dan tangkas, dan memang suku bangsa Khitan terkenal sebagai
orang-orang yang berjiwa gagah perkasa, sudah biasa akan kesulitan hidup yang
membuat mereka kuat lahir batin.
Namun
menghadapi pengurungan banyak orang itu Lin Lin tidak menjadi gentar. Di dalam
hatinya timbul perasaan bahwa mereka ini adalah orang-orangnya, bukan musuh.
Maka sambil berdiri tegak dan bertolak pinggang ia menghardik. “Kalian ini mau
apa? Mengapa hendak menawan aku? Tidak tahukah siapa aku? Aku adalah Puteri
Yalin, puteri mahkota yang berhak akan mahkota Kerajaan Khitan!”
Sikapnya
yang agung dan kata-katanya yang mantap ini meragukan para prajurit. Akan
tetapi seorang komandan berkata keras, biar pun kata-katanya tidak kasar. “Kami
hanya menerima perintah dari Lo-ciangkun, bahwa apa bila Nona muncul di wilayah
ini, kami harus menawan Nona.”
Lin Lin tahu
siapa yang dimaksudkan dengan Lo-ciangkun (panglima tua) itu. Ia tersenyum
mengejek. “Hemmm, siapa takut iblis Hek-giam-lo? Kalian ini bangsa Khitan yang
terkenal gagah perkasa, yang sejak dahulu setia kepada nenek moyangku, menjadi
abdi-abdi setia dari kakekku, raja besar Kulukan, mengapa sekarang bersikap
pengecut dan tunduk kepada perintah seorang iblis seperti Hek-giam-lo?”
“Kami bukan
pengecut!” bantah komandan itu dengan muka merah. “Akan tetapi kami harus
tunduk terhadap perintah Lo-ciangkun yang menjadi kepercayaan Sri Baginda.
Kalau kami tidak melakukan perintah, tentu kami dihukum mati. Sudah banyak
contohnya pembangkang yang dihukum mati secara mengerikan. Oleh karena itu,
selain kami takut dihukum, juga kami sayangkan kalau sampai Nona menerima
hukuman dari Lo-ciangkun.”
“Hemmm,
siapa takut? Kalian tahu betapa kejamnya iblis Hek-giam-lo, kejam dan menjadi
tokoh penjahat di dunia yang hanya menodai nama besar Khitan! Apakah dahulu
kakekku, raja besar Kulukan sekejam itu? Baru sekarang terjadi
kekejaman-kekejaman, setelah paman tiriku Kubakan menjadi raja dan dibantu
Hek-giam-lo. Hek-giam-lo adalah pengkhianat. Dahulu juga seorang panglima
kakekku, akan tetapi karena berdosa kepada mendiang ibuku, maka mukanya menjadi
seperti iblis, dan dia membantu paman tiriku yang tidak berhak akan kedudukan
raja. Lihat, kalau aku yang mewarisi mahkota yang menjadi hakku, aku tidak akan
berlaku kejam. Kalian sudah menghinaku, hendak menawanku, akan tetapi aku tidak
akan membunuh kalian.”
Mau tidak
mau komandan itu tersenyum. “Nona, Lo-ciangkun mengandalkan kepandaiannya yang
setinggi langit. Nona hendak mengandalkan apa untuk melakukan kekejaman?”
“Eh, kau
memandang rendah? Keparat! Lihat baik-baik!”
Dengan
kecepatan kilat Lin Lin menggerakkan tubuhnya, melakukan jurus sakti memukul
dan menendang ke depan. Terdengar teriakan-teriakan kaget dan... enam orang Khitan
berikut komandan tadi berjungkir-balik dan jatuh tumpang tindih, tanpa mereka
ketahui mengapa mereka dapat jatuh bangun seperti itu!
“Nah, kau
kira aku tidak dapat menyiksa kalian dan membunuh kalian secara kejam kalau
kukehendaki? Akan tetapi biar pun kalian keterlaluan, aku tetap memaafkan
kalian karena kalian adalah bangsaku dan orang-orangku. Bangunlah!”
Enam orang
itu meringis-ringis dan bangun, akan tetapi kesetia-kawanan mereka membuat
pasukan itu bergerak dan merapatkan pengepungan. Melihat enam orang kawan
mereka dirobohkan Lin Lin, mereka yang tidak mendengar kata-kata Lin Lin tadi
kini maju mendesak dan siap untuk mengeroyok gadis itu dalam kepungan itu.
Melihat ini
Lin Lin membentak. “Mundur kalian! Benar-benarkah kalian ini akan melupakan
darah nenek moyangku dan membantu pengkhianat? Belum cukupkah bukti tadi bahwa
aku cukup kuat akan tetapi tidak mau membunuh kalian yang kusayang sebagai
rakyatku? Awas, kalau memang kalian ini hanya terdiri dari orang-orang yang
hanya tunduk kalau diperlakukan kejam, jangan salahkan aku terpaksa menggunakan
kekerasan!”
Akan tetapi
orang-orang Khitan itu tidak mengenal takut. Mereka mendesak makin dekat dan
sikap mereka mengancam. Tiba-tiba mata mereka menjadi silau oleh sinar kuning
terang yang bergulung-gulung ketika Lin Lin mencabut pedangnya dan
menggerak-gerakkannya dengan cepat di atas kepalanya.
“Mundur! Kalian
tidak melihat ini? Pedang pusaka Besi Kuning, pedang mendiang ibuku Puteri
Tayami, siapa berani melawan ini? Hayo maju, siapa maju akan kupenggal
kepalanya!”
Semua orang
Khitan mengenal belaka pedang ini. Mereka yang masih muda dan belum pernah menyaksikan
pedang ini, setidaknya pernah mendengar dongeng bermacam-macam tentang pedang
ini yang katanya dahulu adalah pemberian raja dewa kepada nenek moyang Raja
Khitan. Mereka serentak mundur dan muka mereka menjadi pucat.
“Kalian
tahu, hanya pedang pusaka inilah yang menjadi tanda. Siapa memegangnya dialah
yang patut menjadi raja di Khitan. Dahulu pedang ini terlepas dari tangan
Kubakan, terampas oleh Kaisar Sung. Raja macam apa dia itu sehingga melepaskan
pusaka kerajaan? Dia tidak patut menjadi raja dan dia hanyalah anak dari selir
kakek Kulukan. Ibukulah puteri mahkota, dan karena aku anaknya, maka akulah
keturunan langsung dari kakek Kulukan, dan aku, Puteri Yalin, yang berhak
memakai mahkota Kerajaan Khitan. Hayo, siapa berdiri di pihakku dan siapa berani
menentangku?”
Sambil
berkata Lin Lin mengacungkan pedangnya ke atas, berdiri tegak dan sikapnya
gagah dan agung. Anehnya, biar pun belum banyak ia mempelajari bahasa Khitan
ketika ia ditawan Hek-giam-lo, namun kini dia dapat bicara dengan lancar dalam
bahasa itu. Memang panggilan darah agaknya yang membuat ia merasa tidak asing
dengan suku bangsa dan bahasa Khitan. Apa lagi ia adalah keturunan dari
orang-orang yang berdarah Kerajaan Khitan.
Pada saat
orang-orang Khitan itu ragu-ragu dan tidak tahu harus bersikap bagaimana
terhadap gadis ini, tiba-tiba di bagian kiri orang-orang itu bergerak minggir,
memberi jalan kepada rombongan yang datang. Di antara mereka ada yang berkata
dengan suara membayangkan kelegaan hati.
“Bagus,
Pek-bin-ciangkun tiba! Hanya dialah yang dapat memberi keputusan, kita ini
prajurit biasa yang tunduk perintah!”
Lin Lin
cepat menengok dan ia melihat bahwa yang datang betul adalah Panglima Khitan
yang terkenal itu, yang dahulu mewakili Kerajaan Khitan ketika datang pada
pesta Beng-kauw. Panglima yang berwajah putih ini datang bersama belasan orang
perwira pembantunya dan mereka semua memandang ke arah Lin Lin dengan pandang
mata penuh selidik dan wajah kereng. Namun Lin Lin tidak menjadi gentar dan ia
cepat menghadapi Pek-bin-ciangkun dengan sikap agung dan gagah. Sengaja ia
tidak mengucapkan kata-kata seakan-akan sikap seorang puteri yang menerima
laporan dari panglimanya!
Pek-bin-ciangkun
tentu saja mengenal siapa Lin Lin dan panglima ini sudah pula mendengar tentang
asal-usul gadis ini. Maka ia bersikap hormat sungguh pun ia tidak merendahkan
diri. Tadi ia sudah menerima laporan lengkap, bahkan ucapan Lin Lin yang
terakhir tadi didengarnya pula. Hal ini mengejutkan hatinya. Terang bahwa gadis
keturunan langsung dari raja lama ini menuntut haknya dan kalau gadis ini
berhasil menghasut, pasti akan terjadi perang saudara!
“Nona, kami
sudah mendengar semua laporan dan mendengar pula ucapan Nona yang amat
berbahaya. Ketahuilah, Nona. Kami hanya menjalankan tugas kami, taat kepada perintah
raja besar kami. Lebih baik Nona menurut saja kami bawa menghadap raja dan
percuma membujuk kami yang semenjak dahulu merupakan prajurit-prajurit setia
sampai mati terhadap junjungan kami.” Ucapan yang bersemangat dan gagah ini
berhasil menggugah semangat para prajurit dan menghilangkan keraguan mereka.
Lin Lin
melihat hal ini menjadi gemas. Dengan sinar mata tajam ia menentang wajah
Pek-bin-ciangkun dan berkata lantang. “Pek-bin-ciangkun! Melihat usiamu yang
sudah lanjut, tentu kau dahulu pernah mengenal ibuku. Tahukah kau siapa
mendiang ibuku?”
Sambil
menunduk hormat panglima itu menjawab. “Ibunda Nona yang mulia adalah mendiang
Puteri Mahkota Tayami yang gagah perkasa.”
“Dan kau
tentu tahu pula siapakah kakekku, ayah dari ibuku?”
Kembali
panglima itu membungkuk lebih hormat lagi, “Beliau adalah mendiang raja
terbesar kami yang amat mulia, yaitu mendiang Kulukan yang besar!”
“Hemmm,
agaknya ingatanmu masih baik. Dan kau tahu, rajamu yang sekarang itu, Raja
Kubakan, dia itu terhitung apa dengan aku...?”
“Dengan
Nona, beliau terhitung paman tiri, karena Sri Baginda adalah putera mendiang
Maha Raja Kulukan dari seorang selir.”
“Hemmm,
paman tiri, namun masih ada hubungan darah, masih sama-sama keturunan kakek
Raja Kulukan, sungguh pun ibuku puteri permaisuri dan dia hanya putera selir.
Akan tetapi tahukah kalian semua apa maksud hati paman tiriku itu hendak
menangkapku? Aku hendak dipaksanya menjadi isterinya! Bukankah amat gila ini?
Tidakkah jelas menunjukkan betapa bejat moral Kubakan yang kini menjadi raja
kalian, raja yang tak berhak?”
“Kami tidak
mau mencampuri urusan pribadi orang lain, apa lagi urusan pribadi raja kami
yang kami junjung tinggi,” bantah Pek-bin-ciangkun sambil mengerutkan
keningnya.
“Bagus!” Lin
Lin berseru marah sambil melintangkan pedangnya. “Kau juga tidak memandang
pedang pusaka ini?”
Pek-bin-ciangkun
menghela napas panjang. “Tentu saja kami menaruh hormat kepada pedang pusaka
yang sudah banyak berjasa terhadap bangsa kita itu. Akan tetapi, sebagai kepala
pasukan pengawal raja kami harus mentaati perintah yang diberikan atasan kami,
yaitu yang terhormat Lo-ciangkun. Menyerahlah Nona, kami akan memperlakukanmu
dengan hormat dan baik.”
