Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Mutiara Hitam
Jilid 01
JALAN KECIL
itu menuju ke kota Tai-goan. Jalan yang buruk dan becek, apa lagi karena waktu
itu musim hujan telah mulai. Udara selalu diliputi awan mendung, kadang-kadang
turun hujan rintik-rintik, sambung-menyambung menciptakan hawa dingin. Seperti
biasa, segala keadaan di dunia ini selalu mendatangkan untung dan rugi,
dipandang dari sudut kepentingan masing-masing. Para petani menyambut hari-hari
hujan dengan penuh kegembiraan dan harapan, karena banyak air berarti berkah
bagi mereka. Akan tetapi di lain fihak, para pedagang dan pelancong mengomel
dan mengeluh karena pekerjaan atau perjalanan mereka terganggu oleh jatuhnya
hujan rintik-rintik yang tak kunjung henti.
Hujan
rintik-rintik membuat jalan kecil itu sunyi. Dalam keadaan seperti itu,
orang-orang yang melakukan perjalanan melalui jalan kecil itu lebih suka
menunda perjalanan, beristirahat di warung-warung sambil minum arak hangat, di
kuil-kuil atau setidaknya di bawah pohon rindang, pendeknya asal mereka dapat
terlindung dari hujan. Kalau pun ada yang melakukan perjalanan melalui jalan
kecil itu di waktu hujan rintik-rintik, mereka tentu bergesa-gesa agar cepat
tiba di tempat tujuan.
Beberapa
ekor kuda dibalapkan lewat, juga serombongan kereta lewat dengan cepatnya
melalui jalan kecil, sejenak memecahkan kesunyian dengan suara roda kereta,
derap kaki kuda dan cambuk, diselingi suara pengendara yang menyumpahi jalan
buruk dan hawa dingin.
Akan tetapi
pada pagi hari itu, seekor kuda kurus berjalan perlahan melalui jalan kecil
itu. Kuda yang kurus dan buruk, berjalan seenaknya seakan-akan menikmati air
hujan yang berjatuhan jarang di atas kepalanya. Warna kulit kuda ini agaknya
dahulunya merah, kini penuh debu basah sehingga warnanya menjadi coklat dan
kotor. Penunggangnya sama dengan kudanya dalam menghadapi gangguan hujan. Tidak
merasa terganggu sama sekali. Duduk di atas punggung kuda sambil meniup suling!
Aneh, mana ada orang lain berhujan-hujan meniup suling?
Laki-laki
itu tinggi tegap, usianya tentu mendekati lima puluh tahun. Raut wajahnya
tampan dan gagah, pandang matanya sayu namun bersinar tajam. Kepalanya
terlindung sebuah topi lebar terbuat dari anyaman rumput dan sudah butut,
robek-robek pinggirnya. Pakaiannya longgar dan amat bersih, akan tetapi sudah
terhias tambalan di beberapa tempat.
Biar pun
keadaan orang dan kudanya membayangkan kemelaratan dan sama sekali tidak
menarik, namun suara sulingnya luar biasa sekali. Sayang bahwa tiupan suling
seindah itu tidak pernah terdengar orang karena setiap kali bertemu orang,
laki-laki di atas kuda kurus ini selalu menghentikan tiupan sulingnya. Agaknya
ia tidak suka kalau tiupan sulingnya didengar orang.
Setelah
keluar dari sebuah hutan kecil yang gelap, laki-laki itu menghentikan kudanya.
Sepasang mata yang terlindung topi lebar itu memandang ke kanan kiri. Hutan
terganti kebun dan sawah. Beberapa orang petani sibuk bekerja di ladang, agak
jauh dari jalan kecil itu. Laki-laki itu tampak tertarik dan sejenak wajah yang
tampan itu berseri. Kemudian ia menarik perlahan kendali kudanya. Binatang kurus
itu berjalan lagi seenaknya. Hujan gerimis sudah mereda, tinggal kecil dan
jarang, sebentar lagi juga berhenti. Di timur sinar matahari mulai menerobos
awan tipis mengusir dingin. Laki-laki itu sejenak memandang ke arah matahari
yang belum menyilaukan mata, lalu mulutnya bernyanyi!
Syarat
memimpin negara dan dunia
adalah
sembilan kebenaran
memperbaiki
diri sendiri
menghargai
orang bijak dan pandai
mencinta
sanak keluarga
menghormat
pembesar tinggi
mengasihi
pembesar rendah
mencinta
rakyat seperti anak
mengundang
ahli-ahli bangunan
menghibur
pengunjung dari jauh
mengikat
persahabatan dengan negara lain!
Sambil
bernyanyi laki-laki itu melakukan gerakan gerakan aneh dengan sulingnya. Setiap
kata-kata ia barengi dengan gerakan suling yang kalau diperhatikan merupakan
gerakan menulis kata-kata, menulis di udara dan sungguh aneh, setiap gerakan
menulis ini mengakibatkan suara angin melengking yang berbeda beda!
Andai kata
pada waktu itu terdapat seorang ahli silat tinggi yang menyaksikan
gerakan-gerakan ini, tentu dia akan terheran-heran dan merasa kagum karena
selain melihat gerakan luar biasa, juga akan merasa betapa dari gerakan ini
keluar hawa pukulan mujijat! Akan tetapi kalau gerakan gerakan sambil bernyanyi
itu terlihat oleh orang biasa, tentu ia akan mengira bahwa laki-laki berkuda
itu seorang yang miring otaknya.
Melihat
keadaannya yang melarat, tak seorang pun akan mengira bahwa laki-laki ini
sesungguhnya adalah seorang pendekar besar, seorang pendekar sakti yang pada
belasan tahun yang lalu amat terkenal dan sukar dicari tandingnya. Jarang ada
orang yang mengetahui namanya, dan para tokoh dunia persilatan hanya
mengenalnya sebagai Suling Emas.
Telah
belasan tahun dunia persilatan kehilangan tokoh ini dan tidak seorang pun tahu
ke mana perginya. Dahulu orang mengenal Kim-siauw-eng (Pendekar Suling Emas)
sebagai seorang laki-laki yang tinggi tegap dan tampan gagah, pakaiannya
terbuat dari pada sutera halus berwarna hitam, dengan sulaman benang emas
menggambarkan bulan dan sebatang suling di bagian dadanya. Dahulu, belasan
tahun yang lalu, sepak terjangnya amat mengagumkan kawan mau pun lawan. Mulia
seperti malaikat bagi yang tertolong, hebat mengerikan seperti iblis bagi
penjahat yang dibasminya. Itulah dia Suling Emas!
Akan tetapi
laki-laki setengah tua yang menunggang kuda kurus itu, yang pakaiannya membuat
ia lebih patut disebut jembel, sama sekali tidak memperlihatkan bekas bahwa
dialah sesungguhnya Suling Emas. Jauh bedanya bagaikan bumi dengan langit.
Suling yang tadi ditiupnya kini berselubung tembaga di luarnya, merupakan
suling biasa. Hanya seorang ahli kalau melihat gerakan gerakannya sambil
bernyanyi tadi, akan mendapat kenyataan bahwa selama belasan tahun bersembunyi
ini, kepandaian Suling Emas tidaklah mundur, bahkan makin hebat.
Gerakan gerakannya
tadi sama sekali bukan gerakan seorang gila hendak menari, melainkan gerakan
Ilmu Silat Hong in bun hoat, yaitu Ilmu Silat Sastra Awan dan Angin yang
berdasarkan gerakan penulisan huruf-huruf dari kitab Tiong-yong! Nyanyiannya
tadi adalah ayat-ayat dari kitab Tiong-yong. Jangan dikira bahwa
gerakan-gerakan itu hanyalah gerakan sembarangan, karena setiap huruf yang
ditulis, merupakan gerakan lihai sekali, baik dalam bentuk serangan mau pun
dalam bentuk tangkisan.
Kuda kurus
itu berjalan terus. Sinar matahari pagi kini mencipta suasana cerah dan indah.
Burung-burung berkicau menambah keindahan suasana. Lalu-lintas mulai ramai
setelah kini hujan berhenti dan tembok kota Tai-goan sudah tampak dari jauh.
Suling Emas tidak bernyanyi lagi, tidak pula meniup sulingnya, bahkan sulingnya
kini tersembunyi di balik bajunya yang penuh tambalan.
Ia menunduk,
tidak memperhatikan orang-orang yang lewat dan bersimpang jalan dengannya.
Sudah terlalu lama ia mengasingkan diri, perhatiannya terhadap manusia dan
dunia menipis. Kadang-kadang ketenangannya terganggu oleh batuk. Apa bila
serangkaian batuk menyerangnya, mulutnya membayangkan rasa nyeri yang ditahan
tahan. Dan rangkaian batuk yang menyesakkan dada ini membuat ia kecewa.
Suling Emas
kecewa akan dirinya sendiri. Percuma saja belasan tahun ia menyembunyikan diri.
Ia dapat bersembunyi dari dunia ramai, namun ia tidak dapat bersembunyi dari
pikiran dan hatinya sendiri! Kemana pun juga ia pergi, ke puncak puncak gunung
yang sunyi, ke dalam goa-goa yang sepi di mana tidak nampak bayangan manusia
lain, pikiran dan perasaan hatinya selalu mengejarnya. Bayangan wajah
wanita-wanita yang pernah merampas hatinya selalu menggodanya. Ia mempergunakan
kekuatan dan kekerasan hati, menekan semua itu, namun hasilnya merusak jantungnya
sendiri. Suling Emas selama belasan tahun hidup bersengsara, hidup nelangsa,
hidup menyiksa batin sendiri, korban asmara!
Ketika
kudanya berjalan perlahan, bermacam kenangan memenuhi kepalanya, kenangan yang
timbul dari serangkaian batuk yang menyerangnya tadi. Karena serangan batuk ini
mengingatkannya kembali akan keadaan dirinya. Teringatlah ia akan nasib ayah
bundanya, nasib gurunya. Mereka itu orang-orang tua yang tidak sempat ia balas
dengan kebaktian itu, yang telah lama meninggalkannya seorang diri di dunia
ini, juga mengalami nasib buruk dalam cinta kasih.
Ayah
bundanya gagal dalam cinta kasih sehingga bercerai sampai mati. Kemudian
gurunya yang tercinta, gurunya yang menjadi pula pengganti ayah bundanya,
mengalami kegagalan asmara yang lebih pahit pula. Kasihan gurunya Kim-mo Taisu,
pendekar sakti yang patah hati!
Suling Emas
kembali menarik napas panjang, tangan kirinya membenamkan topinya makin dalam.
Matahari di sebelah kanannya mulai menyilaukan mata dan topinya amat baik untuk
melindungi matanya dari sinar matahari. Ia termenung kembali, tampaknya melenggutngantuk
di atas punggung kudanya. Betapa pun sengsara orang tua dan gurunya menjadi
korban asmara gagal, jika dibandingkan dengan apa yang ia alami, mereka itu
masih mendingan!
Terbayang
wajah wanita yang menjadi cinta pertamanya, gadis yang terjungkal ke dalam
jurang dan tewas pada saat mereka berdua sedang bertunangan! Kemudian wajah
cintanya yang kedua, yang kini menjadi nyonya pangeran, hidup mewah dan mulia
bersama suami dan anak-anaknya! Akhirnya terbayang pula wajah cintanya yang
ketiga, atau yang terakhir, wajah Kam Lin Lin, atau lebih tepat sekarang
disebut Ratu Yalina, ratu suku bangsa Khitan di utara!
“Ahh,
bodoh!” Suling Emas menyendal kendali kudanya, merasa gemas kepada dirinya
sendiri yang ia anggap amat lemah. “Engkau sudah tua bangka berpikir yang bukan
bukan!” Di dalam hatinya ia menyumpahi diri sendiri. Lamunan-lamunan,
kenangan-kenangan, dan pikiran macam itulah yang selalu mengejar dan
menggodanya, kemana pun juga ia pergi, sehingga akhirnya timbul batuk yang
menggerogoti dadanya.
Kalau sudah
terganggu oleh kenang-kenangan seperti itu hatinya serasa diremas, terasa sakit
dan perih, semangatnya melemah dan seluruh tubuhnya lelah, membuat ia malas dan
satu-satunya keinginan hanya tidur, kalau mungkin tidur selamanya tanpa sadar
lagi! Sebuah kuil tua di pinggir jalan, di luar kota Tai-goan menarik hatinya
karena ia melihat tempat mengaso yang enak dalam kuil tua itu, di mana ia dapat
mengaso dan tidur memenuhi keinginan hatinya.
Dibelokkannya
kuda kurus itu ke kiri memasuki pekarangan kuil tua yang penuh rumput. Seperti
juga kuilnya sendiri yang sudah kosong dan tidak terpelihara, pekarangan itu
pun kotor penuh rumput. Akan tetapi hal ini menguntungkan bagi kuda kurus yang
terus saja melahap rumput hijau di depan kuil. Kuda itu dilepas begitu saja
oleh Suling Emas yang memasuki kuil dengan mata setengah tidur! Tanpa menoleh
ke kanan kiri, tanpa mempedulikan beberapa orang pengemis yang duduk di sudut
ruangan depan, ia terus melangkah ke dalam, mengebut-ngebutkan ujung baju dan
membersihkan lantai di sudut yang kosong, lalu duduk bersandar dinding, terus
melenggut tidur! Hanya dengan istirahat beginilah batuk yang menyerangnya
menjadi berkurang.
Mengapa
pendekar sakti seperti Suling Emas sampai menjadi begini? Padahal kalau ia
menghendaki kedudukan, Kerajaan Sung akan membuka kesempatan sebesarnya kepada
Suling Emas, tokoh yang sudah banyak dikenal. Bahkan Kaisar sendiri memberi
penghargaan kepada Suling Emas, memberi izin istimewa kepada Suling Emas untuk
memasuki istana setiap saat sesuka hatinya! Selain ini, juga para pimpinan
Beng-kauw yang menjadi orang-orang paling berpengaruh di samping Kaisar Nan
cao, juga akan menerimanya dengan tangan terbuka. Betapa tidak? Suling Emas
adalah cucu keponakan dari ketua Beng kauw! Mengapa ia menolak semua kemuliaan
ini dan memilih penghidupan miskin, terlantar, patah hati dan terserang
penyakit?
Para pembaca
cerita 'suling emas' dan cerita 'cinta bernoda darah' tentu masih ingat betapa
parah cinta kasih yang gagal merobek hati Suling Emas.
Cintanya
yang terakhir lebih-lebih lagi menghancurkan hatinya. Ikatan cinta kasih antara
dia dan Ratu Yalina amatlah erat. Masing-masing telah saling mencinta, bahkan
Ratu Yalina tadinya rela mengorbankan kedudukannya untuk menjadi isterinya.
Namun Suling Emas terpaksa menolaknya. Menolak karena pertama, Suling Emas
sebagai seorang tokoh besar di dunia kang ouw tentu saja dimusuhi banyak orang,
apa lagi karena mendiang ibunya sewaktu hidupnya telah mengakibatkan banyak
permusuhan dengan orang-orang dunia persilatan. Ia tidak mau menyeret Yalina
dalam hidup penuh bahaya dan permusuhan. Kedua, Yalina adalah puteri angkat
ayahnya, jadi masih adik angkatnya sendiri, sehingga kalau mereka berdua
berjodoh, tentu akan menjadi bahan ejekan dan cemoohan, mencemarkan nama baik
keluarganya. Ketiga, suku bangsa Khitan amat membutuhkan bimbingan Ratu Yalina
untuk memperkuat kembali suku bangsa itu. Inilah sebabnya mengapa ia rela
berpisah dari kekasihnya itu, rela hidup merana dan menderita tekanan batin.
Hampir dua
puluh tahun ia menyembunyikan diri semenjak berpisah dari Ratu Yalina.
Musuh-musuh ibunya akhirnya merasa bosan mencari-carinya untuk dimintai
pertanggungan jawab akan sepak terjang ibunya puluhan tahun yang lalu. Akhirnya
ia, Suling Emas, dilupakan orang! Benarkah itu? Benarkah Suling Emas dilupakan
orang?
Mudah
mudahan demikian, pikir Suling Emas sambil melenggut. Mudah mudahan dunia sudah
lupa kepada Suling Emas! Lebih dilupakan lebih baik! Siapa yang akan mengenal
Suling Emas yang sekarang telah menjadi seorang jembel setengah tua? Gurunya
dahulu pernah hidup sebagai seorang jembel. Malah jembel yang gila! Berpikir
sampai di sini, senyum pahit menghias mulutnya dan ia membuka sedikit matanya.
Kebetulan
sekali ia melihat dua orang pengemis tua yang tadi duduk melenggut di sudut
luar, kini keduanya saling berbisik dan menoleh kepadanya. Kemudian, aneh
sekali, dua orang pengemis tua itu menghampirinya dan keduanya membuat gerakan
aneh, yaitu tangan kiri menekan dada kiri arah tempat jantung, dan tangan kanan
diangkat ke atas membentuk lingkaran dengan ibu jari dan jari tengah.
Apa artinya
itu? Mengapa mereka memberi salam seaneh itu? Suling Emas tidak mengenal siapa
mereka, juga yakin bahwa tidak mungkin mereka mengenalnya. Akan tetapi mereka
itu sudah menyalamnya, biarpun salam yang lucu dan aneh. Agaknya mereka itu
memberi salam karena mengira dia pun seorang pengemis, jadi segolongan. Dan
agaknya para pengemis di daerah ini sudah lajim menyalam seorang ‘rekan’ secara
itu. Untuk menjaga jangan sampai dua orang itu tersinggung Suling Emas lalu
meniru gerakan mereka, membalas salam itu dengan gerakan yang sama, lalu ia
meramkan mata dan melenggut pula, tidak memperhatikan lagi dua orang itu yang
wajahnya sejenak berubah girang sekali ketika melihat balasan salamnya.
Agaknya
seorang di antara dua pengemis tua itu hendak bicara dan Suling Emas diam-diam
merasa geli hatinya, akan tetapi mendadak mereka berdua itu sudah meloncat dan
di lain saat sudah mendengkur lagi sambil duduk bersandar tembok. Gerakan
mereka begitu cepat sehingga diam-diam Suling Emas tercengang, maklum bahwa dua
orang pengemis itu bukanlah pengemis sembarangan, melainkan pengemis kang-ouw
yang berilmu tinggi! Selagi ia terheran mengapa mereka tidak jadi bicara dan
bersikap seaneh itu, tiba-tiba di luar terdengar suara langkah kaki orang
disusul suara dalam bahasa Khitan yang dimengerti pula oleh Suling Emas.
“Tidak salah
lagi. Dia tentu berada di dalam kuil ini. Lihat itu kudanya, aku mengenal kuda
kurus ini!” Demikian suara itu dan diam-diam Suling Emas terkejut.
Ia teringat
bahwa kemarin ia melihat tiga orang laki laki bangsa Khitan yang berpakaian
seperti perwira, menunggang kuda dengan membalap. Ketika bersimpang jalan
mereka memandang penuh perhatian kepadanya. Melihat perwira-perwira Khitan ini,
Suling Emas teringat kepada kekasihnya, Ratu Yalina. Akan tetapi karena pada
masa itu Kerajaan Sung bersahabat dengan Kerajaan Khitan dan adanya orang-orang
Khitan di wilayah Kerajaan Sung bukanlah hal aneh lagi, maka Suling Emas tidak
menaruh perhatian lagi. Siapa kira tiga orang itu agaknya menyusul dan
mencarinya sampai di sini!
Sedikit pun
Suling Emas tak dapat menduga mengapa ada perwira-perwira Khitan mencarinya dan
mulai timbul dugaan bahwa tentu mereka itu salah lihat, mengira dia orang lain,
maka ia tetap saja duduk dengan sikap tenang. Tiga orang Khitan itu segera
muncul di ruangan dalam kuil itu. Seorang di antara mereka yang menjadi
pemimpin bertubuh gemuk dengan kumis melintang tebal. Si Kumis Tebal inilah
yang sekarang berdiri dan menjura kepadanya, memandang tajam, penuh selidik ke
arah wajah di bawah topi sambil berkata,
“Taihiap
(Pendekar Besar), kami menjalankan perintah Ratu kami yang minta dengan hormat
agar Taihiap suka pergi berkunjung sekarang juga bersama kami ke Khitan.”
Jantung
Suling Emas berdebar keras. Baru sekali ini setelah belasan tahun ia mengalami
ketegangan batin. Ratu Khitan Yalina mengundangnya? Apa yang dikehendaki oleh
Lin Lin? Mengapa ingin bertemu? Pertemuan yang tentu hanya akan membuat luka di
hatinya menjadi makin parah saja. Di saat itu juga, ia sudah mengambil
keputusan untuk menolak undangan ini. Akan tetapi ia tidak ingin pula lain
orang mengetahui bahwa dia Suling Emas. Bagaimana perwira Khitan ini dapat
mengenalnya?
“Apa... apa
yang kau maksudkan? Aku tidak mengerti omonganmu!” Ia menjawab lirih, pura-pura
tidak mengerti kata-kata tadi yang diucapkan dalam bahasa Khitan.
Si Kumis
Tebal itu saling lirik dengan dua orang temannya, pada wajahnya terbayang
keheranan dan keraguan. Ia segera berkata dalam bahasa Han. “Kami diutus
junjungan kami untuk mengundang Taihiap berkunjung ke Khitan sekarang juga
bersama kami.”
Tentu saja
Suling Emas maklum bahwa Lin Lin atau Sang Ratu Yalina yang mengundangnya, akan
tetapi ia pura-pura tidak tahu. Diam diam ia kagum dan heran sekali akan
kecerdikan orang orang Khitan sehingga berhasil mengenal dan mendapatkannya.
“Ah, apa artinya ini? Aku sama sekali bukan Taihiap, dan aku tidak mengenal
siapa itu junjunganmu di Khitan.”
Kembali
wajah gemuk itu dibayangi keraguan. “Harap Taihiap jangan berpura-pura lagi.
Junjungan kami adalah Sang Ratu yang mulia di Khitan. Menurut petunjuk yang saya
terima, tidak salah lagi Taihiap orangnya. Kuda kurus itu... dan bentuk tubuh
Taihiap. Perintah junjungan kami merupakan perintah besar yang harus
dilaksanakan sampai berhasil, dan kami sudah bertahun-tahun dalam usaha mencari
Taihiap!”
Diam-diam
Suling Emas merasa terharu. Kembali terbayang wajah Lin Lin, terbayang semua
peristiwa yang lalu. Lin Lin adalah puteri angkat ayahnya yang ternyata
kemudian sebagai Puteri Mahkota Khitan. Mereka saling mencinta, namun tak
mungkin menjadi suami isteri. Ia telah memenuhi hasrat hatinya, memenuhi
permohonan Lin Lin, sebelum berpisah sampai kini dari wanita yang tercinta itu.
Ia telah
secara diam diam dan rahasia berkunjung di istana Sang Ratu Yalina, berdiam
sampai satu bulan di dalam kamar Sang Ratu, hidup sebagai suami isteri penuh
cinta kasih, penuh kemesraan selama sebulan, suami isteri di luar pernikahan
yang tak mungkin dilakukan! Mereka berdua runtuh oleh gelora cinta dan nafsu.
Namun hal itu tak dapat dipertahankan terus.
Demi menjaga
nama baik Yalina sebagai Ratu, dan demi untuk menjaga nama baik keluarga,
terpaksa Suling Emas harus meninggalkan Khitan, meninggalkan dengan keputusan
hati takkan kembali lagi, takkan bertemu lagi dengan wanita yang dikasihinya,
hanya dengan hiburan bahwa wanita yang dicintanya itu juga mencintanya sepenuh
jiwa raga. Mereka bersumpah takkan menikah dengan orang lain.
Belasan
tahun hal itu terjadi dan telah lalu. Hampir dua puluh tahun. Dan sekarang tiba
tiba Sang Ratu Yalina mengutus perwira-perwiranya untuk mencarinya sampai
dapat, untuk mengundangnya ke Khitan. Apa perlunya? Bukankah kesemuanya itu
sudah musnah habis?
“Aku yakin
bahwa kalian tentu salah kira dan menganggap aku orang lain. Kalian mengira aku
ini siapakah?” Suling Emas masih berusaha mempertebal keraguan orang.
“Siapa lagi
Taihiap ini kalau bukan Kim-siauw-eng?”
“Aiiihhh...!“
teriakan tertahan ini terdengar dari sudut ruangan di mana dua orang kakek
pengemis tadi duduk bersandar.
Berdebar
keras jantung Suling Emas. Celaka, orang orang Khitan ini benar-benar bermata
tajam.
“Ah,
apa-apaan ini?” teriaknya. “Kalian benar-benar salah melihat orang! Aku bukan
Taihiap, bukan pula Kim-siauw-eng, kalian lekas pergi saja jangan menggangguku.”
“Taihiap,
salah atau tidak, kami harus melakukan kewajiban kami! Petunjuk yang baru kami
terima kemarin dari atasan kami tak salah lagi. Berpakaian sebagai pengemis,
bertopi lebar butut, menunggang kuda kurus. Tidak salah lagi, harap Taihiap
tidak membikin repot kami dan suka kami antar ke Khitan sekarang juga.”
“Hemmm...
kalau aku tidak mau?”
“Kami
mendapat perintah untuk mengawal Taihiap ke Khitan, mau atau tidak. Karena kami
sudah mendapat wewenang, kalau perlu kami akan memaksa Taihiap.” Sambil berkata
demikian, si Kumis Tebal itu mengepal tinju dan melangkah dekat. Akan tetapi
jelas bahwa ia gelisah sehingga dahinya penuh keringat.
“Waahh...,
jangan menghina kaum jembel...!” Kiranya dua orang pengemis tua itu sudah
berdiri menghadang di depan tiga orang perwira Khitan dengan sikap melindungi
Suling Emas. Di tangan kanan mereka tampak tongkat pengemis.
Perwira
Khitan yang gemuk itu memandang dengan mata melotot, lalu membentak,
“Jembel-jembel tua bangka, kalian mau apa mencampuri urusan kami?”
Kakek
pengemis yang punggungnya bongkok tersenyum lebar, lalu berkata, “Melihat
sekaum dihina orang, bagaimana kami dapat tinggal diam? Apa lagi kalau yang
kalian hina adalah saudara tua kami yang terhormat.” Kemudian kakek bongkok itu
menoleh ke arah Suling Emas lalu menjura. “Tianglo yang mulia silakan
beristirahat yang enak, biarlah kami berdua mewakili Tianglo memberi hajaran
kepada anjing-anjing Khitan ini!”
Setelah
berkata demikian, kembali ia menghadapi para perwita Khitan dan berkata
mengejek, “Saudara tua kami tidak suka menerima undangan Ratu Khitan, mengapa
memaksa? Sungguh Ratu kalian tak tahu malu!”
“Keparat,
berani menghina...?” Perwira gemuk itu segera menghantam ke arah dada pengemis
bongkok. Hantaman yang amat kuat sehingga mengeluarkan hawa pukulan yang
menyambar keras. Si Pengemis Bongkok maklum akan kekuatan lawan, maka ia cepat
mengelak. Dua orang perwira lain yang memegang toya juga segera menyerbu dan
terjadilah perkelahian seru di dalam kuil tua ini.
Ketika
menyaksikan sikap kedua orang pengemis tua itu terhadapnya, Suling Emas menjadi
makin terheran-heran. Kalau para perwira Khitan itu dengan tepat dapat mengenal
atau setidaknya menyangkanya Suling Emas, adalah para pengemis ini mengira dia
orang lain dan menyebutnya Tianglo! Tentu dia dianggap seorang tokoh pengemis
yang mereka hormati. Tidak beres kalau begini, pikirnya. Namun, masih mending
dianggap seorang tokoh pengemis dari pada dikenal sebagai Suling Emas!
Ia merasa
kesal melihat dirinya dijadikan sebab perkelahian. Maka melihat lima orang itu
bertanding seru, ia lalu menggunakan kepandaiannya, sekali berkelebat ia sudah
lenyap dari tempat itu, meloncat ke luar kuil dan di lain saat ia sudah
menunggang kudanya yang kurus. Akan tetapi sekali ini, kuda kurus itu
memperlihatkan keasliannya ketika Suling Emas menarik kendali dan menendang
perutnya, karena kuda kurus itu berlari amat cepatnya dan melihat gerakan
kakinya jelas bahwa kuda kurus itu adalah seekor kuda pilihan!
Biar pun
para perwira Khitan itu tiga orang mengeroyok dua orang pengemis tua yang
tubuhnya kurus kering malah seorang di antaranya bongkok, namun mereka itu
segera mendapat kenyataan bahwa dua orang jembel tua itu benar-benar amat
lihai! Untung bagi orang-orang Khitan itu bahwa dua orang jembel tua itu
agaknya memang hanya ingin mempermainkan mereka.
Seperti
telah disebutkan tadi, pada masa itu diantara Kerajaan Sung dan Kerajaan Khitan
terdapat persahabatan. Orang-orang Khitan tentu saja masih dianggap bangsa yang
‘liar’. Akan tetapi karena orang-orang Khitan itu selalu membuktikan disiplin
yang baik dan tidak pernah melakukan kejahatan di wilayah Sung, maka rakyat pun
tidak membenci mereka. Hal ini terjadi setelah suku bangsa Khitan dipimpin oleh
Ratu Yalina yang mengeluarkan peraturan peraturan keras untuk rakyatnya. Karena
inilah agaknya dua orang pengemis yang terang bukan orang-orang sembarangan itu
juga enggan untuk mencelakai tiga orang perwira Khitan itu, melainkan hanya
ingin mencegah mereka memaksa pengemis aneh yang mereka sangka seorang ‘saudara
tua’ tadi.
“Eh, ke mana
perginya Tianglo...?” tiba tiba Si Bongkok berseru kaget dan keduanya segera
menghentikan pertempuran, bahkan tanpa berkata sesuatu dua orang pengemis itu
sudah meloncat ke luar dan sebentar saja lenyap dari situ.
Perwira
gemuk itu mengejar bersama dua orang temannya, namun setiba mereka di luar
kuil, keadaan sepi saja. Tak nampak seorang pun manusia. Juga kuda kurus tidak
berada pula di depan kuil. Perwira gemuk berkumis tebal itu mengerutkan
keningnya, meraba-raba dagu lalu berkata,
“Sungguh
meragukan apakah benar dia tadi Suling Emas. Terang dia menolak, dan dua orang
jembel tua bangka tadi sungguh menjemukan, membikin sukar pelaksanaan tugas
kita yang tidak mudah. Kalian lekas beri laporan kepada pusat markas penyelidik
di Tai-goan, katakan betapa lihainya dua orang pengemis tua bangka tadi. Kalau
dia tadi betul Suling Emas dan sampai lolos, tentu kita semua akan menerima
hukuman berat! Lekas berangkat, aku akan mencoba mengikuti jejaknya...“
Dua orang
perwira bawahan itu cepat pergi menunggang kuda mereka menuju ke Tai-goan,
sedangkan si Perwira Gemuk juga membalapkan kuda melakukan pengejaran ke arah
timur setelah meneliti jejak kaki kuda yang ditunggangi Suling Emas. Betapa
heran hatinya ketika melihat jejak kaki kuda itu tak pernah berhenti biar pun
ia mengikutinya sampai matahari condong ke barat. Mungkinkah kuda kurus kering
mau mati itu dapat melakukan perjalanan sebegitu jauhnya dan melihat jejaknya
selalu berlari cepat?
Diam-diam si
Perwira Gemuk mengeluh dan mengomel. Sudah lebih dari lima tahun ia ditugaskan
mencari seorang yang bernama Suling Emas! Membawa pasukan, bahkan kemudian
akhir-akhir ini pencaharian dan penyelidikan diperhebat dengan datangnya para
pengawal jagoan dari Khitan yang berpusat di Tai-goan. Namun selama ini,
penyelidikannya selalu sia-sia belaka. Suling Emas yang dimaksudkan ratunya itu
seakan-akan lenyap ditelan bumi, atau memang orang itu tidak pernah ada!
Kemarin dia
menerima berita dari seorang di antara penyelidik yang disebar di mana-mana,
bahwa ada seorang penunggang kuda kurus yang perawakannya sama dengan orang
yang selama ini dicari-cari. Dengan penuh semangat dia bersama dua orang
pembantunya melakukan penyelidikan dan akhirnya bertemu dengan Suling Emas di
dalam kuil itu. Aneh sekali caranya orang itu melenyapkan diri, pikir si Perwira
Gemuk sambil mengepal tinju. Mengapa tidak seorang pun di antara mereka ada
yang tahu?
Padahal dua
orang pengemis tua itu jelas memiliki ilmu kepandaian yang hebat. Namun mereka
pun tidak melihat perginya orang yang disangka Suling Emas itu. Hal ini hanya
berarti bahwa orang itu memiliki ilmu kepandaian hebat. Cocok dengan gambaran
tentang diri Suling Emas yang oleh para pengawal istana disohorkan memiliki
kepandaian seperti dewa! Sekali ini harus berhasil, pikirnya. Harus berakhir
pengejaran dan penyelidikan yang bertahun-tahun ini!
Suling Emas
membalapkan kudanya dan baru ia membiarkan kudanya mengaso dan berjalan
perlahan setelah lewat tengah hari. Ia tidak jadi pergi ke Tai-goan. Ia harus
melarikan diri, tak peduli ke mana, asal jangan sampai bertemu dengan
orang-orang Khitan itu. Kembali jatuh hujan rintik-rintik, akan tetapi ia tidak
peduli.
Mengapa Lin
Lin berusaha keras untuk mengundangnya ke Khitan? Apakah selama ini Lin Lin
juga hidup menderita batin seperti dia? Kasihan Lin Lin! Ia tahu betapa
mendalam cinta kasih Lin Lin kepadanya dan betapa perpisahan itu akan membuat
Lin Lin hidup sebagai Ratu Yalina, terkurung dalam istana, yang keras dan
sunyi!
“Oughhh...!”
Kembali serangkaian batuk menyerang Suling Emas.
Selalu ia
terserang batuk kalau pikirannya mengenang masa lalu yang menimbulkan duka.
Agaknya serangan batuk kali ini hebat sehingga ia terbatuk-batuk dan tubuhnya
berguncang-guncang di atas kuda, wajahnya menjadi pucat, napasnya
terengah-engah. Sudah lama ia terserang penyakit, bertahun-tahun sudah, akan
tetapi ia tidak pernah mempedulikannya, tidak mau mencari obat. Biarlah
demikian, pikirnya setiap kali timbul keinginan mengobati penyakitnya, kalau
penyakit ini mengakibatkan kematian alangkah baiknya. Bebas dari pada duka
nestapa dan derita batin!
Betapa besar
kekuasaan asmara! Kuasa menciptakan sorga mau pun neraka dalam penghidupan
manusia! Suling Emas yang dahulu terkenal gagah perkasa, tahu akan segala
filsafat hidup, menguasai berbagai ilmu yang tinggi dan pelik-pelik, namun sekali
tercengkeram asmara, menjadi lemah seperti seorang yang bodoh dan tidak
mengerti apa-apa. Menjadi begitu lemah sehingga tidak mampu menguasai dirinya
sendiri!
Betapa ingin
hatinya bertemu kembali dengan Ratu Yalina! Betapa ingin hatinya dapat memandang
wajah wanita yang dikasihinya itu, dapat memegang tangannya. Ah, akan tetapi
bagaimana mungkin? Dia sudah tua, juga Lin Lin bukanlah orang muda lagi. Dahulu
pun di waktu mereka masih muda, hal ini tak mungkin dilakukan tanpa
mengakibatkan noda nama. Apa lagi sekarang, Lin Lin adalah seorang ratu yang
disembah rakyatnya, sedangkan dia... dia seorang sebatang kara dan miskin.
Betapa mungkin ia menjerat Lin Lin ke dalam kehinaan?
“Tidak!”
suara hati terucapkan bibirnya. “Aku harus bertahan! Dia tidak boleh
merendahkan diri, tidak boleh bertemu denganku!” Keputusan ini membuat Suling
Emas seketika mengeluarkan sebuah sapu tangan lebar dan ditutupnyalah sebagian
mukanya dengan sapu tangan. Jangan sampai orang orang Khitan itu mengenalku!
Akan tetapi
keputusan yang amat berlawanan dengan hasrat hati ini makin membahayakan
keadaannya. Serasa ditusuk-tusuk jantungnya sehingga tubuhnya makin lemah. Ia
terbatuk-batuk lagi dan akhirnya ia terguling roboh dari atas punggung kudanya,
jatuh dan rebah di atas tanah tak sadarkan diri!
Kudanya
mengeluarkan suara meringkik perlahan, berhenti dan membalikkan tubuh. Dengan
hidungnya kuda kurus itu mendengus-dengus menciumi kepala Suling Emas. Biasanya
kalau ia melakukan hal ini, majikannya lalu mengelus-elus kepala dan lehernya.
Akan tetapi sekarang, majikannya diam saja tak bergerak. Hal ini menyusahkan
hati si Kuda, yang kembali meringkik dan menjauhkan diri, berlindung di bawah
pohon dari serangan hujan yang makin menderas sambil makan ujung-ujung rumput
hijau.
Suling Emas
tidak tahu berapa lama ia rebah pingsan di tempat itu. Pakaiannya basah kuyup,
topi dan sapu tangannya masih menutupi mukanya. Ketika ia siuman kembali, ia
mendengar suara orang-orang bergerak di dekatnya. Cepat Suling Emas membuka mata
sambil menahan batuk yang mulai menyerangnya lagi. Kiranya dua orang kakek
pengemis yang tadi bertempur melawan orang-orang Khitan di dalam kuil telah
berada di dekatnya! Mereka itu berlutut di kanan kirinya dengan sikap hormat
sekali, dan kakek yang bongkok berkata,
“Tianglo,
maafkan kami yang baru sekarang dapat bertemu dengan Tianglo, sehingga Tianglo
mengalami keadaan begini sengsara...”
“Hemmm...,
kau kira aku ini...?” Suling Emas bertanya perlahan akan tetapi tidak
melanjutkan kata-katanya karena kembali ia terbatuk batuk.
“Ahh...,
Tianglo, kali ini kami tidak akan salah lihat! Engkau Yu Kang Tianglo yang
mengenal baik tanda rahasia dengan tangan dari perkumpulan kita, Khong-sim
Kai-pang! Tianglo...“
“Aku bukan
Yu Kang Tianglo...!” Suling Emas memotong dengan suara keras.
Ia sudah
mengenal siapa Yu Kang Tianglo. Dahulu tiga puluh tahun yang lalu pernah ia
bekerja sama dengan Yu Kang. Ketika itu Yu Kang adalah seorang tokoh dari
Khong-sim Kai-pang berusia tiga puluh tahun, yang berusaha membalas dendam
kematian ayahnya di tangan seorang di antara Enam Iblis Dunia bernama It-gan
Kai-ong. Karena ketika itu It-gan Kai-ong merupakan seorang tokoh jahat, Suling
Emas lalu turun tangan, membantu Yu Kang merobohkan It-gan Kai-ong sehingga Yu
Kang dapat membalas dendam.
Aneh sekali,
pikirnya. Biar pun Yu Kang dan dia memang memiliki bentuk tubuh yang hampir
sama, akan tetapi seingatnya Yu Kang dahulu lebih tua dari padanya. Sedikitnya
lebih tua lima tahun! Agaknya Yu Kang juga seperti dia, mengasingkan diri
sehingga para pengemis ini tidak dapat membedakan antara dia dan Yu Kang.
“Harap
Tianglo mengingat akan perkumpulan kita dan menaruh kasihan kepada kami!
Semenjak merobohkan It-gan Kai-ong tiga puluh tahun yang lalu, Tianglo
menghilang. Kami mengira bahwa Tianglo khawatir akan pembalasan It-gan Kai-ong
maka sengaja mengasingkan diri. Akan tetapi setelah belasan tahun yang lalu
It-gan Kai-ong tewas mengapa Tianglo masih juga mengasingkan diri? Apakah
Tianglo tidak kasihan kepada saudara-saudara kita yang sudah terlalu lama
kehilangan pemimpin yang bijaksana?”
Selagi
pengemis bongkok itu bicara dengan penuh permohonan, diam-diam Suling Emas
berpikir. Hemm, mengapa tidak? Biarlah Yu Kang menyembunyikan diri dan dia yang
menggantikannya! Pertama, karena ia tahu bahwa perkumpulan Khong-sim Kai-pang
adalah perkumpulan baik-baik sehingga sudah sepatutnya kalau ia bela. Kedua,
dengan menyamar menjadi Yu Kang, ia dapat menyembunyikan diri dari pada
pengejaran Lin Lin.
Pada saat
itu hujan turun lagi dengan derasnya dan pengemis tua yang memegang tongkat
berseru, “Ah, dasar bandel monyet gendut itu! Dia berani muncul lagi!”
Suling Emas
kaget dan segera bangun berdiri. “Saudara-saudara, biarkanlah aku sendiri
menghadapinya,” ia berkata ketika melihat dua orang pengemis tua itu dengan
marah hendak menerjang maju. Mendengar ini dua kakek itu menjadi girang dan
menanti di kanan kiri.
Perwira
Khitan yang gemuk itu melangkah lebar menghampiri tempat itu, menempuh hujan.
Ia terkejut ketika melihat orang yang dicarinya berdiri di depannya dengan muka
sebagian tertutup sapu tangan sedangkan dua orang pengemis tua yang lihai tadi
berdiri di kanan kirinya. Akan tetapi segera ia menyeringai dan berkata.
“Terpaksa saya harus mengikuti Taihiap sampai di mana pun juga. Saya mempertaruhkan
nyawa untuk tugas ini!”
Suling Emas
bertanya. “Tugasmu adalah mencari orang yang berjuluk Kim-siauw-eng, bukan?”
“Betul,
Taihiap.”
“Dan engkau
mengira bahwa akulah orang yang kau cari itu?”
“Tidak bisa
salah lagi, beginilah menurut petunjuk.”
“Apakah
engkau pernah bertemu dengan Suling Emas?”
“Waah...
belum pernah. Akan tetapi petunjuknya cocok, dan akan ada seorang atasanku yang
pernah bertemu dan akan mengenal Taihiap.”
“Kalau
begitu jangan membandel. Katakan kepada atasanmu bahwa yang kau sangka Suling
Emas itu sebetulnya adalah Yu Kang Tianglo, ketua dari Khong-sim Kai-pang!
Sudah, jangan engkau mengganggu kami lagi!” Ia menoleh kepada dua orang
pengemis tua sambil berkata, suaranya memerintah, “Mari kita pergi!”
Si Perwira
Khitan yang gendut itu terkejut dan meragu. Ia melangkah maju, “...tetapi....”
Baru sampai
sekian ucapannya, Suling Emas mengulurkan tangannya dan perwira itu tiba tiba
berdiri kaku tak bergerak. Ia telah menjadi korban totokan yang luar biasa
sekali! Melihat ini, dua orang pengemis tua yang sudah kegirangan itu menjadi
kagum sekali, lalu mereka berdua menjatuhkan diri berlutut di depan Suling Emas
sambil berkata, “Pangcu (Ketua)...!”
Di balik
sapu tangan Suling Emas tersenyum masam, lalu mengibaskan tangan baju dan
berkata kereng,”Bangunlah dan mari kita pergi.”
Dengan muka
gembira dan taat sekali dua orang pengemis tua itu bangkit dan pergilah mereka
bertiga menempuh hujan, meninggalkan perwira Khitan yang masih berdiri seperti
patung. Ketika hujan mulai berhenti, mereka sudah berteduh di dalam sebuah
gubuk petani di tengah ladang. Kuda kurus tunggangan Suling Emas tadi berjalan
mengikuti majikannya yang memanggilnya Siauw-ma, dan kini makan rumput di
pinggir jalan ketika majikannya duduk di dalam gubuk bersama dua orang kakek
pengemis.
“Dan
sekarang, ceritakanlah siapa kalian, dan apa sebabnya kalian memaksa aku yang
sudah puluhan tahun mengasingkan diri dan tidak mau mencampuri urusan kai-pang
(perkumpulan pengemis) atau mengapa kalian mengganggu ketenanganku hidupku?”
Ketika dua
orang kakek pengemis itu secara bergantian mulai bercerita, Suling Emas
mendengarkan penuturan yang amat menarik hatinya sehingga ia menaruh perhatian.
Tak disangkanya bahwa selama ia mengasingkan diri telah terjadi banyak hal
hebat di dunia kang-ouw.
Selama
puluhan tahun, ketika dunia kang-ouw dikuasai oleh Enam Iblis Bumi Langit,
dunia pengemis juga terlanda malapetaka karena seorang di antara Enam Iblis,
yaitu It-gan Kai-ong merajai dunia pengemis. Setelah akhirnya It-gan Kai-ong
tewas, dunia pengemis yang sudah terbebas dari kekuasaan jahat itu menjadi
kacau, kehilangan pimpinan dan terpecah pecah karena terjadi perebutan
kekuasaan antara golongan pengemis yang baik dan golongan pengemis yang jahat.
Golongan
lain di dunia kang-ouw telah mendapatkan pimpinan pimpinan baru dan fihak yang
jahat dapat dibersihkan. Akan tetapi hanya golongan pengemis saja yang belum
mempunyai pemimpin yang kuat sehingga fihak yang jahat selalu menimbulkan kekacauan
dan terjadilah pertentangan-pertentangan hebat di antara mereka sendiri.
Melihat kelemahan dunia pengemis ini maka orang-orang jahat yang terusir dan
tidak mendapatkan tempat di dalam golongan lain, lalu menyelundup masuk ke
dalam dunia pengemis untuk mencari kedudukan.
Khong-sim
Kai-pang adalah sebuah perkumpulan pengemis yang besar dan berpengaruh,
berpusat di kota Kang hu. Sejak puluhan tahun yang lalu Khong-sim Kai-pang
termasuk golongan partai bersih yang mengutamakan kebenaran dan selalu memusuhi
kejahatan. Akan tetapi karena sudah puluhan tahun tidak mempunyai ketua yang
pandai, Khong-sim Kai-pang kehilangan pengaruhnya sebagai perkumpulan besar
sehingga tidak dapat menjadi peranan penting dalam dunia pengemis. Namun karena
dahulu pernah dipimpin oleh orang orang bijaksana seperti Yu Jin Tianglo,
mendiang ayah Yu Kang, para anggotanya masih setia dan mereka inilah yang
merasa prihatin melihat keadaan dunia pengemis yang mulai dicengkeram oleh
golongan hitam.
Beberapa
kali para tokoh Khong-sim Kai-pang berusaha untuk membersihkan dunia pengemis
dari pengaruh oknum-oknum jahat, akan tetapi setiap kali usaha mereka gagal,
bahkan banyak di antara mereka yang tewas dalam bentrokan itu. Akhirnya, dari
banyak tokoh Khong-sim Kai-pang hanya tinggal dua orang tokoh yang termasuk
orang orang tingkat tinggi di perkumpulan itu. Mereka ini adalah Gak-lokai si
kakek jembel bongkok dan Ciam-lokai si kakek jembel bertongkat.
Dua orang
kakek ini maklum bahwa kalau Khong-sim Kai-pang tidak segera mendapat pimpinan
yang tepat dan bijaksana, akan rusaklah keadaannya, tidak hanya keadaan
perkumpulan mereka, juga dunia pengemis akan terjatuh ke tangan orang jahat.
Mereka teringat akan Yu Kang yang puluhan tahun lamanya tak pernah muncul.
Hanya putera mendiang Yu Jin Tianglo itulah kiranya yang akan dapat membangun
kembali Khong-sim Kai-pang. Maka mulailah mereka berdua merantau dan mencari Yu
Kang Tianglo sampai mereka berjumpa dengan Suling Emas dan mengira bahwa
pendekar ini adalah orang yang mereka cari cari.
“Demikianlah
Pangcu. Tanpa mengenal lelah kami berdua mencarimu sampai belasan tahun. Kami
mendengar bahwa Tianglo merantau ke dunia barat. Kami telah menyusulmu ke sana,
hampir celaka di negeri asing itu. Akan tetapi di sana kami mendengar bahwa
Tianglo telah kembali ke timur sehingga kami kembali menyusul ke sini, untung
dapat bertemu dengan Tianglo di kuil rusak. Agaknya Tuhan memang telah
memanggil kembali Tianglo untuk memimpin dunia pengemis, karena kalau Tianglo
tidak menaruh kasihan, tentu dunia pengemis akan terjatuh ke tangan iblis iblis
baru dan terseret ke dalam golongan hitam!” Demikian mereka berdua menutup
penuturan mereka.
Suling Emas
termenung sejenak. Ia mempertimbangkan keadaannya, kemudian menarik napas
panjang dan berkata, “Apakah kalian hendak menarik aku menduduki kursi ketua
Khong-sim Kai-pang? Aku yang sudah biasa merantau bebas seperti burung di
udara, bagaimana bisa terikat dan terkurung? Sungguh tak mungkin dapat
kulakukan!” Ia menggeleng-geleng kepala dan menarik napas panjang.
“Tidak usah
sampai begitu, Pangcu!” kata kakek bongkok yang bernama Gak-lokai cepat cepat.
“Cukup asal pangcu memperkenalkan diri sebagai ketua Khong-sim Kai-pang dan
menghadiri pertemuan besar para ketua perkumpulan-perkumpulan pengemis yang
akan diadakan di permulaan musim semi. Pertama untuk membangun kembali semangat
para anggota Khong-sim Kai-pang, kedua untuk mencegah dunia pengemis terjatuh
ke tangan kaum sesat. Mohon kiranya pangcu tidak akan tega membiarkan
kehancuran Khong-sim Kai-pang dan dunia pengemis umumnya.” Setelah berkata
demikian kedua orang kakek itu kembali menjatuhkan diri berlutut di depan
Suling Emas.
Diam-diam
Suling Emas terkenang kepada Yu Jin Tianglo, seorang tokoh Khong-sim Kai-pang
yang bijaksana dan putera ketua ini, Yu Kang, seorang pengemis yang gagah
perkasa. Ayah dan anak ini adalah orang-orang gagah yang sudah sepatutnya
dibela. Memang kasihan dan sayang sekali kalau perkumpulan pengemis yang sudah
terkenal sebagai golongan kaum bersih ini sampai terseret ke dalam lembah
kejahatan. Selain ini, juga ia mendapat kesempatan untuk menyembunyikan diri
dari kejaran orang-orang Khitan! Kalau ia sudah mengaku sebagai ketua Khong-sim
Kai-pang, mustahil kalau para petugas yang diutus Lin Lin itu akan mengejarnya
lagi dan menyangkanya Suling Emas!
“Baiklah,” akhirnya
ia berkata. “Akan kucoba sekuat tenagaku mencegah kaum sesat menguasai dunia
pengemis. Akan tetapi aku hanya mau menjadi pangcu dari Khong-sim Kai-pang
dengan syarat, pertama apa bila semua sudah beres, aku tidak mau tetap tinggal
di satu tempat. Urusan kai-pang boleh kalian urus sedangkan aku tetap akan
melakukan perantauan seperti biasa, tanpa ada yang mengganggu. Kedua, aku tidak
ingin memperkenalkan mukaku kepada orang lain sehingga dalam kedudukan sebagai
pangcu, aku akan selalu menutup mukaku. Kalian pun harus bersumpah bahwa kau
tidak pernah melihat mukaku. Mengerti?”
Dua orang
kakek pengemis yang merasa yakin bahwa pendekar ini tentulah Yu Kang Tianglo
menjadi gembira sekali. Dengan bercucuran air mata saking girangnya mereka
menyanggupi semua permintaan Suling Emas.
“Cukup,
sekarang pergilah kalian. Tunggu kedatanganku di Kang-hu waktu bulan purnama
yang akan datang. Bukankah pusat Khong-sim Kai-pang masih berada di kuil tua di
luar kota Kang-hu?”
Dua orang
kakek itu makin girang dan tidak ragu-ragu lagi mereka sekarang bahwa orang ini
tentulah Yu Kang putera mendiang ketua Yu Jin Tianglo yang lenyap ketika
berusia tiga belas tahun dan ketika Khong-sim Kai-pang diserbu penjahat. Mereka
mengangguk angguk dan dengan mata basah air mata saking terharunya kakek
bongkok berkata, “Tentu saja masih di sana, Pangcu. Siapa dapat melupakan kuil
itu?”
Suling Emas
menarik napas panjang memberi tanda dengan tangan agar kedua orang kakek itu
pergi. Setelah mereka pergi, baru ia melompat ke atas punggung kudanya
menepuk-nepuk leher kudanya sambil berkata lirih, “Siauw-ma, mau tak mau kita
harus mengalami hal hal baru di antara para pengemis itu. Terpaksa Siauw-ma,
terpaksa...! Ataukah... lebih baik ke Khitan...? Ah, tidak...! Jangan! Biarlah
untuk sementara aku menjadi ketua pengemis!”
Berjalanlah
kuda itu perlahan-lahan. Hujan telah berhenti dan tak lama kemudian
terdengarlah suara suling ditiup, suaranya mengalun dan mengharukan,
menggetarkan jiwa tertekan dan batin menderita.
***************
Pada masa
itu Kerajaan Sung dipimpin oleh kaisarnya yang ke dua, yaitu Sung Thai Cung.
Sungguh pun kemajuan di jaman Kerajaan Sung ini tidak dapat menandingi kerajaan
kerajaan yang lalu sebelum jaman Lima Wangsa, namun jika dibandingkan dengan
jaman pemerintahan Sung Thai Cu kaisar pertama Kerajaan Sung, maka pemerintahan
kaisar kedua ini boleh dibilang mengalami kemajuan. Hasil yang dicapai lebih
besar. Ia telah berhasil menjatuhkan Kerajaan Hou-han di Shan-si, Kerajaan
Wu-yue di selatan, dan kerajaan-kerajaan kecil lainnya, kemudian memasukkan
daerah kerajaan-kerajaan yang ditaklukkan ini ke dalam wilayah Sung.
Namun harus
diakui bahwa Kaisar Sung Thai Cung tidak berdaya terhadap dua buah kerajaan,
yaitu kerajaan bangsa Khitan di timur laut yang terutama, dan Kerajaan Nan cao
di daerah Yu-nan. Mula mula memang diusahakannya untuk menaklukkan dua buah
kerajaan ini, namun selalu gagal. Bahkan berkali-kali bala tentara Sung
terpukul mundur sehingga akhirnya kaisar tidak mendesak lagi. Hanya perang dan
bentrokan kecil kecilan terjadi di perbatasan, namun tidak ada artinya. Bahkan
akhirnya, Kerajaan Sung mengambil sikap dan politik lunak, mendekati dua
kerajaan ini dan bahkan mengirim upeti-upeti sebagai tanda persahabatan!
Tidaklah
amat mengherankan apa bila ditinjau keadaan dua kerajaan di sebelah utara dan
sebelah selatan itu. Semenjak dipegang oleh Ratu Yalina, Kerajaan Khitan
menjadi sebuah kerajaan yang amat kuat sehingga sukar dikalahkan, bahkan bangsa
Khitan telah menaklukkan bangsa bangsa lain yang berkeliaran di daerah utara
sehingga kerajaannya menjadi makin besar. Ada pun Kerajaan Nan-cao, sungguh pun
hanya merupakan kerajaan kecil, namun yang berkuasa di situ adalah kaum Agama
Beng-kauw yang mempunyai banyak orang pandai, setia dan berdisiplin.
Karena
cerita ini banyak menyangkut keadaan Kerajaan Khitan, maka marilah kita
menjenguk keadaan kerajaan di sebelah utara dan timur laut itu. Bangsa Khitan
adalah bangsa nomad yang besar, terdiri dari orang-orang gagah perkasa dan
ulet. Keadaan hidup mereka yang selalu berpindah-pindah untuk mencari tempat
yang lebih baik dan untuk menyesuaikan diri dengan iklim yang buruk, kesukaran
hidup berjuang dengan alam, membuat mereka menjadi bangsa yang ulet, tabah dan
pantang mundur.
Semenjak
bangsa Khitan dipimpin oleh Ratu Yalina, kerajaan ini mengalami kemajuan pesat.
Di dalam cerita Cinta Bernoda Darah, diceritakan betapa Ratu Yalina ini di
waktu kecilnya diangkat sebagai anak oleh seorang jenderal besar bangsa Han,
dan di waktu remaja menerima gemblengan ilmu silat dari orang-orang pandai.
Bahkan sebelum menjadi ratu, secara kebetulan sekali ia telah menemukan sebuah
pusaka peninggalan Pat-jiu Sin-ong Liu Gan ketua Beng-kauw di Nan-cao, yaitu
catatan ilmu yang dahsyat dan dirahasiakan. Setelah mewarisi ilmu yang disebut
Cap-sha-sin-kun (Tiga Belas Jurus Ilmu Silat Sakti) inilah maka ilmu kepandaian
Ratu Yalina amat hebat dan sukar dicari tandingannya.
Di waktu
masih remaja, Ratu Yalina ini pernah mengalami derita batin yang takkan dapat
ia lupakan selama hidup. Antara dia dan Suling Emas, terjalin kasih asmara yang
amat mendalam. Keadaanlah yang memaksa mereka berpisah, yang tidak memungkinkan
perjodohan di antara mereka. Apa sebabnya? Bukan lain oleh karena kebetulan
sekali bahwa Suling Emas adalah ‘kakak angkatnya’ sendiri, putera kandung ayah
angkatnya, Jenderal Kam! Sebetulnya hal ini bukanlah menjadi halangan benar
bagi Puteri Yalina yang ketika itu belum menjadi ratu. Akan tetapi Suling Emas
yang berkeras tidak mau, bukan hanya karena masih saudara angkat, juga terutama
sekali karena Yalina amat diperlukan oleh bangsanya untuk menjadi Ratu sehingga
Suling Emas mengalah dan pergi!
Akan tetapi,
sebelum mereka saling berpisah untuk puluhan tahun lamanya itu, Suling Emas
telah memenuhi permohonan Ratu Yalina untuk tinggal di dalam istananya selama
sebulan. Menjadi suami di luar nikah! Biar pun tidak berhasil menjadi suami
isteri, namun mereka telah saling menumpahkan cinta kasih mereka yang mendalam,
tak kuasa menahan rindu hati yang tak tercapai karena halangan keadaan lahir.
Betapa
tersiksa dan menderita batin Ratu Yalina ketika kekasihnya sudah pergi, ia
mendapat kenyataan bahwa ia mengandung! Peristiwa yang bagi setiap orang isteri
merupakan kebahagiaan mutlak ini, bagi Ratu Yalina bahkan merupakan derita dan siksa
batin! Betapa tidak? Ia seorang ratu! Seorang ratu dan bukan seorang isteri. Ia
tidak bersuami. Ia secara resmi masih seorang gadis! Dan ia mengandung! Kalau
saja Ratu Yalina tidak teringat akan kedudukannya, tidak ingat akan bangsanya
yang dikasihinya, tentu ia sudah melarikan diri dari Khitan, melarikan diri
untuk mencari Suling Emas, kekasih dan... suaminya, biar pun hanya suami tidak
sah!
Ratu Yalina
merasa tersiksa. Ia berduka dan juga malu. Bagaimana kalau nanti bangsanya
mengetahui bahwa ratunya yang masih belum menikah itu mengandung? Hampir saja
Ratu Yalina putus asa. Lebih baik mati membunuh diri dari pada menanggung aib
yang hebat! Akan tetapi, untung baginya bahwa panglimanya, orang yang paling
dipercayanya karena panglima ini diam-diam juga mencintainya tahu akan
rahasianya.
Panglima ini
Panglima Kayabu namanya, seorang Khitan yang gagah perkasa, tahu bahwa antara
ratunya dan Suling Emas terjalin cinta kasih yang mendalam. Tahu pula bahwa
demi bangsanya, ratunya rela berkorban perasaan, berpisah dari kekasihnya. Ia
tahu pula bahwa Suling Emas ditahan dalam istana ratunya sampai sebulan sebelum
mereka berdua saling berpisah. Kemudian ia tahu pula bahwa ratunya telah
mengandung!
Secara
rahasia, dijumpailah Ratu Yalina. Pada saat itulah terbukti kesetiaan Panglima
Kayabu. Karena panglima ini telah dapat menduga kesemuanya, sambil menangis
Ratu Yalina membuka rahasianya dan menyerahkan nasibnya ke tangan panglimanya
yang juga menjadi sahabat satu satunya dalam menghadapi peristiwa hebat ini.
Kayabu
menghiburnya dan memberi usul bahwa Sang Ratu seyogianya memelihara
kandungannya dan secara rahasia kelak melahirkan anak. Sementara itu, dia
sendiri secara serentak akan memillh seorang gadis Khitan dan mengawininya,
kemudian kelak kalau Sang Ratu melahirkan anak, anak itu akan diakuinya sebagai
anaknya sendiri! Tentu saja ia akan menyuruh isterinya itu bersikap seolah olah
mengandung sehingga kelak tidak akan mencurigakan kalau ‘melahirkan’ anak.
Rahasia yang
hebat! Akan tetapi, karena tidak ada jalan lain, demi untuk menjaga nama
baiknya sebagai ratu, dan demi menjaga agar bangsanya tidak menjadi kacau, Ratu
Yalina melakukan sandiwara ini sesuai dengan rencana Panglima Kayabu! Panglima
ini, yang tentu saja luka dan patah hatinya, memaksa diri memilih dan mengawini
seorang gadis Khitan yang cantik.
Semua
berjalan sesuai dengan rencana, yaitu Ratu Yalina dapat menyembunyikan
keadaannya yang mengandung dari mata rakyatnya. Di lain fihak, isteri Panglima
Kayabu ‘pura-pura mengandung’. Akan tetapi, ketika tiba waktunya Sang Ratu
melahirkan, di dalam kamar rahasia dan secara rahasia dihadiri oleh isteri
Panglima Kayabu dan seorang dukun beranak, terjadilah hal yang sama sekali di
luar dugaan mereka. Sang Ratu Yalina melahirkan sepasang anak kembar! Pertama
seorang bayi laki-laki dan kedua seorang bayi perempuan!
Kalau saja
kelahiran macam ini tidak terjadi di Khitan, tentu tidak akan mendatangkan
kebingungan. Akan tetapi telah menjadi kepercayaan umum di Khitan bahwa kembar
laki-laki dan perempuan merupakan pertanda bahwa kedua anak itu adalah titisan
atau penjelmaan suami isteri, dan karenanya, kedua orang anak itu harus
dipisahkan dan kelak harus dijodohkan sebagai suami isteri!
Ketika dukun
beranak dan isteri Panglima Kayabu menyatakan hal ini, yang dimengerti pula
oleh Ratu Yalina, ratu yang malang ini menangis sedih dan roboh pingsan. Isteri
Panglima Kayabu menjadi sibuk dan cepat-cepat memberi laporan secara diam-diam
kepada suaminya. Panglima Kayabu cepat memasuki kamar itu dan untung Ratu
Yalina sudah siuman dan kini ratu itu menangis terisak-isak di atas pembaringan.
“Harap
Paduka jangan gelisah.” panglima yang setia itu menghibur.
“Aduh...
Kayabu... lebih baik mati saja aku kalau begini...!” Yalina menangis. “Kayabu,
kau tolonglah aku... kau carilah dia, suruh datang ke sini, biar dia yang akan
memutuskan keadaan ini...”
Panglima
Kayabu mengerutkan keningnya. Ia maklum siapa yang dimaksudkan ratunya itu.
Akan tetapi dalam keadaan seperti itu, kalau mencari dan memanggil Suling Emas,
bukan merupakan hal yang baik. Kalau terpaksa rahasia ini dibuka, tentu akan
timbul kegemparan di kalangan rakyat, tentu akan menimbulkan aib dan hal ini
amat merugikan karena pada waktu itu Khitan dikepung musuh dari selatan dan
dari barat.
“Harap
Paduka tenang saja. Biarlah hamba mengakui anak laki-laki ini sebagai putera hamba,
sedangkan anak perempuan ini, secara diam-diam kita singkirkan agar dipelihara
orang lain dan kelak kalau mereka berdua sudah besar, mudah saja hamba
menariknya sebagai mantu.”
Ucapan ini
mengiris jantung Yalina. Dengan sepasang mata penuh air mata dan dengan muka
pucat ia mengulurkan kedua tangan ke depan dan berkata kepada dukun beranak
yang sedang mengurus dua orang anak yang menangis nyaring seperti berlomba itu.
“Ke sinikan
anak-anakku... biarlah aku melihat mereka... biarkan aku mencium dan memeluk
mereka... ahhh...!” Ia menangis tersedu sedu.
Isteri
Panglima Kayabu ikut menangis, demikian pula dukun beranak, wanita tua itu yang
merasa terharu sekali. Kayabu sendiri, seorang panglima gagah perkasa yang
pantang mengeluarkan air mata, merasa betapa sepasang matanya panas dan
jantungnya serasa diremas. Wanita yang pernah menjatuhkan hatinya itu kini
demikian sengsara, sama sekali tidak seperti seorang ratu yang berwibawa, sama
sekali bukan seperti seorang wanita yang ia tahu amat perkasa dan sakti,
melainkan seperti seorang wanita yang lemah, seorang wanita yang ditinggalkan
kekasih, seorang ibu yang rindu akan anak-anaknya!
“Anakku...
anakku...! Bagaimana aku dapat berpisah dari mereka ini...“ Ratu Yalina mencium
kedua anaknya. Hampir ia pingsan saking sedihnya ketika melihat bahwa anaknya
yang laki-laki memiliki mata dan hidung kekasihnya!
“Anak-anakku...
di mana Ayahmu...? Anak-anakku... bagaimana kalian tega meninggalkan Ibumu...?”
Ratu Yalina mencium lagi, kemudian menjerit lirih dan roboh pingsan sambil
memeluk kedua anaknya yang mulai menangis lagi.
“Cepat...cepat,
bawa pulang anak laki-laki itu!” kata Panglima Kayabu kepada isterinya. Untung
bahwa peristiwa kelahiran itu terjadinya pada waktu tengah malam sehingga tidak
sampai diketahui orang lain. “Dan kau, Bibi, dapatkah engkau membantu? Aku
harus dapat menyerahkan anak perempuan ini kepada seorang yang boleh
dipercaya!”
“Hamba...
hamba sanggup membantu... hamba... mempunyai keponakan. Biarlah puteri ini
dipeliharanya, hamba tanggung takkan bocor rahasia ini...,“ kata si Dukun
Beranak sambil terisak menangis.
“Tentu saja
jangan sampai bocor. Kalau bocor, engkau sekeluargamu akan dijatuhi hukuman
mati!” kata Kayabu yang diam diam merasa girang bahwa anak perempuan itu ada
yang megurusnya. Tentu saja tidak sukar baginya memerintahkan siapa saja
memelihara anak itu, akan tetapi justru sukarnya, jangan sampai ada yang tahu
akan rahasia besar ini.
Lewat tengah
malam, kamar Ratu Yalina menjadi sunyi kembali. Kedua orang anak yang baru
lahir itu sudah dibawa pergi dari kamar. Yang laki-laki dibawa oleh isteri
Panglima Kayabu, sedangkan yang perempuan dibawa pergi oleh dukun beranak yang
keluar dari istana melalui pintu rahasia di sebelah belakang, lalu nenek tua
itu menghilang di dalam gelap.
Akan tetapi
pada keesokan harinya, pagi pagi sekali para penjaga istana menjadi gempar
ketika menemukan nenek dukun beranak itu menggeletak tak bernyawa lagi di
sebelah belakang istana!
Tentu saja
Panglima Kayabu yang mendengar laporan ini merasa seakan akan dicabut
jantungnya saking kaget dan heran. Cepat ia sendiri mendatangi tempat
pembunuhan itu sehingga para pengawal menjadi heran mengapa panglima besar
mereka begitu menaruh perhatian atas kematian seorang nenek dukun beranak.
“Pembunuhan
terjadi di dekat istana, hal ini amat gawat demi keselamatan Ratu,” kata
panglima yang cerdik ini.
Lebih-lebih
kaget dan herannya ketika memeriksa keadaan mayat dukun beranak itu. Panglima
Kayabu mendapat kenyataan bahwa tubuh itu tidak terluka sama sekali, akan tetapi
tanda-tanda biru di pelipis menyatakan bahwa nenek ini menderita luka hebat di
dalam kepala akibat pukulan yang dahsyat yang mengandung hawa sakti. Pukulan
seorang ahli yang memiliki kepandaian tinggi. Tentang anak perempuan yang baru
dilahirkan semalam, tidak ada tanda-tanda dan bekas-bekasnya sama sekali.
Kematian
nenek ini sebenarnya malah melegakan hati Kayabu karena lenyaplah kekhawatiran
akan bocornya rahasia besar itu. Akan tetapi kalau ia mengingat akan lenyapnya
anak perempuan, ia mengerutkan keningnya dan menjadi bingung! Tak mungkin ia
dapat mengumumkan kehilangan anak perempuan itu dan menyuruh anak buahnya
menyelidiki atau mencari.
Maka secara
diam-diam ia sendiri melakukan penyelidikan dan mencari, namun sia-sia belaka.
Anak perempuan itu lenyap tak meninggalkan bekas sama sekali, bahkan di seluruh
Khitan tidak terdapat seorang anak bayi perempuan yang baru dilahirkan. Jelas
bahwa anak itu dibawa oleh pembunuh nenek dukun, dibawa ke luar dari Khitan
atau dibawa sembunyi di tempat rahasia. Akan tetapi siapakah pembawanya?
Hal ini
menjadi rahasia dan teka-teki yang tak terpecahkan. Dan tentu saja hal ini
menambah kesengsaraan hati Ratu Yalina. Memang agak terhibur hatinya melihat
Talibu, yaitu putera kandungnya yang menjadi putera Panglima Kayabu. Ketika
Talibu berusia lima tahun, secara resmi ia diangkat anak oleh Ratu Yalina!
Upacara pengangkatan ini dilakukan secara resmi dan dirayakan oleh semua orang
Khitan.
Gembiralah
hati bangsa Khitan yang tadinya merasa prlhatin melihat ratu mereka yang
terkasih itu tidak mau menikah. Akan tetapi setelah melihat Sang Ratu itu
mengangkat putera, dan putera itu pun bukan anak orang biasa melainkan putera
Panglima Besar Kayabu, legalah hati mereka. Kini mereka telah mempunyai seorang
Pangeran Mahkota! Tentu saja tak seorang pun di antara mereka tahu betapa hati
Sang Ratu itu jauh lebih lega dan bahagia dari pada mereka. Diam-diam hati Ratu
Yalina bahagia sekali karena pengangkatan Talibu sebagai puteranya itu
merupakan pesta pertemuan dan berkumpulnya kembali secara resmi antara seorang
ibu dan anak kandungnya!
Pada waktu
itu Panglima Kayabu sendiri telah mempunyai seorang anak perempuan yang
terlahir ketika Talibu berusia dua tahun. Anak perempuan yang cantik ini
bernama Puteri Mimi yang menjadi ‘adik kandung’ dan teman bermain Pangeran
Talibu sejak kecil. Kalau melihat keadaan puteranya yang kini benar-benar telah
menjadi puteranya, bahkan menjadi Putera Mahkota, bahagialah hati Ratu Yalina.
Akan tetapi makin besar anak itu, makin gelisah dan prihatin hatinya.
Bagaimana ia
tidak akan merasa gelisah dan prihatin kalau mengingat bahwa puteranya ini
telah kehilangan saudara kembarnya, telah kehilangan calon ‘jodohnya’?
Bagaimana takkan gelisah dan bingung hatinya karena menurut kepercayaan
bangsanya, anak kembar laki perempuan kalau tidak dijodohkan, tentu akan hidup
menderita dan mengalami malapetaka? Kalau teringat akan hal ini, Ratu Yalina
menjadi sedih sekali dan teringat kekasihnya, Suling Emas, ayah dari pada kedua
orang anaknya itu!
Kekhawatiran
akan hilangnya anak perempuannya itulah yang membuat Ratu Yalina akhirnya
berkeras memberi perintah kepada Panglima Kayabu untuk berusaha mencari dan
memanggil Suling Emas ke Khitan. Apa pun yang terjadi, ayah dari anak-anaknya
itulah yang harus mengambil keputusan! Ayah kandung anak anak itu sendiri yang
harus menentukan nasib sepasang anak kembar yang terpisah secara ajaib itu.
Dan Panglima
Kayabu hanya mentaati perintah, mengirim pasukan dan pembantu-pembantunya yang
cukup pandai untuk mencari dan memanggil Suling Emas. Bahkan setelah
bertahun-tahun gagal menjumpai Suling Emas dan Pangeran Talibu sudah makin
besar, Ratu Yalina menulis segulung surat untuk diberikan kepada Suling Emas
kalau orang-orangnya berhasil menjumpai pendekar itu.
Sementara
itu, Pangeran Talibu makin besar makin gagah dan tampan. Semua rakyat mencinta
pangeran ini. Selain tampan, juga Putera Mahkota ini digembleng ilmu surat dan
ilmu silat. Tidak hanya Panglima Kayabu yang menurunkan kepandaiannya kepada
Putera Mahkota, juga Sang Ratu Yalina sendiri menurunkan ilmu silat saktinya,
yaitu Khong-in-ban-kin dan Khong-in-liu-san. Ada pun ilmu silat ajaib
Cap-sha-sin-kun ia ajarkan pula secara hati hati dan perlahan-lahan karena ilmu
ini bukan ilmu sembarangan dan kalau belum matang keadaan seorang ahli silat,
tak mungkin dapat mempelaiarinya dengan sempurna.
***************

Sebelum kita
melanjutkan cerita ini, lebih baik kita menengok keadaan anak perempuan yang
lenyap tanpa bekas itu. Ke manakah menghilangnya anak perempuan, adik kembar
Pangeran Talibu itu? Dan apakah yang terjadi lewat tengah malam itu di belakang
istana Ratu Yalina?
Ketika itu
nenek dukun beranak memondong bayi perempuan yang dibungkusnya dengan selimut.
Ia bergegas keluar dari pintu rahasia yang membawanya ke luar dari istana dan
muncul di luar taman bunga. Nenek ini tersenyum-senyum girang. Peristiwa aneh
yang ia alami di dalam istana ini tak dapat tidak akan mendatangkan untung
besar kepadanya. Betapa tidak? Rahasia Sang Ratu berada di tangannya. Yang
dibungkus selimut ini merupakan sebagian rahasia besar itu. Sebagai orang yang
mengetahui rahasia itu tentu hidupnya terjamin. Dan juga keponakannya akan
hidup mewah dan mulia kelak, sebagai pengasuh dan pemelihara puteri Sang Ratu!
Nenek ini sama sekali tidak tahu bahwa sejak tadi ada bayangan berkelebat
mengikutinya.
Tiba tiba
nenek itu berhenti melangkah, kaget memandang ke depan. Di depannya telah
berdiri sesosok bayangan orang. Malam itu bulan sepotong menyinarkan cahayanya
yang suram, akan tetapi cukup untuk membuat ia dapat melihat orang yang seperti
setan tiba-tiba saja berdiri di depannya.
Seorang perempuan!
Seorang perempuan berpakaian serba putih! Tubuhnya ramping padat, dengan
lekuk-lengkung mencolok. Pendeknya tubuh seorang wanita muda yang montok, tubuh
yang sedang mekar dalam usia muda. Akan tetapi muka dan kepala wanita muda ini
tertutup anyaman benang sutera hitam Membuat wajahnya hanya nampak bayangannya
saja, bayangan seram sekali karena sepasang matanya mengeluarkan sinar seperti
bukan mata manusia! Lebih tepat kalau mata itu dimiliki iblis, atau setidaknya
sepasang mata harimau liar!
“Apa... eh,
siapa...?” nenek ini tergagap dan ketakutan.
“Hi hik!”
Wanita aneh itu terkekeh dan sekali tangannya merenggut, anak dalam buntalan
selimut itu telah berada di tangannya.
Nenek dukun
beranak terkejut. Kemarahannya mengatasi takutnya, kedua tangannya diulur
hendak merampas kembali anak itu.
“Huh, macam
engkau mana ada harga merawat anak Lin Lin?” Tangan kiri wanita itu menyambar
ke depan.
“Krekkk!”
terdengar bunyi dan tubuh nenek itu terguling tak bernyawa lagi!
Sambil
tertawa-tawa yang mengatasi tangis anak perempuan itu, wanita aneh itu sekali
berkelebat lenyap ke dalam gelap. Suara ketawanya yang nyaring melengking amat
menyeramkan, memecah kesunyian malam dan pasti akan membuat hati orang yang
bagaimana tabahnya pun pasti tergetar.
Siapakah
wanita aneh yang menyeramkan ini? Melihat gerak geriknya ia seorang yang
memiliki ilmu kepandaian luar biasa hebatnya. Larinya amat cepat, seperti
terbang saja sehingga ketika fajar menyingsing keesokan harinya, ia sudah
berada di tempat yang ratusan li jauhnya dari kota raja Khitan. Ketika itu ia
masih berlari terus memasuki sebuah hutan lebat, jauh di sebelah selatan. Orang
tentu akan heran sekali melihat bahwa dia adalah seorang wanita yang masih
muda, belum tiga puluh tahun usianya!
Wajahnya
cantik jelita, tubuhnya ramping padat, pakaiannya serba putih terbuat dari
sutera halus yang membungkus ketat tubuhnya, membayangkan lekuk lengkung
tubuhnya yang menggairahkan. Anehnya muka dan kepalanya tersembunyi di belakang
kain penutup atau ‘tirai’ sulaman benang sutera hitam sehingga garis-garis
mukanya yang cantik hanya nampak remang-remang. Akan tetapi, sepasang mata di
balik tirai itu jelas tampak berkilat-kilat menakutkan, mata yang jeli dan
indah, namun dengan sinar mata yang liar dan mengerikan.
Wanita ini
sesungguhnya bukan orang asing bagi Ratu Yalina. Dia ini adalah kakak angkatnya
sendiri, puteri ayah angkatnya. Mendiang ayah angkat Ratu Yalina yang bernama
Jenderal Kam Si Ek, seorang jenderal dari Hou-han yang perkasa dan pandai,
mula-mula menikah dengan puteri Beng-kauwcu yang bernama Liu Lu Sian yang
berjuluk Tok-siauw-kwi (Iblis Cilik Beracun) dan berputera Suling Emas!
Kemudian
Jenderal Kam bercerai dari Liu Lu Sian, menikah lagi dan mempunyai dua orang
anak. Pertama adalah Kam Bu Sin yang kini menjadi mantu dari ketua Beng-kauw
yang baru dan bersama istrinya tinggal di selatan. Ada pun yang kedua adalah
Kam Sian Eng, seorang anak perempuan yang cantik. Sayang sekali bahwa, seperti
juga halnya Ratu Yalina, Kam Sian Eng ini gagal dalam asmara dan mengalami
penderitaan batin yang lebih parah lagi.
Gadis yang
bernasib malang ini telah menjatuhkan cinta kasihnya kepada seorang laki-laki
yang jahat, putera pangeran dan bernama Suma Boan. Dapat dibayangkan betapa
hancur hatinya ketika Kam Sian Eng akhirnya mendapat kenyataan betapa laki-laki
yang dicintainya itu membalasnya dengan kekejian, bahkan memperkosanya.
Kehancuran cinta kasih yang diinjak-injak oleh kekasihnya ini membuat Kam Sian
Eng menjadi tertekan batinnya yang membuatnya seperti gila!
Secara
kebetulan Kam Sian Eng menemukan kitab-kitab pusaka peninggalan Tok-siauw-kwi
Liu Lu Sian (Ibu kandung Suling Emas) dalam istana bawah tanah. Dalam keadaan
setengah gila ia mempelajari semua kitab-kitab itu setelah berhasil membunuh
Suma Boan bekas kekasihnya itu. Ia menyembunyikan diri dan tekun mempelajari
kitab-kitab pusaka, yaitu kitab-kitab pusaka yang dahulu dicuri dari
partai-partai persilatan besar oleh Tok-siauw-kwi Liu Lu Sian.
Tentu saja
Kam Sian Eng yang memang tadinya sudah memiliki dasar-dasar ilmu silat tinggi,
makin lama menjadi makin hebat kepandaiannya sehingga sukar untuk di bayangkan
lagi. Hebat dan juga mengerikan karena pikirannya yang setengah gila itu
membuat ia kadang-kadang mempelajari ilmu kesaktian secara keliru yang
akibatnya membuatnya menciptakan ilmu-ilmu yang dahsyat seperti ilmu iblis!
Wanita aneh
yang muncul di Khitan dan menculik anak perempuan Ratu Yalina itu bukan lain
adalah Kam Sian Eng! Tadinya, selagi pikirannya waras dan ia terkenang kepada
adik angkatnya di Khitan, Kam Sian Eng bermaksud mengunjungi adiknya yang kini
menjadi ratu itu. Secara kebetulan sekali ia tiba di Khitan pada malam hari dan
dengan ilmu kepandaiannya yang tinggi ia memasuki istana. Alangkah herannya
ketika ia melihat betapa dalam kamar rahasia itu adik angkatnya yang menjadi
Ratu Khitan sedang melahirkan!
Bagaikan
disambar petir rasa hati Kam Sian Eng. Dengan air mata bercucuran ia melihat
keadaan adik angkatnya dari tempat sembunyinya di atas genteng. Terbayanglah ia
akan pengalamannya sendiri. Seperti adik angkatnya ini, ia pun pernah melahirkan
anak tanpa ayah! Perbuatan Suma Boan terhadap dirinya telah membuatnya
mengandung. Inilah sebetulnya yang membuat batinnya tertekan, membuat ia
menjadi makin gila, membuat ia menyembunyikan diri dari dunia ramai, seorang
diri di dalam istana bawah tanah. Di situ pula ia seorang diri melahirkan
seorang anak laki-laki!
Hal itu
telah terjadi setahun yang lalu. Dan untuk merawat anaknya terpaksa ia pergi
menculik seorang wanita yang mempunyai anak kecil dan memaksa wanita itu untuk
selamanya tinggal di dalam istana bawah tanah untuk menyusui dan merawat
anaknya! Sukarlah untuk diceritakan betapa sedih hati ibu muda yang diculik
itu. Ia dipaksa iblis betina itu bercerai dari anaknya yang baru berusia dua
bulan, untuk dikeram dan hidup di bawah tanah! Akan tetapi Kam Sian Eng
bersikap baik kepadanya dan anak kecil yang mungil itu pun sedikit banyak
menghibur hatinya, menjadi pengganti anaknya sendiri, seorang anak laki-laki
yang entah kapan dapat ia lihat kembali.
Kenangan
yang pahit itu membuat penyakit gila Sian Eng kambuh pada saat ia mengintai di
kamar Ratu Yalina. Ia mendengarkan semua percakapan, kemudian membatalkan
pertemuannya dengan Ratu Yalina dan mengikuti nenek dukun beranak, membunuhnya
dan menculik anak perempuan adik angkatnya! Ia sama sekali tidak peduli bahwa
perbuatannya ini tentu akan menghancurkan hati Yalina yang kehilangan seorang
di antara anak kembarnya!
Dapat
dibayangkan betapa kaget dan heran hati ibu muda yang merawat anak Kam Sian Eng
ketika pada hari itu wanita yang dianggapnya iblis betina, amat ditakuti akan
tetapi diam-diam juga amat dikasihinya itu tiba tiba pulang membawa seorang
anak perempuan yang masih merah kulitnya!
“Ya Tuhan!
Kouwnio (Nona), apa pula yang kau lakukan ini? Anak siapa ini? Mana ibunya...?”
wanita itu berseru sambil membelalakkan matanya. Bahkan Suma Kiat, anak laki
laki berusia setahun yang digendongnya juga memandang dengan mata terbelalak
kepada bayi yang dipondong ibunya.
Kam Sian Eng
tertawa. Berhadapan dengan orang luar, wanita ini tidak pernah tertawa, akan
tetapi terhadap wanita yang diculik dan dipaksanya merawat anaknya itu ia
bersikap seperti saudara. Hal ini tidak mengherankan oleh karena memang hanya
Phang Bi Li, ibu muda inilah yang menjadi temannya di dalam tempat rahasia di
bawah tanah.
“Hi-hik!
Enci Bi Li, kau kubawakan seorang keponakan baru, seorang bayi perempuan yang
mungil untuk menjadi teman bermain Kiat-ji (Anak Kiat) kelak. Kau lihat, lucu
dan mungil, bukan? Namanya... hemm, coba kucarikan yang baik... Kwi Lan, ya...
Kwi Lan. Kam Kwi Lan. Hi-hi-hik!”
Wanita itu
segera menerima anak perempuan tadi dari tangan Sian Eng. Memang benar, anak
itu mungil dan cantik sekali. Phang Bi Li menahan isak teringat akan anaknya
sendiri yang ditinggalkan dalam usia dua bulan! Segera Kwi Lan, anak itu
merampas hatinya dan dirawatnya penuh cinta kasih seperti anaknya sendiri. Juga
Kam Sian Eng biar pun kadang-kadang kumat gilanya, tak pernah lupa akan segala
keperluan Kwi Lan sehingga karena Bi Li sudah tidak menyusui Kiat-ji lagi,
wanita aneh itu lalu merampas lembu betina, dibawa masuk ke dalam istana bawah
tanah dan dipelihara untuk diambil air susunya.
Karena
tempat persembunyian itu merupakan gudang pusaka-pusaka berupa kitab pelajaran
pelbagai ilmu silat yang tinggi dan aneh-aneh, maka kedua anak itu, Kiat-ji dan
Kwi Lan, semenjak kecil digembleng oleh Kam Sian Eng. Bahkan Bi Li, wanita
dusun yang tadinya hanya seorang wanita muda yang lemah, karena setiap hari
berkumpul dengan Sian Eng, mulai pula memperhatikan dan belajar ilmu silat!
Setelah dua
orang anak itu mulai besar, berusia sepuluh tahun, Phang Bi Li menyatakan
kekhawatirannya. “Sian-kouwnio, aku tidak peduli kalau kau akan mengeram dirimu
selama hidup dalam gedung kuburan ini! Juga aku tidak memikirkan lagi diriku
sendiri yang sudah kau paksa tinggal bersamamu di sini. Aku anggap diriku sudah
mati seperti engkau sendiri mati dari dunia luar. Akan tetapi, engkau harus
ingat kepada puteramu! Juga harus ingat kepada Kwi Lan. Dua orang anak itu,
anak-anak yang tidak punya dosa, yang tidak tahu apa-apa, mengapa hendak kau
kubur hidup-hidup di tempat ini? Mereka berhak menikmati hidup di atas tanah di
dunia ramai seperti semua anak lain di dunia ini !”
“Hik-hik,
engkau salah besar, Enci Bi Li! Tempat ini aman tentram, penuh damai dan di sini
kita tidak usah mengkhawatirkan apa-apa. Sekali kita muncul di atas tanah dan
bertemu dengan orang, akan timbullah keributan dan malapetaka. Bergaul dengan
manusia di dunia ramai berarti terjun ke dalam jurang penuh keributan dan
penderitaan!” Setelah berkata demikian, tiba tiba Sian Eng menangis
tersedu-sedu dan tidak mau bicara lagi kepada Bi Li!
Akan tetapi,
berbulan-bulan lamanya Bi Li tidak pernah bosan untuk membujuk dan membujuk
lagi. Apa yang keluar dari mulut wanita ini memang sesungguhnya suara yang
keluar dari hatinya. Ia sudah putus asa untuk dirinya sendiri. Ia sudah tidak
ingin bertemu dengan keluarganya, karena oleh suami dan keluarganya tentu ia
dianggap seorang wanita durjana yang meninggalkan anak yang masih kecil. Selain
itu ia pun, amat mencintai Kwi Lan yang dianggapnya anak sendiri. Ia tidak suka
kepada Suma Kiat sungguh pun ketika masih kecil anak itu menyusu padanya. Anak
ini amat nakal.
“Tidak! Aku
tidak sudi hidup di atas tanah bergaul dengan dunia ramai yang palsu dan keji!”
Sian Eng berkali-kali menjerit marah kalau dibujuk oleh Bi Li.
“Kalau kau
tidak mau aku pun tidak memaksa atau menyuruhmu keluar dari kuburan ini Sian
kouwnio. Aku hanya menuntut untuk dua orang anak itu. Kenapa engkau begini
angkuh? Kalau kita membuat bangunan sederhana di atas kuburan ini, dan
membiarkan dua orang anak ini hidup di udara bebas, dan engkau sendiri sembunyi
di sini, bukankah bagimu sama juga? Kalau kau ingin bertemu dengan kami bertiga
tinggal panggil saja dan kami tentu sewaktu-waktu akan turun ke sini.
Sian-kouwnio, biar pun engkau tidak pernah bercerita aku tahu bahwa engkau
adalah seorang wanita sakti keturunan orang gagah yang berkedudukan tinggi. Aku
dapat menduga bahwa dahulu kau telah mengalami tekanan batin dan menderita
patah hati. Akan tetapi, mengapa karena itu engkau lalu hendak menghukum
puteramu sendiri dan Kwi Lan yang tidak dosa?”
Akhirnya
dibujuk oleh Bi Li yang diperkuat oleh kedua anak itu yang selalu rewel minta
diperbolehkan melihat keadaan di luar, terpaksa Sian Eng mengalah.
“Akan tetapi
aku pesan, tidak boleh kalian meninggalkan hutan di atas istana ini. Kalau melanggar
aku takkan mengampuni nyawa kalian. Biar Kiat Ji sendiri akan kubunuh mampus
kalau berani melanggar!” ancamnya dengan suara bengis dan mata bersinar ganas.
Akan tetapi
ancaman yang akan membuat orang lain merasa ngeri ini seperti tidak didengar
oleh Phang Bi Li, Suma Kiat dan Kwi Lan. Mereka bertiga sudah menjadi girang
sekali. Segera mereka dibantu pula oleh Sian Eng yang masih terus mengomel
sepanjang hari keluar dari pintu rahasia dan mulai membangun sebuah pondok
sederhana di dalam hutan di atas istana bawah tanah itu.
Cara Kam
Sian Eng menggembleng ilmu silat kepada dua orang anak itu amat luar biasa.
Mula-mula ia mengajarkan dasar-dasar ilmu silat di samping mengajar ilmu
membaca. Setelah kedua orang anak itu berusia sepuluh tahun dan pandai membaca,
ia menyuruh mereka membaca kitab-kitab pusaka yang berisi ilmu-ilmu silat
tinggi peninggalan Tok-siauw-kwi. Kitab-kitab ini adalah kitab-kitab rahasia
yang berisi dan mengandung pelajaran pelik dan gawat, bukan ilmu silat biasa.
Tentu saja
kedua orang anak itu, terutama sekali Suma Kiat yang otaknya tidak begitu
cerdas, amat sukar menyelami isinya. Dan celakanya, ketika mereka bertanya
kepada Sian Eng, mereka mendapat penjelasan yang sebenarnya menyimpang dari
pada pelajaran sesungguhnya. Sian Eng sendiri melatih diri dengan ilmu-ilmu
silat tinggi secara keliru sehingga ilmu silat tinggi yang diciptakan orang
orang sakti itu berubah menjadi ilmu dahsyat seperti ilmu ciptaan iblis
sendiri!
Dengan bekal
ilmu pengetahuan yang amat kurang ditambah sukar dan tingginya isi kitab-kitab
pusaka, kemudian digembleng oleh seorang yang sudah sesat ilmunya seperti Kam
Sian Eng, tentu saja kedua orang anak itu pun menjadi pelajar-pelajar ilmu
sesat. Namun karena mereka memang berbakat, mereka berhasil memiliki ilmu-ilmu
yang amat hebat dan mengerikan.
Diam-diam
Kam Sian Eng merasa kagum kepada Kwi Lan. Anak ini amat cerdas, jauh lebih
cerdas dari pada puteranya sendiri. Kwi Lan mempunyai watak haus akan
pelajaran, tidak takut akan kesukaran sehingga di antara kitab-kitab pusaka
itu, Kwi Lan memilih yang sukar-sukar. Justru sifat kitab-kitab pusaka itu,
makin sukar dimengerti, makin sukar dipelajari, makin tinggilah mutunya! Juga
Kwi Lan amat tekun berlatih sehingga Suma Kiat yang usianya setahun lebih tua
itu tertinggal olehnya.
Semenjak Kwi
Lan pandai bicara, Sian Eng menyuruh anak itu menyebut bibi kepadanya. Karena
kurang pergaulan dengan anak-anak lain, ketika masih kecil Kwi Lan tidak dapat
membedakan mengapa Suma Kiat yang ia sebut suheng (kakak seperguruan) itu
menyebut ibu sedangkan ia sendiri menyebut bibi kepada wanita yang ia anggap
sebagai orang paling baik di dunia ini setelah Bibi Bi Li. Memang Phang Bi Li
amat kasih kepada Kwi Lan, menganggap anak itu anak kandungnya sendiri. Akan
tetapi Sian Eng juga amat baik terhadapnya. Biar pun wataknya kadang-kadang
aneh, namun terhadap Kwi Lan ia tidak pernah marah-marah.
Ketika Kwi
Lan berusia dua belas tahun dan sudah dua tahun lamanya tinggal di pondok di
atas tanah, mulailah Kwi Lan melihat perbedaan-perbedaan. Mulailah ia
bertanya-tanya kepada Bi Li tentang perbedaan-perbedaan itu.
“Bibi,
kenapa Kiat-suheng menyebut Ibu kepada Bibi Sian?” demikian tanyanya pada suatu
sore ketika mereka berdua pergi memetik bunga dalam hutan. Ketika itu Suma Kiat
turun ke bawah karena dipanggil ibunya.
“Kenapa? Ah,
Lan Lan, alangkah anehnya pertanyaanmu ini. Tentu saja karena Kiat-ji memang
anaknya!” Karena tidak kuasa menyelami hati dan pikiran Kwi Lan, maka Bi Li
menganggap pertanyaan itu wajar-wajar saja tetapi bodoh.
Kwi Lan
masih tetap membantu Bi Li memilih dan memetik bunga.
“Kalau aku,
kenapa aku harus menyebut Bibi Sian kepadanya?”
Masih tidak
sadar akan nada suara aneh dalam pertanyaan ini, Bi Li menjawab, “Anak bodoh,
tentu saja engkau menyebut Bibi karena engkau bukan anaknya.”
Kwi Lan
menggigit bibirnya yang tiba-tiba gemetar. Setelah menekan hatinya, ia berkata
lagi. “Bibi Bi Li, kau dulu pernah bilang, ketika Kiat-suheng bertanya padamu
tentang ayahnya, dia boleh bertanya sendiri kepada Bibi Sian. Tapi Bibi Sian
marah-marah ketika ditanya dan memaki-maki, bilang bahwa ayah Kiat-suheng sudah
mampus. Kemudian Bibi Sian menangis menggerung-gerung. Semenjak itu,
Kiat-suheng tidak berani bertanya-tanya lagi tentang ayahnya. Bibi, benarkah
bahwa ayah Kiat-suheng telah mati?”
Bi Li
mengerutkan keningnya, lalu berkata sambil menarik napas panjang, “Bibi Sian-mu
itu memang aneh. Aku sendiri tidak tahu. Akan tetapi kalau dia bilang demikian,
agaknya memang benar bahwa ayah Kiat-ji telah meninggal dunia.”
Hening sejenak
dan mereka melanjutkan pekerjaan memetik bunga.
“Bibi Bi
Li... kalau... Ayah dan Ibuku... siapakah mereka? Di mana mereka...?”
Bi Li
tersentak kaget bagaikan disengat lebah. Cepat ia menoleh dan melihat betapa
wajah Kwi Lan menjadi pucat, sepasang matanya memandang tajam kepadanya,
bibirnya yang pucat menggigil dan anak itu hampir menangis! Barulah tahu Bi Li
bahwa sejak tadi, terjadi hal hal yang hebat dalam hati dan pikiran anak yang
amat disayangnya itu. Baru terbuka matanya bahwa anak ini mulai mengerti dan
mencari ayah bundanya. Ia menjadi terharu, mengeluh perlahan lalu merangkul Kwi
Lan. Tak tertahan lagi air matanya menetes-netes ketika ia mencium pipi Kwi Lan
dan menariknya duduk di atas rumput.
“Lan Lan,
Anakku sayang... kau... kau... adalah anakku, Lan Lan.”
Kwi Lan
balas pelukan dan ciuman wanita yang semenjak ia kecil telah merawatnya penuh
kasih sayang itu. Kemudian ia berkata, ada suaranya mendesak. “Bibi Bi Li,
kalau engkau ibuku, mengapa selama ini aku dibohongi? Dan kalau benar aku anak
kandungmu, mengapa aku tidak menyebut Ibu, melainkan Bibi kepadamu? Bibi Bi Li,
harap jangan membohongi aku lagi, aku sudah besar dan dapat membedakan
kebohongan atau bukan. Bibi, katakanlah, siapakah ayah bundaku dan di mana
mereka sekarang? Mengapa aku bisa terpisah dari mereka dan berada di sini?”
Tiba tiba Bi
Li menangis sedih. Teringat ia akan keadaannya sendiri. Dia sendiri dipaksa
berpisah dari suaminya dan dari anaknya yang baru berusia dua bulan! Sedangkan
Kwi Lan ini dibawa datang oleh Sian Eng sejak masih bayi, agaknya dipaksa
berpisah dari ibu kandungnya!
“Aku tidak
tahu, Anakku... Aku sendiri sama sekali tidak tahu tentang dirimu sedangkan aku
sendiri pun dipaksa berpisah dari suami dan anak....”
Kwi Lan
tercengang. Ia merangkul wanita itu dan bertanya “Apa yang terjadi, Bibi?”
Setelah
mengeringkan air mata dan berkali-kali menghela napas, Bi Li lalu bercerita.
“Suamiku seorang penebang pohon dan kami hidup bahagia di dalam dusun. Ketika
itu baru dua bulan aku melahirkan seorang anak laki-laki. Pagi hari itu, selagi
suamiku pergi menebang pohon datang Sian-kouwnio menangkap dan membawaku pergi
meninggalkan anakku dibawa ke sini... sampai sekarang....”
“Apa...?”
Kwi Lan membelalakkan matanya yang jeli. “Mengapa...?”
Bi Li
tersenyum pahit. “Untuk merawat dan menyusui Kiat-ji.”
“Anak
kandungnya sendiri? Mengapa? Mengapa harus engkau yang menyusuinya, Bibi?”
Bi Li
menggeleng-geleng kepalanya. “Entahlah. Selamanya Bibimu Sian itu seorang aneh
luar biasa. Klat-ji memang anak kandungnya, akan tetapi ia menyuruh aku
menyusui dan merawatnya. Ahhh, nasibku sama dengan si Belang....“
Kwi Lan
makin heran. Si Belang adalah nama lembu betina yang dipelihara di bawah tanah
dan sekarang sudah sangat tua.
“Apa
maksudmu, Bibi Bi Li?”
Dengan
senyum pahit di bibir, Bi Li menjawab, “Aku dipaksa ke sini untuk menyusui
Kiat-ji, sedangkan si Belang dipaksa ke sini untuk menyusui engkau, Kwi Lan.
Setahun setelah aku berada di sini, si Belang didatangkan oleh Sian-kouwnio
untuk diambil air susunya untukmu.”
“Dan...
aku... dari manakah aku, Bibi...?” Wajah Kwi Lan pucat dan suaranya mengandung
isak.
“Aku tidak
tahu, Anakku. Aku tidak tahu apa-apa.”
Tiba tiba
Kwi Lan menjatuhkan semua kembang yang dipegangnya. Kini wajahnya menjadi
merah, matanya mengeluarkan kilat dan kedua tangannya yang kecil dikepal.
Wajahnya yang cantik mungil itu kini nampak beringas mengancam.
“Kalau
begitu Bibi Sian jahat sekali! Kau dipaksa berpisah dari suami dan anak,
sedangkan aku dipaksa berpisah dari Ayah dan Ibu! Sekarang juga aku akan
bertanya kepadanya, Bibi. Dia harus memberi keterangan sejelasnya!”
“Ssttt, anak
bodoh, apa yang hendak kau lakukan ini?” Bi Li memeluknya erat-erat dengan
wajah penuh kekhawatiran. “Apakah engkau masih belum melihat betapa Bibimu Sian
itu seorang yang amat luar biasa wataknya? Kau tidak boleh bertanya apa-apa
kepadanya, tidak boleh membikin susah atau marah kepadanya.”
“Mengapa
tidak boleh, Bibi?” Kwi Lan bertanya kecewa, akan tetapi mulai membayang pula
di hatinya kini rasa takut dan jeri terhadap bibinya yang selalu bersembunyi di
bawah tanah itu.
“Kwi Lan,
apa pun juga yang telah terjadi dengan kita, namun engkau sendiri tentu telah
merasa betapa baiknya sikap Sian-kouwnio terhadap kita. Segala kebutuhan kita
dicukupi, bahkan engkau dianggap seperti anak sendiri, dirawat dan dididik
tiada bedanya dengan Kiat-ji, putera kandungnya. Aku pun telah mendapat
perlakuan yang amat baik sehingga harus kuakui bahwa keadaan hidupku di sini
jauh lebih baik dari pada ketika masih tinggal di dusun yang kadang-kadang
menderita kurang makan. Makan pakaian cukup, aku pun diberi kebebasan, dan
bahkan dilatih ilmu silat. Karena kebaikannya yang ia limpahkan kepada kita
inilah maka sekali kali kita tidak boleh membikin susah hatinya. Aku tahu, dibalik
keadaannya yang serba aneh luar biasa itu, tersembunyi penderitaan batin yang
amat hebat pada diri Sian-kouwnio. Ia patut dikasihani. Agaknya ia menculik
kita berdua bukan karena jahat, melainkan terpaksa. Ia menculikku karena ia
membutuhkan air susuku untuk memelihara puteranya. Kemudian ia menculikmu
karena... agaknya, dia ingin puteranya mendapatkan teman bermain-main.”
“Tapi ia
tidak peduli betapa anak kandungmu sendiri kehilangan Ibu, dan betapa ayah
bundaku kehilangan anak!” Kwi Lan membantah.
“Benar, akan
tetapi memang demikianlah watak sebagian besar manusia. Kepentingan sendiri
selalu menutupi kepentingan lain orang.” Bi Li menarik napas panjang. “Kita pun
tidak boleh membikin marah kepadanya, karena dia seorang aneh luar biasa, kalau
sekali ia marah, agaknya ia tidak akan segan-segan untuk sekali turun tangan
membunuh kita berdua!” Bi Li bergidik ngeri.
Akan tetapi
Kwi Lan sama sekali tidak merasa takut, bahkan bertanya dengan suara menuntut.
“Bibi, kalau kau melarang aku membikin susah dan membikin marah Bibi Sian,
habis apakah aku harus tinggal diam saja dipaksa berpisah dari Ayah Bunda
kandungku?” Kini Kwi Lan tidak menangis lagi karena kemarahan memenuhi hatinya.
Bi Li
memeluknya dan mengelus-elus rambutnya. “Anakku yang baik, sama sekali bukan
begitu maksudku. Kau harus bersabar, Anakku. Kau tahu bahwa yang tahu akan
rahasia dirimu hanyalah Sian-kouwnio seorang. Hanya dari dialah engkau akan
dapat mengetahui siapa ayah bundamu. Karena itu, engkau harus bersabar. Kalau
sekarang kau tanyakan hal itu kepadanya dan dia tidak mau mengaku malah marah,
engkau akan bisa berbuat apakah? Jangan-jangan engkau malah akan dibunuhnya!
Lebih baik engkau tekun belajar, memperdalam kepandaianmu karena kepandaian
silat itu merupakan bekalmu kelak kalau Sian-kouwnio tidak mau mengaku, untuk
kau pakai mencari sendiri orang tuamu.”
Terbukanya
rahasia tentang keadaan dirinya inilah yang membuat Kwi Lan, makin tekun dan
giat belajar. Dia seorang gadis yang keras hati, yang tahan menderita. Biar pun
setiap saat pertanyaan tentang ayah ibunya sudah berada di ujung lidah, namun
ia dapat selalu menekan dan menelannya kembali, tidak mau bertanya akan hal itu
kepada Sian Eng yang makin lama menjadi makin kagum saja akan keadaan keponakan
dan muridnya ini.
Semua kitab
simpanan ‘dilalap’ habis oleh Kwi Lan, bahkan kitab-kitab yang oleh Sian Eng
sendiri kurang dimengerti. oleh Kwi Lan dihafal di luar kepala! Memang
seolah-olah tidak ada gunanya baginya, karena tidak ada yang menerangkan
artinya, juga Sian Eng tidak mengerti. namun Kwi Lan menghafalnya di luar
kepala dengan keyakinan bahwa kelak tentu ada gunanya. Dalam hal kemajuan ilmu
silat, Suma Kiat tertinggal jauh oleh Kwi Lan sehingga kadang kadang Sian Eng
merenung seorang diri.
“Tidak aneh!
Kwi Lan keturunan seorang sakti seperti Suling Emas, sedangkan Kiat-ji anak
bajingan macam Suma Boan!” Lalu ia menangis seorang diri, menangisi kematian
Suma Boan, putera pangeran yang amat dikasihinya, juga amat dibencinya sehingga
kedua tangannya sendirilah yang membunuh Suma Boan.
Dua tahun
kemudian, ketika Kwi Lan telah berusia empat belas tahun, pada suatu pagi gadis
cilik ini bersama Phang Bi Li mencari kembang seperti dua tahun yang lalu di
dalam hutan, tidak jauh dari pondok mereka.
“Bagaimana
kalau sekarang aku bertanya kepada Bibi Sian tentang orang tuaku, Bibi Bi Li?”
Bi Li
menggeleng kepala. “Belum waktunya, Kwi Lan. Sedikitnya lima tahun lagi, kalau
engkau sudah betul-betul kuat, baru kau boleh bertanya.”
Selagi Kwi
Lan hendak bicara lagi, tiba tiba Bi Li memandangnya dan menaruh telunjuk di
bibir. “Ssshh, tidakkah kau mendengar sesuatu?”
Kwi Lan
mendengarkan penuh perhatian. “Ada orang bertempur...!” akhirnya ia berkata.
Bi Li
mengangguk. “Agaknya tidak jauh dari sini. Mari kita lihat, akan tetapi kita
harus bersembunyi.”
Berlari-larianlah
mereka ke arah suara beradunya senjata tajam. Tak lama kemudian sampailah
mereka ke tempat bertempur tadi, di pinggir hutan. Mereka bersembunyi di balik
pohon-pohon sambil mengintai.
Kiranya yang
bertanding itu adalah seorang laki laki berusia kurang lebih empat puluh tahun,
berpakaian penuh tambalan dan amat butut seperti seorang jembel yang miskin
sekali. Laki-laki ini sedang melawan pengeroyokan empat orang lain yang
pakaiannya juga penuh tambalan. Hanya bedanya, kalau orang pertama yang
dikeroyok itu pakaiannya butut dan kotor, adalah pakaian empat orang yang
mengeroyok ini, biar pun penuh tambalan, namun amat bersih dan tambalannya juga
berkembang-kembang.
Ilmu
kepandaian pengemis butut itu lumayan, demikian pikir Kwi Lan yang menonton.
Senjatanya hanya sebatang tongkat, akan tetapi gerakannya gesit dan tenaganya
besar. Betapa pun juga, menghadapi pengeroyokan empat orang pengemis bersih ia
nampak repot.
Empat orang
lawannya itu memegang tongkat yang lebih besar dan panjang. Biar pun gerakan
mereka tidak secepat gerakan si Pengemis butut, namun ilmu silat mereka lihai
dan tenaga mereka tidak kalah besarnya. Selain ini, tempat pertandingan itu
dikurung oleh belasan orang pengemis baju bersih yang bersorak menjagoi empat
orang kawan mereka dan mengejek si Pengemis baju butut.
Agaknya
pertandingan itu sudah berlangsung cukup lama dan tampak betapa pengemis
berpakaian butut itu sudah payah. Tubuhnya penuh luka-luka, napasnya sudah
terengah-engah dan wajahnya pucat. Namun masih terus melawan penuh semangat.
“Aiihhh...!”
Seruan ini
mengagetkan hati Kwi Lan. Ketika menoleh ke kiri, ia melihat betapa Bi Li
memandang dengan mata terbelalak dan muka pucat sekali ke arah pertempuran.
Kemudian nyonya itu meloncat ke depan bagaikan seekor harimau betina, langsung
menerjang tempat pertandingan dan begitu kaki tangannya bergerak, empat orang
pengeroyok itu terlempar ke empat jurusan. Phang Bi Li cepat menghadapi pengemis
baju butut itu sambil berseru, suaranya gugup.
“Kau...
kau... bukankah engkau Tang Sun...?”
Pengemis
baju butut itu terhuyung-huyung saking lelahnya, mengeluh panjang ketika
memandang Bi Li, kemudian berkata lemah. “Bi Li...! Kau... Bi Li...? Ah, tidak mungkin...”
Sepasang
mata Bi Li sudah bercucuran air mata. “Aku betul Bi Li isterimu!”
Pengemis itu
terbelalak memandang, napasnya serasa terhenti. “Bi Li...? Aduh... Hauw Lam...
Hauw Lam... di manakah engkau...? Ini Ibumu, Nak...!” Pengemis bernama Tang Sun
itu terguling dan roboh pingsan!
Untung Bi Li
cepat meloncat dan menubruknya sehingga ia tidak sampai terbanting. Akan tetapi
alangkah kaget hati Bi Li ketika melihat dia ternyata telah terluka hebat,
bahkan tulang iganya ada yang patah-patah. Kiranya laki-laki yang ternyata
adalah suaminya ini tadi melakukan perlawanan mati-matian dan nekat dalam
keadaan terluka parah mendekati mati! Cepat ia merebahkan suaminya,
memanggil-manggil namanya dan menangis.
Sementara
itu, sejenak para pengemis baju bersih yang belasan orang jumlahnya tercengang
menyaksikan betapa sekali bergerak, wanita setengah tua itu telah membuat empat
orang kawan mereka terlempar dan jatuh terbanting tidak mampu bangkit lagi,
hanya mengaduh-aduh karena tulang lengan dan kaki mereka patah-patah! Kini
melihat betapa pengemis baju butut roboh pingsan dan wanita itu berlutut
menangis, timbul kegarangan mereka.
“Perempuan
liar dari mana berani mengganggu kami?” bentak seorang di antara mereka yang
bermuka bopeng koban penyakit cacar. “Hayo hajar dia!” perintah Si Muka Bopeng
ini dengan suara keras.
Enam orang
pengemis yang tubuhnya tinggi besar dan agaknya menjadi jagoan mereka di
samping empat orang pengeroyok yang sudah roboh oleh Bi Li, kini menerjang maju
dengan senjata mereka yang sama, yaitu tongkat sebesar lengan setinggi orang.
Saat itulah
Kwi Lan turun tangan. Sekali menggerakkan kakinya, ia telah melompat dan bukan
main kagetnya enam orang pengemis tinggi besar melihat bayangan berkelebat
seperti seekor burung terbang dan tahu-tahu seorang gadis remaja yang cantik
jelita telah berdiri di depan mereka sambil bertolak pinggang! Akan tetapi
setelah melihat bahwa yang muncul menghadang hanyalah seorang gadis cilik belum
dewasa dan bertangan kosong pula, mereka memandang rendah dan tertawa.
“Ho-ho-ha-ha!
Cucuku yang mungil. Minggirlah, Engkong-mu (Kakekmu) tidak ada waktu untuk
melayanimu,” teriak seorang di antara mereka yang kepalanya gundul.
“Eh, Nona
cilik yang manis. Apakah engkau menantang berpacaran? Minggirlah lebih dulu,
tunggu kalau aku selesai membikin mampus anjing betina tua itu, baru aku layani
kau, heh-heh-heh!” kata seorang pengemis tinggi bermuka hitam.
Kwi Lan
semenjak kecil berwatak riang gembira, jenaka dan pandai bicara. Hal ini
diketahui baik oleh Phang Bi Li, apa lagi oleh Suma Kiat yang selalu kalah
berdebat. Dan hanya di depan Sian Eng saja gadis ini tunduk dan berubah
pendiam. Kini menghadapi orang-orang yang menimbulkan kemarahan di hatinya itu,
muncul pula sikapnya yang ugal-ugalan. Sambil tersenyum mengejek ia berkata.
“Wah, kalian
ini sekumpulan monyet tua tidak tahu malu, berhati palsu, curang dan selayaknya
dihajar! Melihat pakaian kalian, jelas bukan orang miskin, akan tetapi sengaja
ditambal-tambal biar dianggap pengemis. Ini tandanya kalian bukan pengemis
karena keadaan melainkan orang-orang berjiwa pengemis! Lalu mengandalkan jumlah
banyak mengeroyok orang malah menghina wanita, ini tandanya kalian berwatak rendah,
hina, dan curang! Paling akhir, pandang mata dan ucapan-ucapan kalian tadi
menandakan bahwa kalian bersifat kurang ajar, tak tahu sopan santun, maka
kalian sudah sepatutnya diberi hajaran biar kapok!”
“Mengapa
melayani mulut seorang anak nakal? Tangkap dulu dia, kita bawa pulang!” teriak
si Muka Bopeng yang tertarik melihat kelucuan dan kecantikan Kwi Lan, juga
berbareng mendongkol karena enam orang anak buahnya dijadikan bahan mainan
gadis cilik itu.
Serentak
enam orang pengemis tinggi besar itu menerjang Kwi Lan. Mereka seperti
berlomba, hampir berbareng tangan mereka diulur dan menubruk untuk menangkap
Kwi Lan. Karena perintah kepala mereka bukan membunuh melainkan menangkap, pula
karena mereka sendiri pun tidak ingin membunuh gadis cilik yang cantik ini,
maka mereka tidak menggunakan tongkat untuk menerjang. Hal ini amatlah
menguntungkan, bukan bagi Kwi Lan melainkan bagi enam orang pengemis itu
sendiri! Karena sedangkan penyerangan dengan tangan kosong mereka itu saja
sudah mendatangkan akibat yang hebat, apa lagi kalau mereka menggunakan
senjata, tak terbayangkan betapa hebat akibatnya.
Penyerangan
itu bertubi-tubi datangnya, saling susul. Akan tetapi, begitu ada tangan
menjangkau ke arahnya, Kwi Lan hanya bergerak sedikit, menyambut dengan tangannya
sendiri yang kecil dan....
“Plaakk!”
tangan yang besar ini membalik dan menghantam muka si Penyerang sendiri.
“Plakk...!
Aduhh...!” terdengar suara susul-menyusul dan enam orang itu sudah
terhuyung-huyung dan ada pula yang roboh.
Mereka semua
mengerang kesakitan karena yang paling ringan di antara mereka sudah remuk
hidungnya, terkena hantaman tangan sendiri yang secara aneh telah membalik.
Lebih hebat adalah si Muka Hitam, karena tangannya tadi terbuka jari-jarinya
hendak mencengkeram dada si Gadis Cilik, ketika membalik masih dalam keadaan
mencengkeram dan tak dapat dicegah lagi, mata kirinya tertusuk jari tangannya
sehingga biji matanya tercongkel ke luar! Ada pun si Kepala Gundul, tepat kena
hantaman kepalanya oleh tangannya sendiri sehingga di kepalanya tumbuh tanduk
dan ia roboh pingsan, agaknya mengalami gegar otak! Yang lain lain, sebagian
besar kehilangan hidung, atau setidaknya yang hidungnya agak mancung menjadi
pesek karena ujungnya telah remuk berikut tulang muda batang hidungnya!
Semua pengemis
baju bersih tertegun, apa lagi ketika mendengar gadis cilik itu berkata
mengejek, “Baru bisa mainkan sedikit ilmu silat Kong-thong-pai yang digerakkan
secara ngawur saja kalian sudah sombong! Benar benar tak tahu malu!”
Si Muka
Bopeng cepat melompat maju dengan tongkat melintang. Wajahnya yang bopeng
menjadi merah sekali dan diam-diam ia pun merasa heran. Tidak dapat disangkal
lagi, ilmu silat yang dipelajari anak buahnya memang ilmu silat Kong-thong-pai,
karena dia adalah seorang murid pelarian dari Kong-thong-pai. Akan tetapi ilmu
tongkat dan ilmu silatnya sudah terkenal, sukar dicari bandingnya dan karena
itu pula ia dipercaya oleh para pimpinan pengemis baju bersih untuk memimpin
pasukan pengemis di daerah itu, mengepalai pasukan pengemis lima puluh orang
banyaknya. Sekarang bocah ini telah mengenal ilmu silat anak buahnya, tidak
hanya mengenal, malah mengejek!
“Eh, bocah
bermulut lancang dan sombong! Kau tahu apa tentang Ilmu silat Kong-thong-pai?”
“Mengapa
tidak tahu? Apa kau kira ilmu silat Kong-thong-pai yang paling hebat di muka
bumi ini? Huh, ilmu silat Kong-thong-pai tidak banyak ragamnya, tidak menang
banyak dengan jumlah bopeng di mukamu.”
Saking
marahnya, si Muka Bopeng mencak mencak dan membanting tongkatnya sampai
menancap setengahnya di atas tanah. “Keparat aku murid Kong-thong-pai yang
jagoan, tahu?”
Kwi Lan
memang nakal. Ia membusungkan dada dan menghampiri tongkat itu. “Membanting
tongkat seperti itu apa susahnya? Aku pun bisa. Lihat!” Ia menggunakan tangan
kanan menangkap sisa tongkat yang tampak di atas tanah, diam-diam mengerahkan
tenaga sakti, lalu mengangkat terus membanting.
“Krakk...
cappp!” Tongkat itu ketika ia cabut telah patah di tengah-tengahnya, tepat di
permukaan tanah, kemudian ketika tongkat sepotong itu ia tancapkan, benda itu
amblas ke dalam tanah tak tampak lagi!
Si Muka
Bopeng melongo, juga anak buahnya berseru kaget. Hal ini membuat si Muka Bopeng
marah sekali. Sambil berseru keras ia menerjang dengan pukulan Serbu Masuk Goa
Harimau. Pukulan ini keras sekali dan mengarah dada Kwi Lan. Sebuah serangan
keterlaluan bagi seorang laki-laki berusia empat puluh tahun terhadap seorang
gadis berusia empat belas tahun. Selain serangan maut, juga tidak sopan.
Akan tetapi
Kwi Lan berseru sambil mengejek. “Wah, Cim-jip-houw-hiat (Serbu Masuk Goa
Harimau) yang buruk sekali!”
Ia pun cepat
melakukan gerakan yang sama. Akan tetapi jurus yang sama ini ia lakukan dengan
cara yang jauh berlainan, hanya gayanya saja yang sama akan tetapi dasar dan
isinya sudah berbeda jauh. Akan tetapi hebat akibatnya, karena ketika kepalan
tangan si Muka Bopeng itu bertemu dengan telapak tangan Kwi Lan, mendadak si
Muka Bopeng itu merasa betapa tenaga tangannya membalik dan kepalan tangannya
seakan-akan sudah tak dapat ia kuasai lagi dan menyambar ke arah dadanya
sendiri! Persis seperti yang dialami oleh enam orang anak buahnya tadi.
Akan tetapi
ia cukup lihai. Secepat kilat ia menggunakan tangan kirinya menangkis tangan
kanannya sendiri sampai terdengar suara karena beradunya kedua lengan. Ia
meringis kesakitan, wajahnya makin merah. Jelas tadi ia melihat gadis cilik itu
bergerak dalam jurus yang sama, akan tetapi mengapa amat berbeda?
Memang tidak
aneh sebetulnya. Seperti kita ketahui dari cerita suling emas, mendiang Tok
siaw kwi Liu Lu Sian telah berhasil mencuri banyak sekali kitab-kitab ilmu
silat dari pelbagai perguruan silat dan partai-partai besar. Di antaranya ia
telah mencuri pusaka Kong-thong-pai. Kemudian semua kitab pusakanya terjatuh ke
tangan Kam Sian Eng. Maka sebagai muridnya yang amat rajin, tentu saja Kwi Lan
telah mempelajari pula ilmu silat dari kitab Kong-thong-pai ini. Seperti juga
dengan ilmu-ilmu silat lain, penjelasan Sian Eng menyeleweng dari pada ilmunya
yang benar, maka menjadi berbeda, bahkan ada yang terbalik sama sekali!
Mengapa ilmu
yang dipelajari terbalik dan menyeleweng ini malah mengatasi ilmu yang asli,
yang telah dipelajari oleh si Muka Bopeng? Hal itu pun tidak aneh. Biar pun
telah mewarisi bermacam-macam ilmu yang dipelajari secara menyeleweng, namun
Sian Eng telah berhasil memiliki dan mencipta ilmu-ilmu yang tinggi dan aneh
sehingga menyerupai ilmu ciptaan iblis sendiri.
Muridnya Kwi
Lan, memperoleh kepandaiannya dari Sian Eng, tentu saja juga mendapatkan
pelajaran ilmu menghimpun hawa sakti yang mujijat. Hanya ketika sudah membaca
kitab dan belajar sendiri kitab-kitab itu, penafsirannya berbeda dengan penafsiran
gurunya sehingga dalam ilmu-ilmu yang tinggi terdapat perbedaan aneh di antara
Kwi Lan, Suma Kiat, dan Sian Eng sendiri. Akan tetapi karena dasar dasar
pelajaran lweekang, khikang dan sinkang diperoleh dari Sian Eng, maka dalam hal
ini mereka bertiga memiliki dasar yang sama. Dibandingkan dengan si Muka
Bopeng, Kwi Lan jauh lebih menang tenaga dalamnya, maka biar pun jurus yang ia
mainkan itu tidak asli, namun jauh lebih ampuh!
Si Muka
Bopeng kini telah menerjang lagi dengan kedua tangan terbuka jari-jarinya,
karena ia bermaksud menangkap gadis cilik ini untuk ditawan dan kelak dipaksa
mengaku dari mana mempelajari ilmu silat Kong-thong-pai yang berubah aneh itu
dan pula, biar pun gadis itu masih terlalu muda setengah kanak-kanak, namun
sudah kelihatan cantik manis sehingga hati si Muka Bopeng jadi tertarik.
Bagi Kwi
Lan, serangan lawan yang kasar ini bukan apa-apa dan sama sekali ia tidak
menjadi gentar, malah tertawa mengejek. “Hi-hik, kau gunakan jurus
Hek-houw-phok-sai (Macan Hitam Menubruk Tahi)? Busuk dan bau sekali!” Gadis
cilik yang nakal ini sengaja merobah nama jurus itu yang sebetulnya adalah
Hek-houw-phok-thouw (Macan Hitam Menubruk Kelinci).
Si Muka
Bopeng mengeluarkan gerengan marah sambil menubruk, seperti seekor harimau
tulen. Kwi Lan sama sekali tidak mengelak, malah membarengi gerakan lawan
dengan jurus yang sama, akan tetapi diam diam ia menyalurkan hawa sakti ke arah
kedua telapak tangannya dan terciumlah ganda wangi karena gadis cilik ini telah
mempergunakan Ilmu Siang-tok-ciang (Tangan Racun Wangi).
Ilmu ini
adalah ciptaan Sian Eng sendiri yang mempergunakan sari kembang beracun yang
amat wangi dan ketika berlatih ilmu ini, kedua telapak tangan digosok-gosok
racun kembang ini sehingga hawa beracun yang berbau harum masuk ke dalam kedua
telapak tangan. Jika dalam keadaan biasa, kedua telapak tangan tidak berbau
harum dan racunnya juga tidak keluar, akan tetapi apa bila dipakai untuk
bertanding dan dari dalam dikerahkan lweekang ke arah kedua tangan, maka hawa
yang wangi beracun itu akan keluar dari telapak tangan...
Terima kasih telah membaca Serial ini
terimakasih
ReplyDelete