Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Mutiara Hitam
Jilid 03
Akan tetapi
karena selama hidupnya Kwi Lan belum pernah mempunyai kuda, apa lagi menunggang
kuda, ia canggung sekali dan kuda hitam itu agaknya juga dapat merasakan hal
ini. Kuda itu mulai meronta dan mogok jalan. Kwi Lan menarik-narik kendali kuda
sambil membentak,
"Kau
juga hendak mogok? Kuda sialan! Kupenggal lehermu nanti, kubawa bangkaimu ke
Thian-liong-pang, hendak kulihat apakah kau berani mogok lagi!"
"Wah-wah-wah...,
kenapa kau begini galak, Mutiara Hitam? Apa kau marah kepadaku? Aku sama sekali
tidak takut, hanya aku heran menyaksikan keberanianmu menentang semua
tokoh-tokoh besar. Mari, biarlah kita pergi bersama. Dan kuda itu... kenapa
repot-repot amat? Lebih baik kau tunggangi dia, kan enak?"
Watak Kwi
Lan memang aneh, agaknya ia tiru dari Sian Eng. Ia keras sekali kalau perlu,
akan tetapi bisa juga menjadi lunak, bisa gembira dan jenaka, akan tetapi tidak
pernah mengenal duka mau pun takut. Melihat pemuda itu menghampiri dan wajahnya
sungguh-sungguh, ia tersenyum. "Aku belum pernah menunggang kuda!"
katanya.
Kembali Hauw
Lam terheran. Seorang gadis yang begini tinggi ilmunya, belum pernah menunggang
kuda? Benar-benar luar biasa sekali ini. "Belum pernah? Kalau begitu
berbahaya, dong. Kau harus belajar dulu. Seekor kuda yang baik selalu akan memberontak
kalau ditunggangi orang yang takut-takut menunggang kuda."
"Aku
memang belum pernah menunggang kuda, akan tetapi siapa bilang aku takut? Kau
lihat saja!" Sekali menggerakkan tubuhnya, Kwi Lan sudah meloncat dan
duduk di atas punggung kuda, dengan kedua kaki di samping kiri perut kuda itu.
Canggung dan kaku sekali. Benar saja, kuda hitam itu tidak memberontak, karena
kuda itu hanya memberontak apa bila yang menunggangnya takut-takut, sedangkan
Kwi Lan tidak takut.
"Ah,
keliru kalau begitu menunggangnya. Mana bisa tahan lama kalau kuda itu
membalap?"
"Siapa
bilang tidak bisa? Kau lihat!" Kwi Lan menarik kendali kuda dan kuda hitam
itu meloncat ke depan lalu lari cepat. Kwi Lan terangkat-angkat dari atas
punggung kuda dan karena duduknya miring, maka hampir saja ia jatuh. Cepat ia
berseru keras dan tubuhnya sudah meloncat ke atas kemudian turun di atas
punggung kuda dalam keadaan berdiri!
Hauw Lam
sudah mengejar dan memegang kendali kuda, mengeluarkan suara menyuruh berhenti.
Setelah kuda berhenti, ia menggeleng-geleng kepala. "Wah-wah, memang kau
hebat sekali, Mutiara Hitam. Akan tetapi mana ada di dunia ini orang naik kuda
dengan berdiri di atas punggungnya? Engkau akan menjadi tontonan orang di
sepanjang jalan, dan juga keadaan itu amat melelahkan. Beginilah cara
menunggang kuda. Lihat, kuberi contohnya!"
Karena
memang Kwi Lan seorang yang sudah memiliki ilmu kepandaian tinggi, maka
pelajaran menunggang kuda ini dapat ia kuasai sebentar saja. Berangkatlah kedua
orang muda itu melakukan perjalanan menuju Yen-an. Kwi Lan menunggang kuda
sedangkan Hauw Lam berjalan kaki sambil meniup sulingnya. Kadang-kadang Kwi Lan
yang meloncat turun dan berjalan kaki, menyuruh pemuda itu berganti menunggang
kuda. Kalau Hauw Lam menolak, ia tentu akan marah. Begitu pula, kadang-kadang
gadis yang berhati polos itu menyuruh Hauw Lam duduk di belakangnya di atas
punggung kuda. Hauw Lam juga menuruti kehendaknya sehingga dalam waktu beberapa
hari saja melakukan perjalanan, keduanya telah menjadi sahabat yang amat akrab
dan diam-diam Kwi Lan makin merasa cocok dan suka kepada putera bibi
pengasuhnya ini.
Kota Yen An
terletak di kaki Pegunungan Lu-liang-san sebelah barat, di Propinsi Shansi.
Kota ini cukup besar dan ramai, yang dahulu merupakan daerah Kerajaan Hou-han
dan kini sudah ditaklukkan oleh Kerajaan Sung dan menjadi wilayah Kerajaan
Sung.
Kerajaan
Hou-han dahulu terkenal sebagai kerajaan yang kecil tapi amat kuat. Terutama
sekali ketika seorang di antara panglima perangnya adalah mendiang Jenderal Kam
Si Ek yang amat pandai mengatur siasat perang. Setelah jenderal ini
mengundurkan diri, keadaan kerajaan mengalami kemunduran pula.
Akan tetapi
keadaannya masih amat kuat karena beberapa tahun kemudian di dalam istana
kerajaan terdapat Tok-siauw-kwi Liu Lu Sian, seorang wanita sakti yang menjadi
‘tante girang’ di dalam istana, mengumbar nafsu dengan para pangeran dan para
panglima muda yang tampan. Di samping Tok-siauw-kwi (ibu kandung Suling Emas)
ini terdapat pula selir raja yang juga amat lihai, yang kemudian berjuluk
Siang-mou Sin-ni Coa Kim Bwee. Akan tetapi semenjak kedua orang wanita sakti
ini tidak ada, kerajaan makin mundur dan akhirnya penyerbuan bala tentara
Kerajaan Sung menjatuhkan kerajaan kecil ini.
Tokoh-tokoh
yang dikalahkan, biasanya kalau tidak dipakai lagi tenaganya lalu berkumpul dan
merupakan kelompok yang menentang si Pemenang secara diam-diam. Demikian pula
keadaan di bekas Kerajaan Hou-han ini. Orang-orang yang memiliki ilmu
kepandaian lalu mengadakan persatuan dan bersembunyi di balik papan nama
perkumpulan menjadi golongan dunia hitam yang diam-diam mencari kesempatan
untuk melawan atau setidaknya merongrong pemerintahan yang tak disukainya.
Di antara
perkumpulan-perkumpulan semacam itu, Thian-liong-pang merupakan perkumpulan
terbesar, bahkan boleh dibilang menjadi semacam induk perkumpulan. Hal ini
adalah karena bekas para panglima dan tokoh Kerajaan Hou-han banyak yang
menggabungkan diri dalam perkumpulan ini.
Namun karena
kesempatan untuk melawan pemerintahan Sung tidak ada, apa lagi setelah para
panglima yang benar-benar berjiwa patriotik meninggal dunia, jiwa perkumpulan
Thian-liong-pang mengalami perubahan hebat. Dasar yang semula patriotik tadinya
terdorong setia kepada kerajaan berubah, berubah menjadi dasar dunia hitam, dan
tujuan yang menyeleweng jauh terdorong oleh nafsu angkara murka untuk menguasai
dunia, harta benda, nama besar dan kemenangan mengandalkan kekuatan.
Melihat ini,
sisa para panglima Hou-han banyak yang mengundurkan diri dan hidup bersunyi di
dusun-dusun dan pegunungan menanti maut datang menjemput. Semenjak itu
Thian-liong-pang seluruhnya dikuasai oleh tokoh-tokoh dunia hitam. Yang menjadi
Ketua Thian-liong-pang adalah seorang bekas pendeta yang berjuluk Sin-seng Losu
(Kakek Bintang Sakti).
Pendeta yang
berasal dari barat ini selain sakti, juga amat terkenal di dunia hitam. Biar
pun jahat, namun ternyata ia pandai memimpin sehingga di bawah asuhannya,
Thian-liong-pang menjadi perkumpulan yang amat kuat. Semua anggota
Thian-liong-pang rata-rata di gembleng ilmu silat tinggi. Apa lagi murid kakek
itu sendiri, benar-benar terdiri dari orang-orang yang gagah perkasa.
Murid-murid
kepala sebanyak dua belas orang sedemikian terkenalnya di dunia kang-ouw
sehingga tokoh-tokoh yang besar sekali pun tidak akan berani memandang rendah
Cap-ji-liong (Dua Belas Ekor Naga) dari Thian-liong-pang! Dua belas orang murid
kepala yang menjadi murid kesayangan Kakek Sin-seng Losu ini telah mewarisi
kepandaian kakek itu menurut bakat masing-masing. Dan yang menambah ketenaran
mereka adalah senjata rahasia Sin-seng-ci (Peluru Bintang Sakti).
Oleh karena
Kakek Sin-seng Losu sudah terlalu tua dan pikun, juga sudah mulai lemah karena
tuanya, maka sebagai penggantinya ditunjuk muridnya yang paling tua. Murid ini
seorang laki-laki tinggi besar bercambang bauk yang bertenaga besar seperti
gajah, dan sesuai dengan tenaganya, ia berjuluk Thai-lek-kwi (Setan Tenaga
Besar) bernama Ma Kiu.
Ma Kiu ini
dulunya seorang jagal babi, kemudian pernah tinggal di selatan dan menjadi
anggota Beng-kauw. Semenjak muda suka belajar ilmu silat, maka ketika menjadi
anggota Beng-kauw ia sudah memiliki ilmu kepandaian yang cukup tinggi. Karena
penyelewengan peraturan, ia takut akan bayangan sendiri dan takut pula akan
hukuman dari para pimpinan Beng-kauw yang terkenal keras, maka ia melarikan
diri ke utara.
Di Yen-an ia
memasuki Thian-liong-pang, berhasil menarik hati ketuanya dan menjadi muridnya.
Karena memang tingkatnya sudah tinggi, maka ia segera menduduki seorang di
antara murid kepala yang lihai, bahkan kemudian terpilih menjadi murid nomor
satu dan kemudian malah ditunjuk sebagai pengganti gurunya yang sudah tua,
yaitu menjadi ketua baru Thian-liong-pang!
Gedung besar
yang menjadi markas Thian-liong-pang terletak megah di ujung kota Yen-an. Agak
janggal nampaknya bahwa jalan besar di mana gedung ini berdiri kelihatan sunyi,
bahkan gedung itu jauh dari tetangga. Namun orang tidak akan merasa heran kalau
mendengar bahwa para tetangga yang tadinya tinggal dekat gedung itu
berangsur-angsur melarikan diri sehingga rumah-rumah kosong di sekitar jalan
itu merupakan daerah yang dianggap tidak aman bagi penduduk Yen-an. Hal ini
dipergunakan oleh Thian-liong-pang untuk memperluas markas mereka dengan
membeli murah secara paksa rumah-rumah dan pekarangan yang ditinggalkan.
Pada hari
pengangkatan ketua baru Thian-liong-pang, keadaan di situ lebih ramai dari pada
biasanya. Banyak tamu hilir mudik mengunjungi Thian-liong-pang dan para
penduduk Yen-an hari itu merasa ketakutan selalu karena di kota Yen-an
berkeliaran banyak orang-orang aneh dan sikapnya menyeramkan. Karena itu biar
pun tidak tahu pasti, namun sudah dapat menduga bahwa para tamu luar kota yang
hari itu mengunjungi Yen-an, tentulah tamu dari Thian-liong-pang dan tentulah
terdiri dari bukan orang baik-baik.
Memang
dugaan ini tepat. Sebagian besar yang datang mengunjungi Thian-liong-pang
adalah orang-orang dari dunia hitam, golongan liok-lim dan kang-ouw (hutan
lebat dan sungai telaga), yaitu para perampok, bajak, gerombolan-gerombolan
yang mengabdi kepada hukum rimba mengandalkan kekuatan untuk melakukan
perbuatan apa saja yang mereka kehendaki.
Hari itu
semenjak pagi sekali telah banyak orang-orang yang dandanannya aneh-aneh
memasuki kota Yen-an. Menjelang siang hari, orang-orang yang menonton keramaian
dan iring-iringan tamu dengan hati berdebar tidak enak ini, tertarik sekali
melihat dua orang muda yang keadaannya tidak kalah anehnya dari pada orang-orang
yang menyeramkan lainnya, akan tetapi dua orang muda ini sama sekali tidak
kelihatan menyeramkan, bahkan sebaliknya.
Dara remaja
yang menunggang kuda hitam itu, biar pun pinggangnya digantungi pedang dan
gagang pedang indah, namun harus diakui cantik jelita, menarik hati dan sama
sekali tidak menyeramkan, melainkan amat mengagumkan hati setiap orang pria
yang memandangnya. Ada pun temannya, seorang pemuda remaja pula, juga berwajah
tampan dan matanya bersinar-sinar, wajahnya berseri-seri, mulutnya tersenyum-senyum.
Bahkan ketika memasuki kota Yen-an, pemuda ini dengan wajah berseri lalu meniup
suling sambil berjalan di samping kuda hitam! Sebatang golok besar dengan
sarung pedang aneh, tidak kelihatan menyeramkan sebaliknya malah tampak lucu,
seakan-akan pemuda itu sengaja membadut dan menggantungkan golok untuk
main-main saja.
Wajah Kwi
Lan, dara yang menunggang kuda hitam, kelihatan gembira pula. Setelah beberapa
pekan lamanya melakukan perjalanan bersama Hauw Lam, ia benar-benar mengenal
watak pemuda ini sebagai seorang pemuda yang selalu gembira, jenaka,
ugal-ugalan namun pada dasarnya gagah perkasa, tak kenal takut, berbudi dan...
selalu mengalah kepadanya.
Harus
dimengerti bahwa sejak kecil Kwi Lan jarang bergaul dengan orang lain, apa lagi
dengan orang mudanya. Teman satu-satunya hanyalah Suma Kiat, dan ia tidak suka
kepada suheng ini, yang kadang-kadang memperlihatkan sikap terlalu manis
berlebih-lebihan kepadanya akan tetapi kadang-kadang juga pemarah dan tak acuh.
Tidak mengherankan apa bila Kwi Lan merasa suka sekali kepada Hauw Lam dan
dalam waktu yang tidak lama itu mereka telah menjadi sahabat yang akrab. Sukar
bagi seseorang untuk tidak ikut bergembira apa bila melakukan perjalanan dengan
Hauw Lam. Apa lagi seorang seperti Kwi Lan yang pada dasarnya memang lincah,
jenaka dan suka bergembira.
Kwi Lan
tersenyum geli melihat betapa temannya memasuki kota Yen-an sambil meniup
suling dengan lenggang dibuat-buat seperti seorang penari atau seperti orang
berbaris. Ia maklum bahwa kedatangan mereka ke Yen-an bukanlah sekedar pelesir,
melainkan untuk mencari pengalaman dan lebih mendekati petualangan karena yang
akan mereka masuki adalah sarang penjahat atau dunia hitam yang amat berbahaya!
Akan tetapi
ia menjadi kagum dan juga menjadi gembira melihat pemuda itu sedikit pun tidak
memperlihatkan rasa takut. Banyak penduduk Yen-an, terutama orang-orang mudanya
yang tertarik melihat sepasang muda-mudi yang elok ini, mengikuti dari belakang
sambil memandang kagum dan tersenyum-senyum. Akan tetapi melihat bahwa dua
orang itu menuju ke markas Thian-liong-pang di pinggir kota, sebelum dekat
mereka yang mengikuti sudah berhenti dan membalikkan tubuh meninggalkan tempat
itu.
Kwi Lan
menghentikan kudanya dan Hauw Lam menghentikan tiupan sulingnya setelah tiba di
depan rumah gedung besar yang dihias arca singa batu dan papan nama perkumpulan
itu. Dari luar gedung saja sudah terdengar suara banyak orang di sebelah dalam.
Beberapa orang penjaga menyambut mereka dengan menjura dan di antara mereka
terdapat seorang laki-laki yang mukanya penuh cambang bauk dan yang kelihatan
terkejut sekali melihat dua orang muda itu. Akan tetapi wajahnya yang tadinya
terkejut itu berubah merah dan ia segera menjura dan berkata.
“Ah, kiranya
Nona Mutiara Hitam dan Tuan... Berandal yang datang berkunjung! Silakan
masuk...!” Melihat sikap si Brewok ini, teman-temannya juga cepat memberi
hormat kepada Kwi Lan dan Hauw Lam, dan mendengar nama julukan pemuda tampan
itu, diam-diam mereka merasa geli.
“Ha-ha-ha!”
Kiranya si Ouw Kiu! Engkau masih hidup? Syukurlah kalau panjang umur. Kami
datang memenuhi janji hendak menonton keramaian sekalian menyampaikan sumbangan
kepada ketua baru Thian-liong-pang!”
Teman-teman
Ouw Kiu tercengang mendengar ucapan dan menyaksikan sikap pemuda ini. Bicaranya
begitu seenaknya seperti kepada seorang sahabat baik saja. Mereka makin heran
melihat betapa Ouw Kiu yang terkenal jagoan di antara mereka begitu menaruh
hormat yang berlebihan terhadap seorang pemuda dan seorang gadis cantik yang
masih amat muda. Kalau semua temannya terheran, adalah Ouw Kiu yang menjadi
merah mukanya.
Peristiwa di
dalam hutan dua pekan yang lalu hanya ia ceritakan kepada para pimpinan
Thian-liong-pang dan para anak buah tidak ada yang boleh mendengar karena hal
itu merendahkan nama besar perkumpulan. Oleh karena itulah maka ketika tadi ia
menyebut nama Mutiara Hitam dan Berandal, teman-temannya tidak tahu bahwa dua
orang inilah yang membunuh seorang anak murid Thian-liong-pang. Dengan menahan
kemarahan Ouw Kiu lalu berkata lagi.
“Ah, Ji-wi
ternyata memegang janji. Silakan masuk! Nona, biarlah orang-orang kami merawat
kuda Nona itu. Silakan turun dan masuk ke dalam!”
“Mana bisa
barang sumbangan ditinggalkan di luar?” Kwi Lan berkata.
“Barang
sumbangan...? Apakah maksud Nona...?”
Kwi Lan
tersenyum. “Justru kuda inilah barang sumbangannya untuk disampaikan kepada
Ketua Thian-liong-pang!”
“Ah... kuda
bagus... kuda hebat...!”
Ouw Kiu
tiba-tiba memuji setelah tahu bahwa kuda yang besar dan memang hebat ini akan
dipersembahkan kepada ketuanya. Kiranya dua orang muda yang lihai ini telah
merendahkan diri dan hendak menyenangkan hati ketuanya dengan hadiah seekor
kuda pilihan, pikirnya. Akan tetapi jangan kira bahwa kalian akan dapat lolos
dari sini biar pun telah menyogok dengan seekor kuda.
Melihat Ouw
Kiu memuji-muji sambil menjura, seorang lain memberi isyarat dengan kedua
tangan mempersilakan mereka sehingga yang lain-lain juga menjura.
Kwi Lan lalu
berkata, “Hayo, Berandal kita masuk saja. Hek-ma (Kuda Hitam) ini pun tentu
suka mencicip arak wangi Thian-liong-pang!”
“Hayo,
tunggu apa lagi?” Hauw Lam berkata sambil tertawa, kemudian ia menempelkan
suling pada mulutnya dan melangkah maju sambil meniup suling.
Ada pun Kwi
Lan tanpa mempedulikan gerak protes mulut, mata, dan tangan para penjaga sudah
menarik kendali dan memaksa kuda hitamnya untuk menaiki anak tangga, terus
menjalankan kudanya memasuki ruangan depan menuju ke dalam!
Tentu saja
para penjaga kaget dan bergerak hendak mencegah, akan tetapi Ouw Kiu berbisik
kepada teman-temannya dan kagetlah mereka, berdiri dengan wajah sebentar pucat
karena gentar dan sebentar merah karena marah. Baru sekarang mereka tahu bahwa
dua orang itulah yang membunuh seorang kawan mereka.
“Jangan
sembarangan bergerak, mereka lihai sekali!” bisik Ouw Kiu. “Biarkan Pangcu yang
membereskan mereka!” Setelah berkata demikian, melalui pintu samping Ouw Kiu
mendahului masuk dan diam-diam melaporkan kepada pimpinan Thian-liong-pang.
Pada waktu
itu, Kakek Sin-seng Losu masih duduk di kursi ketua sambil melenggut mengantuk.
Akhir-akhir ini, kakek yang sudah tua renta dan pikun ini sering kali melenggut
dan banyak mengantuk. Kini ia telah mengenakan pakaian khusus untuk upacara.
Jubahnya baru dan indah, di bagian dadanya terdapat gambar sebuah timbangan.
Inilah tanda bahwa dia sudah meninggalkan kedudukan ketua dan kini menjadi penasehat
yang mempertimbangkan dan memutuskan segala macam perkara yang tak dapat
diputuskan oleh ketua baru.
Di sebelah
kanannya duduk Thai-lek-kwi Ma Kiu, murid kepala bekas tukang jagal babi itu.
Wajah murid kepala yang usianya sudah lima puluh tahun ini kereng, apa lagi
jenggot dan kumisnya kaku seperti kawat, matanya melotot lebar seakan-akan
selalu mengeluarkan sinar mengancam. Di sebelah kanan Thai-lek-kwi Ma Kiu calon
ketua baru ini duduk atau berdiri sebelas orang adik-adik seperguruannya yang
terdiri dari bermacam-macam orang. Ada hwesio gundul, ada tosu, ada yang
seperti petani, ada yang tua dan ada yang muda. Di belakang kursi kakek
Sin-seng Losu berdiri seorang petugas yang membawa bendera Thian-liong-pang,
bergambar naga terbang.
Para tamu
yang lebih lima puluh itu semuanya sudah memenuhi ruangan, duduk di
bangku-bangku memutari meja bundar yang sudah disediakan. Pelayan-pelayan sibuk
melayani mereka dengan minuman dan makanan. Saat itu upacara sudah hendak
dilakukan, akan tetapi Thai-lek-kwi Ma Kiu mencari-cari dengan pandang matanya,
kelihatan tak senang hatinya. Kemudian ia berbisik kepada suhunya yang masih
melenggut, setengah tidur setengah bersemedhi.
“Suhu, tamu
sudah lengkap, Apakah tidak lebih baik dilakukan sekarang upacaranya?”
“Hemmm...?”
kakek itu membuka mata malas-malasan, kemudian menoleh ke arah kirinya, di mana
terdapat sebuah bangku yang kosong. “Dia belum datang?”
Ma Kiu
mengerutkan kening dan menggeleng kepalanya. “Suhu, sudah sejam lebih kita
menanti, akan tetapi Siauw-te (Adik Seperguruan Kecil) masih juga belum muncul.
Dia suka pergi berburu binatang, suka pergi bermain-main, siapa tahu dia tidak
akan datang karena lupa akan urusan hari ini.”
“Kita tunggu
sebentar lagi,” bantah Si Kakek. “Betapa pun juga Siangkoan Li adalah anak
tunggal mendiang puteraku, dia cucuku satu-satunya. Sebagai wakil ayahnya yang
sudah tidak ada, sepatutnya dia menyaksikan upacara penting hari ini.”
Biar pun di
dalam hatinya merasa mendongkol sekali terhadap Siangkoan Li yang memperlambat
upacara pengangkatannya menjadi Ketua Thian-liong-pang, namun Ma Kiu tidak
berani membantah kehendak gurunya. Siangkoan Li adalah cucu Sin-seng Losu.
Semenjak kecil anak ini sudah ditinggal mati ayah bundanya yang tewas dalam
pertandingan. Kemudian ia dididik oleh kakeknya dan biar pun ia cucu kakek ini,
namun ia juga murid, maka dua belas orang murid kepala atau lebih terkenal Dua
Belas Naga Thian-liong-pang itu memanggil dia sute (adik seperguruan). Padahal
Siangkoan Li masih amat muda, baru dua puluh tahun usianya.
Pada saat
itulah Ouw Kiu si Brewok datang melapor. Karena Sin-seng Losu sudah melenggut
lagi di atas kursinya, Ouw Kiu lalu melapor kepada Thai-lek-kwi Ma Kiu tentang
kedatangan dua orang muda tadi. Tentu saja Thai-lek-kwi Ma Kiu marah sekali
mendengar bahwa dua orang muda yang mengaku berjuluk Mutiara Hitam dan Berandal
dan telah membunuh seorang anggota Thian-liong-pang berani muncul.
Akan tetapi
oleh karena saat pengangkatannya sebagai ketua sudah tiba, ia tidak ingin
urusan yang amat penting artinya bagi dirinya itu terganggu atau terkacau
keributan, maka ia menyabarkan hatinya yang panas. Apa lagi ketika mendengar
laporan Ouw Kiu bahwa dua orang itu datang untuk menonton upacara dan membawa
hadiah seekor kuda yang bagus. Maka dia segera berdiri dan menyambut. Melihat
kakak tertua ini bangkit, otomatis sebelas orang adik seperguruan itu bergerak
pula dan mengikutinya menyambut.
Terdengar
suara nyaring kaki kuda menginjak-injak lantai dan para tamu serentak menengok,
disusul suara mereka riuh membicarakan tamu yang baru muncul. Tentu saja cara
Kwi Lan memasuki ruangan sambil menunggang seekor kuda yang tinggi besar
berbulu hitam amat menarik perhatian dan selain mendatangkan kaget, juga heran.
Akan tetapi di samping ini, sebagian besar mata para tamu terbelalak kagum
karena tidak saja kuda itu amat indah dan gagah, namun penunggangnya lebih
menarik lagi, cantik jelita dengan mata bersinar-sinar dan pipi kemerahan,
bibir manis tersenyum simpul.
Hauw Lam
menghentikan tiupan sulingnya, lalu menjura ke arah tuan rumah. Diam-diam ia
memperhatikan Ma Kiu dan sebelas orang adik seperguruannya. Biar pun belum pernah
bertemu dengan mereka, namun jumlah ini menimbulkan dugaan di hati bahwa tentu
inilah yang disebut Cap-ji-liong yang ditakuti orang itu. Ia tersenyum dan
berseru dengan suara nyaring.
“Kami, Dewi
Mutiara Hitam dan Dewa Berandal....” Sampai di sini Hauw Lam menoleh kepada Kwi
Lan yang tersenyum pula lalu melirik kepada semua tamu yang mengeluarkan seruan
heran mendengar sebutan dewa dan dewi tadi, kemudian melanjutkan setelah
keadaan menjadi sunyi senyap karena semua orang memasang telinga penuh perhatian
untuk mendengarkan apa yang ia katakan selanjutnya, “...secara kebetulan lewat
di Yen-an dan mendengar nama besar Thian-liong-pang yang katanya hendak
mengadakan upacara pengangkatan ketua baru, maka kami ingin sekali menonton
keramaian dan Sang Dewi Mutiara Hitam ini berkenan memberi hadiah kuda hitamnya
untuk Thian-liong-pang!”
Mendengar
dirinya disebut-sebut sebagai Sang Dewi, Kwi Lan mengerutkan alisnya dan
cemberut, melompat turun dari kuda dan berkata, “Harap jangan dengarkan obrolan
Berandal ini! Kuda ini memang hendak kusampaikan kepada Thian-liong-pang, akan
tetapi bukan hadiah dariku, melainkan hadiah dari Khitan untuk
Thian-liong-pang!”
Mendengar
ucapan Kwi Lan, berubah air muka dua belas orang ‘naga’ dari Thian-liong-pang
itu. Ma Kiu segera berkata, suaranya berubah ramah, “Ah, kiranya Ji-wi adalah
utusan dari Pak-sin-ong? Sungguh merupakan penghormatan besar sekali terhadap
Thian-liong-pang dan salah paham yang terjadi beberapa pekan yang lalu adalah
kesalahan anak buah kami, mohon Ji-wi sudi memaafkan.”
“Aku tidak
tahu apa yang kau maksudkan,” kata Kwi Lan setelah bertukar pandang dengan Hauw
Lam. “Akan tetapi yang jelas, kuda ini bukan sembarangan kuda, melainkan
keturunan kuda pribadi Ratu Khitan. Harap Thian-liong-pang suka menerima anugerah
dari Ratu Khitan ini.”
Kwi Lan
bicara sejujurnya, karena di dalam hati ia tetap condong untuk membela Ratu
Khitan yang menurut penuturan guru dan bibinya adalah ibu kandungnya sendiri.
Akan tetapi mendengar ini Ma Kiu mengangguk-angguk dan bertukar pandang dengan
sebelas orang saudaranya.
“Kami
mengerti... kami mengerti dan terima kasih banyak...,” katanya. Tentu saja Kwi
Lan tidak mengerti apa yang ia maksudkan, akan tetapi melihat Hauw Lam berkedip
kepadanya, ia pun diam saja. Ia lalu melompat turun dari kudanya dan memberikan
kendali kuda kepada Ma Kiu. Calon ketua itu menggapai seorang anggota
Thian-liong-pang yang tinggi besar.
“Bawa kuda
ini ke kandang dan pelihara baik-baik, beri makan minum secukupnya!”
Orang tinggi
besar itu memberi hormat dan menerima kendali. Akan tetapi begitu ia menarik
kendali, kuda hitam itu yang mencium bau orang baru dan merasakan tarikan
keras, segera meringkik, membuka mulut dan menerjang orang tinggi besar itu! Si
Tinggi Besar terkejut dan berusaha mengelak, namun terlambat, pundaknya kena digigit
sehingga ia berkaok-kaok kesakitan. Ketika kuda itu melepaskan gigitannya,
daging pundak berikut baju sudah robek dan darah membasahi semua bajunya! Tentu
saja anggota ini menjadi kaget dan melepaskan kendali kudanya.
Hauw Lam
tertawa bergelak. “Sudah kuberitahu, kuda ini bukan kuda sembarangan!”
“Hemm,
memang kuda pilihan. Twa-suheng, biarlah aku yang membawanya ke kandang.”
Seorang laki-laki berusia hampir empat puluh tahun, bertubuh kecil kurus,
melangkah maju. Dia ini adalah seorang di antara Cap-ji-liong.
Begitu Ma
Kiu menganggukkan kepala, si Kurus sudah menyambar kendali kuda, lalu tubuhnya
melayang naik ke punggung kuda hitam. Kuda itu meringkik-ringkik dan
meronta-ronta, namun dengan menjepitkan kedua kaki ke perut kuda, si Kecil
Kurus tetap duduk dengan tenang, bahkan lalu membetot-betot kendali kuda. Kuda
hitam makin marah, melonjak-lonjak dan meloncat-loncat tinggi
menggerak-gerakkan punggungnya.
Kalau orang
biasa tentu akan terlempar dari punggung kuda, akan tetapi ternyata si Kecil
Kurus itu lihai sekali. Tubuhnya mendoyong ke sana ke mari, namun ia dapat
duduk tegak dan tetap. Akhirnya, setelah hidung dan bibir kuda mengeluarkan
darah karena tertarik kendali, baru kuda hitam itu kelelahan dan menurut saja
disuruh berjalan ke luar dari dalam ruangan tamu!
Ma Kiu lalu
mempersilakan dua orang tamu mudanya untuk duduk di bagian depan.
Hauw Lam
berbisik. “Mereka mengira bahwa kita ini tokoh-tokoh kepercayaan Jin-cam
Khoa-ong dan memang biasanya orang-orang Pak-sin-ong ini melakukan perjalanan
sambil menyamar dan merahasiakan diri, karena selalu menjadi incaran orang
pemerintahan Khitan. Tentu si Brewok tadi mengira kita berpura-pura menghadapi
banyak tamu, maka ia bilang mengerti!” Pemuda itu tertawa dan Kwi Lan juga
tertawa geli.
Pelayan datang
dengan cepat membawa minuman arak wangi dan masakan-masakan lezat dan mahal.
Karena memang sudah lapar dan sudah lama tidak bertemu makanan lezat, Hauw Lam
dan Kwi Lan tidak sungkan-sungkan lagi. Kiranya pemuda jenaka itu adalah
seorang ahli makanan. Sambil mencoba dan mencicipi belasan macam masakan yang
datang membanjiri meja mereka, Hauw Lam tiada hentinya mengoceh untuk
memperkenalkan tiap masakan kepada Kwi Lan.
“Ini kodok
goreng istimewa. Kodok macam ini hanya terdapat dalam rawa-rawa di daerah
selatan saja. Dagingnya empuk, gurih dan harum sedap, maka harganya pun amat
mahal. Sayang ini yang jantan, kalau yang betina lebih lezat. Akan tetapi kodok
betina jarang disembelih orang karena dibutuhkan telurnya. Hanya Kaisar yang
suka menyuruh buatkan kodok betina goreng!” Memang luar biasa masakan kodok
goreng itu. Berbeda dengan swike biasa, kodok ini digoreng berikut kulitnya
yang loreng-loreng, akan tetapi justru kulitnya itu yang enak, kemripik seperti
krupuk udang. Juga berbeda dengan swike biasa, tulangnya enak pula dimakan,
tidak keras.
“Wah, ini
sop buntut menjangan namanya! Dimasak sop dengan campuran kacang polong dan
jamur kuning. Hebat! Tapi kalau terlalu banyak membuat badan panas dan darah
mengalir cepat. Sedikit cukup untuk menghangatkan tubuh. Dan ini masak tim kaki
burung raja air! Kau tahu apa itu burung raja air? Bebek! Ini tim kaki bebek.
Enak kenyil-kenyil dan gurih. Wah, yang di sana itu panggang ayam angkasa.
Sedap!”
“Apa itu
ayam angkasa?” Kwi Lan bertanya, gembira oleh penjelasan yang lucu ini.
“Ayam
angkasa? Masa tidak tahu? Burung dara! Enak juga, cobalah.”
Sampai
kenyang sekali perut Kwi Lan karena pandainya Hauw Lam memperkenalkan setiap
masakan sehingga tak dapat ia bertahan untuk tidak mencicipinya.
“Eh, ini
masakan apa? Mengapa dagingnya bundar-bundar tapi bukan bakso? Licin...!”
Hauw Lam
mengulur leher menjenguk, lalu mengorek dengan sumpit untuk memeriksa. “Ini...?
Waaahh... gila amat! Ini... ini bukan makanan wanita! Celaka, yang begini
dikeluarkan. Sialan benar!” Ia mengomel panjang pendek tanpa menjawab
pertanyaan Kwi Lan.
Gadis itu
tentu saja menjadi tertarik sekali, “Masakan apa sih? Kenapa bukan makanan
wanita?”
Heran
sekali. Tiba-tiba muka Hauw Lam menjadi merah dan ia tampak gagap-gugup dalam
menjawab. Padahal biasanya pemuda ini paling pandai bicara. “Masakan...
waaahhh, bagaimana ini...? Ini masakan... masakan... hemmmm...!” Karena mereka
berdua tadi bicara keras tanpa mempedulikan orang lain, tentu saja percakapan
terakhir ini pun terdengar pula oleh para tamu yang duduk berdekatan. Mereka
mulai tertawa-tawa geli menyaksikan sikap Hauw Lam ini.
“Ih, kenapa
kau? Sudah mabokkah? Masa menjawab masakan saja begitu sukar? Kalau tidak
mengenal, bilang saja terus terang, mengapa susah-susah amat?” Kwi Lan menegur.
“Siapa
bilang aku tidak mengenal masakan ini? Semua masakan di dunia pernah kumakan.
Aku pernah memasuki dapur kaisar, pernah ikut dalam perjamuan Beng-kauw di
selatan! Ini masakan... daging kambing saus tomat!”
“Uhh, hanya
daging kambing saja kenapa tidak dari tadi menyebutnya? Kau bohong agaknya!
Kalau benar hanya daging kambing, mengapa bentuknya bulat seperti ini? Dan
mengapa pula tadi kau hilang ini bukan makanan wanita?”
“Ha-ha-ha-ha!
Itu bukan daging kambing, melainkan... peluru kambing. Ha-ha-ha!” Riuh rendah
suara ketawa itu.
Hauw Lam dan
Kwi Lan menengok. Sejak tadi mereka sudah tahu bahwa tidak jauh dari meja
mereka, dalam jarak lima meter, terdapat enam orang anggota pengemis baju
bersih yang duduk mengelilingi meja dan sejak tadi memperhatikan mereka berdua.
Enam orang pengemis itu rata-rata sudah berusia enam puluh tahun lebih, hanya
mereka berdua inilah yang masih muda dan kini dua orang inilah yang
tertawa-tawa oleh ucapan seorang di antara mereka tadi.
Pada saat
itu Kwi Lan dengan sumpitnya telah menusuk dua potong daging kambing itu yang
memang berbentuk bundar telur sebesar telur ayam.
“Hanya
kambing jantan yang memiliki peluru itu, kambing betina tentu saja tidak punya.
Akan tetapi keliru kalau orang bilang wanita tidak boleh memakannya, malah
sebetulnya itu makanan wanita, apa lagi wanita cantik...! Ha-ha-ha-ha!”
komentar pengemis muda yang ke dua dan kembali dua orang yang duduknya
menghadap kepada meja Kwi Lan tertawa-tawa sambil terang-terangan memandang kepada
gadis itu.
“Ha-haaauupp!”
mendadak dua orang pengemis muda yang sedang tertawa berkakakan itu terhenti
ketawanya dan mata mereka mendelik, tangan kiri mencekik leher dan tangan kanan
menunjuk-nunjuk kebingungan ke arah mulut mereka yang ternganga. Tanpa
diketahui orang lain saking cepatnya gerakan tangan Kwi Lan, dua buah daging
bulat yang tadi berada di ujung sepasang sumpitnya kini telah menyusup masuk ke
tenggorokan dua orang itu melalui mulut yang tadi terbuka lebar-lebar.
Empat orang
pengemis lain yang mengira bahwa dua orang temannya ini tersedak makanan sibuk
menolong, menepuk-nepuk punggung mereka dengan keras sambil bertanya-tanya.
Akan tetapi dua orang itu hanya dapat mengeluarkan suara seperti orang gagu
karena kerongkongannya tersumbat. Akhirnya seorang di antara mereka terbatuk
dan meloncat keluarlah daging bulat seperti telur ayam itu. Sedangkan seorang
lagi, karena daging itu belum keluar dan ia merasa napasnya hampir putus,
dengan nekat lalu memasukkan sumpit ke mulutnya dan mendorong daging di
kerongkongannya itu terus masuk! Akal ini menolong juga dan terhindarlah ia
dari pada bahaya maut tercekik.
Kwi Lan yang
telah memberi hukuman kepada dua orang pengemis muda yang berani
mentertawakannya itu, kedua pipinya menjadi merah. Tidak hanya karena marah,
juga karena jengah setelah ia mendengar apa sebetulnya daging bulat-bulat itu.
Diam-diam ia memaki tuan rumah yang mengeluarkan hidangan macam itu. Gadis ini
memang masih asing dengan segala masakan-masakan kota, apa lagi masakan-masakan
yang begitu mewah. Semenjak kecil ia hanya makan masakan sederhana yang dibuat
Bibi Bi Li. Kini untuk mengalihkan perhatian dari masakan yang dianggapnya
tidak pantas itu, lalu bertanya kepada Hauw Lam yang masih tertawa-tawa,
mentertawakan keadaan dua orang pengemis tadi.
“Dan ini,
apakah ini? Untuk apa? Kelihatannya seperti darah.”
“Bukan
darah. Itu namanya kecap, untuk bumbu menambah asin atau manis masakan.”
Sementara
itu, dua orang pengemis muda yang sudah bebas dari pada daging-daging bulat
kelihatan marah-marah, berdiri dan memandang ke arah meja Kwi Lan sambil
melotot. Empat orang kawannya yang lebih tua juga sudah menengok semua dan
mereka bicara berbisik-bisik satu kepada yang lain, wajah mereka mengancam.
Agaknya mereka sedang mempertimbangkan apa yang akan mereka lakukan terhadap
dua orang muda itu tanpa mengganggu jalannya pesta. Mereka berenam hanyalah tokoh-tokoh
biasa saja yang datang mewakili pengemis golongan hitam, maka tentu saja mereka
segan untuk membuat gaduh dan kacau dalam pesta perayaan pengangkatan ketua
Thian-liong-pang. Akhirnya mereka mengambil keputusan untuk menanti sampai
upacara berakhir, barulah akan memberi hajaran kepada dua orang muda kurang
ajar itu.
Pada saat
itu terdengar ribut-ribut di luar, bentakan suara laki-laki mengiringi tangis
wanita. Semua tamu menengok dan muncullah seorang laki-laki tinggi besar
berjubah seperti pendeta, akan tetapi rambutnya panjang riap-riapan dan mukanya
seperti seekor singa, matanya lebar dan bersinar liar. Laki-laki berusia lima
puluhan tahun ini memegang sebatang cambuk panjang dan dengan cambuk ini ia
menggiring dua belas orang wanita muda-muda dan cantik-cantik seperti seorang
penggembala menggiring ternak saja.Beberapa orang di antara wanita inilah yang
mengeluarkan suara tangisan, dan yang lain berjalan dengan muka pucat dan mata
penuh kecemasan.
Begitu
memasuki ruangan itu, kakek ini tertawa dan wajahnya menjadi makin menyeramkan.
Rambutnya yang riap-riapan dan terhias bunga-bunga cilan, semacam bunga yang
wangi, bergerak-gerak ketika ia tertawa. Melihat tamu ini, Thai-lek-kwi Ma Kiu
berubah air mukanya, menjadi girang dan segera turun sendiri menyambut dan
menjura.
“Wah,
kiranya sahabat Ci-lan Sai-kong yang datang berkunjung. Sungguh merupakan
kehormatan besar bagi kami.”
“Huah-ha-ha-ha!
Thian-liong-pang terkenal dengan Cap-ji-liong (Dua Belas Ekor Naga) yang
sungguh gagah perkasa. Kini yang tertua di antaranya akan menjadi ketua,
benar-benar menambah keangkeran Thian-liong-pang. Pinceng (aku) datang. untuk
memberi hormat kepada Sin-seng Losuhu, dan memberi selamat kepada
Thian-liong-pang dengan ketua barunya. Karena pinceng seorang miskin yang hanya
suka mengumpulkan bunga-bunga harum, maka pinceng hanya dapat memberi sumbangan
dua belas tangkai bunga harum ini untuk hiasan kamar Dua Belas Naga dari
Thian-liong-pang sehingga kamar mereka menjadi harum dan membuat mereka enak
tidur. Ha-ha-ha!”
Kemudian
kakek itu membunyikan cambuknya di atas kepala dua belas orang gadis tawanannya
sambil membentak, “Hayo kalian lekas berlutut di depan majikan-majikan baru
kalian!” Karena agaknya sudah tahu akan kekejaman kakek itu, dua belas orang
gadis ini lalu menjatuhkan diri berlutut sambil menundukkan muka.
Para tamu
yang hadir terdiri dari orang-orang golongan hitam, maka peristiwa ini tidaklah
mengherankan hati mereka, malah banyak di antara mereka tertawa-tawa dan
terdengar komentar di sana-sini memuji dua belas orang gadis itu dan menyatakan
betapa senangnya menerima sumbangan benda hidup seperti itu. Juga Thai-lek-kwi
Ma Kiu dan adik-adik seperguruannya serta para anggota Thian-liong-pang
menganggap hal ini biasa dan sewajarnya saja.
Akan tetapi
karena saat itu adalah saat yang penting dan di situ terdapat banyak tamu, Ma
Kiu merasa malu dan jengah juga. Ia kembali menjura dan berkata, “Ah, Saudara
Ci-lan Sai-kong mengapa begitu sungkan? Kami tidak mengharapkan sumbangan.
Kedatanganmu saja sudah cukup menggirangkan hati kami!” Sungguh pun tidak
menolak secara berterang, namun kata-kata ini menyatakan ketidak-senangan hati
dengan sumbangan itu, karena diberikan bukan pada saatnya yang tepat.
“Ha-ha-ha-ha!”
Kakek itu tertawa sambil mengelus jenggotnya yang kaku. “Sudah kukatakan tadi,
pinceng orang miskin dan hanya suka mengumpulkan cilan. Karena mendengar bahwa
para pimpinan Thian-liong-pang mempunyai kesukaan yang sama dengan pinceng,
maka pinceng membawa dua belas tangkai kembang ini. Jangan Sicu (Tuan yang
Gagah) khawatir, bunga-bunga ini masih murni, datang dari keluarga baik-baik
dan sengaja kupilih untuk Sicu sekalian!”
Pada saat
itu, si Tua Renta Sin-seng Losu yang tadinya duduk melenggut mengantuk di atas
kursi, kini tiba-tiba nampak segar dan tidak mengantuk lagi. Ia duduk tegak di
kursinya, matanya yang setengah lamur itu dilebar-lebarkan untuk memandangi dua
belas orang gadis yang berlutut di atas lantai. Kemudian seperti seorang mimpi
ia berkata, “Sumbangan paling berharga diberikan orang, kenapa banyak rewel?
Kalau tidak suka, boleh giring semua ke kamarku!”
“Huah-ha-ha-ha!”
Ci-lan Sai-kong tertawa bergelak sambil berdongak sehingga perutnya yang besar
bergerak-gerak turun naik, “Sin-seng Losu benar-benar mengagumkan sekali. Orang
boleh tua tapi hati harus tetap muda! Kalau Lo-suhu menghendaki, lain kali
boleh pinceng kirim beberapa tangkai bunga yang lebih muda, lebih cantik dan
lebih harum!”
“Heh-heh,
terima kasih... ini sudah cukup... banyak....”
Biar pun dia
sendiri seorang yang tidak pantang melakukan segala macam maksiat, namun
sebagai calon ketua perkumpulan besar, Ma Kiu merasa malu juga mendengar
percakapan kasar ini. Maka untuk mencegah agar suhunya yang sudah pikun dan
jai-hwa-cat (penjahat pemetik bunga) Ci-lan Sai-kong itu tidak mengeluarkan
omongan-omongan yang tidak patut lagi, ia segera menjura.
“Banyak
terima kasih atas sumbanganmu, kami persilakan duduk dan menikmati hidangan
sekedarnya!” sambil menyuruh adik-adik seperguruannya membawa para gadis itu ke
belakang, ia sendiri lalu mengantar tamu ini ke tempat duduknya.
Hauw Lam
mengerutkan alisnya. Mukanya yang tampan dan biasa bergembira itu berubah sama
sekali, sepasang matanya memancarkan sinar kemarahan. Kwi Lan melihat hal ini
dan merasa heran. Mengapa pemuda, ini marah-marah?
“Kau
kenapa?” Ia bertanya lirih.
“Kenapa?
Hemm, tidakkah kau lihat mereka tadi...?” Hauw Lam menjawab dengan pertanyaan
pula. “Ci-lan Sai-kong itu jai-hwa-cat terkutuk...”
“Apa itu
jai-hwa-cat?”
Dalam kemarahannya,
Hauw Lam berubah gemas dan mengomel. “Kau ini benar-benar tidak tahu apa-apa!
Tidak mengenal masakan masih tidak aneh, akan tetapi seorang dara dengan
kepandaian seperti kau ini yang patut menjagoi dunia kang-ouw, tidak tahu apa
itu jai-hwa-cat benar-benar bikin hati mendongkol. Sekan-akan kau mempermainkan
aku dan pura-pura tidak tahu!”
Kwi Lan
makin heran melihat pemuda ini bertambah kemarahannya. “Eh, kau kenapa sih?
Mabok agaknya, ya? Aku benar-benar tidak tahu, kau marah-marah. Hayo jelaskan,
apa sih yang dinamakan jai-hwa-cat itu? Kakek itu menjemukan, buruk kasar dan
menjijikkan, tapi ia seperti seorang pendeta. Apakah jai-hwa-cat itu seorang
pendeta? Setahuku, pendeta suka memetik daun-daun dan menggali akar-akar untuk
obat. Memetik bunga (jai-hwa) untuk apa?”
“Kau benar
bodoh, Mutiara Hitam! Pendeta itu hanya berkedok pendeta, akan tetapi di balik
kedoknya, ia penjahat yang sejahat-jahatnya. Yang dimaksudkan bunga adalah
seorang gadis atau seorang wanita muda. Dia bukan memetik bunga biasa,
melainkan tukang culik dan ganggu gadis-gadis muda, Kau lihat dua belas gadis
itu....”
“Hemm,
mereka itu orang-orang tidak punya guna. Mereka mau saja dijadikan barang
sumbangan. Perlu apa dipikirkan boneka-boneka hidup itu?”
“Mereka
dipaksa!”
“Ih, aku
tidak melihat mereka dipaksa. Mereka berjalan dengan sukarela sama sekali tidak
melawan.”
“Mereka
orang-orang lemah, bagaimana berani melawan?”
Kwi Lan
mengangkat kedua pundak. Ia tetap tidak mengerti dan tidak mempedulikan nasib
dua belas orang wanita tadi. Hauw Lam makin mendongkol. Gadis aneh yang telah
merampas hatinya ini agaknya selain berwatak luar biasa, juga hatinya keras dan
tidak mempedulikan nasib orang lain.
Tiba-tiba
terjadi keributan kembali dan masuklah dari ruangan depan seorang laki-laki
berusia lima puluh tahun lebih. Tubuhnya tinggi kurus dan wajahnya tampan,
sikapnya agung dan pakaiannya biar pun tidak baru, namun bersih dengan potongan
pakaian pelajar. Di pinggang orang ini tergantung sebatang pedang. Begitu
masuk, semua orang tahu bahwa pelajar tua ini sedang marah, sepasang matanya
yang tajam mengeluarkan sinar. Ia langsung melangkah lebar ke dalam ruangan
tamu, berhenti di depan Sin-seng Losu lalu menudingkan telunjuknya dan
berteriak.
“Sin-seng
Losu! Bagaimana pertanggungan-jawabmu terhadap Thian-liong-pang? Kulihat betapa
Thlan-liong-pang berubah menjadi perkumpulan iblis yang jahat dan yang
mengotorkan nama kami para patriot Hou-han! Tadinya melihat muka mantumu,
Siangkoan Bu yang gagah perkasa dan dapat membawa Thian-liong-pang ke jalan
benar, aku masih bersabar menyaksikan sepak terjangmu. Akan tetapi setelah
Siangkoan Bu meninggal, kau dan murid-muridmu makin merajalela melakukan
kejahatan-kejahatan yang keji, menyeret nama bersih Thian-liong-pang sebagai
tempat perkumpulan para patriot Hou-han menjadi perkumpulan bangsat-bangsat dan
penjahat-penjahat!”
Mendengar
ucapan ini Ma Kiu melompat bangun diturut sebelas orang adik seperguruannya.
“Heh, orang she Ciam! Engkau dahulu memang tokoh Thian-liong-pang, akan tetapi
dengan kehendakmu sendiri kau pergi mengundurkan diri sehingga kalau tidak ada
Suhu kami, tentu Thian-liong-pang sudah bubar dan hancur diperhina orang lain.
Kini Thian-liong-pang menjadi perkumpulan yang besar, dihormati orang di dunia
kangouw, dan kau berani datang bersikap kurang ajar terhadap Suhu? Apakah kau
sudah bosan hidup?”
“Ciam-sicu,
mengingat engkau masih bekas pemimpin Thian-liong-pang dan mengingat akan
hubungan kita yang lalu, biarlah kumaafkan kata-katamu yang kasar tadi.”
Terdengar Sin-seng Losu berkata tenang. “Akan tetapi katakanlah mengapa
datang-datang kau memaki dan marah-marah? Bukankah anak buahku sudah pula
memberi kabar kepadamu dan memberi undangan?”
“Aku tidak
peduli akan upacara pengangkatan ketua baru, asal saja Thian-liong-pang dibawa
ke jalan benar. Akan tetapi aku sedang mengejar Ci-lan Sai-kong si Penjahat
Pemetik Bunga yang terkutuk, yang telah menculik belasan orang gadis. Siapa
kira, dua belas orang gadis itu diculiknya untuk diantarkan ke sini! Hayo
menyangkallah kalau bisa! Bukankah Sai-kong keparat itu mengantarkan mereka ke
sini sebagai sumbangan? Beginikah wataknya para pimpinan Thian-liong-pang
sekarang? Begini rendah dan bejat?”
“He-heh, Ciam-sicu.
Apa pun yang dipersembahkan orang, kalau itu merupakan sumbangan, tidak baik
untuk ditolak. Menolaknya berarti menghina dan tidak menghargai maksud baik
orang lain. Memang kami telah menerima sumbangan Ci-lan Sai-kong. Akan tetapi
kalau kau menghendaki mereka, biarlah kuberikan mereka kepadamu,” kembali Ketua
Thian-liong-pang itu berkata penuh kesabaran. Ia sebetulnya tidak takut
terhadap orang she Ciam itu, akan tetapi mengalah karena mengingat akan
perhubungan mereka yang lalu.
Ciam Goan
ini dahulu adalah seorang di antara pimpinan Thian-liong-pang dan terkenal
aktif serta setia terhadap perkumpulan. Baru sepuluh tahun yang lalu ia
mengundurkan diri dan tidak pernah mencampuri Thian-liong-pang karena makin
tidak suka akan sepak terjang pimpinan baru. Baru sekarang ia tiba-tiba muncul
dan marah-marah karena melihat betapa penjahat pemetik bunga yang
dikejar-kejarnya itu memberikan gadis-gadis culikannya sebagai sumbangan kepada
pimpinan Thian-liong-pang!
“Sin-seng
Losu! Kau masih mempunyai rasa malu, itu bagus. Lekas bebaskan dua belas orang
gadis itu dan selanjutnya aku tidak akan mencampuri urusan Thian-liong-pang
lagi karena semenjak saat ini, aku bersumpah takkan sudi lagi menginjak lantai
ini!”
Mendengar
kata-kata ini, Sin-seng Losu menoleh ke arah dua belas orang muridnya. Sikapnya
jelas hendak mengalah dan gerakan mukanya merupakan perintah agar
murid-muridnya membebaskan dua belas orang gadis sumbangan Ci-lan Sai-kong. Di
dalam hatinya Ma Kiu dan adik-adiknya merasa mendongkol dan marah sekali.
Mereka memang suka dengan wanita-wanita cantik, akan tetapi bagi mereka amat
mudah mendapatkan wanita cantik, baik dengan mengandalkan uang, kedudukan, mau
pun kepandaian dan tentu saja mereka tidak begitu kukuh, untuk menahan dua
belas orang gadis tadi.
Akan tetapi
sikap Ciam Goan amat merendahkan mereka dan kalau mereka mengalah, mereka
merasa malu kepada para tamu. Selain itu, mereka pun tahu bahwa gurunya
mengalah hanya karena mengingat bahwa Ciam Goan ini dahulu bekas pemimpin
Thian-liong-pang. Soal kepandaian, sungguh pun Ciam Goan cukup lihai, namun
mereka tidak gentar menghadapinya. Karena inilah, Ma Kiu menjadi ragu-ragu
untuk menyetujui sikap gurunya yang mengalah.
Pada saat
itu terdengar suara ketawa keras dan Ci-lan Sai-kong sudah melompat bangun
menghadapi Ciam Goan. Sambil bertolak pinggang orang tinggi besar itu tertawa
dan berkata. “Huah-ha-ha-ha! Cacing kurus yang bicara besar dan sombong! Engkau
bilang mengejar dan mencari pinceng? Dua belas tangkai bunga itu adalah pinceng
yang menyumbangkan kepada dua belas orang gagah Thian-liong-pang, dan karena
pinceng masih berada di tempat ini, masih menjadi tanggung jawab pinceng!”
“Bagus!
Memang aku akan membunuhmu, jai-hwa-cat!” bentak Ciam Goan dengan marah.
Bekas tokoh
Hou-han ini tidak peduli akan semua tamu lain karena kemarahannya sudah
meluap-luap. Yang membuat marah sekali bukan hanya melihat penjahat cabul
penculik gadis-gadis remaja itu, melainkan terutama sekali karena melihat
betapa Thian-liong-pang yang tadinya menjadi harapan para patriot Hou-han untuk
membangun kembali kerajaan yang sudah runtuh, kini ternyata menyeleweng menjadi
sarang penjahat kejam terkutuk. Maka kini dengan kemarahan meluap ia mencabut
pedangnya dan langsung menerjang Sai-kong itu dengan tusukan kilat ke arah
dada.
Harus
diketahui bahwa Ciam Goan ini adalah putera tunggal mendiang Ciam-ciangkun,
seorang panglima Kerajaan Hou-han. Dalam hal ilmu pedang, ia telah digembleng
oleh seorang pamannya, adik ibunya, juga seorang panglima, yaitu Panglima Giam
Siong yang terkenal jagoan. Ilmu pedangnya bersumber kepada ilmu pedang
Kun-lun-pai, maka mengutamakan kecepatan gerak dan perubahan.
Mendengar
suara angin pedang berdesing dan melihat serangan yang cepat ini, Ci-lan
Sai-kong tidak berani memandang rendah. Sambil berseru keras ia sudah meloncat
mundur sambil mengibaskan lengan bajunya yang lebar dengan tangan kiri,
sedangkan tangan kanannya sudah menghunus ke luar sebatang golok tipis yang
mengkilap saking tajamnya.
Ujung pedang
di tangan Ciam Goan sudah datang lagi dengan tusukan ke arah leher. Kini Ci-lan
Sai-kong menggerakkan goloknya menangkis sambil mengerahkan tenaga. Sai-kong
ini adalah seorang ahli gwakang (tenaga luar) sehingga tenaganya amat besar.
Terdengar
bunyi nyaring ketika dua senjata beradu. Diam-diam Ciam Goan terkejut sekali.
Untung tadi sudah menduga akan besarnya tenaga lawan, sehingga ia telah
mengerahkan Iweekang dan ketika pedangnya ditangkis, ia dapat menghadapi tenaga
keras dengan tenaga lemas. Dengan cara ini, walau pun tertangkis keras,
pedangnya tidak terpental melainkan menempel pada golok sehingga tidak ada
bahaya terlepas atau rusak.
Selagi
Sai-kong itu terkejut karena tangkisannya yang keras tidak berhasil membuat
pedang lawan terpukul jatuh, Ciam Goan sudah membuat pedangnya meleset dan
langsung dengan gerakan nyerong pedangnya itu menyambar ke arah lengan kanan
lawan. Inilah jurus ilmu pedang Kun-lun yang bernama Hun-in-toan-san (Awan
Melintang Putuskan Gunung), amat berbahaya karena yang diserang bukan bagian
tubuh lain melainkan lengan kanan yang memegang golok!
Hebatnya
jurus ini adalah karena pedang itu akan terus mengulang gerakannya membabat
dari kanan ke kiri dan sebaliknya tanpa memberi kesempatan kepada lawan untuk
balas menyerang. Kecepatannya mengandalkan kepada gerak pergelangan tangan,
maka cepatnya bukan main dan lawan yang diserang tentu akan menjadi bingung.
Demikian
pula dengan Ci-lan Sai-kong. Melihat pedang lawannya membabat ke arah lengan
kanannya, ia kaget sekali dan cepat ia menarik lengan kanannya sambil memutar
golok, siap membalas. Akan tetapi alangkah kagetnya ketika pedang yang lewat ke
sebelah kirinya itu kini membalik dengan kecepatan kilat dan telah membabat
lagi ke arah pinggangnya! Tak disangkanya lawan akan dapat mengulangi serangan
sedemikian cepatnya, maka ia pun menggerakkan golok menangkis.
Namun tetap
saja Ciam Goan dapat terus menyambung serangannya. Begitu tertangkis, pedangnya
membalik dan meluncur dengan babatan dari samping, demikian pula kalau
dielakkan sehingga Sai-kong itu mengalami penyerangan berantai yang membuat dia
repot menyelamatkan diri.
Akan tetapi
Ci-lan Sai-kong juga bukan seorang lemah. Selain memiliki dasar ilmu silat
tinggi, juga ia sudah kenyang akan pengalaman bertanding. Inilah sebabnya maka
menghadapi serangan Hun-in-toan-san yang amat lihai ini ia pun tidak kekurangan
akal. Melihat betapa pedang lawan selalu membabat dari kanan ke kiri dan sebaliknya,
sedangkan yang diserang adalah pinggang ke atas, tiba-tiba ia mengeluarkan
bentakan keras dan tubuhnya lalu rebah dan menggelinding ke atas tanah. Ia
tidak hanya menggelinding untuk menyelamatkan diri, melainkan juga berguling
untuk mendekati lawan dan goloknya menyambar-nyambar dari bawah, membabat kaki
lawan dan juga ada kalanya menusuk ke arah perut.
Inilah
Tee-tong-to (Ilmu Golok Bergulingan) yang amat berbahaya. Segera keadaan
menjadi berubah. Kalau tadi Ciam Goan berada di pihak penyerang dan pendesak
dengan jurus Hun-in-toan-san, kini si Penjahat Pemetik Bunga itu yang mendesak
dengan Tee-tong-to. Ciam Goan menjadi repot sekali, harus meloncat ke sana ke
mari dan pedangnya melindungi tubuh bagian bawah, bagian yang amat sulit
dilindungi dengan pedang.
“Wah, ramai
betul!” Hauw Lam berkata dengan wajah gembira. “Kalau tidak hati-hati orang she
Ciam itu tentu akan celaka.”
“Tidak
mungkin!” bantah Kwi Lan.
“Biar pun
ilmu pedangnya hanya permainan kanak-kanak, sedikitnya ia lebih baik dari pada
brewok itu.”
Hauw Lam
melirik ke arah gadis ini. Terlalu sombongkah gadis ini, atau memang
betul-betul berkepandaian begitu tinggi sehingga menganggap ilmu pedang Ciam
Goan yang jelas bersumber ilmu pedang Kun-lun itu dianggap permainan
kanak-kanak.
“Kumaksudkan
bukan dalam pertandingan melawan Sai-kong itu. Melawan dia, kiranya takkan
kalah karena kulihat Sai-kong itu hanya luarnya saja kelihatan kuat, akan
tetapi dalamnya sudah lapuk seperti pohon tua, napasnya sudah hampir putus.
Yang kukhawatirkan adalah orang-orang Thian-liong-pang. Lihat saja sikap Dua
Belas Naga itu dan kurasa Ciam Goan belum tentu akan dapat meninggalkan tempat
ini dengan selamat.”
Kini Kwi Lan
yang merasa heran. Ia tidak berkata apa-apa, akan tetapi hatinya penasaran. Ia
belum berpengalaman seperti Hauw Lam, tidak mengenal watak orang-orang
kang-ouw.
Sementara
itu, pertandingan antara dua orang itu makin seru. Kini Ci-lan Sai-kong tidak
lagi menggunakan Tee-tong-to karena ia menjadi kelelahan sendiri setelah
puluhan jurus ia lakukan tanpa hasil. Memang Tee-tong-to sungguh pun lihai dan
berbahaya bagi lawan, namun untuk memainkannya membutuhkan tenaga dan napas
panjang. Ada pun Ci-lan Sai-kong, sungguh pun terlatih baik dan banyak
pengalaman, namun tepat seperti dikatakan Hauw Lam tadi, di sebelah dalam
tubuhnya ia sudah lemah.
Sai-kong ini
adalah seorang abdi nafsu, seorang yang selalu mengumbar nafsu sehingga tentu
saja kekuatan-kekuatan sebelah dalam tubuhnya menjadi lemah dan mana ia mampu
bertahan melawan seorang yang ulet dan kuat seperti Ciam Goan? Kini keringatnya
sudah membasahi muka dan leher, napasnya mulai terengah-engah seperti orang
dikejar setan.
Melihat
keadaan lawan ini, Ciam Goan lalu mendesak dan menerjang dengan jurus
Seng-siok-hut-si (Musim Panas Kebut Kipas). Jurus ini amat gencar seperti
gerakan kipas di tangan, bahkan lebih gencar serangannya dari pada jurus
Hun-in-toan-san tadi. Tiga kali Sai-kong itu mengelak dan menangkis, keempat
kalinya ketika ujung pedang menotok iga kiri, ia cepat melakukan jurus
Hwai-tiong-po-gwat (Peluk Bulan Depan Dada) untuk melindungi iganya dengan golok
sambil tangan kirinya bergerak memukul dada lawan. Namun siapa kira, Ciam Goan
sudah merobah gerakan pedangnya, ia tidak jadi menotok iga, melainkan memutar
pedangnya ke kanan dan....
“Crakkkk!”
lengan kiri Sai-kong itu terbabat putus sebatas siku!
“Aduhh...!”
Sai-kong itu terhuyung dan Ciam Goan sudah menerjang maju untuk mengirim
tusukan terakhir.
Akan tetapi
pada saat itu tampak sinar putih meluncur cepat dan....
“Traanggg...!”
pedang di tangan Ciam Goan terpental dan lepas dari pegangannya. Sebatang
sumpit gading yang tadi menghantam pedang itu jatuh ke atas lantai di depannya.
Pucat wajah
Ciam Goan. Kiranya Ma Kiu yang menyambitkan sumpit itu untuk menangkis
pedangnya dan menyelamatkan nyawa Ci-lan Sai-kong. Lemparan sumpit saja sudah
dapat meruntuhkan pedangnya. Baru lemparan sumpit begitu hebat, apa lagi kalau
orangnya maju! Ciam Goan menghela napas dan berkata, “Kepandaian Thai-lek-kwi
memang hebat. Seorang saja sudah sehebat itu, apa lagi kalau Cap-ji-liong dari
Thian-liong-pang maju bersama. Akan tetapi aku Ciam Goan seorang laki-laki yang
tidak takut mati. Majulah kalian semua dan mari kita mengadu nyawa di sini!”
Sikap Ciam
Goan benar-benar amat gagah sehingga diam-diam Kwi Lan menjadi kagum sekali.
Diam-diam gadis ini sudah siap-siap untuk membela orang gagah itu. Ia mendengar
kawannya berbisik, “Kalau dia dikeroyok, hemmm... akan kucabuti semua rambut
dari muka Ma Kiu berikut bulu-bulu hidungnya!”
Mau tidak
mau Kwi Lan tertawa geli mendengar ucapan ini. Karena gadis ini wajar dan
polos, maka suara ketawanya tidak ia tahan-tahan. Padahal waktu itu keadaan
sudah amat tegang dan amat sunyi. Tidak ada suara keluar dari para tamu yang
menanti perkembangan selanjutnya yang menegangkan. Tentu saja suara ketawa
gadis ini terdengar jelas.
Sin-seng
Losu lalu bangkit berdiri. Suara ketawa Kwi Lan tadi seakan-akan menampar
mukanya dan ia berkata, “Sudahlah, kami sedang hendak melakukan upacara
penting, tidak perlu pertandingan dilanjutkan berlarut-larut. Apa lagi kami
tidaklah serendah itu untuk melakukan pengeroyokan terhadap seorang yang tidak
berapa pandai seperti Ciam-sicu, kau sudah berhasil mengalahkan Ci-lan
Sai-kong, nah, tidak lekas pergi dari sini mau tunggu apa lagi?”
Ciam Goan
menghela napas dan berkata, “Aku harus tahu diri, tak mungkin dapat melawan
kalian. Biarlah dua belas orang gadis ini tersiksa di sini, aku tidak berdaya
menolong. Akan tetapi ingat, Ciam Goan bukan seorang yang mudah melupakan
kejahatan macam ini. Lain kali kita bertemu pula!” Setelah berkata demikian,
Ciam Goan memungut pedangnya lalu pergi meninggalkan tempat itu.
Ci-lan
Sai-kong sudah ditolong dan diobati lengannya yang buntung, tempat itu sudah
dibersihkan oleh pelayan dan Ci-lan Sai-kong sudah disuruh mengaso di kamar
belakang.
“Cu-wi
sekalian dipersilakan berdiri, upacara akan dilakukan sekarang juga!” Sin-seng
Losu berseru keras dan semua tamu bangkit berdiri dari tempat duduk
masing-masing.
Biar pun
merasa tak senang, Kwi Lan yang melihat Hauw Lam berdiri dengan muka melucu
terpaksa bangkit juga. Suasana kembali menjadi sunyi sehingga langkah seorang
murid kepala Thian-liong-pang yang membawa panci, diikuti saudara-saudaranya,
terdengar nyata. Sambil berlutut murid itu memberikan panci kepada Sin-seng
Losu yang sudah bangkit berdiri dari kursinya. Dengan kedua tangan ia memegang
panci itu.
Pada saat
itu Thai-lek-kwi Ma Kiu maju dan berlutut menghadap para tamu. Seorang murid
lain datang pula dari belakang dan terdengarlah hiruk-pikuk suara anjing
menggonggong. Kiranya murid ini datang menyeret seekor anjing hitam ke depan
gurunya. Tanpa berkata sesuatu Sin-seng Losu menggerakkan tangan kiri dengan
dua jari terbuka, menusuk leher anjing hitam itu. Terdengar anjing itu menguik
keras akan tetapi oleh murid tadi ekornya dipegang dan tubuhnya diangkat ke
atas. Dari lehernya yang berlubang bercucuran darah yang ditampung oleh
Sin-seng Losu ke dalam panci tadi. Anjing tadi meronta-ronta dan menguik-nguik,
akhirnya darahnya habis dan ia berhenti berkelojotan. Bangkainya lalu
dilemparkan ke sudut oleh si Murid yang lalu mengundurkan diri.
Beberapa
orang pelayan lalu mengangkat bangkai itu ke belakang dan Kwi Lan mendengar
suara Hauw Lam berbisik di belakangnya, “Hemm, tentu dimasak daging anjing
itu.”
“Ihhh...!”
Kwi Lan berseru kaget, akan tetapi mereka lalu mengalihkan perhatian lagi ke
tengah ruangan di mana Sin-seng Losu memegang panci berisi darah anjing hitam.
Kakek ini
lalu mengangkat panci tinggi-tinggi dan berkata, “Dengan disaksikan oleh Cu-wi
sekalian, dan dengan syarat sudah ditentukan dalam perkumpulan Thian-liong-pang
kami, saat ini aku menyerahkan kedudukan Pangcu (Ketua) kepada muridku yang
pertama, Ma Kiu. Nyawa anjing hitam itu menjadi saksi dan darahnya menghalau
semua iblis yang hendak mengganggu tugasnya!” Setelah berkata demikian, Sinseng
Losu menyiramkan darah anjing hitam itu ke atas kepala Ma Kiu yang botak!
“Ihhh...!”
kembali Kwi Lan berseru dan seperti terpesona ia pun menuangkan kecap dari
botol ke dalam cangkirnya sampai penuh! Kecap itu kental dan merah seperti
darah.
“Hemmm,
benar-benar keji dan kotor,” bisik Hauw Lam di belakangnya. “Mutiara Hitam, aku
sudah muak dan tanganku juga gatal-gatal karena diam saja sejak tadi di sini.
Apakah menyaksikan lagak badut-badut ini kita harus diam saja? Hayo kau
ramaikan tontonan di sini, kau tarik perhatian mereka dan aku akan masuk
menolong gadis-gadis tadi. Atau aku yang memancing keributan sedangkan kau yang
menolong...?”
“Ah, peduli
amat dengan mereka. Kalau kau mau menolong, pergilah. Aku... aku ingin mencoba
sampai di mana kelihaian mereka ini!”
Hauw Lam
mengangguk, lalu diam-diam ia menyelinap pergi menggunakan kesempatan selagi
semua orang mencurahkan perhatian kepada upacara pengangkatan ketua baru. Kwi
Lan yang memang sejak tadi mendongkol dan tidak senang mendengar niat Hauw Lam
hendak menolong dua belas orang gadis-gadis itu, entah mengapa hatinya makin
tidak senang lagi. Dan kini ia ingin menumpahkan kemarahan hatinya kepada
orang-orang Thian-liong-pang. Ia membawa cangkir kecap itu menuju ke depan,
lalu berkata.
“Pangcu yang
baru diangkat dengan siraman darah anjing. Kalau dia suka darah biarlah aku
mengucapkan selamat dengan darah naga ini!” Kwi Lan tersenyum manis dan begitu
ia menggerakkan tangan kanan, ‘darah’ dalam cangkirnya menyiram ke luar dan
dengan kecepatan luar biasa menyambar kepala dan muka Ma Kiu yang masih
berlepotan darah akan tetapi sudah duduk di kursi ketua yang tadi diduduki
suhunya!
Namun Ma Kiu
memang lihai. Tanpa turun dari kursinya, ia mengerahkan tenaga dan... berikut
kursi yang didudukinya ia telah meloncat. Kursinya itu telah pindah ke kiri
sejauh satu meter! Akan tetapi karena sambaran kecap itu luar biasa cepatnya,
ia tidak dapat menghindarkan lagi sebagian kecap menyiram pipinya dan memasuki
mulutnya. Ketika ia tahu bahwa yang menyiram mukanya adalah kecap, mengertilah
Ma Kiu bahwa gadis itu sengaja mencari gara-gara. Akan tetapi karena tadi
mengira bahwa gadis itu adalah utusan Jin-cam Khoa-ong, Ma Kiu masih menahan
kemarahannya, lalu berseru dengan nada marah.
“Nona
sebagai tamu yang kami hormati, sebagai utusan Pak-sin-ong yang kami muliakan,
apakah arti perbuatanmu ini?”
Kwi Lan
tersenyum mengejek. Sejak tadi ia sudah tidak senang kepada mereka, terutama Ma
Kiu. Ia memang tidak peduli akan nasib dua belas orang wanita muda tadi, akan
tetapi mereka itu ia anggap terlalu sombong, tidak memandang mata kepadanya
sehingga melakukan apa saja di depannya seakan-akan ia tidak akan bisa berbuat
sesuatu! Memang watak Kwi Lan aneh sekali dan ia hanya selalu menurutkan
perasaan hatinya. Kalau perasaan hatinya suka, seperti terhadap Hauw Lam, ia
pun akan bersikap baik.
“Artinya,
Brewok, bahwa aku setuju dengan ucapan orang she Ciam tadi, bahwa Thian-liong-pang
dipimpin oleh orang-orang yang busuk! Bahwa kuanggap engkau seorang yang suka
mandi darah anjing hitam, tak patut menjadi Ketua Thian-liong-pang, patutnya
menjadi tukang jagal anjing!”
Semua orang
terbelalak kaget mendengar ini dan semua tamu menahan napas. Omongan itu
merupakan penghinaan yang tiada taranya! Apa lagi bagi mereka yang mengenal
bahwa dahulunya Ma Kiu adalah seorang tukang jagal, maka omongan gadis itu yang
entah disengaja atau tidak mereka tidak tahu tentu amat menyakitkan hati ketua
baru Thian-liong-pang ini. Dan memang sesungguhnyalah, setelah sesaat
terbelalak seperti arca saking kaget dan herannya, wajah Ma Kiu perlahan-lahan
menjadi merah sekali sampai ke telinganya. Kedua tangannya mencengkeram lengan
kursinya dan kalau ia tidak ingat bahwa kursi itu adalah kursi ketua tentu
lengan kursi itu telah diterkamnya hancur untuk melampiaskan kemarahannya.
“Bocah
kurang ajar!” bentaknya, Suaranya menggetar saking marahnya. “Biar pun engkau
utusan dari utara, apa kau kira kau boleh bersembunyi di balik nama Jin-Cam
Khoa-ong untuk menghinaku?”
Kwi Lan
tertawa, menggunakan tangan kanannya secara main-main meremas cangkir bekas
kecap tadi sehingga cangkir itu hancur lebur menjadi tepung dalam genggaman
tangannya yang berkulit halus, lalu berkata, “Siapa bilang aku kaki tangan
Jin-cam Khoa-ong? Biar dia algojo manusia mau pun algojo anjing seperti engkau,
aku sama sekali tidak mengenalnya. Siapa kesudian bersembunyi di belakang
namanya?”
Mendengar
ini kembali semua orang melengak kaget. Kalau dara remaja itu tadi bersikap
ugal-ugalan dan kurang ajar, mereka semua mengira bahwa gadis itu adalah
kepercayaan Jin-cam Khoa-ong dan hal itu tidaklah begitu aneh. Akah tetapi
setelah kini gadis itu sendiri menyangkal menjadi orang Pak-sin-ong dan berani
menghina tokoh besar itu pula di depan orang banyak, benar-benar mereka menjadi
kaget dan heran sekali. Gilakah dara remaja ini? Kalau gila, alangkah
sayangnya. Dara remaja ini begitu cantik jelita.
Lebih-lebih
lagi Ma Kiu sendiri. Kemarahannya meluap-luap dan diam-diam ia pun lega bahwa
dara ini bukan utusan Jin-cam Khoa-ong, karena dengan kenyataan ini ia boleh
berbuat sesuka hatinya terhadap gadis ini.
“Bagus!”
teriaknya sambil bangkit berdiri. “Kalau begitu, biarlah kau menjadi tawanan
kami dan akan kau rasakan penderitaan yang akan membuat kau merindukan
kematian!” Dalam suara ini terkandung ancaman yang hebat dan mengerikan.
Akan tetapi
Kwi Lan tidak mengenal apa itu artinya takut dan ngeri. Ia malah tertawa.
“Sudah, jangan membadut lagi. Sudah sejak tadi aku muak mendengar dan melihat
segala yang terjadi di sini. Lekas keluarkan kuda hitamku, Nonamu hendak
pergi!”
Sambil
berkata demikian Kwi Lan menggunakan tangan kiri untuk mengebut-ngebutkan
bajunya. Karena ia baru saja melakukan perjalanan jauh bersama Hauw Lam dengan
naik kuda, tentu saja pakaiannya banyak debunya dan begitu ia kebut-kebutkan,
debu mengepul ke sekelilingnya dan mengotori meja-meja tamu lainnya.
“Wanita
keparat! Kau belum tahu lihainya tuan besarmu!” Thai-lek-kwi Ma Kiu sudah tak
dapat menahan kemarahannya lagi dan kini hendak melangkah maju.
Akan tetapi
terdengar suara Sin-seng Losu di belakangnya. “Seorang ketua tidak sepatutnya
melayani segala anak kecil. Apakah Thian-liong-pang sudah tidak ada orang lain
untuk membereskan kuda betina liar ini? Hayo, siapa berani maju menangkapnya?
Tangkap dan bawa ke kamarku, aku butuh yang liar macam ini untuk menambah
semangatku!”
Untung bahwa
Kwi Lan masih hijau dan tidak tahu apa yang dimaksudkan kakek ini. Kalau ia
tahu tentu ia takkan dapat menahan kemarahannya lagi.
Tiba-tiba
dari golongan tamu melompat ke luar seorang laki-laki muda yang berpakaian tambal-tambalan
namun bersih. Pengemis muda ini menjura ke arah kursi ketua dan berkata, “Betul
apa yang dikatakan Lo-suhu tadi. Thian-liong-pang tidak perlu repot-repot, di
antara tamu-tamu yang hadir masih banyak yang sanggup menangkap bocah ini.
Biarlah saya menangkap siluman cantik ini untuk Thian-liong-pang!”
“Ha-ha-ha,
sahabat-sahabat dari Hek-coa Kai-pang memang selalu merupakan sahabat-sahabat
baik kami. Tidak percuma bersahabat dengan Hek-coa Kai-pang. Silakan
Siauw-sicu” kata Sin-seng Losu.
Pengemis
muda itu dengan lagak sombong, mengangkat muka dan membusungkan dadanya,
melangkah maju menghampiri Kwi Lan. Dia adalah seorang di antara dua pengemis
muda yang tadi dipaksa menelan daging kambing oleh Kwi Lan, maka tentu saja ia
tidak menyia-nyiakan kesempatan ini untuk membalas penghinaan tadi. Akan tetapi
karena wataknya memang mata keranjang, begitu melihat wajah jelita, hatinya
sudah berdebar-debar dan timbul niat hatinya untuk mempermainkan Kwi Lan. Ia
tersenyum dibuat-buat, matanya memandang kurang ajar, dan berkata,
“Nona kecil
bermulut besar! Kau tidak tahu tingginya langit lebarnya bumi, berani mengacau
Thian-liong-pang dan tidak memandang sebelah mata kepada para tamunya. Dosamu
besar sekali dan sudah sepatutnya kau dihukum mati. Akan tetapi tuan mudamu
yang melihat bahwa kau masih muda remaja dan cantik jelita, bersedia memberi
ampun asal saja kau suka berlutut dan menganggukkan kepala delapan kali lalu
berjanji akan melayani dengan manis segala kehendak Sin-seng Lo-suhu dan...
aduuuhhh....” Pengemis muda itu tidak melanjutkan kata-katanya karena ia keburu
mati dengan gosong dan tulang-tulangnya remuk. Pukulan Kwi Lan yang disertai
kemarahan hebat itu membuat ia terlempar sampai menimpa meja di depan Ma Kiu si
ketua baru!
Kagetlah
semua yang hadir di situ. Terutama sekali lima orang pengemis anggota Hek-coa
Kai-pang yang melihat seorang saudaranya dalam segebrakan saja terpukul tewas,
segera melompat bangun dari tempat duduk masing-masing. Saudara muda mereka
tadi, biar pun bukan anggota pimpinan teratas dari Hek-coa Kai-pang, namun
merupakan seorang tokoh yang memiliki ilmu kepandaian tinggi juga. Bagaimanakah
dapat roboh binasa hanya sekali pukul oleh gadis remaja itu?
Sekali
melompat mereka tiba di dekat meja Ketua Thian-liong-pang yang tertimpa tubuh
saudara muda mereka dan begitu melihat dada dan muka pengemis muda itu biru
menghitam, mereka mengeluarkan seruan kaget dan marah. Hek-coa Kai-pang adalah
perkumpulan pengemis dunia hitam yang terkenal akan kelihaian mereka bermain
racun. Kini seorang anggota mereka tewas oleh pukulan yang mengandung racun
hebat!
“Thian-liong-pangcu,
maafkan kami yang terpaksa harus turun tangan terhadap siluman betina ini!”
berkata seorang di antara lima orang pengemis itu kepada Ma Kiu.
Setelah
berkata demikian lima orang pengemis ini sudah meloncat dan mengurung Kwi Lan
yang berdiri dengan sikap tenang. Di tangan mereka tampak pedang yang sudah
siap untuk menerjang dan mengeroyok. Akan tetapi melihat pukulan beracun yang
hebat itu, pula mendengar bahwa gadis itu tadi menyangkal sebagai utusan Pak-
sin-ong, pengemis tertua berlaku hati-hati dan berkata.
“Nona muda,
engkau sudah berani lancang tangan membunuh seorang di antara saudara kami.
Hayo mengaku, siapakah engkau dan dari partai mana agar kami dapat
mempertimbangkan tindakan kami selanjutnya terhadap dirimu.” Kata-kata ini
mengangkat kedudukan para pengemis itu ke tempat atas dan memang inilah yang
dimaksudkan oleh pengemis itu untuk menutup rasa malu karena mereka berlima
mengurung seorang nona muda.
“Apakah kau
tuli? Tadi sudah diperkenalkan namaku Mutiara Hitam, bukan dari partai mana pun
juga. Saudaramu mampus oleh tingkahnya sendiri. Apakah masih ada lagi yang
sudah ingin mampus? Kalau ada, boleh maju biar aku membantunya pergi ke neraka
agar dunia ini tidak terlalu kotor. Kalau tidak ada, hayo keluarkan kuda hitam,
Nonamu sudah jemu dan ingin pergi dari sini.”
Pengemis tua
itu tak dapat menahan kemarahannya dan berseru. “Saudara-saudara, kalau kita
tidak dapat membalas kematian saudara muda kita, percuma saja menjadi anggota
Hek-coa Kai-pang!” Seruan ini merupakan komando bagi teman-temannya dan
serentak mereka menggerakkan pedang mengirim serangan.
Akan tetapi
lima orang pengemis ini hanya melihat si Nona menggerakkan kedua tangannya
tanpa berpindah tempat dan... pedang mereka membalik dan menghantam diri mereka
sendiri. Benar-benar amat luar biasa gerakan kedua tangan Kwi Lan ini. Setiap
sambaran pedang ia sambut dengan tangan terbuka dan dengan gerakan aneh yang
mengeluarkan hawa pukulan amat kuatnya. Pedang yang menyambar dadanya membalik
ke dada si Pemegang Pedang, yang menyambar pundak membalik ke pundak si
Penyerang dan demikian seterusnya sehingga terdengar teriakan-teriakan
kesakitan ketika lima orang pengemis ini roboh berturut-turut oleh
bacokan-bacokan dan tusukan-tusukan mereka sendiri!
Melihat
gerakan luar biasa yang mendatangkan akibat aneh itu, Ma Kiu yang berkepandaian
tinggi maklum bahwa biar pun masih amat muda, gadis itu benar-benar lihai
sekali. Kalau tidak lekas turun tangan membekuk atau membinasakan gadis yang
mengacau perkumpulannya ini tentu setidaknya akan mengurangi keangkeran
Thian-liong-pang, demikian pikirnya.
Maka ia lalu
berseru. “Tangkap siluman ini!” Ia memberi isyarat dan sebelas orang adik seperguruannya
mengikuti gerakannya menghampiri Kwi Lan.
Gadis ini
teringat akan cerita Hauw Lam, akan kehebatan Cap-ji-liong yang katanya
disegani oleh tokoh-tokoh kang-ouw, maka ia bersikap hati-hati namun wajahnya
tetap berseri dan bibirnya tersenyum mengejek.
“Inikah yang
disebut Dua Belas Ekor Naga dari Thian-liong-pang? Hemm, Sungguh gagah!” kata
Kwi Lan sambil tersenyum.
Merah muka
Ma Kiu. Sebagai ketua baru Thian-liong-pang, sungguh amat memalukan kalau ia
harus maju bersama sebelas orang sute-nya untuk mengeroyok seorang gadis
remaja. Nama Cap-ji-liong sudah tersohor. Masa kini menghadapi seorang gadis
remaja mereka harus maju bersama? Akan tetapi gadis ini aneh ilmu silatnya, dan
kalau sekali turun tangan Cap-ji-liong tidak mampu merobohkannya, hal itu akan
lebih memalukan lagi.
“Bocah,
kalau kau sudah mendengar tentang Cap-ji-liong, mengapa banyak tingkah?
Cap-ji-liong selamanya maju bersama. Karena kau menjadi tamu, berarti kami
kurang sopan kalau turun tangan di sini. Jika engkau benar-benar berani kami
menantangmu untuk mengadu kepandaian di ruangan silat!”
Ucapan ini
sedikit banyak menghapus rasa malu pihak Thian-liong-pang karena berarti bahwa
dua belas orang tokohnya bukan sekali-kali hendak mengeroyok begitu saja,
melainkan telah melakukan tantangan secara berterang. Kalau gadis ini tahu diri
dan menolak tantangan lalu pergi meninggalkan tempat itu tentu Cap-ji-liong
tidak akan menghalanginya. Semua tamu menduga bahwa gadis itu tentu akan
mempergunakan kesempatan ini untuk pergi menyelamatkan diri, karena melawan
Cap-ji-liong berarti mencari mati. Akan tetapi alangkah kaget hati mereka
ketika melihat gadis itu tersenyum lebar dan menjawab,
“Kalian
menantangku? Boleh, siapa takut akan pengeroyokan kalian? Hayo, hendak kulihat
seperti apa kepandaian Cap-ji-liong!” Kwi Lan yang tidak mengenal apa artinya
takut, tentu saja tidak dapat menolak tantangan ini, yang diucapkan dengan
kata-kata ‘kalau ia berani’! Ia seorang gadis remaja yang baru saja turun ke
dunia ramai, sama sekali belum berpengalaman dan hanya mengandalkan kepandaian
luar biasa serta keberanian saja. Kalau ia berpengalaman, tentu ia akan menaruh
curiga mengapa Cap-ji-liong menantangnya dengan memilih tempat.
“Bagus!”
seru Ma Kiu. “Mari ke lian-bu-thia (ruangan silat), biarlah para tamu yang
terhormat menjadi saksi bahwa kau menerima tantangan Cap-ji-liong untuk
bertanding di lian-bu-thia!”
Sambil
membusungkan dada, sedikit pun tidak gentar, Kwi Lan berjalan mengikuti Ma Kiu
ke ruangan belakang di mana terdapat ruangan silat yang luas dan berbentuk
bundar. Sebelas orang adik seperguruan Ma Kiu berjalan di belakangnya, kemudian
berbondong-bondong para tamu yang ingin menyaksikan pertandingan itu membanjiri
ruangan silat pula.
Kini mereka
telah berhadapan. Kwi Lan memperhatikan mereka. Ma Kiu yang menjadi pimpinan
berdiri di tengah sedangkan sebelas orang lain berdiri di kanan kirinya. Mereka
tampak gagah dan kereng. Melihat gerak-gerik mereka, memang dapat dibayangkan
bahwa Cap-ji-liong rata-rata memiliki kepandaian tinggi. Juga usia dan pakaian
mereka bermacam-macam. Ada yang sudah tua, ada yang masih amat muda. Ada yang
berpakaian seperti tosu, ada yang gundul seperti hwesio, dan ada yang
berpakaian seperti pelajar.
Anehnya,
kini mereka telah memakai sebuah tali yang mengikat kepala mereka, tali yang
dipasangi sebuah batu permata kuning dan terpasang di atas dahi mereka. Juga Ma
Kiu kini memakai tali semacam itu. Ia tidak tahu bahwa itulah tanda khas tokoh
Thian-liong-pang dan batu kuning itu diberi nama mustika naga.
“Majulah!”
Kwi Lan menantang, sikapnya acuh tak acuh.
“Set-set-set!”
terdengar suara teratur ketika kaki dua belas orang itu mulai bergeser dengan
cepat mengatur barisan mengurung. Mereka tidak melangkah, tidak mengangkat kaki
melainkan bergeser sehingga sepatu mereka menimbulkan suara di atas lantai.
Keadaan menjadi hening dan tegang, semua tamu memandang ke arah Kwi Lan yang
menjadi pusat perhatian karena nona ini sudah terkurung di tengah-tengah!
Dua belas
orang itu masih terus bergerak menggeser kaki sehingga tubuh mereka bergerak
mengitari Kwi Lan, suara geseran kaki mereka kini berbunyi susul-menyusul
seperti desis ular. Kwi Lan masih berdiri diam tak bergerak, hanya biji matanya
yang bergerak-gerak, mengerling dan mengikuti gerakan mereka di sebelah depan.
Kedua telinganya memperhatikan gerakan di belakangnya dengan seksama, setiap
urat syaraf di tubuhnya menegang, siap sedia, akan tetapi wajahnya masih tenang
dengan senyumnya mengejek
Tiba-tiba
saat yang dinanti-nantikan oleh semua orang tiba. Seorang anggota Cap-ji-liong
yang muda, bertubuh tinggi kurus bermuka seperti tikus, dengan teriakan nyaring
menerjang Kwi Lan dari sebelah belakang. Agaknya laki-laki muda ini tertarik
oleh kecantikan wajah dan keindahan bentuk tubuh Kwi Lan sehingga ia menyerang
bukan memukul, melainkan memeluk ke arah pinggang dengan kedua lengannya. Namun
gerakannya ini mendatangkan angin hebat dan tak boleh dipandang ringan.
Pada detik
berikutnya, anggota lain, seorang tosu, mengulur tangan dari sebelah kiri untuk
mencengkeram pundak, disusul serangan saudaranya dari depan, kanan, dan
kemudian dua belas orang itu sudah bergerak serentak susul-menyusul dengan
teratur baik sekali. Gerakan mereka yang teratur itu lebih merupakan gerakan
dalam sebuah barisan dan sekaligus mereka telah menutup semua jalan ke luar
bagi Kwi Lan! Kiranya Ma Kiu dan adik-adiknya tidak mau menyia-nyiakan waktu
dan sekali turun tangan mereka tidak main-main lagi.
Pendengaran
Kwi Lan yang tajam mewakili matanya. Ia tahu bahwa penyerang pertama datang
dari belakang. Dengan mudah ia mendoyongkan tubuh mengelak, kemudian secara
tiba-tiba kaki kanannya menendang ke arah tangan tosu yang mencengkeram pundak
kirinya, disambut dengan gerakan meloncat ke atas dan melihat betapa para
pengeroyoknya turun tangan secara bergiliran, tubuhnya yang meloncat ke atas
itu tiba-tiba melakukan gerak berputaran secara cepat sekali. Hebat bukan main
gerakan gadis ini, cepat dan aneh. Karena gerakan memutar di udara ini sukar
diikuti gerakan tangan dan kakinya, akan tetapi tahu-tahu ia telah menangkis
semua serangan lawan dengan tangan atau dengan kaki, bahkan masih berkesempatan
membagi pukulan dan tendangan yang mengenai empat orang lawannya.
Mereka
mengaduh dan berseru kaget, tak menyangka bahwa selain dapat bergerak secepat
itu, bekas tangan atau kaki gadis itu amat berat menimpa pundak dan dada.
Sesaat barisan itu kacau, akan tetapi Ma Kiu berseru keras dan barisan menjadi
rapi kembali pada saat gadis itu sudah menurunkan tubuhnya dan berdiri di
tengah kurungan. Ia tersenyum-senyum karena dalam gebrakan pertama ini ia
berhasil memperlihatkan kelihaiannya!
Kini para
tamu menjadi berisik sekali. Mereka kagum dan kaget bukan main. Ketika tadi dua
belas orang itu menyerang secara bertubi-tubi dan setiap serangan merupakan
pukulan dan cengkeraman yang lihai, diam-diam mereka menduga bahwa gadis ini
mencari mati. Akan tetapi siapa kira gadis itu dapat bergerak seperti kilat
cepatnya dan hampir sukar dipercaya betapa gadis itu bukan hanya dapat
menangkis semua serangan, juga dapat memukul dan menendang empat orang
pengeroyoknya, biar pun hal itu dilakukan cepat-cepat dan tergesa-gesa sehingga
tidak tepat kenanya.
Gerakan
pertama ini membuka mata Ma Kiu. Ia maklum bahwa biar pun dalam hal tenaga
mereka semua tidak akan kalah oleh lawan. Akan tetapi dalam hal kecepatan gerak
mau pun dalam hal ilmu silat yang luar biasa, gadis itu benar-benar merupakan
lawan tangguh. Dia tadi berlaku sungkan sehingga mengeluarkan komando untuk
bergerak satu-satu secara bergiliran, siapa tahu, karena ia sungkan empat orang
adiknya mengalami pukulan dan tendangan.
Sekali lagi
ia berseru keras dan kali ini dua belas orang itu menerjang maju secara
berbareng! Hanya lima orang yang menyerang langsung ke arah tubuh Kwi Lan.
Sedangkan yang tujuh orang menghantam ke tengah, ke atas, ke bawah dan sekitar
tempat Kwi Lan berdiri sehingga mereka telah menutup semua jalan ke luar.
Kemana pun gadis ini hendak bergerak, ia akan disambut hantaman yang dilakukan
dengan pengerahan Iweekang!
Hal ini sama
sekali tak diduga oleh Kwi Lan. Gadis ini terkejut juga, maklum bahwa keadaannya
berbahaya. Baru ia tahu bahwa Cap-ji-liong benar-benar hebat dan tangguh. Biar
pun kalau melawan mereka satu-satu, ia sanggup merobohkan mereka itu dalam
waktu singkat, akan tetapi kalau mereka maju berbareng amatlah sukar dilawan.
Ia berseru keras, tidak bergerak dari tempatnya, melainkan menggunakan kaki
tangan menangkis dan jari tangannya menotok ke arah pergelangan tangan lima
orang yang menyerangnya secara berturut-turut.
Akan tetapi
tiba-tiba lima orang penyerang itu menarik kembali penyerangan mereka dan
barisan bergeser terus, disusul lima orang lain yang menyerang secara
tiba-tiba, dibantu tujuh orang yang mencegat jalan ke luar! Setiap menyerang,
lima orang itu mengambil kedudukan ngo-heng, dan setiap kali melihat bahwa
serangan itu akan gagal, barisan yang terus bergeser itu menarik kembali
serangan untuk di ulang dengan perubahan-perubahan mendadak yang sukar untuk
diduga sebelumnya.
Kwi Lan
merasa kewalahan. Dahinya yang putih halus itu mulai berkeringat. Ia bukan
takut, akan tetapi jengkel dan penasaran sekali! Ketika untuk kesekian kalinya
lima orang lawan menyerangnya dan kepalanya sudah mulai pening karena
mencurahkan perhatian dan menduga-duga perubahan, ia berseru keras, mencabut
pedangnya dan memutar pedang itu ke sekelilingnya.
Tidak tampak
gerakannya ini saking cepatnya. Tahu-tahu dua belas orang itu mencium bau yang
wangi dan tampak oleh mereka sinar hijau bergulung-gulung seperti naga sakti
bermain di angkasa, seperti hawa yang dingin sekali.
“Awas...
mundur dan siapkan senjata...!” Ma Kiu berseru keras.
Barisannya
melebar dengan cepat, namun masih saja ada dua orang yang terkena serempetan
ujung pedang Siang-bhok-kiam sehingga pangkal lengan mereka terluka
mengeluarkan darah. Lagi-lagi kurang tepat kenanya karena Kwi Lan tidak menggunakan
pencurahan perhatian sepenuhnya dan tadi hasilnya ini pun hanya kebetulan saja.
Bagaimana ia dapat mencurahkan perhatiannya dalam sebuah serangan kalau
lawannya yang dua belas orang banyaknya itu selalu bergerak secara
membingungkan?
Kini terdengar
suara nyaring dan semua anggota Cap-ji-liong sudah memegang senjata
masing-masing. Ada yang memegang toya, ada yang membawa pedang, golok, thi-pian
(pecut besi), siang-kek (sepasang tombak cagak), poan-koan-pit (senjata penotok
jalan darah seperti pena bulu), tombak tiat-kauw (gaetan besi) dan lain-lain.
Ma Kiu sendiri bersenjatakan sepasang pedang panjang yang kelihatan berat.
Para tamu
makin tegang. Setelah kini kedua pihak menggunakan senjata, tak dapat
disangsikan lagi gadis itu tentu akan mati dalam keadaan tubuh tidak utuh.
Setiap anggota Cap-ji-liong memiliki ilmu kepandaian khusus, bahkan sebelum
menjadi murid Sin-seng Losu mereka itu adalah ahli-ahli silat kelas satu. Kini
mereka maju bersama, dapat dibayangkan betapa hebatnya.
“Ha-ha-ha-ha!
Sayang sekali kau akan tercincang mati... bunga liar seperti engkau sukar
dicari...!” Tiba-tiba terdengar suara Sin-seng Losu yang tadi kelihatan
bersungut-sungut ketika beberapa orang di antara murid-muridnya ada yang
terluka.
Kakek ini
sejak tadi melenggut di atas kursi, menonton pertandingan sambil merem-melek.
Kelihatannya saja ia melenggut dan mengantuk tak acuh, padahal sebenarnya ia
menonton dengan hati penuh penasaran karena semenjak tadi, belum juga ia dapat
mengetahui dari aliran mana ilmu silat gadis ini! Hal ini benar-benar membuat
ia kaget dan heran.
Biar pun ia
sudah terlalu tua sehingga tenaga dan napasnya sudah berkurang banyak dan kalau
bertanding, dia sendiri tidak akan dapat mengatasi keampuhan Cap-ji-liong, akan
tetapi pengetahuannya dalam ilmu silat sudah amat dalam. Ia kenal baik hampir
semua aliran ilmu silat di dunia ini. Akan tetapi sekali ini, setelah melihat
gadis itu bersilat sampai puluhan jurus, mengapa ia sama sekali tidak mengenal
aliran ilmu silat yang dimainkan? Ia anggap luar biasa sekali ilmu silat gadis
itu. Mirip-mirip ilmu silat Kun-lun-pai, gerakan pedang seperti Kong-thong-pai,
akan tetapi ketika menotok hampir sama dengan ilmu totok Im-yang-tiam-hoat yang
lihai dari Siauw-lim-pai. Akan tetapi semua itu hanya mirip saja, dan sama
sekali bukan aslinya, bahkan kadang-kadang berlawanan dengan aslinya!
Hal ini
memang tidak mengherankan kalau orang mengenal dari mana Kwi Lan mendapatkan
semua ilmu yang aneh itu. Gurunya adalah seorang wanita yang luar biasa, yang
puluhan tahun menyembunyikan diri dan menelan segala macam ilmu tanpa ada yang
menuntun. Dalam istana bawah tanah terdapat banyak sekali kitab pelajaran ilmu
silat peninggalan mendiang Tok-siauw-kwi Liu Lu Sian yang mencuri kitab-kitab
itu dari partai-partai besar. Karena jiwa Kam Sian Eng, guru Kwi Lan, memang
tidak sehat alias tidak normal, maka ketika mempelajari semua ilmu itu ia telah
menyeleweng dan ilmu yang asli berubah, menjadi ilmu aneh dan ganas.
Kwi Lan juga
mempelajari kitab-kitab itu sendirian saja, hanya menerima petunjuk-petunjuk
dari gurunya. Justru sedikit petunjuk itu menyeleweng dari pada aslinya, maka
dapat dibayangkan betapa hasil ilmu yang ia kuasai tentu saja lebih aneh dan
lebih menyimpang dari aslinya! Melihat cara Kwi Lan bersilat, jangankan Sinseng
Losu, biar tokoh-tokoh dari partai yang memiliki kitab yang tercuri itu sendiri
tentu takkan mampu mengenal ilmunya sendiri.
Ucapan
mengejek dari Sin-seng Losu tidaklah berlebihan. Memang ilmu pedang Kwi Lan
hebat dan luar biasa. Baru dari pedangnya yang berupa sebatang pedang kayu
wangi sudah membuktikan bahwa gadis ini biar pun masih remaja, namun sudah
mencapai tingkat yang dinamakan tingkat ‘yang lunak mengalahkan yang keras’,
yaitu tingkat ahli pedang yang sudah pandai mengatur tenaga yang dikendalikan
hawa sakti sehingga setiap benda lemas dapat dipergunakan untuk melawan senjata
keras.
Akan tetapi,
menghadapi pengurungan dua belas Cap-Ji-liong yang mempergunakan dua belas
macam senjata ini Kwi Lan benar-benar terdesak hebat. Senjata lawan
menyambarnya seperti hujan dan hanya dengan mengandalkan kegesitan tubuhnya dan
ilmu pedangnya yang aneh maka sementara itu ia masih mampu bertahan. Seperti
juga tadi, dua belas orang pengeroyoknya itu tidak mengeroyok secara
serampangan saja, melainkan mengurungnya dengan membentuk barisan yang kokoh
kuat. Perlahan akan tetapi pasti mereka mulai menekan dan mendesak.
Tiba-tiba
terdengar suara ribut-ribut dari sebelah dalam. Terdengar teriak-teriakan orang
yang riuh rendah saling bersahutan.
“Kebakaran...!
Kebakaran...!”
“Tangkap
bocah setan...!”
“Celaka,
tawanan gadis-gadis itu dilarikan...!”
Semua tamu
terkejut dan dua belas orang Cap-ji-liong yang sudah mulai mengurung dan
mendesak Kwi Lan terpengaruh oleh teriakan-teriakan ini sehingga tekanan kepada
gadis itu agak mengendur. Pada saat itu berkelebat bayangan yang tertawa-tawa,
“Ha-ha-ha, sungguh memalukan. Dua belas ekor monyet tua mengeroyok seorang
gadis jelita! Dua belas ekor naga kini menjadi dua belas ekor monyet buntung!”
Kiranya
bayangan ini bukan lain adalah Hauw Lam yang dengan gerakan cepat sudah
meloncat dan memutar goloknya menerjang barisan pengepung sehingga terbukalah
barisan itu. Melihat ini, Ma Kiu mengeluarkan aba-aba. Barisan yang diterjang
Hauw Lam sengaja membuka ‘pintu’ dan pemuda ini pun sekarang masuk ke dalam
pengurungan dua belas orang tangguh itu.
“Eh, Mutiara
Hitam. Kita datang bersama, mana bisa sekarang engkau berpesta-pora sendiri
saja melabrak dua belas ekor monyet tua ini? Aku ikut. Hayo kita sekarang
berlomba. Kita beradu punggung, dan lihat pedangmu atau golokku yang lebih dulu
membabat mampus mereka ini!”
Kwi Lan
tersenyum. Ia tadi sudah tertekan dan terdesak hebat. Namun seujung rambut ia
tidak merasa gentar. Ia tadi sudah siap-siap, kalau sampai ia kalah dan harus
roboh di tangan dua belas orang pengeroyoknya, ia tentu akan menyeret beberapa
orang di antaranya, terutama sekali Ma Kiu untuk tewas bersamanya! Untuk niat
ini ia sudah menggenggam tujuh jarum hijau di tangan kirinya! Sekarang melihat
munculnya Hauw Lam yang mengajak ia berlomba, timbul kegembiraannya dan ia
berseru.
“Berandal
cilik! Kau lihat betapa aku merobohkan mereka!” Setelah berkata demikian, Kwi
Lan mainkan pedangnya menerjang maju. Empat orang di depannya cepat mengangkat
senjata untuk menangkis dan balas menyerang, akan tetapi pada saat itu tangan
kiri Kwi Lan bergerak dan sinar hijau menyambar ke depan.
“Awas...!”
Ma Kiu berseru memperingatkan adik-adiknya.
Namun,
jarum-jarum hijau yang halus itu disambitkan dari jarak dekat sehingga biar pun
empat orang itu berusaha mengelak, dua orang di antara mereka kurang cepat dan
robohlah mereka sambil mengeluarkan jeritan kesakitan. Murid-murid
Thian-liong-pang segera menolong mereka ini dan kini sepuluh orang pengeroyok
menerjang dengan marah sekali.
Hauw Lam
tertawa-tawa dan sambil berdiri saling membelakangi, dia dan Kwi Lan memutar
senjata menghadapi para pengeroyok. Lega hati Kwi Lan setelah kini ia dibantu
Hauw Lam. Tadi yang membuat ia amat repot adalah penyerangan lawan yang berada
di belakangnya. Akan tetapi kini ia tidak usah lagi memperhatikan bagian
belakang, maka ia kini mendapat kesempatan untuk balas menyerang. Setiap ada
serangan datang ia tidak mengelak, akan tetapi langsung menyambut serangan ini
dengan tusukan atau totokan yang mendahului sehingga si Penyerang terpaksa
menarik kembali serangannya.
“Semua
mundur...!” tiba-tiba Ma Kiu berteriak keras memberi perintah kepada
adik-adiknya
Sepuluh
orang itu serentak melompat mundur sambil menggerakkan tangan kiri. Maka
berhamburanlah senjata-senjata rahasia yang berbentuk peluru bintang, bagaikan
hujan menyerang Hauw Lam dan Kwi Lan. Dua orang muda itu cepat memutar golok
dan pedang, memukul runtuh semua senjata rahasia.
“Wah, kau
yang mengajari monyet-monyet itu. Sekarang mereka membalas. Lebih baik kita
lekas pergi dari sini!” Hauw Lam mengomel.
Kwi Lan
setuju akan usul ini, maklum betapa besar bahayanya kalau pihak lawan mulai
menyerang dari jauh dengan senjata rahasia. Akan tetapi sebelum mereka sempat
mendapatkan jalan ke luar untuk melarikan diri, tiba-tiba lantai yang mereka
injak tergetar dan dengan suara keras lantai itu terbuka, nyeplos ke bawah.
“Celaka...!”
Hauw Lam berseru dan bersama Kwi Lan tubuhnya terjeblos ke bawah tanpa dapat
dicegah lagi!
“Cari
pegangan...!” Hauw Lam berseru pula dan merentangkan kedua tangannya. Goloknya
ia tusuk-tusukkan ke samping dan akhirnya tangan kirinya berhasil meraba
dinding. Ia menggerakkan tubuh sehingga tubuhnya yang meluncur itu terbanting
ke kiri, menubruk dinding dan di lain saat tubuhnya tergantung pada gagang
golok yang dipegangnya erat-erat.
Akan tetapi
Kwi Lan yang memiliki ginkang luar biasa itu, dengan menggerak-gerakkan kaki
tangannya dapat memperlambat luncuran tubuhnya, bahkan ketika kedua kakinya
menyentuh dasar sumur, tubuhnya membalik lagi ke atas sampai dua meter lebih,
seakan-akan di kedua kakinya dipasangi per yang lemas sekali.
“Mutiara
Hitam... kau di mana...?” terdengar suara Hauw Lam di atas.
Kwi Lan
sudah duduk di atas tanah berbatu dan menjawab, “Di bawah sini. Turunlah. Mau
apa kau bergantungan disitu?”
Hauw Lam
menengok ke bawah. Sinar yang masuk dari atas memberi penerangan suram, akan
tetapi ia dapat melihat betapa gadis itu sudah duduk enak-enakan di sebelah
bawah, kira-kira tiga meter dari tempat ia bergantung. Ia mengerahkan tenaga,
mencabut goloknya dan meloncat turun di dekat gadis itu. Pada saat itu
terdengar suara berderit keras dan lobang di sebelah atas itu tertutup rapat
kembali. Keadaan menjadi gelap gulita, melihat tangan sendiri pun tak tampak!
“Wah, kita
seperti dua ekor tikus masuk perangkap!” Hauw Lam berkata berusaha untuk
tertawa, akan tetapi menahannya karena khawatir kalau-kalau membuat gadis itu
tak senang.
“Kau kenapa?
Mau tertawa, tertawalah. Mengapa memandang kepadaku seperti orang ragu-ragu?
Kau kira aku takut? Huh, enak di sini!” kata Kwi Lan yang segera duduk
melonjorkan kedua kakinya.
Hauw Lam
terkejut. “Apa kau bilang...? Bagaimana kau bisa tahu bahwa aku... eh, Mutiara
Hitam, apakah engkau mempunyai nama seperti kucing?”
“Hemm, kalau
aku kucing, engkau tikus! Sudahlah, jangan rewel dan lebih balk kau ceritakan
apa yang kau lakukan tadi.”
Tentu saja
Hauw Lam tidak tahu bahwa gadis ini semenjak kecil tinggal di bawah tanah, di
dalam istana bawah tanah sehingga ia merasa enak berada di bawah tanah! Karena
semenjak kecil biasa hidup di tempat gelap, Kwi Lan memiliki mata yang sudah
biasa dengan kegelapan dan dapat melihat benda di dalam gelap, setidaknya lebih
awas dari pada orang biasa. Mendengar suara gadis itu tidak dibuat-buat,
diam-diam ia merasa semakin kagum dan suka. Gadis ini benar-benar hebat,
pikirnya. Selain cantik jelita seperti dewi, juga wajar dan polos, ditambah
kepandaian yang amat tinggi.
Tadi ketika
dikeroyok Cap-ji-liong, gadis ini sudah memperlihatkan bahwa ia memiliki
kepandaian yang benar luar biasa. Jarang ada tokoh yang mampu mempertahankan
diri dari pengeroyokan Cap-ji-liong, apa lagi melukai dua orang di antara mereka
dalam pengeroyokan. Dan sekarang, biar pun telah terjebak masuk ke dalam sumur,
gadis ini masih bersikap tenang dan enak saja, sama sekali tidak membayangkan
sikap takut-takut.
“Nanti dulu,
paling penting aku harus menyelidiki keadaan tempat ini, mencari jalan keluar,”
kata Hauw Lam sambil mengulur kedua lengan ke depan, meraba-raba.
“Tak usah
kau selidiki lagi. Percuma, sumur ini sengaja dibuat untuk menjebak musuh.
Dindingnya terbuat dari batu tebal, tingginya lima tombak lebih dan di atas
ditutup lembaran besi yang atasnya dipasangi tegel, dan dapat terbuka atau
tertutup sendiri dengan alat rahasia.”
Kembali Hauw
Lam menjadi heran. Gadis ini bicara seakan-akan tidak berada di dalam gelap,
seperti menceritakan keadaan yang dilihatnya dengan nyata. Ia tidak percaya,
lalu kedua tangannya meraba-raba dinding. Dan memang betul apa yang dikatakan
gadis itu. Dinding sumur itu segi empat, lebarnya tiga meter tiap segi, dan
terbuat dari pada batu tebal. Karena bagi Hauw Lam tempat itu amat gelap, ia
tidak dapat melihat apa-apa ketika meraba-raba sehingga tiba-tiba ia meraba
kepala gadis itu!
“Eh-eh, mau
apa kau? Seperti orang buta saja!” Gadis itu membentak.
“Wah,
maaf... aku... aku memang seperti buta di sini...”
“Duduklah
dan jangan berkeliaran.”
Hauw Lam
lalu duduk di atas lantai sumur. Tanah padas berbatu itu agak basah. Betapa pun
juga ia tidak dapat bersikap masa bodoh seperti gadis ini. Masa mereka harus
menerima kematian seperti dua ekor tikus dalam sumur? Ia harus berdaya untuk
keluar dari dalam sumur ini. “Mutiara, aku tidak mengerti bagaimana kau dapat
mengetahui keadaan sumur ini. Akan tetapi kalau dalamnya benar lima tombak, tak
mungkin kita meloncat ke luar dari sini. Biar pun begitu, dengan bantuan golok
dan pedangmu, aku dapat meloncat-loncat sambil menancapkan golok dan pedang
bergantian pada dinding, terus sampai keluar. Setelah itu aku akan mencari
tambang untuk menarikmu ke luar pula.”
“Eh,
takutkah engkau di sini?”
“Bukan
takut! Akan tetapi kita harus mencari jalan ke luar.”
“Hemm,
bagaimana kau akan membuka penutup besi di atas itu? Pula, siapa tahu begitu
kau keluar, hujan senjata akan menyambutmu?”
Hauw Lam
terkejut. Beralasan juga kata-kata gadis ini. “Habis... bagaimana...?”
“Kita
menanti kesempatan, dan sementara itu duduk mengaso di sini dan kau ceritakan
apa yang terjadi tadi.”
Malu juga
rasa hati Hauw Lam mendengar suara gadis itu yang amat tenang. Ia lalu
bercerita. Ketika tadi melihat datangnya Ci-lan Sai-kong yang menggiring dua
belas orang gadis-gadis muda yang diculik, Hauw Lam marah bukan main. Akan
tetapi ia menahan-nahan perasaan hatinya dan setelah mendapat kesempatan ia
lalu menyelinap ke dalam pada saat perhatian semua orang tertarik oleh perbuatan
Kwi Lan yang amat berani.
Setelah tiba
di ruangan belakang, ia menyergap dan menotok seorang anggota Thian-liong-pang.
Dari orang inilah ia mendapat keterangan tentang dua belas orang gadis itu yang
ditahan di kamar belakang, dijaga oleh empat orang anggota Thian-liong-pang. Ia
menotok lumpuh orang itu kemudian melanjutkan penyelidikannya. Tekad hatinya
akan menolong dan membebaskan dua belas orang gadis itu. Dengan kepandaiannya
yang tinggi, secara mudah ia merobohkan empat orang penjaga dan pada saat
itulah dari atas genteng melayang turun seorang laki-laki yang ternyata adalah
Ciam Goan, bekas tokoh Thian-liong-pang yang tadi diusir oleh Ma Kiu.
Girang hati
Hauw Lam dan diam-diam ia kagum menyaksikan keberanian Ciam Goan. Biar pun
sudah jelas bahwa orang gagah itu tak mungkin dapat melawan para pimpinan
Thian-liong-pang dan tadi pun sudah dikalahkan, namun orang she Ciam itu masih
berani dan berusaha menolong dua belas orang gadis tawanan. Tanpa banyak cakap
mereka lalu memasuki kamar, membebaskan dua belas orang gadis itu.
Hauw Lam
menyerahkan dua belas orang gadis itu kepada Ciam Goan untuk diajak melarikan
diri, sedangkan dia sendiri memancing perhatian orang dengan jalan membakar
bangunan samping bagian belakang. Akalnya berhasil baik. Semua orang lari ke
tempat kebakaran dan mengeroyoknya sehingga Ciam Goam dan dua belas orang gadis
tawanan itu dapat pergi dengan aman. Hauw Lam sendiri lalu memancing mereka
yang mengeroyoknya ke sebelah dalam gedung, bahkan ia lalu bergabung dengan Kwi
Lan yang sudah terdesak oleh Cap-ji-liong sehingga akhirnya mereka berdua
terjeblos ke dalam sumur perangkap.
“Begitulah.”
Hauw Lam mengakhiri ceritanya. “Kuharap saja orang she Ciam itu berhasil
melarikan dan menyelamatkan dua belas orang gadis itu. Dan kau sendiri, apa
yang kau lakukan tadi? Wah, kepandaianmu hebat bukan main, Mutiara Hitam. Aku
takluk setelah menyaksikan betapa kau melawan pengeroyokan Cap-ji-liong!”
“Hemm,
mereka memang kuat sekali kalau maju bersama. Sebelum kau datang membantu,
hampir aku roboh.” Mutiara Hitam atau Kwi Lan lalu menceritakan pengalamannya.
Hauw Lam
kagum sekali dan diam-diam di lubuk hatinya ia merasa puas dan tidak akan penasaran
kalau mengalami kematian bersama nona ini di dalam sumur!
“Sekarang
bagaimana? Aku bukannya takut terkurung seperti ini, akan tetapi kita tidak
boleh tinggal diam saja. Kita harus keluar dari sini, terutama sekali
engkau...,” katanya.
“Mengapa aku?
Kalau kau bagaimana?”
“Aku juga
harus dapat keluar, akan tetapi yang paling penting engkau, Nona. Kau seorang
wanita, karena itu harus didahulukan keselamatanmu...”
“Huh,
laki-laki dan wanita apa bedanya?”
Hauw Lam
tidak mau membantah tentang itu. “Biar kucoba untuk merayap atau meloncat
naik.”
“Percuma,
kita tunggu kesempatan. Kalau ada yang membuka penutup besi di atas itu, sudah
kupersiapkan jarum-jarumku. Begitu ada orang di atas, kuserang dengan jarum dan
kau boleh melompat dengan bantuan golokmu ditancapkan pada dinding.”
“Bagaimana
kalau tidak ada yang membuka penutup besi di atas?”
“Kalau
begitu, hemm... kita tinggal di sini selamanya sampai mati”
Hauw Lam
bergidik mendengar kata-kata yang dikeluarkan seenaknya dan tenang-tenang saja
itu. Akan tetapi hatinya menjadi hangat ketika ia ingat betapa gadis itu
agaknya senang saja tinggal berdua dengan dia di situ selamanya sampal mati! Ia
menjadi terharu dan baru sekali ini selama hidupnya Hauw Lam merasa hatinya
terharu sekali dan juga bahagia! Suaranya menjadi gemetar ketika ia berkata,
lenyap nadanya yang suka bergurau, suaranya kini bersungguh-sungguh.
“Nona...
aku..., aku pun rela mati di sini, rela tinggal di sini selama hidupku, bahkan
aku akan berbahagia sekali... berdua di sampingmu selamanya....”
“Ihhh! apa
maksud kata-katamu yang aneh ini?” Kwi Lan yang tentu saja masih bodoh dalam
hal asmara bertanya heran. Nada suara gadis ini menyadarkan Hauw Lam, membuat
mukanya merah sekali, membuat ia merasa malu sekali. Untung bahwa tempat itu
gelap sehingga ia tidak usah menentang pandang mata Kwi Lan, dan kegelapan ini
sesungguhnya yang membuat ia berani melanjutkan kata-katanya yang membisikkan
suara hatinya.
“Mutiara...
biar pun belum lama aku mengenalmu, bahkan namamu yang sesungguhnya pun aku
belum tahu... akan tetapi... aku tidak merasa begitu. Bagiku engkau sudah
kukenal selama hidupku. Tadinya aku sebatang kara di dunia ini... setelah
bertemu denganmu, aku merasa tidak sebatang kara lagi. Mutiara... ah, aku harus
berterus terang... aku... aku cinta padamu....”
Saking kaget
dan herannya mendengar ucapan yang sama sekali belum pernah didengarnya dan
yang baru ia raba-raba maksud sebenarnya ini, Kwi Lan duduk termenung dan
menggigit jarum yang dipegangnya. Ia seperti orang terpesona, tidak peduli
bahwa pada saat itu, sinar terang menerobos masuk dari atas dan penutup lubang
sumur itu dibuka orang! Hauw Lam melihat ini dan cepat melompat, siap untuk
menerjang ke atas dan berseru.
“Mutiara...
lekas serang dia...”
Akan tetapi
Kwi Lan hanya memandangnya dan berkata bingung, “Ada apa...?”
“Ssstt...
naiklah...!” tiba-tiba orang yang membuka penutup sumur itu berkata, kemudian
seutas tambang meluncur turun dari atas.
Hauw Lam dan
Kwi Lan melihat bahwa yang muncul dan melemparkan tambang itu adalah seorang yang
berkerudung kain hitam, akan tetapi dari suaranya dapat diketahui bahwa dia
seorang laki-laki. Begitu melempar tambang, bayangan itu lenyap kembali.
“Mari kita
naik!” Hauw Lam berkata dan cepat-cepat pemuda ini merayap naik melalui tambang
seperti seekor kera cepatnya.
Kwi Lan juga
sudah merayap baik dan sebentar saja keduanya sudah melompat ke luar dari
sumur. Sejenak mata Hauw Lam menjadi silau karena tiba-tiba dari tempat gelap
berada diterang. Ia mengejap-ngejapkan matanya, kemudian ketika matanya bertemu
dengan Kwi Lan, tiba-tiba pemuda ini menjadi merah seluruh mukanya!
“Pergi dari
sini cepat!” Hauw Lam berkata dan mereka lalu melompat ke luar dari ruangan
silat yang kini sudah sunyi. Akan tetapi begitu mereka keluar dari ruangan
silat dan berada di ruangan tengah, dari kanan kiri berlompatan ke luar
beberapa orang anggota Cap-jiliong!
“Celaka!
Mereka lolos! Kepung... tangkap...!” Mereka berteriak-teriak dan empat orang
sudah menerjang Hauw Lam dan Kwi Lan.
Akan tetapi
keampuhan Cap-ji-liong adalah kalau mereka maju bersama. Kini hanya ada empat
orang di antara mereka, tentu saja bukan tandingan Hauw Lam dan Kwi Lan. Begitu
sepasang orang muda ini menggerakkan senjata empat orang itu sudah melompat
mundur untuk menghindarkan bahaya maut. Kesempatan ini dipergunakan oleh Hauw
Lam dan Kwi Lan untuk berlari terus. Karena dari depan berbondong datang para
anggota Thian-liong-pang, Hauw Lam lalu menarik tangan Kwi Lan, diajak lari
melalui ruangan belakang. Mereka lari masuk ke ruangan dalam, terus ke belakang.
Beberapa orang anggota Thian-liong-pang yang bertemu dengan mereka dan berusaha
menghalangi, mereka robohkan dengan tendangan atau pukulan tangan kiri.
Untung bagi
mereka bahwa para pimpinan Thian-liong-pang pada saat itu sedang sibuk membuat
persiapan untuk mengunjungi pertemuan antara tokoh-tokoh dunia hitam yang akan
diadakan di puncak Cheng-liong-san untuk memilih jagoan nomor satu di dunia. Ma
Kiu ketua baru, juga Sin-seng Losu sendiri bersama murid-muridnya bersama
beberapa orang tamu penting sudah meninggalkan gedung untuk mengunjungi kota
Tai-goan untuk ikut menyambut datangnya seorang tokoh besar yang terkenal
dengan julukan Siauw-bin Lo-mo (Iblis Tua Tertawa).
Karena tokoh
besar ini masih terhitung paman guru Sin-song Losu, tentu saja oleh
Thian-liong-pang dianggap sebagai kakek guru dan mereka mengharapkan kakek guru
ini akan menjadi jagoan nomor satu sehingga nama Thian-liong-pang akan ikut
terangkat tinggi. Karena kesibukan ini mereka hanya meninggalkan empat orang
murid kepala bersama murid-murid bawahan untuk menjaga gedung. Sama sekali
mereka tidak menduga bahwa dua orang muda tawanan mereka akan dapat meloloskan
diri dan menganggap mereka itu tentu akan tewas kelaparan di dalam sumur.
Hauw Lam dan
Kwi Lan maklum bahwa keadaan mereka akan berbahaya kalau para pimpinan
Thian-liong-pang keburu datang mengeroyok. Mereka pun tidak ada niat untuk
melanjutkan pengacauan karena mereka datang ke tempat itu hanya untuk
‘main-main’ dan tidak mempunyai urusan tertentu dengan perkumpulan ini.
Dihadang oleh murid-murid bawahan Thian-liong-pang tentu saja mereka dengan
enak merobohkan semua penghadang, terus lari ke belakang, mencari kandang kuda
dan setelah dapat menemukan kuda hitam yang mereka ‘sumbangkan’ tadi, mereka
lalu menunggang kuda berdua dan membalapkan kuda itu keluar dari Yen-an.
Terdengar derap kaki kuda yang ditungganggi para anak buah Thian-liong-pang
mengejar, namun tak seekor pun kuda mampu menandingi larinya kuda hitam dari
Khitan itu.
Setelah kota
Yen-an jauh ditinggalkan dan tak tampak adanya pengejar lagi, Kwi Lan yang
duduk di depan tiba-tiba menahan kudanya. Mereka berhenti di jalan simpang
empat.
“Di sini
kita berpisah. Kau turunlah.”
Hauw Lam
meloncat turun dan memandang gadis itu dengan muka terkejut. Tak disangkanya
bahwa secara tiba-tiba gadis itu mengajak mereka saling berpisah. Namun nona
itu menundukkan muka, tidak membalas pandang matanya.
“Mutiara
Hitam... Nona..., mengapa kita harus berpisah?” suara Hauw Lam gemetar, tidak
seperti biasa. Jantung Kwi Lan berdebar aneh. Ia marah dan juga bingung.
“Nona,
apakah engkau marah karena pengakuanku di dalam sumur tadi? Maafkanlah, aku
bukan bermaksud menyinggung perasaanmu atau menghinamu, aku hanya mengeluarkan
isi hatiku sejujurnya. Biar pun kau akan menjadi marah dan membunuhku, aku tak
dapat menyangkal bahwa aku... cinta padamu, Mutiara Hitam.”
Kwi Lan
menarik napas panjang. Ia tidak bisa marah kepada pemuda ini, dan sebetulnya ia
senang mendengar pengakuan itu. Akan tetapi ia tidak ingin selamanya berada di
samping Hauw Lam. Ia ingin menyendiri.
“Hauw Lam,
ada hal yang lebih penting bagimu. Engkau harus pergi kepada ibu kandungmu.”
Terbelalak
mata Hauw Lam memandang. “Apa...? Apa yang kau maksudkan...?”
“Bukankah
ayahmu bernama Tang Sun dan ibumu bernama Phang Bi Li?”
Hauw Lam
melangkah maju dan memegang tangan Kwi Lan. “Mutiara! Bicaralah yang jujur!
Bagaimana kau tahu akan nama ayahku? Memang ayahku bernama Tang Sun. Nama ibu
aku tidak pernah dengar, akan tetapi engkau... bagaimana bisa tahu?”
Kwi Lan yang
kini melihat betapa wajah Hauw Lam menjadi pucat dan agaknya amat tertarik
tersenyum. “Kau pantas menjadi kakakku. Ibumu adalah Bibi Bi Li yang menganggap
aku anak sendiri. Ayahmu... ayahmu telah tewas, aku melihat sendiri. Ibumu
masih hidup, namanya Phang Bi Li dan kini tinggal di Hutan Iblis.”
Makin pucat
wajah Hauw Lam. “Di Hutan Iblis...? Ayahku mati...?” Ia merasa mimpi mendengar
keterangan ini dan tentu ia tidak akan percaya kalau saja ia tidak yakin bahwa
gadis yang baru dikenalnya beberapa hari ini tak pernah membohong seperti juga
tak pernah merasa takut.
“Pergilah,
carilah ibumu dan kau akan mendengar semua. Ibumu hanya tahu bahwa puteranya
bernama Tang Hauw Lam. Kau pergilah ke Lembah Air Hijau, di kaki pegunungan
Pek-liu-san sebelah utara, di sana terdapat hutan yang oleh orang-orang disebut
Hutan Iblis. Nah, ibumu tinggal seorang diri di dalam pondok di hutan itu,
menanti-nanti kedatanganmu. Selamat tinggal, kelak kita berjumpa pula.” Setelah
berkata demikian Kwi Lan membalapkan kudanya pergi dari tempat itu,
meninggalkan Hauw Lam yang masih berdiri seperti arca dengan muka pucat.
“Ibuku...
ibu kandungku... ibuku....” Pemuda yang biasanya periang itu kini hanya
berbisik-bisik dengan sepasang mata basah. Pandang matanya mengikuti bayangan
Kwi Lan di atas kudanya, dan semangatnya serasa terbawa terbang pergi....
***************
Kwi Lan
menjalankan kudanya sambil melamun. Begitu berpisah dari Hauw Lam ia merasa
betapa ia kehilangan seorang teman seperjalanan yang selalu mendatangkan
suasana gembira. Akan tetapi kalau ia teringat akan pernyataan cinta kasih Hauw
Lam, ia menjadi kecewa. Hal ini melenyapkan rasa gembiranya dan membuatnya
menjadi tak enak. Hatinya berdebaran dan ia menjadi malu, tak ingin bertemu
kembali dengan pemuda itu.
Ada hal lain
yang sejak tadi ia pikirkan. Siapakah orang yang menolongnya ketika ia bersama
Hauw Lam berada dalam sumur jebakan? Apakah orang gagah she Ciam yang telah
menolong dua belas orang gadis tawanan? Rasanya tidak mungkin karena biar pun
gagah berani, orang she Ciam itu tidak begitu tinggi kepandaiannya. Penolong
tadi tentu orang yang sudah kenal akan keadaan dan rahasia Thian-liong-pang.
Kwi Lan yang
tidak mengenal jalan, tidak tahu bahwa kudanya itu berlari menuju ke arah
Sungai Kuning yang mengalir di sebelah timur Yen-an. Ia juga tidak tahu bahwa
jalan ini pula yang diambil oleh rombongan Sin-seng Losu pagi tadi, menuju ke
Tai-goan!
Hari telah
menjelang senja. Ia segera membalapkan kudanya ketika melihat sebuah dusun jauh
di depan. Perkampungan ini cukup besar dan Kwi Lan bermalam di rumah penginapan
dusun itu. Semua orang kagum melihat gadis yang cantik jelita dan yang
menunggang seekor kuda hitam yang indah ini, namun Kwi Lan tidak ambil peduli.
Setelah pengalamannya di Thian-liong-pang, Kwi Lan bersikap hati-hati dan tidak
mau mencari perkara. Mulailah ia tahu bahwa di dunia kang-ouw banyak terdapat
orang-orang yang berilmu tinggi. Ia ingin bertemu dengan ibu kandungnya dan
menurut penuturan Hauw Lam, di Khitan banyak terdapat orang-orang pandai
sehingga seorang tokoh hitam seperti Jin-cam Khoa-ong itu pun menjadi buronan
Khitan. Ia akan menemui Ibu kandungnya dan kalau mungkin, memperdalam
kepandaiannya.
Pada
keesokan harinya ia melanjutkan perjalanan dan hari telah lewat senja ketika ia
menghentikan kudanya di tepi Sungai Kuning yang airnya melimpah-limpah dan amat
lebar. Ia duduk di atas kudanya sambil termenung. Bagaimana ia dapat
melanjutkan perjalanan? Tidak ada jembatan, tidak ada perahu, dan tempat itu
amat sunyi, tak tampak seorang pun manusia. Hanya dapat dilihat dari situ
perahu-perahu nelayan jauh sekali dan ada di antara mereka yang sudah
menyalakan lampu penerangan. Ia lalu menjalankan kudanya menyusuri sungai
menuju ke kiri untuk mencari perahu yang kiranya akan dapat menyeberangkannya
atau kalau tidak, ia akan mencari tempat yang baik untuk melewatkan malam dan
besok baru berusaha menyeberang.
Tiba-tiba
dari jauh ia melihat sebuah perahu kecil meluncur cepat ke pantai. Itu tentu
seorang nelayan, pikirnya. Mungkin dia bisa menolongku mencarikan sebuah perahu
besar untuk menyeberang. Perahu kecil macam itu mana dapat menyeberangkan
kudanya? Kwi Lan mempercepat larinya kuda ke arah pantai. Akan tetapi ia
terlambat karena dari dalam perahu itu meloncat keluar bayangan hitam yang
kemudian berlari amat cepatnya ke darat. Kwi Lan terkejut. Terang itu bukan
nelayan biasa, pikirnya. Nelayan biasa mana bisa memiliki ginkang yang
sedemikian baiknya. Ia pun cepat membelokkan kudanya, mengikuti arah larinya
orang itu. Cuaca sudah mulai gelap, dan Kwi Lan yang merasa tertarik
melanjutkan kudanya ke depan sambil mencari-cari dengan pandang matanya.
Bayangan itu
lenyap sudah. Gerakannya terlalu cepat dan melakukan pengejaran sambil
menunggang kuda amat sukar. Selain itu Kwi Lan juga meragu untuk mengejar
secara sungguh-sungguh. Ia tidak tahu siapa orang itu dan mengapa berlari-lari
dengan cepatnya. Terang bukan nelayan dan ia tidak mempunyai keperluan sesuatu
dengan orang itu. Hanya ia tadi ingin bertanya kalau-kalau orang itu dapat
menunjukkan di mana ia dapat menyewa perahu untuk menyeberang bersama kudanya.
Sinar terang
yang keluar dari kumpulan batu-batu gunung di pantai sebelah depan menarik
perhatiannya. Sinar yang bergerak-gerak besar kecil itu tentulah sinar api
unggun yang dinyalakan orang. Ada api unggun tentu ada orang, dan kalau ada
orang berarti ia akan bisa mendapatkan keterangan dan petunjuk yang diharapkan.
Kini kuda hitam yang ditungganginya sudah mendekati deretan batu-batu padas
yang tinggi dan dijalankan perlahan.
Ternyata api
unggun itu dinyalakan orang di dalam sebuah goa batu yang amat lebar. Ketika
Kwi Lan yang masih duduk di atas kudanya tiba di depan mulut goa, ia melihat
lima orang laki-laki di dalam goa. Kedatangannya agaknya sudah dinanti mereka
karena mereka sudah berdiri dan tangan kanan mereka sudah meraba gagang senjata
masing-masing.
Yang paling
depan adalah seorang pemuda yang berambut panjang, berpakaian hitam dan
berwajah tampan sekali. Kepalanya diikat tali dan di dahinya besinar sebuah
batu permata kuning. Tiga orang yang lain juga sudah siap dan memandang
kepadanya dengan mata terbelalak kaget dan marah. Ada pun orang ke lima adalah
seorang pendeta yang jenggotnya kasar dan jarang seperti kawat, tubuhnya tinggi
besar dan di belakang punggungnya tampak gagang sebatang pedang.
“Siauw-ya
(Tuan Muda), dia adalah Mutiara Hitam yang mengacau di Thian-liong-pang...!”
seorang di antara tiga orang di belakang pemuda tampan itu berseru.
Pemuda itu
memandang dengan mata bersinar tajam, lalu membentak ke arah Kwi Lan, suaranya
nyaring. “Mau apa engkau datang ke sini?”
Kwi Lan
tersenyum. Ia tidak memandang mata kepada orang-orang Thian-liong-pang ini.
Melihat batu permata di dahi si Pemuda Tampan, ia dapat menduga bahwa pemuda
itu tentu seorang tokoh pula. Akan tetapi ia sedikit pun tidak takut dan karena
ia kemarin tidak melihat pemuda ini di antara yang mengeroyoknya, ia pun tiada
nafsu untuk melayani mereka.
“Aku tidak
butuh kalian, aku hanya perlu seorang nelayan yang dapat menyeberangkan aku dan
kudaku,” jawabnya dengan suara dingin. Biar pun ia tidak mengharapkan bantuan
mereka ini, namun siapa tahu mereka dapat memberi keterangan tentang nelayan
yang ia butuhkan.
Sebelum
pemuda dan tiga orang anggota Thian-liong-pang itu menjawab, pendeta sai-kong
yang berdiri paling belakang itu mengangkat tangan kiri ke atas, dan berkata,
“Siangkoan-kongcu, biarkan lohu menghadapinya!”
Dengan
langkah lebar pendeta ini maju. Setelah berhadapan dengan Kwi Lan, ia menjura
dengan hormat, tersenyum-senyum dan jenggotnya yang kaku bergerak-gerak,
matanya berkejap-kejap. “Nona, sungguh Nona yang masih begini muda amat
mengagumkan. Tadi lohu sudah mendengar penuturan saudara-saudara
Thian-liong-pang akan sepak terjang Nona yang berani menghadapi Cap-ji-liong.
Ha-ha-ha, sungguh gagah! Seorang muda segagah Nona ini patut dikagumi dan sama
sekali tidak pantas dimusuhi. Orang gagah mengutamakan persahabatan sesama
orang gagah, maka terimalah rasa kagum lohu!”
Kwi Lan yang
melihat kakek ini merangkapkan kedua tangan, membawa kedua tangan ke depan dada
sambil bergerak memberi hormat, tersenyum mengejek. Dengan gerakan ringan
sekali tubuhnya sudah meloncat turun dari atas punggung kudanya, menghadapi
kakek itu dan menjura sambil berkata, “Kau orang tua terlalu merendah!”
Biar pun
kelihatannya seperti orang menjura dan memberi hormat, namun kedua tangan
sai-kong itu bergerak ke depan dan menyambarlah angin pukulan dahsyat ke arah
dada Kwi Lan. Gadis itu hanya menjura dengan bibir tersenyum, agaknya seperti
tidak tahu akan penyerangan orang, akan tetapi kakek itu merasa betapa tenaga
dorongan kedua tangannya tadi seakan-akan membentur api dan membalik,
menimbulkan rasa panas pada dadanya. Ia kaget sekali, akan tetapi masih merasa
penasaran dan sambil tertawa dan berkata, “Nona benar-benar hebat...!”
Kedua
tangannya membuka jari-jari tangan dan bergerak ke depan, yang kiri menotok ke
arah pundak dan yang kanan menotok ke arah pergelangan tangan! Hebat serangan
ini, namun masih saja tampak seakan-akan orang yang memuji dan menyentuh karena
sayang dan kagum, sama sekali tidak kelihatan seperti orang menyerang. Padahal
serangan itu kalau tepat mengenai sasaran, akan membuat tubuh Kwi Lan seketika
lumpuh dan lemas.
“Totiang
(panggilan pendeta) mengapa sungkan-sungkan?” kata Kwi Lan dan kedua tangannya
bergerak ke depan pula seperti orang mencegah.
Hanya
tampaknya saja seperti mencegah, akan tetapi sebenarnya dengan cepat seperti
kilat menyambar, jari tangan Kwi Lan sudah siap menerima kedua tangan kakek
itu. Kalau kakek itu melanjutkan serangannya, maka kedua telapak tangannya
tentu akan bertemu dengan jari tangan Kwi Lan sehingga sebelum dapat menotok
orang, ia sendiri sudah akan terkena totokan lawan!
“Ahhh...!“
Sai-kong itu menarik kembali kedua tangannya dan melangkah mundur kemudian ia
tertawa bergelak. “Ha-ha-ha-ha, semuda ini sudah memiliki kepandaian hebat,
benar-benar membuat lohu kagum dan takluk, Nona ingin menyeberang? Biarlah lohu
antarkan!”
Girang hati
Kwi Lan mendengar ini. “Kau mempunyai perahu, Totiang?”
“Ha-ha,
tentu saja ada, harap Nona jangan khawatir. Marilah!” Kakek itu dengan langkah
lebar keluar dari dalam goa, diikuti oleh Kwi Lan.
“Tahan!
Mutiara Hitam, engkau sudah mengacau Thian-liong-pang, bagaimana kami dapat
membiarkan kau pergi begitu saja?” teriak seorang di antara anggota-anggota
Thian-liong-pang sambil melompat maju dan mencabut pedang. Akan tetapi pemuda
tampan tadi mencegah dan menghardik.
“Nona sudah
ikut bersama Huang-ho Tai-ong (Raja Sungai Huang-ho), mau apa kau ribut-ribut?”
Kalau saja
Kwi Lan sudah banyak pengalaman merantau, tentu ia akan terkejut sekali
mendengar nama ini. Huang-ho Tai-ong adalah nama julukan kepala bajak sungai
Huang-ho yang terkenal sekali. Akan tetapi gadis ini selain kurang pengalaman,
juga tidak mengenal takut, maka ucapan si Pemuda ini sama sekali tidak ada
artinya. Ia mengikuti sai-kong itu yang terus berjalan mendekati pantai,
kemudian kakek itu mengeluarkan teriakan melengking nyaring tinggi sambil
menengadahkan kepalanya. Terdengar suitan balasan dari arah kiri dan tidak lama
kemudian, muncullah sebuah perahu dalam sinar bintang-bintang di langit yang
suram muram. Kiranya perahu itu bercat hitam, cukup besar dan didayung oleh
empat orang tinggi besar.
“Silakan,
Nona. Lohu sendiri akan menemanimu menyeberang,” kata saikong tadi sambil
tersenyum.
“Terima
kasih. Kau baik sekali, Totiang,” jawab Kwi Lan yang menuntun kuda hitamnya ke
atas papan perahu.
Kakek itu
pun melompat naik, memberi aba-aba dan empat orang anak buahnya kembali
mendayung perahu ke tengah. Ketika Kwi Lan menengok, ia melihat pemuda tampan
tadi bersama teman-temannya berdiri di pinggir sungai dan memandang...
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment