Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Istana Pulau Es
Jilid 02
Sementara
itu Maya tidak mendapat kesempatan untuk lari karena sewaktu para gerombolan
menyerbu dusun, kaki tangannya dibelenggu kuat-kuat dan dia dipaksa menunggu
mereka dalam keadaan tidak dapat bergerak, hanya sepasang matanya yang lebar
menyaksikan semua kekejian yang terjadi di dusun itu.
Seperti
biasa pula pada akhir penyerbuan sebuah dusun, para gerombolan ini menyeret
wanita yang mereka pilih. Ada yang sibuk mengumpulkan benda-benda berharga, ada
yang minum arak sampai mabok dan di antara asap rumah-rumah yang masih menyala,
mereka tertawa-tawa dan berkumpul di dekat tumpukan mayat-mayat, memandang
rumah terbakar. Ada yang mulai mengganggu wanita di depan mata kawan-kawannya,
ada yang bernyanyi-nyanyi, menyanyikan lagu kemenangan barisan tentara Khitan.
Semua ini
terjadi dengan hiruk-pikuk dan Maya terpaksa harus menonton semua yang terjadi
di depan mata karena ia berada di tengah-tengah antara mereka. Belenggunya
sudah dilepas dan dia menjadi muak dan pening. Di belakangnya, tiga orang
gerombolan sedang mengganggu tiga orang wanita yang menjerit-jerit di antara
suara ketawa mereka, di depannya juga ada dan di kanan kiri,
gerombolan-gerombolan itu tertawa-tawa, minum-minum dan mengamat-amati hasil
rampokan mereka dengan gembira!
Tiba-tiba
terdengar derap kaki kuda banyak sekali mendatangi dusun yang terbakar itu.
Empat belas orang gerombolan bekas pengawal menjadi terkejut. Akan tetapi
mereka sudah terlalu mabok, mabok oleh arak dan mabok nafsu sehingga mereka
terlambat untuk mengetahui bahwa yang datang adalah pasukan musuh, pasukan
bangsa Yucen yang berjumlah lima puluh orang! Tahu-tahu mereka diserbu oleh
pasukan Yucen yang banyak jumlahnya itu dan terjadilah perang tanding yang
berat sebelah.
Biar pun
gerombolan bekas pengawal ini rata-rata memiliki kepandaian tinggi, namun
mereka itu sudah setengah mabok dan jumlah mereka kalah banyak. Mereka
melakukan perlawanan gigih dan mengamuk. Melihat kesempatan ini, Maya berusaha
untuk melarikan diri. Ia meloncat, akan tetapi sebuah tamparan seorang pengawal
terdekat membuat ia roboh terpelanting dan pingsan di antara tumpukan mayat!
Perang kecil
yang berat sebelah itu berlangsung tidak terlalu lama. Biar pun mengorbankan
beberapa orang anak buahnya, namun pasukan Yucen akhirnya berhasil membunuh
empat belas orang gerombolan bekas pengawal Khitan itu. Mayat mereka
malang-melintang dan bertumpuk-tumpuk di antara mayat-mayat bekas korban
mereka, penduduk dusun dan wanita-wanita muda yang mereka perkosa. Sisa pasukan
Yucen lalu pergi meninggalkan dusun itu yang kini berubah menjadi tempat yang
mengerikan sekali.
Keadaan amat
sunyi, yang terdengar hanyalah api yang masih memakan atap-atap rumah. Tampak
di sana-sini muncul beberapa orang penduduk yang berani datang untuk mengambil
dan mengungsikan barang-barang mereka, akan tetapi tak seorang pun berani
mendekati tumpukan mayat empat belas orang gerombolan yang merubah dusun itu
menjadi neraka bagi penduduknya.
Tak lama
kemudian, dari arah barat tampak dua orang berjalan ke arah dusun itu. Dari
jauh sudah tampak bahwa mereka adalah seorang laki-laki dan seorang wanita.
Yang laki-laki berkulit hitam sekali dan yang wanita berkulit putih, akan
tetapi tubuh wanita itu tinggi, bahkan lebih tinggi sedikit dibandingkan dengan
laki-laki berkulit hitam itu. Kalau dilihat dari dekat, tentu orang akan
terheran-heran melihat pakaian dan wajah mereka yang berbeda jauh dari penduduk
umumnya.
Laki-laki
itu tinggi kurus, kulitnya hitam arang, rambutnya yang keriting ditutup sorban
kuning. Tubuh atas tidak berbaju hanya dilibat kain kuning yang sudah dekil,
tubuh bawah memakai celana hitam sampai di bawah lutut, kakinya tidak
bersepatu. Sederhana sekali pakaian dan sikapnya, tetapi wajahnya membayangkan
kewibawaan besar, dengan sepasang mata yang tajam seperti mata pedang tetapi
juga menyeramkan dan liar bergerak ke sana-sini.
Si Wanita
tidak kalah anehnya. Wajahnya berbentuk seperti laki-laki itu, kening lebar,
mata lebar, hidung mancung sekali dan besar, dagu runcing sehingga dia memiliki
kecantikan yang aneh dan khas. Telinganya memakai hiasan cincin besar,
rambutnya terurai sampai ke punggung. Tubuhnya tinggi besar, nampak kuat
seperti tubuh pria, namun gerak-geriknya yang lemah-lembut menandakan bahwa dia
benar-benar seorang wanita. Memakai baju berlengan pendek dan celana panjang
sampai ke kaki berwarna biru, akan tetapi di luar bajunya, ia memakai sutera
kuning yang panjang dilibat-libatkan di tubuh.
Lengan
kirinya yang berkulit putih kemerahan, bukan putih kekuningan seperti kulit
wanita pribumi, memakai sebuah gelang emas yang besar dan tebal. Demikian pula
kedua pergelangan kakinya dihias gelang kaki terbuat dari pada emas sehingga
kadang-kadang kalau kedua kaki berganti langkah, gelang-gelang itu beradu dan
menimbulkan suara berdencing nyaring. Usia mereka kurang lebih empat puluh
tahun dan mereka berjalan berdampingan tanpa berkata-kata, memasuki dusun itu
dan menggeleng-geleng kepala menyaksikan rumah-rumah terbakar dan mayat-mayat
bertumpukan dan berserakan.
Ketika tiba
di tumpukan mayat empat belas orang bekas pengawal Khitan dan wanita-wanita
serta penduduk, mereka berhenti dan bicara dalam bahasa India.
“Bukankah
pakaian mereka itu menunjukkan bahwa mereka adalah pasukan pengawal Khitan?”
kata Si Wanita.
“Agaknya
begitulah,” jawab yang laki-laki, suaranya parau dan dalam. “Manusia di
mana-mana sama saja, sekali diberi kesempatan, lalu berlomba saling membunuh.”
Keduanya
sudah akan melangkah pergi lagi ketika tiba-tiba terdengar rintihan yang keluar
dari tumpukan mayat.
“Ha! Seorang
anak perempuan!” Laki-laki itu berkata dan matanya mengeluarkan sinar aneh,
kedua tangannya bergerak mendorong ke depan.
Angin yang
kuat menyambar ke arah tumpukan mayat dan... sebagian mayat yang bertumpuk di
atas terlempar seperti daun-daun kering tertiup angin. Tampaklah kini seorang
anak perempuan yang merintih tadi bangun dan berusaha melepaskan diri dari
himpitan mayat-mayat. Anak ini adalah Maya yang tadi pingsan kemudian tubuhnya
tertindih banyak mayat!
“Aihh! Anak
siapa ini?” Wanita itu meloncat maju mendahului Si Laki-laki, gerakannya cepat
sekali seperti terbang dan sekali sambar ia telah mencengkeram punggung baju
Maya dengan tangan kiri dan mengangkat tubuh Maya ke atas sambil dipandangnya
penuh perhatian. Lagak wanita itu seperti seorang wanita sedang memeriksa
seekor kepiting yang hendak dibelinya di pasar!
“Haiii!
Kesinikan anak itu! Dia milikku karena akulah yang menemukannya, aku yang
pertama membongkar tumpukan mayat yang menimbunnya!” Laki-laki itu berseru
sambil melangkah maju.
“Tidak!”
Wanita itu memondong Maya dan meloncat menjauhi. “Aku yang lebih dulu
mengambilnya. Anak ini hebat...!” ia mengelus pipi, memeriksa mata, rambut dan
mulut Maya. “Anak hebat... Ah, manis, siapakah namamu?” tanyanya dalam bahasa
Han.
Biar pun dia
seorang puteri Khitan, namun sejak kecil Maya diajar bahasa Han di samping
bahasa Khitan. Maka Maya lalu menjawab, “Namaku Maya. Kalian siapakah?” Anak
ini lupa akan kesengsaraannya karena heran menyaksikan dua orang aneh yang tadi
bicara dalam bahasa yang tak dimengertinya, juga yang mempunyai wajah asing,
hidung panjang dan pakaian yang aneh pula.
“Maya? Bagus
sekali! Nama yang bagus sekali!” Wanita itu berseru girang dan menciumi kedua
pipi Maya.
Anak itu
mencium bau kembang yang aneh, wangi namun memuakkan baginya, akan tetapi dia
tidak melawan dan membiarkan mukanya dihujani ciuman oleh wanita itu.
“Kau cocok
denganku! Hebat! Engkau tentu suka menjadi kekasihku, bukan? Maya, engkau tentu
anak Khitan!” Wanita itu kini menggunakan bahasa Khitan dan Maya menjawab dalam
bahasa itu juga, suaranya berubah girang. “Benar, aku adalah Puteri Maya,
puteri... Raja dan Ratu Khitan!”
“Apa...?!”
Laki-laki itu meloncat maju. “Puteri Khitan? Hayo, Dewi, berikan padaku anak
itu. Aku yang berhak! Dia berdarah raja, dan tampaknya dia memang memiliki
darah murni. Berikan!”
“Tidak!”
Wanita itu memondong Maya dengan lengan kiri sedangkan tangan kanannya mengepal
tinju, mukanya merah menentang dan matanya bersinar-sinar marah kepada
laki-laki berkulit hitam itu. “Mahendra! Belum puaskan engkau dengan darah
beberapa orang anak yang telah kau hisap habis? Engkau penghisap darah anak
yang tiada puasnya! Tidak, anak ini adalah milikku. Engkau tidak boleh
mengganggu Maya! Dia punyaku dan kalau engkau memaksa aku akan membunuhmu.”
Laki-laki
yang disebut Mahendra itu tertawa bergelak sehingga ngeri hati Maya melihatnya.
Muka yang hitam itu kelihatan lebih hitam lagi setelah tertawa dan nampak
deretan gigi yang putih mengkilap!
“Ha-ha-ha-ha!
Nila Dewi, engkau mengancamku berkali-kali seolah-olah aku ini hanya seekor
semut yang mudah mati diinjak! Aku memang haus akan darah anak perempuan, akan
tetapi hal itu hanyalah karena aku belum menemukan anak yang darahnya cocok
untuk menyempurnakan ilmuku. Kalau aku sudah mendapatkan darah seorang anak
seperti Maya ini, tentu aku selanjutnya takkan butuh darah lagi. Berikanlah,
sayang. Malam nanti terang bulan, kita dapat berkasih-kasihan. Kalau ada aku di
sini, masa engkau butuh belaian seorang bocah seperti itu lagi? Ha-ha-ha!”
“Mahendra,
aku tidak main-main. Maya ini milikku dan habis perkara!”. Nila Dewi mulai
mencium-cium dan mencucup-cucup kulit leher dan pipinya. Gilakah perempuan ini?
pikir Maya.
“Ha-ha-ha,
kalau begitu, sebaiknya kita bertanya kepada Maya agar dia yang memilih.”
Mahendra memandang Maya dan berkata dalam bahasa Khitan, “Eh, Maya anak manis,
dengarlah. Kalau engkau memilih aku, terus terang saja aku akan mengambil
darahmu untuk obat, akan kuisap habis dan engkau akan mati seketika tanpa
merasa terlalu nyeri. Sebaiknya kalau engkau memilih Nila Dewi, dia akan
menjadikan engkau kekasihnya untuk menuruti nafsu birahinya yang selalu
berkobar tak pernah padam. Engkau akan dibelai, diperas dan perlahan-lahan
engkau pun akan mati! Memilih aku berarti mati seketika tanpa banyak menderita,
memilih dia berarti akan mati sekerat demi sekerat dan banyak menderita!”
“Phuaahhh,
bohong!” Nila Dewi menjerit marah. “Memilih dia berarti mati seperti seekor
ayam disembelih, sedangkan memilih aku, hemmm... akan mengalami kenikmatan
dunia. Andai kata mati, mati dalam kenikmatan, bukankah itu bahagia sekali? Kau
memilih aku, ya Maya? Memilih aku, anak manis?” Nila Dewi mendekatkan mukanya
dan mencium bibir Maya, mengecupnya lama-lama sampai tersedak-sedak kehabisan
napas baru dilepaskan.
Kini Maya
menjadi takut sekali, hatinya dicengkeram rasa ngeri yang hebat. Kiranya dia
terjatuh kedalam tangan dua orang asing yang entah gila entah memang berwatak
seperti iblis! Kalau tahu begini, jauh lebih baik dia pingsan di bawah tumpukan
mayat-mayat itu!
“Hayo pilih,
pilih siapa engkau. Maya?” Laki-laki berkulit hitam itu mendesak dan melangkah
maju.
Maya
memandang mereka bergantian dengan mata terbelalak. Bagaimana dia bisa memilih?
Keduanya sama menyeramkan dan memilih yang mana pun berarti dia akan mati!
Kematian di tangan laki-laki itu sudah pasti, darahnya akan disedot habis. Dia
bergidik ngeri. Akan tetapi biar pun dia tidak dapat membayangkan bagaimana
akan mati di tangan wanita itu, namun ia sudah membayangkan kengerian yang
membuat ia bergidik dan menggigil. Dia dijadikan kekasih! Apa artinya ini?
Kedua orang
itu memang bukan manusia-manusia, lumrah. Keduanya adalah saudara seperguruan,
murid-murid seorang sakti di Pegunungan Himalaya. Keduanya memiliki ilmu
kepandaian luar biasa dan tinggi, akan tetapi mempunyai keahlian yang khusus,
yaitu membuat pedang yang ampuh. Guru mereka, pertapa di Himalaya itu memang
seorang ahli membuat senjata ampuh, di samping memiliki kesaktian yang tinggi.
Ketika mereka, kakak beradik seperguruan ini mulai tergoda nafsu birahi di
tempat sunyi itu dan melakukan pelanggaran hubungan kelamin, gurunya marah-marah
dan mengusir mereka. Mahendra dan Nila Dewi melarikan diri ke tempat asal
mereka, yaitu di India Utara.
Akan tetapi
di tempat ini pun mereka terkenal sebagai manusia-manusia iblis yang tidak
segan melakukan pembunuhan dan perbuatan-perbuatan keji, menculik anak-anak
sehingga akhirnya mereka dimusuhi pemerintah dan kembali melarikan diri. Sekali
ini mereka lari ke Nepal dan di negara ini mereka berdua, berkat kepandaian
mereka yang tinggi, diangkat menjadi empu-empu pembuat pusaka kerajaan. Di
tempat ini mereka dapat bertahan sampai puluhan tahun karena Raja Nepal selalu
menyediakan segala kebutuhan mereka, anak-anak kecil untuk dihisap darahnya
oleh Mahendra, anak-anak dan dara-dara jelita untuk dijadikan kekasih Nila Dewi
yang mempunyai kesukaan aneh sekali, yaitu suka bermain cinta dengan wanita
muda cantik!
Sampai
berusia empat puluh tahun lebih, kedua orang saudara seperguruan ini masih
menjadi kekasih, kadang-kadang bermain-main cinta dengan mesra, akan tetapi
kadang-kadang bercekcok sebagai dua orang musuh besar, bahkan tidak jarang
mereka bertanding mati-matian!
Akan tetapi
selalu Mahendra yang mengalah karena diam-diam Mahendra benar-benar jatuh cinta
kepada adik seperguruannya ini. Karena cintanya yang besar maka dia pun tidak
mengganggu kesukaan kekasihnya yang membagi cintanya dengan anak-anak perempuan
cantik.
Kehidupan di
Nepal membosankan dua orang manusia iblis ini. Apa lagi ketika mendengar bahwa
di timur terjadi pergolakan perang antar suku. Mereka lalu meninggalkan Nepal
untuk menonton keramaian. Di mana terjadi perang, di sana akan banyak ditemukan
korban-korban mereka!
“Memilih
siapa, anak manis?” Nila Dewi bertanya, suaranya halus lemah-lembut dan penuh
kasih sayang sehingga sejenak Maya terpengaruh, membuat dia hampir merangkul
wanita itu.
Akan tetapi
Maya teringat dan mulailah anak yang memiliki keberanian luar biasa dan yang
sudah berhasil mendinginkan hatinya yang tegang itu memutar otaknya. Kalau
memilih Mahendra, berarti terus mati dan tidak ada kesempatan menyelamatkan
diri. Dia harus hidup. Masih banyak hal yang harus ia kerjakan dalam hidupnya!
Kalau dia memilih Nila Dewi, berarti akan ada kesempatan baginya untuk
melarikan diri.
”Aku memilih
Nila Dewi!” katanya lantang.
Nila Dewi
girang sekali. Sambil memondong Maya dia menari-nari berputaran. Maya merasa
heran dan juga kagum karena tarian Nila Dewi sungguh indah. Tubuhnya dapat
bergerak-gerak lemah-gemulai, pinggangnya meliak-liuk seperti tubuh ular dan
sepasang gelang pada kakinya saling beradu menimbulkan irama seperti musik yang
mengiringi tariannya!
“Anak manis!
Anak baik! Kekasihku... aihh, engkau memilih aku, hi-hik!” Nila Dewi menunduk,
kembali mencium mulut Maya, tangan kiri memondong, sedangkan jari-jari tangan
kanannya menggerayangi Maya.
Maya
terkejut sekali dan merasa betapa semua bulu di tubuhnya bangun berdiri penuh
kengerian. Sungguh pun wanita ini tidak menjijikkan seperti Bhutan, akan tetapi
perbedaannya hanyalah karena Nila Dewi wanita, namun belaian-belaiannya sungguh
mengerikan hatinya, memuakkan dan menimbulkan jijik dan takut.
Tiba-tiba
Mahendra melompat cepat dan Maya merasa betapa belaian dan ciuman Nila Dewi
berhenti, tubuh wanita itu menjadi lemas kemudian roboh bersama dia!
“Mahendra,
engkau pengecut curang...!” Nila Dewi mengeluh, berusaha untuk bangkit akan
tetapi roboh lagi.
Mahendra
tertawa-tawa, memeluk Nila Dewi dan memberi ciuman yang membuat Maya yang
melihatnya membuang muka. Ketika ia memandang lagi, ternyata Nila Dewi telah
duduk bersila dekat pohon, kedua lengan ditelikung ke belakang dan diikat
kuat-kuat. Tahulah ia bahwa tadi selagi Nila Dewi mencium dan membelainya penuh
nafsu birahi yang menghilangkan kewaspadaannya, Mahendra telah menyerangnya dan
menotok wanita itu hingga roboh terkulai lemas dan tidak dapat melawan lagi!
Timbul rasa
takutnya dan ia hendak lari. Akan tetapi, sekali sambar saja Mahendra sudah
menangkapnya, kemudian menggunakan sebuah tali panjang mengikat kedua kaki dan
tangannya, bahkan tali pengikat kaki yang panjang itu lalu dipergunakan oleh
Mahendra untuk menggantung tubuh Maya di cabang pohon. Tali itu diikatkan pada
cabang pohon sehingga tubuh Maya tergantung menjungkir dengan kepala di bawah
dan kedua tangannya terikat ke belakang punggung!
“Mahendra!”
Nila Dewi yang duduk bersila di bawah pohon itu berteriak. “Kalau engkau
membunuh Maya, aku bersumpah untuk membunuhmu!”
Mahendra
tertawa, mengeluarkan sebuah mangkok tanah dan sebatang pisau belati yang tajam
sekali dari balik baju yang melibat tubuhnya. Laki-laki hitam itu lalu berkata,
“Nila Dewi, engkau tahu bahwa aku tidak akan membunuhnya, betapa pun ingin aku
menyedot habis darahnya melalui leher dengan jalan menggigit urat lehernya dan
menyedot sampai tubuhnya kering. Betapa ingin aku membelah kepalanya dan makan
otak serta sumsumnya untuk menambah tenaga. Akan tetapi aku ingat akan
kebutuhanmu. Tidak, aku tidak akan membunuhnya, maka kukeluarkan pisau dan
mangkok ini. Aku hanya akan mengambil darahnya semangkok untuk kuminum, dia
tidak akan mati dan engkau masih akan dapat menikmatinya. Boleh bukan?”
“Keparat
kau! Iblis kau! Awas kalau sampai dia cacat!” Nila Dewi mencaci-maki.
”Tenanglah,
kekasihku. Aku akan mengerjakannya dengan hati-hati sekali agar dia tidak
cacad. Aku hanya menginginkan semangkok darah dan... sedikit sumsumnya. Kalau
kukerat sedikit punggungnya, kukeluarkan sumsum dari tulang punggung dan kutadah
darahnya, kemudian lukanya kuobati, dia tidak akan cacad, heh-heh!”
“Jahanam
sialan engkau!” Nila Dewi memaki gemas, akan tetapi hatinya lega juga karena ia
tahu bahwa Mahendra tidak akan membunuh Maya.
Dapat
dibayangkan betapa ngerinya hati Maya mendengar percakapan yang dilakukan dalam
bahasa Khitan itu. Ia meronta-ronta seperti seekor kelinci, namun tak dapat
melepaskan kedua tangannya.
“Heh-heh.
merontalah kuat-kuat, Anak manis, agar darahmu lebih cepat alirannya dan lebih
hangat!” Mahendra melangkah mendekati Maya dengan sikap seorang yang hendak
menyembelih!
Maya sudah
memejamkan kedua matanya, maklum bahwa menjerit-jerit dan meronta-ronta tiada
gunanya lagi. Siapa yang akan dapat menolongnya di dalam hutan ini? Tadi ia
sudah menyaksikan kehebatan kedua orang manusia iblis itu, bahkan dia tadi
bengong dan diam-diam kagum sekali melihat betapa laki-laki hitam itu memondong
dia dan mengempit tubuh Nila Dewi lalu berlari terbang meninggalkan dusun
memasuki hutan itu. Biarlah aku mati, keluhnya dalam hati karena tidak melihat
harapan lagi.
“Siluman
jahat, apa yang kau lakukan?” Tiba-tiba, entah dari mana datangnya, tahu-tahu
berkelebat bayangan putih dan tak jauh dari situ berdiri seorang laki-laki
setengah tua yang berpakaian seperti seorang sastrawan. Gerakannya demikian
ringan sehingga ia muncul seperti setan! Seruannya itu disusul menyambarnya dua
buah benda, yang sebuah menyambar ke arah kening Mahendra di antara kedua mata,
yang sebuah lagi menyambar tali yang menggantung tubuh Maya.
“Argghhh...!”
Mahendra menggereng, marah dan cepat ia melempar tubuh ke belakang.
Tali yang
menggantung Maya putus disambar benda yang ternyata hanyalah sebuah batu
kerikil, dan tubuhnya jatuh ke bawah. Anak yang sudah pandai ilmu silat ini
tentu saja dapat menyelamatkan diri dengan cara berjungkir balik dan
menjatuhkan diri dengan bahu lebih dulu, kemudian bergulingan. Kedua tangan dan
kakinya masih terikat dan ia meronta-ronta berusaha melepaskan ikatan kaki
tangannya.
Sementara
itu, Mahendra menyerang pendatang itu dengan pisau di tangan kanan dan mangkok
tanah di tangan kiri. Gerakan-gerakan Mahendra ketika menyerang amat aneh dan
cepat, juga mendatangkan angin keras yang menandakan bahwa tenaga dalam orang
ini hebat sekali. Namun berkali-kali Mahendra mengeluarkan seruan kaget karena
laki-laki itu dapat menandinginya dengan baik sekali, bahkan membalas dengan
serangan pukulan ujung lengan baju yang mendatangkan hawa panas, tanda sinkang
yang amat kuat!
Siapa pria
setengah tua yang perkasa dan sanggup menandingi iblis dari Nepal itu? Dia
bukan lain adalah Menteri Kam Liong. Seperti telah diceritakan di bagian depan,
Menteri Kam Liong pergi seorang diri menyelidiki keadaan di Khitan. Dapat
dibayangkan betapa duka hatinya ketika mendapat berita bahwa Khitan telah hancur,
dan bahwa kini Khitan telah diduduki oleh bangsa Yucen yang berhasil menghalau
bangsa Mongol. Betapa adik tirinya, Raja Talibu dan isterinya telah gugur dalam
perang dan bahwa puteri mereka lenyap, melarikan diri, kabarnya menuju ke
Gobi-san mencari kakek dan neneknya.
Kalau saja
waktunya tidak terbatas dan dia tidak terikat kewajiban pekerjaannya, tentu dia
akan menyusul ke Gobi-san mengunjungi ayahnya, pendekar sakti Suling Emas. Akan
tetapi Gobi-san terlalu jauh dan dia harus segera kembali ke selatan berhubung
dengan gawatnya keadaan sebagai akibat pergolakan di utara ini. Maka dengan
hati tertekan kedukaan, Menteri Kam Liong melakukan perjalanan pulang ke
selatan.
Kebetulan
sekali di dalam hutan itu ia melihat Mahendra yang hendak menyembelih seorang
anak perempuan secara kejam sekali. Kam Liong tidak mengenal Maya karena memang
anak Raja Khitan itu tidak pernah dilihatnya. Disangkanya bahwa anak itu
tentulah anak pelarian para pengungsi yang dusunnya dilanda perang.
Diam-diam
Kam Liong terkejut bukan main ketika mendapat kenyataan bahwa laki-laki hitam
itu lihai bukan main. Terpaksa ia harus mengerahkan seluruh kepandaiannya dan
barulah ia dapat mendesak lawannya. Pertandingan antara mereka berjalan seru
dan cepat sekali. Karena Mahendra berkali-kali mundur dan berloncatan menjauh,
makin lama dua orang yang bertanding ini makin menjahui tempat di mana Maya
berusaha melepaskan ikatan kaki tangannya.
“Maya
kekasihku, jangan pergi. Aku akan melindungimu,” Nila Dewi berkata lembut
sambil berusaha pula membebaskan ikatan kedua tangannya.
Akan tetapi
totokan tadi masih membuat tubuhnya lemas dan jalan darahnya tidak lancar, maka
diam-diam ia memaki Mahendra dan kemudian memejamkan mata untuk memulihkan
jalan darahnya. Kalau jalan darahnya sudah pulih, sekali renggut saja tali
pengikat tangannya tentu akan putus. Maya agaknya mengerti pula akan hal ini,
maka ia pun meronta-ronta dan berusaha mendahului nenek itu untuk melepaskan
diri dan lari.
Kalau di
sebelah sana tampak berkelebatnya dua bayangan orang bertanding dengan seru, di
sini terjadi pula perlombaan yang tidak kalah menegangkan, yaitu Maya berlomba
melawan Nila Dewi untuk lebih dulu membebaskan diri dari ikatan. Maya mengerti
bahwa kalau dia kalah dalam perlombaan ini, lenyaplah satu-satunya harapan dan
kesempatan untuk melarikan. Karena Mahendra yang sakti itu sedang bertanding
dengan orang gagah yang menolongnya, maka tentu Nila Dewi akan membawanya lari!
Untung bagi
Maya bahwa Mahendra yang tentu saja memandang rendah padanya dan memastikan
bahwa anak ini tidak mungkin terlepas dari tangannya tadi tidak mengikat
terlalu kuat, berbeda dengan ikatan pada kedua lengan Nila Dewi. Kini Maya
dengan mata terbelalak memandang ke arah Nila Dewi yang masih menghimpun tenaga
untuk memulihkan jalan darah, berusaha keras untuk melepaskan ikatan kedua
kakinya. Akhirnya Maya berhasil melepaskan kakinya dari ikatan. Ia meloncat
bangun dan dengan kedua tangan masih terikat di belakang ia melarikan diri.
“Robohlah...!”
tiba-tiba terdengar suara Nila Dewi yang nyaring, dan bagaikan didorong tenaga
mukjizat Maya terguling roboh!
Maya cepat
menengok dan melihat Nila Dewi sudah melompat berdiri. Kiranya wanita ini tadi
telah menggunakan sinkang untuk menendangnya dari jarak jauh, akan tetapi
penggunaan sinkang ini melenyapkan tenaga yang sudah mulai terkumpul, ia
menjadi lemas kembali dan roboh bersandar batang pohon. Melihat ini, Maya tidak
mempedulikan tubuhnya yang babak-belur, terus meloncat bangun dan lari lagi
sekuatnya dengan kedua tangan masih terikat!
“Berhenti...
ahhhh, kekasihku, tega engkau meninggalkan aku...?” Nila Dewi berkata, akan
tetapi tanpa menengok Maya terus lari secepatnya.
Sementara
itu, pertandingan antara Kam Liong dan Mahendra masih berjalan seru.
Berkali-kali pisau belati dan mangkok tanah menyambar, namun selalu Kam Liong
dapat mengelak atau menangkis dengan kepretan ujung lengan bajunya. Tiba-tiba
Mahendra berseru marah sekali dan menyambitkan mangkok tanah pada Kam Liong.
Pendekar ini memukul kearah mangkok dengan jari tangan kiri terbuka.
“Brakkk!”
mangkok itu pecah berkeping-keping.
“Mampuslah!”
Mahendra berseru dan segulung sinar kuning yang lemas menyambar ke arah kepala
Kam Liong.
Pendekar ini
terkejut melihat betapa lawannya telah melepaskan kain yang melilit tubuh
atasnya dan menggunakan kain kuning itu untuk menyerangnya dengan gerakan
seperti seorang nelayan melempar jaring ikan! Cepat ia mengelak, namun kain itu
digerakkan secara lihai sehingga kembali telah melayang untuk ‘menjaringnya’!
Kam Liong terkejut. Kiranya lawannya ini benar-benar lihai sekali menggunakan
kedua tangannya. Tampak sinar kuning emas berkelebat disusul sinar putih, dan
dia telah memegang suling emas dan kipasnya.
“Suling
Emas...!” Mahendra terkejut, meloncat ke belakang dan... melarikan diri seperti
orang ketakutan melihat setan.
Kam Liong
tidak mengejar, sejenak memandang suling di tangannya dan menarik napas panjang
penuh kagum. Nama ayahnya, pendekar sakti Suling Emas, agaknya sedemikian
hebatnya sehingga orang hitam aneh tadi pun mengenal senjata itu dan lari
ketakutan! Ia cepat meloncat ke tempat di mana anak tadi digantung dan tidak
melihat lagi bocah itu, kecuali wanita India yang masih duduk bersandar pohon
dan menghimpun kekuatan dalam. Ia merasa lega. Kiranya bocah tadi cukup cerdik
dan agaknya berhasil melarikan diri sewaktu penculiknya bertanding melawannya.
Dia tidak
mengenal dua orang India itu, tidak mempunyai permusuhan dengan mereka. Niatnya
hanya menolong anak perempuan itu. Setelah anak perempuan itu berhasil
menyelamatkan diri, dia pun tidak mau mengganggu wanita India yang sedang
menghimpun tenaga. Kam Liong menyimpan kedua senjatanya dan berlari pergi
meninggalkan tempat itu, melanjutkan perjalanannya pulang ke kota raja di
selatan.
Di dalam
perjalanan pulang ini, selain berduka atas hancurnya Kerajaan Khitan dan
tewasnya adik tirinya Raja Talibu, Kam Liong prihatin menyaksikan perkembangan
bangsa Yucen yang makin kuat, juga merasa gelisah memikirkan hal yang selama
ini selalu menjadi duri dalam daging baginya. Perjalanannya ke utara telah
menghasilkan pendengaran-pendengaran yang makin menggelisahkan hatinya, yaitu
tentang desas-desus bahwa di antara para pembesar yang membujuk-bujuk Kaisar
untuk memusuhi Khitan, termasuk pula saudara misannya yang bernama Suma Kiat.
Suma Kiat
adalah putera tunggal mendiang bibinya, yaitu Kam Sian Eng, adik tiri ayahnya
Suling Emas. Namun semenjak mudanya, Suma Kiat memiliki watak yang jahat dan
palsu sehingga ia seringkali bentrok, bahkan terasing dari keluarga keturunan
Suling Emas yang terdiri dari para pendekar perkasa yang menjunjung tinggi
kebenaran dan keadilan. Akan tetapi, mengingat bahwa Suma Kiat masih saudara
misannya, Kam Liong yang berwatak budiman merasa kasihan dan berkat usahanya,
akhirnya Suma Kiat dapat diterima oleh Kaisar dan menjabat pangkat panglima
dalam pasukan pertahanan pemerintah
Memang Suma
Kiat bukan seorang sembarangan, melainkan memiliki ilmu kepandaian yang amat
tinggi, mewarisi ilmu-ilmu mendiang ibunya yang dahulu tergolong seorang di
antara datuk-datuk persilatan yang disegani. Setelah memiliki kedudukan sebagai
panglima, Suma Kiat yang memang berdarah keturunan keluarga Pangeran Suma,
menjadi seorang bangsawan terhormat dan disegani pula, hidup mulia dan bahagia
dalam gedungnya di kota raja...
SELAMA dia
memangku jabatannya, ia bekerja dengan baik dan hal ini sebagian besar adalah
karena Suma Kiat merasa takut dan segan terhadap kakak misannya, Menteri Kam
Liong yang selain memiliki kedudukan lebih tinggi dari padanya, juga memiliki
ilmu kepandaian lebih lihai pula. Kini Suma Kiat telah menjadi seorang setengah
tua dan hidup sebagai seorang bangsawan dalam gedungnya yang indah. Ia telah
menikah dengan seorang wanita bangsawan yang cantik dan mempunyai seorang
putera. Puteranya ini bernama Suma Hoat, tampan seperti Ibunya, wataknya juga
halus dan lemah-lembut seperti Ibunya.
Karena
semenjak kecil oleh Ibunya ia dijejali pelajaran sastra dan filsafat,
diingatkan bahwa dia adalah keluarga dari pendekar besar Suling Emas, maka
sifat-sifat pendekar tertanam di jiwa anak ini. Dia digembleng ilmu silat oleh
ayahnya sendiri dan karena bakatnya, dia dapat mewarisi ilmu silat tinggi dari
ayahnya. Namun ada satu sifat dari nenek moyangnya, yaitu keluarga Suma, yang
agaknya menurun dan mengalir dalam darahnya, yaitu dia dikuasai nafsu birahi
dan berwatak mata keranjang!
Selain
puteranya sendiri, Suma Kiat juga mempunyai seorang murid lain yang sebetulnya
adalah pelayan keluarganya, seorang pemuda yang sebaya dengan puteranya,
bernama Siangkoan Lee. Anak ini mukanya buruk seperti muka kuda, pendiam dan
rajin. Biar pun bakatnya tidak sebaik Suma Hoat dalam ilmu silat dan sastra
namun berkat kerajinannya, dia pun memperoleh kemajuan pesat, terutama sekali
dalam ilmu silat karena Siangkoan Lee ini diam-diam mempunyai cita-cita tinggi
dan selalu mengumpulkan ilmu-ilmu silat tinggi untuk dipelajarinya. Berkat
kerajinan dan keuletannya, akhirnya ia pun diberi pekerjaan di kantor menjadi
seorang ‘bangsawan’ kecil, tidak lagi menjadi seorang pelayan.
Banyak hal
terjadi sebagai akibat perbuatan keluarga Suma ini yang memaksa Menteri Kam
Liong turun tangan dan membuatnya gelisah, dan beberapa hal di antaranya
terjadi beberapa tahun yang lalu ketika Suma Hoat dan Siangkoan Lee dua orang
murid Suma itu, baru berusia kurang lebih dua puluh tahun.
PADA SUATU
HARI, Suma Hoat diantar oleh Siangkoan Lee pergi berburu ke hutan. Berburu
binatang merupakan sebuah di antara kesukaan pemuda bangsawan ini, di samping
kesukaannya mengujungi tempat-tempat hiburan untuk mendengar wanita-wanita
cantik bernyanyi dan menari, kemudian memilih yang tercantik di antara mereka
untuk diajak bersenang-senang.
Dengan
menunggang kudanya yang berbulu putih dan tinggi besar, Suma Hoat kelihatan
tampan dan gagah perkasa. Pakaiannya serba indah, terbuat dari pada sutera
halus, rambutnya yang hitam panjang itu dihias dengan hiasan berupa seekor naga
emas bertabur batu kemala, gagang pedangnya yang terbuat dari emas menghias
punggungnya, wajahnya yang berkulit putih berseri-seri dengan sepasang mata
lebar dan lincah pandangnya, bibirnya selalu tersenyum. Banyak wanita akan
terguncang hatinya apabila melihat pemuda bangsawan yang tampan ini membalapkan
kuda putihnya. Didampingi pemuda Siangkoan Lee yang buruk rupa, Suma Hoat
kelihatan lebih tampan lagi.
Para wanita
cantik di rumah-rumah hiburan yang semua mengenal baik Suma-kongcu (Tuan Muda
Suma) ini, berkumpul di jendela loteng dan melambai-lambaikan sapu tangan
sutera yang harum, melontarkan senyum memikat. Namun Suma Hoat hanya membalas
senyuman mereka dan tidak berhenti karena memang sekali ini tidak ingin
menghibur hati dengan wanita-wanita cantik itu, melainkan hendak pergi berburu
binatang buas di hutan. Pula, ia sudah mulai bosan dengan wanita-wanita cantik
yang akan menghibur pria mana pun juga asal orang itu beruang, bosan dengan
cinta yang diobral mereka, cinta kasih yang dijual.
Dua orang
pemuda itu membalapkan kuda mereka keluar dari kota raja dan memasuki
dusun-dusun menuju ke hutan yang besar. Di sebuah dusun mereka mendengar keluh
kesah rakyat tentang gangguan seekor harimau besar yang sudah banyak mencuri
kambing dan kerbau penduduk, bahkan telah membunuh dua orang anak kecil.
Mendengar ini bangkit semangat Suma Hoat untuk membunuh harimau itu.
“Kita harus
dapat menangkapnya dan membunuhnya, kalau belum berhasil aku tidak mau pulang!”
demikian Suma Hoat berkata kepada Siangkoan Lee, bekas pelayannya juga yang
menjadi sutenya.
“Asal saja
dia berani keluar dari tempat sembunyiannya, Kongcu,” jawab Siangkoan Lee yang
masih menyebut ‘kongcu’ kepada suheng-nya itu, mengingat akan kedudukan mereka.
Demikianlah,
kedua orang muda itu menjelajah hutan-hutan yang dikabarkan menjadi sarang sang
harimau. Telah sepekan lamanya mereka mengintai, menunggu dan mencari, namun
hasilnya sia-sia belaka, harimau besar yang dicari-carinya tidak tampak. Suma
Hoat menjadi penasaran sekali. Dia sampai lupa akan niatnya semula, yaitu
berburu binatang. Banyak sudah selama sepekan ini dia melihat binatang-binatang
hutan, namun semua itu dibiarkannya saja lewat tanpa diusik karena kini seluruh
perhatiannya dicurahkan untuk mencari harimau yang telah mengganas di
dusun-dusun sekeliling daerah pegunungan itu.
Berkali-kali
Siangkoan Lee membujuk kongcunya untuk pulang saja, akan tetapi dengan alis
berkerut, Suma Hoat yang berkemauan keras ini malah membentaknya. “Sudah
kukatakan bahwa sebelum berhasil membunuh harimau laknat itu, aku tidak mau
pulang. Jangankan baru sepekan, biar selama hidupku di sini aku tetap harus
mencarinya sampai dapat!”
Siangkoan
Lee yang meninggalkan pekerjaan khawatir kalau-kalau dimarahi majikannya,
tetapi ia tidak berani membantah lagi. Siang malam mereka mencari, bahkan kalau
malam mereka pun mengintai. Jika sudah lelah sekali mereka baru tidur di bawah
pohon sambil membuat api unggun. Suma Hoat benar-benar mempunyai kemauan yang
keras sekali dan pantang mundur sebelum niatnya terpenuhi.
Pada pagi
hari yang ke sembilan, dua orang pemuda itu memasuki hutan yang paling ujung,
hutan yang tidak berapa besar akan tetapi yang belum mereka datangi, berada di
lereng dekat kaki bukit. Mereka berjalan kaki menuntun kuda masing-masing
sambil memandang tajam mencari-cari kalau-kalau ada gerakan binatang yang
mereka cari-cari.
Tiba-tiba
mereka mendengar lapat-lapat suara jerit seorang wanita di kaki bukit. Suma
Hoat menoleh kepada Siangkoan koan Lee. “Adakah engkau mendengar suara di
sana?”
“Siangkoan
Lee mengangguk. “Seperti jerit seorang wanita.”
“Benar! Kita
menunggu apa lagi? Jangan-jangan harimau itu menyerang wanita!” Cepat sekali
Suma Hoat sudah melompat ke atas kudanya dan membalap, diikuti oleh Siangkoan
Lee.
Setelah
menuruni lereng, mereka tiba di jalan umum yang datang dari timur dan dari atas
sudah tampak oleh mereka sebuah kereta terguling di pinggir jalan. Beberapa
orang laki-laki yang berpakaian pelayan dan pengawal malang-melintang di
sekitar tempat itu. Jauh dari kereta itu tampak serombongan orang sedang
mengangkuti barang-barang dan di antara mereka terdapat seorang laki-laki
tinggi besar yang menunggang kuda dan memangku seorang wanita yang
meronta-ronta, dan agaknya wanita itulah yang tadi mengeluarkan jeritan.
“Bukan
harimau yang menyerangnya, Kongcu,” kata Siangkoan Lee.
“Memang
bukan, akan tetapi lebih jahat dari pada harimau. Mereka perampok keparat yang
bosan hidup! Kau basmi anak buahnya, aku akan menolong wanita itu!”
Dua orang
muda itu membedal kuda mereka dan sebentar saja mereka sudah tiba di tempat
itu. Siangkoan Lee sudah meloncat turun dari kuda dan membentak.
“Kalian
perampok-perampok hina. Tahan dulu!”
Para anak
buah perampok yang sedang tertawa-tawa mengangkuti beberapa peti berisi
barang-barang berharga seperti perhiasan-perhiasan dan sutera gulungan
berkayu-kayu menjadi marah ketika melihat Siangkoan Lee, seorang pemuda yang
masih hijau dan kelihatannya tidak menakutkan itu. Jumlah mereka ada sembilan
orang, tentu saja mereka tidak takut.
Seorang di
antara mereka, yang bertubuh tinggi kurus dan kelihatan kuat terbukti dari
bawaannya, yaitu sebuah peti yang berat sekali, melangkah maju dan melotot
kepada Siangkoan Lee, kemudian membentak, “Eh, bocah bermuka buruk! Kau mau
apa?”
“Jawab dulu,
apakah engkau ini telah melakukan perampokan dan membunuh para pengawal dan
pelayan itu?”
“Ha-ha-ha!
Benar sekali! Tidak hanya pengawal dan pelayan, juga tuan besar nyonya besar
telah menjadi mayat di dalam kereta! Hanya puterinya, heh-heh, cantik dan
menggairahkan, menjadi bagian tai-ong kami! Kau mau bagian? Jangan main-main!
Para pengawal yang kuat itu semua mampus oleh kami. Nih, terima bagianmu!”
Tiba-tiba Si Tinggi Kurus itu melontarkan peti yang berat ke arah Siangkoan
Lee.
Peti yang
beratnya lebih dari seratus kati itu melayang ke arah Siangkoan Lee dan para
anggota gerombolan itu tertawa-tawa, yakin bahwa pemuda kerempeng itu tentu
akan roboh tertimpa peti dan gepeng tubuhnya. Akan tetapi suara ketawa mereka
terhenti dan mereka melongo ketika melihat Siangkoan Lee menerima sambaran peti
itu hanya dengan telapak tangannya dan Si Pemuda kurus itu melontar-lontarkan
peti itu ke atas seperti seorang anak kecil mempermainkan sebuah bola karet.
Tangan itu kemudian mendorong maju hingga peti melayang ke arah pelemparnya, Si
Tinggi Kurus dengan kekuatan dahsyat.
“Ahhh...!”
Perampok tinggi kurus itu terkejut, menggunakan kedua tangan untuk menerima
peti, akan tetapi tak tertahan olehnya dan dialah yang roboh terjengkang, kepalanya
pecah tertimpa peti yang berat!
Para
perampok yang tinggal delapan orang itu menjadi marah sekali. Mereka menurunkan
bawaan masing-masing, mencabut senjata lalu menerjang Siangkoan Lee seperti
serombongan serigala mengamuk. Pemuda kurus ini pun membentak keras dan
mencabut sebatang golok melengkung yang amat tajam, memutar golok menghadapi
pengeroyokan delapan orang itu tanpa merasa gentar sedikit pun.
Ternyata
olehnya bahwa para perampok itu bukanlah orang-orang biasa, melainkan
penjahat-penjahat kawakan yang pandai ilmu silat dan bertenaga besar. Namun
Siangkoan Lee mainkan goloknya dengan hebat, dan sebagai murid yang tekun dari
Suma Kiat yang berilmu tinggi, tentu saja gerakannya selain cepat juga
mengandung tenaga sinkang yang kuat.
Sementara
itu, Suma Hoat membalapkan kudanya melewati para anak buah perampok yang ia
serahkan kepada sutenya, terus mengejar kepala perampok yang melarikan wanita
itu. Karena kepala rampok itu menjalankan kudanya perlahan sambil tertawa-tawa
dan tangannya menggerayangi tubuh wanita rampasannya, sambil mencium dan
kelihatan makin gembira karena wanita itu meronta-ronta, sebentar saja kuda
Suma Hoat telah menyusulnya.
“Berhenti
kamu keparat hina!” bentak Suma Hoat dan sekali meloncat tubuhnya sudah berdiri
menghadang di depan kuda yang ditunggangi kepala perampok tinggi besar itu.
Kepala
perampok yang tubuhnya seperti raksasa itu membelalakkan matanya yang lebar.
Kumis dan jenggotnya yang tebal bergerak-gerak, mukanya menjadi merah dan dia
menjadi marah sekali.
“Heh, siapa
engkau bocah yang bosan hidup?” bentaknya sambil melompat turun dan masih
memondong wanita yang kini berhenti meronta dan memandang kepada Suma Hoat
dengan mata terbelalak seperti seekor kelinci ketakutan, namun dari sinar
matanya timbul harapan yang tadinya sudah patah.
“Serrr...!”
Jantung Suma Hoat seperti berhenti berdetik tertikam sinar mata itu.
Tak
disangkanya dia akan melihat seorang dara yang seperti itu. Cantik jelita,
manis dan berwajah seperti bidadari! Mengingat betapa tangan kasar dan kotor
kepala perampok itu tadi menggerayangi tubuh Si Jelita, apa lagi mengingat
betapa wajah menyeramkan penuh cambang bauk itu tadi mencium muka yang begitu
halus, bibir yang begitu merah segar, kemarahannya meluap dan darahnya seperti
mendidih.
“Binatang
rendah!” ia memaki sambil menunjuk ke arah muka kepala perampok itu. “Engkau
tidak mengenal Suma-kongcu, putera Panglima Suma Kiat? Engkau telah merampok,
membunuh orang dan menculik gadis terhormat. Sekarang tibalah saatnya engkau
mampus di tangan Suma Hoat!”
“Heh-heh-heh!
Aku Si Tangan Besi Ciu Ok mana kenal segala macam bangsawan tukang korup? Kalau
engkau sudah bosan hidup, marilah!” Perampok itu melepaskan tubuh dara itu
setelah menotok punggungnya membuat dara itu lemas dan rebah miring di atas
rumput. “Kau tunggulah sebentar, calon biniku, heh-heh! Lihat dan nikmati
baik-baik betapa kakandamu membunuh tikus bermuka halus ini!”
Akan tetapi
Suma Hoat sudah menerjangnya dengan hebat. Kepala perampok itu menangkis,
mengandalkan kekuatan tangannya. Dia dijuluki Tiat-ciang (Si Tangan Besi)
karena kedua tangannya amat kuat dan keras seperti besi, hasil latihan ilmu
Tiat-ciang-kang yang latihannya menggunakan bubuk besi panas. Akan tetapi
begitu ia menangkis, ia terpekik kaget karena lengannya terasa sakit dan ia
terhuyung ke belakang. Kudanya kaget, meringkik dan lari.
“Kepala
perampok laknat, kematianmu sudah di depan mata!” Suma Hoat yang marah sekali
itu sudah menerjang lagi dengan pukulan-pukulan mautnya.
Si Kepala
Perampok adalah seorang ahli silat, akan tetapi dalam hal ilmu silat dia tidak
dapat dibandingkan dengan Suma Hoat yang memiliki ilmu silat tinggi. Ilmu silat
yang dimiliki kepala perampok ini adalah ilmu silat kasar dan dia selama ini
hanya mengandalkan kedua tangannya yang kuat. Namun, bertemu dengan pemuda itu,
seolah-olah kedua tangannya bertemu dengan baja yang lebih keras lagi! Setelah
tiga kali menangkis dan tiga kali terhuyung dengan lengan terasa nyeri dan
panas, kepala perampok itu memekik keras dan mencabut ke luar senjatanya berupa
sehelai rantai baja yang ujungnya dipasangi bola baja berduri. Cepat ia
mengayun senjatanya menerjang lawan.
“Wuuut-wuut-wuuttt...!”
Angin menyambar keras ketika bola berduri itu menyambar dan rantainya
terputar-putar.
Namun dengan
mudah Suma Hoat mengelak dan pemuda ini enggan mencabut pedangnya setelah
menyaksikan gerakan lawan yang hanya memiliki ilmu silat kasar itu. Dia
menghadapi lawan yang bersenjata rantai dengan kedua tangan kosong, mengelak ke
kanan kiri dengan lincahnya menanti kesempatan baik.
Dara cantik
yang tertotok dan rebah miring dapat menyaksikan pertandingan itu dan dari
mulutnya yang kecil terdengar jerit-jerit tertahan kalau melihat senjata yang
dahsyat itu menyambar, mengancam wajah yang halus tampan Si Pemuda penolongnya.
Biar pun dara itu tidak pandai ilmu silat, akan tetapi dia merasa heran mengapa
pemuda tampan itu tidak mau mencabut pedangnya yang tergantung di punggung!
“Inkong
(Tuan Penolong)..., pergunakan pedangmu...!” Akhirnya ia tak dapat menahan
kekhawatiran hatinya lagi melihat betapa kepala pemuda itu nyaris dihantam bola
berduri, begitu dekat bola itu menyambar lewat di atas telinga kiri Suma Hoat.
Aneh sekali, dara itu sudah lupa akan bahaya yang mengancam dirinya sendiri,
sebaliknya khawatir kalau-kalau pemuda itu kena pukul dan pecah kepalanya.
Mendengar
suara itu, Suma Hoat tersenyum gembira. Aku harus memperlihatkan kelihaianku,
pikirnya gembira seperti lazimnya seorang pemuda ingin berlagak memamerkan
kepandaiannya di depan seorang dara yang menarik hatinya. Cepat ia merubah
gerakannya, sekarang tubuhnya berkelebat cepat sekali sehinga Si Kepala Rampok
berkali-kali berteriak kaget karena tubuh lawan seperti lenyap. Tiba-tiba Suma
Hoat mendapat kesempatan baik. Ketika bola berduri menyambar ia menggunakan
tangannya dari samping menangkap bola itu dan sekuat tenaga ia melontarkan bola
ke arah muka penyerangnya.
“Prokkk!
Adduuuuhhh...!” Tubuh kepala perampok itu terjengkang dan roboh telentang
dengan muka berubah menjadi onggokan daging yang remuk dan nyawanya melayang
tak lama kemudian.
Dara jelita
itu memejamkan mata penuh kengerian, kemudian ia menangis terisak-isak. Suma
Hoat cepat berlutut dan sekali totok ia membebaskan tubuh dara itu dari
pengaruh totokan Si Kepala Rampok. “Tenanglah, Nona. Bahaya telah lewat. Si
Keparat laknat sudah tewas.”
Dara itu
cepat menjatuhkan diri berlutut di depan Suma Hoat, “Inkong telah menyelamatkan
nyawa saya, akan tetapi... hu-hu-huuukkkk... ayah bundaku telah terbunuh... di
dalam kereta...!”
Suma Hoat
terkejut dan marah sekali. “Mari kita lihat, temanku sedang membasmi kawanan
perampok, perlu bantuanku!” Ia lalu menyambar pinggang dara itu, dibawa
meloncat ke atas punggung kudanya yang tidak lari karena kuda itu sudah
terlatih baik, kemudian membalapkan kudanya ke arah pertempuran yang masih
berlangsung dekat kereta.
Ternyata
bahwa Siangkoan Lee dengan mudah telah merobohkan tiga orang pengeroyok dengan
goloknya dan kini yang lima orang masih mengeroyoknya mati-matian. Melihat ini
Suma Hoat sambil memeluk pinggang dara itu dengan lengan kiri, mencabut pedang
dengan tangan kanan, kudanya menyerbu, pedangnya berkelebat dan terdengarlah
pekik-pekik kesakitan dan empat orang perampok roboh dan tewas. Siangkoan Lee
berhasil merobohkan perampok terakhir dan Suma Hoat setelah menyimpan pedangnya
lalu menurunkan tubuh dara itu. Sambil terisak-isak dara itu berlari ke arah
kereta yang rebah miring, membuka pintunya dan menjerit-jerit memanggil ayah
bundanya.
Suma Hoat
meloncat dekat kereta. Cepat ia mengeluarkan tubuh seorang setengah tua yang
terluka dadanya. Orang itu masih hidup dan cepat pemuda ini mengeluarkan obat
luka yang merah warnanya, mengobati luka itu dan membalutnya. Ayah dara itu
masih hidup biar pun terluka parah, akan tetapi ibunya telah tewas karena
tusukan pedang yang menembus jantungnya!
“Terima
kasih... Kongcu... saya Ciok Khun menghaturkan terima kasih kepadamu...”
“Paman
hendak pergi ke manakah?” Suma Hoat bertanya, hatinya seperti ditusuk-tusuk
karena kasihan melihat dara itu menjerit-jerit memeluki mayat ibunya.
Dengan suara
tersendat-sendat laki-laki itu bercerita. Dia tinggal di dusun Kwi-bun-an, tak
jauh dari kota raja. Mereka, suami isteri itu, hendak mengantarkan anak dara
mereka yang bernama Ciok Kim Hwa, yang hendak dljodohkan dengan putera
bangsawan Thio di kota raja. Karena itulah maka mereka berkereta membawa
barang-barang berharga, dikawal oleh pasukan bangsawan Thio yang menjemput
mereka dan yang terbunuh semua oleh para perampok.
“Siangkoan
Lee, kau cepat antarkan Paman Ciok dan barang-barang serta jenazah ini ke kota
raja. Biar aku yang mengawal Ciok-siocia,” kata Suma Hoat.
Siangkoan
Lee mengangguk, maklum bahwa keadaan orang yang terluka perlu perawatan dengan
cepat dan bahwa kalau Si Nona ikut dalam kereta, tentu nona itu akan berduka
sekali menyaksikan jenazah ibunya. Maka ia lalu mengumpulkan barang-barang yang
berceceran, di masukkan barang-barang itu ke dalam kereta, kemudian ia mengikat
kudanya di depan dua ekor kuda penarik kereta dan membalapkan kereta ke kota
raja.
“Mari, Nona.
Kau akan kukawal ke kota raja dan jangan khawatir, aku akan melindungimu dengan
seluruh jiwa ragaku.”
Ucapan ini
membuat wajah Si Dara Jelita menjadi merah, akan tetapi kedukaannya terlalu
besar sehingga mengurangi rasa kegembiraan aneh yang menyelinap di rongga
dadanya ketika ia duduk atas panggung kuda, di depan pemuda tampan yang telah
menolongnya itu.
Selama
hidupnya, baru pertama kali itu Suma Hoat mengalami hal yang aneh dalam
hatinya. Jantungnya berdebar luar biasa sekali. Rasa girang yang amat besar
menyelimuti hatinya, dan di balik rasa girang ini terselip rasa sakit di
hatinya karena dara ini hendak dikawinkan dengan orang lain! Kekecewaan yang
amat keras dan aneh. Mengapa dia menjadi begini? Tak dapat disangkal bahwa dia
selalu tertarik oleh wajah cantik jelita, akan tetapi selamanya dia tidak
pernah menginginkan wanita yang menjadi milik orang lain!
“Eh, Suma
Hoat, kau ini mengapakah?” Berulang-ulang ia bertanya kepada dirinya sendiri.
Tak terasa lagi ia menjalankan kudanya perlahan karena dia tidak ingin cepat
tiba di kota raja, tidak ingin dirampas kenikmatan dan kebahagiaan hatinya
duduk berdua di atas kuda bersama dara yang bernama Ciok Kim Hwa ini!
Kereta yang
dibalapkan Siangkoan Lee sudah jauh sekali dan sudah tidak tampak, juga tidak
terdengar derap kaki kuda dan roda kereta. Suma Hoat tak dapat menahan getaran
hatinya dan ia bertanya halus, “Nona...” Ia meragu dan tidak melanjutkan
kata-katanya.
Dara itu
menanti sebentar. Karena lama pemuda itu tidak melanjutkan, dia menoleh dan
berkata, “Ada apakah, Inkong?”
Suma Hoat
memejamkan mata karena tidak kuat menyaksikan wajah yang begitu dekat
dengannya, mencium bau harum yang keluar dari rambut dan muka dara itu.
“Kenapa,
Inkong?” tanya Kim Hwa yang terheran-heran melihat pemuda itu memejamkan mata.
“Jadi...
Nona akan... menikah dengan pemuda keluarga Thio...?”
Wajah itu
tiba-tiba menjadi merah sekali dan cepat dipalingkan tidak berani menentang
pandang mata Suma Hoat. Sampai lama nona itu tidak menjawab dan Suma Hoat
merasa betapa tubuh di depannya itu gemetar. Akhirnya terdengar nona itu
menjawab lirih.
“Bu... bukan
pemuda, melainkan seorang duda tua, adik dari Thio-taijin...!”
Suma Hoat
mengangkat alisnya dan membelalakkan matanya. “Seorang duda tua?”
Dara itu
mengangguk dan menarik napas panjang.
“Kenapa engkau
mau, Nona?”
Kim Hwa
mengangkat muka memandang. “Bagaimana saya dapat menolak kehendak orang tua,
Inkong? Yang melamar adalah Thio-taijin, untuk adiknya yang sudah mempunyai
belasan orang anak dan yang telah mempunyai banyak selir pula. Bagaimana saya
dapat menolak...?” Kalimat terakhir itu mengandung isak dan Kim Hwa menundukkan
muka, kelihatan berduka sekali.
“Ah, kasihan
engkau, Nona. Seorang dara semuda Nona, cantik jelita, dipaksa menikah dengan
seorang bandot tua!” Suma Hoat merasa penasaran sekali dan mendengar ucapan
Suma Hoat, Kim Hwa terisak-isak menangis sesenggukan.
Suma Hoat
merasa makin kasihan. Dengan gerakan halus ia menyentuh pundak yang
bergoyang-goyang itu dan berkata, “Jangan menangis, Nona, dan jangan berputus
asa. Seperti telah kukatakan tadi, aku akan melindungimu dengan seluruh jiwa
ragaku. Kalau engkau tidak suka menikah dengan duda tua keluarga Thio itu, kau
tolak saja dan aku yang akan melindungimu!”
Ucapan penuh
semangat ini membuat Kim Hwa menjadi terharu dan berterima kasih sekali
sehingga tangisnya makin mengguguk. Ketika Suma Hoat menghiburnya dengan
mengelus rambut kepalanya yang hitam panjang dan halus, Kim Hwa tersedu dan
merebahkan kepalanya di atas dada Suma Hoat! Sampai lama mereka berada dalam
keadaan seperti itu, tanpa kata-kata namun keduanya yakin apa yang terjadi
dengan perasaan hati masing-masing.
Kuda yang
mereka tunggangi berjalan perlahan seenaknya, agaknya tidak mau mengganggu
majikannya yang sedang dilanda asmara. Jari-jari tangan Suma Hoat yang mengelus-elus
rambut itu seolah-olah mengeluarkan getaran yang membuat Kim Hwa memejamkan
mata dengan sepasang pipinya yang menjadi kemerahan.
Tiba-tiba
kuda putih yang tadinya melangkah perlahan dan tenang, menghentikan langkahnya,
hidungnya kembang-kempis, kemudian mengeluarkan suara meringkik keras dan
keempat kakinya menggaruk-garuk tanah.
“Eh, Pek-ma
(Kuda Putih), ada apakah?” Suma Hoat yang sedang diterbangkan ke angkasa
kemesraan itu terkejut, melepaskan belaian tangannya pada rambut Kim Hwa dan
cepat menyambar kendali untuk menguasai kudanya.
Sebagai
jawaban, tiba-tiba terdengar suara gerengan yang menggetarkan hutan itu,
gerengan seekor harimau yang berada di dalam gerombolan semak dan yang kini
keluar sambil memandang ke arah kuda.
“Celaka,
Inkong...!” Kim Hwa menjerit penuh kengerian dan kedua lengannya otomatis
merangkul pinggang pemuda itu, tubuhnya gemetar.
“Tenanglah,
Nona. Aku memang sedang mencari-cari harimau itu. Mari kita turun dan kau
tunggu saja di sini sampai aku selesai membunuh pengganggu dusun-dusun ini.”
Tanpa
menanti jawaban, Suma Hoat sudah memondong tubuh Kim Hwa turun dari atas
punggung kuda putih yang juga berdiri menggigil ketakutan. Ia menurunkan Kim
Hwa yang berdiri dengan muka pucat di dekat kuda. Mata gadis ini terbelalak
memandang ke arah harimau yang besarnya luar biasa dan kepada penolongnya yang
kini melangkah maju menghampiri harimau dengan senyum tenang di wajahnya yang
tampan!
Suma Hoat
memandang harimau yang dihampirinya itu penuh kagum. Pantas saja penduduk dusun
tidak berdaya menghadapi pengganggu ini. Kiranya seekor harimau yang luar biasa
besarnya, sebesar anak lembu, dengan matanya yang liar tajam dan sikapnya yang
angkuh dan memandang rendah seperti sikap seorang raja besar!
“Inkong...,
pedangmu... gunakan pedangmu...!” Terdengar suara Kim Hwa gemetar penuh
kekhawatiran. Dara ini melihat betapa penolongnya itu sudah dekat sekali dengan
hari mau akan tetapi masih saja bertangan kosong. Hanya orang gila saja yang
melawan harimau sebesar itu dengan tangan kosong, pikirnya. Karena
kekhawatirannya, maka ia memaksa diri memperingatkan.
Mendengar
ini Suma Hoat menoleh dan tersenyum. “Kim Hwa-moi, jangan khawatir. Dia ini
bagiku hanyalah seekor kucing...”
“Awas... ah,
Inkong...!” Kim Hwa menjerit.
Akan tetapi
tanpa diperingatkan juga, telinga Suma Hoat yang terlatih sudah mendengar
gerakan harimau itu dan dengan mudah saja ia menggerakkan tubuh ke kiri
mengelak dari tubrukan dahsyat itu. Akan tetapi harimau itu benar-benar berbeda
dengan harimau-harimau biasa yang pernah ditangkap dan dibunuh Suma Hoat dengan
tangan kosong. Begitu tubrukannya luput dan kakinya menyentuh tanah, tubuh
harimau itu sudah membalik dengan cepat sekali, kedua kaki depan mencakar dari
kanan kiri dan kaki belakangnya menggenjot tanah sehingga tubuhnya kembali
sudah menerkam ke arah Suma Hoat!
“Inkong...!”
Suara jerit Kim Hwa mengandung isak.
Suma Hoat
terkejut dan kagum menyaksikan ketangkasan dan kecepatan harimau yang amat
besar itu. Timbul rasa sayangnya dan ia hendak mengambil kulit binatang besar
ini tanpa cacad.
Ketika tubuh
yang menubruknya itu melayang ke arahnya, ia cepat menyusup ke bawah perut
harimau sehingga kembali tubrukan itu luput dan sebelum harimau dapat membalik,
Suma Hoat telah menangkap ekornya yang panjang, mengerahkan tenaga dan... tubuh
harimau itu terangkat dan diputar-putar di atas kepalanya! Harimau
meronta-ronta dan menggereng-gereng berusaha mencakar atau menggigit tangan
kuat yang memegangi ekornya. Penglihatan itu mengerikan dan menegangkan sekali.
“Inkonggg...!”
kembali Kim Hwa menjerit dan menutupi muka dengan kedua tangan, tidak tahan
melihat perkelahian itu karena ia tidak mau melihat tubuh penolongnya dicakar
atau digigit sampai pecah-pecah kulitnya dan berlumuran darahnya! Hal itu tentu
akan terjadi karena penolongnya itu terlampau berani, tidak mau menggunakan
pedang membunuh binatang yang demikian besar dan kuatnya!
Suma Hoat
melepaskan ekor yang dipegangnya. Tubuh harimau terlempar ke atas dan
terbanting jatuh ke atas tanah. Biasanya, harimau yang terbanting seperti ini
tentu akan pingsan dan menjadi lemah, maka Suma Hoat tersenyum-senyum
menghampiri Kim Hwa dan berkata, “Jangan khawatir, dia...”
“Inkonggggg...!”
Kim Hwa menjerit dan mukanya menjadi pucat sekali karena harimau yang
terbanting itu tiba-tiba sudah meloncat dan menerkam ke punggung Suma Hoat!
Saat itu
perhatian Suma Hoat sedang tertuju kepada Kim Hwa, maka gerakannya mengelak
agak terlambat dan kaki depan kiri harimau itu masih menampar pundaknya
sehingga tubuhnya terpelanting! Harimau itu menggereng marah dan menubruk tubuh
lawan yang sudah jatuh itu.
“Inkonggggg...!”
Jeritan Kim Hwa sekali ini lemah sekali dan ia sudah terkulai, lemas dan roboh
pingsan di atas tanah!
Suma Hoat
dapat melihat keadaan dara yang membuatnya tergila-gila itu, maka timbul
kemarahannya. Ketika harimau menerkamnya ia menyambut dengan sebuah tendangan
yang mengenai perut harimau sehingga binatang itu terpental ke samping. Sebelum
harimau itu sempat menyerangnya kembali, Suma Hoat sudah melompat ke atas
punggungnya! Harimau itu marah, meloncat-loncat, bergulingan, akan tetapi Suma
Hoat tetap di atas punggungnya, kemudian jari tangannya bergerak ke depan.
”Crapp!”
Harimau mengeluarkan suara gerengan dahsyat dan darah bercucuran dari kedua
matanya yang sudah berlubang!
Suma Hoat
melompat turun ketika harimau yang menjadi buta matanya itu menerjang ke depan
secara ngawur. Binatang itu menjadi seperti gila saking nyeri dan bingungnya,
mukanya dicakarinya sendiri, menggereng-gereng, kemudian meloncat ke depan
sekuat tenaga.
“Desssss!”
Kepala harimau itu menubruk batu besar, pecah seketika dan tubuhnya
berkelojotan dalam sekarat.
Suma Hoat
tidak mempedulikan lagi bangkai harimau itu dan cepat ia lari menghampiri tubuh
Kim Hwa yang menggeletak pingsan di atas tanah.
“Kim
Hwa...!” Ia memanggil dan mengguncang-guncang pundak dara itu, namun Kim Hwa
tidak menjawab dan tubuhnya lemas.
Ketika Suma
Hoat meraba dahinya, ternyata dahi itu panas! Tahulah dia bahwa kegelisahan dan
ketakutan membuat dara itu pingsan dan ada bahaya dia akan terserang demam.
Cepat ia pergi meninggalkan gadis yang pingsan itu untuk mencari air. Dalam
keadaan seperti itu, air dingin amat penting untuk membasmi panas di kepala dan
dahinya.
Ia harus
pergi agak jauh juga untuk mencari air di sebuah anak sungai. Selagi ia bingung
karena tidak membawa tempat air, kemudian melepas jubahnya dan mencelupkan
jubah ke dalam air dingin, tiba-tiba terdengar kudanya meringkik keras disusul
jerit Kim Hwa!
”Hwa-moi...!”
Suma Hoat berteriak, menyelipkan jubah basah dipunggungnya lalu ia melompat dan
berlari cepat ke tempat gadis itu ditinggalkan. Betapa kagetnya ketika ia
melihat kuda putihnya sudah lari dan Kim Hwa sudah berdiri dan terbelalak
ketakutan memandang ke arah seekor harimau besar yang berdiri dekat sekali di
depan dara itu!
Suma Hoat
kaget dan heran, ketika mengerling ke arah bangkai harimau yang masih berada di
tempat tadi, tahulah dia bahwa harimau besar ke dua ini adalah harimau betina.
Kiranya ada dua ekor harimau, sepasang binatang buas yang amat besar yang telah
mengganggu dusun.
Tiba-tiba
gadis itu menjerit dan hendak lari, akan tetapi harimau menerkam ke depan dan
dara itu roboh telentang.
“Hwa-moi...!”
Dengan beberapa kali loncatan saja Suma Hoat sudah tiba di situ, disambarnya
ekor harimau dan direnggutnya binatang itu terlepas dari tubuh Kim Hwa.
“Breeeettt!”
Baju Kim Hwa terbawa oleh cakar harimau dan tampak sedikit darah di dada yang
putih mulus itu. Suma Hoat yang merasa khawatir dan marah sekali mencabut
pedang dan tampak sinar berkelebat disusul muncratnya darah dari leher harimau
yang hampir putus terbabat pedang!
“Kim
Hwa...!” Suma Hoat cepat berlutut di dekat Kim Hwa. Dara itu merintih dan
membuka matanya. Ketika melihat bahwa yang mencuci luka kecil di dadanya dengan
jubah basah adalah pemuda penolongnya, ia mengeluarkan jerit tertahan dan
menangis.
“Diamlah,
Moi-moi, diamlah manis... syukur bahwa engkau hanya terluka kecil saja,
tergores cakar harimau laknat...!” Suma Hoat telah menaruh obat bubuk ke atas
luka kecil itu. Darah telah berhenti dan kini, seperti tak disadarinya, jari
tangannya mengelus kulit di seputar luka. Matanya tak pernah berkedip memandang
wajah itu, dada yang terbuka itu, leher itu dan ia terpesona.
Kim Hwa
tadinya memejamkan matanya, kemudian kesadarannya kembali dan mulailah dia
merasa betapa dadanya tak tertutup lagi, betapa tangan yang hangat
menggetar-getar itu mengelus-elus dan membelainya. Ia membuka matanya perlahan,
melihat wajah yang tampan, mata yang penuh kemesraan itu memandangnya, dada
yang bidang itu pun tak berbaju karena bajunya tadi dipakai mencuci lukanya.
Perasaan aneh dan mesra memenuhi rongga dada Kim Hwa. Seperti disentakkan ia
menangkap tangan yang mengelus dadanya, membawanya ke depan hidung dan mulut,
menciumi tangan pemuda yang telah dua kali menyelamatkan nyawanya.
“Moi-moi...!”
Suma Hoat tak dapat menahan getaran hatinya dan ia menjatuhkan mukanya ke atas
dada itu.
“Koko...!”
Kim Hwa terisak, memeluk kepala itu, lalu perlahan menarik kepala itu sehingga
dekat. Dengan sinar mata yang mengeluarkan seluruh perasaan hati mereka, dengan
napas terengah yang saling meniup muka mereka, kemudian dua muka yang sama
eloknya itu saling mendekat, dua pasang lengan saling rangkul, saling mendekap.
“Moi-moi...!”
“Koko...!”
Mereka
terisak, berciuman seperti tak sadar lagi. Akhirnya Suma Hoat tersentak kaget.
Belum pernah ia merasai seperti ini. Dia sudah biasa bermain cinta dengan
wanita cantik, akan tetapi mereka itu wanita-wanita yang menjual cinta! Dan dia
hanya menurutkan dorongan nafsu belaka. Sekarang jauh sekali bedanya! Di
samping nafsu yang bergolak dan menindih membakar seluruh urat syaraf di
tubuhnya, terdapat perasaan lain. Dia tidak ingin menyusahkan Kim Hwa, dia
tidak ingin mengganggu dara ini, dia menaruh kasihan dan kesayangan yang luar
biasa. Dia rela mati untuk kebahagiaan dara ini! Sungguh bedanya seperti bumi
dengan langit dibandingkan dengan wanita-wanita yang biasa dicintanya.
Belaian jari
tangan wanita ini pada pipinya, tengkuknya, dadanya, balasan ciumannya begitu
lembut dan mesra dan ia merasakan cinta kasih yang murni di balik kemesraan
ini, membuat ia terharu sekali dan ketika ia mengangkat muka memandang wajah
yang cantik itu, kedua mata Suma Hoat menjadi basah. Juga ia melihat Kim Hwa
menitikkan air mata yang berlinangan seperti butiran-butiran mutiara, namun
mulut yang merah dan panas itu tersenyum, malu-malu dan mesra. Dua pasang mata
berpandangan, bertanya-tanya dan saling menjawab. Namun, Suma Hoat masih tidak
berani meyakinkan hatinya, maka ia berbisik lirih dekat telinga Kim Hwa.
“Moi-moi...
bolehkah...? Benarkah ini...? Ahhh, betapa ingin hatiku untuk memilikimu,
menjadikan engkau milikku, lahir batin, hati dan tubuhmu... akan tetapi...
engkau seorang gadis terhormat... bahkan calon isteri orang lain... ahh,
Moi-moi, katakanlah, betapa besar pun cintaku, betapa besar pun hasrat hatiku
memilikimu sehingga kalau tidak terpenuhi aku akan mati merana, namun aku rela
mati dari pada memaksamu, dari pada menyusahkanmu... Moi-moi, jawablah,
bolehkah aku...?” Suara Suma Hoat mengandung isak, bercampur rintihan hatinya
dan dua titik air mata membasahi pipinya.
Kim Hwa
tersenyum, senyum penuh pengertian yang hanya dimiliki seorang wanita yang
mencinta, senyum yang hanya dimiliki seorang ibu terhadap anaknya, walau pun
air matanya sendiri menetes-netes. Dara itu kemudian mengangkat kedua
tangannya, mengusap dua titik air mata dari pipi Suma Hoat, kemudian kedua
lengan itu merangkul leher, mulutnya berbisik lirih sekali.
“Suma-koko...,
aku... aku rela menyerahkan jiwa ragaku kepadamu... biarlah aku menikmati
kebahagiaan sehari ini bersama orang yang kucinta sepenuh hatiku... sebelum aku
memasuki neraka bersama laki-laki pilihan orang tuaku... Koko... cintailah
aku... aku menyerah, serela-relanya... demi Tuhan...!”
“Moi-moi...!”
Suma Hoat memeluk dan mendekap, kemesraan hatinya meluap.
“Koko...!”
Kim Hwa terengah menjerit dan merintih, rintih kebahagiaan yang selama hidupnya
takkan terlupa oleh Suma Hoat.
Dengan penuh
kemesraan, dengan nafsu yang terkendalikan oleh cinta murni, dengan pandang
mata penuh kagum dan hormat, dengan landasan hati ingin saling membahagiakan
orang yang dicintanya, dua orang muda itu berlangen asmara, berenang di lautan
cinta yang memabokkan, dibuai dan dipermainkan gelombang-gelombang getaran hati
dan perasaan.
Sehari
semalam mereka lupa diri, yang teringat hanyalah orang yang dicintanya, yang
tak pernah terpisah sekejap mata pun, saling mencurahkan perasaan kasih sayang
semesra mungkin. Dalam keadaan seperti itu, bagi mereka berdua yang ada
hanyalah cinta kasih di antara mereka. Kalau sudah saling mencinta, kalau dunia
ini terasa kosong dan yang ada hanya mereka berdua, kalau bagi mereka tidak ada
urusan lain di dunia ini kecuali peluapan asmara, apa lagikah yang dapat mereka
ingat?
Sungguh
patut dikasihani kedua orang muda ini. Semenjak kecil, Suma Hoat melihat betapa
ayahnya mengumpulkan wanita-wanita cantik, betapa ayahnya selalu mengejar
kesenangan dengan selir-selirnya yang muda-muda dan cantik-cantik. Sering kali
bahkan dia tanpa sengaja menyaksikan ayahnya bermesra-mesraan dengan beberapa
orang selir di dalam taman atau di dalam kamar. Sifat ayahnya yang gila
bercinta dengan selir-selir muda ini tanpa disadari membentuk watak di dalam
jiwanya, watak seorang pria yang haus akan cinta.
Sebagai
putera bangsawan yang tampan dan kaya, banyaklah wanita yang menggodanya dan
semenjak berusia enam belas tahun, Suma Hoat sudah mencari-cari dan
mengejar-ngejar cinta. Namun apa yang didapatnya di dalam tubuh dan hati
wanita-wanita cantik yang penuh gairah menyusup ke dalam pelukannya? Cinta
palsu belaka! Cinta harta dan cinta nafsu. Wanita-wanita itu sudah tidak
mengenal cinta murni lagi, cinta yang membuat seseorang tak ingin lagi
berpisah, ingin hidup bersama selamanya, menempuh hidup berdua, suka sama
dinikmati, duka sama diderita!
Kini,
bertemu dengan Kim Hwa, dia menemukan cinta kasih yang murni, maka tidaklah
mengherankan apabila dia terpesona dan lupa diri, lupa segala! Yang teringat
hanyalah bahwa dara yang menyerahkan jiwa raga demikian ikhlas dan mesra adalah
wanita yahg harus disayangnya, dihormatinya, dibelanya sampai mati!
Ada pun Kim Hwa adalah seorang dara yang selama hidupnya belum pernah mengenal cinta, belum pernah berdekatan dengan pria kecuali dengan ayahnya. Namun sebagai seorang dara terpelajar, dia maklum apa artinya dijodohkan dengan seorang duda tua yang kaya raya. Dia seolah-olah dijual seperti seekor kucing atau anjing saja, sebuah benda yang mahal. Dia maklum bahwa dia akan berkorban perasaan selama hidupnya, hal yang membuat ia berduka dan putus asa. Kalau tidak demi bakti kepada ayah bundanya, ingin dia membunuh diri saja dari pada setiap saat menderita batin, harus menurut dan tunduk dirinya dijadikan benda permainan seorang pria yang sama sekali tidak dicintanya.
Kini bertemu dengan Suma Hoat yang menolong keselamatan nyawanya, yang begitu jumpa telah merebut hatinya, telah menimbulkan cinta kasihnya, kemudian terdorong oleh keadaan yang membangkitkan dorongan dan rangsangan nafsu birahi, menggolakkan darah muda, tidaklah mengherankan apabila ia menyerahkan diri bulat-bulat, penuh kerelaan dan kemesraan yang timbul dari keputus-asaan akan dikawinkan laki-laki tua yang tak dicintanya!
Memang patut dikasihani mereka ini. Di dalam amukan badai asmara yang memiliki kekuatan tak tertandingi di seluruh alam ini, keduanya lupa sama sekali bahwa kehidupan manusia sudah tidak bebas lagi sehingga mengakibatkan cinta kasih pun tidak bebas lagi! Manusia telah menciptakan hukum-hukum sehingga kehidupan manusia seolah-olah terselimuti oleh segala macam hukum. Belenggu besar mengikat kaki tangan kehidupan manusia berbentuk kebudayaan, kesusilaan dan lain-lain. Siapa melanggarnya tentu akan terbentur dengan hukum ini dan akan menghadapi hal-hal yang tidak menyenangkan.
Manusia tidak dapat bergerak bebas menurutkan perasaan hatinya, harus lebih dulu melihat ke depan, apakah pelaksanaan perasaan hatinya itu tidak akan bersilang dan melanggar hukum! Demikian pula dengan cinta! Perjalanan cinta penuh liku-liku, penuh rintangan yang berupa hukum, kesusilaan, kebudayaan, agama dan tradisi. Manusia di jaman sekarang tidak bisa hidup menurutkan cinta dan pelaksanaannya tanpa mempedulikan semua itu. Akan terbentur dan... gagal! Dalam segala hal, juga dalam cinta, manusia harus mempergunakan perhitungan, bukan memperhitungkan untung rugi, melainkan memperhitungkan baik buruknya, terutama menjenguk masa depan.
Karena itu sekali lagi, patut dikasihani Suma Hoat dan Kim Hwa yang membukakan pikiran dan hati, terjun dan berenang berdua ke dalam lautan cinta asmara yang memabukkan sehingga sehari semalam kedua manusia ini tidak pernah meninggalkan tanah bertilam rumput itu, di mana tiada puas-puasnya mereka saling mencurahkan perasaan cinta mereka. Baru keesokan harinya mereka berdua menunggang kuda putih, melanjutkan perjalanan ke kota raja. Kuda dijalankan perlahan, dibiarkan berjalan sendiri tanpa kendali.
Kim Hwa duduk dipangku oleh Suma Hoat. Mereka masih mabuk dan nanar, masih setengah terbius oleh kemesraan. Kim Hwa menyembunyikan mukanya di dada kekasihnya dan Suma Hoat melingkarkan lengan kirinya di leher Si Jelita, tangan kanannya membelai-belai rambut, mengusap leher dan pipi.
“Koko...” terdengar Kim Hwa berkata lirih, suaranya mengandung kemanjaan yang amat manis terdengar oleh telinga mereka.
“Hemmm...?” Jawaban ini mengandung kemanjaan penuh dengan perasaan ingin menyayang dan disayang.
Memang cinta kasih murni menimbulkan hasrat yang tak kunjung padam, hasrat ingin memiliki dan dimiliki, ingin menyayang dan disayang, ingin memberikan seluruh hati dan tubuh di samping ingin meminta seluruhnya! Menimbulkan hasrat ingin bersatu, ingin menjadi satu badan dan hati, satu nasib, satu kehidupan, satu perasaan!
“Suma-koko, aku cinta padamu dengan seluruh jiwa ragaku.”
Suma Hoat mencium mulut yang mengucapkan kata-kata mesra itu, lalu tersenyum. “Aku pun cinta padamu, Hwa-moi. Entah sudah berapa ratus kali ucapan ini keluar dari mulutmu yang manis, namun tak pernah aku merasa bosan, bahkan setiap kali kau berkata demikian, makin besarlah kebahagiaan hatiku.”
Hening sejenak, keduanya menikmati kehangatan pelukan.
“Koko, aku... aku takut...” Dalam kata-kata itu terkandung kegelisahan besar dan tubuhnya agak menggigil.
“Jangan takut, Moi-moi, ada aku di sampingmu, takut apakah?” Suma Hoat memperkuat pelukannya.
“Kalau sudah sampai di kota raja, aku... ah, tentu akan dikawinkan...”
“Tidak! Sudah kukatakan bahwa aku akan melindungimu dengan seluruh jiwa ragaku! Aku akan minta bantuan ayahku yang berpengaruh untuk meminangmu dan untuk menundukkan keluarga Thio. Jangan khawatir, engkau tentu akan menjadi isteriku, sayang, isteriku tercinta!”
Kim Hwa merangkul dan kini dialah yang mencium bibir pemuda itu. “Koko, aku telah menjadi isterimu dan akan menjadi isterimu salamanya, apa pun yang terjadi, di dunia mau pun di akhirat! Lebih baik aku mati dari pada pria lain menjamah tubuhku yang telah menjadi milikmu.”
Hati Suma Hoat menjadi gembira sekali dan ia ingin cepat-cepat sampai ke kota raja agar urusannya ini dapat segera diselesaikan, agar dia dapat segera menjadi suami isteri dengan Kim Hwa dan takkan terpisah lagi selamanya. Maka dibalapkanlah kudanya, menuju ke kota raja!
Ketika akhirnya Suma Hoat menurunkan Kim Hwa di depan gedung keluarga Thio dan disambut oleh bangsawan itu dan Ciok Khun yang sudah agak sembuh, hati mereka ini merasa tidak senang. Akan tetapi, keluarga Thio tentu saja tidak berani menegur putera Suma-ciangkun sedangkan Ciok Khun yang telah ditolong, juga tidak berani berkata apa-apa sungguh pun hati ayah ini tidak enak karena puterinya menyusul demikian terlambat. Apa saja yang terjadi selama sehari semalam itu dengan puterinya? Setelah menyerahkan Kim Hwa, Suma Hoat lalu membedalkan kudanya pulang ke rumah orang tuanya.
”Taijin, mohon Paduka sudi menolong hamba...!” Bangsawan Thio setengah menangis ketika menghadap Menteri Kam Liong, kemudian melaporkan tentang peristiwa yang menimpa keluarganya dan yang mengancam pencemaran nama keluarganya. Adiknya yang sudah duda akan menikah dengan puteri keluarga Ciok, akan tetapi ketika keluarga itu berangkat ke kota raja, di tengah jalan diganggu perampok dan ditolong oleh Suma-kongcu.
“Sekarang tiba-tiba Suma-ciangkun mengajukan pinangan kepada Ciok Khun, meminang puterinya untuk Suma-kongcu! Padahal dara itu telah menjadi calon isteri adik hamba, Taijin. Kalau sampai dibatalkan, bagaimana pendapat orang akan nama baik keluarga hamba?”
Menteri Kam Liong mengerutkan alisnya. Dia cukup mengenal adik misannya, Suma Kiat atau Suma-ciangkun yang banyak mengumpulkan selir-selir muda yang cantik dengan cara apa pun, kalau perlu dengan kekerasan. Dia pun sudah mendengar akan watak Suma Hoat, putera tunggal adik misannya itu yang terkenal sebagai seorang pemuda mata keranjang dan sudah biasa berkeliaran ke rumah-rumah pelacuran. Kini, menghadapi peristiwa ini tentu saja ia menjadi marah dan menganggap bahwa keluarga Suma tidak patut hendak merampas calon isteri orang lain!
“Hemmm, sungguh tidak benar perbuatan itu! Jangan khawatir, sekarang juga aku akan menulis surat kepada Suma-ciangkun agar suka menarik kembali pinangannya dan minta maaf kepada Ciok Khun!”
Bangsawan Thio tiba-tiba menjatuhkan diri berlutut. “Terima kasih atas bantuan Taijin, akan tetapi... uhhh...”
“Apa lagi?” Menteri Kam Liong membentak karena hatinya kesal mendengar urusan yang tidak menyenangkan hatinya itu.
“Mengenai pinangan itu, kalau Taijin mencampuri, tentu beres dan hamba bersyukur sekali. Akan tetapi, sungguh hamba sekeluarga bingung menghadapi Suma-kongcu...”
“Dia kenapa?” Menteri Kam Liong mengerutkan alisnya.
“Dia... setiap malam... mengunjungi Ciok Kim Hwa di kamarnya... hamba sekeluarga mana berani mengganggunya?”
“Apa...?!” Menteri itu menggebrak meja dan bangkit berdiri. “Bocah kurang ajar! Biar aku sendiri yang akan menghadapinya setelah surat kukirim dan pinangan ditarik kembali. Kalau dia masih berani mengganggu, aku sendiri yang akan menghajarnya. Pergilah!”
Bangsawan Thio mengundurkan diri dengan ketakutan melihat menteri itu marah-marah. Menteri Kam Liong lalu menulis surat setelah menenggak araknya untuk mengusir perasaan marah di hatinya. Berulang kali ia menarik napas, teringat akan nenek moyang keluarga Suma yang tidak patut.
Ketika menerima surat dari kakak misannya, Panglima Suma Kiat mengepal-ngepal tinju dengan hati bingung. Dia ditangisi Suma Hoat, dipaksa meminang Ciok Kim Hwa dan hal itu telah dilakukannya. Siapa kira kini Menteri Kam Liong turut campur dan tentu saja dia tidak berani membantah. Segera dikirimnya utusan kepada keluarga Ciok yang tinggal mondok di gedung keluarga bangsawan Thio, membatalkan pinangan. Berita ini diterima dengan penuh kegembiraan oleh Ciok Khun dan keluarga Thio, akan tetapi diterima dengan ratap tangis oleh Kim Hwa di dalam kamarnya yang mengunci pintu dan tidak mau makan, hanya menangis saja dalam kamar tertutup.
Ketika Suma Hoat pulang, dia disambut oleh maki-makian ayahnya yang marah-marah dan menganggap puteranya itu membikin malu saja. Mula-mula Suma Hoat menjadi heran dan bingung, akan tetapi ketika mendengar bahwa ayahnya terpaksa membatalkan pinangan terhadap Kim Hwa karena teguran Menteri Kam Liong, pemuda ini hampir pingsan dan lari ke kamarnya, menangis, dan meninju-ninju kasur. Wajahnya menjadi pucat sekali dan hatinya hancur.
“Aku akan lari bersamanya!” Ia berkata seorang diri, matanya menjadi merah dan liar. “Malam ini aku mengajak dia lari minggat! Itulah jalan satu-satunya!”
Malam itu gelap sekali. Hujan turun rintik-rintik sejak sore, membuat hawa menjadi dingin, cuaca gelap dan keadaan sunyi senyap. Di ruangan dalam gedung bangsawan Thio, Menteri Kam Liong dijamu penuh kehormatan oleh bangsawan Thio, adiknya calon pengantin, duda yang usianya sudah lima puluh tahun, dan ditemani pula oleh Ciok Khun. Menteri Kam Liong diundang selain untuk dijamu dan sebagai tanda terima kasih keluarga itu, juga Menteri ini memenuhi janjinya untuk mencegah Suma Hoat mengganggu Ciok Kim Hwa di kamarnya.
Para penjaga sudah disiapkan bersembunyi di sekeliling kamar Kim Hwa, bertugas mengintai kalau-kalau Suma-kongcu datang di kamar itu seperti biasa. Datang seperti setan karena pemuda ini datang melalui genteng dan bergerak cepat seperti burung saja. Mereka hanya bertugas mengintai, karena untuk menangkap tentu saja mereka tidak berani. Untuk tugas itu mereka mengharapkan bantuan Menteri Kam Liong yang selain tinggi ilmunya, juga tinggi kedudukannya dan masih pek-hu (uwa) dari pemuda bangsawan yang lihai itu.
Sesosok bayangan berkelebat dan para penjaga cepat lari memberi laporan kepada mereka yang masih makan minum di ruangan dalam. Mendengar laporan ini merah wajah Kam Liong dan bergegas mereka semua lari menuju ke kamar dara itu. Bangsawan Thio bersama adiknya di depan, disusul Ciok Khun dan paling belakang adalah Menteri Kam Liong yang bersikap tenang sungguh pun hatinya panas, malu dan marah. Betapa pun juga, Suma Hoat adalah keponakannya dan perbuatan itu berarti mencemarkan nama baiknya pula.
Bayangan itu memang Suma Hoat yang bergegas memasuki kamar kekasihnya melalui genteng. Sambil membongkar genteng ia membayangkan betapa kali ini kekasihnya tentu tidak menyambut dengan ciuman dan pelukan gembira seperti biasa, dan mungkin akan menyambutnya dengan tangisan. Akan tetapi ia sudah mengambil keputusan untuk membawa lari kekasihnya, menghiburnya dan membahagiakannya.
Setelah berhubungan cinta dengan Kim Hwa, ia tidak suka menoleh ke arah wanita lain, seolah-olah ia muak terhadap wanita lain. Ia sudah menemukan cintanya! Jangan khawatir, kekasihku, kita akan hidup bahagia, ia berbisik, sambil menutupkan kembali genteng agar jangan kemasukan air hujan, kemudian membuka langit-langit dan meloncat turun dengan ringan sekali ke dalam kamar. Ia menduga bahwa Kim Hwa tentu menelungkup di ranjang sambil menangis.
Setelah kedua kakinya menginjak lantai, ia menghampiri pembaringan, membuka kelambu dan... pembaringan itu kosong! Matanya mencari-cari dan seperti ada sesuatu yang mendorongnya, ia membalikkan tubuh ke kanan dan... ia tersentak kaget, napasnya terhenti seketika, kedua kakinya menggigil, matanya terbelalak memandang kearah tubuh yang tergantung di sudut, tubuh yang tak bergerak-gerak, tubuh Kim Hwa yang lehernya terikat ikat pinggang dan tergantung pada tiang melintang. Sebuah bangku roboh terguling di bawah kakinya.
Suma Hoat memaksa kakinya melangkah, kakinya menggigil, wajahnya pucat, bibirnya gemetar, bergerak-gerak namun tak mengeluarkan suara, kedua lengannya diulur ke depan, siap memeluk, hatinya menjerit. “Kekasihku, marilah... kenapa kau tidak menyambut aku...?” Akan tetapi tubuh itu masih tergantung tak bergerak dan ia terhuyung ke depan, pandang matanya gelap, mengharapkan semua ini hanya mimpi, digigitnya bibirnya sendiri sampai robek berdarah, namun tetap saja tubuh kekasihnya itu tergantung, tak bergerak.
“Kim Hwa...!” Jeritnya meledak dari dasar hatinya dan pemuda itu terguling roboh, pingsan di bawah kaki mayat Kim Hwa yang masih tergantung!
Pintu kamar ditendang roboh oleh Menteri Kam Liong yang berlari-lari mendengar jerit dari kamar itu. Mereka semua masuk dan berdiri terbelalak memandang berganti-ganti ke arah mayat Kim Hwa yang tergantung lehernya dan tubuh Suma Hoat yang rebah pingsan.
“Kim Hwa anakku...!” Ciok Khun berseru akan tetapi ia ditahan oleh bangsawan Thio ketika hendak menubruk maju karena khawatir menyaksikan kehadiran Suma Hoat.
“Suma Hoat...!” Kam Liong berseru memanggil keponakannya dengan suara berat.
Suma Hoat bergerak perlahan, mengeluh lalu berdongak. “Kim Hwa...!” Ia menjerit lagi, meloncat bangun dan sekali renggut putuslah ikat pinggang yang mengikat leher dan memutuskan nyawa gadis itu. Dipondongnya tubuh itu, lalu dipangkunya, diciumnya muka itu didekap kepalanya.
”Kim Hwa...” Kekasihku... Isteriku... kau... kau... aduh, Kim Hwa... mengapa kau membunuh diri...?” Suma Hoat menangis, mengguguk di atas dada mayat kekasihnya.
Kemudian ia mengangkat muka, memandang wajah kekasihnya yang matanya terpejam seperti orang tidur. Lalu ia memondong tubuh itu, perlahan dibawanya tubuh itu ke atas ranjang, direbahkannya hati-hati, lalu diselimutinya dan ia berkata lirih, “Kekasihku, engkau tentu lelah, ya? Engkau mengantuk? Tidurlah manis, tidurlah nyenyak. Biar aku menjagamu....”
Kemudian matanya terbelalak, seolah-olah ia baru tahu bahwa kekasihnya yang disangkanya tidur itu tak bernapas lagi dan ia menggerak-gerakkan bibir tanpa ada suara yang keluar! Kemudian ia mengeluh dan merintih, seperti anak kecil kebingungan, diguncang-guncangnya pundak Kim Hwa, dan terdengar keluhannya, “Kim Hwa, engkau... engkau mati...? Ah, mana bisa... engkau... aduuhhh... engkau benar-benar mati? Kim Hwa...!” Untuk kedua kalinya tubuhnya terguling roboh pingsan sambil mendekap tubuh dara itu yang masih hangat namun yang sudah tak bernyawa lagi.
Sepasang mata Kam Liong menjadi basah. Ia mengangguk-angguk dan berkurang banyaklah kemarahannya terhadap Suma Hoat. Jadi begitukah, pikirnya. Ternyata ada jalinan cinta kasih yang demikian mendalam antara mereka. Ketika ia melirik, ia melihat wajah Ciok Khun pucat sekali dan air mata mengalir turun ke atas kedua pipinya. Juga bangsawan Thio dan adiknya termangu-mangu, terharu menyaksikan kelakuan Suma Hoat. Kam Liong merasa tidak enak hatinya, dan ia melangkah mundur, tak tahu harus berbuat apa.
Suma Hoat siuman kembali, lalu menangis mengguguk, dan menciumi bibir itu, merintih-rintih dan memohon supaya kekasihnya suka bicara, suka membuka mata, diciumnya mata dan bibir itu sampai akhirnya ia yakin bahwa bibir itu tidak membalas ciumannya, mata itu tidak lagi memandang mesra melainkan terus terpejam.
“Kim Hwa, engkau mati! Engkau membunuh diri... tidak! Engkau dibunuh!” Tiba-tiba Suma Hoat membalikkan tubuh dan memandang kepada tiga orang itu dengan mata liar. Agaknya baru sekarang ia melihat kehadiran Bangsawan Thio dan adiknya, dan ayah Kim Hwa. Kemarahannya meluap.
“Kim Hwa, engkau dibunuh! Mereka inilah yang membunuhmu! Aku akan membalas kematianmu, Kim Hwa kekasihku. Aku akan membalas dendam!” Tiba-tiba ia menerjang maju, kedua tangannya bergerak memukul dengan pukulan maut yang amat kuat ke arah Bangsawan Thio adiknya.
“Bressss!” Tubuh Suma Hoat terlempar ke belakang dan roboh terguling. Pukulan kedua tangannya tertangkis oleh dengan Menteri Kam Liong yang kini melangkah maju dengan pandang mata bengis.
Suma Hoat terkejut bukan main, cepat menggulingkan tubuhnya di lantai meloncat bangun, siap menerjang lawan yang tangguh itu! Akan tetapi ketika ia melihat bahwa lawannya itu adalah Menteri Kam Liong, seketika lemas kedua kakinya. Ia memandang pek-hu-nya, air matanya bercucuran dan lututnya menjadi lemas sehingga ia jatuh berlutut, mulutnya berkata serak, “Pek-hu, harap bunuh saja saya yang celaka ini...”
Menteri Kam Liong melangkah maju, tangannya mencengkeram pundak Suma Hoat dan sekali menarik, tubuh Suma Hoat sudah berdiri lagi. “Laki-laki macam apa engkau ini? Beginikah sikap seorang gagah perkasa? Lemah melebihi wanita! Cengeng dan sesat!”
Suma Hoat masih menangis, menengok ke arah pembaringan dan tangisnya makin mengguguk. “Pek-hu...” Ia terengah-engah,”...lebih baik saya mati... saya... mencinta Kim hwa... mengapa Pek-hu melarang? Mengapa semua orang melarang? Aku dan dia sudah saling mencintai, Tuhan pun tidak melarangnya! Mengapa kalian mengganggu kami...? Huhu-huuukkkk!” Suma Hoat menangis seperti anak kecil, menunduk di depan uwanya.
Kam Liong mengeraskan hatinya dan menggerakkan tangan kiri menampar.
“Plakk!” pipi kanan Suma Hoat ditamparnya sehingga pemuda itu terkejut sekali, membelalakkan mata penuh penasaran.
Lega hati Kam Liong karena memang itulah yang dikehendakinya, agar bangkit kembali semangat pemuda ini. “Dengar kau, Suma Hoat! Seorang laki-laki sejati lebih mementingkan kebenaran dari pada nyawa dan apa pun juga di dunia ini! Apa artinya cinta kalau melanggar kebenaran? Bencana yang menimpa ini adalah gara-gara kelemahan hatimu! Bukan mereka yang menyebabkan kematian nona ini, melainkan engkaulah! Engkau yang membunuhnya dengan perbuatanmu. Mengerti?”
Pemuda itu terbelalak memandang pek-hu-nya, penuh penasaran. “Akan tetapi, Pek-hu! Dia mencintaiku..., kami saling mencinta dan bersumpah untuk....”
“Diam! Tidak mungkin cinta tumbuh tanpa tanggapan kedua pihak! Tak mungkin tunas cinta dapat bersemi tanpa pupuk pihak lawan! Engkau sudah tahu bahwa dia telah menjadi tunangan orang lain, namun engkau yang lemah ini telah menanggapi cintanya! Kalau engkau tidak melayaninya, aku yakin bahwa dia tidak akan mencintamu! Perbuatanmu itu merupakan pelanggaran besar, mencemarkan nama keluarga kita! Dan yang lebih dari itu, engkaulah yang menyebabkan kematian nona ini yang sudah terlanjur mencintaimu! Dan engkau masih hendak menyalahkan orang lain yang tidak berdosa? Hemm, biarlah peristiwa ini menjadi pelajaran pahit bagimu agar tidak terlalu menurutkan nafsu, pandai mengekang nafsu dan menyalurkannya melalui kebenaran, tidak membuta dan sesat! Pergilah sebelum urusan ini tersiar luas. Pergilah!”
Bentakan terakhir ini mengandung ancaman hebat dan Suma Hoat mengeluh, kemudian dengan lemas ia meloncat ke luar melalui langit-langit dan genteng. Semua orang di dalam kamar itu masih tertegun menyaksikan peristiwa itu dan terdengarlah suara Suma Hoat di atas genteng. Suara yang mengandung isak, suara yang parau bercampur suara rintikan hujan.
"Perempuan... Aku benci... Cinta perempuan palsu semua! Yang murni hanya Kim Hwa, akan tetapi dia pun meninggalkan aku! Aihhh, benci aku...! Benci aku...! Benci... !" Suara itu makin menjauh.
Kam Liong menghela napas panjang, hatinya penuh kekhawatiran kalau mengenangkan keadaan Suma Hoat. Diam-diam ia merasa heran mengapa seorang pemuda yang ia tahu berwatak mata keranjang dan suka mengobral cinta di antara pelacur-pelacur tinggi, sekarang dapat jatuh cinta seperti itu terhadap seorang gadis!...
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment