Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Kisah Sepasang Rajawali
Jilid 21
Setelah
merasa puas minum dan menjamu para tamunya, Tambolon yang sudah mulai mabok itu
timbul kegembiraannya melihat bahwa dara pengganti pengantinnya itu ternyata
tidak kalah cantiknya dengan kakaknya yang telah melarikan diri! Maka sambil
tersenyum dia lalu memanggul tubuh ‘pengantinnya’ itu dan di bawah sorak dan
tawa para tamu yang masih belum pulang, Tambolon membawa pengantinnya itu pergi
dari dalam ruangan dan terus menuju ke dalam kamar pengantin yang sudah terhias
meriah dan berbau harum karena disiram minyak wangi dan dibakari dupa wangi!
Siang In terkejut dan ketakutan, akan tetapi karena dia sudah ditotok lumpuh,
dia tidak dapat berbuat apa-apa kecuali terbelalak seperti seekor kelinci yang
diterkam harimau.
Tambolon
sebenarnya bukanlah seorang yang mata keranjang atau gila wanita. Tetapi, dia
mempunyai kepercayaan bahwa dia akan ‘awet muda’ dan dapat menggunakan ilmunya
untuk memindahkan kemurnian seorang gadis ke dalam tubuhnya sehingga memperkuat
tenaga mukjijatnya jika dia memperoleh seorang gadis, maka raja liar yang
berilmu tinggi ini di mana-mana selalu mencari korban seorang gadis.
Dia tidak
pernah jatuh cinta dan setiap kali mendapatkan seorang perawan, setelah
dipermainkannya paling lama sepekan saja lalu ‘dioperkan’ kepada para pembantunya
untuk menyenangkan hati para pembantunya itu. Tentu saja setelah dia menyedot
hawa murni dari gadis korbannya itu untuk memperkuat dirinya. Dia tidak pernah
mempunyai isteri dan karena kepandaiannya yang tinggi dan bantuan para kaki
tangannya, amat mudah bagi Tambolon untuk di mana saja mencari perawan untuk
menjadi korbannya. Betapa pun juga, tentu saja untuk membangkitkan birahinya,
dia selalu memilih wanita yang cantik.
Ketika
membawa bahan-bahan obat untuk dijual ke kota, Siang Hwa bertemu dengan
serombongan kaki tangan Tambolon yang dipimpin oleh Si Petani Maut. Melihat
gadis cantik ini, Petani Maut yang memang sudah dipesan oleh Tambolon untuk
mencarikan ‘isteri’ lalu menangkapnya dan perlawanan Siang Hwa percuma saja.
Tambolon yang baru saja kehilangan pasukannya dan sedang berusaha untuk
menghimpun tenaga, lalu menggunakan kesempatan mendapat ‘isteri’ baru itu untuk
mengundang para pimpinan suku bangsa liar di utara mengadakan perjamuan untuk
menyenangkan hati mereka. Pesta pernikahan itu hanyalah alasan saja, karena
yang penting baginya adalah menyenangkan hati calon-calon pembantu dan
sekutunya itu dan kedua memperoleh korban seorang perawan baru.
Demikianlah,
dengan wajah berseri-seri sungguh pun tadi dia marah-marah karena gangguan di
dalam pesta sehingga terjadi kebakaran, kini Tambolon memanggul tubuh Siang In.
Dengan kasar dia membentak para pelayan dan penjaga di depan kamarnya agar
pergi, kemudian dia berkata kepada Siang In, “Heh-heh, manis, sekarang kita
hanya berdua saja, jangan kau bersikap malu-malu lagi...”
“Jahanam,
iblis keji, anjing babi hina dina! Kau bunuhlah saja aku...!” Siang In
memaki-maki dengan suara serak karena sudah sehari penuh dia memaki-maki tadi.
Kalau saja kaki tangannya tidak menjadi lumpuh ditotok secara istimewa oleh
Tambolon, tentu dia sudah mengamuk atau membunuh diri.
“He-he-heh,
sayang kalau dibunuh, kau begini segar dan muda!” Tambolon menendang daun pintu
kamarnya terbuka, lalu melangkah masuk ke dalam kamar.
“Heh-haaa?”
Dia terbelalak dan terheran-heran memandang ke dalam karena di tengah kamarnya,
seperti seorang dewi dari kahyangan, berdiri seorang wanita yang cantik dan
menyala pakaiannya, dengan gelung rambut tinggi dihias emas mutiara, jubahnya
merah dan pakaiannya ketat membayangkan tubuh yang penuh tantangan, akan tetapi
wanita ini berdiri sambil bertolak pinggang, sikapnya gagah dan sebatang pedang
tergantung di punggungnya!
“Ehh, Nona
cantik, siapakah kau...?” Tambolon benar-benar terkejut dan kagum sekali.
Wanita yang berdiri di dalam kamarnya itu biar pun tidak semuda gadis remaja
yang dipanggulnya, akan tetapi cantik menarik dan penuh daya pikat, dengan
tubuh yang sudah matang!
“Tambolon,
kau bebaskan bocah itu.”
“Kenapa?”
Tambolon bertanya. “Dan siapakah kau?”
“Hi-hik,
kalau kau tidak keburu melarikan diri ketika pasukanmu dihancurkan di Koan-bun,
tentu engkau telah bertemu dengan aku. Suheng Hek-tiauw Lo-mo dan aku Mauw
Siauw Mo-li yang memimpin pasukan pemberontak menghancurkan pasukan itu!”
“Ahhhh...!”
Tambolon terkejut dan cepat melemparkan tubuh Siang In yang lumpuh itu ke atas
pembaringan sambil berkata, “Manis, kau tunggu sebentar di situ!” Kemudian ia
menghadapi wanita itu dan memandang dengan penuh perhatian. Tentu saja dia
sudah mendengar akan nama Hek-tiauw Lo-mo yang hebat dan kiranya wanita ini
adalah adik seperguruan tokoh itu.
“Jadi
begitukah? Hek-tiauw Lo-mo dan sumoi-nya menentang Tambolon?”
“Tambolon,
semua itu adalah salahmu sendiri. Mula-mula engkau membantu Pangeran Liong, seperti
juga kami, akan tetapi siapa suruh kau berkhianat dan malah menyerang pasukan
Pangeran Liong hingga terjadi saling serang dan akhirnya kita dihancurkan semua
oleh pasukan pemerintah? Sekarang kita semua telah gagal, dan kedatanganku
bukan karena urusan kegagalan itu, melainkan untuk minta Nona ini.”
Tambolon
mengangguk-angguk. Memang dia telah sadar bahwa dia telah dipancing oleh Lu
Ceng dan Topeng Setan! Juga tidak baik kalau dia harus memusuhi Hek-tiauw Lo-mo
dan sumoi-nya ini. Dengan orang-orang seperti itu jauh lebih baik bersekutu
dari pada bermusuhan, dan dia sedang membutuhkan banyak tenaga bantuan untuk
menghimpun kekuatan baru. Maka dia lalu tertawa.
“Ha-ha-ha,
Mauw Siauw Mo-li sungguh enak saja bicara. Engkau tahu bahwa nona ini telah
menjadi isteriku, bagaimana mungkin akan kau minta begitu saja?” Kemudian dia
melanjutkan setelah menjelajahi tubuh wanita cantik itu dengan pandang matanya.
“Kalau kau
hendak mengambil dia, apakah engkau akan menggantikan dia menemaniku malam ini?
Ha-ha-ha!”
Mauw Siauw
Mo-li tersenyum. “Menemanimu saja bukan merupakan keberatan bagiku, Tambolon.
Tetapi aku perlu nona ini sekarang, dan kalau kau memberikannya baik-baik,
kelak masih belum terlambat bagiku untuk berkunjung dan menemanimu beberapa
malam. Akan tetapi sekarang aku tidak ada waktu lagi, dan biarkan aku pergi
membawa nona itu.”
“Kalau aku
menolak?”
“Hi-hi-hik-hik,
engkau tentu tahu bahwa kami kakak beradik seperguruan tidak biasa dibantah!”
Tambolon
tersenyum. Baginya, mendapatkan Siang In atau tidak bukanlah merupakan hal yang
amat penting. Masih banyak perawan yang bisa didapatkan pada malam itu juga dan
berapa banyak pun. Dan sumoi dari Hek-tiauw Lo-mo ini amat cantik, pula kalau
dia dapat bersekutu dengan Hek-tiauw Lo-mo melalui wanita ini, hal itu akan
memperkuat kedudukannya. Tetapi dia adalah seorang raja, selain amat
merendahkan kalau dia harus menurut perintah wanita itu begitu saja, juga
sebagai seorang yang berilmu tinggi dia ingin sekali mencoba kepandaian wanita
yang mengaku sebagai sumoi dari Hek-tiauw Lo-mo.
“Bagus, Mauw
Siauw Mo-li, aku pun ingin sekali mencoba apakah kepandaianmu juga sehebat
kecantikanmu. Sambutlah!” Tambolon lalu loncat ke depan mengirim serangan
dengan kedua tangannya mencengkeram ke arah pundak wanita cantik itu.
“Hemm,
bagus...!” Wanita itu dengan gerakan yang amat lincahnya sudah mengelak ke
kiri.
Mauw Siauw
Mo-li bukan tidak tahu bahwa raja orang liar ini memiliki kepandaian yang amat
tinggi, dan dia pun tahu pula bahwa Tambolon mempunyai pembantu-pembantu yang
lihai dan dia telah memasuki sarang naga yang berbahaya. Maka sambil meloncat,
dia terus mencelat ke arah pembaringan dan di lain saat dia telah berhasil
menyambar tubuh Siang In yang dikempit dengan lengan kiri, sedangkan tangan
kanannya sudah mengeluarkan sebuah benda kecil. Benda itu berbentuk dos kecil
tempat yanci (alat pemerah pipi).
Melihat
wanita memegang yanci, Tambolon tertawa dan tentu saja tidak menduga apa-apa,
terus menubruk ke depan. Akan tetapi wanita itu membawa Siang In meloncat
keluar kamar melalui jendela sambil menyambitkan dos kecil itu ke arah
Tambolon. Raja yang liar ini cukup cerdik. Biar pun benda itu hanya dos kecil,
namun dia menjadi curiga dan cepat melompat jauh menghindari sambil bertiarap.
“Darrrrr...!”
Seperti yang
telah dikhawatirkan oleh Tambolon, benda kecil yang kelihatan tak berarti itu
kiranya adalah sebuah senjata rahasia peledak yang amat hebat kekuatannya. Meja
kursi dan pembaringan di dalam kamar itu hancur berantakan dan kalau saja
Tambolon tidak bertiarap, tentu dia dapat terluka pula. Dia menjadi kagum akan
tetapi juga marah. Wanita itu memang patut dijadikan sekutu, akan tetapi telah
terlalu menghinanya, maka dia segera berteriak memanggil anak buahnya dan minta
bantuan gurunya untuk melakukan pengejaran. Karena Mouw Siauw Mo-li sudah
berlari jauh dan berlindung di kegelapan malam bersama Siang In, maka dengan
hati mendongkol Tambolon lalu mengirim pasukan untuk mengejar terus.
Siang In
tadinya marah sekali ketika melihat Mauw Siauw Mo-li, karena wanita pesolek
itulah yang telah mencuri kitab catatan peninggalan ayahnya. Akan tetapi ketika
melihat wanita itu menolongnya dan melarikannya dari kamar Tambolon, dia merasa
heran dan juga bersyukur sekali, sungguh pun dia menduga bahwa perbuatan wanita
itu tentu mengandung pamrih sesuatu. Seorang yang berwatak palsu seperti wanita
ini, yang diterimanya sebagai tamu dengan ramah kemudian malah mencuri kitab
seperti maling, tidak mungkin mengenal perbuatan baik. Di balik pertolongannya
melarikan dia dari tangan Tambolon pasti bersembunyi keinginan lain demi
kepentingan dirinya sendiri.
Mauw Siauw
Mo-li membebaskan totokannya dan Siang In kini berjalan di sampingnya di dalam
kegelapan malam, melalui pegunungan yang hanya disinari cahaya bulan muda dan
bintang-bintang di langit.
“Setelah
mencuri kitab, engkau ini pura-pura menolongku ada keperluan apa?” Siang In
menegur, akan tetapi tidak menghentikan kakinya yang berjalan mengikuti wanita
itu karena dia maklum bahwa Tambolon dan anak buahnya tentu melakukan
pengejaran.
“Kitab itu?
Nih, kau boleh terima kembali!” Mauw Siauw Mo-li menyerahkan kitab kuno kecil
kepada Siang In.
Dara ini
makin heran, tetapi menerima kitab itu dan disimpannya di saku baju dalamnya.
Kitab itu sebetulnya tidak lagi berguna bagi dia atau kakaknya karena mereka
telah hafal akan isinya, dan sekarang mereka menyimpannya hanya sebagai barang
pusaka peninggalan ayah mereka.
“Engkau
seorang yang aneh sekali. Engkau tadi menyebutkan nama julukanmu Mauw Siauw
Mo-li? Apakah artinya semua perbuatanmu ini? Mula-mula engkau mengunjungi aku,
lalu mencuri kitab ini. Sekarang engkau bersusah payah menyelamatkan aku dari
tangan Tambolon kemudian mengembalikan kitab. Sebetulnya, apakah kehendakmu?”
Mauw Siauw
Mo-li menarik napas panjang, lalu berkata, “Engkau puteri mendiang Yok-sian,
sayang kalau sampai menjadi makanan Tambolon yang rakus! Dan, ehh, adik kecil
yang baik, siapa namamu?”
“Aku Teng
Siang In.”
“Adik Siang
In, sebagai keturunan orang pandai, engkau tentu mengutamakan balas budi.
Engkau tentu tahu bahwa tanpa aku yang melarikanmu dari tangan Tambolon, saat
ini engkau sudah mengalami hal yang amat menyenangkan hati Tambolon akan tetapi
yang bagi dirimu merupakan penghinaan yang akan terasa seumur hidupmu. Engkau
akan sudah diperkosa, menderita penghinaan berkali-kali sampai kau tidak kuat
menahan dan mati, dalam keadaan hina dan mengerikan. Nah, kau mengakui adanya
pertolonganku ataukah tidak?”
Mendengar
ucapan itu, Siang In membayangkan apa yang dapat menimpa dirinya itu dan dia
bergidik ngeri. Akan tetapi dia seorang dara yang cerdik, dan setelah terbebas
dari ancaman bahaya maut dari tangan Tambolon, sekarang dia pun tidak takut
lagi menghadapi bahaya baru dan dia menjawab, “Mo-li, lebih baik katakan saja
terus terang, apa yang kau kehendaki dari aku setelah kitab yang kau curi ini
agaknya tidak ada gunanya bagimu.”
“Hi-hik,
engkau lumayan juga, engkau cerdik! Nah, lebih baik aku berterus terang saja.”
Dia berhenti di bawah pohon kecil dan duduk di atas batu, Siang In berdiri di
depannya.
“Terus
terang saja, aku menderita keracunan di sebelah dalam darahku. Hal ini terjadi
ketika aku mencuri mempelajari ilmu pukulan beracun dari kitab milik suheng-ku.
Sebelum sempurna aku mempelajarinya, suheng-ku tahu akan hal itu dan dia
merampas kembali kitab itu sehingga aku tidak dapat melanjutkan latihanku.
Karena tidak ada lagi petunjuknya, hawa beracun yang sudah terkumpul itu tidak
dapat kusalurkan dan mulai meracuni diriku sendiri. Aku telah minta tolong
Suheng, akan tetapi Hek-tiauw Lo-mo yang menjadi suheng-ku itu memang orang
kejam! Dia malah menyukurkan, bilang bahwa itu hukumannya seorang yang mencuri
pelajaran orang lain. Huh, seperti aku tidak tahu saja bahwa dia pun mencuri
kitab itu dari Dewa Bongkok....” Mauw Siauw Mo-li berhenti sejenak untuk
menarik napas.
“Akan tetapi
untuk memaksanya, aku tidak berani karena dia lihai sekali. Nah, aku mendengar
bahwa tokoh pengobatan yang paling pandai adalah Yok-sian, ayahmu. Sayang dia
telah meninggal dunia, maka aku lalu mencuri kitab itu. Kiranya kitab itu hanya
berisi catatan tentang nama-nama dan macamnya tetumbuhan obat, sama sekali
tidak ada gunanya bagiku. Karena itu, Adik Siang In, aku menolongmu dan ingin
minta bantuanmu agar engkau suka menerangkan, obat apa yang kiranya akan dapat
menyembuhkan aku, karena engkau tentu telah mewarisi kepandaian itu dari
ayahmu.”
Siang In
mengerutkan alisnya. “Sayang sekali, kepandaian pengobatan itu diwarisi oleh enci-ku,
dan aku hanya bisa mengenal bahan-bahan obat saja. Akan tetapi, biar enci-ku
sendiri kiranya tidak akan dapat menyembuhkan akibat racun yang menyerang dari
dalam karena latihan yang salah. Ada suatu rahasia besar yang diketahui oleh
enci-ku dan aku, dan karena engkau telah menyelamatkan aku, biarlah aku membuka
rahasia itu kepadamu dan mungkin saja rahasia itu akan menjadi jalan
penyembuhanmu.”
Mauw Siauw
Mo-li gembira sekali mendengar ini. “Rahasia apa itu yang akan mampu
menyembuhkan aku? Lekas katakan!”
“Mendiang
Ayah pernah bercerita kepadaku. Ketika aku masih berusia lima tahun, Ayah
sendiri pernah mencoba untuk mendapatkan anak naga itu...”
“Anak naga?
Apa maksudmu? Ceritakan yang jelas!”
Karena
merasa telah dihindarkan dari bahaya yang mengerikan di tangan Tambolon, Siang
In lalu membuka rahasia seperti yang pernah dituturkan oleh mendiang ayahnya
itu.....
Di sebuah
telaga yang amat luas, yaitu Telaga Sungari yang jarang didatangi manusia, di
sebelah barat Pegunungan Jang-kwan-cai, hidup seekor naga yang mungkin sekali
merupakan naga terakhir di dunia ini. Naga itu tidak pernah keluar dari dasar
telaga yang amat dalam itu, dan hanya setiap sepuluh tahun sekali, pada
permulaan musim semi, naga itu keluar dari dalam telaga, membawa anaknya yang
baru menetas untuk menerima sinar matahari.
Setiap
sepuluh tahun sekali naga itu bertelur dan jarang sekali ada telurnya yang
menetas, akan tetapi kalau ada yang menetas, anaknya lalu dibawa ke permukaan
telaga untuk menghisap tenaga yang dari matahari. Nah, anak naga yang baru
menetas itu merupakan mustika yang tak ternilai harganya, karena dapat
dipergunakan untuk obat yang menyembuhkan segala macam penyakit, terutama
keracunan. Juga bagi yang tidak menderita sakit, anak naga itu merupakan obat
yang dapat membikin tubuh menjadi kuat dan kebal, dapat pula memperkuat tenaga
sinkang.
“Sekarang
aku telah berusia lima belas tahun, berarti sepuluh tahun telah lewat sejak
naga itu muncul di permukaan air Telaga Sungari. Bulan depan adalah permulaan
musim semi, maka kalau engkau mau pergi ke telaga itu dan dengan kepandaianmu
engkau dapat merampas anak naga, jangankan baru keracunan di dalam darahmu,
biar engkau sudah tiga perempat mati pun akan dapat disembuhkan.”
Mauw Siauw
Mo-li tertarik sekali. “Permulaan musim semi? Hanya kurang beberapa hari
lagi...”
Dia berhenti
dan menatap wajah dara itu, menajamkan pandangan untuk menembus kegelapan
remang-remang itu menyelidiki wajah Siang In. “Siang In, benarkah apa yang kau
ceritakan semua itu?”
Siang In
cemberut. “Mo-li, engkau tadi menyebut-nyebut nama ayahku yang telah meninggal
dunia. Apa kau kira aku sudi untuk mencemarkan nama baik ayahku dengan cara
membohongimu? Betapa pun juga, engkau telah menyelamatkan aku dari tangan
Tambolon, dan sudah sepatutnya kalau kau kuberi tahu tentang anak naga itu agar
engkau dapat mencari penyembuhan untuk darahmu yang keracunan.”
“Bagus!
Kalau ceritamu benar dan aku berhasil, kelak aku akan menghaturkan terima kasih
ke lembah Pek-thouw-san di mana engkau tinggal. Akan tetapi kalau engkau
membohong, aku pun akan datang ke sana dan engkau akan menerima hukuman yang
pasti lebih mengerikan dari pada kalau engkau terjatuh ke tangan Tambolon.”
Setelah berkata demikian, wanita itu berkelebat dan lenyap.
Siang In hanya
mendengar suara lengking aneh seperti seekor kucing terinjak ekornya dari jauh.
Dia bergidik. Pantas julukannya Siluman Kucing, pikirnya. Kemudian dia teringat
bahwa dia ditinggalkan sendirian saja, sedangkan mungkin sekali pasukan
Tambolon masih melakukan pengejaran, maka kemudian dia melanjutkan perjalanan
melarikan diri.
Siang In
adalah seorang dara remaja yang sejak kecil hidup tenteram di lereng Gunung
Pek-thouw-san, sebuah puncak di Pegunungan Jang-pai. Dia hidup bersama
enci-nya, Siang Hwa dan biasanya dia hanya pergi ke hutan-hutan di sekitar
pegunungan itu mencari bahan-bahan obat atau rempah-rempah yang banyak tumbuh
di daerah itu.
Kini, dia
melakukan perjalanan mencari enci-nya, tentu saja dia kurang pengalaman dan dia
sama sekali asing dengan daerah yang dilaluinya sekarang ini. Apa lagi
perjalanan pelarian itu dilakukan di malam hari, hanya diterangi bulan muda dan
bintang-bintang, dalam keadaan gelisah karena dikejar pula, maka dia lalu
melarikan diri secara ngawur.
Sebaliknya,
yang melakukan pengejaran dua rombongan. Rombongan pertama adalah pasukan yang
melakukan pengejaran terhadap lima orang Bhutan, Kian Bu, dan Siang Hwa yang
dapat melarikan diri lebih dulu ketika terjadi kebakaran. Rombongan kedua
adalah pasukan yang mengejar Mauw Siauw Mo-li dan Siang In. Yang pertama
dipimpin oleh Si Petani Maut, sedangkan pasukan kedua dipimpin oleh Yu Ci Pok
Si Siucai Maut. Pasukan-pasukan pengejar ini terdiri dari orang-orang Nomad
yang sejak kecil hidup di daerah itu secara berpindah-pindah, tentu saja mereka
mengenal baik daerah itu dan mereka dapat melakukan pengejaran dengan terarah
dan mengepung serta memotong jalan-jalan di daerah itu.
Oleh karena
itu, tidak mengherankan apa bila pada keesokan harinya, Siang In terkejut
sekali mendengar derap kaki kuda jauh dari belakangnya. Dia sudah keluar dari
daerah hutan dan berada di tanah datar tanpa pohon, maka tidak sempat lagi
baginya untuk bersembunyi, maka larilah dara ini ke depan, secepat mungkin!
Tak lama
kemudian terdengar suara hiruk-pikuk dan para pengejar itu membalapkan kuda
mereka karena mereka telah melihat gadis yang berlari cepat itu, dan mendengar
betapa derap kaki kuda makin dekat, Siang In mempercepat larinya dan mengeluh,
“Ahhh...
kalau saja Pek-liong berada di sini...” Kalau dia menunggang keledai itu, dia
tidak takut biar dikejar oleh siapa pun juga karena keledainya dapat berlari
lebih cepat dari kuda yang bagaimana pun.
Para
pengejar semakin dekat dan napas Siang In sudah terengah-engah ketika tiba-tiba
dia membelalakkan mata dan menghentikan larinya karena di depannya membentang
luas sebatang sungai yang amat lebar. Sungai ini adalah Sungai Yi-tung.
“Celaka...!”
Siang In berseru kaget dan cepat dia memutar tubuhnya. Belasan orang penunggang
kuda mendatangi dengan cepat dipimpin oleh Si Sastrawan!
“Biar aku
melawan sampai mati!” Siang In yang maklum bahwa dia tidak dapat lari terus
karena ada sungai lebar menghalang di depannya, kini sudah berdiri tegak, kedua
tangan dikepal dan dia menggigit bibir bawah dan matanya berkilat penuh
kemarahan!
Akan tetapi,
terdengar teriakan-teriakan dari kiri dan ketika Siang In menoleh, dia melihat
belasan orang lagi datang berlarian di tepi sungai, dan mereka itu bukan lain
adalah orang-orang liar yang dipimpin oleh Si Petani Maut, yaitu para pengejar
pertama yang dalam usahanya mengejar para tawanan yang lolos telah tiba pula di
tempat itu! Tentu saja hati Siang In menjadi makin gelisah, akan tetapi dara
itu telah kehilangan rasa takut karena dia tahu bahwa melawan atau tidak, dia
akan celaka di tangan mereka, dan dia memilih mati sambil melawan dari pada
hidup menjadi tawanan dan permainan dari Raja Tambolon!
“In-moi...!”
Siang In
terkejut dan jantungnya berdebar keras. Itulah suara enci-nya Siang Hwa!
“Cici...!”
Dia cepat menoleh dan makin girang hatinya saat dia melihat Kian Bu bersama
enci-nya, seorang kakek tua berambut putih, dan lima orang tawanan itu berada
di atas rakit bambu yang didayung oleh mereka ke tepi sungai.
“Bu-koko...
kau tolonglah aku...” Siang In berteriak girang melihat munculnya pemuda itu.
Dia telah
salah mengira bahwa pemuda yang pandai mengenal sajak kuno itu hanyalah seorang
kutu buku yang lemah. Dia mengerti sekarang bahwa pemuda itu memiliki ilmu
kepandaian tinggi, maka begitu bertemu dia berteriak minta tolong.
“Siauw-moi,
(Adik Kecil), kau tenanglah!” Kian Bu berkata sambil meloncat ke darat dengan
gerakan yang amat lincah, diikuti oleh kakek berambut putih yang bukan lain
adalah See-thian Hoat-su.
Pada saat
itu, hampir berbareng Si Petani Maut Liauw Kui dan Si Sastrawan Yu Ci Pok telah
tiba di situ.
“Nona, ke
mana engkau hendak lari?” Yu Ci Pok yang bertugas menawan kembali ‘pengantin
kedua’ ini menubruk sambil meloncat dari atas kudanya.
Siang In
mencoba untuk mengelak ke kiri sambil mengirim pukulan dengan tangan kanannya
ke arah dada sastrawan itu.
“Plakk!”
Pukulan dara itu yang dilakukan dengan sekuatnya diterima oleh Si Sastrawan
sambil tertawa dan sebaliknya sastrawan itu menangkap pergelangan tangan Siang
In.
“Lepaskan
aku...!” Siang In meronta namun percuma karena pegangan Yu Ci Pok itu kuat
sekali.
Tiba-tiba
terdengar bentakan nyaring, “Keparat, Lepaskan dia!”
Yu Ci Pok
cepat menengok dan melihat tubuh pemuda tampan bekas tawanan itu pesat melayang
ke arahnya. Dia terkejut, melepaskan Siang In dan menyambut Kian Bu dengan
tamparan dahsyat, mengambil kesempatan selagi pemuda itu masih melayang.
“Dessss...!”
Kian Bu
telah mendorong dan mengerahkan sinkang-nya. Dua tenaga dahsyat bertemu dan
akibatnya tubuh sastrawan itu hampir roboh terjengkang kalau saja dia tidak
cepat meloncat ke belakang sambil memandang heran dan mengeluarkan senjatanya,
yaitu sepasang poan-koan-pit.
Sementara
itu, Si Petani Maut juga sudah tiba di situ, akan tetapi sebelum dia sempat turun
tangan, terdengar suara ketawa dan ketika dia menoleh ada tangan menampar
mukanya. Untung Liauw Kui adalah seorang berkepandaian tinggi dan merupakan
pembantu utama dari Tambolon, maka begitu mendengar ada angin menyambar, dia
sudah mengelak dan cepat menengok. Kiranya yang menamparnya tadi adalah seorang
kakek berambut putih yang menamparnya sambil tertawa-tawa!
Liauw Kui
teringat bahwa kakek ini yang muncul di dalam kekacauan pesta, maka dia dapat
menduga bahwa kakek ini tentu lihai sekali. Seperti juga Tambolon sendiri, dua
orang pembantu utamanya ini juga belum mengenal See-thian Hoat-su, bekas suami
Durganini guru Tambolon. Liauw Kui sudah cepat mengeluarkan senjatanya yang
istimewa, yaitu batang pikulannya lalu menyerang kakek itu sambil menyerukan
perintah mengepung dan mengeroyok kepada semua anak buah kedua pasukan yang
jumlahnya ada tiga puluh orang lebih itu!
Siang Hwa,
Panglima Jayin dan empat orang pembantunya sudah cepat mendayung perahu getek
atau rakit bambu itu ke tengah setelah Siang Hwa yang tadi meloncat ke darat,
berhasil menarik adiknya dan membawanya lari ke atas rakit. Sedangkan Kian Bu
dan See-thian Hoat-su mengamuk dikeroyok oleh dua orang pembantu Tambolon yang
lihai dan tiga puluh orang lebih itu.
See-thian
Hoat-su tidak mengeluarkan ilmu sihirnya karena kakek ini mengira bahwa bekas
isterinya, Durganini ikut pula mengejar dan mengeluarkan ilmu sihir berarti
mencari penyakit kalau nenek bekas isterinya yang merupakan tokoh sihir itu
berada di situ. Malah dia pun sudah merasa gentar, maka cepat dia berkata,
“Orang muda, mau tunggu apa lagi? Hayo lekas kembali ke rakit!”
Kakek itu
sudah menyambar beberapa buah batu, lalu dia melemparkan sebuah batu melayang
lurus ke depan, tepat di permukaan air sungai, disusul tubuhnya meloncat,
menginjak batu itu sambil melempar lagi batu kedua ke depan, meloncat lagi dan
dengan cara mengagumkan ini dia telah tiba di atas rakit. Akan tetapi, ternyata
Kian Bu juga telah berada di atas rakit itu. Kiranya pemuda ini tadi melayang
tinggi ke atas, lalu di atas membuat jungkir balik sembilan kali sehingga
tubuhnya meluncur terdorong gerakan poksai susul-menyusul ini dan hinggap di
atas rakit dengan ringan. Siang Hwa, Siang In, Panglima Jayin dan empat orang
pembantunya melongo melihat demonstrasi ginkang istimewa yang dilakukan oleh
kakek berambut putih dan pemuda tampan itu.
Siang Hwa
dan Siang In berpelukan dan mencucurkan air mata saking girang dan terharu
bahwa mereka berdua telah lolos dari bahaya mengerikan yang mengancam diri
mereka di sarang Raja Tambolon. Namun mereka tidak mendapat banyak kesempatan
untuk bertangisan dan saling menceritakan pengalaman lebih lama lagi karena
Kakek See-thian Hoat-su berseru, “Hayo kalian hentikan tangis-menangis itu,
lihat mereka telah mengejar kita!”
Semua orang
menengok dan memang benar. Kiranya tiga puluh lebih anak buah Tambolon itu
telah mempergunakan rakit-rakit yang banyak terdapat di tepi sungai dan
melakukan pengejaran di atas enam buah rakit yang mulai mengepung dan mencegat
dari empat jurusan.
“Awas anak
panah!” Kian Bu berseru sambil meloncat berdiri.
Bersama
Kakek See-thian Hoat-su, pemuda Pulau Es ini dengan tangkas menyambut anak-anak
panah yang datang menyambar, menangkis dengan kaki tangannya. Melihat ini,
See-thian Hoat-su tertawa gembira.
“Ha-ha-ha,
orang muda perkasa. Engkau memang hebat!”
Dan seperti
berlomba dan tidak mau kalah, dia pun menangkis dan menendang setiap anak panah
yang meluncur dan menyambar di dekatnya. Kakek tua renta itu tertawa-tawa,
gembira sekali seperti seorang anak kecil bermain perang-perangan. Akan tetapi
selagi kedua orang ini sibuk menghadapi serangan anak panah dengan menangkis,
enam buah rakit itu telah mengepung dekat dan mereka telah menyerang dengan
tombak-tombak panjang.
Si kakek
berambut putih menjadi makin girang. Dia dapat menangkap sebatang tombak musuh
dan sambil bersorak girang dia meloncat ke atas sebuah rakit musuh dan mengamuk
di situ. Susahnya bagi para pelarian itu, kakek ini seperti anak kecil, tidak
segera merobohkan enam orang di atas rakit itu melainkan mempermainkan mereka
dan hanya menampar dan menendang perlahan saja untuk mempermainkan, membuat
mereka berjatuhan akan tetapi mereka masih dapat bangkit kembali dan mengeroyok
lagi. Hal ini agaknya menyenangkan hati kakek itu, seperti seekor kucing yang
sedang mempermainkan enam ekor tikus, melayani mereka, membagi-bagikan tamparan
sambil tertawa-tawa.
“Heiittt,
wuuhh, tidak kena... heh-heh-heh, nah, berlututlah engkau, dan kau rebahlah!”
Demikianlah kakek itu bermain-main, membuat gemas juga hati Kian Bu.
Kalau kakek
itu bersungguh-sungguh, agaknya bersama dia akan dapat melawan dan menahan
semua musuh ini. Akan tetapi kakek itu main-main dan kini dia sibuk seorang
diri menahan pengeroyokan para pengepung. Untung bahwa Panglima Jayin dan empat
orang pembantunya juga melawan dengan gagah berani, juga Siang Hwa dan Siang In
membantu sekuat tenaga mereka, sungguh pun keadaan mereka amat repot karena
dikepung dan dikeroyok.
“Awas
pinggir rakit!” Kian Bu berteriak.
Cepat
kakinya menendang kepala seorang musuh yang tahu-tahu muncul di pinggir rakit.
Kiranya sekarang mereka telah mengirim beberapa orang untuk menyelam dan
agaknya ingin menggulingkan rakit! Akan tetapi Panglima Jayin dan para
pembantunya juga sudah siap menjaga keselamatan rakit mereka yang mulai
bergoyang-goyang.
“Auuhhh...!”
Salah seorang di antara pembantu Panglima Jayin mengeluh dan tubuhnya
terjungkal ke dalam air sungai karena perutnya telah terkena sebatang senjata
rahasia paku beracun yang dilepas oleh Si Petani Maut.
“Awas
senjata rahasia!” Kian Bu berteriak lagi dan dia sudah menghadapi serangan
paling dahsyat di pinggir rakit.
Berkat
amukan Kian Bu yang amat tangguh, Si Petani Maut Liauw Kui dan Sastrawan Yu Ci
Pok yang tidak dapat langsung menyerang secara dekat itu kembali menyuruh para
anak buahnya mundurkan rakit.
“Lepas anak
panah...!” perintahnya.
Kembali
anak-anak panah berluncuran menyerang ke perahu para pelarian itu. Kian Bu
sibuk sendiri dan tidak mungkin dia harus melindungi seluruh rakit dari
anak-anak panah itu. Panglima Jayin dan anak buahnya juga sudah memutar golok
mereka menangkisi anak-anak panah yang datang menyambar ke arah mereka. Juga
dua orang gadis itu harus berlompatan ke sana-sini menghindarkan diri. Akan
tetapi tiba-tiba Siang Hwa mengeluh dan roboh di atas rakit.
“Cici...!” Siang
In menubruk enci-nya dan alangkah kaget hatinya ketika dia mendapat kenyataan
bahwa punggung enci-nya terluka hebat dan ketika dia mendekap enci-nya, Siang
Hwa mengerang lirih.
“In-moi...
kau... jaga dirimu... baik-baik...” Gadis ini mengerang lalu terkulai. Sebatang
paku beracun yang dilepaskan oleh Petani Maut kembali telah memperoleh korban,
memasuki punggung Siang Hwa dan tepat mengenai jantung sehingga gadis itu tewas
seketika.
“Enci Siang
Hwa...!” Siang In menjerit dan menangis sambil memeluk enci-nya yang sudah
menjadi mayat.
Melihat ini,
Kian Bu menjadi semakin gemas kepada See-thian Hoat-su, “Kakek yang menjemukan!
Kau membantu kami ataukah membantu musuh?” teriaknya.
See-thian
Hoat-su tertawa dan sekali kaki tangannya bergerak, enam orang yang
dipermainkannya itu terlempar semua dari atas rakit, tenggelam dan hinggap di
pinggir rakit para pelarian itu.
“Ehh, ohhh,
kenapa menangis...? Kenapa dia?”
“Enci Siang
Hwa... telah... tewas...!” Siang In menangis.
“Ha-ha-ha,
bagus sekali! Sudah enak-enak mati mengapa pula ditangisi? Apa kau ingin
melihat enci-mu hidup lagi dan menderita seperti kita ini? Ohhhh, bocah tolol
kau! Aku yang ingin sekali mampus sampai puluhan tahun tidak juga mampus,
sekarang enci-mu sudah enak-enak mati, membikin aku iri saja, engkau malah
menangis!”
Siang In
tidak mempedulikan kata-kata yang aneh dan gila-gilaan dari kakek itu, terus
memeluki mayat enci-nya dengan hati hancur dan dia tidak peduli lagi apakah dia
terancam bahaya atau tidak, karena setelah enci-nya mati, dia amat ngeri dan
takut menghadapi hidup seorang diri saja di dunia yang kejam ini. Enci-nya
merupakan pengganti ayah bundanya, sekarang enci-nya telah mati, berarti bahwa
dia akan hidup seorang diri saja di dunia yang penuh dengan kekerasan dan kesengsaraan
ini.
Kakek
See-thian Hoat-su, Kian Bu, Panglima Jayin dan pembantunya yang tinggal tiga
orang itu masih melakukan perlawanan mati-matian karena para anak buah Tambolon
masih terus mengepung mereka. Andai kata pertandingan itu terjadi di atas
daratan, dengan adanya See-thian Hoat-su dan Suma Kian Bu, tentu sudah sejak
tadi dua orang pengawal Tambolon beserta puluhan orang anak buahnya itu akan
roboh semua dalam waktu singkat.
Akan tetapi
pertempuran terjadi di atas sungai, di atas rakit dan dikepung dari jauh, dihujani
anak panah dan senjata rahasia, maka tentu saja para pelarian itu makin lama
makin repot. Rakit mereka telah berada di tengah sungai yang lebar itu, terlalu
jauh dari tepi sehingga tidak mungkin lagi bagi mereka untuk mendarat. Para
pengeroyok sudah mengepung mereka dan biar pun di antara para pengeroyok itu
sudah sepuluh orang yang terjungkal ke dalam air, namun Liauw Kui dan Yu Ci Pok
yang maklum akan kelemahan lawan di air, terus mengepung dan berusaha
menggulingkan rakit itu dengan berbagai cara.
Sementara
itu, langit di atas mereka berkumpul awan mendung yang menghitam tanpa
diketahui oleh mereka yang sedang sibuk bertempur. Pada waktu itu Liauw Kui
sudah memerintahkan anak buahnya untuk menyerang dengan panah api! Dia merasa
amat penasaran bahwa dengan banyak anak buah belum juga mereka dapat
mengalahkan para pelarian itu, maka timbul keinginannya untuk menumpas musuh
yang tidak bisa ditawan kembali itu.
Berhamburanlah
anak panah berapi ke rakit itu dan See-thian Hoat-su berteriak-teriak marah.
Akan tetapi kakek yang lihai ini bersama Suma Kian Bu repot menangkis
panah-panah ini, demikian pula Jayin dan anak buahnya. Hanya Siang In yang
tidak peduli akan itu semua, dan kalau tidak ada Kian Bu yang selalu
melindunginya, tentu gadis ini akan menjadi korban panah berapi. Tetapi, walau
pun mereka tidak atau belum terkena anak panah tetapi ada panah yang menancap
di rakit mereka yang mulai terbakar!
Salah
seorang anak buah Panglima Jayin cepat melepas jubahnya, membasahi jubah itu
dengan air sungai kemudian dia cepat memadamkan api yang mulai membakar
permukaan rakit dari bambu. Akan tetapi, karena sibuk dengan usaha ini, dia
tidak dapat melindungi dirinya sendiri dan terdengar teriakan mengerikan ketika
orang ini terkena anak panah yang menancap di lambungnya! Orang Bhutan ini
terjungkal dan jatuh ke dalam air sungai.
Pada saat
itu tiba-tiba turun hujan dengan derasnya seperti dituang dari langit,
dibarengi dengan angin yang kencang. Amukan hujan dan angin ini sekaligus
membubarkan pertempuran, karena selain hujan yang amat deras membuat cuaca
menjadi gelap sekali dan membuat mereka sukar membuka mata, juga angin ribut
membuat air sungai mulai bergelombang yang makin lama makin dahsyat.
Beberapa
kali Siang In menjerit karena hampir dia tak dapat menahan mayat kakaknya yang
akan terlempar keluar karena rakit itu mulai berguncang dan miring ke kanan
kiri. Semua orang harus berpegangan kuat-kuat pada pinggiran rakit agar tidak
terlempar keluar. Ternyata hujan sejak tadi sudah turun di hulu Sungai Yi-tung
dan kini air mulai membanjir datang, menciptakan arus yang amat kuat sehingga
rakit-rakit itu hanyut dan terputar-putar tanpa dapat dikendalikan lagi.
Rakit yang
membawa para pelarian itu pun hanyut terseret arus, berputaran. Kian Bu
mendengar Siang In menjerit dan menangis karena jenazah enci-nya tidak dapat
dipertahankannya lagi. Rakit itu hampir jungkir-balik dan dia hampir saja
terbawa air kalau saja dia tidak cepat-cepat memegang pinggiran rakit. Dan
karena menyelamatkan diri sendiri ini, dia melepaskan mayat enci-nya yang
tahu-tahu telah lenyap disambar air.
“Enci...!”
Dara itu menjerit dan dengan nekat dia hendak menyusul mayat enci-nya.
“In-moi,
jangan...!”
Di antara
deras air hujan yang membuat orang sukar membuka mata, Kian Bu melihat dara itu
bangkit berdiri. Dia lalu meloncat dan berhasil mendorong kembali Siang In
sehingga terlempar dan roboh di atas rakit, disambar lengannya oleh See-thian
Hoat-su, namun Kian Bu sendiri tergelincir di pinggir rakit dan terseret oleh
air yang mengganas.
“Bu-twako...!”
Siang In menjerit akan tetapi Kian Bu telah lenyap ditelan air sungai yang
menggelora itu. Siang In menjerit-jerit dan roboh pingsan di pelukan Kakek
See-thian Hoat-su.
“In-moi...
ah, In-moi...”
Kian Bu
mengeluh, kepalanya terasa pening dan yang pertama kali teringat olehnya ketika
dia siuman dari pingsannya adalah Siang In karena ketika dia terlempar ke air
sungai dia sedang berusaha menolong gadis itu. Betapa pun kuatnya tubuh Kian Bu
di dalam air yang mengamuk itu dia sama sekali tidak berdaya. Dia terseret oleh
arus, dibuat terguling-guling, tenggelam-timbul, diangkat ke atas oleh
gelombang, dihempas lagi ke bawah dan dia pingsan. Tubuhnya seperti tidak
bernyawa lagi dipermainkan air Sungai Yi-tung yang mengamuk. Mungkin saja
karena pingsan inilah maka nyawanya tertolong.
Andai kata
dia tidak pingsan, tentu dia akan melawan maut dan justru perlawanan yang
sia-sia itu membuat tubuhnya kaku dan mungkin akan remuk-remuk
terbanting-banting seperti itu. Setelah pingsan tubuhnya menjadi lemas dan
tidak pernah melawan saat dipermainkan air dan agaknya air sungai pun tidak
bernafsu lagi menghadapi korban yang tidak mau melawan, seperti seekor kucing
tidak bernafsu lagi mempermainkan seekor tikus yang sudah tidak dapat bergerak.
Akhirnya air
menjadi bosan dengan tubuh manusia yang tak mampu bergerak lagi itu dan
menyeretnya ke tepi, melontarkan ke pinggir sehingga separuh tubuhnya berada di
atas tanah sedangkan dari pinggang ke bawah masih di dalam air.
“Siang In...
kasihan kau...” Kembali dia mengeluh.
“Engkau juga
kasihan, muda belia yang tampan...” Terdengar suara halus berada di dekatnya.
Kian Bu
terkejut dan kesadarannya mulai kembali. Ketika dia merasa betapa kepalanya
rebah di tempat yang lunak dan hangat, dia cepat membuka matanya dan terbelalak
heran melihat sebuah wajah yang cantik sekali berada di atasnya. Wajah yang
berkulit halus, dengan sepasang mata bening yang menatap mesra, dengan bibir
yang merah tersenyum ramah. Dan dia ternyata rebah di atas rumput di tepi sungai,
kepalanya rebah di atas pangkuan wanita berwajah cantik itu!
Tentu saja
Kian Bu terkejut sekali dan cepat dia bangkit duduk dan membalikkan tubuh
memandang. Wanita itu cantik bukan main dan ia mencium bau harum semerbak.
“Kau... kau
siapakah...?” Kian Bu bertanya meragu karena dia seperti pernah melihat wanita
ini.
Senyum di
bibir merah itu makin melebar dan nampaklah deretan gigi putih bersih,
kemudian, hanya sekilas pandang, nampak ujung lidah yang meruncing dan merah
menjilat keluar di antara deretan gigi atas bawah, hanya sebentar saja akan
tetapi mendatangkan penglihatan yang mengesankan.
“Namaku Hong
Kui... she Lauw... aku melihat engkau rebah di tepi sungai, kukira sudah mati,
lalu kutarik ke sini, ternyata engkau masih hidup. Sukurlah, Kongcu, sukur
engkau masih hidup...” Suara wanita ini merdu dan seperti orang bernyanyi saja
penuh dengan nada tinggi rendah dan kata-katanya diiringi gerak bibir mempesona
dan kerling mata yang menyambar-nyambar.
Heran
sekali, ketika melihat bibir yang bergerak-gerak dan mata mengerling tajam itu
teringatlah Kian Bu kepada Siang In ketika dara itu berlagak meniru gerak-gerik
wanita yang genit memikat. Wanita genit memikat! Tak salah lagi, dia inilah
orangnya!
“Jadi...
engkaukah ini...?” Dia meloncat berdiri.
Wanita itu
memandang ke arah celananya yang basah kuyup dan menempel ketat di tubuhnya,
sambil tertawa. Kian Bu menunduk dan cepat dia menutupkan jubahnya yang juga
basah kuyup di depan tubuhnya. Sialan! Celana yang basah kuyup itu membuat dia
seperti telanjang saja.
“Engkau
sudah mengenal aku, Kongcu?” wanita itu bertanya dan memandang penuh selidik.
“Bukankah
engkau yang dicari-cari oleh Teng Siang In?” Kian Bu bertanya, diam-diam harus
mengakui bahwa wanita yang sudah matang ini benar-benar cantik menarik dan
mempunyai daya pikat yang amat kuat. “Bukankah engkau yang... eh, mencuri kitab
dari dara itu?”
Wanita yang
berpakaian mewah dan indah, dengan gelung rambutnya yang tinggi itu tersenyum
lagi. Dia ini bukan lain adalah Mauw Siauw Mo-li. Seperti telah kita ketahui,
setelah mendengar dari Siang In tentang obat anak naga di Telaga Sungari,
wanita ini meninggalkan Siang In dan melanjutkan perjalanan hendak menuju ke
telaga itu.
Tetapi dia
terhalang oleh hujan angin dan terpaksa dia mencari tempat perlindungan dan
berteduh di dalam sebuah bekas bangunan kuil tak jauh dari Sungai Yi-tung yang
akan diseberangi. Setelah hujan berhenti, dia keluar dari tempat peneduhan itu
dan secara kebetulan saja dia melihat Kian Bu terdampar di tepi sungai. Melihat
seorang pemuda yang amat tampan dan muda itu terdampar seperti telah mati, dia
merasa sayang sekali dan cepat menghampiri. Segera ditolongnya pemuda itu
ketika dia mendapat kenyataan bahwa pemuda itu masih hidup.
“Ahh,
agaknya Adik Siang In telah bercerita kepadamu tentang kitab itu? Ahh, Kongcu,
kitab itu hanya kupinjam saja dan sekarang telah kukembalikan. Apakah dia tidak
bercerita kepadamu betapa aku telah menolong dan menyelamatkannya dari tangan
Tambolon? Akulah yang mengajaknya lari sebelum dia menjadi korban kejahatan
Tambolon dan mengantarnya sampai dia selamat dari kejaran mereka.”
Kian Bu lalu
duduk kembali dan wanita itu membuat api unggun. Sampai lama mereka tidak
bicara, dan wanita itu sering mengerling dan tersenyum kepadanya, sedangkan
semua gerak-geriknya ketika membuat api unggun, ketika melangkah dan
melenggang, semua penuh daya pikat dan seluruh bagian tubuh wanita itu seperti
hidup sendiri-sendiri, bergerak dengan penuh keindahan, dari gerak matanya,
sampai ke ujung jari tangannya, pinggungnya, kakinya, bibirnya.
“Agaknya
engkau telah menolong aku pula, Toanio...”
“Aihhh,
jangan kau menyebut aku Toanio, Kongcu...,” wanita itu cepat memutar tubuh,
mencela akan tetapi sambil tertawa. “Setelah kita bertemu di sini dan kebetulan
aku menarikmu dari air, bukankah kita telah menjadi sahabat?”
“Engkau juga
menyebut aku Kongcu (Tuan Muda)...”
“Hi-hik,
engkau sungkan benar..., biarlah kau menyebut aku... enci, karena aku memang
lebih tua darimu dan kau... eh, siapa sih namamu?”
“Aku Kian
Bu, Suma Kian Bu.”
“Namamu
gagah, seperti orangnya. Nah, Kian Bu, bukankah kini kita sudah bersahabat dan
lebih akrab kalau aku menyebut namamu saja dan kau menyebut enci kepadaku
seolah-olah kita ini dua orang bersahabat atau bersaudara?”
“Terima
kasih... Enci Hong Kui, engkau baik sekali.”
Wanita itu
kembali tersenyum dan membesarkan api unggun. “Kau duduklah dekat api, biar
tubuhmu hangat dan pakaianmu kering.”
“Aku harus
segera pergi mencari yang lain-lain, Enci. Mungkin mereka pun terdampar dan
selamat seperti aku.”
“Ehh, yang
lain-lain siapakah?”
Mereka
berdua duduk berdampingan di atas rumput, dekat api unggun. Malam itu gelap dan
dingin, tetapi api unggun itu hangat. Kian Bu lalu menceritakan pengalamannya,
betapa dia bersama Siang Hwa, Kakek See-thian Hoat-su dan lima orang Bhutan
melarikan diri dari sarang gerombolan Tambolon. Kemudian setelah berhasil
membawa pula Siang In yang muncul di tepi sungai, mereka dikepung oleh anak buah
Tambolon dan dikeroyok, akhirnya sampai hujan angin menyerang mereka semua.
“Aku tidak
tahu bagaimana dengan nasib mereka karena aku terlempar keluar dari rakit dan
aku tidak ingat apa-apa lagi. Aku harus segera mencari Siang In. Kasihan sekali
gadis itu, sudah kehilangan enci-nya yang tewas di atas rakit, kemudian dia
sendiri masih terancam bahaya maut. Mudah-mudahan saja dia masih hidup dan
selamat, dan aku harus mencarinya sekarang juga, Enci Hong Kui.”
Akan tetapi
Mauw Siauw Mo-li menggeleng kepalanya. “Tidak akan ada gunanya, Kian Bu. Malam
amat gelap, langit masih diliputi mendung dan tidak mungkin kita dapat mencari
dia di tempat gelap begini. Kita menanti sampai besok dan aku pasti akan
membantumu mencari dia. Sekarang, mari kau makan dulu, aku membawa bekal roti
dan arak.”
Kian Bu
bangkit berdiri dan memandang ke arah sungai. Air masih penuh sungguh pun
gelombang tidak mengamuk seperti tadi, akan tetapi keadaannya gelap benar
sehingga memang tidak mungkin untuk mencari Siang In di sepanjang tepi sungai
itu. Dia menarik napas panjang dan duduk kembali, sementara wanita itu
mengeluarkan bungkusan roti dan seguci arak. Makanan itu dibelinya dari warung
di dusun yang dilewatinya tadi dan dibawa sebagai bekal.
“Sungguh
kasihan sekali Siang In...” Kian Bu berkata ketika dia sudah kembali duduk dan
membayangkan keadaan dara yang lincah jenaka itu.
“Eh...,
apamukah dia itu? Sahabat baikmu? Pacarmu?”
Wajah pemuda
itu menjadi merah sekali mendengar pertanyaan terakhir itu, pertanyaan yang
diajukan dengan suara biasa saja.
“Oh, bukan!
Kami hanya teman-teman seperjalanan yang beberapa hari yang lalu saling
berjumpa dalam hutan.”
“Ah, kukira
pacar atau... calon isteri.”
“Hemmm, aku
masih belum bertunangan,” Kian Bu menjawab cepat untuk menyetop percakapan
mengenai hal itu
Wanita itu
memandangnya dengan kerling tajam dan senyumnya melebar, manis sekali. Wajahnya
kelihatan kemerah-merahan di bawah sinar api unggun. “Kian Bu, engkau makanlah.
Roti ini kubeli di dusun tadi, masih lunak. Marilah!”
“Terima
kasih.”
Kian Bu
menerima roti dan bersama Mauw Siauw Mo-li yang mengaku bernama Lauw Hong Kui,
nama kecilnya yang jarang dikenal orang itu, dia makan roti karena memang
perutnya terasa lapar sekali. Teringat olehnya betapa dia bersama Siang In
sudah sejak ditawan tidak makan apa-apa dan perutnya menerima roti dengan
hangat.
Melihat Kian
Bu menelan roti agak seret, Mauw Siauw Mo-li tersenyum mengulurkan tangannya
yang memegang guci arak. “Minumlah... arak ini pun arak baik, manis dan tidak
begitu keras.”
“Mana cawan
atau mangkoknya?” Kian Bu menerima guci.
“Ih, membawa
cawan di perjalanan berabe saja dan di tempat ini mana ada mangkok? Kau minum
saja dari guci itu.”
“Tapi...
tapi... ini guci arakmu dan...”
“Aih, Kian
Bu, mengapa engkau banyak sungkan? Minum begitu saja mengapa sih?”
“Habis,
bagaimana engkau nanti kalau hendak minum?”
“Bagaimana?
Ya biasa saja, dari guci.”
“Kalau
begitu, kau minumlah dulu!” Kian Bu mengembalikan guci arak, merasa sungkan kalau
harus mendahului. Untuk minum dari guci, berarti bahwa mulut guci akan beradu
dengan mulutnya.
“Hi-hi-hik,
engkau seperti anak kecil saja.” Mauw Siauw Mo-li diam-diam merasa girang
sekali dan makin tergila-gila kepada pemuda remaja yang tampan dan sopan ini.
Dia membuka tutup guci, mencucup mulut guci dan mereguk sedikit arak, lalu
menyerahkan guci itu kepada Kian Bu. “Nah, giliranmu minum!”
Karena
memang roti itu sebagian berhenti di kerongkongannya, Kian Bu menerima guci
arak dan mereguk araknya, langsung dari mulut guci masuk ke mulutnya. Setelah
dia menurunkan guci itu, Mauw Siauw Mo-li mengambil dari tangannya dan tanpa
ragu-ragu wanita itu minum lagi. Kian Bu melihat betapa sepasang bibir yang
berkulit tipis itu mengulum mulut guci dan betapa leher yang panjang itu
bergerak-gerak ketika arak memasukinya. Cepat Kian Bu menunduk karena
penglihatan itu terlalu mendebarkan jantungnya, entah mengapa dia sendiri pun
tidak mengerti.
Baru saja
mereka selesai makan roti dan minum arak, pada waktu Kian Bu duduk membelakangi
api untuk mengeringkan pakaiannya di bagian punggung, tiba-tiba dia mendengar
gerakan orang dan dia bersikap waspada sungguh pun masih kelihatan tenang saja.
Dia tahu bahwa ada gerakan beberapa orang mendekat tempat itu dari arah daratan
yang penuh pohon-pohon.
Mula-mula
dengan penuh harapan, timbul dugaannya bahwa itu adalah Siang In dan
teman-teman lain, akan tetapi dia tahu bahwa harapannya itu sia-sia karena
kalau Siang In, tentu sudah berseru memanggilnya, pula kalau mereka itu teman-teman,
tentu tidak berindap-indap seperti kelakuan orang-orang yang mempunyai niat
buruk.
“Ssssttt,
kau mendekatlah ke sini. Ada orang-orang yang datang...” Mauw Siauw Mo-li
berbisik.
Tahulah Kian
Bu bahwa wanita ini juga memiliki pendengaran yang amat tajam. Dan wanita ini
kelihatan tenang saja, bahkan kini menambah kayu kering pada api unggun
sehingga keadaan di situ menjadi cukup terang.
“Kau
mendekatlah agar aku dapat melindungimu, Kian Bu. Mereka itu tentu orang-orang
yang berniat buruk...”
Kian Bu
menurut dan dia mendekati wanita itu. Mereka masih duduk dekat api unggun
ketika orang-orang itu telah datang mengurung dan dari sudut matanya Kian Bu
melihat bahwa mereka itu adalah dua orang pembantu Tambolon bersama sepuluh
orang anak buah mereka. Dia bersikap waspada karena maklum bahwa dua orang
pembantu raja liar itu memiliki ilmu kepandaian yang tinggi juga. Munculnya dua
orang pengejar ini mendatangkan dua macam perasaan di hati Kian Bu. Dengan
masih berkeliarannya mereka itu di sini, berarti bahwa mereka belum dapat
menawan kembali Siang In dan yang lain-lain, akan tetapi juga menimbulkan
keraguan apakah mereka semua yang menjadi pelarian itu dapat menyelamatkan diri
dari sungai yang mengganas.
Yang datang
itu memang benar adalah sisa-sisa anak buah Tambolon yang berhasil
menyelamatkan diri dari amukan badai di Sungai Yi-tung, dipimpin oleh Liauw Kui
Si Petani Maut dan Yu Ci Pok Si Siucai Maut. Mereka tidak berhasil menemukan
para pelarian itu dan melihat api unggun dari jauh, mereka lalu berindap-indap
datang ke tempat itu. Marah hati mereka ketika mengenal Kian Bu sebagai seorang
di antara para pelarian itu, dan dua orang pembantu Tambolon ini mengenal pula
Mauw Siauw Mo-li, karena ketika Siluman Kucing ini dahulu bersama Hek-tiauw
Lo-mo memimpin pasukan pemberontak menumpas pasukan Tambolon di Koan-bun,
mereka berdua langsung berhadapan dengan wanita ini dan suheng-nya yang lihai.
“Hemm,
kiranya engkau pula yang berada di sini, Siauw Mo-li!” Liauw Kui berkata marah
sambil melintangkan batang pikulannya di depan dada. “Sudah beberapa kali
engkau sengaja merintangi jalan kami. Sesudah penyerbuan di Koan-bun, engkau
melarikan pengantin raja kami, kemudian sekarang engkau di sini bersama seorang
buruan kami. Berikan dia kepada kami.”
Mauw Siauw
Mo-li tersenyum. “Kalian orang-orang liar kaki tangan Tambolon, lebih baik
lekas pergi dari sini, jangan mengganggu aku kalau kalian belum bosan hidup.”
Dengan sikap tenang seenaknya Lauw Hong Kui, wanita cantik yang kesenangannya
merasa terganggu itu berkata sambil mengorek api unggun sehingga nyalanya
menjadi makin besar.
“Perempuan
sombong! Kau kira aku takut kepadamu?” Liauw Kui membentak marah sekali.
“Hi-hik,
engkau sudah bosan hidup!” Mauw Siauw Mo-li tertawa lalu berbisik kepada Kian
Bu, “Engkau tunggu sebentar, aku akan menghajar tikus-tikus busuk ini!”
Kian Bu
mengangguk dan memandang dengan terheran-heran. Tak disangkanya sama sekali
bahwa wanita cantik jelita yang telah menolongnya ini, yang mempunyai nama
indah, yaitu Lauw Hong Kui, kiranya adalah Mauw Siauw Mo-li, Si Siluman Kucing
yang telah dia dengar namanya dari kakaknya itu. Kiranya ini adalah sumoi dari
Hek-tiauw Lo-mo yang lihai!
Heran sekali
dia mengapa seorang iblis seperti Hek-tiauw Lo-mo memiliki seorang sumoi
sehebat ini dan sama sekali tidak disangkanya bahwa wanita yang berjuluk Mauw
Siauw Mo-li yang dikabarkan seperti iblis betina itu ternyata adalah seorang
wanita yang begitu cantik. Dan wanita ini ternyata tidak membohong ketika
mengatakan bahwa dia menyelamatkan Siang In dari tangan Tambolon, karena
menurut ucapan Liauw Kui yang marah tadi agaknya memang demikian. Kini Kian Bu
duduk di dekat api unggun dan menonton dengan hati tertarik. Lauw Hong Kui
tidak tahu bahwa dia memiliki kepandaian maka dia pun tidak akan turun tangan
kalau tidak perlu sekali, sungguh pun dia telah siap karena maklum betapa
lihainya dua orang pembunuh utama Tambolon.
“Mampuslah...!”
Tiba-tiba
tangan Mauw Siauw Mo-li bergerak dan dia telah melontarkan sebatang ranting
yang ujungnya bernyala ke arah Petani Maut. Ranting yang ujungnya terbakar itu
meluncur seperti anak panah cepatnya, menyambar ke arah dada pembantu utama
Tambolon itu. Liauw Kui mendengus marah, batang pikulannya bergerak menangkis
dan ranting itu meluncur ke kiri. Terdengar pekik mengerikan dan seorang di
antara anak buah pasukan Tambolon itu roboh dengan perut tertembus ranting tadi
yang kini menjadi padam.
Siauw Mo-li
tertawa dan Liauw Kui menjadi marah bukan main. Tak disangkanya bahwa lontaran
ranting itu sedemikian kuatnya sehingga biar pun telah dapat ditangkis, namun
masih dapat membunuh seorang anak buahnya.
Lauw Hong
Kui sudah meloncat berdiri dan tangan kanannya meraba punggung. Sinar kehijauan
nampak di antara cahaya api ketika wanita ini sudah mencabut pedangnya. Melihat
ini Liauw Kui sudah berteriak keras dan menerjang maju, sambil menggerakkan
senjatanya yang istimewa, yaitu batang pikulannya.
“Singgg...
wirrr...!”
Pikulan itu
berubah menjadi sinar bergulung ketika menyambar ke arah Siauw Mo-li. Namun
wanita ini tidak menjadi gentar, cepat mengelak dan menggerakkan pedangnya
untuk balas menyerang.
“Tring-tring-tringgg...!”
Berkali-kali
kedua senjata bertemu dan bunga api berhamburan. Keduanya merasa betapa tangan
mereka yang memegang senjata tergetar, maka dengan kaget mereka melangkah
mundur dan memeriksa senjata masing-masing. Setelah ternyata bahwa senjata
mereka tidak menjadi rusak, mereka bergerak lagi saling menyerang dengan marah.
Kian Bu yang
menonton pertempuran itu menjadi kagum. Ternyata bahwa Lauw Hong Kui selain
cantik jelita dan memiliki daya tarik yang amat luar biasa, juga memiliki
kepandaian tinggi, ilmu pedangnya indah dan lihai sehingga kalau saja pembantu
utama Tambolon itu bukan seorang yang berilmu, tentu tidak akan kuat bertahan
menghadapi gerakan pedang yang cepat dan aneh itu. Mereka ternyata seimbang
karena senjata batang pikulan itu pun luar biasa, berputar seperti kitiran dan
mengandung kekuatan yang dahsyat. Kian Bu mengerti bahwa dalam hal tenaga,
Petani Maut itu lebih kuat dibandingkan dengan Siauw Mo-li, akan tetapi jelas
bahwa wanita itu lebih cepat gerakannya, lebih lincah dan ringan sehingga
mengandalkan kelincahannya ini, Siauw Mo-li dapat mengimbangi desakan lawan.
Betapa pun
juga, Kian Bu maklum bahwa kalau dilanjutkan, besar kemungkinan wanita itu akan
dapat merobohkan lawannya, meski pun akan tidak mudah baginya melakukan hal
itu. Maka dia hanya menonton saja dan waspada terhadap gerak-gerik Si Siucai
Maut dan anak buahnya yang juga menonton dengan penuh perhatian.
Melihat
betapa setelah lewat lima puluh jurus temannya belum juga dapat mengalahkan
wanita itu, bahkan kini gulungan sinar pedang kehijauan itu menjadi makin lebar
dan makin menghimpit, Yu Ci Pok menjadi tidak sabar.
“Iblis
betina banyak tingkah!” teriaknya.
Dia sudah
menerjang maju dengan sepasang poan-koan-pit di tangannya melakukan gerakan
cepat menotok secara bertubi-tubi di tujuh belas jalan darah depan tubuh wanita
lihai itu.
“Cring-cring-cring-tranggg...!”
Siauw Mo-li
terhuyung ke belakang karena dia harus menghadapi serangan batang pikulan dan
sepasang poan-koan-pit yang amat lihai itu.
Melihat dua
orang itu sudah menerjangnya lagi dan sembilan orang anak buahnya itu sudah
makin mendekat, Mauw Siauw Mo-li tiba-tiba mengeluarkan suara ketawa diikuti
suara aneh seperti seekor kucing, tangan kirinya bergerak melemparkan sesuatu
ke arah gerombolan itu, tangan kanan memutar pedang mendesak dua orang lawan
yang sudah menyerangnya lagi sambil berteriak, “Kian Bu, tiarap...!”
Terdengar
bunyi ledakan keras. Empat orang anak buah Tambolon roboh sedangkan yang lima
orang lagi cepat berlarian cerai-berai. Akan tetapi, Mauw Siauw Mo-li sendiri
terdesak hebat oleh Liauw Kui dan Yu Ci Pok. Sebuah totokan yang sangat cepat
menyerempet lututnya, membuat wanita ini terhuyung dan pada saat itu, batang
pikulan Liauw Kui datang menghantam punggungnya yang biar pun sudah
ditangkisnya dengan pedang, tetap saja masih membuat dia terjengkang dan roboh
ke atas tanah. Kini dua orang pembantu Tambolon itu sudah menubruk ke depan
dengan senjata mereka.
“Wuuuttt...
desss!”
Dua orang
itu berseru kaget dan terhuyung ke belakang, karena ada tenaga dahsyat dan
berhawa dingin sekali melanda mereka dari depan. Itulah dorongan pukulan yang
mengandung hawa sakti Swat-im Sinkang dari Kian Bu. Pemuda ini tentu saja tidak
mau membiarkan wanita cantik yang sudah menolongnya itu tewas di tangan musuh
begitu saja, maka dia sudah meloncat ke depan dan melakukan pukulan jarak jauh
tadi.
“Enci Hong
Kui... apakah engkau tidak apa-apa? Tidak terluka...?” kata Kian Bu sambil
menghampiri wanita yang masih terduduk di atas tanah itu dan yang kini
memandang kepadanya dengan mata terbelalak lebar penuh keheranan.
“Kian Bu,
awas...!” Tiba-tiba Mauw Siauw Mo-li berseru keras.
Akan tetapi
dengan tenang saja Kian Bu membalikkan tubuhnya dan menggerakkan kedua tangan.
Tentu saja tanpa diperingatkan pun dia telah tahu bahwa dia diserang dari
belakang oleh dua orang itu.
“Plak-plak-bresss...!”
Liauw Kui
dan Yu Ci Pok kembali terhuyung ke belakang ketika penyerangan mereka disambut
tangkisan dan tamparan kedua tangan Kian Bu yang mengandung tenaga dahsyat itu,
kini tidak lagi mengandung hawa dingin, melainkan hawa panas karena pemuda itu
telah mengerahkan tenaga sakti Hwi-yang Sinkang. Batang pikulan Liauw Kui yang
tertangkis membalik dan hampir menghantam kepalanya sendiri, sedangkan Yu Ci
Pok tertampar tangan Kian Bu yang panas, tepat mengenai lengannya, membuat dia
merasa lengannya seperti lumpuh dan panas terbakar.
Pada saat
itu, Lauw Hong Kui sudah melemparkan dua buah benda bundar lagi ke arah musuh.
“Awas
peledak...!” Si Petani Maut berteriak dan bersama Yu Ci Pok dan anak buahnya
dia meloncat jauh.
Tetapi tetap
saja ada dua orang anak buahnya lagi yang roboh terguling dan maklum bahwa
mereka tidak akan mampu melawan pemuda lihai dan wanita berbahaya itu, Liauw
Kui dan Yu Ci Pok lalu melarikan diri, menghilang di kegelapan malam diikuti
anak buah mereka yang tinggal empat orang itu. Kian Bu tidak mengejar, hanya
berdiri tegak memandang ke arah mereka itu melarikan diri.
Tiba-tiba
Kian Bu menunduk dan dia melihat wanita itu sudah berlutut di dekatnya,
memegang tangan kanannya lalu menciumi tangannya itu.
“Eh, engkau
kenapa, Enci?” tanyanya, akan tetapi tidak dapat menarik tangannya yang
digenggam erat-erat dan dibelai oleh wanita itu.
“Kian Bu...
kau... tak kusangka... aihhh, engkau hebat sekali! Kiranya engkau seorang
pemuda yang sakti, sungguh mati aku tidak menyangkanya... kau hebat, aku kagum
sekali padamu...”
“Ah,
sudahlah, engkau pun lihai sekali, Enci Hong Kui.”
Wanita itu
bangkit berdiri, masih memegangi lengan Kian Bu, dan dibawah sinar api unggun
dia melihat betapa muka wanita itu kemerahan, matanya yang indah itu agak
terpejam, menyipit dan sayu menatapnya. Jari-jari tangan wanita itu lalu
merayap dari lengannya, ke atas, membelai dadanya, pundaknya, lehernya dan
mengelus pipinya, bibirnya tersenyum, agak terbuka, agak terengah. Teringat olehnya
akan Siang In yang pernah meniru lagak wanita genit memikat, wanita ini yang
dimaksudkan oleh dara itu dan kini dia menghadapi sendiri gaya Mauw Siauw Mo-li
yang amat memikat itu.
Berdebar
rasa jantungnya, dan dia cepat menarik diri dengan halus sambil berkata,
“Kiranya engkau adalah Mauw Siauw Mo-li... sumoi dari Hek-tiauw Lo-mo?”
Siauw Mo-li
tersenyum, tidak mendesak dengan rayuannya karena dia maklum bahwa pemuda ini
adalah orang yang memiliki kepandaian hebat sekali, tidak boleh dipandang
ringan. Hati wanita ini sudah terpikat. Baru sekali ini selama hidupnya dia
benar-benar jatuh cinta kepada seorang pria. Biasanya dia menganggap pria hanya
sebagai barang permainannya, untuk menyenangkan hatinya, untuk memuaskan nafsu
birahinya. Entah sudah berapa banyaknya pria yang dibunuhnya setelah dia puas
mempermainkannya, kemudian menjadi bosan dan membunuhnya. Biasanya, kaum
prialah yang tergila-gila kepadanya. Akan tetapi sekarang, Mauw Siauw Mo-li
yang tergila-gila kepada Kian Bu, setelah dia melihat betapa pemuda yang tampan
gagah ini ternyata amat lihai, memiliki kepandaian yang agaknya lebih tinggi
dari pada kepandainnya sendiri.
“Aku benci
sekali kepada julukan itu, Kian Bu. Julukan yang diberikan oleh mereka yang tak
suka kepadaku. Aku benci sekali, apa lagi kalau engkau yang menyebutnya. Bagimu
aku adalah Lauw Mong Kui, wanita biasa saja...”
Kian Bu
tersenyum. “Enci Hong Kui, biar pun engkau mengaku seorang wanita biasa saja,
kenyataannya engkau adalah seorang wanita yang luar biasa. Engkau cantik
jelita, berkepandaian tinggi, sumoi dari Ketua Pulau Neraka...”
Akan tetapi
wanita itu sudah tidak mendengarkan kata-kata selanjutnya dari Kian Bu.
Demikian girang hatinya mendengar pujian bahwa dia cantik jelita. “Benarkah,
Kian Bu? Benarkah engkau berpendapat bahwa aku cantik jelita?”
“Engkau
memang cantik dan genit memikat...” Kian Bu kembali teringat kepada Siang In.
“Dan biar pun engkau sumoi Hek-tiauw Lo-mo, ternyata engkau baik, telah
menolong Siang In, dan juga telah menolongku. Akan tetapi sekarang aku harus
pergi, Enci Hong Kui. Aku harus mencari Siang In...”
Kian Bu
telah memutar tubuhnya hendak pergi dan merasa bahwa akan terjadi sesuatu yang
tidak baik kalau dia terus berdekatan dengar wanita ini, yang membuat
jantungnya berdebar aneh. Wanita ini memiliki daya tarik yang amat luar biasa.
Tadi ketika jari-jari tangan wanita itu menjelajahi tubuhnya, seperti ular-ular
merayap, bulu tengkuknya meremang, akan tetapi di samping kengerian ini dia pun
merasakan sesuatu yang aneh, nikmat dan membangkitkan keinginan tahunya.
“Ehhh, Kian
Bu, nanti dulu!” Lauw Hong Kui atau Mauw Siauw Mo-li sudah lari mengejar dan
memegang lengan tangan pemuda itu. “Kenapa kau ingin pergi sekarang? Sudah
kukatakan malam amat gelap, engkau tidak akan berhasil mencarinya, pula, di
tempat ini berkeliaran orang-orangnya Tambolon sehingga di dalam gelap amat
berbahaya, dapat celaka oleh mereka. Tunggulah sampai besok pagi, aku pasti
akan membantumu mencari dia, Kian Bu.”
“Tidak
perlu, Enci. Biar aku mencari sendiri. Engkau baik sekali dan terima kasih atas
semua bantuanmu.”
“Kau tetap
nekat hendak pergi mencari gelap-gelap begini? Kalau begitu, biarlah aku
menemanimu.”
Tentu saja
Kian Bu tidak dapat menolak atau melarang dan mereka berdua mulai mencari-cari
di sepanjang sungai itu. Akan tetapi, karena memang cuaca amat gelap, sukar
sekali mencari orang dan akhirnya Kian Bu terpaksa menurut bujukan Hong Kui
untuk beristirahat dan menanti sampai malam lewat, baru akan melanjutkan usaha
mencari Siang In dan yang lain-lain itu. Mereka duduk di tepi sungai, membuat
api unggun.
“Tidurlah,
Kian Bu. Engkau baru saja mengalami bahaya maut di sungai, mengalami
pertandingan yang berat. Engkau tentu lelah sekali, biar aku yang menjaga di
sini.”
Kian Bu
memang merasa lelah sekali. Dia lalu merebahkan diri terlentang di atas rumput
dekat api unggun, memandang wanita itu yang duduk dekat api unggun sambil
menambah kayu bakar ke dalam api. Hong Kui menoleh dan mereka saling pandang.
Wanita itu tersenyum. Giginya yang berderet rapi itu berkilauan tertimpa cahaya
api. Wanita cantik sekali, pikir Kian Bu yang rebah terlentang berbantal kedua
tangannya.
“Enci Hong
Kui, kita baru saja saling bertemu. Mengapa engkau begini baik kepadaku? Selain
menolongku dari sungai ketika aku pingsan, membantuku melawan anak buah
Tambolon, bersikap manis dan kini hendak membantuku mencari Siang In. Mengapa?”
Pertanyaan
yang mengandung nada suara penuh selidik ini tentu saja dapat tertangkap oleh
wanita yang sudah berpengalaman itu. Mauw Siauw Mo-li tahu pemuda macam apa
adanya Kian Bu. Pemuda yang masih perjaka, yang belum berpengalaman, namun
seorang yang gemblengan dan walau pun di dalam sinar mata pemuda itu terdapat
semangat kegembiraan yang besar, namun pemuda seperti ini tak akan mudah tunduk
kepada dorongan nafsu begitu saja. Juga tidak mungkin untuk memaksa pemuda ini seperti
yang sering dia lakukan terhadap pemuda-pemuda lain, tidak mungkin pula
mempergunakan obat bius atau obat perangsang.
Satu-satunya
jalan dia harus dapat menundukkan hati pemuda ini dengan rayuannya, harus dapat
menimbulkan cinta kasih di hati pemuda ini. Dan dia dapat membayangkan betapa
akan senang dan bahagia hatinya kalau pemuda ini dapat bertekuk lutut dan dapat
menjadi kekasihnya. Dia akan melepaskan semua hasrat petualangannya, akan
menghindari semua pria lain kalau saja dia bisa mendapatkan cinta kasih dari
pemuda luar biasa ini. Maka dia harus bersikap cerdik dan hati-hati.
Dapat
dibayangkan betapa kaget dan heran rasa hati Kian Bu ketika mendadak dia
melihat wanita cantik itu menutupi muka dengan kedua tangan dan terisak
menangis!
“Ehh, Enci...,
kau kenapa?” tanyanya sambil bangkit duduk.
Hong Kui
terisak lirih, mengatur pernapasannya terengah, kemudian dia menurunkan kedua
tangan. Mukanya pucat matanya merah dan air mata menetes turun ke atas kedua
pipinya. Dia menggigit bibir seperti hendak memperkuat hatinya, kemudian baru
dia berkata sambil menunduk, “Pertanyaanmu mengingatkan aku bahwa aku hanyalah
seorang calon mayat, Kian Bu...” Air matanya bercucuran.
“Eh, apa
maksudmu, Enci?” Kian Bu memandang penuh perhatian dan teringat akan gaya Siang
In ketika menirukan gerak-gerik wanita ini. Akan tetapi sekali ini agaknya Hong
Kui tidak bersandiwara, tidak berpura-pura dan bergaya memikat.
“Tadi aku
tidak berterus terang ketika menceritakan kepadamu, Adik Kian Bu. Aku sampai
mencuri kitab dari Pek-thouw-san, kitab peninggalan ayah Adik Siang In, hanya
karena terpaksa. Aku keracunan hebat oleh latihan yang keliru, melatih ilmu
dari kitab suheng Hek-tiauw Lo-mo, dan aku tahu bahwa kalau tidak memperoleh
obat yang tepat, aku akan mati. Sekarang, melihat bahwa engkau adalah seorang
yang berilmu tinggi, maka timbul kembali harapanku, akan tetapi... aku sangsi
apakah engkau akan sudi membantuku sehingga nyawaku dapat terhindar dari
ancaman maut..., karena itu aku membantumu sekuat tenagaku hanya... hanya agar
supaya engkau menaruh kasihan kepadaku...”
“Enci Hong
Kui, mengapa kau berkata demikian? Tanpa engkau menolongku sekali pun, kalau
memang aku dapat membantu, aku tentu tidak akan menolak jika engkau membutuhkan
bantuanku.”
Wajah yang
pucat itu menjadi agak berseri, mata yang sayu oleh tangis itu memandang penuh
harapan. “Benarkah, Kian Bu? Ahhh, benarkah kau sudi menolongku? Aku... aku
adalah seorang sebatang kara, tidak punya ayah bunda, tidak ada saudara...”
“Ada
suheng-mu...”
“Suheng-ku
adalah seorang yang jahat, seorang yang kejam, bahkan ancaman maut ini datang
dari kitabnya yang kupelajari, dan dia tidak peduli...”
“Akan tetapi
masih ada Hek-wan Kui-bo. Bukankah dia suci-mu...? Ahhh, maaf, hampir aku lupa
bahwa dia telah tewas...”
“Andai kata
masih hidup pun, Suci itu lebih jahat lagi dari pada Suheng. Pendeknya, aku
hidup sebatang kara di dunia ini, dan sekarang terancam bahaya. Hanya engkau
yang kuharapkan, hanya engkau yang dapat membantuku, Kian Bu.”
“Enci Hong Kui,
engkau sendiri adalah seorang yang memiliki kepandaian tinggi. Kalau hanya
mencari obat saja, tanpa bantuanku pun engkau tentu dapat melakukannya.”
“Aihhh,
engkau tidak tahu. Pernah Suheng berkata kepada puterinya, si anak nakal Hwee
Li, bahwa yang akan dapat menyembuhkan keracunan di tubuhku ini hanya anak naga
di Telaga Sungari. Dan bulan depan ini naga itu akan muncul, munculnya setiap
sepuluh tahun sekali. Nah, anak naga yang dibawa muncul di permukaan air telaga
oleh induknya itulah yang akan dapat membersihkan darah dan tubuhku dari
keracunan. Akan tetapi, tidak mudah untuk menangkap anak naga itu, Kian Bu.
Dengan tenagaku sendiri saja, agaknya tak akan mungkin berhasil. Karena itu,
aku mohon kepadamu..., sudilah engkau membantuku menangkap anak naga di Telaga
Sungari itu, yang berarti bahwa engkau akan menyelamatkan nyawaku.” Dan wanita
itu pun menangis sambil menjatuhkan diri berlutut di depan Kian Bu!
Pemuda itu
terkejut, merasa kasihan sekali lalu membangunkan wanita itu. “Jangan begitu,
Enci. Baiklah, aku akan membantumu.”
“Terima
kasih... ohh, terima kasih...!” Lauw Hong Kui memegang tangan Kian Bu dan
mencium tangan pemuda itu. Perbuatan ini bukan merupakan sandiwara lagi,
melainkan keluar dari setulusnya hati karena dia merasa gembira dan berbahagia
sekali.
“Enci, kau
aneh sekali.” Kian Bu perlahan menarik tangannya. “Apa sih anehnya
tolong-menolong antara manusia dalam hidup ini? Bahkan kuanggap bukan
pertolongan lagi namanya, melainkan sudah semestinya kalau manusia hidup harus
bantu-membantu.”
“Aku besok
akan membantumu mencari Siang In dan yang lain-lain sampai dapat, Kian Bu.
Setelah itu barulah kita berangkat ke Telaga Sungari dan mudah-mudahan saja
kita akan berhasil karena urusan ini adalah mati hidup bagiku.”
Hong Kui
cerdik sekali dan dia tidak mau terlalu mendesak, menahan kerinduan dan
birahinya karena dia tak ingin pemuda yang telah menjatuhkan hatinya ini akan
menjadi curiga kepadanya. Memang dia amat membutuhkan obat seperti yang
diceritakan oleh Siang In itu, akan tetapi dia membohong bahwa dia akan mati.
Yang jelas, dia merasa bahwa kesehatannya mundur banyak dan kadang-kadang
terasa nyeri di dadanya sebagai akibat keracunan itu. Akan tetapi yang penting
baginya bukanlah itu, melainkan Kian Bu! Kalau dia dapat memperoleh pemuda yang
membuatnya tergila-gila ini sebagai suami atau kekasih, biar mati oleh racun
itu pun dia sudah merasa puas!
Kedua orang
ini lalu beristirahat. Kian Bu bersandar pada batang pohon, memandang ke arah
tubuh Hong Kui yang rebah terlentang di dekat api unggun dalam keadaan pulas.
Cantik sekali wanita ini, pikirnya, kagum melihat wajah yang cantik itu
tertimpa sinar api unggun dan tubuh yang menggairahkan itu menonjol di balik
pakaian dari sutera, dadanya yang penuh turun naik dalam pernapasannya. Wanita
cantik yang terancam bahaya maut. Akan tetapi benarkah itu?
Perempuan
ini adalah sumoi dari Hek-tiauw Lo-mo, sedangkan Ketua Pulau Neraka itu
demikian jahatnya! Bagaimana kalau wanita ini pun jahat seperti suheng-nya dan
kini sedang menjalankan siasat untuk menipunya? Kelihatannya begitu sehat dan
segar, dan gerakannya ketika bertanding tadi amat ringan dan lincah, sama
sekali tidak ada tanda-tanda keracunan.
Akan tetapi,
dia bukan seorang ahli pengobatan, maka tentu saja tanda-tanda itu tidak nampak
olehnya. Betapa pun juga, kepandaiannya tentang jalan darah dan hawa murni di
dalam tubuh yang dimilikinya saat dia dilatih sinkang di bawah gemblengan
ayahnya, membuat dia dapat menentukan apakah seseorang mengandung hawa beracun
di dalam tubuhnya atau tidak, dengan jalan meneliti jalan darahnya dan detik
jantungnya.
Kian Bu
mendekati tubuh Hong Kui. Melihat wanita itu sudah tidur pulas, dan hal ini
diketahuinya dari jalan pernapasannya, Kian Bu lalu mengulur tangan, yang kiri
meraba ulu hati Hong Kui, yang kanan memegang pergelangan tangannya. Pemuda
yang lihai namun masih hijau ini dapat dikelabui oleh Hong Kui. Wanita ini amat
pandai, dan tahu bahwa untuk mengelabui seorang pemuda setinggi Kian Bu
kepandaiannya bukanlah hal mudah dan kalau hanya dengan memejamkan mata
pura-pura tidur saja tentu akan diketahui oleh pemuda lihai itu.
Dia pun tahu
bahwa bagi seorang yang mengerti akan ilmu silat, tanda bagi seseorang apakah
dia itu pulas atau tidak dapat dilihat dari pernapasannya, karena pernapasan
dari seorang yang tidak tidur, betapa pun diusahakan supaya halus dan panjang,
tetap saja dikuasai oleh kesadaran dan setiap saat dapat berubah sesuai dengan
isi pikiran yang menguasai jantung sehingga pernapasan yang tidak dapat
terlepas dari keadaan jantung itu terpengaruh pula. Pernapasan seorang yang
tidur adalah wajar dan tidak dikuasai apa-apa, paru-paru bekerja sewajarnya dan
dengan sendirinya.
Pendengaran
tajam seorang ahli silat yang terlatih seperti Kian Bu tentu saja mampu
membedakannya. Karena itu, Hong Kui yang rebah terlentang dan sengaja
menghimpit bajunya di bawah tubuh sehingga bajunya itu tertarik ketat mencetak
lekuk-lengkung tubuhnya hingga terlihat amat menggairahkan, melakukan siu-lian
sambil rebah hingga keadaannya tiada bedanya dengan orang tidur karena segala
bentuk rasa, hati dan pikiran telah terhenti dan tak lagi mempengaruhi
jantungnya, membuat pernapasannya menjadi wajar seperti napas orang tidur!
Patut
dikagumi kekuatan kemauan wanita ini. Dapat dibayangkan betapa ketika Kian Bu
mendekatinya, menempelkan telapak tangan di antara bukit dadanya, nafsu
birahinya telah terangsang dan ingin dia segera merangkul leher pemuda itu dan
menariknya untuk didekap dan dicumbu, akan tetapi Hong Kui menahan diri dan
tidak bergerak sama sekali.
Pada
dasarnya Suma Kian Bu sendiri adalah seorang pemuda yang memiliki sifat-sifat
romantis. Dia memang tidak mempunyai niat lain kecuali memeriksa keadaan tubuh
wanita itu untuk menyelidiki apakah benar wanita itu keracunan darah dan
tubuhnya, tetapi ketika ujung jari tangannya menyentuh ulu hati dan tanpa
disengaja menyentuh lereng bukit dada, jantungnya sendiri berdebar tegang
sehingga ketegangannya membuat kepekaannya berkurang dan dia tidak tahu bahwa
dalam beberapa detik, jantung wanita itu berdebar keras sekali, kemudian
terhenti dan menjadi normal lagi.
Ketika Kian
Bu mengerahkan sedikit sinkang yang hangat untuk menyelidiki, dan merasa betapa
tenaganya itu bertemu dengan hawa yang tidak wajar padahal wanita itu masih
pulas, tahulah dia bahwa memang ada hawa beracun yang mukjijat dan berbahaya
mengeram di dalam tubuh dan darah Lauw Hong Kui. Cepat dia melepaskan kedua
tangannya dan kembali ke tempatnya semula, yaitu bersandar pada batang pohon.
Dia tidak
membohong, pikirnya lega, akan tetapi perasaan jari tangan bersentuhan dengan
bukit dada tadi selalu mengganggu pikirannya, tak pernah dapat dilupakannya
sehingga Kian Bu menjadi gelisah dan tidak berhasil tidur sama sekali. Maka dia
lalu menghampiri api unggun, ditambahi kayu sehingga api membesar, kemudian dia
duduk bersila untuk mengatur penapasan dan menenteramkan hatinya yang diganggu
dan digelitik pengalaman tadi.
Akhirnya dia
dapat menenangkan dirinya dan dapat beristirahat, tidak tahu betapa sebuah di
antara sepasang mata Hong Kui bergerak dan setengah terbuka memandang ke
arahnya, dan betapa bibir bawah yang berkulit tipis penuh dan merah segar itu
bergerak-gerak aneh mengarah senyum.....
***************
Mereka duduk
di bawah pohon besar di tepi jalan. Matahari amat teriknya hingga bumi seperti
terengah-engah kehausan. Musim panas agaknya dimulai dengan kemarahan matahari
yang sudah terlalu sering diganggu mendung dan hujan.
Sepasang
mata di wajah yang buruk itu menatap wajah cantik yang bersandar pada batang
pohon dan kedua matanya terpejam itu. Wajah cantik itu bersinar kehijauan,
warna yang tidak wajar sungguh pun tidak merusak atau mengurangi kecantikan
wajah yang manis itu.
Ceng Ceng
yang bersandar pada batang pohon memejamkan matanya, mengenangkan kembali semua
pengalamannya. Teringat dia akan Kian Lee, pemuda gagah tampan yang cinta
kepadanya namun ternyata adalah pamannya sendiri itu! Membayangkan wajah gagah
berwibawa dari Gak Bun Beng, supek-nya yang selama ini dianggapnya sebagai ayah
kandungnya yang sudah mati. Betapa anehnya lika-liku jalan hidupnya, aneh dan
penuh dengan kekecewaan karena peristiwa yang tak terduga-duga olehnya. Betapa
semenjak meninggalkan Bhutan, dia bertemu dan berhubungan dengan orang-orang
besar dan pandai.
Dimulai
dengan pengangkatan saudara oleh Puteri Syanti Dewi, disusul peristiwa hebat
yang membuat kakeknya gugur dan membuat dia mulai memasuki hidup baru, hidup
perantauan dan petualangan yang penuh kegetiran hidup. Pertemuannya dengan Ang
Tek Hoat, dengan Jenderal Kao, dengan Ban-tok Mo-li, sampai dengan Hek-hwa
Lo-kwi Ketua Lembah Bunga Hitam, dengan Hek-tiauw Lo-mo, kemudian mala petaka
yang menimpa dirinya, yang menghancurkan semua keindahan hidupnya, pemerkosaan
atas dirinya!
Semua itu
agaknya masih belum habis sehingga dia terlibat dalam pemberontakan, berhasil
membantu demi kehancuran pemberontakan, dan bertemu dengan rahasia kehidupan
mendiang ibunya! Dan sekarang, dia menderita luka parah yang agaknya tidak ada
lagi obatnya.
Nyawanya
hanya tinggal paling lama satu bulan lagi saja. Satu bulan! Hanya tiga puluh
hari lagi, bahkan menurut Yok-kwi, mungkin dalam belasan hari saja dia akan
mati! Dan musuh besarnya, pemerkosanya, belum juga dapat ditemukannya! Ah,
kenapa nasibnya begini buruk?
Ayahnya...,
ahh, ibunya pun diperkosa orang, dan dia adalah anak yang lahir dari hasil
perkosaan! Mengapa mesti disesalkan? Dia seorang yang tidak berharga, dan
tinggal sebulan lagi! Mengapa hidup yang tinggal singkat itu harus diisi dengan
kedukaan? Tidak, dia harus bergembira! Dia dulu selalu gembira, sebelum bertemu
dengan Syanti Dewi. Sekarang, hidup tinggal sebulan, bahkan mungkin hanya
beberapa hari lagi saja, dia harus bergembira.
“Hemm,
sebulan lagi...!” Dia berkata sambil membuka matanya.
Begitu
membuka matanya, tampaklah Topeng Setan yang duduk tak jauh di depannya,
memandang kepadanya dengan sinar mata penuh perasaan iba dan kekhawatiran. Baru
Ceng Ceng teringat bahwa dia tidak sendirian, bahwa di situ masih ada Topeng
Setan yang menjadi satu-satunya sahabatnya di dunia ini. Manusia aneh yang
berkali-kali telah menolongnya, yang amat setia kepadanya.
“Lu-bengcu,
mengapa kau kelihatan berduka sekali?” Topeng Setan bertanya, suaranya
mengandung getaran aneh, seperti orang yang amat terharu, sungguh pun wajah
yang kasar dan buruk itu tidak membayangkan apa-apa.
Ceng Ceng
menarik napas panjang, menatap wajah buruk itu penuh perhatian sehingga
beberapa lamanya mereka saling beradu pandang mata dan akhirnya Topeng Setan
menundukkan mukanya, seolah-olah tidak kuat menatap pandang mata itu.
“Kenapa
engkau tidak mau menanggalkan topengmu dan memperkenalkan wajahmu kepadaku?”
Tiba-tiba Ceng Ceng bertanya.
Topeng Setan
cepat menggeleng kepalanya. “Aku harap bengcu tidak memaksaku, kita telah
berjanji...”
Ceng Ceng
menghela napas. “Aku bukan ingin melanggar janji, hanya karena engkau
satu-satunya sahahatku yang baik dan karena aku ingin sekali tahu apakah engkau
ini adalah seorang kakek tua renta, seorang setengah tua atau seorang muda
sehingga memudahkan aku untuk memanggilmu...”
“Mengapa?
Bengcu sudah biasa memanggilku Topeng Setan dan aku sudah merasa senang dengan
panggilan itu...”
“Tidak
pantas! Sungguh tidak pantas. Engkau adalah penolongku, sudah berulang kali
membantu dan menyelamatkan diriku. Apakah engkau seorang kakek-kakek ataukah
seorang muda? Kepandaianmu demikian tingginya hingga sepantasnya engkau sudah
sangat tua, akan tetapi...”
“Aku memang
sudah tua, Bengcu...”
“Kalau
begitu, biarlah kusebut engkau Paman...”
“Terserah
kepada Bengcu...”
“Dan harap
Paman tidak menyebutku bengcu (ketua), karena sekarang aku tidak mau menjadi
kepala dari para perampok dan maling itu. Apa lagi dengan sebutan Lu-bengcu
karena aku bukan she Lu.”
“Ehhh...?!”
Topeng Setan berseru heran.
“Aku bukan
she Lu, aku she Wan... ahhh, aku sendiri baru tahu. Namaku adalah Wan Ceng,
nama terkutuk...”
Topeng Setan
kelihatan kaget dan gelisah. “Bengcu..., mengapa... mengapa begitu? Apa yang
terjadi?”
“Paman,
maafkan, aku tidak dapat menceritakan kepadamu. Dan karena aku sudah menyebutmu
paman, maka kau anggaplah aku keponakanmu sendiri dan kau menyebut namaku yang
biasa dipanggil Ceng Ceng. Tentu saja kalau kau sudi...”
“Tentu saja!
Dan kuharap kau jangan memikirkan yang bukan-bukan sehingga hatimu menjadi
tertindih, Ceng Ceng. Apa lagi dengan luka yang kau derita sekarang, sama
sekali kau tidak boleh diganggu pikiran yang menimbulkan duka.”
Ceng Ceng
tersenyum. “Memang aku harus begembira, Paman. Paling lama hidupku tinggal
sebulan lagi, perlu apa aku berduka?”
“Tidak! Demi
Tuhan, tidak, Ceng Ceng. Engkau memang menderita pukulan beracun, tetapi kau
tidak akan mati...”
“Terima
kasih, Paman. Kata-katamu menghibur sekali, namun tidak perlu kau memberi
harapan kosong. Yok-kwi adalah seorang ahli yang pandai dan dia mengatakan
bahwa aku tidak akan dapat bertahan lebih dari satu bulan, kecuali kalau
bertemu dengan manusia-manusia dewa yang pandai seperti Pendekar Super Sakti
ayah dari... Paman... ehhh, dari Suma Kian Lee, atau dengan Si Dewa Bongkok
atau... Ban-tok Mo-li guruku sendiri yang telah mati...”
“Ahhh...!
Jadi engkau murid Ban-tok Mo-li?”
“Benar, dan
hal itulah yang membuat Yok-kwi tidak dapat menolongku. Pukulan-pukulan yang
kuderita dari Hek-tiauw Lo-mo adalah pukulan beracun yang amat dahsyat, akan
tetapi itu pun masih dapat disembuhkan oleh Yok-kwi kalau saja di dalam tubuhku
tidak penuh dengan racun yang timbul karena latihan-latihan pukulan beracun
yang kuterima dari mendiang Subo Ban-tok Mo-li. Karena tubuhku mengandung hawa
beracun, maka pukulan Hek-tiauw Lo-mo bergabung dengan racun di tubuhku
sendiri, maka aku tidak dapat tertolong lagi...”
“Cukup, Ceng
Ceng. Jangan lagi kau khawatir karena ada orang yang akan mampu menolongmu dan
menyembuhkanmu.”
“Siapa...?”
“Aku
sendiri!”
“Aihhh...
Paman... engkau yang telah menolongku berkali-kali... katakanlah sejujurnya,
apakah benar engkau dapat menyembuhkan aku?” Ceng Ceng berteriak sambil loncat
berdiri dengan mata terbelalak. Wajahnya yang bersinar kehijauan itu
membayangkan harapan besar, dan kedua matanya menjadi basah karena hatinya
tergoncang penuh ketegangan.
Topeng Setan
mengangguk. “Duduklah, Ceng Ceng dan tenangkan hatimu. Kebetulan sekali bahwa
aku pun pernah mempelajari tentang racun-racun yang terkandung dalam pukulan
Hek-tiauw Lo-mo. Coba perkenankan aku memeriksa pundakmu yang terpukul oleh
iblis tua itu.”
Dengan penuh
gairah Ceng Ceng lalu duduk di dekat Topeng Setan, membuka bajunya dan
membiarkan pundaknya yang kanan telanjang. Dia tidak melihat betapa Topeng
Setan memejamkan matanya sebentar sambil menahan napas ketika melihat dia
membuka baju dan melihat pundak yang berkulit putih halus itu. Kemudian orang
aneh itu membuka matanya kembali dan berkata, “Maafkan aku harus meraba
pundakmu untuk memeriksa, Ceng Ceng.”
“Aih, Paman
Topeng Setan mengapa begitu sungkan? Aku sudah menganggap engkau sebagai
pamanku sendiri.”
Topeng Setan
lalu meraba pundak yang menjadi hijau kehitaman itu. Beberapa lama dia
meraba-raba pundak dan punggung, menekan sana-sini dan tiba-tiba dia mengeluarkan
seruan kaget.
“Bagaimana
Paman?”
“Ah, Yok-kwi
itu memang pintar sekali...”
Ceng Ceng
terkejut. “Kalau begitu... benarkah bahwa aku... aku akan mati dalam waktu
sebulan?”
Topeng Setan
menjawab cepat. “Tidak! Memang demikian kalau tidak ada orang yang mengobati,
akan tetapi aku pasti akan menyembuhkanmu, Ceng Ceng. Demi Tuhan, aku pasti
akan menyembuhkanmu, apa pun yang akan terjadi!”
Ceng Ceng
merasa heran dan terharu menangkap nada suara yang aneh dan tergetar di dalam
kata-kata Topeng Setan.
“Dia memang
benar sekali ketika mengatakan bahwa racun pukulan Hek-tiauw Lo-mo bercampur
dengan racun di tubuhmu yang timbul karena latihan-latihanmu menurut pelajaran
Ban-tok Mo-li. Akan tetapi aku mengenal pukulan Hek-tiauw Lo-mo ini dan aku
dapat menyembuhkan. Hanya hawa beracun di tubuhmu yang kini telah membalik dan
menyerang dirimu sendiri... biar pun setelah akibat pukulan Hek-tiauw Lo-mo
lenyap engkau tidak akan mati karenanya, akan tetapi hawa beracun itu akan
membuatmu menderita dan kiranya hanya ada satu macam obat yang akan dapat
membersihkan tubuhmu sama sekali dari cengkeraman hawa beracun itu.”
“Dan obat
itu tak mungkin didapatkan...?” Ceng Ceng bertanya, siap menghadapi hal paling
buruk sekali pun karena sekarang Topeng Setan sudah menyatakan sanggup
melenyapkan ancaman maut dari tubuhnya.
“Sukar
sekali didapatkan, akan tetapi akan kucoba juga. Obat itu merupakan seekor anak
naga yang berada di Telaga Sungari, yang muncul sepuluh tahun sekali. Itu pun
kalau kebetulan telurnya menetas. Sudahlah, hal itu kita bicarakan lagi nanti
kalau luka pukulan Hek-tiauw Lo-mo sudah sembuh. Akan tetapi kita harus mencari
tempat sunyi untuk pengobatan ini agar jangan terganggu orang lain.”
Mereka lalu
memasuki sebuah hutan lebat dan akhirnya mereka berdua tiba di tempat yang
sunyi dan tersembunyi, di balik sekumpulan batu-batu besar yang tertutup
semak-semak belukar. Topeng Setan minta agar Ceng Ceng membuka baju di
punggungnya, menyuruh dia duduk bersila, kemudian dia sendiri lalu duduk
bersila dan bersemedhi untuk mengumpulkan tenaga dan memusatkan panca indra.
“Kau
lumpuhkan semua tenaga di dalam tubuhmu, dan apa pun yang nanti kulakukan
kepadamu, janganlah kau lawan dan jangan kaget kalau nanti engkau muntah
darah,” terdengar suara Topeng Setan berbisik.
Ceng Ceng
mengangguk, membiarkan dirinya ‘terbuka’, dan melemaskan seluruh urat serta
menyimpan semua hawa tenaga di dalam tubuhnya. Dalam keadaan seperti itu,
pukulan seorang biasa saja sudah cukup untuk membunuhnya! Akan tetapi tiba-tiba
dia teringat akan pengalamannya ketika Kian Lee mencoba untuk mengobatinya,
maka dia berkata, “Nanti dulu, Paman. Apakah pengobatan ini tidak berbahaya
bagimu? Paman... Suma Kian Lee pernah mencoba untuk mengobatiku dengan sinkang
dan hampir dia celaka karena racun di tubuhku menular kepadanya.”
“Jangan
khawatir, aku akan mencegah hawa beracun di tubuhmu untuk mengadakan perlawanan
otomatis. Nah, aku mulai!”
Topeng Setan
lalu menotok jalan darah di daerah pundak yang terluka, di seputarnya, kemudian
mengurut punggung dara itu beberapa kali. Ceng Ceng merasa betapa tubuh belakangnya
menjadi panas sekali, akan tetapi dia mempertahankannya, bahkan ketika
kepalanya terasa pening, dia pun tidak menggerakkan tubuh sedikit pun juga. Dia
sudah pasrah dengan kepercayaan penuh kepada orang aneh bertopeng buruk ini.
Nyawanya sudah terancam bahaya maut, apalah artinya bahaya lain lagi yang
mungkin dapat mengancamnya dalam cara pengobatan ini?
Gerakan
jari-jari tangan yang kuat dan mengurut-urut punggung serta pundaknya itu
kemudian berhenti, lalu terasa olehnya betapa kedua telapak tangan yang lebar,
kasar dan kuat itu menempel di punggung atas dan dekat pundak. Mula-mula hanya
ada hawa hangat saja menjalar keluar dari kedua telapak tangan itu, hawa panas
yang berputaran dan berpusat di pundaknya yang terluka.
Rasa nyeri
menusuk-nusuk tempat itu, akan tetapi Ceng Ceng tetap duduk tak bergerak dan
hanya beberapa tetes air mata yang meloncat keluar dari pelupuk matanya dan
mengalir di sepanjang kedua pipinya saja yang menandakan betapa gadis itu
menderita rasa nyeri yang hebat!
Kedua tangan
yang lebar itu sekarang gemetar dan makin lama makin hebat, akhirnya menggigil
dan Ceng Ceng merasakan betapa gelombang demi gelombang hawa yang amat kuat
memasuki tubuhnya dan menyerang pundaknya yang terluka. Dia kagum sekali.
Pernah dia merasakan hawa sakti yang keluar dari tangan Suma Kian Lee, juga
amat kuat dan panas akan tetapi halus dan tidak sedahsyat tenaga yang keluar
dari tangan Topeng Setan ini. Diam-diam dia makin kagum dan terheran-heran.
Siapakah
sebenarnya orang yang amat lihai ini? Siapakah yang bersembunyi di balik topeng
buruk itu dan kenapa orang ini menyembunyikan mukanya dari dunia? Agaknya orang
ini sudah mengalami pukulan batin hebat pula, pikir Ceng Ceng dengan perasaan
kasihan.
Tiba-tiba
hawa yang amat kuat mendesaknya dari pundak ke atas dan dia merasa lehernya
tercekik dari dalam, membuatnya tidak dapat bernapas lagi! Kalau saja Ceng Ceng
belum menyerahkan seluruh keselamatan nyawanya kepada Topeng Setan, kalau saja
dia tidak sudah percaya sepenuhnya lahir batin karena dia tahu bahwa nyawanya
memang sudah terancam maut, tentu dia akan meronta dan melawan.
Namun dia
pasrah dengan seluruh kepercayaannya sehingga cekikan yang dirasakan dalam
tubuhnya, yang membuatnya sama sekali tidak dapat bernapas lagi itu, tidak
membuat dia menjadi panik. Bahkan dia merasakan serta mengikuti tenaga dahsyat
yang mengalir dari bawah dan mendesak itu. Akhirnya hawa yang amat kuat itu
sampai di tenggorokannya. Tak dapat ditahan lagi, dia lalu muntahkan darah
kental menghitam yang cukup banyak!
Topeng Setan
melepaskan kedua tangannya dan berkata lirih, “Sekarang kau rebahlah, Ceng
Ceng. Rebah dan tidurlah, jangan memikirkan apa-apa...”
Bagai
terkena sihir, tanpa membuka matanya Ceng Ceng kemudian merebahkan diri
terlentang. Bajunya masih belum dipakai lagi, kini dipegang oleh kedua
tangannya dan menutupi dadanya. Rasa lemas dan lelah luar biasa membuat Ceng
Ceng seperti setengah pingsan, akan tetapi rasa nyaman meliputi dirinya,
terutama sekali karena pundaknya tidak terasa sakit lagi, membuat dia menjadi
mengantuk sekali dan tak lama kemudian gadis ini pun sudah tidur pulas!
Ketika
terbangun, Ceng Ceng merasakan tubuhnya nyaman dan ringan, juga perutnya
menjadi lapar sekali. Dia ingat akan pengobatan tadi dan membuka matanya.
Ternyata di luar bajunya yang dipakai menutupi dadanya kini terdapat sehelai
jubah lebar yang menyelimutinya. Jubah Topeng Setan! Dia teringat bahwa tadi
dia muntah darah, akan tetapi ternyata sudah tidak ada bekas-bekasnya di situ,
sudah dibersihkan oleh Topeng Setan tentunya. Ceng Ceng lalu bangkit duduk dan
memakai kembali bajunya. Sambil membawa jubah itu, dia keluar dari balik
batu-batu besar dan melihat Topeng Setan sedang memanggang sesuatu.
“Eh, kau
sudah bangun? Nah, mukamu sudah merah lagi, tanda hawa beracun itu telah
lenyap. Eh, ehhh... apa yang kau lakukan ini?”
Topeng Setan
cepat meloncat berdiri ketika dia melihat Ceng Ceng menjatuhkan diri berlutut
di depannya!
“Paman telah
berkali-kali menolongku, dan sekarang pun Paman telah memperlihatkan kebaikan
kepadaku, entah dengan cara bagaimana aku akan dapat membalas budi kebaikan
Paman.”
“Ehh, kau...
kau... jangan begitu!” Sekali tarik saja, Topeng Setan telah membuat Ceng Ceng
terpaksa bangkit berdiri.
“Ceng Ceng,
janganlah kau ulangi lagi perbuatanmu itu. Aku berusaha mengobatimu dengan hati
tulus, sama sekali tidak mengandung pamrih agar engkau berhutang diri kepadaku.
Aku... aku tidak suka engkau bersikap demikian. Pula engkau memang telah
terbebas dari pukulan Hek-tiauw Lo-mo, akan tetapi engkau masih dicengkeram
hawa beracun dalam dirimu yang menjadi racun jahat setelah bertemu dengan
pukulan kakek iblis itu.”
Ceng Ceng
mengembalikan jubah itu, kemudian duduk dekat api tempat Topeng Setan
memanggang seekor ayam hutan, menarik napas panjang lalu berkata, “Aku tidak
akan berbuat demikian lagi kalau engkau tidak suka, Paman Topeng Setan. Akan
tetapi mengapa engkau begini baik kepadaku? Mengapa engkau selalu menolongku,
sejak aku dikeroyok orang di atas rumah di kota raja dahulu itu? Mengapa?”
“Karena...
aku adalah pembantumu, Ceng Ceng. Engkau bengcu dan aku pembantumu, bukan?”
“Ahh, harap
engkau jangan menggunakan alasan itu, karena aku tahu bahwa itu hanya merupakan
alasan kosong yang dicari-cari. Kepandaianmu sepuluh kali lebih tinggi dari
pada kepandaianku, namun engkau merendahkan diri menjadi pembantuku! Kita semua
telah berpura-pura, bersandiwara. Kau tahu bahwa aku menjadi bengcu karena
hanya ingin membantu pemerintah agar gerombolan itu tidak dikuasai oleh Tek
Hoat yang menjadi kaki tangan pemberontak. Dan Tek Hoat bersandiwara karena dia
kalah janji dan terikat sumpah dengan aku. Akan tetapi kau... mengapa kau
selalu menolongku?”
Topeng Setan
menarik napas panjang dan membalik panggangannya. “Mungkin karena aku merasa
kasihan kepadamu, Ceng Ceng, juga karena kagum menyaksikan jiwa kepahlawananmu.
Sudahlah, mari kita makan ayam panggang ini saja dan aku sudah mencari air
minum.” Dia mengangkat sebuah guci penuh air. “Engkau harus makan sampai
kenyang, baru nanti kuberi petunjuk latihan untuk membersihkan sisa hawa
pukulan itu, sungguh pun racun di dalam tubuhmu hanya dapat disembuhkan oleh
obat mukjijat itu.”
“Anak
naga...?”
Topeng Setan
mengangguk. Mereka lalu makan daging ayam panggang yang masih mengepulkan uap
itu. Gurih sedap! Makanan apa pun akan terasa gurih, sedap dan lezat apa bila
perut sudah lapar dan tubuh membutuhkan tenaga baru. Apa lagi makanan daging
ayam hutan panggang, ayamnya muda dan gemuk lagi! Tidak lama kemudian habislah
semua daging ayam itu, dan setelah mereka minum air jernih dari guci itu, Ceng
Ceng bertanya, “Paman, kalau obat mukjijat itu berupa seekor anak naga, mana
mungkin kita menangkapnya?”
“Sebetulnya
mungkin hanya sebutannya saja anak naga! Menurut cerita dari guruku, yang
berada di dasar Telaga Sungari itu adalah seekor ular besar, semacam ular laut
yang sudah pindah ke telaga dan menjadi ular telaga. Ular ini mungkin hanya
tinggal satu-satunya di dalam dunia. Setiap sepuluh tahun sekali dia bertelur
dan kalau telurnya menetas, dan biasanya hal itu terjadi di permulaan musim
semi, dia akan membawa anaknya yang baru menetas itu keluar ke permukaan telaga
untuk menangkap inti tenaga matahari. Nah, permulaan musim semi adalah bulan
depan, maka kita harus berusaha untuk menangkap ular besar itu.”
“Tentu sukar
dan berbahaya sekali. Dan kalau kita gagal bagaimana, Lopek (Paman Tua)?” Ceng
Ceng berhenti sebentar dan memandang penuh selidik. “Kalau gagal memperoleh
obat mukjijat itu, akhirnya aku akan mati juga?”
Topeng Setan
menggeleng kepalanya. “Bahaya pukulan Hek-tiauw Lo-mo sudah lewat. Pukulannya
itu adalah pukulan Hek-coa-tok-ciang (Pukulan Tangan Beracun Ular Hitam) yang
kukenal, dilatihnya dengan menggunakan racun ular hitam. Tidak, engkau tidak
akan mati karena racun itu, Ceng Ceng, hanya... karena racun di tubuhmu sudah
diselewengkan oleh akibat pukulan Hek-tiauw Lo-mo, maka tanpa obat itu engkau
akan menjadi seorang manusia beracun yang banyak menderita. Akan tetapi, untuk
itu pun masih ada jalan untuk mengurangi penderitaan dan dengan sedikit demi
sedikit racun itu dapat dikurangi pengaruhnya.”
“Jalan apa,
Paman?”
“Dengan
latihan inti dari gerakan ilmu silat.”
“Paman,
sudah sejak kecil saya berlatih silat...”
“Aku tahu,
Ceng Ceng. Namun harus kau akui bahwa selama ini engkau mempelajari silat
dengan dasar membekali diri untuk perkelahian, bukan? Itulah makanya engkau
sampai terjeblos mempelajari ilmu dari Ban-tok Mo-li. Padahal, ilmu silat
tercipta dari gerakan yang tadinya sama sekali mempunyai dasar lain, yaitu
dasar sebagai olah raga untuk menjaga kesehatan.”
“Paman
Topeng Setan, aku tidak mengerti apa yang kau maksudkan, aku belum pernah
mendengar tentang itu.”
“Begini
riwayatnya, Ceng Ceng. Engkau perlu mengetahui riwayatnya terlebih dahulu
sebelum melatih diri dengan ilmu itu untuk menyehatkan tubuhmu dan sedikit demi
sedikit mengusir hawa beracun dari tubuhmu. Engkau tentu telah mendengar bahwa
pencipta ilmu silat yang amat terkenal adalah Tat Mo Couwsu. Beliau adalah
seorang pendeta yang sakti dan mulia, yang tidak hanya mengajarkan ilmu
kebatinan Agama Buddha untuk menolong manusia dari lembah kesengsaraan dan
menuntun ke jalan kebajikan, juga beliau yang menciptakan dasar-dasar gerakan
yang menjadi inti dari ilmu silat, terutama ilmu silat para pendeta Buddha,
yaitu Siauw-lim-pai.”
Ceng Ceng
mengangguk-angguk. Soal Tat Mo Couwsu sudah pernah didengarnya dari kakeknya.
Menurut kakeknya, Tat Mo Couwsu adalah pencipta pertama dari ilmu silat yang
menjadi sumber semua ilmu silat yang dikenal sekarang.
“Ceritanya
begini....” Topeng Setan melanjutkan dan mulailah dia menceritakan riwayat
penciptaan dasar gerakan ilmu silat oleh pendeta kenamaan itu, didengarkan oleh
Ceng Ceng dengan penuh perhatian.
***************
Tat Mo
Couwsu adalah seorang pendeta Buddha yang hidup di dalam jaman Dinasti Liang
(Tahun 506-556 M). Pada suatu hari ketika Tat Mo Couwsu sedang berkotbah dan
mengajar ilmu tentang kehidupan kepada muridnya, dia melihat beberapa orang di
antara mereka yang bertubuh lemah terkantuk-kantuk. Mengertilah pendeta sakti
itu bahwa untuk memiliki jiwa yang sehat haruslah mempunyai tubuh yang sehat
pula, maka dia lalu menciptakan gerakan-gerakan delapan belas jurus gerakan
yang semata-mata harus dilatih oleh para pendeta lemah itu untuk memperkuat dan
menyehatkan tubuh mereka.
Dan delapan
belas jurus ini kemudian menjadi dasar dari semua gerakan ilmu silat yang makin
lama makin berkembang dan diolah serta ditambah oleh para ahli di kemudian
hari. Tiap jurus dikembangkan menjadi empat sehingga terciptalah ilmu silat
yang terdiri dari tujuh puluh dua jurus. Kemudian sekali tujuh puluh dua jurus
ini dikembangkan menjadi seratus tujuh puluh jurus yang menjadi dasar dari ilmu
silat Siauw-lim-pai sampai sekarang. Penciptanya adalah tiga orang sakti, yaitu
pendeta Chueh Goan, Li Ceng dan Pai Yu Feng, yang merangkai tujuh puluh dua
jurus yang berdasar dari pelajaran gerakan delapan belas jurus dari Tat Mo
Couwsu itu menjadi seratus tujuh puluh jurus.
“Demikianlah,
ilmu silat berkembang terus sampai terpecah-pecah menjadi bermacam cabang ilmu
silat yang bertebaran di seluruh negeri seperti sekarang ini, ada yang
bercampur dengan ilmu-ilmu bela diri dari negara lain,” Topeng Setan
melanjutkan. “Akan tetapi ada ciptaan Tat Mo Couwsu yang masih asli dan kini
menjadi pusaka simpanan bagi para tokoh Siauw-lim-pai. Ciptaan ini merupakan
latihan singkat yang dapat menyehatkan tubuh dan latihan inilah yang akan
kuajarkan kepadamu agar dapat mengurangi hawa beracun di dalam tubuhmu sebelum
engkau dapat memperoleh obat mukjijat itu, Ceng Ceng.”
Gadis itu
menjadi girang sekali. “Terima kasih, Lopek. Aku pasti akan suka melatihnya
dengan giat.”
“Ini bukan
latihan silat, melainkan gerakan untuk menyehatkan tubuh, maka melatihnya pun
tidak boleh berlebihan, sungguh pun kalau kurang pun tidak akan ada gunanya.
Cukup dilatih dua kali sehari, pagi dan sore di tempat terbuka. Nama ilmu olah
raga ini adalah I Kin Keng (Ilmu Mengganti Otot), terdiri dari dua belas
gerakan.”
Topeng Setan
lalu mulai mengajarkan I Kin Keng kepada Ceng Ceng. Karena ilmu kuno ini
mempunyai nilai yang amat tinggi bagi kesehatan, maka sengaja pengarang sajikan
di sini karena mungkin bermanfaat sekali bagi siapa yang suka mempelajarinya.
Gerakan
Pertama :
Kosongkan
pikiran dan satukan perhatian. Berdiri tegak dengan kedua kaki terpentang
sejauh satu kaki (30 senti), muka lurus ke depan. Ujung lidah menyentuh
pertemuan antara gigi atas dan bawah. Bengkokkan kedua lengan ke samping
pinggang sampai kedua tangan melintang lurus ke depan. Pada saat membengkokkan
lengan, tenaganya didorong ke bawah oleh telapak tangan, seolah-olah kedua
telapak tangan menekan meja dan siap untuk meloncat. Lakukan ini perlahan-tahan
sampai tiga puluh sembilan kali, mengendur dan menegang dalam waktu yang sama,
kemudian turunkan tangan kembali. Tarik dan tahan napas di waktu mengerahkan
tenaga, dan buang napas di waktu mengendurkan tenaga.
Gerakan
kedua :
Agak
dekatkan kedua kaki sampai setengah kaki. Kepal jari-jari tangan dengan ibu
jari lurus mengacung. Gerakkan kedua kepalan tangan di depan bawah pusar, kedua
ibu jari bersambung. Kemudian tarik ibu jari (ditegangkan) sejauh mungkin ke
atas. Tahan menegang sejenak, lalu kendurkan dan turunkan ibu jari. Lakukan ini
berulang 49 kali.
Gerakan
ketiga :
Pentangkan
kaki terpisah satu kaki seperti pertama. Kedua kaki menahan kekuatan di bawah,
jangan pernah mengendur. Kepal tangan dengan ibu jari di dalam kepalan dan
kendurkan kedua pundak. Lalu keraskan kepalan. Lakukan ini berulang kali
mengeras dan mengendur sampai 49 kali.
Gerakan
keempat :
Rapatkan
kedua kaki. Kepal dua tinju dengan ibu jari di dalam kepalan. Angkat lengan ke
depan sampai lurus dengan pundak. Kerahkan tenaga ke depan di waktu menarik dan
menahan napas. Lalu keluarkan napas dan turunkan lengan. Ulangi sampai 39 kali.
Gerakan
kelima :
Kedua kaki
merapat. Angkat kedua lengan dari samping terus ke atas dengan telapak
terlentang sampai jari-jari saling bertemu di atas kepala, sambil mengangkat
tumit kaki berdiri di atas jari kaki. Lalu kepal kedua tangan dengan kuat,
kemudian turunkan lengan dan tumit. Ulangi sampai 49 kali.
Gerakan ke
enam :
Pisahkan
kedua kaki seperti pertama. Buatlah kepalan biasa, ibu jarinya di luar. Angkat
kedua lengan ke samping, terlentang sampai rata dengan pundak. Lalu bongkokkan
lengan menjadi segi tiga, permukaan tangan menghadap pundak. Kemudian keraskan
kepalan tangan. Ulangi sampai 49 kali.
Gerakan ke
tujuh :
Rapatkan
kedua kaki. Membuat kepalan biasa, angkat kedua lengan sampai sejajar pundak ke
depan. Menggunakan tangan, tarik kedua lengan ke samping sampai sejajar pundak,
kepalan menelungkup. Lalu angkat jari kaki dan berganti-ganti berdiri di atas
sebelah tumit kaki. Ketika menurunkan jari kaki kembali keluarkan napas dan
buka kepalan. Ulangi sampai 49 kali.
Gerakan ke
delapan :
Kedua kaki
masih merapat. Ibu jari di dalam kepalan tangan. Angkat kedua kepalan sejajar
pundak, lurus dengan kepalan saling berhadapan muka. Ketika mengangkat kedua
lengan, berdiri di atas jari kaki angkat tumit. Lalu kepalkan tinju dengan
keras. Kemudian kendurkan kepalan dan turunkan tumit, ulangi sampai 49 kali.
Gerakan ke
sembilan :
Kedua kaki
masih merapat dan ibu jari tangan di dalam kepalan. Angkat kedua lengan ke
depan akan tetapi bengkokkan lengan setelah kepalan berada sejajar dengan
perut. Lalu naikkan kepalan, menghadap ke muka sampai lengan menjadi bentuk
segi tiga. Kemudian putar kedua kepalan ke dalam sampai menghadap ke depan
dagu. Ulangi 49 kali.
Gerakan ke
sepuluh :
Kaki tetap
merapat dan ibu jari dalam kepalan. Angkat lengan ke depan sejajar pundak.
Kamudian tarik kedua kepalan melintang ke kanan kiri pundak dengan muka kepalan
menghadap ke depan, seolah-olah sedang mengangkat benda seberat setengah ton
dengan siku menegang dan kepalan mengeras. Ulangi 49 kali.
Gerakan ke
sebelas :
Kedua kaki
merapat akan tetapi jari membuat kepalan tangan biasa, ibu jari di luar.
Kepalan mengendur dan diangkat ke depan pusar, siku membengkok. Lalu keraskan
kepalan dengan ibu jari ditegangkan. Kemudian kendurkan ibu jari dan kepalan.
Ulangi 9 kali.
Gerakan
kedua belas :
Kedua kaki
merapat. Ibu jari di dalam kepalan tangan. Angkat kedua kepalan sejajar pundak,
lurus dengan kepalan saling berhadapan muka. Ketika mengangkat lengan ke depan
sejajar pundak dengan telapak terlentang, angkat pula tumit. Jangan kerahkan
tenaga. Tahan posisi ini sejenak, kemudian turunkan lengan dan tumit. Ulangi 12
kali.
Demikianlah
latihan olah raga I Kin Keng yang diciptakan oleh Tat Mo Couwsu dan yang
diajarkan oleh Topeng Setan kepada Ceng Ceng.
“Kau latih
gerakan semua itu, ulangi dari yang pertama sampai kedua belas sebanyak tiga
kali, dan lakukan setiap pagi dan sore. Jangan lupa, setiap pengerahan tenaga
dilakukan setelah napas ditarik dan ditahan, kemudian setiap pengenduran tenaga
dilakukan ketika napas dikeluarkan.”
“Baiklah,
Paman. Setelah semua ilmu silat yang pernah kulatih selama ini, latihan I Kin
Keng itu tidak seberapa berat bagiku.”
Mereka lalu
melanjutkan perjalanan, menuju ke Telaga Sungari. Makin lama kedua orang ini
makin akrab. Ceng Ceng melatih I Kin Keng setiap hari, sedangkan Topeng Setan
setiap kali masih membantunya dengan pengerahan sinkang yang disalurkan dengan
telapak tangan menempel di punggung gadis itu.
Pada suatu
hari, selagi Ceng Ceng melatih I Kin Keng, gadis itu melihat Topeng Setan duduk
seorang diri dengan mencoret-coret tanah, menggunakan sebatang ranting kecil
sambil memandang ke depan. Ceng Ceng tidak menegurnya karena dia sibuk sendiri
dengan latihan gerak badan itu. Setelah selesai dan menghapus keringatnya yang
bercucuran, barulah dia menghampiri Topeng Setan.
“Wah,
lukisanmu itu indah sekali! Kiranya engkau ahli pula melukis, Paman!” Ceng Ceng
berseru kagum melihat lukisan seekor kijang di atas tanah itu. Coretannya kuat
dan bagus.
“Kalau
sedang iseng aku suka melukis, Ceng Ceng.”
“Kalau
begitu, engkau bisa membantu aku melukis orang, Lopek!”
Topeng Setan
memandang heran. “Melukis orang? Siapa yang kau maksudkan?” Ceng Ceng duduk di
atas tanah.
“Siapa lagi
kalau bukan dia! Sampai sekarang aku belum berhasil mencarinya, karena orang
lain tik ada yang tahu bagaimana macamnya. Kalau aku mempunyai gambarnya, tentu
akan lebih mudah mencarinya dengan bertanya-tanya kepada orang di sepanjang
perjalanan. Lopek (Paman Tua), maukah engkau menolongku lagi? Kulihat Paman
pandai sekali melukis, maka tentu Paman akan dapat melukis wajahnya!”
“Wajah siapa
yang kau maksudkan?” Topeng Setan bertanya dan sepasang mata yang besar sebelah
di balik topeng itu mengeluarkan sinar tajam penuh selidik.
Muka Ceng
Ceng berubah merah sekali, akan tetapi dengan menekan perasaannya, dia
mengangkat muka memandang dan menjawab, “Siapa lagi jika bukan musuh besarku.
Paman, aku mempunyai seorang musuh besar yang harus dapat kutemukan sebelum aku
mati. Selama ini, aku mencari-cari tanpa hasil, maka melihat betapa engkau
pandai melukis, aku mempunyal akal, Paman. Dengan membawa gambarnya, kiranya
akan lebih mudah bagiku untuk mencari dia dan membunuhnya!” Ceng Ceng
mengeluarkan kalimat terakhir itu dengan suara penuh kegeraman karena hatinya
terasa sakit sekali, sampai dia lupa bahwa andai kata dia sudah berhadapan
dengan musuh besarnya itu yang dia tahu memiliki ilmu kepandaian yang amat
tinggi, belum tentu dia akan dapat menandinginya!
“Ceng Ceng,
semuda engkau ini sudah menyimpan sakit hati dan dendam yang besar. Siapakah
musuh besarmu itu?” Topeng Setan bertanya, suaranya penuh getaran oleh karena
merasa kasihan.
“Engkau
adalah satu-satunya sahabatku, penolongku dan kuanggap sebagai ayah atau paman
sendiri, maka aku memberi tahu kepadamu, Paman. Si keparat laknat musuh besarku
itu bernama Kok Cu.”
“Hemm...,
Kok Cu? Dan siapa she (nama keluarga) orang itu?”
“Aku tidak
tahu, Paman. Aku hanya mendengar dari kakek Louw Ki Sun, pelayan dari Istana
Gurun Pasir bahwa orang itu bernama Kok Cu tanpa diketahui she-nya, dan bahwa
musuhku itu adalah murid dari Dewa Bongkok majikan Istana Gurun Pasir. Sudah
kuselidiki di mana-mana, bahkan dibantu anak buah kita, Namun tidak ada yang
pernah mengenal nama itu di dunia kang-ouw. Maka, kalau aku mempunyai gambar
mukanya, tentu akan lebih mudah mencari dia. Harap Paman suka membuatkan
gambarnya.”
Hening
sejenak. Topeng Setan hanya menunduk dan termenung, kemudian dia berkata, “Mana
mungkin aku dapat menggambar muka orang yang tidak pernah kulihat sendiri?”
“Tentu bisa,
Paman” Ceng Ceng berkata penuh semangat. “Mari kita mencari kertas dan alat
tulisnya, nanti aku yang menceritakan bagaimana bentuk wajahnya kepada Paman.”
Gadis itu
mengajak Topeng Setan untuk membeli sehelai kertas putih yang baik dan pensil
serta tinta, kemudian di tempat sunyi dia mulai memberi petunjuk kepada Topeng
Setan tentang wajah orang yang dimaksudkan itu. Mereka memasuki sebuah kuil
kuno yang kosong dan setelah menyapu lantainya dengan daun, Ceng Ceng mengajak
Topeng Setan membuat gambar musuh besarnya itu. Mula-mula dia minta kepada
Topeng Setan untuk menggunakan pensil dan tinta membuat bentuk muka orang di
atas lantai.
“Paman,
buatlah bentuk wajah yang bulat dari seorang laki-laki muda...,” katanya penuh
gairah karena hatinya tegang bahwa dia kini memperoleh jalan untuk dapat
mencari musuhhya itu lebih mudah.
“Hemm, wajah
bulat laki-laki muda? Berapa usianya?” Topeng Setan bertanya, bersila dan
memegang pensil bulu.
“Entahlah...
hemm, kira-kira dua puluh empat atau dua puluh lima begitulah,” Ceng Ceng
menjawab.
Topeng Setan
mencelupkan pensil bulu ke dalam bak tinta, lalu membuat coretan, melukis bentuk
wajah bulat. “Begini?”
“Ah, tidak
gemuk begitu, bentuk wajahnya bulat... atau hampir segi empat, dengan dagu agak
keras berlekuk tengahnya...”
Topeng Setan
memperbaiki coretannya di atas lantai.
“Nah... nah,
begitu sudah lebih mirip... sekarang rambutnya. Rambutnya hitam tebal dan
panjang, atasnya agak tebal disisir ke belakang, kuncirnya panjang membelit
leher dan pundak... ahh, tidak menutup telinga, Paman. Telinganya masih
nampak... yaaa, begitu lebih mirip, rambut di pelipis kanan ini agak tebal, ya
begitu...”
Topeng Setan
membuat coret-coret di atas lantai.
“Sekarang
matanya, buatlah sepasang mata yang agak lebar, alisnya tebal panjang seperti
golok, ah, bukan begitu... matanya tidak sayu mengantuk begitu, matanya hidup
dan tajam, hidungnya sedang saja dan bibirnya membayangkan kekerasan hati...
aihh... mengapa berbeda...?”
Ceng Ceng
lama memandang coretan di atas lantai itu dengan mata disipitkan, kadang-kadang
dipicingkan sebelah dan mulutnya menggerutu,
“Hemmm...
mata dan mulutnya sudah mirip, akan tetapi mengapa lain? Seingatku tidak begitu
dia... ahhh, tentu saja! Matanya yang berbeda, Paman!”
“Matanya
berbeda bagaimana? Kau bilang tadi sudah mirip.”
“Maksudku
sinar matanya! Di samping tajam, sinar matanya mengandung sorot yang ganas,
seperti binatang buas...”
“Ehh...?!
Seperti binatang buas?”
“Ya, seperti...
ah, cobalah Paman buatkan mata seperti mata seekor harimau buas yang hendak
menerkam seekor domba!”
“Aihh, aneh
betul mata orang itu.”
“Memang
aneh, Paman. Dia seperti... eh, dia memang seorang yang gila pada saat itu.
Mulutnya menyeringai, matanya kemerahan bersinar penuh api. Nah, begitu,
Paman... ya, ya... tulang pipi dan dagunya lebih menonjol, dia kelihatan gagah
dan tampan... ehh, dan jahat seperti seekor harimau jantan yang buas. Nah,
mirip sekali. Sekarang harap Paman lukis di atas kertas ini!” Ceng Ceng merasa
gembira sekali karena coret-coret itu memang mirip dengan Kok Cu, pemuda laknat
musuh besarnya!
Topeng Setan
tidak mengeluarkan kata-kata lagi dan kini dia sibuk menyalin coretan di atas
lantai itu ke atas kertas. Jari-jari tangannya bergerak lemas dan cepat, dan
tak lama kemudian selesailah lukisan seorang pemuda tampan dan gagah setengah
badan yang tak salah lagi memang mirip sekali dengan musuh besar Ceng Ceng itu.
“Beginikah
dia...?” Akhirnya Topeng Setan bertanya lirih sambil menyerahkan lukisan itu
kepada Ceng Ceng.
Akan tetapi
dia terbelalak heran melihat gadis itu berdiri memandang lukisan dengan mata
merah dan berlinang air mata. Tiba-tiba Ceng Ceng melompat, merampas lukisan
itu dengan kasar dari tangan Topeng Setan.
“Plak-plak!
Brettt... reeeetttt...! Mampus engkau, jahanam...!”
Seperti
orang gila, Ceng Ceng menampari kemudian merobek-robek lukisan itu sampai
hancur berkeping-keping. Kemudian Ceng Ceng melempar kepingan-kepingan kertas
itu ke atas lantai dan menginjak-injaknya dengan kedua kakinya penuh kemarahan.
Topeng Setan
terbelalak memandang ulah dara itu dan dia memejamkan mata ketika melihat Ceng
Ceng akhirnya menjatuhkan diri duduk di atas lantai, di atas robekan kertas itu
sambil menangis. Dengan hati-hati Topeng Setan mendekati, duduk pula di atas
lantai kemudian setelah melihat tangis Ceng Ceng mereda, dia bertanya lirih,
“Ceng Ceng, benci benarkah engkau kepadanya?”
Ceng Ceng
mengangkat muka memandang, matanya merah dan air mata masih bertitik turun.
“Benci? Tak ada orang di dunia ini yang lebih kubenci seperti dia! Aku membenci
lahir batin dan aku tidak akan dapat mati meram apa bila belum dapat membunuh
jahanam biadab itu!”
Hening
sejenak, yang terdengar hanya isak tertahan dari Ceng Ceng. Kemudian terdengar
Topeng Setan berkata, “Alangkah hebat bencimu kepadanya, Ceng Ceng. Tentu dia
telah melakukan dosa besar sekali kepada seorang gadis semulia engkau sampai
engkau menjadi begini membencinya.” Orang tua bermuka seperti setan itu
menghela napas panjang. “Apakah yang telah diperbuatnya terhadapmu?”
Ceng Ceng
menghapus air matanya, kemudian dia menggeleng kepala. “Hal itu tidak mungkin
dapat kuceritakan kepada siapa pun juga, Paman. Pendeknya, sakit hatiku
terhadap dia hanya dapat dibayar dengan nyawa, itu pun masih kurang! Akan
tetapi, dia lihai sekali, Paman, dan karena Paman merupakan satu-satunya orang
yang dapat membantu aku, maka aku berjanji bahwa kalau aku dapat menemukan dia,
aku akan menceritakan sakit hatiku itu kepada Paman.”
“Ke mana
engkau hendak mencarinya?”
“Ke mana
saja, ke ujung dunia sekali pun. Memang sisa hidupku hanya untuk mencari dia
dan membalas dendam itu, Paman. Aku akan mencari dia dan... ahhh, apa yang
telah kulakukan? Gambar itu... ahhh, gambar itu kurusak...” Ceng Ceng agaknya
seperti baru teringat bahwa gambar yang dapat menolong dia mencari musuh
besarnya itu tanpa disadarinya telah dirobek-robeknya ketika dia teringat akan
sakit hatinya tadi.
“Jangan
khawatir, aku dapat membuatkan lagi untukmu, Ceng Ceng.” Topeng Setan lalu
mencoret-coret lagi dengan alat tulisnya di atas sehelai kertas dan setelah
selesai ternyata lukisan ini malah lebih baik dari pada tadi. Ceng Ceng menjadi
girang sekali, menggulung kertas lukisan wajah musuh besarnya itu, kemudian
mereka melanjutkan perjalanan menuju ke Telaga Sungari.
Pada suatu
pagi mereka memasuki sebuah rumah makan di dalam dusun yang masih sunyi. Mereka
membeli beberapa butir bakpao dan makan bakpao sambil minum air teh panas.
Seperti biasa, Ceng Ceng menggunakan setiap kesempatan bertemu dusun untuk
menyelidiki perihal musuh besarnya. Maka, setelah makan dua butir bakpao besar
dan minum air teh, dia mempersilakan Topeng Setan melanjutkan sarapannya,
sedangkan dia sendiri lalu membawa gulungan kertas menghampiri dua orang yang
mengukus bakpao di dekat pintu.
“Bung, saya
ingin bertanya kepadamu,” katanya kepada seorang di antara dua tukang bakpao
itu yang cepat menoleh dan memandang heran serta kagum karena Ceng Ceng memang
selalu mengagumkan pandang mata pria di mana pun dia berada.
“Tentu saja,
Nona...” Tukang bakpao yang berusia tiga puluhan tahun itu menjawab sambil
tersenyum bangga bahwa ada seorang dara secantik itu mau menyapanya.
Ceng Ceng
seperti biasa membuka gulungan kertas itu, memperlihatkan lukisan wajah musuh
besarnya sambil dia berkata, “Harap kau lihatlah baik-baik, barangkali engkau
mengenal orang ini dan tahu di mana dia berada?”
Tukang
bakpao itu menggerak-gerakkan bibirnya sehingga kumis tebal di atas bibir itu
ikut bergerak-gerak, keningnya berkerut seolah-olah dia sedang mengasah otaknya
menghadapi teka-teki yang ruwet. “Rasanya pernah kulihat akan tetapi mungkin
juga belum pernah... ehhh, nanti kuingat-ingat dulu, Nona... hemm...”
“Heiiii...!
Subo (Ibu Guru)...!” Tiba-tiba terdengar suara melengking merdu memanggil.
“Kiranya Subo berada di sini...?”
Ceng Ceng
cepat memutar tubuhnya dan melihat seorang dara remaja telah berdiri di
belakangnya, seorang dara tanggung yang cantik sekali, bertolak pinggang dan
sikapnya sembarangan, bahkan seperti ugal-ugalan. Tentu saja dia mengenal anak
perempuan yang menyebutnya subo itu. Kiranya dara remaja itu bukan lain adalah
Kim Hwee Li, puteri dari Ketua Pulau Neraka, Hek-tiauw Lo-mo! Ceng Ceng cepat
memandang ke kanan kiri, gentar juga hatinya karena khawatir kalau-kalau ayah
anak ini berada di situ.
Pernah dia
melawan Hek-tiauw Lo-mo dan ternyata olehnya bahwa kakek iblis itu lihai bukan
main sehingga dengan mudah dia tertawan. Untung ada Hwee Li yang telah
membebaskannya setelah dia berhasil menarik hati anak perempuan itu untuk
diajarnya tentang ilmu mengenai racun. Akan tetapi segera pandang matanya
bertemu dengan Topeng Setan yang masih makan bakpao di sudut ruangan, maka hatinya
menjadi lega kembali. Dengan adanya orang tua ini dia tidak takut lagi kepada
Hek-tiauw Lo-mo.
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment