Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Kisah Sepasang Rajawali
Jilid 28
Beberapa
orang Panglima Kerajaan Bhutan maju berkuda, disambut oleh Liauw Ki dan Yu Ci
Pok. Dalam puluhan jurus saja para Panglima Bhutan ini roboh dari kuda mereka.
Setelah mendapat perkenan Gak Bun Beng, Panglima Jayin dengan marah lalu maju
sendiri. Dia menangkan beberapa orang panglima musuh, tetapi ketika berhadapan
dengan Lauw Ki Si Petani Maut, baru bertempur dua puluh jurus saja pundaknya
sudah terpukul pikulan dan kalau dia tidak cepat mengundurkan diri tentu akan
tewas pula!
Gak Bun Beng
menjadi penasaran dan marah. Majulah pendekar ini dan segera dia dikeroyok dua
oleh Liauw Ki dan Yu Ci Pok. Akan tetapi, dengan mudah saja Bun Beng
mempermainkan mereka. Bahkan ketika Hek-tiauw Lo-mo yang kini tahu-tahu sudah
bergabung dan membantu Tambolon itu maju pula mengeroyok, tetap saja Gak Bun
Beng mengamuk hebat dan membuat Hek-tiauw Lo-mo sendiri terdesak hebat.
Ketua Pulau
Neraka itu terkejut bukan main. Apa lagi ketika beberapa kali dia mengadu
tenaga, dia memperoleh kenyataan betapa pendekar ini ternyata memiliki tenaga
Hui-yang Sinkang, Swat-im Sinkang dan juga tenaga mukjijat Inti Bumi!
“Kau
siapakah?” bentaknya berulang-ulang.
Sudah banyak
dia bertemu lawan lihai, akan tetapi baru sekarang dia melihat seorang yang
memiliki ilmu-ilmu dari Pulau Es dan Pulau Neraka sedemikian sempurnanya,
seolah-olah Pendekar Super Sakti sendiri!
“Hemm,
Hek-tiauw Lo-mo. Engkau merendahkan nama Pulau Neraka dengan menjadi antek dari
Tambolon si pemberontak!” Bun Beng berseru sambil menangkap sambaran pikulan
yang dipukulkan oleh Liauw Ki, kemudian sekali dia mengerahkan tenaga, dan...
“Krakkk!”
Terdengar
suara dan pikulan itu pun patah-patah. Tentu saja Liauw Kui menjadi pucat dan
meloncat mundur.
“Namaku
adalah Gak Bun Beng.”
Hek-tiauw
Lo-mo terkejut. Pernah dia mendengar nama ini. “Apamukah Pendekar Super Sakti
dari Pulau Es?”
“Beliau
boleh dibilang adalah guruku!” Bun Beng memutar tubuh dan dorongan telapak
tangannya membuat Yu Ci Pok terpental dan terhuyung-huyung.
Pada saat
itu, Milana yang melihat Bun Beng dikeroyok dan melihat betapa sudah tiba
saatnya memberi perintah menyerbu, mengisyaratkan kepada peniup terompet tanduk
binatang. Terdengarlah perintah penyerbuan ini dan dipimpin oleh Jayin yang
terluka pundaknya, menyerbulah bala tentara Bhutan dan terjadilah perang
sampyuh yang hebat.
Gak Bun Beng
kini bertanding dengan hebat melawan Hek-tiauw Lo-mo. Tidak ada orang dari
kedua pihak yang berani mendekati dua orang ini, karena sambaran hawa pukulan
dari tangan mereka sedemikian hebatnya sehingga dalam jarak dua meter saja
orang yang terkena hawa pukulan bisa roboh dan tewas.
Hek-tiauw
Lo-mo mainkan sebatang tombak tulang ikan yang ampuh, akan tetapi dengan tenang
Gak Bun Beng yang masih bertangan kosong itu menghadapinya. Tombak tulang ikan
itu ditangkisnya begitu saja dengan kedua tangannya dan dalam pertandingan
mati-matian selama lima puluh jurus lebih, akhirnya Bun Beng berhasil memukul
tombak itu sehingga patah menjadi empat potong!
“Keparat!”
Hek-tiauw Lo-mo berteriak marah.
Dia mencabut
senjatanya yang lebih mengerikan lagi, yaitu sebatang golok gergaji yang amat tebal
dan berat. Dengan penasaran dia menyerang mati-matian, namun Gak Bun Beng dapat
menghindarkan diri dengan gesit dan tubuhnya berkelebatan di antara gulungan
sinar golok.
“Mampuslah!”
Tiba-tiba Hek-tiauw Lomo berseru.
Tangan
kirinya terbuka dan segumpal uap tipis menyambar. Bun Beng terkejut karena
tahu-tahu dirinya telah tertutup oleh sehelai jala tipis sekali yang ternyata
amat kuat karena betapa pun dia meronta, dia tidak mampu membebaskan diri dari
jala tipis itu.
“Ha-ha-ha,
baru kau tahu kelihaian Hek-tiauw Lo-mo!” Ketua Pulau Neraka itu tertawa,
goloknya bergerak menyambar.
“Haiiitttt...!”
Gak Bun Beng mengeluarkan pekik dahsyat, tubuhnya bergulingan dan Hek-tiauw
Lo-mo tidak kuat mempertahankan tali jalanya yang ikut terbawa bergulingan.
Kembali Gak Bun Beng mengeluarkan lengking panjang, terdengar suara keras
dan... jala itu putus-putus semua dan si pendekar sakti meloncat keluar dari
dalam jala.
Hek-tiauw
Lo-mo terbelalak. Hampir dia tidak percaya bahwa ada orang yang mampu
membebaskan diri dari jalanya. Dia tidak tahu bahwa Gak Bun Beng sudah memiliki
tingkat yang sangat tinggi dalam pengerahan tenaga sakti. Tadi pendekar ini
sudah mengerahkan seluruh tenaganya dengan tenaga Hui-yang Sinkang (Tenaga Inti
Api) yang amat panas dan ternyata jala itu kalah oleh hawa panas yang mukjijat
ini sehingga dapat dibikin putus.
Dengan marah
Gak Bun Beng meloncat dan menerjang, kedua tangannya bergerak dengan pukulan
yang didasari dua tenaga yang berlawanan, yaitu tenaga Swat-im Sinkang dan
Hui-yang Sinkang.
“Trakkkk...!”
Golok
gergaji itu pun patah terpukul telapak tangan kanan Bun Beng dan pada saat itu,
tangan kiri Hek-tiauw Lo-mo melakukan pukulan dengan ilmu keji
Hek-coa-tok-ciang (Tangan Beracun Ular Hitam). Inilah kesalahan besar Hek-tiauw
Lo-mo. Kalau dia menggunakan ilmu keji ini terhadap lawan lain, biasanya dia
berhasil baik, dan bahkan Ceng Ceng pernah menderita hebat oleh pukulan keji
ini. Akan tetapi dia berhadapan dengan Gak Bun Beng, seorang pendekar sakti
yang selain telah memiliki kepandaian yang amat tinggi tingkatnya, juga
memiliki pengalaman yang luas, maka Bun Beng cepat menerima pukulan itu dengan
telapak tangan sambil mengerahkan Swat-im Sinkang.
Ilmu pukulan
berdasarkan tenaga Im yang amat dingin ini selain kuat juga amat baik untuk
menghadapi pukulan-pukulan lawan yang beracun, karena hawa beracun membeku
begitu bertemu dengan Tenaga Inti Salju ini.
“Dessss...!”
Hek-tiauw
Lo-mo memekik dan tubuhnya terlempar dan bergulingan sampai beberapa tombak
jauhnya. Pada saat itu, Tambolon menerjang maju dengan pedangnya disertai dua
orang pembantunya.
Akan tetapi
tiba-tiba terdengar tiupan terompet dari atas menara, tanda bahwa pasukan
Bhutan harus mundur dan masuk kembali ke dalam benteng. Mendengar ini, Gak Bun
Beng terkejut dan cepat dia pun mengatur pasukan itu bersama Jayin untuk
mundur, meninggalkan pasukan musuh yang mengejar sambil bersorak-sorak.
Akhirnya semua pasukan dapat ditarik ke dalam benteng dan pintu gerbang segera
ditutup rapat dan penjagaan dilakukan ketat, anak panah dan batu-batu
dihujankan keluar sehingga pihak musuh yang mengejar terpaksa mundur kembali.
Bun Beng
segera menemui Puteri Milana. Puteri ini merasa agak gelisah sebab ternyata
bahwa pihak lawan amat kuat. Tadi dia menarik pasukan karena selagi pasukan
induk berperang di luar, di empat penjuru benteng pihak musuh berusaha
menyerbu. Maka terpaksa dia menarik pasukan dan memperkuat penjagaan sehingga
usaha penyerbuan dari empat penjuru dapat digagalkan dengan menghujankan anak
panah dan batu-batu.
Ketika
dicacahkan, dalam perang tadi ada seperempat bagian pasukan yang tewas atau
tertawan musuh. Biar pun pihak musuh juga banyak kehilangan pasukan, akan
tetapi tetap saja jumlah mereka masih amat banyak, dan Tambolon tentu saja
masih dapat mendatangkan bala bantuan dari luar, sedangkan pihak Bhutan sudah
terkurung dan tak dapat mengharapkan bantuan dari mana pun karena Kerajaan Ceng
di timur terlalu jauh letaknya, sedangkan negara-negara tetangga tidak ada yang
mau mencampuri urusan itu. Sayang bahwa Kerajaan Bhutan tidak pernah
berhubungan terlalu baik dengan Tibet, kalau tidak, tentu Tibet dapat membantu
mereka.
“Besok harus
ada penentuan,” Puteri Milana berkata ketika mereka berunding. “Kalau musuh
dibiarkan mengepung lebih lama, tentu mereka akan bisa memperkuat keadaan,
mendatangkan bala bantuan dan hal itu akan berbahaya sekali. Yang paling
penting, Tambolon harus dapat ditewaskan. Dialah yang menjadi biang keladi.
Kalau sudah tidak ada orang yang mempunyai wibawa dan pengaruh besar di antara
suku-suku bangsa petualang itu, pasti persatuan mereka akan membuyar.”
“Akan
tetapi, kekuatan pasukan kita kalah banyak,” Gak Bun Beng berkata.
“Karena itu,
besok kita harus mengerahkan semua tenaga dan besok kita memberi isyarat kepada
Panglima Sangita dan Tek Hoat agar mereka menyergap dan memecah kekuatan dan
perhatian musuh.”
“Bagaimana
dengan siasat kita semula yang telah kita bicarakan dengan Tek Hoat?” Bun Beng
mengingatkan kepada kekasihnya dan juga sumoi-nya itu.
Milana
tersenyum. “Malam nanti, menjelang pagi, siasat itu boleh dilaksanakan. Dan
pagi-pagi sekali, selagi mereka kacau-balau, kita lalu menyerbu. Mudah-mudahan
saja sergapan selagi mereka kacau itu akan mampu menghancurkan jumlah mereka
yang lebih besar.”
Malam itu
sunyi. Pihak musuh memang beberapa kali mencoba untuk menerobos melalui
berbagai jurusan, namun karena penjagaan dilakukan ketat sekali, semua usaha
mereka gagal dan banyak di antara mereka yang menjadi korban anak panah dan
batu-batu yang disambitkan dari atas. Mereka berusaha melepas anak panah berapi
ke dalam kota raja melalui tembok benteng, akan tetapi tembok itu terlalu
tinggi dan usaha membakar kota raja itu dapat digagalkan oleh regu-regu pemadam
kebakaran yang memang sudah dipersiapkan oleh pihak Bhutan sebelumnya.
Malam itu,
para pimpinan di Bhutan tidak ada yang tidur, hanya mengaso sambil duduk di
tempat masing-masing. Lewat tengah malam, menjelang pagi, Puteri Milana dan Gak
Bun Beng keluar dari kamar dan dua orang sakti ini lalu mementang gendewa.
Terdengar tali gendewa menjepret dan tampaklah beberapa kali sinar kemerahan
meluncur di angkasa seperti bintang-bintang pindah tempat. Itulah isyarat yang
mereka berikan kepada Tek Hoat dan pasukannya untuk mulai dengan siasat mereka,
untuk turun tangan.
Sesudah itu
mereka menanti. Tidak lama kemudian, menjelang pagi, mulailah terdengar
keributan di bawah sana, di luar tembok kota raja dan mulailah nampak api besar
bernyala-nyala dan asap di dalam sinar api merah membubung ke angkasa. Makin
lama makin banyaklah api yang mengamuk, kemudian terdengar teriakan-teriakan
dan suara perang di antara api dan di waktu menjelang pagi itu. Pasukan
pengawal istimewa yang dipimpin oleh Tek Hoat dan Sangita telah mulai bergerak!
Puteri
Milana tersenyum memandang keluar. “Pemuda itu memang hebat,” bisiknya lirih
akan tetapi cukup terdengar oleh Bun Beng.
“Tidak
mengecewakan menjadi cucu tiri Suhu...,” berkata pula Bun Beng dan mereka
bersiap-siap bersama para penglima untuk menyerbu ke luar bersama pasukan
mereka begitu saatnya tiba.....
***************
Kita
tinggalkan dulu kota raja Bhutan yang dikepung musuh, yaitu pasukan yang
terdiri dari suku-suku bangsa Nomad yang dapat dibujuk oleh Tambolon sehingga
terkumpul menjadi barisan yang amat besar jumlahnya dan yang mengancam
keselamatan Kerajaan Bhutan, dan mari kita mengikuti perjalanan Ceng Ceng yang
mengalami pukulan batin di Pegunungan Yin-san itu.
Setelah
terbukanya topeng yang menutupi muka Topeng Setan, yang telah tidak bernyawa
dan sekaligus membuka rahasia pendekar itu bahwa Topeng Setan yang telah
melimpahkan budi kepadanya yang telah berkorban untuknya, yang dipercaya dan
disayangnya itu bukan lain adalah Kok Cu pemuda laknat yang memperkosanya, yang
dibencinya dan yang hendak dibunuhnya, maka seketika lenyaplah segala arti
kehidupan bagi Ceng Ceng. Musuh besar yang paling dibencinya itu ternyata juga
merupakan penolong yang paling disayangnya, dan kini telah mati! Baru terasa
olehnya betapa selama ini dia hidup berdasarkan hati benci dan sayang. Dan
begitu orang yang dibenci dan disayangnya mati, mati pula dasar hidupnya. Ceng
Ceng menjadi seorang yang seolah-olah tidak bersemangat lagi, seperti boneka
hidup!
Keinginannya
hanya satu, kalau boleh dinamakan keinginan, yaitu kembali ke tempat asalnya,
di mana dia dibesarkan dan untuk... mati di tempat itu, di pegunungan luar kota
raja Bhutan, bekas tempat tinggal kakeknya.
Seperti
telah diceritakan di bagian depan, perjalanannya ini disertai oleh Kim Hwee Li,
gadis cilik yang nekat minta menjadi muridnya dan ditemani pula oleh Pendekar
Siluman atau Pendekar Super Sakti, Suma Han Majikan Pulau Es. Sungguh merupakan
kelompok yang aneh sekali! Seorang pendekar besar yang namanya mengguncangkan
dunia persilatan, yang namanya saja sudah cukup membuat orang-orang jahat
menjadi gentar dan tokoh-tokoh kang-ouw menjadi kagum, kini melakukan
perjalanan bersama seorang gadis yang sudah lenyap gairah hidupnya, dan seorang
anak perempuan yang lincah, bengal, puteri dari seorang datuk sesat yang amat
kejam, yaitu Ketua Pulau Neraka, Hek-tiauw Lo-mo.
Karena
ditemani oleh Pendekar Super Sakti, perjalanan ke barat daya itu berjalan
lancar dan tidak ada yang berani mengganggu mereka. Kadang-kadang, kalau
melalui daerah berbahaya, Suma Han menggandeng tangan kedua orang gadis itu dan
membawa mereka berjalan seperti terbang berloncatan melewati jurang-jurang
dalam dan lebar sehingga diam-diam Ceng Ceng yang seperti boneka hidup itu
menjadi kagum bukan main, sedangkan Hwee Li bersorak-sorak girang kalau
mendapatkan dirinya dapat pula ‘terbang’ tanpa duduk di atas punggung
rajawalinya.
Perjalanan
itu lancar dan cepat. Dan pada suatu hari tibalah mereka di suatu daerah padang
rumput yang sudah dekat dengan kota raja Bhutan, karena sebetulnya daerah ini
sudah termasuk wilayah Bhutan, dekat dengan perbatasan di timur. Dan pada sore
harinya, di tepi daerah padang rumput ini, tibalah mereka di sebuah
perkampungan suku bangsa Nomad yang mengembala ternak.
Mereka ini
adalah peternak-peternak Nomad yang selalu berpindah tempat dan selalu hidup di
dekat padang-padang rumput di mana mereka dapat membiarkan ternak kambing
mereka makan sekenyangnya. Untung bagi Pendekar Super Sakti dan dua orang gadis
itu bahwa yang berada di perkampungan peternak itu adalah suku bangsa yang
tidak liar dan yang suka hidup damai. Maka mereka bertiga diterima oleh mereka
sebagai tamu-tamu dan dipersilakan duduk ikut makan minum bersama mereka.
Ternyata
malam itu suku bangsa peternak Nomad ini sedang mengadakan keramaian untuk
merayakan pahlawan-pahlawan mereka yang menang dalam perang. Tentu saja
Pendekar Super Sakti tidak tahu bahwa kepala suku bangsa ini bersama puluhan
anak buahnya, terbujuk pula oleh Tambolon dan ikut menggabungkan diri untuk
memerangi Bhutan! Dan malam hari itu, suku bangsa ini merayakan kemenangan para
pahlawan mereka yang kabarnya telah mengepung kota raja Bhutan dan yang
dianggapnya sebagai suatu kemenangan gemilang.
Dan
sukarnya, di antara suku bangsa ini hanya ada beberapa orang saja yang dapat
berbahasa Han, itu pun tidak lengkap sehingga sukar sekali bagi Suma Han dan
dua orang gadis itu untuk bicara dengan mereka. Dengan bahasa tangan yang serba
tidak lengkap, tiga orang tamu ini hanya dapat menangkap bahwa suku bangsa itu
sedang merayakan pesta ‘menang perang’, akan tetapi tidak jelas perang dengan
siapa dan di mana! Akan tetapi, Suma Han yang tidak mau mencampuri urusan
mereka dan merasa sudah untung diterima sebagai tamu, tidak ingin menyelidiki
lebih lanjut dan ikut pula berpesta makan minum sekenyangnya.
Hwee Li yang
bengal itu tak mau tinggal diam. Setelah kenyang makan minum, melihat
kegembiraan suku bangsa itu, dia meninggalkan dua orang teman seperjalanannya
untuk menonton keramaian. Bermacam-macam pertunjukan diadakan. Ada pertunjukan
adu gulat, ada pula adu domba, tari-tarian, nyanyian dan lain-lain. Tetapi yang
paling menarik hati Hwee Li adalah pertunjukan yang dilakukan oleh seorang yang
agaknya berasal dari India, memakai sorban kuning dan orang ini meniup sebatang
suling mengiringi gerakan seekor ular cobra yang meliak-liukkan tubuhnya
seperti seorang penari yang genit. Para penonton merasa ngeri karena maklum
akan bahayanya gigitan ular cobra yang amat beracun ini maka mereka menonton
agak menjauh dan tempat pertunjukan ini pun berada di sudut perkampungan, dekat
pintu pagar yang mengitari perkampungan itu.
Tentu saja
Kim Hwee Li tertarik sekali karena gadis cilik ini memang sejak kecil biasa bermain-main
dengan segala macam ular, dari yang kecil sampai yang paling besar, dari yang
jinak sampai yang paling buas dan beracun. Yang membuat dia terheran dan geli
hatinya adalah suara suling yang ditiup oleh orang bersorban itu. Suara suling
itu melengking tidak pernah ada putusnya, seolah-olah orang itu tidak pernah
menarik napas, dan lucunya, lenggak-lenggok ular itu tepat dengan irama suling
seolah-olah ular itu mengerti pula akan lagu yang ditiup melalui suling.
Karena amat
tertarik, tanpa disadarinya, Hwee Li melangkah dekat, bahkan memasuki lingkaran
penonton yang berjongkok agak jauh. Beberapa orang berseru dalam bahasa yang
tidak dimengerti oleh Hwee Li, akan tetapi jelas bahwa nadanya melarang gadis
itu mendekat. Mereka itu kelihatan khawatir, akan tetapi Hwee Li menoleh kepada
mereka, tersenyum dan mengangkat tangan memberi isyarat agar mereka tak
mengkhawatirkan dia. Lalu dia pun berjongkok di dekat orang bersorban sambil
mengawasi gerak-gerik ular itu.
Orang India
bersorban itu menggunakan tangan kirinya untuk memberi isyarat mengusir Hwee Li
sedangkan tangan kanannya tetap memegang dan mempermainkan lubang-lubang suling
yang ditiupnya. Akan tetapi Hwee Li yang sudah tertarik sekali dan timbul rasa
gembiranya bertemu ‘kawan lama’, yaitu seekor ular berbisa seperti cobra itu,
sama sekali tidak mempedulikan orang India itu. Bahkan sekarang Hwee Li
menggerak-gerakkan dua lengannya yang kecil panjang, digerak-gerakkan dengan
amat lemasnya bagai dua ekor ular menari-nari! Tangannya dibentuk seperti
kepala ular dan lengannya seperti badan ular, melenggak-lenggok dan meliuk-liuk
amat lemasnya.
Para
penonton yang mula-mula merasa khawatir, kini menjadi geli dan tertarik, bahkan
ada yang memuji karena memang indah sekali gerakan kedua lengan tangan Hwee Li,
seolah-olah gadis cilik itu seorang penari ular yang amat pandai. Akan tetapi
seruan-seruan pujian menjadi seruan-seruan keheranan bercampur kekhawatiran
ketika mendadak ular cobra itu kini meninggalkan
keranjang,
meninggalkan orang India dan menghampiri Hwee Li sambil menari-nari, matanya
mencorong dan mulutnya mendesis-desis, lehernya mekar makin lebar.
Orang
bersorban itu terbelalak, matanya melotot saking heran dan penasaran melihat
betapa ularnya, ular yang dipeliharanya bertahun-tahun dan selalu taat pada
sulingnya itu kini mendadak saja meninggalkannya dan suara sulingnya tak lagi
berpengaruh. Dia menjadi penasaran, sulingnya ditiup makin kuat sehingga
lehernya menggembung besar seperti leher cobra itu, matanya melotot karena dia
menahan napas terlalu lama. Benar saja, ular itu terkejut dan menengok, lalu
bergerak kembali ke tukang suling.
“Trak-trak...
cek-cek-cek...!”
Tiba-tiba
Hwee Li membunyikan jari-jari tangannya dengan jalan menjentrekkan jari tengah
dan ibu jarinya, disusul suara lidah dan bibirnya dan suara itu membuat si ular
cobra kembali menengok kepadanya. Terjadilah ‘adu kekuatan’ antara suara suling
dan suara jari tangan dan mulut Hwee Li, saling menarik ular itu yang kelihatan
ragu-ragu. Akan tetapi akhirnya ular itu bergerak ke arah Hwee Li, lalu
lehernya ditangkap tangan Hwee Li dan ular itu dengan sikap manja lalu
melingkarkan tubuhnya pada tangan gadis cantik itu, lidahnya menjilat-jilat dan
nampaknya jinak bukan main!
Orang
bersorban itu bukan orang bodoh. Dia tahu bahwa gadis cilik ini bukan orang
sembarangan, melainkan seorang ‘pawang ular’ yang hebat, maka dia menghentikan
tiupan sulingnya, bangkit berdiri dan menjura ke arah Hwee Li sebagai
penghormatan, kemudian menyodorkan keranjang ular, agaknya minta agar Hwee Li
mengembalikan ular itu kepadanya. Para penonton juga menjadi kagum, ada yang
bertepuk tangan dan tempat itu menjadi berisik sekali karena semua oreng
membicarakan kelihaian gadis cilik ini dan menduga-duga siapa adanya pawang
ular cilik yang hebat ini.
Akan tetapi
Hwee Li memandang kepada orang bersorban itu dengan sinar mata tidak senang dan
menghina, apa lagi ketika melihat banyak di antara penonton memberi mata uang
dan barang-barang hadiah lain kepada Si Pemilik Ular itu. Dia membiarkan ular
cobra itu melingkar di lengan dan lehernya, kemudian dia berkata, “Kau orang
yang kejam dan tak tahu malu, menggunakan ular untuk mencari uang! Kau menyiksa
ular ini dengan sulingmu, memaksanya menari-nari agar kau mendapatkan uang.
Huh, tak tahu malu!”
Setelah
berkata demikian, Hwee Li lalu meninggalkannya sambil membawa pergi ular cobra
itu. Tentu saja orang bersorban menjadi marah. Dia sudah pernah merantau ke
timur dan sedikit-sedikit dia dapat juga berbahasa Han.
“Nona,
tunggu...! Kau kembalikan ularku!” katanya marah.
Hwee Li
berhenti melangkah, kemudian membalikkan tubuhnya. “Apa? Siapa bilang ini
ularmu? Dia tentu ular yang bebas dan kau tangkap lalu kau paksa mencarikan
uang untukmu!”
“Kembalikan!”
Orang India itu membentak.
“Tidak!”
Hwee Li juga membentak.
Dan kini dia
lalu melepaskan ular itu dan menggebahnya dengan suara tertentu. Ular itu
terlihat terkejut dan merayap pergi, lalu menghilang di dalam semak-semak yang
tebal.
“Kurang
ajar!” Orang bersorban itu marah sekali.
Dia lalu
mengeluarkan seekor ular dari dalam saku bajunya. Ular ini kecil saja, sebesar
kelingking dan panjangnya hanya satu jengkal, kulitnya belang-belang merah
hitam. Dengan ular ini di tangan, jari-jari tangannya yang coklat panjang
menjepit leher ular, orang bersorban itu menyerang Hwee Li!
Gadis cilik
ini tersenyum mengejek, membiarkan ular itu menggigit lengannya, kemudian
dengan gerakan cepat dia menotok pergelangan tangan orang India itu. Dia adalah
puteri Hek-tiauw Lo-mo, tentu saja lihai sekali dan totokannya membuat tangan
orang India itu menjadi lumpuh, jepitan jarinya pada leher ular terlepas dan
ular kecil itu cepat membalik dan menggigit ibu jari tangannya.
Orang India
itu menjerit, membuang ularnya kemudian dia berjingkrak-jingkrak sambil
memegangi ibu jari tangannya yang tergigit ular beracun itu. Ada pun Hwee Li
dengan tenang saja mengobati luka di lengannya. Dia sudah kebal terhadap
gigitan ular yang bagaimana beracun pun, karena di Pulau Neraka adalah pusat
segala macam ular beracun maka dia pun hanya mengobati lukanya saja, bukan
memunahkan racunnya yang tidak akan mengganggunya sedikit pun juga. Akan
tetapi, orang India itu ketakutan setengah mati karena dia maklum bahwa gigitan
ular kecil itu amat berbahaya dan dia tidak tahu bagaimana caranya mengobatinya.
Para
penonton menjadi ikut sibuk karena terjadinya hal yang tidak mereka sangka itu.
Karena tidak mengerti bahasanya, maka para penonton yang tadi melihat orang
India itu lebih dulu menyerang, tidak ada yang menyalahkan si gadis cilik, apa
lagi melihat gadis cilik itu pun terkena gigitan ular kecil. Hanya yang membuat
mereka terheran-heran adalah, kalau gadis cilik itu tenang-tenang saja, mengapa
orang India ini menjadi begitu ketakutan dan kini berjingkrakan sambil
menangis?
Tiba-tiba di
antara penonton muncul seorang gadis remaja yang menerobos masuk. Dia amat
cantik jelita, sukar dikatakan siapa yang lebih cantik antara dia dan Hwee Li,
karena keduanya memiliki kecantikan khas masing-masing, hanya gadis ini lebih
dewasa dari pada Hwee Li.
Gadis ini
dengan alis berkerut memandang kepada Hwee Li, kemudian menghampiri orang India
itu, mengeluarkan sebungkus obat dan dengan cekatan dia menggunakan sebuah
pisau kecil merobek ibu jari itu, mengeluarkan darahnya dan membubuhkan obat ke
ibu jari itu, kemudian membalutnya dengan robekan baju orang India itu sendiri.
Dan orang India itu berhenti menangis, agaknya luka beracun itu seketika
menjadi sembuh. Orang India itu lalu menjura dengan dalam sampai tubuhnya
hampir terlipat menjadi dua kepada nona yang tanpa banyak bicara telah
mengobatinya itu.
Kini, nona
itu berdiri menghadapi Hwee Li, sambil bertolak pinggang, sikapnya galak bukan
main seperti seorang guru memarahi muridnya! “Kau sungguh bocah yang kejam dan
perlu dihajar!” Nona itu menudingkan telunjuknya ke arah hidung Hwee Li.
“Masih
sekecil ini sudah main-main dengan ular berbisa dan melukai orang! Kalau sudah
besar kelak tentu akan menjadi iblis betina!”
Hwee Li
tentu saja tidak takut. Dia meruncingkan bibirnya. Lincah dan manis sekali,
akan tetapi juga membayangkan sifat kebengalannya. “Phuih, sombongnya! Baru
bisa menyembuhkan gigitan ular begitu saja lagaknya sombong seolah-olah telah
menjadi Kwan Im Pouwsat! Padahal kau ini tentu hanya Nona penjual obat yang biasa
berteriak-teriak di pasar-pasar. Apa sih anehnya?”
Nona muda
itu bukan lain adalah Teng Siang In. Sebagai anak dari mendiang Yok-sian Si
Dewa Obat, tentu saja dia adalah seorang yang ahli dalam hal pengobatan.
Setelah menjadi murid See-thian Hoat-su, di sepanjang perjalanan kalau melihat
tumbuh-tumbuhan yang mengandung obat mujarab, dia tidak dapat menahan diri
untuk tidak mengambilnya dan dia lalu mengumpulkan bahan-bahan obat yang
penting-penting di antaranya obat penawar luka-luka berbisa. Maka dengan mudah
dia mampu mengobati orang India itu.
Seperti kita
ketahui, Siang In juga memiliki watak lincah jenaka dan galak, maka kini
berhadapan dengan Hwee Li yang bengal, diejek sebagai penjual obat di pasar,
Siang In menjadi marah sekali. Biar pun dia belum sempat digembleng oleh
See-thian Hoat-su, namun dia sudah pernah belajar ilmu silat bersama kakaknya,
maka kini dia cepat menyerang Hwee Li.
Akan tetapi,
biar pun dia lebih muda, Hwee Li puteri Ketua Pulau Neraka itu jauh lebih
lihai. Dengan gesit dia mengelak dan balas menyerang. Terjadilah perkelahian di
antara dua orang gadis cilik yang sama-sama cantik jelita ini, dan kejadian ini
amat menarik hati dan menggembirakan hati para suku bangsa liar yang memang
menganggap perkelahian sebagai tontonan yang mengasyikan, apa lagi kalau
dilakukan oleh dua orang gadis yang demikian cantiknya.
Setelah
saling serang selama belasan jurus, Siang In mulai terdesak dan beberapa kali
sudah dia menerima tamparan tangan Hwee Li. Dia menjadi marah sekali dan
mulailah Siang In yang galak itu memaki-maki. Tak lama kemudian, berkelebat
bayangan yang gesit dan tahu-tahu Ceng Ceng sudah tiba di tempat perkelahian itu.
Semua orang
makin kagum dan gembira melihat datangnya seorang gadis dewasa yang amat cantik
dan gagah perkasa, yang dengan mudah melerai dua orang gadis muda yang sedang
berkelahi mati-matian itu, hanya dengan menengahi dan menangkis pukulan-pukulan
mereka.
“Berhenti,
jangan berkelahi!” Gadis yang bukan lain adalah Ceng Ceng itu berseru. “Hwee
Li, mundur kau!”
“Subo, dia
kurang ajar!” Hwee Li berkata. “Mentang-mentang dia menjadi tukang obat di
pasar, dia sombong dan dia yang lebih dulu menyerangku.”
“Bocah
setan!” Siang In yang beberapa kali kena ditampar Hwee Li masih marah-marah
sekali. “Muridnya setan, gurunya tentu iblis!” Dia kini malah memaki Ceng Ceng
untuk melampiaskan kemendongkolan hatinya karena dia tadi ditampari dan belum
sempat membalas sudah dipisahkan.
“Hemm,
apakah kau benar tukang obat yang pandai?” Ceng Ceng menghampiri sambil
mengerutkan alisnya, tidak senang mendengar maki-makian gadis cantik itu.
Pertanyaan
yang sewajarnya ini oleh Siang In dianggap penghinaan pula, maka dia lalu
menjawab, “Aku tukang obat atau bukan, setidaknya lebih bersih dari pada kalian
guru dan murid iblis yang mengganggu orang!” Dan Siang In langsung lalu
menerjang dan memukul Ceng Ceng.
Ceng Ceng
adalah seorang wanita yang berwatak keras, dan pada saat itu dia sedang dilanda
kedukaan hebat. Maka melihat sikap Siang In dia sudah menjadi marah sekali.
“Bocah
lancang dan sombong! Cobalah kau obati ini kalau bisa!” Ceng Ceng sudah
menggerakkan tangan kirinya.
“Plakkk...!
Oughhh...!”
Siang In
terpelanting dan roboh, pundaknya kena dipukul oleh Ceng Ceng. Biar pun tubuh
Ceng Ceng sudah bersih dari hawa beracun berkat anak naga, akan tetapi gadis
ini tentu saja masih menguasai pukulan beracunnya dan Siang In tentu saja tidak
kuat menahan pukulan beracun ini dan dia roboh.
“Ehh, Siang
In, kau kenapa...?” Tiba-tiba seorang kakek tua renta memasuki tempat itu dan
para penonton menjadi makin tegang. Kakek itu memeriksa pundak Siang In dan dia
mengerutkan alisnya, lalu bangkit menghadapi Ceng Ceng.
“Hemmm...
agaknya aku pernah bertemu dengan engkau, Nona yang bertangan kejam. Sungguh
kejam sekali kau menjatuhkan pukulan beracun kepada muridku. Hayo kau keluarkan
obat penawarnya, jangan sampai aku orang tua menjadi kehilangan sabar
kepadamu,” kata kakek itu yang bukan lain adalah See-thian Hoat-su.
“Subo, dia
ini tentu pembual yang suka menjual obat di pasar-pasar, inilah macamnya tabib
palsu yang beroperasi di pasar-pasar. Jangan layani dia!” Hwee Li mengejek.
Ceng Ceng
memandang kakek itu. “Muridmu inilah yang lancang, mencampuri urusan muridku
dan lebih dahulu menyerang muridku, mengandalkan kepandaian mengobati. Sekarang
biarlah dia atau engkau mengobati luka bekas tanganku itu. Hwee Li, mari kita
pergi!”
Akan tetapi
baru saja Ceng Ceng dan Hwee Li membalikkan tubuhnya, terdengar kakek itu
berseru, “Tahan dulu! Lihat, apakah kalian mampu menahan serangan jubahku ini!”
Ceng Ceng
dan Hwee Li membalikkan tubuhnya, bersiap menghadapi kakek itu yang disangkanya
akan menyerang mereka. Tetapi mereka melihat kakek itu menanggalkan jubahnya,
lalu melemparkan jubah itu ke arah mereka dan... Ceng Ceng dan Hwee Li terkejut
bukan main ketika jubah itu tiba-tiba menjadi ‘hidup’, bahkan telah menyerang
mereka kalang-kabut, menghantam mereka berdua dengan lengan jubah seolah-olah
digerakkan oleh setan!
“Hiiiiiihhh...,
tolongggg, Subo...!” Hwee Li menjerit-jerit dan berusaha mengelak ke sana-sini
dengan perasaan tegang dan seram.
Akan tetapi
Ceng Ceng sendiri pun kalang-kabut oleh amukan jubah itu! Para penonton kini
makin menjauh karena orang Nomad sederhana ini amat percaya tahyul dan kini
melihat sehelai jubah dapat mengamuk, mereka tentu saja menjadi ketakutan.
Ceng Ceng
sendiri selama hidupnya belum pernah mengalami hal seperti ini. Mukanya yang
memang sudah muram itu menjadi makin pucat, matanya terbelalak dan beberapa
kali dia bergidik dan merasa ngeri. Jubah itu benar-benar telah menjadi
‘hidup’! Biar pun dia pandai dan tenaganya juga amat kuat, tentu saja dia
kewalahan melawan sehelai jubah yang hidup! Dipukul betapa keras pun, tentu
saja jubah itu tidak merasakan apa-apa sebaliknya tamparan-tamparan ujung
lengan jubah itu mendatangkan rasa panas.
“Hiiiihhhh...
tolongg... takuttt... Locianpwe... tolong, Locianpweee...!” Hwee Li
menjerit-jerit dikejar oleh jubah itu yang menampari pinggulnya sampai terasa
panas dan pedas.
Mendadak
muncul Pendekar Super Sakti yang tahu-tahu sudah berdiri di situ dengan sikap
tenang. “Hemmm, menggunakan ilmu menggoda anak-anak perempuan, sungguh
merupakan watak kekanak-kanakan saja!”
Dengan
tongkatnya Pendekar Super Sakti menuding dan... jubah itu seperti ketakutan,
seperti seorang kanak-kanak yang ketakutan, dan lari kepada ayahnya. Jubah yang
seperti hidupp itu kini ‘memasuki’ lagi tubuh dan kedua lengan See-thian
Hoat-su dan telah dipakainya kembali.
Sejenak
kedua orang itu saling pandang. Ceng Ceng yang masih pucat dan Hwee Li yang
masih gemetaran itu memandang dari tempat jauh, sedangkan Siang In juga sudah
bangkit duduk dan menonton. Orang-orang yang tadinya menjauhkan diri, kini
berani lagi agak mendekat akan tetapi tetap saja agak jauh dan mereka
berjongkok untuk menonton apa yang selanjutnya akan terjadi.
Sampai lama
kedua orang tua itu saling pandang. Kemudian See-thian Hoat-su tertawa
bergelak, “Ha-ha-ha-ha, hampir tidak dapat aku percaya. Benarkah aku berhadapan
dengan Pendekar Super Sakti, tocu dari Pulau Es yang juga terkenal sebagai
Pendekar Siluman yang tersohor itu?”
Pendekar
Super Sakti belum pernah mengenal kakek ini, juga belum pernah mendengar
namanya, maka dengan tenang dan sikap sederhana dia menjawab, “Saya memang
datang dari Pulau Es.”
“Ha-ha-ha-ha,
bagus, bagus! Kalau dicari sampai mati pun belum tentu dapat jumpa! Pendekar
Siluman, kabarnya engkau di samping memiliki kepandaian silat yang tidak
terkalahkan, juga amat kuat di dalam ilmu sihir. Nah, aku See-thian Hoat-su
memang paling suka main-main dengan ilmu sihir, maka pertemuan ini tak boleh
dilewatkan begitu saja. Mari kita main-main untuk melihat siapa yang lebih kuat
di antara kita.”
“See-thian
Hoat-su, kita bukan anak kecil lagi. Perlu apa kita bersikap seperti anak kecil
yang suka pamer? Kalau ada persoalan di antara kita, apakah tidak lebih baik
kita selesaikan secara damai?” Suma Han berkata.
“Ha-ha-ha-ha,
justru tidak ada persoalan! Ada pun kecil tidak berarti, dan aku tadi pun hanya
main-main saja dengan mereka.” Tiba-tiba pandang mata See-thian Hoat-su
mengeluarkan sinar mencorong yang aneh. “Pendekar Siluman, kulihat tongkatmu
itu bukan sembarangan tongkat, lihat dia pandai terbang...!”
Pendekar
Super Sakti menghela napas panjang. “Sesukamulah, Hoat-su.”
Dan dia
membiarkan tongkatnya terlepas dari tangannya dan sekali See-thian Hoat-su
menggerakkan tangannya, tongkat itu benar-benar melayang di udara, di antara
mereka. Pendekar Super Sakti hanya bersedakap dan bersikap tenang saja. Semua
orang yang menonton menjadi melongo saking herannya, melihat tongkat butut itu
melayang-layang di antara dua orang kakek itu, seolah-olah tongkat itu adalah
sebuah benda hidup.
“Pendekar
Siluman, lihat tongkatmu menjadi harimau yang akan menelanmu sendiri,
ha-ha-ha!” Terdengar suara See-thian Hoat-su. Dia berbicara sambil
tertawa-tawa, seperti orang berkelakar saja, akan tetapi di dalam suaranya itu
terkandung kekuatan mukjijat yang amat berwibawa.
Semua orang
yang berada di situ menjadi pucat mukanya dan melotot penuh rasa ngeri dan
takut ketika melihat betapa tongkat yang tadinya melayang-layang dan
bergerak-gerak seperti hidup itu tiba-tiba kini telah berubah menjadi seekor
harimau yang amat besar dan yang menggereng dengan suara menggetarkan tempat
itu dan harimau itu meringis, memperlihatkan taringnya seperti hendak menyerang
kakek berkaki buntung sebelah itu.
“Kau keliru,
Hoat-su. Tongkatku itu tidak menjadi harimau, melainkan menjadi seekor naga
yang hendak menyerangmu!” Pendekar Super Sakti berkata, suaranya halus tenang
namun juga mengandung wibawa yang amat kuat.
Para
penonton sekarang menjadi makin ketakutan, ada yang menggigil dan tidak dapat
bangkit berdiri, kedua kaki mereka menggigil dan mata mereka makin lebar
terbelalak ketika melihat betapa harimau besar itu tiba-tiba saja berubah
menjadi seekor naga yang amat buas dan yang bersikap marah hendak menyerang
Kakek See-thian Hoat-su!
See-thian
Hoat-su menggerak-gerakkan kedua tanganya di udara dan bentuk naga itu berubah
lagi menjadi bentuk harimau, akan tetapi tidak lama, karena segera berubah lagi
menjadi bentuk naga seperti yang dikatakan oleh Pendekar Siluman tadi.
Terjadilah adu tenaga sihir yang amat aneh dan orang-orang yang menonton di
situ makin lama menjadi makin ketakutan.
Siapa yang
tidak akan merasa ngeri melihat tongkat butut itu berubah-ubah bentuknya antara
bentuk harimau dan bentuk naga, bahkan kadang-kadang ‘pertandingan’ itu
sedemikian hebatnya hingga ada kalanya tongkat itu berubah menjadi seekor
harimau yang tubuh bagian belakangnya berbentuk naga, atau malah seekor naga
yang tubuh belakangnya berbentuk harimau! Tentu saja semua orang menjadi
ketakutan dan makin lama mereka makin mundur menjauhi dua orang kakek yang
mereka anggap siluman-siluman itu.
Setelah
mengadu kekuatan sihir beberapa lama, akhirnya See-thian Hoat-su terpaksa
mengakui keunggulan Pendekar Super Sakti ketika tongkat itu sepenuhnya berubah
menjadi seekor naga yang beterbangan dan mengancam kepala kakek dari barat itu.
“Hebat
engkau, Pendekar Siluman. Biar aku mengakui keunggulanmu!” katanya sambil
menghentikan pengerahan tenaga mukjijat.
Suma Han
mengangkat tangannya dan ‘naga’ itu terbang kembali ke tangannya dan berubah
lagi menjadi sebatang tongkat.
“See-thian
Hoat-su, engkau sudah tua sekali akan tetapi masih suka main-main seperti
seorang anak-anak saja.” Pendekar Super Sakti menegur.
“Ha-ha-ha-ha,
memang orang tua bukan lain hanyalah anak-anak yang tubuhnya besar. Anak-anak
suka bermain-main dengan barang-barang mainan, orang-orang tua juga suka
bermain-main dengan pikiran-pikiran dan nafsu-nafsu keinginannya sendiri. Tidak
begitukah?”
Suma Han
tersenyum. “Engkau benar, Hoat-su. Harap kau orang tua suka memaafkan kalau dua
orang temanku yang muda itu tadi melakukan kesalahan terhadapmu.” Suma Han
menuding ke arah Ceng Ceng dan Hwee Li.
Akan tetapi
dia tersenyum melihat Hwee Li dan nona cantik murid kakek itu ternyata sudah
duduk berdekatan dan bicara dengan asyik dan dalam suasana bersahabat! Memang
demikianlah. Hwee Li dan Siang In yang keduanya mempunyai watak yang hampir
sama, ternyata sudah bersahabat, bahkan Hwee Li telah setengah memaksa subo-nya
untuk mengobati Siang In. Tentu saja tidak ada lagi persoalan di antara mereka,
bahkan mereka lalu bersahabat.
“Bagaimanakah
Majikan Pulau Es yang berada jauh di utara bisa tersesat sampai ke tempat ini?”
Kakek See-thian Hoat-su yang tidak biasa bersikap hormat terhadap siapa pun
juga itu bertanya.
“Aku sedang
mencari puteraku, Hoat-su. Barangkali engkau melihatnya. Dia bernama Suma Kian
Bu...”
“Heee, Siang
In. Bukankah kau mengenal seorang pemuda yang bernama Kian Bu?” tiba-tiba kakek
itu memanggil muridnya.
Mendengar
disebutnya nama itu, Siang In memandang kepada gurunya dengan kedua pipi
berubah merah sekali. Akan tetapi dia lalu meninggalkan Hwee Li dan mendekati
gurunya, memandang kepada Pendekar Super Sakti dengan penuh selidik.
“Tentu saja
aku mengenal dia, Suhu,” jawabnya.
“Bagus!”
Suma Han berseru girang. “Di mana kau terakhir bertemu dengan dia, Nona?”
“Nanti
dulu,” Siang In menjawab, “Siapakah Locianpwe yang aneh ini dan mengapa pula
bertanya tentang dia?”
“Ha-ha-ha,
bocah tolol. Yang berdiri di depanmu ini adalah Pendekar Siluman dari Pulau Es,
ayah dari pemuda itu.”
Siang In
terkejut sekali dan cepat dia menjura dengan hormat. “Maafkan saya...”
Pendekar
Super Sakti tersenyum. Seorang dara yang cantik jenaka dan pantas menjadi murid
seorang sakti seperti See-thian Hoat-su, pikirnya.
“Aku hanya
ingin tahu di mana engkau bertemu dengan dia akhir-akhir ini, Nona?” Dia
mengulang pertanyaannya.
“Di dalam
hutan... pada saat terjadi pencegatan yang dilakukan gerombolan Tambolon
terhadap rombongan pengawal Puteri Bhutan.” Gadis itu lalu bercerita, akan
tetapi tentu saja dia tidak menceritakan betapa dia telah dicium oleh pemuda
itu!
Pendekar
Super Sakti mengerutkan alisnya. “Kalau menurut perkiraanmu, ke mana sekarang
perginya anakku yang suka bertualang itu, Nona?”
“Dia agaknya
diam-diam mengawal Sang Puteri Bhutan, dan tentu sekarang sudah berada di tapal
batas Bhutan dan...” Siang In menoleh ke kanan kiri. Melihat banyak orang
anggota suku bangsa penggembala itu menonton, ia lalu berkedip dan mendekati
Pendekar Super Sakti, berbisik, “Mereka ini adalah suku bangsa yang terbujuk
oleh Tambolon, sekarang Tambolon sedang memerangi Bhutan dan saya berani
bertaruh bahwa putera Locianpwe itu sedang ikut perang membela Bhutan.”
Melihat
Siang In tadi mendekati Suma Han dan berbisik-bisik pelan, Ceng Ceng yang
menaruh curiga lalu mendekat pula. Dia terkejut mendengar bahwa Bhutan diserang
oleh Tambolon, maka dia pun lalu berkata kepada Pendekar Super Sakti, “Kalau
begitu, saya harus cepat ke sana untuk membantu...”
See-thian
Hoat-su tertawa. “Ha-ha-ha, kami guru dan anak tidak mau mencari keributan,
kami mempunyai urusan pribadi sendiri, maka maafkanlah kami yang sekarang harus
pergi. Hayo, Siang In!” Dia memegang tangan muridnya dan pergi dengan cepat.
Siang In melambaikan tangan kepada mereka terutama kepada Hwee Li yang dibalas
pula oleh Hwee Li.
Setelah guru
dan murid itu pergi, Pendekar Super Sakti berkata kepada Ceng Ceng, “Kita harus
berhati-hati dan jangan sembrono, Nona. Lebih baik kita mendekati lebih dulu
pimpinan suku bangsa ini dan mencari keterangan dari mereka.”
Baru saja
dia berkata demikian, para penonton yang merasa kagum kepada pendekar kaki
buntung ini yang tadi telah memperhatikan kehebatan ilmu sihirnya sehingga
mereka yang menonton menjadi kagum dan juga takut, kini bergerak minggir dan
memberi jalan dengan sikap hormat kepada tiga orang yang berpakaian jubah lebar
dan lebih mewah dari pada pakaian mereka semua. Kiranya mereka ini adalah tiga
orang pimpinan suku bangsa itu yang mendengar akan kehebatan ilmu sihir dari
kakek berkaki buntung sebelah, juga kehebatan seorang dara muda yang
mengalahkan orang India ahli bermain ular.
Dengan sikap
ramah tiga orang kepala suku itu lalu mengundang Pendekar Super Sakti dan dua
orang dara cantik itu sebagai tamu kehormatan. Kesempatan ini tentu saja
disambut dengan baik oleh Pendekar Super Sakti. Mereka kemudian diajak memasuki
perkemahan dan dijamu dengan masakan-masakan yang terbuat dari daging domba,
menerima minuman yang bagi mereka merupakan minuman khas dan mewah, yaitu susu
domba.
Pendekar
Super Sakti, Ceng Ceng dan Hwee Li mendengar penuturan mereka melalui seorang
penerjemah, bahwa memang benar mereka itu merupakan suku bangsa yang berpihak
kepada Raja Tambolon yang kini sedang memerangi Bhutan.
“Kami
membutuhkan bantuan orang-orang pandai seperti Anda,” kata kepala suku tertua
sambil memandang Suma Han penuh perhatian. “Karena di pihak tentara Bhutan
terdapat pemimpin-pemimpin yang amat pandai, bahkan seorang panglima wanita
berada di sana memimpin pasukan pertahanan Bhutan. Kabarnya panglima wanita itu
adalah puteri Kerajaan Ceng yang amat lihai. Ia dibantu oleh seorang laki-laki
setengah tua yang luar biasa tinggi ilmunya, juga terdapat seorang pemuda yang
luar biasa.”
Mendengar
ini, Pendekar Super Sakti lalu menduga-duga dengan hati girang. Panglima wanita
Kerajaan Ceng itu siapa lagi kalau bukan Milana, anaknya sendiri? Dan pemuda
lihai itu tentulah Suma Kian Bu.
“Baiklah,
kami akan melihat-lihat peperangan itu kalau kalian suka membawa kami ke sana,”
katanya dengan girang.
Kepala suku
itu menjadi girang dan pada keesokan harinya, berangkatlah serombongan orang
laki-laki muda dari suku bangsa itu yang dipilih sebagai tenaga-tenaga bantuan
untuk pasukan Raja Tambolon yang sedang sibuk mengurung kota raja Bhutan.
Pendekar Super Sakti dan dua orang gadis itu ikut bersama mereka menuju ke
medan peperangan. Karena suku bangsa liar itu sudah mengenal jalan dengan baik,
maka perjalanan dapat dilakukan dengan amat cepatnya, dengan memotong jalan
melalui pegunungan, menunggang kuda-kuda yang sudah terlatih baik.
Akan tetapi,
sebelum mereka tiba di perkemahan yang didirikan oleh barisan pengurung kota
raja Bhutan, ketika rombongan mereka tiba di lapangan terbuka, mereka terkejut
sekali mendengar bunyi melengking tinggi dari atas, apa lagi ketika mereka
memandang dan melihat seekor burung rajawali yang besar dan berbulu hitam
menyambar turun sambil mengeluarkan bunyi melengking keras. Bubarlah pasukan
itu dan pemimpin mereka lalu mementang gendewa, membidik ke arah rajawali.
“Jangan
panah...!” Pendekar Super Sakti berseru, namun terlambat, anak panah itu telah
meluncur ke arah burung.
“Hek-tiauw,
awas panah...!” Hwee Li yang telah mengenal burungnya itu berseru keras.
Akan tetapi
penyerangan itu terlalu ringan bagi rajawali hitam. Dengan mudahnya dia
menyampok anak panah itu dengan kakinya, lalu dia menukik dan hendak menyerang
ke arah kepala suku yang memanahnya tadi.
Akan tetapi,
dengan sekali bergerak Pendekar Super Sakti telah mencelat dari atas kudanya,
memapaki rajawali hitam yang menyambar turun itu.
“Plak!
Desss...!”
Rajawali
terpental dan terdengar teriakan kaget dari atas punggungnya. Kiranya ada orang
yang menunggang rajawali itu.
“Ayah...!”
Hwee Li berteriak ketika mengenal orang itu.
Sedangkan
Hek-tiauw Lo-mo juga terkejut mendengar suara anaknya. Dia tadi amat kaget
ketika serangkum hawa yang kuat keluar dari tangan Pendekar Super Sakti,
membuat burungnya terpental. Maka kini melihat puterinya berada di situ, dia
menjadi girang dan juga heran. Setelah menyuruh burung rajawalinya turun, dia
pun meloncat ke atas tanah.
“Ayah...!
Kau sungguh terlalu, Ayah, selalu meninggalkan aku!” Hwee Li berseru dengan
wajah bersungut-sungut.
Sementara
itu, rombongan suku bangsa liar itu terbelalak dengan muka pucat. Tentu orang
ini bukan manusia, pikir mereka, melainkan dewa yang tinggal di langit dan kini
turun menunggang burung raksasa untuk menghukum. Maka dua puluh lebih
orang-orang yang tidak pernah takut menghadapi lawan manusia itu kini
menjatuhkan diri berlutut!
Akan tetapi
Hek-tiauw Lo-mo tidak mempedulikan mereka, juga tidak mempedulikan puterinya
setelah sekilas pandang melihat puterinya sehat-sehat saja, melainkan dia
memandang dengan penuh perhatian kepada kakek yang sebelah kakinya buntung dan
yang tadi membuat rajawalinya terpental. Sampai lama kedua orang ini berdiri
saling pandang karena Suma Han juga sudah meloncat turun dari kudanya setelah
tadi menyelamatkan pimpinan rombongan yang diserang rajawali hitam. Sedangkan
Hwee Li sudah lari ke dekat burung rajawalinya itu dan merangkul lehernya.
“Aih,
hek-tiauw, kau telah sembuh...?” katanya sambil membelai kepala burung rajawali
itu yang mengeluarkan suara menguik seperti seekor anjing yang dibelai
majikannya.
Hal ini
membuat semua orang suku bangsa liar itu menjadi bengong dan semakin ketakutan.
Kiranya rombongan tiga orang yang hendak membantu mereka itu adalah golongan
dewa!
“Kau...
kau... tak salah lagi! Kau tentu Pendekar Siluman Suma Han, Majikan Pulau Es!”
Akhirnya Hek-tiauw Lo-mo berseru keras, dengan sedikit keraguan masih menempel
di dalam suaranya.
“Hek-tiauw
Lo-mo, engkau seharusnya berada di Pulau Neraka yang telah kau rampas dan
kuasai,” kata Suma Han, nada suaranya keras dan berwibawa. “Tahukah engkau
tempat apa yang kau rampas dan kuasai itu? Tempat pembuangan dan siapa sudah
menetap di sana tidak boleh pergi lagi dari pulau itu, karena kepergiannya
berarti hanya menyebar malapetaka. Kembalilah kau ke Pulau Neraka.”
“Ha-ha-ha-ha!”
Hek-tiauw Lo-mo tertawa bergelak. “Sudah puluhan tahun aku ingin sekali bertemu
dengan Pendekar Siluman sebelum aku mati dan selalu tidak pernah ada
kesempatan. Siapa tahu sekarang bertemu di sini, sungguh girang sekali hatiku.
Ingin aku merasakan sendiri kehebatan Pendekar Super Sakti atau Pendekar Siluman
yang namanya menggetarkan kolong langit.”
Setelah
berkata demikian Hek-tiauw Lo-mo menggerakkan kedua lengannya. Terdengar suara
berkerotokan dan dari kedua tangannya mengepul uap hitam! Agaknya karena maklum
akan kelihaian Suma Han, kakek ketua Pulau Neraka ini telah mengerahkan ilmu
Hek-coa-tok-ciang (Tangan Beracun Ular Hitam) dan bagaikan badai mengamuk dia
lalu menerjang Pendekar Super Sakti.
“Wuuuutttt...
syuuuuttt...!”
Angin yang
dahsyat menyambar, membuat pasir dan debu beterbangan saking hebatnya serangan
yang dilakukan oleh kakek ini. Rombongan suku bangsa liar itu terkejut dan
ketakutan, cepat mereka mundur dan berusaha menenangkan kuda mereka yang
meringkik ketakutan dan meronta berusaha melarikan diri.
“Hemmm...!”
Suma Han mengeluarkan seruan.
Tubuhnya
telah mencelat ke kiri dengan gerak loncat Soan-hong-lui-kun menghindarkan
serangan Hek-tiauw Lo-mo. Akan tetapi kakek Pulau Neraka ini sudah menyerang
lagi, menubruk seperti seekor singa kelaparan dengan kedua tangan terpentang
dan jari-jarinya membentuk cakar singa. Kembali Suma Han menggunakan kecepatan
gerakan kaki tunggalnya, membiarkan lawan menubruk tempat kosong.
“Ayaaaah...
jangan...!” Hwee Li berteriak.
“Sssttt,
Hwee Li, jangan mencampuri urusan orang tua!” Ceng Ceng berseru mencegah
muridnya karena dia tahu betapa berbahayanya kalau muridnya itu mendekati dua
orang sakti yang sedang bertanding itu. Dia maklum akan kelihaian dan bahayanya
Hek-tiauw Lo-mo, bahkan dia pernah terluka parah oleh tokoh Pulau Neraka itu.
Maka kini, berhadapan dengan Majikan Pulau Es, Ketua Pulau Neraka itu bertemu
lawan dan tentu pertandingan itu akan hebat dan berbahaya sekali.
Hwee Li
tidak berani bersuara lagi, lebih-lebih melihat burung rajawali hitam itu
menjadi gelisah dan dia tahu bahwa kalau dia melepaskan burung itu, tentu
burung itu akan membantu ayahnya dan mengeroyok Pendekar Super Sakti. Maka dia
yang tidak ingin melihat pendekar yang dia tahu amat baik hati itu dikeroyok,
lalu merangkul leher burungnya dan menenangkannya, seperti rombongan itu
menenangkan kuda masing-masing.
“Haaaihhh...
waaahhhh!”
Hek-tiauw
Lo-mo masih menyerang terus dengan dahsyat dan bertubi-tubi sampai dua puluh
empat jurus dia menerjang terus menerus dan sambung menyambung tanpa memberi
kesempatan sedikit pun kepada lawannya. Akan tetapi hal ini bukan berarti bahwa
Suma Han terdesak. Sama sekali tidak, melainkan pendekar itu memang hanya
mengelak saja, mengandalkan gerakan Soan-hong-lui-kun yang kecepatan gerakannya
tidak ada keduanya di dunia. Pukulan-pukulan Hek-coa-tok-ciang membuat di
sekeliling dua orang itu tampak uap hitam berhamburan dan bau amis memenuhi
udara.
“Hemm, kau
sungguh tak tahu diri, Hek-tiauw Lo-mo!” terdengar seruan Pendekar Super Sakti.
Tiba-tiba
saja tubuhnya lenyap dari depan mata lawan, tahu-tahu dari belakang lawan
tangannya melayang dan membalas serangan-serangan itu. Hek-tiauw Lo-mo
terkejut, membalik sambil menangkis, namun tubuh lawannya berkelebat dengan
kecepatan yang luar biasa dan sudah lenyap lagi, tahu-tahu menyerang dari
kanan. Dia cepat mengelak dan demikianlah, Hek-tiauw Lo-mo sekarang hanya
mengelak dan menangkis karena tubuh lawannya bergerak terlalu cepat sehingga
sukar dia ikuti dengan pandang mata!
“Pendekar
Siluman, jangan menggunakan ilmu siluman, hayo kau hadapi aku secara jantan!”
teriaknya marah dan juga jeri.
“Hek-tiauw
Lo-mo, apa yang kau maksudkan dengan cara jantan?”
“Heiiittttt!”
Hek-tiauw Lo-mo berteriak nyaring dan sinar hitam tipis menyambar ke arah
berkelebatnya bayangan Pendekar Super Sakti yang menunda serangan-serangannya
karena melayani lawan bicara.
“Plakkk!”
Jala itu
kena sambaran hawa pukulan tangan kiri Pendekar Super Sakti dan... robek
seperti terbakar. Itulah pukulan Hui-yang Sin-ciang yang sudah mencapai
puncaknya sehingga benda pusaka yang tahan api itu masih tidak mampu bertahan
menghadapi pukulan itu.
“Keparat!”
Hek-tiauw Lo-mo makin marah dan dia kini menghantam sambil berteriak, “Hadapi
pukulanku ini!”
“Hemm...!”
Pendekar Super Sakti berdiri tegak, mengempit tongkatnya sehingga dia hanya
berdiri dengan satu kaki, kedua tangannya menerima hantaman kedua tangan lawan.
“Dessss...!”
Tubuh
Pendekar Super Sakti yang hanya ditopang oleh sebelah kaki seperti seekor
burung bangau berdiri dengan satu kaki itu bergoyang-goyang, seperti batang
padi tertiup angin, akan tetapi tubuh Hek-tiauw Lo-mo terlempar dan terbanting
roboh lalu bergulingan. Ketika dia meloncat bangkit lagi, matanya menjadi
merah, mukanya pucat dan dia mengusap sedikit darah yang mengalir keluar di
ujung bibirnya! Sejenak dia memandang penuh kebencian, penuh kemarahan, akan
tetapi juga penuh takjub akan kehebatan lawan yang sudah bertahun-tahun
dianggapnya sebagai musuhnya yang nomor satu di dunia ini.
Sejenak
mereka berpandangan dari jarak sekitar lima meter, kemudian Hek-tiauw Lo-mo
menunduk, membungkuk lalu membentak, “Pendekar Siluman, kau sambutlah ini kalau
memang kau jantan...!” Lalu tubuh Ketua Pulau Neraka itu bergerak lari ke depan
dengan kepala di depan, persis seperti seekor kerbau menyerang dengan
tanduknya. Kepalanya menuju ke arah perut Pendekar Super Sakti.
Pendekar ini
terkejut sekali melihat kenekatan lawan, akan tetapi dia tidak bergerak
menyingkir, bahkan lalu menerima serudukan nekat itu dengan perutnya yang
kecil.
“Capppp...!”
Kepala
Hek-tiauw Lo-mo seolah-olah memasuki rongga perut Pendekar Super Sakti, tubuh
kakek Pulau Neraka ini kaku seperti sebatang kayu sehingga kakinya lurus ke
belakang. Mendadak kedua tangannya bergerak menghantam ke arah kedua pundak
Pendekar Super Sakti, akan tetapi pendekar ini telah terlebih dulu menggerakkan
kedua tangannya menyambut hantaman itu!
“Plakkk!”
Dua pasang telapak tangan itu bertemu dan melekat.
“Locianpwe,
jangan bunuh ayahku...!” Tiba-tiba Hwee Li yang masih merangkul rajawali hitam
itu berseru nyaring.
Sejenak
Pendekar Super Sakti mengerling ke arah bocah itu, lalu terdengar mulutnya
mengeluarkan bunyi melengking nyaring yang membuat semua kuda rombongan suku
bangsa liar itu meringkik ketakutan dan membuat rajawali hitam juga meronta-ronta
ketakutan. Berbareng dengan pekik melengking ini, tubuh Hek-tiauw Lo-mo
terlempar ke arah puterinya dan terbanting jatuh.
“Aduuuhhhh...!”
Tanpa tertahankan lagi Ketua Pulau Neraka ini mengeluh, kemudian
menggoyang-goyang kepala mengusir kepeningan, sekilas memandang ke arah lawan
yang masih berdiri tegak dan tenang, kemudian secepat kilat dia menyambar
pinggang Hwee Li dan meloncat ke atas punggung rajawali hitam yang segera
menggerakkan sayapnya terbang dari tempat itu.
“Hwee
Li...!” Ceng Ceng berseru kaget.
“Ayah,
lepaskan aku...! Aku mau ikut Subo...!” Hwee Li meronta-ronta akan tetapi tidak
mampu melepaskan diri dari rangkulan ayahnya dan tak lama kemudian burung itu
sudah terbang tinggi dan lapat-lapat terdengar tangis Hwee Li.
“Ohhh...,”
Ceng Ceng mengeluh.
“Dia diajak
pulang oleh ayahnya, perlu apa disesalkan? Dan anak itu memang perlu berdekatan
dengan ayahnya. Agaknya hanya anaknya itu saja yang akan mampu merubahnya,”
kata Pendekar Super Sakti. Ceng Ceng diam saja dan memang peristiwa ini hanya
sebentar saja menggores hatinya yang sudah menjadi layu.
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment