Saturday, May 26, 2018

Cerita Silat Serial Kisah Sepasang Rajawali Jilid 29



























         Cerita Silat Kho Ping Hoo
     Serial Kisah Sepasang Rajawali 
               Jilid 29


Beberapa orang Panglima Kerajaan Bhutan maju berkuda, disambut oleh Liauw Ki dan Yu Ci Pok. Dalam puluhan jurus saja para Panglima Bhutan ini roboh dari kuda mereka. Setelah mendapat perkenan Gak Bun Beng, Panglima Jayin dengan marah lalu maju sendiri. Dia menangkan beberapa orang panglima musuh, tetapi ketika berhadapan dengan Lauw Ki Si Petani Maut, baru bertempur dua puluh jurus saja pundaknya sudah terpukul pikulan dan kalau dia tidak cepat mengundurkan diri tentu akan tewas pula!

Gak Bun Beng menjadi penasaran dan marah. Majulah pendekar ini dan segera dia dikeroyok dua oleh Liauw Ki dan Yu Ci Pok. Akan tetapi, dengan mudah saja Bun Beng mempermainkan mereka. Bahkan ketika Hek-tiauw Lo-mo yang kini tahu-tahu sudah bergabung dan membantu Tambolon itu maju pula mengeroyok, tetap saja Gak Bun Beng mengamuk hebat dan membuat Hek-tiauw Lo-mo sendiri terdesak hebat.

Ketua Pulau Neraka itu terkejut bukan main. Apa lagi ketika beberapa kali dia mengadu tenaga, dia memperoleh kenyataan betapa pendekar ini ternyata memiliki tenaga Hui-yang Sinkang, Swat-im Sinkang dan juga tenaga mukjijat Inti Bumi!

“Kau siapakah?” bentaknya berulang-ulang.

Sudah banyak dia bertemu lawan lihai, akan tetapi baru sekarang dia melihat seorang yang memiliki ilmu-ilmu dari Pulau Es dan Pulau Neraka sedemikian sempurnanya, seolah-olah Pendekar Super Sakti sendiri!

“Hemm, Hek-tiauw Lo-mo. Engkau merendahkan nama Pulau Neraka dengan menjadi antek dari Tambolon si pemberontak!” Bun Beng berseru sambil menangkap sambaran pikulan yang dipukulkan oleh Liauw Ki, kemudian sekali dia mengerahkan tenaga, dan...

“Krakkk!”

Terdengar suara dan pikulan itu pun patah-patah. Tentu saja Liauw Kui menjadi pucat dan meloncat mundur.

“Namaku adalah Gak Bun Beng.”

Hek-tiauw Lo-mo terkejut. Pernah dia mendengar nama ini. “Apamukah Pendekar Super Sakti dari Pulau Es?”

“Beliau boleh dibilang adalah guruku!” Bun Beng memutar tubuh dan dorongan telapak tangannya membuat Yu Ci Pok terpental dan terhuyung-huyung.

Pada saat itu, Milana yang melihat Bun Beng dikeroyok dan melihat betapa sudah tiba saatnya memberi perintah menyerbu, mengisyaratkan kepada peniup terompet tanduk binatang. Terdengarlah perintah penyerbuan ini dan dipimpin oleh Jayin yang terluka pundaknya, menyerbulah bala tentara Bhutan dan terjadilah perang sampyuh yang hebat.

Gak Bun Beng kini bertanding dengan hebat melawan Hek-tiauw Lo-mo. Tidak ada orang dari kedua pihak yang berani mendekati dua orang ini, karena sambaran hawa pukulan dari tangan mereka sedemikian hebatnya sehingga dalam jarak dua meter saja orang yang terkena hawa pukulan bisa roboh dan tewas.

Hek-tiauw Lo-mo mainkan sebatang tombak tulang ikan yang ampuh, akan tetapi dengan tenang Gak Bun Beng yang masih bertangan kosong itu menghadapinya. Tombak tulang ikan itu ditangkisnya begitu saja dengan kedua tangannya dan dalam pertandingan mati-matian selama lima puluh jurus lebih, akhirnya Bun Beng berhasil memukul tombak itu sehingga patah menjadi empat potong!

“Keparat!” Hek-tiauw Lo-mo berteriak marah.

Dia mencabut senjatanya yang lebih mengerikan lagi, yaitu sebatang golok gergaji yang amat tebal dan berat. Dengan penasaran dia menyerang mati-matian, namun Gak Bun Beng dapat menghindarkan diri dengan gesit dan tubuhnya berkelebatan di antara gulungan sinar golok.

“Mampuslah!” Tiba-tiba Hek-tiauw Lomo berseru.

Tangan kirinya terbuka dan segumpal uap tipis menyambar. Bun Beng terkejut karena tahu-tahu dirinya telah tertutup oleh sehelai jala tipis sekali yang ternyata amat kuat karena betapa pun dia meronta, dia tidak mampu membebaskan diri dari jala tipis itu.

“Ha-ha-ha, baru kau tahu kelihaian Hek-tiauw Lo-mo!” Ketua Pulau Neraka itu tertawa, goloknya bergerak menyambar.

“Haiiitttt...!” Gak Bun Beng mengeluarkan pekik dahsyat, tubuhnya bergulingan dan Hek-tiauw Lo-mo tidak kuat mempertahankan tali jalanya yang ikut terbawa bergulingan. Kembali Gak Bun Beng mengeluarkan lengking panjang, terdengar suara keras dan... jala itu putus-putus semua dan si pendekar sakti meloncat keluar dari dalam jala.

Hek-tiauw Lo-mo terbelalak. Hampir dia tidak percaya bahwa ada orang yang mampu membebaskan diri dari jalanya. Dia tidak tahu bahwa Gak Bun Beng sudah memiliki tingkat yang sangat tinggi dalam pengerahan tenaga sakti. Tadi pendekar ini sudah mengerahkan seluruh tenaganya dengan tenaga Hui-yang Sinkang (Tenaga Inti Api) yang amat panas dan ternyata jala itu kalah oleh hawa panas yang mukjijat ini sehingga dapat dibikin putus.

Dengan marah Gak Bun Beng meloncat dan menerjang, kedua tangannya bergerak dengan pukulan yang didasari dua tenaga yang berlawanan, yaitu tenaga Swat-im Sinkang dan Hui-yang Sinkang.

“Trakkkk...!”

Golok gergaji itu pun patah terpukul telapak tangan kanan Bun Beng dan pada saat itu, tangan kiri Hek-tiauw Lo-mo melakukan pukulan dengan ilmu keji Hek-coa-tok-ciang (Tangan Beracun Ular Hitam). Inilah kesalahan besar Hek-tiauw Lo-mo. Kalau dia menggunakan ilmu keji ini terhadap lawan lain, biasanya dia berhasil baik, dan bahkan Ceng Ceng pernah menderita hebat oleh pukulan keji ini. Akan tetapi dia berhadapan dengan Gak Bun Beng, seorang pendekar sakti yang selain telah memiliki kepandaian yang amat tinggi tingkatnya, juga memiliki pengalaman yang luas, maka Bun Beng cepat menerima pukulan itu dengan telapak tangan sambil mengerahkan Swat-im Sinkang.

Ilmu pukulan berdasarkan tenaga Im yang amat dingin ini selain kuat juga amat baik untuk menghadapi pukulan-pukulan lawan yang beracun, karena hawa beracun membeku begitu bertemu dengan Tenaga Inti Salju ini.

“Dessss...!”

Hek-tiauw Lo-mo memekik dan tubuhnya terlempar dan bergulingan sampai beberapa tombak jauhnya. Pada saat itu, Tambolon menerjang maju dengan pedangnya disertai dua orang pembantunya.

Akan tetapi tiba-tiba terdengar tiupan terompet dari atas menara, tanda bahwa pasukan Bhutan harus mundur dan masuk kembali ke dalam benteng. Mendengar ini, Gak Bun Beng terkejut dan cepat dia pun mengatur pasukan itu bersama Jayin untuk mundur, meninggalkan pasukan musuh yang mengejar sambil bersorak-sorak. Akhirnya semua pasukan dapat ditarik ke dalam benteng dan pintu gerbang segera ditutup rapat dan penjagaan dilakukan ketat, anak panah dan batu-batu dihujankan keluar sehingga pihak musuh yang mengejar terpaksa mundur kembali.

Bun Beng segera menemui Puteri Milana. Puteri ini merasa agak gelisah sebab ternyata bahwa pihak lawan amat kuat. Tadi dia menarik pasukan karena selagi pasukan induk berperang di luar, di empat penjuru benteng pihak musuh berusaha menyerbu. Maka terpaksa dia menarik pasukan dan memperkuat penjagaan sehingga usaha penyerbuan dari empat penjuru dapat digagalkan dengan menghujankan anak panah dan batu-batu.

Ketika dicacahkan, dalam perang tadi ada seperempat bagian pasukan yang tewas atau tertawan musuh. Biar pun pihak musuh juga banyak kehilangan pasukan, akan tetapi tetap saja jumlah mereka masih amat banyak, dan Tambolon tentu saja masih dapat mendatangkan bala bantuan dari luar, sedangkan pihak Bhutan sudah terkurung dan tak dapat mengharapkan bantuan dari mana pun karena Kerajaan Ceng di timur terlalu jauh letaknya, sedangkan negara-negara tetangga tidak ada yang mau mencampuri urusan itu. Sayang bahwa Kerajaan Bhutan tidak pernah berhubungan terlalu baik dengan Tibet, kalau tidak, tentu Tibet dapat membantu mereka.

“Besok harus ada penentuan,” Puteri Milana berkata ketika mereka berunding. “Kalau musuh dibiarkan mengepung lebih lama, tentu mereka akan bisa memperkuat keadaan, mendatangkan bala bantuan dan hal itu akan berbahaya sekali. Yang paling penting, Tambolon harus dapat ditewaskan. Dialah yang menjadi biang keladi. Kalau sudah tidak ada orang yang mempunyai wibawa dan pengaruh besar di antara suku-suku bangsa petualang itu, pasti persatuan mereka akan membuyar.”

“Akan tetapi, kekuatan pasukan kita kalah banyak,” Gak Bun Beng berkata.

“Karena itu, besok kita harus mengerahkan semua tenaga dan besok kita memberi isyarat kepada Panglima Sangita dan Tek Hoat agar mereka menyergap dan memecah kekuatan dan perhatian musuh.”

“Bagaimana dengan siasat kita semula yang telah kita bicarakan dengan Tek Hoat?” Bun Beng mengingatkan kepada kekasihnya dan juga sumoi-nya itu.

Milana tersenyum. “Malam nanti, menjelang pagi, siasat itu boleh dilaksanakan. Dan pagi-pagi sekali, selagi mereka kacau-balau, kita lalu menyerbu. Mudah-mudahan saja sergapan selagi mereka kacau itu akan mampu menghancurkan jumlah mereka yang lebih besar.”

Malam itu sunyi. Pihak musuh memang beberapa kali mencoba untuk menerobos melalui berbagai jurusan, namun karena penjagaan dilakukan ketat sekali, semua usaha mereka gagal dan banyak di antara mereka yang menjadi korban anak panah dan batu-batu yang disambitkan dari atas. Mereka berusaha melepas anak panah berapi ke dalam kota raja melalui tembok benteng, akan tetapi tembok itu terlalu tinggi dan usaha membakar kota raja itu dapat digagalkan oleh regu-regu pemadam kebakaran yang memang sudah dipersiapkan oleh pihak Bhutan sebelumnya.

Malam itu, para pimpinan di Bhutan tidak ada yang tidur, hanya mengaso sambil duduk di tempat masing-masing. Lewat tengah malam, menjelang pagi, Puteri Milana dan Gak Bun Beng keluar dari kamar dan dua orang sakti ini lalu mementang gendewa. Terdengar tali gendewa menjepret dan tampaklah beberapa kali sinar kemerahan meluncur di angkasa seperti bintang-bintang pindah tempat. Itulah isyarat yang mereka berikan kepada Tek Hoat dan pasukannya untuk mulai dengan siasat mereka, untuk turun tangan.

Sesudah itu mereka menanti. Tidak lama kemudian, menjelang pagi, mulailah terdengar keributan di bawah sana, di luar tembok kota raja dan mulailah nampak api besar bernyala-nyala dan asap di dalam sinar api merah membubung ke angkasa. Makin lama makin banyaklah api yang mengamuk, kemudian terdengar teriakan-teriakan dan suara perang di antara api dan di waktu menjelang pagi itu. Pasukan pengawal istimewa yang dipimpin oleh Tek Hoat dan Sangita telah mulai bergerak!

Puteri Milana tersenyum memandang keluar. “Pemuda itu memang hebat,” bisiknya lirih akan tetapi cukup terdengar oleh Bun Beng.

“Tidak mengecewakan menjadi cucu tiri Suhu...,” berkata pula Bun Beng dan mereka bersiap-siap bersama para penglima untuk menyerbu ke luar bersama pasukan mereka begitu saatnya tiba.....


                     ***************


Kita tinggalkan dulu kota raja Bhutan yang dikepung musuh, yaitu pasukan yang terdiri dari suku-suku bangsa Nomad yang dapat dibujuk oleh Tambolon sehingga terkumpul menjadi barisan yang amat besar jumlahnya dan yang mengancam keselamatan Kerajaan Bhutan, dan mari kita mengikuti perjalanan Ceng Ceng yang mengalami pukulan batin di Pegunungan Yin-san itu.

Setelah terbukanya topeng yang menutupi muka Topeng Setan, yang telah tidak bernyawa dan sekaligus membuka rahasia pendekar itu bahwa Topeng Setan yang telah melimpahkan budi kepadanya yang telah berkorban untuknya, yang dipercaya dan disayangnya itu bukan lain adalah Kok Cu pemuda laknat yang memperkosanya, yang dibencinya dan yang hendak dibunuhnya, maka seketika lenyaplah segala arti kehidupan bagi Ceng Ceng. Musuh besar yang paling dibencinya itu ternyata juga merupakan penolong yang paling disayangnya, dan kini telah mati! Baru terasa olehnya betapa selama ini dia hidup berdasarkan hati benci dan sayang. Dan begitu orang yang dibenci dan disayangnya mati, mati pula dasar hidupnya. Ceng Ceng menjadi seorang yang seolah-olah tidak bersemangat lagi, seperti boneka hidup!

Keinginannya hanya satu, kalau boleh dinamakan keinginan, yaitu kembali ke tempat asalnya, di mana dia dibesarkan dan untuk... mati di tempat itu, di pegunungan luar kota raja Bhutan, bekas tempat tinggal kakeknya.

Seperti telah diceritakan di bagian depan, perjalanannya ini disertai oleh Kim Hwee Li, gadis cilik yang nekat minta menjadi muridnya dan ditemani pula oleh Pendekar Siluman atau Pendekar Super Sakti, Suma Han Majikan Pulau Es. Sungguh merupakan kelompok yang aneh sekali! Seorang pendekar besar yang namanya mengguncangkan dunia persilatan, yang namanya saja sudah cukup membuat orang-orang jahat menjadi gentar dan tokoh-tokoh kang-ouw menjadi kagum, kini melakukan perjalanan bersama seorang gadis yang sudah lenyap gairah hidupnya, dan seorang anak perempuan yang lincah, bengal, puteri dari seorang datuk sesat yang amat kejam, yaitu Ketua Pulau Neraka, Hek-tiauw Lo-mo.

Karena ditemani oleh Pendekar Super Sakti, perjalanan ke barat daya itu berjalan lancar dan tidak ada yang berani mengganggu mereka. Kadang-kadang, kalau melalui daerah berbahaya, Suma Han menggandeng tangan kedua orang gadis itu dan membawa mereka berjalan seperti terbang berloncatan melewati jurang-jurang dalam dan lebar sehingga diam-diam Ceng Ceng yang seperti boneka hidup itu menjadi kagum bukan main, sedangkan Hwee Li bersorak-sorak girang kalau mendapatkan dirinya dapat pula ‘terbang’ tanpa duduk di atas punggung rajawalinya.

Perjalanan itu lancar dan cepat. Dan pada suatu hari tibalah mereka di suatu daerah padang rumput yang sudah dekat dengan kota raja Bhutan, karena sebetulnya daerah ini sudah termasuk wilayah Bhutan, dekat dengan perbatasan di timur. Dan pada sore harinya, di tepi daerah padang rumput ini, tibalah mereka di sebuah perkampungan suku bangsa Nomad yang mengembala ternak.

Mereka ini adalah peternak-peternak Nomad yang selalu berpindah tempat dan selalu hidup di dekat padang-padang rumput di mana mereka dapat membiarkan ternak kambing mereka makan sekenyangnya. Untung bagi Pendekar Super Sakti dan dua orang gadis itu bahwa yang berada di perkampungan peternak itu adalah suku bangsa yang tidak liar dan yang suka hidup damai. Maka mereka bertiga diterima oleh mereka sebagai tamu-tamu dan dipersilakan duduk ikut makan minum bersama mereka.

Ternyata malam itu suku bangsa peternak Nomad ini sedang mengadakan keramaian untuk merayakan pahlawan-pahlawan mereka yang menang dalam perang. Tentu saja Pendekar Super Sakti tidak tahu bahwa kepala suku bangsa ini bersama puluhan anak buahnya, terbujuk pula oleh Tambolon dan ikut menggabungkan diri untuk memerangi Bhutan! Dan malam hari itu, suku bangsa ini merayakan kemenangan para pahlawan mereka yang kabarnya telah mengepung kota raja Bhutan dan yang dianggapnya sebagai suatu kemenangan gemilang.

Dan sukarnya, di antara suku bangsa ini hanya ada beberapa orang saja yang dapat berbahasa Han, itu pun tidak lengkap sehingga sukar sekali bagi Suma Han dan dua orang gadis itu untuk bicara dengan mereka. Dengan bahasa tangan yang serba tidak lengkap, tiga orang tamu ini hanya dapat menangkap bahwa suku bangsa itu sedang merayakan pesta ‘menang perang’, akan tetapi tidak jelas perang dengan siapa dan di mana! Akan tetapi, Suma Han yang tidak mau mencampuri urusan mereka dan merasa sudah untung diterima sebagai tamu, tidak ingin menyelidiki lebih lanjut dan ikut pula berpesta makan minum sekenyangnya.

Hwee Li yang bengal itu tak mau tinggal diam. Setelah kenyang makan minum, melihat kegembiraan suku bangsa itu, dia meninggalkan dua orang teman seperjalanannya untuk menonton keramaian. Bermacam-macam pertunjukan diadakan. Ada pertunjukan adu gulat, ada pula adu domba, tari-tarian, nyanyian dan lain-lain. Tetapi yang paling menarik hati Hwee Li adalah pertunjukan yang dilakukan oleh seorang yang agaknya berasal dari India, memakai sorban kuning dan orang ini meniup sebatang suling mengiringi gerakan seekor ular cobra yang meliak-liukkan tubuhnya seperti seorang penari yang genit. Para penonton merasa ngeri karena maklum akan bahayanya gigitan ular cobra yang amat beracun ini maka mereka menonton agak menjauh dan tempat pertunjukan ini pun berada di sudut perkampungan, dekat pintu pagar yang mengitari perkampungan itu.

Tentu saja Kim Hwee Li tertarik sekali karena gadis cilik ini memang sejak kecil biasa bermain-main dengan segala macam ular, dari yang kecil sampai yang paling besar, dari yang jinak sampai yang paling buas dan beracun. Yang membuat dia terheran dan geli hatinya adalah suara suling yang ditiup oleh orang bersorban itu. Suara suling itu melengking tidak pernah ada putusnya, seolah-olah orang itu tidak pernah menarik napas, dan lucunya, lenggak-lenggok ular itu tepat dengan irama suling seolah-olah ular itu mengerti pula akan lagu yang ditiup melalui suling.

Karena amat tertarik, tanpa disadarinya, Hwee Li melangkah dekat, bahkan memasuki lingkaran penonton yang berjongkok agak jauh. Beberapa orang berseru dalam bahasa yang tidak dimengerti oleh Hwee Li, akan tetapi jelas bahwa nadanya melarang gadis itu mendekat. Mereka itu kelihatan khawatir, akan tetapi Hwee Li menoleh kepada mereka, tersenyum dan mengangkat tangan memberi isyarat agar mereka tak mengkhawatirkan dia. Lalu dia pun berjongkok di dekat orang bersorban sambil mengawasi gerak-gerik ular itu.

Orang India bersorban itu menggunakan tangan kirinya untuk memberi isyarat mengusir Hwee Li sedangkan tangan kanannya tetap memegang dan mempermainkan lubang-lubang suling yang ditiupnya. Akan tetapi Hwee Li yang sudah tertarik sekali dan timbul rasa gembiranya bertemu ‘kawan lama’, yaitu seekor ular berbisa seperti cobra itu, sama sekali tidak mempedulikan orang India itu. Bahkan sekarang Hwee Li menggerak-gerakkan dua lengannya yang kecil panjang, digerak-gerakkan dengan amat lemasnya bagai dua ekor ular menari-nari! Tangannya dibentuk seperti kepala ular dan lengannya seperti badan ular, melenggak-lenggok dan meliuk-liuk amat lemasnya.

Para penonton yang mula-mula merasa khawatir, kini menjadi geli dan tertarik, bahkan ada yang memuji karena memang indah sekali gerakan kedua lengan tangan Hwee Li, seolah-olah gadis cilik itu seorang penari ular yang amat pandai. Akan tetapi seruan-seruan pujian menjadi seruan-seruan keheranan bercampur kekhawatiran ketika mendadak ular cobra itu kini meninggalkan keranjang, meninggalkan orang India dan menghampiri Hwee Li sambil menari-nari, matanya mencorong dan mulutnya mendesis-desis, lehernya mekar makin lebar.

Orang bersorban itu terbelalak, matanya melotot saking heran dan penasaran melihat betapa ularnya, ular yang dipeliharanya bertahun-tahun dan selalu taat pada sulingnya itu kini mendadak saja meninggalkannya dan suara sulingnya tak lagi berpengaruh. Dia menjadi penasaran, sulingnya ditiup makin kuat sehingga lehernya menggembung besar seperti leher cobra itu, matanya melotot karena dia menahan napas terlalu lama. Benar saja, ular itu terkejut dan menengok, lalu bergerak kembali ke tukang suling.

“Trak-trak... cek-cek-cek...!”

Tiba-tiba Hwee Li membunyikan jari-jari tangannya dengan jalan menjentrekkan jari tengah dan ibu jarinya, disusul suara lidah dan bibirnya dan suara itu membuat si ular cobra kembali menengok kepadanya. Terjadilah ‘adu kekuatan’ antara suara suling dan suara jari tangan dan mulut Hwee Li, saling menarik ular itu yang kelihatan ragu-ragu. Akan tetapi akhirnya ular itu bergerak ke arah Hwee Li, lalu lehernya ditangkap tangan Hwee Li dan ular itu dengan sikap manja lalu melingkarkan tubuhnya pada tangan gadis cantik itu, lidahnya menjilat-jilat dan nampaknya jinak bukan main!

Orang bersorban itu bukan orang bodoh. Dia tahu bahwa gadis cilik ini bukan orang sembarangan, melainkan seorang ‘pawang ular’ yang hebat, maka dia menghentikan tiupan sulingnya, bangkit berdiri dan menjura ke arah Hwee Li sebagai penghormatan, kemudian menyodorkan keranjang ular, agaknya minta agar Hwee Li mengembalikan ular itu kepadanya. Para penonton juga menjadi kagum, ada yang bertepuk tangan dan tempat itu menjadi berisik sekali karena semua oreng membicarakan kelihaian gadis cilik ini dan menduga-duga siapa adanya pawang ular cilik yang hebat ini.

Akan tetapi Hwee Li memandang kepada orang bersorban itu dengan sinar mata tidak senang dan menghina, apa lagi ketika melihat banyak di antara penonton memberi mata uang dan barang-barang hadiah lain kepada Si Pemilik Ular itu. Dia membiarkan ular cobra itu melingkar di lengan dan lehernya, kemudian dia berkata, “Kau orang yang kejam dan tak tahu malu, menggunakan ular untuk mencari uang! Kau menyiksa ular ini dengan sulingmu, memaksanya menari-nari agar kau mendapatkan uang. Huh, tak tahu malu!”

Setelah berkata demikian, Hwee Li lalu meninggalkannya sambil membawa pergi ular cobra itu. Tentu saja orang bersorban menjadi marah. Dia sudah pernah merantau ke timur dan sedikit-sedikit dia dapat juga berbahasa Han.

“Nona, tunggu...! Kau kembalikan ularku!” katanya marah.

Hwee Li berhenti melangkah, kemudian membalikkan tubuhnya. “Apa? Siapa bilang ini ularmu? Dia tentu ular yang bebas dan kau tangkap lalu kau paksa mencarikan uang untukmu!”

“Kembalikan!” Orang India itu membentak.

“Tidak!” Hwee Li juga membentak.

Dan kini dia lalu melepaskan ular itu dan menggebahnya dengan suara tertentu. Ular itu terlihat terkejut dan merayap pergi, lalu menghilang di dalam semak-semak yang tebal.

“Kurang ajar!” Orang bersorban itu marah sekali.

Dia lalu mengeluarkan seekor ular dari dalam saku bajunya. Ular ini kecil saja, sebesar kelingking dan panjangnya hanya satu jengkal, kulitnya belang-belang merah hitam. Dengan ular ini di tangan, jari-jari tangannya yang coklat panjang menjepit leher ular, orang bersorban itu menyerang Hwee Li!

Gadis cilik ini tersenyum mengejek, membiarkan ular itu menggigit lengannya, kemudian dengan gerakan cepat dia menotok pergelangan tangan orang India itu. Dia adalah puteri Hek-tiauw Lo-mo, tentu saja lihai sekali dan totokannya membuat tangan orang India itu menjadi lumpuh, jepitan jarinya pada leher ular terlepas dan ular kecil itu cepat membalik dan menggigit ibu jari tangannya.

Orang India itu menjerit, membuang ularnya kemudian dia berjingkrak-jingkrak sambil memegangi ibu jari tangannya yang tergigit ular beracun itu. Ada pun Hwee Li dengan tenang saja mengobati luka di lengannya. Dia sudah kebal terhadap gigitan ular yang bagaimana beracun pun, karena di Pulau Neraka adalah pusat segala macam ular beracun maka dia pun hanya mengobati lukanya saja, bukan memunahkan racunnya yang tidak akan mengganggunya sedikit pun juga. Akan tetapi, orang India itu ketakutan setengah mati karena dia maklum bahwa gigitan ular kecil itu amat berbahaya dan dia tidak tahu bagaimana caranya mengobatinya.

Para penonton menjadi ikut sibuk karena terjadinya hal yang tidak mereka sangka itu. Karena tidak mengerti bahasanya, maka para penonton yang tadi melihat orang India itu lebih dulu menyerang, tidak ada yang menyalahkan si gadis cilik, apa lagi melihat gadis cilik itu pun terkena gigitan ular kecil. Hanya yang membuat mereka terheran-heran adalah, kalau gadis cilik itu tenang-tenang saja, mengapa orang India ini menjadi begitu ketakutan dan kini berjingkrakan sambil menangis?

Tiba-tiba di antara penonton muncul seorang gadis remaja yang menerobos masuk. Dia amat cantik jelita, sukar dikatakan siapa yang lebih cantik antara dia dan Hwee Li, karena keduanya memiliki kecantikan khas masing-masing, hanya gadis ini lebih dewasa dari pada Hwee Li.

Gadis ini dengan alis berkerut memandang kepada Hwee Li, kemudian menghampiri orang India itu, mengeluarkan sebungkus obat dan dengan cekatan dia menggunakan sebuah pisau kecil merobek ibu jari itu, mengeluarkan darahnya dan membubuhkan obat ke ibu jari itu, kemudian membalutnya dengan robekan baju orang India itu sendiri. Dan orang India itu berhenti menangis, agaknya luka beracun itu seketika menjadi sembuh. Orang India itu lalu menjura dengan dalam sampai tubuhnya hampir terlipat menjadi dua kepada nona yang tanpa banyak bicara telah mengobatinya itu.

Kini, nona itu berdiri menghadapi Hwee Li, sambil bertolak pinggang, sikapnya galak bukan main seperti seorang guru memarahi muridnya! “Kau sungguh bocah yang kejam dan perlu dihajar!” Nona itu menudingkan telunjuknya ke arah hidung Hwee Li.

“Masih sekecil ini sudah main-main dengan ular berbisa dan melukai orang! Kalau sudah besar kelak tentu akan menjadi iblis betina!”

Hwee Li tentu saja tidak takut. Dia meruncingkan bibirnya. Lincah dan manis sekali, akan tetapi juga membayangkan sifat kebengalannya. “Phuih, sombongnya! Baru bisa menyembuhkan gigitan ular begitu saja lagaknya sombong seolah-olah telah menjadi Kwan Im Pouwsat! Padahal kau ini tentu hanya Nona penjual obat yang biasa berteriak-teriak di pasar-pasar. Apa sih anehnya?”

Nona muda itu bukan lain adalah Teng Siang In. Sebagai anak dari mendiang Yok-sian Si Dewa Obat, tentu saja dia adalah seorang yang ahli dalam hal pengobatan. Setelah menjadi murid See-thian Hoat-su, di sepanjang perjalanan kalau melihat tumbuh-tumbuhan yang mengandung obat mujarab, dia tidak dapat menahan diri untuk tidak mengambilnya dan dia lalu mengumpulkan bahan-bahan obat yang penting-penting di antaranya obat penawar luka-luka berbisa. Maka dengan mudah dia mampu mengobati orang India itu.

Seperti kita ketahui, Siang In juga memiliki watak lincah jenaka dan galak, maka kini berhadapan dengan Hwee Li yang bengal, diejek sebagai penjual obat di pasar, Siang In menjadi marah sekali. Biar pun dia belum sempat digembleng oleh See-thian Hoat-su, namun dia sudah pernah belajar ilmu silat bersama kakaknya, maka kini dia cepat menyerang Hwee Li.

Akan tetapi, biar pun dia lebih muda, Hwee Li puteri Ketua Pulau Neraka itu jauh lebih lihai. Dengan gesit dia mengelak dan balas menyerang. Terjadilah perkelahian di antara dua orang gadis cilik yang sama-sama cantik jelita ini, dan kejadian ini amat menarik hati dan menggembirakan hati para suku bangsa liar yang memang menganggap perkelahian sebagai tontonan yang mengasyikan, apa lagi kalau dilakukan oleh dua orang gadis yang demikian cantiknya.

Setelah saling serang selama belasan jurus, Siang In mulai terdesak dan beberapa kali sudah dia menerima tamparan tangan Hwee Li. Dia menjadi marah sekali dan mulailah Siang In yang galak itu memaki-maki. Tak lama kemudian, berkelebat bayangan yang gesit dan tahu-tahu Ceng Ceng sudah tiba di tempat perkelahian itu.

Semua orang makin kagum dan gembira melihat datangnya seorang gadis dewasa yang amat cantik dan gagah perkasa, yang dengan mudah melerai dua orang gadis muda yang sedang berkelahi mati-matian itu, hanya dengan menengahi dan menangkis pukulan-pukulan mereka.

“Berhenti, jangan berkelahi!” Gadis yang bukan lain adalah Ceng Ceng itu berseru. “Hwee Li, mundur kau!”

“Subo, dia kurang ajar!” Hwee Li berkata. “Mentang-mentang dia menjadi tukang obat di pasar, dia sombong dan dia yang lebih dulu menyerangku.”

“Bocah setan!” Siang In yang beberapa kali kena ditampar Hwee Li masih marah-marah sekali. “Muridnya setan, gurunya tentu iblis!” Dia kini malah memaki Ceng Ceng untuk melampiaskan kemendongkolan hatinya karena dia tadi ditampari dan belum sempat membalas sudah dipisahkan.

“Hemm, apakah kau benar tukang obat yang pandai?” Ceng Ceng menghampiri sambil mengerutkan alisnya, tidak senang mendengar maki-makian gadis cantik itu.

Pertanyaan yang sewajarnya ini oleh Siang In dianggap penghinaan pula, maka dia lalu menjawab, “Aku tukang obat atau bukan, setidaknya lebih bersih dari pada kalian guru dan murid iblis yang mengganggu orang!” Dan Siang In langsung lalu menerjang dan memukul Ceng Ceng.

Ceng Ceng adalah seorang wanita yang berwatak keras, dan pada saat itu dia sedang dilanda kedukaan hebat. Maka melihat sikap Siang In dia sudah menjadi marah sekali.

“Bocah lancang dan sombong! Cobalah kau obati ini kalau bisa!” Ceng Ceng sudah menggerakkan tangan kirinya.

“Plakkk...! Oughhh...!”

Siang In terpelanting dan roboh, pundaknya kena dipukul oleh Ceng Ceng. Biar pun tubuh Ceng Ceng sudah bersih dari hawa beracun berkat anak naga, akan tetapi gadis ini tentu saja masih menguasai pukulan beracunnya dan Siang In tentu saja tidak kuat menahan pukulan beracun ini dan dia roboh.

“Ehh, Siang In, kau kenapa...?” Tiba-tiba seorang kakek tua renta memasuki tempat itu dan para penonton menjadi makin tegang. Kakek itu memeriksa pundak Siang In dan dia mengerutkan alisnya, lalu bangkit menghadapi Ceng Ceng.

“Hemmm... agaknya aku pernah bertemu dengan engkau, Nona yang bertangan kejam. Sungguh kejam sekali kau menjatuhkan pukulan beracun kepada muridku. Hayo kau keluarkan obat penawarnya, jangan sampai aku orang tua menjadi kehilangan sabar kepadamu,” kata kakek itu yang bukan lain adalah See-thian Hoat-su.

“Subo, dia ini tentu pembual yang suka menjual obat di pasar-pasar, inilah macamnya tabib palsu yang beroperasi di pasar-pasar. Jangan layani dia!” Hwee Li mengejek.

Ceng Ceng memandang kakek itu. “Muridmu inilah yang lancang, mencampuri urusan muridku dan lebih dahulu menyerang muridku, mengandalkan kepandaian mengobati. Sekarang biarlah dia atau engkau mengobati luka bekas tanganku itu. Hwee Li, mari kita pergi!”

Akan tetapi baru saja Ceng Ceng dan Hwee Li membalikkan tubuhnya, terdengar kakek itu berseru, “Tahan dulu! Lihat, apakah kalian mampu menahan serangan jubahku ini!”

Ceng Ceng dan Hwee Li membalikkan tubuhnya, bersiap menghadapi kakek itu yang disangkanya akan menyerang mereka. Tetapi mereka melihat kakek itu menanggalkan jubahnya, lalu melemparkan jubah itu ke arah mereka dan... Ceng Ceng dan Hwee Li terkejut bukan main ketika jubah itu tiba-tiba menjadi ‘hidup’, bahkan telah menyerang mereka kalang-kabut, menghantam mereka berdua dengan lengan jubah seolah-olah digerakkan oleh setan!

“Hiiiiiihhh..., tolongggg, Subo...!” Hwee Li menjerit-jerit dan berusaha mengelak ke sana-sini dengan perasaan tegang dan seram.

Akan tetapi Ceng Ceng sendiri pun kalang-kabut oleh amukan jubah itu! Para penonton kini makin menjauh karena orang Nomad sederhana ini amat percaya tahyul dan kini melihat sehelai jubah dapat mengamuk, mereka tentu saja menjadi ketakutan.

Ceng Ceng sendiri selama hidupnya belum pernah mengalami hal seperti ini. Mukanya yang memang sudah muram itu menjadi makin pucat, matanya terbelalak dan beberapa kali dia bergidik dan merasa ngeri. Jubah itu benar-benar telah menjadi ‘hidup’! Biar pun dia pandai dan tenaganya juga amat kuat, tentu saja dia kewalahan melawan sehelai jubah yang hidup! Dipukul betapa keras pun, tentu saja jubah itu tidak merasakan apa-apa sebaliknya tamparan-tamparan ujung lengan jubah itu mendatangkan rasa panas.

“Hiiiihhhh... tolongg... takuttt... Locianpwe... tolong, Locianpweee...!” Hwee Li menjerit-jerit dikejar oleh jubah itu yang menampari pinggulnya sampai terasa panas dan pedas.

Mendadak muncul Pendekar Super Sakti yang tahu-tahu sudah berdiri di situ dengan sikap tenang. “Hemmm, menggunakan ilmu menggoda anak-anak perempuan, sungguh merupakan watak kekanak-kanakan saja!”

Dengan tongkatnya Pendekar Super Sakti menuding dan... jubah itu seperti ketakutan, seperti seorang kanak-kanak yang ketakutan, dan lari kepada ayahnya. Jubah yang seperti hidupp itu kini ‘memasuki’ lagi tubuh dan kedua lengan See-thian Hoat-su dan telah dipakainya kembali.

Sejenak kedua orang itu saling pandang. Ceng Ceng yang masih pucat dan Hwee Li yang masih gemetaran itu memandang dari tempat jauh, sedangkan Siang In juga sudah bangkit duduk dan menonton. Orang-orang yang tadinya menjauhkan diri, kini berani lagi agak mendekat akan tetapi tetap saja agak jauh dan mereka berjongkok untuk menonton apa yang selanjutnya akan terjadi.

Sampai lama kedua orang tua itu saling pandang. Kemudian See-thian Hoat-su tertawa bergelak, “Ha-ha-ha-ha, hampir tidak dapat aku percaya. Benarkah aku berhadapan dengan Pendekar Super Sakti, tocu dari Pulau Es yang juga terkenal sebagai Pendekar Siluman yang tersohor itu?”

Pendekar Super Sakti belum pernah mengenal kakek ini, juga belum pernah mendengar namanya, maka dengan tenang dan sikap sederhana dia menjawab, “Saya memang datang dari Pulau Es.”

“Ha-ha-ha-ha, bagus, bagus! Kalau dicari sampai mati pun belum tentu dapat jumpa! Pendekar Siluman, kabarnya engkau di samping memiliki kepandaian silat yang tidak terkalahkan, juga amat kuat di dalam ilmu sihir. Nah, aku See-thian Hoat-su memang paling suka main-main dengan ilmu sihir, maka pertemuan ini tak boleh dilewatkan begitu saja. Mari kita main-main untuk melihat siapa yang lebih kuat di antara kita.”

“See-thian Hoat-su, kita bukan anak kecil lagi. Perlu apa kita bersikap seperti anak kecil yang suka pamer? Kalau ada persoalan di antara kita, apakah tidak lebih baik kita selesaikan secara damai?” Suma Han berkata.

“Ha-ha-ha-ha, justru tidak ada persoalan! Ada pun kecil tidak berarti, dan aku tadi pun hanya main-main saja dengan mereka.” Tiba-tiba pandang mata See-thian Hoat-su mengeluarkan sinar mencorong yang aneh. “Pendekar Siluman, kulihat tongkatmu itu bukan sembarangan tongkat, lihat dia pandai terbang...!”

Pendekar Super Sakti menghela napas panjang. “Sesukamulah, Hoat-su.”

Dan dia membiarkan tongkatnya terlepas dari tangannya dan sekali See-thian Hoat-su menggerakkan tangannya, tongkat itu benar-benar melayang di udara, di antara mereka. Pendekar Super Sakti hanya bersedakap dan bersikap tenang saja. Semua orang yang menonton menjadi melongo saking herannya, melihat tongkat butut itu melayang-layang di antara dua orang kakek itu, seolah-olah tongkat itu adalah sebuah benda hidup.

“Pendekar Siluman, lihat tongkatmu menjadi harimau yang akan menelanmu sendiri, ha-ha-ha!” Terdengar suara See-thian Hoat-su. Dia berbicara sambil tertawa-tawa, seperti orang berkelakar saja, akan tetapi di dalam suaranya itu terkandung kekuatan mukjijat yang amat berwibawa.

Semua orang yang berada di situ menjadi pucat mukanya dan melotot penuh rasa ngeri dan takut ketika melihat betapa tongkat yang tadinya melayang-layang dan bergerak-gerak seperti hidup itu tiba-tiba kini telah berubah menjadi seekor harimau yang amat besar dan yang menggereng dengan suara menggetarkan tempat itu dan harimau itu meringis, memperlihatkan taringnya seperti hendak menyerang kakek berkaki buntung sebelah itu.

“Kau keliru, Hoat-su. Tongkatku itu tidak menjadi harimau, melainkan menjadi seekor naga yang hendak menyerangmu!” Pendekar Super Sakti berkata, suaranya halus tenang namun juga mengandung wibawa yang amat kuat.

Para penonton sekarang menjadi makin ketakutan, ada yang menggigil dan tidak dapat bangkit berdiri, kedua kaki mereka menggigil dan mata mereka makin lebar terbelalak ketika melihat betapa harimau besar itu tiba-tiba saja berubah menjadi seekor naga yang amat buas dan yang bersikap marah hendak menyerang Kakek See-thian Hoat-su!

See-thian Hoat-su menggerak-gerakkan kedua tanganya di udara dan bentuk naga itu berubah lagi menjadi bentuk harimau, akan tetapi tidak lama, karena segera berubah lagi menjadi bentuk naga seperti yang dikatakan oleh Pendekar Siluman tadi. Terjadilah adu tenaga sihir yang amat aneh dan orang-orang yang menonton di situ makin lama menjadi makin ketakutan.

Siapa yang tidak akan merasa ngeri melihat tongkat butut itu berubah-ubah bentuknya antara bentuk harimau dan bentuk naga, bahkan kadang-kadang ‘pertandingan’ itu sedemikian hebatnya hingga ada kalanya tongkat itu berubah menjadi seekor harimau yang tubuh bagian belakangnya berbentuk naga, atau malah seekor naga yang tubuh belakangnya berbentuk harimau! Tentu saja semua orang menjadi ketakutan dan makin lama mereka makin mundur menjauhi dua orang kakek yang mereka anggap siluman-siluman itu.

Setelah mengadu kekuatan sihir beberapa lama, akhirnya See-thian Hoat-su terpaksa mengakui keunggulan Pendekar Super Sakti ketika tongkat itu sepenuhnya berubah menjadi seekor naga yang beterbangan dan mengancam kepala kakek dari barat itu.

“Hebat engkau, Pendekar Siluman. Biar aku mengakui keunggulanmu!” katanya sambil menghentikan pengerahan tenaga mukjijat.

Suma Han mengangkat tangannya dan ‘naga’ itu terbang kembali ke tangannya dan berubah lagi menjadi sebatang tongkat.

“See-thian Hoat-su, engkau sudah tua sekali akan tetapi masih suka main-main seperti seorang anak-anak saja.” Pendekar Super Sakti menegur.

“Ha-ha-ha-ha, memang orang tua bukan lain hanyalah anak-anak yang tubuhnya besar. Anak-anak suka bermain-main dengan barang-barang mainan, orang-orang tua juga suka bermain-main dengan pikiran-pikiran dan nafsu-nafsu keinginannya sendiri. Tidak begitukah?”

Suma Han tersenyum. “Engkau benar, Hoat-su. Harap kau orang tua suka memaafkan kalau dua orang temanku yang muda itu tadi melakukan kesalahan terhadapmu.” Suma Han menuding ke arah Ceng Ceng dan Hwee Li.

Akan tetapi dia tersenyum melihat Hwee Li dan nona cantik murid kakek itu ternyata sudah duduk berdekatan dan bicara dengan asyik dan dalam suasana bersahabat! Memang demikianlah. Hwee Li dan Siang In yang keduanya mempunyai watak yang hampir sama, ternyata sudah bersahabat, bahkan Hwee Li telah setengah memaksa subo-nya untuk mengobati Siang In. Tentu saja tidak ada lagi persoalan di antara mereka, bahkan mereka lalu bersahabat.

“Bagaimanakah Majikan Pulau Es yang berada jauh di utara bisa tersesat sampai ke tempat ini?” Kakek See-thian Hoat-su yang tidak biasa bersikap hormat terhadap siapa pun juga itu bertanya.

“Aku sedang mencari puteraku, Hoat-su. Barangkali engkau melihatnya. Dia bernama Suma Kian Bu...”

“Heee, Siang In. Bukankah kau mengenal seorang pemuda yang bernama Kian Bu?” tiba-tiba kakek itu memanggil muridnya.

Mendengar disebutnya nama itu, Siang In memandang kepada gurunya dengan kedua pipi berubah merah sekali. Akan tetapi dia lalu meninggalkan Hwee Li dan mendekati gurunya, memandang kepada Pendekar Super Sakti dengan penuh selidik.


“Tentu saja aku mengenal dia, Suhu,” jawabnya.

“Bagus!” Suma Han berseru girang. “Di mana kau terakhir bertemu dengan dia, Nona?”

“Nanti dulu,” Siang In menjawab, “Siapakah Locianpwe yang aneh ini dan mengapa pula bertanya tentang dia?”

“Ha-ha-ha, bocah tolol. Yang berdiri di depanmu ini adalah Pendekar Siluman dari Pulau Es, ayah dari pemuda itu.”

Siang In terkejut sekali dan cepat dia menjura dengan hormat. “Maafkan saya...”

Pendekar Super Sakti tersenyum. Seorang dara yang cantik jenaka dan pantas menjadi murid seorang sakti seperti See-thian Hoat-su, pikirnya.

“Aku hanya ingin tahu di mana engkau bertemu dengan dia akhir-akhir ini, Nona?” Dia mengulang pertanyaannya.

“Di dalam hutan... pada saat terjadi pencegatan yang dilakukan gerombolan Tambolon terhadap rombongan pengawal Puteri Bhutan.” Gadis itu lalu bercerita, akan tetapi tentu saja dia tidak menceritakan betapa dia telah dicium oleh pemuda itu!

Pendekar Super Sakti mengerutkan alisnya. “Kalau menurut perkiraanmu, ke mana sekarang perginya anakku yang suka bertualang itu, Nona?”

“Dia agaknya diam-diam mengawal Sang Puteri Bhutan, dan tentu sekarang sudah berada di tapal batas Bhutan dan...” Siang In menoleh ke kanan kiri. Melihat banyak orang anggota suku bangsa penggembala itu menonton, ia lalu berkedip dan mendekati Pendekar Super Sakti, berbisik, “Mereka ini adalah suku bangsa yang terbujuk oleh Tambolon, sekarang Tambolon sedang memerangi Bhutan dan saya berani bertaruh bahwa putera Locianpwe itu sedang ikut perang membela Bhutan.”

Melihat Siang In tadi mendekati Suma Han dan berbisik-bisik pelan, Ceng Ceng yang menaruh curiga lalu mendekat pula. Dia terkejut mendengar bahwa Bhutan diserang oleh Tambolon, maka dia pun lalu berkata kepada Pendekar Super Sakti, “Kalau begitu, saya harus cepat ke sana untuk membantu...”

See-thian Hoat-su tertawa. “Ha-ha-ha, kami guru dan anak tidak mau mencari keributan, kami mempunyai urusan pribadi sendiri, maka maafkanlah kami yang sekarang harus pergi. Hayo, Siang In!” Dia memegang tangan muridnya dan pergi dengan cepat. Siang In melambaikan tangan kepada mereka terutama kepada Hwee Li yang dibalas pula oleh Hwee Li.

Setelah guru dan murid itu pergi, Pendekar Super Sakti berkata kepada Ceng Ceng, “Kita harus berhati-hati dan jangan sembrono, Nona. Lebih baik kita mendekati lebih dulu pimpinan suku bangsa ini dan mencari keterangan dari mereka.”

Baru saja dia berkata demikian, para penonton yang merasa kagum kepada pendekar kaki buntung ini yang tadi telah memperhatikan kehebatan ilmu sihirnya sehingga mereka yang menonton menjadi kagum dan juga takut, kini bergerak minggir dan memberi jalan dengan sikap hormat kepada tiga orang yang berpakaian jubah lebar dan lebih mewah dari pada pakaian mereka semua. Kiranya mereka ini adalah tiga orang pimpinan suku bangsa itu yang mendengar akan kehebatan ilmu sihir dari kakek berkaki buntung sebelah, juga kehebatan seorang dara muda yang mengalahkan orang India ahli bermain ular.

Dengan sikap ramah tiga orang kepala suku itu lalu mengundang Pendekar Super Sakti dan dua orang dara cantik itu sebagai tamu kehormatan. Kesempatan ini tentu saja disambut dengan baik oleh Pendekar Super Sakti. Mereka kemudian diajak memasuki perkemahan dan dijamu dengan masakan-masakan yang terbuat dari daging domba, menerima minuman yang bagi mereka merupakan minuman khas dan mewah, yaitu susu domba.

Pendekar Super Sakti, Ceng Ceng dan Hwee Li mendengar penuturan mereka melalui seorang penerjemah, bahwa memang benar mereka itu merupakan suku bangsa yang berpihak kepada Raja Tambolon yang kini sedang memerangi Bhutan.

“Kami membutuhkan bantuan orang-orang pandai seperti Anda,” kata kepala suku tertua sambil memandang Suma Han penuh perhatian. “Karena di pihak tentara Bhutan terdapat pemimpin-pemimpin yang amat pandai, bahkan seorang panglima wanita berada di sana memimpin pasukan pertahanan Bhutan. Kabarnya panglima wanita itu adalah puteri Kerajaan Ceng yang amat lihai. Ia dibantu oleh seorang laki-laki setengah tua yang luar biasa tinggi ilmunya, juga terdapat seorang pemuda yang luar biasa.”

Mendengar ini, Pendekar Super Sakti lalu menduga-duga dengan hati girang. Panglima wanita Kerajaan Ceng itu siapa lagi kalau bukan Milana, anaknya sendiri? Dan pemuda lihai itu tentulah Suma Kian Bu.

“Baiklah, kami akan melihat-lihat peperangan itu kalau kalian suka membawa kami ke sana,” katanya dengan girang.

Kepala suku itu menjadi girang dan pada keesokan harinya, berangkatlah serombongan orang laki-laki muda dari suku bangsa itu yang dipilih sebagai tenaga-tenaga bantuan untuk pasukan Raja Tambolon yang sedang sibuk mengurung kota raja Bhutan. Pendekar Super Sakti dan dua orang gadis itu ikut bersama mereka menuju ke medan peperangan. Karena suku bangsa liar itu sudah mengenal jalan dengan baik, maka perjalanan dapat dilakukan dengan amat cepatnya, dengan memotong jalan melalui pegunungan, menunggang kuda-kuda yang sudah terlatih baik.

Akan tetapi, sebelum mereka tiba di perkemahan yang didirikan oleh barisan pengurung kota raja Bhutan, ketika rombongan mereka tiba di lapangan terbuka, mereka terkejut sekali mendengar bunyi melengking tinggi dari atas, apa lagi ketika mereka memandang dan melihat seekor burung rajawali yang besar dan berbulu hitam menyambar turun sambil mengeluarkan bunyi melengking keras. Bubarlah pasukan itu dan pemimpin mereka lalu mementang gendewa, membidik ke arah rajawali.

“Jangan panah...!” Pendekar Super Sakti berseru, namun terlambat, anak panah itu telah meluncur ke arah burung.

“Hek-tiauw, awas panah...!” Hwee Li yang telah mengenal burungnya itu berseru keras.

Akan tetapi penyerangan itu terlalu ringan bagi rajawali hitam. Dengan mudahnya dia menyampok anak panah itu dengan kakinya, lalu dia menukik dan hendak menyerang ke arah kepala suku yang memanahnya tadi.

Akan tetapi, dengan sekali bergerak Pendekar Super Sakti telah mencelat dari atas kudanya, memapaki rajawali hitam yang menyambar turun itu.

“Plak! Desss...!”

Rajawali terpental dan terdengar teriakan kaget dari atas punggungnya. Kiranya ada orang yang menunggang rajawali itu.

“Ayah...!” Hwee Li berteriak ketika mengenal orang itu.

Sedangkan Hek-tiauw Lo-mo juga terkejut mendengar suara anaknya. Dia tadi amat kaget ketika serangkum hawa yang kuat keluar dari tangan Pendekar Super Sakti, membuat burungnya terpental. Maka kini melihat puterinya berada di situ, dia menjadi girang dan juga heran. Setelah menyuruh burung rajawalinya turun, dia pun meloncat ke atas tanah.

“Ayah...! Kau sungguh terlalu, Ayah, selalu meninggalkan aku!” Hwee Li berseru dengan wajah bersungut-sungut.

Sementara itu, rombongan suku bangsa liar itu terbelalak dengan muka pucat. Tentu orang ini bukan manusia, pikir mereka, melainkan dewa yang tinggal di langit dan kini turun menunggang burung raksasa untuk menghukum. Maka dua puluh lebih orang-orang yang tidak pernah takut menghadapi lawan manusia itu kini menjatuhkan diri berlutut!

Akan tetapi Hek-tiauw Lo-mo tidak mempedulikan mereka, juga tidak mempedulikan puterinya setelah sekilas pandang melihat puterinya sehat-sehat saja, melainkan dia memandang dengan penuh perhatian kepada kakek yang sebelah kakinya buntung dan yang tadi membuat rajawalinya terpental. Sampai lama kedua orang ini berdiri saling pandang karena Suma Han juga sudah meloncat turun dari kudanya setelah tadi menyelamatkan pimpinan rombongan yang diserang rajawali hitam. Sedangkan Hwee Li sudah lari ke dekat burung rajawalinya itu dan merangkul lehernya.

“Aih, hek-tiauw, kau telah sembuh...?” katanya sambil membelai kepala burung rajawali itu yang mengeluarkan suara menguik seperti seekor anjing yang dibelai majikannya.

Hal ini membuat semua orang suku bangsa liar itu menjadi bengong dan semakin ketakutan. Kiranya rombongan tiga orang yang hendak membantu mereka itu adalah golongan dewa!

“Kau... kau... tak salah lagi! Kau tentu Pendekar Siluman Suma Han, Majikan Pulau Es!” Akhirnya Hek-tiauw Lo-mo berseru keras, dengan sedikit keraguan masih menempel di dalam suaranya.

“Hek-tiauw Lo-mo, engkau seharusnya berada di Pulau Neraka yang telah kau rampas dan kuasai,” kata Suma Han, nada suaranya keras dan berwibawa. “Tahukah engkau tempat apa yang kau rampas dan kuasai itu? Tempat pembuangan dan siapa sudah menetap di sana tidak boleh pergi lagi dari pulau itu, karena kepergiannya berarti hanya menyebar malapetaka. Kembalilah kau ke Pulau Neraka.”

“Ha-ha-ha-ha!” Hek-tiauw Lo-mo tertawa bergelak. “Sudah puluhan tahun aku ingin sekali bertemu dengan Pendekar Siluman sebelum aku mati dan selalu tidak pernah ada kesempatan. Siapa tahu sekarang bertemu di sini, sungguh girang sekali hatiku. Ingin aku merasakan sendiri kehebatan Pendekar Super Sakti atau Pendekar Siluman yang namanya menggetarkan kolong langit.”

Setelah berkata demikian Hek-tiauw Lo-mo menggerakkan kedua lengannya. Terdengar suara berkerotokan dan dari kedua tangannya mengepul uap hitam! Agaknya karena maklum akan kelihaian Suma Han, kakek ketua Pulau Neraka ini telah mengerahkan ilmu Hek-coa-tok-ciang (Tangan Beracun Ular Hitam) dan bagaikan badai mengamuk dia lalu menerjang Pendekar Super Sakti.

“Wuuuutttt... syuuuuttt...!”

Angin yang dahsyat menyambar, membuat pasir dan debu beterbangan saking hebatnya serangan yang dilakukan oleh kakek ini. Rombongan suku bangsa liar itu terkejut dan ketakutan, cepat mereka mundur dan berusaha menenangkan kuda mereka yang meringkik ketakutan dan meronta berusaha melarikan diri.

“Hemmm...!” Suma Han mengeluarkan seruan.

Tubuhnya telah mencelat ke kiri dengan gerak loncat Soan-hong-lui-kun menghindarkan serangan Hek-tiauw Lo-mo. Akan tetapi kakek Pulau Neraka ini sudah menyerang lagi, menubruk seperti seekor singa kelaparan dengan kedua tangan terpentang dan jari-jarinya membentuk cakar singa. Kembali Suma Han menggunakan kecepatan gerakan kaki tunggalnya, membiarkan lawan menubruk tempat kosong.

“Ayaaaah... jangan...!” Hwee Li berteriak.

“Sssttt, Hwee Li, jangan mencampuri urusan orang tua!” Ceng Ceng berseru mencegah muridnya karena dia tahu betapa berbahayanya kalau muridnya itu mendekati dua orang sakti yang sedang bertanding itu. Dia maklum akan kelihaian dan bahayanya Hek-tiauw Lo-mo, bahkan dia pernah terluka parah oleh tokoh Pulau Neraka itu. Maka kini, berhadapan dengan Majikan Pulau Es, Ketua Pulau Neraka itu bertemu lawan dan tentu pertandingan itu akan hebat dan berbahaya sekali.

Hwee Li tidak berani bersuara lagi, lebih-lebih melihat burung rajawali hitam itu menjadi gelisah dan dia tahu bahwa kalau dia melepaskan burung itu, tentu burung itu akan membantu ayahnya dan mengeroyok Pendekar Super Sakti. Maka dia yang tidak ingin melihat pendekar yang dia tahu amat baik hati itu dikeroyok, lalu merangkul leher burungnya dan menenangkannya, seperti rombongan itu menenangkan kuda masing-masing.

“Haaaihhh... waaahhhh!”

Hek-tiauw Lo-mo masih menyerang terus dengan dahsyat dan bertubi-tubi sampai dua puluh empat jurus dia menerjang terus menerus dan sambung menyambung tanpa memberi kesempatan sedikit pun kepada lawannya. Akan tetapi hal ini bukan berarti bahwa Suma Han terdesak. Sama sekali tidak, melainkan pendekar itu memang hanya mengelak saja, mengandalkan gerakan Soan-hong-lui-kun yang kecepatan gerakannya tidak ada keduanya di dunia. Pukulan-pukulan Hek-coa-tok-ciang membuat di sekeliling dua orang itu tampak uap hitam berhamburan dan bau amis memenuhi udara.

“Hemm, kau sungguh tak tahu diri, Hek-tiauw Lo-mo!” terdengar seruan Pendekar Super Sakti.

Tiba-tiba saja tubuhnya lenyap dari depan mata lawan, tahu-tahu dari belakang lawan tangannya melayang dan membalas serangan-serangan itu. Hek-tiauw Lo-mo terkejut, membalik sambil menangkis, namun tubuh lawannya berkelebat dengan kecepatan yang luar biasa dan sudah lenyap lagi, tahu-tahu menyerang dari kanan. Dia cepat mengelak dan demikianlah, Hek-tiauw Lo-mo sekarang hanya mengelak dan menangkis karena tubuh lawannya bergerak terlalu cepat sehingga sukar dia ikuti dengan pandang mata!

“Pendekar Siluman, jangan menggunakan ilmu siluman, hayo kau hadapi aku secara jantan!” teriaknya marah dan juga jeri.

“Hek-tiauw Lo-mo, apa yang kau maksudkan dengan cara jantan?”

“Heiiittttt!” Hek-tiauw Lo-mo berteriak nyaring dan sinar hitam tipis menyambar ke arah berkelebatnya bayangan Pendekar Super Sakti yang menunda serangan-serangannya karena melayani lawan bicara.

“Plakkk!”

Jala itu kena sambaran hawa pukulan tangan kiri Pendekar Super Sakti dan... robek seperti terbakar. Itulah pukulan Hui-yang Sin-ciang yang sudah mencapai puncaknya sehingga benda pusaka yang tahan api itu masih tidak mampu bertahan menghadapi pukulan itu.

“Keparat!” Hek-tiauw Lo-mo makin marah dan dia kini menghantam sambil berteriak, “Hadapi pukulanku ini!”

“Hemm...!” Pendekar Super Sakti berdiri tegak, mengempit tongkatnya sehingga dia hanya berdiri dengan satu kaki, kedua tangannya menerima hantaman kedua tangan lawan.

“Dessss...!”

Tubuh Pendekar Super Sakti yang hanya ditopang oleh sebelah kaki seperti seekor burung bangau berdiri dengan satu kaki itu bergoyang-goyang, seperti batang padi tertiup angin, akan tetapi tubuh Hek-tiauw Lo-mo terlempar dan terbanting roboh lalu bergulingan. Ketika dia meloncat bangkit lagi, matanya menjadi merah, mukanya pucat dan dia mengusap sedikit darah yang mengalir keluar di ujung bibirnya! Sejenak dia memandang penuh kebencian, penuh kemarahan, akan tetapi juga penuh takjub akan kehebatan lawan yang sudah bertahun-tahun dianggapnya sebagai musuhnya yang nomor satu di dunia ini.

Sejenak mereka berpandangan dari jarak sekitar lima meter, kemudian Hek-tiauw Lo-mo menunduk, membungkuk lalu membentak, “Pendekar Siluman, kau sambutlah ini kalau memang kau jantan...!” Lalu tubuh Ketua Pulau Neraka itu bergerak lari ke depan dengan kepala di depan, persis seperti seekor kerbau menyerang dengan tanduknya. Kepalanya menuju ke arah perut Pendekar Super Sakti.

Pendekar ini terkejut sekali melihat kenekatan lawan, akan tetapi dia tidak bergerak menyingkir, bahkan lalu menerima serudukan nekat itu dengan perutnya yang kecil.

“Capppp...!”

Kepala Hek-tiauw Lo-mo seolah-olah memasuki rongga perut Pendekar Super Sakti, tubuh kakek Pulau Neraka ini kaku seperti sebatang kayu sehingga kakinya lurus ke belakang. Mendadak kedua tangannya bergerak menghantam ke arah kedua pundak Pendekar Super Sakti, akan tetapi pendekar ini telah terlebih dulu menggerakkan kedua tangannya menyambut hantaman itu!

“Plakkk!” Dua pasang telapak tangan itu bertemu dan melekat.

“Locianpwe, jangan bunuh ayahku...!” Tiba-tiba Hwee Li yang masih merangkul rajawali hitam itu berseru nyaring.

Sejenak Pendekar Super Sakti mengerling ke arah bocah itu, lalu terdengar mulutnya mengeluarkan bunyi melengking nyaring yang membuat semua kuda rombongan suku bangsa liar itu meringkik ketakutan dan membuat rajawali hitam juga meronta-ronta ketakutan. Berbareng dengan pekik melengking ini, tubuh Hek-tiauw Lo-mo terlempar ke arah puterinya dan terbanting jatuh.

“Aduuuhhhh...!” Tanpa tertahankan lagi Ketua Pulau Neraka ini mengeluh, kemudian menggoyang-goyang kepala mengusir kepeningan, sekilas memandang ke arah lawan yang masih berdiri tegak dan tenang, kemudian secepat kilat dia menyambar pinggang Hwee Li dan meloncat ke atas punggung rajawali hitam yang segera menggerakkan sayapnya terbang dari tempat itu.

“Hwee Li...!” Ceng Ceng berseru kaget.

“Ayah, lepaskan aku...! Aku mau ikut Subo...!” Hwee Li meronta-ronta akan tetapi tidak mampu melepaskan diri dari rangkulan ayahnya dan tak lama kemudian burung itu sudah terbang tinggi dan lapat-lapat terdengar tangis Hwee Li.

“Ohhh...,” Ceng Ceng mengeluh.

“Dia diajak pulang oleh ayahnya, perlu apa disesalkan? Dan anak itu memang perlu berdekatan dengan ayahnya. Agaknya hanya anaknya itu saja yang akan mampu merubahnya,” kata Pendekar Super Sakti. Ceng Ceng diam saja dan memang peristiwa ini hanya sebentar saja menggores hatinya yang sudah menjadi layu.


                   
 
                                   

TAMBOLON mengeluarkan suara gerengan seperti seekor harimau marah, pedang Ban Tok Kiam menyambar ketika dia menubruk lawan yang sudah roboh di tanah itu. Akan tetapi tiba-tiba kaki Tek Hoat bergerak dan hawa pukulan yang luar biasa dahsyatnya menyambar.

“Bressss...!”

Tambolon memekik kaget dan kesakitan, pedang Ban Tok Kiam terlempar jauh dan dia terdorong sampai bergulingan. Kiranya Tek Hoat yang sengaja menjatuhkan diri itu telah menggunakan kekuatan Inti Bumi yang paling ampuh, yang diambilnya dari tenaga bumi ketika dia rebah, dan kakinya telah menyerang dengan kekuatan luar biasa, yang kiri menendang pergelangan tangan lawan sehingga pedang Ban Tok Kiam terlempar, kaki kanan menendang ke arah dada dan biar pun sudah ditangkis oleh tangan kiri Tambolon, tetap saja tubuh raja yang tinggi besar seperti raksasa itu terlempar dan bergulingan.

Tek Hoat sudah meloncat dan mengejar. Tambolon mengeluarkan senjata jala yang ketika digerakkan berubah seperti uap, akan tetapi Tek Hoat yang sudah mengenal senjata ini tidak menjadi gentar. Bahkan dengan sengaja dia memapaki jala itu dengan pedangnya. Tambolon menjadi girang karena jalanya berhasil menangkap dan membelit pedang.

Dia menyangka bahwa seperti biasa, tentu pemuda itu akan berusaha menarik kembali pedangnya. Akan tetapi Tek Hoat memang sengaja membiarkan pedangnya terampas dan secepat kilat, dia melepaskan gagang pedang dan menggunakan kedua tangannya untuk menyerang dengan pukulan tangan terbuka yang mengandung tenaga Inti Bumi, yang kiri ke arah pusar sedangkan yang kanan ke arah pelipis.

Tambolon terkejut, berusaha menangkis dan memang berhasil menangkis pukulan ke pusarnya, akan tetapi tangan kanan Tek Hoat sudah menyambar pelipisnya.

“Dessss...!”

Tambolon terpelanting dan roboh dengan mata mendelik, tubuhnya kaku dan dia tewas seketika.

Panglima Jayin dan para pembantunya segera bersorak. Panglima ini cepat menyambar pedang, memenggal kepala Tambolon yang dipasangnya di atas tombak dan diangkat tinggi-tinggi ke atas agar kelihatan oleh semua orang dan untuk melenyapkan semangat tentara musuh.

“Tek Hoat, kau bantulah kami!” Puteri Milana berseru.

Tek Hoat memandang dengan terheran-heran melihat betapa Puteri Milana yang dia tahu amat lihai itu dan Ceng Ceng belum juga mampu merobohkan Si Petani Maut dan Si Siucai Maut. Dia memekik keras dan dengan tangan kosong dia menerjang Si Petani Maut Liauw Kui yang memang sudah jeri sekali karena dia bukan tidak tahu betapa Puteri Milana mempermainkannya, menyambut terjangan Tek Hoat dengan pikulannya.

Namun, dengan mudah Tek Hoat menangkap batang pikulan itu. Dengan pengerahan tenaga dia memaksa batang pikulan itu membalik dan robohlah Si Petani Maut, batang pikulan memasuki perutnya menembus ke punggung.

Tek Hoat yang sudah beringas seperti harimau yang haus darah itu lalu menubruk ke arah Siucai Maut sambil berseru, “Ceng Ceng minggirlah!”

Yu Ci Pok menyambut dengan totokan dua senjata siang-koan-pit, akan tetapi Tek Hoat yang sudah melindungi tubuhnya dengan kekuatan tenaga sakti Inti Bumi dan juga menghentikan jalan darah di bagian yang tertotok, menerima dua totokan itu dan membarengi dengan gerakan jari tangannya dipergunakan seperti sebatang pedang menusuk ke depan.

“Craattt!” Jari-jari tangan kanannya memasuki dada Yu Ci Pok seperti sebatang pedang dan robohlah pengawal kedua dari Tambolon ini, berkelojotan dan tewas.

Puteri Milana dan Ceng Ceng bertepuk tangan memuji, kemudian mereka bertiga terus mengamuk sehingga pihak musuh makin kacau dan akhirnya larilah sisa pasukan dari suku-suku bangsa liar itu, apa lagi setelah mereka semua mendengar bahwa Raja Tambolon telah tewas.

Berakhirlah perang itu dengan kemenangan gemilang di pihak Bhutan. Panglima Jayin mengarak Tek Hoat sebagai seorang pahlawan gagah perkasa karena dia sendiri telah menyaksikan betapa pemuda yang gagah perkasa ini sudah berhasil membunuh Tambolon yang demikian lihainya, berarti bahwa pemuda ini memang telah membuat jasa besar sekali dan patut diperlakukan sebagai seorang pahlawan yang dengan setia telah membela Kerajaan Bhutan.

Gak Bun Beng yang telah bertemu dengan Pendekar Super Sakti, cepat berlutut di medan perang itu, memberi hormat dengan hati terharu karena dia tadinya sudah tidak mengira akan dapat bertemu dengan pendekar sakti yang dianggap sebagai gurunya ini.

Sejenak Pendekar Super Sakti juga menunduk dan memandang, lalu mengangguk-angguk dan bertanya, “Bun Beng, aku sudah mendengar bahwa Kerajaan Bhutan dibantu oleh engkau dan Milana. Di mana sekarang dia?”

“Sumoi Milana sedang memimpin pasukan untuk membasmi barisan pemberontak, Suhu. Bagaimana keadaan Suhu dan Subo di Pulau Es? Mudah-mudahan dalam keadaan sehat.”

“Kami baik-baik saja, Bun Beng. Aku meninggalkan Pulau Es untuk pergi menyusul dan mencari dua orang sute mu. Kian Lee telah kujumpai dan sudah kusuruh pulang, akan tetapi Kian Bu masih kucari-cari. Apakah engkau melihat dia?”

Bun Beng menggeleng kepala. “Teecu pernah bersama dengan Sute Kian Bu ketika membantu pemerintah menghadapi para pemberontak yang dipimpin oleh dua orang Pangeran Liong, akan tetapi setelah itu, Sute Kian Bu pergi meninggalkan kota raja, kemudian terdengar lagi beritanya pada waktu dia menolong Puteri Syanti Dewi dari penghadangan Tambolon dan Durganini, lalu dia pergi lagi tanpa ada yang mengetahui ke mana, Suhu.”

“Hemmm, mari kita mencari Milana, mungkin dia tahu tentang adiknya itu.”

Bun Beng hanya mengangguk, tidak berani menceritakan betapa sejak dari kota raja, kekasihnya itu melakukan perjalanan bersama dia dan tentu saja pengetahuan Milana tentang Kian Bu tidak ada bedanya dengan apa yang telah dia ketahui. Bahkan dia masih merasa sungkan dan khawatir kalau-kalau pendekar sakti ini tidak akan senang hatinya mendengar akan keputusan mereka berdua untuk hidup bersama setelah Milana menjadi janda. Tentu saja orang tua sakti ini tidak tahu bahwa puterinya itu sebetulnya telah menjadi janda yang masih perawan!

Ketika mereka tiba di tempat pertempuran di mana Milana yang dibantu oleh Ceng Ceng dan Tek Hoat mengamuk, pertempuran telah selesai dan musuh telah terbasmi, yang melarikan diri dikejar oleh pasukan-pasukan Bhutan.

“Ayah...!” Milana cepat lari menyambut Pendekar Super Sakti dan di lain saat dia telah memeluk orang tua itu. Air mata puteri yang perkasa ini membasahi baju di dada ayahnya.

Pendekar Super Sakti mengelus rambut puterinya penuh kasih sayang. “Milana..., mana suamimu?”

Mendengar pertanyaan yang seolah-olah merupakan sebatang pedang yang langsung menikam ulu hatinya, Milana mengguguk tangisnya. Akhirnya dapat juga dia menjawab lirih, “...dia... dia telah tewas...”

Pendekar Super Sakti Suma Han adalah seorang manusia yang sudah dapat mengatasi segala perasaan, maka dia biasa saja mendengar berita hebat ini, hanya bertanya, “Bagaimana terjadinya hal itu?”

“Ayah, marilah kita memasuki kota raja dan bicara di sana dengan jelas.”

Pada saat itu, Raja Bhutan sendiri keluar menyambut dan dengan penuh kehormatan semua tamu agung yang sudah berjasa membantu Bhutan, terutama Tek Hoat, diarak masuk ke kota raja. Pendekar Siluman tidak menolak karena dia ingin mendengar cerita Milana tentang Kian Bu dan tentang Han Wi Kong, mantunya yang dikabarkan tewas itu.

Semua orang di kota raja menyambut para tamu agung, terutama sekali mereka menyanjung-nyanjung Puteri Milana dan Tek Hoat. Bahkan Tek Hoat sekaligus telah dikenal oleh mereka sebagai calon mantu raja!

Istana telah cepat sekali mempersiapkan penyambutan yang dipimpin sendiri oleh Puteri Syanti Dewi sehingga ketika rombongan pemenang ini memasuki kota raja dan tiba di depan istana, tempat ini telah dihias dengan meriah dan penari-penari serta musik menyambut mereka.

Pertemuan yang amat menggembirakan, semua orang tersenyum dan tertawa, semua wajah berseri-seri dan semua mata bersinar-sinar. Akan tetapi, suasana menjadi sangat mengharukan ketika tanpa disangka-sangkanya Puteri Syanti Dewi melihat Ceng Ceng di antara rombongan itu. Puteri ini terbelalak seperti mimpi saja dia melihat adik angkatnya, kemudian kedua orang dara cantik itu menjerit dan saling menubruk.

“Candra...!”

“Enci Syanti...!”

Mereka berangkulan dan menangis, saling berciuman karena sejak berpisah di tengah mala petaka ketika perahu mereka terguling, baru satu kali inilah mereka dapat saling bertemu kembali dan pertemuan ini terjadi di Bhutan! Sungguh merupakan hal yang aneh dan tidak tersangka-sangka oleh Syanti Dewi. Betapa hebat pengalaman mereka semenjak saling berpisah. Dan betapa cepatnya waktu berlalu karena begitu saling bertemu dan berpelukan, mereka merasa seolah-olah baru kemarin saja mereka saling berpisah.

Saling bergandeng tangan karena tidak sempat bicara di depan banyak orang, Syanti Dewi dan Ceng Ceng bersama semua rombongan itu memasuki istana di mana Raja Bhutan mengadakan penyambutan dengan pesta untuk merayakan kemenangan yang gemilang itu.

Rakyat dan para prajurit semua juga berpesta pora merayakan kemenangan besar itu. Suasana Kerajaan Bhutan gembira bukan main, sungguh pun harus diakui bahwa banyak pula yang menangis dan dilanda kedukaan hebat karena kematian suami, anak atau ayah yang menjadi prajurit Bhutan dan gugur dalam perang itu. Akan tetapi suara tangis mereka tenggelam dan hanyut oleh arus kegembiraan dari kota raja yang merayakan kemenangan.

Demikianlah adanya perang dan akibat-akibatnya! Di mana pun di bagian dunia ini, dan di jaman apa pun! Para korban perang yang membantu terlaksananya kemenangan, terlupa oleh yang merayakan kemenangan, oleh yang mengecap keuntungan dalam kemenangan perang.

Kalau pun para korban itu diingat oleh mereka, hal ini hanya sekilas saja, sekedar hiburan bagi keluarga si korban, atau lebih tepat, sebagai penonjolan dari yang merayakan kemenangan bahwa mereka itu tidak melupakan para korban, sungguh pun yang dikatakan tidak lupa itu hanya untuk satu kali setahun, dan itu pun hanya beberapa menit saja, lalu tidak dipedulikan lagi sama sekali sampai saatnya diperingati lagi!

Perang merupakan bukti betapa busuknya si aku mementingkan diri pribadi, secara keji mempergunakan manusia-manusia lain, kalau perlu mengorbankan laksaan nyawa manusia lain, demi untuk mencapai cita-cita yang tidak lain dan tidak bukan hanyalah merupakan pengejaran sesuatu yang menguntungkan diri pribadi lahir mau pun batin. Perang merupakan bukti pula betapa bodohnya manusia, dipermainkan oleh slogan-slogan kosong, seperti sekelompok ikan memperebutkan umpan tidak tahu bahwa di dalam umpan tersembunyi maut!

Di dalam kesempatan berpesta-pora ini, Pendekar Super Sakti mendengar semua penuturan Milana tentang Suma Kian Lee dan Suma Kian Bu. Tanpa menyembunyikan sesuatu, Milana menuturkan tentang kepatahan hati dua orang pemuda Pulau Es itu.

“Aku kasihan sekali kepada mereka, Ayah. Kian Lee jatuh cinta kepada Ceng Ceng, dan ternyata kemudian bahwa Ceng Ceng adalah keponakan sendiri karena gadis itu adalah putera Wan Keng In dan Lu Kim Bwee.”

Pendekar Super Sakti Suma Han memandang ke arah Ceng Ceng yang sedang duduk menyendiri dengan wajah muram. Dia teringat akan pertemuannya dengan gadis itu, mula-mula di rumah makan ketika dia dan isterinya Lulu tiba di tempat itu dalam usaha mereka mencari putera mereka. Kiranya gadis yang kemudian melakukan perjalanan bersamanya itu adalah puteri Wan Keng In! Dengan demikian, Lulu telah menolong cucunya sendiri di dalam rumah makan itu! Lalu dia teringat akan Topeng Setan dan Pendekar Super Sakti menghela napas panjang. Ternyata buah perbuatan Wan Keng In masih terasa sampai sekarang!

“Tidak perlu dikasihani, Milana. Kalau dia melihat kenyataan bahwa gadis itu adalah keponakan sendiri, mengapa dia harus patah hati? Dan bagaimana dengan Kian Bu?”

“Bu-te lebih parah lagi, Ayah. Dia jatuh hati kepada Syanti Dewi, akan tetapi agaknya Puteri Bhutan itu tidak membalas cintanya karena puteri itu agaknya jatuh hati kepada Tek Hoat.” Puteri Milana mengerling dan Suma Han juga melihat betapa mesra puteri itu di dalam pesta melayani Tek Hoat yang duduk di samping Raja Bhutan dan permaisuri!

“Hemm, cinta yang menuntut balasan, kalau tidak dibalas lalu patah hati bukanlah cinta namanya...” Suma Han berkata lirih seperti kepada diri sendiri. “Kepatahan hati itu adalah salahnya sendiri, timbul dari iba diri. Di mana kiranya dia sekarang?”

“Aku tidak tahu, Ayah.”

“Biarlah, aku akan mencarinya. Dan engkau sendiri, Milana. Bagaimana engkau bisa berada di sini tanpa suamimu? Dan apa pula artinya ucapanmu bahwa suamimu telah tewas?”

Puteri Milana menekan perasaannya agar jangan sampai dia menangis di dalam pesta itu. Kemudian, dengan hati-hati dan lirih berceritalah dia tentang keadaannya dengan Han Wi Kong, betapa mereka itu menikah tanpa cinta kasih di pihaknya, hanya untuk memenuhi kehendak Kaisar, dan betapa Han Wi Kong telah bersikap jantan dan tidak memaksa dia memenuhi kewajiban sebagai isteri.

Kemudian tentang perbuatan Han Wi Kong yang membunuh Pangeran Liong Bin Ong sebagai tindakan ‘bunuh diri’ untuk memberi kesempatan kepadanya berkumpul kembali dengan orang yang dicintanya, yaitu Gak Bun Beng, dan tentang surat-surat Han Wi Kong yang sengaja ditinggalkan untuk dia dan Bun Beng.

Mendengarkan semua ini, Suma Han memejamkan kedua matanya dengan alis berkerut. Milana sudah siap untuk mendengar teguran dan kemarahan ayahnya, akan tetapi setelah Suma Han membuka kembali matanya, pendekar bijaksana itu berkata perlahan, “Nasib manusia berada di dalam tangannya sendiri, tergantung dari sepak-terjangnya sendiri dalam kehidupan.

Semua pengalamanmu itu hanya menjadi bukti bahwa apa pun yang kita lakukan di dalam kehidupan ini, Milana, haruslah kita lakukan dengan cinta kasih di dalam hati. Tanpa cinta kasih, maka semua perbuatan itu hanya akan menimbulkan pertentangan dan kedukaan belaka, seperti perbuatanmu menikah dengan Han Wi Kong, dan perbuatanmu bersama Bun Beng yang saling berpisah mematahkan ikatan perasaan antara kalian. Jadi sekarang, engkau dan Bun Beng...”

Milana menundukkan mukanya yang menjadi merah sekali. “Kami telah bersepakat untuk menghadap ke Pulau Es mohon restu dan ijin dari Ayah dan Ibu, dan karena saya telah menjadi buronan di kota raja, maka kami berdua akan pergi mengasingkan diri, entah ke mana, saya hanya akan menurut dan ikut dengan Gak-suheng...”

Suma Han mengangguk-angguk. “Memang sebaiknya jika kalian lebih dulu menghadap ibumu. Nah, biarlah sekarang juga aku pergi, Milana. Aku akan mencari Suma Kian Bu.” Sebelum Puteri Milana menjawab, tampak tubuh ayahnya berkelebat dan lenyaplah pendekar itu dari tempat itu, seolah-olah menghilang begitu saja di tengah-tengah orang banyak yang sedang berpesta.

Milana maklum akan sifat ayahnya yang aneh, maka dia cepat menghadap Raja Bhutan dan mintakan maaf bahwa ayahnya telah pergi tanpa pamit karena ayahnya mempunyai urusan pribadi yang penting. Semua orang terkejut dan kagum, akan tetapi hanya mengangguk-angguk dan merasa seram melihat ada orang dapat lenyap begitu saja di tengah-tengah mereka, seperti siluman!

Tidak lama kemudian, nampak Puteri Milana dan Gak Bun Beng sudah duduk berdua menghadapi meja dan bercakap-cakap dengan mesra, berbisik-bisik karena puteri itu menceritakan kepada kekasihnya tentang reaksi ayahnya ketika tadi mendengar pengakuannya tentang mereka. Legalah hati Bun Beng karena tadi pun, dari meja lain, dia melihat berkelebatnya gurunya itu lenyap, membuat dia khawatir sekali dan menduga bahwa pendekar itu pergi dengan marah. Kiranya tidak demikian, maka tentu saja hatinya merasa lega.

Semua orang di dalam pesta itu bergembira-ria, tenggelam dalam kebahagiaan masing-masing sehingga tentu saja melupakan orang lain. Tek Hoat yang dihujani sanjungan dan kini dilayani dengan mesra dan dengan terbuka oleh Syanti Dewi, di depan Raja dan Permaisuri Bhutan yang memandang sambil tersenyum penuh arti, tentu saja merasa bahagia sekali. Demikian pula Syanti Dewi yang melihat betapa pria yang dicinta dan dipilihnya itu kini telah kembali dalam keadaan selamat, sebagai seorang pahlawan pula, tentu saja menjadi sangat gembira sehingga dia pun lupa akan keadaan orang lain.

Semua orang bergembira-ria, kecuali Ceng Ceng. Sebaliknya, dara ini menjadi sedih sekali karena kebahagiaan orang-orang itu mengingatkan dia akan nasib dirinya. Teringat akan Topeng Setan, satu-satunya manusia yang dicinta, dan teringat akan Kok Cu, satu-satunya manusia yang dibencinya, ternyata kedua orang itu adalah sama, dan kini telah mati!

Padahal, dua orang itulah yang membuat dia tadinya masih ada gairah untuk hidup di dunia yang penuh duka ini. Topeng Setan menghiburnya dan kebaikan hati Topeng Setan membuat dia jatuh cinta kepada orang yang selalu menyembunyikan wajahnya di balik topeng yang amat buruk itu. Dia jatuh cinta bukan karena wajahnya, melainkan karena kebaikan yang banyak dilimpahkan kepadanya oleh pendekar sakti itu sehingga kehadiran Topeng Setan di dalam jalan hidupnya itu menimbulkan gairah hidup yang baru.

Ada pun Kok Cu yang selama ini dimusuhinya dan dibencinya karena pemuda itu telah memperkosanya, merupakan pula suatu dorongan sehingga dia tidak ingin mati dulu sebelum dia dapat membalas dendamnya. Dengan cara yang amat berlainan, bahkan dengan berlawanan, dua nama itu telah membuat dia bersemangat untuk hidup.

Akan tetapi, seperti halilintar datangnya, terbukalah kenyataan bahwa yang amat dicintanya adalah orang yang amat dibencinya, sebaliknya pula yang amat dibencinya itu ternyata adalah orang yang dicintanya, dan kini keduanya, yang sesungguhnya satu orang juga, telah mati! Apa lagi yang menahannya untuk hidup di dunia penuh duka kecewa ini? Lebih baik mati saja dan rasanya mati akan jauh lebih menyenangkan dari pada hidup!

Betapa banyaknya manusia di dunia ini hidup dalam duka dan kesengsaraan batin sehingga dunia ini dianggapnya sebagai tempat yang amat buruk, sebagai neraka yang amat menyiksa. Seperti juga Ceng Ceng, kita manusia selalu dirundung duka yang seribu satu macam sebabnya sehingga kita selalu haus akan kebahagiaan, selalu haus akan kesenangan dan selalu merasa bahwa di dunia ini, hanya kita sendirilah yang paling sengsara sedangkan orang-orang lain semua jauh lebih bahagia dari pada kita.

Benarkah demikian? Sesungguhnya tidaklah demikian kenyataannya. Selama kita memperhatikan keadaan orang lain, membanding-bandingkan dengan keadaan kita, akan timbul rasa kecewa dan iri, memupuk rasa iba diri. Dan kita lupa, seperti juga Ceng Ceng, bahwa justru kekecewaan dan kedukaan itu datang karena keinginan kita mencari yang lebih baik dan lebih menyenangkan itulah! Kita selalu menolak apa yang ada, selalu menolak kenyataan yang terjadi, membutakan mata terhadap kenyataan yang tidak menyenangkan dan mengejar-ngejar bayangan yang dianggap akan dapat menyenangkan.

Padahal, kenyataan seperti apa adanya tidak mengandung suka mau pun duka. Kenyataan apa adanya adalah kebenaran! Ada pun senang atau susah bukanlah bagian dari kenyataan itu, melainkan merupakan permainan dan pikiran kita sendiri, yang selalu menonjolkan dirinya pribadi, yang selalu akan senang kalau diuntungkan lahir maupun batin, dan selalu susah, kalau dirugikan lahir mau pun batin.

Pikiranlah biang keladi susah dan senang. Pikiranlah sumber segala duka dan sengsara! Dan ini merupakan suatu kenyataan, nampak dengan jelas sekali asal kita mau membuka mata dan memandang kenyataan tanpa dipengaruhi oleh segala macam pendapat, prasangka dan kesimpulan yang juga merupakan permainan dari pikiran pula.

Ceng Ceng tenggelam ke dalam lamunan yang menyedihkan. Namun dia hendak merahasiakan semua ini, demi kebahagiaan Syanti Dewi. Dia tidak ingin mengganggu kebahagiaan kakak angkatnya itu, maka ketika Syanti Dewi teringat kepadanya dan mendatanginya, lalu menarik tangannya diajak duduk bersama satu meja dengan keluarga raja, juga bersama Puteri Milana dan Gak Bun Beng yang sudah diminta pula oleh Syanti Dewi, Ceng Ceng tidak menolak dan berusaha menyelimuti kedukaan hatinya dengan senyum manis.

Ketika Raja mengumumkan pertunangan Tek Hoat yang masih mengaku she Ang itu dengan Puteri Syanti Dewi, semua orang menyambut dengan tepuk tangan dan sorak-sorai, juga Ceng Ceng segera menghampiri kakak angkatnya, dipeluknya dan diciuminya Syanti Dewi sambil mengucapkan selamat. Kedua orang wanita cantik ini mengusap air mata keharuan dan Ceng Ceng lalu menghampiri Tek Hoat sambil menjura dan berkata, “Kionghi (selamat), semoga engkau akan menjadi suami kakak angkatku yang baik.”

Tek Hoat tersenyum, menyatakan terima kasihnya dan berkata, “Ceng Ceng, kita adalah saudara seayah, maka kita semua ternyata bukanlah orang-orang lain, bukan? Harap kau maafkan segala kesalahanku yang lalu terhadapmu.”

Ceng Ceng tidak menjawab, hanya di dalam hatinya dia masih mengkhawatirkan apakah kakak angkatnya akan bahagia kelak menjadi isteri Tek Hoat yang dikenalnya sebagai seorang yang licik dan curang, dan jahat. Betapa pun juga, dia tak mengatakan apa-apa karena dia segera teringat akan laki-laki yang tak pernah dapat dilupakannya, biar pun telah mati itu. Topeng Setan atau Kok Cu itu, seperti juga Tek Hoat, baik atau jahatkah?

Kalau dia teringat akan Kok Cu, pemuda yang telah memperkosanya di dalam goa, maka jelas bahwa pemuda itu amat jahat, bahkan merupakan orang yang telah menghancurkan hidupnya, menghancurkan harapannya. Sebaliknya, kalau dia teringat akan Topeng Setan, jelaslah bahwa orang itu amat baik, terlalu baik malah, telah melimpahkan budi kebaikan kepadanya, telah mengorbankan lengannya, bahkan beberapa kali hampir mengorbankan nyawa untuknya. Jadi baikkah orang itu? Atau jahatkah?

Ceng Ceng termenung. Baik atau jahat ternyata tergantung dari pada penilaian kita sendiri, dan penilaian kita pun didasarkan atas kepentingan diri pribadi. Buktinya, kalau dia mengingat Kok Cu yang telah merugikan dia, maka otomatis dia menganggapnya jahat sekali. Dan kalau dia mengingat Topeng Setan yang telah menguntungkan dia, maka otomatis dia menganggapnya baik sekali. Padahal keduanya itu adalah orang yang sama! Tentu demikian pula dengan Tek Hoat. Siapa pun orangnya yang merasa dirugikan oleh Tek Hoat, tentu akan menganggapnya jahat, sebaliknya Syanti Dewi yang tentu telah menerima budi kebaikan dari Tek Hoat seperti dia menerimanya dari Topeng Setan, tentu saja menganggap Tek Hoat sebaik-baiknya manusia!

Ceng Ceng menghela napas panjang. Kenyataan yang membuka matanya lahir batin ini membuat dia menjadi muak akan kepalsuan manusia, akan kepalsuan dirinya sendiri. Setiap orang selalu menginginkan yang menguntungkan dan menyenangkan bagi dirinya sendiri saja, dan menolak yang merugikan atau tidak menyenangkan, maka timbullah suka dan tidak suka, timbullah cinta dan benci, timbullah puas, dan kecewa dan kesemuanya itu tentu saja mendatangkan pertentangan dan kesengsaraan.

Syanti Dewi yang sedang tenggelam dalam kegembiraan itu kini mulai memperhatikan Ceng Ceng. Biar pun adik angkatnya itu kelihatan tersenyum-senyum dan ikut pula berpesta, namun wajahnya pucat dan matanya muram, jelas kelihatan oleh Syanti Dewi betapa kegembiraan Ceng Ceng hanyalah pura-pura belaka untuk menyembunyikan kedukaan yang amat besar.

Perang hebat terjadi di dalam batin Ceng Ceng. Di satu pihak dia menderita pukulan batin yang membuatnya amat berduka teringat kepada Topeng Setan, ditambah menyaksikan kemesraan antara Tek Hoat dan Syanti Dewi, dan pada lahirnya dia memaksa diri untuk ikut bergembira. Arak yang manis diminumnya terasa pahit, semua hidangan yang lezat terasa seperti racun di lidahnya. Dia berusaha menahan-nahan diri, akan tetapi makin diingat makin hebatlah tekanan yang menghimpit batinnya. Akhirnya dia mengeluh dan roboh terguling dari tempat duduknya.

“Adik Candra...!” Syanti Dewi menjerit.

“Ceng Ceng, kau kenapa...?” Tek Hoat juga berseru dan cepat pemuda ini melompat dan memondong tubuh Ceng Ceng yang pingsan, dibawanya masuk bersama Syanti Dewi dan diikuti pula oleh Puteri Milana dan Gak Bun Beng.

Puteri Milana dan Gak Bun Beng cepat memeriksa keadaan Ceng Ceng, dan keduanya saling pandang, lalu Puteri Milana berkata kepada Syanti Dewi, “Biarkan dia beristirahat. Dia mengalami tekanan batin...” lalu dia bersama Bun Beng keluar dari dalam kamar itu, diikuti pula oleh Tek Hoat yang membiarkan Syanti Dewi sendiri menemani Ceng Ceng yang masih rebah pingsan.

Sri Baginda sendiri juga berkenan menengok, dan Sri Baginda lalu bertanya kepada calon mantunya apa yang terjadi dengan diri Ceng Ceng, adik angkat puterinya itu. Dengan halus Tek Hoat melaporkan bahwa Ceng Ceng kelelahan dan perlu beristirahat. Sedangkan Milana sendiri berkata lirih kepada Bun Beng, “Heran sekali, apa yang menyebabkan dia begltu tertekan batinnya?”

“Dan aku pun heran ke mana perginya Topeng Setan yang dulu selalu menemaninya? Sayang Suhu tidak bercerita apa-apa sehingga kita tidak tahu bagaimana Ceng Ceng sampai berpisah dari Topeng Setan dan tahu-tahu datang bersama Suhu.”

Mereka menduga-duga, akan tetapi tidak dapat mengerti apa sebabnya dara itu sampai menderita pukulan batin demikian hebatnya, yang dapat mereka ketahui dari pemeriksaan mereka tadi. Untuk menghormati perayaan kemenangan itu, Milana, Bun Beng, dan Tek Hoat sendiri melanjutkan kehadiran mereka dalam perayaan sungguh pun hati mereka tidak dapat melupakan keadaan Ceng Ceng. Hanya Syanti Dewi saja yang tidak muncul lagi karena puteri ini menjaga sendiri adik angkatnya dengan hati gelisah.

Malam itu pesta dilanjutkan dengan meriah. Beberapa kali secara bergantian, Tek Hoat, Milana, dan Bun Beng menengok keadaan Ceng Ceng yang masih saja rebah seperti tidur pulas dalam keadaan tidak sadar. Bun Beng menyalurkan tenaga sinkang yang kuat dan halus untuk membantu gadis dan memperkuat jantungnya, kemudian dia pun keluar sambil memesan kepada Syanti Dewi bahwa apa bila Ceng Ceng sadar, biarkan gadis itu menangis sepuasnya karena keadaan Ceng Ceng itu hanya akan terbebas dari bencana kalau gadis itu dapat menangis atau menyalurkan beban yang menekan batinnya dengan menceritakan kepada orang lain yang dipercayanya. Syanti Dewi mengangguk dengan air mata berlinang.

Dalam keadaan tidur atau setengah pingsan itu Ceng Ceng mengigau, tubuhnya mulai panas. Syanti Dewi memperhatikan dengan gelisah dan menjadi bingung melihat sikap Ceng Ceng dalam igauannya. Kadang-kadang gadis itu memaki-maki nama ‘Kok Cu’, dan kadang-kadang dia memanggil-manggil ‘Topeng Setan’ dengan mesranya.

Menjelang tengah malam, Ceng Ceng membuka mata dan tiba-tiba meloncat bangun sambil menjerit, “Kau telah mati...!” Akan tetapi karena tubuhnya lemah dan kepalanya pening, hampir saja dia terguling kalau tidak cepat-cepat dirangkul oleh Syanti Dewi.

“Candra... adikku... ingatlah, aku siapa...?” Syanti Dewi yang merangkul itu berbisik dengan suara parau dan air matanya mengalir di kedua pipinya.

Sejenak sepasang mata Ceng Ceng yang muram itu menatap wajah Syanti Dewi seperti yang tidak mengenalnya, tatapan pandang mata yang kosong seolah-olah di balik sinar mata muram itu tidak ada semangatnya lagi. Syanti Dewi merasa seperti ditusuk jantungnya melihat tatapan pandang mata ini.

“Candra Dewi... adikku... kau... kau kenapa...?” Dia merangkul lagi, menciumi pipi yang pucat seperti mayat itu.

Akhirnya Ceng Ceng sadar. “Enci Syanti...!”

Dia merintih dan menangislah Ceng Ceng dalam pelukan Syanti Dewi, menangis sesenggukan akhirnya mengguguk dan air matanya mengalir seperti air bah membobol bendungannya. Syanti Dewi juga menangis, akan tetapi menangis dengan hati lega karena dia teringat akan pesan Bun Beng bahwa tangis akan membebaskan Ceng Ceng dari ancaman bahaya. Maka dia merangkul dan membiarkan Ceng Ceng menangis sepuasnya. Setelah agak reda tangis adik angkatnya itu, dia lalu mengambil sapu tangannya dan menyusuti air mata Ceng Ceng dari pipinya, menyusuti muka yang pucat itu.

“Adikku... adikku yang baik, kenapa kau begini berduka? Ceritakanlah kepada enci-mu ini dan aku bersumpah demi langit dan bumi, aku akan membantumu dengan seluruh kekuasaanku untuk melenyapkan ganjalan hatimu, Candra.”

“Ohh, Enci Syanti...” Ceng Ceng kembali menyembunyikan mukanya di pundak puteri itu. Bagaimana dia akan dapat menceritakan persoalannya itu kepada orang lain?

“Ceritakanlah, Adikku...”

Ceng Ceng tak dapat menjawab, hanya menggelengkan kepala tanpa menghentikan tangisnya.

“Aihh, Candra. Kau kira aku ini siapa? Aku adalah kakakmu, tahukah kau? Lupakah engkau betapa kita bersama-sama meninggalkan Bhutan dan kemudian mengalami segala macam peristiwa hebat? Dan sekarang setelah kita bersama dapat pulang dan berkumpul lagi di sini, engkau menjadi begini. Lebih hebat lagi, agaknya engkau sudah tidak percaya lagi kepada kakakmu ini...”

“Enci Syanti...! Janganlah kau berkata begitu... jangan...” Ceng Ceng terisak, suaranya seperti orang merintih.

“Kalau begitu, kau ceritakanlah semua kedukaanmu itu padaku. Kita ini selain saudara angkat, juga senasib sependeritaan, kalau engkau bahagia, aku pun ikut gembira, kalau engkau sengsara, aku pun ikut berduka. Bagaimana mungkin aku akan dapat menikmati kebahagiaanku sekarang ini kalau melihat engkau sengsara, Adikku?”

Ceng Ceng memejamkan matanya. Memang tidak salah ucapan kakak angkatnya ini. Dahulu dia mempunyai kakeknya akan tetapi kini sudah tidak ada. Kemudian di dunia ini ada Topeng Setan yang dianggapnya satu-satunya orang yang paling baik dan dekat dengannya. Topeng Setan pun sudah tidak ada. Dan Syanti Dewi yang tadinya sudah terpisah dari dia dan disangkanya sudah tewas atau tertawan musuh, sekarang sudah kembali dan berkumpul dengan dia. Memang satu-satunya orang yang paling dekat dengan dia hanya Puteri Bhutan inilah.

Dia menarik napas panjang dan melepaskan rangkulannya. “Baiklah, Enci Syanti. Mari kita duduk dan dengarlah ceritaku.”

Dua orang wanita muda yang cantik jelita itu lalu duduk di atas pembaringan, saling berhadapan dan mulailah Ceng Ceng bercerita. Dia ingin menyingkat ceritanya yang amat panjang itu, hanya mengemukakan hal-hal yang membuat dia merana dan sengsara seperti yang diderita sekarang ini.

“Ketika kita saling terpisah karena perahu kita terguling...” Ceng Ceng berhenti karena teringat betapa peristiwa itu terjadi gara-gara Tek Hoat yang kini menjadi calon suami puteri itu!

Syanti Dewi agaknya dapat meraba perasaan hati adik angkatnya, maka dia tersenyum dan berbisik, “Lanjutkanlah...”

“Aku berjumpa dengan seorang pemuda yang tertawan musuh-musuhnya dan berada dalam sebuah kerangkeng. Karena kasihan kepadanya, aku melarikan dia dengan kerangkengnya, membawanya ke sebuah goa dan di situ aku membuka kerangkeng dan membebaskannya...” Ceng Ceng berhenti lagi. Seperti tampak di depan matanya semua peristiwa itu, betapa pemuda itu dengan berkeras minta agar supaya dia tidak membebaskannya! Agaknya pemuda itu tahu bahwa dia keracunan dan akan terjadi hal yang hebat kalau sampai dia dibebaskan dari dalam kerangkeng!

“Lalu bagaimana, Adikku?” Syanti Dewi mulai tertarik oleh cerita yang dipersingkat ini.

“Setelah aku membebaskan dia... lalu dia itu... dia lihai sekali, dia merobohkan aku dengan totokan...”

“Ahhh...!”

“Kemudian... kemudian... dia memperkosaku...!” Ceng Ceng menutupi mukanya dengan kedua tangannya seolah-olah tidak ingin melihat peristiwa yang kembali membayang di depan matanya.

“Ehhh...!” Syanti Dewi terbelalak, otomatis pandang matanya menjelahi tubuh adiknya. Kemudian dia bangkit berdiri di depan pembaringan, kedua tangannya dikepal dan sepasang matanya bernyala-nyala. “Dia... dia memperkosamu? Adikku, katakan siapa jahanam itu! Aku akan menyuruh Tek Hoat mencarinya sampai dapat dan aku tidak akan mau menikah dengan dia sebelum dia dapat menyeret jahanam itu di depan kakimu! Aku juga akan mohon bantuan Paman Gak Bun Beng! Hayo katakan, siapa jahanam itu!”

Ceng Ceng menurunkan kedua tangannya, memandang puteri yang marah-marah itu dengan muka pucat, kemudian dia memegang kedua tangan puteri itu dengan perasaan berterima kasih sekali. “Enci Syanti, ceritaku belum habis...”

Syanti Dewi duduk kembali di atas pembaringan. “Apakah bukan peristiwa terkutuk itu yang membuatmu berduka? Kalau karena sakit hati itu, biar aku akan mengerahkan segala kemampuanku untuk membantumu membekuk jahanam itu!”

Ceng Ceng menggeleng kepalanya dengan lemas, pandang matanya muram dan sayu, kemudian dia berkata, “Aku akan melanjutkan, dengarlah, Enci Syanti. Seperti dapat kau maklumi, aku menaruh dendam kepada orang itu dan selama ini tiada hentinya aku mencari-cari dia untuk membalas sakit hatiku. Dalam perantauanku ini, aku bertemu dengan seorang lain, yaitu Topeng Setan.”

“Hemm, aku juga sudah mendengar tentang dia, yang kabarnya selalu membantumu dan merupakan seorang manusia ajaib dan lihai sekali yang bersembunyi di balik topengnya.”

“Benar. Dia adalah seorang manusia yang amat baik kepadaku, Enci, telah berulang kali menyelamatkan nyawaku, bahkan dia... dia... telah berkorban dengan lengan kirinya menjadi buntung ketika menolongku. Aku berhutang nyawa kepadanya, berhutang budi dan sudah sepatutnya kalau dia kuanggap sebagai manusia yang paling mulia di dunia ini...”

“Tentu saja! Aku pun tadinya mengalami hal seperti engkau itu dan aku sampai kini selalu menganggap Paman Gak Bun Beng sebagai seorang manusia yang paling mulia di dunia ini, tentu saja sesudah orang tuaku dan... Tek Hoat.”

Ceng Ceng mengangguk-angguk. “Dan kemudian... belum lama ini..., aku mendapat kenyataan yang menghancurkan seluruh perasaanku, yang membuat aku hampir gila, sebuah kenyataan yang amat hebat, Enci Syanti...” dan Ceng Ceng tak dapat menahan air matanya lagi.

Syanti Dewi memegang kedua tangan adik angkatnya. “Kenyataan apakah, Candra? Cepat kau beritahukan kepadaku.”

“Kenyataan bahwa Topeng Setan, orang yang paling kumuliakan dan karenanya paling kucinta... ketika topengnya terbuka... ternyata... ternyata dia... dia... adalah... pemuda yang memperkosa aku dahulu...”

“Aihhhh...!” Syanti Dewi setengah menjerit dan kembali dia meloncat berdiri, mukanya menjadi pucat dan pandang matanya penuh rasa iba, lalu mulutnya komat-kamit seperti berdoa akan tetapi terdengar bisiknya. “...jadi kau... membenci dan sekaligus mencinta orang yang sama...? Dan dia itu... musuhmu dan sekaligus sahabatmu, pemerkosamu dan sekaligus penolongmu...? Aihhh, bagaimana ini...?”

Seperti dalam mimpi, suaranya lirih dan datar, terdengar Ceng Ceng berkata membela, “Akan tetapi... ketika dia memperkosaku... dia... dia dalam keadaan tidak sadar karena keracunan... dan dia sudah berusaha mencegah aku membuka kerangkengnya...”

Mendengar ini, Syanti Dewi mengangguk-angguk, kemudian merangkul adik angkatnya itu dan berkata dengan suara serius, “Dengarlah baik-baik, Candra. Sekarang jawablah aku. Engkau sekarang ini, setelah semua itu terjadi, setelah semua itu lewat dan lupakan semua itu, sekarang jawablah, apakah engkau sekarang ini membencinya ataukah mencintanya?”

Ceng Ceng tertunduk lesu dan sampai lama tidak menjawab.

Syanti Dewi mencium kedua pipinya. “Sadarlah, Adikku. Tak perlu kau membiarkan diri tenggelam dalam peristiwa yang lalu. Katakanlah kepadaku. Bencikah kau kepadanya? Ataukah engkau cinta kepadanya?”

Ceng Ceng menggeleng kepada. “Entahlah, Enci Syanti. Aku tidak tahu. Dia demikian baik kepadaku, mungkin tanpa dia aku sudah mati, dan tidak mungkin lagi bertemu denganmu. Dia mengorbankan segalanya untukku, bahkan lengannya putus sebelah karena aku... akan tetapi... dia... dia yang memperkosaku.”

Syanti Dewi memandang Ceng Ceng sambil tersenyum. Sampai lama dia menatap wajah yang menunduk itu, kemudian dia memegang kedua pundak adik angkatnya, lalu memegang dagu yang meruncing itu dan tersenyum lebarlah Puteri Bhutan itu. “Adikku yang manis, kau cantik sekali! Tahukah kau apa yang tampak olehku? Jelas terbayang di wajahmu, Adikku, dan aku tidak akan salah lihat bahwa engkau cinta kepadanya.”

“Ehhh...?” Ceng Ceng terkejut sekali dan memandang tajam kepada kakak angkatnya itu, akan tetapi dia menundukkan mukanya lagi dan wajahnya makin muram.

“Candra... adikku yang cantik, mengapa kau khawatir? Engkau terlalu memandang rendah kepada kakakmu ini. Apa kau kira aku akan diam saja setelah melihat kenyataan bahwa engkau mencinta pria itu? Jangan kau khawatir, biar kusuruh sekarang juga Tek Hoat, agar dia mencari dia sampai ketemu.”

Ceng Ceng menghela napas panjang, terdengar dia mengeluh. “Aihhh, Enci Syanti, sia-sia saja segala perhatianmu kepadaku, karena dia... dia sudah mati...” Dan air mata mengalir turun lagi dari kedua mata Ceng Ceng.

“Heiiii...?!” Kini Syanti Dewi yang memandang dengan mata terbelalak dan wajahnya pucat. Kemudian dia menubruk, merangkul Ceng Ceng dan sekarang puteri itulah yang menangis tersedu-sedu. Dan anehnya, melihat kakak angkatnya menangis begitu sedih, Ceng Ceng merasa terhibur hatinya, atau setidaknya dia melupakan kesedihannya sendiri, bahkan kini dia yang berusaha menghibur Syanti Dewi!

“Sudahlah, Enci Syanti, sudahlah..., ditangisi pun sia-sia...!”

Memang aneh sekali, akan tetapi telah menjadi kenyataan bahwa kedukaan seseorang akan berkurang, menjadi ringan, atau setidaknya terhibur melihat kedukaan orang lain! Kenyataan ini pahit sekali, membayangkan dengan jelas bahwa kedukaan timbul dari rasa iba kepada diri sendiri, maka rasa iba itu menjadi berkurang kalau melihat orang lain juga menderita, apa lagi kalau penderitaan orang lain itu lebih besar dari pada penderitaannya sendiri. Rasa iba diri ini adalah penonjolan dari pada si aku yang selalu ingin menguasai batin manusia maka terjadilah kesengsaraan dan kedukaan yang memenuhi kehidupan kita.

Perlu sekali untuk disadari benar-benar bahwa kesengsaraan dan kedukaan bersumber kepada pikiran kita sendiri, yang membentuk si aku, karena pikiran kita sendirilah yang menimbulkan pertentangan-pertentangan di dalam batin dengan selalu menginginkan hal-hal lain dari pada kenyataannya yang ada, selalu menginginkan yang dianggapnya menyenangkan sehingga apa yang ada, yaitu kenyataan setiap saat yang dihadapinya, selalu tidak diamatinya benar-benar dan dianggapnya tidak menyenangkan.

Semua ini adalah permainan pikiran kita sendiri setiap saat dan demikianlah pikiran kita menguasai kehidupan kita setiap hari! Mata kita baru akan terbuka, keindahan setiap saat yang terkandung dalam setiap peristiwa baru akan tampak apa bila pikiran atau si aku tidak mencampurinya! Cinta kasih yang murni dan suci, terhadap apa pun juga, baru ada apa bila pikiran atau si aku tidak memegang kendali!

“Adik Candra..., betapa hebat penderitaanmu. Sungguh aku berdosa besar kepadamu, Adikku, aku bergembira, berbahagia, bersenang-senang tanpa memikirkan bahwa kau sesungguhnya sedang menderita kedukaan hebat...”

“Sudahlah, Enci Syanti. Engkau tidak bersalah apa-apa. Engkau tidak mengetahuinya dan tidak perlu pula Enci berduka karena keadaanku. Lanjutkanlah kegembiraanmu, Enci, engkau berhak untuk hidup berbahagia. Setidaknya, mengingat bahwa engkau akan berjodoh dengan seorang yang masih seayah denganku, membuat aku bersyukur. Aku sendiri... ahhh, hidup tidak ada artinya lagi, aku... aku bermaksud... akan pergi lagi dari sini besok...”

“Ehhh... ke mana...?”

“Entahlah. Mungkin kembali ke bekas tempat tinggal Kakek, atau... entah ke mana aku sendiri belum bisa memastikan...”

“Jangan, Candra...! Setidaknya, kau tinggallah di sini sampai hari pernikahanku.”

Ceng Ceng menggelengkan kepalanya dan menghapus sisa air matanya. “Tidak, Enci. Kehadiranku yang penuh kepahitan hanya akan mengganggu kebahagiaanmu saja. Aku sudah mengambil keputusan untuk pergi besok, pagi-pagi dari sini. Kau tidak boleh dan tidak bisa menahanku, Enci Syanti...”

“Candra...!” Syanti Dewi merangkul dan kembali kedua orang kakak beradik yang dipermainkan nasib sehingga keadaan mereka kini seperti bumi dan langlt itu saling bertangis-tangisan.

Malam itu juga Syanti Dewi pergi menemui Tek Hoat yang dimintanya agar sebagai saudara seayah, suka membujuk Ceng Ceng. Tek Hoat terkejut sekali saat mendengar semua penuturan kekasihnya itu tentang Ceng Ceng dan Topeng Setan. Tak pernah disangka seujung rambut pun bahwa Topeng Setan adalah musuh besar yang selalu dicari-cari Ceng Ceng itu, dan baru sekarang dia tahu bahwa adiknya seayah itu, adik tirinya, telah menjadi korban perkosaan Topeng Setan sendiri yang kini kabarnya telah tewas! Tergopoh-gopoh dia menemui Ceng Ceng di kamar gadis itu.

“Kau tidak boleh pergi...!” begitu memasuki kamar itu Tek Hoat berseru.

Ceng Ceng yang tadinya duduk termenung itu, kini meloncat bangun. Mukanya yang tadinya pucat menjadi agak merah karena perasaan marah menyelinap dalam hatinya. Dia berdiri menentang wajah pemuda itu dan menjawab dengan ketus, “Ada hak apa engkau melarang aku pergi?”

“Ada hak apa? Hemm, lupakah kau bahwa aku ini kakakmu, bahwa kita ini seayah? Kau tidak boleh pergi dalam keadaan begini!”

“Dalam keadaan bagaimana?”

“Kau sedang mengalami kedukaan, kau bisa jatuh sakit di jalan. Dan sudah menjadi kewajibanku sebagai saudara untuk menjaga dan melindungimu, aku akan berusaha untuk menggembirakan hatimu, menghiburmu...”

“Dengan sikapmu yang keras dan selalu memusuhiku itu? Hemm, Tek Hoat, agaknya engkau mengandalkan kepandaianmu dan mengandalkan kedudukanmu sekarang, maka kau hendak memaksaku. Kau kira aku mau tunduk begitu saja? Kau boleh bunuh aku sekarang juga, aku tetap hendak pergi besok pagi. Ingin kulihat kau bisa berbuat apa!” Ceng Ceng menantang, berdiri dengan kedua tangan dikepal.

“Kau... kau keras kepala!” Tek Hoat menegur, kedua tangannya juga dikepal.

Mereka berhadapan seperti dua orang musuh bebuyutan (musuh besar turun-temurun) yang hendak mengadu nyawa. Akhirnya setelah beberapa lama mereka saling pandang dengan sinar mata berapi, Tek Hoat menurunkan kembali tangannya dan menarik napas panjang. Kemudian dia berkata lirih setelah menghela napas lagi.

“Ceng Ceng, kau tidak tahu... biarlah selagi masih ada kesempatan aku akan mengaku semuanya kepadamu. Semenjak kita saling berjumpa dahulu, ketika aku menolongmu dari air sungai, timbul rasa suka yang aneh dan mendalam di dalam hatiku terhadap dirimu. Cobalah kau ingat-ingat, kalau tidak begitu, mana mungkin aku membiarkan engkau menguasai aku hanya dengan sumpah dan sapu tangan, bahkan aku rela pula menghambakan diri menjadi pembantumu ketika kau diangkat menjadi bengcu! Andai kata di dunia ini tidak ada Syanti Dewi yang lebih dulu telah menjatuhkan hatiku, yang telah kucinta sejak pertemuan pertama, agaknya... aku tidak akan ragu lagi bahwa aku tentu akan jatuh cinta kepadamu. Sejak dahulu ada getaran perasaan yang mengikat hatiku kepadamu, tidak tahu bahwa sesungguhnya engkau masih sedarah dengan aku. Engkau adikku... di dunia ini hanya ada seorang adik bagiku...”

“Hemm, kakak macam apa engkau ini yang selalu bersikap keras kepadaku.” Akan tetapi suara teguran Ceng Ceng itu mengandung getaran keharuan karena memang dia terharu sekali mendengar pengakuan Tek Hoat itu. Teringat dia betapa dahulu pun hampir saja dia jatuh cinta kepada pemuda ini dan di sudut hatinya memang selalu ada rasa suka terhadap Tek Hoat seperti yang diakui pula oleh pemuda itu. Ternyata pertalian darah itulah yang menimbulkan getaran itu.

“Memang, kita sama-sama keras kepala, Adikku. Agaknya inilah yang diwariskan oleh mendiang ayah kita yang kabarnya amat jahat itu. Kita berdua adalah keturunan orang yang jahat... akan tetapi hanya aku yang mewarisi kejahatannya, sedangkan engkau adalah seorang gadis yang gagah perkasa dan berbudi mulia. Akan tetapi kenapa justru engkau yang menderita kesengsaraan sedangkan aku berenang dalam kebahagiaan? Tidak! Engkau tidak boleh menderita kalau aku berbahagia. Adikku, Ceng Ceng... aku minta, aku mohon kepadamu, jangan kau pergi, Adikku...” Terdorong oleh rasa harunya, Tek Hoat pemuda yang berhati baja itu kini menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Ceng Ceng!

“Tek Hoat...” Ceng Ceng juga berlutut dan seperti digerakkan oleh tenaga gaib, kedua orang saudara tiri seayah ini saling rangkul dan untuk beberapa lamanya Ceng Ceng menangis di atas dada saudaranya.

Akan tetapi kekerasan hatinya timbul pula dan dia lalu bangkit berdiri, menyusut air matanya. “Tek Hoat, aku pun tidak pernah dapat membencimu. Terima kasih atas kebaikanmu kepadaku. Akan tetapi engkau tentu tahu, dalam keadaan seperti sekarang ini, aku membutuhkan ketenangan dan keheningan, aku harus pergi menyendiri, entah ke mana. Percayalah, kalau aku tidak mati, dan kalau luka di hati ini sudah tidak parah lagi, engkaulah satu-satunya orang yang akan kucari sebagai keluargaku.”

Tek Hoat menghela napas panjang dan juga bangkit berdiri. Dia telah mengenal bagai mana sifat Ceng Ceng yang amat keras. Seperti baja yang tak dapat ditekuk lagi. “Kalau begitu, aku hanya dapat ikut prihatin dan akan selalu mendoakan, Adikku.”

Demikianlah, pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Ceng Ceng berangkat pergi sebelum ada yang bangun dari tidurnya. Tentu saja dengan mudah dara ini keluar dari istana, juga dengan mudah keluar dari pintu gerbang sebelah timur karena para prajurit yang menjaga semua mengenal adik angkat Puteri Bhutan ini.

Dengan muka pucat dan pandang mata kosong Ceng Ceng keluar dari pintu gerbang tanpa menengok lagi. Langsung dia melanjutkan perjalanan dengan langkah-langkah perlahan maju ke depan tanpa tujuan karena pikirannya kosong dan semangatnya seperti telah terbang meninggalkan tubuhnya.

Belum jauh dia meninggalkan pintu gerbang timur, tiba-tiba ada suara memanggilnya, “Sumoi...!”

Ceng Ceng menghentikan langkahnya, berdiri lesu tanpa menoleh karena dia mengenal suara itu, suara Panglima Jayin, yang juga merupakan suheng-nya karena panglima ini pernah berguru kepada kakeknya.

Ketika Jayin tiba di depannya, Ceng Ceng berkata lesu, “Suheng, harap kau jangan ikut-ikut menahanku karena sudah bulat tekadku untuk pergi dan tak seorang pun boleh menahanku.”

“Sumoi, aku sama sekali tidak akan menahan dan mencampuri urusan pribadimu. Aku menyusulmu karena aku diutus oleh Sang Puteri Syanti Dewi. Beliau mengutus aku mengejarmu dan memanggilmu kembali karena tadi malam ada seorang tamu yang datang ke istana mencarimu. Akan tetapi karena hari telah malam, terpaksa kusuruh tamu itu bermalam di gedung tamu dan menunggu sampai pagi. Baru pagi tadi aku dapat menghadap Sang Puteri untuk menyampaikan permintaan tamu yang hendak menjumpai mu itu. Akan tetapi pagi-pagi sekali engkau sudah pergi, maka Sang Puteri mengutus aku untuk menyusul dan memanggilmu kembali ke Istana.”

“Suheng, aku tidak ingin bertemu dengan siapa pun juga. Engkau kembalilah dan katakan kepada Enci Syanti Dewi bahwa aku tidak mau menemui siapa pun.”

“Akan tetapi, Sumoi... engkau belum tahu siapa tamu itu!” Suara panglima ini tergetar karena dia pun sudah mendengar akan keadaan sumoi-nya itu dari Puteri Syanti Dewi. “Dia telah datang menyusul bersamaku. Inilah dia orangnya!”

Akan tetapi Ceng Ceng tidak mempedulikan kata-kata ini dan dia terus melanjutkan langkahnya. Siapa pun orangnya yang datang mencarinya, dia tidak ingin melihat dan menemuinya. Tanpa menoleh sedikit pun, Ceng Ceng melangkah terus, sama sekali tidak mempedulikan.

Baru beberapa langkah dia berjalan, tiba-tiba terdengar suara, “...bengcu...!”

Ceng Ceng berhenti seperti disambar petir dan dia berdiri tegak, mukanya pucat, kedua kakinya menggigil dan dia tidak percaya akan pendengarannya sendiri. Dia tidak berani menoleh, karena tentu pendengarannya yang menipunya dan kalau dia menoleh, dia akan kecewa. Tidak mungkin! Tapi suara yang didengarnya tadi amat dikenalnya, terlalu dikenalnya malah, karena suara itu adalah suara Topeng Setan!

“Bengcu...!” Suara itu memanggil lagi, kini terdengar tergetar.

Untuk kedua kalinya Ceng Ceng tersentak kaget. Dia menoleh dan....

“Ouhhhhhh...!” dia menutupi mulut dengan punggung tangan kiri, menahan jeritnya.

Betapa kagetnya ketika dia melihat laki-laki yang berlutut di depannya itu, laki-laki yang melihat pakaian dan lengan kirinya, jelas adalah Topeng Setan, akan tetapi melihat wajahnya yang tidak tertutup topeng itu, wajah yang tampan dan gagah sekali sungguh pun pada saat itu kelihatan pucat dan dicekam perasaan khawatir, adalah wajah Kok Cu, pemuda yang telah memperkosanya.

“Kau...? Kau...?” Hati Ceng Ceng menjerit, akan tetapi bibirnya hanya bergerak-gerak dan mulutnya terbuka tanpa ada suara yang keluar, kemudian terdorong oleh kedua kakinya yang tiba-tiba menjadi lemas seperti lumpuh dan keterkejutan yang meremas hatinya, Ceng Ceng menjatuhkan diri berlutut dan menubruk orang itu sambil merintih dan menangis.

“Kau... kau... masih hidup..., ohhh, kau masih hidup...?” berulang-ulang dia berbisik seperti dalam mimpi ketika dia mendekapkan mukanya di atas dada yang bidang itu.

“Suhu menolong dan menyembuhkan aku...,” bisik Topeng Setan atau Kok Cu itu.

“...ahhh... hu-huuu-huukk... aku... aku girang sekali... aku... aku cinta padamu, Pam...” Ceng Ceng tiba-tiba menghentikan kata-katanya, tidak melanjutkan sebutan ‘paman’ tadi karena dia segera teringat dan cepat dia mengangkat mukanya.

Begitu melihat wajah tampan itu, dia berseru, “Ohhhh...!” dan merenggutkan tubuhnya menjauh.

Sementara itu, begitu Ceng Ceng tadi merangkul ‘tamu’ itu, Panglima Jayin sudah melangkah pergi dan memberi isyarat kepada para penjaga untuk pergi menjauh, lalu memasuki pintu gerbang dan membiarkan kedua orang itu bicara dengan leluasa. Senyum penuh rasa syukur membayang di wajah panglima gagah itu.

“Aku bukan Topeng Setan lagi...” Pemuda itu berkata. “Aku adalah Kao Kok Cu, aku adalah si pemuda laknat dan aku datang untuk menerima hukuman, Ceng Ceng. Semenjak peristiwa terkutuk yang terjadi di goa, aku selalu dikejar oleh dosa dan penyesalan. Apa lagi ketika aku mendengar bahwa engkau adalah penyelamat nyawa Ayah, aku makin menyesal, maka untuk menebus dosa dan untuk membalas budimu terhadap Ayah, aku kemudian menjadi Topeng Setan yang selalu melindungi dan membelamu. Sekarang, rahasiaku telah kau ketahui, maka aku datang untuk menerima hukuman. Kalau kau hendak membunuhku, lakukanlah, aku tidak akan menyesal mati di tanganmu, Ceng Ceng, karena aku akan mati di tangan seorang yang paling kucinta di dunia ini, yang paling kuhormati, kukagumi dan kujunjung tinggi.”

Ceng Ceng yang masih menggigil seluruh tubuhnya itu, mengeluh dan dia kembali menubruk, merangkul karena memang perasaan bahagia melihat ‘Topeng Setan’ masih hidup mengusir semua perasaan lain. “Paman... Paman... melihat engkau masih hidup, aku... ahhh, betapa bahagia rasa hatiku.” Dia berkata dan kembali dia lupa akan wajah tampan itu, merasa bahwa dia berada dalam pelukan Topeng Setan. “Melihat engkau mati, baru aku tahu bahwa aku cinta padamu, Paman, dan aku tidak ingin lagi terpisah darimu...”

“Ceng Ceng, janganlah menyebutku Paman... Engkau isteriku sayang... engkau sudah kuanggap isteriku sejak aku mengenakan topeng... Betapa bahagia hatiku mendapat pengakuan cintamu...”

Ceng Ceng merangkul dan menatap wajah itu, wajah tanpa topeng yang ternyata amat tampan dan gagah. Wajah yang semenjak peristiwa di goa itu tidak pernah dapat dilupakannya! Kok Cu yang melihat wajah jelita basah air mata itu, tergerak hatinya, penuh keharuan, penuh iba dan penuh kemesraan cinta, maka dia menunduk dan di lain saat dia sudah mencium mulut yang setengah terbuka itu, menciumnya dengan seluruh perasaan kasih sayang yang terluap dari lubuk hatinya, melalui bibirnya.

Sejenak Ceng Ceng terlena dan memejamkan mata, otomatis perasaan bahagia dan kasih sayang dari hatinya membuat kedua lengannya melingkari leher pemuda itu dan bibirnya pun bergerak menyambut. Akan tetapi tiba-tiba terbayang peristiwa di dalam goa. Mulutnya yang melekat pada mulut Kok Cu meronta, matanya terbelalak dan dia merenggutkan dirinya.

Kok Cu memandangnya dengan mata terbelalak penuh kekhawatiran.

“Plak! Plakk!”

Dua kali kedua tangan Ceng Ceng bergerak dan nampaklah garis-garis merah di kedua pipi Kok Cu yang pucat. Pemuda itu tersenyum.

“Terima kasih dan pukulan-pukulanmu barusan baik sekali, merupakan obat yang akan menyembuhkan penyesalanku. Kau pukullah lagi, Ceng Ceng. Sudah kukatakan bahwa aku siap menebusnya dengan kematian sekali pun...”

“Ouhhh... tidak... tidak...!” Ceng Ceng kembali merangkul. Kini dia memandangi wajah tampan itu dan jari-jari kedua tangannya mengelus dan membelai bekas tamparannya di kedua pipi pemuda itu. “Tidak... kau... kau adalah orang satu-satunya di dunia ini yang kucinta... kau adalah Topeng Setan yang telah melimpahkan budi kepadaku...”

“Akan tetapi aku juga pemuda laknat yang telah memperkosamu, Ceng Ceng.”

“Tidak... tidak...! Pada waktu itu engkau dalam pengaruh racun... peristiwa itu adalah kesalahanku sendiri. Engkau sudah berusaha mencegah aku membebaskan mu dari kerangkeng... dan engkau sudah berusaha sekuat tenaga mencegah, akan tetapi racun itu lebih kuat... tidak, engkau tidak bersalah...”

Wajah yang tampan dan gagah itu berseri. Tiba-tiba Kok Cu berdiri dan dengan satu tangannya yang luar biasa kuatnya itu, sekali angkat dia sudah mengangkat Ceng Ceng sehingga gadis ini berdiri pula. Wajah yang tampan itu menjadi kemerahan, matanya bersinar-sinar penuh kebahagiaan. “Kalau begitu... kau mengampuni aku...?”

“Tidak ada ampun karena kau tidak bersalah.”

“Aku berdosa dan aku mengharapkan ampunmu, Ceng Ceng.”

“Kalau begitu, aku mengampunimu, Pam... eh, Koko (Kakanda)...”

“Dan kau tidak membenci lagi kepada Kok Cu?”

Sambil merangkul leher pemuda itu, dan matanya masih mengalirkan air mata, Ceng Ceng tersenyum dan menggeleng kepala. “Sebaliknya malah, aku mencinta orang yang bernama Kok Cu.”

“Moi-moi...!”

“Koko...!”

Kembali mereka berdekapan dan sekali ini ketika Kok Cu mencium Ceng Ceng, dara itu menyambut dan membalasnya dengan penuh kemesraan. Dekapan dan ciuman itu seolah-olah menjadi tempat pencurahan seluruh perasaan mereka, rasa cinta, rasa rindu, dan semua kebahagiaan yang terasa di hati masing-masing sehingga mereka seolah-olah tidak ingin saling melepaskan lagi.

“Ceng Ceng, Moi-moi... betapa bahagia hatiku... ketahuilah, aku datang bersama Ayah. Selain menyusulmu, juga Ayah membawa tugas dari Kaisar untuk menyampaikan selamat kepada Kerajaan Bhutan, juga untuk menyatakan keampunan Kaisar terhadap Puteri Milana. Selain itu pula... juga Ayah akan meminangmu secara resmi... marilah, sayang, mari kita kembali ke istana Bhutan...”

Tiba-tiba Ceng Ceng melepaskan dirinya dari rangkulan lengan kanan kekasihnya, dan sambil tersenyum di antara air matanya, dengan kedua pipi merah, dia menggeleng. “Tidak... aku tidak mau kembali...” Dan dia pun membalikkan tubuhnya dan lari.

“Ehh, Ceng Ceng...!” Kok Cu mengejar dan kalau saja dia mau tentu dengan mudah dia dapat menyusul larinya gadis itu. Akan tetapi melihat kekasihnya itu lari sambil tersenyum, dia sengaja mengejar dari belakang dan berteriak, “Kenapa kau tidak mau?”

“Aku malu...!” Ceng Ceng berlari terus, memasuki sebuah hutan kecil.

Akhirnya Ceng Ceng memperlambat larinya dan membiarkan dirinya disusul, ditangkap dan dipeluk di bawah sebatang pohon besar. Dia menyerah dan menyambut ketika pemuda itu kembali menciuminya sampai keduanya gelagapan kehabisan napas. Akhirnya mereka duduk di bawah pohon, di atas rumput tebal dan hijau.

“Ceng-moi, kenapa kau malu?”

“Aku tidak ingin kembali ke sana, tidak ingin... sementara ini menemui orang-orang lain, aku khawatir kebahagiaanku akan terganggu. Aku ingin berdua saja denganmu, Koko, kalau bisa, berdua saja di dunia ini, tidak akan saling terpisah lagi... Koko, ah, Koko... aku masih belum percaya... apakah aku tidak sedang mimpi...?”

“Ceng-moi, kau kekasihku, kau pujaan hatiku, kau isteriku... apakah ini mimpi?” Dia mencium dan menggigit leher Ceng Ceng sampai dara itu terpekik halus. “Aku sendiri pun hampir tidak percaya bahwa engkau dapat mengampuni aku, apa lagi mencintaku! Aku selalu merasa ngeri untuk menghadapi pertemuan ini... tidak ada kengerian yang lebih hebat dari pada melihat engkau membenci aku... bayangkan saja betapa sengsara hatiku sebagai Topeng Setan ketika engkau menyatakan betapa hebatnya kebencianmu kepada Kok Cu...”

Sambil menyandarkan kepalanya di atas dada yang bidang itu, dan memainkan jari-jari tangan kanan Kok Cu yang dia tarik ke atas dadanya, Ceng Ceng berkata, suaranya manja. “Siapa sih yang membenci Kok Cu? Aku membencinya karena dia... menghilang begitu saja setelah peristiwa itu...! Aku benci karena dia tidak muncul lagi, padahal dia kuharap-harapkan... padahal hatiku sudah jatuh cinta begitu aku melihat dia di dalam kerangkeng itu...!”

“Tapi kau... kau mencinta Topeng Setan!” Kok Cu menggoda.

Ceng Ceng menarik lengan baju kiri yang kosong itu dan mencium lengan baju itu. “Mengapa tidak? Topeng Setan telah mengobankan lengannya, bahkan beberapa kali hampir berkorban nyawa untukku. Aku mencinta Topeng Setan karena budinya, tanpa mempedulikan bagaimana macamnya wajah di balik topeng, tanpa mempedulikan usianya, akan tetapi aku mencinta Kok Cu karena pribadinya, karena tatapan sinar matanya, karena... karena memang aku cinta dan sebabnya aku tidak tahu!”

“Hemm..., kalau begitu engkau mencinta dua orang! Hayo, katakan, siapa yang lebih kau cinta, Kok Cu atau Topeng Setan?” pemuda itu menuntut, pura-pura cemberut.

Ceng Ceng membalikkan tubuhnya, tertawa geli. “Kau cemburu? Hi-hik, lucunya! Kau cemburu kepada siapa?”

Dengan muka dibuat seperti marah Kok Cu berkata, “Tentu saja kepada Topeng Setan! Hayo katakan, kau lebih mencinta Kok Cu atau Topeng Setan?”

“Ya ampun... tentu saja aku lebih mencinta Kok Cu!”

Tiba-tiba Kok Cu mengeluarkan sebuah topeng dan sekali bergerak, topeng itu telah dipakai di mukanya dan berubahlah ia menjadi Topeng Setan, suaranya pun agak berubah karena terhalang topeng. “Bagus, Ceng Ceng...! Jadi cintamu kepadaku palsu, ya? Jadi kau lebih cinta kepada pemuda laknat itu dari pada kepadaku?”

Sambil menahan gelinya, Ceng Ceng pun berkata, “Siapa bilang, Paman? Aku cinta padamu, Paman Topeng Setan!”

Kok Cu membuang topengnya dan sambil memegang dagu yang runcing itu, dijepit antara telunjuk dan ibu jarinya, mengangkat muka Ceng Ceng menengadah, dia lalu menghardik, “Perempuan tamak! Sebetulnya kau lebih mencinta yang mana?”

“Aku cinta keduanya, dan cintaku itu kini menjadi satu, tiada bandingannya lagi, dan... ehmmm...” Ceng Ceng tidak dapat melanjutkan kata-katanya lagi karena mulutnya telah ditutup oleh sepasang bibir yang seolah-olah tidak akan ada puas-puasnya itu. Dia memejamkan matanya, menyambut dengan hati terbuka dan penuh penyerahan.

Angin semilir di atas mereka, membuat daun-daun pohon berkeresekan saling sentuh seperti saling berbisik membicarakan pertemuan asyik-masyuk penuh kemesraan di bawah pohon besar itu. Bagi Ceng Ceng dan Kok Cu, waktu dan segala sesuatu lenyap, bahkan diri pribadi juga lenyap, yang ada hanyalah kebahagiaan dan keindahan. Hidup adalah bahagia, hidup adalah indah.

Hanya sayang sekali, hanya sewaktu-waktu saja, hanya selewat saja, dalam keadaan seperti yang dialami oleh Ceng Ceng dan Kok Cu, kita mengenal kebahagiaan dan keindahan itu. Selebihnya, waktu dalam hidup kita penuh dengan pertentangan, penuh dengan kebencian, iri hati, angkara murka yang kesemuanya itu hanya mendatangkan kesengsaraan belaka.

Adakah yang lebih indah dari pada cinta? Sayang, betapa cinta oleh kita telah dipecah-belah, ditafsirkan menurut kecondongan hati yang menyenangkan sehingga timbul bermacam pendapat dan kesimpulan. Cinta bukanlah sex semata, bukanlah kewajiban semata, bukanlah pengorbanan semata, bukanlah pemberian atau permintaan semata.

Kesemuanya itu terdapat dalam cinta dan cinta mencakup segala karena cinta hanya terisi keindahan. Cinta tidak mengenal perbedaan suku, tidak mengenal perbedaan ras, tidak mengenal perbedaan bangsa, tidak mengenal perbedaan usia, tidak mengenal kaya atau miskin, pintar atau bodoh, tidak mengenal tingkat tinggi atau rendah. Cinta tak mengenal kebencian, tak mengenal permusuhan, tidak mementingkan diri pribadi. Cinta adalah kebahagiaan. Tanpa cinta matahari akan kehilangan sinarnya, bunga kehilangan keharumannya, dan manusia kehilangan kemanusiaannya.

Oleh karena itu, segala macam gerak yang kita perbuatan tanpa di dasar cinta kasih adalah palsu belaka. Ada pun yang kita lakukan di dunia ini barulah benar dan suci apabila didasari oleh cinta kasih di dalam hati sanubari kita.


                   T A M A T

Serial Selanjutnya : Jodoh Rajawali


            
********** Sahabat Karib.com **********





















Terima kasih telah membaca Serial ini

                 



No comments:

Post a Comment

Cerita Silat Kho Ping Hoo Serial Pendekar Budiman Jilid 12

   Cerita Silat Kho Ping Hoo Serial Pendekar Budiman             Jilid 12