Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Istana Pulau Es
Jilid 24
Dengan wajah
berseri Siauw Bwee bangkit dan menarik tangan suheng-nya, kemudian dia
menggandeng tangan suheng-nya. Tanpa malu-malu dia menjumpai supek-nya yang
sedang menjemur akar dan daun obat.
“Supek! Aku
telah mendapatkan cara untuk menyembuhkan Suheng dengan cepat!”
“Eh?” Coa
Leng Bu tertegun dan pura-pura tidak melihat betapa sepasang pipi dara itu
kemerahan dan tangan dara itu dengan mesranya menggandeng tangan Han Ki.
“Kami berdua
akan menggunakan Im-kang untuk mengusir hawa panas dari kepala Suheng.”
“Ahh,
berbahaya sekali, Lihiap! Tenaga Im-kang tak dapat dikendalikan, dan dapat
membahayakan kalau tersalur memasuki kepala!”
“Kalau bisa
mengendalikan Im-kang, bagaimana?” Siauw Bwee bertanya sambil tersenyum.
“Tentu saja
mungkin dapat menyembuhkan, akan tetapi betapa kalian dapat mengendalikan
Im-kang? Hal itu membutuhkan tingkat yang amat tinggi, barang kali hanya Suhu
Bu-tek Lo-jin saja yang mampu.”
“Hemm,
bagaimana untuk mengukur ketinggian Im-kang?”
“Sukar
dibicarakan, akan tetapi kalau sudah dapat membekukan air menjadi salju berarti
sudah mencapai tingkat amat tinggi dan itu pun harus dilakukan dengan hati-hati
sekali.”
“Begitukah?
Coa-supek, kau lihatlah baik-baik, kemudian nyatakan pendapatmu!”
Siauw Bwee
menghampiri sebuah panci yang penuh dengan air, kemudian ia memasukkan tangan
kanannya ke dalam air itu, mengerahkan Im-kang beberapa menit lamanya. Kemudian
ia menarik tangannya dan... Coa Leng Bu memandang dengan mata terbelalak ketika
melihat air itu telah membeku menjadi es dan ikut tertarik ke luar! Siauw Bwee
memasukkan lagi air beku itu ke dalam panci, kemudian perlahan-lahan ia merubah
Im-kang menjadi Yang-kang. Air beku itu mencair, terus berubah makin panas
sampai akhirnya mendidih di dalam panci!
“Moi-moi,
kau mengagumkan sekali!” Han Ki berseru gembira.
Dia pun
menghampiri sebuah tempayan air, menyodok air dengan tangannya dan begitu
tangannya diangkat, air yang berada di telapak tangannya telah membeku, jauh
lebih cepat dari yang dilakukan Siauw Bwee tadi!
Kedua kaki
Coa Leng Bu menggigil saking tegang dan kagetnya, dan tak terasa lagi kedua
lututnya ditekuk dan dia telah berlutut sambil berkata, “Ya Tuhan..., selama
ini kedua mataku seperti buta, tidak melihat bahwa Ji-wi adalah orang-orang
muda yang memiliki ilmu kepandaian seperti malaikat...!”
Siauw Bwee
meloncat dan menarik lengan kakek itu, memaksanya bangkit. “Aihh, Coa-supek,
apa-apaan ini? Aku hanya ingin mendengar pendapatmu, bagaimana? Apakah kami
berdua cukup kuat untuk menggunakan Im-kang mengusir hawa panas yang
melenyapkan ingatan Suheng?”
Coa Leng Bu
mengangguk-angguk, menelan ludah, masih terpesona, akhirnya ia menghela napas
dan berkata, “Kalau aku tahu bahwa kalian memiliki Im-kang sehebat itu, tentu
saja boleh dilakukan. Hanya kalian harus berhati-hati benar, karena sedikit
saja mengalami kekagetan dan gangguan, bisa menimbulkan bahaya. Syaraf di
kepala amatlah halusnya, dan sedikit gangguan saja membahayakan nyawa.”
“Aku ingin
Suheng segera sembuh. Biarlah kami melakukannya di dalam pondok dan harap Supek
suka menjaga di luar pondok agar tidak terjadi gangguan.”
“Baiklah,
kalian adalah dua orang muda yang amat luar biasa. Sungguh hampir aku tak dapat
percaya...”
“Coa-supek,
kami adalah murid-murid Bu Kek Siansu, penghuni Istana Pulau Es. Bertahun-tahun
kami melatih Im-kang di Pulau Es, apa anehnya kalau kami memiliki keahlian
dalam menyalurkan hawa sakti yang membekukan air?”
Sepasang
mata Coa Leng Bu terbelalak. “Murid-murid... manusia dewa itu...? Dan aku telah
membiarkan diri kau sebut supek? Betapa menggelikan dan memalukan! Aihhhh...
setua ini masih tolol...!”
“Sudah,
Supek. Harap suka menjaga di luar, kami hendak mulai sekarang juga. Marilah,
Koko.”
Han Ki hanya
tersenyum dan mengikuti gadis itu memasuki pondok. Sebetulnya dia masih belum
percaya bahwa dia menderita sakit, dan hanya mengira bahwa kehilangan ingatan
adalah karena suatu sebab yang mungkin diketahui oleh kakak angkatnya, Bu Kok
Tai, Koksu Negara Sung. Akan tetapi menyaksikan kegembiraan dan harapan Siauw
Bwee, dia tidak tega untuk menolak. Pula, bermain-main dengan tenaga Im-kang
itu, apa sih bahayanya?
Siauw Bwee
menutupkan daun pintu pondok, kemudian duduk bersila saling berhadapan dengan
Han Ki. Sejenak mereka saling pandang. Han Ki tersenyum seperti melihat
kelakuan seorang anak kecil yang mengajaknya bermain-main, sebaliknya Siauw
Bwee memandang dengan sungguh-sungguh dan berkata,
“Koko,
percaya atau tidak bahwa engkau terkena hawa beracun yang melenyapkan atau
menutupi ingatanmu, namun engkau sendiri sudah yakin bahwa ingatanmu hilang dan
engkau tidak dapat mengingat akan keadaanmu sebelum engkau menjadi adik angkat
Koksu Bu Kok Tai itu. Apa pun yang menjadi sebabnya, sudah jelas bahwa
ingatanmu hilang dan kita harus berusaha untuk menyembuhkanmu. Coa-supek adalah
seorang ahli yang berpengalaman, maka aku percaya bahwa hawa panas beracun
telah membuatmu kehilangan ingatan. Oleh karena itu, harap engkau
bersungguh-sungguh bersamaku menyatukan Im-kang, kau kendalikan baik-baik untuk
mengusir hawa panas beracun yang menggelapkan ingatanmu itu. Maukah engkau?”
Han Ki
tersenyum dan melihat bahwa pemuda itu agaknya masih meragu, Siauw Bwee cepat
berkata, “Demi cintaku kepadamu, dan demi cintamu kepadaku! Kam-koko, maukah
engkau bersungguh-sungguh melakukan usaha ini? Kalau kau anggap ringan
keadaanmu, biarlah demi untuk membahagiakan hatiku. Maukah?”
Hati Han Ki
menjadi terharu. Dalam sinar matanya, dalam getaran suaranya, gadis ini jelas
menunjukkan hati kasih sayang yang luar biasa terhadap dirinya! Sampai
bagaimana pun, dia tidak tega untuk mengecewakan hati gadis sebaik ini!
“Baiklah,
Moi-moi. Nah, mari kita mulai. Bagaimana engkau hendak membantuku?”
“Ulurkan
kedua lenganmu kepadaku, Koko.”
Han Ki yang
duduk bersila menyodorkan kedua lengannya dan Siauw Bwee juga melakukan hal
yang sama sehingga dua pasang telapak tangan bertemu. Pertama-tama, terasa oleh
Han Ki getaran hangat dan mesra dari telapak tangan gadis itu, getaran yang
didorong oleh hati yang mencinta!
Siauw Bwee
maklum bahwa biar pun ilmu kepandaiannya masih dikuasainya secara praktek,
namun pemuda itu sudah lupa sama sekali akan teori-teorinya. Karena itu dia
kemudian berkata, “Setelah aku menyalurkan Im-kang, kau sambutlah tenaga
saktiku, kerahkan tenagamu sendiri sehingga tenaga Im-kang kita menjadi kuat
dan menjadi satu di dalam tubuhmu. Kau kumpulkan segala panca indera, tujukan
kepada satu, yaitu mengendalikan Im-kang yang kuat itu dan perlahan-lahan,
hati-hati sekali kau salurkan ke atas, memasuki kepalamu untuk menghalau pergi
hawa panas beracun. Akan tetapi hati-hatilah, Koko, dan jangan pedulikan segala
gangguan, karena kalau sampai gerakan hawa Im-kang di kepalamu itu mengalami
gangguan, bisa membahayakan dirimu. Boleh jadi kau tidak peduli akan akibat
buruk yang menimpamu, akan tetapi ketahuilah bahwa kalau sampai engkau celaka,
aku pun ikut celaka, kalau engkau tewas, aku pun tidak mau hidup lagi. Berarti
engkau tidak hanya menjaga keselamatanmu akan tetapi juga keselamatanku! Nah,
aku mulai!”
Hati Han Ki
menjadi terharu sekali, akan tetapi ketika ia merasa betapa dari kedua telapak
tangan yang berkulit halus itu, yang tadinya hangat dan lembut kini menjadi
dingin, mengalir hawa yang dingin sekali, ia cepat menyatukan semua
perasaannya, bersemedhi dan memusatkan perhatian kepada hawa dingin yang
mengalir masuk melalui kedua lengannya. Dia menerima hawa itu, menyatukan
dengan hawa Im-kang yang ia kerahkan dari pusar, kemudian dengan perhatian
penuh ia mengendalikan hawa itu, perlahan-lahan seperti uap yang meraba-raba
dan mencari-cari, mulai menyalurkannya ke atas.
Mula-mula
hawa Im-kang yang tergabung itu terkumpul di pusarnya, kemudian perlahan-lahan
naik melalui dadanya, terus ke leher dan dari situ naik dengan amat perlahan
dan hati-hati. Siauw Bwee sendiri berada dalam keadaan semedhi karena dia tidak
menghendaki pengerahan Im-kang-nya tercampur dengan tenaga lain atau
pikiran-pikiran yang akan mengotorkan penyalurannya.
Kedua orang
itu duduk besila, saling berhadapan dan saling mengadu telapak tangan, sama
sekali tidak bergerak seperti sepasang arca. Akan tetapi tanpa terlihat oleh
mata, terjadilah kemukjizatan karena dua tenaga Im-kang yang amat dahsyat
sedang bekerja dan bahwa benar seperti apa yang dikhawatirkan oleh Coa Leng Bu,
usaha yang dilakukan oleh kedua orang ini amatlah berbahaya. Terguncang atau
meleset sedikit saja akan mendatangkan akibat yang mengerikan bagi diri Han Ki.
Karena
maklum bahwa dia sendiri masih jauh berada di tingkat rendah untuk dapat
membantu mereka, dan diam-diam masih kagum dan terheran-heran mendapat
kenyataan bahwa kedua orang itu adalah orang-orang sakti, Coa Leng Bu duduk
bersila di atas bangku depan pondok. Dia pun prihatin dan mengharapkan gadis
sakti itu berhasil menyembuhkan suheng-nya.
Melihat
kekuatan Im-kang mereka yang sudah mencapai tingkat setinggi itu, dia yakin
bahwa kalau mereka tidak terganggu dan mampu mengendalikan kekuatan dahsyat
itu, mereka tentu akan mampu mengusir hawa panas beracun yang telah meracuni
Han Ki, yang telah menggelapkan ingatan Si Pemuda Sakti. Dan dia mengutuk
perbuatan orang yang telah meracuni Han Ki, yang ia duga tentulah Bu Kok Tai,
koksu negara yang hendak menggunakan kepandaian Si Pemuda untuk menjadi
pembantu dan pengawalnya. Hanya dia masih heran, bagaimana seorang yang
sedemikian saktinya dapat dipedaya dan diminumi racun perampas ingatan.
Tiba-tiba
Coa Leng Bu tersentak kaget. Sudah ada empat jam lebih dia duduk menjaga,
matahari sudah naik tinggi dan kini dia melihat bayangan empat orang datang ke
tempat itu. Karena tidak ingin dua orang muda di dalam pondok terganggu, cepat
dia turun dari bangku dan berjalan menyambut empat orang itu. Dapat dibayangkan
betapa kaget hatinya ketika ia mengenal mereka itu bukan lain adalah Bu-koksu,
Pat-jiu Sin-kauw, Thian Ek Cinjin, dan Ang Hok Ci!
“Celaka...!”
keluhnya dalam hati namun wajah kakek itu tetap tenang ketika ia berhadapan
dengan mereka.
Coa Leng Bu
menjura dengan hormat kepada mereka lalu berkata, “Selamat datang, Bu-koksu.
Apakah engkau hendak menangkap aku? Silakan, aku menyerah karena aku memang
merasa telah membikin kacau di Sian-yang dahulu.”
Bu-koksu
tertawa, “Ha-ha-ha, siapa butuh orang macam engkau? Aku ingin melihat siapa
yang berada di dalam pondok itu!”
“Bu-koksu,
di sana terdapat seorang yang sedang sakit, harap engkau tidak mengganggunya!”
“Orang
sakit?” Bu-koksu mengerutkan alisnya yang tebal. “Hemm, beranikah engkau
membohongiku bahwa di sana terdapat Kam Han Ki dan Khu Siauw Bwee?”
Coa Leng Bu
maklum bahwa membohong pun tiada gunanya. “Benar, akan tetapi Kam-taihiap
sedang sakit, sedangkan Khu-lihiap sedang merawatnya.”
“Ha-ha-ha,
kau maksudkan sedang berusaha memulihkan ingatan Kam Han Ki? Orang she Coa, aku
sudah tahu siapa engkau. Engkau adalah seorang ahli pengobatan yang tentu
berusaha menyembuhkan Kam Han Ki. Kami datang untuk menangkap mereka!”
“Bu-koksu,
apakah kesalahan mereka?” Coa Leng Bu sengaja mencari bahan percakapan untuk
mengulur waktu, untuk memberi kesempatan kepada kedua orang itu menyelesaikan
pengobatan. Kalau belum selesai dan terganggu, nyawa Kam Han Ki terancam bahaya
maut.
“Engkau mau
tahu? Kam Han Ki telah menjadi pengkhianat dan harus ditangkap. Sedangkan gadis
itu adalah puteri mendiang Khu Tek San, seorang panglima yang memberontak. Dia
harus ditawan dan dihukum pula!”
“Bu-koksu,
harap kau tunggu sebentar sampai mereka selesai dengan pengobatan mereka. Kalau
terganggu, keadaan Kam-taihiap berbahaya sekali. Bukankah dia itu adalah adik
angkatmu sendiri yang sudah banyak berjasa terhadapmu? Apakah engkau tega untuk
mencelakainya?”
“Jangan
banyak cakap! Minggirlah!”
“Bu-koksu,
harap engkau orang tua yang sudah banyak pengalaman hidup menaruh kasihan
kepada dua orang muda yang tidak berdosa. Biarlah aku yang menanggung semua
kesalahan mereka. Biar aku yang kau tangkap dan kau seret untuk dihukum.
Biarkan mereka, karena aku tahu bahwa mereka bukanlah pengkhianat, apa lagi
pemberontak. Kau tahu, mereka adalah murid-murid manusia dewa Bu Kek Siansu!”
Wajah
Bu-koksu seketika pucat mendengar ini, karena sesungguhnya berita ini tak
pernah disangka-sangkanya dan membuatnya terkejut bukan main. Akan tetapi
segera dia dapat mengatasi rasa kagetnya dan tertawa, “Siapa pun mereka, harus
kami tawan!”
Diam-diam
dia mengharapkan untuk dapat mewarisi kitab-kitab peninggalan Bu Kek Siansu
kalau dia berhasil menundukkan kedua orang itu. Dia maklum bahwa kalau Kam Han
Ki sudah sadar, akan sukar untuk mengatasi mereka. Akan tetapi melihat bahwa
pemuda itu masih dalam pengobatan, dia mempunyai harapan untuk dapat menguasai
pemuda itu yang telah hilang ingatannya dan kalau hal ini benar, dengan bantuan
Kam Han Ki tidak sukar baginya untuk menundukkan gadis yang sakti itu.
“Jangan
bergerak!” Coa Leng Bu berseru marah. “Kalian takkan dapat pergi memasuki
pondok itu kecuali melalui mayatku!”
“Manusia
sombong, kalau begitu mampuslah engkau!” Bu Kok Tai yang sudah marah sekali itu
membentak, tubuhnya menerjang ke depan, tangan kanannya yang besar
mencengkeram.
Mendengar
bunyi tulang-tulang jari tangan itu berkerotokan, maklumlah Coa Leng Bu bahwa
Koksu ini memiliki tenaga yang hebat, maka cepat ia mengelak ke samping sambil
memukul dari bawah menghantam dengan pengerahan tenaga Jit-goat-sinkang.
“Desss!”
Tubuh Coa Leng Bu terjengkang ketika Bu-koksu menangkis hantaman itu dengan
tenaga sinkang yang jauh lebih lihai dan kuat.
“Engkau
bosan hidup!” Tiba-tiba Ang Hok Ci, siucai murid Koksu meloncat dan menggunakan
kakinya menginjak ke arah perut kakek itu dengan pengerahan tenaganya.
Injakan maut
ini tentu akan menghancurkan isi perut. Akan tetapi Coa Leng Bu dalam usahanya
menghalangi mereka mengganggu kedua orang muda di dalam pondok tidak mau
menyerah begitu saja. Cepat ia miringkan tubuhnya yang telentang, lalu
menggunakan tangan menangkap kaki yang menginjak sambil mengerahkan tenaga dan
sekali dia membentak, tubuh Ang Hok Ci terlempar ke atas dan tentu akan jatuh
terbanting kalau jubahnya tidak disambar oleh Bu-koksu.
Coa Leng Bu
sudah meloncat bangun lagi. Dia tidak memegang senjata karena tadi tidak
menyangka sama sekali akan kedatangan musuh. Akan tetapi dia tidak gentar dan
cepat meloncat lagi menghadang mereka.
“Terimalah
ini!” Pat-jiu Sin-kauw sudah menerjangnya dengan ilmu silatnya yang amat hebat,
yaitu Soan-hong Sin-ciang (Tangan Sakti Angin Badai).
Tubuhnya
berputaran, jubahnya berkibar dan kedua tangannya seperti kitiran angin menyambar-nyambar.
Coa Leng Bu pernah melawan orang ini di Sian-yang, maklum bahwa lawannya amat
lihai, maka dia pun cepat mainkan ilmu silatnya dan mengerahkan daya tahannya,
mengelak dan menangkis.
Dia tahu
bahwa betapa pun dia berusaha, takkan mungkin dia akan menang menghadapi empat
orang ini, apa lagi menghadapi Bu-koksu yang amat lihai. Dia pun tidak
mengharapkan kemenangan yang tak mungkin, hanya ingin mempertahankan diri
selama mungkin untuk mengulur waktu penyerbuan mereka ke dalam pondok.
Tiba-tiba
Pat-jiu Sin-kauw yang tubuhnya berputaran ini berjongkok, mulutnya mengeluarkan
suara dalam, dan kedua tangannya mendorong ke atas, ke arah lawan. Itulah
Thai-lek-kang yang amat dahsyat. Coa Leng Bu maklum bahwa dia tentu akan roboh
kalau terkena hawa dorongan ini, maka dia pun lalu mengerahkan tenaga
sekuatnya.
“Dessss!”
Tenaga
Pat-jiu Sin-kauw berimbang dengan tenaga Jit-goat-sinkang yang dimiliki Coa
Leng Bu. Akan tetapi karena pada saat itu Coa Leng Bu sudah nekat dan
mati-matian hendak melindungi kedua orang muda itu, tenaganya bertambah dan
tubuh Pat-jiu Sin-kauw terpental ke belakang dan terguling-guling. Akan tetapi
Coa Leng Bu sendiri terhuyung ke belakang.
“Cring-cring...
singggg...!” Sinar gemerlapan menyambar ke arah Coa Leng Bu.
Kakek ahli
obat ini terkejut sekali, berusaha menghindarkan diri dari sambaran golok besar
di tangan Bu-koksu, akan tetapi gerakan Bu-koksu amat dahsyat.
“Crakk!”
pundak Coa Leng Bu terbabat putus!
Namun Coa
Leng Bu seolah-olah tidak merasakan nyeri pada pundaknya yang sudah buntung
itu. Dia meloncat bangun lagi dan menerjang Thian Ek Cinjin yang sudah lari
hendak menghampiri pondok. Thian Ek Cinjin menjadi ngeri melihat orang yang
lengan kanannya buntung sepundak dan dari lukanya muncrat-muncrat darah itu
masih menubruknya. Cepat ia meloncat ke samping dan memukul ke arah pusar.
Namun, Coa Leng Bu tidak mempedulikan pukulan itu, bahkan membarengi dengan
hantaman ke arah kepala Thian Ek Cinjin dengan tangan kirinya!
Thian Ek
Cinjin terkejut dan kepalanya tentu akan terkena hantaman yang dapat
mengakibatkan maut kalau saja pada saat itu tidak datang sinar gemerlapan golok
besar Bu-koksu yang menyambar dari belakang.
“Crott!”
Lengan kiri Coa Leng Bu kembali terbabat buntung sebatas siku! Dan pusarnya
masih terkena hantaman Thian Ek Cinjin yang membuat tubuhnya terjengkang.
Biar pun
kedua lengannya telah buntung, tidak pernah terdengar keluhan keluar dari mulut
kakek yang gagah perkasa ini, bahkan kini dia sudah meloncat bangun lagi.
Dengan mata terbelalak penuh keberanian dia sudah menyerbu ke depan Bu-koksu
yang menyambutnya dengan sambaran goloknya, sekali ini mengenai leher Coa Leng
Bu. Robohlah tubuh kakek gagah perkasa itu dengan kedua lengan dan kepala terpisah
dari badan, tewas seketika dalam keadaan mengerikan.
Bu-koksu
menyarungkan goloknya, memandang ke arah Coa Leng Bu, menghela napas dan
berkata, “Seorang yang gagah perkasa! Sayang orang seperti ini tidak pernah
menjadi pembantuku.” Ia lalu membalikkan tubuhnya dan memberi isyarat kepada
para pembantunya untuk berjaga di luar.
“Biarkan aku
sendiri yang menghadapi mereka,” katanya karena dia maklum bahwa kalau Kam Han
Ki masih hilang ingatan, pemuda itu hanya dapat dikuasai olehnya. Sebaliknya
kalau keadaan menjadi berubah, hanya dia seoranglah yang akan dapat mengimbangi
mereka yang amat lihai, sedangkan tiga orang pembantunya itu takkan ada
gunanya.
Dia
melangkah ke depan pintu pondok, berhenti dan berseru nyaring, “Kam-siauwte,
aku datang!”
Tidak ada
jawaban dari dalam pondok. Tentu saja suaranya yang nyaring itu terdengar oleh
Siauw Bwee yang menjadi terkejut bukan main. Akan tetapi gadis ini menekan
perasaannya. Dia maklum bahwa mereka berdua sudah hampir berhasil. Ada hawa
panas keluar dari kepala suheng-nya. Akan tetapi kalau sekarang dihentikan atau
terganggu, akan berbahalah bagi suheng-nya. Dia memejamkan matanya, tidak
peduli lagi. Kalau harus mati, dia rela mati bersama suheng-nya yang tercinta!
Pintu pondok
terdorong terbuka dari luar. Ketika Bu-koksu melihat dua orang muda itu duduk
berhadapan dengan mengadu telapak tangan dan keadaan dalam pondok terasa amat
dingin, dia maklum bahwa kedua orang itu sedang mengerahkan Im-kang yang amat
luar biasa untuk melawan hawa panas beracun yang menggelapkan ingatan Han Ki
sebagai akibat dari obat yang ia minumkan kepada pemuda itu. Terkejutlah
pembesar ini melihat uap panas keluar dari kepala Han Ki, tanda bahwa cara
pengobatan yang radikal itu hampir berhasil. Ia lalu melangkah maju dengan cepat,
dan menggerakkan tangannya untuk menotok tengkuk Han Ki.
“Aihhh...!”
Bu-koksu menggigil seluruh tubuhnya dan ia tentu roboh kalau saja pengalamannya
yang luas tidak membuat dia cepat menarik kembali tangannya sebelum terlambat.
Ternyata
dari tubuh pemuda itu keluar hawa dingin yang takkan kuat ia lawan, sungguh pun
dia sendiri memiliki sinkang yang kuat. Kalau tadi totokannya ia lanjutkan
sampai tangannya bertemu dengan kulit tengkuk Han Ki, tentu dia akan terkena
serangan hebat yang membahayakan isi dadanya!
Sementara
itu, Siauw Bwee yang maklum akan kehadiran Koksu, terguncang hatinya penuh
kekhawatiran, maka seluruh Im-kang dari kedua tengannya menjadi kacau sehingga
tubuh Han Ki bergoyang-goyang. Tiba-tiba Han Ki membuka matanya, memandang
Siauw Bwee dan matanya terbelalak, mulutnya berteriak heran dan kaget,
“Engkau... Siauw Bwee... Khu-sumoi...!” Dan begitu Siauw Bwee melepaskan kedua
tangannya, pemuda itu roboh terguling dan pingsan!
Mendengar
teriakan suheng-nya itu hati Siauw Bwee girang bukan main karena teriakan itu
menunjukkan bahwa suheng-nya telah ingat lagi, akan tetapi dia sendiri sudah
kehabisan tenaga, maka ketika dia merasa ada angin menyambarnya, biar pun dia
sudah cepat membuang tubuh, tetap saja pundaknya terkena totokan jari tangan
Bu-koksu dan tubuhnya terguling di samping tubuh Han Ki dalam keadaan lemas!
Bu-koksu
cepat menghampiri Han Ki dan menotok jalan darah di punggung pemuda yang masih
pingsan itu, kemudian sambil tertawa girang dia memanggil para pembantunya.
Tiga orang pembantunya yang tidak melihat apa yang telah terjadi merasa kagum
dan mengira bahwa Koksu itu berhasil merobohkan dua orang muda yang lihai itu.
“Cepat
belenggu kaki tangan mereka, kita bawa mereka sebagai tawanan ke Siang-tan,”
katanya.
Tiga orang
itu bergegas membelenggu Han Ki dan Siauw Bwee. Kemudian mereka mengempit tubuh
kedua orang itu keluar dari pondok. Siauw Bwee yang tertotok lemas namun masih
sadar itu mengeluarkan jerit tertahan ketika melihat mayat supek-nya yang tewas
dalam keadaan mengerikan. Ia menggigit bibir, tidak mengeluarkan kata, hanya
sepasang matanya saja yang mengeluarkan sinar berapi.
“Nona Khu,”
Bu-koksu berkata dengan suaranya yang besar, “Kam Han Ki adalah seorang buruan,
engkau pun puteri seorang panglima pemberontak. Akan tetapi, mengingat keadaan
negara dalam bahaya, aku yang akan tanggung bahwa kalian tidak akan menerima
hukuman asal saja kalian berdua suka menyumbangkan tenaga untuk negara. Kalian
adalah orang-orang gagah perkasa, murid dari Bu Kek Siansu, Penghuni Istana
Pulau Es. Setelah mempelajari ilmu kesaktian, untuk apa kalau tidak untuk
membela negara dan bangsa? Dengan keadaan negara terancam musuh-musuhnya, semua
urusan pribadi harus di kesampingkan lebih dulu, seperti bunyi ujar-ujar kuno
yang tentu telah menjadi pegangan mendiang ayahmu pula, ialah Wi-bin-wi-kok,
Hiap-ci-tai-cia (Demi Rakyat dan Negara Yang Pertama). Kuharap engkau dapat
mengerti dan dapat menyadarkan suheng-mu.”
Dengan mata
masih mendelik Siauw Bwee berkata, “Kalian orang-orang kasar memang selalu
curang dan keji. Dalam keadaan kedudukanmu terancam, kalian mempergunakan
rakyat untuk membantumu dengan alasan demi rakyat dan negara. Akan tetapi
setelah keadaan aman dan kedudukanmu terjamin, kalian merupakan
penindas-penindas rakyat, penjilat Kaisar lalim dan memusuhi pemimpin-pemimpin
jujur!”
Bu Kok Tai
menghela napas panjang. “Aku selalu kagum kepada mendiang Menteri Kam dan
Panglima Khu. Aku tidak pernah memusuhi mereka secara pribadi, akan tetapi
sebagai seorang petugas, bagaimana mungkin tidak hendak menaati perintah
atasan? Sudahlah! Hayo bawa mereka ke Siang-tan, cepat-cepat jangan sampai
kemalaman di jalan!” katanya kemudian kepada pembantu-pembantunya.
Pat-jiu
Sin-kauw mengempit tubuh Han Ki, sedangkan Siauw Bwee dipanggul oleh Thian Ek Cinjin.
Mereka melanjutkan perjalanan menuju ke Siang-tan dengan cepat, karena
sesungguhnya hanya terpaksa saja Koksu melakukan perjalanan menyusul Han Ki
sendiri setelah mendengar pelaporan para penyelidik. Tenaganya amat dibutuhkan
di kota itu, dan dalam keadaan terancam oleh pasukan-pasukan Mancu, kalau tidak
terpaksa sekali, tidak nanti dia mau meninggalkan kota.
Betapa pun
juga, hatinya gembira karena tanpa banyak kesukaran dia berhasil membawa Han Ki
dan Siauw Bwee yang diharapkannya akan suka membantunya. Kalau dia bisa menarik
kedua orang itu sebagai pembantu-pembantunya, kedudukannya akan makin kuat dan
tenaga kedua orang muda yang memiliki ilmu kepandaian amat tinggi itu amat
dibutuhkan untuk menghadapi penyerbuan pasukan-pasukan Mancu yang dipimpin
banyak orang pandai.
Ketika
rombongan empat orang yang membawa dua orang tawanan itu tiba di luar hutan
pohon pek, memasuki hutan kecil di mana terdapat jalan yang menuju ke
Siang-tan, tiba-tiba terdengar suara ketawa dan dari balik pohon besar muncullah
lima orang laki-laki. Yang tertawa adalah seorang kakek berusia tujuh puluh
tahun lebih, berambut dan berjenggot panjang, sudah putih semua, pakaiannya
terbuat dari sutera mahal akan tetapi bentuknya sederhana seperti pakaian
pendeta, tangannya memegang sebatang tongkat kayu cendana berselaput emas dan
sikapnya agung seperti sikap orang yang biasa memerintah....
Ada pun
empat orang yang berdiri di belakangnya adalah orang-orang yang berpakaian
mewah. Dapat dibayangkan betapa kaget hati Bu-koksu ketika mengenal kakek itu
yang bukan lain adalah Pek-mau Seng-jin, Koksu dari Kerajaan Yucen, sedangkan
para pengikutnya itu adalah Suma Hoat, Panglima Dailuba yang brewok bermata
lebar dan bertubuh tinggi besar, Thai-lek Siauw-hud yang gendut pendek dan
tertawa-tawa, dan seorang Yucen yang berpakaian indah dan berwajah tampan,
yaitu Pangeran Dhanu yang memiliki kedudukan penting di Kerajaan Yucen!
“Ha-ha-ha-ha,
sungguh lucu dan aneh! Bu-koksu sebagai pimpinan tertinggi pada saat ini dalam
benteng pertahanan di Siang-tan, kiranya masih sempat berkeliaran di dalam
hutan!” Pek-mau Seng-jin mengejek sungguh pun dia mengangkat kedua tangan di
depan dada sebagai penghormatan.
Pada waktu
itu Kerajaan Yucen sedang berkembang dan sudah menguasai sebagian besar
Tiongkok Utara, bahkan terpaksa Kerajaan Sung pindah ke selatan dan mengakui
Kerajaan Yucen ini. Untuk ikatan persahabatan, bahkan Puteri Sung Hong Kwi
telah diserahkan untuk menjadi isteri Pangeran Dhanu sebagaimana telah
diceritakan di bagian depan cerita ini. Akan tetapi, hanya pada lahirnya saja
kedua kerajaan ini bersahabat, sebetulnya di dalam hatinya saling menganggap musuh
besar.
Bu-koksu
cepat membalas dengan penghormatan selayaknya, kemudian menjawab dengan suara
halus namun mengandung ejekan balasan pula, “Selamat berjumpa, Pek-mau
Seng-jin! Tempat ini termasuk wilayah kerajaan kami, maka tidaklah mengherankan
apa bila sebagai Koksu negara mengadakan pemeriksaan sendiri di sini. Barulah
aneh namanya kalau Koksu Negara Yucen bersama panglima dan pangeran berada di
sini bukan sebagai tamu negara yang resmi. Karena pertemuan ini tidak
diduga-duga lebih dulu, maka biarlah saya mewakili negara untuk mengundang
Cu-wi sekalian sebagai tamu terhormat kami di Siang-tan.”
“Ha-ha-ha!
Saya mendengar bahwa Bu-koksu amat lihai kepandaiannya kiranya sekarang lihai
juga bicaranya! Terima kasih, Bu-koksu. Akan tetapi, ada sebuah hal yang
memaksa pertemuan antara kita ini menimbulkan rasa tidak enak kepada kedua
pihak. Sungguh menyesal sekali.”
Hati
Bu-koksu berdebar dan dia sudah menduga bahwa persoalan itu tentu menyangkut
kedua orang tawanannya. Akan tetapi ia tetap bersikap tenang dan bertanya, ”Di
pihak kami, tidak ada persoalan dan sungguh pun jelas bahwa Cu-wi melanggar
wilayah kami bukan sebagai tamu, kami masih bersikap ramah dengan mengundang
Cu-wi sebagai tamu kami. Hal ini agaknya juga diketahui dengan jelas oleh Suma-kongcu,
yang entah bagaimana bisa menemani Koksu dan Pangeran."
Mendengar
ini dan melihat pandang mata Bu-koksu ditujukan kepadanya dengan sinar tajam
menyelidik, Suma Hoat tersenyum saja dan matanya memandang ke arah Siauw Bwee
yang tubuhnya dibelenggu dan dipanggul di atas pundak Thian Ek Cinjin. Dia
tidak mau menjawab dan hanya mengandalkan kepada jawaban Pek-mau Seng-jin
sekutu ayahnya.
“Maafkan,
kalau kami melanggar wilayahmu, Bu-koksu. Hanya kami rasa bahwa sebagai
sahabat-sahabat, tiada salahnya kalau kami melihat-lihat keadaan wilayah
selatan ini. Kebetulan sekali kita bertemu, akan tetapi tidak kebetulan bahwa
kami melihat kalian memperlakukan sahabat kami sebagai tawanan, sungguh amat
tidak enak bagi kami. Maka, mengingat akan hubungan antara kita, saya harap
sukalah Bu-koksu memandang muka kami dan membebaskan kedua orang tawanan ini.”
Berkerut
alis Bu-koksu. Dia sudah menduga bahwa tentu kedua orang tawanan itu yang akan
dipersoalkan. Akan tetapi dia masih penasaran dan cepat berkata, “Maaf, Pek-mau
Seng-jin! Kedua orang ini adalah orang-orang Han, dan urusan kami dengan mereka
tidak ada sangkut-pautnya dengan Koksu dan Kerajaan Yucen. Harap Koksu suka
mempertimbangkan dan tidak mencampuri urusan pribadi sendiri.”
“Ha-ha-ha,
melihat sahabat-sahabat baik diperlakukan tidak hormat, bagaimana kami dapat
tinggal diam saja? Ingatkah Koksu akan peribahasa yang mengatakan bahwa sahabat
lebih berat dari pada tangan kiri? Mereka adalah sahabat-sahabat kami, tentu
saja kami tidak suka melihat mereka mengalami penghinaan seperti itu.”
“Pek-mau
Seng-jin!” Bu-koksu berkata marah. “Saya tidak melihat hubungan antara mereka
ini dengan kalian! Saya rasa kalian tidak mengenal kedua orang ini, apa lagi
bersahabat!”
“Bukan
sahabat saya pribadi, akan tetapi sahabat baik Pangeran Dhanu. Silakan menjawab
Pangeran,” Pek-mau Seng-jin berkata dan Pangeran Dhanu melangkah ke depan
sambil berkata,
”Bu-koksu,
ketahuilah bahwa Kam Han Ki itu adalah seorang sahabatku, sahabat pribadi yang
amat baik. Bahkan dia pernah memukul mundur pasukan-pasukan Mancu untuk
menolong kami, bagaimana aku dapat membiarkan dia kau perlakukan seperti itu?
Oleh karena itu, aku sebagai mantu dari kaisarmu, kuminta supaya kau suka
memandang mukaku dan membebaskan Kam Han Ki sahabatku.”
“Dan gadis
ini?” Bu-koksu yang diam-diam merasa terkejut dan gelisah itu bertanya
penasaran.
“Gadis ini
adalah Khu Siauw Bwee, sahabat baik sekali dari Suma-kongcu. Karena Suma-kongcu
merasa sungkan mengajukan permintaan dan menentang Koksu sebagai rekan sendiri,
maka biarlah saya yang mewakilinya dan mintakan agar Nona Khu kau beri
kebebasan pula.”
Merah muka
Bu-koksu mendengar ini. “Kedua orang ini adalah orang-orang tangkapan kami
karena mereka merupakan pemberontak-pemberontak, betapa mungkin kami membebaskannya?
Kalau Koksu dan Pangeran ingin membelanya dan mohon pembebasannya, harap suka
mengajukan permintaan resmi agar diputuskan oleh Kaisar sendiri. Saya tidak
berani lancang mengambil keputusan dan menyerahkan dua orang tawanan penting di
tengah jalan begitu saja kepada Cu-wi!”
“Hemm,
jawaban itu berarti bahwa Bu-koksu tidak memandang kami sebagai sahabat!”
Pek-mau Seng-jin berkata dengan suara getir.
“Saya cukup
menghargai persahabatan antara kita, akan tetapi tentu saja saya lebih
menghargai tugas dan kedudukan saya.”
“Kalau kami
memaksa?”
“Terserah,
kami akan mempertahankan!”
“Ha-ha-ha!
Bu-koksu sungguh tak tahu diri. Keadaan kota Siang-tan sedang terancam pasukan
Mancu, siapa lagi yang akan dapat menolong kalau bukan pasukan kami? Akan
tetapi Bu-koksu lebih mementingkan urusan pribadi. Baiklah, urusan pribadi kita
selesaikan secara pribadi pula. Sudah lama aku mendengar bahwa Bu-koksu
memiliki ilmu kepandaian yang amat hebat, terutama sekali ilmu goloknya yang
belum pernah bertemu tanding. Kesempatan ini hendak kugunakan untuk mengenal
ilmu golok Bu-koksu! Kalian berempat, kami pun akan maju berempat dan siapa
menang dalam pertandingan ini berhak atas kedua orang tawanan itu!”
“Bukan kami
yang memancing permusuhan, kami hanya mempertahankan diri. Silakan, Pek-mau
Seng-jin, jangan mengira bahwa aku takut kepadamu!” Bu-koksu yang sudah marah
sekali lalu mencabut goloknya sehingga terdengar bunyi berkerincingan nyaring.
Pat-jiu
Sin-kauw dan Thian Ek Cinjin juga sudah menurunkan tubuh tawanan yang mereka
panggul tadi, siap menghadapi lawan, sedangkan Ang Hok Cu cepat mendekati kedua
orang tawanan untuk menjaga agar mereka tidak dirampas orang.
Thian Ek
Cinjin dan Pat-jiu Sin-kauw sebetulnya adalah dua orang anak buah Pek-mau
Seng-jin sendiri! Seperti telah diceritakan di bagian depan, dua orang yang
bergabung dengan Coa-bengcu di pantai Po-hai ini diam-diam telah mengadakan
hubungan dengan Kerajaan Yucen. Atas permintaan Pek-mau Seng-jin, kedua orang
ini berhasil menyelundup dengan membawa Kam Han Ki yang pingsan, menyerahkannya
kepada Bu-koksu sehingga mereka berdua diangkat menjadi pengawal! Karena inilah
maka Pek-mau Seng-jin girang sekali melihat kedua orang sekutunya itu kini
mengawal Bu-koksu dan diam-diam ia memberi tanda dengan kejapan mata kepada
mereka.
Thian Ek
Cinjin meloncat ke depan, berhadapan dengan Thai-lek Siauw-hud Ngo Kee Si
Gendut Pendek yang tertawa-tawa, yang sebetulnya adalah temannya sendiri. Tanpa
banyak cakap lagi mereka sudah bertanding, Thai-lek Siauw hud menggunakan
sebatang golok besar sedangkan Thian Ek Cinjin menggunakan sebatang pedang.
Juga Pat-jiu
Sin-kauw sudah saling berkedip dengan Panglima Dailuba yang menyambutnya.
Mereka pun tanpa banyak cakap sudah saling bertanding, menggunakan tangan
kosong karena kedua orang ini merupakan ahli-ahli silat tangan kosong.
Pertempuran terjadi dengan seru dan karena pandainya mereka berempat
bersandiwara, Bu-koksu sendiri tidak pernah menyangka bahwa mereka itu tidaklah
bertanding sungguh-sungguh.
“Ha-ha-ha,
dua orangmu telah bertempur melawan dua orang pembantuku. Tinggal kita berdua.
Marilah kita coba-coba, Bu-koksu!” kata Pek-mau Seng-jin sambil menggerakkan
tongkatnya menusuk.
“Cring-cring-tranggg!”
Keduanya
terpental ke belakang ketika tongkat itu tertangkis oleh golok bergelang.
Kemudian keduanya maju lagi saling serang dengan dahsyat. Gerakan Bu-koksu amat
dahsyat dan kuat, goloknya mengeluarkan bunyi mengerikan dan golok yang berat
itu diputar sampai berubah menjadi segulung sinar menyilaukan mata. Namun
gerakan tongkat di tangan Pek-mau Seng-jin lebih cepat lagi, tampak sinar
keemasan bergulung-gulung menyelubungi gulungan sinar golok, bahkan dalam hal
tenaga sinkang, tingkat Pek-mau Seng-jin masih lebih tinggi sehingga lewat
empat puluh jurus, Bu-koksu selalu terdesak dan terhimpit!
Ang Hok Ci
yang sedang gelisah menyaksikan betapa Bu-koksu dan dua orang pengawalnya
terdesak mengambil keputusan untuk membunuh saja dua orang tawanan yang
berbahaya itu. Dia sudah mencabut goloknya, langsung dia bacokkan ke arah leher
Kam Han Ki.
“Trangggg!”
Ang Hok Ci
terkejut dan melompat mundur, memandang Suma Hoat yang sudah menangkis goloknya
dengan pedang.
“Suma-kongcu!
Apa yang kau lakukan ini? Apakah engkau hendak memberontak dan membela musuh?”
Suma Hoat
tecsenyum. “Hemm, orang she Ang, ini bukan urusan negara, melainkan urusan
pribadi! Sudah dijanjikan bahwa siapa yang keluar sebagai pemenang, berhak atas
diri kedua orang tawanan ini. Mengapa engkau hendak bersikap curang dan
membunuh tawanan?”
“Bagus!
Ayahmu tentu akan senang sekali mendengar akan pengkhianatanmu ini!” Ang Hok Ci
memaki dan menyerang dengan golok menyambar ke arah leher Suma Hoat, sedangkan
tangan kirinya melancarkan pululan dengan tenaga Jit-goat-sinkang ke arah dada
Suma Hoat.
“Cringggg...
dukkkk!”
Tubuh Ang
Hok Ci terlempar ke belakang, ketika goloknya tertangkis oleh pedang Suma Hoat,
sedangkan pukulan dengan tenaga Jit-goat-sinkang tadi ditangkis pula oleh Suma
Hoat dengan ilmu yang sama, akan tetapi jauh lebih kuat. Hal ini dapat
dimengerti karena kalau Ang Hok Ci memperoleh Ilmu Jit-goat-sinkang dari hasil
curian ketika dia menyelundup ke lembah orang kusta, adalah Suma Hoat menerima
gemblengan langsung dari Bu-tek Lo-jin, bahkan dia merupakan murid terpandai!
Dengan pedangnya Suma Hoat mematahkan belenggu yang mengikat kaki tangan Siauw
Bwee dan membebaskan totokannya.
“Terima
kasih, ternyata engkau seorang sahabat yang baik, Suma Hoat!” Siauw Bwee
berkata singkat lalu meloncat mendekati suheng-nya yang masih pingsan,
membukakan belenggu kaki tangan Han Ki dan membebaskan totokan.
Akan tetapi
Han Ki masih pingsan, bukan karena totokan melainkan karena guncangan ketika
pengobatan hampir berakhir tadi. Cepat Siauw Bwee menempelkan kedua telapak
tangannya ke dada pemuda itu dan perlahan-lahan ia menyalurkan hawa sinkang ke
dalam tubuh suheng-nya dengan amat hati-hati.
Ang Hok Ci
sudah menerjang lagi, disambut oleh pedang Suma Hoat. Karena pemuda yang
berjuluk Jai-hwa-sian ini memiliki tingkat kepandaian yang jauh lebih tinggi,
dengan mudah ia mempermainkan Ang Hok Ci sambil tertawa-tawa.
”Suma-kongsu,
bunuh saja tikus itu!” Tiba-tiba terdengar suara Pek-mau Seng-jin. “Dan aku
yang akan membunuh tikus besar ini!”
Suma Hoat terkejut
dan ragu-ragu. Biar pun dia harus mentaati perintah ayahnya yang bersekutu
dengan Kerajaan Yucen, akan tetapi kalau harus membunuh seorang yang setia
kepada Kerajaan Sung, hatinya masih merasa berat. Dan ketika ia menoleh, ia
melihat betapa Bu-koksu terhimpit bahaya oleh tongkat di tangan Pek-mau
Seng-jin yang kini jelas bukan hanya memperoleh kemenangan untuk memperebutkan
kedua orang tawanan, melainkan berniat membunuh Bu-koksu.
Ini hebat,
pikir Suma Hoat yang menjadi bingung, tidak tahu harus berbuat apa. Ketika ia
memutar pedang menahan serangan-serangan golok lawan dan menoleh ke arah
Pat-jiu Sin-kauw dan Thian Ek Cinjin yang melawan Panglima Dailuba dan Thai-lek
Siauw-hud, dia mendapat kenyataan bahwa pertempuran masih berlangsung ‘seru’
dan bahwa mereka itu ternyata hanya seperti sedang berlatih saja!
Suma Hoat
amat cerdik, maka mengertilah dia bahwa dua orang pengawal dan pembantu
Bu-koksu itu ternyata adalah anak buah Yucen pula! Diam-diam ia mengkhawatirkan
keselamatan Bu-koksu. Betapa pun juga, dia tahu betul bahwa Bu-koksu adalah
seorang yang amat setia kepada negara, seorang pahlawan sejati yang menjuruskan
segala perbuatannya demi kepentingan Kerajaan Sung!
Dia masih terus
mempermainkan Ang Hok Ci, tidak mau membunuhnya karena hendak melihat bagaimana
perkembangan pertandingan antara kedua orang guru negara itu. Dia merasa serba
salah. Untuk membantu Bu-koksu, berarti dia menentang Yucen dan hal ini tentu
tidak akan disetujui ayahnya, sebaliknya, untuk membantu Pek-mau Seng-jin, hati
nuraninya tidak mengijinkan.
Selain itu
dia maklum pula bahwa ilmu kepandaian Pek-mau Seng-jin amat tinggi, tidak hanya
lebih tinggi dari pada kepandaian Bu-koksu, juga lebih tinggi dari pada tingkat
kepandaiannya. Belum lagi diingat bahwa di situ terdapat panglima Dailuba,
Pat-jiu Sin-kauw, Thai-lek Siauw-hud, dan Thian Ek Cinjin yang ternyata adalah
kaki tangan Pek-mau Seng-jin. Dia tidak berdaya dan hanya menonton sambil
menahan serangan golok Ang Hok Ci seenaknya.
Bu-koksu
juga tahu akan perubahan gerakan tongkat lawan yang kini menjadi cepat sekali
dan melancarkan serangan-serangan maut. Dia tidak menjadi gentar dan maklum
bahwa persoalan merampas tawanan itu hanya sebagai pancingan saja, sedangkan
niat di hati Koksu Negara Yucen itu untuk membunuhnya! Kalau berada di tempat
ramai, tentu saja Pek-mau Seng-jin tidak akan berani melakukan hal ini, karena
membunuh dia berarti pecah perang terbuka antara Kerajaan Sung dan Kerajaan
Yucen. Akan tetapi kalau dia dan semua pembantunya terbunuh di situ, tidak akan
ada yang tahu bahwa pembunuhnya adalah Koksu Yucen! Maka dia memutar goloknya
melawan mati-matian, mengerahkan seluruh tenaga dan mengeluarkan segala
kepandaiannya.
Betapa pun
juga, tongkat di tangan Pek-mau Seng-jin terlalu kuat baginya dan ketika
goloknya menyambar dahsyat ke arah kepala lawan, Pek-mau Seng-jin hanya
miringkan kepala sehingga sebagian rambutnya yang putih terbabat putus oleh
golok besar itu, akan tetapi pada detik yang sama, ujung tongkat telah mengenai
pundak kanannya sehingga golok besar itu terlepas dari tangan Bu-koksu. Cepat
seperti kilat, tongkat itu telah menyambar turun, siap melakukan tusukan maut!
“Tahan!
Jangan bunuh dia!” Teriakan ini disusul berkelebatnya bayangan dan tahu-tahu
tongkat itu terpental ke belakang oleh desiran hawa pukulan yang amat panas!
Bu-koksu
girang sekali dan cepat menyambar kembali goloknya. “Kam-siauwte, syukur engkau
masih ingat kepadaku dan menolongku. Mari kita habiskan anjing-anjing Yucen
ini!”
Akan tetapi
betapa kagetnya ketika ia melihat sinar mata Kam Han Ki yang menyambar seperti
dua titik api kepadanya. “Bu-koksu, aku memang teringat kepadamu, dan teringat
akan segalanya! Engkau memang telah menolongku, merawatku, akan tetapi hanya
untuk kau pengaruhi dengan racun sehingga di luar kesadaranku aku menjadi
pengawalmu!”
”Kam-siauwte...!”
“Sudahlah,
dan jangan menyebut siauwte kepadaku. Harap kau suka membawa semua anak buahmu
pergi dari sini dan mudah-mudahan saja kita tidak akan saling bertemu kembali!
Aku memaafkan segalanya!”
Bu-koksu
maklum bahwa tidak ada gunanya lagi membujuk pemuda yang sudah sadar itu, maka
dia menarik napas panjang dan berkata, “Betapa pun juga, Kam-siauwte, aku telah
menyelamatkanmu dari hukuman sebagai seorang pemberontak. Aku hanya ingin
membangkitkan semangatmu membela negara. Selamat tinggal! Dan engkau, Pek-mau
Seng-jin, apakah dengan perbuatanmu tadi engkau sengaja hendak memancing perang
antara kedua kerajaan kita?”
“Ha-ha-ha!
Sudah kukatakan bahwa urusan ini adalah persoalan pribadi, kalau engkau hendak
membawa-bawa kerajaan, terserah. Kerajaan Yucen tidak pernah takut terhadap
ancaman Kerajaan Sung. Kurasa Kerajaan Sung tidak begitu bodoh untuk menambah
musuh yang lebih kuat lagi di samping pasukan-pasukan Mancu, ha-ha-ha.”
“Mari kita
pergi!” Bu-koksu berkata kepada para pembantunya dan Ang Hok Ci, Pat-jiu
Sin-kauw, dan Thian Ek Cinjin segera meninggalkan tempat itu mengikuti
Bu-koksu.
Di tengah
perjalanan menuju ke Siang-tan, Ang Hok Ci berkata kepada kedua orang rekannya,
“Aku tadi melihat betapa Ji-wi tidak bertanding sungguh-sungguh dengan kedua
lawan Ji-wi!”
Pat-jiu
Sin-kauw dan Thian Ek Cinjin terkejut, akan tetapi sambil tertawa Pat-jiu
Sin-kauw berkata, “Kami sendiri tidak mengerti, Ang-siucai. Jelas bahwa kalau
mereka menghendaki, kami tidak akan menang. Kepandaian Panglima Dailuba itu
amat tinggi, terus terang saja aku tidak mampu menandinginya, sedangkan tingkat
kepandaian Thai-lek Siauw-hud masih menang sedikit dibandingkan dengan tingkat
Thian Ek Cinjin. Akan tetapi karena kami anggap pertandingan itu hanya untuk
menguji kepandaian, maka tidaklah mengherankan kalau mereka tidak berniat
membunuh kami.”
“Hemmm, akan
tetapi Si Rambut Putih itu jelas berniat buruk terhadap diriku,” Bu-koksu
mengomel. Hatinya yang mengkal dan kesal itu membuat ia tidak memperhatikan
lagi ucapan Ang Hok Ci yang penuh tuduhan dan kecurigaan.
Sementara
itu, sambil memandang sumoi-nya yang kini berdiri di sampingnya, Kam Han Ki
berkata, “Sekarang aku ingat semua, Sumoi. Kalau tidak ada engkau yang
membantu, entah bagaimana jadinya dengan aku. Terima kasih, Sumoi dan...
dan...,” tiba-tiba mukanya berubah merah sekali karena dia teringat akan sikap
sumoi-nya yang berkali-kali menyatakan cinta kasihnya dan teringat betapa dalam
keadaan ‘lupa diri’ dia pun membalas cinta sumoi-nya itu. Akan tetapi karena di
situ terdapat banyak orang, tentu saja dia tidak berani melanjutkan
kata-katanya dan hanya pandang mata mereka yang saling bicara banyak.
Saling
pandang yang penuh arti dan amat mesra itu tidak terluput dari pandang mata
Suma Hoat. Begitu melihat Siauw Bwee, sudah timbul kembali cintanya yang tak
mungkin dapat padam di hatinya, maka tentu saja kemesraan antara pandang mata
kedua orang itu merupakan ujung pedang yang menembus jantungnya. Namun karena
maklum bahwa dia tidak akan mampu menghalangi atau bersaing terhadap pendekar
yang sakti, penghuni Istana Pulau Es, murid Bu Kek Siansu itu, dia menekan perasaannya
dan menjura kepada Kam Han Ki sambil berkata, “Saya menghaturkan selamat atas
pulihnya kesehatan Kam-taihiap dan atas berkumpulnya kembali Taihiap dengan
sumoi Taihiap, Nona Khu Siauw Bwee.”
Kam Han Ki
memandang kepada pemuda tampan itu. “Hemm, siapakah engkau?”
“Suheng, dia
adalah seorang... sahabat yang telah menolongku, dia juga sute dari... dari...
ahhh, Coa-supek...!” Siauw Bwee teringat akan supek-nya dan menangis
tersedu-sedu.
“Heiii...
ada apakah, Sumoi?” Han Ki bertanya.
“Khu-lihiap...
apa yang terjadi dengan Coa-suheng?”
“Dia mati
terbunuh... tentu oleh Bu-koksu! Saudara Suma Hoat, harap kau suka mengurus
jenazahnya, di hutan pohon pek...”
“Suma Hoat?”
Kam Han Ki berseru kaget dan memandang pemuda tampan itu.
Suma Hoat
menjura ke arah Han Ki dan berkata, “Benar, Kam-taihiap. Saya adalah Suma Hoat,
seorang yang... hemmm, tidak baik dan putera dari seorang yang... tidak baik
pula.”
Kam Han Ki
mengerutkan alisnya. Pemuda ini adalah putera musuhnya, akan tetapi juga sute
dari Coa Leng Bu yang telah menolongnya, bahkan menurut Siauw Bwee pemuda ini
pernah menolong sumoi-nya itu, maka dia tidak dapat berkata apa-apa lagi. Dia
mengalihkan perhatian, menjura kepada Pangeran Dhanu dan berkata, “Saya merasa
berterima kasih atas pertolonganmu, Pangeran. Biar pun aku tidak melihat
sendiri, aku dapat menduga bahwa tentu engkau yang telah menolongku dari tangan
Bu-koksu.”
“Ah, di
antara orang sendiri perlu apa menyebut-nyebut tentang pertolongan, Taihiap?
Kebetulan sekali kami lewat di sini dan menyaksikan engkau dan Khu-lihiap
ditawan Bu-koksu, maka kami turun tangan menentangnya,” kata Pek-mau Seng-jin.
Kam Han Ki
memandang kakek berambut putih itu dan berkata, “Agaknya semua orang telah
mengenal aku, akan tetapi aku sendiri tidak mengenal orang, kecuali Pangeran
Dhanu. Siapakah Locianpwe?”
“Kam-taihiap,
dia adalah Pek-mau Seng-jin, koksu kerajaan kami,” Pangeran Dhanu
memperkenalkan.
Kam Han Ki
mengangguk-angguk, memandang tajam kemudian berkata, “Sudah lama saya mendengar
nama Pek-mau Seng-jin, Koksu Negara Yucen yang terkenal.”
Pek-mau
Seng-jin cepat mengangkat kedua tangan ke depan sebagai penghormatan sambil
berkata, “Kam-taihiap terlalu memuji! Sebaliknya kami yang telah lama mendengar
nama besar Taihiap semenjak Taihiap membantu mendiang Menteri Kam yang sakti.
Sayang sekali, baru sekarang kita dapat saling berjumpa. Betapa banyaknya
penderitaan yang dialami oleh Taihiap dan keluarga Kam yang gagah perkasa.
Betapa menyedihkan sekali nasib keluarga Kam, keluarga pendekar sakti Suling
Emas yang sejak dahulu berdarah pahlawan, namun selalu dikecewakan oleh sikap
pemerintah Sung yang makin tampak kelalimannya. Dalam kesempatan ini, biarlah
kami berlaku lancang mewakili pemerintah Yucen untuk mengundang Taihiap agar
sudi membantu pemerintah kami yang lebih dapat menghargai jasa orang-orang
gagah.”
Kam Han Ki
tersenyum pahit dan menggeleng kepala, menjawab dengan suara tenang, “Banyak terima
kasih atas perhatianmu, Pek-mau Seng-jin. Akan tetapi, apa pun yang terjadi
kepadaku, dan apa pun yang telah dilakukan oleh negaraku terhadap diriku, tak
mungkin menjadikan aku seorang pengkhianat bangsa dan negara.”
Pek-mau
Seng-jin mengerutkan alisnya dan menarik napas panjang, kemudian berkata
perlahan seperti kepada dirinya sendiri, “Kalau negara sudah ditakdirkan akan
berkembang menjadi negara besar, kaisarnya tentu pandai menghargai orang. Akan
tetapi kalau kaisarnya lalim, hanya di waktu negara terancam bahaya
mengandalkan tenaga bantuan rakyat, akan tetapi di waktu negara makmur sibuk
menggendutkan perut sendiri dan bersikap sewenang-wenang terhadap rakyat.
Itulah tanda-tanda bahwa negara akan hancur. Kam-taihiap telah menderita
penghinaan di waktu negara tidak membutuhkan tenaga Taihiap. Sekarang, di waktu
tenaga Taihiap dibutuhkan, Koksunya tidak segan-segan untuk menggunakan siasat
keji untuk memperoleh tenaga bantuan Taihiap.”
Dibakar
dengan kata-kata demikian, Han Ki tak dapat menjawab, karena memang demikianlah
keadaannya. Biar pun dia sama sekali tidak menaruh dendam terhadap kerajaan
yang pada waktu itu memegang tampuk pemerintahan, namun hatinya mendongkol juga
diingatkan akan kepincangan ketidak-adilan itu.
“Pek-mau
Seng-jin, apa engkau kira akan mampu mempengaruhi hati seorang gagah perkasa
dengan kata-kata manis menyembunyikan racun? Kam-suheng adalah seorang
laki-laki sejati, mana mungkin tunduk menghadapi bujukan palsu dari kaki tangan
negara asing yang memusuhi bangsa sendiri? Pek-mau Seng-jin, apakah engkau lupa
betapa dahulu engkau telah menculik aku dan Suci Maya, kemudian engkau
menghadiahkan kami dua orang anak perempuan yang tak berdaya kepada Coa Sin Cu
sehingga kami dipakai berebutan di antara orang-orang kang-ouw?” Siauw Bwee
membentak.
Pek-mau
Seng-jin terkejut sekali. Tentu saja dia tidak mengenal lagi Siauw Bwee yang
kini telah menjadi seorang dara remaja yang telah dewasa dan jelita. Bahkan
ucapan Siauw Bwee tadi pun masih belum menyadarkannya.
“Maafkan
saya yang telah tua dan pandang mataku tidak tajam lagi sehingga tidak mengenal
Nona. Siapakah Nona yang telah mengenal saya?”
“Pek-mau
Seng-jin, lupakah engkau ketika dahulu berkunjung sebagai utusan Yucen
membicarakan tentang perjodohan antara Pangeran Dhanu dan puteri Kaisar, dan
pada malam hari itu engkau telah menculik dua orang anak perempuan? Seorang
adalah Suci Maya puteri Raja Talibu dari Khitan, sedangkan anak kedua adalah
aku sendiri, anak dari Panglima Khu Tek San.”
Sekarang
teringatlah Pek-mau Seng-jin, bahkan Thai-lek Siauw-hud Ngo Kee dan Panglima
Dailuba mengeluarkan suara tertahan. Mereka teringat akan peristiwa belasan
tahun yang lalu, peristiwa amat hebat bagi dunia kang-ouw, yaitu munculnya
manusia dewa Bu Kek Siansu yang menolong kedua anak perempuan itu!
“Aaahhhh...!”
Pek-mau Seng-jin tidak mampu mengeluarkan kata-kata lagi, wajahnya berubah dan
dia merasa tidak enak sekali, terutama terhadap Kam Han Ki yang disebut suheng
oleh dara itu.
“Pek-mau
Seng-jin, mengingat bahwa engkau tadi telah menolong Suheng, biarlah aku
melupakan urusan lama karena betapa pun juga harus diakui bahwa engkau telah
berjasa dengan perbuatanmu yang tidak pantas itu, yaitu memungkinkan kami
bertemu dengan Suhu. Nah, pertolonganmu tadi berarti telah menebus kesalahanmu
dan urusan lama itu telah beres hari ini. Harap engkau jangan tidak tahu diri,
hendak menciptakan urusan baru dengan membujuk Kam-suheng menjadi pengkhianat.
Di antara kita tidak ada sangkut-paut lagi!”
Lega sekali
hati Pek-mau Seng-jin. Setelah kini dia mendengar bahwa gadis itu adalah sumoi
Kam Han Ki dan mereka itu murid-murid Bu Kek Siansu, tentu saja dia tidak
berani untuk menentang mereka. Hawa pukulan dari Han Ki tadi ketika
menyelamatkan nyawa Bu-koksu dan membuat senjatanya terpental sudah cukup
membuktikan betapa hebat sinkang pemuda itu.
Maka dia
lalu memberi isyarat dengan pandang mata kepada Pangeran Dhanu yang menjura
kepada Han Ki sambil berkata, “Kalau begitu, kita berpisah di sini saja,
Kam-taihiap. Aku hanya dapat menyatakan sayang bahwa di antara kita yang
senasib sependeritaan ini tidak dapat bekerja sama.”
Han Ki
menggigit bibirnya, tidak mau menjawab, hanya balas memberi hormat kepada
rombongan Pangeran itu. Memang benarlah kalau Pangeran itu mengatakan bahwa
mereka berdua adalah senasib sependeritaan, karena keduanya mencinta Sung Hong
Kwi, dan keduanya menderita oleh cinta kasih mereka itu! Dia kini hanya
memandang dengan tenang sambil menekan segala macam perasaan mengenai urusan
pribadinya, memandang kepada rombongan yang pergi meninggalkan tempat itu
dipimpin oleh Koksu Negara Yucen.
Dapat
dibayangkan betapa malu rasa hati Suma Hoat ketika ia melihat dan mendengar
semua itu. Biar pun tidak ada orang yang langsung menuduhnya, namun melihat
sikap Kam Han Ki dan Khu Siauw Bwee sebagai orang-orang gagah yang biar pun
telah diperlakukan penuh penghinaan sehingga mengalami penderitaan oleh
Kerajaan Sung, namun masih menunjukkan kesetiaan terhadap negara dan bangsa.
Ada pun dia,
biar pun keluarga Suma sejak dahulu mendapatkan banyak kemuliaan dalam Kerajaan
Sung, karena terpaksa oleh ayahnya kini telah menjadi pengkhianat dan diam-diam
mengadakan persekutuan dengan Kerajaan Yucen untuk menggulingkan Kerajaan Sung!
Dia merasa rendah sekali, rendah dan kotor kalau dibandingkan dengan Kam Han Ki
dan Khu Siauw Bwee. Dan orang seperti dia telah berani jatuh cinta kepada Khu
Siauw Bwee!
“Biarlah aku
pergi lebih dulu mengurus jenazah Coa-suheng.” Suma Hoat berkata sambil pergi
meninggalkan sepasang orang muda yang sakti itu.
Kam Han Ki
tidak mempedulikan pemuda itu, sedangkan Siauw Bwee hanya balas memandang dan
mengangguk singkat. Setelah kini melihat suheng-nya sembuh sama sekali dari
pengaruh racun perampas ingatan, hatinya girang bukan main, kegirangan yang
amat besar dan yang menutupi semua urusan lain, termasuk kedukaan karena kematian
Coa Leng Bu.
Kini mereka
berdiri berhadapan, saling pandang dan untuk beberapa lama mereka tidak
mengeluarkan kata-kata. Teringat akan cinta kasih di antara mereka pada waktu
Han Ki belum sembuh dan masih belum terbuka kembali ingatannya, wajah Siauw Bwee
menjadi merah sekali, akan tetapi ada rasa khawatir dan tegang di hatinya
melihat betapa sinar mata pemuda itu kini berbeda dari sebelum pemuda itu
sembuh.
Sinar mata
itu masih tajam, bahkan lebih tajam dari sebelumnya, mengandung wibawa yang
amat kuat, masih penuh dengan kasih sayang. Akan tetapi bukankah sejak dahulu
di Pulau Es, Han Ki menaruh kasih sayang kepada kedua orang sumoi-nya? Sekarang
ada sesuatu yang lenyap dari sinar mata itu. Kemesraan! Sebelum sembuh,
suheng-nya yang terang-terangan menyatakan cinta kasih kepadanya itu kalau
memandangnya, tampak jelas kemesraan di dalam sinar matanya dan kini dia
seolah-olah tidak menemukan lagi kemesraan itu.
Han Ki
menghela napas panjang. “Khu-sumoi, betapa banyaknya orang-orang yang telah
melepas budi kebaikan kepadaku. Terutama sekali Coa-lo-enghiong yang telah
mengorbankan nyawa untukku dan yang terutama adalah engkau sendiri. Betapa
engkau sudah banyak menderita, semua untuk menolongku belaka.”
“Aihh,
Suheng. Di antara kita, mana bisa disebut tolong-menolong? Apa artinya semua
yang telah kulakukan kalau dibandingkan dengan budimu terhadap aku semenjak
dahulu? Biar kupertaruhkan jiwa ragaku untukmu masih belum cukup untuk membalas
semua budi kebaikanmu terhadapku, Suheng. Suheng, sudah terlalu lama kita
berpisah, sudah terlalu lama kita merantau dan mengalami hal-hal yang tidak
menyenangkan. Di dunia ramai ini banyak sekali kepalsuan dan kejahatan sehingga
ke mana pun kita pergi, selalu kita bertemu dengan orang jahat dan mengalami
kesulitan. Karena itu, marilah Suheng, marilah kita berdua kembali ke Pulau Es.
Aku rindu sekali kepada tempat kita itu, rindu akan ketenangan, ketenteraman
yang penuh damai di sana.”
“Sumoi,
setelah segala peristiwa yang kualami, engkau tidak dapat membayangkan betapa
rinduku kepada Pulau Es. Bahkan, kembali dan tinggal di sana seumur hidupku
menjadi cita-cita dan harapanku satu-satunya. Akan tetapi, tinggal di sana
seorang diri dengan membiarkan engkau dan Maya-sumoi pergi, merupakan siksa
yang tak tertahankan olehku. Tentu saja aku girang sekali untuk pulang ke Pulau
Es bersamamu dan Maya-sumoi, akan tetapi dia...”
Berkerut
alis Siauw Bwee mendengar ini. Sudah dikhawatirkannya akan demikianlah pendapat
suheng-nya kalau suheng-nya sudah pulih kembali ingatannya! Hampir saja timbul
pikiran bahwa dia akan merasa senang sekali kalau suheng-nya tidak pernah
mendapatkan kembali ingatannya sehingga hanya mencinta dia seorang, tidak
teringat lagi kepada Maya! Akan tetapi cepat-cepat ditekannya perasaan yang dia
tahu amat tidak baik ini, hanya mementingkan kesenangan diri pribadi tanpa
mempedulikan keadaan orang lain!
“Kam-suheng,
apakah Suheng lupa akan sikap Maya-suci kepadaku? Kalau kita mengajak dia
kembali ke Pulau Es, apakah dia tidak hanya akan menimbulkan keributan belaka?
Suheng, Maya-suci membenciku...”
Han Ki
menggeleng kepala dan tersenyum pahit. “Tidak membencimu Khu-sumoi, hanya....”
dia tidak dapat melanjutkan kata-katanya.
“Hanya
karena dia mencintaimu maka dia cemburu kepadaku dan ingin membunuhku, ingin melenyapkan
aku agar tidak menjadi penghalang bagi cintanya?”
“Sumoi,
engkau tentu maklum betapa tersiksa hatiku kalau teringat akan kalian berdua.
Akan tetapi, celakanya, aku pun tidak dapat membiarkan kalian berdua
meninggalkan aku tanpa kuketahui bahwa kalian berdua dalam keadaan selamat.
Baru akan tenang hidupku kalau kalian sudah kembali bersamaku ke Pulau Es.
Sekarang aku akan berusaha agar kalian berdua hidup dengan rukun, sebagai
saudara seperguruan yang saling mencinta.”
“Kam-suheng,
katakanlah sesungguhnya, apakah pernyataan cintamu terhadap aku hanya palsu
belaka dan engkau menyatakannya untuk membalas budi pertolonganku, saja?”
Han Ki
memandang dengan mata terbelalak dan muka berubah pucat. Kemudian ia menarik
napas panjang dan menjawab, “Sumoi, sampai hati benar engkau menuduh aku
seperti itu. Engkau tentu sudah yakin akan cintaku kepadamu, akan tetapi...
harap engkau jangan besikap seperti Maya-sumoi yang hanya mementingkan diri
sendiri saja. Kalau aku hanya menurutkan hati cinta dan ingin hidup senang
sendiri saja, betapa mungkin hatiku akan tenteram dan tenang? Tidak, Khu-sumoi.
Aku baru akan dapat bicara tentang cinta, dapat bicara tentang masa depan kalau
kita bertiga sudah kembali ke Pulau Es. Aku tidak akan menentang perpisahan di
antara kita bertiga karena hidup memang selalu berubah, ada waktu berkumpul
tentu ada waktu berpisah, akan tetapi hendaknya perpisahan itu terjadi dalam
keadaan baik dan tidak seperti yang lalu, saling berpisah dalam keadaan
permusuhan.”
“Suheng,
kita sama mengetahui bahwa Maya-suci mencintamu seperti aku mencintamu pula.
Betapa pun beratnya bagimu, engkau harus mengambil keputusan siapa di antara
kami berdua yang kau cinta. Tanpa keputusan itu, engkau hanya akan menciptakan
permusuhan di antara kami berdua.”
“Sumoi, kita
tunda dahulu urusan cinta ini. Yang penting sekarang kita bertiga harus kembali
ke Pulau Es. Maya-sumoi adalah saudara kita. Sekarang dia telah menyeleweng
demi pembalasan dendamnya dan rela menjadi seorang Panglima Mancu. Apakah
mungkin aku mendiamkannya saja? Tidak, Sumoi. Aku harus menginsyafkannya dan
harus mengajaknya pulang ke Pulau Es. Dengan demikian, barulah aku tidak merasa
berdosa kepada Suhu dan tidak menyia-nyiakan pesan Suhu.”
Siauw Bwee
merasa terdesak. Dara jelita ini menarik napas panjang dan berkata, “Hemmm,
agaknya engkau yang lebih benar, Suheng, dan agaknya akulah yang buta oleh
cemburu. Baiklah, engkau boleh mencoba untuk membujuknya pulang ke Pulau Es,
akan tetapi engkau harus lebih dulu mengantarku ke Pulau Es, baru kau pergi
mencari Suci. Kalau sekarang engkau mencarinya dan mengajaknya kembali ke Pulau
Es, dia tentu akan menolak kalau dia melihat aku bersamamu.”
Han Ki
mengangguk-angguk. Memang tepat kata-kata sumoi-nya ini. Watak Maya amat keras.
Dia masih dapat membujuk dan membikin lunak hati Siauw Bwee, akan tetapi sukar
sekali baginya untuk membujuk Maya kalau sumoi-nya itu melihat Siauw Bwee
bersama dia.
“Baiklah,
Sumoi. Mari kita segera berangkat.”
Dua orang
itu segera mempergunakan ilmu kepandaian mereka berlari cepat menuju ke pantai
untuk melanjutkan perjalanan melalui laut, menggunakan sebuah perahu kecil
menyeberang ke Pulau Es.
Di dalam
perjalanan yang dilakukan dengan cepat ini, Siauw Bwee tidak dapat menahan
keinginan tahunya akan dendam dan sakit hati mereka terhadap musuh-musuh yang
telah mencelakakan keluarga mereka. Dia mengajukan pertanyaan kepada suheng-nya
dengan suara bersungguh-sungguh dan pandang mata tajam menyelidik.
“Suheng,
engkau agaknya berkeinginan keras untuk mengajak aku dan Suci kembali ke Pulau
Es, dan kalau aku tidak salah menduga, engkau ingin sekali melihat kita bertiga
kembali tinggal di Pulau Es dan tidak meninggalkan tempat itu lagi. Benarkah
dugaanku itu?”
Wajah Han Ki
berseri mendengar ini, kemudian dia mengangguk. “Memang demikianlah, Sumoi.
Alangkah bahagia rasa hatiku kalau kalian berdua mau berbaik kembali dan kita
bertiga hidup tenang dan tenteram penuh kebahagiaan seperti dahulu di Istana
Pulau Es.”
Siauw Bwee
mengerutkan alisnya. “Akan tetapi, Suheng. Apakah engkau telah lupa akan dendam
di hati kita? Apakah engkau telah melupakan musuh-musuh besar kita? Apakah
semangat membalas dendam telah padam di hatimu?”
“Sumoi, kita
tidak boleh melupakan ajaran Suhu yang banyak disebut dalam kitab-kitabnya.
Dendam adalah nafsu yang paling buruk dan jahat, sumber dari segala pertentangan
dan permusuhan antara manusia. Dendam adalah sifat yang paling menonjol dari
iba diri dan kalau kita dimabokkan olehnya, hati dan pikiran kita akan menjadi
gelap karena dendam menimbulkan benci dan kebencian menimbulkan kekejaman.
Khu-sumoi, katakanlah, siapakah yang kau anggap musuh besarmu, yang
mendatangkan dendam sakit hati padamu?”
“Siapa lagi
kalau bukan manusia jahat Suma Kiat? Dia telah menyebabkan kehancuran keluarga
ayahku! Manusia itu harus kubunuh untuk membalas dendam keluargaku!”
Han Ki
menarik napas panjang. “Sumoi, engkau telah dapat bersikap baik kepada
puteranya, Suma Hoat, mengapa engkau tidak dapat bersikap sama baiknya kepada
ayahnya?”
“Suma Hoat
seorang yang baik dan dia bersikap baik kepadaku, sedangkan ayahnya adalah musuh
besarku!”
“Hemmm,
betapa tepat wejangan Suhu dahulu! Hutang budi dan dendam hanya merupakan bunga
dari sifat sayang diri belaka. Sumoi, andai kata Suma Kiat tidak berbuat yang
merugikan keluargamu, andai kata dia melakukan hal yang baik seperti yang dilakukan
puteranya, tentu dia takkan kau anggap musuh. Jadi, sama sekali bukan
pribadinya yang membuat engkau mendendam, melainkan perbuatannya terhadap
dirimu! Kalau perbuatan itu baik dan menguntungkan dirimu, maka engkau merasa
berhutang budi! Kalau perbuatannya buruk bagimu dan merugikan dirimu, tentu
akan kau anggap sebagai dendam sakit hati yang harus dibalas. Dengan demikian,
maka terciptalah rantai yang tiada putusnya berupa balas membalas, baik
membalas budi mau pun membalas dendam!”
“Bukankah itu
sudah seharusnya demikian, Suheng? Sudah adil kalau budi dendam dibalas
sehingga menjadi adil namanya? Bukankah sudah demikian pada umumnya hukum
karma?”
Han Ki
menggeleng kepalanya. “Memang demikianlah pendapat umum yang telah menjadi
tradisi usang. Karena kepercayaan dan pendapat turun-temurun seperti inilah
membuat kita terseret ke dalam arus yang dibuat manusia sendiri dan dinamakan
karma. Mata rantai itu terbentuk dari perbuatan-perbuatan yang menghendaki
akhiran yang menyenangkan, perbuatan-perbuatan yang bertujuan, berpamrih.
Apakah artinya perbuatan baik mau pun buruk kalau didasari tujuan tertentu,
berpamrih yang bukan lain hanya pencetusan dari rasa sayang diri belaka?
Perbuatan demikian itu, baik mau pun buruk adalah perbuatan yang tidak wajar,
yang palsu dan karenanya selalu berkelanjutan dan berekor tiada kunjung putus
dan menjadi hukum karma. Layaknya kalau hidup kita ini hanya kita isi dengan
perbuatan-perbuatan palsu yang lebih patut disebut hutang-pihutang? Tiada
kebebasan, tiada kewajaran sama sekali!”
Siauw Bwee
terkejut dan juga terheran mendengar pendapat yang baru sama sekali ini, yang
belum pernah didengarnya. Ia memandang suheng-nya dengan alis berkerut dan dia
membantah, “Akan tetapi, Suheng! Apakah engkau hendak menganjurkan agar kita
tidak usah mengenal dan membalas budi? Suheng! Orang yang tidak mengenal budi
adalah orang yang rendah dan tidak baik!”
Kembali Han
Ki menggeleng kepalanya, memandang sumoi-nya dengan tajam lalu berkata,
suaranya bersungguh-sungguh. “Ucapanmu itu mencerminkan pandangan umum, namun
sesungguhnya pandangan seperti itu adalah tidak tepat, Sumoi.”
’’Mengapa
tidak tepat? Orang harus selalu mengingat budi orang lain yang dilimpahkan
kepadanya dan berusaha untuk membalas budi itu!”
’’Cobalah
renungkan dalam-dalam dan dengarkan baik-baik kata-kataku ini, Sumoi. Orang
yang mengingat dan membalas budi orang lain adalah orang yang menghendaki agar
budinya diingat dan dibalas orang lain pula!”
’’Apa
salahnya dengan itu? Saling membalas budi adalah perbuatan orang sopan dan
baik!”
’’Kalau
sudah dijadikan keharusan balas-membalas, berarti bayar-membayar dan perbuatan
itu tidak patut disebut budi lagi, melainkan semacam hutang-pihutang! Dengan
mengingat dan membalas budi orang lain berarti merendahkan orang itu,
merendahkan pula nilai perbuatannya yang hanya disamakan dengan hutang!
Renungkan baik-baik, Sumoi. Bukankah begitu?”
Siauw Bwee
tercengang, kemudian menarik napas panjang dan mengangguk perlahan. “Wahh,
kebenaran pendapatmu tak dapat dibantah memang, Suheng. Akan tetapi sungguh
janggal, sungguh aneh dan menyimpang dari pendapat umum.”
’’Bukan
pendapatku, Sumoi. Setiap pendapat dari siapa pun juga datangnya, tidak dapat
dibenarkan, karena pendapat hanya memancing pertentangan. Kalau yang kau dengar
tadi kau sebut sebagai pendapaku dan kau anggap benar, tentu akan muncul orang
lain yang menganggapnya tidak benar, maka terjadilah pertentangan. Aku hanya
mengajak engkau bersamaku mempelajari hal itu dan bersama mencari tahu apa
artinya membalas dendam. Sudah jelas sekarang bahwa budi dan dendam hanyalah
pencetusan dari sayang diri yang menciptakan karma, menciptakan sebab dan
akibat. Kalau kita tersesat, takkan pernah kita dapat membebaskan diri dan
hidup ini menjadi sia-sia, menjadi permainan sebab akibat. Karena Si Akibat
sendiri pun berekor dan menjadi sebab dari akibat yang lain lagi. Sedangkan Si
Sebab pun menjadi akibat dari sebab yang terdahulu. Bukankah seyogianya kalau
kita membebaskan diri dari ikatan mata rantai yang tiada kunjung putus itu?”
“Akan
tetapi, Suheng! Manusia jahat macam Suma Kiat telah mengakibatkan kematian
ayahku, kehancuran keluarga Ayah. Mana mungkin aku tinggal diam saja tidak
membalas dendam yang hebat ini?”
”Membalas
dendam dengan cara bagaimana, Sumoi?”
”Tentu saja
dengan membunuh manusia laknat itu!”
”Hemmm,
Sumoi. Engkau bilang bahwa Suma Kiat jahat karena menyebabkan kematian ayahmu,
dan engkau hendak membalas dengan membunuhnya! Kalau dia membunuh ayahmu
kemudian engkau membunuhnya, lalu siapakah di antara kalian berdua yang baik
dan jahat? Mana mungkin melenyapkan kejahatan dengan kejahatan pula? Mana bisa
merubah kekerasan dengan kekerasan pula? Engkau bilang bahwa putera orang yang
kau anggap musuh besarmu itu, adalah seorang yang baik dan bersikap baik
kepadamu. Kalau engkau membunuh ayahnya, biar pun engkau menganggapnya sebagai
akibat perbuatan Suma Kiat, bukankah perbuatanmu itu berubah menjadi sebab
dendam baru, yaitu dendam di hati puteranya, Suma Hoat yang akan membalas
kematian ayahnya?”
”Aku tidak
takut!”
”Bukan soal
takut atau tidak takut yang kita selidiki, Sumoi. Melainkan soal tepat tidaknya
terseret ke dalam mata rantai dendam-mendendam.”
Siauw Bwee
menundukkan mukanya. Tak dapat ia membantah kebenaran baru dan aneh yang
dikemukakan suheng-nya ini. Kematian ayahnya, kehancuran rumah tangga ayahnya
memang akibat perbuatan Suma Kiat. Akan tetapi Suma Kiat tidak akan semata-mata
melakukan hal itu tanpa sebab-sebab tertentu! Dia telah mendengar betapa Suma
Kiat amat membenci keluarga Suling Emas, amat membenci Menteri Kam Liong putera
Suling Emas. Dan karena ayahnya, Khu Tek San adalah murid Menteri Kam Liong,
tentu saja terlibat dalam urusan dendam-mendendam itu dan menjadi korban dalam
membela gurunya.
”Aku tidak
dapat menyangkal kebenaran ucapanmu, Suheng. Aku menurut saja apa yang akan kau
lakukan asal saja engkau...”
Melihat
keraguan sumoi-nya, Han Ki bertanya, “Asal saja aku mengapa, Sumoi?”
”Asal engkau
tidak melupakan... cinta kasih di antara kita...”
Han Ki
tersenyum, akan tetapi hatinya perih. Dia mencinta Siauw Bwee, bukan hanya
cinta seorang suheng terhadap sumoi-nya, melainkan terutama sekali cinta
seorang pria terhadap seorang wanita dan tidak ada cita-cita yang lebih nikmat
dan akan membahagiakan hatinya dari pada hidup sebagai suami isteri untuk
selamanya dengan sumoi-nya ini. Akan tetapi, di sana masih ada Maya! Sebelum
urusan dengan Maya dapat diatasi, bagaimana mungkin cita-cita itu dapat
terlaksana tanpa gangguan?
”Mana
mungkin manusia melupakan cintanya, Sumoi? Yang dapat dilupakan adalah cinta
palsu, cinta birahi belaka yang sama sekali tidak ada harganya untuk
dibicarakan. Nah, kau tinggallah di istana Pulau Es lebih dahulu, Sumoi. Aku
akan kembali ke darat dan mengajak pulang Maya-sumoi.” Mereka telah tiba di tepi
Pulau Es.
Siauw Bwee
meloncat ke darat, memandang suheng-nya yang masih tinggal di dalam perahu,
berkata penuh keraguan, “Bagaimana kalau dia tidak mau, Suheng? Dia mau atau
tidak, engkau... tentu akan kembali secepatnya ke sini, bukan?”
”Dia tentu
dan harus mau!” jawab Han Ki sambil mendayung perahunya dengan cepat ke tengah
laut menuju ke barat, diikuti pandang mata Siauw Bwee yang penuh dengan
keraguan dan kegelisahan.
Dia maklum
akan perasaan hati suheng-nya. Dia tahu bahwa suheng-nya mencintanya, akan
tetapi tahu pula bahwa suheng-nya tidak mungkin dapat berbahagia, tidak dapat
hidup tenteram sebelum membereskan urusan Maya! Dia bertambah gelisah karena
Siauw Bwee juga maklum bahwa suci-nya itu pun mencinta Han Ki. Betapa pun juga,
dia telah menang dalam perebutan cinta kasih itu! Suheng-nya mencintanya!
Pikiran ini melegakan hati Siauw Bwee dan dia membalikkan tubuh perlahan-lahan
berjalan ke tengah pulau, menuju ke Istana Pulau Es yang telah bertahun-tahun
ditinggalkannya itu.....
"Heeii,
berhenti dulu! Kalian mau apa menerobos masuk tanpa permisi?” para pengawal
penjaga gedung Panglima Suma Kiat membentak dan mereka sudah memalangkan tombak
menodong pasukan pengawal berseragam biru yang masuk ke halaman gedung
seenaknya itu.
"Minggir
kalian dan biarkan kami masuk!" Komandan pasukan itu balas membentak
sambil meraba gagang pedangnya.
"Apa?
Kalian pun hanya pasukan pengawal, sama dengan kami. Biar pun engkau komandan
pasukan, akan tetapi kau bukan komandan kami. Siapapun tidak boleh masuk
sebelum ada perkenan dari Suma-tai-ciangkun!"
"Wuuuuttt...
ciattt!" Komandan pasukan pengawal istana Suma-tai-ciangkun itu roboh
dengan leher hampir putus disambar sinar yang tiba-tiba menyerangnya...
Tampaklah seorang laki-laki tinggi besar yang berpakaian mewah telah muncul di situ. Ketika para pengawal melihat laki-laki ini, mereka lebih kaget dari ketika melihat komandan mereka tewas tadi. Serta-merta mereka menjatuhkan diri berlutut karena laki-laki itu bukan lain adalah Bu-koksu! Kini bermunculan pembantu-pembantu Koksu, para panglima tinggi, dan perwira yang memimpin banyak sekali pasukan pengawal yang telah mengurung gedung itu.
Biar pun para pengawal telah menjadi ketakutan ketika melihat Koksu dengan banyak pasukannya, namun ada di antara para pengawal yang berhasil menyelinap masuk ke dalam gedung dan dengan muka pucat, melaporkan kepada Suma Kiat.
”Celaka... Koksu dengan pasukan besar datang menyerbu...!”
Pada sore hari itu Suma Kiat yang ditemani oleh selirnya yang terkasih, Bu Ci Goat dan muridnya, Siangkoan Lee, sedang menjamu seorang tamu yang tiba di siang hari itu. Tamu ini bukan lain adalah Coa Sin Cu, bengcu (pemimpin rakyat) yang bermarkas di hutan pegunungan sekitar Pantai Po-hai. Kakek ini mempunyai hubungan dengan Suma Kiat karena mereka berdua sama-sama bersekutu dengan pemerintah Yucen. Akan tetapi sekali ini Coa Sin Cu datang dengan wajah keruh dan hatinya berat bukan oleh urusan politik, melainkan oleh urusan pribadinya. Dia meninggalkan markasnya dengan hati berat setelah membunuh puteranya sendiri dan isterinya!
Beberapa hari yang lalu, ketika dia pulang malam hari dari perjalanan, pulang secara tidak terduga-duga dan belum waktunya, dia menyaksikan dengan mata kepala sendiri betapa isterinya berjinah dengan puteranya! Liem Cun, isterinya, adalah seorang wanita cantik dan masih muda, sebaya dengan Coa Kiong puteranya yang tampan dan gagah. Menyaksikan adegan yang tak disangka-sangkanya itu naiklah darah ke dalam kepala Coa Sin Cu, membuat matanya gelap dan dalam kemarahan meluap-luap dia langsung mencabut senjata dan membunuh mereka!
Karena tidak dapat menahan kemarahan, kedukaan dan kekecewaan hatinya setelah dia membunuh isteri tercinta dan putera tunggalnya, Coa Sin Cu lalu pergi ke kota Siang-tan menjumpai rekannya, Suma Kiat dan mencurahkan semua isi hatinya yang penuh kedukaan.
Suma Kiat diam-diam tersenyum di dalam hatinya mendengar penuturan sahabatnya yang bernasib malang itu. Hatinya sendiri merasa terhibur karena bukanlah dia pun menderita kecewa dan duka karena putera tunggalnya? Hampir sama persoalannya. Dia pun melihat puteranya, Suma Hoat, bermain gila dengan selirnya terkasih! Akan tetapi dia tidak membunuh putera dan selirnya, dia terlalu mencinta selirnya, dan terlalu sayang kepada puteranya dan dia merasa beruntung sekarang bahwa dia tidak terlanjur membunuh mereka karena kalau hal itu dia lakukan dahulu, agaknya dia pun akan merana dan berduka seperti halnya Coa Sin Cu sekarang ini!
”Aahhh, Coa-bengcu. Seorang laki-laki dapat menanggung segala macam derita hidup! Semua telah berlalu, perlu apa dipikirkan lagi? Pula, kita menghadapi urusan yahg lebih besar dan yang akan dapat merubahkan seluruh jalan hidupmu. Kalau pemerintah Yucen berhasil, tentu jasa kita takkan dilupakan. Setelah kelak engkau memperoleh kedudukan tinggi, apa sukarnya bagimu untuk hidup terhormat, mulia dan mewah, mengambil banyak wanita muda yang cantik dan... ha-ha, memperoleh putera-putera lagi?”
Pada saat itulah, pengawal yang berhasil lari masuk itu tiba di dalam ruangan dengan muka pucat dan napas memburu. Suma Kiat memandang dengan marah, akan tetapi sebelum dia sempat menegur, pengawal itu telah melaporkan akan menyerbuan pasukan yang dipimpin sendiri oleh Bu-koksu!
Mendengar itu Suma Kiat meloncat dari kursinya diikuti oleh Bu Ci Goat dan Siangkoan Lee. Dengan geram dia berkata kepada para penjaga, “Kumpulkan pasukan dan siap menghadapi pasukan Koksu!” Kemudian dia sendiri setelah menyambar senjatanya, diikuti oleh selir dan muridnya.
Mereka melangkah ke luar meninggalkan Coa Sin Cu yang masih duduk dengan muka pucat mendengar berita buruk itu. Dia tidak berani keluar karena takut kalau-kalau mengacaukan tuan rumah, maka dia hanya menyelinap dan bersembunyi di balik pintu sambil mengintai dan mendengarkan.
Setelah tiba di ruangan depan dan melihat Bu-koksu bersama pasukannya, Suma Kiat mengangkat kedua tangan ke depan dada dengan sikap angkuh dan berkata suaranya dingin dan penuh teguran, ”Sungguh amat mengherankan sekali sikap Koksu yang datang berkunjung seperti ini, tanpa pemberitahuan dan secara memaksa. Apa kehendak Koksu?”
Biar pun dalam kedudukannya, dia kalah tinggi dan kalah berkuasa kalau dibandingkan dengan kedudukan Koksu, namun di antara para panglima tinggi, nama Suma Kiat telah amat dikenal sebagai seorang yang dekat dengan raja dan memiliki pengaruh dan kekuasaan tinggi. Sudah turun menurun keluarga Suma menduduki tempat penting dan pemerintahan. Oleh karena inilah maka Suma Kiat berani bersikap angkuh terhadap Bu-koksu.
Akan tetapi Bu-koksu tersenyum mengejek dan berkata dengan suara penuh nada menyindir, “Sikapku ini sama sekali tidak mengherankan kalau dibandingkan dengan perbuatanmu, Suma Kiat. Sebagai seorang panglima tinggi yang telah banyak menerima anugerah dari kerajaan, engkau telah berani berkhianat, menyiapkan pemberontakan dan bersekutu dengan musuh!”
Bukan main kagetnya hati Suma Kiat mendengar ini. Dia memandang tajam dan menyangkal dengan suara keras karena dia mengira bahwa tentu Koksu hanya menuduhnya tanpa alasan atau hanya kira-kira saja, “Bu-koksu! Harap engkau jangan mengeluarkan tuduhan dan fitnahan membabi-buta! Semenjak dahulu keluarga Suma adalah keluarga panglima yang selalu setia kepada raja!”
”Ha-ha-ha, mungkin dahulu demikian. Biar pun nama keluarga Suma tidaklah terlalu harum, akan tetapi belum pernah memberontak terhadap Raja. Akan tetapi, sekarang agaknya engkau akan menjadi juara dalam mengotorkan nama keluarga Suma! Engkau bersekutu dengan Kerajaan Yucen, menjadi kaki tangan Pek-mau Seng-jin, Koksu pemerintah Yucen!”
”Bohong! Fitnah palsu! Apa buktinya?” Suma Kiat masih membantah dan menyangkal keras.
”Buktinya? Ha-ha-ha, masih mau bukti lagi setelah Pat-jiu Sin-kauw dan Thian Ek Cinjin, dua orang kaki tangan Coa-bengcu yang menyelundup menjadi pengawalku itu mengaku sebelum mereka mampus di tanganku? Masih minta bukti setelah aku melihat sendiri anakmu, Suma Hoat membantu Pek-mau Seng-jin? Suma Kiat, pemberontak dan pengkhianat, menyerahlah dengan seluruh keluargamu untuk kami tangkap dan bawa ke pengadilan di kota raja!”
Tentu saja Suma Kiat terkejut sekali mendengar betapa dua orang tokoh pembantu Coa-bengcu itu telah dibunuh setelah disiksa untuk mengaku. Akan tetapi dia lebih kaget lagi mendengar bahwa Koksu telah melihat puteranya membantu Pek-mau Seng-jin. Koksu Negara Yucen! Tidak ada jalan lain lagi baginya kecuali melawan dan berusaha membebaskan diri dari keadaan berbahaya ini.
”Anjing penjilat, kau kira aku takut padamu?” Suma Kiat sudah mencabut pedangnya dan menerjang Koksu dengan kecepatan luar biasa.
Koksu ini telah tahu akan kelihaian Suma Kiat, maka dia pun cepat menangkis dengan golok besarnya. Terdengar suara berkerincing nyaring ketika Koksu ini mainkan goloknya. Golok itu lebar dan panjang, punggung golok dihias gelang-gelang yang mengeluarkan bunyi nyaring berdering dan berkerincing. Dengan tenaganya yang besar, tentu saja golok itu merupakan senjata berat yang amat berbahaya.
Namun Suma Kiat adalah seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali. Ilmu pedangnya Toa-hong Kiam-sut (Ilmu Pedang Angin Badai) amat cepat dan kuatnya, masih dibantu tangan kirinya yang digerak-gerakkan dengan pukulan Hui-tok-ciang (Tangan Racun Api) yang mukjizat dan ampuh sekali. Karena itu, Bu Kok Tai, koksu kerajaan yang berilmu tinggi itu memperoleh lawan yang seimbang ketika berhadapan dengan Suma Kiat.
Suma Kiat memberi isyarat kepada pasukan-pasukan yang masih setia kepadanya sehingga para pasukan pengawal itu menerjang maju, disambut pasukan pengawal Koksu. Siangkoan Lee dan Bu Ci Goat juga sudah mencabut senjata masing-masing dan mengamuk melawan para panglima yang dipimpin oleh Ang Hok Cu, siucai lihai yang menjadi murid Bu-koksu.
Perang kecil yang mati-matian terjadi di ruangan depan dan halaman gedung itu. Akan tetapi jumlah pengawal yang masih setia kepada Suma Kiat jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan jumlah pengawal Bu-koksu, apa lagi karena sejumlah pengawal Suma Kiat sudah menaluk ketika melihat gelagat buruk, bahkan kini mereka membalik dan membantu para pengawal Bu-koksu, menyerang bekas kawan-kawan sendiri dalam usaha mereka mencari keselamatan agar dosa mereka kelak diampuni! Tentu saja hal ini amat mengurangi semangat perlawanan pihak pasukan Suma Kiat dan sebentar saja mereka berjatuhan dan menjadi korban senjata di tangan pasukan Bu-koksu.
Suma Kiat yang bertanding melawan Bu-koksu menjadi marah sekali. Dia kerahkan seluruh tenaga dan kepandaian sehingga Bu-koksu sendiri terdesak mundur. Namun beberapa orang panglima dan pasukan segera membantunya mengeroyok sehingga kembali Suma Kiat terdesak hebat dan terancam keselamatannya.
Pada saat itu, Coa Sin Cu yang tadinya bersembunyi merasa bahwa tidak baik baginya kalau terus bersembunyi karena akhirnya dia akan ketahuan. Maka dengan nekat dia mencabut senjatanya dan menerjang ke luar membantu Suma Kiat.
Melihat munculnya orang ini, Bu-koksu berseru marah dan juga girang. Sudah lama sekali dia menyuruh orang-orangnya untuk berusaha membasmi gerombolan Coa Sin Cu yang memberontak dan sudah lama dia mendengar bahwa orang ini menjadi kaki tangan Kerajaan Yucen. Apa lagi setelah dua orang pengawalnya, Pat-jiu Sin-kauw dan Thian Ek Cinjin, di bawah siksaan berat mengaku bahwa mereka adalah pembantu-pembantu Coa Sin Cu, kebencian Koksu terhadap Coa Sin Cu makin menghebat. Kini sungguh tidak disangkanya bahwa pemberontak itu berada di dalam gedung Suma Kiat.
Dengan suara menggereng hebat, Koksu ini meninggalkan Suma Kiat yang dikeroyok oleh Ang Hok Ci dan para panglimanya. Tubuhnya yang tinggi besar melayang ke depan dan goloknya yang berat mengeluarkan bunyi berkerincing menerjang kepada Coa Sin Cu. Coa Sin Cu terkejut dan cepat menangkis.
“Trangggg... trakkkk!” Golok di tangan Coa Sin Cu patah-patah dan golok besar Bu-koksu terus meluncur membabat leher. Terdengar suara mengerikan dan kepala Coa Sin Cu menggelinding dari tubuhnya. Lehernya putus terbabat golok!
”Keparat...!” Suma Kiat marah sekali, membentak lalu melengking panjang, pedangnya menyambar ganas dan dahsyat ke depan.
Ang Hok Ci yang langsung menghadapinya menggantikan suhu-nya berusaha mengelak dan menangkis, dibantu tiga orang panglima lainnya. Akan tetapi mereka menjerit keras dan roboh dengan perut robek oleh sambaran sinar pedang yang dahsyat itu. Ang Hok Ci berkelojotan dan tewas bersama tiga orang panglima yang membantunya.
Sementara itu, Bu Ci Sian dan Siangkoan Lee juga mengamuk, merobohkan banyak pengawal Bu-koksu, akan tetapi mereka berdua juga menderita luka-luka kecil akibat pengeroyokan yang amat ketat itu. Sedangkan Suma Kiat kembali telah berhadapan dengan Bu-koksu dan belasan orang panglima yang mengurungnya dengan hati-hati karena kepandaian Suma Kiat benar-benar amat hebat.
”Suhu... lebih baik kita pergi...!” Siangkoan Lee berseru. “Subo sudah terluka...!”
Tadinya Suma Kiat hendak mengamuk terus, akan tetapi ketika dia melirik dan melihat betapa paha kiri Bu Ci Goat berdarah, celananya robek sehingga tampak kulit paha putih halus yang terluka, hatinya menjadi tidak tega terhadap selirnya yang tercinta itu. Dia kembali mengeluarkan suara melengking nyaring, sinar pedangnya menerjang ke depan, mernbuat Bu-koksu dan para pembantunya cepat-cepat muncur dan memutar senjata melindungi tubuh. Saat itu dipergunakan oleh Suma Kiat untuk menyambar lengan selirnya, kemudian memutar pedangnya dan membawa selirnya yang terluka pahanya itu meloncat naik ke atas genteng, diikuti oleh Siangkoan Lee.
Karena yang dapat mengimbangi kepandaian Suma Kiat hanya dia seorang diri, Bu-koksu tidak berani mengejar sendirian, hanya memerintahkan anak buahnya menyerang dengan anak panah. Puluhan batang anak panah meluncur ke arah tubuh tiga orang yang melarikan diri itu, namun kesemuanya dapat diruntuhkan oleh senjata di tangan Siangkoan Lee dan Suma Kiat. Tak lama kemudian bayangan mereka menghilang di dalam kegelapan malam yang telah tiba.
Kasihanlah para penghuni rumah gedung Suma Kiat itu, yaitu para pengawal yang tadi melawan dan para pelayan. Mereka dibunuh semua, pelayan-pelayan wanita yang tua dibunuh, yang muda dan cantik diperkosa sampai mati. Kemudian seisi rumah dirampok habis-habisan. Melihat betapa anak buahnya berpesta pora, memperkosa dengan keji, merampok dan membunuh, Bu-koksu mendiamkannya saja. Dia sedang berduka sekali melihat muridnya tewas, dan kecewa melihat Suma Kiat berhasil lolos.
Saking gemasnya dia bahkan memerintahkan membakar rumah gedung itu, kemudian mengirim Pangeran Ciu Hok Ong yang sudah ditangkapnya ke kota raja untuk diadili dan minta kepada Raja agar mengirim pasukan melakukan pengejaran untuk menangkap Suma Kiat. Pangeran Ciu Hok Ong ditangkap tanpa melakukan perlawanan setelah rahasia persekutuannya dengan Koksu Yucen dibocorkan oleh Pat-jiu Sin-kauw dan Thian Ek Cinjin.
Dengan bantuan muridnya yang setia, Suma Kiat berhasil mendapatkan tiga ekor kuda dan dengan cepat dia, selirnya, dan muridnya meninggalkan kota Siang-tan, melarikan diri ke barat. Dapat dibayangkan betapa sengsara keadaan Bu Ci Goat yang terluka pahanya itu, diharuskan melarikan diri siang malam tak pernah berhenti. Suma Kiat maklum bahwa kini dia telah menjadi buronan kerajaan, dan tidak mungkin baginya muncul di dunia ramai karena tentu dia akan ditangkap sebagai seorang pengkhianat atau pemberontak. Satu-satunya jalan terbaik hanya pergi menyeberang ke daerah Kerajaan Yucen.
Akan tetapi dia merasa enggan untuk menghambakan diri kepada bangsa Yucen. Bukan demikianlah cita-citanya. Dia adalah seorang dari keluarga Suma yang terkenal angkuh dan tinggi hati. Kalau dia suka bekerja sama dengan Koksu Yucen adalah karena dia ingin mempergunakan kekuatan Yucen untuk menggulingkan kedudukan Kaisar, membantu Pangeran Ciu Hok Ong menjadi kaisar dan dia sendiri memperoleh kedudukan lebih tinggi, sedikitnya tentu menjadi seorang menteri. Kalau sekarang usaha itu gagal, dia tidak sudi merendahkan diri menjadi kaki tangan bangsa Yucen.
”Suhu, apakah tidak lebih aman bagi Suhu dan lebih baik bagi Subo yang sedang terluka kalau kita menyeberang saja dan minta bantuan Pek-mau Seng-jin di Yucen?” Siangkoan Lee mengajukan usulnya di tengah perjalanan melarnkan diri itu.
Sepasang alis yang sudah bercampur putih itu berkerut dan suara Suma Kiat terdengar marah ketika menjawab, “Siangkoan Lee, ingat baik-baik pesanku. Aku adalah seorang pahlawan yang berjuang untuk rakyat dan negara. Kalau Kaisar lalim, sudah sewajarnya kita memberontak untuk memilih kaisar baru yang lebih baik. Untuk keperluan itu pun tiada salahnya kita mengharapkan bantuan bangsa asing. Akan tetapi itu hanya siasat, bukan berarti kita menghambakan diri kepada bangsa asing! Lebih baik mati dari pada menjual negara kepada bangsa asing. Ingat baik-baik pendirianku ini karena engkaulah yang harus melanjutkan cita-citaku. Engkau bukan hanya muridku, bukan hanya pembantuku, melainkan kuanggap sebagai pengganti puteraku sendiri yang akan kuwarisi seluruh ilmu kepandaianku.”
Siangkoan Lee terkejut dan juga girang sekali. “Terima kasih, Suhu...,” katanya terharu. “Teecu bersumpah akan menaati dan melanjutkan cita-cita Suhu sampai mati!”
Dua hari kemudian, rombongan tiga orang ini terkejut ketika mendengar teriakan dari belakang dan derap kaki sekor kuda yang dibalapkan mengejar mereka. Tadinya mereka hendak mempercepat larinya kuda, akan tetapi ketika mendapat kenyataan bahwa pengejarnya hanya satu orang saja. Suma Kiat menahan kudanya dan membalikkan kuda menanti datangnya seorang pengejar itu.
”Ayah...!”
Kiranya pengejar itu bukan lain adalah Suma Hoat! Pemuda ini dengan muka dan baju basah oleh peluh karena melakukan pengejaran dengan cepat, kini memandang ayahnya, ibu tiri, dan murid ayahnya. Mereka bertiga yang duduk di atas kuda memandang pemuda itu dengan wajah dingin dan sinar mata mengandung penuh penasaran.
”Ayah..., aku... aku mendengar akan penyerbuan Bu-koksu... Aku cepat ke Siang-tan, tapi terlambat... lalu mengejar Ayah...”
”Tutup mulutmu dan jangan sekali-kali menyebut ayah kepadaku, manusia keparat!” Suma Kiat membentak penuh kemarahan.
Suma Hoat terbelalak kaget, wajahnya pucat. “Ayah... mengapa...?”
”Cukup! Sekali lagi menyebut ayah, kubunuh engkau! Manusia laknat, anak durhaka, karena engkaulah kami menjadi begini! Karena Koksu melihatmu bersama Pek-mau Seng-jin maka rahasiaku terbongkar. Agaknya engkau dilahirkan hanya untuk mencelakakan orang tua saja. Mulai saat ini, engkau bukan puteraku lagi dan terkutuklah engkau, akan sengsaralah engkau selama hidupmu!”
“Ayaaahhh...!” Suma Hoat bergidik ngeri mendengar kutukan ayahnya.
“Cet-cet-cet!” Tiga sinar menyambar ke arah Suma Hoat.
Pemuda ini kaget dan maklum bahwa dia telah diserang dengan senjata rahasia oleh ibu tirinya. Tiada waktu lagi untuk menangkis, maka dia cepat melempar tubuhnya dari atas kuda, berjungkir balik dan berhasil menghindarkan diri dari sambaran tiga sinar yang berupa jarum-jarum beracun itu. Akan tetapi kudanya meringkik keras lalu roboh berkelojotan, dada dan perutnya menjadi sasaran jarum-jarum beracun.
Suma Kiat melarikan kudanya diikuti oleh Bu Ci Goat dan Siangkoan Lee. Suma Hoat hanya dapat memandang dengan hati penuh duka. Dua kali dia bentrok dengan ayahnya. Yang pertama kali dia diusir, kini, setelah dia mengorbankan perasaannya membantu ayahnya mengadakan persekutuan dengan pemerintah Yucen, hal yang sama sekali tidak disukainya dan yang hanya ia lakukan demi menyenangkan hati ayahnya, kembali ayahnya marah dan bahkan mengutuknya!
Sejenak pemuda itu hanya berdiri mengikuti bayangan tiga ekor kuda itu dengan wajah pucat, kemudian ia menarik napas panjang, mengeluh di dalam hatinya dan menutupi muka dengan kedua tangannya. Hancurlah dunianya, habis semua pengharapannya. Hatinya sudah remuk oleh kegagalan cintanya.
Hanya ada tiga orang wanita di dunia ini yang pernah dicintanya, yaitu Ciok Kim Hwa, kemudian Khu Siauw Bwee dan Maya! Namun ketiganya gagal, Ciok Kim Hwa yang membalas cintanya tewas. Siauw Bwee dan Maya yang telah menjatuhkan hatinya itu, tidak dapat membalas cintanya karena mereka telah memiliki pilihan hati masing-masing. Kini, ayah kandungnya, satu-satunya orang yang akan dapat didekatinya, bahkan mengutuknya dan tidak mengakuinya sebagai anak lagi. Apa lagi artinya hidup ini baginya?
Siapakah yang harus disalahkannya? Koksu Bu Kok Tai? Tidak mungkin. Diam-diam dia merasa kagum kepada Bu-koksu dan merasa iri hati melihat kesetiaan dan kegagahan Bu-koksu. Mengapa ayahnya tidak dapat bersikap seperti Bu-koksu, seorang pendekar dan pahlawan sejati? Orang-orang gagah seperti Bu-koksu adalah orang-orang segolongan dengan mendiang Menteri Kam Liong yang terkenal karena kesaktian dan kesetiaannya terhadap nusa bangsa. Tidak seperti ayahnya! Mengapa dia mau saja membantu ayahnya yang bersekutu dengan pihak Yucen? Andai kata dia tidak hendak berbaik kembali dengan ayahnya, tidak hendak menyenangkan hati orang tua itu, tentu saja dia tidak akan sudi membantu persekutuan kotor itu.
Suma Hoat menghela napas panjang dan meninggalkan tempat itu dengan wajah pucat, pandang mata sayu dan tubuh lesu. Habis harapannya untuk mendekati ayahnya lagi. Orang tua itu sudah terlampau marah. Dengan ibu tirinya dan Siangkoan Lee di dekat orang tuanya, tidak ada harapan baginya untuk meredakan kemarahan ayahnya. Ibu tirinya dan Siangkoan Lee amat benci kepadanya, dan mereka tentu akan membakar terus hati ayahnya.
Suma Hoat sama sekali tidak tahu dan tidak pernah mengira bahwa keadaan hidup ayahnya sendiri amatlah sengsara semenjak terjadinya peristiwa itu. Suma Kiat yang semenjak dahulu hidup mewah dan mulia, kini kehilangan segala-galanya dan menjadi berduka sekali. Dia sudah tua dan pukulan-pukulan batin itu membuat tubuhnya menjadi lemah dan sakit-sakitan. Mereka bertiga melarikan diri dan bersembunyi di pegunungan Tai-hang-san. Suma Kiat lalu mencari tempat yang cocok dan membangun sebuah tempat peristirahatan di Puncak In-kok-san (Lembah Mega), sebuah di antara puncak-puncak di Pegunungan Tai-hang-san.
Siangkoan Lee yang pandai mengambil hati gurunya berusaha menyenangkan hati suhu-nya itu dengan membangun sebuah bangunan mewah, bahkan menyediakan pelayan-pelayan laki-laki dan wanita muda untuk suhu-nya. Memang Suma Kiat berterima kasih sekali dan kakek ini mewariskan semua ilmu silatnya kepada Siangkoan Lee, namun tetap saja hati Suma Kiat selalu dihimpit kekecewaan dan kedukaan, terutama sekali kalau teringat akan cita-citanya yang hancur dan putera tunggalnya yang durhaka. Semua kedukaan ini ditambah lagi oleh tingkah polah Bu Ci Goat. Setelah berada di pegunungan itu, melihat betapa tubuh Suma Kiat yang makin tua makin lemah tidak mampu lagi melayani nafsu-nafsunya, wanita ini menjadi binal kembali. Semua ini merupakan tekanan dan siksaan batin yang hebat, membuat tubuhnya tidak kuat menahan dan akhirnya kakek itu jatuh sakit.
**************
Seperti telah diceritakan di bagian depan, Maya bersama anak buahnya telah berhasil menyelidiki keadaan musuh di Siang-tan. Biar pun dia kehilangan pembantu-pembantu yang diandalkan, yang tewas dalam keadaan menyedihkan itu, namun dia kini tahu akan kekuatan musuh sehingga tidak terburu-buru melakukan penyerbuan ke Siang-tan.
Setelah mendapat kenyataan bahwa Can Ji Kun dan Ok Yan Hwa berhasil lolos pula dan kembali ke Sian-yang, Maya menjadi makin girang. Tentu saja Yan Hwa tidak menceritakan bagaimana dia dan suheng-nya dapat lolos! Tidak mau menceritakan betapa untuk kebebasan dia dan suheng-nya, dia harus ‘menebusnya’ dengan penyerahan diri kepada Suma Hoat, Si Dewa Cabul! Tebusan yang bukan tidak menyenangkan hatinya!
Setelah mengadakan perundingan dengan para pembantunya dan Pangeran Bharigan, lalu diambil keputusan untuk minta bantuan Panglima Bu, panglima angkatan laut yang memberontak terhadap pemerintah, panglima yang dahulu menolong Maya. Sepasukan tentara istimewa diutus minta bala bantuan ini dan sementara menanti datangnya bala bantuan, Maya dibantu oleh Can Ji Kun dan Ok Yan Hwa, melatih pasukan mereka yang menghadapi perang besar.
Keadaan pasukan Mancu yang bermarkas di Sian-yang dan pasukan Sung yang bermarkas di Siang-tan itu hampir tiada bedanya. Kalau tentara Mancu menanti datangnya bala bantuan dari utara, adalah pihak Sung juga menanti datangnya bala bantuan dari selatan!
Akan tetapi, ternyata bantuan untuk Mancu datang lebih dahulu. Mendengar dari para penyelidiknya bahwa bantuan dari selatan yang diharap-harapkan Bu-koksu belum tiba, pula mendengar juga akan keributan di Siang-tan karena pengkhianatan dan ditawannya Pangeran Ciu Hok Ong dan diserbunya gedung Panglima Besar Suma Kiat, Maya segera mengerahkan pasukannya menyerang ke Siang-tan. Pasukannya kini menjadi besar dan kuat karena memperoleh bantuan.
Tentu saja Koksu Bu Kok Tai terkejut bukan main ketika melihat keadaan bala tentara musuh yang amat besar itu. Mengertilah dia bahwa pihak Mancu telah memperoleh bala bantuan, maka timbul kekhawatirannya. Dia sendiri merasa heran mengapa bala bantuan yang ia harapkan dari selatan masih belum kunjung tiba. Padahal sudah dia perhitungkan bahwa tentu bala bantuannya akan tiba lebih dulu. Terpaksa Bu-koksu lalu mengerahkan segala kekuatan pasukannya, sebagian menyambut musuh di luar tembok benteng, sebagian lagi menjaga benteng dan siap mempertahankan kota Siang-tan dengan mati-matian.
Tiba-tiba datang seorang kurir menghadap Bu-koksu dan menceritakan dengan muka pucat bahwa pasukan bala bantuan dari selatan yang diharapkannya itu di tengah jalan telah dihadang dan diserbu pasukan besar Mancu dan kini menjadi hancur, sebagian besar tewas dan sebagian pula terpaksa melarikan diri kembali ke selatan karena jalannya terputus! Berita yang amat mengejutkan, juga mengherankan hati Bu-koksu. Mengapa mendadak terdapat begitu banyak tentara Mancu yang sempat bergerak di mana-mana? Namun dia tidak memusingkan lagi hal itu, melainkan mencurahkan perhatian untuk menghadapi penyerbuan musuh yang telah makin mendekati tembok benteng kota Siang-tan.
Sebetulnya, apakah yang terjadi? Benarkah bala bantuan dari selatan itu dihancurkan oleh pasukan Mancu? Memang kelihatannya demikian, akan tetapi sesungguhnya bukan pasukan Mancu yang menghancurkan pasukan bala bantuan itu melainkan pasukan Yucen yang menyamar sebagai pasukan-pasukan Mancu! Inilah siasat yang dijalankan secara cerdik sekali oleh Pek-mau Seng-jin, koksu dari Yucen.
Dalam siasatnya untuk melemahkan kedudukan Kerajaan Sung sehingga terancam oleh serbuan-serbuan pasukan Mancu, diam-diam Koksu Yucen mempersiapkan pasukan besar yang menyamar sebagai pasukan Mancu, kemudian menghadang pasukan bantuan itu dan menghancurkannya. Dia sendiri diam-diam berkunjung ke kota raja Sung di selatan dan menawarkan bantuannya untuk menyelamatkan Siang-tan dan mengusir pasukan-pasukan Mancu dengan syarat agar Kerajaan Sung suka menyerahkan daerah yang luas di daerah utara Siang-tan kepada Kerajaan Yucen.
Karena Siang-tan merupakan benteng yang amat penting bagi pertahanan kerajaan di selatan, dalam keadaan terjepit itu Kaisar tidak dapat menolak dan menerima uluran tangan bantuan ini berikut syaratnya! Pek-mau Seng-jin girang sekali, lalu mengerahkan pasukan-pasukannya yang kini telah meninggalkan pakaian penyamaran mereka sebagai pasukan Mancu dan dengan cepat melakukan perjalanan menuju Siang-tan yang sudah terancam dan terkepung oleh pasukan Mancu.
Bu-koksu memimpin sendiri pasukan yang menyambut penyerbuan pasukan Mancu di luar tembok benteng. Perang yang seru dan hebat terjadi di luar tembok benteng. Perang yang terjadi sampai belasan hari lamanya, hanya berhenti di waktu malam untuk dilanjutkan pada keesokan harinya. Akan tetapi akhirnya Bu-koksu harus mengakui keunggulan musuh yang mempunyai jumlah pasukan jauh lebih besar. Terpaksa Bu-koksu menarik sisa pasukannya memasuki benteng, menutup pintu-pintu gerbang benteng dan memperkuat penjagaan.
Maya memimpin pasukan-pasukannya. Diam-diam ia merasa kagum akan kepandaian Bu-koksu mengatur pasukan sehingga pasukan yang lebih kecil itu mampu bertahan sampai belasan hari. Kini Maya menyusun pasukan-pasukannya mengurung kota Siang-tan dan mulailah penyerbuan-penyerbuan untuk membobolkan benteng kota. Namun ternyata bahwa benteng itu kuat sekali, terbuat dari tembok yang tebal dan terjaga ketat dengan barisan-barisan anak panah yang melepaskan anak panah dari tempat terlindung sehingga setiap penyerbuan pasukan Mancu selalu dapat digagalkan dan benteng masih dapat dipertahankan.
Kembali belasan hari lewat dan benteng kota Siang-tan masih juga belum dapat direbut oleh pasukan Mancu. Akan tetapi pihak pasukan yang dipimpin Bu-koksu sudah gelisah sekali. Kota telah dikurung, hubungan luar kota sudah terputus sama sekali dan mereka tidak hanya terancam oleh penyerbuan-penyerbuan lawan, akan tetapi yang lebih mengkhawatirkan lagi, terancam oleh kelaparan karena gudang ransum yang setiap hari dikurung tanpa ada penambahan itu makin menipis isinya.
Keadaan yang mengancam ini membuat semangat perlawanan pasukan Bu-koksu menurun dan akhirnya, tanpa dapat dipertahankan lagi, ketika Maya mengerahkan pasukan intinya menyerbu, bobollah pintu terbesar dan membanjirlah pasukan Mancu menyerbu kota Siang-tan diiringi sorak-sorai yang memekakkan telinga. Kini perang hebat pecah di dalam kota. Suara senjata beradu diseling bentakan dan makian bercampur pekik kesakitan dan keluhan maut mengatasi tangis dan jerit para penduduk kota yang lari ke sana-sini kacau-balau mencari keselamatan keluarga masing-masing.
Maya yang menunggang seekor kuda putih, mengamuk dengan pedangnya. Kudanya meringkik-ringkik, lari ke sana-sini, didahului sinar pedang di tangan panglima wanita itu. Ke mana pun sinar pedangnya menyambar, tentu mengakibatkan robohnya seorang perwira musuh.
Menyaksikan sepak terjang panglima wanita yang hebat ini, Bu-koksu menjadi marah sekali. Dia mencambuk kudanya menghampiri, kemudian sambil membentak marah dia menyerang Maya dengan senjatanya yang juga telah merobohkan banyak anak buah pasukan Mancu. Maya menyambut serangan ini dengan pedangnya dan terjadilah pertandingan dahsyat antara kedua orang pimpinan kedua pasukan yang sedang berperang itu. Akan tetapi pertandingan di antara mereka kurang leluasa karena di situ penuh dengan tentara kedua pihak yang saling terjang, sehingga sering kali mereka terpaksa mundur dan terpisah kembali untuk melayani tentara musuh yang mengepung.
Maya sendiri merasa penasaran bahwa sampai lama dia tidak dapat merobohkan Bu-koksu, maka dia lalu berseru menantang, “Bu-koksu, kalau memang engkau gagah, mari kita bertanding di luar tembok sampai seorang di antara kita roboh binasa!”
”Anjing betina Mancu, siapa takut kepadamu?” Bu-koksu membentak.
Maya mengaburkan kudanya ke luar pintu gerbang yang sudah bobol, dikejar oleh Bu-koksu. Setibanya di lapangan yang luas di luar tembok, Maya berhenti dan begitu Bu-koksu yang mengejarnya tiba, dia langsung mengejar dengan ganasnya dan kembali dua orang perkasa ini bertanding dengan seru dan dahsyat.
Andai kata mereka bertanding ilmu silat biasa, tidak di atas kuda, betapa pun lihainya Bu-koksu agaknya bukanlah lawan Maya dan tak mungkin dia dapat bertahan sampai ratusan jurus. Akan tetapi bertanding di atas punggung kuda lain lagi halnya. Gerakan ilmu silat tak banyak dipergunakan, yang diandalkan hanya kecepatan menggerakkan senjata dan keahlian menunggang kuda, dan tentu saja kecekatan kuda yang ditunggangi memegang peranan penting. Biar pun sudah lama Maya menjadi panglima perang, namun pengalamannya dalam bertanding di atas kuda jauh kalah banyak oleh Bu-koksu dan biar pun gerakan tangannya yang memegang pedang lebih kuat dan cepat, namun kepandaiannya menunggang kuda juga kalah.
Karena inilah pertandingan berlangsung dahsyat dan seru. Sukar bagi Maya untuk merobohkan lawan yang tangguh itu dan dia hanya mampu membuat lawan itu terluka di paha dan pundak kiri. Luka yang tidak terlalu parah biar pun cukup membuat pakaian perang Bu-koksu berlumuran darah. Betapa pun juga, diam-diam Bu-koksu harus mengakui bahwa selamanya belum pernah dia bertemu tanding sehebat nona itu! Lengannya yang memegang golok besar terasa letih sekali karena setiap kali bertemu dengan pedang lawan, lengannya tergetar hebat, tanda bahwa lawannya, seorang nona yang masih amat muda itu memiliki tenaga sinkang yang amat luar biasa! Namun dia tidak mengenal takut, mengambil keputusan untuk berkelahi sampai titik darah terakhir membela negaranya.
”Bu-koksu, bersiaplah untuk mampus!” Maya berseru keras, kudanya meloncat ke depan dan pedangnya menyambar dengan sinar berkilat.
”Tidak begitu mudah keparat!” Bu-koksu membentak dan menangkis.
”Tranggg...!” Untuk ke sekian ratus kalinya, pedang Maya bertemu dengan golok besar di tangan Bu-koksu. Bunga api berpijar dan kedua senjata itu melekat karena keduanya telah menyalurkan tenaga dan kini mereka mengadu tenaga melalui senjata mereka yang saling melekat itu.
”Tahan senjata...!” Tiba-tiba tampak bayangan orang berkelebat dari atas tembok benteng dan ternyata orang itu adalah Suma Hoat!
Dengan gerakan seperti seekor burung raksasa terbang melayang turun dari tembok, Suma Hoat mendorongkan kedua tangannya ke arah dua tangan yang memegang senjata. Maya dan Bu-koksu terkejut, tidak tahu siapakah di antara mereka yang dibantu pemuda itu. Maka keduanya lalu menarik senjata masing-masing, menahan kuda dan memandang Suma Hoat yang telah berdiri di antara mereka dengan alis berkerut.
Sudah sejak tadi Suma Hoat menonton pertandingan hebat antara Bu-koksu dan Maya. Dia berhasil menyelundup masuk ke kota Siang-tan dan menyamar sebagai seorang perwira. Ketika ia melihat betapa Bu-koksu terancam bahaya maut di ujung pedang Maya, dia merasa tidak tega. Di dalam hati pemuda ini timbul rasa haru dan kagum menyaksikan betapa Bu-koksu mempertahankan negara dengan mati-matian, sikap gagah perkasa yang jauh berbeda dengan sikap ayahnya. Bu-koksu seorang pahlawan sejati!
Biar pun Bu-koksu telah menyerbu dan menghancurkan rumah tangga ayahnya, namun Suma Hoat tidak dapat menyalahkan Koksu itu yang hanya memenuhi tugasnya sebagai seorang koksu yang setia kepada kerajaan. Maka begitu menyaksikan koksu itu terluka dan melawan mati-matian menghadapi Maya, dia merasa tidak tega. Apa lagi karena yang mengancam hendak membunuh pahlawan itu adalah Maya, gadis yang dicintanya.
”Suma Hoat, apakah engkau hendak membelanya? Kalau begitu, engkau akan mampus pula di tanganku!” Maya membentak nyaring.
”Maya, harap engkau sadar bahwa engkau telah mengambil jalan sesat. Sama sekali tidak kusangka bahwa engkaulah yang memimpin pasukan Mancu, padahal engkau bukan seorang gadis Mancu. Engkau malah penghuni Istana Pulau Es! Bagaimana mungkin engkau merendahkan diri sampai begini rupa, membantu pasukan asing menyerang bangsa sendiri?”
”Suma Hoat, mulutmu palsu!” Tiba-tiba Bu-koksu membentak dan menudingkan golok besarnya. “Engkau sendiri adalah anjing penjilat Kerajaan Yucen, seorang pengkhianat hina!”
”Koksu, tidak perlu menilai diriku yang memang seorang yang tidak berharga. Akan tetapi engkau adalah seorang pahlawan yang gagah, karena itu aku tidak sampai hati melihat engkau gugur di sini. Sedangkan Nona Maya adalah penghuni Istana Pulau Es, tidak semestinya menjadi pengkhianat. Karena mengingat akan keadaan kalian berdua, maka aku memberanikan diri untuk melerai. Nona Maya, demi nama besar Pendekar Sakti Suling Emas, Pendekar Sakti Mutiara Hitam, demi nama Bu Kek Siansu...”
”Jangan sebut-sebut nama guruku!” Maya membentak.
Diam-diam Bu-koksu terkejut bukan main karena sama sekali dia tidak pernah menyangka bahwa lawannya yang lihai ini adalah penghuni Istana Pulau Es yang hanya didengarnya seperti dalam dongeng, apa lagi murid manusia dewa Bu Kek Siansu!
”Nona Maya, aku hanya mengharap agar engkau suka insyaf dan tidak membantu Mancu untuk menghancurkan bangsa sendiri”
”Cukup! Aku memang sengaja menggunakan pasukan Mancu untuk menghancurkan Kerajaan Sung! Engkau tahu, akulah Puteri Maya, akulah puteri Raja Khitan! Kerajaan Khitan telah hancur karena pemerintah Sung, Mongol, dan Yucen! Aku telah bersumpah untuk membasmi ketiga kerajaan itu! Bukan sekali-kali aku menghambakan diri dan menjadi pengkhianat membantu Mancu, melainkan untuk membalas dendamku. Nah, Suma Hoat, engkau sebagai putera Suma Kiat musuh besarku, telah kuampunkan. Sekarang minggirlah!”
Kembali Maya menyendal kendali kudanya sehingga binatang itu meloncat ke depan dan dia sudah menyerang Bu-koksu dengan kelebatan pedangnya secara bertubi-tubi. Bu-koksu tadinya berdiri tercengang, akan tetapi siapa pun adanya wanita ini, kalau dia berdiri di pihak Mancu berarti musuhnya dan harus dilawan mati-matian.
”Trang-cring-trang...!” Pedang dan golok beradu bertubi-tubi dan Suma Hoat menjadi bingung, tidak tahu harus membantu siapa.
”Sumoi!”
Tampak bayangan berkelebat dan tahu-tahu kedua orang yang sedang bertanding itu terpental ke belakang karena tertolak oleh tenaga yang amat dahsyat, membuat tubuh mereka terlempar dari atas punggung kuda. Namun berkat ilmu kepandaian mereka yang tinggi, Bu-koksu dan Maya tidak terbanting roboh, hanya berjungkir balik dan berdiri dengan senjata siap di tangan.
”Suheng...!” Maya berseru dengan muka berubah pucat ketika melihat siapa orangnya yang membuat dia terpental tadi.
”Kam-siauwte...!” Bu-koksu juga berseru kaget dan girang, mengharapkan bantuan orang yang dia tahu amat sakti ini.
Akan tetapi Han Ki, pemuda yang baru datang itu, tidak mempedulikannya, melainkan menghampiri Maya dan memandang dengan alis berkerut. ”Maya-sumoi, mengapa engkau masih juga melanjutkan kesesatanmu? Tidak malukah engkau? Tidak ingatkah bahwa engkau adalah keturunan orang-orang gagah perkasa yang lebih baik mati dari pada melakukan pengkhianatan? Di dalam tubuhmu mengalir darah Khitan dan Han, bagaimana sekarang engkau dapat membantu Mancu untuk menghancurkan bangsa sendiri?”
”Suheng, engkau boleh melupakan segala dendam, akan tetapi aku tidak! Orang tuaku, kerajaan ayahku, telah hancur oleh Kerajaan Sung. Kalau belum membasmi Kerajaan Sung, aku belum puas!”
”Engkau keliru, Sumoi. Bukan Kerajaan Sung yang menyebabkan kehancuran Kerajaan Khitan, melainkan perang dan pengkhianatan! Dan perang ditimbulkan bukan oleh siapa-siapa, melainkan oleh manusia sendiri, oleh engkau dan aku dan kita semua! Ayah bundamu gugur sebagai pahlawan-pahlawan yang membela bangsa dan negara. Apakah engkau sekarang hendak gugur sebagai seorang pengkhianat?”
Pucat sekali wajah Maya ketika dia memandang suhengnya. Suaranya tersendat-sendat ketika dia berkata, “Suheng, engkau terlalu! Engkau tahu mengapa aku sampai menjadi begini, engkau tahu mengapa aku sampai meninggalkan Pulau Es. Engkau tahu pula mengapa aku melanjutkan semua ini setelah berjumpa denganmu di medan perang! Mengapa engkau hendak menyalahkan aku saja dan sama sekali tidak ingat bahwa engkaulah gara-gara semua ini? Engkau menolak untuk membawaku sendiri saja ke Pulau Es, engkau ragu-ragu dalam cintamu terhadap diriku... padahal hanya engkau seorang harapanku...! Engkau telah menghancurkan harapan dan cintaku... engkau....” Maya menggigit bibir terisak dan tiba-tiba dia menekuk pedang dengan kedua tangannya.
”Krekkk!” Pedang itu patah berkeping-keping dan dibuangnya ke atas tanah.
”Lihat, seperti itulah hatiku, Suheng. Sekarang tinggal hanya dua pilihan bagiku. Kalau engkau suka bersamaku, berdua saja kembali ke Pulau Es, aku akan meninggalkan semua ini dan selamanya akan tunduk kepadamu. Kalau engkau menolak lagi, aku akan melanjutkan perang ini dan akan mengamuk terus sampai mati!”
”Ohhhh...!” Seruan ini keluar dari mulut Suma Hoat.
Wajah pemuda itu pucat sekali. Kiranya Maya, gadis terakhir yang menjatuhkan hatinya, yang dicintanya, yang diharapkan akan dapat membalas cintanya, kiranya telah mencinta Kam Han Ki, seperti halnya Khu Siauw Bwee!
Han Ki sendiri sudah menduga akan pendirian Maya seperti itu. Dia merasa tidak baik untuk berbantahan di depan banyak orang, maka dia hanya berkata, “Sumoi, mari ikut aku pergi...!” Tubuhnya berkelebat ke depan.
Maya tarkejut dan berusaha meronta malepaskan diri. Akan tetapi Han Ki telah menotoknya dan berlari pergi cepat sekali, membawa tubuh sumoinya dalam kempitan.
”Kam-taihiap, tunggu...!” Suma Hoat berteriak, kemudian tubuh pemuda ini juga berkelebat lenyap.
Dia mengerahkan seluruh kepandaian untuk mengejar Kam Han Ki, akan tetapi tentu saja dia tertinggal jauh sekali. Namun, Suma Hoat terus mengejar sambil berseru-seru memanggil. Hatinya menjadi penasaran sekali. Mana mungkin Kam Han Ki menerima cinta kasih dua orang gadis itu? Biarlah Kam Han Ki memilih seorang di antara mereka, dan yang seorang lagi, tidak peduli yang mana karena dia sudah tergila-gila dan jatuh cinta kepada kedua orang gadis itu, biarlah menjadi isterinya kalau ditolak oleh Kam Han Ki, penghuni Istana Pulau Es!
Perang berlangsung terus biar pun Maya telah pergi. Akan tetapi tentu saja semangat berjuang para pasukan Mancu telah menurun hebat setelah panglima wanita yang mereka agungkan dan agulkan itu lenyap. Apa lagi setelah muncul pasukan Yucen yang membantu bala tentara Sung, pihak Mancu menjadi kewalahan dan terpaksa melarikan diri setelah meninggalkan banyak anak buah pasukan yang roboh. Pangeran Bharigan sendiri terluka, namun luka di tubuh itu tidaklah seperti luka di hati Sang Pangeran karena lenyapnya Maya, panglima yang amat diandalkan, dan juga wanita yang amat dicintanya itu.
******************
Air laut di sekeliling pulau itu tenang sekali dan di sana-sini tampak gumpalan es sebesar bukit, mengambang tidak bergerak. Pulau Es tampak sebagai seorang raksasa putih, atau sebuah patung raksasa terbuat dari batu pualam putih sedang tidur telentang. Sinar matahari yang tertutup awan tipis dan kabut laut masih cukup kuat untuk menimpa permukaan Pulau Es, membuat pulau yang aneh itu berkilauan permukaannya. Bangunan istana di tengah pulau yang telah lama ditinggalkan penghuni-penghuninya sehingga hampir tertutup dan tertimbun salju tak terurus, kini tampak bersih kembali setelah Han Ki, bersama dua orang sumoi-nya kembali ke pulau.
Biar pun kadang-kadang hatinya menjadi panas dan cemburu kepada Siauw Bwee kalau teringat akan cinta kasihnya kepada Han Ki, namun begitu bertemu dengan Siauw Bwee di Pulau Es, Maya segera menubruk dan memeluknya. Demikian pula dengan Siauw Bwee yang merasa terharu dan rindu kepada sucinya itu. Dua orang ini pernah tinggal sampai bertahun-tahun di atas Pulau Es sebagai saudara, senasib sependeritaan. Hanya karena cinta dan cemburu saja mereka bermusuhan dan timbul rasa benci di hati mereka. Kini setelah berpisah lama, perjuangan antara mereka mendatangkan rasa terharu dan timbul kembali rasa kasih sayang di antara mereka.
”Sumoi..., aku banyak salah kepadamu, maafkan aku, Sumoi...”
”Aihhh, Suci, jangan berkata demikian. Akulah yang telah banyak kesalahan kepadamu, Suci. Akulah yang mohon maaf kepadamu...”
Han Ki menarik napas panjang menyaksikan pertemuan antara kedua orang sumoi-nya itu. “Nah, begitulah, kedua sumoiku yang baik. Antara saudara sewajarnya saling mengalah dan saling memaafkan kalau ada kesalahan. Kita bertiga senasib, bertahun-tahun melatih diri di pulau ini sesuai dengan kehendak Suhu. Karena itu baru bahagialah hidupku melihat kita bertiga dapat kembali di sini.”
Begitu dua orang dara itu mendengar suara Han Ki dan kini melepaskan pelukan menoleh ke arah pemuda itu, timbullah kembali persoalan rumit yang mengganggu hati mereka. Hampir berbareng keduanya membentak, “Akan tetapi, Suheng...!”
Han Ki cepat mengangkat kedua tangan ke atas. “Cukup, bukan waktunya kita bicara. Biarlah kelak kita bicarakan urusan yang menyangkut antara kita dengan tenang dan perlahan-lahan. Sekarang yang terpenting adalah membereskan dan membersihkan Istana Pulau Es. Lihat betapa kotor dan tak terpelihara semenjak kalian berdua pergi meninggalkannya.” Han Ki menudingkan telunjuknya.
Ketika dua orang dara itu memandang dan menyaksikan keadaan istana tua itu, mereka menjadi terharu dan tanpa banyak membantah mereka berdua membantu Han Ki membersihkan istana itu. Ketika mereka membersihkan ruangan di mana dahulu tiga buah arca mereka disimpan, Maya dan Siauw Bwee segera bertanya mengapa arca mereka bertiga kini tidak tampak lagi berada di situ.
Han Ki menarik napas panjang ketika menjawab, “Gara-gara kalian berdua meninggalkan aku seorang diri di sini, hatiku merana setiap hari, apa lagi kalau aku melihat arca kita bertiga yang masih berkumpul di sini. Pada suatu hari aku tidak dapat menahan gelora hatiku dan kuhancurkan ketiga arca buatanku itu yang kuanggap merupakan penggoda yang selalu memberatkan hati.”
”Ihhh, Suheng! Arca yang tidak bersalah apa-apa menjadi korban kemarahan dan kedukaan hatimu. Sungguh tidak adil. Aku yang bersalah mengapa arcaku yang dihancurkan?” Siauw Bwee mencela.
”Sumoi benar! Akulah yang menjadi gara-gara, mengapa arcaku yang amat baik itu, yang tidak berdosa apa-apa, dihancurkan? Suheng, kau harus membuatkan arcaku lagi yang baru!” Maya juga mencela.
Han Ki tersenyum. Senyum yang sudah lama sekali meninggalkan bibirnya semenjak dia ditinggalkan dua orang sumoi-nya, senyum gembira. “Jangan kwawatir, aku telah siap untuk membuatkan gantinya yang lebih indah lagi. Untuk keperluan itu, aku sudah mendapatkan bahannya, yaitu batu pualam putih yang kudapatkan di atas pulau tak jauh dari sini. Inilah batu-batu itu!” Dia memperlihatkan tiga bongkah batu pualam putih yang bersih dan indah sehingga kedua orang dara itu memandang berseri dan lenyap kekecewaan mereka.
Setelah selesai membersihkan Istana Pulau Es, Han Ki menurunkan latihan Ilmu Swat-im Sinkang yang menghimpun tenaga sakti yang dingin, merupakan inti dari hawa dingin di Pulau Es.
”Dengan memiliki sinkang ini, kalian akan menjadi jauh lebih kuat, dan tidak percuma menjadi penghuni Istana Pulau Es. Latihan ini tidak ringan, karena kalian harus berlatih siang malam di tempat terbuka, terutama sekali pada tengah malam. Kalian dapat menyedot inti hawa dingin salju di waktu hawa sedang dinginnya. Im-kang yang kalian miliki dahulu itu sudah cukup kuat untuk menjadi dasar, sehingga untuk dapat melatih Swat-im Sinkang dengan sempurna, kalian hanya memerlukan waktu tiga bulan. Mari kuajari cara berlatih dan kupimpin untuk memberi contoh semalam ini.”
”Nanti dulu, Suheng,” tiba-tiba Maya berkata, suaranya bersungguh-sungguh sehingga Han Ki dan Siauw Bwee mendengarkan penuh perhatian. Mereka bertiga duduk bersila di atas tanah yang tertutup salju, duduk begitu saja karena memang demikian yang dikehendaki Han Ki untuk melatih Swat-im Sinkang.
”Kau hendak bertanya tentang apa, Maya-sumoi?” Han Ki bertanya.
”Suheng, kurasa engkau lupa bahwa aku dan Sumoi bukanlah kanak-kanak lagi seperti beberapa tahun yang lalu sehingga luculah kalau Suheng memperlakukan kami seperti dua orang anak perempuan yang masih kecil! Memang latihan Swat-im Sinkang seperti yang Suheng terangkan amat penting bagi kemajuan ilmu-ilmu kami, akan tetapi ada hal yang jauh lebih penting lagi yang Suheng lupakan, atau sengaja Suheng lewatkan begitu saja sebagai hal yang tidak penting.”
Han Ki memandang tajam, hatinya merasa tidak enak. “Maya-sumoi, apakah maksudmu? Hal apakah yang kulupakan?”
”Suheng, lupakah engkau untuk apa engkau mengajak aku ke pulau ini? Apa pula artinya engkau mengajak Sumoi pulang ke Pulau Es? Suheng, bukankah aku pernah menyatakan bahwa aku hanya mau kembali ke Pulau Es bersamamu, meninggalkan semua urusan dendam pribadi, kalau engkau mau menerima aku sebagai isterimu?”
”Maya-sumoi!”
”Suheng, kuulangi lagi. Aku dan Sumoi bukanlah anak-anak kecil lagi! Tak perlu kiranya dirahasiakan lagi karena memang bukan rahasia bagi kita bertiga bahwa aku mencintamu, Suheng, juga bahwa Khu-sumoi mencintamu pula. Ada pun engkau sendiri, sikapmu sungguh menyakitkan hati. Engkau kelihatan mencintaku, akan tetapi juga menyayang Sumoi. Hal ini tidak bisa dilanjutkan tanpa pernyataanmu untuk menentukan, untuk mengambil keputusan. Sebenarnya, siapakah di antara kami yang Suheng cinta dan pilih untuk menjadi isteri?”
Han Ki menjadi pucat wajahnya, sedangkan Siauw Bwee yang tadinya berseri karena merasa yakin bahwa tentu suheng-nya yang jelas telah menyatakan cinta kasihnya kepadanya, akan terang-terangan memilih dia, kini menjadi cemas melihat suheng-nya kelihatan bingung.
”Khu-sumoi, bagaimana pendapatmu?” Tiba-tiba Maya berkata kepada sumoi-nya. “Bukankah sudah adil dan semestinya kalau Suheng tidak menyiksa hati kita berdua dan mengambil keputusan dengan sejujurnya?”
Khu Siauw Bwee menelan ludah, sukar untuk menjawab. Dia pun seorang dara yang keras hati dan tabah, namun dia benar-benar tidak sanggup untuk bersikap terbuka dan terang-terangan seperti Maya, bicara begitu jujur mengenai urusan cinta! Maka dia hanya dapat mengangguk saja karena memang dia setuju sekali akan pendapat Maya itu. Suheng-nya memang harus dapat memutuskan urusan mereka itu agar tidak menyiksa hati lagi, mengambil pilihan sehingga tidak menimbulkan perasaan cemburu.
Kam Han Ki menarik napas panjang. Memang hal inilah yang dia khawatirkan semenjak dia mengajak Maya dengan paksa kembali ke Pulau Es. Tadinya dia hendak mengulur waktu, membuat mereka berdua itu lupa akan urusan cinta dengan mengajarkan ilmu-ilmu yang tinggi. Harus dia akui bahwa cinta kasih hatinya condong kepada Siauw Bwee, akan tetapi betapa mungkin dia mengakui hal itu di depan Maya dan menghancurkan perasaan hati Maya yang amat disayangnya itu?
”Maya-sumoi dan Khu-sumoi... sungguh berat sekali rasa hatiku menghadapi pertanyaan dan desakan kalian ini. Kalian adalah dua orang sumoi-ku, yang semenjak kecil bersama-samaku di sini. Aku sayang kepada kalian berdua, aku rela membela kalian berdua dengan taruhan nyawaku. Aku sayang kalian seperti sayang diriku sendiri, bagaimana mungkin aku akan dapat menyakiti dan menyiksa hati kalian, dua orang sumoi-ku yang tercinta, dan hanya kalian berdua saja yang kumiliki di dunia ini?”
Hening sampai lama setelah Han Ki mengeluarkan kata-kata ini dan pemuda itu menundukkan mukanya, cemas sekali menantikan apa yang akan diucapkan oleh mulut kedua orang sumoi-nya itu. Maya dan Siauw Bwee memandang kepada Han Ki dengan sinar mata tajam seolah-olah sinar mata kedua dara itu hendak membelah dada menjenguk isi hati Han Ki.
Mereka berdua, terutama Siauw Bwee, merasa penasaran sekali. Bukankah suheng-nya itu telah menyatakan cinta kasihnya ketika dirawatnya dahulu? Akan tetapi, ketika itu, ingatan suheng-nya belum pulih benar sehingga pada waktu itu di dunia ini tidak ada gadis bernama Maya bagi suheng-nya. Sekarang lain lagi! Di sampingnya terdapat Maya, seorang dara yang ia tahu amat cantik jelita dan berilmu tinggi, seorang dara yang amat disayang oleh suheng-nya.
”Suheng, kami berdua kini adalah gadis-gadis yang telah dewasa, bukan kanak-kanak lagi. Karena itu, aku pun maklum akan kesulitan yang Suheng hadapi. Semenjak kecil kita bertiga berada di sini, senasib sependeritaan, maka beratlah bagi Suheng kalau di antara kita sampai terpecah. Maka aku mempunyai usul, kalau saja Suheng dan Sumoi dapat menerimanya untuk mengatasi kesulitan ini.”
Terima kasih telah membaca Serial ini
terimakasih
ReplyDelete