Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Jodoh Rajawali
Jilid 02
Tek Hoat
tidak tahu bahwa semenjak dia diangkat menjadi panglima dan menjadi calon mantu
Raja Bhutan, di samping banyak yang menerimanya dengan girang, ada pula yang
menerimanya dengan hati penuh iri dan penasaran. Puteri raja yang mereka
puja-puja dan agungkan itu hendak dikawinkan dengan seorang asing dari timur?
Seorang yang bukan keturunan bangsawan pula, bahkan kabarnya seorang petualang!
Salah
seorang di antara yang tak senang ini, terdapat seorang panglima muda bernama
Mohinta, yaitu putera dari panglima pertama Kerajaan Bhutan, panglima tua
Sangita. Panglima muda Mohinta ini sudah lama menaruh harapan akan dapat
diambil mantu oleh raja. Dia adalah teman bermain Syanti Dewi di waktu kecil
dan diam-diam dia jatuh cinta kepada puteri itu, apa lagi ketika puteri itu
kembali ke Bhutan dan dia melihat betapa puteri itu kini demikian cantik
jelitanya. Diam-diam dia merasa cemburu dan iri hati, akan tetapi tentu saja
dia tidak dapat berbuat apa-apa, hanya menanti saat-saat yang baik untuk
mempertahankan dan memperjuangkan kepentingan dirinya, menanti kesempatan untuk
‘menjatuhkan’ saingannya yang dia tahu amat sakti itu.
Dan pada
hari itu, datanglah kesempatan yang dinanti-nantinya itu, yang dianggapnya
sebagai anugerah dewata. Pada saat mata-matanya memberi tahu tentang kemunculan
seorang wanita kasar yang mengaku ‘ibunda’ dari Panglima Ang Tek Hoat, Panglima
Mohinta segera mendengar tentang perselisihan antara Tek Hoat dan ibunya, dan
dia segera mencegat ketika mendengar bahwa ibu Tek Hoat pergi dengan marah.
Ang Siok Bi
masih marah-marah saat dia dihadang oleh seorang Panglima Bhutan yang muda dan
tampan, yang memberi hormat dengan sikap amat menghormat kepadanya. Panglima
muda itu kemudian berkata, “Harap Toanio suka bersabar dulu. Saya adalah
Mohinta, sahabat baik dari putera Toanio dan saya selalu siap sedia untuk
menolong, terutama kepada Toanio sebagai Ibu sahabat saya.”
“Huh, aku
tidak mempunyai urusan dengan sahabat-sahabat anakku yang durhaka itu!” Ang
Siok Bi hendak melangkah terus, akan tetapi Mohinta kembali menjura dan berkata
dalam bahasa Han yang fasih.
“Toanio,
bukankah Toanio menghendaki agar putera Toanio itu dapat kembali ke timur
bersama Toanio? Kalau hanya hal begitu, mengapa repot-repot? Saya dapat
menolong Toanio.”
Ang Siok Bi
yang sudah hampir putus asa itu memandang tajam penuh selidik, lalu bertanya
ragu, “Benarkah? Aku sebagai Ibunya sudah tidak dapat membujuknya, apa lagi
engkau yang hanya sahabatnya.”
“Toanio, ada
peribahasa di negeri kami yang menyatakan bahwa apa bila kekuatan tak berhasil
menolong kita, kita harus menggunakan akal, dan bahwa kita dapat mengatasi
kekerasan dengan kelunakan. Saya tahu sekali mengapa Saudara Tek Hoat tidak
dapat meninggalkan Bhutan, tidak lain dikarenakan adanya Puteri Syanti Dewi.
Dan ketahuilah bahwa sebenarnya, Sri Baginda tidak begitu berkenan hatinya
mengambil mantu putera Toanio. Maka, apa bila Sri Baginda mendengar sesuatu
tentang diri Saudara Tek Hoat yang tidak berkenan di hatinya, besar harapannya
pertunangan itu akan dibatalkan dan tentu Saudara Tek Hoat akan suka pergi
bersama Toanio kalau sudah tidak ada lagi pengikatannya dengan puteri raja.”
“Hemmm,
kalau memang Raja Bhutan tidak suka kepada anakku, kenapa akan diambil mantu?”
Ang Siok Bi bertanya marah.
“Sri Baginda
hanya memandang pada keluarga Suma, Majikan Pulau Es yang kabarnya masih
keluarga Kaisar. Karena putera Toanio kabarnya masih keluarga Majikan Pulau Es,
dengan sendirinya putera Toanio masih berdarah keluarga Kaisar, maka dari itu
Sri Baginda mau menerimanya. Kalau halnya tidak demikian, tentu pertunangan itu
akan dibatalkan.”
Wajah wanita
itu berseri dan dia cepat berkata, “Kalau begitu, biar aku bertemu dengan
raja!”
Memang
cerdik sekali Panglima Mohinta. Tadi ia mendengar dari mata-matanya tentang
perselisihan Tek Hoat dengan ibunya, melalui pelayan dalam istana Tek Hoat, dan
dia tahu pula tentang percakapan antara ibu dan anak mengenai keluarga Pulau
Es. Oleh karena itu, dia sengaja mengemukakan hal keluarga itu kepada Ang Siok
Bi. Dan wanita ini memang sama sekali tidak peduli tentang kedudukan puteranya,
atau tentang raja dan puterinya. Yang penting baginya adalah dapat mengajak
puteranya untuk kembali ke timur dan membantunya membalas dendam kepada Wan
Keng In, atau lebih tepat, kepada ibu Wan Keng In, yaitu Nyonya Suma di Pulau
Es!
Berkat
bantuan dan usaha Mohinta, akhirnya Ang Siok Bi berhasil pula dihadapkan kepada
Raja Bhutan. Raja ini sudah mengerutkan alisnya dan hatinya merasa tidak senang
ketika melihat wanita setengah tua yang biar pun cantik dan gagah, akan tetapi
kasar dan tidak menghormat itu, yang gerak-geriknya jelas membayangkan
kekerasan dan kekasaran, sama sekali tidak patut menjadi besannya! Wanita dusun
ini adalah ibu calon mantunya!
Akan tetapai
sebagai basa-basi, dia mempersilakan nyonya itu untuk duduk, kemudian berkata,
“Kami mendengar bahwa Nyonya adalah Ibu kandung dari Panglima Ang Tek Hoat, dan
mohon menghadap kami. Benarkah itu dan siapakah nama Nyonya?”
“Nama saya
Ang Siok Bi, tinggal di Bukit Angsa, di lembah Sungai Huangho,” jawab Ang Siok
Bi.
“Hemmm,
kalau Nyonya she Ang, kenapa putera Nyonya she Ang juga. Siapakah Ayah Panglima
Ang Tek Hoat? Bukankah Ayahnya masih keluarga dengan Majikan Pulau Es yang
terkenal itu?”
Tiba-tiba
Ang Siok Bi berkata dengan suara keras, “Persetan dengan keluarga Pulau Es!
Anakku tidak mempunyai ayah!”
Raja makin
terkejut dan makin tidak senang. “Apa maksud Nyonya?”
“Dengarlah,
Sri Baginda! Ada seorang anggota luar keluarga Pulau Es yang bernama Wan Keng
In, dan manusia jahanam itu sudah memperkosa saya ketika saya masih gadis, dan
saya mengandung lalu melahirkan Tek Hoat itulah. Maka dia adalah anak saya
sendiri, tidak mempunyai ayah yang sah. Saya mempunyai dendam sakit hati
sebesar gunung, sedalam lautan, seluas langit terhadap keluarga Wan Keng In
itu, dan saya tidak rela kalau putera saya dikurung di sini, karena saya harus
mengajaknya untuk membalas dendam. Maka, saya mohon kepada Sri Baginda untuk
membebaskan putera saya itu!”
“Cukup...!
Pengawal, cepat suruh dia pergi...!” Sri Baginda menjadi marah sekali dan dia
memerintahkan pengawal untuk mengusir Ang Siok Bi.
Wanita ini
tidak melawan dan dia hanya memandang dengan mata mendelik kepada Panglima
Mohinta, kemudian dia keluar dari istana, bahkan terus digiring oleh pasukan
pengawal, keluar dari daerah Kerajaan Bhutan, kembali ke timur.
Pada hari
itu juga, Tek Hoat menerima panggilan dari raja. Ketika pemuda ini keluar dari
istananya, dia terheran-heran melihat banyaknya pengawal di sekitar istananya,
dan di istana raja pun terdapat banyak pasukan, seolah-olah kerajaan menghadapi
perang! Tergesa-gesa dia memasuki istana dan tiba di ruang persidangan, di mana
dia melihat raja sudah duduk dihadap oleh para panglima dan pejabat tinggi dan
juga di tempat ini terjaga oleh pasukan-pasukan pengawal dengan ketat. Cepat
dia memberi hormat dengan berlutut dan dengan suara kaku Sri Baginda lalu
menyuruh dia duduk.
“Hamba
terkejut sekali mendengar panggilan tiba-tiba ini dan melihat adanya
per-siapan-persiapan. Ada terjadi hal penting apakah, hendaknya Paduka memberi
tahu kepada hamba dan hamba yang akan menghalau semua bahaya!” Tek Hoat
berkata, namun hatinya merasa tegang karena dia melihat betapa pandang mata
semua panglima dan pejabat ditujukan kepadanya dengan tak senang.
“Ang Tek
Hoat, kami memanggilmu untuk mendapatkan keterangan sejelasnya dan sejujurnya
darimu,” Sri Baginda berkata. “Maukah engkau menjawab semua pertanyaan kami
dengan jujur?”
“Hamba siap
untuk menjawab semua pertanyaan dengan sejujurnya,” jawab Tek Hoat dengan hati
tidak enak.
“Pertama,
benarkah engkau masih ada sangkutan keluarga dengan keluarga Pulau Es seperti
yang dikabarkan orang dan bagaimanakah sangkutan keluarga itu?”
Tek Hoat
mengerutkan alisnya. Hemmm, apakah artinya pertanyaan aneh ini? Apa hubungannya
dengan keadaan dirinya? Akan tetapi dengan tenang dia lalu men-jawab, “Memang
benar demikian, Sri Baginda. Isteri kedua dari Pendekar Super Sakti adalah
Nenek hamba, dan Majikan Pulau Es itu sendiri adalah Kakek tiri hamba.”
“Siapakah
nama Ayah kandungmu?”
Tek Hoat
terkejut. Tidak disangkanya dia akan ditanya sampai begini melilit tentang
keluarganya. “Ayah hamba bernama Wan Keng In, putera dari Nenek hamba itu.”
“Kalau
Ayahmu she Wan, kenapa engkau she Ang?”
Kembali Tek
Hoat terkejut dan merasa tidak enak sekali. Akan tetapi dia sudah berjanji akan
menjawab sejujurnya! Dan andai kata yang bertanya ini bukan raja, calon ayah
mertuanya, tentu dia sudah marah sekali.
“Itu adalah
kehendak Ibu hamba yang bernama Ang Siok Bi.”
Kini Raja
Bhutan memandang tajam, tubuhnya agak mendekat dan suaranya terdengar lantang,
“Ang Tek Hoat, pernahkah Ibumu menikah dengan Ayahmu ltu? Siapakah Ayahmu yang
sah?”
Kalau saja
ada petir menyambar, kiranya Tek Hoat tidak akan terkejut seperti pada saat
mendengar dua pertanyaan itu. Tiba-tiba dia marah sekali, mukanya menjadi merah
dan matanya mengeluarkan sinar berapi. Semua petugas dan pengawal yang menjaga
di situ menjadi gentar dan siap siaga kalau-kalau panglima muda yang ditakuti
itu akan mengamuk.
Akan tetapi
Tek Hoat lalu berkata, suaranya menahan kemarahannya, “Hamba tidak mau menjawab
pertanyaan-pertanyaan ini. Itu adalah urusan hamba pribadi dan siapa pun tidak
dapat memaksa hamba untuk menjawabnya.”
“Brakkk!”
Raja Bhutan menggebrak meja di depannya.
“Ang Tek
Hoat! Kami tahu bahwa engkau sudah berjasa bagi negara ini, dan kami tahu pula
bahwa antara engkau dan puteri kami terdapat perasaan cinta kasih. Akan tetapi,
apakah itu cukup untuk mengangkatmu sebagai calon mantu kerajaan ini? Riwayatmu
tidak terang dan agaknya tidak bersih, maka engkau pun harus mengerti betapa
sulitnya bagi kami untuk mempunyai seorang mantu dan panglima yang tidak jelas
riwayat hidup dan keturunannya. Bagaimana pula kami akan menghadapi
pertanyaan-pertanyaan dari negara-negara tetangga? Hal itu akan menyeret kami
dan keharuman nama keluarga kerajaan kami ke dalam lumpur!”
Makin merah
wajah Ang Tek Hoat. Kalau dia tidak ingat kepada Syanti Dewi, tentu dia sudah
mengamuk dan membunuh raja serta semua yang melindunginya. Akan tetapi dia
masih ingat dan dapat membayangkan betapa akan berduka dan hancur rasa hati
kekasihnya itu kalau dia melakukan hal itu. Pula, semua penderitaan hidupnya
selama ini membuat dia makin kuat dan tahan menerima pukulan-pukulan batin yang
hebat ini, dan dia dapat merasakan pula kebenaran bagi fihak keluarga raja.
Maka perlahan-lahan dia bangkit berdiri dan berkata tenang.
“Sri
Baginda, sebagai seorang laki-laki hamba sudah biasa menerima segala sesuatu
secara terang-terangan. Harap saja Paduka juga berlaku terang-terangan
menyatakan niat hati Paduka pada hamba. Kalau sudah menjadi kenyataan bahwa
hamba bukanlah keturunan ningrat, bukan pula keturunan orang terpelajar atau
pun kaya, lalu bagaimana kehendak Paduka?”
“Ikatan
jodoh dengan puteriku harus batal! Kami tidak mungkin mengambil mantu seorang
seperti engkau, Ang Tek Hoat. Dan jasamu terhadap negara Bhutan pun tidak dapat
dibalas dengan pengangkatan sebagai panglima. Engkau bukan bangsa kami dan
jasa-jasamu itu akan kami balas dengan anugerah berupa harta benda yang boleh
kau bawa pulang ke negerimu!”
Rasanya
seperti hampir meledak dada Ang Tek Hoat. “Sri Baginda! Ini sudah sangat
keterlaluan! Siapa yang menghendaki balas jasa? Siapa yang menghendaki pangkat?
Siapa pula yang menghendaki kedudukan sebagai mantu raja yang terhormat? Hamba
mencinta Puteri Syanti Dewi, hal itu sudah jelas, akan tetapi yang hamba cinta
adalah pribadinya sebagai manusia, bukan kedudukannya sebagai puteri kerajaan!
Hamba pun tidak membutuhkan pangkat ini!”
Dengan gemas
Tek Hoat merenggut hiasan kepala dan melemparkannya ke atas lantai, lalu
mencopot-copoti semua tanda pangkat dan melemparkannya ke atas lantai. “Mulai
saat ini hamba bukan lagi Panglima Bhutan, bukan lagi hamba Bhutan dan hamba
pun tidak mengharapkan balas jasa sejemput batu sekali pun!”
Setelah
berkata demikian, dengan muka merah dan dada panas Tek Hoat melangkah keluar
persidangan, mengangkat dadanya dan siap untuk mengamuk apa bila ada yang turun
tangan. Akan tetapi untung, di antara para panglima dan pengawal, tidak ada
yang mau turun tangan sehingga dengan leluasa, Ang Tek Hoat keluar dari istana
itu.
Ketika dia
hendak mengunjungi Syanti Dewi, dia melihat betapa Istana di mana puteri itu
tinggal terkurung rapat oleh pasukan yang jumlahnya ada seribu orang! Tahulah
dia bahwa raja tak menghendaki dia berjumpa dengan kekasihnya itu, dia tahu
pula bahwa mengamuk seorang diri menghadapi bala tentara senegara merupakan hal
yang bodoh dan tidak mungkin. Lagi pula, kalau keluarganya tidak menghendaki,
apa perlunya dia memaksa-maksa? Ia hanya akan membuat Syanti Dewi menjadi
sengsara dan berduka saja.
“Syanti
Dewi, selamat tinggal...!” Dia berbisik, lalu pergilah Ang Tek Hoat dari istana
itu, bahkan terus keluar dari negara Bhutan pada hari itu juga.
Diam-diam
dia merasa berduka sekali karena terpaksa harus meninggalkan kekasihnya,
meninggalkan Syanti Dewi yang dicintanya sepenuh jiwa raganya. Dan dia tahu
bahwa hal ini terjadi karena gara-gara ibunya. Siapa lagi kalau bukan ibunya
yang menjadi biang keladi semua peristiwa yang menimpanya ini? Sungguh terlalu!
Ibunya sendiri pun agaknya tidak ingin melihat dia hidup bahagia di samping
Syanti Dewi! Dengan hati penasaran Ang Tek Hoat mulai dengan perjalanannya
kembali ke timur.
Perjalanan
yang amat menyedihkan. Makin jauh dia menuju ke timur, makin merana rasa
hatinya yang direnggutkan dari kekasihnya yang tercinta. Sering kali, di waktu
beristirahat, dia termenung seperti arca, dengan muka pucat dan wajah muram,
dengan rambut awut-awutan dan pakaian kusut mengenangkan wajah Syanti Dewi dan
dia merasa betapa hatinya amat perih. Kadang-kadang, jika rasa rindunya
terhadap Syanti Dewi sudah tak tertahankan lagi, dia bersenandung, maksudnya
untuk melupakannya, akan tetapi yang terdengar hanyalah senandung sedih penuh
duka, sebagai pengganti tangis yang diharamkannya.
Akhirnya
setelah melakukan perjalanan yang jauh dan lama, juga merupakan perjalanan
paling pahit dan paling menyedihkan bagi Tek Hoat, sampailah pemuda itu di
puncak Bukit Angsa, di lembah Sungai Huang-ho. Dari jauh dia sudah melihat
pondok ibunya di puncak itu, pondok yang menjadi kampung halamannya, tempat dia
bermain-main di waktu kecil. Ada rasa hati menyentuh perasaannya, akan tetapi
kembali dia teringat akan kedukaan hatinya akibat terpisah dari Syanti Dewi
yang agaknya disebabkan oleh ibunya, maka lenyaplah perasaan haru itu, terganti
rasa penasaran. Dia mempercepat langkahnya. Dia harus bertemu ibunya, harus
menegur ibunya. Ibunya tidak berhak merusak hidupnya, merusak kebahagiaannya!
“Ma
(Ibu)...!” Dia memanggil ketika dia tiba di depan pintu pondok yang tertutup.
Tidak ada
jawaban.
“Ibu...!”
Dia memanggil lagi, kini dia mendorong pintu pondok.
Bau yang
tidak enak menyambutnya, membuatnya terhuyung mundur dan membuatnya waspada.
Bau yang seperti racun, atau bau seperti bangkai busuk! Ditendangnya daun pintu
terbuka. Gelap di dalam karena memang matahari sudah condong ke barat, dan di
dalam pondok itu tidak memperoleh sinar lagi. Dia tidak berani sembarangan
masuk dan dengan memutar dia menghampirl jendela kamar di sebelah barat rumah
kecil itu.
Daun jendela
juga tertutup. Ditolaknya dari luar. Daun jendela terbuka dan Tek Hoat cepat
mengelak karena begitu daun jendela terbuka, dari dalam menyambar jarum-jarum
beracun bewarna hitam. Dia cepat memandang ke dalam. Kini ada sinar matahari
senja menyorot masuk melalui lubang jendela. Jantungnya berdebar tak karuan
karena dari luar tadi dia melihat sesuatu yang membuat jantungnya seperti
berhenti berdenyut, kemudian berdebar-debar.
Setelah dia
tiba di depan pembaringan kayu itu, jelas tampak olehnya benda yang telah
membuat jantungnya berhenti berdenyut tadi. Rangka manusia! Rangka manusia yang
terbungkus pakaian, pakaian ibunya seperti ketika datang mengunjunginya di
Bhutan! Rambut ibunya yang berada di dekat tengkorak itu, dengan sanggul yang
masih amat dikenalnya dan ada hiasan rambut berupa kembang teratai emas milik
ibunya! Segera dia bergidik.
“Ibuuu...!
Mula-mula ia berbisik, lalu disambung dengan teriakan panjang. “lbuuuuuu...!”
Dia tidak
syak lagi. Rangka itu adalah rangka ibunya yang telah tewas. Mati sakit?
Ataukah mati terbunuh? Timbul kecurigaan di hati Tek Hoat. Tidak mungkin sakit.
Baru saja ibunya bisa melakukan perjalanan ke Bhutan, perjalanan yang demikian
sukar dan jauh. Ibunya sehat ketika itu, sehat dan masih amat kuat. Teringat dia
akan jarum-jarum ibunya. Dia memeriksa jendela dan melihat alat rahasia yang
melontarkan jarum-jarum itu.
Agaknya
sebelum mati, ibunya memasang alat itu pada daun jendela, untuk menyerang dan
menjebak lawan yang membuka jendela. Jelas bahwa ibunya telah bersiap-siap
menanti kedatangan musuh gelap. Pedang ibunya juga terhunus dan terletak di
atas meja dalam kamar. Akan tetapi ibunya telah tewas, menjadi rangka yang
tidak rebah lurus di atas pembaringan, melainkan miring dan agak melingkar.
Bukan tubuh yang tertidur.
Tek Hoat
memeriksa sekali lagi dan pandang matanya tertarik oleh coret-coret di kayu
pembaringan, huruf-huruf kecil. Tulisan ibunya! Dia kenal betul tulisan ibunya,
sungguh pun tulisan ltu dilakukan dengan menggunakan benda runcing, mungkin itu
jarum yang digores-goreskan. Dia cepat-cepat memasang lilin yang masih ada di
sudut meja, dan mendekatkan lilin bernyala itu pada pinggir pembaringan, di
mana terdapat tulisan itu.
‘Tiga malam
aku tidak tidur, menanti serangan si pengecut laknat. Kalau ada puteraku di
sini, engkau akan mampus...’
Agaknya
tulisan itu akan menuliskan lanjutannya, mungkin akan menyebutkan nama musuh
yang ditunggu-tunggu ibunya, akan tetapi coretan itu hanya merupakan coretan
dari atas ke bawah, agaknya pada saat itu musuh datang menyerang ibunya. Dan
melihat jendela masih dipasangi alat rahasia, tentu musuh itu bukan datang dari
jendela, melainkan dari pintu depan, atau boleh jadi juga dari atas genteng!
Akan tetapi siapa?
Tek Hoat
berlutut, tak dapat ditahan lagi beberapa tetes air mata membasahi pipinya.
Baru sekarang ia dapat menangis, biar pun hanya beberapa tetes air mata. Dia
teringat akan ibunya, akan penderitaan ibunya sejak masih gadis, sejak
diperkosa orang! Sejak saat yang laknat itu ibunya hidup menderita tekanan
batin. Pantas saja kalau ibunya menanggung dendam yang tidak pernah terbalas
itu, dan tidak pernah dapat melupa-kan dendamnya.
Mula-mula
kepada Gak Bun Beng karena menyangka orang itu adalah pemerkosanya, kemudian
kepada Wan Keng In dan karena Wan Keng In sudah mati, maka dendamnya beralih
kepada keluarga Wan Keng In, kepada keluarga Pulau Es dan terutama kepada ibu
kandung Wan Keng In. Salahkah sikap ibunya itu? Tidak, tidak! Kehidupan ibunya
telah rusak oleh peristiwa pemerkosaan itu dan ibunya hanya mampu bertahan
hidup untuk membalas dendam! Dan setelah tahu bahwa dendamnya sukar dibalas
karena dia berhadapan dengan keluarga Pulau Es yang amat sakti, ibunya
jauh-jauh datang ke Bhutan, mencarinya untuk minta bantuannya. Dan dia telah
menolaknya!
“Ibu...
ahhh, Ibu, ampunkan anakmu... ini!” Dia meratap dan merasa menyesal sekali.
Mengapa justeru kepada keluarga Pulau Es ibunya menaruh dendam?
Betapa
mungkin dia memusuhi keluarga yang bijaksana itu? Teringat dia akan semua
pengalamannya. Mereka semua itu, Gak Bun Beng, Milana, Suma Kian Lee, Suma Kian
Bu, Pendekar Super Sakti, mereka semua adalah orang-orang yang bijaksana,
budiman dan sakti. Yang berdosa terhadap ibunya hanyalah Wan Keng In, putera
tiri Pendekar Super Sakti, sedangkan keluarga itu sama sekali tidak tahu
apa-apa!
Dan ibunya
yang belum berkesempatan membalas dendam itu kini telah terbunuh oleh orang
lain! Entah siapa yang membunuh ibunya. Inilah musuhnya! Inilah orang yang
harus dicarinya, bukan keluarga Pulau Es! Tetapi ke mana dia harus mencari?
Kepada siapa dia harus bertanya? Ibunya telah tewas, telah menjadi rangka yang
mengerikan.
Dengan hati
penuh duka Tek Hoat lalu menggali lubang di puncak itu dan mengubur sisa-sisa
jenazah ibunya, berikut semua milik ibunya, kecuali pedang dan hiasan rambut
teratai emas itu. Setelah dia mengubur sisa-sisa jenazah ibunya dan berkabung
tiga hari lamanya, mulailah dia mencari-cari dan berkeliaran di sepanjang
lembah Sungai Huang-ho, di sekitar daerah itu untuk mencari jejak ibunya,
mencari jejak pembunuh ibunya.
Demikianlah
riwayat Ang Tek Hoat semenjak dia berpisah dari Syanti Dewi empat tahun yang
lalu! Kini dia hidup seorang diri di lembah Sungai Huangho sampai pada hari itu
dia bertemu dengan dua putera Jenderal Kao Liang, yaitu Kao Kok Tiong dan Kao
Kok Han dan dapat menolong dua orang pemuda itu dari bencana…..
***************
Kita
mengikuti pengalaman Jenderal Kao Liang, jenderal tua yang terlempar ke tengah
sungai dan hanyut terbawa arus sungai yang kuat itu. Sampai lama jenderal itu
terseret arus karena kedua kakinya tak dapat dia gerakkan, dan kalau hanya
dengan kekuatan kedua tangan saja dia tidak mampu berenang ke tepi. Padahal air
sungai itu makin lama makin kuat arusnya dan makin melebar, sampai akhirnya air
itu tiba di Sungai Huang-ho yang amat luas.
Akan tetapi,
betapa pun nyawa sudah tergantung di sehelai rambut umpamanya, kalau memang
belum tiba saatnya dia mati, orang akan dapat terhindar dari maut. Demikian
pula dengan Jenderal Kao Liang. Dia sudah pasrah karena tak berdaya, pula
ditambah dengan himpitan batin yang amat berat karena dia selain memikirkan
keluarganya yang hilang, juga masih mengkhawatirkan keselamatan kedua orang
puteranya yang harus menghadapi musuh sangat lihai itu. Dalam keadaan setengah
pingsan itu tiba-tiba ada bintang penolong berupa seorang nelayan yang sedang
mendayung perahunya, hendak berangkat mencari ikan.
Nelayan ini
terkejut ketika melihat orang yang hanyut, maka cepat-cepat dia menolong
Jenderal Kao yang hampir pingsan itu, dinaikkan ke dalam perahunya dengan susah
payah. Begitu tubuhnya terguling ke dalam perahu, Jenderal Kao Liang lantas
pingsan. Nelayan itu cepat mendayung perahunya ke pinggir, kemudian dengan
bantuan teman-temannya dia membawa jenderal itu pulang ke rumahnya di dalam
sebuah dusun kecil di tepi Sungai Huang-ho.
Jenderal Kao
jatuh sakit, menderita demam dan sampai dua hari dia tidak ingat apa-apa, dalam
keadaan tidak sadar. Nelayan itu bersama isterinya merawatnya dengan teliti dan
akhirnya, pada hari ketiga jenderal itu dapat bangun dari pembaringan dan dia
menghaturkan terima kasih kepada nelayan itu. Tanpa ragu-ragu jenderal ini
berlutut dan menghormati nelayan serta isterinya yang setengah tua itu sehingga
si nelayan sederhana sibuk membangunkan Jenderal Kao Liang yang disangkanya
seorang kota yang celaka di sungai itu.
Jenderal Kao
Liang diam-diam merasa kagum akan perjalanan hidupnya. Dahulu dia adalah
seorang jenderal besar, seorang panglima perang Kerajaan Ceng yang sangat
dihormati orang seluruh negeri. Kini, dia berlutut menghaturkan terima kasih
kepada seorang nelayan melarat dan dirawat di dalam gubuknya yang miskin!
Bahkan kini dia dijamu dengan makanan yang amat sederhana dan barulah dia tahu
betapa miskinnya keadaan hidup seorang nelayan. Hatinya terharu bukan main.
Dibandingkan dengan makanan sehari-hari yang dia berikan kepada anjing
peliharaannya dulu saja, makanan nelayan ini masih lebih sederhana!
Betapa
orang-orang besar di atas seperti buta, tidak melihat keadaan rakyat jelata
yang begini miskin. Orang-orang besar itu, para pembesar, para hartawan,
orang-orang kota, hidup berlebih-lebihan, sedangkan mereka itu sama sekali tak
pernah tahu atau tak mau tahu bahwa ada manusia-manusia sebangsa yang hidup
begini miskin dan kekurangan. Dan toh orang-orang itu, pembesar-pembesar, para
hartawan dan orang-orang kota itu membanggakan diri sebagai orang-orang yang
berkebudayaan, sebagai orang-orang yang beradab, orang-orang yang ber-Tuhan,
yang berperikemanusiaan! Betapa palsu dan munafiknya semua itu, termasuk dia
dahulu!
Setelah
sehat benar, pada keesokan harinya Jenderal Kao lalu berpamit, menghaturkan
terima kasih dan meninggalkan dusun itu. Dia kini mengambil keputusan untuk
pergi ke utara, untuk mencari putera sulungnya, yaitu Kao Kok Cu yang memiliki
kepandaian hebat, menjadi seorang sakti yang menjauhi keduniawian, hidup
berbahagia di tempat sunyi bersama isterinya yang tercinta.
Putera
sulungnya itu terkenal sekali di dunia kang-ouw sebagai Naga Sakti Gurun Pasir,
murid dari manusia dewa Si Dewa Bongkok Bu Beng Lojin dari Gurun Pasir Go-bi!
Kiranya hanya puteranya itu saja yang akan sanggup menolong keluarganya dan dia
harus pergi ke sana karena untuk menyelidiki seorang diri, jenderal tua ini
tidak sanggup lagi.
Kembali dia
terheran-heran betapa kehidupannya telah berubah sama sekali. Sebelum tahun
lalu, sebagai seorang panglima besar, dia dapat mengerahkan laksaan prajurit
untuk mencari keluarganya! Bahkan, tidak ada hal yang tak dapat dia lakukan.
Akan tetapi sekarang dia hanyalah seorang tua yang mulai lemah, yang menderita
tekanan batin dan merasa tidak berdaya!
Akan tetapi
baru saja dia keluar dari dusun di tepi Sungai Huang-ho itu, dari jauh dia
melihat dua orang laki-laki berjalan mendatangi dan setelah dekat, dia terkejut
dan girang bukan main.
“Kok Tiong!
Kok Han...!” Dia berteriak sambil berlari ke depan.
“Ayahhhhh...!”
Dua orang muda itu pun sudah mengenal ayah mereka dan mereka pun berlari-lari.
Pertemuan
itu sungguh menggirangkan hati mereka bertiga dan mereka segera duduk di tepi
jalan sambil saling menceritakan pengalaman mereka. Ketika Jenderal Kao
mendengar penuturan dua orang puteranya tentang pemuda berpakaian abu-abu yang
amat lihai, dan betapa pemuda itu menyatakan kepada dua orang wanita Garuda
Hitam bahwa dia biasa membunuh orang dengan jari tangannya, dia lalu menepuk
pahanya. “Aihhh! Dia itu tentu Si Jari Maut!“
“Siapa,
Ayah?” Kok Tiong dan adiknya bertanya.
“Siapa lagi
kalau bukan dia! Dia tentu Ang Tek Hoat, pemuda yang memang memiliki kepandaian
hebat, yang telah membunuh Tambolon dan kaki tangannya. Akan tetapi, bukankah
dia diangkat menjadi Panglima Bhutan dan menikah dengan Puteri Syanti Dewi di
Bhutan? Mengapa dia muncul di sini? Sungguh aneh.”
“Menurut
dia, yang merampas harta benda kita adalah Suma-kongcu, Ayah. Jelaslah
sekarang, tepat seperti dugaanku bahwa tentu Suma-kongcu dipergunakan oleh
Kaisar untuk mencelakakan kita,” kata Kok Tiong.
“Hemm... si
keparat kalau begitu!” Jenderal Kao Liang mulai percaya.
Sungguh pun
hal ini amat mengherankan hatinya, namun dia menjadi marah juga, tidak mengira
bahwa putera Pendekar Super Sakti mampu dan sampai hati pula me-lakukan
perbuatan yang jahat itu. Jika hanya merampas harta benda, mengapa harus
menculik keluarganya? Kalau memang disuruh merampas, mengapa tidak
terang-terangan saja?
“Tidak ada
jalan lain, anak-anakku. Kita menghadapi keluarga Pulau Es yang sangat sakti.
Keluarga kita dalam bahaya, kalau tidak sudah terbasmi. Maka satu-satunya jalan
hanya pergi minta bantuan kakak kalian.”
“Cu-twako
(Kakak Terbesar Cu)!” kata Kok Tiong dan Kok Han berbareng.
“Benar,
hanya dia saja yang akan mampu menghadapi keluarga Pulau Es!” Jenderal itu
mengepal tinju dan bangkit berdiri. “Hayo kita kembali ke utara, mencari Kok
Cu.”
Maka
berangkatlah ayah beserta anak yang prihatin dan gelisah ini, mengambil jalan
kembali ke utara, jalan yang mereka lalui selama ini karena selain hendak
mengunjungi Kao Kok Cu si Naga Sakti Gurun Pasir, juga mereka hendak
menyelidiki kalau-kalau dapat menemukan jejak keluarga mereka. Mereka lalu
menuju ke jalan kecil di bukit, jalan yang diapit-apit tebing tinggi di mana
malapetaka itu menimpa mereka.
Ketika
mereka tiba dekat jalan yang menuju ke mulut tebing itu, mereka merasa ngeri
karena mengira bahwa tentu mereka akan melihat mayat-mayat yang membusuk dan
berbau. Akan tetapi mereka tidak mau mengambil jalan lain karena mereka hendak
menyelidiki kembali. Akhirnya mereka tiba di mulut tebing di mana tadinya
terdapat banyak sekali mayat orang. Akan tetapi, betapa heran hati mereka
ketika melihat tempat itu sudah bersih, tidak nampak sebuah pun mayat manusia
dan sebagai gantinya, di situ terdapat gundukan tanah yang amat besar, yang
merupakan sebuah kuburan raksasa! Agaknya semua mayat itu dikubur menjadi satu.
Siapa yang mengubur? Tempat itu jauh dari dusun dan sunyi sekali.
Mereka tidak
terlalu mempedulikan hal ini dan melanjutkan perjalanan memasuki lorong yang
diapit-apit tebing tinggi, di mana juga terdapat mayat-mayat ketika mereka
pergi, yaitu mayat-mayat dari para pengawal mereka dan para tukang pikul tandu.
Akan tetapi ketika tiba di tempat itu, mereka terkejut melihat seorang pemuda
berpakaian putih-putih sedang mengubur mayat-mayat itu ke dalam sebuah lubang
besar. Mereka terheran-heran, akan tetapi Jenderal Kao Liang segera mengenal
pemuda itu dan dengan marah sekali jenderal ini mencabut sebatang pedang yang
diambilnya dari pinggir jalan dekat tempat pertempuran tadi, kemudian dia
menyerang pemuda berpakaian putih itu sambil membentak, “Kiranya kau... kau
keparat, penjahat muda Suma!”
Kini dua
orang putera Jenderal Kao Liang juga mengenal pemuda itu yang bukan lain adalah
Suma Kian Lee, salah seorang putera Pendekar Super Sakti. Maka mereka pun cepat
mencabut pedang dan menyerangnya.
Suma Kian
Lee terkejut dan terheran-heran bukan main. Tidak disangkanya dia akan bertemu
dengan Jenderal Kao Liang dan dua orang puteranya, apa lagi mereka lantas
menyerangnya dengan penuh kemarahan itu.
“Ehh...
ehh... Kao-goanswe (Jenderal Kao) ada apakah?” Dia cepat mengelak ke kanan kiri
menghindarkan diri dari sambaran tiga batang pedang itu. Gerakannya tenang,
akan tetapi cepat seperti terbang. “Tahan dulu, jangan terburu nafsu.”
Akan tetapi,
Jenderal Kao Liang dan dua orang puteranya yang sudah menjadi marah sekali
karena mereka merasa yakin bahwa pemuda inilah yang telah melakukan penculikan
keluarga mereka, sudah menyerang lagi, bahkan kini secara berbareng dari tiga
jurusan, pedang mereka menusuk ke arah dada pemuda itu.
Suma Kian
Lee mengenjot tubuhnya. Lenyaplah bayangannya dari kurungan tiga orang itu yang
menjadl terkejut, dan ketika itu pedang mereka sudah menusuk, seakan-akan
saling bertemu di tempat bekas Suma Kian Lee berdiri tadi dan tahu-tahu dari
atas tubuh Suma Kian Lee sudah turun dan kini kedua kaki pemuda berpakaian
putih itu menginjak tiga batang pedang tadi! Dengan mengerahkan ginkang
sehingga tubuhnya ringan, dan menggunakan sinkang yang disalurkan kepada kedua
kakinya sehingga tiga batang pedang yang diinjaknya itu seakan-akan menempel
dan melekat di kakinya, Suma Kian Lee telah berdiri di atas tiga batang pedang
itu dan berkata, “Kao-goanswe, harap sabar dulu dan mari kita bicara.”
“Mau bicara
apa lagi, keparat keji?!” Jenderal Kao membentak dan ia lalu menggunakan tangan
kiri untuk mencengkeram.
“Bangsat
rendah!” Kok Tiong juga menggunakan tangan kiri mencengkeram karena seperti
juga ayahnya dan adiknya, dia tidak mampu menarik kembali pedangnya.
“Mampuslah
kau, setan jahat!” Kok Han membentak sambil memukul dengan tangan kiri ke arah
kaki yang menginjak pedang.
“Ahhhhh...!”
Tubuh Suma Kian Lee mencelat dan ternyata dia sudah menghindarkan
serangan-serangan tangan kiri itu dengan lompatan jauh sekali, lalu melarikan
diri.
Jenderal Kao
Liang dan dua orang puteranya cepat mengejar dengan marah, namun sia-sia belaka
karena pemuda berpakaian putih itu telah menghilang. Jenderal Kao menarik napas
panjang. “Ahhh, betapa saktinya dia! Jelas bahwa kekuatan kita tak akan mampu
menghadapinya, hanya Kok Cu yang akan sanggup menandinginya. Percuma mengejar
dia, lebih baik kita melanjutkan perjalanan mencari Kok Cu.”
Siapakah
pemuda lihai berpakaian putih yang memiliki kesaktian hebat, dan yang bernama
Suma Kian Lee itu? Para pembaca Kisah Sepasang Rajawali Sakti tentu mengenal
baik tokoh ini pula. Suma Kian Lee adalah seorang pemuda yang tampan dan gagah,
mukanya agak bundar, bermata lebar jernih dan sinarnya tajam namun halus,
sikapnya tenang, teliti dan sabar, namun dia selalu bersikap pendiam dan
serius. Inilah putera pertama dari Pendekar Super Sakti yang lahir dari
isterinya yang kedua, yaitu Lulu bekas ketua Pulau Neraka atau adik angkat
sendiri dari Pendekar Super Sakti.
Sebagai
putera bekas ketua Pulau Neraka yang memiliki kepandaian yang mengerikan dan
putera Pendekar Siluman yang memiliki kesaktian hebat, tentu saja Suma Kian Lee
juga telah mewarisi ilmu-ilmu dari Pulau Es.
Seperti
telah diceritakan di dalam cerita Kisah Sepasang Rajawali, Suma Kian Lee
mengalami patah hati, mengalami kegagalan kasih tak sampai karena dia jatuh
cinta kepada seorang dara cantik jelita dan gagah perkasa yang bernama Lu Ceng
atau Ceng Ceng, yang kemudian ternyata adalah masih keponakannya sendiri karena
Ceng Ceng adalah anak tidak sah dari kakak tirinya seibu, yaitu mendiang Wan
Keng In, seperti halnya pemuda Ang Tek Hoat. Tentu saja tidak mungkin dia dapat
berjodoh dengan keponakannya yang masih sedarah dengan dia, masih keturunan
ibunya. Hal ini tentu saja membikin luka perasaan hatinya yang masih muda.
Cinta itu adalah cinta pertama dan dia telah gagal! Akhirnya, seperti telah
dituturkan dalam Kisah Sepasang Rajawali, dia disuruh pulang ke Pulau Es oleh
ayahnya.
Akan tetapi,
setelah dia sembuh lahir dan batin, dia meninggalkan Pulau Es lagi untuk
merantau di daerah utara, memperdalam kepandaiannya. Beberapa tahun kemudian,
dia merasa rindu kepada adiknya, yaitu Suma Kian Bu, yang masih belum pulang
dan telah meninggalkan Pulau Es selama bertahun-tahun. Sudah lima tahun dia
berpisah dari adiknya yang dia cinta itu, maka dia lalu pergi ke selatan untuk
mencari adiknya. Seperti juga dia sendiri, lima tahun yang lalu adiknya itu
telah mengalami patah hati karena cinta kasih yang gagal.
Kini usianya
telah cukup dewasa, telah dua puluh dua tahun dan kalau dia mengenang masa lalu
dia menjadi malu sendiri. Mengapa dia begitu bodoh, begitu mudah patah hati?
Diam-diam dia malah girang bahwa dia gagal berjodoh dengan Ceng Ceng yang
ternyata adalah keponakannya sendiri itu, dan diam-diam dia hanya dapat
mendoakan agar Ceng Ceng yang kabarnya berjodoh dengan orang yang dikasihinya,
yaitu putera Jenderal Kao, putera sulung yang amat sakti itu, hidup bahagia.
Dia akan
mencari adiknya. Membayangkan pertemuannya dengan adiknya saja sudah merupakan
kegembiraan tersendiri. Kini adiknya itu pun tentu sudah dewasa, bukan setengah
anak-anak seperti dahulu lagi. Betapa nakalnya Kian Bu! Tukang menggoda orang,
tukang menggoda wanita yang akhirnya tergoda hatinya oleh seorang wanita cantik
jelita, Puteri Syanti Dewi sampai hati adiknya itu menjadi remuk!
“Bu-te (Adik
Bu), kasihan engkau...!” Gerutunya setiap kali dia teringat kepada adiknya.
Ketika dia
teringat akan kepatahan hati adiknya, dia lalu menduga bahwa boleh jadi adiknya
itu masih berkeliaran di sekitar daerah yang berdekatan dengan tempat tinggal
Syanti Dewi, yaitu di Bhutan. Tidak ada petunjuk lain baginya, maka dia lalu
menuju ke selatan, hendak ke Bhutan mencari Suma Kian Bu.
Ketika tiba
di dekat Sungai Huangho, di celah tebing itu dia melihat banyak sekali mayat
manusia berserakan. Hatinya menjadi terharu sekali. Pemuda ini adalah keturunan
langsung dari Pendekar Super Sakti, seorang pendekar yang selain sakti juga
bijaksana dan budiman, maka tentu saja melihat begitu banyak mayat manusia
berserakan tidak diurus, hatinya menjadi terharu dan kasihan. Maka ia lalu
turun tangan menggali lubang besar dan menanam semua mayat itu.
Kemudian
ketika dia melihat pula mayat-mayat di lorong yang diapit-apit tebing, dia pun
cepat menggali lubang dan mengubur mayat-mayat yang hampir membusuk itu. Akan
tetapi dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika secara mendadak dia diserang
oleh Jenderal Kao Liang dan dua orang puteranya!
Diserang
mati-matian dengan maki-makian dan agaknya dia dituduh melakukan hal-hal yang
amat jahat, Suma Kian Lee menjadi bingung dan karena mereka itu tidak mau
diajak bicara, terpaksa dia melarikan diri. Memang ada rasa enggan di hatinya
untuk bertemu dengan keluarga Kao ini. Bukankah Ceng Ceng menjadi mantu
jenderal itu, berjodoh dengan Kao Kok Cu yang terkenal dengan julukan Si Naga
Sakti Gurun Pasir? Selain enggan bertemu juga dia diserang tanpa diberi
kesempatan membela diri, maka lebih baik dia menyingkir.
Akan tetapi,
sejak kecilnya Kian Lee adalah seorang yang memiliki sifat sabar, tenang dan
teliti. Dia selalu berpikiran cermat, maka dia pun tidak menjadi marah melihat
sikap Jenderal Kao dan dua orang puteranya yang telah memaki-makinya dan
menyerangnya untuk membunuh, tadi. Di dalam peristiwa ini tentu ada rahasianya,
dia merasa yakin. Tentu ada kesalah pahaman besar. Tentu ada sesuatu yang
membuat keluarga Kao itu membencinya sehingga melakukan perbuatan itu. Dan dia
harus menyelidiki hal ini!
Setelah Kian
Lee kembali ke tempat tadi dan mengintai dengan cara sembunyi, melihat bahwa
Jenderal Kao Liang dan dua orang puteranya yang mengamuk tadi benar-benar telah
pergi, dia kemudian melanjutkan pekerjaannya yang tadi tertunda, yaitu mengubur
mayat-mayat itu dalam sebuah lubang, kemudian menimbuninya dengan tanah sampai
merupakan sebuah kuburan raksasa yang terisi puluhan mayat orang. Setelah
selesai, Kian Lee hendak melanjutkan perjalanannya, akan tetapi betapa kagetnya
ketika tiba-tiba bermunculan pasukan yang jumlahnya kurang lebih seratus orang,
yang sudah mengurungnya dari depan dan belakang diapit-apit tebing tinggi itu!
“Hemmm...!”
Geramnya, akan tetapi dia masih belum tahu apa yang sesungguhnya terjadi.
Apakah Jenderal Kao Liang benar-benar hendak mencelakakan dirinya dan kini
mengerahkan pasukannya? Jika begitu, ia harus berkeras menuntut penjelasan
kenapa jenderal itu bersikap seperti itu.
Dia berdiri
di tengah-tengah, sikapnya tenang dan ketika dia melihat seorang Kakek tinggi
besar yang berpakaian perwira dan agaknya menjadi pemimpin pasukan itu, Kian
Lee melangkah maju menghampiri.
“Apa artinya
ini?” tanyanya dengan sikap tenang, menduga bahwa perwira ini tentulah anak
buah Jenderal Kao Liang yang masih belum muncul.
Perwira
tinggi besar itu usianya sudah enam puluh tahun, namun kelihatan tubuhnya kokoh
kekar penuh dengan tenaga. Mendengar pertanyaan Kian Lee, dia lalu tertawa.
“Ha-ha-ha, kau masih menanyakan artinya? Artinya, orang muda, bahwa engkau
harus menyerah kami tangkap.”
“Hemmm,
mudah saja menangkap orang, Ciangkun. Akan tetapi, setiap menangkap orang harus
lebih dulu jelas akan kesalahannya, bukan? Bolehkah aku tahu, apa pula
kesalahanku maka engkau memimpin pasukan hendak menangkap aku?”
“Ho-ho,
orang muda yang pandai bicara! Sudah jelas engkau membunuh banyak orang dan
hendak menyembunyikan perbuatanmu dengan mengubur mereka, kini engkau masih
pura-pura bertanya apa salahmu? Hayo menyerah, jangan sampai aku turun tangan
dengan kekerasaan!”
Kian Lee
mendengar ini dengan perasaan heran. Dia mengubur mayat-mayat yang berserakan
itu karena kasihan, ternyata malah dituduh membunuh mereka itu! Akan tetapi,
Jenderal Kao Liang tadi tidak menyatakan tuduhannya itu? Andai kata Jenderal
Kao Liang menuduhnya demikian, mengapa jenderal itu dan dua orang puteranya
serta merta menyerang tanpa bertanya lebih dulu?
“Apakah
engkau diutus menangkap aku oleh Jenderal Kao?”
Perwira itu
membelalakkan mata, agaknya terheran-heran mendengar ucapan dalam pertanyaan
ini. “Jenderal Kao? Siapa yang kau maksudkan.” Dia sama sekali tak pernah
menduga bahwa yang dimaksudkan dalam pertanyaan pemuda itu adalah Panglima
Besar Kao yang telah dipensiun, dan mengira bahwa pemuda itu maksudkan seorang
jenderal lain yang she Kao. “Jangan banyak cakap yang bukan-bukan, orang muda.
Aku adalah Perwira Su Kiat yang bertugas menjaga daerah utara dari Propinsi
Ho-nan ini. Engkau telah melakukan banyak pembunuhan, maka kami harus
menangkapmu untuk kami hadapkan kepada Gubernur di Ho-nan untuk mempertanggung
jawabkan semua perbuatanmu.”
Diam-diam
Kian Lee menjadi semakin heran. Jelas bahwa perwira ini tidak pernah bertemu
atau berhubungan dengan Jenderal Kao Liang! Dia hendak ditangkap karena
semata-mata kelihatan mengubur mayat-mayat itu dan dituduh membunuh mereka.
“Su-ciangkun,
maafkan aku, akan tetapi aku tidak membunuh mereka itu! Ketahuilah, aku adalah
seorang perantau yang kebetulan lewat di sini dan melihat adanya banyak mayat
manusia berserakan tidak terurus, aku menjadi kasihan dan aku lalu mengubur
mereka. Jangan kau menuduh aku membunuh.”
“Ha-ha-ha!
Ho-ho…! Kalian dengar itu? Betapa lucunya! Mana ada orang begitu gatal tangan
mengubur mayat-mayat yang begitu banyak kalau dia tidak berkepentingan
langsung? Tentu kau mengubur mereka untuk menutupi perbuatanmu yang kejam. Heh,
siapa namamu, orang muda?”
“Namaku
adalah Suma Kian Lee.”
“Hayo kau
berlutut, dan menyerah kami tangkap!”
Kian Lee
mengerutkan alisnya dan mengangkat dadanya. “Su-ciangkun, aku tak merasa
bersalah bagaimana mungkin aku harus menyerah?”
“Jadi engkau
hendak melawan?!” Suciangkun membentak marah.
“Aku tidak
hendak melawan dan bermusuhan dengan siapa pun, Ciangkun. Akan tetapi aku tidak
pernah membunuh orang, maka kalau aku hendak ditangkap dengan tuduhan membunuh
orang, tentu saja aku tidak mau menyerah.”
“Bagus! Kau
memang pembunuh besar dan engkau bernyali besar berani menentang perintah
Perwira Su Kiat!” Perwira tinggi besar itu menengok ke kiri di mana terdapat
batu menonjol dari dinding tebing. “Lihat, apakah kepalamu lebih keras dari
pada ini?” Dia mengayun tangan kanannya menampar ke arah batu menonjol itu.
“Prakkk!”
Batu itu pecah berhamburan!
Melihat cara
perwira itu menampar batu tahulah Kian Lee bahwa perwira itu adalah seorang
ahli gwa-kang (tenaga luar) yang mengandalkan kerasnya kulit dan kuatnya otot.
Dia tersenyum dan mengangguk-angguk.
“Entah
berapa tahun lamanya engkau melatih tanganmu sehingga sekuat besi, Su-ciangkun.
Akan tetapi apakah latlhan bertahun itu hanya untuk memukul pecah batu dan
menakut-nakuti orang? Kalau aku memang bersalah, tanpa kau gertak pun aku akan
menyerahkan diri dengan suka rela. Akan tetapi aku tidak berdosa dan tidak
takut akan gertakanmu.”
“Keparat,
kau menantang?” Su-ciangkun lalu menerjang ke depan, kedua tangannya menyerang
dari kanan kiri sambil mengembangkan kedua lengannya yang panjang dan besar.
Kian Lee
tidak mau membuang waktu lagi. Melihat sambaran kedua tangan itu, dia memapaki
dengan tamparan tangannya ke arah pergelangan tangan yang besar itu.
“Plak! Plak!
Aduhhhhh...!” Perwira Su Kiat mengaduh-aduh karena kedua lengannya terasa panas
dan lumpuh seketika.
“Hayo
tangkap! Bunuh!” teriaknya sambil mengaduh-aduh.
Anak buahnya
lalu mengepung dan mulai menyerbu dengan senjata mereka. Melihat ini, Kian Lee
merobohkan beberapa orang dengan tamparan dan tendangannya, tanpa melukai
berat, kemudian dia meloncat, tubuhnya tiba di dinding yang terjal dan di lain
saat, semua orang melongo ketika melihat betapa tubuh pemuda berpakaian
putih-putih itu seperti seekor cecak merayap di tembok saja. Demikian cepat
gerakannya seolah-olah dia berjalan di tanah datar padahal tebing itu terjal
sekali!
Melihat
pemuda itu dengan mudahnya melarikan diri melalui tebing yang terjal sehingga
tidak ada kemungkinan lagi bagi dia dan anak buahnya untuk mengejar,
Su-ciangkun lalu memerintahkan anak buahnya untuk mengambil alat tiup dari
kantung bajunya karena kedua tangannya masih lumpuh dan untuk meniup alat itu
dengan keras.
Terdengar
suara bersuitan berkali-kali dari lorong celah tebing itu, akan tetapi Kian Lee
tidak peduli dan merayap terus sampai dia tiba di atas tebing. Akan tetapi baru
saja dia melompat beberapa langkah, tiba-tiba di depannya berdiri seorang kakek
yang usianya tentu sudah enam puluh tahun lebih, rambutnya yang kemerahan itu
awut-awutan dan tangannya memegang sebuah guci arak, mulutnya berbau arak dan
bibirnya masih basah oleh arak yang menetes-netes. Di sebelah kakek aneh ini
berdiri dua orang perwira tinggi yang usianya juga sudah enam puluhan. Kakek
berambut kemerahan itu memandang Kian Lee dengan sikap acuh tak acuh, akan
tetapi dua orang perwira tinggi itu memandang dengan mulut tersenyum, kemudian
mereka menjura ke arah Kian Lee dengan sikap hormat.
“Tidak
kelirukah pendengaran kami barusan tadi bahwa Sicu bernama Suma Kian Lee?”
Seorang di antara dua perwira tinggi itu bertanya dengan sikap hormat sambil
menjura.
Kian Lee
yang melihat sikap hormat itu membalas dengan menjura sambil menjawab, “Benar.”
“Ahhh, kalau
begitu harap Taihiap sudi memaafkan akan kelancangan Su-ciangkun terhadap
Taihiap. Tentu Suma-taihiap dapat memaklumi kecurigaan Su-ciangkun yang
menghadapi pembunuhan besar-besaran yang sudah terjadi di daerah ini, dan
mengira Taihiap yang melakukan pembunuhan itu. Apakah Taihiap mengerti siapa
pula yang melakukan pembunuhan-pembunuhan itu?”
Kian Lee
menggelengkan kepalanya. “Saya kebetulan lewat di daerah ini dan melihat
tumpukan mayat, maka saya lalu menguburnya.”
“Heh-heh,
bijaksana bijaksana...” Kakek yang berambut kemerahan itu berkata seperti pada
diri sendiri, kemudian menenggak arak dari gucinya sampai mengeluarkan suara
menggelogok.
Akan tetapi
dua orang perwira tinggi agaknya sudah biasa dengan sikap aneh ini, maka mereka
tidak memperdulikan, melainkan berkata lagi kepada Kian Lee dengan sikap
hormat. “Kebetulan sekali Suma-taihiap lewat di daerah kami dan Paduka Gubernur
kami memang memesan kepada kami supaya setiap orang pendekar besar yang lewat
agar dipersilakan untuk singgah. Selain Paduka Gubernur hendak berkenalan
dengan orang-orang handal, juga untuk menghadiri pesta yang akan diadakan untuk
menyambut utusan Kaisar dari kota raja. Banyak sekali tamu yang akan hadir,
juga dari kalangan kang-ouw, maka kami atas nama gubernur mengundang Taihiap
untuk singgah pula.”
Kian Lee
berpikir cepat. Dia menghadapi rahasia besar, keanehan sikap Jenderal Kao
Liang, kematian banyak orang yang tidak diketahui siapa pembunuhnya, dan
undangan Gubernur Ho-nan yang juga aneh. Kalau Gubernur Ho-nan yang mengadakan
pesta, tentu dan pasti Jenderal Kao Liang akan hadir pula, karena jenderal ini
memiliki kedudukan yang sangat tinggi. Mungkin dia akan mendapat keterangan
tentang semua rahasia ini di rumah gubernur, dan bukan tidak mungkin pula dia
akan dapat mendengar sesuatu tentang adiknya, karena dia akan bertemu dengan
banyak tokoh kang-ouw di rumah Gubernur Ho-nan itu.
“Terima
kasih atas undangan Ji-wi Ciangkun, dan tentu saja saya akan suka sekali.”
Dua orang perwira
tinggi itu menjadi girang sekali dan seorang di antara mereka segera
memperkenalkan diri, dan memperkenalkan kakek peminum arak berambut kemerahan
itu, “Lo-enghiong ini adalah seorang tokoh pengawal kepercayaan Paduka Gubernur
Ho-nan, dia terkenal dengan julukannya Ho-nan Ciu-lo-mo (Setan Arak Tua dari
Ho-nan).“
“Heh-heh,
julukan kosong! Namaku adalah Wan Lok it!” Kakek berambut merah itu menyela dan
membalas penghormatan Kian Lee dengan anggukan kepala acuh tak acuh.
Kian Lee
tidak menjadi kecil hati melihat sikap tidak pedulian ini karena pemuda ini
sudah kenyang akan pengalaman bertemu dengan orang-orang sakti di dunia
kang-ouw yang memang banyak yang berwatak aneh dan tidak acuh.
Mereka lalu
berangkat, diiringkan oleh Su-clangkun yang sudah naik ke tebing dengan jalan
memutar, dan anak buahnya yang seratus orang banyaknya itu, kembali ke kota
Lok-yang di mana Gubernur Propinsi Ho-nan tinggal. Untuk menuju ke Lok-yang,
mereka menyeberangi Sungai Kuning dan ternyata di sebuah pantainya telah
tersedia perahu-perahu pasukan itu sehingga perjalanan itu dapat dilakukan
dengan mudah.
Pada waktu
itu, yang menjadi gubernur di Ho-nan, propinsi di sebelah selatan Sungai Kuning
itu, adalah seorang bertubuh kecil kurus, berusia lima puluh tahun bernama Kui
Cu Kam. Gubernur Kui ini pun merasa tidak senang kepada kaisar oleh karena
banyak menggeser dan menyingkirkan orang-orang penting yang tadinya banyak
berjasa untuk kerajaan. Timbullah rasa tidak senangnya dan jiwa kepahlawanan
gubernur ini, yang menganggap Kaisar bangsa Mancu yang menjajah tanah airnya
itu sudah keterlaluan.
Dia sendiri
adalah seorang Han tulen yang kebetulan masih mendapatkan kepercayaan untuk
menjadi gubernur, hal yang sudah mulai langka terjadi. Ketika mendengar betapa
Jenderal Kao Liang juga dipensiunkan, hatinya makin panas dan mulailah gubernur
ini berpikir untuk memisahkan diri dari kedaulatan Kaisar Kang Hsi yang sudah
tua dan mulai bertindak sewenang-wenang itu.
Memang pada
waktu itu Gubernur Kui sedang menantikan datangnya utusan kaisar dari kota
raja. Untuk menyelimuti dan menyembunyikan niatnya untuk memisahkan diri dan
berdiri sendiri, yang akan dilakukan lambat-laun setelah dia dapat menyusun
kekuatan, maka Gubernur Kui mengadakan penyambutan besar-besaran. Sejak jauh
hari sebelum utusan itu tiba, istana Gubernur telah dihias dengan megah.
Tamu-tamu dari seluruh propinsi, yaitu para pembesar sipil dan militer, kaum
hartawan dan terkemuka, bahkan tokoh-tokoh kang-ouw yang kenamaan, semua
menerima undangan.
Dua orang
perwira tinggi yang mewakili gubernur yang tentu saja sibuk sekali itu lalu
mempersilakan Kian Lee untuk tinggal di sebuah kamar dekat taman, sebuah di
antara kamar-kamar tamu yang banyak disediakan untuk para tamu yag dihormati.
Sedangkan Si Rambut Merah dengan guci araknya yang sudah kosong itu segera
meninggalkan taman untuk bertugas di dalam sebagai pengawal pribadi gubernur.
Ditinggal
seorang diri, Kian Lee memeriksa kamarnya yang memang megah dan indah. Tadi dia
diberi tahu bahwa pesta akan diadakan malam nanti di waktu bulan purnama untuk
menyambut tamu agung dari kota raja, dan dia dipersilakan mengaso di dalam
kamar ini dan akan dikirim seorang pelayan yang akan melayani segala
keperluannya.
Kamar itu
memang menyenangkan, terpisah dari kamar-kamar lain dan ketika Kian Lee ke luar
ke depan, ternyata kamarnya itu menghadap taman dan dari situ tampak banyak
kamar-kamar yang sebagian sudah ditempati orang-orang lain yang agaknya juga
tamu-tamu dari tempat jauh yang telah datang lebih dulu. Terdengar suara
nyanyian merdu diiringi yang-kim (alat musik bersenar) dari beberapa buah kamar
tamu itu, diseling suara ketawa.
Kian Lee
kemudian masuk lagi ke dalam kamarnya, menutupkan jendela dan daun pintu karena
dia ingin beristirahat sebelum menghadapi pesta itu di mana dia harapkan akan
dapat memecahkan rahasia peristiwa-peristiwa aneh yang dialaminya tadi, dan
kalau mungkin mendengar berita tentang adiknya. Hari telah siang dan dia masih
mempunyai waktu setengah hari untuk mengaso.
Akan tetapi
belum lama dia merebahkan diri terlentang di atas pembaringan yang lunak dan
hampir saja pulas, tiba-tiba pendengarannya yang tajam dapat menangkap suara
ketukan halus pada daun pintu kamar itu. Dia cepat bangkit duduk lalu melangkah
ke pintu dan dengan amat hati-hati dia membuka daun pintu. Terkejutlah dia
ketika melihat seorang wanita muda yang amat cantik, tetapi melihat wanita itu
membawa sebuah baki berisi makanan dan minuman, dia dapat menduga bahwa wanita
ini biar pun kelihatan cantik sekali, adalah seorang pelayan.
“Maaf,
Kongcu. Saya bertugas melayani Kongcu dan hendak mengantar makanan dan minuman
untuk Kongcu.”
Kian Lee
merasa agak canggung. Belum pernah dia berada di dalam kamar bersama seorang
wanita muda yang cantik seperti itu, sungguh pun wanita itu hanyalah seorang
pelayan. Tidak mungkin dia menolak, maka dia mengangguk dan mundur, memberi
jalan kepada wanita itu yang melangkah masuk. Masih tercengang Kian Lee
mengawasi wanita yang membawa baki itu berlenggang dengan halus, seperti
lenggang seorang puteri saja, menghampiri meja, kemudian jari-jari tangan yang
halus meruncing itu menurunkan mangkok piring dan masakan-masakan ke atas meja,
mengatur hidangan di atas meja dengan sikap halus namun cekatan.
“Kongcu,
silakan makan dan minum!” katanya lagi, suaranya merdu dan halus, juga sopan
teratur, seperti kata-kata yang keluar dari seorang yang terdidik baik.
“Terima
kasih,” Kian Lee menjawab lalu menghampiri meja makan yang bundar kecil itu.
Masakan-masakan
itu masih mengebul panas, nasinya putih dan di situ terdapat arak dan air teh.
Hidangan yang cukup lengkap dan baunya sedap menimbulkan selera, apa lagi
karena perutnya memang sudah lapar.
Tetapi
pemuda itu tidak jadi mengambil mangkok untuk diisi masakan ketika dia melihat
wanita muda itu dengan langkah-langkah gontai menuju ke pintu, kemudian
bukannya keluar dari pintu dan pergi, melainkan menutup daun pintu dengan
perlahan, kemudian dia melangkah kembali dan berdiri tak jauh dari meja dengan
sikap menanti!
Kian Lee
menelan ludah, merasa kikuk, lalu menoleh. “Eh, kau... kau... tidak pergi?”
Wanita itu
memandang dengan sinar matanya yang halus, lalu tersenyum. Bukan main manisnya
senyum itu, senyum yang sopan karena agaknya nona itu geli hatinya melihat
pemuda yang gagap gugup ini. Lalu dia menggeleng kepala dan berkata, “Kongcu,
mengapa saya mesti keluar? Saya telah ditugaskan untuk melayani Kongcu di sini.
Silakan Kongcu makan, saya akan menanti di sini untuk melayani segala keperluan
Kongcu. Silakan dan jangan malu-malu!” Kembali dia tersenyum.
Kian Lee
mengangguk, kemudian ia mengambil mangkok kosong dan mengisi mangkok dengan
nasi putih. Ketika mengambil sepasang sumpit dan hendak mulai menyumpit, dia
mengerling dan melihat wanita itu berdiri memandangnya, dia kembali menelan
ludah.
“Eh, mari
kau duduk dan makan bersama!” katanya.
Wanita itu
kaget sekali, terbelalak, mukanya yang cantik dan putih halus itu menjadi
kemerahan, kelihatan dia malu sekali. “Aih, Kongcu, mana saya berani? Silakan
Kongcu makan.“
“Ahh,
mengapa tidak? Tidak enak sekali makan sendiri dan kau... kau hanya menonton.
Mari kita makan bersama.” Kian Lee yang masih belum banyak pengalaman sehingga
dia tidak tahu bahwa mengajak makan bersama seorang wanita muda mempunyai arti
yang lain lagi, yang lebih mendalam!
Tentu saja
pelayan itu menjadi malu sekali dan mukanya makin merah. “Harap Kongcu tidak
mempunyai maksud yang bukan-bukan,” katanya halus dan suaranya mendadak menjadi
demikian menggetar seolah-olah mengandung kedukaan dan kegelisahan yang besar
sekali.
Kian Lee
terkejut dan meletakkan mangkoknya. “Eh, Nona, harap jangan salah kira. Aku
tidak mempunyai maksud yang bukan-bukan, melainkan sejujurnya mengajak engkau
makan. Aku... aku tidak biasa dilayani seperti ini, dan aku mengajak engkau
makan seperti seorang sahabat, apa salahnya?”
Sejenak
sepasang mata yang indah jernih memandang dengan bengong dan terheran-heran,
seolah-olah menjelajahi dan menyelidiki wajah Kian Lee. Kemudian wanita muda
itu menghela napas panjang dan menjura. “Maaf, Kongcu, saya memang tadi salah
duga. Kongcu baik sekali. Terima kasih. Akan tetapi saya sudah makan, maka
silakan Kongcu makan sendiri. Kalau Kongcu tidak biasa ditunggu seperti ini,
biarlah saya main yang-kim selagi Kongcu makan, agar tidak terganggu.”
Kian Lee
mengangguk-angguk dan ketika dia melihat wanlta itu kini mengambil sebuah alat
musik yang-kim yang tergantung di dinding, kemudlan menyetel senar-senarnya dan
duduk di atas sebuah bangku kecil di sudut kamar, agak di belakangnya, maka dia
pun mulai makan. Biar pun dia makan, akan tetapi sebagian dari perhatiannya
tercurah ke belakang, ke arah suara yang dibuat wanita itu, melalui
pendengarannya. Tadinya dia hanya mendengar suara senar yang-kim disetel,
kemudian terdengar senar-senar itu dimainkan, perlahan-lahan dan merdu
suaranya….
Kian Lee
tersenyum seorang diri. Sungguh aneh pengalamannya. Pagi tadi mengalami hal
yang tak enak, kini begini enaknya. Makan masakan yang lezat-lezat, diiringi
musik yang merdu! Bukan main! Dia merasa sangat dimanja. Di Pulau Es pun tidak
seperti ini hidupnya. Bahkan ketika dia berada di istana Puteri Milana, kakak
tirinya, dia pun tidak dimanja seperti ini!
Akan tetapi
tiba-tiba perhatiannya makin banyak tercurah ke belakangnya, ketika dia
mendengar suara nyanyian yang halus merdu, nyanyian yang dilakukan dengan amat
perlahan namun cukup jelas oleh pendengarannya, nyanyian yang diiringi oleh
senar senar yang-kim yang berkentring. Nyanyian itu memang indah, suara lirih
itu setengah berbisik-bisik amat merdunya, namun yang menarik perhatiannya
adalah kata-kata dari nyanyian itu.
Tiada ayah
tiada bunda
tiada sanak
keluarga
badan
sendiri nyaris binasa!
Apa daya si
dara lemah
cintanya
bertepuk tangan sebelah
mengubur
diri dalam keluh-kesah!
Pendekar
sakti penolong nyawa
yang
disanjung dan dipuja
telah jauh
meninggalkannya!
Nyanyian itu
demikian menyedihkan, suara itu menggetar penuh perasaan sehingga Kian Lee tak
dapat menahan diri untuk tidak menoleh. Betapa heran hatinya ketika dia melihat
gadis yang masih mainkan yang-kim akan tetapi sudah tidak bernyanyi lagi itu
menunduk dan kedua pipinya terhias butiran-butiran air mata! Gadis itu kini
bernyanyi sambil menangis!
Kian Lee
mengakhiri makannya, meneguk secangkir air teh, kemudian dia membalikkan
tubuhnya menghadapi gadis pelayan yang masih bermain yang-kim sambil menunduk
itu.
“Nona...!”
dia memanggil.
Gadis itu
masih terus bermain yang-kim dengan perlahan, tidak menjawab seolah-olah
semangatnya melayang jauh mengikuti alunan suara yang-kim.
“Nona...,
hentikan permainan yang-kim itu!” Kian Lee kembali menegur.
Suara
yang-kim tiba-tiba berhenti. Nona itu kelihatan terkejut, cepat mengusap
pipinya dengan ujung lengan baju dan bangkit berdiri, menggantungkan
yang-kim-nya dan menghampiri meja. “Maaf apakah Kongcu telah selesai makan?”
tanyanya, suaranya masih setengah berbisik dan mengandung isak tertahan.
Kian Lee
mengangguk dan memandang gadis itu membereskan mangkok, piring, dan menumpuknya
di atas baki, kemudian berkata, “Saya menyingkirkan mangkok piring dulu,
sebentar saya kembali. Apakah Kongcu perlu diambilkan sesuatu?”
Kian Lee
menggeleng dan hanya memandang ketika wanita itu keluar dari kamarnya. Dia
termenung, masih terngiang di telinganya isi nyanyian kuno tentang seorang
wanita ditinggalkan kekasihnya. Akan tetapi mengapa gadis itu bernyanyi sambil
menangis? Dia memandangi yang-kim yang kini tergantung di dinding, semuanya
melayang-layang dan terbayanglah dia kepada wajah Ceng Ceng, keponakannya atau
bekas kekasihnya, gadis yang telah menjatuhkan hatinya, cinta pertamanya yang
gagal.
Nyanyian
gadis pelayan itu menbangkitkan kenang-kenangan ini dan berulang kali Kian Lee
menghela napas. Di dunia ini mengapa terdapat begitu banyak orang yang harus
menderita sengsara karena cinta? Apakah memang cinta banyak mendatangkan
derita? Cintakah yang mendatangkan derita itu? Ataukah kegagalannya? Lebih
tepat lagi, bukankah karena keinginan hati tak tercapai itulah yang mendatangkan
hati sengsara? Sengsara yang timbul karena kecewa, karena harapan hampa.
Daun pintu
terbuka halus dan gadis itu melangkah masuk, menutupkan kembali daun pintu.
“Mengapa
ditutup?” Kian Lee menegur.
“Agar tidak
nampak dari luar. Kalau Kongcu merasa gerah, bagian atas daun jendela dapat
dibuka,” jawabnya halus dan tanpa diperintah gadis itu kemudian membuka daun
jendela bagian atas sehingga pemandangan di luar dapat nampak sebagian.
“Nona,
kenapa kau kembali ke sini? Aku sudah selesai makan dan aku tidak butuh apa-apa
lagi. Nona boleh beristirahat di tempat Nona sendiri.”
Gadis itu
memandang Kian Lee, lalu dia menjawab sambil menunduk, “Saya bertugas melayani
Kongcu sambil menanti datangnya saat pesta dimulai. Dan saya... saya senang di
sini melayani Kongcu...”
“Hemmm...
sesuka hati Nona sajalah. Apakah Nona juga bertugas melayani bercakap-cakap?”
Gadis itu
mengangkat muka memandang, merasa betapa lucunya kata-kata itu dan tersenyum,
sama sekali tidak mengandung keriangan hati sungguh pun amat manis. “Tentu
saja, Kongcu.”
“Nah, kalau
begitu, sekarang aku ingin mengajakmu omong-omong. Pertama, aku ingin
membicarakan tentang isi nyanyianmu tadi.”
“Ehhh...?”
Gadis itu memandang heran.
“Maksudku,
aku ingin tahu siapakah dara yang merana itu dan siapa pula pendekar yang
begitu kejam meninggalkannya.”
Gadis itu
menunduk. “Kongcu... itu hanya... hanya nyanyian... dongeng...”
“Hemmm,
perlukah dongeng nyanyian ditangisi? Ada kulihat engkau menangis ketika bernyanyi
tadi.”
“Ohhhhh...“
Gadis itu terkejut dan kini menundukkan mukanya.
Kian Lee
mengerutkan alisnya dan memandang penuh perhatian. Ternyata gadis itu dengan
susah payah menahan tangisnya, akan tetapi tetap saja dua butir air mata bagai
mutiara yang berkilauan menggantung di bulu matanya dan akhirnya bergerak
perlahan menuruni kedua pipinya.
“Nona, aku
bisa menduga bahwa engkau sedang mengalami tekanan batin yang hebat. Engkau
sedang menderita sengsara dan kalau kau percaya kepadaku, kau ceritakanlah
kesengsaraanmu itu. Siapa tahu aku akan dapat menolongmu, Nona. Akan tetapi
kalau kau tidak percaya kepadaku, sudahlah, kau boleh pergi meninggalkan aku
sendiri dan terima kasih atas semua pelayananmu yang baik.”
“Ahhh...
Kongcu...!” Gadis itu mengusap air matanya, dan kemudian mengangkat muka
memandang. “Harap maafkan saya... tentu saja saya percaya kepada Kongcu. Sekali
bertemu saja saya tahu bahwa Kongcu adalah seorang yang amat baik.”
“Kalau
begitu, kau katakanlah, siapa dara yang kau nyanyikan tadi?”
Gadis itu
kembali menunduk. “Dia... dia... adalah saya sendiri, Kongcu.”
“Hemmm...,
sudah kuduga demikian. Dan siapakah Si pendekar yang tak tahu dicinta orang
itu?”
“Dia...
dia... adalah penolong saya...“ Gadis itu menjawab dengan muka merah sambil
menunduk, kemudian dia menghela napas seperti orang mengambil keputusan dan
mengangkat muka, lalu berkata, “Sebaiknya saya ceritakan sejelasnya kepada
Kongcu. Terjadi kira-kira tiga bulan yang lalu, Kongcu. Saya adalah anak sulung
seorang kepala kampung dari dusun Can-li-cung. Pada suatu malam, dusun kami
diserbu perampok-perampok dan seluruh keluarga saya terbunuh.... Ayah, Ibu, dan
tiga orang adik-adik saya...“ Wanita itu memejamkan mata dan dua butir air mata
kembali meloncat ke luar.
Kian Lee
membiarkan gadis itu berdiam diri sejenak untuk menenteramkan hatinya yang
tentu saja dilanda kedukaan saat mengenangkan itu semua. Dia merasa kasihan
sekali kepada gadis ini. Pantas saja tadi dia bernyanyi “Tiada ayah tiada bunda
tiada sanak keluarga”, kiranya semua keluarganya terbasmi habis oleh perampok
jahat!
“Saya
sendiri kemudian diculik oleh perampok-perampok itu, dan dibawa lari ke dalam
cengkeraman manusia-manusia iblis dan akan mengalami hal yang lebih mengerikan
dari pada kematian sendiri, akan tetapi saya tidak berdaya, Kongcu. Dalam
keadaan seperti itu, muncullah pendekar sakti itu yang dengan gagah perkasa
membasmi semua perampok sampai tidak ada seorang pun yang terlewat! Tentu saja
saya berterima kasih sekali kepadanya, Kongcu. Dia begitu baik, dia begitu
gagah, dan kalau tidak ada dia... ahhh, ngeri saya membayangkan.“
“Hemmm, lalu
bagaimana?” Kian Lee bertanya dan di dalam hatinya dia maklum. Pantas saja
gadis ini jatuh cinta kepada penolangnya itu.
“Penolong
saya itu tentu saja mendapat penghargaan dari gubernur karena dia telah
berhasil membasmi perampok yang suka mengganas itu. Dan saya... oleh penolong
saya itu saya lalu dititipkan kepada gubernur, karena keluarga saya telah
habis... kemudian... dia pergi, meninggalkan saya seorang diri di sini...“
“Hemmm, dan
kau lalu bekerja sebagai pelayan di sini? Apakah engkau mengalami hal-hal yang
tidak menyenangkan di sini?”
“Tidak,
tidak, Kongcu.... Paduka gubernur baik sekali... saya menjadi seorang pelayan
yang terkasih juga oleh Nyonya dan semua keluarga. Akan tetapi, Kongcu tahu
sendiri... sebagai seorang pelayan... dan saya kadang-kadang harus melayani
tamu-tamu...“
“Aku
mengerti, Nona. Ehh, bolehkah saya mengetahui namamu?”
“Nama saya
Cui Lan, Phang Cui Lan”
“Nama yang
indah sekali, Cui Lan. Tetapi mengapa... mengapa... kau tadi bernyanyi
mengenangkan pendekar penolongmu yang kau cinta itu?”
“Kamar ini,
Kongcu. Kamar inilah kamar pendekar itu ketika dulu dia bermalam di sini. Saya
yang selalu membersihkannya dan melayaninya, akan tetapi dia... dia pergi. Dan
kamar ini tidak pernah dipakai lagi, akan tetapi selalu saya rawat dan saya
bersihkan, kalau-kalau... dia datang kembali ke sini..., akan tetapi sekarang kamar
ini dibuka oleh karena banyaknya tamu dan kebetulan Kongcu yang dipersilakan
bermalam di sini....“ Suaranya gemetar.
“Siapa nama
pendekar penolongmu itu?”
“Itulah yang
menyusahkan hati saya, Kongcu. Saya tidak tahu namanya, bahkan di sini pun
tidak ada yang tahu nananya. Dia masih muda, rambutnya panjang terurai akan
tetapi berwarna putih seperti perak, dia... dia tampan dan gagah, pendiam dan
penuh rahasia.”
Kian Lee
meraba dahinya dan mengerutkan alisnya. “Masih muda, rambutnya putih terurai,
dan lihai sekali? Hemmm... pernah aku mendengar tokoh seperti itu. Bukankah
orang-orang menyebutnya Pendekar Siluman Kecil?”
“Benar!”
Dara itu berseru penuh harapan. “Apakah Kongcu sudah mengenalnya?”
“Sayang
sekali belum. Apa lagi mengenalnya, bertemu muka pun belum pernah. Aku hanya
mendengar berita orang saja...“
Tiba-tiba
Kian Lee segera menghentikan kata-katanya karena dia melihat berkelebatnya
seseorang di depan kamar itu. Hanya kelihatan kepala orang itu yang sekejap
menoleh ke dalam, seperti orang menjenguk dan terdengar suara orang itu
mendehem kecil, “Ehmmm...“
Wajah Kian
Lee menjadi merah dan cepat dia membuka daun pintu kamarnya. Ketika dia
memandang, dia melihat seorang laki-laki yang tadi lewat di depan pintu kamar
itu kini sudah memasuki taman, menyeberangi sebuah jembatan taman dan orang itu
menoleh kepadanya, lalu tersenyum dengan sinis. Kian Lee menjadi penasaran,
akan tetapi orang itu sudah membuang muka dan tidak menoleh lagi, lalu berjalan
pergi dan lenyap di tikungan bangunan. Kian Lee memasuki kamarnya lagi.
“Siapa dia?”
tanya Kian Lee kepada gadis itu yang kelihatannya memandang khawatir.
“Yang
menjenguk tadi?” Bibir yang merah tipis itu berjebi tanda muak dan tidak
senang. “Dia pun seorang tamu, kabarnya dia pengawal dari Ouw-taijin, seorang
pembesar berpangkat Tee-tok dari San-sian. Rombongan Ouw-teetok itu kepala
pengawal she Bu. Orangnya menjemukan sekali, Kongcu, semenjak kemarin dia selalu
berusaha untuk menggoda saya kalau kebetulan bertemu.”
“Hemmmmm...“
Diam-diam Kian Lee mencatat laki-laki berusia empat puluhan tahun bermuka hitam
dan berkumis lebat itu.
Dia masih
membuka daun pintu dan ketika dia hendak menutupkan daun pintu, tiba-tiba
terdengar suara berisik dan datanglah lagi beberapa orang tamu yang agaknya
juga memperoleh kamar-kamar di dekat taman itu. Agaknya mereka itu hanyalah
pengawal-pengawal dari pembesar yang baru datang. Akan tetapi ketika Kian Lee
memandang kepada rombongan orang itu, dia terkejut sekali melihat salah seorang
di antara mereka yang dikenalnya.
Seorang
wanita yang cantik pesolek, usianya kurang lebih tiga puluh lima tahun, namun
tubuhnya masih ramping dan padat terpelihara. Sinar matanya tajam dan kerlingnya
menyambar-nyambar ganas, di pinggangnya tergantung pedang dengan sarung pedang
yang terukir indah. Itulah Mauw Siauw Mo-li Si Siluman Kucing, wanita yang
lihai bukan main, ahli peledak, dan masih sumoi dari Hek-tiauw Lo-mo ketua
Pulau Neraka!
Wanita ini
merupakan seorang tokoh yang amat ditakuti, dan ketika terjadi huru-hara
pemberontakan dua orang Pangeran Liong, wanita ini pun mengambil bagian yang
penting. Mau apa wanita tokoh sesat yang amat berbahaya itu berkeliaran di
sini, pikir Kian Lee dan hatinya mulai tertarik. Tentu akan terjadi peristiwa
penting di tempat ini pikirnya.
Cepat dia
masuk kembali agar tidak kelihatan oleh Siluman Kucing itu. Agaknya akan banyak
kaum persilatan dan tokoh-tokoh golongan hitam yang datang ke tempat ini,
pikirnya. Entah siapa gerangan utusan kaisar dari kota raja itu dan tentu akan
terjadi sesuatu yang hebat. Dia harus waspada.
“Sudahlah...
Cui Lan. Sekarang lebih baik kau tinggalkan aku sendiri, tidak baik kalau kita
berdua berada di dalam kamar ini terlalu lama. Aku khawatir kalau-kalau orang
akan menduga jelek kepadamu.”
“Tetapi,
Kongcu…. saya justeru takut untuk pergi meninggalkan Kongcu,“ kata gadis itu
mulai basah dengan air mata. “Harap Kongcu jangan menyuruh saya pergi, saya
takut kalau saya harus melayani tamu lain. Jangan-jangan saya malah akan
disuruh melayani pengawal Ouw-teetok itu, dia sudah terus menerus mengincarku.
Kongcu, saya mohon kepadamu, harap Kongcu perbolehkan saya tetap berada di sini
selama orang-orang ini belum pergi. Saya takut...“
Suma Kian
Lee memandang dengan kasihan dan tersenyum. “Kenapa kalau di sini bersama aku
tidak takut? Kau pun belum mengenal aku, Cui Lan.”
“Tidak,
kalau di sini saya tentu tidak takut. Saya tahu bahwa Kongcu tentu tidak akan
mengganggu saya.“
“Hemmm, baiklah...
akan tetapi aku hendak mengaso, Cui Lan.”
“Mengasolah,
Kongcu, saya akan duduk di sini saja. Apakah saya harus bermain yang-kim untuk
Kongcu?”
“Tidak usah.
Aku hendak mengaso dan aku tidak ingin melihat engkau menangis lagi karena
menyanyikan lagu yang sedih itu.” Kian Lee lalu merebahkan dirinya di atas
pembaringan, sedangkan Cui Lan duduk di atas bangku seperti orang melamun.
Tentu saja
ditunggui orang seperti itu, seorang gadis cantik lagi, Kian Lee tidak dapat
tidur. Akhirnya Kian Lee bangun dan mengajak Cui Lan bermain catur yang memang
disediakan di dalam kamar itu. Ternyata gadis ini pandai bermain catur,
sehingga untuk beberapa lamanya Kian Lee asyik bermain catur, bergembira dan
lupa seolah-olah dia sedang bermain catur dengan seorang sahabat lama. Juga
gadis itu kadang-kadang tertawa kecil dan melupakan kedukaannya. Baru sekarang
dia bertemu dengan seorang pemuda yang begitu sopan, halus dan sama sekali
tidak pernah kurang ajar sehingga dia merasa terhibur dan seolah-olah
memperoleh seorang sahabat yang amat baik dan boleh diandalkan.
Waktu lewat
tak terasa dan selama itu Kian Lee mendengar datangnya rombongan demi rombongan
para tamu. Akhirnya senja tiba dan Kian Lee lalu mencuci muka dengan air hangat
yang diambilkan oleh Cui Lan. Setelah bertukar pakaian dan diberi tahu oleh Cui
Lan bahwa bulan telah muncul dan pesta akan dimulai, bahkan sebagian para tamu
sudah memasuki taman, Kian Lee lalu meninggalkan Cui Lan, memesan kepada Cui
Lan untuk menutupi pintu dan jendela dan kalau terjadi sesuatu supaya menjerit
saja. Dia langsung memasuki taman yang telah diatur dan dihias untuk keperluan
pesta di malam hari itu untuk menyambut datangnya tamu agung dari kota raja.
Selain sinar
bulan yang belum terlalu tinggi sehingga sinarnya masih belum terang benar,
juga banyak digantung lampu-lampu yang berbentuk lentera-lentera yang beraneka
macam, digantung di pohon-pohon dan di tempat-tempat yang disediakan khusus
untuk keperluan itu. Di sudut taman terdapat serombongan tukang main musik
membunyikan alat musiknya sehingga suasana menjadi meriah.
Tamu-tamu
mulai berdatangan, disambut oleh petugas-petugas dan dipersilakan duduk di
tempat masing-masing yang sudah disediakan sesuai dengan tingkat dan kedudukan
mereka. Semua bupati dan pembesar-pembesar di seluruh wilayah Propinsi Ho-nan
datang. Mereka ini rata-rata membawa pengawal masing-masing yang terdiri dari
orang-orang yang bertubuh kokoh kekar dan berwajah seram-seram, kelihatannya
lihai dan angkuh gerak-geriknya.
Kian Lee
yang kebagian tempat duduk di bagian belakang, yaitu tempat para tamu undangan
yang terdiri dari orang-orang kang-ouw yang tidak memiliki pangkat, sengaja
memilih tempat duduk dekat kolam, agak menyendiri akan tetapi dari tempat itu
dapat melihat ke seluruh tempat duduk para tamu sampai tempat duduk tuan rumah
dan tamu agung yang telah dipersiapkan di panggung, agak tinggi dari tempat
duduk lainnya. Sebentar-sebentar Kian Lee menengok apa bila ada tamu baru
datang dan dia pun menoleh ke sana-sini untuk melihat barangkali ada adiknya di
antara sekian banyak tamu itu.
Hatinya lega
ketika melihat bahwa yang berkumpul adalah tokoh-tokoh baru yang tidak
dikenalnya. Tidak kelihatan tokoh-tokoh lama, dan yang dia kenal hanyalah si
wanita genit Siluman Kucing Mauw Siauw Mo-li yang untung duduknya di seberang
cukup jauh dari tempat dia duduk. Suasana makin gembira dengan suara para tamu
yang mulai bercakap-cakap sambil makan kwaci yang telah lebih dulu disediakan
di atas piring di meja masing-masing. Suara kletak-kletik orang makan kwaci bercampur
dengan suara orang-orang bicara, dilatar belakangi suara musik yang meriah.
Gubernur Kui
Cu Kam, yaitu Gubernur Ho-nan yang umurnya kurang lebih lima puluh tahun,
bertubuh kurus kecil dan berpakaian gemerlapan indah, sejak tadi sudah duduk di
tempatnya. Sebagai seorang gubernur atau pembesar yang kedudukannya tertinggi,
dia tidak langsung menyambut tamu sendiri, tetapi diwakili oleh
pembesar-pembesar bawahannya dan ia hanya duduk sambil mengangguk sebagai
balasan salam dari para tamu yang baru berdatangan dan memberi hormat
kepadanya. Gubernur ini kelihatan gembira dan tersenyum-senyum sambil menoleh
ke kanan kiri. Di belakangnya berdiri pasukan pengawal yang dikepalai oleh Si
Rambut Merah yang selalu membawa guci arak itu. Ho-nan Ciu-lo-mo Wan Lok It
pada kesempatan itu pun mengenakan pakaian yang baru untuk menghormat tamu,
akan tetapi tetap saja bibirnya berlepotan arak!
Tiba-tiba
terdengar teriakan keras dari pasukan pengawal di pintu gerbang depan,
sambung-menyambung memberitahukan bahwa tamu agung, yang mulia utusan kaisar
telah tiba! Semua tamu bangkit berdiri dan pintu kehormatan yang berada di
tengah-tengah menghubungkan taman dengan istana gubernur dibuka oleh para
penjaga. Para pemain musik yang sudah dipesan lebih dulu kini memainkan musik
yang berbunyi gagah, seolah-olah hendak mengiringkan datangnya tamu agung.
Maka
tampaklah iring-iringan tamu agung itu. Seorang pemuda yang berwajah tampan
sekali, berpakaian indah gemerlapan, melangkah masuk ke dalam taman dengan
senyum di bibir dan matanya memandang ramah ke kanan kiri. Pemuda tampan ini
diiringkan oleh tiga losin orang pengawal istana yang juga berpakaian gagah dan
indah. Melihat bulu burung menghias kepala mereka serta pakaian mereka yang
gemerlapan seperti terhias oleh banyak emas, tahulah orang bahwa tiga losin
pengawal itu adalah pasukan pengawal Kim-i-wi (Pengawal Baju Emas) yang
terkenal, dan bulu di kepala itu menunjukkan bahwa mereka termasuk anggota
pasukan Kuku Garuda yang terkenal lihai dan berkepandaian tinggi.
Di kanan
kiri pemuda tampan itu berjalan pelindungnya, dua orang jagoan pengawal kaisar
dari kota raja, komandan dari pasukan Kuku Garuda yang tersohor, yang dahulu
terangkat tinggi-tinggi namanya berkat pimpinan Puteri Nirahai yang gagah
perkasa. Di belakang pemuda tampan itu berjalan sebagai pengiring atau
pengantarnya, seorang kakek tinggi kurus berjenggot putih yang melihat
pakaiannya juga bukan berpangkat rendah. Dia ini adalah Gubernur Hok Thian Ki,
gubernur dari Propisi Ho-pei yang berada di utara Ho-nan dan di mana kota raja
terletak.
Di belakang
Gubernur Hok ini berjalan para pengawalnya, dikepalai oleh seorang laki-laki
bermata sebelah, akan tetapi mata yang tinggal satu ini bukan main tajam
sinarnya. Orang-orang banyak yang mengenal Si Mata Satu ini yang bukan lain
adalah Tok-gan Sin-ciang Liong Bouw (Si Mata Satu Tangan Sakti), jagoan dari
Ho-pei yang menjadi pengawal Gubernur Hok.
Akan tetapi
Kian Lee tidak mempedulikan orang lain yang tidak dikenalnya, pandang matanya
tertuju kepada pemuda tampan yang bersikap tenang dan berwajah ramah itu.
Kiranya utusan kaisar itu adalah putera kaisar sendiri, yaitu Pangeran Yung Hwa
yang terkenal sebagai pangeran yang suka membantah dan melawan kehendak kaisar
itu, pangeran yang suka minggat dari istana untuk memprotes kehendak kaisar
yang menjadi ayahnya! Juga Kian Lee mendengar bahwa pangeran yang amat tampan
ini pernah menjadi saingannya, karena pangeran ini kabarnya pernah jatuh cinta
kepada Ceng Ceng! Maka, tentu saja hatinya tertarik dan dia memperhatikan
dengan seksama.
Setelah
masuk di ruangan itu, tiba di depan Gubernur Kui sebagai tuan rumah, sambil
tersenyum Pangeran Yung Hwa lalu mengeluarkan leng-ki (bendera utusan atau
wakil kaisar) dan mengangkatnya tinggi ke atas kepalanya. Melihat bendera ini,
Gubernur Kui lalu menjatuhkan diri berlutut dan hal ini diikuti oleh semua
orang yang hadir di situ karena bendera ini dianggap sebagai kehadiran kaisar
sendiri.
“Hamba Kui
Cu Kan Gubernur Ho-nan siap menerima perintah Sri Baginda Kaisar,” Kui-taijin
berkata dengan suara merendah dan terdengar nyaring karena semua orang yang
berlutut tidak ada yang berani membuka suara.
Pangeran
Yung Hwa mengeluarkan sebuah gulungan kain tertulis, kemudian komandan pasukan
pengawal Kuku Garuda yang dua orang itu lalu membuka gulungan ini di depan
Pangeran Yung Hwa agar mudah bagi pangeran muda itu untuk membacanya. Dengan
suara lantang Pangeran Yung Hwa lalu membaca amanat dari kaisar yang ditujukan
kepada seluruh pejabat di Ho-nan sampai kepada rakyatnya. Diperintahkan oleh
kaisar agar semua rakyatnya, terutama gubernur dan para pejabat pemerintahnya,
menjaga tata tertib kerajaan, jangan ada yang menyeleweng dari pada peraturan
yang telah diadakan. Akhirnya diperingatkan bahwa setiap penyelewengan akan
dihancurkan sampai ke akar-akarnya.
Baru saja
membaca sampai di situ, tiba-tiba terdengar suara mengejek, suara sinis yang
keluar dari lubang hidung, datangnya dari arah sudut di mana banyak terdapat
orang-orang yang semua juga sedang berlutut sehingga sukar untuk diketahui
siapa orangnya yang mengeluarkan suara ejekan yang amat jelas terdengar tadi
itu.
Pangeran
Yung Hwa menghentikan bacaanya dan bertanya dengan nada suara halus, namun
penuh wibawa, “Siapa yang berani mentertawakan amanat Sri Baginda Kaisar?”
Tentu saja tidak
ada seorang pun yang menjawab. Mereka semua masih saja berlutut, bahkan tidak
ada yang berani mengangkat kepala. Semua ini tampak oleh Kian Lee yang biar pun
ikut pula berlutut akan tetapi dia miringkan kepalanya sehingga dia dapat
mengintai ke depan.
“Hemmm,
tidak ada yang mau mengaku, ya?” Pangeran Yung Hwa menjadi marah juga, merasa
diejek dan dihina sebagai utusan kaisar. Dia menoleh kepada Gubernur Hok dari
Ho-pei dan memberi isyarat. Gubernur ini lalu berbisik kepada jagoannya yaitu
Tok-gan Sin-ciang Si Mata Satu.
“Baik, akan
hamba tangkap dia!” Orang bermata sebelah ini mengangguk.
Tiba-tiba
dia menggerakkan kakinya dan seperti seekor burung garuda saja, tubuhnya sudah
mencelat bagaikan terbang menyambar ke sudut tadi. Tangannya yang kurus itu,
dengan lengan yang panjang mencengkeram ke depan, ke arah seorang laki-laki
yang berlutut di dekat pot bunga cemara katai. Orang itu terkejut bukan main,
tidak mengira bahwa Si Mata Satu itu demikian cepat gerakannya. Segera dia
mengangkat lengan menangkis.
“Dukkkkk!”
Keduanya terhuyung dan orang itu cepat meloncat berdiri. Maka terjadilah
pertandingan antara Si Mata Satu melawan orang ini.
Kian Lee
mengerling, dan terheran-heran ketika mengenal orang yang diserang oleh Si Mata
Satu itu, karena dia itu ternyata adalah laki-laki yang sore tadi lewat di
depan kamarnya, berdehem dan kemudian tersenyum sinis kepadanya, lakl-laki muka
hitam yang berkumis lebat, yang menurut Cui Lan bernama Bu Ok Ti, pengawal dari
Ouw-teetok bupati kota San-sian! Dan ternyata orang bermuka hitam yang agaknya
tergila-gila kepada Cui Lan itu juga memiliki kepandaian hebat! Gerakannya
cukup lincah dan kuat sehingga pertandingan antara dia dan Si Mata Satu itu
berjalan seru dan dahsyat.
Biar pun di
situ terdapat banyak orang, bahkan banyak juga orang pandai, di antaranya
terdapat Suma Kian Lee, akan tetapi tidak ada yang tahu bahwa Si Muka Hitam
inilah yang tadi mengejek amanat-amanat dari kaisar. Hal ini adalah karena
mereka semua berlutut. Sebaliknya, sebagai pengawal rombongan utusan kaisar, Si
Mata Satu tadi tidak berlutut maka matanya yang tinggal sebelah dan amat tajam
pandangnya itu dapat melihat siapa yang telah mengejek itu, maka dia dapat
langsung turun tangan hendak menangkap Si Muka Hitam.
Pertandingan
makin seru, namun para tamu tidak ada yang berani bergerak. Pangeran Yung Hwa
masih berdiri dengan leng-ki, bendera yang berkuasa itu, di tangan dan diangkat
tinggi-tinggi. Dan kedua orang yang bertanding itu berloncatan ke sana-sini,
mencari tempat-tempat kosong. Akan tetapi akhirnya Si Muka Hitam itu terdesak
juga, repot dia menghadapi kelihaian Tok-gan Sin-ciang yang memiliki tangan
sakti, pukulan-pukulan keras, dan tenaga sinkang yang membuat pukulannya
mendatangkan angin bersuitan itu.
Bu Ok Ti
mulai meloncat ke sana-sini berputar-putar menghindarkan diri dari
serangan-serangan maut itu. Akan tetapi, sambil meloncat seperti terbang, yaitu
loncatan ginkang istimewa yang dikuasai oleh Si Mata Satu, Tok-gan Sin-ciang
menyerbu dan melewati banyak kepala orang, menubruk dan dengan suatu totokan
kilat akhirnya dia berhasil merobohkan Bu Ok Ti.
Tok-gan
Sin-ciang lalu menyeret tawanannya itu, hendak dibawa ke depan Pangeran Yung
Hwa. Kian Lee yang sejak tadi melirik dengan penuh perhatian dapat melihat ini
semua. Akan tetapi ketika Tok-gan Sin-ciang lewat di dekat si tokoh sesat
Siluman Kucing, dia berteriak mengaduh dan terguling roboh!
Gegerlah
keadaan saat Tok-gan Sin-ciang roboh itu. Komandan pengawal Kuku Garuda yang
lihai tentu saja dapat melihat bahwa robohnya Tok-gan Sin-ciang adalah ketika
lewat di depan Siluman Kucing, maka sambil berseru keras, seorang di antara
mereka meloncat dan menerkam ke arah Mauw Siauw Mo-li. Wanita ini terkekeh dan
bangkit berdiri lalu menangkis dengan tangkisan hebat yang membuat komandan itu
hampir terjengkang karena dia tidak menyangka sama sekali bahwa perempuan
cantik itu sedemikian hebat tenaga sinkang-nya. Maka mereka lalu bertempur,
lebih hebat dari pada pertempuran yang tadi.
Tok-gan
Sin-ciang dan Bu Ok Ti sudah tak dapat bergerak dan kini pertandingan antara
komandan Kuku Garuda yang bermata sipit melawan Mauw Siauw Mo-li terjadi lebih
cepat lagi. Tidak percuma Si Mata Sipit menjadi komandan Kuku Garuda dan
sekarang dipercaya untuk menjadi seorang di antara dua pengawal pribadi utusan
kaisar, karena memang hebat kepandaiannya. Biar pun Mauw Siauw Mo-li adalah
seorang tokoh lalim sesat yang amat lihai, ternyata komandan ini dapat
mengimbangi kecepatannya dan para tamu yang kini berani mengangkat muka, menjadi
silau menyaksikan pertempuran di antara mereka yang demikian cepatnya.
Mauw Siauw
Mo-li telah mengeluarkan sebatang pedangnya dan kini pedang itu diputar
sedemikian rupa, lenyap bentuk pedangnya berubah menjadi segulung sinar hijau
yang menyilaukan mata. Akan tetapi komandan itu pun mengeluarkan sebatang
pedang yang sinarnya putih, sehingga tampaklah pemandangan yang amat indah, dua
gulungan sinar hijau dan putih, saling belit di antara berkelebatnya bayangan
mereka, seolah-olah dua orang penari yang sedang bergaya dengan menggunakan
selendang hijau dan putih. Akan tetapi semua orang merasa tegang karena maklum
bahwa ‘selendang’ hijau dan putih itu adalah sinar-sinar pedang yang mematikan.
Sambil
mengeluarkan suara aneh seperti kucing terinjak ekornya, Mauw Siauw Mo-li
mengirim tusukan kilat dan tangan kirinya juga menghantam dengan pukulan
beracun yang mengeluarkan uap hitam. Komandan itu terkejut sekali dan cepat dia
meloncat ke belakang. Namun ketika dia meloncat tiba di dekat tempat Gubernur
Ho-nan atau tuan rumah yang sedang berlutut, tiba-tiba ada angin menyambar ke
arah punggungnya.
“Tranggg...!”
Untung dia
cepat menangkis dengan pedangnya yang dikelebatkan ke belakang dan ternyata
yang menyerangnya adalah Ho-nan Ciu-lo-mo yang tadi menggunakan guci araknya
sebagai senjata! Kiranya guci arak itu bukan hanya tempat arak untuk diminum,
akan tetapi juga merupakan sebuah senjata yang aneh dan ampuh! Tanpa banyak
cakap, Ho-nan Ciu-lo-mo yang tentu saja sudah mendapat perkenan dan isyarat
dari Gubernur Kui itu, terus menerjang dan mengeroyok komandan bermata sipit
dari istana kaisar itu.
“Penjahat
pemberontak!” Komandan kedua dari pasukan Kuku Garuda yang jenggotnya lebat
sudah menerjang maju dan dengan pedangnya yang bersinar putih pula dia telah
menerjang Ciu-lo-mo hingga sekarang pertandingan terpecah menjadi dua. Dua
orang komandan itu melawan Mauw Siauw Mo-li dan Ciu-lo-mo.
Keadaan
menjadi makin geger. Semua tamu sudah bangkit berdiri dan kini para jagoan
Ho-nan telah menerima perintah kemudian maju, disambut oleh pasukan pengawal
Kuku Garuda yang tiga losin jumlahnya itu. Terjadilah pertempuran yang
kacau-balau dan hebat.
Kian Lee
juga sudah melompat berdiri, bingung karena tidak tahu harus berbuat apa, tidak
tahu mengapa ada pertempuran di antara orang-orang pemerintah sendiri. Dia
melihat Pangeran Yung Hwa melarikan diri dikejar oleh Perwira Su Kiat yang
pernah bentrok dengan dia ketika hendak menangkapnya di celah tebing. Melihat
ini dia cepat meloncat dan mengejar secepatnya bagaikan seekor burung terbang
karena dia sangat mengkhawatirkan keselamatan pangeran itu. Dilihatnya betapa
Pangeran Yung Hwa lari ke luar dari taman dan terus dikejar oleh perwira Su
Kiat dengan sikap mengancam, maka dia pun membayangi dan bersiap untuk menolong
apa bila pangeran itu terancam bahaya.
***************
Kita
tinggalkan dulu keributan yang terjadi di taman istana Gubernur Ho-nan, Kui Cu
Kam, yang ternyata diam-diam telah mempersiapkan pemberontakan itu, dan agar
tidak terlalu lama tertinggal, maka sebaiknya kita menengok keadaan Puteri
Syanti Dewi di Istana Raja Bhutan.
Pada suatu
senja yang dingin. Musim dingin sudah mulai di Bhutan dan udara amat dinginnya,
menyusup ke tulang sumsum sehingga semua orang yang memberanikan diri ke luar
dari rumah tentu memakai baju yang tebal atau baju bulu, dengan kopiah atau
pelindung kepala bulu yang menutup kedua telinga. Hanya orang-orang yang punya
keperluan penting saja mau ke luar dari rumah yang hangat di saat seperti itu.
Di dalam rumah hawanya hangat dan nyaman karena setiap rumah tentu menyalakan
api di dalam perapian.
Tidak ada
angin berkelisik di dalam taman istana Bhutan. Pohon-pohon berdiri seperti
mati, sungguh pun daun-daunnya masih segar dan berwarna hijau kehitaman karena
sinar matahari sudah menyuram. Hanya di langit barat saja tampak awan-awan
seperti terbakar merah yang nampak nyata dan luar biasa di bawah langit yang
biru. Burung-burung sudah sejak tadi bergegas pulang dan berlindung ke sarang
masing-masing, di pohon-pohon atau di batu-batu gunung, mendekam dengan bulu
dimekarkan untuk menghangatkan tubuh. Tiada nampak sesuatu bergerak di dalam
taman yang penuh bunga itu dan bunga-bunga pun agaknya mulai mengaso, tidak
berseri-seri seperti di siang hari. Seluruh dunia, dari langit biru sampai air
empang teratai dalam taman yang tak bergerak sedikit pun, nampak lengang dan
hening, merupakan suatu keseluruhan yang tidak pernah terpisah senapas dan
tercakup dalam keiindahan yang satu.
Akan tetapi
di dalam kesunyian senja yang indah itu, tampak ada seorang wanita muda duduk
seorang diri di dalam taman istana, memandang dengan sinar mata kosong dan sayu
ke arah bunga-bunga teratai merah di atas empang. Dia seorang wanita yang
sangat cantik jelita, usianya kurang lebih dua puluh tahun, dan dari pakaiannya
saja mudah diduga bahwa dia bukanlah wanita biasa, bukanlah pelayan istana.
Wajahnya cantik sekali, dengan hidung mancung dan mata yang lembut pandangnya,
namun mulut yang bentuknya indah menggairahkan itu membayangkan kekerasan hati.
Dia adalah
Puteri Syanti Dewi, puteri Rja Bhutan yang terkasih, disayang oleh raja dan ratu,
disayang pula oleh para punggawa, dan dipuja oleh rakyat Bhutan. Bagi rakyat
Bhutan, Puteri Syanti Dewi seolah merupakan bulan yang menyinarkan keindahan
dan kegembiraan. Apa lagi setelah puteri yang tadinya dianggap sudah hilang
atau mati, setelah puteri ltu lenyap bertahun-tahun, kemudian muncul kembali
dalam keadaan selamat, sehat bahkan lebih cantik jelia!
Di dalam
cerita Kisah Sepasang Rajawali telah diceritakan pengalaman Puteri Syanti Dewi
ini ketika bersama Lu Ceng atau Ceng Ceng dia mengalami banyak sekali hal-hal
yang hebat sampai akhirnya dia berhasil kembali ke Bhutan. Di dalam Kisah
Sepasang Rajawali telah diceritakan pula betapa Puteri Syanti Dewi akhirnya
menemukan cintanya dalam diri Ang Tek Hoat, pemuda perkasa yang telah
berkali-kail menolongnya, bahkan terakhir sekali pemuda itu membuat banyak jasa
terhadap Bhutan sehingga dianggap sebagai pahlawan Bhutan dan diangkat menjadi
panglima oleh Raja Bhutan di samping menjadi tunangannya secara resmi. Tentu
saja Syanti Dewi menjadi berbahagia dan dia hanya menanti saat datangnya hari
pernikahannya dengan pria pilihan dan idaman hatinya itu.
Akan tetapi,
segala sesuatu memang tidak kekal di dunia ini. Bahkan kebahagiaan hati Sang
Puteri ini pun tidak kekal adanya. Seperti telah diceritakan di bagian depan
cerita ini, muncullah awan gelap yang menghalangi kecerahan hidup puteri ini
ketika seorang wanita yang bernama Ang Siok Bi muncul di Bhutan.
Wanita yang
hidupnya diracuni dendam ini adalah ibu Ang Tek Hoat yang ingin menarik
puteranya ke luar dari Bhutan agar dapat membalaskan dendamnya terhadap
keluarga Pulau Es dan akhirnya wanita itu berhasil membakar hati Raja Bhutan
sehingga Ang Tek Hoat dihentikan sebagai panglima, bahkan ikatan jodoh antara
pendekar itu dan Syanti Dewi dibatalkan. Peristiwa ini membuat pendekar itu
merasa penasaran dan terhina sehingga dia pergi meninggalkan Bhutan tanpa
sempat pamit dari kekasihnya.
Demikianlah,
Syanti Dewi hanya menerima kabar dari ayahnya bahwa Ang Tek Hoat telah minggat
dari Bhutan karena terbuka rahasianya bahwa pemuda yang tadinya disangka
seorang pendekar terhormat, masih keluarga dari Majikan Pulau Es, yang dianggap
pahlawan dan diterima sebagai tunangan Puteri Syanti Dewi itu, ternyata
hanyalah seorang anak haram! Karena malu, pemuda itu lolos dari Bhutan tanpa
pamit, demikian berita yang diterima oleh Syanti Dewi.
Mendengar
berita ini, Syanti Dewi jatuh pingsan dan menderita sakit demam karena
guncangan batin yang amat hebat. Sampai tiga bulan puteri ini sakit dan nyaris
tewas oleh sakitnya. Akan tetapi, berkat perawatan penuh ketelitian dari para
tabib yang dikumpulkan oleh Raja Bhutan, akhirnya Sang Puteri sembuh juga. Akan
tetapi terjadi perubahan besar dalam diri Sang Puteri. Puteri yang tadinya
lincah jenaka itu kini selalu murung, dia kehilangan gairah hidupnya, tidak
mempunyai kegembiraan lagi. Biar pun dia masih cantik jelita seperti bulan
purnama, namun bulan itu selalu tertutup mendung. Tentu saja raja dan ratu
merasa prihatin sekali dengan keadaan puteri mereka itu.
“Syanti
Dewi, ingatlah bahwa kau adalah puteri kerajaan! Nasibmu masih baik bahwa
engkau belum terlanjur menjadl isteri anak haram itu. Betapa akan mencemarkan
nama keluarga kita kalau hal itu terjadi! Perlu apa engkau memikirkan lagi
manusia tak tahu malu ltu?” berkali-kali raja dan ratu menegur dan menghibur
puteri mereka.
“Kenapa dia
pergi tanpa menemui aku?” berkali-kali Syanti Dewi mengeluh dengan suara
mengandung penuh penyesalan.
“Tentu dia
malu!” kata Sri Baginda Raja. “Setelah terbuka rahasianya, tentu dia tidak ada
muka lagi untuk bertemu denganmu dan memang sudah semestinya begitu.”
“Tidak,
Ayah... tidak...“ Syanti Dewi mengepal tinju dan menggeleng kepala keras-keras.
“Dia bukan manusia seperti itu! Aku cinta padanya, Ayah, Ibu. Aku cinta
padanya, tidak mengertikah Ayah dan Ibu? Aku cinta padanya!”
“Hemmm,
Syanti Dewi, ingatlah bahwa dia adalah seorang anak haram, tidak ketahuan siapa
Ayahnya! Dan kau tahu siapa yang memberitahukan kepada kami akan hal itu?
Ibunya sendiri!” Sri Baginda berkata marah.
“Aku tahu,
aku pernah melihat Ibunya. Ayah, Ibu... yang kucinta adalah orangnya, bukan
silsilah keturunannya, bukan kedudukannya, bukan nama baik atau buruknya. Tidak
mengertikah Ayah dan Ibu?”
Akan tetapi
semua bantahan Syanti Dewi, segala pembelaannya percuma saja karena Tek Hoat
telah pergi dan tidak ada seorang pun tahu kemana perginya. Beberapa kali
Syanti Dewi hendak minggat dari istana untuk pergi menyusul dan mencari
kekasihnya, tetapi selalu gagal karena Sri Baginda raja telah memerintahkan
kepada para pengawal agar mereka melakukan penjagaan ketat dan tidak
memperbolehkan siapa pun juga memasuki istana puteri. Apa lagi manusia, seekor
kucing pun tak akan mungkin masuk menerobos penjagaan ratusan orang pengawal
yang berjaga siang dan malam itu! Syanti Dewi memprotes ayahnya, menangis,
namun semua itu sia-sia belaka. Ayahnya tidak mengijinkan dia pergi.
Kemudian
ayahnya memutuskan untuk mengawinkan puteri itu dengan Mohinta, putera dari Panglima
Tua Sangita yang telah banyak jasanya.
“Mohinta
adalah seorang panglima muda yang amat setia, tampan dan gagah, juga ayahnya
adalah seorang yang setia kepada Bhutan,” demikian antara lain Sri Baginda
membujuk puterinya. “Selain kita semua tahu akan riwayat keluarganya, juga
sejak kecil engkau telah mengenalnya karena dia adalah sahabatmu di waktu
kecil. Hanya dialah yang dapat menyelamatkan namamu dan nama keluarga kita dari
aib yang didatangkan oleh penjahat asing Ang Tek Hoat itu.”
“Ayah...!”
Syanti Dewi hanya dapat menangis.
Akan tetapi
setiap kali pernikahan direncanakan, Syanti Dewi selalu minta waktu dan minta
mundur. Karena Sri Baginda juga mengenal watak puterinya yang keras, maka dia
tidak berani memaksa, apa lagi karena Panglima Mohinta yang mencinta puteri itu
juga bersabar dan menanti sampai Sang Puteri tidak berduka lagi. Dia percaya
bahwa kedukaan tak akan berlangsung selamanya, maka panglima muda itu bersabar
menanti. Betapa dia tidak akan bersabar kalau mengingat bahwa selain dia akan
dapat memiliki puteri yang amat cantik jelita itu, juga kelak isterinya itu
akan menjadi Ratu Bhutan dan tentu saja hal itu berarti mengangkat dia menjadi
orang yang kedudukannya paling tinggi di kerajaan itu?
Demikianlah,
sampai empat tahun lamanya semenjak Tek Hoat meninggalkan Bhutan, Syanti Dewi
masih sering kali termenung seorang diri di dalam taman, di mana dahulu dia
sering mengadakan pertemuan yang asyik dan mesra dengan Tek Hoat. Memang rasa
sakit di hatinya sudah tidak begitu terasa lagi, luka itu sudah hampir kering,
namun puteri itu belum dapat memulihkan kegembiraan hidupnya dan lebih suka
menyendiri. Kalau dia sedang melamun seperti itu, dia lupa akan keadaan
sekelilingnya, bahkan tidak merasakan lagi hawa dingin yang menyusup tulang!
Sementara
itu, di luar pintu gerbang istana Bhutan juga terjadi hal yang amat menarik.
Hawa udara yang amat dingin membuat orang-orang segan keluar rumah dan lalu
lintas di jalan-jalan raya juga sepi. Para penjaga yang kedinginan sudah
mengenakan baju dan topi bulu penutup telinga dan kepala, bahkan mereka juga
membuat api unggun di tempat penjagaan untuk menambah hangat dan mengusir hawa
dingin yang mencoba untuk menyusup dan menyerang kulit mereka melalui lengan
baju dan leher baju. Api unggun bernyala merah, hampir sama dengan warna merah
di langit barat yang mulai memudar, targanti warna kelabu yang gelap.
“Sssttttt,
lihat dia itu...!” Tiba-tiba seorang penjaga menyentuh lengan kawannya yang
sedang menambah kayu dalam api unggun, lalu menuding ke luar pintu gerbang.
Kawannya
menengok dan mengeluarkan suara suitan tertahan saking kagumnya. Suara ini
sudah biasa bagi para penjaga, suara suitan tertahan sebagai tanda kekaguman
jika mereka melihat wanita cantik lewat di pintu gerbang. Oleh karena itu, para
penjaga yang jumlahnya lima belas orang, yang sedang keisengan di waktu hawa
sedingin itu, kini memperhatikan ke luar pintu gerbang. Kepala mereka menjeguk
ke luar dan dengan terbelalak mata mereka memandang menembus kesuraman senja.
“Waduh
cantiknya...!” kata seorang.
“Bukan main!
Manis sekali...!”
“Tubuhnya...
amboiiiii...!”
“Mati aku...
lenggangnya...“
“Wah, dia
memakai pakaian setipis itu dan tidak kelihatan kedinginan!” Seorang yang lebih
teliti berkata dan barulah teman-temannya juga melihat kenyataan yang memang
luar biasa ini.
“Dan tidak
hujan tidak panas dia memakai payung!”
“Wah, wah...
sepatunya juga kain, bagaimana dia dapat bertahan dalam udara sedingin ini?”
“Cantik
jelita, malam-malam tidak hujan pakai payung, sedingin ini berpakaian tipis
pula tanpa merasa dingin, wah-wah, jangan-jangan dia bukan manusia !”
“Hihhh...!”
Semua orang
mulai merasa seram dan untuk menabahkan hati, mereka meraba gagang senjata masing-masing
dan kini lima belas orang itu sudah keluar semua dari gardu penjagaan. Komandan
mereka, yaitu seorang pendek gemuk yang terkenal galak dan pemberani, sudah
keluar pula dan memandang dengan alis berkerut, kumisnya yang tipis
bergerak-gerak dan ini merupakan tanda bagi anak buahnya bahwa komandan mereka
itu sedang tegang hatinya!
“Hemmm,
mencurigakan. Anak-anak, siap!” Sang komandan memberi komando dan dia sendiri
lalu menghadang di tengah pintu gerbang. Kebetulan sekali sangat sunyi saat
itu, tidak ada orang lain yang lewat di pintu gerbang kecuali wanita itu.
Tak salah
penjaga yang sambat mata melihat lenggang itu. Memang bukan main! Bagai harimau
lapar lenggangnya, lambat-lambat dan satu-satu kedua kaki itu bergantian
melangkah maju dengan gerakan agak menyilang sehingga dari depan pun nampak
jelas pinggang yang ramping itu meliuk-liuk dan sisi pinggul yang padat itu
miring ke kanan kiri berirama! Lenggang itu seperti lenggang tarian! Wanita itu
berjalan seperti orang menari saja, berirama dan begitu teratur indah! Lengan
kirinya terayun manis di sisi tubuhnya dan siku lengan kanan yang memegang
gagang payung itu pun bergerak-gerak mengikuti gerak tubuh ke kanan kiri. Bukan
main! Setiap bagian tubuh itu seperti hidup dalam lenggang maut itu!
Wanita itu
kini makin dekat, dan makin jelaslah kelihatan bentuk wajah dan tubuhnya yang
tertutup pakaian tipis dari kain sutera. Wajah yang aduhai! Manis seperti madu.
Dagunya meruncing dan bibirnya yang selalu mengulum senyum itu bergerak-gerak
lucu penuh daya pikat. Bibir bawah itu tak pernah diam, selalu bergerak dan
tergetar seolah-olah mengandung penuh perasaan hati, mengandung gejolak
perasaan yang menggerakkan bibir bawah dan cuping hidung yang tipis. Matanya
agak lebar, jeli dan tajam pandangnya, kadang-kadang redup penuh rahasia dan
seolah-olah sinar mata itu bersembunyi di balik bulu mata yang merupakan
selubung atau tirai indah. Lesung pipit menghias pipi yang segar kemerahan
seperti buah tomat masak.
Seorang dara
yang amat cantik jelita, yang usianya tidak akan lebih dari sembilan belas
tahun. Pakaiannya dari sutera tipis yang lemas sehingga seolah-olah mencetak
bentuk tubuhnya, namun potongan pakaiannya rapi dan dari model terakhir dan
terbuat dari sutera mahal. Payungnya juga indah sekali buatan selatan, dari
sutera dan gagangnya berukir. Wajah yang amat cantik itu selalu tersenyum, mata
yang sinarnya jernih itu seolah-olah mengajak semua orang bersendau-gurau tanpa
kata.
Kalau saja
para penjaga itu terdiri dari orang-orang yang mempunyai pandangan tajam, tentu
mereka sudah dapat menduga bahwa dara yang cantik jelita ini, yang kelihatan
begitu ayu dan lemah lembut, tentulah bukan orang sembarangan. Tanda-tandanya
sudah nampak jelas. Dara ini aneh, tidak ada hujan, tiada panas memakai payung,
ini menunjukkan bahwa dia suka bersikap aneh, sikap yang biasanya hanya
dimiliki para kelana yang berilmu tinggi. Dara ini seorang diri saja melakukan
perjalanan, padahal di masa itu bagi seorang wanita muda melakukan perjalanan
seorang diri merupakan hal yang langka.
Kalau dara
ini kelihatan membawa senjata jelas bahwa dia adalah seorang kang-ouw (kelana
persilatan), akan tetapi tanpa senjata berani melakukan perjalanan seorang diri
membayangkan keadaan seorang yang tentu sudah terlalu percaya kepada diri sendiri,
sehingga tidak membutuhkan bantuan senjata! Ini pun biasanya hanya terdapat
pada orang-orang yang berilmu tinggi sekali. Kemudian, lebih jelas lagi, dalam
keadaan hawa udara sedingin itu sehingga para prajurit penjaga yang terlatih
dan bertubuh kuat itu pun masih melindungi tubuh dengan baju tebal dan api
unggun, dara itu hanya memakai pakaian sutera tipis dan berjalan seenak-enaknya
saja berlenggang kangkung memakai payung. Ini pun suatu keanehan luar biasa,
ciri seorang yang tidak boleh digolongkan orang-orang biasa.
Akan tetapi,
para penjaga itu seperti buta oleh kesombongan mereka sendiri. Terutama
terdorong oleh gairah yang sudah dinyatakan oleh kecantikan wajah dan keindahan
bentuk tubuh, apa lagi setelah kini tercium bau semerbak harum yang datang dari
dara itu, memancing sikap ugal-ugalan dari mereka.
Si komandan
gendut pendek cepat berjalan menghampiri dan tubuhnya yang pendek itu
seolah-olah menggelundung saking cepatnya gerakan kedua kakinya yang pendek.
“Ehmmm, berhenti dulu, Nona!” katanya sambil mengangkat tangan ke atas dengan
gerakan menghentikan dan tangan kirinya bertolak pinggang dengan aksi sekali.
Wajah di
bawah payung itu berseri dan bibir merah itu merekah sedikit sehingga kelihatan
benda putih seperti mutiara berkilau sebentar lalu tertutup lagi oleh bibir
yang bergerak-gerak itu. Si Gendut menelan ludah, sampai berceleguk bunyinya.
Matanya seperti bergantung kepada bibir itu seperti seorang kehausan melihat
buah anggur masak yang segar.
Dengan
bahasa Bhutan yang tidak kaku, dara yang pakaiannya menunjukkan bahwa dia
adalah orang Han dari timur itu menjawab, “Mengapa aku harus berhenti? Bukankah
ini merupakan jalan umum?” Ketika bicara, bibirnya itu bergerak-gerak manis dan
pinggang yang seperti batang pohon yang-liu tertiup angin itu dengan lemasnya
meliuk-liuk.
Komandan
gendut itu kembali menelan ludah dan pandang matanya menggerayangi seluruh
tubuh orang, dari rambut yang hitam subur itu sampai ke kaki yang kecil mungil.
“Memang jalan umum, tetapi kami berhak menahan setiap orang yang mencurigakan.”
Senyum manis
itu melebar dan menjadi makin manis. “Ehh, apakah kau anggap aku mencurigakan?”
“Engkau
seorang wanita muda berjalan sendirian. Engkau mencurigakan dan engkau juga
manis sekali menggairahkan... ehhh, Nona... kasihan sekali hawa begini dingin
engkau jalan sendirian. Marilah, mari masuk ke dalam gardu penjagaan yang
hangat dan kita mengobrol heh-heh...” Si Gendut menyeringai, nampak gigi yang
panjang-panjang dan teman-temannya juga tersenyum menyeringai.
Dara itu
tidak menjadi marah. Agaknya semuda itu dia telah pandai menguasai hatinya dan
tidak mudah menjadi marah, sungguh pun pandang matanya tetap tersenyum dan dia
lalu berkata, “Aihhh, Paman pengawal. Jangan begitu! Aku hanyalah seorang gadis
perantau yang kebetulan lewat di sini, harap jangan menggangguku dan biarkan
aku lewat.” Dia membujuk.
Melihat
gadis itu tidak marah malah tersenyum, Si Gendut merasa mendapat hati dan dia
melangkah maju makin dekat dan tangannya bergerak hendak memegang lengan kiri
gadis itu. Akan tetapi gadis itu mundur selangkah dan menarik tangannya
sehingga pegangan itu pun luput.
“Ehemmm,
Nona Manis. Engkau berpakaian seperti orang timur, engkau mencurigakan. Kalau
engkau mau menemani aku di dalam gardu, aku masih dapat membiarkan kau lewat
nanti. Kalau kau menolak, terpaksa aku akan menggeledah seluruh tubuhmu,
kalau-kalau kau menyembunyikan sesuatu yang rahasia, heh-heh!”
“Ho-ho, dia
memang menyembunyikan banyak rahasia yang hebat-hebat!”' terdengar seorang
penjaga berkata dan tertawalah mereka semua. Si Gendut sambil menyeringai
kembali mendekati gadis itu.
Tak ada yang
sadar bahwa kini sepasang mata yang indah itu mengeluarkan sinar yang aneh,
sinar mata yang tidak lumrah manusia, mencorong dan mengandung wibawa yang luar
biasa kuatnya, namun mulut yang manis itu masih saja tersenyum sehingga
sepasang lesung pipit nampak mengapit mulut di kanan kiri, menambah kemanisan
wajah itu.
Kembali dara
jelita itu menggerakkan tubuh dan tangkapan tangan Si Gendut mengenai tempat
kosong. “Hei, engkau ini manusia ataukah katak? Kulihat engkau gendut bundar
mirip katak!” Tiba-tiba dara itu berseru, suaranya yang halus merdu melengking
nyaring, menusuk telinga semua penjaga yang sudah keluar dari dalam gardu
penjagaan. “Heiiiii, kawan-kawan penjaga, dari mana kalian memperoleh katak gendut
sebesar ini?” Dara itu menggerakkan tangan kirinya, dengan jari tangan terbuka
tangan kiri itu seperti melakukan gerakan mendorong ke arah si komandan gendut
dan melambai ke arah para penjaga, senyum manisnya tetap menghias bibirnya.
“Katak...?”
“Katak
gendut...?”
“Katak...!
“Heiiiii!
Ada katak...!”
“Dari mana
datangnya katak raksasa ini?”
“Wah, jangan
diserang! Lihat celananya... ehh, dia...!”
Semua
penjaga terbelalak dan memandang dengan muka pucat ke arah seekor katak besar
gendut yang mendekam di atas tanah di mana tadi si komandan gendut berdiri.
Katak raksasa ini memakai pakaian si komandan, dan mendekam dengan sepasang
mata terbelalak tak pernah berkedip.
Para penjaga
menggosok-gosok mata mereka dan memandang lagi. Akan tetapi tetap saja,
komandan mereka telah lenyap dan sebagai gantinya di tempatnya tadi terdapat
seekor katak raksasa yang memakai pakaian si komandan tadi! Tantu saja hal yang
mustahil itu membuat mereka tidak percaya dan berulang kaii menggosok mata,
namun mereka tidak mimpi dan memang komandan mereka telah berubah menjadi
seekor katak besar! Dan selagi lima belas orang penjaga itu terlongong
keheranan memandang kepada katak raksasa itu, Si Dara jelita melenggang dengan
seenaknya melewati pintu gerbang, masuk ke halaman istana Raja Bhutan!
“Heiii...!”
seorang penjaga yang dapat menekan ketegangan hatinya menengok dan lalu berseru
ketika melihat gadis itu.
Semua orang
juga menengok. Dalam sesaat mereka bengong, mata mereka menjuling ketika dari
belakang melihat pemandangan yang amat mempesonakan. Lenggang lemah gemulai
seperti orang menari itu mengakibatkan dua bukit pinggul yang bulat padat dan
terbentuk oleh pakaian sutera ketat itu bergerak menari-nari naik turun dan
dalam gerakan ini terkandung kekuatan yang seolah-olah membetot semangat lima
belas orang itu!
“Hei, tunggu
dulu...!” Seorang penjaga yang sadar lebih dulu berteriak dan lari sambil
memegang tombaknya erat-erat.
“Tangkap...!”
“Dia tentu
siluman...!”
Lima belas
orang itu yang kini teringat bahwa komandan mereka telah dikutuk menjadi katak
raksasa oleh dara jelita yang mereka yakin tentu sebangsa siluman, kini berlari
mengejar dengan senjata di tangan.
Dara itu
berhenti melenggang, tubuh atasnya masih tertutup payung yang dipanggul di atas
pundaknya. Kini payung itu diputar-putar, kemudian setelah lima belas orang itu
mengejar dekat, dia membalikkan tubuhnya dan berkata, “Kalian ini sebetulnya
mau apa sih?”
Lima belas
orang itu tersentak kaget dan otomatis menahan kaki mereka sampai ada yang
hampir terjungkal. Semua mata memandang wajah dara itu dan semua menahan napas,
mata mereka melotot sampai hampir meloncat keluar dari pelupuk mata. Muka
mereka menjadi pucat dan tubuh mereka menggigil, dari tenggorokan mereka keluar
suara ah-ah-uh-uh seolah-olah mereka semua mendadak telah menjadi gagu atau
gila.
Mereka
adalah prajurit-prajurit penjaga Bhutan yang sudah biasa menghadapi bahaya
melawan musuh dan rata-rata memiliki tenaga besar dan kepandaian bertempur,
bukan laki-laki lemah dan penakut. Akan tetapi saat itu mereka menjadi
ketakutan, bahkan ada yang saking ngerinya sampai terkencing-kencing, celana
mereka basah tanpa mereka sadari! Siapa orangnya yang tidak akan merasa takut
dan seram kalau melihat wajah wanita itu?
Tadinya
wanita itu demikian cantik jelita, bagai bidadari yang murah senyum manis, akan
tetapi sekarang? Kalau berubah buruk saja masih tidak menakutkan, akan tetapi
kini wajah itu ‘polos’, hanya merupakan seraut wajah polos berkulit halus dan
rata, tidak ada mata, hidung atau mulut, tidak ada tonjolan atau lekukan, halus
mulus dan polos! Mereka bergidik. Tadi mereka sudah merasa ngeri dan ketakutan
melihat komandan mereka berubah menjadi katak, sekarang lebih lagi ketika
melihat wanita yang mereka sangka siluman itu menghadapi mereka dengan muka
polos seperti itu!
“Hihhhhh...
hu-hu-huuhhhhh...“ Di antara mereka ada yang menggigil dan mengeluarkan suara
seperti itu.
Suara ini
tak tertahankan lagi oleh mereka dan larilah mereka tunggang-langgang, jatuh
bangun dan saling tabrak, kembali ke gardu mereka. Apa lagi ketika mereka
melihat ‘katak raksasa’ tadi sudah lenyap dan kini mereka melihat komandan
mereka masih berdiri dengan mata terbelalak dan mulut masih menyeringai, kaku
seperti arca!
Dara itu
mengeluarkan suara ketawa ditahan, lalu tubuhnya membalik lagi, payungnya
berputaran dan lenggangnya yang mempesona dilanjutkan menuju ke arah istana.
“Hi-hik,
orang-orang tolol...!” bisiknya sambil menggunakan tangan kirinya, melepaskan
‘kedok’ atau topeng yang terbuat dari bahan semacam karet putih yang tadi dia
pakai untuk menutupi mukanya sehingga membuat para penjaga lari terbirit-birit.
Tiba-tiba komandan
jaga yang tadinya diam seperti patung itu bergerak dan berteriak, “Ehh,
orang-orang tolol! Mengapa kalian diam saja membiarkan dia masuk? Hayo kejar
dan tangkap dia!” Komandan itu sendiri sudah mencabut pedangnya dan lari
mengejar. Para anak buahnya terbelalak ngeri.
“Tapi...
tapi... dia... siluman”
“Siluman
atau setan, kalau sampai dia memasuki istana, kita pasti celaka!” Si komandan
membentak dan para anak buahnya sadar.
Mereka lalu
berteriak-teriak sambil memegang sanjata dan mengejar, termasuk mereka yang
celananya basah. Teringat akan tugas dan tanggung jawab, mereka terbangun
semangatnya dan menjadi berani lagi.
“Kejar...!”
“Tangkaaapppp...!”
Berserabutan
mereka berlari mengejar. Dara itu mendengar teriakan-teriakan mereka, menengok,
tersenyum mengejek dan tubuhnya mencelat ke depan, jauh sekali seolah-olah dia
telah terbang saja! Terdengar suara ketawa halus merdu dan dengan beberapa
lompatan lagi, tubuhnya meloncat ke atas pagar tembok istana dan lenyap.
“Siluman...!”
Semua penjaga kembali bengong dan muka mereka berubah pucat.
“Celaka, dia
masuk pagar tembok istana, kita harus melaporkan!” Si komandan yang masih belum
sadar betapa dia tadi telah berubah menjadi katak raksasa, lalu cepat lari ke
pintu depan istana untuk melaporkan peristiwa itu kepada para pengawal
istana...
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment