Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Kisah Sepasang Rajawali
Jilid 17
Tek Hoat
cepat meloncat, berganti pakaian lalu berlari keluar setelah memberitahukan
pengawal dalam bahwa kalau Pangeran Liong Khi Ong bertanya tentang dia agar
dikatakan bahwa dia pergi berjalan-jalan untuk memeriksa keadaan. Tek Hoat lalu
memasuki kota Tek-bun yang sudah mulai normal kembali karena Panglima Kim Bouw
Sin dengan tangan besi memaksakan keamanan dan ketenteraman di kota yang
dijadikan benteng pemberontak itu.
Penjagaan di
seluruh kota amat ketat dan pengawasan amat cermat sehingga agaknya amat
sukarlah bagi mata-mata pemerintah untuk menyusup ke dalam kota pemberontak ini
tanpa diketahui. Tek Hoat yang sudah banyak dikenal oleh para perwira yang
memimpin penjagaan dan perondaan kota sebagai tangan kanan Pangeran Liong Khi
Ong yang memiliki kepandaian amat tinggi, berkali-kali disapa dengan hormat
oleh mereka dan dibalasnya dengan anggukan kepala tak acuh karena hatinya
sedang kesal.
Dia tidak
ingin mencari Syanti Dewi di kota Koan-bun lagi karena ada belasan orang kaki
tangannya yang sudah diberi tugas untuk mencari gadis itu di sana. Tiba-tiba
timbul pikiran yang aneh dalam kepalanya. Siapa tahu, yang dicarinya itu berada
di Teng-bun! Betapa pun aneh dan tidak masuk akalnya, dugaan ini, akan tetapi
siapa tahu! Dia teringat betapa teman-teman puteri itu adalah orang-orang yang
tinggi sekali ilmunya, siapa tahu mereka yang membawa puteri itu menyelundup ke
pusat pemberontak ini! Mulailah dia memasang mata memperhatikan keadaan
sekelilingnya.
Karena dia
kini mulai memandang ke sekeliling dengan penuh kewaspadaan, maka tiba-tiba dia
dapat melihat munculnya sesosok bayangan orang di antara kemuraman cuaca senja
hari itu. Sosok bayangan tubuh seorang nenek bertongkat, nenek yang buruk rupa,
yang telah membantunya menghadapi dua orang pemuda pengawal Syanti Dewi yang
lihai. Nenek yang mengaku berjuluk Hek-wan Kui-bo, Si Iblis Lutung Hitam!
Mau apa
nenek aneh itu berkeliaran di Teng-bun? Padahal dia tahu betul bahwa nenek itu
tidak mempunyai hubungan apa-apa dengan Pangeran Liong atau para pimpinan
pemberontak lainnya. Bagaimana nenek ini dapat memasuki Teng-bun? Memang tidak
begitu mengherankan andai kata nenek ini dapat menerobos penjagaan yang ketat
karena memang nenek ini memiliki kepandaian hebat, tetapi, apakah kehendaknya
memasuki benteng ini?
Dengan
beberapa langkah saja Tek Hoat dapat mengejarnya. “Perlahan dulu, Hek-wan
Kui-bo!”
Nenek itu
terkejut bukan main, tubuhnya membalik dan tahu-tahu ujung tongkatnya sudah
menyambar ke arah jalan darah di dada Tek Hoat dengan serangan totokan maut
yang amat berbahaya.
“Siuuutttt...
plakkk!” Tek Hoat terpaksa menangkis dengan tangan yang dimiringkan karena
serangan itu dahsyat dan berbahaya sekali.
“Ihhh...
wah, kiranya engkau, orang muda yang tampan dan gagah perkasa? Hi-hi-hik,
hampir saja engkau mampus di ujung tongkatku!”
Merah muka
Tek Hoat mendengar ini dan ia tersenyum mengejek. Kalau saja nenek ini tak
pernah membantunya, tentu sudah diserangnya nenek ini yang begitu memandang
rendah kepadanya.
“Hemm,
kurasa tidaklah begitu mudah, Kui-bo!”
Nenek itu
tertawa. Makin menjijikkan mukanya ketika dia tertawa. Mukanya yang
kelaki-lakian dan buruk itu menjadi makin buruk karena kini mulutnya terbuka
dan kelihatan tiga buah giginya yang besar-besar dan bergantung saling
berjauhan sehingga kelihatan seperti mulut binatang yang bertaring.
“Aku tahu...
aku tahu, engkau adalah Si Jari Maut, pembantu yang amat sakti dari Pangeran
Liong, bukan? Masih begini muda sudah memiliki kepandaian hebat, sungguh mengagumkan.”
Tek Hoat
merasa tidak suka kepada nenek ini. Wajah buruk itu membayangkan banyak sekali
kepalsuan yang mengerikan. “Hek-wan Kui-bo, apakah maksud kedatanganmu
menyelundup ke Teng-bun ini?”
“Hi-hik,
engkau mencurigai aku? Aku sudah membantu menghadapi dua orang mata-mata
pemerintah yang masih muda-muda dan juga lihai itu.”
“Dalam
kedaan seperti sekarang ini, siapa pun harus dicurigai, dan kami semua tidak
tahu apa maksud kedatangan seorang tokoh seperti engkau, Kui-bo.”
“Hi-hi-hik,
apa lagi sih yang diinginkan seorang nenek seperti aku, laki-laki muda dan
tampan? Wah, aku sudah muak dan tiada lagi nafsu di tubuhku yang tua! Kekayaan?
Untuk apa? Memakai segala yang indah pun aku tidak akan dapat menjadi cantik,
makan yang bagaimana mahal dan lezat pun, gigiku yang sudah tidak lengkap akan
mendatangkan rasa yang tidak enak! Akan tetapi kedudukan! Nah, itu! Nama besar,
wah, itu masih kuperlukan. Kemuliaan dan penghormatan! Eh, orang muda, aku
ingin bertemu dengan Liong Bin Ong atau Liong Khi Ong!”
“Mau apa?”
“Aku ingin
membantu pemberontakannya dengan janji bahwa kelak aku akan mendapat balas jasa
yang berupa pangkat dan kedudukan terhormat di dalam istana! Aku Hek-wan Kui-bo
yang selalu dipandang rendah, dianggap iblis, aku ingin kelak mati sebagai
seorang paduka yang mulia, ditangisi oleh rakyat senegara dan dibikin bong-pai
(nisan) yang paling mewah dan besar, disembahyangi sampai ribuan tahun!”
Tek Hoat
muak mendengar ini, namun dia pun tahu bahwa tenaga nenek ini memang amat
diperlukan di waktu itu. “Hek-wan Kui-bo, tidaklah mudah untuk bertemu dengan
kedua orang pangeran itu. Biasanya, sebelum orang diterima menjadi pembantu,
dia harus memperlihatkan kecakapannya terlebih dahulu, harus membuat jasa lebih
dulu. Apakah jasamu terhadap pemerintah baru yang dipimpin oleh kedua orang
Pangeran Liong?”
“Hi-hi-hi-hik,
jadi di sini ada pula peraturan sogokan? Ha-ha-ha, jangan khawatir, orang muda.
Aku sudah siap dengan barang sogokan yang tentu akan menggirangkan hati
Pangeran Liong Khi Ong!”
Tek Hoat
mengerutkan alisnya. “Sogokan? Apa maksudmu?”
“Aih-aihh...
kura-kura dalam perahu, ya? Pura-pura tidak tahu! Siapakah di dunia ini yang
tidak mengenal sogokan? Aku mendengar bahwa seorang di antara kedua orang
pangeran tua itu, seperti hampir semua lakl-laki di dunia ini, makhluk
menyebalkan, gila akan wajah cantik dan tubuh mulus seorang perawan remaja!
Nah, jasaku yang pertama untuk Pangeran Liong Khi Ong adalah persembahanku
berupa seorang dara remaja yang cantik jelita!”
Tek Hoat
menjadi makin sebal. “Hemm, Hek-wan Kui-bo, mengingat bahwa engkau pernah
membantuku, aku tidak menaruh curiga kepadamu. Akan tetapi jangan engkau
bermain gila dalam keadaan seperti ini. Tak perlu kututupi bahwa Pangeran Liong
Khi Ong sekarang memang berada di Teng-bun dan memang beliau seorang laki-laki
tua yang suka kepada wanita muda, akan tetapi jangan harap kalau engkau dapat
bertemu dengan dia hanya karena engkau dapat mempersembahkan seorang gadis
muda. Beliau sudah tidak kekurangan penghibur berupa banyak dara-dara jelita!”
“Eh-ehhh,
jangan engkau memandang rendah, ya? Gadis jelita di seluruh Teng-bun ini,
bahkan di seluruh daratan, belum tentu dapat menyamai kecantikan gadis yang
akan kupersembahkan sebagai uang sogokan atau uang kunci ini! Tidak ada
keduanya! Bukan perawan biasa, bukan cantik sembarang cantik. Aku adalah
seorang wanita tua, aku lebih tahu tentang kecantikan wanita dari pada kalian
kaum pria! Aku tahu mana kecantikan asli, mana pulasan! Aku sendiri dahulu di
waktu muda pun cantik jelita, akan tetapi terus terang saja, dibandingkan
dengan perawan ini, aku mengaku kalah jauh!”
“Sudahlah,
Hek-wan Kui-bo, harap jangan engkau mimpi yang bukan-bukan. Tunjukkan dulu
jasamu untuk perjuangan, baru aku ada pikiran untuk membawamu menghadap
Pangeran Liong Khi Ong. Urusan kecil mengenai gadis itu tidak perlu kau
sebut-sebut lagi...”
“Urusan
kecil! Mulut besar! Kau bilang urusan kecil, ya? Kau tahu, aku berani tanggung
bahwa dia itu adalah keturunan raja, dia pasti seorang puteri bangsawan tinggi,
dan bukan berdarah pribumi! Kalau Pangeran Liong melihatnya...”
Tiba-tiba
perhatian Tek Hoat tertarik. Tentu saja! Siapa lagi kalau bukan Syanti Dewi
yang dimaksudkan oleh nenek ini?
“Dari mana
engkau memperoleh dia itu?” tanyanya dengan suara datar sambil menekan
guncangan hatinya.
“Heh-heh,
jangan kau memandang rendah, ya? Susah payah aku membawanya dari himpitan
orang-orang yang panik ketika terjadi geger di Koan-bun, susah payah aku
membujuknya dan susah payah pula aku menyelundupkannya ke Teng-bun untuk bisa
kupersembahkan kepada Pangeran Liong Khi Ong agar aku diterima membantunya,
ehh... kau mengatakannya urusan kecil! Apa kau berarti menantangku, orang
muda?” Nenek itu sudah melintangkan tongkatnya di depan dada, sikapnya
menantang dan marah sekali.
Jantung Tek
Hoat terguncang makin keras. Kalau saja cuaca tidak menjadi makin gelap, tentu
akan tampak perubahan pada wajahnya yang tampan. Dia yakin kini bahwa yang
dimaksudkan nenek iblis ini adalah Syanti Dewi! Pantas saja disuruhnya cari di
seluruh pelosok kota Koan-bun tidak berhasil, kiranya gadis itu terjatuh ke
dalam tangan nenek ini dan diselundupkan ke Teng-bun!
“Hemmm,
baiklah... baiklah...! Aku percaya kepadamu, akan tetapi aku harus melihat dulu
orangnya untuk kunilai apakah dia patut dipersembahkan kepada Pangeran Liong
Khi Ong. Engkau harus mengerti bahwa saat ini dia dikelilingi banyak gadis
cantik, maka kalau persembahanmu itu tidak istimewa sekali, tentu beliau akan
marah karena terganggu.”
“Boleh-boleh,
kau boleh melihatnya sendiri!” nenek itu berkata penuh keyakinan.
Tek Hoat
lalu mengikuti nenek ini berjalan menyusuri jalan raya itu. Sekarang nenek itu
berjalan dengan terang-terangan karena dia tidak takut lagi berjumpa dengan
para penjaga yang semua mengenal Tek Hoat bahkan menghormatinya. Tek Hoat heran
bukan main ketika mendapat kenyataan bahwa nenek itu membawanya ke sebuah rumah
gedung yang... berdekatan dengan gedung yang dipergunakan sebagai tempat
tinggal oleh Pangeran Liong Khi Ong. Dia tahu bahwa gedung itu adalah milik
seorang hartawan di kota Teng-bun.
“Eh,
bagaimana kau dapat tinggal di sini, Kui-bo? Apakah engkau masih ada hubungan
dengan Coa-wangwe (Hartawan Coa)?”
Nenek itu
terkekeh. “Tentu saja ada hubungannya, masuklah!”
Mereka
memasuki lewat pintu samping yang kecil dan makin heranlah Tek Hoat karena
tidak ada penjaga seorang pun di situ, juga tidak nampak seorang pun pelayan.
Nenek itu sambil terkekeh mendahului Tek Hoat memasuki ruangan besar di tengah
gedung dan terkejutlah Tek Hoat ketika dia melihat semua keluarga Coa termasuk
semua pelayannya duduk berjajar-jajar di atas lantai ruangan itu, semuanya
terbelenggu dan tidak mampu bergerak atau bersuara karena mereka telah tertotok
gagu semua!
“He-he-he,
aku terpaksa meminjam tempat mereka selama menanti diterimanya oleh Pangeran.
Kelak belum terlambat bagiku untuk minta maaf kepada mereka ini yang telah
berjasa kepadaku, hi-hi-hik!”
“Bebaskan
mereka!” Tek Hoat berkata, menahan kemarahannya. Keluarga hartawan Coa ini adalah
sahabat baik Panglima Kim Bouw Sin dan sudah banyak menyumbang untuk usaha
pemberontakan itu.
“Heh-heh,
bagaimana kalau mereka melarang kami...”
“Bebaskan,
kalau engkau memang mempunyai maksud baik dengan kami semua, Kui-bo!”
“Hi-hi-hik,
kau berwibawa juga, orang muda! Ha-ha, bebas, bebaslah...!”
Nenek itu
berloncatan di antara orang-orang itu dan tongkatnya bergerak. Demikian
cepatnya tongkat itu bergerak-gerak dan belenggu-belenggu itu beterbangan,
semua orang itu terbebas dari belenggu dan dapat bergerak kembali. Diam-diam
Tek Hoat memandang gerakan ini dan harus mengakui bahwa nenek ini benar-beinar
lihai, di samping wataknya yang ku-koai (aneh).
“Mari, mari
kau lihat bidadariku...”
Tek Hoat
menghampiri Coa-wangwe yang sudah bangkit berdiri, menjura dan berkata, “Harap
Coa-wangwe memaafkan perbuatan nenek yang aneh ini dan tidak perlu ribut-ribut
karena aku sendiri yang akan mengurus dan membereskannya.”
Coa-wangwe
yang sudah mengenal Tek Hoat itu mengangguk. Tek Hoat lalu mengikuti nenek itu
memasuki sebuah kamar yang besar dan mewah karena kamar ini adalah kamar tidur
sendiri dari Coa-wangwe. Di sudut kamar terdapat sebuah pembaringan yang
terukir indah sekali, dengan kasur dan tilam sutera yang berkembang dan dihias
sulaman. Meja kecil di depan pembaringan itu juga terukir, dan tampak sebuah
lampu penerangan tergantung dari gantungan yang berupa burung emas!
“Lihat...
heh-heh-heh, lihat baik-baik... pernahkah engkau melihat puteri secantik dia?”
Nenek itu menuding ke arah pembaringan di mana rebah seorang gadis dalam
keadaan tidur pulas.
Tek Hoat
berdiri tegang, jantungnya berdebar penuh kegirangan dan juga ketegangan. Gadis
itu tidur dengan bibir agak tersenyum, lengan kanan tergantung sedikit di tepi
pembaringan, tangan kiri tergolek di atas perut, pakaiannya sederhana saja akan
tetapi kesederhanaan pakaiannya itu tidak menyembunyikan keagungan wajah. Puteri
Bhutan itu bahkan membuat kecantikannya makin menonjol.
Memang siapa
lagi puteri itu kalau bukan Syanti Dewi? Seperti telah kita ketahui, puteri ini
terpisah dari Gak Bun Beng, Suma Kian Lee dan Suma Kian Bu ketika terjadi geger
di kota Koan-bun. Dia ikut terseret oleh arus manusia yang berhimpit-himpit
itu. Di dalam segala hal, manusia selalu berebutan, selalu memikirkan
kepentingan diri pribadi.
Ketika tak
ada bahaya mengancam diri, manusia berlomba dan saling memperebutkan harta
benda, kedudukan, atau nama dan dalam perebutan ini siapa yang menghalang di
jalan akan diterjang. Demikian pula di dalam keadaan bahaya mengancam, mereka
juga berebut, saling memperebutkan keselamatan diri masing-masing tanpa
menghiraukan orang lain, siapa yang menghalang di depan akan diterjangnya,
bahkan setiap orang akan tidak malu-malu atau ragu-ragu untuk menggunakan mayat
orang lain sebagai batu loncatan menuju ke arah keselamatan diri sendiri!
Syanti Dewi
yang tadinya masih mempunyai harapan akan dapat tersusul oleh tiga orang
temannya itu atau setidaknya oleh seorang di antara mereka, menjadi panik juga
ketika makin lama makin jauh terseret sampai tidak dapat melihat Gak Bun Beng
atau dua orang saudara Suma. Akhirnya dia tiba di tempat yang tidak begitu
penuh orang karena pasukan itu telah lewat dan dia cepat mundur sampai mepet di
tembok rumah agar tidak terseret terus makin menjauh. Dia memandang ke kanan
kiri dengan muka pucat dan sepasang matanya membayangkan kekhawatiran.
“Nona yang
cantik, engkau mencari siapakah?” Tiba-tiba dia mendengar suara orang dan
ketika dia menoleh, dia terkejut melihat seorang nenek yang mukanya buruk
sekali, kasar, hitam, rambutnya riap-riapan dan memegang sebatang tongkat yang
bentuknya seperti ular.
Namun karena
betapa buruknya pun orang itu hanya seorang wanita tua, Syanti Dewi menjawab,
“Aku terseret arus manusia dan terpaksa berpisah dari teman-temanku, Nek. Aku
khawatir sekali, bagaimana akan dapat menemukan mereka kembali dalam arus
manusia sebanyak itu?”
“Aduh
kasihan... Nona tentu bukan orang sini...”
“Bagaimana
engkau bisa menduga begitu, Nek?”
“Hi-hi-hik,
aku hanya menduga-duga... jangan khawatir, Nona. Aku akan membantumu mencarikan
teman-temanmu itu. Mari, pegang tongkatku.”
Karena
sedang panik, tentu saja uluran tangan siapa pun untuk membantunya mencari tiga
orang temannya itu merupakan hal yang amat menggembirakan. “Terima kasih, nenek
yang baik,” katanya dan tanpa ragu-ragu lagi dia menggandeng nenek itu, bukan
memegang tongkatnya, melainkan memegang tangan kirinya.
Baru dia
terkejut sekali saat mendapat kenyataan betapa nenek itu dapat berjalan cepat
sekali, menyelinap dan menyusup di antara orang banyak sambil menariknya, lalu
dengan sedikit mendorong tangannya saja dia sudah dapat membuat banyak orang
yang menghalangi jalannya terdorong tumpang tindih sehingga terkuak jalan untuk
mereka!
“Aihh,
kiranya engkau lihai sekali, Nek!” Syanti Dewi berkata.
“Hi-hi-hik,
kalau Hek-wan Kui-bo tidak lihai, siapa lagi yang lihai di dunia ini?”
Semenjak
keluar dari istana Bhutan, Syanti Dewi terus-menerus mengalami hal-hal yang
luar biasa dan dia bahkan terseret-seret ke dalam dunia persilatan di mana dia
bertemu dengan banyak tokoh persilatan yang lihai-lihai. Oleh karena ini maka
begitu melihat nenek yang lihai ini dan mendengar julukannya yang menyeramkan,
yaitu Biang Setan Lutung Hitam, mengertilah dia bahwa dia terjatuh ke dalam
tangan seorang tokoh hitam yang menyeramkan! Akan tetapi dengan pembawaannya
yang tenang Syanti Dewi tidak memperlihatkan sikap takut, melainkan menoleh ke
kanan kiri, mencari-cari tiga orang temannya itu. Kalau saja dia dapat melihat
seorang di antara mereka! Dia tidak akan terancam lagi oleh nenek ini! Akan
tetapi dia tidak melihat seorang pun di antara mereka, dan nenek itu sudah
menariknya lagi.
“Nanti dulu,
Kui-bo. Kita berhenti dahulu dan cari mereka di sini!” Syanti Dewi berkata,
menyebut ‘Kui-bo’ seolah-olah tanpa mengerti artinya.
“Heh-heh,
hayo ikut dengan aku. Seorang dara jelita seperti engkau ini amat berbahaya
kalau berkeliaran seorang diri di tempat ini dalam keadaan seperti sekarang
ini. Apa kau lebih suka dilarikan serdadu-serdadu dan diperkosa oleh mereka?”
Tentu saja
Syanti Dewi terkejut mendengar ini, memandang nenek itu dengan mata terbelalak
dan menggeleng kepalanya. “Heh-heh, nah, kalau begitu hayo ikut dengan aku,
kucarikan tempat yang baik untukmu. Orang seperti engkau ini pantasnya berada
di dalam kamar seorang raja atau pangeran!”
Dia menarik
terus sampai mereka tiba di pintu gerbang kota Koan-bun. Tiba-tiba Syanti Dewi
merasa betapa pundaknya nyeri dan tahu-tahu tubuhnya telah menjadi lemas dan
dia dipondong dan dibawa meloncat oleh nenek itu keluar dari kota Koan-bun
melalui tembok pagar yang tinggi!
Setelah
nenek itu turun ke luar tembok dan lari cepat sekali, Syanti Dewi yang tak
mampu bergerak itu berkata, “Kui-bo, lepaskan aku!”
Mereka telah
berada jauh dari kota dan di tempat sunyi. Sambil terkekeh Hek-wan Kui-bo
membebaskan totokannya dan menurunkan tubuh Syanti Dewi. Dara ini membalik,
menghadapi nenek itu tanpa sikap takut sama sekali, kemarahan justru terpancar
dari sepasang matanya yang indah pada saat dia menegur, “Hek-wan Kui-bo,
katakanlah sejujurnya, engkau ini hendak membantuku mencari teman-temanku
ataukah malah mempunyai niat lain yang tidak baik?”
Nenek itu
tersenyum dan memandang penuh perhatian kepada dara yang berdiri di depannya.
Kecantikannya yang tidak dapat disembunyikan dengan pakaian sederhana, sikapnya
yang agung dari cara dara itu menggerakkan kepala dan cara memandang, dari
gerak bibir dari dagunya, semua itu tidak luput dari penilaian Hek-wan Kui-bo.
“Nona yang
baik, engkau puteri dari manakah?”
Syanti Dewi
terkejut, akan tetapi dengan sikap biasa dia berkata, “Aku seorang gadis biasa
yang terpisah dari keluargaku dalam keributan di kota itu.”
“He-heh-heh,
engkau tidak bisa membohongi Hek-wan Kui-bo. Engkau tentu seorang puteri
bangsawan tinggi, dari suku bangsa lain di luar daerah.”
“Sudahlah,
Kui-bo. Aku haturkan terima kasih atas pertolonganmu, dan kalau engkau
mempunyai keperluan lain, biarlah aku sendiri kembali ke Koan-bun untuk mencari
keluargaku yang terpisah dariku.”
Syanti Dewi
menjura lalu membalikkan tubuhnya dan melangkah pergi. Akan tetapi dia melihat
bayangan hitam berkelebat dan apa yang dikhawatirkannya terjadi. Nenek itu sambil
menyeringai telah berdiri di depannya!
“Jangan
tergesa-gesa, Nona manis! Sudah aku katakan bahwa seorang dara seperti engkau
sepatutnya berada di kamar seorang raja atau pangeran, dan engkau akan membantu
aku berhubungan dengan Pangeran! Hayaaa!”
Tiba-tiba
nenek itu menerkamnya. Syanti Dewi yang sedikit banyak pernah belajar ilmu
silat, mencoba untuk mengelak dan memukul leher nenek itu.
“Dukkkk!”
Pukulannya
mengenai leher dengan tepat akan tetapi diterima sambil tertawa saja oleh
Hek-wan Kui-bo yang sudah mengempit tubuhnya dan membawanya lari cepat sekali!
Syanti Dewi memukul-mukul sampai akhirnya nenek itu kembali menotoknya sehingga
dia tidak mampu bergerak lagi dan terpaksa memejamkan mata karena merasa ngeri
dibawa lari seperti terbang cepatnya itu.
Dengan
mempergunakan ilmunya yang tinggi mudah saja malam itu Hek-wan Kui-bo memasuki
kota Teng-bun yang terjaga ketat oleh pasukan tentara pemberontak. Seperti
seekor burung gagak, dia meloncati pagar tembok sambil mengempit tubuh Syanti
Dewi, kemudian setelah menyelinap di antara rumah-rumah penduduk, akhirnya dia
memasuki pekarangan belakang gedung Coa-wangwe.
Malam itu
Coa-wangwe sekeluarga sudah tidur pulas di kamar masing-masing. Mereka merasa
aman tenteram sebab Coa-wangwe adalah seorang yang kaya-raya dan pandai
menggunakan kekayaannya untuk memperoleh kedudukan yang baik dalam pandangan
para pimpinan pemberontak. Dia bersahabat baik dengan panglima pemberontak Kim
Bouw Sin, bahkan siang tadi dia memperoleh kehormatan pula untuk menyambut tamu
agung, Pangeran Liong Khi Ong yang memasuki Teng-bun secara menyamar. Gedung
itu terjaga oleh sepasukan pengawal terdiri dari lima orang jagoan yang memiliki
kepandaian tinggi dan semua pintu dan jendela terbuat dari kayu-kayu tebal dan
semua terkunci rapat.
Tetapi,
betapa kagetnya Coa-wangwe dan isterinya ketika tiba-tiba mereka tersentak
bangun karena selimut mereka direnggut orang. Mereka bangkit duduk dengan mata
terbuka lebar dan melihat seorang nenek tua berwajah buruk sekali telah berada
di depan pembaringan mereka. Nyonya Coa hendak menjerit, akan tetapi sinar
hitam berkelebat dan ujung tongkat itu telah menotok lehernya, membuat dia
terjatuh rebah kembali dan teriakannya tidak mengeluarkan suara! Juga tongkat
itu menyambar ke arah Coa-wangwe yang menjadi lemas.
Mereka
berdua lalu diikat dan urat gagu mereka ditotok, kemudian diseret ke ruangan
tengah dan dilemparkan ke sudut ruangan di mana telah penuh dengan para
pengawal, pelayan dan keluarga lain. Pendeknya Coa-wangwe suami isteri
merupakan orang-orang terakhir dari seluruh penghuni rumah itu yang menjadi
tawanan, terbelenggu dan tertotok sehingga selain tak mampu bergerak juga tidak
mampu bersuara. Coa-wangwe melihat ke arah lima orang jagoannya dan mereka ini
hanya terbelalak penuh ketakutan memandang kepada nenek itu yang selalu
terkekeh-kekeh seperti orang gila. Mereka masih merasa ngeri karena tadi
tahu-tahu ada nenek buruk muncul di depan mereka.
Kelima orang
pengawal dan penjaga itu sudah serentak mengepung dan menyerang dengan golok
mereka, tetapi nenek itu menggerakkan tongkatnya. Tiga batang golok patah, dua
batang golok yang tepat mengenai punggung dan kepala nenek itu terpental seperti
menghantam balok besi dan di lain saat sinar hitam tongkat itu berkelebat dan
mereka roboh tanpa mereka ketahui bagaimana cara dan apa sebabnya!
Syanti Dewi
tidak berdaya sama sekali ketika dia dituntun oleh nenek itu memasuki kamar
Coa-wangwe yang indah dan megah. Dia duduk di atas kursi memandang nenek itu
setelah totokannya dibebaskan, dan dengan suara halus dia bertanya, “Hek-wan
Kui-bo, engkau telah merampas rumah orang dan membawaku ke sini. Apakah
sebenarnya kehendakmu?”
Kembali
nenek itu tertegun. Sikap yang tenang dan agung itu, suara yang masih seperti
orang memandang rendah kepadanya, sikap seorang ratu! Dalam keadaan terculik
seperti itu, kalau lain gadis tentu akan menangis dan minta-minta ampun, minta
segera dibebaskan. Akan tetapi gadis ini agaknya malah menguasai keadaan dan
mengajukan pertanyaan kepadanya seperti seorang dewasa bertanya kepada seorang
anak kecil yang nakal!
“Kalau aku
menyembelihmu di sini, mencincang tubuhmu sampai hancur lebur, bagai mana,
heh-heh?” Nenek itu mengancam untuk menakut-nakuti gadis itu. Dia merasa
tersinggung juga bahwa dia yang begitu hebat dan lihai sama sekali tidak
ditakuti oleh gadis ini, gadis lemah ini, padahal lima orang jagoan penjaga
gedung itu jelas merasa takut dan ngeri.
Sepasang
mata indah itu sama sekali tidak berkedip, tanda bahwa ucapan yang mengandung
ancaman gertakan itu sama sekali tidak mengusik hati dara jelita itu. Bahkan
bibir yang merah dan bentuknya seperti gendewa terpentang itu membentuk senyum
ketika hendak berkata, “Hek-wan Kui-bo, entah berapa puluh kali hidupku telah
terancam maut sehingga kematian bagiku bukanlah hal yang menimbulkan rasa takut
lagi. Aku tentu tidak akan mampu mempertahankan diri dan melawanmu jika engkau
hendak membunuhku, akan tetapi hal itu pasti tidak akan kau lakukan.”
“Ehhh...?
Kalau kulakukan sekarang, kau mau apa?”
Syanti Dewi
menggeleng kepalanya. “Orang seperti engkau hanya akan melakukan sesuatu yang
menguntungkan dirimu, Nenek yang baik. Kalau kau ingin membunuhku, tentu tidak
susah-susah kau membawaku ke sini, dan aku tidak melihat keuntungan apa-apa
bagimu kalau kau membunuhku.”
Nenek itu
terbelalak, kaget dan tertawa bergelak. “Heh-heh-khek-khek-khek! Engkau cerdas
sekali! Memang aku tidak membunuhmu, anak yang baik dan cantik! Tidak, malah
engkau akan kumuliakan hidupmu. Kau tunggulah saja di sini, dan besok engkau
tentu akan berada di pangkuan seorang pangeran dan engkau akan berterima kasih
kepada Hek-wan Kui-bo, hah-ha-ha-ha!”
Sekali ini
di dalam hatinya Syanti Dewi merasa ngeri. Samar-samar dia dapat menduga bahwa
tentu dia akan ‘dijual’ oleh nenek iblis ini kepada seorang laki-laki yang suka
membayarnya, bukan dengan harta karena pemilik gedung ini pun seorang hartawan,
melainkan membelinya dengan kedudukan. Karena itulah maka nenek ini selalu
menyebut raja atau pangeran!
“Aku akan
menunggu di sini, Kui-bo. Lakukanlah apa yang kau kehendaki.” Syanti Dewi lalu
menghampiri pembaringan dan duduk di atasnya.
Akan tetapi
ternyata nenek yang sudah bangkotan dan kawakan itu mana mungkin dapat dibodohi
dengan sikap wajar ini? Dia terkekeh dan melangkah maju. Syanti Dewi terkejut
dan hendak meloncat menjauhi, namun dia jauh kalah cepat. Tahu-tahu nenek itu
sudah mengebutkan sehelai sapu tangan hitam dan terciumlah bau yang keras oleh
Syanti Dewi.
Dara ini
menjadi gelap mata dan pening seketika, dan tak lama kemudian dia pun terguling
roboh di atas pembaringan dalam keadaan tak sadar atau tertidur pulas! Hek-wan
Kui-bo terkekeh dan mendorong tubuh gadis itu sehingga rebah telentang di
tengah pembaringan, lalu tersaruk-saruk dia melangkah ke luar untuk mencari dan
menjumpai Pangeran Liong Khi Ong yang dia tahu berada di dalam kota Teng-bun
itu.
Demikianlah
apa yang dialami oleh Syanti Dewi sampai nenek itu bertemu dengan Tek Hoat dan
mengajak pemuda itu memasuki gedung hartawan Coa di mana Tek Hoat dengan
terkejut sekali mengenal Syanti Dewi yang rebah miring di atas pembaringan itu!
“Syanti
Dewi...!” tanpa disadarinya lagi Tek Hoat berseru lirih, akan tetapi bagi
Hek-wan Kui-bo sudah cukup keras untuk dapat mendengarnya.
“Aihhh,
kiranya dia adalah puteri dari Bhutan yang dikabarkan lenyap itu...! Ha-ha-ha,
tentu Pangeran Liong Khi Ong akan senang sekali menerima persembahanku ini...!”
Hati Tek
Hoat terkejut sekali. Pemuda yang cerdik ini mempergunakan otaknya dengan
cepat. Syanti Dewi sekarang sudah berada di tangannya lagi, mana mungkin dia
akan melepaskannya begitu saja kepada orang lain? Satu-satunya jalan, nenek ini
harus disingkirkan!
“Haiiittt...!”
Tiba-tiba dia memekik dan tangannya sudah menghantam dengan kecepatan kilat dan
kekuatan dahsyat ke arah ulu hati nenek itu.
“Hayaaaa...!”
Nenek buruk
itu adalah sumoi dari Hek-tiauw Lo-mo, seorang yang selain memiliki kepandaian
amat tinggi juga kecerdikan yang luar biasa, maka tentu saja sejak tadi dia
sudah siap siaga karena di dalam hatinya dia tidak bisa percaya penuh kepada
setiap orang manusia, apa lagi Tek Hoat yang dia tahu amat lihai dan baru saja
dikenalnya. Maka, betapa pun hebatnya serangan dari pemuda itu, Hek-wan Kui-bo
telah menduga sebelumnya dan cepat nenek ini melempar tubuh ke belakang ketika
ada angin dahsyat menyambar, sambil menggerakkan tongkatnya menangkis.
“Wuuuttt...
krekkkk!”
Ujung tongkat
nenek itu bertemu dengan lengan tangan Tek Hoat, menjadi patah dan pada saat
itu juga, dari tongkat patah itu menyambar jarum-jarum hitam beracun ke arah
dada Tek Hoat dari jarak yang amat dekat! Tiada kesempatan lagi bagi pemuda itu
untuk mengelak atau menangkis, maka dia menggigit bibir, mengerahkan tenaganya
sehingga semua tenaga simpanan di dalam pusarnya naik ke dalam dada dan dia
telah mengerahkan tenaga Inti Bumi dengan menjejakkan kakinya kuat-kuat ke atas
lantai.
Belasan
batang jarum itu menembus bajunya dan mengenai dadanya, namun kulit dada itu
sudah menjadi seperti dilapisi baja saja sehingga jarum-jarum itu runtuh
kembali tanpa melukainya sedikit pun. Sambil menerima jarum-jarum ini, Tek Hoat
tidak tinggal diam saja, tangan kanannya meraba pinggang dan tahu-tahu seperti
main sulap saja, pedang Cui-beng-kiam telah terhunus dan berada di tangannya.
Melihat
pedang yang mengeluarkan sinar yang mengerikan sekali itu, Hek-wan Kui-bo
mengeluarkan suara tertawa aneh, tubuhnya mencelat ke belakang dan lenyap dari
gedung itu! Nenek ini sama sekali bukan lari dikarenakan ketakutan sungguh pun
dari pertemuan ujung tongkat yang patah, lalu runtuhnya jarum-jarumnya ditambah
pedang ampuh mengerikan di tangan pemuda itu membuat dia maklum bahwa pemuda
ini merupakan lawan yang luar biasa beratnya.
Dia lari
pergi karena terdorong oleh kecerdikannya yang pandai mencari siasat dalam
keadaan bagaimana pun juga. Nenek ini maklum bahwa sekali Tek Hoat berteriak,
dia akan dikepung oleh tentara dan banyak orang lihai sebagai mata-mata dan
celakalah dia karena dia maklum bahwa menghadapi seorang pemuda lihai dan
cerdik seperti Tek Hoat Si Jari Maut ini, bantahan dan pembelaan dirinya akan
sia-sia belaka. Karena itulah dia cepat pergi dan lari dari situ, bukan karena
takut melainkan untuk menjalankan siasatnya!
Tek Hoat
tidak mengejar nenek itu. Dia sangat khawatir akan keadaan Syanti Dewi yang
tampaknya terus tidur dan sama sekali tidak terbangun oleh keributan itu.
Dengan satu loncatan saja dia sudah berada di dekat pembaringan itu, dan
berlutut untuk memeriksa keadaan Syanti Dewi. Jantungnya berdebar keras sekali
melihat betapa tubuh yang menggairahkan dan wajah yang cantik jelita itu
telentang di depannya, tinggal dia mengulur tangan saja! Dia meraba pergelangan
tangan dara itu dan hatinya lega. Syanti Dewi memang sedang tidur pulas,
kepulasan yang mencurigakan. Dia dapat menduga bahwa tentu dara ini telah
dibius oleh nenek iblis itu sehingga tertidur daiam keadaan setengah pingsan.
Seperti
orang terpesona Tek Hoat berlutut dan menatap wajah itu. Selama hidupnya belum
pernah dia menjumpai seorang wanita yang memiliki daya tarik sehebat Puteri
Bhutan ini. Dan puteri ini akan dipersembahkan kepada Pangeran Liong Khi Ong,
Si Pangeran tua bangka yang mata keranjang itu? Nanti dulu! Tek Hoat mendengus
dan dia lalu membungkuk dan... menyentuh pipi itu dengan ujung hidungnya dengan
mesra.
Tiba-tiba
dia meloncat berdiri. Dia harus cepat menyadarkan gadis ini dan mengajaknya
pergi dari tempat itu. Kalau sampai Pangeran Liong Khi Ong mendengar bahwa
Syanti Dewi berada di Teng-bun, tentu pangeran itu segera akan mengerahkan
segalanya untuk mendapatkan puteri yang telah ditunangkan dengannya itu, apa
lagi jika pangeran tua itu sudah melihat sendiri kecantikan Syanti Dewi!
Tergesa-gesa Tek Hoat lari ke belakang, mencari air dan tak lama kemudian dia
sudah kembali ke dalam kamar membawa sepanci air dingin. Dengan hati-hati dia
membasahi dahi dan tengkuk gadis itu, mengurut jalan darah di lehernya.
Tak lama
kemudian usahanya berhasil. Syanti Dewi mengeluh panjang dan Tek Hoat cepat
menaruh panci air itu ke atas meja dan memandang dengan mata bersinar-sinar
penuh kagum. Karena masih tidak sadar, Syanti Dewi menggerakkan seluruh
tubuhnya, menggeliat dan penglihatan ini membuat Tek Hoat menelan air liurnya,
apa lagi ketika Syanti Dewi mengeluh dan mengerang perlahan sambil membuka
bibirnya yang merah dan mengejap-ngejapkan matanya.
Kini
sadarlah Syanti Dewi dan cepat dara ini membuka matanya, teringat akan nenek
buruk seperti setan. Saat dia melihat seorang pemuda berdiri di dekat
pembaringannya, dia berteriak dan bangkit duduk lalu meloncat turun dan
tangannya meraba-raba di balik jubahnya yang panjang. Ketika tangan itu keluar,
dia sudah memegang sebatang pisau tajam yang gagangnya terhias permata,
memegangnya dengan ujungnya mengarah ulu hatinya sendiri. Pisau ini adalah
pemberian Jenderal Kao kepadanya dan sama sekali tidak disangkanya bahwa pisau
ini ternyata pada saat itu merupakan sebuah benda yang amat berharga baginya.
“Mundur
kau... kalau sekali saja engkau berani merabaku, pisau ini akan menembus
jantungku dan engkau hanya akan memiliki mayatku!” Suara itu halus dan tenang
dan tangan yang memegang pisau sedikit pun tidak gemetar, sedangkan tangan
kirinya dengan jari-jari halus meruncing itu membuat gerakan seperti hendak
mendorong pemuda itu untuk mundur.
Tek Hoat
terkejut sekali dan melangkah mundur. Dia memandang penuh kekhawatiran ke arah
ujung pisau yang menempel di antara dua tonjolan dada di balik baju itu, lalu
menatap wajah yang tenang dan menggerakkan dua tangannya ke atas sambil
berkata, “Haiii... engkau salah duga. Aku datang untuk menolongmu...!”
“Simpan
bujukanmu yang palsu!” Syanti Dewi menghardik. “Kau kira aku takut? Nenek setan
itu tentu telah menjualku kepadamu, entah iblis dari mana adanya engkau ini!”
“Sama sekali
salah. Aku telah mengusir nenek itu dan baru saja aku menyadarkanmu dengan air
dingin. Engkau tertidur karena obat bius dan aku hendak menolongmu.”
“Laki-laki
bohong! Kau kira dengan kemudaan dan ketampananmu engkau akan dapat membujuk aku?
Pergi dari sini!” Syanti Dewi berkata lagi dan ujung pisau itu masih mengancam
dan menodong dadanya sendiri karena hanya itulah satu-satunya jalan baginya
untuk melindungi dirinya dari gangguan laki-laki ini.
“Hemm,
keangkuhan seorang puteri! Dalam keadaan begini, engkau masih angkuh dan
memandang rendah orang lain. Baiklah kalau engkau lebih suka dibawa oleh nenek
itu dan dihadiahkan kepada seorang laki-laki tua untuk menjadi permaisurinya!”
Tek Hoat memutar tubuhnya.
Syanti Dewi
memandang bengong dan dia menjerit ketika tiba-tiba pemuda itu memutar tubuhnya
secepat kilat, kaki pemuda itu telah menyambar dan tepat mengenai pisau yang
dipegangnya.
“Takkk...
singgg... ceppp!”
Pisau yang
kena ditendang itu terbang ke atas dan menancap di langit-langit! Tek Hoat
tersenyum mengejek dan melangkah maju.
Akan tetapi
Syanti Dewi sudah dapat menguasai dirinya, berdiri tegak dengan dagu diangkat
dan memandang dengan sinar mata merendahkan sekali. “Sudah kuduga, engkau tentu
manusia buruk juga. Apa kau kira hanya dengan pisau saja aku dapat membunuh
diri? Hendak kulihat, kalau engkau berani menggangguku, lalu aku menutup
pernapasanku, atau kutusuk pelipisku dengan jari tangan, atau kubenturkan
kepalaku pada dinding, engkau akan dapat mencegahku atau tidak!”
Tek Hoat
tertegun dan menghentikan langkahnya. Ancaman gadis itu terdengar sangat
mengerikan dan dia tahu bahwa Puteri Bhutan ini mempunyai ilmu silat yang cukup
untuk dapat melakukan ancaman-ancaman tadi dengan hasil baik.
“Engkau
gadis keras kepala!” gerutunya.
“Dan engkau
laki-laki rendah budi, kurang ajar, dan keji!” Syanti Dewi membalas.
“Sekali lagi
kukatakan kepadamu bahwa aku datang untuk menolongmu, membawamu keluar dari
kota ini dan...”
Tiba-tiba
muka pemuda itu berubah dan dari luar menerobos masuk nenek Hek-wan Kui-bo
diikuti oleh sepasukan pengawal yang mengiringkan Pangeran Liong Khi Ong
sendiri!
“Tek Hoat,
benarkah Nona ini adalah Syanti Dewi dari Bhutan?”
Tek Hoat
cepat menjura dan berkata dengan suara berat, “Benar, Pangeran.”
“He-he-heh,
Pangeran Liong Khi Ong, bukankah benar keteranganku? Aku menemukan dia untuk
Paduka!” nenek itu terkekeh.
Tek Hoat
mendongkol sekali dan merasa menyesal mengapa dia tadi tidak mengejar dan
membunuh saja nenek yang ternyata amat cerdik ini.
“Bagus,
jasamu besar sekali, Kui-bo,” kata Pangeran Liong Khi Ong sambil melangkah maju
dan memandang Syanti Dewi dengan wajah berseri-seri, kemudian dia menjura dan
berkata dengan suara halus dan teratur sebagaimana layaknya seorang pangeran
berhadapan dengan seorang puteri raja, dalam hal ini seorang calon isterinya.
“Harap Sang
Puteri sudi memaafkan kami bahwa baru saat ini kami dapat berhadapan dengan
Sang Puteri yang mulia. Jelas bahwa bumi dan langit memang menghendaki
perjodohan antara kita sehingga setelah melalui berbagai rintangan akhirnya
kita dapat saling berjumpa juga. Selamat datang, Sang Puteri dan marilah kami
iringkan ke tempat peristirahatan untuk menghilangkan kekagetan dan kelelahan.”
Puteri
Syanti Dewi sejak tadi memandang pria tua itu penuh perhatian. Laki-laki itu
tentu sudah lebih dari lima puluh tahun usianya, pakaiannya mewah sekali dan
dari muka dan tangannya yang terawat rapi, bahkan ada tanda-tanda bedak di
pipinya, membuktikan bahwa pangeran tua itu adalah seorang pesolek.
Pandang
matanya jelas membayangkan nafsu birahi yang besar, mata yang seperti berminyak
dan mengeluarkan sinar berapi, juga tidak malu-malu memandanginya dari atas ke
bawah sehingga Syanti Dewi merasa seolah-olah tubuhnya ditelanjangi dan
digerayangi oleh pandang mata itu yang berhenti di tempat-tempat tertentu!
Dia
bergidik, namun mengingat bahwa kini dia berhadapan dengan seorang pangeran,
biar pun dia tahu bahwa pangeran ini adalah pemberontak, maka ketakutannya
menipis dan harapannya timbul sebab seorang pangeran setidaknya adalah seorang
bangsawan terpelajar sehingga tentu tidak akan bertindak sewenang-wenang. Dia
cepat berlutut dengan sebelah kaki sebagai tanda penghormatan, lalu berdiri
lagi dan berkata sambil menundukkan mukanya.
“Terima
kasih saya haturkan atas kebaikan Paduka Pangeran!” Dia lalu melirik ke arah
Tek Hoat, kemudian ke arah Hek-wan Kui-bo. Nenek itu tersenyum kepadanya akan
tetapi pemuda itu mengerutkan alis dan memandang kepadanya seperti orang
marah-marah.
“Sang
Puteri, silakan, mari kami antar ke istana kami yang darurat dan seadanya di kota
ini.” Pangeran itu mempersilakan dengan tangan kanannya dengan sikap hormat.
“Baik,
Pangeran, akan tetapi saya harap dapat kiranya pisau saya di sana itu
diturunkan dan dikembalikan kepada saya,” Syanti Dewi menuding ke atas di mana
pisaunya masih menancap di langit-langit kamar itu.
“Ehhh,
bagaimana pisau Sang Puteri bisa terbang ke sana?” Pangeran Liong Khi Ong
berseru aneh sambil menoleh kepada Tek Hoat.
“Hamba...
hamba terpaksa membuat pisau itu terlempar dari tangan Sang Puteri karena
beliau tadi hendak menyerang hamba,” kata Tek Hoat.
“Hemm,
untung Sang Puteri tidak terluka. Tek Hoat, ambil kembali pisau itu!”
“Hi-hi-hik,
Pangeran, biarlah hamba yang mengambilnya!” Nenek itu mendahului Tek Hoat,
tangan kanannya didorongkan ke atas ke arah pisau itu.
Dari telapak
tangan nenek itu menyambar hawa dahsyat ke atas, pisau itu bergoyang-goyang.
Nenek itu kemudian memperkuat dorongan hawa dari tangannya dan pisau itu
akhirnya runtuh dan diterima oleh nenek itu sambil terkekeh-kekeh. Semua
pengawal memandang kagum bukan main dan Tek Hoat diam-diam juga harus mengakui
bahwa nenek ini merupakan lawan yang tangguh.
“Bukan main!
Engkau ternyata lihai sekali, Kui-bo. Sungguh senang hatiku, memperoleh seorang
pembantu lagi yang memiliki kepandaian tinggi.”
“Hamba
bersedia membantu Paduka sampai berhasil segala yang Paduka cita-citakan, dan
hamba hanya mengharapkan ikut menikmati kemuliaan Paduka kelak.”
“Ha-ha-ha,
tentu saja, Kui-bo. Bantulah kami dan kelak engkau akan kuberi kedudukan yang
mulia.” Pangeran itu mengulurkan tangan dan menerima pisau itu dari tangan
Hek-wan Kui-bo, lalu mengamati pisau itu penuh perhatian. Dia menoleh kepada
Syanti Dewi sambil bertanya, “Sang Puteri, kami lihat pisau ini bukanlah buatan
Bhutan, sungguh pun amat indahnya!”
“Memang
bukan, Pangeran. Pisau itu adalah pemberian seorang sahabat saya yang paling
baik.” Sambil berkata demikian, Syanti Dewi membayangkan wajah Jenderal Kao
yang seolah-olah menjadi pengganti orang tuanya ketika dia ditinggalkan oleh
Gak Bun Beng di dalam benteng jendela itu. Melihat pisau itu disimpan oleh
Pangeran Liong Khi Ong di ikat pinggangnya, dia tidak berani minta dan dia
hanya berjalan keluar diiringkan oleh pangeran itu dan semua pengawal serta
kaki tangannya.
Puteri
Syanti Dewi yang sekali berjumpa telah membuat pangeran tua itu tergila-gila,
segera memperoleh sebuah kamar istimewa di dalam gedung besar yang menjadi
tempat tinggal sementara dari Pangeran Liong Khi Ong itu, dilayani oleh lima
orang pelayan wanita, diberi pakaian dan perhiasan-perhiasan indah. Akan tetapi
dengan halus semua itu ditolak oleh Syanti Dewi. Hati puteri ini masih gelisah.
Dia terjatuh ke tangan pangeran yang dahulu dicalonkan menjadi suaminya.
Dahulu dia
tidak berani dan tidak dapat membantah kehendak ayahnya dan dia sudah menyerah
kepada keadaan, bahkan dia telah diboyong dari istana ayahnya. Akan tetapi
sekarang lain lagi persoalannya. Dia telah secara aneh terbebas dari ikatan
itu, telah melakukan perantauan dan mengalami hal-hal yang luar biasa, maka
kini diam-diam hatinya memberontak dan dia tidak bersedia lagi untuk menjadi
isteri Pangeran Liong Khi Ong. Burung manakah yang setelah terbang bebas lepas
di udara merindukan kurungan kembali? Teringat akan Gak Bun Beng, dia agak
terhibur. Pendekar sakti itu sudah pasti akan mencarinya dan akan menolongnya
ke luar dari kurungan baru ini.
Akan tetapi
hatinya gelisah melihat betapa tugas pertama yang diterima oleh nenek
mengerikan itu adalah menjaga di luar kamarnya! Nenek itu sambil tersenyum
muncul di pintu dan berkata, “Wahai, Puteri jelita, Nona calon pengantin yang
bahagia! Bukankah semua kata-kataku tepat belaka? Paduka telah berada di kamar
seorang pangeran besar! He-he-heh, Paduka patut berterima kasih kepada hamba
dan mudah-mudahan kelak Paduka tidak akan lupa akan jasa-jasa hamba.”
Syanti Dewi
tidak menjawab dan nenek itu terkekeh lagi. “Dan harap Paduka jangan mencoba
untuk melarikan diri dari sini. Aku sendiri yang menjaga di sini atas perintah
Pangeran, hi-hi-hik!” Dan wajah yang buruk itu lenyap dari pintu. Puteri itu
menahan tangisnya, dan dia menjatuhkan diri di atas pembaringan dengan penuh
kecemasan.
***************
Ceng Ceng
mengerahkan tenaga dalamnya untuk membebaskan totokan, akan tetapi sebelum dia
berhasil, dia telah dibelenggu dengan erat sehingga tidak mampu bergerak lagi.
Juga Topeng Setan yang agaknya masih di bawah pengaruh obat bius itu telah
dibelenggu erat-erat. Keduanya lalu diangkat dan didudukkan di atas kursi.
Tambolon
tertawa bergelak dan minum arak untuk memberi selamat kepada diri sendiri yang
telah merobohkan gadis lihai dengan pembantunya yang bertopeng itu, ditemani
oleh Liauw Kui Si Petani Maut dan Yu Ci Pok Si Siucai Maut yang lihai, menanti
sampai dua orang yang sudah terbelenggu itu sadar, atau tepatnya menanti Topeng
Setan sadar karena gadis itu sama sekali tidak terpengaruh oleh obat bius yang
terkandung di dalam arak yang disuguhkan kepada mereka sebagai ucapan selamat
jalan tadi.
Topeng Setan
siuman kembali dan mengeluh, lalu menggerakkan kepalanya yang tadi terkulai
menunduk.
“Ha-ha-ha!”
Tambolon tertawa nyaring, “Betapa pun lihai kalian berdua, mana mampu
menandingi kecerdikan kami!”
“Tak tahu
malu!” Ceng Ceng memaki sambil memandang dengan mata berapi. “Katakan saja
kecurangan, siapa bilang kecerdikan?”
Tambolon
menghirup araknya lalu melempar cawan arak ke atas meja sambil berkata, “Ha-ha-ha,
Nona manis, engkau seperti seekor kuda betina liar yang pernah kukejar-kejar di
padang rumput! Ketahuilah, setiap muslihat yang berhasil selalu merupakan
kecerdikan bagi yang menang akan tetapi dianggap kecurangan oleh yang kalah!
Kalau hendak membunuhmu, apa sukarnya? Akan tetapi aku sayang sekali, sayang
akan kecantikanmu, keliaranmu, dan kepandaianmu, ha-ha-ha. Kuda betina liar
seperti kau ini amat menarik, harus kujinakkan sendiri!”
Raja
Tambolon yang sudah setengah mabok itu mengusap mulutnya dengan ujung lengan
bajunya, lalu dia memberi aba-aba kepada dua orang pengawal yang berjaga di
situ, “Bawa kuda betina ini ke kamarku!”
Dua orang
pengawal itu memberi hormat, kemudian menghampiri Ceng Ceng yang sudah
terbelenggu kaki tangannya seperti seekor lembu hendak disembelih itu. Mereka
mengulur tangan dan mengangkat tubuh Ceng Ceng dari kanan kiri. Pada saat itu
Ceng Ceng mengerahkan tenaga sinkang-nya karena totokan di tubuhnya tadi sudah
buyar sendiri, lalu mengumpulkan hawa beracun, mengerahkan ilmunya yang
dipelajarinya dari Ban-tok Moli.
“Cuhhh!
Cuhhh!” Dua kali dia meludah ke kanan kiri, tepat mengenai muka kedua orang
pengawal yang sedang mengangkatnya itu.
Mereka
menjerit, melepaskan tubuh Ceng Ceng dan roboh bergulingan di atas lantai
sambil berteriak-teriak, mencakar-cakar muka sendiri yang terkena sudah beracun
tadi!
Raja
Tambolon kaget, memerintahkan pengawal-pengawal lain untuk menyeret pergi dua
orang yang terkena ludah beracun itu dan dia sudah mencabut sebatang pedang
panjang sambil memandang kepada Ceng Ceng dengan mata marah, “Iblis betina!
Kiranya engkau benar-benar iblis beracun! Untung ketahuan kini bahwa engkau
adalah ular beracun, siluman ular yang harus dibasmi sebelum mencelakakan kami
semua!”
“Huhh, mau
bunuh lekas bunuh! Siapa sih yang takut mati? Seribu kali lebih baik mati
dengan gagah dari pada hidup menjadi pengecut curang macam kamu, raja liar!”
Ceng Ceng memaki-maki.
Tiba-tiba
Topeng Setan berkata, “Sri Baginda, tahan dulu! Kita merupakan dua buah
kekuatan yang kalau bersatu padu akan mendatangkan keuntungan besar. Mengapa
menjadi bentrok sendiri? Membunuh kami berdua pun tidak ada gunanya karena Sri
Baginda bersama seluruh pasukan telah masuk perangkap dan hanya kami berdualah
yang akan dapat menolong.”
Ceng Ceng
merasa heran sekali mendengar ucapan Topeng Setan itu, akan tetapi dia juga
amat cerdas dan dapat menduga bahwa tentu orang yang menjadi pembantunya, juga
penolong dan sahabatnya, boleh dibilang gurunya pula, mempunyai suatu akal yang
belum dapat dia menduganya.
“Eh, Topeng
Setan!” bentaknya. “Perlu apa bicara dengan raja biadab ini? Biar saja dia dan
pasukannya tertumpas habis, hendak kulihat bagaimana dia akan dapat membunuh
kita!”
Raja
Tambolon mengerutkan alisnya, tangannya yang memegang pedang ragu-ragu.
“Sri
Baginda, jangan mendengar gertakan mereka!” Yu Ci Pok Si Siucai berkata.
“Bunuh saja,
Sri Baginda. Wanita ini terlalu berbahaya dengan kelihaian racunnya!” Liauw Kui
juga berkata.
Tiba-tiba
Topeng Setan tertawa bergelak. “Sayang sekali! Sri Baginda Tambolon yang
benar-benar gagah perkasa itu mempunyai pembantu-pembantu yang tolol. Sahabatku
ini seorang bengcu, mana mungkin hanya menggertak sambal belaka? Jika kita
berniat buruk, apa sih sukarnya meloloskan diri?” Sambil berkata demikian,
Topeng Setan lalu menggerakkan kaki tangannya. Terdengar suara keras dan semua
belenggu itu patah-patah dan dia sudah bebas! Dengan cepat dia lalu menghampiri
Ceng Ceng dan mematah-matahkan belenggu kaki tangan dara itu.
“Aihh, kenapa
engkau begitu tergesa-gesa?” Ceng Ceng berkata, seolah-olah menegur Topeng
Setan. “Apa kau kira aku sendiri tidak bisa membebaskan diri? Tadinya aku masih
ingin melihat apakah raja liar ini akan dapat membunuh kita.”
“Maaf,
Bengcu. Kiranya Sri Baginda Tambolon sudah dapat mendengar kata-kata kita yang
bermaksud baik.”
Tambolon dan
dua orang pembantunya kaget setengah mati. Kini mengertilah mereka bahwa dua
orang ini benar-benar lihai bukan main dan tadi agaknya hanya pura-pura saja.
Jelas bahwa gadis itu tidak terpengaruh obat bius, akan tetapi Topeng Setan itu
pun agaknya hanya pura-pura pingsan saja!
“Kepung...!”
Tambolon cepat berteriak karena khawatir kalau-kalau dua orang ini akan
mengamuk dan lolos.
“Sri
Baginda, apakah kau masih tidak percaya kepada kami?” Topeng Setan berkata.
“Pasukanmu sengaja disuruh menduduki dusun yang tiada artinya ini, karena
pasukan Kim Bouw Sin sebenarnya menganggap pasukan Paduka hanya pasukan liar
yang harus dibasmi, akan tetapi lebih dulu akan dipergunakan menentang
pemerintah.”
“Bohong!
Sudah lama aku berhubungan dengan Pangeran Liong!” Tambolon berteriak.
“Paduka
sungguh tidak dapat berpikir panjang. Pangeran Liong adalah dua orang saudara
pemberontak, mana mungkin mempunyai hati setia? Seorang pemberontak adalah
orang yang tidak setia kepada rajanya. Kalau kepada rajanya sendiri, bahkan
dalam hal ini kakaknya sendiri, tidak dapat setia, apa lagi terhadap Paduka
yang dianggap raja bangsa liar? Selama mereka membutuhkan, tentu saja mereka
bersikap baik kepada paduka, akan tetapi mereka akan menghancurkan pasukan
Paduka begitu mereka tidak memerlukannya lagi.”
Ceng Ceng
terheran-heran mendengar semua kata-kata Topeng Setan ini. Biasanya,
pembantunya yang tak pernah dia lihat mukanya ini jarang bicara, dan amat
pendiam. Akan tetapi sekarang pandai sekali bicara, dan mengerti tentang
seluk-beluk pemerintah dan pemberontakan agaknya.
“Hemmm...
hemmm... orang bertopeng! Siapakah engkau? Mari duduk dan bicara, apa yang
menjadi kehendakmu?”
Raja
Tambolon mempersilakan mereka duduk dan memberi tanda dengan tangannya,
sehingga semua anggota pasukan yang sudah mengepung tempat itu mengundurkan
diri. Dia tidak khawatir terhadap dua orang lihai ini karena selain dia sendiri
dan dua orang pembantunya juga berkepandaian tinggi, juga di luar masih ada
pasukannya yang amat banyak dan tidak mungkin dua orang ini dapat lolos. Akan
tetapi dia tertarik sekali oleh kata-kata Topeng Setan tadi.
Setelah
mereka duduk, Ceng Ceng yang mulai mengerti bahwa temannya itu tentu hendak
menggunakan suatu taktik yang amat lihai, berkata mengejek, “Sri Baginda,
apakah masih ada arakmu yang mengandung racun lebih hebat dari pada tadi?”
Raja
Tambolon tertawa, “Ha-ha-ha, engkau memang hebat, Nona, baik sebagai kawan mau
pun sebagai lawan engkau amat mengesankan. Apa artinya arak beracun bagi
seorang dewi beracun seperti engkau? Haii, pelayan! Ambil arak wangiku dari
kamar!”
Pelayan
berlari-lari dan tak lama kemudian mereka berlima kembali duduk seperti tadi,
mengelilingi meja sambil minum arak wangi.
“Nah,
sekarang perkenalkan dirimu dan ceritakan maksud hatimu,” kata Tambolon.
“Semua orang
mengenal saya sebagai Topeng Setan dan Nona ini adalah Nona Lu Ceng, bengcu
dari kalangan liok-lim yang terkenal dan baru-baru ini diangkat dalam
pemilihan. Kami tahu betul bahwa pihak pemberontak hanya mempergunakan pasukan
Paduka untuk memperkuat diri. Karena melihat bahwa Paduka adalah orang gagah,
maka kami lebih senang berkawan dari pada berlawan. Dengan berkawan kita dapat
bersama-sama menghadapi Kim Bouw Sin dan pasukan pemberontaknya.”
“Huh! Topeng
Setan, jangan bicara yang bukan-bukan! Kalau memang Pangeran Liong dan Panglima
Kim Bouw Sin berhati bengkok, kami pasti akan membasminya. Akan tetapi jangan
mengharap kami akan membantu Kerajaan Ceng-tiauw! Kalian agaknya adalah
mata-mata Pemerintah Ceng!”
“Raja
Tambolon, janganlah engkau bicara sembarangan saja!” Tiba-tiba Ceng Ceng
membentak. “Aku adalah seorang bengcu, mana sudi merendahkan diri menjadi
mata-mata?” Lalu dia menoleh kepada Topeng Setan sambil berkata, “Apa kubilang
tadi! Percuma saja bicara dengan orang-orang bodoh ini, membuang-buang tenaga
dan waktu saja. Biarkan saja mereka ini hancur lebur!”
Raja
Tambolon menepuk meja. “Baiklah, aku mendengarkan! Coba katakan, mengapa engkau
menduga bahwa kami ditipu oleh pasukan pemberontak?”
“Bukan
menduga saja, Sri Baginda. Bengcu telah menyebar banyak penyelidik dan dari
para penyelidik itulah kami mengetahui akan hal itu.”
“Nanti dulu,
Topeng Setan. Kalau kalian bukan mata-mata Pemerintah Ceng, mengapa kalian tadi
membela Panglima Thio yang mengepalai pertahanan di Ang-kiok-teng ini?” Si
Siucai yang cerdik bertanya dan kembali Tambolon timbul kecurigaannya.
“Phuihhh!”
Ceng Ceng bangkit berdiri dan menggebrak meja sehingga mangkok piring
berloncatan di atas meja. “Masih tidak percaya? Apakah hal begitu saja kalian
tidak dapat menduga? Kalau kami tak membantu mereka, mereka itu tentu akan tahu
bahwa kami berada di pihak musuh dan semua anak buah kami tentu akan celaka!
Dan kalau memang kami membantu musuh apa kau kira aku sudi memberi obat
penyembuh buat seratus orang-orangmu? Pendeknya, kau pilih satu di antara dua.
Percaya dan menjadi sahabat kami, atau tidak percaya dan menjadi musuh kami!”
Tambolon
mengangkat tangannya. “Sabarlah, Nona... ehhh, Bengcu. Kalian muncul dengan
tiba-tiba membuat kami bingung, apa lagi mendengar akan berita yang aneh dan
mengejutkan itu.”
“Sri
Baginda, kalau memang Panglima Kim Bouw Sin dan Pangeran Liong berniat baik,
mengapa pasukanmu tidak disuruh masuk ke Koan-bun saja? Mengapa diberi dusun
kecil tidak ada artinya ini? Padahal pemusatan kekuatan pasukan mereka berada
di Teng-bun! Dusun ini miskin dan tidak mempunyai benteng yang ketat,
sebaliknya Koan-bun penuh dengan harta benda dan benteng yang kuat. Bahkan
semua perbekalan untuk pasukan pemberontak dipusatkan di Koan-bun. Nah, kalau
pasukan Sri Baginda di sini dikepung dan diserbu, bagaimana akan dapat
mempertahankan diri? Maka usul kami, mari kita bersatu, anak buah kami akan
kami kerahkan sebagai penyelundup-penyelundup dan kita serbu Koan-bun. Kalau
pasukan Paduka sudah bekedudukan di benteng itu, kita tidak takut terhadap
serbuan siapa pun.”
“Bagus!”
Tambolon berteriak girang. “Sungguh pikiran yang bagus! Andai kata tidak benar
Pangeran Liong memusuhi dan menipu kami, masih bisa kami kemukakan alasan bahwa
pasukanku tidak suka di dusun ini, maka kami mengambil alih Koan-bun. Bagus!
Kita bergerak malam nanti!”
“Nanti dulu,
Sri Baginda...!” Liauw Kui Si Petani Maut berkata sambil mengerutkan alisnya,
“Topeng Setan, usulmu memang baik sekali. Akan tetapi, mengapa kalian
mengusulkan kerja sama menyerbu Koan-bun ini? Kalau kalian tidak berpihak
kepada Pemerintah Ceng, mengapa kalian memusuhi Pangeran Liong dan Panglima
Kim?”
Diam-diam
Ceng Ceng dan Topeng Setan memuji kecerdikan dua orang pembantu dari Raja
Tambolon itu. Ceng Ceng cepat membantu Topeng Hitam dengan jawaban yang
lantang, “Kami tidak membantu dan memusuhi siapa-siapa, melainkan bergerak demi
kepentingan kami sendiri, demi kepentingan perkumpulan kami. Aku diangkat
menjadi bengcu tidak percuma, aku hanya dapat memperlihatkan bahwa mereka tidak
sia-sia memilih aku sebagai bengcu! Kami melihat betapa sia-sia usaha para
pemberontak hendak menggulingkan pemerintah yang terlalu kuat, dan kami melihat
betapa pasukan pemberontak telah mengumpulkan harta benda yang amat banyak di
Koan-bun dan Teng-bun. Maka, kesempatan baik ini mengapa harus kami sia-siakan
dengan begitu saja? Selagi para pemberontak saling gempur, kita turun tangan
mencari keuntungan di sini, bukankah itu baik sekali?”
Topeng Setan
berkata dengan nada mencela, “Bengcu, urusan pribadi kita mengapa harus
diberitahukan orang lain?”
“Biarlah.
Mereka telah menjadi sahabat kita, bukan?” Ceng Ceng menjawab.
Raja
Tambolon tertawa girang. “Baik, kita bekerja sama. Di mana anak buah kalian?”
“Mereka
tersebar di Koan-bun dan Teng-bun dan setiap saat dapat bergerak, tinggal
menanti perintah dari Bengcu,” kata Topeng Setan.
“Kalau
begitu, pergilah seorang di antara kalian untuk menggerakkan mereka. Malam
nanti kita mengadakan persiapan dan besok malam kita menyerbu Koan-bun,” Raja
Tambolon berkata.
“Topeng
Setan, kita pergi!” Ceng Ceng bangkit berdiri.
“Nanti
dulu!” Raja Tambolon juga berdiri dan mengangkat tangan kanannya ke atas.
“Maaf, bukan karena kurang percaya, melainkan kami harus berhati-hati. Kami
hanya mau bekerja sama dan mau percaya kalau hanya seorang di antara kalian
yang pergi melaksanakan tugas itu. Orang kedua tinggal di sini bersama kami!”
“Kau tetap
tidak percaya?” Ceng Ceng membentak marah.
“Harap
Lu-bengcu suka beristirahat saja di sini, biarlah saya yang menghubungi
teman-teman kita. Saya tentu sudah kembali Malam nanti atau selambat-lambatnya
besok pagi.”
Ceng Ceng
mengangguk. Dia tahu bahwa sahabatnya itu hendak menjalankan sesuatu yang tidak
diketahuinya. Yang jelas, siasat Si Topeng Setan itu telah mengadu domba antara
Tambolon dan pasukan pemberontak, suatu siasat yang tentu saja baik sekali
untuk membantu pemerintah secara tidak langsung dan untuk mengurangi kekuatan
pemberontak! Dia makin kagum kepada pembantunya ini. Kiranya Topeng Setan juga
berjiwa patriotik, menggunakan kesempatan itu untuk berpura-pura tertawan,
kemudian menjalankan siasat bersahabat dengan mengadu domba dua kekuatan yang
menjadi bahaya bagi pemerintah.
Setelah
Topeng Setan berangkat, Ceng Cang lalu beristirahat di dalam sebuah kamar yang
disediakan untuknya. Hatinya girang sekali bahwa dengan bantuan Topeng Setan
dia akan dapat melakukan sesuatu untuk negara. Akan tetapi kalau dia teringat
akan nasibnya, semua rasa girang itu lenyap.
"Setelah
selesai urusan ini, aku akan mengerahkan seluruh waktuku untuk mencari Si
Jahanam itu,” demikian pikirnya ketika ia teringat akan musuh besarnya, pemuda
laknat itu. "Dan aku akan minta bantuan Topeng Setan"
***************
"Gak-suheng,
kita harus mencari Lee-ko!” kata Kian Bu setelah berhasil diselamatkan oleh Gak
Bun Beng dari pengeroyokan Tek Hoat dan Hek-wan Kui-bo yang lihai.
“Dan kita
harus juga mencari Dewi,” Gak Bun Beng berkata pula.
Mereka
berdua lalu berusaha mencari dua orang itu, namun hasilnya sia-sia belaka.
Tentu saja mereka tidak tahu bahwa Syanti Dewi telah ditawan oleh Hek-wan
Kui-bo dan dibawa lari ke Teng-bun, sedangkan Kian Lee dirawat oleh anak
perempuan dari Ketua Pulau Neraka di dalam sebuah rumah.
Pada waktu
itu, kota Koan-bun geger karena pihak pemberontak mengadakan operasi
pembersihan. Hal ini menghalangi Bun Beng dan Kian Bu melanjutkan usaha mereka
mencari Syanti Dewi dan Kian Lee. Setiap kali bertemu dengan pasukan
pemberontak yang melakukan penggeledahan di sana-sini, mereka segera
bersembunyi.
“Ah, aku
khawatir sekali bahwa mereka keduanya telah tertawan pihak pemberontak,”
akhirnya Gak Bun Beng berkata dengan suara penuh kekhawatiran.
Tentu saja
dia memikirkan Syanti Dewi. Jika sampai terjatuh ke tangan Pangeran Liong Khi
Ong, tentu sukar untuk ditolong lagi. Diam-diam dia menyesal mengapa dia begitu
lengah sehingga dirinya dapat terpisah dari gadis yang seharusnya berada di
dalam perlindungannya itu.
Dari tempat
persembunyian mereka tiba-tiba mereka dapat melihat sebuah kereta yang tertutup
dan dikawal oleh pasukan pengawal di depan, sedangkan di belakang tampak
mengawal seorang pemuda. Bun Beng dan Kian Bu segera mengenali pemuda lihai
yang mereka lawan tadi.
“Ahhh, yang
di dalam kereta itu jangan-jangan orang yang kita cari...” Gak Bun Beng
berkata.
“Kita serbu
saja...?” Kian Bu berbisik.
Bun Beng
yang lebih berhati-hati itu menggelengkan kepala. Dia maklum bahwa kalau mereka
berdua menggunakan kekerasan di dalam kota yang sudah tertutup itu, berarti
mencari mati karena tentu mereka akan dikeroyok oleh ratusan, bahkan ribuan
orang pasukan pemberontak, belum lagi orang-orang lihai sekali yang menjadi
kaki tangan pemberontak.
“Tunggu
sebentar di sini, aku ada akal!” kata Bun Beng dan sekali berkelebat dia lenyap
dari situ, membuat Kian Bu yang juga memiliki kepandaian tinggi itu menjadi
kagum. Dan tak lama kemudian, Bun Beng sudah datang lagi sambil membawa seorang
prajurit pemberontak yang tadi menyendiri dan berhasil ditangkap serta
ditotoknya, kemudian dibawanya ke belakang rumah kosong di mana mereka
bersembunyi itu.
“Hayo
katakan siapa yang berada di dalam kereta yang lewat tadi! Kalau membohong,
terpaksa kubunuh engkau!” Bun Beng menghardik dan memijat suatu urat di
punggung yang mendatangkan rasa nyeri luar biasa sehingga orang itu terpaksa
berkata sambil menyeringai.
“Ampun... di
dalam kereta adalah Pangeran Liong Khi Ong dan Panglima Kim Bouw Sin...!”
Bun Beng dan
Kian Bu terkejut mendengar ini.
“Mereka ke
mana?”
“Ke... ke
Teng-bun...!”
Bun Beng
mendorong orang itu ke samping dan terdengar suara berdesing disusul jerit
tertahan. Bun Beng menoleh dan melihat orang itu telah tewas, kepalanya
disambar batu.
“Mengapa kau
melakukan itu?” tanyanya dengan alis berkerut kepada Kian Bu.
Kian Bu
menarik napas panjang. “Suheng, dalam keadaan sekacau ini terpaksa kita harus
bertindak keras. Kalau dia tidak kubunuh, hanya dalam waktu sebentar saja tentu
mereka akan mengerahkan pasukan besar untuk mencari dan mengejar-ngejar kita.
Pula, keterangan itu amat penting. Setelah Pangeran Liong Khi Ong sendiri
berada di sini dan pergi ke Teng-bun bersama panglima pemberontak itu, sudah
pasti mereka akan melakukan gerakan.”
Gak Bun Beng
mengangguk. “Memang, dan hal itu amat penting sekali untuk segera dilaporkan
kepada... Puteri Milana dan Jenderal Kao. Akan tetapi, kita belum dapat
menemukan kakakmu dan Syanti Dewi...”
“Habis,
bagaimana baiknya, Gak-suheng? Kedua urusan itu penting!”
“Sebaiknya
engkaulah yang pergi melapor tentang Pangeran Liong dan Panglima Kim itu kepada
kakakmu Puteri Milana dan Jenderal Kao, sedangkan aku mencari Syanti Dewi dan
Kian Lee di tempat berbahaya ini.”
“Ke mana aku
harus mencari mereka?”
“Kubantu
engkau keluar dari pintu gerbang selatan, dan dari situ engkau langsung ke
selatan di mana terdapat sebuah bukit. Setelah engkau mendaki bukit itu, di balik
bukit terdapat hutan lebat. Di sanalah Jenderal Kao mempersiapkan pasukannya.”
Setelah
menerima petunjuk-petunjuk Gan Bun Beng, Kian Bu bersama pendekar sakti itu
lalu mencari jalan di antara rumah-rumah penduduk menuju ke gerbang selatan.
Hari telah mulai gelap, awan menutupi angkasa yang seolah-olah ingin
menyembunyikan diri agar jangan menyaksikan kebuasan manusia-manusia di dalam
perang.
Penjagaan di
sepanjang pagar tembok ketat sekali. Kota Koan-bun ini adalah benteng
pertahanan pertama dari barisan pemberontak, maka Panglima Kim Bouw Sin telah
memerintahkan agar dilakukan operasi pembersihan dan penjagaan yang amat ketat
dan telah mengerahkan sebagian pasukannya untuk mempertahankan dan menjaga
Koan-bun itu. Terutama sekali penjagaan empat pintu gerbang di empat penjuru,
ada kurang lebih seratus orang tentara menjaga di setiap pintu gerbang.
Tiba-tiba
terdengar teriakan seorang peronda di bawah pagar tembok sambil menuding ke
depan. Tampak ada bayangan berkelebat di sebelah barat. Teriakan ini disusul
oleh berkumpulnya puluhan orang penjaga dan nampak anak panah berserabutan
meluncur ke arah bayangan tadi yang dengan cepat menghilang. Selagi para
penjaga mencari-cari dan memperketat penjagaan di bagian itu, tiba-tiba mereka
melihat bayangan orang tadi di sebelah timur.
“Tuh
dia...!”
“Tangkap
mata-mata!”
“Serang anak
panah!”
Kembali
orang-orang yang menjaga di bagian itu berlarian ke arah tempat itu dan
anak-anak panah beterbangan. Tapi hanya sebentar saja bayangan itu
memperlihatkan diri karena dia sudah lenyap lagi dan tak lama kemudian dia
muncul kembali di barat. Sekali ini dia berdiri di tempat terang di bawah
lentera yang tergantung di pagar tembok. Tentu saja para penjaga, baik yang di
bawah mau pun di atas benteng, segera berdatangan ke tempat orang itu dan lebih
dulu mereka menghujankan anak panah. Akan tetapi orang itu hanya menggerak-gerakkan
kedua lengannya dan semua anak panah runtuh ke sekeliling tubuhnya, menancap di
atas tanah di sekitarnya!
Kini puluhan
orang pasukan pemberontak menyerbu dengan pedang, golok, atau tombak di tangan
mereka. Orang itu bukan lain adalah Gak Bun Beng yang segera menggunakan
kelincahan tubuhnya untuk berloncatan ke sana ke mari mengelak dari semua
serangan dengan amat mudahnya.
Kemudian
tiba-tiba dia menghilang di tempat gelap dan selagi para penjaga itu sibuk
mencarinya, dia sudah muncul lagi di tempat lain yang tampak dari situ sehingga
para penjaga ini dibikin kacau dan bingung oleh gerakannya yang amat cepat itu,
sampai akhirnya semua kekuatan pasukan penjaga di bagian selatan dikerahkan
untuk menangkap atau membunuh pengacau yang amat lihai ini.
Dan memang
itulah yang dikehendaki oleh Bun Beng. Pada saat semua penjaga tertarik
perhatiannya oleh pengacauannya itu, Kian Bu memperoleh kesempatan baik sekali,
meloncat ke arah pintu gerbang, bagian paling rendah di antara pagar tembok
itu, merobohkan dua orang yang bertugas menjaga di situ sedangkan semua penjaga
yang lain ikut mengeroyok Bun Beng, kemudian terus naik ke pagar tembok dan
dengan mudahnya keluar dari kota Koan-bun.
Teriakan dua
orang penjaga pintu gerbang yang dirobohkan Kian Bu menarik perhatian mereka
yang mengeroyok Bun Beng. Sebagian meninggalkan pengacau ini karena terlalu
banyak orang mengeroyok pun tidak ada artinya, bahkan gerakan mereka menjadi
kaku dan kacau. Sebagian dari mereka berlari-larian ke pintu gerbang, akan
tetapi mereka tidak dapat melihat siapa yang telah merobohkan dua orang penjaga
itu, sedangkan Bun Beng yang melihat Kian Bu telah berhasil keluar dari kota,
lalu menghilang pula di dalam kegelapan malam!
Kian Bu
mempergunakan kepandaiannya berlari cepat sekali ke selatan. Untung bahwa
mendung tebal telah pergi terbawa angin ke utara, sehingga kini tampaklah sinar
bulan sepotong yang dibantu oleh beberapa buah bintang menerangi jalan kecil
itu. Bukit di depan nampak seperti seorang raksasa berdiri tegak dan Kian Bu
mempercepat larinya menuju ke bukit itu. Ternyata bahwa bukit itu tidak berapa
jauh dari Koan-bun dan segera dia dapat melewati puncaknya, lalu menurun menuju
ke hutan yang hanya tampak dari atas sebagai tempat menghitam yang mengerikan.
Akan tetapi
baru saja dia tiba di luar hutan itu, tiba-tiba terdengar bentakan-bentakan
keras dan hampir saja dia jatuh menelungkup ketika kakinya terjerat tali yang
ditarik orang dari kanan kiri, kemudian bermunculanlah orang-orang dari depan
kanan kiri dan mengepungnya!
“Tahan...!”
Kian Bu berseru karena dapat menduga bahwa dia telah tiba di tempat yang dituju
dan mereka ini tentulah penjaga-penjaga pasukan Jenderal Kao yang mempunyai
barisan pendam di hutan itu. “Aku datang untuk bertemu dengan Puteri Milana!
Aku bukan musuh!”
Orang-orang
yang sudah mengepung ketat itu datang makin rapat dan menodongkan senjata
mereka ke arah pemuda itu. Seorang di antara mereka menghardik, “Ikut dengan
kami menghadap!”
Kian Bu
bersikap sabar dan dengan todongan senjata di sekelilingnya, dia digiring masuk
ke dalam hutan. Beberapa orang prajurit mendekatkan lentera sehingga mereka
dapat melihat wajah Kian Bu, akan tetapi tidak ada seorang pun mengenalnya,
maka tentu saja pengepungan menjadi makin ketat. Diam-diam Kian Bu memuji mereka
ini sebagai prajurit-prajurit yang baik, karena kalau prajurit-prajurit seperti
ini yang menjaga pagar tembok kota Koan-bun tadi, agaknya dia tidak dapat
keluar demikian mudahnya.
Masuknya
seorang mata-mata di tempat pemusatan pasukan rahasia itu tentu saja merupakan
hal yang amat penting. Kalau saja pihak pemberontak mengetahui akan pemusatan
pasukan pemerintah di tempat itu, tentu semua rencana akan menjadi gagal. Maka
begitu mendengar bahwa ada mata-mata memasuki hutan dan telah ditangkap,
Jenderal Kao sendiri besama Puteri Milana keluar untuk melihat tawanan
mata-mata itu. Ketika melihat bahwa yang disangka mata-mata itu adalah Kian Bu,
tentu saja mereka menjadi girang sekali.
“Lepaskan
dia, orang sendiri!” Jenderal Kao membentak.
Para penjaga
itu terkejut dan girang sekali bahwa mereka tadi tidak lancang tangan menyerang
pemuda itu yang kelihatan begitu akrab dengan Jenderal Kao dan Puteri Milana,
bahkan puteri itu sudah memegang lengannya dengan senyum manis. Mereka lalu
memberi hormat kepada Kian Bu dan pemimpin mereka mengucapkan pernyataan maaf.
Kian Bu
tertawa. “Kalian adalah penjaga-penjaga yang amat baik.” Maka kembalilah
pasukan penjaga itu ke tempat penjagaan masing-masing dengan hati lega karena
mereka tidak dimarahi, bahkan dipuji.
Sementara
itu, Kian Bu cepat diajak masuk ke dalam pondok darurat oleh Milana dan
Jenderal Kao. Tak lama kemudian pemuda itu sudah menceritakan semua keadaan di
kota Koan-bun dengan jelas. Juga diceritakannya betapa munculnya pasukan liar
yang dipimpin oleh Raja Tambolon sendiri menggegerkan kota Koan-bun sehingga
dia bersama Kian Lee terpisah dari Bun Beng dan Syanti Dewi. Kemudian betapa
Kian Lee terluka oleh senjata peledak yang dilepas nenek buruk rupa, kemudian
betapa dia pun terpisah dari Kian Lee sampai dia ditolong oleh Gak Bun Beng.
“Gak-suheng
cepat menyuruh saya datang melapor ke sini setelah kami ketahui bahwa Pangeran
Liong Khi Ong ternyata tadinya juga berada di Koan-bun dan sekarang bersama Kim
Bouw Sin telah berada di Teng-bun.”
Milana
mengerutkan alisnya. Dia khawatir sekali mendengar bahwa adik tirinya, Suma
Kian Lee, terluka dan lenyap, juga bahwa Puteri Syanti Dewi lenyap dan kini
masih dicari-cari oleh Gak Bun Beng di Koan-bun. Akan tetapi karena dia sedang
menghadapi tugas pemerintah yang lebih penting lagi, maka dia tidak menyinggung
urusan yang amat dikhawatirkannya itu dan dia berkata kepada Jenderal Kao,
“Hadirnya Pangeran Tua itu tentu merupakan tanda bahwa mereka sudah siap untuk
menyerbu ke selatan. Agaknya kedua orang Pangeran Tua itu memecah diri, yang
seorang mendampingi Kim Bouw Sin merupakan penyerbuan dari luar, sedangkan yang
seorang lagi tentulah melakukan gerakan dari dalam.”
Jenderal Kao
mengangguk-angguk dan mengusap-usap jenggotnya. “Jalan satu-satunya hanyalah
menghancurkan mereka sebelum mereka bergerak! Kalau sampai terjadi perang di
selatan tentu akan menimbulkan kerusakan hebat di kalangan rakyat. Akan tetapi,
saya tahu betapa kuatnya benteng Teng-bun, dan menurut penyelidikan saya
kekuatan mereka cukup besar, terdiri dari tiga puluh ribu orang lebih. Menyerbu
Teng-bun merupakan pekerjaan yang sulit dan tentu akan makan korban banyak
prajurit.”
“Bagaimana
kalau kita menyerbu Koan-bun?” Puteri Milana mengajukan usul, tentu saja masih
dipengaruhi kekhawatirannya tentang Kian Lee dan Syanti Dewi.
“Merebut
Koan-bun pasti jauh lebih mudah, akan tetapi tidak begitu besar manfaatnya,
bahkan sisa pasukan mereka tentu akan lari pula ke Teng-bun, membuat benteng
itu menjadi makin kuat. Kalau saja ada jalan untuk memecah kekuatan mereka
menjadi dua...”
Jenderal Kao
tidak melanjutkan kata-katanya karena mendengar teriakan penjaga minta
diperkenankan masuk. Setelah ijin diberikan, dua orang prajurit masuk dan memberi
tahu bahwa lagi-lagi ada seorang yang disangka mata-mata telah ditangkap dan
sudah digiring ke situ.
“Hemmm,
sungguh aneh... tempat kita amat rahasia, siapa yang bisa tahu bahwa kita
berada di sini?” kata jenderal itu. “Bawa dia ke sini!”
Dua orang
prajurit memberi hormat, ke luar dan tak lama kemudian, sepasukan penjaga
menggiring seorang pemuda tinggi besar memasuki pondok itu.
“Kok Cu...!”
Jenderal Kao melompat bangun saking kaget dan girangnya ketika melihat
puteranya itu!
“Lihat
baik-baik!” katanya kepada para penjaga. “Dia ini adalah Kao Kok Cu, puteraku
sendiri. Hayo kalian semua pergi dan menjaga lagi yang waspada!”
Kok Cu sudah
melangkah maju dan berlutut di depan Jenderal Kao. “Ayah...!”
Jenderal Kao
mengangkat bangun puteranya dan memandang dengan mata berseri. “Aih, ke mana
saja engkau, Anakku? Cepat kau beri hormat kepada beliau ini. Beliau adalah
Puteri Milana.”
“Aih,
kiranya inikah puteramu yang dikabarkan kembali setelah lenyap bertahun-tahun,
Jenderal? Sungguh gagah dia!” Milana berkata memuji ketika Kok Cu memberi
hormat kepadanya.
“Apa kabar,
Saudara Kok Cu yang gagah!” Kian Bu berkata dan Kok Cu juga menyalam pemuda
Pulau Es yang pernah dijumpai sebentar di rumah ayahnya di kota raja.
“Ayah, maaf,
agaknya tidak ada waktu untuk bicara tentang urusan pribadi dalam saat seperti
ini. Anak datang untuk menyampaikan berita yang amat penting bagi gerakan Ayah
untuk membasmi pemberontak.”
Jenderal Kao
membelalakkan matanya, lalu menghela napas dengan perasaan gembira dan kelegaan
yang amat besar. Kiranya puteranya ini sama sekali tidak mengecewakan sebagai
puteranya! Tanpa pernah dia memberi didikan sedikit pun, sikap puteranya ini
sudah seperti seorang gagah sejati, seorang berjiwa pahlawan, dan tentu saja
dia merasa amat bangga karena ucapan puteranya itu dikeluarkan di depan Puteri
Milana, pahlawan wanita yang amat dikaguminya itu.
“Tentu saja,
Anakku,” jawabnya dengan nada biasa, padahal hatinya membesar saking bangganya.
“Ceritakanlah, berita apa yang kau bawa itu?”
“Ayah, dan
Paduka Puteri... Ang-kiok-teng pagi hari tadi sudah terjatuh ke tangan pasukan
Tambolon!”
Jenderal Kao
mengerutkan alisnya. Kalau hanya itu beritanya, sama sekali tidak penting lagi.
“Hemm, kami sudah mendengar dengan jelas tentang itu, Kok Cu, Panglima Thio
telah tiba di sini menceritakan tentang terampasnya Ang-kiok-teng, dan bahkan
betapa dia diselamatkan oleh seorang gadis cantik yang lihai dan seorang
laki-laki bermuka buruk seperti setan....” Dia berhenti sebentar, termenung.
“Aku sangat
tertarik akan kelihaian gadis penolongnya itu, yang kabarnya dengan menggunakan
racun merobohkan seratus orang anak buah Tambolon. Apakah engkau juga tahu dia
itu siapa, Kok Cu?” Jenderal Kao bertanya.
“Tentu saja
Ayah sudah mengenal dia baik-baik,” Kok Cu berkata. “Dia adalah gadis yang
gambarnya Ayah sembahyangi dahulu itu...”
“Apa...?!
Kau maksudkan Nona Lu Ceng...?” Jenderal Kao bangkit dan memegang pundak
puteranya. Kalau bukan Kok Cu yang dicengkeram pundaknya seperti itu saking
kaget dan girangnya hati jenderal raksasa ini, agaknya akan remuk tulang
pundaknya!
“Benar,
Ayah. Saya telah menyelidiki dengan jelas.”
“Dan
laki-laki bermuka buruk seperti setan itu?”
“Dia disebut
Topeng Setan, kabarnya kini menjadi pembantu Nona Lu Ceng yang telah menjadi
bengcu orang-orang golongan hitam. Sekarang mereka bersekutu dengan Tambolon.”
“Apa...?!”
jenderal itu berseru kaget.
“Akan tetapi
berita yang amat penting yang hendak anak sampaikan adalah bahwa besok malam
pasukan-pasukan liar yang dipimpin Tambolon secara serentak akan meninggalkan
Ang-kiok-teng dan menyerang Koan-bun untuk dirampasnya.”
“Heiii...?!”
Milana berseru kaget. Berita ini mengejutkan dan tidak terduga-duga sama
sekali.
Jenderal Kao
Liang memejamkan matanya, alisnya yang tebal berkerut-kerut dan dia
berpikir-pikir. Mendadak dia membuka matanya, memandang puteranya dan suaranya
memecah kesunyian, “Engkau yakin benar akan berita ini, Kok Cu?”
“Sudah pasti,
Ayah. Saya mendengar sendiri keputusan itu keluar dari mulut Raja Tambolon dan
mereka kini sedang bersiap-siap.”
Tiba-tiba
Jenderal Kao tertawa bergelak dan memukul-mukul pahanya sendiri. “Ha-ha-ha-ha!
Alangkah bodohnya aku, hampir saja meragukan kebersihan hati seorang gadis
pahlawan!” Lalu dia menoleh kepada Puteri Milana sambil berkata,
“Thian telah
mengirim gadis itu untuk memberi jalan kepada kita! Sudah tentu dia telah
menggunakan siasat, bersekutu dengan Tambolon dan mengajaknya menghantam pemberontak
di Koan-bun. Entah dengan janji dan siasat apa dia berhasil! Inilah kesempatan
kita. Kita biarkan pasukan liar dan pasukan pemberontak saling hantam, sampai
salah satu hancur, kemudian kita gunakan kesempatan selagi pihak yang menang
lengah dan lelah, kita serbu Koan-bun dan Teng-bun. Untuk membantu Koan-bun,
tentu pasukan di Teng-bun akan dikurangi dan benteng itu tidak sekuat
sekarang.”
Puteri
Milana mengangguk-angguk. “Siapakah dia Nona Lu Ceng itu, Kao-goanswe?”
“Ha-ha-ha,
sungguh dia hebat dan sudah membikin aku seorang tua tertipu beberapa kali.
Tadinya dia terjungkal di dalam sumur maut ketika menolongku dari pengkhianatan
Kim Bouw Sin, dia kusangka mati dan bahkan sudah kusembahyangi! Kiranya dia
benar masih hidup! Tadi kusangka dia telah menjadi orang sesat karena selain
menjadi ahli racun juga menjadi bengcu kaum sesat, kiranya dia masih seorang
patriot yang dengan caranya sendiri membasmi pemberontak!”
Malam ini
juga Jenderal Kao dan Puteri Milana mengatur siasat dan membagi-bagi tugas. Sepertiga
jumlah pasukan akan memasang barisan pendam di sekitar Koan-bun dan akan
menanti sampai pasukan liar Tambolon menyerbu Koan-bun, membiarkan pasukan liar
dan pasukan pemberontak perang sendiri dan Kok Cu ditugaskan oleh ayahnya untuk
memimpin pasukan ini.
“Tunggu
sampai perang itu selesai dan pihak pemenang, baik pihak pemberontak mau pun
pihak Tambolon, berpesta merayakan kemenangannya sehingga lengah, baru turun
tangan serbu dan rampas Koan-bun. Pasukan itu terdiri dari lima ribu orang
prajurit pilihan, dan engkau dibantu oleh Perwira Thio Luk Cong, bekas komandan
di Ang-kiok-teng. Nah, kau atur dan rundingkan dengan Thio-ciangkun, sedangkan
urusan pribadi kita bicarakan kalau semua tugas sudah selesai dengan baik.”
“Baik,
Ayah.”
Thio Luk
Cong lalu dipanggil dan bersama Kok Cu mereka lalu keluar dari pondok itu untuk
merundingkan dan mengatur pasukan mereka yang bertugas bergerak di Koan-bun
setelah membiarkan pihak pemberontak bertempur sendiri dengan pasukan liar yang
dipimpin Tambolon. Kok Cu menyerahkan pimpinan pasukan kepada Panglima Thio
karena dia sendiri merasa tidak mampu mengatur barisan dan dia berjanji akan
menyelundup terlebih dahulu ke Koan-bun dan menyelidiki keadaan. Panglima Thio
memberikan anak panah-anak panah berapi kepada Kok Cu dan mereka berjanji bahwa
panah berapi itulah yang akan menjadi tanda dari Kok Cu bahwa saatnya yang
tepat telah tiba bagi pasukan-pasukan pemerintah di bawah pimpinan
Thio-ciangkun untuk turun tangan menyerbu Koan-bun.
Lima ribu
orang pasukan lagi disiapkan bertugas untuk memotong jalan kalau barisan
pemberontak dari Teng-bun mengirim bala bantuan ke Koan-bun, dan lima ribu
orang pasukan lagi bertugas menyerbu Teng-bun. Pasukan pertama dipimpin oleh
Puteri Milana dan pasukan ini juga bertugas sebagai pembantu pasukan yang
menyerbu Teng-bun yang menjadi pusat kekuatan pemberontak, sedangkan pasukan
penyerbu Teng-bun itu dipimpin oleh Jenderal Kao sendiri, dibantu oleh Kian Bu.
Pemuda ini
masih merasa gelisah memikirkan Kian Lee yang tidak ketahuan berada di mana,
juga Puteri Syanti Dewi yang lenyap. Tetapi karena keadaan tidak mengijinkan
untuk mencari, dan perang sudah berada di depan mata, pemuda ini terpaksa
menekan kekhawatirannya dengan hiburan bahwa kakaknya adalah seorang yang
berkepandaian tinggi dan biar pun mengalami luka di pahanya, kiranya masih akan
mampu menjaga diri dengan baik. Hanya dia gelisah memikirkan Syanti Dewi,
karena kalau puteri itu terjatuh ke tangan pemberontak, tentu celaka. Akan
tetapi dia mempunyai harapan dan kepercayaan bahwa Gak Bun Beng kiranya akan
dapat mencari dan menemukan kedua orang yang lenyap itu.
Setelah Kok
Cu berunding dengan Panglima Thio Luk Cong dan menerima pesan-pesan dari ayahnya,
menjelang pagi dia meninggalkan hutan itu untuk mulai dengan tugasnya, membantu
Panglima Thio yang diam-diam menggerakkan pasukannya menjadi barisan pendam di
sekitar kota Koan-bun.....
***************
Tek Hoat
melayani Pangeran Liong Khi Ong makan minum. Pemuda ini kelihatannya biasa
saja, akan tetapi sebenarnya hatinya merasa risau bukan main. Semenjak dia
bertemu dengan Syanti Dewi dan melihat puteri bangsawan itu terjatuh ke tangan
Pangeran Tua ini, hatinya selalu gelisah. Dia sendiri tidak mengerti mengapa,
akan tetapi dia merasa betapa semua semangatnya lenyap, kegairahannya untuk
membantu pihak pemberontak agar dapat cepat mencapai kemenangan dan dia
memperoleh kesempatan untuk meraih kedudukan tinggi, kini menjadi dingin dan
kehilangan artinya.
Bahkan
kegembiraan Pangeran Liong Khi Ong yang makan minum sampai mabok ditemani oleh
panglima pemberontak Kim Bouw Sin dan dia sendiri bersama Pak-thian Lo-mo dan
Lam-thian Lo-mo tidak mendatangkan kegembiraan pula di dalam hatinya, bahkan
sebaliknya dia merasa tidak senang, walau pun ketidak senangannya ini tidak dia
perlihatkan. Tanpa disadarinya sendiri, terjadi perubahan di dalam hati Tek
Hoat, dan perubahan itu terjadi di luar pengetahuannya dan hanya disebabkan
oleh kehadiran Syanti Dewi sebagai orang tawanan Pangeran Liong Khi Ong.
Memang
Pangeran Liong Khi Ong gembira sekali setelah dia dapat menawan Syanti Dewi
yang ternyata luar biasa cantiknya, bahkan melebihi semua kabar yang pernah
diperolehnya tentang Puteri Bhutan yang oleh Kaisar telah dijodohkan dengan dia
itu. Kehadiran puteri itu secara tak terduga-duga sampai terjatuh ke tangannya
sungguh merupakan hal yang amat menguntungkan, baik untuk pribadinya sendiri
mau pun untuk perjuangannya. Puteri Bhutan itu merupakan orang penting pada waktu
itu.
Pertama-tama,
siasat mereka menimbulkan sakit hati Raja Bhutan dengan lenyapnya Syanti Dewi
saat diantar ke timur telah berhasil, dan kelak, kalau perjuangan itu berhasil
dan dia bersama kakaknya menduduki tampuk pemerintahan, lalu mereka ‘berjasa’
pula menemukan kembali Puteri Bhutan yang hilang itu, berarti menanam hubungan
baik dengan Bhutan. Ketiganya, dia dapat memiliki puteri cantik jelita itu
disamping jasa-jasa baik ini!
“Eh,
Kim-ciangkun, bagaimana beritanya tentang Tambolon dengan pasukannya yang
menyerbu Ang-kiok-teng?” Pangeran yang mukanya sudah merah itu bertanya kepada
Panglima Kim Bouw Sin.
Kim Bouw Sin
tersenyum lebar. “Tepat seperti yang kita rencanakan, berkat siasat Ang-taihiap
yang cerdik sekali. Tambolon dan anak buahnya itu seperti gerombolan anjing
kelaparan, diberi tulang-tulang busuk pun sudah berebutan! Kini mereka
kekenyangan tulang busuk dan tidak banyak menggonggong lagi. Tunggu beberapa
hari lagi dan kalau mereka sudah mulai lapar, kita pergunakan mereka sebagai pasukan-pasukan
pelopor menyerbu ke selatan.”
Pangeran
Liong Khi Ong tertawa gembira dan berkata sambil memandang Tek Hoat, “Untuk
jasa itu kami perlu memberi selamat kepadamu dengan secawan arak, Ang Tek
Hoat.”
Kim Bouw Sin
dan Pangeran Liong Khi Ong memberi selamat dengan minum arak yang terpaksa
diterima dan diikuti oleh Tek Hoat dengan hati berat, akan tetapi Pak-thian
Lo-mo dan Lam-thian Lo-mo tidak mengangkat cawan arak mereka. Melihat hal ini,
Tek Hoat mengerutkan alisnya akan tetapi dia diam saja. Liong Khi Ong yang
melihat hal ini menjadi tidak senang hatinya. Tek Hoat adalah pembantunya yang
utama, tangan kanannya, sedangkan dua orang kakek aneh itu kini merupakan
pembantu-pembantu Kim Bouw Sin.
“Eh, Ji-wi
Siang Lo-mo mengapa tidak ikut memberi selamat kepada Ang Tek Hoat yang sudah
berjasa besar?”
Pak-thian
Lo-mo yang mukanya putih itu tidak menjawab, hanya menunduk dan mengerling ke
arah Tek Hoat dengan pandang mata tidak senang. Sedangkan Lam-thian Lo-mo yang
lebih pandai bicara, mengangguk hormat kepada Pangeran Liong Khi Ong sambil
berkata, “Siasat itu memang baik sekali dan sudah sepatutnya kalau semua
memujinya. Akan tetapi setelah apa yang kami dengarkan dari Hek-wan Kui-bo,
kami berdua menjadi agak ragu-ragu untuk memberi selamat, sebelum Ang-sicu
memberi penjelasan akan perbuatannya itu.”
Tek Hoat
memandang kakek kembar itu dengan sinar mata tajam dan mereka pun menatap
wajahnya dengan penuh selidik sehingga mereka saling pandang dengan sinar mata
yang makin lama makin menjadi panas! Api persaingan telah mulai menyala di
antara para pembantu utama pimpinan pemberontak itu!
Tek Hoat
yang cerdik itu tentu saja telah dapat menduga apa yang telah diceritakan oleh
nenek buruk itu, akan tetapi dengan cerdik dia malah sengaja menantang untuk
menimbulkan kesan bahwa dia tidak menyimpan rahasia apa-apa, dan dia bertanya,
“Siang Lo-mo, di depan Pangeran dan Kim-ciangkun, tidak perlu kita bicara
sembunyi-sembunyi, katakan saja mengapa kalian meragukan aku dan apa yang telah
diceritakan oleh nenek iblis itu kepada kalian mengenai diriku.”
Sepasang
kakek kembar itu saling pandang dan nampaknya mereka terheran melihat sikap
pemuda itu yang sama sekali tidak kelihatan gugup atau takut sebagaimana
biasanya orang yang melakukan kesalahan. Kemudian Lam-thian Lo-mo berkata lagi,
“Kami mendengar dari Hek-wan Kui-bo bahwa ketika engkau diajak oleh Kui-bo
melihat gadis yang ditawannya, tiba-tiba engkau menyerangnya sehingga nenek itu
terpaksa melarikan diri dan cepat melapor kepada Pangeran tentang Puteri Bhutan
itu. Bukankah perbuatanmu itu aneh sekali, Ang-sicu?”
Setelah
Lam-thian Lo-mo mengajukan pertanyaan ini, suasana di dalam ruangan itu menjadi
sunyi. Pangeran Liong Khi Ong bersama Panglima Kim memandang kepada pemuda itu
dengan sinar mata jelas membayangkan keheranan dan keinginan tahu, menuntut
penjelasan.
Tek Hoat
telah memutar otaknya dan kelihatan tenang saja, bahkan tersenyum ketika dia
berkata kepada kakek kembar itu, “Tentu saja ada penjelasanku untuk hal itu.
Akan tetapi sebelum aku memberi penjelasan, aku lebih dulu ingin mengetahui
bagaimana pendapat dan dugaan Siang Lo-mo tentang perbuatanku itu sehingga
kalian menaruh curiga kepadaku?”
Pertanyaan
ini jelas merupakan tantangan kepada sepasang kakek kembar itu untuk membuka
isi hatinya di depan Pangeran Liong dan Panglima Kim. Pak-thian Lo-mo yang tak
pandai bicara, melihat saudara kembarnya ditantang, segera bertepuk tangan dan
berkata tegas, “Ang-sicu mendengar Kui-bo hendak mempersembahkan gadis itu
kepada Pangeran lalu menyerangnya, tentu berniat hendak memiliki sendiri dara
cantik itu!”
Tek Hoat
tersenyum dan beralih memandang kepada Lam-thian Lo-mo. “Demikiankah pendapatmu
pula?”
Lam-thian
Lo-mo cepat mengangguk. “Apa lagi kalau tidak begitu niatmu, Sicu? Karena
kecantikan seorang gadis, hampir engkau meninggalkan kesetiaanmu!”
Tek Hoat
lalu menoleh kepada Pangeran Liong dan Panglima Kim yang dengan tajam
memandangnya, lalu bertanya, “Apakah saya diharuskan menjelaskan perbuatan saya
menyerang Hek-wan Kui-bo?”
Pangeran
Liong mengangguk. “Karena pertanyaan telah diajukan, hati kami tidak akan
merasa puas sebelum mendengar penjelasanmu, Ang Tek Hoat.”
Tek Hoat
lalu berkata, suaranya lantang dan tenang, “Memang saya akui bahwa saya telah
menyerang nenek iblis itu. Saya bertemu dengan nenek itu di jalan dan hal ini
saja sudah menimbulkan kecurigaan saya, menyangka bahwa dia adalah seorang
mata-mata musuh. Kemudian dia menyatakan hendak mempersembahkan seorang gadis.
Tentu saja kecurigaan saya bertambah. Dalam keadaan seperti sekarang ini, siapa
tidak mencurigai nenek iblis yang tiba-tiba saja hendak mengabdi dan
mempersembahkan seorang gadis sebagai sogokan? Dan ketika saya dibawanya masuk
ke dalam gedung Coa-wangwe, melihat Coa-wangwe sekeluarga dibelenggu, saya
hampir yakin bahwa nenek iblis itu tentulah seorang mata-mata musuh yang amat
berbahaya. Coa-wangwe adalah seorang sahabat kita yang sudah banyak membantu
perjuangan, melihat dia sekeluarga diperlakukan seperti itu, siapa yang tidak
merasa marah dan curiga? Apa lagi setelah saya melihat bahwa gadis itu bukan
lain adalah Sang Puteri Syanti Dewi yang tentu saja saya segera mengenalnya,
kecurigaan saya menjadi bulat bahwa nenek ini mempunyai niat yang jahat, maka
tanpa banyak cakap lagi saya lalu menyerangnya. Sampai detik itu pun saya masih
tetap mencurigai nenek itu, apakah hal ini berarti aku kehilangan kesetiaan?”
Tek Hoat
bicara dengan tenang dan lancar, dan alasannya cukup meyakinkan sehingga bukan
hanya Pangeran Liong dan Panglima Kim yang mengangguk-angguk, bahkan Siang
Lo-mo sendiri juga mengangguk dan lenyaplah kecurigaan mereka.
Pangeran
Liong tertawa girang. “Bagus, dengan demikian teranglah sudah segalanya. Dan
engkau tidak perlu meragukan, Tek Hoat. Nenek itu adalah seorang tokoh besar
golongan hitam, mana mungkin dia membantu Pemerintah Ceng? Bahkan dia pernah
menyatakan bahwa suheng-nya yang berjuluk Hek-tiauw Lo-mo, yang katanya
memiliki kepandaian paling tinggi di dunia ini, juga sudah berada di kota ini
dan siap membantu perjuangan kita, demikian pula seorang sumoi-nya yang amat
lihai berjuluk Mauw Siauw Mo-li.”
Tek Hoat
mengangguk-angguk. “Kalau begitu, saya tidak curiga lagi, tetapi kecurigaan
saya hanya karena saya setia terhadap perjuangan, tidak seperti kecurigaan
Siang Lo-mo terhadap saya yang didasari oleh perasaan iri hati!”
“Hemmm, apa
maksudmu dengan kata-kata itu, Ang-sicu?” Pak-thian Lo-mo bertanya dengan suara
kereng dan pandang mata tajam.
Tek Hoat
tersenyum dan memandang kepada kakek kembar itu dengan sinar mata mengejek,
“Maksud saya sudah jelas! Kalian tidak suka memberi selamat kepadaku karena
iri, maka biarlah sekarang saya yang memberi selamat kepada kalian dengan
secawan arak!”
Sambil
tersenyum, Tek Hoat membuka kedua tangannya ke arah dua buah cawan arak kosong
yang terletak di atas meja, di depan dua orang kakek kembar itu dan seperti
bernyawa saja, dua buah cawan arak kosong itu ‘terbang’ ke arah kedua tangan
Tek Hoat. Pemuda ini cepat mengisi dua cawan arak itu dengan arak sampai penuh,
lalu mengangkat dua cawan yang penuh arak itu dengan lengan kedua tangan
dilonjorkan dan disodorkannya kedua cawan itu ke arah Siang Lo-mo sambil dia
berkata, “Nah, terimalah pemberian selamat saya kepada kalian!”
“Tek Hoat
dan Siang Lo-mo, jangan melakukan kekerasan dan bertentangan antara kawan
sendiri!” Pangeran Liong Khi Ong berkata dengan khawatir.
“Saya hanya
memberi selamat kepada Siang Lo-mo, Pangeran,” Tek Hoat menjawab tenang.
Lam-thian
Lo-mo tertawa, “Ha-ha-ha, harap Paduka jangan khawatir, agaknya Ang-sicu hanya
ingin menguji hamba berdua.”
Dia menoleh
kepada Pak-thian Lo-mo dan berkata, “Mari kita menerima pemberian selamat
Ang-sicu.”
Dua orang
kakek kembar itu lalu meluruskan lengan dan menyambut cawan arak itu dengan
tangan kanan mereka, tentu saja mereka yang maklum bahwa pemuda itu bukannya
memberi selamat secara biasa saja, mereka telah mengerahkan sinkang mereka,
disalurkan melalui lengan sampai ke tangan mereka ketika jari-jari tangan
mereka menyentuh cawan arak.
Jari-jari
tangan tiga orang itu melekat pada dua buah cawan itu dan lengan mereka mulai
tergetar hebat. Adu tenaga sinkang terjadi, satu melawan dua! Sepasang kakek
kembar itu sudah mengenal Tek Hoat dan maklum bahwa pemuda itu memiliki ilmu
kepandaian tinggi, akan tetapi karena maju berdua, mereka tidak menjadi gentar
dan mereka yakin bahwa tidaklah mungkin lawan semuda itu akan dapat mengalahkan
tenaga sinkang mereka yang tergabung.
Pangeran
Liong Ki Ong dan Panglima Kim Bouw Sin memandang dengan hati tegang akan tetapi
juga gembira karena mereka memang sering menduga-duga siapa di antara mereka
yang lebih lihai, sungguh pun terdapat kekhawatiran di dalam hati mereka bahwa
adu tenaga sinkang itu akan berubah menjadi pertandingan sungguh-sungguh.
Mereka
memandang dengan hati berdebar dan terkejutlah mereka melihat betapa arak di
dalam dua cawan itu tiba-tiba menjadi naik dan terguncang. Mereka melihat Tek
Hoat tersenyum dan agaknya pemuda itu hendak menggunakan sinkang-nya untuk
membuat arak itu terus naik dan muncrat ke arah dua orang kakek kembar. Akan
tetapi, dua orang kakek itu mengerahkan tenaga mereka dan arak itu turun
kembali. Beberapa kali arak itu naik lagi, bahkan sampai melampaui bibir cawan,
dan anehnya tidak tumpah seolah-olah arak itu sudah menjadi beku, dan setelah
dua orang kakek itu kelihatan mengerahkan seluruh tenaga, barulah arak itu
turun lagi.
Mereka
bersitegang beberapa lamanya dan sepasang kakek kembar itu sudah mulai
berkeringat dahi mereka, akan tetapi Tek Hoat masih tenang dan tersenyum,
seolah-olah dia tidak mengeluarkan seluruh tenaganya. Hal ini saja sudah
membuktikan bahwa biar pun dia dikeroyok dua, namun dia sama sekali tidak
terdesak.
Melihat
keadaan dua orang kakek yang menjadi pengawal dan pembantu-pembantunya itu
kelihatan terdesak dan berkeringat, Panglima Kim hendak menghentikan adu tenaga
ilmu. Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara ketawa halus seorang wanita dan
tampak dua bayangan orang berkelebat dan di situ tahu-tahu telah berdiri dua
orang yang kedatangannya seperti setan saja! Yang seorang adalah kakek yang
tubuhnya tinggi besar dan mukanya menyeramkan seperti raksasa liar, tetapi
orang kedua merupakan seorang wanita yang cantik dengan pakaian mewah dan dia
muncul didahului bau harum semerbak! Sambil tersenyum wanita dan kakek raksasa
itu mendekati meja.
“Aihh,
suguhan arak kalau tidak diterima sungguh sayang. Biar aku mengambil satu
cawan!”
“Ha-ha, kau
benar sekali, Mo-li! Engkau secawan dan aku secawan!” Kakek raksasa itu pun
berkata sambil tertawa dan tampaklah dua buah taring di dalam mulutnya.
Mereka
membuka mulut dan menyedot, dan... arak dari dalam cawan yang sedang
diperebutkan oleh Tek Hoat dan Siang Lo-mo itu tiba-tiba bergerak naik dan
keluar, terus memancar naik memasuki mulut wanita dan kakek raksasa itu yang
menelannya dengan enak sekali.
Melihat ini,
Tek Hoat dan Siang Lo-mo menarik kembali tenaga mereka. Mereka tidak merasa
heran dengan perbuatan dua orang pendatang baru itu. Karena tadi mereka saling
mengadu tenaga dan mempertahankan cawan, tentu saja dua orang yang juga
memiliki sinkang kuat itu berhasil ‘mencuri’ arak dari dalam kedua cawan. Andai
kata mereka bertiga tidak sedang mengadu tenaga dan mempertahankan, tidak
mungkin dua orang itu akan dapat ‘minum’ semudah itu.
Tek Hoat dan
Siang Lo-mo sudah meloncat berdiri untuk melindungi Pangeran Liong dan Panglima
Kim, sedangkan panglima itu sendiri sudah berteriak memanggil para pengawal
yang berada di luar. Pasukan pengawal berlari masuk dan mereka terheran-heran
melihat adanya dua orang itu yang tidak mereka lihat masuknya.
“Heh-heh,
harap Paduka Pangeran dan Ciangkun tidak salah paham. Suheng-ku dan sumoi-ku
sudah datang untuk menyumbangkan tenaga!” Suara ini terdengar dari dalam, suara
Nenek Hek-wan Kui-bo.
Mendengar
ini, Pangeran Liong Khi Ong segera mengangkat tangan menahan pasukan pengawal
yang sudah mengurung dua orang itu, lalu bertanya, “Apakah kalian yang berjuluk
Hek-tiauw Lo-mo dan Mauw Siauw Mo-li?”
Kakek tinggi
besar dan wanita cantik itu menjura dengan hormat, dan kakek raksasa itulah
yang menjawab, “Tepat dugaan Paduka Pangeran Liong Khi Ong!”
“Maafkan
kedatangan kami yang tidak diundang,” kata pula Mauw Siauw Mo-li dengan
suaranya yang halus, lirikan matanya menyambar ke wajah Tek Hoat yang tampan
dan senyumnya memikat.
Pangeran
Liong Khi Ong terkenal sebagai seorang yang pandai mengambil hati orang-orang
pandai, maka dia ditugaskan oleh kakaknya, Pangeran Liong Bin Ong sebagai
penghimpun tenaga di luar kota raja yang ternyata berhasil baik. Bahkan
Panglima Kim Bouw Sin adalah panglima yang kena dipikat oleh pangeran ini.
Kini, menghadapi dua orang pandai dan golongan hitam itu, Pangeran Liong yang
cerdik segera dapat menentukan sikapnya. Sambil tertawa dia lalu berkata, “Ah,
sudah lama kami menanti kedatangan kalian berdua. Silakan duduk dan terimalah
ucapan selamat datang dari kami!”
Panglima Kim
Bouw Sin menyuruh pengawal-pengawal mundur dan mereka kemudian menjamu dua
orang yang baru datang itu. Mauw Siauw Mo-li segera tertarik sekali kepada Tek
Hoat dan dia mengangkat cawan araknyaa, memandang tajam penuh daya pikat kepada
pemuda itu, berkata halus sambil tersenyum dan ketika bicara bibirnya bergerak
penuh tantangan, “Saya telah mendengar nama besar pendekar muda Ang Tek Hoat
dan sungguh seperti mimpi saja rasanya dapat bertemu dan makan semeja dengan
pendekar muda Ang. Saya menghaturkan secawan arak untuk persahabatan antara
kita!”
Biar pun
hatinya masih bercuriga kepada dua orang ini, namun karena mereka sudah
diterima oleh Pangeran Liong sendiri, Tek Hoat terpaksa bersikap manis,
menerima pemberian selamat itu dan mengucapkan terima kasih. Pangeran Liong
menjadi makin gembira ditemani oleh dua orang pembantu baru ini, apa lagi sikap
Mauw Siauw Mo-li yang penuh daya pikat itu membuat dia lupa bahwa sejak tadi
dia sudah terlampau banyak minum arak keras. Akhirnya pangeran itu menjadi agak
mabok oleh pengaruh arak.
“Ha-ha-ha,
perutku sudah kenyang... aihhh, aku ngantuk sekali, ingin tidur... akan tetapi
siapa yang mau menemaniku?” Berkata demikian, dia bangkit dari bangkunya sambil
memandang dengan penuh ajakan kepada Mauw Siauw Mo-li yang cantik.
Melihat ini,
Lam-thian Lo-mo yang sangat mengkhawatirkan keselamatan pangeran itu dan belum
percaya betul kepada wanita yang baru datang ini, cepat berkata, “Apakah Paduka
lupa akan bunga segar dari Bhutan itu?”
Berkata
demikian, Lam-thian Lo-mo melirik ke arah Tek Hoat dengan pandang mata penuh
arti. Kiranya kakek bermuka merah yang cerdik ini tidak saja ingin mencegah
pangeran itu tidur bersama Mauw Siauw Mo-li yang belum dipercayanya, akan
tetapi juga ingin membuktikan bahwa Tek Hoat memang tidak mempunyai perasaan
apa-apa terhadap Puteri Bhutan itu.
“Ha-ha-ha,
engkau benar sekali, Lam-thian Lo-mo. Mengapa aku sampai terlupa? Kelak dia
menjadi isteriku, sekarang pun apa bedanya? Ha-ha-ha-ha, Mo-li, lain kali saja
kita melanjutkan persahabatan kita, ya? Silakan kalian melanjutkan pesta ini,
aku mau... mau... menikmati bunga segar dari Bhutan, ha-ha-ha-ha!” Pangeran
yang mabok itu bangkit dari kursinya dan dengan terhuyung-huyung meninggalkan
ruangan itu menuju kamar di mana Syanti Dewi dikeram dan dijaga oleh Hek-wan
Kui-bo di luar kamarnya.
Dapat
dibayangkan betapa mendongkol rasa hati Tek Hoat. Dia mengerti akan lirikan
mata Lam-thian Lo-mo dan dia menahan kemarahan hatinya. Dalam bingungnya dia
tidak tahu harus berbuat apa. Dibayangkannya betapa Syanti Dewi meronta-ronta
di bawah dekapan Pangeran Liong Khi Ong yang memperkosanya, dan dia merasa
jantungnya seperti berhenti berdetik.
“Ang-sicu,
mari kita minum arak bahagia untuk memberi selamat kepada pangeran yang sedang
berpengantin di dalam kamar bersama Puteri Bhutan!” Lam-thian Lo-mo berkata
sambil mengangkat cawan araknya.
Tek Hoat
terpaksa minum araknya dengan hati panas karena dia maklum bahwa kakek itu
sengaja hendak mengejeknya. Tetapi Tek Hoat adalah seorang pemuda yang cerdik
sekali. Dia maklum bahwa betapa pun tinggi kepandaiannya, dia tidak mungkin
akan dapat menandingi begitu banyaknya orang pandai. Sepasang kakek kembar itu
mungkin dapat dia tandingi, biar dibantu oleh nenek Hek-wan Kui-bo sekali pun,
akan tetapi kedatangan Hek-tiauw Lo-mo dan Mauw Siauw Mo-li merubah keadaan dan
kalau mereka ini pun maju menentangnya, tentu dia akan celaka.
“Hi-hik,
Ang-taihiap... pangeran itu sungguh romantis... hemm, membuat orang menjadi
tertarik dan timbul semangat! Ang-taihiap, bagaimana kalau kita berdua juga
mengaso dan saling menuturkan riwayat hidup kita untuk mempererat persahabatan?”
“Ha-ha-ha-ha,
engkau benar-benar mata keranjang, Sumoi!” Hek-tiauw Lo-mo tertawa bergelak.
“Aih,
Suheng! Hidup satu kali kalau tidak bersenang-senang mau apa lagi? Kalau sudah
mati, kepingin pun tidak akan mampu bergerak lagi. Betul tidak, Ang-taihiap?”
Sambil
berkata demikian, Mauw Siauw Mo-li menggeser bangkunya mendekat dan tangannya
meraba-raba dari bawah meja ke paha Tek Hoat. Selagi pemuda ini bingung dan
tidak tahu harus berbuat apa, tiba-tiba terdengar suara hiruk-pikuk di luar
ruangan itu dan dua orang pengawal masuk dan memberi hormat kepada Panglima Kim
Bouw Sin, lalu berkata lantang, “Lapor! Peristiwa hebat terjadi di Koan-bun!”
Kim Bouw Sin
bangkit berdiri dan matanya terbelalak. “Lekas katakan. Apa yang terjadi di
Koan-bun?”
Dengan sikap
gugup pengawal itu lalu menjawab, “Koan-bun pada saat ini sedang diserbu oleh
pasukan liar Raja Tambolon dan membutuhkan bantuan, Ciangkun.”
Berita ini
amat mengejutkan.
“Celaka...!”
Tek Hoat sudah meloncat dari kursinya. “Pangeran harus cepat diberi tahu!”
Bagaikan kilat cepatnya tubuhnya sudah meloncat ke dalam dan tak lama kemudian
dia sudah menggedor pintu kamar Pangeran Liong Khi Ong.
“Ihh, engkau
mau apa?” Nenek Hek-wan Kui-bo menegur dan tongkatnya sudah siap untuk
menyerang.
“Bodoh!” Tek
Hoat membentak. “Ada laporan penting untuk Pangeran!” Dia mengetuk pintu lagi
dan pintu terbuka dari dalam.
Dengan muka
merah karena setengah mabok dan juga marah Pangeran Liong Khi Ong
memperlihatkan mukanya sambil memandang marah kepada pembantunya itu.
“Ang Tek
Hoat, mengapa engkau menggangguku?”
Dari pintu
yang terbuka sedikit itu Tek Hoat dapat melihat ke dalam. Ketika dia melihat
Syanti Dewi duduk di atas kursi di kamar itu dengan mata terbelalak dan muka
pucat, tetapi hanya kelihatan marah sedangkan pakaiannya masih lengkap, hatinya
menjadi lega. Dia cepat memberi hormat kepada Pangeran Liong Khi Ong lalu
berkata, “Berita buruk sekali, Pangeran. Baru saja datang laporan bahwa
Tambolon yang curang itu telah mengerahkan pasukannya menyerbu Koan-bun.”
Seketika
rasa mabok oleh arak dan kecantikan Puteri Bhutan terbang meninggalkan benak
pangeran ini. “Apa...?!”
Dia sudah
membuka lebar daun pintu dan berlari ke ruangan diikuti oleh Tek Hoat,
sedangkan Hek-wan Kui-bo tetap menjaga di depan pintu kamar Syanti Dewi. Memang
bagi dua orang kakak beradik Pangeran Liong, urusan pemberontakan mereka
merupakan hal terpenting bagi hidup mereka, oleh karena itu tidak mengherankan
apa bila Pangeran Liong Khi Ong segera melupakan semua kesenangan pribadinya
begitu mendengar berita diserbunya Koan-bun oleh Raja Tambolon. Ketika dia tiba
di ruangan itu, Panglima Kim Bouw Sin, Siang Lo-mo, Hek-tiauw Lo-mo, dan Mauw
Siauw Mo-li sedang mendengarkan laporan lengkap dari pembawa berita itu.
Kemunculan pangeran ini mengharuskan Si Pengawal mengulang semua laporannya.
“Mereka
datang sebagai sahabat,” pengawal itu menutup laporannya. “Namun begitu pintu
gerbang dibuka untuk membiarkan Raja Tambolon dan para pengikutnya masuk,
tiba-tiba rombongan raja liar itu membunuhi penjaga pintu gerbang dan
pasukannya yang bersembunyi dalam gelap langsung menyerbu ke dalam kota.”
Pangeran
Liong Ki Ong marah sekali mendengar ini. “Raja biadab itu! Panglima Kim Bouw
Sin, kita harus menghajar dan menumpas mereka!”
Panglima Kim
Bouw Sin segera mengumpulkan para perwira pembantunya, kemudian menyiapkan
pasukan yang besar untuk membantu Koan-bun dan menumpas pasukan liar Tambolon
itu. Tek Hoat maklum bahwa karena dialah yang mengusulkan untuk membiarkan
Tambolon dan pasukannya menetap di Ang-kiok-teng, sudah sepatutnya kalau dia
yang kini membantu dan ikut memimpin pasukan itu. Andai kata tidak ada Syanti Dewi
di situ, tentu sudah tadi dia mengajukan diri.
Kini dia
berpendapat lain dan kecerdikannya membuat dia cepat berkata kepada Panglima
Kim Bouw Sin, akan tetapi tentu saja kata-katanya ini ditujukan untuk menarik
perhatian Pangeran Liong Khi Ong. “Tambolon seperti anjing, diberi sejengkal
ingin sehasta! Manusia semacam dia harus dibasmi, dan kesempatan yang amat baik
ini hendaknya dipergunakan untuk menguji kesanggupan dua orang pembantu baru
kita yaitu Hek-tiauw Lo-mo dan Mauw Siauw Mo-li. Hal-hal aneh terjadi, maka
kita harus tetap waspada dan terutama keselamatan pangeran harus dijaga baik.”
Ucapan ini
diterima baik oleh Panglima Kim dan juga Pangeran Liong. Maka segera diputuskan
bahwa pasukan besar yang akan membantu Koan-bun itu selain dipimpin oleh para
perwira, juga dibantu pula oleh Hek-tiauw Lo-mo dan Mauw Siauw Mo-li.
“Saya
sendiri akan melakukan perondaan dan mengatur penjagaan ketat di Teng-bun,
karena dalam keadaan segawat ini, kita harus tetap waspada dan lebih memperkuat
penjagaan,” Tek Hoat berkata pula dan tanpa menanti persetujuan, dia sudah
keluar pula dan lenyap di dalam kegelapan malam.
Pasukan
besar yang diperbantukan kepada pertahanan kota Koan-bun itu segera berangkat
pada malam hari itu juga.
Sementara
itu, dengan didampingi oleh Ceng Ceng dan Topeng Setan, Raja Tambolon, dua
orang pengawalnya, yaitu Liauw Kui Si Petani Maut dan Yu Ci Pok Si Siucai
lihai, memimpin seribu orang pasukan yang liar itu malam-malam menyerbu
Koan-bun.
Seperti
telah diceritakan oleh para pelapor kepada Pangeran Liong Khi Ong, Tambolon
menggunakan siasat, bersama empat orang pembantunya yang lihai itu dia muncul
di depan pintu gerbang selatan kota Koan-bun dan berteriak minta dibukai pintu
karena dia hendak menemui komandan kota Koan-bun. Setelah kepala penjaga
mengenal Raja Tambolon ini, jembatan gantung diturunkan dan pintu gerbang
dibuka. Raja Tambolon, dua orang pengawal, Ceng Ceng dan Topeng Setan, segera
menyeberangi jembatan gantung dan secara tiba-tiba, lima orang yang
berkepandaian tinggi ini menyerang pasukan penjaga yang terdiri dari dua puluh
orang lebih.
Dalam waktu
singkat saja mereka itu telah merobohkan semua penjaga dan pasukan liar itu
segera menyerbu ke dalam kota. Gegerlah kota Koan-bun dan perang terjadi dengan
hebatnya dan kacau-balau karena penyerbuan yang tak terduga-duga itu membuat
pasukan-pasukan pertahanan kota Koan-bun menjadi bingung. Kalau saja tidak
datang pasukan bantuan dari Teng-bun yang tiba di Koan-bun menjelang pagi,
tentu kota Koan-bun sudah terjatuh ke tangan pasukan Tambolon. Kedatangan
pasukan besar dari Teng-bun ini membangkitkan kembali semangat sisa pasukan
pertahanan Koan-bun dan perang dilanjutkan sampai keesokan harinya. Sebagian
pasukan liar telah menduduki separuh dari kota Koan-bun akan tetapi sebagian pula
kini bertempur di luar pintu gerbang untuk menahan serbuan pasukan pemberontak
yang datang dari Teng-bun.
Perang hebat
terjadi di dalam kota Koan-bun dan juga di luar kota itu. Akan tetapi kini
pasukan liar di bawah pimpinan Tambolon terjepit antara dua pasukan yang berada
di dalam dan yang datang dari luar. Karena jumlah mereka jauh kalah banyak,
maka mulailah mereka terhimpit dan korban-korban berjatuhan.
Tambolon
sendiri seperti biasa dibantu oleh dua orang pengawalnya yang setia, ikut
berperang dan mengamuk ganas. Juga Ceng Ceng dan Topeng Setan bertempur
bahu-membahu, merobohkan banyak tentara pemberontak. Diam-diam kedua orang ini
merasa girang sekali melihat betapa siasat mereka berhasil baik, bahkan bukan
saja mereka dapat mengadu domba antara pasukan-pasukan liar Tambolon dan
pasukan pemberontak, juga mereka memperoleh kesempatan ikut pula bertempur
membasmi para pemberontak.
Akan tetapi
kini pasukan liar Tambolon ini mulai terdesak hebat. Yang mempertahankan diri
di luar terhadap serbuan pasukan pemberontak yang datang dari Teng-bun kini
didesak masuk kota oleh pasukan besar pemberontak itu. Kini semua pasukan liar
yang berperang seperti binatang-binatang buas itu telah digiring masuk ke dalam
kota Koan-bun dan di dalam kota ini terjadilah peristiwa-peristiwa mengerikan.
Bukan hanya perang antara anak buah pasukan-pasukan yang berlawanan, melainkan
pasukan itu terpecah-pecah dan terjadilah perang sampyuh kacau-balau yang
menyeret penduduk kota Koan-bun pula. Seluruh kota menjadi kacau dan di sana-sini
terjadi pembakaran-pembakaran. Mayat-mayat bergelimpangan di mana-mana.
Pasukan liar
itu makin terjepit. Mereka terdiri dari orang-orang liar dan buas yang kalau
sedang berperang seperti berubah menjadi binatang-binatang buas sehingga mereka
itu telah menjatuhkan banyak sekali lawan dalam perang sampyuh itu. Tiap orang
anggota pasukan Tambolon ini baru roboh kalau sedikitnya telah menjatuhkan tiga
orang lawan. Akan tetapi setelah bala bantuan dari Teng-bun tiba, jumlah mereka
jauh kalah banyak dan mulailah mereka terhimpit dan mulai pula timbul rasa
panik di antara mereka.
Ceng Ceng
dan Topeng Setan masih mengamuk dengan pedang mereka, merobohkan banyak sekali
pasukan pemberontak. Namun setelah pasukan dari Teng-bun berhasil mendesak
masuk dan barisan pemberontak ini datang seperti air banjir, mereka berdua
terdesak dan terdorong sampai saling berpisah.
Di antara
kekacauan yang terjadi di Koan-bun itu, di antara ribuan orang penduduk yang
menjadi panik dan ketakutan, terdapat seorang pemuda yang bersembunyi di atas
wuwungan rumah dan menonton perang sampyuh itu dengan hati tertarik sekali.
Ketika dia mendengar bahwa pasukan liar yang dipimpin Tambolon menyerbu kota
Koan-bun, dia terkejut dan merasa heran. Akan tetapi setelah menyaksikan perang
hebat antara pasukan liar ini melawan pasukan-pasukan pemberontak, hatinya
menjadi girang.
Pemuda ini
adalah Suma Kian Lee. Dia tidak mengerti mengapa sekutu pemberontak, pasukan
kuat dari suku bangsa liar yang dipimpin Tambolon itu menyerbu Koan-bun dan
memerangi pasukan pemberontak, sekutu mereka sendiri. Tetapi hal ini tentu saja
menguntungkan pemerintah, maka Kian Lee menjadi girang ketika dia menyaksikan
perang sampyuh kacau-balau yang terjadi di bawah itu.
Pemuda ini
masih belum meninggalkan Koan-bun karena dia ingin mencari suheng-nya, adiknya
dan Syanti Dewi yang terpisah darinya. Seperti diketahui, pemuda ini menderita
luka karena racun senjata rahasia peledak yang dilepas Hek-wan Kui-bo, akan
tetapi luka di pahanya itu telah diobati oleh Kim Hwee Li, puteri Hek-tiauw
Lo-mo. Kini lukanya telah sembuh benar, akan tetapi hatinya gelisah karena dia
masih belum berhasil bertemu kembali dengan Gak Bun Beng, Suma Kian Bu, dan
Syanti Dewi.
Ketika dari
atas wuwungan loteng sebuah rumah besar dia melihat perang yang kacau-balau itu
menjurus ke perbuatan kejam terhadap penduduk, baik yang dilakukan oleh kaum
liar mau pun oleh tentara pemberontak yang mempergunakan kekacauan itu untuk
melampiaskan nafsu-nafsu pribadi mereka, menggarong, memperkosa, dan membunuh,
Kian Lee lalu meloncat turun dan menyelidiki dari rumah ke rumah. Sudah dua
kali dia membunuh dua orang tentara liar yang sedang memaksa dan hendak
memperkosa wanita, dan dia pun telah membunuh tiga orang tentara pemberontak
yang menggarong dan mencoba untuk membunuh pemilik rumah yang digarongnya.
Perang
dilanjutkan sampai keesokan harinya, akan tetapi kini semua pasukan liar di
bawah pimpinan Tambolon itu telah digiring masuk dan perang sampyuh yang berat
sebelah terjadi di dalam kota Koan-bun karena jumlah tentara Tambolon itu jauh
kalah banyak.
Ceng Ceng
yang terpisah dari Topeng Setan masih terus menggerakkan pedangnya, merobohkan
setiap orang tentara pemberontak yang berani mendekatinya. Dia sudah lelah
sekali karena sejak penyerbuan malam tadi sampai pagi ini dia harus bertempur.
Kini dia hanya menjaga diri saja sambil beristirahat dan mencari-cari
pembantunya yang tidak kelihatan lagi itu.
Perang
dilanjutkan dan kini pihak pemberontak mulai melakukan pembersihan karena sisa
tentara liar itu sudah cerai-berai dan mulai main kucing-kucingan bersembunyi
di antara rumah-rumah penduduk Koan-bun. Dengan cara demikian, mereka masih
mampu melakukan perang gerilya yang tentu saja makin mengacaukan kota itu dan
membikin geger para penduduk karena tempat tinggal mereka dipergunakan sebagai
tempat persembunyian, kejar-kejaran dan saling bunuh. Sehari itu pihak pasukan
liar hanya mampu mempertahankan diri sambil bersembunyi di sana-sini dan
akhirnya, ketika malam tiba, sisa mereka tinggal sedikit dan mereka kini hanya
berani melawan kalau tempat sembunyi mereka ketahuan dan hanya karena terpaksa
saja.
Ceng Ceng
makin bingung karena tidak melihat Topeng Setan. Dia mencari-cari ke seluruh
kota namun tidak berhasil karena dia pun harus selalu menghindari pertemuan
dengan pasukan-pasukan pemberontak yang mengadakan operasi pembersihan. Dia
tadi melihat bahwa pasukan pemberontak itu dipimpin oleh seorang kakek raksasa
dan seorang wanita cantik yang amat lihai.
Dapat
dibayangkan betapa heran dan kagetnya ketika dia mengenal kakek itu yang bukan
lain adalah Hek-tiauw Lo-mo, raksasa lihai sekali Ketua Pulau Neraka yang
pernah dijumpainya, bahkan pernah menangkapnya di Lembah Bunga Hitam, ayah dari
Kim Hwee Li yang pernah menolong dan membebaskannya. Ceng Ceng gentar
menghadapi raksasa itu, dan pula, selain dia amat lelah, juga dia telah merasa
puas dengan siasatnya, menghancurkan pasukan Tambolon dan merugikan besar
sekali kepada pasukan pemberontak.
Ceng Ceng
menjadi bingung juga karena hari telah menjadi gelap dan hanya terjadi
pertandingan-pertandingan kecil di sana-sini antara sisa tentara Tambolon yang
ketahuan tempat persembunyian mereka melawan pasukan pemberontak yang
mengadakan pembersihan. Dia masih belum berhasil menemukan kembali Topeng
Setan. Dan tadi dia melihat sinar dari anak panah berapi meluncur tinggi di
angkasa, berwarna kebiruan dan indah. Dia tidak tahu apa artinya anak panah
berapi itu yang meluncur dari tengah kota Koan-bun.
Selagi dia
menyelinap di antara rumah-rumah di dalam cuaca yang mulai gelap itu, tiba-tiba
terdengar bentakan-bentakan keras dan tahu-tahu dia telah dikepung oleh belasan
orang tentara pemberontak yang dipimpin oleh seorang wanita cantik yang
memegang sebatang pedang.
“Ini dia
wanita pemimpin pasukan liar itu!” terdengar bentakan seorang prajurit.
Wanita
cantik yang bukan lain adalah Mauw Siauw Mo-li itu, memandang Ceng Ceng yang
tak dapat melarikan diri lagi itu penuh perhatian, lalu sambil tersenyum dia
bertanya, “Ah, benarkah Tambolon mempunyai pembantu secantik ini?”
“Tidak salah
lagi, Kouw-nio (Nona). Kami tadi melihat dia mengamuk di samping Tambolon dan
para pembantunya. Dia lihai sekali!” kembali terdengar suara meyakinkan dari
seorang prajurit pemberontak.
Mauw Siauw
Mo-li melangkah maju. “Eh, perempuan cantik, apakah engkau selir Tambolon? Hayo
katakan di mana adanya Tambolon dan para pembantunya itu!”
Dapat
dibayangkan betapa mendongkol dan marah hati Ceng Ceng mendengar kata-kata dan
pertanyaan yang dianggapnya menghina itu.
“Perempuan
pemberontak rendah!” Dia memaki sambil menyerang ke depan dengan Ban-tok-kiam
di tangannya.
“Sing...
wuuuuttt-tranggg...!”
Bunga api
berpijar menyilaukan mata ketika pedang Ban-tok-kiam di tangan Ceng Ceng
bertemu dengan pedang di tangan Mauw Siauw Mo-li. Ceng Ceng terhuyung ke
belakang, tetapi siluman kucing itu pun terperanjat melihat betapa ujung
pedangnya patah dan ada hawa beracun yang mengerikan keluar dari pedang di
tangan lawannya itu. Jelas bahwa dalam hal tenaga sinkang, Ceng Ceng masih
kalah oleh lawannya, akan tetapi keampuhan Ban-tok-kiam juga mengejutkan hati
Mauw Siauw Mo-li.
Pada saat
itu, dua orang prajurit menubruk dari kanan kiri menggunakan golok mereka
menyerang. Ceng Ceng memutar pedangnya dan terdengar suara nyaring disusul
runtuhnya dua batang golok yang menjadi buntung berikut lengan kedua orang itu.
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment