Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Jodoh Rajawali
Jilid 30
Dan di dalam
hutan itu dia menemukan dua jenazah yang sudah menjadi abu, tinggal beberapa
potong tulang saja yang tidak sempat terbakar habis. Dan di situ dia menemukan
senjata-senjata dari suhengnya, di antara abu mayat dan arang. Tahulah dia
bahwa suheng-nya telah tewas dan telah dibakar menjadi abu, bersama seorang
lain lagi yang diduganya tentu Hek-hwa Lo-kwi karena suheng-nya berjanji akan
bertemu dengannya di hutan itu bersama Hek-hwa Lo-kwi….
Siluman
Kucing merasa kaget dan juga terheran-heran. Siapakah orangnya yang demikian
lihainya, mampu membunuh Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi? Dia bergidik, dan
juga penasaran. Betapa pun juga, Hek-tiauw Lo-mo adalah suheng-nya, dan setelah
orang itu tewas, dia teringat akan hubungan mereka antara kakak dan adik
seperguruan, maka timbul rasa penasaran dan marah dalam hatinya terhadap
pembunuh suhengnya.
Setelah
mencari-cari di sekitar hutan itu, akhirnya dia menemukan Dewa Bongkok yang
tengah bersemedhi seorang diri di atas batu besar! Melihat kakek ini, Siluman
Kucing memandang dari jauh penuh perhatian. Dia tidak mengenal kakek ini, akan
tetapi sebagai seorang yang berkepandaian tinggi dia dapat menduga bahwa kakek
itu tengah duduk bersemedhi dan melihat pernapasannya yang teratur dan
panjang-panjang, dia pun dapat menduga bahwa kakek itu sedang menghimpun hawa
murni. Orang yang melakukan hal seperti itu hanyalah orang yang sedang
mengobati luka di dalam tubuhnya.
Mengingat
bahwa di dalam hutan tak jauh dari tempat ini suhengnya dan Hek-hwa Lo-kwi
tewas dan kakek aneh ini duduk bersemedhi mengobati luka dalam mudahlah bagi
Mauw Siauw Mo-li Lauw Hong Kui untuk menarik kesimpulan. Sudah hampir boleh
dipastikan bahwa suheng-nya dan Hek-hwa lo-kwi tentu telah bertanding melawan
kakek ini dengan akibat tewasnya suhengnya dan Hek-hwa Lo-kwi, dan kakek ini
pun menderita luka parah dalam pertandingan itu! Maka mulailah sepasang mata
yang genit itu mengeluarkan sinar berapi. Inilah orangnya yang telah membunuh suhengnya!
Akan tetapi,
Lauw Hong Kui bukanlah seorang yang bodoh. Sebaliknya malah, dia amat cerdik.
Orang yang sudah mampu menewaskan suhengnya dan Hek-hwa Lo-kwi, tentu bukan
orang sembarangan dan memiliki tingkat kepandaian yang jauh lebih tinggi dari padanya.
Tetapi sebaliknya, betapa pun saktinya orang ini, kalau sedang menderita luka
dalam yang parah, tentu dia akan mampu merobohkannya tanpa banyak kesukaran.
Oleh karena
itu, dia bersikap hati-hati dan tidak menurunkan nafsu amarah untuk langsung
menyerang kakek yang duduk diam seperti arca itu.
“Locianpwe
yang terhormat, kalau boleh saya bertanya, siapakah nama Locianpwe?” Siluman
Kucing bertanya sambil menjura ke arah kakek tua renta yang duduk bersila
dengan kedua mata terpejam itu.
Tentu saja
kehadiran wanita itu sudah diketahui oleh Dewa Bongkok. Akan tetapi mendengar
pertanyaan itu, Dewa Bongkok sama sekali tidak mau menjawab, bergerak pun
tidak. Dia tidak pernah mau memperkenalkan diri kepada siapa pun, apa lagi
kepada seorang wanita yang gerak-geriknya penuh kecabulan dan kejahatan itu.
Maka dia diam saja, dan juga dia memang tidak ingin berurusan dengan siapa pun
di saat itu.
Mauw Siauw
Mo-li mengerutkan alisnya. Kakek itu sama sekali tidak mau menjawab, dan dia
menduga bahwa kakek ini tentu seorang tokoh berilmu tinggi yang selama ini
menyembunyikan diri. Akan tetapi, dia cerdik sekali dan dia tahu bagaimana
caranya untuk memaksa kakek itu membuka suara! Dia tahu bahwa kelemahan dari
pada locianpwe adalah keangkuhan! Kalau sedikit disentuh keangkuhannya, para
Locianpwe biasanya lalu melakukan tanggapan.
“Locianpwe,
di dalam hutan saya melihat Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi telah tewas
terbunuh orang. Siapakah yang telah membunuh mereka?”
Kembali
tidak ada jawaban dari kakek itu. Dan suara Mauw Siauw Mo-li yang sengaja
dikeluarkan dengan pengerahan khikang itu bergema di dalam hutan di bawah
lereng itu. Setelah gema itu mengaung, sunyi kembali keadaan di situ.
Siluman
Kucing mengerutkan alisnya dan mencari akal. “Saya tadinya menduga bahwa
Locianpwe yang membunuh mereka, akan tetapi melihat Locianpwe diam saja, saya
menjadi ragu-ragu. Seorang seperti Locianpwe, kalau melakukan sesuatu, tentu
berani mengaku dan mempertanggung jawabkannya, berbeda dengan para siauw-jin
(orang hina) yang berwatak pengecut dan tidak berani mengakui perbuatannya!”
Memang
cerdik sekali Siluman Kucing. Dewa Bongkok bukan termasuk tokoh yang suka
mengangkat diri atau berwatak angkuh, sebaliknya malah dia selalu
menyembunyikan dirinya. Akan tetapi ucapan wanita itu tentu saja menggugah
watak gagah yang selalu di junjung tinggi oleh semua kaum pendekar di dunia
kang-ouw. Lebih baik mati dari pada disebut pengecut hina! Seorang pendekar
tentu akan selalu berani mempertanggung jawabkan semua perbuatannya dan berani menghadapi
semua akibat perbuatannya! Maka, mendengar ucapan itu, sepasang mata itu
terbuka memandang ke arah Mauw Siauw Mo-li.
“Ihhhhh...!”
Mauw Siauw Mo-li undur dua langkah. Dia terkejut dan merasa ngeri melihat
betapa sepasang mata itu mencorong dan seolah-olah mengeluarkan sinar kilat
yang menyambar ke arahnya. Belum pernah dia melihat mata yang mencorong seperti
itu, seperti bukan mata manusia!
“Aku tidak
membunuh mereka, adalah mereka yang memukulku hingga mereka tewas karena tenaga
mereka sendiri!” Setelah berkata demikian, Dewa Bongkok kembali memejamkan
matanya dan tidak mau berkata apa-apa lagi. Baginya pengakuan ini sudah cukup
dan dia tidak mau membicarakan hal itu dengan wanita ini.
Mendengar
ucapan itu, tahulah kini Siluman Kucing bahwa dugaannya tidak keliru. Kakek ini
telah bertanding melawan suheng-nya dan Hek-hwa Lo-kwi sehingga kedua orang itu
tewas dan kakek ini sendiri mengalami luka parah. Dalam keadaan terluka parah
dan sedang mengobati lukanya itu, tentu kakek yang amat sakti ini berkurang
banyak kelihaiannya. Namun Mauw Siauw Mo-li tetap bersikap hati-hati dan tidak
mau ceroboh yang akan mengakibatkan kerugian bagi dirinya sendiri. Dia tidak
mau langsung menyerang kakek itu.
“Mengapa
Locianpwe memandang rendah sekali kepada saya? Sebaiknya Locianpwe duduk di
atas tanah agar tidak terlalu tinggi hati!” Setelah berkata demikian, Siluman
Kucing itu lalu mendorong dengan kedua tangannya ke arah batu besar yang
diduduki oleh Dewa Bongkok.
Dorongan itu
mengandung tenaga sinkang yang amat kuat dan hawa pukulan yang dahsyat
menyambar dan mendorong batu itu. Batu itu terguling dan tubuh Dewa Bongkok
ikut pula terguling, tanpa kakek itu dapat mempertahankan diri. Tentu saja jika
dia hendak mempertahankan diri, bukanlah hal sukar. Tetapi dalam keadaannya
seperti saat itu, amatlah berbahaya baginya untuk mempergunakan tenaga
sinkang-nya. Sekali mengerahkan sinkang, lukanya yang sudah sembuh sebagian itu
tentu akan terbuka dan kambuh kembali, bahkan mungkin akan lebih hebat sehingga
dapat mengakibatkan kematiannya. Oleh karena itulah, ketika batu besar itu
terguling, dia pun ikut terguling dan terbanting ke atas tanah. Namun, kakek
ini lalu merangkak bangun dan duduk bersila kembali ke atas tanah.
Melihat ini,
Siluman Kucing menjadi heran dan juga girang. Kalau kakek ini sudah dapat
membunuh dua orang seperti Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi, jelas bahwa
kakek itu tentu seorang yang sakti luar biasa. Akan tetapi, sekarang, dengan
sekali dorong saja batu itu roboh bersama tubuh kakek itu yang kelihatan sama
sekali tidak mampu menjaga diri, dia pun tahu bahwa kakek itu benar-benar telah
terluka parah dan tidak berani mempergunakan sinkang-nya!
“Hi-hi-hi-hi-hik!
Kiranya engkau telah terluka parah? Tahukah engkau siapa aku, orang tua buruk?
Aku adalah Lauw Hong Kui, sumoi dari Hek-tiauw Lo-mo yang telah kau bunuh. Nah,
aku datang untuk membalaskan kematian suheng-ku!” setelah berkata demikian,
Siluman Kucing itu menerjang ke depan, ke arah kakek yang duduk bersila di atas
tanah itu.
Dengan
pengerahan tenaga sinkang-nya, tangannya menyambar dan menampar ke arah kepala
Dewa Bongkok yang botak.
“Syuuuuuttt...
plakkk!”
Dewa Bongkok
tentu saja tidak mau menerima kematian secara konyol. Dia tidak berani
mengerahkan sinkang karena hal ini dapat berarti bunuh diri, maka dia pun
miringkan kepalanya ketika merasa ada angin dahsyat menyambar kepalanya.
Pukulan itu luput, akan tetapi masih menghantam pundaknya sehingga untuk kedua
kalinya tubuh Dewa Bongkok terguling-guling! Namun dia sudah duduk lagi
bersila.
Makin
giranglah hati Mauw Siauw Mo-li karena dia yakin bahwa semua dugaannya benar
belaka. Biar pun jelas bahwa kakek itu amat lihai, terbukti bahwa dalam keadaan
duduk bersila tanpa melawan tadi kakek itu telah mampu mengelak sehingga
kepalanya terluput dari tamparannya yang sedemikian cepatnya. Akan tetapi
ketika tadi tangannya menampar pundak dia sama sekali tidak merasakan ada hawa
sinkang yang menolak, tanda bahwa benar-benar kakek sakti itu tidak berani
mengerahkan sinkang! Kakek itu lebih mengandalkan kelemasan untuk menerima
tamparan tadi, membiarkan tubuhnya terguling sehingga tamparan itu hanya
membuatnya terbanting tanpa mendatangkan luka parah karena dia sama sekali
tidak melawan.
“Hi-hi-hik,
tua bangka, bersiaplah engkau untuk mampus!” bentaknya dan dia sudah menerjang,
maju lagi.
Dewa Bongkok
maklum bahwa dia tidak akan mampu melawan dalam keadaan seperti itu. Kalau dia
mengerahkan sinkang, tentu dia akan mampu menewaskan wanita ini dengan mudah,
walau pun untuk itu dia sendiri akan berkorban nyawa. Akan tetapi, kakek ini
tidak ingin membunuh orang, apa lagi dalam keadaan mendekati akhir hidupnya
itu. Kalau dua hari yang lalu dia menewaskan Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa
Lo-kwi, hal itu terjadi karena dia tidak sengaja, karena dia diserang dengan
tiba-tiba sehingga pengerahan sinkang yang otomatis membuat tenaga pukulan
mereka membalik dan mengakibatkan tewasnya dua orang itu. Kini, dia tidak mau
melakukan pembunuhan dan dia hanya menanti datangnya maut melalui tangan wanita
yang tidak dikenalnya ini.
“Wuuuuuttt...
plakkk!”
Siluman
Kucing memekik kaget dan meloncat mundur. Pukulannya telah ditangkis oleh sinar
hitam yang panjang dan ternyata yang menangkis lengannya itu adalah seekor ular
hitam besar dan panjang yang kini melingkar di lengan dan leher seorang dara
cantik jelita berpakaian serba hitam!
“Hwee Li!”
bentaknya dengan marah. “Engkau melawan bibi gurumu?”
Dara yang
telah menangkis pukulan Siluman Kucing yang menyelamatkan nyawa Dewa Bongkok
tadi memang benar Hwee Li adanya. Seperti kita ketahui, dara ini mengalami
guncangan batin yang hebat pada saat ditinggal kekasihnya yang menyatakan benci
padanya karena dia keturunan pemberontak. Bahkan gurunya sendiri, Ceng Ceng,
juga memutuskan hubungan dan tidak mau mengakuinya lagi. Hal ini amat
menyedihkan hatinya, akan tetapi karena memang pada dasarnya Hwee Li berwatak
keras, lincah dan gembira, penderitaan batinnya itu tertutup oleh kelincahannya
dan hanya mukanya yang agak pucat itu saja yang menjadi bukti bahwa di lubuk
hatinya, dara ini menderita batin yang amat hebat.
Memang
kenyataannya watak Hwee Li jauh sekali bedanya dengan watak Hek-tiauw Lo-mo,
orang yang selama belasan tahun dia anggap ayah kandungnya sendiri. Biar pun
semenjak kecil dia dididik oleh seorang manusia iblis seperti Hek-tiauw Lo-mo
sehingga Hwee Li memiliki sifat-sifat liar yang keras, namun pada lubuk hatinya
dia menjunjung tinggi kegagahan dan tidak suka bertindak sewenang-wenang,
bahkan lebih condong untuk melindungi orang-orang lemah tertindas. Apa lagi
setelah dia berkenalan dengan orang-orang gagah, bahkan kemudian dia memperoleh
didikan dari Ceng Ceng, sifat kegagahan seorang pendekar ini menonjol.
Hal ini
makin kuat ketika dia menemukan rahasia bahwa dia sesungguhnya bukan anak
kandung Hek-tiauw Lo-mo. Dia merasa lain dan berbeda dengan golongan Hek-tiauw
Lo-mo, bahkan dia menentang tindakan-tindakan mereka seperti nampak ketika dia
menjadi tawanan Pangeran Liong Bian Cu yang tergila-gila kepadanya. Maka,
ketika secara kebetulan dia melihat Mauw Siauw Mo-li hendak menghantam seorang
kakek botak tua renta yang kelihatannya tak berdaya dan tak melawan, bangkit
kemarahannya dan segera dia turun tangan menangkis pukulan itu dengan
menggunakan ular hitamnya yang panjang.
Sambil
tersenyum dan sepasang matanya menatap wajah Mauw Siauw Mo-li dengan tajam, dia
menjawab, “Sudah tentu, Mauw Siauw Mo-li. Mana mungkin aku membiarkan saja
engkau melakukan perbuatan jahat dan sewenang-wenang, membunuh seorang kakek
yang tidak berdaya dan tidak melawan? Seharusnya engkau merasa malu untuk
menyerang seorang kakek tua tidak melawan!”
“Bocah
setan! Engkau menyebut namaku begitu saja? Bukankah aku ini bibi gurumu?”
“Aku tidak
mempunyai bibi guru seperti engkau! Engkau jahat, kejam dan curang!”
“Ehhh, Hwee
Li, berani engkau kurang ajar? Engkau murid murtad! Ingat, aku adalah sumoi
dari ayahmu!” Mauw Siauw Mo-li membentak marah. “Kau tahu apa yang telah
terjadi dengan ayahmu? Ayahmu, Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi telah tewas
oleh kakek itu! Hayo kita bunuh dia sebelum dia sembuh kembali dari lukanya
untuk membalas kematian ayahmu!” Setelah berkata demikian, Mauw Siauw Mo-li
melompat dan hendak menerjang Dewa Bongkok.
Akan tetapi
nampak bayangan hitam berkelebat dan Hwee Li sudah menghadang di depannya.
“Tidak! Engkau tidak boleh membunuhnya!” katanya dengan wajah keras dan suara
tegas.
Mauw Siauw
Mo-li mengerutkan alisnya dan perlahan-lahan mukanya berubah merah, matanya
berapi-api tanda bahwa wanita ini sudah kehilangan kesabarannya. Kalau tadi dia
masih bersikap sabar adalah karena dia masih mengingat bahwa dara ini adalah
murid keponakannya.
“Hwee Li,
siapakah kakek ini dan apamukah dia maka engkau hendak melindunginya?”
“Bukan
apa-apa. Aku tidak kenal padanya, akan tetapi jelas bahwa dia adalah seorang
tua renta yang sudah terluka dan tidak berdaya, maka kalau engkau berkeras
hendak membunuhnya, akulah yang akan membelanya!”
“Keparat,
murid murtad engkau!” bentak Mauw Siauw Mo-li dan dia sudah menerjang ke depan
dan menyerang Hwee Li dengan pukulan maut. Namun, dengan lincahnya Hwee Li
mengelak ke kiri dan dari sini kakinya meluncur dengan tendangan kilat ke arah
lambung bibi gurunya!
“Ehhh!” Mauw
Siauw Mo-li terkejut dan makin marah. Kiranya murid keponakannya ini
benar-benar berani melawannya.
“Singgg...!”
Sinar hijau
nampak dan Siluman Kucing itu telah mencabut sebatang pedang, lalu dia menubruk
ke depan dan menyerang dengan dahsyatnya.
Hwee Li
cepat berloncatan menghindarkan diri, kemudian tiba-tiba sinar hitam meluncur
dari tangannya dan ular hitam itu telah digerakkan seperti senjata, menyerang
dan mematuk ke arah leher Lauw Hong Kui. Wanita ini cepat menarik tubuh ke
belakang dan mengibaskan pedang untuk membacok putus leher ular itu. Namun ular
itu amat gesit, sudah mengelak dengan leher dilengkungkan, dan pada saat itu,
tangan kiri Hwee Li telah melancarkan pukulan tangan kiri yang mengandung uap
berwarna putih. Itulah pukulan beracun yang berbau harum.
“Ihhhh...!”
Untuk kedua kalinya Mauw Siauw Mo-li terkejut dan cepat dia mengelak, lalu dia
memutar pedangnya dengan cepat sehingga lenyaplah bentuk pedang itu, berubah
menjadi segulung sinar hijau yang melingkar-lingkar dan bergerak menyambar ke
sana sini dengan hebatnya.
Terjadilah
perkelahian yang amat seru dan mati-matian. Setelah mendapat gemblengan dari
Ceng Ceng dan petunjuk-petunjuk dari suami gurunya itu, yaitu Si Naga Sakti
Gurun Pasir, kini tingkat kepandaian Hwee Li sudah naik tinggi sehingga tidaklah
mudah bagi Mauw Siauw Mo-li untuk mengalahkannya. Sebaliknya, Hwee Li pun
merasa sukar untuk mengalahkan bekas bibi gurunya yang lihai ini. Sampai
seratus jurus mereka bertanding, masih belum ada yang nampak terdesak.
Diam-diam
Mauw Siauw Mo-li menjadi penasaran sekali. Masa sampai lewat seratus jurus dia
masih belum mampu mengalahkan bekas murid keponakannya? Tiba-tiba dia
mengeluarkan bentakan nyaring dan tangan kirinya melemparkan sebuah benda ke
atas tanah. Terdengar ledakan dan nampak asap mengepul tinggi. Hwee Li maklum
akan kelihaian bibi gurunya ini menggunakan bahan-bahan ledak, maka dia pun
cepat meloncat jauh ke kiri. Akan tetapi kembali dia disambut oleh ledakan yang
membuat pandang matanya gelap dan pada saat itu, dia masih melihat sinar hijau
meluncur ke arah dadanya. Cepat-cepat dia melempar tubuh ke belakang dan
menggerakkan ular hitamnya untuk menangkis.
“Crakkk!”
Ularnya
terbabat putus menjadi dua dan terdengar suara ketawa mengejek dari Siluman
Kucing itu, suara ketawa yang bercampur dengan suara kucing, ciri khas dari
wanita ini!
“Setan!”
Hwee Li memaki dan membuang bangkai ular itu, kemudian dia mengelak dari
sambaran pedang berikutnya, lalu membalas dengan tamparan tangannya yang juga
dapat dielakkan oleh lawan. Melihat Hwee Li kehilangan senjata ular yang ampuh
itu, Mauw Siauw Mo-li tertawa lagi.
“Hwee Li,
hayo kau berlutut minta ampun kepada bibi gurumu, baru aku ampuni engkau dan
lekas kau bunuh kakek itu untuk membalas kematian ayahmu!” Dia masih tak ingin
membunuh dara cantik itu.
“Siluman
betina!” Hwee Li memaki dan tubuhnya sudah meluncur ke depan, kedua tangannya
mengirim pukulan berantai yang cepat dan kuat. Mauw Siauw Mo-li menjadi marah.
“Bagus,
engkau sudah bosan hidup!” bentaknya dan dia memutar pedangnya.
Namun dara
itu benar-benar lihai. Meski kini tidak lagi memegang ular sebagai senjata,
akan tetapi setiap serangan pedang dapat dielakkannya dengan mudah, bahkan
untuk setiap serangan dia membalas kontan dengan pukulan atau tendangan yang
tidak kalah bahayanya.
Mauw Siauw
Mo-li makin gemas. Kembali tangannya melempar sebuah benda, sekali ini benda
itu dilemparkan ke arah Dewa Bongkok! Melihat ini Hwee Li menjerit dan tubuhnya
meluncur ke samping, cepat dia menyambar benda itu sebelum mengenai tanah dan
meledak, kemudian dia melontarkan benda itu ke arah pemiliknya. Terdengar
ledakan keras dan asap makin memenuhi tempat itu. Tiba-tiba ada angin menyambar
dari kanan. Hwee Li maklum bahwa bibi gurunya itu menyerang dengan hebat, maka
dia mengelak dan membalas dengan tendangan.
“Singgggg...
brettttt!”
Sinar hijau
menyambar di antara gumpalan asap dan celana kiri Hwee Li di bagian paha
terobek ujung pedang, berikut kulit dan sedikit dagingnya sehingga paha itu
luka dan berdarah.
“Ha-ha-ha,
bocah murtad, engkau tidak lekas berlutut?” bentak Mauw Siauw Mo-li sambil
tertawa dan mendesak dengan pedangnya.
Hwee Li
terpincang-pincang, namun dara yang berhati baja ini sama sekali tidak mau
tunduk, bahkan sambil mengelak dia masih mencoba untuk balas menyerang. Akan
tetapi, karena pahanya sudah terluka yang membuatnya terpincang, gerakan
kakinya menjadi kaku dan tentu saja kegesitannya berkurang sehingga ia mulai
terdesak hebat oleh pedang di tangan Siluman Kucing.
“Serang
lambung kirinya!” tiba-tiba Hwee Li mendengar bisikan halus dan dia mengenal
suara kakek tua renta yang bersemedhi itu.
Suara itu
demikian halus namun jelas sekali, seperti diucapkan di dekat telinganya saja,
maka tahulah dia bahwa kakek itu telah mempergunakan Ilmu Coan-im-jip-bit
(Mengirim Suara Dari Jauh) untuk membantunya. Karena dia merasa yakin bahwa
kakek itu adalah seorang yang amat sakti, maka dengan membuta dia lalu
mengikuti petunjuknya dan tiba-tiba dia menerjang dengan serangan hebat ke arah
lambung kiri Siluman Kucing.
“Ihhh...!”
Siluman Kucing menjerit kaget karena pada saat itu memang lambung kirinya
‘terbuka’ dan merupakan bagian yang paling lemah dari kedudukannya. Dia masih
dapat melempar dirinya ke kanan sehingga terjangan Hwee Li itu luput sungguh
pun dia sudah rnerasakan hawa pukulan menyerempet lambungnya. Kalau saja Hwee
Li tadi tidak terheran dan sedikit terlambat, tentu serangannya sudah mengenai
sasaran.
Siluman
Kucing tidak tahu bahwa lawannya diberi petunjuk oleh kakek itu. Dia mengira
bahwa serangan Hwee Li tadi hanya kebetulan saja, maka bangkitlah kemarahannya
karena dia nyaris celaka. Sambil mengeluarkan lengking panjang pedangnya
menusuk dan membacok kembali dengan bertubi-tubi dan kini Hwee Li terdesak lagi
seperti tadi. Hwee Li terpaksa mengelak ke sana-sini dengan kakinya yang
pincang. Dia merasa menyesal mengapa tadi dia agak terlambat sehingga petunjuk
kakek itu tidak mampu dipergunakan sebaiknya. Kalau dia tidak agak meragu, dia
yakin bahwa serangan tadi pasti mengenai sasaran.
“Tendang
lutut kiri dan hantam pundak kanan!” kembali terdengar bisikan.
Kali ini
Hwee Li bergerak secara otomatis menurutkan petunjuk itu tanpa mempedulikan hal
lain. Dia mentaati secara membuta dan secara cepat sekali dan hasilnya luar
biasa! Terdengar Siluman Kucing menjerit dan biar pun dia berusaha melempar
tubuh ke belakang, namun hantaman ke arah pundaknya itu tetap saja mengenai
sasaran.
“Plakkk...!
Aduhhhhh...!”
Pedang di
tangan Siluman Kucing terlepas karena begitu pundaknya kena dihantam, lengan
kanannya seperti lumpuh. Tadi dia sangat terkejut melihat tendangan tiba-tiba
dari Hwee Li yang ditujukan kepada lutut kirinya. Tendangan itu memang tepat
dan berbahaya sekali sebab pada saat itu, kuda-kudanya dititik beratkan kepada
kaki kirinya yang berada di depan. Maka dia cepat menarik kaki kirinya agar
lututnya yang dalam keadaan ‘terbuka’ itu jangan kena tendang, akan tetapi
siapa kira, gerakannya ini bagai telah dapat diduga terlebih dulu oleh dara itu
yang sudah mengirim pukulan ke arah pundak kanannya pada saat pundak itu dalam
keadaan tak terjaga.
Siluman
Kucing terhuyung ke belakang dan merasa jeri. Lama dia tidak bertemu dengan
murid keponakannya ini dan kiranya sekarang telah memiliki kepandaian yang
demikian lihai! Melawan Hwee Li saja dia kewalahan dan hampir roboh, apa lagi
kalau kakek itu turun tangan membantu! Maka dia lalu mengeluarkan teriakan
panjang seperti seekor kucing yang terpijak ekornya, dan tubuhnya sudah
meloncat jauh ke belakang dan sebentar saja Siluman Kucing telah lenyap.
Hwee Li
cepat mengambil pedang yang ditinggalkan oleh bekas bibi gurunya itu, dan dia
menoleh ke arah Dewa Bongkok. Kakek itu masih duduk bersila di atas tanah,
memejamkan kedua matanya. Hwee Li menarik napas panjang. Benar dugaannya. Kakek
ini lihai bukan main akan tetapi berada dalam keadaan terluka parah. Kalau saja
kakek aneh itu tidak membantunya dengan dua kali bisikan dan petunjuk, agaknya
tidak mungkin dia dapat menangkan Mauw Siauw Mo-li yang lihai, apa lagi karena
pahanya telah terluka.
Hwee Li
menghampiri kakek itu, sejenak memandang kakek yang masih bersemedhi dengan
tekunnya. Dia tidak mau mengganggu, teringat bahwa kakek itu terluka parah dan
sedang mengobati luka sendiri. Hwee Li lalu menjatuhkan diri duduk di atas
rumput, memeriksa pahanya yang terluka dan menaruhkan obat bubuk kepada
lukanya. Dia menyeringai. Perih sekali obat itu, akan tetapi dengan cepat dapat
menutup luka dan menghentikan keluarnya darah. Dengan saputangan yang bersih
dibalutnya paha yang terluka itu, kemudian dia pun duduk bersila tak jauh dari
kakek itu. Dia mengambil keputusan untuk menjaga dan melindungi kakek itu
sampai kakek itu sembuh dan dapat membela diri sendiri.
Demikianlah,
kini di tempat sunyi itu nampak dua orang duduk bersila dalam semedhi! Setelah
memulihkan tenaganya dan rasa nyeri di pahanya yang terluka berkurang, Hwee Li
membuka matanya, lalu bangkit berdiri. Dia merasa lapar sekali. Kakek itu masih
tetap duduk bersila seperti tadi, napasnya panjang-panjang dan sebagai seorang
muda yang terlatih, Hwee Li maklum pula bahwa kakek itu memang benar sedang
berdaya untuk mengobati dirinya sendiri.
Maka dia pun
tidak berani mengganggu, dan hanya ingin menunggu sampai kakek itu selesai
mengobati luka di dalam tubuhnya. Pergilah Hwee Li untuk mencari makanan
pengisi perutnya yang lapar. Akan tetapi karena dia tidak berani meninggalkan
kakek itu terlampau jauh, dia hanya mencari di sekitar tempat itu dan akhirnya
dia hanya bisa mendapatkan akar-akaran yang dapat dimakan! Tidak ada
pohon-pohon buah di hutan dekat situ dan dia tidak melihat binatang hutan pula.
Akan tetapi, akar-akaran itu cukup enak kalau dibakar.
Maka dia
lalu membuat api dan mulai memanggang akar-akaran itu. Dimakannya sebagian dari
makanan itu dan sebagian lagi disisihkannya untuk kakek itu kalau sudah sadar
dari semedhinya nanti. Bukan menjadi kebiasaan Hwee Li untuk mencampuri urusan
orang. Akan tetapi dia tidak suka kepada Mauw Siauw Mo-li yang dia tahu
merupakan seorang iblis betina yang selain kejam dan curang, juga cabul itu.
Maka, melihat bekas bibi gurunya itu tadi hendak membunuh kakek ini, dia lalu
turun tangan menentang.
Lalu dia
mendengar bahwa kakek ini telah membunuh Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi,
maka dia merasa tertarik sekali. Hek-tiauw Lo-mo adalah musuh besarnya, yang
telah merusak kehidupan ibu kandungnya, bahkan hampir saja menjerumuskan dia ke
dalam lembah kehinaan dengan ‘menjualnya’ kepada Pangeran Liong Bian Cu. Maka,
mendengar bekas ayahnya dan juga musuh besarnya itu terbunuh oleh kakek ini,
dia merasa tertarik sekali untuk bicara dengan kakek ini. Di samping itu, juga
dia tidak ingin melihat kakek ini terancam bahaya dan terbunuh oleh Mauw Siauw
Mo-li, maka dia lalu menjaganya dan menanti sampai kakek itu selesai mengobati
dirinya sendiri.
Akan tetapi,
sehari penuh dia menanti dan hari telah berganti malam, namun kakek itu masih
belum juga bangun dari semedhinya! Hati Hwee Li mulai menjadi kesal. Dia bukan
seorang gadis yang penyabar. Akan tetapi melihat betapa nyamuk-nyamuk mulai
merubung tubuh kakek itu dan tentu merupakan gangguan bagi semedhinya, timbul
pula rasa kasihan di hatinya. Dibuatnya api unggun dan diusirnya nyamuk-nyamuk
itu. Setelah kehangatan api unggun mengusir dingin dan nyamuk, barulah dia
duduk di dekat api unggun dan menoleh kepada kakek itu sambil mengomel.
“Kalau
sampai besok pagi engkau belum juga terbangun, jangan salahkan aku kalau
terpaksa aku meninggalkanmu, Kek. Aku masih harus melakukan perjalanan jauh,
mencari orang yang entah ke mana perginya!” Dia menarik napas panjang, kemudian
merebahkan diri di atas daun-daun kering yang dikumpulkannya di tempat itu,
rebah miring menghadapi api dan termenung ke dalam nyala api yang
menjilat-jilat.
Semalam itu
Hwee Li hanya dapat tidur ayam, yaitu antara tidur dan sadar, terkantuk kantuk
di dekat api unggun. Biar pun kadang-kadang dia tertidur, namun kesadarannya
masih selalu waspada sehingga sedikit suara saja cukup untuk membangunkannya,
juga dia selalu tahu kalau api unggun padam atau mengecil sehingga cepat dia
bangun dan menambah kayu bakar. Berkali-kali, kalau terbangun, dia menengok
kepada kakek itu dan ternyata kakek itu masih saja duduk bersila dan tenggelam
dalam semedhi seperti siang tadi!
Pada
keesokan harinya, setelah sinar mentari menerangi tanah, Hwee Li memanggang
lagi beberapa potong akar-akaran untuk dimakan dan sebagian dia letakkan di
depan kakek itu bersama pedang yang ditinggalkan oleh Mauw Siauw Mo-li kemarin.
“Kek,
terpaksa aku harus meninggalkanmu. Ini ubi bakar untukmu, dan ini pedang untuk
menjaga diri kalau ada penjahat hendak mengganggumu. Maafkan aku, Kek, aku
tidak bisa menjagamu di sini selamanya!”
Hwee Li
menatap wajah itu dan tiba-tiba sepasang mata itu terbuka.
“Ihhhhh...!”
Hwee Li terkejut dan terlompat mundur.
Kedua mata
kakek itu benar-benar mempunyai cahaya yang mengejutkan, mencorong seperti mata
harimau di tempat gelap! Akan tetapi kagetnya segera lenyap ketika dia melihat
hetapa sepasang mata itu biar pun mencorong aneh, namun memandang kepadanya
dengan lembut dan mulut tua itu mengulum senyum. Dia mendekat lagi, duduk di
dekat kakek itu sambil memandang wajahnya yang agak pucat.
“Thian Yang
Maha Kuasa...,“ terdengar kakek itu berkata halus, “Kalau belum berkenan
mencabut nyawa seorang tua seperti aku, ada saja yang menyelamatkan. Agaknya
masih belum cukup hukumanku maka aku masih diberi usia panjang...“
Mendengar
keluhan ini, Hwee Li tersenyum geli. “Kek, orang lain minta umur panjang,
mengapa engkau sebaliknya mengomel diberi umur panjang? Dan tentang menolong
tadi, aku tidak tahu siapa menolong siapa. Kalau tidak ada engkau yang
membisiki dua jurus serangan kemarin, mungkin aku yang tidak bisa berumur
panjang!”
Sepasang
mata itu berseri dengan pandang matanya memperhatikan Hwee Li penuh selidik.
“Namamu Hwee Li?”
“Benar,
Kek.”
“Siapa nama
keturunanmu?”
Hwee Li
membuang muka, dia merasa sebal. “Uhhh, tidak perlu menyebutkan nama
keturunanku, Kek, hanya akan mendatangkan sial saja kepadaku. Namaku Hwee Li,
cukuplah.”
Karena
membuang muka, Hwee Li tidak melihat betapa pandang mata kakek itu makin
berseri, karena sikap dara ini amat menarik hatinya dan menimbulkan rasa suka
di hatinya.
“Hwee Li,
ketika aku diserang oleh wanita itu, mengapa engkau membelaku? Bukankah wanita
itu bibi gurumu? Mengapa engkau berani melawan bibi guru sendiri?”
“Huh, bibi
guru macam apa dia? Jangankan bibi guru, biar ayah sendiri, kalau jahat, tentu
akan kutentang!” jawab Hwee Li marah.
Kakek itu
makin tertarik. Gadis ini benar-benar luar biasa. Jarang menemukan seorang
gadis yang begini keras namun tegas dan wajar, penuh kepolosan dan keberanian.
Mirip watak mantunya, isteri dari muridnya!
“Bukankah
engkau sudah mendengar dari bibi gurumu bahwa ayahmu tewas karena aku? Bukankah
Hek-tiauw Lo-mo itu ayah kandungmu?”
“Sama sekali
bukan, Kek!” Hwee Li makin gemas karena dia diingatkan akan keadaan keluarganya
yang hanya mendatangkan kesialan baginya. “Dia adalah musuh besarku!”
“Hemmm...
bagaimana pula ini?” Kakek itu bertanya dan tersenyum.
“Sebenarnya
aku tidak suka bicara tentang ini, Kek, akan tetapi agar engkau tidak menjadi
penasaran dan bingung, biarlah kuceritakan kepadamu. Memang aku dan semua orang
tadinya menganggap Hek-tiauw Lo-mo itu ayah kandungku. Akan tetapi kini telah
terbuka kedoknya. Dia sama sekali bukan ayah kandungku, bahkan dia musuh
besarku yang dulu menculik ibuku dan menjadi sebab kematian ibuku. Ah, andai
kata dia itu ayahku sendiri sekali pun, tetap saja kutentang karena dia jahat.”
Kakek itu
memandang dengan penuh perhatian.
“Kau akan
menentang ayah kandung sendiri?”
“Tentu!”
Hwee Li berkata gemas dan mengepal kedua tinju tangannya, lalu bangkit berdiri
dan berdongak memandang ke udara. “Apa artinya ayah kandung kalau dia jahat?
Dia hanya akan melumuri aku dengan kekotoran namanya! Nama busuk seorang ayah
akan diwarisi anaknya yang tidak bersalah, mendatangkan kesialan, membuat aku
dibenci orang, hanya karena orang tua...!” Dan tiba-tiba saja Hwee Li menangis
sambil membanting-banting kakinya.
Sepasang
mata kakek itu terbelalak. Dia membiarkan gadis itu menangis sesunggukan sambil
menutupi muka dengan kedua tangan. Akan tetapi tidak lama Hwee Li menangis. Dia
tadi menangis karena mendapat kesempatan menumpahkan rasa penyesalan dan
penasaran hatinya, teringat betapa Kian Lee menyia-nyiakan dan meninggalkannya
hanya karena dia keturunan pemberontak! Kekerasan hatinya membuat tangisnya itu
hanya sebentar lalu mereda.
Melihat ini,
Dewa Bongkok menarik napas panjang. “Hwee Li, apakah orang tuamu sendiri, ayah
kandungmu, juga seorang jahat seperti Hek-tiauw Lo-mo?”
Hwee Li
menggeleng kepala. Dia tidak mengenal kakek ini. Dan karena kakek ini orang
asing, orang asing yang kebetulan saja kini terlibat menjadi orang yang menjadi
tempat pencurahan semua rasa penasaran hatinya, maka dia tidak ragu-ragu untuk
bicara tentang dirinya sendiri. “Aku sendiri tidak pernah melihat ayah
kandungku, Kek. Entah dia orang baik atau jahat aku pun tidak tahu. Hanya
karena dia dikenal sebagai seorang pemberontak, maka orang lalu menghinaku,
bahkan orang yang paling baik... yang paling kucinta... telah meninggalkanku.
Kek, apa sih salahnya orang yang menjadi anak pemberontak? Ayah kandungku
memberontak ketika aku masih bayi, aku tidak tahu mengapa dan untuk apa dia
memberontak. Akan tetapi mengapa semua orang benci kepadaku?”
Kakek itu
menarik napas panjang dan menengadah seolah-olah dia bicara kepada awan yang
berarak di langit, bukan kepada Hwee Li, “Begitulah memang pendapat umum, watak
masyarakat yang sudah membudaya! Manusia dinilai dari keturunannya, dari
agamanya, dari kedudukannya, dari harta bendanya, dari pengetahuannya. Betapa
menyedihkan ini. Dan karena penilaian didasarkan atas semua itu, maka manusia
lalu memperebutkan semua itu yang dianggap sebagai syarat untuk dapat hidup
mulia! Manusia dianggap seperti pohon. Pohon yang buahnya masam pasti
menghasilkan bibit yang masam pula. Manusia yang dianggap jahat pasti
menurunkan anak yang jahat pula! Betapa menyedihkan anggapan ini! Dan betapa
banyaknya anak-anak yang tidak berdosa menjadi korban nama buruk orang tuanya. Memang
tidak adil! Bahkan menilai seseorang sebagai jahat pun tidak adil. Kehidupan
ini selalu berubah. Manusia pun selalu mengalami perubahan, ada kalanya dia
dianggap jahat, ada kalanya dia dianggap baik. Anggapan itu hanya penilaian
belaka, tergantung kepada kepentingan si penilai. Aih, Hwee Li, kalau orang
menganggap engkau rendah dan hina, maka yang jelas dia itulah yang rendah dan
hina, karena anggapan seperti itu sudah rendah namanya. Mengapa engkau hiraukan
benar? Jangankan hanya beberapa orang yang menganggapmu jahat, kalau engkau
meneliti diri sendiri dan mendapat kenyataan bahwa engkau tidak jahat, peduli
apa? Biarlah semua orang menilaimu jahat. Hidup bukan tergantung dari pada
penilaian orang lain. Yang penting adalah mengamati diri sendiri. Biar tidak
ada seorang pun manusia lain mengetahuinya, akan tetapi kalau dalam
pengamatanmu itu engkau melihat dirimu kotor, haruslah segera dibersihkan!
Jadi, yang penting bukan penilaian orang lain, melainkan pengamatan diri
sendiri terhadap diri sendiri. Mengertikah engkau, Hwee Li?”
Ucapan kakek
yang dilakukan dengan suara halus itu meresap ke dalam hati sanubari Hwee Li
dan gadis itu merasa bangkit kembali semangatnya, “Engkau benar, Kek! Terima
kasih. Akan tetapi, aku pun tidak akan peduli penilaian orang lain, biar orang
sedunia sekali pun, hanya... karena mereka berdua itulah yang membuat hatiku
terasa perih..., penilaian mereka berdua yang kini menjauhiku membuat hatiku
merana.”
“Hemmm,
mereka berdua itu siapakah? Mengapa justeru mereka berdua yang amat kau
hiraukan?”
“Dia...
dia... pacarku, Kek. Dan yang seorang guruku...“
Diam-diam
kakek itu terharu juga. Dara ini sungguh amat jujur, tidak seperti orang lain
yang malu-malu kucing dan menyembunyikan perasaannya. Dara ini berterus terang,
apa adanya, dan amat menarik hatinya.
“Hemmm,
mereka itu tidak bijaksana. Tidak mengherankan kalau pacarmu memiliki pandangan
umum seperti itu karena tentu dia masih muda dan hijau. Akan tetapi gurumu,
mengapa dia sepicik itu pula?”
“Guruku pun
masih muda, Kek, tidak banyak selisihnya usianya dengan pacarku. Dia pantas
menjadi enci-ku. Aku amat sayang kepadanya dan dia pun tadinya amat cinta
kepadaku, akan tetapi setelah dia tahu bahwa aku keturunan pemberontak... dia
lalu memutuskan hubungan...“ Hwee Li memejamkan mata, menahan air matanya yang
sudah membikin panas kedua matanya lagi.
“Hemmm,
gurumu masih begitu muda? Dan kau sudah selihai itu? Tentu gurumu lihai
sekali.”
“Tentu saja
dia lihai! Suaminya lebih lihai lagi, Kek. Suaminya adalah Si Naga Sakti Gurun
Pasir!”
Karena kakek
itu menundukkan mukanya, Hwee Li tidak melihat keheranan yang membayang di
kedua mata kakek itu. Tentu saja kakek itu terkejut dan heran. Kiranya gadis
yang amat menarik hatinya ini adalah murid dari Ceng Ceng, isteri muridnya
sendiri! Dia memang pernah mendengar bahwa isteri muridnya itu mempunyai
seorang murid yang selama beberapa bulan pernah pula ikut ke Istana Gurun
Pasir, akan tetapi dia tidak pernah tahu siapa namanya dan tidak pernah pula
saling bertemu. Memang selama itu dia hanya bertapa saja, menyendiri di kamar
rahasia dalam istana itu.
Dan tadi
ketika melawan Mauw Siauw Mo-li, Hwee Li juga tidak pernah menggunakan jurus
dari aliran Dewa Bongkok maka dia tidak mengenalnya. Kakek ini tidak tahu bahwa
sesungguhnya gadis ini menjadi murid Ceng Ceng hanya dalam hal penggunaan racun
dan pukulan-pukulan beracun saja, dan kemudian mendapat bimbingan untuk
mematangkan ilmu-ilmu yang telah dimilikinya, yaitu yang dipelajarinya dari
Hek-tiauw Lo-mo.
Sebaliknya,
Hwee Li tentu saja tahu bahwa suami dari gurunya adalah murid seorang manusia
dewa yang berjuluk Si Dewa Bongkok atau Go-bi Bu Beng Lojin, akan tetapi karena
belum pernah jumpa, sama sekali dia tidak pernah mimpi bahwa kakek yang
ditolongnya ini adalah kakek gurunya itu! Apa lagi dia membayangkan kakek guru
itu sebagai dewa yang tidak pernah memperlihatkan diri kepada manusia lain.
Hening
sampai lama semenjak Hwee Li menyebut nama Naga Sakti Gurun Pasir tadi.
Berbagai pikiran memenuhi kepala Dewa Bongkok dan dia sudah mengambil keputusan
mengenai gadis ini.
“Hwee Li,
maukah engkau menjadi ahli waris ilmu silat yang akan membuat engkau tidak
mudah dikalahkan orang, apa lagi kalau hanya oleh orang seperti wanita tadi?
Maukah engkau mempelajari ilmu simpananku yang belum lama kuciptakan?!”
Tiba-tiba kakek itu bertanya.
“Dan menjadi
muridmu, Kek?” Hwee Li mengangkat muka memandang.
Dia merasa
pernah melihat sepasang mata mencorong seperti itu, akan tetapi dia lupa lagi
entah di mana. Dia lupa bahwa yang memiliki mata mencorong seperti itu adalah
suami gurunya, Si Naga Sakti Gurun Pasir!
“Akan
tetapi, aku belum mengenalmu.”
“Hemmm, tidak
perlu mengenal. Engkau tentu sudah tahu bahwa Hek-tiauw Lomo dan Hek-hwa Lo-kwi
tewas karena mereka itu menyerangku dan aku menderita luka parah. Biar pun aku
telah menyembuhkan luka itu, namun aku perlu beristirahat dan mengingat usiaku
sudah amat tua, kalau tidak sekarang kuturunkan kepada seseorang, tentu aku
tidak akan sempat lagi mewariskan kepada orang lain. Kau cocok untuk menjadi
ahli warisku, Hwee Li.”
“Kalau
begitu aku tidak perlu menjadi muridmu?”.
“Murid atau
bukan hanya sebutan saja. Aku percaya bahwa di tanganmu, ilmuku tidak akan
sia-sia.”
“Baiklah,
Kek. Akan tetapi, aku harus melakukan perjalanan jauh menyusul dia...!”
“Pacarmu?”
“Benar. Aku
masih penasaran. Dia tidak boleh membawa-bawa aku dalam keburukan nama ayah
kandung yang sama sekali tak pernah kukenal itu. Dia tidak adil dan aku harus
menegurnya!”
“Bagus!
Memang engkau benar, dan pacarmu itu picik. Dia tentu seorang pemuda tolol,
mengapa engkau memilih pacar macam dia?”
“Uwah! Kakek
terlalu memandang rendah dia! Engkau tidak tahu siapa dia, Kek, dia adalah Suma
Kian Lee, putera dari Pendekar Super Sakti Majikan Pulau Es!”
Kembali
kakek itu terkejut bukan main, akan tetapi wajahnya tidak membayangkan sesuatu.
“Ahhh, kiranya begitu? Sungguh kebetulan sekali aku memilihmu sebagai ahli
waris ilmuku karena dengan ilmu itu engkau harus dapat melindungi Pendekar
Super Sakti.”
“Ehhh, apa
maksudmu, Kek?”
“Menurut
pengakuan Hek-hwa Lo-kwi sebelum dia tewas oleh ulahnya sendiri, di gurun pasir
di dataran Bukit Chang-pai-san akan diadakan pertemuan yang pasti akan menjadi
pertandingan mati-matian antara Pendekar Super Sakti dan Im-kan Ngo-ok, maka
mereka ini tentu mendatangkan jagoan-jagoan untuk membantu mereka mengeroyok
Pendekar Super Sakti. Kalau tidak sedang terluka, tentu aku akan dapat
mendamaikan mereka dan melindungi Majikan Pulau Es itu. Akan tetapi aku
terluka, maka aku sengaja memilihmu untuk mewarisi ilmuku dan mewakili aku
melindungi pendekar sakti itu.”
“Jadi untuk
itukah maka engkau hendak menurunkan ilmu itu kepadaku, Kek?”
“Sebagian,
yang terutama untuk itu. Akan tetapi juga karena aku suka melihatmu, Hwee Li.”
“Biar pun
aku keturunan pemberontak?”
“Hemmm,
mereka yang menghinamu karena keturunanmu akan aku tegur kalau aku sempat
bertemu dengan mereka. Mereka itu tolol dan picik!”
Besarlah
hati Hwee Li mendengar ini. Kakek ini adalah orang pertama yang bukan saja
tidak merendahkan keturunannya, bahkan hendak membelanya dan lebih dari itu,
hendak menurunkan ilmunya kepadanya. Dan mengingat betapa kakek ini dapat
merobohkan Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi, apa lagi sudah dapat dia
buktikan kesaktiannya ketika memberi petunjuk dia menghadapi Mauw Siauw Mo-li,
dia yakin bahwa ilmu yang akan diturunkan itu tentu hebat bukan main.
“Nah,
sekarang bersiaplah, Hwee Li. Engkau harus menghafal kauw-koat (teori silat)
lebih dulu, baru kuberi petunjuk tentang gerakan-gerakannya, yaitu gerakan
dasar dan gerakan pokok. Kita hanya memiliki waktu sebulan lebih lagi, yaitu
pada malam bulan purnama bulan depan.”
“Mana
mungkin menghafal ilmu yang hebat hanya dalam waktu sesingkat itu?” tanya Hwee
Li.
“Ilmu itu
hanya terdiri dari delapan jurus, Hwee Li.”
“Delapan jurus?
Kalau hanya sedemikian pendeknya, mana bisa disebut hebat?”
“Ah, engkau
tidak tahu. Aku telah menghabiskan waktu belasan tahun untuk merangkai ilmu
yang kunamakan Cui-beng Pat-ciang (Delapan Pukulan Mengejar Arwah) ini. Dan
biar pun kauw-koat-nya dapat kau hafalkan dalam waktu singkat setelah kuberi
kunci kuncinya, namun untuk mematangkan ilmu ini, biar sampai lima puluh tahun
sekali pun masih dapat terus ditingkatkan, Hwee Li. Dasar dan pokok gerakan
ilmu yang hanya delapan jurus ini telah mencakup semua dasar ilmu silat dan
dapat kau pergunakan untuk menghadapi ilmu yang bagaimana lihai pun dari
lawan.”
Hwee Li
menjulurkan lidahnya karena kaget, kagum dan juga girang. Dia lalu mulai
mempelajari Ilmu Silat Cui-beng Pat-ciang dengan penuh ketekunan. Kakek itu
merasa girang karena gadis ini memang cerdas sekali, dengan mudah dapat
mengerti ketika dia memberi penjelasan tentang kunci rahasia ilmu itu, kemudian
menghafal teorinya.
Semua ini
mereka lakukan sambil melanjutkan perjalanan perlahan-lahan karena kakek itu
harus sering beristirahat untuk menghimpun tenaganya. Siang malam Hwee Li
menghafal dan melatih gerakan-gerakan pokok dan dasar dari ilmu silat baru itu,
dan dengan girang sekali dia memperoleh kenyataan betapa baru melatih beberapa
hari saja, sinkang-nya sudah bertambah kuat. Apa lagi ketika kakek itu memberi
petunjuk kepadanya cara mengumpulkan hawa murni dan menggunakan tenaga dari
pusarnya, dia memperoleh kemajuan hebat dalam waktu beberapa hari saja…..
***************
“Syanti
Dewi...!” Dia terhuyung, hampir jatuh, akan tetapi bangun lagi dan terus
berlari sambil terhuyung-huyung.
“Dewi... kau
ampunkan aku, Dewi...!”
Tek Hoat
terus memasuki hutan yang lebat itu, berlari sambil mengeluh dan bersambat,
menyebut-nyebut nama Syanti Dewi seperti orang gila. Pemuda ini setelah
ditolong oleh Panglima Jayin dan pasukannya, dibawa kembali ke dalam istana.
Akan tetapi baru dua hari dia dirawat, begitu siuman dia sudah meloloskan diri
lagi, malam-malam dia melarikan diri meninggalkan istana untuk mengejar dan
mencari Syanti Dewi.
Akhirnya,
kegelapan malam membuat dia roboh tersungkur menabrak batang pohon dalam hutan
yang gelap itu. Dia merangkak bangun, lalu duduk dan menggunakan kedua tangan
memegangi kepalanya yang terasa pening berdenyut-denyut. Dia belum sembuh
benar, tubuhnya masih terasa lemah, kepalanya masih pening.
“Syanti...
kalau engkau tidak mau mengampunkan aku, lebih baik kau bunuh saja aku...“
keluhnya.
Pikirannya
melayang-layang ke masa lampau ketika dia merasa betapa sengsaranya rasa
hatinya, ditinggalkan oleh Syanti Dewi yang marah kepadanya. Syanti Dewi tentu
benci kepadanya! Ahh, semua ini tentu merupakan hukuman baginya, hukuman atas
semua penyelewengannya, atas semua kejahatan yang pernah dilakukannya di masa
lampau.
Terbayang
kembali semua perbuatannya, yang baru sekarang nampak olehnya betapa kejam,
jahat dan terkutuknya. Dia telah banyak melakukan pembunuhan-pembunuhan,
perjinahan-perjinahan, perbuatan yang kejam dan jahat sekali di masa lampau.
Kalau dia membayangkan semua perbuatannya itu, di waktu dia masih muda remaja,
maka amatlah tidak patut kalau dia kini dicinta seorang wanita seperti Syanti
Dewi! Hal ini merupakan kenyataan yang luar biasa, terlampau baik baginya.
Syanti Dewi
adalah seorang puteri raja yang demikian cantik jelita, demikian berbudi dan
mulia. Sedangkan dia? Hanya seorang bekas penjahat yang terkutuk! Dan dia masih
tidak menerima kebahagiaan ini. Dia menghancurkan sendiri kebahagiaan yang
tidak patut dimilikinya itu. Dia bahkan berani memaki, berani menghina sang
puteri yang demikian mulia, yang terlalu mulia baginya. Menjadi pelayan puteri
itu saja masih terlalu mulia baginya. Dia sebenarnya amat tidak berharga,
bahkan untuk menggosok sepatu puteri itu saja dia masih terlalu kotor.
Namun dia
terangkat sebagai kekasih, sebagai calon suami puteri itu! Dan puteri itu
mencintanya dengan suci. Puteri itu telah rela hidup sengsara demi untuk dia!
Dan dia... dia malah memaki dan menghina puteri itu! Dituduhnya berjinah,
padahal dialah sendiri tukang berjinah di waktu remaja. Dituduhnya memberontak,
padahal dialah yang pernah membantu pemberontak! Dituduhnya keji dan hina,
padahal dialah yang jelas seorang manusia keji dan hina!
“Syanti...!”
hatinya menjerit dan dia menjambak-jambak rambutnya sendiri.
“Kau memang
layak mampus! Kau layak sengsara!” Dia berteriak-teriak dan menjambak
rambutnya, lalu menghempas-hempaskan dirinya, membentur-benturkan kepalanya ke
batang pohon itu sampai kulit dahinya luka-luka dan pecah-pecah berdarah dan
akhirnya dia roboh pula tak sadarkan diri di bawah batang pohon itu. Malam itu
sunyi sekali, sunyi dan gelap, dan tubuh Tek Hoat membujur di bawah pohon, pingsan.
Dia
bermimpi. Dia terjerumus ke dalam lumpur. Betapa pun dia mengerahkan tenaga
untuk melepaskan diri, selalu tidak berhasil. Lumpur itu menyedot kedua
kakinya, makin dia berusaha lolos, makin dalam dia tersedot sampai akhirnya
tubuhnya tersedot sebatas pinggang. Dia meronta, kedua tangannya mencakar
sana-sini dengan sia-sia. Kemudian muncul Dewi Kwan Im yang berwajah Syanti
Dewi, dengan ringannya sang dewi melangkah di atas lumpur tanpa mengotorkan
sepatunya yang bersih, lalu sang dewi mengulurkan tangan, hendak menariknya
keluar dari dalam lumpur.
Akan tetapi
pada saat itu dia teringat akan hal yang tak pernah dilupakannya sama sekali
itu, ialah ketika Syanti Dewi bercumbu dengan Mohinta, kemudian betapa Syanti
Dewi telah berusaha membunuh Raja Bhutan, ayahnya sendiri. Teringat akan ini
semua, tangan yang terulur kepadanya untuk menariknya keluar dari dalam lumpur
itu malah diludahinya! Sang dewi menangis dan melarikan diri sambil
terisak-isak. Tek Hoat yang ditinggalkan di dalam lumpur itu tersedot makin
dalam. Lumpur mencapai lehernya, bahkan masih terus saja tubuhnya tersedot ke
bawah, kini lumpur mencapai dagunya. Barulah dia, teringat kepada Syanti Dewi,
betapa dia mencinta dara itu dan dengan napas terengah-engah seperti ikan
dilempar ke darat, dia memanggil-manggil nama Syanti Dewi.
“Syanti
Dewi...! Syanti Dewi...!”
Tek Hoat
terbangun dengan napas terengah-engah. Dia membuka matanya dengan penuh
kegelisahan dan menjadi semakin bingung ketika dia menemukan dirinya sendiri
telah rebah di atas pembaringan dalam sebuah kamar yang indah, kamarnya di
istana Bhutan! Dan terdengar suara yang tenang dan penuh perasaan iba.
“Tenanglah,
Taihiap. Harap engkau suka menguatkan batinmu.”
Tek Hoat
menoleh dan ternyata yang bicara itu adalah Panglima Jayin. Dia bangkit duduk
dan memegang tangan panglima itu yang dijulurkan kepadanya. “Panglima apakah
yang terjadi dengan Syanti Dewi?”
Panglima itu
menggeleng kepalanya. “Tidak ada yang tahu apa yang terjadi dengan beliau,
Taihiap.”
“Akan
tetapi... dia... dia telah mati dan aku... aku masih bertemu dengannya...“
Panglima
Jayin itu tersenyum sedih dan mengira bahwa pemuda ini tentu mengigau. “Taihiap
terlalu mendalam memikirkan beliau. Beliau belum meninggal dunia, dan atas
perkenan sri baginda raja saya akan menceritakan semua kepadamu, Taihiap.
Wanita yang kau sangka sang puteri itu, yang datang bersama pengkhianat
Mohinta, kemudian berusaha membunuh sri baginda dan akhirnya tewas, sebenarnya
bukanlah Sang Puteri Syanti Dewi, melainkan seorang wanita lain yang memalsukan
beliau. Sang Puteri Syanti Dewi adalah seorang wanita budiman dan mulia, tidak
mungkin melakukan hal rendah seperti itu.”
Tek Hoat
meloncat berdiri, wajahnya berseri biar pun masih amat pucat. “Ahhh, sudah
kuduga demikian, hanya hati yang lemah ini, otak yang tolol ini masih saja
meragukan kesuciannya! Aku harus pergi mencarinya!”
Panglima
Jayin memegang lengannya dan dengan lembut menyuruh pemuda itu duduk kembali.
“Ketika engkau menderita luka-luka parah dan rebah tak berdaya, kami tidak
berani menceritakan tentang beliau padamu. Kemudian, kemarin kami tidak
melihatmu di dalam kamar dan setelah kami mencari-cari, kami menemukan Taihiap
rebah pingsan di dalam hutan, kemudian kami bawa kembali ke sini. Agaknya Taihiap
mengigau atau mimpi...“
“Tidak,
tidak...! Aku tidak mimpi, aku benar-benar bertemu dengan Syanti Dewi. Ah, aku
harus segera mencarinya sebelum dia pergi jauh!”
“Engkau
masih lemah, Taihiap.”
“Tidak,
biarkan aku menghadap sri baginda, mohon perkenannya. Akan kucari sang puteri
sampai dapat!”
Raja Bhutan
merasa girang melihat betapa Tek Hoat kelihatan sembuh dan dia pun tidak
berkeberatan mendengar permohonan Tek Hoat.
“Memang
hanya engkaulah yang kiranya akan mampu menemukan kembali anakku itu, Tek Hoat.
Engkau carilah dia, bawa bekal secukupnya, kalau perlu bawa pasukan
sebanyaknya, dan jangan kembali ke sini kalau belum bersama anakku.” Demikian
antara lain Raja Bhutan berpesan kepada pemuda yang telah diakuinya sebagai
panglima muda dan juga sebagai calon mantunya itu.
Demikianlah,
untuk kedua kalinya Tek Hoat meninggalkan Bhutan. Akan tetapi sekali ini
kepergiannya jauh berbeda dengan yang sudah-sudah. Sekali ini dia pergi dengan
doa restu dari Raja Bhutan dan membawa perbekalan secukupnya. Akan tetapi Tek
Hoat tidak mau membawa pasukan dan pergi seorang diri saja. Dia melakukan
pengejaran dan mencari jejak Syanti Dewi yang diketahuinya penuh keyakinan
telah datang menjenguknya, akan tetapi karena ketololannya kembali dia
menyakitkan hati puteri itu, sungguh pun tidak seorang pun di Bhutan percaya
bahwa sang puteri benar-benar telah pulang untuk waktu singkat sekali itu.
Penderitaan
batin yang timbul akibat cinta asmara memang penanggungannya amatlah berat,
karena orang akan merasa amat kesunyian, amat nelangsa, hidup seakan-akan
kosong tidak ada artinya, lenyaplah semua gairah hidup, lenyap semua
kegembiraan, yang terasa hanyalah kelesuan, lemah lunglai rasanya seluruh
tubuh, tanpa semangat membuat orang malas dan tak acuh. Semua ini timbul karena
perasaan iba diri yang amat mendalam.
Tek Hoat
melakukan perjalanan seperti boneka hidup, seorang manusia yang sudah
kehilangan semangat dan kegembiraannya. Hanya ada satu saja yang masih membuat
dia kuat mempertahankan semua itu, ialah semangat mencari Syanti Dewi sampai
dapat! Dia melakukan perjalanan yang susah payah, tak pernah berhenti, hanya
makan kalau perutnya sudah tidak kuat menahan lagi, hanya tidur kalau matanya
sudah tak dapat dibuka, dan hanya beristirahat kalau kedua kakinya sudah mogok
jalan. Berhari hari dia menjelajahi seluruh hutan di mana dia mengejar Syanti
Dewi, kemudian dia melanjutkan perjalanan ke timur, karena dia merasa yakin
bahwa kekasihnya itu tentu pergi ke timur. Ke mana lagi kalau tidak ke sana?
Dan dia akan terus mencari, sampai ke ujung dunia sekali pun!
Tanpa
diketahuinya, Tek Hoat sedang menuju ke arah tempat di mana Su-ok dan anak
buahnya, yaitu para orang cebol itu, berkumpul dan menimbulkan kekacauan di
dusun. Pagi itu dia berjalan seenaknya memasuki daerah itu, tidak tahu bahwa
gerak-geriknya sudah diintai oleh banyak mata, karena dianggap sebagai hasil
pancingan orang-orang pendek yang mempergunakan Yan Hui sebagai umpan!
Seperti
telah diceritakan di bagian depan, Ouw Yan Hui yang lihai itu dikeroyok oleh
anak buah Su-ok dan akhirnya tertawan, dibelenggu di belakang kuil sebagai
umpan karena Su-ok merasa yakin bahwa wanita yang lihai itu pasti datang
bersama teman temannya. Dan pagi hari itu, muncul seorang pemuda yang dari jauh
saja sudah dikenal oleh Su-ok!
Seperti
diketahui, Tek Hoat pernah membantu para pendekar saat terjadi pertandingan di
dalam benteng para pemberontak, dan Su-ok mengenal pemuda ini sebagai Si Jari
Maut! Tahulah dia bahwa pemuda ini memiliki kepandaian tinggi dan terhitung
musuh karena bukankah kemudian ternyata bahwa pemuda ini membantu pihak
pendekar yang ikut menyerbu benteng?
Maka
diam-diam Su-ok sudah mempersiapkan lima orang sute-nya yang lihai itu,
mengikuti gerak-gerik Tek Hoat. Dan tepat seperti yang dia duga, pemuda itu
menuju ke kuil, tentu saja untuk menolong wanita tawanan mereka itu! Padahal,
Tek Hoat sendiri tidak pernah menduga bahwa di belakang kuil itu ada seorang
wanita tertawan, dan kalau dia menuju ke kuil itu adalah karena kakinya telah
merasa lelah dan dia hendak beristirahat di dalam kuil itu. Karena pikirannya
banyak termenung, kewaspadaannya banyak berkurang dan dia tidak tahu bahwa ada
beberapa orang mengintai gerak geriknya.
Maka
terkejutlah Tek Hoat ketika tiba-tiba saja dari balik pohon-pohon, semak-semak
dan batu-batu berlompatan keluar lima orang cebol yang dengan buasnya
serta-merta menerjang dan menyerangnya tanpa banyak cakap lagi!
“Eh, ehh,
ehhh, mau apa kalian ini?” bentaknya sambil mengelak ke kanan kiri.
“Ha-ha-ha,
Si Jari Maut, kenapa kelihatan gugup? Hayo kau coba pecahkan Khai-lo-sin
Ngo-heng-tin, ha-ha-ha!”
Mendengar
suara orang itu dari atas, Tek Hoat menengok dan segeralah dia mengenal Su-ok
Siauw-siang-cu, orang keempat dari Ngo-ok yang lihai. Terkejutlah dia dan
tahulah dia bahwa dia telah bertemu orang jahat, musuh yang tak mungkin dapat
diajak bicara lagi. Maka dia pun lalu mencurahkan perhatiannya untuk membela
diri. Kini dia melihat betapa lima orang cebol itu mulai mengurungnya,
melangkah lambat-lambat mengitarinya, wajah mereka yang lucu-lucu dan aneh-aneh
itu kelihatan menyeramkan, mata mereka terbelalak dan seperti mata binatang
haus darah. Agaknya gerakan mereka itu dipimpin oleh kakek cebol yang brewok,
karena empat yang lain selalu melirik ke arah si brewok ini. Maka Tek Hoat yang
berdiri tegak di tengah-tengah lingkaran itu juga memperhatikan cebol brewok
itu. Dan dugaannya itu memang tepat. Si brewok ini memang merupakan pimpinan
dari Khai-lo-sin Ngo-heng-tin, yaitu barisan lima orang yang amat lihai dan
yang kemarin telah merobohkan Ouw Yan Hui itu.
Tiba-tiba,
seperti merupakan aba-aba, si brewok itu mengeluarkan bentakan yang parau
seperti suara singa kelaparan dan tubuhnya yang pendek itu sudah bergerak.
Serangan si brewok cebol itu amat dahsyat, tubuhnya melayang ke atas dan kedua
tangannya mencengkeram ke arah mata dan leher Tek Hoat. Namun, dengan tenang
Tek Hoat sudah memutar tubuhnya mengelak dan tangannya sudah siap untuk
merobohkan lawan ini dengan pukulan dari bawah. Akan tetapi, pada saat itu,
dari empat penjuru, empat orang cebol lainnya telah menyerbu dengan gerakan
berbareng, dan terpaksa Tek Hoat harus menghadapi mereka semua itu dengan
mengandalkan kelincahan gerakannya untuk mengelak karena masing-masing lawan
yang bertubuh kecil pendek itu ternyata melakukan serangan yang cukup ampuh dan
berbahaya.
Tubuh Tek
Hoat masih belum sembuh betul dari kelemahan yang menyerangnya selama
berbulan-bulan, dan selama itu, dia tidak pernah berlatih silat sehingga otot
ototnya kaku. Akan tetapi, begitu menghadapi bahaya, secara otomatis semua
syaraf dan otot tubuhnya bekerja dan mulailah dia menggerakkan tubuhnya dengan
penuh tenaga sinkang dan kini dia mulai membalas dengan tamparan, pukulan mau
pun tendangan. Dan setiap tamparannya yang ditangkis lawan tentu membuat lawan
itu terdorong, bahkan angin pukulannya yang kuat membuat beberapa orang cebol
mengeluarkan teriakan kaget. Tak mereka sangka bahwa lawan ini ternyata lebih
lihai dari pada wanita cantik itu!
Tek Hoat
sama sekali tidak memandang rendah lawan, sungguh pun lima orang cebol yang
mengeroyoknya itu seolah-olah hanya merupakan lima orang anak kecil yang nakal.
Dengan hadirnya Su-ok di situ, dia dapat menduga bahwa tentu lima orang cebol
ini pun berkepandaian tinggi.
Maka dia pun
cepat mengerahkan tenaga dan menggunakan seluruh kepandaian untuk menghadapi
lima orang pengeroyoknya ini. Melihat betapa lima orang itu setiap kali
menyerang tentu mengarah kepada nyawanya, Tek Hoat menjadi marah dan dia pun
mengerahkan ilmunya yang ampuh, yaitu Toat-beng-ci (Jari Pencabut Nyawa), ilmu
pukulan dengan jari yang membuat dia dikenal sebagai Si Jari Maut. Jari-jari
tangan ini bukan hanya menotok jalan darah, akan tetapi sekali mengenai lawan
akan langsung mencabut nyawa lawan. Jari-jari itu dapat memutus otot dan
tulang, merusak jalan darah, bahkan dapat menusuk kepala dengan mpuh….
Perkelahian
yang terjadi ini amat hebat. Gerakan Tek Hoat, tidak begitu cepat karena dia
yang cerdik, maklum bahwa tidak mungkin dia dapat mengandalkan kecepatan
melawan lima orang yang memiliki gerakan teratur dan kerja sama yang amat baik
seolah-olah dikemudikan oleh satu kepala saja itu. Dia bersilat dengan tenang,
lambat tapi gerakannya kuat sekali dan setiap bagian tubuhnya selalu terjaga
dan terlindung.
Lima orang
itu pun mengeluarkan semua kepandaian mereka. Gerakan mereka teratur dan saling
membantu, saling melindungi, dengan serangan-serangan yang bertubi dan
bergiliran secara teratur sekali, dan serangan mereka itu berubah-ubah dengan
tenaga yang berubah-ubah pula sesuai dengan sifat Ngo-heng.
Namun, Tek
Hoat yang bersikap tenang itu tidak menjadi gugup. Dia bersilat dengan ilmu
silat gabungan Pat-mo Sin-kun dan Pat-sian Sin-kun, dan dia selalu mengerahkan
tenaga Inti Bumi yang amat hebat sehingga setiap kali beradu lengan dengan
seorang lawan, tentu lawan itu terpelanting. Namun begitu terpelanting, empat
orang saudaranya telah melindunginya secara otomatis!
Seratus
jurus telah lewat dan barisan Ngo-heng-tin itu belum mampu merobohkan Tek Hoat.
Kalau tadinya Tek Hoat masih bersilat dengan lambat berhubungan dengan
kekuatannya yang belum pulih, sekarang nampak dia mulai bersemangat, gerakan
gerakannya lebih dahsyat. Hal ini adalah karena semangat bertanding Tek Hoat
mulai ‘hidup’ lagi. Mengingat bahwa Su-ok merupakan seorang di antara mereka
yang berusaha menawan Syanti Dewi dan mengganti kekasihnya itu dengan wanita
palsu, semangatnya bangkit dan kemarahannya meluap.
“Bagus,
kalian semua sudah bosan hidup agaknya!” dia membentak dan kini dari kedua
tangan dengan jari-jari terbuka itu keluar hawa yang mengeluarkan suara
bercuitan mengerikan!
Begitu dia
memutar tubuh dan kedua lengannya dikembangkan, lima orang lawan itu terkejut,
ada yang meloncat mundur, akan tetapi dua di antara mereka memberanikan hati
menangkis.
“Dukkk!
Dukkkkk!”
Dua orang
itu terpelanting dan mereka berloncatan bangun dengan muka pucat. Lengan mereka
terluka, kulitnya robek berdarah! Memang luka-luka itu tidak berat, akan tetapi
setidaknya membuat mereka terkejut dan jeri sekali terhadap pemuda yang amat
lihai ini. Melihat itu, Su-ok marah bukan main.
“Sute semua
jangan takut, biar aku membantu kalian merobohkan bocah sombong ini!”
Tubuh yang
pendek kecil itu menyambar turun langsung saja menerkam Tek Hoat dengan
dahsyatnya. Namun Tek Hoat sudah siap siaga, dengan cepat dia meloncat mundur,
kemudian mengirim tendangan yang juga dapat dielakkan oleh Su-ok. Lima orang
cebol menjadi besar hati dan timbul kembali keberanian mereka ketika mereka
melihat suheng mereka ikut maju mengeroyok, dan sekarang mereka menyerang dan
menghujani Tek Hoat dengan pukulan-pukulan yang dibantu pula oleh berbagai
macam senjata!
Tek Hoat
mengamuk terus. Tetapi kini dia menghadapi lawan yang amat berat. Su-ok
Siauw-siang-cu adalah seorang datuk kaum sesat yang sudah memiliki ilmu
kepandaian yang amat tinggi, sukar dicari bandingannya. Melawan kakek cebol ini
sendirian saja masih amat sukar bagi Tek Hoat untuk menang, apa lagi kini Su-ok
dibantu oleh lima orang sute-nya, dan dia sendiri baru saja sembuh dari sakit
sehingga betapa pun juga, dia belum dapat menguasai kembali seluruh kelincahan
dan tenaganya. Betapa pun juga, Tek Hoat tidak merasa gentar dan dia terus
mengamuk, biar pun kini dia harus lebih banyak berloncatan dan mengerahkan dan
untuk menangkis. Dia tidak mempunyai banyak kesempatan lagi untuk membalas
serangan.
Tiba-tiba
Su-ok meloncat ke depan, tubuhnya berjongkok rendah, kedua tangannya
digerak-gerakkan secara aneh dan lima orang sute-nya meloncat ke kanan kiri
menjauh! Tiba-tiba Su-ok mendorongkan kedua tangannya ke arah Tek Hoat dan
terdengar dari perutnya keluar bunyi berkokok beberapa kali. Angin dahsyat
menyambar dibarengi bau yang amis ke arah Tek Hoat.
Pemuda ini
terkejut bukan main, dapat mengenal ilmu pukulan yang dahsyat dan amat
berbahaya, maka dia sudah meloncat jauh ke kanan di mana dia disambut dan
dikurung oleh lima orang kakek cebol lainnya. Su-ok mengeluarkan pukulan Katak
Buduk ini sebagai selingan dan selalu Tek Hoat meloncat jauh, tidak berani
menghadapi pukulan ini dengan langsung, tidak berani menangkis, karena dari
sambaran anginnya saja dia tahu bahwa pukulan itu mengandung hawa beracun yang
amat berbahaya.
Dia sendiri
pun sudah memiliki tenaga ampuh, dan pukulan-pukulan beracun setelah dia
mempelajari kitab-kitab peninggalan para tokoh Pulau Neraka, yaitu Cui-beng
Koai-ong dan Bu-tek Siauw-jin. Akan tetapi karena dia kalah tingkat dan kalah
latihan, maka dia tahu bahwa menghadapi pukulan itu secara langsung amatlah
berbahaya. Maka, dia lalu mengamuk dan makin mendesak lima orang sute dari
Su-ok itu saja, dan begitu Su-ok datang menyerangnya, dia meloncat menjauhkan
diri.
Sementara
itu, setelah melihat bahwa penjaganya, Su-ok yang mengerikan itu, telah pergi
dan agaknya ada suara perkelahian di sebelah depan kuil, Ouw Yan Hui berusaha
untuk melepaskan belenggu kedua tangannya, akan tetapi usahanya itu tidak
berhasil. Belenggu dari rantai besi yang kokoh itu terlampau kuat baginya sehingga
dia tidak berhasil mematahkannya, bahkan kedua pergelangan tangannya
lecet-lecet dan terasa nyeri sekali.
Hatinya
mulai khawatir. Dia tidak tahu siapa yang datang dan bertanding dengan para
orang cebol itu. Melihat betapa sampai lama orang itu dapat mempertahankan
diri, jelas bahwa yang datang adalah orang yang pandai. Betapa inginnya untuk
dapat bebas dan membantu orang itu, siapa pun juga orangnya, untuk menghajar
orang-orang cebol yang kurang ajar itu.
“Hui-ci...,
sssttttt...!”
Yan Hui
terkejut, menoleh dan wajahnya berseri melihat munculnya orang yang sama sekali
tidak disangka-sangkanya akan muncul di tempat itu. Kiranya yang muncul adalah
Syanti Dewi!
“Syanti!
Cepat... belengguku ini...,” bisiknya kembali.
Syanti Dewi
meloncat ke belakang pilar, menggunakan pedangnya untuk mematahkan belenggu
yang mengikat kedua tangan Ouw Yan Hui. Dan setelah bebas, Ouw Yan Hui lalu
menggosok-gosok kedua pergelangan tangannya, memandang kepada Syanti Dewi
dengan muka merah.
“Syanti...
ahhh, ternyata engkau malah yang menolongku! Mari kita bantu orang itu!” Tanpa
menanti jawaban lagi, tubuh Yan Hui mencelat keluar kuil, diikuti oleh Syanti
Dewi.
Seperti
telah kita ketahui, dalam perjalanannya, Syanti Dewi melihat penduduk dusun
diganggu sekumpulan orang cebol yang sakti menurut penuturan para prajurit
Bhutan yang mengenalnya. Dia menyuruh para prajurit meminta bantuan ke Kota
Raja Bhutan, sedangkan dia sendiri kemudian melakukan penyelidikan pada pagi
hari itu. Dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika dia tiba di kuil itu dari
belakang, dia melihat Ouw Yan Hui terbelenggu pada pilar besar, sedangkan di
bagian depan kuil itu terjadi perkelahian yang belum dia ketahui siapa
orangnya. Tanpa ragu-ragu lagi dia lantas menolong gurunya, kemudian mengikuti
Ouw Yan Hui pada saat gurunya itu meloncat keluar kuil untuk membantu orang
menghadapi para orang cebol yang sakti.
Ketika dua
orang wanita cantik ini tiba di depan kuil, pertempuran antara Tek Hoat yang
dikeroyok enam masih berlangsung seru, biar pun kini Tek Hoat hanya mengelak
dan menangkis saja, sama sekali tak mampu lagi membalas serangan. Pemuda itu
sungguh hebat, masih dapat mempertahankan diri dan belum dapat dirobohkan.
“Manusia-manusia
cebol terkutuk!” mendadak Ouw Yan Hui membentak nyaring dan tubuhnya melesat ke
depan, terjun ke dalam medan pertempuran.
Semua orang
cebol merasa kaget, terutama sekali si brewok yang langsung menerima serangan
Ouw Yan Hui. Datangnya serangan demikian tiba-tiba dan pada saat itu, tubuhnya
masih terhuyung oleh tangkisan Tek Hoat. Maka tanpa dapat dicegah lagi,
tendangan Ouw Yan tepat mengenai lambungnya. Si brewok berteriak dan tubuhnya
terlempar, perutnya mendadak menjadi mulas dan dia mengaduh-aduh.
Su-ok adalah
seorang yang cerdik, juga licik. Dia tahu bahwa Tek Hoat Si Jari Maut amat
berbahaya, bahkan setelah dibantu oleh lima orang sute-nya, sampai ratusan
jurus dia dan para sute-nya belum mampu mengalahkan pemuda ini. Dan sekarang
muncul wanita yang memiliki ginkang amat luar biasa itu. Munculnya wanita yang
terbelenggu itu membuktikan bahwa tentu ada orang sakti lain yang
membebaskannya, maka tentu akan muncul orang-orang sakti lain. Keadaan menjadi
berbahaya dan tidak menguntungkan bagi pihaknya, maka dia lalu mengeluarkan
teriakan sebagai isyarat dan cepat dia meloncat jauh dan melarikan diri,
diikuti oleh para sute-nya, si brewok paling belakang karena dia harus berlari
sambil memegangi perutnya yang masih mulas!
Ang Tek Hoat
berdiri dengan kepala pening dan terasa berdenyut-denyut. Dia baru saja sembuh,
tetapi tadi dia telah terlalu banyak mengerahkan tenaga sehingga kepalanya kini
menjadi pening, dan dia tidak mengejar mereka yang melarikan diri. Dia tahu
bahwa dia telah dibantu orang pandai, maka biar pun pandang matanya menjadi agak
kabur karena kepeningan kepalanya, dia tetap menengok dan memandang orang yang
telah membantunya sehingga musuh melarikan diri. Dia melihat seorang wanita
cantik jelita dan seorang wanita lain agak jauh di belakangnya.
“Dewi...!
Ahhh, Syanti Dewi...!” Dia berseru dan seperti orang mabuk dia terhuyung ke
depan, menghampiri Syanti Dewi yang sejak tadi berdiri bengong ketika mendapat
kenyataan bahwa orang yang bertanding dikeroyok banyak orang cebol dan dibantu
oleh gurunya itu bukan lain adalah Ang Tek Hoat!
“Ahhh,
engkau...!” Dia terisak lalu sekali meloncat dia telah melarikan diri.
“Syanti...!
Syanti Dewi...! Jangan tinggalkan aku...!” Tek Hoat meloncat dan mengejar akan
tetapi kepalanya terasa makin pening dan dia tersandung, jatuh terguling.
“Syanti,
tunggu dulu!” Ouw Yan Hui yang menyaksikan semua itu menjadi bingung, akan
tetapi dia lalu mengejar Syanti Dewi.
Syanti Dewi
tidak mau berhenti sehingga Ouw Yan Hui terpaksa terus mengejar sambil
mengerahkan tenaganya karena muridnya itu telah memiliki ilmu berlari cepat
yang hebat dan tidak jauh selisihnya dengan ilmunya sendiri. Suara panggilan
dari mulut Tek Hoat sudah tidak terdengar lagi ketika akhirnya dia berhasil
menyusul Syanti Dewi.
“Syanti,
tunggulah aku ingin bicara denganmu!” kata Ouw Yan Hui.
Syanti Dewi
akhirnya berhenti dan mengusap beberapa butir air matanya. Sejenak Ouw Yan Hui
berdiri tertegun di depan muridnya itu. Dia adalah seorang wanita yang sudah
banyak pengalaman, dan dia pernah mendengar penuturan Puteri Bhutan ini tentang
riwayatnya.
“Syanti,
apakah dia itu tadi yang bernama Ang Tek Hoat itu?”
Syanti Dewi
masih menunduk, dan dia hanya mengangguk.
“Aih,
Syanti, bagaimana engkau ini? Bukankah engkau dulu mencari-carinya? Bukankah
engkau menderita karena perpisahanmu dengan dia? Dan sekarang, setelah bertemu,
mengapa engkau malah menjauhkan dirimu darinya?”
Diam-diam
Ouw Yan Hui harus mengakui bahwa pria yang dicinta oleh muridnya itu adalah
seorang pemuda yang tampan dan memiliki kepandaian tinggi, seorang yang patut
menjadi jodoh puteri yang cantik jelita ini.
Akan tetapi
Syanti Dewi hanya menangis. Syanti Dewi teringat akan nasibnya yang dianggapnya
amat buruk. Harapannya yang mulai timbul kembali hancur berantakan.
Kehidupannya yang penuh damai di Pulau Ular di sisi gurunya ini dihancurkan
oleh kenyataan keji, oleh kebiasaan gurunya yang menjijikkan sehingga
membuatnya lari ketakutan. Kemudian, pertemuannya dengan Tek Hoat yang
menghidupkan kembali harapan dan cinta kasihnya, dihancurkan oleh kenyataan
ketika Tek Hoat memakinya. Kini dia tidak tahu lagi ke mana harus pergi, dan
apa yang harus diperbuat!
Melihat ini,
Ouw Yan Hui merasa kasihan kepada Syanti Dewi dan dengan lembut tangannya
menyentuh pundak Syanti Dewi. Akan tetapi, begitu pundak itu tersentuh, puteri
itu tersentak kaget dan meloncat ke belakang, mengelak dan memandang kepada
gurunya dengan mata terbelalak, mata yang amat indah, akan tetapi kini terbuka
lebar seperti mata seekor kelinci yang ketakutan.
“Tidak...!
Tidak... jangan sentuh aku...!”
Melihat
sikap muridnya ini, Ouw Yan Hui memandang dengan muka pucat, kemudian dia
menjatuhkan diri di atas rumput, menutupi mukanya dan menarik napas panjang
berkali-kali. “Ahhh, sekarang aku mengerti mengapa engkau melarikan diri dari
pulau... maafkan aku, Syanti, bukan maksudku untuk membuat engkau terkejut dan
ketakutan. Maafkan aku... wanita yang kesepian dan sengsara ini...“ Dan Ouw Yan
Hui, wanita yang angkuh dan bersikap dingin itu kini menangis tersedu-sedu!
Syanti Dewi
tertegun. Sejenak dia berdiri seperti patung memandang kepada gurunya, kemudian
timbul rasa iba di hatinya. Betapa pun juga, dia telah berhutang banyak budi
kepada gurunya ini, dan harus diakuinya bahwa gurunya ini merupakan sahabat
yang amat baik, yang telah banyak melakukan kebaikan kepadanya, banyak
menghiburnya, banyak pula mendidiknya, bahkan telah menyelamatkan nyawanya
ketika Ouw Yan Hui membawanya lari dari dalam benteng yang terbakar. Akhirnya
dia menjatuhkan diri berlutut di samping gurunya dan memegang lengan gurunya.
“Enci... akulah yang harus minta maaf, telah pergi tanpa pamit.”
Ouw Yan Hui
menurunkan kedua tangannya dan memandang melalui air matanya yang memenuhi
kelopak matanya, dan dia mencoba untuk tersenyum, senyum pahit sekali. “Tidak,
Syanti, engkau tidak bersalah. Tentu engkau jijik dan ngeri menyaksikan apa
yang waktu itu kulakukan itu bersama bibi Maya Dewi...“ Dia menarik napas
panjang dan mengusap air matanya.
“Tapi...
kenapa engkau lakukan perbuatan seperti itu, Enci Hui?”
“Ahhh,
engkau tentu tidak mengerti, Syanti. Aku adalah wanita yang telah mengalami
kehancuran hati karena pria, maka, anehkah kalau aku mencari hiburan antara
sesama wanita? Memang aku lemah... ahhh, akan tetapi... sungguh mati aku tak
ingin menyeretmu ke dalam kebiasaan buruk itu. Aku sayang kepadamu, Syanti,
seperti kepada adik sendiri. Aku merasa terkejut dan berduka sekali saat engkau
pergi, aku mencari-carimu untuk minta maaf. Dan siapa yang duga, engkau malah
yang tadi telah menyelamatkan aku...”
“Itu semua
tidak ada artinya, Enci. Engkau pun pernah menyelamatkan aku, bahkan telah
melimpahkan banyak sekali kebaikan.”
“Syanti,
kalau engkau memang mencinta pemuda itu, yang kulihat amat baik dan gagah
perkasa, mengapa engkau lari meninggalkannya? Kulihat dia masih amat
mencintamu, bahkan agaknya menderita karenamu...”
“Tidak! Dia
keji, dia menyakitkan hati, biar dia menderita sekarang!” Tiba-tiba Syanti Dewi
mengepal tinju dan wajahnya membayangkan kemarahan, biar pun kembali air
matanya mengalir keluar. Kemudian dia pun menceritakan semua yang telah
dialaminya dengan Tek Hoat, betapa dia dituduh yang bukan-bukan oleh Tek Hoat
setelah segala pengorbanan yang dilakukannya demi cintanya kepada pemuda itu.
Ouw Yan Hui
mendengar dengan penuh perhatian dan akhirnya dia pun mengangguk angguk. “Ahh,
pantas engkau merasa sakit hati. Memang sesungguhnya prialah mahluk berhati
lemah, bukan wanita! Prialah yang suka menyeleweng, yang tidak mempunyai
keteguhan hati, tidak mempunyai kesetiaan, mudah tergoda oleh kesenangan!
Memang sepatutnya kalau engkau memberi pelajaran kepadanya, Syanti. Mari engkau
ikut saja bersamaku ke pulau, bersembunyi di sana dan kita hidup bahagia di
sana, jauh dari godaan kaum pria yang mata keranjang dan berhati palsu.”
“Terima
kasih, Enci. Memang aku senang sekali tinggal di sana, hanya...“
“Harap kau
jangan ulangi lagi hal itu. Kasihanilah aku, Syanti. Aku merasa malu dan
menyesal sekali telah membuatmu ketakutan. Aku berjanji bahwa engkau tidak akan
melihat lagi hal seperti itu terjadi di pulau...“
“Akan
tetapi... bibi Maya...“
“Jangan
khawatir, dia telah pergi dan tidak akan pernah datang lagi ke pulau.”
Syanti Dewi
merasa girang dan hatinya terasa lapang. “Aku girang sekali, Enci, akan tetapi
aku hanya... mengganggu kesenanganmu saja...“
“Tidak,
kesenangan terkutuk itu memang harus dihentikan. Andai aku menghendaki, aku
masih dapat melakukannya di luar pulau, di luar pengetahuanmu. Sudahlah, Syanti
Dewi, mari kita pergi menikmati hidup berdua di sana.”
“Terima
kasih, Enci. Aku pun berjanji tidak akan meninggalkan pulau lagi sampai… sampai
datang... dia yang minta-minta ampun kepadaku.”
“Aku mengerti,
dan aku akan membantumu, adikku yang manis.”
Maka
pergilah kedua orang wanita itu dengan perjalanan cepat sekali, pulang menuju
ke Kim-coa-to (Pulau Ular Emas) dan dikarenakan memang ada rasa sayang di
antara keduanya, sebentar saja mereka telah akur dan menjadi akrab kembali. Di
sepanjang perjalanan, semua orang, terutama yang pria, tentu memandang mereka
dengan sinar mata penuh kagum karena mereka merupakan dua wanita yang luar
biasa cantiknya, dengan pakaian yang mewah pula dan Ouw Yan Hui amat royal
mengeluarkan uang di sepanjang perjalanan. Seperti dua orang puteri istana saja
yang sedang melakukan tamasya tanpa pengawalan…..
***************
Sejauh mata
memandang yang nampak hanya pasir dan pasir. Itulah permulaan gurun pasir di
luar Tembok Besar. Jarang ada manusia lewat di tempat yang sunyi dan liar ini,
kecuali pada waktu-waktu tertentu, di musim tenang karena hanya kalau tidak
banyak angin bertiup dan panas matahari tidak begitu menyengat saja maka tempat
ini sering dilalui rombongan pedagang yang membawa barang-barang dagangan ke
utara, dan pulangnya membawa kulit-kulit binatang yang berharga dan hasil-hasil
lain untuk dibawa pulang ke selatan.
Hanya
keledai-keledai saja yang kuat menyeberangkan manusia melalui padang pasir,
kecuali tentu saja binatang onta. Di musim yang banyak mengandung angin besar,
bahkan kadang-kadang angin puyuh, tidak ada orang berani lewat di daerah ini.
Padang pasir itu berubah menjadi lautan pasir, bergelombang, membuat orang tak
mampu membuka mata, dan kalau angin besar menyerang, terjadilah ‘banjir’ pasir
yang kadang kadang menimbun apa saja sampai puluhan kaki tingginya!
Akan tetapi
di dataran Chang-pai-san, pasirnya tidak begitu tebal, bahkan di sana-sini.
nampak batu-batu menonjol keluar dan ada pula tanah yang berpadas. Daerah ini
pun sunyi sekali, akan tetapi pada pagi hari itu nampak dua orang berjalan
menyeberangi padang pasir menuju ke Bukit Chang-pai-san yang nampak menjulang
tinggi di depan. Melihat ada dua orang berada di tempat sunyi ini saja sudah
merupakan suatu kejanggalan, apa lagi kalau melihat mereka, karena mereka itu
sama sekali bukan orang-orang yang pantas melakukan perjalanan jauh sampai ke
daerah tandus dan sunyi liar ini.
Yang seorang
adalah seorang kakek yang sudah tua sekali, sukar ditaksir berapa usianya,
tubuhnya bongkok sekali biar pun agak gemuk, jalannya lambat-lambat malas
malasan dan kepalanya botak sampai licin mengkilap. Sudah tua renta,
punggungnya bongkok pula, masih ditambah lengan kirinya buntung! Sungguh
merupakan gambaran seorang tua yang patut dikasihani, yang kelihatan cacat dan
lemah, maka amatlah mengherankan melihat seorang tua renta cacat ini melakukan
perjalanan di tempat seliar itu. Dan temannya? Juga tidak patut menemani
seorang tua renta lemah seperti itu karena orang kedua ini adalah seorang dara
yang masih amat muda, cantik jelita dan pakaiannya yang serba hitam itu membuat
kulit leher dan tangannya yang nampak menjadi semakin halus dan putih.
Memang
merupakan pasangan yang aneh dan juga janggal karena mereka berdua adalah
orang-orang lemah nampaknya. Akan tetapi kalau orang mengenal siapa adanya
mereka, tentu orang tidak akan merasa heran lagi. Kakek tua renta yang lengan
kirinya buntung dan punggungnya bongkok itu bukan lain adalah Go-bi Bu Beng
Lojin atau Si Dewa Bongkok, penghuni atau majikan dari Istana Gurun Pasir!
Seorang datuk besar dalam dunia persilatan dan namanya dihubungkan dengan
dongeng-dongeng aneh karena kakek ini lebih dikenal dalam dongeng dari pada
dalam kenyataan yang jarang dijumpai manusia.
Sedangkan
dara remaja itu adalah seorang tokoh kang-ouw yang sudah amat terkenal, baik
oleh golongan pendekar mau pun golongan hitam. Dia adalah Kim Hwee Li, yang
pernah dikenal sebagai puteri Hek-tiauw Lo-mo majikan Pulau Neraka! Nama dara
ini bahkan tidak kalah tenarnya dibandingkan nama Hek-tiauw Lo-mo sendiri.
Seperti
telah diceritakan di bagian depan, dengan gagah berani Hwee Li telah menolong
Dewa Bongkok dari bahaya maut ketika kakek yang telah menderita luka parah itu
nyaris dibunuh oleh Mauw Siauw Mo-li. Hwee Li sama sekali tidak pernah
menyangka bahwa kakek yang ditolongnya dan yang kemudian menurunkan ilmu-ilmunya
yang aneh kepadanya itu sebenarnya adalah kakek gurunya sendiri. Kakek ini
adalah guru dari Kao Kok Cu, suami dari subo-nya! Memang selamanya, biar pun
pernah datang ke Istana Gurun Pasir, Hwee Li belum pernah bertemu dengan kakek
sakti ini.
Setelah
menolong kakek itu, Hwee Li lalu diajak ke dataran Chang-pai-san oleh Dewa
Bongkok yang ingin menyaksikan pertemuan antara Pendekar Super Sakti dan kelima
Ngo-ok yang lihai, juga kakek ini ingin bicara dengan Pendekar Super Sakti
tentang putera pendekar itu yang telah menyusahkan hati Hwee Li! Di sepanjang
perjalanan itu, Hwee Li menerima ilmu-ilmu yang amat hebat, ilmu baru ciptaan
kakek itu yang diberi nama Cui-beng Pat-ciang oleh kakek itu. Sebutan Cui-beng
Pat-ciang (Delapan Pukulan Pengejar Arwah) ini dipergunakan oleh Dewa Bongkok
bukan untuk memberi kesan menyeramkan seperti yang biasa dilakukan oleh
tokoh-tokoh dunia hitam, melainkan untuk memperingatkan muridnya bahwa delapan
jurus pukulan sakti itu sungguh amat ampuh dan sekali dipergunakan, amat
berbahaya bagi lawan yang bagaimana lihai pun sehingga agar muridnya yang baru
ini tidak sembarangan mempergunakannya untuk memukul orang, melainkan lebih
condong mempergunakan untuk menjaga diri.
Selain
menurunkan Pat-ciang ini, juga Bu Beng Lojin menyempurnakan ilmu-ilmu silat
yang telah dikuasai dara itu dengan menyuruh Hwee Li berlatih silat dan memberi
petunjuk-petunjuk dan perbaikan-perbaikan sehingga dalam ilmu-ilmu ini Hwee Li
memperoleh kemajuan amat hebat, menutupi kelemahan-kelemahan dan menambah
daya-daya serangan dalam setiap jurus. Dasar anak ini berotak tajam dan Si Dewa
Bongkok memberi petunjuk secara langsung, maka dalam waktu beberapa bulan saja
dalam perjalanan, Hwee Li telah menguasai semua petunjuk, bahkan telah
menguasai pula Cui-beng Pat-ciang dengan baik, tinggal mematangkan saja dalam
latihan.
Selain itu,
yang amat mengharukan hati Hwee Li dan membuat dara ini menjadi amat menyayang
kakek itu ialah, ketika pada suatu malam kakek tua renta ini memindahkan tenaga
sinkang dari tubuhnya ke dalam tubuh Hwee Li! Hal ini tentu saja hanya dapat
dilakukan oleh orang-orang yang sudah memiliki kesaktian setingkat dengan kakek
bongkok ini. Dewa Bongkok telah mempergunakan ilmu yang disebut
Hoan-khi-khai-hiat (Memindahkan Hawa Sakti Membuka Jalan Darah). Tentu saja
perbuatan ini sungguh merugikan dirinya sendiri, mengurangi banyak sekali
tenaga saktinya, akan tetapi di lain pihak amat menguntungkan Hwee Li karena
dara ini mendapat tambahan tenaga sakti yang berlipat ganda.
Pada pagi
hari itu tibalah mereka di tempat yang dituju, yaitu di dataran Chang-pai-san.
Dari jauh mereka sudah melihat seorang pria yang bertubuh kurus jangkung,
rambutnya putih semua seperti perak, berkibar-kibar tertiup angin, kaki kirinya
buntung sebatas paha, berdiri dengan satu kaki ditunjang tongkat bututnya, tak
bergerak seperti patung. Biar pun kakek itu hanya berkaki satu dan menimbulkan
belas kasihan, namun dalam keadaan berdiri tegak seperti patung itu, terdapat
sesuatu yang membuat orang merasa jeri dan kagum.
Saat melihat
orang itu dari jauh, Hwee Li merasa bulu tengkuknya meremang dan dia bertanya
kepada Dewa Bongkok dalam bisikan, “Lo-cianpwe...” dia tidak menyebut suhu atau
kakek kepada Dewa Bongkok meski dia telah menerima ilmu-ilmu itu, melainkan
menyebutnya locianpwe, “Siapakah orang di sana itu...?”
Biar
mulutnya bertanya, namun batinnya menduga hahwa orang itu, pastilah Pendekar
Super Sakti, Majikan Pulau Es, ayah dari Kian Lee! Ketika masih kecil, nama
Pendekar Super Sakti dari Pulau Es merupakan nama dongeng yang menakutkan
baginya, seperti juga bagi semua penghuni Pulau Neraka, bahkan ayahnya sendiri,
atau ayah angkat, Hek-tiauw Lo-mo, merasa takut sekali mendengar nama itu. Dan
sekarang, orang itu di sana, begitu menyeramkan, tentu saja hatinya menjadi
gentar sekali.
Go-bi Bu
Beng Lojin adalah seorang tua renta yang sudah banyak makan asam garam
kehidupan, maka melihat sikap Hwee Li yang jeri itu dia pun sudah dapat
menduganya. Tentu anak ini merasa gelisah bertemu dengan ayah dari kekasihnya,
dan tentu anak ini sudah dapat menduga siapa adanya orang itu karena memang
amat mudah mengenal Pendekar Super Sakti, melihat kaki buntung dan rambut putih
seperti benang-benang perak itu. Dia sendiri memandang kagum ketika dia
melangkah mendekati dan diikuti oleh Hwee Li yang agak ketinggalan oleh karena
gadis ini merasa betapa jantungnya berdebar tegang dan kedua kakinya gemetar!
Bahkan dia lalu berhenti, membiarkan kakek bongkok itu seorang diri menghampiri
kakek berkaki tunggal.
Dari jauh
Hwee Li melihat betapa kakek berambut putih itu memutar tubuhnya yang hanya
berkaki satu, menghadapi kakek bongkok dan keduanya lalu saling memberi hormat
dengan mengangkat kedua tangan depan dada, entah apa yang mereka ucapkan karena
Hwee Li berada terlalu jauh untuk dapat mendengar kata-kata mereka. Akan
tetapi, melihat betapa sikap kedua orang itu amat bersahabat, kelihatan saling
beramah-tamah dan saling menghormat, timbul keberanian di dalam hatinya dan dia
pun mendekati sampai dapat mendengar percakapan mereka, dia berhenti lagi,
merasa sungkan untuk makin mendekat dan dia mendengar kakek bongkok berkata
dengan suara halus.
“Pertama-tama,
aku telah mendengar bahwa Ngo-ok menantangmu untuk mengadakan pertemuan di
sini, Taihiap. Dan aku merasa khawatir karena orang-orang sesat seperti mereka
itu dapat melakukan segala macam kecurangan, oleh karena itu aku datang untuk
menjadi saksi.”
Pendekar
Super Sakti menjura dengan hormat, “Banyak terima kasih atas perhatian
Locianpwe, akan tetapi sungguh tidak enak jika sampai menyeret Locianpwe ke
dalam urusan pribadi ini, padahal Locianpwe berada dalam keadaan terluka begitu
parah. Biarkanlah saya mengobati Locianpwe...“
“Terima
kasih, Taihiap, tidak perlu lagi, sudah terlambat. Memang aku tidak akan dapat
membantumu menghadapi mereka, namun setidaknya, dengan memandang mukaku, mereka
tidak akan berani sembarangan melakukan kecurangan. Dan urusan kedua lebih
penting lagi, Taihiap. Aku sengaja menemuimu untuk membicarakan keadaan
puteramu yang bernama Suma Kian Lee.”
Pendekar
Super Sakti Suma Han nampak terkejut mendengar disebutnya nama Kian Lee. “Ahh,
ada apakah dengan dia, Locianpwe?”
Kakek itu
menarik napas panjang. “Sebetulnya tidak ada sangkut-pautnya dengan aku, juga
tidak semestinya kalau aku mencampuri, akan tetapi mengingat pemuda itu adalah
puteramu, putera seorang pendekar yang sudah lama amat kukagumi, perlu kiranya
aku membicarakannya denganmu, Taihiap. Suma Kian Lee puteramu itu saling
mencinta dengan seorang gadis, akan tetapi akhirnya meninggalkan gadis ini
setelah mendengar bahwa gadis itu adalah puteri angkat Hek-tiauw Lo-mo dan
ternyata anak tunggal dari mendiang Kim Bouw Sin yang telah memberontak...“
“Ah, sungguh
terlalu dia, mau saja terpikat oleh seorang perempuan rendah! Ada berita yang
sampai kepada saya tentang hal itu, Locianpwe, dan saya pun memang hendak
mencari dan menegurnya. Bagaimana pun juga, saya tidak akan membiarkan dia
merendahkan diri sedemikian rupa berdekatan dengan anak seorang penjahat keji
seperti Hek-tiauw Lo-mo, apa lagi kalau perempuan itu ternyata anak kandung
seorang pemberontak seperti Kim Bouw Sin! Tindakannya itu benar kalau dia
meninggalkan perempuan itu.” Pendekar Super Sakti bicara penuh perasaan marah
dan penasaran.
Dan hal ini
tidak aneh karena memang semenjak dia mendengar dari Ngo-ok tentang puteranya
yang tergila-gila kepada puteri Hek-tiauw Lo-mo, hatinya sudah penuh dengan
kemarahan terhadap puteranya. Maka, begitu mendengar kakek itu menyebut tentang
puteranya yang berhubungan cinta dengan gadis itu, kemarahannya berkobar
sehingga dia agak lupa diri dan mengeluarkan kata-kata keras.
Si Dewa
Bongkok sendiri yang tidak kebagian waktu bicara dan sudah didahului oleh
kemarahan Pendekar Super Sakti sampai melongo dan hanya memandang wajah
pendekar itu dengan alis berkerut. Sementara itu, ketika mendengar ucapan
Pendekar Super Sakti, Hwee Li mendadak menjadi pucat mukanya, dia merasa seolah-olah
jantungnya ditusuk pisau berkarat. Dia mengeluh dan membalikkan tubuhnya
kemudian melarikan diri sambil merintih panjang.
Tentu saja
hal ini tidak terlepas dari penglihatan Suma Han dan juga Dewa Bongkok.
Keduanya memandang dan selagi Dewa Bongkok hendak memanggil gadis itu,
tiba-tiba terdengar suara orang tertawa mengejek, “Seorang pendekar besar tapi
tidak mampu mengurus puteranya sendiri, sungguh amat menggelikan!”
Suma Han dan
Dewa Bongkok menoleh dan melihat munculnya empat orang di antara Ngo-ok. Yang
pertama adalah Ji-ok (Si Jahat Nomor Dua) Kui-bin Nionio, wanita yang mukanya
selalu tertutup oleh topeng tengkorak tulen yang mengerikan itu, tubuhnya kecil
ramping seperti tubuh seorang gadis muda, dari balik mata tengkorak yang
berlubang itu mengintai sepasang mata yang amat menyeramkan, mata yang
terbelalak lebar, jernih seperti mata kanak-kanak tetapi tajam bukan main dan
selalu bergerak gerak bola matanya, sedangkan rambutnya sudah putih semua. Di
sebelah kanannya berjalan Twa-ok (Si Jahat Nomor Satu) Su Lo Ti, kakek tinggi
besar yang mukanya seperti gorilla itu, pakaiannya sederhana, gerak-geriknya
tenang dan halus.
Di belakang
dua orang ini berjalan Su-ok (Si Jahat Nomor Empat) Siauw-siang-cu yang
berkepala gundul seperti hwesio, juga jubahnya seperti jubah hwesio, tubuhnya
cebol dan wajahnya selalu menyeringai, bersama Ngo-ok (Si Jahat Nomor Lima)
Toat-beng Siansu, si jangkung kurus yang jubahnya seperti tosu, juga gelung
rambutnya. Hanya Sam-ok (Si Jahat Nomor Tiga) Ban Hwa Sengjin atau Koksu Nepal
saja yang tidak nampak. Akan tetapi Pendekar Super Sakti tidak memandang
rendah, karena dia dapat menduga bahwa belum tentu kalau hanya empat orang ini
saja yang datang, dan kemungkinan besar teman-teman mereka masih bersembunyi.
Maka dengan tenang dia lalu menyambut mereka dengan sikap angkuh.
“Im-kan
Ngo-ok datang tepat pada waktunya akan tetapi belum lengkap!”
Ucapan Suma
Han ini sekaligus memuji dan juga menantang, seolah-olah dia merasa kecewa
mengapa musuh-musuhnya tidak datang lengkap!
Twa-ok
tertawa halus mendengar ini dan dia pun menjura lalu berkata, suaranya ramah
tamah seperti orang yang manis budi bahasanya, “Ah, Pendekar Super Sakti memang
gagah perkasa, memenuhi undangan kami. Akan tetapi agaknya keberanian Majikan
Pulau Es yang disohorkan orang itu. terlalu berlebihan, karena sekarang dia
membawa bawa seorang teman yang tidak kepalang tanggung. Bukankah Locianpwe ini
Si Dewa Bongkok, majikan Istana Gurun Pasir?”
Kembali
Twa-ok menjura ke arah Dewa Bongkok sambil tersenyum mengejek. Memang orang
pertama dari Im-kan Ngo-ok ini pandai sekali berpura-pura, padahal sejak muncul
tadi, hatinya sudah gentar bukan main ketika melihat Dewa Bongkok berada di
situ bersama Pendekar Super Sakti. Biar pun dia belum pernah bertemu dengan
kakek sakti itu, akan tetapi dia dapat menduganya melihat keadaan kakek itu dan
mendengar Pendekar Super Sakti tadi menyebut Locianpwe kepadanya. Betapa pun
juga, sebagai seorang ahli yang pandai dia pun dapat melihat bahwa kakek sakti
yang amat ditakuti orang ini sedang berada dalam keadaan luka hebat sekali, hal
yang membuatnya diam diam merasa heran akan tetapi juga girang. Hilang
kekhawatirannya karena dia maklum bahwa kakek sakti ini tidak mungkin ikut maju
membantu Pendekar Super Sakti.
“Im-kan
Ngo-ok, jangan mengukur baju orang dengan bentuk tubuh sendiri!” Dewa Bongkok
berkata penuh wibawa. “Aku datang bukan atas ajakan atau undangan Suma taihiap,
melainkan secara suka rela karena aku ingin menonton pertemuan ini dan akan
menjadi saksi agar jangan ada perbuatan pengecut dan curang dilakukan di sini!”
“Hi-hi-hik,
Twako, perlu apa bicara dengan dia? Tidak peduli siapa dia itu, kulihat dia
tiada lain hanyalah seorang kakek tua renta yang sudah menderita luka hebat dan
hampir mampus, tapi sombongnya bukan main!” tiba-tiba Ji-ok Kui-bin Nionio
berkata sambil meludah melalui lubang di antara gigi-gigi tengkorak yang
mengerikan itu.
Ji-ok
bukanlah seorang perempuan muda yang lancang dan sombong, sama sekali bukan.
Dia adalah seorang wanita yang cerdik sekali, dan kalau dia tidak melihat
betapa kakek tua renta itu memang sudah terluka parah, tentu saja dia akan
bersikap lain dan sama sekali tidak berani main-main seperti itu.
Mendengar
ucapan wanita bermuka tengkorak itu, Dewa Bongkok hanya menarik napas panjang
karena memang apa yang dikatakan wanita itu bahwa dia terluka parah merupakan
kenyataan. Tentu saja kalau dia mau, sekali dia menggerakkan tubuh dan
menyerang dengan ilmunya yang hebat, wanita muka tengkorak itu akan dapat
ditewaskannya seketika, akan tetapi pengerahan tenaga itu pun akan mencabut nyawa
sendiri. Hal ini dia sadari benar, maka dia pun hanya menarik napas panjang.
Pendekar
Siluman atau Pendekar Super Sakti maklum akan keadaan Dewa Bongkok, maka dia
menggerakkan tangannya, berkata dengan suara lantang, “Kita bukan anak anak
kecil yang jauh-jauh datang untuk mengadu mulut. Mari, silakan duduk dan bicara
sepatutnya!” Dia kemudian duduk bersila dengan sebelah kakinya didahului oleh
Dewa Bongkok yang memang perlu banyak beristirahat sambil duduk bersila.
Melihat
kedua orang itu sudah duduk berdampingan, empat orang di antara Im-kan Ngo-ok
itu lalu mengambil tempat duduk pula, duduk di atas tanah berpasir. Twa-ok dan
Su-ok di depan mereka, Ji-ok dan Ngo-ok di kanan kiri. Dewa Bongkok sudah duduk
diam, memejamkan mata dan melintangkan lengan tunggalnya di depan dada.
Keadaan
menjadi sunyi menegangkan. Keenam orang itu duduk saling berhadapan membentuk
lingkaran dan Pendekar Super Sakti menatap wajah empat orang lawan itu satu
demi satu. Kemudian terdengarlah suaranya lantang dan suara ini mengandung
getaran amat kuat.
“Im-kan
Ngo-ok, kalian mengundangku untuk mengadakan pertemuan di tempat ini. Nah, aku
sudah datang, kalau ada persoalan lekas kemukakan, aku tidak mempunyai banyak
waktu untuk melayani kalian!”
Diam-diam
Dewa Bongkok kagum. Pendekar Super Sakti adalah seorang tokoh yang jauh lebih
muda dibandingkan dengan dia, namun pendekar ini telah membuat nama besar
sehingga namanya menggetarkan dunia persilatan dan menjadi semacam nama dalam
dongeng. Dan ternyata sikap pendekar ini memang amat berwibawa, sungguh pun
tadi dia merasa kecewa akan wawasan Pendekar Super Sakti tentang hubungan
puteranya dengan seorang gadis. Getaran suara penuh wibawa itu juga
mempengaruhi empat orang datuk kaum sesat itu, karena sejenak mereka duduk diam
dan tiga orang di antara mereka memandang kepada Twa-ok karena orang tertua
atau pertama inilah yang diharapkan untuk menjadi wakil pembicara.
Twa-ok dapat
merasakan tuntutan saudara-saudaranya ini, dan dia sendiri pun agak gugup.
Menghadapi pendekar yang demikian tenang dan penuh wibawa sikapnya, sungguh
mendatangkan kegugupan dan biar pun dia mengerahkan tenaga batinnya untuk
menenangkan diri, tetap saja suaranya terdengar agak gemetar ketika dia
menjawab, “Kami telah lama mendengar bahwa Majikan Pulau Es adalah seorang
datuk yang telah mengundurkan diri dari dunia ramai, selalu tinggal dengan aman
tenteram di Pulau Es. Akan tetapi secara tiba-tiba saja Pendekar Super Sakti
muncul lagi di dunia kang-ouw. Hal ini amat mengherankan dan membuat kami
merasa penasaran.”
Suma Han
mengerutkan alisnya yang sudah bercampur dengan uban. “Im-kan Ngo-ok,
sesungguhnya bukan berita kosong yang mengabarkan bahwa kami sudah bertahun
tahun berada di Pulau Es dan tidak mau lagi mencampuri urusan dunia yang penuh
dengan permusuhan. Akan tetapi kami keluar dari Pulau Es bukanlah untuk mencari
permusuhan, melainkan untuk mencari kedua orang putera kami. Sebaliknya Im-kan
Ngo-ok yang juga terkenal sebagai tokoh-tokoh yang sudah mengundurkan diri dan
bertapa, tiba-tiba muncul dan bahkan mengacau dunia dengan perbuatan-perbuatan
jahat mereka, bahkan membantu pemberontakan. Andai kata kami mendengar dari
Pulau Es, agaknya sudah wajar pula kalau kami lantas sengaja keluar dari sana
untuk menghadapi kalian! Sekarang, kulihat pemberontakan telah dipadamkan, dan
aku pun tidak mempunyai niat untuk bermusuhan dengan kalian, dan ini bukan
berarti bahwa aku takut kepada kalian. Nah, cukuplah, aku harus pergi mencari
anak-anakku.”
“Nanti
dulu!” Twa-ok membentak dan sekarang orang pertama dari Im-kan Ngo-ok ini sudah
mendapatkan kembali keberaniannya. “Pendekar Super Sakti, sudah semenjak dahulu
kami ingin sekali berkenalan dengan kelihaianmu, bahkan kami pernah
merencanakan untuk mengunjungi Pulau Es, hanya untuk menguji kepandaianmu.
Sekarang setelah kita dapat bertemu di sini, dan memang jalan hidup kita selalu
bersimpangan, maka kami menantangmu untuk melanjutkan pertempuran antara kita
beberapa bulan yang lalu, dan sekali ini kami tidak akan berhenti sebelum satu
di antara kita roboh!” Setelah berkata demikian, Twa-ok meloncat bangun diikuti
oleh tiga orang temannya. Mereka berempat sudah memasang kuda-kuda dan siap
maju menerjang.
Agaknya masa
untuk menyukai pertempuran bagi Suma Han sudah lewat. Kalau dulu, tentu dia
akan menyambut tantangan ini dengan gembira. Akan tetapi sekarang dia bangkit
dengan segan, menarik napas panjang dan merasa malas untuk berkelahi.
“Tanpa
alasan kalian menantang orang berkelahi, sungguh kalian ini orang-orang tua
sudah kembali seperti kanak-kanak.”
“Ha-ha-ha,
Pendekar Siluman, bilang saja terus terang engkau tidak berani, ha-ha-ha!”
Siauw-siang-cu atau Su-ok yang pendek cebol itu mentertawakan dengan lagak yang
amat mengejek dan dia sudah memasang kuda-kuda dengan berjongkok, siap untuk
melancarkan pukulan Katak Buduk yang amat lihai itu.
“Majulah,
siapa takut kepada kalian?” kata Suma Han, suaranya sama sekali tidak
mengandung kemarahan. Dia tidak mudah terpancing lagi untuk terjerumus ke dalam
kemarahan yang hanya akan melemahkannya.
“Siancai...!
Sungguh inilah yang kukhawatirkan!” Mendadak terdengar Dewa Bongkok berkata
halus. “Im-kan Ngo-ok, kalian semua termasuk datuk-datuk yang sudah memiliki
kedudukan dan ilmu kepandaian tinggi, kenapa bersikap seperti tukang-tukang
pukul bayaran yang muda saja? Dunia kang-ouw selama puluhan tahun tentu
mengetahui hal ini. Kini kalian hendak maju melakukan pengeroyokan, apakah itu
dapat dinamakan gagah perkasa? Apakah kalian ingin merendahkan diri sebagai
jagoan-jagoan pasar saja?”
“Ha-ha-ha!”
Su-ok tertawa. “Kalau kau merasa penasaran, majulah, Dewa Bongkok!”
“Su-te,
serahkan Si Bongkok itu kepadaku!” Ji-ok menyambung.
Akan tetapi
Twa-ok dengan sikap ramah-tamah dan suara halus menjawab, “Locianpwe agaknya
tidak tahu bahwa julukan kami adalah Im-kan Ngo-ok dan kami sudah biasa maju
bersama, baik menghadapi seorang lawan atau seratus orang lawan! Jumlah sudah
tidak masuk hitungan lagi. Kalau Pendekar Super Sakti maju ditemani orang orang
lain, kami pun tidak akan menolak. Nah, Pendekar Super Sakti, apakah engkau
berani melawan kami?”
Suma Han
berkata kepada Dewa Bongkok, “Harap Locianpwe suka menonton saja di pinggir,
saya masih sanggup menghadapi mereka ini.”
Dewa Bongkok
menarik napas panjang. Kalau saja dia tidak terluka, tentu akan mudah saja
menanggulangi golongan sesat ini. Karena dia sendiri tak mampu berbuat sesuatu,
maka dia lalu melangkah ke pinggir dan memandang penuh perhatian karena dia
tahu bahwa pertandingan yang akan terjadi ini adalah pertandingan tingkat
tinggi yang tentu amat hebat.
Dan memang
sesungguhnya demikianlah. Empat orang Im-kan Ngo-ok itu merupakan tokoh-tokoh
tingkat atas yang telah memiliki kepandaian sedemikian hebatnya sehingga dalam
perkelahian mereka itu tidak lagi mengandalkan ketajaman dan kekuatan senjata.
Kaki tangan mereka telah menjadi senjata yang amat ampuh. Hanya orang-orang
yang benar-benar sudah mencapai tingkat tinggi saja yang tidak lagi membutuhkan
bantuan senjata.
Twa-ok Su Lo
Ti berdiri dengan kedua lengan terpentang lebar, dan sikunya ditekuk dan
tangannya membentuk cakar-cakar, bagai sikap seekor gorilla yang hendak
menyerang. Dan memang kakek bermuka gorilla ini mendasarkan ilmunya kepada
gerakan gorilla, hanya bedanya, kalau binatang gorilla atau kera raksasa itu
mengandalkan kekuatan otot dan tulang, kakek ini mengisi gerakannya dengan
tenaga sinkang yang amat kuatnya, dan bahkan sambaran angin pukulannya saja
sudah amat berbahaya bagi lawan, di samping kekebalan kedua tangannya yang
mampu menangkis senjata-senjata tajam.
Ji-ok
Kui-bin Nionio amat berbahaya dengan ilmunya yang luar biasa, yaitu Kiam-ci
(Jari Pedang). Jangan kata tersentuh atau tertusuk oleh jari-jari tangannya,
baru terkena hawanya saja sudah dapat melukai lawan. Su-ok Siauw-siang-cu amat
hebat dengan ilmu pukulan Katak Buduk yang berbisa, sedangkan Ngo-ok Toat-beng
Siansu yang tubuhnya jangkung tidak lumrah manusia itu bersilat dengan jungkir
balik, dan memiliki ginkang yang amat tinggi di samping pukulan-pukulan beracun
pula. Empat orang itu masing-masing sudah merupakan lawan yang cukup berat, apa
lagi kalau mereka maju berbareng.
Namun,
Pendekar Super Sakti Suma Han berdiri tegak dengan sebelah kakinya dengan sikap
tenang sekali, tangan kanan memegang tongkat bututnya, tangan kiri disilangkan
di depan dada, sikapnya menanti gerakan lawan, menanti saat penyerangan lawan.
Dan saat yang dinantinya itu pun tibalah.
Cepat bukan
main gerakan pertama yang dilakukan oleh Ngo-ok itu. Tubuhnya sudah berjungkir
balik dan tiba-tiba sekali ada dua batang kaki yang panjang dan besar, seperti
dua buah cangkul menyerang Suma Han, mencangkul ke arah kepala dan dada
pendekar itu. Kecepatannya sukar diikuti dengan pandang mata.
“Plak-plak,
wuuuttttt!”
Dua batang
kaki itu tertangkis oleh tongkat dan cengkeraman tangan Ngo-ok, dari bawah
mengarah bawah pusar itu dihindarkan oleh Suma Han dengan meloncat ke kiri.
Akan tetapi, dengan gerakan otomatis, dia disambut oleh Twa-ok yang
mencengkeram dari kanan kiri, akan tetapi sebelum lawan sempat menangkis,
gerakan mencengkeram itu sudah berubah, yang kanan menampar dan yang kiri
menotok ke arah lambung. Sungguh merupakan dua serangan yang amat berbahaya dan
satu di antaranya saja mengenai sasaran akan cukup merenggut nyawa dari tubuh!
Tetapi,
Pendekar Super Sakti tidak menjadi gugup, dia cepat memutar tongkatnya yang
berubah menjadi segulung sinar terang, kemudian dia meloncat ke depan sehingga
dia terhindar dari serangan itu untuk menghadapi serangan langsung lagi dari
Ji-ok.
Terdengar
suara bercuitan pada waktu jari-jari tangan yang kecil runcing itu bergerak
menyambar, seperti ujung-ujung pedang yang menyerang secara bertubi-tubi.
Namun, semua tusukan jari tangannya yang menjadi Kiam-ci ini dapat di tolak
oleh kibasan tangan kiri Suma Han. Belum juga jari-jari tangan itu tertangkis,
sudah ada hawa dingin sekali, lebih dingin dari pada hawa Kiam-ci, menolak
sehingga tangan Ji-ok terpental. Kini Su-ok menyerang dari bawah dengan pukulan
Katak Buduk. Suma Han mengenal pukulan beracun, maka dia pun cepat menggunakan
kelincahannya untuk meloncat dan menghindar dengan loncatan tinggi.
Kini, empat
orang itu mulai menyerang secara bertubi-tubi, kadang-kadang berbareng dan
saling membantu dan terjadilah pertandingan yang amat luar biasa. Suma Han yang
mengenal kelihaian lawan, kini sudah mempergunakan ilmunya yang membuat dia
amat terkenal, yaitu Ilmu Soan-hong-lui-kun, yang membuat tubuhnya lenyap
berubah menjadi bayangan yang menyambar-nyambar, ke kanan ke kiri,
kadang-kadang melesat jauh ke atas, sukar sekali diikuti dan dengan
Soan-hong-lui-kun, maka pendekar ini berhasil menghindarkan diri dari semua
serangan lawan. Dia pun membalas dengan tamparan dan tusukan tongkatnya.
Namun empat
orang lawannya itu pun mampu membela diri, apa lagi karena mereka saling bantu
sehingga kedudukan mereka amat kuat. Agaknya, pengalaman bertempur melawan Suma
Han tiga bulan yang lalu membuat mereka berhati-hati dan sudah mengatur siasat
untuk menandingi pendekar itu, yaitu dengan jalan saling bantu dan tidak
melakukan penyerangan sendiri-sendiri, melainkan dengan teratur sehingga saling
terlindung oleh kawan.
Sambil duduk
bersila di pinggir, Dewa Bongkok menonton pertandingan itu dengan hati tertarik
sekali. Jarang ada kesempatan menyaksikan pertandingan seperti ini, dan dia
amat kagum melihat Soan-hong-lui-kun yang hanya didengarnya saja akan tetapi
baru sekarang ini dapat dinikmatinya. Dari gerakan-gerakan itu, maklumlah dia
bahwa Suma Han telah menemukan suatu ilmu yang hanya mungkin dapat dimainkan secara
sempurna oleh orang yang berkaki tunggal. Orang yang berkaki dua jangan harap
akan dapat menguasai ilmu itu sebaik seperti yang dimiliki oleh Majikan Pulau
Es itu.
Diam-diam
dia tersenyum, mengingat bahwa keadaannya hampir sama dengan Suma Han. Ia pun
telah menemukan suatu ilmu yang khas untuk orang yang hanya berlengan satu
seperti dia atau seperti Kao Kok Cu, muridnya itu, yaitu Ilmu Sin-liong-liok-te
dan Sin-hong-ciang-hoat. Orang yang berlengan dua jangan harap akan dapat
mainkan ilmu ini sebaik orang yang berlengan satu! Dia menonton dengan kagum
dan beberapa kali dia memuji kalau melihat gerakan yang amat indah dari Suma
Han ketika pendekar ini menghindarkan diri secara cepat dan tepat sekali
menggunakan kelincahan tubuhnya yang dapat melesat ke sana-sini seperti ada per
nya itu.
Akan tetapi,
setelah menyaksikan mereka itu bertempur sampai seratus jurus, Dewa Bongkok
dapat melihat perbedaan antara Ilmu Soan-hong-lui-kun dengan ilmunya, yaitu
Sin-liong-ciang-hoat. Ilmu milik Pendekar Super Sakti itu lebih condong sebagai
ilmu untuk membela diri atau menghindarkan diri dari serangan lawan, kurang
sekali daya serangnya, dan pendekar itu membalas serangan dengan pukulan
lain-lain yang tidak sehebat Ilmu Sin-liong-ciang-hoat. Sebaliknya, ilmunya itu
lebih banyak menyerang dan lebih kuat daya serangnya dari pada daya tahannya.
Dengan
Soan-hong-lui-kun, biar pun Suma Han tidak sampai terancam bahaya, namun sukar
pula bagi pendekar itu untuk dapat mengalahkan empat orang lawan yang kini
dapat bekerja sama dengan amat baiknya itu. Diam-diam Dewa Bongkok lalu mulai
berkemak-kemik, menggunakan Imu Coan-im-jip-bit untuk memberi petunjuk kepada
Suma Han seperti yang dilakukannya ketika dia membantu Hwee Li. Dia memberi
petunjuk megunakan gerakan-gerakan dari Sin-liong-ciang-hoat untuk lebih
memperkuat daya serangan dari pendekar itu.
Diam-diam
Suma Han mendengar bisikan-bisikan ini yang memang hanya ditujukan kepadanya.
Dia maklum bahwa kakek itu memiliki ilmu yang tinggi, dan dia tidak malu malu
untuk menerima petunjuk ini. Dan tiba-tiba dia berhenti meloncat, melainkan
menggeser ke dalam, memutar tubuh ke kanan kemudian ke kiri tiga kali dan
tahu-tahu dia telah berhadapan langsung dengan Su-ok. Cepat dia memukul dengan
pengerahan tenaga Swat-im Sin-ciang.
“Wusssss...!”
Hawa dingin
yang tak tertahankan membuat Su-ok terdorong ke belakang dengan muka pucat.
Biar pun tiga orang temannya sudah menolongnya dan menyerang dari kanan kiri
sehingga pukulan Swat-im Sin-ciang (Tangan Sakti Inti Salju) itu tidak dapat dilanjutkan
karena pendekar itu harus menghindarkan tiga orang penyerangnya, namun hawa
pukulan dingin masih menyerangnya dan membuat Su-ok menggigil!
Kembali Suma
Han bergerak aneh, kini meloncat ke kiri, kemudian membalik dan tahu tahu dia
sudah menyerang dari samping kanan ke arah Twa-ok, dan sekali ini dia
menggunakan pukulan Hwi-yang Sin-ciang yang amat panas. Kakek itu terkejut dan
mengerahkan kedua tangannya ke depan dengan tenaga sinkang sepenuhnya. Tidak
urung dia merasa kedua telapak tangannya seperti dibakar dan untung baginya,
pada saat yang amat berbahaya itu tiga orang temannya sudah menerjang lagi
sehingga terpaksa Suma Han kembali menghindar dan tidak mendesaknya.
Demikianlah, dengan petunjuk-petunjuk dari Dewa Bongkok, Suma Han berhasil menyerang
dan beberapa kali mendesak empat orang lawannya, sungguh pun selalu dapat
digagalkan oleh kerja sama empat orang itu yang saling membantu.
“Mana
Sam-te, mengapa terlambat benar?” Tiba-tiba terdengar Ji-ok berseru nyaring.
“Aku
datang... aku datang...!”
Dan bersama
dengan suara itu muncullah Sam-ok Ban Hwa Sengjin, koksu atau lebih tepat lagi
bekas koksu dari Nepal itu. Setelah kegagalan-kegagalannya, apa lagi setelah
tewasnya Pangeran Liong Bian Cu, nama koksu ini tidak terkenal lagi di Nepal,
bahkan dia dicurigai dan tidak disuka di kalangan istana Nepal. Dalam keadaan
seperti itu, pada saat datang Su-ok menyusulnya dan minta padanya untuk
membantu teman-temannya menghadapi Pendekar Super Sakti, Sam-ok ini lalu
meninggalkan Nepal tanpa pamit lagi, melepaskan jabatan koksu yang dirasakan
makin panas dan tidak enak itu.
Kedatangannya
agak terlambat, tetapi belum terlambat benar karena teman-temannya belum ada
yang roboh, bahkan kedatangannya tepat sekali di waktu empat orang teman atau
saudara segolongannya itu terancam dan mulai terdesak oleh Suma Han yang
dibantu oleh Dewa Bongkok yang memberi petunjuk. Begitu datang dan melihat Dewa
Bongkok berada di situ, Sam-ok terkejut setengah mati, akan tetapi dia pun lega
ketika mendapat kenyataan bahwa kakek sakti ini sudah menderita luka hebat
sehingga tidak mungkin ikut bertanding.
Sejenak
Sam-ok melihat kedudukan teman-temannya. Dia girang bahwa ternyata empat orang
teman itu dapat menandingi Pendekar Super Sakti, maka dia lalu mengeluarkan
suara gerengan seperti beruang marah dan tubuhnya lalu berputar-putar seperti
gasing! Itulah Ilmu Thian-te-hong-i yang hebat, yang dilakukan dengan tubuh
berpusing seperti gasing, dan dari putaran tubuhnya itu kadang-kadang mencuat
pukulan seperti kilat cepatnya yang amat kuat menghantam ke arah Pendekar Super
Sakti!
Melawan
empat orang itu saja keadaannya sudah seimbang, apa lagi kini dibantu oleh
orang seperti Ban Hwa Sengjin. Kepandaian Sam-ok ini tidak banyak selisihnya
kalau dibandingkan dengan kepandaian Twa-ok atau pun Ji-ok dan masing-masing
memiliki keistimewaan sendiri-sendiri. Memang sebenarnya lima orang itu sama
sekali tidak mempunyai pertalian persaudaraan, baik kekeluargaan mau pun
perguruan, maka ilmu mereka masing-masing jauh berbeda dan memiliki
keistimewaan masing-masing. Kalau mereka bergabung, adalah karena watak dan kesukaan
mereka sama, dan tingkat mereka itu ditentukan oleh pertandingan yang mereka
adakan untuk mengukur tingkat masing-masing. Namun selisihnya tidaklah amat
banyak.
Kini Suma
Han mulai terdesak lagi, bukan terdesak dalam arti kata terancam. Sama sekali tidak.
Dengan Soan-hong-lui-kun, jangankan hanya lima orang itu, biar ditambah lima
orang lagi seperti mereka, kiranya tidak akan mudah untuk merobohkan Suma Han
yang mempergunakan Soan-hong-lui-kun, yang membuat tubuhnya seperti bersayap
dan sukar sekali dipukul itu. Akan tetapi, terdesak di sini berarti bahwa dia
tidak sempat lagi untuk membalas serangan lawan, dan harus selalu menghindarkan
diri dari semua serangan. Tentu saja pertandingan seperti ini menjadi berat
sebelah dan Suma Han terus didesak dan dikejar-kejar oleh lima orang Im-kan
Ngo-ok yang lihai-lihai itu.
Dewa Bongkok
tak sempat lagi memberi petunjuk saking cepatnya serangan lima orang yang
bertubi-tubi datangnya dan dilakukan dengan gaya ilmu silat yang jauh berlainan
itu. Kalau saja dia tidak terluka tentu dia dapat membantu, dan bersama dengan
Suma Han, dalam waktu singkat tentu dia akan mampu merobohkan lima orang itu.
Suma Han di bagian bertahan dan dia di bagian menyerang! Akan tetapi, apa mau
dikata, dia tidak mungkin dapat bergerak mengerahkan sinkang karena hal itu
akan berarti kematiannya.
Suma Han
juga harus mengakui bahwa lima orang Im-kan Ngo-ok ini sungguh-sungguh terlalu
berat baginya. Ilmu-ilmu mereka selain tinggi, juga aneh-aneh dan kelimanya
mempergunakan ilmu yang berbeda-beda sehingga sukar juga baginya untuk mengenal
dasar atau sifat ilmu mereka, dan hal ini membuat dia tak mungkin melakukan
serangan balasan. Serangan mereka bertubi-tubi dan berganti-ganti sehingga dia
tidak sempat membalas, terpaksa dia harus mengerahkan tenaga menggunakan
Soan-hong-lui-kun untuk menghindarkan semua serangan. Namun, tidak mungkin
berkelahi hanya dengan mengelak dan menangkis terus-menerus tanpa membalas satu
kali pun!
Tiba-tiba
Suma Han mengeluarkan suara melengking panjang, diikuti suaranya yang terdengar
seolah-olah dari atas langit kemudian berpencar dan bergema di semua penjuru,
“Haiii! Aku di sini!” disusul gemanya, “Aku di sini! Aku di sini! Aku di sini!
Aku di sini!”
Lima orang
Im-kan Ngo-ok mengeluarkan seruan kaget dan mereka bergerak dengan kacau-balau
sebab mereka melihat betapa Pendekar Siluman itu telah berubah menjadi lima
orang! Lima Pendekar Siluman, semua memegang tongkat, dan masing-masing kini
menghadapi seorang Pendekar Siluman!
Seketika
keadaan menjadi berbalik sama sekali! Kini mereka berlima tidak lagi dapat
bekerja sama karena masing-masing menghadapi seorang lawan yang sama kuatnya!
Dan kini Pendekar Super Sakti atau Pendekar Siluman itu mulai menyerang!
Repotlah lima orang itu dan segera mereka terdesak mundur!
Dewa Bongkok
memandang dan mengangguk-angguk kagum. Dia sendiri tidak sampai terpengaruh
oleh kekuatan sihir itu, tetapi dia dapat menduga bahwa tentu Pendekar Super
Sakti yang dia dengar juga dinamakan Pendekar Siluman karena pandai bermain
sihir itu kini telah mempergunakan kekuatan sihirnya sehingga lima orang lawan
itu menjadi kacau-balau gerakan mereka, nampak ketakutan dan kini Pendekar
Super Sakti yang berbalik menyerang mereka satu demi satu, dan lima orang itu
kehilangan kerja sama mereka! Kini Dewa Bongkok tidak merasa ragu lagi bahwa
tentu Majikan Pulau Es itu akan keluar sebagai pemenang dalam pertempuran satu
lawan lima itu.
Akan tetapi
tiba-tiba terdengar suara ketawa mengikik, suara ketawa terkekeh-kekeh yang
hanya dapat dilakukan oleh seorang nenek tua yang sudah ompong! Muncullah
seorang nenek tua renta yang pakaiannya serba hitam. Nenek itu sedemikian
tuanya sehingga tubuhnya seperti telah mengerut menjadi kecil! Nenek itu adalah
nenek bangsa India, kulitnya pun hitam seperti pakaiannya dan mulutnya
berkeriput terkekeh kekeh seperti orang gila.
“Heh-heh-heh,
permainan kanak-kanak! Hanya satu orang mana bisa berubah lima?” Nenek itu
berkata sambil mengacungkan tongkat hitamnya ke atas.
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment