Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Istana Pulau Es
Jilid 25
Dengan penuh
harapan Han Ki mengangkat muka memandang wajah Maya yang amat cantik itu.
Kecantikan Maya inilah yang benar-benar membingungkan hati Han Ki. Dia memang
amat mencinta Siauw Bwee, akan tetapi Maya... jantungnya selalu berdebar kalau
ia memandang wajah sumoi-nya yang memiliki kecantikan yang luar biasa dan khas
itu!
”Apakah
usulmu itu, Sumoi?” tanyanya penuh harapan karena tentu saja dia ingin sekali
dapat keluar dari kesulitan yang membingungkan hatinya itu.
”Karena
Suheng tidak dapat berpisah dari kami berdua, dan menyayang kami berdua, tidak
mau menyiksa hati kami berdua, jalan satu-satunya bagi Suheng hanyalah
menjadikan kami berdua sebagai isteri Suheng.”
Pucat
seketika wajah Kam Han Ki mendengar usul yang sama sekali tak pernah
disangkanya itu. Juga Siauw Bwee memandang wajah suci-nya dengan mata
terbelalak, akan tetapi ketika Maya juga memandangnya dan kedua orang wanita
itu bertemu pandang, seolah-olah ada permufakatan tanpa kata di antara kedua
orang dara itu.
Pada detik
itu Siauw Bwee dapat menyelami hati suci-nya dan melihat ketidak-mungkinan apa
bila Suheng mereka diharuskan memilih seorang di antara mereka. Memang hanya
itulah jalan satu-satunya yang akan dapat membebaskan mereka dari ancaman
kesulitan dan perpecahan.
”Aku tidak
melihat jalan lain dan mengingat bahwa kita bertiga senasib sependeritaan sejak
kecil aku setuju dengan usul Suci.” Akhirnya Siauw Bwee berkata dengan saura
lirih.
”Tidak!
Tidak mungkin itu...! Kalian kira aku ini orang apa? Sudah begitu rendahkah
batinku sehingga mempergunakan keadaan untuk menang sendiri? Tidak, andai kata
kalian rela sekali pun, aku akan mengutuk diri sendiri, Suhu akan mengutuk
aku!” Han Ki yang menjadi bingung itu menutupi muka dengan kedua tangannya.
Siauw Bwee
dan Maya saling pandang, kemudian terdengar suara Siauw Bwee berkata, suaranya
tegas dan dingin. ”Suheng, kiranya bukan demikianlah sikap seorang jantan! Apa
lagi seorang pemuda seperti Suheng, murid langsung Suhu Bu Kek Siansu, penghuni
Istana Pulau Es! Seorang laki-laki harus dapat mengambil keputusan. Suheng,
katakanlah sejujurnya, siapakah di antara kami berdua yang Suheng beratkan?
Sungguh, aku tidak akan menyalahkanmu andai kata engkau memilih Maya-suci.
Katakanlah bahwa engkau hanya mencinta Maya-suci dan memutuskan untuk
mengambilnya sebagai isteri, dan aku akan pergi dari sini, tidak akan
mengganggu kebahagiaan kalian.”
Han Ki
menurunkan kedua tangannya dan memandang Siauw Bwee, sinar matanya penuh duka,
akan tetapi dia segera menundukkan mukanya lagi, tidak dapat menjawab. Suasana
menjadi hening, kemudian terdengar suara Maya, juga amat dingin dan tegas.
”Suheng,
tidak kunyana bahwa engkau, pria satu-satunya di dunia ini yang kukagumi, yang
kuanggap paling sakti, paling kuat dan paling jantan, ternyata amat lemah.
Engkau tidak berani mengaku terus terang akan cintamu karena takut melukai hati
seorang di antara kami. Kalau engkau mencinta kami berdua, engkau tidak berani
menikah dengan kami berdua karena takut kalau dipandang sebagai laki-laki mata
keranjang oleh dunia. Kalau begitu, mengapa pula engkau membujuk dan memaksa
kami berdua ke sini? Mengapa tidak kau biarkan saja kami mengembara dan
menjauhkan diri darimu yang menyiksa hati kami dengan keraguan? Suheng, perlu
apa engkau menghibur kami dengan melatih ilmu-ilmu tinggi? Kami bukan anak-anak
kecil lagi, bukan itu yang kami butuhkan.”
”Maya-suci
benar! Suheng, kalau begitu, biarkan kami pergi lagi meninggalkan tempat ini,
meninggalkan Suheng dan tidak perlu Suheng mencari kami lagi!” kata Siauw Bwee.
Dua orang dara itu sudah meloncat berdiri siap untuk pergi meninggalkan Pulau
Es.
”Nanti
dulu...!” Han Ki juga meloncat berdiri, mukanya pucat dan matanya sayu. “Maya!
Siauw Bwee! Berilah waktu padaku. Kalian tidak tahu betapa berat dan sukar bagiku
untuk mengambil keputusan dalam hal ini. Sudah kukatakan bahwa, aku mencinta
kalian berdua, mencinta sebagai adik-adik seperguruan, sebagai adik-adik
kandung sendiri malah! Tiada kebahagiaan bagiku di dunia ini kecuali
berdampingan selamanya dengan kalian. Akan tetapi memilih seorang di antara
kalian? Benar-benar amat berat dan sukar bagiku. Aku perlu waktu untuk itu.
Sekarang begini saja. Biarkan aku sendiri di dalam istana, membuat arca kita
bertiga. Sambil membuat arca aku akan memilih, mungkin sekali akan dapat
mengambil keputusan setelah jauh dari kalian berdua. Sementara itu, kalian
berdua lanjutkan berlatih Swat-im Sinkang di sini. Kurang lebih tiga bulan
lagi, latihan kalian selesai dan pembuatan arca kita bertiga pun akan selesai.
Nah, kita bertemu kembali di sini dan aku akan menentukan pilihanku.”
Mendengar
ini berdebar jantung di dalam dada Maya dan Siauw Bwee. Setelah pemuda itu
menyatakan hendak mengambil keputusan, menjatuhkan pilihannya, biar pun hal itu
baru akan dilakukan tiga bulan lagi, hati mereka sudah menjadi tegang sekali,
tegang dan khawatir, takut kalau-kalau tidak terpilih!
”Kalau tiga
bulan lagi engkau belum dapat mengambil keputusan?” Maya bertanya.
”Kalau
demikian, terserah apa yang akan kalian lakukan,” jawab Han Ki ragu-ragu karena
dia sendiri pun sangsi apakah kelak dia akan dapat mengambil keputusan yang
amat sukar dan berat itu.
Kembali Maya
dan Siauw Bwee saling pandang dan dua orang dara itu telah mengambil keputusan
untuk menyetujui permintaan ini. Permintaan terakhir yang akan mengakhiri pula
penderitaan batin dan siksaan hati mereka. Biar pun harus menanti dalam tiga
bulan, akan tetapi karena dalam tiga bulan itu mereka dapat melatih diri dengan
Swat-im Sinkang, tidak akan terasa terlalu lama.
”Baiklah,
aku setuju, Suheng,” kata Maya.
”Aku pun
setuju,” kata pula Siauw Bwee.
Han Ki
menarik napas lega melihat dua orang sumoi-nya telah duduk kembali di atas
salju. “Kuharap saja tiga bulan kemudian aku takkan mengecewakan hati kalian.
Marilah kuberi petunjuk tentang latihan Swat-im Sinkang sebelum kutinggalkan
kalian untuk mulai memahat arca kita.”
Dengan penuh
perhatian dua orang dara itu mendengarkan dan melihat petunjuk yang diberikan
Han Ki, kemudian di bawah bimbingan suheng mereka itu, mereka mulai dengan
latihan sinkang yang mukjizat itu. Karena merupakan ilmu baru, berbeda dengan
latihan sinkang mereka di waktu dahulu, mereka berdua menderita sekali, apa
lagi setelah tiba di tengah malam yang amat dingin. Namun berkat kekuatan tubuh
mereka yang telah memiliki tenaga sakti, terutama sekali Siauw Bwee yang telah
memiliki Jit-goat-sinkang, mereka dapat mengatasi penderitaan itu. Pada
keesokan harinya Han Ki meninggalkan kedua orang sumoi-nya yang ia percaya akan
mampu berlatih tanpa petunjuk dan bimbingannya lagi.
Tiga orang
penghuni Istana Pulau Es itu melewatkan waktu dengan amat tekun. Maya dan Siauw
Bwee tekun berlatih sinkang dan karena latihan ini membutuhkan pencurahan
seluruh perhatian, mereka dapat melupakan urusan mereka dengan Han Ki. Ada pun
Kam Han Ki yang bekerja dengan tekun di dalam Istana Pulau Es, merasa tersiksa
sekali batinnya. Dia bekerja tekun, memahat dan mengukir arca dari batu pualam.
Dia berusaha untuk memilih sambil mengerjakan arca, namun makin dipilih, makin
sulit baginya. Ketika dia mengerjakan arca Siauw Bwee, membayangkan sumoi-nya
ini, cintanya makin mendalam dan dia maklum bahwa sesungguhnya kepada Siauw
Bwee-lah cinta kasih hatinya dicurahkan. Dia mencinta Siauw Bwee!
Akan tetapi
ketika ia mengerjakan arca Maya, dia membayangkan sumoi-nya ini dan jantungnya
berdebar penuh gairah. Selalu bangkit gairah dan birahinya setiap kali dia
teringat kepada sumoi-nya ini, apa lagi ketika membuat arcanya, seolah-olah dia
selalu meraba wajah dan tubuh sumoi-nya. Maklumlah dia bahwa birahinya condong
kepada Maya yang memiliki kecantikan luar biasa, kecantikan yang membuat seleranya
selalu tergugah.
Akhirnya,
ketika dia membuat arcanya sendiri, seolah-olah dia menjenguk dan mengenal
dirinya sendiri lebih mendalam, tahulah dia bahwa tak mungkin dia memilih
seorang di antara mereka! Kalau dia memilih Maya, hidupnya takkan bahagia karena
dia mencinta Siauw Bwee, sungguh pun Maya akan merupakan isteri yang selalu
menyenangkan hatinya. Kalau dia memilih Siauw Bwee yang dicintanya, dia akan
selalu merasa rindu dan takkan dapat melupakan wajah Maya yang cantik jelita.
Kalau dia
memilih keduanya seperti yang diusulkan Maya dan disetujui Siauw Bwee, dia
yakin tentu akan selalu timbul persaingan dan cemburu di antara kedua orang
sumoi-nya itu yang memiliki watak jauh berbeda. Baru dalam rasa sayang sebagai
adik-adik seperguruan saja, semenjak dahulu mereka telah bersaing. Apa lagi
membagi cinta kasihnya sebagai suami. Tentu dia akan menjadi perebutan dan akan
menciptakan neraka dalam kehidupan mereka bertiga!
Sambil
menyelesaikan tiga buah arca yang kini telah jadi dan ternyata benar lebih
indah dari pada tiga buah arca yang dibuatnya dahulu dan telah dihancurkannya,
selama beberapa malam Han Ki tidak tidur, tak dapat beristirahat karena hati
dan pikirannya penuh dengan persoalan itu. Hari terakhir dari waktu tiga bulan
yang diberikan kepada dua orang sumoi-nya hampir tiba dan dia masih belum
mengambil keputusan dalam pemilihan itu! Bagaimana dia akan dapat menghadapi
kedua orang sumoi-nya dan bagaimana dia akan mengambil keputusan?
Tiga bulan
lewat sudah. Maya dan Siauw Bwee berhasil melatih Swat-im Sinkang sampai
tingkat terakhir. Musim dingin telah berlalu, bukit-bukit es yang memenuhi laut
di sekeliling Pulau Es sudah banyak berkurang. Salju yang menutupi Pulau Es
sudah banyak mencair. Dua orang dara itu menuju ke pantai dan mencoba Swat-im
Sinkang mereka dengan memukulkan kedua telapak tangan mereka ke arah air.
Ternyata hawa pukulan mereka yang mengandung Swat-im Sinkang dahsyat itu telah
membuat air membeku dan menjadi bongkahan-bongkahan es sebesar kerbau dan
gajah!
Akan tetapi
kemajuan hebat dalam ilmu kepandaian mereka ini tidak membuat Maya dan Siauw
Bwee gembira. Sebaliknya, mereka makin gelisah karena waktu yang ditentukan
telah tiba, seolah-olah sudah mendekatlah keputusan hukuman bagi mereka! Makin
gelisah lagi ketika mereka menanti sampai lewat tiga hari belum juga suheng
mereka muncul!
”Eh, Sumoi.
Mengapa Suheng belum juga keluar?” Maya berkata ketika mereka berjalan kembali
ke depan Istana Pulau Es.
”Mungkin
arcanya belum selesai, Suci,” kata Siauw Bwee yang selalu ingin membela Han Ki.
”Selesai
atau belum, semestinya dia keluar untuk memenuhi janjinya. Dia tentu sudah tahu
bahwa tiga bulan telah lewat, dan tahu pula betapa menyiksanya menanti seperti
ini.”
Siauw Bwee
menghela napas. Sebenarnya dia pun merasa gelisah sekali, akan tetapi dia tidak
mau menyatakan di depan suci-nya karena dia hendak melindungi Han Ki. ”Tentu
ada sesuatu yang menyebabkan Suheng terlambat, Suci. Biasanya Suheng tidak
pernah melanggar janji. Harap Suci suka bersabar satu dua hari lagi, tentu
Suheng akan keluar menemui kita.”
”Tidak! Kita
sudah menunggu tiga hari. Itu sudah cukup. Aku akan menyusulnya ke dalam!”
Setelah berkata demikian, Maya lalu melangkah memasuki Istana Pulau Es untuk
mencari Han Ki di dalam ruangan tempat mereka menyimpan arca dahulu, yaitu di
ruangan bawah. Melihat ini, tentu saja Siauw Bwee tidak mau tinggal sendiri dan
dia pun cepat melangkah maju dan bersama suci-nya memasuki istana.
Sunyi sekali
di dalam istana itu. Dengan jantung berdebar kedua orang dara itu memasuki
ruangan bawah yang pintunya tertutup. Maya mendorong daun pintu, bersama Siauw
Bwee memasuki ruangan itu. Tiga buah arca batu pualam putih berdiri berjajar di
situ, amat indah dan hidupnya menggambarkan mereka bertiga! Kam Han Ki berdiri
di tengah-tengah, Siauw Bwee di sebelah kanan dan Maya di sebelah kiri. Dua
orang dara itu terpesona, sejenak malah lupa kepada Han Ki, memandang tiga buah
arca itu dengan mata terbelalak kagum.
Benar-benar
suheng mereka tidak membohong. Tiga buah arca itu indah sekali, jauh lebih
indah dari pada yang dibuatnya dahulu. Apa lagi arca-arca itu menggambarkan
keadaan mereka sekarang, berbeda dengan yang dahulu, yang menggambarkan mereka
yang masih remaja. Tiga buah arca ini menggambarkan seorang pria tampan dan
gagah namun berwajah sayu, dan dua orang dara yang sudah dewasa, bagaikan dua
kuntum bunga yang mengharapkan datangnya lebah, memanggil lebah dengan
keharuman mereka. Akan tetapi, ke mana perginya Han Ki?
”Suheng, di
mana engkau?” Tiba-tiba Siauw Bwee berseru memanggil ketika dia tidak dapat
menemukan suheng-nya di dalam ruangan itu.
”Hemm, dia
malah meninggalkan kita. Dia sudah pergi, Sumoi. Lihat!” Maya berkata, menuding
ke bawah. Siauw Bwee menghampiri dan bersama suci-nya membaca tulisan yang
dicorat-coret di atas lantai.
”Maya-sumoi
dan Khu-sumoi, aku masih belum dapat mengambil keputusan. Masih mencari-cari.
Maafkan aku terlambat beberapa hari.”
”Hemm,
Suheng benar-benar mempermainkan kita!” Maya berkata marah, kakinya
menginjak-injak ukiran huruf-huruf di lantai sehingga lantai kembali rata dan
huruf-huruf itu lenyap.
Melihat ini
Siauw Bwee merasa tidak senang. “Suci, engkau terlalu. Karena sayangnya kepada
kita maka Suheng merasa tersiksa dan sukar mengambil keputusan. Sepatutnya dia
dikasihani, mengapa Suci malah marah-marah kepadanya? Lihat betapa indahnya dia
membuat arca kita, tanda bahwa Suheng benar-benar mencinta kita dengan sepenuh
hatinya. Kalau Suci juga mencintanya seperti aku mencintanya, tentu Suci tidak
akan marah, sebaliknya menaruh kasihan kepadanya.”
Maya merasa
betapa tepatnya ucapan sumoi-nya dan hal ini menimbulkan rasa cemburu dan marah
besar. Ucapan sumoi-nya itu membayangkan rasa cinta kasih yang mendalam dari
sumoi-nya kepada Han Ki, dan tampaknya membuat cinta kasihnya sendiri hilang
artinya!
Dengan
perlahan dia membalikkan tubuhnya menghadapi Siauw Bwee, memandang tajam dan
berubahlah sinar matanya sekarang. Kebencian yang disebabkan rasa cemburu dan
iri hati datang lagi setelah Han Ki tidak ada di situ.
”Sumoi,
ucapanmu itu seolah-olah engkau hendak menyatakan bahwa Suheng adalah milikmu
sendiri! Seolah-olah aku marah dan tidak mencintanya, dan hanya engkau yang
mencinta! Sumoi, marilah kita hadapi persoalan ini dengan jujur dan bersikap
sebagai orang-orang yang menjunjung tinggi kegagahan. Kita bukanlah
wanita-wanita lemah yang memperebutkan pria yang dicintanya dengan linangan air
mata! Kita adalah wanita-wanita perkasa yang sudah biasa menyelesaikan segala
persoalan dengan ujung pedang! Mengapa sekarang kita bersikap lemah? Sudah
jelas bahwa Suheng menjadi lemah sekali menghadapi persoalan ini, dia malah
tidak berani menghadapinya dan secara pengecut menjauhkan diri dari persoalan,
meninggalkan kita berdua di sini!”
”Cukup!
Jangan memaki Suheng! Dia bukan pengecut. Habis, engkau mau apa?” Siauw Bwee
timbul kemarahannya mendengar kekasihnya disebut pengecut.
”Bagus,
sikapmu makin menjadi-jadi, seolah-olah engkau hendak memonopoli Suheng! Andai
kata kita berdua menjadi isterinya, tentu engkau pun akan bersikap seperti ini,
hendak menguasai dia sendiri menjadikan aku saingan yang tidak ada artinya.
Jalan satu-satunya hanyalah bahwa seorang di antara kita harus lenyap!”
Siauw Bwee
membelalakkan mata dan mengerutkan alisnya. “Maksudmu...?” tanyanya untuk
mendapat ketegasan.
”Kita
selesaikan persoalan ini di ujung pedang! Tentu saja kalau engkau berani,
karena sebagai suci-mu tentu tingkatku lebih tinggi darimu. Kalau engkau tidak
berani melawanku, engkau harus pergi dari sini dan jangan muncul lagi di sini
karena berarti bahwa engkau takut dan sudah kalah dalam memperebutkan
Kam-suheng!”
”Suci! Aku
sama sekali tidak takut padamu, akan tetapi... kita adalah saudara seperguruan,
mana mungkin bertanding saling bunuh? Pula, memperebutkan cinta dengan taruhan
nyawa antara saudara adalah perebutan hina...”
”Cerewet!
Kalau takut, perlu apa banyak alasan? Siauw Bwee, ingat, aku adalah seorang
bekas panglima perang. Tidak ada persoalan lain bagiku kecuali berjuang untuk
memperebutkan kemenangan. Yang ada bagiku hanyalah kalah dan menang. Hidup
adalah perjuangan, yang menang berhak mendapatkan, yang kalah harus tahu diri
dan pergi. Kalau tidak kita putuskan sekarang sewaktu Suheng tidak berada di
sini, urusan di antara kita tidak akan ada beresnya!”
Siauw Bwee
marah sekali. “Aku tidak sudi! Aku tidak sudi memenuhi permintaanmu yang gila!
Aku akan menanti datangnya Suheng.” Setelah berkata demikian, dengan isak
tertahan Siauw Bwee berkelebat ke luar dan lari dari situ.
Maya melotot
memandang arca Han Ki, kemudian berbisik, “Engkaulah yang mendatangkan ini
semua dan engkau akan melihat seorang di antara kami bergelimpang tanpa nyawa!”
Kemudian dia membalikkan tubuh, meloncat dan lari mengejar Siauw Bwee.
Dengan hati
marah yang ditahan-tahannya, Siauw Bwee lari ke arah pantai yang merupakan
tebing curam di Pulau Es. Dia sengaja mendaki pantai yang tinggi ini karena dia
hendak melihat dari tempat tinggi ini untuk mencari suheng-nya. Mungkin
suheng-nya yang ia tahu sedang bingung itu naik perahu dan menjauhkan diri dari
pulau untuk mencari ‘ilham’ menghadapi persoalan yang ruwet itu.
Hatinya
marah sekali kepada Maya. Tentu saja dia tidak takut menghadapi suci-nya itu.
Kalau dahulu sebelum meninggalkan pulau saja, tingkat kepandaiannya belum tentu
kalah oleh Maya, apa lagi sekarang, setelah dia mendapatkan banyak tambahan
ilmu silat yang aneh-aneh. Dia telah mempelajari Ilmu Kaki Tangan Kilat dari
kaum lengan buntung dan kaki buntung mempelajari pula Jit-goat-sinkang. Dalam
Ilmu Swat-im Sinkang pun kekuatan mereka seimbang.
Dia sama
sekali tidak takut, akan tetapi dia tidak mau melayani kehendak suci-nya yang
gila itu. Kalau mereka bertanding mati-matian, tentu akan menimbulkan
mala-petaka hebat. Andai kata dia kalah dan tewas, baginya sudah tidak ada
urusan lagi. Akan tetapi sebaliknya, kalau dia menang dan suci-nya terluka atau
tewas, bagaimana dia akan dapat memandang wajah suheng-nya? Kalau menurutkan
hati marah, tentu saja ingin dia melayani dan melawan suci-nya yang juga
menjadi saingannya itu. Akan tetapi cinta kasihnya terhadap suheng-nya terlalu
besar dan tidak ingin menyakiti hati Kam Han Ki dengan melukai, apa lagi
membunuh Maya.
Setelah tiba
di tepi pantai yang merupakan tebing tinggi dan amat curam itu, Siauw Bwee
memandang ke sekeliling pulau penuh harapan. Namun dia kecewa karena keadaan di
sekeliling pulau sunyi, sama sekali tidak tampak adanya perahu seperti yang
diharapkannya. Ia lalu mengerahkan khikangnya dan mengeluarkan suara melengking
nyaring sekali memanggil suheng-nya, ”Kam-suheng...!”
Suaranya
bergema sampai ke sekeliling pulau. Beberapa kali dia mengulang teriakannya
yang melengking nyaring, menghadap ke berbagai penjuru. Namun tidak ada
terdengar jawaban, kecuali gema suaranya sendiri.
”Suheng...!”
”Khu Siauw
Bwee, bersiaplah engkau!”
Siauw Bwee
terkejut sekali dan cepat membalikkan tubuhnya. Kiranya Maya telah berdiri di
hadapannya dengan pedang terhunus! Wajah Maya kelihatan bengis dan penuh
kebencian.
”Suci, mau
apa engkau?”
”Cabut
pedangmu dan mari kita selesaikan urusan antara kita, sekarang juga!”
”Aku tidak
sudi!” jawab Siauw Bwee, menekan kemarahan hatinya.
”Kalau tidak
mau, minggat engkau dari sini!”
”Aku pun
tidak sudi pergi!” jawab pula Siauw Bwee.
”Hemmm,
hanya ada pilihan bagimu. Cabut pedangmu menandingiku, atau pergi dari sini!”
”Kalau keduanya
aku tidak sudi...?”
”Akan
kubunuh engkau di sini, sekarang juga!” Maya mengelebatkan pedangnya.
”Suci,
engkau telah gila! Engkau gila karena cemburu dan iri hati!”
”Tidak, aku
hanya mengambil jalan yang tepat dan singkat untuk menghabiskan persoalan yang
berlarut-larut. Suheng tidak dapat mengambil keputusan, engkau pun ragu-ragu
dan lemah, maka akulah yang mengambil keputusan. Hayo, cabut pedangmu, kalau
tidak, aku akan menyerangmu!”
”Hemmm,
Maya-suci, agaknya engkau sudah merasa yakin benar akan dapat menang dariku!
Aku tidak takut melawanmu, Suci. Akan tetapi aku tidak mau, karena melawanmu
berarti akan membuat Suheng makin berduka. Aku terlalu cinta kepadanya, maka
aku rela berkorban perasaan menghadapi penghinaanmu ini...”
”Cukup!
Lihat senjata!” Maya menjadi makin marah ketika Siauw Bwee bicara tentang
cintanya yang mendalam.
Pedang di
tangan Maya berubah menjadi sinar terang ketika menusuk ke arah dada Siauw
Bwee. Dara ini tidak bergerak, tidak mengelak, tidak menangkis hanya memandang
dengan mata terbuka lebar, sedikit pun tidak gentar.
Pedang yang
meluncur cepat itu tiba-tiba terhenti, tepat di depan dada Siauw Bwee, ujungnya
sudah menyentuh baju dan tergetar. Maju beberapa senti meter lagi saja tentu
ujung pedang akan menembus dada itu!
”Keparat!
Aku bukan seorang pengecut yang suka membunuh orang yang tidak melawan!” Maya
berseru marah sekali. “Khu Siauw Bwee, engkau adalah seorang pengecut hina
kalau tidak berani melawanku, melainkan memancingku agar membunuhmu tanpa
melawan sehingga kelak Suheng akan menyalahkan aku. Benar-benarkah engkau
seorang pengecut hina?”
Siauw Bwee
juga seorang gadis yang berhati keras. Kalau saja dia tidak ingat kepada Han Ki
dan tidak ingin menyakiti hati orang yang dicintanya itu, tentu sudah tadi-tadi
dia mencabut senjata dan melawan suci-nya yang gila oleh cemburu dan iri hati
ini. Akan tetapi, sekarang mendengar dia disebut pengecut hina, dia tidak dapat
menahan lagi kemarahannya.
”Singgg...!”
Pedangnya telah tercabut.
”Bagus, mari
kita selesaikan!” Maya berseru girang dan menerjang maju dengan pedangnya.
”Trang-cring-cringgg...!”
Bunga api berpijar ketika dua batang pedang itu bertemu bertubi-tubi.
Pertandingan
itu hebat bukan main. Mereka sama kuat, sama cekatan, dan ilmu pedang mereka
pun dari satu sumber. Lenyaplah bayangan tubuh kedua orang dara perkasa itu,
terbungkus sinar pedang mereka yang bergulung-gulung seperti dua ekor naga
sakti bermain di angkasa raya.
Pertandingan
itu mati-matian, terutama sekali dari pihak Maya yang benar-benar ingin
memenangkan pertandingan itu. Sebagai seorang yang biasa mempergunakan siasat
perang yang keras dara ini sudah mengambil keputusan untuk membunuh sumoi-nya
dalam pertandingan ini. Bukan sekali-kali karena bencinya terhadap sumoi-nya,
melainkan dia tidak dapat melihat jalan lain. Dia harus menang dan kalau kelak
Han Ki datang, pemuda itu tentu tidak dapat menyalahkan dia yang menang dalam
pertandingan yang terbuka dan adil. Kalau Siauw Bwee tewas, dia mendapat banyak
kesempatan untuk menghibur Han Ki, dan tentu cinta kasih pemuda yang terpecah
itu akan dicurahkan seluruhnya kepadanya.
Akan tetapi,
betapa kaget hati Maya ketika ia mendapat kenyataan bahwa gerakan Siauw Bwee
jauh lebih hebat dari dahulu! Gerakan kaki dan tangan sumoi-nya itu amat cepat
dan aneh membuat dia bingung dan kadang-kadang dia terdesak hebat. Maklumlah
dia bahwa tentu selama dalam perantauan ini sumoi-nya telah mempelajari ilmu
silat baru yang hebat! Dan dia hanya membuang waktu perantauannya dengan ilmu
perang saja!
Maya amat
cerdik. Diam-diam dia memperhatikan gerakan kaki dan tangan Siauw Bwee dan
berusaha menyelami dan mempelajari intinya. Namun sedikit saja dia membagi
perhatian, sinar pedangnya terkurung dan dia hanya mampu menjaga diri saja
tanpa mampu menyerang sedikit pun juga! Maya makin terkejut, lalu berusaha
mencari kemenangan dengan mengandalkan tenaga sinkang-nya.
Dahulu
sebelum mereka meninggalkan pulau, tingkat sinkang-nya masih menang sedikit
dibandingkan dengan sumoi-nya, dan tentu gemblengan-gemblengan dalam perang
yang dialaminya membuat tenaganya lebih kuat lagi. Dengan pengerahan sinkang
sekuatnya pedangnya menyambar dan menangkis, dengan maksud untuk membuat pedang
sumoi-nya patah atau terpental.
”Cringgg...!”
Nyaring sekali bunyi kedua pedang yang bertemu itu dan akibatnya, Siauw Bwee
terhuyung mundur dua langkah sedangkan Maya mundur tiga langkah!
”Aihhh...!”
Tak terasa lagi Maya berteriak kaget.
Sama sekali
tak pernah disangkanya bahwa dalam tenaga sinkang pun dia kalah kuat sedikit!
Hal ini tidaklah aneh karena Siauw Bwee mendapat tambahan tenaga baru dari
ilmunya Jit-goat Sinkang. Kemarahan Maya menjadi-jadi. Dia menubruk ke depan
dan melakukan terjangan membabi-buta, agaknya kini bermaksud mengadu nyawa!
Lebih baik mati bersama dari pada dia kalah dan kehilangan Han Ki!
Kalau dia
menghendaki, biar pun tidak terlalu mudah, agaknya Siauw Bwee akan dapat keluar
dari pertandingan itu sebagai pemenang. Namun di balik kemarahannya dara ini
masih sadar bahwa dia tidak boleh melukai suci-nya, apa lagi membunuh karena
hal itu mungkin akan menjadi sebab putusnya hubungan cinta antara dia dan Kam
Han Ki. Karena inilah maka dia selalu menjaga gerakannya agar jangan sampai
mendatangkan serangan maut yang mengancam nyawa lawan dan kalau mungkin, dia
hanya akan mengalahkan suci-nya tanpa mendatangkan luka berat.
Akan tetapi
tentu saja hal ini sama sekali tidak mudah. Biar pun dia dapat menandingi
suci-nya karena ilmu-ilmu gerakan kilat dan Jit-goat Sinkang, namun kelebihan
tingkatnya tidak berapa banyak. Betapa pun lihainya Ilmu Gerak Kilat dan
Jit-goat Sinkang, tidaklah melebihi kehebatan ilmu-ilmu yang diajarkan Han Ki
kepada mereka. Keunggulan Siauw Bwee hanya karena ilmu-ilmu itu tidak dikenal
oleh Maya, membuat suci-nya menjadi bingung dan terdesak.
Lebih dari
dua ratus jurus mereka bertanding, namun belum ada yang kalah atau menang.
Jangankan terluka, bahkan tiada yang berhasil merobek ujung baju lawan
sekalipun! Maya makin penasaran dan Siauw Bwee makin gelisah. Mengapa
suheng-nya belum juga datang? Sukar untuk menahan serbuan dahsyat suci-nya, dan
kalau dia mengalah terus, lambat laun dia sendiri yang akan celaka, akan
terluka dan mungkin terancam maut!
Karena itu
mulailah Siauw Bwee mempercepat gerakannya dan membalas serangan suci-nya
dengan jurus-jurus dahsyat. Biar pun dia menggunakan jurus-jurus yang ia
pelajari dari suheng-nya, namun dia memasukkan inti gerakan dari gerak kilat
kaki tangannya yang ia pelajari dalam perantauannya.
Menghadapi
serangan dahsyat ini, Maya menjadi bingung dan terdesak mundur terus. Dia
menggigit bibirnya melawan dan membalas dengan serangan maut, namun pembalasan
serangannya hanya membuat pertahanannya kurang rapat dan dengan gerakan seperti
kilat menyambar, ujung pedang lawannya sudah berhasil menembus pertahanan Maya
dan melukai pundak kirinya!
”Aihhh...!”
Maya terhuyung dan biar pun dia mempertahankan, tetap saja tubuhnya tergelincir
dan roboh miring. Pundaknya terbabat ujung pedang dan mengeluarkan banyak
darah, membuat lengan kirinya seperti lumpuh.
Siauw Bwee
terbelalak, pucat mukanya. Dia melempar pedangnya dan menubruk Maya. “Suci...!”
Siauw Bwee
menubruk untuk menyatakan penyesalan hatinya, untuk minta maaf. Akan tetapi
tidak demikian perkiraan Maya. Karena matanya gelap dan kepalanya pening akibat
luka dan kemarahan, dia mengira bahwa gerakan Siauw Bwee itu merupakan gerakan
susulan, merupakan serangan maut untuk membunuhnya. Maka tanpa banyak cakap
lagi, dengan tubuh masih rebah miring dia membabat dengan pedang di tangannya.
”Singgg...
crakkk! Aduuuhhh... Suci...!”
Tubuh Siauw
Bwee tergelimpang, sebelah kakinya buntung terbabat pedang tadi, darah muncrat
dari paha yang buntung.
”Suci...
kau... kau...!” Siauw Bwee meloncat bangun, menyambar kakinya yang buntung.
Maya sudah
bangkit duduk, mukanya pucat sekali. Baru sekarang dia mengerti betapa dia
telah salah duga. Pedang sumoi-nya ternyata ditinggalkan, dan kini tahulah dia
bahwa sumoi-nya tadi bukan menyerangnya, melainkan hendak memeluknya, dapat
dibayangkan betapa hancur hatinya. Dia memandang pedangnya dengan pandang mata
jijik, kemudian memandang sumoi-nya yang memandangi kaki yang buntung.
”Sumoi...
aduh... Sumoi... apa yang telah kulakukan...?”
”Suci...!”
”Sumoi...!”
Kedua orang
itu berpandangan, kemudian Maya meloncat berdiri, menghampiri sumoi-nya dan
memeluknya.
”Sumoi...
kau ampunkan aku...” Maya memeluk dan menciumi sumoi-nya.
Akan tetapi
melihat sumoi-nya diam tak bergerak, disangkanya sumoi-nya telah tewas, maka
dia menjerit-jerit memanggil nama sumoi-nya, kemudian roboh terguling, pingsan
sambil merangkul tubuh Siauw Bwee yang juga pingsan.
Mereka tidak
tahu betapa pada saat mereka mulai bertanding tadi, badai datang mengamuk.
Tidak tahu betapa Han Ki yang datang dengan perahu karena mendengar suara
panggilan Siauw Bwee tadi sedang berjuang mati-matian di tengah badai. Han Ki
mendayung perahunya dengan susah payah karena perahu itu diombang-ambingkan
gelombang.
Dengan hati
berdebar penuh kegelisahan memikirkan kedua orang sumoi-nya, Han Ki mengerahkan
seluruh tenaganya, namun sampai lama sekali barulah akhirnya dia berhasil
meminggirkan perahunya dan meloncat ke darat. Badai masih mengamuk hebat,
seolah-olah laut menjadi marah menyaksikan pertandingan antara suci dan sumoi
yang mati-matian tadi.
Han Ki sama
sekali tidak pernah mengira bahwa kedua orang sumoi-nya itu bertanding
mati-matian di atas tebing, di pantai yang curam. Dia berlari-lari ke istana,
hendak memperingatkan kedua sumoi-nya bahwa badai dan taufan datang mengamuk.
Akan tetapi istana itu sunyi, kedua orang sumoi-nya tidak berada di situ. Dia
mulai memanggil-manggil dan berlari ke sana-sini. Akhirnya dia berlari naik ke
atas tebing yang tinggi dan berdiri terbelalak, kedua kakinya seperti mendadak
lumpuh tak dapat digerakkan. Bahkan dia hampir pingsan menyaksikan pemandangan
di depan itu!
Apa yang
dilihatnya memang telalu mengerikan bagi Han Ki. Kedua sumoi-nya saling
berpelukan dan bertangisan di atas tanah yang masih bersalju, yang kini menjadi
merah oleh darah! Dia tidak tahu bahwa kedua orang dara itu telah siuman
kembali dan bertangisan tanpa kata-kata. Yang membuat Han Ki hampir pingsan
adalah melihat sebelah kaki Siauw Bwee buntung dan pundak Maya terluka berat.
Tiba-tiba
Siauw Bwee merenggutkan tubuhnya terlepas dari pelukan Maya, kemudian tubuh
gadis itu mencelat ke pinggir tebing, dikejar oleh Maya yang menjerit-jerit kini
memanggil nama Siauw Bwee dan menangis. Namun terlambat, tubuh Siauw Bwee sudah
mencelat ke bawah tebing, ke arah air laut yang sedang bergemuruh dan dahsyat
bergelora itu! Maya menjerit-jerit, kemudian gadis itu meloncat ke bawah
mengejar sumoi-nya!
Han Ki
terlampau kaget dan ngeri ketika dapat bergerak. Andai kata dia dapat bergerak
pun akan terlambat, karena jaraknya terlampau jauh. Kini dia berloncatan dan
berlarian seperti orang gila sambil berteriak-teriak,
”Siauw
Bwee...! Maya...!”
Han Ki berdiri
di pinggir tebing dan matanya terbelalak memandang gelombang ombak yang begitu
dahsyat, seolah-olah timbul ribuan buah kepala naga siluman yang siap mencaplok
apa saja yang berani turun! Betapa pun dia mencari dengan pandang mata
terbelalak, tidak tampak adanya dua orang sumoi-nya yang tadi dilihatnya
meloncat ke bawah.
”Maya-sumoi...!
Khu-sumoi...!” kembali dia memekik, kemudian dia menuruni tebing yang curam
sekali itu. Sungguh mengerikan sekali melihat Han Ki berlari dan berloncatan
turun. Sekali terpeleset tubuhnya tentu akan hancur ke bawah dan ditelan
gelombang ombak yang amat dahsyat, yang tak mungkin dapat dilawan oleh tenaga
manusia.
Badai
mengamuk terus, air laut naik tinggi. Suara angin taufan bercampur air laut
yang memecah di batu karang mengerikan hati. Langit menjadi gelap, bukan hanya
oleh awan hitam, akan tetapi juga oleh kabut yang dibentuk oleh air yang
memecah di batu karang, kemudian turun hujan dari atas.
Pulau Es
seakan-akan hendak kiamat. Diserang gelombang badai mengamuk, pulau itu
tergetar dan terselimut kabut hitam. Suara bergemuruh dahsyat seperti
bersorak-sorai setan-setan yang muncul dari permukaan laut, di antara suara
bergemuruh dari badai mengamuk ini, terdengar selingan suara lengking panjang,
”Maya...!
Siauw Bwee...!”
Dan
tampaklah bayangan Han Ki berlari-larian di sepanjang pantai Pulau Es,
tersaruk-saruk, kadang-kadang terjatuh dan dilemparkan ombak yang menyeret
kakinya. Bangun lagi, berlari-lari, berteriak-teriak dengan pengerahan
khikangnya, memanggil-manggil nama kedua orang sumoi-nya tanpa hasil. Kedua
sumoi-nya tidak ada yang menjawab, tidak ada yang muncul, seolah-olah sudah
ditelan ombak membadai. Mengerikan dan menyedihkan.
**************
Sebuah
perahu kecil dipermainkan ombak bergelombang dalam badai itu. Diangkat
tinggi-tinggi di puncak sebuah gelombang yang setinggi bukit, kemudian
dihempaskan ke bawah dan seolah-olah ditelan oleh mulut naga air, akan tetapi
muncul kembali, diayun-ayun dan diputar-putar. Tiang layar perahu itu sudah
lenyap, juga dayung-dayungnya. Yang ada tinggal perahunya yang telanjang dan
seorang penghuninya yang tubuhnya terikat pada perahu. Seorang laki-laki muda
yang pingsan dan sama sekali tidak merasakan betapa perahunya dipermainkan
ombak dahsyat. Untung baginya, karena kalau dia tahu akan hal ini, mungkin
sekali jantungnya tidak akan kuat menahan kengerian seperti itu!
Laki-laki
itu bukan lain adalah Suma Hoat. Seperti telah diceritakan di bagian depan, dia
merasa penasaran ketika melihat Maya dibawa pergi oleh Kam Han Ki. Dia
melakukan pengejaran dan berlari secepat dan sekuatnya. Namun tentu saja dia
tidak dapat menyusul larinya Kam Han Ki yang memiliki kesaktian tinggi itu.
Betapa pun juga, Suma Hoat tidak pernah berhenti melakukan pengejaran dengan
bertanya-tanya di jalan. Akhirnya dia mendapat keterangan dalam penyelidikannya
bahwa Kam Han Ki dan Maya melanjutkan perjalanan dengan perahu di pantai utara
yang didatanginya itu. Dia pun lalu melakukan pengejaran dengan perahu,
walaupun jarak waktu antara dia dan mereka sudah hampir dua pekan!
Mulailah
pemuda yang menjadi korban perasaan asmara yang menggelora itu melakukan
pelayaran di daerah yang sama sekali asing baginya, melakukan pengejaran
terhadap perahu lain yang tidak dia ketahui ke arah mana perginya. Suma Hoat
mengambil keputusan untuk mencari Maya atau Khu Siauw Bwee sampai dapat. Dia
tahu bahwa mereka tentulah berada di Pulau Es dan dia harus dapat menemukan
Pulau Es. Seorang di antara dua orang dara yang dicintanya itu akan menjadi
isterinya.
Perbuatan
pemuda itu benar-benar merupakan perbuatan yang amat nekad. Sudah sejak
puluhan, bahkan ratusan tahun tokoh-tokoh kang-ouw mencari-cari Pulau Es tanpa
hasil, sehingga akhirnya di dunia kang-ouw hanya terdapat semacam dongeng saja
tentang Pulau Es, dianggapnya bahwa pulau itu tidak ada kenyataannya karena
tidak pernah ada yang berhasil menemukannya. Kini dengan berperahu kecil, tanpa
petunjuk hanya bermodal jejak Kam Han Ki yang dikabarkan melanjutkan perjalanan
dengan perahu dari pantai itu, Suma Hoat mencari Pulau Es. Dia benar-benar
sudah nekat karena cinta kasihnya. Dia seperti seorang yang sudah kelaparan dan
kehausan, haus dan lapar akan cinta karena selama ini dia hanya tenggelam dalam
nafsu birahi, tidak pernah mengenal cinta yang sesungguhnya.
Lebih dari
dua bulan dia hidup di atas perahunya yang mengarungi lautan bebas dan asing.
Bekal makanannya sudah lama habis, dan untuk menyambung hidupnya Suma Hoat
terpaksa makan ikan laut. Kadang-kadang dia mendapatkan binatang darat di atas
pulau karena sudah banyak sekali pulau dia datangi dan yang ternyata bukan
Pulau Es, melainkan pulau-pulau kosong yang tidak ada penghuninya.
Pada hari
itu, secara tiba-tiba badai mengamuk dan menimbulkan gelombang-gelombang
sebesar bukit. Betapa pun kuatnya kedua lengan Suma Hoat menggerakkan dayung,
namun sama sekali tidak ada artinya bagi lautan yang sedang mengganas itu. Dia
sama sekali tidak berdaya, seperti seorang bayi dan akhirnya, setelah dia
hampir tidak kuat bertahan lagi, Suma Hoat mengikat tubuhnya, melibatkan tali
dengan erat pada tubuhnya, diikat pada perahu kemudian menyerahkan nasibnya
kepada lautan.
Tubuhnya
yang terikat pada perahu itu dipermainkan gelombang, diangkat tinggi-tinggi dan
dihempaskan kembali, disambut gelombang lain, dilontarkan ke atas dan dibanting
lagi sampai dia pingsan dan tidak tahu apa yang terjadi dengan perahu dan
tubuhnya. Dia tidak tahu berapa lama dia dijadikan permainan gelombang dan
sampai berapa jauh dia dihanyutkan.
Sungguh
mengerikan melihat keadaan Suma Hoat pada waktu badai mengamuk itu. Semua yang
melihatnya tidak akan ada yang menduga bahwa dia akan dapat keluar dari keadaan
itu dengan selamat. Akan tetapi apakah yang dapat menentukan mati hidupnya
seorang manusia? Kalau belum tiba saatnya dia mati, tiada kekuasaan di dunia
ini yang akan dapat mematikannya, sebaliknya kalau sudah tiba saatnya dia mati,
tiada kekuasaan apa pun yang akan dapat menyelamatkannya.
Suma Hoat
siuman dan membuka matanya. Kepalanya terasa pening sekali, tubuhnya nyeri
semua dan tenaganya habis. Akan tetapi tubuhnya tidak bergerak-gerak lagi,
perahu di mana tubuhnya terikat itu tidak diombang-ambingkan gelombang lagi.
Dia masih mendengar suara bergemuruh, suara badai mengamuk, akan tetapi perahunya
tidak lagi di atas air, melainkan berada di atas daratan yang kokoh kuat! Dia
selamat! Perahunya telah dilontarkan gelombang ke atas daratan, sedemikian
jauhnya sehingga tidak ada lagi gelombang yang dapat mencapainya.
Suma Hoat
mengerahkan tenaga untuk membikin putus ikatan pada tubuhnya. Namun dia
mengeluh dan kaki tangannya terkulai lemas. Agaknya tidak ada sisa tenaga lagi
di tubuhnya. Akan tetapi tali itu telah mengendur dan dengan perlahan dia
meloloskan kedua lengan, kemudian membuka tali yang mengikat tubuhnya itu dari
perahu.
Ketika dia
bangun duduk, kepalanya berdenyut-denyut dan pandang matanya berkunang. Sejenak
dia memejamkan mata, ketika dibukanya kembali dan denyut di kepalanya tidak
begitu hebat, dia memandang ke sekelilingnya. Air laut masih mengganas, ombak
membesar dan angin badai masih mengamuk. Akan tetapi dia telah terdampar ke
sebuah pulau yang cukup besar.
Tiba-tiba
dia mendengar suara mengerikan. Suara melengking dahsyat, suara memekik-mekik
seperti bukan suara manusia. Pekik melengking seperti itu keluar dari dalam
dada setan dan iblis, pikirnya ngeri. Dia lalu menyeret tubuhnya sendiri makin
naik ke tengah pulau agar jangan sampai tercapai gelombang. Tidak lupa dia
menggunakan seluruh tenaga untuk menyeret perahu. Perahu itu telah
menyelamatkan nyawanya, dan dia masih amat membutuhkannya untuk membawanya ke
luar dari tempat ini.
Suma Hoat
mengeluh dan semenjak saat itu, kesehatannya makin memburuk. Im-yang Seng-cu
berusaha menghibur dan merawatnya, namun percuma saja karena Suma Hoat sudah
kehilangan pegangan hidup, kehilangan harapan dan satu-satunya yang dirindukan
hanyalah kematian.
********** Sahabat Karib.com **********
Setelah
melakukan hal itu, Suma Hoat lalu duduk bersila, mengatur napas untuk
memulihkan tenaganya sambil menanti berhentinya badai yang masih mengamuk
dahsyat. Untung bahwa dia telah memiliki ilmu Jit-goat Sinkang yang mengandung
unsur Yang-kang dan Im-kang. Dengan Im-kang di tubuhnya, dia dapat melawan hawa
dingin yang luar biasa itu, hawa dingin yang seolah-olah keluar dari dalam
tanah pulau yang didudukinya. Tentu saja pemuda ini sama sekali tidak pernah
mengira bahwa dia telah berada di Pulau Es!
Angin taufan
mulai mereda, agaknya sudah cukup puas mengamuk selama hampir sehari semalam.
Suara bergemuruh pun berhenti. Suma Hoat yang telah beberapa lamanya duduk
bersila mengatur napas merasa tenaganya sudah pulih sebagian, kepeningan
kepalanya menghilang dan sungguh pun tubuhnya masih lelah dan rasa nyeri-nyeri
di seluruh tubuh masih terasa, dia sudah merasa ringan dan membuka matanya.
Laut di pantai tidak bergelombang hebat lagi, yang terdengar hanyalah suara
berkerosoknya air yang menipis habis di pantai datar.
Suma Hoat
teringat akan suara melengking yang didengarnya ketika badai masih mengamuk
tadi. Dia bangkit perlahan, membalikkan tubuh memandang ke arah tengah pulau
yang kini tidak diselubungi kabut. Ia tercengang dan memandang terbelalak
ketika samar-samar tampak sebuah bangunan di tengah pulau! Hampir dia tidak
percaya kepada pandang matanya sendiri. Digosoknya kedua matanya, lalu
memandang lagi. Tidak berubah. Bangunan itu masih berdiri megah di tengah
pulau. Seperti sebuah istana.
“Istana...?
Istana... Pulau Es...?” Tak terasa lagi mulut Suma Hoat berbisik.
Teringatlah
dia akan suara melengking nyaring ketika terjadi badai. Mungkin saja suara
manusia kalau manusianya adalah penghuni Istana Pulau Es yang dia tahu amat
sakti. Bangkit semangatnya setelah timbul dugaan dan harapan di hatinya bahwa
dia berada di Pulau Es, secara kebetulan dan aneh sekali tiba di pulau yang
memang dicari-carinya itu. Jantungnya berdebar keras. Apakah dia akan berjumpa
dengan Khu Siauw Bwee dan Maya? Apakah kedua orang dara yang dicintanya itu
berada di sana?
Ketika ia
tiba di depan bangunan yang indah dan megah itu, Suma Hoat menjadi ragu-ragu
untuk masuk. Sebagai penghuni-penghuni Istana Pulau Es, dua orang dara itu
memiliki ilmu kepandaian yang dahsyat sekali, apa lagi suheng mereka, Kam Han
Ki. Mereka bertiga adalah orang-orang sakti. Tanpa seijin mereka, bagaimana dia
berani memasuki istana itu?
Akan tetapi,
setelah menghadapi ancaman-ancaman maut di lautan ketika dia mencari dua orang
dara itu, ketika mencari Pulau Es, mengapa kini dia merasa takut akan ancaman
kemarahan mereka? Tidak, dia tidak takut karena memang dia sudah nekat. Mereka
adalah orang-orang sakti yang berilmu tinggi, tidak mungkin akan mudah marah
hanya karena dia masuk ke istana tanpa ijin saja.
Dengan
pikiran ini, melangkahlah Suma Hoat memasuki istana yang kelihatan sunyi sekali
itu. Ruangan depan istana itu kosong, demikian pula ruangan tengah. Selagi dia
kebingungan karena merasa betapa istana itu menyeramkan dengan kesunyian dan
keindahannya, tiba-tiba dia mendengar suara orang, seperti tengah bersenandung
atau membaca doa!
Perlahan-lahan
dia segera menuruni anak tangga dan berhenti di depan sebuah pintu yang
tertutup, menahan napas mendengarkan suara seorang laki-laki yang sedang
membaca sajak! Suara itu gemetar, kadang-kadang terisak, kadang-kadang
tersendat-sendat dan diseling tarikan napas panjang penuh kedukaan. Suma Hoat
mendengarkan dengan jantung berdebar dan hatinya tertarik sekali, akan tetapi
dia tidak berani lancang memasuki ruangan di balik pintu yang tertutup itu. Dia
hanya mendengarkan. Mula-mula suara itu bersajak, dengan nada suara penuh duka,
penuh lontaran pertanyaan dengan suara merintih.
Aduhai
sayang, mengapa kalian begitu kejam?
Mengapa
kalian hancurkan cinta yang indah?
Haruskah
cinta berdampingan dengan benci?
Di mana ada
cemburu dan iri,
adakah cinta
di sana?
Aduhai
sayang,
sesungguhnya
siapa yang kalian cinta?
Akukah...
atau diri kalian sendiri?
Suma Hoat
tertegun dan bingung. Suara siapakah itu? Dan apa maksudnya? Apa yang telah
terjadi dengan pria itu sehingga mengeluarkan rintihan yang keluar dari hati
yang rusak dan hancur? Dia mendengarkan lagi, karena kembali suara laki-laki
itu bersajak, kini tidak terdengar penuh duka, bahkan berwibawa sungguh pun
suara itu masih menggetar penuh perasaan.
Setiap orang
manusia ingin dicinta
tanpa ada
yang menyayang, hidup terasa hampa,
mengapa...?
Karena
hatinya tidak mengenal cinta!
yang tidak
mengenal cinta, haus akan cinta
dia yang
hatinya penuh oleh cinta sejati
tidak lagi
mengharapkan dirinya dicintai
cinta sejati
hanya kenal memberi
tak tahu
minta, tak ingin jasa!
Untuk kedua
kalinya Suma Hoat tertegun. Kini bahkan mukanya terasa panas. Dia merasa
seolah-olah dia disindir. Selama bertahun-tahun, semenjak dia ditinggal mati
cinta pertamanya, Ciok Kim Hwa, dia haus akan cinta kasih wanita. Akan tetapi
dia pun tidak pernah jatuh cinta. Yang ada terhadap wanita-wanita yang
diperkosanya hanyalah nafsu semata. Adakah hatinya tidak mengenal cinta?
Setelah
bertemu dengan Maya dan Siauw Bwee, adakah perasaannya terhadap dua orang dara
itu pun bukan cinta maka dia mengharapkan balasan cinta kasih mereka? Aihh, dia
tidak mengerti sama sekali, namun di sudut hatinya, ada sesuatu yang terpesona
dan tergetar oleh isi kata-kata orang yang belum dilihatnya itu. Kembali dia
memperhatikan karena suara itu telah bicara kembali.
Betapa ingin
mata memandang mesra
betapa ingin
jari tangan membelai sayang
betapa ingin
hati menjeritkan cinta
Namun Siansu
berkata:
Bebaskan
dirimu dari ikatan nafsu!
Mungkinkah
pria dipisahkan dari wanita?
tanpa adanya
perpaduan Im dan Yang,
dunia takkan
pernah tercipta!
Betapa pun
juga,
cinta segi
tiga tidak membahagiakan!
menyenangkan
yang satu menyusahkan yang lain
akibatnya
hanya perpecahan dan permusuhan
ikatan
persaudaraan dilupakan
akhirnya
yang ada hanyalah duka dan sengsara!
Kesimpulannya,
benarlah pesan Siansu
bahwa
sengsaralah buah dari nafsu!
Kini Suma
Hoat terkejut. Orang itu menyebut-nyebut Siansu, bukankah yang dimaksudkan itu
adalah Bu Kek Siansu, manusia dewa yang hanya didengarnya dalam dongeng? Dan
bukankah murid manusia dewa itu adalah Maya, Khu Siauw Bwee dan suheng mereka,
Kam Han Ki? Kalau begitu, tentu Kam Han Ki laki-laki di dalam itu! Selagi ia
hendak melangkah maju, tiba-tiba terdengar suara dari balik pintu yang masih
tertutup.
“Suma Hoat,
bagaimana engkau bisa sampai di sini dan apa kehendakmu?”
Suma Hoat
makin kaget. Cepat dia menjura di tempatnya sambil berkata, “Harap Kam-taihiap
sudi memaafkan. Terus terang saja, semenjak perpisahan di medan perang dahulu,
saya terus mengikuti, kemudian mencari-cari Taihiap yang saya duga tentu berada
di Pulau Es. Namun, berbulan-bulan saya tersesat di lautan, dan hanya oleh
kehendak Thian saja maka saya dapat tiba di tempat ini, terbawa hanyut oleh
badai yang mengamuk.”
Daun pintu
terbuka dan Suma Hoat hampir meloncat mundur saking heran dan kagetnya ketika
ia melihat orang yang muncul dari pintu itu. Dia masih mengenal wajah Kam Han
Ki, akan tetapi pakaian orang sakti ini koyak-koyak, rambutnya awut-awutan,
mukanya pucat sekali, matanya merah dan wajah yang tampan itu seolah-olah
bertambah tua belasan tahun dalam waktu tiga bulan ini!
Akan tetapi,
kekhawatiran hati Suma Hoat lenyap ketika pandang matanya bertemu dengan
pandang mata Kam Han Ki. Sama sekali tidak ada tanda marah pada pandang mata
itu, pandang mata yang masih amat tajam menembus jantung dan menjenguk isi
hati, akan tetapi begitu lembut dan penuh pengertian!
“Suma Hoat,
setelah kami bertiga melupakan segala urusan pribadi antara kami dengan orang
tuamu, mengapa engkau masih mencari perkara dengan melakukan pengejaran kepada
kami? Setelah kini engkau berhasil mendarat di Pulau Es, apakah kehendakmu?”
Suma Hoat
menundukkan mukanya. Tidak dapat dia menahan pandang mata Han Ki yang begitu
lembut namun begitu penuh kekuatan. Sambil bertunduk dia menjawab, “Maaf,
Taihiap. Terus terang saja, setelah saya mengetahui bahwa Nona Maya dan Nona
Khu Siauw Bwee, keduanya jatuh cinta kepadamu, saya menjadi penasaran dan
melakukan pengejaran. Tak mungkin keduanya menjadi milikmu, tentu seorang di
antara mereka akan kau tolak cintanya dan di situlah terbuka harapan dan
kesempatanku, Taihiap. Tak perlu kupungkiri lagi, saya mencinta kedua orang
nona itu dan hanya kalau seorang di antara mereka dapat menjadi isteri saya,
hidup saya akan bahagia.”
Mulut di
wajah yang pucat itu tersenyum, senyum yang mengandung iba hati. Alisnya
berkerut, kemudian dia membukakan daun pintu lebar-lebar sambil berkata, “Dua
orang nona yang kau cari sudah tidak ada lagi, Suma Hoat. Yang ada tinggal
inilah!”
Suma Hoat
memandang ke dalam dan matanya terbelalak. Di dalam ruangan itu terdapat tiga
buah arca dari batu pualam yang amat indah sekali seolah-olah hidup dan
bernapas! Arca tiga orang yang amat dikenalnya. Yang berdiri di tengah adalah
arca Kam Han Ki sendiri, akan tetapi sayang arca itu bercacat, berlubang dua
buah di dahinya, karena dalam kedukaannya tadi Han Ki telah menusuknya dengan
dua buah jari tangannya. Di sebelah kanan, yaitu di pinggir kiri arca pria itu,
adalah arca Khu Siauw Bwee, cantik jelita, bertubuh ramping dengan wajah yang
lemah-lembut, akan tetapi anehnya, sebelah kaki arca itu buntung! Ada pun arca
ke tiga yang berdiri di sebelah kanan arca Han Ki, adalah arca Maya yang amat
cantik dan agung, tanpa cacat, tidak seperti dua arca yang bercacat itu.
“Apa... apa
maksudmu? Di mana mereka? Apa yang telah terjadi?” Hati Suma Hoat merasa tidak
enak sekali, apa lagi ketika dia teringat akan keadaan Kam Han Ki yang dihimpit
kedukaan dan teringat akan isi sajak-sajak tadi.
Kam Han Ki
menutupkan kembali daun pintu, kemudian memberi isyarat dengan tangan, mengajak
Suma Hoat keluar dari istana. Setelah tiba di luar istana, dia mempersilakan
Suma Hoat duduk di atas batu hitam yang biasa dipergunakan sebagai tempat
berlatih sinkang. Setelah mereka berdua duduk, dengan suara yang halus dan
tenang, seolah-olah semua kedukaan telah dihabiskan dalam sajak-sajak tadi, Kam
Han Ki lalu menceritakan betapa dia pun dipermainkan badai dan terlambat
mendarat sehingga tidak berhasil mencegah terjadinya peristiwa yang amat
mengerikan, yaitu Maya dan Khu Siauw Bwee saling bertanding. Maya terluka
pundaknya dan Khu Siauw Bwee buntung kakinya, kemudian kedua orang dara itu
terjun ke bawah, ditelan gelombang yang amat buas di waktu badai mengamuk.
Wajah Suma
Hoat menjadi pucat sekali, matanya terbelalak, mulutnya ternganga dan sampai
lama dia tidak dapat mengeluarkan kata-kata. Tanpa disadarinya, dari kedua
pelupuk matanya mengalir air mata yang turun perlahan-lahan di sepanjang kedua
pipinya.
“Jadi...
me... mereka... telah tewas...?” Akhirnya dia dapat bertanya dengan suara
terengah-engah.
Kam Han Ki
menggeleng kepalanya. “Hanya Thian yang mengetahuinya. Akan tetapi dapat engkau
bayangkan kalau orang yang terluka melempar diri ke dalam gelombang di waktu
badai mengamuk...”
“Ahhhh...!”
Suma Hoat mengeluh, tak dapat menahan air matanya dan diusapnya air mata dengan
ujung lengan bajunya yang koyak-koyak pula karena keadaannya tidak lebih baik
dari Kam Han Ki setelah dipermainkan gelombang seperti itu. Dia tahu bahwa
sudah pasti sekali kedua orang itu tewas. Dia sendiri yang tidak terluka, yang berperahu,
hampir mati dan hanya karena keajaiban saja dia masih hidup. Apa lagi dua orang
dara yang terluka, lebih-lebih Khu Siauw Bwee yang sebelah kakinya buntung,
yang melempar diri begitu saja di dalam gelombang!
”Mengapa...?
Kam-taihiap, mengapa mereka saling bertanding? Mengapa pula mereka melempar
diri ke dalam gelombang badai? Mengapa...?” dia berteriak penuh penasaran.
”Urusan
mereka sendiri, Suma Hoat. Bukan urusanmu dan kiranya tidak ada gunanya kau
ketahui juga,” Han Ki berkata tenang dan tegas.
“Urusan
mereka adalah urusanku juga, Taihiap! Saya mencinta mereka, saya rela
mengorbankan nyawa untuk mereka. Saya harus mengetahui mengapa mereka melakukan
hal itu!”
Kam Han Ki
memandang wajah orang muda itu sambil tersenyum penuh pengertian, lalu berkata,
“Andai kata kau ketahui juga, apa gunanya? Yang terpenting adalah untuk
mengetahui isi hatimu sendiri, mengetahui keadaan dirimu sendiri. Engkau
berkali-kali menyatakan bahwa engkau cinta kepada mereka, namun sebenarnya
bukan, Suma Hoat. Engkau tidak mencinta mereka, tidak mencinta siapa-siapa,
kecuali mencinta dirimu sendiri. Itu pun cinta dangkal yang hanya ingin melihat
diri sendiri, ingin mencapai kehendak hati mempersunting si cantik yang
menggairahkan hatimu. Setelah kini dua orang dara yang kau rindukan tidak ada
lagi, engkau menjadi kecewa dan berduka, yang sesungguhnya hanya sedikit
selisih dan bedanya dengan keadaanmu apa bila engkau memperoleh seorang di
antara mereka karena kulihat tidak ada cinta dalam hatimu, melainkan cinta
birahi belaka!”
Suma Hoat
menjadi merah mukanya, bukan merah karena marah melainkan karena malu. Betapa
pun menyakitkan kata-kata itu baginya, namun harus diakui bahwa memang seperti
itulah kenyataannya. Betapa pun juga dia merasa penasaran dan bertanya, “Tentu
saja cinta mengandung sifat-sifat seperti itu, Taihiap. Kalau tidak ada nafsu
ingin memperoleh, ingin bersatu dan berdamping menghilangkan rindu, bukanlah
cinta namanya dan mana ada laki-laki dan wanita bersuami isteri?”
Kam Han Ki
menghela napas panjang. Kedukaan hebat yang menimpanya ketika badai mengamuk
mendatangkan perubahan luar biasa pada diri pendekar ini, seolah-olah mata
batinnya terbuka dan dia melihat kenyataan-kenyataan yang selama ini tidak
dilihatnya. Kenyataan hidup yang penuh duka dan sengsara, yang kesemuanya
timbul karena kekurang-sadaran manusia, yang tercipta oleh keadaan hidup
manusia sendiri.
Sebelumnya
terjadi peristiwa mengerikan itu memang hatinya sudah mulai terbuka, maka dia
pun ragu-ragu untuk memilih Siauw Bwee yang dicintanya karena maklum bahwa
pemilihan itu hanya terdorong oleh rasa sayang diri dan akibatnya akan membikin
kecewa dan sengsara hati Maya. Namun, sekarang, dia mulai mengerti hal-hal yang
selama ini tidak disadarinya.
“Suma Hoat,
cinta yang mengandung kehendak ingin menguasai, ingin memiliki bukanlah cinta
yang sejati. Karena menguasai dan memiliki hanya akan menimbulkan pertentangan
dan persoalan batin, hanya menimbulkan kecewa dan sengsara kalau yang dikuasai
dan dimiliki itu kemudian bersikap tidak sesuai dengan yang kita kehendaki.
Bukanlah cinta yang sejati kalau bersyarat, kalau menuntut balas jasa,
menghadapkan hal-hal yang menyenangkan hatinya sendiri. Cinta macam itu akan
menimbulkan cemburu, iri hati, dengki, amarah dan mungkin berbalik menjadi
benci. Padahal di mana ada cemburu dan lain-lain itu, apa lagi benci, di sana
tidak mungkin ada cinta!”
Suma Hoat
melongo memandang Kam Han Ki, kemudian menggeleng kepala sampai lama dan
berkata, “Aihhh... aku menjadi bingung, Taihiap... aku harus merenungkan
kata-katamu itu... aku tidak mengerti...”
“Apa bila
rasa sayang diri masih melekat kuat di dalam pikiran, memang sukarlah untuk
menjadi waspada, sukar untuk memandang dan melihat sesuatu sebagaimana adanya,
karena kecenderungan pandangan dikuasai oleh pertimbangan demi kesenangan dan
kepentingan diri pribadi. Sudahlah, Suma Hoat. Karena engkau sudah berada di
sini, engkau boleh tinggal di pulau ini selama yang engkau suka, hanya pesanku,
harap engkau jangan merusak dan mengganggu istana dan isinya.”
“Terima kasih
atas kebaikan Taihiap. Memang saya merasa senang sekali tinggal di sini.
Setelah kedua orang nona itu lenyap, hidup tiada artinya bagi saya. Kembali ke
dunia ramai hanya akan berarti mengumbar hawa nafsu birahi belaka. Saya akan
bertapa di sini menjauhkan diri dari dunia ramai, hidup sederhana dan melupakan
wanita!”
Kam Han Ki
sudah membalikkan tubuhnya hendak memasuki istana, akan tetapi mendengar ucapan
itu, dia tersenyum dan menoleh, lalu berkata, “Apa artinya hidup di tempat
sunyi kalau pikiran dan hatinya masih gaduh dan ribut? Apa artinya hidup
sederhana ditandai pakaian, tempat tinggal dan makan sederhana kalau semua itu
hanya untuk menutupi hati yang membayangkan kemuliaan hidup? Apa artinya
menjauhkan diri dari wanita dan mencoba melupakannya kalau pikirannya masih
penuh dengan bayangan wanita? Yang perlu sekali dibebaskan adalah batinnya,
bukan lahirnya, Suma Hoat.”
Setelah
berkata demikian, Han Ki memasuki istana, meninggalkan Suma Hoat yang makin
bengong terlongong mendengarkan semua ucapan itu. Ia merasa seperti disiram air
dingin karena tiba-tiba dia melihat kebenaran nyata terkandung dalam semua
ucapan Kam Han Ki, kebenaran nyata menelanjangi keadaan hatinya seperti apa
adanya sehingga tak mungkin dapat dibantah lagi.
Selama
beberapa hari, Suma Hoat memulihkan kesehatannya akibat siksaan badai, kemudian
dia menjelajahi Pulau Es, bukan saja untuk memeriksa keadaan pulau yang menjadi
bahan dongeng ini, juga dengan harapan kalau dia akan bertemu dengan Maya atau
Siauw Bwee. Siapa tahu, dua orang dara itu, atau seorang di antaranya masih
hidup. Namun ada juga kengerian hatinya membayangkan mayat mereka yang akan
ditemukannya! Setelah mengelilingi pulau selama beberapa hari dan tidak melihat
bayangan dua orang dara itu, dia lalu kembali ke tengah pulau dengan niat
menemui Kam Han Ki.
Namun istana
Pulau Es itu telah kosong! Kam Han Ki tidak ada lagi di situ. Ketika Suma Hoat
memasuki ruangan yang indah di mana beberapa hari yang lalu dia bertemu dengan
Kam Han Ki, dia melihat tiga buah arca itu masih berjajar di situ. Dia mencari
dalam kamar-kamar lain, dan di kamar yang terbesar dia melihat betapa dinding
penuh dengan tulisan-tulisan indah berupa sajak-sajak yang mengandung kedukaan
di samping sajak-sajak mengenai hidup. Sajak yang terpanjang dan ditulis paling
indah membuat dia teringat akan suara Kam Han Ki ketika membaca sajak itu
dengan suara penuh duka, sajak yang dimulai dengan pernyataan keinginan hati
pria yang sedang dibuai asmara:
Betapa ingin
mata memandang mesra
Betapa ingin
jari membelai sayang
Betapa ingin
hati menjeritkan cinta...
Suma Hoat
menghentikan bacaannya karena kata-kata itu menusuk jantungnya, mengingatkan
dia akan kemesraan cinta dan kelembutan wanita. Dia memeriksa seluruh keadaan
istana itu dan mengagumi bangunan yang amat indah dan halus. Namun hatinya
berduka kalau teringat akan nasib buruk yang menimpa penghuni-penghuninya. Tiga
orang manusia sakti, kakak beradik seperguruan, menjadi cerai-berai oleh cinta
yang gagal! Dan dia sendiri, orang ke empat yang kini secara kebetulan berada
di Pulau Es dan memperoleh ijin untuk menghuni Istana Pulau Es, dia pun seorang
manusia gagal yang rusak oleh cinta gagal pula!
Dengan
penekanan mati-matian terhadap segala keinginan hati mudanya, Suma Hoat hidup
sendiri di Pulau Es, memperdalam ilmu-ilmunya dan terutama sekali melatih
Jit-goat Sinkang. Pulau Es merupakan tempat yang amat baik untuk melatih
sinkang, karena hawa udara di situ amat dinginnya. Untuk melawan hawa dingin
ini saja sudah merupakan latihan yang baik dan memperkuat daya tahan tubuhnya.
Bertahun-tahun lewat tanpa dia pedulikan dan tanpa disadarinya. Pemuda tampan
putera bangsawan yang sudah biasa hidup mewah itu hidup menyendiri di Pulau Es
selama empat lima tahun lamanya.....
**************
Kurang lebih
lima tahun kemudian, pada suatu pagi, kembali ada badai mengamuk dan air laut
naik sampai beberapa meter tingginya. Pulau Es tergetar dan terguncang hebat,
angin bertiup kencang membuat Suma Hoat yang gagah perkasa itu merasa ngeri
juga dan terpaksa dia menyelamatkan dan menyembunyikan diri ke dalam istana!
Karena angin benar-benar amat kuat, Suma Hoat bersembunyi di ruangan bawah
istana itu.
Sampai
sehari semalam badai mengamuk. Suma Hoat tidak dapat keluar dari ruangan bawah
karena tiupan angin menyerbu masuk ke dalam istana. Perutnya terasa lapar dan
ketika tiba-tiba muncul seekor ular dari sebuah lubang di lantai di ruangan
bawah tanah itu, Suma Hoat menjadi girang. Ular itu cukup besar, sebesar lengan
tangannya, berkulit merah dan kelihatan bersih sekali.
Sekali
melompat, Suma Hoat berhasil menangkap leher ular dan mencengkeram leher itu
sampai putus! Ular mati seketika, akan tetapi daging dan darahnya masih segar
ketika Suma Hoat yang kelaparan mengulitinya lalu memanggang daging ular di
dalam ruangan itu. Bau yang sedap gurih membuat perutnya makin kelaparan.
Dengan lahapnya dimakanlah daging ular itu sampai habis! Setelah perutnya
kenyang, Suma Hoat merebahkan diri dan tertidur pulas.
Dia mimpi
tidur di atas sebuah ranjang lebar dan indah dalam sebuah kamar mewah dan
berbau harum, ditemani oleh Coa Kim Hwa, Khu Siauw Bwee, dan Maya! Tiga orang
dara cantik jelita itu semua melayaninya dengan manja dan penuh kasih sayang.
Bukan main hebatnya kemesraan yang dinikmatinya itu, yang memeluk dan
menciuminya secara bergilir dan sama sekali tidak bersaing. Gairah ketiga orang
dara itu mendatangkan rasa panas sekali pada tubuhnya, membuat kepalanya
berputar rasanya dan matanya berkunang. Payah juga melayani tiga orang dara
yang begitu besar dan panas gairahnya. Rasa panas makin menghebat sehingga dia
terpaksa mendorong mereka ke samping dan terguling jatuh dari atas ranjang
lalu... sadar dari mimpi!
“Aughhhh...!”
Suma Hoat menggosok dahinya, kaget merasa betapa tangannya menjadi basah oleh
keringat yang memenuhi muka dan leher, bahkan ketika dia melihatnya, seluruh
tubuhnya berpeluh. Tubuhnya panas bukan main. Agaknya badai telah mereda, tidak
terdengar lagi hembusan angin ribut. Karena tidak dapat menahan panasnya, Suma
Hoat meloncat bangun, terhuyung-huyung dan lari ke luar.
Biar pun dia
telah berada di luar istana yang hawanya dingin, tetap saja dia merasa panas.
Bukan hanya panas yang menyiksa, melainkan terutama sekali nafsu birahi yang
mengguncangnya dan menguasainya. Nafsu birahi yang membuat dia membayangkan
semua wanita yang pernah dihubunginya, pernah diperkosanya, benar-benar membuat
dia makin tersiksa.
“Auhhh,
setan keparat! Iblis laknat! Ini tentu gara-gara daging ular merah! Celaka
sekali, daging itu mengandung racun perangsang birahi!”
Suma Hoat
cepat duduk bersila dan mengerahkan sinkang-nya untuk melawan rangsangan nafsu
birahi yang tidak sewajarnya itu. Namun racun ini benar-benar hebat sekali.
Terlalu banyak dia makan daging ular sehingga amat banyak pula racun yang
menguasai dirinya. Suma Hoat benar-benar tersiksa selama tiga hari tiga malam.
Andai kata
dia tidak berada di Pulau Es, di tempat yang sunyi dan kosong tidak ada manusia
lainnya, tentu dia sudah tidak dapat menahan, dan tentu dia sudah melakukan
kembali perbuatan yang menjadi penyakit lamanya, yaitu melampiaskan nafsunya
pada wanita yang mana saja, baik secara halus dengan bujukan mau pun secara
kasar dengan perkosaan! Dia menyumpah-nyumpah, bukan hanya memaki ular merah,
akan tetapi juga memaki-maki diri sendiri.
“Manusia
lemah! Manusia terkutuk! Bertahun-tahun bertapa, sekarang menghadapi racun yang
merangsang nafsu birahi saja tidak kuat bertahan! Aduhhh, benar ucapan Kam Han
Ki!” Sekarang dia melihat kenyataan ucapan itu, bukan dengan teori, bukan
dengan pemikiran, melainkan kenyataan yang dialaminya sendiri!
Menjauhkan
diri dari wanita bukan berarti dia akan dapat melenyapkan nafsu birahi karena
datangnya segala macam nafsu bukanlah dari luar, melainkan dari dalam diri
pribadi, dari pikiran sendiri! Andai kata dia berada di tengah-tengah antara
seribu wanita cantik, kalau pikirannya menerima kenyataan ini tanpa disertai
angan-angan pikiran membayangkan pengejaran kenikmatan demi si aku, tentu tidak
akan terjadi sesuatu, tidak akan timbul rangsangan yang tidak sehat. Sebaliknya,
biar pun berada di pulau kosong seperti keadaannya sekarang, kalau hatinya
masih mengenangkan dan membayangkan wanita, tentu saja nafsu birahi akan
timbul, baik dengan racun ular merah mau pun tidak!
Sambil
mengerahkan seluruh kekuatannya untuk menahan diri agar dia tidak menjadi gila
karena rangsangan nafsu, dalam keadaan tersiksa dan menyendiri itu timbul pula
perasaan jemu di hati Suma Hoat dengan pulau kosong ini. Memang patut
dikasihani Suma Hoat. Demikianlah halnya manusia yang belum terbuka mata
batinnya.
Batinnya
selalu diamuk pertentangan-pertentangan dalam diri sendiri. Nafsu yang sekarang
dikekang dan ditentang tidak akan hilang, sesaat kelihatannya dapat ditundukkan
akan tetapi di lain saat akan bangkit dan tak dapat dikendalikan lagi.
Keinginan untuk melenyapkan nafsu adalah nafsu itu sendiri dalam kedok lain.
Bagi seorang yang ingin belajar dan mengerti, seyogianya mempelajari dan
mengenal nafsu sendiri apa bila nafsu datang, menghadapinya dengan wajar,
meneliti dan waspada akan keadaan diri pribadi, lahir batin.
Hanya orang
yang belajar mengenal diri pribadi setiap saat, meneliti penuh kewaspadaan dan
kesadaran akan sikap diri pribadi terhadap segala sesuatu yang menimpa dirinya,
lahir mau pun batin, dia itulah yang akan terbebas dari nafsu, karena dia akan
terbebas pula dari keinginan akan sesuatu demi diri pribadi. Mengenal diri
pribadi, melihat dengan penuh kewajaran bahwa dirinya penuh dengan iri, dengki,
murka, benci, munafik, birahi, dan sebagainya berarti dimulainya pembebasan
akan semua itu.
Sayang
sekali Suma Hoat tidak mau mencari ke dalam, seperti sebagian besar manusia di
dunia ini. Setiap persoalan yang dihadapinya, manusia selalu menujukan pandang
matanya ke luar, mencari sasaran, mencari kambing hitam yang akan dipergunakan
sebagai penyebab persoalan. Andai kata manusia suka menujukan pandang matanya
ke dalam, mempelajari diri sendiri, sikap diri sendiri menghadapi persoalan
itu, maka setiap persoalan akan dapat diatasi tanpa menciptakan persoalan
baru...
Setelah
mengerahkan seluruh tenaganya melawan racun ular merah selama tiga hari, pada
pagi hari ke empatnya, pengaruh racun sudah mulai melemah, sama lemahnya dengan
tubuh Suma Hoat yang selama tiga hari tiga malam mengerahkan tenaga, tidak
tidur dan tidak makan. Selagi dia menghentikan perlawanannya terhadap racun,
bangkit berdiri dengan lemas dan hendak mencari makanan, tiba-tiba dia
mendengar suara mendesis-desis dari dalam istana.
Dia terkejut
dan heran. Cepat dia berlari masuk karena memang dia tadinya hendak mencari
bahan makanan yang banyak terdapat di gudang belakang. Mendadak ia terbelalak
dan mencelat ke belakang. Kiranya yang mengeluarkan suara mendesis-desis itu
adalah barisan ular merah yang banyak sekali jumlahnya, ada ribuan ekor
banyaknya, keluar dari dalam istana, dan ada pula yang merayap datang dari
belakang istana. Sukar dikatakan dari mana datangnya ular-ular itu, mungkin
dari bawah istana, mungkin juga dari pantai laut yang letaknya di belakang
istana.
Suma Hoat
terkejut dan pucat wajahnya. Menghadapi ribuan ekor ular beracun itu
benar-benar amat menjijikkan dan mengerikan. Dia lalu melompat dan melarikan
diri, menuju ke pantai di mana dia meninggalkan perahunya. Setelah dia menyeret
perahu ke pinggir laut, dia membalikkan tubuh memandang Pulau Es dan menarik
napas panjang berulang-ulang. Kemudian dia menghampiri sebongkah batu besar.
Dia mulai membuat goresan-goresan pada permukaan batu itu, menulis huruf-huruf
dengan tangan gemetar karena dia memang masih amat lemah sehingga huruf-huruf
yang ditulisnya itu kasar dan buruk jadinya.
Betapa
menjemukan ular salju merah itu! Aku datang ke sini untuk menjauhi wanita, dan
daging ular itu membuat aku menderita hebat! Dan hari ini, tiga hari kemudian,
pulau diserbu ribuan ekor ular salju merah, memaksa aku harus pergi. Keparat!
Pulau Es ini pulau terkutuk, agaknya tanah di bawahnya menjadi istana ular-ular
salju merah! Ataukah nenek moyangku yang terkutuk sehingga Suma Hoat tidak
berjodoh dengan Pulau Es?
Tulisan itu
dibuat oleh Suma Hoat untuk menyatakan penyesalan dan juga diharapkan sebagai
peninggalan pesan untuk Kam Han Ki mengapa dia meninggalkan pulau itu. Kemudian
Suma Hoat mendayung perahunya ke tengah dan mulailah dia meninggalkan Pulau Es
untuk kembali ke daratan yang diperkirakan berada di sebelah selatan atau barat
itu.
**************
Kegagalan
Suma Hoat di Pulau Es mulai dari kegagalan cinta sampai kegagalan menggembleng
diri, membuat penghidupan pendekar itu menjadi makin rusak! Setelah dia
berhasil mendarat, dunia kangouw menjadi gempar lagi dengan munculnya
Jai-hwa-sian yang selain amat tinggi ilmu kepandaiannya, juga amat berani.
Dalam
petualangannya yang jahat dan berbahaya Suma Hoat tidak mempedulikan anak dara
siapa saja yang disukai, baik dara puteri seorang pembesar tinggi, mau pun
puteri seorang ketua partai persilatan besar, anak murid partai besar, asal
bertemu dengan dia dan membangkitkan birahinya, tentu akan dibujuknya atau
dipaksanya!
Perbuatannya
ini membuat nama Jai-hwa-sian menjadi makin terkenal sehingga namanya sendiri
malah tidak dikenal orang. Selain itu juga mendatangkan banyak musuh karena
banyak orang-orang gagah ingin membasminya, dan banyak pula tokoh-tokoh persilatan
merasa sakit hati dan menaruh dendam karena murid wanita atau anak mereka
menjadi korban keganasan Jai-hwa-sian.
Namun sampai
belasan tahun Jai-hwa-sian merajalela, entah sudah berapa ratus orang gagah
yang roboh di tangannya, tidak mampu menandingi kelihaian Dewa Pemetik Bunga
ini. Selain lihai, juga Jai-hwa-sian tidak pernah tinggal lama-lama di sebuah
kota, di samping ini dia jarang memperlihatkan diri sehingga jarang ada orang
mengenalnya, kecuali para wanita korbannya yang sempat hidup setelah
diperkosanya. Namun mereka ini, untuk menjaga kehormatan dan nama sendiri,
tentu saja membungkam dan menyimpan rahasianya sampai mati.
Hampir semua
orang gagah di dunia kang-ouw memusuhinya, tentu saja ada pula yang
menganggapnya sebagai seorang pendekar yang gagah berani karena sesungguhnya,
sepak terjang Suma Hoat memang sebagai seorang pendekar. Di mana pun dia berada
dia selalu menentang kejahatan, membasmi gerombolan perampok, membela yang
tertindas dan sering kali membagi-bagikan harta benda yang dia rampas dari
sarang-sarang perampok. Akan tetapi, tentu saja semua perbuatan baik ini tidak
ada artinya karena dikotori oleh kesukaannya yang terkutuk, yaitu mendapatkan
setiap orang wanita yang menggerakkan hatinya, baik secara halus mau pun kasar!
Di antara
orang-orang gagah di seluruh dunia kang-ouw yang menganggapnya sebagai sahabat,
adalah Im-yang Seng-cu, tokoh pelarian Hoa-san-pai yang amat lihai itu. Sering
kali mereka berdua bersama-sama berjuang menghadapi gerombolan-gerombolan
penjahat yang kuat, dan di antara kedua orang ini terdapat kecocokan watak.
Namun semua nasehat Im-yang Seng-cu tidak dapat mengubah watak buruk, yaitu
kesukaannya memetik bunga dengan paksa! Kesukaan buruk inilah yang lagi-lagi
memisahkan mereka dan membuat hati Im-yang Seng-cu kecewa dan menyesal sekali.
Pada suatu
pagi, di dalam sebuah hutan di luar kota Lok-yang, di sebelah utara dekat
Sungai Huang-ho, terdengar jerit mengerikan seorang wanita di antara suara
beradunya senjata tajam dan teriakan-teriakan kesakitan. Kiranya sebuah
rombongan piauwsu (pengawal) yang mengantar pelancong dan pengawal
barang-barang berharga sedang bertanding melawan gerombolan perampok yang
hendak merampok barang dan menculik wanita.
Di dalam
sebuah kereta yang dikawal, terdapat seorang ibu dengan anak daranya yang
cantik. Jerit itu keluar dari mulut Si Dara yang menjadi ketakutan dan
berpelukan dengan ibunya yang menangis penuh rasa takut dan gentar. Sedangkan
ayah dara itu pun dengan muka pucat duduk sambil mengembangkan kedua lengan,
seolah-olah hendak melindungi anak isterinya dengan kedua lengan yang
dikembangkan itu!
Biar pun
rombongan piauwsu itu melakukan perlawanan sekuatnya, namun karena jumlah
mereka hanya dua puluh orang sedangkan perampok-perampok itu jumlahnya lebih
lima puluh, dikepalai oleh seorang raksasa tinggi besar bersenjata sepasang
ruyung yang mengerikan, akhirnya rombongan piauwsu itu tewas semua, termasuk
para pelayan dan kusir kereta. Mayat mereka bergelimpangan dan terbenam dalam
darah yang memenuhi tempat itu.
“Ha-ha-ha,
kumpulkan semua barang!” kepala rampok itu tertawa-tawa.
“Tai-ongya,
di dalam kereta terdapat seorang nona yang amat cantik!” seorang perampok
melapor sambil cengar-cengir.
“Ha-ha-ha, bagus.
Biar aku sendiri yang menangkapnya!”
Kepala
rampok itu melangkah lebar, menyingkap tirai jendela kereta dan nampaklah dara
remaja itu dipeluk ibu dan dijaga ayahnya! Sepasang mata kepala rampok itu
terbelalak penuh kagum, air liurnya menitik dan matanya menjadi merah, mulutnya
terkekeh genit.
”Heh-heh-heh,
manis. Marilah kupondong kau, kusenangkan kau... ha-ha!”
“Pergi!
Jangan ganggu anakku!” Ayah dara itu membentak, akan tetapi sekali saja kepala
rampok itu mengayun tangannya, laki-laki itu terlempar ke luar dari kereta!
“Jangan
ganggu anakku! Setan, perampok jahat...! Tolooonnggg...!” Ibu dara itu
menjerit, akan tetapi kembali tubuhnya terlempar ke luar dari dalam kereta
ketika didorong oleh kepala rampok yang sudah menyambar lengan Si Dara dan
ditarik lalu didekapnya. Dara itu menjadi pucat sekali, tubuhnya menggigil dan
tidak ada suara keluar dari mulutnya saking takut, hanya matanya terbelalak
seperti mata seekor kelinci yang ketakutan.
Karena ibu
dara itu pun belum tua benar dan memang cantik, begitu melihat dia terlempar
dari kereta sehingga bajunya tersingkap dan kelihatan bentuk dadanya yang masih
padat, seorang perampok segera menubruk dan menciuminya, hendak memperkosanya
di tempat itu juga, di dekat Si Suami yang mulai merangkak bangun sambil
memegangi lengan kiri yang patah tulangnya ketika dia terjatuh tadi!
“Bretttt!”
Perampok itu sudah merobek baju wanita itu dan Si Wanita selain meronta-ronta
juga menjerit-jerit, akan tetapi tentu saja dia tidak mampu melawan Si Perampok
yang jauh lebih kuat dan yang tertawa-tawa senang melihat korbannya melakukan
perlawanan itu.
Sementara
itu Si Dara jelita yang dipondong oleh kepala rampok menjerit-jerit dan
menggunakan kedua tangannya memukuli dada perampok itu, akan tetapi Si Kepala
Perampok tertawa-tawa bergelak dan membawa anak dara yang meronta-ronta itu ke
belakang semak-semak, diiringi gelak tawa anak buahnya.
Tiba-tiba
kepala rampok itu terbelalak ketika melihat seorang laki-laki secara aneh
sekali tahu-tahu telah berada di depannya. Seorang laki-laki berusia kurang
lebih empat puluh lima tahun, berpakaian mewah dan berwajah tampan, dengan
sepasang mata seperti mata setan, tajam mengerikan!
“Lepaskan
dara itu!” Laki-laki itu berkata dengan sikap dingin, suaranya memerintah,
seperti seorang bangsawan memerintah pelayannya saja.
Tahulah Si
Kepala Rampok bahwa dia berhadapan dengan seorang lawan yang hendak
menentangnya. Sambil tertawa dia melempar dara itu ke atas rumput, kemudian
berkata, “Kiranya masih ada yang belum mampus, keparat!”
Dia
menggerakkan ruyungnya, akan tetapi tiba-tiba tampak sinar berkelebat disusul
pekik Si Kepala Rampok yang melihat betapa lengan kanannya terbang bersama
ruyungnya, darah muncrat dari pangkal lengan kanan yang buntung!
“Singgg...”
crottt!” Kembali sinar berkelebat dan kini pangkal lengan kirinya yang buntung!
Si Kepala
Rampok menjerit mengerikan sebelum tubuhnya terjengkang rohoh, matanya
terbelalak dan ia berkelojotan dalam sekarat!
Karena para
perampok sedang sibuk dengan kesenangan masing-masing, membongkar-bongkar
barang berharga, mereka tidak melihat peristiwa aneh itu. Ketika Si Perampok
tengah berusaha memperkosa ibu Si Dara yang melakukan perlawanan keras,
tiba-tiba perampok itu memekik nyaring dan tubuhnya terlempar ke belakang,
lambungnya robek dan ususnya keluar.
Barulah para
perampok sadar bahwa ada seorang pengacau! Mereka cepat mengurung laki-laki
perkasa itu dan gegerlah mereka setelah ada yang melihat betapa kepala rampok
pemimpin mereka itu telah berkelojotan dengan kedua lengan buntung! Sisa
gerombolan perampok yang masih ada tiga puluh orang lebih itu kini mengurung
dan menyerbu laki-laki itu dan menghujankan senjata.
Akan tetapi
laki-laki itu memutar pedang yang berubah menjadi sinar bergulung-gulung,
tubuhnya berkelebat ke sana-sini dan terdengar teriakan-teriakan disusul
robohnya para perampok itu seorang demi seorang! Keadaan di tempat itu sungguh
mengerikan dan akhirnya, semua perampok roboh dan tewas, kecuali seorang yang
berusaha melarikan diri. Laki-laki itu menoleh ke arah perampok yang melarikan
diri, kakinya mencongkel sebatang golok yang terletak di atas tanah, menendang
dan terdengarlah jerit perampok itu yang roboh dengan golok menembus punggung!
Selesailah
pertandingan itu dan keadaan menjadi sunyi sekali, kecuali suara isak tangis
ibu dan anak yang saling merangkul, dan suara ayah Si Dara yang menghibur
mereka. Di sekeliling tempat itu penuh dengan mayat! Di tengah-tengah tempat
mengerikan itu, berdirilah laki-laki setengah tua yang tampan tadi, kini
tersenyum-senyum dan matanya ditujukan kepada Si Dara yang sedang menangis
bersama ibunya.
Ayah Si Dara
itu bangkit dan mengajak anak isterinya menghampiri pendekar itu, berlutut dan
memberi hormat. “Taihiap, kami sekeluarga menghaturkan banyak terima kasih atas
pertolongan Taihiap,” kata Si Ayah.
“Bangunlah,
sudah sepatutnya kalau aku menolong kalian, terutama sekali mengingat akan
puterimu. Semua ini berkat nasib puterimu yang amat baik,” terdengar pendekar
itu berkata.
Mendengar
suara yang halus itu, Si Dara mengangkat muka dan tiba-tiba kedua pipinya berubah
merah sekali. Tadi dia melihat wajah menyeramkan dari Si Kepala Rampok yang
hampir saja memperkosanya. Kini melihat wajah amat tampan dan gagah dari pria
yang telah menyelamatkannya, hati siapa yang tidak akan berdebar dan tertarik?
“Pertolongan
Inkong lebih berharga dari pada nyawa dan sampai mati pun saya tidak akan
melupakannya,” dara itu berbisik dengan suara mengandung isak karena bersyukur.
Laki-laki
perkasa itu membungkuk, menyentuh kedua pundak dara itu dengan sentuhan mesra,
menyuruhnya bangkit. “Aku pun merasa bahagia sekali dapat menyelamatkan dirimu,
Nona.”
“Taihiap,
kami adalah keluarga Kwa dari Tai-goan yang hendak pindah ke Lok-yang. Bolehkah
kami mengetahui nama besar Taihiap dan mempersilakan Taihiap singgah di tempat
kediaman baru kami?” kata pula Kwa Liok, ayah Si Dara itu.
“Namaku
adalah Suma Hoat, dan tentu saja saya suka singgah karena memang saya pun
hendak ke Lok-yang, sekalian akan saya kawani kalian sampai ke Lok-yang dengan
selamat. Silakan naik kereta, biar aku yang akan mengemudikannya.”
Ketika
keluarga yang terdiri dari ayah ibu dan anak itu sudah naik kereta, Suma Hoat
bertanya, “Milik siapakah barang-barang di dalam kereta kedua di belakang itu?”
“Bukan milik
kami Taihiap. Mungkin barang-barang kiriman yang dikawal oleh rombongan
piauwsu. Kami hanya ikut rombongan dengan membayar biaya pengawalan, kami
keluarga miskin tidak membawa barang apa-apa kecuali bungkusan-bungkusan dalam
kereta ini.”
Suma Hoat
mengangguk-angguk, meloncat ke belakang dan setelah memilih dan mengantongi
beberapa benda berharga dari emas permata, dia lalu kembali ke kereta, naik ke
tempat di depan dan mencambuk dua ekor kuda yang tadi ketakutan itu sehingga
dua ekor binatang itu membalap ke depan menarik kereta.
Setelah tiba
di rumah keluarga Kwa di Lok-yang, tentu saja Suma Hoat diterima sebagai tamu
agung, dihormati oleh suami isteri Kwa dan terutama oleh puterinya, Kwa Bi Kiok
yang benar-benar merasa kagum dan berhutang budi kepada penolongnya itu. Dara
ini memang cantik manis, maka tidaklah mengherankan apa bila timbul rasa suka
di hati Jai-hwa-sian terhadap gadis itu!
Seperti
biasa, begitu hatinya tergerak, begitu nafsunya terangsang, dia harus
mendapatkan gadis itu dan kebetulan sekali, terhadap Bi Kiok, Suma Hoat tidak
perlu mempergunakan kekerasan karena ketika pada malam harinya dia memasuki
kamar gadis itu, dia diterima dengan penuh kemesraan dan cinta kasih!
Sekali ini
tidak seperti biasanya, Suma Hoat jatuh hati terhadap Bi Kiok. Biasanya,
setelah gairah nafsunya terlaksana terhadap seorang wanita yang dikehendakinya,
dia tidak mau menengok lagi dan meninggalkan si korban begitu saja. Akan tetapi
entah mengapa, terhadap Bi Kiok dia tidak dapat bersikap demikian. Timbul rasa
cinta dan kasihan terhadap gadis ini, dan di dalam diri Bi Kiok dia seolah-olah
menemukan sesuatu yang dicari-carinya, bagaikan seekor burung yang gelisah
menemukan pohon yang cocok untuk berteduh seperti sebuah perahu menentukan
pangkalan yang tepat untuk berlabuh. Ataukah, mungkin juga dia menemukan cinta,
bukan hanya nafsu birahi seperti biasanya?
Malam hari
itu dia tinggal di rumah Kwa Bi Kiok, bahkan dia menghadiahkan semua
barang-barang berharga, perhiasan-perhiasan indah mahal kepada kekasih barunya
ini. Dia menjadi amat ‘jinak’, tidak pernah keluar rumah. Apa lagi setelah ayah
bunda Bi Kiok mengetahui akan hubungan antara penolong mereka dan puteri
mereka, peristiwa yang mereka sesalkan akan tetapi mereka tidak berani mencegah
atau melarangnya, Suma Hoat hidup di dalam rumah itu sebagai pengantin baru
dengan Bi Kiok yang ternyata amat mencintanya.
Makin
mendalam perasaan Suma Hoat terhadap Bi Kiok ketika tiga bulan kemudian
kekasihnya itu mengandung! Kalau saja dia tidak khawatir akan datangnya
mala-petaka, tentu dia akan menikah secara resmi dengan kekasihnya itu. Akan
tetapi betapa mungkin dia melakukan pernikahan? Begitu namanya tersiar, tentu
akan datang musuh-musuh besar yang selalu mencarinya, dan gadis yang menjadi
isterinya tentu akan dimusuhi pula.
Bahkan
sampai tiga bulan tinggal di dalam kota Lok-yang ini saja sudah merupakan hal
yang amat berbahaya dan belum pernah dilakukan sebelumnya. Biasanya dia selalu
berpindah-pindah, tidak lebih dari sepekan saja berada di sebuah kota. Akan
tetapi, karena Bi Kiok, dia kini telah tiga bulan berada di Lok-yang. Biar pun
selama tiga bulan itu dia tidak pernah keluar dari dalam rumah, apa lagi
melakukan perbuatannya sebagai Jai-hwa-sian, namun sudah amat berbahaya.
Pada suatu
malam, terjadilah apa yang dikhawatirkan oleh Jai-hwa-sian. Selagi tidur
bersama Bi Kiok yang pulas dalam pelukannya, dia mendengar gerakan yang
perlahan sekali di atas rumah! Dia menengok dan memandang wajah kekasihnya,
wajah yang cantik manis dan gemilang mengeluarkan cahaya cemerlang seperti
biasa wajah seorang wanita yang mengandung, tidur pulas dengan bibir tersenyum
penuh kepuasan dan kebahagiaan. Jantung Suma Hoat seperti ditusuk rasanya. Dia
mencinta wanita ini! Hati-hati sekali dia menarik lengannya yang dijadikan
bantal oleh kepala Bi Kiok, cepat mengenakan pakaian dan sekali berkelebat, dia
telah meloncat ke luar dari kamar membawa pedangnya.
Tepat
seperti apa yang diduga dan dikhwatirkannya, begitu tubuhnya melayang naik ke
atas genteng, lima orang telah menghadapinya!
“Jai-hwa-sian,
iblis keparat, serahkan nyawamu kepada kami!” seorang di antara mereka
membentak. Tanpa menanti jawaban, lima orang itu telah menerjang maju serentak
dengan senjata mereka.
Suma Hoat
tidak ingin mengagetkan kekasihnya, juga tidak ingin kekasihnya tahu akan
keadaan dirinya, maka dia hanya mengelak lalu melarikan diri untuk memancing
musuh-musuhnya itu melakukan pengejaran. Maka dia tidak berlari terlalu cepat
sehingga musuh-musuhnya mampu menyusulnya keluar dari kota Lok-yang.
Akan tetapi
yang mengejar Suma Hoat hanya empat orang, sedangkan orang ke lima, seorang
hwesio, telah melayang turun dan memasuki rumah keluarga Kwa. Kwa Liok telah
bangun karena kaget mendengar suara berisik tadi, dan melihat seorang hwesio di
situ, dia kaget dan heran sekali. Akan tetapi, hwesio yang berwajah tenang itu
segera berkata,
“Harap
engkau tidak kaget dan lebih baik kau lekas melihat keadaan puterimu. Pinceng
percaya bahwa engkau tentu mempunyai seorang gadis.”
Tentu saja
Kwa Liok bingung dan heran. Dia menangguk, menelan ludah dan berkata, “Memang,
Twa-suhu, kami mempunyai seorang anak perempuan, akan tetapi... mengapa...?”
”Lekas,
lihat ke dalam kamarnya!” Hwesio itu mendekat dengan alis berkerut karena dia
khawatir kalau-kalau Jai-hwa-sian telah memperkosa puteri tuan rumah ini.
Biar pun
ragu-ragu dan heran, Kwa Liok menghampiri kamar puterinya. Tiba-tiba muncul
isterinya yang menjadi pucat melihat seorang hwesio bersama suaminya
menghampiri kamar puterinya. Tanpa bertanya, dia ikut menghampiri kamar itu.
Pintu kamar ditekuk perlahan oleh Kwa Liok yang memanggil-manggil nama anaknya.
Tak lama
kemudian terdengar jawaban, “Ehmmm...? Siapa...? Eihh, ke mana perginya...?”
“Bi Kiok,
engkau tidak apa-apa?” Kwa Liok bertanya dan isterinya memandang bingung.
Daun pintu
terbuka dan Bi Kiok terkejut, cepat-cepat menutupkan bajunya yang terbuka
sedikit ketika melihat seorang hwesio bersama ayah bundanya. “Eh, ada apakah,
Ayah?”
”Omitohud...!”
Hwesio itu menarik napas panjang dan merasa lega. “Untung bahwa Tuhan masih
melindungi puterimu dari cengkeraman keji Jai-hwa-sian.”
Kwa Liok,
isterinya, dan Bi Kiok terkejut. “Jai-hwa-sian...?” Tentu saja mereka telah
mendengar nama penjahat yang ditakuti ini, dan Kwa Liok menyebut nama itu
dengan penuh pertanyaan.
“Ya, benar,
baru saja kami berlima menyerbu setelah mendengar kabar bahwa Jai-hwa-sian,
penjahat cabul yang kami cari-cari itu berada di rumah ini. Dia tadi telah
kabur dan dikejar teman-teman pinceng. Akan tetapi, melihat bahwa anakmu masih
selamat, sebaiknya sekarang juga kalian segera pergi dari tempat ini. Biasanya
kalau Jai-hwa-sian belum berhasil mendapatkan korbannya, dia akan penasaran dan
akan terus melakukan pengejaran.”
“Tapi...
tapi...” Kwa Liok tak dapat melanjutkan kata-katanya karena dia merasa bingung
sekali.
“Biar pun
teman-teman pinceng tadi mengejarnya, belum tentu mereka dapat menangkap atau
membunuhnya. Dia amat lihai dan kejam. Untung bahwa anakmu masih belum menjadi
korban, tadinya pinceng mengira dan mengkhawatirkan, seperti yang sudah-sudah,
anakmu sudah menjadi mayat.”
“Lo-suhu,
siapakah yang kau maksudkan dengan Jai-hwa-sian itu? Yang berada di sini sama
sekali bukan Jai-hwa-sian, melainkan... eh, suamiku... Suma Hoat, bukan
Jai-hwa-sian...” Bi Kiok yang mendengarkan dengan muka pucat ini tiba-tiba tak
dapat menahan hatinya dan berkata dengan tegas. Biar pun dia belum menikah
secara resmi dengan kekasihnya, namun Suma Hoat sudah dianggap sebagai suaminya
sendiri, maka kini mendengar suaminya dituduh sebagai Jai-hwa-sian, penjahat
cabul yang sudah terkenal di mana-mana, tentu saja dia tidak senang dan
membantah.
“Omitohud...
suamimu...? Apa artinya ini...? Suma Hoat adalah Jai-hwa-sian, Jai-hwa-sian
adalah Suma Hoat... haittt!” Tiba-tiba hwesio itu melempar tubuhnya ke belakang
untuk menghindarkan diri dari sambaran sebatang jarum yang datang dari atas.
Sambil bergulingan, hwesio itu memutar toyanya, kemudian melompat bangun dan
berhadapan dengan Suma Hoat yang telah meloncat turun.
“Jai-hwa-sian...!”
Hwesio itu membentak, matanya terbelalak penuh kaget dan heran mengapa orang
yang dikejar-kejar empat orang temannya tadi tahu-tahu telah muncul di situ.
“Hemmm,
agaknya engkau murid Siauw-lim-pai, ya? Nah, mampuslah seperti empat orang
kawanmu!”
Suma Hoat
menggerakkan pedangnya menerjang ke depan. Hwesio itu cepat menangkis dan
terjadilah pertandingan di dalam rumah keluarga Kwa. Ternyata hwesio itu bukan
tandingan Suma Hoat. Baru dua puluh jurus lebih saja, pundaknya terbabat pedang
dan toyanya terlepas. Hwesio itu meloncat ke luar dari rumah, melarikan diri.
“Engkau
hendak lari ke mana?” Suma Hoat membentak, akan tetapi tiba-tiba Bi Kiok
menubruk. Wanita ini memeluk dan menangis.
“Engkau...
engkau... benarkah engkau Jai-hwa-sian...?”
Suma Hoat
merangkul pundak kekasihnya, mengusap rambut yang awut-awutan itu dan menghela
napas. “Bi Kiok, kekasihku, dewi pujaan hatiku calon ibu anakku... siapa pun adanya
aku, engkau yakin bahwa aku mencintamu, bukan?”
Bi Kiok
mengangkat muka memandang wajah orang yang dicintanya itu, terisak, merangkul
leher memaksa muka Suma Hoat mendekat, lalu menempelkan pipinya pada pipi
kekasihnya. Sambil menangis dia hanya mengangguk-angguk, tak mampu menjawab
karena dia bingung sekali. Pria yang dipeluknya ini adalah laki-laki yang
dicintanya, benarkah orang yang dianggapnya paling mulia di dunia ini adalah
Jai-hwa-sian, penjahat cabul yang telah memperkosa ratusan orang wanita dan
membunuh korbannya secara keji? Benarkah ini? Sukar untuk mempercayai hal ini!
“Bi Kiok,
hwesio tadi benar. Aku memang Jai-hwa-sian, bekas penjahat cabul yang kejam.
Kukatakan bekas, karena setelah bertemu denganmu, aku tidak mau lagi melakukan
kejahatan itu. Dan hwesio tadi benar bahwa engkau dan ayah bundamu harus segera
pergi dari sini, malam ini juga. Bukan takut kepadaku, melainkan takut kepada
orang-orang kang-ouw yang memusuhiku. Kalau mereka tahu bahwa engkau telah
menjadi kekasihku, menjadi isteriku, menjadi calon ibu anakku, tentu engkau
akan terbawa-bawa, akan dimusuhinya pula. Sebentar lagi pun mereka tentu akan
menyerbu rumah ini. Bi Kiok, pergilah engkau.”
“Suma-koko...
aku mau mati di sampingmu...” Bi Kiok menangis.
“Suma-taihiap,
bagaimanakah ini...?” Kwa Liok akhirnya berkata dengan bingung.
”Apa yang
kalian dengar dari hwesio tadi benar semua. Malam ini juga, kalian bertiga
harus pergi dari sini. Saudara Kwa, bawa Bi Kiok pergi dari kota ini. Bawalah
pergi ke kota Han-tiong di lembah sungai di kaki Pegunungan Ta-pa-san. Temui
seorang tokoh kang-ouw bernama Im-yang Seng-cu, kau tanya-tanya di sana tentu
akan bertemu. Mintalah perlindungan kepadanya. Dia sahabat baikku, kalau
membawa surat ini tentu dia akan mellndungi Bi Kiok sampai Bi Kiok melahirkan,
dan sebelum itu aku akan berusaha untuk menyusul ke sana...”
Suma Hoat
menyerahkan sepucuk surat dan sebuah pundi-pundi. “Ini adalah uang emas untuk
bekal di perjalanan. Nah, berangkatlah...”
Kwa Liok
hanya mengangguk-angguk tak mampu menjawab saking bingungnya. Dia dan isterinya
lalu lari ke dalam kamar untuk berkemas, mempersiapkan barang yang kiranya
dapat mereka bawa melarikan diri. Akan tetapi Bi Kiok menubruk dan memeluk
kekasihnya sambil menangis. Sampai ayah bundanya datang lagi mengajaknya, dia
masih menangis sehingga terpaksa Suma Hoat melepaskan pelukannya dan setengah
diseret wanita itu dipaksa meninggalkan rumah di malam buta.
Suma Hoat
berdiri dengan jantung berdebar, ingin lari menyusul wanita yang tangisnya
masih terdengar olehnya, makin lama makin lirih itu. Semangatnya seperti
terbawa pergi, jantungnya seperti ditusuk-tusuk dan dia makin yakin bahwa dia
benar-benar mencinta Bi Kiok! Bukan cinta birahi, melainkan cinta seorang suami
terhadap isterinya, cinta seorang pria terhadap wanita yang akan menjadi ibu
anaknya!
Tiba-tiba ia
sadar dari lamunan ketika mendengar gerakan orang. Dia meloncat ke luar rumah
dan di depan rumah itu telah terdapat belasan orang mengurung! Suma Hoat
tersenyum mengejek, lalu berkata, “Apa kalian sudah bosan hidup? Mau apa kalian
mencari Jai-hwa-sian?”
“Jai-hwa-sian
iblis jahat. Kalau belum membunuhmu, sampai dunia kiamat kami orang-orang
kang-ouw akan selalu mencarimu!”
Suma Hoat
tertawa melengking dan meloncat ke depan, disambut oleh belasan batang senjata
yang mengeroyoknya hingga terdengar suara senjata beradu keras sekali. Suma
Hoat mengamuk dan setelah merobohkan lima orang lawan, dia terpaksa melarikan
diri karena para pengeroyoknya adalah orang-orang yang lihai ilmu silatnya,
sedangkan malam hampir berganti pagi. Dengan cepat dia melarikan diri ke luar
dari kota Lok-yang, menuju ke utara untuk memancing mereka menjauhi arah yang
ditempuh Bi Kiok dan ayah bundanya.
Setelah
dapat membebaskan diri dari para pengejarnya, Suma Hoat mengambil jalan memutar
menuju ke kota Han-tiong menyusul rombongan kekasihnya. Dia sengaja mengambil
jalan jauh dan memutar agar jangan sampai ada orang tahu tempat tinggal Bi Kiok
kalau-kalau ada yang melihat dan membayanginya.
Karena
perjalanan yang memutar ini, setelah tiga bulan barulah dia tiba di kaki
Pegunungan Ta-pa-san, memasuki kota Han-tiong dan mencari kekasihnya. Akan
tetapi hasilnya sia-sia. Keluarga Kwa Liok tidak berada di kota itu. Dia sudah
mencari ke sekeliling kota, sudah bertanya-tanya, akan tetapi tidak ada orang
yang tahu akan rombongan tiga orang itu! Akhirnya Suma Hoat bertemu dengan
Im-yang Seng-cu, sahabat lamanya yang tinggal di dalam pondok kecil di sebuah
hutan di luar kota Han-tiong.
“Aihhh,
Jai-hwa-sian, angin apa yang membawamu ke sini?” Im-yang Seng-cu cepat
menyambut sahabatnya itu dan menegur gembira.
Dengan
singkat Suma Hoat lalu menceritakan tentang pilihan hatinya yang baru, tentang
Bi Kiok dan orang tuanya yang disuruh melarikan diri ke Han-tiong karena dia
dikejar-kejar oleh musuh-musuhnya.
“Sudah lebih
dari tiga bulan mereka pergi, mestinya sudah berada di Han-tiong, akan tetapi
kucari-cari mereka tidak ada di sini, bahkan agaknya tidak pernah datang ke
Han-tiong. Jangan-jangan ada halangan di jalan...” Suma Hoat kelihatan gelisah
sekali memikirkan kekasihnya.
Im-yang
Seng-cu memandang heran. “Sahabatku, tidak kelirukah pendengaranku dan
penglihatanku bahwa agaknya engkau amat memperhatikan wanita yang kau cari
ini?”
”Memperhatikan?
Im-yang Seng-cu, aku mencintanya! Mencinta dengan seluruh tubuh dan nyawa!”
“Kau?
Mencinta? Ha-ha, Jai-hwa-sian, harap jangan mempermainkan aku! Di waktu muda
belia saja tidak pernah mengenal cinta, apa lagi setelah kini rambutmu mulai
ada ubannya!”
“Sungguh aku
tidak main-main. Aku telah menemukan cintaku, Im-yang Seng-cu. Dia adalah
wanita satu-satunya yang sampai kini berhasil merebut kasihku, menghentikan
semua petualanganku, dan... dan dia sudah mengandung. Dia isteriku, dan aku
harus dapat menemukan dia...! Ahhh, jangan-jangan dia tertimpa halangan. Aku
harus pergi sekarang juga!” Jai-hwa-sian akan meloncat bangkit dengan wajah
keruh dan penuh kekhawatiran.
“Eh-eh, ke
mana, sahabatku?”
“Aku harus
mencarinya. Dia dan ayah bundanya berangkat dari Lok-yang menuju ke sini, aku
akan menyelusuri jalan itu sampai ke Lok-yang. Sampai jumpa, sahabatku!”
Jai-hwa-sian meninggalkan Im-yang Seng-cu yang berdiri bengong di depan
pondoknya, menggeleng kepala dan menarik napas panjang.
“Aihhh...
sungguh kasihan. Makin tua makin terlibat urusan hati sendiri!” Im-yang Seng-cu
yang biasanya memang suka merantau menjadi tidak kerasan di pondoknya, dan
beberapa hari kemudian Im-yang Seng-cu juga meninggalkan pondok dan mengambil
jurusan ke Lok-yang karena dia merasa khawatir melihat sikap sahabatnya yang
dianggapnya tidak seperti biasa.
Kedatangan
kembali Suma Hoat ke Lok-yang sama dengan ular mencari penggebuk.
Musuh-musuhnya masih berada di Lok-yang dan masih mencari-carinya di sekitar
tempat itu. Maka begitu dia memasuki daerah ini, di luar kota dia sudah bertemu
dan dikepung belasan orang kang-ouw yang dipimpin oleh Ceng San Hwesio, seorang
tokoh besar dari Siauw-lim-pai yang telah dicalonkan menjadi ketua!
Ceng San
Hwesio ini adalah murid keponakan Kian Ti Hosiang dan karena dia dianggap
seorang calon yang kuat dan tepat, Kian Ti Hosiang yang sakti berkenan
menurunkan beberapa ilmu kepandaian kepadanya sehingga kini hwesio
Siauw-lim-pai ini memiliki tingkat ilmu silat yang hebat!
Sekilas
pandang saja tahulah Suma Hoat bahwa sekali ini dia harus menghadapi
pertandingan berat karena yang menghadangnya terdiri dari tokoh-tokoh
Siauw-lim-pai dan Hoa-san-pai, semua berjumlah empat belas orang dan dari sikap
mereka, para penghadangnya itu adalah orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian
tinggi. Akan tetapi kegelisahan hati dan kelakuannya karena kehilangan
kekasihnya membuat Suma Hoat tidak sempat memikirkan diri sendiri, bahkan
langsung dia bertanya,
“Kalian adalah
orang-orang Siauw-lim-pai dan Hoa-san-pai yang katanya terdiri dari orang-orang
gagah di dunia kang-ouw. Kalau kalian memusuhi Jai-hwa-sian, mengapa kalian
mengganggu seorang wanita yang tidak berdosa dan tidak tahu apa-apa?”
“Omitohud...!”
Ceng San Hwesio menggeleng-gelengkan kepalanya yang tidak berambut. “Engkau
sendiri telah melakukan dosa besar terhadap ratusan orang wanita yang tidak
berdosa, sekarang menuduh kami mengganggu seorang wanita! Jai-hwa-sian, apa
maksud kata-katamu itu?”
“Tidak perlu
berpura-pura atau menyangkal! Di dunia ini yang memusuhi Jai-hwa-sian adalah
orang-orang macam kalian ini! Sekarang isteriku lenyap, tentu kalian yang telah
menyembunyikan dan menculiknya. Kembalikan isteriku, baru aku akan dapat
mengampuni kalian!” Suma Hoat mencabut pedangnya.
“Siancai...
orang ini benar-benar tak tahu diri!” Seorang tosu Hoa-san-pai berseru marah.
Seruannya ini agaknya merupakan dorongan kepada mereka semua yang serentak
menerjang maju mengeroyok Suma Hoat.
Suma Hoat
terkejut juga. Benar dugaannya. Para pengeroyoknya ini tidak boleh disamakan
dengan para pengeroyok yang lalu. Selain pemimpin hwesio Siauw-lim-pai itu
lihai sekali, juga pemimpin orang-orang Hoa-san-pai adalah wakil Ketua
Hoa-san-pai, tentu saja memiliki kepandaian yang hebat pula. Namun dia sudah
marah sekali karena menduga keras bahwa kekasihnya tentu celaka di tangan
mereka ini, maka dia mengamuk seperti seekor naga terluka!
Namun jumlah
musuh terlalu banyak dan tingkat kepandaian Ceng San Hwesio dan wakil ketua Hoa-san-pai
terlalu tinggi, maka setelah melakukan perlawanan selama satu jam lebih, biar
pun dia berhasil merobohkan tiga orang dan melukai tiga orang lain lagi, dia
sendiri pun menderita luka parah di leher, pundak dan lambungnya! Dengan
luka-luka berat, Suma Hoat terpaksa melarikan diri, dikejar-kejar oleh para
pengeroyoknya.
Akan tetapi
hujan jarum beracun yang disebarkan oleh Suma Hoat membuat para pengeroyok dan
pengejar itu terpaksa menunda pengejaran dan Suma Hoat berhasil lolos dan
menghilang ke dalam hutan yang lebat. Maklum akan kelihaian Jai-hwa-sian dengan
senjata-senjata rahasianya, Ceng San Hwesio dan kawan-kawannya tidak berani
melakukan pengejaran terus, melainkan kembali ke tempat tadi untuk mengurus dan
merawat teman-teman yang terluka dan tewas.
Luka-luka
yang diderita oleh Suma Hoat amat parah. Dia lelah sekali dan tiga luka di
tubuhnya amat nyeri, juga terlalu banyak mengeluarkan darah. Ini semua masih
tidak sehebat derita yang terasa di hatinya yaitu akan kenyataan bahwa
kekasihnya, Kwa Bi Kiok, calon ibu anaknya telah lenyap! Penderitaan lahir
batin ini membuat Suma Hoat tergelimpang di dalam hutan dalam keadaan pingsan!
Ketika
Jai-hwa-sian siuman kembali dan membuka matanya, ternyata Im-yang Seng-cu telah
berlutut di dekatnya dan luka-luka di tubuhnya telah diobati oleh sahabat itu.
”Luka-lukamu
hebat sekali, engkau perlu beristirahat. Terlalu banyak engkau kehilangan
darah,” Im-yang Seng-cu berkata.
“Musuh-musuhku...
terlalu lihai... terutama hwesio Siauw-lim dan tosu Hoa-san itu...”
Im-yang
Seng-cu mengangguk dan menarik napas panjang. “Sayang sekali engkau tak pernah
menghentikan kesenangan yang sesat sehingga engkau dimusuhi orang-orang gagah
di dunia kang-ouw. Tentu saja mereka itu lihai karena hwesio itu adalah tokoh
Siauw-lim-pai calon ketua, namanya Ceng San Hwesio. Ada pun tosu tua itu adalah
paman guruku, Thian Cu Cinjin, juga calon ketua Hoa-san-pai!”
Suma Hoat
terkejut. “Aahhh... pantas kalau begitu... aku tidak penasaran terluka parah...
akan tetapi, tidak mengapalah, yang memusingkan aku adalah lenyapnya Bi
Kiok...” Ia berhenti sebentar dan menerima air yang diminumkan oleh Im-yang
Seng-cu. “Tentu dia celaka di tangan mereka yang memusuhiku.”
“Tidak,
Jai-hwa-sian. Aku pun sudah membantumu melakukan penyelidikan. Tidak ada tokoh
kang-ouw yang mengganggu kekasihmu dan ayah bundanya. Aku percaya kalau mereka
itu sengaja melarikan diri darimu, entah bersembunyi di mana.”
“Tidak
mungkin! Bi Kiok mencintaku! Tidak mungkin dia lari dariku!” Suma Hoat berkata
penuh semangat dan kepercayaan.
“Gadis itu
mungkin mencintamu dan tidak akan meninggalkan, akan tetapi orang tuanya? Orang
tua manakah yang akan senang mempunyai mantu Jai-hwa-sian yang lebih terkenal
jahat dan keji? Tentu mereka tidak rela puterinya menjadi isteri Jai-hwa-sian
dan telah melarikan dan menyembunyikannya.”
“Kalau
begitu, akan kubunuh mereka, dan kurampas Bi Kiok!”
Im-yang
Seng-cu menghela napas panjang. “Itulah yang menyedihkan hatiku, sahabatku.
Engkau seorang yang gagah perkasa, akan tetapi dalam hal satu ini, engkau
seorang yang amat lemah dan kelemahanmu membuat engkau mudah saja berubah
menjadi seorang iblis yang amat kejam!”
“Ahhhh...
akan tetapi dia adalah wanita yang kucinta, dan dia sudah mengandung...
anakku...” Suma Hoat terengah-engah dan memejamkan kedua matanya, merintih
penuh kedukaan dan penasaran.
Melihat ini
Im-yang Seng-cu merasa kasihan. Agaknya sahabatnya ini mulai memetik buah-buah
dari perbuatannya sendiri, buah-buah yang pahit getir.
“Biarlah aku
akan membantumu mencari Bi Kiok, akan tetapi yang terpenting sekarang,
luka-lukamu amat parah dan berbahaya, harus dirawat dan diobati lebih dulu.”
“Jangan pedulikan
aku, pergilah kau dan bantu aku mencari Bi Kiok. Im-yang Seng-cu, kalau kau
bisa menemukan dan mengembalikan Bi Kiok kepadaku, selama hidupku aku takkan
melupakan kebaikan budimu.”
“Tidak ada
budi antara sahabat. Aku akan membantumu, akan tetapi lebih dulu harus
dipikirkan keadaanmu. Kalau tidak mendapat rawatan yang baik, luka-luka ini
bisa menyeret nyawamu. Apa artinya aku berhasil menemukan Bi Kiok kalau engkau
mati karena luka-luka ini?”
Tiba-tiba
Suma Hoat memegang tangan sahabatnya. “Aku harus bertemu dengan ayahku. Aku
telah berdosa besar kepadanya. Aku seorang anak yang tidak berbakti. Bawalah
aku kepada Ayah, engkau tahu dia di mana, bukan? Aku mendengar dia kini berada
di Tai-hang-san...”
Im-yang
Seng-cu mengangguk. “Baiklah, aku pun pernah mendengar bahwa ayahmu itu kini
menjadi pertapa di puncak In-kok-san, di Pegunungan Tai-hang-san.” Im-yang
Seng-cu lalu memondong tubuh sahabatnya dan dibawalah Suma Hoat menuju ke
Tai-hang-san.
Sebetulnya,
apakah yang terjadi dengan diri Kwa Bi Kiok dan ayah bundanya? Tepat seperti
yang diperkirakan Im-yang Seng-cu, tidak ada sesuatu menimpa diri wanita muda
ini, karena mereka itu memang tidak memenuhi permintaan Suma Hoat dan tidak
melarikan diri ke kota Han-tiong. Ketika mendapat kenyataan bahwa puterinya
menjadi kekasih Jai-hwa-sian, Kwa Liok menjadi terkejut, menyesal dan penasaran
sekali. Jai-hwa-sian adalah seorang penjahat yang sudah terkenal keganasannya,
tukang perkosa dan tukang bunuh wanita. Mungkin sekarang, sebelum bosan,
anaknya dicinta, akan tetapi siapa tahu kalau penjahat itu sudah bosan? Tentu
anaknya akan dibunuh, dan dia bersama isterinya tentu tidak akan terluput dari
kebinasaan!
Di samping
ngeri akan kemungkinan menjadi korban kekejaman Jai-hwa-sian ini, juga andai
kata dia membiarkan anaknya menjadi isteri Jai-hwa-sian, tentu selamanya
anaknya akan menjadi korban pula kalau Jai-hwa-sian akhirnya terbunuh oleh
orang-orang gagah dan pemerintah yang sudah lama mencari-cari penjahat itu.
Karena pikiran inilah, biar pun Bi Kiok mengeluh dan menangis minta diantar ke
Han-tiong, Kwa Liok tetap memaksa anak dan isterinya untuk melarikan diri ke
lain jurusan, yaitu jauh ke selatan, menuju ke kota Nan-king!
Rombongan
ini tidak kepalang-tanggung dalam usaha mereka menjauhkan diri karena mereka
lari jauh sekali, sampai memakan waktu berbulan-bulan dan Kwa Liok yang cerdik
telah mengganti nama dan nama keturunan mereka untuk menghilangkan jejaknya.
Akhirnya, Kwa
Liok bertempat tinggal di kota kecil Kam-chi dekat Nan-king. Kepada para
tetangga barunya dia mengatakan bahwa puterinya adalah seorang janda, ditinggal
mati suaminya yang bernama Sie Hoat. Setelah Bi Kiok melahirkan seorang anak
laki-laki, Kwa Liok memberinya nama Sie Bun An dan semenjak kecil Sie Bun An
ini dijauhkan dari segala yang berbau silat! Sie Bun An tumbuh besar dalam
didikan bun (sastra) dan sama sekali buta silat!
Demikianlah,
Bi Kiok lenyap dari kehidupan Suma Hoat dan tak mungkin dapat dicari lagi. Ada
pun Suma Hoat sendiri, yang masih amat lemah tubuhnya, diantar oleh Im-yang
Seng-cu.
Seperti
telah diceritakan di bagian depan, Suma Kiat bekas panglima besar yang menjadi
buronan karena persekutuan dengan pihak Yucen itu melarikan diri bersama
selirnya yang tercinta, Bu Ci Goat dan muridnya yang setia, Siangkoan Lee,
menuju ke Tai-hang-san. Di puncak In-kok-san yang indah, mereka mendirikan
rumah dan hidup cukup mewah karena ketika pergi mereka tidak lupa membawa
banyak harta benda.
Suma Kiat
sudah tua sekali, akan tetapi masih mendelik marah ketika Im-yang Seng-cu
membawa Suma Hoat menghadap. “Aku tidak mempunyai anak bernama Suma Hoat!”
bentaknya. “Im-yang Seng-cu, kalau tidak mengingat mendiang gurumu, Tee Cu
Cinjin yang menjadi sahabatku, tentu engkau sudah kubunuh sekarang juga, berani
lancang membawa manusia ini menghadapku!”
Mendengar
ucapan ayahnya itu, Suma Hoat yang masih lemah itu merasa berduka sekali, akan
tetapi dia tetap berlutut dan tidak berkata apa-apa. Sebaliknya Im-yang Seng-cu
menjadi penasaran. Dia sudah mengenal baik Suma Kiat yang dahulu menjadi
sahabat suhu-nya, bahkan dahulu di waktu dia masih kecil, kalau Suma Kiat
mengunjungi gurunya, Suma Kiat bersikap baik kepadanya dan memperlihatkan rasa
sayang besar. Akan tetapi dia pun maklum siapa adanya Suma Kiat, seorang yang
selalu haus akan kedudukan dan kemuliaan, seorang yang tidak segan-segan
melakukan kekejaman apa pun demi tercapainya cita-citanya mengejar kemuliaan.
“Suma-locianpwe,”
katanya dengan berani. “Suma Hoat adalah putera tunggalmu, sekarang sedang
menderita luka parah dan perlu perawatan khusus. Saya tidak percaya bahwa
Locianpwe akan tega membiarkannya menghadapi ancaman maut. Andai kata dia telah
melakukan kesalahan-kesalahan terhadap Locianpwe, saya mohon sudilah kiranya
memaafkan putera sendiri.”
“Tutup
mulut! Sudah kukatakan bahwa aku tidak mempunyai anak yang bernama Suma Hoat!
Im-yang Seng-cu, aku dahulu menyayangmu di waktu engkau kecil karena engkau
seorang anak baik yang tidak pernah menentangku, akan tetapi kalau sekarang
engkau hendak menentangku, terpaksa aku akan menggunakan kekerasan mengusirmu
dari sini!”
Tiba-tiba
terdengar suara tertawa melengking nyaring disusul suara seorang wanita, “Bagus
sekali, dasar manusia jahat seperti iblis, anak sendiri pun dikutuknya!”
“Maya...!”
Tiba-tiba Suma Hoat yang berlutut berusaha melompat, akan tetapi roboh kembali
karena tubuhnya masih lemah dan menderita pukulan batin mendengar ucapan
ayahnya tadi yang benar-benar membuat hatinya makin remuk. Im-yang Seng-cu
cepat memeluknya dan dengan mata terbelalak melihat betapa ada bayangan
didahului sinar berkelebat menyambar ke arah tubuh Suma Kiat!
Kakek yang
masih lihai sekali ini sudah mencabut pedangnya menangkis. Terdengar suara
keras dan pedang di tangan Suma Kiat patah, tubuhnya roboh dan kembali bayangan
itu berkelebat ke luar.
“Keparat,
hendak lari ke mana?” Siangkoan Lee dan Bu Ci Goat meloncat dan mengejar, akan
tetapi baru sampai di pintu, kedua orang ini roboh dan bayangan itu berkelebat
ke luar meninggalkan suara melengking dan mengerikan!
Bu Ci Goat
yang lihai itu telah berhasil bangun lebih dulu dari pada Siangkoan Lee yang
merangkak dan terengah-engah karena pukulan jarak jauh yang yang tadi membuat
dadanya sesak. Bu Ci Goat cepat menghampiri suaminya dan terkejut melihat
goresan pedang melukai leher dan dada suaminya.
Suma Kiat
dipapah bangun, duduk di kursinya dan ketika melihat Suma Hoat, bangkit lagi
kemarahannya, seolah-olah anaknyalah yang mendatangkan malapetaka itu.
Telunjuknya menuding, "Pergi... Pergi kalian dari sini...!"
Im-yang
Seng-cu mengerutkan alisnya, mengempit tubuh temannya dan membawanya ke luar.
Anak murid In-kok-san yang berbaris di depan hanya memandang bengong. Mereka
tidak berani mencampuri dan tadi ketika ada bayangan berkelebat cepat, mereka
pun tidak dapat berbuat sesuatu.
Bu Ci Goat
dan Siangkoan Lee cepat merawat Suma Kiat. Akan tetapi, biar pun serangan
pedang itu mendatangkan luka yang tidak berapa berat, serangan batin karena
munculnya Suma Hoat lebih hebat dan membuat kakek ini jatuh sakit lagi, tidak
mampu meninggalkan pembaringannya.
Im-yang
Seng-cu membawa Suma Hoat pergi dan berhenti di sebuah lereng puncak pegunungan
itu. Suma Hoat mengeluh minta diturunkan, lalu berkata, ”Im-yang Seng-cu,
apakah engkau melihat dia tadi?”
Im-yang
Seng-cu menggeleng kepalanya. “Orang itu gerakannya luar biasa sekali. Aku
hanya tahu bahwa dia seorang wanita, entah tua ataukah muda, namun kecepatannya
luar biasa sehingga aku tidak dapat mengenalnya. Tentu dia seorang yang sakti
dan musuh Suma Kiat.”
“Dia adalah
Maya... penghuni Pulau Es...”
Im-yang
Seng-cu terkejut bukan main.
“Akan
tetapi... mungkin hanya rohnya saja... dia... dia sudah mati...”
Mendengar
ini, Im-yang Seng-cu makin bingung dan meraba dahi sahabatnya. “Engkau panas
lagi. Harap jangan pikirkan apa-apa dan beristirahatiah.”
“Im-yang
Seng-cu, engkau satu-satunya sahabatku. Kau penuhilah permintaanku. Kau
tinggalkan aku di sini dan pergilah kau cari Bi Kiok.”
“Akan tetapi
engkau perlu perawatan,” Im-yang Seng-cu membantah.
Tiba-tiba
terdengar jawaban seorang wanita, “Biarlah aku yang akan merawatnya, Im-yang
Seng-cu.”
Im-yang
Seng-cu menengok dan melihat bahwa Bu Ci Goat, selir yang lihai dari Suma Kiat
telah berdiri di situ. Biar pun usianya sudah lima puluhan tahun, namun wanita
itu masih tampak cantik dan pakaiannya mewah.
“Jangan kau
kawatir, biar pun ayahnya membencinya, aku tidak. Kau pergilah memenuhi
permintaannya, aku yang akan merawatnya di sini.”
Im-yang
Seng-cu masih ragu-ragu, menoleh kepada sahabatnya. Suma Hoat mengangguk dan
berkata lemah, “Pergilah dan cari dia, Im-yang Seng-cu. Ibu tiriku akan
merawatku di sini.”
Legalah hati
Im-yang Seng-cu dan dia segera pergi meninggalkan sahabatnya bersama Bu Ci
Goat. Setelah Im-yang Seng-cu pergi, Bu Ci Goat berlutut di dekat Suma Hoat,
memeriksa keadaannya.
“Hemm,
kulihat engkau telah diobati dengan baik dan hanya perlu beristirahat. Eh, Suma
Hoat, siapakah adanya bayangan yang menyerang ayahmu tadi?”
Suma Hoat
menggelengkan kepalanya. “Aku tidak tahu...”
“Akan
tetapi, engkau tadi menyebut nama Maya...”
“Mungkin
dia, aku tidak yakin. Dia sudah mati ditelan badai... andai kata benar dia,
agaknya dia kaget dan takut dikenal olehku, maka dia pergi lagi. Untung bagi
Ayah...”
“Dia lihai
bukan main!”
“Dia penghuni
Pulau Es, tentu saja amat sakti...”
Mengingat
akan cinta kasihnya dahulu, Bu Ci Goat merawat Suma Hoat di lereng itu dan
menyuruh anak buahnya membangun sebuah pondok. Semua itu dilakukan secara
diam-diam tanpa diketahui oleh Suma Kiat yang juga jatuh sakit.
Setelah Suma
Kiat jatuh sakit, maka tampaklah betapa Siangkoan Lee merupakan seorang yang
pandai memimpin. Semua urusan berada di tangannya dan semua anak buah
In-kok-san yang telah dikumpulkan untuk menyenangkan hati gurunya amat tunduk
dan setia kepadanya. Juga ilmu kepandaian Siangkoan Lee menjadi hebat. Boleh
dibilang seluruh ilmu gerakan telah dia kuasai, dan biar pun dibandingkan
dengan Bu Ci Goat dia masih kalah setingkat, namun pada waktu itu, Siangkoan
Lee telah menjadi seorang yang sukar dicari lawannya.
Munculnya
Suma Hoat menimbulkan gairah cinta lama di hati Bu Ci Goat. Biar pun wanita ini
secara diam-diam telah memuaskan nafsunya dengan pelayan-pelayan pria yang
menjadi anak buah In-kok-san, namun begitu melihat Suma Hoat, timbul kembali
cintanya, maka dia lalu melakukan pengejaran dan berhasil menemukan Im-yang
Seng-cu dan Suma Hoat, bahkan dia lalu menawarkan diri untuk merawat anak tiri
yang pernah menjadi kekasihnya itu.
Akan tetapi
dia segera mengalami kekecewaan. Suma Hoat telah berubah banyak sekali. Suma
Hoat telah menjadi seorang yang sama sekali tidak mempedulikan bujuk rayunya,
bahkan dengan suara dingin bekas Jai-hwa-sian ini berkata, “Bu Ci Goat, harap
kau jangan menimbulkan lagi persoalan hanya untuk melampiaskan nafsu-nafsumu.
Hal pertama kali yang merenggangkan aku dengan Ayah adalah akibat perbuatanmu.
Ketahuilah, pada saat ini di dunia ini hanya ada seorang saja wanita yang
kucinta, dan aku telah bersumpah tidak akan menyentuh wanita lain kecuali dia!
Aku tidak dapat melayani hasratmu, dan engkau hendak merawatku atau tidak
setelah penolakanku ini terserah kepadamu!”
Tentu saja
Bu Ci Goat merasa malu sekali dan mundur teratur. Akan tetapi, demi kasih
sayangnya kepada Suma Hoat dia masih menyuruh beberapa orang anak buahnya
merawat dan memenuhi kebutuhan anak tirinya itu. Kemudian untuk memenuhi
kebutuhan nafsu birahinya yang selalu mendesak, mulailah dia menggoda Siangkoan
Lee yang biar pun rupanya buruk seperti seekor kuda, akan tetapi merupakan
laki-laki yang tidak pernah bermain gila dengan wanita sehingga keadaannya itu
membangkitkan birahi Bu Ci Goat yang merasa penasaran apakah dia tidak akan
dapat menjatuhkan hati pria yang berhati teguh ini!
Dan dia
berhasil. Akan tetapi, karena memandang rendah Suma Kiat yang sedang rebah dan
sakit, dua orang ini kurang hati-hati dan mereka berani mengadakan pertemuan di
dalam kamar Bu Ci Goat yang hanya berpisah dinding dengan kamar Suma Kiat. Pada
suatu hari, masih siang, kedua orang yang mabuk nafsu itu sedang berada di dalam
kamar, tidak tahu sama sekali bahwa Suma Kiat mendengar suara mereka, turun
dari pembaringan dan menghampiri pintu kamar Bu Ci Goat.
“Ci
Goat...!”
Suma Kiat
mendorong pintu, terbuka, dan memandang dengan muka pucat dan mata terbelalak
ke atas tempat tidur Bu Ci Goat di mana selirnya dan muridnya, dua orang yang
paling dicinta dan dipercaya, terbelalak penuh rasa kaget memandang kepadanya,
kehabisan akal! Tiba-tiba Suma Kiat mengeluh, menekan dada kiri dengan tangan
kanan, menyemburkan darah dari mulutnya, tubuhnya tergelimpang dan robohlah
kakek ini ke atas lantai!
Serangan
batin yang hebat ini tidak tertahan oleh tubuh yang lemah itu. Suma Kiat roboh
pingsan dan tidak sadar kembali. Setelah jenazahnya dimasukkan peti mati dan
dilakukan upacara sembahyang, Bu Ci Goat dan Siangkoan Lee yang berkabung,
menangis sedih di depan peti mati.
Suma Hoat
yang masih lemah datang juga untuk bersembahyang ketika mendengar bahwa ayahnya
meninggal dunia. Setelah bersembahyang, Suma Hoat menoleh kepada Bu Ci Goat,
berkata perlahan, “Apa gunanya setelah mati ditangisi?”
Ucapan itu ditujukan
kepada selir ayahnya yang dia tahu merupakan seorang isteri yang berhati palsu,
yang selalu menyeleweng, seorang isteri yang amat dicinta ayahnya, namun yang
sesungguhnya tidak patut mendapatkan cinta seorang suami. Akan tetapi tanpa
disengaja, teguran Suma Hoat itu membuat Siangkoan Lee menjadi marah sekali
karena dia merasa disindir. Sebelum melakukan hubungan rahasia dengan Bu Ci
Goat, dia merupakan seorang murid yang amat setia, dan dia memang selalu merasa
berhutang budi kepada gurunya itu. Kini mendengar ucapan Suma Hoat, dia bangkit
berdiri dan berkata,
“Mengapa
Suheng berkata demikian? Budi Suhu amat besar, sampai mati pun takkan terlupa
olehku. Biar pun Suhu bersikap marah kepada Suheng, akan tetapi Suheng adalah
puteranya, bagaimana berkata demikian? Apakah setelah Suhu meninggal, Suheng
hendak menunjukkan kekuasaan di sini menuntut warisan dengan kekeraaan?”
Menggigil
tubuh Suma Hoat saking marahnya mendengar ini. Tubuhnya masih lemah sekali,
akan tetapi kemarahan membuat matanya mendelik memandang Si Muka Kuda itu.
“Bedebah, kau sombong sekali, Siangkoan Lee! Engkau yang dahulu hanya seorang
pelayan, yang telah menerima budi semenjak kecil, kini berani bersikap kurang
ajar kepadaku? Apa kau kira aku takut kepadamu?”
Melihat ini
Bu Ci Goat cepat bangkit berdiri, “Harap kalian suka bersabar. Sungguh tidak
patut sekali ribut-ribut di depan peti mati!”
Suma Hoat
menarik napas panjang menyabarkan diri karena dia dapat memahami kebenaran
ucapan ibu tirinya itu. “Kalian dengarlah baik-baik. Biar pun aku putera Ayah,
namun Ayah sudah tidak mengakui aku sebagai puteranya. Aku pun tidak haus akan
warisan dan aku tidak akan menuntut dan tidak akan menguasai tempat ini. Bahkan
aku tidak sudi tinggal di In-kok-san, lebih baik tinggal di pondok yang
dibuatkan Bu Ci Goat. Itu pun hanya untuk sementara sambil menanti kembalinya
sahabatku.” Setelah berkata demikian, Suma Hoat pergi meninggalkan mereka dan
tidak pernah lagi datang sampai peti ayahnya dikubur.
Hatinya
menjadi makin risau dan tertekan. Dia merasa betapa hidupnya penuh dengan
kekecewaan dan kesengsaraan. Baru terbuka mata hatinya betapa selama ini dia
hidup sebagai seorang yang amat jahat. Tiap kali dia teringat akan semua
perbuatannya, diam-diam dia merasa menyesal sekali dan berjanji bahwa kalau
sampai dia dapat berkumpul kembali dengan Bi Kiok, dia akan menebus semua
kesalahannya, akan membahagiakan isterinya, anaknya, semua orang!
Akan tetapi,
beberapa bulan kemudian, Im-yang Seng-cu datang dengan wajah lesu dan dengan
suara berat mengatakan bahwa dia tidak berhasil menemukan Bi Kiok.
“Hanya ada
dua kemungkinan. Pertama, mereka itu tewas oleh gerombolan orang jahat yang
tidak terkenal sehingga tidak ada yang tahu. Kedua, mereka memang sengaja
menyembunyikan diri darimu dengan mengubah nama palsu dan pergi jauh sekali
dari sini.”
Akhirnya,
hanya berselisih setengah tahun dari kematian ayahnya, Jai-hwa-sian yang pernah
menggemparkan dunia persilatan itu meninggal dunia dalam rangkulan Im-yang
Seng-cu, satu-satunya orang yang mengenal betul hatinya, mengenal
kelemahan-kelemahan dan kekuatan-kekuatannya!
Dengan
sederhana sekali, tanpa dihadiri siapa pun, Im-yang Seng-cu mengubur jenazah
sahabatnya di lereng bukit, membuatkan batu nisan yang dipahatnya sendiri
dengan huruf-huruf:
MAKAM
JAI-HWA-SIAN SUMA HOAT
Kemudian dia
membakar pondok bekas tempat tinggal sahabatnya, dan meninggalkan lereng bukit
sambil bernyanyi! Memang Im-yang Seng-cu seorang manusia yang berwatak aneh
sekali, berbeda jauh dengan manusia biasa, bahkan kadang-kadang sikapnya
merupakan kebalikan dari sikap manusia biasa sehingga sering kali dia dianggap
berotak miring.
Apakah benar
bayangan yang menyerang Suma Kiat dahulu itu adalah Maya seperti yang
diteriakkan oleh Suma Hoat? Tidak ada seorang pun yang mengetahuinya. Yang
sudah jelas, bahwa Maya mau pun Khu Siauw Bwee tidak pernah muncul lagi di
dunia ramai, tidak pernah ada orang yang bertemu dengan seorang di antara
mereka.
Juga Kam Han
Ki lenyap dan sebagai gantinya, puluhan tahun kemudian, muncullah nama seorang
yang sakti dan aneh, seorang laki-laki yang membiarkan rambutnya riap-riapan,
tak pernah bersepatu, berpakaian sederhana dan tingkah lakunya seperti orang
gila. Dia disebut Koai-lojin (Kakek Aneh) karena tidak pernah memperkenalkan
namanya. Namun dia memiliki kesaktian yang tidak lumrah manusia.
Keanehannya
adalah serupa dengan keanehan Bu Kek Siansu si manusia dewa yang menjadi
dongeng di dunia kang-ouw. Koai-lojin juga menolong siapa saja, mencinta siapa
saja tanpa pilih bulu! Karena itu banyak sekali tokoh dunia persilatan yang
mendapat rezeki kebagian ilmu dari kakek sakti ini yang selalu memberi ilmu kepada
siapa saja yang memintanya.
Pembaca
tentu dapat menduga siapa adanya Koai-lojin ini. Dia bukan lain adalah Kam Han
Ki! Apakah dia dapat melupakan kedukaannya? Sukar untuk diketahui karena tak
mungkin untuk menanyakan hal itu kepada Koai-lojin yang jarang sekali muncul di
antara manusia.
Yang jelas,
duka sengsara harus dihadapi dengan wajar, dimengerti dengan jalan mengenal
diri sendiri. Kalau hanya dijauhi, dilupakan, takkan berhasil karena berhasil
melupakan duka yang satu, akan muncul duka yang lain. Yang penting mengenal
sumber dari segala duka di dalam diri sendiri.
Kalau sudah
mengenal diri sendiri, mengenal sumber segala duka maka apa yang oleh umum
disebut duka, bukanlah menjadi duka lagi baginya. Duka hanyalah hasil
angan-angan pikiran yang mengingat masa lampau. Sekali ingatan akan masa lalu
terhapus, lenyap pulalah duka. Berusaha melupakan duka dengan penekanan, tidak
akan menghilangkan sumber dari segaia macam duka. Akan tetapi menghadapi duka,
menyelami, mengenal duka yang berada di hati sendiri dengan mempelajari dan
mengenal diri sendiri lahir batin, maka akan timbullah keadaan lain yang jauh
dari jangkauan duka.
Koai-lojin
yang kelihatan sebagai seorang kakek sederhana itu paling suka berkelana di
tempat-tempat sunyi, bergembira dengan alam yang masih bersih dari kotoran
akibat tingkah polah manusia. Akan tetapi kadang-kadang dia muncul di dalam
Istana Pulau Es yang selalu kosong itu, berdiri bengong di depan tiga arca
buatannya sendiri, dan setelah membersihkan Istana Pulau Es, beberapa hari
kemudian dia sudah meninggalkan lagi Pulau Es.
Dia pun
tidak pernah berhasil mencari kedua orang sumoinya, bahkan kemudian sama sekali
tidak mencarinya. Namun sebagai penebus rasa sesal dan salahnya terhadap Khu
Siauw Bwee, diam-diam dia meninggalkan surat-surat pernyataan menyesal dan
cintanya kepada Khu Siauw Bwee, dan menaruh surat-surat itu di dalam Istana
Pulau Es.
Puluhan
tahun kemudian, Koai-lojin datang ke Pulau Es, membawa seekor beruang salju
yang berbulu putih, meninggalkan beruang yang jinak dan terlatih itu di Pulau
Es sebagai penghuni dan penjaga! Kemudian, sampai lama sekali dia tidak pernah
muncul lagi di Pulau Es, juga tidak muncul di dunia ramai.
T A M A T
Serial Selanjutnya : Pendekar Bongkok
********** Sahabat Karib.com **********
Terima kasih telah membaca Serial ini
terimakasih
ReplyDelete