Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Mutiara Hitam
Jilid 15
KEMBALI
hening sesaat. Wajah Bouw Lek Couwsu keruh sekali. Dia sudah menduga akan
kekerasan hati orang muda ini, akan tetapi tidak mengharapkan jawaban ini. Apa
untungnya kalau mereka ini mati? Ruginya jelas. Khitan akan memusuhinya, para
pendekar akan memusuhinya, para pengemis baju butut akan memusuhinya. Tiba-tiba
keheningan dipecahkan suara Hauw lam.
“Haii!, Bouw
Lek Couwsu! Aku kok tidak ditanya? Apa aku bukan orang?” Hauw Lam
berteriak-teriak.
Akan tetapi,
Bouw Lek Couwsu tidak mempedulikan Hauw Lam, sebaliknya berkata kepada Kiang
Liong, suaranya penuh ancaman, “Hemm, kau kira begitu enak hukumannya? Sebelum
mati kalian harus menyaksikan dan menderita siksaan batin. Terlalu sayang kalau
dua orang gadis jelita itu dibunuh begitu saja.” Bouw Lek Couwsu menoleh ke
arah Bu-tek Siu-lam dan berkata, “Kau memilih yang mana?”
“Heh-heh,
biar hitam, mutiara namanya. Tetap cemerlang dan indah, tentu saja aku memilih
dia.”
“Baik, biar
Sang Puteri untuk pinceng. Nah, kau mulailah, seperti kita sudah setujui, kita
harus berani melakukan di depan semua orang.”
Bu-tek
Siu-lam tertawa terkekeh-kekeh matanya memandang ke arah Kwi Lan, menjelajahi
tubuh gadis itu dengan pandang mata lahap dan haus.
“He, dengar!
Kalian ini pimpinan orang-orang Hsi-Hsia. Kau Bouw Lek Couwsu, dan kalian
Bu-tek Ngo-sian! Di mana kegagahan kalian? Huh, menyebut tokoh-tokoh kang-ouw
yang jempolan! Bouw Lek Couwsu, orang seperti engkau ini mana patut membimbing
bangsa Hsi-hsia yang gagah perkasa?”
Karena
disinggung kepemimpinannya, mau tidak mau Bouw Lek Couwsu mengangkat muka
memandang Hauw Lam dengan keningnya yang tebal berkerut. “Hemm, kalian sudah
memilih wakil pembicara, yaitu Kiang-kongcu, mengapa kau ini anjing kecil besar
mulut?”
“Siapa
memilih? Huh, Bouw Lek Couwsu, tampak sekarang kebodohanmu dan kecuranganmu.
Memang yang lain di bawah ini sudah memilih Kiang-kongcu, akan tetapi, hayo
telinga siapa yang tadi mendengar aku memilih! Aku belum memilih dan aku berhak
untuk bicara!”
Bouw Lek
Couwsu tertegun. Betapa pun gilanya, benar juga ucapan bocah itu dan kalau ia
melanggar, maka benar-benar tidak tepat dengan kedudukannya sebagai pemimpin
besar bangsa Hsi-Hsia. Biarlah ia memberi kesempatan bicara bocah ini, apa
bedanya?
"Hemm,
kau bicaralah."
Kiang Liong
yang memandang muka Hauw Lam melihat betapa sinar mata pemuda itu
bersinar-sinar dan wajahnya berseri-seri. "Ah, bocah ini cerdik,"
pikirnya, "agaknya hendak mengelabuhi Bouw Lek Couwsu atau setidaknya
mengulur waktu."
"Bouw
Lek Couwsu, aku tidak akan mendengar usul atau ancamanmu seperti yang kau
kemukakan kepada teman-temanku yang lain. Sebaliknya, akulah yang mengajukan
usul sebagai tantangan tanpa mengancam sepertimu. Aku akan mengajukan teka-teki
hitungan dan bukan hanya engkau, bahkan Bu-tek Ngo-sian boleh membantumu! Kalau
di antara kalian ada yang sanggup menjawab tepat, aku akan membenturkan
kepalaku pada dinding ini sampai kepalaku pecah. Dan kalau di antara kalian
tidak ada yang dapat menjawab tepat, terserah mau diapakan tubuhku ini, masa
bodoh! Bagaimana, sanggupkah kalian?”
Mendengar
ucapan ini, bukan pihak Bouw Lek Couwsu saja yang terheran, bahwa Kiang Liong
dan teman-temannya juga menjadi heran. Gilakah pemuda itu? Agaknya karena
digantung seperti itu sejak tadi, terlalu banyak darah mengalir ke kepalanya
membuat kepalanya pening dan bicaranya melantur! Pertaruhan macam apa itu?
Kalau terjawab, ia akan membunuh diri dan kalau tidak terjawab ia boleh
diperlakukan apa juga, berarti tentu saja juga dibunuh. Mengapa tidak minta
bebas kalau tidak terjawab?
Bouw Lek
Couwsu yang terheran-heran tadinya tidak mau melayaninya lagi dan menganggap
pemuda ini gila, akan tetapi Siauw-bin Lo-mo dan Bu-tek Siu-lam tertarik.
Pemuda itu aneh sekali dan gila, teka-teki macam apa yang akan dikemukakannya?
Gila atau tidak, mereka menjadi tertarik untuk mendengarnya.
“Ha-ha-ha,
Couwsu, biarkan dia mengajukan teka-tekinya,” kata Bu-tek Siu-lam.
“He-he,
benar, Couwsu. Dia toh takkan dapat melarikan diri terbang ke langit,” kata
Siauw-bin Lo-mo.
Bouw Lek
Couwsu mengerutkan kening. Ia tidak mau dipermainkan bocah ini, dan ia curiga,
takut kalau-kalau ditipu. Maka ia bertanya, “Bocah gila, kau ulangi syaratmu
tadi agar kami dengar baik-baik.”
“Ha-ha, Bouw
Lek Couwsu, kau takut ditipu? Boleh saja asal jangan takut kalah karena hanya
pengecut yang takut kalah. Dengar kalian semua. Kalau teka-tekiku nanti
terjawab, aku akan membenturkan kepalaku ke dinding sampai pecah, kalau tidak,
terserah kepadamu terhadap diriku.”
“Hemmm,
baik. Akan tetapi untuk membenturkan kepala ke dinding tak mungkin dilakukan
dalam keadaan itu. Turunlah!” Tangan Bouw Lek Couwsu bergerak, serangkum tenaga
dahsyat menyambar ke atas rantai yang menggantung tubuh Hauw Lam dan... rantai
pada kakinya itu terlepas dari langt-langit dan tubuh pemuda itu jatuh ke bawah
dengan kepala lebih dulu!
Akan tetapi,
dengan gerakan pinggangnya, tubuh Hauw Lam berjungkir balik dan ia jatuh ke lantai
dengan kaki dulu sehingga berdiri tegak, akan tetapi kaki tangannya masih
terbelenggu. Semua orang kagum, karena tanpa ilmu ginkang yang tinggi, tak
mungkin dapat berjungkir balik dalam keadaan kaki tangan terbelenggu seperti
itu.
“Berandal,
apa kau gila? Kalah menang kau tetap mati!” seru Kwi Lan yang tidak dapat
menahan ketegangan hatinya.
Hauw Lam
tertawa. “Ha-ha-ha, Mutiara, apa artinya mati? Yang penting dalam saat terakhir
ini, aku menikmati kemenangan kalau teka-tekiku tak tertebak. Hendak kulihat,
apakah Bouw Lek Couwsu yang sudah dikalahkan masih ada muka untuk mengangkat
diri menjadi calon raja, dan lima Bu-tek Ngo-sian ini masih ada muka untuk
menjagol dunia kang-ouw!”
Bouw Lek
Couwsu mendongkol dan diam-diam di dalam hatinya ia mengumpat. “Kau tunggu saja
bocah, kematianmu akan menjadi kematian yang paling sengsara!”
“Tak perlu
banyak cerewet, lekas majukan teka-teki gilamu!” bentaknya.
Di antara
mereka semua, hanya Kiang Liong yang benar-benar menjadi tegang hatinya. Tegang
sekali karena kini ia mengenal siasat yang dilakukan Hauw Lam. Bocah jenaka
yang ia tahu kegilaan terhadap Mutiara Hitam dan oleh Mutiara Hitam disebut
Berandal ini jelas menggunakan akal mengulur waktu. Tadi keadaan Mutiara Hitam
terancam bahaya mengerikan di tangan Bu-tek Siu-lam tanpa mereka dapat
menolong. Kini karena tingkah Hauw Lam, hukuman itu otomatis menjadi mundur dan
tentu dalam siasat mengulur waktu ini, Si Berandal sudah mendapatkan akal lain
lagi yang belum ia ketahui apa dan bagaimana.
Dalam
keadaan terbelenggu, Hauw Lam berdiri tegak, kaku dan mengangkat mukanya,
membusungkan dadanya. “Guruku adalah seorang manusia dewa yang sakti tiada
bandingan. Tidak perlu yang budiman Bu Kek Siansu datang ke sini, baru guruku
saja, kalian akan dibikin kocar-kacir.”
“Hemm, siapa
gurumu, bocah sombong?” Thai-lek Kauw-ong, si Tukang Cari Lawan, tertarik
sekali dan hatinya agak berdebar mendengar nama Bu Kek Siansu disebut-sebut.
“Guruku
bukan manusia biasa, orang-orang seperti kalian belum cukup berharga untuk
mendengar namanya.”
“Bocah gila!
Lekas ceritakan teka-tekimu, tentang gurumu setan atau iblis kami tidak perlu
tahu!”
Kiang Liong
tidak heran mendengar pemuda ini menyebut-nyebut nama Bu Kek Siansu, ini adalah
siasat untuk membikin gentar lawan, pikirnya. Tapi apa gunanya siasat seperti
itu? Kemudian ia teringat akan sesuatu dan bulu tengkuk Kiang Liong meremang.
Tadi...! Benar sekali, tadi sebelum muncul musuh, ada suara yang menertawakan
Suling Emas tolol. Suara siapakah itu?
Ia mendengar
dari gurunya bahwa kakek sakti yang bernama Bu-tek Lo-jin adalah seorang kakek
yang edan-edanan, seperti watak Hauw Lam ini. Mungkinkah suara tadi suara
Bu-tek Lo-jin? Timbul harapan di hatinya dan ia mulai mengerti mengapa Hauw Lam
menggunakan siasat mengulur waktu. Agaknya dia menanti pertolongan gurunya!
“Teka-tekiku
adalah teka-teki hitungan yang berbentuk syair. Tentu saja buatan guruku karena
siapa lagi manusia di dunia dapat membuat teka-teki seperti ini? Di dalam syair
ini terdapat angka-angka terpendam dan kalian boleh menebak berenam! Beginilah
syairnya!" Hauw Lam lalu bernyanyi dengan suaranya yang nyaring dan cukup
merdu, sambil menggoyang-goyang tubuhnya yang terikat seperti gerak tari
mengikuti irama lagu nyanyiannya.
Terang bulan
memancing kura,
air jernih
laksana cermin.
lima ekor
yang satu emas,
berapakah
jumlah terbilang?
"Nah,
hayo kalian boleh tebak. Angka berapa yang tersembunyi di dalam syair itu tadi?
Pergunakan otak, jangan ngawur, ini bukan sembarangan hitungan melainkan
hitungan para dewa. Kuberi waktu satu tahun!"
Hampir Kiang
Liong tertawa kalau tidak cepat menekan perasaannya. Ia memandang wajah tampan
itu dengan kagum. Benar-benar pemuda cerdik, akan tetapi ugal-ugalan, pantas...
disebut berandal. Masa memberi waktu setahun? Betapa pun juga, siasat itu
berhasil karena kecuali Kam Sian Eng, mereka semua mulai mengerutkan kening,
berpikir dengan aksi masing-masing. Kam Sian Eng hanya berdiri tak bergerak,
kadang-kadang memandang ke arah Kwi Lan, kadang-kadang termenung, tarikan
wajahnya tersembunyi di belakang kerudung hitam. Suma Kiat pasang aksi pula,
berusaha ikut menebak teka-teki.
Suasana
dalam kamar tahanan hening. Bouw Lek Couwsu meraba-raba hidungnya, satu
kebiasaan tanpa disadari kalau ia sedang berpikir, Thai-lek Kauw-ong sudah
duduk bersila, bersemedhi mengumpulkan kekuatannya, sambil kadang-kadang
terkekeh- kekeh seperti orang gila. Pak-sin-ong makin angkuh mukanya, telunjuk
kanan menempel antara kening.
Lucunya,
melihat para kakek ini memeras otak, Yu Siang Ki, Kwi Lan, Puteri Mimi, dan
Pangeran Talibu ikut pula berpikir memecahkan teka-teki! Sungguh permainan yang
lucu dan aneh, mudah menular! Ketika Kiang Liong bertemu pandang dengan Hauw
Lam, mereka saling berkedip menahan senyum.
Sampai lama
keheningan menyelubungi kamar itu. Para penjaga di luar kamar tahanan saling
bertanya-tanya dan terheran-heran. Namun karena para datuk ini berkumpul di
situ, tak seorang pun di antara mereka berani lancang mengintai. Waktu ini
dipergunakan oleh Kiang Liong dan Yu Siang KI untuk bersemedhi memulihkan
luka-luka mereka.
Akhirnya
terdengar suara Bu-tek Siu-lam yang bernyanyi menirukan syair tadi. Suaranya
merdu sekali, akan tetapi kecil seperti suara perempuan. Ia bernyanyi sambil
berdiri dan tubuhnya bergoyang-goyang pula, akan tetapi ia betul-betul menari
seperti seorang perempuan genit. Selesai bernyanyi, ia berkata,
"Heh-hehheh, sudah terdapat olehku jawabannya! He-he-he, amat
mudahnya!"
"Jangan
tertawa dulu, kakek banci!" kata Hauw Lam berani. "Dan jangan katakan
dulu tebakanmu, menanti yang lain. Aku memberi bantuan. Jawaban angkanya tidak
lebih dari dua puluh! Nah, lebih mudah bukan?"
Wajah Bu-tek
Siu-lam tampak girang, agaknya jawabannya memang tidak lebih dari angka dua
puluh, maka ia merasa yakin bahwa jawabannya tentu benar! Juga kini tokoh-tokoh
yang lain sudah siap dengan jawabannya.
"Sudah
siap? Nah, boleh katakan seorang demi seorang tapi jangan ngawur, berikut
alasan jawaban. Nanti baru kukatakan siapa benar siapa salah," kata pula
Hauw Lam yang hatinya sudah berdebar-debar karena gurunya yang tadi suaranya ia
dengar belum juga muncul.
Ia harus
mencari akal lain dan otaknya yang cerdik sudah memikir-mikir mencari siasat
yang lebih berhasil. Ketika melihat betapa tadi wanita berkerudung yang kini ia
tahu adalah Sian-toanio dan guru Kwi Lan berdiri tak acuh akan tetapi sering
kali mencuri pandang ke arah muridnya, ia sudah merencanakan akalnya sebagai
lanjutan dari pada akal teka-tekinya.
Keadaan
kembali tegang. Bahkan para tawanan juga ikut memperhatikan apa dan berapa
gerangan jawaban pihak musuh, apakah sama dengan tebakan mereka? Bu-tek Siu-lam
yang sudah tidak sabar mulai dengan jawabannya.
"Hi-hi-hik,
orang muda yang lucu. Kalau kau tidak menjadi musuh Couwsu, aku akan senang
sekali tidur satu kamar bersamamu mendengar syair-syair dan teka-tekimu yang
lain! Syairmu tadi mudah saja. Jawabannya adalah angka 'Tujuh'! Betul
tidak?"
Hauw Lan
tersenyum. "Betul atau tidaknya nanti kuberi tahu. Yang penting apa yang
kau jadikan dasar tebakanmu, supaya diberi tahu. "
"Hi-hi-hik,
heh-heh, bocah nakal. Kau ingin membikin bingung kami dengan syair itu? Hi-hik,
Bu-tek Siu-lam tak mungkin bingung oleh itu. Yang pokok dan penting dalam
syairmu hanyalah bulan dan kura-kura. Waktu itu terang bulan, tentu bulan
purnama dan air jernih, berarti bulan terbayang di air, jadi ada dua buah
bulan, bukankah sudah jelas bilangannya? Bulan, bayangannya, dan kura jumlahnya
tujuh. Nah, angka yang tersembunyi tujuh!"
Hauw Lam
hanya tersenyum lebar, lalu menoleh kepada yang lain, sikapnya menantang.
"Bagus sekali uraian Bu-tek Siu-lam. Kini siapa lagi yang menebak?"
"Bocah
gila, betul atau tidak tebakan kami nasibmu toh sama saja. Menurut
perhitunganku, bilangan yang tersembunyi adalah 'dua puluh'. Sudah jelas, bulan
sedang purnama, airnya jernih, jadi jumlah bulan ada dua. Permukaan bulan
bundar berarti angka nol, jadi dua dan nol sama dengan dua puluh!" kata
Bouw Lek Couwsu.
Hauw Lam
berseri-seri wajahnya, senyumnya tetap gembira. "Siapa lagi?"
Thai-lek
Kauw-ong mengeluarkan suaranya yang parau besar, "Bulan purnama berarti
tanggal lima belas. Nah, angka bilangan yang tersembunyi tentu lima
belas."
Hauw Lam
mengangguk-angguk. "Bagus juga khayalmu, Locianpwe. Nah, siapa lagi?"
"Tidak
ada yang penting dalam syair itu kecuali bulan dan emas. Sinar bulan pun
seperti emas, bulan dan bayangannya laksana bola emas. Yang penting hanya tiga,
bulan, bayangannya, dan emas, maka tentu angka tiga yang dimaksudkan,"
kata Pak-sin-ong tenang.
Kembali Hauw
Lam hanya tersenyum sehingga tidak ada yang dapat menduga, jawaban siapa yang
paling tepat. "Siapa lagi? Kau bagaimana, Siauw-bin Lo-mo?"
"Ha-ha-ha,
kau bocah edan! Membikin orang-orang tua memeras otak dan teman-temanku sampai
harus menggunakan arti yang dalam-dalam. Akan tetapi bocah seperti engkau ini
mana mengerti arti yang dalam? Tentu kau maksudkan di dalam syair itu jumlah
semua benda hidup atau mati dan yang disebut adalah lima ekor kura-kura, sebuah
pancing, seorang manusia yang memancing, dan sebuah bulan. Jumlahnya hanya
delapan. Nah, angkanya tentu delapan!"
"Boleh
kau terka sesukamu. Nah, siapa lagi? Engkau bagaimana, Toanio?" Hauw Lam
menghadapi Kam Sian Eng. Sepasang sinar mata menyorot dari balik kerudung hitam
dan Hauw Lam bergidik.
"Jangan
ganggu aku, tolol!" hardik Kam Sian Eng.
Hauw Lam
menahan napas. Sekali wanita itu bergerak, dia bisa celaka, maka ia lalu
cepat-cepat menghadapi para penebaknya dan berkata, "Sudah jelas semua
tadi, Bu-tek Siu-lam menebak angka tujuh, Bouw Lek Couwsu angka dua puluh,
Thai-lek Kauw-ong angka lima belas, Pak-sin-ong angka tiga, dan Siauw-bin Lo-mo
angka delapan. Bukan begitu?"
Lima orang
kakek mengangguk-angguk tertarik untuk mendengar siapa di antara mereka yang
tepat tebakannya.
"Ketahuilah,
biar pun kalian mengaku kakek-kakek yang pandai, akan tetapi ternyata tebakan
kalian ngawur tidak karuan, tidak ada seorang pun yang benar! Mau tahu
jawabannya yang betul? Nah, jawabannya, adalah angka empat!"
Hening
sejenak, Bouw Lek Couwsu cemberut, semua mengerutkan kening, menghitung-hitung
kembali. "Aihhh, kenapa empat?" Akhirnya Bu-tek Siu-lam bertanya.
"Kalian
yang bodoh, kecual Sian-toanio yang tentu saja sudah mengerti maka tidak mau
menjawab. Yang dipersoalkan dalam syair hanya baris ke tiga yang berbunyi Lima
Ekor Yang Satu Emas. Nah, kalau ada lima ekor kura-kura tapi yang seekor adalah
emas, maka yang empat ekorlah yang benar-benar kura-kura tolol, kura-kura yang
buruk dan tua seperti kakek-kakek tua buruk dan jahat. Yang satu adalah emas,
cantik dan cemerlang, mana bisa direndahkan dengan empat ekor kura-kura? Maka
kalau dibilang lima ekor adalah keliru, yang benar hanya ada empat ekor
kura-kura tua sedangkan yang satu hanya terbawa-bawa akan tetapi sama sekali
tidak patut disebut kura-kura melainkan emas. Maka aku mempunyai sebutan untuk
empat ekor kura-kura itu, paling tepat adalah Bu-tek Su-kwi (Empat Setan Tanpa
Tanding)! Ha-ha-ha-ha!"
Hebat bukan
main siasat Hauw Lam ini, pikir Kiang Liong sambil memandang dengan hati
berdebar. Jelas maksudnya, Hauw Lam dalam jawabannya yang teratur telah menyindir
Bu-tek Ngo-sian (Lima Dewa Tanpa Tanding). Ia mengumpamakan empat kakek itu
kura-kura dan Sian-toanio diumpamakan emas. Sisanya empat kakek itu ia sebut
sebagai Bu-tek Su-kwi! Inilah siasat memecah belah, memperingatkan Sian-toanio
bahwa ia sama sekali tidak pantas merendahkan diri bersekutu dengan empat orang
kakek. Cerdik Hauw Lam, pikirnya. Ingin meminjam tangan Sian-toanio untuk
menghadapi empat orang kakek.
Bu-tek
Siu-lam, Pak-sin-ong, Siauw-bin Lo-mo, dan Thai-lek Kauw-ong bukanlah orang bodoh.
Mereka kini maklum bahwa mereka dipermainkan dan diejek, akan tetapi karena
yang berkuasa di situ Bouw Lek Couwsu, mereka tidak berani turun tangan.
Bouw Lek
Couwsu juga mengerti bahwa tamu-tamu dan sekutunya dihina, maka ia berkata,
"Bocah gila, kau tunggu saja giliranmu. Kematianmu akan menjadi kematian
yang paling sengsara dan mengerikan. Sebelum kau mati terakhir, kau saksikan
dulu teman-temanmu! Bu-tek Siu-lam, harap lanjutkan rencana kita tadi."
Bu-tek
Siu-lam melangkah maju menghampiri Kwi Lan yang memandangnya dengan sinar mata
penuh kemarahan dan kebencian. Semua tawanan menjadi tegang, akan tetapi Hauw
Lam tertawa bergelak dan berkata, "Salahkah aku menyebut mereka ini
kura-kura tua bangka buruk dan jahat? Lihat saja Bu-tek Siu-lam ini. Katanya
mengaku jagoan utama dari dunia barat! Mengaku seorang di antara Bu-tek
Ngo-sian. Sebetulnya lebih tepat disebut setan tak bermalu. Masa seorang tua
bangka yang mengaku jago, kini menghadapi seorang gadis remaja seperti Mutiara
Hitam saja takut-takut dan begini pengecut? Coba Mutiara Hitam tidak
terbelenggu tentu dia sudah terkencing-kencing di celana saking takutnya.
Ha-ha-ha!"
Hebat memang
penghinaan dan ejekan Hauw Lam ini. Kwi Lan girang mendengar ini dan berkata,
"Ah, mana dia berani, Berandal? Dia pengecut besar, seekor kura-kura masih
terlampau baik baginya. Ia mirip... eh, kadal buduk!"
Merah
sepasang mata Bu-tek Siu-lam. Senyumnya melebar dan tiba-tiba tangannya
bergerak ke depan dua kali. Terdengar suara keras dan... belenggu pada kaki
tangan Kwi Lan sudah patah-patah. Gadis itu bebas!
"Hi-hik,
anak manis. Sekarang kau sudah bebas. Mari kita coba-coba lihat sampai berapa
jurus kau mampu melawan Bu-tek Siu-lam sebelum kutelanjangi dan kunikmati
tubuhmu!"
Kwi Lan
merasa lega. Biar pun ia maklum akan kelihaian Bu-tek Siu-lam, namun setelah
kini ia bebas, ia akan melawan mati-matian dan tidak menyerah begitu saja
seperti kalau dia dibelenggu tadi. Sambil mengeluarkan jerit melengking keras
ia menerjang maju, menggunakan seluruh kepandaian dan mengerahkan seluruh
tenaganya menyerang Bu-tek Siu-lam. Sayang bahwa ia tidak berpedang, dan lebih
sayang lagi bahwa tenaganya sudah banyak berkurang karena lelah dengan
penderitaan yang bertubi-tubi, dengan penahanan dan dalam belenggu yang
membikin kaku urat tubuh.
Bu-tek
Siu-lam tertawa terkekeh ketika mengelak dan balas menyerang. Pertandingan
terjadi dalam ruang tahanan. Pertandingan yang berat sebelah. Keahlian Kwi Lan
adalah bermain pedang. Kini ia bertangan kosong dan biar pun ia merupakan
seorang gadis remaja yang jarang bandingnya dalam bersilat tangan kosong, namun
menghadapi seorang tokoh seperti Bu-tek Siu-lam, ia masih kalah setingkat.
Bahkan kini karena tenaganya sudah banyak berkurang, ia kalah tenaga sehingga
tiap kali lengan mereka beradu, Kwi Lan terhuyung mundur. Bu-tek Siu-lam makin
mendesak sambil terkekeh-kekeh. Kini gerakan tokoh banci ini makin kurang ajar,
kadang-kadang menowel pipi, meraba dada dan mencubit paha.
Kwi Lan malu
dan marah sekali, berlaku nekat dan mati-matian. Lewat seratus jurus, tiba-tiba
Bu-tek Siu-lam menubruk, tangan kiri mencengkeram dada dan tangan kanan
mencengkeram paha. Kwi Lan kaget dan jengah. Serangan ini kurang ajar sekali,
melanggar batas kesopanan. Mana ia mau membiarkan dirinya dipegang? Ia
menjatuhkan diri dan bergulingan, akan tetapi tiba-tiba gadis ini menjerit
ketika terdengar bunyi kain robek.
Kiranya
serangan Bu-tek Siu-lam tadi hanya siasat belaka dan ia kini mencengkeram baju
Kwi Lan terus direnggut robek. Hebat tenaga Bu-tek Siu-lam sehingga pakaian
gadis itu, baik yang luar mau pun yang dalam sebagian besar berada dalam
tangannya dan hanya sedikit saja yang masih menempel ditubuh Kwi Lan. Gadis ini
cepat menelungkup di lantai, tak berani bangkit lagi karena tubuhnya sudah
setengah telanjang. Bahkan ketika menelungkup pun, sebagian pinggul dan pahanya
yang putih bersih tampak nyata!
"Hi-hik,
begini saja kepandaianmu?"
Bu-tek
Siu-lam terkekeh-kekeh dan membawa robekan pakaian ke depan hidung sambil
menyedot-nyedot dan berseru, "Aihh, wangi...! Mari kita main-main, Nona
manis!"
Hauw Lam
berseru, "Coba dengar sombongnya si Tokoh Banci! Biar pun ada guru Mutiara
Hitam hadir, dia berani memandang rendah ilmunya. Murid sama dengan anak, kalau
murid dipermainkan berarti guru dihina! Kalau murid dihina berarti guru
dibunuh! Di depan Sian-toanio si Banci menjemukan ini berani bermain gila.
Sungguh tak tahu diri!"
Ketika itu
Bu-tek Siu-lam sudah melangkah maju hendak memaksa Kwi Lan membalikkan tubuh,
hendak melakukan penghinaan seperti direncanakan Bouw Lek Couwsu untuk
menundukkan Pangeran Talibu, Kiang Liong, dan Yu Siang Ki. Tak seorang pun tahu
kecuali Hauw Lam dan Kiang Liong betapa wajah di balik kerudung hitam itu
mengeluarkan napas yang membuat kerudung bergerak-gerak, betapa pandang mata
dari balik kerudung seperti dua titik api membakar.
Ketika Hauw
Lam mengeluarkan kata-kata yang bagaikan minyak menyiram api, terdengar
lengking mengerikan dan tubuh Kam Sian Eng sudah berkelebat maju, tangannya
yang kanan mencengkeram pundak Bu-tek Siu-lam sedangkan tangan kiri melemparkan
jubahnya yang tepat menyelimuti tubuh Kwi Lan.
Bu-tek
Siu-lam mengeluh dan tubuhnya terlempar membentur dinding. Cengkeraman tadi
bukan sembarang cengkeraman, melainkan cengkeraman dengan jari-jari beracun
yang sudah menembus baju dan kulit pundak Bu-tek Siu-lam! Wajah si Banci
menjadi pucat ketika ia melompat bangun, jelas ia kesakitan bercampur marah dan
keluarlah senjata guntingnya dan jarum di ujung benang. Ia memekik dan
menerjang maju.
Namun tangan
kiri Kam Sian Eng bergerak dan sinar hitam menyambar ke depan. Itulah
jarum-jarum hitam yang sebetulnya adalah warna merah yang amat tua sehingga
kalau disambitkan sinarnya menjadi hitam. Tiga belas batang jarum menyambar ke
tiga belas jalan darah di tubuh Bu-tek Siu-lam!
Sinar ini
mendatangkan suara berciutan mengerikan. Namanya Ang-sin-ciam (Jarum Sakti
Merah) dan jarang ada lawan dapat menyelamatkan diri terhadap serangan
jarum-jarum ini. Dilepas dari jarak dekat, cepatnya seperti kilat menyambar,
sasarannya tiga belas jalan darah di sebelah depan tubuh, suaranya mengerikan
dan racunnya sedemikian hebat sehingga jangankan terluka, baru tergores sedikit
saja sudah mendatangkan maut!
Jarum-jarum
hijau milik Kwi Lan kalau dibandingkan dengan jarum-jarum merah milik gurunya
ini masih belum apa-apa. Baru Ang-sin-ciam sudah begini hebat, belum lagi
Pek-sin-ciam (Jarum Sakti Putih). Jarum-jarum ini tidak mengeluarkan suara,
hampir tak tampak sinarnya akan tetapi racunnya lebih gila lagi, tersentuh
kulit orang bisa menimbulkan maut! Racunnya terdapat dari kerangka-kerangka
manusia di bawah tanah!
Bu-tek
Siu-lam memang lihai sekali tetapi ia tetap saja kaget dan repot menyelamatkan
diri dari sambaran sinar hitam jarum-jarum itu. Memang benar dengan jalan
memutar gunting melempar diri ia berhasil terbebas dari terjangan jarum, namun
Kam Sian Eng yang sudah menduga akan gerakan ini, sudah berkelebat maju dan
sebuah tamparan tepat mengenai punggung Bu-tek Siu-lam yang sedang repot
menghindarkan diri dari jarum-jarum.
"Plakk...!
Auuuukhhh!" Bu-tek Siu-lam terhuyung ke belakang dan dari mulutnya
menyembur darah segar.
Ia sudah
terluka hebat! Kini ia berdiri dengan tubuh bergoyang-goyang, bibir berlepotan
darah, mata beringas memandang Kam Sian Eng yang berdiri tenang dan dengan
gerakan tenang pula Kam Sian Eng membuka kerudung hitamnya. Semua orang menahan
napas.
Betapa
cantiknya wajah di balik kerudung itu! Kulitnya putih kemerahan seperti kulit
muka gadis remaja, hidungnya mancung dengan cuping bergerak-gerak
kembang-kempis dan angkuh. Matanya tajam namun sinarnya aneh bergerak-gerak ke
kanan kiri, dan senyumnya membuat bulu tengkuk berdiri. Senyum wanita biasanya
membuat hati makin tenang, mendatangkan kehangatan. Akan tetapi senyum ini
dingin sekali, seperti kita melihat senyum pada bibir orang-orang mati! Dengan
kerudung hitam di tangan kiri, diputar-putar seperti seorang gadis remaja
memutar sapu tangan sutera, tangan kanannya bergerak ke pinggang dan...
sebatang pedang tipis telah dipegangnya.
"Bu-tek
Siu-lam, apakah kau masih berani memandang rendah ilmuku?" Suara ini merdu
dan manis, namun didorong ancaman yang mengerikan.
Bu-tek
Siu-lam yang sudah dua kali terkena pukulan yang membuatnya terluka dalam amat
hebat, maklum bahwa keselamatannya sukar ditolong lagi. Hatinya gelisah dan
kemarahan membuat lehernya serasa tercekik. Ia tidak dapat menjawab, hanya
mengeluarkan suara seperti tertawa atau ringkik seekor kuda, kemudian tubuhnya
menerjang ke depan, guntingnya bergerak menggunting ke arah, leher Kam Sian
Eng, sedangkan jarumnya meluncur ke arah perut lawan.
Namun
gunting itu terhenti di tengah jalan, bertemu dengan kerudung hitam yang kini
menjadi semacam senjata ampuh. Kerudung itu terbuat dari pada bahan yang kuat
sekali, dari benang baja hitam yang halus, maka biar pun Bu-tek Siu-lam
menggerakkan guntingnya menggunting tidak ada hasilnya, malah guntingnya
terlibat-libat kerudung tak dapat bergerak lagi. Ada pun jarumnya dapat
dielakkan oleh Kam Sian Eng yang sambil tersenyum membetot kerudungnya, membuat
tubuh lawan doyong ke depan lalu ia papaki dengan tusukan pedang mematikan!
Bu-tek
Siu-lam terkejut. Tidak mengira bahwa ia akan mati demikian mudah di tangan
wanita ini, akan tetapi apa daya, racun mulai bekerja di tubuhnya, membuat
tenaganya menjadi lemas dan ia hanya dapat memejamkan mata menanti datangnya
pedang dan memasuki dadanya.
"Tranggg...!"
Pedang di tangan Kam Sian Eng terpental ketika tongkat kuningan Bouw Lek Couwsu
menangkisnya.
"Toanio,
tak boleh kau membunuh tamuku!" bentak Bouw Lek Couwsu sambil menyerang
dengan tongkatnya.
Kam Sian Eng
mengeluarkan suara melengking marah, tubuhnya berkelebat cepat dan dalam waktu
beberapa menit saja ia sudah bertanding sampai belasan jurus, balas-membalas
dengan ketua orang Hsi-hsia.
"Ha,
kau tangguh, Toanio. Tapi tetap saja aku yang menjadi orang pertama dari Bu-tek
Ngo-sian!" Inilah suara Thai-lek Kauw-ong yang sudah berjongkok lalu
memukul dengan ilmu pukulan Thai-lek-kang yang luar biasa lihainya.
Kam Sian Eng
terkejut, berusaha menahan namun ia tetap saja terhuyung ke belakang. Permainan
pedangnya menjadi kacau dan pada saat ia memutar pedang menghadapi tongkat kuningan
Bouw Lek Couwsu, dari belakang ada tangan menyambar.
"Awas,
Bibi...!" terdengar Kwi Lan berseru. Gadis ini sudah membungkus tubuh
dengan jubah gurunya dan kini melihat serangan ganas Bu-tek Siu-lam dari
belakang, ia memperingatkan gurunya.
Namun Sian
Eng yang sudah marah itu menggerakkan tangan kiri dan sinar putih menyambar.
Hanya tiga batang jarum yang ia sambitkan namun ketiga-tiganya memasuki tubuh
Bu-tek Siu-lam yang roboh berkelojotan dan menjerit-jerit seperti babi
disembelih karena seluruh tubuhnya terasa sakit-sakit tak tertahankan. Rasa
nyeri yang amat hebat membuat tokoh banci ini seperti gila, guntingnya bergerak
menggunting bagian tubuhnya yang terasa nyeri sehingga dalam sekejap mata saja
lengan kirinya buntung, lalu kedua kakinya dan terakhir sekali batang lehernya!
Ia mati dalam keadaan tubuh terpotong-potong gunting seperti nasib sekian
banyak korbannya.
Andai kata
ia harus menghadapi Bouw Lek Couwsu atau bahkan Thai-lek Kauw-ong satu lawan
satu saja agaknya Kam Sian Eng tidak akan mudah dapat dikalahkan. Akan tetapi
sekarang ia harus menghadapi Bouw Lek Couwsu dan Thai-lek Kauw-ong, malah kini
Pak-sin-ong dan Siauw-bin Lo-mo sudah maju mengeroyoknya! Dikeroyok empat orang
sakti itu, tentu saja ia menjadi repot sekali.
Kwi Lan dengan
nekat membantu gurunya. Ia menyambar gunting Bu-tek Siu-lam yang berlepotan
darah, lalu mengamuk, mainkan gunting itu seperti orang mainkan pedang. Namun
karena senjata ini tidak cocok, ia menjadi kaku dan gerakannya canggung.
"Kwi
Lan, kau bebaskan saja kami agar kami dapat membantu. Lekas!" teriak Hauw
Lam, Siang Ki, dan Kiang Liong.
Akan tetapi
dalam kemarahan meluap-luap gadis itu tidak ingat akan hal ini dan akhirnya,
ketika Thai-lek Kauw-ong memutar-mutar tubuh mainkan ilmu Soan-hong-sin-ciang sehingga
tubuhnya berputaran seperti gasing, Kwi Lan roboh tertotok dan tak mampu
bergerak lagi!
Hauw Lam
menjadi kecewa sekali dan pemuda ini hanya mampu memaki-maki dan
berteriak-teriak, "Tak tahu malu! Empat ekor kura-kura busuk tua bangka
hanya berani melakukan pengeroyokan! Aku berani mempertaruhkan kepala nenek
moyangku kalau bertanding satu lawan satu, semua tentu dapat terbunuh mampus
oleh Sian-toanio!"
Namun
teriakan-teriakannya percuma saja dan akhirnya Kam Sian Eng harus mengakui
keunggulan empat orang pengeroyoknya. Ia tak dapat bertahan lama. Serangan
Thai-lek Kauw-ong membuat ia terhuyung-huyung dan pening. Ia sudah menghabiskan
jarum-jarumnya, sudah mainkan pedang dan kerudung, namun sia-sia dan akhirnya
ia roboh terkena hantaman gergaji Pak-sin-ong yang mengenai lambungnya.
Lambungnya robek.
Kam Sian Eng
memekik marah dan tendangan kakinya yang dilakukan secara tak terduga-duga
membuat Pak-sin-ong terlempar, akan tetapi pada saat itu tongkat Bouw Lek
Couwsu, senjata gembreng Thai-lek Kauw-ong, dan pukulan tangan Siauw-bin Lo-mo
membuat ia roboh terkapar tak bernyawa lagi! Pak-sin-ong sudah bangkit dan
hanya terluka ringan.
"Wanita
hebat...!" Thai-lek Kauw-ong mengangguk-angguk dan diam-diam ia memuji
karena biar pun ia sanggup seorang diri mengalahkan Kam Sian Eng namun tentu
memakan waktu yang lama.
Kiang Liong,
Pangeran Talibu, Mimi, Yu Siang Ki, dan Hauw Lam memandang ke arah empat orang
kakek itu dengan jantung berdebar. Bahkan Hauw Lam sendiri kini diam saja,
maklum bahwa kata-kata tidak ada artinya lagi sekarang. Bahaya hebat mengancam
mereka, akan tetapi mengapa gurunya belum juga muncul? Ataukah ia salah dengar
dan bukan suara gurunya?
Bouw Lek
Couwsu dengan muka geram menghadapi para tawanan muda. Ia marah sekali karena
sekaligus kehilangan dua orang pembantu kuat, yaitu Kam Sian Eng dan Bu-tek
Siu-lam. Suma Kiat hanya berdiri memandang mayat ibunya, tidak menangis tidak
tertawa hanya menunduk.
"Suma-kongcu,
bagaimana pendapatmu kini?" Tiba-tiba Bouw Lek Couwsu bertanya kepada
pemuda itu. Ia hendak menjenguk isi hati pemuda yang kematian ibunya ini.
Suma Kiat
berkata, suaranya menggetar. "Apa yang dapat kukatakan, Couwsu? Kami ibu
dan anak telah membantumu dengan kenyataan, akan tetapi Ibu karena membela
gadis sialan ini telah menjadi korban. Couwsu, berikan gadis itu kepadaku, aku
ingin membalas dendam ini kepadanya!"
Bouw Lek
Couwsu mengangguk. Baik sekali kalau begitu pendapat pemuda ini. "Boleh
saja, asal kemudian dibunuh. Dia telah menimbulkan banyak kerewelan."
Kemudian setelah Suma Kiat memondong tubuh Kwi Lan yang pingsan dan dibawa ke
luar kamar tahanan, Bouw Lek Couwsu menghadapi Pangeran Talibu dan berkata,
"Pangeran,
untuk penghabisan kali, apakah kau masih keras kepala? Kalau sekarang kalian
semua kubunuh, siapa yang akan berani menolongmu?"
Sunyi tiada
jawaban dari para tawanan muda. Tiba-tiba terdengar bunyi ledakan keras disusul
sorak-sorai. Agaknya ini sebagai jawaban pertanyaan Bouw Lek Couwsu karena pada
saat yang amat berbahaya bagi keselamatan semua tawanan muda itu tiba-tiba saja
berkelebat bayangan orang dan bagaikan gerakan iblis, entah dari mana datangnya,
tahu-tahu di situ berdiri seorang laki-laki yang tinggi tegap tampan dan gagah
berusia lima puluh lima tahun kurang lebih. Sebatang suling terselip di
pinggang, topinya lebar dan sepasang mata yang memandang dari bayangan topi itu
penuh wibawa.
"Suling
Emas...!" Seruan ini keluar dari mulut Thai-lek Kauw-ong, dan semua kakek
itu terkejut seperti disambar kilat. Terutama sekali Bouw Lek Couwsu yang
mendengar suara ribut-ribut di sekeliling markasnya, tanda bahwa di luar
terjadi perang hebat.
Suling Emas
tidak mempedulikan empat orang kakek itu yang menatapnya dengan mata terbelalak
dan sikap gentar. Ia melirik dan dengan ujung matanya menyapu keadaan para
tawanan. Pandang matanya mencari-cari, kemudian bertemu dengan pandang mata
Kiang Liong.
"Di
mana Mutiara Hitam...?" tanyanya. Suaranya tenang dan halus, seperti
sikapnya.
"Dia
dibawa pergi Suma Kiat, putera Sian-toanio..." Kiang Liong menunjuk dengan
pandang matanya ke arah mayat Kam Sian Eng.
Sejenak
pandang mata Suling Emas menuju kepada muka Kam Sian Eng yang sudah mati, muka
yang cantik dan tersenyum aneh. Sedetik Suling Emas memejamkan mata, seperti
terkejap. Yang menggeletak tak bernyawa itu adalah adik tirinya! Kemudian kaki
kanannya dibanting perlahan dan... gunting besar milik Bu-tek Siu-lam terbang
dari lantai menuju tangannya. Suling Emas menyambar gunting dan terdengar bunyi
nyaring dua kali ketika gunting menyambar belenggu kaki tangan Kiang Liong.
Suling Emas melempar gunting ke atas lantai sambil berkata, "Pergi kau
kejar dan ambil kembali Mutiara Hitam."
"Baik,
Suhu!" Kiang Liong menyambar gunting dan menggunting pula belenggu Yu
Siang Ki, kemudian berkelebat pergi meninggalkan gunting kepada Siang Ki yang
kini sibuk membebaskan teman-temannya.
Suling Emas
menjura kepada Thai-lek Kauw-ong, "Kauw-ong, selamat berjumpa kembali.
Agaknya sahabat-sahabat ini adalah Pak-sin-ong dan Siauw-bin Lomo. Sayang bahwa
Sam-wi (Tuan Bertiga) terperosok rendah mengabdi orang Hsi-hsia."
"Suling
Emas, jangan sombong! Kamu kira dapat menangkan kami berempat?" Bouw Lek
Couwsu berseru dan tongkat kuningan di tangannya sudah bergerak menyerang
Suling Emas, disusul gergaji di tangan Pak-sin-ong yang bertemu musuh lamanya.
Dahulu ia gagal mengacau di Khitan karena Suling Emas, maka sekarang ia hendak
membalas dendam, menggunakan kesempatan selagi ada teman-teman sakti.
"Suling
Emas, hadapilah kematianmu!" bentaknya.
Thai-lek
Kauw-ong yang sudah mengalami kelihaian Suling Emas membunyikan gembreng dan
menerjang maju secara dahsyat. Demikian pula Siauw-bin Lo-mo, biar pun
bertangan kosong kini menerjang maju dengan pukulan tangan kanan sedangkan
tangan lainnya siap dengan bumbung berisi racun.
Suling Emas
menggerakkan sulingnya. Hebat luar biasa gerakannya ini. Sinar kuning
menyilaukan mata bergulung-gulung seperti naga bermain di angkasa, dan semua
senjata lawan terpukul mundur. Namun ia dikurung rapat dan empat orang
pengeroyoknya adalah jagoan-jagoan yang berilmu tinggi. Tempat itu kurang luas
untuk menghadapi pengeroyokan, apa lagi di situ terdapat mayat Kam Sian Eng dan
Bu-tek Siu-lam.
Suling Emas
tidak mau menginjak mayat adik tirinya, maka terdengar suara melengking panjang
dan sinar sulingnya menyambar dengan lingkaran-lingkaran besar. Ketika empat orang
pengeroyoknya mundur, ia melesat ke luar kamar. Tentu saja empat orang
pengeroyoknya tidak membiarkan ia pergi dan cepat menyusul. Kiranya Suling Emas
sudah menanti mereka di luar, di tempat yang luas, sambil memalangkan suling di
depan dada dan tangan kiri diangkat tinggi di atas kepala. Sikapnya gagah bukan
main dan biar pun usianya sudah setengah abad lebih, ia tampak gagah dan
tampan, tubuhnya masih padat dengan sikap tegak berdiri, dadanya bidang.
"Hyaaaahhh!!"
Bouw Lek Couwsu memekik dan tongkatnya menyambar kepala Suling Emas yang hanya
miringkan tubuh menghindarkan diri, namun sulingnya menyambar dengan totokan ke
arah lambung ketua Hsi-hsia ini.
Dengan
menyontekkan tongkat ke samping Bouw Lek Couwsu berhasil menangkisnya. Pada
setengah detik berikutnya, gergaji Pak-sin-ong menyambar pinggang dan Suling
Emas sudah menangkis dengan suling, berusaha menempel gergaji dengan sinkang.
Akan tetapi pada saat itu Thai-lek Kauw-ong sudah menghimpitnya dengan sepasang
gembreng yang amat berbahaya itu sehingga Suling Emas terpaksa melepaskan
sulingnya dan meloncat ke belakang, membiarkan gembreng lewat. Siku kirinya
menotok pergelangan tangan Bouw Lek Couwsu yang hendak menyerang sehingga kakek
ini meloncat ke samping, kemudian Suling Emas sudah meloncat lagi ke depan.
Selagi Thai-lek Kauw-ong belum menarik kembali gembrengnya, pendekar sakti ini
sudah memukulkan suling ke arah kepala. Thai-lek Kauw-ong tentu saja tidak mau
kepalanya dipecahkan suling, cepat menghindar. Suling Emas sekali lagi meloncat
ke belakang karena tangan Siauw-bin Lo-mo sudah memukulnya dengan jari tangan
miring yang kalau mengenai iganya dapat mematahkan tulang iga.
Pertandingan
terjadi makin seru dan cepat. Gerakan Suling Emas indah sekali, indah dan cepat
namun karena empat orang pengeroyoknya juga bukan orang-orang biasa, ia kalah
cepat dan terpaksa bertubi-tubi menangkis serangan yang datang bergantian
bagaikan hujan lebatnya. Setelah pendekar sakti ini mainkan ilmunya,
Hong-in-bun-hoat, sulingnya mencorat-coret huruf-huruf sakti di udara barulah
dia dapat mematahkan semua serangan dan dapat mengimbangi gencarnya serangan,
sungguh pun ia masih belum dapat membalas serangan.
Sementara
itu, di luar terjadi perang hebat antara pasukan-pasukan Khitan yang besar
jumlahnya melawan orang orang Hsi-hsia dan pendeta jubah merah. Pasukan Khitan
ini memang mencari Pangeran Mahkota mereka dan akhirnya dapat menyerbu ke
markas Hsi-hsia. Akan tetapi agaknya mereka takkan berhasil kalau saja tidak
bertemu dengan Suling Emas di luar hutan. Suling Emas yang memimpin mereka
memasuki markas tanpa diketahui sehingga mereka dapat menyerbu secara mendadak.
Karena jumlah mereka lebih banyak dan karena pasukan Khitan ini lebih
berpengalaman dalam perang, maka pihak Hsi-hsia segera terdesak hebat dan banyak
jatuh korban.
Sementara
itu, Siang Ki telah berhasil membebaskan Hauw Lam, Talibu, dan Mimi. Setelah
mereka beristirahat sebentar untuk memulihkan jalan darah yang membeku karena
terlalu lama dibelenggu, mereka lalu keluar dari kamar tahanan yang menyeramkan
dengan adanya mayat Bu-tek Siu-lam yang terpotong-potong! Mereka siap membantu
Suling Emas, bahkan Pangeran Talibu sendiri cemas melihat ayah kandungnya
dikeroyok tadi. Akan tetapi hatinya lega mendengar teriakan-teriakan
pasukannya, teriakan-teriakan itu adalah tanda bahwa pihak pasukannya berhasil
mendesak dan menang.
Ketika
mereka tiba di luar, hati mereka makin lega. Kiranya Suling Emas kini bukan
hanya seorang diri menghadapi pengeroyokan empat musuh, melainkan dibantu
seorang kakek tua renta yang cebol berkepala besar dan tertawa cekikikan. Yang
paling girang hatinya adalah Hauw Lam karena ia mengenal kakek ini yang bukan
lain adalah kakek aneh luar biasa, Bu-tek Lo-jin yang menjadi gurunya hanya
untuk beberapa hari lamanya.
Pak-sin-ong
dan Thai-lek Kauw-ong mengeroyok Suling Emas, adapun Siauw-bin Lo-mo dan Bouw
Lek Couwsu mengeroyok Bu-tek Lo-jin. Baik Bu-tek Lo-jin yang hanya memegang
sebatang ranting kecil mau pun Suling Emas yang bersenjatakan suling dapat
mendesak kedua pengeroyok masing-masing.
Akan tetapi
pada saat itu, serombongan hwesio jubah merah yang mendengar tanda bahaya yang
dikeluarkan Bouw Lek Couwsu, sudah datang dengan senjata di tangan untuk
mengeroyok dua orang pendekar sakti itu. Mereka ini jumlahnya ada dua puluh
orang, murid-murid pilihan yang terpaksa meninggalkan peperangan yang terdesak
untuk membantu dan membela guru mereka.
Melihat
munculnya hwesio-hwesio jubah merah ini, Yu Siang Ki dan Hauw Lam segera
meloncat maju menerjang dengan senjata golok yang mereka temukan di luar kamar
tahanan. Juga Pangeran Talibu tidak mau ketinggalan. Pangeran ini sudah
mengambil sebatang pedang seperti juga Puteri Mimi, dan kedua orang muda
bangsawan yang pandai ilmu silat ini pun lalu menyerbu dan membantu Siang Ki
dan Hauw Lam.
Sebagian
dari hwesio-hwesio itu menyambut serbuan empat orang muda, akan tetapi sebagian
besar membantu Bouw Lek Couwsu. Suling Emas menjadi marah melihat datangnya
banyak hwesio jubah merah yang otomatis mengeroyok kakek cebol. Ia membuat gerakan
panjang, gulungan sinar suling yang sungguh luar biasa melibat bayangan
Thai-lek Kauw-ong.
Kauw-ong
kaget, merasa betapa sinar itu mengandung hawa dingin yang tajam melebihi
pedang. Untuk menjaga diri, Kauw-ong lalu berputaran seperti gasing, sepasang
gembrengnya menjadi sinar yang membungkus tubuhnya. Akan tetapi ia kena diakali
Suling Emas yang memang hanya menggertak saja. Setelah kakek raksasa yang amat
lihai itu berputaran, tiba-tiba Suling Emas mengerahkan seluruh tenaga dan
perhatian kepada Pak-sin-ong. Tubuhnya berkelebat, sulingnya melengking
bagaikan sinar kilat menyambar ke arah Pak-sin-ong. Kini Pak-sin-ong tidak ada
pembantu karena sahabatnya sedang berputaran seperti gasing. Terpaksa ia
menangkis dengan gergaji di tangan kanan sedangkan tali pancingnya menyambar ke
arah kaki Suling Emas.
"Cringg...
krekkkk!" gergaji itu patah-patah menjadi beberapa potong.
Pak-sin-ong
hendak meloncat mundur akan tetapi alangkah kagetnya ketika gerakannya itu
terhalang oleh tali pancingnya sendiri yang kini sudah melibat-libat tangan
Suling Emas. Kiranya pendekar sakti itu telah menangkap pancingnya dan karena
talinya diikatkan pada pinggang, Pak-sin-ong tak dapat melarikan diri! Ia
menjadi nekat, membetot-betot tali pancing dan mengirim pukulan sambil tiba-tiba
menubruk maju. Tubuh yang menubruk itu diterima dengan tusukan suling.
Pak-sin-ong
mengulur tangan menangkap suling. Gerakannya cepat dan tak terduga-duga
sehingga suling itu dapat tertangkap. Mereka saling betot, adu tenaga. Namun
Pak-sin-ong kalah kuat sehingga terpaksa mempergunakan kedua tangan melawan
tangan kanan Suling Emas. Sambil tersenyum Suling Emas mempertahankan suling
dengan tangan kanan, ada pun tangan kirinya bergerak cepat, jari-jari tangan
yang ampuh dan kuat itu satu kali menusuk ke arah pelipis lawan. Tanpa
mengeluarkan suara Pak-sin-ong melepaskan suling dan roboh tak bergerak lagi.
Ketika
Suling Emas siap menghadapi Thai-lek Kauw-ong, ternyata Si Raja Monyet itu
telah melompat jauh melarikan diri! Ia tidak mengejar, melainkan menyerbu ke
depan membantu kakek cebol yang kini dikeroyok banyak sekali lawan. Para murid
Bouw Lek Couwsu tentu saja semua mengeroyok si Cebol ini untuk membantu guru
mereka.
Si Kakek
Cebol benar-benar hebat luar biasa sehingga mengagumkan hati Suling Emas. Ia
dapat menduga siapa adanya kakek ini, tentulah Bu-tek Lo-jin karena siapa lagi
di dunia ini ada tokoh sakti memiliki tubuh seperti kanak-kanak dan kepala
besar seperti raksasa? Memang kini sudah kelihatan tua sekali sehingga kalau
melihat mukanya orang yang pernah bertemu akan menjadi pangling, akan tetapi
melihat potongan tubuh dan kepalanya, melihat sikapnya yang ugal-ugalan mudah
saja menduga siapa tokoh ini.
"Locianpwe
Bu-tek Lo-jin, terima kasih atas bantuan Locianpwe!" kata Suling Emas
sambil menerjang maju, menyerang Siauw-bin Lo-mo.
"Heh-heh-heh.
Suling Emas, siapa membantu siapa? Aku hanya ingin menghajar monyet-monyet
gundul berpakaian pendeta ini!"
"Brettt...
brettt...!" celana dua orang hwesio jubah merah robek dan putus tali
kolornya.
Tentu saja
dua orang hwesio itu kedodoran dan tersipu-sipu, kemudian mundur untuk
membenarkan celananya yang robek. Kakek cebol itu tertawa bergelak dan tubuhnya
kembali berkelebatan di antara sinar senjata para pengeroyoknya yang amat
banyak.
"Hayo
Bouw Lek Couwsu, lepaskan celanamu!" kembali kakek cebol itu tertawa dan
menerjang.
Ia tidak
pedulikan para hwesio yang menghalanginya. Dengan lincahnya ia melejit dan
menyelinap, tahu-tahu ia sudah berhadapan lagi dengan Bouw Lek Couwsu. Kalau
tadi ia belum berhasil adalah karena selain Bouw Lek Couwsu sendiri amat lihai,
kakek pemimpin Hsi-hsia ini dibantu pula oleh Siauw-bin Lo-mo. Kini menghadapi
kakek cebol seorang diri, Bouw Lek Couwsu menjadi pucat dan marah. Tongkat
kuningnya yang berat digerakkan menghantam tubuh Bu-tek Lo-jin.
"Desss...!"
Dan Bouw Lek Couwsu melongo.
Jelas tadi
ia melihat tongkatnya secara tepat menyambar tubuh cebol itu, akan tetapi
mengapa kini hanya tanah saja yang dihantamnya dan ke mana perginya si Cebol?
Tiba-tiba terdengar bunyi kain robek dan Bouw Lek Couwsu cepat membalikkan
tubuh karena merasa tubuh belakangnya dingin. Kiranya Bu-tek Lo-jin sudah
berdiri di belakangnya dan ketika Bouw Lek Couwsu meraba tubuh belakang,
celananya di bagian belakang sudah robek lebar sekali sehingga nampak buah
pantatnya yang besar menghitam!
"Ha-ha-ha-ha,
persis pantat monyet, ha-ha-ha," Bu-tek Lo-jin tertawa terbahak-bahak.
Bouw Lek
Couwsu marah bukan main. Murid-muridnya sudah mengurung dan mengeroyok lagi
kakek cebol itu dan seorang murid datang membawa celana baru yang cepat dipakai
oleh Bouw Lek Couwsu. Kemudian sambil menggigit bibir saking marahnya, ia
memutar tongkatnya lagi menerjang si Kakek Nakal.
Pertandingan
antara empat orang muda melawan para pendeta jubah merah juga berjalan seru.
Para pendeta itu adalah murid-murid pilihan Bouw Lek Couwsu yang merupakan
pengawal pribadi, maka kepandaian mereka cukup tinggi. Kini bermunculan pasukan
pengawal Hsi-hsia yang membantu sehingga empat orang muda itu harus bekerja
keras. Banyak sudah orang Hsi-hsia roboh oleh pedang mereka, akan tetapi jumlah
pihak lawan makin banyak.
Betapa pun
juga, dengan enaknya Yu Siang Ki dan Tang Hauw Lam mempermainkan dan membabati
mereka karena tingkat ilmu kepandaian dua orang muda ini jauh lebih tinggi.
Puteri Mimi bersama Talibu sudah mundur karena Sang Pangeran terlalu lelah oleh
luka-lukanya. Dia dibimbing Puteri Mimi yang siap melindunginya. Tadinya Talibu
tidak mau berhenti dalam bertanding melawan musuh, akan tetapi Yu Siang Ki yang
melihat betapa gerakan Pangeran ini lemah dan tidak tetap, bahkan wajahnya
pucat sekali, maka ia lalu memutar senjata memberi jalan ke luar kepada
Pangeran ini, minta supaya Sang Pangeran mengaso dijaga Puteri Mimi.
Siauw-bin
Lo-mo repot sekali menghadapi Suling Emas. Tiga kali ia dibikin jungkir-balik
oleh suling di tangan lawan. Untung ke tiga kali itu ia cukup cepat sehingga
hanya mengalami jungkir-balik dan babak belur, kalau ia kurang cepat sedikit
saja, tentu nyawanya telah melayang. Karena maklum bahwa ia bukan tandingan
Suling Emas yang luar biasa saktinya, tiba-tiba Siauw-bin Lo-mo tertawa
bergelak, tangan kirinya membanting bumbung, juga tangan kanannya meraih bola
yang bergantungan pada pinggangnya.
Terdengar
bunyi ledakan-ledakan keras dan tanpak asap bermacam-macam warnanya mengebul
memenuhi tempat pertandingan itu. Bouw Lek Couwsu berseru memberi peringatan
kepada anak buahnya yang lari cerai-berai, namun terlambat sedikit. Lebih dari
sepuluh orang Hsi-hsia dan pendeta jubah merah roboh berkelojotan, ada yang
terkena besi, ada yang menghisap asap beracun.
Pangeran
Talibu dan Puteri Mimi yang mengaso di emper bangunan, dari jauh melihat betapa
setelah membantingi bahan-bahan peledak dan asap beracun, Siauw-bin Lo-mo roboh
telentang. Akan tetapi mereka tidak melihat di mana adanya Suling Emas, Bu-tek
Lo-jin, Yu Siang Ki, dan Tang Hauw Lam! Apakah mereka berempat juga sudah
menjadi korban?
Kiranya
ketika terjadi ledakan-ledakan tadi, keadaan amatlah berbahaya sehingga
orang-orang lihai seperti Siang Ki dan Hauw Lam sekali pun belum tentu dapat
menyelamatkan diri karena mereka sedang menghadapi pengeroyokan. Akan tetapi,
tiba-tiba mereka berdua berseru kaget, tubuh mereka terangkat dan terbang
melayang ke atas genteng markas Bouw Lek Couwsu. Setelah memandang, kiranya
Suling Emas yang menyambar tubuh Siang Ki dan Bu-tek Lo-jin yang membawa
‘terbang’ Hauw Lam! Setelah dilepaskan di atas genteng, dua orang muda itu
segera bertekuk lutut menghaturkan terima kasih.
Bu-tek
Lo-jin duduk di atas genteng, merangkul pundak Hauw Lam. "Heh-heh, kau
lumayan, aku tidak kecewa. Apa lagi permainanmu di depan Bouw Lek Couwsu dan
sekutunya, hebat!"
"Berkat
bimbingan Suhu," kata Hauw Lam merendah.
"Heh,
bimbingan apa? Aku tidak pernah mengajarmu bersyair!"
"Suhu
telah datang, kenapa tidak cepat turun tangan tadi?"
"Kenapa?
Aku belum ada kegembiraan."
"Bukankah
tadi keadaan Mutiara Hitam terancam bahaya?"
"Uuuhh,
berani bermain api jangan takut terbakar. Berani bermusuhan jangan takut
berkelahi dan berani berkelahi jangan takut mati! Perlu apa mesti kutolong? Eh,
Hauw Lam, syairmu tadi yang memuat teka-teki, mengapa kau begitu sembrono?
Hatiku sampai berdebar tidak karuan. Bagaimana kalau kebetulan di antara mereka
ada yang menebak tepat angka empat? Kau tentu kalah.”
Hauw Lam
maklum bahwa gurunya ini memang ugal-ugalan, maka jawaban dan alasan tadi tidak
ia masukkan hati. "Teecu (murid) takkan kalah, Suhu. Walau pun ada yang
menjawab empat umpamanya, teecu akan salahkan dia karena jawabannya bukan
empat."
"Heeeii,
bagaimana ini?"
"Aah,
ini hanya akal anak kecil, Suhu. Di dalam syair itu terdapat angka atau jumlah
bermacam-macam. Kura-kuranya empat, emasnya satu, bulannya dengan bayangannya
dua, tanggal purnama lima belas. Kalau sekalian angka-angka itu dikali,
ditambah, dikurangi atau dibagi, bisa saja kita mencari bilangan dari satu
sampai seratus! Tentu saja semua tebakan bisa teecu salahkan!"
Bu-tek
Lo-jin mengerutkan kening berpikir-pikir, kemudian setelah mengerti duduknya
persoalan ia tertawa bergelak. "Ha-ha-ha, kalau begitu kau tipu mereka
mentah-mentah!"
"Bukan
menipu, Suhu, melainkan ini akal anak kecil. Hanya orang goblok dan tolol saja
yang dapat diakali permainan kanak-kanak macam ini. Dan di dunia ini terlalu
banyak orang tolol dan goblok."
"Ha-ha-ha,
orang-orang yang punya kedudukan tinggi bisa diakali. Kau lihat nanti, Hauw
Lam. Aku tak mau kalah denganmu. Kau lihat nanti bagaimana aku permainkan
mereka dengan akal anak kecil juga. Lihat ini!" Setelah berkata demikian,
Bu-tek Lo-jin menggunakan jari kelingkingnya mengorek-ngorek ke dalam lubang
hidungnya, mengeluarkan upil (tahi hidung) dan mengumpulkan lalu
memelintir-lintirnya menjadi semacam pel. "Ah, terlalu sedikit,"
katanya tertawa. "Hayo kau keluarkan punyamu. Kau juga, Suling Emas, dan
kau... eh, jembel muda."
Hauw Lam
mengedipkan mata kepada Siang Ki agar pemuda itu suka memenuhi permintaan kakek
itu. Akan tetapi tanpa diberi tanda juga Siang Ki tentu akan mentaatinya karena
pemuda ini sudah cukup berpengalaman untuk mengenal seorang sakti yang aneh
seperti Bu-tek Lo-jin. Tanpa ragu-ragu ia pun lalu mengorek lubang hidungnya.
Suling Emas
tersenyum kepada kakek nakal itu. Kalau dia mentaati permintaannya, berarti dia
sudah kena dipermainkan juga, maka ia lalu mengambil kotoran tanah yang
menempel di bawah sepatunya, "Bu-tek Lo-jin, dicampur dengan kotoran ini
tentu lebih lezat rasanya," Ia menyerahkan segelintir tanah kotor yang
diambilnya dari bawah sepatu.
"Ha-ha-ha,
bagus, bagus! Memang tahi hidung saja kurang banyak," ia lalu menuding dan
menghitung baju-baju merah di bawah, "Wah, ada dua puluh orang bersama
Bouw Lek si tolol. Biar kutambah lumpur!" Kakek ini lalu mengumpulkan
tanah dari bawah kakinya, dicampur dengan tahi hidung yang ia terima dari Siang
Ki, Hauw Lam, dan dia sendiri, ditambah pula dengan debu-debu yang menempel
pada genteng. Karena debu-debu itu kering, ia lalu meludahinya, dan
mengepal-ngepal campuran ini menjadi sekepal kecil yang warnanya tidak karuan,
agak kehitaman, kemerahan dan abu-abu!
"Asap
sudah buyar, lihat, Pangeran dan Puteri kelihatan bingung kehilangan kita. Mari
turun!" kata Suling Emas yang melayang turun, diikuti dua orang pemuda dan
kakek nakal.
Suling Emas
lebih dulu mengambil sulingnya yang menancap di dahi Siauw-bin Lo-mo yang sudah
tewas. Melihat empat orang ini melayang turun, Pangeran Talibu dan Puteri Mimi
bersorak dan lari menghampiri. Sorak-sorai terdengar keras sekali dan kini
bermunculan prajurit-prajurit Khitan yang sudah berhasil menyapu bersih
orang-orang Hsi-hsia.
Bouw Lek
Couwsu bersama sembilan belas orang murid pilihan kini berdiri bingung,
dikurung di tengah-tengah. Pangeran Talibu mengeluarkan aba-aba kepada para
prajurit yang segera mengurung tempat itu dan tak seorang pun di antara mereka
berani turun tangan. Para prajurit ini bersorak girang melihat bahwa pangeran
mereka dan Puteri Mimi dalam keadaan selamat, sungguh pun Pangeran Mahkota itu
tubuhnya luka-luka. Seorang komandan pasukan cepat-cepat maju menghampiri
membawa sebuah jubah indah yang dikenakan pada tubuh Pangeran Talibu yang
telanjang bagian atasnya. Kemudian komandan itu mundur lagi setelah memberi
hormat.
Dengan wajah
keruh Bouw Lek Couwsu melangkah maju menghadapi Suling Emas dan teman-temannya.
"Suling Emas, kau menggagalkan usahaku. Aku sudah kalah, mau bunuh lekas
bunuh!" Setelah berkata demikian, Bouw Lek Couwsu melempar tongkatnya ke
atas tanah. Perbuatan ini diturut oleh anak muridnya yang semua melempar senjata
ke atas tanah.
Orang akan
keliru kalau mengira bahwa perbuatan Bouw Lek Couwsu ini merupakan tanda sifat
pengecut atau penakut. Tidak, sama sekali bukan begitu. Bouw Lek Couwsu tidak
akan dapat menjadi pimpinan orang Hsi-hsia kalau ia penakut atau bodoh.
Perbuatan ini malah membuktikan kecerdikannya. Ia tentu saja mengenal siapa
Suling Emas. Seorang pendekar sakti yang bernama besar dan yang terkenal
memiliki watak satria dan gagah. Seorang satria yang gagah perkasa tak mungkin
sudi membunuh musuh yang tidak melawan lagi! Sedangkan kalau dia dan
murid-muridnya melawan, tak dapat diragukan lagi dia dan murid-muridnya tentu
akan binasa semua.
"Bouw
Lek Couwsu, kami tidak akan membunuhmu. Ketahuilah bahwa Kaisar Sung yang
bijaksana tidak menghendaki permusuhan dengan bangsa apa pun juga. Juga dengan
bangsa Hsi-hsia tidak menghendaki permusuhan. Oleh karena kau kini melanggar
wilayah Sung, maka Pemerintah Sung yang berhak memutuskan. Akan tetapi karena
aku sudah tahu akan kehendak Kaisar, biarlah kekalahanmu ini menjadi pelajaran
bagimu agar kelak kau tidak berani main-main dengan Kerajaan Sung mau pun
dengan Kerajaan Khitan. Kau pergilah pulang ke tempat asalmu!"
"Eh-eh-eh,
nanti dulu!" tiba-tiba Bu-tek Lo-jin berkata sambil terkekeh. "Suling
Emas, kau membebaskan mereka tanpa mengobati mereka, sama artinya dengan
melepaskan kepala memegang buntutnya! Mereka kau bebaskan untuk mati, apa
bedanya? Lihat, bukankah mereka semua menderita luka keracunan yang hebat dan
tiada obatnya? Ini, lihat leher Bouw Lek Couwsu!" Ia mendekati dan
tangannya menunjuk ke arah leher, "Tentu Bouw Lek Couwsu tidak dapat
melihat lehernya sendiri, tapi coba tarik napas dalam tidakkah terasa gatal dan
sakit?"
Bouw Lek
Couwsu benar-benar menarik napas dalam dan ia kaget bukan main. Memang terasa
gatal-gatal dan sakit. Sebagai seorang ahli ia berusaha menggunakan napas untuk
memunahkan racun ini, namun makin dilawan makin sakit. Sementara itu, Bu-tek
Lo-jin terus mendekati murid-murid Bouw Lek Couwsu, menuding sana-sini, ada
yang lehernya sakit, ada yang punggungnya, pundaknya, pahanya pendeknya di mana
kakek itu menuding, tentu di situ benar-benar terasa gatal dan sakit apa bila
dipakai menarik napas panjang. Ributlah mereka dan dua puluh orang itu menjadi
cemas sekali.
"Ha-ha-ha!
Bouw Lek Couwsu, tahukah engkau luka apa dan racun apa yang bersarang di tubuh
kalian semua? Inilah racun hebat yang tak mungkin dapat disembuhkan kecuali
oleh obat yang dinamakan batu hitam dari goa kembar! Atau dengan cara lain,
bagian yang kena racun itu dipotong. Kalau paha yang terkena, ya. pahanya
dipotong, kalau pinggang atau leher... yah, pinggangnya dan lehernya
dipotong!"
Sepasang
mata Bouw Lek Couwsu melotot marah, akan tetapi murid-muridnya menggigil
ketakutan. Mana ada cara pengobatan macam itu? Pinggang atau leher dipotong
berarti mati!
"Suling
Emas, apakah benar apa yang dikatakan tua bangka gila ini?"
"Bouw
Lek Couwsu, aku bukan seorang ahli tentang racun, akan tetapi harus diakui
bahwa Locianpwe Bu-tek Lo-jin adalah seorang ahli tentang pukulan-pukulan
beracun. Harap Couwsu suka bertanya kepada beliau."
Bouw Lek
Couwsu dengan sikap angkuh kini menghadapi kakek cebol yang tertawa-tawa,
"Apakah omonganmu itu betul dan tidak omong kosong belaka?"
"Heh-heh-heh,
memang omong kosong? Apa sih isinya omongan? Tapi yang kosong berisi, yang isi
itu kosong, bukan begitu Bouw Lek Couwsu? Kau menyebut aku gila sebetulnya
tidak gila, kau yang menganggap diri tidak gila sebetulnya gila. Anjing bukan
manusia dan manusia bukan anjing tapi manusia dan anjing sama! Luka-luka kalian
adalah akibat dari getaran ledakan yang disertai asap beracun. Kami yang
melompat ke atas tidak terkena, akan tetapi kalian yang berada di bawah,
terkena tanpa kalian rasakan. Padahal andai kata kami di bawah dan terkena
racun juga, tidak mengapa karena aku mempunyai obat pemunahnya. Kebetulan
sekali di antara perbekalanku terdapat Pel Batu Sepasang Goa."
"Omitohud...!"
Bouw Lek Couwsu menyebut nama Buddha, hatinya lega karena ancaman maut yang
mencengkeram dia dan anak-anak muridnya ada obat penawarnya, "Bu-tek
Lo-jin, kalau begitu pinceng mengharapkan kau suka memberikan obat itu kepada
kami."
"Tadi
maki-maki sekarang minta-minta. Inilah watak manusia kalau membutuhkan sesuatu!
Obat ini mencarinya juga bertaruhan nyawa. Sepasang goa itu tak seorang pun
dapat memasukinya. Aku berani mempertaruhkan kepalaku kalau ada orang yang
mampu memasuki sepasang goa itu. Hanya dengan kecerdikan luar biasa barulah
batu hitam dikumpulkan sedikit demi sedikit. Dicampur dengan sari bumi dan debu
angkasa. Bayangkan saja betapa sukarnya mendapatkan obat ini," Bu-tek
Lo-jin mengeluarkan sekepal ‘obat’ yang sudah ia bungkus kain kuning.
Bouw Lek
Couwsu mengilar sekali. Kalau ia tidak ingat betapa lihainya kakek cebol ini,
tentu sekali pukul ia membikin mampus padanya dan merampas obatnya.
"Lo-jin, sekali lagi pinceng mohon pertolonganmu. Kalau perlu dibeli,
katakan saja berapa, pinceng akan sanggup menggantinya."
"Heh-heh-heh,
kita sudah saling bertanding, itu berarti kita sudah menjadi sahabat. Di antara
sobat, mana ada jual beli? Akan tetapi karena kau sudah menghina sobat-sobatku
yang lain, kalau sekarang kau dan semua muridmu mau berlutut dan
mengangguk-angguk tujuh kali kepadaku, obat akan kuberikan dengan gratis!"
Tanpa
dikomando lagi, sembilan belas orang, hwesio jubah merah itu serentak lalu
berlutut ke arah Bu-tek Lo-jin dan mengangguk-anggukkan kepala seperti
sekumpulan ayam bulu merah mematuk beras, berulang-ulang, tidak hanya tujuh
kali, sampai puluhan kali! Akan tetapi Bouw Lek Couwsu tetap berdiri, mukanya
pucat dan matanya menyinarkan kemarahan. Orang telah mempermainkan dan
menghinanya di luar batas. Namun ia tidak berdaya melampiaskan kemarahannya.
"Hemm,
paling-paling pinceng akan mati kalau tidak dapat mengobati sendiri, akan
tetapi seluruh dunia akan mendengar tentang perlakuan Bu-tek Lojin yang tidak
patut!"
"Biarlah,
mengingat bahwa engkau adalah seorang pemimpin bangsa Hsi-hsia, sekali ini
kubebaskan dari berlutut. Akan tetapi lain kali kalau engkau pilek atau masuk
angin lalu datang minta obat kepadaku, engkau harus berlutut!" kata Bu-tek
Lo-jin yang agaknya sudah puas mempermainkan mereka. Ia membuka bungkusan kain
kuning, mengeluarkan sekepal ‘obat’ itu, mengangkatnya tinggi di atas kepala
sambil berkata seperti lagak penjual obat di pasar mendemonstrasikan obatnya.
"Obat ini adalah obat paling manjur di dunia dan akhirat! Jangankan
manusia sakit keracunan, bengek, mulas, pening dan lain-lain, bahkan dewa
sekali pun dapat disembuhkan!" Ia lalu membagi-bagi menjadi dua puluh
butir, dan membagi-bagikan kepada Bouw Lek Cousu dan murid-muridnya sambil
berkata, "Telan sekarang juga sebelum terlambat!"
Bouw Lek
Couwsu menelan pel kemulutnya. Ia merasakan betapa ‘pel’ itu kasar dan agak
asin, terus ditelannya. Demikian pula dengan murid-muridnya, tanpa ragu-ragu
lagi telah menelan obat mustajab itu. Alangkah lega rasa hati mereka ketika
kini mereka menarik napas panjang bagian tubuh yang keracunan itu tidak begitu
nyeri lagi. Demikian pula dengan Bouw Lek Couwsu. Kini ia menarik napas panjang
sambil mengerahkan sinkang dan rasa nyeri lenyap. Mau tak mau ia jadi berterima
kasih sekali lalu menjura kepada Bu-tek Lo-jin.
"Omitohud,
Lo-jin telah menyelamatkan nyawa pinceng dan para murid, sungguh merupakan budi
besar. Nah, Cu-wi sekalian, sampai jumpa," Ia menjura ke arah Suling Emas
dan teman-teman, memungut tongkatnya lalu membalikkan tubuh, menyeret tongkat
dengan lenggang angkuh, diikuti para muridnya. Atas isyarat Pangeran Talibu,
para pasukan Khitan membuka jalan, membiarkan rombongan pimpinan Hsi-hsia ini
lewat.
Begitu
mereka pergi, Bu-tek Lo-jin tertawa terpingkal-pingkal memegangi perutnya,
bahkan ia sampai bergulingan di atas tanah terbahak-bahak dan di antara suara
ketawanya ia berkata, "... lucu... ha-ha-ha... lucu!"
Mereka yang
tidak mengerti, termasuk Pangeran Talibu dan Puteri Mimi, tentu saja menjadi
heran sekali, mengira bahwa kakek ini memang betul gila. Akan tetapi Hauw Lam
yang merasa bangga akan gurunya, segera bercerita dengan suara lantang, bahwa
Bouw Lek Couwsu dan murid-muridnya tadi sama sekali tidak terkena racun,
melainkan terkena hawa pukulan tangan Bu-tek Lojin ketika menuding dan sama
sekali tidak terancam maut, karena akibat hawa pukulan itu hanya menimbulkan
rasa nyeri sebentar saja. Bahwa ‘obat mustajab’ itu adalah upil (tahi hidung)
yang dicampur dengan debu genteng dan tanah di telapak kaki.
Orang-orang
Khitan yang mengerti bahasa Han lalu menterjemahkannya dalam bahasa Khitan
kepada teman-temannya dan meledaklah suara ketawa mereka. Bahkan Puteri Mimi
sampai terpingkal-pingkal dan Pangeran Talibu tertawa geli. Yang membuat
keadaan amat lucu adalah ketika mereka teringat betapa tahi hidung disebut batu
hitam dari sepasang goa, tentu saja sepasang goa adalah sepasang lubang hidung
dan tentu saja tidak ada manusia dapat memasuki lubang hidung! Dan sari bumi
adalah kotoran di telapak kaki sedangkan debu angkasa adalah debu di atas
genteng!
Setelah
suara ketawa mereda, Suling Emas lalu menyarankan kepada Pangeran Talibu agar
bersama Puteri Mimi kembali ke Khitan dikawal oleh pasukan Khitan yang sebagian
ditugaskan untuk mengurus mayat-mayat yang bergelimpangan. Di depan banyak
orang, Suling Emas menyebut pangeran kepada puteranya itu. Pangeran Talibu
tidak membantah, lalu mengajak Mimi naik kuda yang disediakan oleh pasukan
Khitan, minta diri dari Suling Emas dan Bu-tek Lo-jin, berpamit secara hangat
kepada Yu Siang Ki dan Tang Hauw Lam yang dipersilakan sewaktu-waktu datang ke
Khitan, kemudian berangkatlah rombongan itu.
Bu-tek
Lo-jin lalu menarik lengan Hauw Lam, diajak menjauhi Suling Emas di tempat
tersendiri untuk diajak bicara. Dengan singkat tapi jelas Hauw Lam menceritakan
pengalamannya, pertemuannya dengan Mutiara Hitam, pengalaman mereka berdua,
kemudian betapa berkat keterangan Mutiara Hitam, ia dapat bertemu dengan ibunya
yang kini masih tinggal di istana bawah tanah karena tidak mau meninggalkan
tempat itu.
Bu-tek
Lo-jin mendengarkan penuturan ini dan segera dapat mengambil kesimpulan bahwa
muridnya ‘ada hati’ kepada Mutiara Hitam. “Eh, kau mencinta Mutiara Hitam?”
Hauw Lam
kaget, mukanya menjadi merah sekali. “Bagaimana Suhu tahu?”
“Heh-heh,
kau kira aku begitu tolol? Pembelaanmu di kamar tahanan, dan ketika kau
bercerita setiap menyebut namanya, sinar matamu bercahaya. Hayo katakan, kau
cinta dia?”
Hauw Lam
menghela napas, “Tak dapat teecu sangkal, Suhu. Teecu mencintanya, akan tetapi...
ah, seperti hendak menjangkau bintang, seperti kumbang merindukan matahari.
Terlalu tinggi....“
“Uaaahh!
Siapa bilang? Biar pun hanya untuk beberapa hari, engkau murid Bu-tek Lo-jin!
Gadis mana yang terlalu tinggi untukmu? Biar puteri Kaisar sekali pun, kalau
aku yang melamar untukmu, akan diberikan! Kenapa kau tidak mengawininya? Dia ke
mana?”
Hauw Lam
maklum akan sifat gurunya yang ugal-ugalan. Kalau saat itu Mutiara Hitam berada
di situ, tentu akan diseret gurunya dan dipaksa menikah dengannya! Ia tidak mau
terjadi hal seperti ini, maka ia menjawab, “Teecu sendiri tidak tahu, Suhu.
Akan tetapi menurut penuturan ibuku, Mutiara Hitam itu sesungguhnya adalah
Puteri Khitan, puterinya Ratu Khitan. Ibu tidak dapat menerangkan secara jelas
duduknya perkara, tapi....“
“Sudahlah.
Kau pergilah ke Khitan, aku akan melamarnya dari tangan Ratu Khitan! Nah,
sampai jumpa di Khitan!” Kakek itu meloncat bangun, melambai ke arah Suling
Emas, berseru, “Haii, Suling Emas! Aku pergi sekarang!” Tanpa menanti jawaban ia
sudah melesat jauh dan lenyap dari pandangan mata.
Suling Emas
yang sedang bercakap-cakap dengan Yu Siang Ki hanya melambaikan tangan ke arah
kakek itu. Ia sedang bicara dengan sikap sungguh-sungguh dan serius dengan
pemuda itu.
“Kau sendiri
sudah kalah olehnya?” Suling Emas melanjutkan percakapan yang tertunda oleh
teriakan Bu-tek Lojin tadi.
“Betul,
Locianpwe. Dia amat lihai,” jawab Siang Ki yang tadi bercerita tentang Suling
Emas palsu yang menantang-nantang Yu Kang Tianglo!
“Dia tinggal
di Lembah Ang-san-kok di Gunung Heng-tuan-san, kau bilang tadi? Dan dia pandai
menggunakan hui-to (golok terbang)?”
“Benar,
Locianpwe.”
Suling Emas
mengangguk-angguk. “Hemm, urusan ini penting, harus kubereskan sendiri. Akan
tetapi aku masih ada persoalan di kota raja. Siang Ki, sekarang kau buatlah
surat, memakai nama Yu Kang Tianglo dan mengajukan tantangan kepada Suling Emas
pada bulan depan tanggal lima belas di markas Khong-sim Kai-pang di Kang-hu.”
“Tapi,
Locianpwe...,“ Yu Siang Ki tentu saja bingung mendengar perintah yang aneh ini.
“Lakukan
sajalah. Kalau dia datang sebagai Suling Emas biarlah aku yang menjadi Yu Kang
Tianglo. Kita lihat saja nanti.”
Yu Siang Ki
akhirnya menyanggupi dan menjura sambil berpamit. Pada saat itu Tang Hauw Lam
juga datang berpamit hendak melanjutkan perjalanan. Mereka berpisah. Suling
Emas ke kota raja, Yu Siang Ki hendak mengerjakan perintah pendekar sakti itu,
ada pun Hauw Lam sebelum ke Khitan hendak menyampaikan kepada ibunya lebih dulu
tentang maksud pelamarannya kepada Kwi Lan.
***************
Kwi Lan
masih pingsan ketika tubuhnya dipondong oleh Suma Kiat yang membawanya lari ke
luar. Pemuda ini meloncat ke atas seekor kuda dan terus mengaburkan kuda lari
menuju ke selatan. Perang tanding telah terjadi dengan hebatnya, namun Suma
Kiat tidak mempedulikan semua itu. Ia membalapkan kudanya dan karena
orang-orang Hsi-hsia sudah mengenal siapa pemuda ini maka mereka tidak
mengganggunya. Prajurit-prajurit Khitan juga tidak menghalanginya karena pemuda
yang membawa lari gadis pingsan itu tidak menyerang mereka. Satu dua orang yang
mencoba-coba menghalangi, roboh oleh pukulan tangan kiri Suma Kiat. Akhirnya ia
keluar dari tempat pertempuran dan terus membalap ke selatan.
Setelah hari
menjadi petang, berhentilah Suma Kiat di depan sebuah kuil tua. Kuil bobrok ini
adalah kuil yang sudah kosong dan hanya dipergunakan mengaso dan bermalam
mereka yang kemalaman di jalan. Kebetulan kuil itu kosong. Suma Kiat memondong
tubuh Kwi Lan memasuki kuil.
Baru saja ia
menurunkan tubuh gadis itu di atas lantai, Kwi Lan mengeluh dan bergerak. Suma
Kiat cepat menotok jalan darah gadis itu, membuat Kwi Lan yang sudah sadar
tidak mampu bergerak karena kaki tangannya menjadi lemas. Gadis itu membuka
matanya dan teringatlah ia akan semua peristiwa yang dialami. Teringat betapa
gurunya dikeroyok dan betapa ia membantu akan tetapi roboh oleh Thai-lek
Kauw-ong yang lihai. Kemudian ia melihat cahaya api menerangi kegelapan.
Ketika ia
melirik, ia melihat Suma Kiat sudah menyalakan lilin. Agaknya para penghuni
kuil yang kemalaman di jalan lupa membawa sisa lilin mereka dan kini dinyalakan
oleh Suma Kiat. Kemudian pemuda ini mendekati Kwi Lan dan duduk di atas lantai,
wajahnya keruh dan tampak lelah. Kwi Lan berusaha mengerahkan tenaga, namun
sia-sia belaka karena baru saja ia tertotok di luar tahunya.
Ia tahu
bahwa suheng-nya ini memiliki watak yang aneh, bahkan tidak normal seperti
gurunya. Dan ia sama sekali tidak dapat menerka, apa yang hendak dilakukan
pemuda ini terhadap dirinya, mengapa ia dibawa sampai ke tempat ini dan bahkan
dibuat tak berdaya dengan totokan. Ia bergidik. Jatuh ke tangan suheng-nya ini
tidak kurang berbahayanya dari pada jatuh ke tangan Bu-tek Siu-lam. Akan tetapi
Kwi Lan membesarkan hatinya dan bertanya, suaranya biasa.
“Suheng...,
bagaimana dengan Bibi Sian?”
Tiba-tiba
saja Suma Kiat menangis tersedu-sedu, menyembunyikan muka dalam pelukan
lengannya. Sampai lama pemuda ini menangis, pundaknya bergoyang-goyang, sampai
mengguguk. Mau tak mau Kwi Lan agak terharu juga. Betapa pun juga pemuda ini
bersama-sama dengan dia sejak kecil dan kini ditinggal mati ibunya. Tanpa ia
sadari, sepasang mata Kwi Lan juga mencucurkan air mata. Gurunya tentu sudah
mati.
Akhirnya
tangis Suma Kiat terhenti. Kemudian ia mengangkat mukanya, memandang Kwi Lan
dengan sepasang mata merah, “Ibu sudah meninggal dunia...,” katanya, suaranya
parau, “Aku ditinggal seorang diri. Karena itu engkau harus menolongku, Sumoi.”
“Tentu saja,
Suheng,” jawab Kwi Lan halus. “Sebagai adik seperguruan, tentu saja aku suka
menolongmu. Tapi kau bebaskan dulu aku dari totokan. Amat tidak enak bicara
dalam keadaan begini.”
Tiba-tiba,
seperti ketika menangis tadi, Suma Kiat tertawa bergelak, “Ha-ha-ha! Kau kira
aku begitu bodoh? Membebaskanmu kemudian engkau menyerangku, ya? Ha-ha, Suma
Kiat tidak begitu bodoh, Sumoi. Ha-ha!” Sambil tertawa ha-ha-he-he, pemuda itu
menowel paha Kwi Lan. Gadis ini bergidik. Benar gila suheng-nya ini.
“Aku tidak
akan menyerangmu, Suheng. Aku berjanji takkan menyerangmu.”
“Ho-ho-ha-ha,
kalau tidak menyerang tentu lari meninggalkan aku! Ha-ha, aku tidak bodoh.
Tidak boleh kau meninggalkan aku. Ibu sudah pergi, engkau tidak boleh pergi.
ibu sudah mati... huu-huuuk-huuuk...“ Ia menangis lagi, “Ibu mati dan aku tidak
bisa menjadi kaisar, menjadi pangeran pun tidak. Aaahhh, aku hanya punya
engkau. Hanya engkau yang dapat menjadikan aku pangeran. Ahh, Sumoi, karena itu
engkau tidak boleh meninggalkan aku dan terpaksa kutotok.”
“Apa
maksudmu, Suheng? Menjadikan kau pangeran?” Kwi Lan bertanya, makin heran akan
tetapi juga makin gelisah.
“Tentu saja.
Ibu pernah bilang bahwa kau adalah puteri Ratu Khitan. Kalau aku menjadi
suamimu, berarti aku mantu Ratu Khitan, seorang pangeran. Kalau kelak aku tidak
menggantikan ibumu, menjadi Raja Khitan, setidaknya aku menjadi pangeran. Maka
engkau harus menjadi isteriku, Sumoi.”
Kwi Lan
terkejut sekali. Celaka, pikirnya. Jalan pikiran orang gila ini aneh sekali.
Bagaimana ia dapat lolos? Ia harus cerdik.
“Ah, mana
bisa, Suheng? Kau tidak mencintaku, aku pun tidak cinta kepadamu. Ingat, sejak
kecil kita saling bertengkar saja, mana mungkin menjadi suami isteri?”
“Ha-ha-ha,
siapa bilang aku tidak cinta padamu? Kau begini cantik manis, begini molek. Eh,
Sumoi, tahukah kau bahwa setelah kita dewasa, sering kali aku rindu kepadamu?
Engkau cantik jelita,” Suma Kiat membelai dagu wanita itu kemudian menunduk dan
mencium pipinya!
Kwi Lan
bergidik. Celaka sekarang! “Ah, Suheng. Kau jangan bodoh. Kau tahu bahwa aku
bukan seorang wanita yang mudah ditundukkan. Sekali aku bilang tidak mau,
sampai mati pun aku tidak mau. Kalau aku tidak sudi menjadi isterimu, kau mau
apa? Lebih baik kita tidak bertengkar dan bebaskan aku. Kita bicara dengan
baik, mungkin aku dapat memberi jalan baik kepadamu.”
“Ha-ha,
jangan coba untuk menipuku, Sumoi. Engkau boleh tidak sudi menjadi isteriku,
akan tetapi aku punya cara untuk memaksamu.”
“Suheng,
jangan gila!”
“Heh-heh-heh,
memang aku gila. Bukankah Ibu juga dianggap gila oleh orang lain? Mau tidak mau
engkau akan menjadi isteriku, Kwi Lan. Heh-heh, kau bukan sumoi lagi sekarang,
melainkan Lan-moimoi yang cantik manis, kekasih hatiku, isteriku yang molek.
Ini sebabnya mengapa kau kutotok. Aku akan memaksamu malam ini juga menjadi isteriku.
Kalau sudah terlanjur kau menjadi isteriku, masa kau bisa menolak lagi besok?
Apa kau ingin menjadi bahan hinaan orang, bukan gadis lagi sebelum kawin? Kalau
malam ini engkau menjadi isteriku, engkau akan terpaksa menerima aku sebagai
suami. Ha-ha-ha, aku akan menjadi mantu Ratu Khitan. Hebat bukan rencanaku?”
Kerongkongan
Kwi Lan serasa tersumbat! Ia tahu bahwa orang gila ini tidak akan segan-segan
melakukan rencana gilanya dan dia akan menjadi korban. Dicobanya menggertak,
“Suheng! Biar pun sekarang aku tidak berdaya, akan tetapi kalau kau melakukan
niat keji itu, besok kau akan kubunuh! Percayalah, kalau kau benar-benar
memperkosa, besok kau akan kubunuh, kucincang hancur tubuhmu!”
Sesaat sinar
takut menyelubungi wajah tampan itu. Memang pemuda itu agak takut terhadap Kwi
Lan yang ia tahu memiliki kepandaian lebih lihai dari padanya. Mulutnya
berkemak-kemik seperti bicara kepada diri sendiri. Melihat ini, Kwi Lan
melanjutkan.
“Tidak ada
gunanya, Suheng. Kau dapat memaksaku sekarang, akan tetapi kau takkan dapat
menjadi mantu Ratu, tidak menjadi pangeran, melainkan besok kau menjadi mayat
yang hancur lebur dagingnya. Lebih baik kita bicara baik-baik, kau bebaskan
aku.”
Akan tetapi
tiba-tiba wajah itu tersenyum-senyum lagi, seakan telah mendapat sebuah pikiran
baru, kemudian Suma Kiat tertawa, “Ha-ha-ha, tidak bisa kau membunuh aku. Kau
kira aku begitu tolol memaksamu menjadi isteri malam ini dan besok kubebaskan?
Ha-ha, salahmu sendiri kau membuka rahasia dan rencanamu. Kalau kau tadi tidak
bicara, tentu malam ini kau kujadikan isteri dan besok kubebaskan. Tapi
pikiranmu busuk sekali. Biar malam ini sudah menjadi isteri, besok hendak
membunuh dan mencincang tubuhku. Iihh, isteri macam apa ini? Aku tidak akan
membebaskanmu, Kwi Lan. Tiap tujuh jam kau kutotok kembali dan setiap saat kau
akan kupaksa menjadi isteriku sampai... ha-ha-ha, sampai kau mengandung! Nah,
kalau kau sudah mengandung, baru kubebaskan. Setelah kau mengandung
keturunanku, masa kau masih mau membandel!”
Sesak jalan
pernapasan Kwi Lan. Ia merasa ngeri dan bulu tengkuknya meremang. Alangkah akan
ngeri dan sengsaranya kalau rencana gila ini dilaksanakan. Dan sesungguhnya,
kalau dilaksanakan ia tidak akan dapat berbuat sesuatu! Ia akan hidup seperti
mayat, makan dipaksa, minum dipaksa, lalu diperkosa sesuka hati, dan baru akan
dibebaskan kalau sudah mengandung. Celaka! Hampir ia menjerit saking ngeri dan
cemasnya. Apa akal sekarang?
Teringatlah
Kwi Lan akan keadaannya ketika terancam oleh Bu-tek Siu-lam di kamar tahanan.
Teringat ia akan akal Hauw Lam yang cerdik yang berdaya upaya sedapat mungkin
untuk menyelamatkannya. Hauw Lam, si Berandal! Ah, terbayang wajah sahabat baik
ini. Betapa cerdiknya, betapa setia dan betapa besar cinta kasihnya ketika
pemuda itu mati-matian membelanya dengan segala macam akal. Pemuda yang cerdik,
gagah dan jenaka. Dunia selalu akan berseri kalau berada di samping pemuda itu.
Hauw Lam mencintanya. Akan tetapi... di sana ada Pangeran Talibu. Ah, betapa
besar cinta kasihnya terhadap Pangeran itu. Tak mungkin ia mencinta pemuda
lain.
Aihh,
mengapa ia teringat yang bukan-bukan? Bagaimana andai kata Hauw Lam yang
menghadapi persoalan dan ancaman mengerikan seperti dia sekarang? Ia kembali
mengenangkan sikap Hauw Lam. Mengulur waktu! Ya, mengulur waktu sambil memperpanjang
ancaman dan memperlebar kesempatan.
Tiba-tiba ia
menangis. Tadinya ia hanya ingin berpura-pura menangis saja, akan tetapi
teringat akan kematian gurunya, akan sikap Pangeran Talibu yang bermesraan
dengan Puteri Mimi, ia jadi menangis sungguh-sungguh! Air matanya bercucuran
dan ia terisak-isak. Suma Kiat kaget melihat ini. Selama hidupnya, belum pernah
ia melihat sumoi-nya menangis seperti ini.
Dahulu,
semenjak mereka kecil, kalau mereka bertengkar dialah yang menangis, bukan Kwi
Lan. Agaknya Kwi Lan tidak mempunyai air mata untuk menangis. Akan tetapi
sekarang menangis terisak-isak begitu menyedihkan! Seketika air mata Suma Kiat
juga bercucuran dan ia merangkul Kwi Lan, mengangkat tubuh yang lemas itu
sehingga terduduk dan menyandarkannya pada dinding kuil yang kering.
“Ada apakah,
Sumoi? Ada apakah, kekasihku yang manis, isteriku yang denok? Kenapa menangis?
Aku tidak akan menyakitimu, manis. Aku akan menjadi suamimu yang penuh kasih
sayang. Anak kitak kelak tentu laki-laki dan tampan. Kita didik dia menjadi
seperti... eh, Paman Suling Emas! Ya, anak kita tentu jagoan!”
Hiburan ini
bukan mengurangi kesedihan, bahkan menambah, membuat Kwi Lan menangis makin
sesenggukan. Betapa tidak kalau hiburan itu mengingatkan ia akan keadaan yang
mengerikan ini? Ia dihadapkan ancaman seorang gila dan ia tidak berdaya
menyelamatkan diri. Ah, Hauw Lam di mana engkau? Kalau ada pemuda cerdik itu,
tentu ada saja akalnya!
“Suheng...,
apa engkau tidak kasihan kepadaku? Benarkah kau tega hendak menyiksaku lahir
batin? Suheng, lebih baik kau bunuh saja aku...“
Suma Kiat
merangkul lebih erat, “Aihhh mana mungkin, sayang? Bagaimana aku dapat membunuh
orang yang paling kucinta di dunia ini? Jangan khawatir, Kwi Lan, aku tidak
akan menyakitimu. Percayalah, aku sayang kepadamu...”
Dapat
dibayangkan betapa takut dan ngeri hati Kwi Lan ketika pemuda itu mulai
membelainya, bahkan dengan gerakan halus dan hati-hati penuh kasih sayang. Suma
Kiat meraba-raba jubah gurunya yang ia pakai untuk menutupi tubuhnya. Berdiri
seluruh bulu di tubuh Kwi Lan dan ia cepat-cepat berkata.
“Suheng...,
dengarlah kata-kataku. Eh... aduh, tolong kau sandarkan aku di dinding, jangan
sentuh aku dan dengarkan dulu baik-baik... aku... aku menyerah, akan tetapi ada
syaratnya...”
Suma Kiat
menarik kembali tangannya, menyandarkan Kwi Lan di dinding dan memandang penuh
perhatian, penuh kemesraan. “Apa, manisku? Kau mau bilang apa?”
Mengulur
waktu, harus mengulur waktu, demikian jalan pikiran Kwi Lan, teringat akan
kecerdikan dan akal Hauw Lam. “Suheng...,” suaranya ia buat manis dan halus,
“setelah kupikir-pikir, memang kau benar. Kita sudah kehilangan Bibi Sian,
kalau tidak saling tolong, bagaimana lagi? Dan kupikir-pikir... eh, engkau
bukan seorang pemuda yang buruk. Engkau tampan, cerdik, juga gagah. Tidak
kecewa menjadi isterimu. Baiklah, aku menyerah. Akan tetapi....”
“Heh-heh-heh,
jangan kau menipuku, Kwi Lan. Kalau aku disuruh membebaskanmu, tak mungkin. Aku
tahu kelihaianmu. Engkau akan menjadi isteriku dalam keadaan tertotok...”
“Sesukamulah,
Suheng. Aku sudah menyerah. Akan tetapi... kuminta dengan sangat, jangan...
jangan malam ini! Lupakah engkau, Suheng, bahwa ibumu baru siang tadi meninggal
dunia? Bagaimana kita dapat melakukan... eh... hal itu malam ini? Ini amat
tidak baik dan durhaka, Suheng. Kau boleh totok aku, aku toh tidak mampu lari.
Tapi malam ini jangan..., besok saja, terserah kepadamu dan aku menyerah,
bahkan kemudian aku tidak akan menolak menjadi isterimu yang sah. Engkau
menjadi mantu Kerajaan Khitan, mungkin kelak menjadi Raja Khitan, dan aku
permaisurimu. Wah alangkah bahagianya!”
Makin
berseri wajah Suma Kiat. Akhirnya ia bersorak dan berjingkrak-jingkrak dalam
kuil itu, lalu berjongkok dan... “ngokk!” ia mencium pipi Kwi Lan dengan
hidungnya.
“Bagus!
Terima kasih, Kwi Lan. Terima kasih, kau baik sekali. Tapi... kalau sekarang,
mengapa sih?”
Tadinya Kwi
Lan sudah girang menyaksikan akalnya berhasil, akan tetapi kembali ia berdebar
mendengar kalimat terakhir. Sungguh sukar menjenguk keadaan hati pemuda gila
ini.
“Suheng,
terus terang saja, wajah Bibi Sian masih terbayang di depan mataku. Tidak mau
aku mendurhakai guru melakukan... hal itu pada hari guru meninggal dunia. Kalau
kau memaksa, aku akan mencari kesempatan membunuhmu atau membunuh diri sendiri.
Awas, alangkah mudahnya membunuh diri. Jika aku menggunakan kekuatan kemauan
menahan napas, sekarang pun aku dapat membunuh diri!”
Suma Kiat
mengangguk-angguk, “Baiklah, Kwi Lan. Menanti sampai besok pun tidak apa. Aku
pun lelah sekali, harus tidur malam ini. Selamat tidur, sayang. Sampai besok!”
Pemuda itu lalu berbaring di dekat Kwi Lan dan sebentar saja sudah mendengkur!
Kwi Lan
duduk bersandar dinding, matanya kedap-kedip memandang api lilin yang hampir
padam. Suram-suram keadaan di dalam kuil, sesuram hatinya. Ia sudah berhasil
mengulur waktu. Berhasil untuk sementara terhindar dari pada mala-petaka hebat.
Selanjutnya bagaimana? Ia tetap tidak melihat kesempatan. Dan tiba-tiba
jantungnya serasa berhenti berdetik. Benar! Pemuda ini tidur dan kurang lebih
tiga jam lagi pengaruh totokan akan lenyap dengan sendirinya dari tubuhnya. Ia
akan dapat bergerak dan alangkah mudahnya untuk membebaskan diri kalau ia sudah
dapat bergerak!
Jam-jam
berikutnya merupakan waktu yang amat sengsara, tegang dan menggelisahkan bagi Kwi
Lan. Api lilin sudah padam dan karena ia menanti waktu pulihnya tenaga
tubuhnya, maka setiap menit berlalu seakan-akan setahun. Orang bisa menjadi
lekas tua kalau menanti jalannya waktu dengan tak sabar. Satu jam, dua jam...
hampir tiga jam. Dan Suma Kiat masih juga belum bergerak. Jantung Kwi Lan
berdebar. Berkali-kali ia berusaha mengerahkan tenaga dari pusar, namun
sia-sia. Totokan belum punah.
Akhirnya, ia
dapat menggerakkan pinggangnya! Ia hampir bebas! Kwi Lan memejamkan mata,
mengumpulkan seluruh semangat dan tenaga untuk menggerakkan kaki tangan yang
lumpuh. Dan... pada saat itu, jari-jari yang kuat telah menotok punggungnya,
membuat ia roboh miring dan lemas kembali seperti tadi. Suma Kiat tertawa dan
Kwi Lan menahan isak tangisnya.
Hatinya kecewa bukan main. Sudah mati-matian menanti,
pada saat terakhir semua harapannya tersapu habis. Ia sudah ditotok kembali dan
kini Suma Kiat sudah rebah miring lagi, malah memeluknya dan sebentar saja
pemuda itu sudah mendengkur. Untung bahwa ketika rebah tadi, kaki tangannya
tertarik sehingga biar pun dipeluk, hanya pundaknya saja yang dirangkul pemuda
itu.
Napas pemuda
itu terasa meniup dahinya. Kwi Lan bergidik, hatinya penuh kemarahan dan
kebencian.
Matahari
telah menyinarkan cahayanya melalui jendela kuil yang tak berdaun lagi. Kwi Lan
memicingkan mata, silau oleh sinar matahari. Suma Kiat terbangun, menggeliat
dan bangkit duduk, lalu tersenyum dan terkekeh memandangi wajah Kwi Lan.
“Aduh,
cantik nian kau Kwi Lan. Tersinar cahaya matahari pagi engkau tiada ubahnya
setangkai bunga mawar. Rambutmu kusut, sebagian menutupi dahi, matamu sayu oleh
kantuk, bibirmu basah kemerahan seperti kuncup bunga, mandi embun, ahhh, engkau
sekarang tentu akan memegang janjimu, bukan? Kita menjadi suami isteri,
disaksikan cahaya matahari pagi...“ Pemuda itu berbisik-bisik dan membungkuk
hendak mencium bibir yang merah itu. Tiba-tiba ia tersentak kaget dan meloncat
mundur karena bentakan di belakangnya.
“Suma Kiat!
Engkau benar-benar keji dan jahat!”
Suma Kiat
meloncat bangun, membalikkan tubuh dan berhadapan dengan... Kiang Liong! Pemuda
berpakaian putih itu berdiri tegak dengan wajah penuh amarah dan wibawa, di
punggungnya nampak menonjol ujung alat musik yang-khim. Seperti diketahui,
pemuda ini diperintah oleh Suling Emas untuk mengejar Suma Kiat. Ia
bertanya-tanya kepada prajurit Khitan dan akhirnya mendapat keterangan bahwa
Suma Kiat membawa Kwi Lan berkuda ke selatan.
Ia mengejar
terus, akan tetapi terhalang malam gelap. Pagi-pagi sekali, setelah malam itu
ia bermalam di dalam hutan, ia melanjutkan perjalanan dan melihat kuil tua di
pinggir jalan dan seekor kuda di luarnya. Hatinya girang dan cepat ia meloncat
masuk dan masih sempat menegur dan mencegah Suma Kiat yang hendak melakukan
perbuatan keji terhadap Kwi Lan.
Suma Kiat
kaget bukan main dan sejenak ia hanya dapat memandang Kiang Liong dengan
melongo dan muka pucat. Kiang Liong sebaliknya menyapu ke dalam dan memandang
ke arah Kwi Lan. Hatinya bersorak lega melihat bahwa kedatangannya belum
terlambat. Biar pun gadis itu dalam keadaan tertotok, namun tidak lebih dari
pada itu. Diam-diam Kiang Liong merasa heran bagaimana Kwi Lan dapat terhindar
dari pada penghinaan yang hebat.
“Piauwheng
(Kakak Misan)... kau... menyusul ke sini? Ah, Piauwheng... Ibuku telah... telah
meninggal dunia...” Dan Suma Kiat menangis!
“Suma Kiat!”
Kiang Liong membentak marah. “Simpan air mata buaya itu! Dan katakan, apa
maksudmu melarikan Mutiara Hitam dan apa yang hendak kau lakukan tadi?”
Suma Kiat
berhenti menangis, lalu memandang Kiang Liong dengan mata terbelalak dan tidak
mengerti agaknya mengapa kakak misannya marah-marah. “Dia ini...? Ah, dia ini
sumoiku dan calon isteriku, Piauwheng. Dia akan menjadi isteriku. Kau tanya
saja kepadanya!”
Kwi Lan
cepat berkata. “Suma Kiat! Engkau memang gila dan jahat. Kau hendak
memperkosaku dan sejak kemarin menotokku, siapa ingin menjadi isterimu? Tunggu
saja, kalau sudah bebas aku akan membunuhmu!”
“Heh...?
Tapi... tapi... malam tadi kau berjanji... kau akan menyerah pagi ini...
kau...”
Kiang Liong
kini mengerti duduknya perkara. Kiranya Mutiara Hitam telah berhasil meloloskan
diri malam tadi dengan jalan memberi janji dan mengulur waktu. Ia menjadi marah
sekali, melangkah maju dan tangannya bergerak.
“Plak-plak-plak-plak!”
Empat kali kedua pipi Suma Kiat ditampar.
Biar pun
Suma Kiat berusaha mengelak dan menangkis, namun tetap saja tamparan-tamparan
itu mengenai kedua pipinya sampai matang biru! Ia terhuyung-huyung mundur
beberapa langkah, meraba kedua pipinya lalu mewek, menangis!
“Piauwheng...
Piauwheng... kau... kau mau bunuh aku...?” Ia mundur-mundur ketakutan.
Kiang Liong
menggigit bibir, “Kalau engkau bukan adik misan, atau kalau engkau sudah
berhasil berbuat keji, tentu kau sudah kubunuh sekarang juga. Hayo, pergilah
sebelum aku bunuh engkau!”
Suma Kiat
membalikkan tubuh lalu... lari secepatnya meninggalkan kuil itu sambil
berteriak-teriak menangis dan memegangi kedua pipinya!
Kiang Liong
menghampiri Kwi Lan, lalu membebaskan totokan di punggung. Kwi Lan bangkit
duduk perlahan. Tubuhnya kaku dan sakit-sakit karena terlalu lama lumpuh.
Setelah duduk bersila sejenak dan tenaga serta jalan darahnya pulih, ia lalu
bangun berdiri. Kiang Liong sudah berada di luar kuil, tadi membiarkan dia beristirahat.
Kiang Liong
sudah duduk bersila di luar kuil, memangku yang-khim. Kwi Lan berhenti dan
mendengarkan, terpesona. Indah bukan main petikan yang-khim itu, suaranya
mengalun merdu. Kemudian terdengar suara pemuda itu bernyanyi, suaranya halus
dan mengandung ketenangan, namun juga menimbulkan haru dan iba. Mutiara Hitam
berdiri tertegun, tak bergerak beberapa meter di belakang pemuda itu. Bahkan
kuda yang ditinggalkan Suma Kiat dan berada di belakang pemuda itu pun diam,
seakan ikut mendengarkan.
Matahari
cerah
menerangi
bumi dan angkasa
tidak
menembus hatiku
tetap gelap
dan gelisah
hanya
sepatah kata
kuharapkan
dirimu
pengusir
gelap dan resah.
Dengan
iringan suara yang-khim, nyanyian berhenti dan heninglah keadaan sekeliling
tempat itu. Kiang Liong masih duduk bersila memangku yang-khim, tak bergerak
seperti arca orang melamun. Kwi Lan menarik napas panjang, melangkah maju dan
memanggil.
“Kiang-kongcu...“
Kiang Liong
terkejut, bangkit berdiri, mengalungkan yang-khim di punggung dan membalikkan
tubuh. Mereka berdiri berhadapan, pandang mata mereka bertemu, masing-masing
seperti hendak menjenguk isi hati. Perlahan-lahan kedua pipi Kwi Lan menjadi
merah. Dalam nyanyian tadi dia merasa seakan-akan pemuda ini bicara kepadanya,
seakan-akan dari dialah pemuda itu mengharapkan sepatah kata pengusir gelap dan
resah! Dengan perasaan wanitanya yang kini amat tajam karena berkali-kali
menerima pernyataan cinta, Kwi Lan merasa bahwa pemuda yang perkasa ini, pemuda
yang terkenal di kota raja, pemuda idaman setiap wanita remaja, murid Suling
Emas, agaknya juga... jatuh cinta kepadanya! Jelas tersinar dari pandang mata
itu!
Kwi Lan
menunduk, lalu berkata, “Kiang-kongcu, kau telah menolongku, membebaskan aku
dari pada malapetaka. Terimalah ucapan syukur dan terima kasihku, Kongcu.”
Kiang Liong
menjura, “Ah. Nona mengapa banyak sungkan? Kita sudah pernah senasib
sependeritaan di dalam kamar tahanan Bouw Lek Couwsu, kita bersama sudah lolos
dari lubang jarum di sana. Apa artinya perbuatanku tadi? Agaknya memang nasib
Nona harus mengalami banyak kaget dan ancaman bahaya, namun selalu terhindar
ini membuktikan bahwa orang baik selalu dilindungi Thian.”
Kwi Lan
bergidik. “Tidak sangka..., Suheng makin gila...“
“Maafkanlah
dia, Nona. Suheng-mu atau adik misanku itu patut dikasihani. Dia tidak normal
dan... dan baru saja kehilangan ibunya...“
Kwi Lan
menggerakkan pundak. Setelah apa yang diiakukan Suma Kiat terhadap dirinya,
sukar baginya untuk memaafkannya, biar pun ia tahu bahwa pemuda itu gila.
Menggigil ia kalau ingat pipinya dicium, tubuhnya dipeluk semalaman. Hih, masih
untung tidak tercapai maksudnya yang keji! Cepat-cepat ia mengusir kenangan
mengerikan ini dan mengalihkan percakapan.
“Apa yang
terjadi di markas Bouw Lek Couwsu, Kongcu? Bagaimana Kongcu dapat lolos dan
bagaimana dengan... Pangeran... dan teman-teman yang lain?” Berdebar jantung
Kwi Lan teringat akan Pangeran Talibu, penuh kekhawatiran.
“Suhu datang
setelah gurumu tewas dan berhasil menewaskan Bu-tek Siu-lam. Sungguh harus
diakui kecerdikan Hauw Lam. Karena ketajaman lidahnya dan kecerdikannya
memanaskan hati gurumulah kita semua selamat! Gurumu berhasil membunuh Bu-tek
Siu-lam, akan tetapi tewas pula oleh pengeroyokan yang lain. Kemudian muncul
guruku bersama pasukan-pasukan Khitan yang besar jumlahnya. Pasukan Khitan
menghancurkan orang-orang Hsi-hsia, sedangkan guruku dikeroyok empat
kakek-kakek sakti. Aku tidak tahu bagaimana selanjutnya karena aku dibebaskan
Suhu dan disuruh mengejar Suma Kiat untuk menolongmu.”.
Kwi Lan
mengerutkan kening. Ia percaya akan kesaktian Suling Emas dan besar harapan
Pangeran Talibu dan yang lain-lain akan selamat. Akan tetapi mengapa Kiang
Liong disuruh menolongnya?
“Gurumu
menyuruhmu mengejar Suma-suheng dan menolongku?”
“Aku sendiri
tidak mengerti, Nona. Begitu datang, Suhu bertanya kepadaku tentang kau. Ketika
aku memberi tahu bahwa kau dibawa lari Suma Kiat, Suhu membebaskan aku dan
menyuruh aku cepat mengejar. Suhu agaknya amat memperhatikammu.”
Kwi Lan
tidak mengerti, akan tetapi ia tidak memusingkan hal itu lebih lanjut karena ia
masih mengkhawatirkan keselamatan yang lain-lain. “Bagaimana dengan mereka? Ah,
jangan-jangan...“
“Tak usah
khawatir, Nona. Suhu tidak akan menyuruh aku pergi kalau beliau tidak yakin
akan kemenangannya. Kurasa mereka semua selamat. Sekarang aku akan kembali ke
kota raja mencari berita tentang mereka. Dan engkau, hendak ke manakah, Nona?
Kalau tidak berkeberatan, kita melakukan perjalanan bersama.” Pandang mata
pemuda itu penuh harapan.
Kwi Lan
tersenyum. Semua pemuda yang dijumpainya selalu ingin melakukan perjalanan
bersamanya. Semua mencintanya. Tapi di sana ada Pangeran Talibu! Selain
Pangeran ini, kalau disuruh memilih, sungguh amat sukar. Semua mempunyai
kelebihan dan kebaikan masing-masing!
“Aku ingin
ke Khitan, akan tetapi, baiklah kita ke kota raja dulu, karena aku pun ingin
sekali mendengar bagaimana dengan akhir pertempuran di markas orang Hsi-hsia
itu.” Tentu saja, bagaimana ia dapat pergi ke Khitan menyusul Pangeran Talibu
kalau ia belum mendengar tentang keadaan Pangeran itu?
Berangkatlah
mereka ke kota raja. Kiang Liong mempersilakan Kwi Lan naik kuda sedang ia
sendiri berjalan di samping kuda. Pemuda itu nampak gembira bukan main. Besar
harapannya melihat sikap gadis itu yang selalu manis dan ramah kepadanya. Ia
merasa betapa hatinya benar-benar jatuh terhadap Kwi Lan. Belum pernah
selamanya ia menaruh simpati begini besar terhadap seorang gadis, yang
kehadirannya membuat matahari bersinar lebih terang, bunga-bunga mekar lebih
indah. Ia tidak mau secara sembrono menyatakan cinta kasihnya, dan mengharap
senyum itu dapat dimengerti gadis ini. Kelak kalau sudah tiba saatnya, ia akan
mengajukan lamaran secara resmi!
Dapat
dibayangkan betapa besar rasa kegembiraan mereka, terutama hati Kwi Lan, ketika
mereka tiba di luar kota raja, mereka sudah mendengar berita tentang kesudahan
pertempuran di markas Bouw Lek Couwsu. Mereka mendengar berita bahwa markas
orang Hsi-hsia dihancurkan oleh Suling Emas dan pasukan Khitan, bahwa Pangeran
Talibu dan Puteri Mimi yang ditahan di sana telah dibebaskan dan kembali ke
Khitan, juga tentang kematian Siauw-bin Lo-mo dan Pak-sin-ong oleh Suling Emas
yang dibantu oleh seorang kakek cebol berkepala raksasa yang amat aneh dan
lihai!
Dua orang
muda itu menduga-duga dan Kiang Liong berkata, “Tak salah lagi, kakek aneh itu
tentulah Bu-tek Lo-jin!”
“Guru
Berandal? Betul-betul dia datang?” tanya Kwi Lan, tertawa geli kalau teringat
kepada Hauw Lam. Muridnya begitu ugal-ugalan, entah bagaimana gurunya!
“Tentu dia,
siapa lagi kakek begitu aneh yang dapat menandingi orang-orang seperti
Siauw-bin Lo-mo? Akan tetapi, agar dapat mendengar keterangan lebih jelas, mari
kita memasuki kota raja. Mungkin Suhu masih berada di kota raja.”
Mereka
melanjutkan perjalanan. Di depan pintu gerbang kota raja, mereka disambut
pasukan kota raja sebanyak dua losin orang yang dikepalai seorang komandan.
Begitu bertemu, komandan itu lalu membentak.
“Kiang
Liong, lebih baik engkau menyerah!”
Kiang Liong
terkejut bukan main. Ia mengenal komandan ini, seperti juga komandan yang lain.
Dia sudah terkenal dan selalu dihormati mereka. Bagaimana sekarang komandan ini
membentak suruh ia menyerah?
“Heii, apa
maksudmu?” ia balas bertanya, terheran-heran.
Komandan ini
berkata angkuh, “Lekas berlutut dan dengarkan firman Kaisar!”
Melihat
betapa komandan itu mengeluarkan segulung surat perintah, Kiang Liong segera
berlutut, mendengarkan bagaikan mimpi suara komandan itu yang lantang
membacakan surat perintah. Hampir tidak percaya ia ketika mendengar bahwa surat
perintah itu adalah pernyataan Kaisar bahwa dia adalah seorang pemberontak yang
memancing permusuhan dengan bangsa Hsi-hsia dan tidak mentaati perintah damai
dari Kaisar! Ia termenung tak dapat berkata-kata. Ketika komandan
menghampirinya membawa belenggu, ia menyerahkan kedua lengannya tanpa
membantah, wajahnya pucat.
“Heii,
lepaskan dia!” Tiba-tiba Kwi Lan menerjang maju dan si Komandan terpental jauh,
jatuh bergulingan dan pingsan! Dua losin tentara mengurung, namun Kwi Lan
mengamuk. Begitu kaki tangannya bergerak, enam orang tentara sudah
terpelanting, roboh!
“Nona,
jangan...!” Kiang Liong berseru menahan.
“Jangan
bagaimana? Kiang Liong, engkau mengapa begini lemah? Biar kaisar biar setan
kalau perintahnya tidak benar perlu apa ditaati? Kau tidak bersalah hendak
ditangkap, masa menyerah begitu saja? Kau boleh menyerah, akan tetapi aku tetap
tidak membiarkan kau ditangkap!”
Kiang Liong
bingung, apa lagi melihat nona itu mengamuk terus dan setiap orang tentara yang
mendekatinya tentu terpelanting roboh. Ia menghela napas, kemudian mengambil
keputusan untuk sementara lari dan mencari suhu-nya minta pertimbangan agar
mencegah Mutiara Hitam mengamuk yang dapat menimbulkan bencana lebih besar
lagi.
“Baiklah,
Mutiara Hitam. Mari kita lari!”
Mereka
berdua lalu kabur dengan ilmu lari cepat. Pasukan yang kehilangan komandan
karena komandan itu masih pingsan menjadi bingung dan hanya dapat menolong
mereka yang terluka dan pingsan.
Setelah lari
jauh, dengan suara penuh harapan Kiang Liong bertanya, “Mutiara Hitam,
engkau... mengapa kau menolongku mati-matian?”
Kwi Lan
tersenyum. “Siapa bicara tentang tolong-menolong? Bagaimana aku dapat melihat
kau ditangkap begitu saja? Nah, kita berpisah di sini. Aku akan terus ke
Khitan.”
“Aku
mendengar bahwa Nona adalah puteri Ratu Khitan. Nona hendak menemui ibumu?”
Di dalam
hatinya, Kwi Lan sebetulnya bukan hanya ingin menemui ibunya, melainkan
terutama sekali menyusul... Pangeran Talibu. Akan tetapi ia menjawab dengan
anggukan kepala dan melanjutkan, “Nah, sampai jumpa.”
“Sampai
jumpa, Mutiara Hitam dan terima kasih. Kelak aku akan berkunjung ke Khitan.”
Ketika
Mutiara Hitam membalapkan kudanya, Kiang Liong berdiri mengikutinya dengan
pandang mata sampai bayangan manusia dan kuda lenyap ditelan debu yang mengebul
tinggi. Kemudian Kiang Liong melanjutkan perjalanan, bertanya-tanya dan
akhirnya mendengar bahwa Suling Emas setelah menghadap kaisar lalu meninggalkan
kota raja dengan wajah muram. Ada tokoh pengemis yang mengetahui bahwa Suling
Emas pergi menyusul Yu-pangcu ke Kang-hu. Berangkatlah Kiang Liong ke Kang-hu.
***************
Pagi hari
itu kota Kang-hu kebanjiran... pengemis! Dari segenap penjuru kota
berbondong-bondong datang para pengemis, bahkan banyak pula datang dari luar
kota. Berita telah tersiar luas, berita yang amat aneh, yang menarik perhatian
bukan saja para pengemis baju kotor, bahkan para pengemis baju bersih, golongan
kaum sesat, dan para tokoh kang-ouw juga tertarik.
Maka pada
hari itu, kota Kang-hu tidak hanya kebanjiran kaum pengemis, bahkan bermacam
orang kang-ouw datang berkunjung. Berita apakah yang begitu menarik? Bukan lain
adalah berita penantangan Yu Kang Tianglo kepada Suling Emas! Sha-gwee Cap-go.
Bulan tiga tanggal lima belas, itulah harinya!
Perkumpulan
pengemis Khong-sim Kai-pang sudah mempersiapkan panggung besar di depan rumah
perkumpulan. Sebuah panggung dari papan yang luas, yang biasa disebut panggung
tempat pibu (adu silat). Yu Siang Ki atau Yu-pangcu sendiri yang mengatur
segalanya, sesuai dengan pesan Suling Emas. Dan malam tadi Suling Emas sudah
datang, kini berada di dalam rumah perkumpulan, mengenakan pakaian
tambal-tambalan.
Bagi mereka
yang mengerti duduknya persoalan, menjadi tegang dan gelisah. Yu Kang Tianglo
sudah meninggal dunia dan yang kini menggunakan nama Yu Kang Tianglo adalah
Suling Emas yang sebenarnya, menantang Suling Emas palsu! Yu Kang Tianglo tidak
ada dan kini berarti Suling Emas tulen berhadapan dengan Suling Emas palsu,
atau lebih tepat, Yu Kang Tianglo palsu berhadapan dengan Suling Emas palsu!
Yu Siang Ki
sendiri yang menyampaikan surat tantangan dari ‘Yu Kang Tianglo’ kepada ‘Suling
Emas’ di Lembah Ang-san-tok di Gunung Heng-tuan-san, dan mendapat jawaban siap
oleh ‘Suling Emas’ bahkan menentukan jamnya di waktu pagi!
Demikianlah,
ketika jam penentuan sudah dekat, Suling Emas yang berpakaian sebagai pengemis
itu keluar dari dalam rumah perkumpulan, lalu duduk di atas sebuah bangku di
atas panggung. Sorak-sorai para pengemis menyambut munculnya tokoh ini, terutama
dari para anggota Khong-sim Kai-pang yang mengenal bahwa tokoh besar inilah
sesungguhnya Suling Emas tulen! Yang tidak tahu duduknya persoalan dan tidak
mengenal Suling Emas, mengira bahwa tokoh ini benar-benar Yu Kang Tianglo tokoh
Khong-sim Kai-pang.
Suling Emas
duduk di atas bangku, hatinya tegang karena ia masih belum mengerti apa
maksunya orang memalsukan namanya dan menantang Yu Kang Tianglo! Tentu ada
rahasia tersembunyi di balik kejadian ini. Juga ia merasa penasaran dan ingin
menguji kepandaian orang yang memalsukan namanya.
Tepat pada
jam yang ditentukan, tiba-tiba terdengar bunyi melengking tinggi dari jauh,
disusul suara orang. “Suling Emas tiba! Adakah Yu Kang Tianglo sudah tiba?”
Suling Emas
terkejut. Bukan main suara itu. Jelas bahwa orang itu memiliki ilmu kepandaian
tinggi, memiliki khikang yang hebat, mampu mengirim suara dari jauh, bahkan
mampu menirukan lengkingnya yang khas Suling Emas! Ia lalu bangkit berdiri dari
bangkunya, berdongak dan membusungkan dada, kemudian menjawab dengan pengerahan
khikang sehingga suaranya dapat mencapai tempat jauh, ke arah dari mana suara
tadi terdengar.
“Yu Kang
Tianglo siap menerima kunjungan Suling Emas!”
Keadaan
menjadi hening. Mereka yang hadir dan memenuhi tempat di bawah panggung menjadi
tegang. Tak lama kemudian tampak berkelebat bayangan dan bagaikan seekor burung
besar, di atas panggung itu muncul seorang laki-laki tua yang meloncat turun
seperti burung terbang cepatnya. Ketika semua orang memperhatikan, terdengar
suara ketawa di sana-sini.
Laki-laki
itu sudah tua, lebih tua sedikit dari pada Suling Emas. Tubuhnya kurus sekali,
jenggotnya panjang, hidungnya mancung dan mulutnya membayangkan keangkuhan.
Akan tetapi yang lucu adalah pakaiannya. Pakaian itu terlalu besar gedobyoran
akan tetapi di bagian dadanya jelas tersulam sebatang suling dengan latar
belakang bulan purnama, persis seperti tanda gambar pada pakaian Suling Emas!
Bahkan Yu
Siang Ki sendiri terheran-heran dan mendongkol menyaksikan pemalsuan yang
mentertawakan ini. Orang ini bukan muncul seperti Suling Emas yang terkenal
kegagahan dan ketampanannya, melainkan sebagai seorang badut! Betapa pun juga,
harus ia akui bahwa cara laki-laki tua ini datang benar amat mengagumkan,
sesuai dengan ilmunya yang tinggi.
Kalau semua
orang memperhatikan dan mentertawakan, adalah Suling Emas yang memandang dengan
serius dan terkejut. Orang ini bukan semata-mata hendak memalsukan namanya,
pikirnya. Pemalsuan yang dibuat untuk berolok-olok, memperolok Suling Emas
karena orang ini jelas sengaja memakai pakaian yang kebesaran dan kedodoran
seperti hendak memperlihatkan bahwa Suling Emas hanya seorang badut. Ia cepat
menyambut dengan kedua tangan di depan dada, sambil memandang tajam ia
bertanya.
“Benarkah
yang saya hadapi ini adalah Suling Emas yang menantang Yu Kang Tianglo?” Sambil
bicara, Suling Emas sengaja hendak menguji lawannya, mengerahkan sinkang pada
kedua tangannya yang mendorong.
Orang itu
balas menjura, menangkis dengan sinkang pula, dan biar pun tubuh orang itu agak
doyong ke belakang sedikit, namun Suling Emas harus mengakui bahwa tenaga
sinkang orang itu tidak lemah. Orang itu pun biar tahu bahwa lawannya benar
bertenaga hebat, tidak kelihatan takut, bahkan tersenyum mengejek dan balas
bertanya.
“Sebelum
saya menjawab, saya hendak bertanya apakah yang saya hadapi ini benar-benar Yu
Kang Tianglo yang gagah perkasa?”
Suling Emas
tercengang, menduga-duga siapa gerangan orang ini. Ia merasa disindir dan
menjadi tidak enak sekali. Bagaimana ia dapat menuduh orang palsu kalau ia
sendiri juga palsu? Segera ia berkata lagi, suaranya tetap halus.
“Sepanjang
ingatanku, di antara Yu Kang Tianglo dan Suling Emas terjalin persahabatan yang
erat, bagaimana sekarang terjadi permusuhan? Apa kehendak yang tersembunyi di
balik kelakuanmu, sobat?”
“Tidak
salah!” Orang itu menjawab, matanya menentang tajam, “Memang dahulu terjalin
persahabatan yang erat, akan tetapi persahabatan erat dapat putus kalau seorang
di antara mereka berkhianat!”
Suling Emas
makin tidak enak. Pandang mata orang itu biar pun membayangkan kekerasan hati,
namun menyinarkan keberanian dan kejujuran! Maka ia merasa tidak perlu
pura-pura dan berkata, “Sobat, terus terang saja, aku tidak mengenalmu. Tidak
perlu memalsukan nama Suling Emas, lebih baik menggunakan nama sendiri. Ingat,
Suling Emas masih hidup!”
Orang itu
tertawa bergelak, suara ketawanya nyaring sekali, tanda bahwa lweekang-nya
sudah matang, “Ha-ha-ha-ha! Alangkah lucunya! Memalsukan nama orang yang sudah
mati saja ada orang berani lakukan, mengapa memalsukan nama orang yang masih
hidup tidak berani? Sedikitnya, yang terakhir ini lebih jujur dan berani dari
yang terdahulu!”
Merah Suling
Emas. Ia merasa disindir-sindir. Apa hak orang ini menyindirnya kalau ia
mengaku bernama Yu Kang Tianglo? Sedikitnya tidak merugikan Yu Kang Tianglo
yang sudah mati, dan ia pun menyamar bukan dengan maksud buruk. Maka ia lalu
maju selangkah dan berkata, “Sobat, engkau Suling Emas palsu. Akulah Suling
Emas!”
Kembali
orang itu tertawa, “Begitukah? Apakah engkau ini sebangsa bunglon bisa saja
berganti-ganti nama seenaknya? Kemarin mengaku Yu Kang Tianglo kini mengaku
Suling Emas? Ho-ho, tidak begitu mudah, sobat. Akulah Suling Emas!”
Suasana
menjadi makin tegang dan di antara para pengemis Khong-sim Kai-pang sudah ada
yang berteriak, “Hantam saja Suling Emas palsu ini!”
“Enyahkan si
badut!”
“Buka
kedoknya!”
Suling Emas
makin mendongkol, “Hemm, kalau kau berkeras berarti engkau menghendaki
kekerasan?”
“Terserah!
Demi kebenaran, aku tidak takut kepadamu!”
“Baik!
Majulah!” bentak Suling Emas.
Dua orang
itu lalu bergerak maju. Suling Emas yang ingin mencoba kepandaian orang itu
sudah menerjang dengan pukulan-pukulan berat. Namun orang itu ternyata lincah
sekali, dapat mengelak cepat dan menangkis, bahkan balas menyerang! Ternyata
bahwa ilmu silat tangan kosong orang ini cukup lihai dan memiliki daya tahan
yang kuat luar biasa sehingga kalau ia melanjutkan pertandingan tangan kosong
itu tentu makan waktu yang lama. Apa lagi kalau ia pikir bahwa tidak
sekali-kali ia ingin mencelakakan orang ini sebelum ia mengetahui apa latar
belakang perbuatannya yang aneh.
Maka ia lalu
mengirim pukulan sambil melangkah maju. Ia mengerahkan tenaga ketika melihat
betapa lawannya menerima pukulannya dengan jari terbuka itu dengan dorongan
yang sama, agaknya untuk mengadu tenaga,. Dua telapak tangan bertemu keras
sekali dan akibatnya... tubuh keduanya terpental ke udara dan mencelat ke
belakang! Hanya bedanya, kalau Suling Emas hanya berjungkir balik satu kali
saja, lawannya berjungkir balik sampai tiga kali baru turun ke atas papan
panggung!
Sorak-sorai
tepuk tangan menyambut demonstrasi ini. Dalam penglihatan mereka yang kurang
tinggi ilmunya, gerakan ‘Suling Emas’ itu lebih indah karena sampai tiga kali
berjungkir balik, akan tetapi dalam pandangan yang mengerti, kakek yang memalsu
nama Suling Emas itu jelas kalah kuat tenaganya.
Kini mereka
sudah berhadapan lagi. Suling Emas ingin menguji apakah pemalsunya juga
mempunyai suling, maka sekali tangannya bergerak, sebatang suling emas
berkilauan berada di tangan kanannya.
“Ha-ha-ha-ha!
Lucu sekali! Yu Kang Tianglo yang sudah mati kini hidup lagi dan senjatanya
berubah menjadi suling emas! Sebaliknya Suling Emas yang sudah puluhan tahun
tenggelam entah ke mana kini muncul dengan tongkat di tangan!” Berkata
demikian, kakek itu mengeluarkan sebatang tongkat rotan kecil dari tangannya,
dan langsung menyerang Suling Emas. Tongkat rotan kecil itu ketika digerakkan
mengeluarkan bunyi melengking-lengking!
Melihat ini,
Suling Emas dan Yu Siang Ki mengeluarkan seruan kaget. Suling Emas cepat
menangkis dengan sulingnya dan ketika lawannya menerjang terus sampai belasan
jurus secara bertubi-tubi, ia cepat mencelat ke belakang sambil berseru.
“Tahan dulu!
Sobat, pernah apakah engkau dengan Yu Kang Tianglo almarhum?”
Orang itu
memandang Suling Emas dengan mata melotot, “Kau sudah tahu almarhum, kenapa
masih tega memalsukan namanya? Suling Emas adalah seorang pendekar sakti yang
dikagumi seluruh dunia kang-ouw, mengapa menjadi pengecut, menyembunyikan diri
seperti penjahat dikejar, kemudian menyelinap bersembunyi di bawah nama Yu Kang
Tianglo? Mengapa orang yang sudah mati diganggu, biar pun oleh sahabatnya
sendiri? Seorang laki-laki sudah berani berbuat berani bertanggung jawab, tidak
nanti melarikan diri dari pada tanggung jawab. Yang tidak berani mengakui semua
perbuatannya, yang tidak berani menghadapi kenyataan pahit sebagai akibat
perbuatannya, tidak patut disebut laki-laki! Hayo, kalau mau dilanjutkan aku
akan melayani sampai mati!”
Suling Emas
seperti ditusuk jantungnya. Ia memejamkan mata menahan keperihan hati.
Kata-kata tadi amat menusuk perasaannya karena tepat sekali menyindir
keadaannya. Puluhan tahun menyembunyikan diri, melarikan diri dari Ratu Yalina,
dari musuh-musuh mendiang ibunya. Kemudian ia melihat akibat perbuatannya
dengan terlahirnya Kiang Liong, terlahirnya Talibu dan Kwi Lan. Akan tetapi ia
tetap masih menyembunyikan semua itu, dengan dalih menjaga nama baik mereka!
Ah, lebih tepat menjaga nama baiknya sendiri. Ia memang pengecut selama ini!
“Sudahlah!!”
katanya dengan keluhan berat dengan dua titik air mata membasahi matanya dan
sekali renggut robeklah jubah pengemis dan tampak pakaian aslinya, pakaian
Suling Emas! “Akulah Suling Emas dan memang aku pernah mempergunakan nama
mendiang sahabat Yu Kang Tianglo! Akan tetapi hal ini tidak menyinggung siapa
pun juga. Siapakah engkau ini yang mencampuri urusanku?”
“Tidak
menyinggung orang lain akan tetapi menyinggung aku, Suling Emas!” kata kakek
itu sambil merobek pula jubah ‘Suling Emas’-nya dan ternyata ia berpakaian
ringkas sederhana. “Namaku adalah Ong Toan Liong dan aku suheng dari Yu Kang
Tianglo! Ketika engkau menyamar sebagai Yu Kang Tianglo, aku besusah payah
membantu Kauw Bian Cinjin membalaskan kehancuran Beng-kauw! Dan engkau
enak-enak saja mempermainkan kaum pengemis dengan penyamaranmu.”
Suling Emas
tertegun dan pada saat itu, Yu Siang Ki melompat naik ke atas papan panggung,
langsung berlutut di depan kakek itu sambil berseru, “Ong-supek (Uwa
Seperguruan Ong)...! Mendiang Ayah banyak bercerita tentang Supek... kenapa
baru sekarang Supek memperkenalkan diri?"...
Terima kasih telah membaca Serial ini
terimakasih
ReplyDelete