Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Jodoh Rajawali
Jilid 31
Terjadi
perubahan pada pertempuran antara Suma Han melawan lima orang Im-kan Ngo-ok
itu! Kini lima orang itu berseru aneh karena lenyaplah empat orang Suma Han
yang lain, dan yang ada hanya seorang saja. Tentu saja mereka menjadi girang
dan cepat menubruk dan kembali mengirim serangan bertubi-tubi! Keadaan menjadi
berbalik kembali….
Suma Han
terkejut sekali. Tahulah dia bahwa nenek itu amat kuat dalam ilmu sihir dan
selama dia belum dapat menundukkan nenek itu, tentu akan sukar baginya untuk
mencapai kemenangan. Tidak disangkanya bahwa Im-kan Ngo-ok telah bersiap-siap,
dibantu oleh seorang nenek ahli sihir.
Padahal
Durganini, yaitu nenek India yang pandai ilmu sihir itu, sama sekali bukan
datang karena diundang oleh Im-kan Ngo-ok, melainkan karena kebetulan belaka.
Durganini kebetulan lewat di tempat itu dan nenek ini yang sudah tua dan pikun,
begitu melihat orang main sihir terus saja terjun dan menentang karena
gembiranya! Dia menemukan permainan yang amat disukanya, maka tanpa peduli
siapa orangnya dan apa urusannya, tanpa diminta dia terus saja menentang dan
melawan Suma Han dengan ilmu sihirnya, membuyarkan kekuatan sihir Suma Han yang
membuat lawannya melihat dia berubah menjadi lima orang itu!
“Heh-he-he-he-he,
orang kaki buntung, hayo kau main-main dengan aku sebentar!” kata nenek itu
terkekeh-kekeh dan dia melemparkan tongkatnya ke atas. “Hadapilah naga api
hitamku ini!”
Im-kan
Ngo-ok terkejut setengah mati ketika mereka menoleh dan melihat tongkat hitam
itu sudah berubah menjadi seekor naga hitam yang menyemburkan api dari
mulutnya! Karena naga hitam itu menubruk dari atas ke arah Suma Han, tentu saja
mereka berlima takut kalau-kalau naga itu salah tubruk, maka otomatis mereka
berloncatan ke belakang sambil menonton dengan mata terbelalak. Sebagai orang-orang
sakti mereka dapat menduga bahwa nenek itu bermain sihir, bahwa naga itu
hanyalah hasil kekuatan sihir, akan tetapi mereka tidak mampu membebaskan diri
dari pengaruh sihir itu dan mata mereka melihat betapa naga itu seperti
benar-benar naga hidup yang amat menyeramkan!
“Hemmm...
lihatlah naga putih ini!” Suma Han membentak dengan suara mengandung tenaga
yang hebat sekali sambil melontarkan tongkatnya dan... Im-kan Ngo-ok melihat
tongkat Pendekar Super Sakti atau Pendekar Siluman itu pun berubah menjadi
seekor naga putih yang terbang melayang dan menyambut terkaman naga hitam.
Terjadilah
pertempuran yang amat aneh dan hebat antara naga putih dan naga hitam itu,
ditonton dengan mata terbelalak oleh lima orang Im-kan Ngo-ok. Mereka tidak
mengenal nenek ini, akan tetapi kedatangan nenek itu sungguh menguntungkan
mereka karena mereka tadi sudah merasa bingung dan terdesak oleh lima orang
Pendekar Siluman.
Hanya Dewa
Bongkok yang masih duduk bersila dan memandang kagum. Dia tidak terpengaruh
oleh sihir kedua orang itu karena kakek ini memiliki kekuatan batin yang amat
tinggi, akan tetapi dia dapat merasakan getaran-getaran aneh yang keluar dari
dua orang yang berdiri berhadapan dalam jarak kurang lebih lima meter itu. Suma
Han berdiri tegak tanpa bergerak, sedangkan nenek hitam itu pun berdiri
membungkuk sambil mengeluarkan suara terkekeh kecil seperti ringkik kuda.
Suma Han
merasa terkejut sekali ketika mendapatkan kenyataan betapa kuatnya nenek itu
dalam ilmu sihir. Beberapa kali dia hampir kalah, kekuatan ciptanya menjadi
lemah dan dalam pandangan lima orang Ngo-ok, naga putih itu terdesak dan terus
mundur. Suma Han harus mengerahkan seluruh tenaganya dan barulah dia sedikit
demi sedikit mendesak mundur kekuatan nenek itu. Sebetulnya, kekuatan sihir
yang dimiliki oleh Suma Han adalah kekuatan yang timbul secara wajar dan
kebetulan saja, melalui proses kebetulan yang menimpa jasmaninya di waktu dia
masih kecil. (baca cerita Pendekar Super Sakti),
Sedangkan
Durganini semenjak muda sampai tua mempelajari segala macam ilmu sihir dan ilmu
hitam dari India, maka tentu saja nenek ini jauh lebih kuat kalau dibandingkan
dengan Suma Han. Akan tetapi, nenek ini sudah tua sekali dan sudah pikun, lahir
batinnya sudah tua dan lemah maka tentu saja kekuatan sihirnya juga banyak
menurun dan karena ini Suma Han masih dapat mengimbanginya. Bahkan kalau Suma
Han harus mengerahkan seluruh kepandaiannya, nenek itu hanya seenaknya saja,
karena biar pun seenaknya dia melawan, hal ini sudah terlalu melelahkannya.
“Kau... kau
amat bandel, ya...?” Nenek itu berkata dan kedua naga itu lenyap, berubah
menjadi dua tongkat yang kembali ke tangan masing-masing. “Lihat ini, aku akan
membikin kau beku dengan angin dingin!”
Nenek itu
mendorongkan kedua tangan ke depan, mulutnya mengeluarkan teriakan panjang
melengking seperti orang merintih dan pada saat itu, Im-kan Ngo-ok merasa ngeri
karena bertiup angin yang amat dinginnya, akan tetapi yang paling terasa adalah
Suma Han karena inti dari angin dingin ciptaan ilmu sihir itu langsung
menyerangnya.
“Api panas
tidak takut menghadapi dingin, nenek tua!” Suma Han berkata dan dia bersedakap.
Im-kan
Ngo-ok terbelalak kagum dan seram melihat betapa sekarang tubuh Pendekar
Siluman itu seperti terbakar, bernyala dan bercahaya, mengandung api panas dan
angin dingin itu tidak mempengaruhinya! Padahal Im-kan Ngo-ok harus mengerahkan
sinkang mereka untuk menahan hawa dingin yang menyusup tulang-tulang mereka
itu.
Nenek itu
kembali mengeluarkan teriakan panjang dan kini tidak kelihatan apa-apa di
antara mereka, akan tetapi baik nenek itu mau pun Suma Han berdiri dengan kedua
lengan diluruskan ke depan seperti sedang mendorong dan mereka itu seperti
patung patung saja, hanya kedua tangan mereka saja yang nampak agak tergetar.
Sampai beberapa puluh menit lamanya kedua orang itu berada dalam keadaan
seperti itu, dan diam-diam Suma Han mengeluh karena nenek itu ternyata keras
kepala bukan main dan agaknya hendak mengadu nyawa! Dia sudah merasa lelah
sekali, dan dia maklum bahwa setelah melakukan pertandingan mengadu kekuatan
sihir seperti ini, dia bisa kehabisan tenaga dan semangat, padahal dia masih
menghadapi lima orang lawan tangguh itu!
“Apa-apaan
sih mereka itu?” Ji-ok Kui-bin Nionio berseru tak sabar. “Kesempatan baik ini
tak boleh kulepaskan begitu saja!” Dan dia pun lalu melompat ke depan, siap
untuk menyerang Suma Han dengan pukulan Kiam-ci.
“Ji-moi,
jangan...!”
Twa-ok Su Lo
Ti meloncat, namun tidak keburu karena Ji-ok sudah lebih dulu bergerak, maka
dia lalu mendorongkan kedua tangannya untuk mendorong wanita itu ke samping.
Masih untung dorongan Twa-ok ini amat kuat karena ketika itu terdengar Ji-ok
menjerit dan berbareng dengan dorongan Twa-ok, dia terpelanting keras dan
bergulingan lalu bangkit berdiri dengan muka pucat, tangan kirinya hitam
seperti terkena api!
Cepat Twa-ok
menghampirinya dan setelah memeriksanya lalu memberi obat. Kiranya ketika Ji-ok
menyerang tadi, baru saja tangannya mendekati antara dua orang yang berdiri
dengan kedua lengan diluruskan itu, dia merasakan adanya getaran hawa yang luar
biasa panasnya, akan tetapi bagaikan ada besi semberaninya yang membetotnya
masuk. Kalau tidak didorong oleh hawa pukulan Twa-ok dan dia sampai terbetot
masuk di antara dua orang yang mengadu tenaga sihir itu, tentu tidak hanya
lengannya yang sedikit hangus, melainkan tubuhnya bisa terbakar habis! Dia
bergidik ngeri. Wanita bermuka tengkorak yang biasanya ditakuti orang seperti
iblis itu kini bergidik penuh rasa ngeri.
Sementara
itu, adu tenaga sihir antara Suma Han dan Durganini masih berlangsung terus.
Wajah nenek yang berkulit hitam itu sekarang nampak pucat, sedangkan wajah
Pendekar Super Sakti penuh keringat dan dari kepalanya mengepul uap putih,
seperti juga kepala Durganini.
Celaka,
pikir pendekar itu, nenek ini benar-benar kuat bukan main dan hatinya keras
seperti baja, tidak mau mengalah sedikit pun juga. Apakah nenek ini hendak
mengadu nyawa? Sungguh terlalu, karena dia merasa belum pernah bentrok dengan
nenek ini. Suma Han makin merasa kelelahan karena getaran yang terasa olehnya
amat hebat dan kuat sehingga dia harus membantu kekuatan sihirnya dengan
sinkang-nya yang tentu saja jauh lebih kuat dibandingkan Durganini.
Memang
Durganini semenjak mudanya memiliki kekerasan hati yang luar biasa dan
mempunyai watak yang enggan mundur dan pantang mengaku kalah! Apa lagi setelah
dia berubah menjadi nenek tua yang mulai pikun, kekerasan kepala itu agaknya
makin menjadi-jadi. Kini dia merasa penasaran bukan main mengapa dia belum juga
berhasil menundukkan ‘orang muda’ itu.
Tiba-tiba
keluar suara gerengan dari dalam dadanya. Dengan bengong Im-kan Ngo-ok melihat
betapa dari uap yang mengepul di atas kepala nenek itu kini bergumpal-gumpal ke
atas, membentuk bayangan dan ternyata nampak bentuk nenek itu yang kecil sudah
terbungkus uap atau kabut, meluncur ke atas menuju ke arah Pendekar Super
Sakti!
Inilah
puncak dari ilmu sihir itu, yaitu Durganini seolah-olah memisahkan semangat dari
tubuhnya dan ‘semangat’ itu kini hendak langsung menyerang Suma Han! Suma Han
mengenal ilmu ini dan dia pun sudah dapat melakukan hal yang sama. Akan tetapi
sekali ini, kalau dia meniru perbuatan nenek itu, tubuhnya menjadi tidak
terlindung sama sekali dan kalau ada yang menyerangnya dia tentu akan celaka.
Maka Suma Han menjadi ragu-ragu, bagaimana dia harus menghadapi serangan nenek
yang sudah nekat itu!
“Nini...!
Jangan...!”
Tiba-tiba di
tempat itu muncul seorang kakek tua renta berpakaian sederhana. Begitu tiba di
situ dan melihat keadaan Durganini, kakek ini lalu duduk bersila di dekat Suma
Han dan tak lama kemudian dari kepalanya juga muncul uap bergulung-gulung yang
membentuk bayangan seperti dirinya yang terbungkus uap dan bayangan kecil ini meluncur
naik menyambut bayangan nenek itu. Bayangan kakek itu seperti membuat gerakan
seolah membujuk agar si nenek kembali, akan tetapi bayangan nenek itu justru
menyerangnya dengan hebat!
Siapakah
kakek itu? Dia adalah See-thian Hoat-su, suami dari Durganini! Seperti telah
diceritakan di bagian depan, antara kakek dan nenek ini sebetulnya ada hubungan
suami isteri yang saling mencinta dan mesra, akan tetapi karena watak Durganini
yang ku-koai (aneh) mereka itu sering cekcok, sering berpisah, bahkan sering pula
berkelahi! Dalam hal ilmu silat, See-thian Hoat-su yang kini menjadi guru Teng
Siang In itu masih menang setingkat, akan tetapi dalam ilmu sihir, Durganini
menang setingkat. Seperti biasa, begitu bertemu dengan bekas suaminya ini,
Durganini tidak mau dibujuk, tidak mau mengalah, malah menyerang mati-matian!
Tentu saja See-thian Hoat-su terkejut sekali dan sambil mempertahankan diri,
dia berusaha membujuk.
Suma Han
duduk bersila dengan bengong dan terheran-heran. Dia tidak berani lancang
mencampuri, apa lagi melihat betapa kakek itu selalu mengalah biar pun terdesak
hebat dan menerima beberapa kali pukulan yang amat berat. Tetapi tak lama
kemudian, dua bayangan itu sama-sama meluncur kembali kepada ‘raga’
masing-masing. Keduanya mengeluh dan roboh terguling! Semua orang terkejut
karena nenek itu terengah-engah dan memegangi dadanya, sedangkan kakek itu
muntah darah, lalu bangkit terhuyung dan menghampiri nenek itu.
“Durganini...
kau... kau kenapakah...?” Pertanyaannya itu diajukan dengan lembut dan penuh
cinta kasih. Kakek itu menjatuhkan dirinya berlutut dan merangkul nenek itu,
diangkatnya kepala nenek itu dan disandarkan ke dadanya.
“Ahhh,
kau... kau terluka hebat oleh kekuatanmu sendiri... kenapa engkau selalu keras
kepala...?”
Nenek itu
masih terengah-engah, dan suaranya seperti orang tertawa. “Hiiiii... kau... kau
pun terluka parah... ahh, suamiku... sakitkah...? Maafkan aku...“
Sungguh
aneh, menggelikan dan juga mengharukan melihat kakek dan nenek itu saling
berangkulan dan bersikap mesra, kemudian keduanya terguling dan terdengar Dewa
Bongkok mengeluh, “Siancai... siancai, siancai...!”
Suma Han pun
tahu bahwa kakek dan nenek itu keduanya telah tewas. Luka-luka yang diderita
kakek oleh pukulan-pukulan semangat nenek itu terlampau parah, sedangkan nenek
itu agaknya telah menggunakan tenaga terlalu banyak sehingga terpukul sendiri
dan keduanya menjadi korban dan tewas, atau boleh jadi juga karena usia mereka
yang sudah terlalu tua sehingga memang sudah tiba saatnya untuk meninggal
dunia. Dia menarik napas panjang lalu bangkit berdiri. Tubuhnya agak lemas,
tenaga sinkang-nya banyak terbuang untuk melawan nenek tadi, dan untuk
sementara dia tidak akan dapat menggunakan kekuatan sihirnya yang seperti
dikuras habis tadi.
“Im-kan
Ngo-ok, lihat akibat dari desakan kalian untuk mengadu kepandaian. Sudah ada
dua orang luar yang menjadi korban. Sebaiknya kita sudahi saja perkelahian
tiada guna ini,” kata Pendekar Super Sakti.
“Apa?!
Mereka ini datang tanpa kita undang, dan mati karena perbuatan sendiri, apa
sangkut-pautnya dengan kami? Kami masih belum kalah!” bentak Sam-ok Ban Hwa
Sengjin dan dia sudah bergerak lagi membuat tubuhnya berpusing lalu menyerang,
diikuti oleh empat orang saudaranya.
Terpaksa
Suma Han menggerakkan tongkat menjaga diri dan melawan. Sekali ini Suma Han
benar-benar terdesak hebat. Tenaganya sudah banyak berkurang. Tadi pun, biar
sudah dibantu dengan petunjuk Dewa Bongkok, masih sukar baginya untuk
menandingi lima orang Im-kan Ngo-ok, dan dia baru dapat mendesak ketika dia
mempergunakan sihir. Kini dia tidak lagi mampu menggunakan sihir seperti tadi
dan sinkang-nya sudah banyak berkurang, maka tentu saja dia hanya mampu
mengandalkan Soan-hong-lui-kun untuk menghindarkan semua serangan. Napasnya
mulai memburu karena dia merasa lelah sekali.
Melihat
keadaan lawan, Twa-ok girang sekali. Dia lalu berteriak kepada adik-adiknya,
“Adu tenaga...!”
Lima orang
itu kini menyerang sekaligus, dengan pengerahan tenaga sekuatnya! Suma Han
tidak melihat jalan lain kecuali menangkis dengan dorongan kedua tangannya
pula. Terjadilah adu tenaga sinkang tanpa telapak tangan mereka bertemu, akan
tetapi dalam jarak yang kurang dari satu meter. Lima orang itu mengerahkan
tenaga dan terjadilah adu tenaga satu lawan lima!
Andai kata
Suma Han tidak berkurang tenaganya karena tadi memeras tenaga melawan
Durganini, kiranya dia dapat menandingi mereka atau setidaknya dapat meloloskan
diri dan meloncat untuk menghindar. Akan tetapi tenaganya sudah berkurang dan
dia tidak dapat mengelak lagi, dan kini setelah tenaga mereka bertemu dan
melekat, tidak ada lain jalan kecuali melawan keras sama keras.
Dengan
menancapkan tongkatnya di atas tanah, Suma Han lalu menggunakan kedua tangannya
untuk menolak serangan lawan itu. Dia mempergunakan tenaga gabungan Hwi-yang
Sin-kang dan Swat-im Sin-kang, gabungan tenaga yang kuat sekali. Akan tetapi
lawannya adalah orang-orang yang amat kuat, dan kini mereka menggabungkan
tenaga, maka terasalah oleh Suma Han betapa pertahan-lahan dia mulai kalah
tenaga dan keadaannya amat berbahaya!
Tiba-tiba
dia merasa ada sebuah tangan menempel di pundaknya dan tangan ini menyalurkan
tenaga sinkang yang amat kuat. Pada saat itu, Suma Han sudah berada dalam
keadaan berbahaya sekali bagi nyawanya. Ia tahu bahwa tangan ini menyalurkan
tenaga untuk membantunya, akan tetapi karena dia tahu bahwa penolong itu adalah
Dewa Bongkok padahal kakek itu sudah menderita luka parah, maka dia berseru,
“Locianpwe, jangan...!”
Akan tetapi
terlambat sudah. Dewa Bongkok sudah mengerahkan tenaganya dan lima orang lawan
itu terjengkang ke belakang dan bergulingan dengan muka pucat. Suma Han
terlepas dari bahaya, akan tetapi dia melihat kakek berlengan buntung itu pun
terhuyung, lalu duduk bersila dan tak bergerak lagi.
“Locianpwe...!”
Suma Han berteriak dan berlutut di dekat tubuh yang bersila akan tetapi sudah
menjadi mayat itu!
Lima orang
lawannya sudah bangkit berdiri lagi. Mereka tidak mengalami luka, akan tetapi
hanya terkejut dan terdorong saja ke belakang sampai terjengkang. Kini mereka
memandang kepada Suma Han yang perlahan-lahan sudah bangkit berdiri menghadapi
mereka dengan sinar mata seperti mata naga berapi-api.
“Im-kan
Ngo-ok, lihatlah apa yang kalian lakukan! Sungguh terkutuk kalian! Beliau ini
adalah Dewa Bongkok, Penghuni Istana Gurun Pasir, dan sedang menderita luka.
Kini, akibat dari perbuatan kalian yang memaksaku bertanding, beliau sampai
menjadi korban! Sekarang, aku Suma Han tidak akan mau melepaskan kalian lagi!”
Dan dengan kemarahan meluap-luap Suma Han lalu menerjang dengan dahsyat kepada
lima orang itu.
Pada saat
itu, begitu Suma Han menyebut nama Dewa Bongkok penghuni dari Istana Gurun
Pasir, terdengar jerit seorang wanita dan nampak tubuh berkelebat cepat, lalu
wanita itu berlutut dan menangisi mayat Dewa Bongkok. Wanita ini adalah Hwee
Li.
Tadinya,
karena merasa sakit hati sekali mendengar ayah dari Kian Lee juga mencaci maki
dia sebagai puteri Hek-tiauw Lo-mo dan anak kandung pemberontak Kim Bouw Sin,
Hwee Li melarikan diri sambil menangis. Akan tetapi dia segera teringat kepada
kakek berlengan satu itu. Tidak, dia tidak boleh meninggalkan kakek yang amat
baik kepadanya itu. Dia akan kembali dan mengajak kakek itu pergi meninggalkan
Pendekar Super Sakti yang menyakitkan hatinya.
Ketika tiba
di tempat itu, dia melihat pertempuran hebat antara Pendekar Super Sakti
melawan Im-kan Ngo-ok, kemudian dia melihat betapa gurunya, atau kakek
berlengan satu itu membantu Suma Han, kemudian terhuyung dan duduk bersila
kembali. Ketika dia mendengar kata-kata Pendekar Super Sakti bahwa kakek itu
telah tewas dan bahwa kakek itu adalah Dewa Bongkok, Hwee Li terkejut bukan
main, terkejut dan juga amat berduka karena kakek yang ternyata adalah masih
terhitung kakek gurunya sendiri itu, atau mertua guru dari subo-nya, telah
meninggal dunia. Maka dia menjatuhkan diri berlutut sambil menangis dan
tersedu-sedan.
Kini, Suma
Han yang sudah terdesak lagi oleh lima orang lawannya, menjadi makin repot
karena berturut-turut muncul pula lima orang cebol sute dari Su-ok bersama Mauw
Siauw Mo-li Siluman Kucing. Mereka itu datang-datang terus mengeroyok! Tentu
saja Suma Han makin terdesak hebat.
Kalau dia
mau mempergunakan Ilmu Soan-hong-lui-kun untuk melarikan diri, agaknya pendekar
sakti itu masih akan mampu menyelamatkan diri dan tidak ada di antara
lawan-lawannya yang akan mampu mengejarnya. Akan tetapi, pantanglah bagi
seorang pendekar besar seperti Pendekar Super Sakti untuk lari meninggalkan
gelanggang pertempuran. Dia mempertahankan diri sedapatnya, biar pun dia sudah
menerima beberapa kali pukulan dengan tenaga sakti yang membuat tubuhnya
terguncang dan tergetar. Namun dia masih mengamuk terus.
Ketika
melihat dara remaja itu menangisi jenazah Dewa Bongkok, pendekar sakti ini
masih sempat berkata. “Nona, lekas kau menyingkir dari sini selagi ada
kesempatan! Lekas kau lari menyelamatkan diri, biar aku menahan mereka!”
Tadinya,
hati Hwee Li penuh kemarahan terhadap Pendekar Super Sakti karena sikap dan
ucapannya yang menyakitkan hati, biar pun dia tahu bahwa pendekar itu tidak
mengenalnya sehingga kata-katanya di depan Dewa Bongkok itu tidak dimaksudkan
untuk ditujukan padanya. Marah karena mengingat akan sikap Kian Lee dan
sekarang sikap ayahnya yang sama pula. Akan tetapi, begitu mendengar bujukan
halus pendekar itu agar dia melarikan diri dan menyelamatkan diri, dia merasa
kagum dan terharu juga. Dia dapat melihat dengan jelas betapa pendekar itu dikurung
hebat dan didesak oleh para musuhnya, tetapi pendekar itu tidak memikirkan
kepentingan diri sendiri melainkan mengkhawatirkan keselamatannya dan membujuk
agar dia yang menyelamatkan diri!
Betapa
mengagumkan dan dia teringat akan sikap dan watak Kian Lee yang juga demikian
gagah perkasa dan bijaksana. Hanya terhadap dia dan riwayat keturunannya mereka
itu amat tidak bijaksana! Kini, dara itu bangkit berdiri, sama sekali bukan
untuk melarikan diri. Tidak! Orang-orang ini menjadi penyebab kematian kakek
gurunya, atau juga gurunya karena dia telah diwarisi bermacam ilmu silat yang
hebat. Mana mungkin dia melarikan diri? Tidak, sebaliknya malah. Dia harus
membasmi orang-orang ini untuk membalas kematian Dewa Bongkok!
Tiba-tiba
terdengar pekik nyaring melengking tinggi dan tubuh Hwee Li sudah bergerak ke
depan. Sekali kedua tangannya bergerak, dua orang cebol yang menjadi sute Su-ok
itu terlempar sampai lima meter jauhnya dan terbanting mati seketika! Dara itu
dalam kemarahannya telah mempergunakan satu di antara delapan jurus Cui-beng
Pat-ciang yang baru-baru ini diwarisinya dari Dewa Bongkok. Biar pun latihannya
belum matang benar, namun dengan sekali pukul saja dia dapat membuat dua orang
sute Su-ok terlempar dan tewas, maka dapatlah dibayangkan betapa hebatnya ilmu
pukulan itu dan betapa kuatnya sinkang yang berada dalam diri Hwee Li setelah
Dewa Bongkok ‘mengoperkan’ tenaganya kepada dara jelita itu!
Tentu saja
tiga orang cebol yang lain terkejut setengah mati, demikian pula Mauw Siauw
Mo-li. Terutama sekali Mauw Siauw Mo-li. Dia mengenal Hwee Li dengan baik
karena bukankah dara itu masih keponakan muridnya sendiri? Melihat dara itu
membantu Pendekar Super Sakti, marahlah dia dan bersama tiga orang cebol yang
lain dia sudah menerjang maju, bukan hanya dengan tangan kosong, tetapi
menggunakan pedangnya yang bersinar hijau!
Akan tetapi
Hwee Li sudah marah sekali, sepasang matanya mencorong dan hal ini adalah
berkat tenaga sinkang yang diterimanya dari Dewa Bongkok. Begitu melihat sinar
pedang hijau menusuk, dia miringkan tubuhnya. Sekali tangan kirinya menekan ke
bawah dan….
“Krekkk!”
terdengar bunyi dan pedang di tangan Mauw Siauw Moli telah patah!
Sebelum
wanita cabul itu hilang rasa kagetnya, tangan kiri Hwee Li yang mematahkan
pedang itu kini menyampok ke atas, dan….
“Krekkk!
kembali terdengar suara disusul robohnya tubuh Mauw Siauw Mo-li yang telah
patah tulang lehernya dan tewas seketika!”
Bukan main
hebatnya gerakan-gerakan dari Hwee Li itu, karena dia tidak ingat lagi akan
keganasan pukulan-pukulan itu saking marahnya. Dia terus menghadapi ketiga
orang cebol yang lainnya, kemudian dia menggerakkan jurus keempat, tubuhnya
merunduk ke bawah, kemudian kaki kiri ditarik ke belakang, tubuhnya seperti
hampir bertiarap, akan tetapi kedua tangannya menyambar ke depan. Terdengar
teriakan-teriakan mengerikan dan tiga orang cebol itu terpelanting ke kanan
kiri tanpa dapat bangkit kembali karena ada yang kepalanya retak, ada yang
tulang-tulang dadanya remuk terkena sambaran hawa pukulan jurus mukjijat itu!
Sungguh
sukar untuk dipercaya! Dalam tiga jurus saja dara remaja itu telah mampu
membunuh lima orang cebol yang amat lihai itu dan juga menewaskan Mauw Siauw
Mo-li yang merupakan seorang tokoh besar dalam dunia sesat! Bukan hanya Im-kan
Ngo-ok yang terkejut setengah mati, juga Suma Han sendiri memandang dengan
penuh keheranan, kekaguman, akan tetapi juga agak ngeri melihat keganasan yang
luar biasa itu.
Kini Hwee Li
menerjang maju ke arah lima orang Im-kan Ngo-ok yang masih mengurung dan
mendesak Suma Han yang sudah menderita luka-luka oleh pukulan-pukulan sakti.
Melihat ini, Sam-ok alias bekas Koksu Nepal yang merasa sudah mengenal betul
tingkat kepandaian nona muda itu, cepat meloncat maju.
“Eh, Nona,
mengapa engkau membela musuh? Hayo kau menyerah sebelum terpaksa aku
menangkapmu dan menyerahkanmu kepada Ngo-ok untuk dipermainkan habis habisan!”
Ternyata Sam-ok memandang rendah kepada nona ini. Memang betul bahwa nona ini
telah merobohkan enam orang itu, akan tetapi Sam-ok pun memandang rendah kepada
enam orang itu. Sambil menyeringai dia mementang kedua lengannya dan melangkah
maju, sikapnya menakutkan.
Kemarahan
Hwee Li makin memuncak. “Keparat, engkau ini manusia busuk, di mana mana selalu
mendatangkan kejahatan. Engkau harus menebus kematian Locianpwe itu dengan
nyawamu yang tak berharga!”
“Huh, bocah
tak tahu diri!” Sam-ok Ban Hwa Sengjin marah sekali dan menubruk ke depan.
Gerakannya cepat bukan main dan ada angin berputar yang mengurung diri Hwee Li
hingga dara itu sukar mencari jalan keluar dari serangan ini. Kedua tangannya
yang besar itu mencengkeram dari kanan kiri.
Hwee Li
memang tak berniat untuk mengelak. Melihat kedua tangan itu menyambar, dia pun
lalu menyambut dengan kedua lengannya pula, menangkis sambil mengerahkan tenaga
dari pusarnya.
“Dukkk!
Desss...!”
Hebat sekali
benturan antara sepasang lengan yang besarnya melebihi betis Hwee Li sendiri
dengan dua lengan kecil halus dari dara itu. Tubuh Ban Hwa Sengjin terpental
sampai empat meter dan dia terbanting jatuh, debu mengepul dan dia bangkit
sambil menyeringai karena tulang lengan kirinya patah!
Melihat ini
Twa-ok terkejut dan dia mengeluarkan bentakan nyaring, menubruk ke arah Hwee Li
dengan mengerahkan seluruh tenaganya. Kembali Hwee Li menyambut tanpa mengelak,
melainkan tiba-tiba dia berlutut dengan kaki kiri, tangan kiri menekan tanah
dan tangan kanan dipukulkan atau didorongkan ke depan dengan tangan terbuka.
Inilah pukulan dari jurus Cui-beng Pat-ciang, dengan mengandalkan tenaga yang
meminjam tekanan pada bumi.
“Desssss...!”
Tubuh orang
pertama dari Im-kan Ngo-ok itu terputar-putar dan dia nyaris terbanting kalau
saja dia tidak cepat meloncat dan membuat salto untuk mematahkan daya luncur
tubuhnya. Dia tidak terluka, tetapi merasa dadanya sesak dan dia memandang
dengan mata terbelalak ke arah Hwee Li! Kemudian dia membalikkan tubuh dan
berseru kepada empat orang saudaranya, “Pergi... angin keras!” Itulah tanda
bahwa pihak musuh terlalu kuat dan lima orang Im-kan Ngo-ok itu pun
berlari-larian secepatnya dengan hati jeri.
Suma Han
yang menderita luka berdiri sambil memandang dara itu penuh rasa kagum. “Ahh...
sungguh hebat, engkau agaknya telah menerima ilmu-ilmu dari Locianpwe ini,
Nona...”
Hwee Li
hanya mengangguk, sikapnya dingin. Akan tetapi pada saat itu, wajah Suma Han
menjadi pucat dan orang tua ini mengatupkan bibir kuat-kuat menahan nyeri,
kemudian tubuhnya bergoyang-goyang. Hwee Li memandang wajah itu dan teringatlah
dia kepada Kian Lee. Betapa miripnya wajah itu dengan wajah kekasihnya. Timbul
rasa kasihan di dalam hatinya.
“Kau... kau
terluka, Locianpwe...?”
Suma Han
menarik napas panjang. “Sedikit tidak mengapa. Untung ada engkau yang hebat,
Nona. Siapa namamu?”
“Nama saya
Kim Hwee Li, Locianpwe.”
Hwee Li
menanti dengan jantung berdebar, akan tetapi nama itu tidak mendatangkan
pengaruh apa-apa terhadap pendekar itu sehingga legalah hatinya. Pendekar ini
belum pernah mendengar namanya dan tidak tahu bahwa dialah dara yang tadi
dicelanya sebagai puteri penjahat Hek-tiauw Lo-mo dan anak kandung pemberontak
Kim Bouw Sin!
“Sebut saja
aku paman, Hwee Li. Dengan kepandaian yang kau miliki, lewat beberapa tahun
lagi saja belum tentu aku akan dapat menandingimu, maka jangan menyebutku
locianpwe. Kalau tidak ada engkau yang agaknya telah mewarisi ilmu-ilmu hebat
dari Dewa Bongkok, kiranya sekarang aku sudah mati pula seperti dia. Ahhh,
kasihan, seorang tokoh besar harus tewas dalam kesunyian. Kita harus
menyempumakan semua jenazah itu dan memperabukan mereka.”
“Semua?”
Hwee Li bertanya, heran. “Juga jenazah delapan orang itu?”
Suma Han
mengangguk, berbalik dia bertanya, “Ya, mengapa tidak?”
“Tentu saja
aku hanya ingin menyempumakan jenazah Locianpwe itu saja, Lo... ehhh, Paman.
Delapan jenazah yang lain itu adalah jenazah penjahat-penjahat.”
“Ahh, Hwee
Li, jangan kau berpendapat demikian. Betapa pun jahatnya mereka, kini mereka
telah mati, telah menjadi jenazah. Tidak ada jenazah yang jahat, bukan?”
Hwee Li
memandang tajam dan Suma Han diam-diam harus mengagumi sepasang mata yang
demikian tajamnya itu. Memang setelah dia mewarisi sinkang dari Dewa Bongkok,
sepasang mata dara itu mencorong seperti sepasang mata seekor naga sakti!
“Jadi kalau
begitu kita tidak boleh membenci semua orang yang telah mati, Paman?”
“Ya,
begitulah. Yang jahat itu perbuatannya, bukan orangnya.”
“Biar pun
pada waktu hidupnya mereka itu amat jahat sekali?”
“Ya, kita
tidak boleh membencinya, bahkan harus mengasihani mereka. Hayo kau bantu aku
mempersiapkan pembakaran besar untuk mereka.”
Mereka lalu
mengumpulkan kayu-kayu besar yang kering dan ranting-ranting berikut daun-daun
kering, menumpuknya sampai banyak sekali. Kemudian, dibantu oleh dara itu, Suma
Han menumpuk jenazah See-thian Hoat-su, Durganini, Mauw Siauw Mo-li dan lima
orang kakek cebol ke atas tumpukan kayu, sedangkan jenazah Dewa Bongkok diletakkan
di atas tumpukan kayu tersendiri oleh Hwee Li yang tetap berkeras untuk
memisahkan jenazah kakek bongkok itu.
“Aku hendak
menyimpan abu jenazah beliau, Paman,” katanya sebagai alasan ketika dia hendak
memisahkan pembakaran jenazah itu.
“Ehh, untuk
apa?”
“Untuk
kuserahkan kepada yang berhak menerima. Menurut cerita beliau sebelum meninggal
dunia, beliau mempunyai seorang murid yang bernama Kao Kok Cu. Nah, aku ingin
mencarinya untuk menyerahkan abu jenazah beliau kepadanya.”
Suma Han
mengangguk. “Memang benar. Muridnya adalah Naga Sakti Gurun Pasir yang bernama
Kao Kok Cu. Engkau sungguh berbakti sekali kepada Dewa Bongkok, Hwee Li.”
Mereka lalu
membakar tumpukan kayu di mana jenazah-jenazah itu diletakkan. Sambil menanti
jenazah-jenazah itu terbakar dan menjadi abu, Suma Han mengajak Hwee Li
bercakap-cakap. Dia amat tertarik kepada gadis ini, seorang gadis yang selain
cantik jelita penuh kelembutan juga mengandung kekuatan hebat, kelincahan,
kejujuran dan keberanian dengan hati yang keras, mengingatkan dia pada Lulu
isterinya yang kedua ketika masih muda.
“Engkau
berbakti sekali kepada orang tua itu. Apakah engkau muridnya? Melihat bahwa
engkau telah mewarisi ilmu-ilmunya, tentu engkau diambil murid olehnya.”
“Tidak,
Lo... eh, Paman. Kami kebetulan saja bertemu ketika dia dalam keadaan terluka
dan akan dibunuh oleh Mauw... eh, wanita yang telah tewas itu.” Dia menuding ke
arah tumpukan jenazah yang terbakar. “Melihat seorang kakek terluka tak berdaya
hendak dibunuh, aku lalu melindunginya. Aku tentu kalah oleh wanita itu kalau
tidak diberi petunjuk oleh Dewa Bongkok. Kemudian kami melakukan perjalanan
bersama dan lalu beliau menurunkan ilmu-ilmunya kepadaku.”
“Berapa lama
engkau dilatihnya?”
“Kurang
lebih tiga bulan.”
“Ahhh! Tiga
bulan dan engkau sudah sehebat itu? Tentu sebelumnya engkau telah mempunyai
kepandaian lumayan. Dan engkau mengenal wanita yang kau bunuh itu agaknya?”
Hwee Li
mengangguk. “Aku pernah melihatnya, dia berjuluk Mauw Siauw Mo-li, seorang
penjahat wanita yang amat kejam.”
“Bukan
main..., Hwee Li, melihat usiamu tentu tidak lebih dari sembilan belas
tahun...“
“Baru
delapan belas, Paman.”
“Nah, masih
amat muda remaja, akan tetapi agaknya pengalamanmu di dunia kang-ouw sudah amat
luas dan engkau memiliki kepandaian begini tinggi! Eh, di manakah tempat
tinggalmu dan siapakah orang tuamu?”
Ditanya
demikian, tiba-tiba saja Hwee Li menutupi mukanya dan menangis. Teringat dia
betapa dia hidup sebatang kara, betapa dia tidak mempunyai keluarga sama
sekali, bahkan Mauw Siauw Mo-li yang dulu dianggap sebagai bibi gurunya baru
saja mati olehnya. Kekasihnya meninggalkannya, juga subo-nya agaknya
membencinya karena dia keturunan pemberontak. Dan orang yang amat baik
kepadanya, kakek berlengan buntung yang ternyata kakek gurunya juga itu baru
saja meninggal dan kini jenazahnya masih dimakan api.
Siapa tidak
akan menjadi sedih mendengar pertanyaan itu? Apa lagi yang mengajukan
pertanyaan adalah orang yang diharapkannya menjadi ayah mertuanya akan tetapi
yang tadi mengeluarkan caci maki kepadanya! Makin diingat, makin sedih hatinya,
dan dia menangis sampai mengguguk.
Suma Han
memandang dengan wajah berseri. Benar-benar serupa dengan Lulu gadis ini, bukan
wajahnya yang mirip, melainkan wataknya, begitu mudah menangis! Dia merasa
kasihan sekali karena dia dapat menduga bahwa tentu terjadi hal-hal yang hebat
atas diri gadis ini, hal-hal yang membuat hatinya merasa sengsara dan berduka.
Akan tetapi dia tahu bahwa kalau seorang wanita menangis karena duka, biarkanlah
dia menangis, jangan diganggu, jangan dihibur karena selama air matanya belum
habis ditumpahkan, hiburan-hiburan bahkan akan makin memperpanjang
kesedihannya.
Setelah
tangisnya reda, dan menyusuti air mata, bahkan mengeringkan hidung yang menjadi
berair karena tangis, begitu saja dengan saputangan di depan Suma Han tanpa
malu-malu sebagai seorang gadis yang terbuka dan polos sehingga malah jauh dari
pada menimbulkan jijik, Hwee Li lalu berkata, suaranya masih terisak, “Aku
sudah tidak mempunyai orang tua, tidak mempunyai sanak keluarga, tak mempunyai
tempat tinggal lagi, Paman. Dan harap jangan tanya siapa orang tuaku, karena
hal itu hanya membikin hatiku makin sengsara saja.”
Suma Han
mengangguk-angguk. “Hemm, agaknya hatimu menderita penasaran besar, Hwee Li.
Katakanlah siapa yang sudah membuatmu penasaran, dan aku berjanji akan
membantumu, aku akan berusaha sekuat tenaga untuk memberi penerangan dalam
kegelapan hatimu.”
“Ah,
benarkah, Paman?” Tiba-tiba dara itu mengangkat mukanya memandang dan ada
senyum di bibirnya, dan mata berseri, biar pun masih ada dua titik air mata
yang baru saja turun ke atas pipinya!
Sungguh
tiada bedanya dengan Lulu! Suma Han membayangkan Lulu ketika masih muda, persis
seperti dara ini, mudah menangis dan mudah tertawa!
“Mengapa
Paman hendak membantuku sekuat tenaga? Apakah untuk membalas bantuanku kepada
Paman tadi ketika Paman dikeroyok orang jahat?”
“Tidak, Hwee
Li. Andai kata engkau tidak pernah membantuku sekali pun, aku akan tetap
membantumu dengan sungguh hati.”
“Mengapa,
Paman? Mengapa Paman demikian baik kepadaku?” Sepasang mata itu seperti hendak
menembus ke dalam dada dan suaranya penuh desakan.
“Karena aku
suka kepadamu, Hwee Li. Engkau mengingatkan aku akan isteriku Lulu di waktu dia
masih semuda engkau.”
“Ahhh...!”
Tiba-tiba kedua pipi dara itu menjadi merah sekali dan agaknya dia menjadi
gugup, dan untuk menutupi kegugupannya itu dia berlari mendekati tempat
pembakaran jenazah Dewa Bongkok dan menambah kayu kering pada api yang masih
berkobar itu.
Setelah
mereka berdua duduk kembali di tempat yang sejuk, cukup jauh dari tempat
pembakaran itu agar jangan terlalu terserang oleh bau yang keras dari jenazah
yang terbakar itu, Hwee Li berkata, “Tidak ada sesuatu yang perlu bantuanmu,
Paman. Aku hanya bingung ke mana aku harus mencari murid Dewa Bongkok untuk
menyerahkan abu jenazahnya.”
“Aku akan
menemanimu dan membantu mencari Kao Kok Cu, Hwee Li. Setelah apa yang terjadi
tadi, dan selama Ngo-ok masih berkeliaran, tentu akan berbahaya sekali kalau
engkau melakukan perjalanan seorang diri saja. Memang kepandaianmu hebat,
tetapi mereka berlima itu merupakan lawan yang amat tangguh. Dengan kepandaian
kita berdua, kukira kita akan dapat menanggulangi mereka. Juga aku perlu pergi
ke selatan lagi untuk mencari dua orang puteraku.”
“Jadi Paman
tidak kembali ke Pulau Es?”
Suma Han
menggeleng kepala dan menarik napas panjang. “Pulang tanpa disertai
putera-puteraku, aku tentu akan menghadapi dua orang wanita yang marah persis
engkau.”
Jantung di
dalam dada Hwee Li berdebar tegang. Hampir dia bertanya siapakah Lulu itu? Ibu
kandung Kian Bu atau Kian Lee? Akan tetapi, tentu saja dia tidak berani
bertanya, karena dengan demikian berarti dia akan membuka rahasia dirinya.
Mereka harus menanti sampai sehari penuh dan menjelang malam, barulah
pembakaran jenazah itu selesai. Abu jenazah See-thian Hoat-su, Durganini, Mauw
Siauw Mo-li dan lima orang cebol dikubur di bawah sebatang pohon oleh Suma Han,
sedangkan abu jenazah Dewa Bongkok dibungkus kain oleh Hwee Li, kemudian
digendongnya di punggung.
Malam itu
juga Suma Han dan Hwee Li melakukan perjalanan menuju ke selatan, melintasi
gurun pasir dalam cuaca terang bulan yang amat indah. Mereka berhenti di dalam
hutan di seberang gurun pasir itu, membuat api unggun dan beristirahat. Pada
keesokan harinya, pagi-pagi sekali Hwee Li telah menghidangkan panggang ayam
hutan untuk Suma Han.
Suma Han
tersenyum dan mengelus jenggotnya, memandang kepada dara itu dengan sinar mata
penuh kasih sayang. “Terima kasih, anak yang baik, kau makanlah daging ayam
itu.”
“Ehh,
kenapa, Paman? Aku sengaja menangkap dan memanggangnya untuk Paman. Sejak
kemarin Paman tidak pernah makan, tentu lapar. Nah, silakan, lumayan untuk
sarapan pagi, Paman.”
“Terima
kasih, engkau memang baik sekali. Akan tetapi sayang, aku tak pernah makan
daging lagi selama beberapa tahun ini, Hwee Li. Kau makanlah sendiri, aku tidak
biasa makan daging...“
“Ahhh...!
Kalau begitu, biar kucarikan sayur-sayur untuk Paman.”
Dan sebelum
pendekar itu sempat mencegah, dara itu telah meloncat dan lari pergi memasuki
hutan. Sampai lama dia pergi dan akhirnya dia datang kembali membawa banyak
sekali buah-buahan dan sayur-sayuran yang dapat dimasak.
“Nah, ini
buah-buah segar, Paman. Sayang tidak ada tempat untuk memasak sayur sayuran
ini...!”
“Tidak apa,
buah-buahan ini cukuplah.”
Mereka
kemudian makan. Suma Han makan buah-buahan segar dan Hwee Li makan panggang
daging ayam. Mereka makan sambil bercakap-cakap.
“Paman,
mengapa Paman tidak makan daging? Apakah karena agama yang Paman anut melarang
Paman makan daging?”
“Tidak, Hwee
Li.”
“Lalu
mengapa? Apakah Paman menjalani kehidupan suci, sehingga tidak mau makan barang
berjiwa?”
Suma Han
tersenyum lebar. “Apakah kalau tidak makan barang berjiwa itu lalu menjadi
suci? Tidak, Hwee Li, bukan untuk menjalani kehidupan suci.”
“Lalu untuk
apa, Paman?” Gadis ini benar-benar keras hati dan belum puas kalau belum
dijawab pertanyaannya. Persis Lulu!
“Bukan untuk
apa-apa, anak baik. Hanya aku melihat bahwa makan sayur dan buah saja lebih
baik untuk diriku lahir batin, karena itulah aku tidak makan daging! Dan
sekarang aku telah terlanjur tidak suka, jadi, aku tidak memaksa diri yang
tidak suka. Nah, puas sudah?”
Hwee Li
terbelalak, akan tetapi lalu mengerti maksud pendekar kaki buntung itu dan baru
dia merasa bahwa dia terlalu mendesak. “Ahh, maaf, Paman. Aku sudah puas. Paman
jujur, tidak seperti orang-orang yang ingin disebut suci dan pura-pura tidak
mau makan daging, padahal kalau melihat orang makan daging dia mengilar!”
Suma Han
tertawa mendengar ucapan ini. Makin lama mereka melakukan perjalanan bersama,
makin suka dia kepada Hwee Li dan di dalam hatinya dia merasa menyesal mengapa
putera-puteranya tidak mencari jodoh seperti dara ini! Mengapa mereka, menurut
berita dari mulut Im-kan Ngo-ok, malah tergila-gila kepada anak seorang
pemberontak? Gila benar! Diam-diam dia mengambil keputusan untuk mengambil dara
ini sebagai mantu, entah dijodohkan dengan Kian Bu atau dengan Kian Lee! Akan tetapi
sebaiknya dengan Kian Lee, karena Kian Lee orangnya pendiam dan tenang, cocok
kalau mendapatkan seorang isteri seperti ini lincahnya! Seperti dia dengan
Lulu! Kian Bu wataknya keras, kalau bertemu gadis ini, sama kerasnya, kelak
bisa menimbulkan keributan. Ah, bagaimana pun juga, dia harus mengambil dara
ini sebagai mantunya!
Beberapa
pekan kemudian mereka melewati Tembok Besar. Bukan hanya Suma Han yang amat
tertarik dan suka kepada dara itu, sebaliknya Hwee Li juga amat kagum kepada
pendekar ini. Demikian tenang, demikian bijaksana, demikian kuat, dan demikian
gagah perkasa, penuh pengertian! Akan tetapi, hatinya masih terasa sakit kalau
dia teringat akan pandangan Kian Lee dan juga pendekar sakti ini terhadap
dirinya dengan mengingat keturunan orang tuanya.
Hwee Li
dapat menduga bahwa gurunya dan suaminya tentu masih berada di selatan. Setelah
suami gurunya, Kao Kok Cu, yaitu murid dari Dewa Bongkok itu berhasil
menyelamatkan keluarga Jenderal Kao Liang yang tertawan dalam benteng, tentu
dia akan mengatur keluarga yang telah ditinggal mati ayahnya itu. Dan karena
kabarnya keluarga itu telah diusir dari kota raja secara halus, maka tidak
mungkin kalau keluarga itu kembali ke kota raja, tentu ke kampung halaman dari
mana keluarga Kao berasal. Dan dia akan mencari ke sana! Akan tetapi semua ini
tidak dia beritahukan kepada Pendekar Super Sakti yang diam-diam juga ingin
lebih dulu mencari puteranya untuk... diperkenalkan dengan dara pilihannya ini!
Suatu hari,
pagi-pagi sekali mereka tiba di persimpangan jalan. Menurut pengetahuan Hwee Li
yang pernah mendengar penuturan subo-nya tentang kampung halaman keluarga
Jenderal Kao, mestinya mereka mengambil jalan yang kanan, yang menuju ke
Kang-lam di mana keluarga Kao berasal. Akan tetapi Suma Han ingin mengambil
jalan yang kiri. Karena Hwee Li ingin cepat-cepat menyerahkan abu jenazah itu
kepada suami gurunya, maka dia membantah dan bertanya, “Mengapa Paman hendak
mengambil jalan itu? Apakah Paman sudah mempunyai petunjuk bahwa ke sanalah
kita harus mencari murid Dewa Bongkok?”
Suma Han
menarik napas panjang. “Jangan khawatir, Hwee Li. Mencari Kao Kok Cu boleh
nanti saja dan aku serta anak-anakku pasti akan membantumu. Aku ingin lebih
dulu menemukan putera-puteraku, baru kami akan membantumu mencari Si Naga Sakti
Gurun Pasir itu.”
“Ahhh,
urusan kematian Dewa Bongkok merupakan urusan yang sangat penting bagi
muridnya, Paman. Kenapa Paman tergesa-gesa hendak mencari putera Paman?”
“Karena aku
hendak memperkenalkan engkau kepada mereka, anak yang baik.”
Hwee Li
terbelalak memandang wajah yang berseri lembut itu. “Ehh? Mengapa? Apa
maksudnya Paman hendak memperkenalkan aku kepada mereka?”
Pendekar itu
menarik napas panjang lalu duduk di tepi jalan itu. “Kau duduklah, Hwee Li, dan
dengarkan kata-kataku.”
Gadis itu
memandang heran, lalu duduk di depan pendekar itu, di atas sebuah batu bundar.
“Hwee Li,
semenjak berkenalan denganmu, bahkan semenjak melihat engkau dengan gagah
perkasa melawan musuh-musuh yang tangguh itu, kemudian setelah melakukan
perjalanan bersamamu, terus terang saja timbul rasa suka yang mendalam di
hatiku. Engkau makin mengingatkan aku akan isteriku ketika dia masih muda.
Maka, semenjak beberapa hari ini, aku telah mengambil keputusan hati untuk...
mengambil engkau sebagai mantuku!”
“Ahhhhh...!”
Hwee Li terbelalak memandang, jantungnya berdebar tegang.
“Maafkan,
Nak, bukan aku ingin lancang dan memandang rendah kepadamu. Akan tetapi
mengingat bahwa engkau tidak mempunyai orang tua atau sanak keluarga lagi, maka
aku bicara begini terus terang kepadamu. Aku yakin bahwa engkau cocok sekali
untuk menjadi isteri Kian Lee, puteraku...“
Suma Han
tidak melanjutkan kata-katanya karena terkejut melihat dara itu meloncat bangun
bagaikan disengat kelabang pantatnya. Dara itu berdiri dan memandang kepadanya
dengan muka merah sekali, kemudian terdengar dia berkata, “Paman, aku telah
mendengar percakapan Paman dengan locianpwe Dewa Bongkok tempo hari. Bukankah
puteramu itu telah mempunyai seorang kekasih?”
Kini Suma
Han juga bangkit berdiri dan mengepal tangan kanannya. “Tidak! Aku akan
memutuskan hubungan yang tidak tepat itu!”
“Mengapa...
mengapa tidak tepat, Paman?”
Suma Han
tidak dapat melihat betapa suara dara itu agak gemetar, karena dia sendiri
sedang marah memikirkan keadaan puteranya.
“Dia harus
memutuskan hubungan itu dan menikah denganmu! Aku yakin bahwa aku akan dapat
menyadarkan Kian Lee, bahkan menurut Dewa Bongkok, dia pun sudah sadar dan
telah meninggalkan gadis anak si jahat Hek-tiauw Lo-mo dan keturunan
pemberontak rendah itu!” Sepasang mata Majikan Pulau Es ini bersinar-sinar
penuh kemarahan. Dia merasa terhina kalau harus menjadi besan orang-orang
seperti penjahat dan pemberontak itu.
Dan
terjadilah hal yang aneh, yang membuat Pendekar Super Sakti berdiri terbelalak
memandang gadis itu. Hwee Li berdiri tegak, kedua tangannya bertolak pinggang,
mukanya merah padam dan kedua matanya basah akan tetapi mengeluarkan sinar
kemarahan yang berapi-api, yang ditujukan kepadanya!
“Bagus
sekali, Paman! Baru saja beberapa hari yang lalu Paman memberi kuliah kepadaku
bahwa kita tidak boleh membenci orang yang telah mati betapa pun jahatnya dia,
dan kini Paman memperlihatkan kebencian kepada Kim Bouw Sin dan keluarganya
yang telah terbasmi dan binasa semua sebagai keluarga pemberontak! Apakah Paman
sendiri di waktu mudanya tidak pernah memberontak? Pemerintah Mancu sekarang
ini, ketika pertama kali menyerbu ke selatan, bukankah mereka pun pemberontak?
Dan Paman juga membenci Hek-tiauw Lo-mo, karena dia itu ketua Pulau Neraka!
Lupakah Paman bahwa isteri Paman sendiri, Bibi Lulu itu, ibu kandung dari...
eh, puteramu Kian Lee itu, pernah pula menjadi pemberontak dan juga menjadi
ketua Pulau Neraka? Apa hubungannya anak dengan kejahatan atau pemberontakan
atau penyelewengan orang tuanya? Mengapa anaknya diikutkan bertanggung jawab
dan kebagian nama buruk yang harus Paman benci pula? Adilkah itu? Benarkah itu?
Layakkah itu bagi seorang pendekar sakti seperti Paman ini mempunyai jalan
pikiran yang demikian picik, dangkal dan tidak adil?”
Wajah Suma Han
menjadi pucat, kemudian menjadi merah kembali. Tergagap-gagap dia berseru,
“Hwee Li, kau...”
Hwee Li
membanting-banting kaki kanannya, demikian kerasnya sampai tanah di sekitar
tempat itu terguncang! “Sudahlah! Aku tidak sudi berjodoh dengan anak Paman
yang mulia dan setinggi langit itu! Aku adalah anak pemberontak, anak penjahat,
sebaliknya Paman dan keluarga Paman adalah keluarga langit! Sudahlah!” Dia
terguguk menangis dan melarikan diri secepatnya pergi meninggalkan Suma Han
yang berdiri melongo.
Hati Suma
Han mendorong untuk mengejar, akan tetapi dia lalu teringat dan tidak jadi
menggerakkan kakinya. Gadis seperti Hwee Li ini, seperti juga Lulu dulu, tidak
mungkin dapat ditundukkan dengan bujukan atau paksaan. Sudahlah, dia sendiri
yang bersalah! Pendekar ini tersenyum. Sudah setua, ini masih begitu tolol.
Tentu saja! Tentu saja Hwee Li adalah gadis yang dicinta oleh Kian Lee itu,
gadis anak angkat Hek-tiauw Lo-mo, puteri kandung mendiang Kim Bouw Sin!
Mengapa dia begitu bodoh? Gadis itu datang bersama Dewa Bongkok, bahkan telah
menjadi murid Dewa Bongkok dan locianpwe itu datang untuk membicarakan urusan
perhubungan gadis itu dengan Kian Lee. Pantas saja gadis itu dahulu lari sambil
menangis ketika mendengar dia mencela gadis itu sebagai keturunan penjahat dan
pemberontak!
Seperti
disambar halilintar, pendekar sakti ini sadar! Dia seperti dihadapkan sebuah
cermin besar di mana dia memandang kepada dirinya sendiri, melihat betapa dia
masih dikuasai oleh watak sombong, ingin mengangkat diri dan keluarga sendiri,
mempunyai ‘gambaran’ yang amat agung terhadap keluarga sendiri yang pada
hahekatnya perluasan dari diri sendiri pula, sehingga dia memandang rendah
kepada golongan lain, terutama yang dianggapnya hina seperti penjahat dan
pemberontak! Dan gadis dengan kemarahannya yang khas seperti Lulu itulah yang
menyadarkannya!
Sampai
berjam-jam lamanya Suma Han berdiri seperti patung di tempat itu, tak pernah
bergerak akan tetapi mata batinnya mengamati dirinya sendiri dan dia merasa
malu, malu sekali! Aihhh, betapa Lulu akan marah sekali kalau mendengar akan
sikapnya selama ini! Dan kenapa Kian Lee juga memandang rendah kepada gadis
yang menjadi kekasihnya itu setelah mendengar bahwa gadis itu anak pemberontak?
Mengapa Kian Lee setolol itu? Setolol dia? Apa hubungannya seorang anak dengan
penyelewengan orang tuanya? Mereka adalah manusia-manusia lain yang hanya
kebetulan saja dihubungkan sebagai ayah dan anak. Akan tetapi, bukankah ayah
dan anak merupakan dua orang manusia yang memiliki pikiran sendiri, hati
sendiri, kesadaran sendiri, selera sendiri?
Sadarlah
kini Suma Han. Sadarlah dia bahwa selama ini, dialah yang kehilangan
kewaspadaan sehingga tanpa disadari dia bersikap yang tidak benar. Sikap dan
perbuatan yang tidak benar hanya dilakukan oleh manusia yang pada saat itu
tidak sadar! Apa bila manusia sadar setiap saat, waspada setiap saat memandang
dirinya sendiri, setiap gerak-gerik badan dan batinnya sendiri, tidak mungkin
dia melakukan sesuatu yang tidak benar! Karena, setiap perbuatan yang tidak benar
itu pun akan nampak olehnya dan karenanya tentu tidak akan dilakukannya!
Kewaspadaan
bukanlah suatu hal yang boleh dilakukan sekali waktu atau pada waktu waktu
tertentu saja. Kalau dilakukan berselang-seling, maka terjadilah apa yang kita
lihat dalam kehidupan manusia ini. Di waktu tidak waspada, melakukan dosa,
setelah sadar dan waspada, menyesal dan minta ampun, bersumpah tidak akan lagi
melakukan perbuatan itu. Kemudian, dalam keadaan tidak sadar lagi, diulanginya
perbuatan itu, lalu sadar dan minta ampun lagi. Demikianlah kita terseret ke
dalam lingkaran setan yang tiada habisnya.
Kewaspadaan
harus selalu ada pada kita setiap saat, timbul dari pengamatan setiap saat,
timbul dari perhatian sepenuhnya yang kita curahkan terhadap diri sendiri dalam
saat apa pun, selagi melakukan atau mengatakan atau memikirkan apa pun.
Pengamatan
penuh kewaspadaan, penuh perhatian inilah kesadaran! Kalau kita membiarkan diri
kosong tanpa kewaspadaan, maka iblis berupa pikiran yang selalu mengejar
kesenangan akan masuk dan menyeret kita kepada kesesatan. Waspada dengan
pengamatan tanpa pamrih ingin mengubah, waspada dengan pengamatan tanpa adanya
si aku yang mengamati, karena si aku adalah yang diamati pula, waspada terhadap
si aku, pikiranku, kedukaanku, kemarahanku, kebencianku, waspada terhadap semua
ini tanpa ingin mendapatkan apa pun, inilah satu-satunya yang dapat menimbulkan
pengertian.
Lebih dari
tiga jam pendekar sakti itu berdiri seperti patung. Kemudian dia tersenyum,
sama sekali tidak marah oleh sikap dan kata-kata Hwee Li tadi. Bahkan dia
berterima kasih, karena justru dara remaja itulah yang telah menggugahnya dari
mimpi yang membawanya kepada kesesatan. Betapa dia telah memberi kuliah kepada
Hwee Li, seperti dikatakan dara itu, tentang tidak membenci orang jahat sekali
pun yang sudah mati, akan tetapi sikapnya menentang hubungan puteranya karena
si gadis itu anak penjahat dan pemberontak sudah merupakan suatu kebencian pula
yang terselubung! Ahhh, betapa mudahnya memberi nasehat namun betapa sukarnya
melaksanakannya sendiri! Ini semua takkan terjadi kalau dia selalu waspada
setiap saat mengamati diri sendiri, sehingga dia akan waspada ketika memberi
nasehat, waspada pula ketika berbuat!
“Akan kucari
Kian Lee, akan kubereskan semua yang tidak benar selama ini!” katanya kepada
diri sendiri. Di lain saat pendekar sakti itu telah berkelebat pergi,
menggunakan ilmunya untuk berloncatan dan melakukan perjalanan cepat sekali.
Dugaan Hwee
Li memang tepat. Setelah beberapa hari lamanya dia berputar-putar di daerah
Kang-lam, akhirnya dia dapat memperoleh keterangan di mana adanya keluarga
Jenderal Kao Liang, yaitu di dusun Lok-jung di kaki sebuah bukit kecil yang
sunyi. Cepat dia menuju ke dusun itu dan dari jauh dia sudah melihat subo-nya
sedang duduk di depan sebuah rumah yang cukup besar, bersama Kao Kok Cu dan
juga Cin Liong. Bukan main girangnya hati Hwee Li, akan tetapi di samping
kegirangan ini dia pun merasa terharu karena dia membawa berita duka, dan juga
tegang dan gelisah melihat subo-nya, teringat betapa subo-nya sudah tidak mau
mengakuinya lagi sebagai murid karena dia adalah keturunan pemberontak!
“Enci Hwee
Li...!” Cin Liong yang masih mengenal dara yang dulu suka memondongnya dan
mengajaknya bermain-main itu segera lari menyambut kedatangan Hwee Li. Suami
isteri perkasa itu pun memandang.
Hwee Li
merangkul dan memondong Cin Liong, lalu dia menghampiri suami isteri itu,
menurunkan Cin Liong dan tanpa terasa lagi air mata membasahi pipi Hwee Li. Dia
selalu menganggap subo-nya sebagai pengganti ibu, akan tetapi mengingat betapa
wanita di depannya yang amat dihormatinya, dikaguminya dan juga dicintanya itu
kini tidak lagi mau mengakuinya sebagai murid, sungguh membuat hatinya terasa
sedih sekali. Apa lagi kalau dia teringat akan semua pengalamannya yang pahit.
Dia lalu
menjatuhkan dirinya berlutut di depan mereka. Dia tidak berani menyebut subo
atau suhu kepada mereka, mengingat betapa subo-nya telah mematahkan pedang dan
menyatakan hubungan mereka sebagai guru dan murid telah putus. Tidak, dia tak
akan mengemis minta diakui lagi sebagai murid, bisik hatinya yang keras,
kedatangannya bukan untuk itu, melainkan untuk menyerahkan abu jenazah!
Sambil
berlutut dan dengan muka menunduk dia lalu berkata. “Harap Taihiap dan Lihiap
berdua sudi memaafkan aku kalau aku datang mengganggu.”
Tanpa
diketahui oleh Hwee Li, suami isteri itu saling lirik ketika mendengar sebutan
lihiap dan taihiap itu, sebaliknya dari subo dan suhu. Kao Kok Cu tersenyum
pahit dan pandang matanya menegur isterinya, sedangkan Ceng Ceng kelihatan
terharu, namun ditahannya dengan hatinya yang keras. Memang dia sudah
menceritakan kepada suaminya bahwa dia memutuskan hubungan dengan Hwee Li
karena ternyata bahwa Hwee Li adalah adik dari musuh mereka, yaitu adik dari
Kim Cui Yan yang telah menculik Cin Liong, atau juga puteri dari mendiang
pemberontak Kim Bouw Sin.
Mendengar
penuturan isterinya itu, Kao Kok Cu sudah mengingatkan isterinya bahwa tindakan
isterinya itu terburu nafsu dan tidak adil, akan tetapi karena sudah terlanjur
maka mereka berdua tak dapat berbuat apa-apa lagi. Dan kini, dara itu datang
dengan sikapnya yang masih amat baik, datang-datang berlutut dan menyebut
mereka taihiap dan lihiap!
Sejenak
mereka bertiga merasakan suasana yang sama sekali tidak enak, karena biasanya
pertemuan antara mereka tenntu amat menggembirakan karena Hwee Li adalah
seorang dara yang lincah jenaka dan yang selalu menggembirakan suami istri itu
dengan sikapnya yang manja. Kini gadis itu berlutut dan menitikkan air mata,
menyebut mereka dengan sebutan seperti orang asing! Akhirnya Kok Cu memecahkan
kesunyian yang tidak enak itu dengan berkata halus.
“Hwee Li,
tentu saja engkau tidak mengganggu. Kau bangkitlah dan duduklah dan ceritakan
dengan tenang apa keperluanmu datang menemui kami.”
Hwee Li
bangkit dan duduk berhadapan dengan dua orang itu, dan ketika dia melirik ke
arah wajah Ceng Ceng, dia melihat nyonya ini menunduk sehingga dia tak tahu
apakah nyonya itu masih marah kepadanya ataukah tidak. Betapa pun juga, suasana
ini amat tidak enak terasa olehnya, apa lagi dia harus membawa berita yang amat
tidak baik. Maka sukarlah baginya untuk bicara dan dia hanya mengelus rambut
kepala Cin Liong yang kembali mendekatinya dan anak itu berdiri menyandar
kepadanya.
“Enci Hwee
Li, kenapa lama tidak datang dan bermain-main dengan aku? Nanti kita latihan
silat, aku sudah mulai dilatih oleh Ayah!”
Melihat
sikap Hwee Li, Kok Cu dapat menduga bahwa tentu ada urusan penting, maka dia
lalu menyuruh puteranya itu masuk. Cin Liong tidak membantah perintah ayahnya.
Setelah anak itu masuk, Kok Cu bertanya lagi, “Nah, ceritakanlah keperluanmu,
Hwee Li.”
Semenjak
tadi Hwee Li sudah menahan air matanya dan hanya beberapa tetes yang terlepas
turun, akan tetapi kini mendengar pertanyaan itu, kembali dia berlutut di depan
Kok Cu dan menangis, suaranya terputus-putus ketika dia bicara sambil
menurunkan buntalan dari atas punggungnya.
“Su...
Taihiap..., aku... aku datang untuk menghaturkan ini...“ Dia merasa lehernya
tercekik dan hanya mengangkat buntalan itu dengan kedua tangan ke atas kepala
sambil menangis. Teringat dia akan semua kebaikan Dewa Bongkok yang tidak hanya
telah menurunkan ilmu-ilmu yang tinggi kepadanya, bahkan telah mengoperkan
sinkang ke dalam tubuhnya.
“Apakah ini?
Apakah isinya buntalan ini, Hwee Li? Dan mengapa kau menangis?” tanya Kok Cu
dengan hati merasa tidak enak.
“... abu
jenazah...“ Hwee Li berbisik dan kini Ceng Ceng menengok dan memandang penuh
perhatian kepada dara itu dan kepada buntalan yang kini sudah diterima oleh
suaminya.
Kok Cu
terkejut dan makin merasa tidak enak.
“Abu
jenazah? Punya siapa?”
“... abu
jenazah Locianpwe... penghuni Istana Gurun Pasir...“
“Ahhhhh!”
Kok Cu
meloncat berdiri dan tubuhnya gemetar, buntalan itu masih dipegang tangan
kanannya. Wajahnya agak pucat ketika dia memandang kepada buntalan itu,
kemudian bertanya kepada Hwee Li. “Hwee Li, hayo ceritakan yang jelas!”
bentaknya dengan suara mengandung getaran amat kuat. “Tidak salahkah engkau
bahwa ini abu jenazah suhu-ku, Go-bi Bu Beng Lojin atau Dewa Bongkok dari
Istana Gurun Pasir?”
Hwee Li
menentang pandang mata Kok Cu dengan mata basah air mata. “Tidak mungkin salah,
karena aku sendiri melihat beliau tewas, dan aku bersama dengan Pendekar Super
Sakti yang menyempurnakan jenazahnya menjadi abu dan kubawa ke sini untuk
kuserahkan kepadamu.”
“Ahhh...!”
Kedua kaki Kok Cu menggigil dan dia lalu cepat menaruh buntalan itu di atas
meja, kemudian dia menjatuhkan diri berlutut di depan buntalan abu itu. “Suhu,
ampunkan teecu, karena terlalu memikirkan keluarga sendiri teecu sampai
melupakan suhu dan tidak tahu bahwa suhu telah meninggal dunia, ampunkan
teecu...“
Sebuah
tangan yang halus menyentuhnya setelah beberapa lama dia berlutut tanpa
bergerak dengan hati yang amat berduka. Dia menoleh dan ternyata isterinya juga
sudah berlutut di sampingnya, dengan mata basah air mata. “Sudahlah, suhu sudah
meninggal dengan tenang, tidak baik kalau terlalu disedihkan, lebih baik kita
cepat mengatur meja sembahyang untuk beliau,” kata Ceng Ceng. Sementara itu,
Hwee Li juga sudah berlutut di belakang mereka.
Dengan
bantuan beberapa orang anggota keluarga, diaturlah sebuah meja sembahyang dan
abu itu lalu disembahyangi sebagaimana mestinya. Hwee Li juga ikut sembahyang
di depan meja abu itu, dan ketika berlutut dia berkata dengan suara sayu,
“Locianpwe, untuk yang terakhir kalinya aku menghaturkan terima kasih atas
segala kebaikanmu kepadaku.”
Setelah dia
bangkit, Kok Cu lalu mempersilakan dia duduk. “Maaf, Taihiap, aku akan terus
melanjutkan perjalanan dan tidak akan mengganggu lebih lama lagi,” katanya
sambil mengerling ke arah Ceng Ceng.
Ceng Ceng
tahu bahwa muridnya ini masih merasa tidak enak kepadanya, seperti juga dia
merasa tidak enak. Dia pernah menyakitkan hati muridnya ini dan memutuskan
hubungan, siapa kira kini anak itu malah berjasa dengan mengantarkan abu
jenazah guru suaminya. Maka dengan suara lirih dia berkata, “Hwee Li, kau
duduklah dulu dan ceritakan tentang kematian suhu.”
“Benar,
harap kau tidak kepalang dengan pertolonganmu, Hwee Li. Engkau sudah bersusah
payah mengantar abu jenazah suhu, sekarang ceritakanlah apa yang terjadi,
bagaimana engkau dapat bertemu dengan suhu dan bagaimana pula suhu sampai
meninggal dunia, apa pula hubungannya dengan Pendekar Super Sakti,” kata Kok Cu
dan memang suami isteri ini amat tertarik untuk mengetahui semua itu.
Hwee Li
menarik napas panjang. Memang dia harus menceritakan itu semua. Sambil
menundukkan mukanya dia mulai bercerita secara singkat, “Mula-mula aku bertemu
dengan beliau ketika beliau dalam keadaan terluka parah sekali akan dibunuh
oleh Mauw Siauw Mo-li...“
“Bagaimana
beliau bisa terluka parah?” Kok Cu bertanya kaget.
“Beliau
kemudian menceritakan bahwa beliau terluka karena secara curang dipukul dari
depan dan belakang oleh Hek-hwa Lo-kwi dan Hek-tiauw Lo-mo. Mereka berdua tewas
akan tetapi, beliau sendiri terluka parah. Melihat beliau yang sudah tidak
berdaya dan duduk bersila itu hendak dibunuh oleh Mauw Siauw Mo-li, aku lalu
mencegahnya dan melawan Mauw Siauw Mo-li...“
“Kau melawan
bibi gurumu sendiri?” Ceng Ceng bertanya, akan tetapi pandang mata suaminya
membuat dia sadar bahwa dia masih dikuasai oleh kemarahan terhadap dara ini,
maka dia lalu diam saja dan menundukkan muka. Hwee Li melirik ke arah subo-nya
itu dan menggigit bibir tanpa menjawab.
“Hwee Li,
harap kau suka lanjutkan,” Kok Cu berkata lembut.
“Kami berdua
lalu melakukan perjalanan menuju ke gurun pasir di dataran Chang-pai-san untuk
menyaksikan pertemuan antara Pendekar Super Sakti dan Im-kan Ngo-ok. Selama
dalam perjalanan itu beliau bersikap sangat baik kepadaku...“ Sampai di sini
Hwee Li berhenti karena dia harus menyusut dua butir air mata yang kembali
mengalir turun.
Pada saat
itu, tiba-tiba terdengar suara nyaring dari luar rumah, “Apakah murid Si Dewa
Bongkok berada di dalam? Keluarlah menemui kami!”
Mendengar
suara ini, sekali berkelebat Kok Cu sudah meloncat keluar, diikuti oleh isterinya,
dan Hwee Li juga cepat meloncat keluar. Ternyata di pekarangan rumah itu telah
berdiri Twa-ok dan Sam-ok, dua di antara Im-kan Ngo-ok yang paling lihai! Kao
Kok Cu mengenal dua orang ini, apa lagi Sam-ok yang dulu menjadi Koksu Nepal.
“Heemmm, kalian
dua orang manusia iblis mau apakah datang mencari murid penghuni Istana Gurun
Pasir?”
“Bagus,
kebetulan sekali engkau berada di sini! Dewa Bongkok telah mati, tetapi dialah
yang telah menggagalkan kami ketika kami sudah hampir berhasil membunuh
Pendekar Siluman! Karena itu, engkau muridnya harus menebus kesalahannya
terhadap kami itu!”
“Keparat!”
Teriakan ini keluar dari mulut Hwee Li dan dara ini sudah mendahului Kok Cu dan
isterinya, langsung saja dia menerjang dua orang kakek itu dengan pukulan yang
dilakukan secara aneh, yaitu kaki kiri berlutut, tangan kiri di atas tanah dan
tangan kanan memukul ke depan, ke arah dua orang kakek sakti itu.
“Cuiiiiittttt...
desss! Desssss!”
Dua orang
kakek itu terkejut ketika melihat munculnya dara yang pernah melawan mereka
secara aneh dan hebat membantu Pendekar Super Sakti itu. Tak mereka sangka bahwa
gadis luar biasa itu pun sudah berada di situ. Gadis itu adalah Hwee Li, bekas
tunangan Pangeran Nepal, anak dari Hek-tiauw Lo-mo yang dulu hanya terbatas
saja kepandaiannya, akan tetapi yang kini memiliki kepandaian yang amat luar
biasa.
Kini Twa-ok
dan Sam-ok tidak berani memandang rendah, cepat mereka menangkis dan akibatnya
tubuh mereka terdorong mundur sampai terhuyung-huyung! Dan Hwee Li sudah
melayang lagi ke arah mereka, sekarang kedua kakinya bergerak, dengan tumit
diangkat, berdiri di atas ujung jari-jari kaki, kedua lengan diputar sedemikian
rupa dan dari kedua tangannya menyambar hawa pukulan yang mengeluarkan bunyi
berdesingan seperti dua batang pedang diputar. Twa-ok dam Sam-ok terkejut,
cepat mereka pun mengerahkan tenaga dan menangkis sambaran dua hawa pukulan
dahsyat itu.
“Wuuuuut,
brettt, brettttt...!”
Dua orang
kakek itu meloncat jauh ke belakang, muka mereka pucat karena lengan baju
mereka telah robek seperti digurat pedang pusaka, dan biar pun kulit lengan
mereka tidak terluka, namun tahulah mereka bahwa dara itu benar-benar memiliki
ilmu kepandaian yang amat luar biasa dan aneh. Menghadapi dara itu saja sudah
berbahaya, apa lagi kalau Si Naga Sakti Gurun Pasir murid Dewa Bongkok yang
lihai itu maju bersama isterinya yang juga lihai! Maka tanpa banyak cakap lagi
keduanya lalu memutar tubuh dan melarikan diri!
Sejenak Hwee
Li memandang dengan berdiri tegak, tidak mengejar, kemudian dia menoleh dan
ketika melihat bekas subo-nya dan suami subo-nya memandang dengan mata
terbelalak kepadanya, dia menarik napas panjang dan berkata lirih, “Sayang aku
tidak berhasil membunuh dua manusia iblis itu.”
Kok Cu sudah
cepat melangkah maju dan memegang lengan Hwee Li. “Gerakanmu tadi! Tenagamu
tadi! Ah, Hwee Li, aku mengenalnya! Engkau... engkau telah mewarisi ilmu-ilmu
itu dari mendiang suhu?”
Hwee Li
mengangguk. “Memang beliau amat baik kepadaku, telah menurunkan ilmu-ilmu
simpanannya dan juga telah mengoperkan sinkang-nya kepadaku...“
“Kalau
begitu, engkau termasuk muridnya, engkau menjadi sumoi-ku!”
Hwee Li
menggeleng kepala. “Aku tidak berharga untuk menjadi murid beliau dan aku tidak
pernah diangkat murid, aku tidak berani menjadi sumoi-mu, Taihiap...“
“Kau
lanjutkanlah ceritamu tadi,” kata Kok Cu dan mereka kemudian kembali duduk di
ruangan depan di depan meja sembahyang Dewa Bongkok. Ceng Ceng sekarang
memandang kepada bekas murid itu dengan mata kagum.
“Kami berdua
tiba di dataran itu dan Pendekar Super Sakti dikeroyok oleh lima orang Im-kan
Ngo-ok. Kemudian muncul pula nenek iblis yang pandai sihir, dan Pendekar Super
Sakti terdesak hebat. Dalam keadaan amat berbahaya itu, Locianpwe Dewa Bongkok
agaknya tidak dapat berdiam saja. Dalam keadaan terluka parah itu beliau lalu
membantu Pendekar Super Sakti sehingga pendekar Pulau Es itu terlepas dari
bahaya maut, akan tetapi beliau sendiri... beliau tewas dalam keadaan duduk
bersila...“ Kembali Hwee Li mengusap kedua matanya.
“Ahhh, jadi
Im-kan Ngo-ok yang menjadi biang keladi kematian suhu. Kalau tadi aku tahu...“
Kok Cu berkata. “Teruskan, Hwee Li, teruskan ceritamu.”
“Setelah
beliau tewas, Pendekar Super Sakti lalu mengamuk, akan tetapi terdesak oleh
banyaknya lawan karena segera muncul Mauw Siauw Mo-li dan lima orang cebol yang
lihai. Melihat Locianpwe itu tewas, aku menjadi marah dan aku lalu maju
membantu Pendekar Super Sakti. Aku berhasil membunuh Mauw Siauw Mo-li dan
kelima orang cebol, menggunakan ilmu yang kupelajari dari Locianpwe Dewa
Bongkok, kemudian membantu Pendekar Super Sakti menghadapi lima orang dari
Im-kan Ngo-ok sehingga akhirnya mereka melarikan diri meninggalkan Pendekar
Super Sakti yang saat itu telah menderita luka-luka karena pukulan mereka.”
“Hemmm, dan
mereka menyalahkan suhu dalam kegagalan mereka terhadap Pendekar Super Sakti,”
kata Kok Cu. “Dan memang suhulah yang menggagalkan mereka, dengan mewariskan
kepandaian suhu kepadamu, Hwee Li. Kemudian, kau membakar jenazah suhu?”
“Pendekar
Super Sakti yang melakukannya, aku hanya membantunya, kemudian aku mengumpulkan
abu Locianpwe Dewa Bongkok dan kubawa ke sini untuk kuserahkan kepadamu,
Taihiap.”
Kok Cu
bangkit berdiri, memandang kepada Hwee Li dengan mata kagum dan berterima
kasih. “Hwee Li, aku amat berterima kasih kepadamu. Tidak keliru suhu memilihmu
sebagai ahli waris ilmu yang dirahasiakan itu, bahkan kepadaku pun dia tak
menurunkan ilmu itu. Engkau baik sekali dan engkau patut menerima kasih
sayangnya.”
“Aku pun
berterima kasih kepadamu, Hwee Li, dan kau maafkanlah sikapku yang lalu...“
Suara Ceng
Ceng ini membuat Hwee Li memutar tubuh dengan cepat. Dia melihat subo-nya telah
berdiri dan memandang kepadanya dengan mata basah. Bukan main lega dan
girangnya hati Hwee Li, juga terharu sekali dan dia seperti mendapatkan kembali
seorang ibu! Dia berlari menubruk Ceng Ceng sambil merintih dan menangis! Ceng
Ceng menerimanya dalam pelukan dan sambil menyembunyikan mukanya di dada
subo-nya itu Hwee Li menangis sepuas hatinya sampai sesenggukan.
“Subo...
ahhh, Subo... mengapa semua orang membenciku? Mula-mula Subo yang meninggalkan
aku karena aku anak pemberontak, lalu dia Kian Lee juga menghinaku dan
meninggalkan aku setelah itu ditambah lagi Pendekar Super Sakti juga mencaci
maki anak pemberontak dan tidak menyetujui puteranya berjodoh dengan anak
pemberontak... hu-hu-huuuh..., Subo, apa salahku...?” Dia merenggutkan pelukan
Ceng Ceng sehingga terlepas, lalu memegang kedua lengan subo-nya itu,
mengguncang guncangnya penuh penasaran, dengan air mata bercucuran. “Apa
salahku, Subo? Apa salahku kalau ayah kandungku seorang pemberontak? Apa
salahku kalau orang yang memeliharaku seorang penjahat? Apa salahku kalau Tuhan
menentukan aku lahir dari keluarga pemberontak? Mengapa orang menyalahkan
aku...? Mengapa...? Hu-hu-huuuuuh...!” Tangisnya menjadi-jadi karena dia
teringat betapa Kian Lee meninggalkan dirinya, dan dia kembali sudah
berangkulan dengan Ceng Ceng yang juga ikut menangis bersama muridnya karena
dia merasa amat kasihan dan terharu.
Berbagai hal
teringat oleh Ceng Ceng. Kian Lee pernah jatuh cinta kepadanya dan cinta kasih
itu gagal karena dia masih terhitung keponakan sendiri dari pemuda itu. Kini
pemuda itu mempunyai hubungan kasih sayang dengan muridnya, dengan Hwee Li,
apakah harus putus lagi? Tidak, sekali ini, kalau sampai putus, maka
kesalahannya terletak pada Kian Lee!
Setelah
mencium pipi yang basah air mata itu, Ceng Ceng menghibur, “Sudahlah, Hwee Li,
tenangkan hatimu. Aku telah bersalah dan kau maafkanlah aku. Akan tetapi,
mereka itu tidak boleh bersikap seperti itu kepadamu, sama sekali tidak patut!
Kalau aku pada waktu itu marah kepadamu dan memutuskan hubungan, bukan hanya karena
aku tidak suka mempunyai murid anak pemberontak, melainkan terdorong oleh
kemarahan hatiku melihat engkau melindungi musuh yang telah menculik puteraku.
Akan tetapi kemudian aku mendengar bahwa mereka semua yang bersalah itu telah
tewas, enci tirimu Kim Cui Yan, bersama suheng-nya, dan juga Pangeran Liong
Bian Cu, semua telah tewas karena bentrok sendiri. Engkau tidak boleh disamakan
dengan mereka, dan kalau sampai Paman Kian Lee dan ayahnya menolakmu karena
keturunan atau karena orang tuamu, biarlah aku yang akan menemui mereka dan
menegur mereka!”
Hwee Li
memperoleh hiburan batin ketika subo-nya kembali bersikap baik kepadanya. Dia
tak menolak ketika Ceng Ceng menyatakan hendak menyertainya mencari Kian Lee
dan memperbaiki kembali hubungan yang terputus itu. Hwee Li tidak menolak
karena dia pun tidak mempunyai orang yang dapat dipercayanya, dan subo-nya ini
dapat bertindak selaku walinya! Dia pun tidak putus harapan akan hubungannya
dengan Kian Lee, karena bukankah Pendekar Super Sakti sendiri telah menyatakan
ingin mengambil dia sebagai mantu untuk menjadi jodoh Kian Lee? Akan tetapi,
pemuda itu harus melihat dulu kesalahannya, dan harus minta ampun kepadanya!
Ceng Ceng
minta kepada suaminya agar menanti dia di dusun keluarga Kao itu bersama Cin
Liong, karena dia ingin menyertai Hwee Li mencari Kian Lee. Kalau sudah selesai
urusan ini, baru mereka bersama-sama akan kembali ke Istana Gurun Pasir.
Setelah
memberi hormat kepada semua keluarga Kao, Hwee Li berpamit kepada Kok Cu dan
berkata, “Terima kasih atas kebaikan Taihiap...“
“Hushhh,
engkau adalah sumoi-ku, mengapa menyebutku taihiap?”
Kedua pipi
Hwee Li menjadi merah karena jengah. “Ahhh, mana patut aku menjadi Sumoi-mu...?
Biarlah aku menjadi murid Subo kembali. Tentu Subo akan sudi menerimaku kembali
menjadi murid, bukan?” kata Hwee Li dengan manja kepada Ceng Ceng yang sudah
berkemas untuk berangkat bersamanya.
“Menjadi
muridku? Ihhh! Sungguh tidak patut, tidak patut!” Nyonya itu menggeleng geleng
kepala sambil tersenyum.
Hwee Li tahu
bahwa subo-nya itu main-main, maka dia pura-pura kaget dan bertanya, “Mangapa
tidak patut menjadi muridmu, Subo?”
“Jangan
menyebut subo lagi kepadaku, anak nakal. Apa kau hendak mengejek aku? Tentu
saja tidak patut, sama sekali tidak patut. Pertama, engkau telah menjadi murid
suhu suamiku, maka engkau terhitung sumoi-ku, mana bisa menjadi muridku? Dan
tentang kepandaian, engkaulah yang layak mengajar aku ilmu silat, mana pantas
engkau menyebut subo kepadaku? Kemudian, masih ada lagi. Engkau tidak patut
menyebutku subo, bahkan semestinya aku menyebutmu... ehh, calon bibiku.”
“Ehhh...?”
“Ingat, Suma
Kian Lee adalah adik sekandung dari mendiang ayahku, jadi dia adalah pamanku,
maka apa yang harus kusebut kepada calon isterinya?”
“Ihhh,
Subo...!” Hwee Li mencubit lengan Ceng Ceng dan mereka semua tertawa.
Memang Hwee
Li selalu bersikap polos, lincah, jenaka dan tidak pernah mempedulikan tentang
ikatan sopan santun yang kaku sehingga bebas saja baginya untuk bersenda gurau
dengan subo-nya yang usianya tidak terlalu banyak selisihnya dengan usianya
sendiri itu.
Maka
berangkatlah dua orang wanita itu dengan wajah berseri karena kini, di samping
subo-nya, Hwee Li memperoleh harapan baru. Dia berjalan sambil bercakap-cakap
dan dia menceritakan semua hubungannya dengan Kian Lee dengan selengkapnya,
juga tentang sikap Pendekar Super Sakti yang amat baik padanya, bahkan telah
menyatakan ingin mengambilnya sebagai mantu untuk dijodohkan dengan Kian Lee,
dan betapa dia menjadi marah-marah dan meninggalkan pendekar itu ketika
pendekar itu mencaci-maki anak pemberontak!
“Aihhh,
kenapa engkau demikian keras kepala dan tidak mengaku saja bahwa engkau adalah
gadis itu kepada beliau?” Subo-nya mengomel.
“Biar, Subo.
Biar mereka itu tahu akan kesalahan mereka.”
“Ya, engkau
memang pendendam. Akan tetapi memang sebaiknya kalau orang yang keliru itu
menyadari sendiri kekeliruannya, seperti kekeliruan sikapku padamu. Jangan
khawatir, aku akan menegurnya dan kalau memang dia benar-benar mencintamu,
tentu dia pun menderita sengsara sekarang ini.”
Mereka
melanjutkan perjalanan dengan kepercayaan penuh kepada diri sendiri…..
**************
Dugaan Ceng
Ceng memang sama sekali tidak salah. Semenjak berpisah dari Hwee Li, Kian Lee
mengalami penderitaan batin yang parah. Rasanya jauh lebih parah dari pada
ketika menderita karena kegagalan cinta pertamanya terhadap Ceng Ceng dahulu
itu. Dia merasa menyesal sekali akan kenyataan bahwa dara yang dicintanya
sepenuh hatinya itu ternyata adalah keturunan dari pemberontak Kim Bouw Sin!
Betapa tidak
akan hancur hatinya. Mana mungkin dia akan dapat berjodoh dengan anak
pemberontak? Keluarganya selalu menentang pemberontak, bahkan kakaknya, Milana
adalah seorang puteri yang menjadi panglima dalam penumpasan pemberontak. Mana
mungkin dia, putera dari Majikan Pulau Es, pendekar yang amat terkenal sebagai
seorang pendekar sakti yang gagah perkasa itu dan terkenal pula sebagai mantu
kaisar sendiri, kini bermenantukan seorang puteri pemberontak? Betapa dunia
kang-ouw akan mentertawakan hal itu, dan sudah pasti keluarganya takkan
menyetujui perjodohannya dengan anak pemberontak. Ahhh, mengapa nasibnya
demikian buruk?
“Hwee
Li...,“ untuk ribuan kalinya dia merintih, menyebut nama dara yang sangat
dicintanya itu. Tubuhnya menjadi kurus karena dia jarang makan dan jarang
tidur, merantau tanpa tujuan lagi, tidak ingin pulang ke Pulau Es, akan tetapi
juga tidak tahu ke mana dia harus pergi.
Mengapa Hwee
Li tidak menjadi anak orang biasa saja? Atau mengapa dia sendiri tidak menjadi
anak orang biasa saja? Kalau dia anak seorang petani atau nelayan, atau bahkan
anak seorang tokoh dunia hitam, tentu tidak ada halangan baginya untuk berjodoh
dengan Hwee Li. Makin diingat, makin terbayang-bayang wajah Hwee Li yang cantik
manis, sikapnya yang lincah jenaka dan manja, dan makin perih rasa hati Kian
Lee, membuat dia kehilangan gairah hidup.
Mengapa
cinta selalu mendatangkan derita sengsara dalam batin manusia? Mengapa demikian
banyaknya kisah cinta yang berakhir dalam derita? Mengapa banyak terjadi cinta
gagal sehingga tidak jarang berakhir dengan kematian dan kehancuran? Benarkah
cinta demikian kejamnya mempermainkan manusia sehingga cinta itu seperti racun
dalam madu yang manis, nampaknya saja membahagiakan namun pada akhirnya
menyeret manusia ke dalam kesengsaraan dan penderitaan batin?
Tidak
mungkin! Bukanlah cinta kasih namanya kalau mendatangkan derita sengsara! Yang
mendatangkan derita sengsara adalah keinginan manusia untuk senang! Bukan cinta
kasih! Cinta kasih tidak mengandung pamrih untuk kesenangan atau kepuasan diri
pribadi! Kalau mengandung pamrih seperti itu, maka bukanlah cinta kasih
namanya. Jika kita mencinta seseorang, maka sudah tentu kita ingin melihat
orang itu berbahagia, tidak peduli kebahagiaannya itu ada sangkut-pautnya
dengan kita atau bukan.
Cinta adalah
ingin melihat orang lain bahagia, tanpa pamrih untuk diri sendiri. Cinta adalah
belas kasih terhadap orang lain, tanpa pamrih mendapat imbalan untuk diri
sendiri. Dan cinta seperti ini tidak mungkin mendatangkan derita sengsara!
Sebaliknya, kalau kita ingin memperoleh kesenangan dari orang yang kita cinta,
itu namanya bukan mencinta orang itu, melainkan mencinta diri sendiri dan orang
yang katanya kita cinta itu hanya sekedar kita jadikan alat untuk menyenangkan
diri kita. Tidakkah demikian?
Karena
itulah, kalau orang itu tidak menyenangkan kita, kalau orang itu tidak mau
mendekati kita, tidak mau menjadi milik kita, lenyaplah kegunaannya sebagai
alat menyenangkan kita, dan kita kecewa, kita menderita sengsara, dan tidak
jarang cinta kita berubah menjadi kebencian, benci karena orang itu tidak mau
menyenangkan kita, karena orang itu mengecewakan kita! Inikah cinta? Jelas
bukan! Namun, semenjak kecil kita telah dididik dan dibentuk untuk beranggapan
bahwa demikianlah cinta itu! Penuh derita, dapat menjadi sorga mau pun neraka,
sumber suka duka, terisi kesenangan dan pemuasan nafsu yang kita sulap menjadi
kebahagiaan!
Bukan
berarti bahwa kita harus anti terhadap semua kesenangan, harus anti terhadap
sex, terhadap kemesraan antara pria dan wanita. Sama sekali bukan! Bahkan semua
kesenangan, sex, kemesraan dan sebagainya itu akan mengalami perubahan hebat
sekali kalau di situ terdapat cinta kasih. Dengan cinta kasih, maka segala
sesuatu adalah benar dan baik, suci dan bersih! Dan selama manusia menafsirkan
cinta kasih semaunya sendiri, disesuaikan dengan seleranya yang tentu
berdasarkan pengejaran kesenangan menurut versi masing-masing, maka di dunia
ini selalu akan ‘gagal’.
Padahal,
tidak ada istilah cinta gagal atau berhasil. Cinta adalah cinta! Kapan lagi
kita dapat menyadari hal ini kalau kita tidak mau membuka mata sekarang juga?
Menyadari berarti membuka mata memandang dan mengerti, dan pengertian inilah
yang akan membebaskan kita dari lingkaran setan, lingkaran suka duka akibat
cinta seperti yang umum artikan itu!
Dalam
keadaan kurus dan sakit lahir batin, lahirnya karena kurang makan dan tidur,
batinnya karena selalu diperas oleh kekecewaan dan iba diri, Kian Lee berjalan
tanpa tujuan di lembah bawah pegunungan itu. Hampir saja timbul niat di hatinya
untuk membuang dirinya ke dalam jurang ketika dia melewati lereng gunung tadi.
Namun dia masih ingat bahwa perbuatan itu adalah perbuatan pengecut.
Dia tidak
tahu bahwa pada saat itu ada orang yang melihatnya dari puncak bukit, dan kini
orang itu berloncatan seperti terbang mengejarnya. Orang ini bukan lain adalah
ayahnya sendiri, Pendekar Super Sakti Suma Han yang memang sedang mencari
carinya. Ketika tiba-tiba ada bayangan berkelebat dan pendekar berkaki tunggal
itu sudah berdiri di hadapannya, berdiri tegak dengan tongkat di tangan, mereka
saling pandang sejenak dan Suma Kian Lee lalu cepat menubruk ke depan dan
menjatuhkan diri berlutut di depan ayahnya itu. Sungguh kemunculan ayahnya ini
merupakan hal yang tak terduga-duga olehnya dan sekaligus menggugah kesedihan
hatinya sehingga tanpa dapat ditahannya lagi dia lalu mengusap beberapa tetes
air mata yang tak dapat dibendung keluar dari matanya.
Melihat
keadaan puteranya ini, Pendekar Super Sakti Suma Han menarik napas panjang dan
mengelus jenggotnya. “Ahhh, betapa kecewa hatiku melihatmu, Kian Lee. Beginikah
jadinya anakku yang sudah demikian lamanya tiada kabar beritanya, berubah
menjadi seorang yang berbatin lemah, yang menangis seperti anak kecil karena
iba diri? Bangkitlah, Kian Lee. Berdirilah seperti seorang jantan, dan hapus
air matamu!”
Seperti
menerima cambukan, Kian Lee bangkit berdiri dan berhadapan dengan ayahnya.
Mereka saling pandang dan terdorong oleh rasa rindu yang sangat, keduanya lalu
saling rangkul!
Akan tetapi
Suma Han sudah melepaskan anaknya lagi, mendorongnya perlahan ke belakang.
“Nah, ceritakan mengapa engkau begini menderita lahir batin sampai kurus dan
pucat?”
“Ayah...“
Kian Lee tidak berani melanjutkan dan hanya menundukkan muka. Apa yang harus
diceritakan kepada ayahnya?
Diam-diam
Suma Han tersenyum haru. Dia tahu bahwa anaknya ini menderita sesuatu seperti
yang pernah dialaminya dahulu. Dan diam-diam dia girang karena keadaan
puteranya ini membuktikan bahwa puteranya ini sungguh amat mencinta Hwee Li!
Dia dapat menduga pula bahwa agaknya sukar bagi Kian Lee yang biasanya pendiam
itu untuk bicara tentang rahasia hatinya, maka dia lalu membantunya.
“Bukankah
engkau menderita karena seorang wanita yang kau cinta namun terpaksa engkau
tinggalkan karena sesuatu?”
Suma Kian Lee
mengangkat mukanya dan memandang kepada ayahnya dengan mata terbelalak kaget
dan heran. “Bagaimana Ayah bisa tahu tentang hal itu?” tanyanya bingung.
Suma Han
tersenyum. “Tak usah kau tahu bagaimana aku dapat mengetahui hal itu, dan tidak
perlu lagi kau memikirkan wanita itu. Aku telah menentukan pilihanku atas diri
seorang dara yang amat patut menjadi isterimu. Tidak ada wanita lain yang lebih
cocok dari pada dara itu untuk menjadi jodohmu, Lee-ji.”
“Ayah...!”
Kian Lee terkejut bukan main dan sejenak ayah dan anak ini saling mengadu
pandang mata, tetapi akhirnya Kian Lee menunduk. Dalam pandang mata ayahnya itu
dia melihat keputusan yang tak boleh diganggu gugat lagi di balik kasih sayang
yang nampak nyata. Maka selain dia tidak berani menolak, juga dia merasa tidak
tega untuk mengecewakan ayahnya yang dia percaya melakukan segala sesuatu
hanyalah demi kebaikannya itu.
“Aku tidak
salah pilih, Lee-ji, dan jangan mengira bahwa aku sewenang-wenang hendak
memaksakan kehendakku sendiri untuk menentukan calon teman hidupmu. Dara itu
bukanlah orang sembarangan, Kian Lee. Dia bahkan telah dengan gagah perkasa
membela dan membantuku menghadapi Im-kan Ngo-ok, bahkan dialah yang sudah
menyelamatkan nyawaku yang nyaris tewas di tangan Ngo-ok. Dia gagah perkasa, cantik
jelita, dan lincah, jujur, keras hati, seperti ibumu ketika masih muda. Aku
akan merasa bangga kalau engkau dapat berjodoh dengan dia, Kian Lee.”
“Tapi,
Ayah... perjodohan haruslah dilakukan dengan dasar saling mencinta.”
“Aku berani
tanggung bahwa engkau akan jatuh cinta begitu bertemu dengan dia.”
“Tapi...
tapi dia...? Bagaimana kalau tidak cinta kepadaku, Ayah?”
“Kalau
begitu, itu salahmu! Engkau harus mencarinya dan mendapatkannya!”
Kian Lee
merasa heran bukan main. Biasanya, watak dan sikap ayahnya tidak begini. Begini
keras dan memaksa orang! Apa lagi orang itu adalah anaknya sendiri, dan dalam
menghadapi urusan perjodohan pula! Apa yang telah terjadi dengan ayahnya?
“Ayah,
bagaimana aku dapat mencari seseorang yang belum pernah kukenal?”
“Mudah,
saja! Cari dia, namanya adalah Kim Hwee Li...”
“Ahhhhh...!”
Wajah Kian
Lee berubah pucat dan matanya terbelalak memandang ayahnya seolah olah dia
tidak percaya bahwa yang berdiri di depannya adalah ayahnya. “Apa... apa Ayah
bilang...?“
“Gadis itu
bernama Kim Hwee Li! Dan dia adalah anak angkat dari Hek-tiauw Lo-mo, dan dia
adalah anak kandung dari pemberontak Kim Bouw Sin! Ya, ya, benar dia. Dan kau
telah menghinanya, dan engkau telah menghancurkan hatinya, telah menolaknya,
telah memutuskan hubungan cinta karena dia anak pemberontak! Bodoh kau! Kau
kira ayahmu ini tidak pernah memberontak? Kau kira keluarga kita adalah
keluarga langit sehingga boleh memandang rendah orang lain? Ayahnya boleh jadi
pemberontak, ayah angkatnya boleh jadi manusia iblis, akan tetapi dia adalah
seorang gadis bidadari yang gagah perkasa!” Tanpa disadarinya Suma Han
mengulang sebagian dari kata-kata Hwee Li sendiri.
“Ayah...
Ayah...!” Suma Kian Lee megap-megap, sukar bicara dan wajahnya perlahan lahan
berubah kemerahan, sinar matanya yang tadinya layu itu kini penuh semangat,
wajahnya berseri, dia seperti ‘hidup’ kembali setelah mengalami kematian
semangat hidupnya.
“Mengapa
gagap-gugup seperti itu? Hayo lekas berangkat, dan awas, jangan kau berani
pulang ke Pulau Es kalau tidak bersama Kim Hwee Li calon isterimu itu!”
“Baik, Ayah!
Baik, Ayah!” Suma Kian Lee menjawab dengan suara lantang, dan sekali dia
memutar tubuh berkelebat, dia telah lari cepat sekali meninggalkan tempat itu!
Pendekar
Super Sakti Suma Han berdiri memandang bayangan puteranya sampai lenyap, dan
barulah dia mengejap-ngejapkan kedua matanya untuk mencegah runtuhnya air mata
yang membasahi matanya. Kemudian dia menarik napas panjang, menggeleng-geleng
kepala lalu mengayun tongkatnya, berjalan perlahan menuju ke arah perginya
puteranya tadi….
Pantai laut
itu sunyi sekali sungguh pun keramaian orang-orang nampak dari situ, agak jauh
di selatan, yaitu keramaian para nelayan yang baru datang dari mencari ikan dan
pantai di selatan itu menjadi semacam pasar pula, pasar ikan yang cukup ramai
karena dikunjungi pula oleh pedagang-pedagang ikan dari kota-kota di pedalaman.
Akan tetapi di pantai agak ke utara itu, amat sunyi dan tidak nampak seorang
pun manusia. Pantai ini amat indah dan bersih karena penuh dengan pasir yang
berwarna putih, pagi itu nampak lebih putih dari biasanya karena sinar matahari
pagi yang amat cerah.
Akan tetapi,
di tempat sunyi itu kini nampak seorang dara yang berdiri termenung, berdiri
seorang diri sejak tadi dan matanya merenung jauh menyeberangi lautan menuju ke
utara. Jauh di sana, sebelah utara, tidak nampak dari situ, terdapat sekumpulan
pulau-pulau dan di antara pulau-pulau itu terdapat dua buah pulau yang kini
terbayang di depan mata dara itu. Pulau Neraka dan Pulau Es!
Dia telah
meyakinkan hati Ceng Ceng, bekas subo-nya yang kini tidak lagi mau disebut subo
(ibu guru), melainkan dia harus menyebutnya enci, bahwa dia dapat menjadi
penunjuk jalan dan bahwa perahu yang cukup kuat dapat dia layarkan menuju ke
Pulau Es. Memang dia sendiri belum pernah mendarat di Pulau Es, akan tetapi dia
semenjak kecil hidup di Pulau Neraka dan dia bukan hanya dapat mengetahui di
mana letaknya Pulau Es, bahkan sering kali dia dahulu naik perahu dan melihat
Pulau Es dari jauh, karena ayah angkatnya, Hek-tiauw Lo-mo, dulu selalu
melarang dia untuk mendekati Pulau Es yang dianggap amat berbahaya dan menjadi
tempat larangan bagi semua orang dari Pulau Neraka.
Ceng Ceng
pergi mencari nelayan yang mau menyewakan perahunya atau yang mau menjual perahunya,
dan Hwee Li, dara yang kini berdiri termenung di tepi laut itu, mempergunakan
waktu luang itu untuk berdiri termenung dan memandang ke utara. Menurut
pendapat Ceng Ceng, sebaiknya mereka langsung saja menuju ke Pulau Es untuk
menemui keluarga Suma, dari pada susah payah mencari Kian Lee yang belum jelas
ke mana perginya itu. Ceng Ceng menenangkan hati Hwee Li yang gelisah bahwa
bekas subo-nya itulah yang akan sanggup menjadi ‘juru bicara’ nanti di Pulau
Es! Dan Hwee Li tidak membantah lagi.
“Hwee Li...!”
Gadis itu
memutar tubuh demikian cepatnya seperti disengat kelabang, karena dia memang
terkejut bukan main mendengar suara itu. Suara Kian Lee! Dan memang benarlah.
Di depannya telah berdiri Kian Lee! Agak kurus dan agak pucat, akan tetapi
sepasang matanya bersinar-sinar membayangkan kebahagiaan karena pertemuan itu.
Memang hati
Kian Lee merasa bahagia sekali. Dia telah berhasil menemukan jejak Hwee Li dan
keterangan-keterangan yang didapatnya membawa dia ke dusun kecil di tepi pantai
itu. Dan betapa girang hatinya ketika akhirnya dia melihat dara itu seorang
diri saja di tepi pantai yang sunyi ini. Dan betapa cantiknya Hwee Li. Wajahnya
segar kemerahan, rambutnya yang dia tahu amat halus dan harum itu agak kusut
karena dibelai angin laut. Pakaiannya yang berwarna serba hitam menempel ketat
di tubuhnya karena tertiup angin pula, mencetak bentuk tubuhnya yang indah.
“Hwee
Li...!” Dia berseru kembali, dan di dalam suaranya terdengar bayangan khawatir
dan duka melihat betapa sepasang mata yang amat tajam itu kini mencorong penuh
kemarahan.
“Ah,
engkau...?” Suara itu tetap merdu seperti biasa, suara yang selalu dirindukan
Kian Lee sejak mereka saling berpisah, akan tetapi kini terdengar demikian
dingin dan kaku. “Kebetulan sekali, aku tidak perlu mencarimu ke Pulau Es!”
“Kau... kau
tadinya hendak mencariku ke Pulau Es?” Kian Lee berseru girang.
“Benar, akan
tetapi kini tak perlu lagi, di sini pun sama saja. Bersiaplah!”
“Apa?” Mata
Kian Lee terbelalak, tidak mengerti. “Apa maksudmu, Hwee Li?”
“Bersiaplah,
kita selesaikan perhitungan di tempat sunyi ini, dengan perkelahian!”
“Ah, Hwee
Li, mengapa begitu? Bukankah kita... sahabat-sahabat baik? Aku... aku cinta
padamu, Hwee Li...”
“Diam!
Lupakah kau bahwa aku keturunan pemberontak! Dan engkau ini putera Majikan
Pulau Es, putera Pendekar Super Sakti, keluarga langit? Sedangkan aku ini apa?
Hayo, jangan bilang bahwa engkau takut menghadapi anak pemberontak macam aku!”
“Hwee Li,
jangan... aku... aku...”
Akan tetapi
Hwee Li sudah menerjang maju dan memukul ke arah dada Kian Lee. Pukulan itu
keras sekali dan Kian Lee hanya mempergunakan sedikit tenaga untuk menangkis.
Dia tahu sampai di mana tingkat kepandaian dan tenaga dara ini, maka tentu saja
dia tidak mau menyakitinya dan hanya menangkis dengan tenaga terbatas saja.
“Desssss...!”
Dan tubuh
Kian Lee terlempar sampai empat meter dan terbanting ke atas tanah. Untung
tanah di situ berpasir sehingga dia tidak menderita nyeri, hanya terkejut
setengah mati karena tenaga Hwee Li sama sekali tidak seperti biasa, amat
kuatnya.
“Hayo
bangunlah dan lawanlah aku, kalau engkau bukan pengecut rendah!” bentak Hwee Li
yang sudah menghampiri dengan dua tangan dikepal.
“Hwee Li...
jangan... aku merasa bersalah kepadamu, kau ampunkanlah aku... ahh, aku telah
gila, aku seperti buta ketika aku merendahkanmu. Aku... semenjak kita berpisah,
aku menderita, Hwee Li, baru aku tahu bahwa aku mencintai engkau, dan engkau
adalah Hwee Li, tanpa tambahan lagi, entah anak siapa pun juga, tidak ada
sangkut pautnya dengan pribadimu...”
“Cerewet!
Kau bangkit dan lawanlah seperti jantan!” bentak Hwee Li dan ketika Kian Lee
bangkit berdiri, dia sudah menyerang lagi.
Kian Lee
cepat mengelak karena serangan Hwee Li itu cepat dan kuat bukan main, angin
pukulannya sampai mengeluarkan suara bersuitan. Dia terkejut sekali dan ketika
Hwee Li menyusulkan serangan lain secara bertubi-tubi, dia terus mengelak.
Tentu saja dia ingin mengalah terhadap dara ini. Akan tetapi, makin lama,
serangan Hwee Li makin kuat dan cepat saja. Kian Lee merasa terkejut dan heran
bukan main. Mengapa dalam waktu singkat saja kini dara itu telah memiliki
kepandaian yang demikian hebatnya? Jangankan mengalah, biar dia
bersungguh-sungguh sekali pun, belum tentu dia akan menang menghadapi
serangan-serangan yang demikian cepat dan ampuhnya, terutama sekali tenaga
gadis itu kini benar-benar amat mengejutkan.
“Hwee Li,
dengarlah, tunggu dulu...” Akan tetapi begitu dia bicara, kewaspadaannya
berkurang dan sebuah pukulan keras menyerempet pundaknya, membuat dia
terpelanting lagi, ke atas pasir.
Akan tetapi
Hwee Li tidak menyusulkan serangan, hanya membentak, “Hayo bangun! Bangun...!
Ahhh, bangun engkau, pengecut!”
Kian Lee
mengguncang-guncang kepalanya yang berkunang-kunang, kemudian dia meloncat
bangun, terus meloncat ke belakang. “Hwee Li, hebat kau! Dari mana engkau
memperoleh kepandaian seperti ini? Dengar... aku mengaku kalah, aku mengaku
salah...”
“Sambut ini!”
Kembali Hwee Li sudah menerjang dengan hebat.
Kian Lee
merasa penasaran juga. Tidak mungkin dia mengalah terus karena tingkat
kepandaian Hwee Li benar-benar sudah hebat sekali. Akan tetapi, dia tidak tega
untuk mempergunakan pukulan-pukulan berbahaya terhadap dara yang dicintanya
ini, maka dia hanya mengelak dan menangkis sedapat mungkin terhadap hujan
serangan itu. Kini dia harus mengerahkan seluruh perhatiannya karena ilmu silat
yang dimainkan oleh dara itu amat aneh, gerakan-gerakannya masih kaku tanda
bahwa kurang latihan, namun benar-benar hebat gerakan itu dan terutama sekali
tenaga yang terkandung dalam setiap pukulan itu benar-benar amat kuat!
Terjadilah
perkelahian yang amat seru di tepi pantai yang sunyi itu. Tubuh mereka
berputar-putar, berkelebatan ke sana-sini dengan cepatnya sampai sukar diikuti
dengan pandang mata. Kian Lee tidak berani bicara lagi karena sekali bicara,
dia terancam oleh pukulan yang membutuhkan seluruh perhatiannya untuk menjaga
diri jangan sampai kena terpukul. Dan untuk mematahkan serangan bertubi-tubi
itu, ia pun kadang-kadang terpaksa membalas dengan pukulan yang tidak
berbahaya, akan tetapi yang cukup membuat dara itu membatalkan serangannya
untuk balas menangkis atau mengelak.
Saking
serunya mereka bertanding, mereka sampai tidak sadar bahwa sejak tadi, muncul
dua orang di tempat itu. Pertama-tama yang muncul adalah Ceng Ceng dan wanita
ini tadinya terkejut menyaksikan Hwee Li sudah menyerang Kian Lee dengan
mati-matian seperti itu dan Kian Lee selalu bersikap mengalah. Akan tetapi Ceng
Ceng membiarkan saja mereka berkelahi karena dia pun ingin memberi hajaran
kepada Kian Lee yang telah menyakitkan hati Hwee Li.
Kemudian
muncul pula Pendekar Super Sakti yang tersenyum dan mengelus-elus jenggotnya
sambil menyaksikan perkelahian itu. Pendekar ini sudah mengenal pukulan pukulan
aneh dari Hwee Li, dan sekarang, melihat betapa Kian Lee terus mengalah dan
dara itu sebaliknya tidak pernah mengeluarkan pukulan-pukulan yang luar biasa
dan mematikan itu, tahulah dia bahwa gadis itu menyerang hanya karena dorongan
kemarahan saja, tetapi sedikit pun tidak mempunyai niat membunuh atau
merobohkan Kian Lee dengan luka parah. Dia mengangguk-angguk dan menyaksikan
dengan wajah berseri. Dia merasa geli, akan tetapi juga siap dan waspada untuk
mencegah kalau sampai timbul bahaya bagi kedua pihak dalam perkelahian itu.
Sudah lebih
dari seratus jurus mereka berkelahi dan beberapa kali Kian Lee terkena pukulan
walau pun tidak telak dan hanya membuat dia terpelanting atau terhuyung saja.
Namun selalu Hwee Li menyuruh dia bangkit lagi dan menyerang lagi.
Kian Lee
menjadi bingung. Melawan, hatinya tidak tega, tidak melawan, ternyata dara itu
terus menyerangnya dengan hebat. Akhirnya dia mendapatkan akal. Ketika Hwee Li
menyerang lagi, dia mengerahkan Swat-im Sin-kang, akan tetapi membuat dadanya
menjadi lunak dan dia menerima pukulan itu langsung dengan dadanya.
“Bukkk!”
Tubuh Kian Lee terpelanting dan roboh terlentang, tak bergerak lagi!
“Hayo
bangun! Bangun dan lawanlah aku!” bentak Hwee Li sambil menghampiri.
Akan tetapi
sekali ini pemuda itu tidak bangkit lagi, melainkan rebah terlentang dengan
muka pucat kebiruan dan sedikit pun tidak bergerak, kedua matanya terpejam dan
napasnya terhenti.
“Hayo
bangun...!” Hwee Li membentak akan tetapi suaranya bercampur keraguan dan
kekhawatiran. Lalu dia membungkuk, wajahnya berubah pucat, matanya terbelalak,
kedua tangan yang terkepal itu kini terbuka jari-jarinya dan dia meraba sana
raba sini, meraba dada dan pergelangan tangan lalu dia menjerit.
“Kian
Lee...!” Dan dia sudah mengguncang-guncang tubuh itu, sambil menangis sejadi
jadinya.
“Kian
Lee...! Kian Lee...! Bangunlah... ahhh, jangan kau mati... uh-huuuuu, Kian
Lee...! Kau... kau... ahhh, aku… aku telah membunuhmu... telah membunuhmu...
huuu-huuu-huuuhhh...!” Dia memeluki tubuh itu, membasahi muka itu dengan air
matanya, mengguncang-guncang dan akhirnya dia menangis mengguguk di atas dada
Kian Lee.
Dengan
langkah lebar Ceng Ceng sudah menghampiri tempat itu. “Hwee Li, apa yang telah
kau lakukan ini?” bentaknya dengan kaget bukan main. Sekali pandang saja
tahulah dia bahwa Kian Lee telah mati! Muka pemuda itu pucat kebiruan, napasnya
terhenti dan sama sekali tidak lagi membayangkan kehidupan. “Hwee Li, dia...
dia... mati...?”
Hwee Li
menoleh dan menubruk Ceng Ceng. “Subo...! Enci Ceng..., kau bunuh saja aku...
ahh, kau bunuh saja aku... huuu-hu-huuuuuh, aku... aku telah memukulnya mati...
tidak sengaja, Enci... ahhh, sungguh celaka... bagaimana, Enci, bagaimana...?”
Dara itu menangis lagi, menubruk tubuh Kian Lee, lalu menubruk lagi Ceng Ceng,
bingung dan menangis seperti anak kecil.
Ceng Ceng
juga merasa bingung sekali, tak disangkanya perkelahian itu akan berakibat
seperti itu. Dia merasa betapa Hwee Li terlalu ganas dan kejam.
“Hwee Li,
mengapa kau lakukan ini? Kenapa kau sampai memukulnya mati? Bukankah engkau...
kau cinta padanya?” Ceng Ceng tidak dapat menahan lagi tangisnya melihat pemuda
yang pernah mencintanya itu kini rebah terlentang tak bernyawa lagi.
“Aku tidak
sengaja... sungguh, aku tidak sengaja... dia biasanya demikian kuat... ahhh,
Enci biar aku mati saja, biar aku mati saja! Kau pukullah aku Enci, kau
bunuhlah aku...!”
Tetapi tentu
saja Ceng Ceng tidak mau melakukan hal itu dan sebaliknya dia malah memeriksa
Kian Lee. Hwee Li menangis tersedu-sedu dan menutupi kedua matanya, mengeluh
panjang pendek dan bersambat minta mati. Ketika Ceng Ceng memeriksa detak nadi
di pergelangan tangan Kian Lee, dia tidak merasakan denyutan sedikit pun juga,
dan ketika dia meraba dada pemuda itu, juga dia tidak merasakan apa-apa. Akan
tetapi ketika dia memandang wajah yang pucat kebiruan itu, tiba-tiba saja
sepasang mata itu terbuka, kemudian yang sebelah kiri berkedip kepadanya dan
mulut pemuda itu tersenyum, lalu kedua matanya terpejam lagi!
Hampir saja
Ceng Ceng menjerit, kemudian dia hampir tak dapat menahan ketawanya. Kiranya
pemuda ini tidak mati! Sama sekali tidak, hanya entah dengan ilmu apa pemuda
itu dapat bersikap seperti benar-benar mati itu, tanpa detak nadi dan denyut
jantung! Bukan main lapang rasa dadanya dan kini dia ingin menggoda Hwee Li.
“Nah,
bagaimana sekarang? Engkau selalu keras kepala sih! Sudah jelas bahwa engkau
dan dia saling mencinta, akan tetapi engkau memaksa dia untuk berkelahi!” dia
mengomeli Hwee Li yang masih menangis.
Tiba-tiba
Hwee Li meloncat berdiri dan tahu-tahu dia telah memegang pedang. Ceng Ceng
terkejut bukan main. Dara itu telah dapat mencuri pedangnya tanpa dia merasa
sama sekali!
“Hwee Li,
jangan...!”
“Lebih baik
mati menyusul Kian Lee!” Hwee Li berseru dan menggerakkan pedang untuk
menggorok leher sendiri.
“Plakkk!”
Pedangnya
terlepas dari pegangan dan Pendekar Super Sakti Suma Han telah berdiri di situ,
memandang Hwee Li dengan sinar mata penuh teguran. “Membunuh diri hanya
tindakan seorang yang rendah dan pengecut!” bentaknya.
Melihat
kakek ini, Hwee Li menjerit dan menangis, lalu menubruk kaki Suma Han dan
mengguguk, kemudian di antara tangisnya terdengar dia merintih, “Paman...
tolonglah... tolonglah... atau bunuhlah aku...”
“Tenanglah,
Hwee Li. Apakah engkau benar-benar mencinta Kian Lee sehingga engkau mau mati
untuknya?”
“Aku cinta
padanya, Paman, aku cinta padanya melebihi nyawaku sendiri!”
“Aku dapat
menolongnya, dia belum mati dan aku dapat menyembuhkannya. Akan tetapi...”
“Ahhh,
Paman, sembuhkanlah dia... hidupkanlah dia... aku berjanji akan melakukan apa
pun juga untukmu...!”
Suma Han
tersenyum. “Dia itu puteraku sendiri, tentu saja sudah semestinya aku
menolongnya. Akan tetapi dia dan aku sendiri pernah bersalah kepadamu, maka
tidak semestinya dia kuhidupkan. Bukankah dia telah menghinamu, seperti juga
aku?”
“Tidak...
tidak..., aku sudah memaafkan dia, Paman.”
“Aku hanya
mau menghidupkannya, akan tetapi hanya dengan satu syarat...”
“... ya? Apa
syaratnya...?” Hwee Li memohon.
“Syaratnya,
engkau harus mau menjadi isterinya! Bagaimana?”
“Aku mau!
Aku mau...!” Hwee Li menangis. “Ohhh, aku mau...!”
Suma Han
tidak tega menggoda terus. Dia kemudian menghampiri Kian Lee, pura-pura menotok
sana-sini, dan meraba sana-sini. Padahal, tidak diapa-apakan pun pemuda itu
akan dapat bangkit sendiri! Karena dia ‘mati’ hanya sebagai akal dengan
menggunakan sinkang Swat-im Sin-kang yang sudah mencapai puncaknya sehingga
seorang yang lihai seperti Ceng Ceng sendiri pun dapat dikelabui.
Terdengar
pemuda itu mengeluh, bergerak dan bangkit duduk. Tanpa mempedulikan orang lain,
Hwee Li menubruk dan memeluk pemuda itu.
“Kian Lee,
kau... kau maafkan aku...”
Kian Lee
tersenyum dan balas memeluk. “Hwee Li, akulah yang bersalah. Kaulah yang harus
memaafkan aku karena aku pernah mencaci maki padamu...”
Mendengar
ini, Hwee Li melepaskan rangkulannya, menjauhkan diri dan cemberut. “Engkau
memang terlalu...,” katanya dengan muka membayangkan kemarahan. Akan tetapi
ketika Kian Lee merangkulnya lagi, dia menangis dan membenamkan muka ke dada
pemuda itu!
Mereka
berempat lalu mencari sebuah perahu besar yang dibeli oleh Suma Han. Perahu itu
cukup besar dan mempunyai layar yang kuat. Mereka bertiga, Suma Han, Suma Kian
Lee, dan Kim Hwee Li adalah orang-orang yang berasal dari Pulau Es dan Pulau
Neraka, tentu saja mereka itu ahli berlayar, dan mereka bertiga sudah cukuplah
untuk melayarkan perahu itu ke Pulau Es. Setelah mengisi perahu dengan
perbekalan, mereka lalu naik ke perahu, diantar oleh Ceng Ceng.
Hwee Li
merangkul bekas gurunya dan mencium pipi Ceng Ceng. “Banyak terima kasih atas
segala kebaikanmu dan pertolonganmu, Subo...”
“Hushhh!”
Ceng Ceng mencubit dagu dara yang cantik jelita itu. “Aku bukan subo-mu! Kelak
aku malah ingin belajar satu dua macam pukulan darimu. Malu ah mempunyai murid
yang lebih pandai dari pada gurunya.”
“Kalau
begitu, selamat berpisah, Enci Ceng...”
“Ihhh!
Bagaimana sih ini? Hai, Paman Kian Lee, dengar nih calon isterimu menyebutku
enci! Aku sendiri harus menyebutnya bibi, bagaimana dia boleh menyebutku enci?”
Kini Hwee Li
yang mencubit lengan Ceng Ceng dan mukanya menjadi merah. Memang menyulitkan
sekali sebut-menyebut itu. Ceng Ceng sebaya dengan Kian Lee, namun pemuda itu
masih terhitung pamannya! Dan biar pun usianya sendiri tidak begitu banyak
selisihnya dengan Ceng Ceng, hanya selisih kurang lebih tujuh tahun saja, akan
tetapi nyonya muda itu pernah menjadi gurunya! Dan kini dia akan menjadi isteri
dari paman gurunya itu! Lebih dari itu lagi, dia malah masih terhitung sumoi
dari suami gurunya, setelah dia mewarisi ilmu-ilmu dari Dewa Bongkok!
“Enci, kelak
engkau harus datang, bersama suamimu dan Cin Liong, kalau aku... aku menikah.
Harus lho!” Hwee Li berkata dan agaknya berat baginya untuk berpisah dengan
wanita yang selama ini amat dikasihinya, sebagai pengganti ibu baginya itu.
“Baik, asal
aku dijemput perahu karena untuk pergi ke sana sendiri aku tidak berani!” kata
Ceng Ceng.
“Jangan
khawatir, Ceng Ceng. Aku akan mengirim perahu untuk menjemputmu,” kata Kian Lee
memandang wanita yang pernah dicintanya itu.
Ceng Ceng memberi
hormat kepada Suma Han dan menghaturkan selamat jalan. Dia masih berdiri di
pantai dengan tangan melambai ketika perahu itu mulai bergerak ke tengah. Akan
tetapi tiba-tiba terdengar teriakan dari jauh.
“Haiii,
tungguuuuu! Kami ikut...!”
“Bu-te...!”
Kian Lee berteriak dan cepat mendayung perahu itu ke pinggir lagi, wajahnya
berseri penuh kegembiraan melihat dua orang yang berlari cepat seperti terbang
menuju ke tempat itu. Dari jauh saja dia sudah mengenal pemuda yang berlari
cepat dengan rambut putih panjang berkibar-kibar itu.
“Siang
In...!” Hwee Li juga berseru girang mengenal dara cantik yang berlari di
samping Kian Bu.
“Kian
Bu...?” Suma Han berdiri bengong memandang pemuda rambut putih panjang itu,
hatinya seperti diremas rasanya bertemu dengan puteranya yang sudah enam tujuh
tahun tak pernah dijumpainya ini dan yang tahu-tahu telah menjadi Siluman
Kecil, julukan yang sama diberikan orang kepadanya, karena rambut puteranya itu
putih panjang seperti rambutnya pula.
“Ayah...!
Lee-ko...!”
Suma Han,
Kian Lee, dan Hwee Li berloncatan ke darat kembali dan Kian Bu sudah berlutut
di depan kaki ayahnya sedangkan Kian Lee memeluknya. Kemudian Suma Han menarik
Kian Bu bangun, dipandangnya puteranya itu dari kepala ke kaki dengan mata
basah, lalu dirangkulnya.
Setelah agak
reda keharuan yang timbul karena pertemuan itu, dengan girang dan bangga Kian
Bu lalu memperkenalkan Siang In yang tadi bercakap-cakap dengan Hwee Li kepada
ayahnya, “Ayah, inilah calon mantu Ayah, calon isteriku, namanya...”
“Teng Sian
In! Aku sudah mendengar dari kakakmu, Bu-ji,” kata Suma Han sambil tersenyum
memandang dara cantik jelita itu.
Dengan muka
berubah merah sekali, Siang In lalu maju dan memberi hormat kepada Suma Han,
tanpa berani mengangkat mukanya.
“Ah, tidak
kusangka bahwa kakek yang menolongku itu adalah suhu-mu, Siang In, dan gurumu
itu telah...”
“Aku sudah
menceritakan hal itu kepadanya, Paman,” kata Hwee Li.
Siang In
hanya menunduk saja. Dengan kuat dara ini dapat menahan kedukaannya mendengar
bahwa gurunya, See-thian Hoat-su, telah tewas sampyuh ketika mengadu sihir
dengan Durganini dalam usahanya mencegah Durganini menyerang Suma Han. Gurunya
itu sudah tahu akan hubungan cintanya dengan Siluman Kecil, maka gurunya tentu
melarang bekas isteri yang pikun itu menyerang calon besannya.
“Mendiang
suhu sudah sangat tua dan banyak menderita dari bekas isterinya itu. Sekarang
beliau telah tenang dan terima kasih banyak saya haturkan atas budi kebaikan
Locianpwe yang telah menyempurnakan jenazahnya,” katanya kepada Suma Han.
Pendekar ini
mengangguk-angguk dengan girang. Dara ini juga lincah jenaka seperti Hwee Li,
akan tetapi memiliki kekuatan batin yang menonjol, agaknya karena telah
mempelajari ilmu sihir dari gurunya yang ahli sihir itu. Diam-diam pendekar
Pulau Es ini merasa bahagia sekali. Dua orang calon mantunya bukan dara-dara
sembarangan!
“Ahhh, kami
akan beramai-ramai pergi ke Pulau Es! Enci Ceng, kenapa kau tidak ikut
sekalian?” Hwee Li yang gembira itu berkata.
Ceng Ceng
tersenyum dan menggeleng kepala. “Tempatku di daratan sini, bersama suami dan
anakku. Kelak aku pasti datang menghadiri pesta pernikahan kalian semua.”
Suma Han
tertawa dan menghampiri Ceng Ceng. “Sampaikan kepada suamimu bahwa aku
sekeluarga minta bantuannya untuk mengedarkan undangan-undangan kepada
handai-taulan kalau sudah tiba saatnya nanti.”
“Tentu saja,
Locianpwe,” kata Ceng Ceng, tidak berani menyebut ‘kakek’ walau pun pendekar
itu adalah suami dari Lulu, nenek kandungnya!
Tak lama
kemudian berangkatlah perahu itu, kini dikemudikan oleh kakak beradik Suma Kian
Lee dan Suma Kian Bu, dua orang pemuda dari Pulau Es yang tadinya meninggalkan
Pulau Es dalam usia sekitar enam belas tahun, dan seperti sepasang rajawali
perkasa mereka mengarungi daratan besar mengalami banyak sekali hal-hal yang
hebat dalam Kisah Sepasang Rajawali dan Jodoh Rajawali! Dan kini mereka
berlayar kembali ke Pulau Es bersama calon isteri masing-masing. Sepasang
Rajawali itu telah menemukan jodoh masing-masing!
Ceng Ceng
terus memandang dari bibir pantai laut sampai akhirnya perahu itu makin
menghilang…..
***************
Beberapa
bulan kemudian, lima buah perahu besar menjemput para tamu yang telah ramai
berkumpul di dusun tepi laut itu untuk menghadiri pesta pernikahan dua pasang
pengantin di Pulau Es! Tentu saja berbondong orang-orang kang-ouw berdatangan
ke tempat itu. Seperti sebuah dongeng saja. Mengunjungi Pulau Es yang tadinya
hanya mereka kenal dalam dongeng saja!
Di antara
mereka yang ikut hadir dan ikut dalam perahu-perahu besar itu tentu saja
terdapat keluarga dari Pulau Es sendiri, dan orang-orang terdekat seperti
Milana, Gak Bun Beng dan dua orang anak kembar mereka, Gak Jit Kong dan Gak
Goat Kong, kemudian Ceng Ceng dan Kao Kok Cu bersama anak mereka Kao Cin Liong.
Nampak pula Pangeran Yung Hwa yang mewakili pemerintah atau keluarga istana,
dan juga hadir Hek-sin Touw-ong, Sai-cu Kai-ong, Sin-siauw Sengjin, dan masih
banyak tokoh besar lain, termasuk wakil-wakil partai persilatan besar yang
tentu saja ingin sekali melihat Pulau Es!
Pesta
pernikahan itu cukup meriah, apa lagi karena disaksikan oleh banyak tokoh besar
di dunia kang-ouw. Muka-muka lama saling jumpa di situ dan suasana menjadi
gembira sekali. Ketika dua pasang pengantin itu dipertemukan, suasana menjadi
cerah dan penuh khidmat, diikuti oleh semua mata para tamu. Sungguh mengagumkan
sekali dua pasang pengantin itu. Kedua mempelai pria tampan dan gagah, Siluman
Kecil nampak garang dan aneh dengan rambutnya yang putih mengkilap dan panjang,
sedangkan dua orang mempelai wanita amatlah cantiknya, sukar dikatakan yang
mana lebih cantik karena masing-masing memiliki kelebihan dan kecantikan yang
khas.
Ketika dua
pasang mempelai melakukan upacara pai-ciu, yaitu menyuguhkan arak kepada sang
mertua dan orang tua, maka dua pasang mempelai itu berlutut di depan Pendekar
Super Sakti Suma Han yang duduk diapit oleh kedua isterinya, yaitu Nirahai di
sebelah kanan dan Lulu di sebelah kirinya. Dua orang wanita tua itu tidak dapat
menahan keharuan hati mereka dan mereka menerima suguhan arak dalam cawan
sambil bercucuran air mata. Suasana menjadi khidmat dan penuh keharuan, bahkan
para tamu wanita banyak pula yang berlinangan air mata, termasuk Ceng Ceng,
Milana dan yang lain-lain.
Malamnya
indah bukan main. Kebetulan bulan bersinar terang, bulan purnama yang
memuntahkan cahaya keemasan di atas pulau itu. Indah sekali! Para tamu
menikmati dan mengagumi keindahan Istana Pulau Es, lalu beramai-ramai
mengelilingi pulau itu diantar oleh Milana dan Gak Bun Beng sebagai penunjuk
jalan mewakili pihak tuan rumah. Sedangkan dua pasang pengantin sudah memasuki
kamar masing-masing, tenggelam ke dalam lautan kemesraan yang hanya dapat
dirasakan oleh sepasang pengantin pada malam pertama!
Akan tetapi,
diam-diam Ceng Ceng yang ikut pula menikmati keadaan di Pulau Es itu merasa
kehilangan dan kadang-kadang dia menarik napas panjang kalau teringat kepada
kakak angkatnya, yaitu sang puteri dari Bhutan, Syanti Dewi dan Ang Tek Hoat.
Apa jadinya dengan dua orang muda itu? Suaminya telah berusaha keras mencari
mereka untuk menyampaikan undangan, namun usaha suaminya gagal! Diam-diam Ceng
Ceng merasa kasihan sekali kepada Syanti Dewi! Apakah yang terjadi dengan
puteri itu? Apakah puteri itu akan dapat bertemu kembali dengan Ang Tek Hoat
dan dapat berlangsung perjodohan mereka?
Juga
pertanyaan yang sama tentang Siauw Hong atau Kam Hang, keturunan Pendekar
Suling Emas itu, dengan Yu Hwi atau yang dikenal sebagai Kang Swi Hwa atau
Ang-siocia, si gadis pencopet dan tukang menyamar itu. Apa yang terjadi dengan
mereka?
T A M
A T
********** Sahabat Karib.com **********
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment