Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Kisah Sepasang Rajawali
Jilid 01
"Haaiiiii...
hiiyooooo... huiiiiii...!"
"Eh,
Bu-te (adik Bu), jangan main-main! Angin bertiup begini kencang, lekas duduk
dan membantu aku. Gulung layar itu, kita bisa celaka kalau angin sebesar ini
dan layar tetap berkembang!"
"Yahuuuuu...!
Wah, dengar, Lee-ko (kakak Lee), suara terbawa angin tentu terdengar sampai
jauh. Hiyooooohhhhh...!"
Mereka
adalah dua orang anak laki-laki yang menjelang dewasa, berusia empat belas
tahun, berwajah tampan dan bertubuh tegap kuat. Mereka ini kakak-beradik yang
mempunyai ciri wajah berbeda sungguh pun sukar dikatakan siapa di antara mereka
yang lebih tampan. Yang disebut Lee-ko adalah Suma Kian Lee, sedangkan adiknya
itu adalah Suma Kian Bu, dan kedua orang anak laki-laki ini bukan anak-anak
nelayan biasa yang bermain-main dengan perahu mereka, melainkan putera-putera
Pendekar Super Sakti Suma Han atau yang lebih terkenal dengan julukan Pendekar
Super Sakti atau Pendekar Siluman, Majikan Pulau Es!
Pendekar
Super Sakti yang mengasingkan diri dari dunia ramai selama bertahun-tahun,
tinggal di Pulau Es bersama dua orang isterinya, yaitu Puteri Nirahai dan Lulu,
dua orang isteri yang cantik jelita dan mencinta suaminya dengan sepenuh jiwa
raga mereka. Di dalam cerita Sepasang Pedang Iblis diceritakan betapa suami
dengan kedua orang isterinya ini baru berkumpul kembali di pulau itu setelah
mereka berusia empat puluh tahun dan hidup bertiga di pulau kosong itu,
mengasingkan diri dari dunia ramai dan saling mencurahkan kasih sayang yang
terpendam selama belasan tahun berpisah!
Dari curahan
kasih sayang yang amat mendalam dan mesra itu, terlahirlah dua orang anak
laki-laki itu. Lulu melahirkan puteranya lebih dahulu, dan anak itu diberi nama
Suma Kian Lee. Setengah tahun kemudian, Nirahai juga melahirkan seorang anak
laki-laki yang diberi nama Suma Kian Bu. Tentu saja kelahiran dua orang anak
laki-laki itu menambah rasa bahagia di dalam kehidupan mereka bertiga sehingga
tidak begitu terasalah kesunyian di pulau itu. Dan setelah kedua orang anaknya
terlahir, demi kepentingan dua orang anaknya, Suma Han tidak lagi pantang
bergaul dengan orang lain, bahkan sering kali dia mengajak kedua orang
puteranya pergi meninggalkan Pulau Es mengunjungi pulau-pulau lain di dekat
daratan besar yang dihuni oleh nelayan-nelayan.
Karena kedua
orang anak itu lebih mirip dengan ibu masing-masing, maka biar pun keduanya
sama tampan, namun terdapat perbedaan dan ciri khas pada wajah mereka, juga
semenjak kecil sudah tampak perbedaan watak mereka yang menyolok sekali. Suma
Kian Lee, putera Lulu, berwatak lembut dan halus, sabar dan tidak pernah
melakukan kenakalan, juga pendiam. Sebaliknya, Suma Kian Bu, putera Nirahai,
amat nakal dan periang, mudah tertawa dan mudah menangis, bandel dan berani,
akan tetapi juga amat mencinta kakaknya dan betapa pun nakalnya, akhirnya dia
selalu tunduk dan taat kepada kakaknya. Padahal dia berani membangkang terhadap
ibunya sendiri, bahkan kadang-kadang dia berani menentang ayahnya!
Pada pagi
hari itu, ketika kedua orang ibu mereka sedang sibuk di dapur dan ayah mereka
seperti biasa di waktu pagi hari duduk bersemedhi dalam kamar semedhinya,
mereka berdua bermain-main dengan perahu mereka. Kemudian timbul niatan
tiba-tiba dalam kepala Suma Kian Bu untuk pergi menggunakan perahu ke daratan
besar dan mencari enci-nya (kakak perempuannya) yang tinggal di kota raja!
Memang anak
ini mempunyai seorang kakak perempuan yang bernama Puteri Milana. Puteri
Nirahai adalah puteri Kaisar Tiongkok yang lahir dari seorang selir, maka
anaknya yang pertama, yang bernama Milana, juga seorang puteri, cucu kaisar! Di
dalam ceritera Sepasang Pedang Iblis dituturkan betapa Puteri Milana, kakak
Suma Kian Bu ini, oleh ayahnya diharuskan ikut kakeknya, Kaisar Tiongkok, untuk
tinggal di istana kaisar dan selanjutnya mentaati semua perintah kakeknya itu.
Akhirnya
oleh kaisar, Puteri Milana yang cantik jelita itu dijodohkan dengan seorang
panglima muda yang juga berdarah bangsawan, setelah panglima muda ini berhasil
keluar dari sayembara yang diadakan oleh Milana. Dara bangsawan itu, cucu
kaisar, puteri Pendekar Super Sakti, hanya mau dijodohkan dengan seorang yang
mampu menahan serangannya selama seratus jurus! Dan kalau dia menghendaki,
sukarlah ditemukan orang yang dapat menahan seratus jurus serangannya. Akan
tetapi ketika Han Wi Kong, panglima muda itu memasuki sayembara, pemuda perkasa
ini berhasil mempertahankan diri dan dialah yang terpilih menjadi suami puteri
jelita dan perkasa itu! Sesungguhnya, hal ini hanya dapat terjadi karena memang
Milana memilihnya di antara sekian banyaknya pelamar yang datang memasuki
sayembara.
Ketika diadakan
pesta pernikahan Puteri Milana, Pendekar Super Sakti bersama kedua orang isteri
dan kedua orang puteranya datang pula ke kota raja. Hal ini terjadi ketika
kedua orang puteranya masih kecil, baru berusia lima atau enam tahun dan itulah
pengalaman pertama dari kedua orang anak ini melihat kota raja!
Demikianlah
pagi hari itu Suma Kian Bu membujuk kakaknya untuk pergi menyusul enci-nya
(kakak perempuannya) di kota raja. Tentu saja Suma Kian Lee menolak dan
mengingatkan adiknya bahwa kota raja amatlah jauh dan pergi ke sana tanpa ijin
ayah mereka tentu akan membuat ayah mereka marah. Akan tetapi, Suma Kian Bu
merengek dan akhirnya Suma Kian Lee yang amat sayang kepada adiknya, terpaksa
menyanggupi dan berlayarlah keduanya meninggalkan Pulau Es!
Biar pun kedua
orang anak laki-laki itu baru berusia empat belas tahun, akan tetapi sebagai
putera-putera Pendekar Super Sakti, tentu saja mereka tidak dapat disamakan
dengan anak-anak lain yang sebaya dengan mereka. Semenjak kecil mereka berdua
telah digembleng oleh ayah bunda mereka yang berilmu tinggi sehingga mereka
merupakan dua orang anak-anak yang telah memiliki ilmu kepandaian silat tinggi
dan memiliki tenaga sinkang latihan Pulau Es yang mukjijat.
Betapa pun
juga, mereka hanyalah anak-anak dan sifat kanak-kanak mereka yang suka
bermain-main masih melekat dalam hati mereka. Setelah mereka menjelang dewasa,
jiwa petualang yang terdapat dalam hati semua anak laki-laki bergejolak dan
kini dicetuskan oleh Kian Bu yang mengajak kakaknya untuk pergi merantau, menyusul
enci-nya di kota raja.
Perahu
mereka telah jauh meninggalkan Pulau Es karena angin di pagi hari itu bertiup
kencang sehingga layar yang mereka pasang berkembang penuh. Akan tetapi makin
lama angin bertiup makin kencang sehingga Kian Lee merasa khawatir sekali
karena perahu mereka sudah miring-miring dan meluncur terlalu cepat. Sebaliknya
Kian Bu masih bermain-main, berdiri di kepala perahu, bertolak pinggang dan
berteriak-teriak membiarkan suaranya dibawa angin.
"Bu-te,
cepat bantu. Berbahaya kalau begini, kurasa akan ada badai!" Kian Lee yang
mengemudikan perahu dengan dayungnya berteriak lagi.
Mendengar
disebutnya ‘badai’, otomatis Kian Bu menghentikan teriakan-teriakannya dan air
mukanya berubah. Tanpa banyak cakap lagi dia lalu menggulung layar dan membantu
kakaknya mendayung sambil berbisik, "Benarkah ada... badai, Lee-ko?"
"Entahlah,
mudah-mudahan saja tidak," jawab kakaknya. "Dan payahnya, mungkin
kita salah jalan, Bu-te. Mengapa belum juga nampak daratan besar?"
Dua orang
kakak-beradik ini memang agak gentar terhadap badai. Pernah ayah mereka
bercerita betapa hebatnya kalau badai telah mengamuk di daerah lautan ini.
Bahkan menurut cerita ayahnya, Pulau Es sendiri pernah diamuk badai sampai
tenggelam di bawah permukaan air laut! Betapa mengerikan. Kata ayah mereka,
dahulu pulau mereka itu merupakan sebuah kerajaan, akan tetapi semua penghuninya
dibasmi habis oleh badai dan hanya tinggal bangunan istananya saja. Biar pun
mereka berdua yang sejak kecil tinggal di pulau dan tidak asing dengan lautan,
bahkan ahli dalam ilmu renang, pandai pula menguasai perahu, namun mendengar
tentang badai sehebat itu, mereka merasa gentar juga. Dan sekarang, berada di
tengah lautan, jauh dari Pulau Es, mereka merasa ngeri kalau-kalau ada badai
akan mengamuk.
"Lee-ko,
bukankah daratan besar letaknya di sebelah barat?"
"Menurut
ibu demikian dan tadi aku sudah mengarahkan perahu ke barat. Akan tetapi, angin
kencang mengubah haluan dan kita agaknya menyimpang ke utara. Awas, Bu-te,
angin makin kencang!"
Kedua orang
pemuda tanggung itu kini tidak bicara lagi, tetapi menggerakkan dayung dengan
amat hati-hati untuk mengemudikan perahu mereka yang mulai dipermainkan ombak.
Makin lama angin makin kencang bertiup dan ombak makin membesar hingga perahu
mereka diombang-ambingkan bagai sebuah mainan kecil dipermainkan tangan-tangan
raksasa! Mereka tidak dapat lagi menentukan arah, hanya mempergunakan tenaga
melalui dayung untuk menjaga agar perahu mereka tidak sampai terbalik.
"Tenang
saja, Bu-te...," di tengah-tengah amukan ombak itu Kian Lee berkata kepada
adiknya.
Kian Bu
tersenyum. "Aku tidak apa-apa, Lee-ko, harap jangan khawatir."
Dua orang
pemuda tanggung itu memang memiliki nyali yang amat besar. Biar pun keadaan
mereka cukup berbahaya, namun keduanya masih tenang saja, percaya penuh akan
kekuatan dan kemampuan diri sendiri.
"Dukk!
Dukk!"
"Apa
itu...?" Kian Bu berteriak kaget, cepat menggerakkan dayung untuk membantu
kakaknya mengatur keseimbangan perahu yang tadi terpental seolah-olah ditabrak
sesuatu.
"Hemmm,
ikan-ikan hiu...! Lihat itu mereka!" Kian Lee berseru sambil menuding ke
depan.
Tampaklah
sirip-sirip ikan hiu yang berbentuk layar itu meluncur di dekat perahu mereka.
Agaknya ikan-ikan itu sudah tahu bahwa perahu kecil itu ditumpangi dua orang
yang tentu akan menjadi santapan lezat bagi mereka kalau perahunya dapat
terguling. Mereka tadi tidak sengaja menabrak perahu, akan tetapi melihat dua
orang di atas perahu, ikan-ikan itu lalu berenang di kanan kiri perahu, agaknya
menanti dengan tak sabar lagi sampai dua orang manusia yang akan dijadikan
mangsa mereka itu terjatuh ke air dan diperebutkannya.
"Setan
air!" Kian Bu memaki. "Lee-ko, jaga perahu, biar kuhajar
mereka!"
Tanpa
menanti jawaban kakaknya, Kian Bu sudah meloncat keluar dari perahunya,
dipandang dengan mata penuh kegelisahan oleh kakaknya. Kakak ini maklum akan
keberanian dan kenakalan adiknya, akan tetapi kadang-kadang dia harus menahan
napas menyaksikan kenakalan Kian Bu, apalagi sekarang!
Kian Bu yang
meloncat keluar itu menggunakan kakinya hinggap di atas sirip seekor ikan hiu
besar, sedangkan dayung di tangannya, dayung yang ujungnya dipasangi besi,
dihantamkan ke kanan kiri mengenai dua ekor ikan hiu lain, tepat di bagian
kepala sehingga kepala dua ekor ikan itu pecah. Segera terjadilah pesta pora,
karena dua ekor ikan hiu yang terluka kepalanya dan mengeluarkan darah itu
telah dikeroyok oleh belasan ekor ikan hiu lainnya sehingga dalam waktu
sebentar saja daging mereka terobek-robek dan ditelan habis. Kian Bu sudah
meloncat lagi ke atas perahunya dan sambil tertawa-tawa dia membantu kakaknya
untuk mendayung perahu meninggalkan tempat itu.
Akan tetapi
karena gelombang lautan masih amat besar, usaha mereka mendayung perahu itu
hanya sedikit sekali hasilnya, perahu mereka tetap saja diombang-ambingkan dan
mereka tidak tahu lagi ke mana mereka akan dibawa oleh perahu.
"Bu-te,
lihat di sana ada pulau!"
Kian Bu
menoleh ke kiri dan tampak olehnya sebuah pulau kadang-kadang tampak
kadang-kadang tidak karena perahu mereka masih dipermainkan ombak yang naik
turun bergelombang. "Lee-ko, mari kita ke sana!"
Dengan susah
payah kedua orang kakak beradik ini mendayung perahu mereka dan akhirnya mereka
dapat juga mendarat di pulau kecil itu dan menarik perahu sampai ke atas
daratan yang tidak tercapai oleh air yang bergelombang. Tiba-tiba mereka
dikejutkan suara riuh rendah seperti ada puluhan ekor anjing menggonggong dan
menyalak. Ketika mereka naik ke tengah pulau yang agak tinggi, tampaklah oleh
mereka pemandangan yang menakjubkan. Kiranya pulau itu merupakan tempat tinggal
atau sarang dari sekawanan anjing laut yang jumlahnya mungkin lebih dari
seratus ekor!
"Lee-ko,
betapa lucunya mereka. Mari kita menangkap seekor anak anjing laut yang
jumlahnya mungkin lebih dari seratus ekor dan kita bawa pulang!" Kian Bu
sudah berlari menuju ke tempat itu.
"Jangan,
Bu-te!" Kian Lee melarang, akan tetapi karena adiknya sudah berlari cepat,
terpaksa dia mengejarnya.
Rombongan anjing
laut itu makin hiruk-pikuk mengeluarkan teriakan-teriakan mereka ketika melihat
dua orang manusia yang berlari menuju ke arah mereka itu, dan dalam sekejap
mata saja mereka telah terjun ke air dan berenang ke tengah laut. Tampak tubuh
mereka itu timbul tenggelam dan suara mereka masih menguik-nguik sebagai tanda
kemarahan karena ketenangan mereka terganggu.
"Bu-te,
jangan ganggu mereka. Bukankah tujuanmu mencari enci Milana, mengapa kau hendak
menangkap anjing laut?" Kian Lee menegur.
Kian Bu
tertawa. "Aihhh, aku sudah lupa lagi akan tujuan perjalanan kita, Lee-ko.
Padahal, selain kita masih jauh dari kota raja, sekarang kita bahkan tidak tahu
lagi di mana kita berada."
Suara
gerengan dahsyat yang menggetarkan pulau itu mengejutkan mereka. Ketika mereka
membalikkan tubuh, ternyata di depan mereka telah berdiri seekor binatang yang
besar sekali. Besar dan tinggi binatang itu ada satu setengah kali manusia
dewasa dan binatang itu adalah seekor beruang es yang bulunya putih seperti
kapas, mata dan moncongnya kemerahan. Biar pun jarang mereka bertemu dengan
seekor beruang es, namun kedua kakak beradik itu mengerti bahwa binatang itu
marah sekali. Mereka sudah siap dan waspada menghadapi segala kemungkinan.
Sekali lagi
binatang itu menggereng dan tiba-tiba saja dia sudah menerjang ke depan. Walau
pun tubuhnya amat besar dan canggung, namun ternyata binatang itu dapat
bergerak dengan cepat sekali, dan dari sambaran angin tahulah dua orang kakak
beradik itu bahwa beruang es ini memlliki tenaga yang amat besar.
"Awas,
Bu-te!" Kian Lee berseru memperingatkan sebab yang terdekat dengan beruang
itu adalah Kian Bu, maka pemuda inilah yang lebih dulu menjadi sasaran
serangannya.
Suma Kian Bu
adalah seorang pemuda yang amat berani dan agak ugal-ugalan, terlalu mengandalkan
kepandaian dan tenaganya sendiri, berbeda dengan kakaknya yang lebih
berhati-hati. Melihat beruang itu menubruknya dengan kedua kaki depan diangkat
hendak mencengkeramnya dari kanan kiri, Kian Bu cepat menggerakkan kedua tangan
menangkis.
"Dukkk!"
Tubuh Kian
Bu terjengkang dan tenaga dahsyat dari beruang itu membuat dia jatuh
terguling-guling. Beruang itu agaknya juga merasa nyeri kedua kakinya ketika
terbentur oleh lengan pemuda yang mengandung tenaga sinkang itu, maka dia
menggereng lagi penuh kemarahan, lalu secepat kilat dia menubruk pemuda yang
masih bergulingan di atas tanah itu!
Melihat
bahaya mengancam adiknya, Kian Lee cepat menyambar dari samping, memukul ke
arah kepala beruang sambil mengerahkan tenaga Inti Es yang dahsyat. Dengan
tenaga sinkang istimewa ini, Kian Lee sanggup menghantam remuk batu karang!
Akan tetapi
ternyata beruang yang besar itu gesit sekali, kegesitan yang dikuasainya bukan
karena ilmu silat, melainkan karena keadaan hidupnya yang setiap saat penuh
bahaya, membuat dia gesit dan waspada. Nalurinya tajam sekali dan perasaannya
amat peka. Begitu pukulan dahsyat itu menyambar, dia sudah dapat mengelakkan
kepalanya, dan kedua kaki depannya yang tadi menubruk ke arah Kian Bu, kini
menyimpang dan menghantam pundak Kian Lee.
"Wuuuuttt...
dessss!"
Kian Lee
cepat mengelak, melempar diri ke kanan, kemudian dari kanan dia sudah menampar
dengan telapak tangan kanannya yang tepat mengenai punggung beruang es.
Tamparan ini keras sekali, namun agaknya tidak terasa oleh beruang itu yang
hanya terhuyung sedikit, menurunkan kedua kaki depannya ke atas tanah, kemudian
secara tiba-tiba dia meloncat dan menubruk orang yang telah menampar pundaknya
itu.
"Awas,
Lee-ko...!"
Kian Bu yang
terkejut melihat serangan beruang itu yang menubruk dengan cepat dan agaknya
tak mungkin dapat dielakkan oleh kakaknya karena jaraknya terlalu dekat, sudah
berteriak dan menubruk ke depan. Dia merangkul kedua kaki belakang beruang itu
dari belakang sehingga beruang yang sedang menubruk itu terguling, membawa
tubuh Kian Bu terguling bersamanya! Karena Kian Bu mempergunakan ginkang-nya,
membuat tubuhnya ringan dan gerakannya gesit sekali, dia berhasil jatuh di
bagian atas, menindih tubuh beruang es itu.
Akan tetapi
celaka baginya, binatang raksasa itu telah menggunakan kedua kaki depannya yang
amat kuat untuk merangkul pinggangnya dan menarik sekuat tenaga, agaknya
berusaha untuk mematahkan tulang punggung pemuda itu.
"Auggghhh...!"
Kian Bu mengerahkan seluruh tenaganya untuk mempertahankan diri, akan tetapi
ternyata binatang itu memiliki tenaga kasar yang kuat sekali!
"Plak!
Desss!"
Tubuh
binatang itu terlempar ketika pada saat yang tepat Kian Lee telah menolong
adiknya dengan memukul tengkuk binatang itu dari atas, dan tepat pada saat itu
juga, Kian Lee telah menggunakan kedua tangannya untuk menghantam dada binatang
itu. Menerima pukulan Kian Lee yang dahsyat, seketika pelukan binatang itu
mengendur, maka ketika dadanya dihantam, dia terlempar dan bergulingan.
"Bu-te,
hati-hati, dia buas sekali!" Kian Lee memegang tangan adiknya dan kini
kakak beradik itu berdiri berdampingan, siap untuk mengeroyok binatang yang
amat kuat itu.
Beruang es
itu pun berdiri di atas kedua kaki belakang, matanya makin merah menatap kedua
orang muda penuh kemarahan, mulutnya mendesis-desis memperlihatkan taringnya,
tetapi agaknya dia gentar juga menghadapi dua orang lawan yang cepat itu.
Akhirnya, tidak kuat dia menghadapi tatapan pandang mata yang amat tajam dan
pantang menyerah dari kedua orang muda itu, beruang ini mundur-mundur, kemudian
membalikkan tubuhnya dan melarikan diri dari situ.
"Bu-te,
mari kita lekas kembali ke perahu. Tempat ini berbahaya," kata Kian Lee
yang segera lari diikuti oleh adiknya, kembali ke perahu mereka.
Mereka cepat
menarik perahu ke laut dan ternyata bahwa laut telah mulai tenang. Kini
tampaklah sebuah pulau memanjang yang berwarna hitam, tak jauh membentang di
depan.
"Agaknya
pulau itu tidak seliar tempat ini, Lee-ko. Mari kita ke sana, siapa tahu kita
dapat bertemu dengan nelayan dan kita dapat bertanya arah ke daratan besar
kepadanya."
Kian Lee
setuju dan mereka lalu mengembangkan layar. Angin perlahan meniup layar dan tak
lama kemudian mereka telah tiba di pulau yang kelihatan penuh dengan hutan liar
itu. Tadinya mereka merasa ragu-ragu untuk mendarat, akan tetapi ketika mereka
melihat sebuah perahu kecil berwarna hitam berada di tepi pantai, mereka
menjadi girang dan cepat mendaratkan perahu mereka dekat perahu hitam, kemudian
mereka meloncat turun.
Akan tetapi
baru saja kedua orang kakak beradik ini melangkah menuju ke tengah pulau,
tiba-tiba dari dalam hutan tampak belasan orang berlari-larian keluar dan yang
mengejutkan hati kedua orang pemuda Pulau Es itu adalah ketika mereka melihat
gerakan belasan orang itu.
Gerakan
mereka ketika berlari amat cepat, tubuh mereka berkelebatan seperti terbang,
tanda bahwa belasan orang itu telah memiliki ilmu meringankan tubuh yang
tinggi! Yang lebih mengherankan dan menyeramkan lagi adalah seorang yang
memimpin rombongan itu, seorang kakek yang usianya tentu sudah lima puluh tahun
lebih, tubuhnya seperti raksasa, tinggi besar dan dua pasang kaki tangannya
yang tampak sebatas lutut dan siku, penuh dengan otot-otot yang
melingkar-lingkar!
Siapakah
mereka itu? Pertanyaan ini mengganggu pikiran kedua kakak beradik itu. Tentu
saja mereka tidak tahu dan mereka sama sekali juga tidak pernah menyangka bahwa
mereka yang diserang gelombang besar itu ternyata telah kesasar ke Pulau
Neraka! Pulau Neraka adalah sebuah pulau yang baru dua tiga puluh tahun ini
terkenal sekali, bahkan sama terkenalnya dengan Pulau Es. Sebetulnya, Pulau
Neraka ini menurut riwayatnya masih ada hubungannya dengan Pulau Es.
Dahulu kala,
ratusan tahun yang lalu, ketika di Pulau Es masih terdapat sebuah kerajaan
kecil, Pulau Neraka merupakan tempat pembuangan orang-orang yang melakukan dosa
besar. Akhirnya, setelah kerajaan Pulau Es terbasmi habis oleh badai sehingga
seluruh penghuninya tewas, Pulau Neraka dengan penghuninya merupakan daerah
yang bebas. Bahkan Lulu, isteri Pendekar Super Sakti pernah pula menjadi ketua
atau majikan dari Pulau Neraka ini.
Setelah
Pulau Neraka kehilangan semua tokohnya dan tidak ada yang memimpin lagi,
terjadilah perebutan kekuasaan. Akan tetapi baru tiga tahun yang lalu, Pulau
Neraka kedatangan seorang kakek raksasa yang amat sakti, yang dengan
kepandaiannya menundukkan semua penghuni Pulau Neraka sehingga otomatis dia
diangkat menjadi ketua.
Dia
memperkenalkan diri dengan nama julukan Hek-tiauw Lo-mo (Iblis Tua Rajawali
Hitam) dan memang dia pantas memakai nama julukan seperti itu karena selain
tubuhnya seperti raksasa dan mukanya yang terhias caling itu seperti iblis,
juga dia datang ke Pulau Neraka dengan menunggang seekor burung rajawali hitam!
Lebih hebat lagi, di belakang burung rajawali hitam ini terdapat dua ekor
burung rajawali lain yang berbulu putih dan bermata emas, akan tetapi dua ekor
burung rajawali ini masih muda dan agaknya takluk kepada burung rajawali hitam
sehingga dia ikut saja ke mana sang rajawali hitam itu terbang.
Hek-tiauw
Lo-mo memang seorang sakti. Dia datang dari daratan negara Kolekok (Korea) dan
di sana dia menjadi orang buruan pemerintah karena dia merupakan seorang
penjahat yang kejam dan dimusuhi pemerintah dan semua orang gagah. Karena merasa
tidak aman berada di negaranya sendiri, Hek-tiauw Lo-mo melarikan diri dengan
sebuah perahu ke selatan. Di dunia selatan, dia berhasil menjadi raja suatu
bangsa yang masih biadab dan yang tinggal di dalam hutan-hutan pegunungan yang
amat liar.
Karena
kepandaian dan kekuatannya, bangsa biadab ini tunduk kepadanya dan sampai
sepuluh tahun dia menjadi raja mereka. Selain dapat memperoleh ilmu-ilmu yang
aneh dan tinggi, juga Hek-tiauw Lo-mo ini ketularan kebiasaan dan kesukaan
bangsa itu, yaitu kadang-kadang makan daging manusia, musuh mereka dari lain
suku yang menjadi korban perang! Agaknya kebiasaan memakan daging orang inilah
yang lalu membuat gigi calingnya menonjol keluar, membuat dia kelihatan
menyeramkan, seperti seorang iblis.
Setelah
tidak kerasan lagi tinggal bersama orang-orang liar dan merasa rindu kepada
dunia ramai, Hek-tiauw Lo-mo dengan membekal pengalaman hebat dan ilmu
kepandaian yang tinggi, menggunakan perahu meninggalkan tempat itu untuk
kembali ke utara. Kini dia tidak takut lagi dimusuhi oleh siapa pun juga karena
dia mempunyai andalan ilmu-ilmu yang tinggi dan sakti. Akan tetapi, ketika dia
berlayar mencari negaranya, dia tersesat jalan dan akhirnya dia tiba di sebuah
pulau kosong yang tak pernah didatangi manusia.
Di tempat
ini dia diserang oleh tiga ekor burung rajawali tadi, akan tetapi karena
kepandaiannya, dia berhasil menundukkan mereka, bahkan membuat rajawali hitam
yang liar dan ganas itu menjadi jinak dan menjadi binatang tunggangannya. Ada
pun dua ekor rajawali putih yang masih muda, menurut saja kemana pun perginya
rajawali hitam, maka sekaligus dia memperoleh tiga ekor binatang peliharaan
yang boleh diandalkan!
Setelah
memiliki binatang tunggangan yang hebat ini, dia mencari lagi negaranya dengan
menunggang rajawali hitam. Akan tetapi kembali dia tersesat, dan kini rajawali
itu membawanya turun ke Pulau Neraka! Begitu melihat keadaan pulau ini dan
melihat para penghuninya yang rata-rata memiliki ilmu kepandaian tinggi,
seketika hatinya tertarik. Dia menundukkan mereka semua dengan kepandaiannya
dan mengangkat diri sendiri menjadi ketua Pulau Neraka.
Karena
selama perantauannya dia sudah membuang nama sendiri, melupakan nama itu yang
dianggap sebagai nama buronan yang rendah, maka dia memperkenalkan dirinya
sebagai Hek-tiauw Lo-mo. Nama Hek-tiauw diambil dari nama tunggangannya, seekor
burung rajawali hitam, dan nama Lo-mo diambilnya karena dia memang merasa
sebagai seorang iblis tua yang cocok menjadi ketua Pulau Neraka!
Demikianlah,
selama tiga tahun Hek-tiauw Lo-mo menjadi ketua Pulau Neraka, dan dia malah
menurunkan ilmu kepada para penghuni Pulau Neraka yang kini hanya tinggal dua
puluh orang pria dan tujuh orang wanita itu. Empat orang di antara tujuh orang
wanita yang masih muda, biar pun sudah menjadi isteri empat orang penghuni
Pulau Neraka, secara paksa diambil oleh Hek-tiauw Lo-mo sebagai selir-selirnya
sendiri! Dan dia menganjurkan kepada anak buahnya untuk mencari wanita dari
perkampungan nelayan. Dalam tiga tahun itu, bertambahlah penghuni Pulau Neraka
dengan tiga puluh orang wanita lagi, wanita-wanita muda yang mereka culik dari
perkampungan nelayan di sekitar laut itu.
Kedua
kakak-beradik dari Pulau Es yang tadinya merasa girang melihat bahwa di pulau
asing itu ada penghuninya, yang menimbulkan harapan bahwa mereka akan dapat
menanyakan arah menuju ke daratan besar, kini menjadi terkejut sekali melihat
orang-orang ini ternyata berkepandaian tinggi, bersikap liar dan rata-rata
mereka mempunyai wajah yang pucat putih seperti dikapur, kecuali wajah kakek
raksasa itu. Lebih kaget lagi hati mereka melihat orang-orang itu telah
mengurung mereka dengan sikap mengancam.
"Huah-ha-ha-ha!"
Hek-tiauw Lo-mo tertawa bergelak saking girang hatinya melihat dua orang
laki-laki muda yang bertubuh tegap sehat dan bersih itu. Mulutnya mengeluarkan
air liur ketika seleranya bangkit!
Sebaliknya,
Kian Lee dan Kian Bu terkejut sekali dan memandang dengan hati ngeri melihat
betapa kakek raksasa itu ternyata bercaling seperti beruang es yang belum lama
ini mereka lawan!
Melihat
sikap mereka yang mencurigakan dan mengkhawatirkan itu, Kian Lee sudah cepat
mengangkat tangan di depan dada, menjura sambil berkata, "Harap Cu-wi sudi
memaafkan kami berdua kalau kami mengganggu Cu-wi dan datang di sini tanpa ijin
Cu-wi. Kami datang hanya ingin menanyakan sesuatu kepada Cu-wi."
Mendengar
cara bicara pemuda tampan itu yang halus dan teratur rapi, Hek-tiauw Lo-mo
kembali tertawa bergelak. "Ha-ha-ha, menarik sekali! Katakanlah, orang
muda yang tampan, apa yang hendak kalian tanyakan kepada kami?"
Kian Lee tak
ingin berpanjang cerita, maka dia berkata singkat, "Kami berdua tersesat
jalan karena terbawa gelombang lautan dan kami ingin bertanya ke manakah arah
daratan besar?"
Hek-tiauw
Lo-mo menoleh ke kanan dan ke kiri memandang anak buahnya, tersenyum
menyeringai lalu berkata, "Dengarkah kalian? Mereka sudah datang ke
daratan sini masih ingin mencari daratan besar. Heh-heh!"
Semua
penghuni Pulau Neraka yang kini telah datang berkumpul, tersenyum lebar
menyeringai. Dua orang pemuda tanggung itu menjadi makin gelisah dan mulailah
mereka menduga bahwa tentu akan terjadi hal yang tidak baik bagi mereka.
"Kalau
Cu-wi tidak mau memberi tahu, biarlah kami pergi lagi saja dan kami tidak akan
mengganggu lebih lama lagi. Marilah, Lee-ko!" berkata Kian Bu yang sudah
hilang sabarnya menyaksikan sikap mereka.
"Hai,
nanti dulu! Kalian hendak pergi ke mana?" Hek-tiauw Lo-mo berkata nyaring
dan semua anak buahnya sudah bergerak menghadang kedua orang muda itu.
"Kami
hendak pergi dari sini!" Kian Bu membentak, marah sudah.
Melihat
kemarahan adiknya, Suma Kian Lee cepat berkata dengan suara masih penuh
kesabaran dan ketenangan, "Harap Cu-wi tidak menghalangi kami yang hendak
pergi lagi dengan aman."
"Ha-ha-ha,
tidak begitu mudah, orang-orang muda yang baik! Siapa pun dia yang telah
mendarat di Pulau Neraka, tidak dapat pergi begitu saja!"
"Pulau
Neraka...?" Kedua orang muda itu terbelalak setelah mengeluarkan kata-kata
ini. Tentu saja mereka telah mendengar akan Pulau Neraka dari penuturan orang
tua mereka, bahkan Kian Lee tahu pula bahwa ibu kandungnya dahulu adalah ketua
Pulau Neraka!
"Aihhh!
Jadi kalian ini adalah para penghuni Pulau Neraka dan kami berdua berada di
Pulau Neraka? Sungguh kebetulan sekali!" teriak Kian Bu dengan girang.
"Ha-ha-ha-ha,
mengapa kau katakan kebetulan, orang muda?" tanya Hek-tiauw Lo-mo, agak
kecewa mengapa kedua orang pemuda tanggung ini tidak takut mendengar nama Pulau
Neraka.
"Karena
ibu kami, ibu kandung kakakku ini, pernah menjadi ketua Pulau Neraka ini!"
"Bu-te...!"
Kian Lee terkejut melihat adiknya yang begitu sembrono mengakui hal itu.
Benar saja,
kakek itu terkejut sekali, namun lebih terkejut lagi adalah para penghuni Pulau
Neraka itu yang kini memandang kepada Kian Lee dengan mata bengong dan penuh
selidik. Mereka semua tahu bahwa majikan mereka yang dahulu sekarang telah
menjadi isteri Pendekar Super Sakti di Pulau Es.
Hek-tiauw
Lo-mo yang tidak mengenal apa yang dimaksudkan dengan wanita ketua Pulau Neraka
itu, bertanya mendesak, "Benarkah demikian?"
Karena
adiknya sudah terlanjur bicara, maka Kian Lee lalu berkata dengan suara tenang,
dan sesungguhnya, "Tidak salah ucapan adikku. Ibuku pernah menjadi ketua
Pulau Neraka, akan tetapi sekarang ibuku adalah penghuni Pulau Es. Kami berdua
datang dari Pulau Es, kami adalah dua orang putera Pendekar Super Sakti,
Majikan Pulau Es."
Mendengar
ucapan ini semua penghuni Pulau Neraka terbelalak. Serta merta mereka
menjatuhkan diri berlutut menghadap ke arah dua orang pemuda itu! Melihat
betapa semua anak buahnya memperlihatkan sikap menghormat kepada dua orang muda
yang mengaku datang dari Pulau Es itu, Hek-tiauw Lo-mo menjadi marah sekali.
Dia membanting kedua kakinya yang sebesar kaki gajah itu ke atas tanah sehingga
tanah sekeliling tempat dia berdiri tergetar seperti dilanda gempa bumi!
"Bangun
semua! Hayo bangkit semua, yang tidak bangkit akan kubunuh!"
Tentu saja
para anak buah Pulau Neraka terkejut dan ketakutan. Cepat mereka bangkit
berdiri sungguh pun mereka masih memandang ke arah Kian Lee dan Kian Bu dengan
sikap sungkan.
Hek-tiauw
Lo-mo telah meloncat ke depan dan dua orang pemuda tanggung itu melihat betapa
gerakan kakek ini ringan sekali, sama sekali tidak sepadan dengan tubuhnya yang
demikian besarnya.
"Bagus!
Jadi kalian adalah putera Pendekar Super Sakti dari Pulau Es? Siapa sih itu
Pendekar Super Sakti? Baru sekarang aku mendengar namanya! Tadinya kalian akan
kujadikan pesta, daging kalian yang muda tentu enak dipanggang. Akan tetapi
karena kalian adalah orang-orang Pulau Es, biarlah aku menjadikan kalian
tahanan di sini. Hendak kulihat apa yang akan dapat dilakukan oleh Pendekar
Super Sakti!"
Tiba-tiba
seorang yang tua dan tubuhnya gendut tinggi besar, menjatuhkan diri berlutut di
depan ketuanya.
"Ji
Song, engkau mau bicara apa?" Hek-tiauw Lo-mo membentak, masih marah
karena para anak buahnya tadi memberi penghormatan besar kepada dua orang
pemuda itu.
Ji Song
adalah seorang tokoh Pulau Neraka yang boleh dibilang tertua, juga dia lihai
sekali dan menjadi orang kedua setelah Hek-tiauw Lo-mo. Tentu saja sebagai
tokoh tua, dia cukup mengenal kehebatan Pendekar Super Sakti yang amat
ditakutinya itu. Maka begitu mendengar tantangan ketuanya, dia takut akan
akibatnya. Kalau Pendekar Super Sakti mengamuk, bukan hanya ketua Pulau Neraka,
mungkin seluruh penghuni Pulau Neraka akan menanggung akibatnya.
"Tocu,
harap maafkan saya... akan tetapi saya harap tocu tidak main-main dengan...
dengan Pendekar Super Sakti, Majikan Pulau Es. Hendaknya tocu percaya kepada
saya dan... dan sebaiknya kalau kedua orang pemuda ini dibebaskan saja agar
jangan timbul banyak urusan yang akan memusingkan saja."
Raksasa itu
mengelus jenggotnya dan mengangguk-angguk. "Hemmm, kalau bukan engkau yang
bicara aku tentu tidak akan percaya, Ji Song. Penghuni Pulau Neraka takut
terhadap seorang manusia lain? Engkau membangkitkan keinginan tahuku lebih
besar lagi, melihat engkau sendiri begitu takut! Seperti apakah Pendekar Super
Sakti?"
"Seperti
apa? Kalau dia datang, jangan harap engkau akan dapat hidup lebih lama
lagi!" Tiba-tiba Kian Bu berkata dengan suara mengejek. "Lagi pula
tidak perlu ayah datang, kami berdua pun tidak takut menghadapi kalian!"
"Bu-te...!"
Kian Lee mencela adiknya, kemudian dengan suara halus dia berkata kepada ketua
Pulau Neraka itu, "Harap tocu suka memaafkan kami dan apa yang dikatakan
oleh lopek itu tadi benar. Sebaiknyalah kalau di antara kita tidak timbul
permusuhan apa-apa. Harap tocu membiarkan kami pergi."
"Nanti
dulu, orang muda. Tidak begitu mudah menggertak Hek-tiauw Lo-mo, ha-ha-ha!
Boleh jadi ayah kalian itu berkepandaian tinggi dan membikin takut hati para
penghuni Pulau Neraka, akan tetapi aku yang belum pernah bertemu dengan
Pendekar Super Sakti, sama sekali tidak takut!"
"Habis,
apa yang hendak kau lakukan terhadap kami?" Kian Bu membentak lagi saking
marahnya. Kalau tidak melihat sikap kakaknya, tentu dia sudah menerjang maju
dan menggunakan kekerasan untuk membebaskan diri dan meninggalkan pulau
berbahaya itu.
"Ha-ha-ha,
seperti melihat bumi dengan langit. Begitu besar perbedaan antara mereka, akan
tetapi begitu sama tampan dan gagahnya! Orang-orang muda yang gagah dan tampan,
siapakah nama kalian?"
"Namaku
adalah Suma Kian Lee dan dia ini adalah adikku, Suma Kian Bu. Sekali lagi aku
mengharap kebijaksanaan tocu untuk membebaskan kami dan biarlah kami akan
menceritakan kepada ayah kami akan kebaikan hatimu itu."
"Oho!
Kau hendak menggunakan nama ayahmu untuk menakuti aku?"
"Habis,
kau mau apa?" Kian Bu membentak.
"Kalian
tidak boleh meninggalkan pulau ini sampai ayah kalian datang. Kalau benar ayah
kalian super sakti dan dapat mengalahkan aku, ha-ha-ha, hal yang sama sekali
tak mungkin, kalau aku kalah, baru kalian boleh pergi bersama ayahmu."
"Manusia
sombong! Aku tidak takut, akan kulihat bagaimana kau hendak menangkap
aku!" Kian Bu membentak lagi dan sudah memasang kuda-kuda dengan kokoh,
kedua kakinya menyilang dan agak ditekuk lututnya, kedua lengan di depan dan di
belakang tubuh, sikap yang siap menghadapi pengeroyokan banyak lawan yang
mengurungnya.
Kian Lee
yang kini maklum bahwa tidak mungkin dapat membujuk ketua Pulau Neraka, juga
sudah bersiap untuk membela diri, akan tetapi sikapnya tenang dan penuh
kewaspadaan. Cepat dia meloncat di belakang tubuh adiknya sehingga mereka
berdua berdiri saling membelakangi dan dengan demikian saling melindungi.
"Heh-heh-heh,
luar biasa! Ji Song, perintahkan lima orang untuk menangkap mereka. Hendak
kulihat gerakan mereka. Dari gerakan anak-anaknya, tentu aku akan dapat
mengukur kepandaian ayahnya," kata raksasa itu sambil tertawa penuh
kegirangan.
Kedua alis
Ji Song berkerut. Dia takut sekali terhadap Pendekar Super Sakti. Sudah sering
kali dia menyaksikan kehebatan sepak terjang pendekar yang menjadi Majikan
Pulau Es itu. Bahkan bekas ketuanya, wanita yang memiliki kepandaian tinggi,
sekarang menjadi isteri Pendekar Super Sakti dan seorang di antara kedua pemuda
ini, yang bersikap tenang dan gagah, adalah putera bekas ketuanya.
Tentu saja
dia menjadi jeri sekali dan kalau saja tidak takut kepada ketuanya yang baru
ini, yang dia tahu juga amat lihai dan kejam, tentu dia akan cepat-cepat
membiarkan kedua orang muda itu pergi, seperti membiarkan kedua ekor singa muda
yang masuk ke dalam rumahnya. Sekarang terpaksa dia menyuruh lima orang
pembantunya yang paling lihai untuk maju menangkap kedua orang muda ini.
"Tangkap
mereka, akan tetapi jangan sampai mereka terluka," perintahnya kepada lima
orang anak buahnya itu.
Lima orang
itu, tidak berbeda dengan Ji Song, adalah penghuni-penghuni lama Pulau Neraka,
tentu saja mereka pun gentar terhadap Pendekar Super Sakti dan terhadap Lulu,
bekas ketua mereka. Ngeri rasa hati mereka kalau mengingat bahwa mereka disuruh
melawan putera bekas ketua mereka itu! Akan tetapi karena mereka maklum bahwa
kalau mereka berani membangkang, tentu ketua mereka yang baru takkan ragu-ragu
membunuh mereka, bahkan mungkin makan daging mereka, lima orang itu mengangguk
lalu meloncat maju mengurung dua orang muda itu.
Kian Lee dan
Kian Bu tidak bergerak, tetap memasang kuda-kuda seperti tadi, tubuh mereka
seperti arca, sedikit pun tidak bergerak, hanya mata mereka yang melirik ke
kanan kiri mengikuti gerakan lima orang pengurung mereka itu. Seluruh urat
syarat di dalam tubuh mereka menegang dan dalam keadaan siap siaga.
Lima orang
itu juga tidak berani turun tangan secara sembrono karena mereka dapat menduga
bahwa dua orang muda ini tentulah memiliki ilmu kepandaian tinggi dan sama
sekali tidak boleh dipandang ringan. Maka mereka lalu mengurung sambil
melangkah perlahan-lahan mengelilingi dua orang muda itu, saling memberi tanda
dengan mata untuk mengatur gerakan mereka.
Ternyata
mereka itu hendak menggunakan bentuk barisan Ngo-seng-tin (Barisan Lima
Bintang) seperti yang diajarkan oleh ketua mereka yang baru. Melihat gerakan
anak buahnya ini, Hek-tiauw Lo-mo mengangguk-angguk dan mengelus jenggotnya
dengan girang, mulutnya tersenyum-senyum dan dia sudah merasa yakin bahwa dalam
beberapa gebrakan saja dua orang muda itu tentu sudah dapat diringkus dan
ditawan.
Tiba-tiba
seorang di antara lima penghuni Pulau Neraka itu mengeluarkan teriakan yang
menyayat hati saking tinggi lengkingannya, dan teriakan ini disusul oleh
teriakan keempat orang kawannya. Teriakan-teriakan ini mempunyai wibawa yang
amat kuat dan dengan teriakan-teriakan ini saja, musuh yang kurang kuat
sinkang-nya sudah akan dapat dirobohkan!
Harus
diketahui bahwa tingkat kepandaian para penghuni Pulau Neraka tidak boleh
disamakan dengan dahulu ketika Lulu masih menjadi ketua di situ. Ketika Lulu
masih menjadi ketua, belasan tahun sampai dua puluh tahun yang lalu, kepandaian
anak buah Pulau Neraka memang sudah hebat dan tingkat kepandaian atau kekuatan
sinkang mereka ditandai dengan warna muka mereka.
Muka mereka
sebagai akibat keracunan ketika berlatih di Pulau Neraka, berubah menjadi
berwarna-warna, ada yang merah, merah muda, biru, hijau, kuning dan sebagainya.
Makin muda warna muka mereka, makin tinggilah kepandaian mereka dan makin kuat
sinkang mereka. Ji Song yang kini menjadi pembantu utama ketua baru, dahulu
bermuka merah muda, merupakan tingkat ketiga dari Pulau Neraka. Akan tetapi
sekarang, semenjak Hek-tiauw Lo-mo menjadi ketua, tokoh sakti ini telah
memberikan latihan baru dan kepandaian para penghuni Pulau Neraka meningkat
demikian hebat hingga warna muka mereka telah berubah menjadi putih semua.
Putih seperti dikapur!
Hal ini
bukan merupakan tanda bahwa racun Pulau Neraka yang mengeram di tubuh mereka
lenyap, sama sekali tidak, bahkan perubahan itu datang karena hawa beracun lain
yang lebih hebat memasuki tubuh mereka. Hawa beracun yang tidak mengancam
keselamatan nyawa, melainkan yang mendatangkan tenaga sakti beracun yang hebat!
Mendengar
lengking-lengking mengerikan dan menyayat hati itu, Kian Lee dan Kian Bu cepat
mengerahkan sinkang mereka. Biar pun kedua orang pemuda tanggung ini telah
memiliki tingkat kepandaian yang luar biasa tingginya, akan tetapi mereka tidak
pernah bertempur dengan lawan tangguh, maka kini menghadapi pengeroyokan lima
orang yang menggunakan khikang untuk merobohkan mereka itu mereka menjadi terkejut
sekali. Mereka mampu mempertahankan serangan suara khikang ini dengan mudah,
namun rasa kaget di hati mereka membuat tubuh mereka agak bergoyang.
Hal ini
disalah tafsirkan oleh Hek-tiauw Lo-mo. Goyangan tubuh kedua orang pemuda
tanggung ini dianggapnya sebagai tanda bahwa sinkang mereka tidaklah begitu
kuat, maka dia tertawa bergelak dan membentak, “Lekas tangkap mereka!”
Mendengar
aba-aba yang keluar dari mulut sang ketua sendiri, lima orang itu cepat
bergerak. Seorang di antara mereka mendahului kawan-kawannya, menyerang Kian
Lee, orang kedua menyerang Kian Bu sedangkan tiga orang yang lainnya sudah
menerjang ke tengah-tengah di antara kedua orang muda itu.
Kian Lee dan
Kian Bu dengan mudah dapat menangkis serangan lawan masing-masing, akan tetapi
ketika melihat tiga orang yang lain menyergap ke bagian kosong di antara
punggung mereka, keduanya terkejut dan melompat dengan menggeser kaki. Sambil
mengelak ini, Kian Lee merendahkan tubuhnya, kakinya bergerak menyapu dengan
kecepatan kilat dan seorang lawan terpelanting!
Kian Bu juga
mengelak dengan melompat ke atas, dengan gaya yang amat indah tubuhnya
berjungkir balik di udara dan kedua tangannya bergerak menyambar ke arah kepala
dua orang pengeroyok lain. Gerakannya cepat sekali dan tidak terduga-duga, juga
amat ganas karena serangannya adalah serangan yang dapat mendatangkan maut.
Kalau jari tangannya menemui sasaran, yaitu ubun-ubun kepala, lawan yang betapa
kuat pun tentu akan terancam bahaya maut! Akan tetapi, seorang di antara mereka
melempar diri ke belakang sehingga terluput dari serangan itu, yang kedua
menangkis dan inilah kesalahannya. Biar pun ditangkis, karena Kian Bu menyerang
dari atas dan menggunakan inti tenaga Im-kang yang dingin, tetap saja orang itu
mengeluh, tubuhnya menggigil dan roboh terguling!
Dia tidak
terluka hebat, tetapi tubuhnya terbanting dan dia harus cepat bergulingan
menyelamatkan diri. Memang keistimewaan sinkang yang dilatih di Pulau Es adalah
sinkang yang mengandung hawa dingin. Dan seperti gumpalan es yang dingin,
sinkang ini amat kuat terhadap perlawanan dari bawah, amat kuat untuk menekan
ke bawah, berbeda dengan Yang-kang yang berhawa panas dan kuat sekali untuk
mendorong, terutama ke atas, sesuai pula dengan kekuatan api yang panas.
Dalam
segebrakan saja, dua orang pengeroyok telah terguling. Biar pun mereka tidak
roboh terluka, namun mereka telah terguling dan barisan mereka telah kacau, hal
ini menunjukkan betapa hebatnya dua orang muda itu! Hek-tiauw Lo-mo memandang
dengan melongo. Ia tadi sudah girang menyaksikan gerakan lima orang anak
buahnya dan ia melihat pula betapa lima orang itu menggunakan Ngo-seng-tin
dengan baiknya.
Bahkan
gebrakan pertama, sebagai serangan pembuka tadi sudah amat baik, yang dua orang
memancing perhatian kedua lawan, yang tiga orang mendobrak untuk membuat dua
orang kakak-beradik itu terpisah dan tidak saling melindungi dengan berdiri
saling membelakangi. Namun, biar pun kedua kakak beradik itu kini berpisah,
pihak anak buahnya yang menderita rugi, dan kalau dikehendaki, kedua orang
pemuda remaja itu tentu telah dapat berdiri saling melindungi lagi. Akan tetapi
agaknya mereka menganggap hal itu tidak perlu.
Dan memang
benar. Gebrakan pertama tadi membuat Kian Lee dan Kian Bu maklum bahwa para
pengeroyok mereka tidaklah sehebat yang mereka duga. Pertemuan tangan ketika
menangkis, gerakan mereka ketika menyergap, sekaligus membuat kakak beradik ini
mengerti bahwa untuk menghadapi lima orang ini saja, mereka berdua tidak perlu
untuk saling melindungi! Bahkan kini Kian Bu berkata, “Lee-ko, mundurlah dan
biarlah aku main-main dengan mereka ini.”
Kian Lee
percaya akan kekuatan adiknya, maka dia mengangguk lalu mundur dan berdiri
dengan sikap tenang. Hal ini tentu membuat Hek-tiauw Lo-mo makin terheran.
Benarkah lima orang anak buahnya hanya akan dihadapi oleh seorang pemuda saja?
Pemuda itu
masih belum dewasa benar, baru lima belas tahun usianya. Biar pun menerima
pendidikan orang pandai, tentu belum matang kepandaiannya dan banyak
pengalamannya. Hatinya merasa penasaran sekali dan perasaannya menegang ketika
ia melihat lima orang anak buahnya telah menerjang maju dengan gerakan
berbareng, menubruk dari lima jurusan seperti lima ekor burung rajawali
memperebutkan seekor kelinci, mereka mengulur lengan dengan jari-jari terbuka,
siap hendak mencengkeram dan menangkap.
Kian Bu yang
memang merasa penasaran dan marah sekali melihat sikap ketua Pulau Neraka, kini
menggunakan kepandaiannya dan mengerahkan sinkang-nya. Sengaja dia hendak
memperlihatkan kepandaiannya, maka tubuhnya sudah bergerak seperti gasing,
berputar dan sekaligus dia telah dapat menangkis lengan lima orang lawannya
dengan keras sekali sehingga lima orang lawannya itu berteriak kaget karena
tiba-tiba saja mereka merasa betapa hawa yang amat dingin menjalar melalui
lengan yang ditangkis, membuat mereka menggigil! Itulah inti yang dilatihnya di
Pulau Es, tenaga Im-kang yang disebut Swat-in Sin-ciang (Inti Salju).
Melihat lima
orang lawannya dapat dibuatnya mundur dengar tangkisan tadi, kini tubuhnya
bergerak cepat dan kedua lengannya meluncur ke arah lima orang itu seperti dua
ekor ular yang bergerak ganas dan cepat sekali. Pemuda ini telah mainkan Ilmu
Silat Sin-coa-kun (Ilmu Silat Ular Sakti) yang dipelajarinya dari ibunya,
Puteri Nirahai. Demikian cepatnya kedua lengannya itu bergerak sehingga sukar
diikuti pandangan mata para pengeroyoknya, juga amat sukar diduga terlebih
dahulu.
“Bu-te,
jangan lukai orang!” Kian Lee berseru karena dia tidak menghendaki adiknya yang
berwatak keras itu menimbulkan keributan dan memperbesar permusuhan dengan
Pulau Neraka
Untunglah
bagi lima orang Pulau Neraka itu bahwa Kian Bu selalu mentaati perintah
kakaknya, kalau tidak, tentu mereka itu akan tewas!
Mendengar
ucapan kakaknya, Kian Bu mengubah totokannya yang tadinya ditujukan kepada
jalan darah berbahaya dengan tamparan-tamparan yang mengenai dada mereka.
Tamparan yang tidak begitu keras tetapi akibatnya cukup hebat. Berturut-turut
lima orang itu mengeluh, tubuh mereka menggigil dan tergulinglah mereka ke atas
tanah.
Melihat lima
orang anak buahnya menggigil dan muka mereka kebiruan, Ji Song cepat
menghampiri mereka dan dengan menempelkan telapak tangannya sebentar dalam
gerakan menekan, dia telah menyalurkan sinkang dan membantu mereka mengusir
keluar hawa dingin yang menyesak dada. Lima orang itu maklum bahwa mereka
bukanlah lawan pemuda tanggung itu, maka mereka lalu mundur mentaati isyarat
mata yang diberikan Ji Song kepada mereka.
Hek-tiauw
Lo-mo mengerutkan alisnya yang sudah terhias uban. Sama sekali tidak diduganya
keadaan akan menjadi demikian. Lima orang anak buahnya kalah oleh seorang
pemuda tanggung, hanya dalam segebrakan saja! Hal yang tidak mungkin! Akan
tetapi jelas telah terjadi! Gerakan tangan pemuda itu tadi amat cepat dan
hebat, dilakukan dengan tenang, ciri khas ilmu silat yang tinggi tingkatnya.
Mulai
khawatirlah hatinya. Benarkah ayah dua orang pemuda yang berjuluk Pendekar
Super Sakti itu amat hebat ilmunya? Tidak, tidak bisa dia percaya bahwa di
dunia ini ada seorang tokoh yang akan mampu menandinginya.
“Bagus
sekali!” Hanya satu kali dia menggerakkan kaki dan tubuhnya sudah mencelat ke
depan Kian Bu dan Kian Lee. Sejenak dia menatap wajah kedua orang pemuda
tanggung itu. “Kalian ternyata memiliki juga sedikit kepandaian. Hendak kulihat
apakah kalian dapat bertahan sampai sepuluh jurus melawanku. ”
“Tocu,
mengapa tocu mendesak kami? Kami berdua orang muda sama sekali tidak mempunyai
niat untuk melawan tocu. Mana kami berani bersikap begitu kurang ajar?” Kian
Lee masih berusaha membujuk ketua itu.
“Ha-ha-ha,
apakah kalian takut?”
Mata Kian Bu
yang sudah merasa tidak puas menyaksikan sikap kakaknya yang terlalu mengalah,
kinl meledak menjadi kemarahan mendengar tantangan ketua itu. Dia bertolak
pinggang dan membentak, “Iblis tua, siapa takut kepadamu?”
Kian Lee
terkejut mendengar adiknya memaki, akan tetapi karena memang julukan ketua itu
adalah Iblis Tua Rajawali Hitam, maka disebut Lo-mo (Iblis Tua) oleh Kian Bu,
ketua itu tidak menjadi marah, bahkan tertawa. “Kalau tidak takut, lekas maju
dan menyerangku.”
Kian Bu
sudah siap, mengepal kedua tinjunya.
“Bu-te,
perlahan dulu,“ tetapi kakaknya memperingatkan.
“Ha-ha,
orang muda yang halus. Kau pun boleh maju. Majulah kalian berdua dan hendak
kulihat apakah kalian berdua sanggup bertahan sampai sepuluh jurus.”
“Kakek
sombong!” Kian Bu membentak lagi. “Mari kita maju, Lee-ko. Dia yang menantang
dan akan malulah ayah dan ibu kalau kita tidak menyambut tantangannya!”
Kian Lee
mengangguk kepada adiknya dan berkata, “Hati-hatilah, Bu-te, kau jangan sembrono.”
Melihat
kedua orang pemuda itu sudah siap, Hek-tiauw Lo-mo tertawa. “Ha-ha-ha, majulah
kalian...”
Sejenak
mereka saling berpandangan. Kakek itu berdiri dengan kedua kaki terpentang
lebar dan kedua tangannya di pinggang. Celana yang pendek, hanya sebatas lutut
itu membuat dia kelihatan seperti seorang pengemis saja, akan tetapi kedua
kakinya kelihatan bersih dan putih kulitnya, walau pun penuh dengan bulu dan
otot yang melingkar-lingkar. Juga kedua lengannya yang hanya tertutup baju
dengan lengan sampai ke siku, kelihatan kekar dan kuat.
“Hyaaattt...!”
Kian Bu yang
sudah marah sekali itu kini sudah mendahului kakaknya, menerjang maju dan
kembali dia menggunakan ilmu simpanan yang dipelajarinya dari ibunya yaitu
sebuah jurus pilihan dari Ilmu Silat Pat-sian-kun (Ilmu Silat Delapan Dewa).
Mula-mula
dia meloncat ke depan sambil memekik nyaring, dari atas tubuhnya lantas
menerjang dengan pukulan tangan kanan mengarah dahi lawan, sedang tangan kiri
mencengkeram ke arah pusar. Akan tetapi secara tiba-tiba sekali gerakan yang
hanya merupakan pancingan itu berubah sama sekali, tubuhnya menurun dan
tahu-tahu pukulannya berubah menjadi serangan dari bawah, menotok ke arah ulu
hati dan menonjok ke arah perut. Inilah jurus yang disebut Ciu-san-hoan-eng
(Dewa Arak Menukar Bayangan).
“Ha-ha-ha,
bagus!”
Kakek itu
mengubah kedudukan kakinya yang tadi terpentang lebar, dengan loncatan kecil
dia mundur, kini menggunakan kuda-kuda dengan kaki kiri di depan dan kanan di
belakang, tubuh agak merendah, kedua lengannya yang berotot bergerak cepat,
yang kiri menangkis totokan lawan, yang kanan bergerak menangkap pergelangan
tangan kiri Kian Bu.
“Dukkkk!”
Pertemuan
kedua lengan ketika kakek itu menangkis mengejutkan hati Kian Bu karena dia
merasa betapa seluruh tubuhnya tergetar hebat, tanda bahwa tenaga sinkang kakek
itu kuat bukan main, sedangkan tangan kirinya yang tadinya memukul, kini tanpa
dapat dihindarkan lagi karena luar biasa cepatnya gerakan lawan, tahu-tahu
telah dicengkeram pergelangannya oleh kakek itu yang masih tertawa-tawa!
Kian Bu
mengerahkan Swat-im Sin-ciang, akan tetapi kakek itu masih enak saja tertawa,
seolah-olah tenaga Inti Salju itu tidak ada artinya baginya. Padahal, diam-diam
kakek itu juga terkejut bukan main ketika merasa betapa hawa dingin yang tak
dapat dilawannya menyusup melalui tangan pemuda itu memasuki lengannya!
Kian Lee
lebih hati-hati dari pada adiknya. Ketika tadi dia melihat adiknya menyerang
dengan dahsyat, dia diam saja, hanya mendekat dan siap membantu. Dia maklum
bahwa kakek ketua Pulau Neraka ini tentu lihai sekali dan dugaannya ternyata
tepat ketika melihat betapa menghadapi serangan adiknya yang amat dahsyat itu,
Hek-tiauw Lo-mo tidak hanya dapat menangkis, bahkan berhasil memegang
pergelangan tangan kiri Kian Bu.
“Wuuuuutttt...!
Plak-plak!”
Kedua
pukulan Kian Lee yang mengarah lambung dan tengkuk kakek itu berhasil ditangkis
dengan tepat oleh Hek-tiauw Lo-mo, akan tetapi ketika melihat datangnya pukulan
yang mendatangkan angin dingin ini, terpaksa dia melepaskan tangan Kian Bu
karena maklum bahwa serangan pemuda kedua ini pun hebat sekali.
Dia makin
penasaran dan mulailah mengeluarkan kepandaiannya. Tubuhnya bergerak-gerak
seperti orang menari, akan tetapi tarian yang liar dan buruk, dan memang ilmu
silat kakek ini bersumber kepada tari-tarian bangsa yang masih liar dan belum
beradab, dan melihat unsur-unsur ajaib dalam gerakan tari liar ini, dia lalu
menciptakan semacam ilmu silat dengan menggabungkan unsur-unsur itu dengan inti
ilmu silat yang pernah dipelajarinya.
Terjadilah
pertandingan yang amat hebat! Pertandingan antara seorang kakek raksasa yang
dikeroyok oleh dua orang pemuda tanggung, yang membuat semua penghuni Pulau
Neraka, bahkan Ji Song sendiri, terbelalak dan ternganga penuh kagum. Tubuh
tiga orang itu berkelebatan, kadang-kadang lenyap terbungkus bayangan lengan mereka,
kadang-kadang mencelat ke sana-sini, sehingga bagi mereka sukar sekali
menentukan siapa di antara kedua pihak yang mendesak dan siapa pula yang
terdesak!
Dapat
dibayangkan betapa kaget dan penuh penasaran rasa hati Hek-tiauw Lo-mo! Tadi
dia menantang dan mengejek karena dia merasa yakin bahwa dalam waktu kurang
dari sepuluh jurus dia tentu akan berhasil mengalahkan dua orang pemuda
tanggung itu dan mampu menawannya.
Akan tetapi
siapa mengira, setelah lewat lima puluh jurus belum juga dia mampu mengalahkan
mereka, bahkan beberapa kali hampir saja dia menjadi korban kedahsyatan
serangan mereka, dan setiap kali bertemu dengan tangan mereka, tentu ada hawa
dingin menyusup yang sungguh pun dapat dilawannya dengan sinkang-nya yang amat
kuat, namun tetap saja dia merasa kulit lengannya dingin seperti terkena salju.
Rasa
penasaran membuat kakek ini merasa malu dan marah. Malu kepada para anak
buahnya dan marah kepada kedua orang pemuda itu. Akan tetapi untuk menjatuhkan
tangan maut, dia merasa sayang. Selain keinginan makan daging mereka yang
timbul melihat daging muda mereka yang menimbulkan seleranya, juga ia ingin
menggunakan mereka sebagai pancingan agar orang yang berjuluk Pendekar Super
Sakti yang amat ditakuti oleh semua penghuni Pulau Neraka itu datang ke tempat
itu.
“Terimalah
ini...!” Kedua tangan kakek itu bergerak.
Kian Lee dan
Kian Bu terkejut dan cepat mereka bergerak mengelak karena mengira bahwa kakek
itu tentu menggunakan senjata rahasia untuk menyerang mereka. Akan tetapi
tiba-tiba tampak benda seperti kabut atau uap tebal mengurung mereka dan ketika
mereka berdua meloncat, ternyata bahwa kabut itu adalah sebuah jala yang
terbuat dari bahan tipis sekali tetapi amat ulet dan kuat! Saat mereka berdua
meloncat, tubuh mereka tentu saja terhalang jala dan mereka berdua terguling.
Jala yang aneh itu makin menggulung mereka hingga kedua orang pemuda tanggung
itu tak dapat meloloskan diri, betapa pun mereka meronta-ronta dan
menarik-narik jala tipis itu.
Penggunaan
jala sebagai senjata ini memang luar biasa sekali. Jala itu sedemikian tipisnya
sehingga tadi dapat dikepal di kedua tangan Hek-tiauw Lo-mo, akan tetapi
setelah dilempar dan dikembangkan, dapat menyelimuti tubuh kedua orang pemuda
itu. Senjata istimewa ini merupakan sebuah di antara senjata-senjata yang hebat
dan aneh dari Hek-tiauw Lo-mo, dan jala ini dibuatnya ketika dia menjadi raja
bangsa biadab di dalam hutan liar di selatan, bahannya dibuat dari otot-otot
binatang semacam rubah aneh yang hanya terdapat di dalam hutan itu. Otot-otot
binatang ini amat ulet, sukar dibikin putus oleh senjata tajam sekali pun, dan
memiliki sifat melar seperti karet.
Setelah
menotok jalan darah kedua orang pemuda itu, Hek-tiauw Lo-mo menyimpan kembali
jalanya dan memerintahkan kepada Ji Song, “Tangkap dan belenggu mereka!
Masukkan ke dalam kamar tahanan dan jaga jangan sampai lolos, tetapi perlakukan
mereka dengan baik.”
Ji Song
meneruskan perintah ini kepada para anak buahnya dan setelah kedua orang pemuda
yang tak dapat bergerak lagi itu digotong pergi, Hek-tiauw Lo-mo berkata kepada
Ji Song, “Suruh orang menyampaikan berita ke Pulau Es bahwa mereka kita tawan.”
“Maaf, tocu.
Apakah tocu sudah memikirkan secara mendalam persoalan ini?” Ji Song berkata.
“Apa gunanya bermusuh dengan Pendekar Super Sakti? Dia pun tidak pernah
mengganggu kita. Lebih baik kedua orang pemuda itu dibebaskan saja.”
Hek-tiauw
Lo-mo mengerutkan alisnya. “Tidak mengganggu kita, ya? Bukankah aku tadi mendengar
dari kalian bahwa Pulau Neraka ini dahulunya merupakan tempat pembuangan?
Pembuangan dari kerajaan di Pulau Es?”
“Itu adalah
sejarah dahulu, tocu. Akan tetapi kini Kerajaan Pulau Es telah tidak ada,
bahkan kabarnya Pendekar Super Sakti pun bukan keturunan dari Kerajaan Pulau
Es.”
“Sudah,
diamlah, Ji Song! Aku merasa penasaran kalau belum dapat bertemu dengan dia dan
mengalahkannya.”
“Dia sakti
sekali, tocu.”
“Aku tidak
takut. Aku sudah siap menghadapinya. Pula, kedua orang puteranya berada di tangan
kita, takut apa?”
***************
Kita
tinggalkan dulu Kian Lee dan Kian Bu yang sedang tertawan di Pulau Neraka dan
dijadikan umpan oleh Hek-tiauw Lo-mo untuk memancing datang Pendekar Super
Sakti, dan marilah kita menengok peristiwa lain yang terjadi pada waktu itu,
terjadi jauh di sebelah barat daratan besar.
Negara
Bhutan berada jauh di selatan Tiongkok, merupakan sebuah kerajaan kecil namun
yang rakyatnya memiliki kebudayaan tinggi, menjadi perpaduan dan perantara
antara Negara India dan Tiongkok. Karena dihimpit oleh dua buah negara besar
yang memiliki kebudayaan tinggi itu, Nepal atau Bhutan mencangkok kebudayaan
keduanya dan karenanya di situ terdapat banyak orang-orang pandai dari kedua
negara itu.
Daerah
Pegunungan Himalaya terkenal sebagai pegunungan yang paling tinggi di seluruh
dunia, paling tinggi dan paling luas. Selain amat luas, juga pegunungan ini
amat terkenal sebagai tempat yang suci, bahkan bagi yang percaya terdapat
keyakinan bahwa para dewa yang tersebut dalam dongeng-dongeng bertempat tinggal
di pegunungan inilah! Karena kepercayaan ini agaknya, dan terutama sekali
karena keindahan alamnya dan kesunyiannya, maka Pegunungan Himalaya menjadi
tempat pelarian para pendeta, pertapa dan manusia-manusia yang ingin
mengasingkan diri dari dunia ramai.
Di sebuah
dusun tak jauh dari kota raja, di kaki Pegunungan Himalaya, pada suatu pagi
yang sejuk, tampaklah belasan orang pria yang bertubuh tegap dan kuat sedang
berlatih ilmu silat. Tubuh mereka, dari yang besar sampai yang kecil kurus,
kelihatan kuat dan berisi tenaga besar ketika mereka bergerak secara berbareng
dengan tubuh atas telanjang, hanya memakai celana panjang dan sepatu, rambut
mereka dikuncir semua, mengikuti petunjuk dan aba-aba yang keluar dari mulut
seorang kakek berwajah tampan gagah yang bertopi bulu.
Kakek ini
usianya sudah tua sekali, tentu kurang lebih ada delapan puluh tahun, namun
sikapnya masih amat gagah, sungguh pun gerak-geriknya halus dan wajahnya tampan
terpelihara. Suaranya masih lantang ketika dia mengeluarkan aba-aba agar
gerakan mereka yang sedang berlatih itu dapat seirama, sedang kaki tangannya
masih tangkas ketika dia memberi contoh gerakan.
“Tu-wa-ga-pat-ma-nam-ju-pan!
Tu-wa-ga-pat-ma-nam-ju-pan!” demikian aba-abanya.
Makin cepat
aba-aba dihitung, bertambah cepat pula gerakan mereka yang sedang berlatih
hingga terdengar angin bersuit dan buku-buku lengan kaki berkerotokan ketika
mereka bergerak memukul dan menendang.
“Hemmm,
mengapa pula engkau, Ceng Ceng?” Kakek itu menghentikan hitungannya, membiarkan
para murid itu bergerak dengan irama mereka sendiri, sedangkan dia melangkah ke
arah kanan sebelah kiri rombongan pemuda yang sedang latihan itu, kemudian
berhadapan dengan seorang dara remaja yang tadinya ikut pula berlatih.
Dara remaja
itu tentu belum ada lima belas tahun usianya. Wajahnya cantik manis, bentuk
tubuhnya kecil ramping namun juga padat berisi, pakaiannya sederhana dan
rambutnya yang panjang dan gemuk itu dibagi menjadi dua kuncir yang besar dan
panjang, bergantungan di depan dadanya. Kedua kakinya masih memasang kuda-kuda
seperti mereka yang sedang berlatih, tetapi kedua lengannya tidak melakukan
gerakan memukul-mukul lagi. Mulutnya yang kecil mungil itu cemberut dan matanya
yang lebar seperti sepasang bintang itu membayangkan kekesalan hati.
Dara itu
tidak menjawab teguran kakeknya melainkan hanya mengurut-urut bahu dan
lengannya, kepalanya menunduk dan kedua kakinya diluruskannya kembali.
Kakek itu
menghela napas panjang. “Hahhhh... kau... terlalu, Ceng Ceng! Selalu tidak
mentaati perintahku. Mula-mula engkau akhir-akhir ini tidak mau berlatih di
dekat para suhengmu...”
“Kongkong
(kakek), bagaimana aku tahan berlatih dekat mereka. Keringat mereka memercik ke
sana-sini!” Dara itu membentak.
Kakek itu
menahan geli hatinya. Gadis yang menjadi cucunya ini selalu ada saja bahan untuk
menyangkal dan membantah, dan selalu menyatakan sesuatu dengan jujur sehingga
kadang-kadang lucu. Memang tak dapat dibantah bahwa tubuh-tubuh sehat tanpa
baju itu di waktu berlatih mengeluarkan banyak keringat dan gerakan cepat itu
membuat keringat mereka memercik ke sana-sini!
“Sekarang,
latihan yang amat penting ini kau abaikan juga.”
“Habis, kaki
tanganku sudah pegal dan kaku semua, kongkong! Masa untuk satu jurus saja harus
diulang sampai lima ratus kali!”
“Hmm, kau
tidak tahu keganasan jurus istimewa ini. Jurus Kong-jiu cam-liong (Dengan
Tangan Kosong Membunuh Naga) ini merupakan satu di antara jurus-jurus pilihan
dari ilmu silat kita. Diulang sampai lima ratus kali pun kalau belum sempurna
harus diulang terus!”
“Apa
gerakanku belum sempurna?”
“Engkau
sudah menguasai gerakan ilmu silat kita, tetapi para abangmu itu? Mereka harus
diberi semangat, dan dengan mencontoh gerakanmu, mereka tentu akan lebih tekun.
Lihat, betapa besar semangat mereka melatih jurus ini.”
Dara yang
bernama Ceng Ceng itu menengok dan mulutnya yang tadi merengut kini tersenyum
mengejek, cuping hidungnya sedikit bergerak. “Semangat apa? Mereka semua
menoleh ke sini!”
Kakek itu
cepat menengok dan benar saja. Mereka itu masih bergerak, akan tetapi mata
mereka semua mengerling ke arah dara itu sehingga kelihatannya lucu.
“Ihh, engkau
yang menjadi gara-gara!” Kakek itu memaki lirih, kemudian menghampiri lagi ke
depan para muridnya dan kembali terdengar hitungannya yang menambah semangat.
Kini para
murid itu tidak berani lagi mengerling ke arah sumoi mereka. Terpaksa pula Ceng
Ceng juga bergerak lagi, akan tetapi biar pun gerakannya lemas dan baik, dia
seperti tidak menggunakan tenaga sehingga kalau para suheng-nya itu ngotot
dengan pengerahan tenaga, dia kelihatan lebih mirip dengan orang menari!
Kakek itu
bukanlah orang sembarangan. Dulu dia bekerja sebagai seorang pengawal kaisar di
Tiongkok, memiliki ilmu kepandaian tinggi dalam ilmu silat dan ilmu sastera.
Namun nasib malang menimpa diri kakek ini saat dia sudah mengundurkan diri
sebagai pengawal dengan adanya peristiwa yang menimpa keluarganya sehingga
akhirnya dia mengasingkan diri di dusun terpencil di kaki Pegunungan Himalaya
ini.
Ketika masih
berada di Tiongkok, kakek ini sudah kehilangan putera tunggalnya dan mantunya,
dan hanya hidup berdua dengan seorang cucunya, cucu wanita bernama Lu Kim Bwee.
Kurang lebih lima belas tahun yang lalu, peristiwa hebat menimpa diri Lu Kim
Bwee ini. Cucunya yang juga telah digemblengnya dengan ilmu silat itu, pada
suatu malam telah dibuat tidak berdaya oleh seorang muda dan diperkosa!
Akibatnya, Lu Kim Bwee mengandung! Semua peristiwa itu diceritakan dengan jelas
dalam cerita Sepasang Pedang Iblis.
Melihat
penderitaan cucunya itu, Lu Kiong lalu mengajak Lu Kim Bwee untuk pergi
meninggalkan Tiongkok. Akhirnya mereka tinggal di dusun kecil di kaki
Pegunungan Himalaya itu. Di tempat terpencil dan sunyi ini, Lu Kim Bwee
melahirkan seorang anak perempuan, akan tetapi malang sekali, ibu muda itu
meninggal dunia ketika melahirkan karena memang dia selalu berduka dan batinnya
terhimpit oleh peristiwa yang sangat memalukan dirinya itu. Anak yang terlahir
selamat itu lalu diberi nama Lu Ceng dan sebenarnya anak ini adalah cucu buyut
dari kakek Lu Kiong, akan tetapi diakui sebagai cucunya.
Biar pun
kini kehidupannya di dalam dusun itu bersama cucu buyutnya dapat dikatakan
tenteram dan penuh damai, namun kakek yang tua ini masih selalu gelisah kalau
mengingat akan masa depan cucu buyutnya itu. Pernah dia ditekan dan merasa
terdesak oleh pertanyaan Ceng Ceng yang berwatak periang, cerdik dan jenaka
itu, yaitu pertanyaan mengenai ayah dara itu. Tadinya dia hanya memberi tahu
kepada Ceng Ceng bahwa nama ibunya adalah Lu Kim Bwee. Dara yang cerdik itu
cepat membantah.
“Tidak
mungkin itu, kongkong!”
“Apanya yang
tidak mungkin?”
“Kalau ibu
she Lu, mengapa aku juga she Lu?”
“Ahh... kau
sebetulnya... ah, engkau memang she Lu, cucuku.”
“Hemm,
kongkong menyembunyikan sesuatu dariku! Siapakah ayahku? Dan di mana ayah? Apa
dia sudah meninggal? Mengapa pula aku tidak diberi she (nama keturunan)
ayahku?”
Dihujani
pertanyaan ini, kakek Lu Kiong menjadi sibuk sekali sehingga akhirnya dia mengaku
juga. “Ayahmu bernama... Gak Bun Beng.”
“Gak Bun
Beng...” Dara itu membisikkan nama itu seolah-olah hendak menanamkan nama itu
di dalam hatinya. “Kalau begitu, namaku adalah Gak Ceng, bukan Lu Ceng!”
“Tidak, Ceng
Ceng!” Kakek itu membentak dan terkejutlah dara itu karena selamanya belum
pernah dia mendengar suara kakeknya mengandung kemarahan seperti itu.
“Mengapa,
kongkong?”
“Namamu
tetap Lu Ceng!”
“Tapi
ayahku...”
“Tidak! Kau
tidak perlu memakai nama keturunan orang itu!”
“Mengapa...?”
Wajah Ceng Ceng menjadi berubah agak pucat.
“Dia...
dia... sudah meninggalkan ibumu, dia membuat ibumu hidup sengsara sehingga
meninggal dunia ketika melahirkan kau.”
“Ouhhh...”
Ceng Ceng kecewa bukan main mendengar ini. Akan tetapi pikirannya yang cerdik
itu menduga-duga. Tak mungkin agaknya ayahnya meninggalkan ibunya begitu saja
tanpa sebab.
“Mengapa
ayah meninggalkan ibu?” desaknya lagi.
“Entahlah.
Dia bukan orang baik, karena itu kau harus memakai nama keturunan kita, nama
keturunan Lu.”
“Aku akan
mencari ayah, biar kutanya sendiri mengapa dia sampai hati meninggalkan ibu!”
“Jangan...!
Takkan ada gunanya, dia... dia sudah mati...”
“Ouhhh...”
Dan kini dara itu terisak menangis.
Lu Kiong
menarik napas panjang. Hatinya terasa perih mengenang semua peristiwa yang
menimpa diri cucunya, Lu Kim Bwee, belasan tahun yang lalu. Tentu saja dia
tidak mau membuka rahasia itu, tidak sampai hati dia menceritakan cucu buyutnya
ini bahwa ibunya diperkosa orang, bahwa dia adalah seorang anak haram! Dia
tidak ingin melihat dara ini jadi menyesal dan berduka, merasa rendah dan
membenci ayahnya sendiri. Biarlah riwayat yang mendatangkan aib itu dikubur
bersama meninggalnya Lu Kim Bwee dan Gak Bun Beng.
Tentu saja
dia pun tidak mau menceritakan bahwa Gak Bun Beng, ayah dara ini, tewas di
tangan ibunya sendiri, yaitu ketika Lu Kim Bwee mengeroyok Gak Bun Beng dengan
wanita-wanita yang lain yang juga menjadi korban keganasan jai-hwa-cat
(penjahat pemerkosa) itu! Tentu saja kakek ini, juga cucunya, Lu Kim Bwee yang
telah meninggal dunia ketika melahirkan Ceng Ceng, sama sekali tidak pernah
menduga bahwa orang yang bernama Gak Bun Beng, yang mereka sangka telah tewas
itu, sebetulnya sama sekali belum tewas.
Untuk
mengisi kekosongan hidupnya di dusun yang terpencil di kaki Pegunungan Himalaya
itu, kakek Lu Kiong menerima murid-murid untuk dilatih ilmu silat. Tentu saja
dia memilih dalam penerimaan murid ini, dan setelah dia kumpulkan, hanya ada
lima belas orang pemuda di sekitar daerah itu yang diterimanya menjadi
murid-muridnya. Tentu saja karena Ceng Ceng telah digemblengnya sejak kecil
sedangkan penerimaan murid dilakukan setelah Ceng Ceng berusia dua belas tahun,
maka biar pun Ceng Ceng disebut sumoi (adik perempuan seperguruan) namun dalam
hal ilmu silat dara ini jauh lebih pandai dari pada semua suheng-nya.
Kekesalan
hati Ceng Ceng di pagi hari itu bukan hanya karena dia jemu berlatih silat.
Sama sekali tidak. Sesungguhnya dia amat gemar berlatih ilmu silat dan bakatnya
amat baik. Akan tetapi pagi itu lain lagi. Ada berita menggemparkan bahwa
rombongan utusan kaisar Tiongkok akan lewat di dusun itu dalam perjalanan
mereka menuju ke kota raja, untuk memboyong puteri Raja Bhutan ke Tiongkok
karena puteri itu telah dijodohkan dengan seorang pangeran Mancu yang menguasai
Tiongkok di waktu itu.
Rombongan
utusan kaisar Mancu ini kabarnya membawa pula peralatan dan hadiah-hadiah
istimewa sehingga semua penduduk di daerah yang akan dilalui rombongan telah
bersiap-siap untuk menonton! Tentu saja Ceng Ceng, seorang dara remaja yang
masih mempunyai sifat kekanak-kanakan dan haus akan segala yang menarik hati,
ingin sekali menonton, maka latihan-latihan keras yang diadakan kakeknya pada
saat seperti itu membuat hatinya mendongkol.
Betapa pun
juga, Ceng Ceng tidak mau membantah lagi kepada kongkong-nya, apa lagi di depan
lima belas orang suheng-nya. Dan dia sudah ikut pula berlatih, biar pun hanya
dengan setengah hati. Latihan berjalan tertib kembali dan yang terdengar hanya
bentakan-bentakan mereka yang mengikuti pukulan-pukulan tertentu, suara
pernapasan dan suara kakek yang menghitung dengan irama yang khas.
Tiba-tiba
terdengar suara tambur yang datang dari jauh dan makin lama semakin mendekat,
kini terdengar keras diselingi sorak-sorai suara anak-anak, membuat Ceng Ceng
hampir menangis. Suara tambur itu seolah-olah mengejeknya, seolah mengiringi
gerakannya berlatih. Ketika dia melirik ke arah kongkong-nya dan para
suheng-nya, mereka itu masih tenggelam ke dalam semangat yang tetap menggelora.
Hampir Ceng
Ceng terisak-isak dan lari dari tempat itu, tetapi ia merasa malu kepada para
suheng-nya, dan takut kepada kongkong-nya. Betapa besar keinginan hatinya untuk
pergi menonton rombongan utusan itu! Utusan raja dari Tiongkok! Banyak sudah
dia mendengar tentang kehebatan kota raja di sana, akan tetapi hanya mendengar
dari cerita kakeknya, bahwa kota raja di Tiongkok seratus kali lebih besar dan
lebih megah dibandingkan dengan kota raja dengan istananya dan rumah-rumah
besar di Bhutan yang telah pernah dilihatnya. Dan sekarang, selagi kesempatan
tiba dengan datangnya rombongan utusan kaisar, dia tidak bisa menonton, bahkan
harus terus berlatih silat! Siapa tidak akan mendongkol hatinya?
Pada saat
itu seorang pelayan memasuki kebun tempat berlatih itu, menghadap kakek Lu
Kiong dan memberitahukan bahwa di luar datang seorang tamu yang hendak bertemu
dengan kakek Lu Kiong. Kakek itu lalu menggapai muridnya yang pertama.
“Kau
lanjutkan, wakili aku memimpin latihan ini baik-baik. Aku akan menemui tamu.”
“Baik,
suhu!”
Kakek itu
pergi setelah menoleh ke arah cucunya, kemudian menghela napas dan pergi
bersama pelayan itu memasuki rumahnya. Begitu kakek itu lenyap di balik pintu,
Ceng Ceng serta merta menghentikan latihannya dan berlari meninggalkan tempat
latihan menuju ke pintu samping kebun itu.
“Haiii...
sumoi...! Kau tidak boleh pergi!” kata murid pertama yang mewakili gurunya.
Tetapi Ceng
Ceng telah tiba di pintu kebun samping. Mendengar seruan twa-suheng-nya (kakak
seperguruan pertama), dia membalikkan tubuh dengan gaya mengejek, membusungkan
dada, membuka bibir dari kanan kiri dengan kedua telunjuknya dan menjulurkan
lidahnya untuk mengejek suheng-nya itu, kemudian tertawa terkekeh dan lari dari
tempat itu.
Twa-suheng-nya
hanya menarik napas panjang saja karena apa dayanya terhadap sumoi-nya yang
manja dan bengal itu? Kalau dia berkeras melarang, salah-salah dia bisa dilawan
oleh sumoi-nya, dan tentu saja dia tidak menghendaki hal ini. Dia dan para
saudara seperguruannya terlampau sayang kepada sumoi yang cantik jelita, bengal
akan tetapi selalu mendatangkan kegembiraan karena wataknya yang periang dan
jenaka itu. Dan dia tahu pula betapa besar keinginan hati sumoi-nya untuk
menonton rombongan utusan kaisar.
Hati Ceng
Ceng merasa gembira bukan main. Dengan mata bersinar-sinar dan wajah berseri
dia menonton rombongan yang megah itu lewat di dusun untuk melanjutkan
perjalanan mereka ke kota raja yang tidak begitu jauh lagi letaknya dari dusun
itu. Bersama para penonton lain yang terdiri dari anak anak dan orang tua
laki-laki dan wanita, Ceng Ceng terus terbawa oleh rombongan itu. Tanpa terasa
kedua kakinya mengikuti rombongan yang berpakaian indah-indah, membawa bendera
dan tombak tanda kebesaran yang mengutus mereka, barang-barang berharga dipikul
dan berada di dalam peti-peti yang berukir indah. Dengan hati kagum Ceng Ceng
terus mengikuti rombongan itu, bersama banyak anak-anak lain dan para penonton,
menuju ke kota raja.
Akan tetapi
setibanya rombongan itu di pintu gerbang istana di kota raja Bhutan, para
penonton itu tentu saja tak diperkenankan masuk! Penonton menjadi semakin
banyak, tertambah oleh penduduk di sekitar istana di kota raja itu sendiri dan
dari dusun-dusun lain yang sengaja datang ke kota raja untuk menonton keramaian
ini.
Para penjaga
dengan ketat menjaga pintu gerbang dan tidak memperkenankan rakyat untuk
memasuki pintu gerbang. Karena hal ini mendatangkan rasa kecewa dan protes para
penonton, terutama anak-anak berusia belasan tahun, maka terjadilah sedikit
kekacauan, dorong-mendorong sehingga di pintu gerbang yang tidak berapa lebar
itu terjadi desak-mendesak.
Keadaan
menjadi makin kacau lagi ketika beberapa orang penjaga terpelanting roboh dan
hal ini dilakukan oleh Ceng Ceng ketika dara ini yang berusaha untuk memasuki
pintu gerbang dengan nekat, dipegang pundaknya oleh seorang penjaga.
Ketika
penjaga melihat dara yang cantik manis dan masih remaja ini, dengan kurang ajar
penjaga itu mengusap dagu Ceng Ceng dan lain tangannya berusaha untuk meraba
dada. Ceng Ceng menjadi marah, kaki kirinya menendang tulang kering kaki
penjaga itu dan selagi penjaga itu berjingkrak saking merasa nyeri sekali
seolah-olah tulang keringnya remuk dan rasa nyeri naik sampai ke ulu hati, Ceng
Ceng menendang lututnya membuat penjaga itu terjungkal! Tiga orang penjaga lain
datang, seorang di antara mereka menunggang kuda, akan tetapi begitu Ceng Ceng
bergerak, mereka terpelanting roboh juga, termasuk yang menunggang kuda. Tentu
saja keadaan menjadi ribut dan kacau. Anak-anak yang nakal mempergunakan
kesempatan ini untuk menyelinap masuk, dan ada penjaga yang berusaha mencegah
mereka, ada pula yang mengurung Ceng Ceng, dan keadaan makin kacau balau.
Dua orang
perwira dari rombongan utusan kaisar maju. Dengan tangan yang membentuk cakar
garuda mereka hendak menangkap dara yang membuat kekacauan itu karena mereka
merasa curiga bahwa dara itu tentulah mata-mata musuh yang sengaja hendak
menggagalkan tugas mereka. Akan tetapi dengan teriakan nyaring dan marah karena
mengira bahwa dua orang perwira ini pun hendak berbuat kurang ajar kepadanya,
Ceng Ceng sudah menggerakkan kaki tangannya dengan cepat dan dua orang perwira
itu pun terpelanting mencium tanah! Keadaan menjadi semakin ribut dan kini para
penjaga maklum bahwa dara remaja itu adalah seorang yang memiliki kepandaian
tinggi dan sama sekali tidak boleh dipandang rendah!
“Harap Cu-wi
mundur semua, biarlah saya menghadapi pengacau cilik ini!” Suara itu terdengar
nyaring dan dalam rombongan kaisar muncullah seorang laki-laki berusia empat
puluh lima tahun kurang lebih, berpakaian preman namun melihat wibawanya dalam
rombongan itu dia tentulah seorang yang penting.
Memang
demikianlah sesungguhnya. Pria ini adalah seorang pengawal pribadi kaisar
sendiri, seorang yang ditunjuk untuk melindungi rombongan utusan yang penting
itu. Orang ini bertubuh tegap, tidak seberapa tinggi, tetapi yang amat menarik
perhatian adalah bentuk jenggotnya yang menyolok. Jenggot itu panjang sekali,
dipelihara baik-baik dan berjuntai sampai ke perutnya! Jenggot itu merupakan
sebuah cambuk tebal dari bulu halus, berwarna mengkilap hitam terhias beberapa
warna putih dari uban yang mulai banyak menghias rambut dan jenggotnya.
Pengawal
berjenggot panjang ini melangkah maju, mukanya yang bengis dan keras itu agak
berseri ketika dia berkata, “Nona cilik, berani kau membikin kacau di sini?
Hayo lekas berlutut dan menyerah kepada para penjaga untuk ditangkap!”
“Plak-plak-plak-plak!”
Sampai empat
kali kedua tangan pengawal kaisar itu dapat ditangkis oleh Ceng Ceng dan
pengawal itu merasa kaget dan terheran-heran sekali. Sungguh tidak pernah
diduganya bahwa di pintu gerbang Istana Raja Bhutan, dia bertemu dengan seorang
dara remaja yang masih berbau kanak-kakak yang dapat menangkis terkamannya
sampai empat kali!
“Bagus, kau
boleh juga!” Dan tiba-tiba pengawal ini menggerakkan kepalanya dan... bagaikan
seekor ular hitam, atau sebatang cambuk, jenggot pengawal itu telah meluncur
dan menotok ke arah jalan darah di leher Ceng Ceng!
Dara ini
terkejut dan berteriak kaget, akan tetapi tidak percuma dia menjadi cucu buyut
bekas pengawal kaisar, tidak percuma kakek Lu Kiong menggemblengnya selama
bertahun-tahun sejak dia kecil. Reaksinya terhadap serangan jenggot yang lebih
menjijikkan dan mengerikan hatinya dari pada menakutkan itu, membuat dia pun
menggerakkan kepalanya dan... dua helai kuncirnya yang tadinya tergantung ke
belakang punggung itu kini melayang ke depan dan menyambut jenggot lawannya!
“Plakkkk!”
Ujung
jenggot bertemu dengan dua ujung kuncir, saling membelit dan kakek pengawal itu
tertawa, sebaliknya Ceng Ceng terkejut sekali. Rambutnya terasa seperti
dijambak-jambak, membuat seluruh kepalanya terasa pedih dan seolah-olah
rambutnya akan copot semua!
Dalam
keadaan yang berbahaya itu, untung sekali bagi Ceng Ceng, tiba-tiba muncul
serombongan prajurit mengiringkan seorang perwira yang bertubuh tinggi tegap
keluar dari halaman istana dan sudah tiba di pintu gerbang istana itu.
“Sumoi...”
Melihat
komandan pasukan dari dalam istana yang agaknya merupakan penyambut itu
menyebut ‘sumoi’ kepada dara remaja yang menjadi lawannya, pengawal kaisar
terkejut, cepat melepaskan libatan jenggotnya dan melangkah mundur sambil
berkata, “Maaf...!”
Perwira
tinggi tegap itu adalah seorang murid kakek Lu Kiong juga. Sebelum menjadi
muridnya, memang dia sudah menjadi seorang perwira di dalam istana. Dia berguru
kepada Lu Kiong hanya untuk menambah ilmu kepandaian silatnya saja. Akan tetapi
tentu saja dia pun menyebut sumoi kepada Ceng Ceng, sedang dara itu pun
menyebut suheng kepadanya. Ketika melihat bahwa keributan yang terjadi di luar
pintu gerbang itu adalah gara-gara sumoi-nya, maklumlah dia karena dia pun
sudah mengenal watak sumoi-nya yang kadang-kadang ugal-ugalan dan bengal. Maka
dengan suara mencela dia berkata, “Sumoi, apa yang kau lakukan di sini? Mengapa
membikin ribut?”
Ceng Ceng
cepat memutar otaknya dan dengan cemberut, alisnya berkerut, sikap yang membuat
wajahnya kekanak-kanakan akan tetapi bertambah manis, dia berkata, “Aihh, suheng,
siapa yang tidak jengkel? Aku ingin bertemu dengan suheng untuk melihat dan
mengagumi rombongan utusan kaisar, siapa tahu di tempat ini sumoi-mu malah
mendapatkan perlakuan yang kasar dan kurang ajar.”
Perwira itu
maklum akan kecantikan sumoi-nya. Dia bukan tidak percaya bahwa ada penjaga
yang bersikap kurang ajar, maklumlah pria-pria kasar menghadapi seorang dara
jelita selincah Ceng Ceng. Untuk cepat meredakan suasana, dia lalu menghadapi
pengawal kaisar berjenggot panjang itu, menjura dan berkata, “Harap maafkan
kesalah pahaman ini. Dia ini adalah adik seperguruan saya sendiri.”
Pengawal
berjenggot panjang itu tertawa, membalas penghormatan itu dan berkata, “Sungguh
hebat sekali kepandaian sumoi dari ciangkun (perwira) yang masih begini muda.
Saya mengucapkan selamat dan merasa kagum.”
Pertemuan
itu ditutup dengan upacara penyambutan pasukan yang dipimpin perwira itu,
kemudian rombongan utusan diiringkan memasuki halaman istana yang sudah berada
dalam keadaan dan suasana pesta penyambutan yang meriah. Dan munculnya perwira
yang menjadi suheng Ceng Ceng itu tentu saja memungkinkan gadis ini untuk
diperkenankan ikut memasuki istana!
Tentu saja
hati Ceng Ceng girang bukan main ketika dia dengan bebas boleh masuk ke dalam
istana. Oleh mereka yang belum mengenalnya, dia tentu dianggap seorang di
antara anggota rombongan utusan sehingga siapa pun yang bertemu dengan
rombongan itu memandangnya penuh kagum dan penuh hormat. Sementara itu hari
telah menjadi siang.
Rombongan
utusan kaisar itu disambut dengan upacara meriah oleh para pembesar istana dan
penyambutan ini dikepalai oleh pangeran tua, yaitu adik raja sendiri oleh
karena pada hari itu, raja yang diharapkan sudah pulang dari berburu binatang
pada hari kemarin, masih juga belum tiba! Hal ini tentu saja menimbulkan
kebingungan di dalam hati keluarga raja dan para pembesar, dan sejak kemarin
telah dikirim utusan untuk menyusul ke hutan di pegunungan sebelah barat. Akan
tetapi utusan itu pun belum pulang sampai hari itu!
Karena
kedatangan rombongan utusan kaisar itu adalah untuk memboyong puteri, berarti
urusan perjodohan, maka tentu saja tanpa hadirnya kaisar sendiri yang menjadi
ayah kandung sang puteri, penyambutan resmi belum dapat diadakan. Rombongan itu
harus bertemu dan menghadap raja untuk menyampaikan segala pesan kaisar dan
menghaturkan semua hadiah perjodohan.
Setelah
diadakan penyambutan meriah dan dijamu dengan hidangan mewah, maka oleh
pangeran tua rombongan tamu agung ini dipersilahkan mengaso di dalam
kamar-kamar istana yang telah dipersiapkan untuk para tamu yang penting dan
terhormat itu. Dengan perasaan girang Ceng Ceng juga ikut makan minum di meja
sudut ruangan penyambutan, ditemani oleh suheng-nya. Sambil makan dia kemudian
menyatakan rasa kagumnya kepada sang suheng akan kelihaian pengawal kaisar yang
berjenggot panjang itu.
Setelah
rombongan tamu mengundurkan diri beristirahat di kamar mereka, Ceng Ceng diajak
suheng-nya ke rumahnya yang terletak di sebelah kiri dari istana raja. Akan
tetapi dara ini membantah ketika suheng-nya menyuruh dia lekas pulang agar
tidak mengkhawatirkan hati kakeknya.
“Aku ingin
sekali menonton sampai sri baginda pulang, aku ingin melihat sang puteri
diboyong!”
“Sumoi,
engkau tadi mengatakan bahwa kau pergi tanpa seijin suhu. Kepergianmu ini tentu
akan membikin tidak senang hati suhu. Sebaiknya engkau pulang sekarang agar hati
orang tua itu tidak gelisah.”
“Biar pun
aku pergi tanpa setahu kongkong, akan tetapi dia tahu bahwa aku ingin sekali
menonton keramaian, maka dia tentu dapat menduga pula bahwa aku tentu berada di
kota raja bersama suheng. Hati orang tua itu tidak akan menjadi gelisah.
Suheng, kalau suheng keberatan aku bermalam di rumah suheng ini, biarlah kucari
tempat penginapan lain, di kuil atau di mana saja. Pendeknya, aku harus melihat
sang puteri diboyong!”
Perwira itu
menggeleng-gelengkan kepalanya. Dia tahu benar akan watak sumoi-nya ini dan
dalam keadaan sibuk dengan kedatangan rombongan utusan itu, tentu saja dia
tidak ingin ditambah dengan kesibukan mengurus sumoi-nya yang bengal ini. Maka
dia hanya berkata, “Sumoi, tentu saja engkau tahu aku tidak keberatan kau
bermalam di sini. Aku hanya ingin bilang bahwa kalau suhu marah, engkau sendiri
yang harus menanggung karena aku sudah berusaha membujukmu untuk pulang.”
Ceng Ceng
tersenyum manis dan memegang tangan suheng-nya dengan sikap manja, kemanjaan
seorang anak-anak kepada orang yang patut menjadi ayahnya. “Suheng yang baik,
seorang gagah sudah tentu harus berani mempertanggung jawabkan segala
perbuatannya, bukan?”
Mau atau
tidak perwira itu tertawa. Dia sendiri tidak mempunyai anak, dan sejak dahulu
dia amat sayang kepada sumoi-nya ini yang dianggap seperti seorang anaknya
sendiri. Isterinya juga amat suka kepada Ceng Ceng yang menyebut isteri
suheng-nya itu ‘so-so’ (kakak ipar perempuan).
Perwira ini
bernama Jayin dan di Kota Raja Bhutan namanya cukup terkenal karena dia
merupakan tokoh kedua dalam deretan nama-nama tokoh besar yang berpengaruh di
lingkungan istana dan Kerajaan Bhutan. Dia merupakan seorang perwira tinggi
yang mengepalai pasukan pengawal yang bertugas menjaga keselamatan di kota
raja. Tokoh pertama adalah panglima sendiri, yang selain merupakan panglima
perang juga selalu mendampingi raja.
Panglima
itulah yang kini mengawal raja dalam berburu binatang, bersama pasukan pengawal
pilihan lain yang jumlahnya semua dua losin orang. Perwira Jayin memiliki ilmu
kepandaian yang tinggi, apa lagi setelah ilmu silatnya ditambah dengan
latihan-latihan ilmu silat tinggi yang diberikan oleh kakek Lu Kiong kepadanya.
Dan sesungguhnya dialah yang menjadi murid pertama dari kakek Lu Kiong, karena
kakek itu mengajar silat kepadanya ketika Ceng Ceng masih kecil, setelah kakek
itu tertarik melihat watak gagah perkasa dari perwira tinggi itu.
Dapat
dibayangkan betapa khawatir dan pusingnya hati perwira ini sebagai orang yang
bertanggung jawab penuh di kota raja di saat raja dan panglima tidak berada di
istana, padahal hari itu terjadi peristiwa amat penting dengan kedatangan
rombongan utusan kaisar. Kesibukan dan kekhawatiran menghadapi urusan itu
membuat dia tidak banyak cerewet lagi menghadapi sumoi-nya. Maka setelah
mengajak sumoi-nya ke rumah dan ‘menyerahkan’ dara bengal itu kepada isterinya,
perwira itu bergegas kembali ke istana untuk menanti kembalinya raja dan
rombongannya yang pergi berburu semenjak tiga hari yang lalu.
Sore harinya
dia pulang dengan wajah letih lesu dan lagi karena raja yang dinanti-nanti
pulangnya ternyata masih belum pulang, dan pasukan kecil yang disuruh menyusul
ternyata juga belum kembali dan tidak ada kabar apa-apa dari rombongan raja
yang memburu binatang di hutan-hutan lebat Pegunungan Himalaya sebelah barat.
Ceng Ceng
tidur dan bermimpi tentang yang indah-indah. Tentang rombongan utusan kaisar,
tentang istana yang megah dan mewah dan dalam mimpi itu dia melihat dirinya
sendiri berpakaian seperti seorang puteri raja yang dijemput dan diboyong ke
istana kaisar! Akan tetapi tiba-tiba dia sadar dari mimpi dan terbangun dari
tidurnya oleh suara orang bercakap-cakap.
Sebagai
seorang ahli ilmu silat yang setiap saat waspada dan seluruh urat syaraf di
tubuhnya berada dalam keadaan siap bergerak, begitu terbangun Ceng Ceng sudah
meloncat turun dari pembaringan dan berindap-indap keluar dari kamarnya,
mengintai suheng-nya yang terdengar bercakap-cakap dengan seorang laki-laki
lain. Pada waktu itu telah lewat tengah malam, tentu saja Ceng Ceng menjadi
curiga dan menduga bahwa tentu ada peristiwa yang amat penting maka pada saat
selarut itu suheng-nya masih menerima tamu.
Ketika Ceng
Ceng mendengarkan percakapan mereka, jantungnya berdebar keras penuh
ketegangan. Kiranya terjadi hal yang demikian hebat, pikirnya! Pantas saja
suheng-nya kelihatan sibuk benar dan malam-malam begitu masih menerima tamu
dari istana.
Tamu itu
adalah komandan bawahannya yang memimpin pasukan kecil yang kemarin pagi
menyusul rombongan raja. Dan orang ini datang melapor kepada suheng-nya bahwa
rombongan raja yang dikawal oleh panglima dan dua losin pasukan pilihan itu
telah mengalami mala petaka!
Rombongan
raja telah dihadang oleh pasukan besar orang-orang asing yang hendak menawan
raja. Terjadi perang kecil. Akan tetapi, walau pun raja dikawal oleh pasukan
pengawal pilihan yang dipimpin panglima sendiri, namun jumlah musuh terlalu
besar, sedikitnya ada seratus orang, maka tentu saja pasukan pengawal raja
menjadi repot dan kewalahan.
Pasukan
pengawal tetap mempertahankan diri, sementara sang raja yang dikawal oleh
panglima sudah melarikan diri. Akibatnya, raja berhasil lolos dari kepungan
dengan pengawalan panglima yang lihai, sekarang entah bersembunyi di mana,
sedangkan dua losin pengawal pilihan itu mempertahankan diri sampai tewas
semua, terbasmi oleh pihak musuh yang jauh lebih besar jumlahnya itu.
“Saat ini
juga ciangkun diminta datang ke istana oleh pangeran tua untuk merundingkan
urusan ini.” Demikian pembantunya mengakhiri pelaporan. Perwira Jayin mendengar
pelaporan itu dan dia cepat berpakaian, kemudian bergegas pergi ke istana
bersama pembantunya.
Ceng Ceng
tidak dapat tidur lagi. Menghadapi peristiwa yang demikian hebatnya, mana dia
bisa tidur? Terlalu hebat peristiwa ini. Betapa kongkong-nya dan para
suheng-nya akan melongo mendengarkan ceritanya kelak. Raja terancam bahaya!
Raja hendak diculik, hendak dibunuh oleh pasukan asing ketika raja dan panglima
sedang berburu. Padahal rombongan utusan kaisar sudah tiba! Dan sekarang raja
dan panglima tidak tahu berada di mana. Betapa hebatnya cerita ini. Dia harus
tahu lebih banyak, demikian pikirnya sambil mengenakan pakaian, membereskan
rambutnya, mencuci muka dan diam-diam dia meninggalkan rumah suheng-nya melalui
jendela dan berlari menuju ke istana.
Dia sudah
mengambil keputusan untuk masuk ke istana, apa pun juga yang akan terjadi,
diperkenankan atau tidak! Dia harus mengikuti terus perkembangan keadaan, harus
tahu apa yang selanjutnya terjadi agar kelak ceritanya kepada kongkong-nya dan
kepada suheng-nya dapat lengkap! Betapa senangnya nanti menceritakan itu semua,
pikirnya.
Tentu saja
para penjaga menghadangnya di pintu gerbang karena malam itu, sesuai dengan
perintah yang dikeluarkan Perwira Jayin, penjagaan diperketat dengan adanya
tamu agung yang bermalam di istana dan dengan terjadinya hal-hal yang
mengejutkan seperti yang dilaporkan oleh komandan pasukan yang menyusul rombongan
raja.
Dara ini
tersenyum mengejek, menggeser tubuhnya ke bawah penerangan lampu agar mukanya
kelihatan sambil berkata, “Hemmm, apakah kalian ini penjaga-penjaga malas
hendak mencari ribut lagi dengan aku?”
Mendengar
suara wanita dan melihat wajah cantik di bawah sinar penerangan itu, tentu saja
para penjaga mengenal Ceng Ceng. Dara yang masih adik seperguruan Perwira
Jayin, yang siang tadi membikin ribut di pintu gerbang, merobohnya para penjaga
dan dua perwira, bahkan yang berani menandingi pengawal kepala dari rombongan
utusan kaisar!
“Eh... kau
lagi... nona?” Komandan jaga yang mengenalinya berkata gugup.
“Ya, aku!
Apakah kau hendak melanjutkan gerakan tombakmu itu?”
Komandan
jaga itu cepat-cepat menurunkan tombaknya yang tadi menodong. “Ahhh, tidak...!
Maafkan, nona, tetapi... kami menjaga dan tidak ada orang asing yang boleh
masuk.”
“Tentu saja!
Kalau kau membiarkan orang asing masuk, suheng-ku Perwira Jayin tentu tidak
akan memberi ampun kepadamu! Akan tetapi aku bukannya seorang asing, dan aku
disuruh oleh so-so, isteri abangku, untuk menyusul suheng yang baru saja masuk
ke istana.”
Komandan
jaga itu bingung dan ragu-ragu. Dia sudah tahu bahwa dara ini adalah sumoi dari
Perwira Jayin dan memang benar baru saja perwira itu masuk ke istana!
“Ada ada
urusan apakah, nona? Boleh kami yang menyampaikan...”
“Husshhh!
Urusan keluarga, urusan isteri hendak kamu campuri, ya? Begitu kurang ajarkah
kalian? Akan kulaporkan kepada suheng...”
“Ah,
maaf..., maaf... harap nona tidak marah. Kami bukan berniat buruk...”
“Kalau tidak
berniat buruk, mengapa melarang aku menyusul abang? Hayo katakan, apakah masih
ada lagi penjaga yang hendak kurang ajar kepadaku?”
Komandan
jaga itu kewalahan. Dia memberi isyarat kepada anak buahnya dan mereka semua
minggir, memberi jalan dan komandan itu berkata, “Baiklah, nona masuk saja.
Akan tetapi harap jangan bicara yang bukan-bukan kepada ciangkun.”
Ceng Ceng
memasuki pintu gerbang itu, menoleh dan tersenyum. “Aku akan melaporkan kepada
suheng bahwa komandan jaga malam ini, yang berkumis tipis, adalah seorang yang
amat baik hati dan ramah.”
Setelah dara
itu pergi memasuki halaman istana, komandan jaga yang menjadi berseri wajahnya
itu meraba-raba kumisnya, tersenyum-senyum bangga! Sikap dan ucapan Ceng Ceng
itu sekaligus merubah keadaan hatinya, kalau tadi dia merasa khawatir melakukan
pelanggaran, kini dia merasa bangga karena telah melakukan jasa.
Niat hati
hendak mencari suheng-nya di dalam istana. Akan tetapi karena dia tidak hafal
akan keadaan di istana yang demikian besarnya, yang mempunyai banyak
lorong-lorong yang hampir sama bentuk dan hiasannya, membuat dia kesasar ke
lain tempat, ke sebelah kiri bangunan istana besar itu. Padahal suheng-nya saat
itu sedang sibuk terlibat dalam perundingan yang serius dengan Pangeran Tua dan
para panglima lainnya yang berlangsung di sebelah kanan bangunan istana. Ceng
Ceng tersesat jalan, memasuki daerah yang dihuni oleh para puteri dan semua
anggota wanita dari keluarga kerajaan.
Barulah dara
ini sadar akan kesalahan jalan ini setelah dia melihat beberapa orang penjaga
wanita yang sudah bermunculan dari kanan kiri dan mengurungnya!
“Siapa kau?”
“Tangkap
dia!”
“Dia tentu
mata-mata musuh!”
Para penjaga
wanita itu sudah berteriak-teriak dengan kacau sehingga percuma saja bagi Ceng
Ceng untuk membela diri. Bahkan mereka sudah serentak maju hendak menangkapnya.
Ceng Ceng menjadi marah, kaki tangannya bergerak dan dua orang penjaga menjerit
dan terpelanting roboh terkena dorongan tangan dan tendangan kakinya.
Ributlah
keadaan di situ. Ceng Ceng marah karena para penjaga wanita itu tidak mau
mendengarkan kata-katanya dan terus mengeroyoknya seperti sekelompok kupu-kupu
beterbangan di sekelilingnya. Betapa pun marahnya, Ceng Ceng masih ingat bahwa
dia berada di dalam istana, maka dia mengatur kaki tangannya agar jangan sampai
melukai berat lawan, apa lagi membunuh seorang di antara mereka. Namun, karena
kaki dan tangan dara ini sudah terlatih, tetap saja penjaga yang dirobohkannya
mengalami bengkak-bengkak dan lecet-lecet sehingga makin ributlah terdengar
jeritan wanita-wanita yang terpelanting itu.
“Siapa
berani main gila di sini?” Tiba-tiba terdengar bentakan halus dan Ceng Ceng
memandang dengan penuh kagum dan tercengang ketika dia melihat munculnya
seorang dara yang amat cantik jelita.
Dara ini
cantik sekali, kulit mukanya halus putih kemerahan, matanya lebar dan jernih,
terlindung bulu mata yang panjang dan melengkung, rambutnya gemuk berombak dan
dibiarkan terurai di belakang punggungnya, diikat di dekat tengkuk dengan
gelang mutiara, sedangkan di atas kepala tampak ikatan rambut yang dihias
dengan seekor burung Hong terbuat dari pada emas dan permata.
Telinganya
terhias anting-anting yang besar dari emas pula, demikian pergelangan
tangannya. Pakaiannya juga amat aneh dan serba indah, terbuat dari
sutera-sutera halus beraneka warna. Seorang dara yang cantik jelita dan
pantasnya dia seorang dewi dari kahyangan. Akan tetapi pada saat itu, dia bukan
merupakan seorang dewi yang penuh welas asih, melainkan seorang dewi yang
sedang marah, yang tangan kanannya memegang sebatang pedang yang indah pula,
pedang yang gagangnya terhias emas terukir halus.
Ceng Ceng
sejenak memandang kagum dan terpesona, akan tetapi ketika dara jelita itu
menghampirinya dan menampar dengan tangan kirinya, tamparan yang cukup keras,
Ceng Ceng sadar dan cepat dia menggerakkan tangan kanannya. Tadinya dia hendak
menangkis, akan tetapi mengingat betapa halus dan putih lengan dara itu, dia
merasa tidak tega, maka dia lalu merubah tangkisannya menjadi tangkapan.
“Plakkk...!”
Lengan
tangan kiri dara itu diterima oleh telapak tangan Ceng Ceng, dan sebelum pedang
di tangan kanan dara itu digerakkan, Ceng Ceng telah berkata halus, “Harap
tahan dulu dan jangan menyerang. Aku bukan orang jahat, aku mencari suheng-ku,
Perwira Jayin!”
Mendengar
ini, sepasang mata yang lebar itu terbelalak dan tangan kanan yang memegang
pedang menurun. Ceng Ceng sudah melepaskan lengan yang berkulit halus itu, lalu
melangkah mundur, berdiri tegak dan memandang dengan penuh kagum.
“Dia...?”
“Benar
dia...!” Demikian terdengar beberapa orang penjaga wanita berkata.
Dara jelita
berpakaian merah itu melangkah maju, memandang Ceng Ceng dengan penuh selidik,
sinar matanya merayapi tubuh Ceng Ceng dari atas kepala sampai ke ujung kaki,
kemudian terdengar suaranya, halus namun penuh wibawa, “Apakah engkau sumoi
dari Perwira Jayin yang siang tadi menimbulkan geger di pintu gerbang dan yang
kabarnya telah berani pula melawan pengawal kaisar sendiri?”
Ceng Ceng
tersenyum dan dia tidak menjawab pertanyaan itu, sebaliknya dia malah bertanya,
“Kalau boleh aku mengetahui, siapakah anda yang begini cantik jelita seperti
dewi?”
Dara itu
tersenyum dan Ceng Ceng seolah-olah silau oleh kecantikan yang makin menonjol
itu. Alangkah manisnya senyum itu, senyum wajar yang menggerakkan dan
menghidupkan seluruh wajah jelita itu, bahkan yang seolah-olah langsung
menyinarkan kehangatan kepada seluruh keadaan di sekitarnya!
“Kabarnya
engkau bernama Ceng Ceng dan engkau mengakibatkan geger karena ingin melihat
puteri yang akan diboyong oleh rombongan utusan kaisar. Benarkah itu?”
Ceng Ceng
mengangguk.
“Nah, akulah
puteri itu.”
Mata Ceng
Ceng makin melebar, bibirnya yang kecil mungil dan kemerahan itu terbuka.
Sejenak dia tidak dapat berkata apa-apa, akan tetapi kemudian dia menjatuhkan
diri berlutut. “Ampunkan hamba... ahhh, hamba tidak tahu...”
Puteri itu
tertawa, melempar pedangnya yang disambut oleh seorang di antara para pengawal
wanitanya. Kemudian puteri itu maju, memegang pundak Ceng Ceng dan menariknya
berdiri. Mereka itu sebaya, dan perawakan mereka pun tidak berselisih banyak.
Mereka berdiri berhadapan, saling memandang dan kemudian keduanya tersenyum
dengan rasa suka timbul di hati masing-masing.
“Paduka...
paduka Puteri Syanti Dewi...?”
Puteri itu
mengangguk, tersenyum dan memegang tangan Ceng Ceng, digandengnya dan
ditariknya dara itu masuk ke dalam kamarnya yang besar dan indah. Puteri itu
memberi isyarat kepada semua pelayan dan penjaganya agar tidak mengganggu
mereka berdua, kemudian pintu kamarnya ditutupkan dari luar dan dia berkata
sambil tersenyum lebar. “Nah, duduklah dan anggap ini kamarmu sendiri, Ceng Ceng.
Ehhh, siapakah nama lengkapmu? Kau tentu seorang Han dari Tiongkok, bukan? Kau
tidak seperti orang Mancu.”
“Benar,
hamba she Lu bernama Ceng akan tetapi biasa disebut Ceng Ceng.”
“Ah, engkau
puteri guru Perwira Jayin yang bernama Lu Kiong, kakek yang kabarnya memiliki
ilmu kepandaian tinggi itu?”
“Bukan
anaknya, melainkan cucunya. Paduka sangat baik terhadap hamba, padahal hamba
telah mengagetkan paduka dan telah berani memasuki tempat ini...”
“Hushh,
kalau kau tak merubah sebutan-sebutan itu, aku akan kehilangan rasa sukaku
kepadamu, Ceng Ceng. Tahukah kau betapa muak hatiku dengan semua ini? Setiap
hari disembah-sembah orang, setiap hari mendengar sebutan paduka tuan puteri
atau yang mulia dan lain-lain yang kosong dan palsu, mendengar orang merendahkan
diri dan menyebut diri hamba yang rendah dan sebagainya. Alangkah rinduku
diperlakukan seperti manusia biasa, bukan seperti seorang dewi atau seorang
siluman yang bukan manusia. Tadi hatiku girang sekali menyaksikan sikapmu yang
terbuka, menyebutku dengan kata kau atau anda saja. Akan tetapi begitu kau
meniru sikap mereka yang merendahkan diri seperti orang menjilat, aku menjadi
tidak senang.”
“Habis...?”
Ceng Ceng meragu dan terheran, juga geli rasa hatinya mengapa ada seorang
puteri raja yang menyatakan pendapat seperti itu.
“Engkau Ceng
Ceng, dan aku Syanti saja. Kau sebut saja namaku.”
“Ini...
ini... mana hamba berani...”
“Kalau tidak
berani, lekas kau pergi dari sini dan aku tidak mau bersahabat denganmu lagi.”
“Ahhhh...”
Ceng Ceng mengerutkan alisnya dan merasa kecewa sekali. “Hamba ingin sekali...
bersahabat... hamba kagum dan suka kepada paduka...”
“Hushh!
Hanya satu syaratnya, yaitu kau menganggap aku sebagai sahabat atau... eh,
bagaimana kalau sebagai saudara? Berapa usiamu?”
“Kurang lebih
lima belas tahun.”
“Kalau
begitu sama dengan aku. Nah, untuk menghormatiku biarlah kau menganggap aku
lebih tua setengah bulan darimu, dan kau menyebut aku enci (kakak), dan aku
menyebutmu moi-moi (adik perempuan). Selanjutnya kau harus ber-engkau dan
ber-aku kepadaku, tidak ada lagi paduka-padukaan atau hamba-hambaan. Bagaimana,
maukah kau?”
Ingin Ceng
Ceng menari kegirangan. Siapa bisa percaya! Dia, seorang dara dusun, seorang
gadis gunung, diakui sahabat baik, bahkan saudara oleh Puteri Syanti Dewi yang
terkenal itu! Duduk berdua sekamar dengan puteri itu, bicara dengan sebutan
engkau dan aku! Mana mungkin ini? Hanya dapat terjadi dalam mimpi! Mimpikah
dia? Diam-diam Ceng Ceng mencubit pahanya sendiri.
“Haiiii,
Ceng-moi, apa yang kau lakukan itu?” Puteri Syanti memandang heran ketika
melihat Ceng Ceng mencubit pahanya sendiri dan meringis karena merasa nyeri.
“Ehh...!
Ohhh...! Tidak... tidak apa-apa... eh, enci Syanti.”
Puteri
Syanti tertawa lebar sehingga tampak deretan giginya yang rapi dan putih
seperti mutiara, rongga mulut yang merah dan lidah yang kecil yang bergerak
hidup dan berwarna merah muda.
“Senang
hatiku mendengar kau menyebutku enci! Ceng-moi, sebagai saudara kita tidak
boleh menyimpan rahasia. Aku melihat kau tadi mencubit pahamu sampai kau
meringis kesakitan. Mengapa kau begini lucu, mencubit paha sendiri?”
“Habis,
tidak ada yang mencubit... eh, maksudku, kalau ada yang cubit, tentu kutampar
mukanya, apa lagi kalau dia seorang pria!”
Jawaban ini
membuat sang puteri terkekeh geli. “Bagaimana kalau yang mencubit itu pria
kekasihmu?”
“Kekasih?”
Ceng Ceng bertanya, seolah-olah tidak mengerti apa artinya kata-kata ini.
“Kekasih,
pria yang kau cinta. Bagaimana kalau dia yang mencubit pahamu?”
“Cinta? Aku
tidak tahu, aku tidak mengerti apa itu cinta. Kalau ada pria melakukan hal itu,
berarti dia manusia kurang ajar dan tentu akan kutampar mukanya sampai
bengkak-bengkak!”
“Ouhhh...!”
Puteri itu menutupi mulutnya dan memandang heran.
“Apakah kau
hendak mengatakan bahwa engkau belum pernah berpacaran?”
“Hehh?
Berpacaran?”
“Ya,
mempunyai teman pria yang kau sukai, dengan siapa engkau bersendau-gurau,
bersenang-senang, bermain-main bersama dan sebagainya.”
Ceng Ceng
menggeleng kepala dan memandang dengan mata jujur. Puteri itu menarik napas
panjang dan berkata kepada diri sendiri, “Betapa anehnya! Dan kukira dara yang
hidup bebas di luar, tidak seperti aku yang dikurung di istana, dapat lebih
menikmati hidup, dapat memilih pacar dan calon jodoh sendiri...”
“Enci
Syanti, apa yang kau bicarakan ini? Aku tidak mengerti.”
“Sudahlah,
adik Ceng, memang hanya orang yang tidak mengerti itulah justru yang beruntung,
tidak dilanda suka-dukanya. Aku mengulangi pertanyaanku tadi, mengapa kau tadi
mencubit pahamu?”
“Karena aku
masih tak percaya bahwa aku, seorang gadis gunung, dapat duduk sejajar dengan
Puteri Syanti Dewi, bercakap-cakap seperti sahabat bahkan seperti saudara. Aku
mengira bahwa aku sedang mimpi, maka kucubit pahaku.”
“Hi-hik, kau
memang lucu! Aku suka sekali padamu, adik Ceng.”
“Dan aku...
aku tidak pernah mempunyai seorang sahabat seperti engkau, enci Syanti. Aku
suka sekali padamu.”
“Kalau
begitu...!” Puteri itu meloncat. “Benar! Sekarang aku tidak terlalu berduka
lagi. Ahhh, kau tahu, adik Ceng, aku selalu menangis dan bersusah hati setelah
sri baginda memutuskan perjodohanku dengan pangeran putera Kaisar Tiongkok! Aku
merasa seolah-olah masa depanku gelap, seolah-olah aku akan dikirim ke neraka. Sekarang
ada engkau! Engkau harus menemani aku, adikku! Ya, engkau harus menemani aku,
barulah aku sanggup menghadapi kepergian ini!”
“Apa...?
Aku...? Ikut bersamamu ke kota raja, di Tiongkok? Ke istana kaisar?” Jantung di
dada Ceng Ceng berdegup keras. Makin hebat dan menarik saja pengalaman ini!
“Maukah
engkau, adik Ceng? Katakanlah engkau mau, kasihanilah aku yang amat memerlukan
kehadiran seorang sahabat, seorang saudara yang sangat kucinta dalam
perjalananku yang jauh dan amat menggelisahkan hatiku ini” Dan puteri itu
memandang Ceng Ceng dengan air mata berlinang!
Ceng Ceng
tersenyum lalu mengangguk kuat-kuat. “Aku mau! Dengan senang hati, enci
Syanti!”
“Adikku...!”
Saking girangnya puteri itu lalu menubruk dan memeluk Ceng Ceng, lalu mencium
pipinya. Ceng Ceng membalas pelukan itu dan mereka seperti enci-adik yang
mencurahkan perasaan masing-masing yang penuh keharuan, seperti kakak-beradik
yang telah lama sekali tidak berjumpa, dan baru sekarang bertemu.
“Tetapi
bagaimana kalau kongkong melarangku?” Akhirnya Ceng Ceng yang teringat akan
keadaannya, bertanya ragu.
“Jangan
khawatir. Aku akan minta kepada sri baginda agar engkau menjadi pengawal
pribadiku, dan perintah ayahku sri baginda tentu akan ditaati oleh
kongkong-mu.”
Ceng Ceng
mengangguk-angguk dan mereka bercakap-cakap dengan penuh gembira, kemudian
tidur bersama dalam pembaringan puteri itu yang mewah, harum dan enak sekali
dipakai.
Benar saja
apa yang dikatakan oleh Puteri Syanti Dewi. Setelah puteri ini menyatakan
kehendaknya mengangkat Ceng Ceng sebagai pengawal pribadinya, pangeran tua
sendiri pun tak berani melarang sehingga Perwira Jayin yang tadinya mendengar
akan perbuatan Ceng Ceng dan hendak membawa pulang sumoi-nya itu, jadi ‘mundur
teratur’ dan terpaksa dia mengirim laporan kepada suhunya di dusun tentang
keadaan Ceng Ceng yang kini diangkat oleh sang puteri menjadi pengawal pribadi,
bahkan sudah ditentukan oleh puteri itu bahwa Ceng Ceng akan mengawalnya kalau
tiba saatnya dia diboyong oleh rombongan utusan kaisar!
Sementara
itu, pada malam hari itu juga ketika merundingkan persoalan raja yang terancam
bahaya dengan para panglima dan pembantunya, pangeran tua mengambil keputusan
untuk mengirim pasukan yang terdiri dari seribu orang prajurit, dipimpin oleh
Panglima Jayin sendiri untuk mencari raja dan menyelamatkannya dari ancaman
bahaya.
Berangkatlah
Panglima Jayin menunggang kuda memimpin seribu orang prajurit itu pada malam
hari itu juga. Bhutan bukanlah sebuah negara besar dan karena negara itu selalu
berada dalam keadaan aman, jarang sekali dilanda perang, maka tentaranya juga
tidak terlatih dan tidak banyak jumlahnya. Kalau sekarang dikerahkan seribu
orang pasukan adalah karena mereka hendak menolong dan melindungi raja mereka.
Obor-obor dipasang mengiringi keberangkatan barisan itu keluar dari benteng
kota raja.
Akan tetapi
ketika barisan itu tiba di pintu gerbang kota raja, terdengar teriakan penjaga
dan Panglima Jayin cepat menengok. Kiranya di antara sinar obor tampak
berkelebat bayangan orang yang melompati dinding benteng yang sangat tinggi itu
dengan gerakan seperti seorang burung terbang saja.
“Kejar dia!
Tangkap! Panah dia!” Panglima Jayin yang merasa curiga sekali memerintah dengan
suara nyaring.
Beberapa
orang prajurit ahli panah sudah menyerang bayangan itu, akan tetapi karena
gerakan bayangan itu cepat laksana burung terbang, serangan anak-anak panah itu
sia-sia belaka dan dalam sekejap mata saja bayangan itu telah lenyap ke dalam
kota raja.
Panglima
Jayin mengangkat tangan menahan gerakan barisannya, lalu mengumpulkan para
perwira pembantunya dan menyuruh mereka menahan barisan untuk berhenti di luar
tembok kota raja karena dia ada urusan penting. Seorang diri panglima ini lalu
membalapkan kudanya kembali ke kota raja, menuju ke istana.
Dalam hati
Panglima Jayin mulai merasa curiga terhadap para tamu agung, yaitu para
rombongan utusan kaisar. Bukankah mala petaka terjadi ketika rombongan itu di
Bhutan? Kebetulan sajakah ini, atau ada apa-apa di balik kedatangan rombongan
itu? Mereka datang pada saat raja berburu dan rombongan raja dihadang oleh
pasukan musuh yang kini dia tahu adalah orang-orang Mongol dan Tibet yang telah
lama sering mengadakan gangguan kepada Pemerintah Bhutan.
Orang-orang
campuran antara bangsa Mongol dan Tibet yang sebenarnya merupakan orang-orang
pelarian negara mereka sendiri ini telah membentuk sebuah perkumpulan besar
atau dapat juga dikatakan sebuah ‘kerajaan’ kecil, dipimpin oleh seorang tokoh
hitam yang kabarnya berasal dari Tiongkok dan yang memiliki ilmu kepandaian
tinggi.
Akan tetapi,
selama ini, karena jumlah mereka tidaklah banyak dibandingkan dengan jumlah
barisan Kerajaan Bhutan, gangguan mereka selalu dapat dihadapi dengan kekerasan
dan sudah lama mereka tidak pernah terdengar beritanya lagi. Mengapa kini
tiba-tiba mereka muncul dan mengganggu raja yang sedang berburu, tepat ketika
rombongan utusan kaisar tiba?
Bayangan
yang dilihatnya meloncat seperti terbang tadi memakai kuncir, tanda bahwa
bayangan itu adalah seorang dari Tiongkok! Kecurigaan hati Panglima Jayin
terhadap rombongan utusan kaisar makin besar, maka dia menahan barisannya dan
kini dia kembali ke istana untuk menemui mereka, untuk melihat keadaan dan kalau
perlu bertindak.
Ketika
panglima memasuki pintu gerbang istana, menitipkan kuda kepada para penjaga dan
dia berlari-lari masuk ke tempat di mana para tamu itu bermalam, ternyata di
situ juga sedang dalam keadaan ribut-ribut. Semua tamu itu telah terbangun dan
banyak pula para pengawal istana yang berkumpul di situ. Ketika mereka melihat
Panglima Jayin, maka segera menyambutnya dan kepala pengawal kaisar yang
memimpin rombongan utusan kaisar itu dengan langkah lebar menghampiri Jayin
dengan muka merah dan alis berkerut.
“Apa yang
sudah terjadi?” tanya Jayin dengan pandang mata penuh selidik kepada pengawal
kaisar yang berjenggot panjang itu.
Pengawal ini
ini bernama Tan Siong Khi. Ketika mendengar pertanyaan Jayin dia memandang
tajam dan berkata, “Seharusnya kami yang mengajukan pertanyaan ini, panglima!”
Jayin
mengerutkan alisnya, terheran akan tetapi juga tidak senang mendengar kata-kata
itu, “Hemm... apakah sesungguhnya yang telah terjadi?”
“Ada orang
menyelundup masuk ke tempat penginapan kami, sikapnya mencurigakan sekali. Aku
sendiri sudah menyerangnya dan berusaha menangkapnya, akan tetapi gagal dan dia
berhasil melarikan diri dan lenyap.”
Tentu saja
Jayin terkejut, “Benarkah? Seperti apa orangnya?”
“Keadaan
gelap, dan gerakannya gesit. Kami tidak dapat melihat jelas mukanya. Akan
tetapi yang amat mengherankan, mengapa dia dapat memasuki istana yang terjaga
kuat dan bagaimana mungkin dia melarikan diri dari istana dan dari dalam kota
raja?”
Biar pun
ucapan Tan Siong Khi diucapkan seperti orang yang merasa heran dan penasaran,
namun di dalamnya terkandung kecurigaan yang agaknya dinyatakan untuk
mengimbangi sikap Jayin yang datang-datang memperlihatkan kecurigaan pula.
Jayin
mengerutkan alisnya lagi. Memang sukarlah baginya keadaan seperti itu.
Kecurigaannya terhadap rombongan utusan ini memang makin besar. Siapa tahu
keributan dengan alasan orang luar memasuki tempat penginapan mereka ini hanya
sandiwara belaka!
Akan tetapi
untuk menuduh begitu saja, tidak mungkin jika tidak ada bukti nyata. Pula,
mereka ini adalah utusan dari negara yang besar dan kuat, bahkan rajanya
sendiri sampai mengorbankan puterinya untuk menjadi isteri seorang Pangeran
Mancu hanya karena mengharapkan ikatan keluarga agar Bhutan terlindung sebagai
keluarga Kerajaan Mancu yang menguasai seluruh Tiongkok.
Akan tetapi
Jayin adalah seorang panglima yang sudah berpengalaman, tidak hanya
berpengalaman dalam medan perang, tetapi juga berpengalaman dalam hal
diplomasi. Dengan cerdik dia lalu berkata dengan muka sungguh-sungguh,
“Tan-ciangkun, kami sedang menghadapi urusan besar yang juga menyangkut
kepentingan rombongon utusan kaisar. Raja kami sedang terancam bahaya.” Dia
lalu menuturkan bagaimana rajanya yang sedang berburu itu diserbu oleh musuh
dan kini tidak tahu berada di mana dan bagaimana pula keadaannya.
“Kalau raja
kami tidak dapat segera diselamatkan, tentu tugas yang ciangkun lakukan akan
gagal pula. Maka setelah ciangkun berada di sini, saya pribadi mohon petunjuk
ciangkun yang sudah tentu memiliki kepandaian dan pengalaman lebih luas sebagai
pengawal kaisar sebuah negara besar. Saya harap ciangkun tidak akan
berkeberatan untuk membantu kami melakukan penyelidikan untuk menolong raja
kami.”
Tan Siong
Khi juga bukanlah seorang pengawal bodoh. Tentu saja dia mengerti apa arti
permohonan yang diajukan dengan halus oleh Jayin itu. Untuk urusan dalam
seperti itu, tidak selayaknya kalau panglima ini minta bantuan orang luar.
Tentu saja lahirnya saja menyatakan minta bantuan, akan tetapi sebetulnya dia
akan dibawa sebagai sandera karena panglima ini agaknya mencurigai
rombongannya! Maka dia tersenyum dan berkata, “Kami diperintah untuk menjemput
mempelai, sekarang melihat Raja Bhutan yang akan menjadi besan dari kaisar kami
terancam bahaya, sudah tentu saya suka membantu.”
“Kalau
begitu, marilah, Tan-ciangkun. Malam ini juga kita berangkat dan tentaraku
sudah siap di luar tembok benteng kota raja.”
Panglima
Jayin memerintahkan orangnya mempersiapkan seekor kuda lain dan tak lama
kemudian berangkatlah kedua orang perwira tinggi ini, menunggang kuda keluar
dari kota raja dan memimpin pasukan yang seribu orang besarnya itu. Obor di
tangan para prajurit yang bertugas membawa obor dan berada di depan, tengah,
dan belakang, kelihatan dari jauh seperti seekor naga sakti yang menyala-nyala
keemasan terbang melayang rendah di atas tanah. Mereka menuju ke Pegunungan
Himalaya, ke arah utara.
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment