Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Istana Pulau Es
Jilid 01
Kebiasaan
lama (tradisi) yang dilanggar akan menimbulkan kutuk dan malapetaka bagi si
pelanggar, demikian pendapat kuno. Padahal hakekatnya, semua itu tergantung
dari pada kepercayaan. Bagi yang percaya mungkin saja pelanggaran akan
dihubungkan dengan sebab terjadinya suatu halangan. Sebaliknya bagi yang tidak
percaya, juga tidak apa-apa dan andai kata terjadi suatu halangan, hal ini
dianggap terpisah dan tidak ada hubungannya dengan pelanggaran tradisi.
Betapa pun
juga, apa yang terjadi di Khitan, yang menimpa Kerajaan Khitan, oleh semua
rakyatnya dianggap sebagai kutuk para dewata oleh karena dosa besar yang telah
dilakukan oleh Sang Ratu mereka! Kerajaan Khitan mengalami kemerosotan hebat
sekali. Kerajaan dilanda musim dingin yang hebat dan amat lama, hasil buruan
amat kurang, hasil cocok tanam buruk, penyakit menular, wabah yang aneh-aneh
menimpa rakyat Khitan. Semua ini diperburuk dengan bentrokan-bentrokan yang
timbul di antara para bangsawan yang memperebutkan kedudukan, di antara rakyat
sendiri yang keadaannya amat miskin, dan perselisihan dengan suku bangsa lain
karena memperebutkan air dengan daerah subur!
Semua ini
adalah kutukan dewa! Demikian anggapan kaum tua di Khitan. Terkutuk oleh dewa
karena pelanggaran hebat yang dilakukan oleh Sang Ratu Yalina, yaitu ibunda
Raja Talibu yang sekarang menjadi Raja Khitan. Di dalam cerita Mutiara Hitam
telah diceritakan betapa Ratu Yalina itu diam-diam menjadi isteri pendekar
sakti Suling Emas, bahkan secara rahasia pula telah melahirkan dua orang bayi
kembar, laki-laki dan perempuan.
Menurut
kebiasaan lama bangsa itu, bayi kembar laki perempuan setelah dewasa harus
dikawinkan, akan tetapi Ratu Yalina kembali melanggar, tidak menjodohkan kedua
anaknya. Yang laki-laki, yaitu Raja Talibu sekarang ini, dijodohkan dengan
Puteri Mimi puteri Panglima Khitan. Sedangkan anaknya yang perempuan, yaitu Kam
Kwi Lan atau terkenal di dunia kang-ouw sebagai pendekar sakti Mutiara Hitam,
menikah dengan Tang Hauw Lam murid Bu Tek Lo Jin. Kini suami isteri itu malah
meninggalkan Khitan dan merantau entah ke mana.
Nah,
semenjak Ratu Yalina bersama suaminya Si Pendekar Suling Emas, pergi pula
meninggalkan Khitan atas kehendak Suling Emas untuk bertapa di puncak puncak
Pegunungan Go-bi, maka mulailah tampak hari-hari buruk menimpa Kerajaan Khitan!
Hal ini bukan sekali-kali karena rajanya, yaitu Raja Talibu, kurang
memperhatikan kerajaannya, atau berlaku lalim terhadap rakyatnya. Sama sekali
tidak!
Raja Talibu
agaknya mewarisi watak ayahnya, Si Pendekar Sakti Suling Emas, hatinya tidak
keras seperti watak Ibunya. Dia tenang dan sabar, mencinta rakyatnya dan
memerintah dengan keadilan. Akan tetapi sepandai-pandainya seorang raja, dia
hanya seorang manusia juga dan apakah kekuasaan seorang manusia yang dapat
dilakukan oleh seorang Raja Talibu terhadap bencana-bencana alam berupa musim
dingin panjang disusul musim kering yang menghabiskan air serta tanah yang
tidak berhasil menjadi subur? Apakah yang dapat ia lakukan terhadap ketamakan
dan nafsu para bangsawan yang saling bermusuhan? Dia hanya dapat menggunakan
kekuasaannya untuk meredakan keadaan, untuk mengadili segala perkara dengan
bijaksana, namun tidak berdaya menahan lajunya kemunduran kerajaannya!
Raja Talibu
dengan isterinya, Puteri Mimi yang cantik jelita, hanya mempunyai seorang anak
perempuan mungil dan cantik jelita seperti ibunya, lincah nakal dan penuh
keberanian seperti watak neneknya. Anak ini diberi nama Puteri Maya dan pada
waktu itu telah berusia sepuluh tahun. Karena ayah bundanya adalah keturunan
pendekar-pendekar yang berilmu tinggi, biar pun dia seorang puteri raja,
semenjak kecil Maya suka sekali dengan ilmu silat.
Raja Talibu
sebagai putera pendekar Suling Emas dan Ratu Yalina yang juga memiliki ilmu
silat luar biasa, tentu saja tidak melarang puterinya belajar ilmu silat.
Sebaliknya ia sendiri malah menggembleng puterinya itu dengan ilmu silat tinggi
sehingga Puteri Maya menjadi seorang anak perempuan yang gagah berani dan suka
pergi berburu sejak kecil, malah dia mempunyai pasukan pengawal sendiri yang
menemaninya pergi berburu binatang buas. Biar pun usianya baru sepuluh tahun.
Puteri Maya berani menghadapi seekor beruang seorang diri saja, merobohkan
binatang itu dengan anak panah atau dengan sebatang tombak panjang!
Pada suatu
pagi yang cerah, Puteri Maya sudah tampak berkeliaran di dalam hutan di sebelah
barat kota raja Khitan. Seperti biasa, kalau dia sedang berburu binatang di
dalam hutan, dia berpakaian pria yang ringkas sehingga memudahkannya untuk
bergerak di dalam hutan-hutan liar itu, apa lagi jika bertemu binatang dan
melakukan pengejaran atau pertempuran dengan binatang buas.
Dan seperti
biasa pula, pada pagi hari itu juga, Maya jauh meninggalkan para pengawalnya,
hal yang selalu membuat para pengawal menjadi khawatir dan diam-diam merasa
jengkel. Namun tidak pernah mereka mengeluh karena sesungguhnya para pengawal,
seperti hampir semua orang di Khitan, amat sayang kepada puteri yang cantik
jelita ini. Kesayangan semua orang inilah yang membuat Maya memiliki watak
manja dan selalu ingin dipenuhi permintaannya!
Selagi ia
menyelinap di antara pohon-pohon, mengintai dan mencari binatang buruan,
tiba-tiba ia dikejutkan derap kaki kuda. Hampir saja ia membentak marah karena
disangkanya itu derap kaki kuda para pengawalnya. Ia marah karena suara berisik
tentu saja mengganggunya, membikin takut binatang-binatang hutan yang tentu
akan lari dan bersembunyi. Akan tetapi kemarahannya berubah menjadi keheranan
dan ia cepat bersembunyi di balik pohon ketika melihat bahwa yang datang
bukanlah pasukan pengawalnya, melainkan pasukan pilihan ayahnya yang mengangkut
perlengkapan perang!
Setelah
pasukan itu lewat dan menghilang ke jurusan barat, Maya masih berdiri di tempat
persembunyiannya sambil termenung heran memikirkan hal itu. Ayahnya telah
beberapa hari pergi meninggalkan istana dan menurut ibunya, ayahnya sedang
menyelidiki keadaan di perbatasan barat karena ada kabar bahwa bangsa Yucen
sedang bergerak di sana, ada tanda-tanda bahwa bangsa itu mempunyai niat tidak
baik terhadap Kerajaan Khitan dan daerahnya. Akan tetapi, mengapa ayahnya belum
kembali dan sekarang malah pasukan ayahnya mengirim perbekalan perang? Apakah
akan terjadi perang dengan bangsa Yucen? Ia harus pulang dan bertanya kepada
ibunya. Hilanglah nafsunya untuk berburu lagi dan dia lalu berlari kembali
menjumpai para pengawalnya memerintahkan mereka untuk pulang ke kota raja.
Setelah tiba
di istana, Maya bergegas lari memasuki kamar ibunya dan betapa kagetnya ketika
ia menyaksikan ibunya sedang duduk termenung dengan muka muram dan mata merah
bekas menangis. Juga tadi ia melihat bahwa para tentara telah bersiap-siap
melakukan penjagaan di kota raja. Apakah yang terjadi?
Maya
menubruk ibunya. “Ibunda...” Apakah yang terjadi? Mengapa pasukan Ayah membawa
perlengkapan perang? Mengapa pasukan-pasukan menjaga kota raja? Mengapa Ibu
berduka dan menangis?”
Puteri Mimi
memeluk dan mencium muka anaknya, kemudian berkata perlahan, “Kutukan dewa...”
Kutukan dewa menimpa kita...” Ah, aku pun ikut berdosa dan engkau... Anakku,
semoga para dewa melindungimu dan tidak menimpakan kemarahannya kepadamu.
Engkau tidak berdosa...”” Puteri itu tak dapat menahan keluarnya air mata.
“Eh, Ibu!
Ada apakah?” Maya yang berhati keras dan tabah itu mendesak ibunya, sepasang
matanya bersinar-sinar penuh kemarahan karena ia ingin tahu siapa yang
menyebabkan ibunya berduka. Biar dewa sekali pun akan dilawannya kalau dewa
membuat ibunya berduka!
Puteri Mimi
yang cantik jelita itu menghela napas. Wajahnya yang berkulit halus dan
biasanya berwarna kemerahan, kini pucat dan alisnya berkerut tanda bahwa
hatinya diliputi kegelisahan.
“Seharusnya
Ayahmu menikah dengan Mutiara Hitam. Hal ini sudah dikehendaki para dewa
semenjak mereka berdua belum lahir. Akan tetapi, ahhh... nenekmu menghendaki lain.
Ayahmu dikawinkan dengan orang lain. Tentu saja dewa menjadi marah dan
sekaranglah tiba kutukannya menimpa keluarga kita!” Kembali puteri ini
menangis.
“Ibu,
kutukan apakah itu? Apa yang terjadi?”
“Semenjak
nenekmu, Ratu Yalina, meninggalkan Khitan bersama kakekmu, negara kita selalu
dirundung kemalangan. Bencana alam dan perselisihan antara bangsawan
mengakibatkan penderitaan, namun semua itu masih belum seberapa, masih dapat
diatasi oleh kebijaksanaan ayahmu. Akan tetapi sekarang... ahh, beberapa orang
bangsawan memberontak dan bersekutu dengan suku bangsa Yucen. Ada yang
menyeberang kepada suku bangsa Mongol dan Mancu, ada pula yang bersekutu dengan
Kerajaan Sung dan kini mereka itu mengepung kita. Ayahmu sendiri berusaha
menginsyafkan mereka dan mengajak damai bangsa Yucen, namun agaknya sia-sia
belaka, maka jalan satu-satunya hanyalah mempertahankan Negara Khitan.”
Muka Maya
menjadi merah, kedua tangannya dikepalkan. “Mengapa berduka, Ibu? Kalau musuh
datang kita lawan!”
Melihat
sikap puterinya, di dalam tangisnya Puteri Mimi tersenyum dan merangkulnya.
“Engkau mewarisi sifat-sifat nenek dan kakekmu... akan tetapi... musuh terlalu
banyak dan terlalu kuat. Betapa pun juga, benar katamu, Anakku, kita akan
melawan!”
Hati Ratu
ini dibesarkan oleh sikap puterinya. Ia tidak tahu bahwa pada waktu itu, bangsa
Mongol sudah menjadi bangsa yang amat kuat dan bangsa ini mulai mengembangkan
sayapnya, dan bagaikan gelombang besar datang menelan segala sesuatu yang
merintang di depannya!
Benar
seperti yang dikatakan Puteri Mimi kepada anaknya. Raja Khitan memang sedang
berusaha keras untuk menghindarkan perang. Pelbagai usaha dilakukannya, akan
tetapi para bangsawan Khitan yang memberontak itu tidak mau mendengar, dan
bangsa Yucen yang bergerak dari barat itu pun tidak mau diajak damai. Melihat
keadaan yang amat mendesak, bahwa perang takkan dapat dihindarkan, Raja Khitan
mengadakan rapat pertemuan dengan para panglima.
“Jalan sudah
buntu! Kita adalah bangsa yang besar dan biar pun selama ini kita mengalami
nasib malang, namun semangat kita tak pernah padam! Kalau memang mereka
menghendaki perang, apa boleh buat, kita terpaksa mengadakan perlawanan. Hanya
aku menyesal sekali akan kebodohan bangsa Yucen, terutama para bangsawan Khitan
yang memberontak. Tidakkah mereka melihat datangnya bahaya hebat yang akan
melanda kita semua? Bangsa Mongol jelas sekali memperlihatkan sikap hendak
merajai seluruh daratan! Biarlah, kita akan mengadakan perlawanan!” Raja ini
lalu mengutus pengawal untuk mendatangkan bala bantuan dari kota raja, membawa
perlengkapan perang dan diam-diam ia pun menulis sepucuk surat kepada
isterinya.
‘Bahaya
besar mengancam kemusnahan kerajaan kita, Isteriku. Akan tetapi kalau memang
para dewa menghendaki demikian, biarlah aku musnah bersama kerajaanku. Aku akan
mempertahankan kerajaan yang diberikan oleh leluhur kepadaku itu dengan jiwa
ragaku! Akan tetapi engkau Isteriku, dan puteri kita Maya, jangan ikut menjadi
korban. Bawalah puteri kita itu ke Pegunungan Gobi, carilah ayah bundaku yang
bertapa di sana, minta perlindungan.’
Demikian
antara lain isi surat Raja ini kepada isterinya. Dan surat inilah yang membuat
Puteri Mimi menangis, penuh cinta kasih dan keharuan kepada suaminya yang
begitu gagah perkasa sehingga dalam menghadapi bahaya besar, tidak menyuruh dia
pergi mencari pertolongan melainkan menyuruh dia dan anaknya pergi
menyelamatkan diri, dan dengan sifat penuh kejantanan menghadapi bahaya seorang
diri!
“Aduh,
Suamiku tercinta,” demikian Puteri Mimi mengeluh, “Lupakah engkau bahwa aku pun
anak dan keturunan Panglima Khitan yang setiap saat siap dan rela
mempertaruhkan nyawa untuk membela negara? Tidak, aku pun akan menjaga kerajaan
dan merupakan benteng pertahanan terakhir. Kalau kerajaan runtuh, bukan hanya
engkau, aku pun harus ikut runtuh pula! Biarlah anak kita yang akan kuusahakan
agar menyingkir dan menyelamatkan diri.” Diam-diam Puteri Mimi pun sudah
mempunyai rencana dan menantilah dia akan perkembangan dengan hati gelisah
namun tetap bersikap tenang.
Perang tak
dapat dihindarkan lagi. Pasukan-pasukan penjaga di garis terdepan sudah mulai
bentrok dengan pasukan-pasukan musuh. Dalam keadaan seperti itu, seorang
panglima tua Khitan menghadap Raja Talibu dan berkata,
“Pihak musuh
amat kuat, apa lagi hamba mendapat laporan dari para penyelidik bahwa dari
utara, bala tentara yang besar dari Mongol telah bergerak datang. Keadaan amat
terdesak, mengapa sejak dahulu Paduka tidak mengirim utusan ke Go-bi-san mohon
bantuan Ayah Bunda Paduka?”
Raja Talibu
menggeleng kepalanya dengan sikap tegas. “Paman Panglima, kalau aku melakukan
hal itu, aku akan menjadi manusia tak berguna selama hidupku! Aku menerima
kerajaan dari ayah bundaku, apakah hanya untuk dinikmati saja? Apakah aku harus
bersikap seperti seorang anak kecil yang menerima benda mainan dari orang tua,
kemudian kalau benda itu menjadi rusak lalu kusuruh betulkan orang tuaku?
Tidak, Paman, itu bukan sikap seorang pahlawan! Diserahi kerajaan bukan semata
untuk menikmatinya dan bersenang-senang, melainkan diikuti pula dengan tanggung
jawab! Orang tuaku telah mengundurkan diri bertapa, tidak mengecap kesenangan
sedikit pun dari kerajaan. Kini kerajaan terancam, masa mereka yang harus susah
payah pula? Biar pun ayah bundaku merupakan orang-orang sakti yang sukar dicari
bandingnya, akan tetapi apakah artinya dua orang saja menghadapi gelombang
barisan Yucen dan Mongol yang puluhan bahkan ratusan laksa orang jumlahnya?
Kita lawan sendiri, dan persoalannya hanyalah hidup atau mati, dan urusan itu
bukanlah wewenang kita untuk menentukan!”
Panglima tua
itu kagum mendengar pendirian rajanya dan bangkitlah semangatnya. Ketika
Panglima ini menyampaikan pendapat raja itu kepada para perwira dan perajurit,
mereka pun bersorak, menyatakan hendak mempertahankan negara sampai dengan napas
terakhir!
Perang
terjadi di perbatasan barat dengan dahsyatnya. Kekuatan kedua pihak berimbang
sehingga banyaklah korban yang jatuh di kedua pihak. Sementara itu, barisan
Mongol sudah datang makin dekat setelah perang berlangsung selama tiga hari. Dan
sepak terjang barisan Mongol yang menyerbu ke selatan itu amatlah ganas seperti
segerombolan harimau kelaparan. Mendengar laporan ini, kecutlah hati Raja
Talibu.
Betapa
bodohnya mereka, bangsa Khitan dan Yucen tidak melihat datangnya bahaya dan
berperang sendiri satu kepada yang lain! Maka berangkatlah Raja ini ke medan
perang, membawa gendewanya, naik ke atas kereta perang dengan pakaian perang
yang membuatnya nampak gagah perkasa. Untuk dapat membawa kereta perangnya ke
tengah medan pertempuran, raja ini harus merobohkan banyak musuh, bahkan
kusirnya sudah beberapa kali diganti karena roboh binasa.
Dengan
gendewanya, Raja Talibu mengamuk sehingga akhirnya kereta perangnya dapat tiba
di tengah medan laga, di tempat yang amat tinggi. Raja Talibu lalu meloncat di
atas kereta perangnya, gendewa di tangan kiri, topi perangnya sudah terlepas
dalam pertandingan ketika ia menuju ke tempat itu sehingga rambutnya terurai ke
pundak, nampak gagah perkasa. Kemudian terdengar suaranya mengguntur seperti
auman singa di padang pasir.
“Wahai
seluruh bangsa Yucen dan Khitan, dengarlah kata-kataku! Kita dibikin buta oleh
perang, oleh nafsu mencari kemenangan sehingga tidak peduli akan kedatangan
gelombang bangsa Mongol yang akan menghancurkan kita bersama! Apakah tidak lebih
baik kita bersatu sebagai dua orang saudara untuk melawan bangsa Mongol dari
pada kita seperti dua ekor anjing memperebutkan tulang, tidak tahu bahwa
serombongan serigala sudah datang hendak menghancurkan kita setelah kita
kehabisan tenaga saling berperang sendiri? Pikirlah dan cepat mengambil
keputusan, mereka sudah dekat sekali.”
Suara Raja
Talibu ini amat nyaring dan seketika perang dihentikan, para pimpinan Yucen
menjadi ragu-ragu. Memang para penyelidik mereka pun melaporkan akan datangnya
gelombang dahsyat bangsa Mongol, akan tetapi karena mereka menghadapi bangsa
Khitan yang sudah berada di depan hidung, tentu saja mereka tidak dapat lagi
mencegah terjadinya perang dengan bangsa Khitan. Akan tetapi sekarang Raja
Khitan yang gagah perkasa itu bicara sendiri dan ucapannya amat cocok dengan
isi hati mereka. Raja Yucen dan pimpinannya lalu berunding dan minta waktu
sehari untuk mengambil keputusan. Sementara itu perang itu dihentikan dulu.
Namun
keraguan orang-orang Yucen ini mendatangkan bencana hebat karena malam hari
itu, secara tidak terduga-duga sekali, barisan Mongol sudah datang menyerbu
dengan kekuatan besar. Perang hebat terjadi dan biar pun belum diadakan
persetujuan, bangsa Khitan dan Yucen berjuang bahu-membahu untuk melawan
barisan Mongol.
Perang
mati-matian itu berlangsung sampai dua hari dua malam, akan tetapi karena
jumlah barisan Mongol lebih besar dan juga anggota tentara mereka lebih kuat,
biar pun pihak Mongol kehilangan banyak tentara, akhirnya barisan Khitan dan
Yucen dapat terbasmi dan hanya sedikit yang dapat melarikan diri atau takluk
setelah raja dan panglima-panglima mereka gugur. Raja Talibu sendiri gugur
setelah tubuhnya penuh luka dan tak dapat bergerak lagi. Raja ini tewas sebagai
seorang gagah perkasa. Tangannya masih memegang pedang dan tubuhnya penuh luka,
mandi darahnya sendiri!
Kematian
tidak dapat terhindar dari setiap orang manusia, namun banyak macam kematian
yang bisa dipandang oleh mata dan dipertimbangkan oleh pikiran manusia
berdasarkan kebudayaan manusia. Kematian Raja Talibu merupakan sebuah di antara
kematian yang terhormat, kematian seorang jantan dan tidaklah mengecewakan dia
sebagai seorang Raja Khitan, terutama sebagai putera seorang pendekar besar
seperti Suling Emas dan seorang ratu besar seperti Ratu Yalina. Andai kata ayah
bunda ini melihat kematian puteranya, agaknya kedukaan mereka akan terhibur
oleh kebanggaan!
Sebagian
para perajurit Khitan yang melarikan diri berhasil kembali ke kota raja dan
gegerlah kota raja ketika mendengar berita tentang kehancuran pasukan Khitan
dan gugurnya raja bersama para panglima, juga tentang bahaya penyerbuan bangsa
Mongol yang sewaktu-waktu pasti akan tiba. Berita kematian Raja Talibu ini
diterima oleh Ratu Mimi dengan muka pucat, akan tetapi dengan tenang sekali
Ratu ini menahan tangisnya di depan para panglima dan menyatakan bahwa dia akan
memimpin sendiri pertahanan kota raja. Bujukan para panglima agar supaya Ratu
ini suka pergi mengungsi diterima dengan kemarahan.
“Kalau aku
melarikan diri, mana aku patut menjadi ratu dari suamiku, raja gagah perkasa
yang telah mengorbankan nyawanya untuk Khitan? Tidak, aku akan mempertahankan
kerajaan, kalau perlu dengan tenagaku sendiri! Yang tidak berani boleh saja pergi
meninggalkan Khitan!”
Maka
gemparlah kota raja. Sebagian ada yang melarikan diri sehingga akhirnya tinggal
Ratu Mimi dengan pasukan-pasukan yang setia. Kemudian Ratu ini mengumpulkan
sepasukan pengawal, yaitu pengawal Puteri Maya, dan menyuruh mereka membawa
Maya melarikan diri dan mencari kakek nenek puteri itu di Pegunungan Go-bi.
Puteri Maya menangis dan berkeras tidak mau meninggalkan ibunya, akhirnya
ibunya yang biasanya memanjakannya itu membentak.
“Maya!
Dengarlah baik-baik! Engkau adalah keturunan Suling Emas, keturunan Ratu
Yalina, keturunan Raja Talibu yang gagah perkasa. Patutkah dalam saat seperti
ini engkau menangis?”
“Aku tidak
mau meninggalkan Ibu. Aku pun akan membantu Ibu menghadapi musuh untuk membalas
kematian Ayah!”
“Bodoh! Kalau
kau tinggal di sini, engkau pun akan mati.”
“Aku tidak
takut mati!”
Ratu Mimi
menahan tangisnya dan merangkul puterinya, menciumi sambil berkata, “Itulah
soalnya, Anakku. Engkau tidak boleh mati. Kalau engkau mengorbankan nyawa di
sini, siapakah kelak yang membalaskan kematian ayahmu dan ibumu? Engkau masih
kecil, tenagamu belum ada artinya untuk menghadapi musuh. Engkau pergilah
kepada kakek dan nenekmu, pelajari ilmu baik-baik dan kelak engkau akan
mengangkat nama ayah bundamu. Pergilah, Anakku, dan doa Ibumu selalu
menyertaimu!”
Ucapan ini
membuat Maya tak dapat membantah lagi. Biar pun dia masih kecil, namun ia
cerdik dan tabah. Dengan tangis memilukan ia merangkul dan menciumi ibunya,
kemudian lari ke luar dan ikut bersama pasukan pengawal yang akan mengantarnya
ke Go-bi-san. Setelah puterinya pergi, barulah Ratu Mimi menangis tersedu-sedu,
bukan karena takut menghadapi bahaya yang mengancam dirinya, melainkan berduka
karena perpisahan dengan puteri tunggalnya yang amat dicintanya.
Tiga hari
kemudian, kota raja Khitan direbut pasukan Mongol. Seperti juga suaminya, Ratu
Mimi berjuang dengan gigih mempertahankan kota raja bersama para panglima dan
pasukan yang setia. Akan tetapi pihak musuh jauh lebih kuat sehingga akhirnya
Ratu Mimi pun roboh dan gugur tak beda dengan suaminya, tangannya masih
memegang pedang dan surat suaminya, dan ia tewas dengan mulut tersenyum karena
pada saat terakhir ia melihat suaminya tercinta meraih dan menyambutnya penuh
kasih sayang!
Pasukan
Mongol membasmi Khitan, merampas wanita-wanita dan membunuh pria-pria muda,
merampas harta benda dan membakar rumah-rumah, termasuk istana yang telah
dirampas habis-habisan. Gegerlah Khitan, dan bagi bangsa Khitan hari itu
merupakan hari kiamat dan berakhirnya Kerajaan Khitan yang selama ini kokoh
kuat. Benarkah ini merupakan kutukan dewa akibat pelanggaran yang dilakukan
oleh anak kembar Ratu Yalina yang seharusnya menurut kebiasaan dan kepercayaan
lama harus menjadi suami isteri akan tetapi telah dilanggar dan mereka berdua
itu menikah dengan orang lain? Entahlah, dan mungkin benar demikian bagi yang
percaya.
Malapetaka
hebat yang menimpa Kerajaan Khitan itu tidak diketahui, bahkan tidak pernah
dibayangkan oleh Maya yang telah melarikan diri dikawal sepasukan pengawal
terdiri dari lima belas orang pengawal pilihan. Pasukan ini dipimpin oleh
seorang panglima pengawal bernama Bhutan, seorang panglima muda yang tinggi
besar dan berwatak bengis.
Lima belas
orang pengawal ini kelihatannya melaksanakan tugasnya dengan taat, membawa
keluar Maya dari kota raja yang terancam bahaya, akan tetapi sesungguhnya di
dalam hati mereka terdapat perasaan tidak senang dan berduka. Betapa tidak?
Keluarga mereka semua ditinggalkan di kota raja. Semua keluarga itu membutuhkan
perlindungan mereka, akan tetapi mereka, lima belas orang ini tidak dapat
melindungi keluarga mereka sendiri karena harus melarikan Maya. Dan mereka
dapat membayangkan dengan hati perih betapa malapetaka. tentu menimpa keluarga
mereka yang tidak ada pelindungnya.
Duka dan
sesal membuat mereka mulai mengomel sepanjang jalan dan mulai memandang kepada
Puteri Maya dengan sinar mata benci. Dianggapnya puteri inilah yang menjadi
sebab celakanya. Kalau mereka tidak pergi mengawal puteri ini, tentu mereka
akan dapat menyelamatkan keluarga masing-masing dengan membawa mereka lari
mengungsi!
Malam
pertama, ketika rombongan ini mengaso dan bersembunyi di dalam hutan, belum
nampak perubahan, hanya mereka itu bersungut-sungut mengelilingi api unggun dan
tidak banyak cakap. Namun pemimpin mereka sudah merasa betapa anak buahnya
tidak merasa puas. Hal ini dimengertinya baik-baik karena dia sendiri pun
merasa tidak senang harus meninggalkan isterinya yang baru beberapa bulan
dikawininya.
Demikian
pula malam ke dua, hanya kelihatan para anak buah pasukan itu gelisah dan mulai
saling berbisik-bisik. Namun semua itu pun lewat tanpa sesuatu peristiwa
sehingga ketika pada keesokan harinya mereka melanjutkan perjalanan menuju ke
Go-bi-san yang amat jauh, hati Bhutan sudah agak lega.
Akan tetapi,
ketika pasukan ini mendengar berita dari orang-orang pelarian dari kota raja
bahwa kota raja sudah diserbu musuh dan diduduki, bahwa Kerajaan Khitan kini
sudah hancur dan jatuh, meledaklah rasa ketidakpuasan para anak buah pasukan
pengawal, bahkan Bhutan sendiri mendengarkan cerita pengungsi itu dengan wajah
pucat.
“Habis
semua...!” Demikian antara lain pengungsi itu bercerita. “Mereka itu datang
seperti badai mengamuk. Pasukan kita yang mempertahankan bersama Sang Ratu
digilas habis dan tewas semua! Istana dirampok dan diduduki, rumah rakyat
dibakar, semua laki-laki dewasa dibunuh dan wanita-wanita dijadikan rebutan,
diperkosa seperti segerombolan serigala kelaparan melihat domba. Banyak yang
tewas karena diperkosa orang banyak di pinggir-pinggir jalan, di rumah-rumah,
di mana saja sehingga jerit mereka memenuhi angkasa.”
“Semua
wanita, katamu?” Bhutan bertanya, suaranya gemetar.
“Ya, semua!
Bahkan yang tua-tua juga! Yang setengah kanak-kanak juga! Semua, tidak peduli
kaya atau miskin, bangsawan atau rakyat jelata. Habis semua perempuan
diperkosa, habis semua pria dibunuh. Yang tinggal hanya anak-anak kecil dan
orang-orang tua yang berkeliaran dan kelaparan kehilangan keluarga....”
“Ibuku...
bagaimana...?” tiba-tiba Maya menjerit.
Orang yang
bercerita itu menarik napas panjang dan menengadah ke langit. “Sang Ratu telah
gugur, akan tetapi, demi semua dewa! Setiap orang Khitan yang masih hidup akan
teringat betapa ratu itu tewas dengan senjata di tangan, dengan tubuh penuh
luka, tewas sebagai seorang gagah perkasa... Hebat sekali, dan agaknya
semangatlah yang memimpin semua perlawanan gigih....”
“Aihhh...!
Ibu...!” Maya menjerit dan menangis sesenggukan, memanggil-manggil ibunya.
“Diammm!”
Bhutan tiba-tiba menghardiknya, membuat Maya memandang dengan muka pucat karena
kaget dan heran sekali, mengapa panglima itu mendadak berani membentaknya
seperti itu.
Semua
pasukan memandang dengan senyum mengejek, agaknya puas hati mereka melihat
pemimpin mereka kini pun memperlihatkan kebencian kepada puteri yang membuat
mereka terpaksa meninggalkan keluarga mereka seperti sekumpulan domba
ditinggalkan untuk menjadi mangsa serigala-serigala buas.
“Mengapa
engkau menangis? Ditangisi pun tiada gunanya! Ibumu telah mati! Demikian pun
isteriku, ibuku, keluargaku!” Dan Panglima ini lalu menangis, biar pun tidak
mengeluarkan suara, hanya mengeluarkan air mata yang menetes turun di kedua
pipinya. Juga para anggota pasukan yang empat belas orang banyaknya itu semua
kelihatan termangu-mangu penuh duka mengenangkan keluarga masing-masing yang
tentu telah menjadi korban pula.
“Kita besok
melakukan perjalanan, bukan ke Gobi-san, akan tetapi membalas dendam kita,
membakari rumah-rumah dusun yang sudah menjadi jajahan orang Mongol,” demikian
kata Bhutan dengan wajah bengis.
Anak buahnya
bersorak gembira. Biar pun mereka berduka, akan tetapi kini ada jalan untuk
melampiaskan duka dan kemarahan mereka biar pun kepada dusun-dusun! Hal itu
berarti mereka akan dapat memperkosa wanita-wanita seperti isteri-isteri dan
keluarga mereka diperkosa, dapat membunuh orang-orang seperti keluarga mereka
dibunuh, dapat merampok seperti rumah mereka dirampok!
“Akan
tetapi, aku harus kalian antarkan ke tempat pertapaan kakek dan nenekku di
Gobi-san!” Maya berseru kaget dengan mata terbelalak.
Bhutan
tersenyum mengejek. “Mulai sekarang tidak ada lagi yang mengharuskan aku!
Engkau tidak boleh lagi memerintahku, bahkan engkau harus tunduk dan menurut
segala kehendakku!” Para anak buahnya bersorak mengejek.
Maya
meloncat bangun, mengepal kedua tinjunya dan memandang marah. “Akan tetapi, apa
kalian hendak memberontak? Aku adalah Puteri Maya, puteri dari Raja dan Ratu
Khitan! Engkau harus taat kepadaku!”
“Ha-ha-ha,
puteri yang manis! Engkau akan kujadikan pengganti isteriku! Setahun dua tahun
lagi engkau akan menjadi seorang wanita yang jelita, patut menjadi isteriku.
Bukankah begitu kawan-kawan?” kata Bhutan yang terhimpit kedukaan sehingga
berubah menjadi bengis dan kejam. Anak buahnya bersorak menyatakan setuju.
“Keparat,
kau...!” Maya maju dan mengayun tangan hendak menampar muka panglima itu.
Akan tetapi
biar pun sejak kecil dia sudah belajar ilmu silat, namun Bhutan bukan laki-laki
sembarangan, melainkan seorang panglima pengawal yang tentu saja memiliki
kepandaian. Dia menangkis terus menangkap lengan kecil itu, memutar dan
mendorong sehingga tubuh Maya terlempar dan roboh telentang. Terdengar suara
ketawa para pasukan pengawal.
“Ha-ha-ha,
engkau tidak boleh galak lagi, Nona kecil!” kata mereka.
Maya
meloncat bangun lagi, akan tetapi lengannya sudah disambar oleh Bhutan dan
tangan panglima ini diayun. “Plak-plak-plak-plak!” kedua pipi Maya ditampari
sampai menjadi merah dan terasa panas!
“Dengar kau,
Maya! Ketahuilah bahwa engkau bukanlah anak Raja dan Ratu Khitan, engkau hanya
diaku anak, anak angkat!”
Biar pun
kedua pipinya terasa panas dan sakit-sakit, tetapi hatinya lebih panas dan
sakit lagi mendengar ucapan itu. Maya terbelalak kaget dan heran. “Apa...
apa... kau bilang...?”
“Duduklah
dan dengar baik-baik agar kau tidak rewel lagi. Mulai sekarang, engkau harus
mentaati segala perintahku karena akulah satu-satunya orang yang akan dapat
menyelamatkanmu. Kerajaan Khitan sudah hancur, keluarga Raja sudah tewas semua.
Engkau memang bukan anak Raja Khitan, mana mungkin Raja Khitan dapat memperoleh
keturunan? Dia telah terkutuk oleh para dewa, dan semenjak Ratu Yalina
melakukan pelanggaran, keluarga Raja Khitan sudah terkutuk. Pantaslah kalau
sekarang menjadi runtuh!”
“Mengapa
begitu?” Air mata Maya mengucur lagi. “Ceritakanlah, Bhutan. Ceritakan apa yang
telah teriadi? Ceritakan tentang keluargaku....”
“Bukan
keluargamu, hanya keluarga jauh.”
“Kalau
begitu, ceritakan siapa aku, siapa orang tuaku!” Maya makin bingung dan karena
ingin sekali mendengar penuturan panglima ini, ia sudah lupa akan kemarahannya
bahwa dia tadi ditampar.
Para
perajurit yang juga belum mendengar riwayat raja mereka dengan jelas, hanya
mendengar berita angin saja, kini juga berkumpul dan mendengarkan penuturan
Bhutan yang agaknya tahu akan riwayat itu.
“Dosa
pertama dilakukan oleh Ratu Yalina,” Bhutan mulai bercerita. “Ratu Yalina yang
dijunjung tinggi oleh bangsa Khitan, yang pada lahirnya saja tidak pernah
menikah, ternyata melakukan pelanggaran karena diam-diam melakukan hubungan
cinta dengan Pendekar Suling Emas. Dari hubungan gelap yang mendatangkan kutuk
para dewa atas bangsa Khitan itu, terlahirlah anak kembar, laki-laki dan
perempuan.”
“Anak kembar
laki-laki dan perempuan harus dijadikan suami isteri!” berkata seorang anggota
pasukan pengawal yang sudah berusia empat puluh tahun lebih.
Bhutan
mengangguk. “Mestinya demikian. Akan tetapi Ratu Yalina yang sudah melakukan
dosa pertama itu, melanjutkan dengan dosa ke dua yang lebih berat lagi dan yang
agaknya membuat para dewa memutuskan untuk menghancurkan Kerajaan Khitan! Anak
kembar itu, yang perempuan adalah pendekar wanita Mutiara Hitam yang sekarang
merantau bersama suaminya entah ke mana. Ada pun yang laki-laki adalah mendiang
Raja Talibu kita yang menikah dengan Ratu Mimi. Tentu saja orang-orang berdosa
itu tidak bisa memperoleh keturunan. Biar pun aku tidak tahu di mana adanya
Mutiara Hitam, akan tetapi aku yakin bahwa dia pun pasti tidak bisa mempunyai
keturunan!”
“Tapi aku...
aku adalah anak raja dan Ratu Khitan!” Maya berteriak.
“He-he, itu
adalah dugaanmu saja, anak manis!” Bhutan berkata tertawa. “Sebetulnya bukan
demikian. Engkau adalah anak dari saudara misan Ratu Mimi. Ibumu adalah puteri
bangsawan rendahan yang menikah dengan seorang perwira. Ibumu mati ketika
melahirkan engkau dan ayahmu sudah tewas pula dalam perang. Raja Talibu yang agaknya
hendak meniadakan kutuk akan dirinya, telah mengambil engkau sebagai anak!
Memang jarang ada yang tahu, akan tetapi aku tahu akan itu semua, manis!”
“Tidak...!
Tidak...!” Maya menangis dan menangis terus sampai pada keesokan harinya
rombongan itu melanjutkan perjalanan. Maya digandeng dan setengah diseret oleh
Bhutan yang memimpin rombongannya itu melanjutkan perjalanan, bukan ke
Gobi-san, melainkan ke timur!
Dapat
dibayangkan betapa hancur dan sengsara rasa hati Maya, akan tetapi apa yang
dapat ia lakukan? Kalau dia melarikan diri, selain sukar sekali karena ia
selalu diawasi, juga ia akan dapat pergi ke manakah? Lebih sengsara lagi
hatinya ketika terpaksa ia harus menyaksikan pasukan yang tadinya menjadi
pengawalnya yang setia itu kini berubah menjadi segerombolan serigala buas yang
tidak mengenal peri-kemanusiaan, merampok dusun-dusun yang mereka lalui,
membunuh, memperkosa dan membakar rumah sambil bersorak-sorak!
Dara sekecil
ini dipaksa untuk menyaksikan hal-hal yang mengerikan itu, menyaksikan
wanita-wanita yang menjerit-jerit diperkosa dan kemudian dibunuh. Sampai habis
air mata ditumpahkan dalam tangis Maya. Dalam waktu satu bulan saja ia telah
berubah menjadi seorang dara cilik yang berhati keras seperti baja, ditempa
oleh pengalaman-pengalaman yang pahit dan mengerikan.
Kalau dahulu
ia berwatak jenaka dan lincah, kini ia menjadi pendiam, jarang bicara, jarang
pula makan atau tidur kalau tidak terpaksa sekali sehingga mulailah tubuhnya
menjadi kurus dan mukanya pucat, wajahnya seperti topeng mati dan sikapnya
dingin melebihi salju! Tanpa disadarinya terbentuklah watak yang keras dan
dingin pada jiwa dara cilik ini.
Pergolakan
hebat yang terjadi di utara itu bukan tidak ada ekornya sama sekali, bahkan
menjadi awal pergolakan hebat yang menjalar ke selatan. Pada masa itu di
selatan juga terjadi pergolakan hebat, perebutan kekuasaan yang menimbulkan
perang di mana-mana.
Suku bangsa
Yucen tadinya adalah suku bangsa yang ditundukkan oleh Kerajaan Khitan, yaitu
ketika Ratu Yalina masih memegang tampuk kerajaan. Setelah kini keadaan Khitan
menjadi lemah, bangsa Yucen membalas dendam, memberontak dan dibantu pula
secara diam-diam oleh Kerajaan Sung dari selatan. Di samping itu, serbuan liar
dari bangsa Mongol yang mulai berkembang, membuat Khitan hancur.
Bangsa Yucen
‘mendapat hati’ dan mendirikan wangsa baru, yaitu yang disebut Wangsa Cin.
Sebentar saja Kerajaan Cin ini mendesak Kerajaan Sung dan melihat lemahnya
Kerajaan Sung, menuntut agar Kerajaan Sung mengirim ‘upeti’ setiap tahun!
Keadaan yang
demikian itu menyedihkan hati seorang menteri yang setia di Kerajaan Sung.
Menteri ini bernama Kam Liong dan dia bukan lain adalah putera sulung dari
pendekar sakti Suling Emas! Bahkan Menteri Kam Liong inilah yang sesungguhnya
telah mewarisi kepandaian ayahnya, juga telah mewarisi senjata pusaka ayahnya
yang berupa sebatang suling emas dan sebuah kipas. Kaisar amat percaya kepada
Menteri Kam Liong bukan hanya karena menteri ini adalah putera pendekar besar
Suling Emas, melainkan terutama sekali karena menteri ini memang amat pandai
dan bijaksana, juga amat setia kepada negara.
Menteri Kam
Liong prihatin dan berduka sekali. Pergolakan-pergolakan hebat yang terjadi
amat menggelisahkan hatinya. Dia mendengar akan keadaan Khitan yang terancam
hebat oleh bangsa Yucen dan Mongol. Dan celakanya, Kaisar Sung menerima uluran
tangan bangsa Yucen untuk bersama-sama menyerang dan mengeroyok Kerajaan
Khitan. Betapa tidak akan sedih hatinya kalau ingat bahwa Raja Khitan adalah
adik tirinya sendiri? Raja Talibu di Khitan adalah putera Suling Emas pula
sehingga merupakan saudara seayah dengannya, berlainan ibu. Namun apa yang
dapat ia lakukan? Dia adalah seorang Menteri Kerajaan Sung, dan adik tirinya
itu adalah Raja Khitan! Dia harus bersetia kepada negaranya sendiri.
Menteri yang
bijaksana ini tidak mempunyai anak. Akan tetapi dia mempunyai seorang murid
yang amat disayangnya. Muridnya mewarisi kepandaiannya dan berjiwa gagah
perkasa pula. Muridnya itu kini pun mempunyai kedudukan tinggi di dalam
kerajaan, yaitu menjadi seorang panglima muda yang diperbantukan kepadanya.
Ketika terjadi pergolakan di utara, dia mengatur rencana dengan muridnya itu,
kemudian mengutus muridnya mengerjakan tugas penyelidikan ke utara atas
persetujuan Kaisar.
Hal yang
menyedihkan hati Menteri Kam Liong yang setia bukan hanya pergolakan di utara
yang ia tahu amat pentingnya bagi perdamaian di negara Sung sendiri, akan
tetapi terutama sekali melihat kelemahan negara Sung sebagai akibat tidak
cakapnya Kaisar mengemudikan pemerintahan. Kaisar tidak pernah lagi
memperhatikan urusan pemerintahan, setiap saat hanya tenggelam dalam
kesenangan. Pekerjaannya sehari-hari hanyalah menikmati rayuan para selir
cantik muda yang tak terhitung banyaknya, mendengar mereka bernyanyi, melihat
mereka menari-nari sambil minum arak wangi sampai mabok.
Biar pun
Kaisar masih ada, namun sesungguhnya kekuasaan sudah beralih ke tangan
selir-selir tercantik dan tersayang, dan ke tangan para pembesar thaikam (orang
kebiri) yang mendampingi Kaisar dan para selir siang malam! Berkali-kali Kam
Liong memperingatkan, namun Kaisar hanya teringatkan untuk waktu singkat saja,
kemudian lupa lagi dan berenang dalam kesenangan seperti biasa.
Peringatan
yang selalu diajukan Kam Liong itu tidak ada gunanya, bahkan mendatangkan
kebencian saja di hati para pembesar lainnya yang mempergunakan kelemahan
Kaisar untuk mengeduk keuntungan pribadi sebanyak mungkin. Hanya karena mereka
tahu bahwa Kam Liong merupakan menteri yang dipercaya oleh Kaisar, memiliki
pengaruh dan kekuasaan besar, juga memiliki ilmu kepandaian yang mengerikan,
maka para thaikam dan pembesar lain yang membencinya tidak berani turun tangan
mengganggunya. Hal ini diketahui pula oleh Kam Liong, akan tetapi dia tidak
peduli karena yang diprihatinkan selalu hanyalah keadaan negara.
Pagi hari
itu Menteri Kam Liong termenung di dalam kamar kerjanya, menghadapi teh wangi
akan tetapi ia sampai lupa minum sehingga tehnya menjadi dingin. Hatinya
tertekan dan ia membayangkan dengan hati penuh duka betapa keluarga adiknya, Raja
Khitan terancam bahaya hebat. Dia sudah memberi nasihat kepada Kaisar agar
jangan memusuhi Khitan, akan tetapi Kaisar yang dipengaruhi oleh para pembesar
dan para thaikam menjawab bahwa kesempatan baik tiba di mana Kerajaan Sung
dapat mempergunakan tenaga bangsa Yucen untuk merampas kembali wilayah yang
dahulu dikuasai bangsa Khitan!
Dia berduka
sekali, mengenangkan keadaan keluarga ayahnya yang cerai-berai itu. Ayahnya
sendiri tak pernah terjun ke dunia ramai, tekun bertapa bersama isterinya,
bekas Ratu Khitan, Yalina. Adiknya yang menjadi Raja Khitan, Raja Talibu, kini
terancam bahaya. Saudara kembar Raja itu, adiknya Si Mutiara Hitam Kam Kwi Lan,
kini entah berada di mana karena adiknya yang seorang ini suka sekali merantau,
apa lagi setelah menikah dengan Tang Hauw Lam, pendekar yang suka pula
merantau. Mungkin suami isteri itu kini sedang merantau ke dunia barat lewat
Pegunungan Himalaya! Dia sendiri sudah terikat oleh tugasnya sebagai Menteri
Kerajaan Sung yang harus ia bela sampai mati.
“Aaahhhh...”
ia teringat akan tehnya, menghirup teh wangi, meletakkan lagi cangkirnya dan
mengeluh. “Pantaslah Ayah lebih suka memilih tempat sunyi, mengasingkan diri
dari pergaulan ramai. Makin banyak kita mengikatkan diri dengan urusan dunia,
makin banyak penderitaan batin kita alami. Hemmm, aku yang tidak mempunyai
turunan, apakah sebaiknya mengikuti jejak Ayah? Akan tetapi kalau demikian, apa
artinya hidupku? Apa artinya aku mempelajari semua kepandaian? Bukankah semua
itu dipelajari untuk dapat dipergunakan dalam dunia? Biarlah, bukankah Ayah
dahulu bilang bahwa penderitaan merupakan gelombang batin yang amat bernilai
harganya?”
Pada saat
itu, seorang pengawal datang memasuki ruangan dan memberi hormat, lalu
melaporkan bahwa ada seorang tamu pria muda mohon menghadap Sang Menteri.
Atas
pertanyaan Menteri, pengawal itu menjawab. “Hamba tidak mengenalnya, Taijin,
akan tetapi dia mendesak untuk diperkenankan menghadap. Dia seorang pemuda yang
usianya kurang lebih dua puluh lima tahun, berwajah tampan dan gagah sikapnya,
membawa pedang di punggung dan sikapnya seperti seorang pendekar.”
“Namanya?”
“Maaf,
Taijin. Ketika hamba tanyakan dia hanya mengatakan bahwa Taijin akan
mengenalnya kalau sudah bertemu dan dia tidak memberitahukan namanya.”
Menteri Kam
Liong yang sedang kesal hatinya itu tidak bernafsu untuk menerima tamu. “Ah,
tentu seorang di antara mereka yang masih muda dan ingin sekali mendapatkan
kedudukan di kota raja,” pikirnya. “Hemmm, bocah itu salah alamat kalau datang
kepadaku.” Kembali ia menghela napas.
Betapa
banyaknya keganjilan terjadi dalam pemerintahan yang kalut dan lemah ini.
Pembesar-pembesar tinggi mudah disuap sehingga dia yang mampu memberi suapan
banyak tentu akan ‘ditolong’ memperoleh kedudukan tinggi! Ingin ia
memerintahkan pengawalnya untuk mengusir saja pemuda itu, akan tetapi tiba-tiba
kemengkalan hatinya menuntut penyaluran. Biarlah, bocah itu akan kecelik dan
biarlah dia menerima bocah itu. Kalau pemuda itu berani hendak ‘menyogok’,
hemmm... akan dia beri rasa! Akan dimaki-makinya, kalau perlu dibekali tamparan
sebelum diusir pergi!
“Suruh dia
masuk!” ia berkata pendek.
Sejenak
pengawal itu memandang bingung. Masuk ke ruangan dalam? Ke kamar kerja Sang
Menteri? Biasanya, apabila menerima tamu, tamu itu disuruh menanti di kamar
tamu yang berada di ruangan luar!
“Cepat!
Tunggu apa lagi?” Menteri Kam Liong yang sedang mengkal hatinya itu membentak.
Sang
Pengawal terkejut, memberi hormat dan keluar, heran di dalam hatinya mengapa
hari itu majikannya demikian galak, padahal biasanya, Menteri Kam Liong
terkenal sebagai atasan dan majikan yang lemah lembut dan halus terhadap anak
buahnya.
Menteri Kam
Liong sudah mendengar langkah kaki ringan yang menuju ke kamar kerjanya dan
berhenti di depan pintu. “Hemm, seorang yang pandai ilmu silat,” pikirnya
heran. Mengapa seorang ahli silat ingin bertemu dengannya? Ingin melamar
pekerjaan pengawal? Tanpa menoleh, sambil minum teh dari cangkirnya, ia berkata
tenang. “Masuklah!”
Langkah kaki
ringan itu memasuki kamarnya, lalu berhenti dan hening sejenak sebelum suara
yang nyaring itu bertanya. “Apakah saya berhadapan dengan Menteri Kam Liong?”
“Hemm, bocah
ini sama sekali tidak mempunyai suara penjilat, tidak bermuka-muka dan tidak
berlebihan menghormatinya seperti biasa dilakukan orang, malah terdengar agak
kurang ajar dan tidak memandang kedudukannya yang tinggi.”
Dengan
cangkir teh masih di depan mulut, Menteri Kam Liong menoleh sambil berkata,
“Siapa
engkau? Katakan keperluanmu!” Akan tetapi ia terkejut ketika pandang matanya
bertemu dengan laki-laki itu.
Seorang
pemuda yang amat tampan dan bersikap gagah sekali, dengan sepasang mata yang
bersinar-sinar amat tajam. Jelas bukan seorang pemuda sembarangan! Juga wajah
ini... serasa pernah ia mengenalnya, akan tetapi ia tidak ingat di mana dan
kapan. Tanpa mengalihkan pandang matanya dari wajah tampan itu, Menteri Kam
Liong yang mulai tertarik meletakkan cangkir tehnya di atas meja, lalu memutar
tubuh menghadapi pemuda itu dan mendesak, “Siapakah engkau?”
Pemuda
tampan itu lalu menjura dan memberi hormat, suaranya terdengar gembira dan
penuh perasaan. “Harap Twako sudi memberi maaf kalau siauwte mengganggu.
Siauwte adalah Kam Han Ki....”
Menteri Kam
Liong mencelat bangkit dari tempat duduknya dan gerakannya sungguh amat cepat,
jauh bedanya dari sikapnya yang lemah lembut. “Han Ki...? Engkau putera
mendiang Paman Kam Bu Sin yang lenyap bertahun-tahun itu...?”
Pemuda yang
bernama Kam Han Ki itu mengangkat mukanya dan memandang Menteri yang disebutnya
‘kakak tua’ itu dengan wajah berseri lalu mengangguk. “Benar, Twako. Saya
adalah Kam Han Ki, adik sepupu Twako sendiri.”
“Ah,
Adikku... Apa saja yang telah terjadi denganmu selama bertahun-tahun ini? Ah,
Adikku...!” Menteri itu melangkah maju dan merangkul pemuda itu yang cepat
menjatuhkan diri berlutut dengan penuh perasaan terharu.
“Duduklah,
Han Ki. Duduklah. Haiii! Pelayan!” Menteri itu memanggil pelayan yang datang
berlarian, lalu memerintahkan untuk mengeluarkan hidangan dan minuman.
“Twako,
manakah Twaso (Kakak ipar)? Ijinkan Siauwte memberi hormat kepadanya. Dan mana
keponakan-keponakan saya?” Pemuda itu menghentikan pertanyaannya ketika melihat
wajah kakak misannya itu menjadi muram.
Menteri Kam
Liong menghela napas dan berkata, “Aku hidup sendiri Adikku. Twaso mu telah
meninggal dunia beberapa tahun yang lalu karena penyakit berat, dan kami tidak
mempunyai anak.”
“Ahhh...,
maaf, Twako.”
“Tidak apa,
Adikku. Sekarang ceritakan pengalamanmu selama belasan tahun ini. Sedikitnya
tentu ada lima belas tahun engkau hilang. Ke mana saja engkau? Berita tentang
dirimu yang terakhir amat mencemaskan kami sekeluarga. Engkau diculik dan
dilarikan Siang-mou Sin-ni iblis betina itu!”
Han Ki
mengangguk-angguk, lalu berkata, “Benar seperti yang Twako katakan. Iblis
betina Siang-mou Sin-ni membawa saya lari ke puncak Ta-liang-san di selatan.”
Kemudian Han Ki menceritakan pengalamannya.
Ketika
berusia sebelas tahun. Kam Han Ki mengalami hal yang amat hebat. Dia adalah
putera Kam Bu Sin, adik tiri Suling Emas yang bernama Kam Bu Song. Dia anak ke
tiga. Kedua orang encinya yang bernama Kam Siang Kui dan Kam Siang Hui telah
pergi ikut bersama Kauw Bian Cinjin, paman kakek mereka untuk bertapa dan
belajar ilmu di puncak Ta-liang-san.
Dalam
keadaan terluka karena pukulan-pukulan beracun, Kam Han Ki yang berusia sebelas
tahun itu dibawa iblis betina Siang-mou Sin-ni (Wanita Sakti Rambut Harum),
menuju ke Pegunungan Ta-liang-san. Wanita iblis itu lalu mengisap darah Kam Han
Ki yang dianggap mempunyai darah yang bersih dan sumsum yang murni.
Akan tetapi,
iblis betina ini tidak tahu bahwa Han Ki telah minum obat beracun dingin milik
kakek sakti Bouw Lek Couwsu. Sehingga ketika ia menyedot darah anak itu, ia
roboh terkena racun obat itu. Han Ki segera menggunakan jarum menusuk dada Si
Iblis Betina sampai menembus jantungnya dan tewaslah Siang-mou Sin-ni. Akan
tetapi sebelum roboh tewas, iblis betina itu berhasil pula memukul Han Ki
sehingga anak ini roboh pingsan dengan tulang iga patah-patah!
Pada saat
yang amat berbahaya bagi keselamatan nyawa Kam Han Ki, muncullah kakek dewa Bu
Kek Siansu yang memondongnya dan membawanya pergi dari tempat itu. Dia dibawa
ke sebuah goa di lembah Sungai Cin-sha dan diobati. Setelah sembuh, Bu Kek
Siansu menggembleng Han Ki yang sudah memiliki dasar-dasar ilmu silat tinggi
itu dengan ilmu-ilmu yang tinggi. Selama dua tahun pemuda itu diajar
teori-teori ilmu silat yang hebat, kemudian disuruh berlatih sampai sempurna
seorang diri di goa itu dengan pesan bahwa kalau belum sempurna tidak boleh
keluar goa. Juga dia diajar cara bersemedhi dan menghimpun sinkang.
“Dengan
dasar teori yang selama ini kuajarkan kepadamu, engkau membutuhkan waktu
belasan tahun untuk menyempurnakan latihan-latihanmu, Han Ki. Setelah sempurna,
baru pergilah kau ke kota raja dan carilah twako mu Kam Liong. Dialah pengganti
orang tuamu dan selanjutnya, dia yang akan membimbingmu,” demikian pesan kakek
dewa itu yang lalu pergi menghilang tak pernah muncul lagi.
Han Ki
adalah seorang anak yang berhati keras dan berkemauan teguh. Biar pun
kadang-kadang ia merasa tersiksa sekali harus hidup menyendiri di tempat sunyi
itu, namun ia terus berlatih dengan rajin sampai sepuluh tahun lamanya! Setelah
ia keluar dari goa itu, dia telah menjadi seorang pemuda berusia dua puluh tiga
tahun!
Dengan
sebatang pedang yang sengaja ditinggalkan Bu Kek Siansu untuknya, mulailah
pemuda itu terjun ke dunia ramai dan sekaligus mengguncangkan dunia kang-ouw
karena kepandaiannya yang tinggi. Beberapa kali ia bertemu dengan perampok jahat,
namun dengan mudah saja penjahat-penjahat itu ditaklukkannya. Namun, karena
teringat akan pesan gurunya, dalam perantauannya itu akhirnya Kam Han Ki tiba
di kota raja dan langsung mencari twakonya yang sebelumnya ia selidiki di kota
raja dan mendengar bahwa Kam Liong telah menjadi seorang menteri!
Mendengar
cerita itu, berulang kali Kam Liong menarik napas panjang. “Aihh, Adikku,
engkau sungguh beruntung sekali dapat menjadi murid Bu Kek Siansu! Apakah
setelah beliau pergi meninggalkanmu tidak pernah datang lagi menjengukmu?”
“Tidak,
Twako. Suhu adalah seorang manusia yang sakti dan aneh, yang muncul dan pergi
pada saat-saat yang sama sekali tidak terduga manusia. Karena saya mematuhi
pesannya, maka saya datang menghadap Twako untuk menghambakan diri.”
“Ahhh,
Adikku yang baik. Jangan berkata demikian. Bahkan andai kata aku tahu engkau
telah menjadi seorang pemuda yang berkepandaian tinggi, tentu akan kucari
karena pada saat ini aku sungguh membutuhkan bantuan orang yang pandai dan
boleh kupercaya penuh. Adikku Han Ki, maukah engkau membantuku?”
“Tentu saja,
Twako. Mulai sekarang, saya hanya menanti perintah Twako, disuruh apa saja saya
akan taat. Twako saya anggap sebagai pengganti orang tua saya, demikian pula
pesan Suhu Bu Kek Siansu.”
“Bagus, Han
Ki! Ah, betapa lega rasa hatiku dengan kedatanganmu yang sama sekali tidak
pernah kumimpikan ini. Adikku, terimalah secawan arak dariku ini untuk
mengucapkan selamat datang kepadamu!” Menteri itu lalu menuangkan arak ke dalam
sebuah cawan sampai penuh betul, kemudian sekali ia menggerakkan tangan. Cawan
yang penuh arak itu terlempar ke atas, berputar-putar cepat sekali akan tetapi
araknya tidak tumpah sedikit pun!
“Terimalah,
Adikku!”
“Terima
kasih, Twako!” Han Ki yang maklum bahwa kakaknya sedang mengujinya menjadi
gembira. Ia mendorongkan tangan kirinya ke arah cawan yang berputaran di udara
itu. Cawan menjadi miring dan isinya tumpah, akan tetapi tumpahnya langsung
memasuki mulutnya sampai cawan itu menjadi kering, lalu ia menyambar cawan itu
dan meletakkannya di atas meja.
“Sayang meja
ini agak kotor terkena arak dan kuwah, Twako. Biarlah saya membersihkannya!”
Han Ki menggebrak meja dan semua mangkok dan cawan beterbangan ke udara!
Cepat Han Ki
menyambar sebuah kain pembersih, menggosok meja dengan gerakan yang cepatnya
bukan main sehingga meja menjadi bersih, kemudian ia mengangkat meja itu
menerima mangkok piring dan cawan yang meluncur turun, disambutnya dengan baik
sehingga semua barang itu tidak ada yang tumpah, setelah itu ia meletakkan meja
kembali di depannya.
“Bagus. kau
hebat, Adikku!” Menteri Kam Liong girang sekali, kemudian tiba-tiba ia memegang
tangan adiknya.
Kam Han Ki
merasa betapa dari telapak tangan kakaknya itu keluar getaran hebat yang makin
lama makin panas. Ia tahu bahwa itulah penyaluran tenaga sinkang yang amat
kuat, maka cepat ia pun mengerahkan sinkangnya, menerima tekanan kakaknya
dengan muka tidak berubah.
Menteri itu
merasa betapa tiba-tiba tangan adiknya yang ia pegang dan remas itu menjadi
dingin seperti salju dan betapa wajah pemuda itu sama sekali tidak berubah. Ia
kagum bukan main dan barulah ia merasa yakin bahwa Bu Kek Siansu benar-benar
telah berlaku murah hati kepada adiknya ini, dan yakin bahwa pemuda ini dapat
membantunya meringankan beban yang pada waktu itu terasa amat berat olehnya.
Akan tetapi hatinya masih belum puas mengingat betapa pentingnya tugas yang
hendak ia serahkan kepada Han Ki.
“Adikku yang
baik, marilah ikut bersamaku ke lian-bu-thia (ruangan berlatih silat)!” katanya
setelah ia melepaskan tangannya. Han Ki bangkit dan mengikuti menteri itu pergi
ke lian-bu-thia.
Para penjaga
hanya dapat melihat dengan mata melongo saja betapa kini pemuda yang menjadi
tamu itu ‘bertanding’ dengan hebatnya melawan Sang Menteri. Han Ki menggunakan
pedangnya, sedangkan Menteri Kam Liong menggunakan sepasang senjatanya yang
selama ini belum pernah terkalahkan, yaitu sebatang suling emas dan sebuah
kipas.
Diam-diam
Kam Han Ki kagum bukan main. Kakaknya yang sudah setengah tua itu ternyata amat
hebat. Permainan suling emas dengan ilmu silat pedang Pat-sian Kiam-sut
dirangkai dengan ilmu kipas Lo-hai San-hoat benar-benar lihai sekali. Pat-sian
Kiam-sut (Ilmu Pedang Delapan Dewa) adalah ilmu pedang tingkat tinggi yang
cepat dan memiliki jurus-jurus berbahaya, sungguh menakjubkan kini dimainkan
dengan suling yang berubah menjadi gulungan sinar emas.
Ada pun
Lo-hai San-hoat (Ilmu Kipas Pengacau Lautan) juga hebat bukan main. Selain
gagangnya dapat dipergunakan untuk menotok jalan darah, juga kalau kipas
dikebutkan, angin menyambar keras mengacaukan gerakan lawan.
Namun Han Ki
tidak percuma melatih diri selama belasan tahun seorang diri di dalam goa,
tidak percuma menjadi murid Bu Kek Siansu karena ilmu pedangnya juga amat
tinggi. Ilmu pedangnya mempunyai dasar gerakan Hong-in-bun-hoat yaitu gerakan
ilmu silat yang dilakukan seolah-olah ‘menulis’ huruf-huruf indah di udara, dan
karena semua ilmu silat yang dimainkan oleh kedua kakak beradik ini berasal
dari satu sumber, maka mereka dapat saling mengenal jurus lawan dan dapat mengimbanginya.
Seratus jurus telah lewat dan diam-diam Menteri Kam Liong kagum dan girang
sekali. Pada waktu itu jarang ada lawan yang dapat menandinginya sampai seratus
jurus tanpa terdesak sedikit pun, apa lagi masih begini muda, bahkan dalam hal
tenaga sinkang, adiknya ini malah lebih kuat dari padanya!
“Gu Toan,
hebat tidak kepandaian Adikku ini?” Tiba-tiba Menteri Kam Liong berseru gembira
sambil meloncat ke belakang menghentikan serangannya, menoleh kepada seorang
laki-laki setengah tua yang berpunggung bongkok dan yang sejak tadi menonton
dengan mata terbelalak dan mulut celangap, melongo dengan penuh kekaguman.
Si Bongkok
yang bernama Gu Toan itu membungkuk-bungkuk sehingga tubuhnya menjadi makin
bongkok, mulutnya berkata. “Hebat... hebat... hamba belum pernah menyaksikan
yang sehebat itu, Taijin...”
Diam-diam
Han Ki terkejut. Seorang pelayan mengapa dapat menilai pertandingan ilmu silat
tinggi yang tak dapat diikuti pandangan mata sembarangan orang? Agaknya Menteri
Kam Liong maklum akan keheranan hati adiknya, maka ia lalu berkata sambil
menunjuk ke arah orang bongkok itu.
“Jangan
pandang ringan orang ini, Han Ki. Gu Toan ini adalah pelayanku selama belasan
tahun dan biar pun dia tidak langsung menjadi muridku, namun dari melihat saja
dia telah dapat menguasai dasar-dasar ilmu silat yang kumainkan. Sayang dia
sudah tua dan ketika kecil tidak dilatih, padahal dia memiliki bakat yang lebih
besar dari pada bakatku sendiri. Pula, di dunia ini sukar dicari orang yang
lebih setia dari pada Gu Toan!”
Gu Toan
kelihatan malu-malu dan berkali-kali ia menjura. “Taijin terlalu memuji hamba,
terlalu memuji hamba... Ah, Kongcu benar-benar memiliki ilmu pedang yang tiada
keduanya di dunia ini.”
“Gu Toan,
ketahuilah bahwa pemuda ini adalah adikku sendiri, adik sepupu yang mulai
sekarang kuangkat menjadi pengawal pribadiku!”
“Ahh,
selamat datang, Kongcu!” pelayan itu berseru girang dan melihat sinar matanya,
Han Ki diam-diam membenarkan pendapat kakaknya. Memang pelayan bongkok ini
memiliki sinar mata yang hebat, penuh kecerdikan juga penuh kesetiaan.
Kembali
kakak beradik ini duduk berdua di kamar Sang Menteri dan mulailah Menteri Kam
Liong menceritakan semua urusan yang memberatkan hatinya.
“Yang
memberatkan hatiku adalah dua persoalan.” Menteri itu bercerita. “Pertama
adalah kekuasaan suku bangsa Yucen yang makin besar. Aku merasa curiga dengan
keadaan mereka, oleh karena itu diam-diam aku menyuruh muridku sendiri untuk
menyelundup dan bekerja di sana sebagai seorang perwira.”
Han Ki
tertarik sekali dan merasa kagum akan kecerdikan twako-nya dan keberanian murid
twako nya itu. “Akan tetapi telah beberapa lama ini dia tidak memberi kabar,
bahkan aku khawatir sekali kalau-kalau terjadi sesuatu dengan kurir yang sering
kali menghubungkan dia dan aku, mengirim berita-berita. Karena itu engkau harus
mewakili aku menyelidiki ke sana, Adikku. Tidak mungkin kalau aku sendiri yang
pergi ke sana, karena mereka sudah mengenalku. Aku sendiri akan berangkat ke
Khitan menyelidiki keadaan kakak misanmu yang menjadi Raja Khitan.”
Menteri itu
lalu memperkenalkan Raja Talibu yang juga merupakan putera Suling Emas sehingga
Han Ki makin tertarik hatinya. Segera ia menyanggupi tugas yang dibebankan
kepadanya. Akan tetapi, karena dia diangkat sebagai pengawal Menteri Kam Liong,
tentu saja oleh Menteri Kam Liong dia harus diperkenalkan dengan para pembesar
lain, juga bahkan dihadapkan kepada Kaisar.
Kaisar
merasa suka bertemu dengan Han Ki, kagum melihat pemuda yang lemah-lembut,
tampan dan gagah perkasa itu. Apa lagi ketika Kaisar mendengar bahwa pemuda
tampan ini adalah adik sepupu dari menterinya yang setia, kepercayaannya
bertambah dan ia menerima Han Ki dengan gembira. Bahkan memberi ijin kepada
pemuda itu untuk ‘melihat-lihat’ keadaan di sekeliling istana, mengagumi taman
bunga istana yang amat indah itu...
SETELAH
menghaturkan terima kasih, Han Ki lalu memasuki taman, meninggalkan twako-nya
yang masih bercakap-cakap dengan Kaisar mengenai keadaan pemerintahan. Pemuda
ini kagum bukan main. Taman itu amat luas, pula amat indahnya sehingga dia
merasa seolah-olah tersesat ke alam sorga di dalam mimpi. Belum pernah selama
hidupnya ia menyaksikan bunga-bunga yang demikian banyak macamnya, serba indah,
bangunan indah dalam taman dan burung-burung yang dipelihara dalam sangkar
beraneka warna.
Saking
tertariknya, pemuda yang selama hidupnya baru sekali itu menyaksikan tempat
yang demikian indahnya, sampai lupa diri dan tidak tahu bahwa dia telah
memasuki daerah terlarang, yaitu taman puteri yang terpisah dari taman umum
dengan pagar bunga mawar berduri yang tinggi. Namun bagi Han Ki tentu saja
pagar itu tidak berarti apa-apa. Ketika menjenguk dan melihat betapa taman di
sebelah pagar itu jauh lebih indah lagi, dengan bangunan-bangunan mungil dan
kolam-kolam ikan, serta sangkar-sangkar burung berkilauan agaknya terbuat dari
pada perak dan emas, ia menggenjot tubuhnya dan melompati pagar bunga mawar.
Dia sampai
berdiri bengong dan menahan napas menyaksikan segala keindahan itu.
Rumput-rumput yang tumbuh di tempat ini pun bukan sembarangan, melainkan rumput
yang teratur dan amat indah seperti permadani dari beludru. Seperti dalam mimpi
ia berjalan terus, melangkah ke arah sekumpulan bangunan yang dicat merah.
Tiba-tiba telinganya mendengar suara wanita menjerit-jerit kebingungan, bahkan
lalu mendengar wanita menangis. Cepat ia menyelinap di antara pohon bunga,
berlompatan mendekati suara yang datangnya dari balik kelompok bangunan.
Ketika ia
tiba di situ dan memandang dari tempat sembunyinya di balik pohon, ia bengong,
matanya tak berkedip memandang ke depan dan napasnya seolah-olah terhenti sama
sekali. Kalau tadi ia kagum dan merasa dalam mimpi menyaksikan keindahan taman,
kini ia terpesona menyaksikan seorang dara jelita yang kecantikannya
seolah-olah membuat denyut darahnya tiba-tiba membeku.
SEORANG dara
jelita berpakaian serba merah jambon sedang menangis di bawah pohon, dihibur
oleh empat orang wanita muda cantik-cantik dan beberapa orang di antara
wanita-wanita itu ada yang sibuk menjentikkan jari tangan sambil meruncingkan
bibir merah dan mengeluarkan bunyi bercicit seperti burung.
“Kalau dia
tidak mau kembali dan terbang pergi... ah bagaimana?” Dara cantik yang
berpakaian indah itu terisak.
Perhiasan
dari batu permata berbentuk burung hong yang menghias rambutnya
mengangguk-angguk karena gerakan tangisnya. Empat orang yang menghiburnya itu
pun cantik-cantik, akan tetapi dibandingkan dengan dara berpakaian jambon,
mereka itu seperti empat ekor burung gereja di dekat seekor burung hong!
“Tenanglah,
Siocia. Kalau kita tidak dapat menangkapnya, nanti hamba minta bantuan tukang
kebun,” seorang di antara empat pelayan itu menghibur.
“Apakah
tukang kebun dapat terbang? Mana bisa menangkap seekor burung? Aihhh, kalau
Hongsiang (Kaisar) mengetahui, tentu tidak apa-apa, akan tetapi aku khawatir
sekali terhadap kemarahan Hong-houw (Permaisuri), burung ini adalah
kesayangannya.” Dara itu menangis lagi.
Han Ki
merasa kasihan sekali. Belum pernah ia mengalami perasaan seperti ini. Mengapa
ia tiba-tiba merasa kasihan sekali kepada dara berpakaian jambon itu? Padahal
mengenalnya pun belum dan apa urusannya pun dia belum tahu. Hanya melihat dara
itu berwajah demikian gelisah dan melihatnya menangis, hatinya seperti
ditusuk-tusuk rasanya.
Ia memandang
ke arah pohon dan tampaklah olehnya seekor burung kecil berwarna kuning yang
indah sekali. Ketika melihat sangkar kosong di dekat puteri itu tahulah dia
bahwa Sang Puteri itu agaknya telah membikin burung tadi terlepas dan kini
merasa bingung bagaimana akan dapat menangkapnya kembali.
Terdorong
oleh rasa kasihan, Han Ki menjadi nekat lalu dia melompat ke luar dan berkata,
“Harap Siocia tidak khawatir, saya akan menangkap burung itu!”
Dara
berpakaian jambon ini terbelalak dan menahan jeritnya, sedangkan empat orang
pelayan itu pun menutup mulut saking kaget dan herannya. Han Ki yang melihat
sikap mereka menjadi heran, hanya mengangkat pundak kemudian tubuhnya sudah
mencelat naik ke atas pohon. Burung itu terkejut dan terbang, akan tetapi Han
Ki sudah mendorongkan telapak tangannya. Angin bertiup dari telapak tangannya
dan burung itu tertahan terbangnya, lalu disambarnya dengan tangan kanan dan
dibawanya melompat turun.
“Nah, ini
dia, Siocia, sudah dapat saya tangkap kembali.”
Dara itu
girang bukan main, lupa akan keheranannya melihat munculnya seorang pemuda
tampan dan seorang di antara pelayan lalu mengambil sangkar kosong dan tak lama
kemudian burung itu sudah aman berada di dalam sangkar kembali. Kini barulah
lima orang wanita itu memandang Han Ki dengan bengong dan tiba-tiba wajah
puteri itu menjadi merah sekali, lalu ia menunduk dan membuang muka karena ia
melihat sinar kagum jelas sekali terpancar keluar dari pandang mata pemuda yang
tampan itu.
“Eh, orang
muda, apakah kau pandai terbang?” seorang di antara empat pelayan bertanya.
“Apakah
engkau tukang kebun baru?” tanya yang ke dua.
Tanpa
mengalihkan pandang matanya dari wajah yang menunduk dari puteri itu Han Ki
menggeleng kepala. “Aku tidak pandai terbang dan bukan tukang kebun.”
Kini puteri
itu memutar tubuh dan memandang ke arah wajah Han Ki penuh kemarahan dan bibir
yang merah itu merekah, lalu terdengar suaranya yang bagi Han Ki seperti
nyanyian bidadari.
“Kalau
engkau bukan tukang kebun, bagaimana engkau bisa berada di sini?”
Han Ki tak
gentar menghadapi pandang mata para penjahat yang liar dan bengis, tidak
berkedip menghadapi serangan pedang dan golok. Namun kini, mata yang memancar
ke luar dari sepasang mata indah itu membuat ia gugup dan jantungnya berdebar
tidak karuan!
“Aku...
aku... melihat-lihat taman dan melompati pagar bunga mawar!”
“Aihh! Orang
muda yang kurang ajar!” Seorang di antara para pelayan membentak. “Kau bicara
seenaknya saja di depan seorang puteri Kaisar!”
Han Ki
terkejut sekali, akan tetapi perasaannya sebagai seorang laki-laki yang gagah
membuat ia pantang untuk bertekuk lutut, maka ia hanya menunduk dan berkata
lirih. “Maaf, maafkan saya, Siocia. Saya tidak tahu... ah, saya bersedia
dihukum karena kesalahan ini....”
Aneh sekali.
Kini puteri itu tersenyum simpul, matanya mengerling wajah tampan itu,
jantungnya berdebar, kemudian ia berkata, “Kalau pengawal tahu engkau masuk ke
daerah terlarang ini, engkau akan dihukum mati! Karena itu, sebaiknya engkau
lekas pergi dari sini. Eh, pelayan, berikan hadiah kepadanya yang telah
menangkap kembali burung yang terlepas.”
“Tidak,
Siocia. Saya tidak membutuhkan hadiah. Memang burung itu tentu saja ingin
sekali bebas karena betapa pun indah sangkarnya, dia hidup terkurung. Lihat,
bukankah dia nampak bersedih? Sungguh pun begitu, dia seekor burung yang bodoh
sekali, mengapa ingin bebas...?”
Sepasang
alis yang kecil panjang hitam seperti dilukis itu bergerak ke atas dan kembali
Han Ki merasa jantungnya tertusuk oleh sinar mata itu.
“Engkau
bicara aneh dan tidak karuan. Tadi kau katakan bahwa tentu saja burung itu
ingin bebas, kemudian kau mencelanya sebagai burung bodoh! Apa maksudmu?”
Puteri itu memandang tajam dan kembali jantungnya berdebar aneh ketika melihat
lebih jelas lagi betapa wajah pemuda di depannya itu benar-benar amat tampan
dan menarik hatinya.
“Dia bodoh
sekali, Siocia. Kalau saya menjadi dia, saya... saya akan merasa bahagia sekali
dikurung dalam sangkar dan berada di sini selamanya!” Han Ki yang masih merasa
dalam mimpi itu bicara sejujurnya menurutkan suara hatinya.
Kembali
sepasang mata itu terangkat dan sepasang mata indah itu melebar. “Mengapa?”
“Karena...
karena setiap hari akan dapat melihat Siocia dan dapat bernyanyi untuk
Siocia....”
“Aiihhh...!”
Puteri jelita itu membuang muka. Wajahnya menjadi merah sekali melebihi warna
bajunya, matanya seperti orang bingung, bergerak-gerak pandangnya tanpa tujuan
seperti mata kelinci terjebak, akan tetapi bibir yang merah dan manis itu
tersenyum-senyum malu, tersipu-sipu!
“Weh-weh,
kau laki-laki kurang ajar! Kau bisa dihukum mati kalau bicara seperti ini,”
kata seorang pelayan, juga tiga orang yang lain marah-marah. “Siapa sih engkau
berani mati seperti ini?”
Han Ki
menjawab tanpa mengalihkan pandang matanya dari wajah yang kemerahan itu dan
memang dia bukan menjawab Si Pelayan melainkan berkata ditujukan kepada puteri
itu. “Saya bernama Kam Han Ki, pengawal pribadi dan juga adik sepupu Menteri
Kam Liong. Saya diperkenankan oleh Hongsiang untuk melihat-lihat taman, akan
tetapi telah tersesat ke sini, harap Siocia sudi memaafkan.”
“Oohhh...
Kau... kau... adik sepupu Menteri Kam?” Puteri itu berkata lirih dan kemarahan
lenyap dari pandang matanya, terganti kekaguman. Juga empat orang pelayan yang
tadi marah-marah, kini tersenyum-senyum memandang nona majikan mereka.
Sang Puteri
dapat menangkap kerling dan senyum ini, lalu membentak, “Mau apa kalian
tersenyum-senyum?”
Empat orang
pelayan itu menunduk, akan tetapi tetap tersenyum dan seorang di antara mereka
yang paling berani lalu berkata, “Hamba sekalian mengira bahwa dia adalah
tukang kebun yang rendah, Siocia. Kiranya adik Kam-taijin, seorang pemuda
bangsawan yang gagah perkasa, malah pandai terbang melebihi burung. Hemm....”
Puteri itu
tersipu-sipu, akan tetapi memaksa diri menghadapi Han Ki yang masih bengong
terpesona karena wajah puteri itu makin dipandang makin mempesona, lalu berkata
lirih, “Kam-taihiap, sebaiknya engkau lekas pergi dari sini. Kalau ketahuan
Hongsiang, selain engkau dihukum aku pun akan mendapat malu. Harap suka pergi
dan... terima kasih atas bantuanmu tadi.”
Han Ki
mengangguk, merasa kecewa sekali harus pergi dari depan puteri ini. Akan tetapi
ia pun maklum bahwa kehadirannya di situ akan mendatangkan bencana bagi Sang
Puteri, maka dia berkata, “Maaf...!” lalu membalikkan tubuhnya melangkah pergi
menuju ke pagar bunga mawar dengan kedua kaki lemas.
Mengapa.
hatinya seperti hilang dan semangatnya kabur ke manakah? Terasa seperti
tubuhnya yang lemas saja yang pergi, akan tetapi semangat, dan hatinya
tertinggal di depan kaki Sang Puteri. Sampai di pagar, dia menengok. Puteri itu
ternyata memandang ke arahnya dengan bengong. Sejenak dua pasang mata bertemu,
bertaut seolah-olah melekat dan sukar dilepas lagi. Kemudian puteri itu
menunduk.
“Maaf,
Siocia. Saya Kam Han Ki telah berlaku lancang dan berdosa terhadap Siocia. Akan
tetapi sudah kepalang, biarlah saya menambah dosa lagi dengan mengetahui nama
Siocia. Bolehkah?”
Sunyi
sejenak. Tanpa mengangkat muka puteri itu berkata lirih. “Namaku... Hong
Kwi...”
“Terima
kasih!” Han Ki berkata dengan girang dan sekali berkelebat, tubuhnya lenyap
dari situ melompati pagar.
Demikian
cepat gerakannya sehingga, empat orang itu berseru, “Dia... dia menghilang.
Jangan-jangan dia... setan...!”
Puteri itu
tertawa, suara tawanya seperti nyanyian burung, tanda bahwa hatinya gembira
sekali. “Hushhh! Bukan menghilang! Mana ada setan di siang hari? Dia seorang
Taihiap, seorang pendekar besar, tentu saja loncatannya cepat sekali. Dia adik
Kam-taijin yang memiliki kepandaian luar biasa, tentu saja...!”
“Hebat...
Betulkah, Siocia? Hi-hihik!” para pelayan tertawa.
“Hushh! Apa
ketawa? Kusuruh cambuk kau, seribu kali!” Sang Puteri menghardik.
Akan tetapi
empat orang pelayan itu masih terkekeh genit dan seorang di antara mereka yang
sudah dapat mengetahui rahasia hati puteri asuhan mereka itu, berkata sambil
berlutut. “Hati hamba sekalian gembira sekali, Siocia. Jangankan dicambuk
seribu kali, biar selaksa kali hamba terima!”
Tentu saja
mereka hanya bergurau karena kalau betul-betul dicambuk, jangankan selaksa kali
atau seribu kali, baru dua puluh kali saja kulit-kulit tipis punggung dan
pinggul mereka tentu akan pecah-pecah dan nyawa mereka melayang!
Demikianlah,
semenjak saat itu hati Han Ki tercuri oleh Puteri Hong Kwi yang cantik jelita.
Puteri ini adalah puteri Kaisar dari selir yang memang terkenal cantik jelita.
Dan semenjak saat itu, Han Ki selalu mencari kesempatan untuk tersesat atau
lebih tepat ‘menyesatkan diri’ ke dalam taman terlarang sehingga dalam waktu
sebulan itu, beberapa kali ia ‘kebetulan’ bertemu dengan Sung Hong Kwi, puteri
selir itu yang selalu ada di taman itu. Bahkan kini puteri itu amat sering
datang ke taman untuk duduk termenung sambil memandang burung kuning dalam
sangkar! Kini puteri ini tidak lagi menyimpan rahasia hatinya kepada empat
orang pelayannya yang tentu saja merahasiakan pertemuan antara Han Ki dan Hong
Kwi.
Pada saat
malam terang bulan, Hong Kwi duduk melamun di taman. Empat orang pelayan duduk
tak jauh dari situ, berbisik-bisik dan tidak berani mengganggu Sang Puteri yang
mereka tahu sedang murung memikirkan Han Ki yang sudah beberapa hari tidak
tampak.
Hong Kwi
memandang ke arah burung kuning dalam sangkar. Pikirannya melayang-layang jauh.
Dia tidak melihat burung di dalam sangkar itu, melainkan wajah Han Ki! Dari
bibirnya berbisik-bisik “Mungkinkah...? Akukah yang seperti burung dalam
sangkar? Bagaimana mampu bebas dan terbang berdua dengan burung di luar
sangkar? Ah! Kam-taihiap...!”
Seolah-olah
mendengar jeritan hatinya, tiba-tiba berkelebat bayangan dan tahu-tahu Han Ki
telah berdiri di hadapannya!
“Kam-taihiap...!”
Hong Kwi terkejut sekali. Betapa beraninya pemuda ini! Malam-malam datang di
tempat itu! Kalau ketahuan, mereka berdua bisa celaka!
Akan tetapi
sikap Han Ki tidak gembira seperti biasa. Biar pun biasanya pertemuan antara
mereka berdua hanya lebih banyak pertemuan pandang mata saja dari pada
percakapan, namun Han Ki selalu bersikap gembira. Namun malam ini, di bawah
sinar bulan, wajah yang tampan itu kelihatan muram.
“Siocia...,
saya datang... untuk berpamit...”
Dara jelita
itu terkejut, mengangkat muka memandang penuh selidiki. “Berpamit...?
Kam-taihiap... mengapa? Apa yang terjadi? Engkau... hendak pergikah?”
Pemuda itu
hanya mengangguk, kemudian memandang ke arah empat orang pelayan dan berkata,
“Bolehkah saya bicara berdua saja denganmu, Siocia?”
“Ahhh...
tapi... tapi...” Ia meragu, lalu menoleh ke arah empat orang pelayannya sambil
berkata lirih. “Kalian pergilah sebentar.”
Empat orang
pelayan itu saling pandang, lalu tersenyum dan bagaikan empat ekor kupu-kupu
mereka berlarian menjauh dan bersembunyi di dalam bangunan kecil, agak jauh
dari tempat itu.
“Tai-hiap,
engkau hendak pergi ke manakah?”
“Siocia,
saya mendapat tugas dari Menteri untuk melakukan penyelidikan ke negara bangsa
Yucen...!”
“Aihhh...
Bangsa yang biadab itu...!” Sang Puteri berseru kaget sekali.
“Karena itu,
maka harus diselidiki keadaannya, Siocia. Demi kepentingan kerajaan ayahmu saya
harus berangkat besok pagi-pagi. Karena inilah maka saya memberanikan diri
menghadap Siocia untuk berpamit.”
“Kam-taihiap,
berapa lamakah kau pergi...?”
Han Ki
menggeleng kepala. “Bagaimana saya bisa tahu, Siocia? Tergantung keadaan di
sana dan... hemmm, kalau saya sampai tidak kembali menghadap Siocia itu berarti
bahwa saya tentu tewas di sana... Eh...! Siocia...! Siocia...!”
Han Ki cepat
menubruk dan merangkul dara itu yang tiba-tiba menjadi lemas dan pingsan
mendengar ucapannya itu. Dia merangkul leher dara itu penuh kasih sayang, penuh
kemesraan, lalu memondongnya dan memangkunya sambil duduk di bangku tepi kolam.
Ia tahu bahwa dara itu hanya pingsan karena kaget, maka perlahan-lahan ia
mengurut belakang kepalanya.
Muka itu
tengadah, agak pucat namun bibirnya masih merah segar. Pernapasan merasa lega
sekali dan tanpa disadarinya ia menunduk mencium dahi yang putih halus itu.
Sang Puteri sadar dan berteriak ketika mendapatkan dirinya dipangku dan dahinya
dicium.
“Ahhh,
Kam-taihiap...!” Ia merintih dan kedua lengannya merangkul leher.
“Hong Kwi...
Hong Kwi...?” Han Ki juga mengeluh, sakit hatinya karena maklum akan keadaan
mereka yang seolah-olah terpisah jurang kedudukan, dan kini malah akan
berpisah!
Ia menjadi
terharu, bercampur cinta kasih mendalam dan tanpa mereka sadari dan tanpa
mereka ketahui siapa yang memulainya, muka mereka saling berdekatan dan bibir
mereka bertemu dalam sebuah ciuman mesra, ciuman yang mereka lakukan tanpa
sadar, seolah-olah ada tenaga gaib yang mendorong mereka karena selama hidup
mereka belum pernah berciuman seperti itu. Tercurah seluruh kerinduan hati,
seluruh keharuan, seluruh cinta kasih sehingga sambil berciuman yang
seolah-olah takkan pernah terlepas lagi. Saat itu mereka terisak, naik
sedu-sedan dari dada mereka ke tengorokan.
Mereka
terengah-engah, terbuai oleh gelombang asmara yang hebat, baru melepaskan
ciuman setelah napas tak tertahan lagi, saling rangkul seolah-olah tak hendak
melepaskan lagi.
“Hong
Kwi...!”
“Koko...
Kam-koko...!”
Entah berapa
lama mereka saling rangkul, entah berapa kali mereka saling berciuman. Tiada
bosan-bosannya Han Ki mencium dahi, alis, mata, hidung, pipi, bibir dan leher
wanita yang dicintanya, seolah-olah hendak menghisap semua itu dan menyimpannya
ke dalam lubuk hatinya. Mereka lupa diri, lupa waktu, lupa keadaan.
“Siocia...!”
Suara pelayan menyadarkan mereka. “Hamba mendengar suara peronda...!”
Puteri itu
melepaskan diri dari atas pangkuan Han Ki, berdiri gemetar sambil memegang
lengan Han Ki yang kuat. “Koko... bagaimana dengan kita...? Ahh, Koko, jangan
tinggalkan aku, bawalah aku pergi... mari kita minggat malam ini juga...”
Han Ki
menutup mulut itu dengan ciuman mesra, tidak peduli lagi bahwa perbuatannya ini
kelihatan oleh pelayan yang cepat membuang muka dengan sungkan.
“Hushhh,
jangan berkata demiklan, kekasihku. Jangan khawatir, aku pasti akan kembali
membawa jasa dan tentang masa depan kita, harap jangan khawatir... Twako Kam
Liong tentu akan membantuku dan engkau akan dilamar secara resmi. Mengingat
akan kedudukan dan jasa Menteri, kiranya pinangan itu takkan ditolak oleh
Hongsiang. Nah, selamat berpisah, manisku. Itu peronda datang...” Han Ki
melepaskan pelukannya dan hendak meloncat pergi.
“Koko ...”
Ahh, Koko...!” Puteri itu merintih.
Han Ki
meloncat kembali, memberi ciuman yang mesra sekali yang seolah-olah menghisap
hati dara itu, kemudian tanpa menoleh ia sudah meloncat cepat lenyap dari situ.
Untung bahwa pemuda itu memiliki kepandaian yang hebat sehingga munculnya
peronda tidak mengakibatkan sesuatu karena peronda-peronda itu tidak melihat
atau mendengar kehadiran Si Pemuda yang nekat dan berani mati karena asmara
itu.
Para peronda
memberi hormat kepada Puteri Sung Hong Kwi yang telah menguasai hatinya dan
tanpa mengeluarkan kata-kata dara itu kembali ke kamarnya diikuti empat orang
pelayannya yang diam-diam saling towel, saling cubit dan menutupi senyum dengan
tangan mereka.
Pada
keesokan harinya, pagi-pagi sekali Kam Han Ki berangkat melaksanakan tugas yang
diberikan kepadanya oleh Menteri Kam Liong, yaitu menyelidiki ke kota raja
bangsa Yucen untuk menyusul Khu Tek San, yaitu murid Menteri Kam Liong yang
diselundupkan ke Kerajaan bangsa Yucen.
Ada pun
Menteri Kam Liong sendiri tak lama kemudian juga pergi seorang diri setelah
mendapat perkenan Kaisar, pergi ke Khitan untuk menyelidiki kerajaan adiknya
yang ia tahu terancam perang besar dengan bangsa Yucen, bahkan barisan Sung
sendiri atas pimpinan panglima-panglima perbatasan yang sudah disetujui oleh
Kaisar juga membantu bangsa Yucen menyerang Khitan. Ia merasa khawatir sekali,
apa lagi karena ia pun tahu bahwa bangsa Mongol sedang berkembang dan selalu
mengintai daerah-daerah perbatasan!
***************
Maya
berjalan seperti kehilangan semangat bersama pasukan pengawal yang kini telah
berubah menjadi perampok-perampok, menjadi serigala-serigala haus darah yang
amat kejam di bawah pimpinan Bhutan. Anak perempuan yang usianya baru sepuluh
atau sebelas tahun ini menderita tekanan batin yang bukan main hebatnya.
Pertama-tama
tentang keadaan dirinya yang ternyata bukanlah puteri Raja dan Ratu Khitan,
melainkan keponakan mereka, dan bahwa ayah bundanya telah tewas. Hal ini saja
sudah membuat ia berduka bukan main, sungguh pun andai kata dia benar puteri
Raja dan Ratu, mereka ini pun sekarang telah tewas. Kedua, menyaksikan
kekejaman-kekejaman yang dilakukan pasukan itu benar-benar mengerikan sekali.
Ketiga, memikirkan keselamatannya sendiri yang terancam mala-petaka hebat.
Malam itu
gerombolan yang dipimpin Bhutan mengaso di sebuah hutan dan mereka itu berpesta-pora
dan mabuk-mabukan karena baru saja mereka membasmi sebuah dusun. Di antara
suara ketawa-tawa mereka terdengar jerit dan rintih wanita-wanita yang mereka
culik dan mereka seret ke dalam hutan itu. Ada di antara mereka yang sekaligus
membawa dua orang wanita dan mempermainkan mereka seperti seekor kucing
mempermainkan dua ekor tikus.
Maya tidak
melihat itu semua, tidak mendengar itu semua. Sudah terlalu sering ia mendengar
dan melihat hal-hal mengerikan itu sehingga biar pun kini mata dan telinganya
terbuka, namun yang tampak olehnya hanya api unggun di depannya. Diam-diam dia
telah mempersiapkan diri. Di dalam perampokan-perampokan itu, ia menemukan
sebuah pisau belati yang runcing dan tajam. Disembunyikannya pisau itu di balik
bajunya, diselipkan di ikat pinggang sebelah dalam. Dan ia selalu mencari akal
untuk melarikan diri.
Mereka
sedang mabok-mabokan dan memperkosa wanita rampasan. Kalau saja Bhutan malam
itu tidak menjaganya, tentu ia akan dapat melarikan diri di dalam hutan yang
gelap itu. Mereka sedang mabok dan sedang mengganggu para wanita. Kalau dia
lari, tentu takkan ada yang tahu. Jantungnya sudah berdebar karena dia tidak
melihat Bhutan yang tadi rebah-rebahan tidak jauh dari situ.
Akan tetapi
harapannya membuyar ketika tiba-tiba terdengar suara ketawa Bhutan. Suara
ketawa yang serak. “Ha-ha-ha, engkau kelihatan manis sekali di dekat api
unggun. Kulit wajahmu kemerahan. Wahai, puteriku jelita! Engkau seperti bukan
kanak-kanak lagi, heh-heh-heh!” Maya merasa muak dan mau muntah ketika muka
Bhutan yang didekatkan itu mengeluarkan bau arak dan daging busuk!
Jantung Maya
berdebar tegang. Ia tahu bahwa orang yang paling dibencinya ini sedang mabok.
Dari pandang mata, sikap dan ucapannya, Maya merasa bahwa ada bahaya
mengancamnya, bahaya yang selama ini amat ditakutinya. Biasanya Bhutan hanya
merayu dan memujinya dengan kata-kata saja, akan tetapi sekali ini agaknya dia
mempunyai niat lain.
“Pergi dan
jangan ganggu aku!” Maya membentak marah.
“Ha-ha-ha,
Maya yang manis! Tadinya aku hendak menunggu satu dua tahun sampai engkau lebih
matang. Akan tetapi aku tidak sabar menunggu sekian lamanya dan engkau... hemm,
engkau sudah cukup matang, engkau seperti setangkai kuncup kembang yang sudah
merekah. Marilah, Maya manis!” Bhutan yang kini sudah berubah seperti seekor
anjing kelaparan itu menangkap tangan Maya dan menarik tubuh anak perempuan itu
sehingga roboh ke dalam pelukannya.
Bhutan
tertawa-tawa dan memondong tubuh Maya yang meronta-ronta, membawanya ke balik
gerombolan pohon kembang di mana terdapat tilam rumput hijau yang lunak. Tak
jauh dari situ terdapat mayat seorang wanita yang baru saja menjadi korban
kebuasan Bhutan. Manusia kejam ini telah memperkosa wanita rampasan itu,
kemudian membunuhnya karena wanita itu tidak memuaskan hatinya dan dalam
kehausan nafsu yang bernyala-nyala, Bhutan teringat akan Maya dan kini membawa
anak perempuan yang meronta-ronta itu ke situ tanpa mempedulikan mayat yang
menjadi korban kebuasannya.
Sambil
tertawa-tawa dan dengan nafsu makin menyala-nyala, agaknya makin terbangkit
oleh perlawanan Maya yang meronta-ronta, Bhutan melempar tubuh Maya ke atas
rumput di mana dara cilik itu terbanting roboh telentang, kemudian Bhutan
menubruk dan menindihnya.
Maya
menggerakkan kepala ke kanan kiri untuk mengelakkan ciuman-ciuman Bhutan yang
menjijikkan. Biar pun semenjak tadi Maya meronta-ronta dan menjerit-jerit
seperti seorang yang tidak berdaya dan yang hanya bisa menjerit dan menangis,
namun sesungguhnya diam-diam anak ini telah mempersiapkan seluruh urat tubuhnya
dengan perhitungan seorang ahli silat. Ketika melihat lowongan, yaitu kedua
tangan Bhutan menjambak rambutnya, agaknya untuk memaksa Maya agar tidak dapat
menggerakkan kepala mengelak, kemudian mencium mulut gadis cilik itu penuh
nafsu, saat itulah yang dinanti-nanti Maya.
Ia
mengatupkan mulutnya kuat-kuat sehingga yang dicium Bhutan hanya sepasang bibir
yang bersembunyi, dan tiba-tiba tangan kanan Maya bergerak, menikamkan pisau
belati tepat ke ulu hati Bhutan dan miring ke kiri, ke arah jantung, sedangkan
tangan kirinya yang kecil itu menusuk dengan jari-jari terbuka ke arah mata
lawan. Biar pun Maya merasa muak dan jijik, namun dengan kekuatan hatinya ia
dapat menekan perasaannya itu dan dapat melakukan serangan mendadak secara
tepat sekali.
Pekik yang
keluar dari mulut Bhutan merupakan raungan binatang buas yang direnggut
nyawanya. Tusukan jari-jari kecil pada kedua matanya dan rasa sakit pada
dadanya membuat Bhutan secara otomatis membawa tangannya ke mata dan dada. Saat
yang hanya beberapa detik ini cukup bagi Maya untuk meronta dan keluar dari
tindihan tubuh Bhutan, kemudian meloncat pergi lalu berlari cepat memasuki
tempat gelap.
Bhutan
meloncat bangun, meraung lagi, berusaha mengejar namun roboh terguling,
berkelojotan dan dari kerongkongannya terdengar bunyi mengorok seperti babi
disembelih. Akhirnya ia tewas tak jauh dari mayat wanita yang telah dibunuhnya.
Akan tetapi
perhitungan Maya meleset. Dia tidak memperhitungkan pekik yang keluar dari
mulut Bhutan ketika ia melakukan penikaman. Pekik itu menarik perhatian dan
mengejutkan beberapa orang anak buah gerombolan yang berada tidak jauh dari
tempat itu! Mereka kaget dan meninggalkan wanita korban mereka yang sudah
setengah mati, lalu meloncat ke tempat terdengarnya suara pekikan. Tentu saja
mereka terkejut melihat tubuh Bhutan berkelojotan dan lenyapnya Maya. Mereka
berteriak-teriak dan tak lama kemudian, empat belas orang bekas pengawal itu
telah mengejar Maya!
Akhirnya
Maya yang kelelahan dan kehabisan tenaga karena memang tubuhnya sekarang telah
menjadi lemah akibat tidak terpelihara dengan baik, makan dan tidur tidak
teratur, tertangkap oleh gerombolan itu di luar sebuah dusun menjelang pagi.
Empat belas pasang tangan memperebutkannya, dan seorang di antara mereka cepat
berkata,
“Heh,
kawan-kawan jangan bodoh! Kalau diperebutkan begitu, dia akan mampus. Sayang
sekali kalau begitu! Lebih baik dia dirawat dan kita pelihara baik-baik. Dia
dijadikan milik kita bersama. Ingat, dia bukan kembang sembarang kembang, harus
diperlakukan penuh kelembutan. Ha-ha-ha!”
Mendengar
ini, yang lain-lain setuju dan sambil tertawa-tawa mereka menggandeng tangan
Maya yang sudah babak belur itu.
“Nah, ini
ada dusun, melihat bangunan-bangunannya lumayan juga. Bocah ini masih terlalu
kecil, kita pelihara dulu sampai menjadi segar dewasa. Lihat, dia sudah hampir
mati kelelahan. Lebih baik kita mencari bunga di dusun itu dan berpesta-pora!”
terdengar suara seorang di antara mereka.
Setelah
Bhutan tewas, empat belas orang itu merupakan gerombolan tanpa pimpinan yang
tentu saja menjadi lebih buas seperti serigala-serigala tanpa bimbingan. Sambil
bersorak-sorak, empat belas orang itu menyerbu dusun. Dua orang penjaga di
pintu pagar dusun, mereka bunuh tanpa banyak cakap lagi. Mulailah lagi
perbuatan jahat dan penuh kebuasan melanda dusun itu. Penduduknya yang terkejut
karena tak menyangka akan diserbu pada pagi hari itu menjadi geger!
Ada sebagian
penduduk yang nekad melakukan perlawanan, namun tentu saja mereka itu bukan
tandingan gerombolan bekas pasukan pengawal yang rata-rata memiliki kepandaian
tinggi itu. Mulailah terjadi pembunuhan, disusul perampokan, pembakaran dan
perkosaan. Mulailah terdengar pekik-pekik mengerikan, pekik kematian dicampur
dengan jerit-jerit penuh ketakutan, jerit-jerit para wanita yang diperlakukan
semaunya oleh gerombolan itu.
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment