Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Kisah Sepasang Rajawali
Jilid 18
"Mundur
kalian...!" Mauw Siauw Mo-li berteriak nyaring.
Dan ketika
belasan orang pasukan itu mundur, dia sudah melemparkan bola-bola hitam
berturut-turut sebanyak lima buah ke arah Ceng Ceng. Gadis ini maklum bahwa
lawan mempergunakan senjata rahasia yang aneh dan belum dikenalnya, maka cepat
dia menjatuhkan diri dan bergulingan. Untung saja dia melakukan pengelakan
secara ini, karena ketika bola-bola itu terbanting ke atas tanah terdengar
ledakan-ledakan dan tentu Ceng Ceng akan terluka kalau saja dia tidak
bergulingan di atas tanah.
Ceng Ceng
terkejut bukan main. Cepat dia menggerakkan pedang menangkis sambil meloncat
bangun ketika wanita itu menubruknya dan mengirim tusukan, tusukan maut yang
nyaris mengenai perutnya. Tetapi berkat keampuhan Ban-tok-kiam yang membuat
lawannya menjadi jeri dan tidak berani beradu pedang secara langsung, Ceng Ceng
mampu meloncat tinggi dan terus mencelat ke atas genteng, lalu melarikan diri!
Dia maklum akan kelihaian wanita itu dan kalau pasukan pemberontak sampai
datang lebih banyak lagi, lebih-lebih kalau sampai Hek-tiauw Lo-mo muncul,
tentu dia akan celaka.
“Kejar
dia...!” Mauw Siauw Mo-li berteriak sambil meloncat naik ke atas genteng dengan
gerakan yang luar biasa cepatnya.
Untung bahwa
Ceng Ceng telah lebih dulu menghilang di atas genteng, kalau tidak agaknya akan
sukar baginya untuk menyelamatkan diri karena dalam hal ginkang, dia pun kalah
jauh kalau dibandingkan dengan Siluman Kucing itu. Mauw Siauw Mo-li terus
mencari dengan penasaran, bahkan mendatangkan pasukan lebih banyak lagi. Biar
pun pasukan bantuan dari Teng-bun berhasil mengalahkan dan hampir membasmi
habis pasukan liar Tambolon, namun pasukan pemberontak itu sendiri kehilangan
banyak sekali anggota tentara dan jika dia atau suheng-nya tak mampu menangkap
Tambolon dan para pembantunya, mati atau hidup, hati Mauw Siauw Mo-li belum
puas.
Ceng Ceng
berlari-larian, kadang-kadang di atas genteng, kemudian meloncat turun dan
menyelinap di antara bayangan-bayangan rumah yang gelap. Ketika dia berhenti
sebentar di belakang sebuah rumah, tiba-tiba terdengar suara bisikan,
“Lu-bengcu... mari sini...!”
Ceng Ceng
terkejut, apa lagi ketika dapat mengenali Raja Tambolon dan dua orang
pembantunya yang lihai itu. Kiranya Tambolon, Liauw Kui Si Petani Maut dan Si
Siucai Yu Ci Pok bersembunyi di dalam rumah kosong itu! Biar pun hatinya tidak
suka, namun Ceng Ceng yang sedang dikejar-kejar Mauw Siauw Mo-li dan pasukannya
itu segera meloncat masuk melalui pintu kecil di belakang rumah yang dibuka
oleh Tambolon. Mereka berempat segera menutup pintu dan memasuki rumah kosong.
Ceng Ceng memandang ruangan yang diterangi lentera itu penuh harapan, akan
tetapi hatinya kecewa ketika dia tidak melihat Topeng Setan di situ.
“Untung ada
kalian di sini...” kata Ceng Ceng. “Akan tetapi di mana adanya Topeng Setan?”
“Hemmm...
justru kami hendak bertanya kepadamu, Lu-bengcu. Di manakah Topeng Setan
pembantumu itu?”
Mendengar
suara dan melihat sikap Raja Tambolon, Ceng Ceng terkejut, apa lagi ketika
melihat bahwa tiga orang itu membuat gerakan mengurungnya, Tambolon di depannya
sedangkan dua orang pembantu raja di kanan kirinya, sikap mereka seperti orang
yang marah kepadanya.
“Eh, apa
maksudmu, Raja Tambolon?” Ceng Ceng bertanya dengan sikap biasa.
“Ha-ha-ha,
engkau masih pandai berpura-pura lagi! Sikap dan maksudku sudah jelas! Engkau
telah menjebloskan kami ke dalam perangkap. Engkau telah menyebabkan pasukan
kami terbasmi habis, dan kini pembantumu itu tidak tampak bayangannya dan
engkau masih berpura-pura lagi, Nona.”
Di dalam
hatinya Ceng Ceng terkejut sekali. Akan tetapi dia cerdik dan dia berkata
dengan nada suara dan penasaran. “Raja Tambolon, begitu tidak tahu terima
kasihkah engkau? Apakah engkau tidak melihat betapa aku tadi hampir celaka oleh
pasukan yang dipimpin wanita lihai itu? Kalau usaha kita tidak berhasil karena
keburu datang bala bantuan dari Teng-bun, apakah itu salahku? Mengapa engkau
tidak menyalahkan pasukanmu sendiri yang tidak becus dan kurang mampu?!”
Raja
Tambolon yang sudah kehilangan segala-galanya itu masih bisa tertawa lepas.
Kemudian dia berkata, “Nona Lu Ceng, kalau tadi kami tidak melihat betapa
engkau dikejar-kejar, tentu sekarang engkau sudah mati di tanganku! Namun
jangan mengira bahwa hal itu sudah cukup bagi kami. Tidak hadirnya Topeng Setan
di sampingmu memperkuat dugaan kami bahwa kalian telah mempermainkan kami dan
oleh karena engkaulah maka kini pasukanku terbasmi habis. Mana bisa aku
mendiamkannya saja hal ini? Tidak! Untuk meyakinkan hatiku bahwa engkau tidak
mengkhianati aku, engkau tidak boleh lagi berpisah dari sampingku.”
Berdebar
jantung Ceng Ceng mendengar ucapan ini. Sudah cukup jelas baginya apa yang
terkandung di dalam hati raja liar ini. Akan tetapi untuk mengulur waktu sambil
memutar otaknya mencari akal dia berpura-pura tidak mengerti dan kemudian
bertanya, “Maksudmu?”
“Ha-ha-ha!
Pasukanku boleh terbasmi habis, akan tetapi aku masih mempunyai dua orang
sahabat dan pembantuku yang setia ini, ditambah lagi memiliki engkau yang
cantik jelita, muda lagi pintar dan cerdik sebagai sahabat dan penghiburku,
sebagai permaisuriku! Dengan adanya kita berempat, mudah bagi kita untuk
menghimpun pasukan lagi dan membangun sebuah negara yang kuat, ha-ha-ha!”
Makin
berdebar rasa jantung Ceng Ceng. Tepat seperti telah diduganya. Akan tetapi
melihat Tambolon dan dua orang pembantunya itu menghadapi dengan sikap bersiap
untuk menghalangi dia melarikan diri, dia masih berkata, “Hemm, rencanamu
memang bagus sekali, akan tetapi bagaimana dengan Topeng Setan?”
“Dia?
Ha-ha-ha, kalau memang dia itu bukan pengkhianat dan saat ini tidak bergabung kepada
musuh, dia pun bisa menjadi orang kelima, bisa menjadi pembantuku. Tetapi kalau
dia tidak muncul, persetan dengan dia. Kita berempat sekarang juga harus kabur
keluar dari kota terkutuk ini!”
“Engkau
memang manusia hina!” Tiba-tiba Ceng Ceng membarengi makiannya itu dengan
gerakan kedua tangannya yang menyebar jarum-jarum hitam beracun yang tadi
diam-diam sudah disiapkannya di kedua tangannya.
“Ehhhh!”
“Heiitttt!”
“Hyaattt!”
Tambolon dan
dua orang pembantunya itu memang bukan orang-orang sembarangan. Mereka bertiga
itu selain memiliki ilmu kepandaian tinggi, juga sudah puluhan tahun menghadapi
segala macam keadaan sehingga tentu saja mereka sudah waspada akan akal yang
dipergunakan Ceng Ceng tadi yang mereka anggap tiada lebih sebagai akal kanak-kanak
saja. Maka begitu kedua tangan dara itu bergerak dan ada sinar hitam menyambar
ke arah mereka, tiga orang ini sudah bergerak cepat, membuang diri ke bawah dan
bergulingan sehingga serangan jarum-jarum beracun yang mendadak itu dapat
mereka elakkan.
Akan tetapi
kesempatan ini cukup bagi Ceng Ceng untuk secepat kilat meloncat keluar dari
rumah itu melalui jendela, terus berloncatan ke atas genteng melarikan diri
karena dia maklum bahwa menghadapi tiga orang pandai itu dia tidak akan mampu
menang.
“Ha-ha-ha,
betina liar, kau hendak lari ke mana?” Tambolon berseru dan bersama dua orang
pembantunya, dia mengejar dengan cepat. Mereka bertiga juga mempunyai ilmu
meringankan tubuh yang membuat gerakan mereka cepat sekali sehingga setelah
melewati empat wuwungan rumah, Ceng Ceng yang meloncat turun telah dikurung
lagi di sebelah kebun kosong yang sunyi.
“Ha-ha-ha-ha,
sungguh hebat! Makin liar dan hebat engkau melawan, akan makin manis dan mesra
kalau engkau sudah terjatuh ke dalam pelukanku, ha-ha!” Tambolon tertawa
bergelak.
“Tambolon,
manusia iblis! Kau hanya dapat menguasai aku kalau aku sudah menjadi mayat!”
Ceng Ceng berteriak sambil mencabut pedangnya, yaitu Ban-tok-kiam yang
mengeluarkan hawa mukjijat dan menyeramkan.
Dengan nekat
Ceng Ceng yang maklum bahwa melarikan diri pun percuma saja lalu menerjang maju
dan menggerakkan pedangnya yang mengandung hawa beracun itu dengan sengit dan
membabi buta. Akan tetapi jangankan dikurung bertiga, baru melawan seorang di
antara mereka saja Ceng Ceng tidak akan mampu menang.
Petani Maut
Liauw Kui menggerakkan pikulannya dan senjatanya ini saja sudah cukup untuk
menahan gulungan sinar pedang Ban-tok-kiam sehingga tidak dapat bergerak
leluasa karena selalu terhalang oleh pikulan yang digerakkan secara lihai
sekali. Sedangkan dari kanan kiri, Yu Ci Pok yang menggunakan sepasang senjata
poan-koan-pit terus mengancam dengan totokan-totokan cepat dan Tambolon yang
tertawa itu menggunakan kedua lengannya yang panjang berbulu itu untuk menerkam
tubuh Ceng Ceng!
Tentu saja
Ceng Ceng menjadi sibuk sekali. Semua kepandaian telah dikeluarkannya, bahkan
dia telah menggunakan pukulan tangan kiri beracun, juga menggunakan ludah yang
telah menjadi beracun karena pengerahan ilmunya, namun tiga orang lawan itu
terlalu kuat baginya. Hanya karena Tambolon menghendaki dia hidup-hidup sajalah
maka dia masih belum roboh. Kalau mereka itu ingin membunuhnya, tentu sudah
sejak tadi dia tewas. Justru karena tahu bahwa dia akan ditangkap hidup-hidup
dan dijadikan barang permainan oleh Tambolon, Ceng Ceng merasa ngeri.
Dia tidak
takut mati, akan tetapi dia menggigil penuh kengerian kalau teringat betapa dia
akan diperkosa dan dipermainkan oleh raja liar itu. Teringat akan pengalamannya
ketika diperkosa orang, Ceng Ceng ingin menjerit. Dia tidak sudi dijadikan
permainan oleh Tambolon, akan tetapi dia pun tidak ingin mati sebelum mampu
membalas sakit hatinya kepada Kok Cu, pemuda murid Si Dewa Bongkok yang telah
memperkosanya. Tidak, dia tidak ingin mati sebelum dapat berhadapan dengan Kok
Cu! Akan tetapi dia pun tidak sudi menderita perkosaan lagi, perkosaan yang
lebih mengerikan dan lebih menghina kalau dia sampai tertangkap oleh Tambolon!
“Cringgg...!”
Tiba-tiba
pedang Ban-tok-kiam yang bertemu dengan pukulan Petani Maut tidak dapat dia
tarik kembali, seolah-olah melekat pada pikulan itu. Pada saat itu, ujung
senjata pensil di tangan siucai itu menyentuh jalan darah di pergelangan tangan
kanannya. Ceng Ceng menjerit dan terpaksa melepaskan pedangnya karena lengannya
itu seketika menjadi lumpuh.
“Ha-ha-ha,
kuda betina liar! Apakah engkau masih belum mau jinak?” Tambolon yang sudah
menyambar pedang Ban-tok-kiam itu kini tertawa bergelak.
Ceng Ceng
mengeluarkan suara melengking nyaring dan dengan penuh kenekatan dia menerjang
dengan pukulan kedua tangannya ke arah dada Tambolon.
“Plakk...!
Dukkk!”
Tubuh Ceng
Ceng terjengkang dan dia roboh bergulingan ketika pukulannya ditangkis dan
tubuhnya didorong oleh Tambolon sambil tertawa-tawa itu.
“Wah, kuda
betina seperti ini harus ditudukkan dan dijinakkan sekarang juga, jika tidak,
dia akan bertingkah terus! Liauw Kui, Yu Ci Pok, pegang dia, biar dia merasakan
dan mengenal siapa yang berkuasa di sini! Ha-ha-ha!” Tambolon tertawa-tawa dan
dengan gerakan tenang mulai menanggalkan jubah luarnya.
Ceng Ceng
membelalakkan matanya. Dia akan diperkosa begitu saja, dengan kedua orang itu
memegangnya dan Tambolon menggagahinya.
“Tidaaaakkk...!
Jangaaan...!” jeritnya penuh kengerian ketika dua orang lihai itu mulai
mendekatinya. Dia masih duduk di atas tanah karena kepalanya agak pening ketika
dia terbanting tadi.
“Hemm,
engkau perawan liar memang harus dipaksa!” Si Petani berkata dan bersama Yu Ci
Pok dia menubruk ke depan.
“Plak!
Plakk!”
“Eihhhh...?”
“Heiiii...!”
Tiba-tiba
Liauw Kui dan Yu Ci Pok terhuyung ke belakang dan memandang dengan mata
terbelalak kepada Kian Lee yang sudah berdiri di situ dengan sikap tenang akan
tetapi mukanya merah dan alisnya berkerut, matanya seperti bercahaya di tempat
gelap itu ketika dia memandang kepada mereka.
“Raja
Tambolon, kiranya selain menjadi raja orang-orang liar kau sendiri juga seorang
manusia biadab!” Kian Lee berkata sambil menudingkan telunjuknya ke arah muka
raja tinggi besar itu.
Sementara
itu, Ceng Ceng yang masih saja terduduk tadi memandang kepada Kian Lee tanpa
mengenalinya. Dia menduga-duga siapa adanya pemuda tampan dan gagah perkasa
yang muncul secara tiba-tiba dan yang sekali menangkis membuat dua orang
pembantu Tambolon terhuyung mundur itu.
Tadi Kian
Lee sedang menyaksikan kehancuran pasukan liar Tambolon yang didesak oleh
pasukan-pasukan pemberontak yang datang dari Teng-bun ketika tiba-tiba dia
melihat bayangan-bayangan orang berkelebatan cepat sekali di atas genteng.
Ketika melihat seorang wanita dikejar tiga orang, dia merasa heran, apa lagi
melihat betapa gerakan mereka amat cepat. Ketika mendengar percakapan mereka
dan tahu bahwa tiga orang laki-laki itu adalah Tambolon dan dua orang
pembantunya, Kian Lee makin menaruh perhatian.
Tetapi dia
baru turun tangan membantu ketika melihat dengan hati kaget dan berdebar aneh
bahwa gadis yang dikeroyok itu bukan lain adalah Lu Ceng, saudara angkat Syanti
Dewi, penolong Jenderal Kao Liang, gadis yang telah beberapa kali dijumpainya
dan yang tidak pernah meninggalkan lubuk hatinya itu! Begitu dia mengenal Ceng
Ceng, cepat dia bergerak dan menangkis dua orang yang hendak menangkap gadis
itu.
Tambolon
memandang dengan matanya yang lebar dan ganas, kemudian tertawa lagi karena dia
memandang rendah kepada pemuda yang baru muncul itu. “Liauw dan Yu, kalian
bereskan bocah lancang itu, biar aku menjinakkan sendiri betina liar ini karena
kita tidak mempunyai banyak waktu.” Sambil berkata demikian, dia sudah menubruk
Ceng Ceng yang baru saja hendak bangkit berdiri.
“Keparat!”
Kian Lee membentak akan tetapi ketika dia bergerak maju, Yu Ci Pok sudah
mengirim totokan bertubi-tubi dengan sepasang poan-koan-pit ke arah jalan-jalan
darah berbahaya di depan tubuh Kian Lee, sedangkan Liauw Kui sudah mengayun
pikulannya menghantam ke arah kepalanya.
Kian Lee
terpaksa mengelak. Ketika dia melirik, ternyata Ceng Ceng sudah menyambut
tubrukan itu dengan tendangan kakinya. Ditendang seperti itu, Tambolon tertawa
saja dan ketika tendangan mengenai perutnya, bukan dia yang roboh, bahkan Ceng
Ceng sendiri yang terjengkang dan terbanting telentang di atas rumput. Sambil
tertawa, Tambolon menubruk tubuh gadis yang sudah telentang itu.
“Dessss...!”
“Auggghhh...!”
Tambolon berteriak keras sekali.
Dia masih
sempat menangkis dorongan tangan orang yang tiba-tiba muncul di samping, dan
ketika kedua dengan itu bertemu, Tambolon terpelanting dan hampir roboh. Dia
cepat meloncat dan menghadapi laki-laki yang baru muncul itu. Laki-laki itu
setengah tua, berpakaian sederhana dan sikapnya tenang, namun pandang matanya
membuat Tambolon bergidik karena pandang mata itu tajam seolah-olah menembus
jantungnya.
“Huh, banyak
manusia lancang yang sudah bosan hidup!” Tambolon berteriak marah sekali.
“Suheng...!”
Kian Lee menjadi girang melihat bahwa yang muncul itu adalah Gak Bun Beng.
Bun Beng
hanya tersenyum kepadanya, tetapi dia tidak sempat bicara karena Tambolon yang
marah karena kehendaknya selalu dirintangi orang itu telah menerjangnya dengan
dahsyat. Raja liar itu memang hebat. Dia adalah keturunan seorang Panglima
Mongol yang berilmu tinggi dan sekarang serangannya itu dibarengi dengan pekik
dahsyat yang mengandung khikang kuat sekali sedangkan tangannya yang memukul ke
arah Bun Beng juga mengandung pengerahan tenaga sinkang yang amat besar.
Bun Beng sudah
mendengar akan kehebatan Raja liar ini dan kini melihat gerakan pukulan itu
yang didahului oleh suara angin pukulan bersiutan diam-diam dia menjadi kagum
juga. Sungguh mengagumkan dan jarang ada, seorang manusia biadab yang hidupnya
liar dapat memiliki tingkat kepandaian seperti ini. Maka dia pun dengan cepat
menggerakkan tangannya, didorong ke depan untuk menyambut hantaman lawan itu.
Melihat ini
Tambolon menjadi girang. Selama ini, dia terkenal dengan pukulan mautnya dan
belum pernah ada orang berani menerima pukulannya yang memiliki kekuatan ribuan
kati. Batu karang pun pecah terkena pukulannya dan hawa pukulannya dapat
membuat air di dalam sumur bergelombang! Kini lawannya yang sederhana ini
berani menyambut pukulannya, dasar mencari jalan kematian yang cepat, pikirnya.
“Dessss...!”
Dua telapak
tangan bertemu di udara didahului oleh bertemunya hawa pukulan yang amat hebat
dan akibatnya membuat Tambolon terhuyung ke belakang sampai tiga langkah!
Hampir dia tidak dapat percaya akan kenyataan ini dan memandang dengan mata
terbelalak. Orang ini sama sekali tidak bergoyang! Mana mungkin ini? Dia
menjadi penasaran sekali, dan bagaikan seekor kerbau mengamuk, dia menyerbu
lagi, sekarang menggunakan kedua tangannya untuk memukul.
“Plak!
Desss...!”
Makin hebat
pukulan Tambolon, semakin hebat pula dia terguncang ketika ditangkis, sehingga
kini dia terhuyung ke belakang sampai lima langkah!
“Darrr...!
Darrr...!”
Dua buah
benda meledak dan untung bahwa mereka semua yang berada di situ adalah
orang-orang pandai sehingga dapat mengelak dan mengebut pecahan-pecahan yang
menyambar ke arah mereka. Muncullah pasukan pemberontak yang dipimpin oleh Hek-tiauw
Lo-mo dan Mauw Siauw Mo-li!
“Ahh, badai
besar! Berlindung...!” Teriakan Tambolon ini merupakan isyarat kepada dua orang
pembantunya bahwa bahaya yang tak terlawan telah datang dan mereka perlu
melarikan diri.
Liauw Kui
dan Yu Ci Pok yang juga menghadapi lawan berat karena pemuda tampan itu
ternyata mampu menghadapi senjata mereka dengan gerakan cepat, maklum akan
teriakan pemimpin mereka dan cepat mereka meloncat ke dalam gelap, mengikuti
arah perginya Raja Tambolon.
“Hi-hik, ini
dia Si Perempuan Jalang!” Mauw Siauw Mo-li membentak ketika dia melihat Ceng
Ceng.
“Ha-ha-ha,
cantik... cantik...!” Hek-tiauw Lo-mo terkekeh.
Ceng Ceng
yang baru saja terlepas dari bahaya tadi masih berdiri dengan muka pucat
memandang kepada dua orang yang datang menolongnya. Kini melihat munculnya Mauw
Siauw Mo-li dengan pasukan pemberontak, juga munculnya Hek-tiauw Lo-mo yang
sudah dia ketahui amat lihai, menjadi putus harapan.
“Hek-tiauw
Lo-mo iblis busuk!” bentaknya sambil meloncat ke depan dan menghantam raksasa
itu karena Hek-tiauw Lo-mo yang berada paling dekat dengannya.
“Ha-ha-ha,
kiranya engkau ini?” Hek-tiauw Lo-mo tertawa, dan karena ia maklum bahwa gadis
ini memiliki ilmu tentang racun yang amat berbahaya, ia lalu mengerahkan tenaga
beracun dan menangkis sambil terus menampar.
“Plakk!
Bukk...!”
Tubuh Ceng
Ceng terbanting karena selain pukulannya kena ditangkis, juga pundaknya terkena
tamparan tangan beracun Ketua Pulau Neraka yang amat lihai itu.
“Hek-tiauw
Lo-mo manusia keji!” Kian Lee yang tadinya hendak mengejar Tambolon, melihat
Ceng Ceng roboh terpukul, menjadi marah sekali dan dia sudah menerjang raksasa
itu dengan pukulan tangannya.
“Dukk-dukk-dessss!”
Tiga kali
lengan pemuda itu beradu dengan Hek-tiauw Lo-mo dan melihat betapa kakek itu
ternyata kuat sekali, Gak Bun Beng sudah meloncat maju menggantikan Kian Lee
menerjang Hek-tiauw Lo-mo yang menjadi terkejut setengah mati ketika merasa
betapa angin pukulan yang keluar dari kedua tangan Gak Bun Beng menimbulkan
angin besar dan amat kuatnya.
“Sute, kau
selamatkan dulu gadis itu dan tinggalkan tempat ini...!” Bun Beng berseru.
Kian Lee
cepat meloncat ke dekat Ceng Ceng yang masih rebah. Saat dia mengangkat bangun
gadis itu, Ceng Ceng mengeluh.
“Ah, engkau
terluka, Nona. Mari kupondong keluar dari kepungan mereka...”
Akan tetapi
Ceng Ceng menggeleng kepalanya. “Tidak usah... aku... aku akan melawan
mereka... sampai napas terakhir...”
“Tidak,
Nona. Suheng-ku mampu menahan mereka, marilah...”
Tetapi
kembali Ceng Ceng menolak dan tiba-tiba terdengar suara ketawa mengejek.
“Hi-hik, percuma kau membujuk, orang muda yang tampan. Dia sudah keracunan dan
akan mampus. Engkau sungguh hebat, muda, ganteng, dan lihai. Menyerahlah saja,
dan engkau akan menikmati kesenangan bersama aku, hi-hik!” Dari dada wanita itu
lalu terdengar suara mirip suara kucing.
Kian Lee
terkejut, cepat dia meloncat berdiri melindungi di depan Ceng Ceng yang masih
duduk di atas tanah sambil memegangi pundaknya yang tadi terpukul oleh
Hek-tiauw Lo-mo. “Hemm, kiranya engkau yang disebut Siluman Kucing itu?”
Dia teringat
akan penuturan Kim Hwee Li, puteri Ketua Pulau Neraka tentang bibi gurunya yang
lihai ini, yang katanya malah lebih lihai dari pada Hek-wan Kui-bo yang telah
melukai pahanya dengan obat peledak. Mengertilah dia sekarang bahwa yang
melepaskan senjata peledak sehingga menakutkan Tambolon tadi adalah wanita ini.
Mauw Siauw
Mo-li tersenyum dan nampak deretan giginya yang putih rapi dan menarik sekali.
“He-hemm... kiranya engkau sudah mengenal aku, pemuda ganteng? Kebetulan sekali
kalau begitu...”
“Sumoi, apa
perlunya mengobrol? Cepat tangkap atau bunuh mereka dan lekas kau membantuku!”
Tlba-tiba Hek-tiauw Lo-mo berteriak.
Kiranya
Ketua Pulau Neraka ini mulal terdesak oleh Gak Bun Beng! Makin lama Hek-tiauw
Lo-mo menjadi makin kaget dan heran melihat betapa lawannya ini benar-benar
amat hebat kepandaiannya sehingga semua ilmu pukulannya yang beracun mampu
ditangkisnya tanpa melukainya, bahkan dia yang selalu tergetar dan terdorong
oleh hawa pukulan yang kadang-kadang panas dan kadang-kadang dingin amat luar
biasa.
Mauw Siauw
Mo-li lalu memberi aba-aba dan para prajurit pemberontak serentak maju
mengepung dan mengeroyok. Ceng Ceng yang masih menyeringai kesakitan sudah
melompat berdiri dan mengamuk dengan kaki tangannya, karena pedangnya
Ban-tok-kiam telah dirampas oleh Tambolon. Biar pun bertangan kosong, gadis ini
masih hebat sekali karena dia menggunakan pukulan-pukulan beracun, sehingga
setiap prajurit pemberontak yang terkena pukulannya tentu terjungkal dan tak
dapat bangkit kembali. Akan tetapi setiap kali merobohkan lawan dengan
pengerahan tenaga, dara ini mengeluh lirih dan makin lama gerakannya menjadi
makin lemah.
Kian Lee
mengamuk sambil melindungi Ceng Ceng sedapat mungkin. Karena sebagian besar
perhatiannya dicurahkan untuk melindungi gadis itu dan dia telah berkali-kali
menghalau bahaya yang mengancam Ceng Ceng dengan merobohkan penyerang gelap
dari belakang gadis itu, maka dia masih belum mampu mengalahkan Mauw Siauw
Mo-li yang memang amat lihai Itu.
Gerakan
Siluman Kucing itu cepat sekali, ginkang-nya sudah mencapai tingkat tinggi
sehingga karena dia tidak berani mendekati Ceng Ceng, maka sukar baginya untuk
dapat merobohkan wanita itu. Sedangkan Gak Bun Beng yang mulai mendesak hebat
kepada Hek-tiauw Lo-mo, juga terpaksa harus membagi tenaganya untuk menghadapi
pengeroyokan prajurit-prajurit pemberontak yang makin banyak itu.
Tiba-tiba
terdengar suara ledakan-ledakan agak jauh, disusul sorak-sorai dan pekik banyak
sekali manusia yang agaknya datang dari luar tembok kota. Tak lama kemudian,
terdengar teriakan-teriakan di antara prajurit pemberontak yang berlari-larian
di dekat tempat itu.
“Celaka,
barisan pemerintah menyerbu benteng!”
“Kita telah
dikurung!”
“Kita
terjebak...!”
“Mereka
telah membobolkan pintu gerbang di tiga tempat!”
Teriakan-teriakan
itu terdengar dengan jelas dan membikin panik para pengeroyok, termasuk
Hek-tiauw Lo-mo dan Mauw Siauw Mo-li.
“Sumoi, apa
artinya itu?” Beberapa kali ketua Pulau Neraka itu berteriak sambil terus
mundur dari desakan Bun Beng, mengandalkan pengeroyokan puluhan orang prajurit
itu.
“Entah,
Suheng...!” Mauw Siauw Mo-li menjawab bingung dan dia pun tidak begitu mendesak
lagi kepada Kian Lee sehingga pemuda ini dengan leluasa dapat membantu dan
melindungi Ceng Ceng dari pengeroyokan puluhan orang prajurit pemberontak yang
sudah menjadi gelisah itu.
Suara
gemuruh itu semakin lama semakin dekat dan tak lama kemudian makin banyak
prajurit pemberontak yang lari cerai-berai, agaknya ketakutan.
“Hai...!
Tikus-tikus bernyali kecil, pengecut-pengecut tak tahu malu!” Hek-tiauw Lo-mo
berteriak marah. “Kenapa kalian berlari-larian? Apa yang terjadi?” Suaranya
nyaring sekali mengatasi suara hiruk-pikuk dan dia telah meninggalkan Gak Bun
Beng yang masih dikeroyok oleh puluhan orang prajurit pemberontak.
“Barisan
pemerintah telah menyerbu ke dalam kota Koan-bun seperti banjir! Kita telah
terjebak dan dikurung!” Seorang perwira pemberontak menjawab dengan muka pucat.
Hek-tiauw
Lo-mo terkejut sekali. Ia dan sumoi-nya mencampuri urusan pemberontakan karena
kebetulan saja melihat gerakan para pemberontak dan ingin ‘membonceng’ agar
dapat memperoleh kedudukan dan kemuliaan, maka mereka sudah menawarkan diri
membantu. Siapa tahu, belum apa-apa sudah tampak gejala kegagalan pemberontakan
ini, bahkan kini mereka terhimpit di dalam kota Koan-bun.
“Sumoi,
tidak lekas pergi mau tunggu apa lagi?!” teriaknya, karena Ketua Pulau Neraka
ini pun jeri menghadapi Gak Bun Beng yang memiliki kepandaian amat tinggi itu.
Akan tetapi
tiba-tiba datang pasukan pemerintah di tempat itu dan seorang pemuda tinggi
besar meloncat dengan gerakan kilat dan tahu-tahu telah berada di depan
Hek-tiauw Lo-mo sambil membentak, “Hek-tiauw Lo-mo pencuri rendah! Kiranya
engkau berada di sini pula menjadi kaki tangan pemberontak. Hayo cepat kembalikan
sebagian kitab yang kau curi dari Istana Gurun Pasir!”
“Orang muda
lancang mulut! Siapa kau...?!”
“Aku adalah
murid majikan Istana Gurun Pasir yang diutus Suhu untuk merampas kembali kitab
pusaka dan memberi hajaran kepada pencurinya.”
“Bocah sombong!”
Biar pun telah berkali-kali bertemu lawan tangguh, Hek-tiauw Lo-mo masih
memandang rendah orang lain dan menghadapi pemuda tinggi besar itu dia pun
memandang rendah, lalu menyerang dengan tiba-tiba.
“Dessss...!”
Pukulan
majikan Pulau Neraka itu ditangkis oleh pemuda itu dan kagetlah Hek-tiauw Lo-mo
ketika tangkisan itu membuat dia terdesak ke belakang. Baru dia percaya bahwa
murid Si Dewa Bongkok ini lihai sekali. Akan tetapi tentu saja untuk
mengembalikan kitab yang hanya sebagian berada di tangannya itu dia merasa
sayang. Dia masih belum berhasil merampas sebagian dari kitab yang berada di
tangan Ketua Lembah Bunga Hitam, yaitu Hek-hwa Lo-kwi Thio Sek sehingga dia
belum dapat mempelajari isi kitab dengan sempurna.
“Kok Cu...!
Jahanam engkau...!” Mendadak terdengar jerit melengking dan Ceng Ceng sudah
lari menghampiri pemuda tinggi besar itu dan menyerang dengan pukulan ganas,
mengerahkan seluruh tenaga saktinya.
Kao Kok Cu,
pemuda itu, terbelalak memandang Ceng Ceng yang menyerangnya bagai orang terpesona,
sama sekali tidak mengelak mau pun menangkis.
“Bukkkk!
Bukkk!”
“Nona Lu
Ceng...!” Kian Lee yang menjadi terkejut sekali sudah meninggalkan para
pengeroyoknya dan berteriak memanggil sambil meloncat ketika dia melihat Lu
Ceng seperti orang gila menyerang dan memukul Kok Cu.
Pada saat
itu, Hek-tiauw Lo-mo sudah meloncat jauh dan melarikan diri bersama Mauw Siauw
Mo-li, dan Kok Cu hanya berdiri bengong setelah dipukul dadanya dua kali oleh
Ceng Ceng. Dara itu setelah memukul dua kali dengan pengerahan tenaga
sekuatnya, mengeluh dan terguling roboh. Untung Kian Lee cepat menyambarnya
sehingga dia tidak terbanting roboh dan pingsan di dalam pelukan Kian Lee.
Gak Bun Beng
juga sudah loncat mendekat. Melihat wajah Ceng Ceng yang agak kehijauan itu,
pendekar ini terkejut bukan main karena dia maklum bahwa dara itu telah
menderita luka hebat akibat racun! Dia memandang Kok Cu dengan alis berkerut
dan melihat pemuda tinggi besar itu pemimpin pasukan pemerintah dan agaknya
kenal dengan Kian Lee, dia bertanya, “Lee-sute, siapa dia ini?”
“Suheng, dia
adalah saudara Kao Kok Cu, putera Jenderal Kao.”
Bu Beng
mengangguk. “Ahhh...!” Kemudian dia berkata, “Sute, cepat kau bawa pergi nona
ini. Dia terluka dan keracunan hebat.”
Kok Cu yang
masih berdiri bengong memandang Ceng Ceng yang pingsan di dalam pelukan Kian
Lee berkata, “Saudara Kian Lee, kau bawalah nona ini, ikutlah perwira ini agar
mendapat perawatan sebaiknya.”
Dia
memerintahkan seorang perwira yang segera mengajak Kian Lee yang memondong
tubuh Ceng Ceng itu pergi meninggalkan tempat itu. Kok Cu kini berhadapan
dengan Gak Bun Beng, keduanya saling pandang penuh selidik karena masing-masing
dapat menduga akan kelihaian mereka. Kok Cu yang mendengar Kian Lee menyebut suheng
kepada laki-laki setengah tua ini, diam-diam terkejut. Dia sudah tahu sekarang
bahwa Kian Lee dan Kian Bu adalah putera-putera Pendekar Super Sakti dari Pulau
Es, tentu saja ilmu kepandaian mereka hebat sekali. Dan laki-laki setengah tua
yang sederhana dan tenang ini adalah suheng mereka!
Sebenarnya
dia ingin sekali berkenalan dengan orang yang berilmu tinggi ini, akan tetapi
hatinya sudah dibuat gelisah bukan main oleh pertemuan dengan Ceng Ceng, gadis
penolong ayahnya akan tetapi juga gadis yang mendendam sakit hati setinggi
langit sedalam lautan kepadanya! Gadis yang diperkosanya sewaktu dia berada
dalam keadaan tidak sadar karena pengaruh racun jahat. Dan yang menjadi biang
keladi peristiwa memalukan ini adalah Ketua Lembah Bunga Hitam dan Ketua Pulau
Neraka, dua orang yang mencuri kitab suhu-nya. Merekalah yang membuat dia
keracunan hebat itu sehingga dia melakukan perbuatan keji terhadap Lu Ceng!
“Kiranya
engkau adalah putera Kao-goanswe? Sungguh menggembirakan sekali, bagai mana
pasukan pemerintah bisa datang begini tepat? Di mana ayahmu?” Gak Bun Beng
bertanya.
“Semua ini
adalah berkat jasa Nona Lu Ceng itu yang telah mengatur siasatnya...,” Kok Cu
berkata akan tetapi matanya memandang ke arah larinya Hek-tiauw Lo-mo.
“Ah...,
maksudmu...?” Gak Bun Beng tercengang.
“Dia
membujuk Tambolon menyerang Koan-bun dan selagi pemberontak dan pasukan
Tambolon bertempur sendiri, barisan pemerintah bergerak, sebagian menyerbu
Koan-bun, sebagian dipimpin Puteri Milana memotong jalan dan sebagian dipimpin
Ayah menyerbu Teng-bun malam ini juga.”
“Ahhh...
sungguh hebat!” Bun Beng memuji.
“Maaf, saya
harus mengejar Hek-tiauw Lo-mo!” Kok Cu berkata.
Cepat dia
meninggalkan Bun Beng dan sekali berkelebat tubuhnya sudah lenyap dari situ,
membuat Bun Beng mengikutinya dengan pandang mata kagum sekali. Pendekar ini
terheran-heran dan masih tercengang dengan jalannya peristiwa yang begitu cepat
dan tidak tersangka-sangka.
Dia tadi pun
seperti juga Kian Lee, menonton dengan penuh keheranan betapa pasukan yang
dipimpin oleh Tambolon menyerbu Koan-bun dan seperti juga sute-nya itu, dia
menolong banyak penduduk yang diganggu oleh tentara kedua pihak. Terheran-heran
hati pendekar ini melihat munculnya begitu banyak orang pandai. Mula-mula
Tambolon dengan dua orang pembantunya yang lihai, kemudian Hek-tiauw Lo-mo dan
Mauw Siauw Mo-li yang tidak kalah lihainya. Yang terakhir muncul pemuda putera
Jenderal Kao itu! Pemuda itu pun amat lihai, akan tetapi anehnya, mengapa Nona
Lu Ceng itu begitu melihatnya lalu menyerangnya dengan penuh kebencian?
Akan tetapi
pendekar ini tidak mau memusingkan hal itu. Dia lalu membantu pasukan
pemerintah yang telah melakukan perang mati-matian melawan pasukan pemberontak
dan pertempuran terjadi di seluruh kota sampai keesokan harinya. Kota Koan-bun
mengalami perang yang luar biasa hebatnya, dimulai dari penyerbuan pasukan liar
yang dipimpin oleh Tambolon lalu dilanjutkan oleh pasukan pemerintah yang
menumpas pasukan pemberontak yang datang dari Teng-bun sebagai bala bantuan.
Kalau tadinya pasukan Tambolon membasmi pasukan yang bertahan di Koan-bun,
kemudian tiba giliran pasukan liar itu yang dibasmi oleh pasukan besar
pemberontak dari Teng-bun, kini pasukan pemerintah turun tangan melakukan
pukulan terakhir kepada barisan pemberontak.
Yang patut
dikasihani adalah penduduk kota Koan-bun. Sukarlah bagi mereka untuk mengatakan
mana kawan dan mana lawan karena semua anak buah pasukan selalu mengganggu
mereka. Kota mereka menjadi neraka yang penuh dengan mayat dan orang-orang
luka, darah membanjir setiap tempat dan banyak rumah yang habis terbakar.
Pertempuran-pertempuran
mengerikan itu berlangsung sampai dua hari lamanya, tentu saja menjatuhkan
korban manusia di kedua pihak yang banyak sekali. Akan tetapi akhirnya Koan-bun
jatuh ke tangan barisan pemerintah yang dipimpin oleh Panglima Thio Luk Cong
dan Kao Kok Cu yang sudah tidak kelihatan lagi bayangannya sejak dia melakukan
pengejaran terhadap Hek-tiauw Lo-mo untuk merampas kembali kitab suhu-nya yang
dicuri oleh Ketua Pulau Neraka itu.
Mulai malam
itu, dimulai dengan penyerbuan pasukan Tambolon ke dalam kota Koan-bun,
terjadilah perang yang seru dan dahsyat, yang mengerikan karena sejak malam itu
sampai beberapa hari lamanya di kota itu terjadi pembunuhan dan pembantaian
antara manusia, bahkan antara bangsa sendiri sehingga puluhan ribu manusia
tewas di ujung senjata tajam!
Tidak hanya
di Koan-bun terjadi perang yang hebat dan kacau-balau, akan tetapi juga di
tengah jalan antara Koan-bun dan Teng-bun, di mana barisan yang dipimpin oleh
Puteri Milana melakukan pencegatan dan barisan pemberontak yang menyerbu ke
Koan-bun untuk menumpas pasukan Tambolon itu tidak dapat lagi kembali ke
Teng-bun karena dihadang dan disergap oleh barisan Milana ini, bahkan Sang
Puteri yang melihat betapa pihak musuh amat lemah lalu memecah barisannya,
sebagian lalu menuju ke Teng-bun untuk membantu barisan penyerbu Teng-bun yang
merupakan barisan inti dipimpin sendiri oleh Jenderal Kao Liang dibantu oleh
Suma Kian Bu.
Seperti
telah diceritakan di bagian depan, Pangeran Liong Khi Ong tertunda niatnya yang
keji untuk memaksa Syanti Dewi menjadi miliknya dengan jalan memperkosanya
ketika mendadak ada laporan bahwa Koan-bun telah diserang oleh pasukan
Tambolon. Gangguan ini sekaligus mengusir nafsu birahinya dan malam itu dia
tidak berani tidur, selalu berdekatan dengan Panglima Kim Bouw Sin agar dapat
mengetahui keadaan.
Mereka semua
mengharapkan bahwa pasukan besar yang dikirim dari Teng-bun ke Koan-bun dan
yang dibantu oleh Hek-tiauw Lo-mo dan Mauw Siauw Mo-li itu akan berhasil
menumpas pasukan liar Tambolon. Akan tetapi tentu saja mereka menjadi gempar
ketika datang laporan bahwa pasukan yang menggempur Tambolon di Koan-bun itu
telah terhimpit oleh barisan pemerintah yang secara tiba-tiba saja muncul.
Bahkan kini barisan pemerintah yang amat kuat sedang menuju ke Teng-bun!
Panglima Kim
Bouw Sin segera mengumpulkan para pembantunya dan menyusun kekuatan untuk
mempertahankan benteng Teng-bun. Menjelang pagi muncullah musuh yang
ditunggu-tunggu itu, disertai suara gemuruh yang menggetarkan hati semua
prajurit pemberontak yang sudah berjaga-jaga di benteng dan di luar benteng.
Panglima Kim Bouw Sin sendiri dengan beberapa orang panglima pembantunya
berdiri di atas benteng untuk meninjau keadaan.
Barisan
pemerintah itu belum melakukan gerakan, dan memang Jenderal Kao Liang menanti
sampai matahari terbit! Dia ingin melakukan gertakan lebih dulu dengan harapan
untuk menggetarkan dan mengecilkan hati para prajurit pemberontak yang dahulu
adalah bekas anak buahnya. Setelah matahari timbul di ufuk timur, Jenderal Kao
Liang yang menunggang kuda ditemani oleh Suma Kian Bu, mendekati menara di
sudut tembok benteng itu, di mana terdapat panglima pemberontak Kim Bouw Sin
dan para perwira pembantunya, sedangkan Pangeran Liong Khi Ong yang berada pula
di situ menyembunyikan diri, tidak ingin dikenal orang sebelum usaha
pemberontakan berhasil seluruhnya.
“Kim Bouw
Sin pemberontak hina dina!” Jenderal Kao berseru sambil mengerahkan tenaganya
sehingga suaranya terdengar oleh mereka yang berada di menara dan juga oleh
sebagian besar prajurit pemberontak yang sudah berjaga di atas tembok benteng.
“Apakah engkau masih belum insyaf betapa pemberontakanmu telah mendekati akhir
dan kehancuran? Koan-bun sudah terjatuh kembali ke tangan kami! Pasukanmu yang
ke sana malam tadi telah habis terbasmi, demikian pula sekutumu Tambolon sudah
dihancurkan! Lebih baik engkau segera menakluk dan mengakui dosamu dari pada
mengorbankan nyawa ribuan prajurit yang hanya terkena hasutanmu!”
“Keparat
dia! Hujani anak panah!” Pangeran Liong Khi Ong membentak marah sekali karena
dia maklum betapa berbahayanya suara jenderal itu terdengar oleh para prajurit,
karena jenderal itu merupakan seorang tokoh besar dalam ketentaraan yang amat
disegani. Dia sudah melihat betapa wajah para pengawal dan prajurit yang berada
di menara itu berubah pucat mendengar suara ini.
“Lepaskan
anak panah!” Tiba-tiba Kim Bouw Sin memberi aba-aba, karena dia sendiri pun
marah dan merasa tidak mampu untuk menjawab ucapan Jenderal Kao di bawah itu.
Para
prajurit pasukan panah segera melakukan perintah ini dan anak panah meluncur ke
bawah seperti hujan banyaknya. Melihat ini, Kian Bu cepat memutar pedang yang
diterimanya dari Jenderal Kao. Tampaklah segulungan sinar berkilauan yang
membuat anak panah yang menyambarnya runtuh semua. Juga Jenderal Kao telah
memutar pedangnya, kemudian berkata kepada Kian Bu. “Taihiap, kau lindungilah
aku. Aku harus membalas kecurangan mereka itu!”
Kian Bu lalu
meloncat turun dari atas kudanya dan bergerak-gerak memutar pedangnya yang
sekarang berubah menjadi sinar bergulung-gulung menyelimuti mereka berdua.
Jenderal Kao lalu menurunkan busur dan memasang anak panah, membidik ke atas
dan tak lama kemudian terdengarlah suara berdesing ketika sebatang anak panah meluncur
dengan kecepatan seperti kilat ke arah panglima pemberontak Kim Bouw Sin yang
melihat penyerangan anak buahnya dengan penuh harapan.
“Ciangkun,
awas...!” Lam-thian Lo-mo yang selalu mendampingi panglima pemberontak ini
bersama Pak-thian Lo-mo, berseru dan cepat dia menarik tangan panglima itu
hingga tubuhnya tertarik ke samping. Terdengar teriakan nyaring ketika seorang
perwira yang berdiri di belakang panglima pemberontak ini roboh, lehernya
tertembus anak panah dan dia tewas seketika.
Jenderal Kao
dan Kian Bu telah meninggalkan tempat berbahaya itu, maka dimulailah perang
yang amat dahsyat di sekeliling tembok benteng kota Teng-bun. Mula-mula hujan
anak panah dari kedua pihak, kemudian setelah Panglima Kim Bouw Sin melihat
bahwa kekuatan barisan yang dipimpin oleh Jenderal Kao Liang itu tidak besar,
kurang dari separoh jumlah pasukannya yang berjaga di Teng-bun, dia lalu
memerintahkan pasukan untuk menyerbu ke luar, dibantu oleh barisan anak panah
dan batu-batu yang menghalau setiap usaha musuh yang hendak naik ke tembok
benteng.
Maka
terjadilah perang tanding di luar pintu gerbang benteng sebelah selatan. Memang
perhitungan Kim Bouw Sin tepat. Jumlah pasukannya jauh lebih besar dan dia
hendak menggunakan keunggulan jumlah pasukan ini untuk menggempur dan
menghancurkan pasukan Jenderal Kao. Akan tetapi Jenderal Kao Liang adalah
seorang pemimpin yang banyak siasatnya.
Segera dia
memberi komando melalui bunyi terompet dan pasukan-pasukannya lalu berpencar,
sebagian lari ke pintu gerbang di timur dan sebagian lagi menyerbu melalui sungai
di barat kota Teng-bun. Melihat ini, dengan sendirinya Kim Bouw Sin harus pula
membagi bagi pasukannya. Karena gerakan Jenderal Kao yang merubah-ubah jumlah
pasukannya amat cepat, kadang-kadang di selatan hanya ada sedikit pasukan dan
agaknya mengerahkan kekuatan untuk menggempur pintu gerbang timur, akan tetapi
ketika pihak pemberontak mengerahkan tenaga menjaga di timur, kiranya yang di
selatan itulah justru yang lebih kuat sehingga penjagaan-penjagaan dan
pertahanan-pertahanan di benteng itu menjadi kacau dan panik.
Tetapi,
karena Kim Bouw Sin adalah panglima yang tadinya menjadi pembantu Jenderal Kao,
dia pun amat ahli mengatur penjagaan sehingga dengan jumlah pasukan yang jauh
kalah banyak itu, agaknya tidak mudah bagi Jenderal Kao untuk menduduki kota
benteng Teng-bun yang amat kuat itu. Perang telah berlangsung dua hari dua
malam dan hanya diseling waktu untuk menyusun kekuatan di pihak masing-masing.
Pada hari
ketiga, datanglah barisan bantuan dari selatan yang dipimpin oleh Puteri
Milana, yang memimpin sisa pasukannya setelah berhasil membantu pasukan yang
dipimpin oleh Panglima Thio Luk Cong yang telah merebut kembali kota Koan-bun.
Tentu saja bantuan ini amat menggirangkan hati Jenderal Kao Liang dan
disusunlah kekuatan baru dan dengan dahsyat barisan gabungan ini lalu melakukan
hantaman-hantaman yang menggetarkan dan mengguncangkan tembok benteng kota
Teng-bun berikut semangat perlawanan para prajurit pemberontak yang memang
sudah gentar ketika mendengar bahwa Jenderal Kao Liang yang mereka takuti itu
kini dibantu oleh Puteri Milana yang telah mereka kenal pula itu.
Biar pun
pihak pemberontak masih mampu mempertahankan dirinya selama tiga hari tiga
malam, namun kedudukan mereka telah goyah. Pasukan telah gelisah dan para
penjaga yang mempertahankan pintu-pintu gerbang telah turun semangat dan sangat
kelelahan.
Semua ini
tentu saja diketahui baik oleh Pangeran Liong Khi Ong yang menjadi makin
gelisah. Selama sepekan ini dia tidak bisa tidur dan selalu gelisah. Dia dan
kakaknya memang merupakan orang-orang yang berambisi besar, akan tetapi
sekali-kali bukan orang peperangan, maka menyaksikan perang di depan hidungnya
dia menjadi gelisah bukan main, dan dikuasai ketakutan yang mencekam hatinya
setiap saat.
Demikian
takutnya dia hingga dia melarang Tek Hoat meninggalkan dirinya. Tentu saja Tek
Hoat juga tidak berani membantu dan bahkan pemuda ini merasa girang karena dia
dapat menjaga agar pangeran ini tidak melakukan hal yang amat dikhawatirkannya
terhadap diri Syanti Dewi.
Ketika
Pangeran Liong Khi Ong mendengar bahwa pihak musuh yang masih juga belum
berhasil membobol benteng Teng-bun itu kabarnya dibantu oleh pasukan baru di
bawah pimpinan Puteri Milana, dia menjadi pucat ketakutan. Memang sejak dahulu
dia merasa jeri terhadap Puteri Milana yang dalam persaingan di istana selalu
memihak lawannya, yaitu Perdana Menteri Su.
Kim Bouw Sin
menenangkan hati pangeran ini dengan mengatakan bahwa pasukan mereka tidak akan
kalah, dan andai kata keadaan mendesak dan berbahaya, pangeran itu masih dapat
menyelamatkan diri dengan sebuah kereta melalui pintu rahasia yang keluar ke
dalam hutan di sebelah barat benteng. Akan tetapi akhirnya Panglima Kim Bouw
Sin harus mengakui akan kekuatan musuh setelah pasukan yang dipimpin Puteri
Milana datang membantu Jenderal Kao Liang. Atas permintaannya, terpaksa
Pangeran Liong membolehkan Tek Hoat membantu Panglima Kim Bouw Sin.
Mulailah Tek
Hoat terjun ke medan pertempuran bersama Siang Lo-mo. Mereka bertiga ini memang
berhasil membangkitkan semangat para prajurit pemberontak, dan kini pertempuran
secara berhadapan mulai terjadi di dua pintu gerbang. Pihak tentara pemerintah
makin mendesak dan akhirnya, pada hari keempat, bobollah pintu selatan diserbu
oleh pasukan yang dipimpin sendiri oleh Puteri Milana dibantu oleh Suma Kian
Bu. Amukan dua orang keturunan Pendekar Super Sakti itu sedemikian hebatnya
sehingga menggiriskan hati para prajurit pemberontak yang terus mundur memasuki
kota.
Siang Lo-mo
yang mengamuk di pintu barat dan timur merobohkan banyak prajurit musuh, mendengar
akan bobolnya pintu gerbang selatan. Selagi mereka hendak lari membantu para
penjaga di pintu gerbang selatan itu, tiba-tiba ada perwira-perwira yang
memanggil mereka dan ternyata bahwa mereka dipanggil oleh Pangeran Liong Khi
Ong untuk mengawal pangeran itu keluar dari Teng-bun.
Panglima Kim
Bouw Sin mengerahkan pasukan istimewa, dengan panah api berhasil menghalau
pasukan musuh yang telah menyerbu masuk melalui pintu gerbang selatan. Melihat
pasukannya banyak yang roboh dan panik oleh hujan anak panah berapi, terpaksa
Milana dan Kian Bu menarik kembali pasukan itu keluar dari pintu gerbang dan
kembali pintu gerbang dikuasai oleh pihak pemberontak yang menutupnya dengan
pintu besi yang tadi sudah ambruk, menjaganya kuat-kuat dan memasang barisan panah
di tempat itu. Untung malam tiba sehingga pihak pasukan pemerintah menghentikan
serangan dan mundur, menghimpun kembali tenaga untuk dipakai menyerang lagi
pada keesokan harinya.
Tek Hoat
kembali ke gedung tempat tinggal Pangeran Liong Khi Ong. Tubuhnya lelah karena
dia ikut bertempur sejak pagi sampai sore. Pakaiannya berlepotan darah korban
yang dirobohkannya dan pahanya berdarah, luka sedikit oleh tombak para
pengeroyok yang amat banyak jumlahnya dalam perang sampyuh tadi.
Dia mulai
merasa bosan berperang, kebosanan yang menyerangnya sejak dia bertemu dengan
Syanti Dewi. Dia merasa bahwa semua orang, termasuk dia, menjadi alat-alat yang
dipergunakan oleh beberapa orang terutama Pangeran Liong Bin Ong dan Liong Khi
Ong untuk merebut kemuliaan di kota raja! Biar pun dia membantu pemberontak
dengan hasrat ingin memperoleh kedudukan yang tinggi kelak, namun harus
diakuinya bahwa dia pun hanya merupakan alat dari dua orang pangeran itu, dan
andai kata pemberontakan itu berhasil kelak, sudah terbayang olehnya bahwa dia
tentu hanya akan menjadi orang bawahan dua pangeran itu, karena bukan hal yang
mudah untuk mencapai kedudukan tertinggi.
Dan dia
merasa pula bahwa betapa pun tinggi kedudukan yang diperolehnya kelak, kalau
dia melihat Syanti Dewi menjadi barang permainan Liong Khi Ong, hatinya tidak
akan pernah mengalami kebahagiaan. Sekarang pun, hatinya gelisah karena dia
pagi tadi harus membantu perang, dan dia tidak dapat lagi mengawasi pangeran
tua mata keranjang itu. Bagaimana kalau ketidak-hadirannya tadi membuka
kesempatan bagi Pangeran Liong Khi Ong untuk memaksa Syanti Dewi menuruti
keinginannya?
Sungguh pun
dia tahu bahwa rasa ketakutan hebat kiranya tidak memberi kesempatan kepada
Pangeran Liong Khi Ong untuk ingat akan nafsunya terhadap Syanti Dewi, namun
tetap saja hati Tek Hoat berdebar tegang, mukanya menjadi panas dan dia
mengepal tinjunya ketika dia menghampiri gedung tempat tinggal Pangeran Liong
Khi Ong yang kelihatan sunyi itu.
Tiba-tiba
dia menyelinap di balik pohon ketika dia mendengar suara roda kereta. Dia
mengenal kereta itu, kereta yang disediakan untuk Pangeran Liong Khi Ong. Dan
di dalam kereta itu duduk Siang Lo-mo! Hatinya curiga. Dia pun sudah mendengar
bahwa kereta itu memang disiapkan oleh Panglima Kim Bouw Sin untuk Sang
Pangeran, dapat dipergunakan oleh Pangeran Liong Khi Ong untuk lari mengungsi
apa bila keadaan berbahaya, melalui sebuah pintu rahasia yang menembus hutan di
sebelah barat benteng. Cepat dia menggunakan kepandaiannya untuk berlari di
belakang kereta dan karena roda kereta itu menimbulkan bunyi yang cukup keras,
maka betapa pun lihainya Siang Lo-mo, mereka tidak tahu bahwa ada orang yang
lari di belakang kereta, dekat sekali.
“Mengapa
kita yang disuruh mengawal Pangeran, bukan Ang Tek Hoat?” terdengar oleh Tek
Hoat suara Pak-thian Lo-mo.
“Ha-ha,
apakah engkau tidak dapat melihat kenyataan? Dari penuturan Hek-wan Kui-bo saja
sudah jelas bahwa pemuda sombong itu jatuh cinta kepada puteri Bhutan itu!
Tentu saja Pangeran juga tahu tentang urusan ini, maka dia akan ditinggalkan di
sini untuk membantu Panglima Kim sedangkan sebaliknya kita dan Hek-wan Kui-bo
yang disuruh mengawal sampai Pangeran dan puteri Bhutan itu tiba di kota raja.”
“Untung
kita!” Pak-thian Lo-mo berkata dengan nada suara gembira. “Benteng ini tidak
akan dapat dipertahankan lebih lama lagi. Dan kita sudah akan berada di kota
raja kalau benteng itu jatuh ke tangan musuh!”
“Sstttt...,
kita sudah sampai, sebaiknya tidak bicara tentang itu,” bisik Lam-thian Lo-mo.
Kereta itu
berhenti di belakang istana yang gelap. Agaknya Pangeran yang hendak melarikan
diri itu menghendaki demikian dan segalanya sudah diatur sebelumnya.
Sepasang kakek
kembar yang lihai itu meloncat turun dari dalam kereta. “Kau tunggu di sini
sebentar!” kata Lam-thian Lo-mo kepada kusir kereta yang berpakaian seperti
prajurit dan yang duduk di bagian depan kereta itu, memegang cambuk panjang.
Kusir itu
menjawab singkat, “Baik, Locianpwe.”
Memang semua
prajurit yang bertugas dekat dengan Pangeran dan Panglima Kim mengenal dua
orang kakek kembar yang lihai ini dan semuanya menyebut mereka ‘locianpwe’.
Ketika dua orang kakek itu dengan cepat lari memasuki gedung, kusir itu duduk
menanti, memandang ke kanan kiri yang amat sunyi. Sesuai dengan kehendak
pangeran, supaya tempat itu dikosongkan sehingga tidak ada penjaga yang melihat
keberangkatannya karena hal itu mendatangkan pengaruh kurang baik bagi semua
prajurit yang harus mempertahankan benteng itu sampai saat terakhir.
Beberapa
saat kemudian dengan sikap tergesa-gesa tampak Pangeran Liong Khi Ong yang
memakai pakaian biasa, menyamar sebagai seorang pedagang, menggandeng tangan
Syanti Dewi yang juga memakai pakaian biasa, setengah menyeret dara itu keluar
dari gedung menuju ke kereta yang menanti di belakang gedung. Wajah Syanti Dewi
kelihatan pucat dan jelas bahwa puteri ini kelihatan marah dan tidak suka, akan
tetapi dia dipaksa oleh pangeran itu dan di belakang mereka ini berjalan
Pak-thian Lo-mo, Lam-thian Lo-mo, dan Hek-wan Kui-bo. Tidak ada orang lain lagi
yang mengawal mereka. Lam-thian Lo-mo lalu membukakan pintu kereta, dan
Pangeran Liong Khi Ong menarik tangan puteri itu untuk memasuki kereta.
Di depan
pintu kereta, Syanti Dewi merenggutkan tangannya sambil berkata, suaranya tetap
tenang akan tetapi penuh penyesalan dan kemarahan. “Pangeran, sungguh tidak
kusangka bahwa engkau ternyata hanya seorang pengecut yang akan melarikan diri
setelah melihat benteng ini terkepung musuh. Dan tidak kusangka bahwa aku akan
dipaksa begini, seolah-olah aku berada di tangan sekelompok penjahat. Biarlah
aku ditinggalkan di sini saja, aku tidak ingin ikut dengan Pangeran ke kota
raja.”
“Aih, mana
bisa, manis! Engkau adalah calon isteriku, ke mana pun harus kubawa serta.
Maafkan aku, selama berada di tempat ini aku kurang perhatian terhadap dirimu
karena kita menghadapi perang. Akan tetapi di kota raja nanti, hemm... kita
akan bersenang-senang...”
“Tidak! Kita
bukan tunangan lagi! Aku dahulu suka menuruti kehendak ayahku karena ayahku
sebagai Raja di Bhutan menerima pinangan langsung dari Kaisar Kerajaan
Ceng-tiauw. Akan tetapi ternyata bahwa engkau sekarang malah memberontak kepada
Kerajaan Ceng! Tentu saja saya tidak sudi menerima pinangan seorang pemberontak
yang hina!” Sikap puteri itu kini marah sekali dan dia berdiri tegak dengan
pandang mata menghina kepada pangeran yang berdiri dengan canggung di depannya
itu.
“Pangeran,
mengapa melayaninya? Semua wanita dari tingkat apa pun juga selalu cerewet!”
Lam-thian Lo-mo berkata.
“Heh-heh-heh-heh,
Lam-thian Lo-mo, jangan lancang begitu mulutmu memaki orang perempuan!” Hek-wan
Kui-bo mencela sambil tertawa.
“Perempuan memang
harus cerewet dan galak, baru menarik, seperti mawar dengan durinya.” Pak-thian
Lo-mo yang biasanya pendiam itu kini memberi komentar. Lam-thian Lo-mo dan
Hek-wan Kui-bo menyambut komentar ini dengan tertawa, dan Pangeran Liong
tertawa juga.
Syanti Dewi
maklum bahwa tidak ada gunanya lagi bicara dengan pangeran ini, tidak ada
gunanya memasukkan segala alasan berdasarkan kesusilaan dan kesopanan kepada
pangeran tua yang sudah bebal ini karena dia melihat sudah bahwa tidak ada
bedanya antara pangeran ini dengan tiga orang tua seperti iblis itu. Hanya pada
lahirnya saja pangeran ini halus dan terpelajar, namun di dalam batinnya dia
malah lebih parah dari orang-orang kasar ini.
Maka dia
membuang muka, tidak mempedulikan lagi kepada mereka dan memasuki kereta
sendiri karena dia pikir lebih baik begitu dari pada dipaksa. Dia masih merasa
beruntung bahwa keadaan perang di Teng-bun membuat pangeran itu belum sempat
mengganggunya. Dia akan menghadapi apa saja yang akan menimpa dirinya dengan
tabah, masih belum terlambat baginya untuk menggunakan pisau yang disembunyikan
di dalam lipatan bajunya apa bila saatnya tidak memberi harapan lagi kepadanya.
Pangeran
Liong Khi Ong masih tertawa ketika dia pun masuk ke dalam kereta dan duduk di
dekat Syanti Dewi. Sepasang kakek kembar dan Hek-wan Kui-bo juga masuk dan
duduk di depan mereka sebagai pengawal.
“Kusir
dungu! Hayo jalan!” Lam-thian Lo-mo membentak ke arah kusir yang duduk tegak di
belakang kuda agak tinggi itu. Sejak tadi kusir ini tidak berani menengok dan pura-pura
tidak melihat atau mendengar apa yang terjadi di depan pintu kereta tadi.
“Baik,
Locianpwe!” jawabnya otomatis dengan suaranya yang tinggi dan parau.
Kereta
bergerak setelah terdengar cambuk meledak dan melecut di atas kepala empat ekor
kuda itu. Kuda-kuda itu meringkik dan tak lama kemudian kereta berjalan cepat
sekali menuju ke barat.
“Locianpwe,
saya belum tahu harus pergi ke mana...,” kusir itu berkata dengan suara lirih
seolah-olah dia merasa takut terhadap para penumpangnya.
“Pangeran,
harap memberitahukan jalannya,” Lam-thian Lo-mo berkata.
“Terus
saja,” kata Pangeran Liong Khi Ong, karena hanya dia sendiri dan Panglima Kim
Bouw Sin serta beberapa orang perwira kepercayaan yang laln saja yang tahu akan
tempat itu, termasuk Tek Hoat. “Setelah tiba di pintu gerbang barat, lalu
membelok ke selatan kurang lebih satu li.”
Kusir itu
mencambuk kuda dan kereta meluncur cepat di malam gelap itu menuju ke barat.
Orang-orang yang melihat bahwa kusir kereta itu adalah orang yang berpakaian
prajurit, tidak ada yang menduga siapa yang berada di dalamnya, hanya mengira
bahwa penumpangnya tentulah seorang di antara para perwira tinggi.
Setelah tiba
di pintu gerbang barat yang terjaga kuat dan membelok ke selatan, kereta
memasuki sebuah kebun yang tidak terawat dan akhirnya, di tempat yang amat
sunyi ini, Pangeran Liong Khi Ong menyuruh Siang Lo-mo membuka sebuah pintu
rahasia yang tertutup rumpun ilalang dan cara membukanya digerakkan oleh alat
rahasia yang tersembunyi di dalam batang pohon yang berlubang. Setelah kereta
itu menerobos pintu rahasia di tembok benteng yang sunyi itu, Siang Lo-mo
menutupkan kembali dari luar dan kereta lalu melanjutkan perjalanannya.
Ternyata di sebelah luar tembok itu adalah sebuah hutan yang lebat, gelap dan
sunyi.
“Terus masuk
ke dalam hutan,” Pangeran Liong berkata. “Kita sembunyi di dalam hutan malam
ini, besok pagi baru melanjutkan perjalanan ke selatan.”
Setelah
kereta tiba di dalam hutan, Siang Lo-mo dan Hek-wan Kui-bo turun dari kereta,
melihat-lihat keadaan. Hutan itu sunyi dan mereka merasa lega.
“Kita
menanti sampai pagi dan tentu pihak musuh sudah mulai menyerang benteng lagi,”
kata Pangeran itu. “Semua perhatian mereka akan tercurah ke benteng sehingga
kita memperoleh kesempatan untuk melanjutkan perjalanan dengan aman. Dari sini
kita harus ke barat sampai keluar dari hutan dan tiba di lereng bukit dan dari
sana mulailah kita menuju ke selatan.”
Kusir kereta
itu turun pula dan tanpa mengeluarkan suara dia melepaskan empat ekor kuda itu,
membawanya ke tempat yang banyak rumputnya dan membiarkan mereka makan rumput.
Siang Lo-mo dan Hek-wan Kui-bo sudah membuat api unggun dan duduk di sekeliling
api sambil bercakap-cakap.
Pangeran
Liong Khi Ong dan Syanti Dewi berada di dalam kereta. Hek-wan Kui-bo yang memandang
ke kereta itu berkata lirih sambil terkekeh, “Heh-heh, Pangeran sampai lupa
dingin, tidak turun dari kereta.”
“Nenek tua,
apa engkau tidak tahu senangnya orang berpengantinan?” Lam-thian Lo-mo juga
terkekeh.
“Hi-hik,
agaknya di dalam kereta itu Pangeran merasa lebih hangat dari pada di dekat api
ini.” Hek-wan Kui-bo tertawa lagi.
Akan tetapi
tak lama kemudian tiga orang datuk kaum sesat itu sudah bicara dengan serius,
suara mereka berbisik-bisik karena mereka kini terlibat dalam percakapan yang
amat penting bagi mereka, yaitu tentang gerakan pemberontak yang mulai terpukul
oleh barisan pemerintah. Mereka bertiga itu, seperti juga Ang Tek Hoat,
bersedia membantu pemberontakan karena mereka hendak mengejar kedudukan dan
kemuliaan di hari tua mereka.
Sekarang,
melihat kenyataan betapa pasukan pemberontak mulai dihajar oleh barisan
pemerintah yang jauh lebih kuat, semangat mereka juga menurun. Akan tetapi
mereka masih belum kehilangan harapan selama mereka masih mengawal Pangeran
Liong Khi Ong yang mereka tahu mempunyai kedudukan mulia di kota raja. Selama
mereka masih menjadi pembantu-pembantu kedua orang Pangeran Liong, harapan
masih terbuka bagi mereka. Setidaknya sebagai pengawal-pengawal Pangeran Liong
kedudukan mereka pun sudah cukup terhormat di kota raja.
Karena
senasib dan segolongan, dalam waktu singkat Hek-wan Kui-bo dan sepasang kakek
kembar itu sudah menjadi sahabat yang akrab dan mereka bicara secara terus
terang tanpa saling mencurigai karena sudah mengenal isi hati masing-masing.
“Apa katamu?”
Hek-wan Kui-bo bicara lirih kepada Pat-thian Lo-mo. “Kalau sampai di kota raja
dan kedua pangeran itu gagal? Ah, kalau sudah berada di istana, mana bisa
gagal? Setidaknya sebelum aku pergi dari kota raja, banyak terbuka kesempatan
untuk mengambil banyak barang berharga dari istana dan hasil itu pun sudah
lumayan untuk menutup kegagalanku.”
“Uhh, apa
artinya harta kekayaan bagi kita yang sudah tua?” Lam-thian Lo-mo mencela.
“Kalau
begitu, apa yang akan kalian lakukan kalau ternyata usaha Pangeran Liong gagal
pula di istana?” tanya nenek itu.
“Kami tidak
mau mencuri barang berharga, akan tetapi kami akan membawa dia...” Lam-thian
Lo-mo menggerakkan kepalanya ke arah kereta.
“Eihh...?!
Puteri Bhutan...?” nenek itu bertanya dan ketika melihat dua orang kakek itu
mengangguk, dia bertanya, “Untuk apa? Apakah kalian ini kiranya bandot-bandot
tua bangka pula seperti Pangeran Liong?”
“Bodoh!”
Pak-thian Lo-mo mencela. “Kami antar dia pulang ke Bhutan dan di sana kami akan
berusaha mencapai kedudukan tinggi.”
“Aihh,
kiranya kalian benar-benar gila pangkat.” Nenek itu berkata geli dan pada saat
itu terdengar jerit tertahan dari dalam kereta.
“Hi-hi-hik,
Pangeran itu sungguh tidak sabar lagi!” Hek-wan Kui-bo terkekeh. “Apa dia
hendak memaksa Puteri Bhutan di ruangan kereta yang sempit itu?”
“Tidak...!
Jangan engkau menyentuhku!” Terdengar suara Syanti Dewi menjerit marah.
“Pangeran Liong Khi Ong, ternyata engkau hanyalah seorang laki-laki keji dan
hina. Akan tetapi jangan mengira akan dapat menyentuhku, lihat apa yang
kupegang ini! Sebelum engkau menjamahku, lebih dulu aku akan menjadi mayat!”
Tiga orang
tua lihai yang tadinya hanya tertawa-tawa saja sambil memandang ke arah kereta,
menjadi kaget juga mendengar teriakan Syanti Dewi itu, dan mereka terbelalak
makin heran dan kaget ketika melihat betapa kusir kereta yang tadinya
menggunakan kain menggosok dan membersihkan kereta itu tiba-tiba kini
menghampiri pintu kereta dan menyingkap tirai yang menutupi pintu kereta itu.
“Heiii,
kusir tolol! Mau apa kau?” Hek-wan Kui-bo membentak marah.
Akan tetapi
dapat dibayangkan betapa kaget rasa hati tiga orang tua itu ketika mereka
melihat kusir itu membuka pintu kereta dengan paksa, lalu meloncat ke dalam
kereta. Terdengar suara teriakan Pangeran Liong, teriakan mengerikan yang
disusul dengan berkelebatnya bayangan kusir tadi yang telah memondong tubuh
Syanti Dewi yang meronta-ronta dan berteriak-teriak, “Lepaskan aku!”
“Eh, kusir
keparat!”
Tiga orang
tua itu cepat meloncat dan mengejar ke arah kereta. Sekali bergerak, Hek-wan
Kui-bo sudah membuka pintu kereta dan mereka menjenguk ke dalam, terkejut bukan
main melihat Pangeran Liong Khi Ong sudah menggeletak tak bernyawa lagi dan di
dahi pangeran itu tampak tiga gambar jari tangan hitam.
“Si Jari
Maut...!”
“Kiranya dia
si jahanam itu!”
Mereka
melompat dan mengejar. Ketika melihat bayangan kusir yang memondong tubuh
Syanti Dewi itu meloncat ke atas seekor kuda sedangkan tiga ekor kuda yang lain
dicambuk dan lari cerai-berai, Siang Lo-mo dan Hek-wan Kui-bo cepat mengejar.
Kusir itu
memang Tek Hoat adanya. Ketika tadi melihat kereta yang ditumpangi Siang Lo-mo
menuju ke gedung Pangeran Liong, dia lalu membayangi dan dapat mendengar
percakapan antara kedua orang kakek itu. Tek Hoat merasa gelisah sekali. Tanpa
disadarinya sendiri, urusan Syanti Dewi telah menjadi hal yang amat penting
baginya, jauh lebih penting dari urusan apa pun, lebih penting dari pada
cita-citanya untuk memperoleh kedudukan mulia.
Maka setelah
Sepasang Kakek Iblis itu memasuki gedung, secepatnya dia turun tangan meloncat
dan menyergap kusir kereta itu seperti seekor harimau menerkam domba, menyeret
kusir itu menjauhi kereta, menotoknya lumpuh dan tak dapat bersuara, melucuti
pakaiannya dan mengenakan pakaian dan topi kusir itu lalu dengan tenang dia
menggantikan tempat kusir itu.
Dia tadi
pernah mendengar suara kusir itu ketika menjawab perintah Siang Lo-mo, maka dia
mampu menirukan suaranya dan untung baginya bahwa baik Pangeran Liong mau pun
ketiga orang pengawalnya itu tidak dapat mengenali mukanya yang selalu dia
sembunyikan agar tidak langsung menerima sinar lampu penerangan di sepanjang
perjalanan itu.
Dia tidak
berani turun tangan menolong Syanti Dewi di dalam kota Teng-bun karena hal itu
amatlah berbahaya. Baru setelah kereta keluar dari kota dan berada di dalam
hutan, dia melepas-lepaskan kuda dan ketika mendengar teriakan marah Syanti
Dewi, tahulah dia bahwa saat baginya untuk turun tangan telah tiba. Maka
secepat kilat dia memasuki kereta, membunuh Pangeran yang mulai dibencinya
sejak Syanti Dewi terjatuh ke tangan Pangeran itu, memondong dengan paksa tubuh
Syanti Dewi dan melarikan diri dengan menunggang seekor kuda setelah dia
mencambuk tiga ekor kuda yang lainnya sehingga binatang-binatang itu kabur
ketakutan.
“Ang Tek
Hoat pengkhianat rendah!” Lam-thian Lo-mo memaki dan bersama Pak-thian Lo-mo
dia melakukan pengejaran.
“Minggirlah,
biar kurobohkan dia!” Hek-wan Kui-bo berteriak dan dua orang kakek itu masih
mengejar akan tetapi berpencar ke kanan kiri untuk memberi kesempatan kepada
Hek-wan Kui-bo untuk melakukan penyerangan.
Nenek itu
sudah mengeluarkan dua buah senjata rahasianya yang berbentuk besi bulat, lalu
melontarkan dua buah benda itu ke arah Tek Hoat yang membalapkan kudanya.
Mendengar
desingan angin dari belakang, Tek Hoat terkejut sekali. Dia sudah pernah
menyaksikan Hek-wan Kui-bo menggunakan senjata rahasianya yang dapat meledak,
maka kini tahu bahwa nenek itu menyerangnya dengan senjata dahsyat itu. Dia
terkejut dan cepat meloncat dari atas punggung kuda sambil memondong tubuh
Syanti Dewi, dan begitu kakinya menyentuh tanah, dia terus bergulingan menjauh
dan masih tetap memondong tubuh dara itu.
“Maaf,
terpaksa begini, senjatanya berbahaya sekali...,” Tek Hoat berbisik.
“Darrr!
Darrr!” Dua buah senjata rahasia itu meledak dan mengeluarkan kilat dibarengi
muncratnya pecahan-pecahan besi. Kuda itu meringkik dan roboh terguling,
perutnya pecah.
“Ahhh...!”
Syanti Dewi mengeluh, ngeri menyaksikan nasib kuda itu.
Sekarang dia
tidak meronta lagi karena menduga bahwa pemuda ini memang sengaja membunuh
Pangeran Liong dan membawanya pergi hendak menolongnya, sungguh pun dia masih
merasa sangsi apakah pemuda yang menjadi kaki tangan pemberontak ini benar
menolongnya dengan niat baik. Betapa pun juga, kiranya jauh lebih baik dan
lebih ada harapan terjatuh ke tangan pemuda yang bersikap halus ini dari pada
terjatuh ke tangan dua orang kakek dan nenek iblis yang mengerikan itu.
“Nona, kau
tunggulah dulu di sini, biar kuhadapi mereka itu,” kata Tek Hoat yang telah
membuang topi prajurit dan telah menanggalkan pakaian prajurit yang tadi
menutupi pakaiannya sendiri. Dengan tenang dia lalu menanti tiga orang lawan
itu yang sudah berlari mendatangi.
Kini mereka
berdiri berhadapan dengan pandang mata penuh kemarahan. Bulan di langit
meluncurkan sinarnya yang lembut dan menerobos celah-celah daun pohon sehingga
kini biar pun tidak memperoleh penerangan lentera kereta yang jauh dari mereka,
empat orang itu dapat saling memandang cukup jelas.
“Heh-heh-heh,
sudah kuduga sebelumnya! Sejak semula engkau dahulu menyerangku, aku sudah tahu
bahwa engkau adalah seorang pengkhianat, Ang Tek Hoat! Aku sudah peringatkan
Pangeran, akan tetapi dia tidak percaya. Sekarang dia percaya, akan tetapi
sudah terlambat!” Hek-wan Kui-bo berkata.
“Belum
terlambat!” Pak-thian Lo-mo berkata. “Kita mengirim dia menyusul Pangeran.”
“Sayang,
seorang seperti engkau ini menjadi berubah begitu bertemu dengan wanita cantik,
Si Jari Maut! Engkau telah membunuh Pangeran Liong Khi Ong, satu-satunya orang
yang sudah memberi harapan kepada kita. Sekarang kami tidak dapat pergi ke kota
raja lagi, gara-gara engkau!”
Tek Hoat
tecsenyum mengejek. “Orang yang cerdik selalu dapat melihat keadaan, akan
tetapi kalian bertiga tua bangka ini agaknya tidak dapat melihat kenyataan.
Jatuhnya Koan-bun dan Teng-bun yang tidak akan dapat bertahan lama lagi berarti
berakhirnya petualangan Pangeran Liong, apakah kita masih harus mengabdi kepada
kekuasaan yang sudah mendekati keruntuhannya?”
“Engkau yang
tolol!” Hek-wan Kui-bo membentak. “Biar pun pemberontakan itu sendiri gagal,
akan tetapi dengan adanya Pangeran, kita dapat mengunjungi istana kerajaan
dengan aman dan di sana terbuka banyak kesempatan bagi kita. Akan tetapi engkau
sekarang membunuhnya sehingga hancur semua harapan dan susah payah kita!”
“Hmm, aku
sudah membunuhnya dan kalian mau apa? Apakah kalian hendak membela kematiannya?”
“Cuhhh!”
Pak-thian Lo-mo meludah. “Kami takkan membela siapa pun kecuali membela
kepentingan kami sendiri!”
“Apa yang
dikatakannya itu benar, Ang-sicu,” Lam-thian Lo-mo berkata. “Soal engkau
membunuh pangeran atau raja, tidak ada sangkut-pautnya dengan kami. Kami bukan
orang yang mengekor kepada siapa pun, apa lagi kepada Liong Khi Ong. Kalau kami
membantu dia, seperti juga engkau, hanya karena kami melihat kemungkinan baik
bagi kami untuk memperoleh kemuliaan. Akan tetapi sekarang dia kau bunuh,
berarti kau merugikan kami yang hanya dapat kau bayar sekarang juga.”
“Dengan
nyawaku? Cobalah jika kalian mampu!” Tek Hoat menantang dengan senyum mengejek.
“Sombong
engkau!” Hek-wan Kui-bo sudah marah sekali dan hendak menyerang, akan tetapi
Lam-thian Lo-mo mencegahnya dan nenek ini yang sekarang merasa menjadi sekutu
Siang Lo-mo untuk menghadapi pemuda lihai itu tidak membantah.
“Ang Tek
Hoat, jangan salah duga. Liong Khi Ong sudah mampus, maka biarlah. Hanya karena
kami juga kehilangan harapan untuk pergi ke kota raja, maka sekarang kami minta
bantuanmu. Kami hendak mengantarkan Puteri Bhutan itu kepada ayahnya di Bhutan.
Kami tentu akan memperoleh balas jasa di Kerajaan Bhutan dan siapa tahu kami
akan mendapatkan ganti kemuliaan di sana.” Lam-thian Lo-mo berkata dengan suara
bernada halus.
“Keparat,
jangan minta yang bukan-bukan!” Entah mengapa dia sendiri tidak tahu, akan
tetapi permintaan itu membuat Tek Hoat naik darah.
“Hi-hi-hik,
percuma, Lam-thian Lo-mo. Dia ingin mengangkangi sendiri gadis itu. Aku sudah
tahu akan hal ini sejak dulu!” Hek-wan Kui-bo berkata.
Tek Hoat
melirik ke arah Syanti Dewi. Puteri itu telah bangkit berdiri dan bersembunyi
di balik pohon dan sekarang mengintai dan memandang ke arahnya dengan sinar
mata ketakutan.
“Apa yang
kurasakan tidak ada sangkut-pautnya dengan kalian bertiga. Pendeknya, aku tidak
percaya kepada kalian dan tidak akan menyerahkan dia kepada kalian!”
“Ang Tek
Hoat, apakah engkau memilih mati dari pada menyerahkan puteri itu kepada kami?”
Pak-thian Lo-mo berteriak.
“Hemm,
kalian yang akan mampus di tanganku kalau berani menentangku.”
“Bocah
sombong! Engkau berani menentang kami bertiga?” bentak Lam-thian Lomo marah.
“Perlu apa
banyak cakap? Bunuh saja bocah ini!” Hek-wan Kui-bo membentak dan dia sudah
menubruk ke depan dan menggerakkan tongkatnya, disusul oleh Siang Lo-mo yang
merasa marah sekali terhadap bekas rekan ini.
Ang Tek Hoat
memang bersikap sombong terhadap tiga orang tokoh hitam ini, tetapi dia cerdik
dan dia sebenarnya tidak memandang ringan. Dia maklum bahwa mereka bertiga
adalah orang-orang yang amat lihai dan kalau maju bersama merupakan lawan yang
berat dan berbahaya. Maka begitu melihat mereka sudah menyerang, dia pun
meloncat mundur menjauhi tempat Syanti Dewi bersembunyi, sambil mencabut pedang
Cui-beng-kiam yang dipalangkan di depan dadanya.
Sinar pedang
yang mengandung hawa mukjijat dan menyeramkan ini mendatangkan kengerian juga
di hati tiga orang lawannya. Akan tetapi karena mereka juga merupakan
tokoh-tokoh yang sudah lama malang melintang di dunia persilatan, mereka tidak
menjadi gentar dan sudah bergerak mengurung dengan senjata di tangan. Tangan
Hek-wan Kui-bo memutar-mutar tongkat sehingga di depan tubuhnya tampak sinar
hitam bergulung-gulung seperti terdapat sebuah kitiran besar berputar di depan
tubuhnya dan mengeluarkan suara berdesingan.
“Tar-tarr-tarrr!”
Senjata di tangan kedua orang Lo-mo itu berupa sabuk atau pecut baja yang
ketika digerak-gerakkan di atas kepala mengeluarkan bunyi meledak-ledak dan
ujungnya yang melecut mengenai batangnya sendiri mengeluarkan bunga api!
Syanti Dewi
yang bersembunyi di balik batang pohon itu menonton dengan muka pucat dan mata
terbelalak. Percakapan antara empat orang itu tadi saja sudah menceritakan
kepadanya orang-orang macam apa adanya mereka itu. Kalau dia terjatuh di tangan
pemuda yang bernama Ang Tek Hoat dan yang telah berkhianat kepada majikannya
sendiri dan telah membunuh Pangeran Liong Khi Ong, dia masih belum tahu apa
yang akan terjadi atas dirinya.
Kalau memang
pemuda itu mempunyai niat keji dan buruk terhadap dirinya seperti yang
dikatakan Hek-wan Kui-bo tadi, dia tentu akan menjaga diri dan akan membunuh
diri sebelum pemuda itu dapat menjamah tubuhnya. Sebaliknya kalau dia terjatuh
ke dalam tangan tiga orang iblis tua itu, seperti juga Tek Hoat, dia tidak
percaya bahwa mereka akan menyerahkan dia begitu saja kepada ayahnya, Raja
Bhutan. Orang-orang seperti mereka ini tentu tidak akan segan-segan untuk
memeras ayahnya, memaksa ayahnya menuruti kehendak mereka untuk melihat
puterinya selamat! Tidak, betapa pun juga, kalau bisa dikatakan ada kesempatan
memilih, dia memilih terjatuh ke tangan pemuda itu yang belum tentu akan
berbuat jahat kepada dirinya.
Tek Hoat
berdiri dengan sikap tenang dan sedikit pun tidak bergerak, pedang melintang di
depan dada dan tangan kiri dengan jari terbuka di atas kepala, telunjuknya
menuding langit, hanya sepasang manik matanya saja yang bergerak ke kanan kiri
untuk terus mengikuti gerakan tiga orang yang menghadapinya. Hek-wan Kui-bo
berdiri tegak di depannya, Lam-thian Lo-mo di sebelah kanannya dan Pak-thian
Lo-mo di sebelah kirinya.
Dia maklum
bahwa di antara tiga orang ini, kepandaian Hek-wan Kui-bo yang dapat dianggap
paling rendah sungguh pun senjata rahasia peledak dari nenek ini amat
berbahaya. Dia tahu pula bahwa senjata pecut besi di tangan kakek kembar itu
tidak kalah ampuhnya dengan pedang di tangannya karena senjata dua orang kakek
itu mengandung racun yang amat jahat. Hanya pedangnya, peninggalan dari iblis
Pulau Neraka, Cui-beng Koai-ong, adalah sebatang pedang mukjijat yang
mengandung hawa mukjijat dan inilah keunggulan senjatanya dari senjata tiga
orang lawannya.
“Taarrr...
siuuuutttt...!”
Pecut yang
tadi berputaran di atas dan meledak-ledak itu kini menyambar dari kanan
mengarah kepalanya dan ujung pecut itu meluncur untuk menotok ubun-ubun kepala
Tek Hoat. Menghadapi serangan maut dari Lam-thian Lo-mo ini, cepat Tek Hoat
mengelak dengan tubuh direndahkan, akan tetapi pada saat itu, dari kiri
menyambar pecut Pak-thian Lo-mo sedangkan dari depan menyusul tongkat Hek-wan
Kui-bo yang meluncur ke arah pusarnya.
Tek Hoat
meloncat, menghindarkan kakinya yang ditotok secara bertubi oleh ujung pecut
Pak-thian Lo-mo yang mengarah kedua mata kaki dan lututnya, dan pedangnya
digerakkan menangkis tongkat Hek-wan Kui-bo. Nenek ini sudah mengenal keampuhan
pedang Cui-beng-kiam, maka dia tidak berani mengadu tenaga, melainkan hanya
menarik tongkatnya dan dibalik sehingga dalam detik lain ujung tongkat itu
sudah menusuk ke arah mata Tek Hoat.
Tek Hoat
menggerakkan pedang menangkis sambil melompat mundur menghindarkan sambitan
ujung pecut dari kanan. Akan tetapi kembali dua batang pecut besi itu sudah
menyambar dari atas dan bawah, sedangkan tongkat dari nenek itu pun menyerang
dengan bertubi-tubi. Tek Hoat segera mengeluarkan kepandaiannya, pedangnya
diputar menjadi sinar bergulung-gulung melindungi tubuhnya, sekaligus menangkis
serangan tiga buah senjata lawan, kemudian tiba-tiba dari dalam gulungan itu
mencuat sinar terang yang membuat gerakan melengkung dan menyambar ke arah
perut tiga orang lawan itu seperti seekor naga melayang.
Tiga orang
itu terkejut dan cepat mengelak ke belakang karena sambaran pedang itu amat
berbahaya, kemudian dari jarak agak jauh pecut-pecut dari kanan kiri sudah
menyambar lagi. Suara kedua senjata ini meledak-ledak seperti petir menyambar
dan bunga api berpancaran menyilaukan mata. Namun Tek Hoat selalu dapat
mengelak atau menangkis semua serangan itu, bahkan dia tentu mengadakan balasan
yang tidak kalah dahsyatnya untuk setiap serangan lawan.
Syanti Dewi
yang menonton pertandingan itu menjadi bengong. Bukan main hebatnya
pertandingan itu, matanya sampai menjadi silau dan berkunang. Tidak dapat lagi
dia mengikuti gerakan empat orang itu, bahkan bayangan mereka pun lenyap
terbungkus gulungan sinar senjata mereka. Hanya kadang-kadang saja nampak kaki
atau tangan yang segera lenyap lagi ke dalam gulungan sinar senjata. Jantung
Syanti Dewi berdebar tegang. Dia tidak dapat pergi dari tempat itu karena dia
tidak mengenal jalan dan hutan itu amat lebat. Ke mana dia harus pergi?
Tentu akan
menghadapi banyak bahaya yang lebih besar lagi. Kalau terjatuh ke tangan
orang-orang ini, dia tahu bahwa dia belum akan menghadapi bahaya maut sungguh
pun dia tidak dapat membayangkan nasib apa yang akan dideritanya. Akan tetapi
kalau dia lari dan bertemu dengan binatang buas, tentu dia akan menjadi
mangsanya, dan kalau sampai dia terjatuh ke tangan orang-orang liar, nasibnya
tentu akan lebih mengerikan lagi. Setidaknya, empat orang itu adalah
orang-orang pandai yang agaknya ingin mencari kedudukan dan kemuliaan dengan
mempergunakan dirinya.
Pertandingan
itu memang hebat sekali. Tiga orang tokoh tua itu menjadi kagum bukan main.
Baru sekali itu mereka bertemu dengan lawan seorang pemuda yang begitu lihai
sehingga dikeroyok tiga oleh mereka tidak hanya mampu bertahan sampai seratus
jurus lebih, akan tetapi juga bahkan sempat membalas dengan tidak kalah
hebatnya.
Kadang-kadang
bulan tertutup awan dan dalam keadaan gelap mereka berempat melanjutkan
pertandingan hanya mengandalkan pendengaran yang tajam dan perasaan yang peka.
Ketika pertandingan sudah hampir berlangsung dua ratus jurus tanpa ada yang
mengalami luka atau terdesak, bulan bersinar kembali dengan terangnya karena
awan telah menjauh.
“Kui-bo,
lekas lepas peledakmu!” Tiba-tiba Lam-thian Lo-mo yang merasa penasaran itu
berteriak dan bersama Pak-thian Lo-mo dia sudah bertiarap di atas tanah.
Hek-wan
Kui-bo benar-benar memenuhi permintaan kakek itu dan dia melemparkan senjata
peledaknya ke arah Tek Hoat. Pemuda itu cepat meloncat jauh ke samping dan
bergulingan sehingga ketika senjata rahasia itu meledak, dia terhindar dari
sambaran pecahan besi. Akan tetapi kembali nenek itu melemparkan senjata
dahsyat kepadanya dan terpaksa Tek Hoat meloncat tinggi sekali.
Pecahan
senjata peledak itu menyerong dan hanya akan mengenai orang-orang yang berdiri
di sekitarnya, maka ketika Tek Hoat meloncat jauh ke atas, dia pun terhindar
dari pecahan besi. Akan tetapi itulah saat yang dinanti-nanti oleh Lam-thian
Lo-mo dan Pak-thian Lo-mo. Siang Lo-mo yang memiliki kerja sama amat baik
berdasarkan naluri atau getaran perasaan yang saling berhubungan antara mereka
itu, dalam waktu yang sama tanpa direncana lebih dulu telah menggerakkan cambuk
besi mereka yang meluncur ke atas, yang kanan menyerang ke arah mata kaki Tek
Hoat, yang kiri menyerang ke arah tengkuk!
Serangan
yang dilakukan berbareng pada saat Tek Hoat masih meloncat ke atas dan yang
mengarah dua tempat yang berlainan itu ternyata membuat Tek Hoat terkejut juga.
Dia harus memilih salah satu. Karena penyerangan di tengkuknya merupakan
serangan maut, maka dia menggerakkan pedangnya menangkis cambuk yang digerakkan
oleh Pak-thian Lo-mo ke arah tengkuknya itu sambil sedapat mungkin menarik
kakinya yang disambar pecut Lam-thian Lo-mo. Namun gerakan ini tidak cukup dan
betisnya dihujam ujung pecut besi sehingga celana berikut daging betisnya
robek.
“Haiiiittt...!”
Tek Hoat mengerahkan tenaganya, berjungkir balik sehingga pecut itu tidak
melibatnya dan ketika tubuhnya menukik turun, dia menyerang Lam-thian Lo-mo
yang telah melukai betis kanannya itu.
“Trang-trang...!
Cringgg...!” ketiga senjata lawan menangkis pedangnya dan penyatuan kekuatan
tiga orang itu membuat Tek Hoat terpental dan terguling-guling.
Selagi Tek
Hoat bergulingan itu, tiga orang lawannya tidak menyia-nyiakan kesempatan ini
dan mereka mengejar. Hek-wan Kui-bo yang merasa penasaran telah menggerakkan
tongkatnya menghantam dan menusuk berkali-kali, namun Tek Hoat dapat mengelak
dengan ilmunya bergulingan yang amat cepat. Akan tetapi karena dia pun dihujani
sambaran dua ujung cambuk, maka akhirnya Hek-wan Kui-bo berhasil menghantam
pundaknya, nyaris saja mengenai kepalanya.
“Bukkk!” Tek
Hoat merasa betapa pundaknya seperti remuk ditimpa tongkat butut itu.
Dia menjadi
marah dan nekat, otomatis tangan kirinya menyambar tongkat itu dan membetot
dengan pengerahan tenaga Inti Bumi yang amat hebat kekuatannya. Hek-wan Kui-bo
terkejut ketika tiba-tiba dia terbetot ke bawah dan sebelum dia mampu melihat
bahaya dan melepaskan tongkat yang membuat tubuhnya ikut terbetot, tahu-tahu
Cui-beng-kiam telah meluncur dari bawah dan menembus perutnya sampai ke
punggung!
“Aigghhhhh...!”
Hek-wan Kui-bo memekik dahsyat.
Tek Hoat
mendorong tongkat dan mencabut pedangnya sehingga tubuh nenek itu terjengkang.
Akan tetapi, pada saat itu ujung cambuk di tangan Pak-thian Lo-mo telah
menyambar pada saat pemuda itu meloncat bangun dan tahu-tahu telah membelit
leher pemuda itu!
Tek Hoat
terkejut sekali, apa lagi ketika saat itu terdengar Lam-thian Lo-mo tertawa.
“Jangan lepaskan dia, ha-ha-ha, biar kuhancurkan kepalanya!”
“Tarrr-tarrr-tarrr!”
Cambuk Lam-thian Lo-mo meledak-ledak dan menyambar-nyambar kepalanya, mengarah
ubun-ubun, tengkuk, dahi dan kedua pelipls!
Sibuk juga
Tek Hoat memutar pedangnya menangkisi sambaran pecut besi di tangan Lam-thian
Lo-mo itu, sedangkan lehernya masih dicekik oleh cambuk Pak-thian Lo-mo yang
makin lama makin erat mencekiknya. Terasa napasnya terhenti dan kulit lehernya
berdarah! Maklumlah dia bahwa kalau dia tidak menemukan akal, dia akan mati
sekali ini. Maka untuk menghindarkan ancaman bertubi-tubi dari ujung cambuk
Lam-thian Lo-mo, dia cepat dengan tiba-tiba merebahkan diri dan bergulingan mendekati
Pak-thian Lo-mo agar cekikan cambuk itu mengendur.
“Tarrr!”
Ujung cambuk milik Lam-thian Lo-mo tepat mengenai punggungnya, untung tak
mengenai tengkuk sehingga Tek Hoat hanya mengeluh karena rasa nyeri yang amat
hebat. Dia meloncat lagi.
“Tar-tarrr!”
Dua kali ujung cambuk Lam-thian Lo-mo menggigit paha dan lambungnya, membuat
celana dan bajunya robek berikut kulit dan dagingnya.
Badannya
sudah berlumur darah yang bercucuran dari punggung, leher, lambung dan paha.
Pada saat itu, dengan kemarahan memuncak Tek Hoat mengeluarkan pekik yang amat
dahsyat, pekik yang membuat Syanti Dewi jatuh terduduk dan hampir pingsan
karena memang dia sudah gemetar seluruh tubuhnya menyaksikan betapa pemuda itu
telah terbelit lehernya dan dicambuki serta berlumur darah amat mengerikan.
Akan tetapi
bersamaan dengan bunyi pekik itu, tampak sinar berkelebat dan Pak-thian Lo-mo
mengeluarkan teriakan yang menggetarkan pohon-pohon di sekitar tempat itu.
Tubuh iblis tua ini terhuyung, cambuknya terlepas dari tangan dan kedua
tangannya mencengkeram gagang pedang Cui-beng-kiam yang berada di dadanya
karena pedang itu sendiri telah tertanam di dadanya sampai menembus punggungnya
ketika dilontarkan secara tiba-tiba dan amat kuatnya oleh Tek Hoat tadi!
“Kau...
bunuh dia...?” Lam-thian Lo-mo berteriak dengan suara terisak.
“Tar-tar-tar-tarrr...!”
Cambuknya
mengamuk dan tubuh Tek Hoat menjadi bulan-bulanan sambaran cambuk yang ujungnya
seperti mulut ular mematuk-matuk sehingga membuat pakaian Tek Hoat robek-robek
dan makin banyak lagi luka-luka di tubuhnya. Tetapi, dengan penderitaan rasa
nyeri yang hebat itu karena semua luka mengandung racun, akhirnya Tek Hoat
berhasil menangkap ujung cambuk. Ketika Lam-thian Lo-mo yang melotot marah itu
menarik-narik cambuknya, Tek Hoat melibat-libatkan ujung cambuk di tangan
kanannya dan terjadilah betot-membetot di antara mereka. Akhirnya, dengan
mengeluarkan teriakan yang merupakan lengking dahsyat, kedua orang itu meloncat
ke depan saling terjang di udara.
“Desssss...!”
Syanti Dewi
yang menonton dari balik batang pohon hanya melihat bayangan dua orang itu
bertumbukan di udara, kemudian dia melihat kedua orang itu terbanting roboh dan
tidak bergerak lagi.
“Ahhhh...!”
Syanti Dewi
sejenak berdiri dengan hati penuh kengerian, ditelan kesunyian yang tiba-tiba
menyelimuti tempat itu. Tidak ada suara apa-apa lagi terdengar, akan tetapi
setelah keadaan di dalam hutan itu sunyi, semua orang kecuali dia telah rebah
tidak berkutik lagi, lapat-lapat dan sayup sampai telinganya menangkap suara
gemuruh dan hiruk-pikuk dari tempat yang jauh sekali. Suasananya menjadi makin
menyeramkan karena suara yang lapat-lapat terdengar itu seperti mengandung
suara tangis dan tawa yang agaknya datang dari angkasa atau mungkin juga dari
dalam bumi, pantasnya suara yang keluar dari dalam neraka seperti yang pernah
dia dengar dongengnya.
“Ahhh...
matikah dia...?” Tanpa terasa lagi Syanti Dewi berbisik dengan hati penuh
khawatir. Puteri Bhutan ini adalah seorang yang berbudi mulia dan memiliki
kepekaan rasa sehingga tidak mudah bagi dia melupakan budi orang lain yang
dilimpahkan kepadanya. Dia tahu bahwa dia tidak boleh mempercayai seorang
seperti Ang Tek Hoat yang telah menjadi kaki tangan pemberontak, akan tetapi
yang ternyata mengkhianati atasannya sendiri itu.
Akan tetapi,
dia tahu pula bahwa sekali ini Ang Tek Hoat melakukan pengkhianatan dan melawan
rekan-rekannya sendiri sampai mempertaruhkan nyawa karena hendak menolongnya!
Sungguh pun dia sendiri belum dapat memastikan apakah perbuatan pemuda itu
terdorong oleh maksud menolongnya ataukah hendak memperebutkannya, akan tetapi
harus dia akui bahwa kalau tidak ada Tek Hoat, tentu dia telah membunuh diri
ketika hendak diperkosa oleh Pangeran Liong Khi Ong. Perasaan berterima kasih
ini ditambah lagi perasaan seolah-olah Tek Hoat bukan merupakan orang asing
baginya, membuat puteri ini keluar dari tempat persembunyiannya dan kemudian
berindap-indap menghampiri pemuda itu.
Dia bergidik
ketika melewati tubuh Lam-thian Lo-mo. Kakek yang hampir telanjang, yang hanya
mengenakan cawat ini, rebah telentang, matanya melotot, mulutnya terbuka dan
kepalanya pecah. Hek-wan Kui-bo rebah menelungkup dengan seluruh tubuhnya
bermandi darahnya sendiri, sedangkan tubuh Pak-thian Lo-mo juga terlentang
dengan dada masih tertusuk pedang. Syanti Dewi bergidik ngeri, lalu memutari
mayat-mayat itu dan menghampiri Tek Hoat yang menggeletak miring dan tidak
bergerak lagi.
“Ohhhh...”
Syanti Dewi mengeluh dan merasa kasihan melihat pemuda itu.
Pakaiannya
robek-robek dan penuh darah, tampak luka-luka bekas cambukan dari kaki sampai
ke lehernya yang dibelit luka yang berdarah. Ketika Syanti Dewi melihat muka
pemuda itu, dia makin cemas. Muka itu pucat sekali, seperti muka mayat. Dengan
hati berdebar dia menggerakkan tangannya, menyentuh dahi yang pucat itu. Masih
hangat! Lalu dengan jari-jari tangan gemetar dia meraba dada. Masih ada ketukan
jantungnya. Masih hidup! Hatinya lega. Pemuda ini belum mati.
Syanti Dewi
pernah merawat Gak Bun Beng ketika pendekar itu menderita sakit, maka sedikit
banyak dia telah mempunyai pengalaman. Sekarang menghadapi pemuda yang tubuhnya
penuh dengan luka, mandi darah dan pingsan itu, dia cepat memberanikan diri
berlari ke arah kereta. Dia tahu bahwa Pangeran Liong Khi Ong juga membawa
perbekalan-perbekalan dan dia membutuhkan arak untuk menolong Tek Hoat.
Dalam
ketegangannya hendak menolong Tek Hoat, dia lupa akan Pangeran Liong Khi Ong
dan begitu saja dia menyingkap tirai kereta dan naik ke dalam kereta.
“Aiihhh...!”
Syanti Dewi menjerit dan cepat meloncat turun lagi keluar kereta.
Dalam
keadaan terkejut setengah mati itu, otomatis kepandaian silat yang pernah
dipelajarinya keluar, bahkan kecepatan gerakannya bertambah! Siapa yang tidak
kaget setengah mati? Ketika dia masuk kereta tadi, tanpa disengaja kakinya menyentuh
kaki mayat Pangeran Liong Khi Ong yang mati sambil duduk di kereta dan ketika
kakinya tersentuh, tubuhnya terguling sehingga bagi Syanti Dewi yang lupa akan
pangeran ini, dia seperti melihat mayat itu hidup kembali dan menubruknya!
Dengan
seluruh tubuh gemetar, Syanti Dewi memberanikan diri menyingkap tirai,
memperingatkan diri sendiri bahwa Pangeran itu tadi telah mati! Ketika dia
menyingkap tirai, dia melihat Pangeran itu menelungkup di lantai kereta, sama
sekali tidak bergerak. Syanti Dewi bergidik, lalu dengan hati-hati dia naik ke
dalam kereta, melangkahi mayat Pangeran itu dan cepat mulai mencari-cari di
bagian belakang kereta itu. Di dalam kereta itu tidak begitu gelap seperti di
luar karena lentera kereta masih menyala. Setelah dia menemukan guci arak, dia
melompat turun dan cepat berlari menghampiri tubuh Tek Hoat yang kini sudah
rebah terlentang akan tetapi agaknya masih belum siuman dari pingsannya.
Syanti Dewi
menggunakan sapu tangannya yang dibasahi dengan arak untuk menekan-nekan luka-luka
di tubuh Tek Hoat, selain membersihkan luka juga agar darah yang keluar dapat
berhenti. Hatinya lega ketika melihat bahwa luka-luka itu tidak dalam, hanya
kulit yang robek berikut sedikit daging di bawahnya. Akan tetapi luka di
sekeliling leher itu amat mengerikan, seolah-olah leher itu dikerat pisau
hendak disembelih. Luka ini terjadi ketika lehernya dijerat oleh cambuk besi
tadi dan darah yang mengucur dari luka ini yang paling banyak sehingga sebentar
saja sapu tangan Syanti Dewi menjadi merah oleh darah.
Setelah
matahari mulai bersinar, Syanti Dewi bangkit berdiri, lalu pergi dari situ
mencari-cari air. Untung tak jauh dari situ dia menemukan sebatang anak sungai
kecil yang airnya jernih sekali. Cepat dia mengambil air, menggunakan guci arak
yang sudah kosong dan kini dia dapat mencuci luka-luka di tubuh Tek Hoat dengan
jelas. Setelah dia membalut leher yang terluka itu dengan sapu tangan, dia lalu
menggunakan air untuk membasahi muka dan kepala pemuda yang masih juga belum
siuman itu.
Tek Hoat mengeluh
lirih, lalu gelagapan. “Hepp... haeppp... haeppp...!” Dia gelagapan seperti
orang tenggelam di air!
“Ehhh,
kenapa...? Kau kenapa...? Apanya yang sakit...?”
Syanti Dewi
mengguncang pundak Tek Hoat ketika melihat pemuda itu gelagapan dengan mulut megap-megap.
Tanpa disengaja, Syanti Dewi mengguncang pundak yang terluka berat karena tadi
ditimpa tongkat Hek-wan Kui-bo. Tentu saja diguncang seperti itu menjadi nyeri
bukan main, pemuda yang sudah siuman dan dapat merasakan itu berteriak
mengaduh, kiut-miut rasa pundaknya.
“Add...
duuuhh-duh duhhh... pundakku...!” Karena masih setengah pingsan, maka Tek Hoat
berteriak-teriak dan bersambat. Kalau dia sudah sadar betul, tentu saja pemuda
yang keras hati ini tidak akan sudi bersambat, apa lagi di depan gadis itu.
“Ohhh...!”
Syanti Dewi cepat menarik kembali tangannya dan melihat pundak itu. Baju di
pundak itu juga robek dan baru sekarang dia melihat betapa pundak itu kulitnya
biru menghitam. “Maafkan aku...!”
“Maaf...?
Sudah menghantam pundak masih minta maaf? Nenek keparat...!” Tek Hoat memaki
dan membuka matanya.
“Ouhhhh...!”
Syanti Dewi menutup mulutnya.
“Aahhhhh...!”
Tek Hoat membelalakkan matanya ketika melihat siapa yang berlutut di dekatnya.
Tek Hoat cepat
teringat akan keadaannya. Segera dia bangkit duduk dan menggigit bibir karena
begitu dia bangkit, dunia di sekelilingnya seperti berpusingan dan seluruh
tubuhnya terasa sakit-sakit, berdenyut-denyut serta menusuk-nusuk. Akan tetapi
dia mempertahankan rasa nyeri itu, memandang ke sekeliling dan baru lega
hatinya ketika dia melihat mayat Hek-wan Kui-bo, Pak-thian Lo-mo dan Lam-thian
Lo-mo berserakan tidak jauh dari situ. Barulah dia memperhatikan dirinya
sendiri, meraba lehernya yang terasa panas dan mendapat kenyataan bahwa
lehernya telah terbalut, mukanya basah kuyup dan air masih menetes-netes dari
rambutnya ke atas muka.
Jantungnya
berdebar penuh kebingungan dan hampir dia tidak percaya akan dugaannya sendiri.
Dengan gagap dia bertanya, suaranya berbisik, “Kau... kau... yang
merawatku...?”
Syanti Dewi
yang masih memandang kepadanya dengan terbelalak, takut kalau-kalau pemuda ini
sudah berubah ingatannya, juga takut kalau pemuda ini menjadi liar dan ganas
seperti yang pernah disangkanya, bergerak mundur menjauhi, tangan kanannya
meraba gagang pisau yang terselip di pinggangnya dan dia mengangguk, tangan
kirinya masih memegang kain basah yang tadi dipergunakan untuk membasahi muka
dan kepala pemuda itu. Dia hanya menjawab pertanyaan itu dengan anggukan
kepalanya.
Kenyataan
ini merupakan pukulan hebat bagi Tek Hoat. Gadis itu, Puteri Bhutan itu, yang
telah membuat dia tergila-gila, yang ingin dirampasnya dan dipaksanya menjadi
isterinya, ketika dia pingsan dan tidak berdaya, ternyata tidak membunuhnya. Padahal,
alangkah mudahnya bagi puteri itu untuk membunuhnya. Sekali tikam saja dengan
pisau di pinggang itu, dia akan tewas dan karena semua pengawal pangeran sudah
tewas, hal itu berarti kebebasan sepenuhnya bagi Syanti Dewi. Akan tetapi
tidak! Puteri itu, wanita bangsawan tinggi itu, malah merawat luka-lukanya!
Kenyataan ini membuat Tek Hoat tertawa sendiri, suara ketawa yang aneh.
Syanti Dewi
memandang dengan sinar mata tajam penuh selidik. Wajah itu, suara ketawa itu.
Dia pernah rasanya mengenal pemuda ini! Bukan, bukan sejak menawannya dan
membawanya kepada Pangeran Liong Khi Ong, akan tetapi jauh sebelum itu, dan
dalam keadaan yang lebih baik. Akan tetapi dia lupa lagi kapan dan di mana.
Dipandang
seperti itu, Tek Hoat menghentikan suara ketawanya yang tadi keluar di luar
kehendaknya, dengan gugup dia berkata, “Aku... aku... bermimpi... tenggelam ke
dalam sungai... kiranya engkau membasahi mukaku...”
“Aihhh...!”
Syanti Dewi meloncat berdiri, ucapan itu mengingatkan dia. “Engkau adalah
tukang perahu itu! Ya, engkaulah tukang perahu dahulu itu!” Dia
mengingat-ingat, lalu berkata lagi. “Kini aku mengerti! Engkau dahulu menyamar
sebagai tukang perahu, pantas ada yang menyebutmu Si Jari Maut!”
Tek Hoat
berusaha untuk tersenyum, tetapi mana bisa dia tersenyum kalau seluruh tubuhnya
terasa sakit, dan lebih lagi dari itu, kalau seluruh hati dan pikirannya terasa
sakit? Dia begitu jahat, dan puteri itu begitu baik! Seperti si binatang liar
dan si Dewi Kahyangan! Dia menghela napas dan memejamkan matanya. “Puteri
Syanti Dewi, kau pergilah...! Pergilah sebelum terlambat...!”
Syanti Dewi
mengerutkan alisnya. “Akan tetapi engkau... engkau terluka parah...”
“Biarkan aku
mampus, dunia takkan rugi karenanya!” Katanya dengan hati sebal dan dia
melemparkan tubuh ke belakang.
“Dukkk!”
Kepalanya menimpa akar pohon dan dia mengerang lirih, menjadi setengah pingsan
lagi karena benturan kepalanya dengan akar yang dalam keadaan biasa tentu tidak
akan terasa olehnya itu, kini terasa seolah-olah kepalanya dihantam palu godam
sebesar kerbau!
“Aihhh,
kasihan engkau... pemuda yang malang...!” Syanti Dewi sudah berlutut lagi di
dekatnya, menggunakan kain basah itu untuk menghapus darah yang kembali
mengalir di leher dan pipi, karena benturan tadi membuat kepala yang luka oleh
lecutan cambuk berdarah lagi.
“Kasihan?
Engkau... kasihan kepadaku?” Tek Hoat bangkit duduk, tidak peduli betapa
pandang matanya sendiri berkunang dan kepalanya menjadi pening sekali. “Puteri
Syanti Dewi kasihan kepadaku? Ha-ha-ha! Semestinya engkau kasihan kepada dirimu
sendiri yang sudah begitu percaya kepada orang lain, kepada tukang perahu
jahanam itu!”
Syanti Dewi
mengerutkan alisnya, memandang khawatir. Tidak salah lagi, pemuda ini menjadi
miring otaknya karena pukulan-pukulan yang diterimanya ketika bertanding tadi!
“Mengapa?
Tukang perahu itu telah menolong aku dan Adik Candra Dewi,” bantahnya.
“Ha-ha-ha!
Betapa bodohnya! Tukang perahu itu adalah mata-mata Pangeran Liong yang sengaja
diutus untuk menyelidik dan untuk menawan Puteri Syanti Dewi! Dan puteri itu
malah percaya kepada seorang pembantu dan tangan kanan pemberontak Liong Khi
Ong!”
“Akan
tetapi, engkau tadi telah menyelamatkan aku dari mereka, engkau malah telah
membunuh Pangeran Liong Khi Ong dan tiga orang kaki tangannya!”
Ang Tek Hoat
memandang puteri itu dengan mata merah, tertawa dan menudingkan telunjuknya
seperti orang gila. “Ha-ha-ha-ha, engkau puteri bodoh! Patut dikasihani! Engkau
terlalu baik hati, engkau terlalu percaya orang. Aku membunuh mereka karena
ingin memperebutkan engkau! Aku hanyalah orang jahat, dan engkau... engkau
malah merawatku! Ha-ha-ha, belum pernah aku melihat yang segila ini. Pergilah
kau... pergi...! Sebelum aku lupa diri...!”
Kembali Tek
Hoat merebahkan dirinya dan memejamkan mata, menggunakan jari-jari tangannya
menjambak rambutnya sendiri. “Aku keracunan... terluka parah, tentu akan segera
mati... kau pergilah, kau menjauhlah, jangan dekat-dekat... aku kotor sekali,
aku perampok, pembunuh, tukang perkosa... aku tidak berharga... ahhh, Ibu...!”
Ucapan Tek Hoat sudah kacau tidak karuan.
Memang
pemuda ini selain menderita luka-luka, juga telah terkena racun yang hebat,
racun yang berada di cambuk Siang Lo-mo. Seperti telah diketahui, sejak Siang
Lo-mo merampas kitab cacatan tentang racun dari Ban-tok Mo-li, mereka telah
menggunakan ilmu tentang racun itu untuk membuat cambuk mereka menjadi senjata
yang mengandung racun amat berbahaya. Dan kini, terluka berkali-kali oleh
cambuk-cambuk beracun itu, tentu saja Tek Hoat terpengaruh dan luka-luka itu
mulai membengkak dan membiru, bahkan lehernya telah menjadi matang biru dan
mengerikan sekali.
“Ah, kasihan
engkau, orang muda yang malang...!” Syanti Dewi adalah seorang wanita yang
berwatak lembut. Melihat kesengsaraan dan penderitaan pemuda ini, hatinya
menjadi tidak tega, penuh dengan perasaan iba, maka dia tidak mempedulikan
sikap pemuda itu, bahkan tanpa takut-takut lagi dia lari mendekat, berlutut dan
membasahi dahi pemuda itu dengan air karena dahi itu amat panas sampai
mengepulkan uap!
Tek Hoat
merintih-rintih dan mengeluh, menyebut-nyebut ibunya karena dia seolah-olah
melihat ibunya yang marah-marah dan memaki-makinya, kemudian melihat wajah Kam
Siok, pemilik restoran di Shen-yang yang dibunuhnya, wajah Kam Siu Li, puteri
Kam Siok yang telah dikawinkan kepadanya kemudian dibunuhnya pula, wajah Liok
Si, janda Kam Siok yang genit itu, dan wajah orang-orang yang pernah
dibunuhnya, semuanya datang mengejar-ngejarnya hendak membalas dendam! Dia lari
ketakutan, kemudian melihat Syanti Dewi yang melayang turun dari angkasa seperti
Dewi Kwan Im Pouwsat, cantik jelita dan agung, lemah-lembut dan ramah,
mengulurkan tangan kepadanya.
“Lindungi
aku... ohhh, lindungi aku...”
“Tenanglah,
Tek Hoat, tenanglah...” Dewi itu berkata halus dan menaruh tangannya ke atas
dahinya. Tangan yang lembut dan halus, sejuk dan mengusir nyeri.
“Ampunkan
aku yang penuh dosa...” Dia berbisik, meraba dan menangkap tangan halus lembut
itu dan mencium tangan itu.
Syanti Dewi
menarik tangannya dengan halus. Hatinya terharu. Boleh jadi orang ini telah
melakukan penyelewengan-penyelewengan hebat, pikirnya, dan penyesalan telah
menggerogoti perasaannya sendiri. Penyesalan akan perbuatan yang berdosa
pastilah merupakan hukuman yang amat berat bagi orang itu.
“Ang Tek
Hoat, engkau tadi begitu gagah, mengapa sekarang menjadi begini lemah?” Suara
Syanti Dewi ini merupakan air dingin yang mengguyur kepala Tek Hoat. Seketika
dia berhenti mengeluh, membuka mata dan pandang matanya kembali menjadi dingin,
biar pun mukanya kini merah sekali seperti dibakar.
Tek Hoat
bangkit duduk, menggoyang-goyang kepala sebentar seperti hendak mengusir
kepeningannya, lalu dia berkata, “Puteri Syanti Dewi, terima kasih atas
kebaikanmu. Engkau mulia seperti dewi, dan aku jahat seperti iblis. Engkau
pergilah dari sini, kau cari Jenderal Kao. Dia seorang gagah yang akan
menolongmu...” Tiba-tiba mata pemuda itu kelihatan beringas memandang ke kanan.
Syanti Dewi bangkit berdiri, juga menoleh dengan ketakutan, mengira bahwa ada
musuh-musuh baru yang datang.
Tampak
beberapa orang berlarian mendatangi. Cepat sekali gerakan mereka, seperti
sekumpulan binatang rusa yang lari sambil berlompatan menuju ke tempat itu.
Sukar bagi Syanti Dewi untuk mengenal bayangan orang-orang yang berlari secepat
itu dan kini mereka yang terdiri dari tiga orang itu telah berdiri di situ,
memandangi kereta dan mayat-mayat yang berserakan, kemudian memandang kepada
Tek Hoat dan Syanti Dewi.
“Bu-koko...!”
Syanti Dewi berseru dengan lega dan girang ketika melihat mereka dan di antara
mereka itu terdapat Jenderal Kao Liang dan Suma Kian Bu! Terutama sekali
melihat Kian Bu hatinya begitu lega sehingga tak terasa lagi dia berlari ke
arah pemuda ini yang juga berlari menghampirinya.
“Adik Syanti
Dewi...!”
Tanpa dapat
dicegah lagi, lupa akan keadaan saking lega dan girangnya hati, Syanti Dewi
membiarkan dirinya dipeluk oleh Suma Kian Bu! Dia menangis dengan penuh
keharuan dan kelegaan hati.
Ternyata
yang datang adalah Jenderal Kao Liang, Kian Bu, dan Puteri Milana. Malam tadi
menjelang pagi, ketika barisan yang dipimpin Puteri Milana tiba di depan
Teng-bun untuk membantu Jenderal Kao, jenderal ini segera mengerahkan seluruh
barisan untuk menyerbu Teng-bun dengan kekuatan yang jauh lebih besar setelah
ada bantuan itu. Perang hebat terjadi, akan tetapi sekali ini Kim Bouw Sin
tidak lagi dapat bertahan.
Apa lagi
karena dia sudah kehilangan para pembantunya yang lihai. Tek Hoat tidak
kelihatan mata hidungnya, Siang Lo-mo dan Hek-wan Kui-bo sudah pergi mengawal
Pangeran Liong Khi Ong, sedangkan Hek-tiauw Lo-mo dan Mauw Siauw Mo-li juga
tidak kelihatan lagi. Maka setelah matahari terbit, pasukan-pasukan pemerintah
berhasil membobolkan pintu-pintu gerbang dan menyerbu masuk seperti banjir. Teng-bun
tak dapat dipertahankan lagi dan Kim Bouw Sin sendiri tewas dalam perang itu.
Tentu saja
Jenderal Kao dan Milana, juga diikuti oleh Kian Bu, pertama-tama menyerbu
gedung yang selama ini digunakan sebagai tempat tinggal Pangeran Liong Khi Ong
untuk menangkap pangeran pemberontak itu. Akan tetapi ternyata Pangeran itu
telah melarikan diri semalam. Ketika mendengar dari para pelayan bahwa Pangeran
itu sudah pergi membawa Puteri Bhutan, Kian Bu dan Jenderal Kao terkejut
sekali. Bersama Puteri Milana, mereka lalu secepatnya melakukan pengejaran
melalui pintu rahasia yang tentu saja dikenal oleh Jenderal Kao dan mereka
terus mengejar ke dalam hutan.
Tek Hoat
membuka mata dan mengejap-ngejapkan matanya, sejenak memandang ke arah Syanti
Dewi yang menangis dalam dekapan seorang pemuda tampan yang dia kenal sebagai
salah seorang di antara dua orang pemuda kakak beradik yang pernah berlawan
dengannya.
Dia melihat
pula Jenderal Kao dan seorang wanita cantik sekali yang amat gagah perkasa. Dia
pernah melihat wanita ini dan samar-samar teringatlah dia kepada wanita yang
dulu dijumpainya di dalam hutan ketika wanita yang amat lihai ini membunuh
seekor harimau besar. Akan tetapi dia tidak mempedulikan itu semua, matanya
kini menatap Syanti Dewi, yang dipeluk oleh pemuda itu. Hatinya menjadi panas
sekali dan tanpa mempedulikan apa-apa lagi Tek Hoat melompat dan menerjang ke
arah Suma Kian Bu!
“Plakkk!”
Tek Hoat
terpelanting saat dari samping ada lengan halus yang mendorongnya dengan
kekuatan yang amat dahsyat. Kiranya wanita itu dengan sikap gagah dan pandang
mata tajam menusuk menegurnya, “Engkau mau apa?”
Tek Hoat
menjadi marah sekali. Dia tidak peduli siapa adanya wanita gagah itu, akan
tetapi yang ada di dalam hatinya hanyalah kemarahan yang amat hebat. Kemarahan
yang timbul seketika pada saat dia melihat Syanti Dewi dalam pelukan pemuda
tampan itu.
“Aku mau
membunuh!” bentaknya.
Kemarahannya
membuat dia lupa akan segala kenyerian yang menusuk-nusuk seluruh tubuh dari
kepala sampai kaki, dan dengan ganas dia sudah menerjang lagi, otomatis dia
menggunakan jurus Pat-mo Sin-kun (Ilmu Silat Sakti Delapan Iblis) yang menjadi
ilmu silat tinggi pertama kali yang dilatihnya. Gerakan ilmu silat ini memang
hebat dan ganas sekali, dan sinkang yang mendorong gerakan ilmu ini adalah
sinkang yang mengeluarkan hawa panas.
“Aihhh...!”
Puteri
Milana terkejut dan terheran-heran bukan main. Cepat dia menggerakkan kaki
tangannya dengan ilmu silat yang sama pula. Tentu saja dia merasa heran karena
gerakan pemuda ini adalah gerakan ilmu silat rahasia dari perkumpulan
Thian-liong-pang, yaitu perkumpulan yang dahulu diketuai oleh ibunya, Puteri
Nirahai. Dan ilmu silat ini adalah ciptaan ibunya itu, yang mengambil
gerakan-gerakan dari Ilmu Silat Pat-mo Kiam-sut digabung dengan Ilmu Silat
Pat-sian Kiam-sut (Ilmu Pedang Delapan Dewa) sehingga terciptalah Ilmu Silat
Tangan Kosong Pat-mo Sin-kun itu. Akan tetapi ilmu itu hanya dikenal oleh
ibunya, dia sendiri dan para bekas tokoh Thian-liong-pang saja. Bagaimana
sekarang bisa dimainkan oleh pemuda ini secara demikian baiknya?
“Hai, dari
mana engkau mempelajari Pat-mo Sin-kun?” Puteri Milana berseru makin heran
karena mendapat kenyataan betapa pemuda ini memiliki tenaga yang amat kuat,
sungguh pun jelas bahwa pemuda ini sudah menderita luka-luka parah dan
keracunan.
Tek Hoat
juga terkejut ketika melihat wanita menghadapinya dengan Pat-mo Sin-kun yang
demikian baik gerakannya, jauh lebih baik dari pada gerakannya sendiri. Maka
tanpa menjawab dia lalu mengerahkan tenaga Inti Bumi dan mendorong.
“Bresss...
ihhhh...!” Milana terdorong dan terhuyung, bukan main kagetnya.
“Keparat,
engkau pemberontak keji!” Kian Bu sudah melepaskan Syanti Dewi. Melihat
kakaknya terdorong itu, dia lalu menerjang ke depan dan memukul dengan
pengerahan tenaga Swat-im Sin-ciang.
Tek Hoat
yang amat marah dan benci kepada pemuda yang memeluk Syanti Dewi ini, lalu
membalikkan tubuh mengerahkan tenaga sinkang-nya dan menangkis. Keduanya
mengeluarkan tenaga sekuatnya, akan tetapi Kian Bu sama sekali tidak tahu bahwa
lawannya itu telah terluka parah.
“Desssss...!”
Tubuh Tek
Hoat terlempar, membentur batang pohon dan roboh tergelimpang, tidak bergerak
lagi! Ketika mengadu tenaga dengan Puteri Milana tadi, ternyata dia telah
mengerahkan tenaga Inti Bumi dan hal ini membuat luka-lukanya di sebelah dalam
tubuhnya menjadi lebih parah lagi. Maka begitu dia bertemu dengan Kian Bu yang
memiliki sinkang murni dari Pulau Es, tentu saja dia tidak mampu menandinginya
dan dia terbanting dengan keras sampai pingsan.
“Ahhh,
Bu-ko, kau membunuhnya...?” Syanti Dewi berlari menghampiri tubuh Tek Hoat,
berlutut dan memandang penuh kekhawatiran.
“Adik Syanti
Dewi, dia kaki tangan pemberontak, dia jahat...!” Kian Bu berkata dengan heran
dan penasaran melihat dara itu membela lawannya.
Puteri
Milana memandang dengan heran dan diam-diam dia kagum akan kecantikan Puteri
Bhutan ini. Pantas saja adik kandungnya tertarik kepada puteri ini dan sikap
mereka ketika bertemu tadi menimbulkan dugaannya bahwa adiknya itu jatuh hati
kepada Syanti Dewi. Maka kini sikap Syanti Dewi yang berlutut di dekat kaki
tangan pemberontak itu mengherankan hatinya.
“Apa artinya
ini?” Dia bertanya.
“Adik
Syanti, pemberontak ini dibunuh pun sudah sepatutnya,” Kian Bu berkata lagi.
“Tidak...
tidak...! Bu-koko, engkau tidak tahu. Dialah yang telah menolongku. Dia yang
telah membunuh Pangeran Liong Khi Ong dan tiga orang pengawalnya. Lihat itu,
mayat mereka masih berada di sana. Kalau tidak ada Tek Hoat ini, aku tentu
telah menjadi mayat sekarang.” Syanti Dewi berkata sambil menunjuk ke arah
mayat-mayat yang bergelimpangan dan dia membayangkan betapa dia sekarang tentu
telah membunuh dirinya karena hendak diperkosa oleh Pangeran Liong Khi Ong
kalau saja tidak ditolong oleh Tek Hoat.
“Ehhh...?”
Kian Bu tertegun heran.
“Dia adalah
tangan kanan Pangeran Liong Khi Ong yang terkenal sekali. Dialah yang berjuluk
Si Jari Maut dan yang mempergunakan nama Gak Bun Beng Taihiap! Dia jahat dan
keji, juga menjadi kaki tangan pemberontak. Syanti, minggirlah, orang ini harus
ditangkap atau dibunuh.” Jenderal Kao Liang juga berkata sambil melangkah maju
menghampiri Puteri Bhutan yang sudah dianggap seperti anaknya sendiri itu.
“Gi-hu (Ayah
Angkat)...!”
Syanti Dewi
bangkit dan memegang lengan jenderal tinggi besar itu. “Harap jangan bunuh dia.
Dia terluka dan menderita seperti itu karena menolong saya. Andai kata dia
tidak menolong saya, tentu dia sudah dapat melarikan diri jauh dari sini dan
kalian tidak dapat menangkapnya. Dia menolong saya dan karenanya dia terluka
dan tidak dapat lari. Kalau kalian membunuhnya, sama artinya dengan saya yang
membunuhnya. Gi-hu, apakah engkau ingin mempunyai seorang anak angkat yang
berwatak palsu tidak mengenal budi orang?”
Puteri
Milana sudah melangkah maju dan berkata kepada adiknya, “Bu-te (Adik Bu), dia
betul. Kita harus merawatnya, dan aku melihat keanehan pada dirinya. Dia
mengenal ilmu rahasia Thian-liong-pang! Mungkin pemuda ini menyimpan rahasia.”
Kian Bu
masih ragu-ragu. “Tetapi, Enci, menurut Kao-goanswe dia telah menggunakan nama
Gak-suheng dan merusak namanya!”
“Hal itu pun
ada rahasianya. Kita rawat dan menahan dia sebagai seorang tawanan yang terawat
baik. Betapa pun juga, dia telah berjasa dengan membunuh Pangeran Liong Khi Ong
dan tiga orang pengawalnya yang lihai ini.”
Kian Bu
tidak berani membantah lagi, dia lalu memanggul tubuh Tek Hoat yang lunglai dan
pingsan. Mereka lalu kembali ke Teng-bun yang sudah diduduki oleh pasukan
pemerintah. Pukulan hebat yang dilakukan oleh pasukan di bawah pimpinan
Jenderal Kao Liang dan Puteri Milana itu sekaligus menghancurkan kekuatan
pemberontak, apa lagi kematian Panglima Kim Bouw Sin dan kematian Pangeran
Liong Khi Ong melemahkan semangat perlawanan para anak buah pasukan sehingga
sebagian besar di antara mereka segera takluk dan menyerah dan hanya sedikit
saja yang melarikan diri secara liar karena takut akan hukuman yang pasti
dijatuhkan kepada mereka.
Seperti juga
kota Teng-bun, kota pemberontak kedua, Koan-bun, dengan mudah terjatuh ke
tangan pemerintah setelah terjadi perang yang amat hebat di dalam kota itu.
Pasukan yang dipimpin oleh Panglima Thio dan dibantu oleh putera Jenderal Kao
itu telah berhasil membasmi pemberontak yang telah kelelahan karena baru saja
pasukan pemberontak bertanding mati-matian ketika mereka menghancurkan pasukan
liar Tambolon. Apa lagi di kota ini terdapat Gak Bun Beng dan Suma Kian Lee
yang telah berhasil mengusir tokoh hitam lihai yang membantu pemberontak, yaitu
ketua Pulau Neraka Hek-tiauw Lo-mo dan sumoi-nya, Mauw Siauw Mo-li.
Seperti
sudah diceritakan di bagian depan, Ceng Ceng telah roboh pingsan karena
luka-lukanya akibat pukulan-pukulan yang mengandung racun, terutama sekali
pukulan yang diterimanya dari Hek-tiauw Lo-mo, karena tangan Ketua Pulau Neraka
ini mengandung racun yang amat ampuh sehingga biar pun Ceng Ceng sendiri
merupakan seorang ahli tentang racun, namun tetap saja dia menderita luka di
sebelah dalam tubuhnya yang parah.
Dengan hati
penuh kekhawatiran, Suma Kian Lee memondong tubuh dara yang telah mencuri hatinya
sejak pertama kali dia melihat dara ini di pasar kuda dahulu, mengikuti seorang
perwira menuju ke sebuah gedung yang telah diduduki pasukan pemerintah. Setelah
merebahkan tubuh yang mukanya sekarang pucat agak kehijauan itu di atas
pembaringan, Kian Lee cepat duduk bersila di dekat gadis itu, meletakkan kedua
tangannya di atas pundak Ceng Ceng dan mulailah dia mengerahkan tenaga sinkang
yang amat kuat untuk membantu gadis itu mengusir hawa beracun yang mengeram di
dalam tubuhnya.
Namun dengan
amat terkejut dan heran Kian Lee merasakan betapa ada tenaga lain yang keluar
melawan pengerahan tenaganya. Dia tidak tahu bahwa tubuh dara itu telah
mengandung racun setelah dia menguasai ilmu tentang racun dari Ban-tok Mo-li
dan melatih diri, tubuhnya menjadi beracun sehingga dara itu dapat mengerahkan
hawa beracun yang amat hebat, bukan hanya di dalam pukulannya, bahkan di
ludahnya sekali pun! Adalah hawa ini yang melawan ketika dia mengerahkan
sinkang untuk mengusir hawa beracun yang disangkanya adalah akibat
pukulan-pukulan Hek-tiauw Lo-mo.
Andai kata
pukulan Hek-tiauw Lo-mo itu merupakan pukulan beracun biasa saja, agaknya tidak
akan mampu membuat Ceng Ceng terluka sedemikian beratnya. Akan tetapi pukulan
Hek-tiauw Lo-mo adalah pukulan beracun yang dilatihnya dari kitab yang dapat
dicurinya dari Dewa Bongkok, dan pukulan beracun ini hebat sekali, melebihi
kehebatan hawa beracun di tubuh Ceng Ceng! Itulah sebabnya maka pemuda yang
memiliki sinkang murni dari Pulau Es ini akan tetapi bukan seorang ahli
pengobatan, menjadi gagal dan bingung.
Akan tetapi
dia tidak menghentikan usahanya untuk menolong Ceng Ceng dan masih terus saja
dia mengerahkan sinkang-nya, tidak peduli bahkan ketika dia mulai merasa betapa
ada perasaan gatal-gatal menjalar masuk melalui telapak tangannya. Dia tahu
bahwa secara aneh sekali, ada hawa beracun yang menular kepadanya, akan tetapi
dia tidak mempedulikan dirinya sendiri dalam keinginannya untuk menyembuhkan
Ceng Ceng.
Setengah
hari lebih Kian Lee berusaha mati-matian untuk menyembuhkan gadis itu dengan
sia-sia. Lewat tengah hari, Ceng Ceng siuman dari pingsannya dan terkejutlah
dia ketika melihat pemuda tampan yang menolongnya itu duduk bersila,
menempelkan kedua telapak tangan di kedua pundaknya dan dari kedua telapak
tangan pemuda itu keluar hawa yang hangat. Apa lagi ketika dia melihat betapa
kedua tangan pemuda itu menjadi agak kehijauan, dia terkejut sekali, dan tahu
apa yang telah terjadi dengan diri pemuda itu.
“Jangan...!
Hentikan itu...!” katanya sambil bangkit duduk.
“Tenanglah,
Nona. Aku sedang berusaha untuk mengusir hawa beracun dari dalam tubuhmu...”
“Jangan
lakukan itu! Ah, engkau tidak tahu... engkau mencari celaka sendiri...!” Ceng
Ceng menolak kedua tangan pemuda itu dan duduk di pinggir pembaringan,
kepalanya terasa pening sekali dan di dada kanan dan punggung terasa nyeri.
“Engkau malah meracuni dirimu sendiri...” katanya, suaranya agak terharu
melihat tangan pemuda itu menjadi kehijauan.
“Nona Lu,
engkau terkena pukulan-pukulan beracun, kalau tidak segera dilenyapkan hawa
beracun itu, amat berbahaya. Biarlah aku mencobanya lagi...”
“Tidak!
Engkau sendiri yang akan celaka... ah, kau tidak tahu. Racun di tubuhku telah
menular kepadamu. Lihat kedua telapak tanganmu.”
Kian Lee
memandang kedua telapak tangannya. “Tidak mengapa, yang penting engkau harus
terhindar dari bahaya maut.”
Ceng Ceng
memandang pemuda itu penuh perhatian, alisnya berkerut saat ia bertanya,
“Engkau mengenalku?”
Kian Lee
mengangguk. “Engkau adalah Nona Lu Ceng, saudara angkat Puteri Syanti Dewi dari
Bhutan, engkau seorang dara perkasa yang berjiwa pahlawan, engkau hampir
mengorbankan nyawa sendiri ketika menolong Jenderal Kao Liang, sekarang engkau
pun terancam bahaya maut setelah engkau berhasil mengadu domba Tambolon dengan
pemberontak. Engkau seorang dara yang hebat, Nona Lu.”
Jantung
gadis ini berdebar tegang dan aneh. Pandang mata pemuda ini mengingatkan dia
akan pandangan mata Pangeran Yung Hwa, sungguh pun sikapnya tidak seperti
pangeran itu yang menyatakan cintanya terang-terangan! Pandang mata seorang
pria yang mencintanya.
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment