Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Mutiara Hitam
Jilid 16
********** Sahabat Karib.com **********
ONG TOAN
LIONG atau yang terkenal dengan julukan Hui-to-ong (Raja Golok Terbang)
mengelus kepala dan pundak murid keponakannya, "Aku sudah tua dan tadinya
ingin mengaso di pegunungan. Siapa tahu timbul urusan kehancuran Beng-kauw dan
urusanmu di sini. Ayahmu dulu sering menyatakan kepadaku bahwa ia ingin sekali
melihat puteranya menjadi seorang gagah, akan tetapi tidak perlu melanjutkan
hidup sebagai pengemis. Siapa kira, Suling Emas yang kukagumi malah menjadi
gara-gara kau diangkat menjadi pangcu."
Suling Emas
berdiri melamun dengan hati duka. Pada saat itu, di antara para penonton
meloncat naik seorang pemuda yang langsung berlutut di depan Suling Emas sambil
berseru, "Suhu...!"
Suling Emas
memandang dan ketika mengenal bahwa pemuda ini adalah Kiang Liong hatinya
seperti diremas dan kembali dua titik air mata meloncat keluar ke atas pipinya,
“Liong-ji..., (Anak Liong...), mengapa kau menyusulku...?”
Kiang Liong
melangkah heran. Baru kali ini suhu-nya memanggilnya Liong-ji dengan suara
menggetar seperti itu. Tidak biasanya gurunya memperlihatkan kelemahan.
Alangkah herannya ketika ia merasa kepalanya dielus-elus dan dibelai, dan lebih
terkejut lagi melihat dua titik air mata di atas pipi gurunya. Kiang Liong
memang sedang bingung dan berduka karena ia menjadi orang buruan pemerintah.
Maka kini dielus-elus dan melihat gurunya terharu, ia pun tak dapat menahan
hatinya dan betapa pun ia menggigit bibir, tetap saja air matanya jatuh
berderai.
“Suhu...
Suhu... teecu..., ahhh...“
Barulah
Suling Emas terkejut dan sadar akan keadaannya. Tentu telah terjadi peristiwa
yang amat hebat maka muridnya yang biasanya tenang ini sampai menangis. Ia
cepat membalikkan tubuh menjura ke arah Ong Toan Liong dan berkata, “Cukuplah,
Ong-twako. Maafkan semua kesalahanku dan selamat berpisah. Siang Ki, kau
turutlah semua petunjuk supek mu. Hayo Liong-ji, kita pergi!” Ia menarik tangan
Kiang Liong dan mereka berdua meloncat jauh dan lenyap dalam sekejap mata.
Sepeninggalan
Suling Emas dan muridnya, Yu Siang Ki lalu membubarkan pertemuan, kemudian ia
mempersilakan supek nya masuk ke dalam. Di situ supek dan murid keponakan itu
menceritakan pengalaman masing-masing. Akhirnya atas permintaan Siang Ki,
sesuai pula dengan keinginan ayahnya agar ia tidak menuntut penghidupan
pengemis, Siang Ki mohon kepada supeknya agar sudi membimbing Khong-sim
Kai-pang karena ia sendiri ingin merantau memperluas pengetahuannya.
Ong Toan
Liong yang tahu pula bahwa kedudukan kaum kai-pang terancam oleh kaum sesat
menyanggupi, maka secara resmi Ong Toan Liong diangkat menjadi ketua Khong-sim
Kai-pang. Beberapa hari kemudian Yu Siang Ki lalu pergi merantau, tentu saja
tujuan pertama perjalanannya adalah menyusul Song Goat, tunangannya!
Ada pun
Suling Emas membawa muridnya keluar kota. Mereka berhenti di tempat sunyi jauh
di luar kota, duduk di pinggir jalan. Kiang Liong lalu menceritakan
pengalamannya, semenjak ia mengejar Suma Kiat sampai ia hampir ditangkap oleh
pasukan kota raja.
“Tidak
sekali-kali teecu hendak memberontak terhadap perintah Kaisar, Suhu. Akan
tetapi Mutiara Hitam mengamuk dan merobohkan para prajurit, kemudian memaksa
teecu untuk melarikan diri. Teecu bingung dan terpaksa lari, lalu teecu mencari
Suhu untuk mohon pertimbangan. Teecu dianggap pemberontak dan tidak mentaati
Kaisar. Kalau memang Suhu memutuskan bahwa teecu harus menyerahkan diri,
sekarang juga teecu akan berangkat ke kota raja.”
Suling Emas
termenung. Kemudian dengan suara berat ia berkata, “Kiang Liong, sebelum aku
bicara tentang hal itu, lebih dulu kau bersiaplah menerima pembukaan rahasia
besar hidupmu. Liong-li, ketahuilah, Nak, bahwa engkau ini sebenarnya adalah
puteraku sendiri.”
“Suhu...!”
Wajah Kiang Liong menjadi pucat sekali ketika ia menengadah dan menatap wajah
gurunya.
Suling Emas
tersenyum. Kini hatinya bebas tidak terdapat ganjalan seperti biasanya kalau ia
berhadapan dengan puteranya ini. Ong Toan Liong memang betul. Orang tidak perlu
bersembunyi dari kenyataan, baik manis mau pun pahit. Orang tidak bisa lari
dari pada pertanggungan-jawab perbuatannya. Sudah berani berbuat harus berani
menanggung risiko, betapa pun beratnya. Setelah dihadapi kenyataannya malah
tidak seberat kalau dijadikan ganjalan hati.
"Bukan
suhu, melainkan ayah, Anakku. Dengarlah baik-baik dan engkau tidak perlu
tersinggung atau malu karena cinta kasih antara ibumu dan aku dahulu adalah
cinta kasih yang murni, yang diputuskan orang karena paksa. Dahulu sebelum
menikah dengan ayahmu, ibumu dan aku saling mencinta..." Suling Emas lalu
menceritakan semua pengalamannya dengan Suma Ceng, ibu Kiang Liong.
"Demikianlah,
cinta kasih antara kami direnggut. Kami dipisahkan dengan paksa, sedangkan
ibumu telah mengandung engkau, Anakku. Hanya untuk menjaga nama baik keluarga
ayah bundamu, maka engkau diberi she Kiang seperti ayahmu. Padahal engkau
adalah puteraku, dan hal ini agaknya diketahui pula oleh ayahmu maka dia
membiarkan engkau menjadi muridku.”
Makin lama
mendengar cerita Suling Emas, makin pucat wajah Kiang Liong, dan akhirnya ia
menubruk kaki Suling Emas sambil mengeluh, "Ayahhh.....!"
“Liong-ji,
anakku. Mulai sekarang, kita tidak perlu berpura-pura, tidak perlu bersembunyi,
kau sebut ayah padaku, jangan suhu. Aku sudah bosan untuk berpura-pura bersih.
Kita tidak perlu berpaling lagi dari kenyataan.”
“Ayah...,
kiranya Ayah demikian menderita oleh asmara. Ah, semoga saja tidak menurun
kepadaku, Ayah.”
Merah wajah
Suling Emas. Ah, Anakku engkau tidak tahu, aku belum bercerita tentang Ratu
Yalina! Akan tetapi ia menekan perasaannya dan berkata, “Ada terjadi apakah,
Liong-ji?”
“Ayah, terus
terang saja, setelah mengetahui bahwa engkau adalah ayahku, dan karena Kaisar
menganggap aku pemberontak, aku segan kembali ke kota raja. Aku... aku... mohon
Ayah sudi melamarkan....“
“Ah, engkau
mempunyai pilihan hati? Semoga engkau bahagia, tidak seperti ayahmu. Siapakah
gadis itu, Liong-ji? Tentu Ayah akan melamarkan untukmu, karena engkau sudah
cukup dewasa.”
“Dia bukan
orang lain, masih anak keponakan Ayah sendiri, yaitu Mutiara Hitam,” kata Kiang
Liong sambil menundukkan muka.
Untung bagi
Suling Emas bahwa pada saat itu Kiang Liong menundukkan muka, kalau tidak tentu
akan melihat betapa wajahnya menjadi pucat sekali dan matanya terbelalak lebar.
Harus diakui bahwa Suling Emas adalah seorang pendekar besar yang sudah
menguasai perasaan hatinya, tenang dalam segala hal, bahkan dalam menghadapi
bahaya maut sekali pun. Akan tetapi, mendengar betapa puteranya jatuh cinta dan
minta dilamarkan puterinya, ia hampir pingsan!
Timbul
penyesalan yang amat besar di hatinya, semua ini terjadi sebagai tamparan bagi
mukanya, tamparan yang keluar dari mulut Ong Toan Liong. Mengingatkan ia akan
semua peristiwa dahulu, semua perbuatannya, karena hal-hal ini timbul sebagai
akibat dari pada perbuatannya dahulu. Akan tetapi mengakui sekarang di depan
Kiang Liong bahwa pemuda ini melamar adik sendiri? Ah, ia tidak tega. Ia
sendiri mengakui semua perbuatannya, bersedia memetik buah tanamannya sendiri,
namun mengingat puteranya, ia tidak sampai hati.
Dengan suara
halus ia berkata, “Liong-ji, kau tidak usah kembali ke kota raja. Dan tentang
perjodohan, marilah kau ikut bersamaku ke Khitan.” Hanya sekian Suling Emas
berkata, tidak sanggup bicara panjang karena khawatir kalau-kalau lidahnya tak
kuasa membendung pertahanan hatinya.
***************
SEPERTI juga
mendiang ibunya, betapa pun tidak waras otak Suma Kiat namun ia mempunyai
kecerdikan dan kelicinan yang luar biasa. Setelah maksud hatinya memperisteri
Kwi Lan secara paksa digagalkan Kiang Liong, Suma Kiat melarikan diri dan
pemuda ini terus menuju ke Khitan! Ia tidak berani untuk kembali ke kota raja,
karena ia tentu akan ditangkap sehubungan dengan persekutuannya dengan Bouw Lek
Couwsu. Pula, ia pergi ke Khitan bukan tanpa tujuan. Ia harus mendahului Kwi
Lan menemui Ratu Khitan yang menurut ibunya adalah adik ibunya sendiri, jadi
bibinya!
Suma Kiat
melakukan perjalanan tak kunjung henti dan ia tiba di kota raja Khitan dalam
keadaan lelah dan lapar. Pakaiannya kotor dan robek-robek, mukanya pucat kurus.
Ketika para pengawal mendengar bahwa orang asing ini hendak menghadap Ratu, ia
ditangkap dan Suma Kiat sama sekali tidak melakukan perlawanan. Karena para
pengawal menaruh curiga, ia dihadapkan kepada Panglima Kayabu.
“Saya ingin
menghadap Ratu Khitan dan ingin bicara empat mata. Saya adalah anak
keponakannya!” Berkali-kali Suma Kiat berkata dan akhirnya oleh Panglima Kayabu
sendiri dibawa ke istana menghadap Ratu Khitan.
Begitu
berhadapan dengan ratu yang masih cantik dan bersikap agung itu, serta merta
Suma Kiat menjatuhkan diri berlutut dan menangis menggerung-gerung. “Aduh,
Bibi... keponakanmu ini mengalami penderitaan yang hebat.”
Ratu itu
berkata dalam bahasa Han yang fasih, sedikit pun tidak kaku seperti kalau orang
Khitan lain bicara, “Orang muda, tenanglah. Engkau siapa?”
“Ibu saya
bernama Kam Sian Eng....”
“Ahhh...!”
Ratu Yalina lalu memberi isyarat dengan matanya kepada Panglima Kayabu agar
meninggalkan mereka berdua. Panglima yang setia ini bangkit, mengangguk lalu
pergi meninggalkan ratunya bersama orang muda itu. Biar pun ia masih menaruh
curiga kepada pemuda itu, namun mendengar bahwa pemuda itu putera Kam Sian Eng,
pemuda itu benar keponakan Sang Ratu. Pula, ia tidak perlu khawatir karena ilmu
kepandaian ratunya amat tinggi sehingga tak mungkin diganggu lawan, apa lagi
seperti orang muda itu.
Ratu Yalina
bergetar hatinya, akan tetapi ketika mengamat-amati wajah pemuda itu, ia
teringat akan Suma Boan dan teringatlah ia betapa dahulu kakak angkatnya, Kam
Sian Eng, terbujuk dan tergila-gila kepada putera pangeran yarig bernama Suma
Boan yang kemudian menipunya. Karena patah hati, Kam Sian Eng menjadi gila,
secara aneh mendapatkan ilmu-ilmu yang hebat, dan bersama dia membunuh Suma
Boan. Akan tetapi hubungannya dengan Suma Boan itu telah membuat Kam Sian Eng
mengandung dan dalam keadaan mengandung Kam Sian Eng lari minggat entah ke
mana. Kiranya inikah puteranya?
“Siapa
namamu?” tanyanya kepada pemuda yang masih menangis.
“Nama saya
Suma Kiat....”
Ratu Yalina
tersenyum dan yakinlah ia sekarang bahwa ini memang putera Suma Boan. Ternyata
kakak angkatnya itu masih mengakui bekas kekasihnya dan memberi she Suma kepada
puteranya.
“Ah, kalau
begitu engkau benar keponakanku. Kiat-ji (Anak Kiat), setelah bertemu bibimu,
kenapa kau menangis?”
“Aduh, Bibi,
yang mulia, kasihanilah hamba... yang sudah sebatang-kara ini.”
“Heh? Ke
mana Ibumu?”
“Ibu... Ibu
tewas dalam membela dan menyelamatkan puteri Bibi....”
“...
puteriku? Siapa...?” Wajah Ratu Yalina berubah tegang.
“Siapa lagi
kalau bukan Kwi Lan si Mutiara Hitam?”
Berdebar
jantung Ratu Yalina. Jadi benarkah puterinya yang hilang itu berjuluk Mutiara
Hitam?
“Bagaimana
engkau bisa tahu dia puteriku?” tanyanya makin tegang.
“Mendiang
Ibu yang menceritakan. Ibu mengambilnya ketika masih bayi dan Kwi Lan menjadi
muridnya....”
“Ceritakan
semua..., lekas ceritakan semua, anakku!” Ratu Yalina berseru sambil menyambar
tangan Suma Kiat dan menariknya masuk ke ruangan dalam.
Ia berseru
memanggil pelayan untuk menyediakan makan minum bagi orang muda ini. Para
pelayan terheran-heran dan diam-diam Suma Kiat terkejut karena tangan halus
yang mencekal lengannya itu mengandung tenaga dalam yang hebat luar biasa!
Sambil makan
minum, berceritalah Suma Kiat tentang Kwi Lan. Tentu saja ia menonjolkan
kebaikan-kebaikan ibunya dan dia sendiri. Akhirnya ia menceritakan peristiwa di
markas Bouw Lek Couwsu dan dengan akal cerdik ia berkata, “Saya hanya ikut
dengan ibu dan agaknya ibu yang termasuk seorang di antara Bu-tek Ngo-sian kena
bujuk Bouw Lek Couwsu untuk memusuhi Kerajaan Sung. Akan tetapi ketika ibu
melihat bahwa di markas Bouw Lek Couwsu itu terdapat tahanan-tahanan penting,
yaitu Pangeran Talibu dan Puteri Mimi...”
“Untung
mereka sudah bebas dan sedang berangkat pulang. Aku telah mendengar laporan
dari pembawa berita, akan tetapi tidak jelas. Hanya mendengar bahwa Talibu dan
Mimi ditawan orang-orang Hsi-hsia akan tetapi kini telah bebas. Bagaimana
sesungguhnya yang terjadi?”
“Saya
sendiri tidak tahu jelas, Bibi. Hanya kalau tidak salah, mereka itu ditawan
karena Bouw Lek Couwsu hendak memaksa Khitan membantunya kalau dia menyerbu
Kerajaan Sung.”
Ratu Yalina
mengangguk-angguk, “Hemmm, begitukah? Kalau begitu Bouw Lek Couwsu belum
mengenal watak bangsa Khitan yang perkasa! Nah, lanjutkan ceritamu, anakku!”
“Ketika ibu
melihat Pangeran Talibu dan Puteri Mimi ditahan, apa lagi ketika melihat Sumoi
Kwi Lan ditahan pula dan hendak diperhina Bu-tek Ngo-sian, ibu lalu marah dan
membunuh Bu-tek Siu-lam. Akan tetapi ibu dikeroyok banyak orang sakti sehingga
tewas dalam usaha menolong Sumoi!”
Tak terasa
lagi kedua mata Ratu Yalina menjadi basah air mata. Biar pun Enci Sian Eng
telah menculik bayiku, akan tetapi akhirnya dia mengorbankan nyawa untuk
anaknya. “Kasihan engkau, Enci Sian Eng,” demikian keluh hatinya.
“Lanjutkan,
anakku,” katanya memandang Suma Kiat dan kini wajah pemuda itu kelihatan tampan
dan simpati.
“Saya lalu
membawa pergi Sumoi. Sampai di tengah jalan, karena Ibu telah tidak ada, saya
sampaikan pesan terakhir Ibu kepada Sumoi. Siapa kira... Sumoi menjadi
marah-marah dan hampir saja saya dibunuhnya... uuh-huk-huk... Bibi, lebih baik
Bibi bunuh saja saya agar tidak menanggung malu dan sengsara lebih lama lagi.
Kalau saya tidak dapat memenuhi pesan terakhir Ibu, apa gunanya hidup menjadi
seorang anak puthauw (durhaka)?” Pemuda ini menangis lagi.
Ratu Yalina
menjadi terheran. “Ah, kau tenanglah, Kiat-ji. Apakah pesan terakhir Ibumu?”
“Ibu
berpesan kepada saya bahwa saya dan Sumoi harus menjadi suami isteri.”
“Aahh...
begitukah?” Kembali Ratu Yalina mengangguk-angguk. “Dan Kwi Lan menolak?”
“Tidak hanya
menolak, bahkan marah dan hampir membunuhku.”
Di dalam
hatinya Ratu Yalina tertegun. Puterinya yang berjuluk Mutiara Hitam itu agaknya
liar dan galak, seperti... eh, dia dahulu. Selalu menurutkan kehendak hati
sendiri, tidak terkekang, seperti kuda liar.
“Kau...
kalah olehnya? Bukankah kau suheng-nya?”
“Sumoi lihai
sekali, dan saya... saya tidak tega untuk melawannya...”
Ratu Yalina
kembali memandang wajah tampan itu. Ia makin kasihan dan makin suka kepada
pemuda ini. Kalau Enci Sian Eng sudah berpesan demikian... hemm, akan kulihat
nanti kalau berjumpa dengan Mutiara Hitam.
“Tenangkan
hatimu, Kiat-ji. Aku menghargai pesan ibumu, dan urusan ini baik ditunda lebih
dulu. Kelak kalau aku bertemu dengan puteriku, akan kita bicarakan lagi. Kau
mengasolah.”
Ratu Yalina
memanggil pelayan dan pemuda itu lalu dipersilakan mengaso di sebuah kamar
indah di kompleks istana, diberi pakaian serba indah dan hidangan-hidangan
lezat. Terhibur juga rasa hati Suma Kiat yang selama ini mengalami
kesengsaraan.
Tentu saja
Kwi Lan sama sekali tidak pemah menduga bahwa Suma Kiat telah mendahuluinya ke
Khitan. Tidak seperti Suma Kiat yang melakukan perjalanan siang malam, ia
menuju ke Khitan tidak tergesa-gesa, sambil melihat pemandangan indah. Maka
ketika ia tiba di Khitan, Suma Kiat sudah lama berada di sana, bahkan Pangeran
Talibu dan Puteri Mimi sudah lama pula kembali ke kota raja Khitan.
Kwi Lan yang
sudah merasa rindu sekali kepada Pangeran Talibu, lalu bertanya-tanya di mana
adanya Pangeran ini. Karena yang bertanya adalah seorang wanita yang agaknya
baru saja belajar bahasa Khitan, dan melihat wajah Kwi Lan memang patut menjadi
peranakan Khitan, orang-orang yang ditanyai tidak menaruh curiga, mengira bahwa
nona itu memang seorang pelancong yang ingin tahu saja.
Akhirnya Kwi
Lan mendapat keterangan bahwa Pangeran Talibu tinggal di sebuah gedung indah di
lingkungan istana, di sebelah kiri di mana terdapat pertamanan luas
mengelilingi gedungnya. Mendengar ini, Kwi Lan mencari kesempatan di waktu pagi
hari yang masih sunyi, dengan menggunakan kepandaiannya ia melompat masuk
melalui dinding yang mengelilingi taman luas. Karena istana selalu aman dan
dinding itu tinggi, maka penjagaan tidak begitu ketat sehingga Kwi Lan dapat
melompat masuk tanpa diketahui penjaga.
Berdebar
jantung Kwi Lan. Bagaimana nanti penerimaan Pangeran Talibu? Bagaimana kalau
tidak mau menerimanya? Ah, tidak mungkin. Terbayang olehnya semua peristiwa di
kamar tahanan ketika dia dan Pangeran Talibu diberi racun. Terbayanglah
kemesraan dan cinta kasih Pangeran itu kepadanya yang tidak hanya terpancar
dari sinar mata dan sentuhan tangan, dekapan dan ciuman, akan tetapi juga dari
kata-katanya. Masih berkumandang di telinganya suara Pangeran itu menggetar
penuh perasaan. “Demi Tuhan! Aku mencintamu, Mutiara Hitam. Aku cinta kepadamu
seperti kepada diri sendiri...!”
Ia
menyusup-nyusup dan menyelinap di antara pohon-pohon dan bunga. Kemudian tampak
olehnya sebuah pondok kecil di tengah taman. Pondok itu sudah tua dan tidak
begitu mewah, bahkan dindingnya ada yang sudah robek-robek kulitnya. Agaknya
memang dibiarkan demikian karena tampak lebih artistik (nyeni). Ia
berindap-indap mendekati dan jantungnya berdebar tidak karuan ketika ia
mendengar suara orang yang dirindukan selama ini. Suara Talibu di sebelah
belakang pondok.
Ia cepat
menghampiri dan memutari pondok, lalu mengintai. Benar saja dugaannya. Pangeran
itu berada di belakang pondok, di ruangan luar. Alangkah tampannya. Alangkah
gagahnya. Pakaiannya begitu cermerlang indah, serba mengkilap dan berkilauan.
Topinya terhias naga emas yang aneh bentuknya, dadanya bergambarkan Dewa
Matahari. Pedangnya panjang dengan gagang terukir indah, dari emas bertabur
batu permata.
Sejenak Kwi
Lan terpesona dan terharu. Demikian tampannya pria ini sampai menimbulkan haru
di hati. Akan tetapi hatinya mulai panas terbakar ketika ia melihat siapa teman
Pangeran bercakap-cakap. Puteri Mimi lagi! Dan mereka duduk bersanding di
bangku dengan sikap begitu mesra! Mereka saling berpegangan tangan saling
pandang, dan dari gerak-gerik, pandang mata, dari seluruh pribadi kedua orang
itu jelas memancarkan cinta kasih menggelora!
Pening rasa
kepala Kwi Lan. Ia memejamkan matanya dan hampir terguling roboh kalau ia tidak
cepat-cepat menekan dinding pondok dengan tangan. Tanpa disadari mulutnya
mengeluarkan suara keluhan perlahan. Namun suara ini cukup untuk membuat
Pangeran Talibu dan Puteri Mimi bangkit dan membalikkan tubuh.
“Eh, kau...
Mutiara Hitam...!” seru Puteri Mimi dengan suara girang.
Namun
Pangeran Talibu tidak berkata apa-apa, hanya memandang dengan mata terbelalak.
Ia dapat melihat kemarahan, kehancuran hati, terbayang pada wajah dan pandang
mata itu dan ia tahu apa sebabnya. Maka ia lalu berkata gagap, “Mutiara Hitam,
sudahkah kau bertemu ibunda Ratu...? Mari kuantar kau menghadap....”
“Tidak
perlu! Semua orang boleh saja tidak pedulikan diriku...!” Dengan isak tertahan
Kwi Lan membalikkan tubuh dan meloncat pergi. Hatinya perih dan patah.
Kekasihnya direnggut orang! Ingin ia mengamuk. Memang ia akan mengamuk, akan
menemui Ratu Khitan, menuntut bahwa dia sebagai puteri disia-siakan! Dengan
kemarahan meluap-luap ia keluar dari taman mencari jalan ke istana.
“Sumoi...!”
Kwi Lan
terhenti seperti disambar kilat. Di depannya telah berdiri Suma Kiat dengan
wajah berseri dan pakaian indah! Sungguh ia terheran-heran dan tidak dapat
mengeluarkan kata-kata, hanya memandang dengan mata lebar.
“Ah, Sumoi,
kau baru datang? Kami sangat mengharap-harap kedatanganmu...!”
“Kau...? Di
sini...?” Kwi Lan akhirnya dapat menegur.
Wajah Suma
Kiat berseri-seri, “Sudah lama aku tinggal di sini. Bibi Ratu menerimaku dan...
dan pesan mendiang ibu disetujui. Ya, adikku sayang. Dengan perkenan Bibi Ratu,
kita dijodohkan. Kau dan aku! Akhirnya kita berjodoh juga, Adikku. Dan aku akan
menjadi pangeran mantu!”
Wajah Kwi
Lan menjadi merah sekali, matanya menyorotkan kemarahan hebat. Jadi inikah
sebabnya? Inikah sebabnya mengapa Pangeran Talibu menerimanya begitu dingin?
Pantas saja Pangeran Talibu mengajak dia bertemu dengan Ratu, kiranya ada
urusan ini! Tentu Suma Kiat telah membujuk bibinya tentang perjodohan dan
Ibunya... ah, ibunya yang sejak ia kecil menyia-nyiakan itu telah
menyetujuinya. Tentu saja Pangeran Talibu sudah tahu akan hal ini dan
memutuskan pertalian cinta.
“Keparat...!”
Tubuhnya menerjang ke depan menyerang Suma Kiat.
“Eh... eh,
Sumoi... eh...!” Suma Kiat mengelak dan menangkis.
Namun Kwi
Lan tidak main-main dan serangannya bertubi-tubi dan hebat. Akhirnya sebuah
pukulan membuat Suma Kiat roboh. Kwi Lan menubruknya dan menghujani pukulan.
Kalau tidak ingat bahwa orang ini putera gurunya, tentu ia sudah mengirim
pukulan maut. Dia masih ingat ini dan pukulan-pukulannya hanya pukulan dengan
tenaga luar saja yang membuat Suma Kiat mengaduh-aduh. Mulut dan hidung pemuda
itu mengucurkan darah, mukanya bengkak-bengkak dan kaki tangannya lumpuh karena
ditotok. Kwi Lan dengan hati sakit dan gemas bukan main terus memukul sampai
Suma Kiat pingsan! Kemudian ia menyeret leher baju pemuda itu, terus menarik
dan menyeretnya menuju ke pondok di mana tadi ia melihat Pangeran Talibu.
Pangeran
Talibu dan Puteri Mimi sedang membicarakan Mutiara Hitam. Hati Pangeran itu
gelisah sekali melihat sikap Mutiara Hitam. Ia sudah menceritakan segalanya
kepada Mimi dan gadis ini sampai menangis saking terharu kepada Kwi Lan yang
nasibnya begitu buruk, dipermainkan keadaan. Dia sendiri begitu bahagia,
kehilangan kakak kandung mendapatkan tunangan. Cinta antara saudara berubah
menjadi cinta asmara! Pangeran Talibu mengajaknya menyusul Mutiara Hitam, karena
menurut Mimi, tidak mengapalah kalau Pangeran itu sendiri menjelaskan duduknya
perkara, membuka rahasia saudara kembar kepada Mutiara Hitam.
Akan tetapi,
pada saat mereka hendak keluar dari pondok, tampak Mutiara Hitam datang
menyeret tubuh Suma Kiat yang pingsan! Pangeran dan puteri itu kaget sekali,
memandang dengan mata terbelalak. Kwi Lan menyeret terus kemudian melempar
tubuh Suma Kiat ke depan kaki Pangeran Talibu, suaranya dingin matanya berapi
ketika ia berkata.
“Orang
inikah yang hendak dijodohkan denganku? Aku tidak sudi! Aku bukan seorang yang
begitu mudah berubah, bukan seorang yang tidak setia. Biar Ratu sendiri yang
menentukan, tetap kutentang. Sekarang juga hendak kusampaikan kepada Ratu
Khitan!” Sebelum Pangeran Talibu sempat bicara, Mutiara Hitam sudah melompat
pergi dan lari meninggalkan tubuh Suma Kiat yang menggeletak pingsan dengan
muka bengkak-bengkak dan hidung mulut berdarah.
Kwi Lan
berlari terus memasuki Istana. Penjaga-penjaga tercengang dan hendak melarang,
akan tetapi gadis itu terlalu cepat sehingga sebentar saja ia sudah sampai di
ruangan tengah. Pengawal dalam sebanyak tiga orang cepat menghadang dan hendak
menangkapnya, akan tetapi dengan gerakan yang luar biasa cepatnya Kwi Lan sudah
menangkap seorang di antara mereka, mengerahkan lweekang membuat tubuh pengawal
itu terangkat dan diputar ke arah dua yang lain. Mereka bertiga roboh
bergulingan dan gadis ini menyelinap masuk terus.
“Tangkap
penjahat...!” para pengawal berseru dan sebentar saja Kwi Lan terkurung belasan
pengawal yang mencabut senjata.
“Boleh
tangkap aku kalau mampu! Aku Mutiara Hitam hendak bertemu dengan Ratu Khitan,
siapa pun kalau menghalangi akan mampus di ujung pedangku!” Ia sudah mencabut
pedang dan siap mengamuk.
Pada saat
itu terdengar bentakan halus dan semua pengawal lalu mundur dengan wajah
terheran. Kwi Lan mengangkat muka dan memandang wanita yang berjalan dengan
langkah ringan menghampirinya. Wanita setengah tua yang cantik jelita
berpakaian indah. Mereka saling pandang, seperti terkena pesona, keduanya
menduga, menaksir, menyelidiki.
“Engkau
Mutiara Hitam...?”
“Engkau Ratu
Khitan...?”
Pertanyaan
mereka hampir berbareng terucapkan. Ratu Yalina terhuyung maju, kedua lengan
dikembangkan hendak memeluk, wajahnya pucat dan matanya penuh air mata. Akan
tetapi Kwi Lan dengan cemberut mengelak, pandang matanya penuh tantangan, penuh
tuduhan, penuh penyesalan.
Menggigil
bibir Ratu Yalina menahan tangis, menahan jerit hatinya, “Kau... kau... telah
belasan tahun menyiksa hatiku... kau...“ Ia tak dapat melanjutkan, tubuhnya
lemas, kakinya gemetar, air matanya bercucuran.
Kwi Lan
tetap cemberut. Kekecewaannya tentang Pangeran Talibu masih menyesak di dada.
“Siapa yang menyakitkan hati? Siapa yang menyia-nyiakan anak? Siapa yang
membuang anak begitu saja seperti orang membuang sampah?”
“Haaahhh...!”
Ratu Yalina menahan jerit, hampir mencekik leher sendiri dengan tangannya,
matanya terbelalak memandang gadis itu. “Begitukah kiranya? Kau belum mengerti?
Aduh, Kwi Lan... Mutiara Hitam... mari kita bicara....” Ia maju memegang tangan
Kwi Lan untuk diajak masuk kamar.
Akan tetapi
Kwi Lan merenggut lepas tangannya dan berjalan di belakang orang yang menjadi
ibu kandungnya ini. Ia kagum dan timbul rasa sayang dan haru, akan tetapi semua
perasaan ini terbendung oleh kemarahannya. Selain menyia-nyiakannya, kini ibu
ini masih menjodohkan dia dengan seorang gila macam Suma Kiat!
Sampai di
dalam kamar Ratu Yalina yang gemetar kakinya itu duduk, mempersilakan Kwi Lan
duduk. Akan tetapi Kwi Lan tetap berdiri di depan Ratu, tidak mau duduk, siap
mendengarkan.
“Kau
anakku... ah, betapa rinduku kepadamu. Akan tetapi baiklah kau dengarkan
penuturanku agar kau tidak salah paham. Ketika kau terlahir dan dibawa oleh
perawat, kau diculik oleh Enci Sian Eng yang membunuh perawat itu. Pada waktu
itu tidak ada seorang pun tahu siapa penculiknya, tahu-tahu si Perawat itu mati
dan kau lenyap. Betapa sengsara hatiku, betapa selama belasan tahun hatiku
tersiksa. Sudah kuperintahkan semua panglimaku untuk pergi mencari,
menyelidiki, namun hasilnya sia-sia belaka. Kini kau datang... Anakku, kenapa
kau bersikap begini...? Aku ibumu, ibu yang melahirkanmu, aku... betapa
rinduku... ah, Anakku...“
Melihat
wanita itu menangis terisak-isak, Kwi Lan menjadi terharu. Akan tetapi ia masih
marah dan dua macam perasaan ini mengaduk hatinya, membuat ia lemas dan
akhirnya ia menjatuhkan diri di bangku lalu menangis tersedu-sedu, menutupi
muka dengan kedua tangan. Air matanya mengalir ke luar melalui celah-celah
jarinya.
Ratu Yalina
bangkit berdiri, menghampiri anaknya. Ia tahu bahwa anak ini memiliki watak
aneh dan keras sekali, tidak kalah oleh wataknya dahulu ketika muda. Betapa pun
inginnya ia memeluk, ia menahan hati dan ingin memecahkan persoalan yang
mengganggu hati puterinya lebih dahulu.
“Ada apakah,
Anakku? Engkau agaknya bingung dan marah. Ada apakah?”
“Ibu... Ibu
terlalu! Sudah menyia-nyiakan hidupku sehingga terpaksa aku hidup seperti setan
bertahun-tahun lamanya di istana bawah tanah. Kini setelah aku dewasa, tanpa
bertanya-tanya Ibu... menjodohkan aku dengan iblis jahanam macam Suma Kiat!
Begini bencikah Ibu kepadaku?”
Ratu Yalina
mau tak mau tersenyum geli di balik keharuannya. Ia memegang pundak Kwi Lan,
dengan halus berkata, “Tidak, Anakku. Aku sama sekali tidak memutuskan tentang
perjodohanmu. Memang Suma Kiat bilang bahwa mendiang ibunya berpesan begitu.
Akan tetapi aku tidak akan mengambil keputusan mengenai perjodohanmu dengan
siapa pun juga. Tentang perjodohan kuserahkan kepadamu, kalau kau tidak cocok
dengan siapa pun Ibumu takkan melarang...”
Timbul
harapan di hati Kwi Lan, akan tetapi karena malu, ia masih menutupi mukanya
ketika berkata, “Aku tidak mau menikah dengan siapa pun juga di dunia ini
kecuali dengan Pangeran Talibu!”
Kalau ada
halilintar menyambar kepalanya di saat itu, kiranya Ratu Yalina tidak akan
sekaget ketika mendengar ucapan ini. Ia terhuyung ke belakang, tangan kanan
meraba dada yang seakan-akan berhenti berdetik, kepalanya pening.
Pada saat
itu, dari pintu menerobos masuk Pangeran Talibu. Melihat keadaan ibunya yang
pucat terbelalak seperti hampir roboh dan Kwi Lan yang duduk menangis menutupi
muka, ia berseru memanggil, “Ibu...!” Dan melompat menghampiri.
Kehadiran
Pangeran ini mendatangkan tenaga baru bagi Ratu Yalina. Ia cepat memegang
tangan Pangeran Talibu seperti mencari bantuan tenaga, kemudian berkata,
suaranya menggigil, “Talibu... dia... dia cinta padamu... dia... ingin menikah
denganmu... oohh, Anakku...!”
Kini Ratu
Yalina tak dapat menahan kehancuran hatinya lagi. Ia menubruk dan memeluk leher
Kwi Lan, menciumi muka gadis itu sehingga muka Kwi Lan yang sudah basah oleh
air matanya sendiri kini makin basah oleh air mata ibunya.
“Kwi Lan...
Anakku... aduhhh, kasihan sekali kau... ketahuilah, Anakku... dahulu kau
terlahir kembar... engkau terlahir tak lama setelah kakakmu terlahir. Kemudian
engkau diculik Enci Sian Eng... dan... dan kakakmu... kakak kembarmu... dia
Pangeran Talibu...”
Terdengar
suara melengking menyayat hati ketika tubuh Kwi Lan roboh terguling dari atas
kursinya, pingsan! Ibunya dan kakaknya menubruk, menangis dan berusaha
menyadarkannya. Tapi setelah sadar, Kwi Lan meloncat ke atas menjauhi mereka,
rambutnya terlepas awut-awutan, matanya liar, hidungnya kembang-kempis
seakan-akan sukar bernapas. Ia memandangi mereka bergantian, dengan mata
terbelalak seperti seekor kelinci yang ketakutan.
“...Anakku...
Kwi Lan anakku...,” Ratu Yalina mengembangkan tangannya, hatinya hancur oleh
keharuan dan kecemasan melihat Kwi Lan, khawatir kalau-kalau gadis itu berubah
ingatan karena duka.
“...Adikku...
Kwi Lan...,“ suara Pangeran Talibu parau, pipinya basah, akan tetapi ia
memandang adiknya dengan senyum penuh kasih. Melihat ini, naik sedu-sedan dari
dada Kwi Lan memenuhi kerongkongannya, kemudian ia meloncat ke depan Talibu,
tangannya bergerak menampar.
“Plak-plak...!”
Dua kali tangannya menampar pipi kanan kiri Pangeran itu, membuat Talibu
terhuyung-huyung.
“Kwi
Lan...!” Ratu Yalina menjerit.
Kwi Lan
membalik, memandang ibunya, kemudian menubruk kaki ibunya sambil menangis
meraung-raung seperti anak kecil. Ibunya juga duduk di lantai, balas memeluk,
maka bertangisanlah ibu dan anak ini. Ratu Yalina memegang kedua pipi
puterinya, diangkatnya muka itu, dipandangnya penuh selidik, penuh kasih, penuh
rindu, diciuminya di antara tangis dan tawa.
Pangeran
Talibu masih berdiri, memandang pertemuan yang mengharukan itu dan terdengar ia
berkata lirih, suaranya menggetar, “Adikku... sudah selayaknya kau pukul aku...
kalau belum puas pukullah lagi... aku seperti mempermainkanmu... di dalam
tahanan Bouw Lek Couwsu... aku sudah tahu engkau adikku, seharusnya kuberi
tahu. Akan tetapi, kalau rahasia itu ketahuan Bouw Lek Couwsu keadaanmu sebagai
puteri Ratu Khitan lebih berbahaya lagi... dan tentang... tentang peristiwa
itu... kau tahu kita keracunan... Adikku, maukah engkau memaafkan kakakmu...?”
Satu-satu
kata-kata itu keluar, seperti pisau tajam menusuk-nusuk hati Kwi Lan. Gadis itu
melepaskan pelukan ibunya, membalik dan menubruk kaki kakaknya. “Kanda
Talibu... kaulah yang harus memaafkan adikmu...!”
Talibu
tertawa, lalu menangis dan merangkul adiknya. Dibelai-belainya rambut yang
kusut itu, dicubitnya pipi yang kemerahan, dicubitnya pula hidung Kwi Lan, lalu
dicium pipinya, “Adikku sayang, ketika aku mengaku cinta demi Tuhan, aku
katakan dengan setulus ikhlas hatiku karena aku sudah tahu bahwa engkau adalah
adik kembarku. Kita masih saling cinta, bukan? Bahkan cinta yang suci murni
tidak terpatahkan oleh apa pun juga. Bukankah kita sekandungan dan lahir
bersama? Ah, Adikku sayang...!” Mereka berpelukan.
Ratu Yalina
bangkit berdiri dan duduk di kursi. Dua orang anaknya itu menubruk ibunya
dengan penuh kasih sayang. “Anak-anakku..., anak kembarku..., ah, betapa kalian
sudah menderita. Terutama Kwi Lan, sampai mencinta kakak sendiri.... Ini semua
akibat dosaku...“
Pada saat
itu terdengar suara yang halus tapi gemetar penuh perasaan, “Tidak, Lin-moi...
tidak... bukan kau yang salah. Aku yang berdosa... ya, aku yang berdosa...!”
Yang bicara
ini adalah Suling Emas yang mendengar ucapan Ratu Yalina tadi. Ia melangkah
masuk dengan gontai, tubuhnya lemas penuh kedukaan dan di belakangnya ikut
masuk pula seorang pemuda yang bukan lain adalah Kiang Liong. Para pengawal
sudah mengenal Suling Emas, maka tidak menghalangi pendekar ini bersama pemuda
itu masuk istana dengan bebas, sungguh pun mereka saling pandang dengan heran
namun tidak berani melarang.
Melihat
Suling Emas, Ratu Yalina lalu menarik bangun Kwi Lan, diajaknya menghampiri Suling
Emas sambil berkata lirih, “Anakku... Kwi Lan..., beri hormatlah kepadanya...
ini dia... ayah kandungmu...!”
Suling Emas
menjatuhkan diri di atas bangku, dan Kwi Lan berdiri terbelalak memandang
pendekar sakti ini. Matanya terbelalak, tak disangka-sangkanya seujung rambut
pun bahwa Suling Emas adalah ayahnya! Begitu bahagia rasa hatinya, begitu malu,
dan juga heran sehingga sampai lama ia tidak dapat bergerak. Akhirnya ia
menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Suling Emas sambil berteriak lirih. “Ayahku...!”
Teriakan Kwi
Lan ini berbareng dengan keluhan Kiang Liong yang pingsan di dekat kaki
ayahnya. Suling Emas merangkul Kwi Lan, merangkul Kiang Liong, kemudian
memukuli dadanya sendiri dengan air mata berlinang-linang, “Dosaku... semua
dosaku, laki-laki pengecut, berani berbuat tak berani bertanggung jawab...
menyembunyikan dosa dan noda... sampai anak-anak sendiri saling cinta..., ya
Tuhan, masih belum cukupkah hukuman hamba...?” Dan Suling Emas muntahkan darah
segar sambil terbatuk-batuk.
Pemandangan
di dalam kamar Ratu Yalina itu amat menusuk perasaan. Semua menangis dan semua
merangkul Suling Emas. Juga Kiang Liong yang sudah siuman kini merangkul Kwi
Lan, suaranya penuh getaran hati yang patah, “...kau adikku..., adikku...“
Setelah
keadaan mereda, semua berbahagia, kecuali Kiang Liong dan Kwi Lan karena
kebahagiaan kedua orang muda ini menyembunyikan hati yang remuk-redam, patah
dan luka oleh asmara gagal. Orang-orang yang dicinta sepenuh hati dan jiwa
ternyata adalah saudara-saudara sendiri! Hari itu merupakan hari di mana
sekeluarga menumpahkan segala macam perasaan yang selama ini terpendam dan
keputusan yang diambilkan merupakan obat manjur bagi sakit hati Suling Emas.
Yalina dan dia siap untuk mengumumkan dan membuka rahasia mereka selama ini.
Mereka akan menghadapi kenyataan dengan muka terang. Untuk ini, Panglima Kayabu
yang menjadi sahabat setia dipanggil dan diajak berunding.
***************
Pesta-pora
diadakan di seluruh Kerajaan Khitan. Untuk keperluan pesta itu, persiapannya
dibuat sampai berbulan-bulan. Undangan dibagi-bagi sampai jauh ke selatan. Ada
pun yang dirayakan adalah bermacam-macam. Terkumpulnya kembali keluarga Ratu,
dan terutama sekali perjodohan antara Pangeran Talibu dan Puteri Mimi serta
diangkatnya Pangeran ini menjadi Raja Khitan menggantikan ibunya yang hendak
mengundurkan diri.
Ketika hari
dan saat upacara tiba, alun-alun yang luas di depan istana yang biasanya
dipergunakan untuk berlatih baris telah penuh dengan rakyat Khitan, sebagian
besar tentara. Juga para tamu juga sudah memenuhi ruangan yang disediakan
khusus untuk mereka. Tempat dihias indah dengan bunga-bunga, daun-daun dan
kertas berwarna. Sejak pagi tadi bunyi-bunyian musik ramai memeriahkan suasana.
Ketika
keluarga Ratu Yalina muncul di panggung, sorak-sorai rakyat Khitan menyambut
mereka. Ratu Yalina memakai pakaian kebesaran, lengkap dengan pedang tanda
kekuasaan. Kepalanya memakai mahkota yang indah gemerlapan. Wanita ini nampak
lebih cantik dari pada biasa karena kebahagiaan... hatinya bersinar-sinar pada
wajahnya, membuat pipinya kemerahan dan matanya bersinar-sinar seperti bintang.
Di
sampingnya berjalan Suling Emas dengan pakaian yang khas, yaitu pakaian model
pemberian Kaisar Sung untuk Suling Emas, dengan gambar suling dan bulan di
dada, suling emas terselip di pinggangnya. Sikapnya tenang, wajahnya tersenyum
dan kelihatan agung dan penuh wibawa, tidak canggung berdiri di dekat Ratu yang
berkekuasaan besar itu.
Kemudian
muncul Pangeran Talibu dengan wajahnya yang tampan berseri, pakaiannya yang
indah dan gagah. Di sampingnya berjalan Mutiara Hitam, juga amat indah
pakaiannya dan gagah sikapnya. Di belakangnya berjalan Kiang Liong, wajahnya
masih membayangkan bekas kehancuran hati, namun yang ditutup dengan senyum
pula. Lalu tampak Panglima Kayabu bersama isteri dan puterinya yang cantik
jelita, Puteri Mimi yang wajahnya cerah, senyumnya mendatangkan kegembiraan di
hati setiap orang Khitan.
Setelah
menerima penghormatan rakyatnya yang bersorak-sorai, keluarga ratu ini
mengambil tempat duduk yang sudah disediakan sambil mengangguk sedikit sebagai
jawaban penghormatan para tamu yang bangkit berdiri menyambut mereka. Kemudian
Panglima Kayabu bangkit berdiri, maju ke pinggir panggung sehingga tampak oleh
semua yang hadir, dengan suara lantang mengumumkan bahwa Sri Paduka Ratu yang
mulia berkenan hendak menyampaikan amanat kepada rakyatnya. Tepuk-sorak
gegap-gempita menyambut pengumuman ini, terus bergemuruh ketika Ratu Yalina
bangkit berdiri di pinggir panggung dengan sikap agung.
Ratu ini
tersenyum lebar, deretan giginya putih kemilau dan matanya bersinar-sinar,
hatinya terharu menyaksikan cinta kasih dan penghormatan rakyat Khitan
kepadanya. Ia mengangkat lengan ke atas dan berhentilah sorak-sorai itu.
Keadaan menjadi sunyi sekali, seolah-olah di situ tidak ada orang, seolah-olah
semua orang yang hadir menahan napas untuk mendengarkan suara ratu mereka.
“Rakyatku
sekalian,” terdengar suaranya, lantang nyaring dan merdu, terdengar oleh semua
yang hadir sampai di ujung-ujung karena Ratu ini bicara sambil mengerahkan
khikang, “Kalian semua sudah tahu untuk apa pesta ini diadakan, yaitu untuk
merayakan beberapa hal yang menggirangkan hati keluarga kami. Akan tetapi,
tentu kalian bertanya-tanya dalam hati apa sebetulnya yang terjadi dan mengapa
tiba-tiba ratu kalian dapat berkumpul dengan keluarganya. Karena itu, aku
mengambil keputusan untuk bicara dengan kalian, untuk menceritakan keadaan kami
sesungguhnya agar jangan terjadi salah tafsir.”
Ratu Yalina
berhenti sebentar untuk menarik napas panjang. Suasana tetap hening, semua
telinga ditujukan kepadanya.
“Kalian
semua tentu sudah tahu bahwa sebelum menjadi Ratu Khitan, saya tinggal di
selatan. Dan supaya kalian ketahui bahwa sesungguhnya yang membuat sampai kini
ratu kalian tidak menikah adalah karena di selatan saya pernah bersuami, dan
suami saya adalah dia ini...“ Ratu Yalina mempersilakan Suling Emas berdiri.
Pendekar ini
tersenyum, kagum menyaksikan keberanian kekasihnya mengumumkan rahasia itu,
maka ia pun dengan tenang melangkah maju di sebelah Ratu Yalina. Sejenak semua
orang tercengang, agaknya heran, kaget dan bingung. Akan tetapi siapa orangnya
di Khitan yang tak pernah mendengar akan Suling Emas? Pendekar besar yang
berkali-kali merupakan penolong bangsa Khitan. Maka meledaklah sorak-sorai,
tangan melambai-lambai, topi dan pelbagai benda dilempar ke atas seperti
ramainya orang menonton pertandingan sepak bola!
“Hidup
Suling Emas, suami Ratu Khitan...!” Demikian teriakan-teriakan terdengar yang
makin lama makin menggema.
Suling Emas
dan Ratu Yalina saling pandang. Dua titik air mata membasahi pelupuk mata Ratu
itu. Hal yang paling gawat telah diucapkan dan hasilnya jauh lebih melegakan
hati dari pada yang mereka khawatirkan. Ratu Yalina mengangkat dengan kembali
dan rakyat pun diam. Keadaan kembali hening.
“Kami
mengaku telah melakukan kesalahan bahwa hal ini dahulu kami rahasiakan. Akan
tetapi hari ini akan kami umumkan semua rahasia. Pernikahan kami sebetulnya
telah dikurniai dua orang anak. Yang pertama sejak kecil diam-diam kami
serahkan kepada Panglima Kayabu untuk dirawat, dan yang kemudian kami angkat
menjadi putera, yaitu Pangeran Talibu! Dia adalah putera kandung kami!”
Talibu yang
sudah diberi tahu segera bangkit berdiri, tegak dan gagah di sebelah kiri
ibunya, tersenyum memandang ke bawah, ke arah rakyatnya yang akan dipimpinnya,
rakyat yang dicintanya. Kembali meledak sorak-sorai, kini lebih gemuruh karena
rakyat amat bersuka-cita mendengar bahwa ternyata Pangeran Mahkota itu bukan
putera angkat ratu, melainkan putera kandung. Untuk sejenak Ratu Yalina
membiarkan rakyatnya bersorak-sorai, kemudian ia mengisyaratkan mereka diam.
“Ada pun putera
kami yang ke dua adalah seorang wanita dan yang kini sudah berkumpul pula di
samping kami, bernama Kam Kwi Lan dan yang terkenal dengan julukan Mutiara
Hitam...!”
Kwi Lan
meloncat dan berdiri di samping ayahnya. Rakyat kembali bersorak-sorai, penuh
kekaguman dan kebanggaan, terdengar teriakan-teriakan
“Hidup Sang
Puteri Mutiara Hitam...!”
Kwi Lan
mengerling ke arah kakaknya. Pangeran Talibu tersenyum kepadanya dan matanya
menjadi basah. Ia merasa seperti dalam mimpi, disebut puteri!
“Selesailah
tugas kami membuka rahasia ini. Hati kami menjadi lapang karena telah membuka
rahasia dengan pengumuman resmi sehingga rakyat dan semua tamu dari pelbagai
kerajaan mendengar akan keadaan kami. Betapa pun juga, aku merasa bersalah
telah menyimpan rahasia ini dari rakyat sampai bertahun-tahun. Oleh karena
inilah, mengingat bahwa usiaku pun makin bertambah, hari ini pula aku
mengundurkan diri dari singgasana dan mahkota kerajaan kuserahkan kepada
Pangeran Mahkota Talibu!”
Kini
sorak-sorai yang terdengar menjadi kacau-balau. Ada yang bergembira karena
mendapat raja baru yang mereka juga sayang, ada yang kecewa karena ratu yang
mereka cinta mengundurkan diri. Ratu Yalina yang tidak ingin memperlihatkan
keharuan hati dan menangis di depan rakyatnya, segera mengajak mundur suami dan
dua puteranya. Ia tadi tidak menyebutkan bahwa Talibu dan Kwi Lan adalah
saudara kembar, karena hal ini akan mendatangkan keributan. Menurut tradisi dan
kepercayaan turun-temurun, saudara kembar laki wanita harus dljodohkan. Dan ia
mengerti bahwa hal itu tidak mungkin dilakukan, dan bahwa selain Suling Emas
juga kedua orang anak itu sendiri tidak akan melakukannya. Mereka kembali
mundur dan duduk di tempat masing-masing.
Panglima
Kayabu kini maju ke muka dan dengan lantang mengumumkan pertalian jodoh antara
puterinya, Puteri Mimi dengan Pangeran Talibu, yang akan dirayakan bersamaan
dengan pengangkatan Talibu menjadi Raja Khitan. Kembali rakyat bersyukur dan
bersorak gembira. Puteri Mimi yang tadinya tersenyum-senyum, mendengar pengumuman
itu, menundukkan muka dengan pipi merah dan mata basah sehingga ia digoda oleh
Kwi Lan yang duduk di dekatnya.
“Kakak ipar
yang baik, mengapa menangis?” kata Kwi Lan menggoda.
Mimi
melirik, menggigit bibir dan mencubit lengan Kwi Lan. Akan tetapi mereka segera
berangkulan dan keduanya menangis! Pada detik itu, habislah sudah rasa tidak
enak di hati masing-masing, terganti kasih sayang antara saudara yang mesra.
Dan
dimulailah pesta itu. Musik dimainkan makin gencar. Pertunjukan pun dimulai,
yaitu demonstrasi pasukan Khitan, ketangkasan naik kuda, memanah, dan
lain-lain. Pihak tamu bergiliran datang menghampiri tempat kehormatan ratu
untuk memberi selamat yang dibalas oleh Ratu Yalina dan Suling Emas sebagaimana
mestinya. Setelah para tamu yang memberi selamat habis, tampak seorang pemuda
yang tersenyum lebar, matanya bersinar-sinar penuh kegembiraan, keluar dari
rombongan tamu menghampiri tempat kehormatan itu bersama seorang wanita
setengah tua dan seorang kakek cebol berkepala besar.
“Bibi Bi
Li...!” Kwi Lan bangkit dan lari menubruk wanita itu, yang ditariknya menghadap
ibunya. “Ibu, inilah dia Bibi Bi Li yang merawatku sejak kecil.”
Nyonya itu
memang Phang Bi Li, dan kini ia menjatuhkan diri berlutut depan Ratu Yalina.
Oleh Yalina ia ditarik bangkit dan dipersilakan duduk di dekatnya. Dengan
terharu dan halus Ratu Yalina berkata.
“Kakak yang
baik. Karena engkau mewakili aku menjadi ibu perawat anakku sejak kecil, kau
adalah keluarga sendiri. Duduklah di sini.” Mereka lalu bercakap-cakap dan
betapa pun juga, nyonya itu kelihatan sungkan dan malu-malu karena duduk di
lingkungan keluarga besar.
“Hauw Lam,
kau Berandal!” Pangeran Talibu dan Kiang Liong menegur sambil tertawa dan
menyambut pemuda itu. Akan tetapi Hauw Lam lebih dulu memberi hormat kepada
Ratu Yalina dengan berlutut.
Ratu Yalina
tertawa. “Baiklah, Berandal. Aku sudah banyak mendengar tentang dirimu. Engkau
merupakan tuan penolong anakku. Bangkit dan duduklah, kita di antara orang
sendiri!”
Hauw Lam
bangun dan menjura kepada Talibu, “Pangeran!” lalu kepada Kiang Liong sambil
berkata, “Haii, Kiang-kongcu!”
“Heiii, dia
bukan Kiang-kongcu lagi, melainkan Kam-kongcu! Dia putera ayahku dan kakakku
sendiri, kenapa kau menyebut Kiang-kongcu.”
“Wah, sampai
terpeleset lidah ini. Maafkan, Kam-kongcu...!” Sikap Hauw Lam yang lucu membuat
dua orang pemuda bangsawan itu tertawa.
Sementara
itu, kakek cebol berkepala besar sudah disambut Suling Emas yang menjura dan
berkata, “Selamat datang, Locianpwe. Sungguh kehadiran Locianpwe merupakan
kehormatan besar.”
Kakek itu
longak-longok, bahkan menghampiri panggung dan menjenguk ke bawah, membuat
banyak orang tertawa. Akan tetapi kaum tua di Khitan yang melihat kakek ini
menjadi terkejut, mereka berbisik-bisik. Dahulu pernah kakek ini, puluhan tahun
yang lalu, membikin geger Khitan dengan perbuatan-perbuatan yang lucu dan
mengagumkan.
“Heh-heh-heh,
tidak ada perubahan di Khitan, bahkan di bawah pimpinan Ratu Yalina tampak
makin maju saja. Heh-heh-heh!”
Melihat
kakek ini, Ratu Yalina bangkit dan tersenyum lebar. “Wah-wah, kalau ini bukan
Bu-tek Lo-jin entah siapa lagi!”
Bu-tek
Lo-jin membalik ke arah ratu, membungkuk sedikit dan berkata, “Rejekimu besar,
Ratu Yalina. Suamimu pendekar sakti yang hebat, anak-anakmu pun hebat. Asal
saja kau tidak memandang rendah muridku, aku datang untuk mengajukan lamaran
atas diri puterimu si Mutiara Hitam yang galak itu agar menjadi isteri Tang
Hauw Lam.”
Kata-kata
yang lantang ini membuat semua keluarga Ratu berhenti bercakap-cakap. Suasana
hening, bahkan Hauw Lam yang biasanya pandai bicara, kini hanya menundukkan
muka akan tetapi lirak-lirik ke arah Kwi Lan. Suling Emas dan Yalina maklum
akan watak aneh dan keras dari Kwi Lan, maka urusan ini harus diserahkan kepada
Kwi Lan sendiri. Sepanjang yang mereka dengar, sepak terjang Hauw Lam memang
tidak mengecewakan sebagai seorang pemuda gagah perkasa, akan tetapi mereka
tidak berani memutuskan, apa lagi mengingat akan pengalaman-pengalaman pahit
yang menimpa diri Kwi Lan, yang pernah mencinta kakak kembar dan dicinta kakak
tiri seayah! Kedua orang ini setelah saling pandang lalu menoleh ke arah Kwi
Lan.
Phang Bi Li
tadinya merasa berat untuk memenuhi permintaan anaknya yang minta supaya
dilamarkan puteri Ratu Khitan! Akan tetapi setelah ada kesanggupan dari Bu-tek
Lo-jin yang akan bicara, ia terpaksa mau diajak serta. Kini melihat keadaan di
situ dan mendengar ucapan pinangan kakek itu yang begitu sederhana dan jujur
tanpa banyak cing-cong lagi ia menjadi ketakutan dan kembali ia menjatuhkan
diri berlutut di depan Ratu Yalina.
“Mohon
Paduka sudi mengampuni kelancangan kami....”
Yalina cepat-cepat
membangunkan Phang Bi Li. “Ah, jangan begitu. Urusan jodoh ini kami serahkan
keputusannya kepada anak kami sendiri.”
Kwi Lan yang
kini menjadi pusat perhatian bangkit berdiri dari bangkunya. Wajahnya pucat,
matanya terbelalak, sebentar memandang Talibu, lalu Kam Liong, kemudian ke arah
Hauw Lam. Si Berandal! Si Berandal meminangnya. Ia tahu bahwa Berandal ini
mencintanya. Kalau ia membuat perbandingan, orang yang pertama-tama ia akan
pilih andai kata bukan saudara, tentu Talibu. Orang ke dua agaknya Kam Liong.
Setelah ternyata bahwa kedua orang muda itu adalah saudaranya sendiri, ia tidak
tahu siapa yang berkenan di hatinya.
Yu Siang Ki
juga mencinta, akan tetapi pemuda itu sendiri bertunangan dengan Song Goat, dan
ia tidak suka mempunyai suami pengemis. Siangkoan Li, entah bagaimana jadinya
pemuda itu yang dahulu terseret ke dalam dunia sesat. Ia memandang Hauw Lam,
teringat akan semua pengalamannya dengan pemuda ini, teringat betapa pemuda ini
menyelamatkannya dari Bu-tek Siu-lam, dan ia teringat kepada pemuda ini ketika
terancam oleh Suma Kiat. Pemuda yang lucu, yang selalu mendatangkan kegembiraan
padanya, bahkan yang lirak-lirik kepadanya dengan sikap wajar namun lucu.
Tiba-tiba Kwi Lan tertawa bebas sehingga mengejutkan semua orang, akan tetapi
tidak mengejutkan ayah bundanya. Gadis ini persis Lin Lin dahulu, Ratu Yalina
sekarang.
Hauw Lam
yang menanti dengan tegang, melihat Kwi Lan tertawa ini, lalu bangkit dan
berkata kepada gadis itu, “Mutiara Hitam, dahulu engkau menyebut aku Berandal
dan aku menyebut engkau Mutiara Hitam, keadaan kita dahulu sederajat. Akan
tetapi sekarang, engkau seorang puteri kerajaan dan aku... tetap Berandal maka
kalau engkau tidak setuju terus terang sajalah.”
Kwi Lan
menjawab, “Sekarang pun masih sama, apa bedanya?”
“Jadi...?”
“Jadi...
apa...?”
“Jadi kau
setuju...?”
Kwi Lan
menggigit bibir, lalu mengangguk! Hauw Lam saking girangnya hanya melongo!
“Tapi terus
terang saja, biar pun aku suka menjadi isterimu, aku tidak cinta padamu,
Berandal!”
Luar biasa
percakapan antara dua orang muda ini. Di depan begitu banyak orang bicara
tentang cinta seperti orang bicara tentang pakaian atau topi saja! Mereka
kecelik kalau mengira Hauw Lam terpukul oleh pengakuan ini. Sama sekali tidak,
ia menjawab dengan suara sewajarnya.
“Orang macam
aku mana boleh banyak mengharap? Aku mencintamu bukan karena ingin kau cinta.
Aku mencintamu karena ingin melihat kau bahagia, ingin membikin hidupmu
cemerlang penuh kegembiraan. Aku ingin seperti matahari, memberi penerangan dan
kehangatan kepadamu tanpa mengharap kau ingat atau cinta padaku. Aku ingin
menjadi suamimu agar aku dapat selalu menjagamu, melindungimu, menghiburmu,
melihat engkau bahagia, karena kebahagiaanmulah yang menjadi dasar
kebahagiaanku.”
Hebat
pengakuan ini, dalam hati mereka yang jatuh cinta merupakan sindiran dan petuah
yang amat menusuk hati.
Memang
sebagian besar orang muda kalau bercinta terlalu egois, hanya ingin meminta,
meminta dan meminta. Minta dicinta, minta diperhatikan, minta dimanja. Lupa
untuk memberi! Cinta itu adalah kasih sayang. Cinta itu sifatnya memberi, bukan
meminta. Cinta yang meminta itu bukan mencinta orang lain namanya, melainkan
mencinta diri sendiri terdorong hasrat ingin memiliki, ingin memonopoli dia
yang dicinta. Cinta macam ini seperti cinta akan benda yang indah.
“Kalau aku
kelak meninggalkanmu?”
“Engkau
takkan meninggalkan aku tanpa sebab, karena aku akan selalu berusaha
menyenangkan hatimu, tak usah kau tinggal, kau minta saja aku pergi sendiri.”
“Kalau aku
mati?”
“Aku akan
ikut! Aku takut kau di sana akan kesepian dan susah....”
Meledak
suara ketawa Bu-tek Lo-jin, “Huah-ha-ha-ha-ha! Coba cari, di dunia ini mana ada
pencinta seperti muridku? Mutiara Hitam, kalau engkau tidak menerima dia,
engkau akan kehilangan! Ha-ha-ha!”
“Aku suka
sekali mempunyai adik ipar si Berandal!” Tiba-tiba Pangeran Talibu yang suka
sekali kepada pemuda ini berkata.
“Saudara
Tang Hauw Lam memang patut menjadi suami Kwi Lan,” kata Kam Hong.
Kwi Lan
tidak merasa terdesak oleh ucapan-ucapan ini, memang ia sudah mengambil
keputusan. Ia tidak suka tinggal di dalam istana, terikat oleh segala macam
peraturan. Tadi saja ia sudah merasa canggung dan kikuk, tidak bebas. Kalau
bersama Berandal, ia akan seperti burung. Sepasang burung terbang di angkasa,
bercumbu dengan angin.
“Aku terima
pinanganmu, Berandal. Selanjutnya terserah Ayah Ibu,” kata Kwi Lan sambil duduk
kembali.
“Terima
kasih,” jawab Hauw Lam sambil duduk juga, wajahnya makin berseri-seri.
Semua orang
tertawa. Belum pernah selamanya mereka mendengar, apa lagi melihat peminangan
dan penerimaan seperti yang dilakukan kedua orang muda itu. Suasana makin
gembira ketika kakek cebol itu dijamu oleh Suling Emas. Kini Puteri Mimi
mendapat kesempatan membalas Kwi Lan dengan godaan-godaannya. Dua orang gadis
ini berbisik-bisik dan cekikikan sendiri, entah apa yang dibicarakan kedua
calon pengantin itu.
Dalam
kegembiraan ini, Kam Liong teringat akan adik misannya, Suma Kiat. Ia menarik
napas panjang, diam-diam menaruh kasihan kepada putera bibinya itu. Setelah
terjadi peristiwa dengan Kwi Lan dan setelah Ratu Yalina mendengar pengakuan
Kwi Lan akan semua perbuatan Suma Kiat yang amat tidak patut, pemuda itu
diusir. Akan tetapi Ratu Yalina masih ingat kepada keponakannya, memberi kuda
yang baik dan perbekalan yang cukup, ditambah sekantung emas.
“Ah, kalau
saja Suma Kiat tidak mewarisi kegilaan Ibunya, tentu kini ikut bergembira pula,
sebagai anggota keluarga,” hati Kam Liong menerawang.
Gembirakah
dia? Entah, dia sendiri tidak tahu. Kenyataan bahwa Kwi Lan adalah adik seayah
merupakan hantaman batin yang membuat hatinya kini kosong melompong. Ia tidak
mungkin dapat seperti Hauw Lam, ia terlalu romantis dan selalu ingin dicinta
wanita!
Selagi semua
orang bergembira dan berpesta tiba-tiba muncul dua orang kakek tua renta yang
aneh bersama seorang pemuda yang tampan berambut panjang. Dua orang kakek itu
pakaiannya tidak karuan, juga rambutnya awut-awutan seperti dua orang gila,
yang seorang bermuka putih, yang kedua bermuka merah.
Hauw Lam dan
Kwi Lan segera mengenal pemuda itu. Siangkoan Li! Dan dua orang kakek itu
adalah manusia-manusia sakti Pak-kek Sian-ong dan Lam-kek Sian-ong, guru
Siangkoan Li! Suling Emas juga mengenal dua orang kakek ini. Hatinya tidak
enak. Dua orang kakek ini terkenal tukang bikin ribut, seperti Bu-tek Lo-jin.
Hanya bedanya kalau Bu-tek Lo-jin suka melucu dan tidak mau berlaku jahat,
adalah dua orang kakek ini tidak peduli apakah perbuatan mereka termasuk baik
ataukah jahat. Cepat ia bangkit menyambut dan menjura.
“Selamat
datang di Khitan, Ji-wi Sian-ong (Sian-ong Berdua). Silakan duduk.”
“Ha-ha,
Suling emas, kau makin gagah saja. Kabarnya kau menjadi suami Ratu Khitan.
Ha-ha, kionghi-kionghi (selamat)! Tidak usah duduk. Aku dan Pek-bin-twako ini
datang hanya karena ditangisi murid kami, Siangkoan Li ini. Kami datang hendak
meminang Mutiara Hitam!” kata Lam-kek Sian-ong sambil menunjuk muridnya yang
sudah menjatuhkan diri berlutut ke arah keluarga tuan rumah.
Suling Emas
terkejut. Benar saja dugaannya. Dua orang kakek ini datang untuk membikin
ribut. Memang benar mereka baru datang dan tidak tahu bahwa puterinya telah
dijodohkan dengan Hauw Lam, namun cara mereka datang ini jelas menantang
keributan. Biar pun maklum akan kelihaian mereka berdua, namun pendekar sakti
ini tidak takut. Dengan hormat ia menjawab.
“Mutiara
Hitam adalah puteriku. Banyak terima kasih saya ucapkan atas kecintaan Ji-wi
Sian-ong dan kehormatan yang diberikan, akan tetapi hendaknya maklum bahwa baru
saja anakku ini telah dljodohkan dengan pemuda lain.”
Siangkoan Li
mengangkat muka, memandang ke arah Kwi Lan yang juga memandang kepadanya. Wajah
yang tampan itu kelihatan merah, dan matanya bergerak-gerak menyapu mereka yang
hadir. Diam-diam Kwi Lan merasa heran karena sikap pemuda ini berbeda jauh
sekali dengan dahulu, biar pun masih pendiam dan serius, namun matanya liar!
“Bunuh saja
si penghalang!” terdengar Pak-kek Sian-ong berkata, suaranya dingin sekali,
mengerikan.
“Ho-ho-ha-ha-ha!
Sepasang tua bangka gentayangan masih belum mampus, sudah mendekati neraka
masih belum merasa panas. Ho-ho-ha-ha!” Bu-tek Lo-jin yang sedang duduk di
bangku menenggak arak, tertawa dan... bangku yang ia duduki terbang dan turun
ke depan dua orang kakek itu. Dia sendiri masih minum arak dari guci. Setelah
arak habis ia turun dari bangkunya, menghadapi dua orang Sian-ong itu.
“Mutiara
Hitam gadis galak telah menjadi calon isteri muridku. Kalian mau apa? Ho-ho,
kita tua sama tua, mau mengajak apa kalian? Bertengkar saling maki? Boleh!
Gelut? Pukul-pukulan? Apa saja kulayani, minta lagu apa kuturuti. Hayoh...!”
Bu-tek Lo-jin memang terkenal mempunyai hobby (kegemaran) berkelahi. Ia senang
berkelahi, baik saling maki mau pun saling gasak!
“Ji-wi
Sian-ong harap sudi memaafkan dan memaklumi keadaan. Ji-wi datang terlambat dan
jodoh adalah di tangan Thian. Harap tidak menimbulkan keributan,” kata Suling
Emas, sikapnya dan suaranya halus, namun di balik kata-katanya mengandung
peringatan.
Dua orang
kakek saling pandang. Mereka tentu saja tidak gentar biar pun berada di negara
orang. Akan tetapi mereka mengenal siapa kakek cebol ini. Bu-tek Lo-jin adalah
orang ke dua setelah Bu Kek Siansu yang memiliki tingkat lebih tinggi dari pada
mereka. Mungkin dengan maju berdua, mereka akan dapat mengimbangi Bu-tek
Lo-jin, akan tetapi harus diingat bahwa di situ hadir pula Suling Emas yang
lihainya luar biasa pula. Belum lagi Ratu Yalina yang kabarnya hebat ilmunya,
dan orang-orang muda murid orang-orang sakti.
“Ha-ha-ha!
Bu-tek Lo-jin, kami sungkan membikin ribut rumah orang. Urusan antara kita ini
kelak kita bereskan. Suling Emas, memang murid kami tidak ada jodoh dengan
puterimu! Hayo, Siangkoan Li, kau bocah sial dangkalan. Pergi!” Lam-kek
Sian-ong menarik lengan muridnya, bersama Pak-kek Sian-ong lalu pergi dari situ
tanpa pamit lagi.
Gangguan ini
menimbulkan rasa tidak enak, akan tetapi hanya sebentar saja dan pesta
dilanjutkan dengan meriah.
Beberapa
bulan kemudian, pernikahan ganda dirayakan di Khitan. Pernikahan antara Talibu
dengan Mimi dan Hauw Lam dengan Kam Kwi Lan. Setelah menikah, Talibu lalu
diangkat menjadi raja baru di Khitan. Tang Hauw Lam bersama Kwi Lan lalu
meninggalkan Khitan untuk pergi merantau seperti yang dikehendaki Kwi Lan, seperti
burung di angkasa. Ada pun Suling Emas yang sudah resmi menjadi suami Ratu
Yalina, mengundurkan diri menikmati hari tua di sebuah puncak yang indah dari
Pegunungan Go Bi San. Phang Bi Li tidak mungkin dapat ikut puteranya merantau,
oleh Yalina diminta tinggal di istana Khitan di mana ia hidup tenteram dan
melayani Mimi dengan kasih sayang.
Kam Liong
meninggalkan Khitan, pergi merantau. Ia sudah mengambil keputusan untuk tidak
menikah selamanya. Akan tetapi tentu saja ia tidak kehilangan watak romantisnya
dan sewaktu-waktu bersedia melayani kasih sayang seorang wanita cantik di mana
saja, hanya sebagai keisengan belaka, bukan karena dorongan asmara. Namun,
kesenangan ini pun tidak membuatnya menyeleweng dari pada kebenaran. Tak pernah
ia mengganggu dan memaksa wanita, tak pernah membujuk. Dan di samping ini, ia
tidak pernah lupa untuk berdarma bakti sebagai seorang pendekar. Dari Kaisar
Sung ia sudah mendapat pengampunan berkat permohonan Suling Emas yang diperkuat
oleh Ratu Yalina sehingga namanya terhapus sebagai orang buruan, dan ia dapat
bebas menengok ibunya di kota raja.
Bagaimana
dengan Yu Siang Ki? Pemuda ini mencari Song Goat di dalam kuil, bertemu dan
bahkan Song Yok San Jin berada pula di situ. Akhirnya Siang Ki bersama Song Hai
berhasil membujuk dan mencairkan kemarahan hati Song Goat, dan dua orang muda
ini pun menikah. Siang Ki yang sudah menyerahkan urusan kai-pang kepada
supeknya, Ong Toan Liong, meninggalkan dunia kai-pang dan hidup sebagai
pengusaha toko obat yang dipimpin oleh ayah mertuanya.
Mereka
bertiga hidup penuh kebahagiaan, dan cinta kasih yang murni dari Song Goat
akhirnya mendapat kemenangan dengan menghidupkan cinta kasih di hati Siang Ki.
Kadang-kadang kalau teringat akan Kwi Lan, Siang Ki suka menggeleng kepala
sendiri dan baru sekarang terbuka matanya bahwa andai kata ia menjadi suami Kwi
Lan yang keras hati dan aneh wataknya, belum tentu ia akan sebahagia di samping
Song Goat yang lemah lembut dan halus ini.
Suma Kiat
tidak ada kabar ceritanya lagi, entah ke mana perginya pemuda yang bernasib
malang itu. Banyak orang yang suka mengenangkan keadaannya dan menaruh kasihan,
akan tetapi juga khawatir kalau-kalau pemuda yang tidak waras otaknya dan
memlliki kepandaian tinggi itu akan menimbulkan huru-hara di tempat lain.
Kam Siang
Kui dan Kam Siang Hui, dua orang puteri mendiang Kam Bu Sin, kini ikut bersama
paman kakeknya, Kauw Bian Cinjin yang berdiam di puncak Tai-liang-san. Dua
orang gadis yang malang ini selalu berdua dan gelisah kalau teringat akan adik
mereka, Kam Han Ki. Kemanakah perginya Kam Han Ki? Seperti kita ketahui, anak
ini dibawa oleh kakek sakti setengah dewa Bu Kek Siansu dalam keadaan terluka
parah dan bagaimana nasib anak ini selanjutnya, tunggu saja dengan sabar sampai
pengarang cerita ini menyusun sebuah cerita baru yang hebat!
Sampai di
sini cerita MUTIARA HITAM ini berakhir, dengan harapan pengarang semoga
merupakan bacaan hiburan bermanfaat bagi para pembaca dan sampai jumpa di lain
cerita! Salam damai!!!
********** Sahabat Karib.com **********
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment