Friday, May 18, 2018

Cerita Silat Serial Istana Pulau Es Jilid 24



























         Cerita Silat Kho Ping Hoo
           Serial Istana Pulau Es 
                      Jilid 24


Dengan wajah berseri Siauw Bwee bangkit dan menarik tangan suheng-nya, kemudian dia menggandeng tangan suheng-nya. Tanpa malu-malu dia menjumpai supek-nya yang sedang menjemur akar dan daun obat.

“Supek! Aku telah mendapatkan cara untuk menyembuhkan Suheng dengan cepat!”

“Eh?” Coa Leng Bu tertegun dan pura-pura tidak melihat betapa sepasang pipi dara itu kemerahan dan tangan dara itu dengan mesranya menggandeng tangan Han Ki.

“Kami berdua akan menggunakan Im-kang untuk mengusir hawa panas dari kepala Suheng.”

“Ahh, berbahaya sekali, Lihiap! Tenaga Im-kang tak dapat dikendalikan, dan dapat membahayakan kalau tersalur memasuki kepala!”

“Kalau bisa mengendalikan Im-kang, bagaimana?” Siauw Bwee bertanya sambil tersenyum.

“Tentu saja mungkin dapat menyembuhkan, akan tetapi betapa kalian dapat mengendalikan Im-kang? Hal itu membutuhkan tingkat yang amat tinggi, barang kali hanya Suhu Bu-tek Lo-jin saja yang mampu.”

“Hemm, bagaimana untuk mengukur ketinggian Im-kang?”

“Sukar dibicarakan, akan tetapi kalau sudah dapat membekukan air menjadi salju berarti sudah mencapai tingkat amat tinggi dan itu pun harus dilakukan dengan hati-hati sekali.”

“Begitukah? Coa-supek, kau lihatlah baik-baik, kemudian nyatakan pendapatmu!”

Siauw Bwee menghampiri sebuah panci yang penuh dengan air, kemudian ia memasukkan tangan kanannya ke dalam air itu, mengerahkan Im-kang beberapa menit lamanya. Kemudian ia menarik tangannya dan... Coa Leng Bu memandang dengan mata terbelalak ketika melihat air itu telah membeku menjadi es dan ikut tertarik ke luar! Siauw Bwee memasukkan lagi air beku itu ke dalam panci, kemudian perlahan-lahan ia merubah Im-kang menjadi Yang-kang. Air beku itu mencair, terus berubah makin panas sampai akhirnya mendidih di dalam panci!

“Moi-moi, kau mengagumkan sekali!” Han Ki berseru gembira.

Dia pun menghampiri sebuah tempayan air, menyodok air dengan tangannya dan begitu tangannya diangkat, air yang berada di telapak tangannya telah membeku, jauh lebih cepat dari yang dilakukan Siauw Bwee tadi!

Kedua kaki Coa Leng Bu menggigil saking tegang dan kagetnya, dan tak terasa lagi kedua lututnya ditekuk dan dia telah berlutut sambil berkata, “Ya Tuhan..., selama ini kedua mataku seperti buta, tidak melihat bahwa Ji-wi adalah orang-orang muda yang memiliki ilmu kepandaian seperti malaikat...!”

Siauw Bwee meloncat dan menarik lengan kakek itu, memaksanya bangkit. “Aihh, Coa-supek, apa-apaan ini? Aku hanya ingin mendengar pendapatmu, bagaimana? Apakah kami berdua cukup kuat untuk menggunakan Im-kang mengusir hawa panas yang melenyapkan ingatan Suheng?”

Coa Leng Bu mengangguk-angguk, menelan ludah, masih terpesona, akhirnya ia menghela napas dan berkata, “Kalau aku tahu bahwa kalian memiliki Im-kang sehebat itu, tentu saja boleh dilakukan. Hanya kalian harus berhati-hati benar, karena sedikit saja mengalami kekagetan dan gangguan, bisa menimbulkan bahaya. Syaraf di kepala amatlah halusnya, dan sedikit gangguan saja membahayakan nyawa.”

“Aku ingin Suheng segera sembuh. Biarlah kami melakukannya di dalam pondok dan harap Supek suka menjaga di luar pondok agar tidak terjadi gangguan.”

“Baiklah, kalian adalah dua orang muda yang amat luar biasa. Sungguh hampir aku tak dapat percaya...”

“Coa-supek, kami adalah murid-murid Bu Kek Siansu, penghuni Istana Pulau Es. Bertahun-tahun kami melatih Im-kang di Pulau Es, apa anehnya kalau kami memiliki keahlian dalam menyalurkan hawa sakti yang membekukan air?”

Sepasang mata Coa Leng Bu terbelalak. “Murid-murid... manusia dewa itu...? Dan aku telah membiarkan diri kau sebut supek? Betapa menggelikan dan memalukan! Aihhhh... setua ini masih tolol...!”

“Sudah, Supek. Harap suka menjaga di luar, kami hendak mulai sekarang juga. Marilah, Koko.”

Han Ki hanya tersenyum dan mengikuti gadis itu memasuki pondok. Sebetulnya dia masih belum percaya bahwa dia menderita sakit, dan hanya mengira bahwa kehilangan ingatan adalah karena suatu sebab yang mungkin diketahui oleh kakak angkatnya, Bu Kok Tai, Koksu Negara Sung. Akan tetapi menyaksikan kegembiraan dan harapan Siauw Bwee, dia tidak tega untuk menolak. Pula, bermain-main dengan tenaga Im-kang itu, apa sih bahayanya?

Siauw Bwee menutupkan daun pintu pondok, kemudian duduk bersila saling berhadapan dengan Han Ki. Sejenak mereka saling pandang. Han Ki tersenyum seperti melihat kelakuan seorang anak kecil yang mengajaknya bermain-main, sebaliknya Siauw Bwee memandang dengan sungguh-sungguh dan berkata,

“Koko, percaya atau tidak bahwa engkau terkena hawa beracun yang melenyapkan atau menutupi ingatanmu, namun engkau sendiri sudah yakin bahwa ingatanmu hilang dan engkau tidak dapat mengingat akan keadaanmu sebelum engkau menjadi adik angkat Koksu Bu Kok Tai itu. Apa pun yang menjadi sebabnya, sudah jelas bahwa ingatanmu hilang dan kita harus berusaha untuk menyembuhkanmu. Coa-supek adalah seorang ahli yang berpengalaman, maka aku percaya bahwa hawa panas beracun telah membuatmu kehilangan ingatan. Oleh karena itu, harap engkau bersungguh-sungguh bersamaku menyatukan Im-kang, kau kendalikan baik-baik untuk mengusir hawa panas beracun yang menggelapkan ingatanmu itu. Maukah engkau?”

Han Ki tersenyum dan melihat bahwa pemuda itu agaknya masih meragu, Siauw Bwee cepat berkata, “Demi cintaku kepadamu, dan demi cintamu kepadaku! Kam-koko, maukah engkau bersungguh-sungguh melakukan usaha ini? Kalau kau anggap ringan keadaanmu, biarlah demi untuk membahagiakan hatiku. Maukah?”

Hati Han Ki menjadi terharu. Dalam sinar matanya, dalam getaran suaranya, gadis ini jelas menunjukkan hati kasih sayang yang luar biasa terhadap dirinya! Sampai bagaimana pun, dia tidak tega untuk mengecewakan hati gadis sebaik ini!

“Baiklah, Moi-moi. Nah, mari kita mulai. Bagaimana engkau hendak membantuku?”

“Ulurkan kedua lenganmu kepadaku, Koko.”

Han Ki yang duduk bersila menyodorkan kedua lengannya dan Siauw Bwee juga melakukan hal yang sama sehingga dua pasang telapak tangan bertemu. Pertama-tama, terasa oleh Han Ki getaran hangat dan mesra dari telapak tangan gadis itu, getaran yang didorong oleh hati yang mencinta!

Siauw Bwee maklum bahwa biar pun ilmu kepandaiannya masih dikuasainya secara praktek, namun pemuda itu sudah lupa sama sekali akan teori-teorinya. Karena itu dia kemudian berkata, “Setelah aku menyalurkan Im-kang, kau sambutlah tenaga saktiku, kerahkan tenagamu sendiri sehingga tenaga Im-kang kita menjadi kuat dan menjadi satu di dalam tubuhmu. Kau kumpulkan segala panca indera, tujukan kepada satu, yaitu mengendalikan Im-kang yang kuat itu dan perlahan-lahan, hati-hati sekali kau salurkan ke atas, memasuki kepalamu untuk menghalau pergi hawa panas beracun. Akan tetapi hati-hatilah, Koko, dan jangan pedulikan segala gangguan, karena kalau sampai gerakan hawa Im-kang di kepalamu itu mengalami gangguan, bisa membahayakan dirimu. Boleh jadi kau tidak peduli akan akibat buruk yang menimpamu, akan tetapi ketahuilah bahwa kalau sampai engkau celaka, aku pun ikut celaka, kalau engkau tewas, aku pun tidak mau hidup lagi. Berarti engkau tidak hanya menjaga keselamatanmu akan tetapi juga keselamatanku! Nah, aku mulai!”

Hati Han Ki menjadi terharu sekali, akan tetapi ketika ia merasa betapa dari kedua telapak tangan yang berkulit halus itu, yang tadinya hangat dan lembut kini menjadi dingin, mengalir hawa yang dingin sekali, ia cepat menyatukan semua perasaannya, bersemedhi dan memusatkan perhatian kepada hawa dingin yang mengalir masuk melalui kedua lengannya. Dia menerima hawa itu, menyatukan dengan hawa Im-kang yang ia kerahkan dari pusar, kemudian dengan perhatian penuh ia mengendalikan hawa itu, perlahan-lahan seperti uap yang meraba-raba dan mencari-cari, mulai menyalurkannya ke atas.

Mula-mula hawa Im-kang yang tergabung itu terkumpul di pusarnya, kemudian perlahan-lahan naik melalui dadanya, terus ke leher dan dari situ naik dengan amat perlahan dan hati-hati. Siauw Bwee sendiri berada dalam keadaan semedhi karena dia tidak menghendaki pengerahan Im-kang-nya tercampur dengan tenaga lain atau pikiran-pikiran yang akan mengotorkan penyalurannya.

Kedua orang itu duduk besila, saling berhadapan dan saling mengadu telapak tangan, sama sekali tidak bergerak seperti sepasang arca. Akan tetapi tanpa terlihat oleh mata, terjadilah kemukjizatan karena dua tenaga Im-kang yang amat dahsyat sedang bekerja dan bahwa benar seperti apa yang dikhawatirkan oleh Coa Leng Bu, usaha yang dilakukan oleh kedua orang ini amatlah berbahaya. Terguncang atau meleset sedikit saja akan mendatangkan akibat yang mengerikan bagi diri Han Ki.

Karena maklum bahwa dia sendiri masih jauh berada di tingkat rendah untuk dapat membantu mereka, dan diam-diam masih kagum dan terheran-heran mendapat kenyataan bahwa kedua orang itu adalah orang-orang sakti, Coa Leng Bu duduk bersila di atas bangku depan pondok. Dia pun prihatin dan mengharapkan gadis sakti itu berhasil menyembuhkan suheng-nya.

Melihat kekuatan Im-kang mereka yang sudah mencapai tingkat setinggi itu, dia yakin bahwa kalau mereka tidak terganggu dan mampu mengendalikan kekuatan dahsyat itu, mereka tentu akan mampu mengusir hawa panas beracun yang telah meracuni Han Ki, yang telah menggelapkan ingatan Si Pemuda Sakti. Dan dia mengutuk perbuatan orang yang telah meracuni Han Ki, yang ia duga tentulah Bu Kok Tai, koksu negara yang hendak menggunakan kepandaian Si Pemuda untuk menjadi pembantu dan pengawalnya. Hanya dia masih heran, bagaimana seorang yang sedemikian saktinya dapat dipedaya dan diminumi racun perampas ingatan.

Tiba-tiba Coa Leng Bu tersentak kaget. Sudah ada empat jam lebih dia duduk menjaga, matahari sudah naik tinggi dan kini dia melihat bayangan empat orang datang ke tempat itu. Karena tidak ingin dua orang muda di dalam pondok terganggu, cepat dia turun dari bangku dan berjalan menyambut empat orang itu. Dapat dibayangkan betapa kaget hatinya ketika ia mengenal mereka itu bukan lain adalah Bu-koksu, Pat-jiu Sin-kauw, Thian Ek Cinjin, dan Ang Hok Ci!

“Celaka...!” keluhnya dalam hati namun wajah kakek itu tetap tenang ketika ia berhadapan dengan mereka.

Coa Leng Bu menjura dengan hormat kepada mereka lalu berkata, “Selamat datang, Bu-koksu. Apakah engkau hendak menangkap aku? Silakan, aku menyerah karena aku memang merasa telah membikin kacau di Sian-yang dahulu.”

Bu-koksu tertawa, “Ha-ha-ha, siapa butuh orang macam engkau? Aku ingin melihat siapa yang berada di dalam pondok itu!”

“Bu-koksu, di sana terdapat seorang yang sedang sakit, harap engkau tidak mengganggunya!”

“Orang sakit?” Bu-koksu mengerutkan alisnya yang tebal. “Hemm, beranikah engkau membohongiku bahwa di sana terdapat Kam Han Ki dan Khu Siauw Bwee?”

Coa Leng Bu maklum bahwa membohong pun tiada gunanya. “Benar, akan tetapi Kam-taihiap sedang sakit, sedangkan Khu-lihiap sedang merawatnya.”

“Ha-ha-ha, kau maksudkan sedang berusaha memulihkan ingatan Kam Han Ki? Orang she Coa, aku sudah tahu siapa engkau. Engkau adalah seorang ahli pengobatan yang tentu berusaha menyembuhkan Kam Han Ki. Kami datang untuk menangkap mereka!”

“Bu-koksu, apakah kesalahan mereka?” Coa Leng Bu sengaja mencari bahan percakapan untuk mengulur waktu, untuk memberi kesempatan kepada kedua orang itu menyelesaikan pengobatan. Kalau belum selesai dan terganggu, nyawa Kam Han Ki terancam bahaya maut.

“Engkau mau tahu? Kam Han Ki telah menjadi pengkhianat dan harus ditangkap. Sedangkan gadis itu adalah puteri mendiang Khu Tek San, seorang panglima yang memberontak. Dia harus ditawan dan dihukum pula!”

“Bu-koksu, harap kau tunggu sebentar sampai mereka selesai dengan pengobatan mereka. Kalau terganggu, keadaan Kam-taihiap berbahaya sekali. Bukankah dia itu adalah adik angkatmu sendiri yang sudah banyak berjasa terhadapmu? Apakah engkau tega untuk mencelakainya?”

“Jangan banyak cakap! Minggirlah!”

“Bu-koksu, harap engkau orang tua yang sudah banyak pengalaman hidup menaruh kasihan kepada dua orang muda yang tidak berdosa. Biarlah aku yang menanggung semua kesalahan mereka. Biar aku yang kau tangkap dan kau seret untuk dihukum. Biarkan mereka, karena aku tahu bahwa mereka bukanlah pengkhianat, apa lagi pemberontak. Kau tahu, mereka adalah murid-murid manusia dewa Bu Kek Siansu!”

Wajah Bu-koksu seketika pucat mendengar ini, karena sesungguhnya berita ini tak pernah disangka-sangkanya dan membuatnya terkejut bukan main. Akan tetapi segera dia dapat mengatasi rasa kagetnya dan tertawa, “Siapa pun mereka, harus kami tawan!”

Diam-diam dia mengharapkan untuk dapat mewarisi kitab-kitab peninggalan Bu Kek Siansu kalau dia berhasil menundukkan kedua orang itu. Dia maklum bahwa kalau Kam Han Ki sudah sadar, akan sukar untuk mengatasi mereka. Akan tetapi melihat bahwa pemuda itu masih dalam pengobatan, dia mempunyai harapan untuk dapat menguasai pemuda itu yang telah hilang ingatannya dan kalau hal ini benar, dengan bantuan Kam Han Ki tidak sukar baginya untuk menundukkan gadis yang sakti itu.

“Jangan bergerak!” Coa Leng Bu berseru marah. “Kalian takkan dapat pergi memasuki pondok itu kecuali melalui mayatku!”

“Manusia sombong, kalau begitu mampuslah engkau!” Bu Kok Tai yang sudah marah sekali itu membentak, tubuhnya menerjang ke depan, tangan kanannya yang besar mencengkeram.

Mendengar bunyi tulang-tulang jari tangan itu berkerotokan, maklumlah Coa Leng Bu bahwa Koksu ini memiliki tenaga yang hebat, maka cepat ia mengelak ke samping sambil memukul dari bawah menghantam dengan pengerahan tenaga Jit-goat-sinkang.

“Desss!” Tubuh Coa Leng Bu terjengkang ketika Bu-koksu menangkis hantaman itu dengan tenaga sinkang yang jauh lebih lihai dan kuat.

“Engkau bosan hidup!” Tiba-tiba Ang Hok Ci, siucai murid Koksu meloncat dan menggunakan kakinya menginjak ke arah perut kakek itu dengan pengerahan tenaganya.

Injakan maut ini tentu akan menghancurkan isi perut. Akan tetapi Coa Leng Bu dalam usahanya menghalangi mereka mengganggu kedua orang muda di dalam pondok tidak mau menyerah begitu saja. Cepat ia miringkan tubuhnya yang telentang, lalu menggunakan tangan menangkap kaki yang menginjak sambil mengerahkan tenaga dan sekali dia membentak, tubuh Ang Hok Ci terlempar ke atas dan tentu akan jatuh terbanting kalau jubahnya tidak disambar oleh Bu-koksu.

Coa Leng Bu sudah meloncat bangun lagi. Dia tidak memegang senjata karena tadi tidak menyangka sama sekali akan kedatangan musuh. Akan tetapi dia tidak gentar dan cepat meloncat lagi menghadang mereka.

“Terimalah ini!” Pat-jiu Sin-kauw sudah menerjangnya dengan ilmu silatnya yang amat hebat, yaitu Soan-hong Sin-ciang (Tangan Sakti Angin Badai).

Tubuhnya berputaran, jubahnya berkibar dan kedua tangannya seperti kitiran angin menyambar-nyambar. Coa Leng Bu pernah melawan orang ini di Sian-yang, maklum bahwa lawannya amat lihai, maka dia pun cepat mainkan ilmu silatnya dan mengerahkan daya tahannya, mengelak dan menangkis.

Dia tahu bahwa betapa pun dia berusaha, takkan mungkin dia akan menang menghadapi empat orang ini, apa lagi menghadapi Bu-koksu yang amat lihai. Dia pun tidak mengharapkan kemenangan yang tak mungkin, hanya ingin mempertahankan diri selama mungkin untuk mengulur waktu penyerbuan mereka ke dalam pondok.

Tiba-tiba Pat-jiu Sin-kauw yang tubuhnya berputaran ini berjongkok, mulutnya mengeluarkan suara dalam, dan kedua tangannya mendorong ke atas, ke arah lawan. Itulah Thai-lek-kang yang amat dahsyat. Coa Leng Bu maklum bahwa dia tentu akan roboh kalau terkena hawa dorongan ini, maka dia pun lalu mengerahkan tenaga sekuatnya.

“Dessss!”

Tenaga Pat-jiu Sin-kauw berimbang dengan tenaga Jit-goat-sinkang yang dimiliki Coa Leng Bu. Akan tetapi karena pada saat itu Coa Leng Bu sudah nekat dan mati-matian hendak melindungi kedua orang muda itu, tenaganya bertambah dan tubuh Pat-jiu Sin-kauw terpental ke belakang dan terguling-guling. Akan tetapi Coa Leng Bu sendiri terhuyung ke belakang.

“Cring-cring... singggg...!” Sinar gemerlapan menyambar ke arah Coa Leng Bu.

Kakek ahli obat ini terkejut sekali, berusaha menghindarkan diri dari sambaran golok besar di tangan Bu-koksu, akan tetapi gerakan Bu-koksu amat dahsyat.

“Crakk!” pundak Coa Leng Bu terbabat putus!

Namun Coa Leng Bu seolah-olah tidak merasakan nyeri pada pundaknya yang sudah buntung itu. Dia meloncat bangun lagi dan menerjang Thian Ek Cinjin yang sudah lari hendak menghampiri pondok. Thian Ek Cinjin menjadi ngeri melihat orang yang lengan kanannya buntung sepundak dan dari lukanya muncrat-muncrat darah itu masih menubruknya. Cepat ia meloncat ke samping dan memukul ke arah pusar. Namun, Coa Leng Bu tidak mempedulikan pukulan itu, bahkan membarengi dengan hantaman ke arah kepala Thian Ek Cinjin dengan tangan kirinya!

Thian Ek Cinjin terkejut dan kepalanya tentu akan terkena hantaman yang dapat mengakibatkan maut kalau saja pada saat itu tidak datang sinar gemerlapan golok besar Bu-koksu yang menyambar dari belakang.

“Crott!” Lengan kiri Coa Leng Bu kembali terbabat buntung sebatas siku! Dan pusarnya masih terkena hantaman Thian Ek Cinjin yang membuat tubuhnya terjengkang.

Biar pun kedua lengannya telah buntung, tidak pernah terdengar keluhan keluar dari mulut kakek yang gagah perkasa ini, bahkan kini dia sudah meloncat bangun lagi. Dengan mata terbelalak penuh keberanian dia sudah menyerbu ke depan Bu-koksu yang menyambutnya dengan sambaran goloknya, sekali ini mengenai leher Coa Leng Bu. Robohlah tubuh kakek gagah perkasa itu dengan kedua lengan dan kepala terpisah dari badan, tewas seketika dalam keadaan mengerikan.

Bu-koksu menyarungkan goloknya, memandang ke arah Coa Leng Bu, menghela napas dan berkata, “Seorang yang gagah perkasa! Sayang orang seperti ini tidak pernah menjadi pembantuku.” Ia lalu membalikkan tubuhnya dan memberi isyarat kepada para pembantunya untuk berjaga di luar.

“Biarkan aku sendiri yang menghadapi mereka,” katanya karena dia maklum bahwa kalau Kam Han Ki masih hilang ingatan, pemuda itu hanya dapat dikuasai olehnya. Sebaliknya kalau keadaan menjadi berubah, hanya dia seoranglah yang akan dapat mengimbangi mereka yang amat lihai, sedangkan tiga orang pembantunya itu takkan ada gunanya.

Dia melangkah ke depan pintu pondok, berhenti dan berseru nyaring, “Kam-siauwte, aku datang!”

Tidak ada jawaban dari dalam pondok. Tentu saja suaranya yang nyaring itu terdengar oleh Siauw Bwee yang menjadi terkejut bukan main. Akan tetapi gadis ini menekan perasaannya. Dia maklum bahwa mereka berdua sudah hampir berhasil. Ada hawa panas keluar dari kepala suheng-nya. Akan tetapi kalau sekarang dihentikan atau terganggu, akan berbahalah bagi suheng-nya. Dia memejamkan matanya, tidak peduli lagi. Kalau harus mati, dia rela mati bersama suheng-nya yang tercinta!

Pintu pondok terdorong terbuka dari luar. Ketika Bu-koksu melihat dua orang muda itu duduk berhadapan dengan mengadu telapak tangan dan keadaan dalam pondok terasa amat dingin, dia maklum bahwa kedua orang itu sedang mengerahkan Im-kang yang amat luar biasa untuk melawan hawa panas beracun yang menggelapkan ingatan Han Ki sebagai akibat dari obat yang ia minumkan kepada pemuda itu. Terkejutlah pembesar ini melihat uap panas keluar dari kepala Han Ki, tanda bahwa cara pengobatan yang radikal itu hampir berhasil. Ia lalu melangkah maju dengan cepat, dan menggerakkan tangannya untuk menotok tengkuk Han Ki.

“Aihhh...!” Bu-koksu menggigil seluruh tubuhnya dan ia tentu roboh kalau saja pengalamannya yang luas tidak membuat dia cepat menarik kembali tangannya sebelum terlambat.

Ternyata dari tubuh pemuda itu keluar hawa dingin yang takkan kuat ia lawan, sungguh pun dia sendiri memiliki sinkang yang kuat. Kalau tadi totokannya ia lanjutkan sampai tangannya bertemu dengan kulit tengkuk Han Ki, tentu dia akan terkena serangan hebat yang membahayakan isi dadanya!

Sementara itu, Siauw Bwee yang maklum akan kehadiran Koksu, terguncang hatinya penuh kekhawatiran, maka seluruh Im-kang dari kedua tengannya menjadi kacau sehingga tubuh Han Ki bergoyang-goyang. Tiba-tiba Han Ki membuka matanya, memandang Siauw Bwee dan matanya terbelalak, mulutnya berteriak heran dan kaget, “Engkau... Siauw Bwee... Khu-sumoi...!” Dan begitu Siauw Bwee melepaskan kedua tangannya, pemuda itu roboh terguling dan pingsan!

Mendengar teriakan suheng-nya itu hati Siauw Bwee girang bukan main karena teriakan itu menunjukkan bahwa suheng-nya telah ingat lagi, akan tetapi dia sendiri sudah kehabisan tenaga, maka ketika dia merasa ada angin menyambarnya, biar pun dia sudah cepat membuang tubuh, tetap saja pundaknya terkena totokan jari tangan Bu-koksu dan tubuhnya terguling di samping tubuh Han Ki dalam keadaan lemas!

Bu-koksu cepat menghampiri Han Ki dan menotok jalan darah di punggung pemuda yang masih pingsan itu, kemudian sambil tertawa girang dia memanggil para pembantunya. Tiga orang pembantunya yang tidak melihat apa yang telah terjadi merasa kagum dan mengira bahwa Koksu itu berhasil merobohkan dua orang muda yang lihai itu.

“Cepat belenggu kaki tangan mereka, kita bawa mereka sebagai tawanan ke Siang-tan,” katanya.

Tiga orang itu bergegas membelenggu Han Ki dan Siauw Bwee. Kemudian mereka mengempit tubuh kedua orang itu keluar dari pondok. Siauw Bwee yang tertotok lemas namun masih sadar itu mengeluarkan jerit tertahan ketika melihat mayat supek-nya yang tewas dalam keadaan mengerikan. Ia menggigit bibir, tidak mengeluarkan kata, hanya sepasang matanya saja yang mengeluarkan sinar berapi.

“Nona Khu,” Bu-koksu berkata dengan suaranya yang besar, “Kam Han Ki adalah seorang buruan, engkau pun puteri seorang panglima pemberontak. Akan tetapi, mengingat keadaan negara dalam bahaya, aku yang akan tanggung bahwa kalian tidak akan menerima hukuman asal saja kalian berdua suka menyumbangkan tenaga untuk negara. Kalian adalah orang-orang gagah perkasa, murid dari Bu Kek Siansu, Penghuni Istana Pulau Es. Setelah mempelajari ilmu kesaktian, untuk apa kalau tidak untuk membela negara dan bangsa? Dengan keadaan negara terancam musuh-musuhnya, semua urusan pribadi harus di kesampingkan lebih dulu, seperti bunyi ujar-ujar kuno yang tentu telah menjadi pegangan mendiang ayahmu pula, ialah Wi-bin-wi-kok, Hiap-ci-tai-cia (Demi Rakyat dan Negara Yang Pertama). Kuharap engkau dapat mengerti dan dapat menyadarkan suheng-mu.”


Dengan mata masih mendelik Siauw Bwee berkata, “Kalian orang-orang kasar memang selalu curang dan keji. Dalam keadaan kedudukanmu terancam, kalian mempergunakan rakyat untuk membantumu dengan alasan demi rakyat dan negara. Akan tetapi setelah keadaan aman dan kedudukanmu terjamin, kalian merupakan penindas-penindas rakyat, penjilat Kaisar lalim dan memusuhi pemimpin-pemimpin jujur!”

Bu Kok Tai menghela napas panjang. “Aku selalu kagum kepada mendiang Menteri Kam dan Panglima Khu. Aku tidak pernah memusuhi mereka secara pribadi, akan tetapi sebagai seorang petugas, bagaimana mungkin tidak hendak menaati perintah atasan? Sudahlah! Hayo bawa mereka ke Siang-tan, cepat-cepat jangan sampai kemalaman di jalan!” katanya kemudian kepada pembantu-pembantunya.

Pat-jiu Sin-kauw mengempit tubuh Han Ki, sedangkan Siauw Bwee dipanggul oleh Thian Ek Cinjin. Mereka melanjutkan perjalanan menuju ke Siang-tan dengan cepat, karena sesungguhnya hanya terpaksa saja Koksu melakukan perjalanan menyusul Han Ki sendiri setelah mendengar pelaporan para penyelidik. Tenaganya amat dibutuhkan di kota itu, dan dalam keadaan terancam oleh pasukan-pasukan Mancu, kalau tidak terpaksa sekali, tidak nanti dia mau meninggalkan kota.

Betapa pun juga, hatinya gembira karena tanpa banyak kesukaran dia berhasil membawa Han Ki dan Siauw Bwee yang diharapkannya akan suka membantunya. Kalau dia bisa menarik kedua orang itu sebagai pembantu-pembantunya, kedudukannya akan makin kuat dan tenaga kedua orang muda yang memiliki ilmu kepandaian amat tinggi itu amat dibutuhkan untuk menghadapi penyerbuan pasukan-pasukan Mancu yang dipimpin banyak orang pandai.

Ketika rombongan empat orang yang membawa dua orang tawanan itu tiba di luar hutan pohon pek, memasuki hutan kecil di mana terdapat jalan yang menuju ke Siang-tan, tiba-tiba terdengar suara ketawa dan dari balik pohon besar muncullah lima orang laki-laki. Yang tertawa adalah seorang kakek berusia tujuh puluh tahun lebih, berambut dan berjenggot panjang, sudah putih semua, pakaiannya terbuat dari sutera mahal akan tetapi bentuknya sederhana seperti pakaian pendeta, tangannya memegang sebatang tongkat kayu cendana berselaput emas dan sikapnya agung seperti sikap orang yang biasa memerintah....

Ada pun empat orang yang berdiri di belakangnya adalah orang-orang yang berpakaian mewah. Dapat dibayangkan betapa kaget hati Bu-koksu ketika mengenal kakek itu yang bukan lain adalah Pek-mau Seng-jin, Koksu dari Kerajaan Yucen, sedangkan para pengikutnya itu adalah Suma Hoat, Panglima Dailuba yang brewok bermata lebar dan bertubuh tinggi besar, Thai-lek Siauw-hud yang gendut pendek dan tertawa-tawa, dan seorang Yucen yang berpakaian indah dan berwajah tampan, yaitu Pangeran Dhanu yang memiliki kedudukan penting di Kerajaan Yucen!

“Ha-ha-ha-ha, sungguh lucu dan aneh! Bu-koksu sebagai pimpinan tertinggi pada saat ini dalam benteng pertahanan di Siang-tan, kiranya masih sempat berkeliaran di dalam hutan!” Pek-mau Seng-jin mengejek sungguh pun dia mengangkat kedua tangan di depan dada sebagai penghormatan.

Pada waktu itu Kerajaan Yucen sedang berkembang dan sudah menguasai sebagian besar Tiongkok Utara, bahkan terpaksa Kerajaan Sung pindah ke selatan dan mengakui Kerajaan Yucen ini. Untuk ikatan persahabatan, bahkan Puteri Sung Hong Kwi telah diserahkan untuk menjadi isteri Pangeran Dhanu sebagaimana telah diceritakan di bagian depan cerita ini. Akan tetapi, hanya pada lahirnya saja kedua kerajaan ini bersahabat, sebetulnya di dalam hatinya saling menganggap musuh besar.

Bu-koksu cepat membalas dengan penghormatan selayaknya, kemudian menjawab dengan suara halus namun mengandung ejekan balasan pula, “Selamat berjumpa, Pek-mau Seng-jin! Tempat ini termasuk wilayah kerajaan kami, maka tidaklah mengherankan apa bila sebagai Koksu negara mengadakan pemeriksaan sendiri di sini. Barulah aneh namanya kalau Koksu Negara Yucen bersama panglima dan pangeran berada di sini bukan sebagai tamu negara yang resmi. Karena pertemuan ini tidak diduga-duga lebih dulu, maka biarlah saya mewakili negara untuk mengundang Cu-wi sekalian sebagai tamu terhormat kami di Siang-tan.”

“Ha-ha-ha! Saya mendengar bahwa Bu-koksu amat lihai kepandaiannya kiranya sekarang lihai juga bicaranya! Terima kasih, Bu-koksu. Akan tetapi, ada sebuah hal yang memaksa pertemuan antara kita ini menimbulkan rasa tidak enak kepada kedua pihak. Sungguh menyesal sekali.”

Hati Bu-koksu berdebar dan dia sudah menduga bahwa persoalan itu tentu menyangkut kedua orang tawanannya. Akan tetapi ia tetap bersikap tenang dan bertanya, ”Di pihak kami, tidak ada persoalan dan sungguh pun jelas bahwa Cu-wi melanggar wilayah kami bukan sebagai tamu, kami masih bersikap ramah dengan mengundang Cu-wi sebagai tamu kami. Hal ini agaknya juga diketahui dengan jelas oleh Suma-kongcu, yang entah bagaimana bisa menemani Koksu dan Pangeran."

Mendengar ini dan melihat pandang mata Bu-koksu ditujukan kepadanya dengan sinar tajam menyelidik, Suma Hoat tersenyum saja dan matanya memandang ke arah Siauw Bwee yang tubuhnya dibelenggu dan dipanggul di atas pundak Thian Ek Cinjin. Dia tidak mau menjawab dan hanya mengandalkan kepada jawaban Pek-mau Seng-jin sekutu ayahnya.

“Maafkan, kalau kami melanggar wilayahmu, Bu-koksu. Hanya kami rasa bahwa sebagai sahabat-sahabat, tiada salahnya kalau kami melihat-lihat keadaan wilayah selatan ini. Kebetulan sekali kita bertemu, akan tetapi tidak kebetulan bahwa kami melihat kalian memperlakukan sahabat kami sebagai tawanan, sungguh amat tidak enak bagi kami. Maka, mengingat akan hubungan antara kita, saya harap sukalah Bu-koksu memandang muka kami dan membebaskan kedua orang tawanan ini.”

Berkerut alis Bu-koksu. Dia sudah menduga bahwa tentu kedua orang tawanan itu yang akan dipersoalkan. Akan tetapi dia masih penasaran dan cepat berkata, “Maaf, Pek-mau Seng-jin! Kedua orang ini adalah orang-orang Han, dan urusan kami dengan mereka tidak ada sangkut-pautnya dengan Koksu dan Kerajaan Yucen. Harap Koksu suka mempertimbangkan dan tidak mencampuri urusan pribadi sendiri.”

“Ha-ha-ha, melihat sahabat-sahabat baik diperlakukan tidak hormat, bagaimana kami dapat tinggal diam saja? Ingatkah Koksu akan peribahasa yang mengatakan bahwa sahabat lebih berat dari pada tangan kiri? Mereka adalah sahabat-sahabat kami, tentu saja kami tidak suka melihat mereka mengalami penghinaan seperti itu.”

“Pek-mau Seng-jin!” Bu-koksu berkata marah. “Saya tidak melihat hubungan antara mereka ini dengan kalian! Saya rasa kalian tidak mengenal kedua orang ini, apa lagi bersahabat!”

“Bukan sahabat saya pribadi, akan tetapi sahabat baik Pangeran Dhanu. Silakan menjawab Pangeran,” Pek-mau Seng-jin berkata dan Pangeran Dhanu melangkah ke depan sambil berkata,

”Bu-koksu, ketahuilah bahwa Kam Han Ki itu adalah seorang sahabatku, sahabat pribadi yang amat baik. Bahkan dia pernah memukul mundur pasukan-pasukan Mancu untuk menolong kami, bagaimana aku dapat membiarkan dia kau perlakukan seperti itu? Oleh karena itu, aku sebagai mantu dari kaisarmu, kuminta supaya kau suka memandang mukaku dan membebaskan Kam Han Ki sahabatku.”

“Dan gadis ini?” Bu-koksu yang diam-diam merasa terkejut dan gelisah itu bertanya penasaran.

“Gadis ini adalah Khu Siauw Bwee, sahabat baik sekali dari Suma-kongcu. Karena Suma-kongcu merasa sungkan mengajukan permintaan dan menentang Koksu sebagai rekan sendiri, maka biarlah saya yang mewakilinya dan mintakan agar Nona Khu kau beri kebebasan pula.”

Merah muka Bu-koksu mendengar ini. “Kedua orang ini adalah orang-orang tangkapan kami karena mereka merupakan pemberontak-pemberontak, betapa mungkin kami membebaskannya? Kalau Koksu dan Pangeran ingin membelanya dan mohon pembebasannya, harap suka mengajukan permintaan resmi agar diputuskan oleh Kaisar sendiri. Saya tidak berani lancang mengambil keputusan dan menyerahkan dua orang tawanan penting di tengah jalan begitu saja kepada Cu-wi!”

“Hemm, jawaban itu berarti bahwa Bu-koksu tidak memandang kami sebagai sahabat!” Pek-mau Seng-jin berkata dengan suara getir.

“Saya cukup menghargai persahabatan antara kita, akan tetapi tentu saja saya lebih menghargai tugas dan kedudukan saya.”

“Kalau kami memaksa?”

“Terserah, kami akan mempertahankan!”

“Ha-ha-ha! Bu-koksu sungguh tak tahu diri. Keadaan kota Siang-tan sedang terancam pasukan Mancu, siapa lagi yang akan dapat menolong kalau bukan pasukan kami? Akan tetapi Bu-koksu lebih mementingkan urusan pribadi. Baiklah, urusan pribadi kita selesaikan secara pribadi pula. Sudah lama aku mendengar bahwa Bu-koksu memiliki ilmu kepandaian yang amat hebat, terutama sekali ilmu goloknya yang belum pernah bertemu tanding. Kesempatan ini hendak kugunakan untuk mengenal ilmu golok Bu-koksu! Kalian berempat, kami pun akan maju berempat dan siapa menang dalam pertandingan ini berhak atas kedua orang tawanan itu!”

“Bukan kami yang memancing permusuhan, kami hanya mempertahankan diri. Silakan, Pek-mau Seng-jin, jangan mengira bahwa aku takut kepadamu!” Bu-koksu yang sudah marah sekali lalu mencabut goloknya sehingga terdengar bunyi berkerincingan nyaring.

Pat-jiu Sin-kauw dan Thian Ek Cinjin juga sudah menurunkan tubuh tawanan yang mereka panggul tadi, siap menghadapi lawan, sedangkan Ang Hok Cu cepat mendekati kedua orang tawanan untuk menjaga agar mereka tidak dirampas orang.

Thian Ek Cinjin dan Pat-jiu Sin-kauw sebetulnya adalah dua orang anak buah Pek-mau Seng-jin sendiri! Seperti telah diceritakan di bagian depan, dua orang yang bergabung dengan Coa-bengcu di pantai Po-hai ini diam-diam telah mengadakan hubungan dengan Kerajaan Yucen. Atas permintaan Pek-mau Seng-jin, kedua orang ini berhasil menyelundup dengan membawa Kam Han Ki yang pingsan, menyerahkannya kepada Bu-koksu sehingga mereka berdua diangkat menjadi pengawal! Karena inilah maka Pek-mau Seng-jin girang sekali melihat kedua orang sekutunya itu kini mengawal Bu-koksu dan diam-diam ia memberi tanda dengan kejapan mata kepada mereka.

Thian Ek Cinjin meloncat ke depan, berhadapan dengan Thai-lek Siauw-hud Ngo Kee Si Gendut Pendek yang tertawa-tawa, yang sebetulnya adalah temannya sendiri. Tanpa banyak cakap lagi mereka sudah bertanding, Thai-lek Siauw hud menggunakan sebatang golok besar sedangkan Thian Ek Cinjin menggunakan sebatang pedang.

Juga Pat-jiu Sin-kauw sudah saling berkedip dengan Panglima Dailuba yang menyambutnya. Mereka pun tanpa banyak cakap sudah saling bertanding, menggunakan tangan kosong karena kedua orang ini merupakan ahli-ahli silat tangan kosong. Pertempuran terjadi dengan seru dan karena pandainya mereka berempat bersandiwara, Bu-koksu sendiri tidak pernah menyangka bahwa mereka itu tidaklah bertanding sungguh-sungguh.

“Ha-ha-ha, dua orangmu telah bertempur melawan dua orang pembantuku. Tinggal kita berdua. Marilah kita coba-coba, Bu-koksu!” kata Pek-mau Seng-jin sambil menggerakkan tongkatnya menusuk.

“Cring-cring-tranggg!”

Keduanya terpental ke belakang ketika tongkat itu tertangkis oleh golok bergelang. Kemudian keduanya maju lagi saling serang dengan dahsyat. Gerakan Bu-koksu amat dahsyat dan kuat, goloknya mengeluarkan bunyi mengerikan dan golok yang berat itu diputar sampai berubah menjadi segulung sinar menyilaukan mata. Namun gerakan tongkat di tangan Pek-mau Seng-jin lebih cepat lagi, tampak sinar keemasan bergulung-gulung menyelubungi gulungan sinar golok, bahkan dalam hal tenaga sinkang, tingkat Pek-mau Seng-jin masih lebih tinggi sehingga lewat empat puluh jurus, Bu-koksu selalu terdesak dan terhimpit!

Ang Hok Ci yang sedang gelisah menyaksikan betapa Bu-koksu dan dua orang pengawalnya terdesak mengambil keputusan untuk membunuh saja dua orang tawanan yang berbahaya itu. Dia sudah mencabut goloknya, langsung dia bacokkan ke arah leher Kam Han Ki.

“Trangggg!”

Ang Hok Ci terkejut dan melompat mundur, memandang Suma Hoat yang sudah menangkis goloknya dengan pedang.

“Suma-kongcu! Apa yang kau lakukan ini? Apakah engkau hendak memberontak dan membela musuh?”

Suma Hoat tecsenyum. “Hemm, orang she Ang, ini bukan urusan negara, melainkan urusan pribadi! Sudah dijanjikan bahwa siapa yang keluar sebagai pemenang, berhak atas diri kedua orang tawanan ini. Mengapa engkau hendak bersikap curang dan membunuh tawanan?”

“Bagus! Ayahmu tentu akan senang sekali mendengar akan pengkhianatanmu ini!” Ang Hok Ci memaki dan menyerang dengan golok menyambar ke arah leher Suma Hoat, sedangkan tangan kirinya melancarkan pululan dengan tenaga Jit-goat-sinkang ke arah dada Suma Hoat.

“Cringggg... dukkkk!”

Tubuh Ang Hok Ci terlempar ke belakang, ketika goloknya tertangkis oleh pedang Suma Hoat, sedangkan pukulan dengan tenaga Jit-goat-sinkang tadi ditangkis pula oleh Suma Hoat dengan ilmu yang sama, akan tetapi jauh lebih kuat. Hal ini dapat dimengerti karena kalau Ang Hok Ci memperoleh Ilmu Jit-goat-sinkang dari hasil curian ketika dia menyelundup ke lembah orang kusta, adalah Suma Hoat menerima gemblengan langsung dari Bu-tek Lo-jin, bahkan dia merupakan murid terpandai! Dengan pedangnya Suma Hoat mematahkan belenggu yang mengikat kaki tangan Siauw Bwee dan membebaskan totokannya.

“Terima kasih, ternyata engkau seorang sahabat yang baik, Suma Hoat!” Siauw Bwee berkata singkat lalu meloncat mendekati suheng-nya yang masih pingsan, membukakan belenggu kaki tangan Han Ki dan membebaskan totokan.

Akan tetapi Han Ki masih pingsan, bukan karena totokan melainkan karena guncangan ketika pengobatan hampir berakhir tadi. Cepat Siauw Bwee menempelkan kedua telapak tangannya ke dada pemuda itu dan perlahan-lahan ia menyalurkan hawa sinkang ke dalam tubuh suheng-nya dengan amat hati-hati.

Ang Hok Ci sudah menerjang lagi, disambut oleh pedang Suma Hoat. Karena pemuda yang berjuluk Jai-hwa-sian ini memiliki tingkat kepandaian yang jauh lebih tinggi, dengan mudah ia mempermainkan Ang Hok Ci sambil tertawa-tawa.

”Suma-kongsu, bunuh saja tikus itu!” Tiba-tiba terdengar suara Pek-mau Seng-jin. “Dan aku yang akan membunuh tikus besar ini!”

Suma Hoat terkejut dan ragu-ragu. Biar pun dia harus mentaati perintah ayahnya yang bersekutu dengan Kerajaan Yucen, akan tetapi kalau harus membunuh seorang yang setia kepada Kerajaan Sung, hatinya masih merasa berat. Dan ketika ia menoleh, ia melihat betapa Bu-koksu terhimpit bahaya oleh tongkat di tangan Pek-mau Seng-jin yang kini jelas bukan hanya memperoleh kemenangan untuk memperebutkan kedua orang tawanan, melainkan berniat membunuh Bu-koksu.

Ini hebat, pikir Suma Hoat yang menjadi bingung, tidak tahu harus berbuat apa. Ketika ia memutar pedang menahan serangan-serangan golok lawan dan menoleh ke arah Pat-jiu Sin-kauw dan Thian Ek Cinjin yang melawan Panglima Dailuba dan Thai-lek Siauw-hud, dia mendapat kenyataan bahwa pertempuran masih berlangsung ‘seru’ dan bahwa mereka itu ternyata hanya seperti sedang berlatih saja!

Suma Hoat amat cerdik, maka mengertilah dia bahwa dua orang pengawal dan pembantu Bu-koksu itu ternyata adalah anak buah Yucen pula! Diam-diam ia mengkhawatirkan keselamatan Bu-koksu. Betapa pun juga, dia tahu betul bahwa Bu-koksu adalah seorang yang amat setia kepada negara, seorang pahlawan sejati yang menjuruskan segala perbuatannya demi kepentingan Kerajaan Sung!

Dia masih terus mempermainkan Ang Hok Ci, tidak mau membunuhnya karena hendak melihat bagaimana perkembangan pertandingan antara kedua orang guru negara itu. Dia merasa serba salah. Untuk membantu Bu-koksu, berarti dia menentang Yucen dan hal ini tentu tidak akan disetujui ayahnya, sebaliknya, untuk membantu Pek-mau Seng-jin, hati nuraninya tidak mengijinkan.

Selain itu dia maklum pula bahwa ilmu kepandaian Pek-mau Seng-jin amat tinggi, tidak hanya lebih tinggi dari pada kepandaian Bu-koksu, juga lebih tinggi dari pada tingkat kepandaiannya. Belum lagi diingat bahwa di situ terdapat panglima Dailuba, Pat-jiu Sin-kauw, Thai-lek Siauw-hud, dan Thian Ek Cinjin yang ternyata adalah kaki tangan Pek-mau Seng-jin. Dia tidak berdaya dan hanya menonton sambil menahan serangan golok Ang Hok Ci seenaknya.

Bu-koksu juga tahu akan perubahan gerakan tongkat lawan yang kini menjadi cepat sekali dan melancarkan serangan-serangan maut. Dia tidak menjadi gentar dan maklum bahwa persoalan merampas tawanan itu hanya sebagai pancingan saja, sedangkan niat di hati Koksu Negara Yucen itu untuk membunuhnya! Kalau berada di tempat ramai, tentu saja Pek-mau Seng-jin tidak akan berani melakukan hal ini, karena membunuh dia berarti pecah perang terbuka antara Kerajaan Sung dan Kerajaan Yucen. Akan tetapi kalau dia dan semua pembantunya terbunuh di situ, tidak akan ada yang tahu bahwa pembunuhnya adalah Koksu Yucen! Maka dia memutar goloknya melawan mati-matian, mengerahkan seluruh tenaga dan mengeluarkan segala kepandaiannya.

Betapa pun juga, tongkat di tangan Pek-mau Seng-jin terlalu kuat baginya dan ketika goloknya menyambar dahsyat ke arah kepala lawan, Pek-mau Seng-jin hanya miringkan kepala sehingga sebagian rambutnya yang putih terbabat putus oleh golok besar itu, akan tetapi pada detik yang sama, ujung tongkat telah mengenai pundak kanannya sehingga golok besar itu terlepas dari tangan Bu-koksu. Cepat seperti kilat, tongkat itu telah menyambar turun, siap melakukan tusukan maut!

“Tahan! Jangan bunuh dia!” Teriakan ini disusul berkelebatnya bayangan dan tahu-tahu tongkat itu terpental ke belakang oleh desiran hawa pukulan yang amat panas!

Bu-koksu girang sekali dan cepat menyambar kembali goloknya. “Kam-siauwte, syukur engkau masih ingat kepadaku dan menolongku. Mari kita habiskan anjing-anjing Yucen ini!”

Akan tetapi betapa kagetnya ketika ia melihat sinar mata Kam Han Ki yang menyambar seperti dua titik api kepadanya. “Bu-koksu, aku memang teringat kepadamu, dan teringat akan segalanya! Engkau memang telah menolongku, merawatku, akan tetapi hanya untuk kau pengaruhi dengan racun sehingga di luar kesadaranku aku menjadi pengawalmu!”

”Kam-siauwte...!”

“Sudahlah, dan jangan menyebut siauwte kepadaku. Harap kau suka membawa semua anak buahmu pergi dari sini dan mudah-mudahan saja kita tidak akan saling bertemu kembali! Aku memaafkan segalanya!”

Bu-koksu maklum bahwa tidak ada gunanya lagi membujuk pemuda yang sudah sadar itu, maka dia menarik napas panjang dan berkata, “Betapa pun juga, Kam-siauwte, aku telah menyelamatkanmu dari hukuman sebagai seorang pemberontak. Aku hanya ingin membangkitkan semangatmu membela negara. Selamat tinggal! Dan engkau, Pek-mau Seng-jin, apakah dengan perbuatanmu tadi engkau sengaja hendak memancing perang antara kedua kerajaan kita?”

“Ha-ha-ha! Sudah kukatakan bahwa urusan ini adalah persoalan pribadi, kalau engkau hendak membawa-bawa kerajaan, terserah. Kerajaan Yucen tidak pernah takut terhadap ancaman Kerajaan Sung. Kurasa Kerajaan Sung tidak begitu bodoh untuk menambah musuh yang lebih kuat lagi di samping pasukan-pasukan Mancu, ha-ha-ha.”

“Mari kita pergi!” Bu-koksu berkata kepada para pembantunya dan Ang Hok Ci, Pat-jiu Sin-kauw, dan Thian Ek Cinjin segera meninggalkan tempat itu mengikuti Bu-koksu.

Di tengah perjalanan menuju ke Siang-tan, Ang Hok Ci berkata kepada kedua orang rekannya, “Aku tadi melihat betapa Ji-wi tidak bertanding sungguh-sungguh dengan kedua lawan Ji-wi!”

Pat-jiu Sin-kauw dan Thian Ek Cinjin terkejut, akan tetapi sambil tertawa Pat-jiu Sin-kauw berkata, “Kami sendiri tidak mengerti, Ang-siucai. Jelas bahwa kalau mereka menghendaki, kami tidak akan menang. Kepandaian Panglima Dailuba itu amat tinggi, terus terang saja aku tidak mampu menandinginya, sedangkan tingkat kepandaian Thai-lek Siauw-hud masih menang sedikit dibandingkan dengan tingkat Thian Ek Cinjin. Akan tetapi karena kami anggap pertandingan itu hanya untuk menguji kepandaian, maka tidaklah mengherankan kalau mereka tidak berniat membunuh kami.”

“Hemmm, akan tetapi Si Rambut Putih itu jelas berniat buruk terhadap diriku,” Bu-koksu mengomel. Hatinya yang mengkal dan kesal itu membuat ia tidak memperhatikan lagi ucapan Ang Hok Ci yang penuh tuduhan dan kecurigaan.

Sementara itu, sambil memandang sumoi-nya yang kini berdiri di sampingnya, Kam Han Ki berkata, “Sekarang aku ingat semua, Sumoi. Kalau tidak ada engkau yang membantu, entah bagaimana jadinya dengan aku. Terima kasih, Sumoi dan... dan...,” tiba-tiba mukanya berubah merah sekali karena dia teringat akan sikap sumoi-nya yang berkali-kali menyatakan cinta kasihnya dan teringat betapa dalam keadaan ‘lupa diri’ dia pun membalas cinta sumoi-nya itu. Akan tetapi karena di situ terdapat banyak orang, tentu saja dia tidak berani melanjutkan kata-katanya dan hanya pandang mata mereka yang saling bicara banyak.

Saling pandang yang penuh arti dan amat mesra itu tidak terluput dari pandang mata Suma Hoat. Begitu melihat Siauw Bwee, sudah timbul kembali cintanya yang tak mungkin dapat padam di hatinya, maka tentu saja kemesraan antara pandang mata kedua orang itu merupakan ujung pedang yang menembus jantungnya. Namun karena maklum bahwa dia tidak akan mampu menghalangi atau bersaing terhadap pendekar yang sakti, penghuni Istana Pulau Es, murid Bu Kek Siansu itu, dia menekan perasaannya dan menjura kepada Kam Han Ki sambil berkata, “Saya menghaturkan selamat atas pulihnya kesehatan Kam-taihiap dan atas berkumpulnya kembali Taihiap dengan sumoi Taihiap, Nona Khu Siauw Bwee.”

Kam Han Ki memandang kepada pemuda tampan itu. “Hemm, siapakah engkau?”

“Suheng, dia adalah seorang... sahabat yang telah menolongku, dia juga sute dari... dari... ahhh, Coa-supek...!” Siauw Bwee teringat akan supek-nya dan menangis tersedu-sedu.

“Heiii... ada apakah, Sumoi?” Han Ki bertanya.

“Khu-lihiap... apa yang terjadi dengan Coa-suheng?”

“Dia mati terbunuh... tentu oleh Bu-koksu! Saudara Suma Hoat, harap kau suka mengurus jenazahnya, di hutan pohon pek...”

“Suma Hoat?” Kam Han Ki berseru kaget dan memandang pemuda tampan itu.

Suma Hoat menjura ke arah Han Ki dan berkata, “Benar, Kam-taihiap. Saya adalah Suma Hoat, seorang yang... hemmm, tidak baik dan putera dari seorang yang... tidak baik pula.”

Kam Han Ki mengerutkan alisnya. Pemuda ini adalah putera musuhnya, akan tetapi juga sute dari Coa Leng Bu yang telah menolongnya, bahkan menurut Siauw Bwee pemuda ini pernah menolong sumoi-nya itu, maka dia tidak dapat berkata apa-apa lagi. Dia mengalihkan perhatian, menjura kepada Pangeran Dhanu dan berkata, “Saya merasa berterima kasih atas pertolonganmu, Pangeran. Biar pun aku tidak melihat sendiri, aku dapat menduga bahwa tentu engkau yang telah menolongku dari tangan Bu-koksu.”

“Ah, di antara orang sendiri perlu apa menyebut-nyebut tentang pertolongan, Taihiap? Kebetulan sekali kami lewat di sini dan menyaksikan engkau dan Khu-lihiap ditawan Bu-koksu, maka kami turun tangan menentangnya,” kata Pek-mau Seng-jin.

Kam Han Ki memandang kakek berambut putih itu dan berkata, “Agaknya semua orang telah mengenal aku, akan tetapi aku sendiri tidak mengenal orang, kecuali Pangeran Dhanu. Siapakah Locianpwe?”

“Kam-taihiap, dia adalah Pek-mau Seng-jin, koksu kerajaan kami,” Pangeran Dhanu memperkenalkan.

Kam Han Ki mengangguk-angguk, memandang tajam kemudian berkata, “Sudah lama saya mendengar nama Pek-mau Seng-jin, Koksu Negara Yucen yang terkenal.”

Pek-mau Seng-jin cepat mengangkat kedua tangan ke depan sebagai penghormatan sambil berkata, “Kam-taihiap terlalu memuji! Sebaliknya kami yang telah lama mendengar nama besar Taihiap semenjak Taihiap membantu mendiang Menteri Kam yang sakti. Sayang sekali, baru sekarang kita dapat saling berjumpa. Betapa banyaknya penderitaan yang dialami oleh Taihiap dan keluarga Kam yang gagah perkasa. Betapa menyedihkan sekali nasib keluarga Kam, keluarga pendekar sakti Suling Emas yang sejak dahulu berdarah pahlawan, namun selalu dikecewakan oleh sikap pemerintah Sung yang makin tampak kelalimannya. Dalam kesempatan ini, biarlah kami berlaku lancang mewakili pemerintah Yucen untuk mengundang Taihiap agar sudi membantu pemerintah kami yang lebih dapat menghargai jasa orang-orang gagah.”

Kam Han Ki tersenyum pahit dan menggeleng kepala, menjawab dengan suara tenang, “Banyak terima kasih atas perhatianmu, Pek-mau Seng-jin. Akan tetapi, apa pun yang terjadi kepadaku, dan apa pun yang telah dilakukan oleh negaraku terhadap diriku, tak mungkin menjadikan aku seorang pengkhianat bangsa dan negara.”

Pek-mau Seng-jin mengerutkan alisnya dan menarik napas panjang, kemudian berkata perlahan seperti kepada dirinya sendiri, “Kalau negara sudah ditakdirkan akan berkembang menjadi negara besar, kaisarnya tentu pandai menghargai orang. Akan tetapi kalau kaisarnya lalim, hanya di waktu negara terancam bahaya mengandalkan tenaga bantuan rakyat, akan tetapi di waktu negara makmur sibuk menggendutkan perut sendiri dan bersikap sewenang-wenang terhadap rakyat. Itulah tanda-tanda bahwa negara akan hancur. Kam-taihiap telah menderita penghinaan di waktu negara tidak membutuhkan tenaga Taihiap. Sekarang, di waktu tenaga Taihiap dibutuhkan, Koksunya tidak segan-segan untuk menggunakan siasat keji untuk memperoleh tenaga bantuan Taihiap.”

Dibakar dengan kata-kata demikian, Han Ki tak dapat menjawab, karena memang demikianlah keadaannya. Biar pun dia sama sekali tidak menaruh dendam terhadap kerajaan yang pada waktu itu memegang tampuk pemerintahan, namun hatinya mendongkol juga diingatkan akan kepincangan ketidak-adilan itu.

“Pek-mau Seng-jin, apa engkau kira akan mampu mempengaruhi hati seorang gagah perkasa dengan kata-kata manis menyembunyikan racun? Kam-suheng adalah seorang laki-laki sejati, mana mungkin tunduk menghadapi bujukan palsu dari kaki tangan negara asing yang memusuhi bangsa sendiri? Pek-mau Seng-jin, apakah engkau lupa betapa dahulu engkau telah menculik aku dan Suci Maya, kemudian engkau menghadiahkan kami dua orang anak perempuan yang tak berdaya kepada Coa Sin Cu sehingga kami dipakai berebutan di antara orang-orang kang-ouw?” Siauw Bwee membentak.

Pek-mau Seng-jin terkejut sekali. Tentu saja dia tidak mengenal lagi Siauw Bwee yang kini telah menjadi seorang dara remaja yang telah dewasa dan jelita. Bahkan ucapan Siauw Bwee tadi pun masih belum menyadarkannya.

“Maafkan saya yang telah tua dan pandang mataku tidak tajam lagi sehingga tidak mengenal Nona. Siapakah Nona yang telah mengenal saya?”

“Pek-mau Seng-jin, lupakah engkau ketika dahulu berkunjung sebagai utusan Yucen membicarakan tentang perjodohan antara Pangeran Dhanu dan puteri Kaisar, dan pada malam hari itu engkau telah menculik dua orang anak perempuan? Seorang adalah Suci Maya puteri Raja Talibu dari Khitan, sedangkan anak kedua adalah aku sendiri, anak dari Panglima Khu Tek San.”

Sekarang teringatlah Pek-mau Seng-jin, bahkan Thai-lek Siauw-hud Ngo Kee dan Panglima Dailuba mengeluarkan suara tertahan. Mereka teringat akan peristiwa belasan tahun yang lalu, peristiwa amat hebat bagi dunia kang-ouw, yaitu munculnya manusia dewa Bu Kek Siansu yang menolong kedua anak perempuan itu!

“Aaahhhh...!” Pek-mau Seng-jin tidak mampu mengeluarkan kata-kata lagi, wajahnya berubah dan dia merasa tidak enak sekali, terutama terhadap Kam Han Ki yang disebut suheng oleh dara itu.

“Pek-mau Seng-jin, mengingat bahwa engkau tadi telah menolong Suheng, biarlah aku melupakan urusan lama karena betapa pun juga harus diakui bahwa engkau telah berjasa dengan perbuatanmu yang tidak pantas itu, yaitu memungkinkan kami bertemu dengan Suhu. Nah, pertolonganmu tadi berarti telah menebus kesalahanmu dan urusan lama itu telah beres hari ini. Harap engkau jangan tidak tahu diri, hendak menciptakan urusan baru dengan membujuk Kam-suheng menjadi pengkhianat. Di antara kita tidak ada sangkut-paut lagi!”

Lega sekali hati Pek-mau Seng-jin. Setelah kini dia mendengar bahwa gadis itu adalah sumoi Kam Han Ki dan mereka itu murid-murid Bu Kek Siansu, tentu saja dia tidak berani untuk menentang mereka. Hawa pukulan dari Han Ki tadi ketika menyelamatkan nyawa Bu-koksu dan membuat senjatanya terpental sudah cukup membuktikan betapa hebat sinkang pemuda itu.

Maka dia lalu memberi isyarat dengan pandang mata kepada Pangeran Dhanu yang menjura kepada Han Ki sambil berkata, “Kalau begitu, kita berpisah di sini saja, Kam-taihiap. Aku hanya dapat menyatakan sayang bahwa di antara kita yang senasib sependeritaan ini tidak dapat bekerja sama.”

Han Ki menggigit bibirnya, tidak mau menjawab, hanya balas memberi hormat kepada rombongan Pangeran itu. Memang benarlah kalau Pangeran itu mengatakan bahwa mereka berdua adalah senasib sependeritaan, karena keduanya mencinta Sung Hong Kwi, dan keduanya menderita oleh cinta kasih mereka itu! Dia kini hanya memandang dengan tenang sambil menekan segala macam perasaan mengenai urusan pribadinya, memandang kepada rombongan yang pergi meninggalkan tempat itu dipimpin oleh Koksu Negara Yucen.

Dapat dibayangkan betapa malu rasa hati Suma Hoat ketika ia melihat dan mendengar semua itu. Biar pun tidak ada orang yang langsung menuduhnya, namun melihat sikap Kam Han Ki dan Khu Siauw Bwee sebagai orang-orang gagah yang biar pun telah diperlakukan penuh penghinaan sehingga mengalami penderitaan oleh Kerajaan Sung, namun masih menunjukkan kesetiaan terhadap negara dan bangsa.

Ada pun dia, biar pun keluarga Suma sejak dahulu mendapatkan banyak kemuliaan dalam Kerajaan Sung, karena terpaksa oleh ayahnya kini telah menjadi pengkhianat dan diam-diam mengadakan persekutuan dengan Kerajaan Yucen untuk menggulingkan Kerajaan Sung! Dia merasa rendah sekali, rendah dan kotor kalau dibandingkan dengan Kam Han Ki dan Khu Siauw Bwee. Dan orang seperti dia telah berani jatuh cinta kepada Khu Siauw Bwee!

“Biarlah aku pergi lebih dulu mengurus jenazah Coa-suheng.” Suma Hoat berkata sambil pergi meninggalkan sepasang orang muda yang sakti itu.

Kam Han Ki tidak mempedulikan pemuda itu, sedangkan Siauw Bwee hanya balas memandang dan mengangguk singkat. Setelah kini melihat suheng-nya sembuh sama sekali dari pengaruh racun perampas ingatan, hatinya girang bukan main, kegirangan yang amat besar dan yang menutupi semua urusan lain, termasuk kedukaan karena kematian Coa Leng Bu.

Kini mereka berdiri berhadapan, saling pandang dan untuk beberapa lama mereka tidak mengeluarkan kata-kata. Teringat akan cinta kasih di antara mereka pada waktu Han Ki belum sembuh dan masih belum terbuka kembali ingatannya, wajah Siauw Bwee menjadi merah sekali, akan tetapi ada rasa khawatir dan tegang di hatinya melihat betapa sinar mata pemuda itu kini berbeda dari sebelum pemuda itu sembuh.

Sinar mata itu masih tajam, bahkan lebih tajam dari sebelumnya, mengandung wibawa yang amat kuat, masih penuh dengan kasih sayang. Akan tetapi bukankah sejak dahulu di Pulau Es, Han Ki menaruh kasih sayang kepada kedua orang sumoi-nya? Sekarang ada sesuatu yang lenyap dari sinar mata itu. Kemesraan! Sebelum sembuh, suheng-nya yang terang-terangan menyatakan cinta kasih kepadanya itu kalau memandangnya, tampak jelas kemesraan di dalam sinar matanya dan kini dia seolah-olah tidak menemukan lagi kemesraan itu.

Han Ki menghela napas panjang. “Khu-sumoi, betapa banyaknya orang-orang yang telah melepas budi kebaikan kepadaku. Terutama sekali Coa-lo-enghiong yang telah mengorbankan nyawa untukku dan yang terutama adalah engkau sendiri. Betapa engkau sudah banyak menderita, semua untuk menolongku belaka.”

“Aihh, Suheng. Di antara kita, mana bisa disebut tolong-menolong? Apa artinya semua yang telah kulakukan kalau dibandingkan dengan budimu terhadap aku semenjak dahulu? Biar kupertaruhkan jiwa ragaku untukmu masih belum cukup untuk membalas semua budi kebaikanmu terhadapku, Suheng. Suheng, sudah terlalu lama kita berpisah, sudah terlalu lama kita merantau dan mengalami hal-hal yang tidak menyenangkan. Di dunia ramai ini banyak sekali kepalsuan dan kejahatan sehingga ke mana pun kita pergi, selalu kita bertemu dengan orang jahat dan mengalami kesulitan. Karena itu, marilah Suheng, marilah kita berdua kembali ke Pulau Es. Aku rindu sekali kepada tempat kita itu, rindu akan ketenangan, ketenteraman yang penuh damai di sana.”

“Sumoi, setelah segala peristiwa yang kualami, engkau tidak dapat membayangkan betapa rinduku kepada Pulau Es. Bahkan, kembali dan tinggal di sana seumur hidupku menjadi cita-cita dan harapanku satu-satunya. Akan tetapi, tinggal di sana seorang diri dengan membiarkan engkau dan Maya-sumoi pergi, merupakan siksa yang tak tertahankan olehku. Tentu saja aku girang sekali untuk pulang ke Pulau Es bersamamu dan Maya-sumoi, akan tetapi dia...”

Berkerut alis Siauw Bwee mendengar ini. Sudah dikhawatirkannya akan demikianlah pendapat suheng-nya kalau suheng-nya sudah pulih kembali ingatannya! Hampir saja timbul pikiran bahwa dia akan merasa senang sekali kalau suheng-nya tidak pernah mendapatkan kembali ingatannya sehingga hanya mencinta dia seorang, tidak teringat lagi kepada Maya! Akan tetapi cepat-cepat ditekannya perasaan yang dia tahu amat tidak baik ini, hanya mementingkan kesenangan diri pribadi tanpa mempedulikan keadaan orang lain!

“Kam-suheng, apakah Suheng lupa akan sikap Maya-suci kepadaku? Kalau kita mengajak dia kembali ke Pulau Es, apakah dia tidak hanya akan menimbulkan keributan belaka? Suheng, Maya-suci membenciku...”
Han Ki menggeleng kepala dan tersenyum pahit. “Tidak membencimu Khu-sumoi, hanya....” dia tidak dapat melanjutkan kata-katanya.

“Hanya karena dia mencintaimu maka dia cemburu kepadaku dan ingin membunuhku, ingin melenyapkan aku agar tidak menjadi penghalang bagi cintanya?”

“Sumoi, engkau tentu maklum betapa tersiksa hatiku kalau teringat akan kalian berdua. Akan tetapi, celakanya, aku pun tidak dapat membiarkan kalian berdua meninggalkan aku tanpa kuketahui bahwa kalian berdua dalam keadaan selamat. Baru akan tenang hidupku kalau kalian sudah kembali bersamaku ke Pulau Es. Sekarang aku akan berusaha agar kalian berdua hidup dengan rukun, sebagai saudara seperguruan yang saling mencinta.”

“Kam-suheng, katakanlah sesungguhnya, apakah pernyataan cintamu terhadap aku hanya palsu belaka dan engkau menyatakannya untuk membalas budi pertolonganku, saja?”

Han Ki memandang dengan mata terbelalak dan muka berubah pucat. Kemudian ia menarik napas panjang dan menjawab, “Sumoi, sampai hati benar engkau menuduh aku seperti itu. Engkau tentu sudah yakin akan cintaku kepadamu, akan tetapi... harap engkau jangan besikap seperti Maya-sumoi yang hanya mementingkan diri sendiri saja. Kalau aku hanya menurutkan hati cinta dan ingin hidup senang sendiri saja, betapa mungkin hatiku akan tenteram dan tenang? Tidak, Khu-sumoi. Aku baru akan dapat bicara tentang cinta, dapat bicara tentang masa depan kalau kita bertiga sudah kembali ke Pulau Es. Aku tidak akan menentang perpisahan di antara kita bertiga karena hidup memang selalu berubah, ada waktu berkumpul tentu ada waktu berpisah, akan tetapi hendaknya perpisahan itu terjadi dalam keadaan baik dan tidak seperti yang lalu, saling berpisah dalam keadaan permusuhan.”

“Suheng, kita sama mengetahui bahwa Maya-suci mencintamu seperti aku mencintamu pula. Betapa pun beratnya bagimu, engkau harus mengambil keputusan siapa di antara kami berdua yang kau cinta. Tanpa keputusan itu, engkau hanya akan menciptakan permusuhan di antara kami berdua.”

“Sumoi, kita tunda dahulu urusan cinta ini. Yang penting sekarang kita bertiga harus kembali ke Pulau Es. Maya-sumoi adalah saudara kita. Sekarang dia telah menyeleweng demi pembalasan dendamnya dan rela menjadi seorang Panglima Mancu. Apakah mungkin aku mendiamkannya saja? Tidak, Sumoi. Aku harus menginsyafkannya dan harus mengajaknya pulang ke Pulau Es. Dengan demikian, barulah aku tidak merasa berdosa kepada Suhu dan tidak menyia-nyiakan pesan Suhu.”

Siauw Bwee merasa terdesak. Dara jelita ini menarik napas panjang dan berkata, “Hemmm, agaknya engkau yang lebih benar, Suheng, dan agaknya akulah yang buta oleh cemburu. Baiklah, engkau boleh mencoba untuk membujuknya pulang ke Pulau Es, akan tetapi engkau harus lebih dulu mengantarku ke Pulau Es, baru kau pergi mencari Suci. Kalau sekarang engkau mencarinya dan mengajaknya kembali ke Pulau Es, dia tentu akan menolak kalau dia melihat aku bersamamu.”

Han Ki mengangguk-angguk. Memang tepat kata-kata sumoi-nya ini. Watak Maya amat keras. Dia masih dapat membujuk dan membikin lunak hati Siauw Bwee, akan tetapi sukar sekali baginya untuk membujuk Maya kalau sumoi-nya itu melihat Siauw Bwee bersama dia.

“Baiklah, Sumoi. Mari kita segera berangkat.”

Dua orang itu segera mempergunakan ilmu kepandaian mereka berlari cepat menuju ke pantai untuk melanjutkan perjalanan melalui laut, menggunakan sebuah perahu kecil menyeberang ke Pulau Es.

Di dalam perjalanan yang dilakukan dengan cepat ini, Siauw Bwee tidak dapat menahan keinginan tahunya akan dendam dan sakit hati mereka terhadap musuh-musuh yang telah mencelakakan keluarga mereka. Dia mengajukan pertanyaan kepada suheng-nya dengan suara bersungguh-sungguh dan pandang mata tajam menyelidik.

“Suheng, engkau agaknya berkeinginan keras untuk mengajak aku dan Suci kembali ke Pulau Es, dan kalau aku tidak salah menduga, engkau ingin sekali melihat kita bertiga kembali tinggal di Pulau Es dan tidak meninggalkan tempat itu lagi. Benarkah dugaanku itu?”

Wajah Han Ki berseri mendengar ini, kemudian dia mengangguk. “Memang demikianlah, Sumoi. Alangkah bahagia rasa hatiku kalau kalian berdua mau berbaik kembali dan kita bertiga hidup tenang dan tenteram penuh kebahagiaan seperti dahulu di Istana Pulau Es.”


                   
Cerita silat serial Bu Kek Siansu episode istana pulau es

Siauw Bwee mengerutkan alisnya. “Akan tetapi, Suheng. Apakah engkau telah lupa akan dendam di hati kita? Apakah engkau telah melupakan musuh-musuh besar kita? Apakah semangat membalas dendam telah padam di hatimu?”

“Sumoi, kita tidak boleh melupakan ajaran Suhu yang banyak disebut dalam kitab-kitabnya. Dendam adalah nafsu yang paling buruk dan jahat, sumber dari segala pertentangan dan permusuhan antara manusia. Dendam adalah sifat yang paling menonjol dari iba diri dan kalau kita dimabokkan olehnya, hati dan pikiran kita akan menjadi gelap karena dendam menimbulkan benci dan kebencian menimbulkan kekejaman. Khu-sumoi, katakanlah, siapakah yang kau anggap musuh besarmu, yang mendatangkan dendam sakit hati padamu?”

“Siapa lagi kalau bukan manusia jahat Suma Kiat? Dia telah menyebabkan kehancuran keluarga ayahku! Manusia itu harus kubunuh untuk membalas dendam keluargaku!”

Han Ki menarik napas panjang. “Sumoi, engkau telah dapat bersikap baik kepada puteranya, Suma Hoat, mengapa engkau tidak dapat bersikap sama baiknya kepada ayahnya?”

“Suma Hoat seorang yang baik dan dia bersikap baik kepadaku, sedangkan ayahnya adalah musuh besarku!”

“Hemmm, betapa tepat wejangan Suhu dahulu! Hutang budi dan dendam hanya merupakan bunga dari sifat sayang diri belaka. Sumoi, andai kata Suma Kiat tidak berbuat yang merugikan keluargamu, andai kata dia melakukan hal yang baik seperti yang dilakukan puteranya, tentu dia takkan kau anggap musuh. Jadi, sama sekali bukan pribadinya yang membuat engkau mendendam, melainkan perbuatannya terhadap dirimu! Kalau perbuatan itu baik dan menguntungkan dirimu, maka engkau merasa berhutang budi! Kalau perbuatannya buruk bagimu dan merugikan dirimu, tentu akan kau anggap sebagai dendam sakit hati yang harus dibalas. Dengan demikian, maka terciptalah rantai yang tiada putusnya berupa balas membalas, baik membalas budi mau pun membalas dendam!”

“Bukankah itu sudah seharusnya demikian, Suheng? Sudah adil kalau budi dendam dibalas sehingga menjadi adil namanya? Bukankah sudah demikian pada umumnya hukum karma?”

Han Ki menggeleng kepalanya. “Memang demikianlah pendapat umum yang telah menjadi tradisi usang. Karena kepercayaan dan pendapat turun-temurun seperti inilah membuat kita terseret ke dalam arus yang dibuat manusia sendiri dan dinamakan karma. Mata rantai itu terbentuk dari perbuatan-perbuatan yang menghendaki akhiran yang menyenangkan, perbuatan-perbuatan yang bertujuan, berpamrih. Apakah artinya perbuatan baik mau pun buruk kalau didasari tujuan tertentu, berpamrih yang bukan lain hanya pencetusan dari rasa sayang diri belaka? Perbuatan demikian itu, baik mau pun buruk adalah perbuatan yang tidak wajar, yang palsu dan karenanya selalu berkelanjutan dan berekor tiada kunjung putus dan menjadi hukum karma. Layaknya kalau hidup kita ini hanya kita isi dengan perbuatan-perbuatan palsu yang lebih patut disebut hutang-pihutang? Tiada kebebasan, tiada kewajaran sama sekali!”

Siauw Bwee terkejut dan juga terheran mendengar pendapat yang baru sama sekali ini, yang belum pernah didengarnya. Ia memandang suheng-nya dengan alis berkerut dan dia membantah, “Akan tetapi, Suheng! Apakah engkau hendak menganjurkan agar kita tidak usah mengenal dan membalas budi? Suheng! Orang yang tidak mengenal budi adalah orang yang rendah dan tidak baik!”

Kembali Han Ki menggeleng kepalanya, memandang sumoi-nya dengan tajam lalu berkata, suaranya bersungguh-sungguh. “Ucapanmu itu mencerminkan pandangan umum, namun sesungguhnya pandangan seperti itu adalah tidak tepat, Sumoi.”

’’Mengapa tidak tepat? Orang harus selalu mengingat budi orang lain yang dilimpahkan kepadanya dan berusaha untuk membalas budi itu!”

’’Cobalah renungkan dalam-dalam dan dengarkan baik-baik kata-kataku ini, Sumoi. Orang yang mengingat dan membalas budi orang lain adalah orang yang menghendaki agar budinya diingat dan dibalas orang lain pula!”

’’Apa salahnya dengan itu? Saling membalas budi adalah perbuatan orang sopan dan baik!”

’’Kalau sudah dijadikan keharusan balas-membalas, berarti bayar-membayar dan perbuatan itu tidak patut disebut budi lagi, melainkan semacam hutang-pihutang! Dengan mengingat dan membalas budi orang lain berarti merendahkan orang itu, merendahkan pula nilai perbuatannya yang hanya disamakan dengan hutang! Renungkan baik-baik, Sumoi. Bukankah begitu?”

Siauw Bwee tercengang, kemudian menarik napas panjang dan mengangguk perlahan. “Wahh, kebenaran pendapatmu tak dapat dibantah memang, Suheng. Akan tetapi sungguh janggal, sungguh aneh dan menyimpang dari pendapat umum.”

’’Bukan pendapatku, Sumoi. Setiap pendapat dari siapa pun juga datangnya, tidak dapat dibenarkan, karena pendapat hanya memancing pertentangan. Kalau yang kau dengar tadi kau sebut sebagai pendapaku dan kau anggap benar, tentu akan muncul orang lain yang menganggapnya tidak benar, maka terjadilah pertentangan. Aku hanya mengajak engkau bersamaku mempelajari hal itu dan bersama mencari tahu apa artinya membalas dendam. Sudah jelas sekarang bahwa budi dan dendam hanyalah pencetusan dari sayang diri yang menciptakan karma, menciptakan sebab dan akibat. Kalau kita tersesat, takkan pernah kita dapat membebaskan diri dan hidup ini menjadi sia-sia, menjadi permainan sebab akibat. Karena Si Akibat sendiri pun berekor dan menjadi sebab dari akibat yang lain lagi. Sedangkan Si Sebab pun menjadi akibat dari sebab yang terdahulu. Bukankah seyogianya kalau kita membebaskan diri dari ikatan mata rantai yang tiada kunjung putus itu?”

“Akan tetapi, Suheng! Manusia jahat macam Suma Kiat telah mengakibatkan kematian ayahku, kehancuran keluarga Ayah. Mana mungkin aku tinggal diam saja tidak membalas dendam yang hebat ini?”

”Membalas dendam dengan cara bagaimana, Sumoi?”

”Tentu saja dengan membunuh manusia laknat itu!”

”Hemmm, Sumoi. Engkau bilang bahwa Suma Kiat jahat karena menyebabkan kematian ayahmu, dan engkau hendak membalas dengan membunuhnya! Kalau dia membunuh ayahmu kemudian engkau membunuhnya, lalu siapakah di antara kalian berdua yang baik dan jahat? Mana mungkin melenyapkan kejahatan dengan kejahatan pula? Mana bisa merubah kekerasan dengan kekerasan pula? Engkau bilang bahwa putera orang yang kau anggap musuh besarmu itu, adalah seorang yang baik dan bersikap baik kepadamu. Kalau engkau membunuh ayahnya, biar pun engkau menganggapnya sebagai akibat perbuatan Suma Kiat, bukankah perbuatanmu itu berubah menjadi sebab dendam baru, yaitu dendam di hati puteranya, Suma Hoat yang akan membalas kematian ayahnya?”

”Aku tidak takut!”

”Bukan soal takut atau tidak takut yang kita selidiki, Sumoi. Melainkan soal tepat tidaknya terseret ke dalam mata rantai dendam-mendendam.”

Siauw Bwee menundukkan mukanya. Tak dapat ia membantah kebenaran baru dan aneh yang dikemukakan suheng-nya ini. Kematian ayahnya, kehancuran rumah tangga ayahnya memang akibat perbuatan Suma Kiat. Akan tetapi Suma Kiat tidak akan semata-mata melakukan hal itu tanpa sebab-sebab tertentu! Dia telah mendengar betapa Suma Kiat amat membenci keluarga Suling Emas, amat membenci Menteri Kam Liong putera Suling Emas. Dan karena ayahnya, Khu Tek San adalah murid Menteri Kam Liong, tentu saja terlibat dalam urusan dendam-mendendam itu dan menjadi korban dalam membela gurunya.

”Aku tidak dapat menyangkal kebenaran ucapanmu, Suheng. Aku menurut saja apa yang akan kau lakukan asal saja engkau...”

Melihat keraguan sumoi-nya, Han Ki bertanya, “Asal saja aku mengapa, Sumoi?”

”Asal engkau tidak melupakan... cinta kasih di antara kita...”

Han Ki tersenyum, akan tetapi hatinya perih. Dia mencinta Siauw Bwee, bukan hanya cinta seorang suheng terhadap sumoi-nya, melainkan terutama sekali cinta seorang pria terhadap seorang wanita dan tidak ada cita-cita yang lebih nikmat dan akan membahagiakan hatinya dari pada hidup sebagai suami isteri untuk selamanya dengan sumoi-nya ini. Akan tetapi, di sana masih ada Maya! Sebelum urusan dengan Maya dapat diatasi, bagaimana mungkin cita-cita itu dapat terlaksana tanpa gangguan?

”Mana mungkin manusia melupakan cintanya, Sumoi? Yang dapat dilupakan adalah cinta palsu, cinta birahi belaka yang sama sekali tidak ada harganya untuk dibicarakan. Nah, kau tinggallah di istana Pulau Es lebih dahulu, Sumoi. Aku akan kembali ke darat dan mengajak pulang Maya-sumoi.” Mereka telah tiba di tepi Pulau Es.

Siauw Bwee meloncat ke darat, memandang suheng-nya yang masih tinggal di dalam perahu, berkata penuh keraguan, “Bagaimana kalau dia tidak mau, Suheng? Dia mau atau tidak, engkau... tentu akan kembali secepatnya ke sini, bukan?”

”Dia tentu dan harus mau!” jawab Han Ki sambil mendayung perahunya dengan cepat ke tengah laut menuju ke barat, diikuti pandang mata Siauw Bwee yang penuh dengan keraguan dan kegelisahan.

Dia maklum akan perasaan hati suheng-nya. Dia tahu bahwa suheng-nya mencintanya, akan tetapi tahu pula bahwa suheng-nya tidak mungkin dapat berbahagia, tidak dapat hidup tenteram sebelum membereskan urusan Maya! Dia bertambah gelisah karena Siauw Bwee juga maklum bahwa suci-nya itu pun mencinta Han Ki. Betapa pun juga, dia telah menang dalam perebutan cinta kasih itu! Suheng-nya mencintanya! Pikiran ini melegakan hati Siauw Bwee dan dia membalikkan tubuh perlahan-lahan berjalan ke tengah pulau, menuju ke Istana Pulau Es yang telah bertahun-tahun ditinggalkannya itu.....

"Heeii, berhenti dulu! Kalian mau apa menerobos masuk tanpa permisi?” para pengawal penjaga gedung Panglima Suma Kiat membentak dan mereka sudah memalangkan tombak menodong pasukan pengawal berseragam biru yang masuk ke halaman gedung seenaknya itu.

"Minggir kalian dan biarkan kami masuk!" Komandan pasukan itu balas membentak sambil meraba gagang pedangnya.

"Apa? Kalian pun hanya pasukan pengawal, sama dengan kami. Biar pun engkau komandan pasukan, akan tetapi kau bukan komandan kami. Siapapun tidak boleh masuk sebelum ada perkenan dari Suma-tai-ciangkun!"

"Wuuuuttt... ciattt!" Komandan pasukan pengawal istana Suma-tai-ciangkun itu roboh dengan leher hampir putus disambar sinar yang tiba-tiba menyerangnya...


Tampaklah seorang laki-laki tinggi besar yang berpakaian mewah telah muncul di situ. Ketika para pengawal melihat laki-laki ini, mereka lebih kaget dari ketika melihat komandan mereka tewas tadi. Serta-merta mereka menjatuhkan diri berlutut karena laki-laki itu bukan lain adalah Bu-koksu! Kini bermunculan pembantu-pembantu Koksu, para panglima tinggi, dan perwira yang memimpin banyak sekali pasukan pengawal yang telah mengurung gedung itu.

Biar pun para pengawal telah menjadi ketakutan ketika melihat Koksu dengan banyak pasukannya, namun ada di antara para pengawal yang berhasil menyelinap masuk ke dalam gedung dan dengan muka pucat, melaporkan kepada Suma Kiat.

”Celaka... Koksu dengan pasukan besar datang menyerbu...!”

Pada sore hari itu Suma Kiat yang ditemani oleh selirnya yang terkasih, Bu Ci Goat dan muridnya, Siangkoan Lee, sedang menjamu seorang tamu yang tiba di siang hari itu. Tamu ini bukan lain adalah Coa Sin Cu, bengcu (pemimpin rakyat) yang bermarkas di hutan pegunungan sekitar Pantai Po-hai. Kakek ini mempunyai hubungan dengan Suma Kiat karena mereka berdua sama-sama bersekutu dengan pemerintah Yucen. Akan tetapi sekali ini Coa Sin Cu datang dengan wajah keruh dan hatinya berat bukan oleh urusan politik, melainkan oleh urusan pribadinya. Dia meninggalkan markasnya dengan hati berat setelah membunuh puteranya sendiri dan isterinya!

Beberapa hari yang lalu, ketika dia pulang malam hari dari perjalanan, pulang secara tidak terduga-duga dan belum waktunya, dia menyaksikan dengan mata kepala sendiri betapa isterinya berjinah dengan puteranya! Liem Cun, isterinya, adalah seorang wanita cantik dan masih muda, sebaya dengan Coa Kiong puteranya yang tampan dan gagah. Menyaksikan adegan yang tak disangka-sangkanya itu naiklah darah ke dalam kepala Coa Sin Cu, membuat matanya gelap dan dalam kemarahan meluap-luap dia langsung mencabut senjata dan membunuh mereka!

Karena tidak dapat menahan kemarahan, kedukaan dan kekecewaan hatinya setelah dia membunuh isteri tercinta dan putera tunggalnya, Coa Sin Cu lalu pergi ke kota Siang-tan menjumpai rekannya, Suma Kiat dan mencurahkan semua isi hatinya yang penuh kedukaan.

Suma Kiat diam-diam tersenyum di dalam hatinya mendengar penuturan sahabatnya yang bernasib malang itu. Hatinya sendiri merasa terhibur karena bukanlah dia pun menderita kecewa dan duka karena putera tunggalnya? Hampir sama persoalannya. Dia pun melihat puteranya, Suma Hoat, bermain gila dengan selirnya terkasih! Akan tetapi dia tidak membunuh putera dan selirnya, dia terlalu mencinta selirnya, dan terlalu sayang kepada puteranya dan dia merasa beruntung sekarang bahwa dia tidak terlanjur membunuh mereka karena kalau hal itu dia lakukan dahulu, agaknya dia pun akan merana dan berduka seperti halnya Coa Sin Cu sekarang ini!

”Aahhh, Coa-bengcu. Seorang laki-laki dapat menanggung segala macam derita hidup! Semua telah berlalu, perlu apa dipikirkan lagi? Pula, kita menghadapi urusan yahg lebih besar dan yang akan dapat merubahkan seluruh jalan hidupmu. Kalau pemerintah Yucen berhasil, tentu jasa kita takkan dilupakan. Setelah kelak engkau memperoleh kedudukan tinggi, apa sukarnya bagimu untuk hidup terhormat, mulia dan mewah, mengambil banyak wanita muda yang cantik dan... ha-ha, memperoleh putera-putera lagi?”

Pada saat itulah, pengawal yang berhasil lari masuk itu tiba di dalam ruangan dengan muka pucat dan napas memburu. Suma Kiat memandang dengan marah, akan tetapi sebelum dia sempat menegur, pengawal itu telah melaporkan akan menyerbuan pasukan yang dipimpin sendiri oleh Bu-koksu!

Mendengar itu Suma Kiat meloncat dari kursinya diikuti oleh Bu Ci Goat dan Siangkoan Lee. Dengan geram dia berkata kepada para penjaga, “Kumpulkan pasukan dan siap menghadapi pasukan Koksu!” Kemudian dia sendiri setelah menyambar senjatanya, diikuti oleh selir dan muridnya.

Mereka melangkah ke luar meninggalkan Coa Sin Cu yang masih duduk dengan muka pucat mendengar berita buruk itu. Dia tidak berani keluar karena takut kalau-kalau mengacaukan tuan rumah, maka dia hanya menyelinap dan bersembunyi di balik pintu sambil mengintai dan mendengarkan.

Setelah tiba di ruangan depan dan melihat Bu-koksu bersama pasukannya, Suma Kiat mengangkat kedua tangan ke depan dada dengan sikap angkuh dan berkata suaranya dingin dan penuh teguran, ”Sungguh amat mengherankan sekali sikap Koksu yang datang berkunjung seperti ini, tanpa pemberitahuan dan secara memaksa. Apa kehendak Koksu?”

Biar pun dalam kedudukannya, dia kalah tinggi dan kalah berkuasa kalau dibandingkan dengan kedudukan Koksu, namun di antara para panglima tinggi, nama Suma Kiat telah amat dikenal sebagai seorang yang dekat dengan raja dan memiliki pengaruh dan kekuasaan tinggi. Sudah turun menurun keluarga Suma menduduki tempat penting dan pemerintahan. Oleh karena inilah maka Suma Kiat berani bersikap angkuh terhadap Bu-koksu.

Akan tetapi Bu-koksu tersenyum mengejek dan berkata dengan suara penuh nada menyindir, “Sikapku ini sama sekali tidak mengherankan kalau dibandingkan dengan perbuatanmu, Suma Kiat. Sebagai seorang panglima tinggi yang telah banyak menerima anugerah dari kerajaan, engkau telah berani berkhianat, menyiapkan pemberontakan dan bersekutu dengan musuh!”

Bukan main kagetnya hati Suma Kiat mendengar ini. Dia memandang tajam dan menyangkal dengan suara keras karena dia mengira bahwa tentu Koksu hanya menuduhnya tanpa alasan atau hanya kira-kira saja, “Bu-koksu! Harap engkau jangan mengeluarkan tuduhan dan fitnahan membabi-buta! Semenjak dahulu keluarga Suma adalah keluarga panglima yang selalu setia kepada raja!”

”Ha-ha-ha, mungkin dahulu demikian. Biar pun nama keluarga Suma tidaklah terlalu harum, akan tetapi belum pernah memberontak terhadap Raja. Akan tetapi, sekarang agaknya engkau akan menjadi juara dalam mengotorkan nama keluarga Suma! Engkau bersekutu dengan Kerajaan Yucen, menjadi kaki tangan Pek-mau Seng-jin, Koksu pemerintah Yucen!”

”Bohong! Fitnah palsu! Apa buktinya?” Suma Kiat masih membantah dan menyangkal keras.

”Buktinya? Ha-ha-ha, masih mau bukti lagi setelah Pat-jiu Sin-kauw dan Thian Ek Cinjin, dua orang kaki tangan Coa-bengcu yang menyelundup menjadi pengawalku itu mengaku sebelum mereka mampus di tanganku? Masih minta bukti setelah aku melihat sendiri anakmu, Suma Hoat membantu Pek-mau Seng-jin? Suma Kiat, pemberontak dan pengkhianat, menyerahlah dengan seluruh keluargamu untuk kami tangkap dan bawa ke pengadilan di kota raja!”

Tentu saja Suma Kiat terkejut sekali mendengar betapa dua orang tokoh pembantu Coa-bengcu itu telah dibunuh setelah disiksa untuk mengaku. Akan tetapi dia lebih kaget lagi mendengar bahwa Koksu telah melihat puteranya membantu Pek-mau Seng-jin. Koksu Negara Yucen! Tidak ada jalan lain lagi baginya kecuali melawan dan berusaha membebaskan diri dari keadaan berbahaya ini.

”Anjing penjilat, kau kira aku takut padamu?” Suma Kiat sudah mencabut pedangnya dan menerjang Koksu dengan kecepatan luar biasa.

Koksu ini telah tahu akan kelihaian Suma Kiat, maka dia pun cepat menangkis dengan golok besarnya. Terdengar suara berkerincing nyaring ketika Koksu ini mainkan goloknya. Golok itu lebar dan panjang, punggung golok dihias gelang-gelang yang mengeluarkan bunyi nyaring berdering dan berkerincing. Dengan tenaganya yang besar, tentu saja golok itu merupakan senjata berat yang amat berbahaya.

Namun Suma Kiat adalah seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali. Ilmu pedangnya Toa-hong Kiam-sut (Ilmu Pedang Angin Badai) amat cepat dan kuatnya, masih dibantu tangan kirinya yang digerak-gerakkan dengan pukulan Hui-tok-ciang (Tangan Racun Api) yang mukjizat dan ampuh sekali. Karena itu, Bu Kok Tai, koksu kerajaan yang berilmu tinggi itu memperoleh lawan yang seimbang ketika berhadapan dengan Suma Kiat.

Suma Kiat memberi isyarat kepada pasukan-pasukan yang masih setia kepadanya sehingga para pasukan pengawal itu menerjang maju, disambut pasukan pengawal Koksu. Siangkoan Lee dan Bu Ci Goat juga sudah mencabut senjata masing-masing dan mengamuk melawan para panglima yang dipimpin oleh Ang Hok Cu, siucai lihai yang menjadi murid Bu-koksu.

Perang kecil yang mati-matian terjadi di ruangan depan dan halaman gedung itu. Akan tetapi jumlah pengawal yang masih setia kepada Suma Kiat jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan jumlah pengawal Bu-koksu, apa lagi karena sejumlah pengawal Suma Kiat sudah menaluk ketika melihat gelagat buruk, bahkan kini mereka membalik dan membantu para pengawal Bu-koksu, menyerang bekas kawan-kawan sendiri dalam usaha mereka mencari keselamatan agar dosa mereka kelak diampuni! Tentu saja hal ini amat mengurangi semangat perlawanan pihak pasukan Suma Kiat dan sebentar saja mereka berjatuhan dan menjadi korban senjata di tangan pasukan Bu-koksu.

Suma Kiat yang bertanding melawan Bu-koksu menjadi marah sekali. Dia kerahkan seluruh tenaga dan kepandaian sehingga Bu-koksu sendiri terdesak mundur. Namun beberapa orang panglima dan pasukan segera membantunya mengeroyok sehingga kembali Suma Kiat terdesak hebat dan terancam keselamatannya.

Pada saat itu, Coa Sin Cu yang tadinya bersembunyi merasa bahwa tidak baik baginya kalau terus bersembunyi karena akhirnya dia akan ketahuan. Maka dengan nekat dia mencabut senjatanya dan menerjang ke luar membantu Suma Kiat.

Melihat munculnya orang ini, Bu-koksu berseru marah dan juga girang. Sudah lama sekali dia menyuruh orang-orangnya untuk berusaha membasmi gerombolan Coa Sin Cu yang memberontak dan sudah lama dia mendengar bahwa orang ini menjadi kaki tangan Kerajaan Yucen. Apa lagi setelah dua orang pengawalnya, Pat-jiu Sin-kauw dan Thian Ek Cinjin, di bawah siksaan berat mengaku bahwa mereka adalah pembantu-pembantu Coa Sin Cu, kebencian Koksu terhadap Coa Sin Cu makin menghebat. Kini sungguh tidak disangkanya bahwa pemberontak itu berada di dalam gedung Suma Kiat.

Dengan suara menggereng hebat, Koksu ini meninggalkan Suma Kiat yang dikeroyok oleh Ang Hok Ci dan para panglimanya. Tubuhnya yang tinggi besar melayang ke depan dan goloknya yang berat mengeluarkan bunyi berkerincing menerjang kepada Coa Sin Cu. Coa Sin Cu terkejut dan cepat menangkis.

“Trangggg... trakkkk!” Golok di tangan Coa Sin Cu patah-patah dan golok besar Bu-koksu terus meluncur membabat leher. Terdengar suara mengerikan dan kepala Coa Sin Cu menggelinding dari tubuhnya. Lehernya putus terbabat golok!

”Keparat...!” Suma Kiat marah sekali, membentak lalu melengking panjang, pedangnya menyambar ganas dan dahsyat ke depan.

Ang Hok Ci yang langsung menghadapinya menggantikan suhu-nya berusaha mengelak dan menangkis, dibantu tiga orang panglima lainnya. Akan tetapi mereka menjerit keras dan roboh dengan perut robek oleh sambaran sinar pedang yang dahsyat itu. Ang Hok Ci berkelojotan dan tewas bersama tiga orang panglima yang membantunya.

Sementara itu, Bu Ci Sian dan Siangkoan Lee juga mengamuk, merobohkan banyak pengawal Bu-koksu, akan tetapi mereka berdua juga menderita luka-luka kecil akibat pengeroyokan yang amat ketat itu. Sedangkan Suma Kiat kembali telah berhadapan dengan Bu-koksu dan belasan orang panglima yang mengurungnya dengan hati-hati karena kepandaian Suma Kiat benar-benar amat hebat.

”Suhu... lebih baik kita pergi...!” Siangkoan Lee berseru. “Subo sudah terluka...!”


Tadinya Suma Kiat hendak mengamuk terus, akan tetapi ketika dia melirik dan melihat betapa paha kiri Bu Ci Goat berdarah, celananya robek sehingga tampak kulit paha putih halus yang terluka, hatinya menjadi tidak tega terhadap selirnya yang tercinta itu. Dia kembali mengeluarkan suara melengking nyaring, sinar pedangnya menerjang ke depan, mernbuat Bu-koksu dan para pembantunya cepat-cepat muncur dan memutar senjata melindungi tubuh. Saat itu dipergunakan oleh Suma Kiat untuk menyambar lengan selirnya, kemudian memutar pedangnya dan membawa selirnya yang terluka pahanya itu meloncat naik ke atas genteng, diikuti oleh Siangkoan Lee.


Karena yang dapat mengimbangi kepandaian Suma Kiat hanya dia seorang diri, Bu-koksu tidak berani mengejar sendirian, hanya memerintahkan anak buahnya menyerang dengan anak panah. Puluhan batang anak panah meluncur ke arah tubuh tiga orang yang melarikan diri itu, namun kesemuanya dapat diruntuhkan oleh senjata di tangan Siangkoan Lee dan Suma Kiat. Tak lama kemudian bayangan mereka menghilang di dalam kegelapan malam yang telah tiba.

Kasihanlah para penghuni rumah gedung Suma Kiat itu, yaitu para pengawal yang tadi melawan dan para pelayan. Mereka dibunuh semua, pelayan-pelayan wanita yang tua dibunuh, yang muda dan cantik diperkosa sampai mati. Kemudian seisi rumah dirampok habis-habisan. Melihat betapa anak buahnya berpesta pora, memperkosa dengan keji, merampok dan membunuh, Bu-koksu mendiamkannya saja. Dia sedang berduka sekali melihat muridnya tewas, dan kecewa melihat Suma Kiat berhasil lolos.

Saking gemasnya dia bahkan memerintahkan membakar rumah gedung itu, kemudian mengirim Pangeran Ciu Hok Ong yang sudah ditangkapnya ke kota raja untuk diadili dan minta kepada Raja agar mengirim pasukan melakukan pengejaran untuk menangkap Suma Kiat. Pangeran Ciu Hok Ong ditangkap tanpa melakukan perlawanan setelah rahasia persekutuannya dengan Koksu Yucen dibocorkan oleh Pat-jiu Sin-kauw dan Thian Ek Cinjin.

Dengan bantuan muridnya yang setia, Suma Kiat berhasil mendapatkan tiga ekor kuda dan dengan cepat dia, selirnya, dan muridnya meninggalkan kota Siang-tan, melarikan diri ke barat. Dapat dibayangkan betapa sengsara keadaan Bu Ci Goat yang terluka pahanya itu, diharuskan melarikan diri siang malam tak pernah berhenti. Suma Kiat maklum bahwa kini dia telah menjadi buronan kerajaan, dan tidak mungkin baginya muncul di dunia ramai karena tentu dia akan ditangkap sebagai seorang pengkhianat atau pemberontak. Satu-satunya jalan terbaik hanya pergi menyeberang ke daerah Kerajaan Yucen.

Akan tetapi dia merasa enggan untuk menghambakan diri kepada bangsa Yucen. Bukan demikianlah cita-citanya. Dia adalah seorang dari keluarga Suma yang terkenal angkuh dan tinggi hati. Kalau dia suka bekerja sama dengan Koksu Yucen adalah karena dia ingin mempergunakan kekuatan Yucen untuk menggulingkan kedudukan Kaisar, membantu Pangeran Ciu Hok Ong menjadi kaisar dan dia sendiri memperoleh kedudukan lebih tinggi, sedikitnya tentu menjadi seorang menteri. Kalau sekarang usaha itu gagal, dia tidak sudi merendahkan diri menjadi kaki tangan bangsa Yucen.

”Suhu, apakah tidak lebih aman bagi Suhu dan lebih baik bagi Subo yang sedang terluka kalau kita menyeberang saja dan minta bantuan Pek-mau Seng-jin di Yucen?” Siangkoan Lee mengajukan usulnya di tengah perjalanan melarnkan diri itu.

Sepasang alis yang sudah bercampur putih itu berkerut dan suara Suma Kiat terdengar marah ketika menjawab, “Siangkoan Lee, ingat baik-baik pesanku. Aku adalah seorang pahlawan yang berjuang untuk rakyat dan negara. Kalau Kaisar lalim, sudah sewajarnya kita memberontak untuk memilih kaisar baru yang lebih baik. Untuk keperluan itu pun tiada salahnya kita mengharapkan bantuan bangsa asing. Akan tetapi itu hanya siasat, bukan berarti kita menghambakan diri kepada bangsa asing! Lebih baik mati dari pada menjual negara kepada bangsa asing. Ingat baik-baik pendirianku ini karena engkaulah yang harus melanjutkan cita-citaku. Engkau bukan hanya muridku, bukan hanya pembantuku, melainkan kuanggap sebagai pengganti puteraku sendiri yang akan kuwarisi seluruh ilmu kepandaianku.”

Siangkoan Lee terkejut dan juga girang sekali. “Terima kasih, Suhu...,” katanya terharu. “Teecu bersumpah akan menaati dan melanjutkan cita-cita Suhu sampai mati!”

Dua hari kemudian, rombongan tiga orang ini terkejut ketika mendengar teriakan dari belakang dan derap kaki sekor kuda yang dibalapkan mengejar mereka. Tadinya mereka hendak mempercepat larinya kuda, akan tetapi ketika mendapat kenyataan bahwa pengejarnya hanya satu orang saja. Suma Kiat menahan kudanya dan membalikkan kuda menanti datangnya seorang pengejar itu.

”Ayah...!”

Kiranya pengejar itu bukan lain adalah Suma Hoat! Pemuda ini dengan muka dan baju basah oleh peluh karena melakukan pengejaran dengan cepat, kini memandang ayahnya, ibu tiri, dan murid ayahnya. Mereka bertiga yang duduk di atas kuda memandang pemuda itu dengan wajah dingin dan sinar mata mengandung penuh penasaran.

”Ayah..., aku... aku mendengar akan penyerbuan Bu-koksu... Aku cepat ke Siang-tan, tapi terlambat... lalu mengejar Ayah...”

”Tutup mulutmu dan jangan sekali-kali menyebut ayah kepadaku, manusia keparat!” Suma Kiat membentak penuh kemarahan.

Suma Hoat terbelalak kaget, wajahnya pucat. “Ayah... mengapa...?”

”Cukup! Sekali lagi menyebut ayah, kubunuh engkau! Manusia laknat, anak durhaka, karena engkaulah kami menjadi begini! Karena Koksu melihatmu bersama Pek-mau Seng-jin maka rahasiaku terbongkar. Agaknya engkau dilahirkan hanya untuk mencelakakan orang tua saja. Mulai saat ini, engkau bukan puteraku lagi dan terkutuklah engkau, akan sengsaralah engkau selama hidupmu!”

“Ayaaahhh...!” Suma Hoat bergidik ngeri mendengar kutukan ayahnya.

“Cet-cet-cet!” Tiga sinar menyambar ke arah Suma Hoat.

Pemuda ini kaget dan maklum bahwa dia telah diserang dengan senjata rahasia oleh ibu tirinya. Tiada waktu lagi untuk menangkis, maka dia cepat melempar tubuhnya dari atas kuda, berjungkir balik dan berhasil menghindarkan diri dari sambaran tiga sinar yang berupa jarum-jarum beracun itu. Akan tetapi kudanya meringkik keras lalu roboh berkelojotan, dada dan perutnya menjadi sasaran jarum-jarum beracun.

Suma Kiat melarikan kudanya diikuti oleh Bu Ci Goat dan Siangkoan Lee. Suma Hoat hanya dapat memandang dengan hati penuh duka. Dua kali dia bentrok dengan ayahnya. Yang pertama kali dia diusir, kini, setelah dia mengorbankan perasaannya membantu ayahnya mengadakan persekutuan dengan pemerintah Yucen, hal yang sama sekali tidak disukainya dan yang hanya ia lakukan demi menyenangkan hati ayahnya, kembali ayahnya marah dan bahkan mengutuknya!

Sejenak pemuda itu hanya berdiri mengikuti bayangan tiga ekor kuda itu dengan wajah pucat, kemudian ia menarik napas panjang, mengeluh di dalam hatinya dan menutupi muka dengan kedua tangannya. Hancurlah dunianya, habis semua pengharapannya. Hatinya sudah remuk oleh kegagalan cintanya.

Hanya ada tiga orang wanita di dunia ini yang pernah dicintanya, yaitu Ciok Kim Hwa, kemudian Khu Siauw Bwee dan Maya! Namun ketiganya gagal, Ciok Kim Hwa yang membalas cintanya tewas. Siauw Bwee dan Maya yang telah menjatuhkan hatinya itu, tidak dapat membalas cintanya karena mereka telah memiliki pilihan hati masing-masing. Kini, ayah kandungnya, satu-satunya orang yang akan dapat didekatinya, bahkan mengutuknya dan tidak mengakuinya sebagai anak lagi. Apa lagi artinya hidup ini baginya?

Siapakah yang harus disalahkannya? Koksu Bu Kok Tai? Tidak mungkin. Diam-diam dia merasa kagum kepada Bu-koksu dan merasa iri hati melihat kesetiaan dan kegagahan Bu-koksu. Mengapa ayahnya tidak dapat bersikap seperti Bu-koksu, seorang pendekar dan pahlawan sejati? Orang-orang gagah seperti Bu-koksu adalah orang-orang segolongan dengan mendiang Menteri Kam Liong yang terkenal karena kesaktian dan kesetiaannya terhadap nusa bangsa. Tidak seperti ayahnya! Mengapa dia mau saja membantu ayahnya yang bersekutu dengan pihak Yucen? Andai kata dia tidak hendak berbaik kembali dengan ayahnya, tidak hendak menyenangkan hati orang tua itu, tentu saja dia tidak akan sudi membantu persekutuan kotor itu.

Suma Hoat menghela napas panjang dan meninggalkan tempat itu dengan wajah pucat, pandang mata sayu dan tubuh lesu. Habis harapannya untuk mendekati ayahnya lagi. Orang tua itu sudah terlampau marah. Dengan ibu tirinya dan Siangkoan Lee di dekat orang tuanya, tidak ada harapan baginya untuk meredakan kemarahan ayahnya. Ibu tirinya dan Siangkoan Lee amat benci kepadanya, dan mereka tentu akan membakar terus hati ayahnya.

Suma Hoat sama sekali tidak tahu dan tidak pernah mengira bahwa keadaan hidup ayahnya sendiri amatlah sengsara semenjak terjadinya peristiwa itu. Suma Kiat yang semenjak dahulu hidup mewah dan mulia, kini kehilangan segala-galanya dan menjadi berduka sekali. Dia sudah tua dan pukulan-pukulan batin itu membuat tubuhnya menjadi lemah dan sakit-sakitan. Mereka bertiga melarikan diri dan bersembunyi di pegunungan Tai-hang-san. Suma Kiat lalu mencari tempat yang cocok dan membangun sebuah tempat peristirahatan di Puncak In-kok-san (Lembah Mega), sebuah di antara puncak-puncak di Pegunungan Tai-hang-san.

Siangkoan Lee yang pandai mengambil hati gurunya berusaha menyenangkan hati suhu-nya itu dengan membangun sebuah bangunan mewah, bahkan menyediakan pelayan-pelayan laki-laki dan wanita muda untuk suhu-nya. Memang Suma Kiat berterima kasih sekali dan kakek ini mewariskan semua ilmu silatnya kepada Siangkoan Lee, namun tetap saja hati Suma Kiat selalu dihimpit kekecewaan dan kedukaan, terutama sekali kalau teringat akan cita-citanya yang hancur dan putera tunggalnya yang durhaka. Semua kedukaan ini ditambah lagi oleh tingkah polah Bu Ci Goat. Setelah berada di pegunungan itu, melihat betapa tubuh Suma Kiat yang makin tua makin lemah tidak mampu lagi melayani nafsu-nafsunya, wanita ini menjadi binal kembali. Semua ini merupakan tekanan dan siksaan batin yang hebat, membuat tubuhnya tidak kuat menahan dan akhirnya kakek itu jatuh sakit.


                                        **************


Seperti telah diceritakan di bagian depan, Maya bersama anak buahnya telah berhasil menyelidiki keadaan musuh di Siang-tan. Biar pun dia kehilangan pembantu-pembantu yang diandalkan, yang tewas dalam keadaan menyedihkan itu, namun dia kini tahu akan kekuatan musuh sehingga tidak terburu-buru melakukan penyerbuan ke Siang-tan.

Setelah mendapat kenyataan bahwa Can Ji Kun dan Ok Yan Hwa berhasil lolos pula dan kembali ke Sian-yang, Maya menjadi makin girang. Tentu saja Yan Hwa tidak menceritakan bagaimana dia dan suheng-nya dapat lolos! Tidak mau menceritakan betapa untuk kebebasan dia dan suheng-nya, dia harus ‘menebusnya’ dengan penyerahan diri kepada Suma Hoat, Si Dewa Cabul! Tebusan yang bukan tidak menyenangkan hatinya!

Setelah mengadakan perundingan dengan para pembantunya dan Pangeran Bharigan, lalu diambil keputusan untuk minta bantuan Panglima Bu, panglima angkatan laut yang memberontak terhadap pemerintah, panglima yang dahulu menolong Maya. Sepasukan tentara istimewa diutus minta bala bantuan ini dan sementara menanti datangnya bala bantuan, Maya dibantu oleh Can Ji Kun dan Ok Yan Hwa, melatih pasukan mereka yang menghadapi perang besar.

Keadaan pasukan Mancu yang bermarkas di Sian-yang dan pasukan Sung yang bermarkas di Siang-tan itu hampir tiada bedanya. Kalau tentara Mancu menanti datangnya bala bantuan dari utara, adalah pihak Sung juga menanti datangnya bala bantuan dari selatan!

Akan tetapi, ternyata bantuan untuk Mancu datang lebih dahulu. Mendengar dari para penyelidiknya bahwa bantuan dari selatan yang diharap-harapkan Bu-koksu belum tiba, pula mendengar juga akan keributan di Siang-tan karena pengkhianatan dan ditawannya Pangeran Ciu Hok Ong dan diserbunya gedung Panglima Besar Suma Kiat, Maya segera mengerahkan pasukannya menyerang ke Siang-tan. Pasukannya kini menjadi besar dan kuat karena memperoleh bantuan.

Tentu saja Koksu Bu Kok Tai terkejut bukan main ketika melihat keadaan bala tentara musuh yang amat besar itu. Mengertilah dia bahwa pihak Mancu telah memperoleh bala bantuan, maka timbul kekhawatirannya. Dia sendiri merasa heran mengapa bala bantuan yang ia harapkan dari selatan masih belum kunjung tiba. Padahal sudah dia perhitungkan bahwa tentu bala bantuannya akan tiba lebih dulu. Terpaksa Bu-koksu lalu mengerahkan segala kekuatan pasukannya, sebagian menyambut musuh di luar tembok benteng, sebagian lagi menjaga benteng dan siap mempertahankan kota Siang-tan dengan mati-matian.

Tiba-tiba datang seorang kurir menghadap Bu-koksu dan menceritakan dengan muka pucat bahwa pasukan bala bantuan dari selatan yang diharapkannya itu di tengah jalan telah dihadang dan diserbu pasukan besar Mancu dan kini menjadi hancur, sebagian besar tewas dan sebagian pula terpaksa melarikan diri kembali ke selatan karena jalannya terputus! Berita yang amat mengejutkan, juga mengherankan hati Bu-koksu. Mengapa mendadak terdapat begitu banyak tentara Mancu yang sempat bergerak di mana-mana? Namun dia tidak memusingkan lagi hal itu, melainkan mencurahkan perhatian untuk menghadapi penyerbuan musuh yang telah makin mendekati tembok benteng kota Siang-tan.

Sebetulnya, apakah yang terjadi? Benarkah bala bantuan dari selatan itu dihancurkan oleh pasukan Mancu? Memang kelihatannya demikian, akan tetapi sesungguhnya bukan pasukan Mancu yang menghancurkan pasukan bala bantuan itu melainkan pasukan Yucen yang menyamar sebagai pasukan-pasukan Mancu! Inilah siasat yang dijalankan secara cerdik sekali oleh Pek-mau Seng-jin, koksu dari Yucen.

Dalam siasatnya untuk melemahkan kedudukan Kerajaan Sung sehingga terancam oleh serbuan-serbuan pasukan Mancu, diam-diam Koksu Yucen mempersiapkan pasukan besar yang menyamar sebagai pasukan Mancu, kemudian menghadang pasukan bantuan itu dan menghancurkannya. Dia sendiri diam-diam berkunjung ke kota raja Sung di selatan dan menawarkan bantuannya untuk menyelamatkan Siang-tan dan mengusir pasukan-pasukan Mancu dengan syarat agar Kerajaan Sung suka menyerahkan daerah yang luas di daerah utara Siang-tan kepada Kerajaan Yucen.

Karena Siang-tan merupakan benteng yang amat penting bagi pertahanan kerajaan di selatan, dalam keadaan terjepit itu Kaisar tidak dapat menolak dan menerima uluran tangan bantuan ini berikut syaratnya! Pek-mau Seng-jin girang sekali, lalu mengerahkan pasukan-pasukannya yang kini telah meninggalkan pakaian penyamaran mereka sebagai pasukan Mancu dan dengan cepat melakukan perjalanan menuju Siang-tan yang sudah terancam dan terkepung oleh pasukan Mancu.


Bu-koksu memimpin sendiri pasukan yang menyambut penyerbuan pasukan Mancu di luar tembok benteng. Perang yang seru dan hebat terjadi di luar tembok benteng. Perang yang terjadi sampai belasan hari lamanya, hanya berhenti di waktu malam untuk dilanjutkan pada keesokan harinya. Akan tetapi akhirnya Bu-koksu harus mengakui keunggulan musuh yang mempunyai jumlah pasukan jauh lebih besar. Terpaksa Bu-koksu menarik sisa pasukannya memasuki benteng, menutup pintu-pintu gerbang benteng dan memperkuat penjagaan.

Maya memimpin pasukan-pasukannya. Diam-diam ia merasa kagum akan kepandaian Bu-koksu mengatur pasukan sehingga pasukan yang lebih kecil itu mampu bertahan sampai belasan hari. Kini Maya menyusun pasukan-pasukannya mengurung kota Siang-tan dan mulailah penyerbuan-penyerbuan untuk membobolkan benteng kota. Namun ternyata bahwa benteng itu kuat sekali, terbuat dari tembok yang tebal dan terjaga ketat dengan barisan-barisan anak panah yang melepaskan anak panah dari tempat terlindung sehingga setiap penyerbuan pasukan Mancu selalu dapat digagalkan dan benteng masih dapat dipertahankan.


Kembali belasan hari lewat dan benteng kota Siang-tan masih juga belum dapat direbut oleh pasukan Mancu. Akan tetapi pihak pasukan yang dipimpin Bu-koksu sudah gelisah sekali. Kota telah dikurung, hubungan luar kota sudah terputus sama sekali dan mereka tidak hanya terancam oleh penyerbuan-penyerbuan lawan, akan tetapi yang lebih mengkhawatirkan lagi, terancam oleh kelaparan karena gudang ransum yang setiap hari dikurung tanpa ada penambahan itu makin menipis isinya.

Keadaan yang mengancam ini membuat semangat perlawanan pasukan Bu-koksu menurun dan akhirnya, tanpa dapat dipertahankan lagi, ketika Maya mengerahkan pasukan intinya menyerbu, bobollah pintu terbesar dan membanjirlah pasukan Mancu menyerbu kota Siang-tan diiringi sorak-sorai yang memekakkan telinga. Kini perang hebat pecah di dalam kota. Suara senjata beradu diseling bentakan dan makian bercampur pekik kesakitan dan keluhan maut mengatasi tangis dan jerit para penduduk kota yang lari ke sana-sini kacau-balau mencari keselamatan keluarga masing-masing.

Maya yang menunggang seekor kuda putih, mengamuk dengan pedangnya. Kudanya meringkik-ringkik, lari ke sana-sini, didahului sinar pedang di tangan panglima wanita itu. Ke mana pun sinar pedangnya menyambar, tentu mengakibatkan robohnya seorang perwira musuh.

Menyaksikan sepak terjang panglima wanita yang hebat ini, Bu-koksu menjadi marah sekali. Dia mencambuk kudanya menghampiri, kemudian sambil membentak marah dia menyerang Maya dengan senjatanya yang juga telah merobohkan banyak anak buah pasukan Mancu. Maya menyambut serangan ini dengan pedangnya dan terjadilah pertandingan dahsyat antara kedua orang pimpinan kedua pasukan yang sedang berperang itu. Akan tetapi pertandingan di antara mereka kurang leluasa karena di situ penuh dengan tentara kedua pihak yang saling terjang, sehingga sering kali mereka terpaksa mundur dan terpisah kembali untuk melayani tentara musuh yang mengepung.

Maya sendiri merasa penasaran bahwa sampai lama dia tidak dapat merobohkan Bu-koksu, maka dia lalu berseru menantang, “Bu-koksu, kalau memang engkau gagah, mari kita bertanding di luar tembok sampai seorang di antara kita roboh binasa!”

”Anjing betina Mancu, siapa takut kepadamu?” Bu-koksu membentak.

Maya mengaburkan kudanya ke luar pintu gerbang yang sudah bobol, dikejar oleh Bu-koksu. Setibanya di lapangan yang luas di luar tembok, Maya berhenti dan begitu Bu-koksu yang mengejarnya tiba, dia langsung mengejar dengan ganasnya dan kembali dua orang perkasa ini bertanding dengan seru dan dahsyat.

Andai kata mereka bertanding ilmu silat biasa, tidak di atas kuda, betapa pun lihainya Bu-koksu agaknya bukanlah lawan Maya dan tak mungkin dia dapat bertahan sampai ratusan jurus. Akan tetapi bertanding di atas punggung kuda lain lagi halnya. Gerakan ilmu silat tak banyak dipergunakan, yang diandalkan hanya kecepatan menggerakkan senjata dan keahlian menunggang kuda, dan tentu saja kecekatan kuda yang ditunggangi memegang peranan penting. Biar pun sudah lama Maya menjadi panglima perang, namun pengalamannya dalam bertanding di atas kuda jauh kalah banyak oleh Bu-koksu dan biar pun gerakan tangannya yang memegang pedang lebih kuat dan cepat, namun kepandaiannya menunggang kuda juga kalah.

Karena inilah pertandingan berlangsung dahsyat dan seru. Sukar bagi Maya untuk merobohkan lawan yang tangguh itu dan dia hanya mampu membuat lawan itu terluka di paha dan pundak kiri. Luka yang tidak terlalu parah biar pun cukup membuat pakaian perang Bu-koksu berlumuran darah. Betapa pun juga, diam-diam Bu-koksu harus mengakui bahwa selamanya belum pernah dia bertemu tanding sehebat nona itu! Lengannya yang memegang golok besar terasa letih sekali karena setiap kali bertemu dengan pedang lawan, lengannya tergetar hebat, tanda bahwa lawannya, seorang nona yang masih amat muda itu memiliki tenaga sinkang yang amat luar biasa! Namun dia tidak mengenal takut, mengambil keputusan untuk berkelahi sampai titik darah terakhir membela negaranya.

”Bu-koksu, bersiaplah untuk mampus!” Maya berseru keras, kudanya meloncat ke depan dan pedangnya menyambar dengan sinar berkilat.

”Tidak begitu mudah keparat!” Bu-koksu membentak dan menangkis.

”Tranggg...!” Untuk ke sekian ratus kalinya, pedang Maya bertemu dengan golok besar di tangan Bu-koksu. Bunga api berpijar dan kedua senjata itu melekat karena keduanya telah menyalurkan tenaga dan kini mereka mengadu tenaga melalui senjata mereka yang saling melekat itu.

”Tahan senjata...!” Tiba-tiba tampak bayangan orang berkelebat dari atas tembok benteng dan ternyata orang itu adalah Suma Hoat!

Dengan gerakan seperti seekor burung raksasa terbang melayang turun dari tembok, Suma Hoat mendorongkan kedua tangannya ke arah dua tangan yang memegang senjata. Maya dan Bu-koksu terkejut, tidak tahu siapakah di antara mereka yang dibantu pemuda itu. Maka keduanya lalu menarik senjata masing-masing, menahan kuda dan memandang Suma Hoat yang telah berdiri di antara mereka dengan alis berkerut.

Sudah sejak tadi Suma Hoat menonton pertandingan hebat antara Bu-koksu dan Maya. Dia berhasil menyelundup masuk ke kota Siang-tan dan menyamar sebagai seorang perwira. Ketika ia melihat betapa Bu-koksu terancam bahaya maut di ujung pedang Maya, dia merasa tidak tega. Di dalam hati pemuda ini timbul rasa haru dan kagum menyaksikan betapa Bu-koksu mempertahankan negara dengan mati-matian, sikap gagah perkasa yang jauh berbeda dengan sikap ayahnya. Bu-koksu seorang pahlawan sejati!

Biar pun Bu-koksu telah menyerbu dan menghancurkan rumah tangga ayahnya, namun Suma Hoat tidak dapat menyalahkan Koksu itu yang hanya memenuhi tugasnya sebagai seorang koksu yang setia kepada kerajaan. Maka begitu menyaksikan koksu itu terluka dan melawan mati-matian menghadapi Maya, dia merasa tidak tega. Apa lagi karena yang mengancam hendak membunuh pahlawan itu adalah Maya, gadis yang dicintanya.


”Suma Hoat, apakah engkau hendak membelanya? Kalau begitu, engkau akan mampus pula di tanganku!” Maya membentak nyaring.

”Maya, harap engkau sadar bahwa engkau telah mengambil jalan sesat. Sama sekali tidak kusangka bahwa engkaulah yang memimpin pasukan Mancu, padahal engkau bukan seorang gadis Mancu. Engkau malah penghuni Istana Pulau Es! Bagaimana mungkin engkau merendahkan diri sampai begini rupa, membantu pasukan asing menyerang bangsa sendiri?”

”Suma Hoat, mulutmu palsu!” Tiba-tiba Bu-koksu membentak dan menudingkan golok besarnya. “Engkau sendiri adalah anjing penjilat Kerajaan Yucen, seorang pengkhianat hina!”

”Koksu, tidak perlu menilai diriku yang memang seorang yang tidak berharga. Akan tetapi engkau adalah seorang pahlawan yang gagah, karena itu aku tidak sampai hati melihat engkau gugur di sini. Sedangkan Nona Maya adalah penghuni Istana Pulau Es, tidak semestinya menjadi pengkhianat. Karena mengingat akan keadaan kalian berdua, maka aku memberanikan diri untuk melerai. Nona Maya, demi nama besar Pendekar Sakti Suling Emas, Pendekar Sakti Mutiara Hitam, demi nama Bu Kek Siansu...”

”Jangan sebut-sebut nama guruku!” Maya membentak.

Diam-diam Bu-koksu terkejut bukan main karena sama sekali dia tidak pernah menyangka bahwa lawannya yang lihai ini adalah penghuni Istana Pulau Es yang hanya didengarnya seperti dalam dongeng, apa lagi murid manusia dewa Bu Kek Siansu!

”Nona Maya, aku hanya mengharap agar engkau suka insyaf dan tidak membantu Mancu untuk menghancurkan bangsa sendiri”

”Cukup! Aku memang sengaja menggunakan pasukan Mancu untuk menghancurkan Kerajaan Sung! Engkau tahu, akulah Puteri Maya, akulah puteri Raja Khitan! Kerajaan Khitan telah hancur karena pemerintah Sung, Mongol, dan Yucen! Aku telah bersumpah untuk membasmi ketiga kerajaan itu! Bukan sekali-kali aku menghambakan diri dan menjadi pengkhianat membantu Mancu, melainkan untuk membalas dendamku. Nah, Suma Hoat, engkau sebagai putera Suma Kiat musuh besarku, telah kuampunkan. Sekarang minggirlah!”

Kembali Maya menyendal kendali kudanya sehingga binatang itu meloncat ke depan dan dia sudah menyerang Bu-koksu dengan kelebatan pedangnya secara bertubi-tubi. Bu-koksu tadinya berdiri tercengang, akan tetapi siapa pun adanya wanita ini, kalau dia berdiri di pihak Mancu berarti musuhnya dan harus dilawan mati-matian.

”Trang-cring-trang...!” Pedang dan golok beradu bertubi-tubi dan Suma Hoat menjadi bingung, tidak tahu harus membantu siapa.

”Sumoi!”

Tampak bayangan berkelebat dan tahu-tahu kedua orang yang sedang bertanding itu terpental ke belakang karena tertolak oleh tenaga yang amat dahsyat, membuat tubuh mereka terlempar dari atas punggung kuda. Namun berkat ilmu kepandaian mereka yang tinggi, Bu-koksu dan Maya tidak terbanting roboh, hanya berjungkir balik dan berdiri dengan senjata siap di tangan.

”Suheng...!” Maya berseru dengan muka berubah pucat ketika melihat siapa orangnya yang membuat dia terpental tadi.

”Kam-siauwte...!” Bu-koksu juga berseru kaget dan girang, mengharapkan bantuan orang yang dia tahu amat sakti ini.

Akan tetapi Han Ki, pemuda yang baru datang itu, tidak mempedulikannya, melainkan menghampiri Maya dan memandang dengan alis berkerut. ”Maya-sumoi, mengapa engkau masih juga melanjutkan kesesatanmu? Tidak malukah engkau? Tidak ingatkah bahwa engkau adalah keturunan orang-orang gagah perkasa yang lebih baik mati dari pada melakukan pengkhianatan? Di dalam tubuhmu mengalir darah Khitan dan Han, bagaimana sekarang engkau dapat membantu Mancu untuk menghancurkan bangsa sendiri?”

”Suheng, engkau boleh melupakan segala dendam, akan tetapi aku tidak! Orang tuaku, kerajaan ayahku, telah hancur oleh Kerajaan Sung. Kalau belum membasmi Kerajaan Sung, aku belum puas!”

”Engkau keliru, Sumoi. Bukan Kerajaan Sung yang menyebabkan kehancuran Kerajaan Khitan, melainkan perang dan pengkhianatan! Dan perang ditimbulkan bukan oleh siapa-siapa, melainkan oleh manusia sendiri, oleh engkau dan aku dan kita semua! Ayah bundamu gugur sebagai pahlawan-pahlawan yang membela bangsa dan negara. Apakah engkau sekarang hendak gugur sebagai seorang pengkhianat?”

Pucat sekali wajah Maya ketika dia memandang suhengnya. Suaranya tersendat-sendat ketika dia berkata, “Suheng, engkau terlalu! Engkau tahu mengapa aku sampai menjadi begini, engkau tahu mengapa aku sampai meninggalkan Pulau Es. Engkau tahu pula mengapa aku melanjutkan semua ini setelah berjumpa denganmu di medan perang! Mengapa engkau hendak menyalahkan aku saja dan sama sekali tidak ingat bahwa engkaulah gara-gara semua ini? Engkau menolak untuk membawaku sendiri saja ke Pulau Es, engkau ragu-ragu dalam cintamu terhadap diriku... padahal hanya engkau seorang harapanku...! Engkau telah menghancurkan harapan dan cintaku... engkau....” Maya menggigit bibir terisak dan tiba-tiba dia menekuk pedang dengan kedua tangannya.

”Krekkk!” Pedang itu patah berkeping-keping dan dibuangnya ke atas tanah.

”Lihat, seperti itulah hatiku, Suheng. Sekarang tinggal hanya dua pilihan bagiku. Kalau engkau suka bersamaku, berdua saja kembali ke Pulau Es, aku akan meninggalkan semua ini dan selamanya akan tunduk kepadamu. Kalau engkau menolak lagi, aku akan melanjutkan perang ini dan akan mengamuk terus sampai mati!”

”Ohhhh...!” Seruan ini keluar dari mulut Suma Hoat.

Wajah pemuda itu pucat sekali. Kiranya Maya, gadis terakhir yang menjatuhkan hatinya, yang dicintanya, yang diharapkan akan dapat membalas cintanya, kiranya telah mencinta Kam Han Ki, seperti halnya Khu Siauw Bwee!

Han Ki sendiri sudah menduga akan pendirian Maya seperti itu. Dia merasa tidak baik untuk berbantahan di depan banyak orang, maka dia hanya berkata, “Sumoi, mari ikut aku pergi...!” Tubuhnya berkelebat ke depan.

Maya tarkejut dan berusaha meronta malepaskan diri. Akan tetapi Han Ki telah menotoknya dan berlari pergi cepat sekali, membawa tubuh sumoinya dalam kempitan.

”Kam-taihiap, tunggu...!” Suma Hoat berteriak, kemudian tubuh pemuda ini juga berkelebat lenyap.

Dia mengerahkan seluruh kepandaian untuk mengejar Kam Han Ki, akan tetapi tentu saja dia tertinggal jauh sekali. Namun, Suma Hoat terus mengejar sambil berseru-seru memanggil. Hatinya menjadi penasaran sekali. Mana mungkin Kam Han Ki menerima cinta kasih dua orang gadis itu? Biarlah Kam Han Ki memilih seorang di antara mereka, dan yang seorang lagi, tidak peduli yang mana karena dia sudah tergila-gila dan jatuh cinta kepada kedua orang gadis itu, biarlah menjadi isterinya kalau ditolak oleh Kam Han Ki, penghuni Istana Pulau Es!

Perang berlangsung terus biar pun Maya telah pergi. Akan tetapi tentu saja semangat berjuang para pasukan Mancu telah menurun hebat setelah panglima wanita yang mereka agungkan dan agulkan itu lenyap. Apa lagi setelah muncul pasukan Yucen yang membantu bala tentara Sung, pihak Mancu menjadi kewalahan dan terpaksa melarikan diri setelah meninggalkan banyak anak buah pasukan yang roboh. Pangeran Bharigan sendiri terluka, namun luka di tubuh itu tidaklah seperti luka di hati Sang Pangeran karena lenyapnya Maya, panglima yang amat diandalkan, dan juga wanita yang amat dicintanya itu.

******************


Air laut di sekeliling pulau itu tenang sekali dan di sana-sini tampak gumpalan es sebesar bukit, mengambang tidak bergerak. Pulau Es tampak sebagai seorang raksasa putih, atau sebuah patung raksasa terbuat dari batu pualam putih sedang tidur telentang. Sinar matahari yang tertutup awan tipis dan kabut laut masih cukup kuat untuk menimpa permukaan Pulau Es, membuat pulau yang aneh itu berkilauan permukaannya. Bangunan istana di tengah pulau yang telah lama ditinggalkan penghuni-penghuninya sehingga hampir tertutup dan tertimbun salju tak terurus, kini tampak bersih kembali setelah Han Ki, bersama dua orang sumoi-nya kembali ke pulau.

Biar pun kadang-kadang hatinya menjadi panas dan cemburu kepada Siauw Bwee kalau teringat akan cinta kasihnya kepada Han Ki, namun begitu bertemu dengan Siauw Bwee di Pulau Es, Maya segera menubruk dan memeluknya. Demikian pula dengan Siauw Bwee yang merasa terharu dan rindu kepada sucinya itu. Dua orang ini pernah tinggal sampai bertahun-tahun di atas Pulau Es sebagai saudara, senasib sependeritaan. Hanya karena cinta dan cemburu saja mereka bermusuhan dan timbul rasa benci di hati mereka. Kini setelah berpisah lama, perjuangan antara mereka mendatangkan rasa terharu dan timbul kembali rasa kasih sayang di antara mereka.

”Sumoi..., aku banyak salah kepadamu, maafkan aku, Sumoi...”

”Aihhh, Suci, jangan berkata demikian. Akulah yang telah banyak kesalahan kepadamu, Suci. Akulah yang mohon maaf kepadamu...”

Han Ki menarik napas panjang menyaksikan pertemuan antara kedua orang sumoi-nya itu. “Nah, begitulah, kedua sumoiku yang baik. Antara saudara sewajarnya saling mengalah dan saling memaafkan kalau ada kesalahan. Kita bertiga senasib, bertahun-tahun melatih diri di pulau ini sesuai dengan kehendak Suhu. Karena itu baru bahagialah hidupku melihat kita bertiga dapat kembali di sini.”

Begitu dua orang dara itu mendengar suara Han Ki dan kini melepaskan pelukan menoleh ke arah pemuda itu, timbullah kembali persoalan rumit yang mengganggu hati mereka. Hampir berbareng keduanya membentak, “Akan tetapi, Suheng...!”

Han Ki cepat mengangkat kedua tangan ke atas. “Cukup, bukan waktunya kita bicara. Biarlah kelak kita bicarakan urusan yang menyangkut antara kita dengan tenang dan perlahan-lahan. Sekarang yang terpenting adalah membereskan dan membersihkan Istana Pulau Es. Lihat betapa kotor dan tak terpelihara semenjak kalian berdua pergi meninggalkannya.” Han Ki menudingkan telunjuknya.

Ketika dua orang dara itu memandang dan menyaksikan keadaan istana tua itu, mereka menjadi terharu dan tanpa banyak membantah mereka berdua membantu Han Ki membersihkan istana itu. Ketika mereka membersihkan ruangan di mana dahulu tiga buah arca mereka disimpan, Maya dan Siauw Bwee segera bertanya mengapa arca mereka bertiga kini tidak tampak lagi berada di situ.

Han Ki menarik napas panjang ketika menjawab, “Gara-gara kalian berdua meninggalkan aku seorang diri di sini, hatiku merana setiap hari, apa lagi kalau aku melihat arca kita bertiga yang masih berkumpul di sini. Pada suatu hari aku tidak dapat menahan gelora hatiku dan kuhancurkan ketiga arca buatanku itu yang kuanggap merupakan penggoda yang selalu memberatkan hati.”

”Ihhh, Suheng! Arca yang tidak bersalah apa-apa menjadi korban kemarahan dan kedukaan hatimu. Sungguh tidak adil. Aku yang bersalah mengapa arcaku yang dihancurkan?” Siauw Bwee mencela.

”Sumoi benar! Akulah yang menjadi gara-gara, mengapa arcaku yang amat baik itu, yang tidak berdosa apa-apa, dihancurkan? Suheng, kau harus membuatkan arcaku lagi yang baru!” Maya juga mencela.

Han Ki tersenyum. Senyum yang sudah lama sekali meninggalkan bibirnya semenjak dia ditinggalkan dua orang sumoi-nya, senyum gembira. “Jangan kwawatir, aku telah siap untuk membuatkan gantinya yang lebih indah lagi. Untuk keperluan itu, aku sudah mendapatkan bahannya, yaitu batu pualam putih yang kudapatkan di atas pulau tak jauh dari sini. Inilah batu-batu itu!” Dia memperlihatkan tiga bongkah batu pualam putih yang bersih dan indah sehingga kedua orang dara itu memandang berseri dan lenyap kekecewaan mereka.

Setelah selesai membersihkan Istana Pulau Es, Han Ki menurunkan latihan Ilmu Swat-im Sinkang yang menghimpun tenaga sakti yang dingin, merupakan inti dari hawa dingin di Pulau Es.

”Dengan memiliki sinkang ini, kalian akan menjadi jauh lebih kuat, dan tidak percuma menjadi penghuni Istana Pulau Es. Latihan ini tidak ringan, karena kalian harus berlatih siang malam di tempat terbuka, terutama sekali pada tengah malam. Kalian dapat menyedot inti hawa dingin salju di waktu hawa sedang dinginnya. Im-kang yang kalian miliki dahulu itu sudah cukup kuat untuk menjadi dasar, sehingga untuk dapat melatih Swat-im Sinkang dengan sempurna, kalian hanya memerlukan waktu tiga bulan. Mari kuajari cara berlatih dan kupimpin untuk memberi contoh semalam ini.”

”Nanti dulu, Suheng,” tiba-tiba Maya berkata, suaranya bersungguh-sungguh sehingga Han Ki dan Siauw Bwee mendengarkan penuh perhatian. Mereka bertiga duduk bersila di atas tanah yang tertutup salju, duduk begitu saja karena memang demikian yang dikehendaki Han Ki untuk melatih Swat-im Sinkang.

”Kau hendak bertanya tentang apa, Maya-sumoi?” Han Ki bertanya.

”Suheng, kurasa engkau lupa bahwa aku dan Sumoi bukanlah kanak-kanak lagi seperti beberapa tahun yang lalu sehingga luculah kalau Suheng memperlakukan kami seperti dua orang anak perempuan yang masih kecil! Memang latihan Swat-im Sinkang seperti yang Suheng terangkan amat penting bagi kemajuan ilmu-ilmu kami, akan tetapi ada hal yang jauh lebih penting lagi yang Suheng lupakan, atau sengaja Suheng lewatkan begitu saja sebagai hal yang tidak penting.”

Han Ki memandang tajam, hatinya merasa tidak enak. “Maya-sumoi, apakah maksudmu? Hal apakah yang kulupakan?”

”Suheng, lupakah engkau untuk apa engkau mengajak aku ke pulau ini? Apa pula artinya engkau mengajak Sumoi pulang ke Pulau Es? Suheng, bukankah aku pernah menyatakan bahwa aku hanya mau kembali ke Pulau Es bersamamu, meninggalkan semua urusan dendam pribadi, kalau engkau mau menerima aku sebagai isterimu?”

”Maya-sumoi!”

”Suheng, kuulangi lagi. Aku dan Sumoi bukanlah anak-anak kecil lagi! Tak perlu kiranya dirahasiakan lagi karena memang bukan rahasia bagi kita bertiga bahwa aku mencintamu, Suheng, juga bahwa Khu-sumoi mencintamu pula. Ada pun engkau sendiri, sikapmu sungguh menyakitkan hati. Engkau kelihatan mencintaku, akan tetapi juga menyayang Sumoi. Hal ini tidak bisa dilanjutkan tanpa pernyataanmu untuk menentukan, untuk mengambil keputusan. Sebenarnya, siapakah di antara kami yang Suheng cinta dan pilih untuk menjadi isteri?”

Han Ki menjadi pucat wajahnya, sedangkan Siauw Bwee yang tadinya berseri karena merasa yakin bahwa tentu suheng-nya yang jelas telah menyatakan cinta kasihnya kepadanya, akan terang-terangan memilih dia, kini menjadi cemas melihat suheng-nya kelihatan bingung.

”Khu-sumoi, bagaimana pendapatmu?” Tiba-tiba Maya berkata kepada sumoi-nya. “Bukankah sudah adil dan semestinya kalau Suheng tidak menyiksa hati kita berdua dan mengambil keputusan dengan sejujurnya?”

Khu Siauw Bwee menelan ludah, sukar untuk menjawab. Dia pun seorang dara yang keras hati dan tabah, namun dia benar-benar tidak sanggup untuk bersikap terbuka dan terang-terangan seperti Maya, bicara begitu jujur mengenai urusan cinta! Maka dia hanya dapat mengangguk saja karena memang dia setuju sekali akan pendapat Maya itu. Suheng-nya memang harus dapat memutuskan urusan mereka itu agar tidak menyiksa hati lagi, mengambil pilihan sehingga tidak menimbulkan perasaan cemburu.

Kam Han Ki menarik napas panjang. Memang hal inilah yang dia khawatirkan semenjak dia mengajak Maya dengan paksa kembali ke Pulau Es. Tadinya dia hendak mengulur waktu, membuat mereka berdua itu lupa akan urusan cinta dengan mengajarkan ilmu-ilmu yang tinggi. Harus dia akui bahwa cinta kasih hatinya condong kepada Siauw Bwee, akan tetapi betapa mungkin dia mengakui hal itu di depan Maya dan menghancurkan perasaan hati Maya yang amat disayangnya itu?

”Maya-sumoi dan Khu-sumoi... sungguh berat sekali rasa hatiku menghadapi pertanyaan dan desakan kalian ini. Kalian adalah dua orang sumoi-ku, yang semenjak kecil bersama-samaku di sini. Aku sayang kepada kalian berdua, aku rela membela kalian berdua dengan taruhan nyawaku. Aku sayang kalian seperti sayang diriku sendiri, bagaimana mungkin aku akan dapat menyakiti dan menyiksa hati kalian, dua orang sumoi-ku yang tercinta, dan hanya kalian berdua saja yang kumiliki di dunia ini?”

Hening sampai lama setelah Han Ki mengeluarkan kata-kata ini dan pemuda itu menundukkan mukanya, cemas sekali menantikan apa yang akan diucapkan oleh mulut kedua orang sumoi-nya itu. Maya dan Siauw Bwee memandang kepada Han Ki dengan sinar mata tajam seolah-olah sinar mata kedua dara itu hendak membelah dada menjenguk isi hati Han Ki.

Mereka berdua, terutama Siauw Bwee, merasa penasaran sekali. Bukankah suheng-nya itu telah menyatakan cinta kasihnya ketika dirawatnya dahulu? Akan tetapi, ketika itu, ingatan suheng-nya belum pulih benar sehingga pada waktu itu di dunia ini tidak ada gadis bernama Maya bagi suheng-nya. Sekarang lain lagi! Di sampingnya terdapat Maya, seorang dara yang ia tahu amat cantik jelita dan berilmu tinggi, seorang dara yang amat disayang oleh suheng-nya.

”Suheng, kami berdua kini adalah gadis-gadis yang telah dewasa, bukan kanak-kanak lagi. Karena itu, aku pun maklum akan kesulitan yang Suheng hadapi. Semenjak kecil kita bertiga berada di sini, senasib sependeritaan, maka beratlah bagi Suheng kalau di antara kita sampai terpecah. Maka aku mempunyai usul, kalau saja Suheng dan Sumoi dapat menerimanya untuk mengatasi kesulitan ini.”
























Terima kasih telah membaca Serial ini

                   



1 comment:

Cerita Silat Kho Ping Hoo Serial Pendekar Budiman Jilid 12

   Cerita Silat Kho Ping Hoo Serial Pendekar Budiman             Jilid 12