Lin Lin
mengedikkan kepalanya, matanya bersinar-sinar marah. “Kalau kalian tunduk dan
menjadi kaki tangan Hek-giam-lo si iblis jahanam, biarlah sekarang mengeroyok
dan membunuhku. Aku tidak takut!”
“Ah, Nona
Muda. Sesungguhnya kami bukan tidak tahu bahwa kau adalah tuan puteri,
keturunan langsung dari Yang Mulia Kulukan. Kami merasa sayang dan segan untuk
memusuhimu. Akan tetapi apakah daya seorang anak perempuan muda seperti kau
ini? Apakah artinya melawan dengan kekerasan? Siapa tidak tahu bahwa
Lo-ciangkun memiliki kesaktian yang tak terlawan? Kuharap saja kau dapat
menyadari hal ini dan mari ikut kami menghadap raja. Mungkin hubungan darah
kekeluargaan akan menyelamatkan dirimu.”
“Aku tidak
takut terhadap Hek-giam-lo si iblis! Aku tidak takut kepada si muka buruk
Bayisan itu, seorang perwira yang berani menghina mendiang ibuku. Suruh dia
datang, biar kami mengadu nyawa di sini!” teriaknya nekat.
“Bayisan...?
Apa maksudmu, Nona?” tanya Pek-bin-ciangkun dengan suara kaget.
“Siapa lagi
kalau bukan Hek-giam-lo? Dia adalah Bayisan, apakah kalian masih pura-pura
tidak tahu bahwa Hek-giam-lo adalah Bayisan yang dahulu adalah perwira kakek
Raja Kulukan yang berani menghina ibuku?”
“Aaahhh...!”
Jelas sekali kelihatan Pek-bin-ciangkun kaget bukan main, wajahnya yang putih
itu mendadak menjadi merah dan matanya terbelalak tak percaya.
Bukan
panglima ini saja yang terkejut, juga semua perwira yang mengiringkannya
kelihatan kaget dan para prajurit juga ribut mendengar ucapan Lin Lin itu.
Suasana menjadi gaduh karena mereka kini saling bicara sendiri dan keadaan baru
tenang kembali setelah Pek-bin-ciangkun membentak, menyuruh mereka diam.
Kemudian panglima ini menghadapi Lin Lin dan bertanya.
“Nona,
semenjak kecil Nona terpisah dari lingkungan kami, bagaimana Nona bisa
mengatakan bahwa lo-ciangkun adalah... Bayisan?” Panglima yang sudah banyak
pengalaman ini tidak mau percaya begitu saja.
Sebaliknya,
menyaksikan sikap mereka yang kaget dan mendengar pertanyaan Pek-bin-ciangkun
yang demikian sungguh-sungguh, diam-diam Lin Lin menjadi heran tak mengerti.
Mengapa mereka semua tidak tahu bahwa Hek-giam-lo adalah Bayisan seperti yang
ia dengar dari iblis itu sendiri, dan mengapa pula hal itu membuat mereka
kaget? Tentu ada rahasia hebat yang ia tidak ketahui. Dengan hati berdebar
penuh harapan Lin Lin bergantung kepada kesempatan ini, lalu ia bercerita
dengan suara sungguh-sungguh.
“Pek-bin-ciangkun,
memang tadinya aku sendiri tidak tahu. Akan tetapi ketika aku menjadi tawanan
Hek-giam-lo dan kutanya mengapa dia begitu membenciku, dia membuka kedok
iblisnya, memperlihatkan muka yang lebih buruk mengerikan dari pada kedoknya
sendiri, muka yang rusak sama sekali. Hanya sebentar dia memperlihatkan mukanya
yang rusak sambil mengaku bahwa namanya Bayisan, dan bahwa di waktu mudanya
dahulu ia jatuh cinta kepada ibuku, akan tetapi ibu menolaknya. Menurut cerita
dia, ibu malah menyiram mukanya dengan racun yang membuat mukanya menjadi
terbakar dan rusak. Akan tetapi aku dapat menduga bahwa tentu ia bermaksud
hendak kurang ajar terhadap ibu, maka ibuku melakukan hal itu kepadanya.”
Kembali
suasana menjadi gaduh. Dan akhirnya Pek-bin-ciangkun berkata, suaranya berubah
lunak dan panggilannya juga berubah, “Tuan Puteri Yalin, kami mohon maaf atas
kekasaran kami tadi dan mulai saat ini, hamba dan sekalian anak buah hamba
berdiri di belakang Paduka untuk menggempur pengkhianat Bayisan beserta raja
paman tiri Paduka yang ternyata telah menipu kami semua, mempergunakan
pengkhianat untuk membunuh ayah sendiri dan merampas tahta kerajaan.”
Setelah
berkata demikian, Pek-bin-ciangkun menjatuhkan diri berlutut di depan Lin Lin.
Para perwira lainnya juga ikut berlutut, sedangkan para prajurit sambil
berteriak, “Hidup Tuan Puteri Yalin. Puteri Mahkota Khitan!”
Sejenak Lin
Lin berdiri tegak. Pedang Besi Kuning di tangan kanan, tangan kiri bertolak
pingang, kepala dikedikkan, dada dibusungkan dan matanya menyambar-nyambar ke
kanan kiri penuh wibawa. Kemudian ia berkata lantang, “Harap kalian suka
berdiri. Syukurlah bahwa kalian dapat memilih pihak yang benar untuk bersama
menghancurkan pihak yang salah. Aku minta Pek-bin-ciangkun suka mengumpulkan
para perwira untuk mengatur siasat bersamaku.”
Pek-bin-ciangkun
bangkit berdiri, diturut oleh semua anak buahnya yang ternyata berjumlah
seratus orang lebih. Kini mereka berkumpul dan berdiri di sekeliling tempat itu
dengan harapan baru. Sudah terlalu lama mereka bekerja di bawah tekanan yang
menakutkan dari Hek-giam-lo yang mempunyai kekuasaan tertinggi, agaknya malah
lebih tinggi dari pada raja sendiri. Pek-bin-ciangkun mengajak perwira yang
semua ada enam belas orang untuk mengadakan perundingan dengan Lin Lin di bawah
pohon-pohon yang rindang daunnya, setelah ia memperkenankan para anak buahnya
untuk beristirahat sambil berjaga-jaga.
“Ciangkun,
terus terang saja, aku tidak tahu mengapa setelah Ciangkun dan semua saudara
mendengar bahwa Hek-giam-lo adalah Bayisan, Ciangkun lalu tiba-tiba menyatakan
mendukung aku? Ada rahasia apakah di balik semua ini?”
Pek-bin-ciangkun
menarik napas panjang. “Tuan Puteri tidak tahu, memang sepantasnya tidak tahu
karena hal itu terjadi sewaktu Paduka masih amat kecil dan ibu Paduka belum
meninggal dunia. Bayisan dahulunya adalah seorang Panglima Khitan yang terkenal
gagah perkasa. Seperti telah ia akui di depan Paduka, dia tergila-gila kepada
Puteri Mahkota Tayami, tetapi ditolaknya dan seperti kenyataannya, ibunda
Paduka telah menikah dengan seorang perwira rendahan yang gagah perkasa. Nah,
agaknya ia menaruh dendam, apa lagi karena Maha Raja Kulukan sendiri tidak
menyetujui niatnya mengawini Puteri Tayami. Diam-diam ia lalu melakukan
pengkhianatan dan pada suatu malam, Sri Baginda Kulukan meninggal dunia dalam
kamarnya. Oleh puteranya, Sri Baginda Kubakan yang sekarang, ketika itu masih
seorang pangeran, dikabarkan bahwa sri baginda tua meninggal karena penyakit.
Akan tetapi hamba dan para perwira yang tahu akan ilmu silat tinggi, mengerti
bahwa meninggalnya Sri Baginda karena pukulan jarak jauh yang beracun. Kami
sudah menduga bahwa hal itu tentu dilakukan oleh Bayisan, akan tetapi ketika
kami mencarinya, ia telah lenyap tak meninggalkan jejak. Kiranya pada malam
hari itu juga ia berani mati hendak mengganggu Puteri Tayami sehingga disiram
racun pada mukanya. Karena itulah kami sekalian mengira bahwa dia pergi takkan
kembali lagi, karena malu dan takut akan pembalasan kami.”
Lin Lin
mendengarkan dengan penuh perhatian dan merasa tidak sabar ketika panglima itu
berhenti sebentar untuk mengingat-ingat peristiwa yang telah puluhan tahun
terjadi itu.
“Sementara
itu, bangsa kita selalu mengadakan perang dengan Kerajaan Hou-han, dan yang
menjadi calon ratu bukan lain adalah Puteri Mahkota Tayami. Akan tetapi, ibunda
Paduka tewas di medan pertempuran secara aneh karena anak panah yang
membunuhnya kami kenal sebagai anak panah yang biasa dipergunakan oleh Bayisan
yang menghilang! Dan beberapa tahun kemudian, setelah paman tiri Paduka,
Kubakan menjadi raja, muncullah Hek-giam-lo yang kami sebut lo-ciangkun, menjadi
panglima tertinggi yang amat berkuasa. Karena dia sakti, dan raja amat percaya
kepadanya, maka kami tidak berani bertanya-tanya siapa adanya Hek-giam-lo.
Siapa kira, dia adalah Bayisan yang berkhianat!” Pek-bin-ciangkun tampak marah
sekali.
Akan tetapi
lebih hebat adalah kemarahan Lin Lin. Kiranya Hek-giam-lo adalah pembunuh
ibunya! Makin besarlah hasrat hatinya hendak membasmi Hek-giam-lo dan merampas
tahta Kerajaan Khitan, “Hemmm, bagus sekali! Kalau begitu mari kita serbu
kerajaan dan bunuh Hek-giam-lo si pengkhianat!”
“Sabarlah,
Tuan Puteri. Hek-giam-lo amat sakti. Bagaimana kita mampu melawannya?”
“Jangan
takut, percayalah kepadaku. Aku mampu menandinginya, dan andaikata aku kalah
dan tewas, berarti aku sudah berjasa, mati untuk bangsaku dalam usaha membasmi
pengkhianat!” jawab Lin Lin dengan gagah.
Pada saat
itu terdengar suara terompet dan gaduh. Ternyata muncul serombongan pasukan
yang dipimpin oleh seorang pemuda yang bermuka putih, pemuda yang tampan dan
gagah sekali. Begitu dekat, pemuda yang membawa golok besar ini dari atas
kudanya berseru, “Hei, kaum pemberontak. Menyerahlah kalian sebelum aku
terpaksa menggunakan kekerasan atas nama Sri Baginda!”
Semua orang
terkejut, lebih-lebih Pek-bin-ciangkun yang melihat bahwa pemuda itu bukan lain
adalah Kayabu, puteranya dan juga anak tunggalnya. Kayabu ini juga memakai nama
bangsa Han, dan ia memilih nama Liao yang kelak menjadi nama Kerajaan Khitan.
Liao Kayabu ini seorang pemuda berusia dua puluh lima tahun, gagah perkasa dan
tampan, ahli main golok dan anak panah, semenjak muda digembleng ayahnya, malah
dalam perantauannya ia belajar ilmu silat tinggi dari para pertapa di sepanjang
pegunungan utara.
“Kayabu, apa
artinya ini? Tak tahukah kau bahwa ayahmu berada di sini?” bentak
Pek-bin-ciangkun dengan suara lantang.
Pemuda gagah
itu sejenak memandang ayahnya, kemudian ia melompat turun dari atas kudanya,
berlari menghampiri Pek-bin-ciangkun dan menjatuhkan diri berlutut. “Ayah,
sebagai anakmu, aku menghormat dan menjunjung tinggi padamu. Sebagai anakmu,
aku harap hendaknya Ayah suka sadar dan insyaf, bahwa Ayah telah terseret oleh
bujukan orang untuk turun berkhianat. Ayah, semenjak kecil aku mendapat didikan
Ayah yang terutama menekankan agar supaya aku menjadi seorang gagah yang selalu
mencinta bangsa dan setia kepada rajanya. Pelajaran Ayah ini sudah berakar di
dalam hatiku. Untuk membela bangsaku dan bersetia kepada bangsaku, aku siap
menerima kematian, siap mengorbankan apa pun juga. Akan tetapi hari ini aku
mendengar laporan bahwa Ayah berkumpul dengan orang-orang yang hendak
memberontak, yang berarti mengkhianati bangsa dan raja. Ayah, sekali lagi,
sebagai puteramu aku mohon Ayah suka sadar dan menarik diri keluar dari
persekutuan jahat ini!”
Muka
Pek-bin-ciangkun sebentar pucat sebentar merah, sedangkan Lin Lin memandang
dengan hati tegang.
“Kayabu, kau
tidak mengerti. Ayahmu tetap seorang yang selalu setia terhadap bangsa dan
kerajaan. Ketahuilah bahwa gerakan yang akan diadakan oleh ayahmu adalah justru
gerakan membasmi pengkhianat yang semenjak puluhan tahun merajalela dan baru
sekarang diketahui dan akan diberantas. Ketahuilah, bahwa lo-ciangkun
sebetulnya adalah si pengkhianat Bayisan, dan Sri Baginda yang sekarang ini
malah mempergunakan tenaganya. Karena itu, tak dapat diragukan lagi bahwa
kematian Sri Baginda tua mau pun Puteri Tayami adalah hasil pengkhianatannya
yang dibantu oleh Bayisan.”
Para
prajurit dalam pasukan yang baru datang, menjadi gaduh mendengar ini, pasukan
tak dapat diatur lagi dan mereka saling bicara sendiri dengan ramai. Liao
Kayabu bangkit berdiri dan suaranya nyaring mengatasi suara gaduh lainnya.
“Pek-bin-ciangkun!
Aku sekarang bicara sebagai seorang hamba Kerajaan Khitan yang setia! Aku tidak
tahu dan tidak ambil peduli akan dongeng tentang pengkhianatan jaman dahulu.
Akan tetapi kenyataannya sekarang, aku bekerja sebagai panglima di dalam
Kerajaan Khitan, karena itu aku harus setia kepada raja dan bangsa. Siapa pun juga
yang mempunyai niat memberontak, dia adalah musuhku. Pemberontakan berarti
pengkhianatan, baik terhadap raja mau pun terhadap bangsa, karena itu sudah
menjadi kewajibanku untuk membasminya dengan taruhan nyawa!”
Dengan golok
melintang di depan dada, Kayabu berdiri tegak menentang pandang mata ayahnya
dan juga Lin Lin. Gadis ini diam-diam kagum sekali. Pemuda ini benar-benar
gagah perkasa, pikirnya, dan kesetiaannya terhadap Kubakan bukanlah kesetiaan
karena dorongan perasaan pribadi, bukan pula dengan pamrih mencari kemuliaan
duniawi, melainkan kesetiaan yang jujur dan bersih dari seorang panglima yang
gagah perkasa terhadap negara dan bangsanya. Akan tetapi, Pek-bin-ciangkun
marah sekali.
“Anak
durhaka! Kau hendak melawan ayahmu sendiri?” Orang tua ini sudah melangkah maju
dan mencabut pedangnya yang panjang. “Sejak kau kecil aku mendidik dan
membangunmu, biarlah sekarang aku sendiri yang membasmimu!”
“Ciangkun,
tahan dulu!” tiba-tiba Lin Lin berseru dan sekali tubuhnya berkelebat ia sudah
melewati Panglima Muka Putih ini dan berkata, “Puteramu ini seorang panglima
sejati yang gagah, harus dihadapi dengan kegagahan pula. Biarlah aku yang
menghadapinya. Setujukah kau?” ...
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment