Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Kisah Sepasang Rajawali
Jilid 29
Beberapa
orang Panglima Kerajaan Bhutan maju berkuda, disambut oleh Liauw Ki dan Yu Ci
Pok. Dalam puluhan jurus saja para Panglima Bhutan ini roboh dari kuda mereka.
Setelah mendapat perkenan Gak Bun Beng, Panglima Jayin dengan marah lalu maju
sendiri. Dia menangkan beberapa orang panglima musuh, tetapi ketika berhadapan
dengan Lauw Ki Si Petani Maut, baru bertempur dua puluh jurus saja pundaknya
sudah terpukul pikulan dan kalau dia tidak cepat mengundurkan diri tentu akan
tewas pula!
Gak Bun Beng
menjadi penasaran dan marah. Majulah pendekar ini dan segera dia dikeroyok dua
oleh Liauw Ki dan Yu Ci Pok. Akan tetapi, dengan mudah saja Bun Beng
mempermainkan mereka. Bahkan ketika Hek-tiauw Lo-mo yang kini tahu-tahu sudah
bergabung dan membantu Tambolon itu maju pula mengeroyok, tetap saja Gak Bun
Beng mengamuk hebat dan membuat Hek-tiauw Lo-mo sendiri terdesak hebat.
Ketua Pulau
Neraka itu terkejut bukan main. Apa lagi ketika beberapa kali dia mengadu
tenaga, dia memperoleh kenyataan betapa pendekar ini ternyata memiliki tenaga
Hui-yang Sinkang, Swat-im Sinkang dan juga tenaga mukjijat Inti Bumi!
“Kau
siapakah?” bentaknya berulang-ulang.
Sudah banyak
dia bertemu lawan lihai, akan tetapi baru sekarang dia melihat seorang yang
memiliki ilmu-ilmu dari Pulau Es dan Pulau Neraka sedemikian sempurnanya,
seolah-olah Pendekar Super Sakti sendiri!
“Hemm,
Hek-tiauw Lo-mo. Engkau merendahkan nama Pulau Neraka dengan menjadi antek dari
Tambolon si pemberontak!” Bun Beng berseru sambil menangkap sambaran pikulan
yang dipukulkan oleh Liauw Ki, kemudian sekali dia mengerahkan tenaga, dan...
“Krakkk!”
Terdengar
suara dan pikulan itu pun patah-patah. Tentu saja Liauw Kui menjadi pucat dan
meloncat mundur.
“Namaku
adalah Gak Bun Beng.”
Hek-tiauw
Lo-mo terkejut. Pernah dia mendengar nama ini. “Apamukah Pendekar Super Sakti
dari Pulau Es?”
“Beliau
boleh dibilang adalah guruku!” Bun Beng memutar tubuh dan dorongan telapak
tangannya membuat Yu Ci Pok terpental dan terhuyung-huyung.
Pada saat
itu, Milana yang melihat Bun Beng dikeroyok dan melihat betapa sudah tiba
saatnya memberi perintah menyerbu, mengisyaratkan kepada peniup terompet tanduk
binatang. Terdengarlah perintah penyerbuan ini dan dipimpin oleh Jayin yang
terluka pundaknya, menyerbulah bala tentara Bhutan dan terjadilah perang
sampyuh yang hebat.
Gak Bun Beng
kini bertanding dengan hebat melawan Hek-tiauw Lo-mo. Tidak ada orang dari
kedua pihak yang berani mendekati dua orang ini, karena sambaran hawa pukulan
dari tangan mereka sedemikian hebatnya sehingga dalam jarak dua meter saja
orang yang terkena hawa pukulan bisa roboh dan tewas.
Hek-tiauw
Lo-mo mainkan sebatang tombak tulang ikan yang ampuh, akan tetapi dengan tenang
Gak Bun Beng yang masih bertangan kosong itu menghadapinya. Tombak tulang ikan
itu ditangkisnya begitu saja dengan kedua tangannya dan dalam pertandingan
mati-matian selama lima puluh jurus lebih, akhirnya Bun Beng berhasil memukul
tombak itu sehingga patah menjadi empat potong!
“Keparat!”
Hek-tiauw Lo-mo berteriak marah.
Dia mencabut
senjatanya yang lebih mengerikan lagi, yaitu sebatang golok gergaji yang amat
tebal dan berat. Dengan penasaran dia menyerang mati-matian, namun Gak Bun Beng
dapat menghindarkan diri dengan gesit dan tubuhnya berkelebatan di antara
gulungan sinar golok.
“Mampuslah!”
Tiba-tiba Hek-tiauw Lomo berseru.
Tangan
kirinya terbuka dan segumpal uap tipis menyambar. Bun Beng terkejut karena
tahu-tahu dirinya telah tertutup oleh sehelai jala tipis sekali yang ternyata
amat kuat karena betapa pun dia meronta, dia tidak mampu membebaskan diri dari
jala tipis itu.
“Ha-ha-ha,
baru kau tahu kelihaian Hek-tiauw Lo-mo!” Ketua Pulau Neraka itu tertawa,
goloknya bergerak menyambar.
“Haiiitttt...!”
Gak Bun Beng mengeluarkan pekik dahsyat, tubuhnya bergulingan dan Hek-tiauw
Lo-mo tidak kuat mempertahankan tali jalanya yang ikut terbawa bergulingan.
Kembali Gak Bun Beng mengeluarkan lengking panjang, terdengar suara keras
dan... jala itu putus-putus semua dan si pendekar sakti meloncat keluar dari dalam
jala.
Hek-tiauw
Lo-mo terbelalak. Hampir dia tidak percaya bahwa ada orang yang mampu
membebaskan diri dari jalanya. Dia tidak tahu bahwa Gak Bun Beng sudah memiliki
tingkat yang sangat tinggi dalam pengerahan tenaga sakti. Tadi pendekar ini
sudah mengerahkan seluruh tenaganya dengan tenaga Hui-yang Sinkang (Tenaga Inti
Api) yang amat panas dan ternyata jala itu kalah oleh hawa panas yang mukjijat
ini sehingga dapat dibikin putus.
Dengan marah
Gak Bun Beng meloncat dan menerjang, kedua tangannya bergerak dengan pukulan
yang didasari dua tenaga yang berlawanan, yaitu tenaga Swat-im Sinkang dan
Hui-yang Sinkang.
“Trakkkk...!”
Golok
gergaji itu pun patah terpukul telapak tangan kanan Bun Beng dan pada saat itu,
tangan kiri Hek-tiauw Lo-mo melakukan pukulan dengan ilmu keji
Hek-coa-tok-ciang (Tangan Beracun Ular Hitam). Inilah kesalahan besar Hek-tiauw
Lo-mo. Kalau dia menggunakan ilmu keji ini terhadap lawan lain, biasanya dia
berhasil baik, dan bahkan Ceng Ceng pernah menderita hebat oleh pukulan keji
ini. Akan tetapi dia berhadapan dengan Gak Bun Beng, seorang pendekar sakti
yang selain telah memiliki kepandaian yang amat tinggi tingkatnya, juga
memiliki pengalaman yang luas, maka Bun Beng cepat menerima pukulan itu dengan
telapak tangan sambil mengerahkan Swat-im Sinkang.
Ilmu pukulan
berdasarkan tenaga Im yang amat dingin ini selain kuat juga amat baik untuk
menghadapi pukulan-pukulan lawan yang beracun, karena hawa beracun membeku
begitu bertemu dengan Tenaga Inti Salju ini.
“Dessss...!”
Hek-tiauw
Lo-mo memekik dan tubuhnya terlempar dan bergulingan sampai beberapa tombak
jauhnya. Pada saat itu, Tambolon menerjang maju dengan pedangnya disertai dua
orang pembantunya.
Akan tetapi
tiba-tiba terdengar tiupan terompet dari atas menara, tanda bahwa pasukan
Bhutan harus mundur dan masuk kembali ke dalam benteng. Mendengar ini, Gak Bun
Beng terkejut dan cepat dia pun mengatur pasukan itu bersama Jayin untuk
mundur, meninggalkan pasukan musuh yang mengejar sambil bersorak-sorak.
Akhirnya semua pasukan dapat ditarik ke dalam benteng dan pintu gerbang segera
ditutup rapat dan penjagaan dilakukan ketat, anak panah dan batu-batu
dihujankan keluar sehingga pihak musuh yang mengejar terpaksa mundur kembali.
Bun Beng
segera menemui Puteri Milana. Puteri ini merasa agak gelisah sebab ternyata
bahwa pihak lawan amat kuat. Tadi dia menarik pasukan karena selagi pasukan
induk berperang di luar, di empat penjuru benteng pihak musuh berusaha
menyerbu. Maka terpaksa dia menarik pasukan dan memperkuat penjagaan sehingga
usaha penyerbuan dari empat penjuru dapat digagalkan dengan menghujankan anak
panah dan batu-batu.
Ketika
dicacahkan, dalam perang tadi ada seperempat bagian pasukan yang tewas atau
tertawan musuh. Biar pun pihak musuh juga banyak kehilangan pasukan, akan
tetapi tetap saja jumlah mereka masih amat banyak, dan Tambolon tentu saja
masih dapat mendatangkan bala bantuan dari luar, sedangkan pihak Bhutan sudah
terkurung dan tak dapat mengharapkan bantuan dari mana pun karena Kerajaan Ceng
di timur terlalu jauh letaknya, sedangkan negara-negara tetangga tidak ada yang
mau mencampuri urusan itu. Sayang bahwa Kerajaan Bhutan tidak pernah
berhubungan terlalu baik dengan Tibet, kalau tidak, tentu Tibet dapat membantu
mereka.
“Besok harus
ada penentuan,” Puteri Milana berkata ketika mereka berunding. “Kalau musuh
dibiarkan mengepung lebih lama, tentu mereka akan bisa memperkuat keadaan,
mendatangkan bala bantuan dan hal itu akan berbahaya sekali. Yang paling
penting, Tambolon harus dapat ditewaskan. Dialah yang menjadi biang keladi.
Kalau sudah tidak ada orang yang mempunyai wibawa dan pengaruh besar di antara
suku-suku bangsa petualang itu, pasti persatuan mereka akan membuyar.”
“Akan
tetapi, kekuatan pasukan kita kalah banyak,” Gak Bun Beng berkata.
“Karena itu,
besok kita harus mengerahkan semua tenaga dan besok kita memberi isyarat kepada
Panglima Sangita dan Tek Hoat agar mereka menyergap dan memecah kekuatan dan
perhatian musuh.”
“Bagaimana
dengan siasat kita semula yang telah kita bicarakan dengan Tek Hoat?” Bun Beng
mengingatkan kepada kekasihnya dan juga sumoi-nya itu.
Milana
tersenyum. “Malam nanti, menjelang pagi, siasat itu boleh dilaksanakan. Dan
pagi-pagi sekali, selagi mereka kacau-balau, kita lalu menyerbu. Mudah-mudahan
saja sergapan selagi mereka kacau itu akan mampu menghancurkan jumlah mereka
yang lebih besar.”
Malam itu
sunyi. Pihak musuh memang beberapa kali mencoba untuk menerobos melalui
berbagai jurusan, namun karena penjagaan dilakukan ketat sekali, semua usaha
mereka gagal dan banyak di antara mereka yang menjadi korban anak panah dan
batu-batu yang disambitkan dari atas. Mereka berusaha melepas anak panah berapi
ke dalam kota raja melalui tembok benteng, akan tetapi tembok itu terlalu
tinggi dan usaha membakar kota raja itu dapat digagalkan oleh regu-regu pemadam
kebakaran yang memang sudah dipersiapkan oleh pihak Bhutan sebelumnya.
Malam itu,
para pimpinan di Bhutan tidak ada yang tidur, hanya mengaso sambil duduk di
tempat masing-masing. Lewat tengah malam, menjelang pagi, Puteri Milana dan Gak
Bun Beng keluar dari kamar dan dua orang sakti ini lalu mementang gendewa.
Terdengar tali gendewa menjepret dan tampaklah beberapa kali sinar kemerahan
meluncur di angkasa seperti bintang-bintang pindah tempat. Itulah isyarat yang
mereka berikan kepada Tek Hoat dan pasukannya untuk mulai dengan siasat mereka,
untuk turun tangan.
Sesudah itu
mereka menanti. Tidak lama kemudian, menjelang pagi, mulailah terdengar
keributan di bawah sana, di luar tembok kota raja dan mulailah nampak api besar
bernyala-nyala dan asap di dalam sinar api merah membubung ke angkasa. Makin
lama makin banyaklah api yang mengamuk, kemudian terdengar teriakan-teriakan
dan suara perang di antara api dan di waktu menjelang pagi itu. Pasukan
pengawal istimewa yang dipimpin oleh Tek Hoat dan Sangita telah mulai bergerak!
Puteri
Milana tersenyum memandang keluar. “Pemuda itu memang hebat,” bisiknya lirih
akan tetapi cukup terdengar oleh Bun Beng.
“Tidak
mengecewakan menjadi cucu tiri Suhu...,” berkata pula Bun Beng dan mereka
bersiap-siap bersama para penglima untuk menyerbu ke luar bersama pasukan
mereka begitu saatnya tiba.....
***************
Kita
tinggalkan dulu kota raja Bhutan yang dikepung musuh, yaitu pasukan yang
terdiri dari suku-suku bangsa Nomad yang dapat dibujuk oleh Tambolon sehingga
terkumpul menjadi barisan yang amat besar jumlahnya dan yang mengancam
keselamatan Kerajaan Bhutan, dan mari kita mengikuti perjalanan Ceng Ceng yang
mengalami pukulan batin di Pegunungan Yin-san itu.
Setelah
terbukanya topeng yang menutupi muka Topeng Setan, yang telah tidak bernyawa
dan sekaligus membuka rahasia pendekar itu bahwa Topeng Setan yang telah
melimpahkan budi kepadanya yang telah berkorban untuknya, yang dipercaya dan
disayangnya itu bukan lain adalah Kok Cu pemuda laknat yang memperkosanya, yang
dibencinya dan yang hendak dibunuhnya, maka seketika lenyaplah segala arti
kehidupan bagi Ceng Ceng. Musuh besar yang paling dibencinya itu ternyata juga
merupakan penolong yang paling disayangnya, dan kini telah mati! Baru terasa
olehnya betapa selama ini dia hidup berdasarkan hati benci dan sayang. Dan
begitu orang yang dibenci dan disayangnya mati, mati pula dasar hidupnya. Ceng
Ceng menjadi seorang yang seolah-olah tidak bersemangat lagi, seperti boneka
hidup!
Keinginannya
hanya satu, kalau boleh dinamakan keinginan, yaitu kembali ke tempat asalnya,
di mana dia dibesarkan dan untuk... mati di tempat itu, di pegunungan luar kota
raja Bhutan, bekas tempat tinggal kakeknya.
Seperti
telah diceritakan di bagian depan, perjalanannya ini disertai oleh Kim Hwee Li,
gadis cilik yang nekat minta menjadi muridnya dan ditemani pula oleh Pendekar
Siluman atau Pendekar Super Sakti, Suma Han Majikan Pulau Es. Sungguh merupakan
kelompok yang aneh sekali! Seorang pendekar besar yang namanya mengguncangkan
dunia persilatan, yang namanya saja sudah cukup membuat orang-orang jahat
menjadi gentar dan tokoh-tokoh kang-ouw menjadi kagum, kini melakukan
perjalanan bersama seorang gadis yang sudah lenyap gairah hidupnya, dan seorang
anak perempuan yang lincah, bengal, puteri dari seorang datuk sesat yang amat
kejam, yaitu Ketua Pulau Neraka, Hek-tiauw Lo-mo.
Karena
ditemani oleh Pendekar Super Sakti, perjalanan ke barat daya itu berjalan
lancar dan tidak ada yang berani mengganggu mereka. Kadang-kadang, kalau
melalui daerah berbahaya, Suma Han menggandeng tangan kedua orang gadis itu dan
membawa mereka berjalan seperti terbang berloncatan melewati jurang-jurang
dalam dan lebar sehingga diam-diam Ceng Ceng yang seperti boneka hidup itu
menjadi kagum bukan main, sedangkan Hwee Li bersorak-sorak girang kalau
mendapatkan dirinya dapat pula ‘terbang’ tanpa duduk di atas punggung
rajawalinya.
Perjalanan
itu lancar dan cepat. Dan pada suatu hari tibalah mereka di suatu daerah padang
rumput yang sudah dekat dengan kota raja Bhutan, karena sebetulnya daerah ini
sudah termasuk wilayah Bhutan, dekat dengan perbatasan di timur. Dan pada sore
harinya, di tepi daerah padang rumput ini, tibalah mereka di sebuah
perkampungan suku bangsa Nomad yang mengembala ternak.
Mereka ini
adalah peternak-peternak Nomad yang selalu berpindah tempat dan selalu hidup di
dekat padang-padang rumput di mana mereka dapat membiarkan ternak kambing
mereka makan sekenyangnya. Untung bagi Pendekar Super Sakti dan dua orang gadis
itu bahwa yang berada di perkampungan peternak itu adalah suku bangsa yang tidak
liar dan yang suka hidup damai. Maka mereka bertiga diterima oleh mereka
sebagai tamu-tamu dan dipersilakan duduk ikut makan minum bersama mereka.
Ternyata
malam itu suku bangsa peternak Nomad ini sedang mengadakan keramaian untuk
merayakan pahlawan-pahlawan mereka yang menang dalam perang. Tentu saja
Pendekar Super Sakti tidak tahu bahwa kepala suku bangsa ini bersama puluhan
anak buahnya, terbujuk pula oleh Tambolon dan ikut menggabungkan diri untuk
memerangi Bhutan! Dan malam hari itu, suku bangsa ini merayakan kemenangan para
pahlawan mereka yang kabarnya telah mengepung kota raja Bhutan dan yang
dianggapnya sebagai suatu kemenangan gemilang.
Dan
sukarnya, di antara suku bangsa ini hanya ada beberapa orang saja yang dapat
berbahasa Han, itu pun tidak lengkap sehingga sukar sekali bagi Suma Han dan
dua orang gadis itu untuk bicara dengan mereka. Dengan bahasa tangan yang serba
tidak lengkap, tiga orang tamu ini hanya dapat menangkap bahwa suku bangsa itu
sedang merayakan pesta ‘menang perang’, akan tetapi tidak jelas perang dengan
siapa dan di mana! Akan tetapi, Suma Han yang tidak mau mencampuri urusan
mereka dan merasa sudah untung diterima sebagai tamu, tidak ingin menyelidiki
lebih lanjut dan ikut pula berpesta makan minum sekenyangnya.
Hwee Li yang
bengal itu tak mau tinggal diam. Setelah kenyang makan minum, melihat
kegembiraan suku bangsa itu, dia meninggalkan dua orang teman seperjalanannya
untuk menonton keramaian. Bermacam-macam pertunjukan diadakan. Ada pertunjukan
adu gulat, ada pula adu domba, tari-tarian, nyanyian dan lain-lain. Tetapi yang
paling menarik hati Hwee Li adalah pertunjukan yang dilakukan oleh seorang yang
agaknya berasal dari India, memakai sorban kuning dan orang ini meniup sebatang
suling mengiringi gerakan seekor ular cobra yang meliak-liukkan tubuhnya
seperti seorang penari yang genit. Para penonton merasa ngeri karena maklum
akan bahayanya gigitan ular cobra yang amat beracun ini maka mereka menonton
agak menjauh dan tempat pertunjukan ini pun berada di sudut perkampungan, dekat
pintu pagar yang mengitari perkampungan itu.
Tentu saja
Kim Hwee Li tertarik sekali karena gadis cilik ini memang sejak kecil biasa
bermain-main dengan segala macam ular, dari yang kecil sampai yang paling
besar, dari yang jinak sampai yang paling buas dan beracun. Yang membuat dia
terheran dan geli hatinya adalah suara suling yang ditiup oleh orang bersorban
itu. Suara suling itu melengking tidak pernah ada putusnya, seolah-olah orang
itu tidak pernah menarik napas, dan lucunya, lenggak-lenggok ular itu tepat
dengan irama suling seolah-olah ular itu mengerti pula akan lagu yang ditiup
melalui suling.
Karena amat
tertarik, tanpa disadarinya, Hwee Li melangkah dekat, bahkan memasuki lingkaran
penonton yang berjongkok agak jauh. Beberapa orang berseru dalam bahasa yang
tidak dimengerti oleh Hwee Li, akan tetapi jelas bahwa nadanya melarang gadis
itu mendekat. Mereka itu kelihatan khawatir, akan tetapi Hwee Li menoleh kepada
mereka, tersenyum dan mengangkat tangan memberi isyarat agar mereka tak
mengkhawatirkan dia. Lalu dia pun berjongkok di dekat orang bersorban sambil
mengawasi gerak-gerik ular itu.
Orang India
bersorban itu menggunakan tangan kirinya untuk memberi isyarat mengusir Hwee Li
sedangkan tangan kanannya tetap memegang dan mempermainkan lubang-lubang suling
yang ditiupnya. Akan tetapi Hwee Li yang sudah tertarik sekali dan timbul rasa
gembiranya bertemu ‘kawan lama’, yaitu seekor ular berbisa seperti cobra itu,
sama sekali tidak mempedulikan orang India itu. Bahkan sekarang Hwee Li
menggerak-gerakkan dua lengannya yang kecil panjang, digerak-gerakkan dengan
amat lemasnya bagai dua ekor ular menari-nari! Tangannya dibentuk seperti kepala
ular dan lengannya seperti badan ular, melenggak-lenggok dan meliuk-liuk amat
lemasnya.
Para
penonton yang mula-mula merasa khawatir, kini menjadi geli dan tertarik, bahkan
ada yang memuji karena memang indah sekali gerakan kedua lengan tangan Hwee Li,
seolah-olah gadis cilik itu seorang penari ular yang amat pandai. Akan tetapi
seruan-seruan pujian menjadi seruan-seruan keheranan bercampur kekhawatiran
ketika mendadak ular cobra itu kini meninggalkan keranjang, meninggalkan orang
India dan menghampiri Hwee Li sambil menari-nari, matanya mencorong dan
mulutnya mendesis-desis, lehernya mekar makin lebar.
Orang
bersorban itu terbelalak, matanya melotot saking heran dan penasaran melihat
betapa ularnya, ular yang dipeliharanya bertahun-tahun dan selalu taat pada
sulingnya itu kini mendadak saja meninggalkannya dan suara sulingnya tak lagi
berpengaruh. Dia menjadi penasaran, sulingnya ditiup makin kuat sehingga
lehernya menggembung besar seperti leher cobra itu, matanya melotot karena dia
menahan napas terlalu lama. Benar saja, ular itu terkejut dan menengok, lalu
bergerak kembali ke tukang suling.
“Trak-trak...
cek-cek-cek...!”
Tiba-tiba
Hwee Li membunyikan jari-jari tangannya dengan jalan menjentrekkan jari tengah
dan ibu jarinya, disusul suara lidah dan bibirnya dan suara itu membuat si ular
cobra kembali menengok kepadanya. Terjadilah ‘adu kekuatan’ antara suara suling
dan suara jari tangan dan mulut Hwee Li, saling menarik ular itu yang kelihatan
ragu-ragu. Akan tetapi akhirnya ular itu bergerak ke arah Hwee Li, lalu
lehernya ditangkap tangan Hwee Li dan ular itu dengan sikap manja lalu
melingkarkan tubuhnya pada tangan gadis cantik itu, lidahnya menjilat-jilat dan
nampaknya jinak bukan main!
Orang
bersorban itu bukan orang bodoh. Dia tahu bahwa gadis cilik ini bukan orang
sembarangan, melainkan seorang ‘pawang ular’ yang hebat, maka dia menghentikan
tiupan sulingnya, bangkit berdiri dan menjura ke arah Hwee Li sebagai
penghormatan, kemudian menyodorkan keranjang ular, agaknya minta agar Hwee Li
mengembalikan ular itu kepadanya. Para penonton juga menjadi kagum, ada yang
bertepuk tangan dan tempat itu menjadi berisik sekali karena semua oreng
membicarakan kelihaian gadis cilik ini dan menduga-duga siapa adanya pawang
ular cilik yang hebat ini.
Akan tetapi
Hwee Li memandang kepada orang bersorban itu dengan sinar mata tidak senang dan
menghina, apa lagi ketika melihat banyak di antara penonton memberi mata uang
dan barang-barang hadiah lain kepada Si Pemilik Ular itu. Dia membiarkan ular
cobra itu melingkar di lengan dan lehernya, kemudian dia berkata, “Kau orang
yang kejam dan tak tahu malu, menggunakan ular untuk mencari uang! Kau menyiksa
ular ini dengan sulingmu, memaksanya menari-nari agar kau mendapatkan uang.
Huh, tak tahu malu!”
Setelah
berkata demikian, Hwee Li lalu meninggalkannya sambil membawa pergi ular cobra
itu. Tentu saja orang bersorban menjadi marah. Dia sudah pernah merantau ke
timur dan sedikit-sedikit dia dapat juga berbahasa Han.
“Nona,
tunggu...! Kau kembalikan ularku!” katanya marah.
Hwee Li
berhenti melangkah, kemudian membalikkan tubuhnya. “Apa? Siapa bilang ini
ularmu? Dia tentu ular yang bebas dan kau tangkap lalu kau paksa mencarikan
uang untukmu!”
“Kembalikan!”
Orang India itu membentak.
“Tidak!”
Hwee Li juga membentak.
Dan kini dia
lalu melepaskan ular itu dan menggebahnya dengan suara tertentu. Ular itu
terlihat terkejut dan merayap pergi, lalu menghilang di dalam semak-semak yang
tebal.
“Kurang
ajar!” Orang bersorban itu marah sekali.
Dia lalu
mengeluarkan seekor ular dari dalam saku bajunya. Ular ini kecil saja, sebesar
kelingking dan panjangnya hanya satu jengkal, kulitnya belang-belang merah
hitam. Dengan ular ini di tangan, jari-jari tangannya yang coklat panjang
menjepit leher ular, orang bersorban itu menyerang Hwee Li!
Gadis cilik
ini tersenyum mengejek, membiarkan ular itu menggigit lengannya, kemudian
dengan gerakan cepat dia menotok pergelangan tangan orang India itu. Dia adalah
puteri Hek-tiauw Lo-mo, tentu saja lihai sekali dan totokannya membuat tangan
orang India itu menjadi lumpuh, jepitan jarinya pada leher ular terlepas dan
ular kecil itu cepat membalik dan menggigit ibu jari tangannya.
Orang India
itu menjerit, membuang ularnya kemudian dia berjingkrak-jingkrak sambil
memegangi ibu jari tangannya yang tergigit ular beracun itu. Ada pun Hwee Li
dengan tenang saja mengobati luka di lengannya. Dia sudah kebal terhadap
gigitan ular yang bagaimana beracun pun, karena di Pulau Neraka adalah pusat
segala macam ular beracun maka dia pun hanya mengobati lukanya saja, bukan
memunahkan racunnya yang tidak akan mengganggunya sedikit pun juga. Akan
tetapi, orang India itu ketakutan setengah mati karena dia maklum bahwa gigitan
ular kecil itu amat berbahaya dan dia tidak tahu bagaimana caranya
mengobatinya.
Para penonton
menjadi ikut sibuk karena terjadinya hal yang tidak mereka sangka itu. Karena
tidak mengerti bahasanya, maka para penonton yang tadi melihat orang India itu
lebih dulu menyerang, tidak ada yang menyalahkan si gadis cilik, apa lagi
melihat gadis cilik itu pun terkena gigitan ular kecil. Hanya yang membuat
mereka terheran-heran adalah, kalau gadis cilik itu tenang-tenang saja, mengapa
orang India ini menjadi begitu ketakutan dan kini berjingkrakan sambil
menangis?
Tiba-tiba di
antara penonton muncul seorang gadis remaja yang menerobos masuk. Dia amat
cantik jelita, sukar dikatakan siapa yang lebih cantik antara dia dan Hwee Li,
karena keduanya memiliki kecantikan khas masing-masing, hanya gadis ini lebih
dewasa dari pada Hwee Li.
Gadis ini
dengan alis berkerut memandang kepada Hwee Li, kemudian menghampiri orang India
itu, mengeluarkan sebungkus obat dan dengan cekatan dia menggunakan sebuah
pisau kecil merobek ibu jari itu, mengeluarkan darahnya dan membubuhkan obat ke
ibu jari itu, kemudian membalutnya dengan robekan baju orang India itu sendiri.
Dan orang India itu berhenti menangis, agaknya luka beracun itu seketika
menjadi sembuh. Orang India itu lalu menjura dengan dalam sampai tubuhnya
hampir terlipat menjadi dua kepada nona yang tanpa banyak bicara telah
mengobatinya itu.
Kini, nona
itu berdiri menghadapi Hwee Li, sambil bertolak pinggang, sikapnya galak bukan
main seperti seorang guru memarahi muridnya! “Kau sungguh bocah yang kejam dan
perlu dihajar!” Nona itu menudingkan telunjuknya ke arah hidung Hwee Li.
“Masih
sekecil ini sudah main-main dengan ular berbisa dan melukai orang! Kalau sudah
besar kelak tentu akan menjadi iblis betina!”
Hwee Li
tentu saja tidak takut. Dia meruncingkan bibirnya. Lincah dan manis sekali,
akan tetapi juga membayangkan sifat kebengalannya. “Phuih, sombongnya! Baru
bisa menyembuhkan gigitan ular begitu saja lagaknya sombong seolah-olah telah
menjadi Kwan Im Pouwsat! Padahal kau ini tentu hanya Nona penjual obat yang
biasa berteriak-teriak di pasar-pasar. Apa sih anehnya?”
Nona muda
itu bukan lain adalah Teng Siang In. Sebagai anak dari mendiang Yok-sian Si
Dewa Obat, tentu saja dia adalah seorang yang ahli dalam hal pengobatan.
Setelah menjadi murid See-thian Hoat-su, di sepanjang perjalanan kalau melihat
tumbuh-tumbuhan yang mengandung obat mujarab, dia tidak dapat menahan diri
untuk tidak mengambilnya dan dia lalu mengumpulkan bahan-bahan obat yang
penting-penting di antaranya obat penawar luka-luka berbisa. Maka dengan mudah
dia mampu mengobati orang India itu.
Seperti kita
ketahui, Siang In juga memiliki watak lincah jenaka dan galak, maka kini
berhadapan dengan Hwee Li yang bengal, diejek sebagai penjual obat di pasar,
Siang In menjadi marah sekali. Biar pun dia belum sempat digembleng oleh
See-thian Hoat-su, namun dia sudah pernah belajar ilmu silat bersama kakaknya,
maka kini dia cepat menyerang Hwee Li.
Akan tetapi,
biar pun dia lebih muda, Hwee Li puteri Ketua Pulau Neraka itu jauh lebih
lihai. Dengan gesit dia mengelak dan balas menyerang. Terjadilah perkelahian di
antara dua orang gadis cilik yang sama-sama cantik jelita ini, dan kejadian ini
amat menarik hati dan menggembirakan hati para suku bangsa liar yang memang
menganggap perkelahian sebagai tontonan yang mengasyikan, apa lagi kalau
dilakukan oleh dua orang gadis yang demikian cantiknya.
Setelah
saling serang selama belasan jurus, Siang In mulai terdesak dan beberapa kali
sudah dia menerima tamparan tangan Hwee Li. Dia menjadi marah sekali dan
mulailah Siang In yang galak itu memaki-maki. Tak lama kemudian, berkelebat
bayangan yang gesit dan tahu-tahu Ceng Ceng sudah tiba di tempat perkelahian itu.
Semua orang
makin kagum dan gembira melihat datangnya seorang gadis dewasa yang amat cantik
dan gagah perkasa, yang dengan mudah melerai dua orang gadis muda yang sedang
berkelahi mati-matian itu, hanya dengan menengahi dan menangkis pukulan-pukulan
mereka.
“Berhenti,
jangan berkelahi!” Gadis yang bukan lain adalah Ceng Ceng itu berseru. “Hwee
Li, mundur kau!”
“Subo, dia
kurang ajar!” Hwee Li berkata. “Mentang-mentang dia menjadi tukang obat di
pasar, dia sombong dan dia yang lebih dulu menyerangku.”
“Bocah
setan!” Siang In yang beberapa kali kena ditampar Hwee Li masih marah-marah
sekali. “Muridnya setan, gurunya tentu iblis!” Dia kini malah memaki Ceng Ceng
untuk melampiaskan kemendongkolan hatinya karena dia tadi ditampari dan belum
sempat membalas sudah dipisahkan.
“Hemm,
apakah kau benar tukang obat yang pandai?” Ceng Ceng menghampiri sambil
mengerutkan alisnya, tidak senang mendengar maki-makian gadis cantik itu.
Pertanyaan
yang sewajarnya ini oleh Siang In dianggap penghinaan pula, maka dia lalu
menjawab, “Aku tukang obat atau bukan, setidaknya lebih bersih dari pada kalian
guru dan murid iblis yang mengganggu orang!” Dan Siang In langsung lalu
menerjang dan memukul Ceng Ceng.
Ceng Ceng
adalah seorang wanita yang berwatak keras, dan pada saat itu dia sedang dilanda
kedukaan hebat. Maka melihat sikap Siang In dia sudah menjadi marah sekali.
“Bocah
lancang dan sombong! Cobalah kau obati ini kalau bisa!” Ceng Ceng sudah
menggerakkan tangan kirinya.
“Plakkk...!
Oughhh...!”
Siang In
terpelanting dan roboh, pundaknya kena dipukul oleh Ceng Ceng. Biar pun tubuh
Ceng Ceng sudah bersih dari hawa beracun berkat anak naga, akan tetapi gadis
ini tentu saja masih menguasai pukulan beracunnya dan Siang In tentu saja tidak
kuat menahan pukulan beracun ini dan dia roboh.
“Ehh, Siang
In, kau kenapa...?” Tiba-tiba seorang kakek tua renta memasuki tempat itu dan
para penonton menjadi makin tegang. Kakek itu memeriksa pundak Siang In dan dia
mengerutkan alisnya, lalu bangkit menghadapi Ceng Ceng.
“Hemmm...
agaknya aku pernah bertemu dengan engkau, Nona yang bertangan kejam. Sungguh
kejam sekali kau menjatuhkan pukulan beracun kepada muridku. Hayo kau keluarkan
obat penawarnya, jangan sampai aku orang tua menjadi kehilangan sabar
kepadamu,” kata kakek itu yang bukan lain adalah See-thian Hoat-su.
“Subo, dia
ini tentu pembual yang suka menjual obat di pasar-pasar, inilah macamnya tabib
palsu yang beroperasi di pasar-pasar. Jangan layani dia!” Hwee Li mengejek.
Ceng Ceng
memandang kakek itu. “Muridmu inilah yang lancang, mencampuri urusan muridku
dan lebih dahulu menyerang muridku, mengandalkan kepandaian mengobati. Sekarang
biarlah dia atau engkau mengobati luka bekas tanganku itu. Hwee Li, mari kita
pergi!”
Akan tetapi
baru saja Ceng Ceng dan Hwee Li membalikkan tubuhnya, terdengar kakek itu
berseru, “Tahan dulu! Lihat, apakah kalian mampu menahan serangan jubahku ini!”
Ceng Ceng
dan Hwee Li membalikkan tubuhnya, bersiap menghadapi kakek itu yang disangkanya
akan menyerang mereka. Tetapi mereka melihat kakek itu menanggalkan jubahnya,
lalu melemparkan jubah itu ke arah mereka dan... Ceng Ceng dan Hwee Li terkejut
bukan main ketika jubah itu tiba-tiba menjadi ‘hidup’, bahkan telah menyerang
mereka kalang-kabut, menghantam mereka berdua dengan lengan jubah seolah-olah
digerakkan oleh setan!
“Hiiiiiihhh...,
tolongggg, Subo...!” Hwee Li menjerit-jerit dan berusaha mengelak ke sana-sini
dengan perasaan tegang dan seram.
Akan tetapi
Ceng Ceng sendiri pun kalang-kabut oleh amukan jubah itu! Para penonton kini
makin menjauh karena orang Nomad sederhana ini amat percaya tahyul dan kini
melihat sehelai jubah dapat mengamuk, mereka tentu saja menjadi ketakutan.
Ceng Ceng
sendiri selama hidupnya belum pernah mengalami hal seperti ini. Mukanya yang
memang sudah muram itu menjadi makin pucat, matanya terbelalak dan beberapa
kali dia bergidik dan merasa ngeri. Jubah itu benar-benar telah menjadi
‘hidup’! Biar pun dia pandai dan tenaganya juga amat kuat, tentu saja dia kewalahan
melawan sehelai jubah yang hidup! Dipukul betapa keras pun, tentu saja jubah
itu tidak merasakan apa-apa sebaliknya tamparan-tamparan ujung lengan jubah itu
mendatangkan rasa panas.
“Hiiiihhhh...
tolongg... takuttt... Locianpwe... tolong, Locianpweee...!” Hwee Li
menjerit-jerit dikejar oleh jubah itu yang menampari pinggulnya sampai terasa
panas dan pedas.
Mendadak
muncul Pendekar Super Sakti yang tahu-tahu sudah berdiri di situ dengan sikap
tenang. “Hemmm, menggunakan ilmu menggoda anak-anak perempuan, sungguh
merupakan watak kekanak-kanakan saja!”
Dengan
tongkatnya Pendekar Super Sakti menuding dan... jubah itu seperti ketakutan,
seperti seorang kanak-kanak yang ketakutan, dan lari kepada ayahnya. Jubah yang
seperti hidupp itu kini ‘memasuki’ lagi tubuh dan kedua lengan See-thian
Hoat-su dan telah dipakainya kembali.
Sejenak
kedua orang itu saling pandang. Ceng Ceng yang masih pucat dan Hwee Li yang
masih gemetaran itu memandang dari tempat jauh, sedangkan Siang In juga sudah
bangkit duduk dan menonton. Orang-orang yang tadinya menjauhkan diri, kini
berani lagi agak mendekat akan tetapi tetap saja agak jauh dan mereka
berjongkok untuk menonton apa yang selanjutnya akan terjadi.
Sampai lama
kedua orang tua itu saling pandang. Kemudian See-thian Hoat-su tertawa
bergelak, “Ha-ha-ha-ha, hampir tidak dapat aku percaya. Benarkah aku berhadapan
dengan Pendekar Super Sakti, tocu dari Pulau Es yang juga terkenal sebagai
Pendekar Siluman yang tersohor itu?”
Pendekar
Super Sakti belum pernah mengenal kakek ini, juga belum pernah mendengar
namanya, maka dengan tenang dan sikap sederhana dia menjawab, “Saya memang
datang dari Pulau Es.”
“Ha-ha-ha-ha,
bagus, bagus! Kalau dicari sampai mati pun belum tentu dapat jumpa! Pendekar
Siluman, kabarnya engkau di samping memiliki kepandaian silat yang tidak
terkalahkan, juga amat kuat di dalam ilmu sihir. Nah, aku See-thian Hoat-su
memang paling suka main-main dengan ilmu sihir, maka pertemuan ini tak boleh
dilewatkan begitu saja. Mari kita main-main untuk melihat siapa yang lebih kuat
di antara kita.”
“See-thian
Hoat-su, kita bukan anak kecil lagi. Perlu apa kita bersikap seperti anak kecil
yang suka pamer? Kalau ada persoalan di antara kita, apakah tidak lebih baik
kita selesaikan secara damai?” Suma Han berkata.
“Ha-ha-ha-ha,
justru tidak ada persoalan! Ada pun kecil tidak berarti, dan aku tadi pun hanya
main-main saja dengan mereka.” Tiba-tiba pandang mata See-thian Hoat-su
mengeluarkan sinar mencorong yang aneh. “Pendekar Siluman, kulihat tongkatmu
itu bukan sembarangan tongkat, lihat dia pandai terbang...!”
Pendekar
Super Sakti menghela napas panjang. “Sesukamulah, Hoat-su.”
Dan dia
membiarkan tongkatnya terlepas dari tangannya dan sekali See-thian Hoat-su
menggerakkan tangannya, tongkat itu benar-benar melayang di udara, di antara
mereka. Pendekar Super Sakti hanya bersedakap dan bersikap tenang saja. Semua
orang yang menonton menjadi melongo saking herannya, melihat tongkat butut itu
melayang-layang di antara dua orang kakek itu, seolah-olah tongkat itu adalah
sebuah benda hidup.
“Pendekar
Siluman, lihat tongkatmu menjadi harimau yang akan menelanmu sendiri,
ha-ha-ha!” Terdengar suara See-thian Hoat-su. Dia berbicara sambil
tertawa-tawa, seperti orang berkelakar saja, akan tetapi di dalam suaranya itu
terkandung kekuatan mukjijat yang amat berwibawa.
Semua orang
yang berada di situ menjadi pucat mukanya dan melotot penuh rasa ngeri dan
takut ketika melihat betapa tongkat yang tadinya melayang-layang dan
bergerak-gerak seperti hidup itu tiba-tiba kini telah berubah menjadi seekor
harimau yang amat besar dan yang menggereng dengan suara menggetarkan tempat
itu dan harimau itu meringis, memperlihatkan taringnya seperti hendak menyerang
kakek berkaki buntung sebelah itu.
“Kau keliru,
Hoat-su. Tongkatku itu tidak menjadi harimau, melainkan menjadi seekor naga
yang hendak menyerangmu!” Pendekar Super Sakti berkata, suaranya halus tenang
namun juga mengandung wibawa yang amat kuat.
Para
penonton sekarang menjadi makin ketakutan, ada yang menggigil dan tidak dapat
bangkit berdiri, kedua kaki mereka menggigil dan mata mereka makin lebar
terbelalak ketika melihat betapa harimau besar itu tiba-tiba saja berubah
menjadi seekor naga yang amat buas dan yang bersikap marah hendak menyerang
Kakek See-thian Hoat-su!
See-thian
Hoat-su menggerak-gerakkan kedua tanganya di udara dan bentuk naga itu berubah
lagi menjadi bentuk harimau, akan tetapi tidak lama, karena segera berubah lagi
menjadi bentuk naga seperti yang dikatakan oleh Pendekar Siluman tadi.
Terjadilah adu tenaga sihir yang amat aneh dan orang-orang yang menonton di
situ makin lama menjadi makin ketakutan.
Siapa yang
tidak akan merasa ngeri melihat tongkat butut itu berubah-ubah bentuknya antara
bentuk harimau dan bentuk naga, bahkan kadang-kadang ‘pertandingan’ itu sedemikian
hebatnya hingga ada kalanya tongkat itu berubah menjadi seekor harimau yang
tubuh bagian belakangnya berbentuk naga, atau malah seekor naga yang tubuh
belakangnya berbentuk harimau! Tentu saja semua orang menjadi ketakutan dan
makin lama mereka makin mundur menjauhi dua orang kakek yang mereka anggap
siluman-siluman itu.
Setelah
mengadu kekuatan sihir beberapa lama, akhirnya See-thian Hoat-su terpaksa
mengakui keunggulan Pendekar Super Sakti ketika tongkat itu sepenuhnya berubah
menjadi seekor naga yang beterbangan dan mengancam kepala kakek dari barat itu.
“Hebat
engkau, Pendekar Siluman. Biar aku mengakui keunggulanmu!” katanya sambil
menghentikan pengerahan tenaga mukjijat.
Suma Han
mengangkat tangannya dan ‘naga’ itu terbang kembali ke tangannya dan berubah
lagi menjadi sebatang tongkat.
“See-thian
Hoat-su, engkau sudah tua sekali akan tetapi masih suka main-main seperti
seorang anak-anak saja.” Pendekar Super Sakti menegur.
“Ha-ha-ha-ha,
memang orang tua bukan lain hanyalah anak-anak yang tubuhnya besar. Anak-anak
suka bermain-main dengan barang-barang mainan, orang-orang tua juga suka
bermain-main dengan pikiran-pikiran dan nafsu-nafsu keinginannya sendiri. Tidak
begitukah?”
Suma Han
tersenyum. “Engkau benar, Hoat-su. Harap kau orang tua suka memaafkan kalau dua
orang temanku yang muda itu tadi melakukan kesalahan terhadapmu.” Suma Han
menuding ke arah Ceng Ceng dan Hwee Li.
Akan tetapi
dia tersenyum melihat Hwee Li dan nona cantik murid kakek itu ternyata sudah
duduk berdekatan dan bicara dengan asyik dan dalam suasana bersahabat! Memang
demikianlah. Hwee Li dan Siang In yang keduanya mempunyai watak yang hampir
sama, ternyata sudah bersahabat, bahkan Hwee Li telah setengah memaksa subo-nya
untuk mengobati Siang In. Tentu saja tidak ada lagi persoalan di antara mereka,
bahkan mereka lalu bersahabat.
“Bagaimanakah
Majikan Pulau Es yang berada jauh di utara bisa tersesat sampai ke tempat ini?”
Kakek See-thian Hoat-su yang tidak biasa bersikap hormat terhadap siapa pun
juga itu bertanya.
“Aku sedang
mencari puteraku, Hoat-su. Barangkali engkau melihatnya. Dia bernama Suma Kian
Bu...”
“Heee, Siang
In. Bukankah kau mengenal seorang pemuda yang bernama Kian Bu?” tiba-tiba kakek
itu memanggil muridnya.
Mendengar
disebutnya nama itu, Siang In memandang kepada gurunya dengan kedua pipi
berubah merah sekali. Akan tetapi dia lalu meninggalkan Hwee Li dan mendekati
gurunya, memandang kepada Pendekar Super Sakti dengan penuh selidik.
“Tentu saja
aku mengenal dia, Suhu,” jawabnya.
“Bagus!”
Suma Han berseru girang. “Di mana kau terakhir bertemu dengan dia, Nona?”
“Nanti
dulu,” Siang In menjawab, “Siapakah Locianpwe yang aneh ini dan mengapa pula
bertanya tentang dia?”
“Ha-ha-ha,
bocah tolol. Yang berdiri di depanmu ini adalah Pendekar Siluman dari Pulau Es,
ayah dari pemuda itu.”
Siang In
terkejut sekali dan cepat dia menjura dengan hormat. “Maafkan saya...”
Pendekar
Super Sakti tersenyum. Seorang dara yang cantik jenaka dan pantas menjadi murid
seorang sakti seperti See-thian Hoat-su, pikirnya.
“Aku hanya
ingin tahu di mana engkau bertemu dengan dia akhir-akhir ini, Nona?” Dia
mengulang pertanyaannya.
“Di dalam
hutan... pada saat terjadi pencegatan yang dilakukan gerombolan Tambolon
terhadap rombongan pengawal Puteri Bhutan.” Gadis itu lalu bercerita, akan
tetapi tentu saja dia tidak menceritakan betapa dia telah dicium oleh pemuda
itu!
Pendekar
Super Sakti mengerutkan alisnya. “Kalau menurut perkiraanmu, ke mana sekarang
perginya anakku yang suka bertualang itu, Nona?”
“Dia agaknya
diam-diam mengawal Sang Puteri Bhutan, dan tentu sekarang sudah berada di tapal
batas Bhutan dan...” Siang In menoleh ke kanan kiri. Melihat banyak orang
anggota suku bangsa penggembala itu menonton, ia lalu berkedip dan mendekati
Pendekar Super Sakti, berbisik, “Mereka ini adalah suku bangsa yang terbujuk
oleh Tambolon, sekarang Tambolon sedang memerangi Bhutan dan saya berani
bertaruh bahwa putera Locianpwe itu sedang ikut perang membela Bhutan.”
Melihat
Siang In tadi mendekati Suma Han dan berbisik-bisik pelan, Ceng Ceng yang
menaruh curiga lalu mendekat pula. Dia terkejut mendengar bahwa Bhutan diserang
oleh Tambolon, maka dia pun lalu berkata kepada Pendekar Super Sakti, “Kalau
begitu, saya harus cepat ke sana untuk membantu...”
See-thian
Hoat-su tertawa. “Ha-ha-ha, kami guru dan anak tidak mau mencari keributan,
kami mempunyai urusan pribadi sendiri, maka maafkanlah kami yang sekarang harus
pergi. Hayo, Siang In!” Dia memegang tangan muridnya dan pergi dengan cepat.
Siang In melambaikan tangan kepada mereka terutama kepada Hwee Li yang dibalas
pula oleh Hwee Li.
Setelah guru
dan murid itu pergi, Pendekar Super Sakti berkata kepada Ceng Ceng, “Kita harus
berhati-hati dan jangan sembrono, Nona. Lebih baik kita mendekati lebih dulu
pimpinan suku bangsa ini dan mencari keterangan dari mereka.”
Baru saja
dia berkata demikian, para penonton yang merasa kagum kepada pendekar kaki
buntung ini yang tadi telah memperhatikan kehebatan ilmu sihirnya sehingga
mereka yang menonton menjadi kagum dan juga takut, kini bergerak minggir dan
memberi jalan dengan sikap hormat kepada tiga orang yang berpakaian jubah lebar
dan lebih mewah dari pada pakaian mereka semua. Kiranya mereka ini adalah tiga
orang pimpinan suku bangsa itu yang mendengar akan kehebatan ilmu sihir dari
kakek berkaki buntung sebelah, juga kehebatan seorang dara muda yang
mengalahkan orang India ahli bermain ular.
Dengan sikap
ramah tiga orang kepala suku itu lalu mengundang Pendekar Super Sakti dan dua
orang dara cantik itu sebagai tamu kehormatan. Kesempatan ini tentu saja
disambut dengan baik oleh Pendekar Super Sakti. Mereka kemudian diajak memasuki
perkemahan dan dijamu dengan masakan-masakan yang terbuat dari daging domba,
menerima minuman yang bagi mereka merupakan minuman khas dan mewah, yaitu susu
domba.
Pendekar
Super Sakti, Ceng Ceng dan Hwee Li mendengar penuturan mereka melalui seorang
penerjemah, bahwa memang benar mereka itu merupakan suku bangsa yang berpihak
kepada Raja Tambolon yang kini sedang memerangi Bhutan.
“Kami membutuhkan
bantuan orang-orang pandai seperti Anda,” kata kepala suku tertua sambil
memandang Suma Han penuh perhatian. “Karena di pihak tentara Bhutan terdapat
pemimpin-pemimpin yang amat pandai, bahkan seorang panglima wanita berada di
sana memimpin pasukan pertahanan Bhutan. Kabarnya panglima wanita itu adalah
puteri Kerajaan Ceng yang amat lihai. Ia dibantu oleh seorang laki-laki
setengah tua yang luar biasa tinggi ilmunya, juga terdapat seorang pemuda yang
luar biasa.”
Mendengar
ini, Pendekar Super Sakti lalu menduga-duga dengan hati girang. Panglima wanita
Kerajaan Ceng itu siapa lagi kalau bukan Milana, anaknya sendiri? Dan pemuda
lihai itu tentulah Suma Kian Bu.
“Baiklah,
kami akan melihat-lihat peperangan itu kalau kalian suka membawa kami ke sana,”
katanya dengan girang.
Kepala suku
itu menjadi girang dan pada keesokan harinya, berangkatlah serombongan orang
laki-laki muda dari suku bangsa itu yang dipilih sebagai tenaga-tenaga bantuan
untuk pasukan Raja Tambolon yang sedang sibuk mengurung kota raja Bhutan.
Pendekar Super Sakti dan dua orang gadis itu ikut bersama mereka menuju ke
medan peperangan. Karena suku bangsa liar itu sudah mengenal jalan dengan baik,
maka perjalanan dapat dilakukan dengan amat cepatnya, dengan memotong jalan
melalui pegunungan, menunggang kuda-kuda yang sudah terlatih baik.
Akan tetapi,
sebelum mereka tiba di perkemahan yang didirikan oleh barisan pengurung kota
raja Bhutan, ketika rombongan mereka tiba di lapangan terbuka, mereka terkejut
sekali mendengar bunyi melengking tinggi dari atas, apa lagi ketika mereka
memandang dan melihat seekor burung rajawali yang besar dan berbulu hitam
menyambar turun sambil mengeluarkan bunyi melengking keras. Bubarlah pasukan
itu dan pemimpin mereka lalu mementang gendewa, membidik ke arah rajawali.
“Jangan
panah...!” Pendekar Super Sakti berseru, namun terlambat, anak panah itu telah
meluncur ke arah burung.
“Hek-tiauw,
awas panah...!” Hwee Li yang telah mengenal burungnya itu berseru keras.
Akan tetapi
penyerangan itu terlalu ringan bagi rajawali hitam. Dengan mudahnya dia
menyampok anak panah itu dengan kakinya, lalu dia menukik dan hendak menyerang
ke arah kepala suku yang memanahnya tadi.
Akan tetapi,
dengan sekali bergerak Pendekar Super Sakti telah mencelat dari atas kudanya,
memapaki rajawali hitam yang menyambar turun itu.
“Plak!
Desss...!”
Rajawali
terpental dan terdengar teriakan kaget dari atas punggungnya. Kiranya ada orang
yang menunggang rajawali itu.
“Ayah...!”
Hwee Li berteriak ketika mengenal orang itu.
Sedangkan
Hek-tiauw Lo-mo juga terkejut mendengar suara anaknya. Dia tadi amat kaget
ketika serangkum hawa yang kuat keluar dari tangan Pendekar Super Sakti,
membuat burungnya terpental. Maka kini melihat puterinya berada di situ, dia
menjadi girang dan juga heran. Setelah menyuruh burung rajawalinya turun, dia
pun meloncat ke atas tanah.
“Ayah...!
Kau sungguh terlalu, Ayah, selalu meninggalkan aku!” Hwee Li berseru dengan wajah
bersungut-sungut.
Sementara
itu, rombongan suku bangsa liar itu terbelalak dengan muka pucat. Tentu orang
ini bukan manusia, pikir mereka, melainkan dewa yang tinggal di langit dan kini
turun menunggang burung raksasa untuk menghukum. Maka dua puluh lebih
orang-orang yang tidak pernah takut menghadapi lawan manusia itu kini
menjatuhkan diri berlutut!
Akan tetapi
Hek-tiauw Lo-mo tidak mempedulikan mereka, juga tidak mempedulikan puterinya
setelah sekilas pandang melihat puterinya sehat-sehat saja, melainkan dia
memandang dengan penuh perhatian kepada kakek yang sebelah kakinya buntung dan
yang tadi membuat rajawalinya terpental. Sampai lama kedua orang ini berdiri
saling pandang karena Suma Han juga sudah meloncat turun dari kudanya setelah
tadi menyelamatkan pimpinan rombongan yang diserang rajawali hitam. Sedangkan
Hwee Li sudah lari ke dekat burung rajawalinya itu dan merangkul lehernya.
“Aih,
hek-tiauw, kau telah sembuh...?” katanya sambil membelai kepala burung rajawali
itu yang mengeluarkan suara menguik seperti seekor anjing yang dibelai
majikannya.
Hal ini
membuat semua orang suku bangsa liar itu menjadi bengong dan semakin ketakutan.
Kiranya rombongan tiga orang yang hendak membantu mereka itu adalah golongan
dewa!
“Kau...
kau... tak salah lagi! Kau tentu Pendekar Siluman Suma Han, Majikan Pulau Es!”
Akhirnya Hek-tiauw Lo-mo berseru keras, dengan sedikit keraguan masih menempel
di dalam suaranya.
“Hek-tiauw
Lo-mo, engkau seharusnya berada di Pulau Neraka yang telah kau rampas dan
kuasai,” kata Suma Han, nada suaranya keras dan berwibawa. “Tahukah engkau
tempat apa yang kau rampas dan kuasai itu? Tempat pembuangan dan siapa sudah
menetap di sana tidak boleh pergi lagi dari pulau itu, karena kepergiannya
berarti hanya menyebar malapetaka. Kembalilah kau ke Pulau Neraka.”
“Ha-ha-ha-ha!”
Hek-tiauw Lo-mo tertawa bergelak. “Sudah puluhan tahun aku ingin sekali bertemu
dengan Pendekar Siluman sebelum aku mati dan selalu tidak pernah ada
kesempatan. Siapa tahu sekarang bertemu di sini, sungguh girang sekali hatiku.
Ingin aku merasakan sendiri kehebatan Pendekar Super Sakti atau Pendekar
Siluman yang namanya menggetarkan kolong langit.”
Setelah
berkata demikian Hek-tiauw Lo-mo menggerakkan kedua lengannya. Terdengar suara
berkerotokan dan dari kedua tangannya mengepul uap hitam! Agaknya karena maklum
akan kelihaian Suma Han, kakek ketua Pulau Neraka ini telah mengerahkan ilmu
Hek-coa-tok-ciang (Tangan Beracun Ular Hitam) dan bagaikan badai mengamuk dia
lalu menerjang Pendekar Super Sakti.
“Wuuuutttt...
syuuuuttt...!”
Angin yang
dahsyat menyambar, membuat pasir dan debu beterbangan saking hebatnya serangan
yang dilakukan oleh kakek ini. Rombongan suku bangsa liar itu terkejut dan
ketakutan, cepat mereka mundur dan berusaha menenangkan kuda mereka yang
meringkik ketakutan dan meronta berusaha melarikan diri.
“Hemmm...!”
Suma Han mengeluarkan seruan.
Tubuhnya
telah mencelat ke kiri dengan gerak loncat Soan-hong-lui-kun menghindarkan
serangan Hek-tiauw Lo-mo. Akan tetapi kakek Pulau Neraka ini sudah menyerang
lagi, menubruk seperti seekor singa kelaparan dengan kedua tangan terpentang
dan jari-jarinya membentuk cakar singa. Kembali Suma Han menggunakan kecepatan
gerakan kaki tunggalnya, membiarkan lawan menubruk tempat kosong.
“Ayaaaah...
jangan...!” Hwee Li berteriak.
“Sssttt,
Hwee Li, jangan mencampuri urusan orang tua!” Ceng Ceng berseru mencegah
muridnya karena dia tahu betapa berbahayanya kalau muridnya itu mendekati dua
orang sakti yang sedang bertanding itu. Dia maklum akan kelihaian dan bahayanya
Hek-tiauw Lo-mo, bahkan dia pernah terluka parah oleh tokoh Pulau Neraka itu.
Maka kini, berhadapan dengan Majikan Pulau Es, Ketua Pulau Neraka itu bertemu
lawan dan tentu pertandingan itu akan hebat dan berbahaya sekali.
Hwee Li
tidak berani bersuara lagi, lebih-lebih melihat burung rajawali hitam itu
menjadi gelisah dan dia tahu bahwa kalau dia melepaskan burung itu, tentu
burung itu akan membantu ayahnya dan mengeroyok Pendekar Super Sakti. Maka dia
yang tidak ingin melihat pendekar yang dia tahu amat baik hati itu dikeroyok,
lalu merangkul leher burungnya dan menenangkannya, seperti rombongan itu
menenangkan kuda masing-masing.
“Haaaihhh...
waaahhhh!”
Hek-tiauw
Lo-mo masih menyerang terus dengan dahsyat dan bertubi-tubi sampai dua puluh empat
jurus dia menerjang terus menerus dan sambung menyambung tanpa memberi
kesempatan sedikit pun kepada lawannya. Akan tetapi hal ini bukan berarti bahwa
Suma Han terdesak. Sama sekali tidak, melainkan pendekar itu memang hanya
mengelak saja, mengandalkan gerakan Soan-hong-lui-kun yang kecepatan gerakannya
tidak ada keduanya di dunia. Pukulan-pukulan Hek-coa-tok-ciang membuat di
sekeliling dua orang itu tampak uap hitam berhamburan dan bau amis memenuhi
udara.
“Hemm, kau
sungguh tak tahu diri, Hek-tiauw Lo-mo!” terdengar seruan Pendekar Super Sakti.
Tiba-tiba
saja tubuhnya lenyap dari depan mata lawan, tahu-tahu dari belakang lawan
tangannya melayang dan membalas serangan-serangan itu. Hek-tiauw Lo-mo
terkejut, membalik sambil menangkis, namun tubuh lawannya berkelebat dengan
kecepatan yang luar biasa dan sudah lenyap lagi, tahu-tahu menyerang dari
kanan. Dia cepat mengelak dan demikianlah, Hek-tiauw Lo-mo sekarang hanya
mengelak dan menangkis karena tubuh lawannya bergerak terlalu cepat sehingga
sukar dia ikuti dengan pandang mata!
“Pendekar
Siluman, jangan menggunakan ilmu siluman, hayo kau hadapi aku secara jantan!”
teriaknya marah dan juga jeri.
“Hek-tiauw
Lo-mo, apa yang kau maksudkan dengan cara jantan?”
“Heiiittttt!”
Hek-tiauw Lo-mo berteriak nyaring dan sinar hitam tipis menyambar ke arah
berkelebatnya bayangan Pendekar Super Sakti yang menunda serangan-serangannya
karena melayani lawan bicara.
“Plakkk!”
Jala itu
kena sambaran hawa pukulan tangan kiri Pendekar Super Sakti dan... robek
seperti terbakar. Itulah pukulan Hui-yang Sin-ciang yang sudah mencapai
puncaknya sehingga benda pusaka yang tahan api itu masih tidak mampu bertahan
menghadapi pukulan itu.
“Keparat!”
Hek-tiauw Lo-mo makin marah dan dia kini menghantam sambil berteriak, “Hadapi
pukulanku ini!”
“Hemm...!”
Pendekar Super Sakti berdiri tegak, mengempit tongkatnya sehingga dia hanya
berdiri dengan satu kaki, kedua tangannya menerima hantaman kedua tangan lawan.
“Dessss...!”
Tubuh
Pendekar Super Sakti yang hanya ditopang oleh sebelah kaki seperti seekor
burung bangau berdiri dengan satu kaki itu bergoyang-goyang, seperti batang
padi tertiup angin, akan tetapi tubuh Hek-tiauw Lo-mo terlempar dan terbanting
roboh lalu bergulingan. Ketika dia meloncat bangkit lagi, matanya menjadi
merah, mukanya pucat dan dia mengusap sedikit darah yang mengalir keluar di
ujung bibirnya! Sejenak dia memandang penuh kebencian, penuh kemarahan, akan
tetapi juga penuh takjub akan kehebatan lawan yang sudah bertahun-tahun
dianggapnya sebagai musuhnya yang nomor satu di dunia ini.
Sejenak
mereka berpandangan dari jarak sekitar lima meter, kemudian Hek-tiauw Lo-mo
menunduk, membungkuk lalu membentak, “Pendekar Siluman, kau sambutlah ini kalau
memang kau jantan...!” Lalu tubuh Ketua Pulau Neraka itu bergerak lari ke depan
dengan kepala di depan, persis seperti seekor kerbau menyerang dengan
tanduknya. Kepalanya menuju ke arah perut Pendekar Super Sakti.
Pendekar ini
terkejut sekali melihat kenekatan lawan, akan tetapi dia tidak bergerak
menyingkir, bahkan lalu menerima serudukan nekat itu dengan perutnya yang
kecil.
“Capppp...!”
Kepala
Hek-tiauw Lo-mo seolah-olah memasuki rongga perut Pendekar Super Sakti, tubuh
kakek Pulau Neraka ini kaku seperti sebatang kayu sehingga kakinya lurus ke
belakang. Mendadak kedua tangannya bergerak menghantam ke arah kedua pundak
Pendekar Super Sakti, akan tetapi pendekar ini telah terlebih dulu menggerakkan
kedua tangannya menyambut hantaman itu!
“Plakkk!”
Dua pasang telapak tangan itu bertemu dan melekat.
“Locianpwe,
jangan bunuh ayahku...!” Tiba-tiba Hwee Li yang masih merangkul rajawali hitam
itu berseru nyaring.
Sejenak
Pendekar Super Sakti mengerling ke arah bocah itu, lalu terdengar mulutnya
mengeluarkan bunyi melengking nyaring yang membuat semua kuda rombongan suku
bangsa liar itu meringkik ketakutan dan membuat rajawali hitam juga
meronta-ronta ketakutan. Berbareng dengan pekik melengking ini, tubuh Hek-tiauw
Lo-mo terlempar ke arah puterinya dan terbanting jatuh.
“Aduuuhhhh...!”
Tanpa tertahankan lagi Ketua Pulau Neraka ini mengeluh, kemudian
menggoyang-goyang kepala mengusir kepeningan, sekilas memandang ke arah lawan
yang masih berdiri tegak dan tenang, kemudian secepat kilat dia menyambar
pinggang Hwee Li dan meloncat ke atas punggung rajawali hitam yang segera
menggerakkan sayapnya terbang dari tempat itu.
“Hwee
Li...!” Ceng Ceng berseru kaget.
“Ayah,
lepaskan aku...! Aku mau ikut Subo...!” Hwee Li meronta-ronta akan tetapi tidak
mampu melepaskan diri dari rangkulan ayahnya dan tak lama kemudian burung itu
sudah terbang tinggi dan lapat-lapat terdengar tangis Hwee Li.
“Ohhh...,”
Ceng Ceng mengeluh.
“Dia diajak
pulang oleh ayahnya, perlu apa disesalkan? Dan anak itu memang perlu berdekatan
dengan ayahnya. Agaknya hanya anaknya itu saja yang akan mampu merubahnya,”
kata Pendekar Super Sakti. Ceng Ceng diam saja dan memang peristiwa ini hanya
sebentar saja menggores hatinya yang sudah menjadi layu.
TAMBOLON
mengeluarkan suara gerengan seperti seekor harimau marah, pedang Ban Tok Kiam
menyambar ketika dia menubruk lawan yang sudah roboh di tanah itu. Akan tetapi
tiba-tiba kaki Tek Hoat bergerak dan hawa pukulan yang luar biasa dahsyatnya
menyambar.
“Bressss...!”
Tambolon
memekik kaget dan kesakitan, pedang Ban Tok Kiam terlempar jauh dan dia
terdorong sampai bergulingan. Kiranya Tek Hoat yang sengaja menjatuhkan diri
itu telah menggunakan kekuatan Inti Bumi yang paling ampuh, yang diambilnya
dari tenaga bumi ketika dia rebah, dan kakinya telah menyerang dengan kekuatan
luar biasa, yang kiri menendang pergelangan tangan lawan sehingga pedang Ban
Tok Kiam terlempar, kaki kanan menendang ke arah dada dan biar pun sudah
ditangkis oleh tangan kiri Tambolon, tetap saja tubuh raja yang tinggi besar seperti
raksasa itu terlempar dan bergulingan.
Tek Hoat
sudah meloncat dan mengejar. Tambolon mengeluarkan senjata jala yang ketika
digerakkan berubah seperti uap, akan tetapi Tek Hoat yang sudah mengenal
senjata ini tidak menjadi gentar. Bahkan dengan sengaja dia memapaki jala itu
dengan pedangnya. Tambolon menjadi girang karena jalanya berhasil menangkap dan
membelit pedang.
Dia
menyangka bahwa seperti biasa, tentu pemuda itu akan berusaha menarik kembali
pedangnya. Akan tetapi Tek Hoat memang sengaja membiarkan pedangnya terampas
dan secepat kilat, dia melepaskan gagang pedang dan menggunakan kedua tangannya
untuk menyerang dengan pukulan tangan terbuka yang mengandung tenaga Inti Bumi,
yang kiri ke arah pusar sedangkan yang kanan ke arah pelipis.
Tambolon
terkejut, berusaha menangkis dan memang berhasil menangkis pukulan ke pusarnya,
akan tetapi tangan kanan Tek Hoat sudah menyambar pelipisnya.
“Dessss...!”
Tambolon
terpelanting dan roboh dengan mata mendelik, tubuhnya kaku dan dia tewas
seketika.
Panglima
Jayin dan para pembantunya segera bersorak. Panglima ini cepat menyambar
pedang, memenggal kepala Tambolon yang dipasangnya di atas tombak dan diangkat
tinggi-tinggi ke atas agar kelihatan oleh semua orang dan untuk melenyapkan
semangat tentara musuh.
“Tek Hoat,
kau bantulah kami!” Puteri Milana berseru.
Tek Hoat
memandang dengan terheran-heran melihat betapa Puteri Milana yang dia tahu amat
lihai itu dan Ceng Ceng belum juga mampu merobohkan Si Petani Maut dan Si
Siucai Maut. Dia memekik keras dan dengan tangan kosong dia menerjang Si Petani
Maut Liauw Kui yang memang sudah jeri sekali karena dia bukan tidak tahu betapa
Puteri Milana mempermainkannya, menyambut terjangan Tek Hoat dengan pikulannya.
Namun,
dengan mudah Tek Hoat menangkap batang pikulan itu. Dengan pengerahan tenaga
dia memaksa batang pikulan itu membalik dan robohlah Si Petani Maut, batang
pikulan memasuki perutnya menembus ke punggung.
Tek Hoat
yang sudah beringas seperti harimau yang haus darah itu lalu menubruk ke arah
Siucai Maut sambil berseru, “Ceng Ceng minggirlah!”
Yu Ci Pok
menyambut dengan totokan dua senjata siang-koan-pit, akan tetapi Tek Hoat yang
sudah melindungi tubuhnya dengan kekuatan tenaga sakti Inti Bumi dan juga
menghentikan jalan darah di bagian yang tertotok, menerima dua totokan itu dan
membarengi dengan gerakan jari tangannya dipergunakan seperti sebatang pedang
menusuk ke depan.
“Craattt!”
Jari-jari tangan kanannya memasuki dada Yu Ci Pok seperti sebatang pedang dan
robohlah pengawal kedua dari Tambolon ini, berkelojotan dan tewas.
Puteri
Milana dan Ceng Ceng bertepuk tangan memuji, kemudian mereka bertiga terus
mengamuk sehingga pihak musuh makin kacau dan akhirnya larilah sisa pasukan
dari suku-suku bangsa liar itu, apa lagi setelah mereka semua mendengar bahwa
Raja Tambolon telah tewas.
Berakhirlah
perang itu dengan kemenangan gemilang di pihak Bhutan. Panglima Jayin mengarak
Tek Hoat sebagai seorang pahlawan gagah perkasa karena dia sendiri telah
menyaksikan betapa pemuda yang gagah perkasa ini sudah berhasil membunuh
Tambolon yang demikian lihainya, berarti bahwa pemuda ini memang telah membuat
jasa besar sekali dan patut diperlakukan sebagai seorang pahlawan yang dengan
setia telah membela Kerajaan Bhutan.
Gak Bun Beng
yang telah bertemu dengan Pendekar Super Sakti, cepat berlutut di medan perang
itu, memberi hormat dengan hati terharu karena dia tadinya sudah tidak mengira
akan dapat bertemu dengan pendekar sakti yang dianggap sebagai gurunya ini.
Sejenak
Pendekar Super Sakti juga menunduk dan memandang, lalu mengangguk-angguk dan
bertanya, “Bun Beng, aku sudah mendengar bahwa Kerajaan Bhutan dibantu oleh
engkau dan Milana. Di mana sekarang dia?”
“Sumoi
Milana sedang memimpin pasukan untuk membasmi barisan pemberontak, Suhu.
Bagaimana keadaan Suhu dan Subo di Pulau Es? Mudah-mudahan dalam keadaan
sehat.”
“Kami
baik-baik saja, Bun Beng. Aku meninggalkan Pulau Es untuk pergi menyusul dan
mencari dua orang sute mu. Kian Lee telah kujumpai dan sudah kusuruh pulang,
akan tetapi Kian Bu masih kucari-cari. Apakah engkau melihat dia?”
Bun Beng
menggeleng kepala. “Teecu pernah bersama dengan Sute Kian Bu ketika membantu
pemerintah menghadapi para pemberontak yang dipimpin oleh dua orang Pangeran
Liong, akan tetapi setelah itu, Sute Kian Bu pergi meninggalkan kota raja,
kemudian terdengar lagi beritanya pada waktu dia menolong Puteri Syanti Dewi
dari penghadangan Tambolon dan Durganini, lalu dia pergi lagi tanpa ada yang
mengetahui ke mana, Suhu.”
“Hemmm, mari
kita mencari Milana, mungkin dia tahu tentang adiknya itu.”
Bun Beng
hanya mengangguk, tidak berani menceritakan betapa sejak dari kota raja,
kekasihnya itu melakukan perjalanan bersama dia dan tentu saja pengetahuan
Milana tentang Kian Bu tidak ada bedanya dengan apa yang telah dia ketahui.
Bahkan dia masih merasa sungkan dan khawatir kalau-kalau pendekar sakti ini
tidak akan senang hatinya mendengar akan keputusan mereka berdua untuk hidup
bersama setelah Milana menjadi janda. Tentu saja orang tua sakti ini tidak tahu
bahwa puterinya itu sebetulnya telah menjadi janda yang masih perawan!
Ketika
mereka tiba di tempat pertempuran di mana Milana yang dibantu oleh Ceng Ceng
dan Tek Hoat mengamuk, pertempuran telah selesai dan musuh telah terbasmi, yang
melarikan diri dikejar oleh pasukan-pasukan Bhutan.
“Ayah...!”
Milana cepat lari menyambut Pendekar Super Sakti dan di lain saat dia telah
memeluk orang tua itu. Air mata puteri yang perkasa ini membasahi baju di dada
ayahnya.
Pendekar
Super Sakti mengelus rambut puterinya penuh kasih sayang. “Milana..., mana
suamimu?”
Mendengar
pertanyaan yang seolah-olah merupakan sebatang pedang yang langsung menikam ulu
hatinya, Milana mengguguk tangisnya. Akhirnya dapat juga dia menjawab lirih,
“...dia... dia telah tewas...”
Pendekar
Super Sakti Suma Han adalah seorang manusia yang sudah dapat mengatasi segala
perasaan, maka dia biasa saja mendengar berita hebat ini, hanya bertanya,
“Bagaimana terjadinya hal itu?”
“Ayah,
marilah kita memasuki kota raja dan bicara di sana dengan jelas.”
Pada saat
itu, Raja Bhutan sendiri keluar menyambut dan dengan penuh kehormatan semua tamu
agung yang sudah berjasa membantu Bhutan, terutama Tek Hoat, diarak masuk ke
kota raja. Pendekar Siluman tidak menolak karena dia ingin mendengar cerita
Milana tentang Kian Bu dan tentang Han Wi Kong, mantunya yang dikabarkan tewas
itu.
Semua orang
di kota raja menyambut para tamu agung, terutama sekali mereka
menyanjung-nyanjung Puteri Milana dan Tek Hoat. Bahkan Tek Hoat sekaligus telah
dikenal oleh mereka sebagai calon mantu raja!
Istana telah
cepat sekali mempersiapkan penyambutan yang dipimpin sendiri oleh Puteri Syanti
Dewi sehingga ketika rombongan pemenang ini memasuki kota raja dan tiba di
depan istana, tempat ini telah dihias dengan meriah dan penari-penari serta
musik menyambut mereka.
Pertemuan
yang amat menggembirakan, semua orang tersenyum dan tertawa, semua wajah
berseri-seri dan semua mata bersinar-sinar. Akan tetapi, suasana menjadi sangat
mengharukan ketika tanpa disangka-sangkanya Puteri Syanti Dewi melihat Ceng
Ceng di antara rombongan itu. Puteri ini terbelalak seperti mimpi saja dia
melihat adik angkatnya, kemudian kedua orang dara cantik itu menjerit dan
saling menubruk.
“Candra...!”
“Enci
Syanti...!”
Mereka
berangkulan dan menangis, saling berciuman karena sejak berpisah di tengah mala
petaka ketika perahu mereka terguling, baru satu kali inilah mereka dapat
saling bertemu kembali dan pertemuan ini terjadi di Bhutan! Sungguh merupakan
hal yang aneh dan tidak tersangka-sangka oleh Syanti Dewi. Betapa hebat
pengalaman mereka semenjak saling berpisah. Dan betapa cepatnya waktu berlalu
karena begitu saling bertemu dan berpelukan, mereka merasa seolah-olah baru
kemarin saja mereka saling berpisah.
Saling bergandeng
tangan karena tidak sempat bicara di depan banyak orang, Syanti Dewi dan Ceng
Ceng bersama semua rombongan itu memasuki istana di mana Raja Bhutan mengadakan
penyambutan dengan pesta untuk merayakan kemenangan yang gemilang itu.
Rakyat dan
para prajurit semua juga berpesta pora merayakan kemenangan besar itu. Suasana
Kerajaan Bhutan gembira bukan main, sungguh pun harus diakui bahwa banyak pula
yang menangis dan dilanda kedukaan hebat karena kematian suami, anak atau ayah
yang menjadi prajurit Bhutan dan gugur dalam perang itu. Akan tetapi suara
tangis mereka tenggelam dan hanyut oleh arus kegembiraan dari kota raja yang
merayakan kemenangan.
Demikianlah
adanya perang dan akibat-akibatnya! Di mana pun di bagian dunia ini, dan di
jaman apa pun! Para korban perang yang membantu terlaksananya kemenangan,
terlupa oleh yang merayakan kemenangan, oleh yang mengecap keuntungan dalam
kemenangan perang.
Kalau pun
para korban itu diingat oleh mereka, hal ini hanya sekilas saja, sekedar
hiburan bagi keluarga si korban, atau lebih tepat, sebagai penonjolan dari yang
merayakan kemenangan bahwa mereka itu tidak melupakan para korban, sungguh pun
yang dikatakan tidak lupa itu hanya untuk satu kali setahun, dan itu pun hanya
beberapa menit saja, lalu tidak dipedulikan lagi sama sekali sampai saatnya
diperingati lagi!
Perang
merupakan bukti betapa busuknya si aku mementingkan diri pribadi, secara keji
mempergunakan manusia-manusia lain, kalau perlu mengorbankan laksaan nyawa
manusia lain, demi untuk mencapai cita-cita yang tidak lain dan tidak bukan
hanyalah merupakan pengejaran sesuatu yang menguntungkan diri pribadi lahir mau
pun batin. Perang merupakan bukti pula betapa bodohnya manusia, dipermainkan
oleh slogan-slogan kosong, seperti sekelompok ikan memperebutkan umpan tidak
tahu bahwa di dalam umpan tersembunyi maut!
Di dalam
kesempatan berpesta-pora ini, Pendekar Super Sakti mendengar semua penuturan
Milana tentang Suma Kian Lee dan Suma Kian Bu. Tanpa menyembunyikan sesuatu,
Milana menuturkan tentang kepatahan hati dua orang pemuda Pulau Es itu.
“Aku kasihan
sekali kepada mereka, Ayah. Kian Lee jatuh cinta kepada Ceng Ceng, dan ternyata
kemudian bahwa Ceng Ceng adalah keponakan sendiri karena gadis itu adalah
putera Wan Keng In dan Lu Kim Bwee.”
Pendekar Super
Sakti Suma Han memandang ke arah Ceng Ceng yang sedang duduk menyendiri dengan
wajah muram. Dia teringat akan pertemuannya dengan gadis itu, mula-mula di
rumah makan ketika dia dan isterinya Lulu tiba di tempat itu dalam usaha mereka
mencari putera mereka. Kiranya gadis yang kemudian melakukan perjalanan
bersamanya itu adalah puteri Wan Keng In! Dengan demikian, Lulu telah menolong
cucunya sendiri di dalam rumah makan itu! Lalu dia teringat akan Topeng Setan
dan Pendekar Super Sakti menghela napas panjang. Ternyata buah perbuatan Wan
Keng In masih terasa sampai sekarang!
“Tidak perlu
dikasihani, Milana. Kalau dia melihat kenyataan bahwa gadis itu adalah
keponakan sendiri, mengapa dia harus patah hati? Dan bagaimana dengan Kian Bu?”
“Bu-te lebih
parah lagi, Ayah. Dia jatuh hati kepada Syanti Dewi, akan tetapi agaknya Puteri
Bhutan itu tidak membalas cintanya karena puteri itu agaknya jatuh hati kepada
Tek Hoat.” Puteri Milana mengerling dan Suma Han juga melihat betapa mesra
puteri itu di dalam pesta melayani Tek Hoat yang duduk di samping Raja Bhutan
dan permaisuri!
“Hemm, cinta
yang menuntut balasan, kalau tidak dibalas lalu patah hati bukanlah cinta
namanya...” Suma Han berkata lirih seperti kepada diri sendiri. “Kepatahan hati
itu adalah salahnya sendiri, timbul dari iba diri. Di mana kiranya dia
sekarang?”
“Aku tidak
tahu, Ayah.”
“Biarlah,
aku akan mencarinya. Dan engkau sendiri, Milana. Bagaimana engkau bisa berada
di sini tanpa suamimu? Dan apa pula artinya ucapanmu bahwa suamimu telah
tewas?”
Puteri
Milana menekan perasaannya agar jangan sampai dia menangis di dalam pesta itu.
Kemudian, dengan hati-hati dan lirih berceritalah dia tentang keadaannya dengan
Han Wi Kong, betapa mereka itu menikah tanpa cinta kasih di pihaknya, hanya
untuk memenuhi kehendak Kaisar, dan betapa Han Wi Kong telah bersikap jantan
dan tidak memaksa dia memenuhi kewajiban sebagai isteri.
Kemudian
tentang perbuatan Han Wi Kong yang membunuh Pangeran Liong Bin Ong sebagai
tindakan ‘bunuh diri’ untuk memberi kesempatan kepadanya berkumpul kembali
dengan orang yang dicintanya, yaitu Gak Bun Beng, dan tentang surat-surat Han
Wi Kong yang sengaja ditinggalkan untuk dia dan Bun Beng.
Mendengarkan
semua ini, Suma Han memejamkan kedua matanya dengan alis berkerut. Milana sudah
siap untuk mendengar teguran dan kemarahan ayahnya, akan tetapi setelah Suma
Han membuka kembali matanya, pendekar bijaksana itu berkata perlahan, “Nasib
manusia berada di dalam tangannya sendiri, tergantung dari sepak-terjangnya
sendiri dalam kehidupan.
Semua
pengalamanmu itu hanya menjadi bukti bahwa apa pun yang kita lakukan di dalam
kehidupan ini, Milana, haruslah kita lakukan dengan cinta kasih di dalam hati.
Tanpa cinta kasih, maka semua perbuatan itu hanya akan menimbulkan pertentangan
dan kedukaan belaka, seperti perbuatanmu menikah dengan Han Wi Kong, dan
perbuatanmu bersama Bun Beng yang saling berpisah mematahkan ikatan perasaan
antara kalian. Jadi sekarang, engkau dan Bun Beng...”
Milana
menundukkan mukanya yang menjadi merah sekali. “Kami telah bersepakat untuk
menghadap ke Pulau Es mohon restu dan ijin dari Ayah dan Ibu, dan karena saya
telah menjadi buronan di kota raja, maka kami berdua akan pergi mengasingkan
diri, entah ke mana, saya hanya akan menurut dan ikut dengan Gak-suheng...”
Suma Han
mengangguk-angguk. “Memang sebaiknya jika kalian lebih dulu menghadap ibumu.
Nah, biarlah sekarang juga aku pergi, Milana. Aku akan mencari Suma Kian Bu.”
Sebelum Puteri Milana menjawab, tampak tubuh ayahnya berkelebat dan lenyaplah
pendekar itu dari tempat itu, seolah-olah menghilang begitu saja di
tengah-tengah orang banyak yang sedang berpesta.
Milana
maklum akan sifat ayahnya yang aneh, maka dia cepat menghadap Raja Bhutan dan
mintakan maaf bahwa ayahnya telah pergi tanpa pamit karena ayahnya mempunyai
urusan pribadi yang penting. Semua orang terkejut dan kagum, akan tetapi hanya
mengangguk-angguk dan merasa seram melihat ada orang dapat lenyap begitu saja
di tengah-tengah mereka, seperti siluman!
Tidak lama
kemudian, nampak Puteri Milana dan Gak Bun Beng sudah duduk berdua menghadapi
meja dan bercakap-cakap dengan mesra, berbisik-bisik karena puteri itu
menceritakan kepada kekasihnya tentang reaksi ayahnya ketika tadi mendengar
pengakuannya tentang mereka. Legalah hati Bun Beng karena tadi pun, dari meja
lain, dia melihat berkelebatnya gurunya itu lenyap, membuat dia khawatir sekali
dan menduga bahwa pendekar itu pergi dengan marah. Kiranya tidak demikian, maka
tentu saja hatinya merasa lega.
Semua orang
di dalam pesta itu bergembira-ria, tenggelam dalam kebahagiaan masing-masing
sehingga tentu saja melupakan orang lain. Tek Hoat yang dihujani sanjungan dan
kini dilayani dengan mesra dan dengan terbuka oleh Syanti Dewi, di depan Raja
dan Permaisuri Bhutan yang memandang sambil tersenyum penuh arti, tentu saja
merasa bahagia sekali. Demikian pula Syanti Dewi yang melihat betapa pria yang
dicinta dan dipilihnya itu kini telah kembali dalam keadaan selamat, sebagai
seorang pahlawan pula, tentu saja menjadi sangat gembira sehingga dia pun lupa
akan keadaan orang lain.
Semua orang
bergembira-ria, kecuali Ceng Ceng. Sebaliknya, dara ini menjadi sedih sekali
karena kebahagiaan orang-orang itu mengingatkan dia akan nasib dirinya.
Teringat akan Topeng Setan, satu-satunya manusia yang dicinta, dan teringat
akan Kok Cu, satu-satunya manusia yang dibencinya, ternyata kedua orang itu
adalah sama, dan kini telah mati!
Padahal, dua
orang itulah yang membuat dia tadinya masih ada gairah untuk hidup di dunia
yang penuh duka ini. Topeng Setan menghiburnya dan kebaikan hati Topeng Setan
membuat dia jatuh cinta kepada orang yang selalu menyembunyikan wajahnya di
balik topeng yang amat buruk itu. Dia jatuh cinta bukan karena wajahnya,
melainkan karena kebaikan yang banyak dilimpahkan kepadanya oleh pendekar sakti
itu sehingga kehadiran Topeng Setan di dalam jalan hidupnya itu menimbulkan
gairah hidup yang baru.
Ada pun Kok
Cu yang selama ini dimusuhinya dan dibencinya karena pemuda itu telah
memperkosanya, merupakan pula suatu dorongan sehingga dia tidak ingin mati dulu
sebelum dia dapat membalas dendamnya. Dengan cara yang amat berlainan, bahkan
dengan berlawanan, dua nama itu telah membuat dia bersemangat untuk hidup.
Akan tetapi,
seperti halilintar datangnya, terbukalah kenyataan bahwa yang amat dicintanya
adalah orang yang amat dibencinya, sebaliknya pula yang amat dibencinya itu
ternyata adalah orang yang dicintanya, dan kini keduanya, yang sesungguhnya
satu orang juga, telah mati! Apa lagi yang menahannya untuk hidup di dunia
penuh duka kecewa ini? Lebih baik mati saja dan rasanya mati akan jauh lebih
menyenangkan dari pada hidup!
Betapa
banyaknya manusia di dunia ini hidup dalam duka dan kesengsaraan batin sehingga
dunia ini dianggapnya sebagai tempat yang amat buruk, sebagai neraka yang amat
menyiksa. Seperti juga Ceng Ceng, kita manusia selalu dirundung duka yang
seribu satu macam sebabnya sehingga kita selalu haus akan kebahagiaan, selalu
haus akan kesenangan dan selalu merasa bahwa di dunia ini, hanya kita
sendirilah yang paling sengsara sedangkan orang-orang lain semua jauh lebih
bahagia dari pada kita.
Benarkah
demikian? Sesungguhnya tidaklah demikian kenyataannya. Selama kita
memperhatikan keadaan orang lain, membanding-bandingkan dengan keadaan kita,
akan timbul rasa kecewa dan iri, memupuk rasa iba diri. Dan kita lupa, seperti
juga Ceng Ceng, bahwa justru kekecewaan dan kedukaan itu datang karena
keinginan kita mencari yang lebih baik dan lebih menyenangkan itulah! Kita
selalu menolak apa yang ada, selalu menolak kenyataan yang terjadi, membutakan
mata terhadap kenyataan yang tidak menyenangkan dan mengejar-ngejar bayangan yang
dianggap akan dapat menyenangkan.
Padahal,
kenyataan seperti apa adanya tidak mengandung suka mau pun duka. Kenyataan apa
adanya adalah kebenaran! Ada pun senang atau susah bukanlah bagian dari
kenyataan itu, melainkan merupakan permainan dan pikiran kita sendiri, yang
selalu menonjolkan dirinya pribadi, yang selalu akan senang kalau diuntungkan
lahir maupun batin, dan selalu susah, kalau dirugikan lahir mau pun batin.
Pikiranlah
biang keladi susah dan senang. Pikiranlah sumber segala duka dan sengsara! Dan
ini merupakan suatu kenyataan, nampak dengan jelas sekali asal kita mau membuka
mata dan memandang kenyataan tanpa dipengaruhi oleh segala macam pendapat,
prasangka dan kesimpulan yang juga merupakan permainan dari pikiran pula.
Ceng Ceng
tenggelam ke dalam lamunan yang menyedihkan. Namun dia hendak merahasiakan
semua ini, demi kebahagiaan Syanti Dewi. Dia tidak ingin mengganggu kebahagiaan
kakak angkatnya itu, maka ketika Syanti Dewi teringat kepadanya dan
mendatanginya, lalu menarik tangannya diajak duduk bersama satu meja dengan
keluarga raja, juga bersama Puteri Milana dan Gak Bun Beng yang sudah diminta
pula oleh Syanti Dewi, Ceng Ceng tidak menolak dan berusaha menyelimuti
kedukaan hatinya dengan senyum manis.
Ketika Raja
mengumumkan pertunangan Tek Hoat yang masih mengaku she Ang itu dengan Puteri
Syanti Dewi, semua orang menyambut dengan tepuk tangan dan sorak-sorai, juga
Ceng Ceng segera menghampiri kakak angkatnya, dipeluknya dan diciuminya Syanti
Dewi sambil mengucapkan selamat. Kedua orang wanita cantik ini mengusap air
mata keharuan dan Ceng Ceng lalu menghampiri Tek Hoat sambil menjura dan
berkata, “Kionghi (selamat), semoga engkau akan menjadi suami kakak angkatku
yang baik.”
Tek Hoat
tersenyum, menyatakan terima kasihnya dan berkata, “Ceng Ceng, kita adalah
saudara seayah, maka kita semua ternyata bukanlah orang-orang lain, bukan?
Harap kau maafkan segala kesalahanku yang lalu terhadapmu.”
Ceng Ceng
tidak menjawab, hanya di dalam hatinya dia masih mengkhawatirkan apakah kakak
angkatnya akan bahagia kelak menjadi isteri Tek Hoat yang dikenalnya sebagai
seorang yang licik dan curang, dan jahat. Betapa pun juga, dia tak mengatakan
apa-apa karena dia segera teringat akan laki-laki yang tak pernah dapat
dilupakannya, biar pun telah mati itu. Topeng Setan atau Kok Cu itu, seperti
juga Tek Hoat, baik atau jahatkah?
Kalau dia
teringat akan Kok Cu, pemuda yang telah memperkosanya di dalam goa, maka jelas
bahwa pemuda itu amat jahat, bahkan merupakan orang yang telah menghancurkan
hidupnya, menghancurkan harapannya. Sebaliknya, kalau dia teringat akan Topeng
Setan, jelaslah bahwa orang itu amat baik, terlalu baik malah, telah
melimpahkan budi kebaikan kepadanya, telah mengorbankan lengannya, bahkan
beberapa kali hampir mengorbankan nyawa untuknya. Jadi baikkah orang itu? Atau
jahatkah?
Ceng Ceng
termenung. Baik atau jahat ternyata tergantung dari pada penilaian kita
sendiri, dan penilaian kita pun didasarkan atas kepentingan diri pribadi.
Buktinya, kalau dia mengingat Kok Cu yang telah merugikan dia, maka otomatis
dia menganggapnya jahat sekali. Dan kalau dia mengingat Topeng Setan yang telah
menguntungkan dia, maka otomatis dia menganggapnya baik sekali. Padahal
keduanya itu adalah orang yang sama! Tentu demikian pula dengan Tek Hoat. Siapa
pun orangnya yang merasa dirugikan oleh Tek Hoat, tentu akan menganggapnya
jahat, sebaliknya Syanti Dewi yang tentu telah menerima budi kebaikan dari Tek
Hoat seperti dia menerimanya dari Topeng Setan, tentu saja menganggap Tek Hoat
sebaik-baiknya manusia!
Ceng Ceng
menghela napas panjang. Kenyataan yang membuka matanya lahir batin ini membuat
dia menjadi muak akan kepalsuan manusia, akan kepalsuan dirinya sendiri. Setiap
orang selalu menginginkan yang menguntungkan dan menyenangkan bagi dirinya
sendiri saja, dan menolak yang merugikan atau tidak menyenangkan, maka
timbullah suka dan tidak suka, timbullah cinta dan benci, timbullah puas, dan
kecewa dan kesemuanya itu tentu saja mendatangkan pertentangan dan
kesengsaraan.
Syanti Dewi
yang sedang tenggelam dalam kegembiraan itu kini mulai memperhatikan Ceng Ceng.
Biar pun adik angkatnya itu kelihatan tersenyum-senyum dan ikut pula berpesta,
namun wajahnya pucat dan matanya muram, jelas kelihatan oleh Syanti Dewi betapa
kegembiraan Ceng Ceng hanyalah pura-pura belaka untuk menyembunyikan kedukaan
yang amat besar.
Perang hebat
terjadi di dalam batin Ceng Ceng. Di satu pihak dia menderita pukulan batin
yang membuatnya amat berduka teringat kepada Topeng Setan, ditambah menyaksikan
kemesraan antara Tek Hoat dan Syanti Dewi, dan pada lahirnya dia memaksa diri
untuk ikut bergembira. Arak yang manis diminumnya terasa pahit, semua hidangan
yang lezat terasa seperti racun di lidahnya. Dia berusaha menahan-nahan diri,
akan tetapi makin diingat makin hebatlah tekanan yang menghimpit batinnya.
Akhirnya dia mengeluh dan roboh terguling dari tempat duduknya.
“Adik
Candra...!” Syanti Dewi menjerit.
“Ceng Ceng,
kau kenapa...?” Tek Hoat juga berseru dan cepat pemuda ini melompat dan
memondong tubuh Ceng Ceng yang pingsan, dibawanya masuk bersama Syanti Dewi dan
diikuti pula oleh Puteri Milana dan Gak Bun Beng.
Puteri
Milana dan Gak Bun Beng cepat memeriksa keadaan Ceng Ceng, dan keduanya saling
pandang, lalu Puteri Milana berkata kepada Syanti Dewi, “Biarkan dia
beristirahat. Dia mengalami tekanan batin...” lalu dia bersama Bun Beng keluar
dari dalam kamar itu, diikuti pula oleh Tek Hoat yang membiarkan Syanti Dewi
sendiri menemani Ceng Ceng yang masih rebah pingsan.
Sri Baginda
sendiri juga berkenan menengok, dan Sri Baginda lalu bertanya kepada calon
mantunya apa yang terjadi dengan diri Ceng Ceng, adik angkat puterinya itu.
Dengan halus Tek Hoat melaporkan bahwa Ceng Ceng kelelahan dan perlu
beristirahat. Sedangkan Milana sendiri berkata lirih kepada Bun Beng, “Heran
sekali, apa yang menyebabkan dia begltu tertekan batinnya?”
“Dan aku pun
heran ke mana perginya Topeng Setan yang dulu selalu menemaninya? Sayang Suhu
tidak bercerita apa-apa sehingga kita tidak tahu bagaimana Ceng Ceng sampai
berpisah dari Topeng Setan dan tahu-tahu datang bersama Suhu.”
Mereka
menduga-duga, akan tetapi tidak dapat mengerti apa sebabnya dara itu sampai
menderita pukulan batin demikian hebatnya, yang dapat mereka ketahui dari
pemeriksaan mereka tadi. Untuk menghormati perayaan kemenangan itu, Milana, Bun
Beng, dan Tek Hoat sendiri melanjutkan kehadiran mereka dalam perayaan sungguh
pun hati mereka tidak dapat melupakan keadaan Ceng Ceng. Hanya Syanti Dewi saja
yang tidak muncul lagi karena puteri ini menjaga sendiri adik angkatnya dengan
hati gelisah.
Malam itu
pesta dilanjutkan dengan meriah. Beberapa kali secara bergantian, Tek Hoat,
Milana, dan Bun Beng menengok keadaan Ceng Ceng yang masih saja rebah seperti
tidur pulas dalam keadaan tidak sadar. Bun Beng menyalurkan tenaga sinkang yang
kuat dan halus untuk membantu gadis dan memperkuat jantungnya, kemudian dia pun
keluar sambil memesan kepada Syanti Dewi bahwa apa bila Ceng Ceng sadar,
biarkan gadis itu menangis sepuasnya karena keadaan Ceng Ceng itu hanya akan
terbebas dari bencana kalau gadis itu dapat menangis atau menyalurkan beban
yang menekan batinnya dengan menceritakan kepada orang lain yang dipercayanya.
Syanti Dewi mengangguk dengan air mata berlinang.
Dalam
keadaan tidur atau setengah pingsan itu Ceng Ceng mengigau, tubuhnya mulai
panas. Syanti Dewi memperhatikan dengan gelisah dan menjadi bingung melihat
sikap Ceng Ceng dalam igauannya. Kadang-kadang gadis itu memaki-maki nama ‘Kok
Cu’, dan kadang-kadang dia memanggil-manggil ‘Topeng Setan’ dengan mesranya.
Menjelang
tengah malam, Ceng Ceng membuka mata dan tiba-tiba meloncat bangun sambil
menjerit, “Kau telah mati...!” Akan tetapi karena tubuhnya lemah dan kepalanya
pening, hampir saja dia terguling kalau tidak cepat-cepat dirangkul oleh Syanti
Dewi.
“Candra...
adikku... ingatlah, aku siapa...?” Syanti Dewi yang merangkul itu berbisik
dengan suara parau dan air matanya mengalir di kedua pipinya.
Sejenak
sepasang mata Ceng Ceng yang muram itu menatap wajah Syanti Dewi seperti yang
tidak mengenalnya, tatapan pandang mata yang kosong seolah-olah di balik sinar
mata muram itu tidak ada semangatnya lagi. Syanti Dewi merasa seperti ditusuk
jantungnya melihat tatapan pandang mata ini.
“Candra
Dewi... adikku... kau... kau kenapa...?” Dia merangkul lagi, menciumi pipi yang
pucat seperti mayat itu.
Akhirnya
Ceng Ceng sadar. “Enci Syanti...!”
Dia merintih
dan menangislah Ceng Ceng dalam pelukan Syanti Dewi, menangis sesenggukan
akhirnya mengguguk dan air matanya mengalir seperti air bah membobol
bendungannya. Syanti Dewi juga menangis, akan tetapi menangis dengan hati lega
karena dia teringat akan pesan Bun Beng bahwa tangis akan membebaskan Ceng Ceng
dari ancaman bahaya. Maka dia merangkul dan membiarkan Ceng Ceng menangis
sepuasnya. Setelah agak reda tangis adik angkatnya itu, dia lalu mengambil sapu
tangannya dan menyusuti air mata Ceng Ceng dari pipinya, menyusuti muka yang
pucat itu.
“Adikku...
adikku yang baik, kenapa kau begini berduka? Ceritakanlah kepada enci-mu ini
dan aku bersumpah demi langit dan bumi, aku akan membantumu dengan seluruh
kekuasaanku untuk melenyapkan ganjalan hatimu, Candra.”
“Ohh, Enci
Syanti...” Ceng Ceng kembali menyembunyikan mukanya di pundak puteri itu.
Bagaimana dia akan dapat menceritakan persoalannya itu kepada orang lain?
“Ceritakanlah,
Adikku...”
Ceng Ceng
tak dapat menjawab, hanya menggelengkan kepala tanpa menghentikan tangisnya.
“Aihh,
Candra. Kau kira aku ini siapa? Aku adalah kakakmu, tahukah kau? Lupakah engkau
betapa kita bersama-sama meninggalkan Bhutan dan kemudian mengalami segala
macam peristiwa hebat? Dan sekarang setelah kita bersama dapat pulang dan
berkumpul lagi di sini, engkau menjadi begini. Lebih hebat lagi, agaknya engkau
sudah tidak percaya lagi kepada kakakmu ini...”
“Enci
Syanti...! Janganlah kau berkata begitu... jangan...” Ceng Ceng terisak,
suaranya seperti orang merintih.
“Kalau
begitu, kau ceritakanlah semua kedukaanmu itu padaku. Kita ini selain saudara
angkat, juga senasib sependeritaan, kalau engkau bahagia, aku pun ikut gembira,
kalau engkau sengsara, aku pun ikut berduka. Bagaimana mungkin aku akan dapat
menikmati kebahagiaanku sekarang ini kalau melihat engkau sengsara, Adikku?”
Ceng Ceng
memejamkan matanya. Memang tidak salah ucapan kakak angkatnya ini. Dahulu dia
mempunyai kakeknya akan tetapi kini sudah tidak ada. Kemudian di dunia ini ada
Topeng Setan yang dianggapnya satu-satunya orang yang paling baik dan dekat
dengannya. Topeng Setan pun sudah tidak ada. Dan Syanti Dewi yang tadinya sudah
terpisah dari dia dan disangkanya sudah tewas atau tertawan musuh, sekarang
sudah kembali dan berkumpul dengan dia. Memang satu-satunya orang yang paling
dekat dengan dia hanya Puteri Bhutan inilah.
Dia menarik
napas panjang dan melepaskan rangkulannya. “Baiklah, Enci Syanti. Mari kita
duduk dan dengarlah ceritaku.”
Dua orang
wanita muda yang cantik jelita itu lalu duduk di atas pembaringan, saling
berhadapan dan mulailah Ceng Ceng bercerita. Dia ingin menyingkat ceritanya
yang amat panjang itu, hanya mengemukakan hal-hal yang membuat dia merana dan
sengsara seperti yang diderita sekarang ini.
“Ketika kita
saling terpisah karena perahu kita terguling...” Ceng Ceng berhenti karena
teringat betapa peristiwa itu terjadi gara-gara Tek Hoat yang kini menjadi
calon suami puteri itu!
Syanti Dewi
agaknya dapat meraba perasaan hati adik angkatnya, maka dia tersenyum dan
berbisik, “Lanjutkanlah...”
“Aku
berjumpa dengan seorang pemuda yang tertawan musuh-musuhnya dan berada dalam
sebuah kerangkeng. Karena kasihan kepadanya, aku melarikan dia dengan
kerangkengnya, membawanya ke sebuah goa dan di situ aku membuka kerangkeng dan
membebaskannya...” Ceng Ceng berhenti lagi. Seperti tampak di depan matanya
semua peristiwa itu, betapa pemuda itu dengan berkeras minta agar supaya dia
tidak membebaskannya! Agaknya pemuda itu tahu bahwa dia keracunan dan akan
terjadi hal yang hebat kalau sampai dia dibebaskan dari dalam kerangkeng!
“Lalu
bagaimana, Adikku?” Syanti Dewi mulai tertarik oleh cerita yang dipersingkat
ini.
“Setelah aku
membebaskan dia... lalu dia itu... dia lihai sekali, dia merobohkan aku dengan
totokan...”
“Ahhh...!”
“Kemudian...
kemudian... dia memperkosaku...!” Ceng Ceng menutupi mukanya dengan kedua
tangannya seolah-olah tidak ingin melihat peristiwa yang kembali membayang di
depan matanya.
“Ehhh...!”
Syanti Dewi terbelalak, otomatis pandang matanya menjelahi tubuh adiknya.
Kemudian dia bangkit berdiri di depan pembaringan, kedua tangannya dikepal dan
sepasang matanya bernyala-nyala. “Dia... dia memperkosamu? Adikku, katakan
siapa jahanam itu! Aku akan menyuruh Tek Hoat mencarinya sampai dapat dan aku
tidak akan mau menikah dengan dia sebelum dia dapat menyeret jahanam itu di
depan kakimu! Aku juga akan mohon bantuan Paman Gak Bun Beng! Hayo katakan,
siapa jahanam itu!”
Ceng Ceng
menurunkan kedua tangannya, memandang puteri yang marah-marah itu dengan muka
pucat, kemudian dia memegang kedua tangan puteri itu dengan perasaan berterima
kasih sekali. “Enci Syanti, ceritaku belum habis...”
Syanti Dewi
duduk kembali di atas pembaringan. “Apakah bukan peristiwa terkutuk itu yang
membuatmu berduka? Kalau karena sakit hati itu, biar aku akan mengerahkan
segala kemampuanku untuk membantumu membekuk jahanam itu!”
Ceng Ceng
menggeleng kepalanya dengan lemas, pandang matanya muram dan sayu, kemudian dia
berkata, “Aku akan melanjutkan, dengarlah, Enci Syanti. Seperti dapat kau
maklumi, aku menaruh dendam kepada orang itu dan selama ini tiada hentinya aku
mencari-cari dia untuk membalas sakit hatiku. Dalam perantauanku ini, aku
bertemu dengan seorang lain, yaitu Topeng Setan.”
“Hemm, aku
juga sudah mendengar tentang dia, yang kabarnya selalu membantumu dan merupakan
seorang manusia ajaib dan lihai sekali yang bersembunyi di balik topengnya.”
“Benar. Dia
adalah seorang manusia yang amat baik kepadaku, Enci, telah berulang kali
menyelamatkan nyawaku, bahkan dia... dia... telah berkorban dengan lengan
kirinya menjadi buntung ketika menolongku. Aku berhutang nyawa kepadanya,
berhutang budi dan sudah sepatutnya kalau dia kuanggap sebagai manusia yang
paling mulia di dunia ini...”
“Tentu saja!
Aku pun tadinya mengalami hal seperti engkau itu dan aku sampai kini selalu
menganggap Paman Gak Bun Beng sebagai seorang manusia yang paling mulia di
dunia ini, tentu saja sesudah orang tuaku dan... Tek Hoat.”
Ceng Ceng mengangguk-angguk.
“Dan kemudian... belum lama ini..., aku mendapat kenyataan yang menghancurkan
seluruh perasaanku, yang membuat aku hampir gila, sebuah kenyataan yang amat
hebat, Enci Syanti...” dan Ceng Ceng tak dapat menahan air matanya lagi.
Syanti Dewi
memegang kedua tangan adik angkatnya. “Kenyataan apakah, Candra? Cepat kau
beritahukan kepadaku.”
“Kenyataan
bahwa Topeng Setan, orang yang paling kumuliakan dan karenanya paling
kucinta... ketika topengnya terbuka... ternyata... ternyata dia... dia...
adalah... pemuda yang memperkosa aku dahulu...”
“Aihhhh...!”
Syanti Dewi setengah menjerit dan kembali dia meloncat berdiri, mukanya menjadi
pucat dan pandang matanya penuh rasa iba, lalu mulutnya komat-kamit seperti
berdoa akan tetapi terdengar bisiknya. “...jadi kau... membenci dan sekaligus
mencinta orang yang sama...? Dan dia itu... musuhmu dan sekaligus sahabatmu,
pemerkosamu dan sekaligus penolongmu...? Aihhh, bagaimana ini...?”
Seperti
dalam mimpi, suaranya lirih dan datar, terdengar Ceng Ceng berkata membela,
“Akan tetapi... ketika dia memperkosaku... dia... dia dalam keadaan tidak sadar
karena keracunan... dan dia sudah berusaha mencegah aku membuka
kerangkengnya...”
Mendengar
ini, Syanti Dewi mengangguk-angguk, kemudian merangkul adik angkatnya itu dan
berkata dengan suara serius, “Dengarlah baik-baik, Candra. Sekarang jawablah
aku. Engkau sekarang ini, setelah semua itu terjadi, setelah semua itu lewat
dan lupakan semua itu, sekarang jawablah, apakah engkau sekarang ini
membencinya ataukah mencintanya?”
Ceng Ceng
tertunduk lesu dan sampai lama tidak menjawab.
Syanti Dewi
mencium kedua pipinya. “Sadarlah, Adikku. Tak perlu kau membiarkan diri
tenggelam dalam peristiwa yang lalu. Katakanlah kepadaku. Bencikah kau
kepadanya? Ataukah engkau cinta kepadanya?”
Ceng Ceng
menggeleng kepada. “Entahlah, Enci Syanti. Aku tidak tahu. Dia demikian baik
kepadaku, mungkin tanpa dia aku sudah mati, dan tidak mungkin lagi bertemu
denganmu. Dia mengorbankan segalanya untukku, bahkan lengannya putus sebelah
karena aku... akan tetapi... dia... dia yang memperkosaku.”
Syanti Dewi memandang
Ceng Ceng sambil tersenyum. Sampai lama dia menatap wajah yang menunduk itu,
kemudian dia memegang kedua pundak adik angkatnya, lalu memegang dagu yang
meruncing itu dan tersenyum lebarlah Puteri Bhutan itu. “Adikku yang manis, kau
cantik sekali! Tahukah kau apa yang tampak olehku? Jelas terbayang di wajahmu,
Adikku, dan aku tidak akan salah lihat bahwa engkau cinta kepadanya.”
“Ehhh...?”
Ceng Ceng terkejut sekali dan memandang tajam kepada kakak angkatnya itu, akan
tetapi dia menundukkan mukanya lagi dan wajahnya makin muram.
“Candra...
adikku yang cantik, mengapa kau khawatir? Engkau terlalu memandang rendah
kepada kakakmu ini. Apa kau kira aku akan diam saja setelah melihat kenyataan
bahwa engkau mencinta pria itu? Jangan kau khawatir, biar kusuruh sekarang juga
Tek Hoat, agar dia mencari dia sampai ketemu.”
Ceng Ceng
menghela napas panjang, terdengar dia mengeluh. “Aihhh, Enci Syanti, sia-sia
saja segala perhatianmu kepadaku, karena dia... dia sudah mati...” Dan air mata
mengalir turun lagi dari kedua mata Ceng Ceng.
“Heiiii...?!”
Kini Syanti Dewi yang memandang dengan mata terbelalak dan wajahnya pucat.
Kemudian dia menubruk, merangkul Ceng Ceng dan sekarang puteri itulah yang
menangis tersedu-sedu. Dan anehnya, melihat kakak angkatnya menangis begitu
sedih, Ceng Ceng merasa terhibur hatinya, atau setidaknya dia melupakan
kesedihannya sendiri, bahkan kini dia yang berusaha menghibur Syanti Dewi!
“Sudahlah,
Enci Syanti, sudahlah..., ditangisi pun sia-sia...!”
Memang aneh
sekali, akan tetapi telah menjadi kenyataan bahwa kedukaan seseorang akan
berkurang, menjadi ringan, atau setidaknya terhibur melihat kedukaan orang
lain! Kenyataan ini pahit sekali, membayangkan dengan jelas bahwa kedukaan
timbul dari rasa iba kepada diri sendiri, maka rasa iba itu menjadi berkurang
kalau melihat orang lain juga menderita, apa lagi kalau penderitaan orang lain
itu lebih besar dari pada penderitaannya sendiri. Rasa iba diri ini adalah
penonjolan dari pada si aku yang selalu ingin menguasai batin manusia maka terjadilah
kesengsaraan dan kedukaan yang memenuhi kehidupan kita.
Perlu sekali
untuk disadari benar-benar bahwa kesengsaraan dan kedukaan bersumber kepada
pikiran kita sendiri, yang membentuk si aku, karena pikiran kita sendirilah
yang menimbulkan pertentangan-pertentangan di dalam batin dengan selalu
menginginkan hal-hal lain dari pada kenyataannya yang ada, selalu menginginkan
yang dianggapnya menyenangkan sehingga apa yang ada, yaitu kenyataan setiap
saat yang dihadapinya, selalu tidak diamatinya benar-benar dan dianggapnya
tidak menyenangkan.
Semua ini
adalah permainan pikiran kita sendiri setiap saat dan demikianlah pikiran kita
menguasai kehidupan kita setiap hari! Mata kita baru akan terbuka, keindahan
setiap saat yang terkandung dalam setiap peristiwa baru akan tampak apa bila
pikiran atau si aku tidak mencampurinya! Cinta kasih yang murni dan suci,
terhadap apa pun juga, baru ada apa bila pikiran atau si aku tidak memegang
kendali!
“Adik
Candra..., betapa hebat penderitaanmu. Sungguh aku berdosa besar kepadamu,
Adikku, aku bergembira, berbahagia, bersenang-senang tanpa memikirkan bahwa kau
sesungguhnya sedang menderita kedukaan hebat...”
“Sudahlah,
Enci Syanti. Engkau tidak bersalah apa-apa. Engkau tidak mengetahuinya dan
tidak perlu pula Enci berduka karena keadaanku. Lanjutkanlah kegembiraanmu,
Enci, engkau berhak untuk hidup berbahagia. Setidaknya, mengingat bahwa engkau
akan berjodoh dengan seorang yang masih seayah denganku, membuat aku bersyukur.
Aku sendiri... ahhh, hidup tidak ada artinya lagi, aku... aku bermaksud... akan
pergi lagi dari sini besok...”
“Ehhh... ke
mana...?”
“Entahlah.
Mungkin kembali ke bekas tempat tinggal Kakek, atau... entah ke mana aku
sendiri belum bisa memastikan...”
“Jangan,
Candra...! Setidaknya, kau tinggallah di sini sampai hari pernikahanku.”
Ceng Ceng
menggelengkan kepalanya dan menghapus sisa air matanya. “Tidak, Enci.
Kehadiranku yang penuh kepahitan hanya akan mengganggu kebahagiaanmu saja. Aku
sudah mengambil keputusan untuk pergi besok, pagi-pagi dari sini. Kau tidak
boleh dan tidak bisa menahanku, Enci Syanti...”
“Candra...!”
Syanti Dewi merangkul dan kembali kedua orang kakak beradik yang dipermainkan
nasib sehingga keadaan mereka kini seperti bumi dan langlt itu saling
bertangis-tangisan.
Malam itu
juga Syanti Dewi pergi menemui Tek Hoat yang dimintanya agar sebagai saudara
seayah, suka membujuk Ceng Ceng. Tek Hoat terkejut sekali saat mendengar semua
penuturan kekasihnya itu tentang Ceng Ceng dan Topeng Setan. Tak pernah
disangka seujung rambut pun bahwa Topeng Setan adalah musuh besar yang selalu
dicari-cari Ceng Ceng itu, dan baru sekarang dia tahu bahwa adiknya seayah itu,
adik tirinya, telah menjadi korban perkosaan Topeng Setan sendiri yang kini kabarnya
telah tewas! Tergopoh-gopoh dia menemui Ceng Ceng di kamar gadis itu.
“Kau tidak
boleh pergi...!” begitu memasuki kamar itu Tek Hoat berseru.
Ceng Ceng
yang tadinya duduk termenung itu, kini meloncat bangun. Mukanya yang tadinya
pucat menjadi agak merah karena perasaan marah menyelinap dalam hatinya. Dia
berdiri menentang wajah pemuda itu dan menjawab dengan ketus, “Ada hak apa
engkau melarang aku pergi?”
“Ada hak
apa? Hemm, lupakah kau bahwa aku ini kakakmu, bahwa kita ini seayah? Kau tidak
boleh pergi dalam keadaan begini!”
“Dalam
keadaan bagaimana?”
“Kau sedang
mengalami kedukaan, kau bisa jatuh sakit di jalan. Dan sudah menjadi
kewajibanku sebagai saudara untuk menjaga dan melindungimu, aku akan berusaha
untuk menggembirakan hatimu, menghiburmu...”
“Dengan
sikapmu yang keras dan selalu memusuhiku itu? Hemm, Tek Hoat, agaknya engkau
mengandalkan kepandaianmu dan mengandalkan kedudukanmu sekarang, maka kau
hendak memaksaku. Kau kira aku mau tunduk begitu saja? Kau boleh bunuh aku
sekarang juga, aku tetap hendak pergi besok pagi. Ingin kulihat kau bisa
berbuat apa!” Ceng Ceng menantang, berdiri dengan kedua tangan dikepal.
“Kau... kau
keras kepala!” Tek Hoat menegur, kedua tangannya juga dikepal.
Mereka
berhadapan seperti dua orang musuh bebuyutan (musuh besar turun-temurun) yang
hendak mengadu nyawa. Akhirnya setelah beberapa lama mereka saling pandang
dengan sinar mata berapi, Tek Hoat menurunkan kembali tangannya dan menarik
napas panjang. Kemudian dia berkata lirih setelah menghela napas lagi.
“Ceng Ceng,
kau tidak tahu... biarlah selagi masih ada kesempatan aku akan mengaku semuanya
kepadamu. Semenjak kita saling berjumpa dahulu, ketika aku menolongmu dari air
sungai, timbul rasa suka yang aneh dan mendalam di dalam hatiku terhadap
dirimu. Cobalah kau ingat-ingat, kalau tidak begitu, mana mungkin aku
membiarkan engkau menguasai aku hanya dengan sumpah dan sapu tangan, bahkan aku
rela pula menghambakan diri menjadi pembantumu ketika kau diangkat menjadi
bengcu! Andai kata di dunia ini tidak ada Syanti Dewi yang lebih dulu telah
menjatuhkan hatiku, yang telah kucinta sejak pertemuan pertama, agaknya... aku
tidak akan ragu lagi bahwa aku tentu akan jatuh cinta kepadamu. Sejak dahulu
ada getaran perasaan yang mengikat hatiku kepadamu, tidak tahu bahwa
sesungguhnya engkau masih sedarah dengan aku. Engkau adikku... di dunia ini
hanya ada seorang adik bagiku...”
“Hemm, kakak
macam apa engkau ini yang selalu bersikap keras kepadaku.” Akan tetapi suara
teguran Ceng Ceng itu mengandung getaran keharuan karena memang dia terharu
sekali mendengar pengakuan Tek Hoat itu. Teringat dia betapa dahulu pun hampir
saja dia jatuh cinta kepada pemuda ini dan di sudut hatinya memang selalu ada
rasa suka terhadap Tek Hoat seperti yang diakui pula oleh pemuda itu. Ternyata
pertalian darah itulah yang menimbulkan getaran itu.
“Memang,
kita sama-sama keras kepala, Adikku. Agaknya inilah yang diwariskan oleh
mendiang ayah kita yang kabarnya amat jahat itu. Kita berdua adalah keturunan
orang yang jahat... akan tetapi hanya aku yang mewarisi kejahatannya, sedangkan
engkau adalah seorang gadis yang gagah perkasa dan berbudi mulia. Akan tetapi
kenapa justru engkau yang menderita kesengsaraan sedangkan aku berenang dalam
kebahagiaan? Tidak! Engkau tidak boleh menderita kalau aku berbahagia. Adikku,
Ceng Ceng... aku minta, aku mohon kepadamu, jangan kau pergi, Adikku...”
Terdorong oleh rasa harunya, Tek Hoat pemuda yang berhati baja itu kini
menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Ceng Ceng!
“Tek
Hoat...” Ceng Ceng juga berlutut dan seperti digerakkan oleh tenaga gaib, kedua
orang saudara tiri seayah ini saling rangkul dan untuk beberapa lamanya Ceng
Ceng menangis di atas dada saudaranya.
Akan tetapi
kekerasan hatinya timbul pula dan dia lalu bangkit berdiri, menyusut air
matanya. “Tek Hoat, aku pun tidak pernah dapat membencimu. Terima kasih atas
kebaikanmu kepadaku. Akan tetapi engkau tentu tahu, dalam keadaan seperti
sekarang ini, aku membutuhkan ketenangan dan keheningan, aku harus pergi
menyendiri, entah ke mana. Percayalah, kalau aku tidak mati, dan kalau luka di
hati ini sudah tidak parah lagi, engkaulah satu-satunya orang yang akan kucari
sebagai keluargaku.”
Tek Hoat
menghela napas panjang dan juga bangkit berdiri. Dia telah mengenal bagai mana
sifat Ceng Ceng yang amat keras. Seperti baja yang tak dapat ditekuk lagi.
“Kalau begitu, aku hanya dapat ikut prihatin dan akan selalu mendoakan,
Adikku.”
Demikianlah,
pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Ceng Ceng berangkat pergi sebelum ada
yang bangun dari tidurnya. Tentu saja dengan mudah dara ini keluar dari istana,
juga dengan mudah keluar dari pintu gerbang sebelah timur karena para prajurit
yang menjaga semua mengenal adik angkat Puteri Bhutan ini.
Dengan muka
pucat dan pandang mata kosong Ceng Ceng keluar dari pintu gerbang tanpa
menengok lagi. Langsung dia melanjutkan perjalanan dengan langkah-langkah
perlahan maju ke depan tanpa tujuan karena pikirannya kosong dan semangatnya
seperti telah terbang meninggalkan tubuhnya.
Belum jauh
dia meninggalkan pintu gerbang timur, tiba-tiba ada suara memanggilnya,
“Sumoi...!”
Ceng Ceng
menghentikan langkahnya, berdiri lesu tanpa menoleh karena dia mengenal suara
itu, suara Panglima Jayin, yang juga merupakan suheng-nya karena panglima ini
pernah berguru kepada kakeknya.
Ketika Jayin
tiba di depannya, Ceng Ceng berkata lesu, “Suheng, harap kau jangan ikut-ikut
menahanku karena sudah bulat tekadku untuk pergi dan tak seorang pun boleh
menahanku.”
“Sumoi, aku
sama sekali tidak akan menahan dan mencampuri urusan pribadimu. Aku menyusulmu
karena aku diutus oleh Sang Puteri Syanti Dewi. Beliau mengutus aku mengejarmu
dan memanggilmu kembali karena tadi malam ada seorang tamu yang datang ke
istana mencarimu. Akan tetapi karena hari telah malam, terpaksa kusuruh tamu
itu bermalam di gedung tamu dan menunggu sampai pagi. Baru pagi tadi aku dapat
menghadap Sang Puteri untuk menyampaikan permintaan tamu yang hendak menjumpai
mu itu. Akan tetapi pagi-pagi sekali engkau sudah pergi, maka Sang Puteri
mengutus aku untuk menyusul dan memanggilmu kembali ke Istana.”
“Suheng, aku
tidak ingin bertemu dengan siapa pun juga. Engkau kembalilah dan katakan kepada
Enci Syanti Dewi bahwa aku tidak mau menemui siapa pun.”
“Akan
tetapi, Sumoi... engkau belum tahu siapa tamu itu!” Suara panglima ini tergetar
karena dia pun sudah mendengar akan keadaan sumoi-nya itu dari Puteri Syanti
Dewi. “Dia telah datang menyusul bersamaku. Inilah dia orangnya!”
Akan tetapi
Ceng Ceng tidak mempedulikan kata-kata ini dan dia terus melanjutkan
langkahnya. Siapa pun orangnya yang datang mencarinya, dia tidak ingin melihat
dan menemuinya. Tanpa menoleh sedikit pun, Ceng Ceng melangkah terus, sama
sekali tidak mempedulikan.
Baru
beberapa langkah dia berjalan, tiba-tiba terdengar suara, “...bengcu...!”
Ceng Ceng
berhenti seperti disambar petir dan dia berdiri tegak, mukanya pucat, kedua
kakinya menggigil dan dia tidak percaya akan pendengarannya sendiri. Dia tidak
berani menoleh, karena tentu pendengarannya yang menipunya dan kalau dia
menoleh, dia akan kecewa. Tidak mungkin! Tapi suara yang didengarnya tadi amat
dikenalnya, terlalu dikenalnya malah, karena suara itu adalah suara Topeng
Setan!
“Bengcu...!”
Suara itu memanggil lagi, kini terdengar tergetar.
Untuk kedua
kalinya Ceng Ceng tersentak kaget. Dia menoleh dan....
“Ouhhhhhh...!”
dia menutupi mulut dengan punggung tangan kiri, menahan jeritnya.
Betapa
kagetnya ketika dia melihat laki-laki yang berlutut di depannya itu, laki-laki
yang melihat pakaian dan lengan kirinya, jelas adalah Topeng Setan, akan tetapi
melihat wajahnya yang tidak tertutup topeng itu, wajah yang tampan dan gagah
sekali sungguh pun pada saat itu kelihatan pucat dan dicekam perasaan khawatir,
adalah wajah Kok Cu, pemuda yang telah memperkosanya.
“Kau...?
Kau...?” Hati Ceng Ceng menjerit, akan tetapi bibirnya hanya bergerak-gerak dan
mulutnya terbuka tanpa ada suara yang keluar, kemudian terdorong oleh kedua
kakinya yang tiba-tiba menjadi lemas seperti lumpuh dan keterkejutan yang
meremas hatinya, Ceng Ceng menjatuhkan diri berlutut dan menubruk orang itu
sambil merintih dan menangis.
“Kau...
kau... masih hidup..., ohhh, kau masih hidup...?” berulang-ulang dia berbisik
seperti dalam mimpi ketika dia mendekapkan mukanya di atas dada yang bidang
itu.
“Suhu
menolong dan menyembuhkan aku...,” bisik Topeng Setan atau Kok Cu itu.
“...ahhh...
hu-huuu-huukk... aku... aku girang sekali... aku... aku cinta padamu, Pam...”
Ceng Ceng tiba-tiba menghentikan kata-katanya, tidak melanjutkan sebutan
‘paman’ tadi karena dia segera teringat dan cepat dia mengangkat mukanya.
Begitu
melihat wajah tampan itu, dia berseru, “Ohhhh...!” dan merenggutkan tubuhnya
menjauh.
Sementara
itu, begitu Ceng Ceng tadi merangkul ‘tamu’ itu, Panglima Jayin sudah melangkah
pergi dan memberi isyarat kepada para penjaga untuk pergi menjauh, lalu
memasuki pintu gerbang dan membiarkan kedua orang itu bicara dengan leluasa.
Senyum penuh rasa syukur membayang di wajah panglima gagah itu.
“Aku bukan
Topeng Setan lagi...” Pemuda itu berkata. “Aku adalah Kao Kok Cu, aku adalah si
pemuda laknat dan aku datang untuk menerima hukuman, Ceng Ceng. Semenjak
peristiwa terkutuk yang terjadi di goa, aku selalu dikejar oleh dosa dan
penyesalan. Apa lagi ketika aku mendengar bahwa engkau adalah penyelamat nyawa
Ayah, aku makin menyesal, maka untuk menebus dosa dan untuk membalas budimu
terhadap Ayah, aku kemudian menjadi Topeng Setan yang selalu melindungi dan
membelamu. Sekarang, rahasiaku telah kau ketahui, maka aku datang untuk
menerima hukuman. Kalau kau hendak membunuhku, lakukanlah, aku tidak akan menyesal
mati di tanganmu, Ceng Ceng, karena aku akan mati di tangan seorang yang paling
kucinta di dunia ini, yang paling kuhormati, kukagumi dan kujunjung tinggi.”
Ceng Ceng
yang masih menggigil seluruh tubuhnya itu, mengeluh dan dia kembali menubruk,
merangkul karena memang perasaan bahagia melihat ‘Topeng Setan’ masih hidup
mengusir semua perasaan lain. “Paman... Paman... melihat engkau masih hidup,
aku... ahhh, betapa bahagia rasa hatiku.” Dia berkata dan kembali dia lupa akan
wajah tampan itu, merasa bahwa dia berada dalam pelukan Topeng Setan. “Melihat
engkau mati, baru aku tahu bahwa aku cinta padamu, Paman, dan aku tidak ingin
lagi terpisah darimu...”
“Ceng Ceng,
janganlah menyebutku Paman... Engkau isteriku sayang... engkau sudah kuanggap
isteriku sejak aku mengenakan topeng... Betapa bahagia hatiku mendapat
pengakuan cintamu...”
Ceng Ceng
merangkul dan menatap wajah itu, wajah tanpa topeng yang ternyata amat tampan
dan gagah. Wajah yang semenjak peristiwa di goa itu tidak pernah dapat
dilupakannya! Kok Cu yang melihat wajah jelita basah air mata itu, tergerak
hatinya, penuh keharuan, penuh iba dan penuh kemesraan cinta, maka dia menunduk
dan di lain saat dia sudah mencium mulut yang setengah terbuka itu, menciumnya
dengan seluruh perasaan kasih sayang yang terluap dari lubuk hatinya, melalui
bibirnya.
Sejenak Ceng
Ceng terlena dan memejamkan mata, otomatis perasaan bahagia dan kasih sayang
dari hatinya membuat kedua lengannya melingkari leher pemuda itu dan bibirnya
pun bergerak menyambut. Akan tetapi tiba-tiba terbayang peristiwa di dalam goa.
Mulutnya yang melekat pada mulut Kok Cu meronta, matanya terbelalak dan dia
merenggutkan dirinya.
Kok Cu
memandangnya dengan mata terbelalak penuh kekhawatiran.
“Plak!
Plakk!”
Dua kali
kedua tangan Ceng Ceng bergerak dan nampaklah garis-garis merah di kedua pipi
Kok Cu yang pucat. Pemuda itu tersenyum.
“Terima
kasih dan pukulan-pukulanmu barusan baik sekali, merupakan obat yang akan
menyembuhkan penyesalanku. Kau pukullah lagi, Ceng Ceng. Sudah kukatakan bahwa
aku siap menebusnya dengan kematian sekali pun...”
“Ouhhh...
tidak... tidak...!” Ceng Ceng kembali merangkul. Kini dia memandangi wajah
tampan itu dan jari-jari kedua tangannya mengelus dan membelai bekas
tamparannya di kedua pipi pemuda itu. “Tidak... kau... kau adalah orang
satu-satunya di dunia ini yang kucinta... kau adalah Topeng Setan yang telah
melimpahkan budi kepadaku...”
“Akan tetapi
aku juga pemuda laknat yang telah memperkosamu, Ceng Ceng.”
“Tidak...
tidak...! Pada waktu itu engkau dalam pengaruh racun... peristiwa itu adalah
kesalahanku sendiri. Engkau sudah berusaha mencegah aku membebaskan mu dari
kerangkeng... dan engkau sudah berusaha sekuat tenaga mencegah, akan tetapi
racun itu lebih kuat... tidak, engkau tidak bersalah...”
Wajah yang
tampan dan gagah itu berseri. Tiba-tiba Kok Cu berdiri dan dengan satu
tangannya yang luar biasa kuatnya itu, sekali angkat dia sudah mengangkat Ceng
Ceng sehingga gadis ini berdiri pula. Wajah yang tampan itu menjadi kemerahan,
matanya bersinar-sinar penuh kebahagiaan. “Kalau begitu... kau mengampuni aku...?”
“Tidak ada
ampun karena kau tidak bersalah.”
“Aku berdosa
dan aku mengharapkan ampunmu, Ceng Ceng.”
“Kalau
begitu, aku mengampunimu, Pam... eh, Koko (Kakanda)...”
“Dan kau
tidak membenci lagi kepada Kok Cu?”
Sambil
merangkul leher pemuda itu, dan matanya masih mengalirkan air mata, Ceng Ceng
tersenyum dan menggeleng kepala. “Sebaliknya malah, aku mencinta orang yang
bernama Kok Cu.”
“Moi-moi...!”
“Koko...!”
Kembali
mereka berdekapan dan sekali ini ketika Kok Cu mencium Ceng Ceng, dara itu
menyambut dan membalasnya dengan penuh kemesraan. Dekapan dan ciuman itu
seolah-olah menjadi tempat pencurahan seluruh perasaan mereka, rasa cinta, rasa
rindu, dan semua kebahagiaan yang terasa di hati masing-masing sehingga mereka
seolah-olah tidak ingin saling melepaskan lagi.
“Ceng Ceng,
Moi-moi... betapa bahagia hatiku... ketahuilah, aku datang bersama Ayah. Selain
menyusulmu, juga Ayah membawa tugas dari Kaisar untuk menyampaikan selamat
kepada Kerajaan Bhutan, juga untuk menyatakan keampunan Kaisar terhadap Puteri
Milana. Selain itu pula... juga Ayah akan meminangmu secara resmi... marilah,
sayang, mari kita kembali ke istana Bhutan...”
Tiba-tiba
Ceng Ceng melepaskan dirinya dari rangkulan lengan kanan kekasihnya, dan sambil
tersenyum di antara air matanya, dengan kedua pipi merah, dia menggeleng.
“Tidak... aku tidak mau kembali...” Dan dia pun membalikkan tubuhnya dan lari.
“Ehh, Ceng
Ceng...!” Kok Cu mengejar dan kalau saja dia mau tentu dengan mudah dia dapat
menyusul larinya gadis itu. Akan tetapi melihat kekasihnya itu lari sambil
tersenyum, dia sengaja mengejar dari belakang dan berteriak, “Kenapa kau tidak
mau?”
“Aku
malu...!” Ceng Ceng berlari terus, memasuki sebuah hutan kecil.
Akhirnya
Ceng Ceng memperlambat larinya dan membiarkan dirinya disusul, ditangkap dan
dipeluk di bawah sebatang pohon besar. Dia menyerah dan menyambut ketika pemuda
itu kembali menciuminya sampai keduanya gelagapan kehabisan napas. Akhirnya
mereka duduk di bawah pohon, di atas rumput tebal dan hijau.
“Ceng-moi,
kenapa kau malu?”
“Aku tidak
ingin kembali ke sana, tidak ingin... sementara ini menemui orang-orang lain,
aku khawatir kebahagiaanku akan terganggu. Aku ingin berdua saja denganmu,
Koko, kalau bisa, berdua saja di dunia ini, tidak akan saling terpisah lagi...
Koko, ah, Koko... aku masih belum percaya... apakah aku tidak sedang mimpi...?”
“Ceng-moi,
kau kekasihku, kau pujaan hatiku, kau isteriku... apakah ini mimpi?” Dia mencium
dan menggigit leher Ceng Ceng sampai dara itu terpekik halus. “Aku sendiri pun
hampir tidak percaya bahwa engkau dapat mengampuni aku, apa lagi mencintaku!
Aku selalu merasa ngeri untuk menghadapi pertemuan ini... tidak ada kengerian
yang lebih hebat dari pada melihat engkau membenci aku... bayangkan saja betapa
sengsara hatiku sebagai Topeng Setan ketika engkau menyatakan betapa hebatnya
kebencianmu kepada Kok Cu...”
Sambil
menyandarkan kepalanya di atas dada yang bidang itu, dan memainkan jari-jari
tangan kanan Kok Cu yang dia tarik ke atas dadanya, Ceng Ceng berkata, suaranya
manja. “Siapa sih yang membenci Kok Cu? Aku membencinya karena dia...
menghilang begitu saja setelah peristiwa itu...! Aku benci karena dia tidak
muncul lagi, padahal dia kuharap-harapkan... padahal hatiku sudah jatuh cinta
begitu aku melihat dia di dalam kerangkeng itu...!”
“Tapi kau...
kau mencinta Topeng Setan!” Kok Cu menggoda.
Ceng Ceng
menarik lengan baju kiri yang kosong itu dan mencium lengan baju itu. “Mengapa
tidak? Topeng Setan telah mengobankan lengannya, bahkan beberapa kali hampir
berkorban nyawa untukku. Aku mencinta Topeng Setan karena budinya, tanpa
mempedulikan bagaimana macamnya wajah di balik topeng, tanpa mempedulikan
usianya, akan tetapi aku mencinta Kok Cu karena pribadinya, karena tatapan
sinar matanya, karena... karena memang aku cinta dan sebabnya aku tidak tahu!”
“Hemm...,
kalau begitu engkau mencinta dua orang! Hayo, katakan, siapa yang lebih kau
cinta, Kok Cu atau Topeng Setan?” pemuda itu menuntut, pura-pura cemberut.
Ceng Ceng
membalikkan tubuhnya, tertawa geli. “Kau cemburu? Hi-hik, lucunya! Kau cemburu
kepada siapa?”
Dengan muka
dibuat seperti marah Kok Cu berkata, “Tentu saja kepada Topeng Setan! Hayo
katakan, kau lebih mencinta Kok Cu atau Topeng Setan?”
“Ya ampun...
tentu saja aku lebih mencinta Kok Cu!”
Tiba-tiba
Kok Cu mengeluarkan sebuah topeng dan sekali bergerak, topeng itu telah dipakai
di mukanya dan berubahlah ia menjadi Topeng Setan, suaranya pun agak berubah
karena terhalang topeng. “Bagus, Ceng Ceng...! Jadi cintamu kepadaku palsu, ya?
Jadi kau lebih cinta kepada pemuda laknat itu dari pada kepadaku?”
Sambil
menahan gelinya, Ceng Ceng pun berkata, “Siapa bilang, Paman? Aku cinta padamu,
Paman Topeng Setan!”
Kok Cu
membuang topengnya dan sambil memegang dagu yang runcing itu, dijepit antara
telunjuk dan ibu jarinya, mengangkat muka Ceng Ceng menengadah, dia lalu
menghardik, “Perempuan tamak! Sebetulnya kau lebih mencinta yang mana?”
“Aku cinta
keduanya, dan cintaku itu kini menjadi satu, tiada bandingannya lagi, dan...
ehmmm...” Ceng Ceng tidak dapat melanjutkan kata-katanya lagi karena mulutnya
telah ditutup oleh sepasang bibir yang seolah-olah tidak akan ada puas-puasnya
itu. Dia memejamkan matanya, menyambut dengan hati terbuka dan penuh
penyerahan.
Angin
semilir di atas mereka, membuat daun-daun pohon berkeresekan saling sentuh
seperti saling berbisik membicarakan pertemuan asyik-masyuk penuh kemesraan di
bawah pohon besar itu. Bagi Ceng Ceng dan Kok Cu, waktu dan segala sesuatu
lenyap, bahkan diri pribadi juga lenyap, yang ada hanyalah kebahagiaan dan
keindahan. Hidup adalah bahagia, hidup adalah indah.
Hanya sayang
sekali, hanya sewaktu-waktu saja, hanya selewat saja, dalam keadaan seperti
yang dialami oleh Ceng Ceng dan Kok Cu, kita mengenal kebahagiaan dan keindahan
itu. Selebihnya, waktu dalam hidup kita penuh dengan pertentangan, penuh dengan
kebencian, iri hati, angkara murka yang kesemuanya itu hanya mendatangkan
kesengsaraan belaka.
Adakah yang
lebih indah dari pada cinta? Sayang, betapa cinta oleh kita telah
dipecah-belah, ditafsirkan menurut kecondongan hati yang menyenangkan sehingga
timbul bermacam pendapat dan kesimpulan. Cinta bukanlah sex semata, bukanlah
kewajiban semata, bukanlah pengorbanan semata, bukanlah pemberian atau
permintaan semata.
Kesemuanya
itu terdapat dalam cinta dan cinta mencakup segala karena cinta hanya terisi
keindahan. Cinta tidak mengenal perbedaan suku, tidak mengenal perbedaan ras,
tidak mengenal perbedaan bangsa, tidak mengenal perbedaan usia, tidak mengenal
kaya atau miskin, pintar atau bodoh, tidak mengenal tingkat tinggi atau rendah.
Cinta tak mengenal kebencian, tak mengenal permusuhan, tidak mementingkan diri
pribadi. Cinta adalah kebahagiaan. Tanpa cinta matahari akan kehilangan
sinarnya, bunga kehilangan keharumannya, dan manusia kehilangan kemanusiaannya.
Oleh karena
itu, segala macam gerak yang kita perbuatan tanpa di dasar cinta kasih adalah
palsu belaka. Ada pun yang kita lakukan di dunia ini barulah benar dan suci
apabila didasari oleh cinta kasih di dalam hati sanubari kita.
T A M
A T
Serial Selanjutnya : Jodoh Rajawali
********** Sahabat Karib.com **********
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment