Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Kisah Sepasang Rajawali
Jilid 02
KEMBALI KITA
terpaksa meninggalkan barisan Bhutan yang berangkat mencari raja mereka itu
untuk menjenguk bagian lain jauh di sebelah timur, di mana terjadi peristiwa
lain yang seolah-olah tidak ada hubungannya dengan kedua orang kakak-beradik
putera Pendekar Super Sakti, juga tidak ada hubungannya dengan pasuka Bhutan
yang mencari raja mereka, akan tetapi sesungguhnya tokoh-tokohnya merupakan
tokoh penting dalam cerita ini dan perlu kita mengenal mereka seorang demi
seorang.
Di kota
Shen-yang tak jauh dari kota raja. Seorang pemuda tampan berpakaian indah
bersih memasuki sebuah rumah makan yang baru saja dibuka dan masih sepi. Hari
masih terlalu pagi untuk makan, maka yang penuh dengan orang berlalu lalang
hanyalah jalan raya di depan rumah makan itu, dan pemuda ini merupakan pemuda
pertama yang disambut oleh pelayan yang masih kelihatan segar dan bersemangat.
Dengan wajah
berseri dan ramah pelayan itu menyambut dan mempersilakan tamunya masuk dan
duduk menghadapi meja yang kesemuanya masih kosong. Pemuda itu memilih meja di
tengah dan duduknya di sebelah samping sehingga dia dapat melihat ke pintu
depan dan pintu yang menembus ke ruangan sebelah dalam rumah makan itu.
Pemuda ini
baru kelihatan jelas wajahnya setelah dia membuka topinya yang berbentuk caping
lebar dan diberi tali sutera merah dan diikatkan di bawah dagunya. Setelah
menaruhkan caping itu di atas meja, juga menaruhkan buntalan di punggung dan
menaruhnya pula di atas meja, pemuda itu mengeluarkan sapu tangan dan menyusuti
peluh di muka dan lehernya.
Sepagi itu,
dengan hawa masih dingin sudah berkeringat! Hal ini menandakan bahwa dia telah
melakukan perjalanan jauh dan memang demikianlah, semalam suntuk dia terus
berjalan tak pernah berhenti dan baru berhenti di kota itu setelah melihat
rumah makan ini. Perutnya yang lapar memaksanya berhenti. Setelah memesan
makanan, pemuda itu menyandarkan dirinya ke meja dan memandang ke luar.
Usianya
masih muda sekali, sekitar enam belas tahun, akan tetapi agaknya karena sudah
banyak melakukan perantauan, maka pandang matanya yang tajam itu sudah
‘matang’, gerak-geriknya tenang, wajahnya yang tampan itu selalu berseri,
mulutnya tersenyum namun bibir yang tak pernah ditinggalkan senyum itu
membayangkan ejekan dan mata yang tajam bersinar-sinar itu seakan-akan memandang
rendah kepada keadaan sekelilingnya.
Siapakah
pemuda tampan ini? Dia bernama Ang Tek Hoat dan sesungguhnya pemuda ini
bukanlah seorang pemuda sembarangan karena ia cucu bekas ketua Bu-tong-pai yang
terkenal dengan sebutan Ang Lojin (Kakek Ang) atau Ang Thian Pa! Ang Lojin atau
bekas ketua Bu-tong-pai yang kini telah meninggal dunia dan kedudukannya
sebagai ketua Bu-tong-pai telah digantikan oleh seorang sute-nya, hanya
mempunyai seorang anak tunggal, seorang puteri bernama Ang Siok Bi. Sebagai puteri
tunggal, tentu saja Ang Siok Bi juga mewarisi ilmu kepandaian ayahnya yang
tinggi.
Di dalam
cerita Sepasang Pedang Iblis diceritakan dengan jelas betapa Ang Siok Bi yang
masih gadis, baru berusia sembilan belas tahun, pada suatu hari diperkosa oleh
seorang pemuda. Biar pun akhirnya dia bersama Puteri Milana dan Lu Kim Bwee,
ibu Ceng Ceng seperti yang telah dituturkan di depan, dapat membunuh pemuda
yang mernperkosanya itu, namun seperti Lu Kim Bwee pula, perkosaan atas dirinya
itu membuat dia mengandung dan akhirnya melahirkan seorang anak laki-laki anak
yang diberi nama Ang Tek Hoat, yaitu pemuda yang berada di dalam rumah makan
itu. Karena merasa malu akan aib yang menimpa diri puterinya yang melahirkan
anak tanpa ayah, hal yang mencemarkan nama besarnya sebagai ketua Bu-tong-pai,
kakek Ang jatuh sakit sampai meninggal dunia ketika Tek Hoat masih bayi.
Lebih
menyedihkan lagi bagi Ang Siok Bi, melihat dia melahirkan anak tanpa ayah,
Bu-tong-pai merasa dinodai namanya dan pihak pimpinan lalu mengeluarkan
keputusan untuk mengeluarkan Ang Siok Bi sebagai anggota Bu-tong-pai. Peristiwa
ini terlalu hebat bagi Ang Siok Bi. Dengan hati yang hancur dia lalu
meninggalkan Bu-tong-pai, membawa anaknya yang masih bayi. Untung baginya bahwa
para pemimpin Bu-tong-pai masih mengingat dia sebagai puteri bekas ketua
mereka, maka kepergiannya disertai bekal yang cukup sehingga Ang Siok Bi dan
puteranya tidak akan mengalami nasib sengsara dan kelaparan.
Ang Siok Bi
membawa puteranya itu mengasingkan diri ke sebuah bukit sunyi di lembah Sungai
Huang-ho. Bukit ini oleh penduduk di sekitar daerah itu dinamakan Bukit Angsa,
karena dilihat dari jauh mirip seekor angsa sedang tidur. Dengan uang yang
diperoleh dari Bu-tong-pai, juga dengan menjual perhiasan pribadinya, Ang Siok Bi
membangun sebuah rumah kecil yang cukup mungil di puncak Bukit Angsa, hidup
berdua dengan puteranya di tempat sunyi ini. Hanya kadang-kadang saja dia
membawa puteranya turun bukit mengunjungi dusun-dusun terdekat untuk membeli
keperluan hidupnya yang tidak banyak karena tanah di puncak bukit itu amat
subur, penuh tetumbuhan yang dapat dimakan.
Sejak kecil,
Ang Siok Bi menggembleng puteranya itu. Tujuan hidupnya hanya satu, yakni
mendidik agar puteranya menjadi seorang yang terkenal dan pandai di kemudian
hari. Setelah puteranya agak besar, dan Tek Hoat sudah mengerti karena
pergaulannya dengan anak dusun sebaya yang suka menggembala domba di lereng
bukit, kemudian bertanya kepada ibunya, Ang Siok Bi mengatakan bahwa ayah anak
itu telah meninggal dunia sejak ia ia masih dalam kandungan.
“Mengapa,
ibu?” tanya anak kecil berusia enam tahun itu. “Mengapa ayahku meninggal
dunia?”
Repot juga
hati Ang Siok Bi menghadapi pertanyaan anaknya ini, kemudian timbul akalnya
agar anak ini tidak terlalu ingat kepada ayahnya, maka dengan sembarangan saja
dia berkata, “Ayahmu meninggal karena dibunuh penjahat. Karena itu kau harus
belajar dengan tekun agar kelak dapat menjadi orang gagah pembasmi penjahat.”
Tek Hoat
yang kecil itu mengerutkan alisnya. “Siapa yang membunuh ayah?”
“Tidak perlu
lagi kau ketahui namanya karena dia sudah mati. Ibu telah membalaskan kematian
ayahmu.”
“Jadi
pembunuh ayah itu telah ibu bunuh? Ahhh, sayang...”
“Eh? Mengapa
sayang?”
“Karena
kalau dia masih hidup, aku sendirilah yang kelak akan membunuhnya!”
Ang Siok Bi
merangkul anaknya dan mencium pipinya, mengusapkan dua titik air matanya kepada
baju anaknya agar Tek Hoat tidak melihatnya. Bicara tentang ayah anak ini,
teringatlah dia akan segala pengalamannya di waktu dahulu bersama Gak Bun Beng,
orang yang bagaimana pun juga tak pernah dapat dilupakannya. Biar pun Gak Bun
Beng telah memperkosanya, biar pun kemudian dia bersama Milana dan Lu Kim Bwee
telah berhasil membunuh laki-laki itu, namun harus diakuinya bahwa dia masih
mencinta Gak Bun Beng. Karena itu, bicara tentang laki-laki itu merupakan hal
yang menusuk perasaannya.
“Ibu, siapa
namanya?”
“Nama
siapa?”
“Nama
penjahat yang membunuh ayah itu.”
“Namanya?
Namanya... Gak Bun Beng.”
“Gak Bun
Beng? Hemmm, aku takkan melupakan nama itu.”
“Untuk apa,
Tek Hoat? Orang itu telah mati.”
“Orangnya
sudah mati, akan tetapi namanya masih ada, bukan? Dan siapakah nama ayahku,
ibu?”
Makin repot
dan bingunglah Ang Siok Bi menghadapi pertanyaan ini. Dia mengerti bahwa tidak
ada gunanya menyebutkan nama begitu saja karena puteranya tentu sudah tahu
bahwa nama keturunan harus sama dengan keturunan ayahnya. Maka dia teringat
kepada ayahnya. Ayahnya hanya dikenal orang sebagai Ang Lojin, ketua
Bu-tong-pai. Tidak ada, atau jarang sekali, yang tahu bahwa nama ayahnya adalah
Ang Thian Pa. Maka dia lalu menjawab, “Ayahmu telah meninggal dan dahulu
namanya Ang Thian Pa.”
Anak itu
kelihatan puas dan berkali-kali mengulang nama Ang Thian Pa ini, seolah-olah
dia hendak menghafal nama itu, kemudian mengulang nama Gak Bun Beng. Diam-diam
hati Ang Siok Bi terasa perih sekali dan dia merasa kasihan kepada puteranya.
Sebagai
seorang gadis yang sebetulnya masih muda kemudian hidup terasing di puncak
bukit itu hanya bersama puteranya yang amat disayangnya karena puteranya
merupakan satu-satunya manusia yang dekat dengannya, tentu saja Ang Siok Bi
tidak tahu cara mendidik anak. Anak itu terlalu dimanjakannya, segala
permintaannya dituruti saja, maka Tek Hoat menjadi seorang anak yang amat
manja. Apa lagi ketika ia memperoleh teman-teman yang bengal, ia lalu menjadi kepala
di antara mereka, karena selain dia paling tampan, paling baik pakaiannya, juga
dia paling kuat dengan kepandaian silatnya yang semenjak dia kecil diajarkan
ibunya di samping pelajaran menulis dan membaca.
Harus diakui
bahwa Tek Hoat memiliki otak yang cerdas sekali. Semua pelajaran yang diberikan
ibunya kepadanya, baik ilmu silat mau pun ilmu menulis membaca, sekali dihafal,
dilatih, terus saja bisa.
Tentu saja
ibunya merasa girang dan bangga sekali. Dalam usia empat belas tahun saja,
habislah semua ilmu silat yang dimiliki ibunya, semua sudah diajarkan kepada
puteranya itu. Ketika ibunya menyatakan bahwa tidak ada ilmu lain lagi yang
dapat diajarkan, Tek Hoat merasa tidak puas.
“Ibu, apakah
sekarang aku telah menjadi seorang pendekar?”
Ibunya tertawa
dan merangkul puteranya yang kini telah menjadi seorang jejaka kecil yang
tampan sekali. “Pendekar? Aihhh, Hoat-ji (anak Hoat), tidak gampang menjadi
seorang pendekar! Di dunia ini banyak sekali terdapat orang pandai, dan
kepandaian ibumu terbatas sekali. Memang kalau dibandingkan dengan anak sebaya,
agaknya engkau sudah merupakan seorang anak yang sukar dicari lawannya. Akan
tetapi di dunia kang-ouw, orang-orang yang memiliki kepandaian jauh melebihi
kita amat banyak sekali.”
“Ada orang
yang lebih pandai dari ibu?” tanya anak berusia empat belas tahun itu.
Ang Siok Bi
tertawa. “Baru di Bu-tong-pai saja, paling banyak ibu hanya menduduki tingkat
ke empat!” Tiba-tiba wanita ini berhenti karena baru teringat bahwa dia dengan
tanpa disengaja telah membuka rahasia, padahal dia sudah mengambil keputusan
untuk menjauhkan puteranya dari Bu-tong-pai!
“Bu-tong-pai?”
Tek Hoat bertanya, mendesak ketika melihat ibunya meragu.
Ang Siok Bi
menarik napas panjang. Dia sudah terlanjur bicara, dan anaknya cerdik, tentu
akan menaruh curiga dan kalau saja kelak anaknya menyelidiki sendiri kemudian
tahu bahwa mereka adalah anak murid Bu-tong-pai, tentu anaknya akan menegurnya.
Maka dia berkata, “Benar, anakku, Bu-tong-pai. Ibumu adalah murid Bu-tong-pai
dan ilmu silat yang kita latih adalah ilmu silat Bu-tong-pai. Ketahuilah bahwa
ibumu ini adalah puteri mendiang ketua Bu-tong-pai yang bernama Ang Lojin.”
Berseri
wajah Tek Hoat mendengar ini. “Ahh, jadi jelek-jelek aku ini cucu ketua
Bu-tong-pai?”
“Hanya bekas
ketua, anakku. Sekarang ketuanya tentu lain orang lagi.”
“Siapa
ketuanya, ibu?”
“Ketuanya
sekarang adalah seorang tosu bernama Giok Thian-sicu, masih sute dari
kongkong-mu sendiri.”
“Ilmu
silatnya tentu tinggi sekali, ibu?”
“Tentu saja,
dan masih banyak tokoh lain di Bu-tong-pai yang memiliki ilmu kepandaian jauh
lebih tinggi dari kita. Akan tetapi itu tidak semua, di dunia kang-ouw ini
masih terlalu banyak untuk disebutkan tokoh-tokoh yang amat lihai, yang amat
sakti. Bahkan ada yang ilmu kepandaiannya amat luar biasa, seperti dewa saja.”
Tek Hoat
membelalakkan matanya. “Benarkah, ibu?” Dia tidak percaya karena selama ini dia
menganggap bahwa ibunya merupakan orang paling hebat di dunia ini. “Siapakah
mereka yang memiliki kepandaian melebihi ketua Bu-tong-pai dan para tokohnya?”
“Banyak,
anakku. Akan tetapi kurasa tidak akan ada yang melebihi kepandaian seorang yang
amat terkenal dahulu, yang sekarang tidak pernah muncul, seorang yang terkenal
dengan julukan Pendekar Siluman.”
“Eh? Dia
manusia atau siluman, ibu?”
Ibunya
tersenyum. “Tentu saja manusia. Saking saktinya, karena dia bisa menghilang,
dia bisa mengubah rupa menjadi apa saja, maka dia dijuluki Pendekar Siluman.”
“Pendekar
Siluman....” Tek Hoat berkata perlahan.
“Juga
Pendekar... Super Sakti.”
“Pendekar
Super Sakti....” kembali Tek Hoat menggumam penuh kekaguman.
“Dia Majikan
Pulau Es!”
“Pulau Es...
di manakah Pulau Es itu, ibu?”
“Siapa tahu?
Pulau Es seperti dalam dongeng saja, disebut-sebut orang akan tetapi tidak ada
yang tahu di mana letaknya.”
“Ibu, apakah
dia orang yang paling pandai di dunia ini?”
“Mungkin
begitulah. Siapa yang tahu?”
“Ibu, aku
ingin mencari Pendekar Siluman!”
“Eh, mau apa
kau?”
“Aku mau
menantangnya.”
“Kau gila?”
“Aku ingin
membuktikannya sendiri apakah dia itu benar-benar sakti seperti yang ibu
katakan. Jika benar demikian, aku ingin berguru kepadanya agar kelak menjadi
seorang pendekar terpandai.”
Ibunya
menggeleng-gelengkan kepalanya. “Mudah diucapkan akan tetapi tak mungkin
dilaksanakan, anakku. Entah berapa banyaknya orang yang hendak menemukannya,
akan tetapi tidak ada yang tahu di mana adanya pendekar sakti itu, dan di mana
pula letaknya Pulau Es.”
“Tetapi aku
ingin memperdalam ilmu silatku, ibu, dan kau sudah tidak dapat mengajarku lagi,
ibu.”
Hati ibu itu
menjadi bingung karena apa yang dikatakan puteranya memang benar. Ilmu silatnya
sudah habis ditumpahkan kepada puteranya semua dan kalau pada waktu itu
tingkatnya masih lebih menang dari puteranya hanyalah karena dia menang latihan
belaka.
“Hoat-ji,
ilmu silatmu bersumber kepada ilmu silat Bu-tong-pai, maka orang yang dapat
memperdalamnya hanyalah tokoh-tokoh di sana...” Tiba-tiba Ang Siok Bi
menghentikan kata-katanya dan memandang penuh kekhawatiran. Dia kembali telah
terlanjur bicara dan bagaimana kalau puteranya menemui ketua Bu-tong-pai?
Apakah
puteranya akan diterima dan diakui sebagai murid Bu-tong-pai? Bagaimana kalau
ada yang membocorkan rahasianya sehingga puteranya tahu bahwa dia adalah
seorang anak haram yang tidak mempunyai ayah? Memang tidak ada yang tahu bahwa
dia telah diperkosa oleh Gak Bun Beng, akan tetapi semua pimpinan Bu-tong-pai
tahu bahwa dia melahirkan anak tanpa suami!
“Ibu, aku
akan pergi sekarang juga.”
“Anakku,
jangan ke Bu-tong-pai. Ibumu sudah tidak diakui sebagai murid lagi, engkau
tentu akan ditolak.”
“Hemm, aku
ingin mencari Pendekar Siluman, atau tokoh kang-ouw lain kalau Bu-tong-pai
tidak mau menerimaku.”
“Hoat-ji,
jangan pergi. Ibumu bagaimana...?”
Tek Hoat
mengerutkan alisnya dan kemudian dia tersenyum, merangkul ibunya yang mulai
menangis. “Ibu, mengapa kini ibu menjadi cengeng? Bukankah ibu menghendaki
anakmu menjadi seorang pendekar tanpa tanding?”
Pandai
sekali Tek Hoat menghibur ibunya sehingga akhirnya, biar pun dengan air mata
bercucuran, ibunya membiarkan dia pergi dengan bekal secukupnya, dengan janji
bahwa setiap tahun dia harus pulang menengok ibunya.
Berangkatlah
Tek Hoat yang berusia empat belas tahun itu, masih kanak-kanak akan tetapi
memiliki keberanian luar biasa. Mulailah dia merantau dan di sepanjang jalan
dia bertanya-tanya kepada orang di mana letaknya Pulau Es atau di mana tempat
tinggal Pendekar Siluman. Tentu saja dia selalu kecewa.
Orang biasa
tidak ada yang tahu siapa itu Pendekar Siluman dan di mana itu Pulau Es,
sedangkan orang kang-ouw yang ditanyanya membelalakkan matanya dengan heran dan
takut, akan tetapi juga tidak ada yang tahu di mana adanya Pulau Es dan di mana
pula tinggalnya Pendekar Siluman yang dikenal oleh seluruh tokoh kong-ouw itu.
Karena tidak ada yang dapat memberi petunjuk kepadanya, akhirnya anak yang
belum dewasa akan tetapi memiliki ketabahan luar biasa itu lalu menuju ke
Bu-tong-san untuk memperdalam ilmunya dengan berguru kepada Bu-tong-pai. Tentu saja
amat mudah mencari Bu-tong-pai sungguh pun dia harus pula melakukan perjalanan
sampai lebih dari satu bulan lamanya.
Pada waktu
dia akhirnya berhasil berhadapan dengan dua orang anggota pimpinan Bu-tong-pai
yang mewakili ketua mereka menemui pemuda kecil ini, kembali Tek Hoat
dikecewakan bukan main. Dua orang kakek itu dengan kening berkerut mendengarkan
pengakuan Tek Hoat sebagai putera Ang Siok Bi yang ingin melanjutkan pelajaran
ilmu silat di Bu-tong-pai.
“Hemm, kami
tak ada hubungan apa-apa lagi dengan seorang yang bernama Ang Siok Bi,” seorang
di antara mereka, yang berpakaian tosu berkata. “Dan kami tidak dapat menerima
murid dari luar, apa lagi keturunan dari Ang Siok Bi.”
Hati anak
yang penuh keberanian itu menjadi panas. Ibunya telah memperingatkannya, akan
tetapi dia merasa penasaran dan berkata keras, “Mengapa begitu? Bukankah
kakekku dahulu pernah menjadi ketua kalian?”
Tosu itu
mengerutkan alisnya dan memandang tajam. “Tidak ada kakekmu yang pernah menjadi
ketua kami. Pergilah, anak bandel dan jangan kau berani datang lagi ke sini.”
Dapat
dibayangkan betapa kecewa, jengkel dan marah hati anak itu. Sebulan lebih dia
melakukan perjalanan yang amat melelahkan untuk mencapai tempat ini, dan
setelah berhasil tiba di Bu-tong-pai di mana kakeknya pernah menjadi ketua,
bukan saja dia ditolak untuk menjadi murid, bahkan dia tidak dihormati sama
sekali, diusir dan dihina!
“Kalau
begitu kalian bukan orang Bu-tong-pai! Kata ibu, Bu-tong-pai adalah pusatnya
orang-orang gagah, akan tetapi sikap kalian sama sekali tidak gagah. Aku malah
akan merasa malu menjadi murid Bu-tong-pai!”
“Anak
haram!” Orang kedua dari Bu-tong-pai yang berpakaian seperti seorang petani
membentak, tangannya melayang ke arah kepala Tek Hoat.
Anak ini
tentu saja tidak mau kepalanya ditampar, dan dia lalu mengelak dan balas
menendang dengan jurus yang paling lihai dari ilmu silatnya. Sambil menendang,
tangannya menyusul dan memukul ke arah ulu hati lawan!
“Plak...
brukkk...!” Tubuh Tek Hoat terbanting keras.
Ternyata
kakek itu telah dapat menangkap kaki dan tangannya lalu melemparkannya sampai
sejauh empat meter di mana dia terbanting keras, membuat kepalanya nanar dan
matanya berkunang!
Akan tetapi
saking marahnya, Tek Hoat sudah melompat bangun lagi dan berlari ke depan,
menerjang marah, melancarkan pukulan bertubi. Kembali dia terjengkang roboh
karena sebelum serangannya yang dikenal baik oleh kakek itu mengenai tubuh
lawan, dia telah didahului dan didorong.
Tek Hoat
masih belum mau kalah, sampai lima kali dia maju lagi, lima kali terjengkang
dan tubuhnya sudah lecet-lecet, kepalanya bengkak dan pakaiannya robek-robek.
Kini dia merangkak bangun, menghapus darah yang mengalir dari bibirnya yang
pecah, matanya berapi memandangi kedua orang kakek yang berdiri tenang itu,
kepalanya digoyang-goyang karena pandang matanya berputar, namun dia bangkit
lagi dengan susah payah dan dengan nekat dia hendak menyerang lagi.
“Bocah hina,
apakah kau ingin mampus?” Kakek itu berteriak marah.
Tek Hoat
meloncat maju dan memukul nekat.
“Bressss...!”
Kini
tubuhnya terbanting dan bergulingan sampai jauh. Pening sekali kepalanya dan
dia hanya dapat bangkit duduk, memegangi kepalanya dan dari kedua lubang hidungnya
mengalir darah.
“Hemmm...
orang-orang Bu-tong-pai memukul anak kecil. Betapa anehnya ini!” Tiba-tiba
muncul seorang kakek tua yang mukanya menyeramkan.
Kakek ini
mukanya persegi dan dilingkari rambut putih seperti muka singa, matanya
mengeluarkan sinar penuh wibawa, akan tetapi kedua kakinya lumpuh! Hebatnya,
biar pun kedua kakinya tak dapat digerakkan dan ditekuk seperti orang bersila,
kakek ini mampu bergerak cepat dengan tubuh berlompat-lompatan! Kakek itu
menghampiri Tek Hoat, setelah memeriksa tubuh anak itu dia mengangguk-angguk.
“Betapa pun
juga, kalian tidak menjatuhkan tangan maut. Kalau hal itu terjadi, tentu aku
tidak akan tinggal diam!” Kakek itu kemudian menyambar tubuh Tek Hoat dan
sekali berkelebat dia telah lenyap dari situ, diikuti pandang mata kedua orang
tokoh Bu-tong-pai yang terheran-heran.
Tek Hoat
tadi sempat melihat munculnya kakek lumpuh yang mukanya menakutkan itu. Ketika
mendadak kakek itu mengempit tubuhnya di bawah ketiak dan membawanya ‘terbang’
cepat, dia terkejut sekali akan tetapi juga girang. Dia melihat betapa tubuh
kakek itu tanpa menggunakan kaki yang bersila, akan tetapi cepatnya seperti
seekor rusa membalap sampai dia merasa ngeri dan kadang-kadang memejamkan mata
kalau melihat dirinya dibawa terbang melewati sebuah jurang yang lebar dan
dalam sekali.
“Kakek yang
baik, aku ingin sekali menjadi muridmu,” tiba-tiba Tek Hoat berkata setelah
mereka tiba di dalam sebuah hutan lebat.
Kakek lumpuh
ini melepaskan tubuhnya dan Tek Hoat cepat berlutut. Kakek itu tertawa,
mengelus jenggotnya yang putih semua.
“Aku takkan
mengambil murid! Sekali mengambil murid, tentu hanya akan menimbulkan urusan
belaka di kemudian hari. Aku sudah tua, sudah enak-enak hidup tenang dan penuh
damai, mengapa mesti mencari perkara? Tidak, aku tak akan menerima murid.”
Tek Hoat
menjadi kecewa bukan main. Dia tahu bahwa kakek ini adalah seorang yang amat
lihai, biar pun kedua kakinya lumpuh. Tentu inilah orang yang disebut orang
sakti oleh ibunya. Akan tetapi, ternyata kakek itu pun menolaknya untuk menjadi
murid. Sial benar. Kekecewaan membuat dia menjadi marah dan suaranya kaku
ketika dia berkata, “Kalau engkau tidak mau mengambil aku sebagai murid,
mengapa tadi menolongku? Biarlah aku dibunuh oleh kakek Bu-tong-pai, apa
sangkut-pautnya denganmu?”
Kakek itu
tercengang, akan tetapi tetap tertawa. “Melihat anak kecil dipukul tokoh-tokoh
Bu-tong-pai, bagaimana aku dapat mendiamkannya saja. Hei, anak baik, mengapa
engkau dipukuli mereka? Apakah engkau mencuri sesuatu?”
“Sudahlah,
jika engkau tidak mau mengambil murid kepadaku, mengapa masih banyak cakap
lagi? Aku hanya mempunyai sebuah permintaan lagi, kalau kau tidak mau
memenuhinya, benar-benar aku tidak mengerti mengapa kau begini usil mencampuri
urusan orang lain! Permintaanku adalah agar kau suka menunjukkan kepadaku
tempat tinggal seorang yang kucari-cari. Engkau tentu seorang kang-ouw yang
sakti, maka kalau kau mengatakan tidak tahu, berarti kau bohong.”
“Kau anak
luar biasa. Katakan, siapa yang kau cari itu?”
“Aku mencari
Pendekar Siluman, Majikan Pulau Es. Tahukah engkau di mana dia berada dan
bagaimana aku dapat bertemu dengannya? Heiiii... engkau kenapa?” Tek Hoat
berseru melihat kakek lumpuh itu memandangnya dengan mata terbelalak
seolah-olah dia telah berubah menjadi setan yang menakutkan!
Tentu saja
kakek lumpuh itu terkejut bukan main mendengar anak ini mencari Pendekar
Siluman! Kakek ini berjuluk Sai-cu Lo-mo (Iblis Tua Bermuka Singa), namanya
sendiri yang telah dilupakan orang dan hampir dilupakan sendiri olehnya adalah
Bhok Toan Kok dan dia dahulu pernah menjadi pembantu utama dari Puteri Nirahai
ketika puteri ini menjadi ketua Thian-liong-pang.
Seperti
telah diceritakan dalam Sepasang Pedang Iblis, Sai-cu Lo-mo meninggalkan Pulau
Es yang pertama kali dikunjunginya itu bersama dengan Milana yang oleh ayahnya
disuruh ikut kakeknya, kaisar di kota raja. Kakek lumpuh namun lihai ini
seolah-olah menjadi wakil Puteri Nirahai untuk menemani puterinya di kota raja
dan sebelum pergi meninggalkan Pulau Es, kakek lumpuh ini oleh bekas ketuanya,
Nirahai, telah dibekali beberapa buah kitab pusaka ilmu silat yang hebat untuk
menambah kepandaiannya setelah kedua kakinya lumpuh.
Selama dua
tahun Sai-cu Lo-mo tinggal di kota raja, seperti seorang pensiunan di istana
karena Milana menghendaki demikian dan tentu kaisar memenuhi permintaan cucunya
ini. Akan tetapi melihat betapa Milana seperti terpaksa menikah dengan seorang
suami yang memenuhi syarat sayembara, yaitu seorang panglima muda berdarah
bangsawan bernama Han Wi Kong, hati kakek ini merasa perih sekali.
Dia maklum
betapa dara yang disayangnya itu menikah dengan terpaksa, menikah dengan orang
yang tidak dicintanya. Dia tahu betapa hati dara itu masih melekat kepada Gak
Bun Beng! Dia tidak tahu di mana adanya Gak Bun Ben, cucu keponakannya itu dan
melihat betapa ikatan cinta kasih antara Gak Bun Beng dan Milana terputus,
melihat betapa Milana kini terpaksa menyerahkan diri menjadi isteri orang lain,
hatinya merasa sengsara sekali. Karena inilah, setelah Milana menikah kakek
lumpuh ini meninggalkan istana, meninggalkan kota raja dan merantau ke
mana-mana untuk mencari cucu keponakannya, Gak Bun Beng! Dalam perantauannya
ini dia bertemu dengan Ang Tek Hoat dan dapat dibayangkan betapa kagetnya
mendengar betapa bocah yang bandel ini hendak mencari Pendekar Siluman Majikan
Pulau Es!
“Eh, anak
yang luar biasa anehnya! Engkau benar-benar hendak mencari Pendekar Siluman?”
Tek Hoat
memandang kakek itu dengan penuh minat. Jangan-jangan kakek ini sendiri yang
berjuluk Pendekar Siluman! Memang pantas. Mukanya seperti singa, menakutkan,
kedua kakinya lumpuh akan tetapi dapat berlari begitu cepat, seolah-olah tanpa
kaki dapat berlari secepat terbang. Ini mirip siluman!
“Apakah
engkau Pendekar Siluman?”
“Ha-ha-ha-ha!”
Sai-cu Lo-mo tertawa sampai matanya mengeluarkan air mata.
Dia disangka
Suma Han Si Pendekar Super Sakti! Biar pun dia telah melatih isi kitab
pelajaran ilmu silat tinggi yang dia terima dari bekas ketuanya yang kini
menjadi isteri Pendekar Super Sakti, biar pun kini kepandaiannya sudah
meningkat jauh lebih tinggi dari pada tingkatnya sebelum kakinya lumpuh, namun
kalau dibandingkan dengan kepandaian Pendekar Siluman, benar-benar menggelikan!
“Ha-ha-ha,
kau belum tahu siapa itu Pendekar Siluman, akan tetapi kau sudah hendak
mencarinya. Mau apakah kau mencari Pendekar Siluman”
“Aku mau
menantangnya!”
“Heiii...?
Kau...? Menantangnya...?” Sekarang kakek ini terbelalak karena jawaban anak ini
benar-benar mengejutkan. “Mengapa?”
“Aku hendak
membuktikan kata-kata ibu. Kalau benar dia merupakan pendekar yang terpandai di
kolong langit, aku akan berguru kepadanya.”
“Bocah
lancang! Kau kira begitu mudah untuk menantang dia atau berguru kepadanya?
Mencarinya lebih sukar dari pada mencari naga di langit. Ehhh, kau siapakah dan
mengapa kau tadi dipukul orang Bu-tong-pai?”
“Aku datang
ke Bu-tong-pai hendak berguru, memperdalam ilmu silatku karena ibuku adalah
murid Bu-tong-pai dan kakekku bahkan pernah menjadi ketua Bu-tong-pai. Akan tetapi
orang-orang Bu-tong-pai tidak baik, malah memukulku.”
Kakek itu
memandang tajam. “Siapa kakekmu?”
“Kakekku
sudah meninggal dunia, dahulu dia menjadi ketua Bu-tong-pai, namanya Ang
Lojin.”
“Ang
Lojin...?” Tentu saja Sai-cu Lo-mo mengenal ketua Bu-tong-pai itu, mengenalnya
dengan baik karena ketua Bu-tong-pai itu dahulu pernah ditawan secara halus
oleh Thian-liong-pang ketika ketuanya, Nirahai, ingin melihat dasar kepandaian
semua tokoh persilatan.
“Ya. Dan
ibuku bernama Ang Siok Bi, sedangkan namaku Ang Tek Hoat.”
Mata yang
biasanya kelihatan seperti orang mengantuk dari kakek lumpuh itu kini
terbelalak. Tentu saja dia tahu siapa Ang Siok Bi! Gadis muda berpakaian
kuning, puteri ketua Bu-tong-pai, yang bersama-sama Milana dan Lu Kim Bwee
telah mengeroyok Gak Bun Beng cucu keponakannya karena dituduh telah
memperkosanya!
“Ibumu yang
suka memakai pakaian kuning itu?” Tanyanya di luar kesadarannya sebab hatinya
yang bicara, menduga-duga setelah dia membayangkan peristiwa belasan tahun yang
lalu itu.
Tek Hoat
tercengang. “Kau sudah mengenal ibuku?”
Sai-cu Lo-mo
tidak menjawab, hanya mengelus-elus jenggotnya dan termenung. Dia mengenang
semua peristiwa yang terjadi belasan tahun yang lalu. Dia melihat dengan mata
kepala sendiri betapa cucu keponakannya, Gak Bun Beng, dikeroyok oleh
gadis-gadis yang membencinya. Milana, Ang Siok Bi, Lu Kim Bwee yang menganggap
Gak Bun Beng sebagai seorang penjahat besar, seorang pemerkosa yang keji.
Karena dia
sendiri percaya akan cerita Milana, maka melihat cucu keponakannya dikeroyok
dan hendak dibunuh, dia tidak berdaya sampai akhirnya Gak Bun Beng terjerumus
ke dalam jurang yang amat dalam. Akan tetapi ternyata Gak Bun Beng tidak tewas
dan dia bertemu lagi dengan cucu keponakannya itu di Pulau Es dan di tempat
inilah dia mendapat kenyataan hebat, tentang terbukanya semua rahasia yang
selama ini mengganggu hatinya.
Dia mendapat
kenyataan bahwa Gak Bun Beng sama sekali tidak berdosa! Gak Bun Beng hanya
dipergunakan namanya oleh orang lain yang melakukan semua perkosaan itu! Bukan
Gak Bun Beng cucu keponakannya yang telah memperkosa Ang Siok Bi, Lu Kim Bwee
atau siapa pun juga, melainkan orang sengaja hendak merusak nama cucu
keponakannya itu. Dan orang itu bukan lain adalah Wan Keng In yang kini telah
tewas. Wan Keng In putera Lulu, anak tiri Pendekar Super Sakti.
Sai-cu Lo-mo
memandang Tek Hoat dengan penuh selidik. Kasihan, pikirnya. Jadi anak ini
adalah anak Ang Siok Bi, gadis yang telah diperkosa orang yang bernama Gak Bun
Beng?
“Anak baik,
siapakah nama ayahmu?” Tiba-tiba dia bertanya, di dalam hatinya merasa
bersyukur juga bahwa gadis yang telah terhina itu akhirnya dapat juga
memperoleh jodoh dan bahkan dari perjodohan itu agaknya telah memperoleh anak
yang dia lihat amat berbakat, berani, dan cerdik ini.
“Ayahku
bernama Ang Thian Pa, sekarang telah meninggal dunia.”
Sai-cu Lo-mo
tercengang. Ang Thian Pa? Bukankah Ang Thian Pa nama asli dari Ang Lojin
sendiri?
“Siapa
bilang bahwa nama ayahmu Ang Thian Pa?”
“Kakek aneh,
siapa lagi kalau bukan ibu yang bilang? Saya tidak pernah melihat wajah ayah.
Kata ibu, ayah telah meninggal dunia ketika aku berada di dalam kandungan ibu.”
Kembali
kakek itu mengelus jenggotnya. Sungguh tidak disangkanya sama sekali! Sungguh
kasihan wanita yang bernama Ang Siok Bi itu. Kini dia tidak ragu-ragu lagi.
Anak ini tentu anak yang terlahir akibat perbuatan Wan Keng In yang memperkosa
gadis itu! Timbul rasa iba besar di dalam hatinya terhadap anak ini.
“Ang Tek
Hoat, aku mau menerima kau sebagai muridku, akan tetapi syaratnya engkau harus
berani hidup sengsara dan kekurangan, ikut aku merantau dan hanya akan kulatih
ilmu silat selama dua tahun, dan kelak kau sama sekali tidak boleh menyebut
namaku sebagai gurumu. Bagaimana, maukah kau menerima syarat itu?”
Tek Hoat
adalah seorang anak yang cerdik sekali. Dengan girang dia lalu berlutut di
depan kakek lumpuh itu, mengubah sikapnya menjadi penuh hormat dan berkata,
“Suhu, teecu menerima semua syarat itu, dan mohon Suhu sudi memberitahukan nama
Suhu.”
“Ha-ha-ha,
namaku sendiri aku sudah lupa, akan tetapi orang menyebutku Sai-cu Lo-mo, nama
julukan yang dilebih-lebihkan karena singa ini sudah lumpuh!”
Mulai saat
itu Tek Hoat menjadi murid Sai-cu Lo-mo dan ke mana pun juga kakek itu pergi,
dia mengikutinya, melayani gurunya dengan penuh kebaktian sehingga kakek ini
menjadi girang sekali, lalu mengajarkan ilmu silat yang tinggi kepada Tek Hoat.
Dia mengajarkan ilmu silat gabungan dari Pat-mo Sin-kun (Silat Sakti Delapan
Iblis) dan Pat-sian Sin-kun (Silat Sakti Delapan Dewa) yang sudah diperbaikinya
setelah kakek ini mempelajari kitab-kitab pusaka pemberian Nirahai, juga dia
mengajarkan sinkang yang mengandung hawa panas, juga ilmu ini adalah hasil dari
pada pemberian Nirahai setelah dia menjadi lumpuh kedua kakinya.
Makin girang
hatinya melihat ketekunan dan kecerdasan Tek Hoat berlatih dengan ilmu-ilmu
ini. Mereka melakukan perantauan ke mana-mana akan tetapi selalu kakek itu
menghindarkan diri dari persoalan dengan orang lain, bahkan selalu
menyembunyikan diri karena memang dia sudah muak dengan persoalan di dunia, apa
lagi dengan permusuhan-permusuhan di antara manusia.
Patut
disayangkan dan amat tidak baik bagi Tek Hoat, kakek itu ternyata sama sekali
tidak mengacuhkan tentang pendidikan. Dia hanya membawa muridnya merantau dan
mengajar silat kepadanya, dan dia sama sekali tidak mempedulikan tentang
pendidikan batin.
Padahal
ketika itu Tek Hoat merupakan seorang remaja, seorang anak laki-laki yang
sedang berangkat menuju kedewasaannya. Usia remaja menjelang dewasa ini
merupakan usia yang paling gawat karena jiwa petualang yang ada dalam diri anak
itu sedang menonjol mencari penyaluran dan pemuasan dari keinginan tahunya
mengenai segala macam hal.
Demikianlah,
selama dua tahun itu Tek Hoat berangkat dewasa tanpa bimbingan sama sekali,
tumbuh dengan liar. Dia telah berusia enam belas tahun, memiliki kepandaian
yang hebat dan wataknya aneh, sukar dijenguk isi hatinya karena pada wajahnya
yang tampan itu selalu terbayang senyum, sedangkan pandang matanya yang tajam
tidak membayangkan perasaan hatinya.
Setelah
sekali lagi dia harus berjanji kepada Sai-cu Lo-mo bahwa dia kelak tidak akan
menyebut-nyebut nama kakek ini sebagai gurunya, mereka saling berpisah. Tek
Hoat melanjutkan perjalanan seorang diri dan pemuda ini merasa lega hatinya.
Selama dekat dengan gurunya dia merasa tidak bebas. Biar pun gurunya tidak
mempedulikannya, dia mengerti bahwa gurunya tentu akan turun tangan apabila dia
melakukan sesuatu yang tidak disukai gurunya. Kini dia bebas, seperti seekor
burung terbang di angkasa.
Dia tidak
mau pulang dulu kepada ibunya, karena apa artinya pulang kalau dia tidak
membawa hasil apa-apa? Dia memang sudah memperoleh hasil, yaitu ilmu yang
tinggi dari Sai-cu Lo-mo, tetapi pemuda ini belum merasa puas. Bekal uang yang
dibawanya ketika mulai meninggalkan tempat tinggalnya hampir habis dan
pakaiannya yang baik hanya tinggal dua stel lagi.
Dia akan
terlantar kalau tidak lekas mendapatkan uang dan pakaian. Padahal dia masih
belum menemukan apa yang dicarinya ketika dia meninggalkan rumah ibunya, yaitu
Pendekar Siluman! Dan kini dia harus datang lagi ke Bu-tong-pai. Dia akan
mencoba kepandaiannya lagi untuk melawan kakek Bu-tong-pai yang dulu pernah
menghajarnya. Sebelum dapat membalas kepada kakek itu, dia akan selalu merasa
penasaran.
Demikianlah,
pada pagi hari itu Tek Hoat tiba di kota Shen-yang, tak jauh dari kota raja,
lalu dia memasuki sebuah rumah makan yang baru buka dan masih kosong belum ada
tamu lainnya. Hari masih terlalu pagi untuk makan, tetapi Tek Hoat yang
melakukan perjalanan jauh yang melelahkan, bahkan semalam suntuk dia tidak
berhenti berjalan, merasa lapar sekali. Sudah dua hari dua malam dia berpisah
dari gurunya, berpisah di hutan yang berada tidak jauh dari kota raja, hanya
memakan waktu perjalanan tiga hari.
Maka dia ingin
sekali mengunjungi kota raja, karena selama dia bersama gurunya, kakek itu
tidak pernah mau memasuki kota besar, apa lagi kota raja. Dari tempat dia
duduk, Tek Hoat dapat melihat kesibukan orang berlalu lalang di luar rumah
makan, dan kalau dia menengok ke dalam, dia dapat mendengar pula kesibukan di
sebelah belakang ruangan itu, agaknya di dapur, di sana orang mempersiapkan
hidangan yang dipesan tamu.
Terdengar
suara ayam dipotong, suara orang menuangkan air, mencacah daging dan sebagainya
di sebelah dalam itu. Rumah makan ini cukup besar, perabotnya masih baru dan
agaknya termasuk rumah makan terkenal di Kota Shen-yang. Bahkan Tek Hoat dapat
melihat bayangan wanita, di samping mendengar suara mereka yang merdu.
Pemuda itu
makan dengan lahapnya. Masakan rumah makan itu memang terkenal enak dan
perutnya lapar sekali, maka dia makan dengan penuh semangat sehingga dia tidak
perduli akan masuknya serombongan tamu yang disambut dengan penuh hormat oleh
dua orang pelayan. Mereka ini terdiri dari tujuh orang, rata-rata bertubuh
tinggi besar dan tegap, berpakaian sebagai jagoan silat berikut lagak-lagak
mereka, lagak jagoan. Dengan hiruk-pikuk mereka menaruh golok dan pedang di
atas meja, bicara dengan suara keras, tertawa-tawa, tidak memperdulikan keadaan
sekelilingnya. Pendek kata, lagak jagoan-jagoan.
Ketika
seorang di antara mereka mendengus dan membuang ludah dengan suara menjijikkan,
barulah Tek Hoat mengangkat muka memandang. Baru dia tahu bahwa di sebelah
dalam, tak jauh dari pintu tembusan ruangan itu ke dalam, telah duduk tujuh
orang laki-laki kasar itu mengelilingi meja besar sambil tertawa-tawa dan
bercakap-cakap dengan sikap dan lagak jumawa. Akan tetapi dia tidak mau perduli
lagi kepada mereka dan melanjutkan makan minum.
Tujuh orang
itu adalah jagoan-jagoan kota Shen-bun yang letaknya hanya tiga puluh mil dari
Shen-yang dan nama mereka amat terkenal di daerah itu sampai ke kota raja.
Mereka bukanlah penjahat-penjahat atau perampok, sebaliknya malah. Mereka
adalah gerombolan orang yang tidak bekerja tetapi menjadi kaya karena kejagoan
mereka, mendapat ‘sumbangan’ dari para hartawan yang membutuhkan ‘perlindungan’
mereka. Nama Jit-hui-houw (Tujuh Harimau Terbang) sudah merupakan momok bagi
mereka yang kaya dan demi keamanan mereka dan harta mereka, para hartawan ini
dengan rela menyerahkan sejumlah sumbangan kepada mereka setiap bulan dan hal
ini memang amat menguntungkan mereka karena tidak ada penjahat berani
mengganggu hartawan yang ‘dilindungi’ oleh Jit-hui-houw!
Akan tetapi,
nama besar dan pengaruh mereka yang menakutkan itu mendatangkan kesombongan
dalam hati mereka, dan biar pun mereka tidak melakukan perampokan atau
kejahatan lain secara terang-terangan, namun sering juga mereka melakukan
perbuatan sewenang-wenang mengandalkan kepandaian dan nama besar mereka.
Para pelayan
rumah makan tentu saja sudah mengenal mereka biar pun baru beberapa kali
Jit-hui-houw makan di tempat ini. Kalau agak siang sedikit saja, tentu mereka
akan sarapan di rumah makan lain yang lebih besar. Dengan suara ribut mereka
memesan arak dan bakpauw karena bakpauw buatan rumah makan ini memang terkenal
enak. Kemudian mereka menyerang bakpauw, minum arak tanpa takaran lagi sehingga
sebentar saja suara ketawa mereka makin lantang, sendau-gurau mereka makin
kotor.
Saat mereka
melihat berkelebatnya pakaian seorang wanita di bagian belakang rumah makan,
mereka lalu berbisik-bisik. Dua orang di antara mereka yang agaknya menjadi
pimpinan mereka, berdiri agak terhuyung karena setengah mabok, menghampiri meja
di mana duduk majikan rumah makan itu dan berkata,
“Perut kami
mulas. Kami hendak ikut ke kamar kecil di belakang.”
Pemilik
rumah makan itu berubah air mukanya. Kakek yang usianya sudah lima puluh tahun
lebih itu pucat dan mendapat firasat tidak enak, maka dia hanya mengangguk-angguk
karena tidak berani melarang, akan tetapi sambil meneriaki seorang pelayan agar
menyuruh nyonya dan nona menyingkir.
Akan tetapi,
kedua orang itu sambil tertawa-tawa sudah melangkah masuk mendahului pelayan,
semua pelayan yang berada di luar tidak berani masuk, muka mereka pucat
sedangkan lima orang jagoan yang masih duduk di luar tertawa bergelak. Ketika
kakek pemilik rumah makan, yang melihat gelagat tidak baik, bangkit dan hendak
mengejar ke dalam, tiba-tiba tangannya disambar oleh seorang jagoan dan ditarik
ke meja mereka.
“Lopek yang
baik, sebagai tuan rumah marilah temani kami minum arak. Bukankah kita adalah
sahabat-sahabat baik? Ha-ha-ha!”
“Maaf...
saya... saya...”
“Ah, apakah
Lopek tidak menghargai ajakan kami? Jangan khawatir, yang lopek makan dan minum
menjadi tanggung jawab kami untuk membayarnya. Ha-ha-ha-ha!” Tangan yang
menggenggam pergelangan kakek itu mencengkeram dan si kakek pemilik rumah makan
meringis kesakitan dan tidak berani banyak membantah lagi. Dia duduk, akan
tetapi mukanya yang pucat selalu menoleh ke dalam.
Tek Hoat
sudah merasa curiga sekali sejak perhatiannya tertarik kepada tujuh orang itu.
Apa lagi ketika dua orang di antara mereka memasuki ruangan dalam dan melihat
pula pemilik rumah makan dipaksa duduk menemani lima orang yang lain, dia
mengerutkan alis, menduga bahwa tentu akan terjadi sesuatu. Karena Tek Hoat
sudah mencurahkan perhatiannya, mengerahkan ketajaman tenaganya, maka dia dapat
menangkap suara lirih yang keluar dari ruangan dalam di sebelah belakang rumah
makan itu, suara lirih yang tidak akan dapat tertangkap oleh pendengaran
telinga biasa, suara wanita!
“Ampun...
ah, jangan...!” Dan terdengar isak tertahan karena takut.
Cepat sekali
Tek Hoat meloncat dari atas bangkunya dan tubuhnya sudah berkelebat masuk ke
ruangan belakang.
“Haiii...!”
Lima orang jagoan itu berteriak heran dan mereka sudah bangkit semua. Akan
tetapi Tek Hoat tidak mempedulikan mereka, terus menerobos masuk. Para pelayan
yang berada di belakang berkelompok, berdiri ketakutan.
“Di mana
mereka?” Tek Hoat bertanya singkat.
Para pelayan
itu menggerakkan muka, menunjuk dengan dagu ke arah sebuah kamar yang tertutup
daun pintunya.
“Brakkkk...!”
Daun pintu itu pecah diterjang Tek Hoat.
Ketika dia
masuk pemuda ini terbelalak penuh keheranan, akan tetapi juga kemarahan melihat
betapa seorang gadis muda yang cantik sedang bergulat mempertahankan
kehormatannya dari perkosaan seorang di antara jagoan tadi. Bajunya sudah
terobek lebar sehingga tampak baju dalamnya yang sudah terkoyak pula. Dan hal
yang sama terjadi pula di sudut kamar, di atas lantai di mana seorang wanita
berusia tiga puluh tahun lebih, akan tetapi cantik sekali, lebih cantik dari
gadis itu, dengan tubuh yang padat menggairahkan sedang bergulat dengan jagoan
ke dua. Agaknya, sedikit saja kedatangan Tek Hoat terlambat, kedua orang wanita
itu, yang di atas pembaringan dan yang di atas lantai, tentu takkan dapat
bertahan menghadapi tenaga kasar dua orang jagoan itu.
“Keparat!”
Tek Hoat meloncat ke depan. Dua kali tangannya menyambar ke arah muka jagoan
yang menengok kaget itu.
“Prak!
Prak!”
Dan dua
orang jagoan itu terpelanting, tubuh mereka terkulai tak mampu bergerak lagi.
Gadis yang ternyata sekarang kelihatan sudah terobek seluruh pakaiannya bagian
depan, yang tadi tidak nampak karena tertindih oleh jagoan yang menyerangnya,
menjerit dan berusaha menutupi tubuhnya, akan tetapi tak dapat dicegah lagi,
tubuhnya yang telanjang bulat di bagian depan itu sudah terlihat oleh Tek Hoat.
Pemuda ini menjadi merah mukanya, membuang muka dan menjambak rambut dua orang
jagoan itu, menyeretnya ke pintu kamar.
“Haiii...
siapa dia? Hayo seret ke luar!”
Lima orang
jagoan sudah berlari memasuki ruangan dalam, akan tetapi tiba-tiba ada dua
sosok tubuh melayang dari dalam dan menerjang mereka.
“Awasss...!”
Mereka cepat
menyambut terjangan dua sosok bayangan itu dengan pukulan-pukulan tangan mereka
sehingga terdengar suara bak-bik-buk ketika pukulan mereka mengenai dua orang
kawan itu.
“Celaka!”
teriak mereka ketika melihat bahwa dua sosok tubuh yang kini menggeletak di
depan kaki mereka itu adalah dua orang kawan mereka yang tadi mengganggu wanita
di dalam, sekarang menggeletak dengan pakaian yang masih awut-awutan dan dengan
kepala pecah.
Yang mereka
pukuli tadi adalah tubuh dua orang ini yang dilempar orang dari dalam dan
keadaan mereka telah tidak bernyawa lagi! Dapat dibayangkan betapa besar
kemarahan lima orang ini melihat dua orang saudara mereka telah tewas.
Terdengar suara senjata dicabut dari sarungnya dan tampak sinar berkilauan
ketika dua orang mencabut golok dan tiga orang yang lain mencabut pedang.
“Kalian juga
sudah bosan hidup?”
Ucapan yang
keluar dari mulut pemuda tanggung itu terdengar lucu, sama sekali tidak
menakutkan, sama sekali tidak menyeramkan, akan tetapi amatlah mengherankan dan
hampir lima orang itu tidak dapat percaya akan pandangan matanya sendiri.
Benarkah dua orang suheng mereka itu tewas oleh bocah ini?
Sejenak lima
orang jagoan itu memandang dengan mata terbelalak, senjata masing-masing
tergenggam di tangan. Siapa yang takkan menjadi ragu-ragu berhadapan dengan
seorang pemuda remaja yang bertangan kosong ini? Pemuda itu hanya memiliki
sebuah kelebihan, yaitu ketampanannya, akan tetapi apakah artinya wajah tampan?
Tubuhnya kecil dan kelihatan lemah, sama sekali bukan ‘potongan’ jago kang-ouw.
Benarkah pemuda remaja ini yang membunuh kedua orang suheng mereka?
“Siapa
engkau? Dan apa yang terjadi dengan suheng kami?” tanya seorang di antara
mereka sambil melangkah maju, pedangnya bersilang di depan dada.
“Kalian
belum tahu mengapa dua orang ini tewas? Mereka hendak memperkosa wanita, maka
aku sudah turun tangan membunuh mereka. Dan kau mau tahu namaku? Aku bernama...
Gak Bun Beng.”
Tek Hoat
tiba-tiba saja timbul niat hatinya untuk menggunakan nama ini, nama orang yang
membunuh ayahnya. Nama musuh besarnya yang telah mati. Dia sendiri tidak
mengerti mengapa dia menggunakan nama itu. Dia hanya ingin menyembunyikan
namanya sendiri, masih terpengaruh oleh sikap gurunya yang tidak mau melibatkan
diri dengan urusan lain. Dia hanya ingin menggunakan nama sembarangan saja
untuk menggantikan nama aslinya, dan pada saat dia sedang memilih nama
pengganti, tiba-tiba saja nama musuhnya itu menyelinap di kepalanya.
“Gak Bun
Beng, berani kau membunuh dua orang suheng kami?” Sambil membentak demikian,
orang berpedang itu sudah menusukkan pedangnya ke arah dada Tek Hoat.
Bagi orang
di daerah itu, mungkin sekali nama Jit-hui-houw sudah terkenal dan ilmu
kepandaiannya mereka sudah dianggap tinggi dan sukar dicari lawannya. Akan
tetapi bagi Tek Hoat yang sudah memiliki kepandaian tinggi, gerakan mereka
terlalu lambat sehingga dengan mudah dia dapat mengikuti gerakan pedang yang
menusuk dadanya.
Dengan
menggerakkan badannya miring, pedang meluncur lewat di samping tubuhnya dan
secepat kilat tangan pemuda itu menyambar ke depan, jari tangannya menusuk ke
arah mata lawan. Gerakannya demikian cepat sehingga lawan yang terancam matanya
itu terkejut, memutar pedang menangkis ke atas untuk membabat tangan Tek Hoat.
Akan tetapi gerakan serangan ke arah mata itu hanya tipuan belaka karena yang
sesungguhnya bergerak adalah tangan kedua yang diam-diam dari bawah menyambar
ke atas, mencengkeram tangan lawan yang memegang pedang dan di lain saat pedang
itu sudah berpindah tangan!
Dengan
seenaknya, kedua tangan pemuda itu dengan saluran sinkang yang amat kuat
mematah-matahkan pedang itu seperti orang mematah-matahkan sebatang lidi saja!
Terdengar bunyi pletak-pletok dan pedang itu sudah patah-patah menjadi lima
potong. Sebelum pemilik pedang sadar dari kaget dan herannya, Tek Hoat
menggerakkan kedua tangannya bergantian dan potongan-potongan pedang menyambar
seperti anak panah cepatnya menuju ke arah tubuh pemiliknya.
Orang itu
berusaha mengelak, namun luncuran potongan-potongan pedang itu terlalu laju dan
jarak antara dia dan penyerangnya terlalu dekat sehingga lima potong baja itu
menembus masuk ke dalam tubuhnya. Orang itu mengeluarkan pekik mengerikan dan
roboh terjengkang, tewas seketika.
Empat orang
anggota Jit-hui-houw kaget setengah mati, akan tetapi juga marah sekali. Mereka
mengeluarkan teriakan dahsyat, kemudian berbareng maju menyerang dengan senjata
mereka. Penyerangan mereka cukup hebat dan sinar pedang serta golok
berkelebatan menyilaukan mata. Para pegawai rumah makan sudah lari cerai berai.
Menghadapi
serangan bertubi-tubi dari empat orang yang marah itu, Tek Hoat sudah meloncat
ke luar dan mereka lalu melanjutkan pertandingan di dalam ruangan tamu di depan
yang luas. Meja kursi beterbangan ditendangi empat orang itu ketika mereka
mengejar dan mengepung Tek Hoat.
Pemuda ini
tenang-tenang saja, bahkan timbul sifat kekanak-kanakannya yang hendak mengajak
empat orang pengeroyoknya main kucing-kucingan. Dia berlari ke sana ke mari
mengitari meja, dikejar dan dihadang empat orang pengeroyoknya yang membacok
atau menusuk setiap kali ada kesempatan. Setelah puas mempermainkan mereka
sambil tersenyum-senyum mengejek, Tek Hoat lalu menyambar sepasang sumpit
panjang dari atas meja, sepasang sumpit bambu dan dengan senjata sederhana ini
dia meloncat ke depan, kini tidak lagi melarikan diri dikejar-kejar, bahkan dia
yang berbalik menyerang!
Begitu
menyerang dia sudah bermain dengan ilmu silat gabungan Pat-mo-kun-hoat dan
Pat-sian-kun-hoat yang dilatihnya dari Sai-cu Lo-mo. Ilmu silat ini memang
dapat dilakukan dengan tangan kosong atau dengan senjata apa pun dengan merubah
sedikit gerak serangannya disesuaikan dengan senjata yang dipegangnya.
Hebat bukan
main gerakan pemuda ini, terlalu hebat, aneh, dan cepat bagi empat orang lawannya
sehingga terdengar teriakan berturut-turut ketika empat orang itu dipaksa
melepaskan senjata masing-masing karena pergelangan tangan atau siku lengan
mereka tertusuk sumpit!
Akan tetapi
pada saat itu, terdengar suara tangis riuh rendah di sebelah belakang rumah
makan. Mendengar itu Tek Hoat lalu meloncat ke dalam, meninggalkan empat orang
lawan yang sudah melepaskan senjata dan berdiri dengan muka pucat dan mata
terbelalak saling pandang. Untung bagi mereka bahwa pemuda yang luar biasa itu
meloncat ke dalam, kalau tidak, dengan gerakan selanjutnya tentu dengan mudah
pemuda itu akan membunuh mereka setelah melucuti senjata mereka secara demikian
istimewa!
Sementara
itu, Tek Hoat yang mendengar suara tangis itu merasa khawatir kalau terjadi
hal-hal yang memerlukan bantuannya, maka dia meninggalkan empat orang lawannya
dan cepat berlari masuk. Melihat dia muncul, pemilik rumah makan yang berusia
lima puluh tahun lebih dan isterinya yang masih muda dan cantik, cepat
menjatuhkan diri berlutut di depan Tek Hoat. Pemuda ini terkejut dan juga
merasa heran mengapa mereka menangis dan dia melihat gadis yang tadi hampir
menjadi korban keganasan penjahat, dipegangi oleh dua orang pelayan wanita.
Gadis itu menangis dan meronta-ronta, berteriak-teriak, “Lepaskan aku! Biarkan
aku mati...!”
“Harap Ji-wi
(anda berdua) bangun, tak perlu begini,” kata Tek Hoat sambil menyingkir dari
depan kedua suami isteri yang berlutut itu. “Apakah yang terjadi lagi maka
ribut-ribut?”
“Taihiap
(pendekar besar)... tolonglah kami... kalau tidak, bukan hanya anak saya mati
membunuh diri, akan tetapi kami sekeluarga tentu akan habis terbasmi...” Kakek
pemilik rumah makan itu berkata sambil menangis.
“Hemm, apa
maksudmu, lopek?” Tek Hoat bertanya, hatinya senang sekali mendengar dia disebut
taihiap. Sebutan yang diidam-idamkannya. Dia seorang pendekar! Seorang pendekar
besar!
“Marilah
kita bicara di dalam kamar, taihiap,” ajak kakek itu.
Tek Hoat
lalu mengikutinya masuk ke dalam kamar di mana tadi kedua orang wanita itu
hampir menjadi korban perkosaan.
Setelah
mempersilahkan pemuda itu duduk, kakek pemilik rumah makan berkata, “Taihiap,
anak perempuan saya, Siu Li, berkeras hendak membunuh diri, maka terjadi
ribut-ribut sampai terdengar oleh taihiap. Dia merasa malu sekali.”
“Ah,
bukankah dia tidak sampai diperkosa?” tanya Tek Hoat, khawatir kalau-kalau dia
tadi terlambat.
“Memang
benar, namun taihiap mengerti, sebagai seorang gadis terhormat telah terlihat
oleh seorang laki-laki dalam keadaan telanjang bulat... hal ini menimbulkan
rasa malu yang hebat...”
“Mengapa
begitu?” Tek Hoat mengerutkan alisnya. “Bukankah penjahat yang hendak
memperkosanya tadi telah kubunuh mati?”
“Bukan
penjahat itu yang dia maksudkan, taihiap. Laki-laki itu adalah... taihiap
sendiri.”
“Haiii...? Eh,
bagaimana pula ini...?”
“Taihiap,
bukan hal itu saja yang menyusahkan hati kami, tetapi lebih-lebih kenyataan
bahwa peristiwa ini tentu akan berekor panjang. Dari pihak petugas keamanan
mudah saja diselesaikan karena memang nama Jit-hui-houw terkenal sebagai
orang-orang yang suka bertindak sewenang-wenang dan kematian mereka di warungku
cukup membuktikan bahwa mereka yang menimbulkan keonaran. Akan tetapi kami
yakin bahwa mereka tentu akan menuntut balas, kawan mereka dan terutama guru
mereka. Kami tentu akan dibasmi habis...” Dan kembali kakek itu menjatuhkan
diri berlutut di depan Tek Hoat. “Kecuali kalau taihiap menolong kami
sekeluarga...”
“Bagaimana
aku dapat menolongmu? Ahhh, mudah saja! Aku akan membunuh mereka semua, tentu
tidak akan ada pembalasan dendam lagi!”
Sebelum
kakek itu sempat menjawab, tubuh Tek Hoat berkelebat lenyap dari dalam kamar
dan ternyata pemuda ini sudah berlari keluar, ke ruangan tamu di depan, di mana
dia tadi meninggalkan empat orang lawannya. Dia sudah membunuh yang tiga,
sedangkan yang empat lagi baru dia lucuti senjatanya saja.
Akan tetapi
ketika dia tiba di ruangan depan itu, empat orang anggota Jit-hui-houw sudah
tidak nampak bayangannya lagi, sedangkan mayat tiga orang itu pun sudah lenyap.
Mereka telah melarikan diri sambil membawa mayat ketiga suheng mereka!
Terpaksa Tek
Hoat kembali ke kamar dan dengan menyesal berkata kepada pemilik rumah makan.
“Sayang sekali mengapa aku tadi tidak membunuh yang empat orang lagi.”
“Taihiap,
biar pun mereka dapat melarikan diri, kalau taihiap suka membantu kami, hidup
kami akan tenteram dan mereka tentu tak akan berani lagi bermain gila.”
“Bagaimana
aku dapat menolongmu, lopek?”
“Dengan
menerima permohonan kami agar taihiap sudi menjadi suami anak kami Siu Li...”
“Hahhh...?!”
Terbelalak sepasang mata yang tajam itu saking kagetnya. Akan tetapi dia
mendengarkan juga ketika kakek itu menceritakan keadaan keluarganya.
Kakek itu
bernama Kam Siok yang hanya mempunyai seorang anak, yaitu gadis yang berusia
tujuh belas tahun yang bernama Kam Siu Li itu. Ibu gadis itu telah meninggal
dunia karena sakit, dan Kam Siok lalu menikah lagi tiga tahun yang lalu dengan
seorang janda muda, yaitu wanita cantik berusia tiga puluh tahun lebih yang
tadi hampir diperkosa bersama Siu Li, anak tirinya.
Keadaan
mereka cukup berada, karena hasil dari rumah makan itu cukup besar sehingga
mereka hidup tenang dan senang. Akan tetapi siapa tahu, hari itu terjadi mala
petaka yang hebat dan kalau tidak ada jalan yang baik, tentu mereka akan
terancam bahaya pembalasan yang akan membasmi seluruh keluarga mereka.
“Demikianlah,
taihiap. Hanya ada satu jalan bagi kami untuk dapat selamat, baik untuk keselamatan
Siu Li agar dia tidak menanggung aib dan nekat hendak membunuh diri, mau pun
untuk kami sekeluarga agar terbebas dari ancaman pembalasan Jit-hui-houw.”
Pada saat
itu, dua orang wanita yang tadi hampir diperkosa memasuki kamar. Gadis yang
bermuka merah sekali, dengan air mata bercucuran, digandeng tangannya dan
agaknya dipaksa masuk oleh ibu tirinya dan bersama puterinya itu, wanita cantik
isteri Kam Siok lalu menjatuhkan diri di depan Tek Hoat sambil berkata dengan
suara merdu halus dan penuh daya membujuk, “Mohon kemurahan hati taihiap agar
memenuhi permohonan suami saya karena hanya taihiaplah bintang penolong kami
satu-satunya.” Muka yang cantik dengan sepasang mata yang penuh gairah
menantang itu diangkat.
Tek Hoat
diam-diam kagum dan harus memuji kecantikan wanita ini, matanya, hidungnya,
bibirnya yang menantang, dan belahan dadanya yang tampak karena pakaiannya yang
tadi dirobek penjahat masih belum dibetulkan sama sekali.
Ada pun
gadis yang juga berlutut sambil menunduk itu cantik pula, dengan kulit leher
yang putih halus. Sungguh pun kecantikannya tidak menggairahkan seperti
kecantikan ibu tirinya, namun Siu Li tergolong dara yang cantik manis.
Hati Tek
Hoat tertarik, bukan hanya kepada wanita-wanita itu, terutama mengingat akan
kekayaan kakek Kam Siok. Dia memang sudah kehabisan uang dan dia butuh sekali
uang banyak dan pakaian yang indah. Apa salahnya kalau dia menerima penawaran
ini? Mulutnya tersenyum, senyum yang membuat wajahnya kelihatan makin tampan,
tetapi senyum yang sinis dan mengandung ejekan penuh rahasia. Dia mengangguk.
“Baiklah,
demi keselamatan kalian sekeluarga, aku menerima usul kalian ini.”
Kakek Kam
Siok girang bukan main, maju menubruk dan merangkul calon mantunya, “Anak
baik... agaknya Thian sendiri yang menurunkan kau dari sorga untuk menolong
kami...! Kalau begitu, perayaan pernikahan dapat segera dipersiapkan. Siapakah
nama orang tuamu dan di mana mereka tinggal? Eh, siapa pula namamu? Ha-ha-ha,
betapa lucunya. Seorang mertua tidak tahu nama mantunya!”
“Tidak perlu
repot-repot, lopek. Aku seorang yang sebatang kara, tiada tempat tinggal tiada
keluarga. Namaku... Gak Bun Beng.”
Dapat
dibayangkan betapa girang hati keluarga Kam Siok ketika Tek Hoat menerima
permintaan mereka. Kam Siok merasa terlindung keluarganya, Kam Siu Li merasa
tertebus aibnya, apa lagi memperoleh suami yang amat tampan dan gagah perkasa,
hal yang sama sekali tak pernah dimimpikan karena dia hanyalah anak seorang
pemilik rumah makan! Dan ada orang yang diam-diam merasa girang sekali dan
memandang hari depan penuh harapan. Orang ini adalah Liok Si, isteri Kam Siok
yang masih muda dan cantik.
Dengan mata
halus dia memandang pemuda calon mantu tirinya itu dan hatinya bergelora panas.
Tentu saja dia tak pernah memperoleh kepuasan batin dari suaminya yang dua
puluh lima tahun lebih tua dari pada dia dan dia memang mau menjadi isteri
pemilik rumah makan itu karena mengharapkan jaminan kecukupan dunia. Akan
tetapi, diam-diam dalam waktu tiga tahun ini, hatinya makin menderita dan
matanya selalu menyambar seperti mata burung elang melihat tikus gemuk setiap
kali dia melihat seorang pria muda yang tampan.
Betapa pun
hatinya merindu, kesempatan tidak mengijinkan sehingga selama ini dia seperti
orang kehausan yang tidak pernah mendapatkan kepuasan. Namun sekarang,
kesempatan terbuka lebar di depan mata! Seorang pemuda tampan berada serumah
dengan dia dan agaknya akan leluasalah dia mendekati pemuda itu, karena
bukankah pria muda ini mantunya?
Pesta
pernikahan dilangsungkan meriah juga. Karena rumah makan itu sudah terkenal dan
mempunyai banyak langganan, maka perkawinan antara puteri pemilik rumah makan
dengan ‘Gak Bun Beng’ ini mendapat kunjungan banyak sekali tamu. Selain sebagai
langganan, juga para tamu itu ingin sekali menyaksikan pemuda yang telah menggemparkan
kota Shen-yang, pemuda yang kabarnya telah merobohkan tujuh orang Jit-hui-houw,
bahkan membunuh tiga orang di antara mereka!
Sebentar
saja nama Gak Bun Beng terkenal di seluruh kota dan sekitarnya, dan lebih
menggemparkan lagi ketika sisa Jit-hui-houw yang tinggal empat orang itu kini
tidak tampak lagi di Shen-bun, sudah menghilang entah ke mana! Diam-diam banyak
orang yang merasa lega dan bersyukur kepada pemuda asing ini.
Ketika
sepasang mempelai dipertontonkan kepada umum, para tamu kagum sekali melihat
Tek Hoat. Tak mereka sangka bahwa pemuda yang telah merobohkan Jit-hui-houw itu
masih demikian muda. Seorang pemuda remaja yang luar biasa tampan dan gagahnya!
Betapa untungnya Kam Siong memperoleh seorang anak mantu seperti itu, dan lebih
untung lagi anak perawannya yang hampir diperkosa anggota Jit-hui-houw, tidak
saja terbebas dari malapetaka pemerkosa, bahkan telah memperoleh seorang suami
yang demikian gagah perkasa dan tampan!
Pada saat
para tamu sedang bergembira menghadapi hidangan, tiba-tiba terjadi kegaduhan
dan banyak tamu yang sudah bangkit berdiri dan menyingkir ke tempat aman ketika
mereka melihat datangnya lima orang yang membuat mereka terkejut. Ada tamu yang
sampai terbatuk-batuk karena makanan yang baru saja dijejalkan ke mulut itu
tersesat jalan ketika matanya mengenal empat orang dari Jit-hui-houw yang
datang itu dengan sikap garang, mengiringkan seorang kakek gemuk pendek yang
pakaiannya penuh tambalan dan tangannya memegang sebatang tongkat baja berwarna
hitam!
Gegerlah
suasana pesta ketika empat orang Jit-hui-houw itu menendangi meja kursi dalam
kemarahan mereka karena meja kusi menghalang jalan. Tamu-tamu lari cerai-berai
dan hanya berani menonton dari tempat jauh walau pun ada pula sebagian para
tamu yang berhati tabah tetap berada di tempat pesta itu, berdiri agak jauh di
pinggiran.
Dapat
dibayangkan alangkah paniknya pihak tuan rumah. Walau pun mereka sudah
menduga-duga bahwa setiap waktu pihak Jit-hui-houw tentu akan datang mengacau
dan membalas dendam, dan biar pun mereka sudah percaya penuh akan perlindungan
Tek Hoat, namun melihat munculnya empat orang Jit-hui-houw bersama seorang
jembel tua yang menyeramkan itu, mereka menjadi pucat ketakutan. Kam Siok
sendiri sudah menarik tangan anak isterinya ke sebelah dalam, bersembunyi di
dalam kamar, kemudian dia sendiri mengintai keluar dengan jantung berdebar
tegang.
Tentu saja
Tek Hoat merasa marah sekali menyaksikan betapa lima orang itu datang mengacaukan
perayaan pesta pernikahannya. Akan tetapi sambil tersenyum pemuda ini melangkah
lebar ke ruangan depan yang sudah sunyi itu. Sunyi sekali di situ karena semua
orang, baik yang dekat mau pun yang menonton dari jauh, tidak ada yang
mengeluarkan suara, bahkan mereka itu seperti menahan napas melihat pemuda yang
menjadi pengantin itu melangkah menghampiri lima orang yang sudah berdiri tegak
dengan kedua kaki terpentang lebar dan bersikap menantang itu.
Setelah
berhadapan dengan lima orang itu, Tek Hoat memandang empat orang sisa
Jit-hui-houw dan berkata sambil tersenyum mengejek, “Beberapa hari yang lalu
aku tidak sempat membunuh kalian, apakah kini kalian datang untuk menyerahkan
nyawa?”
Empat orang
itu mencabut pedang dan golok, muka mereka merah sekali dan mata mereka
mendelik. “Suhu, inilah jahanam yang telah membunuh ketiga suheng itu!” kata
seorang di antara mereka.
Kakek tua
berpakaian jembel itu memandang dengan mata terbelalak penuh keheranan. Dia
adalah Sin-houw Lo-kai (Jembel Tua Harimau Sakti), seorang pertapa di hutan
yang letaknya di luar kota Shen-bun, tinggal di sebuah kuil tua yang kosong dan
hidupnya dijamin oleh tujuh orang muridnya, yaitu Jit-hui-houw yang terkenal
itu.
Tujuh orang
muridnya telah memiliki kepandaian yang hebat, dan biar pun tidak dapat
dikatakan luar biasa, namun sukarlah dicari orang yang dapat menghadapi mereka
bertujuh kalau maju bersama. Mendengar penuturan empat orang muridnya bahwa
tiga di antara mereka tewas oleh seorang musuh, dia menyangka bahwa
murid-muridnya itu tentu dikalahkan seorang kang-ouw yang ternama.
Akan tetapi
dapat dibayangkan betapa heran dan kagetnya ketika empat orang muridnya
memperkenalkan seorang pemuda remaja yang menjadi pengantin ini, yang menjadi
pembunuh tiga orang muridnya! Dia merasa penasaran sekali. Demikian lemahkah
murid-muridnya sehingga kalah oleh seorang pemuda yang masih hijau ini?
Sukar untuk
dipercaya. Kini melihat pemuda tanggung itu, yang kelihatannya masih belum
dewasa benar, berdiri tenang tanpa senjata apa pun, dia segera membentak kepada
empat orang muridnya, “Kalau begitu tunggu apa lagi kalian? Hayo balaskan
kematian tiga orang suheng-mu!”
Empat orang
itu sebetulnya merasa jeri karena mereka sudah maklum betapa lihainya pemuda
yang kelihatan lemah ini. Akan tetapi karena suhu mereka yang memerintah, dan
pula mereka mengandalkan suhu mereka yang tentu akan membantu mereka, maka
begitu mendengar perintah ini mereka sudah menerjang maju dengan
teriakan-teriakan garang, senjata mereka berkelebat menyambar ke arah tubuh Tek
Hoat.
Pemuda ini
biar pun mulutnya tersenyum, namun hatinya panas seperti dibakar saking
marahnya. Melihat dua batang pedang dan dua batang golok menyambarnya, dia
bergerak cepat sekali. Tubuhnya lenyap menjadi bayangan yang menyelinap di
antara sambaran sinar senjata lawan, tangan kakinya pun bergerak sehingga
terdengar suara berkerontangan ketika empat buah senjata itu terlepas dari
tangan para pemegangnya yang terkena tamparan dan tendangan.
Kemudian
sebelum mereka sempat mundur dan sebelum kakek jembel itu sempat menolong
murid-muridnya, Tek Hoat sudah berkelebat cepat sekali. Jari-jari tangannya
menyambar ke arah kepala dan berturut-turut terdengar pekik kengerian disusul
dengan robohnya empat orang Jit-hui-houw itu. Mereka roboh dan berkelojotan sebentar,
lalu diam tak bergerak, mati dengan kepala berlubang karena tusukan dua jari
tangan Tek Hoat!
Peristiwa
ini terjadi dengan sedemikian cepatnya sehingga sukar diduga terlebih dulu.
Sin-houw Lo-kai yang melihat empat orang muridnya roboh dan tewas, terbelalak
kaget dan hampir dia tidak dapat menahan kemarahan dan kedukaan hatinya. Kini
semua muridnya, ketujuh orang Jit-hui-houw telah tewas semua, dan semuanya
dibunuh oleh pemuda yang luar biasa ini!
Dia
mengeluarkan gerengan seekor harimau, kemudian membentak, “Bocah kejam!
Siapakah namamu? Siapa pula gurumu? Mengakulah sebelum Sin-houw Lo-kai turun tangan
membunuhmu!”
Tek Hoat
tersenyum mengejek. “Perlu apa menanyakan nama guruku? Aku bukanlah seorang
pengecut macam murid-muridmu yang belum apa-apa sudah merengek dan minta
bantuan gurunya! Namaku adalah Gak Bun Beng.”
“Keparat
sombong! Engkau telah berhutang tujuh nyawa muridku, hari ini aku Sin-houw
Lo-kai harus mengadu nyawa denganmu!”
Setelah
berkata demikian, kakek jembel itu kemudian menggerakkan tongkatnya dan
menyerang. Karena tahu akan kelihaian pemuda itu, maka dia tidak
sungkan-sungkan lagi menyerang seorang lawan yang masih begitu muda dan
bertangan kosong, dengan menggunakan tongkatnya yang ampuh.
Melihat
tongkat menyambar-nyambar serta berbunyi bercuitan, mengeluarkan angin yang
berputaran, maklumlah Tek Hoat bahwa kepandaian kakek ini sama sekali tidak
boleh dipandang ringan. Dibandingkan dengan kakek ini, ternyata murid-muridnya
tadi hanyalah gentong kosong belaka! Tongkat yang butut itu ternyata terbuat
dari pada baja yang kuat dan berat.
Dengan
hati-hati sekali Tek Hoat melayani lawannya dengan ilmu silat yang dipelajari
dari ibunya. Tubuhnya amat gesit saat mengelak ke sana-sini, kadang-kadang
meloncat kalau tongkat lawan menyambar dari pinggang ke bawah dengan lompatan
yang ringan dan tinggi.
“Haiit, kau
murid Bu-tong-pai!” Kakek itu menahan tongkatnya dan membentak.
Akan tetapi
Tek Hoat tidak menjawab, bahkan menggunakan kesempatan itu untuk tiba-tiba
menubruk ke depan, mainkan ilmu silatnya yang amat aneh dan ampuh, yang
dilatihnya dari Sai-cu Lo-mo. Melihat pemuda itu menerjangnya, kakek jembel itu
cepat mengelak lalu memutar tongkatnya. Akan tetapi berkali-kali dia berteriak
kaget karena hampir saja tubuhnya kena dihantam lawan yang memainkan ilmu silat
amat aneh. Ilmu silat pemuda itu dasarnya seperti Pat-kwa-kun, akan tetapi jauh
berbeda, terisi penuh tipu muslihat dan keganasan, namun mengandung tenaga yang
amat kuat. Itulah ilmu silat gabungan Pat-sian-sin-kun dan Pat-mo-sin-kun,
sedangkan hawa pukulan yang keluar dari kedua telapak tangannya amat panas!
Sekali ini,
Sin-houw Lo-kai benar-benar terkejut dan tidak dapat dia mengenal lagi ilmu
silat yang dimainkan Tek Hoat. Kalau tadi, ketika pemuda itu menggunakan ilmu
silat yang dia kenal sebagai ilmu silat Bu-tong-pai, dia dapat mendesak, akan
tetapi begitu pemuda itu mainkan ilmu silat yang amat aneh ini, tongkatnya
hanya dipergunakan untuk melindungi tubuhnya. Dia merasa seolah-olah pemuda itu
telah berubah menjadi delapan orang yang menyerangnya dari delapan penjuru!
Kakek itu makin kaget dan penasaran, akan tetapi dia harus melindungi tubuhnya
dari hantaman-hantaman yang disertai hawa panas membara yang keluar dari kedua
telapak tangan pemuda itu. Maka dia lalu memutar tongkatnya yang berat sehingga
tongkat itu berubah menjadi segulung sinar hitam yang menyelimuti tubuhnya.
Tek Hoat
juga merasa penasaran. Pemuda ini terlalu mengandalkan dirinya sendiri, terlalu
percaya bahwa dia akan sanggup mengalahkan lawannya yang mana pun juga, apa
lagi setelah dia menjadi murid Sai-cu Lo-mo selama dua tahun. Kini belum mampu
mengalahkan kakek jembel itu biar pun mereka sudah bertanding selama seratus
jurus, dia merasa penasaran bukan main. Akan tetapi dia tetap keras kepala dan
tidak mau menggunakan senjata. Dia harus mampu mengalahkan kakek itu hanya
dengan tangan kosong saja!
“Mampuslah...!”
Tiba-tiba kakek itu membentak dan tiba-tiba tangan kirinya bergerak.
“Cuat-cuat-cuattttt...!”
tiga sinar putih menyambar ke arah tubuh Tek Hoat.
Pemuda ini
cepat mengelak dari serangan piauw (senjata runcing yang dilontarkan), akan
tetapi tiba-tiba kakinya tersandung bangku dan dia terguling roboh! Tentu saja
Sin-houw Lo-kai menjadi girang sekali. Cepat dia menubruk ke depan dan
tongkatnya dihantamkan sekuat tenaganya ke arah kepala lawannya.
“Siuuuuttt...
plakkk!”
Tongkat
menyambar turun dan cepat bagaikan kilat Tek Hoat sudah meloncat ke atas.
Kiranya dia tadi hanya pura-pura terjatuh untuk memancing perhatian lawan.
Ketika melihat lawannya menghantamkan tongkat ke atas kepalanya, Tek Hoat
meloncat dan menangkap tongkat itu di bagian tengah-tengah dengan tangan kiri,
sedangkan tangan kanannya menampar ke arah tangan lawan yang masih memegang
tongkat.
Kakek itu
mengeluh, dan terpaksa membiarkan tongkatnya terampas oleh Tek Hoat yang telah
membetotnya sambil mengerahkan tenaga. Tentu saja kakek itu tidak dapat
mempertahankan tamparan Tek Hoat yang dilakukan dengan pengerahan sinkang yang
amat panas, sinkang yang dilatihnya di bawah bimbingan Sai-cu Lo-mo.
Kini Tek
Hoat berdiri tegak setelah tadi meloncat ke belakang sambil membawa tongkat
rampasannya. Ada pun kakek itu telah bersiap untuk bertanding mati-matian,
matanya menjadi merah dan mulutnya seolah-olah mengeluarkan uap panas.
“Ha-ha,
tongkatmu ini tidak ada gunanya, Sin-houw Lo-kai.” Sambil berkata demikian, pemuda
itu menekuk-nekuk tongkat baja yang kuat itu dengan kedua tangannya dan tongkat
itu tertekuk sampai bengkok-bengkok seperti ular! Dengan senyum mengejek pemuda
itu melemparkan tongkat itu ke atas lantai, lalu melangkah maju menghampiri
lawannya.
Pucatlah
wajah kakek itu. Dia maklum bahwa biar pun lawannya masih muda sekali, namun
ternyata memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi dan memiliki tenaga sinkang
yang sangat kuat. Dia tahu bahwa dia bukanlah tandingan pemuda ini, akan tetapi
setelah pemuda itu membunuh semua muridnya, setelah pemuda itu begitu menghina
dan memandang rendah kepadanya, tentu saja dia merasa lebih baik mati dari pada
mundur!
Dia
mengeluarkan pekik melengking penuh kemarahan, tubuhnya meloncat ke atas dan
menubruk seperti seekor harimau. Memang kakek ini terkenal lihai dengan Ilmu
Silat Harimau sehingga julukannya Harimau Sakti, bahkan ketujuh orang muridnya
yang tewas itu pun terkenal dengan julukan Tujuh Harimau Terbang. Lawan yang
ditubruk oleh jurus paling ampuh dari ilmu silatnya ini tentu akan menjadi
panik, dan gerakan menubruk ini banyak sekali perkembangannya.
Akan tetapi
Tek Hoat yang kini sudah merasa yakin bahwa tenaganya masih lebih kuat dari
pada kakek itu, memandang rendah serangan ini dan dia bahkan menyambut serangan
lawan dan siap mengadu tenaga! Maka ketika kakek itu menubruk, dengan kedua
tangan dikembangkan dan jari-jari tangan terbuka seperti cakar harimau, Tek
Hoat juga mengembangkan kedua lengannya dan menerima kedua tangan lawan itu
dengan tangannya sendiri.
“Plak!
Plak!”
Dua pasang
telapak tangan itu bertemu dan mulailah terjadi adu tenaga sinkang yang
dilakukan tanpa bergerak akan tetapi yang kehebatannya tidak kalah dengan adu
kecepatan kaki tangan tadi. Kakek itu berdiri dengan kedua kaki terpentang,
mukanya beringas seperti muka harimau marah, tubuhnya agak merendah, dia
mengerahkan seluruh tenaganya. Tek Hoat berdiri biasa saja, senyumnya masih
menghias mulutnya, matanya tajam bersinar-sinar, wajahnya berseri dan diam-diam
dia mengerahkan Yang-kang yang mengandung hawa panas itu.
Dua pasang
lengan itu sampai tergetar hebat dalam adu tenaga itu, akan tetapi lambat laun
kakek jembel itu sukar dapat mempertahankan diri lagi karena hawa panas itu
semakin mendesak dan semakin membakar seakan-akan hendak membakar seluruh
tubuhnya. Dia dapat mempertahankan dorongan tenaga sinkang lawan, akan tetapi
menghadapi hawa panas yang meresap ke dalam tubuhnya itu dan membuat dadanya
seperti akan meledak, dia merasa tersiksa sekali.
Tek Hoat
makin memperkuat dorongannya makin mengerahkan sinkang-nya sehingga dari
telapak tangannya mengepul uap panas. Kakek itu meringis, makin menderita dan
akhirnya kedua kakinya gemetaran, perlahan-lahan lututnya tertekuk, makin lama
makin rendah dan akhirnya dia jatuh berlutut dan tubuhnya gemetar semua.
Untuk
kesekian kalinya Tek Hoat mengerahkan tenaganya, terutama pada tangan kanannya
yang sudah menekan tangan kiri lawan.
“Krekkk...!
Aughhhh...!”
Sin-houw
Lo-kai memekik kesakitan, akan tetapi pekiknya menjadi memanjang, menjadi
lengking mengerikan ketika tangan kanan Tek Hoat secepat kilat sudah melepaskan
tangan kiri lawan dan menyambar ke arah kepala lawan. Jari tangannya, telunjuk
dan jari tengah, menusuk dan masuk semua ke dalam kepala kakek itu. Tubuh kakek
itu berkelejotan dan terlempar keluar ketika Tek Hoat menendangnya, tak lama
kemudian tubuhnya tak bergerak lagi, mati seperti empat orang muridnya.
Kakek Kam
Siok dan para tamu yang menyaksikan pertandingan itu dan melihat betapa lima
orang pengacau itu telah tewas semua, segera menghampiri Tek Hoat dan mertua
yang merasa amat girang dan lega ini merangkul mantunya penuh kebanggaan. Mayat
lima orang itu cepat diurus dan kakek Kam Siok membereskan persoalan itu dengan
pembesar setempat. Banyak sekali saksinya bahwa lima orang itu yang datang
untuk mengacau, maka Tek Hoat tidak dituntut apa pun, lebih-lebih karena Kam
Siok berani mengeluarkan banyak hadiah untuk para petugas yang mengurus
persoalan itu.
Pesta
perkawinan dilanjutkan dengan meriah dan kegagahan Tek Hoat menjadi bahan
percakapan para tamu. Nama ‘Gak Bun Beng’ terkenal sekali dan semua orang
merasa kagum akan kegagahan pemuda yang masih muda sekali itu dan menyatakan
betapa untungnya Kam Siok memperoleh seorang mantu seperti itu.
Akan tetapi
hanya orang luar saja yang menganggap bahwa keluarga Kam berbahagia dengan
munculnya pemuda tampan dan gagah itu, oleh karena orang luar tidak tahu keadaan
sebenarnya. Ada pun kakek Kam Siok dan puterinya, Kam Siu Li, menderita tekanan
batin hebat ketika baru beberapa hari saja setelah pesta pernikahan itu
berlangsung, secara terang-terangan pemuda itu bermain gila dengan si ibu tiri!
Tek Hoat yang masih hijau dalam soal asmara, tentu saja tidak dapat melawan
godaan Liok Si yang selain cantik sekali, juga pandai merayu dan bergaya itu.
Dengan mudah Tek Hoat dapat ditundukkan dan terjatuh ke dalam pelukan ibu tiri
ini. Mungkin karena mengandalkan kelihaian Tek Hoat, Liok Si berani melakukan
perjinahan dengan mantu tirinya ini secara berterang!
Dia
seolah-olah menantang suaminya dan anak tirinya! Merayu, merangkul dan mencium
mantunya di depan suami dan anak tirinya bukan merupakan hal yang aneh baginya!
Ada pun Tek Hoat yang masih hijau, menurut saja karena dia mendapatkan
kenikmatan yang luar biasa dalam hubungannya dengan Liok Si, kenikmatan yang
tak dapat dia rasakan bersama isterinya yang juga sama-sama belum berpengalaman
dan masih hijau seperti dia dalam bercumbu rayu.
Dapat
dibayangkan betapa hancur hati Siu Li dan betapa marah dan malu rasa hati Kam
Siok. Namun apa yang dapat mereka lakukan? Mereka berhutang budi, bahkan
berhutang nyawa kepada ‘Gak Bun Beng’, dan mereka takut sekali kepada pemuda
ini. Ayah dan anak ini hanya dapat bertangis-tangisan jika mereka berdua saja,
menyesali nasib mereka yang sangat buruk. Sedangkan Tek Hoat hampir selalu
berada di dalam kamar Liok Si, bermain-main dan bersendau-gurau
sebebas-bebasnya, siang malam!
Barulah terjadi
geger bagi orang-orang di luar rumah makan itu saat sebulan kemudian setelah
pesta pernikahan yang menghebohkan itu, terjadi ribut-ribut di rumah makan dan
semua orang terkejut ketika mendengar bahwa kakek Kam Siok dan puterinya, Kam
Siu Li si pengantin baru, tahu-tahu telah kedapatan tewas di dalam kamarnya
dengan kepala berlubang bekas tusukan jari tangan! Pada malam itu, si pengantin
pria yang gagah perkasa itu kebetulan sedang pergi ke luar kota. Ketika Tek
Hoat pada pagi harinya datang dan menyaksikan isterinya dan ayah mertuanya
sudah tewas dan dirubung para tetangga, dia marah sekali, memaki-maki dan
menantang-nantang.
“Jahanam
keparat!” teriaknya nyaring. “Ini tentu perbuatan teman-teman Jit-hui-houw!
Pengecut benar! Mengapa beraninya membunuh orang yang tak bersalah dan lemah?
Kalau memang berani, hayo datang dan lawanlah aku!”
Semua orang
membenarkan dugaan pemuda ini bahwa pembunuhnya tentulah kawan-kawan dari
Jit-hui-houw yang membalas dendam, maka mereka diam-diam merasa kasihan kepada
pemuda yang mengagumkan hati mereka itu. Demikianlah pendapat orang luar. Akan
tetapi di sebelah dalam rumah itu, Tek Hoat dan Liok Si tertawa-tawa merayakan
kemenangan mereka dan Tek Hoat membiarkan dirinya tenggelam dalam pelukan
kekasihnya yang pandai merayu. Pembunuhan itu tentu saja dilakukan oleh Tek
Hoat sendiri atas bujukan Liok Si dan semua harta benda peninggalan Kam Siok
tentu jatuh ke tangan mereka.
Namun,
kemesraan di antara mereka berdua tidak dapat bertahan lama. Tek Hoat suka
kepada Liok Si yang cantik genit itu hanya karena dorongan nafsu yang
dibangkitkan oleh Liok Si yang pandai merayu. Setelah nafsu berahi
terlampiaskan, yang muncul hanya kebosanan dan kemuakan. Demikian pula dengan
Tek Hoat, pemuda hijau yang salah didik ini. Dia mulai merasa bosan dan sebulan
kemudian, sering kali dia keluar rumah, bahkan bermalam di kota lain. Jiwa
perantauannya timbul kembali dan dia mulai tidak kerasan berada di rumah makan
itu. Hal ini tentu saja mengecewakan hati Liok Si, juga membuatnya sengsara.
Wanita yang
haus cinta ini mana mungkin disuruh melewatkan malam-malam sunyi dan sendirian
saja? Mulailah dia mengerlingkan matanya yang bagus itu kepada seorang pemuda
tetangga, yang biar pun tidak setampan Tek Hoat, namun memiliki tubuh tinggi
besar sehingga cukup membangkitkan gairahnya. Dan akhirnya, apabila Tek Hoat
tidak bermalam di rumah, Liok Si berhasil memikat pemuda itu memasuki kamarnya
di mana dia memuaskan semua kehausannya.
Pada suatu
malam, tidak seperti biasanya, Tek Hoat pulang dan pemuda ini memasuki rumah
melalui genteng. Ketika dia mendorong daun pintu kamar Liok Si, dia melihat
Liok Si dan pemuda tinggi besar itu di atas pembaringan! Tanpa memberi
kesempatan kepada mereka untuk mengeluarkan suara, dua kali tangannya menyambar
dan dua tubuh yang telanjang itu berkelojotan sebentar, kemudian diam dan mati
dengan kepala berlubang bekas tusukan jari tangan!
Diam-diam
Tek Hoat mengumpulkan semua perhiasan Liok Si dan semua uang emas dan perak
peninggalan kakek Kam, dibuntal dengan bungkusnya, kemudian menjelang pagi dia
melompat ke atas genteng sambil mengerahkan khikang-nya berteriak keras,
“Pembunuh! Hendak lari ke mana kau?!” Dan dia berkali-kali berteriak
“Pembunuh!” sampai para tetangga terkejut dan keluar.
Setelah
semua tetangga masuk dan melihat tubuh Liok Si dan si pemuda tinggi besar yang
mereka kenal adalah pemuda tetangga telah terkapar di atas pembaringan dalam
keadaan telanjang bulat dan mati dengan kepala berlubang, mereka terkejut
sekali dan keadaan kembali menjadi geger. Tek Hoat lalu menceritakan betapa
malam itu dia tidur nyenyak, dan bahwa dia tahu ibu mertuanya sedang kedatangan
kekasihnya, akan tetapi dia tidak berani mencampurinya. Kemudian dia terbangun
oleh suara ribut, ketika dia meloncat dan naik ke atas genteng, dia melihat
berkelebatnya bayangan yang gesit sekali. Dia berusaha mengejar akan tetapi
bayangannya ditelan kegelapan malam.
“Dia lihai
sekali!” demikian dia menyambung. “Tentu dialah orangnya yang telah membunuh
isteriku, dan yang sekarang kembali datang membunuh ibu mertua dan kekasihnya.
Bedebah dia! Aku akan mencarinya sampai dapat! Aku tidak akan kembali ke sini
sebelum aku dapat membunuh penjahat itu!”
Demikian Tek
Hoat mengakhiri sandiwaranya, kemudian dia menyerahkan rumah yang harta
bendanya telah dikuras itu kepada tetangga di sebelah. Setelah itu, pergilah
Tek Hoat membawa buntalan pakaian dan harta benda yang lumayan banyaknya. Semua
orang merasa kasihan kepada pemuda perkasa ini, dan nama ‘Gak Bun Beng’ menjadi
kenangan mereka di kota itu.
Akan tetapi,
banyak di antara para tetangga yang mulai merasa curiga kepada pemuda itu.
Mengapa pembunuhan selalu terjadi tanpa setahu pemuda itu? Dan mengapa pula
para kawan Jit-hui-houw yang semua terbunuh oleh pemuda itu membalas sakit
hatinya kepada keluarga Kam, bukan kepada si pemuda? Dan semua yang tewas itu
berlubang kepalanya! Mereka teringat betapa mayat lima orang yang mengacau
pesta pernikahan dahulu itu, si kakek jembel bersama empat orang Jit-hui-houw
juga mati dengan kepala berlubang! Apa lagi si tetangga yang diserahi rumah
makan mendapatkan kenyataan bahwa rumah makan itu hanya tinggal perabotnya
saja, sedangkan semua harta benda yang berharga telah lenyap!
Kembali
gegerlah kota Shen-yang! Berita tentang kenyataan-kenyataan itu cepat tersebar
luas dan timbullah dugaan bahwa si pembunuh keluarga Kam itu tentu bukan lain
pemuda Gak Bun Beng itu sendiri! Apa lagi setelah terdapat kenyataan bahwa
pemuda itu tidak pernah kembali lagi ke Shen-yang, terkenallah nama Gak Bun
Beng, kini bukan sebagai pemuda mantu Kam Siok yang gagah perkasa, melainkan
sebagai seorang pemuda kejam dan jahat! Dan dugaan ini diperkuat dengan adanya
berita yang memasuki kota Shen-yang melalui para pendatang bahwa di dunia
kang-ouw kini muncul seorang penjahat muda yang terkenal dengan julukan Si Jari
Maut!
Sementara
itu, Tek Hoat yang dihebohkan di kota Shen-yang dan Shen-bun dengan nama Gak
Bun Beng, telah meninggalkan kota itu dengan hati lega. Dia telah terbebas dari
ikatan yang amat tidak menyenangkan dan amat membosankan hatinya. Tentu saja
ketika dia menerima penawaran kakek Kam Siok untuk menikah dengan Siu Li, pada
saat itu dia terpengaruh untuk menolong mereka, akan tetapi sama sekali dia
tidak berniat untuk selamanya menjadi seorang suami yang terikat di rumah makan
itu! Kebetulan dia mendapat jalan dengan bujuk rayu Liok Si. Akhirnya, setelah
membunuh semua keluarga Kam, dia pergi sambil membawa harta benda mereka. Kini
tidak khawatir lagi akan kehabisan bekal di jalan.
Akan tetapi,
buntalannya yang berisi banyak emas dan perak itu menarik perhatian para
penjahat yang bermata tajam. Namanya yang belum terkenal membuat para perampok
makin berani dan banyaklah perampok yang mencoba untuk merampas buntalan pemuda
remaja ini. Akan tetapi mereka kecele karena perampok yang bagaimana lihai pun,
begitu bertemu dengan pemuda ini tentu akan dihajar habis-habisan dan banyak
pula yang tewas dengan kepala berlubang. Maka gegerlah dunia kang-ouw dengan
munculnya seorang tokoh baru, seorang pemuda berjari maut dan segera terkenallah
julukan Si Jari Maut. Akan tetapi Tek Hoat tidak pernah mau memperkenalkan
namanya sendiri, dan kalau terpaksa dia harus mengaku, maka dia sengaja memakai
nama Gak Bun Beng!
Hal ini
adalah karena dia ingin orang membenci musuh besarnya yang telah meninggal
dunia itu, pula, dia merasa bahwa belum waktunya dia memperkenalkan nama
sebelum dia mencapai kedudukan sebagai seorang gagah nomor satu di dunia ini!
Dan untuk membuktikan bahwa dia adalah orang terpandai, dia harus lebih dulu
bisa mengalahkan pendekar yang diagung-agungkan ibunya, yaitu Pendekar Siluman
Majikan Pulau Es! Kalau sudah begitu, barulah dia akan memperkenalkan namanya
sendiri.
Ketika Tek
Hoat tiba di luar kota raja, di dalam sebuah hutan yang biasa didatangi oleh
para bangsawan untuk berburu binatang, dia mengalami hal yang sekaligus membuka
matanya dan menyatakan kepadanya bahwa sebetulnya ilmu kepandaiannya masih jauh
untuk mencapai tingkat jagoan nomor satu di dunia, dan juga membuka matanya
bahwa selama ini dia terlalu memandang tinggi tingkat kepandaiannya sendiri dan
bahwa yang dikalahkannya semua itu hanyalah penjahat-penjahat kelas rendahan
saja!
Pengalaman
yang mengejutkan hatinya ini terjadi ketika dia sedang berjalan seorang diri di
dalam hutan itu, sebuah hutan yang penuh dengan pohon-pohon besar dan kaya
dengan burung-burung dan binatang hutan. Selagi dia menikmati suara burung dan
melihat kelinci dan kijang lari ketakutan melihat dia datang, tiba-tiba
terdengar derap kaki kuda dan di belakangnya datang lima ekor kuda yang membalap.
Jalan dalam hutan itu sempit, akan tetapi dia tidak mau minggir, hendak
dilihatnya apa yang akan dilakukan lima orang penunggang kuda itu kalau dia
tidak mau minggir!
“Haiii...!
Minggir...!” Penunggang kuda terdepan berseru.
Namun Tek
Hoat tidak mau minggir, bahkan membalikkan tubuhnya dan memandang dengan senyum
sindir. Penunggang kuda terdepan sudah tiba dekat dan mendadak orang itu, yaitu
seorang berpakaian perwira yang berwajah tampan dan bertubuh tegap, mengulurkan
tubuhnya dari atas kuda ke arah Tek Hoat dan tahu-tahu tubuh Tek Hoat sudah
ditangkap dan diangkatnya tinggi-tinggi tanpa pemuda ini dapat mengelak lagi!
“Bocah,
apakah kau sudah bosan hidup maka tidak mau minggir?!” Bentak perwira itu
sambil melemparkan tubuh Tek Hoat ke samping.
Tubuh Tek
Hoat lantas meluncur dan anehnya, tanpa dia mengerahkan ginkang-nya, tubuhnya
melayang perlahan dan tiba di atas tanah dalam keadaan berdiri! Dia cepat
memandang dan mengikuti lima orang penunggang kuda itu dengan mata terbelalak.
Tahulah dia bahwa perwira itu selain bertenaga besar juga memiliki kepandaian
hebat! Dia menjadi penasaran sekali. Masa dia kalah oleh orang itu? Dengan hati
penasaran dan ingin sekali mencoba kepandaiannya melawan perwira tadi, Tek Hoat
lalu berlari mengejar ke dalam hutan.
Tidak lama
kemudian dia melihat lima orang penunggang kuda itu di tengah hutan. Mereka
telah turun dari kuda dan binatang tunggangan mereka sedang makan rumput,
sedang mereka sendiri duduk di bawah pohon, menghapus keringat dan memandang
kepada seorang wanita yang masih duduk di atas kudanya, seorang wanita yang
amat cantik dan berpakaian amat indah.
Tek Hoat
menyelinap dan bersembunyi, memandang dengan mata kagum. Wanita itu sebaya
ibunya, akan tetapi bukan main cantiknya dan bukan main mewah dan indah
pakaiannya. Kudanya pun merupakan kuda yang tinggi besar dan kuat, dan wanita
itu tiada hentinya memandang ke depan. Ketika Tek Hoat memandang pula, dia
hampir berteriak saking kagetnya.
Di depan
wanita itu kelihatan seekor harimau yang besar sedang bersiap-siap untuk
menubruk! Kuda tunggangan wanita itu kelihatan gelisah sekali, dan lima ekor
kuda lain yang tadinya makan rumput juga mulai gelisah ketika harimau besar itu
muncul. Namun, lima orang laki-laki yang duduk di bawah pohon kelihatan tenang-tenang
saja memandangi wanita itu, sedangkan wanita cantik itu sendiri juga tetap
duduk di atas punggung kudanya dengan tenang, tangannya memainkan sehelai sabuk
sutera putih.
Melihat
wanita itu bertangan kosong, tidak membawa panah atau pedang, timbul
kekhawatiran di hati Tek Hoat. Dia sendiri pun tidak bersenjata dan selamanya
belum pernah melihat harimau, apa lagi melawannya. Akan tetapi karena melihat
binatang itu hanya seperti seekor kucing besar, dia tidak takut dan dia ingin
sekali memamerkan ilmu kepandaiannya kepada lima orang laki-laki itu terutama
sekali kepada perwira tampan gagah yang tadi melemparnya.
Maka tanpa
berpikir panjang lagi, dia sudah meloncat dengan tubuh ringan sekali, melayang
ke depan wanita itu, menghadapi harimau yang kelihatannya terkejut melihat ada
orang ‘terbang’ turun di depannya! Harimau itu menggereng dan Tek Hoat sudah
siap melawan mati-matian sungguh pun kini dia baru tahu bahwa harimau itu kelihatan
berbahaya dengan mulut penuh taring.
“Bocah
lancang! Mundurlah kau!” Terdengar bentakan halus dan mendadak Tek Hoat merasa
pinggangnya seperti dirangkul orang dan tahu-tahu tubuhnya sudah melayang ke
atas.
Biar pun dia
berusaha mengerahkan tenaga, namun sia-sia belaka dan alangkah heran dan
kagetnya ketika dia mendapat menyataan bahwa pinggangnya terbelit ujung sabuk
sutera putih. Hampir dia tidak dapat percaya bahwa ada orang, apa lagi hanya
seorang wanita, bisa menggunakan sabuk sutera untuk memaksanya pergi, membuat
tubuhnya melayang dan menurunkan tubuhnya ke atas tanah seolah-olah sabuk itu
bernyawa dan amat kuatnya!
Dengan
penasaran dia ingin meloncat maju, tetapi tiba-tiba lengannya dipegang orang
dari belakang, pegangan yang kuat bukan main sehingga usahanya untuk merenggut
lepas sia-sia belaka. Ketika menoleh, dia melihat orang itu adalah panglima
yang tadi melemparnya. Kini tampak betapa pakaian orang ini juga mewah dan
indah, pakaian seorang panglima atau perwira tinggi yang berwibawa dan bermata
tajam.
“Sabarlah,
orang muda, dan lihat betapa ganasnya harimau itu!”
Terdengar
gerengan hebat sehingga bumi yang di bawah kakinya tergetar. Tek Hoat cepat
memandang ke arah harimau dan melihat harimau itu meloncat tinggi sekali,
menerkam ke arah wanita yang masih duduk tenang di atas punggung kudanya.
Kudanya meronta dan meringkik, akan tetapi anehnya kuda itu tidak mampu
bergerak karena sesungguhnya tubuhnya telah dijepit keras oleh kedua kaki
wanita itu sehingga tidak mampu berkutik. Ketika tubuh harimau itu melayang di
udara, wanita tadi menggerakkan tangan dan sinar putih panjang menyambar ke
depan. Itulah sabuk sutera putih yang telah menyambut datangnya terkaman
harimau. Ujung sabuk itu seperti seekor ular hidup melibat perut harimau dan
membanting ke bawah.
“Bressss!”
Tubuh
harimau terguling-guling sampai mendekati seorang di antara pengawal yang duduk
di bawah pohon. Pengawal itu bangkit berdiri dan menusukkan tombaknya. Harimau
yang besar itu mengangkat kakinya menangkis atau mencengkeram ke arah tombak.
“Krekkkk!”
Tombak itu patah-patah.
“Hati-hati,
mundur...!” Wanita itu berseru lagi dan kembali sabuk suteranya melayang dan
menangkap pinggang harimau yang kini hendak menyerang pengawal itu, mengangkat
tubuh harimau ke atas dan membantingnya lagi.
Akan tetapi
bantingan-bantingan keras itu ternyata hanya membuat binatang itu marah, sama
sekali tidak melumpuhkannya. Melihat ini, mengertilah Tek Hoat bahwa binatang
itu memang hebat dan ganas sekali, kuat dan kebal.
Setelah lima
kali wanita itu mengenakan ujung sabuk suteranya membanting dan binatang itu
masih tetap bangkit dan melawan lebih ganas, agaknya dia menjadi marah dan
penasaran sekali. Tangan kirinya bergerak dan sinar emas menyambar ke arah
harimau, tercium bau harum ketika senjata jarum-jarum halus itu menyambar.
Harimau meraung dan berloncat-loncatan aneh ke atas, kemudian roboh dan
berkelojotan.
“Bunuh dia!”
Wanita itu berkata dan empat orang pengawal melompat maju, kemudian menggunakan
tombak mereka untuk membunuh harimau yang sudah sekarat itu.
Tek Hoat
kini maklum bahwa dia bertemu dengan orang-orang pandai, terutama sekali wanita
cantik dan panglima ini. Maka dia lalu merenggutkan lengannya terlepas dan
berjalan pergi dari tempat itu.
Sesosok
bayangan yang berkelebat cepat mengejutkannya dan ketika dia melihat bahwa
wanita cantik itu seperti terbang saja sudah berada di depannya, dia mengira
bahwa dia tentu akan ditegur atau mendapatkan marah. Maka dia mendahului wanita
itu dan memukul!
“Heiiii...!”
Wanita itu berseru, menggunakan tangan kirinya menyampok pukulan Tek Hoat yang
dilakukan dengan pengerahan sinkang karena dia maklum akan kelihaian wanita
itu.
“Plakkk...!”
Tek Hoat
terpelanting dan dia hampir menjerit. Lengannya yang ditangkis oleh telapak
tangan halus itu terasa sakit bukan main! Dia tahu bahwa dia bukanlah lawan
wanita itu, maka dia lalu membalikkan tubuhnya dan lari dari tempat itu dengan
hati kecewa dan terpukul hebat. Dia selalu mengagulkan kepandaiannya, dan
ternyata menghadapi seorang wanita saja dia tidak mampu menang!
Dengan
kepandaiannya serendah itu dia hendak mencari dan menantang Pendekar Siluman!
Betapa memalukan!
“Hei, bocah
lancang! Tunggu...!” Terdengar panglima itu berseru.
“Biarlah,
anak-anak yang mempunyai sedikit kepandaian memang biasanya keras kepala dan
sombong!” terdengar wanita itu mencegah.
Tek Hoat
berlari semakin kencang saja. Hatinya panas sekali, panas dan kecewa. Dia
kelihatan seperti seorang yang lemah menghadapi panglima dan wanita cantik ini.
Dia dikatakan kanak-kanak yang mempunyai sedikit kepandaian. Anak-anak yang
sombong dan keras kepala! Ia mengepal tinjunya. Ia harus belajar lagi. Ia harus
mengumpulkan ilmu-ilmu yang tinggi. Dia harus menjadi jago nomor satu di dunia
agar tidak akan ada yang memandang rendah lagi!
Tentu saja
dia sama sekali tidak pernah mimpi bahwa dia baru saja bertemu dengan seorang
puteri dari Pendekar Siluman! Puteri itu adalah Puteri Milana yang sedang
berburu binatang di hutan itu, bersama suaminya, Panglima Han Wi Kong dan empat
orang pengawal mereka. Ilmu kepandaian Panglima Han Wi Kong memang tinggi, maka
tentu saja Tek Hoat bukan tandingannya, apa lagi kepandaian Puteri Milana!
Seperti
telah diceritakan, Puteri Milana telah menikah dengan Panglima Han Wi Kong.
Mereka hidup rukun, sungguh pun tak dapat dikatakan bahwa Milana mencintai
suaminya. Sayang bahwa mereka tidak mempunyai anak, seandainya ada, agaknya
Milana perlahan-lahan akan dapat mencinta suaminya itu. Betapa pun juga, mereka
kelihatan rukun dan tak pernah terjadi ribut di antara mereka.
Melihat
seorang anak laki-laki yang memiliki kepandaian tinggi dan bersikap aneh itu,
Milana dan suaminya terheran-heran. Apa lagi ketika suaminya menceritakan
betapa anak itu tadi tidak mau minggir sehingga terpaksa dia lemparkan dari
jalan.
“Hemm, jelas
dia bukan bocah biasa,” kata Milana.
“Benar, dia
tentu murid seorang pandai. Akan tetapi sikapnya sungguh mencurigakan.”
“Dia
bersikap aneh, tentu murid orang aneh pula. Dan gerakannya ketika memukul tadi,
bukankah mirip sekali dengan Pat-sian-kun? Heran sekali...!”
Mereka lalu
kembali ke kota raja. Empat orang pengawal membawa bangkai harimau. Tentu saja
Milana sama sekali tidak pernah menyangka anak laki-laki remaja tadi bukan lain
adalah keturunan Wan Keng In! Dia mengenal Ang Siok Bi, bahkan dia bersama Ang
Siok Bi pernah mengeroyok Gak Bun Beng yang dianggapnya memperkosa para wanita
itu, akan tetapi kemudian dia tahu bahwa yang melakukan berbuatan terkutuk itu
adalah Wan Keng In yang menggunakan nama Gak Bun Beng. Juga dia tidak tahu
bahwa anak itu telah dilatih ilmu silat tinggi sampai dua tahun lamanya oleh
Sai-cu Lo-mo, bekas orang kepercayaan ibunya. Sai-cu Lo-mo yang tadinya
menemaninya di istana, akan tetapi yang pergi semenjak dia menikah.
Tek Hoat
mengambil buntalannya yang tadi disembunyikan di bawah pohon, lalu dia
melanjutkan perjalanan dengan wajah murung. Kenyataan pahit betapa
kepandaiannya tidak sehebat seperti yang dianggapnya selama ini, membuat dia
kecewa sekali dan diam-diam mengutuk Sai-cu Lo-mo mengapa tidak mewariskan
seluruh ilmunya! Dan dia memaki-maki Bu-tong-pai pula yang tidak mau
menerimanya sebagai murid. Kini tahulah dia bahwa jelas sekali dia tidak akan
mampu menandingi tokoh-tokoh Bu-tong-pai. Dia harus belajar lagi. Akan tetapi
belajar dari siapa?
Dengan
bersungut-sungut Tek Hoat memasuki sebuah dusun dan melihat sebuah rumah makan
di dusun itu, dia masuk. Dia tidak lagi pergi ke kota raja. Panglima dan wanita
itu tentulah orang-orang kota raja dan tahulah dia betapa berbahayanya kota
raja yang memiliki demikian banyaknya orang pandai. Sebelum dia memiliki
kepandaian yang tiada lawannya, perlu apa dia pergi ke kota raja hanya untuk
dihina orang? Sekali masuk kota raja, dia harus mampu menggegerkan kota raja!
“Brukkk!”
Meja itu
bergoyang-goyang dan tentu ambruk kalau tidak dipegang cepat-cepat oleh Tek
Hoat. Buntalannya memang berat karena perak dan emas itu. Didengarnya suara
orang berbisik-bisik. Ketika dia mengerling ke kiri, ternyata di meja sebelah
kiri duduk pula empat orang laki-laki yang melihat pakaian dan gerak-geriknya, tentulah
sebangsa jagoan silat yang kasar. Mereka memperhatikan Tek Hoat, terutama
sekali pandang mata mereka ditujukan kepada buntalan di atas meja di depan
pemuda itu.
“Ha-ha-ha-ha,
twako. Kalau sekali ini kita tidak bisa mendapatkan kakap, benar-benar sialan
kita ini,” kata seorang di antara mereka.
“Aihhh, mana
bisa memperoleh kakap di air keruh? Tunggu di air tenang, barulah mudah
menangkap kakap gemuk,” kata orang yang kumisnya melintang sampai ke telinga.
“Twako, air
di sini pun cukup tenang. Pula siapa sih yang berani membikin keruh? Kakap
tinggal tangkap saja, apa sukarnya?”
“Kau benar
juga, baik kita melihat gelagat, ha-ha-ha-ha!” kata si kumis panjang sambil
tertawa dan minum araknya.
Tek Hoat
diam saja karena memang tidak mengerti apa yang mereka bicarakan, tidak tahu
bahwa mereka itu membicarakan dia yang dianggap kakap karena memiliki buntalan
berat. Mata empat orang itu amat tajam, dapat menduga dengan tepat bahwa isi
buntalan itu tentu emas!
Dengan
tenang Tek Hoat minta kwaci dari pelayan dan memesan makanan. Sambil menanti
masakan, dia makan kwaci tanpa mempedulikan sedikit pun kepada empat orang itu.
Hatinya sedang kesal, wajahnya murung.
“Haii, orang
muda. Mengapa engkau duduk sendirian saja? Marilah duduk bersama kami!”
tiba-tiba seorang di antara mereka menegur Tek Hoat.
Karena di
rumah makan tidak ada orang lain, tahulah Tek Hoat bahwa dia yang ditegur, akan
tetapi dia hanya melirik dan tidak menjawab, senyumnya amat mengejek.
“Hei, orang
muda. Lihatlah permainan kami ini, kalau mau menjadi sahabat kami, engkau akan
kami ajari ilmu!” kata pula orang ke dua.
Tek Hoat
menoleh dan dia melihat si cambang melintang itu menggerakkan kedua tangannya.
Terdengar angin bersiutan dan tampak sinar hitam meluncur ke atas dan lima
batang senjata rahasia berbentuk paku telah menancap berturut-turut di atas
balok melintang, berjajar seperti diatur saja!
“Bagaimana?
Bagus, bukan? Kalau ditujukan kepada lawan, sekarang juga sudah lima orang
lawan roboh binasa. Ha-ha-ha!” Pemimpin rombongan empat orang kasar itu tertawa
dengan lagak sombong.
“Huhhh!” Tek
Hoat mendengus dan membuang muka dengan hati jemu menyaksikan kesombongan
orang. Kepandaian seperti itu saja disombongkan, pikirnya. Betapa banyak
manusia mengagulkan kepandaian sendiri, tidak tahu bahwa kepandaiannya itu
sebetulnya bukan apa-apa, seperti yang pernah dia sendiri lakukan pula.
Melihat
sikap Tek Hoat, si kumis panjang menjadi marah. Tangan kirinya bergerak dan
sebatang paku meluncur ke arah buntalan di atas meja Tek Hoat.
“Wirrrr...
trakkkkk!” Paku itu menembus buntalan dan mengenai potongan emas yang berada di
sebelah dalam.
Tek Hoat
terkejut dan ketika dia menoleh, empat orang itu tertawa-tawa. “Kalau yang
kubidik tubuhmu, tentu sekarang pun engkau sudah tewas. Ha-ha-ha!”
Tek Hoat
bangkit berdiri dengan marah. Empat orang itu tertawa makin bergelak karena
menganggap gerak-gerik pemuda itu lucu. Dengan tenang Tek Hoat mencabut paku
yang menancap di buntalannya. Empat orang itu masih tertawa akan tetapi
tiba-tiba suara mereka terhenti dan mata mereka terbelalak ketika melihat
betapa jari-jari tangan pemuda remaja itu mematah-matahkan paku seperti orang
mematah-matahkan sebatang lidi saja! Kemudian, tangan kiri Tek Hoat menjemput
kwaci di atas piring dan dengan pengerahan tenaga dia melontarkan kwaci-kwaci
itu ke atas, ke arah lima batang paku yang menancap di balok melintang.
Terdengar suara berdenting dan lima batang paku itu jatuh semua ke atas lantai!
Empat orang
itu menjadi pucat wajahnya, akan tetapi Tek Hoat masih menggerakkan tangan
kirinya dan segenggam kwaci melayang ke arah empat orang itu. Mereka menjerit
dan mengaduh-aduh dan... muka mereka berdarah-darah ketika kwaci-kwaci itu
menancap di muka mereka!
Pada saat
itu, pelayan datang membawa daging dan roti pesanan Tek Hoat. Pemuda ini segera
berkata, “Bungkus semua itu, aku akan makan di luar, di sini banyak lalat.”
Pelayan yang
melihat empat orang kasar tadi mengaduh-aduh, mencabuti kwaci dari muka dan
darah bercucuran, kaget sekali, cepat-cepat membungkus makanan yang dipesan Tek
Hoat dan memberikannya kepada pemuda itu. Tek Hoat memasukkan makanan ke dalam
buntalan, mengeluarkan uang harganya dan menekan uang itu di atas meja, lalu
pergi tanpa berkata apa-apa lagi.
Pelayan itu
terbelalak memandang uang yang telah gepeng dan meja yang berlubang terkena
tekanan jari tangan pemuda itu. Juga empat orang itu melihat ini dan si kumis panjang
kaget sekali.
“Jari...
Jari Maut...” Bisiknya lirih, kemudian bersama teman-temannya dia dengan cepat
meninggalkan rumah makan, meninggalkan si pelayan yang masih bengong dan heran,
kemudian mengambil uang yang gepeng dan melesak di atas meja itu dengan cara
mencukilnya dengan pisau.
Dengan hati
yang mendongkol sekali Tek Hoat keluar dari dusun dan memasuki sebuah hutan.
Kalau saja dia tidak mengingat bahwa ilmu kepandaiannya sebenarnya belum berapa
tinggi kalau dibandingkan dengan panglima dan wanita cantik yang ditemuinya
dalam hutan di luar kota raja, tentu dia tadi sudah membunuh empat orang kasar
itu. Sekarang dia harus semakin berhati-hati, tidak mencari permusuhan karena
kepandaiannya belum tinggi.
“Wan-kongcu...!”
Tek Hoat
terkejut sekali. Suara yang tiba-tiba terdengar di belakang itu demikian
nyaringnya, merupakan lengking yang dahsyat tanda bahwa yang bersuara itu
memiliki khikang yang kuat sekali. Dia cepat menoleh dan lebih terkejut lagi
dia ketika melihat bahwa orang yang berseru itu ternyata masih jauh dan kini
orang itu berlari dengan kecepatan yang membuatnya terbelalak heran dan kagum.
Sebentar saja orang itu sudah berada di depannya dan untuk ketiga kalinya Tek
Hoat terkejut.
Orang ini
memang luar biasa sekali. Mukanya merah, merah muda! Seperti muka seorang gadis
cantik yang dirias bedak dan yanci (pemerah pipi), akan tetapi wajah itu buruk,
bulat dan serba besar hidung dan bibirnya. Matanya berputaran liar seperti mata
orang yang miring otaknya, dan kepalanya gundul, ditumbuhi rambut yang jarang
dan layu. Tubuhnya gendut pendek.
Akan tetapi
yang membuat Tek Hoat terkejut adalah ketika melihat betapa dari mulut orang
itu keluar asap tipis putih yang keluar masuk menurutkan jalan napasnya yang
agaknya bukan hanya melalui hidung saja, akan tetapi juga melalui mulutnya yang
terbuka itu. Melihat uap putih ini di waktu musim dingin, tidaklah aneh. Akan
tetapi sekarang hawa sedang panasnya, bagaimana orang ini dapat menyebabkan uap
dengan napasnya?
Dan dari
dalam perut orang itu terdengar bunyi seperti orang kalau sedang lapar, hanya
bedanya, kalau perut orang lapar terdengar bunyi berkeruyuk, adalah perut orang
ini mengeluarkan bunyi berkokok seperti katak, hanya agak jarang terdengarnya
dan hanya telinga terlatih saja yang dapat menangkap suara itu.
Sejenak
kedua orang ini saling berpandangan. Tek Hoat memandang penuh keheranan
sedangkan orang aneh itu memandang dengan mata berputaran dan mulut yang
menyeringai. Kemudian dia menjatuhkan diri berlutut dan berkata, “Aha, tidak
salah lagi, engkau adalah Wan-kongcu (tuan muda Wan)! Ha-ha-ha, akhirnya dapat
juga kita saling bertemu!”
Tek Hoat
mengerutkan alisnya. Jelas bahwa orang ini adalah seorang yang memiliki ilmu
kepandaian tinggi sekali, akan tetapi masih diragukan kewarasan otaknya. Maka
dia bersikap hati-hati, tidak segera menyangkal dan dia malah memancing,
“Siapakah engkau?”
“Heh-heh-heh,
kongcu sudah lupa kepada saya? Masa lupa kepada anak buah sendiri? Saya orang
yang paling setia di Pulau Neraka, saya Kong To Tek.”
Tentu saja
Tek Hoat sama sekali tidak mengenal nama ini, bahkan sebutan Pulau Neraka pun
baru sekarang dia mendengarnya. Akan tetapi dia cukup cerdik untuk menyangkal,
maka dia diam saja dan segera menurunkan buntalannya, duduk di bawah pohon
berhadapan dengan si kepala gundul yang aneh ini. Dikeluarkannya daging dan
roti yang dibelinya tadi.
“Kau mau
makan?” Dia menawarkan.
Kong To Tek
girang sekali, kamudian tanpa sungkan-sungkan, seperti seekor anjing kelaparan,
dia menyerbu daging dan roti itu sehingga Tek Hoat hanya kebagian sedikit.
Kong To Tek
adalah salah seorang di antara tokoh Pulau Neraka, menjadi pembantu ketua Pulau
Neraka yang waktu itu dipegang oleh Lulu. Dia bahkan merupakan tokoh pembantu
pertama, dan yang kedua adalah Ji Song yang kini menjadi pembantu utama ketua
baru Pulau Neraka, Hek-tiauw Lo-mo.
Pulau Neraka
ditinggal oleh para tokohnya, yaitu ketika dua orang kakek sakti tokoh Pulau
Neraka yang penuh rahasia, yaitu Cui-beng Koai-ong dan sute-nya, Bu-tek
Siauw-jin, saling bertanding sendiri hingga keduanya tewas bersama, kemudian
ketua Pulau Neraka, Lulu juga meninggalkan pulau itu untuk kemudian ikut
suaminya, yaitu Pendekar Siluman ke Pulau Es. Lalu mengapa Kong To Tek bisa
berada di tempat itu, berkeliaran di daratan besar dan tidak tinggal di Pulau
Neraka? Biarlah kita dengarkan sendiri penuturannya kepada Tek Hoat.
“Benarkah
engkau Kong To Tek tokoh Pulau Neraka?” Tek Hoat yang cerdik sekali itu berkata
memancing. “Engkau berubah sekali sampai aku tidak mengenalmu lagi.”
“Ha-ha-heh-heh,
di dunia ini masa ada Kong To Tek kedua? Saya adalah Kong To Tek yang tulen,
Kongcu. Kong To Tek dari Pulau Neraka yang asli!” Si gundul itu mengusap sisa
makanan di bibir dan menggaruk-garuk kepalanya, matanya memandang liar ke kanan
kiri. Diam-diam Tek Hoat merasa ngeri juga menyaksikan sikap liar ini.
“Kalau
engkau betul Kong To Tek yang asli, coba katakan siapa namaku.”
“Wah, masa
aku bisa lupa kepadamu, kongcu. Engkau adalah kongcu Wan Keng In putera tunggal
Ketua Pulau Neraka.”
Tek Hoat
terkejut sekali, akan tetapi bersikap tenang. Dia sama sekali tidak pernah
menduga bahwa yang disebut Wan Keng In itu sebenarnya adalah ayahnya, ayah
kandung yang telah memperkosa ibunya! Dan bahwa wajahnya memang mirip sekali
dengan Wan Keng In.
“Benar, akan
tetapi aku belum puas. Coba katakan siapa guruku?”
“Ha-ha-ha,
apakah kongcu main-main? Tentu saja guru kongcu adalah Cui-beng Koai-ong... dan
karena pesan mendiang gurumu itulah maka dengan susah payah saya mencari
kongcu.”
Tek Hoat
pura-pura kaget. “Apa? Guruku... Cui-beng Koai-ong telah meninggal dunia?”
Si gundul
itu mengangguk-angguk. “Banyak hal terjadi di Pulau Neraka, sejak kongcu
berlari pergi... dan tocu (majikan pulau), yaitu ibu kongcu juga tidak pernah
kembali lagi...”
Tek Hoat
bisa menggambarkan apa yang diceritakan oleh si gundul ini. Agaknya dia
disangka putera seorang majikan pulau, yaitu Pulau Neraka dan bahwa dia murid
Cui-beng Koai-ong yang telah meninggal dunia. Dan ibunya, yaitu ketua pulau
telah pergi dan tidak kembali lagi!
“Kong To Tek
lopek (paman tua), coba kau ceritakan apa yang terjadi di Pulau Neraka.”
Kong To Tek
duduk setengah rebah, bersandar pohon dan sikapnya seenaknya biar pun berada di
depan majikannya, hal ini menunjukkan kepada Tek Hoat bahwa orang Pulau Neraka
adalah orang-orang liar yang kurang mempedulikan tata susila atau sopan santun.
Akan tetapi dia tidak peduli dan mendengarkan penuturan kakek itu dengan penuh
perhatian. Kakek ini usianya tentu sudah enam puluh tahun lebih, otaknya
miring, akan tetapi jelas berkepandaian tinggi dan ceritanya tentu aneh.
Dan cerita
Kong To Tek memang aneh. Dia menceritakan bahwa sebelum terjadi peristiwa hebat
di Pulau Neraka, yaitu matinya Cui-beng Koai-ong dan Bu-tek Siauw-jin, kakak
beradik seperguruan yang merupakan manusia-manusia sakti yang jarang ada
tandingnya, pada suatu hari dia didatangi oleh Cui-beng Koai-ong Si Mayat
Hidup.
“Agaknya
gurumu itu telah mempunyai firasat buruk, kongcu. Buktinya, baru dua hari
setelah dia mendatangi saya, terjadilah pertandingan hebat antara gurumu dan
susiok-mu Bu-tek Siauw-jin yang mengakibatkan keduanya tewas!”
“Kong-lopek,
apa maksudnya mendiang suhu mendatangimu?” Tek Hoat mendesak, makin tertarik
dengan cerita aneh ini.
“Gurumu
menyerahkan dua buah kitab dan sepatang pedang yang katanya merupakan inti
segala ilmu yang dimiliki suhu-mu dan susiok-mu, dengan pesan agar kelak aku
menyerahkan semua itu kepadamu.”
Dapat
dibayangkan betapa girangnya hati Tek Hoat. Dia cepat melompat bangun dan
menghardik. “Di mana pusaka-pusaka itu?”
Si gundul
tertawa. “Jangan khawatir, kongcu. Sudah saya simpan baik-baik. Ah, sayang
sekali, saya buta huruf dan tidak dapat mempelajari kitab-kitab itu. Padahal,
baru melihat-lihat dan meniru gambar-gambarnya itu saja sudah membuat saya memperoleh
kemajuan yang hebat ini, kongcu!”
Si gundul
menghampiri pohon sebesar dua kali tubuh orang. Dia memekik, kemudian menubruk
pohon itu dengan kepalanya, dengan loncatan yang kuat sekali.
“Heiii...!”
Tek Hoat berseru kaget.
“Desss!
Brakkkkk...!”
Pohon itu
patah dan tumbang, sedangkan si gundul sudah tertawa-tawa lagi di depan Tek
Hoat. Pemuda ini terkejut setengah mati, akan tetapi diam-diam menjadi girang
bukan main. Wajahnya tenang saja, bahkan dia mengejek, “Hem, Kong-lopek, apakah
engkau hendak menyombongkan diri di depanku?”
Tiba-tiba si
gundul berlutut. “Sama sekali tidak, Kongcu. Ampunkan saya. Saya hanya ingin
membuktikan bahwa betapa hanya dengan mempelajari gambar-gambarnya saja,
kepandaian saya sudah meningkat hebat.”
“Hayo cepat
serahkan kitab-kitab dan pedang dari suhu kepadaku!”
“Baik,
baik... mari, kongcu. Benda pusaka itu kusembunyikan di dalam goa yang selama
ini menjadi tempat tinggal saya.”
Keduanya
berlari-larian. Tek Hoat mengerahkan ginkang-nya dan sudah berlari secepat mungkin,
akan tetapi kakek gundul itu sambil tertawa-tawa masih dapat mengimbangi
kecepatan larinya. Hebat!
Goa itu
berada di daerah berbatu-batu di lereng gunung yang dikelilingi hutan lebat.
Sunyi dan tak pernah dikunjungi manusia. Goa yang cukup besar, dalamnya ada
lima meter dan gelap. Ketika akhirnya kakek itu menyerahkan dua buah kitab dan
sebatang pedang kepadanya, Tek Hoat menjadi girang sekali dan dengan jantung
berdebar dia membawa benda-benda pusaka itu keluar, ke tempat terang.
Dicabutnya
pedang itu dan matanya langsung menjadi silau. Sebatang pedang yang
mengeluarkan cahaya kebiruan dan mengandung wibawa yang kuat mengerikan, dan
begitu tercabut terciumlah bau amis bercampur harum yang memuakkan. Ukiran
huruf kecil-kecil di dekat gagang memperkenalkan nama pedang itu. Cui-beng-kiam
(Pedang Pengejar Nyawa)!
Disarungkannya
kembali pedang itu dan diselipkan di pinggangnya. Kemudian dia membalik-balik
lembaran dua buah kitab itu. Dan ternyata itu adalah dua kitab yang mengandung
pelajaran ilmu silat yang mukjijat, inti dari semua ilmu silat yang dikuasai
oleh Cui-beng Koai-ong dan yang sebuah lagi adalah hasil ciptaan Bu-tek
Siauw-jin. Dahulu, sebelum kedua orang manusia sakti itu saling bertanding
sampai keduanya mati, Cui-beng Koai-ong yang agak jeri terhadap sute-nya telah
berlaku curang, dengan mencuri kitab yang kedua itu dari sute-nya.
Akan tetapi
sebelum dia sempat mempelajari kitab sute-nya, keburu mereka bertanding karena
masing-masing membela murid mereka.
“Heh-heh-heh,
apakah engkau tidak girang, kongcu?”
Tek Hoat
memandang kakek gundul itu dan mengangguk. “Terima kasih, Kong-lopek. Kau baik
sekali. Memang kau seorang yang paling setia di Pulau Neraka. Kau berjasa
sekali dan aku tentu tidak akan melupakan jasamu ini.”
“Heh-heh-heh,
betapa banyak kesengsaraan yang kuderita selama mencarimu, kongcu. Akan tetapi
akhirnya berhasil juga, ha-ha, sekarang aku tidak takut lagi kelak harus
bertanggung jawab di depan suhu-mu. Aku ngeri membayangkan betapa aku harus
mempertanggung jawabkan kelak kalau aku tidak berhasil menyerahkan semua ini
kepadamu.”
Diam-diam
Tek Hoat heran sekali. Kakek yang amat lihai ini ternyata takut luar biasa
kepada ‘gurunya’ yang bernama Cui-beng Koai-ong!
Tiba-tiba
dia mendapatkan sebuah pikiran dan bertanya, “Kong-lopek, menurut pendapatmu,
siapakah yang lebih lihai di antara guruku dan Pendekar Siluman Majikan Pulau
Es?”
Mendadak
tubuh kakek itu gemetar dan kepalanya digeleng-gelengkan. “Jangan... jangan...
sebut-sebut nama dia... dia... bisa datang secara tiba-tiba dia nanti...
ihhh... aku takut, kongcu.”
Kembali Tek
Hoat terkejut. Kiranya Pendekar Siluman sedemikian hebatnya sampai kakek ini
pun ketakutan, padahal baru menyebut namanya saja.
“Jangan khawatir,
lopek. Dia tidak akan muncul, tapi katakan, siapa yang lebih lihai di antara
mereka?”
“Entahlah,
seorang bodoh seperti saya mana bisa menilai? Kepandaian beliau itu terlalu
hebat, mengerikan... tapi kalau suhu-mu dan susiok-mu (paman guru) maju berdua,
kiranya akan menang.”
Tek Hoat
kagum bukan main. Begitu hebatnya Pendekar Siluman! Akan tetapi kini dia
memperoleh kitab wasiat suhu dan susiok-nya, berarti dia dididik oleh dua orang
manusia sakti itu. Kelak tentu dia akan dapat menandingi Pendekar Siluman.
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment