Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Jodoh Rajawali
Jilid 01
KAISAR
PERTAMA yang bertahta di Kerajaan Ceng-tiauw, yaitu kerajaan penjajah Mancu
yang menguasai Tiongkok, merupakan kaisar yang sampai puluhan tahun lamanya
bisa mempertahankan kedudukannya, mengatasi banyak pemberontakan serta
perebutan kekuasaan. Kaisar tua ini mulai bertahta dalam tahun 1663 dan dapat
mempertahankan kedudukannya ini selama lima puluh sembilan tahun!
Pada awal
tahun 1700 terjadilah pemberontakan yang dilakukan dua orang pangeran kakak
beradik, yaitu Pangeran Liong Bin Ong dan Pangeran Liong Khi Ong, adik-adik
tiri kaisar pertama itu, yaitu Kaisar Kang Hsi. Dua orang pangeran yang mencoba
untuk berkhianat terhadap kaisar itu melakukan pemberontakan yang nyaris
menggulingkan kedudukan kaisar, atau sedikitnya telah menggegerkan kota raja.
Akan tetapi
akhirnya berkat bantuan para menteri dan panglima yang setia, apa lagi karena
bantuan Puteri Milana yang terkenal gagah perkasa dan pandai, pemberontakan itu
dapat digagalkan, bahkan dua orang pangeran pengkhianat itu dapat ditewaskan.
Akan tetapi,
pemberontakan ini dengan segala akibatnya menggores hati kaisar yang sudah tua
itu, oleh karena, pertama dia merasa kecewa dan terkejut melihat kenyataan
betapa dua orang adik tiri yang dipercayanya itu betul-betul melakukan
pemberontakan terhadapnya. Kedua, melihat bahwa dia terpaksa membiarkan dua
orang adiknya itu tewas. Dan ketiga, perpecahan-perpecahan yang diakibatkan
oleh pemberontakan itu di antara ponggawa dan pembantunya.
Lima tahun
telah lewat sejak pemberontakan itu dapat ditumpas. Akan tetapi, walau pun
pemberontakan sudah dapat dipadamkan dan dua orang pangeran tua itu telah
tewas, peristiwa itu mengakibatkan perpecahan di kalangan atas dan
mengakibatkan timbulnya sikap curiga-mencurigai di antara mereka, mempunyai
pengaruh besar terhadap para pembesar atasan yang mempengaruhi pula para anak
buah mereka dan terasa pula ketegangan-ketegangan yang timbul di antara
kelompok satu dan kelompok lainnya sehingga rakyat pun merasa gelisah.
Peristiwa
itu banyak mengurangi kedaulatan dan wibawa Kaisar Kang Hsi. Kaisar tua itu
tidak kuat lagi mengendalikan kemudi pemerintahannya yang mulai dilanda
gelombang perpecahan itu. Beberapa raja-raja muda, gubernur-gubernur dan
panglima-panglima komandan barisan di perbatasan yang menguasai daerah propinsi
yang jauh letaknya dari kota raja, sedikit demi sedikit dan secara halus tidak
menyolok mulai memisahkan diri dari pusat.
Mereka itu
masing-masing menyusun kekuatan dan berusaha mengatur daerah kekuasaan
masing-masing seperti seorang raja. Semua hasil pemungutan pajak dan lain-lain
mereka simpan sendiri, dan kalau pun sebagai basa-basi mereka masih mengirimkan
hasil daerah mereka ke kota raja, maka yang dikirim itu tidak ada artinya
dibandingkan dengan hasil yang masuk.
Tentu saja
tidak semua pembesar bersikap demikian. Banyak pula yang sejak semula berpihak
kepada kaisar, masih tetap merupakan pembesar yang setia. Oleh karena itu
timbullah pertentangan diam-diam di antara para pembesar dan pertentangan ini
tentu saja menimbulkan keadaan yang kacau dan tidak aman.
Biar pun
dari pusat sendiri tidak atau belum ada tindakan apa-apa, tetapi di antara para
pembesar yang setia kepada kaisar dan yang hendak memisahkan diri, kini
terdapat pertentangan baik secara sembunyi-sembunyi mau pun secara terang-terangan
hingga sering terjadi pertempuran-pertempuran kecil antara pembesar yang
mempertahankan daerah kekuasaannya masing-masing hanya karena urusan
perdagangan, perairan, atau urusan lain-lain.
Semua bentuk
permusuhan, baik dimulai dari permusuhan perorangan sampai kepada perang dunia,
adalah pencetusan dari sifat mementingkan diri pribadi dari manusia. Sifat
mementingkan diri pribadi ini yang didorong oleh keinginan mengejar kesenangan,
menimbulkan ambisi-ambisi pribadi dan dalam pengejaran ambisi-ambisi pribadi
inilah terjadi kekerasan, saling menjegal, saling merobohkan dan saling
membunuh demi mencapai ambisi pribadi.
Kalau hanya
begitu saja kiranya masih mending, namun yang lebih celaka lagi adalah
kenyataan bahwa di dalam pengejaran ambisi pribadi itu, dalam menghadapi
saingan, mereka tidak segan-segan untuk mempergunakan tenaga orang lain, bahkan
tidak segan-segan mengorbankan orang-orang lain yang tidak terhitung banyaknya,
dengan menggunakan kedok perjuangan dan sebagainya yang muluk-muluk untuk menutupi
dasar perbuatan mereka yang sesungguhnya, yaitu demi kepentingan diri mereka
sendiri!
Hal seperti
ini merupakan kenyataan dalam kehidupan manusia, kenyataan yang terjadi
berulang-ulang selama ribuan tahun lamanya, namun sampai kini pun masih ada
saja manusia yang berhati serigala bermuka domba, mengorbankan banyak orang
demi tercapainya cita-cita atau ambisi mereka dan menggunakan slogan-slogan
muluk, dan anehnya masih banyak pula orang-orang yang begitu bodohnya, mudah
saja diperalat oleh beberapa gelintir orang dengan umpan slogan muluk-muluk.
Demikianlah,
di daerah-daerah perbatasan antara propinsi, bahkan antar karesidenan atau
kabupaten, sering kali terjadi kekacauan dan permusuhan karena perpecahan itu.
Dan siapakah yang menderita? Lagi-lagi rakyat jelata. Di waktu perang terlanda
oleh kejamnya peperangan, dirampok dan dibakar. Di waktu damai terlanda
kejamnya para pembesar atau penguasa yang korup.
Demikianlah
nasib rakyat kecil yang tidak berdaya. Akibat pertentangan-pertentangan antara
pembesar yang memperebutkan kebenaran mereka sendiri itu, tentu saja melalaikan
penjagaan dan muncullah segala macam orang yang biasa mempergunakan kekacauan
untuk mengail di air keruh, yaitu kaum maling, perampok, para bajak dan
sebagainya. Hal seperti ini tentu saja mendatangkan perasaan prihatin dalam
hati para pembesar yang berjiwa pahlawan, yang berjiwa pemimpin dan yang
benar-benar mementingkan kehidupan rakyat jelata.
Akan tetapi,
Kaisar Kang Hsi yang sudah tua itu sama sekali tak menyadarinya. Bahkan kematian
dua orang adlk tirinya itu, pemberontakan mereka itu membuat dia merasa tidak
suka kepada orang-orang yang menentang dua orang adiknya yang memberontak itu,
karena dianggapnya bahwa merekalah yang membuat dua orang pangeran itu tidak
suka dan memberontak.
Mulailah
kaisar ini menyingkirkan orang-orang yang tidak disukainya ini, orang-orang
yang dengan gigih menentang dua orang pangeran pemberontak. Sikap kaisar
seperti ini tentu saja mengakibatkan terpecahnya para pembantu yang dekat
dengannya, yaitu mereka yang prihatin melihat ulah kaisar, dan mereka yang
menggunakan kesempatan ini untuk menjilat.
Penjilatan
ini pun hanya merupakan percerminan dari keinginan menyenangkan diri pribadi
yang ingin mencari kedudukan, dan penjilatan itu hanya merupakan cara mereka
untuk dapat mencapai ambisi mereka. Mulailah bermunculan jari-jari maut dan
bibir-bibir berbisa yang main tunjuk sana-sini, bisik sana-sini untuk
menjatuhkan fitnah kepada orang-orang yang dibenci.
Melihat
keadaan ini, para pembesar yang setia pada negara mulai melakukan gerakan
halus, diam-diam mereka mencalonkan seorang kaisar baru untuk menggantikan
kaisar yang lalim itu. Mereka ini tidak rela melihat pemerintah dan rakyat
dirusak oleh ulah kaisar tua yang agaknya sudah pikun.
Namun, orang
yang paling merasa sengsara hatinya adalah seorang panglima besar yang
merupakan orang paling tinggi pangkatnya di dalam angkatan perang Kerajaan
Ceng-tiauw. Orang ini bukan lain adalah Jenderal Kao Liang, yang diangkat
menjadi panglima besar setelah pemberontakan itu dapat ditumpasnya. Akan
tetapi, melihat sepak terjang kaisar, Jenderal Kao yang jujur itu tidak rela
dan tidak dapat diam saja. Pada suatu hari, dengan terang-terangan dia
menghadap kaisar dan memperingatkan kaisar akan penyelewengannya.
Aklbatnya
hebat! Karena marah, terutama karena suara-suara hasutan dari kanan kiri,
kaisar yang tidak berani menghukum panglima terkenal ltu secara berterang,
kemudian menggunakan siasat halus. Jenderal Kao di ‘pensiun’-kan! Jenderal Kao
diberhentlkan dengan hormat dan dipersilakan untuk ‘beristirahat’ menikmati
hari tua dan diberi bekal banyak harta benda oleh kaisar.
Sungguh
kaisar tua itu telah linglung. Dia sama sekali tidak tahu bahwa penghentian
Jenderal Kao ini membuat para panglima dan gubernur yang berkuasa di
propinsi-propinsi yang berjauhan, yang menganggap diri sendiri sebagai
raja-raja, bersorak kegirangan dan menjadi lega hati mereka. Betapa tidak?
Jenderal Kao seoranglah yang mereka takuti sehingga mereka masih belum berani
memisahkan diri secara berterang. Mereka merasa ngeri kalau membayangkan betapa
Jenderal Kao yang galak dan pandai itu membawa pasukan menghukum mereka. Akan
tetapi kini Jenderal Kao sudah dihentikan dari jabatannya, sudah dipensiun dan
menjadi rakyat biasa! Jenderal Kao tanpa pasukan bukan merupakan tokoh yang
menakutkan lagi.
Malam itu
bulan purnama tersenyum cerah di angkasa. Tiada awan yang nampak menghalangi
sinar bulan yang lembut dan bulan yang bundar itu seperti sebuah bola emas
tergantung di langit biru. Malam hening dan sejuk sungguh pun tiada angin
menggerakkan daun-daun pohon yang mengapit lorong di dalam hutan itu. Dari
celah-celah daun, sinar bulan menerobos dan menerangi lorong yang ditilami
daun-daun kering yang lunak dan agak lembab di malam itu.
Malam sudah
agak larut, akan tetapi di lorong itu masih ada serombongan orang yang bergegas
jalan tanpa berkata-kata, di tengah-tengah mereka terdapat beberapa orang yang
memikul tandu-tandu. Kalau datang dari jurusan ini, lorong melalui hutan itu
merupakan jalan satu-satunya yang terdekat untuk memasuki daerah Kang-lam.
Melihat orang-orang yang berjalan di depan dan di belakang rombongan tandu itu
berpakaian seragam, dan selalu siap memegang golok dan tombak, mudah sekali diduga
bahwa rombongan itu tentulah rombongan pembesar dan mereka itu tentu pasukan
pengawal.
Dugaan ini
memang tidak keliru karena rombongan itu adalah rombongan Jenderal Kao Liang
dan keluarganya. Setelah dipensiun dan dihentikan dari jabatannya, jenderal ini
maklum bahwa dia tidak berdaya lagi untuk bertindak sebagai jenderal, maka dia
lalu mengumpulkan semua harta miliknya, dan mengajak keluarganya untuk
menlnggalkan kota raja, kembali ke tempat kelahirannya atau tempat kampung
halamannya, yaitu di daerah Kang-lam. Dia ingin mendinginkan hati dan
pikirannya yang panas, kemudian baru hendak memutuskan apa yang dapat dia
lakukan untuk negara dan bangsanya dalam keadaan seperti itu.
Tiba-tiba
tirai penutup tandu yang paling depan tersingkap dan terdengarlah suara yang
berat dan penuh wibawa, yang ditujukan kepada seorang bertubuh tinggi kurus
yang memakai pedang di pinggangnya, yaitu kepala pengawal yang jumlahnya dua
losin orang itu.
“Kepala
pengawal! Kita berhenti sebentar di sini agar supaya para pemikul tandu dapat
beristirahat.”
Kepala
pengawal itu sambil masih berjalan mengiringkan tandu itu membungkuk dan
berkata, nada suaranya sungguh-sungguh, “Yang Mulia, tidakkah lebih baik kalau
kita melanjutkan perjalanan sampai kita keluar dari hutan ini baru beristirahat?
Di dalam hutan begini keadaannya amat berbahaya karena bahaya dapat muncul dari
mana-mana tanpa kita ketahui, tersembunyi di balik pohon-pohon dan semak-semak,
berbeda kalau berada di tempat terbuka di mana kita dapat menghadapi ancaman
bahaya secara terbuka. Daerah ini terkenal sebagai daerah yang sering diganggu
oleh penyamun-penyamun yang berkepandaian tinggi.”
“Hemm...
siapakah yang kau maksudkan dengan penyamun-penyamun berkepandaian tinggi? Mana
ada penyamun berkepandaian tinggi kalau mereka itu bukan bekas orang-orangnya
Tambolon? Ataukah dari golongan lain? Bukankah kabarnya mereka semua sudah
dihalau dan dibasmi oleh Pendekar Super Sakti dan kedua anak dan mantunya,
Puteri Milana dan pendekar sakti Gak Bun Beng?”
“Paduka
belum mengetahui perkembangan yang terjadi di dunia hitam selama satu dua tahun
ini. Di daerah ini pernah terjadi bentrokan-bentrokan hebat antara dua golongan
hitam, yaitu golongan perampok Gunung Cemara di sebelah selatan lembah melawan
golongan bajak di timur lembah, di sepanjang Sungai Huang-ho.”
“Hemm,
sungguh menarik sekali ceritamu. Lalu bagaimana akhir pertempuran di antara
mereka?” tanya orang tua bersuara berat dan berwibawa itu yang bukan lain
adalah Jenderal Kao Liang sendiri.
“Pertempuran
itu hebat dan makan banyak korban di antara kedua fihak, akan tetapi setelah
muncul seorang Pendekar berambut putih yang sangat lihai dan melerai di antara
mereka, pertempuran segera berhenti dan berakhir.”
“Pendekar
rambut putih? Ho-ho-ho, itulah Pendekar Super Sakti!” Jenderal Kao Liang
berseru sambil tertawa girang.
“Bukan, Yang
Mulia. Bukan beliau. Pendekar itu masih sangat muda, dan kakinya utuh, tidak
buntung sebelah seperti kaki Pendekar Siluman.”
“Ehhhhh?!
Bukan Pendekar Siluman?” Jenderal Kao makin terheran dan ingin sekali tahu.
“Benar,
bukan Pendekar Siluman. Akan tetapi karena kepandaiannya juga hebat luar biasa
seperti bukan manusia, apa lagi rambutnya juga putih terurai bagaikan benang
perak seperti rambut Pendekar Siluman, maka orang-orang menamakan dia Pendekar
Siluman Kecil.”
“Hemm...
sungguh luar biasa. Bagaimana mukanya, apakah wajahnya tampan ataukah buruk
mengerikan?”
“Itulah yang
aneh, Yang Mulia. Orang tidak pernah bisa melihat wajahnya dengan jelas karena
sebagian dari mukanya tertutup oleh rambutnya yang terurai itu, dan gerakannya
amat cepat saperti menghilang saja.”
Jenderal Kao
mengangguk-angguk, kemudian menarik napas panjang seperti orang termenung.
“Bukan main! Memang di dunia ini banyak orang-orang muda yang memiliki ilmu
kepandaian hebat dan watak yang aneh-aneh.”
“Benar,
Tuanku. Bahkan putera sulung Paduka sendiri memiliki kepandaian yang amat hebat
dan kabarnya tidak kalah dibandingkan dengan Majikan Pulau Es, Pendekar Siluman
itu sendiri.”
“Hemmm...
agaknya begitulah. Akan tetapi sayang dia tidak berada di sini. Sudahlah, kau
hentikan perjalanan ini. Jangan takut, kita tetap beristirahat di sini. Sejak
dahulu aku tidak pernah bermusuhan dengan golongan sesat secara pribadi, maka
perlu apa kita mengkhawatirkan gangguan mereka?”
Kepala
pengawal itu tidak berani membantah lagi dan dia pun maklum akan kelihaian
jenderal tua ini, apa lagi di dalam rombongan itu terdapat pula dua orang
puteranya yang biar pun tidak sepandai putera sulung Jenderal itu, namun juga
bukanlah orang-orang lemah. Selain itu, dia sendiri pun mempunyai dua losin
anak buah yang cukup kuat, maka perlu apa mereka takut beristirahat di dalam
hutan ini? Dia lalu mengangkat tangan kanan ke atas, mengeluarkan aba-aba yang
cukup nyaring sehingga terdengar oleh semua anak buahnya, “Berhentiiiii...!
Kita beristirahat di sini...!”
Rombongan
itu berhenti dan para pemikul tandu menjadi lega hatinya karena memang mereka
sudah merasa sangat lelah, membutuhkan peristirahatan yang cukup untuk
mengumpulkan kembali tenaga mereka. Para pengawal kemudian bergerak memenuhi
perintah kepala pengawal, ada yang mencari kayu-kayu kering dan ada yang
membuat api unggun, ada pula yang mulai menyeduh air dan sebagian dari mereka melakukan
tugas menjaga di sekitar tempat itu. Mereka adalah pengawal-pengawal yang
terlatih dan semua bekerja sesuai dengan tugas mereka yang telah dibagi-bagi
oleh kepala pengawal.
Jenderal Kao
Liang lalu turun dari atas tandunya yang telah diletakkan di atas tanah.
Jenderal ini usianya sudah hampir enam puluh tahun, akan tetapi berdirinya
tegak, dengan dadanya yang bidang itu menonjol ke depan, perutnya besar akan
tetapi kokoh, rambutnya sudah setengah putih, dan biar pun dia kini bukan
seorang panglima lagi, namun dari sikapnya jelas dapat dilihat bahwa dia adalah
seorang yang biasa mengatur banyak orang, memiliki wibawa dan ketegasan. Kini
jenderal itu duduk di atas sebuah batu besar. Bulan purnama yang sinarnya
gemilang itu sudah berada di atas kepala, sebagian sinarnya menerobos di antara
daun-daun pohon menimpa tempat yang dijadikan peristirahatan rombongan ini.
Dua orang
pemuda yang berwajah tampan dan bertubuh tinggi tegap dan bersikap gagah
berdiri di belakang bekas jenderal ini. Yang seorang berusia dua puluh satu
tahun, bernama Kao Kok Tiong, putera kedua dari jenderal itu, sedangkan pemuda
yang kedua berusia delapan belas tahun, bernama Kao Kok Han, putera ketiga atau
bungsu dari Jenderal Kao Liang. Agaknya dua orang putera ini maklum pula bahwa tempat
itu mencurigakan dan berbahaya, maka mereka siap di dekat ayah mereka untuk
sewaktu-waktu membantu apa bila tenaga mereka diperlukan.
Sedangkan
para keluarga wanita dan anak-anak yang ikut di dalam rombongan itu tetap
berada di dalam tandu-tandu yang dikumpulkan di tempat terbuka, di antara
pohon-pohon di tengah-tengah tempat itu dan terlindung oleh para pengawal yang
melakukan penjagaan di sebelah luar tempat peristirahatan itu. Segera api
unggun bernyala besar, menerangi dan menghangatkan tempat itu, juga segera
mengusir nyamuk yang mulai beterbangan menyerang mereka.
Kepala
pengawal tinggi itu menghampiri Jenderal Kao, memberi hormat dan berkata,
“Karena perbekalan air habis, saya mohon perkenan Paduka untuk mencari air
bersih.”
Jenderal Kao
mengangguk. “Pergilah.”
Kepala
pengawal bersama lima orang anak buahnya yang membawa guci-guci tempat air
segera pergi meninggalkan tempat itu memasuki hutan untuk mencari air jernih
dengan bantuan sinar bulan purnama yang masih terang tidak terhalang awan
sedikit pun. Para pengawal lainnya, sambil berjaga-jaga melepaskan lelah dan
duduk di tempat penjagaan masing-masing mengelilingi tempat itu sambil membuat
api unggun sendiri.
“Ayah,
silakan minum.” Kao Kok Tiong mengeluarkan tempat airnya dan memberikan kepada
ayahnya.
“Kok Han,
kau lihat apakah ibumu baik-baik saja, dan beri ibumu minum dan tawarkan
kalau-kalau dia lapar dan ingin makan atau ingin sesuatu,” kata Jenderal Kao
Liang sambil menerima tempat minum puteranya yang kedua, minum beberapa teguk
dan mengembalikannya kepada Kok Tiong. Sedangkan Kok Han lalu menghampiri tandu
ibunya dan kelihatan dia bicara dengan nyonya tua di dalam tandu, kemudian
pemuda ini pun memeriksa tandu-tandu lain.
Jenderal Kao
Liang ditemani dua orang puteranya lalu duduk melepaskan lelah di dekat api
unggun, wajah jenderal itu muram karena dia teringat akan keadaan dirinya.
Negara sedang kacau, terjadi perpecahan dan pertentangan di antara para kaki
tangan pemerintah. Dan dia, yang sesungguhnya amat dibutuhkan di saat negara
menghadapi bayangan ancaman pemberontakan, dia malah dihentikan!
Dia mengerti
bahwa penghentiannya itu adalah fitnah atau hasil bujukan mulut beracun kepada
kaisar. Akan tetapi kaisar sendiri yang memutuskan itu, tentu saja dia tidak berdaya
dan tidak berani atau lebih tepat, tidak mau membantah. Dia adalah seorang
jenderal yang setia, yang selalu rela mempertaruhkan jiwa raganya demi negara.
Maka baginya, kehilangan kedudukan itu bukan apa-apa.
Dia sama
sekali tidak mementingkan diri pribadi, akan tetapi dia merasa prihatin melihat
betapa kedudukan kerajaan amat lemah dan bahaya mengancam dari setiap penjuru.
Jenderal Kao Liang mengepal tinjunya yang besar dan keras. Biar pun dia sudah
bukan panglima lagi, akan tetapi dia tidak akan membiarkan para pengkhianat
memberontak. Kalau terjadi hal itu, dia pasti akan membantu negara dan akan
membersihkan para pemberontak! Demikian tekad hatinya.
Akan tetapi
dia harus menyelamatkan keluarganya dulu, membawa mereka ke kampung halamannya
di mana mereka akan hidup tenteram. Setelah itu, dia akan bebas berbuat apa
saja, dan dia akan selalu mengikuti perkembangan yang terjadi di kota raja.
“Ayah,
sungguh mengherankan sekali, mengapa Cio-ciangkun belum juga kembali dari
mencari air,” tiba-tiba Kok Tiong berkata dan memandang ke kanan kiri dengan
alis berkerut karena pemuda ini merasa tidak enak hati. Sudah hampir setengah
jam kepala pengawal she Cio itu pergi mencari air bersama lima orang anak
buahnya, namun belum juga kembali.
“Mungkin
sukar mencari air di sini,” kata Jenderal Kao Liang.
“Akan
tetapi, belum lama tadi rombongan kita melewati sebuah sumber air, dan untuk
pergi mengambil air ke sana makan waktu sebentar saja,” bantah Kok Tlong.
“Hemmm,
kalau begitu suruh wakilnya pergi menyusu!”
Kok Tiong
lalu mencari wakil kepala pengawal dan wakil ini segera mengajak dua orang anak
buahnya untuk pergi menyusul atau mencari komandan Cio yang sejak tadi pergi
mencari air. Kok Tiong yang sudah mulai bercuriga itu menanti dengan hati
tegang. Sampai setengah jam kemudian, wakil itu pun belum juga kembali,
demikian pula Cio ciangkun belum juga kembali.
“Ayah, saya
khawatir terjadi sesuatu dengan mereka,” Kok Tiong berkata dan sekarang
Jenderal Kao juga mulai merasa curiga. “Biar saya pergi membawa pasukan
pengawal untuk mencari mereka.”
Jenderal Kao
Liang mengerutkan alisnya dan menggeleng kepala. “Jangan! Kalau benar ada
terjadi sesuatu yang tidak beres, jelas bahwa fihak sana hendak memecah belah
kita. Agaknya selagi kita bersatu mereka tidak berani turun tangan, maka kalau
kau pergi membawa pasukan, berarti siasat mereka untuk memecah kekuatan kita
berhasil.”
Kok Tiong
mengangguk-angguk, diam-diam kagum akan kecepatan pikiran ayahnya dalam
menghadapi keadaan yang mencurigakan itu. “Lalu bagaimana baiknya, Ayah? Ibu
juga sudah menaruh curiga dan tadi sudah beberapa kali menanyakan mengapa
pengawal-pengawal yang pergi mencari air belum juga kembali.”
“Sebaiknya
kita melanjutkan perjalanan saja, selain untuk keluar dari hutan ini, juga agar
ibumu tidak menjadi gelisah. Siapkan semua pasukan pengawal, dan kau wakili
Cio-ciangkun.”
Kok Tiong,
dibantu oleh Kok Han adiknya, cepat melakukan perintah ayahnya dan tak lama
kemudian berangkatlah rombongan itu dikawal oleh pasukan pengawal yang kini
berkurang dengan sembilan orang jumlahnya.
Malam sudah
agak larut, sudah hampir tengah malam, bulan sudah berada di atas kepala dan
tak lama kemudian rombongan ini sudah mulai tiba di pinggir hutan karena
pohon-pohon sudah mulai jarang. Cuaca semakin terang karena pohon-pohon tidak
sebanyak tadi, dan kanan kiri lorong tidak selebat tadi. Akan tetapi karena
peristiwa menghilangnya sembilan orang itu membuat semua orang merasa curiga
dan tegang, mereka melakukan perjalanan dengan diam-diam dan suasana menjadi
sunyi bukan main, yang terdengar hanya daun-daun kering terinjak kaki dan napas
pemikul tandu.
Tiba-tiba
semua orang terkejut dan Jenderal Kao cepat membuka tirai tandunya dan
mengulurkan tangan ke luar sambli berseru, “Berhenti...!”
Tanpa
komando sekali pun, semua orang memang sudah berhenti dengan kaget karena
mereka semua mendengar suara hiruk-pikuk, teriakan-teriakan bising seperti
suara banyak orang sedang bertempur di luar hutan itu. Jenderal Kao Liang sudah
meloncat ke luar dari tandunya dan memberi isyarat dengan tangan agar semua
pasukan pengawal berkumpul, mengelilingi tandu-tandu yang dikumpulkan di situ
dan siap siaga.
Semua
pengawal mencabut golok masing-masing dan berjaga-jaga dengan hati pe-nuh
ketegangan. Akan tetapi tentu saja mereka tidak merasa takut, karena di situ
terdapat Jendera Kao Liang dan dua orang puteranya. Bagi para pengawal itu,
jauh lebih baik langsung menghadapi musuh dari pada keadaan penuh rahasia
seperti lenyapnya sembilan orang kawan mereka tadi.
“Ayah, biar
saya pergi menyelidiki.” kata Kok Tiong.
“Saya akan
menemani Tiong-ko,” kata pula Kok Han.
Jenderal Kao
Liang menggeleng kepalanya. “Jangan, kita tunggu saja di sini. Kita sudah
kehilangan sembilan orang pembantu, sebaiknya kita bersatu menghadapi musuh.
Biarkan mereka menyerang, kita siap saja menyambut, akan tetapi lebih dulu biar
aku yang bicara dengan pemimpin musuh.”
Kedua orang pemuda
itu tidak membantah, akan tetapi menanti di situ sambil terus mendengarkan.
Suara pertempuran yang tidak kelihatan itu menegangkan hati juga. Di dalam hati
Jenderal Kao Liang sendiri, timbul berbagai pertanyaan. Dia merasa yakin bahwa
pertempuran yang terjadi di luar hutan itu tentu ada hubungannya dengan
lenyapnya Cio-ciangkun dan delapan orang anak buahnya, akan tetapi apa yang
terjadi sesungguhnya dia tidak dapat memastikan. Apakah pertempuran di luar
hutan itu hanya merupakan pancingan belaka? Apakah memang ada golongan hitam
yang mengincar rombongannya?
Sebagai
seorang bekas panglima besar yang pensiun dan kini menuju ke kampung
halamannya, tentu saja rombongannya membawa harta benda yang cukup banyak.
Mungkin saja ada golongan hitam yang memang mengincar dan hendak merampas harta
yang dibawa rombongannya. Ataukah Cio ciangkun dan para anak buahnya yang
menghilang itu mungkin berkhianat dan bersekongkol dengan golongan hitam?
Mereka itu telah menjadi korban dan tewas oleh golongan hitam, ataukah malah
diam-diam bersekongkol dengan mereka? Dan siapa yang bertempur di luar hutan
itu?
Tiba-tiba
saja, seperti ketika terdengar tadi, suara hiruk-pikuk pertempuran itu
berhenti. Berhenti sama sekali dan tidak terdengar suara sedikit pun. Suasana
kembali menjadi sunyi. Bahkan terasa jauh lebih sunyi dari pada tadi sebelum
ada suara pertempuran. Kini sunyi yang menyeramkan. Beberapa orang pengawal
menggigil, sebagian karena dingin hawa malam itu, sebagian besar pula karena
merasa seram. Memang amat menyeramkan kesunyian tiba-tiba itu setelah tadi
mereka dicekam ketegangan suara pertempuran di luar hutan.
Jenderal Kao
menanti sejenak, khawatir kalau-kalau fihak musuh memang sengaja memancing dan
hendak menjebak. Akan tetapi sampai lama tidak terdengar suara apa pun dan
sekarang daun-daun mulai berkelisik karena mulai tengah malam itu angin
menggugah daun-daun pohon yang tadinya tidur.
Setelah
ternyata benar-benar tidak terdengar lagi suara, Jenderal Kao lalu memanggil
Kok Han, puteranya yang bungsu, “Kok Han, kau bawalah sepuluh orang prajurit
pengawal dan selidiki di luar hutan depan itu. Akan tetapi jangan melibatkan
diri dalam pertempuran. Kalau ada penyerangan, tarik kembali pasukanmu ke
sini.”
“Baik,
Ayah.” Kok Han lalu mengajak sepuluh orang pengawal, berindap keluar dari
tempat itu menuju ke tempat dari mana tadi terdengar suara pertempuran, yaitu
di sebelah depan. Jenderal Kao Liang tidak mengutus puteranya yang leblh besar
karena penjagaan di situ lebih penting diperkuat dari pada rombongan penyelidik
itu.
Kao Kok Han
membawa sepuluh orang pengawal keluar dari hutan dan tidak lama kemudian
sampailah dia di tempat pertempuran tadi, di luar hutan. Akan tetapi tidak
kelihatan seorang pun manusia di situ. Yang ada hanya bekas-bekas pertempuran
yang agaknya memang hebat dan seru. Beberapa batang pohon roboh dan darah
berceceran di mana-mana, akan tetapi tidak ada sebuah pun mayat tampak di situ.
Sungguh sangat mengherankan sekali, seolah-olah yang melakukan pertempuran tadi
bukan manusia, melainkan setan-setan dan siluman-siluman penghuni hutan dan
yang kini semua telah menghilang kembali.
Setelah
memeriksa dengan teliti, Kok Han lalu mengajak pasukan kecil itu kembali ke
dalam hutan menghadap ayahnya. Jenderal Kao Liang juga merasa terheran-heran
mendengar pelaporan puteranya itu.
“Tidak ada
mayat sebuah pun? Jangan-jangan itu hanya pancingan dan jebakan,” kata Jenderal
Kao Liang sangsi.
“Akan tetapi
jelas ada tanda-tanda bekas pertempuran hebat, Ayah,” Kok Han berkata. “Darah
berceceran di mana-mana dan senjata-senjata golok dan pedang berserakan di
sekitar tempat itu, bahkan ada pohon-pohon yang tumbang. Melihat
bekas-bekasnya, tentu itu merupakan hasil kerja seorang yang memiliki ilmu
kepandaian hebat.”
Suasana
menjadi makin tegang, akan tetapi Jenderal Kao Liang segera menghentikan
dugaan-dugaan di dalam hati semua pengawal itu dengan kata-kata yang nyaring
dan tegas, “Apa pun yang terjadi, harap tenang dan menanti komando. Sekarang
kita melanjutkan perjalanan, tidak perlu tergesa-gesa dan semua pengawal harap
waspada dan siap siaga.”
Rombongan
bergerak lagi dan sekarang Jenderal Kao Liang sendiri tidak naik tandu
melainkan ikut berjalan kaki, bahkan berada di bagian paling depan bersama Kao
Kok Han, sedangkan Kao Kok Tiong menjaga di bagian belakang melindungi
rombongan itu.
Tidak
terjadi sesuatu sampai rombongan ini tiba di tempat pertempuran yang tadi telah
diselidiki oleh Kok Han. Jenderal Kao Liang yang mengkhawatirkan adanya
jebakan, mengangkat tangannya dan rombongan itu pun berhenti lagi. Tempat
pertempuran ini sudah berada di luar hutan, di tempat terbuka sehingga dapat
menampung sinar bulan sepenuhnya. Semua orang memandang ke kanan kiri ke arah
batang-batang pohon dan semak-semak belukar, semua mata terbelalak mencari-cari
sesuatu, semua telinga memperhatikan setiap suara yang mungkin terdengar.
Tiba-tiba
semua orang menengok ke kiri karena mereka mendengar sesuatu. Juga para wanita
dan anak-anak yang menyingkap tirai tandu mengintai, menengok ke kiri dan
terdengarlah jerit-jerit tertahan dari para wanita dan anak-anak itu ketika
mereka melihat seorang yang berlumuran darah merangkak keluar dari semak-semak!
“Dia... dia...
Hun Kai...!” Tiba-tiba seorang di antara para pengawal berseru ketika dia
mengenal wajah yang berlumuran darah itu.
Jenderal Kao
yang kini juga mengenal seorang di antara para pengawal yang lenyap tadi, cepat
memandang penuh selidik ke arah belakang orang itu, kemudian dengan langkah
lebar dia menghampiri orang yang sudah terguling di atas rumput itu, lalu dia
berjongkok dan bertanya, “Apa yang telah terjadi?”
“...Yang
Mulia... hati-hatilah... ada... seorang akan... membunuh seluruh...
rombongan... i... ni... aughhhh...!” Dia terkulai dan tewas di saat itu juga.
Semua orang
mendengar ucapan itu dan banyak wajah menjadi pucat seketika. Para wanita
menjadi panik dan memeluk anak-anak mereka, para pengawal dengan geram memutar
tubuh memandang keempat penjuru.
Jenderal Kao
Liang berdiri dan berkata, suaranya lantang, “Jangan takut dan panik.
Tenanglah! Apa pun yang terjadi, kita masih hidup dan selamat, dan tidak seekor
setan pun yang akan dapat dengan mudah membunuh kita selama aku masih berdiri
di sini!”
Jelas bahwa
jenderal tua ini menjadi marah sekali dan dia menduga bahwa semua pengawal tadi
tentu tewas. Sayang bahwa pengawal yang bemama Hun Kai itu tewas sebelum dapat
menceritakan dengan jelas apa yang terjadi.
“Paman...
Paman Hun Kai... ceritakanlah, di mana adanya teman-teman yang lain?” Kok Han
mengguncang-guncang tubuh pengawal itu, berusaha untuk menyadarkannya agar
pengawal itu dapat menceritakan sejelasnya. Tetapi tubuh yang diguncang-guncang
itu terkulai lemas dan tidak dapat memberi jawaban.
“Sudah, Kok
Han, tidak ada gunanya lagi. Dia sudah mati,” kata Jenderal Kao Liang. “Hayo
cepat gali lubang kuburan untuk dia!” perintahnya.
Kini para
pengawal cepat menggali lubang kemudian mengubur mayat itu. Setelah itu,
Jenderal Kao Liang memerintahkan agar rombongan cepat melanjutkan perjalanan.
Kini jumlah pengawal hanya tinggal enam belas orang saja, dipimpin sendiri oleh
Jenderal Kao Liang dan dua orang puteranya.
Ada pun
jumlah tandu semuanya ada enam buah yang memuat isteri dari Jenderal Kao Liang,
isteri dari Kao Kok Tiong, bibinya, yaitu adik perempuan Nyonya Jenderal yang
sudah menjadi janda bersama dua orang anaknya, laki-laki dan perempuan yang
sudah remaja, kemudian dua orang anak Kok Tiong sendiri, dan dua orang inang
pengasuh perempuan. Tandu bekas tempat Jenderal Kao Liang dibiarkan kosong dan
masih terus dipikul oleh dua orang pemikul tandu. Jadi bersama dengan enam
belas orang pengawal, masih ada dua puluh empat orang pemikul tandu karena
tandu-tandu yang memuat orang dipikul oleh empat orang.
Setelah
malam lewat tanpa terjadi sesuatu kejadian pun, Jenderal Kao memerintahkan
rombongannya berhenti di kaki bukit untuk beristirahat dan menggunakan
kesempatan itu untuk tidur secara bergiliran. Sampai matahari naik tinggi
mereka mengaso dan setelah mereka semua makan, perjalanan dilanjutkan dengan
mendaki bukit yang cukup sukar. Lorong kecil pendakian itu diapit-apit tebing
tinggi dan batu kapur.
Ketika
rombongan membelok di atas lorong yang tertutup tebing tinggi di kedua tepinya
itu, merupakan tempat yang sangat berbahaya, mendadak mereka berhenti lagi dan
suasana mulai tegang. Lorong itu tertutup oleh sebatang balok besar sekali yang
melintang di jalan!
Kembali hati
mereka menjadi tegang karena jelaslah bahwa balok besar itu tak mungkin bisa
berada di situ tanpa ada yang menaruhnya, dan melihat balok itu melintang
menghalang jalan, jelaslah bahwa itu tentu perbuatan mereka yang hendak
menentang rombongan atau setidaknya mempunyai niat buruk. Jelas bahwa
gerombolan orang jahat telah mulai memperlihatkan gerakan dan tentu sebentar
lagi akan muncul. Semua orang siap siaga dan Jenderal Kao Liang sendiri sudah
meraba gagang pedangnya. bahkan Kok Tiong dan Kok Han sudah mencabut pedang
masing-masing dan berdri di kanan kiri ayah mereka.
Akan tetapi,
semua ketegangan urat syaraf itu temyata sia-sia belaka, karena ditunggu sampai
lama sekali, tidak ada terjadi sesuatu. Sampai capai rasanya mata mereka karena
jarang berkedip memandang ke kanan kiri, depan belakang dan atas bawah, namun
tidak terdengar sesuatu dan tidak nampak sesuatu yang bergerak. Hati mereka
menjadi kesal juga, akan tetapi diam-diam mereka bersyukur bahwa tidak ada
musuh datang menyerbu. Karena kalau hal itu terjadi, sungguh amat berbahaya.
Tempat itu
sangat berbahaya dan tidak menguntungkan bagi mereka untuk menghadapi musuh.
Berada di lorong yang diapit-apit dinding batu tinggi terjal itu, mereka amat
lemah dan andai kata ada beberapa orang musuh melempar-lemparkan batu dari atas
tebing, mereka akan tak berdaya dan akan terkubur hidup-hidup.
Setelah
jelas ternyata bahwa di sekitar tempat itu tidak ada orang, dan tidak ada tanda
tanda bahwa ada musuh akan menyerbu, Jenderal Kao Liang segera memerintahkan
sepuluh orang pemikul joli yang bertubuh kuat-kuat untuk menyingkirkan balok
besar yang melintang di tengah jalan itu. Pekerjaan itu dilakukan tanpa ada
kesukaran apa-apa, dan karena tidak ada tempat untuk membuang balok itu, maka
sepuluh orang tukang pikul tandu itu lalu meletakkan balok perintang itu di
tepi lorong. Kemudian rombongan itu melanjutkan perjalanan dengan hati-hati.
Akan tetapi
belum ada sepuluh langkah mereka bergerak, tiba-tiba dua orang pemikul tandu
kosong berteriak aneh dan roboh, disusul oleh teriakan-teriakan delapan orang
pemikul tandu lain yang juga terguling roboh dan menyebabkan orang-orang yang
naik tandu itu pun berteriak-teriak kaget dan kesakitan. Jenderal Kao Liang
cepat meloncat mendekati dan dengan mata melotot dia melihat betapa sepuluh
orang ini adalah sepuluh orang yang tadi menyingkirkan balok besar. Kini tangan
mereka mem-bengkak, tubuh mereka kejang dan berkelojotan, tak lama kemudian
mereka itu terkulai mati dengan tubuh di jalari warna hitam dari tangan sampai
ke muka mereka.
“Jangan
pegang...!” Jenderal Kao membentak kepada para pengawal, pemikul tandu, dan dua
orang puteranya ketika mereka ini mendekat. “Mereka keracunan!”
Keadaan
menjadi makin panik dan dua orang putera jenderal itu segera menolong dua orang
inang pengasuh yang tandunya terbalik. Kemudian dengan muka merah padam saking
marahnya, Jenderal Kao Liang mengajak dua orang puteranya untuk naik ke atas
tebing. Jenderal yang sudah tua itu masih gagah sekali dan dengan mudahnya dia
mendaki tebing yang amat terjal itu, diikuti oleh Kok Tiong dan Kok Han yang
harus mengerahkan ginkang mereka untuk dapat mengikuti ayahnya mendaki tempat
yang amat berbahaya itu. Gerakan mereka cepat dan gesit, dan mereka itu terus
mendaki naik, diikuti oleh pandangan mata mereka yang merasa gelisah dan tegang
dari bawah.
Setelah tiba
di atas tebing di bukit itu, Jenderal Kao Liang dan putera-puteranya melihat ke
kanan kiri dan tampaklah oleh mereka seorang laki-laki yang kelihatan masih
muda sedang duduk di atas sebongkah batu besar, membelakangi mereka, tidak jauh
dari tempat itu dan mereka mendengar betapa laki-laki yang masih muda itu
sedang bersenandung, senandung yang terdengar menyedihkan seperti orang
berkeluh-kesah, sambil berdongak memandang awan berarak di angkasa.
Karena di
tempat itu sunyi tidak ada orang lain kecuali orang muda yang ber-senandung
itu, Jenderal Kao Liang tidak merasa syak lagi bahwa tentu inilah orangnya yang
mengganggu rombongannya, maka dia lalu cepat menghampiri, diikuti oleh Kok
Tiong dan Kok Han. Akan tetapi agaknya orang itu merasa atau mendengar
kedatangan mereka. Dia menoleh sehingga nampak separuh mukanya, kemudian orang
itu bangkit, menghentikan senandungnya dan melangkah perlahan menjauhkan diri.
Tentu saja Jenderal Kao dan dua orang puteranya meloncat dan cepat melakukan
pengejaran. Mereka bertiga menggunakan ilmu berlari cepat untuk mengejar dan
menangkap orang itu.
Tetapi,
sungguh aneh bukan main! Kelihatannya saja orang itu melangkah perlahan-lahan,
akan tetapi mereka bertiga tidak pernah dapat mendekatinya. Hal ini membuat
Jenderal Kao menjadi penasaran sekali, penasaran dan marah. Tahulah dia bahwa
pasti orang itu yang mengganggunya, atau setidaknya tentu merupakan seorang di
antara gerombolan yang mengganggu rombongannya. Maka dia mempercepat larinya
mengejar dengan geram.
Akan tetapi,
begitu jarak mereka mulai berdekatan dan mereka mulai dapat menyusul, tiba-tiba
orang itu menggerakkan tubuhnya dan sebuah loncatan yang mentakjubkan hati
Jenderal Kao dilakukan orang itu. Tubuhnya melayang bagaikan seekor burung
terbang melayang saja dan sekali melompat sudah meninggalkan mereka, kemudian
berjalan lagi dengan tenangnya.
Orang itu
naik turun tebing dan akhirnya lenyap ke dalam hutan di depan. Jenderal Kao
Liang terkejut bukan main. Kalau dikehendaki, orang itu dengan mudah saja dapat
melenyapkan diri sejak tadi, akan tetapi kenapa agaknya sengaja memancing
mereka untuk mengikuti sampai jauh? Celaka, tentu ini pancingan yang dalam ilmu
perang disebut ‘memancing harimau meninggalkan sarangnya’. Dia dan dua orang
puteranya sengaja dipancing meninggalkan rombongannya yang kini hanya
dilindungi oleh para pengawal yang sudah kehilangan pemimpinnya.
“Cukup!
Tidak perlu mengejar terus. Mari kita cepat-cepat kembali!” Jenderal Kao Liang
yang merasa curiga dan khawatir itu berkata kepada dua orang puteranya.
Mereka
bergegas kembali ke tempat tadi, di mana rombongan mereka tadi mereka
tinggalkan. Ketika mereka akhirnya dapat menuruni tebing terjal dan tiba di
tempat tadi, dari atas jantung mereka sudah berdebar keras penuh kekhawatiran
dan ketegangan. Setelah tiba di tempat itu, Jenderal Kao Liang memandang dengan
mata terbelalak dan kedua tangannya mengepal tinju, kumis dan jenggotnya
seakan-akan berdiri saking marahnya. Kedua orang puteranya juga terbelalak,
menoleh ke kanan kiri, kemudian memandang kepada ayah mereka dengan sinar mata
bingung dan gelisah.
Betapa
mereka tidak akan bingung dan gelisah? Semua tandu telah lenyap dari situ,
tandu-tandu yang membuat Nyonya Kao Liang, Nyonya Kao Kok Tiong, bibi mereka,
anak-anak Kok Tiong, anak-anak bibi mereka, dan dua inang pengasuh, serta harta
benda mereka semua telah lenyap. Dan di tempat itu menggeletak berserakan mayat
mayat para pengawal mereka, dan para tukang pikul tandu-tandu itu. Tiada
seorang pun di antara mereka itu yang masih hidup, semua telah tewas dalam
keadaan mengerikan!
“Keparat...!
Bedebah...!” Jenderal Kao Liang memaki-maki, kemudian dia menjambak rambutnya
sendiri penuh penyesalan. “Bodoh kau! Tolol kau!” Dia memaki diri sendiri,
kemudian menjatuhkan dirinya di atas tanah sambil bertopang dagu.
Betapa dia
tak akan menyesal? Jenderal Kao Liang telah berpuluh tahun berkecimpung di
dalam bidang kemiliteran, entah sudah berapa ratus kali menghadapi lawan-lawan
tangguh dan lihai, sudah biasa bersiasat dan mengadu kepintaran dengan fihak
lawan. Dia merupakan seorang ahli siasat yang biasa mengatur puluhan, bahkan
ratusan ribu prajurit di medan perang. Dia ditakuti dan disegani oleh musuhnya
di medan perang karena kemahirannya bersiasat.
Namun kini
menghadapi perjalanan rombongan keluarganya, menghadapi gangguan seperti itu
saja, dia telah dibuat terkecoh dan dipermainkan orang secara habis-habisan
sampai seluruh anak buah pengawalnya tewas dan semua anggota keluarganya
diculik orang, semua harta benda yang dibawanya dicuri orang. Dan dia tidak
tahu bagaimana hal itu dilakukan, tidak tahu pula siapa yang melakukannya dan
ke mana keluarganya dibawa pergi. Sungguh memalukan dan menggemaskan sekali!
“Ayah...!”
Tiba-tiba terdengar Kok Han memanggilnya.
Jenderal Kao
menoleh dan dia melihat puteranya yang bungsu itu sedang jongkok di depan
sesosok di antara mayat-mayat yang berserakan di situ. Melihat sikap puteranya,
dan kini Kok Tiong juga lari menghampiri adiknya, Jenderal Kao kemudian bangkit
dan menghampiri tempat itu.
Jenderal Kao
Liang juga terheran-heran ketika dia melihat mayat yang ditunjuk oleh puteranya
itu. Mayat seorang wanita! Bukan anggota keluarganya, dan tentu saja bukan
seorang di antara para pengawal. Mayat wanita yang menindih seorang laki-laki,
kedua tangan wanita itu mencekik leher laki-laki itu, sedemikian hebatnya
sampai kuku-kuku tangan wanita itu terbenam ke dalam leher! Akan tetapi, tangan
laki-laki itu memegang golok kecil. Agaknya saat wanita itu mencekiknya,
laki-laki itu berhasil menghujamkan golok kecil itu ke lambung si wanita sampai
masuk dalam sekali. Terang bahwa mereka tadi bertempur dan keduanya tewas dalam
pertempuran ini.
“Sungguh
aneh...” Jenderal Kao Liang berkata. “Aku tidak pernah melihat wanita ini...
dan entah siapa pula laki-laki di bawahnya itu.”
Dengan ujung
sepatunya, Jenderal Kao Liang membalikkan tubuh wanita itu sehingga terpisah
dari mayat laki-laki yang ditindihnya. Tampaklah kini seorang laki-laki yang
berpakaian seperti seorang petani, seorang yang usianya sudah lima puluh tahun
lebih, gagah perkasa dan bertubuh kokoh kuat, sedangkan wanita itu berwajah
kejam dan usianya sudah tiga puluh tahun lebih.
“Heee!
Bukankah dia ini... seperti... seperti Hok-ciangkun!” Tiba-tiba Kok Tiong
berseru heran.
Jenderal Kao
Liang mengangguk. “Aneh sekali! Dia memang Hok-ciangkun, pengawal istana
kepercayaan Kaisar. Kenapa dia sampai berada di sini? Siapa pula wanita ini?
Terang bahwa dia berkelahi dengan Hok-ciangkun, akan tetapi kenapa? Dan mengapa
pula Hok-ciangkun berpakaian menyamar seperti petani?”
Jenderal Kao
dan dua orang puteranya menjadi bingung. Siapakah orang-orang yang telah
memusuhi mereka? Kenapa mereka membunuh para pengawal dan menculik
wanita-wanita dan anak-anak? Dan mengapa pula agaknya terjadi perkelahian
antara mereka sendiri? Jenderal Kao dan dua orang puteranya lalu mulai
memeriksa dan makin heranlah mereka bertiga ketika melihat bahwa ternyata di
antara mayat-mayat itu terdapat pula mayat-mayat yang tidak mereka kenal di
antara tumpukan mayat-mayat pengawal mereka sendiri dan tukang-tukang pikul
tandu.
“Kita harus
mencari keluarga kita!” Jenderal Kao mengepal tinju. “Aku harus bisa berhadapan
dengan pengecut-pengecut itu!” Dia marah sekali, akan tetapi ke mana dia harus
mencari? Lorong itu berbatu hingga sukar mencari jejak mereka yang membawa
pergi tandu-tandu itu.
“Apa
ini...?” Jenderal Kao Liang membungkuk dan dengan hati-hati memeriksa sebuah
benda putih mangkilap yang terletak di dekat mayat si wanita tadi.
Teringat
akan racun hebat yang agaknya dilumurkan pada balok, Jenderal Kao Liang
memeriksa dengan teliti sebelum mengambilnya. Setelah yakin bahwa benda itu
tidak beracun, dia mengambil dan mengamat-amatinya.
Benda itu
bentuknya bulat seperti sebuah lencana. Di tengah-tengahnya terlukis seekor
burung garuda berwarna hitam sedang mementang sayap dan di bawah gambaran
burung itu terdapat dua buah huruf yang berbunyi ‘BHOK TIN’ (Pasukan Kayu).
Lencana itu sangat indah buatannya, dari perak murni. Milik siapakah lencana
ini? Wanita itukah? Apa artinya lencana ini?
Jenderal Kao
tidak dapat memecahkan rahasia ini dan dia mengantongi lencana perak itu, lalu
berkata kepada kedua orang puteranya yang tentu saja merasa bingung dan berduka
sekali, “Mari kita berusaha mencari mereka!”
Dua orang
muda itu hanya mengangguk lesu dan mereka segera berjalan cepat untuk ke luar
dari jalan bertebing tinggi itu. Akan tetapi ketika mereka tiba di jalan
tikungan dan sudah ke luar dari lorong bertebing, mereka dikejutkan oleh
penglihatan yang mengerikan. Di jalan itu bertebaran mayat-mayat orang yang
memenuhi jalan, banyak sekali jumlahnya, kurang lebih ada seratus buah mayat!
Seperti dalam perang kecil saja.
Jenderal Kao
berhenti dan memandang ke sekeliling dan alisnya yang tebal itu berkerut. Dia
tidak merasa ngeri melihat ini. Sudah biasa dia menyaksikan pemandangan seperti
ini di medan perang, bahkan pernah melihat puluhan ribu mayat berserakan. Akan
tetapi rasa hatinya tidak seperti sekali ini karena sekarang keluarganya yang
langsung terlibat.
Mereka
kemudian memeriksa mayat-mayat itu dan di antara mayat-mayat itu terdapat
beberapa mayat wanita yang memakai seragam hitam dengan gambar cacahan (tatoo)
berbentuk burung garuda di telapak tangan mereka.
“Heiii! Ini
seperti penjaga gardu di depan gerbang istana!” teriak Kok Tiong sambil
menuding sebuah mayat yang menggeletak miring dengan kepala pecah. ”Dan ini
juga! Itu ada pula pengawal Hok-ciangkun!”
“Jelaslah
sudah bahwa ada pasukan pengawal istana bertempur di sini. Akan tetapi mengapa
pasukan pengawal istana berkeliaran di sini? Apakah tugas mereka? Dan sungguh
aneh, kenapa mereka tak memakai pakaian seragam dan menyamar sebagai
orang-orang biasa? Peristiwa apakah yang menyebabkan Kaisar harus mengerahkan
pasukan-pasukan pengawal istana ke tempat ini?” Jenderal Kao berkata perlahan
bagai bertanya-tanya pada diri sendiri, sedangkan dua orang puteranya juga ikut
memikirkan pertanyaan ayahnya itu.
Sungguh pun
mereka tidak dapat mencari alasan-alasan dan sebab-sebabnya, akan tetapi di
dalam hati mereka timbul dugaan bahwa adanya pasukan-pasukan pengawal istana di
tempat itu tentu ada hubungannya dengan berangkatnya rombongan keluarga mereka
meninggalkan kota raja menuju ke kampung halaman mereka.
Suasana
tempat itu sungguh mengerikan. Matahari sudah condong ke barat, beberapa saat
lagi senja akan tiba. Mereka bertiga duduk kecapaian di atas batu di antara
mayat-mayat yang berserakan. Mereka merasa lelah sekali, lelah lahir batin
dikarenakan menghadapi misteri yang tak dapat mereka pecahkan.
Keanehan-keanehan yang terjadi bertubi-tubi ditambah lenyapnya keluarga mereka
membuat pikiran Jenderal Kao Liang yang biasa tenang dan cerdik itu menjadi
keruh.
Jenderal
yang gagah perkasa itu tiba-tiba terlihat lebih tua sepuluh tahun dari keadaan
biasanya karena tekanan batin yang hebat, karena kekhawatiran akan keselamatan
isteri dan keluarganya. Ingin mereka itu mengejar dan kalau perlu berkelahi
mati-matian untuk melindungi keluarga mereka, akan tetapi mereka tidak tahu
harus mencari ke mana. Mereka tidak tahu siapa penculiknya, di mana tempatnya,
bahkan tidak tahu pula mengapa keluarga mereka diculik. Kalau mereka itu
menghendaki harta benda, tentu hanya harta benda saja yang dirampas, tidak
perlu menculik keluarga mereka. Kalau mereka itu musuh yang mendendam, tentu
keluarga mereka sudah dibunuh seperti halnya para pengawal, dan tidak diculik
seperti sekarang ini.
Mungkinkah
pemuda aneh yang lihai dan yang bersenandung sedih itu yang melakukan
penculikan? Ahhh, tidak mungkin. Karena itu mereka bertiga cepat-cepat
menghentikan pengejaran dan kembali ke tempat rombongan. Kalau bukan pemuda
itu, lalu siapa?
Apakah
wanita-wanita yang bertanda cacahan burung garuda di tangan mereka? Akan tetapi
mereka itu agaknya bertempur mati-matian dengan rombongan Hok-ciangkun, pasukan
pengawal istana yang menyamar itu. Apakah anak buah si pemuda lihai? Mungkin
begitu, dan kalau begitu agaknya ada tiga rombongan bertindak pada waktu itu.
Demikianlah Jenderal Kao memutar-mutar otaknya yang sudah penat. Akan tetapi
tetap saja dia tidak dapat menemukan jawaban atas pertanyaan di benaknya yang
bertubi-tubi.
Suasana
menjadi sunyi sepi, dan menjadi kebalikan dari pikiran mereka yang ramai dengan
pertanyaan-pertanyaan dan dugaan-dugaan yang menggelisahkan. Tiba-tiba
terdengar suara suling mengalun memecah kesunyian dan menghentikan lamunan
mereka yang penuh kegelisahan itu.
Suara suling
itu menggetar-getar halus, penuh perasaan, dan suara suling seperti itu hanya
dapat ditiup oleh peniup yang mencurahkan seluruh perasaan hatinya terhadap
tiupannya. Hawa yang keluar dari mulutnya agaknya langsung keluar dari hatinya
sehingga ketika menyelinap di dalam tabung bambu suling itu mencipta suara yang
mengalun penuh perasaan, melagukan irama lagu sedih, lagu seorang yang patah
hati, gagal dalam asmara, atau seorang yang merasa kerinduan hebat terhadap
seorang kekasih yang pergi meninggalkannya.
Tentu saja
jiwa dari lagu ini terasa oleh Jenderal Kao Liang dan kedua orang puteranya
yang sedang merana ditinggalkan oleh keluarga mereka yang tidak mereka ketahui
bagaimana nasibnya, ditinggalkan oleh orang-orang yang mereka kasihi. Terutama
sekali Kok Tiong yang teringat kepada isteri dan dua orang anaknya yang masih
kecil sehingga orang muda ini cepat membuang muka membelakangi ayahnya agar Si
Ayah tidak sampai melihat dua titik air mata.
Di antara
pengaruh suara suling yang ditiup penuh perasaan itu, Jenderal Kao Liang segera
cepat menyadari keadaan. Lagu yang ditiup suling itu adalah lagu sedih, kiranya
mudah diduga siapa peniupnya. Siapa lagi kalau bukan pemuda yang tadi pun
bersenandung lagu sedih? Tentu Si Pemuda lihai tadi. Dan siapa tahu, boleh jadi
pemuda itu yang menjadi biang keladi semua peristiwa ini, atau setidaknya,
pemuda aneh itu tentu tahu-menahu akan peristiwa yang menimpa keluarganya ini.
Dengan muka
merah dan mengepal tinjunya, Jenderal Kao Liang bangkit berdiri lalu melangkah
pergi dengan cepat menuju ke arah suara suling diikuti oleh dua orang puteranya
yang sudah mencabut pedang masing-masing. Akan tetapi sungguh aneh, suara
suling itu amat luar biasa, begitu didekati seolah-olah berpindah tempat.
Mereka bertiga terus mengejar, akan tetapi mereka berputaran dan belum juga dapat
melihat pemain atau peniupnya. Setelah berputaran sampai beberapa kali,
akhirnya Jenderal Kao Liang menjadi naik darah, sungguh pun dia masih dapat
menahan kemarahannya. Akan tetapi Kok Han yang masih muda belia itu tak dapat
menahan kemarahannya dan berteriaklah dia menantang, sungguh pun dia tahu pula
betapa lihai si peniup suling itu.
“Heeeiiiii...!
Keluarlah engkau peniup suling sialan! Jangan main sembunyi-sembunyi kalau
engkau memang jantan! Ayo, keluarlah dan lawanlah aku, engkau akan mampus kalau
tidak kau kembalikan keluarga kami!”
“Sssttttt...!”
Jenderal Kao mencegah puteranya akan tetapi tantangan telah dikeluarkan dan
mereka kini berdiam, memperhatikan semua penjuru.
Suara suling
tiba-tiba berhenti. Keadaan segera menjadi makin sunyi mencekam dan
menyeramkan. Lalu terdengar suara orang menguap panjang dan disusul suara
langkah kaki orang tersaruk-saruk.
Selagi tiga
orang ayah dan anak itu saling pandang, terdengar suara orang bergumam,
“Hahhhhh perutku lapar dan kakiku capai. Sebentar lagi malam pun tiba dan aku
belum beristirahat barang sekejap pun. Lebih baik mencari warung di depan,
makan bubur hangat, mandi air sejuk lalu tidur mendengkur!”
Jenderal Kao
dan dua orang puteranya cepat meloncat dan mencari ke arah datangnya suara itu.
Dari jauh kelihatan berkelebatnya seorang dengan cepat. Bajunya yang putih itu
tampak menyolok dengan cuaca yang sudah mulai suram karena senja telah tiba.
Sebentar saja bayangan itu berkelebat dan lenyap, seperti setan menghilang
saja.
“Kejar!”
Jenderal Kao Liang berbisik dan ketiganya lalu mengerahkan ginkang, meloncat
lalu berlari mengejar secepat mungkin. Jenderal itu merasa yakin bahwa orang di
depan tadi tentu tahu akan segala peristiwa yang terjadi, maka dia tidak mau
kehilangan orang itu.
Akan tetapi,
bayangan itu telah lenyap dan mereka mengejar sampai malam tiba, belum juga
dapat menyusul. Tentu saja ketiganya merasa mendongkol dan malam itu berbeda
dengan malam tadi. Awan mendung berkumpul di langit sehingga keadaan menjadi
gelap pekat, sedangkan mereka bertiga tidak mengenal jalan. Maka terpaksa
mereka menghentikan pengejaran sia-sia itu dan melewatkan malam di tepi jalan
di kaki bukit yang sunyi, membuat api unggun dan semalam suntuk mereka tak
dapat tidur, menanti datangnya fajar untuk melanjutkan pengejaran dan pencarian
mereka.
“Orang itu
agaknya sengaja menyebut tentang sebuah warung di depan. Biar dia memancing
sekali pun, kita harus pergi mengejarnya dan mencari warung itu!” demikian
Jenderal Kao berkata.
Ketika fajar
mulai menyingsing dan cuaca tidak begitu gelap lagi, ketiganya sudah
meninggalkan api unggun yang sudah tidak bernyala, tinggal berasap saja dan
mereka bergegas menuju ke depan melanjutkan perjalanan tadi malam yang
terganggu oleh kegelapan malam. Ketika mereka mulai bertemu dengan para petani
yang menuju ke sawah, tiga orang ayah dan anak ini kemudian mempercepat langkah
kaki mereka, tidak mempedulikan pandang mata para petani yang terheran-heran
melihat mereka berjalan cepat itu. Di mana ada petani tentu ada dusun pula,
pikir Jenderal Kao Liang dan dia melanjutkan perjalanan dengan penuh semangat.
Benar saja
dugaan mereka. Akhirnya tibalah mereka di sebuah dusun. Matahari pagi dengan
cerah dan riangnya menyinari sebuah warung makan di dusun itu. Dengan hati
berdebar Jenderal Kao mengajak anak-anaknya memasuki warung. Akan tetapi,
warung itu masih sunyi dan belum ada pengunjungnya, maka duduklah mereka dengan
hati kecewa. Jenderal Kao memesan bubur hangat tiga mangkok yang dilayani oleh
pemilik warung dengan ramahnya.
“Kami
mencari seorang teman, dia masih muda dan berpakaian putih. Apakah dia sudah
tiba di sini? Malam tadi atau tadi? Katanya dia ingin makan bubur panas,” kata
Jenderal Kao kepada pemilik warung secara sambil lalu.
Akan tetapi
sungguh tidak disangka, mendengar pertanyaan ini wajah Si pemilik warung
menjadi berseri. “Aih, tentu Tuan maksudkan adalah Suma-kongcu (Tuan Muda
Suma)! Memang dia sering makan di sini, dan baru saja dia pergi, setelah makan
bubur panas. Lihat, mangkoknya juga masih di meja itu, belum saya bersihkan!”
Ketiganya
cepat bangkit. “Di mana dia? Ke mana perginya?” Jenderal Kao bertanya, suaranya
keras, mengejutkan pemilik warung.
“Ehh, mana
saya tahu? Tadi saya lihat ke jurusan selatan sana.”
Tukang
warung itu menjadi bengong ketika tiga orang itu berkelebat dan lari pergi
meninggalkan warungnya.
“Ehh, ini
bubur pesanan...!”
Akan tetapi
Jenderal Kao dan anak-anaknya sudah pergi jauh dan pemilik warung itu hanya
menggelengkan kepala. “Suma-kongcu orang aneh, teman-temannya pun aneh bukan
main!”
Sementara
itu, sambil berjalan cepat bersama dua orang puteranya menuju ke selatan,
Jenderal Kao Liang berkata dengan suara desis terheran-heran, “Suma-kongcu!?
Tidak banyak orang di dunia ini yang ber-she Suma dan memiliki kepandaian
tinggi! Siapa lagi kalau bukan keluarga Suma, Majikan Pulau Es, Pendekar Super
Sakti? Dan setahuku, ada dua orang Suma-kongcu! Akan tetapi, mengapa menculik
keluarga kita? Bukankah kita bersahabat erat seperti keluarga sendiri dengan
mereka?” Jenderal Kao menduga duga dengan hati penasaran.
“Itu kan
dahulu, Ayah!” berkata Kok Tiong dengan suaranya mengandung kegemasan. “Dahulu
ketika Ayah masih terpakai oleh Kaisar. Akan tetapi sekarang? Keadaan Ayah
seperti juga disingkirkan oleh Kaisar, sungguh pun sebagai basa-basinya Ayah
disuruh istirahat dan dipensiun, diberi harta benda sebagai bekal. Lihat saja
betapa pasukan pengawal istana bermunculan di sini, seolah-olah menghadang
perjalanan kita. Siapa tahu, tidak mustahil kalau Kaisar mengkhawatirkan keadaan
Ayah, takut Ayah akan menimbulkan huru-hara. Menurut pendapat saya, agaknya
Kaisar memang berusaha untuk membasmi keluarga kita agar aman, karena Ayah
adalah seorang yang tidak boleh dipandang ringan. Hemmm, tidak salah lagi,
demikianlah keadaannya! Maka, Hok-ciangkun yang memimpin pasukan pengawal
menyamar sebagal petani, tentu diutus oleh Kaisar untuk membasmi kita. Akan
tetapi mereka tahu, keluarga kita bukanlah keluarga sembarangan. Apa lagi ada
Kok Cu koko, maka Kaisar tentu telah minta pertolongan keluarga Pulau Es,
keluarga Suma. Bukankah keluarga Suma masih termasuk keluarga Kaisar juga?
Bukankah Pendekar Super Sakti, Paman Suma Han adalah cucu mantu dari Kaisar?”
“Ehhhhh...?”
Jenderal Kao Liang berteriak dan menghentikan langkahnya.
Apa bila
dalam keadaan biasa, tentu kata-kata Kok Tiong itu akan cukup membuat dia turun
tangan menampar mulut puteranya yang berani berkata demikian, mencela kaisar,
menuduh yang bukan-bukan, bahkan berani mencurigai keluarga Pulau Es. Akan
tetapi dia tidak jadi menggerakkan tangan, sebab kata-kata itu membangkitkan
kecurigaannya pula dan dia termenung.
Suma-kongcu,
kata tukang warung itu. Tentu kalau bukan Suma Kian Lee, ya Suma Kian Bu,
seorang di antara dua putera Majikan Pulau Es.
Majikan
Pulau Es adalah Suma Han yang terkenal sebagai Pendekar Pulau Super Sakti bagi
yang memujanya dan Pendekar Siluman bagi yang membencinya, dan Suma Han ini
menikah dengan Puteri Nirahai sebagai isteri pertama, Puteri Nirahai cucu
kaisar! Ucapan Kok Tiong tadi walau pun agaknya tidak masuk di akal mengingat
akan watak keluarga Pulau Es yang sakti dan budiman, namun beralasan juga.
Jenderal ini
tahu pula bahwa di dalam pergolakan politik kerajaan, segala hal dapat saja
terjadi. Buktinya, dua orang Pangeran Liong yang menjadi adik-adik tiri kaisar
sendiri, memberontak oleh karena politik, karena pengejaran ambisi pribadi.
Siapa tahu, kaisar benar-benar menganggap dia adalah orang yang berbahaya dan
hendak menumpas keluarganya. Dan siapa tahu, mungkin pandangan putera Pendekar
Super Sakti yang sudah dipengaruhi politik juga berubah terhadap dirlnya!
“Akan
tetapi...!” bantahnya dengan suara meragu, bantahan yang timbul langsung dari
suara hatinya, “Andai kata demikian halnya, mengapa mesti mengambil cara
berbelit-belit? Andai kata benar Kaisar menghendaki nyawaku, cukup beliau
memerintahkan seorang prajurit untuk menangkap aku dan menjatuhkan hukuman
mati. Mengapa harus memakai cara penuh rahasia ini, dengan berbagai macam
muslihat? Aku siap untuk menyerahkan nyawaku kalau diminta oleh Kaisar, demi
negara!”
“Saya kira
persoalannya tidaklah semudah itu, Ayah. Kalau Kaisar melakukan hal itu
terhadap Ayah, tentu beliau akan banyak menerima celaan dan tentangan. Tentu
beliau tidak ingin perbuatan beliau itu diketahui oleh umum. Seluruh rakyat
jelata dan semua pembesar tahu belaka siapa Ayah, dan betapa besar jasa Ayah
terhadap negara dan bangsa. Agaknya Kaisar ingin agar kita sekeluarga
seolah-olah dibasmi oleh penyamun atau oleh golongan hltam dan hal ini pun
bukan tak boleh jadi, mengingat betapa Ayah sudah banyak melakukan pembersihan
terhadap mereka.”
Mendengar
ucapan puteranya yang kedua itu, Jenderal Kao Liang mengangguk-angguk dan
tiba-tiba hatinya berduka sekali. Dia mengepal tinjunya, giginya mengeluarkan
bunyi berkerotan. “Ini tentu hasil dari fitnah dan hasutan para pengkhianat
yang hendak melemahkan kerajaan! Sri Baginda Kaisar telah tertipu!”
Kok Tiong
menarik napas panjang. “Lihat, betapa patriotnya jiwa Ayah, bahkan di waktu
keluarga sendiri terancam bahaya maut, Ayah masih mementingkan kerajaan.”
Jenderal Kao
termenung, sadar akan kebenaran ucapan puteranya dan dia teringat lagi akan
keadaan keluarganya. “Akan tetapi kalau memang benar dugaanmu itu, semoga saja,
kuminta kepada Thian, Kaisar tidak sampai tertipu sedalam itu. Andai kata benar
demikian, mengapa keluarga kita tidak dibunuh saja? Kenapa diculik mereka itu?
Dan di mana adanya ibumu, isterimu, anak-anakmu?”
“Itulah hal
yang sangat membingungkan, Ayah. Menghilangnya kepala pengawal dan mayatnya pun
tidak kita lihat, lalu disusul pertempuran di luar hutan antara orang-orang
yang tidak kita kenal, yang kabur semua ketika kita dekati. Kemudian bentrokan
antara tiga kekuatan di dalam celah itu, antara pasukan kita, wanita-wanita
berlencana dan bercacah lukisan garuda serta orang-orangnya Hok-ciangkun.
Mereka itu mati semua, tiga rombongan yang saling bertempur itu, akan tetapi
keluarga kita dapat melarikan diri. Agaknya tak mungkin pula kalau dibawa oleh
sisa orang-orangnya Hok-ciangkun, sebab kalau benar dugaan kita, Hok-ciangkun
tentu bertugas untuk membasmi dan membunuh keluarga kita. Dan kalau harus
diculik dulu, tentu terlalu merepotkan. Lagi pula, kalau dibunuh di tempat itu,
malah menimbulkan kesan seolah-olah dibasmi penyamun. Lalu ke mana mereka itu? Siapa
yang menculik mereka, kalau memang benar diculik? Dan mengapa pula? Benar-benar
saya menjadi bingung, Ayah.”
“Agaknya
oleh orang-orang yang bercacah lukisan garuda di tangannya itu. Kita belum tahu
jumlah dan kekuatan mereka, belum mengenal pula siapa mereka,” kata Kok Han.
“Kurasa
tidak mungkin, Han-te. Seperti kau lihat, Suma-kongcu yang lihai itu masih ada.
Kalau dia, seperti kurasa begitu, ditugaskan oleh Kaisar untuk membantu pasukan
Hok-ciangkun, melihat keluarga kita dibawa oleh wanita-wanita garuda itu, tentu
dia akan turun tangan, tidak mungkin dia diam saja tugas Hokciangkun digagalkan
oleh wanita-wanita garuda itu. Kau lihat juga, dialah satu-satunya orang yang
masih hidup di tempat tadi. Agaknya rombongan para wanita garuda itu dibunuhnya
pula semua.”
“Akan
tetapi, kalau benar begitu ke mana perginya ibu dan lain-lain? Kenapa dia tidak
membunuh kita juga setelah dia melihat kita bertiga tadi? Aihhh, bingung aku
setelah mendengar dugaan-dugaanmu Koko.!”
“Sudahlah,”
Jenderal Kao menyela. “Tidak peduli itu semua, yang penting, kita harus dapat
membekuk pemuda gila itu dan semuanya akan menjadi terang. Mari kita kejar dan
cari dia!”
Kembali tiga
orang yang sedang dicekam kegelisahan karena kehilangan keluarga itu
melanjutkan pencarian mereka, keluar dari dusun menuju ke selatan. Mereka tiba
di tepi sebatang sungai yang cukup besar yang menjadl cabang Sungai Huang-ho.
Terhalang oleh sungai ini, Jenderal Kao termangu-mangu. Benarkah pengejaran
mereka? Apakah Suma-kongcu lewat ke sini?
Selagi dia
bingung dan tidak tahu harus melanjutkan pengejaran ke mana, tiba-tiba mereka
melihat sebuah perahu meluncur di tengah sungai dan dengan cepatnya perahu itu
meluncur ke pinggir, ke arah di mana mereka berdiri. Seorang bertubuh tinggi
kurus mendayung perahu itu dan tenaganya terlihat benar-benar luar biasa karena
kekuatan mendayungnya mampu melawan arus sungai yang cukup kencang di bagian
yang menikung itu.

Perahu itu
bercat hitam, di ujungnya berkibar sebuah bendera kecil hitam pula. Dengan
tangkas, orang tinggi kurus itu melemparkan sehelai tali yang dengan tepatnya
mengait akar pohon di tepi sungai, kemudian, dalam jarak yang masih ada empat tombak
jauhnya, sekali menggerakkan kakinya orang tinggi kurus itu telah meloncat ke
darat. Jenderal Kao Liang terkejut dan diam-diam dia memuji. Ginkang yang luar
biasa!
Namun,
sebelum Si Tinggi Kurus itu mengeluarkan suara, dan dia sedang memandang kepada
Jenderal Kao bertiga sambil menyeringai, dari dalam perahu terdengar suara yang
tinggi nyaring melengking, “Inikah ikan-ikan itu, Hoa-gu? Mana yang lain-lain?
Kelihatan ikan-ikan ini sudah kehilangan sisik-sisik dan sirip-siripnya, untuk
apa lagi? Tidak ada gunanya. Mungkin kita sudah didahului nelayan-nelayan
lain!” Ucapan itu seolah-olah percakapan nelayan, akan tetapi Jenderal Kao
Liang yang memliiki banyak pengalaman itu maklum bahwa maksudnya bukan
demikian.
Pembicara
itu menganggap mereka bertiga seperti ikan-ikan yang sudah kehilangan sisiknya,
artinya orang-orang yang sudah tidak mempunyai apa-apa yang berharga. Dan
sebutan terhadap Si Tinggi Kurus itu pun aneh. Hoa-gu, berarti Kerbau Belang
dan Si Tinggi Kurus itu kulit muka dan lehernya belang-belang, agaknya
menderita penyakit panu yang sudah menahun dan sudah tidak dapat disembuhkan
lagi. Tetapi, biasanya orang-orang yang menggunakan julukan aneh-aneh memiliki
kepandaian yang aneh pula, apa lagi tadi Si Tinggi Kurus sudah
mendemonstrasikan ginkang yang amat hebat. Maka dia berhati-hati dan memberi
isyarat kepada dua orang puteranya agar berhati-hati.
“Hemmm, tak
salah lagi, agaknya wanita itu yang sudah mendahului kita, Khiu-pangcu!” kata
Si Tinggi Kurus sambil menoleh ke arah perahu. Jenderal Kao semakin waspada.
Orang di dalam perahu itu dipanggil pangcu, tentu dia seorang ketua dari
perkumpulan golongan hitam.
“Ahhh, itu
salahku sendiri, Hoa-gu-ji! Kenapa aku tidak becus mengalahkan perempuan itu
kemarin. Tapi lebih baik kau tanyakan mereka, ke mana larinya wanita-wanita itu
agar kita dapat mengejar dan mencegat mereka sebelum mereka kembali ke sarang
mereka!”
Tiba-tiba
ada bayangan berkelebat. Jenderal Kao Liang menjadi kaget ketika tahu-tahu
bayangan yang mencelat dari dalam perahu itu telah berdiri di depannya dan
ternyata orangnya tidak seberapa, hanya seorang kakek tua yang bertubuh pendek
kecil dan kelihatan lemah. Agaknya dengan sekali tamparan tangannya yang kuat,
tubuh si kecil tua itu akan remuk! Akan tetapi tentu saja Jenderal Kao tidak
setolol itu dan dia tahu bahwa si kecil ini malah lebih berbahaya dari pada Si
Tinggi Kurus!
Jenderal Kao
pura-pura tidak mengerti akan arti percakapan mereka tadi, maka dia pun
mengangkat tangan memberi hormat sambil berkata, “Harap maafkan, kami ingin
sekali bertanya kepada Ji-wi, apakah Ji-wi ada melihat seorang pemuda
berpakaian putih lewat di sini? Kami sedang mencarinya.”
Kakek kecil
itu tertawa dan melangkah maju. “He-he, kami tidak melihat orang lain di sini,
dan bukankah engkau ini Jenderal Kao Liang yang sudah ditendang keluar dari
kota raja? He-he-he!” Kata-kata dan sikap kakek ini menghina sekali.
Kok Han
telah melangkah maju hendak mendamprat, akan tetapi ayahnya melarangnya dan
Jenderal Kao Liang dengan tenang menjawab, “Aku adalah Kao Liang, tepat seperti
dugaanmu, sobat. Siapakah engkau, kudengar kau disebut pangcu. Engkau ketua
dari perkumpulan apakah?”
“He-he-he,
aku orang she Khiu hanya ketua yang kedua, mewakili Twako (Kakak) untuk
mengambil hartamu yang kau bawa dari kota raja. He-he-he, jenderal bekas, lekas
kau katakan, di mana hartamu itu dan siapa yang membawanya?”
“Iblis hina
dan busuk!” Kok Han tidak dapat menahan kemarahannya lagi mendengar ayahnya
dihina seperti itu dan dia sudah menerjang ke depan dengan pedangnya, menusuk
kakek kecil itu dengan jurus maut Tit-ci-thian-lam (Menuding ke Arah Selatan).
Pedangnya langsung meluncur ke arah ulu hati kakek itu dengan kecepatan kilat
hingga nampak sinar berkelebat menyilaukan mata.
“He-he-he,
bocah, kau boleh juga!” Kakek kecil itu terkekeh, miringkan tubuhnya dan jari
tangannya menyentil.
“Tringgggg...!”
“Ahhhhh!”
Kao Kok Han berseru kaget dan cepat dia meloncat ke belakang mengikuti ke mana
pedangnya terpental karena pedang yang kena disentil oleh kuku jari tangan
kakek itu hampir saja terlepas dari pegangannya.
“Iblis tua
bangka!” teriak Kok Tiong yang menjadi marah dan orang muda ini pun telah
menyerang dengan pedangnya dengan hebat.
Namun dengan
mudahnya kakek kecil itu mengelak, kemudian kakinya yang pendek kecil itu
mengelak, hampir saja mencium lambung Kok Tiong kalau saja dari samping
Jenderal Kao Liang tidak cepat menangkis dengan tangan kirinya.
“Dukkkkk!”
Jenderal Kao
Liang merasa betapa lengannya yang bertemu dengan kaki itu merasa nyeri dan
kesemutan, maka dia terkejut sekali, maklum bahwa kakek itu benar-benar amat
lihai.
“He-he-he!
Kiranya bekas Jenderal Kao masih belum kehilangan kepandaiannya! Akan tetapi
seorang jenderal tanpa pasukan, mau bisa apakah?” Kakek kecil itu mengejek dan
kini Jenderal Kao Liang menjadi marah sekali.
“Engkau
tentu seorang pangcu dari golongan perampok busuk!” teriaknya. “Biar pun aku
sekarang sudah tidak memegang jabatan apa-apa, sudah menjadi kewajibanku untuk
membebaskan rakyat dari gangguanmu!”
Jenderal itu
sudah meloloskan pedangnya yang panjang, kemudian tanpa banyak cakap lagi dia
menerjang dengan gerakan yang amat kuat dan cepat. Kakek kecil ini pun tidak
berani memandang rendah, cepat dia mengelak dan balas menyerang, akan tetapi
dia masih saja terkekeh dan menghadapi jenderal tua ini dengan tangan kosong
belaka.
Kok Tiong
dan Kok Han menerjang maju, akan tetapi mereka lalu dihadang oleh kakek tinggi
kurus yang sudah memegang sebatang dayung. Melihat ini, dua orang muda itu
cepat memutar pedang mereka dan menyerang. Si Tinggi Kurus memutar dayungnya
pula menangkis.
“Cringgggg!
Tranggggg...!”
Bunga api
berpijar dan dua orang muda itu maklum bahwa selain kakek tinggi kurus ini
bertenaga besar sekali, juga dayungnya itu ternyata bukan dayung kayu seperti
biasa, melainkan dayung baja yang amat kuat pula.
Terjadilah
pertempuran hebat dan seru di tepi sungai itu. Jenderal Kao Liang memang
seorang yang memiliki tenaga besar sekali, akan tetapi ilmu silatnya biar pun
cukup tinggi, masih tidak selihai ilmu perangnya. Dia memutar pedangnya dengan
cepat dan kuat sampai terdengar suara berdesingan dan pedang itu lenyap
bentuknya, berubah menjadi sinar yang bergulung-gulung.
Tapi
ternyata kakek kecil itu memiliki ginkang yang luar biasa. Tubuhnya
berkelebatan, kadang-kadang seperti lenyap dari pandangan mata Jenderal Kao
sehingga membuat jenderal tua ini kaget dan juga bingung. Betapa pun juga,
kakek kecil yang memandang rendah dan bersikap sombong itu, yang menghadapi
Jenderal Kao Liang hanya dengan tangan kosong belaka, juga tidak mudah
merobohkan Sang Jenderal yang tubuhnya terlindung oleh sinar pedangnya.
Lima puluh
jurus telah lewat dan Jenderal Kao Liang masih terus menyerang lawannya dengan
kemarahan yang berkobar-kobar. Ia maklum bahwa lawannya ini sedikit banyak tahu
akan semua peristiwa yang menimpa keluarganya, maka ingin dia merobohkan lawan
ini, kalau bisa tidak sampai membunuhnya agar nantinya dia dapat memaksanya
mengaku. Akan tetapi, tubuh lawan ini terlalu cepat bergerak.
“He-he-he,
jenderal yang tidak terpakai! Kau masih berani melawan terus?” Kakek kecil itu
mengejek dan kini dia berdiri dekat sekali dengan tepi sungai, membelakangi
sungai.
Melihat ini,
Jenderal Kao Liang yang menjadi marah sekali melihat kesempatan baik. Lawannya
sudah berada di tepi sungai, tidak ada jalan untuk mengelak lagi, maka dia lalu
mengeluarkan gerengan seperti seekor harimau, pedangnya menusuk dengan kuat
sekali ke arah dada lawan itu.
Akan tetapi,
mendadak Si Kakek Kecil itu lenyap. Sedemikian cepat gerakannya ketika
menjatuhkan diri sehingga tidak kelihatan oleh Jenderal Kao. Tahu-tahu kakek
kecil itu dari bawah menangkap lengan tangan Jenderal Kao yang memegang pedang
dan secepat itu pula kakinya dua kali bergerak menendang ke arah lutut Jenderal
Kao.
Jenderal tua
ini berseru kaget, kedua kakinya terasa lumpuh dan sebelum dia tahu apa yang
barusan terjadi, kakek kecil itu telah menyentak tangannya, menariknya ke atas
membuatnya terlempar ke atas, melampaui kepala kakek kecil itu dan terlempar ke
tengah sungai!
“Byuuuuurrr...!”
Tubuh yang
tinggi besar itu menimpa air yang muncrat tinggi. Jenderal yang kehilangan
pedangnya itu mencoba untuk berenang, tetapi alangkah kagetnya ketika dia
mendapat kenyataan betapa dua buah kakinya belum dapat digerakkan, masih
setengah lumpuh oleh totokan ujung sepatu kakek kecil itu. Terpaksa dia hanya
menggunakan kedua tangannya untuk digerakkan menahan agar tubuhnya tidak
tenggelam dan kini tubuhnya dibawa hanyut, terseret oleh arus sungai yang kuat.
“Ayahhhhh...!”
Kok Tiong berseru kaget sekali. Akan tetapi dia dan adiknya masih belum mampu
mengalahkan lawan yang memegang dayung, bahkan mereka terancam oleh sinar
dayung yang berkelebatan.
Kiranya
orang yang berjulukan Kerbau Belang ini kuat sekali, dan kadang-kadang dari
tenggorokannya keluar suara seperti seekor kerbau marah dan tiap kali terdengar
suara ini, tenaga yang menggerakkan dayungnya menjadi berlipat ganda kuatnya,
membuat dua orang saudara Kao ltu kewalahan. Namun dengan kerja sama yang rapi,
mereka berdua masih dapat saling melindungi dan menahan amukan kakek tinggi
kurus yang memutar dayungnya secara istimewa.
“He-he-he,
Hoa-gu-ji, engkau benar-benar mengecewakan. Masa menghadapi dua ekor ikan kecil
saja masih belum mampu menangkapnya?” Kakek kecil yang telah berhasil
melontarkan tubuh Jenderal Kao Liang ke tengah sungai itu tertawa, lantas
tubuhnya berkelebat dan dengan cepat sekali, menggunakan kesempatan selagi dua
orang saudara Kao itu menangkis dayung dengan pedang mereka, dia menotok jalan
darah kin-ceng-hiat di pundak kiri mereka sehingga tanpa dapat dihindarkan
lagi, Kok Tiong dan Kok Han mengeluh dan roboh lemas.
Hoa-gu-ji
menggerakkan dayungnya ke arah kepala mereka.
“Wuuuuutttttt...
plakkk!”
Dayung itu
terpental, bertemu dengan telapak tangan Si kakek kecil. “Gilakah kau,
Hoa-gu-ji? Kita membutuhkan mereka, mengapa hendak kau bunuh?”
Hoa-gu-ji
cemberut dan dia teringat, maka cepat dia mengambil tali dari perahu dan
mengikat kedua tangan Kok Tiong dan Kok Han. Dia tadi marah sekali karena
merasa malu disebabkan dia tidak mampu merobohkan dua orang musuh itu, sehingga
dalam kemarahannya hampir dia membunuh mereka.
“Maafkan,
Pangcu, barusan hampir saja saya lupa,” katanya setelah mengikat mereka dan
melemparkan tubuh mereka ke atas perahu.
Tak lama
kemudian, perahu yang kini membawa dua orang tawanan itu sudah meluncur lagi ke
tengah sungai mengikuti arus. “Hayo katakan, di mana adanya harta benda Ayah
kalian! Kalau tidak mau mengaku, terpaksa kalian akan kami jadikan makanan ikan
di sungai ini!” Kakek kecil itu membentak.
“Persetan
dengan kamu, iblis tua bangka!” bentak Kok Han dengan marah, sedikit pun juga
tidak takut atau jeri menghadapi ancaman kakek kecil itu.
Akan tetapi,
Kao Kok Tiong yang lebih cerdik tidak ingin mati konyol begitu saja. Tidak,
mereka berdua harus hidup, apa lagi sekarang setelah ayah mereka pun lenyap,
hanyut ditelan air sungai. Mereka harus mencari keluarga mereka lebih dahulu
dan tidak boleh mati begitu saja.
“Pangcu,
engkau telah keliru menyerang orang,” katanya tenang. “Ayah kami memang membawa
harta benda, akan tetapi kemarin kami telah diserbu orang-orang yang tidak kami
ketahui siapa, keluarga kami ditawan dan harta benda itu pun ikut pula terbawa.
Kami bertiga sedang mencari mereka ketika bertemu dengan engkau di tepi
sungai.”
“Wah,
celaka, benar-benar ada orang sudah mendahului kita, Hoa-gu-ji. Orang muda,
ceritakan semua dengan jelas.”
Kao Kok
Tiong lalu menceritakan semua peristiwa yang menimpanya, tentu saja tanpa
menceritakan dugaannya tentang utusan kaisar dan tentang keluarga Suma. Kakek
kecil itu mendengarkan dengan alis berkerut dan dia menarik napas panjang.
“Celaka,
siapa lagi kalau bukan perempuan-perempuan iblis garuda hitam itu? Hoa-gu-ji,
hayo cepat kita ke hilir, kita harus dapat mencari mereka!”
Perahu
meluncur makin cepat karena kini selain digerakkan oleh kekuatan arus air, juga
dlbantu oleh kekuatan dayung yang digerakkan oleh Hoa-gu-ji. Dua orang saudara
Kao yang rebah di atas perahu dengan kedua tangan terbelenggu merasa miris juga
melihat perahu meluncur demikian cepat, apa lagi karena mereka memang tidak
biasa bermain di air. Diam-diam mereka mengkhawatirkan keadaan ayah mereka yang
tadi mereka lihat terlempar ke air dalam keadaan masih hidup dan berusaha
berenang, akan tetapi terseret oleh arus air.
Khiu-pangcu
dan Hoa-gu-jin kini kelihatan bersikap waspada dan siap siaga di atas perahu
ketika perahu itu melewati sebuah hutan yang liar dan lebat. Mendadak tampak
sinar berkelebat diikuti suara berdesing dan tahu-tahu sebatang anak panah
menancap di kepala perahu. Anak panah itu ditempeli sebuah lencana perak
bergambar garuda hitam dan di bawahnya terdapat dua buah huruf berbunyi SUI TIN
(Pasukan Air).
Melihat ini
dari tempat mereka rebah, Kok Tiong dan Kok Han lalu teringat akan len-cana
yang mereka dapatkan di dekat mayat wanita berpakaian hitam karena memang sama
gambar dan bentuknya, hanya saja lencana yang mereka temukan itu memakai huruf
Pasukan Kayu, sedangkan yang menempel di anak panah ini huruf-hurufnya berbunyi
Pasukan Air.
Khiu-pangcu
terkekeh, lalu mencabut anak panah itu dan melemparkannya ke sungai.
“Singgggg...!”
Cepat sekali
anak panah itu meluncur seperti terlepas dari gendewa dan anak panah itu
menancap di batu karang di tepi sungai, masuk sampai sepertiganya ke dalam batu
karang itu. Hal ini saja membuktikan betapa hebat sinkang dari kakek kecil itu,
kekuatan lemparannya tadi jauh lebih kuat dari pada kalau anak panah itu
meluncur dari sebatang gendewa!
Kini kakek
kecil ltu bangkit berdiri di atas kepala perahu, kakinya terpentang lebar dan
kedua lengannya bertolak pinggang, lalu terdengar suaranya yang tinggi
melengking nyaring, bergema di dalam hutan di seberang sungai, “Haiiiii...!
Kenapa hanya pimpinan Pasukan Air saja yang keluar menyambutku? Mana keempat pasukan
yang lain? Hayo keluarlah kalian menyambut Khiu-pangcu yang sudah datang ke
sini! Malam kemarin kepala Pasukan Kayu telah berani menghina seorang anggota
kami, hayo suruh pula dia keluar kalau berani!”
Siapakah
pelempar anak panah yang menancap di perahu itu? Dan siapakah mereka yang
memakai lencana garuda hitam itu? Mereka itu adalah anggota-anggota dari
perkumpulan Hek-eng-pang (Perkumpulan Garuda Hitam) yang berpusat di puncak
Gunung Cemara. Perkumpulan ini terdiri dari wanita-wanita yang rata-rata mempunyai
kepandaian silat yang tinggi, dan pada tangan mereka semua dicacah gambar
burung garuda. Di antara mereka dibagi menjadi pasukan-pasukan yang diberi nama
Pasukan Api, Pasukan Air, Pasukan Tanah, Pasukan Besi dan Pasukan Kayu,
masing-masing memiliki keistimewaan sendiri.
Tiba-tiba
terdengar suara nyaring merdu di seberang sungai, “Kakek sombong, jangan
takabur, kau!” Dan muncullah seorang wanita cantik berusia kurang lebih tiga
puluh tahun dari balik semak-semak, seorang wanita yang pakaiannya serba hitam
dan yang memegang sepasang pedang. “Tidak perlu saudara-saudara kami maju,
cukup kami saja yang akan melawanmu dan akan membunuhmu, kecuali kalau kau mau
serahkan tawananmu itu kepadaku, kami akan membebaskan engkau!”
“He-he-he-he,
perempuan cantik suaranya nyaring!” Kakek kecil itu tertawa dan perahu lalu
didayungnya ke pinggir. Kakek tinggi kurus itu mengikat perahu di tepi,
kemudian bersama Khiu-pangcu dia lalu meloncat ke darat, dengan sikap angkuh
dan tersenyum simpul.
“He-heh-heh,
Nona cantik. Engkau tentu kepala dari Pasukan Air, bukan? Percuma saja engkau
membahayakan kulitmu yang halus, lebih baik suruhlah semua pasukan maju
mengeroyok aku.”
Wanita itu
menudingkan pedang kirinya ke arah muka kakek kecil, sedangkan pedang kanannya
melintang di depan dada, kemudian dia berkata, “Khiu-pangcu, jangan kau
sombong. Saat ini aku Kim-hi Niocu (Nona Ikan Emas) yang bertugas dan berjaga
di sini, maka cepatlah kau serahkan tawananmu itu kepadaku sebelum terpaksa aku
turun tangan menggunakan kekerasan.”
“Ha-ha-he-heh,
sungguh gagah! Mari, mari, Nona manis, mari kita main-main sebentar, hendak
kulihat sampai di mana kehebatanmu!”
Khiu-pangcu
lalu meraba pinggangnya. Tampak sinar hitam berkelebat ketika dia telah
meloloskan sabuk atau ikat pinggangnya yang panjang dan ternyata dapat
digunakan sebagai senjata cambuk yang ada gagangnya dan yang ujungnya
bercabang-cabang itu.
“Kau bosan
hidup!” Wanita cantik yang berjuluk Nona Ikan Emas itu membentak.
Pedangnya
berkelebatan dan dalam gebrakan pertama, sepasang pedangnya langsung
menyambar-nyambar menjadi dua gulungan sinar yang menyilaukan mata. Gerakan
nona ini cepat sekali dan agaknya dia memiliki ginkang yang amat hebat sehingga
dia menjadi lawan yang sama cepatnya dengan kakek kecil itu. Tetapi Khiu-pangcu
tertawa mengejek dan begitu dia menggerakkan cambuknya, terdengar suara
bersiutan yang menyakitkan telinga, diselingi ledakan-ledakan kecil. Setiap
ledakan itu mengakibatkan mengepulnya sedikit asap putih, tanda bahwa gerakan
cambuk itu me-mang kuat sekali.
Kim-hi Niocu
menyerang dengan ganas, sepasang pedangnya merupakan sepasang cengkeraman maut
yang mengintai nyawa. Akan tetapi dua gulungan sinar pedang itu selalu
terbendung dan terpental kalau bertemu dengan lingkaran hitam dari cambuk di
tangan Khiu-pangcu, bahkan sering kali terdengar ledakan-ledakan kecil di atas
kepala si Nona Ikan Emas, membuat wanita itu kadang-kadang menjerit kaget dan
disusul suara tertawa mengejek dari Khiu-pangcu.
Tiba-tiba
Kim-hi Niocu mengeluarkan suara bersuit dan muncullah lima orang wanita anak
buahnya yang semua memegang pedang di tangan. Akan tetapi, kini Hoa-gu-ji
tertawa dan menghadang mereka dengan dayungnya yang panjang, dan begitu lima
orang wanita itu maju menyerbu, dayungnya diputar dan lima orang wanita itu
tertahan gerakannya tidak dapat membantu Kim-hi Niocu yang terpaksa melayani
sambaran-sambaran cambuk yang amat lihai dari Khui-pangcu itu.
Tak lama
kemudian, ketika Kim-hi Niocu sudah terdesak hebat, demikian pula lima orang
anak buahnya, terdengar suitan dari jauh dan muncullah seorang wanita lain yang
usianya juga tiga puluh tahunan, yang cantik tidak kalah dengan Kim-hi Niocu,
bahkan kulitnya lebih putih sehingga pakaian hitam itu membuat wajahnya putih
halus seperti salju. Wanita ini bersenjatakan sebatang golok kecil lebar yang
mengeluarkan sinar gemerlapan. Inilah kepala dari Pasukan Tanah.
“Adik
Liong-li, bantulah aku!” teriak kepala Pasukan Air dengan girang.
Tanpa
diminta untuk kedua kalinya, wanita cantik yang disebut Liong-li itu segera
menerjang maju dengan goloknya membantu Kim-hi Niocu mengeroyok Khiu-pangcu
sambil berkata, “Kiranya Khiu-pangcu, Si tua bangka keparat!”
“He-he,
cantik... cantik...! Gunung Cemara sarang bidadari, sebetulnya menjadi sumber
kenikmatan dan kesenangan, sayang malah menjadi sumber kejahatan dan kekacauan!
He-he-he!” Khiu-pangcu masih sempat tertawa ketika dia mengelak dari sambaran
sinar kilat dari golok di tangan Liong-li.
Pertempuran
menjadi makin hebat, tetapi ternyata bahwa tingkat kepandaian dua orang wanita
itu masih kalah jauh jika dibandingkan dengan tingkat kepandaian Khiu-pangcu.
Lewat lima puluh jurus, sinar hitam dari cambuknya terus mengurung dan
menghimpit, membuat dua orang wanita itu mandi keringat dan tak lama kemudian,
Khiu-pangcu berhasil merobohkan mereka dengan totokan-totokannya yang lihai. Si
Tinggi Kurus Hoa-gu-ji juga berhasil merobohkan lima orang pengeroyoknya yang
cepat meloncat ke air, menyelam dan lenyap.
“He-he-he,
percayakah kalian sekarang?” Khiu-pangcu tertawa mengejek, menyimpan sabuknya
dan memandang dua orang wanita yang roboh terlentang dan tidak dapat bergerak
karena tubuhnya lumpuh, hanya mata mereka memandang dengan mendelik marah kepada
kakek kecil itu.
“Seharusnya
kalian mengajak semua saudara kalian ke sini baru bisa agak seimbang melawan
aku. Nah, sekarang katakan, di mana adanya harta rampokan milik keluarga
Jenderal Kao itu? Katakan sebenarnya, kalau tidak kalian akan aku bunuh, kemudian
akan kutantang kembali ketua kalian biar peristiwa dua tahun yang lalu terulang
lagi. Sayang, ketika itu muncul Pendekar Siluman Kecil sehingga pertempuran
terhenti dan nyawa Perkumpulan Hek-eng-pang selamat.”
“Bedebah tua
bangka! Siapa takut mati? Mau bunuh lekaslah bunuh, akan ada teman-teman kami
yang membalaskan kematian kami, yang akan melumat perkumpulanmu dan meratakan
sarang kalian dengan bumi. Hayo, bunuhlah!” Kim-hi Niocu menantang.
“Tua bangka
gila, namaku bukan lagi Liong-li jika aku takut mampus!” Kepala Pasukan Tanah
juga menantang dengan pandang mata menghina.
Khiu-pangcu
menggaruk-garuk kepalanya. “Wah, wah, hebat sekali. Hoa-gu-ji, jikalau anak
buah kita tidak setabah mereka ini, sungguh kita harus merasa malu.”
“Ji-pangcu
(Ketua Kedua), boleh jadi mereka tak takut mati, akan tetapi apakah Pangcu lupa
bahwa ada sesuatu yang lebih ditakuti wanita dari pada maut?” Hoa-gu-ji berkata
sambil tertawa menyeringai, memperlihatkan gigi yang sudah keropok dan kuning
dekil.
“Hah?!
Ohhh... he-he-heh... kau memang amat cerdik!” Khiu-pangcu berkata dan sambil
tertawa-tawa.
Dia lalu
segera berjongkok mendekati tubuh Kim-hi Niocu, menggunakan kedua tangan
menggerayangi tubuh wanita cantik itu sambil mulai melepas-lepaskan pakaiannya.
Sedangkan Hoa-gu-ji dengan lagak menjemukan juga menggerayangi tubuh Liong-li
dan melepaskan kancing-kancing baju wanita cantik itu.
Kim-hi Niocu
dan Liong-li menjerit.
“Tua bangka!
Apa yang kau lakukan ini? Lepaskan aku!” Kim-hi Niocu berteriak.
“Keparat tak
tahu malu, lepaskan aku!” Liong-li juga menjerit-jerit, akan tetapi karena tak
dapat bergerak, maka dia hanya terbelalak penuh kengerian.
“He-he,
hendak kulihat, kau lebih suka dicemarkan atau berterus terang!” Khiu-pangcu
mengejek dan sudah mulai menanggalkan pakaian luar Kim-hi Niocu sehingga mulai
nampaklah bentuk tubuhnya yang padat membayang di balik pakaian dalamnya yang
tipis, dan nampak pula kulitnya yang putih halus dan menggairahkan itu.
“Jangan...!
Kami... kami akan berterus terang...” Akhirnya Kim-hi Niocu berteriak dengan
suara lemah, tanda bahwa dia tidak punya semangat untuk melawan lagi.
Menghadapi kematian dia masih tabah, akan tetapi kalau harus dihina lebih dulu
oleh kakek yang menjijikkan ini, benar-benar hebat dan dia tidak sanggup menghadapinya.
“Akan tetapi terlebih dahulu kau harus berjanji demi kedudukanmu bahwa kalau
kami mengaku terus terang, kau tidak akan mencemarkan kehormatan kami.”
Khiu-pangcu
bangkit berdiri. “He-he-heh-heh... siapa sih yang masih haus akan tubuh
perempuan muda? Aku sudah muak!”
“Tapi...
dia... dia ini...!” Liong-li menjerit.
Hoa-gu-ji
yang agaknya sudah bangkit birahinya itu sudah mulai meraba celana dalam
berwarna hitam yang amat kontras dengan paha yang putih mulus dari Liong-li.
“Hoa-gu-ji,
kau benar-benar seperti kerbau! Hayo mundur!” Khiu-pangcu membentak dan kakek
tinggi kurus itu tersentak kaget, lalu bangkit dan mundur dengan muka merah
menarik napas menahan nafsu birahinya yang berkobar dan jelas dia amat kecewa.
“Nah, ceritakanlah!”
Khiu-pangcu menghardik kepada Kim-hi Niocu.
“Harap...
bebaskan dulu kami... bicara begini tidak enak...”
“Huhhh,
dasar perempuan. Cerewet amat!” Khiu-pangcu mengomel, akan tetapi tetap saja
tangannya bergerak dua kali.
Begitu kedua
orang wanita muda cantik itu dapat bergerak, mereka lalu cepat-cepat memakai
kembali pakaian luar mereka yang sudah ditanggalkan oleh dua orang kakek itu.
Setelah itu barulah Kim-hi Niocu bercerita dengan suara lirih, karena
sesungguhnya dia terpaksa mengalah.
“Kami belum
mendapatkan harta Jenderal Kao. Kami telah bertemu dan bentrok dengan pasukan
asing yang lihai, bahkan adik kami kepala Pasukan Kayu telah tewas ketika
bertanding dengan pemimpin pasukan asing itu. Karena kami belum mendapatkan
harta itu, maka kami terus mengejar Jenderal Kao dan dua orang pu-teranya yang
kau tawan itu untuk menanyakan di mana adanya harta benda mereka yang tadinya
mereka bawa dalam rombongan mereka dari kota raja.”
“Aih,
begitukah? Kalau begitu kita semua telah dipermainkan oleh keluarga Kao itu!”
Khiu-pangcu berkata marah. “Hoa-gu-ji, seret mereka keluar dari perahu dan bawa
ke sini!”
Hoa-gu-ji
yang masih kecewa itu kini dengan kasar menyeret tubuh Kok Tiong dan Kok Han
keluar dari perahu dan melemparkan tubuh mereka yang terbelenggu itu ke atas
tanah di depan kaki Khiu-pangcu. Dua orang muda itu menggulingkan tubuh agar
terlentang dan dapat melihat orang-orang yang menawannya. Mereka melihat dua
orang wanita cantik itu dan menduga-duga siapa adanya mereka.
“Hayo
katakanlah yang sebenarnya, di mana kalian menyembunyikan harta Ayah kalian
yang tadinya kalian bawa dalam rombongan itu! Kalau tidak, jangan mengatakan
Khiu-pangcu berlaku kejam, kalian tentu akan kusiksa habis-habisan di sini!”
Khiu-pangcu membentak marah karena dia merasa dipermainkan.
Kok Han
memandang dengan mata melotot. “Sudah kukatakan padamu, terserah kamu percaya
atau tidak!” Pemuda ini membentak juga. “Mau siksa, mau bunuh, siapa sih yang
takut?”
Kok Tiong
cepat menyambung, “Pangcu, kami adalah putera-putera seorang besar dan keluarga
kami semenjak puluhan tahun sudah terkenal sebagai keluarga pahlawan yang
pantang untuk membohong, apa lagi memberatkan harta benda! Sudah kami katakan
bahwa kami tidak tahu siapa yang merampas harta kami, dan siapa pula yang menculik
keluarga kami.”
“Hemmm,
agaknya kalian perlu diberi rasa sedikit. Bocah-bocah keras kepala, biar pun
kalian putera-putera bekas Jenderal Kao Liang, tetapi agaknya kalian belum
mengenal siapa aku, ya? Dan kalian belum mendengar tentang senjata rahasiaku
Touw-kut-tok-ciam (Jarum Beracun Penembus Tulang)! Apakah kalian mau
merasakannya?”
“Khiu-pangcu,
kami kira mereka ini tidak berbohong. Perlu apa kau menggunakan jarum beracunmu
yang mengerikan itu?” Tiba-tiba Kim-hi Niocu mencela kakek itu.
“Ha-ha-he-he,
agaknya kau sayang melihat ketampanan mereka, ya? Hoh-ho-ho, biar kalian juga
melihat betapa hebatnya jarum Touw-kut-tok-ciam dari Khiu-pangcu, agar lain
kali kalian bocah-bocah tidak berani kurang ajar melawan aku!”
Akan tetapi
tiba-tiba kakek ini tidak melanjutkan tangannya yang hendak merogoh saku untuk
mengeluarkan jarum beracunnya, sebab pada saat itu pula terdengar suara orang
bersenandung, Ialu lewatlah seorang pemuda berpakaian abu-abu di tempat itu.
Dua orang putera Jenderal Kao yang terlentang melihat pemuda ini dan hampir
saja mereka mengira bahwa yang lewat itu adalah Suma-kongcu yang mereka
cari-cari, karena suara itu hampir sama dengan suara senandung yang mereka
dengar di atas tebing kemarin dulu. Akan tetapi orang ini pakaiannya abu-abu,
tidak putih-putih, dan ketika mereka berdua memandang wajah itu, mereka tahu
bahwa orang ini bukanlah Suma Kian Lee atau Suma Kian Bu yang pernah mereka
lihat dan mereka kenal.
Pemuda
berpakaian abu-abu itu menghentikan senandungnya dan bahkan berhenti melangkah,
lalu menghampiri mereka dengan wajah heran. “Ehh, ada terjadi apakah di sini?
Mengapa kalian berdua tiduran di tanah yang kotor? Ehh, bukankah kalian ini
putera-putera Jenderal Kao Liang?”
Pemuda itu
kemudian menoleh dan memandang bergantian kepada dua orang wanita Garuda Hitam
dan kepada Khiu-pangcu dan Hoa-gu-ji, kemudian dia mengerutkan alis dan
menegur. “Heiii, kenapa kalian menawan dua orang putera Jenderal Kao Liang ini?
Ehem, tentu kalian mengincar harta benda mereka, bukan? Tolol, mereka itu
adalah keluarga yang gagah perkasa dan bersih, harta benda mereka bukanlah
hasil korupsi. Sama sekali bukan, melainkan harta yang bersih, hasil dari jerih
payah dan keringat mereka sendiri. Ho-ho-ho, kalian memang tolol, karena kalian
sudah terlambat semua, harta itu telah berada pada Suma-kongcu.”
“Ehh, bocah
lancang, kau tahu apa?” Khiu-pangcu membentak marah, dan tangannya segera
melayang.
Dalam
kemarahannya karena dia tidak dipandang sebelah mata oleh pemuda ini, yang
bahkan memakinya tolol, di dalam tamparan itu Khiu-pangcu mengerahkan
sinkang-nya sehingga tamparan itu mengandung tenaga yang amat kuat, yang bahkan
cukup kuat untuk menghancurkan batu karang, apa lagi kepala pemuda yang
kelihatan lemah itu.
“Wuuuuuttt...
plakkkkk... aughhh...!”
Sungguh
mengherankan sekali. Pemuda itu agaknya dengan acuh tak acuh, dengan gerakan
sembarangan saja, mengangkat tangan menyambut tamparan itu sehingga dua tangan
itu bertemu, dan akibatnya, Khiu-pangcu terhuyung ke belakang memegangi
tangannya dan meniup-niupnya karena terasa panas seperti dibakar!
“Bangsat
cilik keparat!” Kakek itu marah sekali dan segera memandang dengan mata
terbelalak.
Kemudian dia
telah menerjang dengan kedua tangannya digerakkan, yang kiri menotok ke arah
tengah-tengah antara mata dan yang kanan mencengkeram ke arah pusar pemuda
berpakaian abu-abu itu. Jelas betapa marahnya Khiu-pangcu karena, serangan yang
dilakukannya ini adalah serangan maut yang amat hebat, yang sukar dihadapi oleh
yang tangguh sekali pun, apa lagi oleh orang muda tidak ternama yang berpakaian
sederhana seperti seorang pemuda gunung biasa itu.
“Wuuuttttt,
plak-plak, dessss...!” Dan semua orang terbelalak melihat Khiu-pangcu roboh
terjengkang.
“Blukkkk!”
Pantat yang tipis dari Khiu-pangcu terbanting ke atas tanah, debu mengebul dan
kakek kecil itu meringis kesakitan, juga keheranan.
“Siuuuuuttttt...!”
Sebatang dayung panjang meluncur dan menghantam ke arah kepala pemuda
berpakaian abu-abu itu.
Itu adalah
penyerangan yang dilakukan oleh Hoa-gu-ji, yang menjadi marah melihat betapa
ketuanya sampai dua kali dibikin malu oleh pemuda itu. Hantaman dayungnya itu
amat kuat, mengandung tenaga ratusan kati dan akan menghancurkan batu karang
kalau mengenainya. Akan tetapi, tanpa menoleh pemuda itu mengangkat tangan
kirinya menangkis, gerakan tangannya jelas menunjukkan bahwa sekali ini dia
mengerahkan tenaganya.
“Krakkk!”
Dayung itu bertemu dengan lengan tangan pemuda itu dan patah!
Hoa-gu-ji
melongo, akan tetapi dia terkejut sekali karena pemuda itu sudah menyambar
sepotong dayung yang patah tadi dan memukulkannya ke arah kepalanya. Pukulan
sembarangan saja, seperti seorang yang memukul seekor anjing. Hoa-gu-ji cepat
mengangkat sisa potongan dayung, menangkis sambil mengerahkan tenaganya.
“Bukkk!”
Sungguh aneh
sekali, walau pun ditangkis, tetap saja potongan dayung itu mengenai
punggungnya dan robohlah Hoa-gu-ji, mulutnya memuntahkan darah segar dan dia
sibuk berusaha untuk mengelus punggung dengan kedua tangan, melalui atas dan
bawah pundak sambil mengerang kesakitan.
Jika saja
Khiu-pangcu tidak begitu marah, tentu ia telah dapat mengerti bahwa pemuda itu
bukan orang sembarangan, bahkan memiliki kepandaian yang amat hebatnya. Akan tetapi
kemarahannya membuat dia seolah-olah menjadi buta. Dengan teriakan nyaring
tangannya bergerak dan beberapa sinar putih lantas meluncur ke arah pemuda itu
dan menyerang beberapa bagian tubuh yang berbahaya, tenggorokan, ulu hati, dan
pusar. Itulah tiga batang jarum Touw-kut-tok-ciam yang amat berbahaya, yang
menyambar dari jarak dekat.
Serangan
tiba-tiba itu sama sekali tidak dapat dihindarkan lagi oleh pemuda itu, kecuali
dua, yaitu yang menyambar ke arah tenggorokan dan pusar. Kedua tangannya bergerak
menangkap dua batang jarum itu dengan menjepitnya antara jari tengah dan
telunjuk, sedangkan jarum yang meluncur ke arah dadanya, dia terima begitu
saja.
“Cappp!”
Jarum itu menancap di bajunya.
Kedua orang
putera Jenderal Kao sudah terbelalak ngeri, apa lagi dua orang wanita Garuda
Hitam yang sudah mengenal kehebatan jarum beracun itu. Tentu pemuda lihai itu
akan celaka karena dadanya sudah termakan oleh sebatang jarum yang sangat
berbahaya itu.
Namun
sungguh luar biasa sekali. Pemuda berbaju abu-abu itu seperti tidak merasa-kan
sama sekali, malah sambil tersenyum mengejek dia kemudian berkata, “Orang
sinting! Kau makanlah sendiri jarum-jarummu!” Dan tangannya yang menjepit
jarum-jarum itu meluncur ke bawah, ke arah Khiu-pangcu!
Kakek itu
berusaha meloncat dan mengelak, akan tetapi dia roboh kembali karena dua batang
jarumnya telah menancap di kedua betis kakinya, menembus tulang! Dia terkejut
sekali, tergopoh-gopoh dia mengeluarkan sebungkus obat dan cepat-cepat dia
menelan empat butir pil hitam, mencabut dua batang jaram itu dan menggosokkan
obat pada bekas luka tertusuk jarumnya sendiri. Dia selamat dari bahaya maut,
akan tetapi tetap saja dia mengaduh-aduh karena rasa yang menusuk-nusuk tulang
akibat bekerjanya racun jarum itu.
Pemuda itu
dengan sikap tak peduli kemudian mencabut jarum yang menancap di baju dadanya,
melemparkan jarum itu jauh ke tengah sungai. Kiranya yang tertembus jarum hanya
bajunya dan agaknya kulitnya tidak tertembus, buktinya dia tidak merasakan
apa-apa. Sungguh seorang pemuda yang berkepandaian luar biasa sekali.
“Pergilah
kalian!” kata pemuda itu kepada dua orang kakek yang telah dirobohkan itu.
“Cepat, kalau tidak terpaksa aku akan membunuh kalian!”
Tergopoh-gopoh
Hoa-gu-ji yang punggungnya masih sakit itu memanggul Khiu-pangcu yang tidak
dapat berdiri, lalu dengan susah payah memasuki perahu dan mendayung perahu ke
tengah sungai. Mereka ketakutan dan bahkan tidak berani bertanya siapa adanya
pemuda baju abu-abu yang amat lihai itu.
Pemuda
berpakaian abu-abu itu lalu membungkuk, kedua tangannya bergerak dan dengan
amat mudahnya seperti memutus benang-benang saja, dia telah menggunakan
jari-jari tangannya untuk mematahkan belenggu kaki tangan dua orang saudara
Kao. Mereka itu bangkit berdiri dan menjura untuk menghaturkan terima kasih.
Akan tetapi pemuda baju abu-abu itu menggerakkan tangan, agaknya tidak senang
melihat orang menghaturkan terima kasih, kemudian ia berkata, “Sudahlah, kalau
kalian ingin mencari kembali harta yang hilang, kalian cari saja Suma-kongcu.
Yang lain-lainnya aku tidak tahu.”
Dua orang
saudara Kao itu mengangguk, mereka masih merasa tegang dan kagum, juga
terheran-heran memandang pemuda yang luar biasa ini. Akan tetapi pemuda itu
tidak lagi mempedulikan mereka, malah menoleh kepada Kim-hi Niocu dan Liong-li
sambil berkata, “Kalian pun boleh pergi, jangan mengganggu dua orang pemuda
ini. Cepat laporkan kepada ketua kalian bahwa aku ingin menemuinya.” Setelah
berkata demikian, pemuda baju abu-abu itu lalu membalikkan tubuhnya dan pergi
dari situ sambil bersenandung.
“Maaf,
Taihiap! Bagaimana kami akan melapor ketua tanpa mengetahui nama Taihiap?”
Kim-hi Niocu berseru dengan sikap hormat.
Pemuda itu
menoleh dan tersenyum. Wajahnya tampan sekali bila tersenyum, mengusir
kemuraman yang membayangi wajah itu. “Katakan saja kepada ketuamu bahwa aku
biasa membunuh dengan jari-jari tanganku ini, tentu dia akan mengenalku. Nah,
aku pergi!” Baru saja dia berkata demikian, tubuhnya sudah berkelebat dan
lenyap!
Kedua orang
wanita yang lihai itu menjulurkan lidah penuh rasa kekaguman dan ngeri,
kemudian mereka pun pergi setelah melirik ke arah dua orang putera Jenderal Kao
yang masih berdiri terlongong di tepi sungai.
“Eh, Nona,
harap tunggu dulu!” Tiba-tiba Kok Tiong berseru ketika dia melihat dua orang
wanita itu pergi meninggalkan tempat itu tanpa bicara apa-apa.
Kim-hi Niocu
dan Liong-li berhenti, lalu membalikkan tubuh dan tersenyum manis. Dua orang
pemuda putera Jenderal Kao itu amat gagah dan tampan, tentu saja hati mereka
tertarik, namun teringat akan pesan pemuda berbaju abu-abu, mereka berdua
merasa ngeri dan tidak berani mengganggu sedikit pun.
“Ada apakah,
Kongcu?” Kim-hi Niocu berkata sambil tersenyum manis, matanya yang jernih
memandang tanpa menyembunyikan rasa kagumnya.
“Kami dapat
menduga bahwa Nona berdua tentu anggota-anggota perkumpulan yang amat terkenal
di daerah ini. Akan tetapi kami tidak tahu, Nona berdua dari golongan apakah?
Kami mendengar bahwa ada dua golongan di daerah ini, dan Nona ini dari Gunung
Cemara ataukah dari seberang lembah?”
Kim-hi Niocu
tertawa kecil. “Dua orang tua tadilah yang datang dari lembah,” jawabnya dengan
suara merdu. “Mereka itu adalah tokoh-tokoh Huangho Kui-liong-pang (Partai Naga
Setan dari sungai Huang-ho), sedangkan kami adalah kepala-kepala pasukan dari
perkumpulan Hek-eng-pang dari Gunung Cemara.”
“Maafkan
jika kami bersikap kurang hormat, Nona. Kiranya Ji-wi (Anda Berdua) adalah
kepala-kepala pasukan dari perkumpulan besar Hek-eng-pang. Akan tetapi, Nona
tentu tahu ke mana perginya para wanita dan anak-anak, yaitu keluarga kami?”
Kim-hi Niocu
mainkan matanya, mengerling tajam penuh daya tarik, kemudian sambil
meremas-remas jari tangannya, sikapnya seperti seorang dara tujuh belas tahun
saja, dia berkata, “Saya tidak bisa bicara banyak. Hoa-gu-ji itu bentrok dengan
adik kami, yaitu kepala Pasukan Kayu di luar hutan malam kemarin untuk
memperebutkan harta keluarga kalian. Hoa-gu-ji kalah, lalu pergi. Jadi kalian
adalah bagian kami. Akan tetapi muncul pasukan asing di tebing ketika kami
hendak turun tangan, lalu terjadi perang dan kami menang, sungguh pun kepala
Pasukan Kayu, adik kami itu tewas. Sa-yangnya, harta itu telah dirampas oleh
seorang pemuda tampan yang luar biasa sekali, demikian menurut keterangan
keluarga kalian, katanya pemuda yang merampas harta itu adalah seorang pemuda berpakaian
putih-putih.”
Kok Tiong
bertukar pandang dengan Kok Han, keduanya menduga bahwa tentu itulah
Suma-kongcu seperti yang disebut-sebut oleh tukang warung bubur hangat dan oleh
pemuda berpakaian abu-abu yang lihai tadi. “Kalau begitu, ke manakah perginya
keluarga kami?” tanya Kao Kok Han dengan suara penasaran.
Kembali
Kim-hi Niocu memainkan matanya, mengerling tajam dan tersenyum manis penuh daya
tarik. “Hi-hi-hikkk... Ji-wi Kongcu yang baik, asal Ji-wi (Anda Berdua) dapat
menemukan harta benda itu, yang katanya dibawa oleh pemuda yang bernama
Suma-kongcu, dan menyerahkan harta itu kepada kami, hemmm... selain akan
berterima kasih sekali, kami akan menjamu Ji-wi sebagai tamu-tamu kehormatan
dan tamu-tamu agung, juga kami akan mengatakannya di mana mereka itu.
Bagaimana? Nah, Ji-wi carilah pencuri itu sampai dapat, dan kami menanti di
puncak Gunung Cemara. Sampai jumpa, Ji-wi Kongcu yang tampan, kami pergi dulu.
Marilah, Adik Liong-li!” Kim-hi Niocu menggandeng tangan Liong-li, kemudian
sambil tertawa-tawa dan dengan lenggang yang memikat, kedua orang wanita cantik
yang nyaris diperkosa oleh dua orang kakek tadi, meninggalkan dua orang putera
Jenderal Kao yang berdiri bengong dan bingung.
Tentu timbul
pertanyaan di hati para pembaca budiman. Siapakah pemuda berpakaian abu-abu
yang sederhana, tampan dan amat lihai itu? Bagi para pembaca cerita Kisah
Sepasang Rajawali, pemuda ini bukanlah seorang asing karena dia merupakan
seorang di antara tokoh-tokoh besar cerita itu. Dia bernama Ang Tek Hoat! Pemuda
ini adalah putera yang tidak sah dari mendiang Wan Keng In dan Ang Siok Bi.
Ibunya itu, Ang Siok Bi, ketika masih gadis telah diperkosa oleh Wan Keng In
dan mengandung. Dialah anaknya dan karena dia bukan anak sah dari Wan Keng In,
maka ibunya memberi she ibunya dan she itu tetap terus dipakainya.
Setelah
melalui perjalanan hidup yang berliku-liku, yang dituturkan secara menarik dan
menegangkan dalam cerita Kisah Sepasang Rajawali, akhirnya Ang Tek Hoat diakui
sebagai seorang pahlawan di negara Bhutan dan ditunangkan dengan Puteri Syanti
Dewi, seorang puteri yang cantik jelita dan berbudi mulia, yang akhirnya jatuh
cinta kepada Ang Tok Hoat, biar pun pemuda ini pernah menjadi seorang yang
sejahat-jahat dan sekejam-kejamnya.
Mengingat
bahwa ayah kandung Tek Hoat yang bernama Wan Keng In adalah anak tiri dari
Pendekar Super Sakti Majikan Pulau Es, maka Tek Hoat terhitung keluarga Pulau
Es yang terkenal, karena dia masih cucu tiri dari Pendekar Super Sakti. Di
dalam cerita Kisah Sepasang Rajawali telah diceritakan betapa Ang Tek Hoat
telah mewarisi ilmu-ilmu yang amat hebat dari dua orang datuk Pulau Neraka, dan
kini dia memiliki ilmu kepandaian yang amat hebat dan sukar memperoleh
tandingan.
Akan tetapi
mengapa pemuda perkasa yang telah ditunangkan dengan Puteri Syanti Dewi, yang
sudah diakui sebagai pahlawan negara Bhutan karena pembelaannya ketika negara
itu diserang oleh musuh-musuh, kini berkeliaran di lembah Sungai Huang-ho
seorang diri? Untuk menjawab pertanyaan ini, mari kita mengikutinya sejenak
semenjak empat tahun yang lalu, ketika dia terpaksa meninggalkan negara Bhutan.
Seperti
telah dituturkan pada bagian terakhir dari cerita Kisah Sepasang Rajawali, Ang
Tek Hoat telah ditunangkan dengan Puteri Syanti Dewi dan tinggal di Bhutan
sebagai seorang pahlawan yang diangkat menjadi panglima. Ia telah menjadi
seorang panglima muda yang terhormat, bahkan terkenal pula sebagai calon mantu
raja, tunangan Puteri Syanti Dewi yang dipuja-puja oleh rakyat Bhutan. Hari
pernikahan mereka hanya tinggal menanti keputusan raja saja, yang masih
menangguhkannya mengingat bahwa Bhutan baru saja mengalami perang dan bahwa
baru saja Puteri Syanti Dewi kembali ke istana Bhutan setelah beberapa tahun
lenyap (baca cerita Ki-sah Sepasang Rajawali).
Akan tetapi,
tidak ada kesenangan yang kekal bagi manusia yang hidup di dunia ini. Di mana
terdapat kesenangan, di situ pasti terdapat pula kesusahan. Susah dan senang,
puas dan kecewa, suka dan duka, agaknya merupakan pasangan-pasangan yang tidak
dapat dipisahkan yang menghias kehidupan manusia. Kesenangan yang dinikmati
oleh Ang Tek Hoat pun ternyata tidak kekal adanya karena terjadi hal yang sama
sekali tidak disangka-sangkanya…..
***************
Beberapa
bulan sudah Ang Tek Hoat tinggal di Bhutan, di sebuah gedung kecil yang amat
megah dan indah, sebuah bangunan istana yang tak jauh dari istana raja. Hampir
setiap hari dia dapat bertemu dan bercakap-cakap dengan kekasihnya, yaitu
Puteri Syanti Dewi. Dalam beberapa bulan saja tubuh Tek Hoat kelihatan segar,
sehat dan agak gemuk.
Namun
diam-diam dia mulai tidak kerasan sebab kehidupan yang dialaminya sehari-hari
terlalu enak, terlalu menganggur sehingga membuatnya malas. Dia sudah biasa
hidup merantau, juga sudah biasa menghadapi hal-hal yang menegangkan, yang
memerlukan kecerdikan dan ketangkasannya untuk menghadapinya. Kini, dia tinggal
di istana indah, tidak ada kerjaan apa-apa kecuali kadang-kadang menghadiri
sidang di dalam istana, membicarakan urusan kenegaraan yang tidak begitu
dimengerti dan dipedulikannya. Jiwa petualangan di dalam dirinya meronta dan
membuat dia tidak kerasan. Namun perasaan ini tentu saja ditahan-tahannya, demi
cintanya terhadap Syanti Dewi.
Hari masih
pagi sekali dan baru saja Tek Hoat mandi pagi serta bertukar pakaian ketika
seorang pengawal menghadapnya dan melaporkan bahwa terjadi keributan di luar
pintu gerbang istana karena ada seorang wanita yang memaksa hendak bertemu
dengan Panglima Ang!
“Siapakah
dia?” tanya Tek Hoat dengan alis berkerut, namun hatinya berdebar girang karena
baru sekarang terjadi hal yang menegangkan, berbeda dari biasanya yang lewat
dengan aman dan mulus tanpa peristiwa berarti.
“Dia tidak
mau mengaku namanya, hanya tadi mengatakan bahwa dia harus bertemu dengan
Panglima Ang. Ketika dicegah, wanita itu malah merobohkan dua orang prajurit
pengawal dan karena dia mengaku kenal baik dengan Paduka, maka para komandan
jaga tidak berani lancang turun tangan dan menyuruh hamba datang melapor.”
Tek Hoat
lalu bergegas meninggalkan gedungnya dan pergi ke pintu gerbang di mana para
prajurit sedang menghadapi seorang wanita yang lagi marah-marah. Jantungnya
berdebar keras ketika mendengar suara wanita itu. Cepat dia berlari menghampiri
dan menguak para prajurit, melangkah ke depan wanita itu.
“Tek Hoat !”
“Ibu...!”
Semua orang
melongo ketika melihat betapa panglima baru mereka itu berpelukan dengan wanita
galak tadi. Kiranya wanita yang pakaiannya kusut dan kotor, yang galak dan
angkuh itu adalah ibu dari panglima besar mereka, ibu dari calon mantu raja
mereka, ibu dari tunangan Puteri Syanti Dewi mereka! Tanpa banyak cakap lagi
karena di situ terdapat banyak orang, Tek Hoat lalu menggandeng ibunya, diajak
ke istananya.
Setelah tiba
di istana, kembali wanita itu yang bukan lain adalah Ang Siok Bi, memeluk
puteranya sambil menangis sesenggukan. “Terlalu kau... Tek Hoat, sampai
bertahun tahun kau tiada beritanya. Aku sampai susah payah, sengsara
mencari-carimu, kiranya engkau menjadi seorang besar di negara asing ini
hu-hu-huuuh...”
“Sudahlah,
Ibu. Harap kau suka ampunkan aku. Aku mengalami banyak liku-liku dalam hidup,
bahkan sampai terseret arus hidup ke tempat ini, dan baru saja hidupku teratur
maka aku belum sempat menengok ibu di puncak Bukit Angsa. Sudahlah, ibu harap
jangan menangis.”
Setelah rasa
penasaran dan keharuan hatinya mereda, Ang Siok Bi lalu men-dengarkan penuturan
puteranya, semenjak Tek Hoat meninggalkan lembah Huangho sampai dia menjadi
panglima besar di Bhutan. Tentu saja semua itu dituturkannya secara singkat dan
hanya garis-garis besarnya saja.
“Dan aku
memperoleh kenyataan yang pahit, Ibu, yaitu bahwa musuh kita bukanlah Gak Bun
Beng “
“Hemmm, aku
juga sudah tahu!” tukas ibunya. “Dan sekarang, setelah engkau enak-enak saja di
sini sedangkan musuh ibumu masih enak-enak hidup dan engkau belum membalaskan
dendam dan sakit hati ibumu? Anak macam apa engkau ini? Mau enak-enak saja di
sini menjadi panglima?”
Tek Hoat
terkejut. “Ibu! Bukankah Ibu sendiri sudah tahu bahwa Paman Gak Bun Beng
bukanlah musuh Ibu? Hampir saja aku berdosa besar dengan memusuhi Paman Gak Bun
Beng yang ternyata adalah seorang pendekar budiman yang berbudi mulia, sama
sekali bukanlah musuh kita, dan Ibu tentu sudah tahu pula bahwa musuh kita itu
telah tewas.”
“Maksudmu ?”
“Wan Keng In
itu... Ayah... kandungku... Si keparat jahanam yang memperkosa Ibu..., ahhh,
mengapa dahulu Ibu menceritakan yang bukan-bukan kepadaku? Kiranya Wan Keng In
yang memperkosa Ibu, tetapi dia menggunakan nama Gak Bun Beng sehingga Ibu
mengira Gak Bun Beng yang menjadi Ayah kandungku dan Ibu lalu membohongiku
dengan cerita lain agar aku membunuh... Ayah kandungku sendiri. Sekarang,
syukur bukan Paman Gak yang berdosa, dan orang yang berdosa, she Wan itu dia
telah mati. Habislah sudah riwayat busuk itu, Ibu.”
“Siapa
bilang habis? Aku, Ibumu, tidak akan merasa puas sebelum dapat membalas dendam
yang kutanggung selama hidupmu ini.”
“Maksud
Ibu?”
“Wan Keng In
si keparat sudah mati, akan tetapi Ibunya masih ada! lbu kandung keparat itu
masih hidup!”
“Ihhhhh...!”
Tek Hoat berseru kaget dan membelalakkan matanya. “Ibu tahu siapa Ibu Wan Keng
In itu?”
Ang Siok Bi
mengangguk. “Dia bernama Lulu, dia adalah isteri kedua dari Majikan Pulau Es.”
“Dan Majikan
Pulau Es adalah Pendekar Super Sakti dan isterinya yang kedua itu adalah
Nenekku! Ibu, betapa mungkin kita harus membalas kepada Nenek yang tidak
berdosa apa-apa itu!”
“Tidak
peduli! Wan Keng ln sudah mampus, maka Ibunya, wanita yang mengandung dan
melahirkan manusia iblis itu harus kita bunuh! Dan engkau sebagai anakku harus
membantu Ibumu!”
“Ibu...!”
Tek Hoat menutupi muka dengan kedua tangannya, mukanya menjadi pucat sekali.
Ang Siok Bi
meloncat berdiri, kemudian menyergap anaknya, memegang pundaknya dan
mengguncangnya keras-keras. “Apa? Kau... kau takut…? Kau jeri menghadapi
keluarga Pulau Es? Baik, Ibumu akan pergi sendiri!”
“Ibu,
jangan...! Bukan begitu maksudku. Akan tetapi aku... aku telah menerima
kebaikan Sri Baginda di Bhutan ini, aku...”
“Kau sudah
mabuk kemewahan? Tugas hidupmu paling utama ialah membalas dendam Ibumu paling
perlu, setelah itu terserah kau mau hidup bagaimana, aku tidak peduli lagi.”
“Bukan itu,
Ibu, akan tetapi aku... aku telah bertunangan dengan puteri Raja Bhutan, dengan
Puteri Syanti Dewi.”
“Huh, lain
kemewahan lagi!”
“Jangan Ibu
berkata demikian,” Tek Hoat berkata dengan nada agak keras karena dia merasa
tersinggung. “Ketahuilah, Ibu. Biar pun Syanti Dewi itu puteri raja, akan
tetapi aku cinta padanya dan dia cinta padaku. Kami sudah saling mencinta dan
dia adalah seorang gadis yang berbudi dan amat baik. Aku akan menikah dengan
dia karena cinta, bukan karena dia puteri raja.”
Ang Siok Bi
mengangguk-angguk tak sabar. “Baiklah, baiklah, kau cinta padanya, dan dia
cinta padamu. Karena itu, kau boleh menikah dengan dia sekarang juga, lalu kau
bawa dia pulang ke Bukit Angsa. Dia bukan menjadi halangan bagi kita untuk
membalas ibu si keparat Wan Keng In!”
“Akan tetapi
tidak mungkin itu, Ibu!” Tek Hoat berkeras menolak.
“Tidak
mungkin katamu? Mengapa?”
“Terlalu
banyak hal-hal yang membuat aku tidak mungkin melakukan permintaanmu itu.”
“Huh!
Begitu? Coba katakan, apa hal-hal itu?”
“Pertama,
tidak mungkin Sri Baginda membolehkan puterinya kubawa pergi dari sini karena
beliau amat mencinta puterinya. Kedua, aku sudah diangkat menjadi panglima dan
tenagaku dibutuhkan di Kerajaan Bhutan ini, dan karena aku telah berhutang budi
terpaksa harus kulakukan. Ketiga tidak mungkin aku memusuhi keluarga Pulau Es.”
“Ehhhhh?
Kau... kau takut?”
Tek Hoat
menggeleng kepala dan menarik napas panjang. “Biar pun mereka itu amat sakti,
aku tidak takut. Aku hanya segan karena mereka itu adalah keluarga pendekar
yang sakti dan budiman, dan aku... aku bahkan amat bangga dapat menyebut
Pendekar Super Sakti sebagai Kakek tiriku.”
“Cih!
Pengecut!”
“Ibu...!”
“Engkau
anakku, engkau harus menurut kepada Ibumu!”
“Maaf, Ibu.
Akan tetapi tidak mungkin, aku malah mohon agar Ibu suka tinggal di sini
bersamaku, hidup tenteram dan damai sampai hari akhir. Ibu, mengapa Ibu harus
mendendam kepada keluarga Pulau Es, padahal yang berdosa telah meninggal? Ibu,
kumohon padamu jangan...”
“Cukup!” Ang
Siok Bi bangkit berdiri.
Pada saat
itu, seorang pelayan wanita datang membawa cangkir-cangkir dan poci teh, tetapi
sekali menggerakkan kaki, Ang Siok Bi menendang sehingga baki itu terlempar,
cangkir-cangkir dan poci pecah, air teh berhamburan. Si pelayan menjerit dan
kemudian lari masuk.
“Aku tidak
sudi minum air tehmu! Kau anak durhaka! Kau anak tidak berbakti, kau anak terkutuk!
Baik, aku akan pergi dari sini, kembali ke Bukit Angsa dan lebih baik aku mati
kelaparan di sana dari pada hidup bermewah di sini bersama anak durhaka!” Ang
Siok Bi marah sekali dan dia lari keluar.
“Ibu...!”
Tek Hoat berteriak akan tetapi ibunya tidak mempedulikannya sehingga pemuda
yang gagah perkasa ini menjatuhkan diri di atas kursi dengan muka pucat sekali.
Tidak disangkanya akan terjadi peristiwa seperti itu dan dia menyesal, menyesal
sekali, akan tetapi apa yang dapat dia lakukan?
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment