Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Kisah Sepasang Rajawali
Jilid 20
Hatinya
memaki, akan tetapi kesadarannya memperingatkannya bahwa tidak adil dan tidak
tepatlah kalau dia memaki dan menyalahkan suheng-nya. Gak-suheng adalah seorang
laki-laki sejati, pikirnya, tepat seperti yang dikatakan Syanti Dewi, dan
suheng-nya itu tidak menerirna Syanti Dewi sehingga dara jelita ini merubah
cintanya menjadi cinta seorang anak kepada ayahnya atau seorang murid kepada
gurunya. Aih, betapa dia amat tidak berharga! Seorang yang sudah setengah tua
seperti suheng-nya saja mampu merebut hati seorang dara seperti Syanti Dewi,
mengapa dia yang jauh lebih muda tidak mampu? Apakah dia kurang tampan? Kurang
gagah? Mungkin kurang jantan! Pikiran demi pikiran bergelombang dan
mengaduk-aduk hati Kian Bu ketika dia kembali ke istana enci-nya.
Senja telah
lewat, malam mulai tiba dan Kian Bu langsung menuju ke kamarnya, hampir tidak
melihat dan tidak menjawab penghormatan para pengawal yang berjaga di depan
istana enci-nya itu. Ketika memasuki kamarnya, langsung saja dia melempar
tubuhnya ke atas pembaringan, telentang dan menatap langit-langit kamar.
“Bu-te,
bagaimana...?” Kian Lee mendekat, duduk di tepi pembaringan dan memandang wajah
adiknya yang pucat dan tidak bersemangat itu.
Kian Bu tadi
juga tidak melihat bahwa kakaknya termenung di dalam kamar itu, kini melihat
kakaknya mendekatinya, dia bangkit dan mereka berdua duduk di tepi ranjang.
“Lee-ko...
aku menyesal sekali tentang... Lu Ceng...” Kian Bu berkata dengan suara halus
penuh iba.
Kian Lee
menggeleng kepala. “Jangan kau pedulikan aku, Bu-te. Bagaimana dengan engkau?
Sudahkah kau...”
“Sudah, dan
dia... dia ternyata tidak cinta kepadaku, Lee-ko...”
“Ahhh...?”
Kian Lee hampir tidak percaya dan dia menatap wajah adiknya penuh selidik.
“Dia sudah
mencinta orang lain...”
“Hemmm...?”
“Dia
mencinta Gak-suheng.”
“Hehhh...?!”
Kian Lee mengeluarkan seruan heran dan kaget sambil meloncat turun.
“Gak-suheng?”
Melihat
wajah kakaknya seperti orang yang penasaran dan marah, Kian Bu cepat
menjelaskan. “Dia telah berterus terang bahwa dia mencinta Gak-suheng, akan
tetapi Gak-suheng tidak mencintanya sehingga dia merubah cintanya sebagai cinta
anak terhadap ayah, atau murid terhadap guru...”
“Aahhhh...
sungguh aneh, dan Gak-suheng baru saja pergi tanpa pamit.”
“Pergi ke
mana? Mengapa tanpa pamit?”
“Entah, Enci
Milana yang memberi tahu dan kulihat mata Enci Milana merah bekas tangis,
mukanya pucat dan sinar matanya layu, mengandung kedukaan besar. Entah mengapa
aku tidak tahu.”
“Hemm,
mengapa tiba-tiba timbul peristiwa-peristiwa tidak menyenangkan di antara kita
bersaudara ini?” Kian Bu menunduk dan tertekan batinnya.
“Engkau
tidak mengajak dia pergi dari istana untuk menghindarkan pernikahan itu?” Kian
Lee bertanya.
“Dia tidak
mau karena katanya aku melakukan itu karena cinta. Dia tak dapat membalas
cintaku dan dia hanya minta agar aku menyampaikan permohonannya kepada Enci
Milana supaya ditolong.”
Kian Lee
merangkul adiknya. “Aih, adikku... mengapa kita semua gagal dalam bercinta?
Mengapa kita harus menghadapi kekecewaan ini?”
“Lee-ko...”
Kakak
beradik itu saling peluk dan memejamkan mata, karena pantang bagi kedua orang
pemuda gagah perkasa ini untuk mencucurkan air mata kedukaan.
“Bu-te,
kuatkan hatimu. Dan kau sampaikan nanti kepada Enci Milana bahwa aku pun
terpaksa harus pergi lebih dulu, sekarang juga.”
Kian Bu
memandang muka kakaknya yang muran dan tidak ada sinarnya itu. “Lee-ko...
kau... kau tenggelam dalam kedukaan!”
“Tidak lagi,
Bu-te, aku harus... dan kau juga, harus dapat mengatasi ini semua, jangan
biarkan diri kita tenggelam oleh kegagalan cinta. Aku akan pergi mencari
Hek-tiauw Lo-mo, harus kubalas jahanam itu yang telah memukul... Ceng Ceng
dengan pukulan beracun sehingga mengancam keselamatan nyawanya.”
“Lee-ko, aku
ikut...”
“Jangan
Bu-te. Sebaiknya kita berpisah dulu. Kita masing-masing perlu waktu untuk
mengembalikan ketenangan batin... dalam keadaan begini aku lebih suka
menyendiri dulu, Bu-te. Sebetulnya sudah tadi aku hendak pergi, akan tetapi aku
menanti kau kembali. Lihat, pakaianku pun sudah kusiapkan.” Kian Lee lalu
mengambil buntalan pakaiannya dan setelah menepuk-nepuk pundak adiknya dengan
mata merah karena menahan turunnya air mata, dia lalu pergi meninggalkan istana
itu dengan cepat.
Kian Bu
duduk termenung, merasa kasihan sekali kepada kakaknya dan aneh, begitu dia
merasa kasihan kepada kakaknya, penderitaannya sendiri terlupa dan dadanya
terasa ringan! Dia tidak tahu bahwa duka timbulnya dari pikiran, dari ingatan
yang membayang-bayangkan segala kekecewaan dan segala macam hal yang terjadi
dan yang tidak menyenangkan dirinya. Begitu ingatan ini tidak ada, begitu
pikiran beralih ke lain hal, maka dengan sendirinya duka pun lenyap dan baru
akan muncul lagi kalau ingatan kembali ditujukan kepada hal-hal yang
mengecewakan atau tak menyenangkan tadi.
Jelaslah
bahwa Si Pembuat Duka adalah pikiran kita sendiri. Segala peristiwa yang
terjadi adalah suatu fakta yang wajar, tidak membawa duka mau pun suka, dan
suka atau duka adalah hasil permainan pikiran kita sendiri. Maka, bebas dari
pikiran berarti bebas pula dari duka! Bebas dari ingatan berarti bebas dari
masa lalu, tidak mengingat ingat lagi hal-hal yang telah lalu atau telah
terjadi, baik hal itu menguntungkan atau merugikan diri pribadi.
Kian Bu
teringat akan suheng-nya yang katanya pergi tanpa pamit, dan akan enci-nya yang
menurut kakaknya tadi seperti orang yang berduka, maka dia lalu bangkit dan
keluar dari kamarnya, menuju ke kamar enci-nya. Pintu kamar itu tertutup dan
dia mengetuknya.
“Siapa di
luar?” terdengar suara Milana setelah agak lama Kian Bu mengetuk pintu kamar
itu.
“Aku, Enci
Milana.”
“Oh, Bu-te.
Kau masuklah!”
Kian Bu
mendorong daun pintu dan memasuki kamar itu. Dia melihat enci-nya sedang rebah
di atas pembaringan dan di bawah sinar penerangan, dia melihat wajah enci-nya
pucat seperti orang sakit.
“Enci
Milana, kau kenapakah? Sakitkah?” Kian Bu menghampiri dan duduk di atas bangku
dekat ranjang.
Milana
bangkit duduk dan menggeleng kepala lemah. “Tidak, Bu-te. Engkau sudah kembali?
Bagaimana dengan Syanti Dewi?”
Kian Bu
menunduk. Tak disangkanya bahwa enci-nya juga agaknya sudah tahu bahwa dia tadi
pergi mengunjungi Syanti Dewi, dan memang Milana mendengar akan hal ini dari
Kian Lee.
“Dia... dia
menyampaikan pesan untuk mohon pertolongan darimu, Enci, agar dia dapat keluar
dari istana karena dia tidak suka akan keputusan pernikahannya itu.”
Milana
memandang tajam dan tentu saja dia melihat wajah muram adiknya itu. Sampai lama
mereka berdua diam saja, Milana memandang penuh selidik sedangkan Kian Bu lebih
banyak menunduk.
“Bu-te,
engkau... cinta kepada Syanti Dewi?”
Kian Bu
makin menunduk, dia merasa malu dan juga sedih. Akhirnya dia mengangguk dan
berkata, “Akan tetapi dia... dia tidak cinta padaku... dia mencinta orang
lain...”
Milana
diam-diam menarik napas panjang, maklumlah dia siapa yang dicinta oleh Puteri
Bhutan itu. “Tenangkan hatimu, adikku. Kiraku sebaiknya begitulah, lebih baik
mencinta namun tidak terbalas dan dengan demikian menginsyafkan kita, bahwa
cinta kita salah alamat, dari pada saling mencinta akan tetapi tidak dapat
berjodoh. Saling mencinta akan tetapi harus saling berpisah. Engkau adalah
seorang laki-laki yang memiliki kegagahan. Ditolak cintamu oleh seorang gadis
tidak perlu menurunkan semangat dan merendahkan diri, bahkan kau harus
berterima kasih dan bersyukur bahwa Syanti Dewi bersikap jujur kepadamu.”
Kian Bu mengangguk-angguk.
Sedikit nasehat itu dirasakannya tepat sekali dan sudah merupakan obat yang
manjur baginya.
“Enci
Milana, aku mendengar dari Lee-ko bahwa Gak-suheng sudah pergi. Ke manakah dia
dan mengapa tidak memberitahukan Lee-ko dan aku?”
“Entahlah...
dia sudah pergi. Kau tahu orang aneh seperti dia...!”
Milana tidak
mau banyak bicara tentang Bun Beng, juga memang dia tidak sanggup bicara banyak
tentang pria itu karena hal ini hanya akan menusuk perasaannya saja.
“Enci,
Lee-ko juga sudah pergi, dia minta agar aku memberitahukan kepadamu.”
“Ehhh?!”
Milana terkejut. “Mengapa anak itu? Ke mana dia pergi?”
“Enci,
agaknya kau tidak tahu. Sebetulnya... Lee-ko juga mengalami patah hati.”
“Heiii?
Patah hati bagaimana?”
“Dia
sesungguhnya amat mencintai Ceng Ceng, kemudian terdapat kenyataan bahwa gadis
itu adalah keponakannya sendiri.”
“Aihhh...!”
Milana terbelalak, diam-diam perasaannya makin tertusuk. Mengapa begini
kebetulan? Mereka bertiga, anak-anak dari Pendekar Super Sakti, dalam waktu
yang bersamaan semua menderita patah hati karena cinta gagal?
“Dia bilang
hendak mencari Hek-tiauw Lo-mo yang telah melukai Ceng Ceng, hendak membalas
dendam kepada kakek Pulau Neraka itu. Karena semua sudah pergi, aku pun akan
pergi sekarang juga, Enci.”
“Eh, anak
nakal! Engkau pula? Hendak ke mana kau?”
“Aku hendak
menghibur hati dan pergi malam ini juga... mungkin aku terus kembali ke Pulau
Es... atau ke mana saja, pokoknya jauh dari sini...”
Milana
menarik napas panjang. Dia mengerti apa yang dimaksudkan oleh adiknya ini yang
setelah kekecewaannya dalam kegagalan cintanya kini ingin secepat mungkin pergi
sejauh mungkin meninggalkan wanita yang menjadi sebab kepatahan hatinya itu.
“Kenapa
tidak besok saja, Adikku...?”
“Tidak, Enci
Milana. Sekarang juga aku pergi, dan harap sampaikan maafku kepada Ci-hu (kakak
ipar)... selamat tinggal, Enci.” Dia kemudian berlari ke luar untuk mengambil
pakaiannya dan malam itu juga dia pergi meninggalkan istana enci-nya.
Milana
mengerutkan alis, termenung dan membayangkan semua peristiwa yang telah menimpa
dirinya, mengikuti bayangan Gak Bun Beng yang pergi dalam keadaan patah hati
dan semangatnya, dan bayangan Kian Lee dan Kian Bu yang juga mengalami
kegagalan dalam cintanya. Tak terasa lagi, puteri yang cantik jelita dan gagah
perkasa ini meruntuhkan air mata, terisak-isak menangis di atas pembaringannya.
Gak Bun
Beng, Suma Kian Lee dan Suma Kian Bu, tiga orang laki-laki gagah perkasa itu
semua patah hati dan menderita sengsara karena wanita. Betapa banyaknya peristiwa
seperti itu terjadi di dunia ini, semenjak jaman dahulu kala sampai sekarang.
Sejak jaman
dahulu, banyak sudah tercatat dalam sejarah betapa laki-laki yang gagah
perkasa, satria-satria dan pahlawan-pahlawan, pendekar-pendekar sakti yang
sukar menemukan tandingan, akhirnya roboh oleh wanita! Banyak pula dalam
sejarah tercatat betapa kaisar-kaisar, raja-raja besar, panglima-panglima dan
pemimpin-pemimpin gemblengan, seorang demi seorang roboh tak berdaya di bawah
telapak kaki halus seorang wanita. Bahkan di dalam dongeng-dongeng kuno dari
bahasa apa pun, tentu terdapat peristiwa di mana para dewata yang memiliki
kesaktian dan kekuatan, dapat pula roboh karena wanita. Siapa pula yang tidak
mengenal cerita tentang manusia pertama, Adam yang juga runtuh karena bujuk
rayu Hawa, seorang wanita pula?
Tetapi,
benarkah demikian? Benarkah itu bahwa mereka, para pria yang jatuh itu, raja
yang kehilangan tahtanya, pahlawan-pahlawan yang kehilangan kepahlawanannya,
pendekar-pendekar yang kehilangan kegagahannya, semua jatuh karena kesalahan
wanita? Wanitakah yang bersalah sehingga kaum pria runtuh oleh kelembutan
mereka?
Tidak!
Kiranya tidaklah tepat kalau kita berpendapat demikian. Wanita pun banyak yang
menjadi korban karena hubungannya dengan pria. Hampir semua wanita yang
terperosok ke dalam lembah kehinaan, yang umumnya dinamakan pelacur, tentu akan
dapat menceritakan riwayat masing-masing yang hampir semua adalah akibat dari
perbuatan pria, atau menjadi korban hubungan mereka dengan pria. Juga dalam hal
mereka ini, tidak dapat dipersalahkan kepada kaum pria.
Bukan wanita
atau pria yang bersalah dengan terjadinya semua kegagalan hidup itu. Yang
bersalah adalah yang disebut cinta antara pria dan wanita, yang sesungguhnya
bukankah cinta sejati, melainkan cinta yang diciptakan oleh nafsu belaka. Cinta
nafsu tentu saja menimbulkan bermacam peristiwa, yang menimbulkan kenikmatan
dan kesenangan hebat, namun di lain saat bisa mendatangkan derita dan kedukaan
yang hebat pula. Karena cinta nafsu adalah penonjolan dari diri pribadi dalam
bentuk yang paling nyata, dan selama diri pribadi ditonjolkan, sudah pasti yang
ada hanyalah suka dan duka, nikmat dan derita!
Tiada yang
senikmat cinta sorgaloka turun ke dunia
membuai dan
membius manusia!
Tiada yang
selucu cinta
manusia menjadi
badut-badut dibuatnya
segala
kepalsuan dilakukannya!
Tiada yang
secelaka cinta
mendatangkan
derita tiada taranya
dunia
berubah menjadi neraka!
Akan
tetapi...,
tiada yang
seindah cinta sejati
dalam tawa
remaja puteri
Dalam sinar
matahari pagi
yang
terkandung dalam tangis bayi
dalam lautan
danau dan sungai
dalam semua
isi langit dan bumi
dalam segala
yang hidup dan mati
Cinta mulia
dan suci
tetap ADA
dan kekal abadi
apa bila AKU
TIADA lagi.....
***************
“Apa kau
bilang...?” Puteri Milana meloncat dengan kaget sekali mendengar laporan dari
seorang pengawalnya dengan muka pucat bahwa suaminya, Han Wi Kong, sedang
membuat huru-hara di istana Pangeran Liong Bin Ong dan kini sedang dikeroyok
oleh para pengawal pangeran itu.
“Hamba... hamba
dengar... Pangeran Liong Bin Ong telah dibunuhnya...”
Milana
menahan jeritnya. Sekali berkelebat tubuhnya telah lenyap dari depan pengawal
yang melaporkan peristiwa hebat itu. Bagaikan bayangan siluman saja saking
cepatnya, Milana berlari ke istana Pangeran Liong Bin Ong dan ketika dia
melayang naik ke atas genteng istana itu, dia sudah mendengar suara ribut-ribut
di bagian belakang istana. Cepat dia melayang turun.
Dua orang
pengawal berteriak dan menghadang, tetapi dua kali tangannya bergerak, dua orang
pengawal itu terpelanting ke kanan kiri seperti disambar petir. Milana terus
lari ke dalam dan ketika dia tiba di tempat yang luas di ruangan belakang
menuju ke pintu taman, dia terkejut bukan main. Pangeran Liong Bin Ong telah
menggeletak di atas lantai dengan dada tertusuk pedang yang dia kenal sebagai
pedang suaminya!
Pangeran tua
itu mati dan melihat meja yang penuh hidangan, agaknya tadi pangeran itu sedang
menjamu tamu yang agaknya suaminya itulah! Dan tak jauh dari situ dia melihat
suaminya dikepung dan dikeroyok oleh belasan orang pengawal, dan di antaranya
terdapat seorang kakek yang tidak berbaju. Kakek ini memegang sebatang gendewa
besar dan kelihatan lihai sekali sungguh pun melihat pakaian dan sikapnya dia
itu sepantasnyalah seorang pekerja di dapur atau tukang kebun di taman!
Han Wi Kong
sudah luka-luka dan dengan gagah berani panglima ini membela diri dengan tangan
kosong. Ketika dia melihat isterinya muncul di situ, dia terkejut sekali.
“Milana...,
pergilah kau...!”
“Desss...!”
Sebatang toya menghantam pundak panglima itu ketika dia menoleh kepada
isterinya. Han Wi Kong terhuyung, kemudian dia meloncat ke arah Milana.
“Cepat...
pergi dari sini... tiada jalan lain, aku membunuh pemberontak itu...”
“Wirrr-wirrr-wirrr...!”
“Awas
panah...!” Milana menjerit kaget.
“Cep-cep-ceppp...!
Aughhhh...!”
Tiga batang
anak panah yang dilepas oleh kakek telanjang baju dari jarak dekat dengan
gendewanya yang besar itu sudah menancap di lengan serta punggung Han Wi Kong.
Panglima itu mengeluh, terbelalak karena dua batang anak panah yang menancap di
punggung menancap dalam sekali, sedangkan lengannya tertembus sebatang anak
panah.
“Milana...
maafkan aku... lekas pergi... surat di atas mejaku... kau berikan dia...”
Setelah berkata demikian, Han Wi Kong roboh terguling dan tewas di saat itu
juga karena dua batang anak panah yang menancap di punggungnya itu menembus
jantung.
“Aiiihhhh...!”
Milana terbelalak memandang mayat suaminya sambil menutup mulutnya dengan
punggung tangan kanan. Kemudian dia mengangkat muka, memandang kakek telanjang
itu dan para pengawal yang sudah maju menghampiri dan mengurungnya, sepasang
matanya mengeluarkan sinar berapi-api, cuping hidungnya kembang-kempis dan
bibirnya gemetar.
Tiba-tiba
terdengar suara melengking tinggi yang nyaring dan menggetarkan semua pengawal,
suara lengking mengerikan yang keluar dari mulut kecil Puteri Milana, dan
tampak bayangan merah dari jubahnya yang lebar berkelebat ke depan. Para
pengawal terkejut dan mengangkat senjata, namun terdengar suara keras dan empat
orang di antara mereka terpental, terbentur pada dinding dan tewas seketika
dengan kepala pecah!
Para
pengawal itu adalah orang-orang pilihan yang sengaja dipelihara oleh Liong Bin
Ong untuk mengawal dirinya. Mereka adalah orang-orang kepercayaan pemberontak
itu, maka biar pun mereka tahu akan kelihaian Puteri Milana, mereka menganggap
puteri ini sebagai musuh majikannya. Bahkan laki-laki memegang gendewa itu
adalah seorang tokoh hitam yang bekerja di situ menyamar sebagai tukang masak,
padahal dia pun merupakan seorang pengawal dalam yang dipercaya dan memiliki
ilmu kepandaian tinggi.
Tadi sore
Han Wi Kong datang secara baik-baik, resminya adalah untuk mengucapkan berduka
cita atas kematian Pangeran Liong Khi Ong. Akan tetapi Liong Bin Ong yang
cerdik itu menyambut ucapan duka cita itu dengan tertawa.
“Dia mati
karena ulahnya sendiri. Siapa suruh dia memberontak terhadap pemerintah yang
sah?” kata Liong Bin Ong. “Sudah sering aku memberi nasehat, akan tetapi tidak
diturutnya. Sekarang dia tewas, itulah hukumannya, dan kita tidak perlu berduka
cita!”
Untuk
memperlihatkan bahwa dia ‘tidak ada hubungan’ dengan adiknya yang sudah
memberontak itu, Liong Bin Ong memperlihatkan kegembiraan, bahkan dia kemudian
menjamu makan kepada suami Puteri Milana yang diam-diam merupakan musuh besar
dan lawan tangguhnya itu. Milana masih terhitung keponakan pangeran ini, maka
Han Wi Kong juga masih merupakan keluarga dekat, yaitu mantu keponakan.
Mereka makan
minum di ruangan belakang dan dijaga oleh dua belas orang pengawal kepercayaan
Pangeran Liong Bi Ong. Akan tetapi, tanpa tersangka-sangka sama sekali, ketika
tuan rumah dan tamu itu sudah minum sampai setengah mabok, tiba-tiba saja Han
Wi Kong mencabut pedang dan menusuk pangeran tua itu dari depan, tepat mengenai
dadanya sehingga Pangeran Liong Bin Ong roboh dan tewas seketika. Tentu saja
peristiwa yang tidak tersangka-sangka ini tidak dapat dicegah oleh para
pengawal yang lalu menjadi marah dan mengepung serta menyerang Han Wi Kong. Keributan
ini terdengar dari luar sehingga sampai juga ke istana Puteri Milana sehingga
seorang pengawal cepat melaporkan kepada puteri itu.
Kini Milana
mengamuk. Kedukaan dan kemarahan bercampur menjadi satu membuat puteri ini
menjadi luar biasa berbahayanya. Gelang di tangan kirinya yang terbuat dari
emas itu telah berlepotan darah dan dalam waktu singkat saja, delapan orang
pengawal telah roboh oleh wanita sakti ini. Kini tinggal empat orang pengawal
bersama kakek telanjang baju yang masih melawannya, tetapi biar pun kakek itu
memiliki kepandaian tinggi dan gerakan gendewa sebagai senjatanya itu amat
kuat, namun sudah dua kali dia terhuyung kena diserempet hawa pukulan dari
tangan lembut Puteri Milana.
“Serr-serr-serrr...!”
Tiga batang anak panah meluncur, dilepas oleh kakek itu dari jarak dekat.
“Bedebah...!”
Milana memaki karena panah-panah ini mengingatkan dia akan kematian suaminya.
Cepat tangannya menyambar dan tiga batang anak panah itu telah dapat
disambarnya di udara, kemudian dia memekik dan tiga batang anak panah itu balik
dilontarkan dengan kecepatan kilat ke arah kakek itu.
Kakek itu
terkejut sekali melihat betapa wanita itu dapat menangkap tiga batang anak
panahnya dan kekagetannya inilah yang mencelakakan dia karena ketika dia
melihat berkelebatnya tiga sinar kilat menyambarnya, dia kurang cepat mengelak
sehingga sebatang di antara tiga anak panah itu menyambar tenggorokannya.
“Arrgghhhh...!”
Kakek itu mengeluarkan suara seperti seekor babi disembelih, kemudian dia
menubruk dengan nekat, menggunakan gendewanya untuk melakukan serangan
terakhir.
Namun,
Milana sudah meloncat ke samping, kakinya menendang dan tubuh kakek itu roboh
terjengkang, tewas seketika. Empat orang pengawal menjadi jeri, dan hendak
lari, namun tahu-tahu ada bayangan berkelebat melewati mereka dan ketika mereka
memandang, Puteri Milana sudah berdiri di depan mereka!
“Tidak ada
yang kubiarkan hidup!” Milana membentak.
Begitu dia
bergerak, kaki tangannya telah menyerang dan berturut-turut robohlah empat
orang pengawal itu. Baru puas rasa hati Milana dan dia cepat meloncat ke dekat
mayat suaminya, mencabuti tiga batang anak panah itu kemudian memanggul mayat
itu dan meloncat pergi, terus melarikan diri ke dalam istananya sendiri.
Dia
merebahkan mayat suaminya di atas pembaringan, teringat akan pesan suaminya dia
menoleh ke atas meja. Benar saja, di situ terdapat dua buah sampul surat kuning
yang ketika dibacanya, yang sebuah dialamatkan kepadanya dan yang sebuah lagi
dialamatkan kepada Gak Bun Beng! Dengan jari-jari tangan gemetar Milana membuka
sampul surat untuknya, membaca dengan muka pucat dan perlahan-lahan air matanya
yang tadi tertahan oleh kemarahan mulai menetes-netes ke atas surat yang
dibacanya, melunturkan tintanya.
Milana
isteriku tercinta, Hanya ada satu jalan bagi kita semua, juga bagi keselamatan
negara, yaitu aku harus membunuh Liong Bin Ong. Percayalah, aku bukan melakukan
bunuh diri dengan membuta, melainkan sudah kupertimbangkan masak-masak, demi
keselamatan negara dan terutama sekali demi kebahagiaan hidupmu. Kau bawalah
suratku dan berikan kepada Gak Bun Beng, dia patut menerima cinta kasihmu.
Selamat
tinggal.
Suamimu,
juga sahabatmu,
Han Wi Kong
“Ahhhhhh...!”
Milana menubruk ke pembaringan dan berlutut sambil menangis di depan mayat
suaminya.
Dia maklum,
dia pun mengerti mengapa suaminya melakukan perbuatan ini. Suaminya sudah tahu
bahwa dalam membunuh Pangeran Liong Bin Ong, dia pasti akan tewas. Dan memang
harus diakui bahwa satu-satunya jalan untuk menghindarkan negara dari bahaya
ancaman pangeran yang palsu hatinya itu, hanya dengan cara membunuhnya, karena
Kaisar terlampau sayang dan terlampau percaya kepada saudaranya itu.
Dan Han Wi
Kong telah sengaja melakukan itu untuk memberi kesempatan kepada dia dan Gak
Bun Beng!
“Han Wi
Kong, harap kau sudi mengampunkan aku. Di dunia ini aku tidak bisa menjadi
isterimu, biarlah di dalam kehidupan lain kelak aku akan suka menjadi apa saja
untuk melayanimu.”
Tiba-tiba
para pengawal berlari masuk dan dengan terengah-engah melaporkan bahwa Perdana
Menteri Su sendiri dengan para petugas keamanan istana telah datang, dan
pasukan itu mendapat perintah, untuk menangkap Puteri Milana!
“Jangan
melawan!” kata Milana.
Cepat dia
menyimpan dua buah surat itu ke saku bajunya, kemudian dia menggunakan pit
untuk membuat corat-coret di atas tembok kamar suaminya karena dia sudah tidak
mempunyai waktu untuk menulis surat dengan baik-baik. Kemudian, secepatnya dia
mengumpulkan beberapa perhiasan dan pakaian, membuntalnya dengan kain kuning,
menyambar pedangnya dan mengikatkan pedang dan buntalan di pundak, kemudian dia
meloncat melalui jendela kemar itu ketika mendengar derap kaki banyak orang
mendatangi ke arah kamar itu.
Ketika
Perdana Menteri Su dan para pasukan memasuki kamar, pembesar ini hanya melihat
mayat Han Wi Kong dan coretan-coretan di atas tembok yang berbunyi:
Milana akan
berterima kasih sekali kepada Perdana Menteri Su jika sudi mengurus jenazah Han
Wi Kong dengan sepatutnya.
Tertanda :
Puteri
Milana
Perdana
Menteri Su menggeleng-geleng kepala dan menarik napas panjang. Biar pun dia
tadi terkejut sekali mendengar akan peristiwa pembunuhan Pangeran Liong Bin
Ong, namun dia mengerti mengapa Han Wi Kong melakukan perbuatan nekat itu dan
diam-diam dia bersyukur karena dibunuhnya Pangeran Liong Bin Ong itu
terbebaslah negara dari ancaman bahaya besar.
Maka dia
lalu menghampiri jenazah Han Wi Kong dan tanpa ragu-ragu lagi pembesar tinggi
yang sudah tua ini menjatuhkan diri berlutut di depan pembaringan sebagai
penghormatan dan mulutnya berkemak-kemik menghaturkan terima kasih kepada Han
Wi Kong yang disebutnya sebagai seorang pahlawan bangsa! Mudah saja dia akan
membujuk Kaisar dengan mengatakan bahwa apa yang terjadi hanyalah pertikaian
pribadi antara keluarga Milana dan Liong Bin Ong, sehingga dengan demikian Han
Wi Kong tidak akan dianggap sebagai seorang musuh negara.
“Hei,
mengapa kalian bengong saja?” Setelah dia berdiri lagi dia membentak pasukan
yang dipimpin oleh seorang panglima itu. “Hayo lekas cari dan tangkap Puteri
Milana!”
Pasukan itu
kemudian lari cerai-berai. Hanya lagaknya saja Perdana Menteri Su berkata
demikian, akan tetapi diam-diam dia maklum bahwa tidak ada seorang pun di
antara pasukan itu yang akan berani menyentuh ujung jubah Puteri Milana yang
mereka kagumi dan hormati.
Maka
lenyaplah Puteri Milana dan berbareng dengan menghilangnya puteri ini dari kota
raja, hilang pula Puteri Syanti Dewi dari kamarnya tanpa ada yang tahu ke mana
Puteri Bhutan itu pergi. Hanya Perdana Menteri Su yang mengangguk-angguk dan
menduga bahwa pasti Puteri Milana yang melakukan hal itu, sengaja mengajak
Puteri Syanti Dewi lari dari istana karena tidak setuju Puteri Bhutan itu
dikawinkan dengan Pangeran Yung Hwa.
Perdana
Menteri Su merasa heran sekali dan tidak mengerti kenapa Milana melakukan hal
itu. Maka didatanginyalah Pangeran Yung Hwa dan alangkah herannya pembesar yang
bijaksana dan setia ini melihat Pangeran Yung Hwa justru kegirangan luar biasa
mendengar bahwa Puteri Syanti Dewi telah melarikan diri!
“Paman
Menteri, saya girang sekali, ahhh, saya bersyukur sekali bahwa dia telah pergi,
karena kalau tidak, tentu aku yang akan pergi lagi.”
“Ehh, kenapa
begitu, Pangeran?”
“Aku tidak
suka diharuskan menikah dengan puteri Bhutan.”
Perdana
Menteri Su memandang heran dan mengerutkan alisnya. “Ingatlah, Pangeran Muda,
dahulu engkau marah-marah dan melarikan diri dari istana karena permintaanmu
untuk menikah dengan puteri Bhutan ditolak Sri Baginda. Sekarang keinginanmu
itu dituruti, engkau malah menolak. Apa artinya ini?”
Pangeran
Yung Hwa tersenyum. “Artinya, Paman, bahwa dulu itu cintaku adalah cinta yang
mentah, cinta monyet, cinta kanak-kanak karena yang kucinta adalah bayangan
seorang gadis yang muncul karena cerita-cerita indah tentang dirinya. Dahulu
aku mencinta seorang dara yang belum pernah kulihat, cinta bayangan saja.
Sekarang, saya telah tahu apa artinya cinta, saya telah mencinta seorang dara
dari darah daging, bukan bayangan kosong belaka. Biar dia gadis biasa, aku
cinta padanya dan setelah Syanti Dewi pergi, saya pun akan pergi untuk mencari
dara yang saya cinta itu. Saya girang dapat terbebaskan dari Puteri Bhutan!”
Pangeran Yung Hwa bergembira dan bersenandung!
Perdana
Menteri Su meninggalkan pangeran itu sambil menggeleng-geleng kepalanya yang
penuh uban. Heran dia melihat ulah orang-orang muda dan makin kagum hati kakek
itu menyaksikan kekuatan cinta yang menguasai hampir seluruh kehidupan manusia.
Tanpa cinta, matahari akan kehilangan sinarnya, bunga-bunga akan kehilangan
keharumannya dan madu akan kehilangan manisnya!
Dengan
hati-hati dan cerdik, perdana menteri ini akhirnya dapat pula meredakan
kemarahan Kaisar dan mengajukan alasan-alasan masuk akal bahwa peristiwa itu
terjadi karena pertikaian pribadi antara keluarga Puteri Milana dan Pangeran
Liong Bin Ong, sama sekali tidak menyangkut urusan negara, maka hendaknya
Kaisar tidak mencampurinya. Ada pun tentang kehilangan Puteri Syanti Dewi,
Perdana Menteri berjanji akan menyebar orang untuk mencarinya dan mengusulkan
bahwa seyogianya urusan perjodohan itu ditunda saja.
“Dahulu
Paduka melamar Puteri Bhutan untuk mendiang Pangeran Liong Khi Ong, dan kalau
sekarang suami untuk Puteri itu ditukar tanpa mengadakan perundingan lebih dulu
dengan Kerajaan Bhutan, hamba kira hal itu malah akan menanamkan sakit hati
seolah-olah Paduka kurang menghargai Kerajaan Bhutan. Sebaiknya dinanti sampai
ada kabar tentang puteri itu, baru mengajukan usul perubahan ikatan jodoh itu
dengan Kerajaan Bhutan.”
Semua alasan
yang kuat diajukan oleh Perdana Menteri Su dan akhirnya Kaisar dapat dibujuk
sehingga tidak meributkan lagi peristiwa-peristiwa yang terjadi itu. Malah
Kaisar juga tidak keberatan ketika mendengar betapa Perdana Menteri Su mengurus
jenazah Han Wi Kong dan menguburkan jenazah itu di dalam kuburan keluarga
Kaisar tingkat dua, karena betapa pun juga, Han Wi Kong adalah mantu cucu dari
kaisar sendiri. Maka terlaksanalah apa yang menjadi permohonan Milana kepada
Perdana Menteri Su.
Duka timbul
dari kecewa. Kecewa timbul dari tidak tercapainya nafsu keinginan. Nafsu
keinginan adalah hasrat pengejaran terhadap sesuatu yang menyenangkan dari si
aku. Si aku timbul dari pikiran. Si aku adalah pikiran sendiri. Pikiran adalah ingatan
yang mengenang masa lalu, ingin mengejar lagi kenangan baru yang menyenangkan
dan menjauhi yang tidak menyenangkan.
Kebahagiaan
hidup, baru mungkin ada apa bila bebas dari nafsu keinginan, tidak lagi
mencari-cari, tidak lagi mengejar sesuatu seperti yang kita inginkan. Bebas
dari pikiran yang membanding-bandingkan, berambisi, berkhayal. Bebas dari si
aku. Kebebasan ini menimbulkan kewaspadaan dan kesadaran bahwa segala sesuatu
ini adalah indah dan sempurna, tidak ada kecualinya. Yang ada hanyalah kenyataannya,
apa adanya dan ini adalah wajar dan mutlak.
Bukan suka
bukan pula duka, bukan puas bukan pula kecewa, bukan nikmat dan bukan derita
karena banding-membandingkan dan semua kebalikan-kebalikan ini adalah permainan
pikiran yang memilih-milih sehingga timbullah konflik-konflik batin yang lalu
meledak menjadi konflik-konflik lahir. Kebahagiaan terletak di atas segalanya
itu, di atas dan bebas dari pikiran. Kekurangan dan kekecewaan hanya diderita
oleh mereka yang tidak mengenal kecukupan. Maka hanya mereka yang tidak
membutuhkan apa-apa lagi sajalah yang dapat menyentuh kebahagiaan.....
***************
Hawa udara
panas sekali. Terik mentari seolah-olah hendak membakar segala sesuatu di
permukaan bumi. Sinar matahari yang langsung menimpa bumi, terpantul kembali
menciptakan hawa yang gerah.
Seorang
pemuda duduk di bawah sebatang pohon besar dalam hutan itu, membuka kancing
bajunya dan meniupi leher dan dadanya. Pemuda ini berwajah tampan dan rambutnya
mengkilap hitam, dikuncir panjang berjuntai di belakang pundak kanan.
Pakaiannya sederhana, jubahnya yang hitam kebiruan lebar dan panjang, menutupi
baju dan celana sehingga membuat dia makin kegerahan. Pemuda ini adalah Suma
Kian Bu yang telah melakukan perantauan seorang diri, pergi dari kota raja di
mana hatinya untuk pertama kali mengalami pecah berantakan akibat cinta gagal.
Akan tetapi, karena dasar wataknya memang gembira, setelah merantau sebulan
lebih, luka di hatinya itu hanya tinggal bekasnya saja, tidak terasa nyeri
lagi.
“Uihhhh,
panasnya...!” Dia mengeluh.
Hutan yang
penuh pohon itu masih belum mampu melawan hawa panas yang datang dari gurun.
Daerah sekitar hutan itu adalah daerah pegunungan yang diselang-seling padang
rumput dan padang pasir. Tadi sebelum memasuki hutan, Kian Bu melewati padang
pasir yang luar biasa panasnya. Matanya silau melihat sinar matahari menimpa
pasir-pasir yang berkilauan, dan terasa benar olehnya hawa yang panas
menyerangnya dari bawah. Maka ketika dia memasuki hutan itu, hawa terasa sejuk
dan nyaman sehingga dia menjatuhkan diri di bawah pohon besar itu sambil
meniupi lehernya.
Tubuhnya
lelah sekali dan betapa nikmatnya duduk di bawah pohon, terlindung dari
sengatan terik matahari. Angin sepoi-sepoi semilir meniupi muka dan lehernya,
membuat matanya menjadi berat dan mengantuk. Betapa enak rasanya dilanda
kantuk! Sudah pasti bahwa tidak ada yang lebih nikmat di dunia ini dari pada
tidur bagi orang yang mengantuk, seperti juga makan bagi orang yang lapar dan
minum bagi orang yang haus.
“Dukk...!”
Kepalanya membentur batang pohon.
“Heh-heh-heh,
pemalas!” Kian Bu mengomel sambil tertawa ketika dia tersadar karena ketika
melenggut tadi, kepalanya terbanting ke belakang dan membentur batang pohon.
Agaknya sudah tidak berbekas lagi kepatahan hati pemuda yang berwatak gembira
ini.
Dia bangkit
berdiri, memandang ke sekeliling. Hutan itu liar dan lebat, sunyi bukan main.
Dia ingin sekali tidur barang sejenak, akan tetapi jangan-jangan ada binatang
buas dan berbisa di hutan asing ini datang mengganggunya di waktu dia tertidur
nyenyak. Maka dia lalu berdongak ke atas dan di lain saat pemuda yang memiliki
kepandaian tinggi itu sudah melesat ke atas pohon, memilih tempat yang enak di
atas cabang pohon yang besar, duduk mepet di pangkal cabang, melingkar seperti
seekor monyet dan tak lama kemudian pemuda ini sudah tertidur pulas!
Tidur
merupakan berkat bagi tubuh manusia. Tidur dengan pikiran kosong tanpa mimpi,
biar hanya sekejap saja, sudah sanggup memulihkan kesegaran tubuh, dan tidur
pulas sejam saja sudah terasa amat lama. Sebaliknya, yang membuat tidur
merupakan suatu kemalasan yang bahkan melelahkan adalah jika pikiran bekerja
terus di waktu tidur sehingga timbul mimpi-mimpi buruk.
“Clekittt...!”
“Auwwww...!”
Kian Bu terbangun dan cepat menggaruk-garuk pinggulnya.
“Sialan...
semut merah!” gerutunya ketika dia merogoh ke balik celananya dan jari-jari
tangannya menjepit seekor semut merah. Pinggulnya sudah bintul dan terasa
sangat gatal. Kiranya semut itu menyelinap masuk melalui pakaiannya dan entah mengapa,
menggigit pinggulnya.
“Huh, tentu
semut betina!” gerutunya lagi. “Kalau jantan mana mau mencubit pinggul?
Sialan!” Dia menggaruk-garuk pinggulnya, makin digaruk makin gatal.
Tiba-tiba
dia berhenti menggaruk pinggul. Ada suara derap kaki kuda! Kiranya hutan liar
ini bukannya tidak ada manusianya seperti yang dia kira semula. Makin lama
makin jelas suara derap kaki kuda menuju ke tempat itu dan tak lama kemudian
dia melihat dua orang penunggang kuda yang berpakaian sebagai ahli-ahli silat
dan bertubuh tegap-tegap dan kuat-kuat seperti tubuh orang-orang yang biasa
hidup mengandalkan kekuatan tubuhnya. Di punggung mereka terselip golok
telanjang yang mengkilap tajam. Ketika tiba di bawah pohon itu, mereka menahan
kuda mereka. Dua ekor kuda itu meringkik dan mengangkat kaki depan, hidung
mereka mendengus-dengus dan mulut mereka mengeluarkan busa.
“Sudah
jelaskah bahwa dia itu mata-mata?” tanya yang bercambang tebal.
“Tidak salah
lagi, dia mengejar kita dan kepandaiannya hebat. Kita harus cepat pulang dan
melaporkan ini kepada pimpinan. Siapa tahu kita diikuti oleh pasukan musuh.”
“Baiknya
kita berpencar di sini, dan kalau dapat terbebas dari dia, kita berkumpul di
dusun Ma-cin,” kata pula yang bercambang tebal.
“Baik!”
Dua orang
itu lalu berpisahan, yang seorang membalapkan kuda membelok ke kiri, dan yang
seorang lagi ke kanan. Keadaan menjadi sunyi kembali setelah derap kaki kedua
ekor kuda itu menghilang dan tak terdengar lagi. Sunyi yang menegangkan.
Kian Bu
duduk di atas cabang pohon, bersembunyi di balik daun-daun lebar sambil
termenung. Jelas bahwa dua orang itu adalah anggota suatu kelompok atau pasukan
atau gerombolan. Perkumpulan apakah yang agaknya menguasai daerah ini? Siapa
kedua orang itu dan siapa ketua mereka? Dan siapa pula orang-orang yang mereka
bicarakan tadi, yang disangka mata-mata musuh? Dia menanti sampai lama karena
mengira bahwa orang yang dibicarakan mereka berdua tadi, yang katanya mengejar
mereka, tentu akan muncul pula. Akan tetapi, sampai satu jam lebih dia menanti,
tidak juga tampak ada yang datang mengejar.
“Huh,
pengejar yang lambat dan bodoh seperti itu mana akan mampu menyusul buruan?”
Dia sudah mengomel karena merasa kesal juga menanti sebegitu lamanya di atas
pohon, dan merasa mendongkol karena dia telah terganggu dari kenikmatan tidur
siang terayun-ayun di cabang itu. Kini dia harus berjaga dengan penuh
ketegangan, namun yang dinanti-nanti tidak kunjung muncul. Siapa tidak menjadi
gemas?
“Uuuhhh,
pengejar tolol...!” Habis kesabarannya dan selagi dia hendak meloncat turun,
tiba-tiba terdengar suara orang bernyanyi! Sayup-sampai suaranya, akan tetapi
makin lama makin jelas.
Suara
seorang wanita bernyanyi. Merdu bukan main! Suara itu bening, halus dan pulen,
terbawa angin semilir memasuki telinganya mendatangkan perasaan nyaman dan
sedap! Kian Bu terbelalak heran. Suara wanita begitu merdu di hutan liar dan
sunyi ini? Jangan-jangan suara siluman itu! Yang dinantikannya adalah seorang
pengejar yang bengis, bukan orang yang suaranya mengalahkan biduanita yang
pernah didengarnya bernyanyi di kota raja! Dan isi nyanyian itu! Dia
mendengarkan penuh perhatian.
Pada usia
delapan tahun
aku mencuri
pandang di dalam cermin,
dan aku
sudah dapat menghitami alis mataku!
Pada usia
sepuluh
aku pergi ke
pesta sincia
dengan baju
baru berkembang bunga teratai!
Pada usia
dua belas
aku belajar
meniup suling,
hiasan kuku
tak pernah lepas dari jari tanganku!
Pada usia
empat belas
aku tak
berani bertemu pria,
menduga-duga
akan segera dijodohkan.
Pada usia
lima belas
aku menangis
di dalam musim bunga,
dan
menyembunyikan mukaku di balik pintu taman...
Kian Bu
tertegun. Tentu saja dia mengenal baik sajak nyanyian itu. Kian Bu telah diberi
pelajaran sastra oleh ibunya dan banyak sajak-sajak ciptaan sastrawan-sastrawan
kuno hafal olehnya. Dia ingat bahwa nyanyian itu diambil dari sajak ciptaan
pujangga Li Shang Yin yang hidup di abad ke sembilan (812-858). Li Shang Yin
terkenal dengan tulisan sajaknya, terutama sajak Tujuh Sajak Cinta dan yang
dinyanyikan suara merdu itu adalah sajak ketiga!
Kian Bu
menjadi penasaran karena sampai lama orangnya belum juga muncul. Kalau penyanyi
itu berjalan kaki, tentu jalannya lambat sekali, apa lagi kalau naik kuda.
Agaknya kudanya itu berjalan sambil makan rumput di sepanjang jalan! Akan
tetapi, wanita dengan suara seperti itu tidak pantas kalau berjalan kaki atau
naik kuda di hutan liar ini, pantasnya naik kereta. Akan tetapi dia tidak
mendengar suara roda kereta!
Kian Bu
merayap turun dari atas pohon. Kalau yang muncul seorang wanita bersuara
semerdu ini, dia tidak perlu lagi bersembunyi. Sebaliknya malah, dia ingin menemui
wanita itu dan melihat apakah orangnya juga seindah suaranya! Dengan
tergesa-gesa dia merayap turun, lalu meloncat ke bawah.
“Heiiitttt...
eihhhh...!” Kian Bu meloncat ke samping menghindarkan kakinya yang hampir
menginjak sebuah kepala orang!
Dia memandang
dengan mata terbelalak dan tengkuknya berdiri karena merasa seram. Kepala itu
berambut panjang sudah putih semua, kepala yang kecil, kepala seorang tua
renta, seorang kakek kurus yang sedang tidur mendengkur di bawah pohon,
kepalanya berbantalkan akar pohon itu.
Kian Bu
melongo. Bagaimana dan bila mana orang ini bisa berada di bawah pohon tanpa
diketahuinya? Mustahil! Kalau sudah lama, pasti tampak oleh dua orang berkuda
tadi. Kalau baru saja, bagaimana sampai dia tidak tahu? Jangan-jangan ini bukan
orang, melainkan setan, iblis hutan yang menjaga hutan itu! Dan jangan-jangan
suara merdu tadi itu pun suara peri atau siluman yang suka menjadi perempuan
cantik. Dia bergidik, akan tetapi dilawannya dengan keyakinan bahwa menurut
dongeng-dongeng mana pun juga, setan dan iblis tidak muncul di siang hari!
Dan sekarang
masih siang. Kata yang empunya dongeng, semua makhluk halus takut akan sinar
matahari. Bukan kalau begitu, bukan iblis! Kalau manusia, tentu luar biasa
sekali kepandaian kakek ini! Kiranya hanya orang dengan kepandaian setingkat
kakaknya atau dia sendiri yang akan mampu datang tanpa suara seperti itu! Kian
Bu menjadi khawatir, dan melihat orang itu tidur mendengkur, dia lalu melayang
lagi ke atas, sembunyi di dalam daun-daun sambil mengintai ke bawah. Kalau
kakek itu berniat buruk kepadanya, tentu sudah dilakukannya dari tadi, tidak
tidur mendengkur dulu di bawah pohon.
Kini
terdengar bunyi kerincingan. Masih lirih tanda bahwa suara itu masih jauh akan
tetapi suara kerincingan itu bening sekali. Tang-ting-tang-ting dan
crang-cring-crang-cring seperti perak dipukul. Dan kini terdengar lagi suara
wanita bernyanyi, suara yang merdu tadi, kini diiringi suara kerincingan
tang-ting-tang-ting itu, seolah-olah yang-kim (kecapi) yang hanya mempunyai dua
macam nada. Suaranya yang merdu itu kini bernada gembira dan jenaka.
Hujan musim
rontok, hujan musim rontok!
Tiada bulan,
tiada malam.
Berintik-rintik,
bercucuran deras!
Lampunya
padam, kasurnya dingin,
kesepian
yang menjemukan.
Si Cantik
Jelita berduka merana!
Angin barat
semilir meniup bambu di jendela,
berhenti
sebentar dan mulai lagi,
dua butir
air mata seperti mutiara
bergantung
di sepasang pipi dingin.
Betapa
sering kakanda berjanji,
Apa bila
angsa liar terbang datang...
Kakanda
melanggar janji,
angsa liar
telah datang,
namun
kakanda tidak...
Saking
kagumnya karena dia pun mengenal sajak indah ini, Kian Bu meloncat turun lagi,
lupa bahwa di bawah itu ada orang tidur. Untung rambut putih itu tampak olehnya
sehingga dia cepat berjungkir balik dan turun di balik pohon besar. Sialan,
pikirnya. Kamu mengejek aku, ya! Dia baru saja mengalami kegagalan cinta dan
sejak tadi suara itu bernyanyi tentang cinta gagal! Tapi kakek ini agaknya
menanti yang bersuara itu.
Kian Bu
menyelinap di balik batang pohon besar, tak jauh dari situ, menanti dan siap
untuk membantu kalau kakek seperti setan ini nanti menyerang si penyanyi yang
tentu saja seorang wanita... dan sepatutnya cantik pula. Suara seperti itu
sepantasnya keluar dari bibir yang mungil, mulut yang basah kecil dan segar!
Kalau tidak begitu, mau dia mempertaruhkan... kuncirnya!
Suara
berkerincing tadi makin jelas dan dari balik tempat sembunyinya, Kian Bu
memandang ke depan, sama sekali dia sudah lupa akan kehadiran kakek yang tadi
tidur mendengkur di bawah pohon. Hatinya berdebar tegang karena ingin sekali
dia melihat orang yang mempunyai suara indah itu.
Mula-mula
yang tampak adalah kuda putih kecil seperti keledai muncul di tikungan jalan.
Kuda itu mungkin keturunan keledai, pendek dan telinganya panjang seperti
telinga keledai. Leher kuda itu dipasangi kalung yang terbuat dari
kerincingan-kerincingan kecil itu sehingga selalu mengeluarkan bunyi ketika
kuda setengah keledai itu berjalan. Akan tetapi, kuda atau keledai Kian Bu tidak
peduli, yang penting adalah penunggangnya! Seorang dara remaja yang... aduhai!
Cantik manis, jelita remaja, dengan bentuk tubuh yang meranum, duduk seenaknya
di atas punggung keledai hingga Kian Bu mendengar hatinya berbisik, “Aku juga
mau menjadi keledai itu!”
Dara itu
memegang sebatang payung yang terbuka dan payung itu bergerak-gerak terkena
angin, akan tetapi tetap dipertahankan menjaga mukanya yang manis itu dari
sengatan sinar matahari.
Seperti
orang terpesona, Kian Bu lupa bahwa dia harus bersembunyi. Tahu-tahu dia sudah
melangkah keluar dari pohon besar itu, memandang kepada dara ayu beraksi dengan
payungnya di atas keledai itu sambil tersenyum, memasang ‘senyum mautnya’
karena kini sudah pulih kembali Kian Bu, menjadi seperti Kian Bu yang dahulu,
jenaka gembira dan paling suka berhadapan dengan wanita jelita!
“Selamat
siang, Nona. Wahai... suaramu tadi, nyanyianmu tadi, hebat bukan main...” Kian
Bu menegur ramah.
Dara itu
menahan keledainya, berhenti di depan Kian Bu tanpa menurunkan payungnya,
memandang penuh selidik, kemudian terdengar dia bertanya, suaranya serak-serak
basah tidak seperti nyanyian yang bening tadi, akan tetapi malah terdengar
makin menarik bagi ‘telinga keranjang’ Kian Bu.
“Apanya yang
hebat? Apakah engkau mengerti nyanyian tadi?” Agaknya dara itu menduga bahwa
Kian Bu hanyalah seorang pemuda gunung yang mencari kayu bakar di hutan itu.
“Kesemuanya
hebat dan indah! Sajak ketiga dari Lagu Tujuh Cinta karangan Li Shang Yin di
jaman Tong-tiauw itu hebat, akan tetapi sajak Yen Sian di jaman Sung-tiauw tadi
pun indah. Dan terutama sekali... suaramu amat merdu, Nona...”
Dara itu
membelalakkan matanya, dan sekali lagi tangannya bergerak....
“Treppp!”
Payung itu telah tertutup. Sekali pinggangnya yang ramping dan pinggulnya yang
melengkung itu bergerak, dia sudah meloncat turun dari punggung keledai.
Kian Bu
makin kagum melihat gadis itu sudah berdiri. Kiranya bentuk tubuhnya juga
hebat, seperti yang diduganya, setelah kini dara itu berdiri. Akan tetapi untuk
memuji tubuh orang dia tidak berani, maka biar pun sepasang matanya memandang
tubuh dara itu, mulutnya memuji keledai, “Keledaimu putih mulus dan bentuknya
mempesona!”
“Apa,
keledai? Buka matamu baik-baik, sobat. Engkau pandai mengenal sajak, akan
tetapi tidak dapat mengenal binatang keramat!”
“Hahhh...?!”
Kian Bu baru sekarang memandang keledai itu penuh perhatian karena disebutnya
binatang keramat oleh dara itu. Dia mendekati dan melihat dengan teliti dari
moncong sampai ke ekor, dari ujung telinga sampai ujung kaki, akan tetapi dia
tidak melihat sesuatu yang aneh pada binatang ‘keramat’ ini.
“Kau melihat
sesuatu yang aneh?” dara itu bertanya.
Kian Bu
menggeleng kepalanya. “Ini hanya seekor keledai biasa, hanya bulunya putih
dan...”
“Engkaulah
yang bodoh melebihi keledai!” Gadis itu mencela. “Ini bukanlah keledai
melainkan seekor kuda.”
“Hah? Kuda?
Memang mukanya tidak sebodoh keledai, akan tetapi telinganya panjang dan
kakinya pendek...”
“Agaknya
engkau seorang kutu buku yang hanya tahu tentang sajak,” gadis yang amat lincah
dan galak itu mengomel. “Ini adalah keturunan dari kuda Han-hiat-po-ma (Kuda
Keramat Berkeringat Darah) dan seekor keledai. Masih keturunan yang ketiga
puluh sembilan dari kuda tunggangan Kaisar Jenghis Khan di jaman dahulu!”
“Ahhhh...!”
Kian Bu mengangguk-angguk. “Tentu hebat sekali!”
“Tentu saja
hebat!” Dara itu lalu mengalungkan gagang payung yang bengkok itu ke sebuah di
antara telinga keledai itu dan... telinga itu menegang dapat menahan payung!
“Ha-ha,
kiranya bisa juga dipakai sebagai tempat menyimpan payung!” Kian Bu tertawa.
“Kau
menertawakan kuda keramat ini? Hemm, dasar engkau tolol. Tetapi sudahlah, aku
mau bertanya padamu.”
“Tanya?
Tanyalah!” Kian Bu tertarik sekali. Gadis remaja ini lincah, gembira dan
jenaka, begitu bebas dan terbuka, akan tetapi juga memperlihatkan keberanian
luar biasa, tidak malu-malu seperti kebanyakan gadis biasa.
“Aku mau
bertanya, apakah engkau tadi melihat orang lewat di sini?”
“Orang
lewat? Dua orang laki-laki penunggang kuda?”
“Ihhh,
bukan! Siapa yang mencari laki-laki? Cihh!”
Kian Bu
tersenyum, lalu dia teringat akan kakek yang mendengkur itu. Wah, sudah pasti
kakek itu yang dicari. Gadis manis jenaka dengan keledai aneh ini pantasnya
memang berkawan dengan kakek aneh itu. “Apakah kau mencari dia...?” Kian Bu
menoleh dan menuding ke bawah pohon di mana dia tidur tadi.
“Ehhhh...?
Heeee, ke mana dia...?” Kian Bu tertegun karena di bawah pohon itu tidak ada
apa-apanya. Jangankan seorang kakek tidur, seekor cacing pun tidak nampak.
Kian Bu
mencari-cari dengan pandang matanya, ke kanan kiri, ke atas bawah, depan
belakang, akan tetapi tidak kelihatan lagi bayangan seorang kakek. “Wah, ke
mana dia? Apakah aku mimpi...?”
Gadis itu
juga menoleh ke kanan kiri dan dia tertawa geli melihat sikap Kian Bu yang
kebingungan. Dia tertawa dengan manis sekali, mengeluarkan suara ketawa kecil
yang merdu sambil menutupi mulut dengan tangan, akan tetapi karena jari-jari
tangan yang dipakai menutupi mulut itu merenggang, jadi masih nampak deretan
gigi putih seperti mutiara di balik belahan bibir merah.
“Hi-hi-hik,
kau mencari apa?”
“Kakek tua
renta...”
“Aku juga
tidak butuh kakek-kakek! Yang kucari adalah seorang wanita!”
Kian Bu
memandang dara itu. “Seorang wanita?”
“Ya, seorang
wanita cantik sekali, pakaiannya indah menyala, mukanya bundar telur, dagunya
runcing, matanya seperti bintang kejora, berkedip-kedip dan lirikannya tajam
seperti gunting, hidungnya agak terlalu mancung, pipinya merah, bibirnya lebih
merah lagi dan senyumnya manis melebihi madu lebah. Pakaiannya indah dan dari
sutera mahal, jubahnya berwarna merah muda, ikat pinggangnya kuning dan
celananya biru, rambutnya digelung ke atas seperti puteri istana. Hemm,
pendeknya seorang wanita cantik dan kaya, dan dia amat genit, genit memikat
hati. Kau melihat dia?”
Kian Bu
melongo. Bukan karena penuturan itu, akan tetapi melongo mengikuti gerakan
bibir yang tiada hentinya bergerak ketika bicara panjang lebar itu. Bibir yang
gerakannya menggemaskan, mencas-mencos akan tetapi manis sehingga Kian Bu
merasa seolah-olah pandang matanya melekat pada bibir itu, bibir bawah yang
mempesona itu.
Gadis ini
benar-benar genit menarik, dan dia masih dapat mengatakan orang lain genit
memikat! Melihat usianya tentu tidak akan lebih dari lima belas tahun, seperti
tersebut di dalam nyanyiannya tadi. Akan tetapi ‘bocah’ ini sudah pandai
bicara, pandai mainkan bibir dan gerak bola mata, bahkan sudah pandai pula
menilai wanita lain!
“Yang
bagaimana sih yang disebut genit memikat itu?” Kian Bu menggoda, akan tetapi
sikapnya seolah-olah dia mengingat-ingat barangkali dia pernah bertemu dengan
wanita yang digambarkan oleh dara itu.
“Genit
memikat saja kau tidak tahu? Waahh, sungguh bocah gunung yang terbelakang kau!
Genit memikat adalah... aihh... bagaimana, ya?” Dara itu kelihatan tersipu,
agaknya sukar juga baginya untuk memberi penjelasan. “Pendeknya sikap yang
genit dan centil, yang mempunyai daya pikat, terhadap pria terutama. Masa kau
tidak mengerti?”
Kian Bu yang
merasa suka sekali kepada sikap dara ini, mulai menggodanya.
“Apakah kau
maksudkan, genit memikat hati itu seperti sikap ini?” Kian Bu lalu bergaya,
meliak-liukkan tubuhnya, melerok dan menjulurkan lidahnya seperti orang
menakut-nakuti anak kecil. “Beginikah genit memikat?”
“Hi-hi-hik!”
Dara itu tertawa geli, menggeleng kepalanya keras-keras. “Ahh, sama sekali
bukan!”
“Apakah
begini?” Kian Bu merubah gayanya, melotot cemberut seperti nenek-nenek marah.
“Bukan!
Bukan...! Ihh, menakutkan begitu mana bisa disebut memikat?”
“Habis
bagaimana? Coba kau beri contoh biar aku mengerti!”
Gadis itu
menjadi gemas akan kebodohan pemuda itu. “Dasar engkau yang tolol! Nah,
dengarkan baik-baik, dan lihat baik-baik, buka telinga dan matamu lebar-lebar.
Wanita yang genit memikat itu adalah seorang wanita yang pandai bergaya palsu,
tidak wajar, seperti seorang pemain sandiwara, kau pernah melihat wayang? Nah,
dia selalu beraksi di depan pria untuk memikat hati pria itu, langkahnya
dibuat-buat...”
Gadis itu
lalu melangkah hilir-mudik di depan Kian Bu, lenggangnya dibuat-buat dan karena
memang bentuk tubuhnya ramping dan lekuk-lengkungnya penuh dan padat dalam
keranumannya, belum masak benar akan tetapi tubuhnya lunak dan lemas sekali,
maka ketika dia melenggang dengan gaya dibuat-buat itu, pinggangnya berliuk
seperti batang yang-liu tertiup angin, pinggulnya seperti dua benda hidup
bergerak ke kanan kiri dan lehernya yang panjang menoleh kanan kiri!
“Selain
lenggangnya menarik, dia pun menggerak-gerakkan bibirnya dan juga matanya
menyambarkan kerling maut, seperti ini...”
Kian Bu berdiri
bengong, matanya terbelalak, mulutnya ternganga sehingga jika banyak lalat di
situ, mungkin mulutnya akan kemasukan lalat tanpa sempat dia sadari. Seluruh
perhatiannya terbetot dan semangatnya terseret karena dia sudah terpikat
benar-benar oleh peniruan sikap genit memikat dari gadis itu! Kini dia
mengikuti gerak bibir yang mencap-mencep. Dasar bibirnya itu berbentuk bagus
sekali, merah membasah, yang bawah penuh dan berkulit tipis seperti mudah
sekali pecah, kadang-kadang digigit oleh giginya yang putih, kemudian
dilepaskan lagi, dijebikan, pendeknya setiap gerak bibir itu menimbulkan
kemanisan tersendiri. Semua ini ditambah oleh matanya yang bening itu
mengerling penuh daya pikat sehingga Kian Bu merasa seolah-olah disedot dan
ingin dia melangkah mendekati gadis itu, seperti besi ditarik semberani!
“Lenggang
dan gerak bibir dan mata ini tentu saja ditambah dengan sentuhan-sentuhan
memikat untuk menjatuhkan hati pria, begini contohnya...” Kini gadis yang
melenggang hilir-mudik di depan Kian Bu itu mendekat dan sambil lewat kini
telunjuknya bergerak, mencubit lengan, menowel dagu Kian Bu.
Hampir saja
Kian Bu tidak kuat bertahan lagi. Bau sedap harum yang keluar dari dara itu
ketika mendekat, sentuhan halus telunjuk ke dagunya yang mengirim getaran sampai
ke ujung kaki dan ubun-ubun kepalanya, benar-benar membuat gadis itu amat
menarik dan memikat. Hampir saja dia lupa diri dan memeluk dengan gemas. Akan
tetapi tentu saja ditahannya keinginan ini dan dia makin bingung, makin melongo
dan bengong terpesona.
Dara itu
tertawa cekikikan dengan geli hati ketika melihat betapa pemuda tampan itu
plonga-plongo seperti seorang tolol ketika melihat dia bergaya tadi.
“Eh, kau
kenapa sih?”
Kian Bu
sadar kembali dan dia tersenyum, mengusap kepalanya seolah-olah hendak mengusir
kepeningan otaknya. “Wah, engkau hebat sekali, Nona. Ehh, sebetulnya siapa sih
yang kau cari itu? Dan mengapa kau mencarinya?”
Gadis itu
duduk di atas akar pohon, membiarkan kuda keramatnya itu terlepas begitu saja.
Kian Bu juga duduk di depannya dan gadis itu memandang wajah Kian Bu penuh
selidik, baru dia berkata, “Wajahmu mendatangkan kepercayaan di hatiku, tidak
seperti wajah orang-orang yang kutemui sebelum ini.”
Kian Bu
mengusap mukanya. “Wajahku kenapa sih?”
“Wajahmu
seperti orang tolol... hi-hik, dan orang-orang tolol merupakan orang yang boleh
dipercaya, tidak seperti orang-orang pintar yang biasanya terlalu pintar, akan
tetapi kepintarannya itu hanya untuk menipu orang lain. Eh, siapa sih namamu?
Kalau belum kenal, mana mungkin aku menceritakan keadaanku?”
“Aku Suma
Kian Bu, dan kau...”
“Namaku
Siang In, she Teng.”
“Teng Siang
In, nama yang indah, seindah orangnya.”
“Hi-hik!”
“Kenapa kau
tertawa, Siang In?”
“Kurasa kau
agaknya berdaya-upaya untuk memuji-mujiku. Apakah engkau merupakan seorang yang
genit memikat pula? Tentu saja dari golongan laki-laki! Biasanya laki-laki
memikat wanita dengan pujian-pujian.”
“Wah, kau
agaknya serba tahu saja. Siang In, aku suka bersahabat denganmu. Engkau seorang
gadis yang jujur, pandai sastra, suaramu merdu, wajahmu cantik jelita, dan kau
aneh sekali, sungguh menarik hatiku. Sekarang ceritakan, siapa yang kau cari
itu?”
“Kian Bu,
entah mengapa, begitu bertemu dengan engkau hatiku terus saja percaya penuh,
seolah-olah sudah lama aku mengenalmu. Ehh, kau tadi bilang tentang orang di
bawah pohon, yang kau cari-cari tadi. Siapakah dia?” Gadis itu tiba-tiba
memandang dengan penuh kecurigaan ke kanan kiri.
“Aku pun
heran sekali. Tadi aku melihat seorang kakek tua renta berada di bawah pohon,
tertidur mendengkur, akan tetapi dalam sekejap mata saja lenyap seperti setan.”
“Ihhh... aku
paling ngeri dengan segala setan!” Gadis itu ketakutan dan menggeser duduknya
lebih dekat dengan Kian Bu. Tentu saja pemuda itu menjadi girang dan dia
melanjutkan ceritanya.
“Tadi aku
mengaso di atas pohon itu dan aku tidak melihat ada orang datang dekat... ehhh,
tahu-tahu ada seorang kakek tua sekali tidur di bawah pohon, mendengkur dan
kakek itu rambutnya sudah putih semua, tidak seperti manusia biasa. Aku sudah
curiga karena kedatangannya yang tiba-tiba itu tidak lumrah, dan tadi... ehh,
tahu-tahu dia lenyap begitu saja. Apa lagi kalau bukan iblis penunggu hutan
ini...”
Gadis ini
makin ketakutan, mepet dan memegang lengan Kian Bu. Akan tetapi betapa kagetnya
hati Kian Bu melihat wajah gadis itu menjadi pucat sekali dan ada air mata di
pipinya. Gadis itu menangis saking takutnya! Kian Bu menjadi menyesal sekali
dan cepat dia meloncat berdiri sambil bertepuk tangan. “Ha-ha-ha, engkau kena
kubohongi! Tidak ada setan tidak ada apa-apa!”
Dara itu
cemberut. “Ihh, engkau sungguh nakal. Aku sampai hampir pingsan ketakutan. Kau
bukan orang baik, kau suka bohong, aku tidak jadi berteman denganmu kalau
begitu!” Gadis itu sudah bangkit berdiri dan hendak pergi menghampiri
keledainya.
Kian Bu tertegun.
Bocah ini benar aneh. Biar pun belum matang benar, akan tetapi juga bukan
kanak-kanak lagi, akan tetapi di samping kecantikannya, dan pandainya bergaya
seperti orang dewasa, gadis ini takut pula kepada setan dan suka ngambek
seperti anak kecil!
“Ah, Siang
In, kau maafkanlah aku. Tadi aku hanya main-main, masa engkau menjadi marah?
Maafkan aku.”
“Aku mau
maafkan kalau kau berlutut dan menyebut aku nenek!” gadis itu berkata cemberut
dan membanting-banting kaki kanannya.
Kian Bu
hampir tertawa bergelak, akan tetapi untuk menyenangkan hati gadis remaja yang
aneh itu, apa boleh buat dia lalu berlutut, mengangkat kedua tangan sebagai
penghormatan sambil menyebut, “Nenekku yang baik, kau ampunkan cucumu ini!”
“Hi-hi-hik!”
Gadis itu terkekeh dan Kian Bu juga bangkit sambil tertawa-tawa.
Keduanya
tertawa gembira dan duduk lagi di atas akar pohon. Aneh, Kian Bu merasa gembira
sekali dan lenyaplah semua bayangan gelap dari masa lalu. Dia kini sudah lebih
matang dan hati-hati, tidak mau gampang saja jatuh cinta. Dara ini merupakan
seorang sahabat yang amat menyenangkan.
“Siang In,
sekarang kau ceritakan tentang dirimu dan kenapa engkau berada di tempat sunyi
ini seorang diri dan siapa itu wanita genit memikat yang kau cari itu.”
Setelah
bebas dari perasaan takut akan setan, sekarang sepasang pipi dara itu menjadi
kemerahan lagi, bibirnya yang manis merekah penuh senyum dan matanya yang jeli
besinar-sinar.
“Tidak ada
apa-apanya yang menarik dalam riwayatku,” gadis itu memulai.
“Orangnya
saja sudah sangat menarik, apa lagi riwayatnya.” Kian Bu berkata dan pandang
matanya tidak menyembunyikan rasa kagumnya.
“Eh,
Twako... kau mau kan kusebut twako? Aku tidak mempunyai kakak laki-laki, maka
biarlah engkau menjadi penggantinya. Kalau aku tidak merasa yakin bahwa engkau
seorang yang baik, tentu aku curiga melihat sikapmu terlalu manis,
pujian-pujianmu terlalu muluk itu. Sikapmu seperti laki-laki perayu wanita
benar!”
“Aku hanya
bilang sejujurnya, masa tidak boleh? Aku suka akan kembang indah harum, juga
suka melihat dara secantik engkau. Apakah aku harus membohong mengatakan engkau
gadis buruk?”
Siang In
tertawa. “Akan tetapi sinar matamu kalau memandangku... hihhh, aku menjadi
ngeri dibuatnya! Nah, aku mau bercerita tentang diriku. Aku sudah tidak
mempunyai ayah bunda lagi...”
“Aduh
kasihan...!”
“Akan tetapi
aku mempunyai seorang enci (kakak perempuan)...”
“Juga cantik
jelita jelita seperti engkau?”
“Ihhh,
Twako. Engkau mata keranjang benar!”
“Lho,
mengapa mata keranjang? Itu pertanyaan wajar, kan? Masa aku harus bertanya
apakah enci-mu itu tampan dan gagah, kan menjadi banci nanti!” Mereka berdua
lalu tertawa-tawa lagi dan hutan yang biasanya sunyi itu kini bergema suara
tertawa pemuda dan dara itu.
“Tentu saja
enci-ku yang bernama Siang Hwa amat cantik melebihi aku yang buruk ini. Kami
berdua tinggal di lereng gunung sana itu melanjutkan usaha mendiang Ayah,
menanam obat-obatan yang kami jual ke kota dan sebagian kami bagi-bagikan
kepada rakyat miskin yang membutuhkan pertolongan obat.”
“Aih,
kiranya engkau ini ahli obat, ya? Lengkap benar kepandaianmu?”
“Lengkap
apanya?”
“Coba
kuhitung. Satu, engkau pandai memelihara kuda keramat, dua, engkau pandai
meniru gaya wayang dan berperan sebagai wanita genit memikat, tiga, engkau
pandai ilmu silat, dan empat, engkau pandai ilmu pengobatan!”
“Huhh,
engkau hanya memuji kosong saja, kalau kudengarkan kepalaku bisa berubah
menjadi segentong besarnya. Sudah, tak perlu memuji-muji, tapi dengarkan ceritaku.
Mendiang ayahku barulah berani disebut ahli pengobatan karena beliau itu
terkenal di dunia kang-ouw dengan julukan Yok-sian...”
“Ahhh...!”
Kian Bu berteriak dan meloncat berdiri.
Teringat
akan setan yang amat ditakuti, Siang In juga meloncat dan memandang ke kanan
kiri.
“Ada apa?”
Dia sudah memegang lengan pemuda itu lagi.
“Ohh, tidak
ada apa-apa, aku hanya terkejut mendengar julukan ayahmu.”
“Huh,
kekagetanmu membikin aku kaget.” Mereka duduk kembali di atas akar pohon.
“Apakah
ayahmu itu Suheng dari kakek yang berjuluk Sin-ciang Yok-kwi?”
“Ehh,
bagaimana engkau bisa mengenal julukan Susiok (Paman Guru)?”
“Wah, engkau
yang kami caci-cari, ketemu sekarang orangnya!”
“Lho, kenapa
mencari-cari aku?”
Kian Bu lalu
menceritakan tentang ‘keponakannya’ yang terluka hebat oleh pukulan beracun dan
menurut keterangan Sin-ciang Yok-kwi, seorang di antara mereka yang kiranya
dapat mengobati gadis keponakannya itu adalah keturunan Yok-sian.
“Sayang,
sekarang keponakanku itu sudah pergi entah ke mana sehingga biar pun aku
berjumpa denganmu juga percuma.”
“Dan pula,
aku juga tidak bisa mengobati. Aku hanya ahli mengenal buah, bunga, daun, dan
akar obat. Yang mewarisi kepandaian Ayah adalah Enci Siang Hwa. Bu-twako, kalau
kau terus-terusan mengganggu ceritaku, tidak akan habis-habis riwayatku.”
“Oh,
teruskanlah.”
“Seperti
kuceritakan tadi, kami hidup berdua saja. Aku tukang menanam tumbuh-tumbuhan
obat, mencari dan memilih bibit-bibitnya dari hutan, dan enci yang menjual
hasil tanaman itu ke kota. Pada beberapa hari yang lalu, aku sendirian saja di
rumah, Enci sudah dua hari pergi ke kota menjual obat dan belum juga pulang,
padahal biasanya tidak pernah bermalam. Lalu datang seorang wanita...”
“Genit
pemikat...”
“Kok tahu?”
“Yang kau
cari-cari itu tentu, siapa lagi!”
“Benar.
Wanita cantik pesolek itu datang dan karena sikapnya manis budi, dan di lereng
itu kami tidak mempunyai tetangga dan hari sudah malam, aku tidak keberatan
ketika dia menyatakan hendak bermalam. Dia pandai bicara dan ramah sekali,
sampai aku lalai dibuatnya dan pada keesokan harinya, Si Cantik Genit itu telah
pergi sebelum aku bangun...”
“Wah engkau
tentu pemalas dan bangunmu kesiangan!”
“Ngaco!
Siapa bilang aku pemalas? Jam lima pagi aku sudah bangun, tidak mau keduluan
ayam...”
“Makannya!”
“Ihh, kau
menghina, ya? Kalau aku gembul makan, tentu tubuhku menjadi gendut. Nih, lihat,
apa aku gendut?”
“Kau
ramping! Habis, tidak mau keduluan apa oleh ayam?”
“Mandi.”
“Wah, tentu
saja! Habis, ayam tidak pernah mandi, biar kau bangun jam sembilan dan mandi
jam sepuluh juga tidak akan keduluan ayam. Sudahlah, lalu bagaimana?”
“Ya sudah
habis. Wanita cantik genit memikat itu pergi dan aku kemudian melakukan
pengejaran sampai di sini. Tadinya aku mencari di pegunungan itu tidak ketemu,
lalu aku pulang menanti Enci kembali dari kota untuk melaporkan hal itu. Akan
tetapi sampai lima hari Enci tidak pulang-pulang, aku khawatir Enci mendapatkan
halangan biar pun dia pandai ilmu silat dan tidak sembarangan orang mampu
mencelakainya. Aku lalu mengajak Pek-liong pergi mencari Enci dan perempuan
maling kitab itu.”
“Pek-liong
(Naga Putih)...?”
“Itulah dia
Pek-liong.” Dara itu menuding ke arah keledai yang masih enak enak makan
rumput. Kian Bu menahan gelinya. Keledai kecil itu dinamakan Naga Putih!
“Wah,
kasihan sekali engkau, Siang In.”
“Sudah, aku
tidak minta kasihanmu, sekarang kau ceritakan riwayatmu.”
“Riwayatku?
Aku orang biasa saja...”
“Tidak, engkau
luar biasa. Tidak ada pemuda gunung buta huruf yang mengenal sajak Li Shang Yin
dan Yen Siang!”
“Habis,
menurut penglihatanmu, aku orang apa?”
“Engkau
tentu seorang pemuda kota, seorang sastrawan lemah yang terbuai khayal, agak
berfilsafat dan engkau perayu wanita tapi tidak kurang ajar dan... sudahlah,
kau ceritakan riwayatmu.”
“Riwayatku
tidak ada apa-apanya. Namaku Suma Kian Bu dan aku sedang merantau untuk
menghibur hati dan melihat keindahan alam. Aku suka akan kesunyian maka aku
berada di hutan ini. Eh, sekarang kau hendak ke mana, Adik Siang In yang baik?”
Dara itu
lupa bahwa penuturan riwayat Kian Bu itu sama sekali tidak lengkap, karena dia
sudah terpikat oleh sikap dan pertanyaan yang ramah itu. “Aku hendak mencari
enci-ku dan perempuan genit itu.”
“Ke mana?”
Dara itu
mengerutkan alisnya. “Entahlah. Sampai di sini aku kehilangan jejak. Di dusun
seberang gurun itu masih ada yang melihat Si Perempuan Genit menuju ke sini,
maka aku mengejar. Kiranya bertemu dengan engkau, dan sialnya engkau tidak
melihat perempuan itu.”
“Mari
kubantu engkau mencari dia dan enci-mu.”
“Ke mana?”
“Ke mana
saja, dan karena menurut penyelidikanmu wanita itu lewat ke jurusan ini, kita
tentu akan dapat menemukan jejaknya lagi di luar dusun ini, asal kita dapat
melewati dusun.”
“Aku pernah
mencari daun-daun obat di hutan ini dan di sebelah barat hutan ini terdapat
perkampungan.”
“Bagus
sekali. Kalau begitu kita mencari ke sana. Hayo kita berangkat!”
Siang In
kelihatan girang sekali. Dia mengambil payungnya dari telinga keledai karena
biar pun keledai itu makan rumput, payung tadi masih saja tergantung di
telinganya, kemudian menuntun keledainya.
“Kenapa
tidak kau tunggangi?”
“Ahhh,
tidak. Lebih enakan berjalan bersama engkau, Twako. Kalau hanya aku sendiri
menunggang keledai dan kau jalan, tidak enak, ah!”
“Ditunggangi
berdua pun kasihan, keledai kecil begitu.”
“Ih, jangan
memandang rendah kuda keramatku, ya? Mau mencoba kekuatannya? Mari kau meloncat
ke punggungnya,” Siang In menantang.
Karena ingin
tahu, Kian Bu menurut dan naik ke punggung kuda atau keledai itu.
“Kau maju
sedikit, beri tempat untukku!” Siang In berseru.
Kian Bu
makin heran, akan tetapi dia menggeser ke depan dan tiba-tiba dia merasa betapa
bagian belakang tubuhnya bersentuhan ketat dengan sesuatu yang lunak dan
hangat. Tubuh dara itu yang sudah duduk di belakangnya! Dia merasa geli dan
bulu tengkuknya berdiri semua sehingga dia tertawa-tawa.
“Apa
cekikikan? Lihat betapa kuatnya kuda keramatku Pek-liong agar engkau tidak
menghinanya lagi. Pek-liong, terbanglah!” Siang In mengeprak perut keledai itu
dengan tumit kakinya.
Dan hampir
saja Kian Bu berteriak saking kagetnya ketika tiba-tiba keledai itu meloncat ke
depan lalu berlari cepat sekali! Benar-benar cepat larinya, tidak kalah oleh
kuda besar yang mana pun sehingga dia melihat pohon-pohonan berlari-lari di
kanan kirinya dan telinganya mendengar desir angin! Tentu saja Kian Bu sama
sekali tidak merasa takut karena ilmunya berlari cepat tidak kalah cepatnya
dengan larinya keledai ini, dan sebetulnya dia merasa nikmat dan senang sekali
karena punggungnya beradu ketat dengan dada gadis itu ketika keledai berlari,
akan tetapi karena dia ingin dianggap sebagai ‘sastrawan lemah’ maka dia
sengaja berteriak-teriak ketakutan. Hmm.
Siang In
menghentikan keledainya dan tertawa. “Bagaimana? Apakah kau masih berani
menghina Pek-liong?” Dia melompat turun dan Kian Bu juga merosot turun.
Dilihatnya keledai itu bernapas biasa saja sehingga diam-diam dia menjadi kagum
juga.
“Wah, wah,
sebentar lagi dia tentu benar-benar terbang. Agaknya kudamu ini memang penjelmaan
naga putih, Adik Siang In.”
Gadis itu
gembira sekali mendengar pujian ini dan mereka lalu melanjutkan perjalanan
sambil bercakap-cakap, bersendau-gurau dan tertawa-tawa, jika dilihat dari jauh
seperti sepasang muda-mudi sedang bertamasya saja layaknya. Betapa indah hidup
ini bagi orang-orang muda, maka kasihanlah orang-orang muda yang tak mampu
menikmati keindahan hidup, bahkan terseret mencari-cari kesenangan hampa yang
mengotorkan tubuh dan jiwa!
Dusun itu
cukup besar dan ramai, menjadi tempat perhentian mereka yang melakukan
perjalanan di perbatasan utara itu. Hari telah senja ketika Kian Bu dan Siang
In tiba di dusun ini.
“Perutku
lapar...” Siang In berkata sambil menekan perutnya.
“Sama...”
Kian Bu menjawab. “Mari kita cari kedai makanan.”
Sambil
menuntun Pek-liong, Kian Bu berjalan bersama Siang In memasuki dusun dan
mencari-cari. Akhirnya mereka melihat sebuah kedai makanan dan Kian Bu segera
mencancang keledai itu di luar kedai, kemudian mereka berdua masuk ke dalam
kedai makanan yang penuh dengan orang makan minum itu. Di antara para tamu,
Kian Bu mengenal dua orang penunggang kuda yang dilihatnya dari atas pohon di
hutan tadi, maka dia lalu mengajak Siang In duduk di meja tak jauh dari mereka.
Kian Bu memasang telinga dan mendengar percakapan bisik-bisik dua orang itu.
Ternyata
mereka berdua ‘lolos’ dari kejaran mata-mata musuh dan menurut percakapan itu,
kiranya mereka menduga adanya banyak mata-mata musuh yang berkeliaran di daerah
itu dan yang agaknya menyelidiki keadaan.
“Kita harus
cepat lapor kepada pimpinan.” Demikianlah kata Si Cambang Tebal yang segera
menghentikan percakapan setelah melihat masuknya beberapa orang tamu lagi dan
duduk di dekat mereka.
Tiba-tiba
mereka kelihatan terkejut, bergegas bangkit, memanggil pelayan, membayar
makanan yang belum habis mereka makan dan mereka berdua dengan sikap
tergesa-gesa menyelinap keluar melalui pintu samping. Melihat sikap mereka,
Kian Bu menjadi terheran-heran. Dia maklum bahwa pasti dua orang itu melihat
sesuatu yang membuat mereka seperti ketakutan, maka otomatis dia lalu menengok
ke arah pintu depan.
“Aahhhh...”
Dia menahan seruannya dan bengong memandang ke luar.
Melihat
sikap Kian Bu dan mendengar seruan kagum ini, Siang In juga cepat menengok dan
memandang ke luar. Di luar warung, di seberang jalan, tampaklah seorang wanita
yang cantik sekali, berpakaian menyala, rambutnya digelung tinggi ke atas.
Wanita itu sedang memandang dan longak-longok mengulur leher, agaknya ada yang
sedang dicari-carinya.
“Itu
dia...!” Tiba-tiba Siang In menjerit, membuat Kian Bu tersentak kaget. Dengan
cepat Siang In meloncat dan lari ke pintu kedai itu.
“Brussss...!”
Tanpa dapat
dicegah lagi Siang In bertumbukan dengan seorang laki-laki setengah baya yang
secara tiba-tiba masuk pintu kedai itu dan diiringkan oleh empat orang yang
kelihatannya gagah dan tegap. Karena Siang In tidak mengira ada orang masuk
pada saat perhatiannya tercurah kepada wanita cantik yang berada di seberang
jalan, dan pria itu pun agaknya tidak mengira akan ada orang lari ke luar, maka
tumbukan antara mereka tak dapat dihindarkan lagi. Siang In terpelanting dan
hampir roboh. Untung laki-laki setengah tua itu dengan gerakan cepat telah
menyambar dan memegang lengan Siang In sehingga dara ini tidak sampai
terbanting jatuh.
Laki-laki
setengah tua itu tersenyum dan bertanya dengan sikap sopan dan suara halus
sambil melepaskan pegangannya, “Maafkan saya, Nona. Untunglah tidak sampai
jatuh. Apakah ada yang sakit...?”
Siang In
membelalakkan matanya dan membentak marah, “Orang kurang ajar dari mana jalan
nabrak-nabrak saja?”
Kian Bu
sudah tiba di samping gadis itu, memegang lengannya dan berkata, “Sudahlah,
engkau sendiri yang kurang hati-hati berlari ke luar. Paman ini tidak
bersalah...” Kian Bu setengah menarik tangan Siang In.
Dara ini
bersungut-sungut dan setelah mengirim lirikan marah kepada laki-laki setengah
tua yang dengan tenang dan sabar tersenyum memandang, Siang In lalu melanjutkan
langkahnya keluar dari kedai, pandang matanya mencari. Akan tetapi, wanita
cantik tadi sudah tidak kelihatan lagi.
“Sialan!
Orang buta tadi yang jadi gara-gara sampai dia hilang lagi!”
“Eh, orang
buta mana?”
“Yang
menabrak aku tadi, kalau matanya tidak buta, masa nabrak-nabrak?”
Kian Bu
tersenyum. Biar pun sedang muring-muring, gadis ini makin cantik saja!
“Sudahlah,
aku sendiri juga tidak tahu siapa yang menabrak tadi, dia atau engkau.”
“Dia! Si
Buta itu! Aku harus menghajarnya!” Dia kembali memasuki pintu dan hampir saja
menabrak seorang pelayan yang membawa baki dan sedang keluar. Untung Kian Bu
sudah menarik lengannya, kalau tidak tentu terjadi tabrakan untuk kedua kalinya
dan sekali ini berbahaya karena di atas baki terdapat bakmi kuah yang masih
panas.
“Eh...
Kongcu (Tuan Muda) dan Siocia (Nona), mau ke mana? Ini pesanan kalian tadi...
dua bakmi kuah dan...”
“Kau makan
saja sendiri!” Siang In membentak dan membalikkan tubuhnya keluar dari kedai
itu. Kian Bu melemparkan mata uang ke atas baki.
“Kami tidak
jadi makan, ini uangnya,” katanya dan terus menyusul Siang In yang sudah pergi
menuntun keledainya sambil cemberut.
“In-moi
(Adik In), jangan marah ah...”
“Aku harus
mencari dia! Si Tolol buta itu tadi menghalangiku!” Siang In cemberut dan
melihat ke sana-sini mencari-cari.
“Dia siapa?”
“Si Genit!”
“Ohh...”
“Si Pemikat!
Kau tidak lihat dia tadi?”
Kian Bu
mengangguk. Kiranya wanita itukah yang dicari? Memang cantik, cantik sekali,
akan tetapi dia belum melihat jelas benar. Agaknya wanita yang sudah matang,
tidak seperti dara ini yang masih mentah, atau baru setengah matang, setengah
dewasa setengah kanak-kanak, akan tetapi malah amat menarik hati.
Mereka lalu
mencari sampai ke setiap sudut dusun itu, akan tetapi sia-sia belaka dan
akhirnya Siang In berhenti di tepi jalan yang sunyi, duduk di atas rumput dan
kelihatan marah dan kecewa sekali. Kian Bu lalu pergi membeli sepuluh butir kue
bakpauw dan mereka makan bakpauw di tepi jalan. Lima butir bakpauw sudah cukup
mengenyangkan perut, akan tetapi mencekik tenggorokan!
Karena malam
tiba, mereka lalu mencari pondokan dan bermalam di dalam dua buah kamar
sederhana di pondok dusun itu, setelah memesan mi-bakso dan minum teh hangat kemudian
mandi. Pada keesokan harinya, agaknya Siang In sudah tidak cemberut lagi, akan
tetapi pagi-pagi sekali dia sudah menggedor pintu kamar Kian Bu dan mengajak
pemuda itu cepat-cepat berangkat melanjutkan perjalanan mencari pencuri kitab
itu. Kian Bu gelagapan, terpaksa hanya sempat mencuci muka, kemudian sarapan
dan berangkatlah mereka lagi keluar dari dusun itu sambil bertanya-tanya
tentang wanita cantik yang rambutnya digelung tinggi.
Akhirnya,
jejak yang mereka temukan dan ikuti membawa mereka ke sebuah dusun kecil di
tepi sungai yang besar dan yang menjadi tapal batas dengan daerah liar di
utara. Di seberang sungai itu sudah merupakan daerah liar yang tidak memperoleh
penjagaan dari pasukan-pasukan pemerintah. Karena itu dusun ini cukup ramai
karena menjadi tempat penyeberangan para pedagang. Banyak orang-orang suku
Nomad dan liar yang menyeberang ke selatan untuk menjual rempah-rempah dan
hasil sungai dan laut, sebaliknya para pedagang dari selatan banyak yang
mengeduk keuntungan besar dengan membawa dagangan dan menyeberang ke utara,
menjual atau menukar dagangan mereka dengan suku-suku asing di luar tapal
batas.
Ketika Kian
Bu dan Siang In tiba di tepi sungai, suasana di situ sudah sunyi. Waktu
penyeberangan yang ramai adalah pagi dan sore, dan siang hari yang panas itu di
tempat itu sudah sunyi dan hanya terdapat seorang penjaga perahu kosong yang
duduk melenggut ngantuk.
“Dia tentu
menyeberang. Kita menyeberang saja,” kata Siang In.
“Bagaimana
dengan Pek-liong?”
“Kita
tinggal saja.”
“Aih!
Ditinggalkan? Sayang dong...!”
“Bu-twako,
engkau masih belum mengenal kehebatan Pek-liong. Dia kutinggalkan akan tetapi
dia bisa pulang sendiri. Itulah satu di antara kelihaiannya. Kau lihat!” Siang
In lalu melepaskan kendali keledai itu, lalu berkata, “Pek-liong, kau pulanglah
dan jaga rumah baik-baik! Hayo!”
Dia menepuk
pantat kuda keledai itu tiga kali, dan binatang itu meringkik terus berlari
congklang pergi dari tempat itu dengan cepat. Kian Bu melongo. Benar-benar
hebat binatang itu. Kelihatannya saja seekor keledai bodoh, kiranya seekor
binatang yang jinak dan cerdik!
Mereka lalu
membangunkan tukang perahu yang mengantuk. Tukang perahu kelihatan ogah-ogahan
menyambut mereka. Menyeberangkan dua orang saja tentu merugikan dirinya, karena
biasanya perahunya itu menyeberangkan sedikitnya lima belas orang penumpang.
Kalau dua orang itu mau membayar lebih...
“Sudahlah
jangan khawatir, kami bayar dobel!” kata Kian Bu tak sabar.
Akan tetapi,
dibayar dobel pun masih rugi dan dengan malas-malasan tukang perahu itu
mendayung perahunya ke tengah. Belum jauh perahu meluncur, terdengar
orang-orang berteriak memanggil dan ternyata di tepi sungai itu sudah berdiri
lima orang laki-laki yang dikenal oleh Siang In dan Kian Bu sebagai laki-laki
gagah yang ditabraknya di kedai bersama empat orang pengikutnya!
Tentu saja
tukang perahu menjadi girang dan cepat mendayung kembali perahunya ke pinggir.
“Tidak usah kembali, terus saja!” Siang In membentak.
“Aihh, Nona,
kasihan mereka dan saya pun ingin penghasilan lebih,” bantah tukang perahu.
“Biarlah,
In-moi. Mereka itu kelihatan orang-orang yang baik dan sopan. Masa urusan kecil
begitu saja membuat engkau masih marah-marah terus? Kata Nenek, orang marah
lekas tua!”
Siang In
membanting-banting kaki, akan tetapi tidak berani marah lagi karena tidak mau
menjadi lekas tua, hal yang amat dibuat ngeri oleh seluruh wanita di permukaan
bumi ini!
Ketika lima
orang itu naik ke perahu, laki-laki setengah tua yang bertubuh tegap dan
bersikap gagah itu segera tersenyum dan menjura. “Aih, kiranya Ji-wi yang telah
berada di perahu. Terima kasih atas kerelaan Ji-wi membiarkan perahu kembali
lagi untuk membawa kami, dan harap Nona sudi memaafkan peristiwa di kedai
tadi.”
Mau tidak
mau Siang In pun harus mengakui bahwa pria setengah tua itu benar-benar sopan
dan halus budi. Maka dia pun cepat meniru perbuatan Kian Bu untuk membalas
penghormatan mereka, dan perahu meluncur terus ke tengah sungai karena layar
telah dibentangkan dan angin bertiup keras.
Tiba-tiba
tukang perahu kelihatan gugup dan wajahnya menjadi pucat. “Ahh, celaka...,”
bisiknya.
Lima orang
yang bersikap gagah itu bangkit berdiri, memandang ke arah dua buah perahu
kecil yang meluncur cepat mendekati perahu mereka. “Siapa mereka?” tanya pria
setengah tua yang usianya kira-kira empat puluh tahun dan berjenggot pendek
itu.
“Mereka...
mereka... bajak sungai...” tukang perahu berbisik. “Biasanya tidak pernah
mengganggu...”
“Jangan
takut!” Laki-laki berjenggot pendek berkata tenang, kemudian bersama empat
orang temannya dia berdiri di kepala perahu, mencabut golok dan dengan golok
terhunus mereka menanti dua buah perahu yang meluncur datang itu. Sikap mereka
gagah sehingga Siang In menjadi kagum.
“Kiranya
mereka itu pendekar-pendekar kang-ouw...,” bisiknya kepada Kian Bu yang hanya
tersenyum saja dan sudah tentu dia pun diam-diam bersiap menghadapi segala
kemungkinan.
Setelah dua
buah perahu yang membawa sepuluh orang tinggi besar dan kelihatan bersikap
ganas itu mendekat, orang setengah tua yang berjenggot pendek itu berseru
dengan suara nyaring dan berwibawa, “Kami bukanlah pedagang yang membawa banyak
uang atau barang berharga, harap Cu-wi tidak mengganggu kami!”
Sepuluh
orang itu memandang, kemudian dua perahu itu melempar jangkar dan mereka semua
lalu terjun ke air dan menyelam! Tentu saja lima orang gagah itu memandang
dengan heran, akan tetapi tukang perahu berseru lagi, “Celaka...!”
Sebelum
semua penumpang tahu mengapa tukang perahu begitu ketakutan, tiba-tiba perahu
itu bergerak dan miring, lalu bergoncang keras. Maka tahulah Kian Bu bahwa
sepuluh orang bajak sungai itu menyelam dan dari bawah kini berusaha
menggulingkan perahu.
“Ahhh,
bagaimana ini, Bu-twako?” Siang In sudah memeluk Kian Bu dengan ketakutan dan
menjerit setiap kali perahu miring. Gadis ini memiliki kepandaian silat lumayan
dan seorang yang pemberani, akan tetapi karena dia tidak pandai renang,
menghadapi air sungai yang bergelombang itu dia ngeri.
Para
penumpang sama sekali tidak berdaya dan akhirnya perahu terbalik dan mereka
semua terlempar ke air!
“Bu-twako...!”
Siang In memeluk Kian Bu erat-erat sehingga membuat pemuda itu makin gelagapan.
Kian Bu yang
sejak kecil tinggal di Pulau Es dan dekat dengan lautan, tentu saja pandai
berenang akan tetapi dia bukan ahli dan berenang di air laut lebih ringan dari
pada berenang di air sungai, maka ketika Siang In yang gelagapan itu saking
takutnya memeluknya dengan ganas, Kian Bu juga menjadi repot sekali dan
beberapa kali dia terpaksa minum air sungai.
Ternyata
bahwa lima orang gagah itu pun tidak pandai berenang sehingga dalam waktu
belasan menit saja, semua penumpang termasuk Kian Bu ditawan dalam keadaan
pingsan dan dinaikkan ke dalam dua buah perahu kecil, terus dibawa pergi
setelah masing-masing kedua tangan mereka dibelenggu. Tukang perahu itu
menangis sambil memegangi pinggiran perahunya yang terguling. Dia rugi
besar-besaran di hari itu, sungguh pun untung bahwa dia tidak dibunuh para
bajak.
Ketika Kian
Bu membuka matanya dan siuman, dia telah berada di dalam sebuah kamar tahanan
yang kuat dan dalam keadaan terbelenggu kedua tangannya. Cepat dia menoleh ke
kanan-kiri dan hatinya lega ketika dia melihat Siang In masih rebah di
dekatnya, juga tangan dara ini terbelenggu dan biar pun Siang In masih pingsan,
namun dara ini tidak mati. Demikian pula dengan lima orang gagah yang juga
terbelenggu dan sudah mulai siuman.
Kian Bu
menggerakkan kedua tangannya dan dengan jari-jari tangan dia mengurut perlahan
tengkuk Siang In. Gadis itu mengeluh lalu membuka matanya. Dia teringat dan
cepat bangkit duduk, kemudian memandang kedua lengannya yang terbelenggu di
depan tubuhnya.
“Aihhh... di
mana kita?” Siang In bertanya dan memandang Kian Bu, lalu menoleh kepada lima
orang lain yang juga sudah mulai siuman.
“Kita
agaknya menjadi tawanan bajak-bajak itu,” kata Kian Bu.
Dia sudah
memeriksa tali belenggunya, dan kalau mau, tentu dia dapat mematahkan
belenggunya itu biar pun tali itu terbuat dari otot binatang yang amat kuat.
Dia melihat lima orang itu mulai merenggut-renggut tangan mereka, namun
hasilnya sia-sia. Kian Bu maklum bahwa tidak sembarangan orang akan dapat
mematahkan belenggu ini, harus menggunakan sinkang tingkat tinggi. Maka dia pun
dapat mengukur bahwa kepandaian lima orang itu, terutama pemimpin mereka yang
berjenggot pendek, biar pun mungkin tinggi namun sinkang mereka belumlah begitu
kuat.
“Tenang...!”
Tiba-tiba Si Jenggot Pendek berkata. “Mereka menawan kita, berarti mereka tidak
akan membunuh kita. Menggunakan kekerasan tidak ada gunanya, apa lagi belenggu
ini amat kuat. Kita harus tenang dan menanti keadaan.”
Siang In
juga mencoba-coba untuk mematahkan belenggu, tetapi malah kulit lengannya yang
menjadi nyeri. “Aih, Twako, bagaimana ini...?” keluhnya.
“Nona, harap
jangan khawatir, kami akan melindungimu,” Si Jenggot Pendek berkata menghibur.
Siang In
cemberut. “Huh, melindungi bagaimana? Kalian sendiri pun tidak berdaya.”
Kian Bu
bangkit berdiri dan memandang ke luar dari terali besi di atas pintu, lalu dia
memberi isyarat kepada mereka semua untuk ikut melihat. Mereka kini bangkit
semua dan memandang ke luar. Kiranya tempat itu merupakan sebuah perkampungan kecil
yang dikurung pagar tembok kuat, tampak dari tempat tahanan yang berada di
tengah kampung itu.
Semua
penduduk perkampungan itu agaknya sedang bersuka ria, sedang menghadapi suatu
pesta yang sedang mereka rayakan. Ada yang membawa kertas-kertas berwarna,
pajangan-pajangan dan orang-orang itu hilir-mudik sambil tersenyum-senyum, akan
tetapi rata-rata mereka itu mempunyai wajah bengis, dan melihat dari pakaian
mereka, baik yang perempuan mau pun yang laki-laki, mereka adalah orang-orang
suku Nomad yang berkeliaran di daerah utara, terdiri dari campuran bermacam
suku bangsa, akan tetapi sebagian besar adalah keturunan suku bangsa Mongol.
Sepasukan
orang terdiri dari dua belas orang bersenjata golok besar datang ke tempat
tahanan itu dan pintu besi dibuka dari luar. Kemudian tujuh orang tawanan itu
digiring memasuki sebuah rumah besar dan terus ke ruangan samping rumah gedung
besar itu. Di dalam sebuah ruangan telah menanti seorang laki-laki tua yang
duduk di atas kursi.
Tujuh orang
tawanan itu mengira bahwa tentu mereka akan dihadapkan kepada kepala bajak yang
kejam dan bengis, dan Kian Bu yang sengaja tidak mematahkan belenggu untuk
melihat perkembangan sebelum turun tangan, sudah siap untuk mengambil tindakan.
Akan tetapi betapa kagetnya ketika dia memandang dan mengenal orang yang duduk
di atas kursi itu.
Pernah dia
bertemu dengan orang ini di Koan-bun. Orang itu berpakaian sastrawan dan dia
tahu bahwa orang itu adalah pengawal lihai dari Raja Tambolon, yaitu Yu Ci Pok
yang berpakaian pelajar (siucai) di samping pengawal lain yang berpakaian
petani dan bernama Liauw Kui! Akan tetapi perjumpaannya dengan Tambolon dan dua
orang pengikutnya itu hanya sepintas saja maka kini Yu Ci Pok Si Siucai Maut
itu tidak mengenalnya dan Kian Bu juga hanya menundukkan mukanya.
Memang tidak
salah penglihatan Kian Bu, orang itu adalah Yu Ci Pok, pengawal Raja Tambolon,
dan tempat itu adalah tempat yang dijadikan sarang oleh Raja Tambolon pada saat
itu! Seperti telah diceritakan di bagian depan, Raja Tambolon gagal dalam merebut
Koan-bun dan di kota itu pasukannya yang terdiri dari seribu orang malah
hancur-lebur dan terbasmi, hampir tidak ada lagi sisanya. Tetapi, berkat
kelihaiannya, dia dan dua orang pengawalnya berhasil menyelamatkan diri dan dia
lalu lari ke utara.
Biar pun dia
telah kehilangan pasukan, namun nama Raja Tambolon telah dikenal oleh para suku
Nomad, maka tentu saja kemunculannya disambut dengan penuh penghormatan dan
sebentar saja Raja Tambolon sudah dapat mengumpulkan kekuatan dan dia bahkan
menjadi raja kecil di daerah perbatasan di seberang sungai dan kekuasaannya
meliputi daerah yang cukup luas! Ada pun kedua orang pengawalnya itu kini
diangkatnya menjadi menteri-menterinya karena dia sendiri menjadi raja kecil di
situ. Para bajak sungai yang beroperasi di sepanjang sungai itu semua
ditundukkannya dan menjadi anak buahnya!
Kian Bu
melirik ke depan dan melihat bahwa sastrawan itu ditemui oleh dua orang
laki-laki yang dikenalnya sebagai dua orang penunggang kuda yang dilihatnya di
hutan itu. Kiranya dua orang itu adalah kaki tangan sastrawan pengawal Tambolon
ini, pikirnya. Dia menduga bahwa pengawal Raja Tambolon ini telah berdikari dan
menjadi kepala bajak. Tidak heran, karena memang orang itu lihai, pikirnya.
“Mereka
berlima itulah!” Terdengar Si Kumis Tebal menerangkan kepada sastrawan itu.
“Jelas bahwa mereka itu adalah orang-orang dari Bhutan!”
Siucai itu
memandang penuh perhatian, kemudian membentak kepada lima orang itu. “Benarkah
kalian adalah keparat-keparat dari Bhutan?” Kerajaan Bhutan telah menjadi
musuh-musuh dari Tambolon dan kaki tangannya.
Orang
setengah tua itu mengangkat dadanya dan berkata, suaranya tabah dan nadanya
memandang rendah, “Hemm, kiranya di sini pun terdapat kaki tangan Tambolon yang
merajalela! Aku tahu bahwa engkau adalah Yu-siucai, pengawal Tambolon. Di
manakah rajamu yang liar itu sekarang? Ha-ha-ha, aku mendengar akan
kehancurannya di Koan-bun!”
Siucai itu
terbelalak, memandang penuh perhatian dan bangkit dari kursinya, mendekati
orang setengah tua itu, mengamat-amati, lalu membentak, “Keparat! Kiranya
engkau adalah Panglima Jayin dari Bhutan!”
“Matamu
masih awas, Yu-siucai!”
Siucai itu
kembali duduk dan tertawa gembira, “Ha-ha-ha, siapa kira kita bisa menawan
tokoh kedua dari Bhutan! Ahhh, tentu Tai-ong akan gembira sekali melihat
mukamu, Jayin!” Dia lalu menoleh kepada dua orang itu. “Lekas kalian laporkan
kepada Ong-ya bahwa lima orang tawanan dari Bhutan itu adalah Jayin dan empat
orang pembantunya! Akan tetapi hati-hati, jangan ganggu Ong-ya yang sedang
bergembira.”
Dua orang
itu mengangguk dan pergi, wajah mereka tampak girang sebab mereka telah membuat
jasa besar.
Yu-siucai
lalu memandang Kian Bu dan Siang In. Gadis ini menundukkan mukanya, pakaiannya
masih basah dan menempel ketat di tubuhnya sehingga lekuk-lengkung tubuhnya
yang ranum itu nampak nyata.
“Kalian
siapa?!” bentaknya.
“Maaf,
Taijin (Pembesar)...” Kian Bu menjawab cepat, mendahului Siang In. “Saya
bernama Teng Bu dan ini adik saya, Teng Siang In... kami berdua sedang
menumpang perahu... tidak ada hubungan kami dengan mereka ini...” Kian Bu
memperlihatkan sikap ketakutan, dan diam-diam Siang In melirik kepadanya, agak
geli juga mendengar Kian Bu merubah namanya dan mengaku sebagai kakaknya dan
membonceng she-nya (nama keturunan).
“Yu-siucai,
dua orang ini memang hanya kebetulan saja menumpang perahu. Harap bebaskan
mereka yang tidak bersalah apa-apa.”
“Hemm,
keputusannya berada di tangan raja kami. Dan untung bahwa kini kami sedang
mengadakan pesta pernikahan raja kami, kalau tidak, tentu kalian sudah menerima
hukuman langsung.”
Panglima
Jayin, tokoh Bhutan itu tertawa. Seperti telah kita kenal, panglima ini adalah
murid dari Kakek Lu Kiong, kakek dari Ceng Ceng dan telah menjadi orang
terkenal di Bhutan. Dia bersama empat orang pembantunya itu kini sedang
bertugas untuk mencari Puteri Syanti Dewi.
“Ha-ha-ha,
entah sudah berapa puluh kali aku mendengar Tambolon menikah!”
Siucai itu
melompat ke depan, tangannya menampar.
“Plak-plak!”
Bibir
Panglima Jayin pecah dan berdarah, namun dia masih berdiri tegak, memandang
dengan mata menghina.
“Kalau bukan
hari baik raja kami, aku tentu sudah membunuhmu!”
“Pengecut!”
Tiba-tiba Siang In memaki dan matanya terbelalak memandang siucai itu. “Laki-laki
macam apa engkau ini? Beraninya menghina orang yang terbelenggu. Hih, tak tahu
malu! Buang saja pakaian pelajar itu, ganti pakaian penjahat!”
Siucai itu
terkejut dan memandang kepada dara itu dengan muka merah, dan Panglima Jayin
tertawa bergelak. “Ha-ha-ha, Yu-siucai, dengarkan suara seorang dara sederhana
yang jauh lebih gagah dari pada engkau. Ha-ha-ha! Terima kasih, Nona. Engkau
sungguh patut dikagumi, dan aku akan mati gembira mengenangkan seorang dara
yang gagah seperti engkau!”
Siang In
tersenyum dan dia tidak takut lagi kini. Pada saat itu, dua orang tadi datang
lagi dan berkata, “Pesta sudah dimulai, Yu-taijin diminta menghadiri pesta dan
para tawanan diperbolehkan nonton dan ikut bersenang-senang sebelum diambil
keputusan hukuman mereka. Demikian pesan Ong-ya.”
Yu-siucai
mengangguk. “Hemm, sungguh kalian masih bernasib baik. Raja kami sedang
bergembira dan tidak ada nafsu melihat darah musuh-musuhnya. Giring mereka ke
sana!”
Kembali dua
belas orang pasukan menggiring tujuh orang tawanan itu menuju ke ruangan besar
dan luas di mana telah terdengar suara riuh rendah orang berpesta. Kiranya pada
waktu itu Raja Tambolon sedang merayakan hari pernikahannya dan pesta besar
dirayakan. Ruangan yang luas itu penuh dengan para tamu, akan tetapi tamu-tamu
itu terdiri dari orang-orang yang kasar dan liar.
Suasana
pesta di situ kacau-balau dan sama sekali tidak teratur dan sebagian sudah
mabok. Dan hampir di setiap meja di ‘hias’ dengan perempuan-perempuan cantik
yang bermacam-macam sikapnya. Ada yang genit dan agaknya sudah mahir melayani
orang-orang besar itu, ada yang kelihatan berduka dan takut-takut, akan tetapi
semuanya berpakaian mewah dan berbedak tebal. Mereka ini adalah wanita-wanita
rampasan yang telah dijadikan alat hiburan secara paksa oleh Tambolon dan kaki
tangannya, dan kini mereka dikerahkan untuk menemani dan menghibur para tamu!
Siang In
memandang dengan cemas, dan diam-diam Kian Bu juga muak menyaksikan keadaan di
situ. Tanpa aturan sama sekali! Ada yang berkeliaran ke sana-sini, dan ada yang
mengadu kekuatan minum sampai ada yang muntah-muntah. Ada pula yang mengadu
kekuatan pergelangan tangan, dirubung dan disoraki dengan bising, ada pula yang
sedang menggeluti seorang wanita. Tawa dan kekeh terdengar memenuhi udara,
bercampur dengan bau keringat dan arak dan mulut busuk! Di sudut kiri terdapat
para pemain musik dan para penyanyi yang suaranya sudah mulai serak dan sumbang
karena diloloh minuman keras oleh para tamu yang merubung tempat hiburan ini,
agaknya mereka yang agak ‘nyeni’ atau yang suka akan seni musik!
Tujuh orang
tawanan itu digiring masuk terus ke tempat Tambolon untuk menghadap raja itu.
Akan tetapi Tambolon sedang sibuk dan ketika Yu-siucai mendekatinya dan
berbisik, raja itu hanya menoleh sebentar ke arah tawanan, kemudian menggeleng
kepala dan menyuruh semua menunggu karena dia sedang sibuk menonton adu gulat
yang berlangsung di ruangan itu.
Memang adu
gulat merupakan tontonan dan olahraga yang amat populer di daerah itu, dan
Tambolon sendiri dahulu merupakan seorang ahli gulat nomor satu di daerahnya.
Setelah dia belajar ilmu silat tinggi, tentu saja dia memandang rendah ilmu
ini, akan tetapi dia masih suka menonton. Ramai sekali pertandingan adu gulat
di gelanggang yang disediakan khusus itu dan banyak tamu yang suka akan
tontonan ini mengepung tempat itu untuk menonton. Tambolon kini sudah tercurah
seluruh perhatiannya kepada pertandingan itu lagi setelah tadi terganggu
sebentar.
Kian Bu
tetap memegang kedua tangan Siang In sehingga empat tangan mereka yang
pergelangannya terbelenggu itu tidak pernah berpisah. Dia memperhatikan keadaan
sekelilingnya. Tempat itu penuh orang, hampir kesemuanya orang-orang asing dan
hanya sedikit saja orang-orang Han yang juga merupakan orang-orang kasar dari
golongan hitam. Banyak pula kepala-kepala suku yang mendapat tempat kehormatan
akan tetapi juga kini bercampur menjadi satu menonton apa saja yang disukai
mereka di dalam pesta awut-awutan itu.
Dari bentuk
tubuh mereka yang tegap dan tinggi besar, dengan otot-otot yang membelit-belit
seperti tali kuat, dapat dimengerti bahwa mereka itu rata-rata adalah
orang-orang kasar, tukang-tukang berkelahi yang kuat dan berani. Kian Bu agak
gentar hatinya mengingat bahwa dia harus melindungi Siang In. Dia lalu melirik
ke arah lima orang tawanan dari Bhutan itu, dan kebetulan Panglima Jayin
memandangnya. Mereka saling tersenyum dan Kian Bu kagum sekali. Panglima ini
benar-benar amat gagah berani dan tenang. Dia menarik Siang In, mendekati
panglima itu, lalu berbisik,
“Agaknya
engkau mencari Syanti Dewi?”
Panglima
Jayin terkejut sekali, terbelalak dan mengangguk.
“Dia berada
di istana kaisar, di kota raja,” Kian Bu berbisik lagi lalu menjauh karena
khawatir kalau didengar orang lain.
Panglima itu
mengangguk-angguk dan terlihat girang. Panglima yang setia ini memang merasa
girang sekali. Dia sendiri terancam bahaya, akan tetapi hal itu bukan apa-apa
baginya dan mendengar bahwa puteri yang dicarinya sudah berada di tempat aman,
di istana kaisar, tentu saja dia merasa lega dan girang.
Kini Kian Bu
memperhatikan Tambolon. Raja itu kelihatan menyeramkan, dengan tubuhnya yang
tinggi besar dan matanya yang terbelalak lebar, mulut besar menyeringai dan
kedua tangannya bergerak-gerak mengikuti gerakan kedua orang pegulat yang
sedang bertanding. Raja itu kelihatan amat tertarik sehingga tak peduli akan
keramaian di sekitarnya.
Di sebelah
kirinya duduk pengantin perempuan yang selalu menundukkan mukanya yang tertutup
tirai halus, dan kelihatan pengantin ini lesu dan lemas. Di belakang agak ke
samping, berdiri seorang yang memakai pakaian perang dan Kian Bu mengenalnya
sebagai pengawal Tambolon yang lihai, yaitu Si Petani Maut Liauw Kwi! Dan di
sebelah pengantin perempuan, agak jauh dan menyendiri, seperti mengantuk dan
malas, duduk seorang nenek tua yang berkulit kehitaman, memakai pakaian sutera
hitam yang hanya dilibat-libatkan di seluruh tubuhnya, dari kaki sampai ke
kepalanya.
Melihat
sepasang mata nenek yang mengantuk itu, sinar mata yang tajam seperti sepasang
mata ular, Kian Bu terkejut sekali. Dia dapat mengenal orang berilmu seperti
yang pernah didengar dari ayahnya. Melihat sinar mata itu mungkin sekali nenek
ini pandai ilmu sihir! Dan dugaannya berdasarkan penuturan ayahnya memang
benar. Nenek itu adalah guru dari Tambolon, seorang yang datang dari Pegunungan
Himalaya, dari daerah See-thian (India) yang tinggi ilmu silatnya dan mahir
ilmu sihir!
Jantung Kian
Bu berdebar. Keadaannya sulit dan berbahaya! Dia harus melindungi Siang In, dan
terutama sekali dia harus berhati-hati menghadapi Tambolon, Petani Maut,
Yu-siucai, dan nenek itu! Di samping itu masih ada ratusan orang liar yang
kelihatan kuat-kuat. Baru dua orang pegulat yang sedang berlaga itu saja sudah
amat hebat. Tubuh mereka yang telanjang dan hanya memakal cawat, seperti tubuh
dua ekor gajah. Otot-otot mereka menggelembung dan mengeluarkan bunyi
berkerotan ketika mereka mengadu kekuatan otot, berusaha untuk saling
membanting. Benar-benar dia berada di tengah-tengah jagoan-jagoan yang tak
boleh dipandang ringan!
Tiba-tiba
Kian Bu tersentak kaget. Ada suara orang mendengkur di belakangnya. Di
tengah-tengah orang hiruk-pikuk berpesta-pora ini, masih ada yang tidur
mendengkur. Gila! Mendengkur? Dia bergidik dan teringat akan sesuatu, cepat
menoleh dan... terbelalak dia memandang kepada seorang kakek berambut putih
semua yang tidur mendengkur di atas sebuah kursi, tepat di belakangnya!
Tangan kakek
itu masih memegang sebuah guci arak yang menetes-netes araknya. Agaknya dia
mabok dan tertidur. Akan tetapi Kian Bu ingat benar bahwa di belakangnya tadi
tidak ada apa-apa, tidak ada kursinya, apa lagi kakek yang tertidur mendengkur.
Hatinya tergetar. Betapa lihainya kakek ini! Dengan hadirnya kakek ini sebagai
lawan, makin beratlah keadaannya. Dia harus berlaku hati-hati sekali. Tempat
ini menjadi sarang orang-orang pandai.
Tiba-tiba
terdengar sorak-sorai menggegap-gempita dari mereka yang menonton adu gulat,
setelah terdengar suara berdebuk keras. Kiranya seorang di antara pegulat itu
dapat dibanting keras dan tentu saja kalah dengan tulang punggung remuk!
Tambolon agaknya menjagoi sang pemenang, buktinya dia bersorak-sorak dan
menjadi girang sekali.
“Si Bolohok
menang! Ha-ha-ha, sudah kuduga. Kau lihat, isteriku, jagoanku menang. Hayo
minum untuk kegembiraan ini!” Tambolon melihat pengantin wanita menggeleng
kepala, akan tetapi dia memaksa, tangan kanan memegang cawan arak, tangan kiri
membuka kerudung yang menutupi muka pengantin wanita. Kian Bu melihat wajah seorang
wanita yang cantik!
“Enci Siang
Hwa...!” Mendadak Siang In yang berdiri di sampingnya menjerit ketika kerudung
muka pengantin wanita itu dibuka, dan dia tidak mempedulikan apa-apa lagi, lari
ke arah enci-nya yang juga sudah melihatnya.
“Adikku...!”
Pengantin wanita juga menjerit dan menangis.
Jarak antara
mereka agak jauh dan semua orang tercengang mendengar jerit dua orang gadis itu
dan memandang bengong. Pengantin wanita dengan kerudung terbuka bangkit berdiri
mengembangkan kedua tangan, sedangkan dara remaja yang terbelenggu kedua
tangannya itu lari terhuyung menghampirinya sambil menangis juga.
Melihat ini,
Yu Ci Pok yang semenjak tadi menjaga para tawanan, meloncat untuk menangkap
Siang In. Akan tetapi, loncatannya gagal karena dia merasa seperti ada sesuatu
yang mengait kakinya sehingga dia terperosok ke depan. Akan tetapi siucai ini
memang lihai sekali, dengan berjungkir-balik dia dapat mematahkan bantingan itu
dan tubuhnya mencelat ke depan. Dia berhasil menyambar lengan Siang In, akan
tetapi karena gerakannya tidak wajar lagi oleh gangguan hebat tadi, tidak urung
dia terhuyung dan menabrak meja di depan Tambolon sehingga meja itu terbalik
dan arak serta hidangan makan tumpah semua. Tentu saja keadaan menjadi kacau
dan geger!
“Siang
In...!”
Pengantin
wanita itu kini memegang tangan adiknya dan mereka berpelukan, namun Tambolon
yang menjadi marah dengan gangguan itu, menarik tangan pengantinnya. Yu Ci Pok
yang merasa kaget membikin terbalik meja junjungannya, lalu menyelinap di antara
orang banyak untuk mencari orang yang telah menjegal kakinya tadi. Saking
marahnya, siucai ini lupa akan para tawanannya.
Kian Bu yang
memperhatikan semua itu, kini melihat betapa kakek yang tadi menjegal kaki Yu
Ci Pok, kini dengan gerakan cepat menghampiri lima orang Bhutan dan begitu
jari-jari tangannya meraba, belenggu-belenggu lima orang itu patah semua. Kakek
itu menghampiri dia, mengulur tangan ke arah belenggu yang mengikat kedua
tangan Kian Bu dan... kakek itu terbelalak dan mengeluarkan suara “huhh!”
ketika melihat betapa dengan amat mudahnya pemuda itu menggerakkan kedua tangan
dan belenggu itu patah-patah!
“Enci...
kenapa engkau menjadi begitu...?”
“Adikku...
aku... aku dipaksa...”
“Bocah
lancang, kau bosan hidup!” Tambolon menjadi marah sekali dan mengangkat tangan
hendak memukul Siang In.
Melihat ini,
Kian Bu menjadi merah mata dan mukanya, darahnya naik dan perutnya pun terasa
panas. Lengkingan yang tinggi dan nyaring mengejutkan semua orang dan turut
menambah kekacauan keadaan, bahkan beberapa di antara orang-orang tinggi besar
dan bertubuh kuat itu ada yang terguling dan menutupi telinganya, ada yang
menekan dadanya karena suara melengking yang keluar dari mulut Kian Bu itu
adalah pengerah khikang sakti dari Pulau Es, suara yang mengandung getaran
hebat sehingga dapat memecahkan anak telinga dan melumpuhkan jantung!
Dengan
kemarahan meluap, Kian Bu meloncat ke atas, melewati kepala banyak orang dan
melesat ke arah Tambolon sambil menghantamkan tangan kanannya dengan jari-jari
terbuka dan mengerahkan tenaga Swat-im Sinkang sekuatnya. Tenaga Inti Salju
yang amat hebat ini mendatangkan hawa dingin yang amat luar biasa sehingga
beberapa orang yang tersentuh hawa ini menggigil kedinginan, sampai gigi mereka
berkerutukan seperti orang menderita sakit demam!
Mendengar
lengking tadi, Tambolon terkejut dan sudah mengurungkan pukulannya terhadap
Siang In. Kini lebih kaget lagi melihat seorang pemuda melayang datang dan
menghantam dengan pukulan yang membawa hawa dingin amat dahsyatnya itu.
Dari
belakang raja itu, Petani Maut yang mengenal serangan dahsyat, sudah bergerak,
meloncat ke depan, tangannya masih memegang sebuah guci arak penuh yang tadi
hendak digunakan mengisi cawannya. Guci arak yang penuh itu kini dia pergunakan
untuk menyambut hantaman Kian Bu yang dahsyat itu.
“Pyaaaarrrr...!”
Petani Maut
terhuyung ke belakang dan menggigil kedinginan. Tambolon juga terbelalak
melihat betapa guci itu pecah berkeping-keping dan araknya berhamburan ke
mana-mana, sebagian menjadi butiran-butiran es karena beku oleh hawa mukjijat
dari Swat-im Sinkang! Menyaksikan kelihaian pemuda ini, Tambolon cepat
berteriak kepada para pembantunya untuk mengepung dan mengeroyok. Gegerlah
keadaan pesta itu. Kian Bu mengamuk dikeroyok oleh banyak jagoan-jagoan kaki
tangan Tambolon.
Panglima
Bhutan dan empat orang pembantunya yang telah dibebaskan dari belenggu oleh
kakek berambut putih tadi, kini juga mengamuk dan berusaha untuk mencari jalan
keluar. Akan tetapi, tempat itu sudah dikepung dengan ketat oleh anak buah
Tambolon sehingga seperti juga Kian Bu, mengamuklah Panglima Jayin bersama
keempat orang pembantunya. Pertandingan hebat, mati-matian dan kacau terjadilah
di tempat itu.
Medan pesta
berubah menjadi medan pertempuran. Para tamu yang sudah mabok ada yang
ikut-ikut mengamuk, akan tetapi mereka ini roboh sendiri tanpa diserang karena
berdiri pun mereka ini sudah tidak mampu tegak lagi. Ada pula tamu mabok yang
enak-enak bernyanyi, ada yang memeluk wanita tanpa mempedulikan segala
keributan itu. Pendeknya, tempat itu menjadi kacau-balau sama sekali.
Keributan menjadi
makin kacau dan hebat, ketika ada minyak mengalir di bawah bangku dan meja yang
berserakan dan tak lama kemudian minyak bakar ini disambar api yang dilepas
oleh kakek berambut putih dengan membantingkan sebuah lentera ke atas lantai
yang berminyak. Ruangan itu mulai dimakan api yang bernyala besar dan hawa
menjadi panas bukan main. Gegerlah semua orang yang sedang bertempur itu.
Amukan api yang hebat membuat mereka lupa akan pertempuran, lupa akan lawan
karena api merupakan lawan dan bahaya yang lebih hebat lagi. Larilah semua
orang berserabutan menuju ke pintu dan berjejal-jejal dalam usaha mereka untuk
keluar dari pintu karena api yang menjilat minyak itu berkobar tinggi dan sudah
menjilat atap!
Melihat
bahaya maut dari api yang mengamuk ini, Tambolon cepat menoleh dan hendak
menyambar ke arah pengantinnya. Ketika tangannya bergerak hendak menangkap
lengan Teng Siang Hwa yang kini berpelukan dengan adiknya, dalam keadaan takut
dan memandang ke arah pertempuran yang bubar oleh amukan api, Siang Hwa cepat
mengelak dan gerakannya ini menyeret adiknya sehingga mereka terhuyung dan
terpisah.
“Hayo cepat
kita pergi dari ruangan ini!” Tambolon berseru dan kembali tangannya menyambar
dan sekali ini agaknya Siang Hwa tidak akan dapat mengelak lagi.
“Dukkkk...!”
Tambolon terkejut dan terhuyung. Ketika dia memandang, ternyata seorang kakek
berambut putih telah berdiri di depannya.
Suara
hiruk-pikuk terdengar dan ada bagian atap yang roboh termakan api. Sebatang
balok kayu bernyala jatuh menimpa ke dekat mereka. Kakek itu menjadi terhalang
dan tak dapat melindungi Siang Hwa. Namun melihat Tambolon yang melompat ke
samping menghindarkan diri dari timpaan balok sambil berusaha menubruk
pengantinnya, kakek itu menggerakkan tangan kanannya mendorong ke arah Tambolon.
Itulah pukulan jarak jauh yang amat dahsyat. Tambolon kembali tertahan
gerakannya dan merasa ada hawa menyambar dia kemudian menangkis.
Api makin
membesar dan asap membuat mata Tambolon menjadi pedas dan panas. Maka dia lalu
menubruk ke depan, tetapi karena dia melakukan ini dengan sebagian perhatian
ditujukan kepada Si Kakek, dan matanya juga hampir terpejam karena panas dan
pedas, dia salah tubruk dan yang tertangkap dan cepat ditotoknya itu bukannya
Siang Hwa melainkan Siang In, adik Si Pengantin Wanita.
Akan tetapi
Tambolon agaknya tidak peduli lagi dan cepat dia memanggul tubuh Siang In yang
lemas tertotok itu di atas pundak kanannya dan dia meloncat dan lari dari
ruangan yang terbakar itu melalui sebuah pintu rahasia.
Api mengamuk
makin ganas dan makin banyak bagian atap ruangan itu yang ambruk. Sekarang
mulailah penduduk perkampungan bajak atau anak buah Tambolon itu menggunakan
air untuk mencoba memadamkan api yang mulai menjilat dan menjalar ke mana-mana.
Asap hitam bergulung-gulung memenuhi tempat itu, menghalangi pandangan dan
menyesakkan napas. Kekacauan ini memberi kesempatan baik sekali kepada Kian Bu
dan lima orang Bhutan itu untuk melarikan diri karena semua orang lebih
memperhatikan amukan api dari pada para tawanan itu.
Bahkan
agaknya tidak ada lagi yang peduli akan tawanan-tawanan itu karena semua orang
kini sibuk berusaha memadamkan api yang telah membakar habis ruangan pendopo
tempat pesta tadi. Dengan suara gemuruh ambruklah ruangan pesta yang luar biasa
itu, berikut bangunan-bangunan di dekatnya, terbakar menjadi arang dan abu.
Akhirnya api dapat dipadamkan setelah puas menghabiskan tempat itu, dan tawanan
telah lolos! Lenyap semua tawanan-tawanan itu dan juga pengantin wanita.
Tambolon
marah-marah, mencak-mencak karena sekali ini dia menderita rugi besar. Sebagian
bangunan gedungnya musnah, para tawanan lolos dan pengantinnya kabur! Beberapa
orang anak buahnya ada yang tewas dimakan api, ada pula yang luka-luka. Setelah
dia melemparkan tubuh Siang In yang lumpuh itu ke atas pembaringan, dia lalu
berlari ke luar dan teringatlah dia akan gurunya, nenek dari India itu. Ke mana
perginya gurunya itu? Mengapa tidak kelihatan keluar dari ruangan yang
terbakar?
Tambolon
keluar dan menenangkan para tamu yang cerai-berai itu, dan berkata, “Harap para
tamu jangan pergi dulu, pesta akan dilanjutkan di taman bunga! Kebakaran ini
tidak akan menghalangi kita bersenang-senang!”
Para tamu
bersorak-sorai gembira dan semua menuju ke taman di mana mulai diatur oleh para
anak buah Tambolon, sedangkan Tambolon sendiri bersama dua orang pengawalnya
menuju ke puing bekas ruangan tadi untuk mencari nenek yang menjadi gurunya.
Nenek itu amat lihai dan sakti, akan tetapi memang sudah agak pikun.
Jangan-jangan gurunya itu keenakan melamun sehingga dimakan api, atau bisa jadi
juga gurunya itu melakukan pengejaran terhadap para tawanan dengan pembantu
mereka yang lihai, yaitu pemuda tampan itu dan Si Kakek berambut putih!
Tambolon dan
dua orang pengawalnya menghadapi tumpukan abu dan kayu-kayu yang menjadi arang,
yang berupa puing menggunung. Tiba-tiba terdengar suara terkekeh kekeh dan
tumpukan debu arang dan kayu itu berhamburan dan muncullah Si Nenek guru
Tambolon itu sambil tertawa-tawa dan dalam keadaan segar bugar, hanya kotor
penuh debu.
Tidak ada
luka, tidak ada yang terbakar pada tubuh nenek itu, dan sedikit pun tidak
kelihatan dia kepanasan ketika dia melangkah dan menginjak sisa-sisa api yang
masih membara itu dengan enaknya. Para anak buah Tambolon yang sejak nenek itu
datang memandang rendah nenek tua renta itu dan hanya menghormatinya karena
Tambolon mengakui sebagai gurunya, kini terbelalak memandang kagum dan ngeri.
Nenek ini seperti bukan manusia biasa tampaknya!
Tambolon
cepat menyongsongnya dan bertanya, “Subo (Ibu Guru) tidak apa-apa?”
Nenek itu
tertawa, hanya mulutnya saja yang terbuka dan memperlihatkan lubang yang dalam
dan tanpa ada giginya, hanya nampak gelap saja, tidak ada terdengar suara
ketawa, “Aku sedang melamun, tahu-tahu atap runtuh dan aku tertimpa. Mana dia
si bocah tua bangka itu?” Matanya yang kecil penuh keriput di seputarnya itu
memandang ke kanan kiri, mencari-cari. “Mana bocah gila itu? Dia selalu
mengikuti dan mengganggu aku!”
“Siapakah
yang Subo cari?” Tambolon bertanya.
“Siapa lagi
kalau bukan See-thian Hoat-su? Aku tahu betul bahwa tadi dia datang dan kau
kira siapa yang menimbulkan kebakaran kalau bukan dia? Sayang aku tadi sedang
melamun, kalau tidak sudah kutangkap dia!”
Tambolon
terkejut mendengar nama See-thian Hoat-su itu. Dia belum pernah bertemu dengan
kakek itu, akan tetapi dia tahu bahwa See-thian Hoat-su adalah bekas suami
gurunya ini. Menurut cerita yang pernah didengarnya, gurunya itu dahulu
mempunyai seorang suami, seorang bangsa Han yang di waktu mudanya merantau ke
India dan berguru kepada ayah nenek itu untuk belajar ilmu sihir. Nenek itu pun
masih muda dan mereka saling jatuh cinta dan akhirnya menjadi suami isteri.
Akan tetapi makin tua makin tidak cocoklah mereka dan sering kali mereka
bercekcok sampai bertanding ilmu.
Dalam hal
ilmu silat, Si Suami lebih pandai, akan tetapi menghadapi ilmu sihir isterinya
yang lebih lihai dari padanya, See-thian Hoat-su (Ahli Sihir dari Dunia Barat)
ini merasa tobat sehingga akhirnya dia meninggalkan isterinya, kembali ke
pedalaman. Nenek itu sendiri setelah amat terkenal dan disebut Durganini,
seolah-olah dia adalah titisan atau penjelmaan Dewi Durga, isteri dari maha
dewa yang menjadi kepala dari bangsa iblis! Tambolon berguru kepada Durganini
setelah nenek itu berpisah dari suaminya.
Tambolon
teringat akan kakek rambut putih yang dilihatnya muncul tiba-tiba di waktu
keadaan kacau-balau tadi. “Ah, kakek rambut putih itukah See-thian Hoat-su?”
“Kalau dia
muncul lagi, cepat beritahu agar dapat kucengkeram tengkuknya!” Nenek itu
berkata sambil berjalan ke kamarnya dan meneriaki pelayan agar datang membawa
air, memandikannya dan mengganti pakaiannya.
Pesta itu
tetap dilanjutkan juga pada malam harinya. Para tamu dijamu lagi di ruangan
belakang, tidak kalah meriahnya dengan sebelum terjadi keributan, dan kini
pengantin wanita telah digantikan tempatnya oleh Siang In! Dara remaja ini
tidak berdaya karena ditotok dan dipaksa duduk bersanding dengan Tambolon di
dalam ruangan itu! Pesta berlangsung dengan penuh kegembiraan dan gila-gilaan.
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment