Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Mutiara Hitam
Jilid 02
Si Muka
Bopeng menjadi girang melihat gadis cilik itu menyambut serangannya dengan
jurus yang sama dan memapaki kedua tangannya yang menubruk. Diam-diam ia
mengerahkan tenaganya dan mukanya menyeringai. Gadis cilik sombong ini tentu
akan mudah ditawan kalau kedua tangannya dapat ia tangkap. Bau wangi yang
menyambar hidungnya tidak membuat si Muka Bopeng sadar, bahkan makin girang
mendapat kenyataan bahwa gadis cilik itu demikian wangi!
“Plak plak!”
kedua pasang tangan bertemu dan beradu telapak tangan.
Si Muka
Bopeng mengeluarkan pekik aneh dan tubuhnya terlempar ke belakang, terbanting
roboh telentang dan tidak bergerak lagi. Kedua lengannya masih berkembang
seperti akan menubruk, akan tetapi lengan itu kaku dan telapak tangannya
terdapat warna merah dan kebiruan, matanya mendelik napasnya putus!
Sisa para
pengemis baju bersih menjadi kaget dan jerih. Wanita setengah tua yang kini
menangisi pengemis baju butut tadi sudah hebat, kiranya gadis cilik ini lebih
hebat lagi, dalam segebrakan mampu menewaskan pimpinan rombongan mereka! Dengan
ketakutan sembilan orang pengemis itu cepat menyeret teman-teman mereka yang
luka dan mengangkut mayat si Muka Bopeng, lalu melarikan diri dari tempat itu
sambil sebentar-sebentar menoleh ketakutan melihat ke arah Kwi Lan yang
tertawa-tawa sambil bertolak pinggang!
Setelah
semua pengemis pergi, Kwi Lan baru sadar akan suara Bi Li yang menangis
terisak-isak. Ia cepat membalikkan tubuh. Melihat Bi Li berlutut di depan
pengemis baju butut yang dikeroyok tadi, ia cepat menghampiri. Kini pengemis
itu sudah bangkit duduk, bersandar pada batang pohon. Napasnya terengah-engah,
kedua lengannya memeluk pundak Bi Li yang berlutut di depannya.
Melihat
keadaan mereka, Kwi Lan menjadi heran bukan main, akan tetapi ia tidak mau
bertanya karena merasa jengah. Kenapa Bibi Bi Li mau dipeluk laki laki jembel
itu? Sebagai seorang gadis cilik yang belum pernah menyaksikan orang
berpelukan, ia tidak tahan untuk melihat lebih lama lagi, maka ia lalu
membalikkan tubuhnya membelakangi mereka. Akan tetapi ia mendengar suara mereka
ketika mereka bicara.
“Suamiku...
mana dia? Mana Hauw Lam anak kita...?” terdengar Bi Li berkata menahan isak.
Mendengar
ini, Kwi Lan makin kaget. Suami? Jembel itu suami Bibi Bi Li? Rasa heran dan
kaget membuat ia kembali membalik dan memandang pengemis itu lebih teliti.
Seorang laki-laki berusia empat puluh tahun lebih, pakaiannya lapuk dan kotor,
pakaian seorang jembel. Akan tetapi mukanya bersih terpelihara, muka yang pucat
karena menderita luka parah, namun masih membayangkan ketampanan laki-laki.
“Bi Li...
isteriku, kenapa engkau meninggalkan aku? Kenapa engkau tega pergi meninggalkan
kami, suamimu dan anak kita? Apakah kesalahanku kepadamu sehingga engkau begitu
kejam?” Suaranya ini penuh pertanyaan, penuh tuntutan dan tangis Bi Li makin
tersedu-sedu.
Di antara
isak tangis, istri yang malang ini lalu bercerita dengan singkat betapa ia
diculik dan dipaksa pergi oleh Kam Sian Eng untuk menyusui dan merawat anaknya
yang baru terlahir, menceritakan betapa Kam Sian Eng adalah seorang yang
berilmu tinggi dan betapa dia tidak berdaya.
“Demikianlah,
Suamiku. Kuharap engkau suka mengampunkan aku, akan tetapi... sungguh aku tidak
berdaya... sampai sekarang pun aku tidak mungkin bisa pergi meninggalkan
Sian-kouwnio...”
Laki-laki
itu makin pucat, jelas ia menahan sakit sambil menggigit bibir. “Ah, engkau
terluka hebat... mari kubawa ke pondok kami, biar kuminta Kouwnio memberi obat
kepadamu....“
“Tidak perlu
lagi!” Laki-laki yang bernama Tang Sun itu, suami dari Phang Bi Li, mencegah
sambil mengangkat tangan, kemudian karena tidak tahan bersandar dan duduk, ia
lalu merebahkan diri lagi, dibantu isterinya. “Lukaku amat parah, kurasa ada
perdarahan di dalam dadaku, sakit sekali... ougghh... tak mungkin dapat
diobati. Akan tetapi, terima kasih kepada Thian... mati pun aku tidak
penasaran, sudah dapat bertemu denganmu... tapi sayang... Hauw Lam... di mana
engkau, Anakku...?”
Mendengar
disebutnya nama anaknya, Bi Li lupa akan penderitaan suaminya yang sudah
menghadapi maut. Sambil memegang lengan suaminya ia berseru keras, “Dimana Hauw
Lam? Dimana dia?”
Suara Tang
Sun makin lemah, bahkan agak menggigil dan pelo, akan tetapi lancar dan tidak
terputus-putus lagi. Perubahan ini tidak diketahui Bi Li yang amat ingin
mendengar cerita tentang puteranya.
“Sepeninggalmu,
kubawa dia pergi mencarimu dan hidup menderita. Ketika dia berusia lima tahun,
kuserahkan dia kepada ketua kelenteng di puncak gunung Kim-liong-san yang
kutahu seorang berilmu tinggi. Aku sendiri lalu melanjutkan perjalanan
mencarimu, Bi Li, menempuh seribu satu macam kesukaran!”
Cerita ini
terputus sebentar oleh tangis Bi Li penuh keharuan sambil memeluk leher
suaminya. Kwi Lan yang berdiri tak jauh dari situ merasa betapa jantungnya
seperti disayat-sayat saking terharu, namun ia dapat menekannya dan tidak
sebutir pun air mata menetes turun. Di dalam hatinya ia makin menyesalkan
perbuatan Kam Sian Eng yang telah memisahkan suami isteri ini dan menimbulkan
kesengsaraan dalam kehidupan dua orang, bahkan mungkin tiga orang dengan anak
mereka yang agaknya tidak diketahui pula di mana adanya.
“Akan tetapi
sekarang aku tidak menyalahkan engkau, isteriku, setelah aku tahu betapa engkau
pun menderita dan tidak berdaya. Aku lalu hidup sebagai pengemis dan akhirnya
aku tertarik akan sepak terjang Khong-sim Kai-pang yang adil dan gagah, maka
aku masuk menjadi anggota Khong-sim Kai-pang. Khong-sim Kai-pang termasuk
perkumpulan pengemis golongan bersih yang ditandai dengan pakaian kotor, dan
pada waktu ini golongan bersih sedang berusaha membasmi pengemis-pengemis golongan
kotor yang ditandai dengan pakaian bersih. Setelah menjadi anggota Khong-sim
Kai-pang, banyak teman temanku membantuku mencarimu. Dan beberapa hari yang
lalu, seorang temanku melihat engkau di depan pondok. Karena dia tidak
mengenalmu akan tetapi merasa heran melihat seorang wanita dan dua orang anak
tanggung tinggal bersunyi diri didalam hutan, ia lalu menceritakannya kepadaku.
Nah, hari ini aku datang ke sini menyelidik, siapa kira, di sini aku bertemu
dengan belasan orang pengemis golongan hitam yang mengeroyokku...”
“Dan Hauw
Lam, Anakku... dia bagaimana... ?” Bi Li mendesak, tidak sadar bahwa kini wajah
suaminya yang pucat itu sudah mulai agak kebiruan.
“Dia...
dia...,“ kini napas Tang Sun mulai tersendat-sendat. “Dia... kini tentu sudah
dewasa... hampir lima belas tahun... Akan tetapi ketika aku datang menjenguk ke
sana... hwesio tua itu telah meninggal dunia dan... dan Hauw Lam... dia...”
Sukar sekali ia melanjutkan kata-katanya.
Barulah Bi
Li sadar akan keadaan suaminya. Ia menjerit dan memeluk. Melihat suaminya
meramkan matanya, ia menciuminya dan memanggil-manggil namanya, kini tidak
peduli lagi akan anaknya. Kwi Lan yang berdiri termangu-mangu cepat menggunakan
punggung tangan kirinya menghapus dua butir air mata yang tak tertahankan lagi menetes
turun ke atas pipinya.
Tang Sun
membuka matanya, lalu tersenyum dan membelai rambut isterinya. Wajahnya
membayangkan kepuasan, akan tetapi kembali keningnya berkerut ketika ia
berkata, “...Hauw Lam... dia... pergi dari sana... tak seorang pun tahu ke
mana. Isteriku, kau... kau carilah dia...” Tangan yang membelai rambut itu
lemas dan terkulai.
Bi Li
menjerit dan roboh pingsan sambil memeluk mayat Tang Sun yang masih hangat!
“Bibi Bi
Li...! Bibi Bi Li...!” Kwi Lan memanggil manggil sambil mengguncang-guncang
tubuh Bi Li.
Wanita itu
akhirnya siuman dan dengan muka merah mata berapi-api ia meloncat bangun,
membalikkan tubuhnya dan mencabut pedang yang tergantung di pinggang. Bi Li
memang memiliki kepandaian yang khusus ia pelajari dari Sian Eng, yaitu bermain
pedang, bahkan ia menerima hadiah sebatang pedang indah dari Sian Eng. Kini
dengan pedang di tangan, matanya terbelalak memandang kanan kiri, mulutnya
menantang-nantang.
“Pengemis-pengemis
busuk, jembel-jembel terkutuk! Hayo majulah semua, akan kubunuh kalian sampai
habis!”
Kwi Lan
maklum bahwa bibinya ini amat marah dan sakit hati karena kematian suaminya.
Suami yang terpisah darinya selama belasan tahun, dan yang kini begitu berjumpa
terus meninggal dunia!
“Perempuan
setan, berani kau membunuh saudara kami?” tiba tiba terdengar bentakan nyaring
dan muncullah tiga orang kakek berpakaian pengemis. Mereka adalah tiga orang
kakek tinggi kurus yang memegang tongkat butut, sebutut pakaian mereka.
Begitu
melihat tiga orang kakek pengemis ini, sambil berseru marah Bi Li maju
menerjang dengan pedangnya. Gerakannya secepat kilat, pedangnya berkelebat
seperti halilintar menyambar.
“Tranggg...!”
pedang itu terpental dan hampir terlepas dari pegangan Bi Li ketika tertangkis
sebatang tongkat butut yang dipegang oleh kakek pengemis yang bertahi lalat
besar di bawah hidungnya.
Bi Li makin
marah. Kakek pengemis ini kiranya lihai sekali, tidak boleh disamakan dengan
para pengemis yang tadi mengeroyok suaminya. Maka ia lalu mengeluarkan seruan
keras sambil memutar pedangnya dan mengerahkan tenaga, menerjang dengan cepat
sekali. Menghadapi serangan yang begitu dahsyat, kakek pengemis itu terkejut
dan cepat memutar tongkat melindungi tubuhnya. Kemudian terjadilah pertandingan
hebat di antara Bi Li dan kakek pengemis.
Dua orang
kakek pengemis lain segera melangkah maju mendekati mayat Tang Sun. Melihat
ini, Kwi Lan menjadi curiga dan membentak, “Jembel-jembel busuk, mundurlah
kalian!” Gadis cilik ini menerjang maju dengan pukulan kedua tangannya yang
mendorong.
Karena
melihat bahwa yang menerjang mereka hanyalah seorang gadis cilik berusia empat
belas tahun, dua orang kakek jembel itu tersenyum tenang, bahkan mengulur
tangan untuk menangkap pundak Kwi Lan. Akan tetapi alangkah kaget hati mereka
ketika tangan mereka bertemu dengan tangan Kwi Lan, tubuh mereka terdorong
mundur dan hampir saja mereka terbanting roboh! Baiknya keduanya adalah
tokoh-tokoh lihai, cepat mereka dapat menekan tanah dengan ujung tongkat
sehingga dapat menguasai keseimbangan tubuh lagi.
Sejenak
mereka saling pandang dengan muka merah, lalu menatap wajah Kwi Lan dengan
sikap terheran-heran. Namun mereka merasa penasaran. Mungkinkah bocah perempuan
ini memiliki tenaga yang sedemikian dahsyatnya? Karena merasa malu untuk
menghadapi seorang anak-anak dengan senjata tongkat mereka, keduanya lalu
menyelipkan tongkat di ikat pinggang lalu melangkah maju mengulur tangan.
“Bocah
setan, mau lari kemana kau?”
Melihat
dirinya diserang dengan jangkauan tangan hendak menangkap, Kwi Lan tertawa
mengejek, “Lari ke mana? Untuk apa lari menghadapi dua ekor babi tua macam
kalian?” Dan dengan gerakan yang indah namun gesit bukan main, Kwi Lan sudah
dapat mengelak, lolos dari tubrukan mereka, kemudian cepat ia membalik dan
mengirim pukulan ke arah punggung mereka!
“Wuuuttt!”
Dua orang
pengemis tua itu berseru kaget dan cepat melompat jauh ke depan sehingga
terhindar dari pada pukulan maut tadi. Wajah mereka menjadi pucat dan keringat
dingin memenuhi jidat. Sebagai orang-orang yang ahli, mereka cukup maklum
betapa pukulan kedua tangan bocah ini tadi mengandung tenaga Iweekang yang
hebat dan dapat mematikan! Berubahlah pandangan mereka. Kiranya bocah ini
gerakannya jauh lebih hebat dari pada wanita yang bertanding melawan saudara
mereka. Tanpa malu-malu lagi keduanya lalu mencabut tongkat.
“Hi hik,
kalian mau lari ke mana?” Kwi Lan mengejek.
Akan tetapi
cepat gadis cilik ini menggerakkan kaki untuk berkelit karena melihat dua sinar
tongkat telah meluncur dengan hebat. Selanjutnya Kwi Lan harus menggunakan
kelincahannya untuk menghindarkan diri dari pada kurungan sinar kedua tongkat
itu. Diam-diam anak ini kaget juga. Kiranya dua orang pengeroyoknya ini
benar-benar amat tangguh sehingga tekanan kedua tongkat itu mengurung dirinya,
membuat ia tidak mampu balas menyerang.
Dia tidak
tahu bahwa dua orang kakek itu jauh lebih kaget dan heran dari padanya. Selama
mereka hidup, sudah hampir enam puluh tahun, baru kali ini mereka menghadapi
peristiwa yang begini aneh dan memalukan. Mereka terkenal sebagai ahli-ahli
silat kelas tinggi, hanya orang-orang pilihan di dunia kang-ouw saja yang
setanding dengan mereka. Akan tetapi kini, dengan maju berdua dan memegang
tongkat pula, mereka tidak mampu mengalahkan seorang gadis cilik yang bertangan
kosong! Sebetulnya tingkat ilmu silat anak itu belumlah matang dan tidak
seberapa tinggi, akan tetapi gerakannya amat aneh luar biasa sekali dan sukar
diduga karena jauh berbeda dengan dasar-dasar ilmu silat yang lazim!
Tiba-tiba
terdengar suara yang nyaring sekali, datangnya dari jauh akan tetapi amat jelas
seakan-akan yang berkata berada di belakang mereka, “Enci Bi Li! Kwi Lan!
Mundur... !”
Tentu saja
Bi Li dan Kwi Lan mengenal baik suara ini dan mereka cepat meloncat mundur
tanpa menoleh. Tiga orang pengemis yang tidak mendengar seruan tadi mendesak maju.
Akan tetapi tiba-tiba tampak bayangan putih berkelebat dan... tiga orang kakek
itu berhenti bergerak dan telah menjadi kaku seolah-olah mereka berubah menjadi
arca batu! Tanpa dapat mereka lihat, jalan darah mereka telah ditotok oleh
ujung lengan baju Sian Eng yang kini sudah berdiri di depan mereka dengan sikap
bengis!
Pada saat
itu terdengar bunyi angin menyambar. Belasan buah senjata rahasia berbentuk
piauw (pisau) dan besi bintang menyambar ke arah Bi Li, Kwi Lan, Sian Eng, dan
juga ke arah tiga orang pengemis yang berdiri kaku. Bi Li dan Kwi Lan melihat
datangnya senjata rahasia yang membawa angin ini, maklum bahwa senjata itu
digerakkan oleh tangan yang lihai, maka tidak berani menyambut dan cepat
mengelak. Akan tetapi Sian Eng lalu mengebutkan kedua tangannya ke depan dan...
belasan batang senjata rahasia yang menyambar ke arahnya dan ke arah tiga orang
pengemis tua runtuh terpukul oleh hawa pukulan kedua tangannya!
Dari balik
pohon meloncat ke luar lima orang kakek pengemis pula, akan tetapi mereka ini
berbeda dengan yang tiga tadi. Kalau tiga orang kakek pertama berpakaian butut
kotor, adalah lima orang ini berpakaian bersih, sungguh pun bertambal-tambalan
seperti halnya para pengemis yang mengeroyok Tang Sun.
“Wanita
iblis, berani kau....” Hanya sampai sekian saja bentakan seorang di antara
mereka karena tiba-tiba tubuh Sian Eng lenyap berkelebat ke depan.
Lima orang
itu menggerakkan kaki tangan hendak melawan bayangan yang tiba-tiba menyambar,
namun sia-sia belaka karena tahu-tahu mereka ini pun sudah berdiri kaku seperti
patung, persis seperti keadaan tiga orang kakek baju butut!
Melihat
munculnya lima orang pengemis baju bersih ini, baru Bi Li sadar akan perbedaan
antara lima orang pengemis ini dan tiga orang pengemis yang tadi datang lebih
dulu. Pakaian mereka! Pakaian lima orang pengemis yang datang belakangan ini
serupa dengan pakaian para pengemis yang mengeroyoknya, yang membunuh suaminya.
Ada pun pakaian tiga orang pengemis yang mengeroyoknya, sama butut dengan
pakaian suaminya. Teringatlah ia akan cerita suaminya tentang golongan putih
yang berpakaian butut dan golongan hitam yang berpakaian bersih. Kini melihat
Kam Sian Eng memandang kepada tiga orang pengemis baju butut dengan mata
beringas, ia cepat meloncat maju dan berkata.
“Sian-kouwnio...!
Jangan... jangan bunuh mereka ini....“
Kam Sian Eng
tanpa menoleh bertanya, suaranya dingin dan ketus, “Apa yang terjadi di sini?”
Bi Li yang
teringat kembali kepada suaminya, tidak menjawab melainkan berlutut lagi di
depan mayat suaminya sambil menangis. Kwi Lan maklum bahwa bibinya dan juga
gurunya itu sedang marah, maka ia cepat maju mewakili Bi Li dan bercerita
singkat.
“Bibi Bi Li
dan aku sedang memetik bunga ketika kami mendengar suara orang bertempur di
sini. Ternyata yang bertempur adalah... suami Bibi Bi Li dikeroyok
pengemis-pengemis baju bersih sampai terluka dan tewas. Bibi Bi Li dan aku
berhasil mengusir dan membunuh beberapa orang pengemis baju bersih, dan sebelum
mati suami Bibi Bi Li sempat bercerita bahwa dia adalah anggota pengemis baju
butut. Kemudian muncul tiga orang kakek pengemis baju butut ini yang lancang
menyerang Bibi Bi Li dan aku. Agaknya mereka bertiga ini masih segolongan
dengan suami Bibi Bi Li. Dan lima orang kakek yang datang belakangan ini
agaknya hendak membalaskan kematian anak buah mereka.”
Sian Eng
mendengar ini, melirik kearah Bi Li. Wajah yang tertutup tirai sutera itu
sedikit pun tidak berubah, tetap dingin dan keras. Tiba-tiba tangannya bergerak
ke punggung, sinar terang berkelebatan disusul jerit-jerit kesakitan dan...
delapan orang pengemis yang masih berdiri kaku itu kini telah buntung semua
tangan kanannya! Entah kapan Sian Eng menggunakan pedang, entah kapan
mencabutnya, dan menyarungkannya kembali, tak dapat diikuti pandang mata para
pengemis itu sehingga biar pun mereka menanggung luka hebat dan nyeri, mereka
masih terbelalak kaget dan gentar.
Tiga orang
pengemis tua baju butut itu adalah tokoh-tokoh Khong-sim Kai-pang sedangkan
lima orang pengemis baju bersih itu adalah tokoh-tokoh terkemuka pula dari
perkumpulan golongan hitam. Di dalam dunia kang-ouw, terutama dunia para
pengemis kang-ouw, mereka delapan orang ini merupakan orang-orang terkenal
dengan ilmu silat mereka yang tinggi. Akan tetapi kini, dalam tangan wanita
berkerudung yang cantik dan aneh itu, mereka sama sekali tidak berdaya,
dipermainkan seperti tikus-tikus dipermainkan kucing!
“Ohh,
Kouwnio, jangan...!” Bi Li yang mendengar jerit mereka dan mengangkat muka,
segera meloncat bangun. “Tiga orang Lo-kai ini adalah orang-orang segolongan
mendiang suami saya....“
Sian Eng
mendenguskan suara dari hidung. “Hemmm...!”
Kwi Lan
segera berkata, “Bibi Bi Li, tiga orang jembel tua ini biar pun segolongan
dengan suamimu, namun mereka datang-datang menyerang kita. Pasti bukan orang
baik-baik! Sudah sepatutnya Bibi Sian memberi hukuman.”
Kakek
pengemis baju butut yang bertahi lalat di bawah hidungnya terdengar menarik
napas panjang. Delapan orang ini biar pun tertotok tak mampu bergerak, akan
tetapi yang kaku hanyalah kaki tangan, sedangkan anggota tubuh yang lain tidak,
sehingga mereka masih mampu bicara.
“Kami tiga
orang tua bangka memang telah berlaku ceroboh, tidak mengenal orang dan tidak
dapat membedakan mana kawan mana lawan. Kehilangan tangan ini sudah
sepantasnya...!”
“Kouwnio,
harap sudi mengampuni mereka. Tentu tadi mereka menyangka bahwa sayalah yang
membunuh saudara mereka ini, padahal dia... dia ini... Tang Sun, suamiku....“
“Hemmm...!
Kwi Lan bebaskan mereka!” Sian Eng menggerakkan kepalanya ke arah tiga orang
pengemis baju butut.
Sebagai
seorang murid yang amat tekun dan amat cerdik, tentu saja Kwi Lan sudah pula
membaca dan mempelajari isi kitab Im-yang-tiam-hoat, sebuah kitab pusaka dari
Siauw-lim-pai yang dahulu dicuri oleh Tok-siauw-kwi dan terjatuh ke tangan Sian
Eng. Dan tentu saja ia dapat pula membebaskan pengaruh totokan ilmu menotok
jalan darah ini.
Dihampirinya
tiga orang kakek itu dan dengan sebuah jari telunjuk kanan, ditotoknya punggung
belakang pusar mereka sambil tangan kirinya tidak lupa menampar belakang
kepala. Sebetulnya tamparan belakang kepala ini tidak ada hubungannya dengan
pembebasan totokan, akan tetapi dasar anak nakal, ia hendak melampiaskan
kemendongkolan hatinya kepada tiga orang kakek pengemis itu dalam kesempatan
ini!
Kembali tiga
orang kakek ini terkejut sekali. Mereka adalah ahli-ahli silat tingkat tinggi
dan tahu banyak tentang seluk-beluk Ilmu Tiam-hiat-hoat (Menotok Jalan Darah).
Akan tetapi selama hidup mereka, baru sekali ini mereka tahu ada ilmu menotok
jalan darah yang pembebasannya diharuskan menempeleng kepala segala!
Makin
gentarlah mereka terhadap Sian Eng, dan cepat-cepat mereka menggunakan tangan
kiri untuk menotok lengan kanan, menghentikan jalan darah agar darah yang
mengalir ke luar dari pergelangan tangan yang buntung itu berhenti. Kemudian
sejenak mereka memandang kepada Sian Eng, dan pengemis tua bertahi lalat segera
menjura, diturut dua orang temannya dan bertanya,
“Kami
bertiga dari Khong-sim Kai-pang telah menerima petunjuk Kouwnio (Nona), semoga
lain kali kami akan dapat membalas kebaikan ini. Sudilah Kouwnio memberitahukan
nama yang mulia dan tempat tinggal.”
Sian Eng
tersenyum, senyum yang dingin dan mendirikan bulu roma. Suaranya halus merdu
akan tetapi juga mengandung hawa dingin yang menyeramkan ketika ia berkata,
“Aku Kam Sian Eng dan tinggal di hutan ini. Kalau belum puas, boleh suruh ketua
Khong-sim Kai-pang datang! Pergilah!”
Tiga orang
pengemis tua itu menjura, lalu menghampiri mayat Tang Sun, bermaksud akan
mengambilnya. Bi Li maju hendak mencegah, akan tetapi terdengar suara Sian Eng
menghardiknya.
“Enci Bi Li,
mundur kau!”
Bi Li
terkejut sekali dan segera meloncat mundur. Wajahnya pucat dan air matanya
bercucuran ketika ia melihat mayat suaminya dibawa pergi oleh tiga orang kakek
pengemis itu. Tiga orang ini memandang sebentar kepada Bi Li dengan pandang
mata kasihan, lalu menghela napas dan pergi dari tempat itu dengan langkah
lebar sambil membawa mayat Tang Sun.
Lima orang
pengemis tua baju bersih itu tadinya terkejut dan khawatir sekali mendengar
bahwa anggota Khong-sim Kai-pang yang terbunuh adalah suami wanita yang tak
tertutup mukanya. Akan tetapi, mereka menjadi lega hati melihat sikap Bi Li dan
mendengar bentakan wanita yang berkerudung dan mengaku bernama Kam Sian Eng
itu. Jelas bahwa biar pun wanita yang kedua itu mempunyai suami anggota
Khong-sim Kai-pang, namun si wanita aneh yang sakti itu sama sekali tidak
bersahabat dengan Khong-sim Kai-pang. Biar pun tubuh mereka masih kaku dan tak
mampu bergerak, namun pengemis yang tertua di antara mereka, yang hidungnya
bengkok seperti hidung kukuk beluk berkata merendah,
“Mohon maaf
sebanyaknya kepada Cianpwe yang mulia. Karena tidak tahu dan belum mengenal,
boanpwe berlima berani amat lancang memasuki wilayah Cianpwe. Hendaknya Cianpwe
memaklumi bahwa boanpwe berlima adalah pimpinan perkumpulan pengemis Hek-peng
Kai-pang (Perkumpulan Pengemis Garuda Hitam) yang masih berada di bawah
lindungan yang mulia Bu-tek Siu-lam! Maka boanpwe berlima mengharap sudilah
kiranya Cianpwe melihat muka Ciang-bujin (Pemimpin Besar) Bu-tek Siu-lam untuk
mengampuni dan membebaskan boanpwe berlima!”
Sian Eng
mengerutkan keningnya. Diam-diam ia merasa geli mendengar betapa lima orang
kakek itu menyebutnya cianpwe, sebutan bagi tokoh-tokoh tinggi dunia persilatan
dan menyebut diri boanpwe, sikap yang amat merendah sekali. Akan tetapi ia
heran mendengar nama Bu-tek Siu-lam (Laki-laki Tampan Tanpa Tanding). Siapakah
itu? Sudah terlalu lama ia mengasingkan diri sehingga tidak melihat perubahan
di dalam dunia kang-ouw, tidak mengenal tokoh-tokoh barunya.
“Siapakah
dia yang berjuluk Bu-tek Siu-lam itu?” tanyanya tanpa disengaja karena
pertanyaan dalam hati ini terlontar keluar melalui bibirnya.
Lima orang
pengemis tua baju bersih itu saling pandang dengan heran dan juga kecewa.
Benarkah ada orang di dunia kang-ouw ini yang belum mengenal nama Bu-tek
Siu-lam? Dan wanita aneh ini demikian sakti! Tapi mungkin belum memasuki dunia
kang-ouw. Karena ini si Hidung Bengkok segera berkata, sengaja
mengangkat-angkat nama besar Bu-tek Siu-lam untuk menimbulkan kesan mendalam.
“Beliau
adalah tokoh tertinggi di dunia kang-ouw yang datang dari dunia barat. Semua
perkumpulan pengemis baju bersih berada di bawah perlindungan beliau, dan
boanpwe yakin bahwa kelak beliaulah yang akan menjadi pemimpin besar semua
kai-pang! Juga dalam pemilihan tokoh-tokoh terbesar untuk memilih jagoan yang
Thian-he-te-it (di Seluruh Dunia Nomor Satu) yang akan diadakan di puncak
Cheng-liong-san pada malam tahun baru nanti, sudah dapat dipastikan bahwa
Ciang-bujin Bu-tek Siu-lam yang akan keluar sebagai juara, jagoan di antara
segala datuk! Tapi...eh, kecuali...kalau Cianpwe ikut pula dalam kejuaraan itu,
keadaan akan makin ramai.” Demikian tambah si Hidung Bengkok ketika melihat
wajah di balik kerudung itu kelihatan tak senang.
“Aku tidak
peduli segala macam Bu-tek Siu-lam! Kalian berlima sudah lancang berani menyerangku,
berani memandang sebelah mata. Karena itu kalian baru boleh pergi kalau kalian
suka mencongkel keluar sebuah biji mata kalian!”
Lima orang
pengemis itu terbelalak dan muka mereka pucat. Keringat dingin mengalir ke luar
membasahi jidat dan leher. Sebuah biji mata disuruh congkel ke luar? Siapa yang
sudi? Sebelah tangan sudah dibuntungkan, kini sebelah mata diminta lagi! Mana
ada aturan begini bocengli (kurang ajar)?
Wanita aneh
ini tidak takut kepada Bu-tek Siu-lam, berarti belum mengenal. Kalau belum
kenal, belum tentu wanita ini benar-benar sakti. Agaknya hanya memiliki Ilmu
Tiam-hiat-hoat yang aneh sehingga mereka tadi menjadi korban totokan sebelum
dapat bergerak banyak dan sebelum melihat sampai di mana tingkat ilmu
kepandaian wanita berkerudung itu. Karena tidak terdapat jalan lain untuk
menghindarkan diri dari ancaman congkel mata, si Hidung Bengkok lalu berkata,
nadanya sengaja dikeluarkan untuk mengejek.
“Sebagai
orang-orang kang-ouw kami tahu bahwa hukumnya adalah siapa kuat dia menang dan
siapa kalah harus tunduk. Sayang sekali bahwa kami belum merasa dikalahkan,
hanya dibuat tidak berdaya oleh serangan gelap. Sebagai tokoh-tokoh Hek-peng
Kai-pang, kami mengandalkan keselamatan nyawa kami di ujung pedang. Siapa tahu,
sebelum kami sempat mencabut pedang, kami mengalami penghinaan. Kalau sudah
tertotok seperti ini, bicara pun kami tak berhak. Seorang kanak-kanak yang
masih ingusan sekali pun dapat melakukan apa saja yang dikehendakinya terhadap
kami!”
Akal si
Hidung Bengkok ini berhasil baik sekali. Sian Eng menjadi merah mukanya dan
sekali tubuhnya bergerak, tampak bayangan putih berkelebat. Ujung lengan
bajunya menyambar dan lima orang kakek itu merasa betapa punggung belakang
pusar mereka tertotok yang membuat tubuh mereka pulih seperti biasa. Serentak
mereka berlima mencabut pedang dan membuat gerakan keliling, mengurung wanita
berkerudung itu.
Sian Eng
yang berdiri di tengah-tengah dalam keadaan terkurung hanya memandang tanpa
mengubah kedudukan badan dan tanpa menoleh. Hanya sepasang matanya di balik
kerudung hitam itu yang melirik ke kanan kiri, kemudian tampak giginya berkilat
putih ketika ia berkata, “Kalian telah bebas. Pedang telah dicabut. Tidak lekas
mencongkel mata kanan kalian, tunggu apa lagi?”
Ucapan yang
menyakitkan hati ini merupakan komando bagi lima orang kakek pengemis itu untuk
menerjang dengan hebat. Sian Eng dalam keadaan terkepung dan lima orang itu
melakukan serangan berbareng. Lima buah pedang dengan tusukan dan bacokan kilat
mengarah tubuhnya.
Tiba-tiba
terdengar suara tertawa terkekeh dan lima orang pengemis terkejut ketika
melihat bayangan putih melesat cepat dari tengah kepungan dan benar saja,
ketika mereka melihat, ujung pedang mereka hanya mengenai tempat kosong dan lima
buah pedang mereka hampir beradu sendiri dengan kawan. Cepat mereka menengok
dan kiranya Sian Eng telah berdiri sambil bertolak pinggang di sebelah kiri
sambil tersenyum mengejek.
Pengemis
hidung bengkok yang berdiri paling dekat cepat menerjangnya dengan pedang,
diikuti oleh teman-temannya yang kini tidak mengurung lagi. Inilah yang
dikehendaki Sian Eng, yaitu agar lima orang pengeroyoknya itu menyerangnya
dengan susul menyusul, tidak berbareng seperti tadi. Begitu pedang si Hidung
Bengkok menyambar, ia menggerakkan lengannya secara aneh. Pedang menusuk datang
dan terdengarlah jerit mengerikan disusul robohnya tubuh pengemis hidung
bengkok.
Sian Eng
tidak berhenti sampai di situ saja. Tubuhnya terus bergerak ke depan dan jerit
kesakitan susul menyusul sehingga akhirnya empat orang pengemis yang lain juga
roboh. Hanya beberapa puluh detik saja terjadinya. Lima orang pengemis itu
sendiri tidak tahu benar apa yang terjadi. Ketika mereka menyerang secara
mendadak pedang mereka membalik dan mencongkel mata mereka sendiri, mata kanan!
Kini Sian
Eng berdiri tegak, memandang lima orang pengemis itu yang merangkak bangun
sambil merintih-rintih. Tangan kanan mereka sebatas pergelangan telah buntung.
Tadi mereka menggunakan tangan kiri untuk bermain pedang. Siapa kira secara
aneh sekali wanita sakti itu telah membuat pedang mereka membalik dan
mencongkel ke luar biji mata kanan mereka dengan pedang mereka sendiri. Setelah
mereka mampu berdiri, lima orang pengemis tua yang terluka parah itu berdiri
memandang Sian Eng dengan mata sebelah mereka, memandang penuh kemarahan dan
kebencian.
“Pergilah
kalau tidak ingin mampus!” Sian Eng berkata dingin.
Lima orang
pengemis itu ingin sekali menerjang mengadu nyawa. Akan tetapi kini maklumlah
mereka bahwa terhadap wanita aneh ini mereka tidak berdaya sama sekali. Si
Hidung Bengkok sambil meringis menahan sakit berkata, “Akan kami laporkan bahwa
engkau menantang ciang-bujin kami Bu-tek Siu-lam!”
“Boleh!
Suruh dia datang ke sini, akan kubuntungi kedua tangannya dan kucongkel ke luar
kedua biji matanya!” bentak Sian Eng.
Lima orang
itu terkejut. Benar-benar wanita ini sudah gila, berani mengeluarkan kata-kata
seperti itu terhadap Bu-tek Siu-lam yang sakti seperti dewa. “Tunggulah dan
kalau memang berani, datanglah kelak di puncak Cheng-liong-san!”
Sian Eng
hanya tersenyum dan memandang lima orang itu yang pergi sambil meringis
kesakitan. Setelah keadaan menjadi sunyi, barulah Sian Eng menoleh kepada Bi Li
dan membentak, “Apakah engkau hendak pergi pula meninggalkan aku?” Di dalam
suaranya terkandung ancaman maut.
Bi Li
menggeleng kepala, menyusut air matanya. “Pergi ke mana? Suamiku telah mati...!
Tidak, aku tidak akan pergi dari sini, kecuali pergi ke akhirat. Tidak ada lagi
yang kuharapkan.”
Mendengar
jawaban ini, Sian Eng mengeluarkan suara tertawa terkekeh-kekeh mendirikan bulu
roma. Kwi Lan mengerutkan keningnya, akan tetapi ketika melirik kearah Bi Li,
ia melihat wanita itu memandang kepadanya dan tahulah ia bahwa Bi Li diam-diam
amat mengharapkan agar kelak dapat bertemu dengan puteranya yang bernama Hauw
Lam. Dan gadis ini, biar pun tidak mendengar kata-kata keluar dari mulut Bi Li,
dapat menduga, bahkan berjanji dalam hatinya bahwa kelak ia akan bantu mencari
putera yang hilang itu.
Semenjak
terjadi peristiwa itu, Kwi Lan belajar makin tekun dan giat karena ia maklum
bahwa ilmu kepandaian tinggi merupakan modal terutama baginya untuk kelak
mencari orang tuanya dan untuk membantu Bi Li mencari puteranya yang bernama
Tang Hauw Lam. Dan semenjak terjadinya peristiwa itulah nama Kam Sian Eng
dikenal di dunia kang-ouw sebagai seorang tokoh yang aneh dan luar biasa, serta
memiliki ilmu kesaktian yang dahsyat pula. Hal ini menyebabkan semua orang
menjauhkan diri dari hutan itu, yang dianggap sebagai hutan iblis dan tak
seorang pun berani memasukinya.
***************
Lima tahun
kemudian, seorang gadis berusia sembilan belas tahun berjalan seorang diri
dikaki gunung Lu-liang-san, di sebelah barat kota Tai-goan. Gadis remaja ini
cantik sekali dan amat manis. Bentuk mukanya lonjong, dagunya meruncing, dengan
kulit muka yang halus dan putih seperti susu, dihias warna merah jambu di kedua
pipinya, warna merah karena sehat. Mulutnya kecil dengan bibir selalu
tersenyum, bibir merah membasah dan segar.
Rambutnya
agak awut-awutan, tidak disisir rapi, namun menambah keluwesan dan keayuannya.
Tubuhnya sedang dan ramping, agak kurus akan tetapi dengan lekuk lengkung tubuh
yang menonjolkan kewanitaannya. Pakaiannya berwarna merah muda dengan ikat
pinggang merah tua. Sebatang pedang tergantung di pinggangnya dan gagang pedang
ini dihias sebuah mutiara yang besar, mutiara berwarna hitam berkilauan.
Gadis jelita
ini bukan lain adalah Kam Kwi Lan! Sudah setengah tahun ia merantau
meninggalkan hutan iblis. Setengah tahun yang lalu, bibinya, juga gurunya, Kam
Sian Eng telah pergi bersama Suma Kiat.
“Aku pergi
bersama Suheng-mu. Kau tidak boleh ikut, Kwi Lan. Akan tetapi terserah kalau
engkau mau pergi merantau. Engkau sudah cukup dewasa dan kuat untuk menjaga
diri,” demikian pesan Sian Eng secara singkat.
Ada pun Suma
Kiat tersenyum-senyum, agaknya hendak menggoda sumoi-nya itu yang tidak boleh
ikut pergi! Memang, biar pun usianya sudah dua puluh tahun, Suma Kiat yang kini
juga memiliki ilmu kepandaian tinggi itu kadang-kadang sikapnya seperti
kanak-kanak saja!
“Bibi, saya
hanya minta agar sebelum Bibi pergi, Bibi suka memberi sedikit keterangan
kepadaku.”
Sian Eng
tersenyum di balik kerudung hitamnya. “Keterangan tentang ayah bundamu, bukan?”
Kwi Lan
terkejut dan melirik ke arah Bi Li yang juga berdiri di situ dan yang menjadi
kaget pula.
“Hemm,
jangan kira bahwa aku tidak tahu akan persekutuan kalian beberapa tahun yang
lalu! Enci Bi Li, suamimu telah mati, anakmu hilang. Kalau dia memang anak
berbakti, tentu dia akan datang mencarimu kelak. Kwi Lan, kalau kau hendak
mencari ibumu, pergilah ke Khitan. Ibumu adalah adik angkatku, yaitu Ratu
Yalina di Khitan. Tentang Ayahmu... hi-hik, kau tanya saja kepada ibumu yang
manis itu!“
Demikianlah,
setelah Sian Eng bersama Suma Kiat pergi, Kwi Lan lalu pergi pula meninggalkan
hutan di mana ia hidup selama delapan belas tahun. Ia menasehati Bi Li agar
tinggal di dalam istana bawah tanah saja, menanti kembalinya mereka dari
perantauan. Ia berjanji akan mencari keterangan di dunia luar tentang Tang Hauw
Lam.
Dengan kawan
pedang pusaka pemberian bibinya, Kwi Lan melakukan perjalanan seorang diri.
Tujuan perjalanannya tentu saja ke Khitan di sebelah utara. Akan tetapi ia
tidak tergesa-gesa, melakukan perjalanan seenaknya. Hal ini bukan saja karena
ia memang hendak menikmati keadaan kota dan dusun yang dilaluinya, juga
terutama sekali karena hatinya merasa amat kecewa ketika mendengar keterangan
gurunya bahwa dia sebetulnya anak Ratu Khitan! Anak ratu! Akan tetapi ratunya
bangsa Khitan yang dianggap sebagai bangsa yang setengah liar di utara.
Dan kalau
dia benar anak ratu, mengapa sampai diberikan kepada gurunya? Kalau benar
ibunya Ratu Khitan itu adalah adik angkat gurunya, tentu dia telah diberikan
kepada bibi itu untuk dilatih ilmu silat. Alangkah tega hati ibu kandungnya
itu! Berarti tidak sayang kepadanya! Karena pikiran inilah maka Kwi Lan tidak
sangat bernafsu untuk bertemu dengan ibu kandungnya yang menjadi ratu di
Khitan.
Pada pagi
hari yang cerah itu Kwi Lan berjalan di kaki bukit Lu-liang-san, menikmati
keindahan alam yang mandi cahaya matahari pagi. Tiba-tiba pendengarannya yang
tajam dapat menangkap suara orang bertanding di sebelah depan. Hatinya tertarik
dan ia mempercepat langkahnya.
Ketika tiba
di sebuah belokan, ia melihat dua orang tengah bertanding hebat. Yang seorang
bersenjata pedang, yang kedua bersenjata tongkat butut. Di sekeliling tempat
pertandingan itu berdiri pula beberapa orang dengan tegak dan penuh perhatian
menonton jalannya pertandingan. Melihat betapa dua orang yang bertanding, juga
mereka yang berdiri menonton, semua berpakaian pengemis, teringatlah Kwi Lan
akan peristiwa di hutan iblis pada lima tahun yang lalu.
Yang
bersenjata tongkat butut adalah seorang kakek pengemis berpakaian butut dan di
situ masih ada tiga orang temannya yang kurus-kurus dan tua berdiri menonton.
Ada pun lawannya, yang berpedang, adalah seorang pengemis pakaian bersih,
sedangkan agaknya empat orang yang berdiri menonton di sebelah kiri adalah
teman-temannya, sungguh pun hanya dua di antara mereka yang berpakaian pengemis
baju bersih.
Pertandingan
itu cukup seru dan dari gerakan mereka tahulah Kwi Lan bahwa mereka yang
bertanding itu memiliki kepandaian cukup tinggi dan tentu bukan anggota biasa
dari perkumpulan mereka, melainkan tokoh-tokoh yang berkedudukan cukup tinggi.
Maka ia memandang penuh perhatian sambil mendekati dengan langkah perlahan.
“Ssssttt...!”
Kwi Lan
terkejut dan berdongak. Ternyata yang berdesis itu adalah seorang pemuda yang
duduk ongkang-ongkang di atas dahan pohon sambil menghadap ke arah
pertandingan. Pemuda itu kini menoleh kepadanya dan menaruh telunjuk ke depan
mulut. Melihat wajah pemuda itu yang berseri, tidak hanya mulutnya, bahkan
hidung dan matanya ikut tersenyum ramah, sekaligus timbul rasa suka dihati Kwi
Lan. Mata pemuda itu bersinar terang dan gembira, jelas tampak bahwa dia
seorang periang yang lucu dan juga nakal.
“Kalau mau
nonton, di sini paling enak, jelas aman dan tidak usah bayar!” bisik pemuda itu
dan terkejutlah Kwi Lan.
Pemuda itu
hanya berbisik-bisik, akan tetapi suaranya jelas sekali terdengar olehnya,
seperti didekat telinganya. Tahulah ia bahwa pemuda yang periang ini bukan
hanya seorang pemuda berandalan biasa, melainkan seorang pemuda yang memiliki
kepandaian tinggi dan sudah menguasai Ilmu Coan-im-pek-li (Mengirim Suara
Seratus Mil).
Kalau saja
pemuda itu tidak memiliki wajah tampan yang begitu jenaka seperti wajah seorang
anak kecil yang nakal, tentu Kwi Lan akan ragu-ragu bahkan marah. Namun jelas
baginya bahwa pemuda itu nakal dan polos, tidak bermaksud kurang ajar. Hal ini
dapat ia lihat dari sinar matanya. Selama setengah tahun merantau dan bertemu
banyak laki-laki, Kwi Lan sudah dapat membedakan pandang mata laki-laki yang
tertarik akan kecantikan wajah dan bentuk tubuhnya, pandang mata mengandung
birahi yang kurang ajar.
Sengaja Kwi
Lan mengerahkan ginkang-nya sehingga ketika ujung kedua kakinya menggenjot
tanah, tubuhnya melayang naik seperti seekor burung kenari terbang melayang dan
hinggap di atas cabang di dekat pemuda itu, duduk ongkang-ongkang seperti si
pemuda tanpa sedikit pun membuat cabang itu bergoyang. Akan tetapi Kwi Lan
kecelik kalau ia memancing kekaguman pemuda itu, karena si pemuda menoleh
kepadanya seperti tidak ada apa-apa saja, seakan-akan gerakannya yang indah dan
ringan itu tadi sudah sewajarnya!
Setelah
menoleh dan memandang wajah Kwi Lan sejenak, pemuda itu tersenyum lebar,
merogoh saku bajunya yang lebar, mengeluarkan bungkusan dan membuka bungkusan
itu, lalu menyodorkannya kepada Kwi Lan. Kiranya tanpa bicara pemuda itu telah
menawarkan kacang garing kepada Kwi Lan!
“Enak nonton
di sini sambil makan kacang,” katanya dengan mata bersinar-sinar. “Gerakan
mereka dapat nampak jelas. Hayo bertaruh, siapa yang akan menang antara
pengemis bertongkat kurus kering dan pengemis botak berpedang itu? Aku
berpegang kepada si Botak!”
Kwi Lan
makin suka kepada pemuda yang sebaya dengannya ini, atau mungkin lebih muda
melihat sikapnya yang kekanak-kanakan. Tanpa ragu-ragu lagi ia mengambil
segenggam kacang, membuka kulit dan memakannya sambil menonton ke arah
pertandingan.
“Aku
bertaruh pengemis baju butut yang menang,” Kwi Lan berkata setelah menonton
sebentar. Kacang garing itu enak sekali, selain gurih dan wangi tanda kacang
tua dan baik, juga agaknya diberi bumbu dan asinnya cukup.
“Belum
tentu!” kata si Pemuda gembira dan kedua kakinya yang ongkang-ongkang itu
digerak-gerakkan menendang. “Memang si Kurus Kering itu lebih lihai
ginkang-nya, lebih cekatan. Akan tetapi kulihat si Botak ini banyak tipu
muslihatnya. Di gagang pedangnya terdapat alat untuk melepas jarum beracun.”
“Ihhh...!
Memang pengemis baju bersih itu golongan hitam dan curang!” Kwi Lan berseru.
“Eh,
bagaimana engkau bisa tahu?”
“Tahu saja!
Kau kira engkau saja yang tahu kelicikan mereka?”
Mereka
saling pandang, cemberut karena dengan pertaruhan itu mereka seperti hendak
saling memihak. Akan tetapi pemuda itu tersenyum, menyodorkan lagi bungkusan
kacangnya. “Enak kacang ini, bukan? Tentu enak, kacang ini khusus dibuat untuk
istana kerajaan!” ia tertawa ha-ha-he-he, lalu melanjutkan, “Akan tetapi, Raja
dan para Pangeran belum tentu mempunyai mulut seperti mulutku, maka aku merasa
bahwa mulutku tidak terlalu rendah untuk mencicipi kacang untuk istana ini dan
kucuri sebagian. He-he-heh!”
Kwi Lan juga
tersenyum lebar dan mengambil lagi segenggam. Keduanya kini tidak berkata-kata
lagi karena ikut merasa tegang dengan pertandingan yang makin seru itu. Mereka
seperti lupa diri, makan kacang sambil menonton ke bawah, persis seperti lagak
para penonton permainan sepak bola yang ramai. Mereka seperti dua orang anak
nakal yang sudah sejak kecil menjadi kawan bermain.
Memang
pertandingan itu makin seru. Tepat seperti yang dikatakan pemuda itu, gerakan
pengemis baju butut yang memegang tongkat amat lincah, tubuhnya sering kali
mencelat ke atas dan menyambar-nyambar dengan tongkatnya. Pengemis botak yang
berbaju bersih, agaknya kewalahan dan terdesak sehingga ia hanya mampu mengelak
dan menangkis, sukar untuk dapat membalas. Namun harus diakui bahwa pertahanan
pedangnya cukup kuat sehingga semua terjangan si Pengemis kurus kering selalu
tidak mengenai sasaran. Tiba-tiba pengemis baju kotor itu mengeluarkan seruan
keras dan ilmu tongkatnya berubah, membentuk lingkaran-lingkaran yang makin
lama makin sempit sehingga mengurung tubuh lawannya.
“Hah, mampus
sekarang jagomu!” kata Kwi Lan.
“Heh, belum
tentu! Lihat saja...,” jawab si Pemuda.
“Lihat,
nah...kena!” Berbareng dengan ucapan Kwi Lan yang tentu saja dapat mengikuti
jalannya pertandingan dengan jelas dan bahkan dapat menduga pula perkembangan
setiap gerakan, benar saja tongkat pengemis pakaian kotor itu dapat menusuk
leher pengemis botak.
Akan tetapi,
ketika pengemis botak itu berusaha menangkis dengan sia-sia, tiba-tiba dari
gagang pedangnya meluncur sinar hitam dan kakek pengemis kurus kering itu pun
berseru kesakitan dan roboh bersama-sama lawannya. Kalau lawannya dapat ia
tusuk dengan tongkat tepat mengenai leher, adalah dia sendiri menjadi korban
tiga batang jarum beracun yang menyambar ke luar dari gagang pedang ketika
lawannya menekan alat rahasia di gagang pedang itu. Tiga batang jarum berbisa
memasuki perutnya!
Tiga orang
pengemis baju kotor yang bertubuh kurus-kurus itu menjadi marah sekali. Akan
tetapi pada saat itu, empat orang lawannya yang tadinya juga menonton, dengan
bersorak telah menyerbu dan menerjang mereka bertiga. Tiga orang pengemis ini
cepat menggerakkan tongkat melawan pengeroyokan empat orang lawan itu. Akan
tetapi ternyata kepandaian empat orang lawan, terutama yang berpakaian seperti
jago silat, bermuka penuh brewok dengan alis tebal, tubuhnya tinggi besar,
amatlah lihai.
Si Brewok
tinggi besar ini menggunakan sepasang pedang dan gerakannya laksana harimau
mengamuk. Tiga orang pengemis baju kotor itu amat kewalahan dan terdesak sambil
mundur. Namun mereka melawan terus dengan nekat sambil memaki-maki. Tidak lama
pertandingan itu karena tiba-tiba tiga orang pengemis kurus itu berteriak keras
dan terjungkal roboh. Kiranya diam-diam empat orang lawannya itu telah
mempergunakan senjata rahasia dan memukul roboh lawannya dengan senjata rahasia
ini. Dan agaknya senjata rahasia mereka itu semua memakai racun, buktinya
begitu roboh, seperti halnya pengemis pertama, tiga orang kakek baju kotor ini
pun tak bergerak lagi, mati seketika!
“Hah-ha-ha,
kau kalah bertaruh! Bukankah jembel-jembel busuk pesolek yang menang?” pemuda
di samping Kwi Lan bersorak.
Kwi Lan
cemberut, lalu berseru keras ke bawah, “Jembel-jembel pesolek dan kaki
tangannya memang curang! Anak buah Bu-tek Siu-lam mana ada yang tidak curang
dan pengecut?” Teringat peristiwa lima tahun yang lalu, sengaja Kwi Lan
menyebut nama itu.
Siapa kira,
mendengar disebutnya nama ini, si Pemuda di sampingnya terkejut dan berteriak
keras lalu terjungkal ke bawah pohon! Kwi Lan terkejut dan baru ia tahu bahwa
pada saat pemuda itu terjungkal, dari bawah menyambar beberapa macam senjata
rahasia itu. Cepat ia menggunakan ujung lengan bajunya mengebut dan...runtuhlah
semua senjata rahasia itu.
Dengan muka
merah Kwi Lan meloncat berdiri di atas cabang pohon. Ia melihat empat orang itu
terbelalak kaget, akan tetapi seorang di antara dua pengemis baju bersih, yang
bertubuh pendek dan bermuka bengis, telah mencabut pedang dengan tangan kanan,
sedangkan tangan kirinya kembali menyambitkan senjata rahasia gelang besi yang
melayang dan berputar-putar menyambar ke arah perut Kwi Lan.
Gadis ini
memuncak kemarahannya. Ia meloncat turun sambil menyampok senjata gelang besi
itu ke bawah, dan setengah disengaja ia menyampok gelang besi itu ke arah si
Pemuda yang sudah bangun.
“Aduhh!”
teriak si Pemuda sambil berloncatan bangun dan mengelus-elus kepalanya,
seakan-akan kepalanya terkena hantaman senjata rahasia itu. Akan tetapi
jidatnya yang lebar dan kelimis itu tidak terluka, lecet pun tidak.
Kwi Lan
tidak pedulikan pemuda itu, lalu melayang ke arah pengemis baju bersih yang
menyambut kedatangannya dengan sebuah tusukan pedang! Tampaknya serangan ini
tak mungkin dielakkan lagi oleh Kwi Lan yang tubuhnya sedang melayang di udara
dan memang gadis ini pun tidak berusaha untuk mengelak.
Tangan
kirinya dengan telapak tangan terbuka melakukan gerakan mendorong dan... pedang
itu terkena dorongan hawa pukulan lalu membalik. Kemudian secepat kilat Kwi Lan
menyentil dengan telunjuknya ke arah pergelangan tangan yang memegang pedang
dan... pedang itu mencelat sambil membalik sehingga menusuk pangkal lengan
pengemis pendek itu sendiri. Kulit dagingnya terbelah dan tampak tulang
lengannya! Sementara itu, entah bagaimana pedangnya telah berpindah ke tangan
Kwi Lan yang mempergunakan pedang rampasan untuk menodong!
“Ha-ha-ha-heh-heh!”
si Pemuda itu bersorak sambil mempermain-mainkan gelang besi yang tadi
menyambarnya dengan tangan kanan. “Jembel tua bangka pesolek sekarang kehilangan
aksinya. Makanya jangan sok aksi. Sudah tua bangka begitu, pura-pura jadi
pengemis tapi pakaiannya bersih dan baru, biar kelihatan aksi dan tampan. Wah,
ini namanya tua-tua keladi!”
Tentu saja
pengemis pendek yang dirobohkan Kwi Lan itu melotot ke arah si Pemuda dengan
kemarahan meluap-luap, akan tetapi juga terheran-heran mengapa senjata
rahasianya yang biasanya ampuh bahkan mengandung racun itu kini dipakai
main-main oleh si Pemuda ini. Pada saat itu, pengemis kedua yang tubuhnya kurus
kecil seperti kucing kelaparan itu menudingkan telunjuknya kepada Kwi Lan
sambil membentak, suaranya besar dan parau sungguh berlawanan dengan tubuhnya
yang serba kecil kurus.
“Eh, iblis
betina dari mana berani menentang Hek-coa Kai-pang dan mengeluarkan ucapan menghina
ciangbujin Bu-tek Siu-lam? Apakah sudah bosan hidup?”
Kwi Lan
membalikkan tubuhnya, membelakangi pengemis pendek yang terluka untuk
menghadapi lawan baru ini. Ia tersenyum manis ketika berkata, “Kalian ini
jembel-jembel busuk, biar pun tidak sama dengan Hek-peng Kai-pang, kiranya sama
busuknya, apa lagi sama-sama di bawah pimpinan Bu-tek Siu-lam yang biar pun
belum pernah kujumpai, tentu busuk pula!”
“Eh,
perempuan keparat! Selama hidup kami tidak pernah bertemu denganmu dan tidak
pernah bertentangan, mengapa hari ini kau datang-datang menghina dan memusuhi
kami? Apakah kau berpihak kepada jembel-jembel butut itu?” bentak pula pengemis
kurus kecil sambil menuding ke arah mayat empat orang pengemis baju butut.
Kumis kecil di kanan kiri hidung itu bergerak-gerak akan tetapi tidak sama
sehingga kelihatannya seperti sepasang sayap kupu-kupu yang hinggap di bawah
hidung, membuat Kwi Lan menjadi geli dan memperlebar senyumnya.
“Urusan
kalian dengan jembel-jembel berpakaian butut sama sekali tidak ada sangkut-pautnya
dengan aku. Akan tetapi kebetulan sekali aku adalah orang yang paling tidak
suka melihat perbuatan-perbuatan curang dan pengecut. Dalam pertandingan tadi
kalian merobohkan lawan mengandalkan senjata rahasia secara curang sekali.
Kemudian kalian juga menyerangku dengan senjata rahasia. Apakah kau masih mau
bilang di antara kita tidak ada pertentangan?” berkata demikian, Kwi Lan
melirik kepada dua orang lain yang tidak berpakaian pengemis, yaitu yang
bermuka brewok dan seorang temannya lagi. Jelas mereka itu tidak segolongan
dengan dua orang pengemis baju bersih ini dan mereka pun tidak mencampuri
perdebatan, hanya memandang dengan mata terbelalak heran dan kening berkerut.
“Bocah
sombong! Merampas pedang dan melukai saudaraku masih belum merupakan dosa
besar, akan tetapi menyebut dan menghina nama ciangbujin kami....”
Kwi Lan
memegang ujung pedang dengan tangan kirinya dan sekali tekuk, pedang rampasan
itu patah menjadi dua dan ia buang ke atas tanah. “Pedang sudah kupatahkan,
kalau aku bunuh saudaramu itu dan kumaki si Kepala Penjahat busuk Bu-tek
Siu-lam, kau mau apa?”
“Iblis
betina, rasakan tanganku!” Tiba-tiba pengemis kecil kurus itu sudah mencabut
pedang dan menggerakkan pedangnya membacok, gerakannya selain cepat juga kuat
sekali, jauh lebih kuat dari pada gerakan pengemis yang sudah terluka tadi.
Pada saat
yang sama, ketika Kwi Lan memutar tubuhnya untuk menghadapi serangan pengemis
kecil kurus, pengemis kedua yang sudah terluka lengannya itu menggerakkan
tangan kirinya menyambitkan sebuah gelang besi ke arah punggung gadis itu.
Apa yang
terjadi selanjutnya sedemikian cepatnya sehingga sukar diikuti pandangan mata,
akan tetapi tahu-tahu dua orang pengemis itu menjerit dan roboh dalam keadaan
tak bernyawa lagi dan hebatnya, tepat di dahi mereka tampak luka berlubang
ditembusi gelang besi beracun!
Kiranya
ketika tadi diserang pedang pengemis kurus, Kwi Lan juga tahu bahwa dari
belakang ia diserang dengan senjata rahasia, maka secepat kilat ia berkelebat
kedepan, menangkap tangan yang berpedang dari samping lalu membetot tubuh itu
dipakai menangkis gelang besi yang menyambar punggungnya sehingga senjata
rahasia itu tepat menyambar dahi pengemis kurus. Ada pun si Pengemis pendek
yang melepas senjata rahasia secara curang itu, sebelum sempat mengelak, telah
‘dimakan’ senjata rahasianya sendiri yang dilemparkan oleh pemuda teman Kwi Lan
dengan gerakan sembarangan namun yang membuat senjata itu menyambar cepat
sekali dan masuk ke dalam dahi pemiliknya.
Kini tinggal
dua orang yang bukan pengemis, teman-teman dari pengemis baju bersih, berdiri
memandang dengan mata terbelalak kaget. Mereka berdua mengerti bahwa dua orang
muda itu memiliki kepandaian yang amat tinggi. Orang pertama yang mukanya penuh
brewok segera melangkah maju dan menjura sambil mengangkat kedua tangan ke dada
dan berkata, “Kepandaian Ji-wi (Tuan Berdua) sungguh hebat dan membuat kami
merasa kagum sekali!”
Kwi Lan
hanya tersenyum mengejek, akan tetapi pemuda itu tertawa-tawa tanpa membalas
penghormatan orang. “Heh-heh, kulihat kalian berdua bukan pengemis. Tapi tadi
membantu dalam pertandingan antar pengemis! Apakah sekarang hendak menuntut
bela atas kematian dua orang sahabatmu ini?”
Si Brewok
menggeleng-geleng kepalanya. “Kami tidak tersangkut dalam urusan antara mereka
dan Ji-wi. Telah saya lihat betapa mereka itu mencari mati sendiri dengan
keberanian mereka melawan dan memandang rendah Ji-wi. Sungguh pun menghadapi
empat orang anggota Khong-sim Kai-pang pengemis baju butut tadi kami merupakan
sekutu mereka, namun urusan terhadap Ji-wi kami tidak ikut campur.”
“Menggerakkan
lidah memang amat mudah!” Kwi Lan berkata mengejek. “Kau bilang tidak ikut
campur, akan tetapi siapa tadi yang ikut menyerangku dengan senjata rahasia
ketika aku berada di atas pohon itu?”
Wajah si
Brewok menjadi merah. Memang tadi dia ikut menyerang Kwi Lan dengan senjata
rahasianya yang berbentuk peluru bintang. Ia menjura kepada gadisitu dan
berkata, “Harap Nona maafkan, tadi saya menyangka Nona adalah kawan pengemis
Khong-sim Kai-pang.”
“Tidak
peduli apa yang kau sangka. Hayo serang aku lagi dengan senjata rahasiamu!”
bentak Kwi Lan sambil tersenyum mengejek.
Berubah muka
si Brewok. “Saya... saya mana berani?”
“Berani atau
tidak masa bodoh, kau harus! Kalau membangkang, jangan bilang aku keterlaluan!”
Suara ini mengandung penuh ancaman sehingga muka yang penuh brewok itu menjadi
pucat. Ia berdiri saling pandang dengan kawannya.
Kawannya itu
agaknya lebih berani dari pada si Brewok. Matanya yang agak menjuling itu
dipelototkan ke arah Kwi Lan dan ia berseru, “Nona, engkau sungguh keterlaluan!
Kami adalah orang-orang Thian-liong-pang, bukan orang-orang sembarangan! Kalau
Suheng-ku ini berlaku mengalah kepadamu, adalah karena melihat engkau masih
muda, masih setengah kanak-kanak. Setelah Ouw-suheng mengalah, mengapa engkau
malah mendesaknya? Sekali dia turun tangan, engkau akan celaka, dan hal itu
akan sayang sekali melihat engkau begini muda dan cantik!”
“Sute,
diam...!” si Brewok menegur adik seperguruannya.
Kwi Lan
marah sekali, akan tetapi tak seorang pun tahu akan hal ini karena senyumnya
makin manis. “Ah, begitukah? Jadi kalian ini orang-orang Thian-liong-pang yang
lihai? Kebetulan sekali, lekas kalian berdua menyerangku dengan senjata-senjata
rahasia kalian!”
Si Brewok
ragu-ragu, akan tetapi si Mata Juling berkata, “Suheng, dia yang minta dihajar,
tunggu apa lagi?” Sambil berkata demikian si Juling mengeluarkan dua buah
senjata rahasianya, yaitu peluru bintang.
Senjata
rahasia ini terbuat dari pada baja, ujungnya runcing-runcing dan karena
bentuknya bulat seperti peluru, maka dapat disambitkan dengan keras. Melihat
ini, si Brewok yang didesak-desak juga mengeluarkan senjata rahasia yang sama,
akan tetapi hanya sebuah.
“Hayo lekas
serang, tunggu apa lagi?” Kwi Lan berseru, berdiri dengan sikap seenaknya,
bahkan sengaja ia miringkan tubuh dan menoleh membelakangi dua orang itu.
Selagi si
Brewok ragu-ragu dan adik seperguruannya yang marah itu menanti gerakan kakaknya,
terdengar pemuda itu tertawa bergelak. “Ha-ha-ha! Aku mendengar nama besar
Thian-liong-pang sebagai perkumpulan yang disegani dan ditakuti, yang mempunyai
cabang di seluruh negeri, yang dipimpin oleh orang-orang sakti. Akan tetapi
ternyata kini orang-orangnya hanya pengecut-pengecut yang suka menyerang
seorang gadis dengan curang....”
“Eh, manusia
berandalan! Diam kau! Ini bukan urusanmu!” Kwi Lan membentak dan melotot kepada
pemuda itu.
Si Pemuda
masih tertawa-tawa, akan tetapi tiba-tiba matanya terbelalak dan wajahnya
memperlihatkan sikap kaget ketika pemuda itu melihat betapa dua orang itu
menggunakan kesempatan selagi Kwi Lan menoleh dan bicara kepadanya untuk
menyerang dengan senjata rahasia mereka. Pemuda itu menjadi pucat karena maklum
betapa hebatnya serangan itu dan betapa ia sendiri yang berdiri jauh tidak
sempat mencegah serangan ini. Akan tetapi wajah yang kaget itu berubah girang
dan sinar matanya menyorotkan kekaguman ketika ia mendengar pekik kesakitan
kedua orang anggota Thian-liong-pang itu.
Si Mata
Juling roboh dan tewas seketika karena pelipis dan dadanya dihantam senjata
rahasianya sendiri, sedangkan si Brewok roboh kesakitan akan tetapi segera
melompat bangun kembali karena hanya pahanya yang terluka oleh senjata
rahasianya sendiri pula. Ia berdiri dengan mata terbelalak kagum dan heran.
Memang luar
biasa sekali caranya gadis itu menghadapi serangan senjata rahasia tadi. Biar
pun sedang menengok ke belakang, namun Kwi Lan tahu akan serangan senjata
rahasia. Bahkan tanpa menoleh lagi ia menggerakkan kedua tangannya, menyambar
senjata rahasia si Juling yang datang lebih dulu ke arah pelipis dan dada,
kemudian secepat kilat ia mengembalikan dua senjata itu ke arah pemiliknya,
tepat mengenai pelipis dan dada! Ada pun peluru bintang yang dilepas si Brewok
hanya mengarah pahanya, itu pun tidak tepat di tengah-tengah, maka Kwi Lan juga
membalikkan senjata rahasia itu tepat mengenai pinggir paha si Brewok yang
mendatangkan luka daging!
Sambil
meringis menahan sakit, si Brewok menjura kepada Kwi Lan. “Benar hebat dan
mengagumkan. Saya mengaku kalah dan kematian Sute-ku adalah karena tidak
hati-hatinya. Mohon tanya, siapakah nama Nona yang gagah?”
Kwi Lan
sudah menggerakkan bibir hendak mengaku, akan tetapi tiba-tiba pemuda itu
berkata, “Eh, apakah matamu sudah buta? Terang Nona ini menggunakan nama
Mutiara Hitam, engkau masih bertanya-tanya lagi?” Sambil berkata demikian,
pemuda itu sekali menggerakkan kaki tubuhnya sudah melayang dan hinggap di
dekat Kwi Lan seperti gerakan seekor burung ringannya.
Si Brewok
memandang kagum dan tersenyum mendengar kata-kata itu. Ia menduga bahwa gadis
ini memakai nama julukan Mutiara Hitam karena gagang pedangnya terhias sebutir
mutiara hitam yang besar. Ia lalu menjura kepada pemuda itu dan bertanya,
“Terima kasih atas penjelasan Tuan Muda. Bolehkah saya mengetahui nama Kongcu?”
“Namanya Si
Berandal, apa kalian belum tahu?” Suara ini keluar dari mulut Kwi Lan yang
hendak membalas pemuda itu.
Akan tetapi
si Berandal hanya tertawa, lalu berkata kepada anggota Thian-liong-pang itu.
“Kau ini manusia tidak tahu diri berani main-main di depan Mutiara Hitam dan
Berandal, sungguh sudah bosan hidup!”
“Mohon Ji-wi
(Tuan Berdua) sudi memaafkan. Karena tidak mengenal maka kami telah berlaku
kurang hormat. Harap Ji-wi suka memandang perkumpulan dan ketua kami memberi
maaf kepada saya.”
“Kalau kami
tidak memaafkan, apa kau kira akan masih tinggal hidup?” si Berandal
bersombong. “Hayo ceritakan siapa engkau dan apa urusan Thian-liong-pang dengan
pengemis-pengemis itu serta mengapa pula terjadi pertandingan dengan
pengemis-pengemis Khong-sim Kai-pang? Dan mengapa pula nama Bu-tek Siu-lan tadi
kudengar disebut Ciangbujin oleh pengemis pendek itu?”
“Saya
bernama Ouw Kiu. Seperti semua pimpinan dan petugas Thian-liong-pang saya taat
dan tunduk kepada perintah atasan. Saya dan Sute Ouw Lun itu mendapat tugas
untuk menyampaikan undangan kepada para pimpinan Hek-coa Kai-pang untuk
menghadiri pengangkatan ketua baru Thian-liong-pang pertengahan bulan depan.
Ketika hendak kembali ke Yen-an, di sini kami bertemu dengan tiga orang anggota
Hek-coa Kai-pang yang berhadapan dengan empat orang Khong-sim Kai-pang. Tentu
saja kami membantu Hek-coa Kai-pang dan salah mengira bahwa Ji-wi adalah
teman-teman anggota Khong-sim Kai-pang.”
“Dan tentang
Bu-tek Siu-lam?” pemuda itu mendesak.
Ouw Kiu
tidak menjawab, wajahnya pucat.
“Ah, urusan
begitu saja mengapa mesti banyak tanya lagi?” Kwi Lan mencela. “Si badut Bu-tek
Siu-lam itu sudah jelas menjadi cukong dunia pengemis golongan hitam! Ingin aku
bertemu dengan badut itu untuk memberi hajaran agar ia kapok dan tidak
membiarkan anak buahnya bermain curang!”
Ouw Kiu
makin pucat. “Saya... saya tidak mempunyai cukup harga untuk menyebut-nyebut
nama besar beliau, hanya saya mengerti bahwa beliau merupakan seorang tokoh
besar yang amat dihormati Thian-liong-pang. Suaranya agak gemetar dan matanya
lirak-lirik ke kanan kiri penuh kekhawatiran.
“Sudah,
pergilah dan bawa mayat temanmu. Mengingat Thian-liong-pang kami memaafkanmu
dan bulan depan kalau tiada halangan, kami akan datang menonton keramaian di
Yen-an.”
Ouw Kiu
menjura mengucapkan terima kasih, kemudian menyambar mayat sute-nya dan pergi
dari situ dengan langkah terpincang-pincang. Kwi Lan membalikkan tubuh terus
lari pergi pula dari tempat itu. Akan tetapi belum jauh ia pergi, ia mendengar
suara orang berlari di belakangnya. Ketika melirik dan melihat bahwa yang
mengikutinya adalah pemuda itu, Kwi Lan lalu mengerahkan ginkang-nya dan
berlari makin cepat.
Setelah lari
agak jauh, ia melirik kebelakang. Kiranya pemuda itu masih saja mengikuti di
belakangnya, hanya terpisah tiga meter! Kwi Lan penasaran dan mengerahkan
seluruh tenaganya, lari secepat terbang. Pemuda itu pun mengerahkan tenaganya.
Beberapa lama mereka berlari-larian cepat sampai puluhan li jauhnya. Akhirnya
terdengar pemuda itu berkata dengan napas memburu.
“Waduh...
berat nih! Eh, Mutiara Hitam, apakah engkau takut padaku maka melarikan diri?”
Kalau pemuda
itu mengeluarkan ucapan lain, agaknya Kwi Lan tidak akan mempedulikannya dan
akan berlari terus. Akan tetapi dikatakan takut merupakan pantangan besar
baginya, maka cepat ia mengerem larinya, berhenti dengan tiba-tiba sehingga
pemuda yang membalap di belakangnya itu hampir saja menubruknya kalau tidak
cepat-cepat membuang diri ke samping dan berjungkir balik dua kali. Gerakan
pemuda ini amat lucu, akan tetapi juga indah dan membuktikan kegesitannya yang
luar biasa.
“Takut?
Siapa bilang aku takut padamu?” Kwi Lan bertanya, memandang tajam dan
mengangkat muka membusungkan dada, sikapnya menantang.
“Tentu saja
aku yang bilang...!” Pemuda itu berhenti dan mengatur napasnya yang agak
terengah-engah. “Wah, bisa putus napasku kalau diajak balapan lari gila-gilaan
seperti tadi! Aku tidak bilang kau takut, aku tadi bertanya apakah engkau takut
kepadaku.”
“Aku tidak
takut! Apamu yang kutakuti?” Kwi Lan membentak.
“Kalau tidak
takut kenapa lari seperti dikejar setan? Aku... aku mau bicara denganmu, aku
ingin jalan bersama, kenapa kau melarikan diri?”
“Aku lari,
atau jalan, atau tidur, bukan urusanmu. Aku tidak ada urusan denganmu, aku
tidak ingin berjalan bersama, tidak ingin bicara denganmu.”
“Wah-wah-wah,
kenapa begini galak? Sungguh tidak berbudi....”
“Aku tidak
berhutang budi kepadamu! Kau mau apa?”
Pemuda itu
menyeringai dan senyumnya yang lebar itu lucu sekali, seperti senyum orang
mengunyah garam, sehingga diam-diam Kwi Lan menjadi geli.
“Kau memang
tidak berhutang budi kepadaku. Akan tetapi engkau hutang kacang! Hayo
menyangkallah kalau mampu! Bukankah kau berhutang kacang asin garing yang gurih
dan wangi, tidak satu, tidak pula dua atau tiga, melainkan tiga genggam yang
isinya banyak!”
“Hanya dua
genggam!” bentak Kwi Lan.
“Dua genggam
banyak juga namanya. Lebih dua puluh! Hayo kau bayar kembali hutangmu itu, baru
di antara kita tidak ada sangkut paut lagi!”
Kwi Lan
tertegun dan melengak. Ia menoleh kekanan kekiri, tak berdaya. Dari mana ia
bisa mendapatkan kacang asin di dalam hutan itu? Dan yang sudah masuk perutnya
pun tidak mungkin dikeluarkan lagi. Betapa pun juga, ia kalah benar. Memang tak
dapat ia menyangkal bahwa ia tadi telah makan dua genggam kacang asin pemuda
itu. Baru sekarang Kwi Lan merasa kalah debat.
Biasanya
menghadapi suheng-nya, Suma Kiat, ia selalu menang berdebat sampai suheng-nya
kewalahan. Akan tetapi sekarang ia benar-benar bingung, tak tahu harus melawan
secara bagaimana. Akhirnya Kwi Lan menggerakkan kepala keras-keras untuk
menyingkap gumpalan rambut yang jatuh ke mukanya, sebuah kebiasaan atau gerakan
yang biasa ia lakukan tanpa sadar apa bila ia merasa malu, bingung atau marah.
“Kau memang
manusia berandalan, ugal-ugalan, tidak tahu malu menyebut-nyebut urusan dua
genggam kacang asin yang tidak ada harganya! Cih!”
“Kau yang
sombong, galak, tidak menghargai orang. Diajak jalan bersama dan bicara saja
tidak sudi, seperti tidak ingat saja betapa tadi di atas pohon ikut duduk dan
makan kacang...,“ pemuda itu merengut.
“Sudahlah!
Betul aku telah berhutang dua genggam kacang padamu. Nah, sekarang apa yang
hendak kau bicarakan.”
Wajah pemuda
itu sekaligus berseri kembali seperti biasa, sepasang matanya bersinar-sinar
penuh keriangan. Memang wajah yang amat tampan dan melihat wajah ini, sukarlah
bagi Kwi Lan untuk mempertahankan kedongkolan hatinya. Wajah itu amat segar dan
riang, tidak hanya mata dan bibir yang selalu membayangkan senyum gembira,
bahkan alis yang tebal itu bergerak-gerak lucu, bulu mata ikut bergetar seperti
menari-nari. Wajah yang tampan, wajah yang lucu dan gembira! Seperti awan tipis
disapu angin, lenyaplah rasa panas di hati Kwi Lan dan gadis ini lalu duduk di
atas akar pohon yang menonjol, membereskan rambutnya dan mengusap peluh di
leher dengan ujung lengan baju.
“Gerah, ya?
Memang hawanya panas, apa lagi kalau dipakai lari-lari cepat, bisa mandi
keringat kita.” Tangannya merogoh dalam baju dan ketika ditarik ke luar,
ternyata ia telah memegang sebuah guci panjang berisi air jernih dan dingin.
Gerakannya cepat dan kelihatannya seperti seorang pelawak main sulap saja.
Dibukanya tutup guci dan dengan tersenyum ia berkata,
“Isinya air,
jernih dan bersih. Guci ini bukan sembarang guci, melainkan guci wasiat dan air
yang disimpan di sini, makin lama tidak makin kotor malah makin jernih, berbau
harum dan timbul rasa manis, juga menjadi dingin segar. Minumlah, Nona.” Ia
menyodorkan guci itu kepada Kwi Lan.
Air yang
tampak jernih berkilau, muka yang tampak riang dan menawarkan dengan penuh
kejujuran, hawa yang panas, semua ini membuat Kwi Lan bernafsu sekali untuk
meneguk air segar itu. Tanpa berkata apa-apa ia menerima guci, mendekatkan
bibir guci yang halus kepada bibirnya sendiri yang lebih halus lagi, akan
tetapi pada saat itu pandang mata mereka bentrok dan cepat-cepat Kwi Lan
menurunkan lagi guci air itu ke bawah, tidak jadi minum.
“Kenapa...?”
Kwi Lan
mengerling dengan pandang mata tajam. “Apakah air ini juga akan dianggap
hutang? Lebih baik mati kehausan dari pada minum air hutangan!” Ia menyerahkan
kembali guci itu kepada pemiliknya.
Pemuda itu
tertawa bergelak, memperlihatkan deretan gigi yang terpelihara rapi dan putih.
“Apakah benar-benar engkau begini pemarah dan galak? Ah, aku tidak percaya, kau
hanya pura-pura bersikap galak saja!”
“Siapa tidak
akan marah kalau kau begini ugal-ugalan? Dua genggam kacang asin saja
digugat-gugat, dijadikan alasan....”
Pemuda itu
tiba-tiba berdiri dan menjura sampai jidatnya hampir menyentuh tanah, seperti
seorang melakukan penghormatan kepada ratu. “Hamba mohon beribu ampun atas
segala kesalahan hamba terhadap tuan putri yang mulia....”
“Heiii!
Bagaimana engkau tahu bahwa...?” Kwi Lan tiba-tiba menghentikan kata-katanya.
Sikap pemuda
ugal-ugalan yang melawak itu sejenak mengingatkan ia akan ibu kandungnya yang
menjadi ratu di Khitan sehingga timbul dugaan dan kecurigaannya bahwa pemuda
aneh ini tahu bahwa dia anak ratu. Akan tetapi melihat wajah pemuda itu berbalik
menjadi kaget dan heran, ia menahan kata-katanya, kemudian melanjutkan,
“Sudahlah! Jangan kau main-main seperti badut. Sebetulnya engkau mau apakah?
Mengapa mengejarku dan hendak bicara apa dengan aku?”
Pemuda itu
menarik muka sungguh-sungguh, akan tetapi tetap saja mukanya yang
kekanak-kanakan itu berseri ketika ia menyodorkan guci airnya. “Harap nona suka
minum dulu air ini agar percaya bahwa Nona tidak lagi marah kepadaku.”
Kwi Lan
menerima guci itu dan meneguk isinya. Memang air yang amat dingin dan segar
sehingga hilanglah hausnya, terasa amat puas dan nikmat. “Enak benar air ini,”
katanya memuji sambil mengembalikan guci.
Pemuda itu
pun meneguk air, kemudian menutup guci dan menyimpannya kembali ke balik
bajunya.
“Nona, terus
terang saja, begitu bertemu denganmu aku sudah menjadi sangat tertarik dan
kagum. Gerakanmu jelas menunjukkan bahwa engkau memiliki ilmu kepandaian yang
amat tinggi, sikapmu terbuka dan tegas. Benar-benar hebat sekali. Setelah
bertemu dengan seorang seperti Nona, bagaimana aku dapat berpisah begitu saja
tanpa lebih dahulu bicara dan mengikat persahabatan? Apa lagi melihat sikap
Nona yang sama sekali tidak memandang mata kepada Thian-liong-pang dan terutama
sekali berani memaki seorang tokoh besar seperti Bu-tek Siu-lam, benar-benar
hebat sekali dan tentulah Nona seorang yang memiliki kedudukan sejajar dengan
tokoh-tokoh besar dunia kang-ouw pada waktu ini.”
“Ngawur dan
ngaco! Selama hidupku belum pernah aku bertemu dengan macamnya Bu-tek Siu-lam
dan aku merasa heran sekali mengapa Ouw Kiu si Brewok tadi kelihatan begitu
ketakutan ketika nama Bu-tek Siu-lam disebut-sebut.”
“Apa lagi
dia, aku sendiri pun hampir terjengkang karena kaget mendengar engkau berani
memaki-maki Bu-tek Siu-lam!”
“Huh, orang
macam apakah Bu-tek Siu-lam itu? Aku hanya pernah mendengar dari mulut
pengemis-pengemis Hek-peng Kai-pang bahwa dia yang melindungi semua pengemis
golongan hitam yang katanya datang dari dunia barat. Perlu apa takut terhadap
badut macam dia?”
“Aihh...aihh...,
agaknya Nona belum banyak tahu akan tokoh-tokoh dunia kang-ouw pada waktu ini!
Sehingga nama besar Bu-tek Siu-lam pun belum dikenalnya betul. Nona, agaknya
engkau merupakan seorang perantau yang baru, belum lama turun gunung...“
Kwi Lan merasa
betapa pipinya panas. Hatinya juga panas karena rahasianya diketahui. Dengan
lain kata-kata pemuda ini hendak mengejeknya, mengatakan bahwa ia masih hijau,
masih belum berpengalaman sehingga tidak mengenal tokoh-tokoh besar!
“Hemm, kalau
engkau..., sudah banyak pengalaman, ya? Sudah puluhan tahun merantau?” Kwi Lan
sengaja mengatakan puluhan tahun padahal usia pemuda itu paling banyak sama
dengan usianya sendiri, sembilan belas tahun!
Akan tetapi
pemuda itu tidak merasakan ejekan ini agaknya. Wajahnya serius ketika ia
menjawab, “Semenjak lahir aku sudah merantau, Nona.”
“Dan aku...,
sebelum lahir sudah merantau!” potong Kwi Lan, matanya menyinarkan kemarahan,
bibirnya tersenyum manis, senyum marah. Memang ciri khas gadis ini, makin marah
ia, makin manis senyumnya!
Pemuda ini
menatap wajahnya penuh selidik, tiba-tiba wajahnya yang serius itu kembali
berseri seperti biasa. “Aih, kiranya Nona juga suka berkelakar. Mana bisa
sebelum lahir sudah merantau!”
“Mengapa
tidak bisa kalau kau pun sudah merantau sejak lahir? Tentu kau akan mendongeng
bahwa begitu lahir engkau sudah pandai tertawa, pandai berlari cepat, dan
pandai... membual?”
“Ha-ha-ha-ha!
Lucu sekali!” Pemuda itu terpingkal-pingkal dan mau tak mau Kwi Lan tertawa
juga membayangkan betapa begitu lahir pemuda itu pandai membual.
“Aku tidak
membohong, Nona. Tentu saja bukan aku yang melakukan perantauan seorang diri,
melainkan ayahku. Aku dibawa merantau dan sejak itu tak pernah berhenti
merantau. Akan tetapi sudahlah, tidak ada yang menarik untuk diceritakan. Lebih
baik kuceritakan kepadamu tentang tokoh itu. Bu-tek Siu-lam adalah seorang
tokoh besar yang benar-benar sakti. Tidak ada tokoh kang-ouw yang tidak ngeri
mendengar nama ini sungguh pun baru beberapa tahun saja ia datang dari sebelah
barat Pegunungan Himalaya. Selain sakti, dia pun amat aneh sehingga tak seorang
pun dapat menduga apakah dia itu laki-laki tulen ataukah perempuan.”
“Hee...?
Mengapa begitu?” Kwi Lan mulai tertarik. Karena semenjak kecil ia terkurung di
istana bawah tanah kemudian di dalam hutan yang tak pernah ada yang berani
memasukinya, tentu saja pengetahuannya tentang dunia kang-ouw amat sempit. Apa
lagi tentang tokoh-tokoh yang demikian anehnya.
Ada pun
pemuda itu ketika melihat sikap Kwi Lan mulai tertarik, menjadi gembira untuk
bercerita. “Dia berperawakan laki-laki tinggi tegap dan gagah, wajahnya tampan
sekali, rambutnya terurai dan berombak indah. Akan tetapi lagak dan bicaranya
seperti seorang perempuan yang amat genit, dan senjatanya adalah sebuah gunting
besar yang amat mengerikan. Melihat gerak-gerik dan lagaknya, dia itu seratus
prosen wanita, akan tetapi melihat bentuk tubuh dan wajahnya, dia adalah
laki-laki. Hal ini saja sudah menyeramkan, apa lagi menyaksikan kekejamannya,
membikin bulu roma berdiri. Ia pernah membasmi pengemis golongan putih dalam
sebuah rapat besar sebanyak dua ratus orang lebih yang digunting-gunting dan
dipotong-potong tubuhnya! Sejak itu ia menjadi datuknya pengemis golongan
hitam. Banyak sudah tokoh golongan putih dan para pendekar hendak membasminya,
namun mereka itu malah menjadi korban. Karena kesaktiannya inilah maka tak
seorang pun berani lagi mengganggunya dan ia merupakan tokoh besar yang
dicalonkan menjadi pemimpin dunia hitam jika ada pemilihan lagi di samping
tokoh-tokoh yang lain.”
Kwi Lan
mengerutkan keningnya. Tak pernah disangkanya ada seorang yang sedemikian
hebatnya. Tadinya ia mengira bahwa di dunia ini hanya bibinya, Kam Sian Eng,
saja yang paling lihai. Siapa tahu pemuda ini sendiri sudah lihai sungguh pun
ia belum mencobanya, akan tetapi pemuda ini amat jerih ketika menceritakan
kesaktian Bu-tek Siu-lam!
“Hemm,
betapa pun juga, aku tidak takut kepadanya!” kata Kwi Lan. “Bagaimana dengan
Thian-liong-pang? Apakah ketuanya juga sehebat laki-laki genit itu?”
Pemuda itu tertawa.
“Ihh,
mengapa kau tertawa?”
“Mendengar
kau menyebut Bu-tek Siu-lam laki-laki genit!”
“Kau sendiri
yang bilang dia genit.”
“Mana bisa
laki-laki genit? Laki-laki tidak ada yang genit, yang genit hanyalah
perempuan.”
“Belum tentu
semua perempuan genit! Laki-laki yang genit banyak, di antaranya... engkau
inilah!”
“Wah, wah,
menyerang lagi. Kau benar-benar pemarah, Nona. Maafkanlah. Yang kumaksudkan
adalah bahwa Bu-tek Siu-lam itu bersikap genit seperti wanita, jadi dia itu
laki-laki bukan wanita bukan. Dia seorang banci.”
“Banci? Apa
banci...?”
“Banci itu
wadam!”
“Wadam? Apa
itu?”
“Wadam itu
wandu.”
“Wandu? Aku
tidak mengerti.”
Pemuda itu
menarik napas panjang, lalu menggeleng kepala. “Tidak banyak pengertianmu, Nona.
Banci, wadam, atau wandu itu adalah orang yang bukan laki-laki bukan pula
wanita, akan tetapi juga bisa laki-laki bisa disebut wanita.”
Pusing
kepala Kwi Lan mendengar ini. Keningnya berkerut, matanya bersinar marah.
“Berandal, kalau kau mempermainkan aku, hemm... aku takkan sudi mendengarmu
lag!”
“Eh, eh,
nanti dulu! Aku tidak main-main, Nona. Banci adalah seorang yang bertubuh
laki-laki akan tetapi berwatak perempuan, atau sebaliknya. Memang sukar untuk
menerangkan, karena aku sendiri tidak tahu persis mengapa bisa begitu, akan
tetapi memang kenyataannya demikian. Kau tadi bertanya tentang
Thian-liong-pang? Ketuanya juga seorang yang terkenal memiliki ilmu kepandaian
hebat, dan bukan itu saja yang membuat Thian-liong-pang disegani, melainkan
banyaknya anggota dan banyaknya para pimpinan yang tinggi-tinggi ilmunya.
Kabarnya tidak kurang dari dua belas orang murid kepala Thian-liong-pang amat
lihai dan jika tenaga mereka digabungkan menjadi satu, agaknya Bu-tek Siu-lam
sendiri tidak berani main-main dengan mereka. Pusatnya di Yen-an dan entah apa
yang dimaksudkan si Brewok tadi dengan upacara pengangkatan ketua baru. Mungkin
ketua lama mengundurkan diri, diganti muridnya yang paling besar. Peristiwa itu
tentu amat menarik dan dikunjungi semua tokoh dunia hitam, karena itu aku ingin
sekali mengunjungi ke Yen-an bersama... Nona, kalau Nona... berani!”
“Tentu saja
aku berani!” Kwi Lan meloncat sambil meraba gagang pedangnya.
“Jadi Nona
mau...?” Pemuda itu tersenyum lebar dan menjadi girang sekali.
Kwi Lan
sadar lalu duduk kembali, “Soal mau atau tidak, nanti, dulu! Akan tetapi
pokoknya aku berani! Sekarang ceritakan, selain laki-laki genit....” Ia
berhenti dan melotot, akan tetapi pemuda itu tidak tertawa sekarang, “selain
dia, siapa lagi tokoh besar di dunia ini sekarang?”
“Tokoh-tokoh
dunia hitam banyak sekali, akan tetapi mereka itu adalah tokoh-tokoh yang
dahulu berada di bawah Thian-te Liok-koai yang sekarang sudah lenyap dari
permukaan bumi. Ada pun tokoh-tokoh yang sekiranya dapat disejajarkan Bu-tek
Siu-lam, sedikit sekali. Aku hanya mendengar bahwa ada tokoh-tokoh iblis yang
berjuluk Thai-lek Kauw-ong, seorang hwesio tua yang kabarnya memiliki kesaktian
seperti iblis. Ada pula yang berjuluk Sin-cam Khoa-ong yang suka membunuh orang
tanpa sebab dan tanpa berkedip. Orang ke empat adalah Siauw-bin Lo-mo. Kabarnya
empat tokoh itulah yang kini merajai empat penjuru dunia hitam. Akan tetapi aku
sendiri belum pernah bertemu dengan seorang di antara mereka.”
“Hemm, kalau
mereka itu jahat, perlu apa memiliki kepandaian hebat? Apakah tidak ada yang
menentang dan mengalahkan mereka?”
“Aku tidak
tahu jelas, hanya kabarnya sudah terlalu banyak orang gagah dan pendekar yang
roboh di tangan mereka.”
“Orang
gagah? Pendekar? Orang macam apa mereka ini?”
Pemuda itu
membelalakkan matanya. Kalau tadi mendengar gadis ini tidak tahu apa-apa
tentang dunia hitam, ia menyangka gadis ini tentu murid tokoh sakti dunia putih
yang baru saja turun gunung. Akan tetapi mendengar pertanyaan ini ia
benar-benar heran sekali. Kalau tidak mengerti tentang dunia hitam dan dunia
putih, habis gadis ini termasuk golongon apa?
“Bagaimana
Nona tidak mengerti akan hal ini? Pendekar adalah orang-orang yang menentang
kejahatan, orang-orang dari dunia putih yang selalu berusaha menumpas dunia
hitam. Aku percaya bahwa guru Nona sendiri tentu seorang tokoh besar, seorang
locianpwe dari dunia putih yang amat mulia.”
Kwi Lan
menggeleng kepala. “Guruku bukan dari dunia putih, bukan pula dunia hitam.
Entah dunia apa aku tidak tahu! Coba katakan, siapa tokoh-tokoh paling hebat di
dunia putih?”
Pemuda itu
masih belum hilang keheranannya, akan tetapi ia menahan perasaan ini dan
menjawab, “Juga di antara pendekar-pendekar sakti banyak sekali yang merupakan
tokoh puncak, akan tetapi aku yang muda hanya pernah mendengar beberapa orang
saja. Pertama-tama adalah Suling Emas....”
“Suling
Emas? Aku tanya nama orangnya, bukan sulingnya. Dari emas, perak, atau kuningan
siapa peduli?”
“Suling Emas
adalah nama julukannya. Nama aslinya, seperti tokoh-tokoh besar kang-ouw
lainnya, siapa yang tahu?”
“Siapakah
Suling Emas itu? Orang macam apa dan bagaimana kelihaiannya?”
Pemuda itu
mengangkat jempol tangannya ke atas. “Aku sendiri belum mempunyai keberuntungan
berjumpa dengan Suling Emas, akan tetapi namanya sudah sering kali kudengar
dari para Locianpwe. Ilmu kepandaiannya setinggi langit, bahkan kabarnya
Thian-te Liok-koai, enam datuk persilatan, musnah oleh sepak terjang Suling
Emas. Sulingnya yang terbuat dari emas itu mengalahkan segala macam senjata yang
ada di dunia ini.”
“Dimana dia
tinggal?”
“Tak seorang
pun tahu. Seperti juga empat tokoh dunia hitam, banyak tokoh dunia putih
terdiri dari orang-orang aneh yang sukar diketahui tempatnya, akan tetapi yang
sewaktu-waktu dapat muncul di tempat-tempat yang sekali tidak terduga-duga. Aku
tidak akan merasa heran kalau saat ini di sekeliling kita terdapat tokoh dunia
hitam mau pun dunia putih. Sepak terjang mereka penuh rahasia.”
Mendengar
ini, tanpa disadarinya lagi Kwi Lan melirik ke kanan-kiri, akan tetapi keadaan
di sekeliling tempat itu sunyi. “Lalu siapa lagi selain Suling Emas?”
“Di antara
para pengemis golongan putih menyebut-nyebut nama Yu Kang Tianglo adalah
seorang tokoh pengemis yang amat lihai ilmu silatnya, senjatanya hanya sebatang
tongkat rotan kecil namun keampuhannya tidak kalah oleh pedang pusaka yang mana
pun juga. Tentu saja dua orang itu hanya dua di antara banyak lagi. Apa lagi
kalau kita ingat kepada partai-partai besar seperti Siauw-lim-pai, Bu-tong-pai,
Go-bi-pai, Kun-lun-pai yang tentu mempunyai banyak orang pandai. Belum lagi di
selatan kabarnya Agama Beng-kauw di Negara Nan-co dipimpin oleh orang-orang
yang amat sakti. Akan tetapi di antara segala orang sakti, baik di dunia putih
mau pun hitam, agaknya tidak akan dapat menyamai tingkat kakek yang mulia dan
terhormat Bu Kek Siansu....”
Berkata
sampai di sini, pemuda itu membungkukkan tubuhnya seakan-akan hendak memberi
hormat kepada nama yang disebutnya tadi.
“Bu Kek
Siansu? Siapa dia...?” Kwi Lan makin tertarik. Kalau di antara semua tokoh yang
hebat-hebat tadi tidak dapat menyamai tingkat kakek ini, tentu kakek ini
benar-benar seorang manusia yang amat luar biasa.
“Maaf, Nona.
Aku tidak berani sembarangan menyebut-nyebut namanya yang terhormat. Akan
tetapi aku mempunyai lagu yang menurut Suhu adalah ciptaan beliau. Kau suka
mendengar lagu tiupan suling?” Sambil berkata demikian, pemuda itu merogoh ke
belakang baju dan kembali seperti orang main sulap, ia telah mengeluarkan
sebatang suling bambu.
Diam-diam
Kwi Lan terheran dan menduga-duga, apa saja kiranya isi dalam baju pemuda
tukang sulap ini. Kemudian melihat suling itu, ia bertanya, “Jangan-jangan
engkau sendiri yang berjuluk Suling Emas!”
Pemuda itu
tertawa. “Ah, Nona jangan main-main. Apakah aku pantas menjadi seorang
laki-laki berusia lima puluh tahun lebih? Dan pula, sulingku ini bambu biasa,
bambu kuning, sama sekali bukan emas, biar pun sama kuningnya. Kau dengarlah
baik-baik, karena lagu ini bukan lagu sembarangan lagu melainkan lagu agung
ciptaan manusia dewa.”
Pemuda itu
lalu meniup sulingnya dan terdengar lengking suara suling yang halus merdu,
kemudian suara itu membentuk irama lagu yang amat aneh. Mula-mula amat sukar
ditangkap iramanya, sukar dirasakan kenikmatannya, akan tetapi makin lama suara
suling itu makin menggulung semua pikiran dan perasaan Kwi Lan sehingga gadis
ini duduk termenung seperti orang tak sadar, terbuai suara itu yang
mendatangkan rasa tenang dan damai dalam hatinya. Lenyaplah segala kehendak,
segala keinginan, segala perasaan, seperti keadaan orang tidur dalam sadar!
Setelah pemuda itu menghentikan tiupan sulingnya, gema suara tadi masih
berdengung dan mempesona jiwa Kwi Lan sehingga ia masih diam terlongong.
Akhirnya ia sadar dan menarik napas panjang, kemudian memandang dengan kagum
kepada pemuda itu.
“Aiih,
kiranya engkau amat pandai meniup suling. Hebat!”
Wajah pemuda
itu makin berseri gembira. Ia menjura dan berkata, “Bukan karena aku pandai
meniup suling Nona, melainkan karena lagu itu memang hebat, sekaligus menembus
jantung menguasai jiwa. Dibandingkan dengan Suling Emas, kepandaianku meniup
suling tidak ada seper-sepuluhnya dan lagi... kabarnya Suling Emas memang
menerima ilmu-ilmunya dari Bu Kek Siansu yang terhormat.”
Kwi Lan
makin kagum dan terheran-heran. Timbul keinginan hatinya untuk bertemu dengan
Suling Emas, walau pun hanya untuk mendengar tiupan sulingnya yang sepuluh kali
lebih hebat dari pada tiupan suling pemuda ini.
“Wah,
alangkah goblok!” Pemuda itu yang sudah menyimpan sulingnya kembali, meloncat
bangun sambil menampar kepalanya.
Kwi Lan ikut
terkejut dan ikut meloncat bangun. “Ada apa lagi?”
Pemuda itu
tertawa. “Alangkah goblok aku. Lihat, kita bicara sudah setengah hari, banyak
nama tokoh-tokoh dunia hitam dan putih sudah kuperkenalkan, malah aku sudah
meniup suling untukmu dan kau sudah menaruh kepercayaan penuh kepadaku. Akan
tetapi, kita masih belum saling mengenal nama! Padahal aku merasa seakan-akan
sudah mengenal Nona selama bertahun-tahun, seolah-olah kita sudah saling
bersahabat lama sekali. Bolehkah aku mengetahui nama besar Nona yang mulia?”
Kwi Lan
tersenyum. Terhadap seorang pemuda seperti ini, tak mungkin ia dapat
membencinya. Pemuda ini berandalan memang, aneh pula, akan tetapi tidak
terbayang watak kurang ajar baik dalam kata-kata mau pun dalam pandang mata
kepadanya. Ilmu silatnya agaknya tinggi, banyak pengetahuannya tentang dunia
kang-ouw, budinya baik dan masih ditambah pandai bersuling lagi!
“Mengapa
masih bertanya lagi? Bukankah namaku Mutiara Hitam dan engkau Setan
Berandalan?”
Pemuda itu
tertawa geli kemudian berkata sungguh-sungguh, “Biar pun kita bukan orang
lemah, namun kita belumlah seperti kakek-kakek dan nenek-nenek yang suka
memakai nama julukan dan menyembunyikan nama sendiri! Nona yang baik, sudilah
memperkenalkan nama besar dan she (nama keturunan) yang terhormat.”
“Kau sendiri
siapa? Kau yang ingin berkenalan, seharusnya kau yang lebih dulu memperkenalkan
nama.”
Pemuda itu
mengangguk-angguk. “Nona benar. Maafkan aku yang pelupa. Nah, namaku Hauw Lam,
she Tang. Tang Hauw Lam, nama yang bagus, sesuai dengan orangnya, bukan?”
Sambil berkata demikian, sengaja pemuda itu pasang aksi menggoyang-goyangkan
kedua pundak. Segala hal dilakukan sambil melucu.
Akan tetapi
kali ini Kwi Lan tidak merasa lucu, melainkan kaget bukan main. Kalau saja ia
tidak memiliki batin yang kuat, tentu ia akan kelihatan kaget sekali pada mukanya.
Namun muka yang cantik jelita itu tenang saja, hanya jantungnya yang
berdebar-debar keras. Jadi inikah putera Bi Li? Putera Tang Sun dan Phang Bi Li
yang disangka lenyap setelah gurunya, ketua kelenteng di Kim-liong-san
meninggal dunia? Inikah yang dicari-cari oleh Bi Li, bahkan yang telah ia
janjikan kepada Bibi Bi Li untuk bantu mencari?
Sungguh
tidak disangka-sangka! Akan tetapi, betapapun juga ia merasa girang bahwa
putera Bibi Bi Li yang amat sayang kepadanya itu ternyata adalah seorang yang berilmu
tinggi, yang berbudi baik seperti Ibunya, dan yang lucu seperti... entah siapa
yang menurunkan sifat lucu kepada pemuda ini. Akan tetapi, untuk sementara Kwi
Lan tidak akan membuka rahasia ini.
“Aku
sebatang kara,” Hauw Lam melanjutkan, “dan Guruku yang terakhir adalah seorang
kakek yang sakti dan aneh yang dahulu merupakan orang ke dua setelah Bu Kek
Siansu. Seorang kakek yang hidup di dalam kuburan, tidak pernah keluar dari
kuburan itu! Kakek itu sudah sangat tua, sukar ditaksir lagi berapa usianya,
akan tetapi sifatnya ugal-ugalan dan seenaknya sendiri....“
“Seperti
engkau!” Kwi Lan memotong.
Hauw Lam
tertawa dan mengangguk. “Ya, aku banyak meniru sifat-sifatnya itu, sifat yang
amat baik. Manusia hidup satu kali di dunia, kalau tidak bergembira mau apa
lagi? Keadaan baik diterima dengan gembira akan menjadi lebih menyenangkan,
sebaliknya keadaan buruk kalau diterima dengan gembira, akan terasa ringan! Aku
hanya menerima petunjuk beliau selama seratus hari, akan tetapi gemblengan
selama tiga bulan itu begitu jauh lebih berharga dari pada ajaran kuterima
belasan tahun dari guru-guru yang lain.”
“Siapa nama
gurumu yang aneh. itu?”
“Julukan
beliau adalah Bu-tek Lo-jin. Menurut beliau memang aku berjodoh menjadi
muridnya.” Hauw Lam kemudian menuturkan pengalamannya menjadi murid kakek sakti
itu yang didengarkan Kwi Lan penuh perhatian.
Ketika Hauw
Lam berusia lima tahun, setelah selama itu ia diajak merantau oleh Tang Sun,
ayahnya yang mencari ibunya, ia dititipkan oleh ayahnya kepada Gwat Kim Hosiang
ketua kelenteng di bukit Kim-liong-san. Karena ketika berpisah dari ayahnya ia
baru berusia lima tahun, maka wajah ayahnya pun tidak begitu teringat olehnya.
Apa lagi ibunya meninggalkannya ketika ia berusia tiga bulan! Sepuluh tahun
lamanya ia tinggal di kelenteng bukit Kim-liong-san, menjadi kacung kelenteng
membantu pekerjaan para hwesio. Karena bakatnya memang baik sekali, ketua
kelenteng itu, Gwat Kim Hosiang murid Go-bi-pai, telah menurunkan semua ilmunya
kepada Hauw Lam.
Ketika ia
berusia lima belas tahun dan telah mewarisi ilmu kepandaian suhunya, ketua
kelenteng itu meninggal dunia. Hauw Lam lalu meninggalkan kelenteng dan pergi
merantau. Anak muda ini suka akan ilmu silat, maka dengan bekal pelajaran dari
Gwat Kim Hosiang yang membuat ia mencapai dasar-dasar ilmu silat tinggi, ia
dapat memperdalam ilmunya, Hauw Lam pandai merendah sehingga pandai ia
mengambil hati beberapa tokoh kang-ouw yang berilmu tinggi sehingga banyak pula
ia menerima petunjuk.
Pada suatu
hari, perantauannya membawanya ke selatan. Ia telah berusia tujuh belas tahun
dan ketika ia melewati sebuah hutan, keadaan yang sunyi membuatnya menjadi
keisengan dan dikeluarkanlah sulingnya. Memang semenjak kecil ketika ia tinggal
di kelenteng Kim-liong-san, seorang hwesio yang pandai menyuling mengajarnya
menyuling dan Hauw Lam amat suka meniup suling. Kini ia berjalan perlahan
sambil meniup sulingnya. Tiba-tiba, ketika melewati segundukan tanah ia roboh
terguling!
Hauw Lam
kaget sekali, kedua kakinya adalah anggota badan yang terlatih. Diserang lawan
saja tidak mudah terguling bagaimana sekarang bisa terguling tanpa sebab? Ia
tadi merasa ada yang menarik kakinya dengan tenaga luar biasa. Sambil meloncat
bangun ia memutar tubuh mempersiapkan kedua tangan untuk menangkis atau memukul
dan memandang ke sekeliling. Akan tetapi tidak ada apa-apa di sekeliling tempat
itu. Ia memandang ke bawah. Tanah di bawah kakinya menonjol, merupakan gundukan
tanah seperti tempat kuburan orang.
Tiba-tiba
bulu tengkuknya meremang. Setankah yang menggodanya tadi? Setan dalam kuburan
yang marah karena kuburan itu tanpa sengaja terinjak olehnya? Hauw Lam boleh
jadi gagah perkasa dan tidak pernah merasa takut menghadapi lawan yang tangguh.
Akan tetapi sekali ini, biar pun belum gelap, baru menjelang senja, berada
seorang diri di hutan sunyi dan merasa diserang dari dalam kuburan, ia merasa
ngeri karena seram dan takut.
Tanpa
berpikir panjang lagi Hauw Lam menggerakkan kedua kaki hendak lari dari tempat
yang menyeramkan itu, akan tetapi baru selangkah ia lari, kembali tubuhnya
roboh terguling! Timbul kemarahan hatinya yang amat sangat, melebihi
ketakutannya. Belum pernah selamanya ia diperhina seperti ini. Kali ini ia
melompat bangun berdiri tegak dengan kedua kaki terpentang lebar, memasang
kuda-kuda, membusungkan dada melebarkan mata mengatasi rasa seram sambil
memaki-maki.
“Setan atau
iblis atau siluman dari mana berani mengganggu Siauw-ya (Tuan Muda) yang sedang
lewat? Kalau manusia, jawablah, kalau siluman muncullah dan mari kita bertanding
sepuluh ribu jurus melawan Tang Hauw Lam!”
Ia
petentang-petenteng, memaki-maki sambil menantang-nantang sampai beberapa lama.
Namun sunyi tiada jawaban, juga tiada suara mau pun sesuatu. Hanya angin yang
lewat menggerakkan daun-daun pohon, menimbulkan suara bisik-bisik seperti
banyak makhluk yang tak tampak sedang bersendau gurau. Rasa seram kembali
menyelubungi hati Hauw Lam, mengatasi kemarahannya dan semua bulu di tubuhnya
berdiri satu-satu. Tak salah lagi, tentu setan, pikirnya. Ketika ia roboh yang
kedua kalinya tadi terasa benar betapa ada hawa pukulan yang mengait kakinya.
Kini ia
memaki-maki lagi, akan tetapi diam-diam ia menggerakkan kedua kakinya. Ia ingin
mengikat perhatian ‘siluman’ yang mengganggunya dengan makiannya kemudian
menggunakan saat ‘siluman’ itu lengah, sekali meloncat jauh pergi dari situ.
Setelah siap, sambil memaki-maki, mendadak ia menggerakkan kakinya meloncat
jauh. Girang hatinya karena akalnya ini berhasil, buktinya ketika ia meloncat,
tidak ada yang menjegal kakinya lagi.
Akan tetapi,
selagi ia merasa girang dan tubuhnya masih melayang di atas, tiba-tiba tubuhnya
itu tanpa dapat ia kuasai lagi tertarik ke bawah dan terbanting di atas tanah!
Ketika ia mendapat kenyataan bahwa ia terbanting kembali di atas gundukan
tanah, ia makin kaget dan berseru, “Celaka... mati aku di tangan siluman...!”
“Heh-heh,
siapa bilang mati itu celaka? Hidup sekedar hidup itulah yang celaka, apa lagi
hidup menghamba nafsu, lebih-lebih celaka!”
Hauw Lam
terkejut sekali. Karena suara itu terdengar dari bawah, ia lalu memandang ke
bawah dan... hampir ia terjengkang roboh kembali ketika melihat sebuah kepala
di atas tanah! Kepala yang berdiri sebatas leher di atas tanah yang rambutnya
riap-riapan, mukanya penuh cambang bauk, matanya melotot. Dengan muka pucat
Hauw Lam memandang kepala itu, mengucek-ucek kedua matanya, memandang lagi dan
bergidik. Kedua kakinya terasa lemas dan lumpuh, seluruh tubuhnya menggigil.
Sambil
menahan kedua kakinya agar tidak roboh saking lemas, Hauw Lam menghadap ke arah
kepala di atas tanah lalu menjura dan berkata, suaranya gemetar, “Saya..., Tang
Hauw Lam... selamanya ingin menjadi orang baik-baik..., harap anda jangan
mengganggu saya....”
Kepala itu
bergerak, menengadah dan matanya yang melotot itu menatap tajam, kemudian
terdengar suara dari balik kumis tebal yang menyembunyikan mulut, “Tidak
mengganggu, hah? Kau menginjak-injak dan melangkahi kepalaku, masih bisa bilang
tidak mengganggu?”
Melihat
kepala itu bergerak-gerak dan mendengar mulut di balik kumis dapat bicara
seperti manusia, mulai berangsur hilanglah rasa ngeri dan takut dari hati Hauw
Lam. Ia memandang lebih teliti lagi. Kepala itu di atas tanah den lehernya
tersembul keluar dari tanah, agaknya tubuhnya terpendam. Kakek tua renta ini
tadi bicara tentang ‘kepalaku’, hal ini hanya berarti bahwa kakek itu masih
mempunyai bagian tubuh yang lain. Andai kata ia seorang siluman dan tubuhnya
hanya kepala itu saja, tentu tidak akan menyebut kepalaku.
Pula,
setelah kini ia memandang penuh perhatian, biar pun muka itu buruk penuh
cambang bauk dan tertutup rambut yang riap-riapan, namun jelas bahwa itu kepala
manusia, hanya entah bagaimana tubuh kakek itu terpendam ke dalam tanah kuburan
dan entah bagaimana pula kepala itu tiba-tiba muncul sedangkan tadinya tidak ada
apa-apa di situ. Ia lalu menjatuhkan diri berlutut di depan kepala itu dan
berkata.
“Locianpwe
(Orang Tua Gagah), mohon maaf sebanyaknya apa bila boanpwe (saya yang bodoh)
telah melakukan kesalahan terhadap Locianpwe karena sesungguhnya boanpwe tidak
tahu bahwa Locianpwe berada di sini dan tidak sengaja....”
“Wah-wah,
membekuk-bekuk lidah pun tidak ada gunanya! Masa begini caranya orang minta
maaf? Mulutnya bilang minta maaf akan tetapi berlutut di sebelah atas kepalaku?
Terlalu... terlalu...!” kepala itu mengomel panjang pendek.
Hauw Lam
membelalakkan matanya. Kakek ini terlalu aneh dan agaknya seorang yang suka
berkelakar. Ia sendiri adalah seorang pemuda yang jenaka dan selalu riang
gembira, maka biar pun ia merasa mendongkol atas sikap kakek yang tidak puas
dengan permintaan maafnya itu, ia memutar otak mencari akal.
“Baiklah,
Locianpwe. Saya akan mohon maaf dan memberi hormat sepatutnya.”
Setelah
berkata demikian Hauw Lam lalu mencabut goloknya dan dengan senjata ini ia
menggali tanah di depan kepala itu. Dengan pengerahan tenaga dalam, cepat ia
dapat menggali sampai dalam, dan ia lalu masuk ke dalam lubang itu sehingga
kini yang tampak di luar tanah hanyalah kepalanya saja yang ia angguk-anggukkan
sambil mengulangi permintaan maafnya.
Mulut kakek
itu tertawa bergelak. “Ha-ha-ha, bagus sekali. Kau cocok untuk menjadi muridku.
Kau banyak akal, tidak mudah putus asa dan menghadapi segala rintangan hidup
dengan wajah gembira. Hayo naik!” Begitu kakek ini mengeluarkan kata-kata tubuh
Hauw Lam mencelat ke atas.
Pemuda ini
kaget sekali dan mengerahkan tenaga untuk mengatur keseimbangan tubuh. Ketika
ia berhasil turun dengan berdiri di atas tanah, ternyata kakek itu sudah keluar
dari dalam tanah, kini duduk bersila di atas tanah. Sekilas pandang, ia kaget
dan heran. Kakek itu kepalanya besar dan seperti kepala orang dewasa, akan
tetapi tubuhnya kecil pendek seperti tubuh seorang anak berusia belasan tahun!
Maklum bahwa kakek yang tubuhnya aneh ini seorang sakti, ia lalu menjatuhkan
diri kembali, berlutut di depan kakek itu.
“Demikianlah,
Mutiara Hitam. Semenjak saat itu aku menjadi murid Bu-tek Lo-jin selama seratus
hari. Aku tidak menerima ilmu silat baru dari Guruku yang aneh itu, akan tetapi
semua ilmu silat yang pernah kupelajari ia lihat dan ia beri petunjuk. Semenjak
itu, baru terbuka mataku akan ilmu yang sebenarnya,” Hauw Lam mengakhiri
ceritanya.
Kwi Lan
mendengarkan dengan penuh perhatian. Ia tertarik sekali akan semua pengalaman
Hauw Lam dan diam-diam ia merasa girang bahwa putera bibinya ini benar-benar
seorang pemuda yang perkasa dan juga kalau ia tak salah duga, berbudi baik. Perasaan
hangat memenuhi dadanya ketika ia menatap wajah yang tampan dan jenaka itu. Ia
sudah merasa tertarik sekali, seakan-akan ia berhadapan dengan kakak kandungnya
sendiri.
Perasaan ini
mungkin timbul karena semenjak kecilnya ia sudah menganggap Bibi Bi Li seperti
ibu kandungnya. Betapa tidak? Bibi Bi Li yang memeliharanya semenjak ia belum
mengerti apa-apa, yang menghiburnya kalau ia menangis, yang memberinya makan
kalau ia lapar dan memberinya minum kalau ia haus. Dan pemuda ini adalah anak
kandung Bibi Bi Li! Apa bedanya dengan kakaknya sendiri?
“Wah, kau
melamunkan apa?”
Tiba-tiba
Kwi Lan terkejut oleh seruan ini, sampai ia tersentak kaget. Ia mendongkol juga
akan watak pemuda ini yang ugal-ugalan dan kadang-kadang kasar. “Kenapa kau
membentak-bentak orang?”
Hauw Lam
tertawa. “Siapa membentak-bentak? Aku hanya bertanya. Mengapa engkau melamun
sedangkan aku sudah menanti sejak tadi memasang telinga setajam-tajamnya!”
“Menanti
apa? Memasang telinga untuk apa?”
“Waduh,
bagaimana ini? Sejak tadi sampai letih mulutku bercerita tentang riwayatku,
tentang nama dan pengalamanku. Setelah aku selesai, kini kau bertanya aku
menanti apa dan memasang telinga untuk apa? Tentu saja untuk mendengarkan
ceritamu, tentang nama dan keadaanmu, tentang riwayat hidupmu!” jawab Hauw Lam,
penasaran.
Mendengar
ini, Kwi Lan menarik napas panjang. Ia tidak ingin menyebut-nyebut tentang Bibi
Kam Sian Eng, tidak mau pula bercerita tentang ibu kandungnya, Ratu Khitan yang
belum pernah dilihatnya itu. Ia mau bercerita tentang Bi Li, akan tetapi merasa
belum tiba saatnya. Maka ia lalu berkata, “Perlu apa banyak cerita? Engkau
sudah tahu namaku.”
“Siapa?”
“Mutiara
Hitam.”
“Wah, kenapa
kau suka sekali mempermainkan aku? Aku sudah menceritakan namaku sendiri, Tang
Hauw Lam...”
“Tapi aku
mengenalmu sebagal Berandal saja, cukup. Dan kau mengenalku sebagai Mutiara
Hitam. Apa artinya nama? Nama apa pun, juga apa bedanya? Yang penting mengenal
orangnya dan melihat wataknya. Nama hanya kosong belaka!”
Hauw Lam
menggaruk-garuk belakang telinganya dan mulutnya menggumam lirih, “Nama itu
kosong belaka...! Eh, Mutiara Hitam, semuda ini kau sudah sepandai itu
berfilsafat? Ataukah... kau pernah patah hati?”
“Patah hati?
Bagaimana hati bisa patah? Apakah hati itu seperti kayu kering... macam ini?”
Kwi Lan mematahkan sebatang ranting kayu. Melihat wajah gadis itu
bersungguh-sungguh, mau tidak mau Hauw Lam tertawa.
“Sudahlah,
tidak gampang mengajak kau bicara. Tidak mau menceritakan nama ya sudah,
sedikitnya kau tuturkan riwayatmu yang tentu menarik sekali.”
“Aku tidak
punya riwayat. Lebih baik kau lanjutkan ceritamu. Kau tadi bilang bahwa kau
sebatang kara. Mana ayah dan ibumu?”
Untuk sesaat
wajah yang jenaka dan lucu itu diselimuti awan kedukaan. Akan tetapi hanya
sebentar saja karena kembali wajah yang tampan itu menjadi cerah ketika
menjawab, “Ibuku telah meninggal dunia dan....”
“Siapa
bilang ibumu meninggal dunia?!”
“Lho! Kenapa
marah?” Hauw Lam bertanya karena mendengar suara pertanyaan yang membentak itu
dan melihat wajah yang masam.
“Siapa
bilang ibumu meninggal dunia?” Kwi Lan mengulang.
Pemuda itu
melongo. Dara yang cantik jelita seperti bidadari, yang gagah perkasa, akan
tetapi yang anehnya bukan main, memiliki watak yang sukar sekali dijajaki,
sukar diduga. “Yang bilang? Tentu saja ayahku. Ayahku yang bilang bahwa ibu
telah meninggal dunia.”
Sudah berada
di ujung lidah Kwi Lan untuk menyangkal, untuk menyatakan bahwa ayah pemuda itu
bohong, akan tetapi dapat ditahannya.
“Dan ayahmu
di mana dia?”
“Ayah? Ayah
tidak sayang kepadaku. Ketika aku berusia lima tahun, ayah meninggalkan aku di
kelenteng bukit Kim-liong-san dan semenjak itu aku tidak pernah bertemu lagi
dengan dia. Nah, sudah lengkap kini riwayatku, sekarang ganti engkau...”
Ucapan Hauw
Lam terhenti karena tiba-tiba terdengar derap suara kaki kuda, disusul suara
orang. Tak lama kemudian muncullah tujuh orang penunggang kuda. Pakaian, topi,
dan bahasa mereka membuktikan bahwa mereka adalah orang-orang asing. Kuda yang
mereka tunggangi adalah kuda besar dan baik. Akan tetapi tujuh ekor kuda
tunggang mereka itu seperti tidak ada artinya kalau dibandingkan dengan seekor
kuda yang dituntun oleh seorang di antara mereka. Kuda yang dituntun ini lebih
tinggi, tubuhnya ramping dilingkari otot-otot yang kuat. Keempat kakinya merit
kecil dan bulunya hitam mulus dan mengkilap. Sepasang matanya lebar dan
bercahaya.
“Kuda betina
yang hebat!” Hauw Lam terdengar memuji dengan suara lantang, matanya memandang
ke arah kuda hitam itu penuh kekaguman.
Akan tetapi
Kwi Lan yang tidak mengerti tentang kuda, tidak tahu apanya yang hebat pada
kuda hitam itu, maka ia tidak memperhatikannya. Sebaliknya, ia tertarik kepada
tujuh orang laki-laki yang menunggang kuda. Mereka itu rata-rata berusia
sekitar empat puluhan tahun, bertubuh tegap dan tinggi, membayangkan
ketangkasan dan kekuatan. Wajah mereka gagah dan agak hitam oleh sinar
matahari.
Sementara
itu, tujuh orang ini pun menahan kendali kuda ketika mereka melihat Hauw Lam
dan Kwi Lan. Akan tetapi pandang mata semua orang ini ditujukan kepada Kwi Lan.
Agaknya tidak ada perbedaan antara pandang mata mereka terhadap Kwi Lan dengan
pandang mata Hauw Lam terhadap kuda hitam. Penuh kekaguman!
Pandang mata
mereka yang penuh getaran nafsu itu agaknya terasa pula oleh Kwi Lan, membuat
dara ini menjadi jengah dan marah di dalam hati. Akan tetapi karena mereka itu
tidak mengeluarkan kata-kata, Kwi Lan menahan kemarahannya dan mencabuti
beberapa helai rumput hijau sambil menundukkan muka, kadang-kadang saja melirik
ke arah mereka. Ia masih tetap duduk di atas akar pohon.
Akan tetapi
Hauw Lam sudah meloncat berdiri. Pemuda ini banyak sudah merantau dan banyak
pula pengalamannya. Melihat sikap dan pandang mata tujuh orang itu kepada
temannya, ia merasa mendongkol pula. Akan tetapi wajahnya berseri dan ia
tersenyum lebar ketika berkata, “Salam, sobat-sobat yang bersua di jalan!”
“Salam!”
Tujuh orang itu menjawab, suara mereka rata-rata besar parau.
Senyum di
mulut Hauw Lam melebar dan ia melangkah mendekati kuda hitam. Setelah kini
dekat dan memandang penuh perhatian, ia menjadi makin kagum. Benar-benar seekor
kuda yang hebat, pikirnya. Ketika ia mencoba untuk menepuk-nepuk leher kuda
hitam itu, si Kuda hitam meringkik dan hampir saja tangan Hauw Lam digigitnya
kalau pemuda ini tidak cepat-cepat menarik kembali tangannya.
“Kuda
hebat...!” ia memuji pula. “Sobat, apakah kuda hitam ini hendak dijual? Kalau
hendak dijual, berapakah harganya?”
Orang yang
menuntun kuda membelalakkan matanya kepada Hauw Lam, kemudian ia tertawa
sehingga tampak betapa dua buah gigi atasnya ompong. Enam orang temannya hanya
berdiri memandang. Kemudian si Ompong berpaling dan menterjemahkan ucapan Hauw
Lam tadi dalam bahasa mereka. Seketika meledaklah ketawa enam orang itu sehingga
keadaan hutan yang tadinya sunyi kini menjadi riuh dengan suara ketawa mereka.
Lalu disusul mereka bertujuh saling bicara riuh rendah sambil tertawa-tawa.
“Orang muda,
tahukah engkau kuda apakah ini, dari mana dan hendak dibawa ke mana?” Akhirnya
si Ompong yang menjadi juru bicara berkata dengan suara pelo dan kaku. “Kuda
ini adalah kuda keturunan langsung dari Hek-liong-ma milik pribadi Ratu kami!”
“Siapakah
Ratu kalian yang mulia?” Hauw Lam bertanya, tertarik karena ia tidak mengerti
bahasa mereka.
“Ratu kami
adalah Sang Ratu di Khitan.”
“Ohhh...!”
Suara seruan kaget ini keluar dari mulut Kwi Lan. Akan tetapi ketika Hauw Lam
menengok, gadis ini sudah dapat menekan perasaannya kembali dan hanya memandang
penuh perhatian.
“Dan tahukah
engkau kuda ini hendak kami bawa ke mana? Akan kami antarkan ke Yen-an sebagai
barang sumbangan kepada ketua baru dari Thian-liong-pang!”
Diam-diam
Hauw Lam terkejut juga. Kiranya bukan kuda sembarangan dan ia maklum bahwa
tujuh orang ini sengaja menyebut nama Thian-liong-pang untuk membuat ia kaget
dan jeri. Akan tetapi ia berpura-pura tidak mengenal Thian-liong-pang, bahkan
ia lalu berkata, “Wah, barang sumbangan saja mengapa kuda yang begini bagus?
Yang kalian tunggangi itu semua juga sudah lebih dari cukup untuk sumbangan.
Yang hitam ini kalau boleh, harap jual kepadaku.”
Tiba-tiba
seorang di antara mereka berbicara dengan bahasa mereka, suaranya lantang dan
telunjuknya menuding-nuding ke arah Kwi Lan yang masih duduk di atas akar
pohon. Begitu selesai ia berbicara, tujuh orang itu tertawa bergelak-gelak.
Semua kuda mereka kaget dan meringkik-ringkik sambil berdiri di atas kedua kaki
belakang sehingga hampir saja dua orang di antara mereka terlempar ke bawah.
Hal ini membuat mereka tertawa makin riuh rendah.
“Orang muda,
mengertikah engkau apa yang dimaksudkan teman-temanku? Ha-ha-ha! Engkau sendiri
sudah memiliki seekor kuda betina yang demikian cantik jelita, mengapa masih
ingin membeli kuda hitam ini? Apakah artinya kuda hitam ini kalau dibandingkan
dengan kudamu yang putih kuning dan cantik molek itu? Ha-ha-ha!” Kembali tujuh
orang itu tertawa-tawa karena mereka tahu bahwa temannya si Ompong sudah
menterjemahkan ucapan mereka.
Tentu saja
Hauw Lam menjadi marah dan mendongkol sekali. Akan tetapi Kwi Lan lebih marah
lagi. Tadinya ia tidak mengerti apa artinya ucapan mereka, akan tetapi karena
mereka bertujuh semua memandang kepadanya dan menuding-nudingkan telunjuk ke
arahnya, tahulah ia bahwa dia sesungguhnya yang disebut kuda betina putih
kuning! Ia disamakan dengan kuda! Keparat! Bagaikan seekor harimau ia meloncat
bangun, kedua tangannya bergerak dan melesatlah sinar hijau dari kedua
tangannya menyambar ke arah muka tujuh orang itu.
Seketika
lenyap suara ketawa mereka, terganti suara jeritan dan mereka bertujuh terguling
roboh dari atas kuda! Namun dengan gerakan yang amat cekatan mereka bertujuh
sudah meloncat bangun lagi dan ramailah mereka berkata-kata dalam bahasa yang
tidak dimengerti Hauw Lam mau pun Kwi Lan. Kini Hauw Lam yang melongo dan
memandang mereka dengan muka terheran-heran.
Kiranya
sinar kehijauan yang melesat dari kedua tangan Mutiara Hitam tadi adalah
rumput-rumput yang tadi dicabutinya sambil duduk di atas akar pohon. Dalam
kemarahannya gadis itu telah menyerang tujuh orang Khitan dengan rumput-rumput
itu. Biar pun hanya rumput hijau, namun di tangan dara perkasa ini berubah
menjadi senjata rahasia yang amat ampuh dan menggiriskan hati.
Batang-batang
rumput itu meluncur melebihi anak panah cepatnya dan tak terhindarkan lagi oleh
tujuh orang Khitan itu. Tahu-tahu muka mereka telah terkena rumput yang
menempel pada kulit muka mereka, menimbulkan rasa perih dan pedas, sedangkan
tadi ketika rumput-rumput itu menyerang, mereka terdorong oleh angin pukulan
yang membuat mereka terjungkal dari atas kuda. Kini mereka berdiri dan berusaha
melepaskan rumput-rumput yang menempel muka mereka.
Aneh bin
ajaib! Sampai meringis-ringis mereka berusaha mengambil rumput yang menempel di
kulit muka. Sia-sia belaka! Rumput-rumput itu menempel seakan-akan diberi lem perekat
ajaib, seakan-akan telah tumbuh menjadi satu dengan kulit. Seorang di antara
mereka agak menggunakan kekerasan untuk mengupas rumput, akan tetapi kulit
pipinya ikut terkelupas, nyeri dan perih bukan main dan darah menetes-netes!
Mereka
terheran-heran dan juga kesakitan, terutama sekali rasa jeri membuat wajah
mereka pucat. Bagi Hauw Lam, penglihatan itu amatlah lucu. Melihat mereka
berusaha mengupas rumput dari muka meringis-ringis kesakitan, melihat betapa
rumput itu merupakan plester-plester hijau ‘menghias’ muka, apa lagi orang yang
tadi menghina Mutiara Hitam, rumput melintang di atas kulit hidungnya sehingga
wajahnya tampak lucu sekali, membuat Hauw Lam tak dapat menahan ketawanya.
“Hua-ha-ha-ha!
Lucu sekali...! Lucu sekali...! Muka kalian bertujuh ditambal-tambal seperti
badut dan delapan ekor kuda ini begini bagus. Tentu kalian hendak main komidi
kuda, ya? Bagus..., bagus...!” Hauw Lam bertepuk-tepuk tangan dan
berjingkrak-jingkrak, membuat tujuh orang itu mendongkol bukan main.
Akan tetapi
karena mereka dapat menduga bahwa dua orang muda-mudi itu tentu bukan orang
sembarangan, mereka tidak mau lagi meladeni dengan kata-kata. Serentak tangan
mereka bergerak dan tujuh orang itu sudah mencabut golok masing-masing lalu
mengurung dengan sikap mengancam.
“Aih...
aih... kalian masih belum kapok? Kalau tadi Nona muda kalian ini menghendaki
nyawa kalian, apakah kalian tidak menjadi bangkai?” Hauw Lam berseru sambil
melangkah maju, kemudian menoleh kepada Kwi Lan. “Biarlah aku yang kini
menikmati permainan dengan mereka!”
Kwi Lan diam
saja, sikapnya tidak acuh. Ia tidak memandang mata kepada tujuh orang itu, akan
tetapi mengingat bahwa mereka adalah orang-orang Khitan, rakyat dari ibu
kandungnya, ia tadi tidak mau membunuh mereka. Kini ia hendak menyaksikan sampai
di mana kepandaian Berandal, karena dari gerak-gerik tujuh orang itu ia dapat
menduga bahwa mereka memiliki ilmu silat yang tinggi juga.
“Mengalahkan
mereka tanpa membunuh barulah hebat,” Kwi Lan sengaja berkata, nada suaranya
mengejek, padahal di dalam hati ia merasa khawatir kalau-kalau pemuda
berandalan itu membunuh rakyat ibu kandungnya.
“Oho, mudah
saja, kau lihatlah!” Hauw Lam berkata sambil tertawa, kemudian membusungkan
perutnya ke depan, menantang.
“Hayo kalian
maju, tunggu apa lagi? Bukankah golok kalian sudah terhunus? Di sini tidak ada
babi untuk ditusuk perutnya, tidak ada kambing untuk disembelih lehernya. Nih
perutku, boleh kalian tusuk, atau leher nih, boleh pilih!” Ia menantang dengan
cara mengejek sekali, meramkan kedua mata, mengulur leher membusungkan perut
dan menaruh kedua tangan di punggung!
Diam-diam
Kwi Lan geli menyaksikan sikap ini, juga merasa betapa sikap ini keterlaluan
dan berbahaya. Coba dia yang ditantang secara itu, tentu sekali bergerak akan
dapat merobohkan pemuda ugal-ugalan itu.
Agaknya
tujuh orang yang sudah amat marah itu pun berpikir demikian. Mereka tadi sudah
marah dan penasaran sekali, merasa mengalami penghinaan yang luar biasa, maka
kini menyaksikan sikap dan tantangan Hauw Lam, mereka sampai tak dapat mengeluarkan
kata-kata saking marahnya. Tujuh orang Ini bukan orang sembarangan, merupakan
jagoan-jagoan yang berkepandaian tinggi, bagaimana sekarang menghadapi dua
orang bocah saja mereka tidak berdaya dan sampai mengalami hinaan? Kini melihat
sikap Hauw Lam, mereka serentak menerjang untuk membalas penghinaan yang mereka
alami.
“Cring-cring-trangg-traaanggg...!”
Tujuh batang golok yang menerjang dalam detik bersamaan dengan sebuah saja
sasaran, tentu saja tak dapat terhindar lagi saling beradu ketika sasarannya
tiba-tiba lenyap dari tempatnya.
Cepat mereka
meloncat dan membalikkan tubuh. Kiranya pemuda ugal-ugalan itu sudah berada di
belakang mereka dan kembali pemuda itu mengulur leher membusungkan perut, akan
tetapi sekarang tangannya memegang sebatang golok pula, golok yang pendek dan
lebar seperti golok tukang babi! Akan tetapi melihat sinar putih bersinar dari
mata golok, dapat diduga bahwa golok yang buruk bentuknya itu ternyata terbuat
dari pada logam yang ampuh dan terpilih.
“Hayo tusuk
lagi, bacok lagi, kenapa ragu-ragu? Perut dan leherku sudah gatal-gatal nih!”
Hauw Lam mengejek, menggoyang-goyangkan perutnya yang sengaja ia busungkan ke
depan.
Kemarahan
tujuh orang Khitan itu memuncak. Sambil memaki-maki dalam bahasa sendiri
kembali mereka menerjang maju, melakukan serangan dahsyat penuh kemarahan. Kali
ini tampak sinar putih yang amat lebar menyilaukan mata bergulung-gulung
menyambut mereka.
Terdengar
suara nyaring beradunya senjata diikuti tujuh batang golok terlempar dalam
keadaan patah menjadi dua, disusul pekik tujuh orang itu dan memberebetnya kain
robek. Dalam sekejap mata saja tujuh orang itu tidak hanya kehilangan golok,
akan tetapi juga baju mereka robek dari leher sampai ke perut! Wajah mereka
kini menjadi pucat sekali karena mereka maklum bahwa kalau pemuda itu
menghendaki, dalam segebrakan saja tadi tentu mereka akan terobek perut mereka!
Si Gigi
Ompong lalu menjura dan berkata, “Kami telah kesalahan terhadap Taihiap, mohon
maaf, mengingat bahwa kami jauh dari utara hendak mengunjungi
Thian-liong-pang.”
Hauw Lam
tertawa akan tetapi sebelum ia menjawab, Kwi Lan melompat maju dan menghardik,
“Masih banyak cakap lagi? Kalian ini orang-orang Khitan yang tidak baik! Lekas
pergi dan tinggalkan kuda hitam!”
Si Gigi
Ompong kaget bukan main dan dengan suara gemetar ia menterjemahkan ucapan ini.
Kawan-kawannya juga nampak kaget dan memprotes. Si Gigi Ompong kini menghadapi
Kwi Lan dan berkata, “Tidak mungkin, Nona! Kuda hitam ini adalah persembahan
dari kami untuk dihadiahkan kepada ketua Thian-liong-pang sebagai tanda
persahabatan. Bagaimana kami berani meninggalkannya di sini? Hal ini berarti
akan hilangnya nyawa kami sebagai penggantinya!”
“Huh! Siapa
peduli nyawa anjing kalian? Katakan saja kepada Ratumu bahwa yang mengambil
kuda hitam adalah Mutiara Hitam. Habis perkara!”
Kini Hauw
Lam mendengarkan dengan mulut ternganga. Dara itu terlalu lancang, terlalu
berani. Tadi berani menghina dan memandang rendah Bu-tek Siu-lam, kini malah
berani menantang Ratu Khitan yang selain terkenal sebagai ratu, juga terkenal
memiliki ilmu kesaktian hebat dan mempunyai banyak anak buah yang berilmu
tinggi!
Apakah yang
diandalkan dara ini maka bersikap sedemikian angkuh dan berani menghina
orang-orang golongan atas? Kepandaiannya memang hebat dan melihat cara melempar
rumput yang sampai kini menempel di muka ketujuh orang Khitan itu, terbukti
akan kelihaiannya. Akan tetapi belum tampak ilmu silatnya dan ia merasa
ragu-ragu apakah dara semuda ini akan mampu menandingi tokoh-tokoh besar itu?
Akan tetapi
mendengar ucapan gadis yang memandang rendah Ratu Khitan, tujuh orang itu tidak
menjadi marah setelah si Ompbng menterjemahkannya, bahkan nampak heran dan
girang. Si Ompong lalu berkata sambil menjura, “Aha, kiranya masih sepaham!
Nona yang gagah perkasa, ketahuilah bahwa kami adalah anak buah Pak-sin-ong...”
“Tidak
peduli siapa itu Pak-sin-ong!” bentak Kwi Lan tidak sabar lagi.
Akan tetapi
Hauw Lam sudah menjadi kaget sekali dan bertanya, “Apa? Kalian ini anak buah
Jin-cam Khoa-ong (Raja Algojo Manusia) yang juga disebut Pak-sin-ong (Raja
Sakti dari Utara)?”
Si Ompong
berseri wajahnya, akan tetapi jadi menyeringai buruk karena wajahnya masih
pucat dan masih tertempel rumput. “Betul..., betul...! Nona, agaknya Nona belum
mengenal nama besar Tai-ong kami yang juga memusuhi Ratu Khitan dan....”
“Bedebah...!”
Bentakan ini keluar dari mulut Kwi Lan, disusul berkelebatnya sinar kehijauan
dan terciumlah bau yang harum. Akan tetapi tujuh orang Khitan itu menjerit,
darah muncrat dan di lain saat Kwi Lan sudah berdiri tegak kembali, sikapnya
kereng dan mulutnya membentak, “Lekas pergi dari sini!”
Hauw Lam
melongo. Sebagai seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, tentu saja ia
dapat melihat gerakan gadis itu yang luar biasa cepatnya. Ia melihat betapa
gadis itu mencabut sebatang pedang yang sinarnya kehijauan dan mengeluarkan
ganda harum semerbak, melihat pula betapa dengan gerakan yang amat aneh,
dahsyat dan secepat kilat pedang di tangan gadis berkelebat dan dengan persis
membabat putus telinga kanan ketujuh orang Khitan itu sebelum mereka mampu
mengelak atau melawan! Melihat pula betapa dengan gerakan yang masih sama
cepatnya gadis itu telah menyimpan kembali pedangnya sebelum darah yang muncrat
dari pinggir kepala tujuh orang itu menyentuh tanah. Sebuah gerakan yang luar
biasa sekali, yang aneh, dahsyat akan tetapi juga ganas dan kejam!
Tujuh orang
Khitan yang tadinya kegirangan karena mengira bahwa mereka itu sefihak dengan
nona ini dalam hal memusuhi Ratu Khitan, tentu saja menjadi kaget dan
kesakitan. Sambil menutupi telinga kanan yang sudah tak berdaun lagi, mereka
memandang dengan wajah pucat dan mata terbelalak, sejenak lupa akan rasa perih
dan nyeri pada telinganya.
“Kami telah
menerima pengajaran,” kata si Ompong sambil meringis. “Harap Nona suka
memberitahukan nama agar tidak mudah kami melupakannya...“
“Eh-eh,
masih banyak tingkah lagi?” Hauw Lam yang khawatir kalau-kalau nona itu makin
marah dan membunuh mereka, memotong. “Dia ini bernama Mutiara Hitam, apakah
kalian buta? Dan aku adalah Berandal. Hayo pergi dan jangan membuka mulut busuk
lagi!”
Tujuh orang
Khitan itu melompat ke atas kuda. Sekali lagi mereka menoleh dengan pandang
mata penuh kebencian dan sakit hati, kemudian membalapkan kuda mereka pergi
dari tempat itu. Kuda hitam ditinggalkan begitu saja dan kuda ini kelihatan
tenang makan rumput, kendalinya terlepas dan terseret di atas tanah.
Hauw Lam
cepat mengambil kendali itu dan kini kuda itu diam saja ketika ditepuk-tepuk
lehernya. Agaknya kuda itu tahu bahwa siapa yang memegang kendali adalah
majikannya. “Kuda bagus, kuda hebat...!” Hauw Lam menepuk-nepuknya dan
membawanya dekat kepada Kwi Lan.
“Pilihanmu
tepat, Mutiara Hitam. Julukanmu Hitam maka tepatlah kalau kau menunggang kuda
hitam ini.”
“Siapa yang
menginginkan kuda? Aku hanya minta kuda ini agar ada alasan mengunjungi
Thian-liong-pang.”
“Apa?
Bagaimana maksudmu?”
Kwi Lan
tersenyum mengejek. “Bodoh! Kalau kita datang ke sana dan membawa kuda ini
sebagai barang sumbangan, bukankah namanya sekali tepuk mendapatkan dua ekor
lalat? Maksud si Raja Algojo yang kau sebut-sebut itu mempersembahkan kuda
kepada Thian-liong-pang tak berhasil, berarti dia sudah kalah satu nol melawan
kita. Kedua, dengan hadiah ini, masa kita tidak akan diterima sebagai tamu
agung oleh Thian-liong-pang?”
Hauw Lam
membelalakkan matanya kemudian berjingkrak dan bertepuk tangan, “Wah, bagus!
Kau ternyata pintar sekali. Tapi sesungguhnya sayang kalau kuda sebaik ini
dilepaskan kembali kepada orang lain.”
“Hal ini
dapat diputuskan nanti. Kalau kulihat Thian-liong-pang tidak berharga memiliki
kuda ini, bisa saja kita ambil kembali.”
Diam-diam
Hauw Lam merasa khawatir. Gadis ini memang harus diakui memiliki ilmu
kepandaian hebat. Akan tetapi terlalu ceroboh, terlalu sembrono dan terlalu
memandang rendah orang lain.
“Ahh,
Mutiara Hitam. Engkau benar-benar belum banyak mengenal orang! Engkau tidak
tahu siapa dia Jin-cam Khoa-ong.”
“Siapa sih
Algojo itu?”
“Aku sendiri
belum pernah bertemu dengan tokoh menyeramkan itu, akan tetapi sepanjang
pendengaranku, dia tidak kalah terkenalnya dari pada, Bu-tek Siu-lam sendiri!
Kabarnya dia datang dari daerah Mongol, paling suka membunuh orang. Semua orang
yang pernah bentrok dengan dia tidak akan dapat keluar hidup-hidup. Betapa pun gagahnya,
semua orang itu tewas di bawah senjatanya yang mengerikan, yaitu berbentuk
gergaji berkait. Dia mengangkat diri dengan sebutan Pak-sin-ong untuk
memperkenalkan asalnya dari utara, akan tetapi karena kekejamannya yang
melewati batas, di dunia kangouw dia dijuluki orang Jin-cam Khoa-ong si Raja
Algojo Manusia!”
“Huh, makin
besar julukannya, makin kosong melompong! Aku tidak takut!”
“Dan
Thian-liong-pang sungguh tidak boleh dibuat permainan! Bahkan kini merupakan
perkumpulan yang paling besar, paling berpengaruh dan paling banyak anggotanya
untuk golongan hitam. Karena itulah, para tokoh golongan hitam yang tidak
mempunyai perkumpulan besar masih memandang kepada Thian-liongpang...“
"Sudahlah!
Kalau engkau takut, tidak perlu kau banyak mengoceh lagi. Aku pun tidak
mengajak engkau. Kau kira aku takut untuk pergi sendiri?” Sambil berkata
demikian, Kwi Lan menyambar kendali kuda dari tangan Hauw Lam, lalu pergi
menuntun kuda hitam itu meninggalkan Hauw Lam yang berdiri melongo...
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment